Anda di halaman 1dari 28

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA “GRUP D”

PERCOBAAN I
PENGARUH FORMULASI TERHADAP LAJU DISOLUSI

ANISAH RAHMAH YULIANI


1943057067

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Untuk mencapai absorpsi sistemik, suatu obat padatan akan mengikuti beberapa
proses seperti:

 Disintegrasi
 Disolusi
 Absorpsi melalui membran sel.

Pada proses tersebut, laju obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan oleh
tahapan yang paling lambat “rate limiting step”.

Obat yang memiliki kelarutan jelek dalam air, maka disolusi merupakan tahap
penentu dalam proses tersebut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi disolusi
obat, diantaranya:

 Sifat fisikokimia bahan obat


 Faktor formulasi
 Anatomi dan fisiologi saluran cerna Dan lain-lain.

Salah satu faktor yang akan diamati adalah pengaruh formulasi sediaan obat.

TUJUAN

 Agar mahasiswa memahami profil disolusi obat dalam berbagai kondisi


pH. (P.1)
 Untuk mengetahui pengaruh formulasi sediaan obat terhadap laju disolusi.
(P.2)
BAB II

LANDASAN TEORI

Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut (Shargel, 2004). Disolusi secara singkat didefinisikan
sebagai proses melarutnya suatu solid. Bentuk sediaan farmasetik padat terdispersi
dalam cairan setelah dikonsumsi seseorang kemudian akan terlepas dari sediaannya
dan mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti dengan absorpsi zat aktif ke
dalam sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan respons klinis (Siregar, 2010).
Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai
macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik sediaan, proses
pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi kedalam sediaan, proses
pengembangan, proses disintegrasi dan deagregasisediaan, merupakan sebagian dari
faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan (Syukri,2002)

Ketika suatu tablet atau sediaan padat masuk ke dalam saluran cerna, obat
tersebut mulai bergerak dari padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali tablet tersebut
merupakan bahan polimerik yang bergandengan, matriks padat berdisintegrasi
menjadi granul-granul. Granul-granul yang dihasilkan selanjutnya berdeagregasi
menjadi partikel-partikel halus. Disentegrasi, deagregasi dan disolusi dapat dapat
terjadi bersamaa dengan pelepasan obat dari bentuk penghantarannya. Keefektifan
suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk absorpsi sistemik sedikit banyak
bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk sediaan dan deagregasi granul. Namun
biasanya yang lebih berpengaruh adalah kecepatan disolusi sediaan padat tersebut.
Disolusi sering kali merupakan tahap penentu atau pengendali kecepatan pada
absorpsi obat berkelarutan rendah karena disolusi kerap kali menjadi tahap paling
lambat diantara berbagai tahap yang terlibat dalam pelepasan obat dari bentuk sediaan
dan pergerakan ke dalam sirkulasi sistemik. Kecepatan suatu padatan melarut dalam
suatu pelarut dinyatakan secara kuantitatif oleh Noyes dan Whitney, kemudian
diuraikan dengan persamaan:
atau,

M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah kecepatan
disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut dalam larutan; S
adalah luas permukaan padatan; h adalah tebal lapisan difusi;Cs adalah kelarutan
padatan (yakni konsentrasi ssenyawa dalam larutan jenuh pada permukaan padatan
dan pada temperatur percobaan); dan C adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan
bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt adalah kecepatan disolusi dan V adalah volume
larutan.

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Disolusi


Beberapa faktor yang mempengaruhi laju disolusi zat aktif adalah:
a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif.
Sifat – sifat fisikokimia zat aktif memiliki peranan dalam pengendalian
disolusinya dari bentuk sediaan. Kelarutan zat aktif dalam air diketahui sebagai
salah satu dari berbagai faktor yang menentukan laju disolusi (Siregar, 2010).
Faktor ini meliputi:
1. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama
dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju
disolusi yang cepat.
2. Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas
permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi
meningkat. (Shargel dan Andrew, 1988)
b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan.
Faktor yang berkaitan dengan sediaan meliputi:
1. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila
dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur
yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang
hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang
hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
2. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju
disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat
hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan
menambah laju disolusi (Shargel dan Andrew, 1988)
c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan.
Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan solid yang mempengaruhi proses
disolusi meliputi metode granulasi atau prosedur pembuatan, ukuran granul,
interaksi zat aktif dan eksipien, pengaruh gaya kempa, pengaruh penyimpanan
pada laju disolusi (Siregar, 2010).
d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi
Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi dapat menyebabkan hasil disolusi
berubah – ubah dari uji ke uji pada semua teknik pengujian yang digunakan.
Faktor ini meliputi:
1. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai
pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat
menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapatmeningkatkan proses
penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul
konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang
sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.
2. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju
disolusi bahan obat.
3. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih
cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi.
Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena
bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa karena
terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Gennaro, 2000).

e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji


Beberapa faktor parameter uji disolusi mempengaruhi karakteristik disolusi
zat aktif. Faktor – faktor tersebut seperti sifat dan karakteristik media
disolusi, pH, lingkungan dan suhu sekeliling telah mempengaruhi daya guna
disolusi suatu zat aktif (Siregar, 2010).
BAB IV
METODE PRAKTIKUM

a. Bahan dan Alat


1. Bahan
 HCL 0,1N
 Tablet PCT paten & generik

2. Alat
 Dissolution tester
 Spektrofotometer UV Vis
 Pipet ukur & alat gelas lainnya

b. Cara kerja
 Ambil satu sampel uji dengan medium disolusi yang telah ditetapkan.
 Penentuan panjang gelombang maksimum PCT
 Buat larutan standar dengan konsentrasi 14µg/ml, ukur serapannya pada
220-350nm.
 Pembuatan kurva kalibrasi
 Buat larutan standar pct dengan konsentrasi 4, 6, 8, 10, 12, dan 14µg/ml
dan ukur serapannya pada panjang gelombang maksimum.

Penentuan profil disolusi

 Wadah diisi dengan air


 Atur suhu 370c
 Labu disolusi diisi dengan medium disolusi yang telah ditentukan sebanyak
900ml.
 Tablet pct dicelupkan ke dalam medium disolusi,
 Kemudian diputar dengan kecepatan 50rpm.
 Larutan dalam labu dipipet sebanyak 5ml pada menit ke 5, 10, 15, 20
dan 30.
 Setiap pemipetan medium diganti dengan medium yang jumlah dan
jenisnya sama.
 Masing-masing larutan yang dipipet diukur serapannya dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum,
 Kemudian kadar pct yang terdisolusi persatuan waktu dihitung
menggunakan kurva kalibrasi.
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. HASIL
1. Penentuan panjang gelombang maksimum PCT
 Perhitungan larutan induk 100 ppm
Berat Tab Paten = 590 mg
Berat Tab Generik = 648 mg
Perhitungan larutan induk 100 ppm: timbang tab PCT generik dan paten
masing masing 10 mg, kemudia dimasukkan dalam 100 ml labu ukur
10 mg 10 mg
Konsentrasi= = =100 ppm
100 ml 0,1 L
Panjang gelombang maksimum PCT = 243 nm

2. Penentuan kurva kalibrasi


Untuk membuat 6 seri larutan maka dibuat konsentrasi 4, 6, 8, 10, 12, dan 14
ppm dengan perhitungan sebagai berikut:
 4 ppm
x . 100 ppm=25 ml . 4 ppm
100 ml
x=
100
= 1 ml ad 25 ml
 6 ppm
x . 100 ppm=25 ml .6 ppm
150 ml
x=
100
= 1,5 ml ad 25 ml
 8 ppm
x . 100 ppm=25 ml . 8 ppm
200 ml
x=
200
= 2 ml ad 25 ml
 10 ppm
x . 100 ppm=25 ml .10 ppm
250 ml
x=
100
= 2,5 ml ad 25 ml
 12 ppm
x . 100 ppm=25 ml .12 ppm
300 ml
x=
100
= 3 ml ad 25 ml
 14 ppm
x . 100 ppm=25 ml .14 ppm
350 ml
x=
100
= 3,5 ml ad 25 ml

Besar absorbansi yang didapatkan pada larutan seri adalah sebagai berikut:

Konsentrasi Absorbansi Paracetamol


Generik Paten
(ppm)
4 0,462 0,483
6 0,519 0,527
8 0,583 0,611
10 0,647 0,668
12 0,714 0,725
14 0,785

Sehingga didapatkan kurva kalibrasi seperti gambar berikut:


y= 0,32724 + 0,03234x
r= 0,9994

y= 0,3528 + 0,03125x
r= 0,9963

3. Profil Disolusi PCT


Waktu (A) serapan Kadar % terdisolusi
Generik Paten Generik Paten Generik Paten
Sampling
(ppm) (ppm)
(menit)
5 0,341 0,373 10,635 16,16 1,91 2,90
10 0,376 0,402 37,6925 39,36 6,79 7,09
15 0,438 0,463 85,62 88,16 15,45 15,92
20 0,492 0,528 127,41 140,16 23,06 25,37
30 0,537 0,559 162,15 164,96 29,44 29,97

Profil % Terdisolusi PCT Generik dan Paten adalah sebagai berikut

a. Kadar PCT Generik


y−a
y=a+bx x=
b
y−0,32724
x=
0,03234

 t= 5’, A = 0,341
0,341−0,32724
x=
0,03234
x = 0,4254 ppm x fp
x =0,4254 ppm x 25
x = 10,635 ppm

 t= 10’, A= 0,376
0,376−0,32724
x=
0,03234
x = 1,5077 ppm x fp
x =1,5077 ppm x 25
x = 37,6925 ppm

 t= 15’, A= 0,438
0,438−0,32724
x=
0,03234
x = 3,4248 ppm x fp
x =3,4248 ppm x 25
x = 85,62 ppm

 t= 20’, A= 0,492
0,492−0,32724
x=
0,03234
x = 5,0946 ppm x fp
x =5,0946 ppm x 25
x = 127,41 ppm

 t= 30’, A= 0,537
0,537−0,32724
x=
0,03234
x = 6,4860 ppm x fp
x =6,4860 ppm x fp
x = 162,15 ppm
b. Kadar PCT Paten
y−a
y=a+bx x=
b
y−0,3528
x=
0,03125

 t= 5’, A= 0,373
0,373−0,3528
x=
0,03125
x = 0,6464 ppm x fp
x =0,6464 ppm x 25
x = 16,16 ppm

 t= 10’, A= 0,402
0,402−0,3528
x=
0,03125
x = 1,5744 ppm x fp
x = 1,5744 ppm x 25
x = 39,36 ppm

 t= 15’, A= 0,463
0,463−0,3528
x=
0,03125
x = 3,5264 ppm x fp

x = 3,5264 ppm x 25

x = 88,16 ppm

 t= 20’, A= 0,528
0,528−0,3528
x=
0,03125
x = 5,6064 ppm x fp
x = 5,6064 ppm x 25
x = 140,16 ppm

 t= 30’, A= 0,559
0,559−0,3528
x=
0,03125
x = 0,5984 ppm x fp
x = 0,5984 ppm x 25
x = 164,96 ppm

c. Faktor Koreksi Generik


 t=5’
x1 = 10,635 ppm
x1 = C1
C1 = 10,535 ppm

 t=10’
C2 = 37,6925 ppm
Vol . diambil
( Vol
x 2=c 2 +
.medium
×c )1

5 ml
x =37,6925+(
2 ×10,635 ppm)
900 ml
x2 = 36,6925 ppm + 0,0590 ppm
x 2 = 37,515 ppm

 t=15’
C3 = 85,62 ppm
x 3=c 3 +¿
5 ml
x 2=85,62+ ( 900ml ×10,635+ 37,6925 ppm )

x3 = 85,62 ppm + 0,2684 ppm


x 3 = 85,884 ppm

 t=20’
C4 = 127,41 ppm
x 4 =c 4 +¿

x 4 =127,41+ ( 9005 mlml × 10,635+37,6925+85,62 ppm )


x4 = 127,41 ppm + 0,7441 ppm
x 4 = 128,15 ppm

 t=30’
C5 = 162,15 ppm
x 5=c 5 +¿

x 5=162,15+ ( 9005 mlml × 10,635+ 37,6925+ 85,62+127,41 ppm)


x5 = 162,15 ppm + 1,2519 ppm
x 5 = 6,5440 ppm

d. Faktor Koreksi Paten


 t=5’
x1 = 16,16 ppm
x1 = C1
C1 = 16,16 ppm
 t=10’
C2 = 39,36 ppm
Vol . diambil
( Vol
x 2=c 2 +
.medium
×c ) 1

5 ml
x =39,36+ (
2 × 16,16 ppm )
900 ml
x2 = 39,36 ppm + 0,0897 ppm
x 2 = 39,44 ppm

 t=15’
C3 = 88,16 ppm
Vol . diambil
( Vol
x 3=c 3 +
. medium
×(c +c ))1 2

5 ml
x =88,16+ (
2 ×(16,16+ 39,36 ppm) )
900 ml
x3 = 88,16 ppm + 0,3084 ppm
x 3 = 88,46 ppm

 t=20’
C4 = 140,16 ppm
x 4 =c 4 +¿

x 4 =140,16+ ( 9005 mlml ×(16,16+39,36+88,16 ppm))


x4 = 140,16 ppm + 0,7982 ppm
x 4 = 140,95 ppm
 t=30’
C5 = 164,96 ppm
x 5=c 5 +¿

x 5=164,96+ ( 9005 mlml ×(16,16+39,36+ 88,16+140,16 ppm))


x5 = 164,96 ppm + 1,5768 ppm
x 5 = 166,53 ppm

e. Kadar PCT Generik Permenit


 t=5’
10,635 ppm : 5 menit = 2,127 permenit

 t=10’
37,6925 ppm : 10 menit = 3,7695 permenit

 t=15’
85,62 ppm : 15 menit = 5,08 permenit

 t=20’
127,41 ppm : 20 menit = 6,3705 permenit

 t=30’
162,15 ppm : 30 menit = 5,405 permenit

f. Kadar PCT Paten Permenit


 t=5’
16,16 ppm : 5 menit = 3,232 permenit
 t=10’
39,36 ppm : 10 menit = 3,936 permenit

 t=15’
88,16 ppm : 15 menit = 5,877 permenit

 t=20’
140, 16 ppm : 20 menit = 7,008 permenit

 t=30’
164,96 ppm : 30 menit = 5,4986 permenit

g. Persen Terdisolusi Generik

 t=5’ , x1 = 10,635 ppm


10,635 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 1,91%

 t=10’ , x2 = 37,7515 ppm


37,7515 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 6,79%
 t=15’ , x3 = 85,8884 ppm
85,8884 ppm
% terdisolusi= × 100 %
555,5 ppm
= 15,45%

 t=20’ , x4 = 128,15 ppm


128,15 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 23,06%

 t=30’ , x5 = 163,60 ppm


163,60 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 29,44%

h. Persen Terdisolusi Paten

 t=5’ , x1 = 16,16 ppm


16,16 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 2,90%

 t=10’ , x2 = 39,44 ppm


39,44 ppm
% terdisolusi= × 100 %
555,5 ppm
= 7,09%

 t=15’ , x3 = 88,46 ppm


88,46 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 15,92%

 t=20’ , x4 = 140,95 ppm


140,95 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 25,37%

 t=30’ , x5 = 166,53 ppm


166,53 ppm
% terdisolusi= ×100 %
555,5 ppm
= 29,27%

b. PEMBAHASAN

Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut (Shargel, 2004). Disolusi secara singkat didefinisikan
sebagai proses melarutnya suatu solid. Bentuk sediaan farmasetik padat terdispersi
dalam cairan setelah dikonsumsi seseorang kemudian akan terlepas dari sediaannya
dan mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti dengan absorpsi zat aktif ke
dalam sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan respons klinis (Siregar, 2010).

Pada percobaan ini dilukan pengujian terhadap tablet Paracetamol (PCT)


generik dan paten untuk mengetahui pengaruh formulasi terhadap kecepatan laju
disolusi. Faktor formulasi dapat mempengaruhi laju uji disolusi. Berbagai macam
bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika
pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat
melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat.
Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat
menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan
tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium
karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin.
Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh
pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses
absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan
jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang
cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.

Mekanisme yang terjadi bila suatu obat di minum, disolusi merupakan fase
pertama dari kerja suatu obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat perlu dilarutkan
agar dapat diabsorpsi. Obat dalam bentuk padat harus disintegrasi menjadi partikel-
partikel kecil agar dapat larut dalam cairan. Jadi disintegrasi adalah pemecahan
sediaan obat padat menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, disolusi melarutnya
partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi.

Alat yang digunakan pada uji percobaan ini yaitu alat disolusi berbentuk
dayung yang terletah di tengah-tengah media dengan tujuan tidak terjadi tubulensi
aliran. Tinggi dasar dayung ke dasar media adalah 2,5 cm tujuannya untuk
memperkecil kemungkinan tablet melayang-layang antara dasar media dengan dasar
dayung bergesekan dengan alat uji (dayung). Suhu yang diatur yaitu 37°C sesuai
dengan suhu tubuh manusia dengan media HCl 0,1 N 900 ml.

Tahap awal percobaan dimulai dengan menentukan panjang gelombang


maksimum larutan standar PCT generik dan paten. Berdasarkan pengujian panjang
gelombang yang didapatkan yaitu 243 nm. Tahap selanjutnya dilakukan pembuatan
kurva kalibrasi larutan baku PCT generik dan paten. Kurva kalibrasi dibuat pada
enam seri yaitu pada konsentrasi 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, 10 ppm dan 12 ppm, dan 14
ppm.

Larutan seri dibuat dengan cara serbuk paracetamol paten dan generik
masing-masing ditimbang sebanyak 10 mg kemudian dilarutkan di dalam HCl
sebanyak 100 ml untuk memperoleh konsentrasi sebesar 100 ppm. Dari konsentrasi
sebesar 100 ppm tersebut kemudian dilakukan pengenceran hingga diperoleh variasi
konsentrasi yang diinginkan. Dari hasil pengukuran serapan didapatkan nilai a dan b
pada Paracetmaol geerik yaitu 0,32724 dan 0,03234 sehingga diperoleh persamaan
regresi linear untuk tablet Paracetamol generik yaitu y = 0,32724 + 0,03234x dengan
nilai r = 0,9994. Untuk tablet Paracetamol paten didapatkan nilai a dan b yaitu 0,3528
dan 0,03125 sehingga diperoleh persamaan regresi nilai yaitu y= 0,3528 + 0,03125x
dengan nilai r=0,9963.

Hal yang perlu diperhatikan dalam mentukan panjang gelombang maksimum


dan kurva kalibrasi yaitu perlu adanya kalibrasi kuvet. Tujuan melakukan kalibrasi
adalah untuk menghindari kesalahan perhitungan konsentrasi. Kalibrasi kuvet
dilakukan dengan membilas kuvet dengan larutan yang akan diuji sebanyak tiga kali.
Adanya pengotor pada kuvet dapat menyamarkan perhitungan konsentrasi karena
pengotor dapat memberikan pergeseran nilai absorbansi.

Setelah didapatkan panjang gelombang maksimum dan kurva kalibrasi tablet


PCT generik dan paten kemudian dialakukan uji disolusi. Uji disolusi dilakukan
untuk memberikan gambaran pelepasan secara sempurna didalam tubuh sesuai
dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi. Setelah
mengetahui kadar zat aktif yang terlarut dalam tubuh maka dapat diketahui
bioavailabilitas dari obat tersebut.

Pengujian disolusi PCT generik dan paten yang dilakukan menggunakan alat
disolusi tipe 2 (dayung) dengan kecepatan putaran 50 rpm dan HCl 900 ml sebagai
media disolusi. Media disolusi diatur pada suhu 37°C. Setelah temperatur stabil,
tablet parasetamol dimasukkan pada labu disolusi, dan alat uji disolusi dijalankan
dengan kecepatan 50 rpm. Kemudian sampel diambil sebanyak 5 mL pada menit ke
5, 10, 15, 20, dan ke 30. Setiap pengambilan, volume yang terambil digantikan
dengan medium yang baru dengan volume dan suhu yang sama. Hal ini dimaksudkan
agar pengujian disolusi berada di bawah kondisi sink atau kondisi pengujian tanpa
adanya pengaruh gradien konsentrasi. Pengambilan dilakukan dengan menggunakan
spoid yang dihubungkan dengan filter holder. Filter holder bertujuan untuk
menghindari molekul-molekul parasetamol yang tidak larut ikut terambil yang dapat
mempengaruhi hasil pengujian karena konsentrasinya dapat berubah. Kemudian
larutan yang diambil tersebut diukur kadarnya dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran absobansi cuplikan menggunakan
spektrofotometer dengan prosedur yang saam saat pengukuran kurva kalibrasi.

Besar serapan tablet PCT generik pada cuplikan sampel yaitu, pada menit 5
sebesar 0,343; pada menit 10 sebesar 0,376 ; pada menit 15 sebesar 0,438 ; pada
menit 20 sebesar 0,492; pada menit 30 sebesar 0,573. Setelah didapatkan besaran
serapan kemudian dilakukan perhitungan konsentrasi ke dalam persaman regresi
linear tablet PCT generik. Sehingga didapatkan nilai konsentrasi, yaitu pada menit 5
sebesar 10,635 ppm : pada menit 10 sebesar 37,7515 ppm; pada menit 15 sebesar
85,8884 ppm ; pada menit 20 sebesar 128,15 ppm ; pada menit 30 sebesar 163,60
ppm.

Besar serapan tablet PCT paten pada cuplikan sampel yaitu, pada menit 5
sebesar 0,373; pada menit 10 sebesar 0,402 ; pada menit 15 sebesar 0,463 ; pada
menit 20 sebesar 0,528; pada menit 30 sebesar 0,559. Sehingga didapatkan nilai
konsentrasi PCT paten, yaitu pada menit 5 sebesar 16,16 ppm ; pada menit 10 sebesar
39,44 ppm; pada menit 15 sebesar 88,46 ppm ; pada menit 20 sebesar 140,95 ppm ;
pada menit 30 sebesar 166,53 ppm. .
Adapun % terdisolusi pasien generik pada menit ke 5, 10, 15, 20, 30 berturut-
turut, yaitu 1,91%; 6,79%; 15,45%; 23,06%; 29,44% dan pada tablet paten berturut-
turut yaitu, 2,90%; 7,09%; 15,92%; 25,37%; 29,97%.

Konsentrasi yang didapat menunjukkan peningkatan dari menit ke menit


karena semakin lama tablet akan hancur dan bercampur dengan media dan meningkat
konsentrasinya. Hasil konsentrasi yang diperoleh kemudian dibuat grafik disolusi
paracetamol yaitu grafik konsentrasi terhadap waktu. Secara keseleruhan cuplikan
sampel yang diambil permenit, hasil konsentrasi dari tablet PCT paten lebih tinggi
dibandingkan PCT generik dan laju disolusi PCT paten lebih besar dibandingkan
PCT generik. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan formulasi yang digunaakn
pada masing-masing produsen. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi
diantaranya bahan pengikat yang dipakain, kecepatan disintegran, interaksi zat aktif
dengan eksipien, dan pengadukan selama produksi. Bahan pengikat dan disintegran
dapat mempengaruhi kuat tidaknya ikatan partikel-partikel dalam tablet tersebut
sehingga mempengaruhi pula kemudahan cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam
lapisan difusi tablet menembus ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Pengadukan
mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga
memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Semakin lama
kecepatan pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi.
BAB V

KESIMPULAN

Bedasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai


berikut :
1. Hasil berupa kadar terdisolusi (%) dari tablet Paracetamol generik dan paten
yang terdisolusi pada menit ke 5, 10, 15, 20 dan 30 adalah
a. Kadar terdisolusi (%) tablet PCT generik berturut-turut adalah 1,91%;
6,79%; 15,45%; 23,06%; 29,44%.
b. Kadar terdisolusi (%) tablet PCT paten berturut-turut adalah 2,90%; 7,09%;
15,92%; 25,37%; 29,97%.
2. Besar konsentrasi dan persen profil disolusi tablet paracetmaol paten lebih besar
daripada generik. Hal ini disebabkan karena perbedaan formulasi. Faktor
formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya bahan pengikat yang
dipakain, kecepatan disintegran, interaksi zat aktif dengan eksipien, dan
pengadukan
3. Dari perhitungan nilai faktor koresi tersebut antara tablet paracetamol generik
dan memiliki hasil yang similar.
Daftar Pustaka

Shargel, Leon. 1988. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics 4th Ed.


Mcgraw-Hill: Boston.
Shargel, Leon. 2004. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics Edisi 5
th
Ed. Mcgraw-Hill: Boston.

Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S., 2010, Teknologi Farmasi Sediaan Tablet
DasarDasar Praktis. EGC, Jakarta. 54 – 55, 98 –
115.
Syukri, Y., 2002, Biofarmasetika, UII Press: Jogjakarta

Anda mungkin juga menyukai