1. TUJUAN
Mempelajari pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polmorfi, hidrat, Solvat)
terhadap kecepatan disolui intrinsik dan partikulatnya sebagai preformulasi untuk
bentuk sediaannya.
2. PRINSIP
Kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas permukaan bahan obat dan
kelarutannya.
3. TEORI
3.1 Disolusi
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting,
artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut kedalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat, seperti
kapsul, tablet atau salep (Siregar, 2010).
Disolusi partikulat didefenisikan sebagai luas permukaan suatu solida
yang tidak dibuat konstan. Disolusi partikulat digunakan untuk mempelajari
pengaruh ukuran partikel terhadap kecepatan disolusi. Kecepatan disolusi
sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem
penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang
dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap
kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi
makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet,
kapsul, serbuk, suppositoria), sediaan sistem terdispersi (suspensi dan
emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami
disolusi dalam media/cairan biologis kemudiaan diikuti absorbsi zat aktif ke
dalam sirkulasi sistemik (Voigt,1995).
1
matriks padatan juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul dan
granul yang lain emngalami pemecahan menjadi partikel-partikel yang
halus. Disintegrasi, deagregasi, dan disolusi bisa berlangsung secara
serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut
diberikan (Voight, 1999).
Faktor –faktor yang mempengaruhi laju disolusi zat aktif, antara lain
ialah sebagai berikut :
a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif ini memiliki
peranan dalam pengendalian disolusinya dari bentuk sediaan.
Kelarutan zat aktif dalam air diketahui sebagai salah satu dari berbagai
faktor yang menentukan laju disolusi (Siregar, 2010). Faktor ini
meliputi : Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan
faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar
menghasilkan laju disolusi yang cepat. Efek ukuran partikel. Ukuran
partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang
berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat
(Shargel dan Andrew, 1988).
b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan meliputi :
1) Efek formulasi yaitu laju disolusi suatu bahan obat dapat
dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan
pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat
memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh
karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang
hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
2) Efek faktor pembuatan sediaan seperti metode granulasi dapat
mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut.
Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa
dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju
disolusi (Shargel dan Andrew, 1988).
c. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan yang mempengaruhi
proses disolusi meliputi metode granulasi atau prosedur pembuatan,
ukuran granul, interaksi zat aktif dan eksipien, pengaruh gaya kempa,
pengaruh penyimpanan pada laju disolusi (Siregar, 2010).
2
d. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi yang dapat menyebabkan
hasil disolusi berubah-ubah dari uji ke uji pada semua teknik pengujian
yang digunakan. Faktor ini meliputi :
1) Tegangan permukaan medium disolusi dengan menggunakan
surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat
meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks.
Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan
penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan
penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.
2) Viskositas medium yaitu semakin tinggi viskositas medium,
semakin kecil laju disolusi bahan obat.
3) pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet
sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu
mempercepat laju disolusi. Obat-obat asam lemah disolusinya
kecil dalam medium asam, karena bersifat non ionik, tetapi
disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan
pembentukan garam yang larut (Gennaro, 2000).
e. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji yang mempengaruhi
karakteristik disolusi zat aktif seperti sifat dan karakteristik media
disolusi, pH, lingkungan dan suhu sekeliling telah mempengaruhi daya
guna disolusi suatu zat aktif (Siregar, 2010).
3.2 Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan salah satu metode analisis instrumental
yang menggunakan dasar interaksi energi dan materi. Spektrofotometri
dapat dipakai untuk menentukan konsentrasi suatu larutan melalui intensitas
serapan pada panjang gelombang tertentu. Panjang gelombang yang dipakai
adalah panajang gelombang maksimum yang memberikan absorbansi
maksimum. Salah satu prinsip kerja spektrofotometri didasarkan pada
fenomena penyerapan sinar oleh spese kimia tertentu didaerah ultra violet
dan sinar tampak (visibel). Pada spektrofotometer, yang penting untuk
diperhatikan ialah perbedaan antara spektrofotometer sinar tunggal dan
spektrofotometer sinar ganda. Spektrofotometer sinar tunggal biasanya
dipakai untuk kawasan spektrum ultra ungu (ultra violet) dan cahaya yang
terlihat. Spektrofotometer sinar ganda dapat dipergunakan baik dalam
3
kawasan ultra ungu dan cahaya yang terlihat maupun dalam kawasan
inframerah.
Keuntungan utama metode spektrofotometri adalah bahwa metode ini
memberikan cara sederhana untuk menetapkan kuantitas zat yang sangat
kecil. Selain itu, hasil yang diperoleh cukup akurat, dimana angka yang
terbaca langsung dicatat oleh detector dan tercetak dalam bentuk angka
digital ataupun grafik yang sudah diregresikan. Secara sederhana instrument
spektrofotometeri yang disebut spektrofotometer terdiri dari: Sumber cahaya
-monokromatis - sel sampel - detector - read out (Yahya, 2013).
4
Gambar 4.1 Struktur Teofilin Anhidrat (Ditjen POM, 1995)
5
Gambar 4.3 Struktur Asetat (Ditjen POM, 1995)
Rumus kimia : CH3COOH
Kandungan : Tidak kurang dari 32,5 % dan tidak lebih dari 33,5
% C2H4O2
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, bau menusuk, rasa
asam, tajam
Kelarutan : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P
dan dengan gliserol P (Ditjen POM, 1995).
4.2 Bahan
Bahan-bahan yang di gunakan adalah pellet teofilin anhidrat,
aquadest, dapar asetat pH 4,5.
5 PROSEDUR
5.1 Pembuatan Larutan Baku Teofilin
Ditimbang Teofilin sebanyak 20 mg dan dilarutkan dengan aquadest
panas sebanyak 100 ml dalam labu ukur (200 ppm). Dari larutan tersebut di
buat larutan seri standar dengan konsentrasi 8, 10, 12, 14, 16 dan 18 ppm.
5.2 Uji Disolusi
Pellet di buat dalam bentuk tablet (dibuat dengan mencetak kira-kira
300 mg bahan obat dengan tekanan 5 ton selama 5 menit), dengan diameter
0,8 cm ditaruh penyanggah, lalu bagian atas pelet yang terbuka, dituangi
cairan lilin cair, sehingga hanya satu permukaan pellet yang terbuka yang
langsung dapat bersinggungan dengan medium disolusi. Penyangga yang
sudah berisi sampel melalui lalu ditutup dan dihubungkan dengan motor
pemutar.
Tabung percobaan yang telah diisi 500 ml medium disolusi yaitu dapar
asetat pH 4,5, suhunya diatur dengan thermostat pada 37 ± 0,5º. Pellet yang
sudah dipasang pada penyangga dicelupkan dalam medium disolusi dapar
asetat, diatur agar tidak ada gelembung udara di bawahnya, lalu dipasang
6
pada motor pemutar dan segera diputar dengan kecepatan 100 putaran
permenit. Jarak antara permukaan pellet dengan dasar tabung disolusi 2 cm
Sampel hasil disolusi diambil tiap selang waktu tertentu ( menit ke 5,
10, 20, 30, 45, dan 60). Selanjutnya sampel yang diperoleh ditentukan
kadarnya secara spektrofotometrik.
Tabel 6.2 Hasil Pengamatan Uji Disolusi Teofilin Anhidrat Dapar Asetat pH 4,5
Pengenceran 10x (Intrinsik)
Tabel 6.3 Hasil Pengamatan Uji Disolusi Teofilin Anhidrat Dapar Asetat pH 4,5
(Partikulat)
Jumlah media : 500 ml
Jumlah zat aktif : 300 mg
Jumlah cuplikan: 5 ml
7
Konsentrasi mg Faktor mg %
Cuplikan Absorbansi
(ppm) Terdisolusi Koreksi Terkoreksi Terdisolusi
5 0,390 9,674 4,837 0 4,837 161,233
10 0,330 8,55 4,275 0,04275 4,31775 143,925
20 0,455 10,891 5,4455 0,054455 5,542705 184,757
30 0,387 9,618 4,809 0,04809 4,954295 165,143
45 0,429 10,404 5,202 0,05202 5,399315 179,977
60 0,386 9,599 4,7995 0,047995 5,04481 168,160
7. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, dilakukan uji disolusi terhadap zat aktif pelet
Teofillin yang berdasarkan kelarutan zat aktif dalam media pelarut menggunakan
alat disolusi tipe II (tipe dayung). Laju disolusi intrinsik dapat didefinisikan
sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif murni yang diperoleh dengan menjaga
konstan kondisi-kondisi yang bisa mempengaruhi laju disolusi zat tersebut, yaitu
luas permukaan, suhu, laju pengadukan, pH, dan kekuatan ionik dari medium
disolusi yang digunakan. Dengan demikian, besarnya laju disolusi intrinsik suatu
zat aktif tidak dipengaruhi oleh faktor formulasi sehingga bisa dijadikan ukuran
kelarutan obat tersebut di dalam medium disolusi. Pelarutan intrinsik merupakan
pelarutan dari suatu serbuk yang mempertahankan luas permukaan yang tetap,
yang biasanya dinyatakan dalam mg/cm2 menit. Obat-obat tersebut umumnya
meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan
oleh kelarutannya yang sangat lambat atau oleh kelarutannya yang sangat kecil.
Obat-obatan yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik kurang dari 0,1 mg menit -1
cm-1 biasanya menimbulkan masalah serius pada abrsorpsinya, sedangkan obat-
obat yang memiliki kecepatan disolusi intrinsik lebih besar dari 1,0 mg menit-1 cm-
1
, pada umumnya kecepatan disolusi bukan menjadi langkah penentu, tetapi
kecepatan absorpsinya (Kaplan, 2007).
Tahap selanjutnya adalah pembuatan kurva baku terhadap pelet Teofilin.
Pertama-tama harus dibuat larutan induk dengan konsentrasi 200 ppm dengan
menimbang 20 mg pelet teofilin yang dilarutkan di dalam labu ukur 100 ml.
Pembuatan larutan dilarutkan didalam labu ukur 100 ml bertujuan agar
pembuatanya dilakukan secara kuantitatif dikarenakan labu ukur termasuk
kedalam alat ukur kuantitatif. Pembuatan kurva baku dilakukan dengan menguji
absorbansi pada panjang gelombang 272 nm. Kemudian dilakukan pengenceran
8
pelet teofilin dengan konsentrasi beberapa ppm diantaranya : 8 ppm, 10 ppm, 12
ppm, 14 ppm, 16 ppm, dan 18 ppm. Pada pembuatan kurva baku absorbansi yang
dihasilkan sebaiknya diantara 0,2 sampai 0,8 sesuai dengan hukum Lambert-Beer
karena pada absorbansi tersebut dihasilkan λ maksimum, dan pada absorbansi
tersebut dihasilkan konsentrasi yang lebih akurat. Selain itu rentang absorbansi
0,2-0,8 merupakan batas ketelitian alat yang optimum dan diharapkan dalam
rentang absorbansi tersebut keterulangan hasil lebih baik sehingga recovery
mendekati 100%. Jika absorbansi lebih kecil dari rentang tersebut kemungkinan
terjadinya penyimpangan dan dikhawatirkan keterulangan menjadi buruk dan jika
absorbansinya lebih besar dari rentang tersebut dikhawatirkan diatas kemampuan
alat yang digunakan sehingga absorbansi menjadi tidak terbaca. Pada alat
spektofotometer digunakan 2 kuvet, kuvet 1 berisi blanko (dapar), kuvet 2 berisi
larutan sampel yang akan diuji. Kuvet yang digunakan harus bersih. Kuvet terdiri
dari 4 sisi, 2 sisi agak buram, 2 sisi bening, bagian kuvet yang bening tidak boleh
dipegang karena lemak yang ada ditangan akan tertempel di kuvet, dan hal ini
dapat menghalangi berkas sinar yang akan menembus cuplikan dan mengurangi
absorpsi cahaya oleh sampel, sehingga persen transmittan pada respon detektor
tidak akurat. Dan pada konsentrasi pengenceran tersebut dihasilkan absorbansi
yang berada pada rentang 0,2-0,8 sehingga diperoleh persamaan kurva baku untuk
pelet teofilin yaitu y = 0,0534x - 0,1266 R2 = 0,9943. Persamaan garis yang
didapat tersebut nantinya akan digunakan untuk menghitung kadar sampel pelet
teofilin pada uji disolusi.
Setelah itu dilakukan uji disolusi terhadap sampel teofilin yang sudah di
bentuk pelet dengan bobot 277 mg. Pelet ditaruh pada penyangga dengan kondisi
bagian atas pelet telah dituangi lilin cair dan satu permukaan pelet lainnya dalam
keadaan terbuka yang langsung bersinggungan dengan medium disolusi sehingga
diperoleh hasil yang valid. Medium disolusi yang digunakan adalah dapar asetat
pH 4,5 sebanyak 500 ml dan suhunya sudah diatur dengan thermostat pada 37 oC.
Hal ini bertujuan agar suhu percobaan sama dengan suhu tubuh sehingga bisa
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya jika obat di dalam tubuh. Metode
pengujian disolusi ini adalah metode dayung yang dasarnya terdiri atas batang,
dan daun pengaduk yang merupakan dayung berputar dengan dimensi tertentu
9
sesuai dengan radius bagian dalam labu dengan dasar bundar (Siregar, 2010). Di
dalam bak terdapat dua tabung, kedua tabung diisi dengan medium disolusi dapar
asetat pH 4,5 sebanyak 500 ml dan alat disolusi di atur dengan perputaran 50
rpm. Setelah 5 menit larutan dalam tabung 2 diambil sebanyak 5 ml dengan
menggunakan spuit yang sudah terpasang membrane filter (penggunaan
membrane filter ditujukan untuk menyaring bakteri yang mungkin ada dalam
larutan) dan dimasukkan ke dalam vial yang telah dicuci dan dibersihkan. Dalam
waktu yang bersamaan dapar dalam tabung 1 diambil 5 ml dan dimasukkan ke
dalam tabung 2, penggantian volume dapar yang diambil ini dilakukan agar
volume dalam tabung 2 tetap 500 ml, karena media dianalogikan sebagai cairan
tubuh. Kemudian dilakukan hal yang sama pada menit ke 10, 20, 30, 45 dan 60
menit. Pada pengambilan cuplikan sebaiknya tempat pengambilan cuplikan di
tempat yang sama supaya kondisi juga sama karena jika diambil di tempat yang
berbeda kemungkinan akan menghasilkan konsentrasi yang berbeda pula sehingga
pada pengukuran hasil yang diperoleh tidak akurat.
Pada pengukuran ini diperoleh absorbansi masing masing sampel yang
diambil sehingga dari absorbansi ini dapat dihitung konsentrasi dari masing
masing sampel berdasarkan pada persamaan regresi linier. Dari hasil perhitungan
yang diperoleh diketahui persen disolusi sampel terdapat perbedaan teofilin
anhidrat (partikulat) dan pelet teofilin (intrisnik). % disolusi teofilin anhidrat
(partikulat) pada menit 5, 10, 20, 30, 45 dan berturut-turut adalah 161,233%,
143,925%, 184,757%, 165,143%, 179,977% dan 168,160%, sedangkan untuk
pelet teofilin (intrinsik) % disolusi berturut-turut adalah 7,36%, 9,00%, 12,84%,
16,21%, 24,36%, dan 27,84%. Berdasarkan data % disolusi didapatkan hasil %
disolusi pada teofilin anhidrat (partikulat) lebih baik yaitu sebesar 168,16% pada
menit ke-60 daripada pelet teofilin (intrinsik) yaitu 27,84% pada menit ke-60. Hal
ini dapat disebabkan karena proses disolusi yang berbeda, dimana pada teofilin
anhidrat langsung semuanya kontak dengan pelarut sedangkan pada pelet teofilin
hanya pada satu sisi saja yang terkena pelarut sehingga mempengaruhi hasil
disolusi. Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena
bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya
(Martin, et al, 2008).
10
8. KESIMPULAN
Pada praktikum ini dapat disimpulkan bahwa teofilin anhidrat memiliki %
disolusi yang lebih baik dari pelet teofilin dengan dapar yang sama yaitu dapar
asetat pH 4,5.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L. V. Jr., Popovich, N. G., and Ansel, H.C.. 2005. Ansel’s Pharmaceutical
Dosage Form and Drug Delivery System. Eight Edition, Lippincot Williams
and Wilkins: Philadelphia, 154-162, 238-239.
Ansel, Howard C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. UI press:
Jakarta.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI.
Gennaaro, A.R. 2000. Remington: The Science and Practice Of Pharmacy. Edisi
20. Mack Publishing Company: Easton Pensylvania.
Martin, Alfred, et al. 2008 Farmasi Fisika Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalamIlmu
Farmasetik. Edisi Ketiga jilid 2. Jakarta : UI Press.
11
Shargel,L.,dan Yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetikaa dan Farmakokinetika Terapan
diterjemahkan oleh Siti Sjamsiah. Edisis Kedua. Ailannga University Press:
Surabaya.
Siregar, C.J.P., danWikarsa, S.. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-
Dasar Praktis. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Siregar, Charles J.P. Wikarsa, Saleh. 2010. Optimasi Formula Sediaan Tablet
Lepas Lambat Teofilin dengan Bahan Matrix HPMC, Na CMC,dan Xantan
Gum. Majalah Indonesia 3. No. 2. 143-148.
Voigt. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press.
Yogyakarta.
12
LAMPIRAN
13
Menit ke 5
y = 0,0534x - 0,1266
0,091 = 0,0534x - 0,1266
0,2176 = 0,0534x
x = 4,075 x 10 (Faktor Pengenceran)
x = 40,75
Menit ke 10
y = 0,0534x - 0,1266
0,137 = 0,0534x - 0,1266
0,2636 = 0,0534x
x = 4,936 x 10 (Faktor Pengenceran)
x = 49,36
Menit ke 20
y = 0,0534x - 0,1266
0,247 = 0,0534x - 0,1266
0,3736 = 0,0534x
x = 6,996 x 10 (Faktor Pengenceran)
x = 69,96
Menit ke 30
y = 0,0534x - 0,1266
0,342 = 0,0534x - 0,1266
0,4686 = 0,0534x
x = 8,7752 x 10 (Faktor Pengenceran)
x = 87,75
Menit ke 45
y = 0,0534x - 0,1266
0,576 = 0,0534x - 0,1266
0,7026 = 0,0534x
x = 13,157 x 10 (Faktor Pengenceran)
x = 131,57
Menit ke 60
y = 0,0534x - 0,1266
0,671 = 0,0534x - 0,1266
0,7976 = 0,0534x
x = 14,936 x 10 (Faktor Pengenceran)
x = 149,36
14