Anda di halaman 1dari 13

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071


PROFIL KEMAMPUAN LITERASI SAINS PADA IDENTIFIKASI
PERMASALAHAN ILMIAH (LEVEL 3) PADA SISWA SMA/MA
SE-PROVINSI BANTEN

Mahrawi1, Dwi Ratnasari2*, I’anatul Muafiyah3, Ika Rifqiawati4, Mila Ermila


Hendriyani5
1,2,3,4,5
Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
*
Corresponding author: dwiratnasari@untirta.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil kemampuan literasi sains pada
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) pada siswa SMA/MA se-Provinsi Banten. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologis dengan desain
penelitian menurut Bandur. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII SMA/MA
se-Provinsi Banten dengan jumlah responden 320 siswa yang berasal dari 16 sekolah meliputi
masing-masing 1 sekolah negeri dan swasta. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian adalah tes dan non tes. Tes melalui soal literasi sains dan non tes melalui wawancara,
angket, studi pustaka, dan dokumentasi (foto). Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan model analisis menurut Miles dan Hubberman. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemampuan literasi sains siswa SMA/MA se-Provinsi Banten pada identifikasi
permasalahan ilmiah (level 3) termasuk dalam kategori sangat rendah dengan rata-rata skor
230,19.

Kata kunci: literasi sains, literasi sains se-Provinsi Banten, identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3)

Abstract
This study aims to describe the profile of scientific literacy skills in the identification of
scientific problems (level 3) in SMA / MA students in Banten Province. The method used in
this research is a phenomenological approach with a research design according to Bandur.
Sources of data in this study were students of class XII SMA / MA throughout Banten Province
with a total of 320 students from 16 schools covering 1 public and private schools respectively.
The data collection techniques used in the study were tests and non-tests. Tests through
scientific literacy questions and non-tests through interviews, questionnaires, literature study,
and documentation (photos). The data analysis technique in this study used an analysis model
according to Miles and Hubberman. The results showed that the scientific literacy skills of
SMA / MA students in Banten Province in the identification of scientific problems (level 3)
were included in the very low category with an average score of 230.19.

Keywords: scientific literacy, scientific literacy in Banten Province, identification of scientific


problems (level 3)

1. PENDAHULUAN
Perkembangan pembelajaran literasi sains diikuti oleh interaksi sosial dan perkembangan
ilmu pengetahuan (Abidin et al., 2018). Perkembangan tersebut diikuti dengan tuntutan
meningkatnya kemampuan literasi sains siswa. Kemampuan literasi merupakan kemampuan
dasar yang harus dikuasai siswa untuk menghadapi era globalisasi, sehingga siswa dapat

1
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

memenuhi kebutuhan hidup dalam berbagai situasi (Yuliati, 2017). Literasi sains merupakan
kemampuan seseorang untuk memahami sains, mengomunikasikan sains baik secara lisan
maupun tulisan, dan menerapkan pengetahuan sains untuk dapat memecahkan masalah
dalam mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan sains (Toharudin et al., 2011). Selain
itu, literasi sains dapat membantu siswa dalam memecahkan permasalahan terhadap
fenomena yang terjadi yang berhubungan dengan sains maupun teknologi dengan cara
berpikir kritis.
Pengukuran literasi sains dilakukan untuk mengetahui pemahaman sains siswa dalam
menjelaskan fenomena alam maupun hasil perbuatan manusia dan mengetahui keterampilan
siswa dalam menggunakan pengetahuan sains untuk memecahkan masalah (Permatasari &
Fitriza, 2019). Pengukuran literasi sains dibedakan menjadi empat aspek penilaian literasi
sains meliputi, konteks sains, kompetensi sains, pengetahuan sains, dan sikap sains (OECD,
2016). Aspek penilaian tersebut dapat menggambarkan kemampuan literasi sains siswa.
Berdasarkan skala internasional, literasi sains dibedakan menjadi 6 level sesuai kriteria
kemampuan siswa. PISA 2018 menyatakan bahwa rata-rata kemampuan literasi sains siswa
Indonesia baru mencapai pada level 2 dengan persentase 78%, sedangkan 7% untuk level 5
dan level 6 (OECD, 2019).
Perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan menyebabkan siswa harus
dapat memahami permasalahan di bidang lingkungan hidup, kesehatan, ekonomi, dan
masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga kemampuan literasi sains
penting untuk dikuasai oleh siswa (Nugraheni et al., 2017). Tanpa literasi sains, generasi saat
ini maupun generasi yang akan datang akan menghadapi kesulitan dalam mengambil
keputusan atas berbagai fenomena yang terjadi, serta tidak mampu mengikuti perkembangan
teknologi yang semakin modern (Novitasari, 2018). Literasi sains berperan sebagai acuan
kemajuan suatu bangsa dalam peningkatan literasi sains secara global. Selain itu, literasi sains
juga penting untuk dikuasai setiap siswa karena berhubungan dengan kemampuan berpikir
secara ilmiah dan kemampuan memahami sains untuk memecahkan masalah.
Hasil penilaian literasi sains menurut PISA menyatakan bahwa peringkat Indonesia dari
tahun 2000-2018 masih tergolong rendah yaitu di bawah skor rata-rata internasional (489).
Rendahnya kemampuan literasi sains siswa menyebabkan pemerintah melakukan revisi
kurikulum dari kurikulum 2006 ke kurikulum 2013 (Odja & Payu, 2014). Oleh karena itu,
pada kurikulum 2013 diharapkan dalam pembelajarannya dapat mengembangkan
kemampuan literasi sains siswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya literasi sains,
yaitu (1) kurikulum dan sistem pendidikan, (2) pemilihan metode dan model pembelajaran
yang digunakan oleh guru, (3) fasilitas pembelajaran, (4) sumber daya pembelajaran, dan (5)
bahan ajar dan sebagainya (Novaristiana, 2019). Nurjanah et al. (2017) menyatakan bahwa
upaya untuk meningkatkan literasi sains yaitu melalui peran guru yang memiliki kompetensi
yang baik, sehingga dapat membangun siswa yang berkualitas. Selain itu, kemampuan literasi
sains juga dapat ditingkatkan salah satunya melalui pembelajaran berbasis masalah (PBM).
Berdasarkan hasil analisis yang mendukung penelitian ini, Ardiansyah et al. (2016)
menyatakan bahwa nilai rata-rata kemampuan literasi sains siswa dari beberapa SMA Negeri
di Jakarta Selatan menunjukkan bahwa sekolah strata atas memiliki kemampuan literasi
nominal, konseptual, dan multidimensional lebih tinggi dari siswa strata bawah dan tengah.
Albadar (2019) menyatakan bahwa rata-rata nilai kompetensi literasi sains di SMAN 1
Banjarsari (Lebak) termasuk dalam kategori cukup dengan nilai rata-rata 69,96, dengan
indikator tertinggi yaitu menjelaskan fenomena ilmiah. Meika dan Sujana (2017) juga
menyatakan bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah siswa SMA Negeri di
Kabupaten Pandeglang masih tergolong rendah dengan nilai rata- rata 16,30. Selain itu,
OECD (2019) menyatakan bahwa kemampuan literasi sains siswa Indonesia masih tergolong
rendah dengan skor 396. Hal tersebut sesuai dengan pendapat PPP (2018) yang menyatakan

2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

bahwa hasil ujian nasional biologi tahun 2018/ 2019 di Banten masih tergolong rendah
dengan skor sebesar 49,47. Berdasarkan hasil analisis pendapat- pendapat di atas,
menunjukkan bahwa kemampuan siswa di Banten masih tergolong rendah seperti pada
kemampuan pemecahan masalah, sedangkan kemampuan literasi sains siswa seperti di
salah satu sekolah Kabupaten Lebak termasuk dalam kategori cukup, akan tetapi kemampuan
literasi sains tersebut belum dapat mewakilkan kemampuan literasi sains siswa SMA/MA se-
Provinsi Banten. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu adanya penelitian tentang
“Profil Kemampuan Literasi Sains pada Identifikasi Permasalahan Ilmiah (Level 3) pada
Siswa SMA/MA se-Provinsi Banten”.

2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan fenomenologis. Desain
penelitian yang digunakan yaitu menggunakan desain pendekatan fenomenologis yang
dikemukakan oleh Bandur (2016) meliputi identifikasi masalah, menentukan partisipan,
memilih situasi, teknik pengumpulan data, prosedur deksripsi, dan analisis data. Fokus
pada penelitian ini adalah kemampuan literasi sains pada identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3) yang diperoleh dari soal literasi sains. Subjek yang digunakan dalam penelitian
adalah siswa kelas XII SMA/MA se- Provinsi Banten. Waktu penelitian dilakukan pada
bulan November-Juli tahun pelajaran 2019/2020 dan bertempat di masing-masing tiap
kabupaten dan kota meliputi 1 sekolah negeri dan swasta. Data penelitian yang digunakan
yaitu data kuantitatif (soal literasi sains) dan data kualitatif (wawancara, angket, dan studi
pustaka). Sumber data yang digunakan dalam penelitian yaitu 320 siswa sebagai responden
dengan menggunakan teknik pengambilan sampel berupa simple random sampling. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah tes dan non tes. Tes melalui soal literasi sains
dan non tes melalui wawancara, angket, studi pustaka, dan dokumentasi (foto). Pada
penelitian ini, data diuji keabsahannya melalui derajat kepercayaan (validitas, triangulasi,
dan pengecakan kembali) dan uji kebergantungan. Selain itu, teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian adalah Analysis Interactive yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (2014) meliputi reduksi data, paparan data, serta penarikan kesimpulan dan
verifikasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini bertujuan untuk mendeksripsikan profil kemampuan literasi sains pada
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) pada siswa SMA/MA se-Provinsi Banten. Sumber
data yang digunakan pada penelitian ini adalah kelas XII SMA/MA se-Provinsi Banten
dengan jumlah responden sebanyak 320 siswa yang berasal dari 16 sekolah meliputi masing-
masing 1 sekolah negeri dan swasta untuk tiap kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Data
penelitian diperoleh dari data hasil tes soal literasi sains dan data pendukung yang diperoleh
dari angket, wawancara, studi pustaka, dan dokumentasi (foto). Penelitian ini membahas
tentang kemampuan literasi sains siswa pada identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) pada
siswa SMA/MA se- Provinsi Banten.
Literasi sains adalah kemampuan yang dimiliki individu dalam memahami sains untuk
dapat memecahkan suatu permasalahan terhadap fenomena yang terjadi baik berhubungan
dengan sains maupun teknologi. Individu yang tidak memiliki kemampuan literasi sains akan
mengalami kesulitan dalam memecahkan permasalahan serta tidak mampu mengikuti
perkembangan teknologi yang semakin modern, sehingga tidak mampu bersaing dalam skala
global (Novitasari, 2018).
Literasi sains berperan sebagai acuan kemajuan suatu bangsa dalam peningkatan literasi
sains secara global. Selain itu, literasi sains juga penting untuk dikuasai setiap siswa karena
berhubungan dengan kemampuan berpikir secara ilmiah dan kemampuan memahami sains

3
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

untuk memecahkan masalah. Kemampuan literasi sains terdiri atas 6 level yaitu level 1
(pengetahuan sains), level 2 (pengetahuan ilmiah), level 3 (identifikasi permasalahan ilmiah),
level 4 (pemecahan masalah), level 5 (pemikiran bukti ilmiah), dan level 6 (penalaran ilmiah
tingkat lanjut) (Fleischman et al., 2010). Berikut gambaran mengenai perbandingan
kemampuan literasi sains di Provinsi Banten, Nasional, dan Internasional yang tersaji dalam
Gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan Literasi Sains di Provinsi Banten, Nasional, dan Internasional


[Sumber: OECD, 2019]

Berdasarkan Gambar 1. menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan literasi sains siswa


SMA/MA di Provinsi Banten berada di bawah kemampuan literasi sains secara Nasional dan
Internasional. Secara Internasional kemampuan literasi sains siswa Indonesia pada tahun
2018 memperoleh peringkat ke- 70 dari 78 negera peserta dengan skor 489. Kemampuan
literasi sains siswa tersebut baru mencapai pada level 2 dengan persentase 78%, sedangkan
7% untuk level 5 dan level 6 (OECD, 2019). Hasil penilaian PISA menunjukkan bahwa rata-
rata kemampuan literasi sains siswa Indonesia baru sampai pada kemampuan mengenali
sejumlah fakta dasar, tetapi mereka belum mampu untuk mengomunikasikan dan
mengaitkan kemampuan tersebut dengan berbagai topik sains, serta menerapkan konsep-
konsep yang kompleks dan abstrak (Toharudin et al., 2011).
Hasil penilaian cakupan literasi sains pada Gambar 1 menunjukkan bahwa kemampuan
literasi sains siswa SMA/MA di Provinsi Banten masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat
pada Gambar 1 yang menunjukkan bahwa skor literasi sains di Provinsi Banten dari level 1 -
level 6 memperoleh rata-rata skor 185, yakni di bawah rata-rata skor nasional yaitu 396.
Berdasarkan hasil wawancara guru di Provinsi Banten menyatakan bahwa secara umum
penerapan literasi dalam pembelajaran sudah dilaksanakan di sekolah, akan tetapi untuk
penerapan literasi sains dalam pembelajaran biologi belum sepenuhnya diterapkan di Provinsi
Banten. Hal tersebut sesuai dengan hasil angket siswa yang menyatakan bahwa siswa sudah
terbiasa dengan kegiatan literasi di sekolah, akan tetapi untuk literasi sains sebagian besar
siswa belum terbiasa karena belum adanya penerapan literasi sains dalam pembelajaran
biologi. Oleh karena itu, guru di Provinsi Banten perlu menjelaskan pentingnya literasi sains
dalam pembelajaran dan membiasakan pembelajaran biologi dengan melibatkan aspek
literasi sains sehingga dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa.
Kemampuan literasi sains yang diukur pada penelitian ini adalah kemampuan
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) pada siswa SMA/MA se- Provinsi Banten. Berikut
rata-rata kemampuan literasi sains pada identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) yang
tersaji dalam Tabel 1.

4
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

Tabel 1. Rata-Rata Kemampuan Literasi Sains Tiap Level


No. Level Rata- Rata- Kategori
Rata Rata
Skor Nilai
1. Level 3 230,19 47,55 Sangat
Rendah

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains siswa di Provinsi


Banten pada identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) termasuk dalam kategori sangat
rendah dengan rata- rata skor 230,19. Hasil penilaian PISA menyatakan bahwa kemampuan
literasi sains untuk setiap levelnya memiliki skor yang berbeda-beda, kemampuan
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) memiliki skor maksimal 484,1. Pada Tabel 1
menunjukkan bahwa skor yang diperoleh pada kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3) masih berada di bawah skor ketuntasan menurut penilaian PISA. Rendahnya
kemampuan literasi sains siswa pada identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) dikarenakan
rata-rata kemampuan literasi sains siswa Indonesia baru mencapai pada kemampuan
pengetahuan ilmiah (level 2). Adapun kriteria pada kemampuan pengetahuan ilmiah (level 2)
yaitu siswa memiliki pengetahuan ilmiah yang cukup untuk membuktikan penjelasan yang
masuk akal pada konteks sains atau menggambarkan kesimpulan berdasarkan penyelidikan
sederhana. Selain itu, siswa mampu mengemukakan alasan langsung dan membuat
interpretasi secara harfiah pada hasil penyelidikan ilmiah maupun pemecahan masalah terkait
teknologi (Fleischman et al., 2010).
Kemampuan literasi sains pada level 3 yaitu identifikasi permasalahan ilmiah.
Kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) penting untuk dimiliki oleh siswa
agar mampu mengidentifikas suatu masalah, menyelesaikan suatu masalah, dan
mampu menjelaskan masalah kembali. Identifikasi permasalahan ilmiah dilakukan untuk
dapat mendefinisikan masalah dengan cara menganalisa suatu fenomena secara mendalam
berdasarkan fakta. Berikut gambaran mengenai hasil persentase kategori capaian literasi sains
siswa pada identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) yang tersaji dalam Gambar 2.

ILMIAH (LEVEL 3)

Gambar 2. Capaian Literasi Sains pada Identifikasi Permasalahan Ilmiah (Level 3) Siswa
SMA/MA se-Provinsi Banten

Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan bahwa capaian literasi sains pada identifikasi


permasalahan ilmiah (level 3) siswa SMA/MA se-Provinsi Banten yang meliputi satu

5
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

sekolah negeri dan satu sekolah swasta pada tiap kabupaten dan kota di Provinsi Banten
termasuk dalam kategori sangat rendah dengan nilai sebesar 55,31% responden, sedangkan
capaian literasi sains siswa pada identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) yang termasuk
dalam kategori sangat tinggi yaitu 12,19% responden. Berdasarkan hasil tes literasi sains
menunjukkan bahwa rendahnya capaian kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah (level
3) dikarenakan rata-rata siswa dalam menjawab soal-soal identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3) belum mampu mengidentifikasi permasalahan ilmiah dan menjelaskan masalah
kembali secara tuntas. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil angket siswa yang menyatakan
bahwa meskipun siswa pernah mengerjakan soal seperti identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3), akan tetapi sebagian siswa belum mampu memberikan contoh dari kemampuan
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3). Hasil wawancara guru menunjukkan bahwa
sebagian besar guru biologi se-Provinsi Banten pernah memberikan soal seperti identifikasi
permasalahan ilmiah (level 3), akan tetapi soal yang diberikan ke siswa rata-rata soal yang
dibuat oleh guru sendiri, sehingga siswa belum mampu mengidentifikasi suatu permasalahan
yang disajikan dalam soal identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) yang diambil dari soal
PISA. Berikut gambaran mengenai rata-rata kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3) yang tersaji dalam Gambar 3.

Gambar 3. Rata-Rata Kemampuan Identifikasi Permasalahan Ilmiah (Level 3) Siswa


SMA/MA pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten

Berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa kemampuan identifikasi permasalahan


ilmiah (level 3) siswa SMA/MA di Kota Tangerang Selatan memperoleh rata-rata nilai
tertinggi dengan skor sebesar 298,52, sedangkan Kota Serang memperoleh rata-rata nilai
terendah dengan skor sebesar 135,14. Berdasarkan hasil tes literasi sains menunjukkan bahwa
sebagian besar jawaban siswa SMA/MA di Kota Tangerang Selatan mampu mengidentifikasi
suatu pertanyaan dan mampu menjelaskan masalah kembali. Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya jawaban siswa yang memperoleh skor maksimal pada identifikasi permasalahan
ilmiah (level 3). Berdasarkan hasil wawancara guru menunjukkan bahwa guru di Kota
Tangerang Selatan sudah menerapkan literasi sains dalam proses pembelajaran maupun
evaluasi pembelajaran. Penerapan literasi sains dalam proses pembelajaran di Kota
Tangerang Selatan yaitu dalam bentuk penugasan maupun praktik di laboratorium, sedangkan
penerapan literasi sains dalam evaluasi pembelajaran yaitu dengan memberikan soal
literasi sains yang mengacu pada jurnal atau artikel ilmiah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
guru sudah berhasil menerapkan literasi sains dalam pembelajaran sehingga kemampuan
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) siswa di Kota Tangerang Selatan memperoleh skor
tertinggi dibandingkan kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Hal tersebut juga diperkuat

6
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

dengan hasil angket siswa yang menyatakan bahwa sebagian besar siswa tertarik dalam
menerapkan literasi sains dalam proses pembelajaran. Ketertarikan siswa tersebut
dikarenakan dalam pembelajaran guru sudah terbiasa menerapkan literasi sains.
Berdasarkan hasil tes literasi sains menunjukkan bahwa Kota Serang memperoleh rata-
rata nilai terendah dengan skor 135,14 pada kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3). Hal tersebut dikarenakan rata-rata kemampuan siswa SMA/MA di Kota Serang
belum mampu mengidentifikasi permasalahan ilmiah (level 3) secara tuntas. Hal tersebut
dapat dilihat dari sedikitnya jawaban siswa yang memperoleh skor maksimal pada
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3). Berdasarkan hasil wawancara guru di Kota Serang
menunjukkan bahwa guru jarang menerapkan literasi sains dalam pembelajaran. Hal tersebut
sesuai dengan hasil angket siswa yang menyatakan bahwa siswa tidak tertarik menerapkan
literasi sains dalam pembelajaran, dikarenakan guru jarang menerapkan literasi sains dalam
pembelajaran. Adapun penerapan literasi sains dalam proses pembelajaran di Kota Serang
yaitu dengan cara mengajarkan bagaimana siswa mampu mengidentifikasi suatu pertanyaan
untuk mendapatkan pengetahuan baru serta mampu menjelaskan fenomena ilmiah, sedangkan
penerapan literasi sains dalam evaluasi pembelajaran yaitu dengan memberikan soal literasi
sains yang dibuat sendiri oleh guru. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara guru di Kota
Serang.
Kemampuan literasi sains pada identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) siswa
SMA/MA di Kota Tangerang Selatan lebih tinggi dibandingkan kota atau kabupaten di
Provinsi Banten selain dilihat dari karakteristik siswa yang aktif juga dipengaruhi oleh letak
geografis dan sarana prasana. RKPD (2014) menyatakan bahwa
Kota Tangerang Selatan memiliki kondisi pendidikan yang masyarakatnya sudah relatif
lebih maju dibandingkan kota atau kabupaten lainnya. Berdasarkan letak geografis sebagian
besar wilayah kecamatan Kota Tangerang Selatan berbatasan dan berinteraksi langsung
dengan Provinsi DKI Jakarta seperti Pondok Aren, Pamulang, dan Ciputat. Provinsi DKI
Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat pendidikan, sehingga pendidikan di Kota
Tangerang Selatan lebih maju baik pada sisi kualitas pendidik, siswa, maupun sarana prasana
dibandingkan dengan pendidikan di kota atau kabupaten lainnya di Provinsi Banten. Sarana
prasana pendidikan di Kota Tangerang Selatan sudah lebih maju dan memadai seperti akses
internet yang merata, laboratorium sains, dan perpustakaan dengan buku yang memadai.
OECD (2007) menyatakan bahwa gender, ekonomi, sosial, letak geografis dan imigrasi dapat
mempengaruhi kemampuan literasi sains. Selain itu, rata-rata lama sekolah di Provinsi
Banten masih dibawah Kota Tangerang Selatan, yaitu hanya mencapai 8,32 tahun. Rata-rata
lama sekolah ini sangat dipengaruhi oleh kemauan dan kemampuan masyarakat untuk
melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi. Berdasarkan sumber daya manusia sebanyak
34,54% penduduk Kota Tangerang Selatan berpendidikan lulus SLTA, angka tersebut
merupakan angka terbesar dibandingkan tingkat pendidikan yang lainnya. Sementara itu
sebesar 15,0% penduduk Kota Tangerang Selatan berpendidikan tingkat perguruan tinggi
(RKPD, 2014).
Rendahnya kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) siswa SMA/MA di
Kota Serang selain dipengaruhi oleh karakteristik siswa yang pasif juga disebabkan oleh
faktor lain seperti letak geografis dan sarana prasana. RPIJM (2016) menyatakan bahwa Kota
Serang memiliki letak geografis yang berdekatan dengan Kabupaten Serang. Kota Serang
dikenal sebagai Ibukota Provinsi Banten karena letak geostrategisnya sebagai daerah transit
dari gerbang masuk ke Pulau Jawa di Kota Cilegon, juga posisinya yang terletak di Teluk
Banten dengan Pelabuhan Karangantu yang bernilai historis dan komersil serta pewaris
kekayaan khasanah kebudayaan yang bersumber dari kejayaan Kesultanan Islam Banten.
Oktalya (2019) menyatakan bahwa sarana prasarana di Kota Serang belum sepenuhnya
memadai seperti teknologi komunikasi. Hasil analisis kebutuhan siswa SMA/MA di Kota

7
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

Serang tentang teknologi komunikasi memperoleh hasil bahwa hanya terdapat 56,67% siswa
yang memiliki laptop, komputer, atau notebook. Rendahnya kepemilikan siswa terhadap
teknologi tersebut dikarenakan harganya yang masih kurang terjangkau untuk masyarakat
umum. Selain itu, saat ini smartphone juga dapat mengganti peranan laptop, komputer, atau
notebook karena memiliki fitur hampir sama dan ukurannya yang lebih ringan untuk dibawa.
Wijaya (2016) menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dunia
pendidikan telah terbukti menjadi aspek penentu kecepatan dan keberhasilan penguasaan
ilmu pengetahuan siswa. Hal tersebut disebabkan oleh ketersediaan informasi yang berlimpah
dan mudah didapat dari pemanfaatan teknologi komunikasi. Oleh karena itu, sinergisitas
antar ilmu pengetahuan harus diimbangi oleh peran sekolah dalam melengkapi sarana
prasarana. Berikut gambaran mengenai rata-rata nilai akhir kemampuan identifikasi
permasalahan ilmiah (level 3) yang tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2.Rata-Rata Nilai Akhir Kemampuan Identifikasi Permasalahan Ilmiah (Level 3) Tiap
Kabupaten dan Kota di Provinsi Banten
Nama Kabupaten/ Jumlah Rata- Rata Kategori
Kota Sampel Nilai Akhir
Kota 40 27,91 Sangat
Serang Rendah
Kabupaten Serang 40 45,83 Sangat
Rendah
Kota Cilegon 40 33,74 Sangat
Rendah
Kabupaten Lebak > 40 54,16 Sangat
Rendah
Kabupaten 40 54,58 Rendah
Pandeglang
Kota Tangerang 40 57,91 Rendah
Kabupaten > 40 44,58 Sangat
Tangerang Rendah
Kota > 40 61,66 Cukup

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata nilai akhir kemampuan identifikasi


permasalahan ilmiah (level 3) siswa di Kota Tangerang Selatan termasuk dalam kategori
cukup dengan nilai akhir sebesar 61,66, sedangkan kemampuan siswa di Kota Serang
termasuk dalam kategori sangat rendah dengan rata-rata nilai akhir sebesar 27,91. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Kota Tangerang Selatan memiliki kualitas pendidikan yang
lebih baik dibandingkan kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Peningkatan kualitas
pendidikan tersebut dapat dilihat dari kurikulum yang digunakan sekolah, metode
pembelajaran, dan model pembelajaran yang digunakan.
Berdasarkan hasil wawancara guru menunjukkan bahwa kurikulum yang digunakan di
SMA/MA Kota Tangerang Selatan sudah menggunakan kurikulum 2013, metode
pembelajaran yang sering digunakan yaitu diskusi, presentasi, ceramah, dan penugasan, dan
model pembelajaran yang sering digunakan yaitu inkuiri, discovery learning, PBM, dan
PjBL. Hal tersebut sesuai dengan hasil angket siswa yang menyatakan bahwa siswa lebih
menyukai pembelajaran dengan diskusi serta menggunakan media pembelajaran seperti
poster, video, dan lain-lain dibandingkan ceramah. Hal tersebut dikarenakan siswa merasa
cepat jenuh dengan metode ceramah dan kurang paham karena tidak ada pemberian stimulus
diawal pembelajaran, sehingga metode dan model pembelajaran yang bervariasi dapat

8
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

meningkatkan semangat belajar siswa. Penggunaan metode dan model pembelajaran yang
bervariasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Model pembelajaran seperti inkuiri, discovery learning, PBM, dan PjBL dapat
meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Pembelajaran inkuiri merupakan
pembelajaran yang mengajak siswa untuk berpikir secara kritis, analitis, dan dapat
membangun sikap produktif siswa. Hubungan pembelajaran inkuiri dengan literasi sains yaitu
membuat siswa menjadi aktif melalui kegiatan praktikum, siswa mampu mengambil
keputusan secara logis, dan siswa mampu mengidentifkasi permasalahan pada konteks yang
relevan dengan kehidupan sehari-hari (Rakhmawan et al., 2015). Discovery learning
merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk membaca artikel ilmiah,
identifikasi masalah, menentukan hipotesis, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisis
data, dan menyimpulkan. Pada pembelajaran discovery learning terdapat sintak identifikasi
masalah, dimana identifikasi masalah termasuk bagian dari literasi sains yaitu identifikasi
permasalahan ilmiah (level 3). Penentuan identifikasi masalah diawali dari berbagai
pertanyaan yang muncul dari siswa yang kemudian diarahkan oleh guru untuk membuat
rumusan masalah, sehingga dapat meningkatkan literasi sains siswa (Yaumi et al., 2017).
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dapat meningkatkan literasi sains siswa
karena melatih cara berpikir dan bernalar siswa dalam mencari solusi atas permasalahan,
dimana siswa mampu memahami masalah, menyusun rencana pemecahan masalah,
melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh
(Prastiwi & Nurita, 2018). Projek Based Learning (PjBL) dapat meningkatkan literasi sains
siswa karena pembelajaran ini dapat membantu siswa dalam melatih kemampuan
memecahkan masalah, berpikir logis dan sistematis untuk menyimpulkan suatu informasi,
meningkatkan motivasi belajar, menyampaikan pendapat, dan memberikan
pengalaman dalam mengorganisasikan proyek (Rizkamariana et al., 2019).
Berdasarkan hasil wawancara guru di Kota Serang menunjukkan bahwa metode
pembelajaran yang sering digunakan yaitu cooperatif learning, diskusi, ceramah, praktikum,
dan inkuiri, sedangkan model pembelajaran yang sering digunakan yaitu NHT, jigsaw, dan
PBM. Model pembelajaran Number Heads Together (NHT) merupakan model pembelajaran
yang melibatkan banyak siswa untuk menelaah suatu materi dan mengukur pemahaman siswa
terhadap isi materi tersebut. Model pembelajaran ini dapat meningkatkan motivasi dan hasil
belajar kognitif siswa (Marfani et al., 2016). Model pembelajaran jigsaw memiliki
pemahaman konsep dan sikap ilmiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang
belajar dengan model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran ini dapat
meningkatkan literasi sains siswa karena dapat meningkatkan pemahaman konsep sains siswa
(Putra et al., 2018). Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dapat meningkatkan
literasi sains siswa karena melatih cara berpikir dan bernalar siswa dalam mencari solusi atas
permasalahan, dimana siswa mampu memahami masalah, menyusun rencana pemecahan
masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah, dan memeriksa kembali hasil yang
diperoleh (Prastiwi & Nurita, 2018).
Berdasarkan hasil angket siswa SMA/MA di Kota Serang menunjukkan bahwa sebagian
besar siswa lebih menyukai pembelajaran dengan diskusi serta menggunakan media
pembelajaran seperti poster, video, dan lain-lain dibandingkan ceramah. Hal tersebut
dikarenakan siswa merasa bingung jika guru hanya menjelaskan materi dengan metode
ceramah tanpa memberikan contoh atau gambaran, sehingga dengan adanya metode dan
model pembelajaran yang bervariasi diharapkan dapat meningkatkan semangat belajar siswa
terutama dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa (Astuti, 2018).
Novaristiana (2019) menyatakan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan literasi
sains siswa adalah pemilihan model pembelajaran yang tepat. Yaumi et al. (2017)
menyatakan bahwa model pembelajaran discovery learning mampu meningkatkan literasi

9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

sains terutama pada kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah (level 3). Discovery
learning merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk membaca artikel ilmiah,
identifikasi masalah, menentukan hipotesis, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisis
data, dan menyimpulkan. Pada pembelajaran discovery learning terdapat sintak identifikasi
masalah, dimana identifikasi masalah termasuk bagian dari literasi sains yaitu identifikasi
permasalahan ilmiah (level 3). Penentuan identifikasi masalah diawali dari berbagai
pertanyaan yang muncul dari siswa yang kemudian diarahkan oleh guru untuk membuat
rumusan masalah, sehingga dapat meningkatkan literasi sains siswa. Selain pemilihan model
pembelajaran yang tepat, perlu adanya pengawasan penerapan literasi sains dalam
pembelajaran agar penerapan literasi sains dapat terlaksana dengan baik. Pengawasan ini
dapat dilihat dari sasaran dan strategi gerakan literasi sains di sekolah yang dilakukan baik
oleh kepala sekolah maupun dinas pendidikan.
Sasaran gerakan literasi sains di sekolah meliputi 1) Meningkatnya jumlah pelatihan
guru sains dan non sains; 2) Meningkatnya intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi
sains dalam pembelajaran; 3) Meningkatnya jumlah pembelajaran sains berbasis
permasalahan dan berbasis proyek; 4) Meningkatnya jumlah pembelajaran nonsains yang
melibatkan unsur literasi sains; 5) Meningkatnya skor literasi sains dalam
PISA/TIMSS/INAP; dan 6) Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan siswa melalui
pembelajaran sains berbasis proyek. Strategi utama gerakan literasi sains sekolah berupa
literasi sains lintas kurikulum, yaitu sebuah pendekatan penerapan literasi sains secara
konsisten dan menyeluruh di sekolah untuk mendukung pengembangan literasi sains bagi
setiap siswa. Selain itu, perlu adanya penguatan kapasitas fasilitator seperti 1) Pelatihan guru
sains dalam menerapkan proses berpikir inkuiri dan saintifik serta metode pembelajaran
berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek yang melibatkan masalah-masalah yang
muncul dalam kehidupan sehari-hari; 2) Pelatihan guru non sains dalam menggunakan sains
untuk memperkaya penyajian informasi didalam mata pelajaran yang sedang dipelajari, dan
3) Pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan dalam keterampilan menciptakan ekosistem
di sekolah yang mendukung literasi sains (Effendy, 2017). Adapun pengawasan dan evaluasi
penerapan literasi sains dalam pembelajaran sebaiknya dilakukan secara berkala agar
penerapan literasi sains dapat terlaksana dengan baik.
Berikut gambaran mengenai hasil persentase capaian jawaban siswa pada kemampuan
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) yang tersaji dalam Gambar 4 berikut ini:

HASIL PERSENTASE JAWABAN SISWA PADA


KEMAMPUAN IDENTIFIKASI
PERMASALAHAN ILMIAH (LEVEL 3)

37% 40%

Jawaban nomor
1
Jawaban nomor
2

23% Jawaban nomor


3

Gambar 4. Hasil Persentase Jawaban Siswa pada Kemampuan Identifikasi Permasalahan


Ilmiah (Level 3)

10
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

Berdasarkan Gambar 4 menunjukkan bahwa rata-rata hasil persentase jawaban tertinggi


siswa terdapat pada jawaban nomor 1 dengan persentase 40% pada tema efek rumah kaca,
sedangkan jawaban dengan pesentase terendah yaitu 23% terdapat pada jawaban nomor 2
dengan tema hujan asam. Aspek literasi sains yang terdapat pada Gambar 4.4 yaitu
konteks dan kompetensi. Aspek konteks yang digunakan yaitu lingkungan terdapat pada soal
nomor 1 dan 2, serta kesehatan terdapat pada soal nomor 3. Aspek kompetensi yang
terdapat pada kemampuan identifikasi pemecahan masalah ilmiah (level 3) yaitu
menggunakan bukti ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan mengidentifikasi isu ilmiah.
Berikut gambaran mengenai aspek kompetensi pada kemampuan identifikasi pemecahan
masalah ilmiah (level 3) yang tersaji dalam Gambar 5.

Gambar 5. Aspek Kompetensi pada Kemampuan Identifikasi Permasalahan Ilmiah (Level 3)

Berdasarkan Gambar 5 menunjukkan bahwa indikator kompetensi tertinggi terdapat


pada indikator 1 (menggunakan bukti ilmiah) dengan skor 275,33, sedangkan indikator
kompetensi terendah terdapat pada indikator 2 (menjelaskan fenomena ilmiah) dengan skor
162,62. Pada indikator 1, siswa mampu mengidentifikasi asumsi, bukti dan penalaran di
balik kesimpulan tentang efek rumah kaca yang terdapat pada soal nomor 1. Hal tersebut
sesuai dengan Gambar 4.4 yang menunjukkan bahwa sebanyak 40% rata-rata siswa sudah
mampu memiliki kompetensi menggunakan bukti ilmiah. Selanjutnya pada indikator 2, siswa
belum mampu mendeksripsikan atau menafsirkan fenomena ilmiah dan memprediksi
perubahan tentang hujan asam yang terdapat pada soal nomor 2. Hal tersebut sesuai dengan
Gambar 4 yang menunjukkan bahwa 23% siswa belum mampu memiliki kompetensi
menjelaskan fenomena ilmiah. Terakhir pada indikator 3, sebagian besar siswa mampu
mengidentifikasi kata kunci untuk mencari informasi ilmiah tentang tabir surya yang terdapat
pada soal nomor 3. Hal tersebut sesuai dengan Gambar 4 yang menunjukkan bahwa 37%
siswa sudah mampu memiliki kompetensi mengidentifikasi isu ilmiah.
Berdasarkan penjelasan sebelumya menunjukkan bahwa kemampuan identifikasi
permasalahan ilmiah (level 3) siswa SMA/MA se-Provinsi Banten dilihat dari kategori
tingkat jawaban literasi sains rata-rata termasuk dalam kategori nominal dan fungsional.
Kategori nominal yaitu siswa dalam menjawab pertanyaan identifikasi permasalahan ilmiah
(level 3) tidak mampu melibatkan ide-ide sendiri dan tidak mampu untuk membenarkan
istilah atau mengalami miskonsepsi. Kategori fungsional yaitu siswa mampu mengingat
informasi dari buku teks misalnya menuliskan fakta-fakta dasar, tetapi tidak mampu
membenarkan pendapat sendiri berdasarkan pada teks atau grafik yang diberikan. Selain itu,
siswa mengetahui konsep antar disiplin, tetapi tidak mampu menggambarkan hubungan
antara konsep- konsep tersebut (Odja & Payu, 2014). Adapun kelebihan dari kemampuan
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) yaitu 1) siswa mampu mengidentifikasi

11
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

permasalahan ilmiah yang dideskripsikan dengan jelas pada tingkat konteks sains; 2) siswa
mampu menyeleksi fakta dan pengetahuan untuk menjelaskan fenomena dan
mengaplikasikan model sederhana atau strategi penyelidikan; 3) siswa mampu
menginterpretasikan dan menggunakan konsep-konsep ilmiah dari disiplin ilmu yang lain dan
mampu menerapkannya secara langsung; dan 4) siswa mampu membentuk pernyataan
singkat dengan menggunakan fakta dan membuat keputusan berdasarkan pengetahuan ilmiah
(Fleischman et al., 2010).

4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kemampuan
literasi sains pada identifikasi permasalah ilmiah (level 3) siswa SMA/MA se-Provinsi
Banten termasuk dalam kategori sangat rendah dengan rata- rata skor 230,19. Berdasarkan
rata-rata nilai akhir kemampuan identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) Kota Tangerang
Selatan memperoleh nilai tertinggi di Provinsi Banten dengan nilai akhir sebesar 61,66.
Adapun capaian literasi sains siswa SMA/MA se-Provinsi Banten untuk kemampuan
identifikasi permasalahan ilmiah (level 3) sebanyak 55,31% siswa termasuk dalam kategori
sangat rendah

5. DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y., T. Mulyati & H. Yunansah., 2018. Pembelajaran Literasi: Strategi Meningkatkan
Kemampuan Literasi Matematika, Sains, Membaca, dan Menulis. Jakarta: Bumi Aksara.
Albadar, S., 2019. Profil kemampuan literasi sains siswa melalui pembelajaran berbasis
masalah pada materi keanekaragaman hayati di kelas X SMAN 1 Banjarsari. Skripsi.
Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Ardiansyah, A, A, I., D. Irwandi & D. Murniati., 2016. Analisis literasi sains siswa kelas XII
IPA pada materi hukum dasar kimia di Jakarta Selatan. Edukimia: jurnal kimia dan
pendidikan, 1 (2), pp.149- 161.
Astuti, W., 2018. Berbagai metode dan model pembelajaran untuk meningkatkan literasi
sains siswa. Prosiding seminar nasional MIPA IV. Diakses dari:
http://conference.unsyiah.ac.id. 12 Oktober 2020, pk. 17.37.
Bandur, A., 2016. Penelitian Kualitatif: Metodologi, Desain, dan Teknik Analisis Data
dengan NVivo 11 Plus. Jakarta: Mitra Wacana Media
Effendi, M., 2017. Gerakan literasi Nasional materi pendukung literasi sains. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Fleischman, H. L., P. J. Hopstock, M. P. Pelczar & B. E. Shelley., 2010. Highlights From
PISA 2009: Performance of U.S. 15-Year-Old Students in Reading, Mathematics, and
Science Literacy in an International Context (NCES 2011-004). Washington DC: U.S.
Government Printing Office. Diakses dari: http://www.nces.ed.gov
Marfani, A., Fatmawati & S. N. Primawati., 2016. Pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe STAD (student team achievement division) dipadu NHT (number heads
together) terhadap motivasi dan hasil belajar kognitif siswa. Jurnal ilmiah
pendidikan biologi “Bioscientist”. 5 (1), pp.13-21.
Meika, I. & A. Sujana., 2017. Kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah
matematis siswa SMA. JPPM, 10 (2), pp.8-13.
Miles, M. B. & A. M. Huberman., 2014. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang
Metode-Metode Baru Terj. dari Qualitative Data Analysis oleh Rohidi, T. R. Jakarta:
UI-Press.
Novaristiana, R., Y. Rinanto & M. Ramli., 2019. Scientific literacy profile in biological
science of high school student. JPBI (jurnal pendidikan biologi indonesia), 5 (1), pp.9-
16.

12
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Vol. 3, No.1, 2020, hal. 241-253 p-ISSN 2620-9047, e-ISSN 2620-9071

Novitasari, N., 2018. Profil kemampuan literasi sains mahasiswa calon guru biologi.
Biosfer: jurnal tadris pendidikan biologi, 9 (1), pp.36-44. Nugraheni, N. C.,
Paidi & Triatmanto., 2017. Kemampuan literasi sains kelas X SMA Negeri mata
pelajaran biologi berdasarkan topografi wilayah Gunung kidul. Jurnal prodi
pendidikan biologi, 6 (5), pp.261-271.
Nurjanah, A., A. Sudin & A. Sujana., 2017. Literasi sains dalam pembelajaran berbasis
masalah (Penelitian preexperimental terhadap siswa kelompok atas, tengah,
dan bawah SDN Waringin II dan SDN Palasah I di Kecamatan Palasah Kabupaten
Majalengka pada materi energi panas). Jurnal pena ilmiah, 2 (1), pp.581-590.
Odja, A. H. & C. S. Payu., 2014. Analisis kemampuan awal literasi sains siswa pada konsep
IPA. Diakses dari http://repository.ung.ac.id. 16 November 2019, pk. 13.45.
OECD., 2007. PISA 2006 Science
Competencies for Tomorrow’s World Executive Summary. Paris: OECD Publishing.
Diakses dari: https://www.oecdilibrary.org/educa tion/pisa-2006_9789264040014-en
OECD., 2019. Programme for international student assessment (pisa) result from
pisa 2018. Diakses dari: https://www.oecd.org/pisa/publicati
ons/PISA2018_CN_IDN.pdf. 23 Desember 2019, pk. 21.45.
Oktalya, R. P., 2019. Profil kemampuan literasi media siswa SMA dan Sederajat se-Kota
Serang melalui situs jejaring sosial facebook (sebagai upaya dalam
mengimplementasikan pem- belajaran abad 21). Skripsi. Serang: Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
Permatasari, P. & Z. Fitriza., 2019. Analisis literasi sains siswa Madrasah Aliyah pada aspek
konten, konteks, dan kompetensi materi larutan penyangga. EKJ: edukimia jurnal, (1) 1,
pp.53-59. PPP., 2018. Laporan hasil ujian nasional. Diakses dari:
https://hasilun.puspendik.kemendik bud.go.id. 20 Januari 2020, pk.04.13.
Prastiwi, M. D. & T. Nurita., 2018. Kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelas VII
SMP. E- journal pena, 6 (2), pp.98-103.
Putra, I.B.P.A., N.M. Pujani & P.P. Juniartina., 2018. Pengaruh model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw terhadap pemahaman konsep IPA siswa. Jurnal pendidikan dan
pembelajaran sains Indonesia. 1 (2), pp.80-90.
Rakhmawan, A., A. Setiabudi & A. Mudzakir., 2015. Perancangan pembelajaran literasi
sains berbasis inkuiri pada kegiatan laboratorium. Jurnal penelitian dan pembelajaran
IPA. 1 (1), pp.143- 152.
Rizkamariana, F., S. Diana & A. R. Wulan., 2019. Penerapan project based learning untuk
melatih kemampuan literasi tumbuhan 21 pada siswa SMA. Indonesian journal of
biological education. 2 (1), pp.19- 23.
RKPD., 2014. Rencana kerja pembangunan daerah tahun 2014. Diakses dari:
http://peraturan.bpk.go.id. 11 November 2020, pk. 11.12.
RPJIM., 2016. Review dokumen RPIJM 2016 bidang PU/cipta karya Kota Serang 2015-
2019. Diakses dari: http://sippa.ciptakarya.pu.go.id. 12 November 2020, pk. 13.41.
Toharudin, U., S. Hendrawati & A. Rustaman., 2011. Membangun Literasi Sains Peserta
Didik. Bandung: Humaniora
Wijaya, E., D. A. Sudjimat, & A. Nyoto., 2016. Transformasi pendidikan abad 21 sebagai
tuntutan pengembangan sumber daya manusia di era global. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Matematika, 1 (6), pp.263-278.
Yaumi, Wisanti & S. Admoko., 2017. Penerapan perangkat model pembelajaran discovery
learning pada materi pemanasan global untuk melatihkan kemampuan literasi sains siswa
SMP Kelas VII. E-journal pensa, 5 (1), pp.38-45.
Yuliati, Y., 2017. Literasi sains dalam pembelajaran IPA. Jurnal cakrawala pendas, 3 (2),
pp.21-28

13

Anda mungkin juga menyukai