Anda di halaman 1dari 6

LITERASI SAINS DAN PENDIDIKAN

Di abad 21 Semakin banyak pekerjaan yang menuntut keterampilan keterampilan tingkat tinggi,
memerlukan orang-orang yang mampu belajar, bernalar, berpikir kreatif, membuat keputusan, dan
memecahkan masalah. Oleh katena itu menurut Carin & Sund (1995) untuk menimbulkan kreativitas
dalam pembelajaran perlu memperhatikan aspekaspek (1) mengembangkan kepercayaan yang tinggi
dan meminimalisir ketakutan; (2) mendorong terjadinya komunikasi secara bebas; (3) mengadakan
pembatasan tujuan dan penilaian secara individu oleh siswa; dan (4) pengendalian tidak terlalu ketat.

Carin, A., & Sun,R.B. (1995). Teching Scinece Through Discovery. Columbus. Charles,E. Merril Publishing
company. Abell & Howell Company.

Clark (2010: 316) menjelaskan bahwa di abad 21 ini "literasi sains adalah prasyarat penting yang
fundamental untuk pengambilan keputusan di zaman global ini, terutama subjek ketika harus
mengambil keputusan yang mempengaruhi kesehatan, lingkungan, kemajuan teknologi, dan
pengembangan masyarakat", yang berarti bahwa keaksaraan ilmiah adalah prasyarat dasar yang penting
untuk pengambilan keputusan di era global ini, terutama ketika menyangkut keputusan yang
mempengaruhi kesehatan, lingkungan, kemajuan teknologi, dan pengembangan masyarakat. Elsy
Zuriyani menyebutkan Sains bukan hanya kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup,
tetapi menyangkut cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Oleh katena itu
kemampuan literasi sains perlu di kembangkan

Clark, S. (2010). A Shift in Scientific Literacy: Earthquakes Generate Tsunamis. Transaction Americans
Geophysical Union, 316.

Literasi sains adalah kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep IPA pada kehidupan sehari-hari
(OECD, 2013). Literasi sains meliputi rangkaian strategi yang digunakan siswa dalam memecahkan
berbagai masalah yang ada di masyarakat (Thomson dan De Bortoli, 2008). Literasi sains menurut
Hollbrook dan Rannikmae (2009), mencakup tiga aspek yaitu, pemahaman sains dari segi konsep (what
do people know), segi etika atau nilai moral (what do people value) dan segi konteks (what can people
do).

Holbrook, J., dan Rannikmae, M. 2009. The Meaning of Scientific Literacy. International Journal of
Environmental & Science Education. 4.3 (2009): 275-288. Rusilowati, A., Kurniawati, L., Nugroho, S. E., &
Widiyatmoko, A. (2016). Developing an Instrument of Scientific Literacy Assessment on the Cycle Theme.
International Journal of Environmental and Science Education, 11(12), 5718-5727. Shwartz, Y., Ben-Zvi,
R., & Hofstein, A. (2006). The use of scientific literacy taxonomy for assessing the development of
chemical literacy among high-school students. Chemistry Education Research and Practice, 7(4), 203-
225.

Shwartz, Y., Ben-Zvi, R., & Hofstein, A. (2006). Chemical literacy: What does this mean to scientists and
school teachers? J. Chem. Educ, 83(10), 1557.
Soobard, R., & Rannikmae, M. (2011). Assessing Student's Level of Scientific Literacy Using
Interdisciplinary Scenarios. Science Education International, 22(2), 133-144.

Thomson, S., & De Bortoli, L. (2008). Exploring Scientific Literacy: How Australia measures up. The PISA
2006 survey of students' scientific, reading and mathematical literacy skills.

Trianto. 2014. Model Pembelajaran Terpadu: konsep, strategi, dan implementasinya dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.

Berdasarkan hasil penelitian kemampuan literasi sains siswa masih rendah dengan rata-rata sebesar
52% (Rizkita, Lutfi dkk, 2016). SE dapat meningkatkan keberhasilan dalam pembelajarn sains untuk
meningkatkan kemampuan literasi sains.Self-efficacy adalah faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku
individu melalui tindakan, usaha, dan ketekunan.Self-Efficacy in Scientific Literacy Student Ability Based
on Gender.

Hawa Ajeng Trisnawati, Retno Winarni, Sri Yamtinah. Advances in Social Science, Education and
Humanities Research, volume 397.Atlanta press. 3rd International Conference on Learning Innovation
and Quality Education (ICLIQE 2019)

Tohir (2019) mengindikasikan upaya peningkatan kemampuan literasi sains siswa Indonesia masih
menjadi tantangan besar, dimana titik lemah peserta didik Indonesia adalah pada kemampuan yang
berhubungan dengan keterampilan penyelidikan ilmiah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru IPA di salah satu SMP Kota dan Kabupaten Malang,
instrumen penilaian yang sering dikembangkan terbatas pada pemahaman konsep siswa. Guru belum
pernah mengembangkan instrumen penilaian yang dapat melatihkan kemampuan literasi sains kepada
siswa.

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES LITERASI SAINS SISWA SMP MATERI TEKANAN ZAT DAN
PENERAPANNNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI. Siti Khoirun Ervin Novanti, Erni Yulianti, Vita Ria
Mustikasari*Jurnal Pembelajaran Sains VOL. 2 NO. 2 2018.http://journal2.um.ac.id/index.php/jpsi/ISSN:
2527-9157

MaKinster, et al., 2002 (dalam Rahmadani, 2018) menyebutkan siswa belum memiliki kemampuan untuk
menghubungkan sumber informasi yang berbeda, yang disertai penjelasan, dan menggunakan bukti dari
berbagai sumber, terlihat dari hasil siswa tes literasis sains siswa masih rendah. Hal ini karena siswa
sekolah menengah atas sekarang ini khususya pada proses pembelajaran sistem ekskresi lebih menyukai
mencari sumber belajar dari media online atau internet, tetapi minat literasi membaca dan menulis
siswa mulai menurun dan kebanyakan mengalami kesulitan ketika harus mengevaluasi relevansi dan
keandalan (reliable) informasi dalam belajar khususnya pada materi sistem ekskresi.
Faktor-faktor rendahnya literasi sains siswa antara lain, kurikulum dansistem pendidikan, pemilihan
metode dan model pengajaran oleh guru, media atau alat pembelajaran, dan bahan ajar yang tidak
memenuhi tujuan pembelajaran abad 21.

PENGGUNAAN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS SISWA Norma


Juniati*, A. Wahab Jufri dan Muhammad Yamin J. Pijar MIPA, Vol. 15 No.4, September 2020: 315-319.
DOI: 10.29303/jpm.v15i4.1975

Metode dan model pembelajaran yang diterapkan belum sepenuhnya bermuatan literasi sains, masih
berupa hafalan dan belum mengarahkan kepada kehidupan nyata, seperti pengalaman belajar dan tugas
rumah, sehingga kemampuan literasi sains siswa masih kurang dalam pelajaran materi sistem ekskresi.
Maka gambaran atau profil kemampuan literasi sains siswa pada pembelajaran sistem ekskresi masih
termasuk kedalam kategori ‘cukup’ dengan rata-rata keseluruhan 60%.

PROFIL KEMAMPUAN LITERASI SAINS SISWA PADA PEMBELAJARAN SISTEM EKSKRESI. Anilia Ratnasari*1,
Sumini2. Seminar Nasional Pendidikan, FKIP UNMA 2019. “Literasi Pendidikan Karakter Berwawasan
Kearifan Lokal pada Era Revolusi Industri 4.0”. 8 Agustus 2019

Apabila kita melihat fakta di lapangan; para siswa kita sangat pandai menghafal, tetapi kurang terampil
dalam mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini mungkin terkait dengan kecenderungan
menggunakan hafalan sebagai wahana untuk menguasai ilmu pengetahuan, bukan kemampuan berpikir.
Tampaknya pendidikan sains di Indonesia lebih menekankan pada abstract conceptualization dan kurang
mengembangkan active experimentation, padahal seharusnya keduanya seimbang secara proporsional

(Pusbuk, 2003). Pusat Perbukuan Depdiknas. 2003. “Standar Penilaian Buku Pelajaran Sains” (Online).
Tersedia: http/www.dikdaski.go.id. Dikases pada 21 November 2018.

2017 jakarta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia menyebutkan faktor yang dapat meningkatkan
literasi sains siswa indonesia adalah infrastruktur penunjang kegiatan belajar-mengajar, seperti
ketersediaan listrik serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di sekolah-sekolah. Kedua sarana
tersebut berperan penting dalam mencapai tujuan pendidikan, antara lain, memperluas akses,
meningkatkan kualitas pendidikan, serta memudahkan dan mempercepat akses terhadap sumber ilmu
pengetahuan.

Secara keseluruhan, berdasarkan ICT Development Index (indeks perkembangan TIK) yang diterbitkan
International Telecommunication Union, posisi Indonesia pada tingkat global berada pada peringkat ke-
108. AIPI Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045
Sedangkan Ekohariadi pada tahun 2009 dalam penelitiannya secara mengejutkan menjelaskan bahwa
ada hubungan negatif antara keaksaraan ilmiah dan strategi pengajaran dan pembelajaran, faktor
penting yang mempengaruhi melek huruf ilmutif benar-benar timbul dari sikap terhadap sains, seperti
tingkat self-efficacy, minat, dan Keingintahuan tentang sains [9]. Kemandirian self-company atau yang
biasa disebut sebagai kepercayaan diri adalah kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk
mengatur, mengendalikan, dan melakukan serangkaian perilaku untuk mencapai hasil yang diinginkan
yang dapat mempengaruhi aktivitas seseorang.

Ekohariadi 2009 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Literasi Sains Siswa Indonesia Berusia 15 Tahun J.
Pendidik. Dasar. 10 1

Self-Efficacy: Its Correlation to the Scientific-Literacy of Prospective Physics Teacher To cite this article: S
Latifah et al 2019. Journal of Physics: Conf. Series 1155 (2019) 012015IOP Publishing doi:10.1088/1742-
6596/1155/1/012015

Hairida (2017: 54) juga menyebutkan bahwa peserta didik dengan tingkat kemandirian diri untuk
membuatnya keluar dari gangguan dalam proses belajar sehingga pembelajaran menjadi efektif.

Hairida. (2017). Pengembangan Instrumen untuk Mengukur Self-efficacy Siswa dalam Pembelajaran
Kimia. EDUSAINS, 58.

Dalam penelitian inj

Kelompok tes mendapat penguasaan tertinggi pada tingkat 1 dan 5, dan yang terendah di level 6. Pada
tingkat 1, semua kelompok uji mendapat hasil yang biasa-biasa saja, kecuali untuk umum GSSS (High)
dan IHSS pribadi (rendah). Hasil ini diadimasi pada hasil PISA siswa Indonesia pada tahun-tahun
sebelumnya, yang berada di kategori rendah dan mayoritas berada pada tingkat 1. Level 1 Line Location
yang lebih sederhana berarti pemahaman siswa terbatas dan hanya mampu menerapkan pemahaman
mereka dalam situasi kecil dan / atau akrab. Artinya hanya bisa menawarkan penjelasan ilmiah
berdasarkan fakta yang diberikan (OECD, 2007). Toharudin, Hendrawati, dan Rustaman (2011),
menjelaskan keterampilan melek huruf ilmiah siswa Indonesia terbatas untuk mengidentifikasi fakta
dasar, namun mereka tidak dapat mengkomunikasikan pemahaman mereka, saling menghubungkan
konsep, dan menerapkan pemahaman mereka terhadap topik ilmiah. Pada tingkat 2, secara umum,
semua kelompok mendapat hasil dalam kategori rendah. Sedangkan pada tingkat 3 dan 4, semua
kelompok menunjukkan hasil dalam kategori rendah. Hasil ini menunjukkan penguasaan siswa melek
huruf di tingkat 2, 3, dan 4, berada pada kategori rendah. Untuk Level 5, semua kelompok menunjukkan
hasil yang biasa-biasa saja. Tapi siswa dari GMS publik dan IHSS pribadi mendapat hasil tinggi, dan untuk
IHSS publik mendapat kategori rendah. Pada tingkat ini, semua kelompok mendapatkan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan tingkat lainnya. Ini adalah sebuah anomali, mengingat penguasaan rendah
pada level 2, 3, dan 4. Odja dan Payu (2014), berpendapat bahwa penguasaan literasi ilmiah yang
rendah adalah karena mereka tidak digunakan untuk memecahkan masalah atau pertanyaan yang
terkait dengan keterampilan proses sains. Anomali untuk tingkat 5 terjadi karena pertanyaan yang diai
akrab bagi para siswa. Pertanyaannya tentang membaca dan menyimpulkan grafik. Slamet dan Maarif
(2014) berpendapat bahwa salah satu jenis tes yang paling familiar bagi siswa tersebut menyimpulkan
dan menganalisis grafik, diagram, atau gambar. Item pertanyaan untuk menilai tingkat 5 adalah
pertanyaan tidak. 7. Pertanyaan itu menilai penguasaan siswa di tingkat 5 dan kompetensi C. Dari
pertanyaan itu kita dapat menilai keterampilan siswa untuk menganalisis data kompleks dan
menemukan kesimpulan yang benar (OECD, 2016). Pada tingkat 6, sebagian besar kelompok tes
mendapat hasilnya di tingkat rendah, kecuali untuk siswa IHSS pribadi (biasa-biasa saja). Menurut Pisa
(OECD, 2016) pada siswa tingkat 6 harus dapat menerapkan gagasan ilmiah interdisipliner dan konsep
yang saling terkait. Mereka juga mampu membuat hipotesis menjelaskan kejadian dan proses ilmiah,
dan mengatur prediksi ilmiah menggunakan pengetahuan prosedural dan epistemik. Dalam menafsirkan
data dan bukti, mereka dapat membedakan antara informasi yang relevan dan tidak relevan dan dapat
menggunakan pengetahuan di luar sekolah. Mereka juga dapat membedakan argumen ilmiah dan non-
ilmiah dan dapat mengevaluasi desain untuk percobaan, studi ilmiah, dan simulasi ilmiah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penguasaan siswa tingkat skill literasi tingkat 6 yang rendah kecuali
untuk siswa IHSS pribadi (biasa-biasa saja).

Penguasaan siswa kompetensi (a) (menjelaskan fenomena secara ilmiah) dapat diklasifikasikan sangat
rendah. Penguasaan kompetensi (a) di kelompok uji mahasiswa SKRA milik negara dikategorikan rendah.
Penguasaan siswa kompetensi (B) (mengevaluasi dan merancang penyelidikan ilmiah) sangat rendah,
kecuali untuk kelompok uji IHSS pribadi (LOW). Penguasaan siswa kompetensi (C) menafsirkan bukti dan
data ilmiah) sangat rendah, kecuali dalam kelompok tes phestional GRSS dan swasta IHSS pribadi.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan penguasaan siswa kompetensi melelahkan ilmiah sangat
rendah.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa status sekolah tersebut tidak menjadi faktor penentuan penguasaan
terhadap literasi ilmiah. Kurnia Et.al. (2014) menyatakan beberapa faktor mempengaruhi penguasaan
melek huruf ilmiah, seperti sistem kurikulum dan pendidikan, pemilihan model pengajaran dan metode
oleh guru, fasilitas pembelajaran, materi pembelajaran, sumber belajar, dll. Jika kita mengkategorikan
tingkat penguasaan melelahkan ilmiah, kita dapat melihat tren penguasaan siswa.

Ayuningtyas (2016) Dalam penelitian mereka juga menemukan kompetensi melelahkan ilmiah siswa
diklasifikasikan sangat rendah untuk kepribadian kesembilan Kabupaten Kedaton di Kota Bandar
Lampung. Rendahnya penguasaan melek huruf di antara siswa SMA di Kota Surakarta sesuai dengan
pendapat dari Hobson (2008) dan ODJA dan PAYU (2014) yang negara bagian, melelahkan secara ilmiah,
literasi ilmiah masih rendah. Studi lain oleh Sudarisman dkk. (2014) mengungkapkan keaksaraan ilmiah
siswa di beberapa sekolah di kota Surakarta masih tidak mengesankan. Literasi ilmiah dapat ditingkatkan
melalui pendidikan berbasis sains (Holbrook & Rannikmae, 2016). Pendidikan sains mempertimbangkan
bahwa pendidikan diperoleh melalui sains, bukan sebaliknya. Holbrook dan Rannikmae (2016)
menyatakan pendidikan sains termasuk memahami keterampilan sains, intelektual dan komunikasi, dan
karakter siswa. Penerapan pendidikan sains untuk meningkatkan keaksaraan ilmiah sangat tergantung
pada kurikulum yang ditugaskan oleh pemerintah.
Di Indonesia, kurikulum nasional 2013 telah dilaksanakan, dengan proses pembelajaran yang
menekankan keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran untuk pengetahuan pengetahuan
independen (Shafa, 2014). Namun, penerapan kurikulum tersebut dalam situasi sebenarnya belum
terlihat optimal. Beberapa sekolah belum siap untuk menerapkan kurikulum tersebut (Permanasari,
2014) yang mengakibatkan penguasaan pelatihan ilmiah siswa yang rendah

Permana, F. H., & Chamisijatin, L. (2019). Projectbased learning through edmodo: improving critical
thinking and histology concepts. Biosfer, 12(1), 58–69. https://doi.org/10.21009/biosferjpb.v12n1.58-69

Kurnia, F., Zulherman, & Fathurohman, A. (2014). Analisis Bahan Ajar Fisika SMA Kelas XI di Kecamatan
Indralaya Utara Berdasarkan Kategori Literasi Sains. Jurnal Inovasi Dan Pembelajaran Fisika, 1(1), 43–47

Permasalahan sains yang terdapat dikehidupan sehari-hari dapat diselesaikan apabila seseorang
memahami dan dapat mengaplikasikan cara berpikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah [17]. Jadi,
kemampuan berpikir tingkat tinggi pada dasarnya selalu linear dengan kemampuan literasi sains. Namun
dalam buku tersebut diketahui kurang memfasilitasi peserta didik untuk melakukan penyelidikan ilmiah.
Buku pelajaran mempengaruhi aktivitas belajar peserta didik, maka jelas bahwa jika dalam buku
pelajaran kurang mengarahkan aktivitas peserta didik untuk melatih keterampilan ilmiah maka akan
berdampak terhadap kemampuan berfikir ilmiah peserta didik dan kompetensi literasi sain peserta
didik.

J. Pijar MIPA, Vol. xx No. x. 2019 ISSN 1907-1744 (Cetak) DOI: 10.29303/ jpm.v14i2.1233 ISSN 2410-1500
(Online) ANALISIS CAKUPAN LITERASI SAINS DALAM BUKU PELAJARAN BIOLOGI PEGANGAN SISWA
KELAS XI KURIKULUM 2013 Endang Lasminawati*, Nur Lestari, Dadi Setiadi, A Wahab Jufri.

Anda mungkin juga menyukai