Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN MATERIAL STONE MATRIX ASPHALT ASBUTON

BERDASARKAN KRITERIA DEFORMASI PERMANEN


(A STUDY OF STONE MATRIX ASPHALT ASBUTON MATERIAL BASED
ON PERMANENT DEFORMATION CRITERION)
Nyoman Suaryana

Pusat Litbang Jalan dan Jembatan


Jalan A.H. Nasution no.264, Bandung, 40294
e-mail: nyoman.suaryana@pusjatan.pu.go.id
Diterima : 05 Juni 2012 ; Disetujui : 06 Agustus 2012

ABSTRAK

Pada tahun 70-an di Indonesia mulai digunakan material Asphaltic Concrete (AC), namun penggunaan AC
dengan tebal minimum pada perkerasan yang belum mantap menimbulkan kerusakan berupa retak-retak.
Selanjutnya pada pertengahan tahun 80-an, diperkenalkan HRS yang mempunyai kelenturan yang tinggi,
selaput aspal yang lebih tebal. Permasalahan retak hilang, namun muncul masalah baru dengan terjadinya
deformasi permanen, khususnya pada jalan dengan lalu-lintas berat. Pengalaman tersebut menunjukkan
perlunya dikembangkan material yang dapat mengatasi masalah deformasi permanen, tanpa harus kehilangan
durabilitas. Salah satu material yang dikembangkan di Indonesia adalah Stone Matrix Asphalt Asbuton (SMAB)
yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari Split Mastic Asphalt atau Stone Matrix Asphalt (SMA) dengan
memanfaatkan bahan lokal aspal buton. Metodologi penelitian dilaksanakan dengan cara melakukan kajian
literatur dan selanjutnya melaksanakan pengujian empiris dan simulasi di laboratorium. Hasil penelitian
menunjukkan pencampuran yang sesuai untuk SMAB adalah dengan cara-basah (urutan pencampuran adalah
agregat-aspal-Asbuton), dan apabila digunakan pemadat Marshall jumlah pemadatan yang disarankan adalah
2 x 50 tumbukan meskipun untuk lalu-lintas berat. Hasil pengujian menunjukkan penambahan Asbuton dapat
mengurangi terjadinya pengaliran aspal sehingga dapat menggantikan fungsi serat selulosa sebagai bahan
penstabil. Penambahan Asbuton juga meningkatkan ketahanan campuran terhadap deformasi permanen. Dalam
penelitian ini telah dikembangkan rumus pendekatan untuk menghitung kadar aspal optimum SMAB.

Kata kunci: SMA, SMAB, Asbuton , serat selulosa, pengaliran aspal, deformasi permanen

ABSTRACT

In the 70's, Asphaltic Concrete (AC) material was innitially used in Indonesia, but the use of AC with the
minimum thickness in unstable pavement caused damage in the form of cracks. Later in the mid-80s, high
flexibility and thicker asphalt film of HRS was introduced. The problem of cracks disappeared, but new
problems arose with the occurrence of permanent deformation, especially in the road with heavy traffic. Such
experience indicated the need to develop materials that can overcome the problem of permanent deformation,
without loss of durability. The material that was developed in Indonesia is Stone Matrix Asphalt Asbuton
(SMAB) which is a further development of the Split Mastic Asphalt or Stone Matrix Asphalt (SMA) with utilizing
local material Asbuton (Buton asphalt). The research methodology carried out was literature study and
followed by empirical and simulation testing in the laboratory. The results showed that the appropriate method
of mixing SMAB is wet-method (the order of mixing is aggregate-asphalt-Asbuton), and when using Marshall’
compactor , the number of recommended compaction is 2 x 50 blows even for heavy traffic. Test results
showed that the addition of Asbuton can reduce the occurrence of draindown asphalt so that it can replace the
function of fiber cellulose as stabilizers. The addition of Asbuton also increase the resistance to permanent
deformation. The study also developed a formulation approach for calculating the optimum bitumen content for
SMAB.

Keywords: SMA, SMAB, Asbuton, fiber cellulose, asphalt draindown, permanent deformation

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 66


PENDAHULUAN 1. Kompresi arah vertikal; terjadi karena masih
tingginya air void atau kepadatan yang
Pada tahun 70-an di Indonesia mulai kurang pada lapisan perkerasan (densifikasi-
digunakan material Asphaltic Concrete (AC), perubahan volume).
namun penggunaan AC dengan tebal minimum 2. Geser arah lateral; terjadi pada campuran
pada daerah yang belum mantap sebagai beraspal yang mempunyai kekuatan geser
implikasi keterbatasan dana menimbulkan relatif lemah (geser-perubahan bentuk).
kerusakan berupa retak-retak. Kepekaan AC
terhadap ketelitian pelaksanaan dan pelapukan Model deformasi permanen akibat
selaput aspal diperkirakan merupakan perubahan volume (densifikasi) dan akibat
penyumbang terbesar dalam kerusakan tersebut. perubahan bentuk (geser) mempunyai prilaku
Selanjutnya pada pertengahan tahun yang berbeda, terutama berkaitan dengan
80-an, diperkenalkan HRS yang mempunyai sensitivitas terhadap temperatur dan kecepatan
kelenturan yang tinggi, selaput aspal yang lebih pembebanan.
tebal, dan lebih toleran terhadap ketelitian Hasil investigasi pada 15 campuran yang
pelaksanaan. Permasalahan retak hilang, namun digunakan pada SHRP menunjukkan deformasi
muncul masalah baru dengan terjadinya akibat perubahan bentuk jauh lebih dominan
deformasi permanen. Kegagalan memenuhi dibandingkan akibat perubahan volume.
persyaratan gradasi senjang dan persyaratan Hasil ini serupa dengan hasil dari
kadar aspal diduga menjadi penyebab pengujian menggunakan Heavy Vehicle
kegagalan tersebut. Simulator (HVS) di University of California
Pengalaman di atas dan dengan makin sebagai bagian dari proyek Caltrans APT
beratnya beban lalu-lintas yang harus dilayani, dimana diperoleh hasil bahwa perubahan
menunjukkan perlunya dikembangkan material bentuk (geser) memberikan kontribusi yang
yang dapat mengatasi masalah deformasi utama pada deformasi permanen, dibandingkan
permanen, tanpa harus mengorbankan faktor dengan perubahan volume (densifikasi).
keawetan dan ketahanan campuran terhadap Hasil penelitian menunjukkan bahwa
retak lelah. Salah satu material yang permanen deformasi pada temperatur tinggi
dikembangkan di Indonesia adalah Stone terjadi pada permukaan perkerasan, yaitu
Matrix Asphalt Asbuton (SMAB) yang sampai kedalaman 75 – 100 mm dan
merupakan pengembangan lebih lanjut dari kedalaman 100 – 150 mm.
Split Mastic Asphalt atau Stone Matrix Asphalt
(SMA) dengan memanfaatkan bahan lokal aspal Stone Matrix Asphalt (SMA)
buton. Campuran Split Mastic Asphal atau Stone
Penelitian mengenai material SMA yang Matrix Asphalt (SMA) diperkenalkan pertama
lebih tahan terhadap deformasi permanen kali oleh Dr. Zichner, seorang manajer
menjadi penting mengingat deformasi laboratorium untuk pelaksanaan jalan di
permanen terutama pada jejak roda sangat Strabag Bau AG, Jerman pada tahun 1968 dan
membahayakan pengguna jalan karena dapat memperoleh hak paten di Jerman tahun 1969.
merubah arah kendaraan dan menimbulkan SMA dimaksudkan untuk memecahkan masalah
genangan air sehingga muncul efek kerusakan yang terjadi pada lapisan aus
hydroplanning. (wearing course) akibat dari roda bertatah
(studded tires), namun mempunyai durabilitas
yang baik sehingga umur layanannya menjadi
KAJIAN PUSTAKA panjang. Untuk maksud tersebut maka dibuat
campuran dengan proporsi agregat kasar yang
Deformasi permanen banyak sehingga membentuk rangka (skeleton)
Mekanisme deformasi permanen dapat agregat yang kuat. Sementara rongga yang
dibedakan menjadi dua: terbentuk diantara agregat kasar tersebut diisi

67 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)
dengan mastik, yaitu campuran antara aspal, Persyaratan material SMA secara umum
agregat halus dan bahan pengisi. Proporsi mengacu pada EN 13108-5 (European Standard
campuran yang digunakan adalah: 2005) dan standar Amerika (AASHTO 2008).
1. Agregat kasar 5-8 mm : 70 % Persyaratan untuk agregat dan gradasi SMA
2. Pasir pecah 0-2 mm : 12 % diperlihatkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
3. Bahan pengisi : 10,5 % SMA mengandalkan kekuatan dari rangka
4. Aspal (B65) : 7,5 % (skeleton) agregat kasar, dan rongga
diantaranya diisi dengan mastik dengan kadar
Dalam campuran tersebut tidak aspal yang tinggi untuk memberikan durabilitas
digunakan agregat ukuran 2 – 5 mm, sehingga yang baik. Akibat kadar aspal yang tinggi
menghasilkan gradasi yang senjang. tersebut maka ada kecenderungan aspal akan
SMA berkembang pesat di Eropa setelah mengalir (draindown) atau terpisah sebagian
dipublikasikannya standar teknis Jerman untuk pada saat penyimpanan di silo (jika ada) dan
SMA (ZTV bit-StB 84). Sementara pengangkutan. Pada saat ini dikenal dua cara
perkembangan SMA di luar Eropa, terutama di untuk mengurangi pengaliran aspal yaitu:
Amerika Serikat dimulai awal tahun 1990-an, 1. Bahan tambah yang menyerap sebagian
dengan diperkenalkannya metode standar aspal (binder absorbers). Bahan tambah ini
Amerika (AASHTO) untuk merencanakan diantaranya adalah selulosa, mineral fiber,
campuran SMA. Keberhasilan SMA di Amerika textile dan plastik. Diantara bahan tambah
Utara memicu penggunaan SMA dibeberapa tersebut yang paling umum digunakan
negara lain, seperti Australia, New Zealand dan adalah serat selulosa.
China. 2. Bahan tambah yang meningkatkan
Kelebihan dan kekurangan SMA secara kekentalan aspal (viscosity boosters). Bahan
umum adalah seperti berikut (K. Blazejowski tambah ini diantaranya adalah polimer.
2011):
1. Umur pelayanan yang tinggi. Persyaratan pengaliran dan campuran
2. Ketahanan yang tinggi terhadap deformasi SMA diperlihatkan pada Tabel 3.
sebagai akibat dari kandungan agegat kasar
yang besar dan membentuk rangka agregat SMA di Amerika Serikat
yang kuat. SMA mulai dikembangkan di Amerika
3. Ketahanan terhadap retak lelah yang baik Serikat pada tahun 1990-an, setelah beberapa
karena kadar aspal yang tinggi. ahli Amerika melakukan kunjungan ke Eropa.
4. Makro tekstur yang baik dan mengurangi Berdasarkan hasil evaluasi pemanfaatan SMA di
cipratan air akibat kendaraan pada saat Amerika yang dilakukan oleh NCAT (Ray
permukaan basah. Brown et al 1997), dari 86 proyek yang
5. Mengurangi kebisingan. menggunakan SMA diperoleh kesimpulan
antara lain: 1) lebih dari 90 % perkerasan
Disamping kelebihan seperti di atas, SMA mempunyai alur kurang dari 4 mm, 2) retak
mempunyai kekurangan yaitu: bukan menjadi masalah besar, 3) tidak terbukti
1. Biaya relatif lebih mahal dibanding terjadinya pelepasan butir (ravelling).
campuran beraspal konvensional, sekitar 10 Spot aspal (fat spot) menjadi problem
– 20 % sebagai akibat dari penggunaan utama sebagai akibat segregasi, pengaliran
kadar aspal yang tinggi dan penambahan (draindown), kadar aspal yang tinggi, atau
bahan penstabil. penstabil (stabilizer) yang tidak memadai (Ray
2. Resiko munculnya spot – spot aspal pada Brown et al 1997). Penstabil yang digunakan
permukaan sebagai akibat kesalahan atau untuk mencegah terjadinya pengaliran
variasi selama produksi atau pelaksanaan. (draindown) umumnya berupa serat (fiber) dan
polimer.

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 68


Tabel 1. Persyaratan agregat SMA
Jenis Agregat
No Jenis Pengujian Agregat Agregat Satuan
Kasar Halus
1 Abrasi Max. 30 - %
2 Partikel Pipih dan Lonjong Max. 2 - %
(5 : 1)
3 Soundness Max. 15 Max. 15 %
4 Presentase Partikel Pecah %
- Satu muka Min. 100
- Dua muka Min. 90
5 Batas Cair %
6 Indeks Plastis Non %
Plastis
(Sumber: AASHTO 2008)

Tabel 2. Persyaratan gradasi SMA


Ukuran Spesifikasi Gradasi
Saringan
AASTHO European Standard EN 13108 - 5
Inc mm M 325-08 Germany Slovakia Sweden Poland
Min Maks Min Maks Min Maks Min Maks Min Maks
¾” 19,000 100 100 -
16,000 90 100 100 100 100 100 100 100 100 100
½” 12,500 - - - - - - - -
11,200 90 100 90 100 90 100 90 100
3/8” 9,500 50 80
8,000 50 65 - - 35 60 50 65
5,600 35 45 35 45
#4 4,750 20 35
#8 2,360 16 24
2,000 20 30 20 35 19 30 20 30
#16 1,180
#30 0,600
#50 0,300
#100 0,150
#200 0,075 8 11
0,063 8 12 6 12 9 13 8 12
(Sumber: AASHTO 2008 dan EN 2005)

Tabel 3. Persyaratan campuran SMA


Spesifikasi Campuran SMA
Karakteristik
AASHTO European Standard EN 13108 - 5
Campuran
M 325-08 Germany Slovakia Sweden Poland
Ketebalan Lapisan, mm - 35 - 40 30 - 50 24 - 44 35 - 50
Metode Pemadatan Gyropac Marshall Marshall Marshall Marshall
Energi Pemadatan 100 50 50 50 50
Min Maks Min Maks Min Maks Min Maks Min Maks
Kadar Aspal, % 6,0 - 6,6 - 6,4 - 6,0 - 6,0 -
VIM, % 4,0 2,5 3,0 2,5 4,5 2,0 3,5 3,0 4,0
VMA, % 17,0 - - - - - - - - -
VFB, % - - Delared 74,0 83,0 - - - -
VCA mix, % Less than VCA drc
Draindown aspal, % - 0,3 - - - 0,3 - - - 0,3
TSR, % 80,0 - - - 80,0 - - - 90,0 -
(Sumber: AASHTO M 325-08 dan EN 13108-5)

69 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)
SMA di Indonesia HIPOTESIS
Pemakaian SMA di Indonesia
diperkenalkan pada tahun 90-an, namun Asbuton butir dapat digunakan sebagai
dianggap kurang berhasil. Kegagalan terjadi bahan penstabil untuk mengurangi pengaliran
karena sulitnya mencampur serat selulosa aspal dan Stone Matrix Asphalt Asbuton
secara merata dalam campuran SMA. (SMAB) lebih tahan terhadap deformasi
Dengan perkembangan teknologi permanen dibandingkan dengan SMA.
pengemasan serat selulosa, pada tahun 2010
Pusjatan telah melaksanakan uji coba skala
penuh teknologi SMA dengan serat selulosa METODOLOGI
yang dikemas berbentuk pelet pada ruas jalan
Jatibarang – Palimanan (Jawa Barat), dengan Untuk mencapai tujuan penelitian, pada
tebal lapisan 5 cm padat. Sampai dengan saat tahap awal dilakukan kajian pustaka untuk
ini kondisi SMA tersebut masih dalam kondisi mengkaji teknologi SMA yang digunakan di
baik (Iriansjah 2010). beberapa negara. Selanjutnya dilaksanakan
pengujian karakteristik bahan, karakteristik
Asbuton volumetrik dan karakteristik Marshall untuk
Seperti telah diketahui, terdapat dua jenis menentukan kadar aspal optimum. Pengujian
aspal alam yaitu aspal alam danau (lake pengaliran (draindown) dilaksanakan untuk
asphalt) seperti yang terdapat di Kanada dan melihat efektifitas penggunaan bahan penstabil
aspal alam batuan (rock asphalt) seperti Asbuton butir dibandingkan dengan serat
terdeposit di Indonesia. Aspal alam di selulosa. Untuk melihat ketahanan terhadap
Indonesia terdeposit di Pulau Buton Sulawesi deformasi permanen digunakan alat uji simulasi
Tenggara dan biasa disebut dengan Asbuton wheel tracking.
singkatan dari Aspal Batu Buton.
Secara umum dapat dibedakan dua jenis
Asbuton dengan karakteristik berbeda yaitu HASIL DAN ANALISIS
bersifat keras seperti dari Kabungka dan
bersifat relatif lunak dari Lawele. Asbuton Pembuatan rancangan campuran
butir dari Kabungka dikenal dengan istilah Metode rancangan campuran dan
Buton Granular Asphlat (BGA), mempunyai persyaratan untuk SMA terdiri dari beberapa
ukuran butir maksimum 1,16 mm dan penetrasi variasi, namun secara umum dapat dipisahkan
sekitar 5 dmm dengan kadar aspal sekitar 20 %. menjadi dua, yaitu metode yang berdasarkan
Sementara Asbuton butir dari Lawele dikenal standar Eropa (EN 2005) dan berdasarkan
dengan istilah Lawele Granular Asphalt standar Amerika (AASHTO 2008). Pada
(LGA), mempunyai ukuran butir maksimum 9,4 penelitian ini metode rancangan campuran dan
mm dengan penetrasi sekitar 50 dmm dan kadar persyaratan yang digunakan mengacu kepada
bitumen sekitar 30 %. dua metode tersebut.
Menurut hasil penelitian di Pusjatan,
penambahan Asbuton butir dengan proporsi Karakteristik aspal
yang tepat dalam campuran beraspal Asphaltic Aspal yang digunakan adalah aspal
Concrete (AC) akan meningkatkan ketahanan minyak penetrasi 60 yang diproduksi oleh PT.
campuran tersebut terhadap deformasi Pertamina (Persero). Hasil pengujian
permanen tanpa mengurangi ketahanan karakteristik aspal minyak pen 60 diperlihatkan
terhadap lelah. pada Tabel 4.

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 70


Tabel 4. Karakteristik aspal pen 60

Hasil Pengujian
No Jenis Pengujian Metode Pengujian Satuan
Aspal Pen 60

1 Penetrasi pada 25oC, 100 g, 5 detik SNI 06-2456-1991 62 0,1 mm


o
2 Titik lembek SNI 06-2434-1991 50,3 C
o
3 Titik nyala SNI 06-2433-1991 317 C
o
4 Daktilitas pada 25 C, 100 g, 5 cm/menit SNI 06-2432-1991 >140 Cm
5 Berat jenis aspal SNI 06-2441-1991 1,035 -
6 Kelarutan dalam C2HCl3 SNI 06-2438-1991 99,52 % berat
7 Kehilangan berat (dengan TFOT) SNI 06-2440-1991 0,0041 % berat
8 Penetrasi setelah TFOT SNI 06-2456-1991 76 % asli
o
9 Titik lembek setelah TFOT SNI 06-2434-1991 51,3 C
10 Daktilitas setelah TFOT SNI 06-2432-1991 >140 Cm
o
11 Temperatur pencampuran AASTHO-27-1990 153 C
o
12 Temperatur pemadatan AASTHO-27-1990 142 C

Tabel 5. Karakteristik Asbuton LGA (hasil pengujian bitumen Asbuton tanpa mineral)

Hasil Pengujian
No. Jenis Pengujian Metode Pengujian Satuan
Asbuton Butir

1 Kadar aspal SNI 06-2456-1991 23,3 0,1 mm


o
2 Penetrasi pada 25 C, 100 g, 5 detik SNI 06-2456-1991 41 0,1 mm
o
3 Titik lembek SNI 06-2434-1991 58,1 C
o
4 Titik nyala (COC) SNI 06-2433-1991 - C
5 Daktilitas pada 25oC, 5 cm/menit SNI 06-2432-1991 >140 Cm
6 Berat jenis aspal SNI 06-2441-1991 1,125 -
7 Berat jenis mineral Asbuton SNI 1964-2008 2,636 -
8 Kelarutan dalam C2HCl3 SNI 06-2438-1991 - % berat
9 Kehilangan berat (dengan TFOT) SNI 06-2440-1991 3,96 % berat
10 Penetrasi setelah TFOT SNI 06-2456-1991 67,8 % asli
o
11 Titik lembek setelah TFOT SNI 06-2434-1991 68,6 C
12 Daktilitas setelah TFOT SNI 06-2432-1991 25 Cm
13 Analisa saringan (mineral Asbuton) SNI 03-1968-1991
No.4 100 % lolos
No.8 98 % lolos
No.16 95 % lolos
No.30 91 % lolos
No.50 83 % lolos
No.100 67 % lolos
No.200 50 % lolos

71 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)
Karakteristik Asbuton Karakteristik serat selulosa
Asbuton yang digunakan berupa Asbuton Serat selulosa yang digunakan berbentuk
butir yang diproduksi oleh PT. BAI (Buton pelet dan merupakan produksi dari Jerman
Asphalt Indonesia), berupa Asbuton butir LGA. dengan nama Arbocell. Karakteristik dari serat
Asbuton ini mempunyai nilai penetrasi yang selulosa tersebut berdasarkan informasi
relatif tinggi yaitu termasuk dalam klasifikasi produsen, adalah sebagai berikut:
aspal pen 40/60. Penggunaan Asbuton dengan 1. Panjang serat : 0,25 inci
penetrasi tinggi tersebut memungkinkan 2. Lolos saringan
pemakaian yang lebih banyak, sementara 3. No. 20 : 85% (± 10%)
mineral yang terkandung di dalamnya dapat 4. No. 40 : 40% (± 10%)
bermanfaat untuk sebagai bahan pengisi (filler) 5. No. 140 : 30% (± 10%)
dalam SMA yang kebutuhannya cukup tinggi. 6. PH : 7,5 (± 1,0)
Hasil pengujian karakteristik Asbuton 7. Absorpsi minyak : 5,0 (± 1,0) kali berat
diperlihatkan pada Tabel 5. serat selulosa (fiber)
8. Kadar air : maksimal 5%
Karakteristik agregat
Agregat yang digunakan berasal dari
daerah Sewo, Kabupaten Subang Provinsi Jawa Gradasi campuran
Barat. Karakteristik agregat diperlihatkan pada Gradasi campuran yang digunakan
Tabel 6. mengacu pada spesifikasi AASHTO M 325-08
dan EN 13108-5. Mengingat adanya perbedaan
ukuran saringan yang tersedia, maka dilakukan
interpolasi dengan hasil seperti diperlihatkan
pada Gambar 1.

Tabel 6. Karakteristik agregat

Hasil Pengujian
No Jenis Pengujian Metode Pengujian Agregat Agregat Agregat Satuan
Kasar Sedang Halus
1 Keausan agregat dengan Mesin Abrasi SNI 03-2417-1991 16,91 - - %
2 Setara pasir SNI 03-4428-1997 - - 74,2 %
3 Berat jenis agregat kasar & penyerapan SNI 03-1969-1990
Berat jenis agregat halus & penyerapan SNI 03-1970-1990
- Berat jenis curah (bulk) 2,657 2,677 -
- Berat jenis kering permukaan jenuh (SSD) 2,695 2,706 -
- Berat jenis semu (apparent) 2,762 2,758 -
- Penyerapan 1,434 1,092 %
4 Kadar Rongga Agregat Halus SNI 03-6877-2002 - - 45,16 %
5 Persentase Partikel Pecah ASTM D 5821-01 100/100 100/100 - %
6 Kelekatan Agregat terhadap Aspal SNI 03-2439-1991 - 95 + - %
7 Agregat Kasar Pipih dan Lonjong ASTM D 4791-05 0,0 - - %
8 Kekekalan Bentuk SNI 03-3407-1994 1,04 1,54 1,73 %
9 Agregat Lolos Saringan No.200 SNI 03-4142-1996 0,7 4,0 10,2 %
10 Analisa Saringan SNI 03-1968-1990
½” 100 %
3/8” 77,5 100,0 100,0 %
No.4 1,5 38,9 99,4 %
No.8 1,2 11,5 74,9 %
No.16 1,1 85,0 49,4 %
No.30 1,1 6,2 32,9 %
No.50 1,0 5,4 21,7 %
No.100 0,9 4,4 14,6 %
No.200 0,8 3,4 9,7 %

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 72


Gambar 1. Gradasi SMA dan SMAB

Metode pencampuran seperti AC dipisah menjadi 35, 50 dan 75


Metode pencampuran Asbuton kedalam tumbukan disesuaikan dengan beban lalu lintas
campuran dapat dengan cara basah atau cara rencana. Namun pada material SMA mengacu
kering, urutan pencampuran dari dua metode pada spesifikasi Eropa (EN 13108-5) dan
tersebut adalah sebagai berikut: NAPA QIS 122, jumlah tumbukan yang
1. Cara basah: Agregat dipanaskan, disarankan adalah 2 x 50 tumbukan Marshall
masukkan serat selulosa, selanjutnya atau 100 putaran gyratory. Penelitian di
dimasukkan aspal panas dan terakhir beberapa negara (Boratynski and Krzeminiski
dimasukkan Asbuton butir. 2005, Brown and Haddock 1997) menunjukkan
2. Cara kering: Agregat dipanaskan, pemadatan yang berlebihan menyebabkan
masukkan serat selulosa, selanjutnya agregat pecah dan perubahan volume yang
dimasukkan Asbuton butir dan terakhir merugikan.
aspal panas.

Hasil uji coba dengan dua metode


pencampuran tersebut diperlihatkan pada
Gambar 2. Jumlah contoh uji yang digunakan
12 buah pada kadar Asbuton 12,5 %. Waktu
pencampuran yang dibutuhkan sampai
campuran terlihat merata, untuk cara basah
rata-rata adalah 2,7 menit sementara untuk cara
kering rata-rata 3,5 menit. Penurunan
temperatur terlihat jelas pada material SMA
yang mengunakan Asbuton dan sebagai
pembanding diperlihatkan penurunan
temperatur pada AC. Hasil tersebut
Gambar 2. Pengaruh metode pencampuran
menunjukkan metode pencampuran dengan cara
basah lebih mudah dibandingkan dengan cara
Pada penelitian yang dilakukan,
kering.
meskipun terjadi perubahan kepadatan seperti
diperlihatkan gambar berikut, namun pada
Energi pemadatan
tumbukan 2 x 75 secara visual nampak agregat
Energi pemadatan pada pengujian
pecah.
Marshall untuk campuran bergradasi menerus

73 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)
4. Pemilihan kadar aspal optimum
berdasarkan kriteria parameter:
- Void in Mix (VIM) dengan persyaratan
4 %.
- Void in Mineral Aggregate (VMA)
dengan syarat minimum 17 %.
- Kadar aspal campuran dengan syarat
minimum 6 %.

Hasil pengujian VCA menunjukkan


gradasi yang dipilih menghasilkan VCA mix /
Gambar 3. Pengaruh energi pemadatan terhadap VCAdrc antara 0,80 – 0,87 seperti diperlihatkan
kepadatan pada Tabel 7. Hasil ini menunjukkan dalam
campuran SMA, terjadi kontak antar partikel
Hasil rancangan berdasarkan metode agregat yang baik.
Amerika Serikat Ringkasan hasil kadar aspal optimum
Metode ini dikembangkan pada tahun yang diperoleh dan karakteristik campuran
1990-an setelah para ahli dari Amerika Serikat SMA/SMAB diperlihatkan pada Tabel 8 dan
melakukan kajian ke Eropa mengenai teknologi Tabel 9. Dalam pembuatan contoh uji
SMA. Metode perancangan campuran telah dipergunakan tumbukan Marshall 2 x 50
dipublikasikan NAPA QIS 122: SMA tumbukan, nilai ini berdasarkan pada
Guidelines dan AASHTO M325. Secara ringkas persyaratan EN 13108 – 5 dan spesifikasi SMA
langkah pembuatan rancangan campuran adalah yang digunakan di Negara bagian Amerika
sebagai berikut: Serikat.
1. Perancangan komposisi agregat yang Secara umum terlihat kadar aspal
menjamin terjadinya kontak antar partikel. optimum akan bertambah sesuai dengan
Kondisi ini terjadi jika nilai VCA (Void in bertambahnya pemakaian serat selulosa dan
Compacted Agregat) memenuhi persyaratan bertambahnya pemakaian kadar Asbuton. Nilai
(VCA mix / VCAdrc (dry rodded condition)) < 1.0. pengaliran (draindown) bertambah kecil dengan
2. Penentuan variasi kadar aspal dalam penambahan serat selulosa dan penambahan
campuran. pemakaian kadar Asbuton dalam campuran.
3. Pembuatan contoh uji dengan pemadatan
sesuai T 132 pada 100 putaran.

Tabel 7. Hasil pengujian VCA

Komposisi dalam campuran


No Jenis Pengujian 0 % Asbuton 7,5 % Asbuton 10 % Asbuton 12,5 % Asbuton
0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. 0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. 0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. 0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel.
1. Rata-rata VCA DRC 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21 43,21
2. Penentuan VCA mix
VMA 18,40 18,80 18,50 19,20 19,80 20,10 19,50 19,70 20,90 21,00 21,60 21,60
Volume total agregat
81,60 81,20 81,50 80,80 80,20 79,90 80,50 80,30 79,10 79,00 78,40 78,20
(100-VMA)
Volume agregat < No.8
16,32 16,24 16,30 16,16 16,04 15,98 16,10 16,06 15,82 15,80 15,68 15,64
(20%
VCA mix 32,72 35,04 34,80 35,36 35,84 36,08 35,60 35,76 36,72 36,80 37,28 37,44
4 Rasio VCAmix / VCA DRC 0,80 0,81 0,81 0,82 0,83 0,83 0,82 0,83 0,85 0,85 0,86 0,87

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 74


Tabel 8. Rancangan campuran SMA/SMAB gradasi AASHTO (kadar Asbuton 0 % dan 7,5 %)
Komposisi dalam campuran Spek
No
Properties Campuran 0 % Asbuton 7,5 % Asbuton (AASHTO Satuan
.
0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. 0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. M 325-08)
1 Kadar aspal optimum 6,69 6,81 6,87 7,25 7,41 7,65 min. 6 %
2 Kepadatan 2,330 2,320 2,330 2,320 2,310 2,303 - t/m3
3 Rongga dalam campuran (VIM) 4,0 4,0 4,1 4,3 4,0 4,0 4,0 %
4 Rongga terisi aspal (VMA) 78,8 79,1 79,4 79,8 79,3 79,9 - %
5 Rongga diantara min agregat (VMA) 18,4 18,8 18,5 19,2 19,8 20,1 min. 17 %
6 Stabilitas 494 503 514 550 544 530 - Kg
7 Kelelehan 3,9 4,7 5,1 4,2 4,9 4,7 - mm
8 F/B (fines/Ka.asp.efektif) 1,5 1,6 1,4 1,4 1,3 1,3
9 Marshall Quetiont 126,7 107,0 100,8 130,9 111,0 112,8 - kg/mm
10 Draindown 0,35 0,18 0,09 0,22 0,1 0,07 maks. 0,3 %

Tabel 9. Rancangan campuran SMA/SMAB gradasi AASHTO (kadar Asbuton 10 % dan 12,5 %)
Komposisi dalam campuran Spek
No
Properties Campuran 10 % Asbuton 7,5 % Asbuton (AASHTO Satuan
.
0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. 0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. M 325-08)
1 Kadar aspal optimum 7,44 7,50 8,05 8,12 8,36 8,64 min. 6 %
2 Kepadatan 2,311 2,253 2,290 2,283 2,278 2,274 - t/m3
3 Rongga dalam campuran (VIM) 4,0 4,0 4,3 4,2 4,4 4,0 4,0 %
4 Rongga terisi aspal (VMA) 79,2 79,4 79,8 79,8 79,8 79,3 - %
5 Rongga diantara min agregat (VMA) 19,5 19,7 20,9 21,0 21,6 21,8 min. 17 %
6 Stabilitas 527 576 526 499 545 519 - Kg
7 Kelelehan 4,1 4,7 5,1 4,1 4,4 4,9 - mm
8 F/B (fines/Ka.asp.efektif) 1,3 1,3 1,3 1,2 1,2 1,1
9 Marshall Quetiont 128,6 140,5 103,2 121,7 123,8 105,9 - kg/mm
10 Draindown 0,13 0,1 0,09 0,19 0,15 0,07 maks. 0,3 %

Hasil rancangan metode Jerman - Void in Mix (VIM), dengan nilai 2,5 % - 3 %
Seperti telah diketahui, SMA pertamakali - Kadar aspal minimum 6,6 %
dikembangkan di Jerman dan persyaratannya
dicantumkan pada EN 13108 – 5 dan selanjutnya Hasil pengujian rancangan campuran
berkembang dan digunakan secara luas di secara lengkap dengan metode Jerman
seluruh dunia. Langkah-langkah yang digunakan diperlihatkan pada Lampiran, ringkasan hasil
dalam pembuatan rancangan campuran dengan kadar aspal optimum yang diperoleh dan
metode tersebut adalah sebagai berikut: karakteristik campuran SMA/SMAB
1. Perancangan komposisi agregat sesuai diperlihatkan pada Tabel 10 dan Tabel 11.
dengan batas-batas gradasi SMA dalam Secara umum kadar aspal optimum yang
persyaratan. Proporsi agregat kasar berkisar diperoleh akan bertambah sesuai dengan
antara 70 % sampai dengan 80 %. bertambahnya pemakaian serat selulosa dan
2. Penentuan variasi kadar aspal dalam bertambahnya kadar Asbuton dalam campuran.
campuran. Sementara nilai pengaliran (draindown)
3. Penyiapan contoh Marshall dengan bertambah kecil dengan penambahan serat
pemadatan 2 x 50 tumbukan. selulosa dan penambahan pemakaian kadar
4. Penentuan parameter volumetrik. Asbuton dalam campuran.
5. Pemilihan kadar aspal optimum
berdasarkan kriteria:

75 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)
Tabel 10. Rancangan campuran SMA/SMAB gradasi Germany ZTV (kadar Asbuton 0 % dan 7,5 %)
Komposisi dalam campuran Spek
No. Properties Campuran 0 % Asbuton 7,5 % Asbuton (AASHTO Satuan
0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. 0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. M 325-08)
1 Kadar aspal 6,44 6,52 6,66 6,83 7,18 7,64 min. 6,6 %
2 Kepadatan 2,370 2,370 2,370 2,250 2,360 2,341 - t/m3
3 Rongga dalam campuran (VIM) 2,5 2,5 2,5 3,0 3,0 3,0 2,5 - 3,5 %
4 Rongga terisi aspal (VFB) 85,1 85,1 85,2 83,0 83,9 83,9 - %
5 Rongga diantara min agregat (VMA) 16,9 16,9 17,1 17,7 18,3 16,6 - %
6 Stabilitas 648 641 524 714 679 563 - Kg
7 Kelelehan 4,3 4,6 4,4 6,4 5,8 4,9 - mm
8 F/B (fines/Ka.asp.efektif) 1,5 1,5 1,5 1,4 1,4 1,4
9 Marshall Quetiont 150,7 139,4 119,1 111,6 117,1 114,9 - kg/mm
10 Draindown 0,32 0,11 0,09 0,13 0,11 0,08 maks. 0,3 %

Tabel 11. Rancangan campuran SMA/SMAB gradasi Germany ZTV (kadar Asbuton 10 % dan 12,5 %)
Komposisi dalam campuran Spek
No. Properties Campuran 0 % Asbuton 7,5 % Asbuton (AASHTO Satuan
0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. 0,0 sel. 0,2 sel. 0,4 sel. M 325-08)
1 Kadar aspal 7,82 7,79 8,19 8,11 8,40 8,73 min. 6,6 %
2 Kepadatan 2,330 2,358 2,310 2,260 2,304 2,380 - t/m3
3 Rongga dalam campuran (VIM) 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 2,5 - 3,5 %
4 Rongga terisi aspal (VFB) 85,2 85,2 85,2 85,3 84,9 84,0 - %
5 Rongga diantara min agregat (VMA) 19,3 19,3 20,2 19,6 20,7 21,7 - %
6 Stabilitas 640 701 560 608 583 524 - Kg
7 Kelelehan 6,3 5,4 5,8 5,1 5,9 5,9 - mm
8 F/B (fines/Ka.asp.efektif) 1,3 1,3 1,2 1,2 1,2 1,1
9 Marshall Quetiont 101,6 129,8 96,6 119,2 98,9 88,8 - kg/mm
10 Draindown 0,12 0,07 0,07 0,11 0,08 0,07 maks. 0,3 %

PEMBAHASAN Penambahan kadar Asbuton akan


menyebabkan penambahan kadar aspal optimum
Pengaruh serat dan Asbuton pada kadar yang cukup jelas. Kadar aspal dihitung secara
aspal optimum teoritis merupakan hasil penjumlahan dari aspal
Kadar aspal optimum akan bertambah minyak ditambah kadar aspal dalam Asbuton.
sesuai dengan bertambahnya serat selulosa Kenyataan yang terjadi adalah aspal dalam
dalam campuran. Hal tersebut dapat dipahami Asbuton tidak termobilisasi keluar seluruhnya
mengingat dengan penambahan serat selulosa dan sebagian aspal minyak diperlukan untuk
maka bidang yang harus terselimuti aspal menyelimuti Asbuton. Kondisi tersebut
menjadi semakin banyak, atau aspal sebagian menyebabkan kadar aspal optimum menjadi
diserap oleh serat selulosa. Penambahan kadar terlihat bertambah dengan bertambahnya
aspal optimum yang terjadi berkisar 0,1 % persentase kadar Asbuton dalam campuran.
sampai 0,3 % akibat penambahan serat selulosa Peningkatan kadar aspal optimum terjadi baik
sebanyak 0,2 %. Kondisi ini terjadi baik untuk untuk rancangan campuran metode Amerika
rancangan campuran metode Amerika maupun maupun Jerman.
Jerman, seperti diperlihatkan pada Gambar 4
dan Gambar 5.

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 76


Sementara pengaruh serat selulosa tidak
terlalu kelihatan jelas. Pada Gambar 6 terlihat
indikasi penurunan kepadatan akibat
penambahan serat selulosa, namun indikasi
tersebut tidak terlihat jelas pada Gambar 7.
2.400
Selulusa 0 %
2.380 Selulusa 0,2 %
2.360 Selulusa 0,4 %
2.340

Kepadatan, t/m3
2.320
2.300

Gambar 4. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton 2.280

pada kadar aspal optimum (Metode 2.260

Amerika) 2.240
2.220
2.200
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0

Kadar Asbuton, %

Gambar 6. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton


pada kepadatan (Metode Amerika)
2.500
Selulusa 0 %
Selulusa 0,2 %
2.450 Selulusa 0,4 %

2.400
Kepadatan, t/m3

2.350

2.300

Gambar 5. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton 2.250


pada kadar aspal optimum (Metode
Jerman) 2.200
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0

Kadar Asbuton, %

Pengaruh serat dan Asbuton pada Gambar 7. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton
kepadatan pada kepadatan (Metode Jerman)
Kepadatan SMA/SMAB terlihat
cenderung berkurang seiring dengan Pengaruh serat dan Asbuton pada VIM,
bertambahnya kadar Asbuton. Hasil tersebut VMA dan VFB
terjadi karena adanya penambahan kadar aspal Berdasarkan metode pencampuran
optimum, sementara rongga dalam campuran Amerika maupun Jerman, nilai VIM dibatasi
(VIM) dibuat relatif tetap, yaitu sekitar 4 % dengan rentang tertentu. Sehingga pengaruh
untuk metode Amerika dan sekitar 3 % untuk serat dan Asbuton pada sifat volumetrik
metode Jerman. Penambahan kadar aspal pada campuran terlihat pada nilai VMA dan VFB.
VIM yang tetap menyebabkan volume aspal Persyaratan nilai VIM untuk metode Amerika
bertambah dan volume agregat berkurang. disarankan 4 %, dan dalam penelitian ini
Kepadatan akan menurun karena berat jenis nilainya berkisar antara 4 % sampai 4,4 %.
aspal jauh lebih kecil dibanding berat jenis Sementara untuk metode Jerman nilai VIM
agregat. Secara lebih jelas dapat dilihat pada disyaratkan antara 2,5 % sampai 3,5 %, dan
rumus berat jenis maksimum campuran (Gmm) dalam penelitian ini nilainya antara 2,5 %
yang merupakan fungsi dari kadar aspal/berat sampai 3 %. Sementara hasil pengujian
jenis aspal dan persentase agregat/berat jenis menunjukkan nilai VFB relatif seragam, yaitu
efektif agregat. antara 78,8 % sampai 79,9 % untuk metode
Gmm = 100/(Ps/Gse + Pb/Gb) ……….....……( 1) Amerika dan antara 83 % sampai 85,3 % untuk
metode Jerman.

77 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)
Nilai VMA bertambah seiring dengan Pengaruh serat dan Asbuton pada nilai
bertambahnya kadar Asbuton dalam campuran. stabilitas dan kelelehan
Hal dapat dimengerti karena VMA adalah Pengaruh penambahan serat selulosa
rongga diantara mineral agregat pada stabilitas campuran tidak terlihat jelas.
(volume/volume), dan rongga tersebut nantinya Pada Gambar 10 terlihat indikasi penambahan
akan terisi aspal efektif dan sisanya berupa selulosa akan menurunkan nilai stabilitas,
rongga dalam campuran (VIM). Dengan kadar sementara pada Gambar 11 pengaruh tersebut
aspal efektif bertambah maka dibutuhkan tidak terlihat jelas. Sementara penambahan
rongga yang lebih banyak, maka nilai VMA Asbuton memperlihatkan indikasi peningkatan
akan bertambah. Secara lebih jelas dapat dilihat nilai stabilitas sampai kadar Asbuton 10 % dan
dari rumus VMA sebagai fungsi dari persentase kemudian turun. Nilai stabilitas yang naik
agregat dikali berat jenis bulk campuran dibagi tersebut ada kemungkinan disebabkan karena
berat jenis bulk agregat. naiknya titik lembek aspal sebagai kombinasi
dari aspal minyak (pen 60) dan aspal Asbuton
VMA = 100 – (Gmb.Ps/Gsb) …….………..…. (2)
yang lebih keras (pen 40). Kenaikan titik
Sementara penambahan serat selulosa lembek menyebabkan campuran kurang peka
tidak menunjukkan indikasi yang jelas, Pada terhadap perubahan temperatur dan menjadi
Gambar 8 terlihat indikasi kenaikan VMA akibat lebih kaku pada suhu pengujian dibandingkan
penambahan serat selulosa, namun indikasi dengan tanpa Asbuton. Sementara penurunan
tersebut tidak terlihat jelas pada Gambar 9. nilai kepadatan seperti yang dibahas
sebelumnya akan menyebabkan penurunan nilai
28.0
Selulosa 0 % stabilitas. Pengaruh dari peningkatan titik
26.0
Selulusa 0,2 %
Selulusa 0,4 %
lembek dan penurunan kepadatan diperkirakan
menyebabkan bentuk kurva stabilitas seperti
VMA, %

24.0
demikian.
22.0 Nilai kelelehan (flow) seperti
diperlihatkan pada Gambar 12 dan Gambar 13
20.0
tidak menunjukkan pola yang jelas.
18.0 Berdasarkan hasil pengamatan selama proses
16.0
pengujian Marshall ditemukan prilaku
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 keruntuhan SMA yang berbeda dengan AC.
Kadar Asbuton, %
Keruntuhan SMA terjadi secara bertahap
Gambar 8. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton sehingga pembacaan nilai kelelehan menjadi
pada VMA dan VFB (Metode cukup sulit.
Amerika)
800.0
28.0 Selulosa 0 %
750.0
Selulosa 0 % Selulusa 0,2 %
Selulusa 0,2 % 700.0 Selulusa 0,4 %
26.0
Selulusa 0,4 % 650.0
Stabilitas, kg
VMA, %

600.0
24.0
550.0

500.0
22.0
450.0

400.0
20.0
350.0

300.0
18.0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0
Kadar Asbuton, %
16.0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0
Kadar Asbuton, % Gambar 10. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton
pada stabilitas (Metode Amerika)
Gambar 9. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton
pada VMA dan VFB (Metode Jerman)

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 78


10.0
Selulosa 0 % maksud tersebut. Pada gambar tersebut secara
9.0 Selulusa 0,2 %
Selulusa 0,4 % jelas terlihat penambahan serat selulosa
8.0
mengakibatkan nilai pengaliran yang
Flow, mm

7.0
sebelumnya di atas 0,3 % menjadi jauh
6.0
menurun.
Berfungsinya Asbuton sebagai bahan
5.0

penstabil diperkirakan karena tidak


4.0

3.0
termobilisasinya aspal dalam Asbuton secara
2.0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 keseluruhan dan kelas penetrasi Asbuton yang
Kadar Asbuton, % lebih rendah (pen 40) mengakibatkan lebih
Gambar 11. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton rendahnya kekentalan (viskositas) aspal dalam
pada kelelehan (Metode Amerika) Asbuton dibandingkan dengan aspal minyak
1000.0
Selulosa 0 % Selulusa 0,2 %
dengan kelas pen 60.
900.0
Selulusa 0,4 % 1.00
Selulusa 0 %
0.90 Selulusa 0,2 %
800.0
0.80 Selulusa 0,4 %
Stabilitas, kg

700.0 0.70

Draindown, %
0.60
600.0
0.50
500.0 0.40

0.30
400.0
0.20

300.0 0.10

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 0.00

Kadar Asbuton, % 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0


Kadar Asbuton, %
Gambar 12. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton
pada stabilitas (Metode Jerman) Gambar 14. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton
pada nilai Pengaliran (Metode
10.0 Amerika)
Selulosa 0 %
9.0 Selulusa 0,2 % 1.00
Selulusa 0,4 % Selulusa 0 %
8.0 0.90 Selulusa 0,2 %
0.80 Selulusa 0,4 %
Flow, mm

7.0
0.70
Draindown, %

6.0 0.60

5.0 0.50

0.40
4.0
0.30
3.0 0.20

0.10
2.0
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 0.00
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0
Kadar Asbuton, %
Kadar Asbuton, %
Gambar 13. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton
Gambar 15. Pengaruh serat selulosa dan Asbuton
pada kelelehan (Metode Jerman)
pada nilai pengaliran (Metode Jerman)

Pengaruh serat dan Asbuton pada nilai Pengaruh kadar Asbuton pada nilai
pengaliran aspal stabilitas dinamis
Pengaliran (draindown) aspal pada saat Pengujian stabilitas dinamis dilaksanakan
pengangkutan dan penghamparan, merupakan untuk melihat pengaruh penambahan Asbuton
alasan utama ditambahkannya serat selulosa butir pada campuran SMA, dan hasil yang
pada campuran SMA. Penambahan serat diperoleh diperlihatkan pada Gambar 16.
selulosa akan mengurangi pengaliran aspal Dalam gambar terlihat nilai stabilitas dinamis
sampai batas yang dapat ditoleransi. Hasil bertambah sesuai dengan bertambahnya kadar
pengujian dengan penambahan serat selulosa Asbuton, namun pada kadar Asbuton 12,5 %
0,2 % dan 0,4 % seperti yang ditunjukkan pada terlihat ada sedikit penurunan. Nilai stabilitas
Gambar 14 dan Gambar 15 membuktikan

79 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)
dinamis untuk SMA dengan gradasi AASHTO FF = filler lolos ayakan No. 200
lebih tinggi dibandingkan dengan gradasi K = konstanta
Jerman pada kadar Asbuton 10 % dan 12,5 %.
Pola nilai stabilitas dinamis dengan Sementara untuk SMA pendekatan yang
stabilitas Marshall terlihat hampir serupa dapat digunakan adalah persyaratan kadar aspal
dimana penambahan Asbuton sampai dengan minimum, yaitu berdasarkan metode Amerika
10 % menyebabkan penambahan nilai stabilitas sebesar 6 % dan metode Jerman sebesar 6,6 %.
dinamis, dan kemudian menurun pada kadar Untuk SMAB, perlu dibuatkan rumus
Asbuton 12,5 %. Seperti halnya penjelasan pendekatan dengan mempertimbangkan faktor
sebelumnya hal ini karena penambahan luas permukaan, kadar Asbuton dan kadar
Asbuton menyebabkan aspal kurang peka selulosa. Hasil penelitian dengan 24 data
terhadap perubahan temperatur sehingga relatif diperoleh rumus pendekatan kadar aspal
lebih kaku pada suhu pengujian sehingga nilai optimum adalah sebagai berikut :
stabilitasnya meningkat. Sementara
penambahan kadar aspal menyebabkan Pb = 0,065 CA + 0,061 MF + 0,925 Ps + 0,126
kepadatan berkurang sehingga cenderung Pasb dengan R2 0,9 ……...…………………. (4)
menurunkan stabilitas. Dua faktor tersebut
mengakibatkan terbentuknya kurva yang Keterangan:
mempunyai nilai puncak (kurva cembung). CA = agregat kasar > No. 8
MF = agregat halus dan fille < No. 8
Ps = kadar selulosa
Pasb = kadar Asbuton

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya, dapat diambil
beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Metode pencampuran Asbuton pada SMAB
sebaiknya dilaksanakan secara basah, yaitu
Gambar 16. Pengaruh kadar Asbuton pada nilai dengan urutan agregat-selulosa-aspal-
stabilitas dinamis Asbuton.
2. Apabila menggunakan pemadat Marshall,
Kadar aspal optimum perkiraan untuk maka jumlah tumbukan yang disarankan
SMAB adalah 2 x 50 tumbukan.
Untuk memperoleh rentang kadar aspal 3. Penggunaan Asbuton butir dapat mencegah
yang memadai pada pembuatan contoh uji terjadinya pengaliran aspal sehingga dapat
Marshall, maka untuk AC dan HRS dibuat digunakan untuk menggantikan fungsi serat
rumus pendekatan kadar aspal optimum, Pb selulosa sebagai bahan penstabil.
yaitu: 4. Penambahan Asbuton dapat meningkatkan
ketahanan SMAB terhadap deformasi
Pb = 0,035 CA + 0,045 FA + 0,18 FF + K... (3) permanen.
5. Mengingat kadar aspal optimum yang
Keterangan: diperoleh pada material SMAB 1 sd 2 % di
CA = agregat kasar tertahan ayakan No. atas kadar aspal minimum, maka perlu
8 dikembangkan rumus untuk menghitung
FA = agregat halus lolos ayakan No. 8 kadar aspal optimum perkiraan (Pb). Hasil
tertahan No. 200

Jurnal Jalan - Jembatan, Volume 29 No. 2 Agustus 2012, 66 – 81 80


penelitian menemukan persamaan yang Brown, E.R., B.D. Powell, Randy West, and Dave
sesuai yaitu nomor (4). Timm. 2004. Update on NCAT Test
Track, Alabama: National Center for
Saran Asphalt Paving Technologist.
European Standard. Bituminous Mixture – Material
Perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan
Spesification Part 5 : Stone Mastic
menggunakan pengujian simulasi (deformasi Asphalt. EN 13108-5. London: BSI.
permanen) dan pengujian fundamental Iriansyah, 2010. Laporan Akhir Uji Coba Skala
(modulus) sebagai kriteria dalam penentuan Penuh SMA dan Porous Asphalt.
kadar aspal optimum dan kinerja SMAB. Bandung: Puslitbang Jalan dan Jembatan.
Kim, Richard. 2009. Modeling of Asphalt Concrete.
Reston: American Society of Civil
DAFTAR PUSTAKA Engineers
Long, Fanella Margaret. 2001. Permanent
American Association of State Highway and Deformation of Asphalt Concrete
Transportation Officials. 2008. Standard Pavement : A Nonlinear Viscoelastic
Spesification for Designing Stone Matrix Approach to Mix Analysis and Design,
Asphalt. M 325. Washington, DC: Ph.D. diss. University of California.
AASHTO. National Asphalt Pavement Association. 2002.
Blazejowski, Krzysztof. 2011. Stone Matrix Asphalt, Designing and Constructing SMA
Theory and Practice. New York: CRC Mixtures. NAPA QIS 122. Maryland:.
Press. National Asphalt Pavement Association.
Boratynski J, Krzemiriski J. 2005. Compaction of
SMA Mixture in the Laboratory and on
Building Site, Drogownictwo
Brown, ER. et al. 1997. Performance of Stone
Matrix Asphalt (SMA) in The United
States, NCAT Report No. 97-1, Alabama:
National Center for Asphalt Technology,
Auburn University.

81 Kajian Material Stone Matrix Asphalt Asbuton Berdasarkan Kriteria Deformasi Permanen, (Nyoman Suaryana)

Anda mungkin juga menyukai