PENDAHULUAN
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosio-
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding
dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor
ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir,
kekurangan gizi dan penyakit infeksi.1
Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi,
diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi sekitar 8,2 per
1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70
kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka
diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara 1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia pasien
epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi,
menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. 2
sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari
perempuan.3
Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka kematian pertahun
adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika
terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara serangan pasien tidak sadar, atau
jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi
pada penderita epilepsi (sudden unexplained death in epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan
aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.3
Menurut beberapa keterangan tersebut di atas, ditambah betapa variatifnya penyebab dari
penyakit epilepsi sangat penting bagi kita klinisi kesehatan untuk membahas penyakit epilepsi
lebih mendalam dan ketepatan dalam mendiagnosisnya karena penyakit ini membutuhkan
tatalaksana yang komprehensif. Jika tidak penyakit epilepsi makin tidak tertangani dan akan
membuat dampak buruk bagi pasien sendiri, serta lingkungan keluarga dan sosialnya.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.2
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak aku (unprovoked).2
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara
bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, factor
pencetus, dan kronisitas.2
2.2 klasifikasi
B. Myoclonic seizures
myoclonic jerks (single or multiple)
D. Tonic seizures
E. Atonic seizures
Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong idiopatik namun memiliki
kesamaan gejala klinis dengan golongan kriptogenik. Pada akhirnya penggolongan sindrom
epilepsi ini tetap penting, dalam usaha tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan maksimal.
A. Neonatal seizures
B. Febrile seizure
C. Reflex epilepsy
D. Other unspecified
2.3 etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik, kriptogenik dan
simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah idiopatik yang tidak diketahui
penyebabnya, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Sedangkan penyebab epilepsi
kriptogenik dianggap suatu simtomatik yang penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini
adalah sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai
dengan ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simtomatik disebabkan oleh
kelainan/lesi susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (ssp),
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.2
Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari etiologi tak
begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila epilepsi baru terjadi saat
dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi menjadi penting, karena mungkin
petanda suatu proses patologis yang masih progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah
saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi
dari epilepsi.4
2.4 epidemiologi
Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita epilepsi. 2 menurut
who prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria. Angka prevalensi untuk pria
0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000. Data di indonesia pada tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat
inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien dengan penyakit susunan saraf
(11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari 351.290 (18.70%) dari jumlah
kunjungan dengan penyakit susunan saraf.5
Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter gaba, glutamat dan
kainat serta reseptor-reseptornya dapat diungkapkan. Selain itu mungkin patofisiologi serangan
epileptik dapat melibatkan juga gangguan pada saluran ion (channelopathy) atau proses
remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-neuron tersebut, sebagai bagian dari proses
biologi molekuler yang mendasari serangan epileptik tersebut.
Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat disimpulkan bahwa
proses epileptogenesis pada manusia bersifat kompleks dan multifaktorial serta dapat
berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh
suatu ‘’precipitative event’’. Melihat bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum penyakit yang
tidak homogen, tapi terdiri dari berbagai jenis, maka faktor-faktor presipitatif yang berperan pada
masing-masing jenis mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat bermacam-macam; trauma
waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus.
Kejang yang pertama kali, kemudian dapat berkembang lebih cepat atau secara
berangsur-angsur, mendorong lebih lanjut perubahan-perubahan struktural /fungsional pada sel
neuron tertentu (atau segolongan neuron tertentu) yang menyebabkan kejang-kejang tersebut
dapat berulang dan muncullah penyakit epilepsi.
Persoalan yang masih belum diketahui sekarang adalah pada saat mana, bagaimana
timbulnya dan substrat mana yang terkena pada proses perkembangan timbulnya epilepsi adalah
pertanyaan-pertanyaan yang belum dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan neurosains mengenai
genesis dari epilepsi.
Lado dan mosche (2002) mengatakan bahwa peningkatan frekuensi kejang demam pada
usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko yang penting pada genesis epilepsi lobus
temporalis.
Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan listrik neuronal
yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan yang sinkron dari segolongan neuron
(synchoronous discharge of neuronal network).
Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena gangguan
membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh eksitatorik dan inhibitorik
(browne dan holmes 1997). Peningkatan faktor eksitatorik dan menurunnya faktor inhibitorik ini
akan mengakibatkan ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat neuronal.
Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada model percobaan binatang
adalah didahului oleh depolarisasi membran sewaktu periode interiktal, yaitu membran sel
neuron yang berdekatan dengan badan sel mengalami kenaikan potensial listrik sebesar 10-15
mv dengan masa depolarisasi yang relatif memanjang (100-200 msec) yang disertai dengan
aktivitas gelombang-gelombang paku lambat. Pada keadaan depolarisasi yang panjang ini
menimbulkan beberapa potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel.
Depolarisasi yang cukup kuat ini disebut sebagai “paroxysmal depolarization shift” (pds).
Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada manusia, dimana sering ditemukan
gelombang-gelombang paku pada eeg pada periode interiktal.1
Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, pds timbul akibat gangguan fungsi membran sel
pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik yang meningkat tajam atau sebaliknya,
fungsi inhibitorik yang menurun tajam. Selama periode interiktal pada fokus tertentu diamati
pada studi epilepsi eksperimental pada neokorteks kucing, melalui aplikasi penicillin secara
fokal, terjadi proses depolarisasi yang berkepanjangan yang disertai letupan-letupan potensial
aksi pada fase tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan potensial aksi yang
diselingi dengan “silent periode” yang khas untuk fase klonik. Silent periode ini menandakan
hyperpolarisasi temporer yang memblok pds.1
Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi proses iktal dengan
manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti. Gangguan stabilitas membran sel
neuron dan pengaruh dari neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak
terjadi hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh jaraknya melalui
mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi pada segolongan neuron (neuronal
network) atau kemudian menyebar ke seluruh permukaan kortek melalui serabut talamokortikal.1
Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal yang masih belum
jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas epilepsi. Kejang akan berhenti sendiri
sesuai dengan aktivitas yang meningkat dari proses inibisi serta bokade depolarisasi yang
ditandai dengan supresi aktivitas eeg postiktal.1
Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini diperkirakan karena
peningkatan metabolisme otak pada fase iktal. Metabolisme yang meningkat ini membutuhkan
oksigen yang tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh sistem respirasi sehingga terjadi
penimbunan laktat dan asam piruvat pada bangkitan yang lama dan menimbulkan keadaan
hipoksik pada otak.4
1. Bangkitan lena
Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan kesadaran dalam waktu yang
singkat dan terjadi penghentian gerakan dan seluruh aktivitas. Bangkitan lena ini terjadi secara
tiba-tiba tanpa adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini sering juga dijumpai kejang
mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang hilang serta automatisme. Jika
fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat dibedakan atau pada saat fase kejang terdapat
kejang tonik serta gejala otonom, maka digunakan terminology kejang atipikal. Kejang atipikal
ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental seperti sindrom lennox-gastaut.3
Secara experimental telah dipastikan bahwa timbulnnya fokus epilepsi disebabkan oleh
proses “kindling” yaitu akibat dari stimulus yang subkonvusif pada beberapa struktur otak dan
menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifat elektroensefalografi seizure yang berarti sel
neuron yang tadinya normal menjadi bersifat epilepsi dan jika terus menerus dilakukan
perangsangan berulang akan menimbulkan kejang.
Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang fokal ditimbulkan
dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari korteks lalu menyebar ke seluruh korteks
serebri yang menghasilkan kejang tonik klonik.
Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari lokasi lesi
epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila lesi yang mengalami gangguan
adalah gyrus presentral. Gangguan yang mungkin terjadi jika lesi epileptogenik berada di daerah
gyrus presentral dapat berupa kejang motorik fokal, yang terjadi pada wajah dan tungkai
kontralateral dari lesi serta kejang sensori fokal berupa perasaan tidak menyenangkan, nyeri
ringan samapai rasa panas pada wajah dan extremitas kontralateral dari lesi. Pada lesi
epileptogenik yang terjadi pada lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada mata, kepala dan
leher kontralateral serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi epiletogenik yang terjadi di
daerah temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi lobus temporal seperti memori, daya
pembau dan mengecap.4
2.9 diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan
epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada eeg. Secara
lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 2
C. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, apus
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula, fungsi
hati (sgot, sgpt, gamma gt, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas
indikasi.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi ssp.
- Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan metabolik
bawaan.
2.11 Tatalaksana
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai
dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Prinsip terapi farmakologi: 2
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi antarobat
epilepsi. 2
Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan2
Jenis Bangkitan OAE Lini OAE Lini OAE Lain yang OAE yang
Pertama Kedua dapat sebaiknya
dipertimbangka dihindari
n
Lamotrigine
Piracetam
Bangkitan tonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
Valproate
Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine
Topiramate
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
atonik Valproate
Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Lamotrigine
Topiramate Phenytoin
Bangkitan fokal Carbamazepin Clobazam Clonazepam
dengan/tanpa e
umum sekunder Gabapentin Phenobarbital
Oxcarbazepine
Levetiracetam Acetazolamide
Sodium
Valproate Phenytoin
Topiramate Tiagabine
Lamotrigine
Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama mengkonsumsi OAE ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi.2
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-
5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif
terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006; p.1-3.
3. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005; p.79-88.
4. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In : Rowland LP, editor. Merritt’s neurology.
11th ed. New York : Lippincott Williams&Wilkins, 2005.
6. https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/6933/1/jp06020.pdf
9. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topic In Pediaeric II : Kejang Pada Anak.
Cetakan ke2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.
10.Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak :
Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta 2007.
11.Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric Emergency
Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London
12.Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setyowulan. Kapita Selekta
Kedokteran : Kejang Demam. Edisi ke 3 Jilid 2. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2000.
13.Gary R. Fleisher, Stephen Ludwig. Textbook of Pediatric Emergency Medicine 4th edition
(January 15, 2000).Seizures. Lippincott, Williams & Wilkins,USA,2000
14. Pudjiadi, Antonius H, dkk, Pedoman Pelayan Medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia: Kejang
Demam, jilid 1, hlm. 150-153, Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta 2010