Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada batasan ras dan sosio-
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang dibanding
dengan negara industri. Hal ini belum diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor
ikut berperan, misalnya perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir,
kekurangan gizi dan penyakit infeksi.1

Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi cukup tinggi,
diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi sekitar 8,2 per
1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70
kasus per 100.000 penduduk. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka
diperkirakan jumlah pasien epilepsi berkisar antara 1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia pasien
epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi,
menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. 2
sedangkan menurut jenis kelamin, epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari
perempuan.3

Gambar 1. Gambaran epidemiologi epilepsi menurut usia


Selain itu di kalangan masyarakat awam sendiri masih terdapat pandangan yang salah
mengenai penyakit epilepsi, antara lain dianggap sebagai penyakit kutukan, guna-guna,
kerasukan, gangguan jiwa dan penyakit menular melalui air liur. Hal ini tentu saja akan
berpengaruh negatif terhadap pelayanan untuk tatalaksana penyakit epilepsi. Beberapa masalah
lain yang telah diidentifikasi sebagai penghambat tatalaksana penyakit epilepsi adalah
keterbatasan tenaga medis, sarana layanan kesehatan, dana dan kemampuan masyarakat.
Keterbatasan tersebut akan menurunkan optimalisasi penatalaksanaan penyakit epilepsi.2

Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka kematian pertahun
adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika
terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara serangan pasien tidak sadar, atau
jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi
pada penderita epilepsi (sudden unexplained death in epilepsy) diasumsikan berhubungan dengan
aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi.3

Selain itu epilepsi berpotensi menimbulkan masalah sosio-ekonomi dan medikolegal


yang secara keseluruhan dapat menurunkan kualitas hidup pasien epilepsi. Masalah tersebut
meliputi kesempatan untuk memperoleh hak pekerjaan/karier, pendidikan dan perkawinan,
memperoleh tanggungan asuransi, dan memperoleh surat ijin mengemudi (sim). Aspek
medikolegal epilepsi juga harus diperhatikan oleh dokter karena kelalaian dan rekam medik yang
kurang lengkap akan dapat menyeret dokter ke meja hijau.2

Menurut beberapa keterangan tersebut di atas, ditambah betapa variatifnya penyebab dari
penyakit epilepsi sangat penting bagi kita klinisi kesehatan untuk membahas penyakit epilepsi
lebih mendalam dan ketepatan dalam mendiagnosisnya karena penyakit ini membutuhkan
tatalaksana yang komprehensif. Jika tidak penyakit epilepsi makin tidak tertangani dan akan
membuat dampak buruk bagi pasien sendiri, serta lingkungan keluarga dan sosialnya.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.2

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak aku (unprovoked).2

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara
bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, factor
pencetus, dan kronisitas.2

2.2 klasifikasi

Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu klasifikasi mengingat


tatalaksana tiap bangkitan berbeda. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi yang telah
ditetapkan oleh international league againts epilepsy (ilae) tahun 1981 yang terdiri dari dua
jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.2

Berikut ini adalah klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi.

Tabel 1. Ilae classification of epileptic seizures

I. Partial (focal) seizures


   a. Simple partial seizures (consciousness not impaired)

1. With motor signs (including jacksonian, versive, and postural)


2. With sensory symptoms (including visual, somatosensory, auditory, olfactory, gustatory,
and vertiginous)
3. With psychic symptoms (including dysphasia, dysmensic, hallucinatory, and affective
changes)
4. With autonomic symptoms (including epigastric sensation, pallor, flushing, pupillary
changes)

B. Complex partial seizures (consciousness is impaired)

1. Simple partial onset followed by impaired consciousness


2. With impairment of consciousness at onset
3. With automatisms

C. Partial seizures evolving to secondarily generalized seizures

ii. Generalized seizures of nonfocal origin (convulsive or nonconvulsive)


a. Absence seizures

1. With impaired consciousness only


2. With one or more of the following: atonic components, tonic components, automatisms,
autonomic components

B. Myoclonic seizures
       myoclonic jerks (single or multiple)

C. Tonic-clonic seizures (may include clonic-tonic-clonic seizures)

D. Tonic seizures

E. Atonic seizures

Iii. Unclassified epileptic seizures


Adapted from commission on classification and terminology of the international league against
epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic
seizures. Epilepsia 1981;22:489–501.4

Ternyata dalam mendiagnosis pasien epilepsi, mengklasifikasikan jenis epilepsi pada


seorang pasien justru lebih penting daripada mendeskripsikan kejangnya (kejang parsial atau
kejang general), karena informasi klinis pada pasien ternyata juga memiliki makna klinis yang
relevan pada penyakit epilepsinya. Seperti pada anamnesis, terdapatnya riwayat trauma kepala,
atau riwayat keluarga yang pernah mengalami kejang), kelainan pada pemeriksaan neurologis,
serta hasil electroencephalography (eeg) dan laboratorium.4

Ilae akhirnya mengklasifikasikan kembali epilepsi menurut penyebabnya (idiopatik,


simptomatik, ataukah kriptogenik). Tiap penyebab kemudian dikelompokkan kembali menurut
usia pasien serta kemungkinan anatomi otak yang terkena. Klasifikasi sindrom epilepsi ini
kurang berhasil, bahkan menjadi kontroversial daripada klasifikasi serangan. Hal ini dikarenakan
pembagian sindrom epilepsi tersebut masih empiris. Pengelompokkan hanya berdasarkan data
klinis dan hasil eeg yang mencakup informasi anatomi, patologik atau etilogi spesifik lainnya.
Namun klasifikasi ini berguna untuk beberapa sindrom yang mudah dikenali seperti infantile
spasms dan benign partial childhood with central-midtemporal spikes, dimana keduanya
memiliki tatalaksana serta prognosis yang berbeda.4

Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong idiopatik namun memiliki
kesamaan gejala klinis dengan golongan kriptogenik. Pada akhirnya penggolongan sindrom
epilepsi ini tetap penting, dalam usaha tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan maksimal.

Tabel. 2 modified classification of epileptic syndromes


I. Idiopathic epilepsy syndromes (focal or generalized)

A. Benign neonatal convulsions


      1. Familial
      2. Nonfamilial
B. Benign childhood epilepsy
      1. With central midtemporal spikes
      2. With occipital spikes
C. Childhood/juvenile absence epilepsy
D. Juvenile myoclonic epilepsy (including generalized tonic-clonic seizures on awakening)
E. Idiopathic epilepsy, otherwise unspecified

Ii. Symptomatic epilepsy syndromes (focal or generalized)

A. West syndrome (infantile spasms)


B. Lennox-gastaut syndrome
C. Early myoclonic encephalopathy
D. Epilepsia partialis continua
      1. Rasmussen syndrome (encephalitic form)
      2. Restricted form
E. Acquired epileptic aphasia (landau-kleffner syndrome)
F. Temporal lobe epilepsy
G. Frontal lobe epilepsy
H. Post-traumatic epilepsy
i. Other symptomatic epilepsy, focal or generalized, not specified

Iii. Other epilepsy syndromes of uncertain or mixed classification

A. Neonatal seizures
B. Febrile seizure
C. Reflex epilepsy
D. Other unspecified

2.3 etiologi
Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik, kriptogenik dan
simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya epilepsi adalah idiopatik yang tidak diketahui
penyebabnya, umumnya mempunyai predisposisi genetik. Sedangkan penyebab epilepsi
kriptogenik dianggap suatu simtomatik yang penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini
adalah sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai
dengan ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang terakhir yaitu simtomatik disebabkan oleh
kelainan/lesi susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (ssp),
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.2

Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa mencari etiologi tak
begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak aktif lagi. Bila epilepsi baru terjadi saat
dewasa, terutama diatas usia 30 tahun maka mencari etiologi menjadi penting, karena mungkin
petanda suatu proses patologis yang masih progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah
saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang akan mengarahkan kepada etiologi
dari epilepsi.4

2.4 epidemiologi

Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita epilepsi. 2 menurut
who prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria. Angka prevalensi untuk pria
0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000. Data di indonesia pada tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat
inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien dengan penyakit susunan saraf
(11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari 351.290 (18.70%) dari jumlah
kunjungan dengan penyakit susunan saraf.5

2.5 patogenesis epilepsi


Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda bahwa pengetahuan
tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang epileptik telah sangat maju. Meskipun
demikian pengetahuan tentang patogenesis pada epilepsi berkembang pesat jauh sesudah obat-
obat anti epilepsi ditemukan.

Mc.namara (1994) dan peneliti lainnya mengajukan konsep-konsep baru mengenai


patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya gangguan di tingkat
seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-faktor eksitasi dan inhibisi neuronal, baik
yang bersifat seluler tunggal maupun dalam bentuk network. Dengan demikian konsep
pengobatan dalam tahap eksperimental ini, melangkah kepada tingkat intervensi farmakologik
dalam meredam hipereksitabilitas dan hipersinkronisasi neuronal atau meningkatkan inhibisi
merupakan sasaran pengendalian proses epileptik (rho dan sankar 1999).

Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter gaba, glutamat dan
kainat serta reseptor-reseptornya dapat diungkapkan. Selain itu mungkin patofisiologi serangan
epileptik dapat melibatkan juga gangguan pada saluran ion (channelopathy) atau proses
remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-neuron tersebut, sebagai bagian dari proses
biologi molekuler yang mendasari serangan epileptik tersebut.

Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat disimpulkan bahwa
proses epileptogenesis pada manusia bersifat kompleks dan multifaktorial serta dapat
berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh
suatu ‘’precipitative event’’. Melihat bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum penyakit yang
tidak homogen, tapi terdiri dari berbagai jenis, maka faktor-faktor presipitatif yang berperan pada
masing-masing jenis mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat bermacam-macam; trauma
waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus.

Faktor-faktor pencetus ini, bersama-sama dengan pengaruh faktor-faktor yang belum


jelas yang mungkin bersifat genetik, kemudian menyebabkan perubahan-perubahan struktural
pada sel-sel neuron, yang dapat secara berangsur-angsur atau secara cepat menimbulkan kejang
pertama.

Kejang yang pertama kali, kemudian dapat berkembang lebih cepat atau secara
berangsur-angsur, mendorong lebih lanjut perubahan-perubahan struktural /fungsional pada sel
neuron tertentu (atau segolongan neuron tertentu) yang menyebabkan kejang-kejang tersebut
dapat berulang dan muncullah penyakit epilepsi.

Persoalan yang masih belum diketahui sekarang adalah pada saat mana, bagaimana
timbulnya dan substrat mana yang terkena pada proses perkembangan timbulnya epilepsi adalah
pertanyaan-pertanyaan yang belum dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan neurosains mengenai
genesis dari epilepsi.

Lado dan mosche (2002) mengatakan bahwa peningkatan frekuensi kejang demam pada
usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko yang penting pada genesis epilepsi lobus
temporalis.

2.6 mekanisme dasar epilepsi

Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan listrik neuronal
yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan yang sinkron dari segolongan neuron
(synchoronous discharge of neuronal network).

Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena gangguan
membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh eksitatorik dan inhibitorik
(browne dan holmes 1997). Peningkatan faktor eksitatorik dan menurunnya faktor inhibitorik ini
akan mengakibatkan ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat neuronal.

Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada model percobaan binatang
adalah didahului oleh depolarisasi membran sewaktu periode interiktal, yaitu membran sel
neuron yang berdekatan dengan badan sel mengalami kenaikan potensial listrik sebesar 10-15
mv dengan masa depolarisasi yang relatif memanjang (100-200 msec) yang disertai dengan
aktivitas gelombang-gelombang paku lambat. Pada keadaan depolarisasi yang panjang ini
menimbulkan beberapa potensial aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel.
Depolarisasi yang cukup kuat ini disebut sebagai “paroxysmal depolarization shift” (pds).
Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada manusia, dimana sering ditemukan
gelombang-gelombang paku pada eeg pada periode interiktal.1

Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, pds timbul akibat gangguan fungsi membran sel
pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik yang meningkat tajam atau sebaliknya,
fungsi inhibitorik yang menurun tajam. Selama periode interiktal pada fokus tertentu diamati
pada studi epilepsi eksperimental pada neokorteks kucing, melalui aplikasi penicillin secara
fokal, terjadi proses depolarisasi yang berkepanjangan yang disertai letupan-letupan potensial
aksi pada fase tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan potensial aksi yang
diselingi dengan “silent periode” yang khas untuk fase klonik. Silent periode ini menandakan
hyperpolarisasi temporer yang memblok pds.1

Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi proses iktal dengan
manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti. Gangguan stabilitas membran sel
neuron dan pengaruh dari neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak
terjadi hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh jaraknya melalui
mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi pada segolongan neuron (neuronal
network) atau kemudian menyebar ke seluruh permukaan kortek melalui serabut talamokortikal.1

Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal yang masih belum
jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas epilepsi. Kejang akan berhenti sendiri
sesuai dengan aktivitas yang meningkat dari proses inibisi serta bokade depolarisasi yang
ditandai dengan supresi aktivitas eeg postiktal.1

2.7 patogenesis kejang umum


Pada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi membran berasal dari
neuron neuron yang berada di daerah garis tengah otak. Secara bersamaan dan dalam waktu yang
singkat keadaan depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan beberapa potensial aksi yang
timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan menyebar ke seluruh bagian korteks
lainnya.4
Patogenesis kejang umum.4

Kejang umum ini terbagi menjadi :

- Kejang umum tonik klonik


Pada jenis bangkitan ini terjadi gangguan kesadaran dan terjadi kekakuan pada dada dan
tungkai (fase tonik), pada fase ini sering disertai dengan adanya suara yang keras akibat
dorongan kuat dari udara yang melewati pita suara (epilepsi cry). Fase tonik ini akan diikuti
gerakan berulang pada seluruh otot (fase klonik). Pada fase postiktal, kebanyakan pasien akan
merasa lelah, letargi dan bingung bahkan sampai tertidur. Pada beberapa pasien sering terdapat
gejala sindrom epilepsi yang muncul sebelum terjadinya bangkitan. Gejala gejala tersebut dapat
berupa rasa cemas, mudah tersinggung, penurunan konsentrasi, sakit kepala, atau perasaan yang
tidak nyaman.3

Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini diperkirakan karena
peningkatan metabolisme otak pada fase iktal. Metabolisme yang meningkat ini membutuhkan
oksigen yang tinggi dan tidak mampu dipenuhi oleh sistem respirasi sehingga terjadi
penimbunan laktat dan asam piruvat pada bangkitan yang lama dan menimbulkan keadaan
hipoksik pada otak.4
1. Bangkitan lena
Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan kesadaran dalam waktu yang
singkat dan terjadi penghentian gerakan dan seluruh aktivitas. Bangkitan lena ini terjadi secara
tiba-tiba tanpa adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini sering juga dijumpai kejang
mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang hilang serta automatisme. Jika
fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat dibedakan atau pada saat fase kejang terdapat
kejang tonik serta gejala otonom, maka digunakan terminology kejang atipikal. Kejang atipikal
ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental seperti sindrom lennox-gastaut.3

2. Bangkitan umum klonik


Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan berulang pada otot, dapat
bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini juga dapat terjadi sinkron ataupun asinkron. Kejang
mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil pada otot muka, lengan atau tungkai
sampai gerakan masif bilateral pada kepala, extremitas dan dada.3

3. Bangkitan umum atonik


Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot yang terjadi secara tiba-
tiba karena hilangnya seluruh tonus otot, para penderita akan jatuh sehingga sering terjadi
cedera.3

2.8 patogenesis kejang parsial


Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area tertentu pada korteks.4
Patogenesis kejang parsial.4

Secara experimental telah dipastikan bahwa timbulnnya fokus epilepsi disebabkan oleh
proses “kindling” yaitu akibat dari stimulus yang subkonvusif pada beberapa struktur otak dan
menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifat elektroensefalografi seizure yang berarti sel
neuron yang tadinya normal menjadi bersifat epilepsi dan jika terus menerus dilakukan
perangsangan berulang akan menimbulkan kejang.

Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang fokal ditimbulkan
dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari korteks lalu menyebar ke seluruh korteks
serebri yang menghasilkan kejang tonik klonik.

Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari lokasi lesi
epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila lesi yang mengalami gangguan
adalah gyrus presentral. Gangguan yang mungkin terjadi jika lesi epileptogenik berada di daerah
gyrus presentral dapat berupa kejang motorik fokal, yang terjadi pada wajah dan tungkai
kontralateral dari lesi serta kejang sensori fokal berupa perasaan tidak menyenangkan, nyeri
ringan samapai rasa panas pada wajah dan extremitas kontralateral dari lesi. Pada lesi
epileptogenik yang terjadi pada lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada mata, kepala dan
leher kontralateral serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi epiletogenik yang terjadi di
daerah temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi lobus temporal seperti memori, daya
pembau dan mengecap.4

Lokasi epileptogenik dan jenis bangkitan parsial yang terjadi4

2.9 diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk bangkitan
epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada eeg. Secara
lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 2

1. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)


A. Pola/bentuk bangkitan
B. Lama bangkitan
C. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan
D. Frekuensi bangkitan
E. Faktor pencetus
F. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
G. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
H. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan perkembangan
bayi/anak
I. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
J. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik


Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alcohol atau obat
terlarang, dan kanker.

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan/atau indikasi,


serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.
A. Pemeriksaan elektroensefalografi (eeg)
Rekaman eeg sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi reflex). Bila
eeg pertama menunjukkan hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi,
maka dapat dilakukan eeg ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan
dengan persyaratan khusus.

Indikasi pemeriksaan eeg:

- Membantu menegakkan diagnosis epilepsi


- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi
- Membantu dalam menentukan letak fokus
- Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan sebelumnya)
B. Pemeriksaan pencitraan otak
Indikasi:

- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural


- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologik fokal
- Epilepsi dengan bangkitan parsial
- Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
- Untuk persiapan tindakan pembedahan
Magnetic resonance imaging (mri) merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk
epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan computed
tomography scan (ct-scan). Mri dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan mri diindikasikan untuk
epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.

C. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, apus
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula, fungsi
hati (sgot, sgpt, gamma gt, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas
indikasi.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi ssp.
- Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan metabolik
bawaan.

2.10 diagnosis banding


Diagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umur penderita.

1. Pada neonatus dan bayi


A. Jittering
B. Apneic spell
2. Pada anak
A. Breth holding spells
B. Sinkope
C. Migren
D. Bangkitan psikogenik/konversi
E. Prolonged qt syndrome
F. Night terror
G. Tic

2.11 Tatalaksana
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien, sesuai
dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya.
Prinsip terapi farmakologi: 2

1. OAE mulai diberikan bila:

a. Diagnosis epilepsi telah ditentukan


b. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan
c. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
yang timbul
1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan sindrom epilepsi.
2. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat plasma ditentukan bila
bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
3. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan
4. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE, interaksi antarobat
epilepsi. 2
Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan2
Jenis Bangkitan OAE Lini OAE Lini OAE Lain yang OAE yang
Pertama Kedua dapat sebaiknya
dipertimbangka dihindari
n

Bangkitan Sodium Clobazam Clonazepam


umum tonik Valproate
klonik Levetiracetam Phenobarbital
Lamotrigine
Oxcarbazepine Phenytoin
Topiramate
Acetazolamide
Carbamazepin
e
Bangkitan lena Sodium Clobazam Carbamazepine
Valproate
Topiramate Gabapentin
Lamotrigine
Oxcarbazepine
Bangkitan Sodium Clobazam Carbamazepine
mioklonik Valproate
Topiramate Gabapentin
Topiramate
Levetiracetam Oxcarbazepine

Lamotrigine

Piracetam
Bangkitan tonik Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
Valproate
Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine
Topiramate
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
atonik Valproate
Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Lamotrigine
Topiramate Phenytoin
Bangkitan fokal Carbamazepin Clobazam Clonazepam
dengan/tanpa e
umum sekunder Gabapentin Phenobarbital
Oxcarbazepine
Levetiracetam Acetazolamide
Sodium
Valproate Phenytoin

Topiramate Tiagabine
Lamotrigine

Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa2


Obat Dosis Awal Dosis Jumlah Waktu Waktu
(mg/hari) Rumatan Dosis Per Paruh Tercapainy
(mg/hari) Hari Plasma Steady State
(Jam) (Hari)

Carbamazepin 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7


e
Phenytoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15
Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4
Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170
Clonazepam 1 4 1 atau 2 20-60 2-10
Clobazam 10 10-30 2-3x 10-30 2-6
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15
Levatiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 6-8 2
Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6

Efek samping obat anti epilepsi klasik: 2


Obat Efek Samping

Terkait Dosis Idiosinkrasi

Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri kepala, Ruam morbiliform,


mual, mengantuk, netropenia, agranulositosis, anemia aplastik,
hiponatremia hepatotoksik, SSJ, teratogenik
Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual, Jerawat, coarse facies, hirsutism,
muntah, hipertropi gusi, depresi, lupus like syndrome, ruam, SSJ,
mengantuk, paradoxical increase Dupuytren’s contracture,
in seizure, anemia megaloblastik hepatotoksik, teratogenik
Asam valproat Tremor, berat badan naik, Pankreatitis akut, hepatotoksik,
dyspepsia, mual, muntah, trombositopenia, ensefalopati,
kebotakan, teratogenik udem perifer
Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi, Ruam makulopapular, eksfoliasi,
insomnia (anak), distracatibility NET, hepatotoksik, arthritic
(anak), hiperkinesia (anak), changes, Dupuytren’s
irritability (anak) contracture, teratogenik
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk, Ruam, trombositopenia
dizziness, agresi (anak),
hiperkinesia (anak)

Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama mengkonsumsi OAE ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi.2

1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:


a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
bebas bangkitan selama minimal 2 tahun
b. Gambaran EEG normal
c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan.
d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai
berikut:
a. Semakin tua usia
b. Epilepsi simtomatik
c. Gambaran EEG abnormal
d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita
f. Penggunaan lebih dari satu OAE
g. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3-
5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif
terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006; p.1-3.

2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ke-3.


Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2008; p.1-48.

3. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005; p.79-88.

4. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In : Rowland LP, editor. Merritt’s neurology.
11th ed. New York : Lippincott Williams&Wilkins, 2005.

5. Misbach J. Patofisiologi epilepsi. Dalam: Simposium updates in epilepsy. 14 Desember 2002.


Jakarta.

6. https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/6933/1/jp06020.pdf

7. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi.   Penanganan Demam


Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XLVII.Cetakan pertama,FKUI-RSCM.Jakara,2005

8. Lumbantobing,S.M:Kejang Demam.Balai Penerbit FKUI,Jakarta,2007

9. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topic In Pediaeric II : Kejang Pada Anak.
Cetakan ke2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.

10.Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak :
Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta  2007.

11.Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric Emergency
Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London

12.Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setyowulan. Kapita Selekta
Kedokteran : Kejang Demam. Edisi ke 3 Jilid 2. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2000.

13.Gary R. Fleisher, Stephen Ludwig. Textbook of Pediatric Emergency Medicine 4th edition
(January 15, 2000).Seizures. Lippincott, Williams & Wilkins,USA,2000
14. Pudjiadi, Antonius H, dkk, Pedoman Pelayan Medis, Ikatan Dokter Anak Indonesia: Kejang
Demam, jilid 1, hlm. 150-153, Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta 2010  

Anda mungkin juga menyukai