Peraturan Lingkungan
Peraturan Lingkungan
2005
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
Menimbang:
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER
DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan
dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga
kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.
Pasal 10
BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN
DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka alam
dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan
dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.
(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka alam
dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan
dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan.
BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemeritah.
Pasal 18
(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya
sebagai cagai biosfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 20
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pasal 22
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diinaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Pasal 25
(1) Pengawasan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh
lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
Pasal 26
Pasal 28
BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata
alam.
Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona
inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.
Pasal 33
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam.
Pasal 34
(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan
rencana pengelolaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Pasal 36
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam
bentuk :
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT
Pasal 37
(1) Peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui
berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 38
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYIDIKAN
Pasal 39
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 40
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan
suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 42
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pasal 45
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
I. UMUM
Pasal 1
Angka 7
Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar,
tetapi termasuk di dalam pengertian satwa.
Pasal 2
Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya alam
hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat
manusia sesuai dengan kemampuan dan fungsinya.
Namun, pemanfaatannya harus sedemikian rupa sesuai dengan
Undangundang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari untuk masa kini
dan masa depan.
Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut di atas harus
dilaksanakan secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan dari asas
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Unsur hayati adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, tumbuhan,
satwa, dan jasad renik. Unsur nonhayati terdiri dari sinar matahari, air,
udara, dan tanah. Hubungan antara unsur hayati dan nonhayati harus
berlangsung dalam keadaan seimbang sebagai suatu sistem penyangga
kehidupan dan karena itu perlu dilindungi.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara
menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan.
Guna pengaturannya Pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan
pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi perlindungan dan
pelestariannya tetap terjamin.
Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai, areal tepi sungai,
daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi eksklusif Indonesia,
daerah pasang surut, jurang, dan areal berpolusi berat. Pemanfaatan
areal atau wilayah tersebut tetap pada subyek yang diberi hak, tetapi
pemanfaatan itu harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan
Pemerintah.
Dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan, perlu diadakan penelitian dan inventarisasi,
baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan maupun yang akan
ditetapkan.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah ini perlu diperhatikan kepentingan yang
serasi antara kepentingan pemegang hak dengan kepentingan
perlindungan sistem penyangga kehidupan.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hak pengusahaan di perairan adalah hak yang
diberikan oleh Pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya alam
yang ada di perairan, baik yang bersifat ekstratif maupun nonekstratif,
bukan hak penguasaan atas wilayah perairan tersebut. Yang dimaksud
dengan perairan adalah perairan Indonesia yang meliputi perairan
pedalaman (sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya),
laut wilayah Indonesia, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian penertiban terhadap penggunaan dan
pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan meliputi
pencabutan hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan yang
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal penertiban tersebut berupa pencabutan hak atas
tanah, maka kepada pemegang hak diberikan ganti rugi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Pasal 11
Yang dimaksud dengan pengawetan disini adalah usaha untuk menjaga agar
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya tidak
punah. Pengawetan diluar kawasan meliputi pengaturan mengenai
pembatasan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuhan
dan satwa sebagaimana diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25
Undang-undang ini. Pengaturan diluar kawasan berupa pengawetan jenis
(spesies) tumbuhan dan satwa. Pengawetan di dalam kawasan dilakukan
dalam bentuk kawasan suaka alam dan zona inti taman nasional.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Pengelolaan kawasan suaka alam merupakan kewajiban Pemerintah
sebagai konsekuensi penguasaan oleh negara atas sumber daya alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah yang berada
di luar kawasan suaka alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah
negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan
mampu menjaga keutuhan kawasan suaka alam. Pengelolaan atas
daerah penyangga tetap berada di tangan yang berhak, sedangkan
cara-cara pengelolaan harus mengikuti ketentuan- ketentuan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ayat (1)
Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam bentuk
penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam cagar alam yang
bersangkutan untuk keperluan permuliaan jenis dan penangkaran.
Plasma nutfah adalah unsur-unsur gen yang menentukan sifat
kebakaan suatu jenis.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan wisata terbatas adalah suatu kegiatan untuk
mengunjungi, melihat, dan menikmati keindahan alam di suaka
margasatwa dengan persyaratan tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Adanya cagar biosfer dimaksudkan sebagai tempat penelitian, ilmu
pengetahuan, dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan yang bersangkutan.
Dengan ditentukannya suatu kawasan suaka alam dan kawasan
tertentu lainnya sebagai cagar biosfer, maka kawasan yang
bersangkutan menjadi bagian dari pada jaringan konservasi
internasional. Namun, kewenangan penentuan kegiatan penelitian,
ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan- perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di
tangan Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Adanya cagar biosfer dimaksudkan sebagai tempat penelitian, ilmu
pengetahuan, dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan yang bersangkutan.
Dengan ditentukannya suatu kawasan suaka alam dan kawasan
tertentu lainnya sebagai cagar biosfer, maka kawasan yang
bersangkutan menjadi bagian dari pada jaringan konservasi
internasional. Namun, kewenangan penentuan kegiatan penelitian,
ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan- perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di
tangan Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam
adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan
ekosistemnya, perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan
memasukkan jenis-jenis bukan asli.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pembinaan habitat satwa adalah kegiatan yang
dilakukan di dalam kawasan dengan tujuan agar satwa dapat hidup
dan berkembang secara alami. Contoh kegiatan tersebut antara lain
pembuatan padang rumput untuk makanan satwa, pembuatan fasilitas
air minum, dan sebagainya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli
adalah jenis tumbuhan dan jenis satwa yang tidak pernah terdapat di
dalam kawasan.
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis
tumbuhan satwa yang dilindungi.
Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk
melindungi spesies tumbuhan dan satwa agar jenis tumbuhan dan
satwa tersebut tidak mengalami kepunahan.
Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu tergantung dari
tingkat keperluannya yang ditentukan oleh tingkat bahaya kepunahan
yang mengancam jenis bersangkutan.
Ayat (2)
Jenis tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan meliputi jenis
tumbuhan dan satwa yang dalam keadaan bahaya nyaris punah dan
menuju kepunahan. Tumbuhan dan satwa yang endemik adalah
tumbuhan dan satwa yang terbatas penyebarannya, sedangkan jenis
yang terancam punah adalah karena populasinya sudah sangat kecil
serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik
karena pengaruh habitat maupun ekosistemnya. Jenis tumbuhan dan
satwa yang populasinya jarang dalam arti populasinya kecil atau
jarang sehingga pembiakannya sangat sulit.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
adalah suatu upaya penyelamatan yang harus dilakukan apabila dalam
keadaan tertentu tumbuhan dan satwa terancam hidupnya bila tetap
berada dihabitatnya dalam bentuk pengembangbiakan dan
pengobatan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberian atau penukaran jenis tumbuhan
dan satwa kepada pihak lain di luar negeri adalah untuk keperluan
tukar menukar antar lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan satwa dan hadiah Pemerintah.
Ayat (3)
Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia
melainkan juga menimbulkan gangguan atau keresahan terhadap
ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya
lahan atau tanaman atau hasil pertanian.
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur cara-cara
mengatasi bahaya, cara melakukan penangkapan hidup-hidup,
penggiringan dan pemindahan satwa yang bersangkutan, sedangkan
pemusnahan hanya dilaksanakan kalau cara lain ternyata tidak
memberi hasil efektif.
Pasal 23
Ayat ( 1)
Yang dimaksud dengan apabila diperlukan adalah untuk koleksi
tumbuhan dan satwa untuk kebun binatang, taman safari, dan untuk
permuliaan jenis tumbuhan dan satwa. Pemasukan jenis tumbuhan
dan satwa liar ke dalam wilayah Republik Indonesia perlu diatur untuk
mencegah terjadinya polusi genetik dan menjaga kemantapan
ekosistem yang ada, guna pemanfaatan optimal bagi bangsa
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dirampas untuk negara adalah bahwa di
samping dirampas sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, juga memberikan kewenangan kepada pejabat yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk menguasai dan menyelamatkan
tumbuhan dan satwa sebelum proses pengadilan dilaksanakan.
Ayat (2)
Tumbuhan dan satwa yang dilindungi harus dipertahankan agar tetap
berada di habitatnya. Oleh karena itu, tumbuhan dan satwa yang
dirampas harus dikembalikan ke habitatnya. Kalau tidak mungkin
dikembalikan ke habitatnya karena dinilai tidak dapat beradaptasi
dengan habitatnya dan/atau untuk dijadikan barang bukti di
pengadilan, maka tumbuhan dan satwa tersebut diserahkan atau
dititipkan kepada lembaga yang bergerak di bidang konservasi
tumbuhan dan satwa.
Apabila keadaan sudah tidak memungkinkan karena rusak,
cacat, dan tidak memungkinkan hidup, lebih baik dimusnahkan.
Lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa lembaga
pemerintah dan lembaga non pemerintah, misalnya kebun binatang,
kebun botani, museum biologic herbarium, taman safari dan
sebagainya yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 25
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 24 ayat (2)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Wilayah taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
meliputi areal daratan dan perairan.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2)
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 19 ayat ( 1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Pada dasarnya pengelolaan kawasan pelestarian alam merupakan
kewajiban dari Pemerintah sebagai konsekuensi penguasaan oleh
negara atas sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan atas zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan kepada
koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan
perorangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengertian mengikutsertakan rakyat di sini adalah memberi
kesempatan kepada rakyat sekitarnya untuk ikut berperan dalam
usaha di kawasan tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Dalam pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus dilakukan
dengan tetap menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Peranserta rakyat dapat berupa perorangan dan kelompok masyarakat
baik yang terorganisasi maupun tidak. Agar rakyat dapat berperan
secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, maka melalui kegiatan penyuluhan, Pemerintah perlu
mengarahkan dan menggerakkan rakyat dengan mengikutsertakan
kelompok-kelompok masyarakat.
Ayat (2)
Dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi di
kalangan rakyat, maka perlu ditanamkan pengertian dan motivasi
tentang konservasi sejak dini melalui jalur pendidikan sekolah dan luar
sekolah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Selain Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian urusan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kepada
Pemerintah Daerah, juga Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I untuk melaksanakan urusan tersebut
sebagai tugas pembantuan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Pasal 41
Cukup jelas
__________________________________
Undang Undang No. 5 Tahun 1992
Tentang : Benda Cagar Budaya
Menimbang:
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 32 Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
BAB III
PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENEMUAN, DAN PENCARIAN
Bagian Pertama
Penguasaan dan Pemilikan
Pasal 4
Pasal 6
(1) Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap
orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
benda cagar budaya yang :
(3) Dalam hal orang sebagaimana rdimaksud dalam ayat (1) adalah warga
negara Indonesia yang dapat dimiliki atau dikuasai adalah benda cagar
budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b.
(4) Dalam hal orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah warga
negara asing, yang dapat dimiliki atau dikuasai adalah hanya benda
cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b.
Pasal 7
(1) Pengalihan pemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki
oleh warga negara Indonesia secara turun-temurun atau karena
pewarisan hanya dapat dilakukan kepada Negara.
Pasal 8
Pasal 9
Bagian Kedua
Penemuan
Pasal 10
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Bagian Ketiga
Pencarian
Pasal 12
(1) Setiap orang dilarang mencari benda cagar budaya atau benda
berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian,
penyclaman, pengangkatan atau dengan cara pencarian lainnya, tanpa
izin dari Pemerintah.
Pasal 13
(1) Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib
melindungi dan memeliharanya.
Pasal 14
(1) Dalam hal orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya
tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 tidak melaksanakan
kewajiban melindungi dan memelihara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13, Pemerintah memberikan teguran.
Pasal 15
(1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya.
Pasal 16
Pasal 17
(1) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai
situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang
bersangkutan.
(2) Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB V
PENGELOLAAN
Pasal 18
(1) Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab
Pemerintah.
BAB VI
PEMANFAATAN
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Benda cagar budaya yang pada saat ditemukan ternyata sudah tidak
dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula dilarang untuk dimanfaatkan
kembali.
Pasal 22
(1) Benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu baik
yang dimiliki oleh Negara maupun perorangan dapat disimpan
dan/atau dirawat di museum.
Pasal 23
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 24
Pasal 25
Atas dasar sifat benda cagar budaya, diadakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) yang mempunyai wewenang dan bekerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 26
Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya atau membawa,memindahkan,mengambil,mengubah bentuk
dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin
dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
(1) Pada saat mulai bertakunya Undang-undang ini setiap orang yang
belum mendaftarkan benda cagar budaya tertentu sebagaimana diatur
dalam Undang-undang ini, yang dimiliki atau dikuasainya wajib
mendaftarkan kepada Pemerintah dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak saat mulai berlakunya
undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1992
TENTANG: BENDA CAGAR BUDAYA
UMUM
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Penguasaan oleh Negara mempunyai arti bahwa Negara pada tingkat
tertinggi berhak menyelenggarakan pengaturan segala perbuatan
hukum berkenaan dengan pelestarian benda cagar budaya. Pelestarian
tersebut ditujukan untuk kepentingan umum, yaitu pengaturan benda
cagar budaya harus dapat menunjang pembangunan nasional di
bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Upaya pengembalian benda cagar budaya oleh Pemerintah dalam
rangka penguasaan oleh Negara dilakukan oleh Menteri yang
bertanggung jawab atas bidang kebudayaan.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan orang adalah perorangan atau badan
hukum/yayasan/perhimpunan/perkumpulan dan badan yang sejenis.
Sekalipun benda cagar budaya pada dasarnya dikuasai oleh Negara,
tetapi setiap orang juga dapat memiliki dan menguasai benda cagar
budaya tertentu, dalam arti melaksanakan pengelolaan, pengampuan,
atau tindakan sejenis, dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan
pemanfaatannya bagi kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
serta pelestariannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Imbalan dapat berupa uang atau benda pengganti yang bermanfaat
bagi pemilik. Ketentuan ini tidak berlaku apabila pengalihannya
berlangsung secara hibah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Ayat (2)
Penelitian dilakukan oleh instansi yang ditunjuk oleh Menteri yang
bertanggung jawab atas bidang kebudayaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dilakukan secara
tertulis, atau secara lisan yang dicatat dalam buku kunjungan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lingkungan adalah kawasan di sekitar atau di
sekeliling benda cagar budaya dan situs, yang diperlukan bagi
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatannya.
Ayat (2)
Butir a
Cukup jelas
Butir b
Yang dimaksud dengan daerah dalam butir ini adalah
Kabupaten/Kotamadya/Daerah Tingkat II di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Butir c
Yang dimaksud dengan dalam keadaan darurat dalam butir ini
adalah kondisi yang dapat mengancam benda cagar budaya,
seperti kebakaran, bencana alam, atau peristiwa lainnya.
Butir d
Cukup jelas
Butir e
Cukup jelas
Butir f
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
______________________________________
Undang Undang No. 16 Tahun 1992
Tentang : Karantina Hewan, Ikan Dan Tumbuhan
Menimbang :
a. bahwa tanah air Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa berbagai
jenis sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam jenis hewan, ikan,
dan tumbuhan yang perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit bagi
hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan
dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang tergolong
benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat
pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 6
Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia wajib;
a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari area asal bagi hewan, bahan asal
hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-bagian
tumbuhan, kecuali media pembawa yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah
ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat
pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 7
(1) Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang
akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan bagi hewan, bahan asal hewan,
dan hasil bahan asal hewan, keculai media pembawa yang
tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi
media pembawa hama dan penyakit ikan dan media pembawa
organisme pengganggu tumbuhan yang akan dikeluarkan dari wilayah
negara Republik Indonesia apabila disyaratkan oleh negara tujuan.
Pasal 8
Dalam hal-hal tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan penyakit hewan
atau hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan,
Pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan disamping kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA
Pasal 9
(1) Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang
dimasukkan, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam,
dan/atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
dikenakan tindakan karantina.
(2) Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke
dalam dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia dikenakan tindakan
karantina.
(3) Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dikeluarkan dari wilayah
negara Republik Indonesia tidak dikenakan tindakan karantina, kecuali
disyaratkan oleh negara tujuan.
Pasal 10
(2) Pemeriksaan terhadap hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal
hewan, dan ikan dapat dilakukan koordinasi dengan instansi lain yang
bertanggung jawab dibidang penyakit karantina yang membahayakan
kesehatan manusia.
Pasal 12
Untuk mendeteksi lebih lanjut terhadap hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina tertentu yang karena sifatnya memerlukan waktu lama, sarana,
dan kondisi khusus, maka terhadap media pembawa yang telah diperiksa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dapat dilakukan pengasingan untuk
diadakan pengamatan.
Pasal 13
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina diberikan perlakuan untuk membebaskan atau
menyucihamakan media pembawa tersebut.
Pasal 14
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina dilakukan penahanan apabila setelah dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, ternyata persyaratan
karantina untuk pemasukan ke dalam atau dari suatu area ke area lain
di dalam wilayah negara Republik Indonesia belum seluruhnya
dipenuhi.
(2) Pemerintah menetapkan batas waktu pemenuhan persyaratan,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 15
Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan penolakan apabila
ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama dan
penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina,
atau tidak bebas dari organisme pengganggu tumbuhan karantina
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, atau busuk, atau rusak,
atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya, atau
b. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal
8, tidak seluruhnya dipenuhi, atau
c. setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1), keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi dalam batas
waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi, atau
d. setelah diberi perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat disembuhkan
dan/atau disucihamakan dari hama dan penyakit hewan karantina,
atau hama dan penyakit ikan karantina, atau tidak dapat dibebaskan
dari organisme pengganggu tumbuhan karantina.
Pasal 16
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area
ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan
pemusnahan apabila ternyata :
a. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut
dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama dan penyakit hewan
karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina, atau tidak
bebas dari organisme pengganggu tumbuhan karantina tertentu
yang ditetapkan oleh Pemerintah, atau busuk, atau rusak, atau
merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya, atau
b. setelah dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, media pembawa yang bersangkutan tidak segera
dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari
area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu yang
ditetapkan, atau
c. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular
hama dan penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit
ikan karantina, atau tidak bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah,
atau
d. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut
dan diberi perlakukan, tidak dapat disembuhkan dan/atau
disucihamakan dari hama dan penyakit hewan karantina, atau
hama dan penyakit ikan karantina, atau tidak dapat dibebaskan
dari organisme penganggu tumbuhan karantina.
Pasal 17
Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan pembebasan apabila
ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, tidak tertular hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina, atau
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, tidak tertular hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina, atau
c. setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
dapat disembuhkan dari hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau dapat dibebaskan dari organisme
pengganggu tumbuhan karantina, atau
d. setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
seluruh persyaratan yang diwajibkan telah dapat dipenuhi.
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
(1) Setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan jasa atau sarana
yang disediakan oleh Pemerintah dalam pelaksanaan tindakan
karantina hewan, ikan, atau tumbuhan dapat dikenakan pungutan jasa
karantina.
BAB IV
KAWASAN KARANTINA
Pasal 23
BAB V
JENIS HAMA DAN PENYAKIT
ORGANISME PENGGANGGU, DAN MEDIA PEMBAWA
Pasal 24
Pemerintah menetapkan :
a. jenis hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, dan organisme penggangu tumbuhan karantina;
b. jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina;
c. jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina yang dilarang untuk dimasukkan dan/atau dibawa atau
dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 25
Media pembawa lain yang terbawa oleh alat angkut dan diturunkan di tempat
pemasukan harus dimusnahkan oleh pemilik alat angkut yang bersangkutan
di bawah pengawasan petugas karantina.
BAB VI
TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
Pasal 26
Pasal 27
Ketentuan terhadap alat angkut yang membawa media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina dan melakukan transit di dalam
wilayah negara Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan karantina hewan,
ikan, dan tumbuhan, dapat pula diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan
tumbuhan.
Pasal 31
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi
:
1. Ordonansi tentang Peninjauan Kembali Ketentuan-ketentuan tentang
Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi
Kehewanan (Herziening van de Bepalingen Omtrent het
Veeartsenijkundige Staatstoezicht en de Veeartsenijkundige Politie,
Staatsblad 1912 No. 432) yang mengatur karatina hewan;
2. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Peraturan tentang
Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi
Kehewanan di Hindia Belanda (Wijziging en Aanvulling van het
Reglement op het Veearstsenijkundige Staatstoezicht en de
Veeartsenijkundige Politie in Nederlandsch-Indie, Staatsblad 1913 No.
598);
3. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Lebih Lanjut Peraturan
mengenai Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan
Polisi Kehewanan di Hindia Belanda (Nadere Aanvulling en Wijziging
van het Reglement op heat Veeartsenijkundige Staatstoezicht en de
Veertsenijkundige Politie in Nederlandsch- Indie, Staatsblad 1917 No.
9);
4. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Lebih Lanjut Peraturan
mengenai Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan
Polisi Kehewanan di Hindia Belanda (Nedere Aanvulling en Wijziging
van het Reglement op het Veearstsenijkundige Staatstoezicht en de
Veeartsenijkundige Politie in Nederlandsch-Indie, Staatsblad 1923 No.
289);
5. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Peraturan mengenai
Campur Tangan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi
Kehewanan di Hindia Belanda (Wijziging en Aaanvulling van het
Reglement op de Veeartsenijkundige Overheidsbemoeienis en de
Veeartsenijkundige Politie in Nederiandsch-Indie, Staatsblad 1936 No.
205);
6. Ordonansi tentang Larangan Pengeluaran Buah Pisang, Tumbuhan,
Pisang, Umbi Pisang dan Bagian-bagiannya dari Sulawesi dan Daerah-
daerah Kekuasaannya, Manado (Verbod op de Uitvoer van Pisang
Vruchten, Planten, Knollen of Delen daarvan uit Celebes en
Onderhorigheden, Manado, Staatsblad 1921 No. 532);
7. Ordonansi tentang Peraturan Guna Mencegah Pemasukan Bubuk Buah
Kopi ke Pulau-pulau Sulawesi dan Daerah-daerah Kekuasaannya,
Manado, Amboina, Bali dan Lombok, Timor dan Daerah-daerah
Kekuasaannya (Matregelen ter Voorkoming van den Invoer van den
Koffiebessenboeboek op de Eilanden, Behorende tot Celebes en
Ondehorigheden Manado, Amboina, Bali en Lombok, Timor en
Onderhorigheden, Staatsblad 1924 No. 439);
8. Ordonansi tentang Peraturan Guna Mencegah Penyebaran Hama
Belalang yang Terdapat di Kepulauan Sangihe dan Talaud
(Maatregelen ter Voorkoming van de Verspreiding van de op Sangihe
en Talaudeilanden voorkomende Sabelsprinkhaanplaag, Staatsblad
1924 No. 57 1);
9. Ordonansi tentang Peraturan Guna Mencegah Penyebaran Lebih Lanjut
Ulat Umbi Kentang (Maatregelen om verdere Verspreiding van de
Aardappelenknollenrups tegen te gaan, Staatsblad 1925 No. 114);
10. Ordonansi tentang Ikhtisar dan Perbaikan Peraturan-peraturan tentang
Pemasukan bahan Tumbuhan Hidup Guna Mencegah Penularan
Penyakit dan Hama Tumbuhan Budidaya di Hindia Belanda
(Samenvatting en Herziening van de Regelen op de Invoer van Levend
Plantenmateriaal, strekkende tot het Tegengaan van de Overbrenging
van ZiekLen en Plagen op Cultuurgewassen in Nederlandsch-Indie,
Staatsblad 1926 No. 427);
11. Ordonansi tentang Ketentuan-ketentuan baru mengenai Pencegahan
dan Pemberantasan Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Hindia Belanda
(Nieuwe Bepalingen ter Voorkoming en Bestrijding van Hondsdolheid
(Rabies) in Nederlandsch-Indie, Staatsblad 1926 No. 451) sepanjang
yang mengatur karantina hewan;
12. Ordonansi tentang Perubahan Ordonansi dalam Staatsblad 1926 No.
427, mengenai Ikhtisar dan Perbaikan Peraturan-peraturan tentang
Pemasukan Bahan-bahan Tumbuhan Hidup (Wijziging van de
Ordonnantie in Staatsblad 1926 No. 427, Houdende Samenvatting en
Herziening van de Regelen op den Invoer van Levend
Plantenmateriaal, Staatsblad 1932 No. 523);
13. Ordonansi tentang Perubahan Ordonansi tentang Peninjauan Kembali
Ketentuan-ketentuan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang
Kehewanan dan Polisi Kehewanan (Staatsblad 1912 No. 432) dan
Ordonansi tentang Ketentuan-ketentuan Baru mengenai Pencegahan
dan Pemberantasan Penyakit Anjing Gila (Staatsblad 1926 No. 451)
(Wijziging van het Reglement op de Veeartsenijkundige
Overheidsbemoeienis en de Veeartsenijkundige Politie en van de
Hondsdolheids Ordonnantie, Staatsblad 1936 No. 715) sepanjang
mengenai karantina hewan;
14. Ordonansi Pengangkutan Kentang Antarpulau (Ordonnantie
Interinsulair Vervoer Aardappelen), Staatsblad 1938 No. 699).
Pasal 34
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 1992 TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN
TUMBUHAN
I. UMUM
Tanah Air Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang kaya
akan sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam jenis hewan, ikan, dan
tumbuhan merupakan modal dasar pembangunan nasional yang sangat
penting dalam rangka peningkatan taraf hidup, kemakmuran serta
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, perlu dijaga dan dilindungi
kelestariannya.
Salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian sumberdaya
alam hayati tersebut adalah serangan hama dan penyakit hewan, hama dan
penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan. Kerusakan tersebut
sangat merugikan bangsa dan negara karena akan menurunkan hasil
produksi budidaya hewan, ikan, dan tumbuhan, baik kuantitas maupun
kualitas atau dapat mengakibatkan musnahnya jenis-jenis hewan, ikan atau
tumbuhan tertentu yang bernilai ekonomis dan ilmiah tinggi. Bahkan
beberapa penyakit hewan dan ikan tertentu dapat menimbulkan gangguan
terhadap kesehatan masyarakat.
Bahwa wilayah negara Republik Indonesia masih bebas dari berbagai
jenis hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme
pengganggu tumbuhan yang berbahaya. Kondisi geografis wilayah negara
Republik Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan terpisah oleh laut, telah
menjadi rintangan alami bagi penyebaran hama dan penyakit serta
organisme pengganggu ke atau dari suatu area ke area lain. Dengan makin
meningkatnya mobilitas manusia atau barang yang dapat menjadi media
pembawa hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, dan
organisme pengganggu tumbuhan, serta masih terbatasnya kemampuan
melakukan pengawasan, penangkalan, dan pengamanan, maka peluang
penyebaran hama dan penyakit serta organisme pengganggu tersebut cukup
besar. Hal tersebut akan sangat membayakan kelestarian sumberdaya alam
hayati dan kepentingan ekonomi nasional. Oleh karena itu, diperlukan
antisipasi dan kesiagaan yang tinggi agar penyebaran hama dan penyakit
serta organisme pengganggu tersebut dapat dicegah.
Upaya mencegah masuknya ke dalam, dan tersebarnya dari suatu
area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia hama dan
penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu
tumbuhan yang memiliki potensi merusak kelestarian sumberdaya alam
hayati tersebut dilakukan melalui karantina hewan, ikan, dan tumbuhan oleh
Pemerintah. Sesuai dengan ketentuan internasional, bangsa Indonesia juga
memiliki kewajiban untuk mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan dari
wilayah negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraan
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan merupakan salah satu wujud
pelaksanaan kewajiban internasional tersebut.
Pentingnya peranan karantina hewan,ikan,dan tumbuhan memerlukan
landasan hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum dalam bentuk undang-undang sebagai dasar penyelenggaraannya.
Beberapa ordonansi warisan pemerintah kolonial yang sampai
sekarang masih digunakan sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan di Indonesia isinya sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman. Demikian pula hukum nasional yang
menjadi landasan penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan
dewasa ini yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengeluaran
dan Pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman, Undang-undang Nomor. 6
Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, tidak secara
lengkap atau konkrit mengatur masalah karantina hewan, ikan, atau
tumbuhan, sehingga tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan
yang timbul di bidang perkarantinaan hewan, ikan, atau tumbuhan.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu untuk mengatur
secara lengkap karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dalam suatu Undang-
undang.
Pasal 1
Angka 6
Termasuk pengertian benda lain diantaranya bahan patogenik, bahan
biologik, makanan ikan, bahan pembuat makanan ternak dan/atau
ikan, sarana pengendalian hayati, biakan organisme, tanah, kompos
atau media pertumbuhan tumbuhan lainnya, dan vektor.
Angka 7
Pengertian hewan, termasuk hewan yang dilindungi menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Angka 8
Pengertian bahan asal hewan termasuk diantaranya daging, susu,
telor, bulu, tanduk, kuku, kulit, tulang, mani.
Angka 9
Pengertian hasil bahan asal hewan termasuk diantaranya daging
rebus, dendeng, kulit yang disamak setengah proses, tepung tulang,
tulang, darah, bulu hewan, kuku dan tanduk, usus, pupuk hewan dan
organ-organ, kelenjar, jaringan, serta cairan tubuh hewan.
Angka 10
Pengertian ikan meliputi :
a. ikan bersirip (Pisces);
b. udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya (Crustacea);
c. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya
(Mollusca);
d. ubur-ubur dan sebangsanya (Coelenterata);
e. tripang, bulu babi dan sebangsanya (Echinodermata);
f. kodok dan sebangsanya (Amphibia);
g. buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya
(Reptilia);
h. paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya
(Mammalia);
i. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam
air (Algae);
j. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tesebut di atas, termasuk ikan yang dilindungi
Angka 11
Pengertian tumbuhan termasuk tumbuhan yang dilindungi, kecuali
rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air
(Algae).
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Pasal 2
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pengertian area meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau, atau
kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang
dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama dan penyakit dan
organisme pengganggu.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Pasal 6
Dianggap telah dimasukkan ke suatu area dari area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia apabila telah dibebaskan dari tempat-tempat
dilakukannya tindakan karantina atau telah dilalulintasbebaskan di area
tujuan di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Dianggap telah dikeluarkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia apabila telah dimuat dalam suatu alat angkut di
tempat-tempat pengeluaran untuk dibawa ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Dianggap telah dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
apabila telah dimuat dalam suatu alat angkut di tempat-tempat
pengeluaran untuk dibawa ke suatu tempat lain di luar wilayah negara
Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tindakan karantina dalam ayat ini dapat dikenakan setelah dilakukan
pemeriksaan pendahuluan terhadap dokumen barang yang kemudian
disesuaikan dengan daftar hama dan penyakit ikan karantina,
organisme pengganggu tumbuhan karantina, media pembawa hama
dan penyakit ikan karantina, atau media pembawa organisme
pengganggu tumbuhan karantina.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Perlakuan dalam ayat ini merupakan tindakan membebaskan atau
menyucihamakan media pembawa dari hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan, yang
dilakukan dengan cara fisik, kimia, biologi dan lain-lain. Perlakuan
secara fisik, antara lain berupa radiasi, pemanasan, dan pendinginan;
perlakuan secara kimia, antara lain dengan pestisida, antibiotika, dan
khemoterapeutik; dan perlakuan secara biologi antara lain dengan
serum dan vaksin.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Pembebasan dalam tindakan karantina mencakup pembebasan ke luar
atau masuknya media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu
tumbuhan karantina dari atau ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia, serta dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Pembebasan keluarnya disertai sertifikat
kesehatan, sedangkan pembebasan masuknya disertai sertifikat
pelepasan.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyakit karantina yang membahayakan kesehatan manusia
diantaranya meliputi penyakit karantina sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, yaitu :
a. pes (plague);
b. kolera (cholera);
c. demam kuning (yellow fever);
d. cacar (smallpox);
e. typhus bercak wabah, typhus exanthematicus infectiosa (louse
borne typhus);
f. demam balik-balik (louse borne relapsing fever).
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Persyaratan karantina belum seluruhnya dipenuhi apabila misalnya
belum dilengkapi dengan sertifikat kesehatan atau surat keterangan
tertentu sebagai kewajiban tambahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan, bahwa pemusnahan yang dilakukan
membebaskan instansi dan petugas yang bertanggung jawab di
bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dari segala
tuntutan hukum.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Sertifikat pelepasan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing.
Khusus sertifikat pelepasan karantina hewan dikeluarkan oleh
dokter hewan petugas karantina.
Ayat (2)
Sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing.
Khusus sertifikat kesehatan karantina hewan dikeluarkan oleh
dokter hewan petugas karantina.
Pasal 20
Ayat (1)
Tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran di luar
instalasi karantina dilakukan antara lain di kandang, gudang atau
tempat penyimpanan barang pemilik, alat angkut, kade yang letaknya
di dalam daerah pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan
penyeberangan, bandar udara, kantor pos, dan pos perbatasan
dengan negara lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan memerlukan
biaya yang cukup besar sehingga dipandang perlu memberikan
sebagian biaya tersebut kepada pihak pengguna jasa dan/atau sarana
karantina yang disediakan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Termasuk dalam pengertian media pembawa lain adalah sampah, antara lain
sisa-sisa makanan yang mengandung bahan asal hewan, ikan, tumbuhan,
sisa makanan hewan, dan kotoran hewan.
__________________________________
Undang Undang No. 24 Tahun 1992
Tentang : Penataan Ruang
Menimbang:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.
6. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
Pasal 2
Pasal 3
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 4
Pasal 5
(2) Setiap orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.
Pasal 6
BAB IV
PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
(2) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) untuk ketentuan
dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
(3) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dikoordinasikan
penyusunannya oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk
kemudian dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Pasal 9
(2) Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur secara terpusat dengan undang-
undang.
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
(2) Tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 13
(2) Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai
dengan jenis perencanaannya secara berkala.
(4) Ketcntuan mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali dan
atau penyempurnaan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
(2) Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air,
tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengendalian
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara, yang meliputi:
a. tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional;
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
(1) Rencana tata ruang kawasan perdesaan dan rencana tata ruang
kawasan perkotaan merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Rencana tata ruang kawasan tertentu dalam rangka penataan ruang
wilayah nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan atau
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
WEWENANG DAN PEMBINAAN
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
(1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah
yang bersangkutan.
(2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan
telah diperoleh dengan iktikad baik, terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian
yang layak.
Pasal 27
Pasal 29
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG
II. UMUM
3. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan
penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya
membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang
atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan,
sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
Meskipun suatu ruang tidak dihuni manusia seperti ruang hampa
udara, lapisan di bawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi
ruang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup.
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila
pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar
terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang.
Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur
pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi
lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan.
4. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari
berbagai ruang wilayah sebagai suatu subsistem. Masing-masing
subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung
yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Seluruh wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah Nasional,
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II, yang masing-masing merupakan subsistem ruang
menurut batasan administrasi.
Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan
berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, sumber
daya buatan, dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda,
yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah adanya
ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidak
lestarian lingkungan hidup.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya
dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan
meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem
yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya.
Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada
subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem
ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan ruang
yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, di tingkat
Pusat maupun di tingkat Daerah, harus sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang
tidak bertentangan dengan rencana tata ruang.
Pasal 1
Angka 1
Ruang yang diatur dalam Undang-undang ini adalah ruang di
mana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi yang meliputi hak
berdaulat di wilayah editorial maupun kewenangan hukum di luar
wilayah editorial berdasarkan ketentuan konvensi yang bersangkutan
yang berkaitan dengan ruang lautan dan ruang udara.
Pengertian ruang mencakup ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara.
Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan daratan termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat
dari garis laut terendah.
Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut garis laut terendah termasuk
dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, di mana Republik Indonesia
mempunyai hak yurisdiksi.
Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan
dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi,
di mana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi.
Dalam Undang-undang ini, pengertian ruang udara (air-space) tidak
sama dengan pengertian ruang angkasa (outerspace). Ruang angkasa
beserta isinya seperti bulan dan benda-benda langit lainnya adalah
bagian dari antariksa, yang merupakan ruang di luar ruang udara.
Ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara merupakan satu
kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara mempunyai potensi yang dapat
dimanfaatkan sesuai dengan tingkat intensitas yang berbeda untuk
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Potensi itu di
antaranya sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan
pangan, industri, pertambangan, sebagai jalur perhubungan, sebagai
obyek wisata, sebagai sumber energi, atau sebagai tempat penelitian
dan percobaan.
Angka 2
Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah
susunan unsur-unsur pembentuk ruang lingkungan alam, lingkungan
sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural
berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang.
Wujud struktural pemanfaatan ruang di antaranya meliputi hirarki
pusat pelayanan seperti pusat kota, pusat lingkungan, pusat
pemerintahan; prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor, dan
jalan lokal; rancang bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak
antar bangunan, garis langit, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk
pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta
karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam.
Wujud pola pemanfaatan ruang di antaranya meliputi pola lokasi,
sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola
penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan.
Tata ruang yang dituju dengan penataan ruang ini adalah tata ruang
yang direncanakan. Tata ruang yang tidak direncanakan berupa tata
ruang yang terbentuk secara alamiah seperti wilayah aliran sungai,
danau, suaka alam, gua, gunung dan sebagainya.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif disebut wilayah pemerintahan. Wilayah yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan.
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Kelestarian lingkungan hidup mencakup pula sumber daya alam dan
sumber daya buatan yang mempunyai nilai sejarah dan budaya
bangsa.
Angka 8
Pembudidayaan kawasan memperhatikan asas konservasi.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang adalah orang
seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Pemerintah
berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat
ruang.
Ayat (2)
Hak setiap orang dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam
bentuk bahwa setiap orang dapat mengajukan usul, pemberi saran,
atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka
penataan ruang.
Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku
pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumber daya alam seperti
hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang dapat
membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang
dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak
tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun
atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan
atas pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara.
Hak atas pemanfaatan ruang daratan dapat berupa hak untuk memiliki
dan menempati satuan ruang di dalam bangunan sebagai tempat
tinggal; hak untuk melakukan kegiatan usaha seperti perkantoran,
perdagangan, tempat peristirahatan, dan atau melakukan kegiatan
sosial seperti tempat pertemuan di dalam satuan ruang bangunan
bertingkat; hak untuk membangun dan mengelola prasarana
transportasi seperti jalan layang; dan sebagainya.
Hak atas pemanfaatan ruang lautan dapat berupa hak untuk memiliki
dan menempati satuan ruang di dalam rumah terapung; hak untuk
melakukan kegiatan di dalam satuan ruang di dalam kota terapung
dan atau di dalam laut; hak untuk mengelola pariwisata bahari; hak
pemeliharaan taman laut; hak untuk melakukan angkutan laut; hak
untuk mengeksploitasi sumber alam di laut seperti penangkapan ikan,
penambangan lepas pantai; dan sebagainya. Hak atas pemanfaatan
ruang udara dapat berupa hak untuk menggunakan jalur udara bagi
lalu lintas pesawat terbang; hak untuk menggunakan media udara
bagi telekomunikasi; dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan penggantian yang layak adalah bahwa nilai
atau besar penggantian itu tidak mengurangi tingkat kesejahteraan
orang yang bersangkutan.
Pasal 5
Ayat (1)
Kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan pencerminan
rasa tanggung jawab sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang.
Kualitas ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor-
faktor daya dukung lingkungan seperti struktur tanah, siklus hidrologi,
siklus udara; fungsi lingkungan seperti wilayah resapan air, konservasi
flora dan fauna; estetika lingkungan seperti bentang alam,
pertanaman, arsitektur bangunan; lokasi seperti jarak antara
perumahan dengan tempat kerja, jarak antara perumahan dengan
fasilitas umum; dan struktur seperti pusat lingkungan dalam
perumahan, pusat kegiatan dalam kawasan perkotaan.
Pengertian memelihara kualitas ruang mencakup pula memelihara
kualitas tata ruang yang direncanakan.
Ayat (2)
Penyesuaian pemanfaatan ruang, baik yang telah mempunyai izin
maupun tidak, wajib dilakukan sewaktu-waktu oleh yang bersangkutan
bila terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang.
Pelaksanaan kewajiban menaati rencana tata ruang dilakukan sesuai
dengan kemampuan setiap orang yang terkena langsung akibat
pemanfaatan rencana tata ruang.
Bagi orang yang tidak mampu, maka sesuai haknya untuk
mendapatkan penggantian yang layak, kompensasi diatur melalui
pengaturan nilai tambah yang ditimbulkan sebagai akibat adanya
perubahan nilai ruang.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar
mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan
lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam.
Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi,
kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan
berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan
pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perdesaan meliputi
tempat permukiman perdesaan, tempat kegiatan pertanian, kegiatan
pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perkotaan meliputi
tempat permukiman perkotaan, tempat pemusatan dan
pendistribusian kegiatan bukan pertanian seperti kegiatan pelayanan
jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Fungsi kawasan yang berwujud kawasan tertentu meliputi tempat
pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan
kriteria antara lain:
a. kegiatan di bidang yang bersangkutan baik secara sendiri-
sendiri maupun secara bersama-sama yang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang
di wilayah sekitarnya;
b. kegiatan di suatu bidang yang mempunyai dampak baik
terhadap kegiatan lain di bidang yang sejenis maupun terhadap
kegiatan di bidang lainnya;
c. kegiatan di bidang yang bersangkutan yang merupakan faktor
pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan dalam kawasan tertentu dapat berupa misalnya
kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri
beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pertahanan
keamanan beserta sarana dan prasarananya, kegiatan
pariwisata beserta sarana dan prasarananya, dan sebagainya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah
Tingkat I dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya
seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah
perbatasan, kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Dalam hal kawasan tersebut di atas mencakup dua atau lebih
wilayah administrasi Daerah Tingkat I, maka koordinasi penyusunan
rencana tata ruang diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1).
Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.
Ayat (3)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah
Tingkat II dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya
seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah
perbatasan, kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Kecuali kawasan tertentu, maka dalam hal kawasan tersebut di
atas mencakup dua atau lebih wilayah administrasi Daerah Tingkat II,
koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang
bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 9
Ayat (1)
Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang daratannya berbatasan
dengan laut perlu mencakup ruang lautan dalam batas tertentu.
Penataan ruang tersebut berkaitan dengan lokasi dan tempat kegiatan
masyarakat di daerah seperti tempat permukiman dan kegiatan
nelayan dan sebagainya. Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berkaitan
dengan ruang udara dalam batas tertentu. Penataan ruang tersebut
bersangkutan dengan wadah kegiatan masyarakat di daerah seperti
batas ketinggian bangunan, penggunaan jembatan penyeberangan
yang diperlebar untuk pertokoan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam kawasan perdesaan terdapat kawasan lindung dan kawasan
budidaya dengan kegiatan utama budidaya bukan pertanian.
Dalam kawasan perkotaan terdapat kawasan lindung dan kawasan
budi daya dengan kegiatan utama budidaya bukan pertanian.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis adalah kawasan yang
secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak, baik ditinjau
dari sudut kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan,
dan pertahanan keamanan.
Kawasan tertentu dapat berada dalam satu kesatuan kawasan
perdesaan dan atau kawasan perkotaan.
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis dan diprioritaskan
adalah kawasan yang tingkat penanganannya diutamakan dalam
pelaksanaan pembangunan.
Sebagai contoh kawasan tertentu adalah kawasan strategis dalam
skala besar untuk kegiatan industri, pariwisata, suaka alam, wilayah
perbatasan, dan daerah latihan militer.
Yang dimaksud dengan perbatasan adalah perbatasan yang ada, di
daratan, di lautan dan di udara dengan negara tetangga.
Ayat (4)
Dalam hal perencanaan tata ruang kawasan tertentu, koordinasi
penyusunannya diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 Ayat (1).
Pasal 11
Pasal 12
Ayat (1)
Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam
penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk
kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan
penataan ruang.
Masyarakat berperan sebagai mitra pemerintah dalam penataan
ruang. Dalam menjalankan peranannya itu, masyarakat mendayagunakan
kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk melaksanakan peran serta
masyarakat dalam mencapai tujuan penataan ruang.
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dapat diselenggarakan
oleh orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Proses dan prosedur penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah
Nasional, Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilaksanakan
secara terarah dan terpadu.
Proses dan prosedur penetapan rencana tata ruang diselenggarakan
pada tingkat Nasional, Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, ditempuh
langkah-langkah kegiatan:
a. menentukan arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari
segi ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung
lingkungan, serta fungsi pertahanan keamanan;
b. mengidentifikasikan berbagai potensi dan masalah
pembangunan dalam suatu wilayah perencanaan;
c. perumusan perencanaan tata ruang;
d. penetapan tata ruang,
Ayat (2 )
Rencana tata ruang disusun dengan perspektif menuju keadaan pada
masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data, informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dapat dipakai, serta memperhatikan
keragaman wawasan kegiatan tiap sektor. Perkembangan masyarakat dan
lingkungan hidup berlangsung secara dinamis; ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu,
agar rencana tata ruang yang telah disusun itu tetap sesuai dengan tuntutan
pembangunan dan perkembangan keadaan, rencana tata ruang dapat
ditinjau kembali dan atau disempurnakan secara berkala.
Peninjauan kembali sebagaimana tersebut di atas bukan berarti
penyusunan rencana baru secara totalitas dan hanya dapat dilakukan atas
dasar Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) Pasal ini.
Jenis perencanaan dibedakan menurut hirarki administrasi
pemerintahan, kedalaman rencana, dan fungsi wilayah serta kawasan.
Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan penegasan bahwa bagaimanapun bila peninjauan
kembali tersebut berakibat kepada penyempurnaan rencana tata ruang,
maka hak orang harus tetap dilindungi. Dalam penyempurnaan rencana tata
ruang tersebut dilaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 dan Pasal 12.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pengaturan pemanfaatan ruang untuk fungsi pertahanan keamanan di
tingkat Rencana Tata Ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II merupakan satu
kesatuan proses dalam rangka mewujudkan keseimbangan kepentingan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
Aspek pengelolaan dalam ketentuan ini perlu mempertimbangkan
secara terpadu karena hal tersebut mempengaruhi dinamika pemanfaatan
ruang. Dinamika dalam pemanfaatan ruang tercermin antara lain dalam:
a. perubahan nilai sosial akibat rencana tata ruang;
b. perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
c. perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
d. dampak terhadap lingkungan;
c. perkembangan serta kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan
dan tatanan komponen lingkungan alam hayati, lingkungan alam non-hayati,
lingkungan buatan, dan lingkungan sosial yang secara hirarkis dan fungsional
berhubungan satu sama lain membentuk tata ruang.
Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk
hubungan antar berbagai aspek sumber daya manusia, sumber daya alam,
sumber daya buatan, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, informasi,
administrasi, pertahanan keamanan; fungsi lindung, budi daya, dan estetika
lingkungan; dimensi ruang dan waktu.yang dalam kesatuan secara utuh
menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang.
Perencanaan sturktur dan pola pemanfaatan ruang merupakan
kegiatan menyusun rencana tata ruang yang produknya menitikberatkan
kepada pengaturan hirarki pusat permukiman dan pusat pelayanan barang
dan jasa, serta keterkaitan antara pusat tersebut melalui, antara lain, sistem
prasarana. Sistem prasarana meliputi, antara lain, jaringan transportasi
seperti jalan raya, jalan kereta api, sungai yang dimanfaatkan sebagai
sarana angkutan, dan jaringan utilitas seperti: air bersih, air kotor,
pengatusan air hujan, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan listrik dan
sistem pengelolaan sampah.
Tata guna tanah, tata guna air, dan tata guna udara merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan struktur dan pola
pemanfaatan ruang, supaya keberlanjutan pemanfaatan tanah, air, udara,
dan sumber daya alam lainnya untuk kegiatan pembangunan dan
peningkatan kualitas tata ruang dapat terus berlangsung.
Sebagai contoh sumber daya alam lainnya adalah sumber daya alam
non-hayati seperti hutan, flora, fauna; dan sumber daya alam non-hayati
seperti tambang mineral, minyak bumi, energi angin, energi surya, potensi
meteorologi klimatologi, dan geofisika.
Ayat (3)
Kegiatan perencanaan tata ruang untuk fungsi pertahanan keamanan karena
sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Meskipun demikian,
penataan ruang untuk fungsi ini tetap merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya keseluruhan penataan ruang wilayah negara.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan ruang adalah rangkaian program
kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut
jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan pembiayaan program pemanfaatan ruang
adalah mobilisasi, prioritas, dan alokasi pendanaan yang diperlukan untuk
pelaksanaan pembangunan.
Ayat (2)
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui
penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama, sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui tahapan pembangunan
dengan memperhatikan sumber dan mobilisasi dana serta alokasi
pembiayaan program pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengertian pola pengelolaan tata guna tanah, pola pengelolaan tata
guna air, pola pengelolaan tata guna udara, dan pola pengelolaan tata guna
sumber daya alam lainnya adalah sama dengan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya
alam lainnya.
Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya antara
lain adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara,
dan sumber daya alam lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan
tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya melalui pengaturan
kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan
sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil. Dalam pemanfaatan tanah, pemanfaatan air,
pemanfaatan udara, dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya, perlu
diperhatikan faktor yang mempengaruhinya seperti faktor meteorologi
klimatologi, dan geofisika.
Yang dimaksud dengan perangkat insentif adalah pengaturan yang
bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan
tujuan rencana tata ruang.
Apabila dengan pengaturan akan diwujudkan insentif dalam rangka
pengembangan pemanfaatan ruang, maka melalui pengaturan itu dapat
diberikan kemudahan tertentu:
a. di bidang ekonomi melalui tata cara pemberian kompensasi,
imbalan, dan tata cara penyelenggaraan sewa ruang dan urun
saham; atau
b. di bidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan sarana
dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon dan
sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai
dengan rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan perangkat disinsentif adalah pengaturan yang
bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana kawasan ruang, misalnya dalam bentuk:
a. pengenaan pajak yang tinggi; atau
b. ketidaktersediaan sarana dan prasarana.
Pelaksanaan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak
penduduk sebagai warganegara. Hak penduduk sebagai warganegara
meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh,
dan mempertahankan ruang hidupnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Pasal 18
Ayat (1)
Bentuk pelaporan dalam ketentuan ini adalah berupa kegiatan
memberi informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang
sesuai maupun yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Bentuk pemantauan adalah usaha atau perbuatan mengamati,
mengawasi, dan memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang
dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Bentuk evaluasi adalah usaha untuk menilai kemajuan kegiatan
pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana tata ruang.
Ayat (2)
Bentuk sanksi adalah sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi
pidana.
Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang
sanksi baik pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, meskipun Undang-
undang ini tidak memuat Pasal tentang ketentuan pidana, sanksi terhadap
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tetap dapat
dikenakan berdasarkan atas ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 19
Ayat (I)
Rencana tata ruang dibedakan menurut administrasi pemerintahan
karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang sesuai dengan pembagian
administrasi pemerintahan.
Ayat (2)
Rencana tata ruang dibedakan menurut tingkat ketelitiannya karena
informasi yang termuat dan skalanya berbeda.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur peta wilayah
dapat ditentukan tingkat ketelitiannya dengan pedoman:
a. peta wilayah negara Indonesia dengan tingkat ketelitian minimal
berskala 1:1.000.000;
b. peta wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dengan tingkat ketelitian
minimal berskala 1:250.000;
c. peta wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II dengan tingkat
ketelitian minimal berskala 1:100.000 dan peta wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II dengan tingkat ketelitian minimal
berskala 1:50.000.
Dalam pengertian minimal untuk skala peta dikandung arti bahwa suatu
rencana tata ruang dapat digambarkan dalam peta wilayah berskala yang
lebih besar.
Rencana Tata Ruang wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
memerlukan peta dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1:50.000
karena faktor-faktor seperti kepadatan penduduk dan bangunan,
keanekaragaman kegiatan pembangunan, dan intensitas pemanfaatan ruang
di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II lebih tinggi daripada di wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II.
Tingkat ketelitian tersebut di atas dapat berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 20
Ayat (1)
Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara
dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional yang berupa strategi nasional
pengembangan pola pemanfaatan ruang merupakan kebijaksanaan
pemerintah yang menetapkan rencana struktur Dan pola pemanfaatan ruang
nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang harus
dilindungi, kawasan budi daya, dan kawasan lainnya.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional meliputi antara lain arahan
pengembangan sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana
yang melayani kawasan produksi dan permukiman, penentuan wilayah yang
akan datang dalam skala nasional, termasuk penetapan kawasan tertentu.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional memperhatikan antara lain:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan dalam lingkup global dan internasional
serta pengkajian implikasi penataan ruang nasional terhadap
strategi tata pengembangan internasional dan regional,
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. keselarasan aspirasi pembangunan sektoral dan pembangunan
daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan kawasan lindung, kawasan budi
daya, dan kawasan tertentu secara nasional adalah bahwa pengaturan untuk
penetapan kawasan tersebut secara makro dan menyeluruh diselenggarakan
sebagai bagian dari strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah negara.
Yang dimaksud dengan norma dan kriteria pemanfaatan ruang adalah
ukuran berupa kriteria lokasi dan standar teknik pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk terwujudnya
kualitas ruang dan tertibnya pemanfaatan ruang.
Ayat (3)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan bahwa Rencana Tata Ruang
wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan
daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan
ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang.
Hal ini berarti bahwa dalam pemanfaatan ruang untuk menyusun
rencana pembangunan, harus selalu diperhatikan Rencana Tata Ruang
wilayah Nasional.
Dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional perlu
diselenggarakan pula antara lain:
a. Penataan ruang bagian wilayah nasional yang masing-masing
terdiri dari beberapa propinsi sebagai satu kesatuan untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan nasional;
b. Kesatuan Wawasan Nusantara melalui penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang membentuk sistem keterkaitan antar
lokasi dan kawasan antara lain jaringan darat, laut, dan udara;
c. Penjabaran strategi ekonomi nasional terhadap strategi tata
ruang yang saling terkait dan berkesinambungan.
Ayat (4)
Seiring dengan Pola Pembangunan Jangka Panjang yang berjangka
waktu 25 tahun, Rencana Tata Ruang wilayah Nasional disusun untuk jangka
waktu yang sama dan dengan perspektif 25 tahun ke masa depan.
Meskipun demikian, rencana tata ruang wilayah Nasional dapat
ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 25 tahun
apabila terjadi perubahan kebijaksanaan nasional yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang
mendasar.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi dan arahan kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada 25
tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dijabarkan ke dalam program
pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima
Tahun. Selanjutnya, program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke
dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Strategi dan struktur tata ruang wilayah Daerah Tingkat I dirumuskan
dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta
pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I memperhatikan
antara lain:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan kepentingan nasional;
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat
nasional;
e. modal dasar pembangunan Daerah Tingkat I;
f. potensi dan tata guna sumber daya di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I;
g. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
h. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I lainnya
yang berbatasan;
i. keselarasan dengan aspirasi pembangunan dan Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serupa
Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I adalah
kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan, dan
wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya
dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi acuan
bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang
dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam
memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Dengan
demikian, maka pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan
di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I harus tetap memperhatikan Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
Ayat (4)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun dengan
perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 15 tahun.
Apabila jangka waktu 15 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang
baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka
waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang
jangka waktunya 20 tahun, Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30
tahun.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dapat ditinjau
kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 15 tahun apabila
strategi pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan
sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Nasional.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi dan struktur tata ruang yang ditetapkan pada 15 tahun
dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dijabarkan ke
dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan
pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan
mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta
pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal II dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
11 memperhatikan antara lain:
a. kepentingan nasional dan Daerah Tingkat I;
b. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat
Nasional dan Propinsi Daerah Tingkat I;
c. pokok permasalahan Daerah Tingkat II dalam mengutamakan
kepentingan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan;
d. keselarasan dengan aspirasi masyarakat;
e. persediaan dan peruntukan tanah, air, udara dan sumber daya
alam lainnya;
f. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
g. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah
Tingkat II lainnya yang berbatasan.
Ayat (2)
Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan
pengelolaan lingkungan, penatagunaan air, penatagunaan tanah, dan
penatagunaan udara merupakan satu kesatuan dalam Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi
kegiatan pembangunan dalam menetapkan ruang serta dalam menyusun
program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah
tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi
pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam
pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang sudah ditetapkan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 10 tahun.
Apabila jangka waktu 10 tahun Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berakhir, maka dalam penyusunan
rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang dan masyarakat
yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap
diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, dan
Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 10
tahun apabila strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan perlu ditinjau
kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan dinamika pembangunan.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada 10
tahun dilakukan minimal 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke
dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan tertentu yang dimaksud adalah kawasan yang strategis dan
diprioritaskan bagi kepentingan nasional berdasarkan pertimbangan kriteria
strategis seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (3). Nilai strategis
ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam
kawasan:
a. mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya
pengembangan tata ruang wilayah sekitarnya;
b. mempunyai dampak penting, baik terhadap kegiatan yang
sejenis maupun terhadap kegiatan lainnya;
c. merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan.
Ayat (3)
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perdesaan
diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perdesaan serta
pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan
untuk keserasian perkembangan kegiatan pertanian di kawasan perdesaan
dalam menunjang pengembangan wilayah sekitarnya, mengendalikan
konversi pemanfaatan ruang yang berskala besar, dan mencegah kerusakan
lingkungan.
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perkotaan
diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perkotaan serta
pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan
untuk keserasian perkembangan kawasan perkotaan secara administratif dan
fungsional dengan pengembangan wilayah sekitarnya serta daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan tertentu diatur
antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan yang secara nasional
mempunyai nilai strategis kriteria penentuan prioritas penataan ruang
kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan
dalam kaitannya dengan besaran kawasan, lokasi, dan kegiatan yang
ditetapkan.
Penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu dikoordinasikan oleh
Menteri.
Arahan pengelolaan kawasan tertentu sebagai bagian dari Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I diberikan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Pengelolaan rencana tata ruang kawasan tertentu sebagai bagian dari
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
Pasal 24
Ayat (1)
Pengertian menyelenggarakan adalah suatu pengertian yang
mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik
sebagaimana perinciannya disebut dalam ayat (2) pasal ini.
Ayat (2)
Kelembagaan dalam penyelenggaraan, kewenangan, dan pembinaan
penataan ruang di tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di
tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Tugas dan
kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang wilayah negara
antara lain adalah memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dan
dengan masyarakat.
Ayat (3)
Pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu
pengertian yang mengandung arti menghargai, menjunjung tinggi,
mengakui, dan menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang
dimiliki orang.
Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang adalah segala kepentingan
hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peraturan perundang-
undangan, hukum adat, atau kebiasaan yang berlaku. Kepentingan hukum
tersebut antara lain berupa pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar
sesuatu hak yang diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Pasal 25
Pasal 26
Ayat (1)
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi,
kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum maupun sesudah adanya Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang
ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaat
ruang yang mempunyai bukti-bukti hukum sah berupa perizinan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk
memperkaya diri sendiri secara berlebihan dan tidak merugikan pihak lain.
Penggantian yang layak pada pihak yang menderita kerugian sebagai
akibat pembatalan izin menjadi kewajiban bagi instansi pemerintah yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang bersangkutan.
Besarnya penggantian yang layak berarti tidak mengurangi tingkat
kesejahteraan pihak yang bersangkutan.
Apabila terjadi sengketa dalam penggantian oleh pemerintah,
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Akibat kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten Kotamadya Daerah Tingkat II adalah berubahnya
fungsi ruang sehingga perlu dilakukan upaya pemulihan.
Pemulihan fungsi pemanfaatan ruang ini diselenggarakan untuk
merehabilitasi fungsi ruang tersebut. Pemulihan fungsi tersebut menjadi
kewajiban Pemerintah Daerah Tingkat II, sesuai dengan alokasi dana
sebagaimana tercantum dalam program pembangunan.
Pasal 27
Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan
koordinasi penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
Ayat (2)
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta menyusun rencana
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan mempertimbangkan
rencana pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dari
Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya.
Sebaliknya Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah
lainnya menyesuaikan perencanaannya dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, Bupati/ Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan koordinasi penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Tugas koordinasi yang dimaksud meliputi keseluruhan penataan ruang
wilayah nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Ayat (2)
Perubahan fungsi ruang suatu kawasan termasuk di dalamnya
perubahan bentuk fisik (bentang alam) dan pemanfaatannya meliputi
perubahan sebagai akibat kejadian alam maupun perbuatan manusia.
Perubahan atau konversi fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar
seperti dari kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan, pertanian,
permukiman, pariwisata, dan sebagainya; kawasan pertanian menjadi
kawasan pertambangan, permukiman, pariwisata, industri, dan sebagainya;
kawasan perumahan menjadi kawasan industri, perdagangan, pariwisata,
dan sebagainya memerlukan pengkajian dan penilaian atas perubahan fungsi
ruang tersebut secara lintas sektoral, lintas daerah, dan terpusat,
dikoordinasikan oleh Menteri.
Perubahan pemanfaatan ruang yang perlu dikoordinasikan, antara lain,
meliputi perubahan ruang lautan menjadi ruang daratan karena reklamasi di
daerah pasang surut, perubahan bentang alam perbukitan karena
penambangan bahan galian golongan C.
Perubahan fungsi ruang yang terjadi setelah ditetapkan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II disesuaikan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
melalui peraturan daerah yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 30
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
______________________________________
Undang Undang No. 5 Tahun 1994
Tentang : Pengesahan United Nations Convention On
Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)
Menimbang:
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
MENGENAI KEANEKARAGAMAN HAYATI).
Pasal 1
Pasal 2
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS
CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN HAYATI)
I. UMUM
Selain itu, dikeluarkan juga Declaration Made at the Time of Adoption of the
Agreed Text of the Convention on Biological Diversity, yang di antaranya
berisi saran, keberatan, usul perubahan, dan penyempurnaan.
C. Naskah Konvensi
Naskah Konvensi terdiri atas :
a. Batang Tubuh yang berisi pembukaan dan 42 pasal, yaitu :
1. Tujuan;
2. Pengertian;
3. Prinsip;
4. Lingkup Kedaulatan;
5. Kerja sama Internasional;
6. Tindakan Umum bagi Konservasi dan Pemanfaatan secara
Berkelanjutan;
7. Identifikasi dan Pemantauan;
8. Konservasi In-situ;
9. Konservasi Ex-situ;
10. Pemanfaatan secara Berkelanjutan Komponen-komponen
Keanekaragaman Hayati;
11. Tindakan Insentif;
12. Penelitian dan Pelatihan;
13. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat;
14. Pengkajian Dampak dan Pengurangan Dampak yang Merugikan;
15. Akses pada Sumber Daya Genetik;
16. Akses pada Teknologi dan Alih Teknologi;
17. Pertukaran Informasi;
18. Kerja Sama Teknis dan Ilmiah;
19. Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan;
20. Sumber Dana;
21. Mekanisme Pendanaan;
22. Hubungan dengan Konvensi Internasional yang Lain;
23. Konferensi Para Pihak;
24. Sekretariat;
25. Badan Pendukung untuk Nasihat-nasihat Ilmiah, Teknis dan
Teknologis;
26. Laporan;
27. Penyelesaian Sengketa;
28. Pengesahan Protokol;
29. Amandemen Konvensi atau Protokol;
30. Pengesahan dan Lampiran Amandemen;
31. Hak Suara;
32. Hubungan antara Konvensi dan Protokolnya;
33. Penandatanganan;
34. Ratifikasi, Penerimaan atau Persetujuan;
35. Aksesi;
36. Hal Berlakunya;
37. Keberatan-keberatan (Reservasi);
38. Penarikan Diri;
39. Pengaturan Pendanaan Interim;
40. Pengaturan Sekretariat Interim;
41. Depositari;
42. Teks Asli
b. Lampiran :
Lampiran I :
Indentifikasi dan Pemantauan (Indentification and Monitoring);
Lampiran II :
Bagian 1. Arbitrase (Arbitration) dan
Bagian 2. Konsiliasi (Conciliation).
D. Manfaat Konvensi
Dengan meratifikasi Konvensi, Indonesia akan memperoleh manfaat
berupa :
1. Penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa
Indonesia peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia,
yang menyangkut bidang keanekaragaman hayati, dan ikut
bertanggung jawab menyelamatkan kelangsungan hidup
manusia pada umumnya dan bangsa Indonessia pada
khususnya;
2. Penguasaan dan pengendalian dalam mengatur akses terhadap
alih teknologi, berdasarkan asas perlakuan dan pembagian
keuntungan yang adil dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan nasional;
3. Peningkatan kemampuan pemanfaatan dan pengembangan
teknologi yang diperlukan untuk memanfaatkan secara lestari
dan meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati
Indonesia dengan mengembangkan sumber daya genetik;
4. Peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan
keanekaragaman hayati Indonesia sehingga dalam
pemanfaatannya Indonesia benar-benar menerapkan Asas Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi seperti yang diamanatkan dalam
GBHN 1993;
5. Jaminan bahwa Pemerintah Indonesia dapat menggalang kerja
sama di bidang teknis ilmiah baik antarsektor pemerintah
maupun dengan sektor swasta, di dalam dan di luar negeri,
memadukan sejauh mungkin pelestarian dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan
kebijakan baik secara sektoral maupun lintas sektoral;
6. Pengembangan dan penanganan bioteknologi sehingga
Indonesia tidak dijadikan ajang uji coba pelepasan organisme
yang telah direkayasa secara bioteknologi oleh negara-negara
lain;
7. Pengembangan sumber dana untuk penelitian dan
pengembangan keanekaragaman hayati Indonesia;
8. Pengembangan kerja sama internasional untuk peningkatan
kemampuan dalam konservasi dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati, meliputi :
a) Penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik
in-situ maupun ex-situ;
b) Pengembangan pola-pola insentif baik secara sosial
budaya maupun ekonomi untuk upaya perlindungan dan
pemanfaatan secara lestari;
c) Pertukaran Informasi;
d) Pengembangan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan
peningkatan peran serta masyarakat.
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas
LAMPIRAN I
UNDANG - UNDANG NO. 5 TAHUN 1994
Bagian 1
ARBITRASE
Pasal 1
Pihak penuntut harus memberitahu sekretariat bahwa pihak-pihak
tersebut mengajukan persengketaan kepada arbitrase menurut Pasal 27.
Pemberitahuan tersebut harus menyebutkan pokok permasalahan arbitrase
dan mencantumkan secara khusus pasal-pasal dalam Konvensi atau
protokol, tafsiran atau penerapan hal-hal yang menjadi pokok permasalahan.
Jika pihak-pihak tersebut sepakat dengan pokok permasalahan
persengketaan sebelum Presiden pengadilan ditunjuk, sidang arbitrase
(arbitral) wajib menjelaskan pokok permasalahan tersebut. Sekretariat wajib
menyampaikan informasi ini sehingga diterima oleh semua pihak-pihak
penandatangan Konvensi ini atau kepada protokol yang berkaitan.
Pasal 2
1. Dalam persengketaan antara dua pihak, sidang arbitrase harus terdiri
dari tiga anggota. Setiap pihak yang bersengketa harus menunjuk
seorang penengah dan kedua penengah yang ditunjuk wajib
menunjuk, dengan persetujuan bersama, penengah ketiga yang akan
menjadi Presiden pengadilan. Penengah ketiga harus bukan warga
negara salah satu pihak yang bersengketa, atau mempunyai tempat
tinggal di dalam wilayah salah satu pihak tersebut, atau bekerja
pada salah satu dari pihak tersebut, mempunyai urusan apapun
dengan kasus ini dalam kapasitas apapun.
2. Dalam persengketaan di antara lebih dari dua pihak, pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan sama dapat menunjuk satu penengah atas
dasar persetujuan bersama.
3. Setiap lowongan harus diisi dengan cara yang telah ditentukan bagi
penunjukan awal.
Pasal 3
1. Presiden sidang arbitrase belum ditunjuk dalam jangka waktu dua
bulan sejak penunjukan penengah kedua, Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa akan, atas permintaan salah satu pihak,
menunjuk Presiden dalam jangka dua bulan berikutnya.
2. Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak menunjuk seorang
penengah dalam jangka waktu dua bulan sejak penerimaan
permohonan, pihak yang lain dapat memberitahu Sekretaris Jenderal
yang wajib mengadakan penunjukan dalam jangka dua bulan
berikutnya.
Pasal 4
Sidang arbitrase wajib membuat keputusannya sesuai dengan
ketetapan Konvensi ini, semua protokol yang berkaitan, dan hukum
internasional.
Pasal 5
Jika pihak-pihak yang bersengketa tidak setuju, sidang arbitrase wajib
menentukan peraturan-peraturan prosedur persidangan sendiri.
Pasal 6
Sidang arbitrase dapat, dengan permintaan salah satu pihak,
merekomendasikan langkah-langkah sementara untuk perlindungan.
Pasal 7
Pihak-pihak yang bersengketa wajib membantu pekerjaan sidang
arbitrase dan khususnya, menggunakan semua sarana yang dimilikinya,
akan :
(a) Memberi sidang segala dokumen, informasi dan fasilitas yang
berkaitan; dan
(b) Membantu sidang, bilamana perlu, untuk memanggil saksi-saksi atau
para ahli dan menerima bukti-bukti mereka.
Pasal 8
Pihak-pihak yang bersengketa dan para hakim di bawah sumpah untuk
melindungi kerahasiaan setiap informasi yang mereka terima secara rahasia
selama berlangsungnya sidang arbitrase.
Pasal 9
Jika sidang arbitrase tidak menetapkan hal yang berlawanan, karena
keadaan khusus kasus tersebut, biaya sidang arbitrase wajib ditanggung oleh
pihak-pihak yang bersengketa dengan pembagian yang sama. Sidang wajib
mencatat segala pembiayaannya, dan harus membuat pernyataan akhir
kepada pihak-pihak yang bersengketa.
Pasal 10
Setiap Pihak pada Konvensi yang mempunyai kepentingan bersifat
hukum dalam pokok permasalahan persengketaan yang dapat terpengaruh
oleh keputusan kasus tersebut, dapat campur tangan dalam proses
persidangan dengan ijin sidang.
Pasal 11
Sidang dapat mendengar dan menentukan tuntutan baik yang muncul
secara langsung dari pokok permasalahan persengketaan.
Pasal 12
Keputusan, baik pada prosedur dan substansi sidang arbitrase harus
ditentukan melalui hasil pemungutan suara terbanyak anggota-anggota
sidang.
Pasal 13
Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak muncul dalam sidang
arbitrase atau gagal dalam mempertahankan kasusnya, pihak yang lain
dapat meminta sidang untuk melanjutkan acara persidangan dan
memberikan keputusannya. Ketidakhadiran satu pihak atau kegagalan satu
pihak untuk mempertahankan kasusnya harus tidak merupakan penghalang
bagi acara persidangan. Sebelum membuat keputusan akhirnya, sidang
arbitrase harus meyakinkan diri bahwa tuntutan tersebut berdasarkan pada
fakta dan hukum yang kuat.
Pasal 14
Sidang wajib membuat keputusan akhirnya dalam jangka lima bulan
sejak sidang tersebut sepenuhnya diangkat kecuali jika dirasa perlu untuk
memperpanjang batas waktu hingga pada periode yang tidak lebih dari lima
bulan lagi.
Pasal 15
Keputusan akhir sidang arbitrase harus dibatasi pada pokok
permasalahan persengketaan dan harus menyatakan pertimbangan-
pertimbangan yang menjadi dasarnya. Keputusan tersebut harus memuat
nama-nama para anggota yang telah berperan serta dan tanggal keputusan
akhirnya. Setiap anggota sidang arbitrase dapat melampirkan opini terpisah
atau ketidaksepakatannya pada keputusan akhir tersebut.
Pasal 16
Keputusan sidang wajib mengikat pihak-pihak yang bersengketa.
Keputusan tersebut harus tanpa permohonan banding kecuali pihak-pihak
yang bersengketa sebelumnya telah menyetujui prosedur untuk naik
banding.
Pasal 17
Setiap perbedaan pendapat yang dapat timbul diantara pihak-pihak
yang bersengketa sebagai akibat penafsiran atau cara pelaksanaan
keputusan akhir tersebut dapat diajukan oleh masing-masing pihak pada
sidang arbitrase yang mengeluarkan keputusan tersebut untuk
ketegasannya.
Bagian 1
KONSILIASI (CONCILIATION)
Pasal 1
Dewan konsiliasi wajib dibentuk berdasarkan permohonan salah satu
pihak yang bersengketa. Dewan tersebut akan terdiri dari lima anggota, dua
dipilih oleh setiap pihak yang bersengketa dan seorang Presiden yang dipilih
secara bersama oleh keempat anggota tersebut, kecuali bilamana pihak-
pihak yang bersengketa tidak setuju.
Pasal 2
Dalam persengketaan antara lebih dari dua pihak, pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan yang sama wajib menunjuk anggota mereka pada
dewan konsiliasi secara bersama-sama melalui persetujuan. Jika dua atau
lebih pihak yang bersengketa tersebut mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda atau bilamana ada ketidaksetujuan bilamana pihak-pihak
tersebut mempunyai kepentingan yang sama, mereka dapat memilih
anggota-anggota secara terpisah.
Pasal 3
Jika penunjukan anggota-anggota dewan dari setiap pihak yang
bersengketa tidak dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan sejak tanggal
permohonan untuk membentuk dewan konsiliasi, Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa jika diminta oleh pihak yang mengajukan
permohonan dapat membuat penunjukannya tersebut jangka dua bulan
berikutnya.
Pasal 4
Jika Presiden dewan konsiliasi tidak terpilih dalam jangka waktu dua
bulan sejak anggota dewan terakhir terpilih. Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa jika diminta oleh salah satu pihak, dapat menunjuk seorang
Presiden dalam jangka waktu dua bulan berikutnya.
Pasal 5
Dewan konsiliasi wajib membuat keputusannya melalui pemungutan
suara terbanyak dari para anggotanya. Dewan tersebut harus, kecuali bila
pihak-pihak yang bersengketa tidak setuju, menetapkan prosedurnya sendiri.
Dewan wajib membuat usulan untuk pemecahan persengketaan yang harus
diterima oleh semua pihak yang bersengketa dengan itikad baik.
Pasal 6
Ketidaksepakatan mengenai kewenangan dewan konsiliasi wajib
diputuskan oleh dewan tersebut.
______________________________________
Undang Undang No. 6 Tahun 1994
Tentang:
Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change
(Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim)
Menimbang:
a. bahwa perubahan iklim bumi yang diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer akan memberikan pengaruh merugikan pada lingkungan
hidup dan kehidupan manusia;
b. bahwa dalam rangka upaya mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
di atmosfer, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada
tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992 telah menghasilkan komitmen
internasional dengan ditandatanganinya United Nations Framework Convention on
Climate Change oleh sejumlah besar negara di dunia, termasuk Indonesia;
c. bahwa dalam upaya mencegah berlanjutnya perubahan iklim yang merugikan
lingkungan hidup dan kehidupan manusia, masyarakat internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui untuk mengupayakan pengurangan
emisi gas rumah kaca yang diproyeksikan pada tahun 1990;
d. bahwa Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografi
dunia karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah
terbesar di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia
mempunyai fungsi sebagai penyerap gas rumah kaca yang besar;
e. bahwa komitmen negara-negara maju untuk menyediakan bantuan dana dan alih
teknologi kepada negara-negara berkembang yang merupakan tanggung jawab
negara-negara maju, sebagaimana diatur dalam United Nations Framework
Convention on Climate Change, perlu ditanggapi secara positif oleh Pemerintah
Indonesia;
f. bahwa Indonesia perlu ikut aktif mengambil bagian bersama-sama dengan
anggota masyarakat internasional lainnya dalam upaya mencegah meningkatnya
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, karena itu Pemerintah telah
menandatangani United Nations Framework Convention on Climate Change di Rio
de Janeiro, Brazil, pada tanggal 5 Juni 1992;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Pemerintah Indonesia
memandang perlu untuk mengesahkan United Nations Framework Convention on
Climate Change tersebut dengan Undangundang.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
Pasal 1
Pasal 2
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS FRAMEWORK
CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (KONVENSI KERANGKA KERJA
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI PERUBAHAN IKLIM)
I. UMUM
Selain itu, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa "Bumi
dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Pasal tersebut mengandung
esensi amanat yang mendasar bagi pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia.
Dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, manusia dapat
berperan dalam mengendalikan sistem iklim melalui pengelolaan sumber daya alam.
Untuk itu perlu dikembangkan pola interaksi timbal balik antara atmosfer, bumi dan air
yang dapat membentuk sistem iklim tersebut. Pengelolaan iklim terus dikembangkan
guna menunjang pembangunan di berbagai sektor, seperti pertanian dan kehutanan.
Dalam rangka itu telah dipertimbangkan pula Konvensi Wina tentang Perlindungan
Lapisan Ozon 1985 dan Protokol Montreal tentang Bahan-bahan yang Dapat Merusak
Lapisan Ozon yang telah disesuaikan dan diamandemenkan pada tanggal 29 Juni 1990,
dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992.
Para pihak pada Konvensi menyadari adanya analisis yang sangat berharga yang telah
dilakukan oleh banyak negara mengenai perubahan iklim dan sumbangan penting dari
Organisasi Meteorologi Dunia (the World Meteorological Organization = WNO), Badan
Pembangunan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations Environment
Programme = UNEP) dan badan-badan lain, serta organisasi dan badan-badan di dalam
sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pertukaran hasil penelitian ilmiah dan
koordinasi riset.
C. Naskah Konvensi
1. Pengertian;
2. Tujuan;
3. Prinsip-prinsip;
4. Komitmen;
5. Penelitian dan Pengamatan Sistemik;
6. Pendidikan, Pelatihan dan Kesadaran Masyarakat;
7. Konferensi Para Pihak;
8. Sekretariat;
9. Badan Pendukung untuk Nasihat-nasihat Ilmiah dan Teknologis;
10. Badan Pendukung Pelaksanaan;
11. Mekanisme Pembiayaan;
12. Komunikasi Informasi Mengenai Pelaksanaan;
13. Penyelesaian Masalah-masalah Pelaksanaan;
14. Penyelesaian Sengketa;
15. Perubahan-perubahan terhadap Konvensi;
16. Persetujuan dan Perubahan Lampiran-lampiran pada Konvensi;
17. Protokol;
18. Hak Suara;
19. Depositari;
20. Penandatangan;
21. Pengaturan Sementara;
22. Ratifikasi, Penerimaan, Persetujuan atau Aksesi;
23. Hal Berlakunya;
24. Keberatan-keberatan (Reservasi);
25. Penarikan Diri;
26. Teks Asli.
b. Lampiran :
Lampiran I:
Daftar Negara Maju dan Negara Ekonomi Transisi. Yang dimaksud dengan
"Negara Ekonomi Transisi" adalah negara yang sedang mengalami masa transisi
dari sistem ekonomi dengan perencanaan terpusat menuju sistem ekonomi pasar.
Lampiran II:
Daftar Negara Industri Maju yang Berkewajiban Menyediakan Pendanaan. Uraian
secara lengkap naskah Konvensi tersebut di atas dapat dilihat pada salinan
naskah asli Konvensi dalam Bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia terlampir.
D. Manfaat Konvensi
a. Di dalam negeri, akan menambah lagi perangkat hukum yang lebih menjamin
terselenggaranya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Ketentuan-ketentuannya akan menjadi bagian dari hukum nasional yang
mengatur masalah iklim dan lingkungan, sebagaimana yang sudah secara
konsisten dilakukan oleh Negara Republik Indonesia.
b. Di luar negeri, akan menunjukkan bahwa Indonesia turut bertanggung jawab
terhadap masalah lingkungan global, khususnya pada masalah perubahan iklim
bumi yang dampaknya akan menimbulkan keprihatinan bersama umat manusia.
Kita menyadari bahwa kegiatan manusia telah meningkatkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer dan peningkatan ini akan memperbesar efek gas rumah
kaca yang pada gilirannya berakibat naiknya rata-rata pemanasan permukaan
bumi dan atmosfer yang dapat mengganggu ekosistem.
c. Manfaat lain, lebih terbuka kesempatan yang sangat luas bagi Indonesia untuk
selalu bekerja sama dan berkomunikasi dengan negara-negara lain dan
organisasi-organisasi internasional melalui komunikasi informasi yang
dilembagakan oleh Konvensi.
Di antara Komunikasi tersebut yang penting ialah berupa pertukaran ilmiah dan
teknologi karena Konvensi juga membentuk Badan Pendukung untuk nasihat ilmiah dan
teknologi yang terbuka bagi semua pihak dan multidisiplin.
Dengan meratifikasi Konvensi ini, kita tidak akan kehilangan kedaulatan atas sumber
alam yang kita miliki karena Konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara sesuai
dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum internasional
mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber alam sejalan dengan keadaan
lingkungan serta sesuai dengan kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-
masing sehingga tidak merusak lingkungan.
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas
___________________________
Undang Undang No. 23 Tahun 1997
Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menimbang:
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7
(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
(1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
(2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
(3) menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial;
(4) memberikan saran pendapat;
(5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya
ditentukan oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 14
Pasal 15
(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 18
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
Pasal 20
(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar
wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Pasal 26
(1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
(2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha
dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
Pasal 28
(4) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti rugi.
Pasal 36
Pasal 37
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku.
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan
lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
(1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 42
Pasal 43
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan
denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 44
Pasal 45
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 46
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 47
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pasal 51
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
I. UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari
hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada
asas kerterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan
nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di
samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat
berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang
terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan
lingkungan hidup, baik pemantuan penaatan maupun pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun
dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan
kebijakan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas
dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat mencerminkan harkat
manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut
mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya
memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan
budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbingan di
bidang lingkungan hidup.
Ayat (2)
Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk
menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan
lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan
lainnya.
Huruf b
Meningkatnya kemampuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan
efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
Huruf c
Meningkatnya ketanggapsegeraan masyarakat akan semakin menurunkan
kemungkinan terjadinya dampak negatif.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dengan meningkatnya ketanggapsegeraan akan meningkatkan kecepatan
pemberian informasi tentang suatu masalah lingkungan hidup sehingga
dapat segera ditindak lanjuti.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan yang mempunyai dampak sosial merupakan kegiatan yang
berpengaruh terhadap kepentingan umum, baik secara kultural maupun
secara struktural.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan
proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Misalnya, perhatian terhadap masyarakat
adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang
terdapat di sekitarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah
pihak-pihak yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku
pembangunan lainnya.
Huruf b
Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia.
Huruf c
Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam
upaya maupun dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam rangka peran
masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain
lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif
adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan
perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak lingkungan hidup.
Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan
baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan
pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup,
seperti ISO 14000.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif
dan proaktif misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab
lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup dan audit lingkungan
hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja.
Pasal 11
Ayat (1)
Lingkup pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi
berbagai sektor yang menjadi tanggung jawab berbagai departemen dan
instansi pemerintah. Untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan
benturan kepentingan perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi melalui perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Negara Kesatuan Republik Indonesia kaya akan keaneragaman potensi
sumber daya alam hayati dan non-hayati, karakteristik kebhinekaan budaya
masyarakat, dan aspirasi dapat menjadi modal utama pembangunan
nasional. Untuk itu guna mencapai keterpaduan dan kesatuan pola pikir, dan
gerak langkah yang menjamin terwujudnya pengelolaan lingkungan hidup
secara berdayaguna dan berhasilguna yang berlandaskan Wawasan
Nusantara, maka Pemerintah Pusat dapat menetapkan wewenang tertentu
dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun
kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah
dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Huruf b
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan.
Melalui tugas pembantuan ini maka wewenang, pembiayaan, peralatan, dan
tanggung jawab tetap berada pada pemerintah yang menugaskannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, Pemerintah
Pusat dapat menyerahkan urusan di bidang lingkungan hidup kepada daerah
menjadi wewenang, tugas, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah
berdasarkan asas desentralisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Pasal 15
Ayat (1)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis
ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan
timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksud merupakan upaya untuk
mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup
berupa terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, mengingat
bahan berbahaya dan beracun mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan efek negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin kuasa pertambangan untuk usaha
di bidang pertambangan, atau izin usaha industri untuk usaha di bidang
industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban
yang berkenaan dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan dalam melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi
usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana
pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus
dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat mutu
limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban
yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan
swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan
analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas analisis mengenai
dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan
permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan
pelaksanaan atas keterbukaan pemerintahan. Pengumuman izin melakukan
usaha dan/atau kegiatan tersebut memungkinkan peranserta masyarakat
khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan
keputusan izin.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Suatu usaha dan/atau kegiatan akan menghasilkan limbah. Pada
umumnya limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
media lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal tertentu, limbah
yang dihasilkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan itu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku suatu produk. Namun dari proses
pemanfaatan tersebut akan menghasilkan limbah, sebagai residu yang
tidak dapat dimanfaatkan kembali, yang akan dibuang ke media
lingkungan hidup.
Pembuangan (dumping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah
pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan
dan/atau bahan lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke dalam
media lingkungan hidup, baik tanah, air maupun udara. Pembuangan
limbah dan/atau bahan tersebut ke media lingkungan hidup akan
menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Sehingga dengan
ketentuan Pasal ini, ditentukan bahwa pada prinsipnya pembuangan
limbah ke media lingkungan hidup merupakan hal yang dilarang,
kecuali ke media lingkungan hidup tertentu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain
untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan
pimpinan instansi yang bersangkutan.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan pelaksanaan
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Pasal 25
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda
mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan
pelanggaran yang menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah
pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot
untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga
masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Pasal 29
Ayat (1) Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini
merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai
upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup
untuk menjamin kepastian hukum.
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Ayat (1)
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini
dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar
pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan
mendasarkan pada prinsip ketidakberpihakan dan profesionalisme.
Lembaga penyedia jasa yang dibentuk Pemerintah dimaksudkan
sebagai pelayanan publik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan
hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan
membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup
dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk :
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
memulihkan fungsi lingkungan hidup;
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 35
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat (2)
Huruf a sampai huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini
merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang
dilakukan Pemerintah.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini
adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat
berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas
gugatan lain, yaitu :
a. memohon kepada pengadilan agar seseorang
diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup;
b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak
lingkungan hidup;
c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit
pengolah limbah.
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah
biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah
dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.
Ayat (3)
Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan
lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka
secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki
ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke
pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha
negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan
dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Undang Undang No. 41 Tahun 1999
Tentang : Kehutanan
Menimbang:
a. Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa
yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan
yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat
manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara
optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak
atas tanah.
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Pasal 3
Bagian Ketiga
Penguasaan Hutan
Pasal 4
BAB II
STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5
b. hutan hak.
1. Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat
berupa hutan adat.
Pasal 6
a. fungsi konservasi,
c. fungsi produksi
c. hutan produksi.
Pasal 7
c. taman buru.
Pasal 8
Pasal 9
BAB III
PENGURUSAN HUTAN
Pasal 10
a. perencanaan kehutanan
b. pengelolaan hutan
d. pengawasan.
BAB IV
PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
1. Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman
dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
huruf a, meliputi :
a. inventarisasi hutan,
Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan
Pasal 13
2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan
Pasal 14
Pasal 15
Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.
Pasal 18
Pasal 19
Bagian Keenam
Penyusunan Rencana Kehutanan
Pasal 20
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 21
Bagian Kedua
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 22
5. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
a. perorangan,
b. koperasi.
a. perorangan,
b. koperasi,
a. perorangan,
b. koperasi.
Pasal 28
Pasal 29
b. koperasi.
a. perorangan,
b. koperasi,
a. perorangan,
b. koperasi,
a. perorangan,
b. koperasi,
a. perorangan,
b. koperasi,
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
Pasal 35
4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada yat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
1. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Bagian Keempat
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pasal 40
Pasal 41
a. reboisasi,
b. penghijauan,
c. pemeliharaan,
d. pengayaan tanaman, atau
Pasal 42
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pasal 44
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48
6. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan
di areal kerjanya.
Pasal 50
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
berwenang;
BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN
LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 52
Bagian Kedua
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pasal 53
Pasal 54
Bagian Ketiga
Pendidikan dan Latihan Kehutanan
Pasal 55
Bagian Keempat
Penyuluh Kehutanan
Pasal 56
Bagian Kelima
Pendanaan dan Prasarana
Pasal 57
Pasal 58
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 59
Pasal 61
Pasal 62
Pasal 63
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 67
2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 68
Pasal 69
4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
GUGATAN PERWAKILAN
Pasal 71
Pasal 72
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau
kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan
masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan
masyarakat.
Pasal 73
BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
Pasal 74
Pasal 75
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 77
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
12.Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan
ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
Pasal 79
1. Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa
temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.
BAB XV
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 80
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Pasal 82
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan yidak
berlaku :
Pasal 84
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI
TENTANG
Menimbang:
a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam segala bidang;
b. bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang
cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya
air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan
ekonomi secara selaras;
c. bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi
dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat
perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak
sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam
kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d,
dan e perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 huruf D ayat (1), ayat
(2), ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
1. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di
dalamnya.
2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air
hujan, dan air laut yang berada di darat.
3. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
5. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang
terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.
6. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air
yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan
penghidupan manusia serta lingkungannya.
7. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
8. Pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam
merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.
9. Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara
menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pengelolaan sumber daya air.
10. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
11. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
12. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
13. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan
air untuk berbagai keperluan.
14. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air.
15. Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
16. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom
yang lain sebagai badan eksekutif daerah.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
18. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa
tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan
datang.
19. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan,
penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara
optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.
20. Pengendalian daya rusak air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi,
dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya
rusak air.
21. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.
22. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang
akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai
tujuan pengelolaan sumber daya air.
23. Operasi adalah kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan
sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya air.
24. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana
sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air
dan prasarana sumber daya air.
25. Prasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang
menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun
tidak langsung.
26. Pengelola sumber daya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk
melaksanakan pengelolaan sumber daya air.
Pasal 2
Pasal 3
Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan
hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 4
Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.
Pasal 5
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok
minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Pasal 6
(1) Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap
mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundang-undangan.
(3) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah
dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
(4) Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
hak guna air.
Pasal 7
(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna
pakai air dan hak guna usaha air.
(2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau
dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya.
Pasal 8
(1) Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem
irigasi.
(2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila:
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk
mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan
dengan tanahnya.
Pasal 9
(1) Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha
dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain
berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan ganti
kerugian atau kompensasi.
Pasal 10
Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan
Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 11
(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam
segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air.
(2) Pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan
air tanah.
(3) Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-
luasnya.
(4) Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip keseimbangan antara
upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.
(5) Ketentuan mengenai penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 12
BAB II
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 13
(1) Wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber
Daya Air Nasional.
(3) Penetapan wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi wilayah
sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah
sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis
nasional.
(4) Penetapan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas
kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas provinsi, dan cekungan air tanah lintas
negara.
(5) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penetapan wilayah sungai dan
cekungan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain
meliputi:
a. mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh
masyarakat dan/atau pemerintahan di atasnya dengan mempertimbangkan asas
kemanfaatan umum;
b. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air yang menjadi kewenangannya;
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air sesuai dengan
ketersediaan air yang ada; dan
d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan sumber
daya air di wilayahnya.
Pasal 18
Pasal 19
(1) Dalam hal pemerintah daerah belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16, pemerintah daerah dapat
menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah di atasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air oleh pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 wajib diambil oleh
pemerintah di atasnya dalam hal:
BAB III
KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
Pasal 20
(1) Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan
daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air.
(2) Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada
pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
(3) Ketentuan tentang konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang.
Pasal 21
(1) Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan
melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan
atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang
disebabkan oleh tindakan manusia.
(2) Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:
(3) Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
(4) Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau
sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.
(5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
(1) Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau
kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.
(2) Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada
waktu diperlukan;
b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
c. mengendalikan penggunaan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 23
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan untuk
mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada
sumber-sumber air.
(2) Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(3) Pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air dan prasarana
sumber daya air.
(4) Ketentuan mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 24
Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau
mengakibatkan pencemaran air.
Pasal 25
(1) Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa,
cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
(2) Pengaturan konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan konservasi sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB IV
PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR
Pasal 26
Pasal 27
(1) Penatagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air
pada sumber air.
(2) Penetapan zona pemanfaatan sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan rencana tata
ruang wilayah dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang
bersangkutan.
(3) Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan:
a. mengalokasikan zona untuk fungsi lindung dan budi daya;
b. menggunakan dasar hasil penelitian dan pengukuran secara teknis hidrologis;
c. memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan sumber
air;
d. memperhatikan kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
e. melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan;
dan
f. memperhatikan fungsi kawasan.
(4) Ketentuan dan tata cara penetapan zona sumber air diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 28
(1) Penetapan peruntukan air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) pada setiap wilayah sungai dilakukan dengan memperhatikan:
Pasal 29
(1) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air dan daya air serta memenuhi berbagai
keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas.
(2) Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan sesuai
dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri,
pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga,
rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi
pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama
penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan.
(4) Urutan prioritas penyediaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5) Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menimbulkan kerugian bagi pemakai sumber daya air,
Pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengatur kompensasi kepada
pemakainya.
(6) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) direncanakan
dan ditetapkan sebagai bagian dalam rencana pengelolaan sumber daya air pada
setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 30
Pasal 31
Ketentuan mengenai penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 dan Pasal 30 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 32
(1) Penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media
dan/atau materi.
(2) Penggunaan sumber daya air dilaksanakan sesuai penatagunaan dan rencana
penyediaan sumber daya air yang telah ditetapkan dalam rencana pengelolaan
sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Penggunaan air dari sumber air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari,
sosial, dan pertanian rakyat dilarang menimbulkan kerusakan pada sumber air dan
lingkungannya atau prasarana umum yang bersangkutan.
(4) Penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari yang dilakukan
melalui prasarana sumber daya air harus dengan persetujuan dari pihak yang
berhak atas prasarana yang bersangkutan.
(5) Apabila penggunaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menimbulkan kerusakan pada sumber air, yang bersangkutan wajib mengganti
kerugian.
(6) Dalam penggunaan air, setiap orang atau badan usaha berupaya menggunakan air
secara daur ulang dan menggunakan kembali air.
(7) Ketentuan mengenai penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 33
Pasal 34
(1) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber
daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian,
industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan
untuk berbagai keperluan lainnya.
(2) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan tanpa merusak keseimbangan lingkungan hidup.
(3) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana
tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan:
(4) Pelaksanaan pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan melalui konsultasi publik, melalui tahapan survei, investigasi, dan
perencanaan, serta berdasarkan pada kelayakan teknis, lingkungan hidup, dan
ekonomi.
(5) Potensi dampak yang mungkin timbul akibat dilaksanakannya pengembangan
sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditangani secara
tuntas dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait pada tahap penyusunan
rencana.
Pasal 35
Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
meliputi:
a. air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya;
b. air tanah pada cekungan air tanah;
c. air hujan; dan
d. air laut yang berada di darat.
Pasal 36
(1) Pengembangan air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air
permukaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dilaksanakan
dengan memperhatikan karakteristik dan fungsi sumber air yang bersangkutan.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sungai, danau, rawa, dan sumber air
permukaan lainnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37
(1) Air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b merupakan salah satu
sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat
mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.
(2) Pengembangan air tanah pada cekungan air tanah dilakukan secara terpadu dalam
pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai dengan upaya pencegahan
terhadap kerusakan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 38
(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf c dilaksanakan dengan mengembangkan teknologi modifikasi cuaca.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan
teknologi modifikasi cuaca setelah memperoleh izin dari Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan awan untuk teknologi modifikasi cuaca diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 39
(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan memperhatikan fungsi
lingkungan hidup.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat menggunakan air laut yang berada di darat
untuk kegiatan usaha setelah memperoleh izin pengusahaan sumber daya air dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan air laut yang berada di darat diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 40
(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem
penyediaan air minum.
(2) Pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah merupakan
penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum.
(4) Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
(5) Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan
untuk:
Pasal 41
(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi.
(2) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dengan ketentuan:
(3) Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab
perkumpulan petani pemakai air.
(4) Pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan mengikutsertakan masyarakat.
(5) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh
perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
(6) Ketentuan mengenai pengembangan sistem irigasi diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 42
(1) Pengembangan sumber daya air untuk industri dan pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air baku
dalam proses pengolahan dan/atau eksplorasi .
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk industri dan
pertambangan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 43
Pasal 44
(1) Pengembangan sumber daya air untuk perhubungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan pada sungai, danau, waduk, dan sumber air
lainnya.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air sebagai jaringan prasarana
angkutan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 45
Pasal 46
(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan
menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh
badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
(2) Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana
pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan alokasi
air sementara.
Pasal 47
a. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya
air; dan
b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang izin pengusahaan
sumber daya air.
Pasal 48
(1) Pengusahaan sumber daya air dalam suatu wilayah sungai yang dilakukan dengan
membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya dapat digunakan
untuk wilayah sungai lainnya apabila masih terdapat ketersediaan air yang
melebihi keperluan penduduk pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(2) Pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
Pasal 49
(1) Pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air
untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) telah
dapat terpenuhi.
(2) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai yang
bersangkutan, serta memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.
(3) Rencana pengusahaan air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi
publik oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) wajib mendapat izin dari Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari pemerintah
daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
Ketentuan mengenai pengusahaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB V
PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR
Pasal 51
(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
(2) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan
pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang
disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.
(3) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat.
(4) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber daya air
wilayah sungai dan masyarakat.
Pasal 52
Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
terjadinya daya rusak air.
Pasal 53
(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan baik
melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik maupun melalui penyeimbangan hulu dan
hilir wilayah sungai.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih diutamakan pada kegiatan
nonfisik.
(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh pengelola
sumber daya air yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai pencegahan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 54
(1) Penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
dilakukan dengan mitigasi bencana.
(2) Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu
oleh instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi
penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai penanggulangan kerusakan dan bencana akibat daya rusak
air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 55
(1) Penanggulangan bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional menjadi
tanggung jawab Pemerintah.
(2) Bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional ditetapkan dengan
keputusan presiden.
Pasal 56
(1) Pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem
prasarana sumber daya air.
(2) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 58
(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan pada sungai, danau, waduk dan/atau
bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air laut yang
berada di darat.
(2) Ketentuan mengenai pengendalian daya rusak air pada sungai, danau, waduk
dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air
laut yang berada di darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
PERENCANAAN
Pasal 59
(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun untuk menghasilkan rencana
yang berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air.
(2) Perencanaan pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan asas
pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(3) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan pola pengelolaan
sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(4) Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam
penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang
wilayah.
Pasal 60
(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan
persyaratan melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang
berlaku secara nasional yang mencakup inventarisasi sumber daya air,
penyusunan, dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya air.
(2) Ketentuan mengenai prosedur dan persyaratan perencanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 61
(1) Inventarisasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
dilakukan pada setiap wilayah sungai di seluruh wilayah Indonesia.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
terkoordinasi pada setiap wilayah sungai oleh pengelola sumber daya air yang
bersangkutan.
(3) Pelaksanaan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
oleh pihak lain berdasarkan ketentuan dan tata cara yang ditetapkan.
(4) Pengelola sumber daya air wajib memelihara hasil inventarisasi dan
memperbaharui data sesuai dengan perkembangan keadaan.
(5) Ketentuan mengenai inventarisasi sumber daya air diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 62
(1) Penyusunan rencana pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (3) pada setiap wilayah sungai dilaksanakan secara terkoordinasi
oleh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya dengan
mengikutsertakan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya mengumumkan secara
terbuka rancangan rencana pengelolaan sumber daya air kepada masyarakat.
(3) Masyarakat berhak menyatakan keberatan terhadap rancangan rencana
pengelolaan sumber daya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan kondisi setempat.
(4) Instansi yang berwenang dapat melakukan peninjauan kembali terhadap
rancangan rencana pengelolaan sumber daya air atas keberatan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Rancangan rencana pengelolaan sumber daya air ditetapkan oleh instansi yang
berwenang untuk menjadi rencana pengelolaan sumber daya air.
(6) Rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke dalam
program yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air oleh instansi
pemerintah, swasta, dan masyarakat.
(7) Ketentuan mengenai perencanaan pengelolaan sumber daya air diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
BAB VII
PELAKSANAAN KONSTRUKSI, OPERASI DAN PEMELIHARAAN
Pasal 63
(1) Pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dilakukan berdasarkan norma,
standar, pedoman, dan manual dengan memanfaatkan teknologi dan sumber
daya lokal serta mengutamakan keselamatan, keamanan kerja, dan
keberlanjutan fungsi ekologis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma,
standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi
pada sumber air wajib memperoleh izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana sumber daya air di atas tanah
pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian dan/atau kompensasi
kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 64
(1) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air terdiri atas pemeliharaan
sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air.
(2) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin
kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air.
(3) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, atau pengelola sumber daya air sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air yang dibangun
oleh badan usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan menjadi tugas dan
tanggung jawab pihak-pihak yang membangun.
(5) Masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi ditetapkan:
(7) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya prasarana sumber daya air.
(8) Ketentuan mengenai operasi dan pemeliharaan sumber daya air diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA AIR
Pasal 65
(1) Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan pemerintah
daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi sumber daya air sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
informasi mengenai kondisi hidrologis, hidrome-teorologis, hidrogeologis,
kebijakan sumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air,
lingkungan pada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi
budaya masyarakat yang terkait dengan sumber daya air.
Pasal 66
(1) Sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1)
merupakan jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan dikelola oleh
berbagai institusi.
(2) Jaringan informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber
daya air.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat membentuk unit pelaksana teknis untuk
menyelenggarakan kegiatan sistem informasi sumber daya air.
Pasal 67
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah serta pengelola sumber daya air, sesuai
dengan kewenangannya, menyediakan informasi sumber daya air bagi semua
pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), seluruh instansi Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum,
organisasi, dan lembaga serta perseorangan yang melaksanakan kegiatan
berkaitan dengan sumber daya air menyampaikan laporan hasil kegiatannya
kepada instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di
bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, badan hukum,
organisasi, lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) bertanggung jawab menjamin keakuratan, kebenaran, dan ketepatan
waktu atas informasi yang disampaikan.
Pasal 68
(1) Untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air diperlukan
pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan hidrogeologi
wilayah sungai pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan
hidrogeologi ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber Daya Air
Nasional.
(3) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan
pihak lain.
Pasal 69
Ketentuan mengenai sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB IX
PEMBERDAYAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 70
Pasal 71
(1) Menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait dengan
bidang sumber daya air menetapkan standar pendidikan khusus dalam bidang
sumber daya air.
(2) Penyelenggaraan pendidikan bidang sumber daya air dapat dilaksanakan, baik oleh
Pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta sesuai dengan standar pendidikan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 72
(1) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
sumber daya air diselenggarakan untuk mendukung dan meningkatkan kinerja
pengelolaan sumber daya air.
(2) Menteri yang membidangi ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah memperoleh
saran dari menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait
dengan sumber daya air, menetapkan kebijakan dan pedoman yang diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan
kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
bidang sumber daya air.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong dan menciptakan kondisi yang
mendukung untuk meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan
teknologi dalam bidang sumber daya air oleh masyarakat, dunia usaha, dan
perguruan tinggi.
Pasal 73
Pemerintah memfasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan ilmu pengetahuan dan
inovasi teknologi dalam bidang sumber daya air sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 74
(1) Pendampingan dan pelatihan bidang sumber daya air ditujukan untuk
pemberdayaan para pemilik kepentingan dan kelembagaan pada wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya dalam pengelolaan sumber daya air, menetapkan pedoman kegiatan
pendampingan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan sumber daya air wajib memberikan dukungan dan bekerja sama
untuk menyelenggarakan kegiatan pendampingan dan pelatihan.
Pasal 75
(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan sumber daya air, diselenggarakan
kegiatan pengawasan terhadap seluruh proses dan hasil pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air pada setiap wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Peran masyarakat dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang
berwenang.
(4) Pemerintah menetapkan pedoman pelaporan dan pengaduan masyarakat dalam
pengawasan pengelolaan sumber daya air.
Pasal 76
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 77
Pasal 78
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) dibebankan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, koperasi, badan
usaha lain, dan perseorangan, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk
kerja sama.
(2) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kewenangan masing-masing dalam pengelolaan sumber daya air.
(3) Pembiayaan pelaksanaan konstruksi dan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi
diatur sebagai berikut:
(4) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak untuk pendayagunaan sumber daya air
pada wilayah sungai lintas provinsi, lintas kabupaten/kota, dan strategis nasional,
pembiayaan pengelolaannya ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah yang bersangkutan melalui pola kerja sama.
Pasal 79
(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) yang ditujukan untuk pengusahaan sumber daya air yang
diselenggarakan oleh koperasi, badan usaha milik negara/badan usaha milik
daerah pengelola sumber daya air, badan usaha lain dan perseorangan ditanggung
oleh masing-masing yang bersangkutan.
(2) Untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum, Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam batas-batas tertentu dapat memberikan bantuan biaya
pengelolaan kepada badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola
sumber daya air.
Pasal 80
(1) Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan
untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(2) Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(3) Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis
penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi
kelompok pengguna dan volume penggunaan sumber daya air.
(5) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis
penggunaan nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari
para pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(7) Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Pasal 81
BAB XI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 82
Pasal 83
Dalam menggunakan hak guna air, masyarakat pemegang hak guna air berkewajiban
memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan melalui perannya dalam konservasi
sumber daya air serta perlindungan dan pengamanan prasarana sumber daya air.
Pasal 84
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya
air.
(2) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB XII
KOORDINASI
Pasal 85
(1) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas
wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi
dan manfaat air dan sumber air.
(2) Pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,
wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.
Pasal 86
(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dilakukan oleh suatu
wadah koordinasi yang bernama dewan sumber daya air atau dengan nama lain.
(2) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pokok
menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air.
(3) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan unsur
pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar
prinsip keterwakilan.
(4) Susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.
Pasal 87
(1) Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional
yang dibentuk oleh Pemerintah, dan pada tingkat provinsi dilakukan oleh wadah
koordinasi dengan nama dewan sumber daya air provinsi atau dengan nama lain
yang dibentuk oleh pemerintah provinsi.
(2) Untuk pelaksanaan koordinasi pada tingkat kabupaten/kota dapat dibentuk wadah
koordinasi dengan nama dewan sumber daya air kabupaten/kota atau dengan
nama lain oleh pemerintah kabupaten/kota.
(3) Wadah koordinasi pada wilayah sungai dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(4) Hubungan kerja antarwadah koordinasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,
dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif.
(5) Pedoman mengenai pembentukan wadah koordinasi pada tingkat provinsi,
kabupaten/kota, dan wilayah sungai diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri
yang membidangi sumber daya air.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 88
(1) Penyelesaian sengketa sumber daya air pada tahap pertama diupayakan
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar
pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 89
Sengketa mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya air antara Pemerintah dan
pemerintah daerah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XIV
GUGATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI
Pasal 90
Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air berhak
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan.
Pasal 91
Instansi pemerintah yang membidangi sumber daya air bertindak untuk kepentingan
masyarakat apabila terdapat indikasi masyarakat menderita akibat pencemaran air
dan/atau kerusakan sumber air yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Pasal 92
(1) Organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan
gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang
menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya, untuk
kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugatan untuk
melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber
daya air dan/atau gugatan membayar biaya atas pengeluaran nyata.
(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan:
(4) berbentuk organisasi kemasyarakatan yang berstatus badan hukum dan bergerak
dalam bidang sumber daya air;
(5) mencantumkan tujuan pendirian organisasi dalam anggaran dasarnya untuk
kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya air; dan
telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
BAB XV
PENYIDIKAN
Pasal 93
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai
negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang sumber daya
air dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk:
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(4) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 94
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah):
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penggunaan air yang
mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi
sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (7).
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
Pasal 95
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah):
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah):
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah):
Pasal 96
(1) Dalam hal tindak pidana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94
dan Pasal 95 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap
badan usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga
denda yang dijatuhkan.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 97
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan
dengan sumber daya air dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 98
Perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang telah diterbitkan
sebelum ditetapkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
masa berlakunya berakhir.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 100
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Maret 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 32
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004
TENTANG
UMUM
(1) Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
segala bidang. Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa sumber
daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat secara adil. Atas penguasaan sumber daya air oleh negara dimaksud,
negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan
kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air. Penguasaan
negara atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayat
masyarakat hukum adat setempat dan hak-hak yang serupa dengan itu,
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak
untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai
keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak
pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan
memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang
ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib
memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin. Hak guna air untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut
dengan hak guna pakai air, sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan
usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya,
media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan pembantu produksi, disebut
dengan hak guna usaha air.
(3) Jumlah alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak dan harus dipenuhi
sebagaimana yang tercantum dalam izin, tetapi dapat ditinjau kembali apabila
persyaratan atau keadaan yang dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi
ketersediaan air pada sumber air yang bersangkutan mengalami perubahan yang
sangat berarti dibandingkan dengan kondisi ketersediaan air pada saat penetapan
alokasi.
(4) Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi
perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi dijamin
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah. Hak guna pakai air untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut
termasuk hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang
lain yang berbatasan dengan tanahnya. Pemerintah atau pemerintah daerah
menjamin alokasi air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi
perseorangan dan pertanian rakyat tersebut dengan tetap memperhatikan kondisi
ketersediaan air yang ada dalam wilayah sungai yang bersangkutan dengan tetap
menjaga terpeliharanya ketertiban dan ketentraman.
(5) Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih
menguatnya nilai ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar sektor, antar wilayah dan
berbagai pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan
sumber daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung lebih
memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber
daya air.
(6) Berdasarkan pertimbangan tersebut undang-undang ini lebih memberikan
perlindungan terhadap kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan
menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyelaraskan
fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.
(7) Air sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat
dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah
administrasi.
(8) Keberadaan air mengikuti siklus hidrologis yang erat hubungannya dengan kondisi
cuaca pada suatu daerah sehingga menyebabkan ketersediaan air tidak merata
dalam setiap waktu dan setiap wilayah.
(9) Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan
masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif
terhadap kelestarian sumber daya air dan meningkatnya daya rusak air. Hal
tersebut menuntut pengelolaan sumber daya air yang utuh dari hulu sampai ke
hilir dengan basis wilayah sungai dalam satu pola pengelolaan sumber daya air
tanpa dipengaruhi oleh batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya.
(10) Berdasarkan hal tersebut di atas, pengaturan kewenangan dan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya air oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota didasarkan pada keberadaan wilayah sungai yang
bersangkutan, yaitu:
a. wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan/atau wilayah
sungai strategis nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
b. wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah
provinsi;
c. wilayah sungai yang secara utuh berada pada satu wilayah kabupaten/kota
menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota;
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Asas Kemanfaatan Umum mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya air
dilaksanakan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umum
secara efektif dan efisien.
Asas Keterpaduan dan Keserasian mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber
daya air dilakukan secara terpadu dalam mewujudkan keserasian untuk berbagai
kepentingan dengan memperhatikan sifat alami air yang dinamis.
Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya air dilakukan
secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di wilayah tanah air sehingga setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati
hasilnya secara nyata.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh mencakup
semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian
daya rusak air, serta meliputi satu sistem wilayah pengelolaan secara utuh yang
mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air secara terpadu merupakan
pengelolaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemilik kepentingan
antarsektor dan antarwilayah administrasi.
Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air berwawasan lingkungan hidup
adalah pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung
lingkungan.
Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan adalah pengelolaan
sumber daya air yang tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi
juga termasuk untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Pasal 4
Sumber daya air mempunyai fungsi sosial berarti bahwa sumber daya air untuk
kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu.
Sumber daya air mempunyai fungsi lingkungan hidup berarti bahwa sumber daya air
menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan
fauna.
Sumber daya air mempunyai fungsi ekonomi berarti bahwa sumber daya air dapat
didayagunakan untuk menunjang kegiatan usaha.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang
sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang
pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya:
Ayat (3)
Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa
dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum
adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan
tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan artinya hak guna
air yang diberikan kepada pemohon tidak dapat disewakan dan dipindahkan
kepada pihak lain dengan alasan apapun.
Apabila hak guna air tersebut tidak dimanfaatkan oleh pemegang hak guna air,
Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut hak guna air yang
bersangkutan.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok sehari-hari adalah air untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang digunakan pada atau diambil dari sumber air
(bukan dari saluran distribusi) untuk keperluan sendiri guna mencapai kehidupan
yang sehat, bersih dan produktif, misalnya untuk keperluan ibadah, minum,
masak, mandi, cuci dan, peturasan.
Yang dimaksud dengan pertanian rakyat adalah budi daya pertanian yang meliputi
berbagai komoditi yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan,
perkebunan, dan kehutanan yang dikelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang
kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala keluarga.
Yang dimaksud dengan sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi,
manajemen irigasi, institusi pengelola irigasi, dan sumber daya manusia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mengubah kondisi alami sumber air adalah mempertinggi,
memperendah, dan membelokkan sumber air.
Mempertinggi adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan air pada sumber air
menjadi lebih tinggi, misalnya membangun bendung atau bendungan. Termasuk
dalam pengertian mempertinggi adalah memompa air dari sumber air untuk
pertanian rakyat.
Memperendah adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan air pada sumber air
menjadi lebih rendah atau turun dari semestinya, misalnya menggali atau
mengeruk sungai.
Membelokkan adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan aliran air dan alur
sumber air menjadi berbelok dari alur yang sebenarnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Hak untuk mengalirkan air melalui tanah orang lain dimaksudkan agar tidak
mengganggu perolehan hak guna pakai air orang lain. Dalam hal air digunakan
untuk keperluan pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada, hak untuk
mengalirkan air melalui tanah orang lain didasarkan pada kesepakatan kedua belah
pihak.
Pasal 9
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Kompensasi adalah pemberian imbalan kepada pemegang hak atas tanah sebagai
akibat dari dilewatinya area tanahnya oleh aliran air pemegang hak guna usaha air
sehingga pemegang hak atas tanah tidak dapat memanfaatkan sepenuhnya hak
atas tanah yang dimilikinya. Besarnya kompensasi ditetapkan berdasarkan
kesepakatan para pihak. Hal yang sama berlaku terhadap masyarakat hukum adat.
Dalam hal yang terkena adalah aset milik negara, penggantian kerugian atau
kompensasi dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah seluruh rakyat Indonesia baik sebagai
perseorangan, kelompok orang, masyarakat adat, badan usaha, maupun yang
berhimpun dalam suatu lembaga atau organisasi kemasyarakatan.
Ayat (2)
Prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah diselenggarakan dengan
memperhatikan wewenang dan tanggung jawab masing-masing instansi sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dewan Sumber Daya Air Nasional merupakan wadah koordinasi antar para pemilik
kepentingan sumber daya air tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87.
Pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional kepada Presiden diberikan atas
dasar masukan dari pemerintah daerah yang bersangkutan.
Ayat (3)
1. ukuran dan besarnya potensi sumber daya air pada wilayah sungai
bersangkutan;
2. banyaknya sektor dan jumlah penduduk dalam wilayah sungai bersangkutan;
3. besarnya dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi terhadap pembangunan
nasional; dan
4. besarnya dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 14
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan kawasan lindung sumber air adalah kawasan yang
memberikan fungsi lindung pada sumber air misalnya daerah sempadan sumber
air, daerah resapan air, dan daerah sekitar mata air.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Pemberian izin pada ayat ini dimaksudkan hanya untuk sumber daya air
permukaan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Pemberian izin pada ayat ini dimaksudkan hanya untuk sumber daya air
permukaan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Istilah desa yang dimaksud dalam pasal ini disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat seperti nagari, kampung, huta, bori, dan marga sedangkan yang
dimaksud dengan masyarakat termasuk masyarakat hukum adat.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan daya dukung sumber daya air adalah kemampuan sumber
daya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Yang dimaksud dengan daya tampung air dan sumber air adalah kemampuan air
dan sumber air untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Huruf c
Yang dimaksud dengan pengisian air pada sumber air antara lain:
pemindahan aliran air dari satu daerah aliran sungai ke daerah aliran sungai
lainnya, misalnya dengan sudetan, interkoneksi, suplesi, dan/atau imbuhan
air tanah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan sanitasi meliputi prasarana dan sarana air limbah dan
persampahan.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan cara sipil teknis adalah upaya perlindungan dan pelestarian
yang dilakukan melalui rekayasa teknis, seperti pembangunan bangunan penahan
sedimen, pembuatan teras (sengkedan), dan/atau perkuatan tebing sumber air.
Yang dimaksud dengan melalui pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi adalah
bahwa pelaksanaan upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dengan
berbagai upaya tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial,
budaya, dan ekonomi masyarakat setempat.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memperbaiki kualitas air pada sumber air antara lain
dilakukan melalui upaya aerasi pada sumber air.
Ayat (3)
Untuk mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air misalnya dilakukan
dengan cara tidak membuang sampah di sumber air, dan mengolah air limbah
sebelum dialirkan ke sumber air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Yang dimaksud dengan rusaknya sumber air adalah berkurangnya daya tampung atau
fungsi sumber air.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah
adalah keadaan yang sesuai dengan daur hidrologi yang merupakan satu kesatuan
sistem (conjunctive use).
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan setiap orang meliputi orang perseorangan dan badan
usaha.
Ayat (7)
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan sumber air adalah ruang pada sumber
air (waduk, danau, rawa, atau sungai) yang dialokasikan, baik sebagai fungsi
lindung maupun fungsi budi daya. Misalnya, membagi permukaan suatu waduk,
danau, rawa, atau sungai ke dalam berbagai zona pemanfaatan, antara lain, ruang
yang dialokasikan untuk budi daya perikanan, penambangan bahan galian
golongan C, transportasi air, olahraga air dan pariwisata, pelestarian unsur
lingkungan yang unik atau dilindungi, dan/atau pelestarian cagar budaya.
Dalam penetapan zona pemanfaatan sumber air, selain untuk menentukan dan
memperjelas batas masing-masing zona pemanfaatan, termasuk juga ketentuan,
persyaratan, atau kriteria pemanfaatan dan pengendaliannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penetapan peruntukan air pada sumber air adalah
pengelompokan penggunaan air yang terdapat pada sumber air ke dalam beberapa
golongan penggunaan air termasuk baku mutunya, misalnya mengelompokkan
penggunaan sungai ke dalam beberapa ruas menurut beberapa jenis golongan
penggunaan air untuk keperluan air baku untuk rumah tangga, pertanian, dan
usaha industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyebutan jenis-jenis penyediaan sumber daya air pada ayat ini di luar kebutuhan
pokok bukan merupakan urutan prioritas.
Yang dimaksud dengan kebutuhan air untuk pertanian misalnya kebutuhan air
untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Ayat (3)
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Kerusakan pada sumber air antara lain dapat berupa longsoran pada tebing
sumber air, rusak atau jebolnya tanggul sungai, dan/atau menyempitnya ruas
sumber air.
Yang dimaksud dengan mengganti kerugian antara lain dapat berupa kerja bakti
membuat bangunan penahan longsor, memperbaiki tanggul, atau membongkar
bangunan yang dijadikan tempat pengambilan atau penggunaan air dimaksud.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 33
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa dalam ayat ini adalah keadaan yang bersifat
darurat.
Penggunaan sumber daya air untuk persiapan pelaksanaan konstruksi misalnya untuk
mengatasi kerusakan mendadak yang terjadi pada prasarana sumber daya air (tanggul
jebol).
Penggunaan sumber daya air untuk pemenuhan prioritas penggunaan sumber daya air
misalnya untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari pada saat terjadi kekeringan.
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Kekhasan daerah adalah sifat khusus tertentu yang hanya ditemukan di suatu
daerah, bersifat positif dan produktif serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Contoh:
kekhasan di bidang kelembagaan masyarakat pemakai air untuk irigasi:
Subak di Bali, Tuo Banda di Sumatera Barat, Dharma Tirta di Jawa
Tengah, dan Mitra Cai di Jawa Barat.
kekhasan di bidang penyelenggaraan pemerintahan seperti otonomi
khusus, desa, atau masyarakat hukum adat.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 35
Huruf a
Yang dimaksud dengan sumber air permukaan lainnya, antara lain, situ, embung,
ranu, waduk, telaga, dan mata air (spring water).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan modifikasi cuaca adalah upaya dengan cara memanfaatkan
parameter cuaca dan kondisi iklim pada lokasi tertentu untuk tujuan meminimalkan
dampak bencana alam akibat iklim dan cuaca, seperti kekeringan, banjir, dan
kebakaran hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat misalnya untuk
keperluan usaha tambak dan sistem pendinginan mesin.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan air minum rumah tangga adalah air dengan standar dapat
langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat
menurut hasil pengujian mikrobiologi (uji ecoli).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah adalah badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah yang
bertugas menyelenggarakan pengembangan sistem penyediaan air minum.
Ayat (4)
Dalam hal di suatu wilayah tidak terdapat penyelenggaraan air minum yang
dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah,
penyelenggaraan air minum di wilayah tersebut dilakukan oleh koperasi, badan
usaha swasta dan masyarakat.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa hak dan tanggung jawab pengembangan sistem
irigasi tersier ada pada petani, tetapi dalam batas-batas tertentu pemerintah dapat
memfasilitasinya.
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya air untuk perhubungan antara
lain untuk media transportasi misalnya untuk lalu lintas air dan pengangkutan kayu
melalui sungai.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi
satu wilayah sungai adalah pengusahaan pada seluruh sistem sumber daya air
yang ada dalam wilayah sungai yang bersangkutan mulai dari hulu sampai hilir
sungai atau sumber air yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di
bidang pengelolaan sumber daya air adalah badan usaha yang secara khusus
dibentuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pengelolaan
sumber daya air wilayah sungai.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan badan usaha pada ayat ini dapat berupa badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah (yang bukan badan usaha pengelola sumber
daya air wilayah sungai), badan usaha swasta, dan koperasi.
Izin pengusahaan antara lain memuat substansi alokasi air dan/atau ruas (bagian)
sumber air yang dapat diusahakan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pemanfaatan wadah air pada lokasi tertentu antara lain adalah pemanfaatan
atau penggunaan sumber air untuk keperluan wisata air, olahraga arung
jeram, atau lalu lintas air.
Huruf c
Pemanfaatan daya air antara lain sebagai penggerak turbin pembangkit listrik
atau sebagai penggerak kincir.
Pasal 46
Ayat (1)
Alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak sebagaimana yang tercantum
dalam izin, tetapi dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau keadaan yang
dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi ketersediaan air pada sumber air yang
bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti dibandingkan dengan
kondisi ketersediaan air pada saat penetapan alokasi.
Ayat (2)
Alokasi air yang diberikan untuk keperluan pengusahaan tersebut tetap
memperhatikan alokasi air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan
pertanian rakyat pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan alokasi air sementara adalah alokasi yang dihitung
berdasarkan perkiraan ketersediaan air yang dapat diandalkan (debit andalan)
dengan memperhitungkan kebutuhan pengguna air yang sudah ada.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Bentuk konsultasi publik yang digunakan dapat melalui tatap muka langsung
dengan para pemilik kepentingan (stakeholders) dan/atau dengan cara-cara lain
yang lebih efisien dan efektif dalam menjaring masukan/tanggapan para pemilik
kepentingan dan masyarakat.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan saluran distribusi adalah saluran pembawa air baku, baik
yang berupa saluran terbuka maupun yang berbentuk saluran tertutup misalnya
pipa.
Ayat (2)
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kegiatan fisik adalah pembangunan sarana dan prasarana
serta upaya lainnya dalam rangka pencegahan kerusakan/ bencana yang
diakibatkan oleh daya rusak air, sedangkan kegiatan nonfisik adalah kegiatan
penyusunan dan/atau penerapan piranti lunak yang meliputi antara lain
pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
Yang dimaksud dengan penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai adalah
penyelarasan antara upaya kegiatan konservasi di bagian hulu dengan
pendayagunaan di daerah hilir.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Keadaan yang membahayakan merupakan keadaan air yang luar biasa yang melampaui
batas rencana sehingga jika tidak diambil tindakan darurat diperkirakan dapat menjadi
bencana yang lebih besar terhadap keselamatan umum.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota
menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; rencana
pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi
masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi bersangkutan;
rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi menjadi
masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang
bersangkutan.
Selain sebagai masukan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah, rencana
pengelolaan sumber daya air wilayah sungai juga digunakan sebagai masukan
untuk meninjau kembali rencana tata ruang wilayah dalam hal terjadi perubahan-
perubahan, baik pada rencana pengelolaan sumber daya air maupun pada rencana
tata ruang pada periode waktu tertentu. Perubahan yang dimaksud merupakan
tuntutan perkembangan kondisi dan situasi.
Dengan demikian, antara rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata
ruang wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling
menyesuaikan.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Kegiatan inventarisasi sumber daya air dimaksudkan antara lain untuk mengetahui
kondisi hidrologis, hidrometeorologis, hidrogeologis, potensi sumber daya air yang
tersedia, dan kebutuhan air, baik menyangkut kuantitas maupun kualitas beserta
prasarana dan sarana serta lingkungannya termasuk kondisi sosial ekonomi dan
budaya masyarakatnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Rencana pengelolaan sumber daya air disusun untuk jangka pendek, menengah,
dan panjang. Penetapan jangka waktu perencanaan diserahkan pada kesepakatan
pihak yang berperan dalam perencanaan di setiap wilayah sungai. Pada umumnya
jangka waktu pendek adalah lima tahun, jangka waktu menengah adalah 10 tahun,
dan jangka waktu panjang adalah 25 tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengumuman dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat guna
menyatakan keberatan atas suatu rancangan rencana yang akan ditetapkan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air adalah
upaya melaksanakan pembangunan atau kegiatan konstruksi berdasarkan
perencanaan teknis yang telah dibuat, yang dapat berupa bangunan atau
konstruksi sarana dan/atau prasarana sumber daya air.
Yang dimaksud dengan pedoman adalah acuan yang bersifat umum yang harus
dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan
kemampuan daerah setempat.
Yang dimaksud dengan manual adalah panduan yang berisikan petunjuk
mengoperasikan peralatan dan/atau komponen bangunan sumber daya air
misalnya pintu air, pompa banjir, dan alat pengukur debit air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi kondisi hidrologis misalnya tentang curah hujan, debit sungai, dan tinggi
muka air pada sumber air.
Informasi kondisi hidrogeologis mencakup cekungan air tanah misalnya potensi air
tanah dan kondisi akuifer atau lapisan pembawa air.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Akses terhadap informasi sumber daya air yang tersedia di pusat pengelolaan data
di instansi pemerintah, badan atau lembaga lain di masyarakat dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain melalui internet, media cetak yang diterbitkan
secara berkala, surat menyurat, telepon, faksimile, atau kunjungan langsung
dengan prinsip terbuka untuk semua pihak yang berkepentingan di bidang sumber
daya air.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kegiatan berkaitan dengan sumber daya air adalah
kegiatan studi, penelitian, seminar, lokakarya, kegiatan pemberdayaan
masyarakat, serta kegiatan pembangunan sarana dan/atau prasarana yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Termasuk pengertian kelompok masyarakat adalah organisasi kemasyarakatan
yang memiliki aktivitas di bidang sumber daya air misalnya masyarakat subak dan
kelompok masyarakat petani pemakai air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pendampingan adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai
pihak untuk meningkatkan penyadaran, perilaku dan kemampuan melalui kegiatan
advokasi, penyuluhan, dan bantuan teknis dengan cara menempatkan dan
menugaskan tenaga pendamping masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kebutuhan nyata adalah dana yang dibutuhkan semata-
mata untuk membiayai pengelolaan sumber daya air agar pelaksanaannya dapat
dilakukan secara wajar untuk menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air.
Ayat (2)
Setiap jenis pembiayaan dimaksud mencakup tiga aspek pengelolaan sumber daya
air, yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air diperoleh dari para
penerima manfaat pengelolaan sumber daya air, baik untuk tujuan
pengusahaan sumber daya air maupun untuk tujuan penggunaan sumber
daya air yang wajib membayar.
Pasal 78
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pasal 80
Ayat (1)
Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari yang
tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air adalah pengguna sumber
daya air yang menggunakan air pada atau mengambil air untuk keperluan sendiri
dari sumber air yang bukan saluran distribusi.
Biaya jasa pengelolaan sumber daya air adalah biaya yang dibutuhkan untuk
melakukan pengelolaan sumber daya air agar sumber daya air dapat
didayagunakan secara berkelanjutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan nilai satuan biaya jasa pengelolaan adalah besarnya biaya
jasa pengelolaan untuk setiap unit pemanfaatan misalnya Rp per kWh dan Rp per
m3.
Yang dimaksud dengan volume dalam volume penggunaan sumber daya air adalah
jumlah penggunaan sumber daya air yang dihitung dengan satuan m3, atau satuan
luas sumber air yang digunakan, atau satuan daya yang dihasilkan (kWh).
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan jenis penggunaan nonusaha adalah jenis penggunaan air
untuk kegiatan yang bertujuan tidak mencari keuntungan misalnya pertanian
rakyat, rumah tangga, dan peribadatan.
Ayat (6)
Yang dimaksud dana dalam ayat ini adalah pungutan biaya jasa pengelolaan
sumber daya air.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Ganti kerugian fisik dapat berupa uang, permukiman kembali, saham, atau dalam
bentuk lain.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan pihak yang berwenang adalah pengelola sumber daya air
dan pihak lain yang mempunyai tugas dan wewenang menerima pengaduan terkait
dengan pengelolaan sumber daya air.
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan nama lain misalnya panitia tata pengaturan air provinsi dan
panitia tata pengaturan air kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan seimbang adalah jumlah anggota yang proporsional antara
unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Sengketa sumber daya air dapat berupa sengketa pengelolaan sumber daya air
dan/atau sengketa hak guna pakai air atau hak guna usaha air. Misalnya sengketa
antarpengguna, antarpengusaha, antara para pengguna dan pengusaha,
antarwilayah, serta antara hulu dan hilir.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan organisasi yang bergerak di bidang sumber daya air antara
lain adalah organisasi pengguna air, organisasi pemerhati masalah air, lembaga
pendidikan, lembaga swadaya masyarakat bidang sumber daya air, asosiasi
profesi, dan/atau bentuk organisasi masyarakat lainnya yang bergerak di bidang
sumber daya air.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar gugatan yang dilakukan oleh
organisasi hanya terbatas pada tindakan yang berkenaan dengan sumber daya air
yang menyangkut kepentingan publik dengan memohon kepada pengadilan agar
seseorang atau badan usaha diperintahkan untuk melakukan tindakan
penanggulangan dan pemulihan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi
sumber daya air.
Yang dimaksud dengan biaya atas pengeluaran nyata adalah biaya yang nyata-
nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi penggugat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
PERATURAN PEMERINTAH
10. PP Nomor 10 Tahun 2000 Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang
Wilayah
12. PP Nomor 150 Tahun 2000 Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi
Biomassa
17. PP Nomor 40 Tahun 2003 Tentang Tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996
Tentang : Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban, Serta
Bentuk Dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam
Penataan Ruang
Menimbang:
Mengingat:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN,
SERTA BENTUK DAN TATA CARA PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM
PENATAAN RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.
6. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
12. Hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan atas pemanfaatan
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara.
13. Menteri adalah menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan
ruang demi keserasian dan kelestarian ruang daratan, ruang lautan,
dan ruang udara.
BAB II
PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT
Bagian Pertama
Pelaksanaan Hak Masyarakat
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 5
Bagian Kedua
Pelaksanaan Kewajiban Masyarakat
Pasal 6
Pasal 7
Bagian Pertama
Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Nasional
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 11
Bagian Kedua
Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Bagian Ketiga
Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Peran serta masyarakat dalam penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan
di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat berbentuk:
a. pemberian kejelasan hak atas ruang kawasan;
f. bantuan dana.
Pasal 19
d. konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain
untuk tercapainya pemanfaatan ruang kawasan yang berkualitas;
Pasal 20
Bagian Pertama
Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Nasional
Pasal 21
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Nasional termasuk kawasan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan dengan pemberian saran,
pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, masukan terhadap
informasi tentang arah pengembangan, potensi dan masalah, serta
rancangan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional.
Pasal 22
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah
Nasional termasuk kawasan tertentu dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Bagian Kedua
Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
Pasal 24
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dilaksanakan dengan pemberian saran,pertimbang- an,
pendapat, tanggapan, keberatan, masukan terhadap informasi tentang
arah pengembangan, potensi dan masalah, serta rancangan Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat
dalam proses perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 25
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Bagian Ketiga
Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
Pasal 27
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 dan dalam penyusunan rencana rinci tata
ruang kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan
dengan pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan,
keberatan, masukan terhadap informasi tentang arah pengembangan,
potensi dan masalah, serta rancangan Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Penyampaian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan
atau masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
lisan atau tertulis kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Dalam
Negeri.
Pasal 28
(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 29
BAB V
PEMBINAAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 30
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Desember 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Desember 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
I. UMUM
Jenis rencana tata ruang menurut fungsi wilayah serta kawasan terdiri atas
rencana tata ruang kawasan perdesaan, rencana tata ruang kawasan
perkotaan, dan rencana tata ruang kawasan tertentu.
Jenis rencana tata ruang menurut kedalaman rencana terdiri atas strategi
dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara, strategi dan
struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan strategi
pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II, termasuk rencana rinci tata ruang kawasan.
Rencana rinci tata ruang kawasan adalah rencana rinci tata ruang kawasan di
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi:
Masyarakat yang makin maju menuntut keterlibatan yang lebih besar dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah ini
memberikan pengaturan yang lebih memberikan peluang bagi seluruh
lapisan masyarakat untuk berperan serta dalam penataan ruang. Kesediaan
masyarakat untuk berperan serta dalam penataan ruang, diharapkan tidak
terlalu terkekang oleh peraturan yang membatasi kegiatan orang seorang,
kelompok orang, atau badan hukum yang hendak berperan serta. Bahkan,
Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk
lebih banyak lagi berperan serta.
Pasal 1
Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang wilayah, rencana
tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan secara terbuka
antara lain melalui lokakarya dan sarasehan.
Huruf c
Sebagai contoh, pertambahan nilai ruang adalah meningkatnya harga
pasar dari sepetak tanah akibat direncanakan, dibangun, atau
ditingkatkannya prasarana jalan di sisi petak tanah yang
bersangkutan.
Huruf d
Penggantian yang layak diberikan kepada masyarakat yang
melepaskan sebagian atau sepenuhnya hak atas ruang sebagai akibat
dari pelaksanaan rencana tata ruang berdasarkan peraturan
perundang-undangan, hukum adat, atau kebiasaan yang berlaku.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman atau penyebarluasan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dilakukan dengan menempelkan rencana tata ruang yang
bersangkutan pada tempat-tempat umum dan kantor-kantor yang
secara fungsional menangani rencana tata ruang tersebut.
Pasal 4
Ayat (1)
Masyarakat mempunyai hak untuk menikmati dan memanfaatkan
ruang beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, atas
dasar pemi- likan, penguasaan atau pemberian hak tertentu terhadap
ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun
atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang pada
masyarakat setempat sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat
ruang. Manfaat ruang tersebut dapat berupa manfaat ekonomi, sosial,
dan atau manfaat lingkungan, yang timbul akibat pemanfaatan ruang
yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Kesadaran masyarakat untuk menyelenggarakan musyawarah untuk
mencapai kesepakatan juga merupakan bentuk peningkatan peran
serta masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam menjaga, memelihara dan
meningkatkan kualitas ruang lebih ditekankan pada keikutsertaan
masyarakat untuk lebih mematuhi dan menaati segala ketentuan
normatif yang ditetapkan dalam rencana tata ruang, dan mendorong
terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik.
Huruf b
Cukup jelas
Pasal 7
Pasal 8
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara
termasuk kawasan tertentu dirumuskan dengan mempertimbangkan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta data dan informasi
dari berbagai pihak untuk terciptanya upaya pemanfaatan ruang
secara berhasil guna dan berdaya guna, terpeliharanya kelestarian
kemampuan lingkungan hidup, dan terwujudnya keseimbangan
kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Huruf e
Pengajuan keberatan harus disertai dengan alasan yang jelas, dapat
dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Huruf f
Kerjas ama yang dimaksudkan adalah kerjasama antara masyarakat
dan semua pihak lainnya yang terkait dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Nasional.
Huruf g
Bantuan tenaga ahli yang berasal dari masyarakat diharapkan dapat
diberikan kepada para perencana ataupun badan-badan perencanaan.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan bantuan teknik adalah technical assistance,
sedangkan yang dimaksud dengan bantuan pengelolaan adalah
management assis- tance.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta data dan informasi dari berbagai
pihak untuk terciptanya upaya pemanfaatan ruang secara berhasil
guna dan berdaya guna, terpeliharanya kelestarian kemampuan
lingkungan hidup, dan terwujudnya keseimbangan kepentingan
kesejahteraan dan keamanan.
Huruf e
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf e.
Huruf f
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf f.
Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf g.
Pasal 13
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan
mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta data dan informasi dari berbagai pihak untuk terciptanya upaya
pemanfaatan ruang secara berhasil guna dan berdaya guna,
terpeliharanya kelestarian kemampuan lingkungan hidup, dan
terwujudnya keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan.
Huruf e
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf e.
Huruf f
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf f.
Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf g.
Pasal 16
Huruf a
Dalam pemanfaatan ruang ini dapat diperhatikan ketentuan dalam
Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Selain itu
perlu diperhatikan juga pemanfaatan ruang yang didasarkan pada
hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Perubahan atau konversi pemanfaatan ruang atau perubahan fungsi
ruang suatu kawasan dapat berupa perubahan bentuk fisik (bentang
alam) dan pemanfaatannya sebagai akibat kejadian alam maupun
perbuatan manusia.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf e.
Huruf d
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf f.
Huruf e
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf g.
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Lihat penjelasan Pasal 16 huruf e.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Dengan perspektif menuju ke keadaan pada masa depan yang
diharapkan dan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai,
penemukenalan potensi dan masalah pembangunan bertitik tolak dari
data, informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta
memperhatikan keragaman wawasan kegiatan tiap sektor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain adalah
ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan ruang di bidang kehutanan,
permukiman, pertanian, industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pemerintah perlu mengumumkan akan disusunnya Rencana Tata
Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dalam rangka
mengembangkan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Lihat Penjelasan Pasal 22 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Pemerintah perlu mengumumkan akan disusunnya Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam rangka
mengembangkan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang
bersang- kutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Lihat Penjelasan Pasal 22 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan menyebarluaskan semua informasi
mengenai proses penataan ruang kepada masyarakat secara
terbuka adalah bahwa setiap orang seorang, kelompok orang,
atau badan hukum dapat memperoleh keterangan mengenai
proses yang ditempuh dalam penataan ruang serta produk
perencanaan tata ruang, sehingga upaya menjaga, memelihara,
dan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan kualitas
ruang dapat dilakukan secara lebih terarah, berdaya guna, dan
berhasil guna.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pengertian menghormati hak yang dimiliki masyarakat adalah
suatu pengertian yang mengandung arti menghargai,
menjunjung tinggi, mengakui, dan menaati peraturan yang
berlaku terhadap hak yang dimiliki masyarakat.
Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf d.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf g
Saran, usul ataupun keberatan harus disertai dengan alasan
yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan
sesuai dengan peratur- an perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
______________________________________
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998
Tentang : Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan
Pelestarian Alam
Menimbang :
a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan
kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya, karena itu perlu dijaga
keutuhan dan kelestarin fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dan sebagai
pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang
perlu mengatur kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan (Lembaran
Negara Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3510);
9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan
Hutan (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 50, Tambahan Lembaga
Negara Nomor 2945);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan
Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37 , Tambahan Lembaga
Negara Nomor 3225);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaga
Negara Nomor 3294);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa (Lembaran
Negara Tahun 1991 Nomor 35 , Tambahan Lembaga Negara Nomor
3441);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa
Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaga
Negara Nomor 3544);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
25, Tambahan Lembaga Negara Nomor 3550);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM
DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) ketentuan tentang perlindungan system penyangga kehidupan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri.
(2) Pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diatur
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali
ketentuan mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa diluar
kawasan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri
(3) Pemenfaatan sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 c diatur sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali ketentuan
mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa, dam pemanfaatan
kawasan dalam bentuk pengusahaan kegiatan kepariwisataan dan
rekreasi pada zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata Alam diatur dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri.
BAB II
KAWASAN SUAKA ALAM
Bagian pertama
Penetapan Kawasan
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Bagian Kedua
Pengelolaan
Paragraf Satu
Rencana Pengelolaan
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 14
Paragraf Dua
Pengawetan
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pengawetan Kawasan Cagar Alam
dan Kawasan Suaka Margasatwa diatur dengan Keputussan Menteri.
Pasal 19
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
(1) Kegiatan penelitian sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a,
meliputi :
a. penelitian dasar;
b. penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya.
(2) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri, dan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
BAB III
KAWASAN PELESTARIAN ALAM
Bagian Pertaman
Penetapan Kawasan
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Penetapan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dan Pasal 10.
Bagian kedua
Pengelolaan
Paragraf Satu
Rencana Pengelolaan
Pasal 35
Pasal 36
Ketentuan pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka
Margasatwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14
berlaku terhadap pengelolaan TamanNasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam
Paragraf Dua
Pengawetan
Pasal 37
Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut tentang Pengawetan Kawasan Taman Nasional diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 43
Pasal 44
(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam dilaksanakan dengan ketentuan dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi
kawasan.
(2) Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan fungsi Kawasan Taman Nasional atau Taman Hutan Raya,
adalah:
a. merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya;
b. merusak keindahan alam dan gejala alam;
c. mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan;
d. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana
pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat
yang berwenang.
(3) Suatu kegiatan, dpat dianggap sebagai tindakan permulaan melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila melakukan
perbuatan :
a. memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda
batas kawasan;
b. membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,
menangkap,berburu, menebang,merusak,memusnahkan dan
mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan.
(4) Kegiatan dalam rangka pengawetan pada zona inti taman nasional
termasuk dalam pengertian yang dapat mengakibatkan perubahan
fungsi Kawasan Taman Nasional, apabila kegiatan tersebut telah
memnuhi ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
Paragraf Tiga
Pemanfaatan
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
(1) Sesuai dengan fungsinya, taman wiata alam dapat dimanfaatkan untuk
keperluan:
a. pariwisata alam dan rekreasi;
b. penelitian dan pengembangan;
c. pendidikan; dan atau
d. kegiatan penunjang budidaya.
(2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Kegiatan pendidikan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasi-hasil
penelitian serta peragaan dokumentasi tentang pootensi kawasn
tersebut.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan d,
dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 25 dan Pasal 28.
Pasal 54
Bab IV
PENUTUPAN KAWASAN
Pasal 55
BAB V
DAERAH PENYANGGA
Pasal 56
Pasal 57
Pasal 58
Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam yang telah
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dianggap telah ditetapkan
sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 59
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
I. UMUM
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya yang tinggi keanekaragamannya dengan keunikan,
keaslian, dan keindahan merupakan kekayaan alam yang sangat potensial.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang potensial itu dapat
dijadikan salah satu modal dasar pembangunan nasional Indonesia yang
berkelanjutan. Karena itu perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, melalui upaya konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai keseimbangan dan
keserasian antara aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara
lestari.
Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya itu antara lain
ditempuh melalui penetapan wilayah-wilayah tertentu baik di daratan dan
atau perairan sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawassan Pelestarian
Alam, yang merupakan perwakilan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan ekosistem, keunikan
dan keindahan alam sehingga lebih dapat mendukung pembangunan dan
menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan
hidup.
Upaya konservasi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
seluruh kiprah pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh berbagai
sektor. Pelaksanaan pembangunan nasional itu sendiri telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mampu mengembangkan berbagai
bidang kegiatan masyarakat, sehingga kebutuhan hidupnya semakin
beragam.
Sejajar dengan kemajuan dan kehidupan masyarakat di berbagai bidang,
maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin terasa perlu
digalakkan. Dalam hubungan ini, Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam yang memiliki potensi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, sangat penting peranannya untuk dijadikan obyek penelitian
dan pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, disamping dapat
dimanfaatkan sebagai wahana pengembangan budidaya, pariwisata alam dan
rekreasi serta sarana pemantapan fungsi hidrobiologisnya, pencegahan
bencana banjir, erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah serta fungsinya
sebagai plasma nutfah.
Oleh karena itu, pengelolaan Kawasan Suaka Satwa Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, pada hakikatnya merupakan salah satu aspek
pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan, sehingga
dampaknya sangat positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat,
yang sekaligus akan meningkatkan pula pendapatan negara dan penerimaan
devisa negara, yang pada gilirannya dapat memajukan hidup dan kehidupan
bangsa.
Oleh karena itu, pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam, tidak hanya didasarkan pada prinsip konservasi untuk konservasi itu
sendiri, tetapi konservasi untuk kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat
Indonesia.
Mengingat akan kepentingan itu, dan sebagai pelaksanaan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya maka perlu ada landasan hukum bagi penetapan dan
pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Huruf a
Dalam pengelolaan cagar alam sangat sedikit campur tangan manusia, oleh
karenanya bobot pengelolaanya lebih ditekankan pada perlindungandari luar
kawasan seperti serangan hama, penyakit, kebakaran, dan pencemaran yang
berasal dari luar kawasan. Selain itu dilakukan upaya pengamanan untuk
menjaga dan mencegah gangguan manusia, seperti: perambahan kawasan,
pencurian, dan penembakan.
Huruf b
Dalam menunjang pengawetan cagar alam diperlukan data dan informasi
awal tentang potensi kawasan. Oleh karenanya diperlukan inventarisasi
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Huruf c
Dalam menunjang pengawetan cagar alam, kegiatan penelitian dan
pengembangan, sangat penting, untuk mengetahui proses-proses ekologi
yang terjadi, diantaranya siklus energi, siklus hara, siklus air, interaksi antar
dan inter sepesies baik tumbuhan maupun satwa. Denagn demikian,
keutuhan kawasan
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian dasar yaitu penelitian yang hasilnya untuk mendukung penelitian
terapan yang diperlukan untuk menunjangpemanfaatn jenis tumbuhan dan
satwa bududayanya di luar kawasan, seperti penelitian perilaku satwa,
dominasi tumbuhan dan atau satwa, dan penelitian-penelitian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf c.
Huruf b
Penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya ditujukan terhadap
seleksi jenis tumbuhan dan satwa yang karena kandungannya dapat
dimanfaatkan misalnya untuk obat-obatan, sebagai benih atau bibit unggul
dalam menunjang peningkatanproduksi pangan, sandang dan papan, serta
perbanyakan dan peningkatan kualitas jenis melalui rekayasa genetic.
Kegiatan penelitian tersebut lebih banyak di luar kawasan, sedangkan dalam
kawasan cukup mengambil contoh spesimen.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah ketentuan yang mengatur tentang tata cara dan instansi yang
berwenang memberi rekomendasi dan atau izin untuk melaksanakan
penelitian. Kewenangan yang terkait dengan penelitian in yang sekarang
dikoordinasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tidak
mengurangi kewenangan menteri untuk mengatur tata cara pelaksanaan
penelitian yang sasaran penelitiannya berlokasi pada kawasan alam pada
khususnya atau kawasan hutan pada umumnya.
Pasal 22
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan plasma nutfah terikat
kepada ketentuan pada peraturan pemerintah nomor 44 tahun 1995 tentang
pembenihan tanaman
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Lihat penjelasan pasal 21 ayat 1
Ayat (2)
Lihat penjelasan pasal 21 ayat 2
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup Jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan zona-zona pada Kawasan Taman Nasional dilakukan secara
variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kawasn taman nasional,
karena itu penetapan zona-zona tersebut tidak selalu harus lengkap sesuai
dengan pembagian pada ayat ini, karena itu pembagian zona tidak selalu
sama pada setiap Kawasan Taman Nasional.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud ekosistem yang masih utuh yaitu ekosistem
yang keadaannya relatif masih asli, demikian pula keadaan unsu-unsur
biotik dan fisiknya, serta interkasinya masih mampu memberikan
fungsi ekologis.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 46
Huruf a
Memusnahkan sumber daya alam misalnya dengan melakukan pembakaran,
menyebarkan racun, dan menggunakan bahan peledak(aminisi).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Jumlah pengungjung yang masuk kedalam kawasan disesuaikan dengan
daya dukung kawasan yang bersangkutan. Dalam rangka pengendalian
pengunjung masuk ke dalam kawasan, Pemerintah menetapkan syarat dan
tata cara memasuki kawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu pengertian
yang mengandungarti menghargai, menjunjung tinggi, mengakui dan
menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang dimiliki orang lain.
Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang adalah segala kepentingan
hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peraturan perundang-
undangan, hukum adat atau kebiasaan yang berlaku. Kepentingan hokum
tersebut anatara lain berupa pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar
sesuatu hak yang diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Ayat (5)
Ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban pemegang hak atas daerah
penyangga bukan kawasan hutan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
Ayat (6)
Cukup jelas
______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 7 TAHUN 1999
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak ternilai harganya
sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan jenis,
b. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu untuk
menetapkan peraturan tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan
Pemerintah;
Mengingat:
1. Pasal 5 Ayal (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (BN No.
1504 hal. 11A- 15A) (LN Tahun 1967 Nomor 8, TLN Nomor 2823).
3. Undang-undang Nomor 9 Tabun 1985 tentang Perikanan (BN No. 4226 hal. 58- 703 dit; (LN
Tahun 1985 Nomor 46. TLN Nomor 3299);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya & Alam Hayati dan
Ekosistemnya (BN No. 4952 hal. 68-108 dsti) (LN Tahun 1990 Nomor 49, TLN Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistern Budidaya Tanaman (BN No. 5261 Ad.
103- 1 13 dst) (LN Tahun 1992 Nomor 46, TLN Nomor 3478),
6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina, Hewan, Ikan dan Tumbuhan (BN
No. 5292 hal. 4B-13B) (LN Tahun 1992 Nomor 56. TLN Nomor 3482).
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (BN No. 5612 hal 38 dst.) (LN Tahun 1994 Nomor
41, TLN Nomor 3556);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup (BN No. 6066
hal. 148-208 dst.; (LN, Tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor 3699);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (BN No. 5568 hal.
2B –9B); (LN Tahun 1994 Nomor 19. TLN Nomor 3544);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (LN Tahun 1998 Nomor 132. TLN Nomor 3776).
MEMUTUSKAN
BAB I
KETENTUAN
Pasal 1
Pasal 2
BAB II
UPAYA PENGAWETAN
Pasal 3
BAB III
PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
Pasal 4
Pasal 5
1. Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah
memenuhi kriteria:
a. mempunyai popoulasi yang kecil ;
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam ;
c. daerah penyebaran yang terbatas ;
2. Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 wajib dilakukan upaya pengawetan.
Pasal 6
Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi
apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan
tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1).
BAB IV
PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah
ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Pasal 8
1. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam
habitatnya (insitu).
2. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan kegiatan
pengelolaan diluar habitatnya (exsitu) untuk menambah dan memulihkan populasi.
3. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (insitu) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Identifikasi ;
b. Inventarisasi ;
c. Pemantauan ;
d. Pembinaan habitat dan populasinya ;
e. Penyelamatan jenis ;
f. Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan ;
4. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya (exsitu) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Pemeliharaan ;
b. Pengembangbiakan ;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan ;
d. Rehabilitasi satwa ;
e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
Bagian Kedua
Pangelolaan dalam Habitat (insitu)
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
1. Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat 3 huruf d untuk menjga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan
seimbang dengan daya dukung habitatnya.
2. Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan malalui
kegiatan
a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon sumber makan
satwa;
c. Pembuatan fasilitas air minum tempat berkubang dan mandi satwa,
d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.
Pasal 13
Pasal 14
1. Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 huruf f, untuk menunjang tetap terjaganya keadaan
genetik dan ketersediaan sumberdaya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
2. Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik
dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.
3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian,
penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengelolaan di luar Habitat (Ex Situ)
Pasal 15
1. Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat 4 huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis
tumbuhan dan satwa.
2. Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan
satwa di lembaga komservasi.
3. Pemeliharaan jenis diluar habitat wajib memenuhi syarat :
a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa ;
b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman ;
c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.
Pasal 16
1. Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat 4 huruf b dilaksanakan umtuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
2. Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan dengan tetap
menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
3. Pengembangbiakan jenis diluar habitatnya wajib memenuhi syarat :
a. menjaga kemurnian jenis ;
b. menjaga keanekaragaman genetik ;
c. membuat buku daftar silsilah ( Studbook ).
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.
Pasal 17
1. Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa diatur habitatnya
sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 8 ayal 4 buruf c dilakukan sebagai upaya untuk menunjang
tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara
lestari.
2. Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud datam ayat 1 dilaksanakan melalui pengkajian terhadep aspek-aspek biologis dan
ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur oleh Menteri.
Pasal 18
1. Rehabilitasi satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf d
dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada dilingkungan
manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.
2. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan melalui kegiatan-kegiatan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih satwa yang layak untuk
dikembalikan ke habitatnya.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat
2 diatur oleh Menteri.
Pasal 19
1. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat 4 huruf e dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan
satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia.
2. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan :
a. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik ;
b. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin, menyerahkan atau
menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan
hidup lebih baik memusnahkannya.
Pasal 20
1. Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan
oleh Pemerintah.
2. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Pasal 21
1. Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat :
a. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang diperlukan ;
b. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman
genetik yang tinggi ;
c. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur oleh Menteri.
BAB V
LEMBAGA KONSERVASI
Pasal 22
1. Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan
tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
2. Di samping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Lembaga konservasi
juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu
pengetahuan.
3. Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi, Taman Satwa Khusus,
Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
ayat 2, dan ayat 3 diatur oleh Menteri.
Pasal 23
1. Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan
atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui :
a. pengambilan atau penangkapan dari alam ;
b. hasil sitaan ;
c. tukar menukar ;
d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur oleh Menteri.
Pasal 24
1. Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga
Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dilindungi dengan
lembaga sejenis di luar negeri.
2. Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilakukan dengan jenis-jenis yang
nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2
diatur oleh Menteri.
BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN
SATWA YANG DILINDUNGI
Pasal 25
1. Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu
tempat di wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.
2. Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus :
a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang;
b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur oleh Menteri.
BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN MANUSIA
Pasal 26
1. Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia,
harus digiring atau di tangkap dalam keadaan hidup atau dikembalikan ke habitatnya atau
apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim
ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara.
2. Apabila cara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat dilaksanakan, maka satwa yang
mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang membahayakan
kehidupa manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 27
1. Dalam rangka pengawasan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan
pengendalian.
2. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilakukan melalui tindakan:
a. preventif ; dan
b. represif
4. Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf a meliputi :
a. Penyuluhan ;
b. Pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum ;
c. Penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
5. Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf b meliputi tindakan penegakan
hukum terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan peraturan
perundang – undangan yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
Lampiran
ttd
TENTANG
Menimbang :
a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam hayati yang dapat
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan pemanfaatannya dilakukan
dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keaneka ragaman jenis
tumbuhan dan satwa liar;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu
menetapkan peraturan tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan Peraturan
Pemerintah;
Mengingat:
1. Pasal 5 Ayal (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (BN No.
1504 hal. 11A- 15A) (LN Tahun 1967 Nomor 8, TLN Nomor 2823).
3. Undang-undang Nomor 9 Tabun 1985 tentang Perikanan (BN No. 4226 hal. 58- 703 dit; (LN
Tahun 1985 Nomor 46. TLN Nomor 3299);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya & Alam Hayati dan
Ekosistemnya (BN No. 4952 hal. 68-108 dsti) (LN Tahun 1990 Nomor 49, TLN Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistern Budidaya Tanaman (BN No. 5261 Ad.
103- 1 13 dst) (LN Tahun 1992 Nomor 46, TLN Nomor 3478),
6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina, Hewan, Ikan dan Tumbuhan (BN No.
5292 hal. 4B-13B ) (LN Tahun 1992 Nomor 56. TLN Nomor 3482).
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (BN No. 5612 hal 38 dst.) (LN Tahun 1994 Nomor
41, TLN Nomor 3556);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (BN No. 5568 hal.
2B –9B); (LN Tahun 1994 Nomor 19. TLN Nomor 3544);
9. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabean (BN No.5806 hal. 5B – 19 B) (LN
Tahun 1995 Nomor 75, TLN Nomor 3612).
10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (BN No.6038
hal. 1B-4B) (LN Tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor 3699).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (LN Tahun 1998 Nomor 132. TLN Nomor 3776);
MEMUTUSKAN
BAB I
KETENTUAN
Pasal 1
Pasal 2
(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar
dapat didaya gunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan mengendalikan pendayagunaan
jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan tetap
menjaga keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem.
Pasal 3
BAB II
PENGKAJIAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 4
(1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa
liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi.
(2) Penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk kepentingan pengkajian,
penelitian dan pengembangan harus dengan izin Menteri.
(3) Pengambilan tumbuhan liar dan penangkapan sata liaar dari habitat alam untuk keperluan
pengkajian, penelitian dan pengembangan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Hasil pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi
wajib diberitahukan kepada pemerintah.
(2) Pemerintah menetapkan lembaga penelitian dan atau lembaga konservasi yang bertugas
mendokumentasikan, memelihara, dan mengelola hasil pengkajian, penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksudd dalam ayat (1).
(3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
Pasal 6
(1) Ketentuan tenatng pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap jenis tumbuhan dan
satwa liar oleh orang asing di Indonesia dilaukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap jenis tumbuhan dan satwa merintah
menetapkan lembaga penelitian dan atau lembaga konservasi yang bertugas
mendokumentasikan, memelihara, dan mengelola hasil pengkajian, penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksudd dalam ayat (1).
(3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
BAB III
PENANGKARAN
Pasal 7
Pasal 8
(1) Jenis tumbuhan dan stawa liar untuk keperluan penangkaran diperoleh dari habitat alam atau
sumber-sumber lain yang sah menurut ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pengambilan jenis tumbuhan liar dan penangkapan satwa liar dari alam untuk keperluan
penangkaraan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 9
(1) Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi dapat melakukan kegiatan
penangkaran jenis tumbuhan dan satwa liar atas izin Menteri.
(2) Izin penangkaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekaligus juga merupakan izin untuk
dapat menjual hasil penangkaran setelah memenuhi standar kualifikasi penangkaran tertentu.
(3) Standar kualitas penangkaran sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
dasar pertimbangan :
a. Batas jumlah populasi jenis dan tumbuhan dan satwa hasil penagkaran;
b. Profesionalisme kegiatan penangkaran;
c. Tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang standar kualifikasi penangkaran diatur oleh Menteri.
Pasal 10
(1) Hasil penangkaran tumbuhan liar yang dilindungi dapat digunakan untuk keperluan
perdagangan.
(2) Hasil penangkaran tumbuhan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai
tumbuhan yang tidak dilindungi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku terhadap jenis
tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 11
(1) Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk keperluan
perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya.
(2) Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi,
dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku terhadap jenis
tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 12
Penangkaran wajib menjaga kemurnian satwa liar yang dilindungi sampai pada generasi pertama.
Pasal 13
(1) Hasil penangkaran untuk persilangan hanya dapat dilakukan setelah enerasi kedua bagi satwa
liar yang dilindungi, dan setelah generasi pertama bagi satwa liar yang tidak dilindungi, serta
setelah mengalamai perbanyakan bagi tumbuhan yang dilindungi.
(2) Hasil persilangan satwa liar dilarang untuk dilepas ke alam..
Pasal 14
(1) Penangkar wajib memberi penandaan dan atau sertifikasi atas hasil tumbuhan dan satwa liar
yang ditangkarkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem dan tata cara penandaan dan sertifikasi tumbuhan dan
satwa hasil penangkaran diatur oleh Menteri..
Pasal 15
(1) Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi, dan Lembaga Konservasi yang mengajukan permohonan
untuk melakukan kegiatan penangkaran, wajib memenuhi syarat-syarat :
a. Memperkejakan dan memiliki tanag ahli di bidang penangkaran jeins yang
bersangkutan;
b. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat teknis;
c. Membuat dan menyerahkan proposal kerja.
(2) Dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran, penangkar berkewajiban untuk :
a. Membuat buku induk tumbuhan atau satwa liar yang ditangkarkan;
b. Melaksanakan sistem penandaan dan atau sertifikasi terhadap individu jenis yang
ditangkarkan;
c. Membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada pemerintah.
(3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.
Pasal 16
(1) Satwa liar yang dilindungi yang diperoleh dari habitat alam untuk keperluan penangkaran
dinyatakan sebagai satwa titipan negara.
(2) Ketentuan mengenai penetapan status purna penangkaran dan pengembalian ke habitat alam
stawa titipan negara diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PERBURUAN
Pasal 17
(1) Perburuan jenis satwa liar dilakukan untuk keperluan olah raga (sport hunting), Perolehan trofi
(trophy hunting) dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat.
(2) Kegiatan perburuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.
BAB V
PERDAGANGAN
Pasal 18
(1) Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak
dilindungi.
(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari :
a. Hasil penangkaran;
b. Penga,mbilan atau penagkapan dari alam.
Pasal 19
(1) Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakuakn oleh Badan Usaha yang didirikan
menurut hukum Indonesia setelah mendapatkan rekomendasi Menteri.
(2) Dikesualikan dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), perdagangan dalam
skala terbatas dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar Areal buru
dan di sekitar Taman Buru sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang perburuan satwa buru.
Pasal 20
(1) Badan usaha yang melakukan perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar wajib:
a. Memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwaa liar yang memenuhi
syarat-syarat teknis;
b. Menyusun rencana kerja tahunan usaha perdagangan tumbuhan dan satwa;
c. Menyampaikan laporan tiap=tiap pelaksanaan perdagangan tumbuhan dan satwa;
(2)Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 21
Badan usaha yang melakukan perdagangan dan satwa liar wajib membayar pungutan yang
ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 22
(1) Perdagangan tumbuhan dan satwa liar diatur berdsarkan lingkup perdagangan :
a. Dalam negeri;
b. Ekspor, re-ekspor atau impor.
(2) Tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Pasal 23
Ketentuan mengenai perdagangan tumbuhan dan satwa liar dalam negeri diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 24
(1) Tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan ekspor, re-ekspor atau impor
dilakukan atas dasar izin Menteri.
(2) Dokumen perdagangan untuk tujuan ekspor, re-ekspor atau impor, sah apabila telah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Memiliki dokumen pengiriman dan pengangkutan;
b. Izin ekspor, re-ekspor atau impor;
c. Rekomendasi otoritas keilmuan (scientific authority).
(3) Ketentuan lenbih lankut tentang dokumen perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 25
(1) Tumbuhan dan satwa liar yang diekspor, re-exkspor, atau impor wajib dilakukan tindak
karantina.
(2) Dalam melakukan tindakan karantina sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), petugas
karantina wajib memeriksa kesehatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta kelengkapan dan
kesesuaian spesimen dengan dokumen.
Pasal 26
Ekspor, re-ekspor atau impor jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau memalsukan
dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) termasuk dalam pengertian penyelundupan.
BAB VI
PERAGAAN
Pasal 27
Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat berupa koleksi hidup atau koleksi matu termasuk
bagian-bagiannya serta hasil dari padanya..
Pasal 28
(1) Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga
– lemabaga pendidikan formal.
(2) Pergaan yang dilakukan oleh orang atau Badan di luar lembaga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dengan izin Menteri.
Pasal 29
Perolehan dan penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk keperluan
peragaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 30
(1) Lembaga, badan atau orang yang melakukan pergaan tumbuhan dan satwa liar bertanggung
jawab atas kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar yang diperagakan.
(2) Menteri mengatur standar teknis kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar untuk
keperluan peragaan.
BAB VII
PERTUKARAN
Pasal 31
Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan atau
meningkatkan populasi, memperkaya keanekaragaman jenis, penelitian dan ilmu pengetahuan, dan
atau penyelamatan jenis yang bersangkutan.
Pasal 32
(1) Pertukaran jenis tumbuhan dan stawa liar yang dilindungi hanya dapatdilakukan terhadap jenis
tumbuhan dan satwa liar yang sudah dipelihara oleh lembaga Konservasi.
(2) Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi hanya dapatdilakukan oleh dan atar
Lembaga Konservasi dan pemerintah.
Pasal 33
(1) Pertukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 hanya dapat dilakukan antara satwa dengan
satwa, atau tumbuhan dengan tumbuhan.
(2) Pertukaran dilakukan atas dasar keseimbangan nilai konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar
yang bersangkutan.
(3) Evaluation of the equilibrium of the value of conservation as meant in sub-Pasal (2) shall be
conducted by an evaluation team the establishment and working procedure of which shall be
stipulated in a ministerial decree.
Pasal 34
BAB VIII
BUDIDAYA TANAMAN OBAT-OBATAN
Pasal 35
Pemanfaatan jenis tumbuhan liar yang berasal dari habitat alam untuk keperluan budidaya tanaman
obat-obatan dilakuan dengan tetap memelihara kelangsunagn potensi, populasi, daya dukung dan
keanekaragaman jenis tumbuhan liar.
Pasal 36
Ketentuan tentang budidaya tanaman obat-obatan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
BAB IX
PEMELIHARAAN UNTUK KESENANGAN
Pasal 37
(1) Setiap oang dapat memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan.
(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan hanya dapat
dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi.
Pasal 38
Menteri menetapkan batsa maksimum jumlah tumbuhan dan satwa liar yang dpat dipelihara unruk
kesenangan.
Pasal 39
(1) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan diperoleh dari hasil
penangkaran, perdgangan yang sah atau dari habitat alam.
(2) Pengambilan tumbuhan lliar dan penangkapan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk
kesenangan diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 40
(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kesenangan, wajib :
a. Memelihara kesehatan, kenyamanan, dan keamanan jenis tumbuhan atau satwa liar
peliharaannya;
b. Menyediakan tempat dan fasilitas yang memenuhi standar pemeliharaan jenis
tumbuhan dan satwa liar.
(2) Ketentuan pelaksanaan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 41
(1) Pemerintah setiap 5 (lima) tahun mengevaluasi kecakapan atau kemampuan seseorang atau
lembaga atas kegiatannya melakukan pemeliharaan satwa liar untuk kesenangan.
(2) Untuk keperluan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemeliharaan satwa liar wajib
menyampaikan laporan berkala pemeliharaan satwa sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri.
BAB X
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR
Pasal 42
(1) Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke
wilayah habitat lainntya di Indonesia, atau dari dan ke luar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi
dengan dokumen pengiriman atau pengangkutan.
(2) Dokumen dinyatakan sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagi berikut :
a. Standar teknis pengangkutan;
b. Izin pengiriman;
c. Izin penangkaran bagi satwa hasil penangkaran;
d. Sertifikast kesehatan satwa dan pejabat yang berwenang.
(3) Izin perngiriman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b wajib memuat keterangan
tentang :
a. Jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa;
b. Pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan;
c. Identitas orang atau Badan yang mengirim dan menerima tumbuhan dan satwa;
d. Peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa.
BAB XI
DAFTAR KLASIFIKASI DAN KUOTA
Pasal 43
(1) Pemerintah menetapkan daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi atas dasar
klasifikasi yang boleh dan yang tidak boleh diperdagangkan.
(2) Penetapan daftar klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memeperhatikan :
a. Perkembangan upaya perlindungan jenis tumbuhan dan satwa liar yang disepakati
dalam konvensi internasional;
b. Upaya-upaya konservasi yang dilakukan di Indonesia; dan
c. Kepentingan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 44
(1) Pemerintah menetapkan kuota pengambilan dan penangkapan setiap jenis dan jumlah
tumbuhan dan satwa liar yang dapat diambil atau ditangkap dari alam untuk setiap kurun waktu
1 (satu) tahun..
(2) Penetapan kuota pengambilan dan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memperhatikan pertumbuhan populasi tumbuhan dan satwa liar pada wilayah habitat yang
bersangkutan.
(3) Wilayah habitat sebagimana dimaksud dalam pasal ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 45
Kuota penangkapan sebagimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) meliputi juga hasil perburuan
satwa liar secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Taman Buru di
dalam atau di sekitar Areal Buru dengan menggunakan alat-alat tradisional.
Pasal 46
Kuota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 merupakan pedoman untuk memenuhi kebutuhan
seluruh bentuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang diperoleh dari alam.
Pasal 47
(1) Pemerintah menetapkan kuota setiap jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar yang tidak
dilindungi untuk keperluan perdagangan dalamsetiap kurun waktu 1 (satu) tahun.
(2) Sumber tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan kuota perdagangan sebagimana dimaksud
dalam ayat (1) berasal dari kuota pengambilan dan penangkapan dari alam dan hasil
penangkaran.
(3) Kuota pedagangan ditetapkan atas dasar kebutuhan perdagangan dalam negeri dan untuk
tujuan ekspor, re-ekspor, atau impor.
Pasal 48
(1) Pemerintah mengendalikan impor setiap jenis tumbuhan dan satwa liat yang dapat dimasukkan
ke Indonesia.
(2) Pengedalian impor sebagimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan upaya
perlindungan tumnbuhan dan satwa liar sejenis di Indoensia dan ketentuan konvensi
Internasional tentang Impor tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 49
Penetapan daftar klasifikasi, kuota pengambilan dan penangkapan, dan kuota perdagangan,
sebagaimana diatur dalam Bab ini dilakukan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari
Otoritas Kelimun (scientific authority).
BAB XII
SANKSI
Pasal 50
(1) Barang siapa tanpa izin menggunakan tumbuhan dan atau satwa liar yang dilindungi untuk
kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dihukum karena melakukan
perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 50,000,000.00 (lima puluh juta rupiah) dan atau dihukum
tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap
tumbuhan liar san sata liar untuk waktu paling lama 5 tahun.
(3) Barangsiapa mengambil tumbuhan liar dan atau satwa liar dari habitat alam tanpa izin atau
dengan tidak memenuhi ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat
(2), Pasal 29 dan Pasal 39 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp 40,000,000.00 (empat puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 51
Barangsiapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan
sertamerta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp 20,000,000.00 (dua puluh
juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pengkajian, penelitian dan
pengembangan terhadap tumbuhan liar san sata liar untuk waktu paling lama 4 tahun..
Pasal 52
(1) Barangsiapa melakukan penangkaran tumbuhan liar dan atau satwa liar tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp 25,000,000.00 (dua puluh lima juta rupiah) dan atau pencabutan izin
penangkaran.
(2) Apabila perbuatan sebagiman dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap tumbuhan dan atau
satwa liar yang dilindungi dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut
ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 53
(1) Penangkar yang melakukan perdagangan tumbuhan dan atau satwa liar tanpa memenuhi
standar kualifikasi yang ditetapkan Menteri sebagaimana dimasud dalam Pasal 9 ayat (4)
dihukum karena melakukan perbuatan penyelundupan.
(2) Perbuatan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 100,000,000.00 (seratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha penangkaran.
Pasal 54
(1) Barang siapa tanpa izin melakukan perdagangan tumbuhan dan atau satwa sebelum memenuhi
kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) atau Pasal 11 ayat (1) atau tidak
memuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dala pasal 12 dihukum karena melakukan
perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 100,000,000.00 (seratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha.
Pasal 55
Penangkar yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan 15 ayat (2),
dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp 10,000,000.00
(sepuluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan.
Pasal 56
(1) Barangsiapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi dihukum karena melakukan
perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 200,000,000.00 (dua ratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha yang bersangkutan.
Pasal 57
Barangsiapa melakukan perdagangan tumbuhan liar dan atau satwa liar selain oleh Badan Usaha
dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dihukum karena melakukan perbuatan
penyelundupan.
Pasal 58
(1) Badan Usaha perdagangan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf a dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-
banyaknya Rp 10,000,000.00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pembekuan kegiatan usaha paling
lama 2 (dua) tahun.
(2) Badan Usaha perdagangan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf b dengan serta merta dapat dihukum pembekuan kegiatan usaha
paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Badan Usaha perdagangan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) c dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-
banyaknya Rp 10,000,000.00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pembekuan kegiatan usaha
paling lama 2 (dua) tahun.
(4) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sewaktu-waktu atas
pertimbangan Menteri, dapat dikenakan pencabutan izin usaha.
Pasal 59
(1) Ekspor, re-ekspor atau impor tumbuhan liar dan satwa liar tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) atau tanpa dokumen atau memalsukan dokumen, atau menyimpang
dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dihukum karena melakukan
perbuatan penyelundupan.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 250,000,000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
atau pencabutan izin usaha perdagangan yang bersangkutan.
Pasal 60
(1) Barangsiapa melakukan peragaan satwa liar tanpa izin sebagimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dihukum karena melakukan percobaan perbuatan perusakan lingkungan hidup.
(3) Apabila perbuatan tersebut dalam ayat (1) dilakukan terhadap satwa liar yang dilindungi,
dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 61
(1) Barangsiapa melakukan pertukaran tumbuhan dan satwa yang menyimpang dari ketentuan
sebagimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 200,000,000.00 (dua ratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usahayang bersangkutan.
Pasal 62
Pemeliharaan tumbuhan dan satwa liar untuk kesenangan yang tidak memenuhi kewajiban
sebagimana dimaksud dalam Pasal 40 dan 41 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 5,000,000.00 (lima juta rupiah) dan atau perampasan atas
satwa yang dipelihara.
Pasal 63
(1) Barangsiapa melakukan pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa liar tanpa
dokumen pengirim atau pengangkutan, atau menyimpang dari syarat-syarat atau tidak
memenuhi kewajiban atau memalsukan dokumen sebagaimana yang dimaaksud dalam Pasal 42
ayat (1) atau ayat (3) dihukum karena turut serta melakukan penyelundupan dan atau
pencurian dan atau percobaan melakukan perusakan lingkungan hidup.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 250,000,000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan.
Pasal 64
(1) Pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62 dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, maka
tumbuhan dan satwa liar tersebut dirampas untuk negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990.
(2) Pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62 dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi, ,
maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan sama dengan yang dilindungi, dirampas
untuk negara.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 65
Pasal 66
(1) Otoritas pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf a mempunyai kewenangan
sebagaimana diatur dalam Perturan Pemerintah ini.
(2) Otoritas Keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf b mempunyai kewenangan
untuk:
Pasal 67
Penanggung jawab dari semua kegiatan dalam rangka pemanfaatan jenis sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah ini, bertanggung jawab atas tindakan satwa liar atau kelalaian
penanggung jawab menempatkan tumbuhan yang berbahaya yang mengakibatkan kerugian harta
benda orang lain, mengakibatkan gangguan kesehatan, cedera atau hilangnya jiwa orang lain.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan peraturan
perundang – undangan yang mengatur tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang
telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
basis of this government regulation.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
TENTANG
Menimbang: a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu
menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan;
b. bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya
pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah
yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat
membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia;
c. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses produksi;
2. Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat
dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mencemarkan dan/atau rnerusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan
kingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
3. Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3;
4. Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan
mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan;
5. Penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah
B3;
6. Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan dengan
tujuan untuk mengumpulkan limbah B3 sebelum dikirim ke tempat pengolahan dan/atau
pemanfaatan dan/atau penimbunan limbah B3;
7. Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah
B3;
8. Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3;
9. Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan limbah
B3;
10. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3;
11. Pengawas adalah pejabat yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab melaksanakan
pengawasan pengelolaan limbah B3;
12. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil dan/atau
pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 dengan
maksud menyimpan sementara;
13. Pengumpul limbah B3 adalah suatu kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah
B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau
pengolah dan/atau penimbun limbah B3;
14. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 dari penghasil
dan/atau dari pengumpul dan/atau dari pemanfaat dan/atau dari pengolah ke pengumpul
dan/atau ke pemanfaat dan/atau ke pengolah dan/atau ke penimbun limbah B3;
15. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau
penggunaan kembali (reuse) dan/atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah
limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan
dan kesehatan manusia;
16. Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3
untuk menghilangkan dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau sifat racun;
17. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas
penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan
hidup;
18. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
19. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
Pasal 3
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang
membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup,
tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Pasal 4
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pemgumpulan,
pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran untuk
maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B3.
Pasal 5
Pengelolaan limbah radio aktif dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan
radio aktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB II
IDENTIFIKASI LIMBAH B3
Pasal 6
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan karakteristiknya.
Pasal 7
(2) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, dan D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah
dilakukan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan/atau uji karakteristik.
(3) perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 8
(1) Limbah yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau lebih
karakteristik sebagai berikut :
a. mudah meledak;
b. mudah terbakar;
c. bersifat reaktif,
d. beracun;
e. menyebabkan infeksi;
f. bersifat korosif; dan
(2) Limbah yang termasuk limbah B3 adalah limbah lain yang apabila diuji dengan metode
toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan.
BAB III
PELAKU PENGELOLAAN
Bagian Pertama
Penghasil
Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengunakan bahan berbahaya
dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3,
mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3.
(2) Apabila kegiatan reduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih menghasilkan limbah
B3, dan limbah B3 tersebut masih dapat dimanfaatkan, penghasil dapat memanfaatkannya
sendiri atau menyerahkan pemanfaatannya kepada pemanfaat limbah B3.
(3) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkannya
sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak mampu diolah di dalam negeri dapat
diekspor ke negara lain yang memiliki teknologi pengolahan limbah B3.
(4) Pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan sendiri oleh penghasil limbah B3 atau penghasil limbah B3 dapat menyerahkan
pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang dihasilkannya itu kepada pengolah
dan/atau penimbun limbah B3.
(5) Penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta kepada pengolah dan/atau penimbun
limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengurangi tanggung jawab penghasil
limbah B3 untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkannya.
(6) Ketentuan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan
skala kecil ditetapkan kemudian oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 10
(1) Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90
(sembilan puluh) hari sebelum menyerahkannya kepada pengumpul atau pemanfaat atau
pengolah atau penimbun limbah B3.
(2) Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 (lima puluh) kilogram per hari, penghasil
limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya lebih dari sembilan puluh hari
sebelum diserahkan kepada pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3, dengan
persetujuan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 11
(2) Penghasil limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pengumpul
Pasal 12
Pengumpul limbah B3 dapat dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan
limbah B3.
Pasal 13
(2) Pengumpul limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.
Pasal 14
(2) Pengumpul limbah B3, bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dikumpulkan.
Bagian Ketiga
Pengangkut
Pasal 15
(1) Pengangkut limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan
limbah B3.
(2) Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 untuk limbah yang
dihasilkannya sendiri.
(3) Apabila penghasil limbah B3 bertindak sebagai pengangkut limbah B3, maka wajib memenuhi
ketentuan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3.
Pasal 16
(1) Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut limbah B3 wajib disertai dokumen limbah
B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 17
Bagian Keempat
Pemanfaat
Pasal 18
Pemanfaat limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
pemanfaatan limbah B3.
Pasal 19
(1) Pemanfaat limbah B3 yang menghasilkan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai
penghasil limbah B3.
(2) Pemanfaat limbah B3 yang dalam kegiatannya melakukan pengumpulan limbah B3 wajib
memenuhi ketentuan mengenai pengumpul limbah B3.
(3) Pemanfaat limbah B3 yang melakukan pengangkutan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan
mengenai pengangkut limbah B3.
Pasal 20
Pemanfaat limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 sebelum dimanfaatkan paling lama 90 (sembilan
puluh).
Pasal 21
Pasal 22
(1) Pemanfaat limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.
Bagian Kelima
Pengolah
Pasal 23
(1) Pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
pengolahan limbah B3.
(2) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang akan diolah paling lama 90 (sembilan
puluh) hari.
(3) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan
puluh) hari
Pasal 24
(2) Pengolah limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:
a. Inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. Sebagai badan evaluasi di dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan limbah B3.
Bagian Keenam
Penimbunan
Pasal 25
(1) Penimbun limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
penimbunan limbah B3.
(2) Penimbunan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil untuk menimbun limbah B3 sisa dari
usaha/dan atau kegiatannya sendiri.
Pasal 26
(2) Penimbun limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.
BAB IV
KEGIATAN PENGELOLAAN
Bagian Pertama
Reduksi Limbah B3
Pasal 27
(1) Reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya menyempurnakan penyimpanan bahan
baku dalam kegiatan process (house keeping), substitusi bahan, modifikasi proses, serta
upaya reduksi limbah B3 lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai reduksi limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedua
Pengemasan
Pasal 28
(1) Setiap kemasan limbah B3 wajib diberi simbol dan label yang menunjukkan karakteristik dan
jenis limbah B3.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label limbah limbah B3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggun jawab.
Bagian Ketiga
Penyimpanan
Pasal 29
(1) Penyimpanan limbah B3 dilakukan di tempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan.
(2) Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana dan di luar
kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang;
b. rancang bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya
pengendalian pencemaran lingkungan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Keempat
Pengumpulan
Pasal 30
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kelima
Pengangkutan
Pasal 31
Penyerahan limbah B3 oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah
kepada pengangkut wajib disertai dokumen limbah B3.
Pasal 32
Pengangkutan limbah B3 dilakukan dengan alat angkut khusus yang memenuhi persyaratan dengan
tata cara pengangkutan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Pemanfaatan
Pasal 33
(1) Pemanfaatan limbah B3 meliputi perolehan kembali (recovery), penggunaan kembali (reuse) dan
daur ulang (recycle).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Ketujuh
Pengolahan
Pasal 34
(1) Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi dan solidifikasi,
secara fisika, kimia, biologi dan/atau cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.
(3) Pengolahan limbah B3 dengan cara stabilisasi dan solidifikasi wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
(4) Pengolah limbah B3 yang melakukan pengolahan secara fisika dan kimia yang menghasilkan:
a. limbah cair, maka limbah cair tersebut wajib memenuhi baku mutu limbah cair;
b. limbah padat, maka limbah padat tersebut wajib memenuhi ketentuan tentang
pengelolaan limbah B3.
(5) Pengolah limbah B3 dengan cara thermal dengan mengoperasikan insinerator wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) mempunyai insinerator dengan spesifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumlah
limbah B3 yang dibakar;
b) mempunyai insinerator yang dapat memenuhi efisiensi pembakaran minimal 99,99%
dan efisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai berikut:
1) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Principle Organic Hazard
Constituents (POHCS) 99,9999%;
2) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychlorinated biphenyl
(PCBs) 99.9999%;
3) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychlorinated
dibenzofurans 99.9999%;
4) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychiorinated dibenzo-p-
dioxins 99,9999%.
c) memenuhi standar emisi udara;
d) residu dari kegiatan pembakaran berupa abu dan cairan wajib dikelola dengan
dengan mengikuti ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengolahan limbah B3 ditetapkan oleh
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Bagian Kedelapan
Penimbunan
Pasal 36
(1) Lokasi penimbunan hasil pengolahan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bebas dari banjir;
b. permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat negatif 7 ( 10-7 ) cm per detik;
c. merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi penimbunan limbah, berdasarkan
rencana penataan ruang,,
d. merupakan daerah yang secara geologis dinyatakan aman, stabil tidak rawan
bencana dan di luar kawasan lindung;
e. tidak merupakan daerah resapan air tanah khususnya digunakan untuk air minum.
Pasal 37
(1) Penimbunan harus dibangun dengan menggunakan sistem pelapis yang dilengkapi denga
saluran untuk pengaturan aliran air permukaan, pengumpulan air lindi dan pengolahannya,
sumur pantau dan lapisan penutup akhir yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung-
jawab.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penimbunan limbah B3
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 38
Penghentian kegiatan penimbunan limbah B3 oleh penimbun wajib mendapatkan persetujuan tertulis
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 39
(1) Terhadap lokasi bekas pengolahan dan bekas penimbunan limbah B3, pengolah termasuk
penimbun wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a. menutup bagian paling atas tempat penimbunan dengan tanah setebal minimum
0,60 meter
b. melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3;
c. melakukan pemantauan kualitas air tanah dan menanggulangi dampak negatif yang
mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan, selama minimum 30 (tiga
puluh) tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh fasilitas pengolahan dan
penimbunan limbah B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
BAB V
TATA LAKSANA
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 40
(3) Kegiatan pengolahan limbah B3 yang terintegrasi dengan kegiatan pokok wajib memperoleh
izin operasi alat pengolahan limbah B3 yang dikeluarkan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
(4) Persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. memiliki akte pendirian sebagai badan usaha yang berbentuk badan hukum, yang
telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. nama dan alamat badan usaha yang memohon izin;
c. kegiatan yang dilakukan;
d. lokasi tempat kegiatan;
e. nama dan alamat penanggung jawab kegiatan;
f. bahan baku dan proses kegiatan yang digunakan;
g. spesifikasi alat pengolah limbah B3;
h. jumlah dan karakteristik limbah B3 yang dikumpulkan, diangkut, diolah atau
ditimbun;
i. tata letak saluran limbah, pengolahan limbah, dan tempat penampungan sementara
limbah B3 sebelum diolah dah tempat penimbunan setelah diolah;
j. alat pencegahan pencemaran untuk limbah cair, emisi, dan pengolahan limbah B3.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan tata cara permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c, ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 41
(1) Keputusan mengenai izin dan rekomendasi pengolahan limbah B3 yang diberikan oleh Kepala
Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 40 wajib
diumumkan kepada masayarakat.
(2) Tata cara pengumuman sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan ketetapan Kepala Isntansi yang bertanggung jawab.
Pasal 42
(1) Izin lokasi pengolahan dan penimbunan limbah B3 diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kebupaten/Kotamadya sesuai rencana tata ruang setelah mendapat rekomendasi dari Kepala
Instansi yang bertanggung jawab.
(2) Rekomendasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil penelitian
tentang dampak lingkungan dan kelayakan teknis lokasi sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 36.
Pasal 43
(3) Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis mengenai dampak
lingkungan hidup diberikan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 44
(1) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diberikan oleh
Kepala Instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari
kerja terhitung sejak diterimanya.
(3) Syarat dan kewajiban tersebut dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah
disetujui merupakan bagian yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pemberian izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).
Pasal 45
(1) Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan pengolahan dan pemanfaatan
limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan utamanya, maka analisis mengenai dampak
lingkungan hidup untuk kegiatan pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya.
(2) Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan pemanfaat limbah B3 di lokasi
kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang
bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40.
(3) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak diterimanya rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan
lingkungan yang telah disetujui.
(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal 46
(1) Apabila penghasil dan/atau pemanfaat limbah B3 juga bertindak sebagai pengolah limbah B3
dan lokasi pengolahannya berbeda dengan lokasi kegiatan utamanya, maka terhadap kegiatan
pengolahan limbah B3 tersebut berlaku ketentuan mengenai pengolahan limbah B3 dalam
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Untuk kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utamanya wajib dibuatkan analisis
mengenai dampak lingkungan hidup sedangkan untuk kegiatan yang terintegrasi dengan
kegiatan utamanya wajib membuat rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup.
(3) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan kepada instansi yang
bertanggung jawab dan persetujuan atas dokumen tersebut diberikan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui wajib dicantumkan dalam izin
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 40.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 47
(1) Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh menteri dan pelaksanaannya diserahkan
kepada instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemantauan terhadap penaatan
persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul,
pengangkut, pengolah termasuk penimbun limbah B3.
(3) Pelaksanaan pengawasan pengolahan limbah B3 di daerah dilakukan menurut tata laksana
yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(4) Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat pada tingkat nasional dilaksanakan oleh
instansi yang bertanggung jawab dan pada tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Pasal 48
Pasal 49
Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib membantu
petugas pengawas dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2).
Pasal 50
Apabila dalam pelaksanaan pengawasan ditemukan indikasi adanya tindak pidana lingkungan hidup
maka pengawasan selaku penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup dapat melakukan
penyidikan.
Pasal 51
(1) Instansi yang bertanggung jawab menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan limbah
B3 secara berkala sekurang-kurangnnya satu kali dalam satu tahun kepada Presiden dengan
tembusan kepada Menteri.
(2) Menteri mengevaluasi laporan tersebut guna menyusun kebijakan pengelolaan limbah B3.
Pasal 52
(1) Untuk menjaga kesehatan pekerja dan pengawas yang bekerja di bidang pengelolaan limbah
B3, dilakukan uji kesehatan secara berkala
(2) Uji kesehatan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pengelolaan limbah B3
(3) Uji kesehatan bagi pengawas pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan tenaga kerja
Bagian Ketiga
Perpindahan Lintas Batas
Pasal 53
(2) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Indonesia dengan tujuan
transit, wajib memiliki persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
(3) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Republik Indonesia wajib
diberitahukab terlebih dahulu secara tertulis kepada Kepala Instansi yang bertanggung
jawab.
(4) Pengiriman limbah B3 ke luar negeri dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis
dari pemerintah negara penerima dan Kepala instansi yang bertangung jawab.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri yang ditugasi
dalam bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari Kepala insatnsi yang
bertanggung jawab.
Bagian Keempat
Informasi dan Pelaporan
Pasal 54
(1) Setiap orang berhak atas informasi mengenai pengelolaan limbah B3.
(2) Insatnsi yang bertanggung jawab wajib memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada setiap orang secara terbuka.
Pasal 55
(1) Setiap orang berhak melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah B3.
(2) Pelaporan tentang adanya peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
disampaikan secara lisan atau tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab atau aparat
pemerintah terdekat.
(3) Aparat pemerintah yang menerima pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
meneruskan laporan tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya
3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya pelaporan.
Pasal 56
(1) Instansi yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 wajib segera
menindaklanjuti laporan masyarakat.
(2) Proses tindak lanjut maupun hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberitahukan kepada pelapor dan/atau masyarakat yang berkepentingan
Pasal 57
Tata cara dan mekanisme pelaporan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 diatur
lebih lanjut oleh Keputusan Menteri.
Bagian Kelima
Penanggulangan dan Pemulihan
Pasal 58
(2) Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib
memiliki sistem tanggap darurat
(3) Penanggung jawab pengelolaan limbah B3 wajib memberikan informasi tentang sistem
tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat
(4) Penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat
dan/atau penimbun limbah B3 wajib segera melaporkan tumpahnya bahan berbahaya dan
beracun (B3) dan limbah B3 ke lingkungan kepada instansi yang bertanggung jawab
dan/atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kecelakaan dan pencemaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertangung jawab.
Bagian Keenam
Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan
Pasal 59
(2) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan untuk skala yang tidak dapat
ditanggulagi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II, maka Pemerintah Daerah Tingkat I dan
Pemerintah Daerah Tingkat II secara bersama-sama melakukan pengawasan.
Pasal 60
(1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib
segera menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatannya
(2) Apabila penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3
tidak melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau tidak
menanggulangi sebagaimana mestinya, maka instansi yang bertanggung jawab dapat
melakukan penanggulangan dengan biaya yang dibebankan kepada penghasil, dan/atau
pemanfaat, dan/atau pengumpul, dan/atau pengangkut dan/atau pengolah, dan/atau
penimbun limbah B3 yang bersangkutan melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Bagian Ketujuh
Pembiayaan
Pasal 61
(1) Segala biaya untuk memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan
kepada pemohon izin.
(2) Beban biaya permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya studi
kelayakan teknis untuk proses perizinan.
(3) Untuk pemantauan dan/atau pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh:
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
SANKSI
Pasal 62
(1) Instansi yang bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis kepada penghasil,
pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah atau penimbun yang melanggar ketentuan
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, pasal 26, pasal
28, pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58 dan
Pasal 60
(2) Apabila dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak dikeluarkannya peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pihak yang diberi peringatan tidak mengindahkan
peringatan atau tetap tidak mematuhi ketentuan pasal yang dilanggarnya, maka Kepala
instansi yang bertanggung jawab dapat menghentikan sementara atau mencabut izin
penyimpanan, pengumpulan, pengolahan termasuk penimbunan limbah B3 sampai pihak
yang diberi peringatan mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, dan bilamana dalam batas
waktu yang ditetapkan tidak diindahkan maka izin operasi dicabut.
(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab wajib dengan segera mencabut keputusan
penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat 93 apabila pihak yang
dihentikan sementara kegiatan operasinya telah mematuhi ketentuan yang dilanggarnya.
Pasal 62
Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal
19, Pasal 20, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 dan Pasal Pasal 60
yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal
45, pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
(1) Apabila pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah dilakukan pengelolaan
dan/atau pembuangan dan/atau penimbunan limbah B3 yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, maka setiap orang atau badan
usaha yang menghasilkan, mengumpulkan, mengangkut, mengolah atau menimbun limbah
B3 baik masing-masing maupun bersama-sama secara proporsional wajib melakukan
pembersihan dan/atau pemulihan lingkungan dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu
tahun.
(2) Apabila orang atau badan usaha yang menghasilkan, mengumpulkan, mengangkut, atau
mengolah dan menimbun limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak melakukan
pembersihan dan pemulihan lingkungan, maka instansi yang bertanggung jawab dapat
melakukan atau meminta pihak ketiga melakukan pembersihan dan pemulihan lingkungan
dengan biaya yang dibebankan kepada orang yang menghasilkan, mengumpulkan,
mengangkut dan mengolah limbah B3 baik secara sendiri maupun bersama-sama secara
proporsional.
(3) Bagi kegiatan yang memanfaatkan limbah B3 dari luar negeri dan telah memiliki izin hanya dapat
melakukan impor limbah B3 sebagai bahan baku sampai dengan Bulan September 2002.
Pasal 65
Setiap orang atau badan usaha yang sudah melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan,
pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, wajib
meminta izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
26, Tambahan lembaran Negara 3551) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3595) dinyatakan tidak berlaku lagi dan mengacu kepada Peraturan
pemerintah ini.
Pasal 67
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 1999
Ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 1999
AKBAR TANDJUNG
Pelarut Terhalogenasi
D1001a Tetrakloroetilen
D1002a Trikloroetilen
D1003a Metilen Klorida
D1004a 1,1,2-Trikloro-1,2,2-Trifluoroetana
D1005a Triklorofluorometana
D1006a Ortho-diklorobenzena
D1007a Klorobenzena
D1008a Trikloroetana
D1009a Fluorokarbon Terklorinasi
D10010a Karbon Tetraklorida
D1001b Dimetilbenzena
D1002b Aseton
D1003b Etil Asetat
D1004b Etil Benzena
D1005b Metil Isobutil Keton
D1006b n-Butil Alkohol
D1007b Sikloheksanon
D1008b Metanol
D1009b Toluena
D1010b Metil Etil Keton
D1011b Karbon Disulfida
D1012b Isobutanol
D1013b Piridin
D1014b Benzena
D1015b 2-Etoksietanol
D1016b 2-Nitropropana
Asam/Basa
D201 PUPUK 2412 − Proses produksi amonia, - Katalis bekas - Logam Berat (terutama As,
urea dan/atau asam fosfat - Sludge proses produksi Hg)
− IPAL yang mengolah efluen - Limbah laboratorium - Sulfida/Senyawa amonia
dari proses produksi di atas - Sludge dari IPAL
- Karbon aktif bekas
D202 PESTISIDA 2421 - MFDP1 pestisida - Sludge dari IPAL − Bahan aktif pestisida
Bahan organik dan - Penyimpanan dan - Alat pengemasan 2
dan perlengkapan − Hidrokarbon terhalogenasi
inorganik yang pengemasan - Produk off-spec − Pelarut mudah terbakar
digunakan untuk pestisida - Residu proses produksi dan formulasi − Logam dan logam berat
pemebrantasan atau - IPAL yang mengolah efluen - Pelarut bekas (terutama As, Pb, Hg, Cu, Zn
pengendalian hama dari proses produksi pestisida - Absorban dan filter bekas dan Th)
atau gulma - Residu proses destilasi, evaporasi − Senyawa Sn-organik
(insektisida, herbisida - Pengumpulan debu
, fungisida, algasida, - Limbah laboratorium
rodensida, defoliant) - Residu dari insinerator
D203 PROSES KLORO- 2411 − Proses produksi klorin - Sludge dari IPAL - Logam berat (terutama
ALKALI 2413 (metoda electrolisis dengan - Absorban dan filter bekas Hg)
Umumnya merupakan 2429 menggunakan proses sel - Alat yang terkontaminasi Hg - Hidrokarbon terhalogenasi
kegiatan yang terkait merkuril) - Sludge hasil proses pengawetan
dalam produksi − Pemurnian garam - Limbah laboratorium
senyawa kimia atau − Proses produksi soda
produk yang berbahan kaustik (metoda sel
dasar plastik, seperti : merkuri)
soda kaustik , klorin, − IPAL yang mengolah efluen
vinylchloride, dari proses produksi di atas
polyvinylchloride,
parafin mengandung
klorin,
ethylenedichloride,
hypochlorites, asam
hydrochloric , dll.
D204 ADHESIVE RESIN 2429 − MFDP resin adesif - Bahan dan produk Off-spec − Bahan organik (terutanma
- Residue dari kegiatan produksi senyawa fenol
Phenol formaldehide − IPAL yang mengolah efluen - Katalis Bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
(PF), urea dari proses produksi resin - Pelarut Bekas
formaldehide (UF), adesif - Limbah laboratorium
melamine - Sludge dari IPAL
formaldehide (MF), dll
KODE
KODE JENIS SUMBER PENCEMARAN
KEGIATAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN
D205 POLIMER 2413 − MFDP monomer dan − Monomer/oligomer yang tidak − Berbagai senyawa organik
Kegiatan produksi, 2430 polimer bereaksi − Hidrokarbon terhalogenasi
baik khusus ataupun 2520 − IPAL yang mengolah efluen − Katalis bekas − Logam berat (terutama Cd,
terintegrasi dalam 2430 dari proses produksi − Residu produksi/reaksi polimer Pb, Sb, Sn)
manufaktur produk polimer absorban (misalnya karbon aktif − Sludge terkontaminasi Zn
plastik atau serat, bekas) dari proses produksi
dengan cara − Limbah Laboratorium rayon/resin akrilik
polimerisasi yang − Sludge dari IPAL
menghasilkan produk, − Sisa dan bekas stabiliser (misalnya
seperti misalnya ; dalma produksi PVC: Cd, Zn, As)
Polyvinyl chloride − Fire retardant (misalnya Sb dan
(PVC), polyvinyl senyawa bromin organik )
acetate (PVA), − Senyawa Sn organik
polyethylene (PE), − Residu dari proses destilasi
polypropilene (PP),
acrylonitrile butadiene
styrene (ABS),
acrylonitrile styrene
(AS), synthetic resin
(alkyd, amino, epoxy,
phenolic, polyester,
polyurethane, vinyl
acrylic), Phthalate
(PET), polystyrene
(PS), polyethylene
terephthalate (PET),
polystyrene (PS),
styrene butadiene
rubber (SBR)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D206 PETROKIMIA 2320 − MFDP Produk Petrokimia − Sludge proses produksi dan fasilitas - Organik
2411 − IPAL yang mengolah efluen penyimpanan - Hidrokarbon terhalogenasi
Industri yang 2413 proses − Katalis bekas - Logam berat (terutama Cr,
menghasilkan produk 2429 − Pengolahan limbah − Tar (residu akhir ) Ni, Sb)
organik dari proses − Residue proses produksi/reaksi - Hidrokarbon aromatis
pemecahan fraksi − Absorban (misalnya karbon aktif)
minyak bumi atau gas bekas dan filter bekas
alam, termasuk produk − Limbah Laboratorium
turunan yang − Sludge dari IPAL
dihasilkan langsung − Residu/ash proses spray drying
dari produk dasarnya. − Pelarut bekas
Misalnya: parafin
olefin, naftan dan
Hidrokarbon aromatis
(metana, etana,
propana, etilen,
propilen, butana,
sikloheksana, benzena,
toluen, naftalen,
asetilen, asam asetat,
xilene) dan seluruh
produk turunannya.
D 207 PENGAWETAN KAYU 2010 − Proses pengawetan kayu − Sludge dari proses pengawetan − Fenol terklorinasi (misalnya
2021 − IPAL yang mengolah efluen kayu dan fasilitas penyimpanan pentaklorofenol)
2029 dari proses pengawetan − Sludge dari alat pengolahan − Hidrokarbon terhalogenasi
3511 kayu pengawetan kayu − Senyawa Organometal
4520 − Produk off-spec dan produk left-
over
− Pelarut bekas
− Kemasan bekas
− Sludge dari IPAL
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D208 PELEBURAN/PENGOLA 2710 − Proses peleburan besi/baja − Ash, dross, slag from furnace − Logam berat (terutama As,
H-AN BESI DAN BAJA 2731 − Proses casting besi/baja − Debu, residu dan/atau sludge dari Cr, Pb, Ni, Cd, Th and Zn)
2891 − Proses besi/baja : rolling, fasilitas pengendali pencemaran − Organik (fenolic, naftalen)
drawing, sheeting udara − Sianida
− Coke manufacturing − Sludge dari IPAL − Limbah minyak
− IPAL yang mengolah efluen − Pasir foundry dan debu cupola
dari coke oven/blast − Emulsi minyak dari
furnace pendingin/pelumas
− Sludge dari Ammonia still lime
− Sludge dari proses rolling
D 209 PELEBURAN DAN 2710 − Penyempurnaan dan − Larutan asam/alkali bekas dan − Logam berat (terutama As,
PEMURNIAN 2731 pemrosesan baja residunya Cr, Pb, Ni, Cd, Th and Zn)
TEMBAGA − Steel surface treatment − Residu terkontaminasi sianida (hot − Larutan asam dan alkali
(pickling, passivation, metal treatment) − Nitrat
cleaning) − Slag dan residu lain yang − Fluorida
terkontaminasi logam berat − Sianida (Kompleks)
− Sludge dari proses pengolahan
residu
− Larutan pengolah bekas
− Fluxing agent bekas
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D210 PELEBURAN TIMAH 2720 − Proses peleburan timah − Sludge dari fasilitas proses − Logam berat (terutama As,
HITAM (Pb) 2732 sekunder dan/atau primer peleburan Pb, Cd, Zn, Th)
3720 − IPAL yang mengolah efluen − Debu dan/atau sludge dari fasilitas − Larutan asam
dari proses peleburan pengendali pencemaran udara
timah − Ash, slag dan dross yang
merupakan residu dari proses
peleburan
− Limbah dari proses skimming
− Larutan asam bekas
− Sludge dari IPAL
D211 PELEBURAN DAN 2720 − Proses primer dan − Sludge dari fasilitas proses − Logam berat (terutama Cu,
PEMURNIAN 2732 sekunder peleburan dan peleburan dan penyempurnaan Pb, Cd, Th)
TEMBAGA 3720 penyempurnaan tembaga − Debu dan/atau sludge dari fasilitas − Larutan asam
− Peleburan dengan electric pengendali pencemaran udara
arch furnace − Larutan asam bekas
− Pabrik asam (Acid plant) − Residu dari proses penyempurnaan
− IPAL yang mengolah efluen secara electrolisis
dari proses peleburan − Sludge dari IPAL
tembaga − Sludge dari acid plant blowdown
− Ash, slag dan dross yang
merupakan residu dari proses
peleburan
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D212 TINTA 2221 − MFDP Tinta − Sludge dari proses produksi dan − Organik (binder dan resin)
Kegiatan-kegiatan 2102 − Proses deinking pada penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
yang menggunakan 2109 pabrik bubur kertas − Sludge terkontaminasi − Senyawa organometal
tinta seperti 2422 − IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Pelarut mudah terbakar
percetakan pada 2520 dari proses yang − Sludge dari IPAL − Logam berat (terutama Cr,
kertas, plastik, tekstil, 2211 berhubungan dengan tinta − Residue dari proses pencucian Pb)
dll, termasuk proses − Kemasan bekas tinta − Pigmen dan zat warna
deinking pada pabrik − Produk off spec dan kadaluarsa − Detergen
bubur kertas − Calico printing - As
D213 TEKSTIL 1711/1712 − Proses finishing tekstil − Sludge dari IPAL yang mengandung − Logam berat (terutama As,
1721/1722 − Proses dyeing bahan tekstil logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Zn)
1723/1729 − Proses printing bahan − Pelarut bekas (cleaning) − Hidrokarbon terhalogenasi
1810/1820 tekstil − Fire retardant (Sb/senyawa brom (dari proses dressing dan
- IPAL yang mengolah efluen organik) finishing)
proses kegiatan di atas − Pigment, zat warna dan
pelarut organic
− Tensioactive (surfactant)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D214 MANUFAKTUR DAN 2813/29122 − Seluruh proses yang − Sludge proses produksi − Logam dan Logam berat
PERAKITAN 91 berhubungan fabrikasi − Pelarut bekas dan cairan pencuci (terutama As, Ba, Cd, Cr,
KENDARAAN DAN 3/29152927 dan finishing logam, (organik dan inorganik) Pb, Ag, Hg, Cu, Ni, Zn, Se,
MESIN /3 manufaktur mesin dan − Residu proses produksi Sn)
Mencakup manufaktur 1103410/34 suku cadang dan − Sludge dari IPAL − Nitrat
dan perakitan 20 perakitan. Termasuk − Residu cat
kendaraan bermotor, 3430/3530 kegiatan yang terkait − Minyak dan gemuk
sepeda, kapal, 3591/3592 dengan D215 dan D216 − Senyawa amonia
pesawat terbang, − IPAL yang mengolah − Pelarut mudah terbakar
traktor, alat-alat efluen dari proses di atas − Asbestos
berat, generator, − Larutan Asam
mesin-mesin produksi
dll.
D215 ELEKTROPLATING 2892 − Semua proses yang − Sludge pengolahan dan pencucian − Logam dan Logam berat
DAN GALVANIS 2710/2720 berkaitan dengan kegiatan − Larutan pengolah bekas (terutama Cd, Cr, Cu, Pb,
Mencakup kegiatan 2811/2812 pelapisan logam termasuk − Larutan asam (pickling) As, Ba, Hg, Se, Ag, Ni, Zn,
pelapisan logam pada 2891/2893 perlakuan : phosphating, − Dross, slag Sn)
permukaan logam 2899/2911 etching, polishing, − Pelarut bekas (terklorinasi) − Sianida
atau plastik dengan 2912/2915 chemical conversion − Larutan bekas proses degreasing − Senyawa Ammonia
proses elektris 2919/2922 coating, anodizing − Sludge IPAL − Fluorida
2924/2925 − Pre-treatment: pickling, − Residu dari larutan batch − Fenol
2926/2927 degreasing, stripping, − Nitrat
2930/3110 cleaning, grinding, sand
3120/3190 blasting, weld cleaning,
3210/3220 depainting
3230/3410 − IPAL yang mengolah
3420/3430 efluen proses
3530/3591 elektroplating dan
3592/3610 galvanis
3699/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
216 CAT 2422 − MFPD cat − Sludge cat − Bahan organic (resin)
Termasuk varnish dan 2029/2811 − IPAL yang mengolah − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
bahan pelapis lain 2812/2892 efluen proses yang − Sludge dari IPAL − Caustic sludge
2893/2899 berkaitan dengan cat − Filter bekas − Pelarut mudah meledak
2911/2912 − Produk off-spec − Pigmen
2915/2919 − Residu dari proses distilasi − Logam dan logam berat
2922/2924 − Cat anti korosi (Pb, Cr) (terutama As, Ba, Cd, Cr,
2925/2926 − Debu dan/atau sludge dari unit Pb, Hg, Se, Ag, Zn)
2927/2930 pengendalian pencemaran udara − Senyawa Sn Organik
3110/3120 − Sludge proses dip painting
3190/3150
3210/3220
3230
3410
3420/3430
3530/3591
3592/3610
3699/4520
3511/3694
3699
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D217 BATERE SEL KERING 3140 − MFDP batere sel kering - Sludge proses - Logam berat (terutama
− IPAL yang mengolah efluen proses produksi Cd, PB, NI,Zn.Hg)
produksi batere - Residu proses - Residu padat mengandung
produksi logam
- Batere bekas, off
specdan kadaluarsa
- Sludge dari IPAL
- Metal powder
- Dust, slag, ash
D218 BATERE SEL BASAH 3140 − MFDP batere sel basah - Sludge proses - Logam berat (terutama
− IPAL yang mengolah effluen proses produksi Cd, Pb, Ni, Zn, Sb)
produksi batere - Batere bekas, off - Asam/alkali
specdan kadaluarsa - Sel mengandung Litium
- Sludge dari IPAL
- Larutan Asam/alkali
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D219 KOMPONEN 3110/3120 − Manufaktur dan perakitan − Sludge proses produksi - Logam dan logam berat
ELECTRONIK/ 3150/3190 komponen dan peralatan − Pelarut bekas (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb,
PERALATAN 3210/3220 elektronik − Mercury contactor/switch Ag, Hg, Cu, Ni, Zn, Se, Sn,
ELEKTRONIK 3230/3320 − IPAL yang mengolah efluen − Lampu Fluorescence (Hg) Sb)
proses − Coated glass - Nitrat
− Larutan etching untuk printed circuit - Fluorida
− Caustic stripping (photoresist) - Residu cat
− Residu solder dan fluxnya - Bahan Organikl
− Limbah pengecatan - Larutan asam/alkalin
- Pelarut terhalogenasi
- Residu proses etching (Fe
Cl3)
-
D220 EKSPLORASI DAN 1110 − Eksplorasi dan produksi − Slop minyak - Bahan organik
PRODUKSI MINYAK 1120 − Pemeliharaan fasilitas − Lumpur bor (drilling mud) - Bahan terkontaminsai
GAS DAN PANAS produksi − Sludge minyak - Logam berat
BUMI − Pemeliharaan fasilitas − Karbon aktif dan absorban bekas - Merkuri (pada karbon aktif,
penyimpanan − IPAL yang mengolah efluen molecular sieve, dll)
− IPAL yang mengolah efluen pemroses
pemrosesan minyak dan gas minyak dan gas alam
alam − Cutting pemboran
− Tangki penyimpan − Residu dasar tangki (yang
memiliki kontaminan di atas
standar dan memiliki karakteristik
limbah B3
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D221 KILANG MINYAK DAN 2320 − Proses pengolahan − Sludge bekas − Bahan Organik
GAS BUMI − IPAL yang mengolah efluen proses − Katalis bekas − Bahan terkontaminasi
pengolahan − Karbon aktif bekas minyak
− Unit Dissolved Air Flotation (DAF) − Sludge dari IPAL − Logam dan logam berat
− Pembersihan heat exchanger − Filter bekas (terutama Ba, Cr, Pb, Ni)
− Tangki penyimpan − Residu dasar tangki − Sulfida
(yang memiliki − Tensioactive (surfactant,
kontaminan diatas etc)
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3 )
− Limbah Laboratorium
− Limbah PCB
D222 PERTAMBANGAN 1320 - Kegiatan penambangan yang berpotensi − Sludge pertambangan − Logam berat
1020 untuk menghasilkan limbah B3 seperti terkontaminasi logam − Residu pelarut
penambangan tembaga, emas, batubara, berat − Sianida
timah, dll − Flotation sludge/tailing
yang memiliki
kontaminan di atas
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3)
− Pelarut bekas
− Limbah Laboratorium
- Limbah PCB
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D223 PLTU YANG 4010 − Pembakaran batubara yang − Fly ash − Heavy metals
MENGGUNAKAN digunakan untuk − Bottom ash (yang memiliki − Organic materials (PNA-
BAHAN BAKAR pembangkit listrik kontaminan di atas standar dan polynuclear aromatics)
BATUBARA memiliki karakteristik limbah B3)
− Limbah PCB
−
D224 PENYAMAKAN KULIT 1911 − Proses tanning dan − Sludge dari proses tanning and − Heavy metals (especially
1912 finishing finishing Cr, Pb)
1920 − Proses − Pelarut bekas − Organic solvent
trimming/shaving/buffing − Sludge dari IPAL − Acid solution
− IPAL yang mengolah efluen − Asam kromat bekas
dari proses di atas
D225 ZAT WARNA DAN 2422 − MFDP zat warna dan − Sludge dari proses produksi dan − Bahan organik
PIGMEN 2429 pigmen fasilitas penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
2411 − IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Logam dan logam berat
proses yang berkaitan − Sludge dari IPAL (terutama Cr, Zn, Pb, Hg,
dengan zat warna dan − Residu produksi/reaksi Ni, Sn, Cu, Sb, Ba)
pigmen − Absorban dan filter bekas − Senyawa organometal
− Produk off-spec − Sianida
− Nitrat
− Fluorida, Sulfida
− Arsen
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D226 FARMASI 2423 − MFDP produk farmasi − Sludge dari fasilitas produksi − Bahan Organik
− IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
proses manufaktur dan − Produk Off-spec, kadaluarsa dan − Pelarut mudah meledak
produksi farmasi sisa − Logam berat (terutama
− Sludge dari IPAL As)
− Peralatan dan kemasan bekas − Bahan aktif
− Residu proses produksi dan
formulasi
− Absorban dan filter (karbon aktif)
− Residu proses destilasi, evaporasi
dan reaksi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi
D227 RUMAH SAKIT 7511 − Seluruh RS dan − Limbah klinis − Limbah terinfeksi
9309 laboratorium klinis − Produk farmasi kadaluarsa − Residu produk farmasi
− Peralatan lab terkontaminasi − Bahan-bahan kimia
− Kemasan produk farmasi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi
D229 FOTOGRAFI 2211/2221 − MFDP bidang fotografi − Larutan developer, fixer , bleach − Perak
2222/2429 solution − Pelarut organik
− Pelarut bekas − Senyawa pengoksidasi
− Off-set Cr
D230 PENGOLAHAN 2310 − Proses produksi − Residu proses produksi (tar) − Hidrokarbon organik (PNA)
BATUBARA DENGAN − IPAL yang mengolah efluen − Residu minyak − Residu minyak
PIROLISIS dari proses
Cokes productions
D231 DAUR ULANG MINYAK 9000 − Proses purifikasi dan − Filter dan absorban bekas − Material terkontaminasi
PELUMAS BEKAS regenerasi − Residu proses destilasi dan minyak
evaporasi (tar) − Logam berat (terutama Zn,
− Residu minyak/emulsi/sludge Pb, Cr)
(DAF/dasar tangki) − Sludge minyak
− Hidrokarbon terhalogenasi
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D232 SABUN- 2424 − Proses manufaktur dan − Rsidu produksi dan konsentrat − Bahan organik
DETERJEN/PRODUK formulasi produk − Filter dan absorban bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
PEMBERSIH − Pelarut bekas − Logam berat (Zn)
DESINFEKTAN/KOSME − Konsentrat Off-spec dan kadaluarsa − Fluorida
TIK − Limbah Laboratorium − Nitrat
− Tensioactive kuat
− Residu asam
D233 PENGOLAHAN LEMAK 1514 − Proses manufaktur dan − Residu filtrasi − Logam berat (terutama
HEWANI/NABATI DAN formulasi produk lemak − Sludge minyak/lemak Cr, Ni, Zn)
DERIVATNYA nabati/hewani dan − Limbah Laboratorium − Residu minyak
turunannya − Residu proses destilasi − Residu asam
− Katalis bekas (Cr)
D234 ALLUMINIUM 2720 − Proses peleburan dan − Manufaktur anoda – tar dan residu − Logam berat (terutama)
THERMAL 2732 penyempurnaan (primer karbon − Residu asam
METALLURGY dan sekunder) − Proses Skimming − Sianida (proses Cryolite)
ALLUMINIUM − Pelapisan aluminium − Spent pot lining (katoda)
CHEMICAL − IPAL yang mengolah efluen − Residu proses peleburan (slag dan
CONVERSION dari proses coating dross)
COATING − Sludge dari IPAL
− Anodizing sludge
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D235 PELEBURAN DAN 2720 − Seng terelektrolisis dalam − Sludge dari proses peleburan dan − Logam berat (terutama
PENYEMPURNAAN proses peleburan dan fasilitas pemurnian udara Zn, Cr, Pb, Th)
SENG - Zn penyempurnaan − Debu/sludge dari peralatan − Residu asam
− Pyrometallurgical zinc pengendali pencemaran udara
peleburan dan − Slag dan dross (residu proses
penyempurnaan peleburan)
− IPAL yang mengolah − Proses Skimming
efluen proses peleburan − Sludge dari IPAL
dan penyempurnaan − Sludge dari Acid plant blowdown
− Electrolytic anode slime/sludge
D236 PROSES LOGAM NON- − Proses cold rolling, − Larutan Oksalat dan sludgenya − Logam berat (terutama
FERO drawing, sheeting dan − Larutan Permanganate (pickling) As, Ba, Cd, Cr, Ni, Pb)
finishing logam non-ferro − Residu asam pickling − Nitrat. Fluorida
(misalnya Cu, Al, Zn, alloy) − Larutan pembersih alkali − Asam Borat dan oksalat
− Minyak emulsi pendingin/pelumas − Larutan Asam/Alkali
− Limbah minyak
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D237 METAL HARDENING 2710/2720 − Seluruh proses pengolahan − Sludge − Metals and heavy metals
2811/2812 (misalnya : nitriding, − Pelarut bekas (especially Ba, Cr, Mn)
2891/2892 carburizing) − Cyanides
2899/2911 − IPAL yang mengolah efluen
2912/2915 proses
2919/2922
2924/2926
2927/3110
3120/3190
3430/3530
D238 METAL/PLASTIC 2710/2720 − Semua proses yang − Emulsi minyak (misalnya cairan − Logam dan logam berat
SHAPING 2731/2732 berkaitan termasuk : cutting dan minyak pendingin) − Emulsi minyak
2811/2812 grinding, cutting, rolling, − Sludge dari proses shaping − Hidrokarbon terhalogenasi
2891/2893 drawing, filling, dll − Pelarut bekas − Fluorida-Nitrat
2899/2911
2912/2915
2919/1922
2924/2925
2926/2927
2930/3110
3120/3130
3410/3420
3430/3511
3530/3591
3592/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D239 LAUNDRY DAN DRY 9301 − Proses cleaning dan − Pelarut bekas − Pelarut organik
CLEANING degreasing yang memakai − Larutan kostik bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
pelarut organik dan pelarut − Sludge proses cleaning dan − Lemak dan gemuk
kaustik kuat. degreasing
D242 DAUR ULANG 9000 − Recycle/ regenerasi/ − Residu proses distilasi dan proses − Hidrokarbon terhalogenasi
PELARUT BEKAS purifikasi pelarut organik evaporasi − Bahan Organik
bekas − Filter dan absorban bekas
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D243 GAS INDUSTRI 4020 − Manufaktur dan formulasi − Limbah Carbide-residu − Residu Alkali
gas industri (asetilen, − Katalis bekas (reformer/desulfurizer) − Logam berat
hidrogen)
D244 GELAS 2610 − Manufaktur dan formulasi − Bubuk gelas - terlapis logam − Logam berat (terutama Pb,
KERAMIK/ENAMEL produk gelas dan − Emulsi minyak Cd, Cr, Co, Ni, Ba)
keramik/enamel − Residu dari proses etching − Limbah minyak
− Hg (glass switches) − Fluorida
− Debu/sludge dari peralatan
pengendali pencemaran udara
− Residue Opal glass- As
− Bronzing and decolorizing agent - As
D245 SEAL, GASKET, 3699 − Manufaktur dan formulasi − Sisa Asbestos − Asbestos
PACKING produk seal, gasket dan − Adhesive coating − Logam berat (terutama Pb,
packing Hg, Zn)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D246 PRODUK KERTAS 2102 − Manufaktur dan formulasi − Expired and residue of glue adhesive − Pelarut organik
2109 produk kertas − Printing residue (ink/dye) − Logam berat dari
− Kegiatan pencetakan dan − Used solvent tinta/pewarna
pewarnaan − Sludge of waste water treatment
plant
D247 CHEMICAL 4520 − Degreasing, descaling, − Metal, oil, grease contaminated − Larutan asam/alkali
/INDUSTRIAL 9309 phosphating, derusting, alkaline, acid solvent and/or
CLEANING passivation, refinishing, etc oxydator solution
− Residue from cleaning activity
− −
D248 FOTOKOPI 5150 − Pemeliharaan peralatan − Used toner − Logam berat (terutama Se)
2429 − MFDP toner
D3001 Asetaldehida
D3002 Asetamida
D3003 Asam asetat, garam-garamnya dan ester-esternya
D3004 Aseton
D3005 Asetonitril
D3006 Asetilklorida
D3007 Akrolein
D3008 Akrilamida
D3009 Akrilonitril
D3010 Aldrin
D3011 Aluminium alkil dan turunannya
D3012 Aluminium Fosfat
D3013 Amonium Pikrat
D3014 Amonium Vanadat
D3015 Anilina
D3016 Arsen dan senyawanya
D3017 Arsen Oksida, tri, penta
D3018 Arsen Disulfida, Arsen Triklorida
D3019 Dietilarsina
D3020 Barium dan senyawanya
D3021 Chromated Copper Arsenate
D3022 Benzena
D3023 Klorobenzena
D3024 1,3-Diisocyanatometil-Benzena
D3025 Dietilbenzena
D3026 Heksahidrobenzena
D3027 Benzenasulfonic Klorida
D3028 Benzenesulfonil Klorida
D3029 Berilium dan senyawanya
D3030 Bis(Klorometil)eter
D3031 Bromoform
D3032 1,1,2,3,4,4-heksakloro-1,3-Butadiena
D3033 n-Butil alkohol
D3034 Butana
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3035 Butil aldehida
D3036 Cadmium dan senyawanya
D3037 Kalsium khromat
D3038 Amoniacal copper arsenat
D3039 Dikloro Karbonat
D3040 Karbon disulfida
D3041 Karbon tetrakhlorida
D3042 Kloroasetaldehida
D3043 Klorodana, Isomer alfa & beta
D3044 Kloretana (Etillklorida)
D3045 Kloroetena (vinil klorida)
D3046 Klorodibromometana
D3047 Kloroform
D3048 p-Khloroanilina
D3049 2-Kloroetil vinil eter
D3050 Klorometil metil eter
D3051 Asam Kromat
D3052 Kromium dan senyawa-senyawanya
D3053 Sianida dan senyawa-senyawanya
D3054 Kreosot
D3055 Kumena
D3056 Siklohexana
D3057 2,4-D, garam-garam dan esternya
D3058 DDD
D3059 DDT
D3060 1,2-Diklorobenzena
D3061 1,3-Diklorobenzena
D3062 1,2-Dikloroetana
D3063 1,1 -Dikloroetene
D3064 1,2-Dikloropropana
D3065 1,3-Dikloropropena
D3066 Dieldrin
D3067 Dimetil ftalat
D3068 Dimetil sulfat
D3069 2,4-Dinitrotoluena
D3070 2,6-Dinitrotoluena
D3071 Endrin dan senyawa metabolitnya
D3072 Epiklorohidrin
D3073 2-Etoksi etanol
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3074 1-Fenil Etanon
D3075 Etil akrilat
D3076 Etil asetat
D3077 Etilbenzena
D3078 Etil karbamat (uretan)
D3079 Etil eter
D3080 Asam Etilen bisditiokarbamat dan senyawanya
D3081 Etilen dibromida
D3082 Etilen diklorida
D3083 Etilen glikol (monoetil eter)
D3084 Etilen oksida (Oksirana)
D3085 Fluorin
D3086 Fluoroasetamida
D3087 Asam Fluoroasetat dan garam sodiumnya
D3088 Formaldehida
D3089 Asam Formiat
D3090 Furan
D3091 Heptaklor
D3092 Heksaklorobenzena
D3093 Heksaklorobutadiena
D3094 Heksakloroetana
D3095 Hidrogen Sianida
D3096 Hidrazina
D3097 Asam fosfat
D3098 Asam fluorat
D3099 Asam fluorida
D3100 Asam sulfida
D3101 Hidroksibenzena (fenol)
D3102 Hidroksitoluen (cresol)
D3103 Isobutil alkohol
D3104 Timbal asetat
D3105 Timbal kromate
D3106 Timbal nitrat
D3107 Timbal oksida
D3108 Timbal fosfat
D3109 Lindana
D3110 Maleat anhidrida
D3111 Maleat hidrazida
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3112 Merkuri dan senyawa-senyawanya
D3113 Metil hidrazina
D3114 Metil paration
D3115 Tetraklorometana
D3116 Tribromometana
D3117 Triklorometana
D3118 Triklorofluorometana
D3119 Metanol (metil alkohol)
D3120 Metoksiklor
D3121 Metil bromida
D3122 Metil klorida
D3123 Metil kloroform
D3124 Metilen bromida
D3125 Metil isobutil keton
D3126 Metil etil ketone
D3127 Metil etil ketone peroksida
D3128 Metil benzene (toluene)
D3129 Metil iodida
D3130 Naftalena
D3131 Nitrat oksida
D3132 Nitrobenzena
D3133 Nitrogliserin
D3134 Oksirana
D3135 Paration
D3136 Paraldehida
D3137 Pentaklorobenzena
D3138 Pentakloroetana
D3139 Pentakloronitrobenzena
D3140 Pentaklorofenol
D3141 Perkloroetilen
D3142 Phenil tiourea
D3143 Fosgen
D3144 Fosfin
D3145 Fospor sulfida
D3146 Fospor pentasulfida
D3147 Ftalat anhidrida
D3148 1 -Bromo ,2-propanon
D3149 2-Nitropropana,
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3150 n-Propilamina
D3151 Propilen Diklorida
D3152 Pirene
D3153 Piriden
D3154 Selenium dan senyawanya
D3155 Selenium dioksida
D3156 Selenium sulfida
D3157 Perak Sianida
D3158 2,4,5TP Silvex
D3159 Natrium azida
D3160 Striknidin 10-satu dan garamnya
D3161 Asam sulfat, Dimetil Ester Sulfat
D3162 Sulfur Fosfit
D3163 2,4,5-T
D3164 1 2,4,5-Tetraklorobenzena
D3165 1,1,1,2-Tetrakloroetana
D3166 1,1,2,2-Tetrakloroetana
D3167 2,3,4,6-Tetraklorofenol
D3168 Tetraklorometana
D3169 Tetra etil timbal
D3170 2,4,5-Triklorofenol
D3171 2,4,6-Triklorofenol
D3172 1,3,5-Trinitrobenzena
D3173 Vanadium oksida
D3174 Vanadium pentaoksida
D3175 Vinil klorida
D3176 Warfarin
D3177 Dimetylbenzena
D3178 Seng Fosfit
ttd
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
Lambock V. Nahattands
LAMPIRAN I
ttd
Lambock V. Nahattands
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999
TENTANG
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2994);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3274);
7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);
8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982;
9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3493);
1
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999
14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2
Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan
laut dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya sumber
daya laut.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU LAUT
Pasal 3
Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status
mutu laut.
Pasal 4
Baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan
oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen terkait lainnya.
Pasal 5
(1) Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut,
kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut.
(2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman
teknis penetapan status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka Kepala
instansi yang bertanggung jawab menetapkan status mutu laut.
Pasal 6
Kepala instansi bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status
mutu laut.
Pasal 7
(1) Air laut mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya
berada pada tingkatan baik.
(2) Air yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status
mutunya berada pada tingkatan tercemar.
Pasal 8
(1) Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut
yang status mutunya pada tingkatan baik,
(2) Lingkungan laut tidak memenuhi kriteria baku mutu kerusakan laut yang dinyatakan sebagai
lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.
3
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999
BAB III
PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT
Pasal 9
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan pencemaran laut.
Pasal 10
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut,
wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib
memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi
dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran laut.
Pasal 12
Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang
di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB IV
PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT
Pasal 13
Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan kerusakan laut.
Pasal 14
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut
wajib melakukan pencegahan perusakan laut.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan
laut.
BAB V
PENANGGULANGAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
Pasal 15
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut
yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana
dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI
PEMULIHAN MUTU LAUT
Pasal 16
4
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999
(1) Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.
(2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.
BAB VII
KEADAAN DARURAT
Pasal 17
(1) Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan
di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila;
a. Pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut;
b. Pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dapat dilakukan dengan syarat
bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut
merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
(2) Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang
berwenang terdekat dan/atau instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyebutkan tentang benda yang
dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.
(4) Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran
dan/atau kerusakan laut serta wajib melaporkan kepada Menteri.
(5) Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang
ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
BAB VIII
DUMPING
Pasal 18
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut
wajib mendapatkan izin oleh Menteri.
(2) Tata cara dumping sebagaimana yang dimaksud ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 19
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 20
(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berwenang
melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dukumen dan/atau
membuat catatan yang diperlukan, tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan,
memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang
bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
5
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap pengawasan wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 21
Pasal 22
(1) Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil
pemantauan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada
instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 23
(1) Biaya inventarisasi dan/atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau
sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB XI
GANTI RUGI
Pasal 24
(1) Setiap orang atau penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan laut serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi
terhadap pihak yang di rugikan.
6
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999
Pasal 25
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib
menyesuaikan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 28
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Pebruari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd
AKBAR TANDJUNG
7
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
Menimbang:
Mengingat:
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan;
2. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
3. Kerangka acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup
yang merupakan hasil pelingkupan;
Hal 1/12
4. Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam
tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan;
5. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau
kegiatan;
6. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen
lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
7. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan;
8. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan
kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada
pada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah
berada pada Gubernur;
10. Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan adalah instansi yang membina secara
teknis usaha dan/atau kegiatan dimaksud;
11. Komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup dengan pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di tingkat
daerah oleh komisi penilai daerah;
12. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan untuk mengelola lingkungan hidup;
13. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan adalah instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
14. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa
atau Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 2
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan
rencana usaha dan/atau kegiatan.
2. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan
pembangunan wilayah.
3. Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pendekatan
studi terhadap usaha dan/atau kegiatan tunggal, terpadu atau kegiatan dalam kawasan.
Pasal 3
1. Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam
dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati;
h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup;
i. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara.
Hal 2/12
2. Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar dan
memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah
Non Departemen yang terkait.
3. Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya dalam waktu 5 (lima) tahun.
4. Bagi rencana usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan.
5. Pejabat dari instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
wajib mencantumkan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan setelah
mempertimbangkan masukan dari instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 4
1. Usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun di dalam kawasan yang sudah dibuatkan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak diwajibkan membuat analisis mengenai
dampak lingkungan hidup lagi.
2. Usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan untuk melakukan
pengendalian dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup sesuai
dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
kawasan.
Pasal 5
1. Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap
lingkungan hidup antara lain:
a. jumlah manusia yang akan terkena dampak;
b. luas wilayah persebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
2. Pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 6
1. Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak
perlu dibuat bagi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk menanggulangi suatu keadaan
darurat.
2. Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan menetapkan telah terjadinya suatu keadaan
darurat.
Pasal 7
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang.
Hal 3/12
2. Permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang diberikan oleh
instansi yang bertanggung jawab.
3. Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan syarat dan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang diterbitkannya.
4. Ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemrakarsa, dalam menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya.
BAB II
KOMISI PENILAI
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
Pasal 9
1. Komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur-
unsur instansi yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang
kesehatan, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan, instansi yang ditugasi bidang
perencanaan pembangunan nasional, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal,
instansi yang ditugasi bidang pertanahan, instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan,
departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha
Hal 4/12
dan/atau kegiatan yang bersangkutan, departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang terkait, wakil Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Wakil
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan
hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang
usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat yang terkena dampak, serta anggota
lain yang dipandang perlu.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
1. Komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas
unsur-unsur : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal daerah,
instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi bidang pertahanan
keamanan daerah, instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah Tingkat I, wakil instansi
pusat dan/atau daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil
instansi terkait di Propinsi Daerah Tingkat I, wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang bersangkutan, pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang
bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi
lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha
dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat yang terkena dampak, serta anggota lain
yang dipandang perlu.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 11
1. Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup
bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a. usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau menyangkut ketahanan dan
keamanan negara;
b. usaha dan/atau kegiatan yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah propinsi
daerah tingkat I;
c. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain;
d. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah ruang lautan;
e. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di lintas batas negara kesatuan Republik
Indonesia dengan negara lain;
2. Komisi penilai daerah berwenang menilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi
jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang diluar kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
1. Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari instansi
teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dan instansi yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri untuk komisi penilai pusat, dan oleh Gubernur untuk komisi
penilai daerah tingkat I.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), wajib
memperhatikan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana pengembangan
wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan pertahanan keamanan.
Hal 5/12
BAB III
TATA LAKSANA
BAGIAN PERTAMA
KERANGKA ACUAN
Pasal 14
1. Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan hidup
disusun oleh pemrakarsa.
2. Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 15
1. Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan oleh
pemrakarsa kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan ketentuan:
a. di tingkat pusat : kepada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : kepada Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I.
2. Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya kerangka
acuan pembuatan analisis dampak lingkungan hidup.
Pasal 16
1. Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinilai oleh komisi penilai bersama
dengan pemrakarsa untuk menyepakati ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan
hidup yang akan dilaksanakan.
2. Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75
(tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya kerangka acuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
3. Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab dianggap
menerima kerangka acuan dimaksud.
4. Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam
kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang
kawasan.
BAGIAN KEDUA
Pasal 17
Hal 6/12
2. Penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup, berpedoman pada pedoman penyusunan analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan.
Pasal 18
1. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup diajukan oleh pemrakarsa kepada:
a. di tingkat pusat : Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I
2. Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal 19
1. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup dinilai :
a. di tingkat pusat : oleh komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : oleh komisi penilai daerah.
2. Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup,
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3. Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dicantumkan dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbangan terhadap
saran, pendapat dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).
Pasal 20
1. Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2)
2. Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan dianggap layak lingkungan.
Pasal 21
1. Instansi yang bertanggung jawab mengembalikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada
pemrakarsa untuk diperbaiki apabila kualitas analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup tidak sesuai
dengan pedoman penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
Hal 7/12
2. Perbaikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20.
3. Penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup serta pemberian keputusan kelayakan lingkungan
hidup atas usaha dan/atau kegiatan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 dan
Pasal 20.
Pasal 22
Pasal 23
Salinan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup, serta salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha
dan/atau kegiatan disampaikan oleh:
1. di tingkat pusat : instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan kepada instansi yang
berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi
terkait yang berkepentingan, Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
yang bersangkutan.
2. di tingkat daerah : Gubernur kepada Menteri, Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan, instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan, dan instansi yang terkait.
BAGIAN KETIGA
Pasal 24
Hal 8/12
3. Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang bertanggung
jawab memutuskan :
a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya
dipergunakan kembali; atau
b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 25
1. Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau
kegiatannya.
2. Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan di lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan
hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 26
1. Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau proses
dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong.
2. Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 27
1. Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat
mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan.
2. Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 28
Pasal 29
Hal 9/12
Pasal 30
Kualifikasi penyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pemberian lisensi/sertifikasi
dan pengaturannya ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 31
Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan golongan
ekonomi lemah dibantu pemerintah, dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah memperhatikan
saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 32
BAB VI
Pasal 33
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib
diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis
mengenai dampak lingkungan hidup.
2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab dan pemrakarsa.
3. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya rencana usaha dan/atau
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga masyarakat yang berkepentingan
berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana
usaha dan/atau kegiatan.
4. Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara
tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab.
5. Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dipertimbangkan dan dikaji dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
6. Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara
penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Hal 10/12
Pasal 34
1. Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka
acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
2. Bentuk dan tata cara keterlibatan warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 35
1. Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan
tanggapan warga masyarakat yang berkepentingan, kesimpulan komisi penilai, dan
keputusan kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk
umum.
2. Instansi yang bertanggung jawab wajib menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 36
Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai dan tim teknis analisis mengenai dampak lingkungan hidup
dibebankan:
1. di tingkat pusat : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;
2. di tingkat daerah : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
daerah tingkat I.
Pasal 37
Biaya penyusunan dan penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup dibebankan kepada
pemrakarsa.
Pasal 38
1. Biaya pembinaan teknis dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dan Pasal 32 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan.
2. Biaya pengumuman yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung
jawab.
3. Biaya pembinaan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dibebankan
pada anggaran instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan yang pada saat
diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini:
Hal 11/12
1. sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan
hidup yang bersangkutan; atau
2. sudah diajukan kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan,
tetap dinilai oleh komisi penilai instansi yang bersangkutan, dan harus selesai paling lambat 6 (enam)
bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku secara efektif.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang
analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 41
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
Diundangkan di : Jakarta
pada tanggal : 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd
AKBAR TANDJUNG
Hal 12/12
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang:
1) bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk
hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan
dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;
2) bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup,
maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran
udara;
3) bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
Mengingat:
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan
pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;
3. Sumber pencemar udara adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan
pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4. Udara ambien adalah udara bebas di permukaaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di
dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan
manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnnya;
5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;
6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan
inventarisasi;
7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang
ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
udara ambien;
8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat
memenuhi fungsi sebagaimana mestinya;
9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk
dan/atau dimasukkannnya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi sebagai unsur pencemar;
10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien;
11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak
spesifik;
12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang
berasal dari kendaraan bermotor;
13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat
yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;
15. Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal
dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;
16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi
maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan
pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk
penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak
bergerak atau sumber tidak bergerak spesifik;
19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan
masuk ke udara dan/atau zat padat;
20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh
dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan bermotor;
21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada
kendaraan itu;
22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau
transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi
tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau
kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan
sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang
menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak
terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;
27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan
mutu udara;
28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang
dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan
untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara
ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas
kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara
Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
1. Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk
mencegah terjadinya pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
2. Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali
setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 5
1. Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara
ambien di daerah yang bersangkutan.
2. Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan baku mutu udara ambien nasional
3. Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (!) ditetapkan dengan
ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional
4. Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu
udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
5. Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali
setelah 5 (lima) tahun.
6. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu
udara ambien daerah.
Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien
Pasal 6
1. Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap
mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta
tata guna tanah.
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan
kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman
teknis penetapan status mutu udara ambien.
Pasal 7
1. Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien
nasional, Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang
bersangkutan sebagai udara tercemar.
2. Dalam hal gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan
pemulihan mutu udara ambien.
Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 8
1. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor
lama.
2. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaran bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan
dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.
3. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 9
1. Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran
udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak.
Bagian Kelima
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 10
1. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak
bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
2. Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
3. Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan memepertimbangakan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek
keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
4. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
5. Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 11
1. Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber
tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran
udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.
Bagian Keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 12
1. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
2. Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
bangunan dan nilai estetika.
Pasal 13
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan
serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
Pasal 14
1. Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara
ambien secara otomatis dan berkesinambungan.
2. Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan
untuk:
a) bahan informasi kepada mesyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan
pada waktu tertentu;
b) bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan
pengendalian pencemaran udara.
Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara
ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan
Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup
Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara
dengan cara:
1. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat
gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini;
2. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17, 18 dan 19.
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan
ke udara ambien wajib:
1. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan
untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
2. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh
usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
3. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya
pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.
Pasal 22
1. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau
gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
2. Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup
dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 24
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau
baku
1. Tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat
dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannnya.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau
baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi
yang bertanggung jawab.
3. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara
Pasal 25
1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya
pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan
pemulihannya.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan
pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 1
Keadaan Darurat
Pasal 26
1. Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau
lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka:
2. Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain
melalui media cetak dan/atau media elektronik.
Pasal 27
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan
pemulihan keadaan darurat pencemaran udara.
Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak
Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan
baku mutu emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara
ambien disekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis
pengendalian pencemaran udara.
Pasal 29
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan
baku tingkat gangguan.
2. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 9 ayat (2).
Paragraf 3
Sumber Bergerak
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan
ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru
dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi
gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebasa timah hitam
serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.
Pasal 32
Pasal 33
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang
wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
Pasal 34
Pasal 35
1. Hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib
disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter
polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil
uji tipe kendaraan bermotor tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Paragraf 4
Sumber Gangguan
Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap
penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan
pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 38
Pasal 39
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
2. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2)
Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib
memenuhi ambang batas kebisingan.
Pasal 41
Pasal 42
1. Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil
uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 43
1. Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berskala sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisinga berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung
jawab.
BAB IV
PENGAWASAAN
Pasal 44
1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan
pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 45
Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali
dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 47
1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan
Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan
dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa
instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau
kegiatan.
2. Penanggung jawab jawab usaha dan/atau kegiatan yang diminta keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (10), wajib memenuhi permintaan petugas penagwas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 48
Pasal 49
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat
gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluaskan kepada
masyarakat.
Pasal 50
1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan
hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
2. Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 51
1. Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu
udara ambien;
2. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
3. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi lainnya sebagai
bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau
gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 53
Segala pembiayaan yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan
bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau
gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan bermotor.
BAB VI
GANTI RUGI
Pasal 54
1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya
pemulihannya;
2. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, baik terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang
dirugikan.
Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaskud dalam
Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri
BAB VII
SANKSI
Pasal 56
1. Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Paal 23, Pasal 24 ayat (1),
Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan
Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara
dan/atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Psasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor
lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43
ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas
buang, atau ambang batas kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha
dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang
pengendalian pencemaran udara yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 59
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
TENTANG
Catatan:
(*) PM25 mulai diberitahukan tahun 2002
Nomor 10 s/d 13 Hanya berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Mengubah ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, sebagai berikut :
“ Pasal 6
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan atau uji karakteristik dan atau uji
toksikologi. “
“Pasal 7
(2) Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.
(4) Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik.
(5) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222 dan D223 dapat dinyatakan
limbah B3 setelah dilakukan uji karakteristik dan ayau uji toksikologi.
“Pasal 8
(1) Limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran I, Tabel
2 Peraturan Pemerintah ini, apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) dan atau
ayat (4) maka limbah tersebut merupakan limbah B3.
(2) Limbah B3 dari kegiatan yang tercantum dalam Lampiran (I), Tabel 2 Peraturan
Pemerintah ini dapat dikeluarkan dari daftar tersebut oleh instansi yang
bertanggung jawab, apabila dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa limbah tersebut
bukan limbah B3 berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh instansi yang
bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis, lembaga penelitian
terkait dan penghasil limbah.
(3) Pembuktian secara ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan :
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MULADI
Pelarut Terhalogenasi
D1001a Tetrakloroetilen
D1002a Trikloroetilen
D1003a Metilen Klorida
D1004a 1,1,2-Trikloro-1,2,2-Trifluoroetana
D1005a Triklorofluorometana
D1006a Orto-diklorobenzena
D1007a Klorobenzena
D1008a Trikloroetana
D1009a Fluorokarbon Terklorinasi
D10010a Karbon Tetraklorida
D1001b Dimethilbenzena
D1002b Aseton
D1003b Etil Asetat
D1004b Etil Benzena
D1005b Metil Isobutyl Keton
D1006b n-Butil Alkohol
D1007b Sikloheksanon
D1008b Metanol
D1009b Toluena
D1010b Metil Etil Keton
D1011b Karbon Disulfida
D1012b Isobutanol
D1013b Piridin
D1014b Benzena
D1015b 2-Etoksietanol
D1016b 2-Nitropropana
D201 PUPUK 2412 − Proses produksi amonia, urea - Katalis bekas - Logam Berat (terutama As, Hg)
dan/atau asam fosfat - Sludge proses produksi - Sulfida/Senyawa amonia
− IPAL yang mengolah efluen dari - Limbah laboratorium
proses produksi di atas - Sludge dari IPAL
- Karbon aktif bekas
D202 PESTISIDA 2421 - MFDP1 pestisida - Sludge dari IPAL − Bahan aktif pestisida
Bahan organik dan - Penyimpanan dan pengemasan - Alat pengemasan 2 dan perlengkapan − Hidrokarbon terhalogenasi
inorganik yang digunakan pestisida - Produk off-spec − Pelarut mudah terbakar
untuk pemebrantasan atau - IPAL yang mengolah efluen dari - Residu proses produksi dan formulasi − Logam dan logam berat (terutama
pengendalian hama atau proses produksi pestisida - Pelarut bekas As, Pb, Hg, Cu, Zn dan Th)
gulma (insektisida, - Absorban dan filter bekas − Senyawa Sn-organik
herbisida , fungisida, - Residu proses destilasi, evaporasi
algasida, rodensida, - Pengumpulan debu
defoliant) - Limbah laboratorium
- Residue dari insinerator
D203 PROSES KLORO-ALKALI 2411 − Proses produksi klorin (metoda - Sludge dari IPAL - Logam berat (terutama Hg)
Umumnya merupakan 2413 electrolisis dengan menggunakan - Absorban dan filter bekas - Hidrokarbon terhalogenasi
kegiatan yanb terkait dalam 2429 proses sel merkuril) - Alat yang terkontaminasi Hg
produksi senyawa kimia − Pemurnian garam - Sludge hasil proses pengawetan
atau produk yang berbahan − Proses prooduksi soda kaustik - Limbah laboratorium
dasar plastik, seperti : soda (metoda sel merkuri)
kaustik , klorin, − IPAL yang mengolah efluen dari
vinylchloride, proses produksi di atas
polyvinylchloride, parafin
mengandung klorin,
ethylenedichloride,
hypochlorites, asam
hidroklorat , dll.
D204 ADHESIVE RESIN 2429 − MFDP resin adesif - Bahan dan produk Off-spec − Bahan organik (terutanma
- Residue dari kegiatan produksi senyawa fenol
Phenol formaldehide (PF), − IPAL yang mengolah efluen dari - Katalis Bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
urea formaldehide (UF), proses produksi resin adesif - Pelarut Bekas
melamine formaldehide - Limbah laboratorium
(MF), dll - Sludge dari IPAL
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D205 POLIMER 2413 − MFDP monomer dan polimer − Monomer/oligomer yang tidak bereaksi − Berbagai senyawa organik
Kegiatan produksi, baik 2430 − IPAL yang mengolah efluen dari − Katalis bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
khusus ataupun terintegrasi 2520 proses produksi polimer − Residu produksi/reaksi polimer absorban − Logam berat (terutama Cd, Pb,
dalam manufaktur produk 2430 (misalnya karbon aktif bekas) Sb, Sn)
plastik atau serat, dengan − Limbah Laboratorium − Sludge terkontaminasi Zn dari
cara polimerisasi yang − Sludge dari IPAL proses produksi rayon/resin
menghasilkan produk, − Sisa dan bekas stabiliser (misalnya dalma akrilik
seperti misalnya ; Polyvinyl produksi PVC: Cd, Zn, As)
chloride (PVC), polyvinyl
− Fire retardant (misalnya Sb dan senyawa
acetate (PVA), polyethylene
bromin organik )
(PE), polypropilene (PP),
acrylonitrile butadiene − Senyawa Sn organik
styrene (ABS), acrylonitrile − Residu dari proses destilasi
styrene (AS), synthetic resin
(alkyd, amino, epoxy,
phenolic, polyester,
polyurethane, vinyl acrylic),
Phthalate (PET),
polystyrene (PS),
polyethylene terephthalate
(PET), polystyrene (PS),
styrene butadiene rubber
(SBR)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D206 PETROKIMIA 2320 − MFDP Produk Petrokimia − Sludge proses produksi dan fasilitas - Organik
2411 − IPAL yang mengolah efluen penyimpanan - Hodrokarbon terhalogenasi
Industry yang menghasilkan 2413 proses − Katalis bekas - Logam berat (terutama Cr, Ni, Sb)
produk organik dari proses 2429 − Pengolahan limbah − Tar (residu akhir ) - Hidrokarbon aromatis
pemecahan fraksi minyak − Residue proses produksi/reaksi
bumi atau gas alam , − Absorban (misalnya karbon aktif) bekas dan
termasuk produk turunan filter bekas
yang dihasilkan langsung − Limbah Laboratorium
dari produk dasarnya.
− Sludge dari IPAL
Misalnya : parafin olefin,
naftan dan Hidrokarbon − Residu/ash proses spray drying
aromatis (metana, etana, − Pelarut bekas
propana, etilen, propilen,
butana, sikloheksana,
benzena, toluen, naftalen,
asetilen, asam asetat,
xilene) dan seluruh produk
turunannya. .
D 207 PENGAWETAN KAYU 2010 − Proses pengawetan kayu − Sludge dari proses pengawetan kayu dan − Fenol terklorinasi (misalnya
2021 − IPAL yang mengolah efluen dari fasilitas penyimpanan pentaklorofenol)
2029 proses pengawetan kayu − Sludge dari alat pengolahan pengawetan − Hidrokarbon terhalogenasi
3511 kayu − Senyawa Organometal
4520 − Produk off-spec dan produk left-over
− Pelarut bekas
− Kemasan bekas
− Sludge dari IPAL
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D208 PELEBURAN/PENGOLAH 2710 − Proses peleburan besi/baja − Ash, dross, slag from furnace − Logam berat (terutama As, Cr, Pb,
AN BESI DAN BAJA 2731 − Proses casting besi/baja − Debu, residu dan/atau sludge dari fasilitas Ni, Cd, Th and Zn)
2891 − Proses besi/baja : rolling, drawing, pengendali pencemaran udara − Organik (fenolic, naftalen)
sheeting − Sludge dari IPAL − Sianida
− Coke manufacturing − Pasir foundry dan debu cupola − Limbah minyak
− IPAL yang mengolah efluen dari − Emulsi minyak dari pendingin/pelumas
coke oven/blast furnace − Sludge dari Ammonia still lime
− Sludge dari proses rolling
D 209 PELEBURAN DAN 2710 − Penyempurnaan dan pemrosesan − Larutan asam/alkali bekas dan residunya − Logam berat (terutama As, Cr, Pb,
PEMURNIAN TEMBAGA 2731 baja − Residu terkontaminasi sianida (hot metal Ni, Cd, Th and Zn)
− Steel surface treatment (pickling, treatment) − Larutan asam dan alkali
passivation, cleaning) − Slag dan residu lain yang terkontaminasi − Nitrat
logam berat − Fluorida
− Sludge dari proses pengolahan residu − Sianida (Kompleks)
− Larutan pengolah bekas
− Fluxing agent bekas
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D210 PELEBURAN TIMAH 2720 − Proses peleburan timah sekunder − Sludge dari fasilitas proses peleburan − Logam berat (terutama As, Pb,
HITAM (Pb) 2732 dan/atau primer − Debu dan/atau sludge dari fasilitas Cd, Zn, Th)
3720 − IPAL yang mengolah efluen dari pengendali pencemaran udara − Larutan asam
proses peleburan timah − Ash, slag dan dross yang merupakan residu
dari proses peleburan
− Limbah dari proses skimming process
− Larutan asam bekas
− Sludge dari IPAL
D211 PELEBURAN DAN 2720 − Proses primer dan sekunder − Sludge dari fasilitas proses peleburan dan − Logam berat (terutama Cu, Pb,
PEMURNIAN TEMBAGA 2732 peleburan dan penyempurnaan penyempurnaan Cd, Th)
3720 tembaga − Debu dan/atau sludge dari fasilitas − Larutan asam
− Peleburan dengan electric arch pengendali pencemaran udara
furnace − Larutan asam bekas
− Pabrik asam (Acid plant) − Residu dari proses penyempurnaan secara
− IPAL yang mengolah efluen dari electrolisis
proses peleburan tembaga − Sludge dari IPAL
− Sludge dari acid plant blowdown
− Ash, slag dan dross yang merupakan residu
dari proses peleburan
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D212 TINTA 2221 − MFDP Tinta − Sludge dari proses produksi dan − Organik (binder dan resin)
Kegiatan-kegiatan yang 2102 − Proses deinking pada pabrik penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
menggunakan tinta seperti 2109 bubur kertas − Sludge terkontaminasi − Senyawa organometal
percetakan pada kertas, 2422 − IPAL yang mengolah efluen dari − Pelarut bekas − Pelarut mudah terbakar
plastik, tekstil, dll, termasuk 2520 proses yang berhubungan dengan − Sludge dari IPAL − Logam berat (terutama Cr, Pb)
proses deinking pada pabrik 2211 tinta − Residue dari proses pencucian − Pigmen dan zat warna
bubur kertas − Kemasan bekas tinta − Detergen
− Produk off spec dan kadaluarsa − Calico printing - As
D213 TEKSTIL 1711/1712 − Proses finishing tekstil − Sludge dari IPAL yang mengandung logam − Logam berat (terutama As, Cd, Cr,
1721/1722 − Proses dyeing bahan tekstil berat Pb, Cu, Zn)
1723/1729 − Proses printing bahan tekstil − Pelarut bekas (cleaning) − Hidrokarbon terhalogenasi (dari
1810/1820 - IPAL yang mengolah efluen − Fire retardant (Sb/senyawa brom organik) proses dressing dan finishing)
proses kegiatan di atas − Pigment, zat warna dan pelarut
organic
− Tensioactive (surfactant)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D214 MANUFAKTUR DAN 2813/2912291 − Seluruh proses yang − Sludge proses produksi − Logam dan Logam berat
PERAKITAN KENDARAAN 3/29152927/3 berhubungan fabrikasi dan − Pelarut bekas dan cairan pencuci (organik (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb,
DAN MESIN 1103410/3420 finishing logam, manufaktur dan inorganik) Ag, Hg, Cu, Ni, Zn, Se, Sn)
Mencakup manufaktur dan 3430/3530 mesin dan suku cadang dan − Residu proses produksi − Nitrat
perakitan kendaraan 3591/3592 perakitan. Termasuk kegiatan − Sludge dari IPAL − Residu cat
bermotor, sepeda, kapal, yang terkait dengan D215 dan − Minyak dan gemuk
pesawat terbang, traktor, D216 − Senyawa amonia
alat-alat berat, generator, − IPAL yang mengolah efluen dari − Pelarut mudah terbakar
mesin-mesin produksi dll. proses di atas − Asbestos
− Larutan Asam
D215 ELEKTROPLATING DAN 2892 − Semua proses yang berkaitan − Sludge pengolahan dan pencucian − Logam dan Logam berat
GALVANIS 2710/2720 dengan kegiatan pelapisan − Larutan pengolah bekas (terutama Cd, Cr, Cu, Pb, As,
Mencakup kegiatan 2811/2812 logam termasuk perlakuan : − Larutan asam (pickling) Ba, Hg, Se, Ag, Ni, Zn, Sn)
pelapisan logam pada 2891/2893 phosphating, etching, polishing, − Dross, slag − Sianida
permukaan logam atau 2899/2911 chemical conversion coating, − Pelarut bekas (terklorinasi) − Senyawa Ammonia
plastik dengan proses 2912/2915 anodizing − Larutan bekas proses degreasing − Fluorida
elektris 2919/2922 − Pre-treatment: pickling, − Sludge IPAL − Fenol
2924/2925 degreasing, stripping, cleaning, −
2926/2927 − Residue dari larutan batch Nitrat
grinding, sand blasting, weld
2930/3110 cleaning, depainting
3120/3190 − IPAL yang mengolah efluen
3210/3220 proses elektroplating dan
3230/3410 galvanis
3420/3430
3530/3591
3592/3610
3699/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
216 CAT 2422 − MFPD cat − Sludge cat − Bahan organic (resin)
Termasuk varnish dan 2029/2811 − IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
bahan pelapis lain 2812/2892 proses yang berkaitan dengan − Sludge dari IPAL − Caustic sludge
2893/2899 cat − Filter bekas − Pelarut mudah meledak
2911/2912 − Produk off-spec − Pigmen
2915/2919 − Residu dari proses distilasi − Logam dan logam berat
2922/2924
− Cat anti korosi (Pb, Cr) (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb,
2925/2926
2927/2930 − Debu dan/atau sludge dari unit pengendalian Hg, Se, Ag, Zn)
pencemaran udara − Senyawa Sn Organik
3110/3120
3190/3150 − Sludge proses dip painting
3210/3220
3230
3410
3420/3430
3530/3591
3592/3610
3699/4520
3511/3694
3699
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D217 BATERE SEL KERING 3140 − MFDP batere sel kering - Sludge proses produksi - Logam berat (terutama Cd, PB,
− IPAL yang mengolah effluen proses produksi batere - Residu proses produksi NI,Zn.Hg)
- Batere bekas, off specdan - Residu padat mengandung logam
kadaluarsa
- Sludge dari IPAL
- Metal powder
- Dust, slag, ash
D218 BATERE SEL BASAH 3140 − MFDP batere sel basah - Sludge proses produksi - Logam berat (terutama Cd, Pb,
− IPAL yang mengolah effluen proses produksi batere - Batere bekas, off specdan Ni, Zn, Sb)
kadaluarsa - Asam/alkali
- Sludge dari IPAL - Sel mengandung Litium
- Larutan Asam/alkali
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D219 KOMPONEN 3110/3120 − Manufaktur dan perakitan komponen − Sludge proses produksi - Logam dan logam berat
ELECTRONIK/ 3150/3190 dan peralatan elektronik − Pelarut bekas (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb, Ag,
PERALATAN 3210/3220 − IPAL yang mengolah efluen proses − Mercury contactor/switch Hg, Cu, Ni, Zn, Se, Sn, Sb)
ELEKTRONIK 3230/3320 − Lampu Fluorescence (Hg) - Nitrat
− Coated glass - Fluorida
− Larutan etching untuk printed circuit - Residu cat
- Bahan Organikl
− Caustic stripping (photoresist)
- Larutan asam/alkalin
− Residu solder dr fluxnya
- Pelarut terhalogenasi
− Limbah pengecatan - Residu proses etching (Fe Cl3)
-
D220 EKSPLORASI DAN 1110 − Eksplorasi dan produksi − Slop minyak - Bahan organik
PRODUKSI MINYAK GAS 1120 − Pemeliharaan fasilitas produksi − Lumpur bor (drilling mud) - Bahan terkontaminsai
DAN PANAS BUMI − Pemeliharaan fasilitas penyimpanan − Sludge minyak - Logam berat
− IPAL yang mengolah efluen − Karbon aktif dan absorban bekas - Merkuri (pada karbon aktif,
pemrosesan minyak dan gas alam − IPAL yang mengolah efluen pemroses molecular sieve, dll)
− Tangki penyimpan minyak dan gas alam
− Cutting pemboran
− Residu dasar tangki (yang memiliki
kontaminan di atas standar dan memiliki
karakteristik limbah B3
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D221 KILANG MINYAK DAN 2320 − Proses pengolahan − Sludge bekas − Bahan Organik
GAS BUMI − IPAL yang mengolah efluen proses pengolahan − Katalis bekas − Bahan terkontaminasi minyak
− Dissolved Air Flotation Unit (DAF) − Karbon aktif bekas − Logam dan logam berat
− Pembersihan heat exchanger − Sludge dari IPAL (terutama Ba, Cr, Pb, Ni)
− Tangki penyimpan − Filter bekas − Sulfida
− Residu dasar tangki (yang − Tensioactive (surfactant, etc)
memiliki kontaminan diatas
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3 )
− Limbah Laboratorium
− Limbah PCB
D222 PERTAMBANGAN 1320 - Kegiatan penambangan yang berpotensi untuk − Sludge pertambangan − Logam berat
1020 menghasilkan limbah B# seperti penambangan terkontaminasi logam berat − Residu pelarut
tembaga, emas, batubara, timah, dll − Flotation sludge/tailing yang − Sianida
memiliki kontaminan di atas
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3)
− Pelarut bekas
− Limbah Laboratorium
- Limbah PCB
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D223 PLTU YANG 4010 − Pembakaran batubara yang − Fly ash − Heavy metals
MENGGUNAKAN BAHAN digunakan untuk pembangkit − Bottom ash (yang memiliki kontaminan di atas − Organic materials (PNA-
BAKAR BATUBARA listrik standar dan memiliki karakteristik limbah B3) polynuclear aromatics)
− Limbah PCB
D224 PENYAMAKAN KULIT 1911 − Prose tanning dan finishing − Sludge dari proses tanning and finishing − Heavy metals (especially Cr, Pb)
1912 − Proses trimming/shaving/buffing − Pelarut bekas − Organic solvent
1920 − IPAL yang mengolah efluen dari − Sludge dari IPAL − Acid solution
proses di atas − Asam kromat bekas
D225 ZAT WARNA DAN PIGMEN 2422 − MFDP zat warna dan pigmen − Sludge dari proses produksi dan fasilitas − Bahan organik
2429 − IPAL yang mengolah efluen penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
2411 proses yang berkaitan dengan zat − Pelarut bekas − Logam dan logam berat
warna dan pigmen − Sludge dari IPAL (terutama Cr, Zn, Pb, Hg, Ni, Sn,
− Residu produksi/reaksi Cu, Sb, Ba)
− Absorban dan filter bekas − Senyawa organometal
− Produk off-spec − Sianida
− Nitrat
− Fluorida, Sulfida
− Arsen
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D226 FARMASI 2423 − MFDP produk farmasi − Sludge dari fasilitas produksi − Bahan Organik
− IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
proses manufaktur dan produksi − Produk Off-spec, kadaluarsa dan sisa − Pelarut mudah meledak
farmasi − Sludge dari IPAL − Logam berat (terutama As)
− Peralatan dan kemasan bekas − Bahan aktif
− Residu proses produksi dan formulasi
− Absorban dan filter (karbon aktif)
− Residu proses destilasi, evaporasi dan reaksi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi
D227 RUMAH SAKIT 7511 − Seluruh RS dan laboratorium − Limbah klinis − Limbah terinfeksi
9309 klinis − Produk farmasi kadaluarsa − Residu produk farmasi
− Peralatan lab terkontaminasi − Bahan-bahan kimia
− Kemasan produk farmasi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D228 LABORATORIUM RISET 7310 − Seluruh jenis laboratorium kecuali − Pelarut − Bahan kimia (murni atau
DAN KOMERSIAL 7422 yang termasuk D227 − Bahan kimia kadaluarsa terkonsentrasi) dan larutan kimia
− Residu sampel berbahaya atau beracun
Beberapa industri memiliki
laboratorium misalnya :
tekstil, makanan, pulp &
paper, penyempurnaan,
bahan kimia, cat, karet, dll
D229 FOTOGRAFI 2211/2221 − MFDP bidang fotografi − Larutan developer, fixer , bleach solution − Perak
2222/2429 − Pelarut bekas − Pelarut organik
− Off-set Cr − Senyawa pengoksidasi
D230 PENGOLAHAN 2310 − Proses produksi − Residu proses produksi (tar) − Hidrokarbon organik (PNA)
BATUBARA DENGAN − IPAL yang mengolah efluen dari − Residu minyak − Residu minyak
PIROLISIS proses
Cokes productions
D231 DAUR ULANG MINYAK 9000 − Proses purifikasi dan regenerasi − Filter dan absorban bekas − Material terkontaminasi minyak
PELUMAS BEKAS − Residu proses destilasi dan evaporasi (tar) − Logam berat (terutama Zn, Pb, Cr)
− Residu minyak/emulsi/sludge (DAF/dasar − Sludge minyak
tangki) − Hidrokarbon terhalogenasi
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBA INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
H
D232 SABUN- 2424 − Proses manufaktur dan formulasi − Rsidu produksi dan konsentrat − Bahan organik
DETERJEN/PRODUK produk − Filter dan absorban bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
PEMBERSIH − Pelarut bekas − Logam berat (Zn)
DESINFEKTAN/KOSMETIK − Konsentrat Off-spec dan kadaluarsa − Fluorida
− Limbah Laboratorium − Nitrat
− Tensioactive kuat
− Residu asam
D233 PENGOLAHAN LEMAK 1514 − Proses manufaktur dan formulasi − Residu filtrasi − Logam berat (terutama Cr, Ni,
HEWANI/NABATI DAN produk lemak nabati/hewani dan − Sludge minyak/lemak Zn)
DERIVATNYA turunannya − Limbah Laboratorium − Residu minyak
− Residu proses destilasi − Residue asam
− Katalis bekas (Cr)
D234 ALLUMINIUM THERMAL 2720 − Proses peleburan dan − Manufaktur anoda – tar dan residu karbon − Logam berat (terutama)
METALLURGY 2732 penyempurnaan (primer dan − Proses Skimming − Residue asam
ALLUMINIUM CHEMICAL sekunder) − Spent pot lining (katoda) − Sianida (proses Cryolite)
CONVERSION − Pelapisan aluminium − Residu proses peleburan (slag dan dross)
COATING − IPAL yang mengolah efluen dari − Sludge dari IPAL
proses coating − Anodizing sludge
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D235 PELEBURAN DAN 2720 − Seng terelektrolisis dalam proses − Sludge dari proses peleburan dan fasilitas − Logam berat (terutama Zn, Cr,
PENYEMPURNAAN SENG peleburan dan penyempurnaan pemurnian udara Pb, Th)
- Zn − Pyrometallurgical zinc peleburan − Debu/sludge dari peralatan pengendali − Residu asam
dan penyempurnaan penecemaran udara
− IPAL yang mengolah efluen − Slag dan dross (residu proses peleburan)
proses peleburan dan − Proses Skimming
penyempurnaan − Sludge dari IPAL
− Sludge dari Acid plant blowdown
− Electrolytic anode slime/sludge
D236 PROSES LOGAM NON- − Proses cold rolling, drawing, − Larutan Oksalat dan sludgenya − Logam berat (terutama As, Ba,
FERO sheeting dan finishing logam non- − Larutan Permanganate (pickling) Cd, Cr, Ni, Pb)
ferro (misalnya Cu, Al, Zn, alloy) − Residu asam pickling − Nitrat. Fluorida
− Larutan pembersih alkali − Asam Borat dan oksalat
− Minyak emulsi pendingin/pelumas − Larutan Asam/Alkali
− Limbah minyak
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D237 METAL HARDENING 2710/2720 − Seluruh proses pengolahan − Sludge − Metals and heavy metals
2811/2812 (misalnya : nitriding, carburizing) − Pelarut bekas (especially Ba, Cr, Mn)
2891/2892 − IPAL yang mengolah efluen − Cyanides
2899/2911 proses
2912/2915
2919/2922
2924/2926
2927/3110
3120/3190
3430/3530
D238 METAL/PLASTIC 2710/2720 − Semua proses yang berkaitan − Emulsi minyak (misalnya cairan cutting dan − Logam dan logam berat
SHAPING 2731/2732 termasuk : grinding, cutting, minyak pendingin) − Emulsi minyak
2811/2812 rolling, drawing, filling, dll − Sludge dari proses shaping − Hidrokarbon terhalogenasi
2891/2893 − Pelarut bekas − Fluorida-Nitrat
2899/2911
2912/2915
2919/1922
2924/2925
2926/2927
2930/3110
3120/3130
3410/3420
3430/3511
3530/3591
3592/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D239 LAUNDRY DAN DRY 9301 − Proses cleaning dan degreasing − Pelarut bekas − Pelarut organik
CLEANING yang memakai pelarut organik dan − Larutan kaustik bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
pelarut kaustik kuat. − Sludge proses cleaning dan degreasing − Lemak dan gemuk
D240 IPAL INDUSTRI − Sludge IPAL − Logam dan logam berat (terutama
Fasilitas pengolahan limbah As, Cd, Cr, Pb, Hg, Se, Ag,. Cu,
cair terpadu dari kegiatan- Ni)
kegiatan yang termasuk − Hidrokarbon terhalogenasi
dalam tabel ini − Bahan Organik
− Ammonia
− Sulfida
− Fluorida
D243 GAS INDUSTRI 4020 − Manufaktur dan formulasi gas − Limbah Carbide-residu − Residu Alkali
industri (acetylene, hidrogen) − Katalis bekas (reformer/desulfurizer) − Logam berat
D244 GELAS KERAMIK/ENAMEL 2610 − Manufaktur dan formulasi produk − Bubuk gelas - terlapis logam − Logam berat (terutama Pb, Cd,
gelas dan keramik/enamel − Emulsi minyak Cr, Co, Ni, Ba)
− Residu dari proses etching − Limbah minyak
− Hg (glass switches) − Fluorida
− Debu/sludge dari peralatan pengendali
pencemaran udara
− Residue Opal glass- As
− Bronzing and decolorizing agent - As
D245 SEAL, GASKET, PACKING 3699 − Manufaktur dan formulasi produk − Sisa Asbestos − Asbestos
seal, gasket dan packing − Adhesive coating − Logam berat (terutama Pb, Hg,
Zn)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D246 PRODUK KERTAS 2102 − Manufaktur dan formulasi produk − Adesif/perekat sisa dan kadaluarsa − Pelarut organik
2109 kertas − Residu pencetakan (tinta/pewarna) − Logam berat dari tinta/pewarna
− Kegiatan pencetakan dan − Pelarut bekas
pewarnaan − Sludge dari IPAL
D247 CHEMICAL /INDUSTRIAL 4520 − Degreasing, descaling, − Alkali, pelarut asam dan/atau larutan − Larutan asam/alkali
CLEANING 9309 phosphating, derusting, oksidator yang terkontaminasi logam, minyak,
passivation, refinishing, etc gemuk
− Residu dari kegiatan pembersihan
− −
D248 FOTOKOPI 5150 − Pemeliharaan peralatan − Toner bekas − Logam berat (terutama Se)
2429 − MFDP toner
D249 SEMUA JENIS INDUSTRI − Proses replacement, refilling, − Limbah PCB − PCB
YANG reconditioning atau retrofitting
MENGHASILKAN/MENG- dari transformer dan capacitor
GUNAKAN LISTRIK
− −
D250 SEMUA JENIS INDUSTRI − Penggantian fireproof insulation − Asbestos − Asbestos
KONSTRUKSI (ac), atap , insulation
D251 BENGKEL − Pemeliharaan mobil, motor, kereta − Pelumas bekas − Limbah minyak
PEMELIHARAAN api, pesawat, termasuk body − Pelarut (cleaning, degreasing) − Pelarut mudah terbakar
KENDARAAN repair. − Limbah cat − Asam
− Asam − Logam berat
− Batere bekas
TABLE 3. DAFTAR LIMBAH DARI BAHAN KIMIA KADALUARSA,
TUMPAHAN, SISA KEMASAN, ATAU BUANGAN PRODUK YANG TIDAK
MEMUHI SPESIFIKASI.
D3001 Asetaldehida
D3002 Asetamida
D3003 Asam asetat, garam-garamnya dan ester-esternya
D3004 Aseton
D3005 Asetonitril
D3006 Asetilklorida
D3007 Akrolein
D3008 Akrilamida
D3009 Akrilonitril
D3010 Aldrin
D3011 Aluminium alkil dan turunannya
D3012 Aluminium Fosfat
D3013 Amonium Pikrat
D3014 Amonium Vanadat
D3015 Anilina
D3016 Arsen dan senyawanya
D3017 Arsen Oksida, tri, penta
D3018 Arsen Disulfida, Arsen Triklorida
D3019 Dietilarsina
D3020 Barium dan senyawanya
D3021 Chromated Copper Arsenate
D3022 Benzena
D3023 Klorobenzena
D3024 1,3-Diisocyanatometil-Benzena
D3025 Dietilbenzena
D3026 Heksahidrobenzena
D3027 Benzenasulfonic Klorida
D3028 Benzenesulfonil Klorida
D3029 Berilium dan senyawanya
D3030 Bis(Klorometil)eter
D3031 Bromoform
D3032 1,1,2,3,4,4-heksakloro-1,3-Butadiena
D3033 n-Butil alkohol
D3034 Butana
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3035 Butil aldehida
D3036 Cadmium dan senyawanya
D3037 Kalsium kromat
D3038 Amoniacal copper arsenate
D3039 Dikloro Karbonat
D3040 Karbon disulfida
D3041 Karbon tetraklorida
D3042 Kloroasetaldehida
D3043 Klorodana, Isomer alfa & beta
D3044 Kloretana (Etillklorida)
D3045 Kloroetena (vinil klorida)
D3046 Klorodibromometana
D3047 Kloroform
D3048 p-Kloroanilina
D3049 2-Kloroetil vinil eter
D3050 Klorometil metil eter
D3051 Asam Kromat
D3052 Chromium dan senyawa-senyawanya
D3053 Sianida dan senyawa-senyawanya
D3054 Kreosot
D3055 Kumena
D3056 Siklohexana
D3057 2,4-D, garam-garam dan esternya
D3058 DDD
D3059 DDT
D3060 1,2-Diklorobenzena
D3061 1,3-Diklorobenzena
D3062 1,2-Dikloroetana
D3063 1,1 -Dikloroetene
D3064 1,2-Dikloropropana
D3065 1,3-Dikloropropena
D3066 Dieldrin
D3067 Dimetil Ftalat
D3068 Dimetil sulfat
D3069 2,4-Dinitrotoluene
D3070 2,6-Dinitrotoluene
D3071 Endrin dan senyawa metabolitnya
D3072 Epiklorohidrin
D3073 2-Etoksi etanol
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3074 1-Fenil Etanon
D3075 Etil akrilat
D3076 Etil asetat
D3077 Etilbenzena
D3078 Etil karbamat (uretan)
D3079 Etil eter
D3080 Asam Etilen bisditiokarbamic dan senyawanya
D3081 Etilen dibromida
D3082 Etilen diklorida
D3083 Etilen glikol (monoetil ether)
D3084 Etilen oksida (Oksirana)
D3085 Fluorin
D3086 Fluoroasetamida
D3087 Asam Fluoroasetat dan garam sodiumnya
D3088 Formaldehida
D3089 Asam Formiat
D3090 Furan
D3091 Heptaklor
D3092 Heksaklorobenzena
D3093 Heksaklorobutadiena
D3094 Heksakloroetana
D3095 Hidrogen Sianida
D3096 Hidrazina
D3097 Asam fosfat
D3098 Asam fluorat
D3099 Asam fluorida
D3100 Asam sulfida
D3101 Hidroksibenzena (fenol)
D3102 Hidroksitoluen (cresol)
D3103 Isobutil alkohol
D3104 Timbal asetat
D3105 Timbal kromate
D3106 Timbal nitrat
D3107 Timbal oksida
D3108 Timbal fosfat
D3109 Lindana
D3110 Maleat anhidrida
D3111 Maleat hidrazida
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3112 Mercuri dan senyawa-senyawanya
D3113 Metil hidrazine
D3114 Metil paration
D3115 Tetraklorometana
D3116 Tribromometana
D3117 Triklorometana
D3118 Triklorofluorometana
D3119 Metanol (metil alkohol)
D3120 Metoksiklor
D3121 Metil bromida
D3122 Metil klorida
D3123 Metil kloroform
D3124 Metilen bromida
D3125 Metil isobutil keton
D3126 Metil etil ketone
D3127 Metil etil ketone peroksida
D3128 Metil benzene (toluene)
D3129 Metil iodid
D3130 Naftalena
D3131 Nitrat oksida
D3132 Nitrobenzena
D3133 Nitrogliserin
D3134 Oksirana
D3135 Paration
D3136 Paraldehida
D3137 Pentaklorobenzena
D3138 Pentakloroetana
D3139 Pentakloronitrobenzena
D3140 Pentaklorofenol
D3141 Perkloroetilen
D3142 Phenil tiourea
D3143 Fosgen
D3144 Fosfin
D3145 Fospor sulfida
D3146 Fospor pentasulfida
D3147 Ftalat anhidrida
D3148 1 -Bromo ,2-propanon
D3149 2-Nitropropana,
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3150 n-Propilamina
D3151 Propilen Diklorida
D3152 Pirene
D3153 Piriden
D3154 Selenium dan senyawanya
D3155 Selenium dioksida
D3156 Selenium sulfida
D3157 Perak Sianida
D3158 2,4,5-TP (Silvex)
D3159 Natrium azida
D3160 Striknidin-10-satu dan garamnya
D3161 Asam sulfat, Dimetil Ester Sulfat
D3162 Sulfur Fosfit
D3163 2,4,5-T
D3164 1 2,4,5-Tetraklorobenzena
D3165 1,1,1,2-Tetrakloroetana
D3166 1,1,2,2-Tetrakloroetana
D3167 2,3,4,6-Tetraklorofenol
D3168 Tetraklorometana
D3169 Tetra etil timbal
D3170 2,4,5-Triklorofenol
D3171 2,4,6-Triklorofenol
D3172 1,3,5-Trinitrobenzena
D3173 Vanadium oksida
D3174 Vanadium pentaoksida
D3175 Vinil klorida
D3176 Warfarin
D3177 Dimetylbenzena
D3178 Seng Posfit
KODE LIMBAH
NAMA UMUM
D 5001 Acethonitrile
D 5002 Acethophenone
D 5003 2-Acetylaminefluorene
D 5004 Acetyl chloride
D 5005 1-Acethyl-2-thiourea
D 5006 Acidic solutions or acid in solid form
D 5007 Acrolein
D 5008 Acrylamide
D 5009 Acrylonitrile
D 5010 Aflatoxins
D 5011 Aldicarb
D 5012 Aldicarb sulfone
D 5013 Aldrin
D 5014 Alkyl alcohol
D 5015 Alkyl chloride
D 5016 Aluminium phosphide
D 5017 4-Aminobiphenyl
D 5018 5(Aminomethyl)3-isoxazolol
D 5019 4-Aminobiphenyl
D 5020 Amitrole
D 5021 Ammonium vanadate
D 5022 Aniline
D 5023 Antimony
D 5024 Antimony compounds, NOS
D 5025 Any congenor polychlorinated dibenzo-furan
D 5026 Any congenor polychlorinated dibenzo-p-dioxin
D 5027 Aramite
D 5028 Arsenic
D 5029 Arsenic compounds, NOS*
D 5030 Arsenic acid
D 5031 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM
D 5145 1,1-Dichloroethylene
D 5146 1,2-Dichloroethylene
D 5147 Dichloroethyl ether
D 5148 Dichloroisopropyl ether
D 5149 Dichloromethoxy ethane
D 5150 Dichloromethyl ether
D 5151 2,4-Dichlorophenol
D 5152 2,6-Dichlorophenol
D 5153 Dichlorophenylarsine
D 5154 Dichloropropane, NOS*
D 5155 Dichloropropanol, NOS*
D 5156 Dichloropropene, NOS*
D 5157 1,3-Dichloropropene
D 5158 Dieldrin
D 5159 1,2,3,4-Diepoxybutane
D 5160 Diethylarsine
D 5161 1,4-Diethyleneoxyde
D 5162 Diethylhexyl phtalate
D 5163 N,N’-Diethylhydrazine
D 5164 O,O-Diethyl S-methyl dithiophosphate
D 5165 Diethyl-p-nitrophenyl phosphate
D 5166 Diethyl phtalate
D 5167 O,O-Diethyl O-pyrazinyl phosporothioate
D 5168 Diethylene glycol, dicarbamate
D 5169 Diethylstillbesterol
D 5170 Dihydrosafrole
D 5171 Diisopropylfluorophospahate (DTP)
D 5172 Dimethoate
D 5173 3,3”Dimethoxibenzidine
D 5174 p-Dimethylaminoazobenzene
D 5175 7,12-Dimethylbenz(a)anthracene
D 5176 3,3’-Dimethylbenzidine
D 5177 Dimethylcarbamyl chloride
D 5178 1,1-Dimethylhydrazine
D 5179 1,2-Dimethylhydrazine
D 5180 Alpha,alpha-Dimethylphenethylamine
D 5181 2,4-Dimethylphenol
D 5182 Dimethyl phtalate
D 5183 Dimethyl sulfate
D 5184 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM
D 5184 Dimetilen
D 5185 Dinitrobenzene, NOS*
D 5186 4,6-Dinitro-o-cresol
D 5187 4,6-Dinitro-o-cresol salts
D 5188 2,4-Dinitrophenol
D 5189 2,4-Dinitroluene
D 5190 2,6-Dinitroluene
D 5191 Dinoseb
D 5192 Di-n-octylphtalate
D 5193 Diphenylamine
D 5194 1,2-Diphenylhydrazine
D 5195 Di-n-propylnitrosamine
D 5196 Disulfiram
D 5197 Disulfoton
D 5198 Dithiobiuret
D 5199 Endosulfan
D 5200 Endothall
D 5201 Endrin
D 5202 Endrin metabolites
D 5203 Epichlorohydin
D 5204 Epihephrine
D 5205 EPTC
D 5206 Ethyl carbamate (urethane)
D 5207 Ethers
D 5208 Ethyl cyanide
D 5209 Ethylenebisdithiocarbamic acid
D 5210 Ethylenebisdithiocarbamic acid, salts & esters
D 5211 Ethylene dibromide
D 5212 Ethylene dichloride
D 5213 Ethylene glicol monoethyl ether
D 5214 Ethyleneimine
D 5215 Ethylene oxyde
D 5216 Ethylenethiourea
D 5217 Ethylidene dichloride
D 5218 Ethylmethacrylate
D 5219 Ethyl methanesulfonate
D 5220 Ethyl ziram
D 5221 Famphur
D 5222 Ferbam
KODE LIMBAH NAMA UMUM
D 5223 Fluoranthene
D 5224 Fluorine
D 5225 Fluoroacetamide
D 5226 Fluoroacetic acid, sodium salt
D 5227 Formaldehyde
D 5228 Formetanate hydrochloride
D 5229 Formic acid
D 5230 Formparanate
D 5231 Glycidylaldehyde
D 5232 Halogenated organic solvents
D 5233 Halomethanes, NOS
D 5234 Heptachlor
D 5235 Heptachlor Epoxide
D 5236 Heptachlor Epoxide (alpha, beta, gamma isomers)
D 5237 Heptachlorodibenzofurans
D 5238 Heptachlorodibenzo-p-dioxin
D 5239 Hexacchlorobenzene
D 5240 Hexachlorobutadiene
D 5241 Hexachlorodicyclopentadiene
D 5242 Hexachlorodibenzo-p-dioxin
D 5243 Hexachlorodibenzofurans
D 5244 Hexachloroethane
D 5245 Hexachlorophene
D 5246 Hexachloropropene
D 5247 Hexaethyl tetraphosphate
D 5248 Hexavalent chromium compounds
D 5249 Hydrazine
D 5250 Hidrogen cyanide
D 5251 Hydrogen fluoride
D 5252 Hydrogen sulfide
D 5253 Indenol(1,2,3-ed)pyrene
D 5254 3-lodo-2-propynyl-n-butylearbamate
D 5255 Inorganic cyanides
D 5256 Inorganic fluorine compounds
D 5257 Isobutyl alcohol
D 5258 Isodrin
D 5259 Isolan
D 5260 Isosafrole
D 5261 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM
D 5261 Kepone
D 5262 Lasiocarpine
D 5263 Lead
D 5264 Lead compounds, NOS*
D 5265 Lead acetate
D 5266 Lead phosphate
D 5267 Lead subacetate
D 5268 Lindane
D 5269 Malcic anhydride
D 5270 Malcic hydrazine
D 5271 Malononitrile
D 5272 Manganese dimethyldithio-carbamate
D 5273 Melphalan
D 5274 Mercury
D 5275 Mercury compounds., NOS*
D 5276 Mercury fulminate
D 5277 Metal carbonyl
D 5278 Metam sodium
D 5279 Methacrylonitrile
D 5280 Methapyrilene
D 5281 Methiocarb
D 5282 Methomyl
D 5283 Methoxychlor
D 5284 Methyl bromide
D 5285 Methyl chloride
D 5286 Methyl chlorocarbonate
D 5287 Methyl chloroform
D 5288 3-Methylcholanthrene
D 5289 4,4-Methylenebis(2-chloroaniline)
D 5290 Methylene bromide
D 5291 Methylene chloride
D 5292 Methyl ethyl ketone (MEK)
D 5293 Methyl ethyl ketone peroxide
D 5294 Methyl hydrazine
D 5295 Methyl iodide
D 5296 Methyl isocyanate
D 5297 2-methyllactonitrile
D 5298 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM
D 5333 N-Nitrosedimenthylamine
D 5334 N-Nitroso-N-ethylurea
D 5335 N-Nitrosomethylethylamine
D 5336 N-Nitroso-N-methyleurea
D 5337 N-Nitroso-N-methylurethane
D 5338 N-Nitrosomethylvinylamine
D 5339 N-Nitosomorpholine
D 5340 N-Nitrosonornicotine
D 5341 N-Nitrosopiperidine
D 5342 N-Nitrosopirrolydine
D 5343 N-Nitrososarcosine
D 5344 5-Nitro-o-toluidine
D 5345 Octamethylpyrophosphoramide
D 5346 Organic cyanides
D 5347 Organic phosphorous
D 5348 Organic solvents
D 5349 Organohalogen compounds
D 5350 Osmium tetroxide
D 5351 Oxamyl
D 5352 Paraldehide
D 5353 Parathion
D 5354 Pebulate
D 5355 Pentachlorobenzene
D 5356 Penthachlorodibenzo-p-dioxin
D 5357 Penthachlorodibenzofurans
D 5358 Penthachloroethane
D 5359 Penthachloronitrobenzene (PCNB)
D 5360 Phentachlorophenol
D 5361 Phenacetin
D 5362 Phenol
D 5363 Phenylenediamine
D 5364 Phenylmercury acetate
D 5365 Phenylthiourea
D 5366 Phosgene
D 5367 PHOSphine
D 5368 Phorate
D 5369 Phtalic acid esters, NOS*
D 5370 Phtalic anhydride
D 5371 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM
D 5371 Phsostigmine
D 5372 Phsostigmine salicylate
D 5373 2-Picoline
D 5374 Polychlorinated biphenyls, NOS*
D 5375 Pottasium cyanide
D 5376 Pottasium dimethyldithiocarbamate
D 5377 Pottasium-n-hydroxymethyl-n-methyl-dithiocarbamate
D 5378 Pottasium-n-methyldithiocarbamate
D 5379 Pottasium penthachlorophenate
D 5380 Pottasium silver cyanide
D 5381 Promecarb
D 5382 Pronamide
D 5383 1,3-Propane sultone
D 5384 Propham
D 5385 Propoxur
D 5386 n-Propylamine
D 5387 Propargyl alcohol
D 5388 Propylene dichloride
D 5389 1,2-Propylenimine
D 5390 Propylthiouracil
D 5391 Prosulfocarb
D 5392 Pyridine
D 5393 Reserpine
D 5394 Resorcinol
D 5395 Saccharin
D 5396 Saccharin salts
D 5397 Safrole
D 5398 Selenium
D 5399 Selenium compounds, NOS*
D 5400 Selenium dioxide
D 5401 Selenium sulfide
D 5402 Selenium, tetrakis (dimethyldithiocarbamate)
D 5403 Selenourea
D 5404 Silver
D 5405 Silver compounds, NOS*
D 5406 Silver cyanide
D 5407 Silvex (2,4,5-TP)
D 5408 Sodium cyanide
D 5409 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM
D 5447 Thiphenol
D 5448 Thiosemicarbazide
D 5449 Thiourea
D 5450 Thiram
D 5451 Tirpate
D 5452 Tellurium; Tellurium compounds
D 5453 Toluene
D 5454 Toluenediamine
D 5455 Toluene-2,4-diamine
D 5456 Toluene-2,6-diamine
D 5457 Toluene-3,4-diamine
D 5458 Toluene diisocynate
D 5459 o-Toluidine
D 5460 o-Toluidine hydrochloride
D 5461 p-Toluidine
D 5462 Toxaphene
D 5463 Triallate
D 5464 2,4,6,-Tribromophenol
D 5465 1,2,4-Trichlorobenzene
D 5466 1,1,2-Trichloroethane
D 5467 Trichloroethylene
D 5468 Trichloromonofluoromethane
D 5469 2,4,5-Trichlorophenol
D 5470 2,4,6-Trichlorophenol
D 5471 2,4,5-T
D 5472 Trichloropropane, NOS*
D 5473 1,2,3-Trichloropropane
D 5474 O,O,O-Triethyl phosphorothioate
D 5475 Triethylamine
D 5476 1,3,5-Trinitrobenzene
D 5477 Tris(1-aziridinyl)phosphine sulfide
D 5478 Tris(2,3-dibromopropyl) phosphate
D 5479 Trypan blue
D 5480 Uracil mustard
D 5481 Vanadium pentoxide
D 5483 Vinyl chloride
D 5484 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM
Singkatan NOS (not otherwise specified) menunjukkan bahwa anggota dari kelompok tersebut tidak terdaftar
dengan nama secara spesifik dalam Lampiran III.
ttd
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
UMUM
Untuk mengidentifikasi limbah sebagai limbah B3 diperlukan uji karakteristik dan uji
toksikologi atas limbah tersebut. Pengujian ini meliputi karakteristik limbah atas sifat-sifat
mudah meledak dan atau mudah terbakar dan atau bersifat reaktif, dan atau beracun dan
atau menyebabkan infeksi, dan atau bersifat korosif. Sedangkan uji toksikologi digunakan
untuk mengetahui nilai akut dan atau kronik limbah. Penentuan sifat akut limbah dilakukan
dengan uji hayati untuk mengetahui hubungan dosis-respon antara limbah dengan kematian
hewan untuk menetapkan nilai LD50. Sedangkan sifat kronis limbah B3 ditentukan dengan
cara mengevaluasi sifat zat pencemar yang terdapat dalam limbah dengan menggunakan
metodologi tertentu.
Apabila suatu limbah tidak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini, lolos uji
karakteristik limbah B3, lolos uji LD50, dan tidak bersifat kronis maka limbah tersebut
bukan limbah B3, namun pengelolaannya harus memenuhi ketentuan.
Limbah B3 yang dibuang langsung ke dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat
resiko tersebut, perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah
B3 yang dihasilkan dan mencegah masuknya limbah B3 dari luar Wilayah Indonesia.
Pemerintah Indonesia dalam pengawasan perpindahan lintas batas limbah B3 telah
meratifikasi Konvesi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 dengan Keputusan Presiden Nomor
61 Tahun 1993.
Untuk menghilangkan atau mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari limbah B3 yang
dihasilkan maka limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus. Pengelolaan
limbah B3 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk
penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian kegiatan tersebut terkait beberapa
pihak yang masing-masing merupakan suatu mata rantai dalam pengelolaan limbah B3,
yaitu :
a. Penghasil limbah B3;
b. Pengumpul limbah B3;
c. Pengangkut limbah B3;
d. Pemanfaat limbah B3;
e. Pengolah limbah B3 wastes;
f. Penimbunan limbah B3.
Dengan pengolahan limbah sebagaimana tersebut di atas, maka mata rantai siklus
perjalanan limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai penimbunan akhir
oleh pengolah limbah B3 dapat diawasi. Setiap mata rantai perlu diatur, sedangkan
perjalanan limbah B3 dikendalikan dengan sistem manifest berupa dokumen limbah B3.
Dengan sistem manifest dapat diketahui berapa jumlah B3 yang dihasilkan dan berapa yang
telah dimasukkan ke dalam proses pengolahan dan penimbunan tahap akhir yang telah
memiliki persyaratan lingkungan.
Pemanfaatan limbah B3, yang mencakup kegiatan daur ulang (recycling), perolehan
kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) merupakan suatu mata rantai penting
dalam pengelolaan limbah B3. Dengan teknologi pemanfaatan limbah B3 di satu pihak
dapat dikurangi jumlah limbah B3 sehingga biaya pengolahan limbah B3 juga dapat
ditekan dan dilain pihak akan dapat meningkatkan kemanfaatan bahan baku. Hal ini pada
gilirannya akan mengurangi kecepatan pengurasan sumber daya alam.
Angka 1
Pasal 6
Langkah pertama yang dilakukan dalam pengelolaan limbah B3 adalah
mengidentifikasikan limbah dari penghasil tersebut apakah termasuk limbah B3
atau tidak.
Mengidentifikasi limbah ini akan memudahkan penghasil, pengumpul, pengangkut,
pemanfaat, pengolah, atau penimbun dalam mengenali limbah B3 tersebut sedini
mungkin.
Mengidentifikasi limbah sebagai limbah B3 dilakukan melalui tahapan sebagai
berikut :
a. Mencocokkan jenis limbah dengan daftar jenis limbah B3 sebagaimana pada
Lampiran I Peraturan Pemerintah ini, dan apabila cocok dengan daftar jenis
limbah B3 tersebut, maka limbah tersebut termasuk limbah B3;
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Pengujian kareakteristik limbah dilakukan sebelum limbah tersebut
mendapat perlakukan pengolahan. Limbah diidentifikasi sebagai limbah
B3 apabila memenuhi salah satu atau lebih karakteristik limbah B3.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :
a. Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan tekanan,
standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan
atau fisika dapat menghasilkan gas dengan sushu dan tekanan tinggi
yang dengan cepat dapat merusak lingkungan sekitarnya.
5) Limbah yang dapat mudah meledak atau bereaksi pada suhu dan
tekanan standar (25oC, 760 mmHg).
6). Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil
dalam suhu tinggi.
d. Limbah beracun adalah limba yang mengandung pencemar yang bersifat
racun bagi manusia atau lingkungan yang dapat menyebabkan kematian
atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan,
kulit atau mulut.
e. Limbah bersifat korosif adalah limbah yang mempunyai salah satu sifat
sebagai berikut :
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TENTANG
Menimbang:
Mengingat:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang
berada di atas maupun di bawah per-mukaan bumi yang digambarkan pada suatu
bidang datar dengan skala tertentu.
2. Skala peta adalah angka perbandingan antara jarak dua titik di atas peta dengan
jarak tersebut di muka bumi.
3. Ketelitian peta adalah ketepatan, kerincian dan kelengkapan data dan atau informasi
georeferensi dan tematik.
4. Peta dasar adalah peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan
manusia, yang berada di permukaan bumi, digambarkan pada suatu bidang datar
dengan skala, penomoran, proyeksi dan georeferensi tertentu.
5. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek
administratif dan atau aspek fungsional.
6. Peta wilayah adalah peta yang berdasarkan pada aspek administratif yang
diturunkan dari peta dasar.
7. Peta tematik wilayah adalah peta wilayah yang menyajikan data dan informasi
tematik.
8. Peta rencana tata ruang wilayah adalah peta wilayah yang menyajikan hasil
perencanaan tata ruang wilayah.
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pemetaan.
10. Instansi yang mengadakan peta tematik wilayah adalah instansi baik di tingkat pusat
maupun daerah, yang tugas dan fungsinya mengadakan peta tematik wilayah.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur tingkat ketelitian berbagai jenis peta yang digunakan
untuk penyusunan peta rencana tata ruang wilayah dan tingkat ketelitian peta rencana
tata ruang wilayah.
Pasal 3
Tujuan pengaturan tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang wilayah, dimaksudkan
untuk mewujudkan kesatuan sistem penya-jian data dan informasi penataan ruang
wilayah.
BAB III
JENIS PETA DAN TINGKAT KETELITIAN
PETA RENCANA TATA RUANG WILAYAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
a. peta dasar;
b. peta wilayah; dan
c. peta tematik wilayah.
(2) Jenis peta harus memiliki karakteristik ketelitian peta yang pasti.
(3) Karakteristik ketelitian peta menjadi dasar ketelitian bagi pembuatan peta rencana
tata ruang wilayah.
Pasal 5
Tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang wilayah ditentukan berdasarkan pada skala
minimal yang diperlukan untuk merekonstruksi informasi pada peta di muka bumi.
Bagian Kedua
Jenis Peta
Pasal 6
(1) Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, menggunakan
sistem referensi menurut ketentuan Datum Geodesi Nasional 1995, sistem proyeksi
Transverse Mercator (TM) dengan sistem grid Universal Transverse Mercator (UTM)
dan sistem penomoran lembar peta secara nasional.
(2) Peta dasar digunakan sebagai dasar bagi pembuatan peta wilayah.
Pasal 7
Peta wilayah digunakan sebagai dasar bagi pembuatan peta tematik wilayah dan peta
rencana tata ruang wilayah.
Pasal 8
(1) Peta tematik wilayah digambarkan berdasarkan pada kriteria, klasifikasi dan
spesifikasi unsur-unsur tematik yang ditetapkan oleh instansi yang mengadakan peta
tematik wilayah.
(2) Peta rencana tata ruang wilayah digambarkan dengan unsur-unsur peta wilayah dan
unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah.
Bagian Ketiga
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah
Paragraf 1
Umum
Pasal 9
(1) Peta rencana tata ruang wilayah meliputi tingkat ketelitian peta untuk:
(2) Tingkat ketelitian peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diwujudkan dengan
tingkatan skala peta rencana tata ruang wilayah.
Paragraf 2
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional
Pasal 10
Peta rencana tata ruang wilayah nasional menggunakan peta wilayah negara Indonesia
dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang sama.
Pasal 11
(1) Peta wilayah negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berpedoman pada tingkat
ketelitian minimal berskala 1:1.000.000.
(2) Peta wilayah negara Indonesia dengan skala 1:1.000.000 meliputi unsur-unsur:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai,
danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar
minimal 125 meter;
c. permukiman, berupa kota;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan
kereta api, jalan lain, bandar udara, pelabuhan;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas
kota; dan
f. nama-nama unsur geografis.
Pasal 12
Pasal 13
(1) Peta rencana tata ruang wilayah nasional digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah nasional, meliputi kawasan lindung, kawasan
budidaya, kawasan tertentu, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan kelistrikan dan
energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.
Pasal 14
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran VII
Peraturan Pemerintah ini.
Paragraf 3
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Propinsi
Pasal 15
Peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi menggunakan peta wilayah daerah
propinsi dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang sama.
Pasal 16
1) Peta wilayah daerah propinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, berpedoman pada tingkat
ketelitian minimal berskala 1: 250.000.
2) Peta wilayah daerah propinsi dengan skala 1:250.000 meliputi unsur-unsur:
a) garis pantai;
b) hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai, danau, waduk atau
bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 35 meter;
c) permukiman;
d) jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan kereta api, jalan lain,
bandar udara, pelabuhan;
3) batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas kota;
4) garis kontur, dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 125 meter;
5) titik tinggi; dan
6) nama-nama unsur geografis.
Pasal 17
Pasal 18
(1) Peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi digambarkan dalam peta wilayah daerah
propinsi.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi, meliputi kawasan lindung,
kawasan budidaya, kawasan tertentu, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan
kelistrikan dan energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem
jaringan utilitas.
Pasal 19
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran
VIII Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 20
(1) Dalam hal wilayah daerah propinsi yang bentangan wilayahnya sempit dapat digunakan peta
wilayah dengan skala 1:100.000 atau skala 1:50.000.
(2) Peta wilayah daerah propinsi yang menggunakan skala 1:100.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan
Pasal 24.
(3) Peta wilayah daerah propinsi yang menggunakan skala 1:50.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan
Pasal 31.
Pasal 21
(1) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi digambarkan dalam peta wilayah
daerah propinsi yang menggunakan skala 1:100.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2), untuk unsur-unsur dan penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26.
(2) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi digambarkan dalam peta wilayah
daerah propinsi yang menggu-nakan skala 1:50.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3), untuk unsur-unsur dan penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33.
Paragraf 4
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten
Pasal 22
Peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten menggunakan peta wilayah daerah
kabupaten dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang
sama.
Pasal 23
(1) Peta wilayah daerah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berpedoman pada
tingkat ketelitian minimal berskala 1:100.000.
(2) Peta wilayah daerah kabupaten dengan skala 1:100.000 unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai, danau, waduk
atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 15 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lain, jalan kereta
api, bandar udara dan pelabuhan; bandar udara digambarkan sesuai dengan skala;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas wilayah
daerah kota, batas kecamatan;
f. garis kontur, dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 50 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.
Pasal 24
Pasal 25
(1) Peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten digambarkan dalam peta wilayah daerah
kabupaten.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten meliputi kawasan lindung,
kawasan budidaya, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan kelistrikan dan energi,
jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.
Pasal 26
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran IX
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 27
(1) Dalam hal wilayah daerah kabupaten yang bentangan wilayahnya sempit dapat menggunakan
peta wilayah dengan skala 1:50.000 atau skala 1:25.000.
(2) Peta wilayah daerah kabupaten yang menggunakan skala 1:50.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan
Pasal 31.
(3) Peta wilayah daerah kabupaten yang menggunakan skala 1:25.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan
Pasal 33.
Pasal 28
(1) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten digambarkan dalam
peta yang menggunakan skala 1:50.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2), untuk unsur-unsur dan penggambarannya berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(2) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten digambarkan dalam
peta wilayah daerah kabupaten yang menggunakan skala 1:25.000 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), untuk unsur-unsur dan penggambarannya
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.
Paragraf 5
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Kota
Pasal 29
Peta rencana tata ruang wilayah daerah kota menggunakan peta wilayah daerah kota
dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang sama.
Pasal 30
(1) Peta wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, berpedoman
pada tingkat ketelitian minimal berskala 1:50.000.
(2) Peta wilayah daerah kota dengan skala 1:50.000, unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai,
danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar
minimal 7 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lain,
jalan kereta api, jalan setapak, bandar udara dan pelabuhan; bandar udara
digambarkan sesuai dengan skala;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten,
batas kota, batas kecamatan;
f. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai keli-patan 25 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.
Pasal 31
Unsur-unsur peta wilayah daerah kota dengan skala 1:50.000, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran IV
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 32
(1) Peta rencana tata ruang wilayah daerah kota digambarkan dalam peta wilayah
daerah kota.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota meliputi kawasan
lindung, kawasan budidaya, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan
kelistrikan dan energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan
sistem jaringan utilitas.
Pasal 33
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran X
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34
(1) Dalam hal wilayah daerah kota yang bentangan wilayahnya sempit, dapat
digunakan peta wilayah dengan skala 1:25.000 atau skala 1:10.000.
(2) Peta wilayah daerah kota yang menggunakan peta wilayah dengan skala 1:25.000
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai,
terusan, saluran air, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan
dengan skala untuk lebar minimal 5 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal,
jalan lain, jalan setapak, jalan kereta api, bandar udara dan pelabuhan;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten,
batas kota, batas kecamatan, batas kelurahan;
f. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 12,5 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.
Pasal 35
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota yang menggunakan skala
1:25.000, meliputi kawasan lindung, kawasan budidaya, sistem permukiman, jaringan
transportasi, jaringan kelistrikan dan energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan
prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.
Pasal 37
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran XI Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 38
Peta wilayah daerah kota yang menggunakan peta wilayah dengan skala 1:10.000
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai, terusan,
saluran air, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk
lebar minimal 1,5 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan
lain, jalan setapak, jalan kereta api, bandar udara, pelabuhan;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas
kota, batas kecamatan, batas desa;
f. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 5 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.
Pasal 39
Unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, digambarkan dengan simbol dan
atau notasi pada Lampiran VI Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 40
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota yang menggunakan skala
1:10.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, meliputi kawasan lindung, kawasan
budidaya, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan kelistrikan dan energi,
jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.
Pasal 41
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40, digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran XII Peraturan
Pemerintah ini.
BAB IV
PENGADAAN DAN PEMBINAAN TEKNIS
Pasal 42
(1) Pengadaan peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah daerah propinsi, peta
wilayah daerah kabupaten dan peta wilayah daerah kota diselenggarakan oleh
instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pengadaan peta wilayah daerah propinsi, peta wilayah daerah kabupaten dan peta
wilayah daerah kota dapat diselenggarakan oleh instansi terkait di daerah dengan
mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Pengadaan peta tematik wilayah diselenggarakan oleh instansi yang mengadakan
peta tematik wilayah.
Pasal 43
(1) Pembinaan teknis untuk memelihara kualitas peta wilayah dan peta rencana tata
ruang wilayah diselenggarakan oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pembinaan teknis untuk memelihara kualitas peta tematik wilayah diselenggarakan
oleh instansi yang mengadakan peta tematik wilayah.
Pasal 44
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 45
(1) Masyarakat berhak mengetahui peta wilayah melalui katalog peta wilayah yang
disusun oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Masyarakat berhak mengetahui peta tematik wilayah melalui katalog peta tematik
wilayah yang disusun oleh instansi yang mengadakan peta tematik wilayah.
Pasal 46
Masyarakat dapat berperan serta memberikan data dan informasi dalam pembuatan
peta dasar, peta wilayah dan peta tematik wilayah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN
Pasal 47
Simbol dan atau notasi unsur-unsur peta rencana tata ruang yang belum diatur dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut dengan keputusan instansi yang
bertanggung jawab dengan mempertimbangkan masukan dari instansi terkait.
Pasal 48
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peta wilayah
dan peta rencana tata ruang wilayah yang telah ada harus disesuaikan dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan selambat-
lambatnya dalam tiga tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Pebruari 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Pebruari 2000
Pj. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BONDAN GUNAWAN
ATAS
TENTANG
UMUM
Tujuan penataan ruang disamping terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan
yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, juga terselenggaranya pengaturan
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya, dan tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penataan ruang dilaksanakan melalui proses
perencanaan tata ruang yang menghasilkan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang berdasarkan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar pemanfaatan
ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dengan perkataan lain, kualitas pemanfaatan ruang
ditentukan antara lain oleh rencana tata ruang yang digambarkan dalam peta rencana tata ruang
wilayah yang disusun dalam suatu sistem perpetaan dan disajikan berdasarkan pada unsur-unsur
serta simbol dan atau notasinya yang dibakukan secara nasional.
Proses penyusunan peta untuk penataan ruang diawali dengan ketersediaan peta dasar Indonesia.
Peta dasar itu, dengan segala karakteristik ketelitiannya, menjadi dasar bagi pembuatan peta wilayah.
Selanjutnya peta wilayah itu digunakan sebagai media penggambaran peta-peta tematik wilayah.
Peta-peta tematik wilayah menjadi bahan analisis bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Oleh karena ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan, dan ruang udara dibagi dalam wilayah daerah propinsi, wilayah daerah kabupaten, dan
wilayah daerah kota, maka rencana tata ruang wilayah meliputi rencana tata ruang wilayah nasional,
rencana tata ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, dan
rencana tata ruang wilayah daerah kota. Masing-masing rencana tata ruang wilayah tersebut secara
berurutan digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah daerah propinsi, peta
wilayah daerah kabupaten, dan peta wilayah daerah kota. Peta wilayah tersebut di atas diturunkan
dari peta dasar sedemikian rupa sehingga hanya memuat unsur-unsur rupa bumi yang diperlukan
saja dari peta dasar, dengan maksud agar peta wilayah tersebut tetap memiliki karakteristik ketelitian
georeferensinya. Penggambaran rencana tata ruang wilayah pada peta wilayah tersebut berwujud
peta rencana tata ruang wilayah. Sesuai dengan ruang lingkup pengaturannya, Peraturan Pemerintah
ini hanya mengatur tentang ketelitian peta untuk keperluan penataan ruang saja.
Rencana tata ruang wilayah nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan rencana
tata ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, serta rencana tata
ruang wilayah daerah kota ditetapkan dengan peraturan daerah masing-masing. Oleh karena rencana
tata ruang wilayah tersebut berkekuatan hukum, maka peta rencana tata ruang wilayah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dengan rencana tata ruang wilayah harus mengandung tingkat
ketelitian yang sesuai dengan skalanya.
Peta wilayah negara Indonesia berpedoman kepada tingkat ketelitian peta minimal berskala
1:1.000.000. Peta wilayah daerah propinsi berpedoman kepada tingkat ketelitian peta minimal
berskala 1:250.000. Peta wilayah daerah kabupaten berpedoman kepada tingkat ketelitian peta
minimal berskala 1:100.000. Dan, peta wilayah daerah kota berpedoman kepada tingkat ketelitian
peta minimal berskala 1:50.000.
Dengan demikian, ketelitian peta diperlukan untuk penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah daerah propinsi, penataan ruang wilayah daerah kabupaten, dan penataan ruang wilayah
daerah kota. Dalam penataan ruang wilayah tersebut, dicakup kawasan lindung, kawasan budi daya,
kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan tertentu.
Alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan perkotaan,
kawasan perdesaan dan kawasan tertentu dalam rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata
ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, dan rencana tata
ruang wilayah daerah kota, serta rencana tata ruang kawasan, digambarkan dengan unsur alam
seperti garis pantai, sungai, danau, dan unsur buatan seperti jalan, pelabuhan, bandar udara,
permukiman, serta unsur-unsur kawasan lindung dan kawasan budi daya dengan batas wilayah
administrasi dan nama kota, nama sungai, dan nama laut. Penggambaran unsur-unsur tersebut
disesuaikan dengan keadaan di muka bumi dan pemanfaatan ruang yang direncanakan.
Oleh karena itu, untuk mencapai keseragaman, pembakuan dan keterpaduan secara nasional dalam
penggambaran peta rencana tata ruang wilayah sesuai dengan tingkat ketelitian peta pada skala
tersebut di atas, maka tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang wilayah perlu diatur dalam suatu
Peraturan Pemerintah.
Oleh karena dalam perencanaan tata ruang wilayah dan kawasan, diperlukan data dan informasi
tentang tema-tema tertentu yang berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber daya buatan,
maka Peraturan Pemerintah ini erat kaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang
memuat ketentuan yang mengandung segi-segi penataan ruang. Peraturan perundang-undangan
yang dimaksud mengatur antara lain tentang pemerintahan daerah, pertanahan, pengairan,
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pertambangan, kehutanan, kependudukan,
pertahanan keamanan, dan pengelolaan lingkungan hidup.
Istilah-istilah yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan agar terdapat keseragaman pengertian
atas Peraturan Pemerintah ini serta peraturan pelaksanaannya.
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Skala peta menunjukkan tingkat kerincian data dan atau informasi pada peta. Peta skala besar lebih
rinci kandungan informasinya daripada peta skala kecil. Misalnya, kandungan informasi pada peta
dengan skala 1:50.000 adalah lebih rinci daripada peta dengan skala 1:250.000, dan seterusnya.
Contoh, jika jarak dua titik di peta pada skala 1:50.000 = 10 cm, maka jarak kedua titik tersebut di
muka bumi adalah 10 x 50.000 cm = 500.000 cm = 5 km, sedangkan pada peta dengan skala
1:250.000, maka jarak kedua titik tersebut menjadi 10 x 250.000 cm = 2.500.000 cm = 25 km.
Angka 3
Ketepatan data dan atau informasi georeferensi menunjukkan kebenaran posisi atau lokasi suatu
obyek pada peta terhadap kedudukan sebenarnya di permukaan bumi dengan mengacu pada suatu
sistem referensi di bumi. Pengertian georeferensi memiliki persyaratan-persyaratan geometrik dan
posisi yang benar. Geometrik dimaksudkan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan besaran-
besaran dan bentuk-bentuk yang dapat diukur, seperti jarak, sudut, tinggi, luas, segiempat, segitiga,
lingkaran, dan lain sebagainya.
Kerincian data dan atau informasi tematik adalah kesesuaian jumlah unsur-unsur tematik dengan
ketersediaan ruang pada peta sebagai wahana penggambarannya.
Kelengkapan data dan atau informasi dimaksudkan sebagai keberadaan semua data dan informasi
yang disajikan tanpa ada kekurangan sesuai dengan skala.
Data dan atau informasi tematik adalah hal-hal yang berhubungan dengan tema atau topik tertentu
yang dipetakan, seperti kehutanan, pertanian, geologi, pertanahan, dan lain sebagainya.
Angka 4
Yang dimaksud dengan unsur alam, antara lain: hipsografi, hidrografi, dan vegetasi, sedangkan yang
dimaksud dengan unsur buatan manusia, antara lain: prasarana (jalan, bendungan, dan sebagainya),
bandar udara, tempat permukiman: desa, kota, dan sebagainya, dan ditambah dengan batas
administrasi dan nama-nama unsur geografis (toponimi) : nama ibukota daerah propinsi, nama kota,
nama laut, nama selat, nama sungai. Unsur hipsografi mencakup bentuk/relief permukaan bumi
(gunung, bukit dan sebagainya). Unsur hidrografi mencakup sungai, danau, garis pantai dan
sebagainya; dan unsur vegetasi mencakup semua jenis tanaman atau tumbuh-tumbuhan.
Angka 5
Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek administratif disebut wilayah
pemerintahan. Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek fungsional
disebut kawasan.
Angka 6
Diturunkan dari peta dasar artinya digambar kembali dari peta dasar. Penggambaran kembali
dilakukan dengan mengutamakan batas-batas wilayah administratif dengan beberapa unsur rupa
bumi yang diperlukan sebagai dasar untuk penyajian informasi tematik maupun informasi rencana
tata ruang wilayah. Unsur rupa bumi yang menjadi unsur pada peta wilayah adalah unsur yang saat
ini ada di lapangan. Peta wilayah terdiri dari peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah daerah
propinsi, peta wilayah daerah kabupaten dan peta wilayah daerah kota.
Angka 7
Peta tematik wilayah menyajikan data dan informasi tematik pada wilayah yang bersangkutan.
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan karakteristik ketelitian adalah hal-hal yang khas mendukung terciptanya peta
yang teliti. Termasuk dalam karakteristik ketelitian ini adalah karakteristik kebenaran dan
kelengkapan kandungan informasinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Penetapan skala minimal dimaksudkan untuk menentukan skala minimal yang dapat digunakan sesuai
dengan ketepatan yang dibutuhkan.
Sebagai contoh, ketepatan suatu obyek di muka bumi sepanjang 100 meter, pada peta skala
1:100.000 akan tergambar sepanjang 1 mm, sedangkan pada peta skala 1:25.000 akan tergambar
sepanjang 4 mm. Dengan demikian, kenampakan suatu obyek sebesar 100 meter di muka bumi
tersebut akan terlihat lebih jelas pada peta yang berskala 1:25.000 dan akan lebih jelas lagi pada
peta berskala yang lebih besar (1:10.000, 1:5.000, dan seterusnya)
Pasal 6
Ayat (1)
Sistem referensi merupakan sistem acuan atau pedoman tentang posisi suatu obyek pada arah
horizontal dan arah vertikal.
Sistem proyeksi merupakan sistem penggambaran permukaan bumi yang tidak beraturan pada
bidang datar secara matematis sedemikian rupa sehingga mengurangi atau menghilangkan kesalahan
yang dapat terjadi akibat perbedaan bentuk dari tidak beraturan ke bidang datar.
Sistem grid merupakan sistem yang menunjukkan tanda dua garis yang berpotongan tegak lurus
untuk mengetahui dan menentukan koordinat titik-titik di atas peta.
Sistem penomoran lembar peta adalah sistem penomoran lembar peta yang berlaku secara nasional.
Ayat (2)
Karena peta dasar digunakan sebagai dasar bagi pembuatan peta wilayah, maka sistem referensi dan
sistem proyeksi dari peta dasar digunakan sebagai sistem referensi dan sistem proyeksi peta wilayah.
Pasal 7
Dalam hal tidak tersedia peta dasar, maka peta lain dapat digunakan sebagai dasar bagi pembuatan
peta wilayah, setelah peta lain itu ditransformasikan ke sistem referensi dan sistem proyeksi yang
ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Transformasi tersebut dapat dilakukan baik oleh
instansi yang bertanggung jawab maupun oleh instansi terkait. Yang dimaksud dengan instansi
terkait adalah instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang tugas dan fungsinya berkaitan
dengan pengadaan peta dasar dan peta wilayah.
Peta wilayah skala 1:1.000.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:1.000.000.
Peta wilayah skala 1:250.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:250.000.
Peta wilayah skala 1:100.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:100.000.
Peta wilayah skala 1:50.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:50.000.
Peta wilayah skala 1:25.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:25.000.
Peta wilayah skala 1:10.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang- wilayah skala 1:10.000.
Peta tematik wilayah digunakan sebagai salah satu bahan analisis untuk penyusunan peta rencana
tata ruang wilayah.
Pasal 8
Ayat (1)
Kriteria, klasifikasi dan spesifikasi unsur-unsur tematik yang ditetapkan oleh instansi yang
mengadakan peta tematik wilayah, dimaksudkan bahwa peta tematik itu digambar dan disiapkan oleh
instansi yang tugas dan fungsinya mengelola sumber daya alam, misalnya: lahan, hutan, air, mineral,
dan lain-lain.
Peta tematik wilayah merupakan peta yang memuat satu atau beberapa tema tertentu yang sesuai
untuk keperluan penataan ruang. Sebagai contoh: peta liputan lahan, peta bentuk lahan, peta
kemiringan lereng, peta daerah aliran sungai dan kerapatan aliran, peta potensi mineral (bahan
galian), peta potensi hutan, peta potensi sumber daya air, peta potensi ketersediaan lahan, peta
potensi kawasan lindung dan peta sebaran penduduk.
Peta tematik wilayah mengandung data dan informasi baik kualitatif maupun kuantitatif mengenai
keberadaan dan macam sumber daya alam dan atau sumber daya buatan dengan ketelitian
kandungan informasi sesuai dengan skala dari setiap tema petanya.
Ayat (2)
Unsur-unsur peta wilayah antara lain adalah garis pantai, hidrografi, jaringan transportasi dan batas
wilayah administratif. Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah adalah kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah merupakan hasil analisis dari unsur-
unsur peta tematik wilayah yang terkait langsung untuk penataan ruang.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tingkatan skala menunjukkan tingkat kerincian kandungan informasi yang dipetakan. Dalam hal
klasifikasi skala minimal yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, maka perbandingan tingkat kerincian kandungan informasi untuk masing-masing
skala adalah seperti pada tabel berikut:
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Skala 1:1.000.000 untuk peta wilayah negara Indonesia adalah skala minimal. Dengan demikian,
dimungkinkan untuk menggunakan skala yang lebih besar.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang
dan menara suar.
Sungai, danau, waduk atau bendungan yang lebih kecil dari 125 meter digambarkan dengan simbol.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 12
Yang dimaksud dengan simbol dan atau notasi dalam Lampiran adalah petunjuk penggambaran dan
uraian teknis tentang unsur-unsur peta.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya,
kawasan rawan bencana alam, dan kawasan lindung lainnya.
Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian,
kawasan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman. Pada kawasan budidaya, digambarkan kawasan andalan.
Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman meliputi pusat permukiman
perkotaan atau kota dan pusat permukiman perdesaan.
Jaringan transportasi meliputi:
1. Jaringan transportasi darat meliputi jalan bebas hambatan atau jalan tol, jalan arteri primer dan
jalan kolektor.
2. Jaringan jalan kereta api.
3. Jaringan transportasi penyeberangan meliputi jembatan antar pulau.
4. Jaringan transportasi laut meliputi:
a. Pelabuhan laut utama meliputi pelabuhan laut utama primer, pelabuhan laut utama
sekunder, pelabuhan laut utama tersier, pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan
pengumpan lokal;
b. Alur pelayaran laut.
5. Jaringan transportasi udara meliputi :
a. Bandar udara pusat penyebaran primer;
b. Bandar udara pusat penyebaran sekunder;
c. Bandar udara pusat penyebaran tersier;
d. Bandar udara bukan pusat penyebaran.
Sistem jaringan utilitas meliputi saluran air limbah primer dan saluran drainase primer.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Skala 1:250.000 untuk peta wilayah daerah propinsi adalah skala minimal. Dengan demikian,
dimungkinkan untuk menggunakan skala yang lebih besar.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang
dan menara suar.
Yang dimaksud dengan kontur laut adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik atau
tempat-tempat di laut yang mempunyai kedalaman yang sama.
Yang dimaksudkan dengan garis kontur adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik atau
tempat-tempat di darat yang mempunyai ketinggian yang sama.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya,
kawasan rawan bencana alam, dan kawasan lindung lainnya.
Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian,
kawasan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman. Pada kawasan budidaya, digambarkan kawasan andalan.
Pada skala ini terdapat kawasan tertentu.
Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman, meliputi pusat permukiman
perkotaan atau kota, pusat permukiman perdesaan, kawasan perdesaan sebagai pusat produksi
pertanian, kawasan perdesaan sebagai pusat pengolahan sumber daya lainnya dan kota tani
(Agropolitan Centre).
Sarana dan prasarana air baku meliputi fasilitas air bersih, mata air dan bendungan.
Sistem jaringan utilitas meliputi saluran air limbah primer dan saluran drainase primer.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bentangan wilayah yang sempit adalah wilayah yang tidak begitu luas untuk
dapat digambarkan pada peta dengan skala 1:250.000 sedemikian rupa sehingga jika dipaksakan
untuk digambarkan dalam skala tersebut akan menjadi gambaran peta yang terlalu kecil dalam
ukuran lembar peta yang baku.
Penggunaan skala yang lebih besar dimungkinkan karena luas bentangan masing-masing daerah
propinsi itu berbeda untuk digambarkan dalam skala yang sama. Hubungan antara luas bentangan
dengan skala yang dipilih berdasarkan pada kerincian data dan informasi yang disajikan, sebagai
contoh: daerah Propinsi Yogyakarta atau daerah yang berkembang dengan cepat seperti Kawasan
Jabotabek digambarkan dengan lebih rinci. Hal ini akan menentukan skala peta sesuai dengan
muatan informasi yang digunakan.
Ayat (2)
Dalam kaidah perpetaan, simbol dan atau notasi unsur-unsur dan tata cara penggambarannya
mengikuti skala yang dipilih.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang,
dermaga, penahan ombak, menara suar dan kontur laut.
Yang dimaksud dengan kontur laut adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik atau
tempat-tempat di laut yang mempunyai kedalaman yang sama.
Untuk daerah kabupaten yang wilayahnya tidak berbatasan dengan laut, maka unsur garis pantai dan
unsur-unsur perairan pantainya tidak diberlakukan dalam penggambarannya.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya,
kawasan rawan bencana alam, dan kawasan lindung lainnya.
Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian,
kawasan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman.
Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman meliputi pusat permukiman
perkotaan atau kota, pusat permukiman perdesaan, kawasan perdesaan sebagai pusat produksi
pertanian, kawasan perdesaan sebagai pusat pengolahan sumber daya lainnya dan kota tani
(Agropolitan Centre).
2) Bendungan.
Sistem jaringan utilitas meliputi saluran air limbah primer dan saluran drainase primer.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang,
dermaga, penahan ombak, menara suar dan kontur laut.
Untuk daerah kota yang wilayahnya tidak berbatasan dengan laut, maka unsur garis pantai dan
unsur-unsur perairan pantainya tidak diberlakukan dalam penggambarannya.
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi:
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya meliputi kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut dan kawasan resapan air.
b. Kawasan perlindungan setempat meliputi kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan
sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air dan kawasan terbuka hijau kota
termasuk di dalamnya hutan kota.
c. Kawasan suaka alam meliputi cagar alam dan suaka margasatwa.
d. Kawasan pelestarian alam meliputi taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan
taman buru.
e. Kawasan cagar budaya.
f. Kawasan rawan bencana alam meliputi kawasan rawan letusan gunung api, kawasan rawan
gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan banjir, kawasan rawan gelombang
pasang, kawasan rawan kekeringan dan kawasan rawan petir.
g. Kawasan lindung lainnya meliputi cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan
pengungsian satwa, dan kawasan pantai berhutan bakau.
Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman yang meliputi:
1. Pusat permukiman perkotaan atau kota meliputi:
a. Pusat perbelanjaan dan niaga kota meliputi pusat perbelanjaan dan niaga kawasan.
b. Tempat pembuangan sampah akhir.
2. Pusat permukiman perdesaan meliputi pusat perbelanjaan dan niaga pedesaan.
3. Kawasan perdesaan sebagai pusat produksi pertanian.
4. Kawasan perdesaan sebagai pusat pengolahan sumber daya lainnya.
5. Kota tani (Agropolitan Centre).
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LEMBAGA PENYEDIA JASA
PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR
PENGADILAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah
satu atau para pihak yang bersengketa atau, salah satu atau para pihak yang
bersengketa menarik diri dari perundingan.
Pasal 4
Para pihak bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu
penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
BAB II
KELEMBAGAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 11
Pasal 12
(1) Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat dibuat dengan
akta notaris.
(3) etentuan lebih lanjut tentang lembaga penyedia jasa yang dibentuk
oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya.
Pasal 13
BAB III
PERSYARATAN PENUNJUKAN PIHAK KETIGA NETRAL
Bagian Pertama
Arbiter
Pasal 14
Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh
para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 15
Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau
pihak ketiga lainnya oleh para pihak harus memenuhi syarat :
a. disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
b. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
c. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap
kesepakatan para pihak;
e. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun
hasilnya.
Pasal 16
BAB IV
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
MELALUI LEMBAGA PENYEDIA JASA
Bagian Pertama
Pengelolaan Permohonan
Pasal 17
(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan
permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup
kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3).
(3) Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas)
hari sejak menerima hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib mengundang para pihak yang bersengketa.
Pasal 18
Bagian Kedua
Arbitrase
Pasal 19
Bagian Ketiga
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 20
Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator
atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1).
Pasal 21
Pasal 22
(2) Dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka :
a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri;
atau
b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan
penugasannya.
Pasal 23
(1) Para pihak yang bersengketa atau salah satu pihak dalam proses
penyelesaian sengketa setiap saat berhak menarik diri dari
perundingan.
(2) Apabila para pihak yang bersengketa akan menarik diri dari
perundingan wajib memberitahukan secara tertulis kepada mediator
atau pihak ketiga lainnya.
(3) Apabila salah satu pihak akan menarik diri dari perundingan wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya dan mediator
atau pihak ketiga lainnya.
Pasal 24
(2) Isi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat
berupa antara lain :
a. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau
b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya
atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
(5) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asliatau salinan
otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau
pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang
bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.
BAB V
PEMBIAYAAN LEMBAGA PENYEDIA JASA
Bagian Pertama
Arbitrase
Pasal 25
Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya
Pasal 26
(1) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas
kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf g atau sumber-
sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat.
(2) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya pada penyedia jasa
yang dibentuk oleh Pemerintah selain dibebankan atas kesediaan dari
salah satu pihak atau para pihak atau sumber-sumber dana lainnya
yang bersifat tidak mengikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat pula dibebankan kepada pemerintah.
Bagian Ketiga
Sekretariat
Pasal 27
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2000 TENTANG LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN
I. UMUM
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (5)
Penyebarluasan informasi daftar panggil dapat dilakukan antara lain
melalui papan pengumuman, media cetak dan media elektronik.
Pasal 10
Ayat (1)
Keanggotaan lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah
dari berbagai kalangan masyarakat dimaksudkan untuk dapat
mencerminkan kepentingan dari berbagai pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang
memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau
penengahan adalah orang-orang yang telah memiliki
pengalaman menyelesaikan sengketa lingkungan hidup atau
telah mengikuti pendidikan / pelatihan perundingan yang
diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman anggota lembaga penyedia jasa yang akan ditunjuk
dilakukan antara lain melalui papan pengumuman, media cetak dan
media elektronik.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang
memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau
penengahan adalah orang yang telah memiliki pengalaman
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup atau telah mengikuti
pendidikan / pelatihan perundingan yang diselenggarakan oleh
lembaga yang terakreditasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 16
Yang dimaksud dengan kode etik profesi adalah kode etik yang dibuat oleh
asosiasi profesi di bidang penyelesaian sengketa lingkungan hidup.
Pasal 21
Ayat (1)
Kesepekatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan
melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya dibuat dalam bentuk
tertulis.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain melakukan
penyelamatan dan/atau tindakan penanggulangan dan/atau
pemulihan lingkungan hidup.
Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah
timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Biaya penyelesaian sengketa oleh mediator atau pihak ketiga lainnya
dapat meliputi honorarium dan biaya perjalanan.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari lembaga penyedia jasa
yang dibentuk oleh Pemerintah yang merupakan pelayanan publik.
Oleh karena itu prinsipnya biaya untuk mediator atau pihak ketiga
lainnya dapat dibebankan pada Pemerintah. Tetapi karena
keterbatasan dana pemerintah saat ini, maka dimungkinkan biaya
tersebut dibebankan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa
dan/atau berasal dari sumber-sumber dana lainnya seperti digunakan
mekanisme pendanaan lingkungan dan/atau sumber-sumber lainnya
yang bersifat tidak mengikat.
Pembiayaan yang berasal dari sumber-sumber dana lainnya
harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan
kepada publik.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 150 TAHUN 2000
TENTANG
Menimbang:
a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan
faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya
harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya;
b. bahwa meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun
sumber daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk
produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnyadapat
mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta untuk
melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran
Negara Nomor 3478)
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun
1992 NOmor 115; Tambahan Lembaram Negara Nomor 3501);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on
Biologocal Diserty (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati)
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 98; Negara Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3556);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 98; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 167;Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
10. Peraturan Pemerintahan Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK
PRODUKSI BIOMASSA
BAB 1
KETENTUAN UMUM
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengendalikan kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
BAB III
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
Bagian Kedua
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Nasional
Pasal 5
(1) Kriteria baku kerusakan tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan
tanaman meliputi:
(2) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun sekali.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah
ini.
Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Daerah
Pasal 6
Bagian Keempat
Tata Cara Pengukuran Kerusakan Tanah
Pasal 7
Tatacara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah nasional dan daerah ditetapkan oleh kepala
instansi yang bertanggung jawab.
BAB IV
PENETAPAN KONDISI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH
Pasal 8
(1) Kondisi tanah untuk penetapan status kerusakan tanah ditetapkan berdasarkan hasil:
(2) Penetapan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap areal tanah
yang berpotensi mengalami kerusakan tanah.
(3) Bupati/Walikota menetapkan kondisi tanah di daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(4) Kondisi tanah untuk daerah kabupaten dipetakan dengan tingkat ketelitian minimal 1:100.000
dan untuk daerah kota 1 : 50.000.
Pasal 9
(1) Analisis sifat dasar tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan oleh
laboratorium tanah yang memenuhi syarat di daerah .
(2) Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penunjukan laboratorium tanah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh kepala Instansi yang bertanggung jawab
Pasal 10
Bupati/Walikota melakukan evaluasi untuk menetapkan status kerusakan tanah sesuai dengan
parameter yang dilampaui nilai ambang kritisnya berdasarkan hasil inventarisasi, identifikasi, analisis
dan pemetaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).
BAB V
TATA LAKSANA PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Pencegahan Kerusakan Tanah
Pasal 11
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah
produksi biomassa wajib melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah.
Bagian Kedua
Penanggulangan Kerusakan Tanah
Pasal 12
(1) Setiap penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk
produksi biomassa wajib melakukan penaggulangan kerusakan tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan kerusakan tanah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Pemulihan Kondisi Tanah
Pasal 13
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk
produksi biomassa wajib melakukan pemulihan kondisi tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh instansi tenis yang bersangkutan.
Bagian Keempat
Pengawasan
Pasal 14
(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah di daerahnya.
(2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau
yang diperkirakan dapat berdampak lintas Kabupaten dan Kota.
(3) Menteri dan/atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengawasan atas
pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau yang diperkirakan dapat
berdampak lintas propinsi.
Pasal 15
Pasal 16
Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dan Pasal 15 dilakukan:
a. secara periodik untuk mencegah kerusakan tanah;
b. secara intensif untuk menanggulangi kerusakan tanah dan memulihkan kondisi tanah.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 17
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kerusakan tanah, wajib melaporkan
kepada pejabat daerah setempat.
(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
mencatat:
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tampat kejadian;
d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan tanah;
e. dampak kerusakan tanah yang terjadi.
(3) Pejabat daerah setempat terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
laporan, wajib meneruskanya kepada Guberhur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya laporan,
wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran terjadinya kerusakan tanah.
Bagian Keenam
Hasil Pengawasan dan Laporan
Pasal 18
(1) Apabila hasil pengawasan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, membuktikan telah terjadi kerusakan tanah maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib
memerintahkan penangung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menghentikan pelanggaran
yang dilakukan dan melakukan tindakan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan
kondisi tanah.
(2) Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan
pihak ketiga untuk melaksanakan penanggulangan kerusakan tanah dan pemul;ihan kondisi
tanah atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 19
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang wajib atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk
melakukan penanggulangan dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) atau ayat
(2) wajib menyampaikan laporan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah
kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
BAB VI
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 20
BAB VII
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERANAN MASYARAKAT
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat tentang;
a. Kondisi tanah;
b. Status kerusakan tanah;
c. Rencana, pelaksanaan, dan hasil pengendalian kerusakan tanah; dan
d. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah.
(2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak,
media elektronik, atau papan pangumuman.
Pasal 22
Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi tentang;
a. Kondisi tanah;
b. Rtatus kerusakan tanah;
c. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah;
d. Rencana, pelaksanaan dan hasil pengendalian kerusakan tanah.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 23
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (3). Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 14 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja daerah dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 15,
dan Pasal 20 dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber
dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 6 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tangggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
1. Lampiran
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 150 TAHUN 2000
TANGGAL: 23 Desember 2000
5. - Porositas total < 30 %; > 70 % perhitungan berat isi (BI) piknometer; timbangan
dan berat jenis (BJ) analitik
6. - Derajat pelulusan air < 0,7 cm/jam; permeabilitas ring sampler; double ring
> 8,0 cm/jam permeameter
7. - PH (H20) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 potensiometrik pH meter; pH stick skala
0,5 satuan
METODE
No. PARAMETER AMBANG KRITIS PERALATAN
PENGUKURAN
1. Subsidensi > 35 cm/5 tahun untuk pengukuran patok subsidensi
gambut di atas pasir ketebalan gambut > 3 m langsung
kuarsa atau 10%/ 5 tahun untuk
ketebalan gambut < 3 m
2. kedalaman lapisan < 25 cm dengan pH < reaksi oksidasi cepuk plastik
berpirit dari 2,5 dan pengukuran H202; pH stick
permukaan tanah langsung skala 0,5 satuan;
meteran
3. Kedalaman air tanah > 25 cm pengukuran meteran
dangkal langsung
4. Redoks untuk tanah > - 100 mV tegangan listrik pH meter;
berpirit elektroda platina
5. Redoks untuk gambut > 200 mV tegangan listrik pH meter;
elektroda platina
6. pH ( H20) 1 : 2,5 < 4,0 ; > 7,0 potensiometrik pH meter; pH
stick skala 0,5
satuan
7. Daya Hantar Listrik / > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter
DHl
8. Jumlaj mikroba < 102 cfu/g tanah plating technicue cawan petri;
colony counter
Catatan :
o Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan
kedalaman air tanah dan nilai redoks tidak berlaku.
o Ketentuan - ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak
berlaku jika lahan belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/ hutan alam.
Ttd
ABDURRAHMAN WAHID
ATAS
TENTANG
UMUM
Tanah sebagai salah satu komponen lahan, bagian dari ruang daratan dan lingkungan hidup dalam
wilayah Kedaulatan Republik Indonesia, merupakan Karunia Tuhan yang Maha Esa kepada Bangsa
Indonesia. Tanah memiliki banyak fungsi dalam kehidupan. Di samping sebagai ruang hidup, tanah
memiliki fungsi produksi, yaitu antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat,
kayu dan bahan obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan dalam menjaga kelestarian sumber
daya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.
Karena itu, bangsa Indonesia berkewajiban untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi tanah,
dengan tujuan melestarikan dan meningkatkan kemampuan produksi dan pelestarianya. Hal ini
berarti bahwa pemanfaatan tanah harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar tanah dapat bermanfaat secara
berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan maka kegiatan pengendalian perusakan tanah
menjadi sangat penting.
Indonesia adalah negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor
pertanian. Oleh karena itu adanya kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa (pertanian,
perkebunan dan hutan tanaman) sangat diperlukan. Hutan tanaman merupakan hasil budi daya,
bukan hutan alami. Oleh karena itu istilah yang dipakai dalam Peraturan Pemerintah ini adalah hutan
tanaman. Penekanan pada produksi biomassa juga didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan
produksi biomassa sangat mutlak mempersyaratkan mutu tanah sebagai media pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan.
Pemanfaatan tanah tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang dilakukan oleh orang pada hamparan
lahan yang ditempatinya dan lingkungan hidup. Dengan demikian pemanfaatan tersebut berkaitan
dengan pemanfaatan ruang kawasan dan pengelolaan lingkungan hidup yang pokok-pokok
pengaturannya ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat terjadi karena tindakan orang, baik di areal produksi
biomassa maupun karena adanya kegiatan lain di luar areal produksi biomassa yang dapat
berdampak terhadap terjadinya kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bagi pengendalian
kerusakan tanah di luar areal produksi biomassa diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
Selain dari pada itu, kerusakan tanah dapat pula terjadi akibat proses alam. Ruang lingkup Peraturan
Pemerintah ini hanya mengatur kerusakan akibat tindakan manusia. Meskipun demikian, kerusakan
yang terjadi karena proses alam tidak berarti tidak ditanggulangi. Namun, tanggung jawab
penanggulanganya merupakan kewajiban Pemerintah.
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pengendalian kerusakan tanah dilakukan dalam rangka Konservasi sehingga sumber daya tanah
dapat didayagunakan sesuai dengan atau tidak melebihi daya dukungnya.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Penetapan Kriteria baku kerusakan tanah nasional tersebut didasarkan pada sifat-sifat dasar tanah
yang menentukan mutu dan fungsi tanah sebagi faktor produksi biomassa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah di daerah yang lebih ketat diterapkan apabila kondisi tanah
di daerah tersebut lebih rentan terhadap kerusakan dinbandingkan kondisi rata-rata nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Kegiatan inventarisasi, identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
tanah dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi terkait yang telah ada (data sekunder)
dan/atau melakukan pengamatan dan pengukuran sejumlah parameter langsung di lapangan, jika
data sekunder belum mencukupi atau diperlukan data yang lebih mutakhir dari lapngan karena
diduga telah terjadi perubahan yang mendasar. Pengamatan dilakukan untuk semua parameter sift
dasar tanah, potensi sumber kerusakan, kondisi iklim dan topografi serta penggunaan tanah.
Sifat dasar tanah mencakup sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat fisik tanah antara lain
meliputi kedalaman tanah, tekstur, pori dan kandungan air. Sifat kimia tanah antara lain meliputi pH,
kandungan garam. Sifat biologi tanah terutama berkaitan dengan jumlah jasad renik (mikroba) yang
terkandung di dalam tanah.
Kondisi iklim dan geografi yang perlu diteliti meliputi antara lain curah hujan, intensitas penyinaran
matahari, ketinggian (elevasi) dan morfologi.
Potensi sumber kerusakan tanah berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan penggunaan tanah untuk
pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, termasuk kegiatan lainya yang berada di luar areal
produksi biomassa antara lain kegiatan pertambangan, permuiman dan industri.
Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan hasil bentukan
alami (misalnya hutan, alang-alang dan semak), maupun hasil bentukan buatan sebagai cerminan
budaya (misalnya permukiman, kebun, dan taman).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (4)
Peta kondisi tanah daerah kabupaten/Kota dapat digunakan untuk menyusun peta propinsi dengan
cara menggabungkan peta kondisi tanah daerah Kabupaten/Kota. Peta kondisi tanah daerah Propinsi
digambarkan dengan skala minimal 1 : 250.000 agar bisa didintegrasikan dengan peta tematik lain
untuk merumuskan arahan kebijakan pembangunan daerah.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan evaluasi adalah membandingkan antara kondisi tanah degan kriteria baku
kerusakan tanah untuk produksi biomassa sehingga dapat diketahui rusak tidaknya tanah. Tanah
dikatakan rusak apabila salah satu parameter kriteria baku kerusakan tanah terlampaui.
Pasal 11
Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat dilakukan dengan cara antara lain :
c. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan kegiatanya dengan peruntukan lahan
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota;
d. Setiap uasaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap tanah untuk produksi biomassa wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL) untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
e. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan tidak menimbulkan dampak besar dan
penting tehadap tanah untuk produksi biomassa wajib untuk melakukan upaya pengelolaan
lingkungan (UPL) untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Yang dimaksud dengan usaha dan/atau kegiatan meliputi usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan
izin dan yang tidak memerlukan izin.
Usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan izin antara lain kegiatan yang wajib memiliki AMDAL dan
melakukan UKL dan UPL.
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin usaha pertanian untuk usaha di bidang pertanian, izin
usaha perkebunan untuk usaha di bidang perkebunan, izin usaha kehutanan untuk usaha di bidang
hutan tanaman.
Usaha dan/atau kegiatan yang tidak memerlukan izin antara lain kegiatan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten).
Pasal 12
Ayat (1)
Penanggulangan kerusakan tanah dapat dilakukan dengan cara antara lain:
f. memperbaiki pengolahan dalam proses produksi; dan/atau
g. mengurangi produksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Pemulihan kondisi tanah dilakukan dengan cara antara lain:
h. penanaman dengan tumbuhan yang cocok dengan kondisi tanah dan lingkungan sekitarnya;
i. melakukan tindakan ameliorasi dengan menggunakan bahan-bahan seperti pupuk, bahan
organik dan kapur; dan/atau
j. melakukan tindakan konservasi tanah seperti pembuatan teras atau bangunan sipil teknis
lain, penanaman tanaman penutup.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan instansi teknis yang bersangkutan adalah:
k. instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang pertanian dan perkebunan untuk kegiatan
di bidang pertanian dan perkebunan; atau
l. instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang kehutanan untuk kegiatan di bidang hutan
tanaman.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik misalnya pengawasan yang dilakukan setiap 3
(tiga) bulan sekali. Sedangkan pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering
daripada pengawasan periodik.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat antara lain Kepala desa, Lurah, Camat,
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Tindakan penghentian pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk menghentikan kerusakan dan
memulihkan kerusakan tanah yang terjadi, sehingga kerugian dapat dicegah sekecil mengkin.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang yang dinilai memiliki kemampuan untuk melakukan
penanggulangan dan pemulihan kerusakan tanah.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain melalui:
m. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
bidang konservasi tanah;
n. bimbingan teknis;
o. pendidikan dan pelatihan;
p. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi tanah untuk
mendorong partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha dalam pengendalian kerusakan
tanah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mendukung perlindungan tanah antara
lain membiarkan lahan pertanian tidak ditanami dalam kurun waktu tertentu, pergiliran tanaman,
tumpang sari dan pembuatan terrasering.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Hak atas informasi tentang kondisi tanah, status kerusakan tanah untuk produksi biomassa, rencana
pelaksanaan serta hasil pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, dan kegiatan-
kegiatan yang berpoptensi merusak tanah merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan
dalam pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang berlandaskan pada asas
keterbukaan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran dalam
pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, disamping akan membuka peluang bagi
masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi
tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengendalian
kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk
diketahui masyarakat.
Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi merupakan pendorong bagi masyarakat untuk
berperan aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.
Peran masyarakat meliputi antara lain menyampaikan saran dan pendapat tentang kebijakan
pengendalian kerusakan tanah serta berpartisipasi aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Menimbang :
1. bahwa hutan dan atau lahan merupakan sumber daya alam yang
mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun
budaya, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya, karena itu perlu dilakukan pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
12. Orang adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau
badan hukum;
13. Penanggung jawab usaha adalah orang yang bertanggung jawab atas
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi;
Pasal 2
BAB II
KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN
DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Daerah
Pasal 8
(3) Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan,
maka penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah
berdasarkan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional
yang tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
BAB III
BAKU MUTU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 9
BAB IV
TATA LAKSANA PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 11
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 20
Pasal 22
BAB V
WEWENANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN
DAN ATAU LAHAN
Bagian Pertama
Wewenang Pemerintah Pusat
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah Propinsi
Pasal 27
Pasal 28
(1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas
kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi
penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas
kabupaten/kota.
(2) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Gubernur
yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat.
Pasal 29
Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 30
Pasal 31
(1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka
Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan :
Pasal 32
Pasal 33
(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang
potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan
hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak
lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 34
(3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan
pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas
propinsi dan atau lintas batas negara.
Pasal 35
Pasal 36
Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal
tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan
persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14.
Pasal 37
Pasal 38
Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36, dan Pasal 37 menunjukkan ketidakpatuhan penanggung jawab
usaha, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung
jawab usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan
melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran
serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan atau pemulihan.
BAB VII
PELAPORAN
Pasal 39
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
Pasal 40
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (5),
Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak
ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 41
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang
ditunjuk untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 ayat (5),
dan Pasal 40, wajib menyampaikan laporannya kepada
Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 42
Pasal 43
Pasal 44
Dalam hal dampak kebakaran hutan dan atau lahan melampaui lintas
propinsi dan atau lintas batas negara, koordinasi pemberian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
Pasal 45
d. dokumen AMDAL;
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 46
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 47
a. Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 23, Pasal
24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 34 ayat (3), Pasal 36, dan Pasal 42
dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Pasal 8 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (3), Pasal 27, Pasal
28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 39 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dan
Pasal 42 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 48
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 dikenakan
sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 27
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
BAB XII
GANTI KERUGIAN
Pasal 49
(1) Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
21 ayat (1) yang menimbulkan akibat kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup, wajib untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan
tindakan tertentu.
Pasal 50
Pasal 51
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan
beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan
beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara
langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah
satu alasan di bawah ini:
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 52
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal
17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46,
dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
Pasal 54
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan
dan atau lahan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2001
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
ttd
DJOHAN EFFENDI
I.UMUM
Pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan, mutu kehidupan dan penghidupan seluruh rakyat Indonesia.
Proses pelaksanan pembangunan itu sendiri disatu pihak menghadapi
masalah karena jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan
yang cukup tinggi dan persebarannya tidak merata. Di lain pihak
ketersediaan sumber daya alam juga terbatas. Jumlah penduduk yang besar
dengan pertumbuhan yang cukup tinggi akan meningkatkan pemanfaatan
terhadap sumber daya alam, sehingga pada akhimya akan menimbulkan
tekanan terhadap sumber daya alam un sendiri. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan
mutu kehidupan rakyat harus disertai dengan upaya-upaya pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara tegas
dikemukakan dalam Tap MPR No.lV/MPR/1999 tentang Garis -garis Besar
Haluan Negara, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup harus disertai dengan tindakan konservasi, rehabilitasi, dan
penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memperkecil dampak yang akan
merugikan lingkungan lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan itu
sendiri.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan devisa, maka
Pemerintah melakukan pembangunan diberbagai sektor. Sektor
pembanguan tersebut antara lain di bidang kehutanan, perkebunan,
pertanian, transmigrasi , dan pertambangan serta pariwisata. Kegiatan ini
dilakukan dengan membuka kawasan-kawasan hutan menjadi kawasan
budidaya yang dalam proses pelaksanaan kegiatannya rawan terjadinya
kebakaran hutan dan atau hutan.
Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah
terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, seperti
terjadinya kerusakan flora dan atau fauna , tanah , dan hutan. Sedangkan
pencemaran dapat terjadi terhadap air dan udara. Pengendalian terhada
terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti dalam Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Pengertian hutan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan batasan
pengertian sebagaimana tercantum dalam Undang— undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Sedangkan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem
daratan yang peruntukannya untuk usaha di bidang kehutanan,pertanian,
transmigrasi, pertambangan, pariwisata, dan ladang dan kebun bagi
masyarakat. Lahan tersebut mempunyai ciri— cirinya merangkum semua
tanda pengenal biosfer,atmosfer, tanah, geologi, timbunan (relief), hidrologi,
populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan
masa kini yang bersifat mantap atau mendaur.
Kebakaran hutan dan ataa lahan di Indonesia, terjadi setiap tahun walaupun
frekuensi, intensitas, dan luas arealnya berbeda. Kebakaran paling besar
terjadi pada tahun 1997/1998 di 25 (dua puluh lima) propinsi, yang untuk
pertama kali dinyatakan sebagai bencana nasional. Dampak dengan
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi setiap tahun
tersebut telah menimbulkan kerugian, baik kerugian ekologi, ekonomi, sosial,
maupun budaya yang sulit dihitung besamnnya. Dampak asap menimbulkan
gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pemafasan akut (ISPA), asma
bronkial, bronkitis, pneumonia (radang paru), iritasi mata dan kulit. Hal ini
akibat tingginya kadar debu di udara yang telah melampaui ambang batas.
Dampak asap dan kebakaran hutan dan atau lahantelah mengganggu jarak
pandang sehingga mempengaruhi jadual penerbangan. Akibatnya di
beberapa kota jarak pandang kurang dari satu kilometer, yang
mengakibatkan penutupan beberapa bandar udara. Selain daripada itu
dampak asap mengganggu aktivitas penduduk. Bahkan, asap dan kebakaran
tersebut juga mempengaruhi negara tetangga di Asia Tenggara yakni
Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan
berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.
Dalam perist.wa kebakaran hutan dan atau lahan, terdapat beberapa faktor
yang menjadi penyebabnya. Faktor tersebut adalah penyiapan lahan yang
tidak terkendali dengan cara membakar, termasuk juga karena kebiasaan
masyarakat dalam membuka lahan, kehakaran yang tidak disengaja,
kebakanan yang disengaja (arson), dan kebakaran karena sebab alamiah.
Kebakaran karena sebab alamiah ini terjadi di daerah yang mengandung
batu bara atau bahan lain yang mudah terbakar. Meskipun beberapa faktor
tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran,
tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah
karena tindakan manusia.
Terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sangat sulit untuk ditanggulangi,
baik untuk pemadaman kebakaran maupun pemulihan dampak dari
kebakaran. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasana,
kemampuan sumber daya manusia, dana, dan letak lokasi yang sulit untuk
dapat segera dijangkau serta memerlukan waktu yang cukup lama. Padahal,
pemadaman kebakaran memerlukan kecepatan dan keberhasilan untuk
mengatasinya. Untuk itu, maka tindakan pencegahan terjadinya kebakaran
menjadi sangat penting dilakukan, antara lain dengan memperketat
persyaratan dalam pemberian ijin.
Bagi kegiatan yang tidak memerlukan iziin seperti kegiatan perorangan atau
kelompok orang yang k kebinsaan nya membuka lahan untuk ladang dan
kebun, maka untuk mencegah terjadinya kebakaran diperlukan pembinaan,
bimbingan, dan penyuluhan serta kebijakan khusus dari masing-masing
propinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian, maka dalam melakukan
tindakan atau kegiatanya tidak dilakukan dengan cara membakar yang dapat
menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan.
Mengingat dampak akibat kebakaran hutan dan atau lahan sangat besar,
maka setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan dilarang dengan
cara mebakar. Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 50 huruf d, secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang
dilarang membakar hutan. Larangan tersebut tidak berlaku bagi pembakaran
hutan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan
penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan
pembakaran tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Untuk dapat memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terkait
terhadap penanganan kebakaran hutan dan atau lahan, khususnya dalam
pelaksanaan otonomi daerah diperlukan suatu kebijakan nasional, yaitu
Preraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan Kebakaran hutan dan
atau Lahan.
Peraturan Pemerintah ini diperlukan selain karena alasan yang telah
diuraikan di atas juga sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 1 4 ayat (2) dan
ayat (3) Undang— undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Linkungan Hidup.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 8
Ayat (1) sampai ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kriteria baku lingkungan hidup daerah dapat ditetapkan lebih ketat daripada
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional apabila kondisi daerah
tersebut memerlukannya dan bertujuan untuk memberikan perlindungan
yang lebih baik terhadap lingkungan hidup daerah.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ketentuan tentanq, baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional untuk
berbagai sumber daya alam telah di tetapkan dalam berbagai peraturan,
antara lain baku mutu udara.
Pasal 11
Kegiatan yang menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara
lain kegiatan penyiapan latihan untuk usaha di bidang kehutanan,
perkebunan, pertanian , transmigrasi, pertambangan,pariwisata yang
dilakukan dengan cara membakar. Oleh karena itu dalam melakukan usaha
tersebut di larang dilakukan dengan cara pembakaran, kecuali untuk tujuan
khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian
kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat
tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut
harus mendapat izin dan pejabat yang berwenang.
Selanjutnya kebiasan masyarakat adat atau tradisional yang membuka
lahan untuk ladang dan atau kebun dapat menimbulkan terjadinya
kebakanan hutan dn atlaun lahan. Untuk menghindarkan terjadinya
kebakaran di luar lokasi lahannya perlu dilakukan upaya pencegahan melalui
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah masing— masing seperti
melalui peningkatan kesadaran masyarakat adat atau tradisional .
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Yang dimaksud dengan penanggung jawab usaha yang usahanya dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan,antara lain usaha di bidang kehutanan perkebunan, dan
pertambangan.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Sistem deteksi dini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan, contohnya menara pemantau.
Huruf b sampai huruf d
Cukupjelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan
dan atau lahan secara berkala antara lain adalah setiap 6 (enam)
bulan sekali.
Pasal 15
Laporan hasil pemantauan secara berkala dilengkapi antara lain dengan data
pemantauan dan data penginderaanjauh dari satelit.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan
usaha adalah pejabat dan instansi yang bertanggung jawab di bidang yang di
mintakan permohonan izin usahanya. Contohnya pejabat yang bertanggung
jawab di bidang kehutanan dan pejabat yang bertanggung jawab di bidang
pertanian
Huruf a
Yang dimaksud dengan kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan
atau lahan adalah strategi pengelolaan hutan dan atau lahan serta strategi
pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pendapat masyarakat termasuk di antaranya adalah pendapat pemerhati
lingkungan dan organisasi lingkungan hidup.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Pertimbangan dan rekomendasi dan pejabat yang
berwenang adalah antara lain rekomendasi dari Kepala Bapedal tentang
kelayakan lingkungan hidup yang kewenangan penilaian komisi AMDAL nya
dipusat, sedangkan di daerah adalah pertimbangan dan rekomendasi
kelayakan lingkungan hidup dan Gubemur yang kewenangan penilaian komisi
AMDAL-nya ada di daerah.
Pasal 17
Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau
tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali
kebakaran lahan tersebut terjadi sampai di luar areal ladang dan kebunnya
Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan
ladang dan kebun.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segera melakukan penanggulangan adalah tindakan
seketika untuk melakukan penanggulangan sejak diketahuinya terjadi
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.
Ayat(2)
Yang dimaksud dengan Menteri lain yang terkait adalah antara lain Menteri
Pertanian dalam hal kegiatan perkebunan, Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral dalam hal kegiatan yang berkait dengan pertambangan.
Ayat (3)
Penetapan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan dengan peraturan daerah dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan
kondisi alamiah tentang hutan dan atau lahan daerah yang bersangkutan.
Misalnya penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi yang
mengandung batu bara atau gambut berbeda penanggulangannya dengan
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi lainnya.
Pasal 19
yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah
peraturan perundang— undangan yang selama ini telah ada seperti di bidang
kehutanan.
Pasal 29
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang tersebut dapat dilakukan bagi
propinsi yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau lahan,
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindakan penanggulangan kebakaran adalah
antara lain mobilisasi sarana dan prasarana, sumber daya manusia
untuk mencegah meluasnya kebakaran. Pelaksanaan penanggulangan
kebakaran tersebut dilakukan secara bejenjang dari tingkat desa/kelu
rahan, kecamatan, dani kabupaten / kota.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan masyarakat adalah
antara lain pemeriksaan gangguan pernafasan dan iritasi mata.
lluruf C
Pengukuran dampak dilakukan antara lain dengan menggunakan
indeks standar pencemar udara dan jarak pandang. Apabila hasil
pemantauan menunjukkan indeks standar pencemaran udara (ISPU)
mencapai nilai 300 atau lebih, berarti udara dalam kategori berbahaya
bagi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Pengumumnan mengenai langkah— langkah
yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain mengumumkan
kepada masyarakat agar mengurangi aktivitasnya, dan menggunakan
masker untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang secara khusus tersebut dapat
dilakukan di kabupateu/kota yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau
lahan,
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah antara lain pengecekan lapangan
untuk mengetahui tentang kebenaran informasi yang disampaikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota terhadap penanganan kasus kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik antara lain pengawasan
yang dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Pengawasan intensif dilakukan
dengan frekuensi yang lebih sering daripada pengawasan periodik, terutama
terhadap penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha adalah
antara lain tidak menyiapkan peralatan pemadaman,dan atau standar
operasi prosedur penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi
usahanya.
Pasal 39
Ayat(1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat adalah antara lain Kepala
Desa/Lurah, Camat, dan Polisi. Sedangkan informasi yang diperoleh dan
media elektronik, media cetak, dan surat, dilaporkan kepada Kepala lnstansi
yang bertanggung jawab.
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat, penanggung jawab usaha, dan aparatur
dilakukan melalui antara lain :
a. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang— undangan
yang berkaitan dengan bidang konservasi hutan dan atau lahan;
b. pemberian bimbingan teknis;
c. pendidikan dan pelatihan;
d. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang
konservasi hutan dan atau lahan untuk mendorong partisipasi aktif
masyarakat dan penanggung jawab usaha dalam pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup.
Upaya untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan aparatur dalam
pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan dimaksud agar, antara lain,
dapat ikut serta dalam kegiatan fisik di lapangan, sedangkan keterlibatan
tidak langsung dapat berupa bantuan pendanaan dalam pengendalian
kebakaran hutan dan atau lahan.
Yang dimaksud dengan pimpinan instansi teknis dalam pasal izin adalah
antara lain Departemen Kehutanan untuk usaha kehutanan dan Departemen
Pertanian untuk usaha perkebunan.
Ayat (2)
Kearifan tradisional adalah antara lain tradisi Karuhan pada masyarakat
Kampung Naga, Jawa Darat, dan tradisi 1hutan larangan pada masyarakat
Siberut, Sumatera.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan hasil pengukuran dampak adalah antara
lain lndeks Standar Pencemar Udara (ISPU), PM10, jarak
pandang, dan baku mutu udara ambien.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan dampak terhadap kehidupan
masyarakat adalah antara lain dampak terhadap kesehatan dan
aktivitas masyarakat masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan langkah-langkah untuk mengurangi
dampak adalah antara lain mengurangi aktivitas masyarakat
dan menggunakan maskerr untuk menghindari dari kerugian
yang lebih besar bagi masyarakat
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat(1)
Hak atas informasi tentang terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan
merupakan konsekuen logis dan hak berperan dalam pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan.Hak atas informasi tersebut akan
meningkatkan nilai dan efektifitas peran masyakat dalam pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup di samping akan
membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data,
dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL), keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
menurut sifat dan tujuan memang terbuka untuk diketahui masyarakat.
Ayat (2)
Dalam hal informasi belum tersedia pada Gubenur/Bupati/WaLikota, maka
masyarakat yang berkepentingan dapat meminta informasi tersebut kepada
Kepala Instansi yang bertangungjawab.
Penyediaan informasi kepada masyarakat mengenai dampak kebakaran
hutan dan atau lahan lintas propinsi dan lintas batas negara dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, misalnya informasi dampak kebakaran hutan dan atau
lahan terhadap keselamatan penerbangan diberikan oleh instansi yang
bertanuggung jawab di bidang perhubungan. Koordinasi penyediaan
informasi dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggurg jawab.
Pasal 46
Peran yang dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan,
baik dengan cara mengajukan keberatan maupun dengan pendapat atau
dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-updangan.
Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis
mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijakan pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyakakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.
Pasal 47. . .
Yang dimaksud dengan sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan
atau dana bantuan dari rganisasi/asosiasi tertentu.
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah antara lain melakukan
penyelamatan dan atau tindakan penanggulangan dan atau pemulihan
lingkungan hidup. Tidakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah
timbulnya kejadian yang sama di kemudian hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukupjelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pengertian bertanggungjawab secara mutlak atau strict liabilily, yakni unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis
dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Bsamya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau
perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas
tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan
peraturanperundang— undangan yang berlaku, ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan atau telah
tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat(2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan
perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.
Pasal 52 sampai pasal 55
Cukup jelas
LAMPIRAN I
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No : 04 Tahun 2001
Tanggal : 15 Februari 2001
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
ttd
LAmbock V. Nahattands
______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di berbagai bidang
terutama bidang industri dan perdagangan, terdapat kecenderungan semakin
meningkat pula penggunaan bahan berbahaya dan beracun;
b. bahwa sampai saat ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang
mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, akan tetapi masih belum
cukup memadai terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan hidup;
c. bahwa untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan
hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan
bahan berbahaya dan beracun secara terpadu sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2918);
3. Undang- undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3480);
4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3493);
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3495);
6. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3612);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3699);
8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 12);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910) ;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan
yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan
atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta makhluk hidup lainnya;
2. Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3;
3. Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3 yang ada di
wilayah Republik Indonesia;
4. Penyimpanan B3 adalah teknik kegiatan penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan
kuantitas B3 dan atau mencegah dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup,
kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya;
5. Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi atau memasukkan B3 ke dalam
suatu wadah dan atau kemasan, menutup dan atau menyegelnya;
6. Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan klasifikasi B3;
7. Label adalah uraian singkat yang menunjukkan antara lain klasifikasi dan jenis B3;
8. Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke tempat lain
dengan menggunakan sarana angkutan;
9. B3 terbatas dipergunakan adalah B3 yang dibatasi penggunaan, impor dan atau
produksinya;
10. B3 yang dilarang dipergunakan adalah jenis B3 yang dilarang digunakan, diproduksi,
diedarkan dan atau diimpor;
11. Impor B3 adalah kegiatan memasukkan B3 ke dalam daerah kepabeanan Indonesia;
12. Ekspor B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3 dari daerah kepabeanan Indonesia;
13. Notifikasi untuk ekspor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara
pengekspor ke otoritas negara penerima dan negara transit apabila akan dilaksanakan
perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dipergunakan;
14. Notifikasi untuk impor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara
pengekspor apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas untuk B3 yang terbatas
dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor;
15. Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
16. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
17. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang dalam memberikan izin,
pengawasan dan hal lain yang sesuai dengan bidangnya masing-masing;
18. Komisi B3 adalah badan independen yang berfungsi memberikan saran dan atau
pertimbangan kepada Pemerintah dalam pengelolaan B3 di Indonesia;
19. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
20. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
21. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
Pengaturan pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3
terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Pasal 3
Pengelolaan B3 yang tidak termasuk dalam lingkup Peraturan Pemerintah ini adalah pengelolaan
bahan radioaktif, bahan peledak, hasil produksi tambang serta minyak dan gas bumi dan hasil
olahannya, makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya, perbekalan
kesehatan rumah tangga dan kosmetika, bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika, dan
prekursornya serta zat adiktif lainnya, senjata kimia dan senjata biologi.
Pasal 4
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mencegah terjadinya pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup.
BAB II
KLASIFIKASI B3
Pasal 5
(1) B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. mudah meledak (explosive);
b. pengoksidasi (oxidizing);
c. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable);
d. sangat mudah menyala (highly flammable);
e. mudah menyala (flammable);
f. amat sangat beracun (extremely toxic);
g. sangat beracun (highly toxic);
h. beracun (moderately toxic);
i. berbahaya (harmful);
j. korosif (corrosive);
k. bersifat iritasi (irritant);
l. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);
m. karsinogenik (carcinogenic);
n. teratogenik (teratogenic);
o. mutagenik (mutagenic).
(3) B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah
ini.
BAB III
TATA LAKSANA DAN PENGELOLAAN B3
Pasal 6
(1) Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan atau pengimpor.
(2) Kewajiban registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku 1 (satu) kali untuk B3
yang dihasilkan dan atau diimpor untuk yang pertama kali.
(3) Registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
a. termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang bertanggung
jawab.
(4) Instansi yang berwenang yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf a menyampaikan tembusannya kepada instansi yang bertanggung
jawab.
(5) Instansi yang bertanggung jawab yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf b menyampaikan tembusannya kepada instansi yang
berwenang.
(6) Tata cara registrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan sistem registrasi nasional B3
ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 7
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib
menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi
yang bertanggung jawab.
(2) Ekspor B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah adanya
persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang
bertanggung jawab.
(3) Persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan dasar untuk penerbitan atau penolakan izin ekspor dari instansi yang berwenang
di bidang perdagangan.
Pasal 8
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang
pertama kali diimpor, wajib mengikuti prosedur notifikasi.
(2) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disampaikan oleh otoritas negara
pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan jawaban atas notifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal diterimanya permohonan notifikasi.
Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang baru yang tidak termasuk dalam daftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), wajib mengikuti prosedur notifikasi.
(2) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh otoritas negara
pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) segera
memberitahukan kepada Komisi B3 untuk meminta saran dan atau pertimbangan Komisi B3.
(4) Komisi B3 memberikan saran dan atau pertimbangan kepada instansi yang bertanggung
jawab mengenai B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(5) Berdasarkan saran dan atau pertimbangan yang diberikan oleh Komisi B3 kepada instansi
yang bertanggung jawab, maka instansi yang bertanggung jawab:
a. mengajukan perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini; dan
b. memberikan persetujuan kepada instansi yang berwenang di bidang perdagangan
sebagai dasar untuk penerbitan atau penolakan izin impor.
Pasal 10
Tata cara notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 11
Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar Data Keselamatan Bahan (Material
Safety Data Sheet).
Pasal 12
Setiap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 wajib menyertakan
Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.
Pasal 13
(1) Pengangkutan B3 wajib menggunakan sarana pengangkutan yang laik operasi serta
pelaksanaannya sesuai dengan tata cara pengangkutan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Persyaratan sarana pengangkutan dan tata cara pengangkutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang transportasi.
Pasal 14
Setiap B3 yang dihasilkan, diangkut, diedarkan, disimpan wajib dikemas sesuai dengan
klasifikasinya.
Pasal 15
(1) Setiap kemasan B3 wajib diberikan simbol dan label serta dilengkapi dengan Lembar Data
Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).
(2) Tata cara pengemasan, pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 16
(1) Dalam hal kemasan B3 mengalami kerusakan untuk :
a. B3 yang masih dapat dikemas ulang, pengemasannya wajib dilakukan oleh pengedar;
b. B3 yang tidak dapat dikemas ulang dan dapat menimbulkan pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan dan atau keselamatan manusia, maka pengedar wajib melakukan
penanggulangannya.
(1) B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Dalam hal Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) belum tersedia, maka tata cara penanganan B3 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengacu kepada kaidah ilmiah yang berlaku.
Pasal 17
(1) Dalam hal simbol dan label mengalami kerusakan wajib diberikan simbol dan label yang
baru.
(2) Tanggung jawab pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kerusakan pada tahap:
a. produksi, tanggung jawabnya ada pada produsen/penghasil;
b. pengangkutan, tanggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan
pengangkutan;
c. penyimpanan, tangggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan penyimpanan.
(3) Tata cara pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 18
(1) Setiap tempat penyimpanan B3 wajib diberikan simbol dan label.
(2) Tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan untuk :
a. lokasi;
b. konstruksi bangunan.
(3) Kriteria persyaratan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 19
Pengelolaan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib
dilengkapi dengan sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3.
Pasal 20
B3 yang kadaluarsa dan atau tidak memenuhi spesifikasi dan atau bekas kemasan, wajib dikelola
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun.
BAB IV
KOMISI B3
Pasal 21
(1) Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempunyai tugas untuk
memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah
(2) Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat terdiri dari beberapa Sub Komisi B3.
(3) Susunan keanggotaan Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil
instansi yang berwenang, wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait,
wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.
(4) Susunan keanggotaan, tugas, fungsi, dan tata kerja Komisi B3 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB V
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menjaga keselamatan dan
kesehatan kerja.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab
kegiatan pengelolaan B3 wajib mengikutsertakan peranan tenaga kerjanya
(4) Peranan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 23
(1) Untuk menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dan pengawas B3 wajib dilakukan
uji kesehatan secara berkala.
(2) Uji kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh masing-
masing instansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
PENANGGULANGAN KECELAKAAN DAN
KEADAAN DARURAT
Pasal 24
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menanggulangi terjadinya
kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3.
Pasal 25
Dalam hal terjadi kecelakaan dan atau keadaan darurat yang diakibatkan B3, maka setiap orang
yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib
mengambil langkah-langkah :
a. mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan;
b. menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur tetap penanggulangan kecelakaan;
c. melaporkan kecelakaan dan atau keadaan darurat kepada aparat Pemerintah
Kabupaten/Kota setempat; dan
d. memberikan informasi, bantuan, dan melakukan evakuasi terhadap masyarakat di sekitar
lokasi kejadian.
Pasal 26
Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, setelah menerima laporan tentang terjadinya
kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c,
wajib segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan.
Pasal 27
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, tidak menghilangkan kewajiban setiap orang
yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 untuk :
a. mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat; dan atau
b. memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar;
yang diakibatkan oleh B3.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 28
(1) Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-
masing.
(2) Dalam hal tertentu, wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diserahkan menjadi urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
(3) Penyerahan wewenang pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh
instansi yang bertanggung jawab dan atau instansi yang berwenang di bidang tugasnya
masing-masing.
Pasal 29
Pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang
dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan
bidang tugasnya masing-masing.
Pasal 30
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib:
a. mengizinkan pengawas untuk memasuki lokasi kerja dan membantu terlaksananya tugas
pengawasan;
b. mengizinkan pengawas untuk mengambil contoh B3;
c. memberikan keterangan dengan benar baik lisan maupun tertulis;
d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pemotretan di lokasi kerja dan atau mengambil
gambar.
Pasal 31
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menyampaikan laporan tertulis
tentang pengelolaan B3 secara berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada
instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bidang tugas masing-masing
dengan tembusan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota.
BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT
Pasal 32
Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan Pimpinan instansi yang
berwenang, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak yang akan
timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akibat adanya
kegiatan pengelolaan B3.
Pasal 33
Setiap orang yang melakukan pengelolaan B3 wajib meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap potensi dampak B3 yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia,
dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.
Pasal 34
Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dapat
dilakukan dengan penyebarluasan pemahaman tentang B3.
BAB IX
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERAN MASYARAKAT
Pasal 35
(1) Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian
dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disediakan oleh penanggung
jawab kegiatan pengelolaan B3.
(3) Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disampaikan melalui
media cetak, media elektronik dan atau papan pengumuman.
Pasal 36
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB X
PEMBIAYAAN
Pasal 37
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 6 ayat (6), Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 16 ayat (2), Pasal
17 ayat (3) ,Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (4), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. Pasal 26, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 32 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 38
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat
(1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1),
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan
Pasal 35 dikenakan sanksi administrasi.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan berat
dan ringannya jenis pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
BAB XII
GANTI KERUGIAN
Pasal 39
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan
berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban
membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan
dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup
disebabkan salah satu alasan di bawah ini :
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 40
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13
ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 24 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Apabila pada saat diundangkan Peraturan Pemerintah ini :
a. masih terdapat B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia, maka B3 tersebut dapat
diekspor ke negara yang memerlukannya sesuai dengan mekanisme ekspor yang
berlaku;
b. terdapat B3 yang telah beredar tetapi belum diregistrasikan maka wajib diregistrasikan
oleh penyimpan, pengedar dan atau pengguna menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
Pasal 42
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan B3 yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
TENTANG
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
BAB II
PENGELOLAAN KUALITAS AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Bagian Ketiga
Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air
Pasal 8
(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 9
Bagian Keempat
Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air,dan
Status Mutu Air
Pasal 10
Pasal 11
(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat
dan atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi
dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang
pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah.
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan
saran masukan dari instansi terkait.
Pasal 12
a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas
yang ditetapkan sebagamiana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1); dan atau
b. Tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu
air sebagaimana dimaksud dalamPasal 8 ayat (2).
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.
(3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan
parameter baku mutu air sebagaimana dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 13
Pasal 14
(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar; maka
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten /
Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan
upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air
dengan menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka
pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten /
Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing
mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas air.
Pasal 16
Pasal 17
Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air
Iimbah dari dua atau lebih laboratoriummaka dilakukan verifikasi
ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh Menteri dengan menggunakan laboratorium rujukan nasional.
BAB III
Pasal 18
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Bagian Kedua
Retribusi Pembuangan Air Limbah
Pasal 24
Bagian Ketiga
Penangulangan Darurat
Pasal 25
Pasal 26
Pasal 27
a. tanggal pelaporan;
b. waktu dan tempat;
c. peristiwa yang terjadi;
d. sumber penyebab;
e. perkiraan dampak.
Pasal 28
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak
Pasal 30
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang
baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas
air serta pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam
rangka pengelolaan , kualitas air dan pengendalian pencemaran
air sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota
wajib memberikan lnformasi kepadamasyarakat mengenai
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 34
BAB VI
Bagian Pertama
Pasal 35
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air
Iimbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin
tertulis dari Bupat / Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan
Upaya Pemantauan Lingkungan .
(3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh
Bupati / Walikota dengan memperhatian pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 36
Bagian kedua
Pembuangan Air Limbah
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
(1) Setiap usaha dan kegiatan yang akan membuang air limbah ke
air atau sumber air wajib mendapatkan izin tertulis dari Bupati
/ Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan
Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pasal 41
Pasal 42
BAB VII
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 43
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 44
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
BAB VIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administrasi
Pasal 48
Pasal 49
Pasal 50
Bagian Ketiga
Sanksi Pidana
Pasal 51
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 42, yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal
45, pasal 46, pasal 47 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Baku mutu air limbah untuk jenis usah dan atau kegiatan tertentu
yang telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan PeraturanPemerintah ini.
Pasal 53
(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah
untuk aplikasi pada tanah, maka dalam jangka waktu satu
tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib
memiliki izin pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati /
Walikota.
(2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi belum
memiliki izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air,
maka dalam waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan
Pemerintah ini wajib memperoleh izin pembuangan air limbah
ke air atau sumber air Bupati / Walikota.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Pasal 55
Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 dan pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan,
berlaku kreteria mutu air untuk kelas II sebagaimana tercantum
dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini sebagai baku mutu air.
Pasal 56
Pasal 57
(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan
baku mutu air limbahnya, maka baku mutu air limbah yang
berlaku di daerah tersebut dapat ditetepkan setelah mendapat
rekomendasi dari Menteri.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetepkan dengan Peraturan Daerah
Propinsi.
Pasal 58
Pasal 59
Pasal 60
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 82 TAHUN 2001
TANGGAL 14 DESEMBER 2001
TENTANG
KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
FISIKA
Deviasi temperatur
o deviasi deviasi deviasi
Tempelatur C deviasi 5 dari keadaan
3 3 3
almiahnya
Residu Terlarut mg/ L 1000 1000 1000 2000
Bagi pengolahan air
minum secara
Residu Tersuspensi mg/L 50 50 400 400 konvesional, residu
tersuspensi ≤ 5000
mg/ L
KIMIA ANORGANIK
Apabila secara
alamiah di luar
rentang tersebut,
pH 6-9 6-9 6-9 5-9
maka ditentukan
berdasarkan kondisi
alamiah
BOD mg/L 2 3 6 12
COD mg/L 10 25 50 100
DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum
Total Fosfat sbg P mg/L 0,2 0,2 1 5
NO 3 sebagai N mg/L 10 10 20 20
Bagi perikanan,
kandungan amonia
NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-) bebas untuk ikan
yang peka ≤ 0,02
mg/L sebagai NH3
Arsen mg/L 0,05 1 1 1
Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium mg/L 1 (-) (-) (-)
Boron mg/L 1 1 1 1
Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01
Bagi pengolahan air
minum secara
Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2
konvensional, Cu ≤ 1
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-)
konvensional, Fe ≤ 5
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1
konvensional, Pb ≤
0,1 mg/L
Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-)
Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005
Bagi pengolahan air
minum secara
Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2
konvensional, Zn ≤ 5
mg/L
Khlorida mg/l 600 (-) (-) (-)
Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-)
Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-)
Bagi pengolahan air
minum secara
Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-)
konvensional, NO2_N
≤ 1 mg/L
Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)
Bagi ABAM tidak
Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-)
dipersyaratkan
Bagi pengolahan air
minum secara
Belereng sebagai
mg/L 0,002 0,002 0,002 (-) konvensional, S
H2S
sebagai H2S <0,1
mg/L
MIKROBIOLOGI
Fecal coliform jml/100 ml 100 1000 2000 2000 Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, fecal
coliform ≤ 2000 jml /
-Total coliform jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 100 ml dan total
coliform ≤ 10000
jml/100 ml
-RADIOAKTIVITAS
- Gross-A Bq /L 0,1 0,1 0,1 0,1
- Gross-B Bq /L 1 1 1 1
KIMIA ORGANIK
Minyak dan Lemak ug /L 1000 1000 1000 (-)
Detergen sebagai MBAS ug /L 200 200 200 (-)
Senyawa Fenol ug /L 1 1 1 (-)
sebagai Fenol
BHC ug /L 210 210 210 (-)
Aldrin / Dieldrin ug /L 17 (-) (-) (-)
Chlordane ug /L 3 (-) (-) (-)
DDT ug /L 2 2 2 2
Heptachlor dan ug /L 18 (-) (-) (-)
heptachlor epoxide
Lindane ug /L 56 (-) (-) (-)
Methoxyclor ug /L 35 (-) (-) (-)
Endrin ug /L 1 4 4 (-)
Toxaphan ug /L 5 (-) (-) (-)
Keterangan :
mg= miligram
ug = mikrogram
ml = militer
L = liter
Bq= Bequerel
MBAS = Methylene Blue Active Substance
ABAM = Air Baku untuk Air Minum
Logam berat merupakan logam terlarut
Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO.
Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih
dari nilai yang tercantum.
Nilai DO merupakan batas minimum.
Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termasuk,
parameter tersebut tidak dipersyaratkan
Tanda ≤ adalah lebih kecil atau sama dengan
Tanda < adalah lebih kecil
ttd.
UMUM.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Mengingat sifat air yang dinamis dan pada
umumnya berada dan atau mengalir
melintasi batas wilayah administrasi
pemerintahan, maka pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air tidak
hanya dapat dilakukan sendiri-sendiri
(partial) oleh satu pemerintah daerah.
Dengan demikian harus dilakukan secara
terpadu antar wilayah administrasi dan
didasarkan pada karakter ekosistemnya
sehingga dapat tercapai pengelolaan yang
efisien dan efektif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk
memelihara kualitas air untuk tujuan
melestarikan fungsi air, dengan
melestarikan (conservation) atau
mengendalikan (control). Pelestarian
kualitas air dimaksudkan untuk memelihara
kondisi kualitas air sebagaimana kondisi
alamiahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kondisi alamiah air pada sumber air dalam
hutan lindung, mata air dan akuifer air
tanah dalam secara umum kualitasnya
sangat baik. Air pada sumber-sumber air
tersebut juga akan sulit dipulihkan
kualitasnya apabila tercemar, dan perlu
waktu bertahun-tahun untuk pemulihannya.
Oleh karena itu harus dipelihara kualitasnya
sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air
kualitas airnya perlu dilestarikan
sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata
air di dalam maupun di luar hutan lindung.
Air di bawah permukaan tanah berada di
wadah atau tempat yang disebut akuifer.
Ayat (4)
Upaya pengendalian pencemaran air antara
lain dilakukan dengan membatasi beban
pencemaran yang ditenggang masuknya ke
dalam air sebatas tidak akan menyebabkan
air menjadi cemar (sebatas masih
memenuhi baku mutu air).
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Rencana pendayagunaan air meliputi
penggunaan untuk pemanfaatan sekarang
dan masa yang akan datang. Rencana
pendayagunaan air diperlukan dalam
rangka menetapkan baku mutu air dan
mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui
arah program pengelolaan kualitas air.
Ayat (2)
Air pada lingkungan masyarakat setempat
dapat mempunyai fungsi dan nilai yang
tinggi dari aspek sosial budaya. Misalnya air
untuk keperluan ritual dan kultural.
Ayat (3)
Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air
yang digunakan sekarang ini (existing uses)
dan potensi air sebagai cadangan untuk
pemanfaatan di masa mendatang (future
uses).
Pasal 8
Ayat (1)
Pembagian kelas ini didasarkan pada
peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu
air, dan kemungkinan kegunaannya.
Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan
tingkatan yang terbaik. Secara relatif,
tingkatan mutu air Kelas Satu lebih baik
dari Kelas Dua, dan selanjutnya.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk
mengetahui informasi mengenai keadaan mutu air
saat ini (existing quality), rencana
pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas
yang diinginkan, dan tingkat mutu air yang akan
dicapai (objective quality).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi
pedoman untuk menentukan keadaan mutu air,
penyusunan rencana penggunaan air, dan
penentuan tingkat mutu air yang ingin dicapai.
Pedoman pengkajian mencakup antara lain
ketatalaksanaan pada sumber air yang bersifat
lintas daerah (Kabupaten/Kota dan Propinsi).
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pengetatan dan atau penambahan parameter
tersebut didasarkan pada kondisi spesifik, antara
lain atas pertimbangan karena di daerah tersebut
terdapat biota dan atau spesies sensitif yang
perlu dilindungi.
Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah
yang tingkat kualitas airnya lebih baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Mekanisme dan prosedur pemantauan
kualitas air meliputi, antara lain , rencana
pemantauan, pengharmonisasian operasi
pemantauan kualitas air, pelaporan dan
pengelolaan data hasil pemantauan.
Pasal 14
Ayat (1)
Status mutu air merupakan informasi
mengenai tingkatan mutu air pada sumber
air dalam waktu tertentu.
Ayat (2)
Kondisi cemar dapat dibagi menjadi
beberapa tingkatan, seperti tingkatan cemar
berat, cemar sedang, dan cemar ringan.
Demikian pula kondisi baik dapat dibagi
menjadi sangat baik dan cukup baik.
Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara
lain dengan menggunakan suatu indeks.
Pasal 15
Ayat (1)
Penanggulangan pencemaran air dan
pemulihan kualitas air yang dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi,
Pemerintahh Kabupaten/Kota, meliputi pula
program kerja pengendalian pencemaran air
dan pemulihan kualitas air secara
berkesinambungan.
Pasal 16
Ayat (1)
Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang
berwenang melaksanakan akreditasi
laboratorium di bidang pengelolaan
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penunjukan laboratorium oleh Menteri
sebagai laboratorium rujukan dimaksudkan
antara lain untuk menguji kebenaran teknik,
prosedur, metode pengambilan dan metode
analisis sampel. Kesimpulan yang
ditetapkan tersebut menjadi alat bukti
tentang mutu air dan mutu air limbah.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Inventarisasi adalah pengumpulan data dan
informasi yang diperlukan untuk
mengetahui sebab dan faktor yang
menyebabkan penurunanan kualitas air.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil inventarisasi sumber pencemaran air
diperlukan antara lain untuk penetapan
program kerja pengendalian pencemaran
air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Daya tampung beban pencemaan pada
suatu sumber air dapat berubah dari waktu
ke waktu mengingat antara lain karena
fluktuasi debit atau kuantitas air dan
perubahan kualitas air.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pengenaan retribusi tersebut sebagai
konsekuensi dari penyediaan sarana
pengolahan (pengelolaan) air limbah yang
disediakan oleh Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Pejabat yang berwenang yang dimaksud, antara lain,
adalah Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Usaha yang dimaksud antara lain industri,
pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang
dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian
dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit,
pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah
(land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta
tempat pembuangan akhir sampah (TPA).
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi mengenai pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air yang
dimaksud dapat berupa data, keterangan,
atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan kualitas air dan atau
pengendalian pencemaran air yang menurut
sifat dan tujuannya memang terbuka untuk
diketahui masyarakat, seperti dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan
hidup, laporan dan evaluasi hasil
pemantauan air, baik pemantauan penaatan
maupun pemantauan perubahan kualitas
air, dan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi
proses pengambilan keputusan, baik
dengan cara mengajukan keberatan
maupun dengar pendapat atau dengan cara
lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran serta tersebut
dilakukan antara lain dalam proses penilaian
dan atau perumusan kebijaksanaan
pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, dan melakukan
pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan
pada prinsip keterbukaan. Dengan
keterbukaan memungkinkan masyarakat
ikut memikirkan dan memberikan
pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Air pada sumber air dan air yang terdapat di
luar hutan lindung dilakukan pengendalian
terhadap sumber yang dapat menimbulkan
pencemaran. Hal ini karena terdapat
berbagai kegiatan yang akan
mengakibatkan penurunan kualitas air.
Namun, penurunan kualitas air tersebut
masih dapat ditenggang selama tidak
melampaui baku mutu air.
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan
format terminal data (data base)
pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Air limbah dari suatu usaha dan atau
kegiatan tertentu dapat dimanfaatkan untuk
mengairi areal pertanaman tertentu dengan
cara aplikasi air limbah pada tanah (land
aplication), namun dapat berisiko terjadinya
pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan
atau air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Pemrakarsa adalah orang atau badan
hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha atau kegiatan yang akan
dilaksanakan.
Ayat (2)
Persyaratan penelitian dimaksud merupakan
persyaratan minimal yang harus dipenuhi.
Oleh karena itu maka persyaratan lain
berdasarkan penelitian yang dianggap perlu
dimungkinkan untuk ditambahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Pedoman pengkajian meliputi, antara lain,
petunjuk mengenai rencana penelitian,
metode, operasi, dan pemeliharaan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Pembuangan air limbah adalah pemasukan
air limbah secara pelepasan (discharge)
bukan secara dumping dan atau pelepasan
dadakan (shock discharge).
Pembuangan air limbah yang berupa sisa
dari usaha dan atau kegiatan
penambangan, seperti misalnya “air
terproduksi” (produced water), yang akan
dikembalikan ke dalam formasi asalnya juga
wajib menaati baku mutu air limbah yang
ditetapkan secara spesifik untuk jenis air
limbah tersebut.
Air yang keluar dari turbin pembangkit
listrik tenaga air (PLTA) bukan merupakan
sisa kegiatan PLTA, sehingga tidak
termasuk dalam ketentuan Pasal ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Masuknya air limbah ke dalam air dapat
menurunkan kualitas air tergantung beban
pencemaran air limbah dan kemampuan air
menerima beban tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Contoh kebijakan insentif antara lain dapat berupa pengenaan
biaya pembuangan air limbah yang lebih murah dari tarif
baku, mengurangi frekuensi swapantau, dan pemberian
penghargaan.
Contoh kebijakan disinsentif antara lain dapat berupa
pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih mahal
dari tarif baku, menambah frekuensi swapantau, dan
mengumumkan kepada masyarakat riwayat kinerja
penaatannya.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak
membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan
yang bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro
kimia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Pasal 49
Ayat (1)
Pengaturan ini merupakan realisasi asas
yang ada dalam hukum lingkungan hidup
yang disebut asas pencemar membayar.
Selain diharuskan membayar ganti
kerugian, pencemar dan atau perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh
hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk :
a. memasang atau memperbaiki unit
pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan
hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup;
c. menghilangkan atau memusnahkan
penyebab timbulnya pencemaran dan
atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Tindakan tertentu yang dimaksud antara
lain melakukan penyelamatan dan atau
tindakan penanggulangan dan atau
pemulihan lingkungan hidup. Tindakan
pemulihan mencakup kegiatan untuk
mencegah timbulnya kejadian yang sama
dikemudian hari.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
TENTANG
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah
Radioaktif;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3676);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap
Pemanfaatan Radiasi Pengion (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3992);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3993);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
RUANG LINGKUP, ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang klasifikasi limbah radioaktif, manajemen perizinan,
pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan limbah radioaktif, program jaminan kualitas,
pengelolaan dan pemantauan lingkungan, pengolahan limbah radioaktif tambang bahan galian nuklir
dan tambang lainnya, program dekomisioning, serta penanggulangan kecelakaan nuklir dan atau
radiasi.
Pasal 3
Pengelolaan limbah radioaktif harus berdasarkan Asas Proteksi Radiasi yang meliputi asas justifikasi,
limitasi, dan optimisasi.
Pasal 4
Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja,
anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan atau kontaminasi.
BAB III
KLASIFIKASI LIMBAH RADIOAKTIF
Pasal 5
(1) Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang,
dan tingkat tinggi.
(2) Pengklasifikasian limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.
Pasal 6
Limbah radioaktif yang telah diklasifikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus
dikelompokkan berdasarkan kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif yang meliputi:
a. aktivitas;
b. waktu paro;
c. jenis radiasi;
d. bentuk fisik dan kimia;
e. sifat racun; dan
f. asal limbah radioaktif.
BAB IV
MANAJEMEN PERIZINAN
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 7
(1) Setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan tenaga nuklir wajib menyatakan
kepada Badan Pengawas bahwa limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau
diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk dikelola.
(2) Pengembalian limbah ke negara asal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan
persetujuan dari Badan Pengawas.
(3) Jangka waktu persetujuan dari Badan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah
30 (tiga puluh) hari.
(4) Bukti pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diserahkan kepada Badan
Pengawas selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan pengiriman.
(5) Dalam hal limbah radioaktif akan dikelola oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Badan Pengawas memberitahukan kepada Badan Pelaksana.
Pasal 8
(1) Badan Pelaksana atau Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta yang akan
melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif wajib memperoleh izin dari Badan Pengawas.
(2) Izin untuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberikan setelah ada bukti kerjasama dengan atau penunjukan dari Badan
Pelaksana.
Pasal 9
Pasal 10
(1) Pembangunan dan pengoperasian instalasi penyimpanan lestari limbah radioaktif wajib
memperoleh izin dari Badan Pengawas.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi izin tapak, izin konstruksi, dan izin operasi.
Bagian Kedua
Tanggung jawab Badan Pelaksana
Pasal 11
a. penyusunan dan penetapan prosedur dan petunjuk teknis pengelolaan limbah radioaktif;
b. pengelolaan limbah radioaktif yang berasal dari aplikasi teknik nuklir dan Penghasil limbah
radioaktif lainnya, untuk diolah, disimpan sementara atau disimpan lestari;
c. penyediaan tempat penyimpanan limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang, dan
penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi; dan
d. pembinaan teknis pengelolaan limbah radioaktif terhadap Pengelola dan Penghasil limbah
radioaktif.
Bagian Ketiga
Kewajiban Penghasil Limbah Radioaktif
Pasal 12
Penghasil limbah radioaktif harus mengusahakan volume dan aktivitas limbah radioaktif serendah
mungkin melalui perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning instalasi yang
tepat.
Pasal 13
(1) Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan,
mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif tersebut, sebelum
diserahkan kepada Badan Pelaksana.
(2) Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat langsung dilepas ke lingkungan
apabila telah mencapai tingkat aman.
(3) Batasan tingkat aman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas.
Pasal 14
(1) Penghasil limbah radioaktif harus menyediakan tempat penampungan sesuai dengan volume dan
karakteristik limbah radioaktif.
(2) Tempat penampungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas.
Pasal 15
Penghasil limbah radioaktif harus mempunyai peralatan yang dapat digunakan untuk mendeteksi
limbah radioaktif.
Pasal 16
(1) Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang harus membuat dan menyimpan catatan
yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. kuantitas;
b. karakteristik; dan
c. waktu dihasilkannya limbah radioaktif.
(2) Salinan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disampaikan kepada Badan
Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Pasal 17
(1) Penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi harus membuat dan menyimpan catatan limbah
radioaktif yang sekurang-kurangnya meliputi:
a. kuantitas;
b. karakteristik;
c. nomor identifikasi;
d. radionuklida yang terkandung; dan
e. waktu dihasilkannya limbah radioaktif.
(2) Penghasil bahan bakar nuklir bekas harus mempunyai sistem pertanggungjawaban dan
pengawasan bahan nuklir, sistem proteksi fisik, dan membuat catatan pengayaan dan fraksi
bakar, selain catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Salinan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan kepada
Badan Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Bagian Keempat
Limbah Radioaktif Dari Luar Negeri
Pasal 18
(1) Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan untuk disimpan di dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk limbah radioaktif yang
berasal dari zat radioaktif yang diproduksi di dalam negeri.
(3) Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat disimpan di Indonesia
setelah dibuktikan dengan adanya dokumen yang menyatakan zat radioaktif tersebut berasal dan
diproduksi dari Indonesia.
Bagian Kelima
Bahan Bakar Nuklir Bekas
Pasal 19
(1) Bahan bakar nuklir bekas dilarang untuk diolah oleh Penghasil limbah radioaktif.
(2) Bahan bakar nuklir bekas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disimpan sementara
sekurang-kurangnya selama masa operasi reaktor nuklir.
(3) Setelah penyimpanan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bahan bakar nuklir
bekas harus diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk penyimpanan lestari atau dikirim kembali
ke negara asal.
Pasal 20
(1) Tempat penyimpanan sementara bahan bakar nuklir bekas harus memenuhi persyaratan
sekurang-kurangnya :
a. lokasi bebas banjir;
b. tahan terhadap gempa;
c. didesain sehingga terhindar dari terjadinya kekritisan;
d. dilengkapi dengan peralatan proteksi radiasi;
e. dilengkapi dengan sistem pendingin;
f. dilengkapi dengan penahan radiasi;
g. dilengkapi dengan sistem proteksi fisik; dan
h. dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.
BAB V
Bagian Pertama
Pengolahan Limbah Radioaktif
Pasal 21
(1) Pengolahan limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang dapat dilakukan sendiri oleh
Penghasil limbah radioaktif.
(2) Limbah radioaktif yang telah diolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diserahkan
kepada Badan Pelaksana.
(3) Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang yang tidak mengolah sendiri limbah
radioaktifnya harus menyerahkan limbah radioaktif kepada Pengolah limbah radioaktif, yaitu :
a. Badan Pelaksana; atau
b. Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta yang bekerja sama dengan atau
yang ditunjuk oleh Badan Pelaksana.
(4) Penyerahan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) harus dilengkapi
dengan berita acara serah terima yang memuat :
a. kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif; dan
b. waktu penyerahan limbah radioaktif.
(5) Salinan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) harus diserahkan
kepada Badan Pengawas oleh Penghasil limbah radioaktif untuk ayat (2) dan ayat (3) huruf a,
dan oleh Pengolah limbah radioaktif untuk ayat (3) huruf b.
Pasal 22
(1) Limbah radioaktif tingkat tinggi yang bukan bahan bakar nuklir bekas dilarang untuk diolah oleh
Penghasil limbah radioaktif.
(2) Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disimpan sementara oleh
Penghasil limbah radioaktif.
(3) Setelah penyimpanan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), limbah radioaktif tingkat
tinggi harus diserahkan kepada Badan Pelaksana atau dikirim kembali ke negara asal.
(4) Penyerahan limbah radioaktif kepada Badan Pelaksana sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3)
harus disertai dengan berita acara serah terima yang memuat :
a. kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif; dan
b. waktu penyerahan limbah radioaktif.
(5) Pengiriman kembali limbah radioaktif ke negara asal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
harus disertai bukti pengiriman dan catatan yang memuat :
a. kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif; dan
b. waktu pengiriman.
(6) Salinan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dan salinan bukti
pengiriman dan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) harus diserahkan kepada Badan
Pengawas oleh Penghasil Limbah.
Pasal 23
Jangka waktu penyerahan salinan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) dan
Pasal 22 ayat (6) selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak penyerahan atau pengiriman
kembali limbah radioaktif.
Pasal 24
Bagian Kedua
Pengangkutan Limbah Radioaktif
Pasal 25
Pengangkutan limbah radioaktif wajib memenuhi ketentuan pengangkutan zat radioaktif dan
pengangkutan pada umumnya.
Bagian Ketiga
Penyimpanan Limbah Radioaktif
Pasal 26
(1) Tempat penyimpanan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang harus memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya:
a. lokasi bebas banjir;
b. tahan terhadap gempa;
c. desain bangunan disesuaikan dengan kuantitas dan karakteristik limbah, dan upaya
pengendalian pencemaran;
d. dilengkapi dengan peralatan proteksi radiasi; dan
e. dilakukan pemantauan secara berkala.
(2) Tempat penyimpanan sementara limbah radioaktif tingkat tinggi harus memenuhi persyaratan
tambahan sekurang-kurangnya adanya sistem pendingin dan penahan radiasi, selain persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Kepala Badan Pengawas.
Pasal 27
(1) Penyimpanan limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang hanya dapat dilakukan oleh Badan
Pelaksana.
(2) Tempat penyimpanan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya:
a. lokasi bebas banjir dan terhindar dari erosi;
b. lokasi tahan terhadap gempa dan memenuhi karakteristik materi bumi dan sifat kimia air;
c. dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi dan radioaktivitas lingkungan;
d. dilengkapi dengan sistem pendingin;
e. dilengkapi dengan sistem penahan radiasi;
f. dilengkapi dengan sistem proteksi fisik;
g. memenuhi distribusi populasi penduduk dan tata wilayah sekitar lokasi penyimpanan; dan
h. memperhitungkan laju paparan radiasi eksterna.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.
Pasal 28
(1) Penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi hanya dapat dilakukan oleh Badan Pelaksana.
(2) Tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya :
a. lokasi bebas banjir dan terhindar dari erosi;
b. lokasi tahan terhadap gempa dan memenuhi karakteristik materi bumi dan sifat kimia air;
c. di desain sehingga terhindar dari terjadinya kekritisan;
d. dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi dan radioaktivitas lingkungan;
e. dilengkapi dengan sistem pendingin;
f. dilengkapi dengan sistem penahan radiasi;
g. dilengkapi dengan sistem proteksi fisik; dan
h. memenuhi distribusi populasi penduduk dan tata wilayah sekitar lokasi penyimpanan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.
BAB VI
PROGRAM JAMINAN KUALITAS
Pasal 29
(1) Pengelola limbah radioaktif sebelum melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif harus membuat
program jaminan kualitas untuk kegiatan desain, pembangunan, pengoperasian dan perawatan,
dekomisioning instalasi, serta pengelolaan limbah radioaktif.
(2) Program jaminan kualitas yang telah dibuat oleh Pengelola limbah radioaktif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) selanjutnya disampaikan kepada Badan Pengawas untuk disetujui.
(3) Program jaminan kualitas yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
dilaksanakan oleh Pengelola limbah radioaktif.
BAB VII
PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN
Pasal 30
(1) Pengolah limbah radioaktif harus melakukan pemantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas
lingkungan di sekitar instalasi.
(2) Badan Pelaksana harus melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup di sekitar
tempat penyimpanan dan penyimpanan lestari limbah radioaktif.
(3) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dicatat dan dilaporkan
kepada Badan Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
BAB VIII
PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TAMBANG
BAHAN GALIAN NUKLIR DAN TAMBANG LAINNYA
Pasal 31
(1) Badan Pelaksana atau badan yang melakukan penambangan bahan galian nuklir wajib
melakukan pengumpulan, pengelompokan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah
radioaktif.
(2) Tata cara pengumpulan, pengelompokan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah
radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.
Pasal 32
(1) Setiap orang atau badan yang melakukan penambangan bahan galian nonnuklir yang dapat
menghasilkan limbah radioaktif sebagai hasil samping penambangan wajib melakukan analisis
keselamatan radiasi.
(2) Hasil analisis keselamatan radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan
kepada Badan Pengawas.
(3) Tata cara analisis keselamatan radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.
BAB IX
PROGRAM DEKOMISIONING
Pasal 33
(1) Sebelum melaksanakan dekomisioning instalasi pengolahan limbah radioaktif, setiap Pengolah
limbah radioaktif wajib menyampaikan dokumen program dekomisioning kepada Badan
Pengawas.
(2) Tata cara penyusunan dokumen program dan pelaksanaan dekomisioning sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.
Pasal 34
Limbah radioaktif yang dihasilkan dari dekomisioning instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan
zat radioaktif harus diserahkan kepada Badan Pelaksana.
BAB X
PENANGGULANGAN KECELAKAAN NUKLIR
DAN ATAU RADIASI
Pasal 35
(1) Penghasil, Pengolah, dan Pengelola limbah radioaktif harus melakukan upaya pencegahan
terjadinya kecelakaan nuklir dan atau radiasi.
(2) Dalam hal terjadi kecelakaan nuklir dan atau radiasi, Penghasil, Pengolah, dan Pengelola limbah
radioaktif wajib melakukan tindakan penanggulangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilaporkan kepada
Badan Pengawas selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah kecelakaan.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 36
(1) Badan Pengawas memberikan peringatan tertulis kepada Penghasil, Pengolah dan atau Pengelola
limbah radioaktif yang melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (4), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (5), Pasal 22
ayat (1), ayat (3) sampai dengan ayat (6), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 29, Pasal 30, Pasal
31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34, dan Pasal 35 dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 14 (empatbelas)
hari sejak dikeluarkan peringatan.
(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dipatuhi, diberikan peringatan
terakhir selama 14 (empatbelas) hari sejak peringatan pertama berakhir.
(4) Apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tetap tidak dipatuhi, Badan
Pengawas dapat membekukan izin selama 30 (tigapuluh) hari sejak perintah pembekuan
dikeluarkan.
(5) Apabila Penghasil, Pengolah dan atau Pengelola limbah radioaktif tetap tidak mematuhi
peringatan pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Badan Pengawas dapat
mencabut izinnya.
Pasal 37
(1) Badan Pengawas dapat langsung membekukan izin pemanfaatan tenaga nuklir apabila dalam
pengelolaan limbah radioaktif terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
14 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 25 yang dapat mengakibatkan bahaya
radiasi bagi keselamatan pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup.
(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak pembekuan izin, Penghasil,
Pengolah, dan atau Pengelola limbah radioaktif tidak memenuhi ketentuan yang menjadi alasan
pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan Pengawas dapat mencabut
izinnya.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 38
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 18 dipidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 22 ayat (2)
dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan pelaksanaan yang lebih rendah dari
Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai pengelolaan limbah radioaktif, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 40
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN
ATAS
TENTANG
UMUM
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir, pemanfaatan tenaga nuklir
semakin meluas di bidang penelitian, pertanian, kesehatan, industri dan lain-lain. Pemanfaatan
tenaga nuklir, disamping mengandung segi positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, juga mempunyai potensi bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan
lingkungan hidup. Sumber potensi bahaya radiasi tersebut antara lain berasal dari limbah radioaktif
yang ditimbulkan dari pengoperasian instalasi nuklir dan fasilitas radiasi.
Limbah radioaktif perlu dikelola untuk menghindari potensi bahaya dan dampaknya terhadap pekerja,
masyarakat, dan lingkungan hidup. Kegiatan pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan dengan
mempertimbangkan aspek keselamatan, aspek teknis berupa pengurangan volume dan aktivitas
limbah radioaktif, dan aspek ekonomis.
Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun
1997 tentang Ketenaganukliran.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Tambang lainnya yang dimaksud adalah tambang bahan galian nonnuklir yang sisa olahan
(tailing) dan mineral ikutannya mengandung radioaktif.
Pasal 3
Asas Justifikasi adalah bahwa setiap kegiatan yang memanfaatkan radioaktif atau sumber
radiasi lainnya hanya boleh dilakukan apabila menghasilkan keuntungan yang lebih besar
kepada seseorang yang terkena penyinaran radiasi atau bagi masyarakat, dibandingkan dengan
kerugian radiasi yang mungkin diakibatkannya, dengan memperhatikan faktor sosial, faktor
ekonomi, dan faktor lainnya yang sesuai. Dalam melakukan pengkajian perlu diperhitungkan
pula estimasi kerugian yang berasal dari penyinaran potensial, yaitu terjadinya penyinaran yang
tidak dapat diramalkan sebelumnya.
Asas limitasi adalah bahwa penerimaan dosis seseorang tidak boleh melampaui nilai batas dosis
yang ditetapkan oleh Badan Pengawas. Nilai batas dosis yang dimaksud adalah dosis radiasi
yang diterima dari penyinaran eksterna dan interna selama 1 (satu) tahun dan tidak
bergantung pada laju dosis. Penetapan nilai batas dosis ini tidak memperhitungkan
penerimaan dosis untuk tujuan medik dan yang berasal dari radiasi alam.
Asas optimisasi adalah bahwa proteksi dan keselamatan terhadap penyinaran yang berasal dari
sumber radiasi yang dimanfaatkan, diusahakan sedemikian rupa sehingga besarnya dosis yang
diterima seseorang dan jumlah orang yang tersinari sekecil mungkin dengan memperhatikan
faktor sosial dan ekonomi. Terhadap dosis perorangan yang berasal dari sumber radiasi
diberlakukan pembatasan dosis yang besarnya dibawah nilai batas dosis.
Pasal 4
Dengan adanya pengaturan tentang pengelolaan limbah radioaktif dimaksudkan juga agar
generasi yang akan datang tidak terbebani oleh bahaya radiasi dan atau kontaminasi dari
limbah radioaktif yang dihasilkan saat ini.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Pemanfaatan yang dimaksud tidak termasuk pengelolaan limbah radioaktif.
Bentuk pernyataan yang dimaksud dituliskan dalam formulir izin. Dalam hal limbah
radioaktif akan dikembalikan ke negara asal dilampiri dengan perjanjian antara
pemanfaat atau Penghasil limbah dengan importir atau pemasok.
Ayat (2)
Persetujuan dari Badan Pengawas dimaksudkan agar Badan Pengawas dapat mengetahui
dan mengawasi keberadaan limbah radioaktif, sehingga penimbunan atau penyimpanan
limbah yang tidak semestinya di wilayah Republik Indonesia dapat dicegah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Izin yang dikeluarkan untuk pengelolaan limbah radioaktif merupakan bagian dari izin
pemanfaatan tenaga nuklir, yang hanya akan diberikan oleh Badan Pengawas apabila
persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2000 tentang
Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir sudah dipenuhi.
Ayat (2)
Untuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta lain yang khusus akan
menjalankan kegiatan usaha berupa pengelolaan limbah radioaktif, selain memenuhi
persyaratan di atas juga menyertakan bukti kerja sama atau penunjukan dari Badan
Pelaksana yang berupa Surat Rekomendasi.
Pasal 9
Pemberian izin untuk pembangunan dan pengoperasian fasilitas pengumpulan, pengelompokan,
atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah radioaktif penambangan bahan galian
nuklir tidak terpisah atau berdiri sendiri, melainkan menjadi satu kesatuan dengan izin
pemanfaatan untuk tujuan penambangan bahan galian nuklir yang diberikan oleh Badan
Pengawas.
Untuk kegiatan penambangan bahan galian nonnuklir, apabila setelah dilakukan analisis
keselamatan radiasi hasilnya menunjukkan adanya hasil ikutan atau samping berupa zat
radioaktif atau limbah radioaktif, maka untuk pembangunan dan pengoperasian fasilitas
pengumpulan, pengelompokan atau pengolahan, dan atau penyimpanan sementara limbah
radioaktif penambangan bahan galian nonnuklir diajukan izin tersendiri kepada Badan
Pengawas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Pengertian dari serendah mungkin adalah mengikuti Asas Proteksi Radiasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Adanya catatan ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemantauan terhadap limbah
radioaktif mulai dari dihasilkan, diolah sampai dengan disimpan.
Catatan limbah radioaktif selalu mengikuti tempat dan waktu limbah radioaktif berada, karena
catatan limbah radioaktif merupakan dokumen penting untuk mengetahui status dan kondisi
limbah radioaktif saat itu.
Pasal 17
Ayat (1)
Nomor identifikasi adalah identitas atau keterangan lain yang tertera pada bahan bakar
nuklir.
Ayat (2)
Fraksi bakar (burn-up) adalah perbandingan antara jumlah massa bahan bakar yang
terbakar dengan massa bahan bakar keseluruhan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Negara Republik Indonesia tidak menerima limbah radioaktif yang dihasilkan oleh
Penghasil limbah radioaktif di luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
bertumpuknya limbah radioaktif di wilayah Republik Indonesia yang dapat menimbulkan
bahaya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup.
Pengertian disimpan meliputi pula dibuang, diolah, dan diolah ulang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bahan bakar nuklir bekas disimpan sementara di fasilitas yang telah disiapkan dan
mampu menampung seluruh limbah yang dihasilkan oleh reaktor nuklir. Selama masa
operasi reaktor nuklir, bahan bakar nuklir bekas yang telah disimpan sementara dapat
diserahkan ke Badan Pelaksana atau dikirim kembali ke negara asal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Kekritisan adalah keadaan dimana reaksi pembelahan inti berantai dapat
berlangsung.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Penyerahan salinan berita acara kepada Badan Pengawas ini dimaksudkan untuk memudahkan
dalam pemantauan dan mengetahui keberadaan limbah secara tepat, baik aktivitas, klasifikasi,
maupun kuantitasnya.
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Penyimpanan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang hanya
dimaksudkan untuk limbah radioaktif padat dan cair. Sedangkan untuk limbah radioaktif
berbentuk gas dapat dilepaskan ke udara setelah aktivitasnya tidak membahayakan
lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Pengelola limbah radioaktif cukup membuat Program Jaminan Kualitas 1 (satu) kali saja.
Program Jaminan Kualitas yang telah dibuat tersebut berlaku selama masa operasi instalasi
pengelolaan limbah radioaktif dan dapat direvisi apabila diperlukan.
Pasal 30
Ayat (1)
Pemantauan lingkungan di sekitar instalasi dilakukan secara terus-menerus, berkala, dan
atau sewaktu-waktu bergantung pada dampak radiologi dari kegiatan di instalasi
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Pengertian badan yang dimaksud adalah Badan Usaha Milik Negara, koperasi, badan
swasta, dan badan lain yang meliputi instansi pemerintah asing atau badan swasta asing.
Orang-perorangan tidak diperkenankan untuk melakukan penambangan bahan galian
nuklir, mengingat faktor keselamatan yang tinggi dan kompleks.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Pengertian badan yang dimaksud adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Analisis keselamatan radiasi meliputi kandungan zat radioaktif dan perkiraan volume
limbah radioaktif selama penambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan yang berlaku adalah ketentuan tentang ketenaganukliran.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
TENTANG
PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA
Menimbang:
a. bahwa kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup telah memiliki tariff penerimaan Negara
Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. bahwa dengan adanya jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang baru dan perubahan
organisasi Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, dipandang perlu mengatur kembali
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undan Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Rpublik
Indonesia Nomor 3687);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1997 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760);
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
Pasal 1
(1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku padaKantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup berasal dari penerimaan:
a. Jasa Laboratorium Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. Jasa Penelitian dan Pengkajian Teknologi Lingkunganpada industri;
c. Jasa Pendidikan dan Pelatihan;
d. Jasa Layanan Informasi; dan
e. Jasa Sewa Sarana dan Fasilitas Kantor.
(2) Tarif atas Jenis penerimaanNegara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
sebagaimana ditetapkandalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 2
Jenis penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai tariff dalam
bentuk satuan rupiah.
Pasal 3
Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 wajb disetor langsung
secepatnya ke Kas Negara.
Pasal 4
Ketentuan mengenai klasifikasi Pendidikan dan Pelatihan di lingkungan Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada angka III dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Pasal 5
1. Tarif Pengambilan Contoh Parameter Kualitas Lingkungan, Konsultasi Teknis dan Manajemen
Laboratorium Lingkungan serta Jasa Penelitian dan Pengkajian Teknologi Lingkungan pada
Industri sebagaimana dimaksud dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini tidak termasuk
biaya transportasi, akomodasi dan konsumsi.
2. Biaya transportasi, akomodasi dan konsumsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibebankan kepada wajib bayar.
Pasal 6
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam Peraturan Pemerintah
ini, akan disusulkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini dan
pencantumannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Pasal 7
Dengan berlakunya peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 Juli2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 Juli 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
BAMBANG KESOWO
KEPUTUSAN PRESIDEN
2. Keppres Nomor 57 Tahun 1989 Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional
Menimbang:
Mengingat :
Menetapkan :
Pasal 1
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 1987
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 1987
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
__________________________________
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990
Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung
Menimbang:
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
9. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan disekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi mata air.
10. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan peragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.
11. Kawasan suaka alam Laut dan Perairan lainya adalah daerah yang
mewakili ekosistem khas di lautan maupun perairan lainya, yang
merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun
perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa yang ada.
12. Kawasan Pantai berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
15. Taman Wisata Alam adalah kawasan Pelestarian alam di darat maupun
di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi
alam.
16. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan yang
merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi
maupun bentukan geologi yang khas.
17. Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam.
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN
Pasal 2
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 3
Pasal 4
2. Kawasan Bergambut.
Pasal 5
2. Sempadan Sungai.
Pasal 6
Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal
3 terdiri dari:
BAB IV
POKOK-POKOK KEBIJAKSANAAN KAWASAN LINDUNG
Bagian Pertama
Kawasan yang memberikan Perlindungan Kawasan Bawahannya
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah
meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan
secara besar-besaran.
Bagian kedua
Kawasan Perlindungan setempat
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Pasal 19
Pasal 20
Bagian Ketiga
Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya
Pasal 21
Pasal 22
Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan
wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa.
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Kriteria kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah kawasan
berupa perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan
karang dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau
keunikan ekosistem.
Pasal 26
Pasal 27
Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-
rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis
air surut terendah kearah darat.
Pasal 28
Perlindungan terhadap taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata
alam dilakukan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata,
serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari
pencemaran.
Pasal 29
Kriteria taman nasional, taman hutan raya dan taman nasional dan wisata
alam adalah berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tunbuhan dan
satwa yang beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan
memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata.
Pasal 30
Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta
ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan
kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Bagian Keempat
Kawasan Rawan Bencana Alam
Pasal 32
Pasal 33
BAB V
PENETAPAN KAWASAN LINDUNG
Pasal 34
Pasal 35
Pasal 36
BAB VI
PENGENDALIAN KAWASAN LINDUNG
Pasal 37
(2) Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang
melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan
dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi
penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada.
(3) Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan
ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis
Mengenai Dampak lingkungan.
Pasal 38
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4), diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang, setelah
mendapat pertimbangan dari Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang
Nasional.
Pasal 39
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 40
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
______________________________________
Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1993
Tentang : Satwa Dan Bunga Nasional
Menimbang:
a. bahwa Negara dan bangsa Indonesia telah diberi karunia Tuhan Yang
Maha Esa beragam jenis fauna dan flora, yang dalam khasanah fauna
dan flora dunia, beberapa diantaranya bahkan sangat bersifat khas
baik karena keberadaannya yang hanya terdapat di Indonesia, karena
kelangkaannya, maupun karena latar belakang budaya yang
melingkupinya;
Mengingat:
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SATWA DAN
BUNGA NASIONAL.
PERTAMA :
Tiga jenis satwa yang masing-masing mewakili satwa darat, air, dan
udara, dinyatakan sebagai Satwa Nasional, dan selanjutnya
dikukuhkan penyebutannya sebagai berikut :
KEDUA:
KETIGA :
KEEMPAT:
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
ttd.
__________________________________
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1993
Tentang : Pengesahan Basel Convention On The
Control Of Transboundary Movements Of Hazardous
Wastes And Their Disposal
Menimbang:
Pasal 1
Pasal 2
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Juli 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 1993
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO
______________________________________
Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1993
Tentang : Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional
Menimbang:
Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
PERTAMA:
Menunjuk Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai Menteri yang
bertugas mengkoordinasikan kegiatan penataan ruang nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
KEDUA:
Koordinasi penataan ruang nasional dimaksud dalam Diktum PERTAMA
diselenggarakan dalam sebuah badan yang disebut Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional.
KETIGA:
Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional bertugas :
KELIMA:
Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional dibantu oleh Kelompok Kerja Tata Ruang Nasional yang
anggotanya berasal dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen terkait.
KEENAM:
Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam diktum KELIMA
dibentuk dengan Keputusan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional selaku Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
KETUJUH:
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
dapat :
KEDELAPAN:
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
bertanggung jawab kepada Presiden.
KESEMBILAN:
Segala biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional beserta Kelompok kerja, Tenaga Ahli dan Tim Teknis yang
mendukungnya dibebankan kepada Anggaran Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
KESEPULUH:
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden
Nomor 57 Tahun 1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang
Nasional dinyatakan tidak berlaku lagi.
KESEBELAS:
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
______________________________________
Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995
Tentang : Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Menimbang:
Mengingat:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 5
b. Wakil Ketua/Pelaksana
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
(2) Bahan material untuk Reklamasi Pantura diambil dari lokasi yang
memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan.
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
__________________________________
Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998
Tentang : Pengesahan Montreal Protocol On
Substance That Deplete The Ozone Layer,
Copenhagen, 1992
(Protokol Montreal Tentang Zat-Zat Yang Merusak
Lapisan Ozon, Copenhagen, 1992)
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGESAHAN MOTREAL PROTOKOL ON
SUBTANCES THAT DEPLETE THE OZONE LAYER , COPENHAGEN, 1992
(PROTOKOL MONTREAL TENTANG ZAT-ZAT YANG MERUSAK LAPISAN OZON,
COPENHAGEN, 1992)
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Ditetapkan di Jakarta
ttd
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
______________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
10. KepMen LH Nomor 4 Tahun 2000 Panduan Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan
Pemukiman Terpadu
11. KepMen LH Nomor 5 Tahun 2000 Panduan Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan di
Daerah Lahan Basah
12. KepMen LH No. 40 Tahun 2000 Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (Pengganti KepMen
LH No. 13 Tahun 1994)
13. KepMen LH No. 41 Tahun 2000 Pedoman Pembentukan Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota
14. KepMen LH No. 42 Tahun 2000 Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim
Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup Pusat
15. KepMen LH No. 17 Tahun 2001 Jenis Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib
Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
16. KepMen LH No. 30 Tahun 2001 Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup
yang Diwajibkan Menteri Negara Lingkungan
Hidup
19. SE Men LH Nomor B-1234 Tahun 1999 Kegiatan Wajib UKL dan UPL
20. KepKa Bapedal Nomor 56 Tahun 1994 Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting
21. KepKa Bapedal No. 299 Tahun 1996 Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan
22. KepKa Bapedal No. 105 Tahun 1997 Penduan Pemantau Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantau Lingkungan (RPL)
23. KepKa Bapedal Nomor 08 Tahun 2000 Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan
Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup
24. KepKa Bapedal Nomor 09 Tahun 2000 Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: KEP-12/MENLH/3/1994
TENTANG
Menimbang:
1. Bahwa dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2)Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun l993
Tentang Analisis Mengenai DampakLingkungan disebutkan bahwa dalam menunjang
pembangunan yang berwawasanlingkungan, bagi rencana usaha atau kegiatan yang tidak
wajib dilengkapi denganAMDAL tetap diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL) dan UpayaPemantauan Lingkungan (UPL)
2. Bahwa untuk melaksanakan PeraturanPemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkunganperlu ditetapkan Keputusan Mented Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman UmumUpaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan.
Mengingat:
MEMUTUSKAN
Menetapkan
Kedua
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan UpayaPemantauan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
diktum pertama perlu diaturmelalui suatu pedoman umum.
Ketiga
Pedoman Umum UpayaPengelolaan lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan adalah
sebagaimanadimaksud dalam Lampiran Keputusan ini;
Pedoman teknis Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) danUpaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
ditetapkan oleh Menteri atau Pimpinan LembagaPemerintah Non Departemen dengan menggunakan
Pedoman Umum sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) sebagai rujukan;
Apabila belum ditentukan pedoman teknis sebagaimanadimaksud dalam ayat (2), maka Upaya
Pengelolaan Lingkungan dan Upaya PemantauanLingkungan dibuat dengan berpedoman pada
Pedoman Umum sebagaimana dimaksuddalam ayat (1).
Keempat
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggalditetapkan, dan bilamana dikemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Keputusanini akan ditinjau kembali.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Maret 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup
ttd
SARWONO KUSUMAATMADJA
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor KEP-12/MENLH/3/1994
Tanggal 19 Maret 1994
PEDOMAN UMUM
UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN
UPAYAPEMANTAUAN LINGKUNGAN
A. PENDAHULUAN
1. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bukan
merupakan bagian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, oleh sebab itu UKL dan UPL tidak
dinilai oleh Komisi AMDAL, melainkan diarahkan langsung oleh instansi teknis yang
membidangi dan bertanggung jawab atas pembinaan usaha atau kegiatan tersebut melalui
suatu petunjuk teknis sesuai jenis usaha atau kegiatannya.
2. Upaya Daya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
bersifat spesifik bagi masing-masing jenis usaha atau kegiatan yang dikaitkan dengan
dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu Pedoman Teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh
instansi yang bertanggung jawab (sektoral) untuk setiap jenis usaha atau kegiatan dan
dikaitkan langsung dengan aktifitas teknis usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
3. Pemrakarsa usaha atau kegiatan terikat pada dokumen yang telah diisi dan ditanda
tanganinya dan menjadi syarat-syarat pemberian izin usaha atau kegiatan dimaksud.
C. RUANG LINGKUP
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Perlu disusun sedemikian rupa,
sehingga dapat:
1. langsung mengemukakan informasi penting setiap jenis rencana usaha atau kegiatan yang
merupakan sifat khas proyek itu sendiri dan dapat menimbulkan dampak potensial terhadap
lingkungannya;
2. informasi komponen lingkungan yang terkena dampak;
3. upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang harus dilakukan oteh pemrakarsa
pada tahap pra konstruksi, konstruksi maupun pasca konstruksi.
D. SISTEMATIKA
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan mencakup:
2. Komponen Lingkungan
Uraian secara singkat mengenai sumber-sumber alam/komponen lingkungan yang diperkirakan
terkena dampak, seperti antara lain: sungai, udara, flora dan fauna, danlain-lain.
6. Pelaporan
Uraian secara rinci mengenai mekanisme laporan dari pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan pada saat rencana usaha atau kegiatan dilaksanakan (Instansi
pembina. BAPEDAL. Pemda Tk. I danTk. II setempat).
7. Pernyataan Pelaksanaan
Pernyataan pemrakarsa untuk melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan atas rencana usaha atau
kegiatannya dilengkapi dengan tanda tangan pemrakarsa.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 14 Tahun 1994
Tentang : Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Dampak Lingkungan
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Kelima
Keenam
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-30/MENLH/10/1999
Tanggal : 12 Oktober 1999
A. PENDAHULUAN
C. RUANG LINGKUP
4. Tolok ukur
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999
Ttd
2. Lokasi Kegiatan
Uraikan secara jelas lokasi tempat kegiatan dilaksanakan sesuai
dengan izin yang diberikan (contoh : unit administrasi pemerintahan,
koordinat, dll). Dapat diisi salah satu dari pilihan, atau semuanya bila
data tersedia.
4. Masa Beroperasi
Tuliskan waktu mulai beroperasinya usaha dan/atau kegiatan terhitung
sejak izin usaha atau kegiatn diterbitkan.
c) Sarana penunjang
Tuliskan sarana penunjang produksi yang dimiliki usaha
dan/atau kegiatan (jenis, ukuran, keterangan lain bila ada,
misalnya : pembangkit listrik, unit pengolahan air, dll).
MATRIKS PENGELOLAAN
7. Tolok Ukur
Uraikan tolok ukur yang digunakan dalam pengelolaan dampak
(misalnya : baku mutu air, baku mutu udara, kriteria-kriteria baku,
kesepakatan-kesepakatan yang diakui). Cantumkan pula nomor Surat
Keputusan atau Peraturan Daerah yang mengatur baku mutu tersebut
dan cantumkan pula angka baku mutu bagi parameter dimaksud
dalam kolom 6.a).
8. Upaya Pengelolaan
a) Cara/teknik mengelola
Sebutkan cara/teknik pengelolaan yang dilaksanakan
b) Lokasi Pengelolaan
d) Rencana pengelolaan
MATRIKS PEMANTAUAN LINGKUNGAN
a) Cara/teknik memantau
Sebutkan cara/teknik pemantauan yang dilaksanakan
b) Lokasi pemantauan
d) Rencana pemantauan
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999
Ttd
Nama Perusahaan :
Alamat :
2. Lokasi Kegiatan
Lain-lain :
3. Bidang Usaha/Kegiatan :
Perindustrian :
Pertanian :
Pekerjaan Umum :
Perhubungan :
Dan lain-lain :
a) Izin :
b) Produksi :
Barang :
Jasa :
c) Sarana penunjang :
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999
Ttd
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan
yang merupakan hasil pelingkupan (PP Nomor 5l Tahun 1993, Pasal 1).
8. Proses Pelingkupan
Pelingkupan merupakan suatu proses awal (dini) untuk menentukan
lingkup permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting (hipotetis)
yang terkait dengan rencana usaha atau kegiatan.
Pelingkupan merupakan proses terpenting dalam penyusunan KA-ANDAL
karena melalui proses ini dapat dihasilkan :
a. Dampak penting terhadap lingkungan yang dipandang relevan untuk
ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL dengan meniadakan
hal-hal atau komponen lingkungan yang dipandang kurang atau
penting ditelaah;
b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan:
batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif.
c. Kedalaman studi ANDAL yang antara lain mencakup metoda yang
digunakan, jumlah sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang
dibutuhkan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia (dana dan
waktu).
Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dan studi
ANDAL yang akan dilakukan.
V. Daftar Pustaka
Pada bagian ini diutarakan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen KA-ANDAL.
VI. Lampiran
Apabila dipandang perlu butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL agar
dilampirkan dalam dokumen KA-ANDAL. Disamping itu harus dilampirkan
pula Biodata Personil Penyusun ANDAL.
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-14 /MENLH/ 3 /1994
Tanggal : 19 MARET 1994
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan
mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha atau kegiatan
(PP. Nomor 51 tahun 1993 Pasal 1).
2. Fungsi dan Pedoman Umum Penyusunan Dokumen ANDAL
a. Pedoman Umum Penyusunan ANDAL digunakan sebagai acuan bagi
penyusunan Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL atau sebagai dasar
penyusunan ANDAL, bilamana Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL
usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum ditetapkan.
b. Pedoman Umum Penyusunan ANDAL berlaku pula bagi keperluan
penyusunan AMDAL kegiatan Terpadu/Multisektor, AMDAL Kawasan,
dan AMDAL Regional.
2. Tujuan Studi
a. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL adalah:
1) Mengidentifikasi rencana usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan.
2) Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang akan
terkena dampak penting.
3) Memprakirakan dan mengevaluasi rencana usaha atau kegiatan yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
b. Kegunaan
Kegunaan studi ANDAL adalah untuk:
1) bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
2) membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan
lingkungan dan rencana usaha atau kegiatan
3) memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana
usaha atau kegiatan
4) memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan dari rencana usaha atau kegiatan
5) memberi informasi bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan
dampak positif dan menghindari dampak negatif yang akan
ditimbulkan dari suatu rencana usaha atau kegiatan.
2. Wilayah Studi
Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan
wilayah studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil
pengamatan di lapangan. Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan
pada peta dengan skala yang memadai.
b. Biologi
1) Flora
(a) Peta zona biogeoklimatik dan vegetasi alami yang meliputi tipe
vegetasi, sifat-sifat dan kerawanannya yang berada dalam
wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
(b) Uraian tentang jenis-jenis vegetasi dan ekosistem yang
dilindungi undang-undang yang berada dalam wilayah studi
rencana usaha atau kegiatan.
(c) Uraian tentang keunikan dari vegetasi dan ekosistemnya yang
berada pada wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
2) Fauna
(a) Taksiran kelimpahan dan keragaman fauna, habitat,
penyebaran, pola migrasi, populasi hewan budidaya (ternak)
serta satwa dan habitatnya yang dilindungi undang-undang
dalam wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
(b) Taksiran penyebaran dan kepadatan populasi hewan
invertebrata yang dianggap penting karena memiliki peranan
dan potensi sebagai bahan makanan, atau sumber hama dan
penyakit.
(c) Perikehidupan hewan penting di atas, termasuk cara
perkembangbiakan, siklus dan neraca hidupnya, cara
pemijahan, cara bertelur dan beranak, cara memelihara
anaknya, perilaku dalam daerah dan teritorinya.
c. Sosial
Komponen sosial yang penting untuk ditelaah diantaranya:
1. Demografi
(a) Struktur penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin,
mata pencaharian, pendidikan, dan agama.
(b) Tingkat kepadatan dan sebaran kepadatan penduduk.
(c) Angkatan kerja produktif.
(d) Tingkat kelahiran.
(e) Tingkat kematian kasar.
(f) Tingkat kematian bayi.
(g) Pola perkembangan penduduk.
2. Ekonomi
(a) Kesempatan kerja dan berusaha
(b) Pola pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam
(c) Tingkat pendapatan penduduk
(d) Prasarana dan sarana perekonomian (jalan, pasar, pelabuhan,
perbankan, pusat pertokoan)
(e) Pola pemanfaatan sumberdaya alam
3. Budaya
(1) Pranata sosial atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
tumbuh di kalangan masyarakat.
(2) Adat istiadat dan pola kebiasaan yang berlaku.
(3) Proses sosial (kerjasama, akomodasi, konflik) di kalangan
masyarakat
(4) Akulturasi, asimilasi, dan integrasi dari berbagai kelompok
masyarakat
(5) Kelompok-kelompok dan organisasi sosial
(6) Pelapisan sosial di kalangan masyarakat
(7) Perubahan sosial yang tengah berlangsung di kalangan
masyarakat
(8) Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau
kegiatan.
d. Kesehatan Masyarakat
(1) Insidensi dan prevalensi penyakit yang terkait dengan rencana
usaha atau kegiatan
(2) Sanitasi lingkungan, khususnya ketersediaan air bersih (cakupan
pelayanannya)
(3) Status gizi dan kecukupan pangan
(4) Jenis dan jumlah fasilitas kesehatan
(5) Cakupan pelayanan tenaga dokter dan paramedis
A. PENJELASAN UMUM
1. Lingkup Rencana Pengelolaan Lingkungan
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) merupakan dokumen yang
memuat upaya-upaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi
dampak penting lingkungan yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak
positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha atau kegiatan.
Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan lingkungan mencakup empat
kelompok aktivitas:
a. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau
mencegah dampak negatif lingkungan melalui pemilihan atas altematif,
tata letak (tata ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek.
b. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menanggulangi,
meminimisasi, atau mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di
saat usaha atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha atau
kegiatan berakhir (misalnya: rehabilitasi lokasi proyek).
c. Pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan dampak positif
sehingga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar
baik kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang
turut menikmati dampak positif tersebut.
d. Pengelolaan lingkungan yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi
lingkungan sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber
daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi
dan atau ekologis) sebagai akibat usaha atau kegiatan.
a. Pendekatan Teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk
mengelola dampak penting lingkungan. Sebagai misal,
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan
beracun, akan ditempuh cara:
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;
(1.2) Mendaur-ulangkan limbah;
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu
sehingga tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup
lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki
kerusakan sumberdaya alam, akan ditempuh cara:
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup
tanah, untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan
tanah atas dan penanaman tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan
nilai tambah dari dampak positif yang telah ada, misalnya
melalui peningkatan dan daya guna dari dampak positif
tersebut.
c. Pendekatan Institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh
pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan.
Sebagai misal,
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan oleh
instansi yang berwenang.
(3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan secara berkala kepada pihak-
pihak yang berkepentingan.
4) Pengelolaan Lingkungan
Jelaskan secara rinci upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang
dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi, dan atau sosial
ekonomi, dan atau institusi sebagaimana dijelaskan pada bagian
penjelasan umum butir 4.
Upaya pengelolaan lingkungan yang diutarakan juga mencakup
upaya pengoperasian unit atau sarana pengendalian dampak (misal
unit pengolahan limbah), bila unit atau sarana dimaksud di dalam
dokumen ANDAL dinyatakan sebagai aktifitas dari rencana usaha
atau kegiatan.
III. Pustaka
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan
dalam penyusunan RKL, baik yang berupa buku, majalah, makalah,
tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka
tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.
IV. Lampiran
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Lampirkan ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel dengan
urutan kolom sebagai berikut: Jenis Dampak Lingkungan, Tujuan
Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan, Lokasi
Pengelolaan Lingkungan, periode Pengelolaan Lingkungan, dan
Institusi Pengelolaan Lingkungan.
b. Data dan informasi penting yang merujuk dari hasil studi ANDAL
seperti peta-peta (lokasi kegiatan, lokasi pemantauan lingkungan,
dll.), rancangan teknik (engineering design), matrik serta data
utama yang terkait dengan rencana pengelolaan lingkungan untuk
menunjang isi dokumen RKL.
Lampiran IV : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-14 /MENLH/ 3 /1994
Tanggal : 19 MARET 1994
A. PENJELASAN UMUM
1. Lingkup Rencana Pemantauan Lingkungan
Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomena-
fenomena yang terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari tingkat proyek
(untuk memahami “perilaku” dampak yang timbul akibat usaha atau
kegiatan), sampai ke tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung
pada skala keacuhan terhadap masalah yang dihadapi.
Disamping skala keacuhan, ada 2 (dua) kata kunci yang membedakan
pemantauan dengan pengamatan secara acak atau sesaat, yakni
merupakan kegiatan yang bersifat berorientasi pada data sistematik,
berulang dan terencana.
2. Sumber Dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting:
a. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat langsung dari rencana
usaha atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha atau
kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak penting.
b. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat berubahnya komponen
lingkungan yang lain, maka utarakan secara singkat komponen atau
parameter lingkungan yang merupakan penyebab timbulnya dampak
penting tersebut.
III. Pustaka
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan
dalam penyusunan RPL, baik yang berupa buku, majalah, makalah,
tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka
tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.
IV. Lampiran
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Lampirkan ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan
kolom sebagai berikut : Dampak Penting yang Dipantau, Sumber
Dampak, Tujuan Pemantauan Lingkungan, Rencana Pemantauan
Lingkungan (yang meliputi Metode Pengumpulan Data, Lokasi
Pemantauan Lingkungan, Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan
Lingkungan, serta Metode Analisis), dan Institusi Pemantau
Lingkungan.
b. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena
menunjang isi dokumen RPL.
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 15 Tahun 1994
Tentang : Pembentukan Komisi AMDAL Terpadu
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan
Pertama
Kedua
3. Anggota :
a. Anggota Tetap
Ketiga
Keempat
3. rapat Komisi AMDAL Terpadu wajib mendengar saran dan pendapat wakil
masyarakat yang terkena dampak usaha atau kegiatan terpadu/multisektor
yang bersangkutan, dan memperhatikannya dalam mengambil keputusan;
Kelima
Semua biaya yang diperlukan oleh Komisi AMDAL Terpadu dalam melaksanakan
tugasnya dibebankan pada anggaran belanja rutin Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.
Keenam
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana dikemudian hari
terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 19 Maret 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup
SARWONO KUSUMAATMADJA
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 42 Tahun 1994
Tentang : Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan
Menimbang :
1. bahwa setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha atau kegiatan wajib
memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan
seimbang untuk menunjang pembangunanyang berkelanjutan;
3. bahwa audit lingkungan adalah suatu proses untuk melaksanakan kajian secara
sistematik, terdokumentasi, berkala, dan obyektif terhadap prosedur dan
praktek-praktek dalam pengelolaan lingkungan hidup;
5. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan suatu pedoman
umum tentang pelaksanaan audit lingkungan dengan suatu keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup;
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN
UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN
Pertama
Audit Lingkungan merupak suatu kegiatan yang diajurkan untuk dilaksanakan oleh
dan merupakan tanggung jawab pihak penanggung jawab usaha atau kegiatan;
Kedua
Ketiga
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal, dan apabila terdapat kekeliruan maka
keputusan ini akan ditinjau kembali.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Nopember 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
B. PENDAHULUAN
1. Definisi
Audit Lingkungan adalah suatu atau manajemen yang meliputi evaluasi
secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang
bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem manajemen dan peralatan
dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan
upaya nengendalian dampak lingkungan dan pengkajian pentaatan
kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang undangan
tentang pengelolaan lingkungan.
Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat
manajemen yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau
kegiatan sebagai tanggung jawab pengelolaan dan pemantauan
lingkungannya. Audit lingkungan bukan merupakan pemeriksaan resmi
yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan, melainkan
suatu usaha proaktif yang dilaksanakan secara sadar untuk
mengindentifikasi permasalahan lingkungan yang akan timbul sehingga
dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya.
2. Fungsi
Fungsi audit lingkungan adalah sebagai :
(a) Upaya peningkatan pentaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan lingkungan, misalnya : standar
emisi udara, limbah cair, penanganan limbah dan standar operasi
lainnya;
(b) Dokumen suatu usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan standar
operasi, prosedur pengelolaan dan pemantauan lingkungan
termasuk rencana tangggap darurat, pemantauan dan pelaporan
serta rencana perubahan pada proses dan peraturan;
(c) Jaminan untuk rnenghindari perusakan atau kecenderungan
kerusakan lingkungan;
(d) Bukti keabsahan prakiraan dampak dan penerapan rekomendasi
yang tercantum dalam dokurnen AMDAL, yang berguna dalam
penyempurnaan proses AMDAL;
(e) Upaya perbaikan penggunaan sumberdaya melalui penghematan
penggunaan bagan, minimisasi limbah dan identifikasi
kemungkinan proses daur ulang;
(f) Upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau
yang perlu dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk
memenuhi kepentingan lingkungan, misalnya pembangunan yang
berkelanjutan, proses daur ulang dan efisiensi penggunaan
sumberdaya.
3. Manfaat
Audit Lingkungan bermanfaat untuk:
(a) Mengindentifikasi risiko lingkungan;
(b) Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan
lingkungan atau upaya penyempurnaan rencana yang ada;
(c) Menghindari kerugian finansial seperti penutupan /pemberhentian
suatu usaha atau kegiatan atau pembatasan oleh pemerintah,
atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan
pemantauan lingkungan yang tidak baik;
(d) Mencegah tekanan sanksi hukum terhadap suatu usaha atau
kegiatan atau terhadap pimpinannya berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
(e) Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila
dibutuhkan dalam proses pengadilan;
(f) Meningkatkan kepedulian pimpinan/penanggung jawab dan staf
suatu badan usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan
kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggung jawab lingkungan;
(g) Mengidentifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui upaya
konservasi energi, dan pengurangan, pemakaian ulang dan daur
ulang limbah;
(h) Menyediakan laporan audit lingkungan bagi keperluan usaha atau
kegiatan yang bersangkutan, atau bagi keperluan kelompok
pemerhati lingkungan, pemerintah, dan media massa;
(i) Menyediakan informasi yang memadai bagi kepentingan usaha
usaha atau kegiatan asuransi, lembaga keuangan, dan
pemegang saham.
C. RUANG LINGKUP
Audit Lingkungan perlu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan
informasi mengenai :
1. sejarah atau rangkaian suatu usaha atau kegiatan, rona dan kerusakan
lingkungan di tempat usaha atau kegiatan tersebut, pengelolaan dan
pemantauan yang dilakukan, serta isu lingkungan yang terkait;
2. perubahan rona lingkungan sejak usaha atau kegiatan tersebut
didirikan sampai waktu terakhir pelaksanaan audit;
3. penggunaan input dan sumberdaya alam, proses bahan dasar, bahan
jadi, dan limbah termasuk limbah B3;
4. identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3 serta potensi
kerusakan yang mungkin timbul;
5. kajian resiko lingkungan;
6. sistem kontrol manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan
limbah, termasuk fasilitas untuk meminimumkan dampak buangan dan
kecelakaan;
7. effektifitas alat pengendalian pencemaran seperti ditunjukkan dalam
laporan inspeksi, perawatan, uji emisi, uji rutin, dll;
8. catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan pentaatan terhadap
peraturan perundang-undangan termasuk standar dan baku mutu
lingkungan;
9. pentaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan);
10. perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat;
11. rencana minimalisasi limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan;
12. penggunaan energi, air dan sumberdaya alam lainnya;
13. program daur ulang, konsiderasi product life cycle;
14. peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian
lingkungan.
Ruang lingkup audit lingkungan sangat luwes, tergantung pada kebutuhan atau
kegiatan yang bersangkutan.
D. PRINSIP-PRINSIP DASAR
1. Karakteristik dasar
Audit Lingkungan mempunyai ciri khas sebagai berikut:
(a) Metodotogi yang komprehensif;
Audit lingkungan memerlukan tata laksana dan metodologi yang
rinci. Audit lingkungan harus dilaksanakan dengan metodologi
yang komprehensif dan prosedur yang telah ditentukan, untuk
menjamin pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta
dokumentasi dan pengujian informasi tersebut.
Metodologi tersebut harus fleksibel sehingga tim auditor dapat
menerapkan teknik-teknik yang tepat. Audit lingkungan harus
berpedoman kepada penggunaan rencana yang sistematik dan
sesuai dengan prosedur pelaksanaan audit lapangan dan
penyusunan laporan.
(b) Konsep pembuktian dan pengujian;
Konsep pembuktian dan pengujian terhadap penyimpangan
pengelolaan lingkungan adalah hal yang pokok dalam audit
ingkungan. Tim audit harus mengkonfirmasikan semua data
dan informasi yang diperolehnya melalui pemeriksaan lapangan
secara langsung.
(c) Pengukuran dan standar yang sesuai;
Penetapan standardan pengukuran tertiadap kinerja Hngkungan
harus sesuai dengan usaha atau kegiatan dan proses produksi
yang diaudit. Audit lingkungan tidak akan beraiti kecuali Ha
kinerja usaha atau kegiatan dapat dibandingkandengan standar
yang digunakan
(d) Laporan tertulis.
Laporan harus mernuat hasH pengamatan dan fakta-iakta penun
serta dokumentasi terhadap proses produksi. Seluruh data dan
basil temuan barus disajikan dengan letas dan akurat, serla
dilandasi dengan bukt’yang sahib dan terdokumentasi.
2. Kunci keberhasilan
(a) Dukungan pihak pimpinan
Pelaksanaan audit lingkungan harus diawali dengan adanya itikad
pimpinan usaha atau kegiatan. Usaha atau kegiatan dan proses
audit dapat menjadi sangat kompleks dan pelaksanaan audit
lingkungan menjadi tidak efektif bila tidak ada dukungan yang
kuat dari pimpinan usaha atau kegiatan. Selain itu tim auditor
harus pula diberi keleluasan untuk mengkaji hal-hal yang sensitif
dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.
(b) Keikutsertaan semua pihak
Keberhasilan audit lingkungan ditentukan pula oleh keikutsertaan
dan kerjasama yang baik dari semua pihak dalam usaha atau
kegiatan yang bersangkutan, mengingat kajian terhadap kinerja
lingkungan akan meliputi semua aspek dan pelaksanaan tugas
secara luas.
(c) Kemandirian dan obyektifitas auditor
Tim audit lingkungan harus mandiri dan tidak ada keterikatan
dengan usaha atau kegiatan yang diaudit. Apabila tidak, maka
obyektifitas dan kredibilitas akan diragukan. Pada umumnya,
kemandirian auditor diartikan bahwa tim auditor harus
dilaksanakan oleh orang di luar usaha atau kegiatan yang diaudit.
(d) Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup audit Harus ada
kesepakatan awal antara pimpinan usaha atau kegiatan dengan
tim auditor tentang lingkup audit lingkungan yang akan
dilaksanakan.
F. SIFAT KERAHASIAAN
Laporan hasil audit lingkungan merupakan milik usaha atau kegiatan yang
diaudit dan bersifat rahasia. Namun demikian, dunia usaha atau kegiatan
sesuai dengan kebebasannya dapat menyampaikan laporan audit lingkungan
kepada pemerintah, masyarakat luas atau organisasi lainnya dengan tujuan
sebagai berikut :
(a) Publikasi terhadap upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
telah dilakukan. Pemerintah dapat memberikan vertifikasi atas hasil
audit;
(b) Antisipasi kebutuhan penilaian peringkat kinerja usaha atau kegiatan
lainnya;
(c) Tujuan lainnya yang ditetapkan oleh usaha atau kegiatan tersebut.
Kebijakan audit lingkungan dalam hal ini tidak membatasi hai-hal sebagai
berikut :
(a) Hak pemerintah untuk melaksanakan pemeriksanaan secara rutin pada
suatu usaha atau kegiatan;
(b) Hak pemerintah untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap suatu
kegiatan yang dicurigai sebagai kelalaian, penghindaran kewajiban dan
pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan;
c) Hak pemerintah untuk meminta sesuatu informasi khusus sebagai dasar
penentuan peringkat kinerja lingkungan suatu usaha atau kegiatan
pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan:
(d) Tanggung jawab dunia usaha atau kegiatan untuk menyediakan data
hasil pengelolaan dan pemantauan kepada pemerintah sesuai ketentuan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 1993 dan peraturan pelaksanaan lainnya
_____________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 54 Tahun 1995
Tentang : Pembentukan Komisi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Terpadu Multisektor Dan
Regional
Menimbang :
a. bahwa dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 1993 diatur analisis mengenal dampak lingkungan
kegiatan terpadu/ multisektor dan regional;
b. bahwa dalam rangka penilaian analisis mengenai dampak lingkungan
kegiatan/multisektor dan regional sebagaimana tersebut di atas, perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu /
Multisektor dan Regional;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1993 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan
Kabinet Pembangunan V;
5. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas
Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
6. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Pertama : PEMBENTUKAN KOMISI ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN TERPADU/MULTISEKTOR DAN REGIONAL.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 September 1995
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun 1995
Tentang : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional
Menimbang :
Mengingat :
10. Keputusan Presiden R.I. Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN REGIONAL
Pasal 1
3. Rencana Umum Tata Ruang Daerah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(1) Setiap usaha atau kegiatan wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Regional apabila memenuhi seluruh kriteria yang meliputi:
1. berbagai jenis usaha atau kegiatan yang saling terkait antar satu dengan
yang lainnya;
4. usaha atau kegiatan tersebut dapat terletak dalam satu zona rencana
pengembangan wilayah sesuai dengan rencana umum tata ruang
daerah; dan
5. usaha atau kegiatan tersebut dapat terletak di lebih dari satu kesatuan
hamparan ekosistem.
Pasal 3
Berbagai jenis usaha atau kegiatan yang saling terkait antar satu dengan yang
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf adalah keterkaitan usaha atau
kegiatan sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan usaha atau kegiatannya.
Pasal 4
Usaha atau kegiatan tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah beberapa pemrakarsa yang wajib
menggabungkan diri menjadi satu pemrakarsa sebagai pihak yang bertanggung
jawab untuk mengajukan dan menyelesaikan penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Regional.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Setiap usaha atau kegiatan yang terkena kewajiban Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Regional, wajib menyusun Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan yang lebih rinci atas dasar Rencana Pengelolaan Lingkungan
dan Rencana Pemantauan Lingkungan Regional.
Pasal 10
Pasal 12
Pasal 13
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 Nopember 1995
Menteri Negara lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK
LINGKUNGAN REGIONAL
1. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya berbagai jenis
rencana usaha atau kegiatan dan keterkaitannya dengan tata ruang.
Disamping itu uraikan pula latar belakang dilaksanakan studi ANDAL
regional ini ditinjau dari :
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan
dengan rencana pembangunan usaha atau kegiatan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
b. Kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik tingkat
nasional maupun daerah, termasuk kebijakan mengenai rencana
pembangunan mengenai wilayah.
c. Uraian singkat mengenai keperluan, tujuan dan manfaat dan
berbagai rencana usaha atau kegiatan.
d. Kaitan rencana pembangunan berbagai usaha atau kegiatan
dengan dampak penting yang mungkin timbul.
Tujuan dan Kegunaan Studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL Regional:
a. Mengindentifikasikan berbagai rencana usaha atau kegiatan
terutama yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan regional.
b. Mengidentifikasikan rona lingkungan hidup regional, terutama
yang akan terkena dampak penting.
c. Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting.
Kegunaan studi ANDAL Regional :
a. Membantu pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
dan berbagai rencana usaha atau kegiatan.
b. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan regional dalam tahap
perencanaan rinci dan berbagai rencana usaha atau kegiatan.
c. SebagaI pedoman untuk pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan regional.
3. METODA STUDI
Metoda studi yang berlaku dalam penyusunan ANDAL Regional pada dasarnya
sama dengan metoda studi ANDAL pada umumnya. Tetapi pada ANDAL
Regional, penggunaan berbagai metoda studi tersebut harus difokuskan pada
hal-hal sebagai berikut:
a. Dampak penting dan masing-masing usaha atau kegiatan terhadap
lingkungan menurut ruang dan waktu;
b. lnteraksi antar jenis usaha atau kegiatan yang direncanakan untuk
mengetahui keterkaitan dampak antar kegiatan menurut ruang dan
waktu;
c. Akumulasi dampak yang terjadi menurut ruang dan waktu pada
terhadap lingkungan (fisik-kimia, biologi, sosial dan kesmas) baik yang
disebabkan oleh masing-masing kegiatan atau antar kegiatan. Untuk itu
perlu dilakukan:
(1) Pengukuran dampak dan setiap usaha atau kegiatan terhadap
setiap parameter/komponen lingkungan;
(2) Pengukuran akumulasi dampak dan setiap usaha atau kegiatan
terhadap parameter/komponen lingkungan;
(3) Pengukuran akumulasi dampak dan berbagai usaha atau kegiatan
pada parameter/komponen lingkungan tertentu, baik bersifat
sinergetik atau antagenistik).
3.1. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
Uraian metoda pengumpulan dan analisis data baik data primer dan atau
sekunder yang sahih dan dapat dipercaya untuk digunakan:
a. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen lingkungan yang
diperkirakan terkena dampak penting.
b. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen rencana
pembangunan berbagai jenis usaha atau kegiatan yang
diperkirakan rnendapat dampak dari lingkungan sekitarnya.
3.2. Metoda Prakiraan Dampak
Uraian metoda yang digunakan dalam studi ANDAL untuk
memprakirakan besarnya dampak lingkungan dan penentuan sifat
pentingnya dampak. Penggunaan metoda formal dan non formal dalam
mernprakirakan dampak penting perlu diuraikan secara jelas untuk
setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak
penting. Dalam hal ini, pengguna metoda non formal hanya dapat
digunakan apabila metoda formal belum ada/diketahui.
3.3. Metoda Evaluasi Dampak
Dalam mengavaluasi darnpak penting maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
a. Evaluasi Tingkat Kepentingan Dampak
Gunakan Keputusan Kepala BAPEDAL nomor KEP- 055 Tahun 1994
tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting untuk menilai
tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
b. Evaluasi Tingkah Laku Dampak
Sebagai dasar untuk rnenelaah kelayakan lingkungan dan
berbagai alternatif usaha atau kegiatan dan arah pengelolaan
dampak penting yang dihasilkanpada butir a tersebut di atas,
maka berbagai dampak penting tersebut harus dievaluasi atas
dasar:
1) Sebab Akibat Dampak
perlu diketahui dari segi aspek kegiatannya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
2) Sifat dan Karakteristik Dampak
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dan sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positip maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonistik atau saling menetralisir.
3) Pola Persebaran Dampak
Harus diketahui arah persebaran dampak yang jelas dalam
rangka mempermudah pengelolaan dampak yang
bersangkutan.
4. PELAKSANAAN STUDI
4.1. Tim Studi
Pada bagian ini dicantumkan jumlah dan jenis tenaga ahli yang
diperlukan dalam studi ANDAL Regional sesuai dengan lingkup studi
ANDAL Regional. Jenis tenaga ahli yang diperlukan adalah tenaga ahli
yang sesuai dengan sifat proyek dan aspek lingkungan yang diteliti serta
telah berpengalaman dalam penyusunan AMDAL sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun.
4.2. Biaya Studi
Pada bagian ini diuraikan sekurang-kurangnya rincian jenis-jenis biaya
yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi ANDAL Regional.
4.3. Waktu Studi
Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL
Regional sejak tahap persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi
yang bertanggung jawab.
5. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini dicantumkan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen Kerangka Acuan (KA)-ANDAL Regional yang
berupa buku, majalah, tulisan dan hasil-hasil laporan penelitian dengan
susunan penulisan sebagai berikut:
a. Nama pengarang/penyunting (editor) yang jelas dan lengkap
b. Judul buku/artikel
c. Penerbit
d. Tempat penerbitan
e. Tahun penerbitan
6. LAMPIRAN
a. Butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL.
b. Biodata Personil Penyusun ANDAL Regional.
c. Hal-hal lain yang dianggap perlu.
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Ttd
Hambar Martono
LAMPIRAN II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN
REGIONAL
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya berbagai jenis
rencana usaha atau kegiatan dan keterkaitannya dengan tata ruang. Di
samping itu uraikan pula Latar belakang dilaksanakan studi ANDAL
regional ditinjau dari :
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik
tingkat nasional maupun daerah, termasuk kebijakan mengenai
rencana pembangunan wilayah
c. Kaitan rencana usaha atau kegiatan dengan dampak penting yang
ditimbulkan.
1.2. Tujuan Studi
a. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL Regional adalah:
1) Mengindentifikasikan berbagai rencana usaha atau kegiatan
yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan
regional.
2) Mengidentifikasikan komponen-komponen lingkungan hidup
yang akan terkena dampak penting.
3) Memprakirakan dan mengevaluasi rencana usaha atau
kegiatan yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan regional.
b. Kegunaan
Kegunaan studi ANDAL Regional adalah untuk:
1) Bahan masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah.
2) Membantu proses pengambilan keputusan tentang
kelayakan lingkungan dan berbagai rencana usaha atau
kegiatan.
3) Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dan
berbagai usaha atau kegiatan yang direncanakan.
4) Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan
dan pemantauan lingkungan dan berbagai usaha kegiatan
yang direncanakan.
5) Memberi informasi bagi masyarakat untuk dapat
memanfaatkan dampak positif dan menghindari dampak
negatif yang akan ditimbulkan dan berbagai usaha atau
kegiatan yang direncanakan.
2. METODA STUDI
Bab Metoda Studi mencakup tentang dampak penting yang ditelaah, wilayah
studi, metoda pengumpulan dan analisis data, metoda prakiraan dampak
penting, serta metoda evaluasi dampak penting.
Masing-masing butir yang uraikan pada Bab Metoda Studi ini disusun dengan
mengacu pada hal-hal yang tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan.
2.1. Dampak Penting yang Ditelaah
a) Uraikan mengenai rencana usaha atau kegiatan penyebab
dampak, terutama komponen usaha atau kegiatan yang berkaitan
langsung dengan dampak yang ditimbulkannya, atau kegiatan
atau kelompok kegiatan (yang mempunyai sifat dampak yang
sama).
b) Uraikan rona lingkungan yang terkena dampak, terutama
komponen lingkungan yang langsung terkena dampak. Uraikan
agar dibuat untuk setiap lokasi rencana usaha atau kegiatan atau
kelompok kegiatan, yaitu di mana masing-masing rencana usaha
atau kegiatan atau kelompok kegiatan direncanakan berada.
c) Uraian dampak yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 1
a) dan b) mengacu pada hasil pelingkupan yang tertuang dalam
dokumen Kerangka Acuan untuk ANDAL Regional. Penetapan
dampak penting dimaksud harus mengacu pada keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor KEP- 056 Tahun 1994 tentang Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting.
2.2. Wilayah Studi
Uraian lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah studi
yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL Regional, dan hasil
pengamatan di lapangan.
Batas wilayah studi ANDAL Usaha atau Kegiatan dimaksud digambarkan
pada peta dengan skala yang memadai.
2.3. Metoda Pengumpulan dan Analisa Data
a) Mengingat studi ANDAL merupakan telaahan mendalam atas
dampak penting usaha atau kegiatan terhadap lingkungan, maka
jenis data yang dikumpulkan baik data primer maupun sekunder
harus bersifat sahih dan dapat dipercaya yang diperoleh melalui
metoda atau alat yang bersifat sahih.
b) Uraikan secara jelas tetang metoda atau alat yang digunakan,
serta lokasi pengumpulan data berbagai komponen lingkungan
yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 2.1.b. Lokasi
pengumpulan data agar dicantumkan dalam peta dengan skala
memadai.
c) Pengumpulan data untuk demografi, sosial ekonomi, sosial
budaya, dan kesehatan masyarakat, sejauh mungkin
menggunakan kombinasi tiga metoda (metoda triangulasi, studi
pustaka, survai data sekunder, pengamatan/pemeriksaan) agar
diperoleh data yang reliabilitasnya tinggi.
d) Uraikan secara jelas tentang metoda atau alat yang digunakan
dalam analisa data.
2.4. Metoda Prakiraan Dampak Penting
Uraikan secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk
memprakiraan besar dampak usaha atau kegiatan terhadap komponen
lingkungan yang dimaksud pada butir 2.1 .b. Penggunaan metoda formal
dan non formal dalam memprakirakan dampak penting agar diuraikan
secara jelas untuk setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan
terkena dampak penting. Dalam hal ini, penggunaan metoda non formal
hanya dapat digunakan bilamana metoda formal belum ada/belum
diketahui.
Penggunaan Matriks Kompatibilitas akan sangat membantu lebih
terfokusnya prakiraan dampak akibat interaksi usaha atau kegiatan.
2.5. Metoda Evaluasi Dampak Penting
Dalam mengevaluasi dampak penting, maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
a. Evaluasi Tingkat Kepentingan Dampak
Gunakan Keputusan Kepala Bapedal Nomor: KEP - 056 Tahun
1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting untuk
menilai tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
b. Evaluasi Tinggi Laku Dampak
Sebagai dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan dan
berbagai alternatif usaha atau kegiatan dan arah pengelolaan
dampak penting yang dihasilkan pada butir a tersebut di atas,
maka berbagai dampak penting tersebut harus dievaluasi atas
dasar:
1) Sifat Akibat Dampak
Perlu diketahui dan segi aspek kegiatannya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
2) Sifat dan Karakteristik Dampak
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dan sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positif maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonistik atau saling menetralisir.
3) Pola Persebaran Dampak
Harus diketahui arah persebaran dampak yang jelas dalam
rangka mempermudah pengelolaan dampak yang
bersangkutan.
7. DAFTAR PUSTAKA
Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan
pernyataan penting yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang
mutakhir serta disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang
baku.
8. LAMPIRAN
Dalam bab ini hendaknya disebut bahan-bahan yang dilampirkan:
a. Surat izin atau rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai
dengan saat ANDAL akan disusun.
b. Surat-surat tanda pengenal, keputusan, kualifikasi, rujukan bagi para
pelaksana dan peneliti serta penyusun analisis dampak lingkungan.
c. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan awal, usulan
rencana usaha atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang
lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan
dampak lingkungan penting yang akan ditimbulkannya.
d. Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tercantum
dalam dokumen.
e. Hal-lain yang dipandang perlu atau relevan untuk dimuat dalam lampiran
ini.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Ttd
Hambar Martono
LAMPIRAN III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN REGIONAL
3. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan, baik yang berupa buku,
majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan
pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.
4. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Ringkasan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan dalam bentuk
tabel dengan urutan kolom sebagai berikut: Jenis Dampak Lingkungan,
Tujuan Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan,
Lokasi Pengeloiaan Lingkungan, Periode Pengelolaan Lingkungan, dan
Institusi Pengelolaan Lingkungan.
b. Data dan Informasi penting yang merujuk dan hasil studi ANDAL seperti
peta-peta (lokasi kegiatan, lokasi pemantauan lingkungan, dll rancangan
teknik (engineering design), metrik serta data utama yang terkait
dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan.
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Ttd
Hambar Martono
LAMPIRAN IV
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN
REGIONAL
3. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RPL Regional, baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan,
maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar
ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.
4. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Lampirkan ringkasan dokumen RPL Regional dalam bentuk tabel dengan
urutan kolom sebagai berikut dampak penting yang dipantau, sumber
dampak, tujuan pemantauan lingkungan, rencana pemantauan
lingkungan (yang meliputi metoda pengumpulan data, lokasi
pemantauan lingkungan, jangka waktu dan frekuensi pemantauan
lingkungan, serta metoda analisis), dan institusi pemantau lingkungan.
b. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena
menunjang isi dokumen RPL Regional.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 57 Tahun 1995
Tentang : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Usaha Atau Kegiatan Terpadu/Multisektor
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN USAHA ATAU KEGIATAN TERPADU /
MULTISEKTOR
Pasal 1
Pasal 2
(1) Setiap rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor wajib menyusun
Analisis Mengenai Damapak Lingkungan Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor apabila memenuhi seluruh kriteria yang meliputi:
1. berbagai jenis usaha atau kegiatan yang analisis mengenai dampak
lingkungannya menjadi kewenangan berbagai instansi teknis yang
membidanginya;
3. usaha atau kegiatan tersebut berada dalam satau ekosistem yang sama;
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) Penilaian dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor dilakukan oleh Komisi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Terpadu/Multisektor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Pasal 7
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Desember 1995
Menteri Negara lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kerangka Acuan (KA) merupakan dokumen awal yang perlu disusun
untuk memberikan kejelasan pada pihak yang berkepentingan tentang
ruang lingkup pekerjaan yang harus dilaksanakan selama melakukan
Analisis Dampak Lingkungan(ANDAL). Kerangka Acuan ini merupakan
dokumen penting untuk memberikan rujukan tentang kedalaman yang
akan dicapai oleh suatu ANDAL. Bagi pemrakarsa, Kerangka Acuan
menggambarkan seberapa jauh hasil yang harus dicapai oleh penyusun
ANDAL, karena itu peranannya menjadi penting.
Mengingat pentingnya hal tersebut diatas, maka dalam penyusunan
Kerangka Acuan ini perlu diuraikan secara singkat latar belakang
mengapa rencana usaha atau kegiatan tersebut ditinjau dan
keterpaduannya. Disamping itu jelaskan pula latar belakang
dilaksanakannya studi Analisis Dampak Lingkungan Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor m ditinjau dari:
1) Peraturan perundang-undangan yang benlaku yang berkaitan
dengan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dan
pengelolaan lingkungan hidup;
2) Kebijaksanaan perigelolaan lingkungan hidup baik tingkat nasional
maupun daerah;
3) Uraian singkat mengenai keperluan, tujuan dan manfaat rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;
4) Kaitan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dengan
dampak penting yang mungkin timbul:
a) Jenis-jenis rencana atau kegiatan;
b) Lokasi dan luas area yang diperlukan untuk masing-masing
usaha atau kegiatan;
c) Jadwal pelaksanaan, baik untuk masing-masing usaha atau
kegiatan maupun keterkaitannya;
d) Komponen proyek yang mencakup jenis dimensi dan
kapasitas serta bangunan untuk masing-masing usaha atau
kegiatan;
e) Cara pelaksanaan usaha atau kegiatan;
f) Keterkaitan antar rencana usaha atau kegiatan.
2. Tujuan dan kegunaan studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor:
1) Mengidentifikasi rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor
terutama yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
2) Mengidentifikasikan rona lingkungan hidup, terutama yang
terkena dampak penting.
3) Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting.
Kegunaan studi ANDAL rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor:
1) Membantu pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
dan rencana usaha atau kegiatan;
2) Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam tahap
perencanaan dan suatu rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor (baik untuk masing-masing usaha atau kegiatan
maupun secara gabungan);
3) Sebagai pedoman untuk pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan.
C. METODA STUDI
Metoda studi yang berlaku dalam penyusunan ANDAL rencana usaha atau
kegiatan terpadu/mutisektor pada dasarnya sama dengan metoda studi ANDAL
pada umumnya. Tetapi ANDAL rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor, penggunaan berbagai metoda studi tersebut harus difokuskan
pada hal-hal sebagai berikut:
a. Dampak penting dan masing-masing rencana usaha atau kegiatan
terpadul multisektorterhadap lingkungan menurut ruang dan waktu;
b. lnteraksi antar jenis usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang
direncanakan untuk mengetahul keterkaitan dampak antar kegiatan
menurut ruang dan waktu;
c. Akumulasi dampak yang terjadi pada setiap parameter komponen
lingkungan (fisika - kimia, biologi, sosial dan kesehatan masyarakat)
baik yang disebabkan oleh masing-masing kegiatan atau antar kegiatan.
Untuk itu perlu dilakukan:
1) Pengukuran dampak dan setiap rencana atau kegiatan terhadap
setiap parameter/komponen lingkungan;
2) Pengukuran akumulasi dampak dan setiap rencana usaha atau
kegiatan terhadap setiap parameter/komponen lingkungan;
3) Akumulasi dampak dan berbagai rencana usaha atau kegiatan
pada setiap parameter! komponen lingkungan (bersifat sinergetik
atau antagonistik).
1. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
Uraikan dengan singkat metoda pengumpulan dan analisis data baik data
primer dan/atau sekunder yang sahih dan dapat dipercaya untuk
digunakan:
a. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen lingkungan yang
diperkirakan terkena dampak penting;
b. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen rencana usaha
atau kegiatan terpadu!multisektor yang diperkirakan mendapat
dampak dan lingkungan sekitarnya.
2. Metoda Prakiraan Dampak
Uraikan secara singkat metoda yang digunakan dalam studi ANDAL
untuk memprakirakan besarnya dampak lingkungan dan penentuan sifat
pentingnya dampak Penggunaan metoda formal dan nonformal dalam
memprakirakan dampak penting perlu diuraikan secara jelas untuk
setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak
penting. Dalam hal ini penggunaan metoda nonformal hanya dapat
digunakan apabila metoda nonformal belum ada atau belum diketahui.
3. Metoda Evaluasi Dampak
Dalam mengevaluasi dampak penting, maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
a. Evaluasi tingkat kepentingan dampak.
Gunakan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor: KEP- 056 Tahun
1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting untuk
menilai tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
b. Evaluasi tingkah laku dampak
Sebagai dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan dan
berbagal alternatif rencana usaha atau kegiatan dan arah
pengelolaan dampak penting yang dihasilkan pada huruf a
tersebut diatas, maka berbagai dampak penting tersebut harus
dievaluasi atas dasar:
1) Sebab akibat dampak
Perlu diketahui dan segi aspek kegiatannya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
2) Sifat dan karakteristik dampak
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dan sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positif maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonistik atau saling menetralisir.
3) Pola persebaran dampak
Harus diketahui arah persebaran dampak yang jelas dalam
rangka mempermudah pengelolaan dampak yang
bersangkutan.
D. PELAKSANAAN STUDI
1. Tim studi
Pada bagian ini dicantumkan jumlah dan jenis tenaga ahli yang
diperlukan dalam studi ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor sesuai dengan lingkup studi ANDAL Rencana Usaha
atau Kegiatan Terpadu/Multisektor. Jenis tenaga ahli yang digunakan
adalah tenaga ahli yang sesuai dengan sifat proyek dan aspek
lingkungan yang diteliti dan telah berpengalaman dalam penyusunan
AMDAL sekurang-kurangnya lima (5) tahun.
2. Biaya Studi
Pada bagian ini diuraikan sekurang-kurangnya rincian jenis biaya yang
dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi rencana ANDAL Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor.
3. Waktu Studi
Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL
Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor sejak tahap persiapan
hingga penyerahan laporan ke instansi yang bertanggungjawab.
E. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini dicantumkan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen Kerangka Acuan (KA)-ANDAL yang berupa
buku, majalah, tulisan dan hasil-hasil laporan penelitian dengan susunan
penulisan sebagai berikut:
1. Nama pengarang/penyunting (editor) yang jelas dan lengkap.
2. Judul buku dan artikel.
3. Penerbitan.
4. Tempat penerbitan.
5. Tahun penerbitan.
F. LAMPIRAN
1. Butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor.
2. Biodata Personil Penyusun ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor.
3. Hal-hal lain yang dianggap perlu
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995
A. Latar Belakang
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) perlu disusun sedemikian rupa, sehingga
dapat langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi
pengambilan keputusan perencana, dan pengelola rencana usaha atau
kegiatan. Isi ANDAL harus mudah dipahami oleh semua pihak, termasuk
masyarakat, dan mudah disarikan isinya bagi pemuatan dalam media masa,
bila dipandang perlu.
Mengingat pentingnya hal tersebut diatas, maka dalam penyusunan ANDAL ini
perlu diuraikan secara singkat latar belakang mengapa rencana berbagai jenis
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor ini dilaksanakan dan
bagaimana keterkaitan rencana usaha atau kegiatan tersebut ditinjau dan
keterpaduannya. Disamping itu uraikan pula latar belakang dilaksanakannya
studi ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/Mutisektor ditinjau dari:
1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik tingkat
nasional maupun tingkat daerah;
3. Kaitan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dengan dampak
penting yang ditimbulkan:
a) Jenis- rencana usaha atau kegiatan;
b) Lokasi dan luas area yang diperlukan untuk masing-masing
rencana usaha atau kegiatan;
c) Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting yang terjadi
terhadap lingkungan;
d) Komponen proyek yang mencakup jenis dimensi dan kapasitas
serta bangunan untuk masing-masing rencana usaha atau
kegiatan;
e) Cara pelaksanaan rencana usaha atau kegiatan;
f) Keterkaitan (perencanaan, pengelolaan, dan proses produksi)
antar rencana usaha atau kegiatan;
g) Dampak penting yang ditimbulkan baik yang tidak kumulatif
maupun kumulatif.
4. Tujuan Studi
1) Tujuan
Tujuan dilaksanakarnya studi ANDAL Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor adalah:
a) Mengidentifikasi rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan;
b) Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup
yang akan terkena dampak penting;
c) Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting yang
terjadi terhadap lingkungan.
2) Kegunaan
Kegunaan studi ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/
Mutisektor adalah untuk:
a) Bahan masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah;
b) Membantu proses pengambilan keputusan tentang
kelayakan lingkungan dan rencana usaha atau kegiatan
terpadu/ multisektor;
c) Memberi masukan untuk penyusunan desain rinci teknis
dari rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;
d) Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan
dan pemantauan lingkungan dan rencana usaha atau
kegiatan terpadu/mutisektor;
e) Memberi informasi bagi masyarakat untuk dapat
memanfaatkan dampak positif dan menghindari dampak
negatif yang akan ditimbulkan dan suatu rencana usaha
atau kegiatan terpadu/ multisektor.
B. METODA STUDI
Bab Metoda Studi mencakup tentang dampak penting yang ditelaah, wilayah
studi, metoda pengumpulan dan analisis data, metoda prakiraan dampak
penting, serta metoda evaluasi dampak penting.
Masing-masing butir yang diuraikan pada Bab Metoda Studi ini disusun dengan
mengacu pada hal-hal yang tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan.
1. Dampak Penting yang Ditelaah
a. Uraikan mengenai rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor penyebab dampak, terutama komponen rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang berkaitan langsung
dengan dampak yang ditimbulkannya. Uraian agar dibuat untuk
setiap jenis rencana usaha atau kegiatan;
b. Uraikan rona lingkungan yang terkena dampak, terutama
komponen lingkungan yang langsung terkena dampak. Uraian
agar dibuat untuk lokasi rencana usaha atau kegiatan, yaitu
dimana masing-masing rencana usaha atau kegiatan direncanakan
berada;
c. Uraian dampak yang diteliti sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan b harus menghasilkan berbagai dampak penting yang akan
terjadi mengacu pada hash pehngkupan yang tertuang dalam
dokumen Kerangka Acuan untuk ANDAL Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor. Penetapan dampak penting
dimaksud harus mengacu pada Keputusan Kepala BAPEDAL
Nomor: KEP- 056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran
Dampak Penting.
2. Wilayah Studi
Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan
wilayah studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL
Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor dimaksud digambar
pada peta dengan skala yang memadai.
3. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
a. Mengingat studi ANDAL merupakan telaahan mendalam atas
dampak penting rencana usaha atau kegiatan terhadap
lingkungan, maka jenis data yang dikumpulkan baik data primer
maupun sekunder harus bersilat sahih dan dapat dipercaya yang
diperoleh melalui metoda atau alat yang bersifat sahih.
b. Uraikan secara jelas tentang metoda atau alat yang thgunakan,
serta lokasi pengumpulan data berbagal komponen lingkungan
yang diteliti sebagaimana thmaksud pada angka 1 b. Lokasi
pengumpulan data agar dicantumkan dalam peta dengan skala
memadai;
c. Pengumpulan data untuk demografi, sosial ekonomi, sosial
budaya, dan kesehatan masyarakat, sejauh mungkin
menggunakan kombinasi tiga metoda (metoda triangulasi : studi
pustaka, survai data sekunder, pengamatan pemeriksaan) agar
diperoleh data yang reliabilitasnya tinggi;
d. Uraian secara jelas tentang metoda atau alat yang digunakan
dalam analisis data.
4. Metoda Prakiraan Dampak Penting
Uraian secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk
memprakirakan besar dan pentingnya dampak rencana usaha atau
kegiatan terpadu/ multisektor terhadap komponen lingkungan yang
dimaksud pada angka 1. b. Penggunaan metoda formal dan nonformal
dalam memprakirakan dampak penting agar diuraikan secara jelas untuk
setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak
penting. Dalam hal ini penggunaan metoda nonformal hanya dapat
dilakukan apabila metode nonformal belum ada atau belum diketahui.
Penggunaan matriks kompatibilitas sangat dianjurkan untuk membantu
lebih terfokusnya prakiraan dampak akibat interaksi beberapa usaha
atau kegiatan.
5. Metode Evaluasi Dampak penting
Dalam mengevaluasi dampak penting, maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
1) Evaluasi tingkat kepentingan dampak
Gunakan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor: KEP- 056 Tahun
1994 tentang pedoman Mengenai ukuran Dampak Penting untuk
menilai tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
2) Evaluasi tingkah laku dampak
Sebagai dasar untuk menelaah kelayakan tingkungan dan
berbagal alternatif rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor dan arah pengelolaan dampak penting yang dihasilkan
pada angka 1) tersebut diatas, maka berbagai dampak penting
tersebut harus dievaluasi atas dasar:
a) Sebab akibat dampak;
Perlu diketahui dan segi aspek kegiatanya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
b) Sifat dan karakteristis dampak;
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dari sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positif maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonik atau saling menetralisir.
3) Pola persebaran dampak harus diketahui arah persebaran dampak
yang jelas dalam rangka mempermudah pengelolaan dampak
yang bersangkutan.
G. DAFTAR PUSTAKA
Dalam bab ini hendaknya dikemukan rujukan data dan pernyataan pernyataan
penting yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang mutakhir serta
disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang baku.
H. LAMPIRAN
Dalam bab ini hendaknya disebut bahan-bahan yang dilampirkan:
1. Surat izin atau rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai
dengan saat ANDAL akan disusun.
2. Surat-surat pada pengenal, keputusan, kualifikasi, rujukan bagi para
pelaksana dan peneliti serta penyusun analisis dampak lingkungan.
3. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan awal, usulan
rencana usaha atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang
lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan
dampak lingkungan penting yang timbulkannya.
4. Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tencantum
dalam dokumen.
5. Hal lain yang dipandang perlu atau relevan untuk dimuat dalam
lampiran ini.
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995
C. DAFTARPUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan, baik yang berupa buku,
majalah, makalah, tutisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan
pustaka tersebut agar ditutis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.
D. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
1. Ringkasan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan dalam bentuk
tabet dengan urutan kolom sebagai berikut:
a. Jenis dampak lingkungan
b. Tujuan pengelolaan lingkungan
c. Rencana pengelolaan lingkungan
d. Lokasi pengelolaan lingkungan
e. Periode pengelolaan lingkungan
f. Institusi pengelolaan lingkungan
2. Data dan informasi penting yang merunjuk dan hasil studi ANDAL seperti
peta-peta (Lokasi kegiatan, lokasi pemantauan lingkungan, dan lain-lain.
Rancangan teknik (engineering design), matrik serta data utama yang
terkait dengan rencana pengelolaan lingkungan untuk menunjang isi
dokumen RKI.
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,
ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995
C. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RPL usaha atau kegiatan terpadu/multisektor, baik yang berupa
buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-
bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara
penulisan pustaka.
D. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
1. Lampirkan ringkasan dokumen RPL usaha atau kegiatan terpadu/
muttisektor dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut:
a. Dampak penting yang dipantau;
b. Sumber dampak;
c. Tujuan pemantauan lingkungan;
d. Rencana pemantauan lingkungan (yang meliputi metoda
pengumpulan data lokasi pemantauan lingkungan, jangka waktu
dan frekuensi pemantauan lingkungan, serta metoda analisis);
e. Institusi pemantau lingkungan;
2. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena
menunjang isi dokumen RPL usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor.
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 30 Tahun 1999
Tentang : Panduan Penyusunan Dokumen
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PENDUAN
PENYUSUNAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999
Ttd
A. PENDAHULUAN
1. Ketentuan penyusunan Dokumen Pengelolaan lingkungan ini
ditujukan bagi usaha/kegiatan yang telah beroperasi sebelum
tanggal 23 Oktober 1993 yang diwajibkan menyusun Study
Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan (SEMDAL) dan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun1986, namun belum
menyelesaikan dengan tuntas.
2. Dokumen Pengelolaan lingkungan ini bukan merupakan
dokumen AMDAL atau dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
3. Dokumen Pengelolaan lingkungan disusun sebagai upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan bagi usaha/kegiatan
sebagaimana disebutkan dalam butir 1.
4. Semua persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam
Dokumen Pengelolaan Lingkungan wajib dicantumkan dalam
ketentuan (perpanjangan) izin usaha atau kegiatan.
C. RUANG LINGKUP
Dokumen lingkungan disusun sedemikian rupa sehingga langsung
mengemukakan hal-hal sebagi berikut :
1. Identifikasi komponen kegiatan sebagai sumber dampak
2. Komponen lingkungan yang terkena dampak
3. Jenis dan Karakteristik dampak
4. Tolak ukur
5. Usaha-usaha pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
telah dan sedang dilaksanakan beserta hasilnya
6. Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 12 Oktober 1999
Ttd
ttd
MATRIKS PENGELOLAAN
6. Sumber dampak dan dampak yang ditimbulkan serta parameter yang
selama ini menjadi masalah yang harus diselesaikan;
a) Uraikan jenis-jenis dampak yang menjadi masalah selama ini,
termasuk parameternya seperti :
- Air limbah dengan parameter antara lain seperti :pH,
BOD, TSS (dll)
- Sosial Ekonomi dengan parameter seperti pendapatan
masyarakat dll.
b) Uraikan sumber dampak
7. Tolok Ukur
Uraikan tolok ukur yang digunakan dalam pengelolaan dampak
(misalnya : baku mutu air, baku mutu udara, kriteria-kriteria baku,
kesepakatan-kesepakatan yang diakui). Cantumkan pula nomor Surat
Keputusan atau Peraturan Daerah yang mengatur baku mutu tersebut
dan cantumkan pula angka baku mutu bagi parameter dimaksud
dalam kolom 6.a).
8. Upaya Pengelolaan
a) Cara.tehnik mengelola
Sebutkan cara/tehnik pengelolaan yang dilaksanakan
b) Lokasi Pengelolaan
c) Hasil pengelolaan yang telah dicapai (bila ada)
d) Rencana pengelolaan
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 12 Oktober 1999
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Ttd
Dr. Panangian Siregar
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum Kantor MENLH
ttd
LAMPIRAN III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. Kep-30/MENLH/10/1999
Tanggal : 12 Oktober 1999
Ttd
ttd
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 2 Tahun 2000
Tentang : Panduan Penilaian Dokumen AMDAL
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN
PENILAIAN DOKUMEN AMDAL.
Pertama
Kedua
Ketiga
Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan
bilamana dikemudian hari terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan
ditinjau kembali
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Pebruari 2000
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Ttd.
BAB I. PENDAHULUAN
A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI
Kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi antara lain:
a. Dokumen perijinan sesuai dengan rencana kegiatan;
b. Surat Keputusan atau dokumen-dokumen lain yang
dipersyaratkan untuk izin Lokasi sesuai dengan
peruntukannya;
c. Peta-peta terkait, seperti antara lain: peta tata ruang, tata
guna tanah, wilayah studi, peta rencana lokasi, peta geologi,
peta topografi, dan lain-lain;
d. Daftar keahlian/riwayat hidup para penyusun AMDAL beserta
sertifikat kursus AMDAL yang pernah diikuti.
Apabila dokumen KA-ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai
AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka dokumen tersebut
siap dan layak untuk dinilai isinya. Sebaliknya apabila belum
lengkap, maka pemrakarsa diminta untuk melengkapi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
B. ISI DOKUMEN
1. Pendahuluan
Dalam Bab Pendahuluan perlu diperhatikan aspek-aspek
sebagai berikut:
a. Uraian tentang tujuan dan kegunaan rencana usaha
dan/atau kegiatan yang memberi gambaran manfaat
terhadap pembangunan lokal, regional maupun
nasional;
b. Peraturan perundangan beserta alasan penggunaannya
sebagai acuan dalam penyusunan ANDAL.
2. Ruang lingkup studi
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam ruang lingkup studi ini
adalah kejelasan tentang:
a. Komponen rencana kegiatan yang harus dikaji;
b. Komponen lingkungan yang berpotensi terkena
dampak;
c. Kegiatan lain di sekitarnya dan interaksinnya dengan
rencana kegiatan yang diusulkan;
d. Kerangka konseptual analisis dan isu-isu pokok yang
harus dikaji sesuai dengan hasil pelingkupan yang
digambarkan antara lain dalam bentuk diagram alir,
matrik, dan lain-lain;
e. Batas wilayah studi (spatial), baik batas proyek, batas
ekologis, batas sosial maupun batas administrasi,
setelah mempertimbangkan berbagai kendala teknis
dan kejelasan batas waktu sesuai dengan tahapan
kegiatannya.
3. Metode studi
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam metode studi ini adalah
kejelasan dan ketepatan tentang:
a. Metode pengumpulan dan analisis data:
- primer: lokasi, jumlah sampel (contoh) dan jenis
alat beserta alasan-alasannya;
- sekunder: jenis dan sumber data;
b. Pengambilan contoh dan parameter yang akan diukur;
c. Penggunaan model matematis, analog, profesional,
judgement untuk prakiraan dampak penting;
d. Penggunaan metode-metode evaluasi dampak penting.
4. Pelaksanaan studi
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam pelaksanaan studi ini
adalah:
a. Identitas yang jelas mengenai pemrakarsa baik nama
dan alamat instansi/perusahaan maupun
penanggungjawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. Pemenuhan persyaratan Ketua Tim Studi:
- memiliki sertifikat kursus AMDAL B/sederajat;
- memiliki keahlianan yang sesuai dengan isu
pokok;
- berpengalaman menyusun AMDAL sekurang-
kurangnya 5 (lima) studi;
- berpengalaman memimpin tim studi;
c. Pemenuhan persyaratan tim studi:
- sekurang-kurangnya satu anggota tim memiliki
keahlian di bidang rencana kegiatan yang
bersangkutan;
- memiliki keahtian yang sesuai dengan isu pokok;
d. Biaya studi
Komponen yang harus dinilai minimal adalah prosentase
jenis biaya yang dibutuhkan dalam penyusunan studi;
e. Jadwal waktu pelaksanaan studi:
- Kejelasan tentang rencana pelaksanaan studi;
- Kejelasan dan ketepatan alokasi waktu yang
sesuai dengan ruang lingkup studi.
5. Daftar pustaka
Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah
sumber informasi yang berhubungan dengan:
a. Rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Metode-metode yang digunakan.
6. Lampiran
Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah
keberadaan dan kelengkapan:
a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta
pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL (bilamana sudah
ditentukan Personilnya);
c. Hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung
dokumen KA-ANDAL (misal: keputusan perijinan,
kuesioner yang menjadi bagian metode pelaksanaan
studi, hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak
yang terlibat, dan lain-lain)
A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI
KeLengkapan administrasi yang harus dipenuhi mencakup:
a. Dokumen Kerangka Acuan (KA) ANDAL yang telah disetujui
oleh instansi yang bertanggung jawab;
b. Dokumen ANDAL dilengkapi dengan dokumen RKL, RPL,
Ringkasan Eksekutif, dan Lampiran dalam jumlah yang telah
ditetapkan oleh Komisi Penilai AMDAL;
c. Persyaratan administrasi lainnya yang ditetapkan oleh Komisi
Penilai AMDAL, seperti bukti telah diterimanya dokumen
ANDAL, RKL dan RPL.
Apabila dokumen ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL
secara administrasi sudah lengkap, maka dokumen tersebut siap dan
layak untuk dinilai isinya, sebaiknya apabila belum lengkap,
pemrakarsa harus melengkapi sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
B. ISI DOKUMEN
1. Pendahuluan
Aspek-aspek yang dinilai dalam pendahuluan adalah kejelasan
dan kesesuaian:
a. Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan studi
ANDAL. Berbagai peraturan perundangan yang dinilai
antara lain: peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pelaksanaan rencana usaha dan/ atau kegiatan,
pertanahan, baku mutu lingkungan dan Lain-lain. Hal ini
penting mengingat peraturan perundangan tersebut
akan terkait erat dengan prediksi dan evaluasi dampak
penting serta pelaksanaan RKL/RPL;
b. Kejelasan pernyataan tujuan dan kegunaan studi ANDAL
yang telah dirumuskan dalam KA-ANDAL.
2. Ruang Lingkup studi
Aspek-aspek yang dinilai dalam ruang lingkup studi adalah
sebagai berikut:
a. Jenis kegiatan yang potensial menimbulkan dampak
penting;
b. Komponen atau parameter Lingkungan yang diduga
akan mengalami perubahan mendasar akibat rencana
kegiatan;
c. Dampak penting yang ditetaah harus sesuai dan
konsisten dengan isu-isu pokok yang tetah ditetapkan
dalam KA-ANDAL dan isu lain yang ditemukan selama
pelaksanaan studi;
d. Hasil pelingkupan waktu terjadinya dampak (pra-
konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi);
e. Wilayah Studi yang mengacu pada KA-ANDAL dan hasil.
pengamatan di lapangan yang digambarkan secara letas
dalam peta.
3. Metoda studi
Aspek-aspek yang dinilai dalam metode studi adalah kejelasan
dan ketepatan serta konsistensi tentang:
a. Metode pengumpulan dan analisis data:
- primer: lokasi, jumlah contoh dan jenis alat,
beserta alasan-alasannya;
- sekunder: jenis dan sumber data;
b. Pengambilan contoh dan parameter yang akan diukur;
c. Penggunaan model matematis, analog, profesional
judgement untuk prakiraan dampak penting. Dalam
penggunaan metoda prediksi dampak penting ini, harus
jelas metoda apa yang digunakan untuk memprediksi
setiap komponen lingkungan yang terkena dampak dan
rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. Penggunaan metode-metode evaluasi dampak penting.
Metode evaluasi dampak penting yang digunakan
adalah metoda-metoda yang lazim digunakan dalam
studi AMDAL dan harus dapat menggambarkan evaluasi
dampak secara holistik;
e. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk evaluasi beserta
alasan penetapannya.
4. Rencana usaha dan/atau kegiatan
Aspek-aspek yang dinilai dalam rencana usaha dan/atau
kegiatan adalah kejelasan dan kelengkapan tentang:
a. Identitas pemrakarsa dan penyusun;
b. Tujuan serta manfaat dan rencana usaha dan/atau
kegiatan;
c. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang sudah
dilengkapi dengan peta-peta yang penting, misalnya:
peta tata ruang, wilayah studi, layout kegiatan, peta
situasi. Peta-peta ini harus disajikan sesuai dengan
kaidah-kaidah kartografi;
d. Kegiatan lain yang dinilai berhubungan erat atau
tumpang tindih serta interaksinya dengan kegiatan
proyek atau adanya kawasan yang dilindungi;
e. Alternatif usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil
studi kelayakan;
f. Jangka waktu rencana usaha dan/atau kegiatan atau
umur proyek (pra-konstruksi, konstruksi, operasi dan
pasca operasi);
g. Jenis usaha dan jumlah hasil produksi (barang dan jasa)
selama umur proyek;
h. Metode dan teknik pelaksanaan rencana usaha dan/atau
kegiatan yang menimbulkan dampak penting seperti:
- Jenis dan spesifikasi peratatan atau instrumen
yang digunakan;
- Jumlah, asal, dan kualifikasi tenaga kerja pada
tahap prakonstruksi, konstruksi dan operasi;
- Bahan baku utama, penunjang dan bahan
penolong, sifat sifatnya (karakteristik) berikut
lokasi pengambilan, sistem pengangkutan dan
penyimpanannya;
- Neraca bahan (material balance) dan neraca air
(water balance);
- Sarana pengendalian dampak, baik yang
direncanakan terintegrasi dengan proses maupun
yang terpisah;
- Komposisi, karakteristik, dan jumlah dari masing-
masing buangan limbah (padat. Cair dan gas)
berikut upaya penanggulangannya;
- Upaya-upaya yang akan dilakukan pada tahap
pasca operasi.
Catatan :
Bila deskripsi usaha dan/atau kegiatan mencantumkan alternatif lokasi,
rencana usaha dan/atau kegiatan, atau proses kegiatan, maka uraian agar
dibuat secara rinci.
5. Rona lingkungan awal
Aspek-aspek rona lingkungan awal yang dinilai adalah
kejelasan dan kelengkapan data dan informasi tentang kondisi
lingkungan di rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan,
mencakup:
a. Komponen-komponen lingkungan yang diprakirakan
terkena dampak penting sesuai KA-ANDAL dan temuan
komponen lain selama pelaksanaan studi harus diulas
secara rinci;
b. Komponen-komponen lingkungan lainnya yang bersifat
mendukung butir a;
c. Indikator dan parameter lingkungan yang menjadi tolok
ukur perubahan kualitas lingkungan (fisik, kimia,
biologi, kependudukan, sosial. ekonomi, sosial budaya
dan kesehatan masyarakat);
d. Tingkat ketelitian hasil pengamatan dan analisis sesuai
dengan tingkat ketelitian alat dan metode yang
dipergunakan
e. Komponen-komponen dan parameter lingkungan yang
tertulis dalam bab ini harus konsisten dengan yang
dikemukakan dalam ruang lingkup studi, prakiraan dan
evaluasi dampak penting.
6. Prakiraan dampak penting
Aspek-aspek yang dinilai dalam prakiraan dampak penting
adalah:
a. Komponen lingkungan yang dianalisis dalam prakiraan
dampak penting harus konsisten dengan komponen dan
parameter lingkungan yang dinyatakan dalam ruang
lingkup studi;
b. Besarnya perubahan kualitas lingkungan yang terjadi
pada setiap komponen lingkungan yang diperkirakan
terkena dampak penting (kondisi lingkungan tanpa dan
dengan adanya proyek), harus didukung dengan:
- Rincian perhitungan bilamana menggunakan
metode matematik dan/atau empiris;
- Data dasar yang sahih bilamana menggunakan
metode analogi;
- Alasan dan pertimbangan yang kuat bilamana
menggunakan metode profesonal judgement;
c. Penentuan arti pentingnya dampak berdasarkan kriteria
penentuan dampak besar dan penting yang berlaku;
d. Kejelasan tentang mekanisme aliran dampak pada
berbagai komponen lingkungan yang didukung dengan
bagan alir, yaitu:
(1) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang
bersifat langsung pada komponen sosial;
(2) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang
bersifat langsung pada komponen fisik kimia
kemudian rangkaian dampak lanjutan berturut-
turut terhadap komponen dan sosial;
(3) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang
bersifat langsung pada komponen fisik kimia dan
selanjutnya membangkitkan dampak pada
komponen sosial ;
(4) Dampak penting berlangsung saling berantai
diantara komponen sosial itu sendiri;
(5) Dampak penting pada butir (1), (2), (3), dan (4)
yang telah diuraikan selanjutnya menimbulkan
dampak balik pada rencana usaha dan/atau
kegiatan;
e. Konsistensi penggunaan tolok ukur (indikator dan
parameter lingkungan) sesuai dengan yang digunakan
pada bab lainnya.
Catatan :
- Tidak semua komponen atau parameter lingkungan yang dinyatakan
terkena dampak, perubahannya dapat diukur secara kuantitatif misalnya
pergeseran tata nilai dan norma.
- Untuk itu komponen atau parameter lingkungan yang perubahannya
tidak dapat diukur secara kuantitatif; perlu dikaji secara deskriptif
analitis, dan bila memungkinkan dibuat beberapa skenario masa
mendatang yang mungkin terjadi.
- Deskriptif analitis adalah analisis deskriptif terhadap fakta-fakta secara
sistimatis dan rasional, sebagai upaya untuk menggambarkan
perubahan suatu parameter lingkungan. Analisis semacam ini dapat
dilakukan, misalnya dengan cara analogi terhadap proyek serupa di
lokasi lain dengan kondisi lingkungan yang hampir sama, berdasarkan
pengalaman ahli atau menggunakan baku mutu lingkungan.
7. Evaluasi dampak penting
Aspek-aspek yang dinilai pada evaluasi dampak penting
adalah kejelasan dan konsistensi tentang:
a. Telaahan secara holistik atas berbagai komponen
lingkungan yang diprakirakan mengalami perubahan
sebagaimana dikaji dalam bab prakiraan dampak
penting;
b. Kesimpulan terhadap hasil tetaahan holistik tersebut
yang menyimpulkan jenis-jenis dampak penting yang
harus dikelola;
c. Telaahan kausati (hubungan sebab-akibat) dan berbagai
jenis dampak penting yang harus dikelola sebagai dasar
perumusan rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.
Catatan :
Hasil/ kajian secara holistik dan kausatif sedapat mungkin
menghasilkan pilihan atas rencana usaha dan/atau kegiatan.
8. Daftar pustaka
Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah
sumber informasi yang berhubungan dengan:
a. Rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Metode-metode yang digunakan.
9. Lampiran
Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah
keberadaan dan kelengkapan:
a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta
pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL;
c. Cara-cara dan hasil perhitungan;
d. Dasar pertimbangan penetapan kriteria besaran
dampak;
e. Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat;
f. Hal-hal Lain yang dipandang perlu guna mendukung
dokumen ANDAL (seperti contoh: kuesioner dan hasil
evaluasinya yang menjadi bagian metode pelaksanaan
studi).
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
ttd.
Nadjib Dahlan, SH
______________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG
Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu;
Mengingat:
1. Undang-ungang Nomor 23 Tahun 1887 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang Kabinet Persatuan
Nasional;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
Pertama:
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
Kedua:
Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di kemudian hari
terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Pebruari 2000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
TENTANG
Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah
Lahan Basah;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peratuiran Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang Kabinet Persatuan
Nasional;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
Pertama:
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
Kedua:
Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di kemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
ttd.
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
BAB I
Pasal 1
(4) Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak
lingkungan hidup bagi jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang
memenuhi kriteria :
Pasal 2
Bagian Kedua
Tim Teknis
Pasal 4
Pasal 5
(1) Tim teknis bertugas menilai secara teknis kerangka acuan, analisis
dampak ligkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup atas permintaan komisi penilai.
(2) Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penilaian terhadap:
g. Kelayakan ekologis.
Pasal 6
Bagian Ketiga
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
BAB II
KERANGKA ACUAN
Bagian Pertama
Pasal 10
Bagian Kedua
Pasal 11
(1) Ketua komisi penilai meminta tim teknis menilai kerangka acuan.
(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh Tim Teknis dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim teknis.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh
petugas dari sekretariat komisi penilai.
Bagian Ketiga
Pasal 12
(1) Ketua komisi penilai mengundang para anggota untuk menilai kerangka
acuan
(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh komisi penilai dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim penilai.
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat
dipimpin oleh sekretaris penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin
rapat, maka rapat dipimpin oleh anggota lain yang disepakati.
(6) Rapat sebagimana dimaksud pada ayat (3) juga dihadiri oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau wakil yang ditunjuk
yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan.
(8) Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan tanggapan dari
masyarakat dalam proses penentuan ruang lingkup kajian analisis
dampak lingkungan.
(9) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat penilaian dapat
memberikan masukan tertulis selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja
setelah rapat penilaian.
(10) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan
pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretaris komisi penilai dan
dituangkan dalam berita acara penilaian.
Bagian Keempat
Keputusan
Pasal 13
Bagian Pertama
Pasal 14
Bagian Kedua
Pasal 15
(1) Ketua komisi penilai meminta tim teknis untuk menilai analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup.
(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh tim teknis dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim teknis.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh
petugas dari sekretariat komisi penilai
Bagian Ketiga
Pasal 16
(1) Ketua komisi penilai mengundang para anggota untuk menilai analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.
(2) Undangan dan dokumen untuk rapat penilaian sudah harus diterima
oleh seluruh peserta rapat selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh komisi penilai dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim penilai.
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat
dipimpin oleh sekretaris penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin
rapat, maka rapat dipimpin oleh anggota lain yang disepakati.
(6) Rapat sebagimana dimaksud pada ayat (3) juga dihadiri oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau wakil yang ditunjuk
yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan.
(10) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan
pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai dan
dituangkan dalam berita acara penilaian.
(15) Ketua komisi penilai menyampaikan berita acara penilaian dan dokumen
yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (13)
kepada:
Bagian Keempat
Keputusan
Pasal 17
e. Menteri;
d. Menteri;
PEMBIAYAAN
Pasal 18
Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi
analisis mengenai dampak lingkungan hidup dibebankan :
BAB V
PENUTUP
Pasal 19
Ditetapkan : di Jakarta
Ttd
Ttd
__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang:
Mengingat:
Menetapkan:
BAB I
PEMBENTUKAN KOMISI PENILAI
Pasal 1
Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota wajib
memenuhi kriteria:
a. Tersedianya sumber daya manusia yang telah lulus mengikuti pelatihan Dasar-dasar
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan/atau Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup dan/atau Penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup khususnya di instansi pemerintah untuk melaksanakan tugas dan fungsi komisi
penilai;
b. Tersedianya tenaga ahli sekurang-kurangnya di bidang biogeofisik-kimia, ekonomi, sosial,
budaya, kesehatan, perencanaan pembangunan wilayah/daerah, dan lingkungan sebagai
anggota komisi penilai dan tim teknis;
c. Adanya organisasi lingkungan/lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
lingkungan hidup yang telah lulus mengikuti pelatihan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup dalam fungsinya sebagai salah satu anggota komisi penilai;
d. Memiliki sekretariat komisi penilai yang berkedudukan di instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota; dan
e. Adanya kemudahan akses ke laboratorium yang memiliki kemampuan menguji contoh uji
kualitas sekurang-kurangnya untuk parameter air dan udara baik laboratorium yang
berada di Kabupaten/Kota maupun di ibukota propinsi terdekat.
Pasal 2
Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota dibentuk oleh
Bupati/Walikota.
Pasal 3
BAB II
SUSUNAN KEANGGOTAAN
Bagian Pertama
Komisi Penilai
Pasal 4
1. Susunan keanggotaan terdiri dari Ketua merangkap sebagai anggota, Sekretaris merangkap
sebagai anggota, dan anggota-anggota lainnya.
2. Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pejabat lain yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.
3. Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh salah seorang pejabat yang
menangani masalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup baik dari Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau dari instansi lain yang
menangani pengendalian dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.
4. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
Bagian Kedua
Tim Teknis
Pasal 5
1. Tim teknis terdiri atas para ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di
tingkat Kabupaten/Kota, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait.
2. Tim teknis dipimpin oleh seorang ketua yang dalam hal ini dirangkap oleh sekretaris komisi
penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
BAB III
TUGAS DAN FUNGSI
Bagian Pertama
Komisi Penilai
Pasal 6
Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota bertugas menilai
kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 7
Pasal 8
Dalam melaksanakan tugas, komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota mempunyai fungsi memberikan masukan dan dasar pertimbangan dalam
pengambilan keputusan kesepakatan kerangka acuan dan keputusan kelayakan lingkungan hidup
atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada Bupati/Walikota.
Bagian Kedua
Tim Teknis
Pasal 9
1. Tim teknis bertugas menilai secara teknis kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup,
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup atas
permintaan komisi penilai.
2. Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap:
Pasal 10
Dalam menjalankan tugasnya, tim teknis berfungsi memberikan masukan dan pertimbangan
teknis dan bertanggung jawab kepada komisi penilai.
Bagian Ketiga
Pasal 11
Pasal 12
Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, sekretariat komisi penilai
berfungsi mendukung kelancaran tugas dan fungsi komisi penilai dan tim teknis.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 13
Biaya atas pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi analisis
mengenai dampak lingkungan hidup dibebankan pada anggaran Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pada anggaran instansi yang ditugasi menangani
pengendalian dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
BAB V
PENUTUP
Pasal 14
Ditetapkan : di Jakarta
Tanggal : 6 Nopember 2000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
TENTANG
Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan Pasal 9 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, perlu dibentuk Susunan Keanggotaan
Komisi Penilai dan Tim Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
Mengingat:
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
Pertama:
Susunan keanggotaan komisi penilai dan tim teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Pusat adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran I dan II dalam Keputusan ini.
Kedua:
Setiap anggota komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat mempunyai
kewenangan pengambilan keputusan dari instansi/organisasi/masyarakat yang diwakilinya.
Ketiga:
Ketua komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat dalam melaksanakan
tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Keempat:
Ketua tim teknis dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Ketua komisi penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat.
Kelima:
Anggota komisi penilai dan tim teknis dalam melaksanakan tugasnya wajib memperhatikan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Keenam:
Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 6 Nopember 2000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Lampiran 1.
Susunan Keanggotaam Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat
Lampiran 2.
Susunan Keanggotaam Tim Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 17 Tahun 2001
Tentang : Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG JENIS RENCANA
USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.
Pertama
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
mengenai Dampak Lingkungan Hidup adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini.
Kedua
Apabila skala/besaran suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan lebih kecil
daripada skala/besaran yang tercantum pada Lampiran keputusan ini akan tetapi
atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak penting
terhadap lingkungan hidup, maka bagi jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat
ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Ketiga
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam lampiran
keputusan ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung wajib
dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Keempat
Apabila Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dan/atau masyarakat menganggap perlu untuk mengusulkan jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran Keputusan ini tetapi jenis
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dianggap mempunyai dampak penting
terhadap lingkungan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dan/atau masyarakat wajib mengajukan usulan secara
tertulis kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kelima
Keenam
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Ketujuh
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi
dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dinyatakan tidak berlaku lagi.
Kedelapan
ttd.
1. Pendahuluan
jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ditetapkan berdasarkan :
a. Potensi dampak penting
Sesuai Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999,
jenis usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan AMDAL.
Potensi dampak penting bagi setiap jenis usaha dan/atau kegiatan
tersebut ditetapkan berdasarkan: Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor
056 Tahun t994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting.
Referensi internasional yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai
landasan kebijakan tentang AMDAL.
Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk
menanggulangi dampak penting negatif yang akan timbul.
2. Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
A. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Secara umum, kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas militer dengan
skala/besaran berikut berpotensi menimbulkan resiko lingkungan dengan
terjadinya ledakan serta keresahan sosial akibat kegiatan operasional
dan penggunaan lahan yang cukup luas.
B. Bidang Pertanian
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya
tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan berupa erosi tanah,
perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama, penyakit dan
gulma, serta perubahan kesehatan tanah akibat penggunaan
pestisida/herbisida. Disamping itu sering pula muncul potensi konflik
sosial dan penyebaran penyakit endemik.
Skala/besaran yang tercantum di bawah ini telah memperhitungkan
potensi dampak penting kegiatan terhadap ekosistem, hidrologi, dan
bentang alam. Skala /besaran tersebut merupakan luasan rata-rata dari
berbagai ujicoba untuk masing-masing kegiatan dengan mengambil
lokasi di daerah dataran rendah, sedang, dan tinggi.
C. Bidang Perikanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya
tambak udang, ikan, dan pembangunan pelabuhan perikanan adalah
perubahan ekosistem perairan dan pantai, hidrologi, dan bentang alam.
Pembukaan hutan mangrove akan berdampak terhadap habitat, jenis
dan kelimpahan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang berada di
kawasan tersebut.
D. Bidang Kehutanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan
terhadap ekosistem hutan, hidrologi, keanekaragaman hayati, hama
penyakit, bentang alam dan potensi konflik sosial.
E· Bidang Kesehatan
F. Bidang Perhubungan
G. Bidang Teknologi Satelit
H. Bidang Perindustrian
ttd
Sudharto P. Hadi
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
Daftar Singkatan:
m = meter
m2 = meter persegi
m3 = meter kubik
km = kilometer
km2 = kilometer persegi
ha = hektar
l = liter
dt = detik
Kw = kilowatt
Kwh = kilowatt hour
KV = kilovolt
Mw = megawatt
Mwh = megawatt hour
Kcal = kilocalorie
TBq = Terra Becquerel
Ci = Curie
BOPD = barrel oil per day = minyak barrel per hari
MMSCFD = million metric square cubic feet per day = juta metrik persegi kaki
kubik per hari LWS = low water sea = di bawah permukaan laut
DWT = dead weight tonnage = bobot mati
KK = kepala keluarga
TK = tenaga kerja
KP = kuasa pertambangan
ROM = raw of material = bahan mentah
LPG = Liquiefied Petroleum Gas = gas minyak bumi yang dicairkan
LNG = Liquiefied Natural Gas = gas alam yang dicairkan
ROW = Right of way = daerah milik jalan (damija)
BOD = biological oxygen demand = kebutuhan oksigen biologis
COD = chemical oxygen demand = kebutuhan oksigen kimiawi
DO = dissolved oxygen = oksigen terlarut
TSS = total suspended solid = total padatan tersuspensi
TDS = total dissolved solid = total padatan terlarut ;
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 30 Tahun 2001
Tentang : Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan
Hidup Yang Diwajibkan
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Menteri
berwenang memerintahkan kepada penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan;
b. bahwa agar pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
dapat dilakukan secara efektif maka diperlukan suatu pedoman;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3434);
4. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Menteri Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non-Departemen;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Audit Lingkungan hidup yang diwajibkan adalah suatu proses evaluasi
yang dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan atau kegiatan
berdasarkan perintah Menteri atas ketidakpatuhan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup yang terkait dengan kegiatan
tersebut.
2. Auditor Lingkungan adalah seseorang yang memiliki kulifikasi untuk
melaksanakan audit lingkungan.
3. Tim Audit adalah sekelompok atau seorang auditor yang diberi tugas
untuk melaksanakan audit dan tim audit juga dapat beranggotakan
tenaga ahli teknis.
4. Tim Audit adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri
untuk melaksanakan evaluasi terhadap masukan, informasi dan
usulan untuk melakukan perintah audit lingkungan hidup yang
diwajibkan.
5. Tim Verifikasi adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri
untuk melaksanakan verifikasi terhadap laporan hasil audit lingkungan
yang diwajibkan.
6. Pihak yang berkepentingan adalah orang seorang, kelompok orang,
termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang terkena
dampak langsung atau berpotensi terkena dampak dan
ketidakpatuhan, dan organisasi lingkungan hidup.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
hidup.
8. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan di
daerah Propinsi/Kabupeten/Kota atau instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup audit lingkungan hidup yang diwajibkan meliputi evaluasi
masukan atau informasi, kriteria ketidakpatuhan, pelaksanaan, dan verifikasi
laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan akibat ketidakpatuhan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
BAB III
TUJUAN, FUNGSI DAN MANFAAT
Pasal 3
(1) Tujuan audit lingkungan hidup yang diwajibkan :
a. untuk mengetahui tingkat ketidakpatuhan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
b. memberikan uraian tentang penyebab terjadinya
ketidakpatuhan, termasuk apabila terdapat pelanggaran dan
atau ketidaktepatan penerapan kebijaksanaan di bidang
lingkunqan hidup;
c. memberikan rekomendasi atas temuan-temuan pelaksanaan
audit.
(2) Fungsi audit Iingkungan hidup yang diwajibkan merupakan sa!ah satu
instrumen penaatan atas ketidakpatuhan penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undarigan d bidany
pengel Iingkungan hidup.
(3) Manfaat pelaksanaan audit Iingkungan hidup yang diwajibkan:
a. meningkatkan penaatan pengelolaan lingkungan hidup dan
suatu usaha dan atau kegiatan;
b. mengetahui status ketaatan pengelolaan lingkungan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan
Menteri tentang tindak lanjut penanganan ketidakpatuhan.
d. mencegah teradinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup.
BAB IV
KRITERIA KETIDAKPATUHAN DAN KEWENANGAN
Pasal 4
Kriteria ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan
hidup yang menjadi dasar dikeluarkannya perintah pelaksanaan audit
lingkungan hidup yang diwajibkan,meliputi:
a. ketidakpatuhan terhadap baku mutu lingkungan hidup, dan atau;
b. ketidakpatuhan terhadap kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dan atau;
c. ketidakpatuhan terhadap persyaratan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
harus dilakukan, dan atau;
d. ketidakpatuhan yang mengindikasikan bahwa penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan tidak memiliki dokumen pengelolaan
lingkungan hidup atau tidak melaksanakan sistem pengelolaan
lingkungan secara efektif.
Pasal 5
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dinyatakan tidak
mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
Lingkungan hidup, apabila telah melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
menunjukkan :
a. telah terjadi hal yang sama atau berkaitan secara berulangkali ,
dan;
b. telah diberikan peringatan oleh Menteri dan atau Gubernur dan
atau Bupati dan atau Walikota sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali
dalam jangka waktu setahun terakhir dan atau patut diduga
akan terjadi lagi di masa mendatang.
Pasal 6
(1) Menteri berwenang memerintahkan kepada penanggungjawab usaha
dan atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
menunjukkan ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 5.
(2) Apabila Gubernur/Bupati/Walikota menilai bahwa suatu usaha dan
atau kegiatan di wilayahnya menunjukkan ketidakpatuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, maka
Gubernur/Bupati/Walikota mengusulkan kepada Menteri untuk
memerintahkan penanggung jawab suatu usaha dan atau kegiatan
tersebut melakukan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
BAB V
PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN
Bagian pertama
Tata Laksana
Pasal 7
(1) Tata laksana audit lingkungan Hidup yang diwajibkan dilaksanakan
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia Nomor 19-14O10-1997
tentang Pedoman Audit Lingkungan — Prinsip Umum atau standar
lainnya yang sesuai dengan tujuan pelaksanaan audit lingkungan
hidup yang diwajibkan.
(2) Audit lingkungan hidup yang diwajibkan dilakukan oleh auditor
lingkungan yang terdaftar dan atau auditor yang memenuhi kriteria
kualifikasi sesuai dengan SNI 19-14012-1997 tentang Pedoman audit
lingkungan - Kriteria kualifikasi untuk auditor lingkungan dan bebas
dan pertentangan kepentingan.
(3) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib memberikan
informasi/data yang benar dan aktual kepada auditor.
Bagian Kedua
Mekanisme
Pasal 8
Pihak yang berkepentingan dapat memberikan masukan atau informasi
secara tertulis tentang terjadinya petunjuk ketidakpatuhan suatu usaha dan
atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup kepada Gubernur/Bupati/Walikota/Instansi
yang bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 9
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menugaskan instansi yang bertanggung
jawab di daerah untuk mengevaluasi masukan atau Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan memeriksa unsur
ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
(2) Apabila instansi yang bertanggungjawab di daerah menemukan
ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5,
maka:
a. Kepala instansi yang bertanagung jawab di daerah menemukan
hasil temuannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota;
b. Gubernur/Bupati/Walikota dapat mengusulkan secara tertulis
kepada Menteri untuk mengeluarkan perintah audit lingkungan
idup yang diwajibkan, dengan dilengkapi data pendukung.
Pasal 10
Instansi pengendalian dampak lingkungan dapat mengusulkan kepada
Menteri untuk memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan berdasarkan
masukan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
dilengkapi dengan data pendukung.
Pasal 11
(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
dan Pasal 10 selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja,
Menteri membentuk Tim Evaluasi yang bentugas untuk mengevaluasi
usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2) Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur-
unsur, instansi yang bertanggung jawab dibidang pengendalian
dampak lingkungan, instansi yang bertanggungjawab di daerah,
instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan dan tenaga ahli
dalam bidang yang terkait.
(3) Tim evaluasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat
yang ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di instansi yang
bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak ingkungan.
(4) Tim Evaluasi melaksanakan kegiatan evaluasi paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja , terhitung sejak ditetapkan oleh Menteri.
(5) Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan dan rekomendasi hasil evaluasi secara tertulis
kepada Menteri selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja, setelah
selesai melaksanakan evaluasi.
(6) Rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat berupa;
a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah audit Lingkungan
hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan rancangan ruang
lingkupnya, atau;
b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah audit Lingkungan
hidup yang diwajibkan dengan memberikan alasan-atasan
ketidaklayakan tersebut.
(7) Apabila rekomendasi berupa ketidaklayakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) huruf b, Menteri memberitahukan kepada pihak yang
berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 12
(1) Berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6) huruf a, Menteri dapat menyetujui atau tidak
menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan
(2) Apabilaa Menteri menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup
yang diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan
audit lingkungan hidup yang diwajibkan kepada penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
(3) Apabila Menteri tidak menyetujui usulan perintah audit lingkungan
hidup yang diwajibkan, Menteri memberikan alasan-alasan mengenai
ketidaksetujuan tersebut.
Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2), penanggung jawab usaha dan atau kegiatan telah menunjuk
auditor dengan pemberitahuan kepada Menteri.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melaksanakan
perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Menteri
dapat:
a. melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dengan
membentuk Tim Audit, atau;
b. menugaskan pihak ketiga yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(3) Jumlah beban biaya pelaksanaan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 14
(1) Tim audit merumuskan Kerangka Acuan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan berdasarkan ruang lingkup yang ditetapkan oleh Menteri
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tim audit ditetapkan.
(2) Tim audit mulai melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah Kerangka
Acuan mendapat persetujuan dari Menteri.
(3) Tim audit setelah melaksanakan tugasnya wajib menyerahkan laporan
hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan secara tertulis kepada
Menteri.
Pasal 15
(1) Apabila dianggap perlu Menteri dapat melakukan verifikasi terhadap
laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan, dengan
membentuk Tim Verifikasi.
(2) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. ahli di bidang lingkungan hidup khususnya yang berkaitan
dengan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan;
b. unsur lainnya yang dianggap penlu.
(3) Tim verifikasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat
yang ditetapkan Menteri dan berkedudukan di instansi yang
bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak lingkungan.
(4) Tugas Tim Verifikasi mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. melaksanakan kajian terhadap laporan hasil audit lingkungan
hidup yang diwajibkan;
b. apabila diperlukan dapat melaksanakan kegiatan verifikasi di
lokasi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan;
c. menyusun laporan hasil verifikasi secara tertulis dan
menyampaikannya kepada Menteri;
(5) Tim Verifikasi melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 16
(1) Berdasarkan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan,
Menteri mengeluarkan surat perintah kepada penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan
sesuai dengan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan dalam
tenggang waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan dan atau instansi yang bertanggung jawab di daerah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perbaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB VI
INFORMASI DAN PUBLIKASI
Pasal 17
Menteri mengumumkan surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) dan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan kepada
Masyarakat.
Pasal 18
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 September 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Nabiel Makarim, MPA,MSM.
__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 86 TAHUN 2002
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN
LINGKUNGAN HIDUP
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
1. Upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) adalah
upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL).
2. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan
atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
3. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin melakukan
usaha dan atau kegiatan.
Pasal 2
(1) Setiap jenis usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL wajib melakukan
UKL dan UPL, yang proses dan prosedurnya tidak dilakukan menurut ketentuan Peraturan
Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
(2) UKL dan UPL wajib dilakukan oleh pemrakarsa usaha dan atau kegiatan dengan menggunakan
formulir isian seperti terlampir dalam Keputusan ini.
Pasal 3
Di dalam formulir isian tentang UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berisikan
informasi:
a. identitas pemrakarsa;
b. rencana usaha dan atau kegiatan;
c. dampak lingkungan yang akan terjadi;
d. program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
e. tanda tangan dan cap.
Pasal 4
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi, apabila usaha dan
atau kegiatan berlokasi pada lebih 1 (satu) Kabupaten/Kota;
c. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan, apabila usaha dan atau kegiatan berlokasi pada lebih 1 (satu) Propinsi dan atau lintas
batas negara.
Pasal 5
(1) Berdasarkan formulir isian tentang UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan
atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau
Kabupaten/Kota wajib berkoordinasi dengan instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan
untuk melakukan pemeriksaan formulir isian tentang UKL dan UPL yang telah disampaikan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya formulir isian tentang UKL dan UPL.
(2) Dalam hal terdapat kekurangan informasi yang disampaikan dalam formulir isian tentang UKL dan
UPL dan memerlukan tambahan dan atau perbaikan, pemrakarsa wajib menyempurnakan dan atau
melengkapinya sesuai hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 7
(tujuh) hari kerja.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi
atau Kabupaten/Kota wajib menerbitkan rekomendasi tentang UKL dan UPL kepada pemrakarsa
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya formulir isian tentang UKL dan UPL yang telah
diperbaiki oleh pemrakarsa.
Pasal 6
Dalam hal formulir isian tentang UKL dan UPL tidak memerlukan perbaikan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota wajib
memberikan rekomendasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya formulir isian
tentang UKL dan UPL.
Pasal 7
Pemrakarsa mengajukan rekomendasi tentang UKL dan UPL dari pejabat instansi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 kepada instansi yang berwenang sebagai dasar penerbitan izin melakukan usaha dan atau
kegiatan.
Pasal 8
(1) Pejabat dari instansi yang berwenang wajib mencantumkan syarat dan kewajiban yang tercantum
dalam program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, di dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
(2) Izin yang diterbitkan oleh pejabat dari instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tembusannya wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang bertangung jawab di
bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota sesuai kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-
12/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Oktober 2002
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd.
Hoetomo, MPA.
Lampiran :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Tanggal:
FORMULIR ISIAN
PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP (UKL) DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP UPL)
Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor….. Tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang
bertanda tangan di bawah ini menyampaikan UKL dan UPL dari rencana usaha dan atau kegiatan dengan
benar dan akan mematuhi segala persyaratan dan kewajiban yang telah ditentukan dalam UKL dan UPL
serta izin yang diterbitkan oleh pejabat dari instansi yang berwenang dapat diuraikan sebagai berikut:
A. IDENTITAS PEMRAKARSA
Tuliskan lokasi rencana usaha dan atau kegiatan, seperti antara lain: nama jalan, desa,
kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi tempat akan dilakukannya rencana usahan
dan/atau kegiatan.
Untuk kegiatan-kegiatan yang mempunyai skala usaha dan/atau kegiatan besar, seperti
kegiatan pertambangan, perlu dilengkapi dengan peta lokasi kegiatan dengan skala yang
memadai (1:50.000 bila ada) dan letak lokasi berdasarkan Garis Lintang dan Garis Bujur.
Tuliskan ukuran luasan dan atau panjang dan atau volume dan atau kapasitas atau
besaran lain yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang skala kegiatan.
Sebagai contoh antara lain:
1. Bidang Industri: jenis dan kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan penolong,
jumlah penggunaan energi dan jumlah penggunaan air.
2. Bidang Pertambangan: luas lahan, cadangan dan kualitas bahan tambang, panjang
dan luas lintasan uji seismik dan jumlah bahan peledak.
3. Bidang Perhubungan: luas, panjang dan volume fasilitas perhubungan yang akan
dibangun, kedalaman tambatan dan bobot kapal sandar dan ukuran-ukuran lain
yang sesuai dengan bidang perhubungan.
4. Pertanian: luas rencana usaha dan/atau kegiatan, kapasitas unit pengolahan, jumlah
bahan baku dan penolong, jumlah penggunaan energi dan jumlah penggunaan air.
5. Bidang Pariwisata: luas lahan yang digunakan, luas fasiltas pariwisata yang akan
dibangun, jumlah kamar, jumlah mesin laundry, jumlah hole, kapasitas tempat duduk
tempat hiburan dan jumlah kursi restoran.
Tuliskan komponen-komponen rencana usaha dan atau kegiatan yang diyakini akan
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Teknik penulisan dapat menggunakan uraian kegiatan pada setiap tahap pelaksanaan
proyek, yakni tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi atau dengan
menguraikan komponen kegiatan berdasarkan proses mulai dari penanganan bahan baku,
proses produksi, sampai dengan penanganan pasca produksi.
Prakonstruksi :
a. Pembebasan lahan (jelaskan secara singkat luasan lahan yang dibebaskan dan status
tanah).
b. Dan lain lain……
Konstruksi:
a. Pembukaan lahan (jelaskan secara singkat luasan lahan, dan tehnik pembukaan lahan).
b. Pembangunan kandang, kantor dan mess karyawan (jelaskan luasan bangunan).
c. Dan lain-lain…..
Operasi:
Khusus untuk usaha dan atau kegiatan yang berskala besar, seperti antara lain: industri
kertas, tekstil dan sebagainya, lampirkan pula diagram alir proses yang disertai dengan
keterangan keseimbangan bahan dan air (mass balance dan water balance).
Contoh: Kegiatan
Peternakan pada
tahap Operasi
Pemeliharaan ternak
menimbulkan limbah
berupa :
1. Limbah cair Limbah cair yang
Terjadinya penurunan dihasilkan adalah 50
kualitas air Sungai XYZ liter/hari.
akibat pembuangan
limbah cair dan limbah
2. Limbah padat padat. Limbah padat yang
(kotoran) dihasilkan adalah 1,2
m3/minggu.
3. Limbah gas akibat
pembakaran sisa -
makanan ternak Penurunan kualitas udara
akbat pembakaran
2. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencegah dan mengelola dampak termasuk upaya
untuk menangani dan menanggulangi keadaan darurat;
3. Kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas pengelolaan dampak dan
ketaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup;
4. Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur efektifitas pengelolaan lingkungan hidup dan
ketaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup.
Setelah formulir isian tentang UKL dan UPL diisi secara lengkap, penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib menandatangani dan membubuhkan cap usaha dan atau kegiatan yang
bersangkutan.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Ttd
ttd.
Hoetomo, MPA.
Surat Edaran Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 1234 Tahun 1999
Tentang : Kegiatan Wajib UKL Dan UPL
Kepada Yth.
1. Sdr. Menteri Dalam Negeri
2. Sdr. Menteri Pertahanan & Keamanan
3. Sdr. Menteri Perindustrian dan Perdagangan
4. Sdr. Menteri Pertanian
5. Sdr. Menteri Kehutanan&Perkebunan
6. Sdr. Menteri Pekerjaan Umum
7. Sdr. Menteri Perhubungan
8. Sdr. Menteri Pariwisata,Seni&Budaya
9. Sdr. Menteri Kesehatan
10. Sdr. Menteri Transmigrasi & Pemukiman Perambah Hutan
11. Sdr. Menteri Negara Investasi/Ketua BKPM
12. Sdr. Menteri Pertambangan & Energi
13. Sdr. Direktur Jenderal BATAN
14. Sdr. Gubernur KDH Tk.I se-Indonesia
di
Tempat
Akhir-akhir ini kami sering menerima keluhan baik dari instansi pemerintah
maupun dunia usaha bahwa terdapat banyak pemrakarsa yang sudah
memiliki dokumen AMDAL diwajibkan juga untuk membuat dokumen Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan dokumen Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) bagi kegiatan penunjangnya. Atau dengan kata lain dapat kami
kemukakan misalnya pemrakarsa yang akan membangun Kawasan Industri
atau Industri Kilang Minyak diwajibkan membuat AMDAL. Dalam mendukung
kegiatan utama tersebut pemrakarsa juga akan membangun kegiatan
penunjang misalnya dermaga dan pembangkit listrik, dan kepada yang
bersangkutan diwajibkan pula membuat UKL dan UPL untuk dermaga dan
pembangkit listriknya.
Masalah seperti yang kami kemukakan di atas sudah lama berlangsung dan
dirasa sangat memberatkan kelangan dunia usaha. Dalam kaitan ini kami
ingin memberikan klarifikasi sebagai berikut :
5. Dalam kaitan itu bagi rencana kegiatan yang wajib AMDAL dan
didalamnya terdapat kegiatan penunjangnya, maka kegiatan
penunjangnya tidak diwajibkan membuat UKL dan UPL, karena
kegiatan penunjang tersebut dilingkup dalam dokumen AMDAL (Andal,
RKL dan RPL-nya). Selanjutnya dalam rangka untuk memperoleh izin
melakukan usaha, baik izin bagi kegiatan utama maupun izin bagi
kegiatan penunjangnya pemrakarsa cukup menggunakan satu
dokumen AMDAL yang telah disetujui oleh Menteri atau Gubernur.
Demikian surat edaran ini kami sampaikan dan atas bantuan serta kerjasama
yang baik kami mengucapkan terima kasih.
ttd
Tembusan Yth. :
1. Sdr. Menko EKUIN
2. Para Ketua Komisi AMDAL Pusat Departemen/LPND
3. Kepala BAPEDALDA Tk. I se-Indonesia
4. Kepala BAPEDALWIL I, II dan III
5. Bupati/Walikotamadya se-Indonesia
6. Ketua KADIN
7. Para Ketua Asosiasi Dunia Usaha.
______________________________________
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting.
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Pertama: Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini.
Kedua: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana di kemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tangal : 18 Maret 1994
SARWONO KUSUMAATMADJA
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor KEP-056 TAHTJN 1994
Tanggal 18 MARET 1994
PENGERTIAN
1. Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh
suatu usaha atau kegiatan; Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, menyatakan bahwa setiap
rencana kegiatan yang diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan
wajib dilengkapi dengan AMDAL.
2. Dampak penting suatu usaha atau kegiatan menurut Penjelasan Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun
1982, dan Pasal 2 dan Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 1993 ditentukan oleh faktor-faktor
berikut:
4. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini
merupakan petunjuk dasar yang memberi arah apakah suatu rencana usaha atau kegiatan
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan.
5. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting digunakan untuk keperluan penapisan rencana
usaha atau kegiatan dan penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), termasuk bagi
keperluan AMDAL kegiatan Terpadu/Multisektor, AMDAL kawasan dan AMDAL Regional.
7. Suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dibangun di kawasan lindung yang telah
berubah peruntukkannya atau lokasi rencana usaha atau kegiatan tersebut berbatasan
langsung dengaii kawasan lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting.
Yang dimaksud dengan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang adalah sebagai berikut:
Karena itu, dampak lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan, yang
penentuannya didasarkan pada perubahan sendi-sendi kehidupan pada masyarakat
tersebut dan jumlah manusia yang terkena dampak menj'adi penting bila manusia di
wilayah studi ANDAL yang terkena dampak lingkungan tetapi tidak menikmati
manfaat dari usaha atau kegiatan, jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah
manusia yang menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan di wilayah studi.
Adapun yang dimaksud dengan manfaat dari usaha atau kegiatan adalah manusia
yang secara langsung menikmati produk suatu rencana usaha atau kegiatan dan atau
yang diserap secara langsung sebagai tenaga kerja pada rencana usaha atau
kegiatan.
b. Luas Wilayah Persebaran Dampak
Luas wilayah persebaran dampak merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukannya pentingnya dampak terhadap lingkungan. Dengan demikian dampak
lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan bersifat penting bila: rencana usaha
atau kegiatan mengakibatkan adanya wilayah yang mengalami perubahan mendasar
dari segi intensitas dampak, atau tidak berbaliknya dampak, atau segi kumulatif
dampak.
Dampak lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan dapat berlangsung pada
suatu tahap tertentu atau pada berbagai tahap dari kelangsungan usaha atau
kegiatan. Dengan kata lain dampak suatu usaha atau kegiatan ada yang
beriangsung relatif singkat, yakni hanya pada tahap tertentu dari siklus usaha atau
kegiatan ( perencanaan, konstruksi, operasi, pasca operasi ); namun ada pula yang
berlangsung relatif lama, sejak tahap konstruksi hingga masa pasca operasi usaha
atau kegiatan. Berdasarkan pengertian ini dampak lingkungan bersifat penting bila:
rencana usaha atau kegiatan mengakibatkan timbulnya perubahan mendasar dari
segi intensitas dampak atau tidak berbaliknya dampak, atau segi kumulatif dampak.
yang berlangsung hanya pada satu atau lebih tahapan kegiatan.
d. Intensitas Dampak
Mengingat komponen lingkungan hidup pada dasarnya tidak ada yang berdiri sendiri,
atau dengan kata lain satu sama lain saling terkait dan pengaruh mempengaruhi,
maka dampak pada suatu komponen lingkungan umumnya berdampak lanjut pada
komponen lingkungan lainnya. Atas dasar pengertian ini dampak tergolong penting
bila: Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan dampak sekunder dan dampak
lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau sama dengan komponen
lingkungan yang terkena dampak primer.
Dampak kegiatan terhadap lingkungan ada yang bersifat dapat dipulihkan, namun ada pula yang
tidak dapat dipulihkan walau dengan intervensi manusia sekalipun. Dalam hal ini maka dampak
bersifat penting bila : Perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen lingkungan tidak dapat
dipulihkan kembali walaupun dengan intervensi manusia.
Keputusan Kepala Bapedal No. 299 Tahun 1996
Tentang : Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Menimbang :
Mengingat :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 4 Nopember 1996
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996
A. PENDAHULUAN
B. TUJUAN
Pedoman teknis merupakan acuan yang disusun dengan tujuan untuk
:
1. Memahami dan melakukan kajian mengenai aspek-aspek sosial
dalam penyusunan AMDAL.
2. Memahami kerkaitan aspek biogeofisik dan sosial dalam AMDAL.
3. Membantu mempermudah proses penyusunan aspek sosial
dalam studi AMDAL.
C. RUANG LINGKUP
1. Komponen sosial yang ditelaah meliputi :
1.1. Demografi
1.2. Ekonomi, dan
1.3. Budaya.
2. Kajian aspek sosial dilakukan untuk setiap dokumen :
2.1. Kerangka Acuan (KA) ANDAL
2.2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
2.3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
2.4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996
1. PENGERTIAN
Pelingkup merupakan proses awal untuk menentukan lingkup
permasalahan dan mengidentifikasikan dampak penting potensial yang
timbul sebagai akibat rencana usaha atau kegiatan. Dalam pelingkupan
aspek sosial dalam AMDAL perlu diperhatikan dua hal penting yaitu :
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
---------------------------------------------------------------------------------
Komponen Parameter
---------------------------------------------------------------------------------
3. Budaya 1. Kebudayaan
a. adat-istiadat
b. nilai dan norma budaya
2. Proses sosial
a. proses asosiatif (kerjasama)
b. proses disosiatif (konflik sosial)
c. akulturasi
d. asimilasi dan integrasi
e. kohesi sosial
3. Pranata Sosial kelembagaan Masyarakat
dibidang :
a. ekonomi, misal hak ulayat
b. pendidikan
c. agama
d. sosial
e. keluarga
4. Warisan Budaya
a. situs purbakala
b. cagar budaya
5. Pelapisan Sosial berdasarkan :
a. pendidikan
b. ekonomi
c. pekerjaan
d. kekuasaan
6. Kekuasan dan kewenangan :
a. kepemimpinan formal dan informal
b. kewenangan formal dan informal
c. mekanisme pengambilan keputusan di
kalangan masyarakat
d. kelompok individu yang dominan
e. pergeseran nilai kepemimpinan
7. Sikap dan Persepsi Masyarakat terhadap
rencana usaha atau kegiatan
8. Adaptasi Ekologis .
Keterangan Gambar 1
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
Lampiran IV
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran V
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
______________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 105 Tahun 1997
Tentang : Panduan Pemantauan Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) Dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL)
Menimbang :
Mengingat :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PANDUAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN
LINGKUNGAN (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 14 Nopember 1997
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan
No. 105 Tahun 1997 Tanggal 14 Nopember 1997
A. LATAR BELAKANG
Salah satu fungsi penting didalam AMDAL (PP 51 Tahun 1993) adalah
fungsi manajemen lingkungan. Fungsi manajemen lingkungan ini
berupa pelaksanaan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Untuk menjamin RKL dan RPL dilaksanakan dengan baik perlu
dilakukan pemantauan dan pelaporan secara terencana, terkoordinasi,
sistematis dan berkesinambungan. Pemantauan dan pelaporan
penerapan RKL dan RPL ini dimaksudkan untuk mewujudkan dan
meningkatkan kesadaran para pemrakarsa usaha atau kegiatan untuk
melaksanakan pengelolaan lingkungan secara benar, bersungguh-
sungguh, kreatif dan bertanggung jawab sehingga kualitas lingkungan
dapat dipertahankan sesuai dengan fungsinya.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, dan untuk memberikan acuan
bagi para pelaku pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL, maka perlu
disusun Pedoman Umum Pemantauan Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan
(RPL).
B. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup:
a. Pasal 11 ayat(1)
Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional
dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan
yang dikoordinasi oleh Menteri.
b. Pasal 15
(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D. SASARAN
Peningkatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta ketaatan
pemrakarsa dalam melaksanakan RKL dan RPL.
E. PELAKSANA PEMANTAUAN
Pemantauan dilaksanakan oleh:
1. Pemrakarsa usaha atau kegiatan.
2. Pemda Tk. I dan Tk. II yang bersangkutan.
3. Instansi Teknis/Sektor yang bertanggung jawab.
4. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), BAPEDAL
Wilayah, BAPEDALDA TK I dan BAPEDALDA TK II.
F. PELAKSANAAN PEMANTAUAN
1. Bentuk pemantauan
a. Pemantauan tidak langsung (pasif)
1) Pemantauan tidak langsung (pasif) adalah pemantauan
yang dilakukan dengan cara memanfaatkan laporan
pemantauan tertulis oleh pihak lain. Dalam kaitan ini,
pemantauan pasif dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah
dengan cara memanfaatkan laporan pemantauan yang
dilakukan oleh pemrakarsa.
2) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Pemrakarsa
dilaporkan kepada:
a) Gubernur KDH Tk. I dan Bupati/Walikotamadya
KDH Tk. II yang bersangkutan.
b) Instansi Teknis/Sektor yang memberi ijin.
c) BAPEDAL Pusat, Wilayah dan Daerah.
3) Instansi lain yang terkait.
Oleh Instansi yang menerima laporan hasil pemantauan
tersebut, digunakan sebagai:
a) Masukan data dan informasi yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
pengelolaan lingkungan.
b) Dasar pertimbangan untuk menentukan sasaran
pemantauan (uji petik) aktif pelaksanaan RKL dan
RPL di lapangan.
Format laporan hasil pemantauan Pemrakarsa atas
pelaksanaan RKL mengacu pada Formulir-1 dan untuk
pelaksanaan RPL mengacu pada Formufir-2. Secara
keseluruhan, laporan pemrakarsa mengacu pada Formulir
3.
G. PEMBIAYAAN
Untuk memperlancar pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL di
lapangan diperlukan dukungan dana dan fasiiitas.
Bagi pemrakarsa, maka pembiayaan dan penyediaan fasilitas
pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL terintegrasi dalam manajemen
usaha atau kegiatan yang direncanakan sejak dokumen AMDALnya
disusun.
Bagi Instansi\Pemerintah, sumber pembiayaan dan pemenuhan
fasilitas pemantauan RKL dan RPL disediakan dari masing-masing
Instansi. Biaya pemantauan antara lain meliputi:
- Biaya transportasi
- Lumpsum.
- Biaya Penyusunan Laporan.
H. PENUTUP
Hasil pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL yang sudah dikirimkan
kepada Pemrakarsa dan pihak-pihak lain tersebut perlu terus dipantau
secara periodik untuk mengetahui apakah rekomendasi hasil
pemantauan itu benar benar dilaksanakan oleh pemrakarsa atau tidak.
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 14 November 1997
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Formulir-1
MATRIK PELAKSANAAN PEMANTAUAN RKL
OLEH : PEMRAKARSA / PETUGAS*
Formulir-2
MATRIK PELAKSANAAN PEMANTAUAN RPL
OLEH : PEMRAKARSA / PETUGAS*
WAKTU PEMERIKSAAN : ………………
Formulir – 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
- Uraikan pentingnya pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL.
B. TUJUAN
- Uraikan tujuan pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL.
BAB II
RINGKASAN RKL DAN RPL
A. RINGKASAN R K L
Tuliskan ringkasan RKL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Tolok ukur dampak penting
- Pengelolaan dampak penting
B. RINGKASAN RPL
Tuliskan ringkasan RPL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Metode Pemantauan
- Lokasi Pemantauan
- Waktu Pemantauan
BAB III
HASIL PELAKSANAAN
A. RKL
- Uraikan secara singkat pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan
hasil-hasil yang dicapai.
- Lampirkan visualisasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan (jika
ada).
B. RPL
- Uraikan secara singkat pelaksanaan pemantauan lingkungan
dan hasil yang dicapai.
- Lampirkan berbagai hasil pengukuran (hasil pelaksanaan fisik
dan hasil analisis laboratorium).
BAB IV
EVALUASI
Formulir – 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
- Uraikan kenapa pemantauan RKL dan RPL ini penting.
- Jelaskan kenapa pemantauan ke usaha atau kegiatan yang dipilih ini
dilakukan (alasan dan hasil yang diinginkan).
B. TUJUAN
- Tuliskan tujuan pemantauan ini sesuai dengan butir C dalam Panduan
umum Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL.
- Dapat ditambahkan tujuan lain bila memang diperlukan.
E. WAKTU
- Tuliskan kapan waktu pemantauan berlangsung.
F. PELAKSANAAN
- Sebutkan nama-nama petugas dan dari lnstansi/Unit mana.
BAB II
RINGKASAN RKL DAN RPL
A. RINGKASAN RKL
Tuliskan ringkasan RKL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Tolok ukur dampak penting
- Pengelolaan dampak penting
B. RINGKASAN RPL
Tuliskan ringkasan RPL, antara lain meliputi
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Metode Pemantauan
- Lokasi Pemantauan
- Waktu Pemantauan
BAB III
TEMUAN LAPANGAN/HASIL PENGECEKAN/HASIL PENGUKURAN
BAB IV
EVALUASI
Uraikan secara singkat kecenderungan adanya peningkatan/penurunan baik
kegiatan maupun kualitas lingkungannya.
BAB V
REKOMENDASI
Lampirkan dokumen dan atau informasi yang dirasa perlu, antara lain:
Photo-photo, Peta, Gambar-gambar, Copy hasil uji limbah di laboratorium
dsb.
______________________________________
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 08 TAHUN 2000
TENTANG
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM
PROSES
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
MEMUTUSKAN :
1
1. Penentuan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk
dalam Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup;
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Pebruari 2000
2
LAMPIRAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 08 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000
KETERLIBATAN MASYARAKAT
DAN KETERBUKAAN INFORMASI
DALAM PROSES
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
1. PENDAHULUAN
1.3 Pengertian
3
dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan
menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
Masyarakat Pemerhati:
Masyarakat pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena dampak dari suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan, tetapi mempunyai perhatian terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan tersebut, maupun dampak-dampak lingkungan yang
akan ditimbulkannya.
4
a) Spesifikasi Media Penyampaian Saran, Pendapat, dan Tanggapan
Bentuk tertulis (contoh: surat, e-mail) atau bentuk cetak (contoh: surat
pembaca di media massa) sehingga mudah didokumentasikan.
b) Spesifikasi Teknik Penyampaian Saran, Pendapat, dan Tanggapan
(1) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar;
(2) Menuliskan dengan jelas sehingga mudah dibaca;
(3) Menjelaskan dan atau melampirkan identitas pribadi.
c) Tata Cara
Tata cara penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan dijelaskan lebih
lanjut dalam bab 3.
3) Duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL; khusus bagi warga masyarakat
terkena dampak yang penetapannya dilaksanakan berdasarkan ketentuan
butir a) dibawah, dan dengan menggunakan mekanisme perwakilan yang
pelaksanaannya berdasarkan ketentuan butir b) dibawah :
a) Penetapan lingkup masyarakat terkena dampak
Penetapan lingkup warga masyarakat terkena dampak pada tahap
penyusunan KA-ANDAL dilakukan atas kesepakatan bersama antara
instansi yang bertanggungjawab, pemrakarsa dan masyarakat terkena
dampak terkait dengan tetap memperhatikan kemungkinan
penyempurnaannya kembali pada tahap proses penilaian dokumen
ANDAL, RKL, dan RPL di Komisi Penilai.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan lingkup masyarakat
terkena dampak adalah:
(1) Memperhatikan karakter rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
diusulkan
Contoh :
• jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang membutuhkan
dukungan semua lapisan masyarakat setempat berarti
menjadikan seluruh masyarakat setempat sebagai kelompok yang
terkena dampak (misalnya : proyek pembukaan lahan pertanian
skala besar, pembuatan infrastruktur desa, proyek peremajaan
kota, dan lain-lain);
• jenis usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pengaruh
positif atau negatif besar pada satu kelompok masyarakat
tertentu menjadikan hanya sebagian masyarakat menjadi
kelompok yang terkena dampak (misalnya: proyek transmigrasi/
pemindahan pemukim perambah hutan yang akan mempengaruhi
penduduk yang dipindahkan dan penduduk yang akan menerima,
atau proyek pertambangan terhadap masyarakat suku terasing);
5
(3) Mengacu pada batas wilayah dampak yang ditetapkan dalam studi
AMDAL
Warga masyarakat yang terkena dampak haruslah warga yang
memang berada di dalam wilayah dampak yang batas-batasnya
ditetapkan dalam studi AMDAL.
(4) Memperhatikan tahapan proses kajian AMDAL
Semakin jelas permasalahan dan alternatif mitigasi dampak, lingkup
warga masyarakat yang terkena dampak dapat membesar/mengecil.
Contoh :
• identifikasi dampak dan wilayah sebarannya pada saat KA-ANDAL
mungkin hanya menghasilkan satu kelompok masyarakat terkena
dampak, namun pada saat evaluasi dampak akan dapat
teridentifikasi kelompok masyarakat terkena dampak baru.
Demikian pula halnya pada saat ditemukannya alternatif mitigasi
dampak dalam RKL dan RPL, dimana kemudian dapat
memunculkan kelompok masyarakat terkena dampak yang tidak
teridentifikasi sebelumnya.
b) Penetapan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk dalam Komisi
Penilai AMDAL. Warga masyarakat terkena dampak memilih sendiri
wakilnya yang duduk dalam Komisi Penilai AMDAL. Kriteria dan syarat
wakil masyarakat terkena dampak adalah:
(1) Seseorang yang diakui sebagai juru bicara dan/atau mendapat mandat
dari kelompok masyarakat terkena dampak
Wujud dari pengakuan ini dapat berupa bukti yang sifatnya formal
(misalnya: surat persetujuan bersama dari kelompok masyarakat yang
diwakili), atau bentuk-bentuk pengakuan lainnya yang ditetapkan dan
disetujui oleh kelompok masyarakat terkena dampak yang diwakilinya
(misalnya: menetapkan tokoh masyarakat formal seperti Kepala Desa
dan LKMD, atau informal seperti tokoh adat dan tokoh agama
setempat sebagai wakil yang disepakati);
(2) Menyuarakan semua bentuk aspirasi dan pendapat masyarakat yang
diwakilinya secara apa adanya, termasuk juga pendapat-pendapat
yang saling bertentangan;
(3) Melakukan komunikasi dan konsultasi rutin dengan masyarakat yang
diwakilinya.
6
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
(1) Semua bentuk pengumuman baik tertulis maupun tidak tertulis harus
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, disampaikan
dengan jelas dan mudah dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat;
(2) Pengumuman tertulis di media cetak harus berukuran minimal 5x3
cm2 dan ditulis dengan huruf standar sekurang-kurangnya berukuran
10. Ukuran minimal tidak boleh dijadikan alasan tidak lengkapnya
lingkup materi yang disampaikan;
(3) Pengumuman pada papan pengumuman harus sekurang-kurangnya:
• Ditulis dengan warna hitam dan dasar putih;
• Ditulis dengan huruf cetak standar dengan ukuran minimal 12;
• Berukuran minimal 60 x 100 cm2
(4) Pengumuman pada media elektronik dapat berupa berita ataupun spot
iklan, dengan lama minimal 10 (sepuluh) detik untuk televisi dan 20
(dua puluh) detik untuk radio
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3.
2) Mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan tanggapan dari
warga masyarakat yang disampaikan;
3) Menyampaikan rangkuman hasil saran, pendapat, dan tanggapan dari warga
masyarakat serta respon dan sikap atas saran, pendapat, dan tanggapan
warga masyarakat tersebut kepada Komisi Penilai AMDAL;
4) Menyediakan informasi tentang proses dan hasil keputusan penilaian
dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat
yang berkepentingan; dan
5) Memfasilitasi terlaksananya dengan baik hak warga masyarakat atas
informasi dan berperanserta dalam proses AMDAL.
7
2) Menyelenggarakan konsultasi kepada warga masyarakat yang berkepentingan
dalam penyusunan dokumen KA-ANDAL;
3) Memberikan informasi mengenai dokumen KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL
kepada warga masyarakat yang memerlukannya;
4) Menanggapi saran, pendapat, dan tanggapan yang disampaikan oleh warga
masyarakat yang berkepentingan
8
2) Mengikuti ketentuan spesifikasi media dan teknik pengumuman sebagaimana
diatur dalam butir 1) sub bab 2.2.
9
BAGAN
PROSEDUR KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL
10
3.3 Tahap Penilaian KA-ANDAL
Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai anggota Komisi Penilai
AMDAL melalui wakil yang telah ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan saran, pendapat,
dan tanggapannya dengan ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah didokumentasikan dan/atau tertulis,
sesuai dengan ketentuan butir 2) sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum rapat Komisi Penilai
AMDAL.
Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai anggota Komisi Penilai
melalui wakil yang telah ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan saran, pendapat,
dan tanggapannya dengan ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah didokumentasikan dan/atau tertulis,
sesuai dengan ketentuan butir sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari kerja setelah
informasi jadwal rencana sidang penilaian oleh Komisi Penilai AMDAL
disebarluaskan secara resmi.
11
SALINAN
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
MEMUTUSKAN :
1
Kedua : Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup dibuat
dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan Kerangka
Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam lampiran I Keputusan ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Februari 2000
2
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000
PEDOMAN PENYUSUNAN
KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (KA-ANDAL)
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan
hidup yang merupakan hasil pelingkupan yang disepakati oleh
Pemrakarsa/Penyusun AMDAL dan Komisi AMDAL.
4.1. Keanekaragaman
ANDAL bertujuan menduga kemungkinan terjadinya dampak dari
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup.
Rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona lingkungan hidup pada
umumnya sangat beraneka ragam. Keanekaragaman rencana usaha
dan/atau kegiatan dapat berupa keanekaragaman bentuk, ukuran,
tujuan, sasaran, dan sebagainya. Demikian pula rona lingkungan
hidup akan berbeda menurut letak geografi, keanekaragaman faktor
lingkungan hidup, pengaruh manusia, dan sebagainya. Karena itu,
tata kaitan antara keduanya tentu akan sangat bervariasi pula.
Kemungkinan timbulnya dampak lingkungan hidup pun akan
3
berbeda-beda. Dengan demikian KA-ANDAL diperlukan untuk
memberikan arahan tentang komponen usaha dan/atau kegiatan
manakah yang harus ditelaah, dan komponen lingkungan hidup
manakah yang perlu diamati selama menyusun ANDAL.
4.3. Efisiensi
Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan ANDAL perlu
dibatasi pada faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan
kebutuhan. Dengan cara ini ANDAL dapat dilakukan secara efisien.
Penentuan masukan berupa data dan informasi yang amat relevan ini
kemudian disusun dan dirumuskan dalam KA-ANDAL.
Hasil studi kelayakan ini tidak hanya berguna untuk para perencana,
tetapi yang terpenting adalah juga bagi pengambilan keputusan. Karena
itu, dalam menyusun KA-ANDAL untuk suatu ANDAL perlu dipahami
bahwa hasilnya nanti akan merupakan bagian dari studi kelayakan yang
akan digunakan oleh pengambil keputusan dan perencanaan. Sungguhpun
demikian, berlainan dengan bagian studi kelayakan yang menggarap
faktor penunjang dan penghambat terlaksananya suatu usaha dan/atau
kegiatan ditinjau dari segi ekonomi dan teknologi, ANDAL lebih
menunjukkan pendugaan dampak yang bisa ditimbulkan oleh usaha
dan/atau kegiatan tersebut terhadap lingkungan hidup.
4
7. Wawasan KA-ANDAL
Dokumen KA-ANDAL harus mencerminkan secara jelas dan tegas
wawasan lingkungan hidup yang harus dipertimbangkan dalam
pembangunan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Sehubungan
dengan hal tersebut, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
a. Dokumen KA-ANDAL harus menampung berbagai aspirasi tentang
hal-hal yang dianggap penting untuk ditelaah dalam studi ANDAL
menurut pihak-pihak yang terlibat;
b. Mengingat AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan, maka dalam
studi ANDAL perlu ditelaah dan dievaluasi masing-masing alternatif
dari rencana usaha dan/atau kegiatan yang dipandang layak baik dari
segi lingkungan hidup, teknis maupun ekonomis sebagai upaya untuk
mencegah timbulnya dampak negatif yang lebih besar;
c. Mengingat kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya mengubah
lingkungan hidup, maka menjadi penting memperhatikan komponen-
komponen lingkungan hidup yang berciri:
i. Komponen lingkungan hidup yang ingin dipertahankan dan dijaga
serta dilestarikan fungsinya, seperti antara lain:
• Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Cagar Biosfer;
• Sumber daya air;
• Keanekaragaman hayati;
• Kualitas udara;
• Warisan alam dan warisan budaya;
• Kenyamanan lingkungan hidup;
• Nilai-nilai budaya yang berorientasi selaras dengan
lingkungan hidup.
5
ii. Komponen lingkungan hidup yang akan berubah secara mendasar
dan perubahan tersebut dianggap penting oleh masyarakat di
sekitar suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, seperti antara lain:
• Pemilikan dan penguasaan lahan;
• Kesempatan kerja dan usaha;
• Taraf hidup masyarakat;
• Kesehatan masyarakat.
d. Pada dasarnya dampak lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan tidak berdiri sendiri, satu sama lain
memiliki keterkaitan dan ketergantungan. Hubungan sebab akibat ini
perlu dipahami sejak dini dalam proses penyusunan KA-ANDAL agar
studi ANDAL dapat berjalan lebih terarah dan sistematis.
8. Proses pelingkupan
Pelingkupan merupakan suatu proses awal (dini) untuk menentukan
lingkup permasalahan dan mengidentifikasi dampak besar dan penting
(hipotesis) yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan.
Pelingkupan merupakan proses terpenting dalam penyusunan KA-ANDAL
karena melalui proses ini dapat dihasilkan:
a. Dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang
dipandang relevan untuk ditelaah secara mendalam dalam studi
ANDAL dengan meniadakan hal-hal atau komponen lingkungan hidup
yang dipandang kurang penting ditelaah;
b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan:
batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif;
c. Kedalaman studi ANDAL antara lain mencakup metoda yang
digunakan, jumlah sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang
dibutuhkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia (dana dan
waktu).
Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dari studi
ANDAL yang akan dilakukan.
6
yang bertanggungjawab, masyarakat yang berkepentingan serta
dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan (observasi).
Selain itu identifikasi dampak potensial juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode-metode identifikasi dampak
berikut ini:
a) penelaahan pustaka; dan/atau
b) analisis isi (content analysis); dan/atau
c) interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan lain-
lain); dan/atau
d) metoda ad hoc; dan/atau
e) daftar uji (sederhana, kuesioner, deskriptif); dan/atau
f) matrik interaksi sederhana; dan/atau
g) bagan alir (flowchart); dan/atau
h) pelapisan (overlay); dan/atau
i) pengamatan lapangan (observasi).
Untuk jelasnya proses pelaksanaan pelingkupan dapat
mempelajari Panduan Pelingkupan Untuk Penyusunan Kerangka
Acuan ANDAL sesuai Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-30/MENKLH/7/1992.
7
dikelompokan menjadi beberapa kelompok menurut
keterkaitannya satu sama lain. Kedua, dampak besar dan
penting yang berkelompok tersebut selanjutnya diurut
berdasarkan kepentingannya, baik dari ekonomi, sosial, maupun
ekologis.
8
rencana usaha dan/atau kegiatan melalui penyerapan tenaga
kerja, pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
4) Batas administratif
Yang dimaksud dengan batas administrasi adalah ruang dimana
masyarakat dapat secara leluasa melakukan kegiatan sosial
ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di dalam ruang tersebut.
Batas ruang tersebut dapat berupa batas administrasi
pemerintahan atau batas konsesi pengelolaan sumber daya oleh
suatu usaha dan/atau kegiatan (misal, batas HPH, batas kuasa
pertambangan).
Dengan memperhatikan batas-batas tersebut di atas dan
mempertimbangkan kendala-kendala teknis yang dihadapi (dana,
waktu, dan tenaga), maka akan diperoleh ruang lingkup wilayah
studi yang dituangkan dalam peta dengan skala yang memadai.
5) Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL
Yakni ruang yang merupakan kesatuan dari keempat wilayah di
atas, namun penentuannya disesuaikan dengan kemampuan
pelaksana yang biasanya memiliki keterbatasan sumber data,
seperti waktu, dana, tenaga, tehnik, dan metode telaahan.
Dengan demikian, ruang lingkup wilayah studi memang bertitik
tolak pada ruang bagi rencana usaha dan/atau kegaitan,
kemudian diperluas ke ruang ekosistem, ruang sosial dan ruang
administratif yang lebih luas.
BAB I. PENDAHULUAN
9
c. Memprakirakan dampak dan mengevaluasikan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup.
Kegunaan studi ANDAL adalah untuk:
a. Membantu pengambilan keputusan dalam pemilihan alternatif yang
layak dari segi lingkungan hidup, teknis dan ekonomis;
b. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam tahap
perencanaan rinci dari suatu usaha dan/atau kegiatan;
c. Sebagai pedoman untuk kegiatan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.
10
BAB III. METODE STUDI
4.1. Pemrakarsa
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap
instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa rencana usaha dan/atau
kegiatan, nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan
rencana usaha dan/atau kegiatan.
11
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap
lembaga/perusahaan, nama dan alamat lengkap penanggung jawab
penyusun AMDAL, nama dan keahlian dari masing - masing anggota
penyusun AMDAL. Perlu diketahui bahwa Ketua tim penyusun studi
AMDAL harus bersertifikat AMDAL B sedangkan anggota tim penyusun
lainnya harus mempunyai keahlian yang sesuai dengan lingkup studi
AMDAL yang akan dilakukan.
Pada bagian ini uraikan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen KA-ANDAL.
Sudarsono, S.H.
12
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000
PEDOMAN PENYUSUNAN
ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL)
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) adalah telaahan secara
cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan (PP Nomor 27 Tahun 1999 Pasal 1).
RINGKASAN
BAB I. PENDAHULUAN
13
1.1. Latar belakang
Uraikan secara singkat latar belakang dilaksanakannya studi ANDAL ditinjau dari:
a. Tujuan dan kegunaan proyek;
b. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan rencana
usaha dan/atau kegiatan dan lingkungan;
c. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup;
d. Kaitan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan dampak besar dan penting
yang ditimbulkan (iu-isu pokok hasil pelingkupan yang tertuang dalam
dokumen KA-ANDAL).
Bab ruang lingkup studi mencakup tentang kajian dampak besar dan penting
yang ditelaah serta wilayah studi.
Masing-masing butir yang diuraikan pada bab ruang lingkup studi ini disusun
dengan mengacu pada hal-hal yang tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan.
14
b. Uraikan dengan singkat kondisi rona lingkungan hidup yang terkena
dampak, terutama komponen lingkungan hidup yang langsung terkena
dampak;
c. Uraikan secara singkat jenis-jenis kegiatan yang ada di sekitar rencana
lokasi beserta dampak - dampak yang ditimbulkannya terhadap
lingkungan hidup;
d. Aspek-aspek yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 2.1. a, b, c
dimaksud mengacu pada hasil pelingkupan yang tertuang dalam
dokumen Kerangka Acuan untuk ANDAL.
Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang dapat menggambarkan lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan beserta kegiatan - kegiatan yang berada di
sekitarnya.
Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah
studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil
pengamatan di lapangan.
Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan pada peta dengan skala yang
memadai.
Uraikan secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk memprakirakan besar
dampak usaha dan/atau kegiatan dan penentuan sifat penting dampak terhadap
komponen lingkungan hidup yang dimaksud pada butir 2.1.b. Penggunaan
metoda formal dan non formal dalam memprakirakan besaran dampak dan
Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan
Penting untuk memprakirakan tingkat kepentingan dampak.
15
3.3. Metode evaluasi dampak besar dan penting
Uraikan singkat tentang metoda evaluasi dampak yang lazim digunakan dalam
studi untuk menelaah dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan
terhadap lingkungan hidup secara holistik (seperti antara lain: matrik, bagan alir,
overlay), yang menjadi dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari
berbagai alternatif usaha dan/atau kegiatan.
Isi uraian mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL terdiri dari :
a. Pemrakarsa :
1) Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa
rencana usaha dan/atau kegiatan;
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.
b. Penyusun ANDAL :
1) Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan kualifikasi
dan rujukannya;
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun ANDAL.
Pernyataan rencana maksud dan tujuan dari rencana usaha dan/atau kegiatan
perlu dikemukakan secara sistematis dan terarah.
Uraian yang memuat tentang kegunaan dan keperluan mengapa rencana usaha
dan/atau kegiatan harus dilaksanakan, baik ditinjau dari segi kepentingan
pemrakarsa maupun dari segi menunjang program pembangunan.
a. Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana
usaha dan/atau kegiatan harus dinyatakan dalam peta berskala memadai, dan
dapat memperlihatkan hubungan tata kaitan dan tata letak antara lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan dengan usaha dan/atau kegiatan lainnya,
seperti pemukiman (lingkungan hidup binaan manusia umumnya), dan
lingkungan hidup alami yang terdapat di sekitar rencana usaha dan/atau
kegiatan. Hutan lindung, cagar alam, suaka alam, suaka marga-satwa,
sumber mata air, sungai, dan kawasan lindung lainnya yang terletak dekat
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan harus diberikan tanda istimewa dalam
peta;
b. Hubungan antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan jarak dan
tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati dan, sumber
daya alam non hayati serta sumber daya manusia yang diperlukan oleh
rencana usaha dan/atau kegiatan setelah usaha dan/atau kegiatan ini
16
beroperasi. Hubungan ini perlu dikemukakan dalam peta dengan skala
memadai;
c. Alternatif usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil studi kelayakan (misal:
alternatif lokasi, tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau teknologi
proses produksi). Bila berdasarkan studi kelayakan terdapat beberapa
alternatif lokasi usaha dan/atau kegiatan; maka berikan uraian tentang
masing-masing alternatif lokasi tersebut sebagaimana dimaksud pada butir a.
dan b.;
d. Tata letak usaha dan/atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang berskala
memadai, yang memuat informasi tentang letak bangunan dan struktur
lainnya yang akan dibangun dalam lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,
serta hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan bangunan yang
sudah ada di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan (jalan raya, jalan
kereta api, dermaga dan sebagainya). Bila terdapat beberapa alternatif tata
letak bangunan dan struktur lainnya, maka alternatif rancangan tersebut
diutarakan pula dalam peta yang berskala memadai;
e. Tahap pelaksanaan usaha dan/atau kegiatan tahap pra-konstruksi, konstruksi,
jangka waktu masa operasi, hingga rencana waktu pasca operasi.
1) Tahap pra-konstruksi/persiapan
Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadwal usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pra konstruksi. Uraikan secara mendalam difokuskan pada
kegiatan selama masa persiapan (pra-konstruksi) yang menjadi penyebab
timbulnya dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
2) Tahap konstruksi
(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap konstruksi. Uraian secara mendalam difokuskan pada
usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup.
Misalnya:
(1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah, tempat asal tenaga
kerja, dan kualifikasi pendidikan;
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan, listrik, air) dari
rencana usaha dan/atau kegiatan;
(3) Kegiatan pengangkutan dan penimbunan bahan atau material yang dapat
menimbulkan dampak lingkungan hidup;
(4) Jenis-jenis dan tipe peralatan yang digunakan.
(b) Uraikan tentang usaha dan/atau kegiatan pembangunan unit atau sarana
pengendalian dampak (misal: unit pengolahan limbah), bila unit atau sarana
dimaksud direncanakan akan dibangun oleh pemrakarsa. Disamping itu, bila
ada, jelaskan pula upaya-upaya untuk mengatasi berbagai masalah
lingkungan hidup yang timbul selama masa konstruksi;
(c) Uraikan tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas material/bahan,
gudang, jalan-jalan darurat dan lain-lain setelah usaha dan/atau kegiatan
konstruksi berakhir.
17
3) Tahap Operasi
(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap operasi. Uraian secara mendalam difokuskan pada usaha
atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap
lingkungan hidup. Misalnya:
(1) Desain dan spesifikasi teknologi yang digunakan;
(2) Jumlah dan jenis bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam
proses produksi yang mungkin menimbulkan dampak besar dan penting
lingkungan hidup serta cara pengangkutan dan penyimpanannya (misal:
pestisida serta bahan berbahaya dan beracun lainnya). Perlu juga
diuraikan neraca air (waterbalance) bila usaha dan/atau kegiatan yang
akan dibangun menggunakan air yang banyak, demikian pula neraca
bahan (material balance), sehingga dapat diketahui input-output dan
jumlah serta kualitas limbah;
(3) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga kerja yang akan diserap
langsung oleh rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap operasi;
(4) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya atau masalah selama
operasi baik yang bersifat fisik maupun sosial;
(5) Karakteristik limbah yang dihasilkan baik limbah padat, cair maupun gas
dan rencana-rencana pengelolaannya. Dalam kaitan ini perlu diuraikan
pula sifat-sifat limbah B3 maupun non B3.
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan selama
masa operasi. Termasuk dalam hal ini rencana pengoperasian unit atau
sarana pengendalian dampak yang telah dibangun pada masa konstruksi.
Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadwal usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pasca operasi. Misalnya:
(a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan bahan/material,
bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan sebagainya;
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan setelah
masa operasi berakhir;
(c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk
tujuan lain bila seluruh rencana usaha dan/atau kegiatan berakhir;
(d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa usaha dan/atau
kegiatan berakhir.
18
1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan,
yang mengungkapkan secara mendalam komponen-komponen lingkungan
hidup yang berpotensi terkena dampak penting usaha dan/atau kegiatan.
Selain itu komponen lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan
ekonomis perlu mendapat perhatian;
2) Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber daya alam yang ada di
wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik yang sudah atau yang
akan dimanfaatkan maupun yang masih dalam bentuk potensi. Penyajian
kondisi sumber daya alam ini perlu dikemukakan dalam peta dan atau label
dengan skala memadai dan bila perlu harus dilengkapi dengan diagram,
gambar, grafik atau foto;
3) Data dan informasi rona lingkungan hidup
Uraikan secara singkat rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha
dan/atau kegiatan. Rona lingkungan hidup yang diuraikan pada butir ini agar
dibatasi pada komponen-komponen lingkungan hidup yang berkaitan dengan,
atau berpotensi terkena dampak besar dan penting.
Berikut ini adalah beberapa contoh komponen lingkungan hidup yang dapat
dipilih untuk ditelaah sesuai hasil pelingkupan dalam KA-ANDAL. Penyusun dapat
menelaah komponen lingkungan hidup yang lain diluar dari daftar contoh
komponen ini bila dianggap penting berdasarkan hasil penilaian lapangan dalam
studi ANDAL ini.
a. Fisik Kimia
19
3) Hidrologi
(a) Karakteristik fisik sungai, danau, rawa (rawa pasang surut, rawa air
tawar);
(b) Rata-rata debit dekade, bulanan, tahunan;
(c) Kadar sedimentasi (lumpur), tingkat erosi;
(d) Kondisi fisik daerah resapan air permukaan dan air tanah;
(e) Fluktuasi , potensi dan kualitas air tanah (dangkal dan dalam);
(f) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk air minum
mandi, cuci;
(g) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk keperluan
lainnya seperti pertanian, industri, dan lain-lain;
(h) Kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi air mengacu pada baku mutu dan
parameter kualitas air yang terkait dengan limbah yang akan keluar.
4) Hidrooseanografi
Pola hidrodinamika kelautan seperti pasang surut, arus dan
gelombang/ombak, morfologi pantai, abrasi dan akresi serta pola sedimentasi
yang terjadi secara alami di daerah penelitian.
5) Ruang, lahan, dan tanah
(a) Inventarisasi tata guna lahan dan sumber daya lainnya pada saat rencana
usaha dan/atau kegiatan yang diajukan dan kemungkinan potensi
pengembangannya di masa datang;
(b) Rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang (kawasan budidaya
seperti pertanian, perkebunan, hutan, perikanan dan lain-lain serta
kawasan non budidaya seperti hutan lindung , suaka margasatwa, taman
nasional dan lain-lain), rencana tata guna tanah, dan sumber daya alam
lainnya yang secara resmi atau belum resmi disusun oleh Pemerintah
setempat baik di tingkat kabupaten, propinsi atau nasional di wilayah studi
rencana usaha dan/atau kegiatan;
(c) Kemungkinan adanya konflik atau pembatasan yang timbul antara
rencana tata guna tanah dan sumber daya alam lainnya yang sekarang
berlaku dengan adanya pemilikan/penentuan lokasi bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(d) Inventarisasi estetika dan keindahan bentang alam serta daerah rekreasi
yang ada di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan.
b. Biologi
1) Flora
(a) Peta zona biogeoklimatik dari vegetasi alami yang meliputi tipe vegetasi,
sifat-sifat dan kerawanannya yang berada dalam wilayah studi rencana
usaha dan/atau kegiatan;
(b) Uraikan tentang jenis-jenis vegetasi dan ekosistem yang dilindungi
undang-undang yang berada dalam wilayah studi rencana usaha dan/atau
kegiatan;
(c) Uraikan tentang keunikan dari vegetasi dan ekosistemnya yang berada
pada wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan.
20
2) Fauna
(a) Taksiran kelimpahan dan keragaman fauna, habitat, penyebaran, pola
migrasi, populasi hewan budidaya (ternak) serta satwa dan habitatnya
yang dilindungi undang-undang dalam wilayah studi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(b) Taksiran penyebaran dan kepadatan populasi hewan invertebrata yang
dianggap penting karena memiliki peranan dan potensi sebagai bahan
makanan, atau sumber hama dan penyakit;
(c) Perikehidupan hewan penting di atas, termasuk cara perkembangbiakan,
siklus dan daur hidupnya, cara pemijahan, cara bertelur dan beranak, cara
memelihara anaknya, perilaku dalam daerah teritorinya.
c. Sosial
2) Ekonomi
(a) Ekonomi rumah tangga (tingkat pendapatan, pola nafkah ganda);
(b) Ekonomi sumber daya alam (pola pemilikan dan penguasaan sumber daya
alam, pola pemanfaatan sumber daya alam, pola penggunaan lahan, nilai
tanah dan sumber daya alam lainnya, sumber daya alam milik umum);
(c) Perekonomian lokal dan regional (kesempatan kerja dan berusaha, nilai
tambah karena proses manufaktur, jenis dan jumlah aktifitas ekonomi
non-formal, distribusi pendapatan, efek ganda ekonomi, produk domestik
regional bruto, pendapatan asli daerah, pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi, fasilitas umum dan fasilitas sosial, aksesibilitas wilayah).
3) Budaya
(a) Kebudayaan (adat-istiadat, nilai dan norma budaya);
(b) Proses sosial (proses asosiatif/kerjasama, proses disosiatif/konflik sosial,
akulturasi, asimilasi dan integrasi, kohesi sosial);
(c) Pranata sosial/kelembagaan masyarakat dibidang ekonomi (misal hak
ulayat), pendidikan, agama, sosial, keluarga;
(d) Warisan budaya (situs purbakala, cagar budaya);
(e) Pelapisan sosial berdasarkan pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan
kekuasaan;
(f) Kekuasaan dan kewenangan ( kepemimpinan formal dan informal,
kewenangan formal dan informal, mekanisme pengambilan keputusan di
kalangan masyarakat, kelompok individu yang dominan, pergeseran nilai
kepemimpinan);
21
(g) Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau kegiatan;
(h) Adaptasi ekologis.
4) Pertahanan/Keamanan
d. Kesehatan Masyarakat
22
(b) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
komponen fisik-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan
berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial;
(c) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
komponen biologi, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan
pada komponen sosial;
(d) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
aspek fisik-kimia dan selanjutnya membangkitkan dampak pada
komponen sosial;
(e) Dampak penting berlangsung saling berantai diantara komponen sosial itu
sendiri;
(f) Dampak penting pada butir a,b,c dan d yang telah diutarakan selanjutnya
menimbulkan dampak balik pada rencana usaha dan/atau kegiatan.
4) Mengingat usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif usaha atau kegiatan (lokasi, atau teknologi yang digunakan),
sehubungan dengan AMDAL merupakan komponen dari studi kelayakan, maka
telaahan sebagaimana dimaksud pada butir VI.1 dan VI.2 dilakukan untuk
masing-masing alternatif;
5) Dalam melakukan analisis prakiraan dampak penting agar digunakan metoda-
metoda formal secara matematis. Penggunaan metoda non formal hanya
dilakukan bila mana dalam melakukan analisis tersebut tidak tersedia
formula-formula matematis atau hanya dapat didekati dengan metoda non
formal.
Dalam Bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak besar
dan penting dari rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil evaluasi ini selanjutnya
menjadi masukan bagi instansi yang bertanggungjawab untuk memutuskan
kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan, sebagaimana
dimaksud dalam PP. Nomor 27 Tahun 1999.
23
2) Telaahan sebagai dasar pengelolaan
(a) Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha atau kegiatan dan
rona lingkungan hidup dengan dampak positif dan negatif yang mungkin
timbul. Misalnya, mungkin saja dampak besar dan penting timbul dari
rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap rona lingkungan hidup, karena
rencana usaha atau kegiatan itu dilaksanakan di suatu lokasi yang terlalu
padat manusia, atau pada tingkat pendapatan dan pendidikan yang
terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak sesuai dan sebagainya;
(b) Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas, dalam arti
apakah dampak penting baik positif atau negatif akan berlangsung terus
selama rencana usaha dan/atau kegiatan itu berlangsung nanti. Atau
antara dampak-dampak satu dengan dampak yang lainnya akan terdapat
hubungan timbal balik yang antagonistis dan sinergistis. Apabila
dimungkinkan, uraikan kejelasan tentang waktu ambang batas (misal :
baku mutu lingkungan) dampak besar dan penting mulai timbul. Apakah
ambang batas tersebut akan mulai timbul setelah rencana usaha dan/atau
kegiatan dilaksanakan atau akan terus berlangsung sejak masa pra-
konstruksi dan akan berakhir bersama selesainya rencana usaha dan/atau
kegiatan. Atau mungkin akan terus berlangsung, umpamanya lebih dari
satu generasi;
(c) Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan kelompok
yang akan terkena dampak positif. Identifikasi kesenjangan antara
perubahan yang diinginkan dan perubahan yang mungkin terjadi akibat
usaha dan/atau kegiatan pembangunan;
(d) Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena dampak penting
ini, apakah hanya akan dirasakan dampaknya secara lokal, regional,
nasional, atau bahkan internasional, melewati batas negara Republik
Indonesia;
(e) Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha dan/atau kegiatan
berada di dalam daerah bencana alam atau di dekat sumber bencana
alam.
24
lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan dampak
lingkungan hidup hidup penting yang akan ditimbulkannya;
4) Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tercantum dalam
dokumen;
5) Hal lain yang dianggap perlu atau relevan yang dimuat dalam lampiran ini.
Bahan-bahan tersebut diatas tidak perlu lagi dilampirkan dalam dokumen ANDAL
bilamana telah dicantumkan dalam dokumen KA.
Sudarsono, S.H.
25
LAMPIRAN III : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000
PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)
A. PENJELASAN UMUM
26
dipandang patut atau layak untuk dilaksanakan ditinjau dari segi teknis dan
ekonomi; sebelum investasi, tenaga, dan waktu terlanjur dicurahkan lebih
banyak. Keterbatasan data dan informasi tentang rencana usaha atau
kegiatan ini sudah barang tentu berpengaruh pada bentuk kegiatan
pengelolaan yang dapat dirumuskan dalam dokumen RKL;
(b) Pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan pengelolaan
lingkungan hidup yang tertuang dalam dokumen RKL selanjutnya akan
diintegrasikan atau menjadi dasar pertimbangan bagi konsultan rekayasa
dalam menyusun rancangan rinci rekayasa;
Disamping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan hidup yang
tertuang dalam dokumen RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL, dalam
arti komponen lingkungan hidup yang dikelola adalah yang hanya mengalami
perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen ANDAL.
Untuk menangani dampak besar dan penting yang sudah diprediksi dari studi
ANDAL, dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan
hidup yang selama ini kita kenal seperti : teknologi, sosial ekonomi, maupun
institusi.
(a) Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk
mengelola dampak besar dan penting lingkungan hidup;
Sebagai misal :
27
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun,
akan ditempuh cara :
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;
(1.2) Melakukan minimisasi limbah dengan mengurangi jumlah/volume
limbah (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) atau
mendaur ulang (recycle);
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu
sehingga tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki kerusakan
sumberdaya alam, akan ditempuh cara, misalnya :
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup tanah
untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan tanah
atas dan penanaman tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai
tambah dari dampak positif yang telah ada, misalnya melalui peningkatan
dan daya guna dari dampak positif tersebut.
c) Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh
pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak besar dan penting
lingkungan hidup. Sebagai misal,
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan hidup oleh
instansi yang berwenang;
28
(3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Mengingat dokumen RKL disusun sekaligus dengan dokumen ANDAL dan RPL,
dan ketiganya dinilai sekaligus maka format dokumen RKL langsung berorientasi
pada keempat pokok rencana pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana pada
butir 1 di atas.
PERNYATAAN PELAKSANAAN
BAB I . PENDAHULUAN
1) Pernyataan tentang maksud dan tujuan pelaksanaan RKL dan RPL secara
umum dan jelas. Pernyataan ini harus dikemukakan secara sistematis, singkat
dan jelas;
2) Pernyataan kebijakan lingkungan. Uraian tentang komitmen pemrakarsa
usaha dan/atau kegiatan untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang relevan, serta
komitmen untuk melakukan penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan secara berkelanjutan dalam bentuk mencegah, menanggulangi
dan mengendalikan dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan-
kegiatannya serta melakukan pelatihan bagi karyawannya dibidang
pengelolaan lingkungan hidup;
3) Uraian tentang kegunaan dilaksanakanya Rencana Pengelolaan Lingkungan.
Untuk menangani dampak besar dan penting yang sudah diprediksi dari studi
ANDAL, dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan
hidup yang selama ini kita kenal seperti: teknologi, sosial ekonomi, maupun
institusi.
(a) Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk
mengelola dampak besar dan penting lingkungan hidup.
Sebagai misal :
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun,
akan ditempuh cara :
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;
29
(1.2) Melakukan minimisasi limbah dengan mengurangi jumlah/volume
limbah (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) atau
mendaur ulang (recycle);
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu
sehingga tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki kerusakan
sumber daya alam, akan ditempuh cara, misalnya :
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup tanah
untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan tanah
atas dan penanaman tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai
tambah dari dampak positif yang telah ada, misalnya melalui peningkatan
dan daya guna dari dampak positif tersebut.
(b) Pendekatan sosial ekonomi
Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa
dalam upaya menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan yang
berlandaskan pada interaksi sosial, dan bantuan peran pemerintah. Sebagai
misal,
(1) Melibatkan masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Permintaan bantuan kepada pemerintah untuk turut menanggulangi
dampak penting lingkungan hidup karena keterbatasan kemampuan
pemrakarsa;
(3) Permohonan keringanan bea masuk peralatan pengendalian pencemaran;
(4) Memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat sesuai dengan
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki;
(5) Kompensasi atau ganti rugi atas lahan milik penduduk untuk keperluan
rencana usaha dan/atau kegiatan dengan prinsip saling menguntungkan
kedua belah pihak;
(6) Bantuan fasilitas umum kepada masyarakat sekitar rencana usaha
dan/atau kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pemrakarsa.
(7) Menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar guna
mencegah timbulnya kecemburuan sosial.
(c) Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh
pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak besar dan penting
lingkungan hidup. Sebagai misal:
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan hidup oleh
instansi yang berwenang;
Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada pihak-
pihak yang berkepentingan
30
BAB III. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan
baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut:
31
Uraikan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak besar dan penting yang
bersifat strategis berikut dengan dampak turunannya yang otomatis akan turut
tercegah/tertanggulangi/terkendali.
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana industri pulp
dan kertas adalah pencemaran air, maka tujuan upaya pengelolaan lingkungan
hidup secara specifik adalah :
Mengendalikan mutu limah cair yang dibuang ke sungai XYZ, khususnya
parameter BOD5, COD, Padatan Tersuspensi Total, dan pH; agar tidak melampaui
baku mutu limbah cair sebagaimana yang ditetapkan dalam KEP
51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.
32
(b) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
(c) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait;
(d) Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya;
(e) Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi
pengelolaan lingkungan hidup.
Institusi pengelolaan lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :
(a) Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan institusi pelaksana yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
dan sebagai penyandang dana kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.
Apabila dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup
pemrakarsa menugaskan atau bekerjasama dengan pihak lain, maka
cantumkan pula institusi dimaksud;
(b) Pengawas pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksananya RKL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih
dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggungjawab, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilaporkan hasil kegiatan pengelolaan
lingkungan hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang
bersangkutan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV . PUSTAKA
Pada bagian ini jelaskan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RKL, baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun
laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan
berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.
BAB V. LAMPIRAN
33
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
Sudarsono, S.H.
34
LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000
PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)
A. PENJELASAN UMUM
35
2) Lokasi pemantauan;
3) Frekuensi dan jangka waktu pemantauan;
4) Metode pengumpulan data (termasuk peralatan dan instrumen yang
digunakan untuk pengumpulan data);
5) Metode analisis data.
(f) Dokumen RPL perlu memuat tentang kelembagaan pemantauan
lingkungan hidup. Kelembagaan pemantauan lingkungan hidup yang
dimaksud disini adalah institusi yang bertanggungjawab sebagai
penyandang dana pemantauan, pelaksana pemantauan, pengguna hasil
pemantauan, dan pengawas kegiatan pemantauan. Koordinasi dan
kerjasama antar institusi ini dipandang penting untuk digalang agar data
dan informasi yang diperoleh, dan selanjutnya disebarkan kepada
berbagai penggunanya, dapat bersifat tepat guna, tepat waktu dan dapat
dipercaya;
BAB I. PENDAHULUAN
Pendahuluan mencakup :
Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan
baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut :
36
Indikator adalah alat pemantau (sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk
atau keterangan tentang suatu kondisi.
Sebagai misal, indikator yang relevan untuk kualitas air limbah dan air sungai
sehubungan dengan karakteristik rencana usaha dan/atau kegiatan, adalah
pH, BOD5, suhu, warna, bau, kandungan minyak, dan logam berat.
2. Sumber dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak besar dan
penting:
(a) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat langsung dari
rencana usaha atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha
dan/atau kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak besar
dan penting;
(b) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat berubahnya
komponen lingkungan hidup yang lain, maka utarakan secara singkat
komponen atau parameter lingkungan hidup yang merupakan penyebab
timbulnya dampak besar dan penting tersebut.
3. Parameter lingkungan hidup yang dipantau
Uraikan secara jelas tentang parameter lingkungan hidup yang dipantau.
Parameter ini dapat meliputi aspek biologi, kimia, fisika dan aspek sosial
ekonomi dan budaya.
4. Tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup
Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak besar dan penting
lingkungan hidup, dengan memperhatikan dampak besar dan penting yang
dikelola, bentuk rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan dampak besar
dan penting turunan yang ditimbulkannya.
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana industri
pulp dan kertas adalah kualitas air limbah, maka tujuan rencana pemantauan
lingkungan hidup secara spesifik adalah :
Memantau mutu limah cair yang dibuang ke sungai XYZ, khususnya
parameter BOD5, COD, Padatan Tersuspensi Total, dan pH; agar tidak
melampaui baku mutu limbah cair sebagaimana yang ditetapkan dalam KEP
51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri .
5. Metode pemantauan lingkungan hidup
Uraikan secara singkat metode yang akan digunakan untuk memantau
indikator dampak besar dan penting, yang mencakup :
(a) Metode pengumpulan dan analisis data
Cantumkan secara singkat dan jelas metode yang digunakan dalam proses
pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan, instrumen, atau
formulir isian yang digunakan. Cantumkan pula tingkat ketelitian alat yang
digunakan dalam pengumpulan data sehubungan dengan tingkat ketelitian
yang disyaratkan dalam Baku Mutu Lingkungan hidup.
Selain itu uraikan pula metode yang digunakan untuk menganalisis data
hasil pengukuran. Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang
digunakan dalam proses analisis data. Selain itu uraikan pula tolok ukur
yang digunakan untuk menilai kondisi kualitas lingkungan hidup yang
dipantau, dan sebagai umpan balik untuk kegiatan pengelolaan lingkungan
hidup. Perlu diperhatikan bahwa metode pengumpulan dan analisis data
sejauh mungkin konsistem dengan metode yang digunakan disaat
penyusunan ANDAL.
37
(b) Lokasi pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan lokasi pemantauan yang tepat disertai dengan peta berskala
yang memadai dan menunjukkan lokasi pemantauan dimaksud. Perlu
diperhatikan bahwa lokasi pemantauan sejauh mungkin konsisten dengan
lokasi pengumpulan data disaat penyusunan ANDAL.
(c) Jangka waktu dan frekwensi pemantauan
Uraikan tentang jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut
dengan frekuensinya per satuan waktu. Jangka waktu dan frekuensi
pemantauan ditetapkan dengan mempertimbangkan sifat dampak besar
dan penting yang dipantau (instensitas, lama dampak berlangsung, dan
sifat kumulatif dampak).
6. Institusi pemantauan lingkungan hidup
Pada setiap rencana pemantauan lingkungan hidup cantumkan institusi atau
kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan
kegiatan pemantauan lingkungan hidup, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku baik ditingkat nasional maupun daerah. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemantauan lingkungan hidup
meliputi :
(a) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup;
(b) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait;
(c) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah;
(c) Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya;
(e) Keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi
pemantauan lingkungan hidup.
Institusi pemantau lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :
(a) Pelaksana pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan
sebagai penyandang dana kegiatan pemantauan lingkungan hidup;
(b) Pengawas pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksanya RPL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih
dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab,
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) Pelaporan hasil pemantauan lingkungan hidup;
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilapori hasil kegiatan pemantauan
lingkungan hidup secara berkala seseuai dengan lingkup tugas instansi
yang bersangkutan.
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RPL baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun
laporan hasil-hasil penelitian, Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan
berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.
38
BAB IV. LAMPIRAN
1. Lampirkan ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom
sebagai berikut : dampak besar dan penting yang dipantau, sumber dampak,
tujuan pemantauan lingkungan hidup, rencana pemantauan lingkungan hidup
(yang meliputi metode pengumpulan data, lokasi pemantauan lingkungan
hidup, jangka waktu dan frekuensi pemantauan lingkungan hidup, serta
metode analisis), dan institusi pemantau lingkungan hidup.
Sudarsono, S.H.
39
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
3. KepMen LH Nomor 51 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri
4. KepMen LH Nomor 52 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel
5. KepMen LH Nomor 58 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah
Sakit
6. KepMen LH Nomor 42 Tahun 1996 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan industri
7. KepMen LH Nomor 09 Tahun 1997 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan
Gas serta Panas Bumi
8. KepMen LH Nomor 03 Tahun 1998 Baku Mutu Limbah Bagi Kawasan Industri
10. KepMen LH Nomor 29 Tahun 2003 Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Kelapa
Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit
11. KepMen LH Nomor 37 Tahun 2003 Metoda Analisa Kualitas Air Permukaan dan
Pengambilan Contoh Air Permukaan
12. KepMen LH Nomor 110 Tahun 2003 Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Pada Sumber Air
13. KepMen LH Nomor 111 Tahun 2003 Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara
Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air
Limbah Ke Air atau Sumber Air
14. KepMen LH Nomor 112 Tahun 2003 Baku Mutu Air Limbah Domestik
15. KepMen LH Nomor 113 Tahun 2003 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan Atau
Kegiatan Pertambangan Batu Bara
16. KepMen LH Nomor 114 Tahun 2003 Pedoman Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air
17. KepMen LH Nomor 115 Tahun 2003 Pedoman Penentuan Status Mutu Air
18. KepMen LH Nomor 142 Tahun 2003 Perubahan Atas Kep Men LH No. 111 Tahun 2003
Tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata
Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian
Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air
19. KepMen LH Nomor 122 Tahun 2004 Perubahan Atas Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor: Kep-
51/Menlh/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri
20. KepMen LH Nomor 202 Tahun 2004 Baku Mutu Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan
Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 35 Tahun 1995
Tentang : Program Kali Bersih
Menimbang :
1. bahwa kali atau sungai merupakan sumber daya air yang penting bagi
kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya;
3. bahwa untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai
dengan peruntukannya, pemerintah telah mencanangkan Program Kali Bersih;
4. bahwa Program Kali Bersih tersebut telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah
di beberapa propinsi pada beberapa sungai dengan melibatkan berbagai
instansi terkait di daerah;
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM KALI
BERSIH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
AZAS, TUJUAN DAN SASARAN PROKASIH
Pasal 2
Pasal 4
(2) Meningkatnya kualitas air sungai pada setiap ruas sungai Prokasih sampai
minimal memenuhi baku mutu air yang sesuai dengan peruntukannya.
(3) Menurunnya beban limbah dari tiap sumber pencemar, sampai minimal
memenuhi baku mutu limbah cair.
Pasal 5
Pasal 6
Sungai dan ruas sungai Prokasih ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan pedoman
pemilihan sungai dan ruas sungai Prokasih yang ditetapkan Bapedal dengan
mempertimbangkan fungsi sungai bagi masyarakat dan pembangunan serta
memperhitungkan tingkat kemampuan lembaga pelaksana di daerah yang
bersangkutan.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2), Kepala
Bapedal membentuk Tim Prokasih Tingkat Pusat.
Pasal 13
Pasal 14
BAB V
PELAPORAN
Pasal 15
BAB VI
PEMBERIAN PENGHARGAAN
Pasal 16
(2) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini,
diberikan berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan Pasal
15;
(3) Dalam rangka pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal ini
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 18
Pasal 19
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan
diperbaiki sebagaimana mestinya.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 35-A Tahun 1995
Tentang : Program Penilaian Kinerja Perusahaan /
Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran Dalam
Lingkup Kegiatan PROKASIH (PROPER PROKASIH)
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM
PENILAIAN KINERJA PERUSAHAAN / KEGIATAN USAHA DALAM PENGENDALIAN
PENCEMARAN DALAM LINGKUP KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH)
Pasal 1
Pasal 2
(3) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat masuk
program penilaian bila dipandang perlu demi kepentingan umum.
Pasal 3
Pasal 4
(2) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas ditetapkan
oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, sedangkan Dewan
Pertimbangan Proper Prokasih ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkugan
Hidup.
Pasal 6
7. Wakil dunia usaha, wakil lembaga swadaya masyarakat dan wakil dari
pers.
Pasal 7
(2) Tim Teknis setelah mendengar masukan dari Dewan Pertimbangan Proper
Prokasih menyampaikan hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan
usaha kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.
Pasal 9
Perusahaan/kegiatan usaha yang meraih peringkat emas dan hijau diberikan piagam
penghargaan.
Pasal 10
Pasal 11
Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada:
______________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP- 51 /MENLH/ 10 /1995
TENTANG
Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi
hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan
pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI
KEGIATAN INDUSTRI.
Pasal 1
1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang
setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri;
2. Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan
dibuang ke lingkungan;
3. Limbah Cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang
dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan;
4. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan
beban pencemaran;
5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan;
10. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
2. Pelapisan logam adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A II dan Lampiran B II;
3. Penyamakan kulit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A III dan Lampiran B III;
4. Minyak sawit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IV dan Lampiran B IV;
5. Pulp dan kertas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A V dan Lampiran B V;
7. Gula adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VII dan Lampiran B VII;
8. Tapioka adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VIII dan Lampiran B VIII;
12.Mono Sodium Glutamate (MSG) adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XII dan
Lampiran B XII
13. Kayu lapis adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIII dan Lampiran B XIII;
14.Susu, makanan yang terbuat dari susu adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A
XIV dan Lampiran BXIV;
16.Sabun, diterjen dan produk-produk minyak nabati adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran A XVI dan Lampiran B XVI
17.Bir adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVII dan Lampiran B XVII;
18.Baterai sel kering adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVIII dan Lampiran B
XVIII;
19.Cat adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIX dan Lampiran B XIX;
21.Pestisida adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XXI dan Lampiran B XXI.
(2) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini, ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar, kecuali jenis industri farmasi dan
industri pestisida formulasi pengemasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir 20 dan
butir 21 pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar.
(3) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang :
a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Linibah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1
Januari tahun 2000;
b. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair Lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000.
(4) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang tahap
perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, maka
berlaku baku mutu limbah cair sebagaimana tersebut dalam Larnpiran B.
(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap saat
tidak boleh dilampaui.
(6) Perhitungan tentang debit limbah cair maksimum dan beban pencemaran maksimum adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran D keputusan ini.
(7) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan/atau pimpinan lembaga pemerntahan
non departemen yang bersangkutan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair untuk jenis-jenis
industri di luar jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Selama Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum
ditetapkan, Gubernur dapat menggunakan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalam Lampiran C Keputusan ini.
(3) Gubernur dapat melakukan penyesuaian jumlah parameter sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) pasal ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(4) Gubemur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter yang tercantum dalam
Baku Mutu Limbali Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan B Keputusan ini,
setelah mendapat persetujuan Menteri.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) pasal ini, tidak diberikan
tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah cair lebih ketat atau sama dengan
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini,
Pasal 5
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah
Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk
kegiatan industri tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab kegiatan industri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Keputusan ini wajib :
a. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan
tidak melampaui Baku Mutu Linibah Cair yang telah ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan - pembuangan limbah cair dan melakukan pencatatan debit
harian limbah cair ke lingkungan;
c. rnemasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian
limbah cair tersebut,
d. tidak melakukan pengenceran limbah cair, termasuk mencampurkan buangan air bekas
bekas pendingin ke dalam aliran pembuangan limbah cair;
e. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;
f. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
h. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair, produksi bulanan senyatanya sebagamana dimaksud dalam huruf c, e.g. sekurang-
kurangnya tiga bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Gubernur, instansi lain yang dianggap
perlu sesuai dengan peratuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 Keputusan ini dan persyaratan Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air wajib
dicantumkan dalam izin Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie).
Pasal 8
Apabila jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan
sebelum keputusan ini :
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku:
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalarn Lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam
keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor: KEP-03/MENKLH/I1/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Yang Sudah
Beroperasi dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk soda kaustik.
LAMPIRAN A.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam milligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pelapisan logam.
LAMPIRAN A.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah).
LAMPIRAN A.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk minyak sawit.
LAMPIRAN A.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pulp dan kertas kering.
LAMPIRAN AVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk karet kering
LAMPIRAN A.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk gula.
LAMPIRAN A.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk tapioka.
LAMPIRAN A.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kg
atau gram parameter per ton produk tesktil.
LAMPIRAN A.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pupuk urea
LAMPIRAN A.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk MSG.
LAMPIRAN A.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per M3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
4. 2,8 m3 air limbah per m3 produk = 10 m3 air limbah per 3,6 m3 produk dengan ketebalan
3,6 milimeter.
LAMPIRAN A.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI
SUSU
Catatan:
1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton total padatan susu atau produk susu.
LAMPIRAN A.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per m3 produk minuman ringan yang dihasilkan.
LAMPIRAN A.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN DAN PRODUK-PRODUK
MINYAK NABATI
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
1. 2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter perton produk sabun atau minyak nabati atau diterjen.
LAMPIRAN A.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per hektoliter produk Bir.
LAMPIRAN A.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk baterai yang dihasilkan.
LAMPIRAN A.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Solvent Based cat harus zero discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung
atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
gram parameter per m3 produk cat.
LAMPIRAN A.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
LAMPIRAN A.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pestisida.
LAMPIRAN B : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk soda kaustik.
LAMPIRAN B.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pelapisan logam.
LAMPIRAN B.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah).
3. N Total adalah jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
LAMPIRAN B.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk minyak sawit.(CPO)
3. N Total adalah jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
LAMPIRAN B.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
Penjelasan kategori proses di atas diberikan sebagai berikut:
A. PULP
1. Proses kraft (dikelantang dan tidak dikelantang.) adalah produksi pulp yang menggunakan cairan
pemasak natrium hidroksida yang sangat alkalis dan natrium sulfida. Proses kraft yang
dikelantang digunakan pada produksi kertas karton dan kertas kasar lain yang bewarna.
Pengelantangan adalah penggunaan bahan pengoksidasi kuat yang diikuti dengan ekstaksi alkali
untuk menghilangkan warna dari pulp, untuk suatu rentang produk kertas yang lengkap.
2. Proses pulp larut adalah produk pulp putih dan sangat murni dan menggunakan pemakaian
kimiawi yang kuat. Pulpnya digunakan untuk pembuatan rayon dan produk lain yang
mengsyaratkan hampir tidak mengandung lignin.
3. Proses groundwood adalah penggunaan defibrasi mekanis (pemisahail serat) dengan
menggunakan gerinda atau penghalus (refiners) dari batu. CMIP (proses pembuatan pulp kimia
mekanis) menggunakan cairan pemasak kiniia untuk memasak kayu secara parsial sebelum
pemisahan serat secara mekanik TMP (proses pembuatan pulp termo-mekanis) merupakan
pemasakan singkat dengan menggunakan kukus dan kadang,-kadang bahan kimia pemasak,
sebelum tahap mekanis.
4. Proses semi kimia mcrupakan pengunaan cairan pemasak sulfit netral tanpa pengelantangan
untuk menghasilkan produk kasar untuk lapisan dalam karton gelornbang warna coklat.
5. Proses soda adalah produksi pulp dengan menggunakan cairan pemasak natrium hidroksida yang
sangat alkalis.
6. Proses penghilangan tinta (De-ink) merupakan salah satu proses pembuatan kertas yang
menggunakan kertas bekas yang didaur ulang melaui proses penghilangan tinta dengan kondisi
alkali dan kadang-kadang dibuat cerah atau diputihkan untuk menghasilkan pulp sekunder, sering
kali berkaitan dengan proses konvensional.
B. KERTAS
1. Kertas halus berarti kertas halus yang dikelantang seperti kertas cetak dan kertas tulis.
2. Kertas kasar berarti produksi kertas kasar bewarna coklat, seprti lineboard, kertas karton
bewarna coklat atau karton.
3. Kertas lain berarti produksi kertas yang dikelantang selain yang tercantum dalam golongan halus,
seperti kertas koran.
LAMPIRAN B.VI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk karet kering
3. N Total adalah jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
LAMPIRAN B.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk gula.
3. Debit limbah cair maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin.
LAMPIRAN B.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk tapioka.
LAMPIRAN B.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk tesktil.
LAMPIRAN B.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Pengukuran beban limbah cair dilakukan pada satu saluran pembungan akhir.
2. Beban limbah cair (kg/ton produk)= Konsentrasi tiap parameter x debit limbah
3. Beban limbah cair industri amoniak, berlaku pula untul industri pupuk urea dan pupuk
nitrogen lain yang memproduksi kelebihan amoniak.
LAMPIRAN B.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk ethanol
LAMPIRAN B.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)
COD 150 18
TSS 100 12,0
pH 6–9
Debit Limbah 120 m3 per ton produk MSG
Maksimum
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk MSG.
LAMPIRAN B.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per M3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
LAMPIRAN B.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI
SUSU
Catatan:
1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton total padatan susu atau produk susu.
LAMPIRAN B.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per m3 produk minuman ringan yang dihasilkan.
LAMPIRAN B.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN DAN PRODUK-PRODUK
MINYAK NABATI
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter perton produk sabun atau minyak nabati atau diterjen.
LAMPIRAN B.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per hektoliter produk Bir.
LAMPIRAN B.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk baterai yang dihasilkan.
LAMPIRAN B.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Solvent Based cat harus zero discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung
atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
gram parameter per m3 produk cat.
LAMPIRAN B.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
LAMPIRAN B.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pestisida.
LAMPIRAN C : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995
Catatan:
* = Untuk memenuhi baku mutu limbah cair tersebut kadar parameter limbah tidak diperbolehkan
dicapai dengan cara pengenceran dengan air yang secara langsung diambil dari siumber air. Kadar
parameter limbah tersebut adalah kadar maksimum yang diperbolehkan.
PENJELASAN TENTANG PERHITUNGAN DEBIT LIMBAH CAIR MAKSIMUM DAN BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUM UNTUK MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR
Penetapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan debit limbah cair
maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI dan
Lampiran B.XXI untuk masing-masing jenis industri, didasarkan pada tingkat produksi bulanan yang
sebenarnya. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut:
DM = Dm x Pb
Keterangan:
DM = Debit limbah cair maksimum yang dibolehkan bagi setiap jenis industri yang bersangkutan,
dinyatakan dalam m3/bulan.
Dm = Debit limbah cair maksimum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Lampiran A.1 dan
Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI dan Lampiran B XXI yang sesuai dengan jenis industri
yang bersangkutan , dinyatakan dalam m3 limbah cair per satuan produk.
Pb = Produksi sebenarnya dalam sebulan, dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai dengan
yang tercantum dalam Lampiran A.1 dan Lampiran B.1 s/d Lampiran A.XXI dan Lanipiran
B.XXI untuk jenis industri yang bersangkutan.
Debit limbah cair yang sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :
DA = Dp x H
Keterangan :
2. Beban Pencemaran.
Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan beban
pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d
Lampiran A.XXI dan Lampiran B.XXI untuk masing-masing jenis industri didasarkan pada
jumlah unsur pencemar yang terkandung dalam aliran limbah cair. Untuk itu digunakan
perhitungan sebagai berikut:
a. BPM = (CM) x Dm x f
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran Maksimum per satuan produk, dinyatakan dalam kg parameter
per satuan produk.
(CM)j = kadar maksimum unsur pencemar j, dinyatakan dalam mg/1.
DM = debit limbah cair maksirnum sebagaimana tercantum dalam ketentuan
Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI dan Lampiran B.XXI
yang sesuai dengan jenis industri yang bersangkutan, dinyatakan dalam m3
limbah cair per satuan produk.
= 1/1000
BPA = beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per satuan produk.
Pb = Produksi sebenarnya dalam sebulan dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai
dengan yang terlampir dalam Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI
dan Lampiran B.XXI untuk jenis industri yang bersangkutan.
Keterangan :
BPMi = Beban pencemaran maksimum perhari yang diperbolehkan bagi jenis industri yang
bersangkutan, dinyatakan dalam kg parameter per hari.
Pb = produksi sebenarnya dalam sebulan, dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai
dengan yang tercantum dalam lampiran A.I dan dan Lampiran B.I s/d Lampiran
A.XXI dan Lampiran B.XXI untuk jenis industri yang bersangkutan.
Beban pencemaran maksimum yang sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :
BPAi = (CA)j x Dp X f
Keterangan :
BPAi = Beban pencemaran per hari yang sebenarnya dinyatakan dalam kg parameter perhari.
Menimbang :
1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi dan
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian
terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
Mengingat :
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH
CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL
Pasal 1
4. Limbah Cair Hotel adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh
kegiatan hotel yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat
menurunkan kualitas lingkungan.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3 ,4 ,5
adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Bagi Kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
3. Bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang
tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran B;
4. Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini
tidak diberikan tanggapan dan atau persetujuan, maka permohonan tersebut
dianggap disetujui.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau
sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti dalam lampiran
Keputusan ini.
Pasal 5
Analis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah
Cair Lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan hotel tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
3. memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
Pasal 7
Pasal 8
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini wajib disesuaikan
dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran
keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya
keputusan ini.
Pasal 9
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 58 Tahun 1995
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit
Menimbang :
1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan
pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
Mengingat :
10. Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran negara
Tahun 1991 Nomor 24, tambahan lembaran negara Nomor 3409);
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang
Pembentukan kabinet pembangunan VI;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH
CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT
Pasal 1
2. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang
kemungkinan mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia
beracun, dan radioaktivitas;
3. Baku Mutu Limbah cair Rumah Sakit adalah batas maksimal limbah cair
yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari suatu kegiatan rumah
sakit;
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan rumah sakit adalah sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini.
(2) Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau
secara berkala sekurang-kurangya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 3
Pasal 4
4. Apabila dalam jangka waktu senagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal
ini tidak diberikan tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan
dianggap telah disetujui.
Pasal 5
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan baku Mutu limbah cair lebih ketat atau
sama dengan baku Mutu limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran
keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib:
3. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
Pasal 8
(1) Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung
atau terkena zat radioaktif pengelolanya dilakukan sesuai dengan ketentuan
Badan Tenaga Atom Nasional.
(2) Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah sakit sesuai
dengan bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang
bersangkutan.
(3) Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radiokatif dalam
kegiatannya, tidak diberlakukan kelompok parameter radioaktivitas dalam
pemeriksaan limbah cair rumah sakit yang bersangkutan
Pasal 9
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pasal 6 Keputusan ini, dan
persyaratan dalam pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang
Pengendalian pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang
gangguan (Hinder Ordinnantie).
Pasal 10
(1) Apabila baku Mutu limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat 91) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini
dinyatakan tetap berlaku;
2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah
cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini wajib
disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini
selambat-lambatnya satu tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 11
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Hambar Martono
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Hambar Martono
____________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
N0. 42 Tahun 1996
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Minyak Dan Gas Serta Panas Bumi
Menimbang:
a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar
tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk
hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan
limbah cair ke lingkungan;
b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;
Mengingat :
1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);
2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2070);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan
Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di
Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan
Kerja Pada Pemurnian dan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 8538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Eksplorasi adalah segala cara penyelidikan geologi pertambangan
untuk menetapkan adanya dan keadaan bahan-bahan galian minyak
dan gas serta panas bumi.
2. Eksploitasi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk
menghasilkan bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi
dengan jalan yang lazim;
3. Pengilangan minyak adalah usaha memproses minyak dan gas bumi di
daratan atau di daerah lepas pantai dengan cara mempergunakan
proses fisika, kimia guna memperoleh dan mempertinggi mutu bahan-
bahan galian minyak dan gas serta panas bumi yang dapat digunakan;
4. Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan
penyaluran kembali Bahan Bakar Minyak (BBM) yang penerimaan /
penyalurannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan
pengairan (sungai, laut) sistem pipa, mobil tangki/bridgen dan Rail
Tank Wagon (RTW);
5. Baku Mutu Limbah cair Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang
adanya dalam limbah cair untuk dibuang dan kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi;
6. Limbah Cair adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh
kegiatan dibidang minyak dan gas serta panas bumi yang dibuang ke
lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan;
7. Debit maksimum limbah cair adalah debit tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
8. Kadar maksimum limbah cair adalah kadar tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
9. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11. Instansi teknis ada instansi yang bertanggung jawab di bidang
kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi;
12. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;
13. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis kegiatan Minyak dan Gas serta
Panas Bumi:
a. Eksplorasi dan produksi migas adalah sebaga tersebut dalam
Lampiran I dan II;
b. Eksplorasi dan produksi panas bumi adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran III;
c. Pengilangan minyak bumi adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran IV dan V;
d. Pengilangan LNG dan LPG adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran VI;
e. Instalasi, depot dan terminal minyak adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran VII;
(2) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali jenis kegiatan pengilangan
minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c pasal ini
ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar.
Pasal 3
Bagi jenis kegiatan:
a. Eksplorasi dan produksi migas yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagammana dimaksud dalam
Lampiran I;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Lmmbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
lampiran I;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II;
4) Apabila menggunakan fasilitas pengolahan yang lama untuk
kegiatan pengembangan kilang Migas, berlaku Baku Mutu
Limbab Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
b. Pengilangan minyak bumi yang:
1) Telah beroperasi sebelum dmtetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setetah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V;
Pasal 4
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setiap saat tidak boleh dilampaui.
Pasal 5
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan
in ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5(lima) tahun.
Pasal 6
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter
yang tercantum dalam Iampiran keputusan ini setelah mendapat
persetujuan dan Menteri.
(2) Menteri mengeluarkan keputusan mengenai parameter tambahan
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis yang
bersangkutan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat
lambatnya 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan
persetujuan.
(4) Apabila telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak diberikan keputusan, maka dianggap Menteri telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 7
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Instansi teknis yang
bersangkutan.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini maka berlaku Baku
Mutu Limbah Cair seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 8
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan
oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 9
Setiap penanggungjawab kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib untuk:
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang
dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang
telah ditetapkan.
b. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut khusus untuk kegiatan
pengilangan Migas.
c. Memeriksa kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang
kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan.
d. Menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian khusus
kegiatan Pengilangan Migas dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c sekurang-kurangnya
3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Kepala Bapedal, Menteri dan
instansi teknis serta pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 10
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dicantumkan
ke dalam izin yang dianggap relevan untuk pengendalian pencemaran bagi
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan ini.
Pasal 11
Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, wajib
disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkan Keputusan ini.
Pasal 12
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 9 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd,
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN VI
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 9 Tahun 1997
Tentang : Perubahan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 Tentang :
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak Dan Gas
Serta Panas Bumi
Menimbang :
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
Mengingat :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI.
Pasal I
Pasal II
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal: 22 Appril 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 3 Tahun 1998
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan
Industri
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU
MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI
Pasal 1
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah
mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini.
(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam
5 (lima) tahun.
Pasal 3
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih
ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
Pasal 5
Pasal 6
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan
melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
Pasal 7
Pasal 8
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini
wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini selambat-lambatnya 1
(satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 9
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Menteri Negara Lingkungan
Hidup,
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998
Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan
beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam lampiran I
berdasarkan pada jumlah unsure pencemar yang terkandung dalam aliran limbah
cair. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut :
1. Beban Pencemaran Maksimum
BPM = (Cm)j x Dm x A x f . . . . . . . . . . . . . . . . (II.1.1)
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran maksimum yang diperbolehkan,
dinyatakan dalam kg parameter per hari.
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam
lampiran I Keputusan ini, dinyatakan dalam mg/l.
Dm = Debit Limbah cair maksimum seperti tercantum dalam
lampiran I, dinyatakan dalam L limbah cair per detik per
hectare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hectare
(HA).
f = factor konversi = 1 kg * 24 x 3600 detik = 0,086 …
(II.1.2)
1.000.000 mg hari
3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM
4. Contoh penerapan
Data yang diambil dari lapangan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair
Kawasan Industri adalah :
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hectare, HA]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/l]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]
Contoh perhitungan :
Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1.500
hektare. Parameter dari Lampiran I yang akan dijadikan contoh perhitungan
adalah parameter (j) BOD.
Data lapangan
- Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
- Debit hasi pengukuran (DA) = 1.000 l/det
- Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1.500 HA
Dari contoh diatas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450
kg/hari), jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
______________________________________
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 28 TAHUN 2003
TENTANG
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 35 jo Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kajian pemanfaatan air limbah ke tanah
merupakan persyaratan yang harus dilakukan dalam pengajuan permohonan izin pemanfaatan air
limbah untuk aplikasi pada tanah;
b. bahwa salah satu pemanfaatan air limbah ke tanah adalah pemanfaatan air limbah dari industri minyak
sawit pada perkebunan kelapa sawit;
c. bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pedoman teknis pengkajian pemanfaatan
air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan hidup;
d. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak
Sawit Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan lembaran
Negara Nomor 3952);
5. Peraturan Perundang-undangan Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemar Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4161);
6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN
PEMANFAATAN AIR LIMBAH DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT.
Pasal 1
(1) Setiap pemrakarsa yang akan memanfaatkan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
wajib mengajukan permohonan pengkajian pemanfaatan kepada Bupati/Walikota.
86
(2) Permohonan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
didasarkan pada salah satu hasil kajian berikut ini :
a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);
c. Studi Mengenai Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) ;
d. Dokumen Pengelolaan Lingkungan (DPL).
Pasal 2
Bupati/Walikota menyetujui usulan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
dengan syarat dan tata cara berpedoman pada Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Bupati/Walikota menetapkan persyaratan minimal untuk pelaksanaan pengkajian pemanfatan air limbah, yaitu :
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah;
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat;
d. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
e. nilai pH berkisar 6-9;
f. dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
g. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
h. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
i. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter;
j. areal pengkajian seluas 10 – 20 persen dari seluruh areal yang akan digunakan untuk pemanfaatan air limbah;
k. pembuatan sumur pantau.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai kebutuhan masing-
masing daerah yang bersangkutan.
(3) Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit adalah
sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
Pasal 4
Bupati/Walikota menerbitkan surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak usulan pengkajian diterima.
Pasal 5
Dalam surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib
dicantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b. metode dan frekuensi pemantauan;
c. pelaporan hasil pemantauan yang disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur provinsi yang
bersangkutan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ;
d. larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalan Keputusan ini;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku.
Pasal 6
(1) Pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit dilakukan
minimal selama 1 (satu) tahun.
87
(2) Pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit hanya dilakukan 1 (satu)
kali pada lokasi dan tempat yang sama.
Pasal 7
Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada
perkebunan kelapa sawit.
Pasal 8
Persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila
ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.
Pasal 9
Berdasarkan hasil kajian seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) , pemrakarsa mengajukan permohonan izin pemanfaatan air
limbah kepada Bupati/Walikota.
Pasal 10
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
88
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 28 Tahun 2003
Tanggal : 25 Maret 2003
A. PENDAHULUAN
Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah ini dibuat agar terdapat kesesuaian pemahaman mengenai
aspek-aspek yang harus ditinjau dalam menentukan kelayakan lingkungan dari suatu kegiatan pemanfaatan air limbah
pada tanah.
Pengkajian air limbah pada tanah perlu dilakukan karena adanya potensi akumulasi bahan pencemar dalam tanah serta
kemampuan tanah dalam menetralisasi air limbah terbatas dan berbeda-beda tergantung pada karakteristik tanah seperti
permeabilitas tanah, komposisi dan sifat kimia tanah.
Selain itu, pengkajian dimaksudkan untuk mengetahui rona awal sebagai data dasar dalam penentuan ada tidaknya
pencemaran dan dalam pengelolaan pemanfaatan selanjutnya. Melalui pengkajian ini pemrakarsa akan memperoleh
pengalaman dalam mempersiapkan program pemantauan dan melaksanakannya.
Pada kenyataannya dalam menentukan ada atau tidaknya pencemaran tanah diperlukan waktu yang relatif panjang karena
tanah memiliki kemampuan penyanggaan yang tinggi untuk meredam pengaruh luar. Akan tetapi agar pengkajian
pemanfaatan air limbah segera mendapat kepastian status hukum, maka ditetapkan waktu pengkajian selama minimal 1
(satu) tahun di mana dalam kurun waktu tersebut kecenderungan adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
dapat diketahui.
Guna meminimalisasi terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan akibat pemanfaatan air limbah minyak sawit,
maka di dalam pedoman ini dijelaskan hal-hal yang harus dilakukan baik oleh pemerintah, maupun pemrakarsa dalam
pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah.
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kajian meliputi:
1. Mengidentifikasi rencana pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah.
2. Memperkirakan dan mengevaluasi pengaruh pemanfaatan air limbah industri minyak sawit terhadap tanah, air tanah,
tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat.
D. TATA CARA PENGKAJIAN
1. Usulan kegiatan pengkajian pemanfaatan air limbah dan evaluasinya.
Dalam melakukan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah, pemrakarsa wajib terlebih dahulu memberitahukan rencana
kegiatan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah (Land Application) kepada Bupati/Walikota dengan menyampaikan surat
pemberitahuan beserta usulan rencana pengkajian. Selanjutnya Bupati/Walikota menyampaikan usulan pengkajian
kepada Instansi yang bertanggungjawab.
2. Usulan pengkajian meliputi :
a. Lokasi dan Waktu Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah:
a.1. Lokasi:
a.1.1. Pemrakarsa harus menetapkan luas seluruh lokasi lahan yang akan digunakan untuk
pemanfaatan air limbah.
a.1.2. Pemrakarsa harus menetapkan luas lokasi yang akan digunakan untuk pengkajian dan kontrol
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.1.2.1. Luas lahan pengkajian adalah 10 - 20 persen dari seluruh luas lahan yang diusulkan
untuk pemanfaatan air limbah.
a.1.2.2. Luas lahan kontrol adalah 1 - 5 persen dari luas lahan yang diusulkan untuk
pemanfaatan air limbah.
a.1.3. Lahan pengkajian dan lahan kontrol harus merupakan bagian dari lahan yang akan mengalami
pemanfaatan air limbah pada tanah dan memiliki karakteristik, jenis dan usia tanam pohon yang
sama.
a.2. Waktu:
Waktu pelaksanaan pengkajian ditentukan minimal selama 1 (satu) tahun.
b. Metode:
Metode pemanfaatan air limbah pada tanah yang saat ini banyak digunakan adalah metode irigasi dengan
flatbed system, furrow system, dan long bed system dengan sistem saluran tertutup atau tidak berhubungan
dengan badan air (sungai, danau, dan lain-lain).
89
b.1. Flatbed system atau sistem parit datar adalah sistem irigasi yang ditampung dengan kolam-kolam datar
bersambung untuk lahan dengan ketinggian relatif tidak sama atau terasiring (Gb.1).
b.2. Furrow system (Gb. 2) atau sistem parit/saluran alir tertutup. Sistem furrow sendiri ada dua (2) macam,
yaitu: zig-zag furrow dan straight furrow. Zig-zag furrow digunakan di area dimana kecuramannya relatif
tinggi (lebih dari 30 derajat), hal ini dimaksudkan untuk memperlambat aliran dan mengurangi erosi di
area yang lebih tinggi dan mengurangi genangan di area yang lebih rendah dimana dengan begitu
diharapkan distribusi yang rata. Straight furrow digunakan di area yang kecuramannya lebih rendah (di
bawah 30 derajat).
b.3. Long Bed system (Gb. 3) atau sistem saluran panjang berbaris untuk lahan dengan ketinggian sama atau
rata dan tanah dengan permeabilitas rendah (daya serap ke dalam tanah tidak bagus).
C Dosis, debit dan rotasi pemanfaatan:
Mekanisme perhitungan dosis, debit, kebutuhan lokasi dan rotasi penyiraman atau pemanfaatan air limbah dapat
menggunakan contoh perhitungan sebagai berikut:
d. Pemantauan
d.1. Dampak terhadap lingkungan
Jenis, lokasi dan cara pengambilan sampel serta parameter minimal yang harus di amati adalah sebagai
berikut:
d.1.1. Jenis Sampel
Jenis sampel yang diambil adalah sampel tanah, air tanah dan air limbah.
d.1.2. Lokasi, cara pengambilan sampel dan parameter minimal yang harus diamati:
d.1.2.1. Sampel Tanah
Lokasi
Syarat utama dalam pemilihan lokasi pengambilan sampel adalah lokasi tersebut
harus mewakili lokasi pengkajian. Dalam penetapan sampel ini pemrakarsa wajib
mengkoordinasikan dengan instansi yang bertanggung jawab di daerah.
Pemilihan lokasi harus berdasarkan dugaan mengenai pergerakan kation-kation,
baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan kation secara vertikal
berkaitan dengan pencucian kation-kation menuju air tanah yang dapat
menimbulkan pencemaran air tanah, sedangkan pergerakan kation horizontal
adalah pergerakan dari parit irigasi ke arah tanaman.
Untuk maksud di atas maka lokasi pengambilan sampel ditetapkan pada 3 (tiga)
lokasi yaitu di parit irigasi (rorak), antara parit dan tanaman (antar rorak), dan di
lahan kontrol pada enam kedalaman sebagai berikut:
(a). 0 - 20 cm
(b). 20 - 40 cm
(c). 40 - 60 cm
(d). 60 - 80 cm
(e). 80 - 100 cm
(f). 100 - 120 cm
90
(a). Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan
menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk
mengukur parameter seperti pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar
nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur tertentu serta tekstur tanah
(kandungan pasir, debu, dan liat atau lempung).
Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan menggunakan bor
tanah mineral, sampel tanah diambil pada setiap 20 cm sedalam 120 cm
atau 6 (enam) lapis. Berat sampel tanah terganggu yang diambil dengan
menggunakan masing-masing + 0.5 kg. Sampel tanah tersebut
dimasukkan ke dalam kantong plastik rengkap 2 (dua). Dengan diberi label
yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.
(b). Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan
menggunakan ring sampler dan digunakan untuk mengukur bobot isi,
porositas dan permeabilitas.
Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada
kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, masing-masing 2 (dua) sampel. Satu
sampel digunakan untuk mengukur porositas dan bobot isi, sedang sampel
lainnya digunakan untuk mengukur permeabilitas.
Parameter minimal yang harus diamati
Pengamatan dilakukan dengan frekuensi satu tahun sekali untuk parameter-
parameter yang tercantum dalam Tabel 1.
No Parameter Metode
1. pH dalam air pH-meter
2. C-organik Walkley – Black
3. N Total Kjeldahl
4. P tersedia Bray I
5. Kation dapat ditukar K, Na, Ca, Mg NH40Ac pH 7.0
6. Kapasitas tukar kation Diukur dengan atomic absorption
spectrophotometer
7. Kejenuhan Basa (Ca+Mg+K+Na)/KTK * 100%
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Cd, Zn) Destruksi basah
9. Tekstur (pasir, debu, liat) Pipet
10. Minyak lemak Soklet
91
d.1.2.3. Sampel Air Limbah
Lokasi
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air
limbah.
Pengambilan Sampel
Pengkajian pengambilan sampel air limbah di outlet yang menuju lahan kajian
mengacu pada metode pengambilan sampel air yang berlaku.
Parameter minimal yang harus diamati
Parameter-parameter minimal yang diamati diuraikan dalam Tabel 3.
3. Pemrakarsa wajib menyampaikan laporan pengkajian pemanfaatan air limbah yang sedang dilakukan secara berkala
setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada
Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri Negara Lingkungan Hidup.
4. Evaluasi Laporan Hasil Pemantauan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit di Perkebunan
Kelapa Sawit dilakukan Instansi yang bertanggungjawab yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Evaluasi dilakukan dengan melakukan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan
yang meliputi: kondisi tanah, kondisi air tanah, kebauan, kondisi tanaman, serta kondisi air limbah yang sesuai
dengan baku mutu sebagaimana ditetapkan dalam izin.
Apabila dari hasil evaluasi tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan,
maka pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dapat dilanjutkan. Sedangkan bila hasil evaluasi menunjukkan
adanya indikasi pencemaran maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan yang berarti persetujuan
pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dicabut dan pemrakarsa harus melakukan pemulihan kualitas
lingkungannya.
92
I.2. Tujuan
Pada bagian ini disebutkan tujuan dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah dengan
mengacu kepada beberapa aspek, antara lain:
a. Aspek Hukum : sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin pemanfaatan air limbah ke tanah untuk
aplikasi pada tanah (Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup jo Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air);
b. Aspek lingkungan: mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak
terutama pada air tanah, air permukaan, gangguan kebauan, vektor penyebab penyakit, dll;
c. Aspek tanaman: evaluasi terhadap peningkatan produksi TBS (Tandan Buah Segar).
I.3. Manfaat Pemanfaatan Air Limbah
Uraian secara singkat manfaat pemanfaatan air limbah ditinjau dari sudut pandang:
a. Lingkungan (air, tanah, udara) dan kesehatan masyarakat;
b. Industri yang melaksanakan ditinjau dari aspek produksi bersih, biaya pengolahan/operasional.
II.1. Kebun
Pada bagian ini menjelaskan teknik budidaya yang diterapkan di kebun bersangkutan, meliputi:
a. Penanaman
Secara singkat dijelaskan tahun tanam, susunan dan jarak tanam;
b. Perawatan Tanaman
Perawatan yang dilakukan meliputi penyulaman, penanaman tanaman sela, pemberantasan gulma,
pemangkasan, pemupukan, replanting, kastrasi, penyerbukan buatan serta pengendalian hama dan
penyakit tanaman. Penjelasan tentang pemupukan diuraikan secara rinci, menyangkut jenis pupuk,
dosis, waktu pemberian, cara pemberian dan pemanfaatan air limbah jika telah dilakukan;
c. Panen
Dijelaskan secara singkat kriteria matang panen yang diterapkan, cara panen, rotasi dan sistem
panen.
II.2. Pabrik
Pada bagian ini diuraikan secara singkat tentang pengolahan hasil serta pengolahan dan pemanfaatan
limbah sebagai berikut:
a. Produksi
Jelaskan berapa besar produksi (ton TBS/ha/tahun) yang dicapai dan kandungan rendemen
(prosentase/tonTBS);
b. Pengolahan Hasil
Diuraikan secara singkat pengangkutan TBS ke pabrik, perebusan TBS, perontokan dan pelumatan
buah, pemerasan atau ekstrasi minyak sawit, pemurnian dan penjernihan minyak sawit, pengeringan
dan pemecahan biji, agar disajikan dalam flow diagram neraca bahan termasuk neraca air, bahan
baku, bahan penolong dan sumber air yang digunakan;
c. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah
Jelaskan limbah apa saja yang terbentuk sebagai hasil samping dari kegiatan pengolahan hasil baik
itu limbah padat, cair dan gas. Upaya-upaya pemanfaatan limbah yang telah dilaksanakan, serta
sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah/IPAL (Lampirkan Skema/Desainnya). Khusus untuk air limbah
disebutkan volume dan kualitasnya (Parameter sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 1995). Peta Situasi Kebun agar disajikan pada peta dengan skala minimal 1:50.000.
93
Tabel 4: Kelas Lereng
Datar 0-3%
Landai 3-8%
Agak Miring 8-16%
Miring 16-30%
Agak Curam 30-45%
Curam 45-65%
Sangat Curam >65%
94
a.2.3. Data Kualitas Air Sungai
Parameter kualitas air sungai mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
b. Air Tanah (groundwater) yaitu air yang tersimpan dan atau mengalir di dalam tanah di bawah
water table (muka air tanah = setara dengan permukaan air sumur)
Data yang perlu dituangkan dalam laporan adalah:
95
IV.5. Pengamatan Terhadap Dampak Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah
a. Air Limbah yang dimanfaatkan
Bagian ini memuat informasi tentang kualitas air limbah yang dimanfaatkan dalam pengkajian,
dilengkapi dengan data-data analisa sampel air limbah, mengacu pada persyaratan yang
ditetapkan dalam persetujuan pengkajian dalam keputusan ini. Air limbah yang dimanfaatkan ke
lahan harus memiliki nilai BOD5 lebih kecil dari 5.000 mg/l dengan nilai pH 6-9.
b. Dampak terhadap tanah
Pada bagian ini dijelaskan tentang ada atau tidaknya pencemaran tanah akibat pelaksanaan
pengkajian yang diketahui dari hasil evaluasi pelaksanaan pengamatan terhadap parameter-
parameter sebagaimana tersebut pada Tabel 5.
c. Dampak terhadap air tanah
Pada bagian ini diuraikan seberapa jauh dampak pemanfaatan air limbah terhadap air tanah yang
dilengkapi dengan data hasil analisa sampel air tanah untuk parameter-parameter pengamatan
sebagaimana tersebut dalam Tabel 6.
Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran validasi dilakukan dengan mengacu pada Lampiran II
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air.
d. Dampak terhadap kebauan
Dalam bagian ini diuraikan dampak pemanfaatan air limbah terhadap kebauan yang pengujiannya
mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 Tahun 1996. Pengukuran
tingkat kebauan dilakukan pada lokasi kebun yang dipemanfaatan (dengan jumlah pengukuran
sesuai dengan luasan lokasi), pada titik 50 meter dan 150 meter ke arah angin dominan serta
pada lokasi pemukiman karyawan dan atau penduduk (disajikan pada peta Lokasi Sampling).
e. Dampak terhadap tanaman
Bagian ini menguraikan hasil pengamatan dampak pemanfaatan air limbah pada tanah terhadap
tanaman pokok.
f. Dampak terhadap ikan
Apabila disekitar lokasi pemanfaatan terdapat kegiatan budidaya perikanan, dalam bagian ini
diuraikan mengenai air limbah yang merembes ke air sungai/kolam/ air permukaan lain yang pada
gilirannya dapat memberikan dampak terhadap ikan.
g. Dampak terhadap masyarakat sekitar
Bagian ini menguraikan dampak pemanfaatan air limbah bagi kesehatan masyarakat. Pengamatan
dilakukan terhadap masyarakat terdekat dengan lokasi pemanfaatan air limbah terhadap vektor
penyebab penyakit.
BAB V. KESIMPULAN
Bagian ini harus memuat kesimpulan teknis hasil pengkajian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini diutarakan pustaka atau referensi yang digunakan untuk keperluan penyusunan laporan
pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pada bagian ini dilampirkan data pendukung seperti Peta Lokasi, Peta Bentuk Lahan, dan data-data
pendukung lainnya yang dianggap perlu.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
ttd
Hoetomo,MPA.
96
97
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 29 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN SYARAT DAN TATA CARA
PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI
MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Menimbang : dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara
Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa
Sawit;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
lembaran Negara Nomor 4161);
6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden RI
Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN SYARAT DAN
TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA
TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT.
Pasal 1
Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit di kabupaten/kota dengan berpedoman pada Keputusan ini.
Pasal 2
(1) Pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
diajukan berdasarkan hasil kajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa
sawit.
(2) Pedoman pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman
Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
97
Pasal 3
(1) Persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dalam hal pengajuan izin pemanfaatan air limbah industri sawit pada
tanah di perkebunan kelapa sawit, yaitu:
a. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
b. nilai pH berkisar 6-9;
c. dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
d. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
e. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
f. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter; dan
g. pembuatan sumur pantau.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai dengan
kebutuhan masing-masing daerah yang bersangkutan.
(3) Pedoman tentang syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.
Pasal 4
Bupati/Walikota menerbitkan surat keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan ijin diajukan oleh
pemrakarsa.
Pasal 5
Surat Keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib
mencantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b. metode dan frekuensi pemantauan;
c. pelaporan hasil pemantauan, dilakukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota sekurang-kurangnya dilakukan 6
(enam) bulan sekali dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur provinsi yang bersangkutan dan Menteri
Negara Lingkungan Hidup ;
d. larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalam Keputusan in;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku .
Pasal 6
Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan atas pelaksanaan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada
tanah di perkebunan kelapa sawit.
Pasal 7
Izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila ditemukan
adanya pelanggaran terhadap persyaratan perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.
Pasal 8
(1) Bagi pemrakarsa yang telah mendapatkan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah perkebunan
di perkebunan kelapa sawit, pada saat Keputusan ini ditetapkan izin tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Keputusan ini.
(2) Apabila persyaratan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan dengan Keputusan ini, maka wajib
disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah Keputusan ini ditetapkan.
98
Pasal 9
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo,MPA.
99
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 29 Tahun 2003
Tanggal : 25 Maret 2003
I. PENDAHULUAN
Air limbah yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pemupukan pada tanah perkebunan karena
air limbah tersebut pada kondisi tertentu masih mengandung unsur-unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Pemupukan dengan air limbah ini pada umumnya dilakukan dengan mengalirkan air limbah yang berasal dari kolam
penanganan limbah ke parit-parit yang ada di perkebunan. Akan tetapi di sisi lain, pemanfaatan air limbah pada tanah juga
secara potensial menimbulkan pencemaran lingkungan atau bahkan akan menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit
di kawasan pemanfaatan air limbah itu sendiri.
Dengan melihat kondisi tersebut di atas dan untuk mengurangi resiko pencemaran lingkungan yang terjadi maka
pemanfaatan air limbah pada tanah dapat dilakukan setelah pemrakarsa melakukan pengkajian dan mendapat izin dari
Bupati/Walikota. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Guna mempermudah pelaksanaan pemberian izin pemanfaatan air limbah pada tanah oleh Bupati/Walikota maka perlu
disusun Pedoman Perizinan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah.
1
3). Kunjungan Lapangan dan Pengambilan Sampel
Kunjungan lapangan ini dimaksudkan untuk mengecek kondisi lapangan dan kesesuaiannya dengan hal-
hal yang tertuang dalam Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah termasuk titik
pemantauan, kondisi titik pemantauan, dan sampel yang diambil. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan
untuk mengetahui apakah ada indikasi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan aplikasi
serta validasi terhadap data yang dicantumkan dalam laporan. Evaluasi terhadap hasil pelaksanaan
kunjungan lapangan dan pengambilan sampel dilakukan segera setelah itu.
2
Adapun secara sitematis Prosedur Perizinan Land Appication (LA) ditampilkan sebagai diagram berikut:
Surat tugas
Permohonan Izin Penugasan Evaluasi Evaluasi Dokumen
Melengkapi dokumen
Dokumen lengkap
Melengkapi
kekurangan Dokumen tidak lengkap
dokumen
Layak
Tidak teknis Layak
Kegiatan LA Rekomendasi
Berlanjut Meneruskan LA
Rekomendasi
Stop Kegiatan LA Surat Pencabutan Izin Menghentikan LA
3
III. FORMULIR PERMOHONAN IZIN
Formulir permohonan izin yang harus diisi oleh pemrakarsa dan dapat mengacu pada format yang disajikan dalam tabel
berikut:
1. Identitas Perusahaan
1. Nama Perusahaan : ………………………………………….
2. Alamat : ………………………………………….
a. Jalan/Desa : ………………………………………….
b. Kecamatan : ………………………………………….
c. Kabupaten/Kota : ………………………………………….
d. Pemerintah Propinsi : ………………………………………….
e. Telepon : ………………………………………….
f. Faximile : ………………………………………….
3. Tahun Mulai Beroperasi : ………………………………………….
4. Perizinan Yang Sudah Diperoleh
a. Izin Usaha Tetap : ………………………………………….
b. Dokumen Amdal : ………………………………………….
c. Akte Pendirian : ………………………………………….
d. Izin Lokasi : ………………………………………….
e. Izin Mendirikan Bangunan : ………………………………………….
5. General Manager : ………………………………………….
6. Kontak Person : ………………………………………….
a. Nama : ………………………………………….
b. Jabatan : ………………………………………….
c. Telepon : ………………………………………….
7. Apabila Alamat Pabrik berbeda dengan Alamat Kantor Pusat
a. Alamat Kantor Pusat : ………………………………………….
b. Telepon : ………………………………………….
c. Faximile : ………………………………………….
2. Industri
1. Jenis Industri : ………………………………………….
2. Kapasitas Produksi : ………………………………………….
3
3. Penggunaan Air : ……………………….…………m /hari
3
4. Air Limbah Dihasilkan : ……………………….…………m /hari
3. Pengolahan Air Limbah (Lampiran Layout IPAL)
1. Jenis Pengolahan Limbah : ………………………………………….
2. Kapasitas Pengolahan Limbah : ………………………………………….
3. Lampiran Hasil Analisis Limbah Yang Dihasilkan
4. Karakteristik lahan
1. Jenis Tanah : ………………………………………….
2. Topografi/kontur wilayah (lampirkan peta lokasi lahan aplikasi)
3. Sifat Fisika - Kimia Tanah (lampirkan data analisis yang meliputi : pH, Kadar C Organik, KTK, Tekstur,
Porositas dan Logam Berat)
4. Curah Hujan (lampirkan Data Hujan Bulanan Dari Stasiun Terdekat, 5 Tahun Terakhir)
5. Aplikasi Air Limbah (Lampirkan Peta)
100
1. Luas Lahan Perkebunan : ……………………………………… ha
2. Luas Lahan Aplikasi Air Limbah : ……………………………………… ha
3. Luas Lahan Kontrol : ……………………………………… ha
4. Tahun Mulai Aplikasi Air Limbah : ………………………………………….
3
5. Air Limbah Yang Diaplikasikan : ………………………………… m /hari
6. Rotasi Pengaliran Air Limbah : ……………………………………. hari
7. Dosis Pemakaian Air Limbah : ………………………………………….
8. Persen Peningkatan Hasil : ……… % (lampirkan data pendukung diisi
bila perkebunan telah melakukan pemanfaatan
air limbah).
6. Tata Ruang
1. Lokasi pabrik, pembuangan air limbah dan penduduk (lampirkan peta)
2. Jumlah penduduk di lokasi terdekat : ………………………………………….
3. Jumlah Sumur Penduduk : ………………………………………….
4. Jarak Pemukiman terdekat lokasi : ………………………………………….
5. Kedalaman air tanah/muka air dilokasi : ………………………………………….
6. Kecenderungan arah angin : ………………………………………….
7. Sungai (badan air terdekat) : ………………………………………….
8. Jarak sungai ke lokasi : ………………………………………….
9. Hasil Analisis Kualitas Air Sungai dan Sumur Terdekat
101
IV. SURAT KEPUTUSAN IZIN PELAKSANAAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH
Keputusan izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah dapat mengacu pada format berikut:
a. Format Surat Keputusan penetapan izin:
KEPUTUSAN
……………………….
NOMOR : KEP- / ……../ /
TENTANG
IZIN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH KEPADA
PERKEBUNAN ……………………..
Menimbang : a. bahwa sebelum pemberian izin pembuangan air limbah pada tanah, harus dilakukan melalui
pengkajian dampak air limbah terhadap kualitas tanah dan air tanah;
b. Bahwa berdasarkan penilaian terhadap hasil pengkajian tentang pembuangan air limbah pada
tanah yang dilakukan oleh ………… dianggap telah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan yang diperlukan dalam pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah;
c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah kepada
…………………….
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);
3. …………………….
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan izin aplikasi air limbah pada tanah kepada
Nama Perusahaan :
Alamat :
Nama Unit Usaha/Pabrik :
Alamat Pabrik :
Jenis Industri :
Status Modal Perusahaan :
Izin Usaha Industri : 1.
2.
Nomor akte Pendirian Perusahaan :
KETIGA : Keputusan pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah ini berlaku ……… terhitung sejak Keputusan
ini di tetapkan
KEEMPAT : Izin aplikasi air limbah sebagaimana dimaksudkan dalam Diktum KETIGA dapat diperpanjang dengan
mengajukan permohonan perpanjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan sebelum masa berakhirnya
izin tersebut kepada ……..….dengan tembusan kepada ………….. dan melampirkan data hasil
pengkajian kualitas dan kuantitas air limbah, kualitas tanah dan air tanah.
KELIMA : Pemohon harus memenuhi kewajiban yang tertuang dalam Lampiran Keputusan ini
KEENAM : Apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran Keputusan ini, akan diberikan sangsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di :
pada Tanggal :
102
Ttd
………………………………….
Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada:
1. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
2. Menteri Pertanian;
3. Menteri Perkebunan dan Kehutanan;
4. Kepala Pemerintah Propinsi Setempat.
103
b. Format Lampiran Keputusan:
104
5. Tanah:
Melakukan pemeriksaan kualitas tanah pada lahan aplikasi (rorak), lahan aplikasi (antar rorak), dan lahan kontral
masing-masing pada kedalaman 0 – 20, 20 – 40, 60 – 80, 80 – 100, 100 – 120 centimeter (6 lapisan) dengan
parameter, frekuensi dan metode analisis sebagai berikut:
Parameter Frekuensi Metode
pH dalam air 1 tahun sekali pH Meter
C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back
N total 1 tahun sekali Kjeldhal
P-tersedia 1 tahun sekali Bray I
Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4OAc pH:7
Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic absorbsion
spectrophotometer
Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK*100%
Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah
Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet
Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet
6. Menyampaikan laporan kepada Bupati/Walikota, Kepala Pemerintah Propinsi, Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang:
a. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 3 setiap 1 (satu) bulan sekali.
b. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 4 (empat) setiap 6 (enam) bulan sekali.
c. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 5 (angka) setiap 1 (satu) tahun sekali.
II. Larangan:
1. Dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit, adanya air larian (run off) ke sungai atau
lingkungan lainnya dilarang.
2. Pemrakarsa dilarang melakukan pengenceran air limbah yang akan dimanfaatkan.
3. Pemrakarsa dilarang membuang air limbah pada tanah di luar wilayah yang telah ditetapkan dalam keputusan ini.
4. Pemrakarsa dilarang membuang limbah ke sungai bila kualitas air limbah melebihi baku mutu air limbah yang
berlaku.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
105
V. PEMANTAUAN
A. Mekanisme Pemantauan
Bupati/Walikota meminta kepada penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk melakukan
kegiatan pemantauan segera oleh pemrakarsa atau penanggung jawab usaha setelah memperoleh
Surat Keputusan Izin Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah. Hasil pemantauan tersebut wajib
disampaikan kepada Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Adapun
pemantauan minimal yang wajib diminta oleh Bupati/Walikota kepada pemrakarsa adalah:
1. Air Limbah
a. Lokasi pengambilan sampel
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air limbah (titik
terakhir sebelum dimanfaatkan ke lahan)
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air limbah
disajikan pada table berikut:
No. Parameter Frekuensi Metode
1. Debit Harian
2. BOD Bulanan Winkler
3. COD Bulanan
4. pH Bulanan pHmeter
5. Minyak/Lemak Harian Soklet
6. Pb Bulanan AAS
7. Cu Bulanan AAS
8. Cd Bulanan AAS
9. Zn Bulanan AAS
2. Air Tanah
a. Lokasi pengambilan air tanah
Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol, lahan yang
diaplikasi dengan air limbah pada tanah dan sumur penduduk terdekat yang lokasinya lebih
rendah dan diperkirakan memiliki peluang tercemar air limbah.
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air tanah
disajikan pada table berikut:
No. Parameter Frekuensi Metode
1. BOD 6 bulan sekali Winkler
2. DO 6 bulan sekali
3. pH 6 bulan sekali pHmeter
4. NO3 sebagai N 6 bulan sekali Colorimetrik
5. NH3-N 6 bulan sekali Colorimetrik
6. Cd 6 bulan sekali AAS
7. Cu 6 bulan sekali AAS
8. Pb 6 bulan sekali AAS
9. Zn 6 bulan sekali AAS
10. Cl 6 bulan sekali Titrimetrik
-2
11. SO4 6 bulan sekali Colorimetrik
3. Tanah
a. Lokasi
Tanah yang akan dianalisa adalah tanah di lahan sekitar lokasi pemanfaatan air limbah,
rorak (saluran/parit yang digenangi air limbah), dan antar rorak (antara parit dan tanaman)
pada enam kedalaman, yaitu: 0-20cm; 20-40cm; 40-60cm; 60-80cm; 80-100cm dan 100-
120cm. Pengambilan sampel tanah di parit dilakukan setelah kerak limbah yang
menumpuk dipermukaannya dibuang atau disisihkan dari parit
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel tanah disajikan
pada tabel berikut:
No Parameter Frekuensi Metode
1. PH dalam air 1 tahun sekali pHmeter
2. C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back
3. N total 1 tahun sekali Kjeldhal
4. P-tersedia 1 tahun sekali Bray I
5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4Oac pH:7
6. Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic
absorbsion
spectrophotometer
7. Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK x
100%
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah
106
9. Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet
10. Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet
c. Pengambilan Sampel:
Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel tanah yaitu sampel
tanah terganggu dan sampel tanah utuh.
- Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan
menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk mengukur
parameter seperti pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat,
dan unsur-unsur tertentu serta tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau
lempung). Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan menggunakan bor tanah
mineral, sampel tanah diambil pada setiap 20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis.
Berat sampel tanah terganggu yang diambil dengan menggunakan masing-masing + 0.5
kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik rengkap 2 (dua).
Dengan diberi label yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.
- Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan menggunakan ring
sampler dan digunakan untuk mengukur bobot isi, porositas dan permeabilitas.
Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada kedalaman 0-30
cm dan 30-60 cm, masing-masing 2 (dua) sampel. Satu sampel digunakan untuk
mengukur porositas dan bobot isi, sedang sampel lainnya digunakan untuk mengukur
permeabilitas.
107
B. Format Laporan
Bupati/Walikota meminta kepada pemrakarsa yang telah mendapat izin air limbahnya untuk
berkewajiban menyampaikan laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah secara
berkala kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada Bupati/Walikota,Gubernur
dan Menteri Lingkungan Hidup. Penyusunan Laporan Pemantauan Pemanfaatan Air Limbah mengacu
pada sistematika sebagai berikut:
I. Umum
1. Nama dan atau nomor laboratorium :
2. Nama Perusahaan :
3. Alamat :
4. Jenis Kegiatan Usaha :
5. Lokasi Pengambilan Contoh :
6. Petugas Pengambilan Contoh :
7. Tanggal/Jam Pengambilan Contoh :
8. Tanggal/Jam Penerimaan Contoh :
9. Nama Pengirim Contoh :
10. Instansi/Perusahaan :
II. Data Industri
1. Debit limbah cair rata-rata selama bulan pemantauan :
2. Produksi/penggunaan bahan baku rata-rata selama sebulan :
3. pH pada waktu pengambilan :
4. Suhu pada waktu pengambilan :
III. Hasil Pengujian
1. Air limbah
108
IV. Kesimpulan
Uraian memenuhi baku mutu atau tidak memenuhi Baku Mutu Limbah Cair
Tempat, tanggal
Hasil Uji Laboratorium
No Parameter Kadar Beban
(mg/l) (kg/ton)
1. pH dalam air
2. C-organik
3. N total
4. P-tersedia
5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg
6. Kapasitas Tukar Kation
7. Kejenuhan Basa
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd)
9. Tekstur (Pasir, debu, liat)
10. Minyak/lemak
Pemrakarsa
(nama terang)
V.EVALUASI PEMANTAUAN
Evaluasi laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh
Instansi yang bertanggung jawab dan ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Evaluasi dilaksanakan dengan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang
meliputi:
1. Kondisi tanah
Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran pada tanah di lokasi pemanfaatan maka evaluasi dilakukan
dengan membandingkan antara kondisi tanah di lokasi pemanfaatan dengan kondisi tanah pada rona awal dan
kondisi tanah disekitar lokasi pemanfaatan.
2. Kondisi air tanah
Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran terhadap air tanah, maka evaluasi dilakukan dengan
membandingkan antara kondisi air tanah setempat dengan rona awalnya dan atandar baku mutu air minum sesuai
dengan Lampiran II. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air.
3. Kondisi kebauan
Evaluasi terhadap kebauan dilakukan dengan membandingkan antara kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan
dengan baku mutu tingkat kebauan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50/MENLH/11/1996
tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan. Apabila kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan melebihi baku mutu maka hal
tersebut dapat digunakan sebagai indikasi adanya pencemaran. Apabila terjadi indikasi tersebut maka instansi yang
bertanggung jawab wajib meminta kepada pemrakarsa untuk memperbaiki kualitas kebauan di lokasi pemanfaatan
jika pemrakarsa tidak melakukan perbaikan kualitas kebauannya maka izin pemanfaatan air limbahnya dapat
dicabut.
4. Kondisi tanaman
Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran dan atau kerusakan tanaman pokok akibat pencemaran maka
evaluasi dilakukan dengan:
a. pengamatan indikasi kondisi fisik tanaman tersebut
b. melakukan pengecekan terhadap produktivitas tanaman tersebut
c. melakukan uji laboratorium tanaman tersebut.
5. Kondisi air limbah yang dimanfaatkan
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan kualitas air limbah yang dimanfaatkan dengan kualitas air limbah yang
dipersyaratkan dalam izin.
Apabila dari hasil evaluasi tersebut menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan maka
pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan. Hal tersebut berarti izin dicabut dan pemrakarsa harus melakukan
pemulihan kualitas lingkungan.
109
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Hoetomo, MPA.
110
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 37 TAHUN 2003
TENTANG
METODA ANALISIS KUALITAS AIR PERMUKAAN DAN PENGAMBILAN CONTOH AIR PERMUKAAN
Pasal 1
Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional.
Pasal 2
(1) Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan SNI dengan nomor kelompok 13.060.10.
111
Pasal 3
Apabila metoda analisis kualitas air permukaan dan pengambilan contoh air permukaan untuk parameter
tertentu belum ditetapkan dalam SNI maka dilakukan dengan Metoda Standard (Standard Methods) yang
diterbitkan oleh Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (American Public Health Association) yang
terbaru.
Pasal 4
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Maret 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
ttd.
Hoetomo, MPA.
112
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 110 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR
1
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR.
Pasal 1
Pasal 2
(1) Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber
air.
(2) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan debit minimal pada tahun yang
bersangkutan atau tahun sebelumnya.
(3) Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), digunakan metoda perhitungan yang telah
teruji secara ilmiah, yaitu :
a. Metoda Neraca Massa;
b. Metoda Streeter-Phelps.
Pasal 3
(1) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
dengan metoda neraca massa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
(2) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air limbah pada
sumber air dengan metoda Streeter-Phelps sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
II.
2
Pasal 4
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan
kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 5
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
_____________________________________________
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
3
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Neraca Massa
I. Pendahuluan
Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan
massa konstituen dihitung secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca
massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan perhitungan
Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi
Metoda neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi
terhadap kualitas air yang terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu
proyek, dan dapat juga digunakan untuk suatu segmen aliran, suatu sel pada
danau, dan samudera. Tetapi metoda neraca massa ini hanya tepat digunakan
untuk komponen-komponen yang konservatif yaitu komponen yang tidak
mengalami perubahan (tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak
hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) selama proses
pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan neraca
massa untuk komponen lain, seperti DO, BOD, dan NH3 – N, hanyalah merupakan
pendekatan saja.
4
II. Prosedur penggunaan
1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum
bercampur dengan sumber pencemar;
2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber
pencemar;
Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi
5
Keterangan :
Data analisis dan debit pada aliran 1, 2 dan 3 diberikan pada tabel berikut ini :
= 4,86 mg/L
Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara
perhitungan yang sama seperti di atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/L, 8,87 mg/L
dan 0,12 mg/L. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1 maka akan seperti
yang disajikan pada Tabel 1.2
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Streeter – Phelps
I. Pendahuluan
II. Deskripsi
Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses
pengurangan oksigen terlarut (deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam
mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses peningkatan
oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran
sungai.
dL/dt = - K’.L…………..………………………………………………………………..(2-1)
dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/L)
t : waktu (hari)
K’ : konstanta reaksi orde satu (hari-1)
Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan
sebagai BOD ultimate dan Lt adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1)
dinyatakan sebagai
8
dL/dt = - K’.L………...………………………………………………………………….(2-2)
Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah :
9
Variasi koefisiensi difusi molekular terhadap temperatur dapat ditentukan dengan
persamaan :
Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary
District of Chicago untuk berbagai macam badan air (tabel 2-1).
K2 at 200C
Water Body
(base e)a
Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai
sumbu tegak dan waktu atau jarak sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran
kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan reaerasi adalah
kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva
penurunan oksigen (oxygen sag curve).
Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik
buangan, maka konsentrasi konstituen pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah
Qr Cr + Qw Cw
Co = ....................................................................................................(2-9)
Qr + Qw
10
dengan : Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah
pencampuran, mg/L
Qr = laju alir sungai, m3/detik
Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran,
mg/L
Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/L
substitusi dV menjadi A dx dan A dx/Q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi
dD = - dC…………….……………………………………………………………… (2-15)
dt Dt
11
Substitusi L
dD + K`2D=K1Loe-k1t…………………………………………………………………..(2-17)
dt
jika pada t=0, D=Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi
K1Lo
Dt = (e-k1t – e -k12t) + Do e-k1t .........................................................................(2-18)
K12-K’
Do
D= Cs-C
Dc
Konsentrasi
Oksigen
Terlarut,
C
C
Xc
Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen
kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO terendah yang dicapai akibat beban yang
diberikan pada aliran tersebut. Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol,
maka
Dc = K` Lo e-k`tc..............................................................................................................(2-19)
K`2
12
Dengan tc = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kritik.
Lo= BOD ultimat pada aliran hulu setelah pencampuran, mg/L
1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- .................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo
Xc = tc v ..........................................................................................................................(2.21)
Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan
defisit DO yang paling rendah (kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak (posisi, xC)
kondisi kritis dengan menggunakan persamaan 2.21.
Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan.
Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan 2.18. Persamaan tersebut adalah :
K’ Do 0,418 K`2
logLa = logDall + 1+ 1- log ……………....................(2.22)
K`2-K’ Dall K’
Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu
menentukan apakah beban yang diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis
melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan persamaan
2.19 dan 2.20. Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu
menentukan beban BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak
melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini diperlukan persamaan 2.22.
Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K’ dan K`2 dan
data BOD ultimat. Penentuan K’ dapat menggunakan berbagai metoda yang
tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan metoda Thomas,
yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan
13
persamaan empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang
disajikan pada Tabel 2.1
Perlu dicatat bahwa harga K’, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan
yang banyak digunakan untuk memperhatikan fungsi temperatur adalah :
Dengan T = temperatur air, oC dan K’20, K’2 (20) menyatakan harga masing-masing
pada temperatur 20 0C.
Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD 5 20, yaitu BOD
yang ditentukan pada temperatur 20 0C selama 5 hari dengan menggunakan
persamaan berikut :
1. Tentukan laju deoksigenasi (K’) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K’
pada intinya adalah menggunakan persamaan 2.3. Kemudian diperlukan
serangkaian percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif rumitnya
penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan
Eddy untuk penentuan harga K’ tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K’
(basis logaritmit, 20 0C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari-1. Pada intinya
pengukuran K’ melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan
panjang hari pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda
Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi untuk mendapatkan nilai K’.
T, hari 2 4 6 8 10
Y,mg/L 11 18 22 24 26
(t/y)1/3 0,57 0,61 0,65 0,69 0,727
14
(t/y)1/3= (2,3 K’ La)-1/3 + (K’)-2/3(t)/(3,43 La)1/3 …..………………………………(2.26)
K’ adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La
menyatakan BOD ultimat. Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K’ dan La
dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K’ = 0,228 hari -1 dan La = 29,4 mg/L.
Berhubung nilai K’ didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20 0C,
maka nilai K’ yang diperoleh adalah data untuk temperatur yang sama.
2. Tentukan laju aerasi (K’2) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau
data pada Tabel 3.1
1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- ..................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo
Dc = K` Lo e-k`tc C
K`2
5. Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD
maksimum yang diizinkan dengan menggunakan persamaan 2.22.
Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu
sumber pencemar yang tentu (point source) :
1. Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata 115.000
m3/hari (1,33 m3/detik) dibuang ke aliran sungai yang mempunyai debit
minimum 8,5 m3/detik.
2. Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23 0C.
3. BOD520 air limbah adalah 200 mg/L, sedangkan BOD sungai adalah 2mg/L. Air
limbah tidak mengandung DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung
DO=6 mg/L sebelum bercampur dengan limbah.
4. Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K’ pada temparatur 200C
adalah 0,3 hari-1
5. Nilai K’2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 200C
adalah 0,7 hari-1.
15
Berdasarkan data-data di atas akan dihitung :
1. Harga Dc, tc dan Xc,
2. Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD520 maksimum pada air
limbah yang masih diperbolehkan masuk ke sungai tersebut.
Langkah-langkah penyesuaian :
6. Tentukan beban BOD maksimum pada air limbah bila DO baku mutu = 2 mg/L.
a. Dall = DO yang diizinkan = 8,45 – 2 = 6,45 mg/L
b. Gunakan persamaan 2.22 untuk menghitung beban BOD ultimat maksimum:
log La = log 6,45 + [1+ {0,37(0,75-0,37)}{1-(3,25)/(6,45)} 0,418 log (0,75)/(0,37)
La = 21,85 mg/L
c. Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 – e (-0,3)(5)} = 16,97 mg/L
d. Jadi BOD pada limbah yang dizinkan:
16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5)
1,33 X = 166,81 – 17 = 149,81
X = 112,6 mg/L
Jadi BOD pada limbah yang masih diizinkan = 112,6 mg/L
16
Catatan :
1. Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/L, agar
DO air sungai tidak kurang dari 2 mg/L.
2. Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber
pencemar yang tentu (point source).
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
17
Lampiran III
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air.
Metoda QUAL2E
I. Pendahuluan
II. Deskripsi
Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang
sangat komprehensif. Program ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau
dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter konstituen dengan
mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini
dapat juga digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan
menitikberatkan pada mekanisme perpindahan secara adveksi dan disperse searah
dengan arus.
18
Rearation dari Udara
K2
K4
D SOD
ORG-N I
σ4 S
K1
S
β3 CBOD
α1(F) O
L K3
NH3
σ3 V
E
β1 D
σ5 ORG-P
α5β1 O
X β4
NO2
Y
DIS-P
G
β2 α5β1 E
σ2
N
NO3
α1(1-F)
α3 µ α4ρ
α1µ α2µ
Chla
ALGAE
α1 ρ σ1 α2 ρ
Keterangan:
α1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-N/mg-A
α2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-P/mg-A
α3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-O/mg-A
α4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-O/mg-A
α5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-O/mg-N
α6 = Laju pengmabilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit , mg-O/mg-N
σ1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari
σ2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-P/ft2-hari
σ3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-N/ft2-hari
σ4 = Koefisien laju untuk pengendapan nitrogen, hari -1
σ5 = Laju pengendapan fosfor, hari-1
µ = Laju pertumbuhan alga, bergantung terhadap temperatur, hari-1
ρ = Laju respirasi alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1
19
K1 = Laju deoksigenasi BOD, pengaruh temperatur, hari-1
K2 = Laju rearsi berdasarkan dengan analogi difusi, pengaruh temperatur, day-1
K3 = Laju kehilangan BOD cara mengendap, faktor temperatur, day-1
K4 = Laju ketergantungan oksigen yang mengendap, faktor temperatur, g/ft2-hari
β1 = Koefisien laju oksidasi amonia, faktor temperatur, hari-1
β2 = Koefisen laju oksidasi nitrit, faktor temperatur, hari-1
β3 = Laju hydrolysis dari nitrogen, hari-1
β4 = Laju fosfor yang hilang, hari-1
dO K4
= K2 (O*- O)+ (α3 µ – α4 ρ)A – K1L - - α6 β1N1 – α6 β2N2 .............(3-1)
dt d
20
3. O’Connor dan Dobbins (1958) dengan karakter aliran turbulen
3.1 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik
(Dm.u)0.5
K2 20 = ………………………………………………………….(3-3)
d1..5
4800Dm0.5.So0.25
K220 = x 2.31 …………………………………………….(3-4)
d1.25
4. Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan
batasan kedalaman 0.4 – 11.0 ft dan kecepatan dari 0,1 – 5 ft/detik.
u.0.67
K2 20 = 9.4 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-5)
d1.85
u*
K2 20 = 10.8 (1 + F0.5) X 2.31 ……………………………………….(3-6)
d
u*
F= ………………………………………………………………………(3-7)
√g.d
U.n√g
u * = √d.Se.g = ………………………………………………(3-8)
1.49d1.167
21
6. Langbien dan Durun (1967)
u
K220 = 3.3 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-9)
d1.33
7. Hubungan empiris antara kecepatan dan kedalaman dengan lajur alir pada
bagian hidraulik akan dikorelasikan :
K2 = aQb …………………………………………………………………………..(3-10)
∆h
K2 20 =c = (3600 x 24) c.Se.u …………………………………………….(3-11)
tf
u2 . n2
Se = ……………………………………………………….(3-12)
(1.49)2 d4/3
Program, cara penggunaan, dan contoh penggunaan pemodelan QUAL2E dapat di-
download di internet pada website :
1. http://www.epa.gov/docs/QUAL2E WINDOWS/index.html, atau
2. http://www.gky.com/_downloads/qual2eu.htm
22
1. QUAL2E simulasi
1.1 Menulis judul dari simulasi yang akan dilakukan
1.2 Tipe simulasi yang diinginkan dengan 2 pilihan yaitu kondisi tunak dan
dinamik
1.3 Unit yang akan digunakan yaitu unit Inggris dan SI
1.4 Jumlah maksimum iterasi yang ingin dilakukan dengan batasan 30 iterasi
1.5 Jumlah aliran yang akan dibuat
2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta
2.1 Nomor aliran
2.2 Nama aliran
2.3 Titik awal sungai
2.4 Titik akhir sungai
2.5 Merupakan sumber sungai atau tidak ?
2.6 Selang sungai yang akan dimodelkan
23
8. Data konstanta reaerasi
8.1 BOD dengan data decay, settling time (1/hari)
8.2 SOD rate (g/m2-day)
8.3 Tipe persamaan reareasi dengan menggunakan persamaan yang ada (lihat
metoda penentuan laju konstanta reareasi K2)
8.4 Bila persamaan yang digunakan K2 pilihan 7 untuk persamaan K2 = e.Qf
disediakan data untuk data yang dimasukkan K2 dengan harga e serta f
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
24
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 111 TAHUN 2003
TENTANG
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8)
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang
perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta
Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air;
1
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonomi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);
7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Setiap usaha dan atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung
radioaktif ke air atau sumber air.
Pasal 2
Bupati/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber
air yang melanggar baku mutu air dan menimbulkan pencemaran air.
Pasal 3
(3) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau
sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil
kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan
lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
(3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib
mematuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
2
Pasal 4
(3) Permohonan izin membuang air limbah ke air atau sumber air wajib dilengkapi
data dan informasi dengan menggunakan formulir sebagaimana terlampir
dalam Keputusan ini.
(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) di atas merupakan
salah satu syarat permohonan izin pembuangan air limbah ke air dan atau
sumber air.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas, permohonan
izin wajib dilengkapi dengan :
a. dokumen hasil kajian pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air;
b. hasil pemantauan pengelolaan lingkungan pada bulan terakhir;
c. dokumen lain yang terkait dengan pengisian formulir sebagaimana terlampir
dalam Keputusan ini;
Pasal 5
Pasal 6
Bupati/Walikota wajib mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah ke air atau
sumber air seluruh kewajiban dan larangan bagi usaha dan atau kegiatan sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Pasal 7
3
Pasal 8
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA.
4
LAMPIRAN
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Keterangan:
Tim teknis merupakan tim yang dibentuk oleh Bupati/ Walikota yang beranggotakan
dari instansi yang mempunyai tugas dan fungsi berkaitan dengan pengelolaan air atau
instansi pembina usaha dan atau kegiatan pemohon izin.
5
II. Proses Perizinan Pembuangan air Limbah ke Air Permukaan.
6
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 112 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK
1
6. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama;
2. Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur
pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air
permukaan;
Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan atau kegiatan
permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan
dan apartemen.
(2) Baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku untuk pengolahan air limbah domestik terpadu.
Pasal 3
Baku mutu air limbah domestik adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini.
2
Pasal 4
Baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini berlaku bagi :
a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan
perniagaan, dan apartemen;
b. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter
persegi; dan
c. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih.
Pasal 5
Baku mutu air limbah domestik untuk perumahan yang diolah secara individu
akan ditentukan kemudian.
Pasal 6
(1) Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah domestik daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah
domestik sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 7
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau hasil
kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan dari
usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mensyaratkan
baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air
limbah domestik sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan .
Pasal 8
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate),
rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen wajib :
a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah
domestik yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air
limbah domestik yang telah ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air
sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan.
c. membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air
limbah.
3
Pasal 9
(1) Pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dapat dilakukan secara bersama-sama (kolektif) melalui pengolahan limbah
domestik terpadu.
(2) Pengolahan air limbah domestik terpadu harus memenuhi baku mutu
limbah domestik yang berlaku
Pasal 10
(1) Pengolahan air limbah domestik terpadu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 menjadi tanggung jawab pengelola.
(2) Apabila pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak menunjuk pengelola tertentu, maka tanggung jawab pengolahannya
berada pada masing-masing penanggung jawab kegiatan
Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dalam izin pembuangan air limbah domestik bagi usaha dan atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama.
Pasal 12
Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5
(lima) tahun.
Pasal 13
Apabila baku mutu air limbah domestik daerah telah ditetapkan sebelum
keputusan ini :
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik
tersebut tetap berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik tersebut
wajib disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 14
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan baku mutu air limbah domestik bagi usaha dan atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Keputusan ini.
4
Pasal 15
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
5
Lampiran
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor : 112 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
pH - 6-9
BOD mg/l 100
TSS mg/l 100
Minyak dan Lemak mg/l 10
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA,MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
6
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 113 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU
KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan
penambangan dan kegiatan pengolahan/pencucian batu bara;
2. Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan
dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang
berlangsung lama;
3. Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi
penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun
tambang bawah tanah;
5. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal
dari kegiatan penambangan batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan
pengolahan/pencucian batu bara;
6. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan;
7. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
2
8. Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh
kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal
dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara;
9. Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada
lokasi penambangan sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi dalam
usaha dan kegiatan penambangan batu bara;
10. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap
saat tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terlampaui karena keadaan tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan
kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Gubernur dan Menteri.
Pasal 4
(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih
ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut
dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) atau hasil
kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu
air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.
3
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan
pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang
berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang
ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 7
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam
pengendapan (pond).
Pasal 8
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
melakukan kajian lokasi titik penaatan (point of compliance) air limbah dari kegiatan
pertambangan.
(2) Lokasi titik penaatan (point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berada pada saluran air limbah yang :
a. ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air
permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air
lain selain dari kegiatan penambangan tersebut.
b. keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu
bara sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari
kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan tersebut.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan mengajukan
permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance) kepada
Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air
limbah mengenai lokasi titik penaatan (point of compliance).
Pasal 9
Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan dan atau
karena pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali
kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan (point of
compliance) yang baru.
4
Pasal 10
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib untuk :
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Keputusan ini.
5
Pasal 14
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
6
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 200
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Volume air limbah maksimum
2m3 per ton produk batu bara
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
8
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 115 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PENENTUAN STATUS MUTU AIR
1
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden
Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
b. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan.
c. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.
Pasal 2
(1) Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metoda STORET atau
Metoda Indeks Pencemaran.
(2) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda STORET
dilakukan sesuai dengan pedoman pada Lampiran I Keputusan ini.
(3) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda Indeks
Pencemaran dilakukan sesuai dengan pedoman pada Lampiran II
Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga
berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka
2
dapat digunakan metoda di luar metoda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah
mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA
3
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Nomor : 115 Tahun 2003
Tanggal: 10 Juli 2003
4
3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran <
baku mutu) maka diberi skor 0.
4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil
pengukuran > baku mutu), maka diberi skor :
Tabel 1.1. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air
Jumlah Nilai Parameter
contoh1)
Fisika Kimia Biologi
< 10 Maksimum -1 -2 -3
Minimum -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
≥ 10 Maksimum -2 -4 -6
Minimum -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18
Sumber : Canter (1977)
Catatan : 1) jumlah parameter yang digunakan untuk penentuan status
mutu air.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh berikut ini. Tabel 1.2.
merupakan contoh penerapan penentuan kualitas air menurut metoda
STORET yang dilakukan oleh Unpad, Bandung. Data diambil dari sungai
Ciliwung pada stasiun 1. Pada tabel ini tidak diberikan data lengkap hasil
analisa di sungai Ciliwung, tetapi hanya diberikan nilai maksimum,
minimum, dan rata-rata dari data-data hasil.
Cara pemberian skor untuk tiap parameter adalah sebagai berikut (contoh,
untuk Hg):
a. Hg merupakan parameter kimia, maka gunakan skor untuk parameter
kimia.
5
b. Kadar Hg yang diharapkan untuk air golongan C adalah 0.002 mg/l.
c. Kadar Hg maksimum hasil pengukuran adalah 0.0296 mg/l, ini berarti
kadar Hg melebihi baku mutunya. Maka skor untuk nilai maksimum
adalah -2.
d. Kadar Hg minimum hasil pengukuran adalah 0.0006 mg/l, ini berarti
kadar Hg sesuai dengan baku mutunya. Maka skornya adalah 0.
e. Kadar Hg rata-rata hasil pengukuran adalah 0.0082 mg/l, ini berarti
melebihi baku mutunya. Maka skornya adalah –6.
f. Jumlahkan skor untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata.
Untuk Hg pada contoh ini skor Hg adalah –8.
g. Lakukan hal yang sama untuk tiap parameter, apabila tidak ada baku
mutunya untuk parameter tertentu, maka tidak perlu dilakukan
perhitungan.
h. Jumlahkan semua skor, ini menunjukan status mutu air. Pada contoh
ini skor total adalah –58, ini berarti sungai Ciliwung pada stasiun 1
mempunyai mutu yang buruk untuk peruntukan golongan C.
Tabel 1.2. Status Mutu Kualitas Air Menurut Sistem Nilai STORET
di Stasiun 1 sungai Ciliwung bagi peruntukan Golongan C (PP 20/1990)
No. Parameter Satuan Baku Hasil Pengukuran Skor
Mutu
Maksimu Minimum Rata-rata
m
FISIKA
1 TDS mg/l 289 179,4 224,2
2 Suhu air C normal + 24,15 20,5 22,06 0
3
3 DHL mhos/c 82,6 72 76,3
m
4 Kecerahan M 0,46 0,35 0,41
KIMIA
a. Anorganik
1 Hg mg/l 0,002 0,0296 0,0006 0,0082 -8
2 As mg/l 0,5 0,0014 Tt 0,0004 0
3 Ba mg/l 1,5 17,401 11,239 15,3665
4 F mg/l 0,01 0,51 0,28 0,4138 0
6
5 Cd mg/l nihil Tt Tt Tt 0
6 Cr (VI) mg/l 0,0036 Tt 0,0009 -8
7 Mn mg/l 0,033 Tt 0,083
8 Na mg/l 15,421 5,1672 11,0246
9 NO3-N mg/l 12,28 0,04 3,4675
10 NO2-N mg/l 0,06 1 0,0075 0,3996 -8
11 NH3-N mg/l 0,02 1,53 Tt 0,576 -8
12 pH 6-8.5 7,83 6,72 7,41 0
13 Se mg/l 0,05 Tt Tt Tt 0
14 Zn mg/l 0,02 0,0457 Tt 0,0114 -2
15 CN mg/l 0,01 Tt Tt Tt 0
16 SO4 mg/l 40 2,2 14,175
17 H2S mg/l 0,002 1,27 0,0014 0,3354 -8
18 Cu mg/l 0,02 0,008 Tt 0,0043 0
19 Pb mg/l 0,03 0,2456 Tt 0,1451 -8
20 RSC mg/l 3,42 2,42 2,985
21 BOD5 mg/l 42,51 22,97 32,92
22 COD mg/l 62,2 34,32 48,08
23 Minyak dan mg/l 0,5 Tt Tt Tt 0
lemak
24 PO4 mg/l 2,28 0,02 0,7167
25 Phenol mg/l 0,001 Tt Tt Tt 0
26 Cl2 mg/l 0,003 1,3315 0,0003 0,3383 -8
27 B mg/l 2,103 0,81 1,4575
28 COD mg/l 0,1242 0,0145 0,0653
29 Ni mg/l Tt Tt Tt
30 HCO3 mg/l - - -
31 CO2-bebas mg/l 11,88 7,92 9,24
32 Salinitas 0/00 0,02 0 0,015
33 DO mg/l >3 9,1 8 8,433 0
b. Organik
1 Aldrin mg/l Tt Tt Tt
2 Dieldrin mg/l Tt Tt Tt
3 Chlordane mg/l Tt Tt Tt
4 DDT mg/l 0,002 Tt Tt Tt 0
5 Detergent mg/l 0,2 Tt Tt Tt 0
6 Lindane mg/l Tt Tt Tt
7 PCB mg/l Tt Tt Tt
8 Endrine mg/l 0,004 Tt Tt Tt 0
9 BHC 0,21 Tt Tt Tt 0
MIKROBIOLO
GI
1 Coliform tinja Jml/100 15x10^6 2.5x10^6 7.125x10^6
ml
7
2 Total coliform Jml/100 15x10^6 2.5x10^6 8.375x10^6
ml
Jumlah Skor -58
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
8
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Nomor : 115 Tahun 2003
Tanggal: 10 Juli 2003
Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi
masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air
untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki
kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar.
IP mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang independent dan
bermakna.
II. Definisi
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan
dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter
kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu
lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks
Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.
9
PIj = (C1/L1j, C2/L2j,…,Ci/Lij)…………………………………….……...(2-1)
Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang diakibatkan oleh
parameter kualitas air. Nisbah ini tidak mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0
adalah nilai yang kritik, karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi
suatu Baku Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter,
maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi atau disisihkan, kalau badan
air digunakan untuk peruntukan (j). Jika parameter ini adalah parameter
yang bermakna bagi peruntukan, maka pengolahan mutlak harus dilakukan
bagi air itu.
Pada model IP digunakan berbagai parameter kualitas air, maka pada
penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari keseluruhan nilai Ci/Lij
sebagai tolok-ukur pencemaran, tetapi nilai ini tidak akan bermakna jika
salah satu nilai Ci/Lij bernilai lebih besar dari 1. Jadi indeks ini harus
mencakup nilai Ci/Lij yang maksimum
PIj = {(Ci/Lij)R,(Ci/Lij)M} …………………………………..…….…..(2-2)
Dengan (Ci/Lij)R : nilai ,Ci/Lij rata-rata
(Ci/Lij)M : nilai ,Ci/Lij maksimum
Jika (Ci/Lij)R merupakan ordinat dan (Ci/Lij)M merupakan absis maka PIj
merupakan titik potong dari (Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M dalam bidang yang
dibatasi oleh kedua sumbu tersebut.
(Ci/Lij)R
PIj
(Ci/Lij)M
10
Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij)R
dan atau (Ci/Lij)M adalah lebih besar dari 1,0. Jika nilai maksimum Ci/Lij dan
atau nilai rata-rata Ci/Lij makin besar, maka tingkat pencemaran suatu badan
air akan makin besar pula. Jadi panjang garis dari titik asal hingga titik Pij
diusulkan sebagai faktor yang memiliki makna untuk menyatakan tingkat
pencemaran.
PIj = m (C i /L ij ) 2M + (C i /L ij ) 2R …………………………………………...(2-3)
(C i /L ij ) 2M + (C i /L ij ) 2R
PIj = ……………………………………………..(2-4)
2
Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan
dapat atau tidaknya sungai dipakai untuk penggunaan tertentu dan dengan
nilai parameter-parameter tertentu.
11
Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.
Harga Pij ini dapat ditentukan dengan cara :
1. Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka
kualitas air akan membaik.
2. Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang.
3. Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan
cuplikan.
4.a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat
pencemaran meningkat, misal DO. Tentukan nilai teoritik atau nilai
maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim merupakan nilai DO jenuh).
Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij
hasil perhitungan, yaitu :
C im - C i (hasil pengukuran)
(Ci/Lij)baru =
C im - L ij
4.c. Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan nilai acuan
1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat
besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. Dalam contoh ini tingkat
kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi kesulitan ini
adalah :
(1) Penggunaan nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran kalau nilai ini lebih kecil
dari 1,0.
12
(2) Penggunaan nilai (Ci/Lij)baru jika nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran lebih
besar dari 1,0.
(Ci/Lij)baru = 1,0 + P.log(Ci/Lij)hasil pengukuran
P adalah konstanta dan nilainya ditentukan dengan bebas dan
disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau
persyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan
(biasanya digunakan nilai 5).
4. Tentukan nilai rata-rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij
((Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M).
5. Tentukan harga PIj
(C i /L ij ) 2M + (C i /L ij ) 2R
PIj =
2
Pada contoh berikut ini diberikan data untuk suatu sampel sungai yang akan
ditentukan indeks pencemarannya (IP). Hasil pengukuran sampel diberikan
pada kolom 2 (Ci) dan baku mutu perairan tersebut diberikan pada kolom 3
(LiX). Pada contoh perhitungan hanya digunakan 6 parameter saja. Contoh
yang diberikan berikut ini hanya bertujuan agar pemakai metoda Indeks
Pencemaran dapat memahami cara menghitung harga PIj.
13
• Contoh perhitungan TSS :
C1/L1X = 100 / 50 = 2
C1/L1X > 1
Maka gunakan persamaan (Ci/Lij)baru
(C1/L1X)baru = 1,0 + 5 log 2 = 2,5
Catatan : Ci/Lij baru dihitung karena nilai Ci/Lij yang berjauhan
untuk Ci/Lij < 1 digunakan Ci/Lij hasil pengukuran, tetapi bila Ci/Lij > 1
perlu dicari Ci/Lij baru.
• Contoh perhitungan DO :
DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka
kualitas akan menrun. Maka sebelum menghitung C2/L2X harus dicari
terlebih dahulu harga C2 baru.
DOmaks = 7 pada temperatur 250C
C2 baru = 7 – 2 = 5
7–6 3
C2/L2X = (5/3) / 6 = 0,28
• Contoh perhitungan pH :
Karena harga baku mutu pH memiliki rentang, maka penetuan C3/L3X
dilakukan dengan cara :
L3X rata-rata = 6 + 9 = 7,5 C3 > L3X rata-rata
2
C3/L3X = ( 8 – 7,5 ) = 0,5
(9–8)
• Tentukan nilai (Ci/LiX)R = 2,58 (nilai rata-rata dari kolom 5)
• Tentukan nilai (Ci/LiX)M = 5,2 (nilai maksimum dari kolom 5)
• Dengan menggunakan persamaan pada langkah no 5 (lihat prosedur
3.2), maka dapat ditentukan nilai PIX = 4,10.
Apabila kemudian data air sungai yang sama ingin dibandingkan terhadap
baku mutu yang berbeda, misalnya Y (kolom II, Tabel 3.3), maka
perhitungannya menjadi sebagai berikut:
14
Tabel 2.3. Contoh penentuan IP untuk baku mutu Y
Parameter Ci LiY Ci/LiY Ci/LiY baru
TSS 100 400 0,25 0,25
DO 2 1 2 0,83
pH 8 6-9 0,5 0,5
BOD 8 10 0,8 0,8
Se 0,07 0,08 0,88 0,88
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
15
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGANHIDUP
NOMOR 142 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN
KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH
KE AIR ATAU SUMBER AIR
MEMUTUSKAN:
Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta
Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air, sebagai berikut :
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber
air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian
analisis mengenai dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan.
(3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air.
Pasal II
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :24 September 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003
Keterangan:
Tim teknis merupakan tim yang dibentuk oleh Bupati/ Walikota yang beranggotakan dari
instansi yang mempunyai tugas dan fungsi berkaitan dengan pengelolaan air atau instansi
pembina usaha dan atau kegiatan pemohon izin.
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 122 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
MEMUTUSKAN :
Pasal I
Mengubah nilai parameter pada lampiran B.X Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi
Kegiatan Industri Pupuk sehingga Baku Mutu Limbah Cair (Air Limbah) bagi Kegiatan
Industri Pupuk sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal II
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 12 Agustus 2004
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
Lampiran : Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Debit air limbah 15 m3 per ton produk 15 m3 per ton produk 15 m3 per ton produk
maksimum
Catatan :
1. Pengukuran beban air limbah dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir
2. Beban air limbah (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit air limbah
3. Beban air limbah pabrik amoniak, berlaku pula untuk pabrik pupuk urea dan pupuk nitrogen lain yang memproduksi
kelebihan amoniak.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 202 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA
1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah
serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih emas dan
atau tembaga menjadi konsentrat atau logam emas dan atau tembaga dan
meliputi juga kegiatan paska penutupan tambang;
2. Kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga adalah pengambilan bijih
emas dan atau tembaga yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;
2
4. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih emas dan
atau tembaga dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
yang berwujud cair;
5. Baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan
atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah
yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga;
6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga terdiri dari :
a. air limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air
yang terkena dampak kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga
sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung
dengan kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga tersebut;
b. air limbah kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang dibuang
ke badan air;
c. air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan bijih emas dan atau
tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan ini.
(3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang akan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri tersendiri.
(2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.
3
Pasal 4
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini
tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena :
maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan
menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.
Pasal 5
(1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 6
4
Pasal 7
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan
penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga, sehingga mutu
air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah
yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 8
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari
usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga.
(2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada
pada saluran air limbah yang :
a. keluar dari sistim pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke
badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau
sumber lain selain dari kegiatan penambangan emas dan atau tembaga
tersebut; dan atau
b. keluar dari sistim pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak
terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari
kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga tersebut.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan
kepada Bupati/Walikota.
Pasal 9
Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga dan atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang
dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk
memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.
5
Pasal 10
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga wajib untuk:
a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah,
sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah;
c. melakukan analisis air limbah sebagaimana tercantum dalam huruf a dan huruf
b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Pasal 12
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.
6
Pasal 13
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
8
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004
Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi total ion logam terlarut .
• ** = Parameter khusus untuk pengolahan bijih emas yang menggunakan proses
• Cyanidasi.
• CN dalam bentuk CN bebas.
• *** = Jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air,
maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar
maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004
--------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini seuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
9
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
1. KepMen LH Nomor 35 Tahun 1993 Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor
2. KepMen LH Nomor 13 Tahun 1995 Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
8. KepKa Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran
Udara Sumber Tidak Bergerak
9. KepKa Bapedal Nomor 107 Tahun 1997 Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara
10. KepMen LH Nomor 129 Tahun 2003 Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan
Minyak dan Gas Bumi
11. KepMen LH Nomor 141 Tahun 2003 Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor
yang Sedang di Produksi
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP-35/MENLH/10/1993
TENTANG
Menimbang: a) bahwa dalam Peratiran Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan
dan Pengemudi telah diatur ketentuan mengenai persyaratan laik jalan
kendaraan bermotor yang meliputi antara lain ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor;
b) bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur lebih lanjut
dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
1. Kandungan CO (karbon monoksida) dan HC (hidro karbon) dan ketebalan asap pada pancaran
gas buang:
a. Sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar bensin dengan bilangan oktana ³ 87
ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 3.000 ppm untuk HC;
b. Sepeda motor 4 (empat) langkah dengan bahan bakar bensin dengan bilangan oktana ³
87 ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 2.400 ppm untuk HC;
c. Kendaraan bermotor selain sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar bensin
dengan bilangan oktana ³ 87 ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 1.200 ppm
untuk HC;
2. Kendaraan bermotor selain sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar solar disel dengan
bilangan setana ³ 45 ditentukan maksimum ekivalen 50% Bosch pada diameter 102 mm atau
25% opasiti untuk ketebalan asap.
3. Kandungan CO dan HC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c diukur pada kondisi
percepatan bebas (idling).
4. Ketebalan asap gas buang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diukur pada kondisi
percepatan bebas.
Pasal 3
Pengkajian Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan ini dilakukan lebih lanjut oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang Pengendalian
Dampak Lingkungan.
Pasal 4
Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor ditinjau kembali sekurang-kurangnya dalam 5
(lima) tahun sekali.
Pasal 5
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor: Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan,
sepanjang mengenai Baku Mutu Udara Emisi Sumber Bergerak dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 6
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Oktober 1993
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995
Tentang : Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
Pasal 1
1. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi
yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan;
2. Emisi adalah makluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang
dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara
ambient;
3. Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke udara ambient;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap
untuk dilaksanakan pembangunan fisiknya;
5. Menteri adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisiknya;
6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , Gubernur Kepala
Daerah khusus Ibu kota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan :
1. Indusrti besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan
Lampiran I B;
(2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku
Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib
memenuhi Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2.000;
2. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini,
dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Emisi Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu emisi Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
3. Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap
perenacanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran B;
4. Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka
waktu selama satu tahun sejak ditetapkannya keputusan ini untuk
mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A;
(3) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);
(2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka jenis kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V keputusan ini.
Pasal 4
(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi untuk jenis-jenis kegiatan di
daerahnya lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat
(1);
(3) Dalam menetapkan baku mutu emisi daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan (2), Gubernur mengikutsertakan pihak-pihak yang
berkepentingan;
Pasal 6
Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana berikut :
membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat
pengaman;
(2) memasang alat ukur pemantauan yang melitputi kadar dan laju alir volume
untuk setiap cerobong emisi yang tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan
angin;
(3) melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong
emisi;
(5) melaporkan kepada Gubernur serta kepala Badan apabila ada kejadian tidak
normal dan atau dalam keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi
dilampaui.
(6) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian
pencemaran udara sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.
Pasal 8
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara emisi sumber tak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan
Baku Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Maret 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida,
Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran III-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/ m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
Lampiran I-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil
Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran III-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 15 Tahun 1996
Tentang : Program Langit Biru
Menimbang :
2. bahwa sebagai salah satu upaya pengendalian pencemaran udara dari kegiatan
sumber bergerak dan sumber tidak bergerak dilakukan dengan program langit
biru;
Mengingat :
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3480);
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang
Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM LANGIT
BIRU
Pasal 1
3. sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu
tempat;
5. Emisi adalah makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang
dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke udara ambien;
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 5
(3) Tata cara pengusulan Propinsi Program Langit Biru kepada Menteri ditetapkan
oleh Kepala Bapedal.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 10
(2) Pedoman teknis dan tata cara penilaian ditetapkan oleh Kepala Bapedal.
Dewan Penilai ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 11
(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Program Langit Biru:
Pasal 12
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 26 April 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 48 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Kebisingan
Menimbang :
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat
kebisingan yang dihasilkan;
Mengingat :
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
KEBISINGAN
Pasal 1
1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;
Pasal 2
Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan diluar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
2. baku tingkat kebisingan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.
Pasal 8
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 48 TAHUN 1996 TANGGAL 25 NOPEMBER 1996
Keterangan :
disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 48 TAHUN 1996 TANGGAL 25 NOPEMBER 1996
1. Metoda Pengukuran
Pengukuran tingkat kebisingan dapat diiakukan dengan dua cara :
1) Cara Sederhana
Dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi db (A)
selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan
setiap 5 (lima) detik.
2) Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas
pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan
pengukuran selama 10 (sepuluh) menit.
Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dencan cara pada siang
hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 10 jam (LS) pada selang waktu
06.00 - 22. 00 dan aktifitas dalam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00 -
06.00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan
menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam
hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh :
- L1 diambil pada jam 7.00 mewakli jam 06.00 - 09.00
- L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 - 11.00
- L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 - 17.00
- L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00.- 22.00
- L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 - 24.00
- L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 - 03.00
- L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 - 06.00
Keterangan :
- Leq : Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung
Setara ialah nilai tertentu kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah
(fluktuatif selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat kebisingan dari
kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama.
Satuannya adalah dB (A).
- LTMS = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik
- LS = Leq selama siang hari
- LM = Leq selama malam hari
- LSM = Leq selama siang dan malam hari.
2. Metode perhitungan:
(dari contoh)
LS dihitung sebagai berikut :
01L5
LS = 10 log 1/16 ( T1.10 +.... +T4.1001L5) dB (A)
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Getaran
Menimbang :
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran
yang dihasilkan;
Mengingat :
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
GETARAN
Pasal 1
5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan
pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap
kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan
kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis
bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV
Keputusan ini.
(2) Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran V Keputusan ini.
Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan diluar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
(1) Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan
mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
(2) Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
Pasal 7
1. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
2. baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.
Pasal 8
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
Konversi :
Percepatan = (2pf)2 x simpangan
Kecepatan = 2pf x simpangan
p = 3,14
Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom
harus dipakai.
Lampiran IV Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
a. Peralatan
Pedoman yang dipakai ialah:
b. Cara pengukuran
c. Cara Evaluasi
Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran l.2 dan/atau 11.2
dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut
melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi
sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan.
Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas, yaitu a, b, c, dan d dengan batas
seperti pada Grafik ll.2
Defnisi :
1. Struktur bangunan adalah bagian dari banguann yang direncanakan,
diperhitungkan dan dimaksudkan untuk :
a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban
sementara)
b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan
memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan andal.
Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul
(Bearing wall)
2. Komponen srtuktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang
menjamin fungsi struktur.
Misal : balok, kolom dan slab dari frame.
3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi
mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap.
4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau
difungsikan untuk mendukung beban.
Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu.
1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan
dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya.
2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk
mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan
perkuatan.
3 Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat
merobohkan bangunan.
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Kebauan
Menimbang :
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat bau yang
dibuang ke lingkungan;
Mengingat :
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
KEBAUAN
Pasal 1
1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera
penciuman;
2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu
tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;
3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang
diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan;
4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan
rangsangan bau pada keadaan tertentu;
5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun cmpuran
berbagai macam senyawa;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 4
Pasal 5
1. baku tingkat kebauan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
2. baku tingkat kebauan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.
Pasal 7
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996 tanggal 25 november 1996
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 45 Tahun 1997
Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara
Menimbang :
Mengingat :
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3480);
10. Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
Pasal 2
(2) Indeks Standar Pencemar Udara ditetapkan dengan cara mengubah kadar
pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi.
Pasal 3
(1) Data Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian Stasiun
Pemantauan Kualitas Udara Ambien Otomatis.
(2) Parameter Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi:
1. Partikulat (PM10);
5. Ozon (O3);
Pasal 5
(1) Kepala Bapedal wajib menyampaikan Indeks Standar Pencemar Udara kepada
masyarakat secara nasional setiap hari.
(2) Kepala Bapedal wajib melakukan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara
secara nasional setiap 1 (satu) tahun sekali.
(3) Gubernur wajib melaporkan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara kepada
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kepala Bapedal setiap 1 (satu) tahun
sekali.
(8) Apabila hasil evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara menunjukkan kategori
tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka
Gubernur dan/atau Bupati/Walikotamadya wajib melakukan upaya-upaya
pengendalian pencemaran udara.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 Oktober 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 45 Tahun 1997 tanggal 13 Oktober 1997
__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996
Tentang : Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran
Udara Sumber Tidak Bergerak
Menimbang :
Mengingat :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
SUMBER TIDAK BERGERAK
Pasal 1
Instansi terkait;
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Daerah Istimewa, Gubernur
Daerah Khusus Ibukota dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II;
Penanggung jawab kegiatan dari sumber tidak bergerak.
Pengaturan cerobong.
Lubang sampling.
Sarana pendukung.
Electrostatic Precipitator.
Siklon.
Pengumpul proses basah (Wet Process Collector).
Cartridge Collector.
Baghouses.
Pasal 2
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 10 Juli 1996
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997
Tentang : Perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi
Indeks Standar Pencemar Udara
Menimbang :
Mengingat :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA
INFORMASI INDEKS STNDAR PENCEMAR UDARA
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 10
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 21 Nopember 1997
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997
Catatan :
1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata
tertinggi waktu pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data rata-
rata sebelumnya (24 jam sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu
Indonesia Bagian Barat (WIBB).
4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan (
pkl 15.00 tgl (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1 ) )
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran III
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran V
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997
A) SECARA PERHITUNGAN
I = ISPU terhitung
Ia = ISPU batas atas
Ib = ISPU batas bawah
Xa = Ambien batas atas
Xb = Ambien batas bawah
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran
Diketahui konsentrasi udara ambient untuk jenis parameter SO2 adalah 332
µg/m3.
Konsentrasi tersebut jika dirubah ke dalam angka Indeks Standar Pencemar
Udara adalah sebagai berikut :
Dari Tabel "Batas Indeks Standart Pencemar Udara (Dalam Satuan SI)"
Maka :
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran ? 322 µg/m3
Ia = ISPU batas atas ? 100 (baris 3)
Ib = ISPU batas bawah ? 50 (baris 2)
Xa = Ambien batas atas ? 365 (baris 3)
Xb = Ambien batas bawah ? 80 (baris 2)
100 – 50
I = ----------- (322 – 80) + 50
365 – 80
= 92.45
= 92 (pembulatan)
Jadi konsentrasi udara ambien SO2 322 mg/m3 dirubah menjadi Indeks
Standar Pencemar Udara (ISPU) : 92
B) SECARA GRAFIK
Contoh :
Jika diketahui konsentrasi untuk paremeter PM10 adalah 250 µg/m3
konsentrasi
ini jika dirubah dalam Indeks Standar Pencemar Udara dengan
menggunakan grafik adalah sebagai berikut :
Dari kurva batas angka indeks standar pencemar udara dalam satuan
matriks, sumbu X di angka 250 ditarik ke atas sampai menyentuh
garis dan ditarik ke kiri sampai menyentuh sumbu Y didapat angka
150. Sehingga konsentrasi PM10 250 µg/m3 dirubah menjadi angka
Indeks Standar Pencemar Udara menjadi 150 (untuk lebih jelas dapat
dilihat gambar di bawah ini).
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran VI
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997
Stasiun I (Pertama)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM10 =
96, SO2 = 80,
O3 = 40, NO2 = 55, CO = 90
Stasiun II (Kedua)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM10 =
88, SO2 = 44,
O3 = 40, NO2 = 42, CO = 83
Stasiun III (Ketiga)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM10 =
91, SO2 = 71,
O3 = 35, NO2 = 55, CO = 92
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran VII
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
_____________________________________
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 129 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
MINYAK DAN GAS BUMI
1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,
termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari
proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang
tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses
penambangan Minyak dan Gas Bumi;
3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
4. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas
kadar maksimum emisi kegiatan minyak dan gas bumi yang diperbolehkan
masuk atau dimasukkan ke dalam uda ra ambien;
2
7. Produksi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan
Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;
9. Kegiatan Kilang LNG adalah kegiatan untuk menghasilkan bahan bakar gas
dari hasil kegiatan eksploitasi gas alam melalui serangkaian proses físika dan
atau kimia;
10. Unit Penangkapan Sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang
mengandung sulfur yang dikonversi menjadi produk lain;
11. Keadaan darurat adalah keadaan yang memerlukan tindakan secara cepat,
tepat, dan terkoordinasi terhadap sistem peralatan atau proses yang sedang
dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan minyak dan
gas bumi tidak terlampaui;
12. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam
Keputusan ini meliputi jenis kegiatan eksplorasi dan produksi, kilang minyak,
kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan proses
pencampuran bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending).
Pasal 3
3
Pasal 4
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau
kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.
Pasal 5
Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
yang termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun yang diolah secara
thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun yang berlaku.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang
mencakup pencegahan, pengolahan dan pemantauan yang antara lain alat
pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana
pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta
persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. wajib memasang Continuous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong
tertentu yang pelaksanaannya dikonsultasikan dengan Menteri dan bagi
cerobong yang tidak dipasang peralatan Contiuous Emission Monitoring (CEM)
wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan
sekali;
c. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali untuk hasil pemanta uan dengan
peralatan otomatis;
d. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri setiap 6 (enam) sekali bulan untuk pemantauan yang menggunakan
peralatan manua l;
e. wajib melaporkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta Menteri apabila
ada keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui;
f. dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit;
4
g. wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi
sebagai sumber fugitive emission.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Keputusan ini akan dilakukan evaluasi sekurang kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
Pasal 10
Pasal 11
Ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
5
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR:141 TAHUN 2003
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN
KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI
(CURRENT PRODUCTION)
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan
langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);
2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi
tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan
tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan
bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah
Republik Indonesia;
3. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (Current production) adalah kendaraan bermotor dengan
tipe dan jenis yang sama dan sedang diproduksi atau produksi ulang kendaraan bermotor yang telah
beroperasi di jalan dan atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built up)
atau dalam keadaan tidak utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi sudah beroperasi di
jalan wilayah Republik Indonesia;
4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4
(empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi
sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
5. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3
(tiga) dengan penggerak Motor bakar catus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah
atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002,
6. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, 0 adalah kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api
dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
7. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori L adalah kendaraan
bermotor yang sedang produksi (current production) beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor
bakar cetus api dan penggerak Motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan
SNI 09-1825-2002,
8. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor adalah orang perseorangan
dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan atau melakukan impor kendaraan
bermotor dalam keadaan utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertugas di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan
Pasal 2
Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang, tata cara dan metoda
uji serta tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production).
Pasal 3
(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C
dan I.D.
(2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.
Pasal 4
Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :
a. kendaraan bernotor tipe baru katagori M, N, 0 den L diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2005;
Pasal 5
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) dengan
akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang;
(3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang diimpor dalam keadaan
utuh (completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10
(sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.
(4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) den ayat (3) merupakan bagian dari
persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
(5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) untuk pengujian wajib menggunakan bahan bakar dangan spesifikasi reference fuel
menurut Economic Commission for Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini.
Pasal 6
(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.
(2) Instansi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib
memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan laboratorium pengujian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Instansi yang melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan akreditasi
dari Komite Akreditasi Nasional atau Badan Akreditasi yang diakui secara Internasional.
Pasal 7
(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas
dan angkutan jalan wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan.
(2) Salisan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi
kendaraan bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil uji tipe emisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production).
Pasal 8
(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 7 ayat (3)
instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas dan angkutan jalan dan atau penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab merupakan salah satu syarat untuk diterbitkan tanda
lulus uji tipe emisi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 9
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang telah memperoleh
sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru
den kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada setiap promosi
merek kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production)
kepada masyarakat melalui media cetak dan atau elektronik.
Pasal 10
(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang melaksanakan
pengujian emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current produktion) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Pasal 11
(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan pelaporan dibebankan
kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(2) Segala biaya yang timbul dalam kegiatan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 7 serta pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara masing-masing instansi yang bersangkutan.
Pasal 12
Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
dinyatakan tidak berlaku lagi untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang
diproduksi (current production) sejak ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan yang sedang diproduksi (current production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.
Pasal 14
------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi 1 MENLH Bidang Kebijakan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
4. KepMen LH Nomor 179 Tahun 2004 Ralat Atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu
Air Laut
5. KepKa Bapedal Nomor 47 tahun 2001 Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 45 Tahun 1996
Tentang : Program Pantai Lestari
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PANTAI
LESTARI
Pasal 1
Setiap orang dan atau penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib melakukan
upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan
wilayah pantai.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Gubernur dapat menetapkan prioritas dan sasaran yang dijadikan program pantai
lestari di daerahnya
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
(3) Pedoman dan tata cara penilaian untuk memberikan penghargaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Bapedal
(4) Susunan anggota Dewan Penilai Program pantai Lestari ditetapkan oleh Menteri
Pasal 12
(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program Pantai Lestari:
1. tingkat pusat dibebankan kepada anggaran BAPEDAL
2. tingkat daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
Pasal 13
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 04 TAHUN 2001
TENTANG
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG
1
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
Bagian Pertama
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
Pasal 2
2
(2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tercantum dalam lampiran I Keputusan ini
Pasal 3
(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi
terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis
Bentuk Pertumbuhan Karang.
Bagian Kedua
Status Kondisi Terumbu Karang
Pasal 4
Pasal 5
Bagian Ketiga
Program Pengendalian Kerusakan Terumbu Karang
Pasal 6
3
Pasal 7
Pasal 8
BAB III
Pasal 9
Pasal 10
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui kerusakan atau perusakan
terumbu karang, wajib segera melaporkan kepada pejabat daerah terdekat.
(2) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari
Kepala Desa, Lurah, Camat, Kepolisian, Bupati, Walikota atau Gubernur
terdekat.
(3) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
menerima laporan wajib mencatat :
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tempat kejadian;
d. lokasi terjadinya kerusakan;
e. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang dan
atau pelaku perusakan.
Pasal 11
Pejabat daerah terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 wajib segera melakukan verifikasi laporan terjadinya kerusakan atau
perusakan terumbu karang.
4
Pasal 12
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 13
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Februari 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
5
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP - 04/MENLH/02/2001
Tanggal : 23 Februari 2001
Keterangan :
6
Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP - 04/MENLH/02/2001
Tanggal : 23 Februari 2001
A. Pendahuluan.
Terumbu karang merupakan rumah bagi 25% dari seluruh biota laut dan
merupakan ekosistem di dunia yang paling rapuh dan mudah punah. Oleh
karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang demi kelestarian fungsinya
sangat penting.
1. Sedimentasi
7
Penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan oleh nelayan
akan mengakibatkan penangkapan ikan secara berlebihan,
sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang dimasa
berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat (sejenis pupuk) sebagai
bahan peledak akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga
membunuh ikan dan merusak karang di sekitarnya.
3. Aliran Drainase
6. Pencemaran Air.
8. Pemanasan global
8
masa dimana bumi mengalami beberapa kali suhu tepanas dalam
sejarah. Ketika suhu laut meningkat sangat tinggi, polip karang
kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna
mereka menjadi putih dan akhirnya mati.
3. Pengembangan Kelembagaan.
9
karang dengan membangun simpul-simpul di beberapa propinsi.
Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki
stasiun-stasiun di beberapa tempat, seperti : Biak, Ambon dan
Lombok.
5. Penegakan Hukum
D. Pemulihan
Pemulihan kerusakan terumbu karang merupakan upaya yang paling sulit untuk
dilakukan, serta memakan biaya tinggi dan waktu yang cukup lama. Upaya
pemulihan yang bisa dilakukan adalah zonasi dan rehabilitasi terumbu karang.
1. Zonasi
2. Rehabilitasi
10
dengan mencegahnya dari kerusakan fisik, penyakit,
hama dan kompetisi.
11
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 51 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU AIR LAUT
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional;
2. Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
3. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar,
berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda
transportasi;
4. Wisata Bahari adalah kegiatan rekreasi atau wisata yang dilakukan di laut dan
pantai;
Penetapan Baku Mutu Air Laut ini meliputi Baku Mutu Air Laut untuk Perairan
Pelabuhan, Wisata Bahari dan Biota Laut.
Pasal 3
(1) Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.
(2) Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari adalah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II Keputusan ini.
(3) Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III Keputusan ini.
(4) Baku Mutu Air Laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan ayat (3)
ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 5
(1) Daerah dapat menetapkan Baku Mutu Air Laut sama atau lebih ketat dari
Baku Mutu Air Laut yang telah ditetapkan dalam Keputusan ini.
(2) Dalam hal daerah telah menetapkan Baku Mutu Air Laut lebih longgar
sebelum ditetapkannya Keputusan ini, maka Baku Mutu Air Laut tersebut
perlu disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya Keputusan ini.
(4) Apabila daerah belum menetapkan Baku Mutu Air Laut, maka yang berlaku
adalah Baku Mutu Air laut seperti dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 6
Pasal 7
Kawasan perairan laut diluar Perairan Pelabuhan dan Wisata Bahari mengacu
kepada Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut.
Pasal 8
Pasal 9
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 8 April 2004
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Hoetomo, MPA.
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 179 TAHUN 2004
TENTANG
RALAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP NOMOR 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT
MEMUTUSKAN :
Pasal I
Pasal II
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 September 2004
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
Lampiran I.
BAKU MUTU AIR LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
UNTUK PERAIRAN PELABUHAN Nomor: Tahun 2004
FISIKA
1. Kecerahana m >3
2. Kebauan - tidak berbau
b
3. Padatan tersuspensi total mg/l 80
1(4)
4. Sampah - nihil
c o 3( c)
5. Suhu C alami
5 1(5)
6. Lapisan minyak - nihil
KIMIA
d ( d)
1. pH - 6,5 - 8,5
e 3( e)
2. Salinitas %o alami
3. Ammonia total (NH 3-N) mg/l 0,3
4. Sulfida (H 2S) mg/l 0,03
5. Hidrokarbon total mg/l 1
6. Senyawa Fenol total mg/l 0,002
7. PCB (poliklor bifenil) µg/l 0,01
8. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1
9. Minyak dan Lemak mg/l 5
6
10. TBT (tri butil tin) µg/l 0,01
Logam terlarut:
11. Raksa (Hg) mg/l 0,003
12. Kadmium (Cd) mg/l 0,01
13. Tembaga (Cu) mg/l 0,05
14. Timbal (Pb) mg/l 0,05
15. Seng (Zn) mg/l 0,1
BIOLOGI
f (f )
1. Coliform (total) MPN/100 ml 1000
Keterangan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)
4. Pengamatan oleh manusia (visual).
5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan
ketebalan 0,01mm
6. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
o
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
Hoetomo, MPA.
Lampiran II
BAKU MUTU AIR LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
UNTUK WISATA BAHARI Nomor : Tahun 2004
FISIKA
1. Warna Pt. Co 30
2. Bau Tidak berbau
a
3. Kecerahan m >6
a
4. Kekeruhan ntu 5
b
5. Padatan tersuspensi total mg/l 20
c o 3( c)
6. Suhu C alami
1(4)
7. Sampah - nihil
5 1(5)
8. Lapisan minyak - nihil
KIMIA
d ( d)
1. pH - 7 - 8,5
e 3( e)
2. Salinitas %o alami
3. Oksigen Terlarut (DO) mg/l >5
4. BOD5 mg/l 10
5. Amoniak bebas (NH3-N) mg/l nihil 1
6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
8. Sulfida (H 2S) mg/l nihil 1
1
9. Senyawa Fenol mg/l nihil
10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
1
11. PCB (poliklor bifenil) µg/l nihil
9. Surfaktan (detergen) mg/l MBAS 0,001
10. Minyak & lemak mg/l 1
f 1( f)
11. Pestisida µg/l nihil
Logam terlarut:
12. Raksa (Hg) mg/l 0,002
13. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,002
14. Arsen (As) mg/l 0,025
15. Cadmium (Cd) mg/l 0,002
16. Tembaga (Cu) mg/l 0,050
17. Timbal (Pb) mg/l 0,005
18. Seng (Zn) mg/l 0,095
19. Nikel (Ni) mg/l 0,075
No. Parameter Satuan Baku Mutu
BIOLOGI
( g)
1. E Coliform (faecal )g MPN/100 ml 200
g ( g)
2. Coliform (total) MPN/100 ml 1000
RADIO NUKLIDA
1. Komposisi yang tidak Bq/l 4
diketahui
Keterangan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)
4. Pengamatan oleh manusia (visual).
5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan
ketebalan 0,01mm
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
o
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
Lampiran III.
BAKU MUTU AIR LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
UNTUK BIOTA LAUT Nomor: Tahun 2004
FISIKA
a
1. Kecerahan m coral: >5
mangrove: -
lamun: >3
3
2. Kebauan - alami
a
3. Kekeruhan NTU <5
b
4. Padatan tersuspensi total mg/l coral: 20
mangrove: 80
lamun: 20
1(4)
5. Sampah - nihil
c o
6. Suhu C alami 3( c)
coral: 28-30( c)
mangrove: 28-32 ( c)
lamun: 28-30( c)
5 1(5)
7. Lapisan minyak - nihil
KIMIA
d ( d)
1. pH - 7 - 8,5
e 3( e)
2. Salinitas %o alami
coral: 33-34( e)
mangrove: s/d 34 ( e)
lamun: 33-34( e)
3. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4. BOD5 mg/l 20
5 Ammonia total (NH 3-N) mg/l 0,3
6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
8. Sianida (CN-) mg/l 0,5
9. Sulfida (H 2S) mg/l 0,01
10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
11. Senyawa Fenol total mg/l 0,002
12. PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01
13. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1
14 Minyak & lemak mg/l 1
f
15. Pestisida µg/l 0,01
7
16. TBT (tributil tin) µg/l 0,01
Logam terlarut:
17. Raksa (Hg) mg/l 0,001
18. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005
19. Arsen (As) mg/l 0,012
No. Parameter Satuan Baku mutu
20. Kadmium (Cd) mg/l 0,001
21. Tembaga (Cu) mg/l 0,008
22. Timbal (Pb) mg/l 0,008
23. Seng (Zn) mg/l 0,05
24. Nikel (Ni) mg/l 0,05
BIOLOGI
g ( g)
1. Coliform (total) MPN/100 ml 1000
1
2. Patogen sel/100 ml nihil
3. Plankton sel/100 ml tidak bloom 6
RADIO NUKLIDA
1. Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan
ketebalan 0,01mm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan
kestabilan plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
o
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
Keputusan Kepala Badpedal No. 47 Tahun 2001
Tentang : Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu
Karang
Menimbang :
a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang
mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak
dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah
menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, oleh
karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengendaliannya;
c. bahwa dalam rangka untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu
karang, diperlukan suatu ukuran untuk menilai kondisi terumbu
karang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu
Karang;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3299);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Nomor 3419)
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pengukuran kondisi terumbu karang adalah kegiatan pengukuran
tingkat kerusakan terumbu karang pada suatu tempat dan waktu
tertentu;
2. Terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem
karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur
bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta
biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitamya;
Pasal 2
(1) Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Penetapan pedoman pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan menyediakan acuan bagi petugas pemantau, pengawas,
peneliti, penyidik dan pihak yang berkepentingan lainnya dalam
melakukan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang.
(3) Metodologi yang digunakan dalam pengukuran kondisi terumbu karang
adalah metoda transek garis bentuk pertumbuhan karang.
Pasal 3
Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan dalam rangka:
1. Penelitian dan pendidikan;
2. Pemantauan dan pengawasan;
3. Penyidikan tindak pidana perusakan terumbu karang.
Pasal 4
(1) Petugas peneliti dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu
karang setelah memenuhi persyaratan yaitu memiliki sertifikat selam
dengan jenjang minimal Scuba Diver 3 (A2) yang diterbitkan oleh
Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia atau sertifikat dengan
jenjang sederajat yang diterbitkan oleh instansi sejenis lainnya.
(2) Pemantau, pengawas dan penyidik dapat melaksanakan pengukuran
kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam surat keputusan tentang persyaratan pengangkatan
sebagai pengawas atau penyidik.
Pasal 5
(1) Data hasil pengukuran kondisi terumbu karang sebelum disajikan atau
diinformaskan kepada pihak lain yang berkepentingan atau publik,
harus disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terhadap jenis kegiatan:
a. penelitian dan pendidikan adalah pimpinan lembaga penelitian
atau pendidikan yang bersangkutan;
b. pemantauan dan pengawasan adalah atasan petugas pemantau
dan pengawas pada instansi yang bersangkutan, baik di pusat
maupun di daerah.
(3) Untuk kepentingan kegiatan penyidikan, maka kegiatan pengukuran,
pengolahan dan penyajian hasil penyidikan harus dituangkan dalam
suatu Berita Acara.
Pasal 6
(1) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur kemudian.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 30 April 2001
Lampiran
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 47 Tahun 2001
I. PEMILIHAN TAPAK
1. Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih
tapak yang memungkinkan pada “lereng terumbu”(yaitu : terumbu
karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang
lebih dalam) dan dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik
pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk
pemilihan tempat (Gambar 1).
GAMBAR 1: Metoda Manta Towing
ttd.
______________________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
KepMen LH Nomor 43 Tahun 1996 Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau
Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C
Jenis Lepas di Daratan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 43 Tahun 1996
Tentang : Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha
Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C
Jenis Lepas Di Dataran
Menimbang :
a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup
agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
usaha atau kegiatan penambangan;
b. bahwa usaha atau kegiatan penambangan bahan galian
golongan C merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai
potensi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup;
c. bahwa dari berbagai usaha atau kegiatan penambangan bahan
galian golongan C yang perlu diprioritaskan pengendaliannya
adalah kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis
lepas di daratan;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Kriteria
Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan
Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2816);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang
Penggolongan Bahan-bahan Galian (Lembaran Negara Tahun
1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4147);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang
Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Lembaran
Negara Tahun 1986 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3340);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada
Daerah Tingkat II (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3487);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenal Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3528);
12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan
Organisasi Stat Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
14. Keputusan Menteri Da Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang
Pedoman Pembentukan, Orgariisasi dan Tata Kerja BAPEDALDA;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG
KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN
PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI
DATARAN
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Dataran adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif homogen dan
datar dengan kemiringan lereng maksimum 8% yang dapat berupa
dataran aluvial, dataran banjir, dasar lembah yang luas, dataran di
antara perbukitan, ataupun dataran tinggi;
2. Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C
yang berupa tanah urug, pasir, sirtu, tras dan batu apung;
3. Lingkungan Penambangan adalah area penambangan yang diizinkan
dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD);
4. Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah berubahnya karakteristik
lingkungan penambangan sehingga tidak dapat bertungsi sesuai
dengan peruntukannya;
5. Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi
lingkungan penambangan yang menunjukkan indikator-indikator
terjadinya kerusakan lingkungan;
6. Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup;
7. BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian
golongan C jenis lepas di dataran wajib untuk melaksanakan persyaratan-
persyaratan yang telah ditetapkan baginya.
Pasal 3
(1) Kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan
galian golongan C jenis lepas di dataran sebagaimana tersebut dalam
Lampiran I Keputusan ini ditetapkan sesuai dengan peruntukan:
a. Pemukiman dan daerah industri;
b. Tanaman tahunan;
c. Tanaman pangan lahan basah;
d. Tanaman pangan lahan kering/peternakan;
(2) Penjelasan teknis dan tata cara pengukuran kriteria kerusakan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) seperti tersebut
dalam Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 4
(1) Peruntukan lahan paska penambangan ditetapkan di dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I (RTRWP) dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
(RTRWK).
(2) Apabila peruntukan lahan paska penambangan belum ditetapkan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) maka Gubernur/Bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II yang bersangkutan dapat menetapkannya di dalam Surat Izin
Penambangan Daerah (SIPD).
(3) Apabila tidak ditetapkan di dalam Surat Izin Penambangan Daerah
(SIPD), peruntukan ditetapkan berdasarkan peruntukan sebelum
dilakukan penambangan.
Pasal 5
(1) Menteri menetapkan kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan
penambangan bahan galian golongan C untuk jenis galian lain di luar
bahan galian golongan C seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 2 dan
peruntukan Pasal 3 Keputusan ini.
(2) Apabila kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) belum ditetapkan. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dapat menetapkan kriteria kerusakan lingkungan
setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Menteri Dalam Negeri.
(3) Menteri memberikan petunjuk penetapan kriteria kerusakan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berdasarkan
pertimbangan Kepala Bapedal.
Pasal 6
Pembinaan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas
di dataran:
a. Umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
b. Teknis penambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan
Energi.
c. Teknis pengendalian kerusakan lingkungan dilakukan oleh Bapedal.
Pasal 7
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam proses
pemberian Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), selain berpedoman
kepada peraturan yang selama ini berlaku, wajib mencantumkan kriteria
kerusakan lingkungan yang tidak boleh dilanggar oleh penanggung jawab
usaha atau kegiatan dalam Surat Izin Penambangan Daerahnya (SIPDnya)
Pasal 8
Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis Lepas di dataran
yang wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
apabila hasil studi mewajibkan persyaratan pengendalian kerusakan
lingkungan lebih ketat dan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini maka persyaratan yang lebih ketat
berlaku baginya.
Pasal 9
Penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian
golongan C jenis Lepas di dataran wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada:
a. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II;
b. Kepala BAPEDAL;
c. Menteri;
d. Menteri Dalam Negeri Cq. Ditjen Bangda;
e. Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktorat Teknik Pertambangan
Umum;
f. Instansi terkait lain yang dipandang perlu.
Pasal 10
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, BAPEDAL dan
instarisi teknis melakukan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan
penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran.
Pasal 11
Apabila hasil pemantauan dimaksud dalam ayat (1), menunjukkan telah
terjadi kerusakan lingkungan maka Gubernun/Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II segera menetapkan langkah kebijaksanaan setelah
mendapat pertimbangan dari Bapedal dan instansi teknis.
Pasal 12
(1) Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di
dataran:
a. Yang sedang berlangsung atau yang masa penambangannya
telah berakhir, wajib dilakukan evaluasi oleh Gubernur/Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan kriteria
kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan
ini.
b. Bagi kegiatan yang sedang dalam proses permohonan dan
perpanjangan Surat Izin Penambangan Daerah SIPD) setelah
ditetapkan Keputusan ini wajib disesuaikan dengan kriteria
kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan
ini.
(2) Berdasarkan basil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
menetapkan langkah pengendaliannya dengan memperhatikan
pertimbangan dan Kepala Bapedal.
Pasal 13
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di Jakarta
Pada tanggal: 25 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd,
Sarwono Kusumaatmadja.
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 43 TAHUN 1996 TANGGAL 25 OKTOBER 1996
1. TOPOGRAFI
Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi,
yaitu : keadaan yang menggambarkan permukaan bumi terutama
mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah,
pegunungan, dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lain-
lainnya.
Bentuk akhir Topografi lahan bekas penambangan merupakan salah
satu faktor yang menentukan kemampuan/daya dukung lahan bekas
penambangan bagi suatu peruntukan aspek-aspek Topografi yang
dijadikan indikator daya dukung lahan bekas penambangan adalah :
1. Lubang galian
2. Dasar galian
3. Dinding galian
a. Kedalaman
Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari
permukaan lahan hingga ke dasar lubang galian.
Permukaan disini adalah permukaan awal pada tepi
lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian
sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah
lubang galian yang terdalam.
Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan
mengukur jarak dari permukaan awal dengan dasar
lubang terdalam (lihat Gambar 1)
GAMBAR 1. KEDALAMAN LUBANG GALIAN
b. Jarak
Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik
terluar lubang dengan titik terdekat dari batas SIPD.
Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak
kedua titik tersebut. Jarak lubang galian dari batas SIPD
merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD
tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Dalam hal
ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas
aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan
tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD.
Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari
batas SIPD ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang
periode penambangan.
Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka
jarak lubang galian dimasing-masing SIPD dapat
mencapai batas SIPD yang berdampingan/
bersinggungan, sedangkan jarak lubang galian pada
batas SIPD yang tidak berdampingan/bersinggungan
minimal 5 (lima) meter dari batas SIPD (Gambar 4b).
2. TANAH
Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bahan
organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan. Tanah yang
dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah
tanah-tanah yang sebelumnya terdapat diareal SIPD tersebut, yang
dikupas dan diamankan sebelum areal tersebut ditambang. Akan
tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga
mampu mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan
lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk
buatan. Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan
persyaratan pada setiap peruntukan lahannya.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk
peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang
dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
tahunan atau tanaman perkebunan adalah 50 cm, sehingga untuk
peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang
dikembalikan sebagai penutup ini minimum 50 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan
tanaman pangan lahan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yang
dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
pangan lahan kering dan peternakan ternak adalah 25 cm, sehingga
untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan
ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum
25 cm.
Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini
dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan,
tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini
hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan.
3. VEGETASI
Pertumbuhan Vegetasi di atas lahan bekas penambangan
menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi
yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena
pertumbuhan vegetasi tidak hanya membuktikan adanya usaha
reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa galian tersebut dapat
dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya.
Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau diareal pemukiman adalah
20 persen, sehingga digunakan juga sebagai persyaratan
pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal
pertambangan.
Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen
merupakan indikator yang menjamin bahwa tanah yang dikembalikan
sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan
peruntukannya.
Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas
penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya dilakukan
dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas
tambang.
Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat
dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi
penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat
ditentukan setelah akhir masa penambangan.
______________________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
1. KepMen LH Nomor 128 Tahun 2003 Tata Cara Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah
Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh
Minyak Bumi Secara Biologis
3. KepKa Bapedal Nomor 68 Tahun 1994 Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan,
Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan,
Pengolahan dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
4. KepKa Bapedal Nomor 01 Tahun 1995 Tata cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan
dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
5. KepKa Bapedal Nomor 02 Tahun 1995 Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
6. KepKa Bapedal Nomor 03 Tahun 1995 Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
7. KepKa Bapedal Nomor 04 Tahun 1995 Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil
Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas
Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
8. KepKa Bapedal Nomor 05 Tahun 1995 Simbol dan Label Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
9. KepKa Bapedal Nomor 255 Tahun 1996 Tata Cara dan Persyaratan Penyimpanan dan
Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas
10. KepKa Bapedal Nomor 02 Tahun 1998 Tata Laksa Pengawasan pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah
11. KepKa Bapedal Nomor 03 Tahun 1998 Program Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun
12. KepKa Bapedal Nomor 04 Tahun 1998 Penetapan Propinsi Prioritas Program Kemitraan
Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 128 TAHUN 2003
TENTANG
TATACARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH MINYAK
BUMI DAN TANAH TERKONTAMINASI OLEH MINYAK BUMI
SECARA BIOLOGIS
Pasal 1
1. Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang terbentuk dari proses
pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas
kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang
terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat
digunakan kembali dalam proses produksi;
2. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal,
lilin mineral, atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari proses
penambangan, tetapi tidak termasuk batu bara atau endapan hidrokarbon lain
yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan ya ng tidak berkaitan dengan
kegiatan usaha dan minyak bumi;
3. Pengolahan limbah minyak bumi adalah proses untuk mengubah karakteristik
dan komposisi limbah minyak bumi untuk menghilangkan dan atau
mengurangi sifat bahaya dan atau sifat racun;
4. Tanah terkontaminasi adalah tanah atau lahan yang terkontaminasi akibat dari
tumpahan atau ceceran atau kebocoran atau penimbunan limbah minyak bumi
yang tidak sesuai dengan persyaratan dari kegiatan operasional sebelumya;
5. Kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi
adalah kegiatan di luar dari usaha pengelolaan minyak dan gas bumi yang
menghasilkan limbah minyak bumi.
Pasal 2
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi serta kegiatan lain yang
menghasilkan limbah minyak bumi wajib melakuka n pengolahan limbahnya.
3
(2) Pengolahan limbah minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan menggunakan metoda biologis sebagai salah satu alternatif
teknologi pengolahan yang meliputi :
a. landfarming;
b. biopile;
c. composting ;
(3) Tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis dalam Lampiran II Keputusan
ini mencakup:
a. persyaratan teknis pengelolaan;
b. analisis terhadap proses pengolahan;
c. kriteria hasil akhir pengolahan;
d. penanganan hasil olahan;
e. pemantauan dan pengawasan terhadap hasil olahan.
Pasal 3
Pasal 4
(1) Hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan pemantauan terhadap
bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan
hidup Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang terkait minimum 6
(enam) bulan sekali.
(2) Pelaporan yang dimaksud pada ayat (2) minimal mencakup jumlah, jenis dan
karakteristik limbah yang diolah, hasil analisis dari pemantauan limbah yang
diolah dan air tanah serta data analisis dari pemantauan terhadap hasil olahan
setelah proses pengolahan biologis.
4
Pasal 5
Pasal 6
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Juli 2003
---------------------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
5
Surat Edaran Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 8 Tahun 1997
Tentang : Penyerahan Minyak Pelumas Bekas
Kepada Yth.
Seluruh Industri/Perusahaan
Penghasil Minyak Pelumas Bekas
di
Tempat
SURAT EDARAN
NOMOR : 08/SE/02/1997
I. UMUM
III. TUJUAN
VI. PENUTUP
b. Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan kepada semua
pihak yang terkait agar melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
______________________________________
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR: KEP-68/BAPEDAL/05/1994
TANGGAL: 15 MEI 1994
TENTANG
TATA CARA MEMPEROLEH IZIN PENYIMPANAN, PENGUMPULAN,
PENGOPERASIAN ALAT PENGOLAHAN, PENGOLAHAN,
DAN PENIMBUNAN AKHIR LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, maka Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan perlu menetapkan keputusan tentang tata cara memperoleh izin
penyimpanan, pengumpulan, pengoperasian alat pengolahan, pengolahan, dan
penimbunan akhir limbah bahan beracun dan berbahaya.
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Setiap usaha atau kegiatan di bidang penyimpanan, pengumpulan, pengoperasian alat pengolahan,
pengolahan, dan penimbunan akhir limbah bahan berbahaya dan beracun wajib mengajukan permohonan
tertulis kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Pasal 2
Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diajukan dilengkapi dengan persyaratan seperti
tercantum dalam lampiran 1 Keputusan ini.
Pasal 3
Berdasarkan permohonan izin tersebut, maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan segera akan
melakukan penelitian terhadap kelengkapan dari ketentuan yang dipersyaratkan.
Pasal 4
Apabila berdasarkan hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan:
a. Dokumen dinyatakan tidak lengkap maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan
memberitahukan kepada pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak diterimanya
permohonan izin dan pemohon wajib melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari;
b. Dokumen dinyatakan lengkap maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan segera melakukan
penelitian lapangan terhadap permohonan yang diajukan.
Pasal 5
Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan hasil penelitian di lapangan, maka Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dapat memberikan penolakan izin yang diajukan
Pasal 6
Apabila dari hasil penelitian terhadap semua kelengkapan dokumen dan persyaratan yang diwajibkan telah
dipenuhi, maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian
Izin.
Pasal 7
Penelitian di lapangan dilakukan dengan membuat berita acara pemeriksaan seperti tercantum dalam
lampiran II Keputusan ini.
Pasal 8
Penerbitan izin sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 6 diberikan selambat-lambatnya dalam waktu 30
hari sejak diterima permohonan izin.
Pasal 9
(1). Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan;
(2). Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Mei 1994
ttd
Sarwono Kusumaatmaja
Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995
Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN
PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Apabila dari hasil pengujian sifat dan karakteristik limbah B3 yang dilakukan
oleh laboratorium di daerah terdapat keraguan, Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan menunjuk laboratorium rujukan untuk melakukan
pengujian ulang.
Pasal 4
Pasal 6
Pasal 7
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
Sarwono Kusumaatmadja
__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 2 Tahun 1995
Tentang : Dokumen Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG DOKUMEN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 6
Pasal 7
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 2 Tahun 1995 Tanggal 5 September 1995
1. PENDAHULUAN
a. Limbah Dokumen limbah B3 harus diisi dengan huruf cetak dan jelas.
3. Nomor penghasil :
Nomor yang diberikan Bapedal kepada penghasil/pengumpul
ketika melakukan pelaporan.
8. Tujuan pengangkutan :
Tujuan pengangkutan ke pengumpul atau ke pemanfaat atau
ke pengolah, coret yang tidak perlu.
9. Nama :
Nama penandatangan dokumen limbah B3 adalah petugas
yang ditunjuk oleh penghasil atau pengumpul yang mengirim
limbah B3.
10. Tandatangan :
Tandatangan dari petugas yang ditunjuk oleh penghasil atau
pengumpul yang mengirim limbah B3.
11. Jabatan :
Jabatan penandatangan di perusahaan penghasil atau
pengumpul yang mengirim limbah B3.
12. Tanggal :
Tanggal pengiriman limbah
c. Nomor 13 sampai dengan 22 terdiri dari 3 (tiga) bagian yang sama (A,
B, dan C) untuk diisi oleh pengangkut jika pengangkutan limbah B3
berpindah perusahaan pengangkut. Dengan ketentuan sebagai
berikut:
- Huruf A diisi oleh pengangkut pertama (I);
- Huruf B diisi oleh pengangkut kedua (II);
- Huruf C diisi oleh pengangnkut ketiga (III);
18. Nama :
Nama jelas penanggungjawab dari perusahaan pengangkut
yang menandatangani dokumen limbah B3.
19. Tandatangan :
Tandatangan penanggungjawab dari perusahaan pengangkut
limbah B3.
20. Jabatan :
Jabatan di perusahaan pengangkut dari penanggung jawab
yang menandatangani dokumen limbah B3.
26. Nomor :
Nomor pendaftaran yang diberikan Bapedal saat perusahaan
pengumpul atau pemanfaat atau penghasil atau pengolah
limbah B3 mendaftar.
32. Jumlah :
Jumlah total kemasan dalam satu dokumen limbah B3 yang
ditolak.
35. Tandatangan :
Tandatangan penanggungjawab di perusahaan pengolah
atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3.
__________________________________
KEPUTUSAN
TENTANG
Menimbang :
b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan
Limbah Berbahaya dan Beracun;
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Pasal 1
Pengelolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah proses untuk
mengubah karateristik dan komposisi limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau
tidak beracun.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 8
Setiap pengolah limbah B3 wajib melakukan pemantauan terhadap baku mutu limbah
yang dihailkan dari kegiatan yang dilakukan.
Pasal 9
Hasil pemantauan terhadap baku mutu limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
wajib dilaporkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dengan tembusan Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Pasal 10
Persyaratan teknis pengolahan yang belum diatur dalam keputusan ini akan diatur
kemudian.
Pasal 11
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 5 September 1995
Sarwono Kusumaatmadja
Keputusan Kepala Bapedal No. 4 Tahun 1995
Tentang : Tata Cara Pesyaratan Penimbunan Hasil
Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan,
Dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PENIMBUNAN HASIL
PENGOLAHAN, PERSYARATAN LOKASI BEKAS PENGOLAHAN,
DAN LOKASI BEKAS PENIMBUNAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Ditetapkan : di Jakarta
Pada Tanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
Sarwono Kusumaatmaja
_________________________________
KEPUTUSAN
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Pasal 2
Label adalah tulisan yang menunjukkan antara lain karakteristik dan jenis limbah B3.
Pasal 3
Tata cara pemasangan simbol dan label limbah B3 adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran
keputusan ini.
Pasal 4
Pasal 5
Apabila limbah B3 dalam satu kemasan mempunyai lebih dari satu karakteristik (mudah meledak,
mudah terbakar, reaktif, beracun, menyebabkan infeksi dan korosif) wajib dilakukan pengujian
karakteristik limbah B3.
Pasal 6
Pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan berdasarkan hasil uji
karakteristik yang paling dominan.
Pasal 7
Dalam hal hasil uji karakteristik limbah B3 menunjukkan karakteristik yang sama diberikan simbol dan
label campuran, sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.
Pasal 8
Pencetakan Simbol dan Label dilakukan sesuai dengan lampiran keputusan ini.
Pasal 9
Pasal 10
Ditetapkan : di Jakarta
PadaTanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
ttd
Sarwono Kusumaatmadja.
Lampiran : Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : Kep- 05 /Bapedal/09/1995
Tanggal : 5 September 1995
1. PENDAHULUAN
Penandaan limbah B3 dimaksudkan untuk memberikan identitas limbah sehingaa kehadiran limbah
B3 dalam suatu tempat dapat dikenali. Melalui penandaan dapat diketahui informasi dasar tentang
jenis dan karakteristik/sifat limbah B3 bagi orang, yang melaksanakan pengelolaan (menyimpan,
mengangkut, mengumpulkan, memanfaatkan, dan mengolah) limbah B3 dan bagi pengawas
pengelolaan limbah B3 serta bagi orang disekitarnya. Penandaan terhadap limbah B3 sangat penting
guna menelusuri dan menentukan pengolahan limbah B3. Tanda yang digunakan untuk penandaan
ada 2 (dua) jenis yaitu, simbol dan label.
2. SIMBOL
2.1. Bentuk Dasar, Ukuran, dan Bahan.
Simbol berbentuk bujur sangkar diputar 45 derajat sehingga membentuk belah ketupat. Pada
keempat sisi belah ketupat tersebut dibuat garis sejajar yang menyambung sehingga membentuk
bidang belah ketupat dalam dengan ukuran 95 persen dari ukuran belah ketupat bahan. Warna garis
yang membentuk belah ketupat dalam sama dengan warna gambar simbol. Pada bagian bawah
simbol terdapat blok segilima dengan bagian atas mendatar dan sudut terlancip berhimpit dengan
garis sudut bawah belah ketupat bagian dalam. Panjang garis pada bagian sudut terlancip adalah
1/3 dari garis vertikal simbol dengan lebar 1/2 dari panjana garis horizontal belah ketupat dalam
(gambar 1).
Simbol yang dipasang pada kemasan minimal berukuran 10 cm x 10 cm, sedangkan simbol pada
kendaraan pengangkut limbah B3 dan tempat penyimpanan limbah B3 minimal 25 cm x 25 cm.
Simbol harus dibuat dari bahan yang tahan terhadap goresan dan atau bahan kimia yang
kemungkinan akan mengenainya. Warna simbol untuk dipasang di kendaraan pengangkut limbah B3
harus dengan cat yang dapat berpendar (fluorescence).
A B
A
45o
Setiap simbol adalah satu gambar tertentu untuk menandakan sifat/karakteristik bahaya limbah B3
dalam suatu penaemasan, penyimpanan dan pengumpulan atau pengangkutan.
Warna dasar bahan oranye. Simbol berupa gambar berwarna hitam suatu materi limbah yang
menunjukkan meledak, yang terletak ditepi antara sudut atas dan sudut kiri belah ketupat bagian
dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “MUDAH MELEDAK” berwarna hitam yang diapit oleh 2
(dua) garis sejajar berwarna hitam sehingga membentuk 2 (dua) bangun segitiga sama kaki pada
bagian dalam belah ketupat. Blok segilima berwarna merah.
MUDAH MELEDAK
Terdapat 2 (dua) macam simbol untuk klasifikasi limbah yang mudah terbakar, yaitu simbol untuk
cairan mudah terbakar dan padatan mudah terbakar :
Bahan dasar berwarna merah. Gambar simbol berupa lidah api berwarna putih yang menyala
pada suatu permukaan berwarna putih. Gambar terletak di bawah sudut atas garis ketupat
bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “CAIRAN” dan bawahnya terdapat tulisan
“MUDAH TERBAKAR” berwarna putih. Blok segilima berwarna putih.
Dasar simbol terdiri dari warna merah dan putih yang berjajar vertikal berselingan. Gambar
simbol berupa lidah api berwarna hitam yang menyala pada satu bidang berwarna hitam. Pada
bagian tengah terdapat tulisan “PADATAN” dan dibawahnya terdapat tulisan “MUDAH TERBAKAR”
berwarna hitam. Blok segilima berwarna kebalikan warna dasar simbol.
CAIRAN PADATAN
MUDAH TERBAKAR MUDAH TERBAKAR
Bahan dasar berwarna kuning dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa lingkaran
hitam dengan asap berwarna hitam mengarah ke atas yang terletak pada suatu permukaan garis
berwarna hitam. Di sebelah bawah gambar simbol terdapat tulisan “REAKTIF” berwarna hitam.
REAKTIF
Bahan dasar berwarna putih dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa tengkorak
manusia dengan tulang bersilang berwarna hitam. Garis tepi simbol berwarna hitam. Pada
sebelah bawah gambar simbol terdapat tulisan “BERACUN” berwarna hitam.
BERACUN
Belah ketupat terbagi pada garis horizontal menjadi dua bidang segitiga. Pada bagian atas yang
berwarna putih terdapat 2 gambar, yaitu di sebelah kiri adalah gambar tetesan limbah korosif
yang merusak pelat bahan berwarna hitam, dan di sebelah kanan adalah gambar lengan yang
terkena tetesan limbah korosif. Pada bagian bawah, bidang segitiga berwarna hitam, terdapat
tulisan “KOROSIF” berwarna putih, serta blok segilima berwarna merah.
KOROSIF
Warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna
hitam. Simbol infeksi berwarna hitam terletak di sebelah bawah sudut atas garis belah ketupat
bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “INFEKSI” berwarna hitam dan dibawahnya
terdapat blok segilima berwarna merah.
INFEKSI
Warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna
hitam. Gambar simbol berupa tanda seru berwarna hitam terletak di sebelah bawah sudut atas
garis belah ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “CAMPURAN” berwarna
hitam dan serta segilima berwarna merah.
CAMPURAN
Simbol yang dipasang pada kemasan limbah B3 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Jenis simbol yang dipasang harus sesuai dengan karakteristik limbah yang dikemasnva.
Jika suatu limbah memiliki karakteristik lebih dari satu, maka simbol yang, dipasang
adalah simbol dari karakteristik yang dominan. sedangkan jika terdapat lebih dari satu
karakteristik dominan (predominant maka kemasan harus ditandai dengan simbol
karakteristik campuran (gambar 8)
2) Ukuran minimum yang dipasang adalah 10 cm x 10 cm atau lebih besar sesuai dengan
ukuran kemasan yang digunakan,
3) Terbuat dari bahan yancr tahan terhadap goresan atau bahan kimia yang mungkin
mengenainya (misalnya bahan plastik, kertas atau plat logam) dan harus melekat kuat
pada permukaan kemasan;
4) Dipasang pada sisi-sisi kemasan yang tidak terhalang oleh kemasan lain dan mudah
dilihat;
5) Simbol tidak boleh terlepas atau dilepas dan diganti dengan simbol lain sebelum kemasan
dikosongkan dan dibersihkan dari sisa-sisa limbah B3;
6) Kemasan yang telah dibersihkan dari limbah B3 dan akan dipergunakan kembali untuk
mengemas limbah B3 harus diberi label 'KOSONG' (gambar 10).
Simbol yang dipasang pada kendaraan pengangkut limbah B3 harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) Jenis simbol yang dipasang harus satu macam simbol yang sesuai dengan karakterstik
limbah yang diangkutnya;
2) Ukuran minimum yang dipasang adalah 25 cm x 25 cm atau lebih besar, sebanding dengan
ukuran boks pengangkut yang ditandainya;
3) Terbuat dari bahan yang tahan terhadap goresan, air hujan atau bahan kimia yang mungkin
mengenainya (misalnya bahan plastik, kertas atau plat logam) serta menggunakan bahan
warna simbol yang dapat berpendar (fluorescence),
4). Dipasang di setiap sisi boks pengangkut dan dibagian muka kendaraan serta harus dapat
terlihat dengan jelas dari jarak- lebih kurang 30 meter-,
5) Simbol tidak boleh dilepas atau diganti dengan simbol lain sebelum muatan limbah B3
dikeluarkan serta kendaraan telah dibersihkan dari sisa limbah B3 yang tertinggal.
c. Simbol pada tempat penyimpanan limbah B3.
Gudang tempat penyimpanan limbah B3 harus ditandai dengan simbol yang mengikuti ketentuan
sebagai berikut :
1) simbol dipasang pada setiap pintu tempat penyimpanan limbah B3 dan bagian luar dinding yang
tidak terhalang;
2) jenis simbol yang dipasang harus sesuai dengan karakteristik-karakteristik limbah yang
disimpannya;
3) ukuran minimum yang dipasang adalah 25 cm x 25 cm atau lebih besar, sehingga tulisan pada
simbol dapat terlihat jelas dari jarak 20 meter;
4) terbuat dari bahan yang tahan terhadap goresan atau bahan kimia yang mungkin mengenainya
(misalnya bahan plastik, keetas atau plat logam);
5) selama tempat penyempanan masih difungsikan, simbol tidak boleh terlepas atau dilepas atau
diganti dengan simbol lain kecuali jika akan digunakan untuk menyimpan limbah B3 dengan
karakteristik yang berlainan.
3. LABEL
Label merupakan penandaan lengkap yang berfungsi memberikan informasi dasar mengenai kondisi
kualitatif dan kuantitatif dari suatu limbah dalam kemasan suatu kemasan limbah B3. Label identitas
Limbah berukuran minimum 15 cm x 20 cm atau lebih besar, dengan warna dasar kuning dan tulisan
serta garisan tepi berwarna hitam, dan tulisan “PERINGATAN !” dengan huruf yang lebih besar
berwarna merah (gambar 9)
Label diisi dengan huruf cetak yang jelas terbaca dan tidak mudah terhapus serta dipasang pada
setiap kemasan limbah B3 yang disimpan di tempat penyimpanan. Wajib mencantumkan identitas
sbb:
Label Identitas Limbah dipasang pada kemasan di sebelah atas simbol dan harus terlihat dengan
jelas. Label ini juga harus dipasang pada kemasan yang akan dimasukkan ke dalam kemasan yang
lebih besar.
Bentuk dasar label sama dengan bentuk dasar simbol dengan ukuran sisi minimal 10 x 10 cm2 dan
tulisan "KOSONG" berwarna hitam ditengahnya. (gambar 10)
KOSONG
2) Pemasangan
Label harus dipasang pada kemasan bekas pengemasan limbah B3 yang, telah dikosongkan dan atau
akan digunakan kembali untuk mengemas limbah B3.
c. Label Penunjuk Tutup Kemasan
Label berukuran minimal 7 x 15 cm2 dengan warna dasar putih dan warna gambar hitam.
Gambar terdapat dalam frame hitam, terdiri dari 2 (dua) buah anak panah mengarah ke atas
yang berdiri sejajar di atas balok hitam. Label terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak karena
goresan atau akibat terkena limbah dan bahan kimia lainnya.
2) Pemasangan
Label dipasang dekat tutup kemasan dengan arah panah menunjukkan posisi penutup kemasan.
Label harus terpasang kuat pada setiap kemasan limbah B3, baik yang telah diisi limbah B3,
maupun kemasan yang akan digunakan untuk mengemas limbah.
Menimbang :
a. bahwa penyimpanan, pengumpulan, dan pengangkutan minyak
pelumas bekas umumnya dilakukan oleh badan usaha skala kecil;
b. bahwa dalam penyimpanan dan pengumpulan minyak pelumas bekas
perlu diatur tata cara dan pengumpulan pelumas bekas;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang
Tata Cara Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);
3. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
68/05/1994 tentang Tatacara Memperoleh Izin Penyimpanan,
Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan, Pengolahan, dan
Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
5. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
01/09/1995 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan
dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Memperhatikan :
1. Rapat tanggal 6 Agustus 1996 yang dipimpin Menteri Koordinator
Produksi dan Distribusi yang dihadiri oleh Menteri Negara Lingkungan
Hidup/ Kepala Bapedal, Menteri Keuangan, Menteri Pertambangan dan
Energi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
2. Rapat tanggal 9 Agustus 1996 di Kantor Menko Bidang Produksi dan
Distribusi, yang menghasilkan kesepakatan bersama untuk mengatur
penanganan minyak pelumas bekas dengan keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG TATA CARA PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN MINYAK PELUMAS
BEKAS;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Oli bekas atau Minyak Pelumas Bekas selanjutnya disebut Minyak
Pelumas Bekas adalah sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses
produksi;
2. Badan Usaha adalah orang perorangan atau kelompok usaha yang
berbentuk badan hukum;
3. Pengumpul adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan dari penghasil minyak pelumas bekas dengan maksud
untuk diolah/dimanfaatkan;
4. Pengumpulan dan Penyimpanan adalah rangkaian proses kegiatan
pengumpulan minyak pelumas bekas sebelum diserahkan ke pengolah
atau pemanfaat minyak pelumas bekas.
BAB II
TATACARA PENYIMPANAN
Pasal 2
Tatacara penyimpanan minyak pelumas bekas harus memperhatikan :
a. karakteristik pelumas bekas yang disimpan;
b. kemasan harus sesuai dengan karakteristik pelumas bekas dapat
berupa drum atau tangki;
c. pola penyimpanan dibuat dengan sistem blok, sehingga dapat
dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap setiap kemasan jika
terjadi kerusakan dan apabila terjadi kecelakaan dapat segera
ditangani;
d. lebar gang antar blok harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat
digunakan untuk lalu lintas manusia, dan kendaraan pengangkut
(forklift);
e. penumpukan kemasan harus mempertimbangkan kestabilan tumpukan
kemasan. Jika berupa drum (isi 200 liter), maka tumpukan maksimum
3 (tiga) lapis dengan tiap lapis dialasi dengan palet dan bila tumpukan
lebih dan 3 (tiga) lapis atau kemasan terbuat dan plastik, maka harus
dipergunakan rak;
f. lokasi peyimpanan harus dilengkapi dengan tanggul disekelilingnva
dan dilengkapi dengan saluran pembuangan meriuju bak
penampungan yang kedap air . Bak penampungan dibuat mampu
menampung 110 % dari kapasitas volume drum atau tangki yang ada
di dalam ruang penyimpanan, serta tangtki harus diatur sedemikian
sehingga bila terguling tidak akan menimpa tangki lain;
g. mempunyai tempat bongkar muat kemasan yang memadai dengan
lantai yang kedap air.
BAB III
PERSYARATAN BANGUNAN PENGUMPULAN
Pasal 3
(1) Pengumpul minyak pelumas bekas wajib memenuhi persyaratan
a. memiliki fasilitas untuk penanggulangan terjadinya kebakaran,
dan peralatan komunikasi;
b. konstruksi bahan bangunan disesuaikan dengan karakteristik
pelumas bekas;
c. lokasi tempat pengumpulan bebas banjir;
(2) Persyaratan bangunan pengumpulan;
a. lantai harus dibuat kedap terhadap minyak pelumas bekas,
tidak bergelombang, kuat dan tidak retak;
b. konstruksi lantai dibuat melandai turun ke arah bak
penampungan dengan kemiringan maksimum 1 %;
c. bangunan harus dibuat khusus untuk fasilitas pengumpulan
minyak pelumas bekas;
d. rancang bangun untuk penyimpanan/pengumpulan dibuat
beratap yang dapat mencegah terjadinya tampias air hujan ke
dalam tempat penyimpanan atau pengumpulan;
e. bangunan dapat diberi dinding atau tanpa dinding, dan apabila
bangunan diberi dinding bahan bangunan dinding dibuat dari
bahan yang mudah didobrak.
BAB IV
KEWAJIBAN PENGUMPUL MINYAK PELUMAS BEKAS
Pasal 4
Pengumpul minyak pelumas bekas wajib :
a. mempunvai izin dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. membuat catatan tentang penerimaan dan pengirim minyak pelumas
bekas kepada pengolah atau pemanfaat;
c. mengisi formulir permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam
lampiran keputusan ini;
BAB V
SYMBOL DAN LABEL, DOKUMEN DAN REGISTRASI
Pasal 5
(1) Setiap penggangkutan minyak pelumas bekas wajib dilengkapi dengan
dokumen limbah dan mengajukan nomor regisirasi dokumen pelumas
bekas sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-02/Bapedal/09/1995
tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
(2) Setiap alat angkut minyak pelumas bekas wajib dilengkapi dengan
simbol dan label;
(3) Setiap kemasan atau tempat/wadah untuk kegiatan
penyimpanan/pengumpulan pelumas bekas wajib diberi simbol dan
label yang menunjukkan karakteristik minyak pelumas bekas.
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 6
Pengumpul minyak pelumas bekas wajib melaporkan kegiatan yang
dilakukannya kepada Badan Pengendalian Dampak lingkungan dengan
tembusan Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II dan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I yang bersangkutan, sekurang-kurangnya sekali dalam 3
(tiga) bulan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Bagi setiap badan usaha yang telah melakukan kegiatan pengumpulan
minyak pelumas bekas sebelum ditetapkannya keputusan ini, wajib
mentaatinya selambat- lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
ditetapkannya Keputusan ini;
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Ketentuan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Sarwono Kusumaatmadja
Tembusan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth.
1. Menteri Pertambangan Dan Energi
2. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
3. Bupati/Wali Kota Madya Daerah Tingkat II
__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 2 Tahun 1998
Tentang : Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di Daerah
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINKUNGAN TENTANG
TATA LAKSANA PENGAWASAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA
DAN BERACUN DI DAERAH.
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan ditentukan kemudian.
Pasal 8
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Januari 1998
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
1 Percetakan
2. Bengkel-bengkel
3. Cuci cetak film
4. Pengumpul minyak pelumas bekas
5. Penyamakan kulit
6. Rumah sakit tipe C dan D
7. Laboratorium
8. Pengelolaan pestisida kadaluarsa
9. Binatu (Laundry & Dry Cleaning)
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal: 23 Januari 1998
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 02/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 Januari 1998
Ditetapkan : di Jakarta
Pada Tanggal : 23 Januari 1998
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
______________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 03 Tahun 1998
Tentang : Program Kemitraan Dalam Pengelolaan Bahan
Berbahaya Dan Beracun
Menimbang :
a. Bahwa sebagai upaya pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran lingkungan adalah dengan meningkatnya penataan terhadap
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup;
b. Bahwa dalam rangka penataan terhadap peraturan perundang-undangan dapst
dilakukan dengan upaya kemitraan dengan badan usaha penghasil limbah bahan
berbahaya dan beracun;
c. Bahwa dalam rangka peningkatan penataan dalm butir (b) dipandang perlu untuk
meningkatkan kemampuan aparat pemerintah di daearh dalam pengawasan
pengelolaan limbah B3;
d. Bahwa untuk mendorong peningkatan penataan dalam butir (b) dipandang perlu
untuk mengambil langkah berupa pemberian insentif dan disentif;
e. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu ditetapkan Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Program Kemitraan
dalam Pengelolaan Limbah B3;
Mengingat :
1. Undang-undang nomer 5 tahun 1974 tenang ketentuan-ketentuan pokok
pemerintahan di daerah (Lembar Negara nomor 38,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3037);
2. Undang-undang nomer 5 tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara
nomor 22 tahun 1984, Tambahan Lembaran Negara nomor 3274);
3. Undang-undang nomer 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup
(Lembaran Negara tahun 1997 nomor 68, tambahan Lembaran Negara nomor
3699);
4. Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi
Vertikal di daerah (Lembaran Negara tahun 1988 nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara nomor 3573);
5. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah B3
(Lembaran Negara tahun 1994 nomor 26, Tambahan Lembaran Negara nomor
3551) yang telah diubah dengan PP nomor 12 tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah B3 (Lembaran Negara tahun 1995 nomor 24, tambahan lembaran negara
nomor 3595);
6. Keputusan Presiden nomor 77 tahun 1994 tentang badan Pengendalian dampak
Lingkungan;
7. Keputusan Kepala Bapedal nomor 68/05/1994 tentang Tata cara Memperoleh ijin
Penyimpanan, pengumpulan, pengoperasian alat pengolahan, dan penimbunan
akhir limbah B3;
8. Keputusan Kepala Bapedal nomor 01/09/1995 tentang tata cara dan persyaratan
teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah B3;
9. Keputusan Kepala Bapedal nomor 02/09/1995 tentang Bentuk dokumen limbah
B3;
10. Keputusan Kepala Bapedal nomor 03/09/1995 tentang Tata cara Pengolahan
limbah B3;
11. Keputusan Kepala Bapedal nomor 04/09/1995 tentang Tata cara Penimbunan
limbah B3;
12. Keputusan Kepala Bapedal nomor 05/09/1995 tentang simbol dan label limbah
B3;
13. Keputusan Kepala Bapedal nomor 135 tahun 1995 tentang Organisasi dan tata
kerja Bapedal;
14. Keputusan Kepala Bapedal nomor 136 tahun 1995 tentang Organisasi dan tata
kerja Bapedal wilayah;
Memperhatikan :
Rapat Kerja Teknis Pengelolaan Limbah B3 pada tanggal 21-22 agustus 1997 di Jakarta
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BAPEDAL TENTANG PROGRAM KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN
LIMBAH B3
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
BAB II
Asas tujuan dan sasaran
Pasal 2
BAB III
Peserta Program Kendali B3
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) Kepala badan usaha peserta program diberikan penjelasan tentang PP nomor 19
tahun 1994 Jo PP nomor 12 tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3 serta
petunjuk pelaksanaanya dan program Kendali B3
(2) Penjelasan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) ini diberikan Bapedal
Pasal 6
Pasal 7
(1) Selama 60 (enam puluh ) hari sejak penandatanganan surat pernyataan, Bapedal
bersama-sama dengan Bapedal wilayah I, Bapedal Wilayah II, dan Bapedal
Wilayah III menurut wilayah kewenangannya memberikan pembinaan teknis
kepada perusahaan peserta program Kendali B3
(2) Badan usaha peserta program Kendali B3 yang berada di Pulau Jawa dan
Kalimantan, pembinaannya dilakukan oleh Bapedal Pusat.
Pasal 9
(1) Dari hasil pemantauan dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan limbah B3 yang
telah dilaksanakan oleh Badan usaha peserta program Kendali B3.
(2) bagi Badan usaha yang telah melakukan penataan diberikan penghargaan berupa
sertipikat pengelolaan limbah B3.
(3) Bagi badan usaha yang masih dalam tahap penyempurnaan pengelolaan limbah
B3 terus diberikan pembinaan
(3) Bagi badan usaha yang tidak melakukan pengelolaan limbah diberikan sangsi
sesuai dengan aturan yang ada dan diumumkan pada media massa.
Pasal 10
Pemantauan dan evaluasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam pasl 8 dan pasal 9
dilakukan :
a. satu tahun sekali dilakukan oleh Bapedal bersama dengan Bapedalwil
b. (1) satu tahun sekali dilakukan oleh Bapedalda Tingkat I
c. (2) dua tahun sekali dilakukan oleh Bapedalda Tingkat II
BAB V
Pelaksana
Pasal 11
BAB VI
Pemberian Penghargaan
Pasal 12
BAB VII
Pembiayaan
Pasal 13
BAB VIII
Pelaporan
Pasal 14
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala
sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun
Pasal 15
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan sebagai
bahan evaluasi dan pertimbangan dalam penetapan kebijaksanaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup
BAB IX
Ketentuan Penutup
Pasal 16
Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal: 23 Januari 1998
Kepala Bapedal
ttd
Sarwono Kusumaatmaja
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. KEP-03/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 Januari 1998
100
PERINCIAN
I. Umum
Kriteria Nilai
1. Penanggungjawab pengelolaan limbah B3 Ada 1
Tidak ada 0
2. Sudah mengikuti kursus/pendidikan/permasyarakatan Sudah 1
Tentang pengelolaan limbah B3 Belum 0
3. Melaksanakan Pasal 9 PP 19 tentang pelaporan =2x1 tahun 2
<2x1 tahun 1
tidak pernah 0
4. Data lengkap 1
tidak lengkap 0
II. IDENTIFIKASI
Kriteria Nilai
1. Uji identifikasi limbah B3 - Melihat daftar 7,5
- Penentuan karakteristik
dng.lab+metode+hasil 7,5
dng.lab+metode 4
dng.lab 2
tanpa 0
jika terdaftar di daftar -1.5
- Uji toksikologi
dng.lab+metode+hasil 7,5
dng.lab+metode 4
dng.lab 2
tanpa 0
jika terdaftar di daftar -1.5
Data - Nama/jenis limbah
- Nomor Limbah
- Karakteristik
- Sumber
- Jumlah
III. MINIMISASI
Kriteria Nilai
Housekeeping Ada+keterangan 0.5
Preventive Maintenance Ada+keterangan 0.5
Segregasi Aliran Limbah Ada+keterangan 0.5
Optimasi Proses Produksi Ada+keterangan 0.5
Pengelolaan Bahan Ada+keterangan 0.5
Modifikasi Proses Produksi Ada+keterangan 0.5
Subtitusi Bahan Ada+keterangan 0.5
Teknologi Bersih Ada+keterangan 0.5
(termasuk Optimasi/Modifikasi proses)
B. INCENERATOR
Kriteria Nilai
1. Ijin operasi incenarator Ada 6
Tidak ada 0
2. Limbah yang diolah Sesuai ijin/layak di 2
incenarator
Layak incenarator 1
Tdk. Layak incenarator 0
3. Persyaratan lokasi Setiap syarat (jarak) 0.5
4. Potensi bencana alam Tidak ada 1
Ada 0
5. Arah angin dominan Tdk. Ke arah pemukiman/ 2
tempat umum dll
Ke arah pemukiman/ 0
tempat umum dll
6. Tata guna lahan Tidak untuk pemukiman, 0.5
umum, dll
7. Jenis incenerator Sesuai dng. Karakteristik 2.5
Tidak sesuai 0
8. Kapasitas pembakaran Sesuai dengan timbulan 1
Tidak sesuai 0
9. Temperatur operasi Sesuai dng. Karakteristik 1
Tidak sesuai 0
10. Waktu tinggal Sesuai dng. Karakteristik 1
Tidak sesuai 0
11. Laju umpan limbah Sesuai dng. Karakteristik 1
Tidak sesuai 0
12. Kapasitas blower Memadai 1
Tidak memadai 0
13. Efisiensi pembakaran >99.99% 3
<99.99% 3
14. DRE Setiap syarat memenuhi 4
15. Tinggi cerobong Memadai 1
Tidak memadai 0
16. Diameter cerobong Memadai 1
Tidak memadai 0
17. Sistem pemutus otomatis Ada 1
Tidak ada 0
18. Unit pengendalian pencemaran udara Ada & memadai 2
Ada blm. Memadai 1
Tidak ada 0
19. Standar emisi Ada, sesuai 1
Ada, tidak sesuai 0.5
Tidak ada 0
20. Pemantauan emisi Ya, periodik 2
Ya, insidentil 1
Tidak 0
21. Hasil pemantauan Semua parameter 5
memenuhi
22. Test burn Ada, hasil memenuhi 2
Tidak ada/tdk memenuhi 0
D. DIEKSPOR
1. Nama dan alamat eksportir Lengkap 3
2. Data Lengkap 3
3. Negara yang dituju Negara maju 2
Negara berkembang 1
4. Tujuan ekspor Daur ulang 4
Diolah 4
Dibuang/tidak tahu 0
5. Tanggal pengapalan Data lengkap 2
Tidak lengkap 1
Tidak ada 0
6. Konvensi Basel Memenuhi 10
Tidak memenuhi 0
7. Surat rekomendasi Bapedal Ada 10
Tidak ada 0
8. Surat pernyataan dari importir Ada 4
Tidak ada 0
9. Surat pernyataan negara tujuan Ada 10
Tidak ada 0
Ditetapkan : di jakarta
Pada tanggal : 23 Januari 1998
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 4 Tahun 1998
Tentang : Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program
Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
Menimbang:
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I
Program Kemitraan dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pemerintahan di
Daerah (Lembaran Negara Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Industri Vertikal di
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3573);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 26, Tambahn Lembaran Negara Nomor
3551)yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran
Negara 3595);
7. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 1994 tentang Sepuluh Sukses;
8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 68/05/1994 tentang Tata
Cara Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan,
Pengolahan, dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 01/09/1995 tentang Tata
Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;
10. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 02/09/1995 tentang
Bentuk Dokumen Limbah B3;
11. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 03/09/1995 tentang Tata
Cara Pengolahan Lilmbah B3;
12. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 04/09/1995 tentang Tata
Cara Penimbunan Limbah B3;
13. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 05/09/1995 tentang
Simbol danLabel Limbah B3;
14. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 135 Tahun 1995 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
15. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 136 Tahun 1995 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah;
Memperhatikan:
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
PERTAMA:
Penetapan Prioritas Propinsi Daaerah Tingkat I Program Kemitraan dalam Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.
KEDUA:
KETIGA:
(1) Di Tingkat Pusat dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Proyek/sumber pembiayaan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Di Tingkat Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau
sumber pembiayaan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Januari 1998
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
KepKa Bapedal Nomor 113 Tahun 2000 Pedoman Umum dan pedoman Teknis
Laboratorium Lingkungan
Keputusan Kepala Bapedal No. 113 Tahun 2000
Tentang : Pedoman Umum Dan Pedoman Teknis
Laboratorium Lingkungan
Menimbang :
a. bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengendalian
peneemaran lingkungan hidup diperlukan dukungan laboratorium
lingkungan yang memenuhi persyaratan;
b. bahwa mengingat hal Lersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman
Umum dan Pedoman Teknis Lahoratorium Lingkungan.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan Lem
baran Negara Nomor 3434)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815) Jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
6. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standarisasi
Nasional;
7. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN UMUM DAN PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM
LINGKUNGAN.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Laboratorium lingkungan adalah laboratorium yang dapat berdiri
sendiri sebagai satu institusi maupun merupakan suatu bagian dan
laboratorium yang mempunyai kemampuan dan kewenangan
melaksanakan pengujian parameter kualitas lingkungan
(fisika/kimia/biologi);
2. Pengujian parameter kualitas lingkungan adalah kegiatan yang
meliputi pengambialn contoh uji termasuk analisis di lapangan,
penanganan, transportasi, penyimpanan, preparasi, dan analisis
contoh uji;
Pasal 2
Dalammelaksanakan kegiatannya laboratorium lingkungan wajib :
a. mempunyai kedudukan independen
b. mempunyai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan
c. memenuhi persyaratan teknis dan administratif
d. menerapkan sistem mutu yang tepat yang sesuai dengan jenis,
lingkup dan volume pekerjaan yang dilaksanakan;
Pasal 3
Sistem mutu laboratorium lingkungan wajib didokumentasikan dalam suatu
Dokumen Sistem Mutu yang terdiri dan Panduan Mutu, Prosedur
Pelaksanaan, Instruksi Kerja dan Format.
Pasal 4
Prosedur pemberian izin operasional, rekomendasi, akreditasi dan Pedoman
Teknis Laboratorium Lingkungan tercantum dalam lampiran I dan lampiran
II Keputusan ini.
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Agustus 2000
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No.113 Tahun 2000
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No.113 Tahun 2000
1. Komunikasi
Untuk memudahkan komunikasi internal laboratorium sebaiknya
digunakan interkom yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah ruangan,
sedangkan komunikasi keluar digunakan telepon dan faksimile minimal
masing-masing satu buah serta dua buah komputer lengkap dengan
printernya untuk pelaporan dan sistem informasi laboratorium .
2. Peralatan transportasi
Untuk mendukung pelaksanaan operasional laboratorium dan
pengambilan contoh uji di lapangan, laboratorium disarankan mempunyai
satu buah sepeda motor dan mobil.
Tata ruang
Pembagian ruang terdiri dari bagian administrasi, laboratorium dan bagian
penunjang. Bagian administrasi terdiri dari ruangan yang terdiri atas : ruang
pimpinan, tata usaha, penerimaan contoh, pengolahan data, rapat,
perpustakaan, penyimpanan arsip dan ATK.
Luas ruangan untuk keperluan ruangan tersebut di atas, disesuaikan dengan
kebuluhan dan kelersediaan lahan. Luas bagian laboratorium lingkungan
yang disarankan sesuai dengan kebutuhan ruangan pelaksanaan teknis di
laboratorium tercantum pada tabel 1.
a. Safety shower
Minimal tersedia satu safety shower dan fasilitas pencuci mata/muka
di setiap laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya, atau di
laboratorium mikrobiologi. Penggunaan safety shower tidak boleh
diganti dengan slang/pipa yang dapat digerakkan dengan tangan.
Safety shower dan eyewash harus dapat beroperasi dan mempunyai
aliran air yang
konstan tanpa mem erlukan operator. Letak safety shower tidak lebih
dari 10 meter dari setiap titik di laboratorium. Safety shower, dan
eyewash harus memenuhi standar ANSI Z358.1.
b. Bak cuci tangan
Laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya dan semua area
kerja laboratorium biologi harus mempunyai bak cuci tangan. Lokasi
harus terletak pada pintu masuk utama ke laboratorium.
c. Pengumuman Keselamatan
Pengumuman keselamatan terdiri dari :
1) Daftar prosedur emergency;
2) Tulisan terang untuk bahan-bahan berbahaya.
d. Tanda-tanda Keselamatan
Memenuhi AS 1319.
e. Tanda Bahaya dan Plakat
Laboratorium harus membuat plakat untuk bahan-bahan berbahaya
dan bahan-bahan berbahaya yang spesifik sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
BAB VIII
METODA PENGUJIAN DAN KEMAMPUAN
LABORATORIUM LINGKUNGAN DAN
VALIDASI METODA
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
Tabel 4 : Kemampuan Analisis Air Sumber dan Limbah Cair
Tabel 5 : Kemampuan Analisis Udara Ambient
Tabel 6 : Kemampuan Analisis Emisi
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
__________________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
4. KepMen LH Nomor 58 Tahun 2002 Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
di Propinsi/Kabupaten/Kota
5. KepKa Bapedal Nomor 27 Tahun 2001 Pembentukan Satuan Tugas Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Lingkungan Hidup Di
BAPEDAL
6. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Perihal Pedoman Teknis Yustisial Penanganan
Nomor B-60/E/Ejp/01/02 Perkara Tindak Pidana Lingkungan hidup
TENTANG
1
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
Pasal 2
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang
bertanggung jawab diangkat oleh Menteri.
2
(2) Dalam pelaksanaan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendelegasikan kepada
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(2) Surat pengusulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilampiri :
a. pasfoto hitam putih dengan ukuran 3 x 4 sebanyak dua buah;
b. fotocopy Surat Keputusan Pangkat terakhir;
3
c. fotocopy ijazah terakhir dan sertifikat kursus dasar-dasar AMDAL dan atau
kursus dasar-dasar teknis pengelolaan lingkungan hidup;
d. fotocopy sertifikat pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan
hidup;
e. surat keterangan dokter yang menyatakan pegawai negeri sipil yang
bersangkutan berbadan sehat.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
(1) Pegawai negeri sipil yang telah diangkat sebagai Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberikan
tanda pengenal oleh Kepala Instansi yang bertanggung
jawab/Gubenur/Bupati/Walikota.
(2) Kartu tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwarna dasar
hijau yang memuat :
a. Nama;
b. Nomor Induk Pegawai (NIP);
c. Pangkat/Golongan;
d. Nomor SK Pengangkutan;
e. Jabatan;
f. Masa Berlakunya;
g. Pas foto hitam putih ukuran 3 x 4
Pasal 9
Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebelum melaksanakan
tugasnya wajib mengangkat sumpah/janji dan dilantik oleh pejabat yang
berwenang dari instansi yang bertanggung jawab dan pejabat yang berwenang
dari instansi yang bertanggung jawab daerah.
4
BAB III
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi mutasi, baik mengenai jabatan maupun wilayah kerja :
a. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, maka pimpinan yang membawahi
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang bersangkutan memberitahukan
kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan;
b. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Propinsi, maka Kepala
Instansi yang bertanggung jawab daerah Propinsi memberitahukan kepada
Gubenur dengan tembusan kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum
Lingkungan;
c. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota, maka
Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah Kabupaten/Kota
memberitahukan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.
(2) Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a wajib segera melaporkan mutasi Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 11
Pasal 12
BAB IV
Pasal 13
(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang
bertanggung jawab diberhentikan oleh Menteri.
5
(2) Dalam pelaksanaan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendelegasikan kepada
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 14
Pasal 15
a. berhenti sebagai pegawai sipil baik karena pensiun atau berhenti atas
permintaan sendiri;
b. atas permintaan sendiri untuk berhenti sebagai pejabat pengawas;
c. melanggar disiplin kepegawaian;
d. mutasi pada instansi lain;
e. mutasi pada unit lain dalam lingkungan instansi atau di luar lingkungan
instansi yang bertanggung jawab atau instansi yang bertanggung jawab
daerah sehingga bidang tugasnya menjadi tidak relevan lagi; atau
f. meninggal dunia.
Pasal 16
Pasal 17
6
Pasal 18
BAB V
Pasal 20
Pasal 21
BAB VI
PENUTUP
Pasal 22
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 8 Maret 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
7
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 27 TAHUN 2001
TENTANG
PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
(PPNS)
LINGKUNGAN HIDUP DI BAPEDAL
1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4068);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Pasal 1
Pasal 2
2
pasal 40 Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
(2) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kepala
Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan;
(3) Dalam Pelaksanaan Teknis Operasional, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup
di Bapedal dipimpin oleh Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kasus Lingkungan
Hidup.
Pasal 3
Pasal 4
Pasal 5
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup melakukan Penyidikan Tindak Pidana
Lingkungan Hidup secara terkoordinasi dan berwenang untuk:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau Badan Hukum yang diduga
melakukan tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau Badan Hukum
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
d. Melakukan pemeriksaan atas Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di Lingkungan Hidup;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti, Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana Lingkungan Hidup;
Pasal 6
3
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dibentuk sesuai media lingkungan yang
meliputi:
a. Penanganan kasus pencemaran air dan kerusakan tata air.
b. Penanganan kasus pencemaran udara;
c. Penanganan kasus pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3) dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
d. Penanganan kasus pencemaran dan /atau kerusakan tanah;
e. Penanganan kasus pencemaran dan/atau perusakan pesisir dan lautan;
f. Penanganan kasus pencemaran kerusakan akibat kebakaran hutan dan
lahan;
g. Penanganan kasus kerusakan keanekaragaman hayati.
(2) Setiap Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup diketuai oleh seorang
Koordinator.
Pasal 7
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) terdiri dari anggota PPNS Lingkungan Hidup yang mempunyai
keahlian teknis sesuai dengan bidang masing-masing.
(2) Keahlian teknis yang dimaksud pada ayat (1) di atas,meliputi keahlian:
Pasal 8
(2) Sekretariat seperti dimaksud pada ayat (1) di atas akan dibentuk dan berada
dibawah Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan.
Pasal 9
4
(2) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Petunjuk Teknis.
Pasal 10
Pasal 11
a. Nama lengkap
b. Nomor Induk Pegawai
c. Pangkat/Golongan
d. Nomor Surat Keputusan Pengangkatan
e. Jabatan
f. Masa berlaku
g. Nama dan tandatangan pejabat yang mengangkat
h. Foto identitas diri
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
5
Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup wajib
memberikan laporan kepada Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan sebagai berikut:
a. laporan hasil klarifikasi dan verifikasi informasi kasus ;
b. laporan hasil persiapan penyidikan ;
c. laporan kelengkapan bukti-bukti untuk dilakukan penyidikan ;
d. laporan evaluasi kemajuan pelaksanaan penyidikan ;
e. laporan pemberkasan
Pasal 15
Pasal 16
Segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan Satuan
Tugas PPNS Lingkungan Hidup ini dibebankan kepada anggaran Bapedal.
Pasal 17
Dr.Ir.Sunyoto,Dipl.HE