Anda di halaman 1dari 1558

HIMPUNAN PERATURAN

PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP


REPUBLIK INDONESIA

2005
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Benda Cagar Alam

3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Penataan Ruang

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 Pengesahan United Nations Convention on


Biological Diversity (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman
Hayati)

6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 Pengesahan United Nations Framework


Convention on Climate Change (Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim)

7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup

8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan

9. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air


Undang Undang No. 5 Tahun 1990
Tentang : Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
Dan Ekosistemnya

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 5 TAHUN 1990 (5/1990)
Tanggal : 10 AGUSTUS 1990 (JAKARTA)
Sumber : LN 1990/49; TLN NO. 3419

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang


mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah
karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan
dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat
manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan;

b. bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya


pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional
yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

c. bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada


dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan
saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu
unsur akan berakibat terganggunya ekosistem;

d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati


dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan
langkah-langkah konservasi schingga sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan
keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri;

e. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku


merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial yang bersifat
parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan
perkembangan hukum dan kepentingan nasional;
f. bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang
ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

g. bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu


menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dalam suatu Undang-undang;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3368);

5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran


Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI SUMBER
DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang
terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya
alam hewani
(satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara
keseluruhan membentuk ekosistem.
2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal
balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang
saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi.
4. Tumbuhan adalah semua jenis sumber daya alam nabati, baik yang
hidup di darat maupun di air.
5. Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di
darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
6. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan/atau
dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya.
7. Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air,
dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang
hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.
8. Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup
dan berkembang secara alami.
9. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
10. Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya
atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.
11. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri
khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang
untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap
habitatnya.
12. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli,
ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi
yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi
kepentingan penelitian dan pendidikan.
13. Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
14. Taman national adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
15. Taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli
dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata, dan rekreasi.
16. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

Pasal 2

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan


pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dalam
ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

Pasal 3

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan


mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 4

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung


jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

Pasal 5

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui


kegiatan :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan
ekosistemnya.
BAB II
PERLINDUNGAN SISTEM PENYANGGA KEHIDUPAN

Pasal 6

Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai


unsur hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan
makhluk.

Pasal 7

Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya


proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 8

(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,


Pemerintah menetapkan :
a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

(1) Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan
dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga
kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.

(2) Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga


kehidupan, Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan
penertiban terhadap penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak
pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan
sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(3) Tindakan penertiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 10

Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara


alami dan/atau oleh karena peinanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya
diikuti dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.

BAB III
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN
DAN SATWA BESERTA EKOSISTEMNYA

Pasal 11

Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,


dilaksanakan melalui kegiatan :
a. pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
b. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Pasal 12

Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,


dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap
dalam keadaan asli.

Pasal 13

(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan di dalam dan di


luar kawasan suaka alam.

(2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan suaka alam
dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan
dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya.

(3) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan suaka alam
dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan
dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan.
BAB IV
KAWASAN SUAKA ALAM

Pasal 14

Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdiri dari:


a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.

Pasal 15

Kawasan suaka alam selain mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan


pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).

Pasal 16

(1) Pengelolaan kawasan suaka alam dilaksanakan oleh Pemerintah


sebagai upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penetapan dan


pemanfaatan suatu wilayah sebagai kawasan suaka alam dan
penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah
penyangga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan


penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan
kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.

(2) Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk


kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan,
pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang
budidaya.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemeritah.
Pasal 18

(1) Dalam rangka kerja saina konservasi internasional, khususnya dalam


kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kawasan suaka alam
dan kawasan tertentu lainnya dapat ditetapkan sebagai cagar biosfer.

(2) Penetapan suatu kawasan suaka alam dan kawasan tertentu lainnya
sebagai cagai biosfer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

(1) Setiap orang dilarang melakukatn kegiatan yang dapat mengakibatkan


perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1) tidak termasuk


kegiatan pembinaan Habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka
marga satwa.

(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi
dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan
satwa lain yang tidak asli.

BAB V
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

Pasal 20

(1) Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:


a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.

(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) digolongkan dalam :
a. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
b. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 21

1) Setiap orang dilarang untuk :


a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan
yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup
atau mati;
b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

(2) Setiap orang dilarang untuk :


a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
meperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang
yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang
dilindungi.

Pasal 22

(1) Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21


hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan,
dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang
bersangkutan.

(2) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


adalah pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada
pihak lain di luar negeri dengan izin Pemerintah.

(3) Pengecualian dari larangan menangkap, melukai, dan membunuh


satwa yang dilindungi dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena
suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan
manusia.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana diinaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23

(1) Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemasukan tumbuhan dan satwa


liar dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

(1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 21, tumbuhan dan satwa tersebut dirampas untuk negara.

(2) Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya


yang dirampas untuk negara dikembalikan ke habitatnya atau
diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah
tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik
dimusnahkan.

Pasal 25

(1) Pengawasan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh
lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PEMANFAATAN SECARA LESTARI
SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Pasal 26

Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya


dilakukan melalui kegiatan :
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam;
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pasal 27

Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan


tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.

Pasal 28

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan


memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa liar.

BAB VII
KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Pasal 29

(1) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1


angka 13 terdiri dari :
a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu wilayah sebagai


kawasan pelestarian alam dan penetapan wilayah yang berbatasan
dengannya sebagai daerah penyangga diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 30

Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga


kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 31

(1) Di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata
alam.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan


tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.
Pasal 32

Kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona
inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan.

Pasal 33

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan


perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi
dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan
dan satwa lain yang tidak asli.

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam.

Pasal 34

(1) Pengelolaan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam dilaksanakan oleh Pemerintah.

(2) Di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan
taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan
rencana pengelolaan.

(3) Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat


memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan
mengikutsertakan rakyat.

(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2),dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

Dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan untuk mempertahankan atau


memulihkan kelestarian sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya,
Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagian atau
seluruhnya untuk selama waktu tertentu.
BAB VIII
PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Pasal 36

(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam
bentuk :
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
PERAN SERTA RAKYAT

Pasal 37

(1) Peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui
berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(2) Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan
rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN

Pasal 38

(1) Dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan


ekosistemnya, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di
bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
PENYIDIKAN

Pasal 39

(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga


pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnva, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.

(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak


mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:


a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya;
c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya;
e. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya;
f. membuat dan menandatangani berita acara;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan


dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 107 Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 40

(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal
33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp
100.000.000,00(seratusjuta rupiah).

(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal
32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratusjuta
rupiah).

(4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dan ayat (4) adalah pelanggaran.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41

Hutan suaka alam dan taman wisata yang telah ditunjuk dan ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
berlakunya Undang-undang ini dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan
suaka alam dan taman wisata alam berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 42

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang


konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang telah ada
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini, tetap berlaku
sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang barti
berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka:


1. Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931
Nummer 133);
2. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer
134);
3. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtcrdonnantie Java en
Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
4. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941
Staatsblad 1941 Nummer 167);
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 44

Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Konservasi Hayati.

Pasal 45

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Agustus 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM
HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

I. UMUM

Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa


sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di
udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang.
Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara,
dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan
masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada
umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan
keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara
manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya.
Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai
pengamalan Pancasila.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian
terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati
ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun
bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk
lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya
yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting
bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi.
Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan
pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan
yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa yang
dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan
denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau
kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai
dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak
mungkin lagi.
Oleh karena sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan
masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban
Pemerintah serta masyarakat. Peranserta rakyat akan diarahkan dan
digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan
berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban meningkatkan pendidikan
dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar konservasi.
Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu :
1. menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem
penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan
kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);
2. menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-
tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan
kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi
kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
3. mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati
sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan
dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi
secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan
timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber
daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).
Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas
hukum, maka pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati beserta
ekosistemnya perlu diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh
guna menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut.
Dewasa ini kenyataan menunjukkan bahwa peraturan perundang-
undangan yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang bersifat nasional belum ada. Peraturan perundang-
undangan warisan pemerintah kolonial yang beranekaragam coraknya, sudah
tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan hukum dan kebutuhan
bangsa Indonesia.
Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek pemerintahan,
perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan tuntutan keberhasilan
pembangunan pada saat ini menghendaki peraturan perundang-undangan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat
nasional sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia.
Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistenmya, belum sepenuhnya
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Demikian pula pengelolaan
kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional yang ada
kaitannya dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 20
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1988, dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan belum mengatur secara lengkap dan belum sepenuhnya
dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk pengaturan lebih lanjut.
Undang-undang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang bersifat nasional dan menyeluruh sangat diperlukan
sebagai dasar hukum untuk mengatur perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia.
Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok
dan mencakup semua segi di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, sedangkan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 sampai angka 6


Cukup jelas

Angka 7
Ikan dan ternak tidak termasuk di dalam pengertian satwa liar,
tetapi termasuk di dalam pengertian satwa.

Angka 8 sampai angka 16


Cukup jelas

Pasal 2

Pada dasarnya semua sumber daya alam termasuk sumber daya alam
hayati harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan umat
manusia sesuai dengan kemampuan dan fungsinya.
Namun, pemanfaatannya harus sedemikian rupa sesuai dengan
Undangundang ini sehingga dapat berlangsung secara lestari untuk masa kini
dan masa depan.
Pemanfaatan dan pelestarian seperti tersebut di atas harus
dilaksanakan secara serasi dan seimbang sebagai perwujudan dari asas
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pasal 3

Sumber daya alam hayati merupakan unsur ekosistem yang dapat


dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Namun, keseimbangan ekosistem harus tetap terjamin.

Pasal 4

Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan


ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia, maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.

Pasal 5

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui


tiga kegiatan :
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kehidupan adalah
merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang berkait
satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi, yang apabila
terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak
dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan
mempengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam
hayati, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu
perlu dijaga dan dilindungi.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan
perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan
jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan
pantai, pengelolaan daerah aliran sungai; perlindungan
terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain.
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari
unsur-unsur hayati dan nonhayati (baik fisik maupun nonfisik).
Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh
mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti
dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk
menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar
unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-
masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa
siap untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan bagi kesejahteraan
manusia.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat
dilaksanakan di dalam kawasan (konservasi in-situ) ataupun di
luar kawasan (konservasi exsitu).
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya merupakan
usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan
tersebut dapat dilaksanakan secara terus menerus pada masa
mendatang.

Pasal 6

Unsur hayati adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, tumbuhan,
satwa, dan jasad renik. Unsur nonhayati terdiri dari sinar matahari, air,
udara, dan tanah. Hubungan antara unsur hayati dan nonhayati harus
berlangsung dalam keadaan seimbang sebagai suatu sistem penyangga
kehidupan dan karena itu perlu dilindungi.

Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8

Ayat (1)
Perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan cara
menetapkan suatu wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan.
Guna pengaturannya Pemerintah menetapkan pola dasar pembinaan
pemanfaatan wilayah tersebut sehingga fungsi perlindungan dan
pelestariannya tetap terjamin.
Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi
antara lain hutan lindung, daerah aliran sungai, areal tepi sungai,
daerah pantai, bagian tertentu dari zona ekonomi eksklusif Indonesia,
daerah pasang surut, jurang, dan areal berpolusi berat. Pemanfaatan
areal atau wilayah tersebut tetap pada subyek yang diberi hak, tetapi
pemanfaatan itu harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan
Pemerintah.
Dalam menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah sistem
penyangga kehidupan, perlu diadakan penelitian dan inventarisasi,
baik terhadap wilayah yang sudah ditetapkan maupun yang akan
ditetapkan.

Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah ini perlu diperhatikan kepentingan yang
serasi antara kepentingan pemegang hak dengan kepentingan
perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Pasal 9

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hak pengusahaan di perairan adalah hak yang
diberikan oleh Pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya alam
yang ada di perairan, baik yang bersifat ekstratif maupun nonekstratif,
bukan hak penguasaan atas wilayah perairan tersebut. Yang dimaksud
dengan perairan adalah perairan Indonesia yang meliputi perairan
pedalaman (sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya),
laut wilayah Indonesia, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Termasuk dalam pengertian penertiban terhadap penggunaan dan
pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan meliputi
pencabutan hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan yang
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal penertiban tersebut berupa pencabutan hak atas
tanah, maka kepada pemegang hak diberikan ganti rugi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 10

Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan karena


bencana alam seperti longsor, erosi, kebakaran, dan gempa bumi, atau
karena pemanfaatannya yang tidak tepat serta oleh sebab-sebab lainnya
perlu segera direhabilitasi agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Rehabilitasi ini perlu mengikutsertakan masyarakat, khususnya mereka yang
berhak di atas wilayah tersebut.

Pasal 11

Yang dimaksud dengan pengawetan disini adalah usaha untuk menjaga agar
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya tidak
punah. Pengawetan diluar kawasan meliputi pengaturan mengenai
pembatasan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap tumbuhan
dan satwa sebagaimana diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25
Undang-undang ini. Pengaturan diluar kawasan berupa pengawetan jenis
(spesies) tumbuhan dan satwa. Pengawetan di dalam kawasan dilakukan
dalam bentuk kawasan suaka alam dan zona inti taman nasional.

Pasal 12

Upaya pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa berupa kawasan


suaka alam yang karena fungsi pokoknya adalah pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, maka
keutuhan dan keaslian dari kawasan suaka alam tersebut perlu dijaga dari
gangguan agar prosesnya berjalan secara alami.

Pasal 13 sampai pasal 15

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Pengelolaan kawasan suaka alam merupakan kewajiban Pemerintah
sebagai konsekuensi penguasaan oleh negara atas sumber daya alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah yang berada
di luar kawasan suaka alam, baik sebagai kawasan hutan lain, tanah
negara bebas maupun tanah yang dibebani hak yang diperlukan dan
mampu menjaga keutuhan kawasan suaka alam. Pengelolaan atas
daerah penyangga tetap berada di tangan yang berhak, sedangkan
cara-cara pengelolaan harus mengikuti ketentuan- ketentuan yang
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Ayat (1)
Fungsi penunjang budidaya dapat dilaksanakan dalam bentuk
penggunaan plasma nutfah yang terdapat dalam cagar alam yang
bersangkutan untuk keperluan permuliaan jenis dan penangkaran.
Plasma nutfah adalah unsur-unsur gen yang menentukan sifat
kebakaan suatu jenis.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan wisata terbatas adalah suatu kegiatan untuk
mengunjungi, melihat, dan menikmati keindahan alam di suaka
margasatwa dengan persyaratan tertentu.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)
Adanya cagar biosfer dimaksudkan sebagai tempat penelitian, ilmu
pengetahuan, dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan yang bersangkutan.
Dengan ditentukannya suatu kawasan suaka alam dan kawasan
tertentu lainnya sebagai cagar biosfer, maka kawasan yang
bersangkutan menjadi bagian dari pada jaringan konservasi
internasional. Namun, kewenangan penentuan kegiatan penelitian,
ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan- perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di
tangan Pemerintah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Adanya cagar biosfer dimaksudkan sebagai tempat penelitian, ilmu
pengetahuan, dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan-perubahan yang terjadi pada kawasan yang bersangkutan.
Dengan ditentukannya suatu kawasan suaka alam dan kawasan
tertentu lainnya sebagai cagar biosfer, maka kawasan yang
bersangkutan menjadi bagian dari pada jaringan konservasi
internasional. Namun, kewenangan penentuan kegiatan penelitian,
ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta mengamati dan mengevaluasi
perubahan- perubahan di dalam cagar biosfer sepenuhnya berada di
tangan Pemerintah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam
adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan
ekosistemnya, perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan
memasukkan jenis-jenis bukan asli.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pembinaan habitat satwa adalah kegiatan yang
dilakukan di dalam kawasan dengan tujuan agar satwa dapat hidup
dan berkembang secara alami. Contoh kegiatan tersebut antara lain
pembuatan padang rumput untuk makanan satwa, pembuatan fasilitas
air minum, dan sebagainya.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli
adalah jenis tumbuhan dan jenis satwa yang tidak pernah terdapat di
dalam kawasan.

Pasal 20

Ayat (1)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis
tumbuhan satwa yang dilindungi.
Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimaksudkan untuk
melindungi spesies tumbuhan dan satwa agar jenis tumbuhan dan
satwa tersebut tidak mengalami kepunahan.
Penetapan ini dapat diubah sewaktu-waktu tergantung dari
tingkat keperluannya yang ditentukan oleh tingkat bahaya kepunahan
yang mengancam jenis bersangkutan.
Ayat (2)
Jenis tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan meliputi jenis
tumbuhan dan satwa yang dalam keadaan bahaya nyaris punah dan
menuju kepunahan. Tumbuhan dan satwa yang endemik adalah
tumbuhan dan satwa yang terbatas penyebarannya, sedangkan jenis
yang terancam punah adalah karena populasinya sudah sangat kecil
serta mempunyai tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, baik
karena pengaruh habitat maupun ekosistemnya. Jenis tumbuhan dan
satwa yang populasinya jarang dalam arti populasinya kecil atau
jarang sehingga pembiakannya sangat sulit.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
adalah suatu upaya penyelamatan yang harus dilakukan apabila dalam
keadaan tertentu tumbuhan dan satwa terancam hidupnya bila tetap
berada dihabitatnya dalam bentuk pengembangbiakan dan
pengobatan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberian atau penukaran jenis tumbuhan
dan satwa kepada pihak lain di luar negeri adalah untuk keperluan
tukar menukar antar lembaga-lembaga yang bergerak di bidang
konservasi tumbuhan dan satwa dan hadiah Pemerintah.

Ayat (3)
Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia
melainkan juga menimbulkan gangguan atau keresahan terhadap
ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya
lahan atau tanaman atau hasil pertanian.

Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut antara lain diatur cara-cara
mengatasi bahaya, cara melakukan penangkapan hidup-hidup,
penggiringan dan pemindahan satwa yang bersangkutan, sedangkan
pemusnahan hanya dilaksanakan kalau cara lain ternyata tidak
memberi hasil efektif.

Pasal 23

Ayat ( 1)
Yang dimaksud dengan apabila diperlukan adalah untuk koleksi
tumbuhan dan satwa untuk kebun binatang, taman safari, dan untuk
permuliaan jenis tumbuhan dan satwa. Pemasukan jenis tumbuhan
dan satwa liar ke dalam wilayah Republik Indonesia perlu diatur untuk
mencegah terjadinya polusi genetik dan menjaga kemantapan
ekosistem yang ada, guna pemanfaatan optimal bagi bangsa
Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dirampas untuk negara adalah bahwa di
samping dirampas sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, juga memberikan kewenangan kepada pejabat yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk menguasai dan menyelamatkan
tumbuhan dan satwa sebelum proses pengadilan dilaksanakan.

Ayat (2)
Tumbuhan dan satwa yang dilindungi harus dipertahankan agar tetap
berada di habitatnya. Oleh karena itu, tumbuhan dan satwa yang
dirampas harus dikembalikan ke habitatnya. Kalau tidak mungkin
dikembalikan ke habitatnya karena dinilai tidak dapat beradaptasi
dengan habitatnya dan/atau untuk dijadikan barang bukti di
pengadilan, maka tumbuhan dan satwa tersebut diserahkan atau
dititipkan kepada lembaga yang bergerak di bidang konservasi
tumbuhan dan satwa.
Apabila keadaan sudah tidak memungkinkan karena rusak,
cacat, dan tidak memungkinkan hidup, lebih baik dimusnahkan.
Lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa lembaga
pemerintah dan lembaga non pemerintah, misalnya kebun binatang,
kebun botani, museum biologic herbarium, taman safari dan
sebagainya yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 25

Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 24 ayat (2)
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26

Yang dimaksud dengan kondisi lingkungan adalah potensi kawasan berupa


ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan
satwa, dan peninggalan budaya yang berada dalam kawasan tersebut.

Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)
Wilayah taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
meliputi areal daratan dan perairan.

Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2)

Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 32

Yang dimaksud dengan zona inti adalah bagian kawasan taman


nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan
apa pun oleh aktivitas manusia.
Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan
taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Yang
dimaksud dengan zona lain adalah zona di luar kedua zona tersebut karena
fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba,
zona pemanfaatan traditional zona rehabilitasi, dan sebagainya.
Pasal 33

Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 19 ayat ( 1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 34

Ayat (1)
Pada dasarnya pengelolaan kawasan pelestarian alam merupakan
kewajiban dari Pemerintah sebagai konsekuensi penguasaan oleh
negara atas sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan atas zona
pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata
alam, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan kepada
koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan
perorangan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Pengertian mengikutsertakan rakyat di sini adalah memberi
kesempatan kepada rakyat sekitarnya untuk ikut berperan dalam
usaha di kawasan tersebut.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 35

Yang dimaksud dengan dalam keadaan tertentu dan sangat diperlukan


adalah keadaan dan situasi yang terjadi di kawasan pelestarian alam karena
bencana alam (gunung meletus, keluar gas beracun, bahaya kebakaran),dan
kerusakan akibat pemanfaatan terus menerus yang dapat membahayakan
pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa.
Pasal 36

Ayat (1)
Dalam pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar harus dilakukan
dengan tetap menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Peranserta rakyat dapat berupa perorangan dan kelompok masyarakat
baik yang terorganisasi maupun tidak. Agar rakyat dapat berperan
secara aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, maka melalui kegiatan penyuluhan, Pemerintah perlu
mengarahkan dan menggerakkan rakyat dengan mengikutsertakan
kelompok-kelompok masyarakat.

Ayat (2)
Dalam upaya menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi di
kalangan rakyat, maka perlu ditanamkan pengertian dan motivasi
tentang konservasi sejak dini melalui jalur pendidikan sekolah dan luar
sekolah.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)
Selain Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian urusan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kepada
Pemerintah Daerah, juga Pemerintah Pusat dapat menugaskan kepada
Pemerintah Daerah Tingkat I untuk melaksanakan urusan tersebut
sebagai tugas pembantuan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1) sampai ayat (4)


Cukup jelas
Pasal 40

Ayat (1) sampai ayat (5)


Cukup jelas

Pasal 41

Berdasarkan Ordonansi Perlindungan Alam Tahun 1941 Stbl. 1941


Nomor 167 (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer
167) dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kehutanan telah ditetapkan hutan suaka alam dan taman
wisata.
Dengan ditetapkannya Undang-undang ini, maka hutan suaka alam
dan taman wisata dianggap telah ditetapkan sebagai kawasan suaka alam
dan taman wisata alam.

Pasal 42 sampai pasal 45

Cukup jelas

__________________________________
Undang Undang No. 5 Tahun 1992
Tentang : Benda Cagar Budaya

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 5 TAHUN 1992 (5/1992)
Tanggal : 21 MARET 1992 (JAKARTA)
Sumber : LN 1992/27; TLN NO. 3470

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang


penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, sehingga pcrlu dilindungi dan
dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan
kepentingan nasional;

b. bahwa untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan


langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan,
pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan,
dan pengawasan benda cagar budaya;

c. bahwa pengaturan benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam


Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun
1931 Nomor 238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten
Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor
515) dewasa ini sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan
pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya; dan oleh karena
itu dipandang perlu menetapkan pengaturan benda cagar budaya
dengan Undang-undang;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 32 Undang-Undang
Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3427);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Benda cagar budaya adalah:

a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang


berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau
sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (limapuluh)
tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa
gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan;
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan , dan kebudayaan.

2. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mongandung benda


cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi
pengamanannya.
BAB II
TUJUAN DAN LINGKUP

Pasal 2

Perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan


memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Pasal 3

Lingkup pengaturan Undang-undang ini meliputi benda cagar budaya, benda


yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui
pemiliknya, dan situs.

BAB III
PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENEMUAN, DAN PENCARIAN

Bagian Pertama
Penguasaan dan Pemilikan

Pasal 4

(1) Semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara.

(2) Penguasaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum
Republik Indonesia.

(3) Pengembalian benda cagar budaya yang pada saat berlakunya


Undang-undang ini berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia,
dalam rangka penguasaan oleh Negara, dilaksanakan Pemerintah
sesuai dengan konvensi internasional.
Pasal 5

(1) Dalam rangka penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,


benda cagar budaya yang karena nilai, sifat, jumlah, dan jenisnya
serta demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
perlu dilestarikan, dinyatakan milik Negara.

(2) Ketentuan mengenai penentuan benda cagar budaya sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 6

(1) Benda cagar budaya tertentu dapat dimiliki atau dikuasai oleh setiap
orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

(2) Benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
benda cagar budaya yang :

a. dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan


warisan;

b. jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah


dimiliki oleh Negara.

(3) Dalam hal orang sebagaimana rdimaksud dalam ayat (1) adalah warga
negara Indonesia yang dapat dimiliki atau dikuasai adalah benda cagar
budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan huruf b.

(4) Dalam hal orang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah warga
negara asing, yang dapat dimiliki atau dikuasai adalah hanya benda
cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b.

Pasal 7

(1) Pengalihan pemilikan atas benda cagar budaya tertentu yang dimiliki
oleh warga negara Indonesia secara turun-temurun atau karena
pewarisan hanya dapat dilakukan kepada Negara.

(2) Pengalihan pemilikan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) dapat disertai pemberian imbalan yang wajar.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengalihan dan pemberian imbalan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8

(1) Setiap pemilikan, pengalihan hak,dan pemindahan tempat benda cagar


budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7
wajib didaftarkan.

(2) Ketentuan mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, yang benda cagar


budayanya hilang dan/atau rusak wajib melaporkan peristiwa tersebut
kepada Pemerintah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat
belas)hari sejak di ketahui hilang atau rusaknya benda cagar budaya
tersebut.

Bagian Kedua
Penemuan

Pasal 10

(1) Setiap orang yang menemukan atau mengetahui ditemukannya benda


cagar budaya atau benda yang diduga sebagai benda cagar budaya
atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, wajib
melaporkannya kepada Pemerintah selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sejak ditemukan atau mengetahui ditemukannya.

(2) Berdasarkan laporan tersebut, terhadap benda sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) segera dilakukan penelitian.

(3) Sejak diterimanya laporan dan selama dilakukannya proses penelitian


terhadap benda yang ditemukan diberikan perlindungan sebagai benda
cagar budaya.
(4) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Pemerintah menentukan benda tersebut sebagai benda cagar budaya
atau bukan benda cagar budaya, dan menetapkan :

a. pemilikan oleh Negara dengan pemberian imbalan yang wajar


kepada penemu;

b. pemilikan sebagian dari benda cagar budaya oleh penemu


berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b;

c. penyerahan kembali kepada penemu, apabila terbukti benda


tersebut bukan sebagai benda cagar budaya atau bukan sebagai
benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya;

d. pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatannya sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
apabila benda tersebut ternyata merupakan benda berharga
yang tidak diketahui pemiliknya.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

Pemerintah menetapkan lokasi penemuan benda cagar budaya atau benda


yang diduga benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10
ayat (1) sebagai situs dengan menetapkan batas-batasnya.

Bagian Ketiga
Pencarian

Pasal 12

(1) Setiap orang dilarang mencari benda cagar budaya atau benda
berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian,
penyclaman, pengangkatan atau dengan cara pencarian lainnya, tanpa
izin dari Pemerintah.

(2) Ketentuan mengenai pencarian benda cagar budaya atau benda


berharga yang tidak diketahui pemiliknya termasuk syarat-syarat dan
tata cara perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PERLINDUNGAN DAN PEMELIHARAAN

Pasal 13

(1) Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib
melindungi dan memeliharanya.

(2) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai
sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya.

Pasal 14

(1) Dalam hal orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya
tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 tidak melaksanakan
kewajiban melindungi dan memelihara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13, Pemerintah memberikan teguran.

(2) Apabila dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak dikeluarkan


teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) upaya perlindungan
tetap tidak dilaksanakan olch pemilik atau yang menguasai benda
cagar budaya, Pemerintah dapat mengambil alih kewajiban untuk
melindungi benda cagar budaya yang bersangkutan.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)


ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya.

(2) Tanpa izin dari Pemerintah setiap orang dilarang:

a. membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik


Indonesia;

b. memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah


lainnya;
c. mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik
sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat;

d. mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar


budaya;

e. memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya;

f. memperdagangkan atau memperjualbelikan atau


memperniagakan benda cagar budaya.

(3) Pelaksanaan ketentuan dan perizinan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

Pemerintah dapat menahan atau memerintahkan agar benda cagar budaya


yang telah dibawa atau dipindahkan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (2) dikembalikan ke tempat asal atas beban biaya orang yang
membawa atau memindahkannya.

Pasal 17

(1) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai
situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang
bersangkutan.
(2) Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB V
PENGELOLAAN

Pasal 18

(1) Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab
Pemerintah.

(2) Masyarakat, kelompok, atau perorangan berperanserta dalam


pengelolaan benda cagar budaya dan situs.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengelolaan benda cagar budaya dan
situs ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PEMANFAATAN

Pasal 19

(1) Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan


agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan,dan
kebudayaan.

(2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat


dilakukan dengan cara atau apabila :

a. bertentangan dengan upaya perlindungan benda cagar budaya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);

b. semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi dan/atau


golongan.

(3) Ketentuan tentang benda cagar budaya yang dapat dimanfaatkan


untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan cara
pemanfaatannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

Pemerintah dapat menghentikan kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya


apabila pelaksanaannya ternyata berlangsung dalam keadaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

Pasal 21

Benda cagar budaya yang pada saat ditemukan ternyata sudah tidak
dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula dilarang untuk dimanfaatkan
kembali.
Pasal 22

(1) Benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu baik
yang dimiliki oleh Negara maupun perorangan dapat disimpan
dan/atau dirawat di museum.

(2) Pemeliharaan benda cagar budaya yang disimpan dan/atau dirawat di


museum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 23

(1) Pemanfaatan benda cagar budaya dengan cara penggandaan wajib


mendapatkan izin dari Pemerintah.

(2) Ketentuan mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGAWASAN

Pasal 24

(1) Pemerintah melaksanakan pengawasan terhadap benda cagar budaya


beserta situs yang ditetapkan.

(2) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) dilaksanakan secara terpadu dan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 25

Atas dasar sifat benda cagar budaya, diadakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) yang mempunyai wewenang dan bekerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 26

Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta
lingkungannya atau membawa,memindahkan,mengambil,mengubah bentuk
dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin
dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 27

Barangsiapa dengan sengaja melakukan pencarian benda cagar budaya atau


benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian,
penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin
dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 28

Barangsiapa dengan sengaja :


a. tidak melakukan kewajiban mendaftarkan pemilikan, pengalihan hak,
dan pemindahan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1);

b. tidak melakukan kewajiban melapor atas hilang dan/atau rusaknya


benda cagar budaya tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;

c. tidak melakukan kewajiban melapor atas penemuan atau mengetahui


ditemukannya benda cagar budaya atau benda yang diduga sebagai
benda cagar budaya atau benda berharga yang tidak diketahui
pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1);

d. memanfaatkan kembali benda cagar budaya yang sudah tidak


dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21;
e. memanfaatkan benda cagar budaya dengan cara penggandaan tidak
seizin Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 23; masing-masing
dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan/atau dcnda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).

Pasal 29

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 adalah tindak


pidana kejahatan dan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
adalah tindak pidana pelanggaran.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30

(1) Pada saat mulai bertakunya Undang-undang ini setiap orang yang
belum mendaftarkan benda cagar budaya tertentu sebagaimana diatur
dalam Undang-undang ini, yang dimiliki atau dikuasainya wajib
mendaftarkan kepada Pemerintah dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak saat mulai berlakunya
undang-undang ini.

(2) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan


perundang-undangan yang ada sebagai pelaksanaan Monumenten
Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor
238), sebagaimana telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie
Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515),
dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-
undang ini atau belum diganti dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan dari Undang-
undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Monumenten Ordonnantie


Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), sebagaimana
telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934
(Staatsblad Tahun 1934 Nomor 515), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO
PENJELASAN ATAS: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1992
TENTANG: BENDA CAGAR BUDAYA

UMUM

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 menegaskan bahwa "Pemerintah


memajukan kebudayaan nasional Indonesia"serta penjelasannya antara lain
menyatakan "Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab,
budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia".
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR 1988
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara menegaskan bahwa" kebudayaan
Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, harus dipelihara,
dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan
Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa,
mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional, memperkokoh jiwa
persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi
perwujudan cita-cita bangsa di masa depan".
Beranjak dari amanat ini maka Pemerintah berkewajiban untuk
mengambil segala langkah dalam usaha memajukan kebudayaan bangsa.
Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa,
khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh
kesadaran jatidiri bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku melindungi benda
cagar budaya sebagai warisan budaya bangsa Indonesia. Tidak semua benda
peninggalan sejarah mempunyai makna sebagai benda cagar budaya. Sejauh
peninggalan sejarah merupakan benda cagar budaya maka demi pelestarian
budaya bangsa, benda cagar budaya harus dilindungi dan di lestarikan;
untuk keperluan ini maka benda cagar budaya perlu dikuasai oleh Negara
bagi pengamanannya sebagai milik bangsa.
Sebagian besar benda cagar budaya suatu bangsa adalah hasil ciptaan
bangsa itu pada masa lalu yang dapat menjadi sumber kebanggaan bangsa
yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelestarian benda cagar budaya
Indonesia merupakan ikhtiar untuk memupuk kebanggaan nasional dan
memperkokoh kesadaran jati diri sebagai bangsa yang berdasarkan
Pancasila. Kesadaran jatidiri suatu bangsa yang banyak dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang masa lalu bangsa yang bersangkutan, sehingga
keberadaan kebangsaan itu pada masakini dan dalam proyeksinya ke masa
depan bertahan kepada ciri khasnya sebagai bangsa yang tetap berpijak
pada landasan falsafah dan budayanya sendiri.
Upaya melestarikan benda cagar budaya dilaksanakan, selain untuk
memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jati diri
sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila,juga untuk kepentingan sejarah,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta pemanfaatan lain dalam rangka
kepentingan nasional.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas dipandang perlu untuk
melaksanakan tindakan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian,
perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan. Karena peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang sudah tidak sesuai dengan jiwa
dan semangat tersebut di atas, maka disusunlah undang-undang tentang
Benda Cagar Budaya ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Penegasan mengenai lingkup ini diperlukan agar pengaturan Undang-undang


ini juga dapat menjangkau masalah benda berharga yang tidak diketahui
pemiliknya. Karena sifat dan hakikat benda berharga yang tidak diketahui
pemiliknya dapat mendekati pengertian benda cagar budaya, maka benda
berharga yang tidak diketahui pemiliknya dimasukkan dalam pengaturan
Undang-undang ini.
Dengan demikian :

a. Hal ihwal terutama dalam hal kegiatan pencarian, penemuan,


atau pengangkatan tentang benda berharga yang tidak
diketahui pemiliknya yang kemudian ternyata merupakan benda
cagar budaya ditundukkan sepenuhnya pada Undang-undang
ini;

b. Dalam hal benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya


kemudian ternyata bukan merupakan benda cagar budaya
ditundukkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 4

Ayat (1)
Penguasaan oleh Negara mempunyai arti bahwa Negara pada tingkat
tertinggi berhak menyelenggarakan pengaturan segala perbuatan
hukum berkenaan dengan pelestarian benda cagar budaya. Pelestarian
tersebut ditujukan untuk kepentingan umum, yaitu pengaturan benda
cagar budaya harus dapat menunjang pembangunan nasional di
bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata, dan lain-lain.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)
Upaya pengembalian benda cagar budaya oleh Pemerintah dalam
rangka penguasaan oleh Negara dilakukan oleh Menteri yang
bertanggung jawab atas bidang kebudayaan.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan orang adalah perorangan atau badan
hukum/yayasan/perhimpunan/perkumpulan dan badan yang sejenis.
Sekalipun benda cagar budaya pada dasarnya dikuasai oleh Negara,
tetapi setiap orang juga dapat memiliki dan menguasai benda cagar
budaya tertentu, dalam arti melaksanakan pengelolaan, pengampuan,
atau tindakan sejenis, dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan
pemanfaatannya bagi kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
serta pelestariannya.

Ayat (2)

Cukup jelas
Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)
Imbalan dapat berupa uang atau benda pengganti yang bermanfaat
bagi pemilik. Ketentuan ini tidak berlaku apabila pengalihannya
berlangsung secara hibah.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 9

Laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini wajib disampaikan kepada


instansi yang bertanggung jawab atas perlindungan dan pengawasan benda
cagar budaya, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau aparat pemerintah
daerah yang terdekat.
Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas (lihat penjelasan Pasal 9)

Ayat (2)
Penelitian dilakukan oleh instansi yang ditunjuk oleh Menteri yang
bertanggung jawab atas bidang kebudayaan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)
Teguran sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dilakukan secara
tertulis, atau secara lisan yang dicatat dalam buku kunjungan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lingkungan adalah kawasan di sekitar atau di
sekeliling benda cagar budaya dan situs, yang diperlukan bagi
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatannya.

Ayat (2)
Butir a
Cukup jelas

Butir b
Yang dimaksud dengan daerah dalam butir ini adalah
Kabupaten/Kotamadya/Daerah Tingkat II di Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Butir c
Yang dimaksud dengan dalam keadaan darurat dalam butir ini
adalah kondisi yang dapat mengancam benda cagar budaya,
seperti kebakaran, bencana alam, atau peristiwa lainnya.

Butir d
Cukup jelas

Butir e
Cukup jelas
Butir f
Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

______________________________________
Undang Undang No. 16 Tahun 1992
Tentang : Karantina Hewan, Ikan Dan Tumbuhan

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 16 TAHUN 1992 (16/1992)
Tanggal : 8 JUNI 1992 (JAKARTA)
Sumber : LN 1992/56; TLN NO. 3482

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a. bahwa tanah air Indonesia dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa berbagai
jenis sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam jenis hewan, ikan,
dan tumbuhan yang perlu dijaga dan dilindungi kelestariannya;

b. bahwa sumberdaya alam hayati tersebut merupakan salah satu modal


dasar dan sekaligus sebagai faktor dominan yang perlu diperhatikan
dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

c. bahwa tanah air Indonesia atau sebagian pulau-pulau di Indonesia


masih bebas dari berbagai hama dan penyakit hewan, hama dan
penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan yang memiliki
potensi untuk merusak kelestarian sumberdaya alam hayati;

d. bahwa dengan meningkatnya lalu lintas hewan, ikan, dan tumbuhan


antarnegara dan dari suatu area kearea lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia, baik dalam rangka perdagangan, pertukaran,
maupun penyebarannya, semakin membuka peluang bagi
kemungkinan masuk dan menyebarnya hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, serta organisme penggangu tumbuhan yang
berbahaya atau menular yang dapat merusak sumber daya alam
hayati;

e. bahwa untuk mencegah masuknya hama dan penyakit hewan, hama


dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan ke wilayah
negara Republik Indonesia, mencegah tersebarnya dari suatu area ke
area lain, dan mencegah keluarnya dari wilayah negara Republik
Indonesia, diperlukan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dalam
satu sistem yang maju dan tangguh;

f. bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut


perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan warisan pemerintah
kolonial yang masih berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan kepentingan nasional, perlu dicabut;

g. bahwa peraturan perundang-undangan nasional yang ada belum


menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai karantina
hewan, ikan, dan tumbuhan;

h. bahwa sehubungan dengan hal-hal diatas, perlu ditetapkan ketentuan


tentang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dalam suatu Undang-
undang;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);

3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran


Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber-


daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN TUMBUHAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :


1. Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau
organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area
lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia;
2. Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya
pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama
dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar
negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau
keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia;
3. Hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme
pengganggu tumbuhan adalah semua organisme yang dapat merusak,
mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian hewan, ikan,
atau tumbuhan;
4. Hama dan penyakit hewan karantina adalah semua hama dan penyakit
hewan yang ditetapkan Pemerintah untuk dicegah masuknya ke
dalam, tersebarnya di dalam, dan keluarnya dari wilayah negara
Republik Indonesia;
5. Hama dan penyakit ikan karantina atau organisme pengganggu
tumbuhan karantina adalah semua hama dan penyakit ikan atau
organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan Pemerintah untuk
dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam wilayah negara
Republik Indonesia;
6. Media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan,
ikan, tumbuhan dan bagian-bagiannya dan/atau benda lain yang dapat
membawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit
ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina;
7. Hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang
dipelihara maupun yang hidup secara liar;
8. Bahan asal hewan adalah bahan yang berasal dari hewan yang dapat
diolah lebih lanjut;
9. Hasil bahan asal hewan adalah bahan asal hewan yang telah diolah;
10. Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh daur
hidupnya berada di dalam air, dalam keadaan hidup atau mati,
termasuk bagian-bagiannya;
11. Tumbuhan adalah semua jenis sumberdaya alam nabati dalam
keadaan hidup atau mati, baik belum diolah maupun telah diolah;
12. Tempat pemasukan dan tempat pengeluaran adalah pelabuhan laut,
pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor
pos, pos perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang
dianggap perlu, yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan
dan/atau mengeluarkan media pembawa hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan;
13. Petugas karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah pegawai negeri
tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina
berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 2

Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan berasaskan kelestarian sumber-daya


alam hayati hewan, ikan, dan tumbuhan;

Pasal 3

Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan bertujuan :


a. mencegah masuknya hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme penggangu tumbuhan
karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia;
b. mencegah tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia;
c. mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari wilayah
negara Republik Indonesia;
d. mencegah keluarnya hama dan penyakit ikan dan organisme
pengganggu tumbuhan tertentu dari wilayah negara Republik
Indonesia apabila negara tujuan menghendakinya.

Pasal 4

Ruang lingkup pengaturan tentang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan


meliputi :
a. persyaratan karantina;
b. tindakan karantina;
c. kawasan karantina;
d. jenis hama dan penyakit, organisme pengganggu, dan media
pembawa;
e. tempat pemasukan dan pengeluaran.
BAB II
PERSYARATAN KARANTINA

Pasal 5

Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit bagi
hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan
dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa yang tergolong
benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat
pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.

Pasal 6

Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia wajib;
a. dilengkapi sertifikat kesehatan dari area asal bagi hewan, bahan asal
hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan bagian-bagian
tumbuhan, kecuali media pembawa yang tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah
ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-tempat
pemasukan dan pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.

Pasal 7

(1) Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang
akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia wajib :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan bagi hewan, bahan asal hewan,
dan hasil bahan asal hewan, keculai media pembawa yang
tergolong benda lain;
b. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan;
c. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi
media pembawa hama dan penyakit ikan dan media pembawa
organisme pengganggu tumbuhan yang akan dikeluarkan dari wilayah
negara Republik Indonesia apabila disyaratkan oleh negara tujuan.
Pasal 8

Dalam hal-hal tertentu, sehubungan dengan sifat hama dan penyakit hewan
atau hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan,
Pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan disamping kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7.

BAB III
TINDAKAN KARANTINA

Pasal 9

(1) Setiap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina yang
dimasukkan, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam,
dan/atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
dikenakan tindakan karantina.

(2) Setiap media pembawa hama dan penyakit ikan karantina atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke
dalam dan/atau dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia dikenakan tindakan
karantina.

(3) Media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dan organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dikeluarkan dari wilayah
negara Republik Indonesia tidak dikenakan tindakan karantina, kecuali
disyaratkan oleh negara tujuan.

Pasal 10

Tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina, berupa :


a. pemeriksana;
b. pengasingan;
c. pengamatan;
d. perlakuan;
e. penahanan;
f. penolakan;
g. pemusnahan;
h. pembebasan.
Pasal 11

(1) Tindakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a,


dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen
serta untuk mendeteksi hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina.

(2) Pemeriksaan terhadap hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal
hewan, dan ikan dapat dilakukan koordinasi dengan instansi lain yang
bertanggung jawab dibidang penyakit karantina yang membahayakan
kesehatan manusia.

Pasal 12

Untuk mendeteksi lebih lanjut terhadap hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina tertentu yang karena sifatnya memerlukan waktu lama, sarana,
dan kondisi khusus, maka terhadap media pembawa yang telah diperiksa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dapat dilakukan pengasingan untuk
diadakan pengamatan.

Pasal 13

(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina diberikan perlakuan untuk membebaskan atau
menyucihamakan media pembawa tersebut.

(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diberikan apabila


setelah dilakukan pemeriksana atau pengasingan untuk diadakan
pengamatan ternyata media pembawa tersebut :
a. tertular atau diduga tertular hama dan penyakit hewan
karantina atau hama dan penyakit ikan karantina, atau
b. tidak bebas atau diduga tidak bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina.

Pasal 14
(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina dilakukan penahanan apabila setelah dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, ternyata persyaratan
karantina untuk pemasukan ke dalam atau dari suatu area ke area lain
di dalam wilayah negara Republik Indonesia belum seluruhnya
dipenuhi.
(2) Pemerintah menetapkan batas waktu pemenuhan persyaratan,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 15

Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan penolakan apabila
ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama dan
penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina,
atau tidak bebas dari organisme pengganggu tumbuhan karantina
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, atau busuk, atau rusak,
atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya, atau
b. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal
8, tidak seluruhnya dipenuhi, atau
c. setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1), keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi dalam batas
waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi, atau
d. setelah diberi perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat disembuhkan
dan/atau disucihamakan dari hama dan penyakit hewan karantina,
atau hama dan penyakit ikan karantina, atau tidak dapat dibebaskan
dari organisme pengganggu tumbuhan karantina.

Pasal 16

(1) Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area
ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan
pemusnahan apabila ternyata :
a. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut
dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama dan penyakit hewan
karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina, atau tidak
bebas dari organisme pengganggu tumbuhan karantina tertentu
yang ditetapkan oleh Pemerintah, atau busuk, atau rusak, atau
merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya, atau
b. setelah dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15, media pembawa yang bersangkutan tidak segera
dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari
area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu yang
ditetapkan, atau
c. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular
hama dan penyakit hewan karantina, atau hama dan penyakit
ikan karantina, atau tidak bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah,
atau
d. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut
dan diberi perlakukan, tidak dapat disembuhkan dan/atau
disucihamakan dari hama dan penyakit hewan karantina, atau
hama dan penyakit ikan karantina, atau tidak dapat dibebaskan
dari organisme penganggu tumbuhan karantina.

(2) Dalam hal dilakukan tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1), pemilik media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, atau hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina tidak berhak menuntut ganti rugi
apapun.

Pasal 17

Terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di
dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan pembebasan apabila
ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, tidak tertular hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau bebas dari organisme pengganggu
tumbuhan karantina, atau
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, tidak tertular hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau bebas dari
organisme pengganggu tumbuhan karantina, atau
c. setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
dapat disembuhkan dari hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakit ikan karantina, atau dapat dibebaskan dari organisme
pengganggu tumbuhan karantina, atau
d. setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
seluruh persyaratan yang diwajibkan telah dapat dipenuhi.

Pasal 18

Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,


Pasal 7, dan Pasal 8, terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan, atau organisme penganggu tumbuhan
yang akan dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari suatu area ke area
lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dilakukan pembebasan
apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, tidak tertular hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan, atau bebas dari organisme pengganggu tumbuhan, atau
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, tidak tertular hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan, atau bebas dari organisme
penganggu tumbuhan, atau
c. setelah dilakukan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
dapat disembuhkan dari hama dan penyakit hewan karantina, hama
dan penyakil ikan, atau dapat dibebaskan dari organisme pengganggu
tumbuhan.

Pasal 19

(1) Pembebasan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,


disertai dengan pemberian sertifikat pelepasan.

(2) Pembebasan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,


disertai dengan pemberian sertifikat kesehatan.

Pasal 20

(1) Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dilakukan


oleh petugas karantina di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran,
baik di dalam maupun diluar instalasi karantina.

(2) Dalam hal-hal tertentu, tindakan karantina sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1), dapat dilakukan di luar tempat pemasukan dan/atau
pengeluaran, baik di dalam maupun di luar instalasi karantina.

(3) Ketentuan mengenai tindakan karantina di luar tempat pemasukan


dan/atau pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 21

Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,


terhadap orang, alat angkut, peralatan, air, atau pembungkus yang diketahui
atau diduga membawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina,
dapat dikenakan tindakan karantina.
Pasal 22

(1) Setiap orang atau badan hukum yang memanfaatkan jasa atau sarana
yang disediakan oleh Pemerintah dalam pelaksanaan tindakan
karantina hewan, ikan, atau tumbuhan dapat dikenakan pungutan jasa
karantina.

(2) Ketentuan mengenai pungutan jasa karantina sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
KAWASAN KARANTINA

Pasal 23

(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya serangan


suatu hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan karantina di suatu
kawasan yang semula diketahui bebas dari hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina tersebut, Pemerintah dapat
menetapkan kawasan yang bersangkutan untuk sementara waktu
sebagai kawasan karantina.

(2) Pemasukan dan pengeluaran media pembawa hama dan penyakit


hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina ke dan dari kawasan karantina
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur oleh Pemerintah.

BAB V
JENIS HAMA DAN PENYAKIT
ORGANISME PENGGANGGU, DAN MEDIA PEMBAWA

Pasal 24
Pemerintah menetapkan :
a. jenis hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, dan organisme penggangu tumbuhan karantina;
b. jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina;
c. jenis media pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan
karantina yang dilarang untuk dimasukkan dan/atau dibawa atau
dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.

Pasal 25

Media pembawa lain yang terbawa oleh alat angkut dan diturunkan di tempat
pemasukan harus dimusnahkan oleh pemilik alat angkut yang bersangkutan
di bawah pengawasan petugas karantina.

BAB VI
TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN

Pasal 26

Pemerintah menetapkan tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran media


pembawa hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan
karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina.

Pasal 27

Ketentuan terhadap alat angkut yang membawa media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina dan melakukan transit di dalam
wilayah negara Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 28

Pemerintah bertanggung jawab membina kesadaran masyarakat dalam


perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan.

Pasal 29

Peranserta rakyat dalam perkarantinaan hewan, ikan, dan tumbuhan


diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang
berdayaguna dan berhasilguna.
BAB VIII
PENYIDIKAN

Pasal 30

(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan karantina hewan,
ikan, dan tumbuhan, dapat pula diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan
tumbuhan.

(2) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak


mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk :


a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang karantina
hewan, ikan, dan tumbuhan;
b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi dalam tindak pidana
di bidang karantina hewan, ikin, dan tumbuhan;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak
pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan;
d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang karantina hewan,
ikan, dan tumbuhan;
e. membuat dan menandatangani berita acara;
f. menghentikan penyidikan apabila tidak didapat cukup bukti
tentang adanya tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan,
dan tumbuhan.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberitahukan


dimulainya penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
Pasal 107 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 31

(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap


ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
150.000.000.- (seratus lima puluh juta rupiah).

(2) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap


ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 21, dan Pasal 25, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah


kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
adalah pelanggaran.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang


karantina hewan, ikan, dan tumbuhan yang telah ada tetap berlaku,
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau sampai
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan
Undang-undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi
:
1. Ordonansi tentang Peninjauan Kembali Ketentuan-ketentuan tentang
Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi
Kehewanan (Herziening van de Bepalingen Omtrent het
Veeartsenijkundige Staatstoezicht en de Veeartsenijkundige Politie,
Staatsblad 1912 No. 432) yang mengatur karatina hewan;
2. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Peraturan tentang
Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi
Kehewanan di Hindia Belanda (Wijziging en Aanvulling van het
Reglement op het Veearstsenijkundige Staatstoezicht en de
Veeartsenijkundige Politie in Nederlandsch-Indie, Staatsblad 1913 No.
598);
3. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Lebih Lanjut Peraturan
mengenai Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan
Polisi Kehewanan di Hindia Belanda (Nadere Aanvulling en Wijziging
van het Reglement op heat Veeartsenijkundige Staatstoezicht en de
Veertsenijkundige Politie in Nederlandsch- Indie, Staatsblad 1917 No.
9);
4. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Lebih Lanjut Peraturan
mengenai Pengawasan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan
Polisi Kehewanan di Hindia Belanda (Nedere Aanvulling en Wijziging
van het Reglement op het Veearstsenijkundige Staatstoezicht en de
Veeartsenijkundige Politie in Nederlandsch-Indie, Staatsblad 1923 No.
289);
5. Ordonansi tentang Perubahan dan Penambahan Peraturan mengenai
Campur Tangan Pemerintah dalam Bidang Kehewanan dan Polisi
Kehewanan di Hindia Belanda (Wijziging en Aaanvulling van het
Reglement op de Veeartsenijkundige Overheidsbemoeienis en de
Veeartsenijkundige Politie in Nederiandsch-Indie, Staatsblad 1936 No.
205);
6. Ordonansi tentang Larangan Pengeluaran Buah Pisang, Tumbuhan,
Pisang, Umbi Pisang dan Bagian-bagiannya dari Sulawesi dan Daerah-
daerah Kekuasaannya, Manado (Verbod op de Uitvoer van Pisang
Vruchten, Planten, Knollen of Delen daarvan uit Celebes en
Onderhorigheden, Manado, Staatsblad 1921 No. 532);
7. Ordonansi tentang Peraturan Guna Mencegah Pemasukan Bubuk Buah
Kopi ke Pulau-pulau Sulawesi dan Daerah-daerah Kekuasaannya,
Manado, Amboina, Bali dan Lombok, Timor dan Daerah-daerah
Kekuasaannya (Matregelen ter Voorkoming van den Invoer van den
Koffiebessenboeboek op de Eilanden, Behorende tot Celebes en
Ondehorigheden Manado, Amboina, Bali en Lombok, Timor en
Onderhorigheden, Staatsblad 1924 No. 439);
8. Ordonansi tentang Peraturan Guna Mencegah Penyebaran Hama
Belalang yang Terdapat di Kepulauan Sangihe dan Talaud
(Maatregelen ter Voorkoming van de Verspreiding van de op Sangihe
en Talaudeilanden voorkomende Sabelsprinkhaanplaag, Staatsblad
1924 No. 57 1);
9. Ordonansi tentang Peraturan Guna Mencegah Penyebaran Lebih Lanjut
Ulat Umbi Kentang (Maatregelen om verdere Verspreiding van de
Aardappelenknollenrups tegen te gaan, Staatsblad 1925 No. 114);
10. Ordonansi tentang Ikhtisar dan Perbaikan Peraturan-peraturan tentang
Pemasukan bahan Tumbuhan Hidup Guna Mencegah Penularan
Penyakit dan Hama Tumbuhan Budidaya di Hindia Belanda
(Samenvatting en Herziening van de Regelen op de Invoer van Levend
Plantenmateriaal, strekkende tot het Tegengaan van de Overbrenging
van ZiekLen en Plagen op Cultuurgewassen in Nederlandsch-Indie,
Staatsblad 1926 No. 427);
11. Ordonansi tentang Ketentuan-ketentuan baru mengenai Pencegahan
dan Pemberantasan Penyakit Anjing Gila (Rabies) di Hindia Belanda
(Nieuwe Bepalingen ter Voorkoming en Bestrijding van Hondsdolheid
(Rabies) in Nederlandsch-Indie, Staatsblad 1926 No. 451) sepanjang
yang mengatur karantina hewan;
12. Ordonansi tentang Perubahan Ordonansi dalam Staatsblad 1926 No.
427, mengenai Ikhtisar dan Perbaikan Peraturan-peraturan tentang
Pemasukan Bahan-bahan Tumbuhan Hidup (Wijziging van de
Ordonnantie in Staatsblad 1926 No. 427, Houdende Samenvatting en
Herziening van de Regelen op den Invoer van Levend
Plantenmateriaal, Staatsblad 1932 No. 523);
13. Ordonansi tentang Perubahan Ordonansi tentang Peninjauan Kembali
Ketentuan-ketentuan tentang Pengawasan Pemerintah dalam Bidang
Kehewanan dan Polisi Kehewanan (Staatsblad 1912 No. 432) dan
Ordonansi tentang Ketentuan-ketentuan Baru mengenai Pencegahan
dan Pemberantasan Penyakit Anjing Gila (Staatsblad 1926 No. 451)
(Wijziging van het Reglement op de Veeartsenijkundige
Overheidsbemoeienis en de Veeartsenijkundige Politie en van de
Hondsdolheids Ordonnantie, Staatsblad 1936 No. 715) sepanjang
mengenai karantina hewan;
14. Ordonansi Pengangkutan Kentang Antarpulau (Ordonnantie
Interinsulair Vervoer Aardappelen), Staatsblad 1938 No. 699).

Pasal 34

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 1992 TENTANG KARANTINA HEWAN, IKAN, DAN
TUMBUHAN

I. UMUM

Tanah Air Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang kaya
akan sumberdaya alam hayati berupa aneka ragam jenis hewan, ikan, dan
tumbuhan merupakan modal dasar pembangunan nasional yang sangat
penting dalam rangka peningkatan taraf hidup, kemakmuran serta
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, perlu dijaga dan dilindungi
kelestariannya.
Salah satu ancaman yang dapat merusak kelestarian sumberdaya
alam hayati tersebut adalah serangan hama dan penyakit hewan, hama dan
penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan. Kerusakan tersebut
sangat merugikan bangsa dan negara karena akan menurunkan hasil
produksi budidaya hewan, ikan, dan tumbuhan, baik kuantitas maupun
kualitas atau dapat mengakibatkan musnahnya jenis-jenis hewan, ikan atau
tumbuhan tertentu yang bernilai ekonomis dan ilmiah tinggi. Bahkan
beberapa penyakit hewan dan ikan tertentu dapat menimbulkan gangguan
terhadap kesehatan masyarakat.
Bahwa wilayah negara Republik Indonesia masih bebas dari berbagai
jenis hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme
pengganggu tumbuhan yang berbahaya. Kondisi geografis wilayah negara
Republik Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan terpisah oleh laut, telah
menjadi rintangan alami bagi penyebaran hama dan penyakit serta
organisme pengganggu ke atau dari suatu area ke area lain. Dengan makin
meningkatnya mobilitas manusia atau barang yang dapat menjadi media
pembawa hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, dan
organisme pengganggu tumbuhan, serta masih terbatasnya kemampuan
melakukan pengawasan, penangkalan, dan pengamanan, maka peluang
penyebaran hama dan penyakit serta organisme pengganggu tersebut cukup
besar. Hal tersebut akan sangat membayakan kelestarian sumberdaya alam
hayati dan kepentingan ekonomi nasional. Oleh karena itu, diperlukan
antisipasi dan kesiagaan yang tinggi agar penyebaran hama dan penyakit
serta organisme pengganggu tersebut dapat dicegah.
Upaya mencegah masuknya ke dalam, dan tersebarnya dari suatu
area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia hama dan
penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu
tumbuhan yang memiliki potensi merusak kelestarian sumberdaya alam
hayati tersebut dilakukan melalui karantina hewan, ikan, dan tumbuhan oleh
Pemerintah. Sesuai dengan ketentuan internasional, bangsa Indonesia juga
memiliki kewajiban untuk mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan dari
wilayah negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraan
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan merupakan salah satu wujud
pelaksanaan kewajiban internasional tersebut.
Pentingnya peranan karantina hewan,ikan,dan tumbuhan memerlukan
landasan hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum dalam bentuk undang-undang sebagai dasar penyelenggaraannya.
Beberapa ordonansi warisan pemerintah kolonial yang sampai
sekarang masih digunakan sebagai dasar penyelenggaraan kegiatan
karantina hewan, ikan, dan tumbuhan di Indonesia isinya sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman. Demikian pula hukum nasional yang
menjadi landasan penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan
dewasa ini yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengeluaran
dan Pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman, Undang-undang Nomor. 6
Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, tidak secara
lengkap atau konkrit mengatur masalah karantina hewan, ikan, atau
tumbuhan, sehingga tidak mampu menjawab permasalahan-permasalahan
yang timbul di bidang perkarantinaan hewan, ikan, atau tumbuhan.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu untuk mengatur
secara lengkap karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dalam suatu Undang-
undang.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 sampai angka 5


Cukup jelas

Angka 6
Termasuk pengertian benda lain diantaranya bahan patogenik, bahan
biologik, makanan ikan, bahan pembuat makanan ternak dan/atau
ikan, sarana pengendalian hayati, biakan organisme, tanah, kompos
atau media pertumbuhan tumbuhan lainnya, dan vektor.

Angka 7
Pengertian hewan, termasuk hewan yang dilindungi menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 8
Pengertian bahan asal hewan termasuk diantaranya daging, susu,
telor, bulu, tanduk, kuku, kulit, tulang, mani.

Angka 9
Pengertian hasil bahan asal hewan termasuk diantaranya daging
rebus, dendeng, kulit yang disamak setengah proses, tepung tulang,
tulang, darah, bulu hewan, kuku dan tanduk, usus, pupuk hewan dan
organ-organ, kelenjar, jaringan, serta cairan tubuh hewan.

Angka 10
Pengertian ikan meliputi :
a. ikan bersirip (Pisces);
b. udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya (Crustacea);
c. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya
(Mollusca);
d. ubur-ubur dan sebangsanya (Coelenterata);
e. tripang, bulu babi dan sebangsanya (Echinodermata);
f. kodok dan sebangsanya (Amphibia);
g. buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya
(Reptilia);
h. paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya
(Mammalia);
i. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam
air (Algae);
j. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tesebut di atas, termasuk ikan yang dilindungi

Angka 11
Pengertian tumbuhan termasuk tumbuhan yang dilindungi, kecuali
rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air
(Algae).

Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas

Pasal 2

Dengan dianutnya asas kelestarian sumberdaya alam hayati hewan, ikan,


dan tumbuhan, berarti penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan
tumbuhan harus semata-mata ditujukan untuk melindungi kelestarian
sumber daya alam hayati hewan, ikan, dan tumbuhan dari serangan hama
dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina, dan tidak untuk tujuan-tujuan
lainnya.

Pasal 3

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pengertian area meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau, atau
kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang
dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama dan penyakit dan
organisme pengganggu.

Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Dianggap


telah dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia apabila telah
dibebaskan dari tempat-tempat. dilakukannya tindakan karantina atau telah
dilalulintasbebaskan di dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 6

Dianggap telah dimasukkan ke suatu area dari area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia apabila telah dibebaskan dari tempat-tempat
dilakukannya tindakan karantina atau telah dilalulintasbebaskan di area
tujuan di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Dianggap telah dikeluarkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia apabila telah dimuat dalam suatu alat angkut di
tempat-tempat pengeluaran untuk dibawa ke area lain di dalam wilayah
negara Republik Indonesia.

Pasal 7

Ayat (1)
Dianggap telah dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia
apabila telah dimuat dalam suatu alat angkut di tempat-tempat
pengeluaran untuk dibawa ke suatu tempat lain di luar wilayah negara
Republik Indonesia.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8

Kewajiban tambahan yang ditetapkan oleh Pemerintah antara lain berupa :


a. pemberian perlakuan tertentu terhadap media pembawa hama dan
penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau
organisme pengganggu tumbuhan karantina di negara asal, atau
b. pengenaan tindakan karantina di negara ketiga, atau
c. larangan diturunkannya media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang akan dimasukkan ke dalam
wilayah negara Republik Indonesia di negara tertentu apabila alat
angkut yang membawanya transit di negara tersebut, atau
d. keharusan melengkapi dengan sertifikat tertentu untuk pemasukan
media pembawa tertentu.

Pasal 9

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Tindakan karantina dalam ayat ini dapat dikenakan setelah dilakukan
pemeriksaan pendahuluan terhadap dokumen barang yang kemudian
disesuaikan dengan daftar hama dan penyakit ikan karantina,
organisme pengganggu tumbuhan karantina, media pembawa hama
dan penyakit ikan karantina, atau media pembawa organisme
pengganggu tumbuhan karantina.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Perlakuan dalam ayat ini merupakan tindakan membebaskan atau
menyucihamakan media pembawa dari hama dan penyakit hewan,
hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan, yang
dilakukan dengan cara fisik, kimia, biologi dan lain-lain. Perlakuan
secara fisik, antara lain berupa radiasi, pemanasan, dan pendinginan;
perlakuan secara kimia, antara lain dengan pestisida, antibiotika, dan
khemoterapeutik; dan perlakuan secara biologi antara lain dengan
serum dan vaksin.

Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Pembebasan dalam tindakan karantina mencakup pembebasan ke luar
atau masuknya media pembawa hama dan penyakit hewan karantina,
hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu
tumbuhan karantina dari atau ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia, serta dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara
Republik Indonesia. Pembebasan keluarnya disertai sertifikat
kesehatan, sedangkan pembebasan masuknya disertai sertifikat
pelepasan.

Pasal 11

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Penyakit karantina yang membahayakan kesehatan manusia
diantaranya meliputi penyakit karantina sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, yaitu :
a. pes (plague);
b. kolera (cholera);
c. demam kuning (yellow fever);
d. cacar (smallpox);
e. typhus bercak wabah, typhus exanthematicus infectiosa (louse
borne typhus);
f. demam balik-balik (louse borne relapsing fever).

Apabila dalam pemeriksaan media pembawa hama dan penyakit


hewan karantina atau hama dan penyakit ikan karantina ditemukan
penyakit karantina, petugas karantina di tempat pemasukan atau
pengeluaran melakukan koordinasi dengan dokter kesehatan
pelabuhan.
Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)
Persyaratan karantina belum seluruhnya dipenuhi apabila misalnya
belum dilengkapi dengan sertifikat kesehatan atau surat keterangan
tertentu sebagai kewajiban tambahan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan, bahwa pemusnahan yang dilakukan
membebaskan instansi dan petugas yang bertanggung jawab di
bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan dari segala
tuntutan hukum.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)
Sertifikat pelepasan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing.
Khusus sertifikat pelepasan karantina hewan dikeluarkan oleh
dokter hewan petugas karantina.
Ayat (2)
Sertifikat kesehatan dikeluarkan oleh petugas karantina sesuai
bidangnya masing-masing.
Khusus sertifikat kesehatan karantina hewan dikeluarkan oleh
dokter hewan petugas karantina.

Pasal 20

Ayat (1)
Tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau pengeluaran di luar
instalasi karantina dilakukan antara lain di kandang, gudang atau
tempat penyimpanan barang pemilik, alat angkut, kade yang letaknya
di dalam daerah pelabuhan laut, pelabuhan sungai, pelabuhan
penyeberangan, bandar udara, kantor pos, dan pos perbatasan
dengan negara lain.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)
Penyelenggaraan karantina hewan, ikan, dan tumbuhan memerlukan
biaya yang cukup besar sehingga dipandang perlu memberikan
sebagian biaya tersebut kepada pihak pengguna jasa dan/atau sarana
karantina yang disediakan oleh Pemerintah.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25

Termasuk dalam pengertian media pembawa lain adalah sampah, antara lain
sisa-sisa makanan yang mengandung bahan asal hewan, ikan, tumbuhan,
sisa makanan hewan, dan kotoran hewan.

Pasal 26 sampai pasal 34


Cukup jelas

__________________________________
Undang Undang No. 24 Tahun 1992
Tentang : Penataan Ruang

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 24 TAHUN 1992 (24/1992)
Tanggal : 13 OKTOBER 1992 (JAKARTA)
Sumber : LN 1992/115; TLN NO. 3501

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai


karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dengan letak
dan kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan dengan
keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang
perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola untuk mewujudkan tujuan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila;

b. bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di


daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi
dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan
dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan
mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan
yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan
lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan
lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional;

c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan


pemanfaatan ruang belum menampung tuntutan perkembangan
pembangunan, sehingga perlu ditetapkan undang-undang tentang
penataan ruang;
Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043);

3. Undang-undang 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Di


Dacrah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3037);

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pertahanan Kcamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3368);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENATAAN RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya.

2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.

3. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan


ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

4. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

5. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta


segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

6. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.

7. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi


ulama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan.

8. Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi


utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.

9. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama


pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

10. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama


bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

11. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional


mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penataan ruang berasaskan:


a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya
guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan;

b. keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.

Pasal 3

Penataan ruang bertujuan:


a. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;

b. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung


dan kawasan budi daya;

c. tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:


1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan
sejahtera;
2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya
alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber
daya manusia;
3) meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat
guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
kcamanan.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 4

(1) Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan


nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
(2) Setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang
dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 5

(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas


ruang.

(2) Setiap orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.

Pasal 6

Ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 4 dan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PERENCANAAN, PEMANFAATAN, DAN PENGENDALIAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 7

(1) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan


lindung dan kawasan budi daya.

(2) Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang


wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

(3) Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan


melipuli kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan
tertentu.
Pasal 8

(1) Penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I,


dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan secara
terpadu dan tidak dipisah-pisahkan.

(2) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I dikoordinasikan penyusunannya oleh Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) untuk ketentuan
dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.

(3) Penataan ruang untuk kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dikoordinasikan
penyusunannya oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk
kemudian dipadukan ke dalam Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Pasal 9

(1) Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah


Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, di samping meliputi ruang
daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai batas
tertentu yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur secara terpusat dengan undang-
undang.

Pasal 10

(1) Penataan ruang kawasan perdesaan, penataan ruang kawasan


perkotaan, dan penataan ruang kawasan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diselenggarakan sebagai bagian dari
penataan ruang wilayah Nasional atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat
I atau wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

(2) Penataan ruang kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan


diselenggarakan untuk:
a. mencapai tata ruang kawasan perdesaan dan kawasan
perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam
pengembangan kehidupan manusia;
b. meningkatkan fungsi kawasan perdesaan dan fungsi kawasan
perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara
perkcmbangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran
rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan
sosial.

(3) Penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk:


a. mengembangkan tata ruang kawasan yang strategis dan
diprioritaskan dalam rangka penataan ruang wilayah Nasional
atau wilayah Propinsi Daerah Tingkat I atau wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budi
daya;
c. mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.

(4) pengelolaan kawasan tertentu diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai


dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

Penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, dan


Pasal 10 dilakukan dengan memperhatikan:
a. lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan interaksi
antar lingkungan;

b. tahapan, pembiayaan, dan pengelolaan pembangunan, serta


pembinaan kemampuan kelembagaan.

Pasal 12

(1) Penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan peran serta


masyarakat.

(2) Tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Perencanaan

Pasal 13

(1) Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur


penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai
dengan jenis perencanaannya secara berkala.

(3) Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang


sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 24 ayat (3).

(4) Ketcntuan mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali dan
atau penyempurnaan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 14

(1) Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan


a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya
dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya,
serta fungsi pertahanan keamanan;
b. aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi
dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang.

(2) Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola


pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata
guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.

(3) Perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan


keamanan sebagai subsistem perencanaan tata ruang, tata cara
penyusunannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan

Pasal 15

(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program


pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas
rencana tata ruang.

(2) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang.

Pasal 16

(1) Dalam pemanfaatan ruang dikembangkan:


a. pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan
asas penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. perangkat tingkat yang bersifat insentif dan disinsentif dengan
menhormati, hak penduduk sebagai warganegara.

(2) Ketentuan mengenai pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air,
tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir a, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengendalian

Pasal 17

Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan


pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang.

Pasal 18

(1) Pengawasan terhadap pemanfaatan ruang diselenggarakan dalam


bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi.

(2) Penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan


rencana tata ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V
RENCANA TATA RUANG

Pasal 19

(1) Rencana tata ruang dibedakan atas:


a. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional;
b. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
c. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II.

(2) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I, peta wilayah Kabupaten Dacrah Tingkat II,
dan peta wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II, yang tingkat
ketelitiannya diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

(1) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara, yang meliputi:
a. tujuan nasional dari pemanfaatan ruang untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional;

c. kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budi


daya, dan kawasan tertentu.

(2) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional berisi:


a. penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan
tertentu yang ditetapkan secara nasional;
b. norma dan kriteria pemanfaatan ruang;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.

(3) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:


a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
nasional;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antara wilayah serta keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan
atau masyarakat;
d. penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.
(5) Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 21

(1) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Dacrah Tingkat I merupakan


penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, yang meliputi :
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan;
b. stuktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I;
c. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I.

(2) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berisi:


a. arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan,
dan kawasan tertentu;
c. arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan,
pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan
kawasan lainnya;
d. arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan
dan perkotaan;
e. arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi
prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan
prasarana pengelolaan lingkungan;
f. arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
g. arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta
memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan
sumber daya buatan.

(3) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi


pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serta
keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan
atau masyarakat;
d. penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
II yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan
lokasi pembangunan.
(4) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I
adalah 15 tahun.

(5) Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan


dengan peraturan daerah.

Pasal 22

(1) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


merupakan penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I ke dalam strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi:
a. tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan pertahanan keamanan;
b. rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II;
c. rencana umum tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II;
d. pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II.

(2) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


berisi:
a. pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan
kawasan tertentu;
c. sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman
perdesaan dan perkotaan;
d. sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi,
pengairan, prasarana pengelolaan lingkungan;
e. penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara,
dan penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta
memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan
sumber daya buatan.

(3) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


menjadi pedoman untuk:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
b. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II serta keserasian antar sektor;
c. penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan
atau masyarakat di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;
d. penyusunan rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II;
e. pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi
kegiatan pembangunan.

(4) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan.

(5) Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya


Daerah Tingkat II adalah 10 tahun.

(6) Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 23

(1) Rencana tata ruang kawasan perdesaan dan rencana tata ruang
kawasan perkotaan merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

(2) Rencana tata ruang kawasan tertentu dalam rangka penataan ruang
wilayah nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan atau
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(3) Ketentuan lebihlanjut mengenai penetapan kawasan, pedoman, tata


cara, dan lain-lain yang diperlukan bagi penyusunan rencana tata
ruang kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
WEWENANG DAN PEMBINAAN

Pasal 24

(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar


kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.

(2) Pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang;
b. mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam
penataan ruang.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang.

Pasal 25

Pemerintah menyelenggarakan pembinaan dengan:


a. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada
masyarakat;
b. menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan
pelatihan.

Pasal 26

(1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah
yang bersangkutan.

(2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan
telah diperoleh dengan iktikad baik, terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian
yang layak.

Pasal 27

(1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan penataan ruang


wilayah Propinsi Daerah Tingkat 1.

(2) Untuk Daerah Khusus lbukota Jakarta, pelaksanaan penataan ruang


dilakukan Gubernur Kepala Daerah dengan memperhatikan
pertimbangan dari Departemen, Lembaga, dan Badan-badan
Pemerintah lainnya serta koordinasi dengan Daerah sekitarnya sesuai
dengan ketcntuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang
Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik
Indonesia Jakarta.

(3) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terdapat hal-hal yang tidak
dapat diselesaikan di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, maka
diperlukan pertimbangan dan persetujuan Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
Pasal 28

(1) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan


penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2)

(2) Apabila dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) terdapat hal-hal yang tidak dapat
diselesaikan di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II,
maka diperlukan pertimbangan dan persetujuan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I.

Pasal 29

(1) Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan


penataan ruang.

(2) Tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk


pengendalian perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan
pemanfaatannya yang berskala besar dan berdampak penting.

(3) Perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya


sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Penetapan mengenai perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud


dalam ayat (3) menjadi dasar dalam peninjauan kembali Rencana tata
Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 30

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-


undangan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Ordonansi Pembentukan Kota


(Stadsvormingsordonnantie Staatsblad Tahun 1948 Nomor 168, Keputusan
Letnan Gubernur Jenderal tanggal 23 Juli 1948 no. 13) dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 32

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG

II. UMUM

1. Ruang wilayah negara Indonesia sebagai wadah atau tempat bagi


manusia dan makhluk lainnya hidup, dan melakukan kegiatannya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia.
Sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disyukuri, dilindungi
dan dikelola, ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan
pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan
hidup yang berkualitas.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan
bahwa kebahagiaan hidup dapat tercapai jika didasarkan atas
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik dalam hidup
manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan manusia,
hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa Keyakinan tersebut menjadi pedoman dalam
penataan ruang.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut harus dapat
dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang.
Garis-garis Besar Haluan Negara menetapkan bahwa pembangunan
tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah ataupun kepuasan
batiniah, akan tetapi juga keseimbangan antara keduanya. Oleh
karena itu, ruang harus dimanfaatkan secara serasi, selaras, dan
seimbang dalam pembangunan yang berkelanjutan.

2. Wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh wilayah negara


meliputi daratan, lautan, dan udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk laut dan landas kontinen
di sekitarnya, di mana Republik Indonesia memiliki hak berdaulat atau
kewenangan hukum sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tahun 1982 tentang Hukum laut.
Laut sebagai salah satu sumber daya alam tidaklah mengenal batas
wilayah. Akan tetapi, kalau ruang dikaitkan dengan pengaturannya,
maka haruslah jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan.
Secara geografis letak dan kedudukan negara indonesia sebagai
negara kepulauan adalah sangat strategis, baik bagi kepentingan
nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi alamiahnya
adalah sangat khas karena menempati posisi silang di khatulistiwa
antara dua benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim
tropisnya.
Dengan demikian, ruang wilayah negara Indonesia merupakan aset
besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara
terkoordinasi, terpadu, dan seefektif mungkin dengan memperhatikan
faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan,
serta kelestarian kemampuan lingkungan untuk menopang
pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan
makmur. Dengan kata lain wawasan penataan ruang wilayah negara
Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

3. Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta
sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan
penghidupan. Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya
membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang
atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan,
sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
Meskipun suatu ruang tidak dihuni manusia seperti ruang hampa
udara, lapisan di bawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi
ruang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup.
Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak tak terbatas. Bila
pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar
terdapat pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang.
Oleh karena itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur
pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi
lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan.

4. Ruang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari
berbagai ruang wilayah sebagai suatu subsistem. Masing-masing
subsistem meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan, dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung
yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Seluruh wilayah negara Indonesia terdiri dari wilayah Nasional,
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II, yang masing-masing merupakan subsistem ruang
menurut batasan administrasi.
Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan
berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, sumber
daya buatan, dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda,
yang apabila tidak ditata secara baik dapat mendorong ke arah adanya
ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidak
lestarian lingkungan hidup.
Penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya
dukungnya serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan
meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem
yang berarti juga meningkatkan daya tampungnya.
Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada
subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem
ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut
dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional penataan ruang
yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang. Seiring
dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, di tingkat
Pusat maupun di tingkat Daerah, harus sesuai dengan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian, pemanfaatan ruang
tidak bertentangan dengan rencana tata ruang.

5. Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan


ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu
kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan
peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan sistem yang
harus memberi dasar yang jelas, tegas dan menyeluruh guna
menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang. Untuk itu,
undang-undang tentang penataan ruang ini memiliki ciri sebagai
berikut:
a. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan
pemanfaatan ruang pada masa depan sesuai dengan keadaan,
waktu, dan tempat.
b. Menjamin keterbukaan rencana tata ruang bagi masyarakat
sehingga dapat lebih mendorong peran serta masyarakat dalam
pemanfaatan ruang yang berkualitas dalam segala segi
pembangunan.
c. Mencakup semua aspek di bidang penataan ruang sebagai dasar
bagi pengaturan lebih lanjut yang perlu dituangkan dalam
bentuk peraturan tersendiri.
d. Mengandung sejumlah ketentuan proses dan prosedur
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut.

Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan


menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku
yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertanahan,
kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan,
perkotaan, transmigrasi, perindustrian, perikanan, jalan, Landas
Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perumahan
dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan
sebagainya dengan memperhatikan di antaranya:
a. Undang-undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1942) jo. Undang-undang Nomor 7
Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur Ke
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan
Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur (Lembaran Negara Tahun
1976 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3084);
b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419;
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 35, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3475).

Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan yang


menyangkut aspek pemanfaatan ruang dapat terangkum dalam satu
sistem hukum penataan ruang Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Istilah yang dirumuskan dalam Pasal ini dimaksudkan agar terdapat


keseragaman pengertian atas Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.

Angka 1
Ruang yang diatur dalam Undang-undang ini adalah ruang di
mana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi yang meliputi hak
berdaulat di wilayah editorial maupun kewenangan hukum di luar
wilayah editorial berdasarkan ketentuan konvensi yang bersangkutan
yang berkaitan dengan ruang lautan dan ruang udara.
Pengertian ruang mencakup ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara.
Ruang daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan daratan termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat
dari garis laut terendah.
Ruang lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut garis laut terendah termasuk
dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, di mana Republik Indonesia
mempunyai hak yurisdiksi.
Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan
dan atau ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi,
di mana Republik Indonesia mempunyai hak yurisdiksi.
Dalam Undang-undang ini, pengertian ruang udara (air-space) tidak
sama dengan pengertian ruang angkasa (outerspace). Ruang angkasa
beserta isinya seperti bulan dan benda-benda langit lainnya adalah
bagian dari antariksa, yang merupakan ruang di luar ruang udara.
Ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara merupakan satu
kesatuan ruang yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara mempunyai potensi yang dapat
dimanfaatkan sesuai dengan tingkat intensitas yang berbeda untuk
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Potensi itu di
antaranya sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan
pangan, industri, pertambangan, sebagai jalur perhubungan, sebagai
obyek wisata, sebagai sumber energi, atau sebagai tempat penelitian
dan percobaan.

Angka 2
Yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah
susunan unsur-unsur pembentuk ruang lingkungan alam, lingkungan
sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural
berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang.
Wujud struktural pemanfaatan ruang di antaranya meliputi hirarki
pusat pelayanan seperti pusat kota, pusat lingkungan, pusat
pemerintahan; prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor, dan
jalan lokal; rancang bangun kota seperti ketinggian bangunan, jarak
antar bangunan, garis langit, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk
pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta
karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam.
Wujud pola pemanfaatan ruang di antaranya meliputi pola lokasi,
sebaran permukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola
penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan.
Tata ruang yang dituju dengan penataan ruang ini adalah tata ruang
yang direncanakan. Tata ruang yang tidak direncanakan berupa tata
ruang yang terbentuk secara alamiah seperti wilayah aliran sungai,
danau, suaka alam, gua, gunung dan sebagainya.

Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas

Angka 5
Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif disebut wilayah pemerintahan. Wilayah yang batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan.

Angka 6
Cukup jelas

Angka 7
Kelestarian lingkungan hidup mencakup pula sumber daya alam dan
sumber daya buatan yang mempunyai nilai sejarah dan budaya
bangsa.

Angka 8
Pembudidayaan kawasan memperhatikan asas konservasi.

Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas

Pasal 2

Yang dimaksud dengan semua kepentingan adalah bahwa penataan ruang


dapat menjamin seluruh kepentingan, yakni kepentingan pemerintah dan
masyarakat secara adil dengan memperhatikan golongan ekonomi lemah.
Yang dimaksud dengan terpadu adalah bahwa penataan ruang dianalisis dan
dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan
ruang baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Penataan ruang dilakukan
secara terpadu dan menyeluruh mencakup antara lain pertimbangan aspek
waktu, modal, optimasi, daya dukung lingkungan, daya tampung lingkungan,
dan geopolitik. Dalam mempertimbangkan aspek waktu, suatu perencanaan
tata ruang memperhatikan adanya aspek prakiraan, ruang lingkup wilayah
yang direncanakan, persepsi yang mengungkapkan berbagai keinginan serta
kebutuhan dan tujuan pemanfaatan ruang. Penataan ruang harus
diselenggarakan secara tertib sehingga memenuhi proses dan prosedur yang
berlaku secara teratur dan konsisten.
Yang dimaksud dengan berdaya guna dan berhasil guna adalah bahwa
penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan
potensi dan fungsi ruang.
Yang dimaksud dengan serasi, selaras, dan seimbang adalah bahwa
penataan ruang dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang bagi persebaran
penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan perkembangan antar sektor,
antar daerah, serta antara sektor dan daerah dalam satu kesatuan Wawasan
Nusantara.
Yang dimaksud dengan berkelanjutan adalah bahwa penataan ruang
menjamin kelestarian kemampuan daya dukung sumber daya alam dengan
memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar generasi.

Pasal 3

Tujuan pengaturan penataan ruang dimaksudkan untuk mengatur hubungan


antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya
pemanfaatan ruang yang berkualitas.
Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan lindung adalah
bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan lindung seperti
upaya konservasi, rehabilitasi, penelitian, obyek wisata lingkungan, dan lain-
lain yang sejenis. Penataan ruang kawasan lindung bertujuan:
a. tercapainya tata ruang kawasan lindung secara optimal;
b. meningkatkan fungsi kawasan lindung.
Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan budi daya adalah
bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan budi daya seperti
upaya eksploitasi pertambangan, budi daya kehutanan, budi daya pertanian,
dan kegiatan pembangunan permukiman, industri, pariwisata, dan lain-lain
yang sejenis.
Penataan ruang kawasan budi daya bertujuan :
a. tercapainya tata ruang kawasan budi daya secara optimal;
b. meningkatkan fungsi kawasan budi daya.
Yang dimaksud dengan mewujudkan keterpaduan adalah mencegah
perbenturan kepentingan yang merugikan kegiatan pembangunan antar
sektor, daerah, dan masyarakat dalam penggunaan sumber daya alam
dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan sumber daya buatan
melalui proses koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 4

Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang adalah orang
seorang, kelompok orang, atau badan hukum. Pemerintah
berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk menikmati manfaat
ruang.

Ayat (2)
Hak setiap orang dalam penataan ruang dapat diwujudkan dalam
bentuk bahwa setiap orang dapat mengajukan usul, pemberi saran,
atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka
penataan ruang.
Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku
pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumber daya alam seperti
hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang dapat
membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang
dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Hak
tersebut didasarkan atas ketentuan perundang-undangan ataupun
atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan
atas pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara.
Hak atas pemanfaatan ruang daratan dapat berupa hak untuk memiliki
dan menempati satuan ruang di dalam bangunan sebagai tempat
tinggal; hak untuk melakukan kegiatan usaha seperti perkantoran,
perdagangan, tempat peristirahatan, dan atau melakukan kegiatan
sosial seperti tempat pertemuan di dalam satuan ruang bangunan
bertingkat; hak untuk membangun dan mengelola prasarana
transportasi seperti jalan layang; dan sebagainya.
Hak atas pemanfaatan ruang lautan dapat berupa hak untuk memiliki
dan menempati satuan ruang di dalam rumah terapung; hak untuk
melakukan kegiatan di dalam satuan ruang di dalam kota terapung
dan atau di dalam laut; hak untuk mengelola pariwisata bahari; hak
pemeliharaan taman laut; hak untuk melakukan angkutan laut; hak
untuk mengeksploitasi sumber alam di laut seperti penangkapan ikan,
penambangan lepas pantai; dan sebagainya. Hak atas pemanfaatan
ruang udara dapat berupa hak untuk menggunakan jalur udara bagi
lalu lintas pesawat terbang; hak untuk menggunakan media udara
bagi telekomunikasi; dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan penggantian yang layak adalah bahwa nilai
atau besar penggantian itu tidak mengurangi tingkat kesejahteraan
orang yang bersangkutan.

Pasal 5

Ayat (1)
Kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan pencerminan
rasa tanggung jawab sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang.
Kualitas ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor-
faktor daya dukung lingkungan seperti struktur tanah, siklus hidrologi,
siklus udara; fungsi lingkungan seperti wilayah resapan air, konservasi
flora dan fauna; estetika lingkungan seperti bentang alam,
pertanaman, arsitektur bangunan; lokasi seperti jarak antara
perumahan dengan tempat kerja, jarak antara perumahan dengan
fasilitas umum; dan struktur seperti pusat lingkungan dalam
perumahan, pusat kegiatan dalam kawasan perkotaan.
Pengertian memelihara kualitas ruang mencakup pula memelihara
kualitas tata ruang yang direncanakan.

Ayat (2)
Penyesuaian pemanfaatan ruang, baik yang telah mempunyai izin
maupun tidak, wajib dilakukan sewaktu-waktu oleh yang bersangkutan
bila terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata
ruang.
Pelaksanaan kewajiban menaati rencana tata ruang dilakukan sesuai
dengan kemampuan setiap orang yang terkena langsung akibat
pemanfaatan rencana tata ruang.
Bagi orang yang tidak mampu, maka sesuai haknya untuk
mendapatkan penggantian yang layak, kompensasi diatur melalui
pengaturan nilai tambah yang ditimbulkan sebagai akibat adanya
perubahan nilai ruang.

Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7

Ayat (1)
Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar
mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan
lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman
hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam.
Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi,
kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan
berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan
pendidikan, kawasan pertahanan keamanan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perdesaan meliputi
tempat permukiman perdesaan, tempat kegiatan pertanian, kegiatan
pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perkotaan meliputi
tempat permukiman perkotaan, tempat pemusatan dan
pendistribusian kegiatan bukan pertanian seperti kegiatan pelayanan
jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Fungsi kawasan yang berwujud kawasan tertentu meliputi tempat
pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan
kriteria antara lain:
a. kegiatan di bidang yang bersangkutan baik secara sendiri-
sendiri maupun secara bersama-sama yang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang
di wilayah sekitarnya;
b. kegiatan di suatu bidang yang mempunyai dampak baik
terhadap kegiatan lain di bidang yang sejenis maupun terhadap
kegiatan di bidang lainnya;
c. kegiatan di bidang yang bersangkutan yang merupakan faktor
pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kegiatan dalam kawasan tertentu dapat berupa misalnya
kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri
beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pertahanan
keamanan beserta sarana dan prasarananya, kegiatan
pariwisata beserta sarana dan prasarananya, dan sebagainya.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah
Tingkat I dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya
seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah
perbatasan, kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Dalam hal kawasan tersebut di atas mencakup dua atau lebih
wilayah administrasi Daerah Tingkat I, maka koordinasi penyusunan
rencana tata ruang diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1).
Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.

Ayat (3)
Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah administratif Daerah
Tingkat II dapat berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya
seperti wilayah aliran sungai, kawasan resapan air, wilayah
perbatasan, kawasan hutan lindung, taman nasional, serta kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Kecuali kawasan tertentu, maka dalam hal kawasan tersebut di
atas mencakup dua atau lebih wilayah administrasi Daerah Tingkat II,
koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Bagian dari masing-masing kawasan dipadukan ke dalam Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang
bersangkutan untuk ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 9

Ayat (1)
Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang daratannya berbatasan
dengan laut perlu mencakup ruang lautan dalam batas tertentu.
Penataan ruang tersebut berkaitan dengan lokasi dan tempat kegiatan
masyarakat di daerah seperti tempat permukiman dan kegiatan
nelayan dan sebagainya. Penataan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berkaitan
dengan ruang udara dalam batas tertentu. Penataan ruang tersebut
bersangkutan dengan wadah kegiatan masyarakat di daerah seperti
batas ketinggian bangunan, penggunaan jembatan penyeberangan
yang diperlebar untuk pertokoan.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam kawasan perdesaan terdapat kawasan lindung dan kawasan
budidaya dengan kegiatan utama budidaya bukan pertanian.
Dalam kawasan perkotaan terdapat kawasan lindung dan kawasan
budi daya dengan kegiatan utama budidaya bukan pertanian.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis adalah kawasan yang
secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak, baik ditinjau
dari sudut kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan,
dan pertahanan keamanan.
Kawasan tertentu dapat berada dalam satu kesatuan kawasan
perdesaan dan atau kawasan perkotaan.
Yang dimaksud dengan kawasan yang strategis dan diprioritaskan
adalah kawasan yang tingkat penanganannya diutamakan dalam
pelaksanaan pembangunan.
Sebagai contoh kawasan tertentu adalah kawasan strategis dalam
skala besar untuk kegiatan industri, pariwisata, suaka alam, wilayah
perbatasan, dan daerah latihan militer.
Yang dimaksud dengan perbatasan adalah perbatasan yang ada, di
daratan, di lautan dan di udara dengan negara tetangga.

Ayat (4)
Dalam hal perencanaan tata ruang kawasan tertentu, koordinasi
penyusunannya diselenggarakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 Ayat (1).

Pasal 11

Dengan memperhatikan aspek seperti tersebut dalam Pasal ini, penataan


ruang dilakukan untuk terciptanya upaya dalam pemanfaatan ruang secara
berdaya guna dan berhasil guna serta untuk terpeliharanya kelestarian
kemampuan lingkungan hidup.

Pasal 12
Ayat (1)
Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam
penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk
kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan
penataan ruang.
Masyarakat berperan sebagai mitra pemerintah dalam penataan
ruang. Dalam menjalankan peranannya itu, masyarakat mendayagunakan
kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk melaksanakan peran serta
masyarakat dalam mencapai tujuan penataan ruang.
Peran serta masyarakat dalam penataan ruang dapat diselenggarakan
oleh orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)
Proses dan prosedur penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah
Nasional, Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilaksanakan
secara terarah dan terpadu.
Proses dan prosedur penetapan rencana tata ruang diselenggarakan
pada tingkat Nasional, Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang, ditempuh
langkah-langkah kegiatan:
a. menentukan arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari
segi ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung
lingkungan, serta fungsi pertahanan keamanan;
b. mengidentifikasikan berbagai potensi dan masalah
pembangunan dalam suatu wilayah perencanaan;
c. perumusan perencanaan tata ruang;
d. penetapan tata ruang,

Ayat (2 )
Rencana tata ruang disusun dengan perspektif menuju keadaan pada
masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data, informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dapat dipakai, serta memperhatikan
keragaman wawasan kegiatan tiap sektor. Perkembangan masyarakat dan
lingkungan hidup berlangsung secara dinamis; ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu,
agar rencana tata ruang yang telah disusun itu tetap sesuai dengan tuntutan
pembangunan dan perkembangan keadaan, rencana tata ruang dapat
ditinjau kembali dan atau disempurnakan secara berkala.
Peninjauan kembali sebagaimana tersebut di atas bukan berarti
penyusunan rencana baru secara totalitas dan hanya dapat dilakukan atas
dasar Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) Pasal ini.
Jenis perencanaan dibedakan menurut hirarki administrasi
pemerintahan, kedalaman rencana, dan fungsi wilayah serta kawasan.
Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan penegasan bahwa bagaimanapun bila peninjauan
kembali tersebut berakibat kepada penyempurnaan rencana tata ruang,
maka hak orang harus tetap dilindungi. Dalam penyempurnaan rencana tata
ruang tersebut dilaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 dan Pasal 12.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)
Pengaturan pemanfaatan ruang untuk fungsi pertahanan keamanan di
tingkat Rencana Tata Ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II merupakan satu
kesatuan proses dalam rangka mewujudkan keseimbangan kepentingan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan.
Aspek pengelolaan dalam ketentuan ini perlu mempertimbangkan
secara terpadu karena hal tersebut mempengaruhi dinamika pemanfaatan
ruang. Dinamika dalam pemanfaatan ruang tercermin antara lain dalam:
a. perubahan nilai sosial akibat rencana tata ruang;
b. perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;
c. perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;
d. dampak terhadap lingkungan;
c. perkembangan serta kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan struktur pemanfaatan ruang adalah susunan
dan tatanan komponen lingkungan alam hayati, lingkungan alam non-hayati,
lingkungan buatan, dan lingkungan sosial yang secara hirarkis dan fungsional
berhubungan satu sama lain membentuk tata ruang.
Yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk
hubungan antar berbagai aspek sumber daya manusia, sumber daya alam,
sumber daya buatan, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, informasi,
administrasi, pertahanan keamanan; fungsi lindung, budi daya, dan estetika
lingkungan; dimensi ruang dan waktu.yang dalam kesatuan secara utuh
menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang.
Perencanaan sturktur dan pola pemanfaatan ruang merupakan
kegiatan menyusun rencana tata ruang yang produknya menitikberatkan
kepada pengaturan hirarki pusat permukiman dan pusat pelayanan barang
dan jasa, serta keterkaitan antara pusat tersebut melalui, antara lain, sistem
prasarana. Sistem prasarana meliputi, antara lain, jaringan transportasi
seperti jalan raya, jalan kereta api, sungai yang dimanfaatkan sebagai
sarana angkutan, dan jaringan utilitas seperti: air bersih, air kotor,
pengatusan air hujan, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan listrik dan
sistem pengelolaan sampah.
Tata guna tanah, tata guna air, dan tata guna udara merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan struktur dan pola
pemanfaatan ruang, supaya keberlanjutan pemanfaatan tanah, air, udara,
dan sumber daya alam lainnya untuk kegiatan pembangunan dan
peningkatan kualitas tata ruang dapat terus berlangsung.
Sebagai contoh sumber daya alam lainnya adalah sumber daya alam
non-hayati seperti hutan, flora, fauna; dan sumber daya alam non-hayati
seperti tambang mineral, minyak bumi, energi angin, energi surya, potensi
meteorologi klimatologi, dan geofisika.

Ayat (3)
Kegiatan perencanaan tata ruang untuk fungsi pertahanan keamanan karena
sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Meskipun demikian,
penataan ruang untuk fungsi ini tetap merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya keseluruhan penataan ruang wilayah negara.

Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan ruang adalah rangkaian program
kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut
jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan pembiayaan program pemanfaatan ruang
adalah mobilisasi, prioritas, dan alokasi pendanaan yang diperlukan untuk
pelaksanaan pembangunan.

Ayat (2)
Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui
penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama, sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui tahapan pembangunan
dengan memperhatikan sumber dan mobilisasi dana serta alokasi
pembiayaan program pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 16

Ayat (1)
Pengertian pola pengelolaan tata guna tanah, pola pengelolaan tata
guna air, pola pengelolaan tata guna udara, dan pola pengelolaan tata guna
sumber daya alam lainnya adalah sama dengan penatagunaan tanah,
penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya
alam lainnya.
Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya antara
lain adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara,
dan sumber daya alam lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan
tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya melalui pengaturan
kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan
sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan
masyarakat secara adil. Dalam pemanfaatan tanah, pemanfaatan air,
pemanfaatan udara, dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya, perlu
diperhatikan faktor yang mempengaruhinya seperti faktor meteorologi
klimatologi, dan geofisika.
Yang dimaksud dengan perangkat insentif adalah pengaturan yang
bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan
tujuan rencana tata ruang.
Apabila dengan pengaturan akan diwujudkan insentif dalam rangka
pengembangan pemanfaatan ruang, maka melalui pengaturan itu dapat
diberikan kemudahan tertentu:
a. di bidang ekonomi melalui tata cara pemberian kompensasi,
imbalan, dan tata cara penyelenggaraan sewa ruang dan urun
saham; atau
b. di bidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan sarana
dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon dan
sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai
dengan rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan perangkat disinsentif adalah pengaturan yang
bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana kawasan ruang, misalnya dalam bentuk:
a. pengenaan pajak yang tinggi; atau
b. ketidaktersediaan sarana dan prasarana.
Pelaksanaan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak
penduduk sebagai warganegara. Hak penduduk sebagai warganegara
meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh,
dan mempertahankan ruang hidupnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17

Agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang dilakukan


pengendalian melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan
ruang.
Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ketentuan ini adalah usaha untuk
menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Yang dimaksud dengan penertiban dalam ketentuan ini adalah usaha untuk
mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat
terwujud.
Di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II penyelenggaraan
pengendalian pemanfaatan ruang selain melalui kegiatan pengawasan dan
penertiban juga meliputi mekanisme perizinan.
Penertiban adalah tindakan menertibkan yang dilakukan melalui pemeriksaan
dan penyelidikan atas semua pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan
terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 18

Ayat (1)
Bentuk pelaporan dalam ketentuan ini adalah berupa kegiatan
memberi informasi secara obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang
sesuai maupun yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Bentuk pemantauan adalah usaha atau perbuatan mengamati,
mengawasi, dan memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang
dan lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Bentuk evaluasi adalah usaha untuk menilai kemajuan kegiatan
pemanfaatan ruang dalam mencapai tujuan rencana tata ruang.

Ayat (2)
Bentuk sanksi adalah sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi
pidana.
Pengenaan sanksi dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tentang
sanksi baik pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, meskipun Undang-
undang ini tidak memuat Pasal tentang ketentuan pidana, sanksi terhadap
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tetap dapat
dikenakan berdasarkan atas ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 19

Ayat (I)
Rencana tata ruang dibedakan menurut administrasi pemerintahan
karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang sesuai dengan pembagian
administrasi pemerintahan.

Ayat (2)
Rencana tata ruang dibedakan menurut tingkat ketelitiannya karena
informasi yang termuat dan skalanya berbeda.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur peta wilayah
dapat ditentukan tingkat ketelitiannya dengan pedoman:
a. peta wilayah negara Indonesia dengan tingkat ketelitian minimal
berskala 1:1.000.000;
b. peta wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dengan tingkat ketelitian
minimal berskala 1:250.000;
c. peta wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II dengan tingkat
ketelitian minimal berskala 1:100.000 dan peta wilayah
Kotamadya Daerah Tingkat II dengan tingkat ketelitian minimal
berskala 1:50.000.

Dalam pengertian minimal untuk skala peta dikandung arti bahwa suatu
rencana tata ruang dapat digambarkan dalam peta wilayah berskala yang
lebih besar.
Rencana Tata Ruang wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II
memerlukan peta dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1:50.000
karena faktor-faktor seperti kepadatan penduduk dan bangunan,
keanekaragaman kegiatan pembangunan, dan intensitas pemanfaatan ruang
di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II lebih tinggi daripada di wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II.
Tingkat ketelitian tersebut di atas dapat berubah sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 20
Ayat (1)
Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara
dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional yang berupa strategi nasional
pengembangan pola pemanfaatan ruang merupakan kebijaksanaan
pemerintah yang menetapkan rencana struktur Dan pola pemanfaatan ruang
nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang harus
dilindungi, kawasan budi daya, dan kawasan lainnya.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional meliputi antara lain arahan
pengembangan sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana
yang melayani kawasan produksi dan permukiman, penentuan wilayah yang
akan datang dalam skala nasional, termasuk penetapan kawasan tertentu.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional memperhatikan antara lain:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan dalam lingkup global dan internasional
serta pengkajian implikasi penataan ruang nasional terhadap
strategi tata pengembangan internasional dan regional,
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. keselarasan aspirasi pembangunan sektoral dan pembangunan
daerah;
e. daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penetapan kawasan lindung, kawasan budi
daya, dan kawasan tertentu secara nasional adalah bahwa pengaturan untuk
penetapan kawasan tersebut secara makro dan menyeluruh diselenggarakan
sebagai bagian dari strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah negara.
Yang dimaksud dengan norma dan kriteria pemanfaatan ruang adalah
ukuran berupa kriteria lokasi dan standar teknik pemanfaatan ruang yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk terwujudnya
kualitas ruang dan tertibnya pemanfaatan ruang.

Ayat (3)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan bahwa Rencana Tata Ruang
wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan
daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan
ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang.
Hal ini berarti bahwa dalam pemanfaatan ruang untuk menyusun
rencana pembangunan, harus selalu diperhatikan Rencana Tata Ruang
wilayah Nasional.
Dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional perlu
diselenggarakan pula antara lain:
a. Penataan ruang bagian wilayah nasional yang masing-masing
terdiri dari beberapa propinsi sebagai satu kesatuan untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan nasional;
b. Kesatuan Wawasan Nusantara melalui penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan yang membentuk sistem keterkaitan antar
lokasi dan kawasan antara lain jaringan darat, laut, dan udara;
c. Penjabaran strategi ekonomi nasional terhadap strategi tata
ruang yang saling terkait dan berkesinambungan.

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional selain menjadi pedoman untuk


pemanfaatan ruang daratan di tingkat daerah juga menjadi pedoman untuk
pemanfaatan ruang lautan dan ruang udara dalam batas-batas tertentu.

Ayat (4)
Seiring dengan Pola Pembangunan Jangka Panjang yang berjangka
waktu 25 tahun, Rencana Tata Ruang wilayah Nasional disusun untuk jangka
waktu yang sama dan dengan perspektif 25 tahun ke masa depan.
Meskipun demikian, rencana tata ruang wilayah Nasional dapat
ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 25 tahun
apabila terjadi perubahan kebijaksanaan nasional yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang
mendasar.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi dan arahan kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada 25
tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dijabarkan ke dalam program
pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima
Tahun. Selanjutnya, program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke
dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)
Strategi dan struktur tata ruang wilayah Daerah Tingkat I dirumuskan
dengan mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta
pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I memperhatikan
antara lain:
a. Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
b. pokok permasalahan kepentingan nasional;
c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
d. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat
nasional;
e. modal dasar pembangunan Daerah Tingkat I;
f. potensi dan tata guna sumber daya di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I;
g. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
h. Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I lainnya
yang berbatasan;
i. keselarasan dengan aspirasi pembangunan dan Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Ayat (2)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serupa
Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Daerah Tingkat I adalah
kebijaksanaan yang memberikan arahan tata ruang untuk kawasan, dan
wilayah dalam skala propinsi yang akan diprioritaskan pengembangannya
dalam jangka waktu sesuai dengan rencana tata ruang.

Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi acuan
bagi Pemerintah Daerah untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang
dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam
memberikan rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang. Dengan
demikian, maka pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan
di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I harus tetap memperhatikan Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
Ayat (4)
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun dengan
perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 15 tahun.
Apabila jangka waktu 15 tahun Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang
baru hak yang telah dimiliki orang yang jangka waktunya melebihi jangka
waktu rencana tata ruang tetap diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang
jangka waktunya 20 tahun, Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30
tahun.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dapat ditinjau
kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 15 tahun apabila
strategi pemanfaatan ruang dan struktur tata ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan perlu ditinjau kembali dan atau disempurnakan
sebagai akibat dari penjabaran Rencana Tata Ruang wilayah Nasional.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi dan struktur tata ruang yang ditetapkan pada 15 tahun
dilakukan paling tidak 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dijabarkan ke
dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan
pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)
Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan
mempertimbangkan kemampuan teknologi, data dan informasi, serta
pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal II dan Pasal 14.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
11 memperhatikan antara lain:
a. kepentingan nasional dan Daerah Tingkat I;
b. arah dan kebijaksanaan penataan ruang wilayah tingkat
Nasional dan Propinsi Daerah Tingkat I;
c. pokok permasalahan Daerah Tingkat II dalam mengutamakan
kepentingan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan
keamanan;
d. keselarasan dengan aspirasi masyarakat;
e. persediaan dan peruntukan tanah, air, udara dan sumber daya
alam lainnya;
f. daya dukung dan daya tampung lingkungan;
g. Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah
Tingkat II lainnya yang berbatasan.

Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus
dilindungi dan dibudidayakan serta wilayah yang akan diprioritaskan
pengembangannya dalam jangka waktu perencanaan.

Ayat (2)
Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan
pengelolaan lingkungan, penatagunaan air, penatagunaan tanah, dan
penatagunaan udara merupakan satu kesatuan dalam Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Ayat (3)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi
kegiatan pembangunan dalam menetapkan ruang serta dalam menyusun
program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah
tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi
pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam
pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang sudah ditetapkan.

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
disusun dengan perspektif ke masa depan dan untuk jangka waktu 10 tahun.
Apabila jangka waktu 10 tahun Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berakhir, maka dalam penyusunan
rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki orang dan masyarakat
yang jangka waktunya melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap
diakui seperti, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya 20 tahun, dan
Hak Guna Usaha yang jangka waktunya 30 tahun.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 10
tahun apabila strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan perlu ditinjau
kembali dan atau disempurnakan sebagai akibat dari penjabaran Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan dinamika pembangunan.
Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk
mencapai strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada 10
tahun dilakukan minimal 5 tahun sekali.
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan
Rencana Pembangunan Lima Tahun Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang bersangkutan. Program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke
dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran.

Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Kawasan tertentu yang dimaksud adalah kawasan yang strategis dan
diprioritaskan bagi kepentingan nasional berdasarkan pertimbangan kriteria
strategis seperti tersebut dalam ketentuan Pasal 10 Ayat (3). Nilai strategis
ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam
kawasan:
a. mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya
pengembangan tata ruang wilayah sekitarnya;
b. mempunyai dampak penting, baik terhadap kegiatan yang
sejenis maupun terhadap kegiatan lainnya;
c. merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertahanan keamanan.

Dengan demikian, penataan ruang kawasan tertentu dianggap perlu untuk


memperoleh prioritas baik dalam hal penyusunan rencana tata ruang,
pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya, maupun
dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
Pemilikan, penguasaan, dan pengelolaan kawasan tertentu dilakukan
oleh Pemerintah.

Ayat (3)
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perdesaan
diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perdesaan serta
pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perdesaan
untuk keserasian perkembangan kegiatan pertanian di kawasan perdesaan
dalam menunjang pengembangan wilayah sekitarnya, mengendalikan
konversi pemanfaatan ruang yang berskala besar, dan mencegah kerusakan
lingkungan.
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan perkotaan
diatur antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan perkotaan serta
pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan
untuk keserasian perkembangan kawasan perkotaan secara administratif dan
fungsional dengan pengembangan wilayah sekitarnya serta daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Dalam peraturan pemerintah tentang penetapan kawasan, pedoman
dan tata cara penyusunan rencana tata ruang untuk kawasan tertentu diatur
antara lain kriteria dan prosedur penetapan kawasan yang secara nasional
mempunyai nilai strategis kriteria penentuan prioritas penataan ruang
kawasan, pedoman dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan
dalam kaitannya dengan besaran kawasan, lokasi, dan kegiatan yang
ditetapkan.
Penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu dikoordinasikan oleh
Menteri.
Arahan pengelolaan kawasan tertentu sebagai bagian dari Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I diberikan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
Pengelolaan rencana tata ruang kawasan tertentu sebagai bagian dari
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.

Pasal 24

Ayat (1)
Pengertian menyelenggarakan adalah suatu pengertian yang
mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang hukum publik
sebagaimana perinciannya disebut dalam ayat (2) pasal ini.

Ayat (2)
Kelembagaan dalam penyelenggaraan, kewenangan, dan pembinaan
penataan ruang di tingkat nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di
tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Tugas dan
kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang wilayah negara
antara lain adalah memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dan
dengan masyarakat.

Ayat (3)
Pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu
pengertian yang mengandung arti menghargai, menjunjung tinggi,
mengakui, dan menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang
dimiliki orang.

Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang adalah segala kepentingan
hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peraturan perundang-
undangan, hukum adat, atau kebiasaan yang berlaku. Kepentingan hukum
tersebut antara lain berupa pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar
sesuatu hak yang diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Pasal 25

Penyebarluasan informasi tentang penataan ruang kepada masyarakat dapat


dilakukan melalui media elektronik dan media cetak serta media komunikasi
lainnya.
Penataan ruang dilakukan secara terbuka yaitu bahwa setiap pihak dapat
memperoleh keterangan mengenai produk perencanaan tata ruang serta
proses yang ditempuh dalam penataan ruang, sehingga upaya memelihara
kualitas penataan ruang dan kualitas tata ruang dapat dilakukan secara lebih
terarah.
Dalam pembinaan penataan ruang ini Pemerintah mengambil langkah untuk
mencegah terjadinya kerugian pada masyarakat sebagai akibat perubahan
nilai ruang.
Pembinaan penataan ruang meliputi pembinaan kemampuan aparatur
pemerintah dan masyarakat dalam bidang penyusunan rencana tata ruang,
pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan pengendalian
perencanaan tata ruang oleh instansi yang diberi tugas dalam penataan
ruang.
Dalam tugas pembinaan ini termasuk pula kegiatan menyusun pedoman
teknis, proses, prosedur, standar dan kriteria teknis, serta rencana elemen
pembentuk struktur pemanfaatan ruang seperti jaringan jalan, jaringan air
minum, jaringan pengatusan, jaringan air kotor, jaringan penyediaan air
baku, jaringan telepon, jaringan listrik dalam kerangka tata ruang.
Pembinaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dan peningkatan
kualitas ruang dilakukan melalui upaya menumbuhkan dan mengembangkan
kesadaran dan tanggung jawabnya dengan program penyuluhan, bimbingan,
pendidikan, dan pelatihan secara berlanjut untuk setiap tingkatan
pemerintahan dan lapisan masyarakat.

Pasal 26

Ayat (1)
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang berkaitan dengan lokasi,
kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang berlaku.
Yang dibatalkan dalam ayat ini adalah izin pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai, baik yang telah ada sebelum maupun sesudah adanya Rencana
Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang
ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah perbuatan pihak pemanfaat
ruang yang mempunyai bukti-bukti hukum sah berupa perizinan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang dengan maksud tidak untuk
memperkaya diri sendiri secara berlebihan dan tidak merugikan pihak lain.
Penggantian yang layak pada pihak yang menderita kerugian sebagai
akibat pembatalan izin menjadi kewajiban bagi instansi pemerintah yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang bersangkutan.
Besarnya penggantian yang layak berarti tidak mengurangi tingkat
kesejahteraan pihak yang bersangkutan.
Apabila terjadi sengketa dalam penggantian oleh pemerintah,
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Akibat kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten Kotamadya Daerah Tingkat II adalah berubahnya
fungsi ruang sehingga perlu dilakukan upaya pemulihan.
Pemulihan fungsi pemanfaatan ruang ini diselenggarakan untuk
merehabilitasi fungsi ruang tersebut. Pemulihan fungsi tersebut menjadi
kewajiban Pemerintah Daerah Tingkat II, sesuai dengan alokasi dana
sebagaimana tercantum dalam program pembangunan.

Pasal 27

Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan
koordinasi penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.

Ayat (2)
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta menyusun rencana
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan mempertimbangkan
rencana pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dari
Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya.
Sebaliknya Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah
lainnya menyesuaikan perencanaannya dengan Rencana Tata Ruang
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 28
Ayat (1)
Untuk menyelenggarakan penataan ruang di wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, Bupati/ Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan koordinasi penyusunan
rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29

Ayat (1)
Tugas koordinasi yang dimaksud meliputi keseluruhan penataan ruang
wilayah nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Ayat (2)
Perubahan fungsi ruang suatu kawasan termasuk di dalamnya
perubahan bentuk fisik (bentang alam) dan pemanfaatannya meliputi
perubahan sebagai akibat kejadian alam maupun perbuatan manusia.

Perubahan atau konversi fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar
seperti dari kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan, pertanian,
permukiman, pariwisata, dan sebagainya; kawasan pertanian menjadi
kawasan pertambangan, permukiman, pariwisata, industri, dan sebagainya;
kawasan perumahan menjadi kawasan industri, perdagangan, pariwisata,
dan sebagainya memerlukan pengkajian dan penilaian atas perubahan fungsi
ruang tersebut secara lintas sektoral, lintas daerah, dan terpusat,
dikoordinasikan oleh Menteri.
Perubahan pemanfaatan ruang yang perlu dikoordinasikan, antara lain,
meliputi perubahan ruang lautan menjadi ruang daratan karena reklamasi di
daerah pasang surut, perubahan bentang alam perbukitan karena
penambangan bahan galian golongan C.
Perubahan fungsi ruang yang terjadi setelah ditetapkan Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II disesuaikan ke dalam
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
melalui peraturan daerah yang bersangkutan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 30

Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan


yang telah ada yang berkaitan dengan penataan ruang yang ketentuan-
ketentuanya mengandung Pasal yang tidak sesuai perlu diganti; sedangkan
ketentuan-ketentuan yang sesuai dan sejalan perlu diatur dalam peraturan
pelaksanaan sebagai penjabaran ketentuan Undang-undang ini.
Sebagai contoh, ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) adalah sejalan dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini. Peraturan daerah yang dimaksudkan
dalam Undang-undang ini adalah sama dengan peraturan daerah yang
dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Untuk pedoman pelaksanaannya seperti
dimaksud dalam Undang-undang ini dibuat peraturan pemerintah tentang
penatagunaan tanah sebagai subsistem penataan ruang.
Pada prinsipnya, secara hirarkis baik menurut jenjang administrasi
pemerintahan maupun jenis perencanaan, rencana tata ruang harus ada
mulai dari tingkat yang sangat umum sampai dengan tingkat yang terinci,
dan penyusunannya dilakukan secara berurutan. Akan tetapi, untuk
menghindari kevakuman, penataan ruang yang lebih rendah baik menurut
jenjang administrasi pemerintahan wilayah maupun jenis perencanaannya,
dapat berlaku sambil menunggu penataan ruang di atasnya, sepanjang
penyelenggaraannya tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
undang ini.

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

______________________________________
Undang Undang No. 5 Tahun 1994
Tentang : Pengesahan United Nations Convention On
Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 5 TAHUN 1994 (5/1994)
Tanggal : (JAKARTA)
Sumber : LN 1994/41; TLN NO. 3556

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa keanekaragaman hayati di dunia, khususnya di Indonesia,


berperan penting untuk berlanjutnya proses evolusi serta
terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfer;

b. bahwa keanekaragaman hayati yang meliputi ekosistem, jenis dan


genetik yang mencakup hewan, tumbuhan, dan jasad renik (micro-
organism), perlu dijamin keberadaan dan keberlanjutannya bagi
kehidupan;

c. bahwa keanekaragaman hayati sedang mengalami pengurangan dan


kehilangan yang nyata karena kegiatan tertentu manusia yang dapat
menimbulkan terganggunya keseimbangan sistem kehidupan di bumi,
yang pada gilirannya akan mengganggu berlangsungnya kehidupan
manusia;

d. bahwa diakui adanya peranan masyarakat yang berciri tradisional


seperti tercermin dalam gaya hidupnya, diakui pula adanya peranan
penting wanita, untuk memanfaatkan kekayaan keanekaragaman
hayati dan adanya keinginan untuk membagi manfaat yang adil dalam
penggunaan pengetahuan tradisional tersebut melalui inovasi-inovasi,
dan praktik-praktik yang berkaitan dengan konservasi
keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan;

e. bahwa adanya kesanggupan negara-negara maju untuk menyediakan


sumber dana tambahan dan dana baru serta kemudahan akses untuk
memperoleh alih teknologi bagi kebutuhan negara berkembang dan
memperhatikan kondisi khusus negara terbelakang serta negara
berkepulauan kecil sebagaimana diatur dalam United Nations
Convention on Biological Diversity merupakan peluang yang perlu
ditanggapi secara positif oleh Pemerintah Indonesia;

f. bahwa dalam rangka melestarikan keanekaragaman hayati,


memanfaatkan setiap unsurnya secara berkelanjutan, dan
meningkatkan kerja sama internasional di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi guna kepentingan generasi sekarang dan yang akan
datang, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada
tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992 telah menghasilkan komitmen
internasional dengan ditandatanganinya United Nations Convention on
Biological Diversity oleh sejumlah besar negara di dunia, termasuk
Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Pemerintah


Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan United Nations
Convention on Biological Diversity tersebut dengan Undang-undang;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
MENGENAI KEANEKARAGAMAN HAYATI).

Pasal 1

Mengesahkan United Nations Convention on Biological Diversity (konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati) yang selain
naskah aslinya dalam bahasa Inggeris dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia sebagaimana terlampir yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari Undang-undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS
CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN HAYATI)

I. UMUM

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menggariskan agar


Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Selain itu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menggariskan bahwa "bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran Rakyat:

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor


II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara khususnya tentang
Lingkungan Hidup dan Hubungan Luar Negeri, antara lain, menegaskan
sebagai berikut :
a. Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari
ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh
makhluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian
fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang
dinamis dengan perkembangan kependudukan agar dapat menjamin
pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pembangunan lingkungan
hidup bertujuan meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya
alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan,
mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kualitas lingkungan
hidup.
b. Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara dikelola dan
dimanfaatkan dengan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
agar dapat mengembangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesar-
besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi masa kini maupun bagi
generasi masa depan.
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan
lingkungan hidup dalam kehidupan manusia terus
ditumbuhkembangkan melalui penerangan dan pendidikan dalam dan
luar sekolah, pemberian rangsangan, penegakan hukum, dan disertai
dengan dorongan peran aktif masyarakat untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup dalam setiap kegiatan ekonomi sosial.
c. Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta
keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman
plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem. Penelitian dan
pengembangan potensi manfaat hutan bagi kepentingan
kesejahteraan bangsa, terutama bagi pengembangan pertanian,
industri, dan kesehatan terus ditingkatkan. Inventarisasi, pemantauan,
dan penghitungan nilai sumber daya alam dan lingkungan hidup terus
dikembangkan untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.
d. Kerja sama regional dan internasional mengenai pemeliharaan dan
perlindungan lingkungan hidup, dan peran serta dalam pengembangan
kebijaksanaan internasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi tentang lingkungan perlu terus ditingkatkan bagi
kepentingan pembangunan berkelanjutan.
e. Hubungan luar negeri merupakan kegiatan antarbangsa baik regional
maupun global melalui berbagai forum bilateral dan multilateral yang
diabdikan pada kepentingan nasional, dilandasai prinsip politik luar
negeri bebas aktif dan diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan
dunia baru berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial serta ditujukan untuk lebih meningkatkan kerjasama
internasional, dengan lebih memantapkan dan meningkatkan peranan
Gerakan Nonblok.
f. Peranan Indonesia di dunia internasional dalam membina dan
mempererat persahabatan dan kerjasama yang saling menguntungkan
antara bangsa-bangsa terus diperluas dan ditingkatkan. Perjuangan
bangsa Indonesia di dunia internasional yang menyangkut
kepentingan nasional, seperti upaya lebih memantapkan dasar
pemikiran kenusantaraan, memperluas ekspor dan penanaman modal
dari luar negeri serta kerja sama ilmu pengetahuan dan teknologi,
perlu terus ditingkatkan.
g. Langkah bersama antar negara berkembang untuk mempercepat
terwujudnya perjanjian perdagangan internasional dan meniadakan
hambatan serta pembatasan yang dilakukan oleh negara industri
terhadap ekspor negara berkembang, dan untuk meningkatkan
kerjasama ekonomi dan kerjasama teknik antarnegara berkembang,
terus dilanjutkan dalam rangka mewujudkan tata ekonomi serta tata
informasi dan komunikasi dunia baru.

A. Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang


berkaitan dan mendukung Konvensi.

Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan


mendukung untuk meratifikasi Konvensi dan pelaksanaannya. Peraturan
perundang-undangan yang berlaku antara lain :
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2994), jo Pengumuman Pemerintah Republik
Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia tanggal 17 Pebruari
1969;
c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
d. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3260);
e. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);
f. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Conventions on the Law of the Sea (Lembaran Negara Tahun
1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);
g. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
h. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya
Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3478);
i. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);
j. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Pengesahan
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora
and Fauna (Lembaran Negara Tahun 1978 Nomor 51);
k. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1989 tentang Pengesahan
Convention Concerning the Protection of the World Cultural and
Natural Heritage (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 17);
l. Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1991 tentang Pengesahan
Convention on Wetlands of International Importance Especially as
Waterfowl Habitat (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 73);

Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang telah berlaku dan


konvensi-konvensi yang telah disahkan tersebut sejalan dengan isi United
Nations Convention on Biological Diversity. Dengan demikian, pengesahan
Konvensi ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.

B. Latar Belakang Lahirnya Konvensi

Konvensi Keanekaragaman Hayati yang selanjutnya disebut Konvensi,


dalam bahasa aslinya bernama United Nations Convention on Biological
Diversity. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 157 kepala negara dan/atau
kepala pemerintahan atau wakil negara pada waktu naskah Konvensi ini
diresmikan di Rio de Janeiro, Brazil.
Penandatanganan ini terlaksana selama penyelenggaraan United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED), pada
tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992. Indonesia merupakan negara
kedelapan yang menandatangani Konvensi di Rio de Janeiro, Brazil, pada
tanggal 5 Juni 1992.
Tanggal inilah yang tercantum pada naskah Konvensi sebagai tanggal
peresmiannya. Naskah akhir Konvensi terbentuk setelah melalui beberapa
tahap perundingan yang dilakukan di berbagai tempat dengan melibatkan
berbagai kelompok kepakaran.

Konferensi di Rio de Janeiro, Brazil, yang sebelumnya didahului oleh


tiga pertemuan kepakaran teknis dan tujuh sidang, diselenggarakan antara
Nopember 1988 sampai dengan Mei 1992. Pertemuan dan sidang tersebut
selalu dihadiri oleh delegasi Indonesia.
Sebagai tindak lanjut keputusan Governing Council No. 14/17 tanggal
17 Juni 1987, dibentuk Ad Hoc Working Group of Experts on Biological
Diversity, yang kemudian diselenggarakan tiga sidang dalam masa antara
Nopember 1988 hingga Juli 1990.
Berdasarkan laporan akhir Ad Hoc Working Group of Experts,
Governing Council, dengan keputusan No. 15/34 tanggal 25 Mei 1989,
membentuk Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts. Ad Hoc
Working Group ini mempunyai kewenangan merundingkan perangkat hukum
internasional untuk pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati. Ad Hoc Working Group ini menyelenggarakan
sidang-sidang sebagai berikut :
a. First Session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts on
Biological Diversity di Nairobi, Kenya, pada tanggal 19 sampai dengan
23 Nopember 1990;
b. Second Session Ad Hoc Working Group of Legal and Technical Experts
on Biological Diversity di Nairobi, Kenya, pada tanggal 25 Februari
sampai dengan 6 Maret 1991;
c. Third Session of Intergovernmental Negotiating Commitee for a
Convention on Biological Diversity (INC-CBD) di Madrid, Spanyol,
pada tanggal 24 Juni sampai dengan 3 Juli 1991. Dalam sidang ini
disajikan dan dibahas konsep (draft) Konvensi Keanekaragaman
Hayati;
d. Fourth Session INC-CBD di Nairobi, Kenya, pada tanggal 23
September sampai dengan 2 Oktober 1991;
e. Fifth Session of INC-CBD di Geneva, Swiss, pada tanggal 25 Nopember
sampai dengan 4 Desember 1991;
f. Sixth Session of INC-CBD di Nairobi, Kenya, pada tanggal 6 sampai
dengan 15 Pebruari 1992;
g. Sidang terakhir diadakan di Nairobi, Kenya, pada tanggal 11 sampai
dengan 22 Mei 1992. Pada sidang terakhir ini disusun Nairobi Final Act
of the Conference for the Adoption of the Agreed Text of the
Convention on Biological Diversity. Semua negara diundang untuk
berpartisipasi dalam pertemuan pengesahan teks Konvensi yang telah
disetujui. Selain negara-negara ini, ikut hadir pula Masyarakat
Ekonomi Eropa dan beberapa badan dalam Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan Lembaga Swadaya Masyarakat internasional sebagai
peninjau.

Sesudah pengesahan ini dikeluarkan empat Resolutions Adopted by the


Conference for the Adoption of the Agreed Text of the Convention on
Biological Diversity. Semuanya disahkan pada tanggal 22 Mei 1992.
Keempat resolusi tersebut ialah :
a. Interim Financial Agreement;
b. International Cooperation for the Conservation of Biological Diversity
and the Sustainable use of Its Components Pending the Entry into
Force of the Convention on Biological Diversity;
c. The Interrelationship between the Convention on Biological Diversity
and the Promotion of Sustainable Agriculture;
d. Tribute to the Government of the Republic of Kenya.

Selain itu, dikeluarkan juga Declaration Made at the Time of Adoption of the
Agreed Text of the Convention on Biological Diversity, yang di antaranya
berisi saran, keberatan, usul perubahan, dan penyempurnaan.

C. Naskah Konvensi
Naskah Konvensi terdiri atas :
a. Batang Tubuh yang berisi pembukaan dan 42 pasal, yaitu :
1. Tujuan;
2. Pengertian;
3. Prinsip;
4. Lingkup Kedaulatan;
5. Kerja sama Internasional;
6. Tindakan Umum bagi Konservasi dan Pemanfaatan secara
Berkelanjutan;
7. Identifikasi dan Pemantauan;
8. Konservasi In-situ;
9. Konservasi Ex-situ;
10. Pemanfaatan secara Berkelanjutan Komponen-komponen
Keanekaragaman Hayati;
11. Tindakan Insentif;
12. Penelitian dan Pelatihan;
13. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat;
14. Pengkajian Dampak dan Pengurangan Dampak yang Merugikan;
15. Akses pada Sumber Daya Genetik;
16. Akses pada Teknologi dan Alih Teknologi;
17. Pertukaran Informasi;
18. Kerja Sama Teknis dan Ilmiah;
19. Penanganan Bioteknologi dan Pembagian Keuntungan;
20. Sumber Dana;
21. Mekanisme Pendanaan;
22. Hubungan dengan Konvensi Internasional yang Lain;
23. Konferensi Para Pihak;
24. Sekretariat;
25. Badan Pendukung untuk Nasihat-nasihat Ilmiah, Teknis dan
Teknologis;
26. Laporan;
27. Penyelesaian Sengketa;
28. Pengesahan Protokol;
29. Amandemen Konvensi atau Protokol;
30. Pengesahan dan Lampiran Amandemen;
31. Hak Suara;
32. Hubungan antara Konvensi dan Protokolnya;
33. Penandatanganan;
34. Ratifikasi, Penerimaan atau Persetujuan;
35. Aksesi;
36. Hal Berlakunya;
37. Keberatan-keberatan (Reservasi);
38. Penarikan Diri;
39. Pengaturan Pendanaan Interim;
40. Pengaturan Sekretariat Interim;
41. Depositari;
42. Teks Asli

b. Lampiran :

Lampiran I :
Indentifikasi dan Pemantauan (Indentification and Monitoring);

Lampiran II :
Bagian 1. Arbitrase (Arbitration) dan
Bagian 2. Konsiliasi (Conciliation).

Uraian secara lengkap naskah Konvensi tersebut di atas dapat dilihat


pada salinan naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggeris dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia terlampir.

D. Manfaat Konvensi
Dengan meratifikasi Konvensi, Indonesia akan memperoleh manfaat
berupa :
1. Penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa
Indonesia peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia,
yang menyangkut bidang keanekaragaman hayati, dan ikut
bertanggung jawab menyelamatkan kelangsungan hidup
manusia pada umumnya dan bangsa Indonessia pada
khususnya;
2. Penguasaan dan pengendalian dalam mengatur akses terhadap
alih teknologi, berdasarkan asas perlakuan dan pembagian
keuntungan yang adil dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan nasional;
3. Peningkatan kemampuan pemanfaatan dan pengembangan
teknologi yang diperlukan untuk memanfaatkan secara lestari
dan meningkatkan nilai tambah keanekaragaman hayati
Indonesia dengan mengembangkan sumber daya genetik;
4. Peningkatan pengetahuan yang berkenaan dengan
keanekaragaman hayati Indonesia sehingga dalam
pemanfaatannya Indonesia benar-benar menerapkan Asas Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi seperti yang diamanatkan dalam
GBHN 1993;
5. Jaminan bahwa Pemerintah Indonesia dapat menggalang kerja
sama di bidang teknis ilmiah baik antarsektor pemerintah
maupun dengan sektor swasta, di dalam dan di luar negeri,
memadukan sejauh mungkin pelestarian dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program, dan
kebijakan baik secara sektoral maupun lintas sektoral;
6. Pengembangan dan penanganan bioteknologi sehingga
Indonesia tidak dijadikan ajang uji coba pelepasan organisme
yang telah direkayasa secara bioteknologi oleh negara-negara
lain;
7. Pengembangan sumber dana untuk penelitian dan
pengembangan keanekaragaman hayati Indonesia;
8. Pengembangan kerja sama internasional untuk peningkatan
kemampuan dalam konservasi dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati, meliputi :
a) Penetapan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati baik
in-situ maupun ex-situ;
b) Pengembangan pola-pola insentif baik secara sosial
budaya maupun ekonomi untuk upaya perlindungan dan
pemanfaatan secara lestari;
c) Pertukaran Informasi;
d) Pengembangan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan
peningkatan peran serta masyarakat.

Dengan meratifikasi Konvensi ini, kita tidak akan kehilangan


kedaulatan atas sumber daya alam keanekaragaman hayati yang kita
miliki karena Konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara,
sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum
Internasional, mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber
daya alam keanekaragaman hayati secara bekelanjutan sejalan
dengan keadaan lingkungan serta sesuai dengan kebijakan
pembangunan dan tanggung jawab masing-masing sehingga tidak
merusak lingkungan.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa


Indonesia, maka dipergunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa
Inggeris.

Pasal 2

Cukup jelas

LAMPIRAN I
UNDANG - UNDANG NO. 5 TAHUN 1994

IDENTITAS DAN PEMANTAUAN

1. Ekosistem dan habitat berisi keragaman yang tinggi, sejumlah besar


jenis atau hidupan liar endemik atau terancam kepunahan; yang
diperlukan oleh jenis yang bermigrasi, mempunyai nilai penting secara
ekonomi, budaya atau ilmiah; atau yang mewakili, unik atau
dihubungkan dengan kunci proses-proses evolusi atau biologi lain;
2. Jenis dan komunitas yang terancam; berkerabat dengan jenis
domestik atau budidaya; mempunyai nilai penting untuk obat-obatan,
pertanian atau nilai ekonomis yang lain; atau mempunyai nilai sosial,
ilmiah atau budaya yang penting; atau bernilai penting untuk
penelitian bagi konservasi dan pemantauan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati, seperti halnya jenis indikator; dan
3. Genome dan gene tertentu yang mempunyai nilai sosial, ilmiah dan
ekonomi penting.
LAMPIRAN II
UNDANG - UNDANG NO. 5 TAHUN 1994

Bagian 1
ARBITRASE

Pasal 1
Pihak penuntut harus memberitahu sekretariat bahwa pihak-pihak
tersebut mengajukan persengketaan kepada arbitrase menurut Pasal 27.
Pemberitahuan tersebut harus menyebutkan pokok permasalahan arbitrase
dan mencantumkan secara khusus pasal-pasal dalam Konvensi atau
protokol, tafsiran atau penerapan hal-hal yang menjadi pokok permasalahan.
Jika pihak-pihak tersebut sepakat dengan pokok permasalahan
persengketaan sebelum Presiden pengadilan ditunjuk, sidang arbitrase
(arbitral) wajib menjelaskan pokok permasalahan tersebut. Sekretariat wajib
menyampaikan informasi ini sehingga diterima oleh semua pihak-pihak
penandatangan Konvensi ini atau kepada protokol yang berkaitan.

Pasal 2
1. Dalam persengketaan antara dua pihak, sidang arbitrase harus terdiri
dari tiga anggota. Setiap pihak yang bersengketa harus menunjuk
seorang penengah dan kedua penengah yang ditunjuk wajib
menunjuk, dengan persetujuan bersama, penengah ketiga yang akan
menjadi Presiden pengadilan. Penengah ketiga harus bukan warga
negara salah satu pihak yang bersengketa, atau mempunyai tempat
tinggal di dalam wilayah salah satu pihak tersebut, atau bekerja
pada salah satu dari pihak tersebut, mempunyai urusan apapun
dengan kasus ini dalam kapasitas apapun.
2. Dalam persengketaan di antara lebih dari dua pihak, pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan sama dapat menunjuk satu penengah atas
dasar persetujuan bersama.
3. Setiap lowongan harus diisi dengan cara yang telah ditentukan bagi
penunjukan awal.

Pasal 3
1. Presiden sidang arbitrase belum ditunjuk dalam jangka waktu dua
bulan sejak penunjukan penengah kedua, Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa akan, atas permintaan salah satu pihak,
menunjuk Presiden dalam jangka dua bulan berikutnya.
2. Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak menunjuk seorang
penengah dalam jangka waktu dua bulan sejak penerimaan
permohonan, pihak yang lain dapat memberitahu Sekretaris Jenderal
yang wajib mengadakan penunjukan dalam jangka dua bulan
berikutnya.

Pasal 4
Sidang arbitrase wajib membuat keputusannya sesuai dengan
ketetapan Konvensi ini, semua protokol yang berkaitan, dan hukum
internasional.

Pasal 5
Jika pihak-pihak yang bersengketa tidak setuju, sidang arbitrase wajib
menentukan peraturan-peraturan prosedur persidangan sendiri.

Pasal 6
Sidang arbitrase dapat, dengan permintaan salah satu pihak,
merekomendasikan langkah-langkah sementara untuk perlindungan.

Pasal 7
Pihak-pihak yang bersengketa wajib membantu pekerjaan sidang
arbitrase dan khususnya, menggunakan semua sarana yang dimilikinya,
akan :
(a) Memberi sidang segala dokumen, informasi dan fasilitas yang
berkaitan; dan
(b) Membantu sidang, bilamana perlu, untuk memanggil saksi-saksi atau
para ahli dan menerima bukti-bukti mereka.

Pasal 8
Pihak-pihak yang bersengketa dan para hakim di bawah sumpah untuk
melindungi kerahasiaan setiap informasi yang mereka terima secara rahasia
selama berlangsungnya sidang arbitrase.

Pasal 9
Jika sidang arbitrase tidak menetapkan hal yang berlawanan, karena
keadaan khusus kasus tersebut, biaya sidang arbitrase wajib ditanggung oleh
pihak-pihak yang bersengketa dengan pembagian yang sama. Sidang wajib
mencatat segala pembiayaannya, dan harus membuat pernyataan akhir
kepada pihak-pihak yang bersengketa.
Pasal 10
Setiap Pihak pada Konvensi yang mempunyai kepentingan bersifat
hukum dalam pokok permasalahan persengketaan yang dapat terpengaruh
oleh keputusan kasus tersebut, dapat campur tangan dalam proses
persidangan dengan ijin sidang.

Pasal 11
Sidang dapat mendengar dan menentukan tuntutan baik yang muncul
secara langsung dari pokok permasalahan persengketaan.

Pasal 12
Keputusan, baik pada prosedur dan substansi sidang arbitrase harus
ditentukan melalui hasil pemungutan suara terbanyak anggota-anggota
sidang.

Pasal 13
Jika salah satu pihak yang bersengketa tidak muncul dalam sidang
arbitrase atau gagal dalam mempertahankan kasusnya, pihak yang lain
dapat meminta sidang untuk melanjutkan acara persidangan dan
memberikan keputusannya. Ketidakhadiran satu pihak atau kegagalan satu
pihak untuk mempertahankan kasusnya harus tidak merupakan penghalang
bagi acara persidangan. Sebelum membuat keputusan akhirnya, sidang
arbitrase harus meyakinkan diri bahwa tuntutan tersebut berdasarkan pada
fakta dan hukum yang kuat.

Pasal 14
Sidang wajib membuat keputusan akhirnya dalam jangka lima bulan
sejak sidang tersebut sepenuhnya diangkat kecuali jika dirasa perlu untuk
memperpanjang batas waktu hingga pada periode yang tidak lebih dari lima
bulan lagi.

Pasal 15
Keputusan akhir sidang arbitrase harus dibatasi pada pokok
permasalahan persengketaan dan harus menyatakan pertimbangan-
pertimbangan yang menjadi dasarnya. Keputusan tersebut harus memuat
nama-nama para anggota yang telah berperan serta dan tanggal keputusan
akhirnya. Setiap anggota sidang arbitrase dapat melampirkan opini terpisah
atau ketidaksepakatannya pada keputusan akhir tersebut.
Pasal 16
Keputusan sidang wajib mengikat pihak-pihak yang bersengketa.
Keputusan tersebut harus tanpa permohonan banding kecuali pihak-pihak
yang bersengketa sebelumnya telah menyetujui prosedur untuk naik
banding.

Pasal 17
Setiap perbedaan pendapat yang dapat timbul diantara pihak-pihak
yang bersengketa sebagai akibat penafsiran atau cara pelaksanaan
keputusan akhir tersebut dapat diajukan oleh masing-masing pihak pada
sidang arbitrase yang mengeluarkan keputusan tersebut untuk
ketegasannya.

Bagian 1
KONSILIASI (CONCILIATION)

Pasal 1
Dewan konsiliasi wajib dibentuk berdasarkan permohonan salah satu
pihak yang bersengketa. Dewan tersebut akan terdiri dari lima anggota, dua
dipilih oleh setiap pihak yang bersengketa dan seorang Presiden yang dipilih
secara bersama oleh keempat anggota tersebut, kecuali bilamana pihak-
pihak yang bersengketa tidak setuju.

Pasal 2
Dalam persengketaan antara lebih dari dua pihak, pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan yang sama wajib menunjuk anggota mereka pada
dewan konsiliasi secara bersama-sama melalui persetujuan. Jika dua atau
lebih pihak yang bersengketa tersebut mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda atau bilamana ada ketidaksetujuan bilamana pihak-pihak
tersebut mempunyai kepentingan yang sama, mereka dapat memilih
anggota-anggota secara terpisah.

Pasal 3
Jika penunjukan anggota-anggota dewan dari setiap pihak yang
bersengketa tidak dilaksanakan dalam jangka waktu dua bulan sejak tanggal
permohonan untuk membentuk dewan konsiliasi, Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa jika diminta oleh pihak yang mengajukan
permohonan dapat membuat penunjukannya tersebut jangka dua bulan
berikutnya.

Pasal 4
Jika Presiden dewan konsiliasi tidak terpilih dalam jangka waktu dua
bulan sejak anggota dewan terakhir terpilih. Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa jika diminta oleh salah satu pihak, dapat menunjuk seorang
Presiden dalam jangka waktu dua bulan berikutnya.

Pasal 5
Dewan konsiliasi wajib membuat keputusannya melalui pemungutan
suara terbanyak dari para anggotanya. Dewan tersebut harus, kecuali bila
pihak-pihak yang bersengketa tidak setuju, menetapkan prosedurnya sendiri.
Dewan wajib membuat usulan untuk pemecahan persengketaan yang harus
diterima oleh semua pihak yang bersengketa dengan itikad baik.

Pasal 6
Ketidaksepakatan mengenai kewenangan dewan konsiliasi wajib
diputuskan oleh dewan tersebut.

______________________________________
Undang Undang No. 6 Tahun 1994

Tentang:
Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change
(Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim)

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor : 6 TAHUN 1994 (6/1994)


Tanggal : 1 AGUSTUS 1994 (JAKARTA)
Sumber : LN 1994/42; TLN NO. 3557

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa perubahan iklim bumi yang diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer akan memberikan pengaruh merugikan pada lingkungan
hidup dan kehidupan manusia;
b. bahwa dalam rangka upaya mencegah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
di atmosfer, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada
tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992 telah menghasilkan komitmen
internasional dengan ditandatanganinya United Nations Framework Convention on
Climate Change oleh sejumlah besar negara di dunia, termasuk Indonesia;
c. bahwa dalam upaya mencegah berlanjutnya perubahan iklim yang merugikan
lingkungan hidup dan kehidupan manusia, masyarakat internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui untuk mengupayakan pengurangan
emisi gas rumah kaca yang diproyeksikan pada tahun 1990;
d. bahwa Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografi
dunia karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah
terbesar di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia
mempunyai fungsi sebagai penyerap gas rumah kaca yang besar;
e. bahwa komitmen negara-negara maju untuk menyediakan bantuan dana dan alih
teknologi kepada negara-negara berkembang yang merupakan tanggung jawab
negara-negara maju, sebagaimana diatur dalam United Nations Framework
Convention on Climate Change, perlu ditanggapi secara positif oleh Pemerintah
Indonesia;
f. bahwa Indonesia perlu ikut aktif mengambil bagian bersama-sama dengan
anggota masyarakat internasional lainnya dalam upaya mencegah meningkatnya
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, karena itu Pemerintah telah
menandatangani United Nations Framework Convention on Climate Change di Rio
de Janeiro, Brazil, pada tanggal 5 Juni 1992;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Pemerintah Indonesia
memandang perlu untuk mengesahkan United Nations Framework Convention on
Climate Change tersebut dengan Undangundang.

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS FRAMEWORK


CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA MENGENAI PERUBAHAN IKLIM).

Pasal 1

Mengesahkan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi


Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) yang salinan
naskah aslinya dalam bahasa Inggeris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sebagaimana terlampir yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintah-kan pengundangan Undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MOERDIONO
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS FRAMEWORK
CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (KONVENSI KERANGKA KERJA
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI PERUBAHAN IKLIM)

I. UMUM

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menegaskan agar Pemerintah


Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selain itu, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa "Bumi
dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Pasal tersebut mengandung
esensi amanat yang mendasar bagi pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia.
Dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, manusia dapat
berperan dalam mengendalikan sistem iklim melalui pengelolaan sumber daya alam.

Untuk itu perlu dikembangkan pola interaksi timbal balik antara atmosfer, bumi dan air
yang dapat membentuk sistem iklim tersebut. Pengelolaan iklim terus dikembangkan
guna menunjang pembangunan di berbagai sektor, seperti pertanian dan kehutanan.

Ketetapan Mejelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993


tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara khususnya tentang Lingkungan Hidup dan
Hubungan Luar Negeri, antara lain menegaskan sebagai berikut:

a. Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem


yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh makhluk hidup dimuka
bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam
keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan
kependudukan agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Pembangunan lingkungan hidup bertujuan meningkatkan mutu, memanfaatkan
sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan,
mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
b. Dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, dikembangkan
pola tata ruang yang menyerasikan tata guna lahan, air serta sumber daya alam
lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta
ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi. Tata ruang
perlu dikelola berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan wilayah dengan
memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial. Tata guna lahan
dikembangkan dengan memberikan perhatian khusus pada pencegahan
penggunaan lahan pertanian produktif yang dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem. Dalam mengembangkan tata guna air perhatian khusus perlu
diberikan pada penyediaan air yang cukup dan bersih serta berkesinambungan,
pencegahan kemerosotan mutu dan kelestarian air, serta penyelamatan daerah
aliran sungai. Setiap perubahan keadaan dan fungsi lingkungan berikut segenap
unsurnya perlu terus dinilai dan dikendalikan secara seksama agar pengamanan
dan perlindungannya dapat dilaksanakan setepat mungkin.
c. Lingkungan hidup yang rusak atau terganggu keseimbangannya perlu
direhabilitasi agar kembali berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan memberi
manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pembinaan dan penegakan hukum
untuk mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan ditingkatkan. Dalam upaya
a. pengendalian pencemaran dapat digunakan berbagai perangkat ekonomi dengan
pemanfaatan teknologi yang sesuai agar kualitas lingkungan hidup dapat
dipertahankan. Sarana dan prasarana dalam pengelolaan limbah termasuk limbah
rumah tangga, limbah industri, dan limbah berbahaya serta beracun perlu
ditingkatkan agar kualitas lingkungan hidup yang lestari dapat terjamin
keberlanjutannya.
d. Kerjasama regional dan internasional mengenai pemeliharaan dan perlindungan
lingkungan hidup, dan peran serta dalam pengembangan kebijaksanaan
internasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang lingkungan
perlu terus ditingkatkan bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan.
e. Hubungan luar negeri merupakan kegiatan antar bangsa baik regional maupun
global melalui berbagai forum bilateral dan multilateral yang diabdikan pada
kepentingan nasional, dilandasi prinsip politik luar negeri bebas aktif dan
diarahkan untuk turut mewujudkan tatanan dunia baru berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial serta ditujukan untuk lebih
meningkatkan kerjasama internasional, dengan lebih memantapkan dan
meningkatkan peranan Gerakan Nonblok.

A. Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia yang Berkaitan dan


Mendukung Konvensi.

Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan


mendukung untuk meratifikasi Konvensi dan pelaksanaannya. Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku antara lain:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2823);
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2994) jo. Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen
Indonesia tanggal 17 Februari 1969;
c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
d. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3260);
e. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara
Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
f. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);
g. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);
h. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3478);
i. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
j. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
k. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Vienna
Convention for the Protection of the Ozone Layer, dan Montreal Protocol on
Substances that Deplete the Ozone Layer as Adjusted and Amended by the
Second Meeting of the Parties (Lembaran Negara Tahun 1922 Nomor 50);

Indonesia merupakan anggota Organisasi Meteorologi Dunia telah melakukan aksesi


Convention of the World Meteorological Organization (WMO) pada tanggal 16 Nopember
1950.

Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang yang telah berlaku dan konvensi-konvensi


yang telah disahkan tersebut sejalan dengan isi United Nations Framework Convention
on Climate Change. Dengan demikian, pengesahan konvensi ini tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Setiap negara diharapkan mengkoordinasikan tindakan dalam upaya penanggulangan


perubahan iklim. Untuk itu perlu disiapkan peraturan-peraturan yang menyangkut
perubahan iklim serta mendorong masyarakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

B. Latar Belakang Lahirnya Konvensi

Resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 44/228 tanggal 22


Desember 1989 pada Konferensi Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan Resolusi Nomor 43/53 tanggal 6 Desember 1988, Nomor 44/207 tanggal 22
Desember 1989, Nomor 45/212 tanggal 21 Desember 1990, dan Nomor 44/169 tanggal
19 Desember 1991 telah membahas masalah iklim global.

Di samping itu, pada ketentuan-ketentuan resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan


Bangsa-Bangsa Nomor 44/206 tanggal 22 Desember 1989 dibahas pula tentang
kemungkinan akibat yang merugikan dari kenaikan permukaan laut pada pulau-pulau
dan daerah pesisir, terutama pada daerah pesisir daratan rendah, dan ketentuan-
ketentuan terkait dalam Resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa
Nomor 44/172 tanggal 19 Desember 1989 tentang Implementasi Rencana Kerja Nyata
untuk Menanggulangi Penggurunan (desertification).

Dalam rangka itu telah dipertimbangkan pula Konvensi Wina tentang Perlindungan
Lapisan Ozon 1985 dan Protokol Montreal tentang Bahan-bahan yang Dapat Merusak
Lapisan Ozon yang telah disesuaikan dan diamandemenkan pada tanggal 29 Juni 1990,
dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992.

Para pihak pada Konvensi menyadari adanya analisis yang sangat berharga yang telah
dilakukan oleh banyak negara mengenai perubahan iklim dan sumbangan penting dari
Organisasi Meteorologi Dunia (the World Meteorological Organization = WNO), Badan
Pembangunan Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations Environment
Programme = UNEP) dan badan-badan lain, serta organisasi dan badan-badan di dalam
sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pertukaran hasil penelitian ilmiah dan
koordinasi riset.

C. Naskah Konvensi

Naskah Konvensi terdiri atas:

a. Batang Tubuh yang berisi pembukaan dan 26 pasal sebagai berikut:

1. Pengertian;
2. Tujuan;
3. Prinsip-prinsip;
4. Komitmen;
5. Penelitian dan Pengamatan Sistemik;
6. Pendidikan, Pelatihan dan Kesadaran Masyarakat;
7. Konferensi Para Pihak;
8. Sekretariat;
9. Badan Pendukung untuk Nasihat-nasihat Ilmiah dan Teknologis;
10. Badan Pendukung Pelaksanaan;
11. Mekanisme Pembiayaan;
12. Komunikasi Informasi Mengenai Pelaksanaan;
13. Penyelesaian Masalah-masalah Pelaksanaan;
14. Penyelesaian Sengketa;
15. Perubahan-perubahan terhadap Konvensi;
16. Persetujuan dan Perubahan Lampiran-lampiran pada Konvensi;
17. Protokol;
18. Hak Suara;
19. Depositari;
20. Penandatangan;
21. Pengaturan Sementara;
22. Ratifikasi, Penerimaan, Persetujuan atau Aksesi;
23. Hal Berlakunya;
24. Keberatan-keberatan (Reservasi);
25. Penarikan Diri;
26. Teks Asli.

b. Lampiran :

Lampiran I:
Daftar Negara Maju dan Negara Ekonomi Transisi. Yang dimaksud dengan
"Negara Ekonomi Transisi" adalah negara yang sedang mengalami masa transisi
dari sistem ekonomi dengan perencanaan terpusat menuju sistem ekonomi pasar.

Lampiran II:
Daftar Negara Industri Maju yang Berkewajiban Menyediakan Pendanaan. Uraian
secara lengkap naskah Konvensi tersebut di atas dapat dilihat pada salinan
naskah asli Konvensi dalam Bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia terlampir.

D. Manfaat Konvensi

Dengan meratifikasi Konvensi ini, Indonesia akan memperoleh manfaat berupa:

a. Di dalam negeri, akan menambah lagi perangkat hukum yang lebih menjamin
terselenggaranya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Ketentuan-ketentuannya akan menjadi bagian dari hukum nasional yang
mengatur masalah iklim dan lingkungan, sebagaimana yang sudah secara
konsisten dilakukan oleh Negara Republik Indonesia.
b. Di luar negeri, akan menunjukkan bahwa Indonesia turut bertanggung jawab
terhadap masalah lingkungan global, khususnya pada masalah perubahan iklim
bumi yang dampaknya akan menimbulkan keprihatinan bersama umat manusia.
Kita menyadari bahwa kegiatan manusia telah meningkatkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer dan peningkatan ini akan memperbesar efek gas rumah
kaca yang pada gilirannya berakibat naiknya rata-rata pemanasan permukaan
bumi dan atmosfer yang dapat mengganggu ekosistem.
c. Manfaat lain, lebih terbuka kesempatan yang sangat luas bagi Indonesia untuk
selalu bekerja sama dan berkomunikasi dengan negara-negara lain dan
organisasi-organisasi internasional melalui komunikasi informasi yang
dilembagakan oleh Konvensi.

Di antara Komunikasi tersebut yang penting ialah berupa pertukaran ilmiah dan
teknologi karena Konvensi juga membentuk Badan Pendukung untuk nasihat ilmiah dan
teknologi yang terbuka bagi semua pihak dan multidisiplin.

Dengan meratifikasi Konvensi ini, kita tidak akan kehilangan kedaulatan atas sumber
alam yang kita miliki karena Konvensi ini tetap mengakui bahwa negara-negara sesuai
dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip hukum internasional
mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber alam sejalan dengan keadaan
lingkungan serta sesuai dengan kebijakan pembangunan dan tanggung jawab masing-
masing sehingga tidak merusak lingkungan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia,


maka dipergunakan salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris.

Pasal 2

Cukup jelas
___________________________
Undang Undang No. 23 Tahun 1997
Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 23 TAHUN 1997 (23/1997)
Tanggal : 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)
Sumber : LN 1997/68; TLN NO.3699

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan


Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang
bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan
Wawasan Nusantara;

b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk


memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa
depan;

c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup


untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan
hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang
terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup;

d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka


pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat
kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta
perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan
hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa
sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup;

f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan


e di atas perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain;
2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup;
3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan;
4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup;
5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan
perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu
kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain;
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya;
9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
10. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber
daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan
sumber daya buatan;
11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang;
14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan;
15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam
tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya;
16 Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat
atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lain;
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang
karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain;
19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup;
20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan;
21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan;
22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk
atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang
tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup;
23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan
oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat
ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau
kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang,
dan/atau badan hukum;
25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
hidup.

Pasal 2

Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara


Kesatuan Republik Indonesia yang berWawasan Nusantara dalam
melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN

Pasal 3

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung


jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pasal 4

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :


a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
manusia dan lingkungan hidup;
b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak
usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.

(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka


pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 6

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan


hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban


memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan
lingkungan hidup.

Pasal 7

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya


untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
(1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
(2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
(3) menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial;
(4) memberikan saran pendapat;
(5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 8

(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya
ditentukan oleh Pemerintah.

(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), Pemerintah:
a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup;
b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan
lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam,
termasuk sumber daya genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang
dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum
terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk
sumber daya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi
lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

(1) Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan


lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan
nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.

(2) Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh


instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab
masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan
memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan


penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati,
perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan
perubahan iklim.

(4) Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional


pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dikoordinasi oleh Menteri.

Pasal 10

Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban:


(1) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup;

(2) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan


kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
(3) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam
upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

(4) mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan


lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup;

(5) mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif,


preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

(6) memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan


hidup;

(7) menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang


lingkungan hidup;

(8) menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya


kepada masyarakat;

(9) memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di


bidang lingkungan hidup.

Pasal 11

(1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan


secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh
Menteri.

(2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi


serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 12

(1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan


kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat:
a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup
kepada perangkat di wilayah;
b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan
hidup di daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah


dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah
menjadi urusan rumah tangganya.

(2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan


dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 14

(1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha


dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.

(2) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan


penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,


pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya
dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat


menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang


menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan


pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada
pihak lain.

(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 17

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan


pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan,


mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau
membuang.

(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur


lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama Perizinan

Pasal 18

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.

(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan


persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian
dampak lingkungan hidup.
Pasal 19

(1) Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib


diperhatikan:
a. rencana tata ruang;
b. pendapat masyarakat;
c. pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang
berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.

(2) Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.

Pasal 20

(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan


pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.

(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar
wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.

(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.

(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan
yang ditetapkan oleh Menteri.

(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 21

Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan


beracun.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 22

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab


usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan.

(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah


Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan.

Pasal 23

Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan


oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk itu oleh Pemerintah.

Pasal 24

(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil
contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang
bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan
petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda


pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan tersebut.

Bagian Ketiga Sanksi Administrasi

Pasal 25

(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan


pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta
menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau
pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan
kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan
Peraturan Daerah Tingkat I.

(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan


kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan
pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.

(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan
pembayaran sejumlah uang tertentu.

Pasal 26

(1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya
hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27

(1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin


usaha dan/atau kegiatan.

(2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha
dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.

(3) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada


pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan
karena merugikan kepentingannya.

Bagian Keempat Audit Lingkungan Hidup

Pasal 28

Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah


mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit lingkungan hidup.
Pasal 29

(1) Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha


dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila
yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang ini.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk


melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak


melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.

(4) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri.

(5) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama Umum

Pasal 30

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui


pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela
para pihak yang bersengketa.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di


luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau
para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup


di Luar Pengadilan

Pasal 31

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan


untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya
atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Pasal 32

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga,
baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang
memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 33

(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia


jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat
bebas dan tidak berpihak.

(2) Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa


lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup


Melalui Pengadilan

Paragraf 1: Ganti Rugi

Pasal 34

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau


perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.

(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.

Paragraf 2 :Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 35

(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan


kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari


kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di
bawah ini:

a. adanya bencana alam atau peperangan; atau


b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Paragraf 3 : Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Pasal 36

(1) Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan


mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan
Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban
mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun.

Paragraf 4 : Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup


Untuk Mengajukan Gugatan

Pasal 37

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan


dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat


pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa
sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan
hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan


hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup
berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.

(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa
adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Pasal 39

Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku.

BAB VIII
PENYIDIKAN

Pasal 40

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan
lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang berlaku.

(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan
hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain
serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan


Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 41

(1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 42

(1) Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang


mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 43

(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan


yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi,
dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas
atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan,
melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut,
menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya,
padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).

(2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja
memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau
menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam
kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
atau nyawa orang lain.

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan
denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 44

(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan


yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama
tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 45

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 46

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,


perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di
tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan
yang tetap.

(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,


perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan
diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya
pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Pasal 47

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang


Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga
tahun.
Pasal 48

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 49

(1) Selambat-lambatnya lima tahun sejak diundangkannya Undang-


undang ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin,
wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undang-
undang ini.

(2) Sejak diundangkannya Undang-undang ini dilarang menerbitkan izin


usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan limbah bahan berbahaya
dan beracun yang diimpor.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 50

Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-


undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 51

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 4


Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3215) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 52

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

I. UMUM

(1) Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha


Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan
rahmatNya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya
agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat
dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan
dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Pancasila, sebagai dasar dan falsafah negara, merupakan kesatuan
yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan
bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika
didasarkan atas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik
dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun
manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia
sebagai pribadi, dalam rangka mencapai kemajuan lahir dan
kebahagiaan batin. Antara manusia, masyarakat, dan lingkungan
hidup terdapat hubungan timbal balik, yang selalu harus dibina dan
dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan yang dinamis.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati generasi masa
kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan.
Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan
memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran
rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk
mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya
alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan
hidup.

(2) Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas


wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan
tetapi, lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus
jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Lingkungan yang
dimaksud adalah lingkungan hidup Indonesia.
Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat
negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak
berdaulat serta yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup
Indonesia tidak lain adalah wilayah, yang menempati posisi silang
antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca
serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan dengan
peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat dan
bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam segala aspeknya. Dengan demikian,
wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup
Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

(3) Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas


berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi,
dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan.
Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan
lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti
juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Dalam pada itu,
pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan
mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi ketahanan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena
itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu
sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu,
diperlukan suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup
yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat
sampai ke daerah.

(4) Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya


alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat.
Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak
merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan
permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat
sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak
lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya
tampung lingkungan hidup dapat menurun.
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan
fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat
rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan
merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan
pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan
kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan,
dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang
perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya
masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain-lain, untuk
memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.
Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber
daya alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan
pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu,
lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.

(5) Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan


ekonomi dengan bertumpukan pada pembangunan industri, yang di
antaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif. Di
samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat,
industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya
limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam
media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup,
kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Secara global, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan
kualitas hidup manusia. Pada kenyataannya, gaya hidup masyarakat
industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia telah
meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu
merupakan tantangan yang besar terhadap cara pembuangan yang
aman dengan risiko yang kecil terhadap lingkungan hidup, kesehatan,
dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta
limbahnya perlu dikelola dengan baik. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah
Indonesia.

(6) Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin


meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini
mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak
lingkungan hidup sehingga risiko terhadap lingkungan hidup dapat
ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan
dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Suatu perangkat
hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus dicantumkan secara
tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lainnya. Apa yang
dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai
instansi dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu
dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut serta di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.

(7) Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai


negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup
sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan
menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan
lingkungan hidup. Dasar hukum itu dilandasi oleh asas hukum
lingkungan hidup dan penaatan setiap orang akan norma hukum
lingkungan hidup yang sepenuhnya berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) telah menandai awal
pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya
pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral dari
upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak
diundangkannya Undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan
hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara
lain oleh makin banyaknya ragam organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya
masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga masyarakat tidak hanya
sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara nyata.
Sementara itu, permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam
bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain,
perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan
makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia.
Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu
untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini memuat norma hukum lingkungan hidup. Selain itu,


Undang-undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan
semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang
lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan
ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.

Peningkatan pendayagunaan berbagai ketentuan hukum, baik hukum


administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana, dan usaha untuk
mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif,
yaitu penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan untuk
mencapai kesepakatan antarpihak yang bersengketa. Di samping itu, perlu
pula dibuka kemungkinan dilakukannya gugatan perwakilan. Dengan cara
penyelesaian
sengketa lingkungan hidup tersebut diharapkan akan meningkatkan ketaatan
masyarakat terhadap sistem nilai tentang betapa pentingnya pelestarian dan
pengembangan kemampuan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia
masa kini dan kehidupan manusia masa depan.
Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana
tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana
hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi
administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa
lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat
dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya
menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan mengantisipasi kemungkinan
semakin munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi,
dalam Undang-undang ini diatur pula pertanggungjawaban korporasi.
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan tersebut di atas
dapat terangkum dalam satu sistem hukum lingkungan hidup Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 sampai angka 25


Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3

Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin


bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi
masa kini maupun generasi masa depan. Di lain sisi, negara mencegah
dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah
yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi
negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar
wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang
memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang,
dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan
hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup
menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari
hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada
asas kerterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan
nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di
samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat
berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang
terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan
lingkungan hidup, baik pemantuan penaatan maupun pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.

Ayat (3)
Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun
dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan
kebijakan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 6

Ayat (1)
Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas
dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat mencerminkan harkat
manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut
mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya
memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan
budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbingan di
bidang lingkungan hidup.

Ayat (2)
Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 7

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk
menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan
lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan
lainnya.
Huruf b
Meningkatnya kemampuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan
efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup

Huruf c
Meningkatnya ketanggapsegeraan masyarakat akan semakin menurunkan
kemungkinan terjadinya dampak negatif.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Dengan meningkatnya ketanggapsegeraan akan meningkatkan kecepatan
pemberian informasi tentang suatu masalah lingkungan hidup sehingga
dapat segera ditindak lanjuti.

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Kegiatan yang mempunyai dampak sosial merupakan kegiatan yang
berpengaruh terhadap kepentingan umum, baik secara kultural maupun
secara struktural.

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9

Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan
proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Misalnya, perhatian terhadap masyarakat
adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang
terdapat di sekitarnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 10

Huruf a
Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah
pihak-pihak yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku
pembangunan lainnya.

Huruf b
Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia.

Huruf c
Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam
upaya maupun dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam rangka peran
masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain
lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif
adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan
perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak lingkungan hidup.
Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan
baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan
pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup,
seperti ISO 14000.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif
dan proaktif misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab
lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup dan audit lingkungan
hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja.

Huruf f sampai huruf i


Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)
Lingkup pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi
berbagai sektor yang menjadi tanggung jawab berbagai departemen dan
instansi pemerintah. Untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan
benturan kepentingan perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi melalui perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)
Huruf a
Negara Kesatuan Republik Indonesia kaya akan keaneragaman potensi
sumber daya alam hayati dan non-hayati, karakteristik kebhinekaan budaya
masyarakat, dan aspirasi dapat menjadi modal utama pembangunan
nasional. Untuk itu guna mencapai keterpaduan dan kesatuan pola pikir, dan
gerak langkah yang menjamin terwujudnya pengelolaan lingkungan hidup
secara berdayaguna dan berhasilguna yang berlandaskan Wawasan
Nusantara, maka Pemerintah Pusat dapat menetapkan wewenang tertentu
dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun
kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah
dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Huruf b
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan.
Melalui tugas pembantuan ini maka wewenang, pembiayaan, peralatan, dan
tanggung jawab tetap berada pada pemerintah yang menugaskannya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)
Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, Pemerintah
Pusat dapat menyerahkan urusan di bidang lingkungan hidup kepada daerah
menjadi wewenang, tugas, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah
berdasarkan asas desentralisasi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1) sampai ayat (3)


Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis
ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan
timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di


antaranya digunakan kriteria mengenai :
a besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan;
b luas wilayah penyebaran dampak;
c intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e sifat kumulatif dampak;
f berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksud merupakan upaya untuk
mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup
berupa terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, mengingat
bahan berbahaya dan beracun mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan efek negatif.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin kuasa pertambangan untuk usaha
di bidang pertambangan, atau izin usaha industri untuk usaha di bidang
industri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban
yang berkenaan dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan dalam melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi
usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana
pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus
dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat mutu
limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban
yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan
swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan
analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas analisis mengenai
dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan
permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan
pelaksanaan atas keterbukaan pemerintahan. Pengumuman izin melakukan
usaha dan/atau kegiatan tersebut memungkinkan peranserta masyarakat
khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan
keputusan izin.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Suatu usaha dan/atau kegiatan akan menghasilkan limbah. Pada
umumnya limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
media lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal tertentu, limbah
yang dihasilkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan itu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku suatu produk. Namun dari proses
pemanfaatan tersebut akan menghasilkan limbah, sebagai residu yang
tidak dapat dimanfaatkan kembali, yang akan dibuang ke media
lingkungan hidup.
Pembuangan (dumping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah
pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan
dan/atau bahan lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke dalam
media lingkungan hidup, baik tanah, air maupun udara. Pembuangan
limbah dan/atau bahan tersebut ke media lingkungan hidup akan
menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Sehingga dengan
ketentuan Pasal ini, ditentukan bahwa pada prinsipnya pembuangan
limbah ke media lingkungan hidup merupakan hal yang dilarang,
kecuali ke media lingkungan hidup tertentu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain
untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan
pimpinan instansi yang bersangkutan.

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan pelaksanaan

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Pasal 25
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)
Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda
mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan
pelanggaran yang menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah
pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot
untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga
masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 28

Audit lingkungan hidup merupakan suatu instrumen penting bagi


penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi
kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian ini, audit
lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku,
serta dengan kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan secara internal oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 29
Ayat (1) Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini
merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai
upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan.

Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup
untuk menjamin kepastian hukum.

Pasal 31

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di luar


pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang berkepentingan,
yaitu para pihak yang mengalami kerugian dan mengakibatkan kerugian,
instansi pemerintah yang terkait dengan subyek yang disengketakan, serta
dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan
lingkungan hidup.
Tindakan tertentu di sini dimaksudkan sebagai upaya memulihkan
fungsi lingkungan hidup dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat setempat.

Pasal 32

Untuk melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan, para


pihak yang berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral yang
dapat berbentuk :
a. pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan.
Pihak ketiga netral ini berfungsi sebagai pihak yang
memfasilitasi para pihak yang berkepentingan sehingga dapat
dicapai kesepakatan.
Pihak ketiga netral ini harus :
(1) disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
(2) tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau
hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa;
(3) memiliki ketrampilan untuk melakukan
perundingan atau penengahan;
(4) tidak memiliki kepentingan terhadap proses
perundingan maupun hasilnya.

b. pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan mengambil


keputusan berfungsi sebagai arbiter, dan semua putusan
arbitrase ini bersifat tetap dan mengikat para pihak yang
bersengketa.

Pasal 33

Ayat (1)
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini
dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar
pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan
mendasarkan pada prinsip ketidakberpihakan dan profesionalisme.
Lembaga penyedia jasa yang dibentuk Pemerintah dimaksudkan
sebagai pelayanan publik.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan
hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan
membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup
dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk :
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
memulihkan fungsi lingkungan hidup;
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 35

Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Ayat (2)
Huruf a sampai huruf c
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini
merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang
dilakukan Pemerintah.

Pasal 36

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini
adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat
berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas
gugatan lain, yaitu :
a. memohon kepada pengadilan agar seseorang
diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup;
b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak
lingkungan hidup;
c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit
pengolah limbah.
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah
biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah
dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.

Ayat (3)
Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan
lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka
secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki
ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke
pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha
negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan
dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud.

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 42 sampai pasal 52

Cukup jelas
Undang Undang No. 41 Tahun 1999
Tentang : Kehutanan

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 41 TAHUN 1999 (41/1999)
Tanggal : 30 September 1999

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

a. Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa
yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan
yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat
manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara
optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;

b. Bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga


kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun
kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan
secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus
dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta
bertanggung-gugat;

c. Bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan


mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta
masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang
berdasarkan pada norma hukum nasional;

d. Bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8)
sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan
hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf


a, b, c, dan d perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan
yang baru.
Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan


Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber
Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2034);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber


Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan


hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu.

2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi


sumber daya lama hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.

3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau


ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.

4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani hak atas tanah.

5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak
atas tanah.

6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah


masyarakat hukum adat.

7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok


memproduksi hasil hutan.

8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok


sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.

9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,


yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
10.Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

11.Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas


tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.

12.Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat


wisata berburu.

13.Hasil Hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya,


serta jasa yang berasal dari hutan.

14.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

15.Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di


bidang kehutanan.

Bagian Kedua
Asas dan Tujuan

Pasal 2

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan,


keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.

Pasal 3

Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran


rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan :

a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran


yang proporsional;

b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,


fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat
lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;


d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan
berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan
sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan
eksternal; dan

e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Bagian Ketiga
Penguasaan Hutan

Pasal 4

1. Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan


alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.

2. Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


memberi wewenang kepada pemerintah untuk :
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dan


kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara


orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan
hukum mengenai kehutanan.

1. Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat


hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.

BAB II
STATUS DAN FUNGSI HUTAN

Pasal 5

1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari :

a. hutan negara, dan

b. hutan hak.
1. Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat
berupa hutan adat.

2. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada
dan diakui keberadaannya.

3. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang


bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat
kembali kepada Pemerintah.

Pasal 6

1. Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu :

a. fungsi konservasi,

b. fungsi lindung, dan

c. fungsi produksi

1. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai


berikut :
a. hutan konservasi,

b. hutan lindung, dan

c. hutan produksi.

Pasal 7

Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a


terdiri dari :
a. kawasan hutan suaka alam,

b. kawasan hutan pelestarian alam, dan

c. taman buru.
Pasal 8

1. Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan


khusus.
2. Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti :

a. penelitian dan pengembangan

b. pendidikan dan latihan, dan

c. religi dan budaya.

1. Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.

Pasal 9

1. Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air,


di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.

2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur


dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PENGURUSAN HUTAN

Pasal 10

1. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)


huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.

2. Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi


kegiatan penyelenggaraan:

a. perencanaan kehutanan

b. pengelolaan hutan

c. peneltian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta


penyuluhan kehutanan, dan

d. pengawasan.
BAB IV
PERENCANAAN KEHUTANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 11
1. Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman
dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

2. Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan,


bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan
kekhasan dan aspirasi daerah.

Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
huruf a, meliputi :

a. inventarisasi hutan,

b. pengukuhan kawasan hutan,

c. penatagunaan kawasan hutan,

d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan

e. penyusunan rencana kehutanan.

Bagian Kedua
Inventarisasi Hutan

Pasal 13

1. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh


data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam
hutan, serta lingkungannya secara lengkap.

2. Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan
fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam
dan di sekitar hutan.

3. Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari :

a. inventarisasi hutan tingkat nasional,

b. inventarisasi hutan tingkat wilayah,

c. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan

d. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.

1. Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat


(2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan
kawasan hutan, penyususnan neraca sumber daya hutan,
penyususnan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.

2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengukuhan Kawasan Hutan

Pasal 14

1. Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.

2. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan
hutan.

Pasal 15

1. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14


dilakukan melalui proses sebagai berikut :

a. penunjukan kawasan hutan,

b. penataan batas kawasan hutan,


c. pemetaan kawasan hutan, dan

d. penetapan kawasan hutan.

1. Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.

Bagian Keempat
Penatagunaan Kawasan Hutan

Pasal 16

1. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 14 dan Pasal 15, pemerintah menyelenggarakan
penatagunaan kawasan hutan.

2. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan


penggunaan kawasan hutan.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan

Pasal 17

1. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat :

a. propinsi,

b. kabupaten/kota, dan

c. unit pengelolaan.

1. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan


dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe
hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat
hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
2. Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas
administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe
hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.

Pasal 18

1. Pemerintahan menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas


kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran
sungai, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan
manfaat ekonomi masyarakat setempat.

2. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas
daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional.

Pasal 19

1. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh


Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

2. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.

3. Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan


dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Penyusunan Rencana Kehutanan

Pasal 20

1. Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan
kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan.
2. Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut
fungsi pokok kawasan hutan.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PENGELOLAAN HUTAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 21

Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b,


meliputi kegiatan:

a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,

b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,

c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan

d. perlindungan hutan dan konservasi alam.

Bagian Kedua
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan

Pasal 22

1. Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan


yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan
lestari.

2. Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok


berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.

3. Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-


petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan.
4. Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu
tertentu.

5. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 23

Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b,


bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya.

Pasal 24

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan


kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman
nasional.

Pasal 25

Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka


alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 26

1. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan,


pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan
kayu.

2. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha


pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan
izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 27

1. Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


26 ayat (2) dapat diberikan kepada :

a. perorangan,

b. koperasi.

1. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada :

a. perorangan,

b. koperasi,

c. badan usaha milik swasta Indonesia

d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

1. Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada :

a. perorangan,

b. koperasi.

Pasal 28

1. Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,


pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

2. Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin


usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan
kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 29

1. Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


28 ayat (2) dapat diberikan kepada :
a. perorangan,

b. koperasi.

1. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada :

a. perorangan,

b. koperasi,

c. badan usaha milik swata Indonesia,

d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

1. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada :

a. perorangan,

b. koperasi,

c. badan usaha milik swata Indonesia,

d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

1. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada :

a. perorangan,

b. koperasi,

c. badan usaha milik swata Indonesia,

d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

1. Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada :

a. perorangan,

b. koperasi,
Pasal 30

Dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha


milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta
Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja
sama dengan koperasi masyarakat setempat.

Pasal 31

1. Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin


usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek
kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.

2. Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan


Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29


berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat
usahanya.

Pasal 33

1. Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman,


pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.

2. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

3. Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.

Pasal 34

Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada :

a. masyarakat hukum adat,

b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,

d. lembaga sosial dan keagamaan.

Pasal 35

1. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha,
provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.

2. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana
investasi untuk biaya pelestarian hutan.

3. Setiap pemegang izin usaha pemungutan hasil hutan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi.

4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada yat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36

1. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.

2. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat


dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 37

1. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang


bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.

2. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat


dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pasal 38

1. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar


kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan
produksi dan kawasan hutan lindung.
2. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan


dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan.

4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan


dengan pola pertambangan terbuka.

5. Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3)


yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.

Pasal 39

Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan


kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34,
Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keempat
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

Pasal 40

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan,


mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga.

Pasal 41

1. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan :

a. reboisasi,

b. penghijauan,

c. pemeliharaan,
d. pengayaan tanaman, atau

e. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil


teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif.

1. Kegiatan rahabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan


di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti
taman nasional.

Pasal 42

1. Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi


spesifikasi biofisik.

2. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan


pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka
mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

1. Setiap orang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang


kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan
untuk tujuan perlindungan dan konservasi.

2. Dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan
kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah.

Pasal 44

1. Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c,


meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan
dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai dengan peruntukannya.

2. Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi


inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan
reklamasi.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45

1. Penggunaan kawasan huan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38


ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan
reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan
pemerintah.

2. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib


dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan
tahapan kegiatan pertambangan.

3. Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di


luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan
dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan
rehabilitasi.

4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Pasal 46

Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan


menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung,
fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.

Pasal 47

Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :

a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil


hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-adaya alam, hama, serta penyakit; dan

b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan


perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Pasal 48

1. Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di


luar kawasan hutan.
2. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.

3. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima
wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34,
diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.

4. Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.

5. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-


baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.

6. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 49

Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan
di areal kerjanya.

Pasal 50

1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan


hutan.

2. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin


usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan hutan.

3. Setiap orang dilarang :

a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki


kawasan hutan secara tidak sah;

b. merambah kawasan hutan;

c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan


radius atau jarak sampai dengan :

d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
berwenang;

f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima


titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui
atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah;

g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau


eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin
Menteri;

h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak


dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil
hutan;Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau
menduduki kawasan hutan secara tidak sah;

i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak


ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat
yang berwenang;

j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim


atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut
hasilhutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang
berwenang;

k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,


memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan
tanpa izin pejabat yang berwenang;

l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran


dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau
kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan

m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan


dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang
berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang
berwenang.

1. Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut


tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 51

1. Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada


pejabat kehutanan tertentu ssuai dengan sifat pekerjaannya diberikan
wewenang kepolisian khusus.

2. Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk :

a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau


wilayah hukumnya;

b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan


pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;

c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang


menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana


yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka


untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan

f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang


terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan.

BAB VI
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN
LATIHAN SERTA PENYULUHAN KEHUTANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 52

1. Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya


manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan
yang berkesinambungan.

2. Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan


dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial
budaya masyarakat.

3. Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan


dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah wajib menjaga
kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.

Bagian Kedua
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pasal 53

1. Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk


mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan.

2. Penelitian dan pengembangan kehutanan bertujuan untuk


meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan
pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil
hutan.

3. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan dilakukan


oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi,
dunia usaha, dan masyarakat.

4. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung


peningkatan kemampuan dan menguasai, mengembangkan, dan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.

Pasal 54

1. Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat


mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan serta
mengembangkan sistem informasi dan pelayanan hasil penelitian dan
pengembangan kehutanan.
2. Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

3. Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat diberikan


kepada peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Pendidikan dan Latihan Kehutanan

Pasal 55

1. Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk


mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
kehutanan yang terampil, profesional, berdedikasi, jujur serta amanah
dan berakhlak mulia.

2. Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk


sumber daya manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
pengurusan hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh


pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

4. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung


terselenggaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka
meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.

Bagian Keempat
Penyuluh Kehutanan

Pasal 56

1. Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan


dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar
mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar
iman dantaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan
pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
2. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat.

3. Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung


terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.

Bagian Kelima
Pendanaan dan Prasarana

Pasal 57

1. Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana


investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan,
serta penyuluhan kehutanan.

2. Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan


mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan
latihan, serta penyuluhan kehutanan.

Pasal 58

Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan


dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB VII
PENGAWASAN

Pasal 59

Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan


menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai
secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan
atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.
Pasal 60

1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan


kehutanan.

2. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan


kehutanan.

Pasal 61

Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan


hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Pasal 62

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan


terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh
pihak ketiga.

Pasal 63

Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan
pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas
pelaksanaan pengurusan hutan.

Pasal 64

Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan


pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional.

Pasal 65

Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan


Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENYERAHAN KEWENANGAN

Pasal 66

1. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan


sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.

2. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas
pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 67

1. Masyarakat hukumadat sepanjang menurut kenyataannya masih ada


dan diakui keberadaannya berhak :

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan


kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang
bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum


adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-
undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan


kesejahteraannya.

1. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.

2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PERANSERTA MASYARAKAT

Pasal 68

1. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang


dihasilkan hutan.

2. Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan


perundang-undangan yang berlaku;

b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil htan,


dan informasi kehutanan;

c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam


pembangunan kehutanan; dan

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan


kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

1. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh


kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai
lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

2. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak


atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan
hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanga-undangan yang
berlaku.

Pasal 69

1. Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga


kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.

2. Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan masyarakat dapat meminta


pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya
masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.
Pasal 70

1. Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang


kehutanan.

2. Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai


kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.

3. Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan


pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.

4. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
GUGATAN PERWAKILAN

Pasal 71

1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan


atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang
merugikan kehidupan masyarakat.

2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 72
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau
kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan
masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan
masyarakat.

Pasal 73

1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan,


organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan
untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
2. Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan
sebagaimanan dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :

a. berbentuk badan hukum;

b. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas


menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan
pelestarian fungsi hutan; dan

c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN

Pasal 74

1. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan


atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak
yang bersengketa.

2. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar


pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah
tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.

Pasal 75

1. Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku


terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

2. Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan


untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak,
besarnya ganti rugi dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang
harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.

3. Dalam penyelesaian sengkata kehutanan di luar pengadilan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak
ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan
organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa
kehutanan.
Pasal 76

1. Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan


untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak,
besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan
oleh pihak yang kalah dalam sengketa.

2. Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran
uang paksa atas keterlambatan pelakanaan tindakan tertentu tersebut
setiap hari.

BAB XIII
PENYIDIKAN

Pasal 77

1. Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat


pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan
tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undnag Hukum Acara Pidana.

2. Pejabat penyidaik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), berwenang untuk :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau


keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga


melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;

c. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam


kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

d. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak


pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
e. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

f. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan


penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana;

g. membuat dan menanda-tangani berita acara;

h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti


tentang adanya tindak pidana yang menyangkut hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan.

1. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan
hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana.

BAB XIV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 78

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

3. Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).

4. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
5. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

6. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h , diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

7. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

8. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

9. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

10.Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

11.Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

12.Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan
ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.

13.Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat


(2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan
hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan
terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
14.Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-
alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal
ini dirampas untuk Negara.

Pasal 79

1. Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa
temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.

2. Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan


Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang
disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur


oleh Menteri.

BAB XV
GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 80

1. Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang


ini dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk
membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat
yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan
kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.

2. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha


pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan,
atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang
ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.

3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 81

Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan


peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-
undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 82

Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang


kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan
pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 83
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan yidak
berlaku :

1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927


Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931
Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823).

Pasal 84

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
Pada tanggal 30 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 167


Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I,
LAMBOCK V. NAHATTANDS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 7 TAHUN 2004

TENTANG

SUMBER DAYA AIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia dalam segala bidang;
b. bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang
cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya
air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan
ekonomi secara selaras;
c. bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi
dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;
d. bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat
perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak
sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam
kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, d,
dan e perlu dibentuk undang-undang tentang sumber daya air;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 huruf D ayat (1), ayat
(2), ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SUMBER DAYA AIR.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di
dalamnya.
2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air
hujan, dan air laut yang berada di darat.
3. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
5. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang
terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.
6. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air
yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan
penghidupan manusia serta lingkungannya.
7. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
8. Pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam
merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.
9. Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara
menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pengelolaan sumber daya air.
10. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
11. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan.
12. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
13. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan
air untuk berbagai keperluan.
14. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air.
15. Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.
16. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom
yang lain sebagai badan eksekutif daerah.
17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri.
18. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa
tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan
datang.
19. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan, penyediaan,
penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara
optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.
20. Pengendalian daya rusak air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi,
dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya
rusak air.
21. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.
22. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang
akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai
tujuan pengelolaan sumber daya air.
23. Operasi adalah kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan
sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya air.
24. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana
sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air
dan prasarana sumber daya air.
25. Prasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang
menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun
tidak langsung.
26. Pengelola sumber daya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk
melaksanakan pengelolaan sumber daya air.

Pasal 2

Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan


umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan
akuntabilitas.

Pasal 3

Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan
hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 4

Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.

Pasal 5

Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok
minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.

Pasal 6

(1) Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap
mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundang-undangan.
(3) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah
dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
(4) Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
hak guna air.

Pasal 7

(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna
pakai air dan hak guna usaha air.
(2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan atau
dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya.

Pasal 8

(1) Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem
irigasi.
(2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila:

a. cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber


air;
b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah
besar; atau
c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk
mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan
dengan tanahnya.

Pasal 9

(1) Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha
dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain
berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan ganti
kerugian atau kompensasi.

Pasal 10

Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan
Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 11

(1) Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam
segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air.
(2) Pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan
air tanah.
(3) Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-
luasnya.
(4) Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip keseimbangan antara
upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.
(5) Ketentuan mengenai penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 12

(1) Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai.


(2) Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan air permukaan dan pengelolaan air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

BAB II
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 13

(1) Wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Sumber
Daya Air Nasional.
(3) Penetapan wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi wilayah
sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah
sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis
nasional.
(4) Penetapan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas
kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas provinsi, dan cekungan air tanah lintas
negara.
(5) Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penetapan wilayah sungai dan
cekungan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 14

Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah meliputi:

a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;


b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,
wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan,
peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah
lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;
h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air wilayah
sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai strategis nasional;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam pengelolaan sumber daya
air;
j. menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber daya air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara,
dan wilayah sungai strategis nasional; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 15

Wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan


kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota;
g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan,
pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan
air tanah lintas kabupaten/kota;
h. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi
dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarkabupaten/kota dalam pengelolaan
sumber daya air;
j. membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat atas air;
k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan
l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah
kabupaten/kota.

Pasal 16

Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi:

a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan


kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air
provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota;
c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam
satu kabupaten/kota;
e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan,
dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya air pada wilayah
sungai dalam satu kabupaten/kota;
g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di
wilayahnya; dan
i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.

Pasal 17

Wewenang dan tanggung jawab pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain
meliputi:

a. mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh
masyarakat dan/atau pemerintahan di atasnya dengan mempertimbangkan asas
kemanfaatan umum;
b. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air yang menjadi kewenangannya;
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air sesuai dengan
ketersediaan air yang ada; dan
d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan sumber
daya air di wilayahnya.

Pasal 18

Sebagian wewenang Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 14 dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

(1) Dalam hal pemerintah daerah belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16, pemerintah daerah dapat
menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah di atasnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air oleh pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 wajib diambil oleh
pemerintah di atasnya dalam hal:

a. pemerintah daerah tidak melaksanakan sebagian wewenang pengelolaan


sumber daya air sehingga dapat membahayakan kepentingan umum;
dan/atau
b. adanya sengketa antarprovinsi atau antarkabupaten/kota.

BAB III
KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Pasal 20

(1) Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan
daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air.
(2) Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada
pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
(3) Ketentuan tentang konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 21

(1) Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan
melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan
atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang
disebabkan oleh tindakan manusia.
(2) Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui:

a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;


b. pengendalian pemanfaatan sumber air;
c. pengisian air pada sumber air;
d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan
dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
f. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
g. pengaturan daerah sempadan sumber air;
h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
i. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian
alam.

(3) Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
(4) Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif dan/atau
sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.
(5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

(1) Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air atau
kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.
(2) Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:

a. menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan pada
waktu diperlukan;
b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
c. mengendalikan penggunaan air tanah.

(3) Ketentuan mengenai pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 23

(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan untuk
mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada
sumber-sumber air.
(2) Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air.
(3) Pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air dan prasarana
sumber daya air.
(4) Ketentuan mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 24

Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau
mengakibatkan pencemaran air.

Pasal 25

(1) Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa,
cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam,
kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
(2) Pengaturan konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan konservasi sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB IV
PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

Pasal 26

(1) Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan,


penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air
dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada
setiap wilayah sungai.
(2) Pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air
secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok
kehidupan masyarakat secara adil.
(3) Pendayagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
(4) Pendayagunaan sumber daya air diselenggarakan secara terpadu dan adil, baik
antarsektor, antarwilayah maupun antarkelompok masyarakat dengan mendorong
pola kerja sama.
(5) Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air
permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.
(6) Setiap orang berkewajiban menggunakan air sehemat mungkin.
(7) Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial
untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air
membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan melibatkan peran
masyarakat.

Pasal 27

(1) Penatagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukan air
pada sumber air.
(2) Penetapan zona pemanfaatan sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan rencana tata
ruang wilayah dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang
bersangkutan.
(3) Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan:
a. mengalokasikan zona untuk fungsi lindung dan budi daya;
b. menggunakan dasar hasil penelitian dan pengukuran secara teknis hidrologis;
c. memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan sumber
air;
d. memperhatikan kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
e. melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan;
dan
f. memperhatikan fungsi kawasan.

(4) Ketentuan dan tata cara penetapan zona sumber air diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 28

(1) Penetapan peruntukan air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) pada setiap wilayah sungai dilakukan dengan memperhatikan:

a. daya dukung sumber air;


b. jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya;
c. perhitungan dan proyeksi kebutuhan sumber daya air; dan
d. pemanfaatan air yang sudah ada.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan pelaksanaan


ketentuan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai penetapan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 29

(1) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air dan daya air serta memenuhi berbagai
keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas.
(2) Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan sesuai
dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri,
pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olahraga,
rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta kebutuhan lain yang ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi
pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama
penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan.
(4) Urutan prioritas penyediaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditetapkan pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
(5) Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menimbulkan kerugian bagi pemakai sumber daya air,
Pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengatur kompensasi kepada
pemakainya.
(6) Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) direncanakan
dan ditetapkan sebagai bagian dalam rencana pengelolaan sumber daya air pada
setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 30

(1) Penyediaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan


sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai .
(2) Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengambil tindakan penyediaan
sumber daya air untuk memenuhi kepentingan yang mendesak berdasarkan
perkembangan keperluan dan keadaan setempat.

Pasal 31

Ketentuan mengenai penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 dan Pasal 30 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 32

(1) Penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media
dan/atau materi.
(2) Penggunaan sumber daya air dilaksanakan sesuai penatagunaan dan rencana
penyediaan sumber daya air yang telah ditetapkan dalam rencana pengelolaan
sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Penggunaan air dari sumber air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari,
sosial, dan pertanian rakyat dilarang menimbulkan kerusakan pada sumber air dan
lingkungannya atau prasarana umum yang bersangkutan.
(4) Penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari yang dilakukan
melalui prasarana sumber daya air harus dengan persetujuan dari pihak yang
berhak atas prasarana yang bersangkutan.
(5) Apabila penggunaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menimbulkan kerusakan pada sumber air, yang bersangkutan wajib mengganti
kerugian.
(6) Dalam penggunaan air, setiap orang atau badan usaha berupaya menggunakan air
secara daur ulang dan menggunakan kembali air.
(7) Ketentuan mengenai penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 33

Dalam keadaan memaksa, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur dan


menetapkan penggunaan sumber daya air untuk kepentingan konservasi, persiapan
pelaksanaan konstruksi, dan pemenuhan prioritas penggunaan sumber daya air.

Pasal 34

(1) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber
daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian,
industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan
untuk berbagai keperluan lainnya.
(2) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan tanpa merusak keseimbangan lingkungan hidup.
(3) Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana
tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan:

a. daya dukung sumber daya air ;


b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat ;
c. kemampuan pembiayaan; dan
d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.

(4) Pelaksanaan pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan melalui konsultasi publik, melalui tahapan survei, investigasi, dan
perencanaan, serta berdasarkan pada kelayakan teknis, lingkungan hidup, dan
ekonomi.
(5) Potensi dampak yang mungkin timbul akibat dilaksanakannya pengembangan
sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditangani secara
tuntas dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait pada tahap penyusunan
rencana.

Pasal 35

Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
meliputi:

a. air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya;
b. air tanah pada cekungan air tanah;
c. air hujan; dan
d. air laut yang berada di darat.

Pasal 36

(1) Pengembangan air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air
permukaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dilaksanakan
dengan memperhatikan karakteristik dan fungsi sumber air yang bersangkutan.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sungai, danau, rawa, dan sumber air
permukaan lainnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 37

(1) Air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b merupakan salah satu
sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan kerusakannya dapat
mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya sulit dilakukan.
(2) Pengembangan air tanah pada cekungan air tanah dilakukan secara terpadu dalam
pengembangan sumber daya air pada wilayah sungai dengan upaya pencegahan
terhadap kerusakan air tanah.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 38

(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf c dilaksanakan dengan mengembangkan teknologi modifikasi cuaca.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan
teknologi modifikasi cuaca setelah memperoleh izin dari Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan awan untuk teknologi modifikasi cuaca diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 39

(1) Pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan memperhatikan fungsi
lingkungan hidup.
(2) Badan usaha dan perseorangan dapat menggunakan air laut yang berada di darat
untuk kegiatan usaha setelah memperoleh izin pengusahaan sumber daya air dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan air laut yang berada di darat diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 40

(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem
penyediaan air minum.
(2) Pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah merupakan
penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum.
(4) Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
(5) Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan
untuk:

a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan


harga yang terjangkau;
b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa
pelayanan; dan
c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

(6) Pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu
dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d.
(7) Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum
dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Pemerintah dapat
membentuk badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri
yang membidangi sumber daya air.
(8) Ketentuan pengembangan sistem penyediaan air minum, badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha milik daerah penyelenggara pengembangan sistem
penyediaan air minum, peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum, dan
pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 41

(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi.
(2) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dengan ketentuan:

a. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas provinsi menjadi


wewenang dan tanggung jawab Pemerintah;
b. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas kabupaten/kota
menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi;
c. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh pada satu
kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota yang bersangkutan.

(3) Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab
perkumpulan petani pemakai air.
(4) Pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan mengikutsertakan masyarakat.
(5) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh
perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
(6) Ketentuan mengenai pengembangan sistem irigasi diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 42

(1) Pengembangan sumber daya air untuk industri dan pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air baku
dalam proses pengolahan dan/atau eksplorasi .
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk industri dan
pertambangan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 43

(1) Pengembangan sumber daya air untuk keperluan ketenagaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan untuk memenuhi keperluan
sendiri dan untuk diusahakan lebih lanjut.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk ketenagaan diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44

(1) Pengembangan sumber daya air untuk perhubungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan pada sungai, danau, waduk, dan sumber air
lainnya.
(2) Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air sebagai jaringan prasarana
angkutan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 45

(1) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi


sosial dan kelestarian lingkungan hidup.
(2) Pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai hanya
dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara badan usaha milik
negara dengan badan usaha milik daerah.
(3) Pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar badan usaha
berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya.
(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk:

a. penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang


ditentukan dalam perizinan;
b. pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang
ditentukan dalam perizinan; dan/atau
c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang
ditentukan dalam perizinan.

Pasal 46

(1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, mengatur dan
menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh
badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).
(2) Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana
pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.
(3) Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
(4) Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan alokasi
air sementara.

Pasal 47

(1) Pemerintah wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas:

a. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya
air; dan
b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang izin pengusahaan
sumber daya air.

(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengaduan


masyarakat atas pelayanan dari badan usaha dan perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ikut
serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
(4) Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik.
(5) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan mendorong keikutsertaan
usaha kecil dan menengah.

Pasal 48

(1) Pengusahaan sumber daya air dalam suatu wilayah sungai yang dilakukan dengan
membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya dapat digunakan
untuk wilayah sungai lainnya apabila masih terdapat ketersediaan air yang
melebihi keperluan penduduk pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(2) Pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan
pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

Pasal 49

(1) Pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila penyediaan air
untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) telah
dapat terpenuhi.
(2) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai yang
bersangkutan, serta memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.
(3) Rencana pengusahaan air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi
publik oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) wajib mendapat izin dari Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari pemerintah
daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50

Ketentuan mengenai pengusahaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

BAB V
PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR
Pasal 51

(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
(2) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan
pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang
disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.
(3) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat.
(4) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber daya air
wilayah sungai dan masyarakat.

Pasal 52

Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
terjadinya daya rusak air.

Pasal 53

(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan baik
melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik maupun melalui penyeimbangan hulu dan
hilir wilayah sungai.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih diutamakan pada kegiatan
nonfisik.
(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh pengelola
sumber daya air yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai pencegahan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 54

(1) Penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
dilakukan dengan mitigasi bencana.
(2) Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpadu
oleh instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi
penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Ketentuan mengenai penanggulangan kerusakan dan bencana akibat daya rusak
air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 55

(1) Penanggulangan bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional menjadi
tanggung jawab Pemerintah.
(2) Bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional ditetapkan dengan
keputusan presiden.

Pasal 56

Dalam keadaan yang membahayakan, gubernur dan/atau bupati/ walikota berwenang


mengambil tindakan darurat guna keperluan penanggulangan daya rusak air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).
Pasal 57

(1) Pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem
prasarana sumber daya air.
(2) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 58

(1) Pengendalian daya rusak air dilakukan pada sungai, danau, waduk dan/atau
bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air laut yang
berada di darat.
(2) Ketentuan mengenai pengendalian daya rusak air pada sungai, danau, waduk
dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air
laut yang berada di darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.

BAB VI
PERENCANAAN

Pasal 59

(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun untuk menghasilkan rencana
yang berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air.
(2) Perencanaan pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan asas
pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(3) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan pola pengelolaan
sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
(4) Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam
penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang
wilayah.

Pasal 60

(1) Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan
persyaratan melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang
berlaku secara nasional yang mencakup inventarisasi sumber daya air,
penyusunan, dan penetapan rencana pengelolaan sumber daya air.
(2) Ketentuan mengenai prosedur dan persyaratan perencanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 61

(1) Inventarisasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
dilakukan pada setiap wilayah sungai di seluruh wilayah Indonesia.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
terkoordinasi pada setiap wilayah sungai oleh pengelola sumber daya air yang
bersangkutan.
(3) Pelaksanaan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan
oleh pihak lain berdasarkan ketentuan dan tata cara yang ditetapkan.
(4) Pengelola sumber daya air wajib memelihara hasil inventarisasi dan
memperbaharui data sesuai dengan perkembangan keadaan.
(5) Ketentuan mengenai inventarisasi sumber daya air diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 62

(1) Penyusunan rencana pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (3) pada setiap wilayah sungai dilaksanakan secara terkoordinasi
oleh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya dengan
mengikutsertakan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya mengumumkan secara
terbuka rancangan rencana pengelolaan sumber daya air kepada masyarakat.
(3) Masyarakat berhak menyatakan keberatan terhadap rancangan rencana
pengelolaan sumber daya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan kondisi setempat.
(4) Instansi yang berwenang dapat melakukan peninjauan kembali terhadap
rancangan rencana pengelolaan sumber daya air atas keberatan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Rancangan rencana pengelolaan sumber daya air ditetapkan oleh instansi yang
berwenang untuk menjadi rencana pengelolaan sumber daya air.
(6) Rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke dalam
program yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air oleh instansi
pemerintah, swasta, dan masyarakat.
(7) Ketentuan mengenai perencanaan pengelolaan sumber daya air diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.

BAB VII
PELAKSANAAN KONSTRUKSI, OPERASI DAN PEMELIHARAAN

Pasal 63

(1) Pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dilakukan berdasarkan norma,
standar, pedoman, dan manual dengan memanfaatkan teknologi dan sumber
daya lokal serta mengutamakan keselamatan, keamanan kerja, dan
keberlanjutan fungsi ekologis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma,
standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi
pada sumber air wajib memperoleh izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana sumber daya air di atas tanah
pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian dan/atau kompensasi
kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 64

(1) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air terdiri atas pemeliharaan
sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air.
(2) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin
kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air.
(3) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, atau pengelola sumber daya air sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air yang dibangun
oleh badan usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan menjadi tugas dan
tanggung jawab pihak-pihak yang membangun.
(5) Masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi ditetapkan:

a. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder


menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya,
b. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi hak dan
tanggung jawab masyarakat petani pemakai air.

(7) Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya prasarana sumber daya air.
(8) Ketentuan mengenai operasi dan pemeliharaan sumber daya air diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.

BAB VIII
SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA AIR

Pasal 65

(1) Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan pemerintah
daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi sumber daya air sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
informasi mengenai kondisi hidrologis, hidrome-teorologis, hidrogeologis,
kebijakan sumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air,
lingkungan pada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi
budaya masyarakat yang terkait dengan sumber daya air.

Pasal 66

(1) Sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1)
merupakan jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan dikelola oleh
berbagai institusi.
(2) Jaringan informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber
daya air.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat membentuk unit pelaksana teknis untuk
menyelenggarakan kegiatan sistem informasi sumber daya air.

Pasal 67

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah serta pengelola sumber daya air, sesuai
dengan kewenangannya, menyediakan informasi sumber daya air bagi semua
pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), seluruh instansi Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum,
organisasi, dan lembaga serta perseorangan yang melaksanakan kegiatan
berkaitan dengan sumber daya air menyampaikan laporan hasil kegiatannya
kepada instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di
bidang sumber daya air.
(3) Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, badan hukum,
organisasi, lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) bertanggung jawab menjamin keakuratan, kebenaran, dan ketepatan
waktu atas informasi yang disampaikan.

Pasal 68

(1) Untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air diperlukan
pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan hidrogeologi
wilayah sungai pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan
hidrogeologi ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber Daya Air
Nasional.
(3) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan
pihak lain.

Pasal 69

Ketentuan mengenai sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB IX
PEMBERDAYAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 70

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemberdayaan para


pemilik kepentingan dan kelembagaan sumber daya air secara terencana dan
sistematis untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumber daya air.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada kegiatan
perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan, operasi dan pemeliharaan
sumber daya air dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Kelompok masyarakat atas prakarsa sendiri dapat melaksanakan upaya
pemberdayaan untuk kepentingan masing-masing dengan berpedoman pada
tujuan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam
bentuk pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta
pendampingan.

Pasal 71

(1) Menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait dengan
bidang sumber daya air menetapkan standar pendidikan khusus dalam bidang
sumber daya air.
(2) Penyelenggaraan pendidikan bidang sumber daya air dapat dilaksanakan, baik oleh
Pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta sesuai dengan standar pendidikan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 72

(1) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
sumber daya air diselenggarakan untuk mendukung dan meningkatkan kinerja
pengelolaan sumber daya air.
(2) Menteri yang membidangi ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah memperoleh
saran dari menteri yang membidangi sumber daya air dan menteri yang terkait
dengan sumber daya air, menetapkan kebijakan dan pedoman yang diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan
kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
bidang sumber daya air.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong dan menciptakan kondisi yang
mendukung untuk meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan
teknologi dalam bidang sumber daya air oleh masyarakat, dunia usaha, dan
perguruan tinggi.

Pasal 73

Pemerintah memfasilitasi perlindungan hak penemu dan temuan ilmu pengetahuan dan
inovasi teknologi dalam bidang sumber daya air sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 74

(1) Pendampingan dan pelatihan bidang sumber daya air ditujukan untuk
pemberdayaan para pemilik kepentingan dan kelembagaan pada wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya dalam pengelolaan sumber daya air, menetapkan pedoman kegiatan
pendampingan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan sumber daya air wajib memberikan dukungan dan bekerja sama
untuk menyelenggarakan kegiatan pendampingan dan pelatihan.

Pasal 75

(1) Untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan sumber daya air, diselenggarakan
kegiatan pengawasan terhadap seluruh proses dan hasil pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air pada setiap wilayah sungai.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Peran masyarakat dalam pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang
berwenang.
(4) Pemerintah menetapkan pedoman pelaporan dan pengaduan masyarakat dalam
pengawasan pengelolaan sumber daya air.

Pasal 76

Ketentuan mengenai pemberdayaan dan pengawasan pengelolaan sumber daya air


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 75 diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 77

(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan


nyata pengelolaan sumber daya air.
(2) Jenis pembiayaan pengelolaan sumber daya air meliputi:
a. biaya sistem informasi;
b. biaya perencanaan;
c. biaya pelaksanaan konstruksi;
d. biaya operasi, pemeliharaan; dan
e. biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat.

(3) Sumber dana untuk setiap jenis pembiayaan dapat berupa:


a. anggaran pemerintah;
b. anggaran swasta; dan/atau
c. hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air.

Pasal 78

(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) dibebankan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, koperasi, badan
usaha lain, dan perseorangan, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk
kerja sama.
(2) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kewenangan masing-masing dalam pengelolaan sumber daya air.
(3) Pembiayaan pelaksanaan konstruksi dan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi
diatur sebagai berikut:

a. pembiayaan pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi


primer dan sekunder menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya; dan dapat melibatkan peran serta
masyarakat petani,
b. pembiayaan pelaksanaan konstruksi sistem irigasi tersier menjadi tanggung
jawab petani, dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau pemerintah daerah,
kecuali bangunan sadap, saluran sepanjang 50 m dari bangunan sadap, dan
boks tersier serta bangunan pelengkap tersier lainnya menjadi tanggung
jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah,
c. pembiayaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi tanggung
jawab petani, dan dapat dibantu Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(4) Dalam hal terdapat kepentingan mendesak untuk pendayagunaan sumber daya air
pada wilayah sungai lintas provinsi, lintas kabupaten/kota, dan strategis nasional,
pembiayaan pengelolaannya ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah yang bersangkutan melalui pola kerja sama.

Pasal 79

(1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) yang ditujukan untuk pengusahaan sumber daya air yang
diselenggarakan oleh koperasi, badan usaha milik negara/badan usaha milik
daerah pengelola sumber daya air, badan usaha lain dan perseorangan ditanggung
oleh masing-masing yang bersangkutan.
(2) Untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum, Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam batas-batas tertentu dapat memberikan bantuan biaya
pengelolaan kepada badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola
sumber daya air.

Pasal 80

(1) Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan
untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(2) Pengguna sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menanggung biaya jasa pengelolaan sumber daya air.
(3) Penentuan besarnya biaya jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada perhitungan ekonomi rasional yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk setiap jenis
penggunaan sumber daya air didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi
kelompok pengguna dan volume penggunaan sumber daya air.
(5) Penentuan nilai satuan biaya jasa pengelolaan sumber daya air untuk jenis
penggunaan nonusaha dikecualikan dari perhitungan ekonomi rasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pengelola sumber daya air berhak atas hasil penerimaan dana yang dipungut dari
para pengguna jasa pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(7) Dana yang dipungut dari para pengguna sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dipergunakan untuk mendukung terselenggaranya kelangsungan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Pasal 81

Ketentuan mengenai pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

BAB XI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 82

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya air, masyarakat berhak untuk:

a. memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air;


b. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat
pelaksanaan pengelolaan sumber daya air;
c. memperoleh manfaat atas pengelolaan sumber daya air;
d. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan sumber daya air yang sudah
diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat;
e. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian
yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumber
daya air; dan/atau
f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah sumber daya air
yang merugikan kehidupannya.

Pasal 83

Dalam menggunakan hak guna air, masyarakat pemegang hak guna air berkewajiban
memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan melalui perannya dalam konservasi
sumber daya air serta perlindungan dan pengamanan prasarana sumber daya air.

Pasal 84

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya
air.
(2) Ketentuan mengenai peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB XII
KOORDINASI

Pasal 85

(1) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas
wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi
dan manfaat air dan sumber air.
(2) Pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor,
wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air.

Pasal 86

(1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dilakukan oleh suatu
wadah koordinasi yang bernama dewan sumber daya air atau dengan nama lain.
(2) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pokok
menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air.
(3) Wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan unsur
pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar
prinsip keterwakilan.
(4) Susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden.

Pasal 87

(1) Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional
yang dibentuk oleh Pemerintah, dan pada tingkat provinsi dilakukan oleh wadah
koordinasi dengan nama dewan sumber daya air provinsi atau dengan nama lain
yang dibentuk oleh pemerintah provinsi.
(2) Untuk pelaksanaan koordinasi pada tingkat kabupaten/kota dapat dibentuk wadah
koordinasi dengan nama dewan sumber daya air kabupaten/kota atau dengan
nama lain oleh pemerintah kabupaten/kota.
(3) Wadah koordinasi pada wilayah sungai dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
(4) Hubungan kerja antarwadah koordinasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota,
dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif.
(5) Pedoman mengenai pembentukan wadah koordinasi pada tingkat provinsi,
kabupaten/kota, dan wilayah sungai diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri
yang membidangi sumber daya air.

BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 88

(1) Penyelesaian sengketa sumber daya air pada tahap pertama diupayakan
berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian di luar
pengadilan atau melalui pengadilan.
(3) Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 89

Sengketa mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya air antara Pemerintah dan
pemerintah daerah diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XIV
GUGATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI

Pasal 90

Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air berhak
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan.

Pasal 91

Instansi pemerintah yang membidangi sumber daya air bertindak untuk kepentingan
masyarakat apabila terdapat indikasi masyarakat menderita akibat pencemaran air
dan/atau kerusakan sumber air yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Pasal 92

(1) Organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air berhak mengajukan
gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang
menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya, untuk
kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugatan untuk
melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber
daya air dan/atau gugatan membayar biaya atas pengeluaran nyata.
(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi persyaratan:
(4) berbentuk organisasi kemasyarakatan yang berstatus badan hukum dan bergerak
dalam bidang sumber daya air;
(5) mencantumkan tujuan pendirian organisasi dalam anggaran dasarnya untuk
kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi sumber daya air; dan
telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

BAB XV
PENYIDIKAN

Pasal 93

(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai
negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang sumber daya
air dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan tentang


adanya tindak pidana sumber daya air;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan usaha yang diduga
melakukan tindak pidana sumber daya air;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka
dalam perkara tindak pidana sumber daya air;
d. melakukan pemeriksaan prasarana sumber daya air dan menghentikan
peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
e. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana sebagai alat bukti;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana sumber daya air;
g. membuat dan menandatangani berita acara dan mengirimkannya kepada
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan/atau
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana.

(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(4) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 94

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah):

a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan


rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air,
dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24; atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52.

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penggunaan air yang
mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan fungsi
sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
ayat (7).

(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):

a. setiap orang yang dengan sengaja menyewakan atau memindahtangankan


sebagian atau seluruhnya hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2);
b. setiap orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan sumber daya air
tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (3); atau
c. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma,
standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(2);
d. setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dari Pemerintah atau
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3).

Pasal 95

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah):

a. setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan sumber


daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau
mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52.

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah):

a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan penggunaan air


yang mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan kerusakan
fungsi sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3); atau;
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang
mengakibatkan kerusakan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64 ayat (7).

(3) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah):

a. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pengusahaan sumber daya


air tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (3);
b. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma,
standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(2);
c. setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi pada sumber air tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
ayat (3).

Pasal 96

(1) Dalam hal tindak pidana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94
dan Pasal 95 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap
badan usaha, pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda ditambah sepertiga
denda yang dijatuhkan.

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 97

Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan
dengan sumber daya air dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 98

Perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang telah diterbitkan
sebelum ditetapkannya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
masa berlakunya berakhir.

BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 99

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 100

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 18 Maret 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 32

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2004

TENTANG

SUMBER DAYA AIR

UMUM

(1) Sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam
segala bidang. Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang ini menyatakan bahwa sumber
daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat secara adil. Atas penguasaan sumber daya air oleh negara dimaksud,
negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan
kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan pengaturan hak atas air. Penguasaan
negara atas sumber daya air tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti hak ulayat
masyarakat hukum adat setempat dan hak-hak yang serupa dengan itu,
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak
untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai
keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan hak
pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan
memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan alokasi yang
ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk yang wajib
memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin. Hak guna air untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kegiatan bukan usaha disebut
dengan hak guna pakai air, sedangkan hak guna air untuk memenuhi kebutuhan
usaha, baik penggunaan air untuk bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya,
media usaha, maupun penggunaan air untuk bahan pembantu produksi, disebut
dengan hak guna usaha air.
(3) Jumlah alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak dan harus dipenuhi
sebagaimana yang tercantum dalam izin, tetapi dapat ditinjau kembali apabila
persyaratan atau keadaan yang dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi
ketersediaan air pada sumber air yang bersangkutan mengalami perubahan yang
sangat berarti dibandingkan dengan kondisi ketersediaan air pada saat penetapan
alokasi.
(4) Hak guna pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi
perseorangan dan pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi dijamin
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah. Hak guna pakai air untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan pertanian rakyat tersebut
termasuk hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang
lain yang berbatasan dengan tanahnya. Pemerintah atau pemerintah daerah
menjamin alokasi air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi
perseorangan dan pertanian rakyat tersebut dengan tetap memperhatikan kondisi
ketersediaan air yang ada dalam wilayah sungai yang bersangkutan dengan tetap
menjaga terpeliharanya ketertiban dan ketentraman.
(5) Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih
menguatnya nilai ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut
berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar sektor, antar wilayah dan
berbagai pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan
sumber daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung lebih
memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber
daya air.
(6) Berdasarkan pertimbangan tersebut undang-undang ini lebih memberikan
perlindungan terhadap kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan
menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyelaraskan
fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.
(7) Air sebagai sumber kehidupan masyarakat secara alami keberadaannya bersifat
dinamis mengalir ke tempat yang lebih rendah tanpa mengenal batas wilayah
administrasi.
(8) Keberadaan air mengikuti siklus hidrologis yang erat hubungannya dengan kondisi
cuaca pada suatu daerah sehingga menyebabkan ketersediaan air tidak merata
dalam setiap waktu dan setiap wilayah.
(9) Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan
masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif
terhadap kelestarian sumber daya air dan meningkatnya daya rusak air. Hal
tersebut menuntut pengelolaan sumber daya air yang utuh dari hulu sampai ke
hilir dengan basis wilayah sungai dalam satu pola pengelolaan sumber daya air
tanpa dipengaruhi oleh batas-batas wilayah administrasi yang dilaluinya.
(10) Berdasarkan hal tersebut di atas, pengaturan kewenangan dan tanggung jawab
pengelolaan sumber daya air oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota didasarkan pada keberadaan wilayah sungai yang
bersangkutan, yaitu:

a. wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan/atau wilayah
sungai strategis nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
b. wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah
provinsi;
c. wilayah sungai yang secara utuh berada pada satu wilayah kabupaten/kota
menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota;

(11) Di samping itu, undang-undang ini juga memberikan kewenangan pengelolaan


sumber daya air kepada pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain
sepanjang kewenangan yang ada belum dilaksanakan oleh masyarakat dan/atau
oleh pemerintah di atasnya.
(12) Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk
mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas peruntukan, penyediaan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dengan tetap
dalam kerangka konservasi dan pengendalian daya rusak air.
(13) Pola pengelolaan sumber daya air merupakan kerangka dasar dalam
merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air pada setiap wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan
dan air tanah. Pola pengelolaan sumber daya air disusun secara terkoordinasi di
antara instansi yang terkait, berdasarkan asas kelestarian, asas keseimbangan
fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi, asas kemanfaatan umum, asas
keterpaduan dan keserasian, asas keadilan, asas kemandirian, serta asas
transparansi dan akuntabilitas. Pola pengelolaan sumber daya air tersebut
kemudian dijabarkan ke dalam rencana pengelolaan sumber daya air.
(14) Penyusunan pola pengelolaan perlu melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat
dan dunia usaha, baik koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah maupun badan usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis,
masyarakat tidak hanya diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan sumber
daya air, tetapi berperan pula dalam proses perencanaan, pelaksanaan konstruksi,
operasi dan pemeliharaan, pemantauan, serta pengawasan atas pengelolaan
sumber daya air.
(15) Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan rencana induk konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak
air yang disusun secara terkoordinasi berbasis wilayah sungai. Rencana tersebut
menjadi dasar dalam penyusunan program pengelolaan sumber daya air yang
dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kegiatan setiap instansi yang terkait.
Rencana pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk rencana penyediaan
sumber daya air dan pengusahaan sumber daya air. Penyediaan air untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat dalam sistem
irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan di atas semua
kebutuhan lainnya. Karena keberagaman ketersediaan sumber daya air dan jenis
kebutuhan sumber daya air pada suatu tempat, urutan prioritas penyediaan
sumber daya air untuk keperluan lainnya ditetapkan sesuai dengan kebutuhan
setempat.
(16) Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan tetap memperhatikan
fungsi sosial sumber daya air dan kelestarian lingkungan hidup. Pengusahaan
sumber daya air yang meliputi satu wilayah sungai hanya dapat dilakukan oleh
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di bidang pengelolaan
sumber daya air atau kerja sama antara keduanya, dengan tujuan untuk tetap
mengedepankan prinsip pengelolaan yang selaras antara fungsi sosial, fungsi
lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi sumber daya air.
(17) Pengusahaan sumber daya air pada tempat tertentu dapat diberikan kepada badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah bukan pengelola sumber daya
air, badan usaha swasta dan/atau perseorangan berdasarkan rencana
pengusahaan yang telah disusun melalui konsultasi publik dan izin pengusahaan
sumber daya air dari pemerintah. Pengaturan mengenai pengusahaan sumber
daya air dimaksudkan untuk mengatur dan memberi alokasi air baku bagi kegiatan
usaha tertentu. Pengusahaan sumber daya air tersebut dapat berupa pengusahaan
air baku sebagai bahan baku produksi, sebagai salah satu media atau unsur utama
dari kegiatan suatu usaha, seperti perusahaan daerah air minum, perusahaan air
mineral, perusahaan minuman dalam kemasan lainnya, pembangkit listrik tenaga
air, olahraga arung jeram, dan sebagai bahan pembantu proses produksi, seperti
air untuk sistem pendingin mesin (water cooling system) atau air untuk pencucian
hasil eksplorasi bahan tambang. Kegiatan pengusahaan dimaksud tidak termasuk
menguasai sumber airnya, tetapi hanya terbatas pada hak untuk menggunakan air
sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dan menggunakan sebagian sumber air
untuk keperluan bangunan sarana prasarana yang diperlukan misalnya
pengusahaan bangunan sarana prasarana pada situ. Pengusahaan sumber daya air
tersebut dilaksanakan sesuai dengan rambu-rambu sebagaimana diatur dalam
norma, standar, pedoman, manual (NSPM) yang telah ditetapkan.
(18) Air dalam siklus hidrologis dapat berupa air yang berada di udara berupa uap air
dan hujan; di daratan berupa salju dan air permukaan di sungai, saluran, waduk,
danau, rawa, dan air laut; serta air tanah. Air laut mempunyai karakteristik yang
berbeda dan memerlukan adanya penanganan serta pengaturan tersendiri,
sedangkan untuk air laut yang berada di darat tunduk pada pengaturan dalam
undang-undang ini. Pemanfaatan air laut di darat untuk keperluan pengusahaan,
baik melalui rekayasa teknis maupun alami akibat pengaruh pasang surut, perlu
memperhatikan fungsi lingkungan hidup dan harus mendapat izin dari Pemerintah
atau pemerintah daerah sesuai dengan wewenangnya, serta berdasarkan prosedur
dan standar perizinan menurut pedoman teknik dan administrasi yang telah
ditetapkan.
(19) Untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan,
penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air, pada prinsipnya, wajib
menanggung biaya pengelolaan sesuai dengan manfaat yang diperoleh. Kewajiban
ini tidak berlaku bagi pengguna air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
kepentingan sosial serta keselamatan umum. Karena keterbatasan kemampuan
petani pemakai air, penggunaan air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan
dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air dengan tidak
menghilangkan kewajibannya untuk menanggung biaya pengembangan, operasi,
dan pemeliharaan sistem irigasi tersier.
(20) Undang-undang ini disusun secara komprehensif yang memuat pengaturan
menyeluruh tidak hanya meliputi bidang pengelolaan sumber daya air, tetapi juga
meliputi proses pengelolaan sumber daya air. Mengingat sumber daya air
menyangkut kepentingan banyak sektor, daerah pengalirannya menembus batas-
batas wilayah administrasi, dan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan
kehidupan masyarakat, undang-undang ini menetapkan perlunya dibentuk wadah
koordinasi pengelolaan sumber daya air yang beranggotakan wakil dari pihak yang
terkait, baik dari unsur pemerintah maupun nonpemerintah. Wadah koordinasi
tersebut dibentuk pada tingkat nasional dan provinsi, sedangkan pada tingkat
kabupaten/kota dan wilayah sungai dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Wadah
koordinasi itu diharapkan mampu mengoordinasikan berbagai kepentingan
instansi, lembaga, masyarakat, dan para pemilik kepentingan (stakeholders)
sumber daya air lainnya dalam pengelolaan sumber daya air, terutama dalam
merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan sumber daya air, serta
mendorong peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air.
Dalam melaksanakan tugasnya wadah koordinasi tersebut secara teknis
mendapatkan bimbingan Pemerintah dalam hal ini kementerian yang membidangi
sumber daya air.
(21) Untuk menjamin terselenggaranya kepastian dan penegakan hukum dalam hal
yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air selain penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia diperlukan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi
wewenang penyidikan. Selanjutnya, terhadap berbagai masalah sumber daya air
yang merugikan kehidupan, masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan,
sedangkan terhadap berbagai sengketa sumber daya air, masyarakat dapat
mencari penyelesaian sengketa, baik dengan menempuh cara melalui pengadilan
maupun di luar pengadilan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(22) Untuk menyesuaikan perubahan paradigma dan mengantisipasi kompleksitas
perkembangan permasalahan sumber daya air; menempatkan air dalam dimensi
sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras; mewujudkan pengelolaan
sumber daya air yang terpadu; mengakomodasi tuntutan desentralisasi dan
otonomi daerah; memberikan perhatian yang lebih baik terhadap hak dasar atas
air bagi seluruh rakyat; mewujudkan mekanisme dan proses perumusan kebijakan
dan rencana pengelolaan sumber daya air yang lebih demokratis, perlu dibentuk
undang-undang baru sebagai pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Asas Kelestarian mengandung pengertian bahwa pendayagunaan sumber daya air


diselenggarakan dengan menjaga kelestarian fungsi sumber daya air secara
berkelanjutan.

Asas Keseimbangan mengandung pengertian keseimbangan antara fungsi sosial, fungsi


lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi.

Asas Kemanfaatan Umum mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya air
dilaksanakan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umum
secara efektif dan efisien.
Asas Keterpaduan dan Keserasian mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber
daya air dilakukan secara terpadu dalam mewujudkan keserasian untuk berbagai
kepentingan dengan memperhatikan sifat alami air yang dinamis.

Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya air dilakukan
secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di wilayah tanah air sehingga setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati
hasilnya secara nyata.

Asas Kemandirian mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya air


dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan keunggulan sumber daya setempat.
Asas Transparansi dan Akuntabilitas mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber
daya air dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 3

Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh mencakup
semua bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian
daya rusak air, serta meliputi satu sistem wilayah pengelolaan secara utuh yang
mencakup semua proses perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi.

Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air secara terpadu merupakan
pengelolaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemilik kepentingan
antarsektor dan antarwilayah administrasi.

Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air berwawasan lingkungan hidup
adalah pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung
lingkungan.

Yang dimaksud dengan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan adalah pengelolaan
sumber daya air yang tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi
juga termasuk untuk kepentingan generasi yang akan datang.

Pasal 4

Sumber daya air mempunyai fungsi sosial berarti bahwa sumber daya air untuk
kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu.

Sumber daya air mempunyai fungsi lingkungan hidup berarti bahwa sumber daya air
menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora dan
fauna.

Sumber daya air mempunyai fungsi ekonomi berarti bahwa sumber daya air dapat
didayagunakan untuk menunjang kegiatan usaha.

Pasal 5

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa negara wajib menyelenggarakan berbagai upaya


untuk menjamin ketersediaan air bagi setiap orang yang tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jaminan tersebut menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya menjamin akses
setiap orang ke sumber air untuk mendapatkan air. Besarnya kebutuhan pokok minimal
sehari-hari akan air ditentukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh


Pemerintah dan/atau pemerintah daerah adalah kewenangan yang diberikan oleh
negara kepada Pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan sumber daya
air.

Yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang
sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang
pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya:

tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam peto atau pewatasan di Kalimantan;


wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di Bali; totabuan di Bolaang-
Mangondouw, torluk di Angkola, limpo di Sulawesi Selatan, muru di Pulau Buru,
paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak.

Ayat (3)

Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa
dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum
adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan
tempat tinggal atau atas dasar keturunan. Hak ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih


merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-
ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;
b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan
penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan artinya hak guna
air yang diberikan kepada pemohon tidak dapat disewakan dan dipindahkan
kepada pihak lain dengan alasan apapun.

Apabila hak guna air tersebut tidak dimanfaatkan oleh pemegang hak guna air,
Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mencabut hak guna air yang
bersangkutan.

Pasal 8
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kebutuhan pokok sehari-hari adalah air untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang digunakan pada atau diambil dari sumber air
(bukan dari saluran distribusi) untuk keperluan sendiri guna mencapai kehidupan
yang sehat, bersih dan produktif, misalnya untuk keperluan ibadah, minum,
masak, mandi, cuci dan, peturasan.

Yang dimaksud dengan pertanian rakyat adalah budi daya pertanian yang meliputi
berbagai komoditi yaitu pertanian tanaman pangan, perikanan, peternakan,
perkebunan, dan kehutanan yang dikelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang
kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala keluarga.

Yang dimaksud dengan sistem irigasi meliputi prasarana irigasi, air irigasi,
manajemen irigasi, institusi pengelola irigasi, dan sumber daya manusia.

Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban pelaksanaan


rencana penyediaan sumber daya air.

Yang dimaksud dengan mengubah kondisi alami sumber air adalah mempertinggi,
memperendah, dan membelokkan sumber air.

Mempertinggi adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan air pada sumber air
menjadi lebih tinggi, misalnya membangun bendung atau bendungan. Termasuk
dalam pengertian mempertinggi adalah memompa air dari sumber air untuk
pertanian rakyat.

Memperendah adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan air pada sumber air
menjadi lebih rendah atau turun dari semestinya, misalnya menggali atau
mengeruk sungai.

Membelokkan adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan aliran air dan alur
sumber air menjadi berbelok dari alur yang sebenarnya.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Hak untuk mengalirkan air melalui tanah orang lain dimaksudkan agar tidak
mengganggu perolehan hak guna pakai air orang lain. Dalam hal air digunakan
untuk keperluan pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada, hak untuk
mengalirkan air melalui tanah orang lain didasarkan pada kesepakatan kedua belah
pihak.
Pasal 9

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan perseorangan adalah subjek nonbadan usaha yang


memerlukan air untuk keperluan usahanya misalnya usaha pertambakan dan
usaha industri rumah tangga.

Ayat (2)

Persetujuan dimaksud dilakukan secara tertulis.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah pemberian imbalan kepada


pemegang hak atas tanah sebagai akibat dari pelepasan hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berada di atasnya, yang besarnya
ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Kompensasi adalah pemberian imbalan kepada pemegang hak atas tanah sebagai
akibat dari dilewatinya area tanahnya oleh aliran air pemegang hak guna usaha air
sehingga pemegang hak atas tanah tidak dapat memanfaatkan sepenuhnya hak
atas tanah yang dimilikinya. Besarnya kompensasi ditetapkan berdasarkan
kesepakatan para pihak. Hal yang sama berlaku terhadap masyarakat hukum adat.
Dalam hal yang terkena adalah aset milik negara, penggantian kerugian atau
kompensasi dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan masyarakat adalah seluruh rakyat Indonesia baik sebagai
perseorangan, kelompok orang, masyarakat adat, badan usaha, maupun yang
berhimpun dalam suatu lembaga atau organisasi kemasyarakatan.

Ayat (2)

Prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah diselenggarakan dengan
memperhatikan wewenang dan tanggung jawab masing-masing instansi sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya.

Ayat (3)

Pelibatan masyarakat dan dunia usaha dalam penyusunan pola pengelolaan


sumber daya air dimaksudkan untuk menjaring masukan, permasalahan, dan/atau
keinginan dari para pemilik kepentingan (stakeholders) untuk diolah dan
dituangkan dalam arahan kebijakan pengelolaan sumber daya air wilayah sungai.
Pelibatan masyarakat dan dunia usaha tersebut dilakukan melalui konsultasi publik
yang diselenggarakan minimal dalam 2 (dua) tahap.
Konsultasi publik tahap pertama dimaksudkan untuk menjaring masukan,
permasalahan, dan/atau keinginan masyarakat dan dunia usaha atas pengelolaan
sumber daya air wilayah sungai.
Konsultasi publik tahap kedua dimaksudkan untuk sosialisasi pola yang ada guna
mendapatkan tanggapan dari masyarakat dan dunia usaha yang ada di wilayah
sungai yang bersangkutan. Dunia usaha yang dimaksud di sini adalah koperasi,
badan usaha milik negara, serta badan usaha milik daerah dan swasta.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan keseimbangan antara upaya konservasi dan


pendayagunaan adalah perlakuan yang proporsional untuk kegiatan konservasi dan
pendayagunaan sumber daya air.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dewan Sumber Daya Air Nasional merupakan wadah koordinasi antar para pemilik
kepentingan sumber daya air tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87.

Pertimbangan Dewan Sumber Daya Air Nasional kepada Presiden diberikan atas
dasar masukan dari pemerintah daerah yang bersangkutan.

Ayat (3)

Penetapan wilayah sungai strategis nasional dinilai berdasarkan parameter/aspek:

1. ukuran dan besarnya potensi sumber daya air pada wilayah sungai
bersangkutan;
2. banyaknya sektor dan jumlah penduduk dalam wilayah sungai bersangkutan;
3. besarnya dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi terhadap pembangunan
nasional; dan
4. besarnya dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhan
ekonomi.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 14

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Yang dimaksud dengan kawasan lindung sumber air adalah kawasan yang
memberikan fungsi lindung pada sumber air misalnya daerah sempadan sumber
air, daerah resapan air, dan daerah sekitar mata air.

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Pemberian izin pada ayat ini dimaksudkan hanya untuk sumber daya air
permukaan.

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Cukup jelas

Huruf l

Cukup jelas

Pasal 15

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Pemberian izin pada ayat ini dimaksudkan hanya untuk sumber daya air
permukaan.

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Huruf j

Cukup jelas

Huruf k

Cukup jelas

Huruf l

Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Istilah desa yang dimaksud dalam pasal ini disesuaikan dengan kondisi sosial budaya
masyarakat setempat seperti nagari, kampung, huta, bori, dan marga sedangkan yang
dimaksud dengan masyarakat termasuk masyarakat hukum adat.

Pasal 18

Cukup jelas
Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan membahayakan kepentingan umum, misalnya: tidak


terurusnya kawasan lindung sumber air terutama pada daerah hulu sumber
air; tingkat pencemaran yang terus meningkat di sumber air; galian golongan
c di sungai yang tidak terkendali sehingga mengancam kerusakan pada
pondasi jembatan, tanggul sungai atau bangunan prasarana umum lainnya di
sumber air; atau tanah longsor yang diperkirakan dapat mengancam aktivitas
perekonomian masyarakat secara luas.

Huruf b

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui: mediasi, peringatan,


fasilitasi, dan/atau pengambilalihan kewenangan.

Pasal 20

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kelangsungan keberadaan sumber daya air adalah


terjaganya keberlanjutan keberadaan air dan sumber air, termasuk potensi yang
terkandung di dalamnya.

Yang dimaksud dengan daya dukung sumber daya air adalah kemampuan sumber
daya air untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Yang dimaksud dengan daya tampung air dan sumber air adalah kemampuan air
dan sumber air untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan pengendalian pemanfaatan sumber air dapat berupa:


ƒ mengatur pemanfaatan sebagian atau seluruh sumber air tertentu melalui
perizinan; dan/atau
ƒ pelarangan untuk memanfaatkan sebagian atau seluruh sumber air
tertentu.

Huruf c

Yang dimaksud dengan pengisian air pada sumber air antara lain:
pemindahan aliran air dari satu daerah aliran sungai ke daerah aliran sungai
lainnya, misalnya dengan sudetan, interkoneksi, suplesi, dan/atau imbuhan
air tanah.

Huruf d

Yang dimaksud dengan sanitasi meliputi prasarana dan sarana air limbah dan
persampahan.

Huruf e

Cukup jelas

Huruf f

Cukup jelas

Huruf g

Cukup jelas

Huruf h

Cukup jelas

Huruf i

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Pelaksanaan secara vegetatif merupakan upaya perlindungan dan pelestarian yang


dilakukan dengan atau melalui penanaman pepohonan atau tanaman yang sesuai
pada daerah tangkapan air atau daerah sempadan sumber air.

Yang dimaksud dengan cara sipil teknis adalah upaya perlindungan dan pelestarian
yang dilakukan melalui rekayasa teknis, seperti pembangunan bangunan penahan
sedimen, pembuatan teras (sengkedan), dan/atau perkuatan tebing sumber air.
Yang dimaksud dengan melalui pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi adalah
bahwa pelaksanaan upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dengan
berbagai upaya tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan kondisi sosial,
budaya, dan ekonomi masyarakat setempat.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan memperbaiki kualitas air pada sumber air antara lain
dilakukan melalui upaya aerasi pada sumber air.

Ayat (3)

Untuk mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air misalnya dilakukan
dengan cara tidak membuang sampah di sumber air, dan mengolah air limbah
sebelum dialirkan ke sumber air.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 24

Yang dimaksud dengan rusaknya sumber air adalah berkurangnya daya tampung atau
fungsi sumber air.

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah
adalah keadaan yang sesuai dengan daur hidrologi yang merupakan satu kesatuan
sistem (conjunctive use).

Ayat (6)

Yang dimaksud dengan setiap orang meliputi orang perseorangan dan badan
usaha.

Ayat (7)

Yang dimaksud dengan prinsip pemanfaat membayar biaya jasa pengelolaan


adalah penerima manfaat ikut menanggung biaya pengelolaan sumber daya air
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan ini tidak diberlakukan
kepada pengguna air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.

Pasal 27
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan zona pemanfaatan sumber air adalah ruang pada sumber
air (waduk, danau, rawa, atau sungai) yang dialokasikan, baik sebagai fungsi
lindung maupun fungsi budi daya. Misalnya, membagi permukaan suatu waduk,
danau, rawa, atau sungai ke dalam berbagai zona pemanfaatan, antara lain, ruang
yang dialokasikan untuk budi daya perikanan, penambangan bahan galian
golongan C, transportasi air, olahraga air dan pariwisata, pelestarian unsur
lingkungan yang unik atau dilindungi, dan/atau pelestarian cagar budaya.

Penentuan zona pemanfaatan sumber air bertujuan untuk mendayagunakan


fungsi/potensi yang terdapat pada sumber air yang bersangkutan secara
berkelanjutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun yang akan
datang.

Dalam penetapan zona pemanfaatan sumber air, selain untuk menentukan dan
memperjelas batas masing-masing zona pemanfaatan, termasuk juga ketentuan,
persyaratan, atau kriteria pemanfaatan dan pengendaliannya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas
Pasal 28

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penetapan peruntukan air pada sumber air adalah
pengelompokan penggunaan air yang terdapat pada sumber air ke dalam beberapa
golongan penggunaan air termasuk baku mutunya, misalnya mengelompokkan
penggunaan sungai ke dalam beberapa ruas menurut beberapa jenis golongan
penggunaan air untuk keperluan air baku untuk rumah tangga, pertanian, dan
usaha industri.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Penyebutan jenis-jenis penyediaan sumber daya air pada ayat ini di luar kebutuhan
pokok bukan merupakan urutan prioritas.

Yang dimaksud dengan kebutuhan air untuk pertanian misalnya kebutuhan air
untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan.

Ayat (3)

Apabila terjadi konflik kepentingan antara pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari


dan pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk pertanian rakyat misalnya pada situasi
kekeringan yang ekstrim, prioritas ditempatkan pada pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Kompensasi dapat berbentuk ganti kerugian misalnya berupa keringanan biaya


jasa pengelolaan sumber daya air yang dilakukan atas dasar kesepakatan
antarpemakai.

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kepentingan mendesak adalah suatu keadaan tertentu


yang mengharuskan pengambilan keputusan dengan cepat untuk mengubah
rencana penyediaan air, karena keterlambatan mengambil keputusan akan
menimbulkan kerugian harta, benda, jiwa, dan lingkungan yang lebih besar.
Misalnya, perubahan rencana penyediaan air untuk mengatasi kekeringan dan
pemadaman kebakaran hutan.

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan penggunaan sebagai media misalnya pemanfaatan sungai


untuk transportasi dan arung jeram.

Yang dimaksud dengan penggunaan sebagai materi misalnya pemanfaatan air


untuk minum, rumah tangga, dan industri.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Kerusakan pada sumber air antara lain dapat berupa longsoran pada tebing
sumber air, rusak atau jebolnya tanggul sungai, dan/atau menyempitnya ruas
sumber air.
Yang dimaksud dengan mengganti kerugian antara lain dapat berupa kerja bakti
membuat bangunan penahan longsor, memperbaiki tanggul, atau membongkar
bangunan yang dijadikan tempat pengambilan atau penggunaan air dimaksud.

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas
Pasal 33

Yang dimaksud dengan keadaan memaksa dalam ayat ini adalah keadaan yang bersifat
darurat.

Penggunaan sumber daya air untuk kepentingan konservasi misalnya untuk


penggelontoran sumber air di kawasan perkotaan yang tingkat pencemarannya sudah
sangat tinggi (terjadi keracunan).

Penggunaan sumber daya air untuk persiapan pelaksanaan konstruksi misalnya untuk
mengatasi kerusakan mendadak yang terjadi pada prasarana sumber daya air (tanggul
jebol).

Penggunaan sumber daya air untuk pemenuhan prioritas penggunaan sumber daya air
misalnya untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari pada saat terjadi kekeringan.

Pasal 34

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengembangan termasuk kegiatan pelaksanaan konstruksi.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Kekhasan daerah adalah sifat khusus tertentu yang hanya ditemukan di suatu
daerah, bersifat positif dan produktif serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.

Contoh:
ƒ kekhasan di bidang kelembagaan masyarakat pemakai air untuk irigasi:
Subak di Bali, Tuo Banda di Sumatera Barat, Dharma Tirta di Jawa
Tengah, dan Mitra Cai di Jawa Barat.
ƒ kekhasan di bidang penyelenggaraan pemerintahan seperti otonomi
khusus, desa, atau masyarakat hukum adat.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan konsultasi publik adalah upaya menyerap aspirasi


masyarakat melalui dialog dan musyawarah dengan semua pihak yang
berkepentingan. Konsultasi publik bertujuan mencegah dan meminimalkan dampak
sosial yang mungkin timbul serta untuk mendorong terlaksananya transparansi dan
partisipasi dalam pengambilan keputusan yang lebih adil.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 35

Huruf a

Yang dimaksud dengan sumber air permukaan lainnya, antara lain, situ, embung,
ranu, waduk, telaga, dan mata air (spring water).

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan modifikasi cuaca adalah upaya dengan cara memanfaatkan
parameter cuaca dan kondisi iklim pada lokasi tertentu untuk tujuan meminimalkan
dampak bencana alam akibat iklim dan cuaca, seperti kekeringan, banjir, dan
kebakaran hutan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)
Pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat misalnya untuk
keperluan usaha tambak dan sistem pendinginan mesin.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 40

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan air minum rumah tangga adalah air dengan standar dapat
langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat
menurut hasil pengujian mikrobiologi (uji ecoli).

Yang dimaksud dengan pengembangan sistem penyediaan air minum adalah


memperluas dan meningkatkan sistem fisik (teknik) dan sistem nonfisik
(kelembagaan, manajemen, keuangan, peran masyarakat, dan hukum) dalam
kesatuan yang utuh untuk menyediakan air minum yang memenuhi kualitas
standar tertentu bagi masyarakat menuju kepada keadaan yang lebih baik.
Pengembangan instalasi dan jaringan serta sistem penyediaan air minum untuk
rumah tangga termasuk pola hidran dan pola distribusi dengan mobil tangki air.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah adalah badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah yang
bertugas menyelenggarakan pengembangan sistem penyediaan air minum.

Ayat (4)

Dalam hal di suatu wilayah tidak terdapat penyelenggaraan air minum yang
dilakukan oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah,
penyelenggaraan air minum di wilayah tersebut dilakukan oleh koperasi, badan
usaha swasta dan masyarakat.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas
Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 41

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan


pembuangan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi
permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak.

Ayat (2)

Pengembangan sistem irigasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah termasuk


saluran percontohan sepanjang 50 meter dari bangunan sadap/pengambilan
tersier.

Kriteria pembagian tanggung jawab pengelolaan irigasi selain didasarkan pada


keberadaan jaringan tersebut terhadap wilayah administrasi juga perlu didasarkan
pada strata luasannya, sebagai berikut:
ƒ daerah irigasi (DI) dengan luas kurang dari 1.000 ha (DI kecil) dan berada
dalam satu kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota.
ƒ daerah irigasi (DI) dengan luas 1.000 s.d. 3.000 ha (DI sedang), atau daerah
irigasi kecil yang bersifat lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan dan
tanggung jawab pemerintah provinsi.
ƒ daerah irigasi (DI) dengan luas lebih dari 3.000 ha (DI besar), atau DI sedang
yang bersifat lintas provinsi, strategis nasional, dan lintas negara menjadi
kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah.

Pelaksanaan pengembangan sistem irigasi yang menjadi kewenangan Pemerintah


dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa hak dan tanggung jawab pengembangan sistem
irigasi tersier ada pada petani, tetapi dalam batas-batas tertentu pemerintah dapat
memfasilitasinya.

Ayat (4)

Yang dimaksud masyarakat termasuk perkumpulan petani pemakai air.

Yang dimaksud dengan mengikutsertakan masyarakat adalah mendorong


masyarakat pemakai air pada umumnya dan petani pada khususnya untuk
berperan aktif dalam pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan pihak lain adalah kelompok masyarakat di luar


kelompok/perkumpulan petani pemakai air, perseorangan atau badan usaha yang
karena kebutuhan dan atas pertimbangan/advis/rekomendasi pemerintah secara
berjenjang menurut skala kewenangan dinilai mampu untuk mengembangkan
sistem irigasi. Pengembangan sistem irigasi harus selaras dengan rencana tata
ruang wilayah.
Pengembangan dalam arti pelaksanaan konstruksi dapat dilakukan oleh pihak lain
dengan desain konstruksi yang telah disetujui oleh pemerintah.
Pengembangan sistem irigasi juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga atas supervisi
pemerintah. Pengaturan tentang tata cara persetujuan dan supervisi pemerintah
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan kemampuan petani berarti mampu secara kelembagaan,


teknis, dan pembiayaan.

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan keperluan ketenagaan misalnya menggunakan air sebagai


penggerak turbin pembangkit listrik atau sebagai penggerak kincir.

Yang dimaksud dengan memenuhi keperluan sendiri adalah penggunaan tenaga


yang dihasilkan hanya dimanfaatkan untuk melayani dirinya sendiri/kelompoknya
sendiri, sedangkan untuk diusahakan lebih lanjut adalah penggunaan tenaga yang
dihasilkan tidak hanya untuk keperluan sendiri tetapi dipasarkan kepada pihak lain.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya air untuk perhubungan antara
lain untuk media transportasi misalnya untuk lalu lintas air dan pengangkutan kayu
melalui sungai.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi
satu wilayah sungai adalah pengusahaan pada seluruh sistem sumber daya air
yang ada dalam wilayah sungai yang bersangkutan mulai dari hulu sampai hilir
sungai atau sumber air yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah di
bidang pengelolaan sumber daya air adalah badan usaha yang secara khusus
dibentuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka pengelolaan
sumber daya air wilayah sungai.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan badan usaha pada ayat ini dapat berupa badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah (yang bukan badan usaha pengelola sumber
daya air wilayah sungai), badan usaha swasta, dan koperasi.

Kerja sama dapat dilakukan, baik dalam pembiayaan investasi pembangunan


prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan dan/atau
pengoperasian prasarana sumber daya air. Kerja sama dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara misalnya dengan pola bangun guna serah (build, operate, and
transfer), perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak
konsesi, kontrak sewa dan sebagainya. Pelaksanaan berbagai bentuk kerja sama
yang dimaksud harus tetap dalam batas-batas yang memungkinkan pemerintah
menjalankan kewenangannya dalam pengaturan, pengawasan dan pengendalian
pengelolaan sumber daya air secara keseluruhan.

Izin pengusahaan antara lain memuat substansi alokasi air dan/atau ruas (bagian)
sumber air yang dapat diusahakan.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Pemanfaatan wadah air pada lokasi tertentu antara lain adalah pemanfaatan
atau penggunaan sumber air untuk keperluan wisata air, olahraga arung
jeram, atau lalu lintas air.

Huruf c

Pemanfaatan daya air antara lain sebagai penggerak turbin pembangkit listrik
atau sebagai penggerak kincir.

Pasal 46

Ayat (1)

Alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak sebagaimana yang tercantum
dalam izin, tetapi dapat ditinjau kembali apabila persyaratan atau keadaan yang
dijadikan dasar pemberian izin dan kondisi ketersediaan air pada sumber air yang
bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti dibandingkan dengan
kondisi ketersediaan air pada saat penetapan alokasi.

Ayat (2)
Alokasi air yang diberikan untuk keperluan pengusahaan tersebut tetap
memperhatikan alokasi air untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan
pertanian rakyat pada wilayah sungai yang bersangkutan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan alokasi air sementara adalah alokasi yang dihitung
berdasarkan perkiraan ketersediaan air yang dapat diandalkan (debit andalan)
dengan memperhitungkan kebutuhan pengguna air yang sudah ada.

Pasal 47
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan memfasilitasi ialah menyerap, mempelajari dan mendalami


objek pengaduan, dan merespon secara proporsional/wajar.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Bentuk konsultasi publik yang digunakan dapat melalui tatap muka langsung
dengan para pemilik kepentingan (stakeholders) dan/atau dengan cara-cara lain
yang lebih efisien dan efektif dalam menjaring masukan/tanggapan para pemilik
kepentingan dan masyarakat.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 48
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan saluran distribusi adalah saluran pembawa air baku, baik
yang berupa saluran terbuka maupun yang berbentuk saluran tertutup misalnya
pipa.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya upaya pengusahaan yang


melampaui batas-batas daya dukung lingkungan sumber daya air sehingga
mengancam kelestariannya.

Pasal 49

Cukup jelas
Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan daya rusak air antara lain berupa:


a. banjir;
b. erosi dan sedimentasi;
c. tanah longsor;
d. banjir lahar dingin;
e. tanah ambles;
f. perubahan sifat dan kandungan kimiawi, biologi, dan fisika air;
g. terancam punahnya jenis tumbuhan dan/atau satwa;
h. wabah penyakit;
i. intrusi; dan/atau
j. perembesan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kegiatan fisik adalah pembangunan sarana dan prasarana
serta upaya lainnya dalam rangka pencegahan kerusakan/ bencana yang
diakibatkan oleh daya rusak air, sedangkan kegiatan nonfisik adalah kegiatan
penyusunan dan/atau penerapan piranti lunak yang meliputi antara lain
pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.

Yang dimaksud dengan penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai adalah
penyelarasan antara upaya kegiatan konservasi di bagian hulu dengan
pendayagunaan di daerah hilir.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas
Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 54

Ayat (1)

Mitigasi bencana adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat meringankan penderitaan


akibat bencana, misalnya penyediaan fasilitas pengungsian dan penambalan
darurat tanggul bobol.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 55

Cukup jelas

Pasal 56

Keadaan yang membahayakan merupakan keadaan air yang luar biasa yang melampaui
batas rencana sehingga jika tidak diambil tindakan darurat diperkirakan dapat menjadi
bencana yang lebih besar terhadap keselamatan umum.

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota
menjadi masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; rencana
pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas kabupaten/kota menjadi
masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi bersangkutan;
rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi menjadi
masukan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan provinsi yang
bersangkutan.

Selain sebagai masukan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah, rencana
pengelolaan sumber daya air wilayah sungai juga digunakan sebagai masukan
untuk meninjau kembali rencana tata ruang wilayah dalam hal terjadi perubahan-
perubahan, baik pada rencana pengelolaan sumber daya air maupun pada rencana
tata ruang pada periode waktu tertentu. Perubahan yang dimaksud merupakan
tuntutan perkembangan kondisi dan situasi.

Dengan demikian, antara rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata
ruang wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling
menyesuaikan.

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61

Ayat (1)

Kegiatan inventarisasi sumber daya air dimaksudkan antara lain untuk mengetahui
kondisi hidrologis, hidrometeorologis, hidrogeologis, potensi sumber daya air yang
tersedia, dan kebutuhan air, baik menyangkut kuantitas maupun kualitas beserta
prasarana dan sarana serta lingkungannya termasuk kondisi sosial ekonomi dan
budaya masyarakatnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 62
Ayat (1)

Rencana pengelolaan sumber daya air disusun untuk jangka pendek, menengah,
dan panjang. Penetapan jangka waktu perencanaan diserahkan pada kesepakatan
pihak yang berperan dalam perencanaan di setiap wilayah sungai. Pada umumnya
jangka waktu pendek adalah lima tahun, jangka waktu menengah adalah 10 tahun,
dan jangka waktu panjang adalah 25 tahun.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)
Pengumuman dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat guna
menyatakan keberatan atas suatu rancangan rencana yang akan ditetapkan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Program-program pembangunan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air


misalnya program pengembangan air tanah oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang air tanah, program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dilaksanakan
oleh instansi yang bertanggung jawab dalam bidang konservasi tanah.

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 63
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air adalah
upaya melaksanakan pembangunan atau kegiatan konstruksi berdasarkan
perencanaan teknis yang telah dibuat, yang dapat berupa bangunan atau
konstruksi sarana dan/atau prasarana sumber daya air.
Yang dimaksud dengan pedoman adalah acuan yang bersifat umum yang harus
dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan
kemampuan daerah setempat.
Yang dimaksud dengan manual adalah panduan yang berisikan petunjuk
mengoperasikan peralatan dan/atau komponen bangunan sumber daya air
misalnya pintu air, pompa banjir, dan alat pengukur debit air.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 64

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pengaturan dalam ayat ini, misalnya, pengaturan


pembagian air, pengaturan jadwal pemberian air, teknik pemanfaatan air, dan
pengaturan pemanfaatan sempadan sumber air.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Huruf a

Kegiatan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan


sekunder dilakukan Pemerintah dan pemerintah daerah tidak menutup
kemungkinan perkumpulan petani pemakai air berperan serta sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya.

Huruf b

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Informasi kondisi hidrologis misalnya tentang curah hujan, debit sungai, dan tinggi
muka air pada sumber air.

Informasi kondisi hidrometeorologis misalnya tentang temperatur udara, kecepatan


angin, dan kelembaban udara.

Informasi kondisi hidrogeologis mencakup cekungan air tanah misalnya potensi air
tanah dan kondisi akuifer atau lapisan pembawa air.
Pasal 66
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Akses terhadap informasi sumber daya air yang tersedia di pusat pengelolaan data
di instansi pemerintah, badan atau lembaga lain di masyarakat dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain melalui internet, media cetak yang diterbitkan
secara berkala, surat menyurat, telepon, faksimile, atau kunjungan langsung
dengan prinsip terbuka untuk semua pihak yang berkepentingan di bidang sumber
daya air.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 67
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kegiatan berkaitan dengan sumber daya air adalah
kegiatan studi, penelitian, seminar, lokakarya, kegiatan pemberdayaan
masyarakat, serta kegiatan pembangunan sarana dan/atau prasarana yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 69

Cukup jelas

Pasal 70

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan para pemilik kepentingan adalah stakeholders di bidang


sumber daya air.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)
Termasuk pengertian kelompok masyarakat adalah organisasi kemasyarakatan
yang memiliki aktivitas di bidang sumber daya air misalnya masyarakat subak dan
kelompok masyarakat petani pemakai air.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 71

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pendidikan khusus adalah bentuk pendidikan nonformal


yang selama ini telah dilaksanakan dalam bidang sumber daya air, seperti kursus,
pelatihan, dan bentuk pendidikan nonformal lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 72

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pendampingan adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai
pihak untuk meningkatkan penyadaran, perilaku dan kemampuan melalui kegiatan
advokasi, penyuluhan, dan bantuan teknis dengan cara menempatkan dan
menugaskan tenaga pendamping masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 75

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kegiatan pengawasan dalam ayat ini mencakup


pengamatan secara cermat atas praktik penyelenggaraan pengelolaan sumber
daya air, baik dalam konteks kesesuaiannya dengan rencana pengelolaan yang
sudah ditetapkan maupun dalam konteks ketaatannya termasuk tindak lanjutnya
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan kebutuhan nyata adalah dana yang dibutuhkan semata-
mata untuk membiayai pengelolaan sumber daya air agar pelaksanaannya dapat
dilakukan secara wajar untuk menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air.

Ayat (2)

Setiap jenis pembiayaan dimaksud mencakup tiga aspek pengelolaan sumber daya
air, yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Yang dimaksud dengan biaya pelaksanaan konstruksi, termasuk di dalamnya


biaya konservasi sumber daya air.

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c

Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air diperoleh dari para
penerima manfaat pengelolaan sumber daya air, baik untuk tujuan
pengusahaan sumber daya air maupun untuk tujuan penggunaan sumber
daya air yang wajib membayar.

Pasal 78

Ayat (1)

Badan usaha lain misalnya perseroan terbatas dan usaha dagang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap sangat


mendesak oleh daerah tetapi belum menjadi prioritas pada tingkat nasional untuk
wilayah sungai lintas provinsi dan wilayah sungai strategis nasional, atau belum
menjadi prioritas pada tingkat regional untuk wilayah sungai lintas
kabupaten/kota.

Pasal 79
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan batas-batas tertentu adalah batasan terhadap lingkup


pekerjaan untuk pelayanan sosial, kesejahteraan, dan keselamatan umum yang
dapat dibiayai oleh Pemerintah dan pemerintah daerah misalnya rehabilitasi
tanggul dan sistem peringatan dini banjir. Sedangkan biaya pemeliharaan rutinnya
tetap menjadi tanggung jawab badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah
pengelola sumber daya air yang bersangkutan.

Pasal 80

Ayat (1)

Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari yang
tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air adalah pengguna sumber
daya air yang menggunakan air pada atau mengambil air untuk keperluan sendiri
dari sumber air yang bukan saluran distribusi.

Biaya jasa pengelolaan sumber daya air adalah biaya yang dibutuhkan untuk
melakukan pengelolaan sumber daya air agar sumber daya air dapat
didayagunakan secara berkelanjutan.
Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Perhitungan ekonomi rasional yang dapat dipertanggungjawabkan adalah


perhitungan yang memperhatikan unsur-unsur:
a. biaya depresiasi investasi;
b. amortisasi dan bunga investasi;
c. operasi dan pemeliharaan; dan
d. untuk pengembangan sumber daya air.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan nilai satuan biaya jasa pengelolaan adalah besarnya biaya
jasa pengelolaan untuk setiap unit pemanfaatan misalnya Rp per kWh dan Rp per
m3.

Kelompok pengguna misalnya: kelompok pengusaha industri rumah tangga,


kelompok pengusaha industri pabrikan, dan kelompok pengusaha air dalam
kemasan.

Yang dimaksud dengan volume dalam volume penggunaan sumber daya air adalah
jumlah penggunaan sumber daya air yang dihitung dengan satuan m3, atau satuan
luas sumber air yang digunakan, atau satuan daya yang dihasilkan (kWh).

Tingkat kemampuan ekonomi kelompok pengguna perlu dipertimbangkan dalam


penentuan satuan biaya jasa pengelolaan mengingat adanya perbedaan jumlah
penghasilan.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan jenis penggunaan nonusaha adalah jenis penggunaan air
untuk kegiatan yang bertujuan tidak mencari keuntungan misalnya pertanian
rakyat, rumah tangga, dan peribadatan.

Ayat (6)

Yang dimaksud dana dalam ayat ini adalah pungutan biaya jasa pengelolaan
sumber daya air.

Ayat (7)

Cukup jelas

Pasal 81

Cukup jelas

Pasal 82

Huruf a

Cukup jelas
Huruf b

Bentuk kerugian yang dialami sebagai akibat pelaksanaan pengelolaan sumber


daya air, misalnya hilang atau berkurangnya fungsi atau hak atas tanah,
bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berada di atasnya karena adanya
pembangunan bendungan, bendung, tanggul, saluran, dan bangunan prasarana
pengelolaan sumber daya air lainnya.

Pemberian ganti kerugian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku


meliputi ganti kerugian fisik dan/atau nonfisik terhadap pemilik atau penggarap
hak atas tanah dan/atau benda-benda lain beserta tanaman yang berada di
atasnya.

Ganti kerugian fisik dapat berupa uang, permukiman kembali, saham, atau dalam
bentuk lain.

Ganti kerugian nonfisik dapat berupa pemberian pekerjaan, atau jaminan


penghidupan lainnya yang tidak mengurangi nilai sosial ekonominya.

Huruf c

Cukup jelas

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Kerugian yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air


misalnya terjadinya pemberian air yang tidak sesuai dengan jadwal waktu, tidak
sesuai dengan alokasi, dan/atau kualitas air yang tidak sesuai dengan baku mutu.

Yang dimaksud dengan pihak yang berwenang adalah pengelola sumber daya air
dan pihak lain yang mempunyai tugas dan wewenang menerima pengaduan terkait
dengan pengelolaan sumber daya air.

Huruf f

Cukup jelas

Pasal 83

Cukup jelas

Pasal 84

Ayat (1)

Bentuk peran masyarakat dalam proses perencanaan, misalnya menyampaikan


pemikiran, gagasan, dan proses pengambilan keputusan dalam batas-batas
tertentu.

Bentuk peran masyarakat dalam proses pelaksanaan yang mencakup pelaksanaan


konstruksi serta operasi dan pemeliharaan, misalnya sumbangan waktu, tenaga,
material, dan dana.
Bentuk peran masyarakat dalam proses pengawasan, misalnya menyampaikan
laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 85

Cukup jelas

Pasal 86

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan nama lain misalnya panitia tata pengaturan air provinsi dan
panitia tata pengaturan air kabupaten/kota.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan prinsip keterwakilan adalah terwakilinya kepentingan


unsur-unsur yang terkait, misalnya sektor, wilayah, serta kelompok pengguna dan
pengusaha sumber daya air. Kelompok pakar, asosiasi profesi, organisasi
masyarakat dapat dilibatkan sebagai narasumber.

Yang dimaksud dengan seimbang adalah jumlah anggota yang proporsional antara
unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 87

Cukup jelas

Pasal 88

Ayat (1)

Sengketa sumber daya air dapat berupa sengketa pengelolaan sumber daya air
dan/atau sengketa hak guna pakai air atau hak guna usaha air. Misalnya sengketa
antarpengguna, antarpengusaha, antara para pengguna dan pengusaha,
antarwilayah, serta antara hulu dan hilir.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas
Pasal 89

Cukup jelas

Pasal 90

Cukup jelas

Pasal 91

Cukup jelas

Pasal 92

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan organisasi yang bergerak di bidang sumber daya air antara
lain adalah organisasi pengguna air, organisasi pemerhati masalah air, lembaga
pendidikan, lembaga swadaya masyarakat bidang sumber daya air, asosiasi
profesi, dan/atau bentuk organisasi masyarakat lainnya yang bergerak di bidang
sumber daya air.

Hak mengajukan gugatan pada ayat ini adalah gugatan perwakilan.

Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar gugatan yang dilakukan oleh
organisasi hanya terbatas pada tindakan yang berkenaan dengan sumber daya air
yang menyangkut kepentingan publik dengan memohon kepada pengadilan agar
seseorang atau badan usaha diperintahkan untuk melakukan tindakan
penanggulangan dan pemulihan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi
sumber daya air.

Yang dimaksud dengan biaya atas pengeluaran nyata adalah biaya yang nyata-
nyata dapat dibuktikan telah dikeluarkan oleh organisasi penggugat.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 93
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan


kepada pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan hasil
penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik POLRI. Hal
itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikannya telah
memenuhi ketentuan dan persyaratan. Mekanisme hubungan koordinasi antara
pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan pejabat penyidik POLRI dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 94

Cukup jelas

Pasal 95

Cukup jelas

Pasal 96

Cukup jelas

Pasal 97

Cukup jelas

Pasal 98

Perizinan dimaksud termasuk perjanjian yang berkaitan dengan penggunaan sumber


daya air yang telah dibuat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.

Pasal 99

Cukup jelas

Pasal 100

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4377


DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH

1. PP Nomor 69 Tahun 1996 Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk


dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam
Penataan Ruang

2. PP Nomor 68 Tahun 1998 Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian


Alam

3. PP Nomor 7 Tahun 1999 Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

4. PP Nomor 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar

5. PP Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan


Beracun

6. PP Nomor 19 Tahun 1999 Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan


Laut

7. PP Nomor 27 Tahun 1999 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

8. PP Nomor 41 Tahun 1999 Pengendalian Pencemaran Udara

9. PP Nomor 85 Tahun 1999 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18


Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun

10. PP Nomor 10 Tahun 2000 Tingkat Ketelitian Peta Untuk Penataan Ruang
Wilayah

11. PP Nomor 54 Tahun 2000 Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian


Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

12. PP Nomor 150 Tahun 2000 Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi
Biomassa

13. PP Nomor 4 Tahun 2001 Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran


Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan
Kebakaran Hutan dan atau Lahan

14. PP Nomor 74 Tahun 2001 Pengelolan Bahan Berbahaya dan Beracun

15. PP Nomor 82 Tahun 2001 Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian


Pencemaran Air

16. PP Nomor 27 Tahun 2002 Pengelolaan Limbah Radioaktif

17. PP Nomor 40 Tahun 2003 Tentang Tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996
Tentang : Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban, Serta
Bentuk Dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam
Penataan Ruang

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 69 TAHUN 1996 (69/1996)
Tanggal : 3 DESEMBER 1996 (JAKARTA)
Sumber : LN 1996/104; TLN 3660

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa dalam mewujudkan proses perencanaan tata ruang,


pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang,
pelaksanaan hak dan kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta
masyarakat dalam penataan ruang perlu dilakukan dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka


pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara
peran serta masyarakat dalam penataan ruang perlu diatur dengan
Peraturan Pemerintah;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembar- an
Negara Nomor 3501).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN,
SERTA BENTUK DAN TATA CARA PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM
PENATAAN RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:


1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan guna memelihara
kelangsungan hidupnya.

2. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
direncanakan maupun tidak.

3. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan


ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

4. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

5. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta


segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

6. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.

7. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama


pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

8. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama


bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

9. Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional


mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.

10. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk


masyarakat hukum adat, atau badan hukum.
11. Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang
timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat,
untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.

12. Hak atas ruang adalah hak-hak yang diberikan atas pemanfaatan
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara.
13. Menteri adalah menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan
ruang demi keserasian dan kelestarian ruang daratan, ruang lautan,
dan ruang udara.

BAB II
PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Bagian Pertama
Pelaksanaan Hak Masyarakat

Pasal 2

Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak:


a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

b. mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata


ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan;

c. menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai


akibat dari penataan ruang;

d. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya


sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai
dengan rencana tata ruang.

Pasal 3

(1) Dalam rangka mewujudkan hak masyarakat untuk mengetahui


rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka
rencana tata ruang diundangkan dan dimuat dalam :
a. Lembaran Negara, untuk Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dan
kawasan tertentu;
b. Lembaran Daerah Tingkat I, untuk Rencana Tata Ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I;
c. Lembaran Daerah Tingkat II, untuk Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

(2) Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1), Pemerintah berkewajiban
mengumumkan/menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan pada tempat- tempat yang memungkinkan masyarakat
mengetahui dengan mudah.
Pasal 4

(1) Pelaksanaan hak masyarakat dalam menikmati manfaat ruang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 termasuk pertambahan nilai
ruang sebagai akibat penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan atau kaidah yang berlaku.

(2) Dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak masyarakat


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah berkewajiban
melakukan pembinaan, menyebarluaskan informasi dan memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentang ketentuan peraturan
perundang-undangan atau kaidah yang berlaku.

Pasal 5

(1) Hak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian terhadap


perubahan status semula yang dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat
pelaksanaan rencana tata ruang diselenggarakan dengan cara
musyawarah antara pihak yang berkepentingan.

(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang


layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka penyelesaiannya
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Kewajiban Masyarakat

Pasal 6

Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat wajib untuk:


a. berperan serta dalam memelihara kualitas ruang;

b. berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses perencanaan tata


ruang, pemanfaatan ruang, dan menaati rencana tata ruang yang
telah ditetapkan.

Pasal 7

Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan
kriteria, kaidah, baku mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB III
BENTUK PERAN SERTA MASYARAKAT

Bagian Pertama
Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Nasional

Pasal 8

Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah


Nasional termasuk kawasan tertentu dapat berbentuk:

a. pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah


Nasional termasuk kawasan tertentu yang ditetapkan;

b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan,


termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang wilayah,
termasuk kawasan tertentu;

c. pemberian masukan dalam perumusan rencana tata ruang wilayah


Nasional termasuk kawasan tertentu;

d. pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam


penyusunan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
wilayah negara, termasuk perencanaan tata ruang kawasan tertentu;

e. pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang


wilayah Nasional termasuk kawasan tertentu;

f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan;

g. bantuan tenaga ahli.

Pasal 9

Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional dapat


berbentuk:
a. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang;

b. bantuan teknik dan pengelolaan pemanfaatan ruang.


Pasal 10

Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang kawasan tertentu dapat


berbentuk:
a. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku;

b. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata


ruang yang telah ditetapkan;

c. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana


Tata Ruang wilayah Nasional;

d. kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi


lingkungan.

Pasal 11

Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah


Nasional termasuk kawasan tertentu dapat berbentuk:
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Nasional dan
kawasan tertentu, termasuk pemberian informasi atau laporan
pelaksanaan pemanfaatan ruang; dan atau

b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban


pemanfaatan ruang.

Bagian Kedua
Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I

Pasal 12

Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah


Propinsi Daerah Tingkat I dapat berbentuk:
a. pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan wilayah
yang akan dicapai;

b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan,


termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang di wilayah, dan
termasuk pula perencanaan tata ruang kawasan;
c. bantuan untuk merumuskan perencanaan tata ruang wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I;

d. pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam


penyusunan penyusunan strategi dan struktur pemanfaatan ruang
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;

e. pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang


wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;

f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; dan atau

g. bantuan tenaga ahli.

Pasal 13

Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah


Tingkat I dapat berbentuk:
a. pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku;

b. bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan


pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan yang mencakup lebih dari
satu wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata


ruang wilayah dan kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

d. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana


Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

e. bantuan teknik dan pengelolaan dalam pemanfaatan ruang; dan atau

f. kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi


lingkungan.

Pasal 14

Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah


Propinsi Daerah Tingkat I dapat berbentuk:
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan yang
meliputi lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
II, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan
pemanfaatan ruang kawasan dimaksud; dan atau
b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban
pemanfaatan ruang.

Bagian Ketiga
Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II

Pasal 15

Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah


Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat berbentuk:
a. pemberian masukan untuk menentukan arah pengembangan wilayah
yang akan dicapai;

b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan


termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang wilayah,
termasuk perencanaan tata ruang kawasan;

c. pemberian masukan dalam merumuskan perencanaan tata ruang


wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

d. pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam


penyusunan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

e. pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang


wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; dan atau

g. bantuan tenaga ahli.

Pasal 16

Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/


Kotamadya Daerah Tingkat II dapat berbentuk:
a. pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku;

b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan wujud


struktural dan pola pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan dan
perdesaan;
c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan;

d. konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam


lainnya untuk tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas;

e. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana


Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II;

f. pemberian masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan ruang; dan


atau

g. kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi


lingkungan.

Pasal 17

Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah


Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat berbentuk:
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, termasuk pemberian
informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang; dan atau

b. bantuan pemikiran atau pertimbangan untuk penertiban kegiatan


pemanfaatan ruang dan peningkatan kualitas pemanfaatan ruang.

Pasal 18

Peran serta masyarakat dalam penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan
di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat berbentuk:
a. pemberian kejelasan hak atas ruang kawasan;

b. pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam


penyusunan rencana pemanfaatan ruang;

c. pemberian tanggapan terhadap rancangan rencana rinci tata ruang


kawasan;

d. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan;

e. bantuan tenaga ahli; dan atau

f. bantuan dana.
Pasal 19

Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang kawasan di wilayah


Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat berbentuk:
a. pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan
perundang-undangan, agama, adat, atau kebiasaan yang berlaku;

b. bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan


pemanfaatan ruang kawasan;

c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana rinci


tata ruang kawasan;

d. konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain
untuk tercapainya pemanfaatan ruang kawasan yang berkualitas;

e. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana


rinci tata ruang kawasan;

f. pemberian usulan dalam penentuan lokasi dan bantuan teknik dalam


pemanfaatan ruang; dan atau

g. kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi


lingkungan kawasan.

Pasal 20

Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang ka- wasan


di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat berbentuk:
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang kawasan di wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, termasuk pemberian
informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang kawasan; dan
atau

b. bantuan pemikiran atau pertimbangan untuk penertiban dalam ke-


giatan pemanfaatan ruang kawasan dan peningkatan kualitas
pemanfaatan ruang kawasan.
BAB IV
TATA CARA PERAN SERTA MASYARAKAT

Bagian Pertama
Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Nasional

Pasal 21

(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Nasional termasuk kawasan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan dengan pemberian saran,
pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, masukan terhadap
informasi tentang arah pengembangan, potensi dan masalah, serta
rancangan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional.

(2) Penyampaian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberat- an


atau masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
lisan atau tertulis kepada Menteri.

Pasal 22

(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah
Nasional termasuk kawasan tertentu dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 23

Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah


Nasional termasuk kawasan tertentu disampaikan secara lisan atau tertulis
kepada Menteri.

Bagian Kedua
Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I

Pasal 24

(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dilaksanakan dengan pemberian saran,pertimbang- an,
pendapat, tanggapan, keberatan, masukan terhadap informasi tentang
arah pengembangan, potensi dan masalah, serta rancangan Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.

(2) Penyampaian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberat- an


atau masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
lisan atau tertulis kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat
dalam proses perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 25

(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dikoordinasi oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 26

Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah


Propinsi Daerah Tingkat I disampaikan secara lisan atau tertulis kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan pejabat yang berwenang.

Bagian Ketiga
Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II

Pasal 27

(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 dan dalam penyusunan rencana rinci tata
ruang kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilaksanakan
dengan pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan,
keberatan, masukan terhadap informasi tentang arah pengembangan,
potensi dan masalah, serta rancangan Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
(2) Penyampaian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan
atau masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
lisan atau tertulis kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Dalam
Negeri.

Pasal 28

(1) Tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dikoordinasi oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II termasuk pengaturannya pada tingkat kecamatan sampai
dengan desa.

(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dilakukan secara tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan.

Pasal 29

Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah


Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dan kawasan di Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat II disampaikan secara lisan atau tertulis dari
mulai tingkat desa ke kecamatan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dan pejabat yang berwenang.

BAB V
PEMBINAAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 30

(1) Masyarakat dapat memperoleh informasi penataan ruang dan rencana


tata ruang secara mudah dan cepat, melalui media cetak, media
elektronik atau forum pertemuan.

(2) Masyarakat dapat memprakarsai upaya peningkatan tata laksana hak


dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang melalui penyuluhan,
bimbingan, pendidikan, atau pelatihan untuk tercapainya tujuan
penataan ruang.

(3) Untuk terlaksananya upaya peningkatan tata laksana hak dan


kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemerintah
menyelenggarakan pembinaan untuk menumbuhkan serta me-
ngembangkan kesadaran, memberdayakan dan meningkatkan
tanggung jawab masyarakat dalam penataan ruang.

(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan oleh


instansi yang berwenang, dengan cara :

a. memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan,


dorongan, pengayoman, pelayanan, bantuan teknik, bantuan hukum,
pendidikan, dan atau pelatihan;

b. menyebarluaskan semua informasi mengenai proses penataan ruang


kepada masyarakat secara terbuka;

c. mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada


masyarakat;

d. menghormati hak yang dimiliki masyarakat;

e. memberikan penggantian yang layak kepada masyarakat atas kondisi


yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang sesuai dengan rencana tata ruang;

f. melindungi hak masyarakat untuk berperan serta dalam proses


perencanaan tata ruang, menikmati pemanfaatan ruang yang
berkualitas dan pertambahan nilai ruang akibat rencana tata ruang
yang ditetapkan serta dalam menaati rencana tata ruang;

g. memperhatikan dan menindaklanjuti saran, usul, atau keberatan dari


masyarakat dalam rangka peningkatan mutu penataan ruang.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 31

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan hak dan


kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam
penataan ruang yang ada saat diundangkannya Peraturan Pemerintah ini
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan
ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 32

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Per-


aturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Desember 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Desember 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MOERDIONO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR 104

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 69 TAHUN 1996 TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN,
SERTA BENTUK DAN TATA CARA PERAN SERTA MASYARAKAT
DALAM PENATAAN RUANG

I. UMUM

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan Undang-undang


Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang mengatur
mengenai pelaksanaan hak dan kewa- jiban serta bentuk dan tata cara
peran serta masyarakat dalam rangka penyelenggaraan penataan
ruang. Peraturan Pemerintah ini erat kaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lain yang memuat ketentuan yang mengandung
segi-segi penataan ruang. Oleh karena itu, pelaksanaan hak dan
kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam
penataan ruang harus memperhatikan antara lain:
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043);

b. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

c. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

d. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3234), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3368);

e. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat


(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3298);

f. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan


Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3475).

Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992


tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh
Pemerintah dengan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat
merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada
akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan
masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang, yaitu
terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan,
terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan
kawasan budi daya, serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.

Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,


dan pengendalian pemanfaatan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Pusat untuk wilayah Nasional, Pemerintah Daerah Tingkat I untuk wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I, dan Pemerintah Daerah Tingkat II untuk wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Jenis rencana tata ruang dibedakan menurut hirarki administrasi


pemerintahan, fungsi wilayah serta kawasan, dan kedalaman rencana.
Jenis rencana tata ruang menurut hirarki administrasi pemerintahan terdiri
atas Rencana Tata Ruang wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I, dan Rencana Tata Ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

Jenis rencana tata ruang menurut fungsi wilayah serta kawasan terdiri atas
rencana tata ruang kawasan perdesaan, rencana tata ruang kawasan
perkotaan, dan rencana tata ruang kawasan tertentu.

Dalam wilayah Nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, wilayah


Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, kawasan perdesaan, kawasan
perkotaan, dan kawasan tertentu terdapat kawasan lindung dan kawasan
budi daya.

Jenis rencana tata ruang menurut kedalaman rencana terdiri atas strategi
dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara, strategi dan
struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, dan strategi
pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II, termasuk rencana rinci tata ruang kawasan.

Rencana rinci tata ruang kawasan adalah rencana rinci tata ruang kawasan di
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi:

(1) rencana terperinci (detail) tata ruang kawasan yang menggambarkan,


antara lain, zonasi atau blok alokasi pemanfaatan ruang (block plan);
dan

(2) rencana teknik ruang pada setiap blok kawasan yang


menggambarkan, antara lain, rencana tapak atau tata letak (site plan)
dan tata bangunan (building lay- out) beserta prasarana dan sarana
lingkungan serta utilitas umum.

Yang dimaksud dengan tata letak adalah susunan letak unsur-unsur


kegiatan, bangunan, bentang alam, sarana dan prasarana yang secara
keseluruhan membentuk tata ruang kawasan.

Yang dimaksud dengan tata bangunan adalah susunan rekayasa teknik


bangunan yang memanfaatkan ruang luar dan dalam bangunan secara rinci
di dalam suatu blok kawasan sesuai dengan rencana tata ruang.

Penataan ruang diselenggarakan oleh berbagai instansi pemerintah dan


dengan melibatkan masyarakat misalnya masyarakat hukum adat,
masyarakat ulama, masyarakat intelektual, yang dalam pelaksanaannya
harus dilakukan secara terko- ordinasi, baik antarinstansi pemerintah
maupun antara Pemerintah dan masyarakat sehingga terhindar kesenjangan
penanganan ataupun penanganan yang tumpang tindih dalam upaya
mewujudkan tujuan penataan ruang.
Dalam penyelenggaraan penataan ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban,
serta peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk memperbaiki mutu
perencanaan, membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan, serta menaati keputusan-
keputusan dalam rangka penertiban pemanfaatan ruang.

Masyarakat sebagai mitra Pemerintah, diharapkan mendayagunakan


kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk melaksanakan peran
sertanya dan sebagai perwujudan dari hak dan kewajiban masyarakat dalam
penataan ruang. Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh orang
seorang, kelompok orang, dan badan hukum seperti Badan Usaha Milik
Negara dan badan usaha swasta. Sedangkan bentuk peran serta dapat
berupa usul, saran, pendapat, pertimbangan atau keberatan serta bantuan
lain terhadap penyelenggaraan penataan ruang.

Masyarakat yang makin maju menuntut keterlibatan yang lebih besar dalam
penyelenggaraan penataan ruang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah ini
memberikan pengaturan yang lebih memberikan peluang bagi seluruh
lapisan masyarakat untuk berperan serta dalam penataan ruang. Kesediaan
masyarakat untuk berperan serta dalam penataan ruang, diharapkan tidak
terlalu terkekang oleh peraturan yang membatasi kegiatan orang seorang,
kelompok orang, atau badan hukum yang hendak berperan serta. Bahkan,
Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk
lebih banyak lagi berperan serta.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Istilah yang dirumuskan dalam Pasal ini dimaksudkan agar terdapat


keseragam an pengertian atas Peraturan Pemerintah ini serta peraturan
pelaksanaannya.

Pasal 2

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Masyarakat dapat mengetahui rencana tata ruang wilayah, rencana
tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan secara terbuka
antara lain melalui lokakarya dan sarasehan.

Huruf c
Sebagai contoh, pertambahan nilai ruang adalah meningkatnya harga
pasar dari sepetak tanah akibat direncanakan, dibangun, atau
ditingkatkannya prasarana jalan di sisi petak tanah yang
bersangkutan.

Huruf d
Penggantian yang layak diberikan kepada masyarakat yang
melepaskan sebagian atau sepenuhnya hak atas ruang sebagai akibat
dari pelaksanaan rencana tata ruang berdasarkan peraturan
perundang-undangan, hukum adat, atau kebiasaan yang berlaku.

Besarnya penggantian yang layak dapat ditentukan berdasarkan nilai jual


objek pajak atau harga pasar yang berlaku saat itu, atau berupa penyertaan
modal atau urun saham, dan atau bentuk fisik lain seperti konsolidasi tanah
yang ditentukan berdasarkan nilai tambah yang ditimbulkan sebagai akibat
adanya perubahan nilai ruang, dengan tidak mengurangi tingkat
kesejahteraan dari masyarakat yang bersangkutan.

Pasal 3

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pengumuman atau penyebarluasan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dilakukan dengan menempelkan rencana tata ruang yang
bersangkutan pada tempat-tempat umum dan kantor-kantor yang
secara fungsional menangani rencana tata ruang tersebut.

Pasal 4
Ayat (1)
Masyarakat mempunyai hak untuk menikmati dan memanfaatkan
ruang beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, atas
dasar pemi- likan, penguasaan atau pemberian hak tertentu terhadap
ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun
atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang pada
masyarakat setempat sehingga masyarakat dapat menikmati manfaat
ruang. Manfaat ruang tersebut dapat berupa manfaat ekonomi, sosial,
dan atau manfaat lingkungan, yang timbul akibat pemanfaatan ruang
yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5

Ayat (1)
Kesadaran masyarakat untuk menyelenggarakan musyawarah untuk
mencapai kesepakatan juga merupakan bentuk peningkatan peran
serta masyarakat.

Yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah masyarakat


yang memiliki hak dengan Pemerintah atau masyarakat yang memiliki
hak dengan masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 6
Huruf a
Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam menjaga, memelihara dan
meningkatkan kualitas ruang lebih ditekankan pada keikutsertaan
masyarakat untuk lebih mematuhi dan menaati segala ketentuan
normatif yang ditetapkan dalam rencana tata ruang, dan mendorong
terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik.

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 7

Pemeliharan kualitas ruang dapat dilaksanakan dengan upaya-upaya


pemanfaat- an ruang dan sumber daya alam yang ada di dalamnya
oleh masyarakat yang mengindahkan faktor-faktor: daya dukung
lingkungan, estetika lingkungan, lokasi, dan struktur pemanfaatan
ruang. Faktor-faktor tersebut tertuang dalam kriteria, kaidah, baku
mutu, dan aturan-aturan yang digunakan dalam proses penyusunan
rencana tata ruang maupun yang termuat dalam rencana tata ruang
yang telah ditetapkan. Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang
dipraktekkan masyarakat secara turun-temurun dapat diterapkan
sepanjang memperhatikan faktor-faktor di atas dan dapat menjamin
pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.

Pasal 8

Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan kebijaksanaan


Pemerintah yang menetapkan rencana struktur dan pola pemanfaatan
ruang Nasional beserta kriteria dan pola pengelolaan kawasan yang
harus dilindungi, kawasan budi daya, dan kawasan lain. Kebijaksanaan
tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan,
dan keseimbangan perkembangan antarwilayah serta keserasian
antarsektor, dan dijadikan acuan bagi instansi pemerintah dan
masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang
daratan, ruang lautan, dan ruang udara.

Penyusunan rencana tata ruang kawasan tertentu dan koordinasi


penyusunan rencana tata ruang kawasan yang meliputi lebih dari satu
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I diselenggarakan oleh Menteri yang
bertugas mengkoordinasi penataan ruang.

Rencana tata ruang kawasan tertentu mencakup rencana rinci tata


ruang, yang meliputi rencana terperinci tata ruang dan rencana teknik
ruang di kawasan tertentu yang secara Nasional mempunyai nilai
strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.

Rencana tata ruang kawasan perkotaan dan perdesaan yang meliputi


lebih dari satu wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berisi kebijaksanaan
yang memberikan arahan pengelolaan kawasan dan arahan
pengembangan sistem pusat per- mukiman, sistem prasarana wilayah,
dan arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara, dan tata guna sumber daya alam lain, sumber daya buatan
dengan memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara
termasuk kawasan tertentu dirumuskan dengan mempertimbangkan
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta data dan informasi
dari berbagai pihak untuk terciptanya upaya pemanfaatan ruang
secara berhasil guna dan berdaya guna, terpeliharanya kelestarian
kemampuan lingkungan hidup, dan terwujudnya keseimbangan
kepentingan kesejahteraan dan keamanan.

Huruf e
Pengajuan keberatan harus disertai dengan alasan yang jelas, dapat
dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Huruf f
Kerjas ama yang dimaksudkan adalah kerjasama antara masyarakat
dan semua pihak lainnya yang terkait dalam proses perencanaan tata
ruang wilayah Nasional.

Huruf g
Bantuan tenaga ahli yang berasal dari masyarakat diharapkan dapat
diberikan kepada para perencana ataupun badan-badan perencanaan.

Pasal 9

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan bantuan teknik adalah technical assistance,
sedangkan yang dimaksud dengan bantuan pengelolaan adalah
management assis- tance.

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I adalah


kebijaksanaan yang memberikan arahan pengelolaan kawasan
lindung, kawasan budi daya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan,
dan kawasan yang diprioritaskan, serta arahan pengembangan sistem
pusat permukiman, sistem prasarana wilayah, dan arahan
kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan
tata guna sumber daya alam lainnya, sumber daya buatan dengan
memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia.

Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I bertujuan


mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antarwilayah di Propinsi Daerah Tingkat I serta
keserasian antarsektor, menjadi pedoman bagi instansi pemerintah
dan masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang,
sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan
pemanfaatan ruang.
Penyusunan rencana tata ruang kawasan perkotaan dan perdesaan
yang meliputi lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah
Tingkat II dikoordinasikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Rencana tata ruang kawasan perkotaan dan perdesaan yang meliputi


lebih dari satu wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berisi
kebijaksanaan yang menetapkan lokasi kawasan yang harus dilindungi
dan dibudidayakan, serta wilayah yang diprioritaskan
pengembangannya, dan dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah
Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pem- bangunan yang
memanfaatkan ruang serta menyusun program pembangunan yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta data dan informasi dari berbagai
pihak untuk terciptanya upaya pemanfaatan ruang secara berhasil
guna dan berdaya guna, terpeliharanya kelestarian kemampuan
lingkungan hidup, dan terwujudnya keseimbangan kepentingan
kesejahteraan dan keamanan.

Huruf e
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf e.

Huruf f
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf f.

Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf g.

Pasal 13

Peran serta masyarakat dapat pula dilaksanakan dalam penyusunan


arahan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I melalui
pemberian bantuan pemikiran dan pertimbangan, misalnya dalam
penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah Tingkat I.
Arahan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I disusun
dalam rangka menyelaraskan kebijaksanaan pemanfaatan ruang
tingkat Pusat dengan tindakan pemanfaatan ruang pada tingkat
Daerah Tingkat II, termasuk di dalamnya arahan-arahan dalam
penyelenggaraan pembangunan; konsolidasi tanah, air, udara, dan
sumber daya alam lainnya; konversi pemanfaatan ruang; konservasi
sumber daya alam dan lingkungan.

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


adalah kebijaksanaan yang menetapkan lokasi kawasan yang harus
dilindungi dan dibudidayakan, serta wilayah yang diprioritaskan
pengembangannya, dan dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah
Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan yang
memanfaatkan ruang serta menyusun program pembangun- an yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah.

Termasuk dalam lingkup wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah


Tingkat II adalah kawasan perkotaan dan perdesaan yang berada di
dalam wilayah tersebut.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dirumuskan dengan
mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta data dan informasi dari berbagai pihak untuk terciptanya upaya
pemanfaatan ruang secara berhasil guna dan berdaya guna,
terpeliharanya kelestarian kemampuan lingkungan hidup, dan
terwujudnya keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan.

Strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah


Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II berisi pengelolaan kawasan
lindung, kawasan budi daya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan,
dan kawasan tertentu serta sistem pusat permukiman, sistem
prasarana wilayah, dan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya,
sumber daya buatan, dengan memperhatikan keterpaduan dengan
sumber daya manusia.

Huruf e
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf e.

Huruf f
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf f.

Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 8 huruf g.

Pasal 16
Huruf a
Dalam pemanfaatan ruang ini dapat diperhatikan ketentuan dalam
Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Selain itu
perlu diperhatikan juga pemanfaatan ruang yang didasarkan pada
hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan


Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak ulayat dan hak-hak semacam itu yang
berasal dari masyarakat hukum adat masih diakui. Oleh karena itu,
hak-hak tersebut akan diperhatikan sepanjang menurut kenyataannya
masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Dalam
pelaksanaannya, hak- hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undang- an yang berlaku.

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Perubahan atau konversi pemanfaatan ruang atau perubahan fungsi
ruang suatu kawasan dapat berupa perubahan bentuk fisik (bentang
alam) dan pemanfaatannya sebagai akibat kejadian alam maupun
perbuatan manusia.
Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf e.

Huruf d
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf f.

Huruf e
Lihat Penjelasan Pasal 8 huruf g.

Huruf f
Cukup jelas

Pasal 19
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Lihat penjelasan Pasal 16 huruf e.

Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Dengan perspektif menuju ke keadaan pada masa depan yang
diharapkan dan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai,
penemukenalan potensi dan masalah pembangunan bertitik tolak dari
data, informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta
memperhatikan keragaman wawasan kegiatan tiap sektor.

Selain itu, diperlukan penemukenalan potensi dan masalah


pembangunan yang bertitik tolak dari perkembangan masyarakat dan
lingkungan hidup yang berlangsung secara dinamis. Untuk itu,
masyarakat perlu memberikan tanggapan atau masukannya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain adalah
ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai peran serta
masyarakat dalam pemanfaatan ruang di bidang kehutanan,
permukiman, pertanian, industri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Pemerintah perlu mengumumkan akan disusunnya Rencana Tata
Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dalam rangka
mengembangkan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan.

Dalam mengembangkan wilayah dimaksud, perlu ditentukan arah


pengembangan yang akan dicapai. Untuk itu, diperlukan saran,
pertimbangan atau pendapat dari masyarakat. Anggota masyarakat
yang diharapkan dapat memberikan saran, pertimbangan, atau
pendapat dimaksud adalah orang seorang, kelompok orang, dan badan
hukum yang berwawasan Nasional.

Dengan memperhatikan saran, pertimbangan atau pendapat


masyarakat, Pemerintah menentukan arah pengembangan wilayah
yang akan dicapai.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)
Lihat Penjelasan Pasal 22 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)
Pemerintah perlu mengumumkan akan disusunnya Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam rangka
mengembangkan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang
bersang- kutan.

Dalam mengembangkan wilayah dimaksud, perlu ditentukan arah


pengembangan yang akan dicapai. Untuk itu, diperlukan saran,
pertimbangan atau pendapat dari masyarakat. Anggota masyarakat yang
diharapkan dapat memberikan saran, pertimbangan, atau pendapat
dimaksud adalah orang seorang, kelompok orang, dan badan hukum yang
berwawasan Nasional.

Dengan memperhatikan saran, pertimbangan atau pendapat masyarakat,


Pemerintah menentukan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28

Ayat (1)
Lihat Penjelasan Pasal 22 ayat (1).

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan menyebarluaskan semua informasi
mengenai proses penataan ruang kepada masyarakat secara
terbuka adalah bahwa setiap orang seorang, kelompok orang,
atau badan hukum dapat memperoleh keterangan mengenai
proses yang ditempuh dalam penataan ruang serta produk
perencanaan tata ruang, sehingga upaya menjaga, memelihara,
dan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan kualitas
ruang dapat dilakukan secara lebih terarah, berdaya guna, dan
berhasil guna.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Pengertian menghormati hak yang dimiliki masyarakat adalah
suatu pengertian yang mengandung arti menghargai,
menjunjung tinggi, mengakui, dan menaati peraturan yang
berlaku terhadap hak yang dimiliki masyarakat.

Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki masyarakat adalah segala


kepentingan hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peratur- an
perundang-undangan, hukum adat atau kebiasaan yang berlaku.
Kepentingan hukum tersebut antara lain berupa pemilikan atau pe- nguasaan
tanah atas dasar sesuatu hak yang diakui dalam Undang- undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 2 huruf d.

Huruf g
Cukup jelas

Huruf g
Saran, usul ataupun keberatan harus disertai dengan alasan
yang jelas, dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan
sesuai dengan peratur- an perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

______________________________________
Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998
Tentang : Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan
Pelestarian Alam

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan
kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya, karena itu perlu dijaga
keutuhan dan kelestarin fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, dan sebagai
pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang
perlu mengatur kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun
1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan (Lembaran
Negara Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3510);
9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan
Hutan (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 50, Tambahan Lembaga
Negara Nomor 2945);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan
Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37 , Tambahan Lembaga
Negara Nomor 3225);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaga
Negara Nomor 3294);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa (Lembaran
Negara Tahun 1991 Nomor 35 , Tambahan Lembaga Negara Nomor
3441);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa
Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaga
Negara Nomor 3544);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
25, Tambahan Lembaga Negara Nomor 3550);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM
DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


1. Sumber Daya alam Hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang
terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya
alam hewani (satwa) yang bersama-sama dengan unsur non hayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
2. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayahsistem penyangga
kehidupan.
3. Kawasan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena
keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindingi dan
perkembangan berlangsung secara alami.
4. Kawasan Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis
satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan
terhadap habitatnya.
5. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu,
baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawet
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem.
6. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang bididaya, pariwisata, dan rekreasi.
7. Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami,
jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya,pariwisata, dan rekreasi.
8. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam
dengan tujuan utaman untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
pariwisata dan rekreasi alam.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab melaksanakan tugas
pokok urusan kehutanan dan perkebunan.

Pasal 2

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berasaskan


pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya secara serasi dan seimbang.

Pasal 3

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam bertujuan


mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.

Pasal 4

Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dilakukan


sesuai dengan fungsi kawasan :
a. sebagai wilayah perlindungan system penyangga kehidupan;
b. sebagai kawasan pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan
alam satwa beserta ekosistemnya;
c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.

Pasal 5
(1) ketentuan tentang perlindungan system penyangga kehidupan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri.
(2) Pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b diatur
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali
ketentuan mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa diluar
kawasan, diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri
(3) Pemenfaatan sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 c diatur sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, kecuali ketentuan
mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa, dam pemanfaatan
kawasan dalam bentuk pengusahaan kegiatan kepariwisataan dan
rekreasi pada zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata Alam diatur dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri.

BAB II
KAWASAN SUAKA ALAM

Bagian pertama
Penetapan Kawasan

Pasal 6

Kawasan Suaka Alam terdiri dari :


a. Kawasan Cagar Alam; dan
b. Kawasan Suaka Margasatwa

Pasal 7

Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam atau Kawasan


Suaka Margasatwa, setelah melalui tahapan kegiatan sebagai berikut :
a. Penunjukan kawasan beserta fungsinyal
b. Penataan batas kawasan;
c. Penetapan kawasan.

Pasal 8

Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasn Cagar Alam, apabila telah


memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. mempunyai keanekaragaman tertentu jenis tumbuhan dan satwa dan
tipe ekosistem;
b. mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;
c. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli
dan tidak atau belum diganggu manusia;
d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologi
secara alami;
e. mempunyai cirri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem
yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan atau
f. mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta
ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Pasal 9

Suatu kawasan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa apabila telah memenuhi


kriteria sebagai berikut ;
a. merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang
perlu dilakukan upaya konservasinya;
b. memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
c. merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau
dikhawatirkan akan punah;
d. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu;
dan atau
e. mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang
bersangkutan.

Pasal 10

(1) Menteri menunjuk kawasantertentu sebagai Kawasan Cagar Alam Atau


Kawaan Suaka Margasatwa berdasarkan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9, dan setelah mendengar
pertimbangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
(2) Terhadap kawasan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan penataan batas oleh sebuah Panitia Tata Batas yang
keanggotaan dan tata kerjanya ditetapkan oleh Mentri.
(3) Menteri menetapkan Kawasan Kawasan Cagar Alam Atau Kawaan
Suaka Margasatwa, berdasarkan Berita Acara Tata Batas yang
direkomendasikan oleh Panitia Tata Batas.

Bagian Kedua
Pengelolaan

Paragraf Satu
Rencana Pengelolaan

Pasal 11

Pemerintah bertugas mengelola Kawasan Cagar Alam Atau Kawaan Suaka


Margasatwa .

Pasal 12

Setiap Kawasan Cagar Alam Atau Kawaan Suaka Margasatwa dikelola


berdasarkan satu rencana pengelolaan.
Pasal 13

(1) Atas dasar kepentingan keutuhan ekosistem, pengelolaansatu atau


lebih Kawasan Cagar Alam dan atau Kawaan Suaka Margasatwa dapat
ditetapkan sebagai satu kawasan pengelolaan, dengan satu rencana
pengelolaan.
(2) Dalam hal pengelolaan satu atau lebih Kawasan Cagar Alam dan atau
Kawasan Suaka Margasatwa ditetapkan sebagai satu kawasan
pengelolaan, maka rencana pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12merupakan bagian tidak terpisah dari rencana pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 14

(1) Rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka


Margasatwa disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis,
ekonomis, dan social budaya.
(2) Rencana pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka
Margasatwa sukurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan
garis-garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan kawasan.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang rencana pengelolaan kawasan diatur
dengan Keputusan Menteri.

Paragraf Dua
Pengawetan

Pasal 15

Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa dikelola dengan


melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau
jenis satwa beserta ekosistemnya.

Pasal 16

Upaya pengawetan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa


dilaksanakan dalam bentuk kegiatan :
a. perlindungan dan pengamanan kawasan;
b. inventarisasi potensi kawasan
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan

Pasal 17

(1) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, pada


Kawasan Suaka Margasatwa juga dilakukan kegiatan dalam rangka
pembinaan habitat dan popolasi satwa.
(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berupa :
a. pembinaan padang rumput untuk makanan satwa;
b. pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi
satwa;
c. penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-
pohon sumber makanan satwa;
d. penjarangan populasi satwa;
e. penambahan tumbuhan atau satwa asli; dan atau
f. pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pengawetan Kawasan Cagar Alam
dan Kawasan Suaka Margasatwa diatur dengan Keputussan Menteri.

Pasal 19

(1) Upaya pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Paal


17 dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang
dapat mengakibatkan perubahan keutuhan Kawasan Cagar Alam dan
Kawasan Suaka Margasatwa.
(2) Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan keutuhan kawasan, adalah :
a. melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam
kawasan;
b. memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwabukan asli ke
dalam kawasan;
c. memotong,merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan
tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan;
d. menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu
kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan; atau
e. mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau
mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa.
(3) Suatu kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan permulaan
melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
apabila melakukan perbuatan :
a. memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda
batas kawasan; atau
b. membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,
mengangkut,menebang, , membelah, merusak, berburu,
memusnahkan satwa dan tumbuhan ke dan dari dalam
kawasan.
(4) Kegiatan dalam rangka pembinaan habitat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 tidak termasuk dalam pengertian kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3).
Paragraf Tiga
Pemanfaatan
Pasal 20

Kawasan Cagar Alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan :


a. penelitian dan pengembangan;
b. ilmu pengetahuan;
c. kegiatan penunjang budidaya;

Pasal 21

(1) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a,


meliputi :
a. penelitian dasar; dan
b. penelitian untuk menunjang pemanfaatn dan budidaya.
(2) Ketentuan tentang kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, dan dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22

Kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam


Pasa 20 huruf b dan c dilakukan dalam bentuk pengenalan dan peragaan
ekosistem cagar alam.

Pasal 23

(1) Kegiatan penunjang budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20


huruf d dilakukan dalam bentuk pengambilan, pengangkutan, dan atau
penggunaan plasma nutfah tumbuhan dan satwa yang terdapat dalam
kawasan cagar alam.
(2) Ketentuan tentang pengambilan, pengangkutan, dan penggunaan
plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri, dan dilakukan sesuai dengan peraturan pemerintah yang
berlaku.

Pasal 24

Kawasan Suaka Margasatwa dapat dimanfaatkan untuk keperluan :


a. penelitian dan pengembangan;
b. ilmu pengetahuan;
c. pendidikan;
d. wisata alam terbatas; dan
e. kegiatan penunjang budidaya.

Pasal 25
(1) Kegiatan penelitian sebagiamana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a,
meliputi :
a. penelitian dasar;
b. penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya.
(2) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri, dan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26

Kegiatan ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 24 huruf b dan c dapat dilaksanaka dalam bentuk pengenalan dan
peragaan ekosistem suaka margasatwa.

Pasal 27

(1) Wisata alam terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d


terbatas pada kegiatan mengunjungi, melihat dan menikmati
keindahan alam dan perilaku satwa di dalam Kawasan Suaka
Margasatwa dengan persyaratan tertentu.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 28

Kegiatan penunjang budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e


dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23.

Pasal 29

Pelaksanaan peemanfaatan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka


Margasatwa untuk keperluan sebagimana dimaksud dalam Pasal 20 dan
Pasal 24 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagimana dimaksud dalam
Pasal 19.

BAB III
KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Bagian Pertaman
Penetapan Kawasan

Pasal 30

(1) Kawasan Pelestarian Alam, terdiri dari :


a. Kawasan Taman Nasional;
b. b.Kawasan Taman Hutan Raya;
c. Kawasan Taman Wisata Alam.
(2) Berdasarkan system zonasi pengelolaannya Kawasan Taman Nasional
dapat dibagi atas :
a. zona inti;
b. zona pemanfaatan;
c. zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri
berdasarkan kebutuhan pelestarian sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.

Pasal 31

(1) Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional, apabila


telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk
menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;
b. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa
jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala
alam yang masih utuh dan alami;
c. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan
sebagai pariwisata alam;
e. Merupakan kawasan yang dpat dibagi ke dalam zona lain yang
karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan,
ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka
mendukung upaya pelestarian sumber daya hayati dan
ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
(2) Ditetapkan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a. mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya;
b. mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusun;
c. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang
masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;
d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar
menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin
berlangsunya proses ekologis secara alami;
e. mempunyai cirri khas potensinya dan dapat merupakan contoh
yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
f. mempunyai komunitas tumbuhan dana atau satwa beserta
ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam
punah.
(3) Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut :
a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau
berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya
yang indah dan unik;
b. mempunyai daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan
rekreasi alam;
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya
pengembangan periwisata alam.
(4) Ditetapkan sebagai zona rimba, apabila memenuhi criteria sebagai
berikut :
a. kawasan yang ditetapkan mampu mendukung menyangga
pelestarian dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya
konservasi;
b. memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga
pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan ;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran
tertentu.

Pasal 32

Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Hutan Raya, apabila


telah memnuhi kriteria sebagai berikut :
a. merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik
pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan
ekosistemnya sudah bubar;
b. memiliki keindahan alam dan atau gejala alam;
c. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembanguna
koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis alsi dan atau bukan asli.

Pasal 33

Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam apabila


telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem
gejala alam serta formasi geologi yang menarik;
b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan
daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam.

Pasal 34

Penetapan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata
Alam dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 dan Pasal 10.

Bagian kedua
Pengelolaan

Paragraf Satu
Rencana Pengelolaan
Pasal 35

Pengelolaan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman


Wisata Alam, dilakukan oleh Pemerintah.

Pasal 36
Ketentuan pengelolaan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka
Margasatwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14
berlaku terhadap pengelolaan TamanNasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam

Paragraf Dua
Pengawetan

Pasal 37

Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam
dikelola dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Pasal 38

Upaya pengawetan kawasan taman nasional dilaksanakan sesuai dengan


sistem zonasi pengelolanya.

Pasal 39

Upaya pengelola pada zona inti dilaksanakan dalam bentuk kegiatan :


a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan.

Pasal 40

Upaya pengawetan pada zona pemanfaatan dilaksanakan dlam bentuk


kegiatan :
a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang pariwisata alam.

Pasal 41

(1) Upaya pengawetan pada zona rimba dilaksanakan dalam bentuk


kegiatan :
a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan.
d. pembinaan habitat dan populasi satwa.
(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf d, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) .

Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut tentang Pengawetan Kawasan Taman Nasional diatur
dengan Keputusan Menteri.

Pasal 43

(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Hutan Raya dilaksanakan dalam


bentuk kegiatan :
a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan.
d. pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa.
(2) Pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf d, adalahuntuk tujuan koleksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan Kawasan Taman Hutan
Raya diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 44

(1) Upaya pengawetan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam dilaksanakan dengan ketentuan dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi
kawasan.
(2) Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan fungsi Kawasan Taman Nasional atau Taman Hutan Raya,
adalah:
a. merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya;
b. merusak keindahan alam dan gejala alam;
c. mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan;
d. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana
pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat
yang berwenang.
(3) Suatu kegiatan, dpat dianggap sebagai tindakan permulaan melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), apabila melakukan
perbuatan :
a. memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda
batas kawasan;
b. membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil,
menangkap,berburu, menebang,merusak,memusnahkan dan
mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan.
(4) Kegiatan dalam rangka pengawetan pada zona inti taman nasional
termasuk dalam pengertian yang dapat mengakibatkan perubahan
fungsi Kawasan Taman Nasional, apabila kegiatan tersebut telah
memnuhi ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 45

(1) Upaya pengawetan Taman Wisata Alam dilaksanakan dalam bentuk


kegiatan :
a. perlindungan dan pengamanan;
b. inventarisasi potensi kawasan;
c. penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian
potensi;
d. pembinaan habitat dan populasi satwa.
(2) Pembinaan habitat dan populasi satwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf d, meliputi kegiatan sebagimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2).
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pengawetan Kawasan Taman Wisata
Alam diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 46

Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan


fungsi Kawasan Taman Wisata Alam sebagimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (1) adalah:
a. berburu, menebang pohon, mengangkut kayu dan satwa atau bagian-
bagiannya di dalam dan ke luar kawasan, serta memusnahkan sumber
daya alam di dalam kawasan;
b. melakukan kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran kawasan;
c. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana
pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat
persetujuan dari pejabat yang berwenang.

Pasal 47

Kegiatan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi satwa, pemninaan


dan pengembangan tumbuhan atau satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasl
41 ayat (1) huruf d dan Pasal 43 ayat (1) huruf d, tidak termasuk dalam
pengertian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), ayat
(3), ayat (4), dan Pasal 46.

Paragraf Tiga
Pemanfaatan

Pasal 48

Kawasan Taman Nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan system zonasi


pengelolaannya.

Pasal 49

(1) Zona inti dpat dimanfaatkan untuk kerperluan :


a. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
b. ilmu pengetahuan
c. pendidikan; dan atau
d. kegiatan penunjang budidaya.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22,
dan Pasal 23.

Pasal 50

(1) Zona Pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan:


a. pariwisata alam dan rekreasi;
b. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
c. pendidikan; dan atau
d. kegiatan penunjang budidaya.
(2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan huruf d,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 28.
(4) Kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil
penelitian serta peragaan dokumentasi tentang kawasan tersebut.

Pasal 51

(1) Zona Rimba dapat dimanfaatkan untuk keperluan :


a. penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan;
b. ilmu pengetahuan;
c. pendidikan;
d. kegiatan penunjang budidaya;
e. wisata alam terbatas.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26,
Pasal 27, dan Pasal 28.

Pasal 52

(1) Kawasan Taman Hutan Raya dapat dimanfaatkan untuk keperluan :


a. penelitian dan pengembangan;
b. ilmu pengetahuan;
c. pendidikan;
d. kegiatan penunjang budidaya;
e. pariwisata alam dan rekreasi;
f. pelestarian budaya.
(2) Kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimanan dimaksud
dalam ayat (1) huruf a, meliputi :
a. penelitian dasar;
b. penelitian untuk menunjang pengelolaan dan budidaya;
(3) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri dan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, c, dan d,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 26 dan Pasal 28.
(5) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi ebagaimana dimakud dalam
ayat (1) huruf e dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(6) Kegiatan pelestarian budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf f diatur dengan Keputusan Menteri setelah mendapat
pertimbangan dari Menteri yang bertanggu jawab di bidang
kebudayaan.

Pasal 53

(1) Sesuai dengan fungsinya, taman wiata alam dapat dimanfaatkan untuk
keperluan:
a. pariwisata alam dan rekreasi;
b. penelitian dan pengembangan;
c. pendidikan; dan atau
d. kegiatan penunjang budidaya.
(2) Kegiatan pariwisata alam dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) Kegiatan pendidikan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c
dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasi-hasil
penelitian serta peragaan dokumentasi tentang pootensi kawasn
tersebut.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan d,
dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 25 dan Pasal 28.

Pasal 54

Pelaksanaan pemanfaatan kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya,


dan Taman wisata alam untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam pasal
49, pasal 50, pasal 52, dan pasal 53 , dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 dan pasal 46.

Bab IV
PENUTUPAN KAWASAN

Pasal 55

(1) Dalam keadaan tertentu sangat diperlukan dalam rangka


mempertahankan dan atau memulihkan kelestarian sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, pemerintah dapat menghentikan kegiatan
tertentu dan atau menutup kawsan cagar alam, suaka marga satwa ,
taman nasional, Taman hutan raya, dan taman wisata alam
sebagaimana atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu.
(2) Kriteria dan tata cara penghentian kegiatan dan atau penutupan
kawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan
keputusan menteri.

BAB V
DAERAH PENYANGGA

Pasal 56

(1) Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menyangga Kawasan


Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam dari segala bentuk
tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam
kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau
perubahan fungsi kawasan.
(2) Penetapan daerah penyangga sebagimana dimaksud dalam ayat 1
didasarkan pada kriteria sebagai berikut :
a. secara geografis berbatasan dengan kawasan suaka alam dan
atau kawasan pelestarian alam;
b. secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam
maupun dari luar kawasan suaka alam dan atau kawasan
pelestarian alam;
(3) Penetapan tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani dengan
suatu hak (alas titel) sebagai daerah penyangga, ditetapkan oleh
menteri setelah mendengar pertimbangan gubernur kepala daerah
tingkat I yang bersangkutan;
(4) Penetapan daerah penyangga dilakukan dengan menghormati hak-hak
yang dimiliki oleh pemegang hak;
(5) Pengelolaan daerah penyangga yang bukan kawasan hutan tetap
berada pada pemegang hak dengan tetap memperhatikan ketentuan
ayat 2 huruf b;
(6) Kriteria dan tata cara penetapan kawasan hutan sebagai daerah
penyangga diatur dengan keputusan menteri.

Pasal 57

Untuk membina fungsi daerah penyangga , pemerintah melakuan :


a. peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya;
b. peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
c. rehabilitasi lahan;
d. peningkatan produktifitas lahan;
e. kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam yang telah
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dianggap telah ditetapkan
sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawasan Pelestarian Alam
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 59

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan


perundangan-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkan
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 60

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada yanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA MARGASATWA DAN
KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. UMUM

Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya yang tinggi keanekaragamannya dengan keunikan,
keaslian, dan keindahan merupakan kekayaan alam yang sangat potensial.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang potensial itu dapat
dijadikan salah satu modal dasar pembangunan nasional Indonesia yang
berkelanjutan. Karena itu perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, melalui upaya konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai keseimbangan dan
keserasian antara aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara
lestari.
Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya itu antara lain
ditempuh melalui penetapan wilayah-wilayah tertentu baik di daratan dan
atau perairan sebagai Kawasan Suaka Alam dan atau Kawassan Pelestarian
Alam, yang merupakan perwakilan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan ekosistem, keunikan
dan keindahan alam sehingga lebih dapat mendukung pembangunan dan
menunjang peningkatan kesejahteraan rakyat serta pelestarian lingkungan
hidup.
Upaya konservasi tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
seluruh kiprah pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh berbagai
sektor. Pelaksanaan pembangunan nasional itu sendiri telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mampu mengembangkan berbagai
bidang kegiatan masyarakat, sehingga kebutuhan hidupnya semakin
beragam.
Sejajar dengan kemajuan dan kehidupan masyarakat di berbagai bidang,
maka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin terasa perlu
digalakkan. Dalam hubungan ini, Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam yang memiliki potensi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, sangat penting peranannya untuk dijadikan obyek penelitian
dan pendidikan, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, disamping dapat
dimanfaatkan sebagai wahana pengembangan budidaya, pariwisata alam dan
rekreasi serta sarana pemantapan fungsi hidrobiologisnya, pencegahan
bencana banjir, erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah serta fungsinya
sebagai plasma nutfah.
Oleh karena itu, pengelolaan Kawasan Suaka Satwa Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, pada hakikatnya merupakan salah satu aspek
pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan, sehingga
dampaknya sangat positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat,
yang sekaligus akan meningkatkan pula pendapatan negara dan penerimaan
devisa negara, yang pada gilirannya dapat memajukan hidup dan kehidupan
bangsa.
Oleh karena itu, pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam, tidak hanya didasarkan pada prinsip konservasi untuk konservasi itu
sendiri, tetapi konservasi untuk kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat
Indonesia.
Mengingat akan kepentingan itu, dan sebagai pelaksanaan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya maka perlu ada landasan hukum bagi penetapan dan
pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 sampai pasal 4


Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 6 sampai pasal 8


Cukup jelas

Pasal 9 sampai pasal 15


Cukup jelas

Pasal 16

Huruf a
Dalam pengelolaan cagar alam sangat sedikit campur tangan manusia, oleh
karenanya bobot pengelolaanya lebih ditekankan pada perlindungandari luar
kawasan seperti serangan hama, penyakit, kebakaran, dan pencemaran yang
berasal dari luar kawasan. Selain itu dilakukan upaya pengamanan untuk
menjaga dan mencegah gangguan manusia, seperti: perambahan kawasan,
pencurian, dan penembakan.

Huruf b
Dalam menunjang pengawetan cagar alam diperlukan data dan informasi
awal tentang potensi kawasan. Oleh karenanya diperlukan inventarisasi
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Huruf c
Dalam menunjang pengawetan cagar alam, kegiatan penelitian dan
pengembangan, sangat penting, untuk mengetahui proses-proses ekologi
yang terjadi, diantaranya siklus energi, siklus hara, siklus air, interaksi antar
dan inter sepesies baik tumbuhan maupun satwa. Denagn demikian,
keutuhan kawasan

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Penelitian dasar yaitu penelitian yang hasilnya untuk mendukung penelitian
terapan yang diperlukan untuk menunjangpemanfaatn jenis tumbuhan dan
satwa bududayanya di luar kawasan, seperti penelitian perilaku satwa,
dominasi tumbuhan dan atau satwa, dan penelitian-penelitian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf c.

Huruf b
Penelitian untuk menunjang pemanfaatan dan budidaya ditujukan terhadap
seleksi jenis tumbuhan dan satwa yang karena kandungannya dapat
dimanfaatkan misalnya untuk obat-obatan, sebagai benih atau bibit unggul
dalam menunjang peningkatanproduksi pangan, sandang dan papan, serta
perbanyakan dan peningkatan kualitas jenis melalui rekayasa genetic.
Kegiatan penelitian tersebut lebih banyak di luar kawasan, sedangkan dalam
kawasan cukup mengambil contoh spesimen.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah ketentuan yang mengatur tentang tata cara dan instansi yang
berwenang memberi rekomendasi dan atau izin untuk melaksanakan
penelitian. Kewenangan yang terkait dengan penelitian in yang sekarang
dikoordinasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tidak
mengurangi kewenangan menteri untuk mengatur tata cara pelaksanaan
penelitian yang sasaran penelitiannya berlokasi pada kawasan alam pada
khususnya atau kawasan hutan pada umumnya.

Pasal 22

Yang dimaksud denga pengenalan ekosistem cagar alam adalah pengenalan


secara langsung di lapangan baik tipe ekosistemnya maupun pengenalan
jenis tumbuhan dan atau satwanya

Pasal 23

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan plasma nutfah terikat
kepada ketentuan pada peraturan pemerintah nomor 44 tahun 1995 tentang
pembenihan tanaman

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Lihat penjelasan pasal 21 ayat 1

Ayat (2)
Lihat penjelasan pasal 21 ayat 2

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup Jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan zona-zona pada Kawasan Taman Nasional dilakukan secara
variatif sesuai dengan kebutuhan pengelolaan kawasn taman nasional,
karena itu penetapan zona-zona tersebut tidak selalu harus lengkap sesuai
dengan pembagian pada ayat ini, karena itu pembagian zona tidak selalu
sama pada setiap Kawasan Taman Nasional.

Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud ekosistem yang masih utuh yaitu ekosistem
yang keadaannya relatif masih asli, demikian pula keadaan unsu-unsur
biotik dan fisiknya, serta interkasinya masih mampu memberikan
fungsi ekologis.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 32 sampai pasal 45


Cukup jelas

Pasal 46
Huruf a
Memusnahkan sumber daya alam misalnya dengan melakukan pembakaran,
menyebarkan racun, dan menggunakan bahan peledak(aminisi).
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas

Pasal 47 sampai pasal 54


Cukup jelas

Pasal 55
Ayat (1)
Jumlah pengungjung yang masuk kedalam kawasan disesuaikan dengan
daya dukung kawasan yang bersangkutan. Dalam rangka pengendalian
pengunjung masuk ke dalam kawasan, Pemerintah menetapkan syarat dan
tata cara memasuki kawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian menghormati hak yang dimiliki orang adalah suatu pengertian
yang mengandungarti menghargai, menjunjung tinggi, mengakui dan
menaati peraturan yang berlaku terhadap hak yang dimiliki orang lain.
Yang dimaksud dengan hak yang dimiliki orang adalah segala kepentingan
hukum yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan peraturan perundang-
undangan, hukum adat atau kebiasaan yang berlaku. Kepentingan hokum
tersebut anatara lain berupa pemilikan atau penguasaan tanah atas dasar
sesuatu hak yang diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Ayat (5)
Ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban pemegang hak atas daerah
penyangga bukan kawasan hutan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 57 sampai pasal 60


Cukup jelas

______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 7 TAHUN 1999

TANGGAL 27 JANUARI 1999

TENTANG

PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak ternilai harganya
sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya pengawetan jenis,
b. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu untuk
menetapkan peraturan tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat:

1. Pasal 5 Ayal (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (BN No.
1504 hal. 11A- 15A) (LN Tahun 1967 Nomor 8, TLN Nomor 2823).
3. Undang-undang Nomor 9 Tabun 1985 tentang Perikanan (BN No. 4226 hal. 58- 703 dit; (LN
Tahun 1985 Nomor 46. TLN Nomor 3299);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya & Alam Hayati dan
Ekosistemnya (BN No. 4952 hal. 68-108 dsti) (LN Tahun 1990 Nomor 49, TLN Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistern Budidaya Tanaman (BN No. 5261 Ad.
103- 1 13 dst) (LN Tahun 1992 Nomor 46, TLN Nomor 3478),
6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina, Hewan, Ikan dan Tumbuhan (BN
No. 5292 hal. 4B-13B) (LN Tahun 1992 Nomor 56. TLN Nomor 3482).
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (BN No. 5612 hal 38 dst.) (LN Tahun 1994 Nomor
41, TLN Nomor 3556);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup (BN No. 6066
hal. 148-208 dst.; (LN, Tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor 3699);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (BN No. 5568 hal.
2B –9B); (LN Tahun 1994 Nomor 19. TLN Nomor 3544);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (LN Tahun 1998 Nomor 132. TLN Nomor 3776).

MEMUTUSKAN

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAWETAN JENIS


TUMBUHAN DAN SATWA.

BAB I
KETENTUAN

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya agar tidak punah.
2. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya menjaga
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.
3. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak dibidang konservasi tumbuhan dan atau
(eksitu), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
4. Identifikesi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis, keadaan umum status
populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam habitatnya.
5. Inventatarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengetahui kondisi dan status
populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar
habitatnya maupun di lembaga konservasi.
6. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species atau anak-anak jenis
yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam maupun di luar habitatnya.
7. Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat.tertentu yang secara alami dan
dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai keseimbangan populasi
secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta lingkungannya.
8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang kehutanan.

Pasal 2

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:


a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;
b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada agar dapat dimanfaatkan bagi
kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.

BAB II
UPAYA PENGAWETAN

Pasal 3

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:


a. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c. pemeliharaan dan pengembangbiakan.

BAB III
PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

Pasal 4

1. Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan :


a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi ;
b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi ;
2. Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a
adalah sebagaimana terlampir dalam peraturan pemerintah ini.
3. Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan
sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas
keilmuan ( Scientific Authority ).

Pasal 5

1. Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah
memenuhi kriteria:
a. mempunyai popoulasi yang kecil ;
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam ;
c. daerah penyebaran yang terbatas ;
2. Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 wajib dilakukan upaya pengawetan.

Pasal 6

Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi
apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan
tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1).

BAB IV
PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA

Bagian Pertama
Umum

Pasal 7

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah
ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan
suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

Pasal 8

1. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam
habitatnya (insitu).
2. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan kegiatan
pengelolaan diluar habitatnya (exsitu) untuk menambah dan memulihkan populasi.
3. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (insitu) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Identifikasi ;
b. Inventarisasi ;
c. Pemantauan ;
d. Pembinaan habitat dan populasinya ;
e. Penyelamatan jenis ;
f. Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan ;
4. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya (exsitu) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Pemeliharaan ;
b. Pengembangbiakan ;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan ;
d. Rehabilitasi satwa ;
e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
Bagian Kedua
Pangelolaan dalam Habitat (insitu)

Pasal 9

1. Pemerintah melaksanakan identifikasi didalam habitat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8


ayat 3 huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur oleh
Menteri.

Pasal 10

1. Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 huruf b,


untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
2. Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melalui survei dan pengamatan terhadap
potensi jenis tumbuhan dan satwa.
3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan
ayat 3 diatur oleh Menteri.

Pasal 11

1. Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 huruf c,


untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu
ke waktu.
2. Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan melalui survei dan pengamatan
terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan
ayat 3 diatur oleh Menteri.

Pasal 12

1. Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat 3 huruf d untuk menjga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan
seimbang dengan daya dukung habitatnya.
2. Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan malalui
kegiatan
a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon sumber makan
satwa;
c. Pembuatan fasilitas air minum tempat berkubang dan mandi satwa,
d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.
Pasal 13

1. Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaima


dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 huruf c, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam
bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya.
2. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan
melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke
habitat di lokasi lain.
3. Permerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.

Pasal 14

1. Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 huruf f, untuk menunjang tetap terjaganya keadaan
genetik dan ketersediaan sumberdaya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
2. Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik
dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.
3. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian,
penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Pengelolaan di luar Habitat (Ex Situ)

Pasal 15

1. Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat 4 huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis
tumbuhan dan satwa.
2. Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan
satwa di lembaga komservasi.
3. Pemeliharaan jenis diluar habitat wajib memenuhi syarat :
a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa ;
b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman ;
c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.

Pasal 16

1. Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat 4 huruf b dilaksanakan umtuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
2. Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan dengan tetap
menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
3. Pengembangbiakan jenis diluar habitatnya wajib memenuhi syarat :
a. menjaga kemurnian jenis ;
b. menjaga keanekaragaman genetik ;
c. membuat buku daftar silsilah ( Studbook ).
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa diluar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.

Pasal 17

1. Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa diatur habitatnya
sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 8 ayal 4 buruf c dilakukan sebagai upaya untuk menunjang
tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara
lestari.
2. Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud datam ayat 1 dilaksanakan melalui pengkajian terhadep aspek-aspek biologis dan
ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur oleh Menteri.

Pasal 18

1. Rehabilitasi satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf d
dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada dilingkungan
manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.
2. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, dilakukan melalui kegiatan-kegiatan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih satwa yang layak untuk
dikembalikan ke habitatnya.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat
2 diatur oleh Menteri.

Pasal 19

1. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat 4 huruf e dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan
satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia.
2. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan :
a. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik ;
b. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin, menyerahkan atau
menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan
hidup lebih baik memusnahkannya.

Pasal 20

1. Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan
oleh Pemerintah.
2. Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.

Pasal 21

1. Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat :
a. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang diperlukan ;
b. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman
genetik yang tinggi ;
c. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur oleh Menteri.

BAB V
LEMBAGA KONSERVASI

Pasal 22

1. Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan
tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
2. Di samping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Lembaga konservasi
juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu
pengetahuan.
3. Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi, Taman Satwa Khusus,
Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
ayat 2, dan ayat 3 diatur oleh Menteri.

Pasal 23

1. Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan
atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui :
a. pengambilan atau penangkapan dari alam ;
b. hasil sitaan ;
c. tukar menukar ;
d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur oleh Menteri.

Pasal 24

1. Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga
Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dilindungi dengan
lembaga sejenis di luar negeri.
2. Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilakukan dengan jenis-jenis yang
nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2
diatur oleh Menteri.

BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN
SATWA YANG DILINDUNGI

Pasal 25

1. Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu
tempat di wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.
2. Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus :
a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang;
b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 diatur oleh Menteri.
BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN MANUSIA

Pasal 26

1. Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia,
harus digiring atau di tangkap dalam keadaan hidup atau dikembalikan ke habitatnya atau
apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim
ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara.
2. Apabila cara sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat dilaksanakan, maka satwa yang
mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang membahayakan
kehidupa manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 diatur oleh Menteri.

BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 27

1. Dalam rangka pengawasan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan
pengendalian.
2. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilakukan melalui tindakan:
a. preventif ; dan
b. represif
4. Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf a meliputi :
a. Penyuluhan ;
b. Pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum ;
c. Penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
5. Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 huruf b meliputi tindakan penegakan
hukum terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 28

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan peraturan
perundang – undangan yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada
sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar tetap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembara Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 14


PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
(Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999)

Lampiran

Jenis – jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi


No. Nama Ilmiah Nama Indonesia
MAMALIA ( MENYUSUI )
1 Anoa deprennicornis Anoa dataran rendah, Kerbau pendek
2 Anoa Quarleni Anoa pegunungan
3 Arctictis binturong Binturung
4 Arctonyx collaria Pulusan
5 Babyrousa babyrussa Babi rusa
6 Balaenoptera munculus Paus biru
7 Balaenotera Physalus Paus bersirip
8 Bos sondaicus Banteng
9 Capricornis sumatraensis Kambing Sumatra
10 Cervus kuhli, axis kuhli Rusa Bawean
11 Cervus spp Menjangan, Rusa, Sambar ( semua jenis dari genus cervus )
12 Catacea Paus ( semua jenis dari famili Catacea )
13 Cuon alpinus Ajag
14 Cynochephalus variegatus Kubung, Tando, Walangkekes
15 Cynogale bennetti Musang air
16 Cynopithecatus niger Monyet hitam Sulawesi
17 Dendrolagus spp Kanguru pohon ( semua jenis dari genus Dendrolagus )
18 Dicerohinus sumatraensis Badak Sumatera
19 Dolphinidae Lumba-lumba air laut ( semua jenis dari famili Dolphinidae )
20 Cdugong dugon Duyung
21 Kiephas indicus Gajah
22 Felis badia Kucing merah
23 Felis bangalensis Kucing hutan, Meong congkok
24 Felis marmorota Kuwuk
25 Felis planiceps Kucing dampak
26 Felis temmincki Kucing emas
27 Felis viverrinus Kucing bakau
28 Helarctos malayanus Beruang madu
29 Hylobatidae Owa, kera tak berbuntut ( semua jenis dari famili Hylobatidae )
30 Hystrix brachyura Landak
31 Iomys horsfieldi Bajing terbang ekor merah
32 Lariscus hosei Bajing tanah bergaris
33 Lariscus Insignus Bajing tanah, tupai tanah
34 Lutra lutra Lutra
35 Lutra sumatrana Lutra Sumatera
36 Macaca brunnescens Monyet Sulawesi
37 Macaca maura Monyet Sulawesi
38 Macaca pangensis Bokoi, Beruk mentawai
39 Macaca tonkeana Monyet jambul
40 Macrogalidea musschenbroeki Musang Sulawesi
41 Manis javanica Trenggilling, peusing
42 Megaptera novaeangliae Paus bongkok
43 Muntiacus muntjak Kidang, Muncak
44 Mydaus javanensis Sigung
45 Nasalis larvatus Kahau, Bekantan
46 Neofelis nebulusa Harimau dahan
47 Nesolagus netscheri Kelinci Sumatera
48 Nycticebus soucang Malu-malu
49 Orcealla brevirostris Lumba-lumba air tawar, Pesut
50 Panthera pardus Macan kumbang, Macan tutul
51 Panthera tigrissondaica Harimau Jaya
52 Panthera tigris sumatrae Harimau Sumatera
53 Petaurista elagans Cukbo, Bajing terbang
54 Phalanger spp Kuskus ( semua jenis dari genus phalanger )
55 Pongo pygmaeus Orang utan, Mawas
56 Presbitya frontata Lutung dahi putih
57 Presbitya rubicunda Lutung merah, Kelasi
58 Presbitya aygula Surili
59 Presbitya potenziani Joja, Lutung Mentawai
60 Presbitya thomasi Rungka
61 Prionodon linsang Musang congkok
62 Prionodon bruijni Landak Irian, Landak semut
63 Ratufa bicolor Jalarang
64 Rhinoceros sondaicus Badak Jawa
65 Simias concolor Simpei Mentawai
66 Tapirus indicus Tapir, Cipan, Tenuk
67 Tarsius spp Binatang hantu, Singapuar ( semua jenis dari genus Tarsius )
68 Thylogale spp Kanguru tanah ( semua jenis dari genus Tarsius )
69 Tragulus spp Kancil, Pelanduk, Napu ( semua jenis dari genus Tralugus )
70 Ziphidae Lumba-lumba air laut ( semua jenis dari famili Ziphidae )
AVES ( BURUNG )
71 Acciptridae Burung alap-alap, Elang ( semua jenis dari famili acciptridae )
72 Aethopyga exima Jantingan gunung
73 Aethopyga duybenbodei Burung madu Sangihe
74 Alcedinidae Burung udang, Raja udang ( semua jenis dari famili alcedinidae )
75 Alcippe pyrrhoptera Brencet wergan
76 Anhinga melanogaster Pecuk ular
77 Aramidopsis plateni Mandar Sulawesi
78 Argasianus argus Kuau
79 Bubulcus ibis Kuntul, Bangau putih
80 Bucerotidae Julang, Enggang, Rangkong, Kangkareng ( semua jenis dari famili
Bucerotidae )
81 Cacatua galerita Kakatua putih besar jambul kuning
82 Cacatua goffini Kakatua goffin
83 Cacatua molluccensis Kakatua seram
84 Cacatua sulphurea Kakatua kecil jambul kuning
85 Carina scutulata Itik liar
86 Caloenas nicobarica Junai, Burungmas, Minata
87 Casuarius bennetti Kasuari kecil
88 Casuarius casuarius Kasuari
89 Casuarius undappenddiculatus Kasuari gelambir satu, Kasuari leher kunig
90 Ciconia episcopus Bangau hitam, Sandanglawe
91 Collurincla megarhyncha Burung sohabe coklat
anghirensis
92 Crocias albonotatus Burung matahari
93 Duculu wharoni Pergam raja
94 Egretta sacra Kuntul karang
95 Egretta spp Kuntul, Bangau putih ( semua jenis dari genus Egretta )
96 Elanus caerulleus Alap-alap putih, Alap-alap tikus
97 Elanus hypoleucus Alap-alap putih, Alap-alap tikus
98 Eos histiro Nuri sangir
99 Esacus magnirostris Wili-wili, Ular, Bebek laut
100 Eutrichomyias rowleyi Seriwang Sangihe
101 Falconidae Burung alap-alap, Elang ( semua jenis dari famili Falconidae )
102 Fregeta anrewsi Burung gunting, Bintayung
103 Garrulax rufifrons Burung kuda
104 Goura spp Burung dara mahkota, Burung itik, Mambruk ( semua jenis dari
genus Goura )
105 Gracula religiosa mertensi Beo Flores
106 Gracula religiosa robusta Beo Nias
107 Gracula religiosa venerata Beo Sumbawa
108 Grus spp Jenjang ( semua jenis dari genus Grus )
109 Himantopus himantopus Trules lidi, Lilimo
110 Ibis cinereus Bluwok, Walangkadak
111 Ibis leucocephala Bluwok berwarna
112 Lorius roratus Bayan
113 Leptoptilos javanicus Marabu, Bangau tongtong
114 Leucopsar rothschildi Jalak Bali
115 Lophozosterops javanica Burung kacamata leher abu-abu
116 Lopuhura bulweri Beleang ekor putih
117 Lopuhura catamene Serindit Sangihe
118 Lopuhura exilis Serindit Sulawesi
119 Lopuhura domicellus Nori merah kepala hitam
120 Macrocephalon maleo Burung maleo
121 Megalaima armillaris Cangcarang
122 Megalaima corvina Haruku, Ketuk – ketuk
123 Megalaima javensis Tulung tumpuk, Bultok jawa
124 Megapodiidae Maleo, Burung gosong ( semua jenis dari famili Megapodiidae )
125 Megapodius reinwardtii Burung gosong
126 Meliphagidae Burung sesap, Pengisap madu ( semua jenis dari famili
Meliphagidae )
127 Musciscapa ruecki Burung kipas biru
128 Mycteria cinerea Bangau putih susu, Bluwok
129 Nectariniidae Burung madu, jantingan, klaces ( semua jenis dari famili
Nectariniidae )
130 Numenius spp Gagajahan ( sumua jenis dari genus Numenius )
131 Nycticorax caledonicus Kowak merah
132 Otus migicus becaarii Burung hantu Biak
133 Pandionidae Burung alap-alap, Elang ( semua jenis dari famili Pandionidae )
134 Paradiseidae Burung Cendrawasih ( semua jenis dari famili Paradiseidae )
135 Pavo miticus Burung merah
136 Pelecanidae Gangsa laut ( semua jenis dari famili Palecanidae )
137 Pittidae Burung paok, Burung cacing ( semua jenis dari famili Pittidae )
138 Plegadis falcinellus Ibis hitam, roko-roko
139 Polyplectron malacense Merak kerdil
140 Probosciger aterrimus Kakatua raja, Kakatua hitam
141 Psaltria exilis Glatik kecil, Glatik gunung
142 Pacudibis davisoni Ibis hitam punggung putih
143 Psittrichas fulgidus Kasturi raja, Betet besar
144 Ptilonorhynchidae Burung namdur, Burung dewata
145 Rhipidura euryura Burung kipas perut putih, Kipas gunung
146 Rhipidura javanica Burung kipas
147 Rhipidura Phoenicura Burung kipas ekor merah
148 Satchyris grammiceps Burung tepus dada putih
149 Satchyris melanothorax Burung tepus pipi merah
150 Sterna zimmermanni Dara laut berjambul
151 Sternidae Burung daru laut ( semua jenis dari famili sternidae )
152 Sturnus melanopterus Jalak putih, Kaleng putih
153 Sula abbotti Gangsa baru aboti
154 Sula dactylatra Gangsa batu muka biru
155 Sula leucogaster Gangsa batu
156 Sula sula Gangsa batu kaki merah
157 Tanygnathus sumatranus Nuri Sulawesi
158 Threskiornis aethiopicus Ibis putih, Platuk besi
159 Trichonglossus ornatus Kasturi Sulawesi
160 Tringa guttifer Trinil tutul
161 Trgonidae Kasumba, Suruku, Burung luntur
162 Vanellus macropterus Trulek ekor putih
REPTILIA ( MELATA )
163 Batagur basta Tuntong
164 Caretta caretta Penyu tampayan
165 Carettochelys insculpta Kura – kura Irian
166 Chelodina novaeguineae Kura Irian leher panjang
167 Chelonia mydas Penyu hijau
168 Chitra indica Labi – labi besar
169 Chlamydosaurus kingii Soa payung
170 Chondropython viridis Sanca hijau
171 Crocodylus novaeguineae Buaya air tawar Irian
172 Crocodylus prosus Buaya muara
173 Crododylus siamensis Buaya siam
174 Dermochelys coriacea Penyu belimbing
175 Elyesa novaeguineae Kura Irian leher pendek
176 Eretmochelys imbricata Penyu sisik
177 Gonychepalus dilophus Bunglon sisir
178 Hydrasaurus ambionensis Soa-soa, Biawak Ambon, Biawak pohon
179 Lepidochelys olivacea Penyu ridel
180 Natator depressa Penyu pipih
181 Orlitia borneensis Kura – kura gading
182 Python molurus Sanca bodo
183 Python timorensis Sanca Timor
184 Tiliqua gigas Kadal panana
185 Pimistoma schegelii Senyulong, Buaya sapit
186 Varanus borneensis Biawak Kalimantan
187 Varanus gouldi Biawak coklat
188 Varanus indicus Biawak maluku
189 Varanus komodoensis Biawak komodo, Ora
190 Varanus nebulosus Biawak abu-abu
191 Varanus prasinus Biawak hijau
192 Varanus timorensis Biawak Timor
193 Varanus togianus Biawan Togian
INSECTA ( SERANGGA )
194 Cethosia myrina Kupu bidadari
195 Ornithoptera chimaera Kupu sayap burung peri
196 Ornithoptera chgoliath Kupu sayap burung goliat
197 Ornithoptera paradisea Kupu sayap burung surga
198 Ornithoptera priamus Kupu sayap burung priamus
199 Ornithoptera rotscldi Kupu sayap burung rotsil
200 Ornthoptera tithonus Kupu sayap burung titon
201 Trogonotera brookiana Kupu trogon
202 Troides amphrysus Kupu raja
203 Troides andromanche Kupu raja
204 Troides criton Kupu raja
205 Troides haliphron Kupu raja
206 Troides helena Kupu raja
207 Troiden Hypolitus Kupu raja
208 Troides meoris Kupu raja
209 Troides miranda Kupu raja
210 Troides plato Kupu raja
211 Troides rhadamantus Kupu raja
212 Troides riedeli Kupu raja
213 Troides vandepolli Kupu raja
PISCES ( IKAN )
214 Homaloptera gymnogaster Selusur Maninjau
215 Latimeria chalumnae Ikan raja laut
216 Notopterus spp Belida jawa, Lopis jawa ( semua jenis dari genus Notopterus )
217 Pritis spp Pari Sentani, Hiu Sentani ( semua jenis dari genus Pritis )
218 Puntius microps Wader goa
219 Scleropages formosus Peyang malaya, Tangkelasa
220 Scleropages jardini Arowan Irian, Peyang Irian, Kaloso
ANTHOZOA
221 Antiphates spp Akar bahar, Koral hitam ( semua jenis dari genus Antiphates )
BIVALVA
222 Birgus latro Ketam kelapa
223 Cassis cornuta Kepala kambing
224 Charonis tritonis Triton terompet
225 Hippopus hippopus Kima tapak kuda, Kima kuku, Berung
226 Hippopus porcellanus Kima Cina
227 Nautilus pompillus Nautilus berongga
228 Tachiphelus gigan Ketam tapak kuda
229 Tridacna crocea Kima kunia, Lubang
230 Tridacna derasa Kima selatan
231 Tridagna gigas Kima raksasa
232 Tridacna maxima Kmia kecil
233 Tridagna squamosa Kimka sisik, Kima seruling
234 Trochus niloticus Troka, susu bundar
235 Turbo marmoratus Batu laga, Siput hijau
TUMBUHAN
I. PALMAE
236 Amorphophallus decussilvae Bunga bangkai jangkung
237 Amorphophallus titanus Bunga bangkai raksasa
238 Borrassodendron borneensis Bindang, Budang
239 Caryota no Palem raja / Indonesia
240 Ceratolobus Glaucescens Palem Jawa
241 Cystostachys lakka Pinang merah Kalimantan
242 Cystostachys ronda Pinang merah Banka
243 Eugeissona utilis Bertan
244 Johanneste ijamaria altifrons Daun payung
245 Livistona spp Palem kipas Sumatera ( semua jenis dari genus Livistona )
246 Nengah gajah Palem Sumatera
247 Phoenix paludosa Korma rawa
248 Pigafatta filaris Manga
249 Pinaga javana Pinang Jawa
II. RAFLESSIACEA
250 Rafflesia spp Rafflesia, Bunga padma ( semua jenis dari genus Rafflesia )
III. ORCHIDACEAE
251 Ascocentrum miniatum Anggrek kebutan
252 Coelogyne pandurata Anggrek hitam
253 Corybas fornicatus Anggrek koribas
254 Cymbidium hartinahianum Anggrek harintah
255 Demdrobium catinecloesum Anggrak karawai
256 Demdrobium d’albertisii Anggrek albert
257 Demdrobium lasianthera Anggrek stuberi
258 Demdrobium macrophyllumm Anggrek jamrud
259 Demdrobium ostrinoglosum Anggrek karawai
260 Demdrobium phalaenopsis Anggrek larat
261 Grammatophyllum papuanum Anggrek raksasa Irian
262 Grammatophyllum speciosum Anggrek tebu
263 Macodes petola Anggrek ki aksara
264 Paphiopedilum chamber lainianum Anggrek kasut kumis
265 Paphiopedilum glaucophyllum Anggrek kasut berbulu
266 Paphiopedilum praestans Anggrek kasut pita
267 Paraphalaenopsis denevei Anggrek bulan bintang
268 Paraphalaenopsis laycockii Anggrek bulan Kalimantan Tengah
269 Paraphalaenopsis serpentilingua Anggrek bulan Kalimantan Barat
270 Phalaenopsis amboinensia Anggrek bulan Ambon
271 Phalaenopsis gigantea Anggrek bulan raksasa
272 Phalaenopsis sumatrana Anggrek bulan Sumatera
273 Phalaenopsis violacose Anggrek kelip
274 Renanthera matutina Anggrek jingga
275 Spathoglottis xurea Anggrek sendok
276 Vanda celebica Vanda mungil minahasa
277 Vanda bookeriana Vanda pensil
278 Vanda pumila Vanda mini
279 Vanda sumatrana Vanda Sumatera
IV. NEPHENTACEAE
280 Nephentes spp Kantong semar ( semua jenis dari genus Nephentus )
281 Shores stenopten Tengkawang
282 Shores stenoptera Tengkawang
283 Shores gysberstiana Tengkawang
284 Shores pinanga Tengkawang
285 Shores compressa Tengkawang
286 Shores seminis Tengkawang
287 Shores martianiana Tengkawang
288 Shores mexistopteyx Tengkawang
289 Shores beccariana Tengkawang
290 Shores micrantha Tengkawang
291 Shores stenopten Tengkawang
292 Shores palembanica Tengkawang
293 Shores lepidota Tengkawang
294 Shores singkawang Tengkawang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE


PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 8 TAHUN 1999

TANGGAL 27 JANUARI 1999

TENTANG

PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam hayati yang dapat
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan pemanfaatannya dilakukan
dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keaneka ragaman jenis
tumbuhan dan satwa liar;
b. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu
menetapkan peraturan tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan Peraturan
Pemerintah;

Mengingat:
1. Pasal 5 Ayal (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (BN No.
1504 hal. 11A- 15A) (LN Tahun 1967 Nomor 8, TLN Nomor 2823).
3. Undang-undang Nomor 9 Tabun 1985 tentang Perikanan (BN No. 4226 hal. 58- 703 dit; (LN
Tahun 1985 Nomor 46. TLN Nomor 3299);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya & Alam Hayati dan
Ekosistemnya (BN No. 4952 hal. 68-108 dsti) (LN Tahun 1990 Nomor 49, TLN Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistern Budidaya Tanaman (BN No. 5261 Ad.
103- 1 13 dst) (LN Tahun 1992 Nomor 46, TLN Nomor 3478),
6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina, Hewan, Ikan dan Tumbuhan (BN No.
5292 hal. 4B-13B ) (LN Tahun 1992 Nomor 56. TLN Nomor 3482).
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (BN No. 5612 hal 38 dst.) (LN Tahun 1994 Nomor
41, TLN Nomor 3556);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (BN No. 5568 hal.
2B –9B); (LN Tahun 1994 Nomor 19. TLN Nomor 3544);
9. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabean (BN No.5806 hal. 5B – 19 B) (LN
Tahun 1995 Nomor 75, TLN Nomor 3612).
10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (BN No.6038
hal. 1B-4B) (LN Tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor 3699).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (LN Tahun 1998 Nomor 132. TLN Nomor 3776);

MEMUTUSKAN

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN


DAN SATWA.

BAB I
KETENTUAN

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Pemanfaatan jenis adalah penggunaan sumber daya alam baik tumbuhan maupun satwa liar
dan atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dalam bentuk pengkajian, penelitian dan
pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; budidaya
tanaman obat-obatan; dan pemeliharaan untuk kesenangan.
2. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran
tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
3. Pembesaran adalah upaya memelihara dan membesarkan benih dan bibit dan anakan dari
tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
4. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak dibidang konservasi tumbuhan dan atau
(eksitu), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
5. Penandaan adalah pemberian tanda bersifat fisik pada bagian tertentu dari jenis tumbuhan dan
satwa liar atau bagian-bagiannya serta di luar habitatnya (ex-situ), baik berupa lembaga
pemerintahan maupun lembaga non pemerintah.
6. Sertifikasi adalah keterangan tertulis tentang ciri, asal-usul, kategori, dan indentifikasi lain dari
jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya baik dari
penangkaran atau pembesaran.
7. Penangkapan satwa liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari habitat alam untuk
kepentingan pemanfaatan jenis satwa liar di luar perburuan.
8. Pengambilan tumbuhan liar adalah kegiatan memperoleh satwa liar dari habitat alam untuk
kepentingan pemanfaatan jenis satwa liar di luar perburuan.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dibidang kehutanan.

Pasal 2

(1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar
dapat didaya gunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan mengendalikan pendayagunaan
jenis tumbuhan dan satwa liar atau bagian-bagiannya serta hasil dari padanya dengan tetap
menjaga keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem.

Pasal 3

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan dalam bentuk :


a. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. Penangkaran;
c. Perburuan;
d. Perdagangan;
e. Peragaan;
f. Pertukaran;
g. Budaya tanaman obat-obatan; dan
h. Pemeliharaan untuk kesenangan.

BAB II
PENGKAJIAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 4

(1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa
liar yang dilindungi atau yang tidak dilindungi.
(2) Penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk kepentingan pengkajian,
penelitian dan pengembangan harus dengan izin Menteri.
(3) Pengambilan tumbuhan liar dan penangkapan sata liaar dari habitat alam untuk keperluan
pengkajian, penelitian dan pengembangan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 5
(1) Hasil pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi
wajib diberitahukan kepada pemerintah.
(2) Pemerintah menetapkan lembaga penelitian dan atau lembaga konservasi yang bertugas
mendokumentasikan, memelihara, dan mengelola hasil pengkajian, penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksudd dalam ayat (1).
(3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.

Pasal 6

(1) Ketentuan tenatng pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap jenis tumbuhan dan
satwa liar oleh orang asing di Indonesia dilaukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap jenis tumbuhan dan satwa merintah
menetapkan lembaga penelitian dan atau lembaga konservasi yang bertugas
mendokumentasikan, memelihara, dan mengelola hasil pengkajian, penelitian dan
pengembangan sebagaimana dimaksudd dalam ayat (1).
(3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.

BAB III
PENANGKARAN

Pasal 7

(1) Penangkaran untuk tujuan pemanfaatan jenis dilakukan melalui kegiatan :


a. Pengembanganbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam
lingkungan terkontrol; dan
b. Penetasan telur dan atau pembesaran anakan yang diambil dari alam,
(2) Penangkaran dapat dilakukan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi atau
tidak dilindungi.
(3) Dengan tidak menurangi ketentuan yang diatur dalam Peraturan pemerintah ini, penangkaran
jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi terikat juga kepada tuntutan yang berlaku bagi
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

Pasal 8

(1) Jenis tumbuhan dan stawa liar untuk keperluan penangkaran diperoleh dari habitat alam atau
sumber-sumber lain yang sah menurut ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pengambilan jenis tumbuhan liar dan penangkapan satwa liar dari alam untuk keperluan
penangkaraan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 9

(1) Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi atau Lembaga Konservasi dapat melakukan kegiatan
penangkaran jenis tumbuhan dan satwa liar atas izin Menteri.
(2) Izin penangkaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekaligus juga merupakan izin untuk
dapat menjual hasil penangkaran setelah memenuhi standar kualifikasi penangkaran tertentu.
(3) Standar kualitas penangkaran sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
dasar pertimbangan :
a. Batas jumlah populasi jenis dan tumbuhan dan satwa hasil penagkaran;
b. Profesionalisme kegiatan penangkaran;
c. Tingkat kelangkaan jenis tumbuhan dan satwa yang ditangkarkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang standar kualifikasi penangkaran diatur oleh Menteri.

Pasal 10
(1) Hasil penangkaran tumbuhan liar yang dilindungi dapat digunakan untuk keperluan
perdagangan.
(2) Hasil penangkaran tumbuhan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai
tumbuhan yang tidak dilindungi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku terhadap jenis
tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 11

(1) Hasil penangkaran satwa liar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk keperluan
perdagangan adalah satwa liar generasi kedua dan generasi berikutnya.
(2) Generasi kedua dan generasi berikutnya dari hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi,
dinyatakan sebagai jenis satwa liar yang tidak dilindungi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak berlaku terhadap jenis
tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 12

Penangkaran wajib menjaga kemurnian satwa liar yang dilindungi sampai pada generasi pertama.

Pasal 13

(1) Hasil penangkaran untuk persilangan hanya dapat dilakukan setelah enerasi kedua bagi satwa
liar yang dilindungi, dan setelah generasi pertama bagi satwa liar yang tidak dilindungi, serta
setelah mengalamai perbanyakan bagi tumbuhan yang dilindungi.
(2) Hasil persilangan satwa liar dilarang untuk dilepas ke alam..

Pasal 14

(1) Penangkar wajib memberi penandaan dan atau sertifikasi atas hasil tumbuhan dan satwa liar
yang ditangkarkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem dan tata cara penandaan dan sertifikasi tumbuhan dan
satwa hasil penangkaran diatur oleh Menteri..

Pasal 15

(1) Setiap orang, Badan Hukum, Koperasi, dan Lembaga Konservasi yang mengajukan permohonan
untuk melakukan kegiatan penangkaran, wajib memenuhi syarat-syarat :
a. Memperkejakan dan memiliki tanag ahli di bidang penangkaran jeins yang
bersangkutan;
b. Memiliki tempat dan fasilitas penangkaran yang memenuhi syarat-syarat teknis;
c. Membuat dan menyerahkan proposal kerja.
(2) Dalam menyelenggarakan kegiatan penangkaran, penangkar berkewajiban untuk :
a. Membuat buku induk tumbuhan atau satwa liar yang ditangkarkan;
b. Melaksanakan sistem penandaan dan atau sertifikasi terhadap individu jenis yang
ditangkarkan;
c. Membuat dan menyampaikan laporan berkala kepada pemerintah.
(3) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri.

Pasal 16
(1) Satwa liar yang dilindungi yang diperoleh dari habitat alam untuk keperluan penangkaran
dinyatakan sebagai satwa titipan negara.
(2) Ketentuan mengenai penetapan status purna penangkaran dan pengembalian ke habitat alam
stawa titipan negara diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

BAB IV
PERBURUAN

Pasal 17

(1) Perburuan jenis satwa liar dilakukan untuk keperluan olah raga (sport hunting), Perolehan trofi
(trophy hunting) dan perburuan tradisional oleh masyarakat setempat.
(2) Kegiatan perburuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.
BAB V
PERDAGANGAN

Pasal 18

(1) Tumbuhan dan satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwa liar yang tidak
dilindungi.
(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari :
a. Hasil penangkaran;
b. Penga,mbilan atau penagkapan dari alam.

Pasal 19
(1) Perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakuakn oleh Badan Usaha yang didirikan
menurut hukum Indonesia setelah mendapatkan rekomendasi Menteri.
(2) Dikesualikan dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), perdagangan dalam
skala terbatas dapat dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar Areal buru
dan di sekitar Taman Buru sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang perburuan satwa buru.

Pasal 20
(1) Badan usaha yang melakukan perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar wajib:
a. Memiliki tempat dan fasilitas penampungan tumbuhan dan satwaa liar yang memenuhi
syarat-syarat teknis;
b. Menyusun rencana kerja tahunan usaha perdagangan tumbuhan dan satwa;
c. Menyampaikan laporan tiap=tiap pelaksanaan perdagangan tumbuhan dan satwa;
(2)Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 21

Badan usaha yang melakukan perdagangan dan satwa liar wajib membayar pungutan yang
ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 22

(1) Perdagangan tumbuhan dan satwa liar diatur berdsarkan lingkup perdagangan :
a. Dalam negeri;
b. Ekspor, re-ekspor atau impor.
(2) Tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

Pasal 23
Ketentuan mengenai perdagangan tumbuhan dan satwa liar dalam negeri diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 24

(1) Tiap-tiap perdagangan tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan ekspor, re-ekspor atau impor
dilakukan atas dasar izin Menteri.
(2) Dokumen perdagangan untuk tujuan ekspor, re-ekspor atau impor, sah apabila telah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Memiliki dokumen pengiriman dan pengangkutan;
b. Izin ekspor, re-ekspor atau impor;
c. Rekomendasi otoritas keilmuan (scientific authority).
(3) Ketentuan lenbih lankut tentang dokumen perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 25

(1) Tumbuhan dan satwa liar yang diekspor, re-exkspor, atau impor wajib dilakukan tindak
karantina.
(2) Dalam melakukan tindakan karantina sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), petugas
karantina wajib memeriksa kesehatan jenis tumbuhan dan satwa liar serta kelengkapan dan
kesesuaian spesimen dengan dokumen.

Pasal 26

Ekspor, re-ekspor atau impor jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa dokumen atau memalsukan
dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) termasuk dalam pengertian penyelundupan.

BAB VI
PERAGAAN

Pasal 27

Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat berupa koleksi hidup atau koleksi matu termasuk
bagian-bagiannya serta hasil dari padanya..

Pasal 28

(1) Peragaan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan oleh lembaga konservasi dan lembaga
– lemabaga pendidikan formal.
(2) Pergaan yang dilakukan oleh orang atau Badan di luar lembaga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dengan izin Menteri.

Pasal 29

Perolehan dan penggunaan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi untuk keperluan
peragaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 30

(1) Lembaga, badan atau orang yang melakukan pergaan tumbuhan dan satwa liar bertanggung
jawab atas kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar yang diperagakan.
(2) Menteri mengatur standar teknis kesehatan dan keamanan tumbuhan dan satwa liar untuk
keperluan peragaan.

BAB VII
PERTUKARAN

Pasal 31

Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan atau
meningkatkan populasi, memperkaya keanekaragaman jenis, penelitian dan ilmu pengetahuan, dan
atau penyelamatan jenis yang bersangkutan.

Pasal 32

(1) Pertukaran jenis tumbuhan dan stawa liar yang dilindungi hanya dapatdilakukan terhadap jenis
tumbuhan dan satwa liar yang sudah dipelihara oleh lembaga Konservasi.
(2) Pertukaran jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi hanya dapatdilakukan oleh dan atar
Lembaga Konservasi dan pemerintah.

Pasal 33

(1) Pertukaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 hanya dapat dilakukan antara satwa dengan
satwa, atau tumbuhan dengan tumbuhan.
(2) Pertukaran dilakukan atas dasar keseimbangan nilai konservasi jenis tumbuhan dan satwa liar
yang bersangkutan.
(3) Evaluation of the equilibrium of the value of conservation as meant in sub-Pasal (2) shall be
conducted by an evaluation team the establishment and working procedure of which shall be
stipulated in a ministerial decree.

Pasal 34

Tumbuhan liar jenis Raflesia species dan satwa liar jenis :


a. Anoa (dwarf buffalo) (Annoa depressicomis, Anoa quarlesi);
b. Babi rusa(Babyrousa, Baby russe);
c. Badak Jawa (Rhinoceros sondicus);
d. Badak Sumatra (Dicero rhinus sumatrensis);
e. Biawak Komodo (Varanus Komodoensis);
f. Cendrawasih (Bird of Paradise)(all species and family of Paradiseidae);
g. Elang Jawa, elang Garuda (Spizeetus bartesi);
h. Harimau Sumatra (Panthera trigis sumatrae);
i. Lutung Mentawai (Black or grey long tailed monkey)(Presbtis Potensiani);
j. Orangutan (Pongo pygmaeus);
k. Owa Jawa (Hylobates moloch),

Hanya dapat dipertukarkan atas persetujuan Presiden.

BAB VIII
BUDIDAYA TANAMAN OBAT-OBATAN

Pasal 35

Pemanfaatan jenis tumbuhan liar yang berasal dari habitat alam untuk keperluan budidaya tanaman
obat-obatan dilakuan dengan tetap memelihara kelangsunagn potensi, populasi, daya dukung dan
keanekaragaman jenis tumbuhan liar.

Pasal 36

Ketentuan tentang budidaya tanaman obat-obatan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

BAB IX
PEMELIHARAAN UNTUK KESENANGAN

Pasal 37

(1) Setiap oang dapat memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan.
(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan hanya dapat
dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi.

Pasal 38

Menteri menetapkan batsa maksimum jumlah tumbuhan dan satwa liar yang dpat dipelihara unruk
kesenangan.

Pasal 39

(1) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk kesenangan diperoleh dari hasil
penangkaran, perdgangan yang sah atau dari habitat alam.
(2) Pengambilan tumbuhan lliar dan penangkapan satwa liar untuk keperluan pemeliharaan untuk
kesenangan diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 40

(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa liar untuk kesenangan, wajib :
a. Memelihara kesehatan, kenyamanan, dan keamanan jenis tumbuhan atau satwa liar
peliharaannya;
b. Menyediakan tempat dan fasilitas yang memenuhi standar pemeliharaan jenis
tumbuhan dan satwa liar.
(2) Ketentuan pelaksanaan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 41

(1) Pemerintah setiap 5 (lima) tahun mengevaluasi kecakapan atau kemampuan seseorang atau
lembaga atas kegiatannya melakukan pemeliharaan satwa liar untuk kesenangan.
(2) Untuk keperluan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemeliharaan satwa liar wajib
menyampaikan laporan berkala pemeliharaan satwa sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri.
BAB X
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Pasal 42

(1) Pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa liar dari satu wilayah habitat ke
wilayah habitat lainntya di Indonesia, atau dari dan ke luar wilayah Indonesia, wajib dilengkapi
dengan dokumen pengiriman atau pengangkutan.
(2) Dokumen dinyatakan sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagi berikut :
a. Standar teknis pengangkutan;
b. Izin pengiriman;
c. Izin penangkaran bagi satwa hasil penangkaran;
d. Sertifikast kesehatan satwa dan pejabat yang berwenang.
(3) Izin perngiriman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b wajib memuat keterangan
tentang :
a. Jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa;
b. Pelabuhan pemberangkatan dan pelabuhan tujuan;
c. Identitas orang atau Badan yang mengirim dan menerima tumbuhan dan satwa;
d. Peruntukan pemanfaatan tumbuhan dan satwa.
BAB XI
DAFTAR KLASIFIKASI DAN KUOTA

Pasal 43

(1) Pemerintah menetapkan daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi atas dasar
klasifikasi yang boleh dan yang tidak boleh diperdagangkan.
(2) Penetapan daftar klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memeperhatikan :
a. Perkembangan upaya perlindungan jenis tumbuhan dan satwa liar yang disepakati
dalam konvensi internasional;
b. Upaya-upaya konservasi yang dilakukan di Indonesia; dan
c. Kepentingan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 44

(1) Pemerintah menetapkan kuota pengambilan dan penangkapan setiap jenis dan jumlah
tumbuhan dan satwa liar yang dapat diambil atau ditangkap dari alam untuk setiap kurun waktu
1 (satu) tahun..
(2) Penetapan kuota pengambilan dan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memperhatikan pertumbuhan populasi tumbuhan dan satwa liar pada wilayah habitat yang
bersangkutan.
(3) Wilayah habitat sebagimana dimaksud dalam pasal ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 45

Kuota penangkapan sebagimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) meliputi juga hasil perburuan
satwa liar secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Taman Buru di
dalam atau di sekitar Areal Buru dengan menggunakan alat-alat tradisional.

Pasal 46

Kuota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 merupakan pedoman untuk memenuhi kebutuhan
seluruh bentuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang diperoleh dari alam.

Pasal 47

(1) Pemerintah menetapkan kuota setiap jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar yang tidak
dilindungi untuk keperluan perdagangan dalamsetiap kurun waktu 1 (satu) tahun.
(2) Sumber tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan kuota perdagangan sebagimana dimaksud
dalam ayat (1) berasal dari kuota pengambilan dan penangkapan dari alam dan hasil
penangkaran.
(3) Kuota pedagangan ditetapkan atas dasar kebutuhan perdagangan dalam negeri dan untuk
tujuan ekspor, re-ekspor, atau impor.

Pasal 48

(1) Pemerintah mengendalikan impor setiap jenis tumbuhan dan satwa liat yang dapat dimasukkan
ke Indonesia.
(2) Pengedalian impor sebagimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan upaya
perlindungan tumnbuhan dan satwa liar sejenis di Indoensia dan ketentuan konvensi
Internasional tentang Impor tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 49
Penetapan daftar klasifikasi, kuota pengambilan dan penangkapan, dan kuota perdagangan,
sebagaimana diatur dalam Bab ini dilakukan oleh Menteri setelah mendapat rekomendasi dari
Otoritas Kelimun (scientific authority).

BAB XII
SANKSI

Pasal 50

(1) Barang siapa tanpa izin menggunakan tumbuhan dan atau satwa liar yang dilindungi untuk
kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dihukum karena melakukan
perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 50,000,000.00 (lima puluh juta rupiah) dan atau dihukum
tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap
tumbuhan liar san sata liar untuk waktu paling lama 5 tahun.
(3) Barangsiapa mengambil tumbuhan liar dan atau satwa liar dari habitat alam tanpa izin atau
dengan tidak memenuhi ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 8 ayat
(2), Pasal 29 dan Pasal 39 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp 40,000,000.00 (empat puluh juta rupiah) dan atau dihukum tidak
diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 51

Barangsiapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan
sertamerta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp 20,000,000.00 (dua puluh
juta rupiah) dan atau dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pengkajian, penelitian dan
pengembangan terhadap tumbuhan liar san sata liar untuk waktu paling lama 4 tahun..

Pasal 52

(1) Barangsiapa melakukan penangkaran tumbuhan liar dan atau satwa liar tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp 25,000,000.00 (dua puluh lima juta rupiah) dan atau pencabutan izin
penangkaran.
(2) Apabila perbuatan sebagiman dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap tumbuhan dan atau
satwa liar yang dilindungi dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut
ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 53

(1) Penangkar yang melakukan perdagangan tumbuhan dan atau satwa liar tanpa memenuhi
standar kualifikasi yang ditetapkan Menteri sebagaimana dimasud dalam Pasal 9 ayat (4)
dihukum karena melakukan perbuatan penyelundupan.
(2) Perbuatan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 100,000,000.00 (seratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha penangkaran.

Pasal 54

(1) Barang siapa tanpa izin melakukan perdagangan tumbuhan dan atau satwa sebelum memenuhi
kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) atau Pasal 11 ayat (1) atau tidak
memuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dala pasal 12 dihukum karena melakukan
perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 100,000,000.00 (seratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha.

Pasal 55

Penangkar yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan 15 ayat (2),
dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp 10,000,000.00
(sepuluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan.

Pasal 56

(1) Barangsiapa melakukan perdagangan satwa liar yang dilindungi dihukum karena melakukan
perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 200,000,000.00 (dua ratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha yang bersangkutan.

Pasal 57

Barangsiapa melakukan perdagangan tumbuhan liar dan atau satwa liar selain oleh Badan Usaha
dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dihukum karena melakukan perbuatan
penyelundupan.

Pasal 58

(1) Badan Usaha perdagangan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf a dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-
banyaknya Rp 10,000,000.00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pembekuan kegiatan usaha paling
lama 2 (dua) tahun.
(2) Badan Usaha perdagangan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf b dengan serta merta dapat dihukum pembekuan kegiatan usaha
paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Badan Usaha perdagangan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) c dengan serta merta dapat dihukum denda administrasi sebanyak-
banyaknya Rp 10,000,000.00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pembekuan kegiatan usaha
paling lama 2 (dua) tahun.
(4) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) sewaktu-waktu atas
pertimbangan Menteri, dapat dikenakan pencabutan izin usaha.

Pasal 59

(1) Ekspor, re-ekspor atau impor tumbuhan liar dan satwa liar tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) atau tanpa dokumen atau memalsukan dokumen, atau menyimpang
dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dihukum karena melakukan
perbuatan penyelundupan.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 250,000,000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
atau pencabutan izin usaha perdagangan yang bersangkutan.

Pasal 60

(1) Barangsiapa melakukan peragaan satwa liar tanpa izin sebagimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dihukum karena melakukan percobaan perbuatan perusakan lingkungan hidup.
(3) Apabila perbuatan tersebut dalam ayat (1) dilakukan terhadap satwa liar yang dilindungi,
dihukum karena melakukan perbuatan yang dilarang menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 61

(1) Barangsiapa melakukan pertukaran tumbuhan dan satwa yang menyimpang dari ketentuan
sebagimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 200,000,000.00 (dua ratus juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usahayang bersangkutan.

Pasal 62

Pemeliharaan tumbuhan dan satwa liar untuk kesenangan yang tidak memenuhi kewajiban
sebagimana dimaksud dalam Pasal 40 dan 41 ayat (2) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 5,000,000.00 (lima juta rupiah) dan atau perampasan atas
satwa yang dipelihara.

Pasal 63

(1) Barangsiapa melakukan pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa liar tanpa
dokumen pengirim atau pengangkutan, atau menyimpang dari syarat-syarat atau tidak
memenuhi kewajiban atau memalsukan dokumen sebagaimana yang dimaaksud dalam Pasal 42
ayat (1) atau ayat (3) dihukum karena turut serta melakukan penyelundupan dan atau
pencurian dan atau percobaan melakukan perusakan lingkungan hidup.
(2) Perbuatan sebagaiman dimaskud dalam ayat (1) dengan serta merta dapat dihukum denda
administrasi sebanyak-banyaknya Rp 250,000,000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan.

Pasal 64

(1) Pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62 dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, maka
tumbuhan dan satwa liar tersebut dirampas untuk negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990.
(2) Pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62 dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi, ,
maka tumbuhan dan satwa liar tersebut diperlakukan sama dengan yang dilindungi, dirampas
untuk negara.

BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 65

Berdasarkan peraturan pemerintah ini:


a. Departemen yang bertanggung jawab di bidang Kehutanan ditetapkan sebagai Otoritas
Pengelola (management authority) Konservasi tUmbuhan dan Satwa Liar.
b. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ditetapkan sebagai Otoritas Keilmuan (scientific
authority).

Pasal 66

(1) Otoritas pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf a mempunyai kewenangan
sebagaimana diatur dalam Perturan Pemerintah ini.
(2) Otoritas Keilmuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 huruf b mempunyai kewenangan
untuk:

a. memberikan rekomendasi kepada Otoritas pengelola tentang penetapan Daftar Klasifikasi,


Kuota penangkapan dan perdagangan termasuk ekspor, re-ekspor, impor, introduksi dari
laut, semua spesimen tumbuhan dan satwa liar;
b. memonitor izin perdagangan dan realisai perdagangan serta memberikan rekomendasi
kepada otoritas pengelola tentang pembatasan pemberian izin perdagangan tumbuhan dan
satwa liar karena berdasarkan evaluasi secara biologis pembatasan itu perlu dilakukan;
c. bertindak sebagai pihak yang independen memberikam rekomendasi terhadap konvensi
internasional di bidang konservasi tumbuhan dan satwa liar.

Pasal 67

Penanggung jawab dari semua kegiatan dalam rangka pemanfaatan jenis sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah ini, bertanggung jawab atas tindakan satwa liar atau kelalaian
penanggung jawab menempatkan tumbuhan yang berbahaya yang mengakibatkan kerugian harta
benda orang lain, mengakibatkan gangguan kesehatan, cedera atau hilangnya jiwa orang lain.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 68

Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan peraturan
perundang – undangan yang mengatur tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang
telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
basis of this government regulation.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 69

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar tetap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembara Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 14


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 1999

TENTANG

PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap mampu
menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan;
b. bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang, khususnya
pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula jumlah limbah
yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat
membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia;
c. bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaga Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH


BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses produksi;
2. Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat
dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mencemarkan dan/atau rnerusakkan lingkungan hidup dan/atau membahayakan
kingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
3. Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3;
4. Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan
mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan;
5. Penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan/atau kegiatannya menghasilkan limbah
B3;
6. Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan dengan
tujuan untuk mengumpulkan limbah B3 sebelum dikirim ke tempat pengolahan dan/atau
pemanfaatan dan/atau penimbunan limbah B3;
7. Pengangkut limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah
B3;
8. Pemanfaat limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pemanfaatan limbah B3;
9. Pengolah limbah B3 adalah badan usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan limbah
B3;
10. Penimbun limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan penimbunan limbah B3;
11. Pengawas adalah pejabat yang bertugas di instansi yang bertanggung jawab melaksanakan
pengawasan pengelolaan limbah B3;
12. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil dan/atau
pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 dengan
maksud menyimpan sementara;
13. Pengumpul limbah B3 adalah suatu kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah
B3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau
pengolah dan/atau penimbun limbah B3;
14. Pengangkutan limbah B3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B3 dari penghasil
dan/atau dari pengumpul dan/atau dari pemanfaat dan/atau dari pengolah ke pengumpul
dan/atau ke pemanfaat dan/atau ke pengolah dan/atau ke penimbun limbah B3;
15. Pemanfaatan limbah B3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau
penggunaan kembali (reuse) dan/atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah
limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan
dan kesehatan manusia;
16. Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3
untuk menghilangkan dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau sifat racun;
17. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B3 pada suatu fasilitas
penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan
hidup;
18. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
19. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2

Pengolaan limbah B3 bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau


kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas
lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.

Pasal 3

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang
membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan hidup,
tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Pasal 4

Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pemgumpulan,
pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran untuk
maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B3.

Pasal 5

Pengelolaan limbah radio aktif dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab atas pengelolaan
radio aktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB II
IDENTIFIKASI LIMBAH B3

Pasal 6
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan karakteristiknya.

Pasal 7

(1) Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi :


a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. Limbah B3 dari sumber spesifik;
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk
yang tidak memenuhi spesifikasi.

(2) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, dan D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah
dilakukan uji Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan/atau uji karakteristik.

(3) perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 8

(1) Limbah yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3)
diidentifikasi sebagai limbah B3 apabila setelah melalui pengujian memiliki salah satu atau lebih
karakteristik sebagai berikut :
a. mudah meledak;
b. mudah terbakar;
c. bersifat reaktif,
d. beracun;
e. menyebabkan infeksi;
f. bersifat korosif; dan

(2) Limbah yang termasuk limbah B3 adalah limbah lain yang apabila diuji dengan metode
toksikologi memiliki LD50 di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan.

BAB III
PELAKU PENGELOLAAN

Bagian Pertama
Penghasil

Pasal 9

(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengunakan bahan berbahaya
dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah B3,
mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3.

(2) Apabila kegiatan reduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih menghasilkan limbah
B3, dan limbah B3 tersebut masih dapat dimanfaatkan, penghasil dapat memanfaatkannya
sendiri atau menyerahkan pemanfaatannya kepada pemanfaat limbah B3.

(3) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang dihasilkannya
sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak mampu diolah di dalam negeri dapat
diekspor ke negara lain yang memiliki teknologi pengolahan limbah B3.

(4) Pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan sendiri oleh penghasil limbah B3 atau penghasil limbah B3 dapat menyerahkan
pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang dihasilkannya itu kepada pengolah
dan/atau penimbun limbah B3.
(5) Penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk
diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta kepada pengolah dan/atau penimbun
limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengurangi tanggung jawab penghasil
limbah B3 untuk mengolah limbah B3 yang dihasilkannya.

(6) Ketentuan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan
skala kecil ditetapkan kemudian oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 10

(1) Penghasil limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90
(sembilan puluh) hari sebelum menyerahkannya kepada pengumpul atau pemanfaat atau
pengolah atau penimbun limbah B3.

(2) Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 (lima puluh) kilogram per hari, penghasil
limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya lebih dari sembilan puluh hari
sebelum diserahkan kepada pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3, dengan
persetujuan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 11

(1) Penghasil limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan tentang:


a. jenis, karakteristik, jumlah, dan waktu dihasilkannya limbah B3;
b. jenis, karakteristik, jumlah, dan waktu penyerahan limbah B3;
c. nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul
atau pengolah limbah B3.

(2) Penghasil limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.

(3) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:


a. Inventarisasi jumlah limbah B3 yang dihasilkan;
b. Sebagai badan evaluasi di dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan limbah B3.

Bagian Kedua
Pengumpul

Pasal 12

Pengumpul limbah B3 dapat dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengumpulan
limbah B3.

Pasal 13

(1) Pengumpul limbah B3 wajib membuat catatan tentang:


a. jenis, karakteristik, jumlah limbah B3 dan waktu diterimanya limbah B3 dari penghasil
limbah B3;
b. jenis, karakteristik, jumlah, dan waktu penyerahan limbah B3 kepada pemanfaat dan
atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3;
c. nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pemanfaat
dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3.

(2) Pengumpul limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.

(3) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:


a. Inventarisasi jumlah limbah B3 yang dikumpulkan;
b. Sebagai badan evaluasi di dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan limbah B3.

Pasal 14

(1) Pengumpul limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dikumpulkannya selama 90


(sembilan puluh) hari sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau
penimbun limbah B3.

(2) Pengumpul limbah B3, bertanggung jawab terhadap limbah B3 yang dikumpulkan.

Bagian Ketiga
Pengangkut

Pasal 15

(1) Pengangkut limbah B3 dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan
limbah B3.

(2) Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil limbah B3 untuk limbah yang
dihasilkannya sendiri.

(3) Apabila penghasil limbah B3 bertindak sebagai pengangkut limbah B3, maka wajib memenuhi
ketentuan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3.

Pasal 16

(1) Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut limbah B3 wajib disertai dokumen limbah
B3.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dokumen limbah B3 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 17

Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumen limbah B3 sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah
dan/atau penimbunan limbah B3 yang ditunjuk oleh penghasil limbah B3.

Bagian Keempat
Pemanfaat

Pasal 18

Pemanfaat limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
pemanfaatan limbah B3.

Pasal 19

(1) Pemanfaat limbah B3 yang menghasilkan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan mengenai
penghasil limbah B3.
(2) Pemanfaat limbah B3 yang dalam kegiatannya melakukan pengumpulan limbah B3 wajib
memenuhi ketentuan mengenai pengumpul limbah B3.

(3) Pemanfaat limbah B3 yang melakukan pengangkutan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan
mengenai pengangkut limbah B3.

Pasal 20

Pemanfaat limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 sebelum dimanfaatkan paling lama 90 (sembilan
puluh).

Pasal 21

Pemanfaat limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai :


a. sumber limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. jenis, karakteristik, dan jumlah B3 yang dikumpulkan;
c. jenis, karakteristik, dan jumlah B3 yang dimanfaatkan dan produk yang dihasilkan;
d. nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3 dari penghasil dan/atau
pengumpul limbah B3.

Pasal 22

(1) Pemanfaat limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.

(2) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:


a. Inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. Sebagai badan evaluasi di dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan limbah B3.

Bagian Kelima
Pengolah

Pasal 23

(1) Pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
pengolahan limbah B3.

(2) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang akan diolah paling lama 90 (sembilan
puluh) hari.

(3) Pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah B3 yang dihasilkannya paling lama 90 (sembilan
puluh) hari

Pasal 24

(1) Pengolah limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai:


a. sumber limbah B3 yang diolah;
b. jenis, karakteristik, dan jumlah B3 yang diolah;
c. nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.

(2) Pengolah limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.
(3) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:
a. Inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. Sebagai badan evaluasi di dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan limbah B3.

Bagian Keenam
Penimbunan

Pasal 25

(1) Penimbun limbah B3 dilakukan oleh penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
penimbunan limbah B3.

(2) Penimbunan limbah B3 dapat dilakukan oleh penghasil untuk menimbun limbah B3 sisa dari
usaha/dan atau kegiatannya sendiri.

Pasal 26

(1) Penimbun limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai :


a. sumber limbah B3 yang ditimbun;
c. jenis, karakteristik, dan jumlah B3 yang ditimbun;
c. nama pengangkut yang melakukan pengangkutan limbah B3.

(2) Penimbun limbah B3 wajib menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
sekurang-kurangnya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab
dengan tembusan kepada instansi yang terkait dan Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah
Tingkat II yang bersangkutan.

(3) Catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk:


a. Inventarisasi jumlah limbah B3 yang dimanfaatkan;
b. Sebagai badan evaluasi di dalam rangka penetapan kebijakan pengelolaan limbah B3.

BAB IV
KEGIATAN PENGELOLAAN

Bagian Pertama
Reduksi Limbah B3

Pasal 27

(1) Reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya menyempurnakan penyimpanan bahan
baku dalam kegiatan process (house keeping), substitusi bahan, modifikasi proses, serta
upaya reduksi limbah B3 lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai reduksi limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua
Pengemasan

Pasal 28

(1) Setiap kemasan limbah B3 wajib diberi simbol dan label yang menunjukkan karakteristik dan
jenis limbah B3.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai simbol dan label limbah limbah B3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggun jawab.
Bagian Ketiga
Penyimpanan

Pasal 29

(1) Penyimpanan limbah B3 dilakukan di tempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan.

(2) Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana dan di luar
kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang;
b. rancang bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya
pengendalian pencemaran lingkungan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Keempat
Pengumpulan

Pasal 30

(1) Kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:


a. memperhatikan karakteristik limbah B3;
b. mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3, kecuali
untuk toksikologi;
c. memiliki perlengkapan untuk untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan;
d. memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan bangunan disesuaikan dengan
karakteristik limbah B3;
f. mempunyai lokasi pengumpulan yang bebas banjir.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kelima
Pengangkutan

Pasal 31

Penyerahan limbah B3 oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah
kepada pengangkut wajib disertai dokumen limbah B3.

Pasal 32

Pengangkutan limbah B3 dilakukan dengan alat angkut khusus yang memenuhi persyaratan dengan
tata cara pengangkutan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Pemanfaatan

Pasal 33

(1) Pemanfaatan limbah B3 meliputi perolehan kembali (recovery), penggunaan kembali (reuse) dan
daur ulang (recycle).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Ketujuh
Pengolahan

Pasal 34

(1) Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi dan solidifikasi,
secara fisika, kimia, biologi dan/atau cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.

(2) Pemilihan lokasi untuk pengolahan limbah B3 harus memenuhi ketentuan:


a. lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana dan bukan
kawasan lindung;
b. merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri berdasarkan
rencana tata ruang.

(3) Pengolahan limbah B3 dengan cara stabilisasi dan solidifikasi wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:

a. melakukan analisis dengan prosedur ekstraksi untuk menentukan mobilitas senyawa


organik dan anorganik (Toxicity Characteristic Leaching Procedure).
b. melakukan penimbunan hasil pengolahan stabilisasi dan solidifikasi dengan ketentuan
penimbunan limbah (landfill).

(4) Pengolah limbah B3 yang melakukan pengolahan secara fisika dan kimia yang menghasilkan:
a. limbah cair, maka limbah cair tersebut wajib memenuhi baku mutu limbah cair;
b. limbah padat, maka limbah padat tersebut wajib memenuhi ketentuan tentang
pengelolaan limbah B3.

(5) Pengolah limbah B3 dengan cara thermal dengan mengoperasikan insinerator wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) mempunyai insinerator dengan spesifikasi sesuai dengan karakteristik dan jumlah
limbah B3 yang dibakar;
b) mempunyai insinerator yang dapat memenuhi efisiensi pembakaran minimal 99,99%
dan efisiensi penghancuran dan penghilangan sebagai berikut:
1) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Principle Organic Hazard
Constituents (POHCS) 99,9999%;
2) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychlorinated biphenyl
(PCBs) 99.9999%;
3) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychlorinated
dibenzofurans 99.9999%;
4) efisiensi penghancuran dan penghilangan untuk Polychiorinated dibenzo-p-
dioxins 99,9999%.
c) memenuhi standar emisi udara;
d) residu dari kegiatan pembakaran berupa abu dan cairan wajib dikelola dengan
dengan mengikuti ketentuan tentang pengelolaan limbah B3.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengolahan limbah B3 ditetapkan oleh
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedelapan
Penimbunan

Pasal 36

(1) Lokasi penimbunan hasil pengolahan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bebas dari banjir;
b. permeabilitas tanah maksimum 10 pangkat negatif 7 ( 10-7 ) cm per detik;
c. merupakan lokasi yang ditetapkan sebagai lokasi penimbunan limbah, berdasarkan
rencana penataan ruang,,
d. merupakan daerah yang secara geologis dinyatakan aman, stabil tidak rawan
bencana dan di luar kawasan lindung;
e. tidak merupakan daerah resapan air tanah khususnya digunakan untuk air minum.

Pasal 37

(1) Penimbunan harus dibangun dengan menggunakan sistem pelapis yang dilengkapi denga
saluran untuk pengaturan aliran air permukaan, pengumpulan air lindi dan pengolahannya,
sumur pantau dan lapisan penutup akhir yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung-
jawab.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penimbunan limbah B3
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 38

Penghentian kegiatan penimbunan limbah B3 oleh penimbun wajib mendapatkan persetujuan tertulis
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 39

(1) Terhadap lokasi bekas pengolahan dan bekas penimbunan limbah B3, pengolah termasuk
penimbun wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a. menutup bagian paling atas tempat penimbunan dengan tanah setebal minimum
0,60 meter
b. melakukan pemagaran dan memberi tanda tempat penimbunan limbah B3;
c. melakukan pemantauan kualitas air tanah dan menanggulangi dampak negatif yang
mungkin timbul akibat keluarnya limbah B3 ke lingkungan, selama minimum 30 (tiga
puluh) tahun terhitung sejak ditutupnya seluruh fasilitas pengolahan dan
penimbunan limbah B3.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

BAB V
TATA LAKSANA

Bagian Pertama
Perizinan

Pasal 40

(1) Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan:

a. penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan


limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
b. pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan
setelah mendapat rekomendasi dari Kepala Instansi yang bertanggung jawab;
c. pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari
instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat
rekomendasi dari kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dan ayat (1) huruf a ditetapkan
oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dan ayat (1) huruf b dan huruf c ditetapkan
oleh Kepala Instansi yang berwenang memberikan izin.

(3) Kegiatan pengolahan limbah B3 yang terintegrasi dengan kegiatan pokok wajib memperoleh
izin operasi alat pengolahan limbah B3 yang dikeluarkan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.

(4) Persyaratan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai
berikut:

a. memiliki akte pendirian sebagai badan usaha yang berbentuk badan hukum, yang
telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. nama dan alamat badan usaha yang memohon izin;
c. kegiatan yang dilakukan;
d. lokasi tempat kegiatan;
e. nama dan alamat penanggung jawab kegiatan;
f. bahan baku dan proses kegiatan yang digunakan;
g. spesifikasi alat pengolah limbah B3;
h. jumlah dan karakteristik limbah B3 yang dikumpulkan, diangkut, diolah atau
ditimbun;
i. tata letak saluran limbah, pengolahan limbah, dan tempat penampungan sementara
limbah B3 sebelum diolah dah tempat penimbunan setelah diolah;
j. alat pencegahan pencemaran untuk limbah cair, emisi, dan pengolahan limbah B3.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan tata cara permohonan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf c, ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 41

(1) Keputusan mengenai izin dan rekomendasi pengolahan limbah B3 yang diberikan oleh Kepala
Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 40 wajib
diumumkan kepada masayarakat.

(2) Tata cara pengumuman sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan ketetapan Kepala Isntansi yang bertanggung jawab.

Pasal 42

(1) Izin lokasi pengolahan dan penimbunan limbah B3 diberikan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kebupaten/Kotamadya sesuai rencana tata ruang setelah mendapat rekomendasi dari Kepala
Instansi yang bertanggung jawab.

(2) Rekomendasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil penelitian
tentang dampak lingkungan dan kelayakan teknis lokasi sebagaimana yang dimaksud pada
Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 36.

Pasal 43

(1) Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3


sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama dengan
permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam. Pasal 40 ayat (4) kepada instansi
yang bertanggung jawab.

(3) Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis mengenai dampak
lingkungan hidup diberikan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 44

(1) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diberikan oleh
Kepala Instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari
kerja terhitung sejak diterimanya.

(3) Syarat dan kewajiban tersebut dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah
disetujui merupakan bagian yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam pemberian izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).

Pasal 45

(1) Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan pengolahan dan pemanfaatan
limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan utamanya, maka analisis mengenai dampak
lingkungan hidup untuk kegiatan pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya.

(2) Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan pemanfaat limbah B3 di lokasi
kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang
bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40.

(3) Keputusan mengenai permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak diterimanya rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan
lingkungan yang telah disetujui.

(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 46

(1) Apabila penghasil dan/atau pemanfaat limbah B3 juga bertindak sebagai pengolah limbah B3
dan lokasi pengolahannya berbeda dengan lokasi kegiatan utamanya, maka terhadap kegiatan
pengolahan limbah B3 tersebut berlaku ketentuan mengenai pengolahan limbah B3 dalam
Peraturan Pemerintah ini.

(2) Untuk kegiatan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utamanya wajib dibuatkan analisis
mengenai dampak lingkungan hidup sedangkan untuk kegiatan yang terintegrasi dengan
kegiatan utamanya wajib membuat rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup.

(3) Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan kepada instansi yang
bertanggung jawab dan persetujuan atas dokumen tersebut diberikan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.
(4) Syarat dan kewajiban yang tercantum dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui wajib dicantumkan dalam izin
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 40.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 47

(1) Pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh menteri dan pelaksanaannya diserahkan
kepada instansi yang bertanggung jawab.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemantauan terhadap penaatan
persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul,
pengangkut, pengolah termasuk penimbun limbah B3.

(3) Pelaksanaan pengawasan pengolahan limbah B3 di daerah dilakukan menurut tata laksana
yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

(4) Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat pada tingkat nasional dilaksanakan oleh
instansi yang bertanggung jawab dan pada tingkat daerah dilaksanakan oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

Pasal 48

(1) Pengawas dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 47 ayat (1) dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang dikeluarkan oleh
Kepala instansi yang bertanggung jawab.

(2) Pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :


a. memasuki area lokasi penghasil, pemanfaatan, pengumpulan, pengolahan dan
penimbunan limbah B3;
b. mengambil contoh limbah B3 untuk diperiksa di laboratorium;
c. meminta keterangan yang berhubungan dengan pelaksanaan pengelolaan limbah B3;
d. melakukan pemotretan sebagai kelengkapan laporan pengawasan.

Pasal 49

Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib membantu
petugas pengawas dalam melakukan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2).

Pasal 50

Apabila dalam pelaksanaan pengawasan ditemukan indikasi adanya tindak pidana lingkungan hidup
maka pengawasan selaku penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup dapat melakukan
penyidikan.

Pasal 51

(1) Instansi yang bertanggung jawab menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan limbah
B3 secara berkala sekurang-kurangnnya satu kali dalam satu tahun kepada Presiden dengan
tembusan kepada Menteri.

(2) Menteri mengevaluasi laporan tersebut guna menyusun kebijakan pengelolaan limbah B3.
Pasal 52

(1) Untuk menjaga kesehatan pekerja dan pengawas yang bekerja di bidang pengelolaan limbah
B3, dilakukan uji kesehatan secara berkala

(2) Uji kesehatan pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan pengelolaan limbah B3

(3) Uji kesehatan bagi pengawas pengelolaan limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan tenaga kerja

Bagian Ketiga
Perpindahan Lintas Batas

Pasal 53

(1) Setiap orang dilarang melakukan impor limbah B3

(2) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Indonesia dengan tujuan
transit, wajib memiliki persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.

(3) Pengangkutan limbah B3 dari luar negeri melalui Wilayah Negara Republik Indonesia wajib
diberitahukab terlebih dahulu secara tertulis kepada Kepala Instansi yang bertanggung
jawab.

(4) Pengiriman limbah B3 ke luar negeri dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan tertulis
dari pemerintah negara penerima dan Kepala instansi yang bertangung jawab.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh Menteri yang ditugasi
dalam bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan dari Kepala insatnsi yang
bertanggung jawab.

Bagian Keempat
Informasi dan Pelaporan

Pasal 54

(1) Setiap orang berhak atas informasi mengenai pengelolaan limbah B3.

(2) Insatnsi yang bertanggung jawab wajib memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada setiap orang secara terbuka.

Pasal 55

(1) Setiap orang berhak melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah B3.

(2) Pelaporan tentang adanya peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
disampaikan secara lisan atau tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab atau aparat
pemerintah terdekat.

(3) Aparat pemerintah yang menerima pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
meneruskan laporan tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya
3 (tiga) hari kerja setelah diterimanya pelaporan.
Pasal 56

(1) Instansi yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 wajib segera
menindaklanjuti laporan masyarakat.

(2) Proses tindak lanjut maupun hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberitahukan kepada pelapor dan/atau masyarakat yang berkepentingan

Pasal 57

Tata cara dan mekanisme pelaporan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 diatur
lebih lanjut oleh Keputusan Menteri.

Bagian Kelima
Penanggulangan dan Pemulihan

Pasal 58

(1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3


bertanggung jawab atas penanggulangan kecelakaan dan pencemaran lingkungan hidup
akibat lepas atau tumpahnya limbah B3, yang menjadi tanggung jawabnya

(2) Penghasil, pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib
memiliki sistem tanggap darurat

(3) Penanggung jawab pengelolaan limbah B3 wajib memberikan informasi tentang sistem
tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat

(4) Penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat
dan/atau penimbun limbah B3 wajib segera melaporkan tumpahnya bahan berbahaya dan
beracun (B3) dan limbah B3 ke lingkungan kepada instansi yang bertanggung jawab
dan/atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kecelakaan dan pencemaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertangung jawab.

Bagian Keenam
Pengawasan Penanggulangan Kecelakaan

Pasal 59

(1) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan di daerah dilakukan oleh Pemerintah


Daerah Tingkat II untuk skala yang bisa ditanggulangi oleh kegiatan penghasil dan/atau
pengumpul dan/atau pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau
penimbun.

(2) Pelaksanaan pengawasan penanggulangan kecelakaan untuk skala yang tidak dapat
ditanggulagi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II, maka Pemerintah Daerah Tingkat I dan
Pemerintah Daerah Tingkat II secara bersama-sama melakukan pengawasan.

(3) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau pengumpul dan/atau


pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun yang dampaknya
sangat besar sehingga mencakup dua wilayah daerah tingkat II pengawasannya dilakukan
secara bersama-sama oleh Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I.
(4) Pelaksanaan penanggulangan kecelakaan pada penghasil dan/atau pengumpul dan/atau
pengangkut dan/atau pengolah dan/atau pemanfaat dan/atau penimbun yang dampaknya
sangat besar sehingga Pemerintah Daerah Tingkat II tidak bisa mengawasi pengawasannya
dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab bersama-sama dengan Pemerintah Daerah
Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I.

Pasal 60

(1) Penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3 wajib
segera menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatannya

(2) Apabila penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3
tidak melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau tidak
menanggulangi sebagaimana mestinya, maka instansi yang bertanggung jawab dapat
melakukan penanggulangan dengan biaya yang dibebankan kepada penghasil, dan/atau
pemanfaat, dan/atau pengumpul, dan/atau pengangkut dan/atau pengolah, dan/atau
penimbun limbah B3 yang bersangkutan melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Bagian Ketujuh
Pembiayaan

Pasal 61

(1) Segala biaya untuk memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan limbah B3 dibebankan
kepada pemohon izin.

(2) Beban biaya permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya studi
kelayakan teknis untuk proses perizinan.

(3) Untuk pemantauan dan/atau pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh:

a. instansi yang bertanggung jawab dibebabkan pada Anggaran Pendapatan Belanja


Negara (APBN);
b. instansi yang bertanggung jawab daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD).

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

BAB VI
SANKSI

Pasal 62

(1) Instansi yang bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis kepada penghasil,
pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah atau penimbun yang melanggar ketentuan
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, pasal 26, pasal
28, pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58 dan
Pasal 60

(2) Apabila dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak dikeluarkannya peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pihak yang diberi peringatan tidak mengindahkan
peringatan atau tetap tidak mematuhi ketentuan pasal yang dilanggarnya, maka Kepala
instansi yang bertanggung jawab dapat menghentikan sementara atau mencabut izin
penyimpanan, pengumpulan, pengolahan termasuk penimbunan limbah B3 sampai pihak
yang diberi peringatan mematuhi ketentuan yang dilanggarnya, dan bilamana dalam batas
waktu yang ditetapkan tidak diindahkan maka izin operasi dicabut.

(3) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menghentikan sementara kegiatan


operasi atas nama instansi yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab
apabila pelanggaran tersebut dapat membahayakan lingkungan hidup.

(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab wajib dengan segera mencabut keputusan
penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat 93 apabila pihak yang
dihentikan sementara kegiatan operasinya telah mematuhi ketentuan yang dilanggarnya.

Pasal 62

Barangsiapa yang melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal
19, Pasal 20, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 dan Pasal Pasal 60
yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal
45, pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

(1) Apabila pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah dilakukan pengelolaan
dan/atau pembuangan dan/atau penimbunan limbah B3 yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, maka setiap orang atau badan
usaha yang menghasilkan, mengumpulkan, mengangkut, mengolah atau menimbun limbah
B3 baik masing-masing maupun bersama-sama secara proporsional wajib melakukan
pembersihan dan/atau pemulihan lingkungan dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu
tahun.

(2) Apabila orang atau badan usaha yang menghasilkan, mengumpulkan, mengangkut, atau
mengolah dan menimbun limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak melakukan
pembersihan dan pemulihan lingkungan, maka instansi yang bertanggung jawab dapat
melakukan atau meminta pihak ketiga melakukan pembersihan dan pemulihan lingkungan
dengan biaya yang dibebankan kepada orang yang menghasilkan, mengumpulkan,
mengangkut dan mengolah limbah B3 baik secara sendiri maupun bersama-sama secara
proporsional.

(3) Bagi kegiatan yang memanfaatkan limbah B3 dari luar negeri dan telah memiliki izin hanya dapat
melakukan impor limbah B3 sebagai bahan baku sampai dengan Bulan September 2002.

Pasal 65

Setiap orang atau badan usaha yang sudah melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan,
pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, wajib
meminta izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor
26, Tambahan lembaran Negara 3551) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12
Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3595) dinyatakan tidak berlaku lagi dan mengacu kepada Peraturan
pemerintah ini.

Pasal 67

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Februari 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA
Ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 31


LAMPIRAN I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : 18 TAHUN 1999
TANGGAL : 27 FEBUARI , 1999

TABEL 1. DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG TIDAK SPESIFIK

KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR

Pelarut Terhalogenasi

D1001a Tetrakloroetilen
D1002a Trikloroetilen
D1003a Metilen Klorida
D1004a 1,1,2-Trikloro-1,2,2-Trifluoroetana
D1005a Triklorofluorometana
D1006a Ortho-diklorobenzena
D1007a Klorobenzena
D1008a Trikloroetana
D1009a Fluorokarbon Terklorinasi
D10010a Karbon Tetraklorida

Pelarut Yang Tidak Terhalogenasi

D1001b Dimetilbenzena
D1002b Aseton
D1003b Etil Asetat
D1004b Etil Benzena
D1005b Metil Isobutil Keton
D1006b n-Butil Alkohol
D1007b Sikloheksanon
D1008b Metanol
D1009b Toluena
D1010b Metil Etil Keton
D1011b Karbon Disulfida
D1012b Isobutanol
D1013b Piridin
D1014b Benzena
D1015b 2-Etoksietanol
D1016b 2-Nitropropana

KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR

D1017b Asam Kresilat


D1018b Nitrobenzena

Asam/Basa

D1001c Amonium Hidroksida


D1002c Asam Hidrobromat
D1003c Asam Hidroklorat
D1004c Asam Hidrofluorat
D1005c Asam Nitrat
D1006c Asam Fosfat
D1007c Kalium Hidroksida
D1008c Natrium Hidroksida
D1009c Asam Sulfat
D10010c Asam Klorida

Yang Tidak Spesifik Lainnya

D1001d PCB's (Polychlorinated biphenyls)


D1002d Lead scrap
D1003d Limbah Minyak Diesel Industri
D1004d Fiber Asbes
D1005d Pelumas bekas
TABEL 2. DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG SPESIFIK

KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA


LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D201 PUPUK 2412 − Proses produksi amonia, - Katalis bekas - Logam Berat (terutama As,
urea dan/atau asam fosfat - Sludge proses produksi Hg)
− IPAL yang mengolah efluen - Limbah laboratorium - Sulfida/Senyawa amonia
dari proses produksi di atas - Sludge dari IPAL
- Karbon aktif bekas

D202 PESTISIDA 2421 - MFDP1 pestisida - Sludge dari IPAL − Bahan aktif pestisida
Bahan organik dan - Penyimpanan dan - Alat pengemasan 2
dan perlengkapan − Hidrokarbon terhalogenasi
inorganik yang pengemasan - Produk off-spec − Pelarut mudah terbakar
digunakan untuk pestisida - Residu proses produksi dan formulasi − Logam dan logam berat
pemebrantasan atau - IPAL yang mengolah efluen - Pelarut bekas (terutama As, Pb, Hg, Cu, Zn
pengendalian hama dari proses produksi pestisida - Absorban dan filter bekas dan Th)
atau gulma - Residu proses destilasi, evaporasi − Senyawa Sn-organik
(insektisida, herbisida - Pengumpulan debu
, fungisida, algasida, - Limbah laboratorium
rodensida, defoliant) - Residu dari insinerator

1. Manufaktur, Formulasi, Distribusi dan Pemakaian


2. Produk yang tidak memenuhi persyaratan
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D203 PROSES KLORO- 2411 − Proses produksi klorin - Sludge dari IPAL - Logam berat (terutama
ALKALI 2413 (metoda electrolisis dengan - Absorban dan filter bekas Hg)
Umumnya merupakan 2429 menggunakan proses sel - Alat yang terkontaminasi Hg - Hidrokarbon terhalogenasi
kegiatan yang terkait merkuril) - Sludge hasil proses pengawetan
dalam produksi − Pemurnian garam - Limbah laboratorium
senyawa kimia atau − Proses produksi soda
produk yang berbahan kaustik (metoda sel
dasar plastik, seperti : merkuri)
soda kaustik , klorin, − IPAL yang mengolah efluen
vinylchloride, dari proses produksi di atas
polyvinylchloride,
parafin mengandung
klorin,
ethylenedichloride,
hypochlorites, asam
hydrochloric , dll.

D204 ADHESIVE RESIN 2429 − MFDP resin adesif - Bahan dan produk Off-spec − Bahan organik (terutanma
- Residue dari kegiatan produksi senyawa fenol
Phenol formaldehide − IPAL yang mengolah efluen - Katalis Bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
(PF), urea dari proses produksi resin - Pelarut Bekas
formaldehide (UF), adesif - Limbah laboratorium
melamine - Sludge dari IPAL
formaldehide (MF), dll
KODE
KODE JENIS SUMBER PENCEMARAN
KEGIATAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN

D205 POLIMER 2413 − MFDP monomer dan − Monomer/oligomer yang tidak − Berbagai senyawa organik
Kegiatan produksi, 2430 polimer bereaksi − Hidrokarbon terhalogenasi
baik khusus ataupun 2520 − IPAL yang mengolah efluen − Katalis bekas − Logam berat (terutama Cd,
terintegrasi dalam 2430 dari proses produksi − Residu produksi/reaksi polimer Pb, Sb, Sn)
manufaktur produk polimer absorban (misalnya karbon aktif − Sludge terkontaminasi Zn
plastik atau serat, bekas) dari proses produksi
dengan cara − Limbah Laboratorium rayon/resin akrilik
polimerisasi yang − Sludge dari IPAL
menghasilkan produk, − Sisa dan bekas stabiliser (misalnya
seperti misalnya ; dalma produksi PVC: Cd, Zn, As)
Polyvinyl chloride − Fire retardant (misalnya Sb dan
(PVC), polyvinyl senyawa bromin organik )
acetate (PVA), − Senyawa Sn organik
polyethylene (PE), − Residu dari proses destilasi
polypropilene (PP),
acrylonitrile butadiene
styrene (ABS),
acrylonitrile styrene
(AS), synthetic resin
(alkyd, amino, epoxy,
phenolic, polyester,
polyurethane, vinyl
acrylic), Phthalate
(PET), polystyrene
(PS), polyethylene
terephthalate (PET),
polystyrene (PS),
styrene butadiene
rubber (SBR)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D206 PETROKIMIA 2320 − MFDP Produk Petrokimia − Sludge proses produksi dan fasilitas - Organik
2411 − IPAL yang mengolah efluen penyimpanan - Hidrokarbon terhalogenasi
Industri yang 2413 proses − Katalis bekas - Logam berat (terutama Cr,
menghasilkan produk 2429 − Pengolahan limbah − Tar (residu akhir ) Ni, Sb)
organik dari proses − Residue proses produksi/reaksi - Hidrokarbon aromatis
pemecahan fraksi − Absorban (misalnya karbon aktif)
minyak bumi atau gas bekas dan filter bekas
alam, termasuk produk − Limbah Laboratorium
turunan yang − Sludge dari IPAL
dihasilkan langsung − Residu/ash proses spray drying
dari produk dasarnya. − Pelarut bekas
Misalnya: parafin
olefin, naftan dan
Hidrokarbon aromatis
(metana, etana,
propana, etilen,
propilen, butana,
sikloheksana, benzena,
toluen, naftalen,
asetilen, asam asetat,
xilene) dan seluruh
produk turunannya.
D 207 PENGAWETAN KAYU 2010 − Proses pengawetan kayu − Sludge dari proses pengawetan − Fenol terklorinasi (misalnya
2021 − IPAL yang mengolah efluen kayu dan fasilitas penyimpanan pentaklorofenol)
2029 dari proses pengawetan − Sludge dari alat pengolahan − Hidrokarbon terhalogenasi
3511 kayu pengawetan kayu − Senyawa Organometal
4520 − Produk off-spec dan produk left-
over
− Pelarut bekas
− Kemasan bekas
− Sludge dari IPAL
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D208 PELEBURAN/PENGOLA 2710 − Proses peleburan besi/baja − Ash, dross, slag from furnace − Logam berat (terutama As,
H-AN BESI DAN BAJA 2731 − Proses casting besi/baja − Debu, residu dan/atau sludge dari Cr, Pb, Ni, Cd, Th and Zn)
2891 − Proses besi/baja : rolling, fasilitas pengendali pencemaran − Organik (fenolic, naftalen)
drawing, sheeting udara − Sianida
− Coke manufacturing − Sludge dari IPAL − Limbah minyak
− IPAL yang mengolah efluen − Pasir foundry dan debu cupola
dari coke oven/blast − Emulsi minyak dari
furnace pendingin/pelumas
− Sludge dari Ammonia still lime
− Sludge dari proses rolling

D 209 PELEBURAN DAN 2710 − Penyempurnaan dan − Larutan asam/alkali bekas dan − Logam berat (terutama As,
PEMURNIAN 2731 pemrosesan baja residunya Cr, Pb, Ni, Cd, Th and Zn)
TEMBAGA − Steel surface treatment − Residu terkontaminasi sianida (hot − Larutan asam dan alkali
(pickling, passivation, metal treatment) − Nitrat
cleaning) − Slag dan residu lain yang − Fluorida
terkontaminasi logam berat − Sianida (Kompleks)
− Sludge dari proses pengolahan
residu
− Larutan pengolah bekas
− Fluxing agent bekas
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D210 PELEBURAN TIMAH 2720 − Proses peleburan timah − Sludge dari fasilitas proses − Logam berat (terutama As,
HITAM (Pb) 2732 sekunder dan/atau primer peleburan Pb, Cd, Zn, Th)
3720 − IPAL yang mengolah efluen − Debu dan/atau sludge dari fasilitas − Larutan asam
dari proses peleburan pengendali pencemaran udara
timah − Ash, slag dan dross yang
merupakan residu dari proses
peleburan
− Limbah dari proses skimming
− Larutan asam bekas
− Sludge dari IPAL

D211 PELEBURAN DAN 2720 − Proses primer dan − Sludge dari fasilitas proses − Logam berat (terutama Cu,
PEMURNIAN 2732 sekunder peleburan dan peleburan dan penyempurnaan Pb, Cd, Th)
TEMBAGA 3720 penyempurnaan tembaga − Debu dan/atau sludge dari fasilitas − Larutan asam
− Peleburan dengan electric pengendali pencemaran udara
arch furnace − Larutan asam bekas
− Pabrik asam (Acid plant) − Residu dari proses penyempurnaan
− IPAL yang mengolah efluen secara electrolisis
dari proses peleburan − Sludge dari IPAL
tembaga − Sludge dari acid plant blowdown
− Ash, slag dan dross yang
merupakan residu dari proses
peleburan
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D212 TINTA 2221 − MFDP Tinta − Sludge dari proses produksi dan − Organik (binder dan resin)
Kegiatan-kegiatan 2102 − Proses deinking pada penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
yang menggunakan 2109 pabrik bubur kertas − Sludge terkontaminasi − Senyawa organometal
tinta seperti 2422 − IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Pelarut mudah terbakar
percetakan pada 2520 dari proses yang − Sludge dari IPAL − Logam berat (terutama Cr,
kertas, plastik, tekstil, 2211 berhubungan dengan tinta − Residue dari proses pencucian Pb)
dll, termasuk proses − Kemasan bekas tinta − Pigmen dan zat warna
deinking pada pabrik − Produk off spec dan kadaluarsa − Detergen
bubur kertas − Calico printing - As

D213 TEKSTIL 1711/1712 − Proses finishing tekstil − Sludge dari IPAL yang mengandung − Logam berat (terutama As,
1721/1722 − Proses dyeing bahan tekstil logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Zn)
1723/1729 − Proses printing bahan − Pelarut bekas (cleaning) − Hidrokarbon terhalogenasi
1810/1820 tekstil − Fire retardant (Sb/senyawa brom (dari proses dressing dan
- IPAL yang mengolah efluen organik) finishing)
proses kegiatan di atas − Pigment, zat warna dan
pelarut organic
− Tensioactive (surfactant)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D214 MANUFAKTUR DAN 2813/29122 − Seluruh proses yang − Sludge proses produksi − Logam dan Logam berat
PERAKITAN 91 berhubungan fabrikasi − Pelarut bekas dan cairan pencuci (terutama As, Ba, Cd, Cr,
KENDARAAN DAN 3/29152927 dan finishing logam, (organik dan inorganik) Pb, Ag, Hg, Cu, Ni, Zn, Se,
MESIN /3 manufaktur mesin dan − Residu proses produksi Sn)
Mencakup manufaktur 1103410/34 suku cadang dan − Sludge dari IPAL − Nitrat
dan perakitan 20 perakitan. Termasuk − Residu cat
kendaraan bermotor, 3430/3530 kegiatan yang terkait − Minyak dan gemuk
sepeda, kapal, 3591/3592 dengan D215 dan D216 − Senyawa amonia
pesawat terbang, − IPAL yang mengolah − Pelarut mudah terbakar
traktor, alat-alat efluen dari proses di atas − Asbestos
berat, generator, − Larutan Asam
mesin-mesin produksi
dll.
D215 ELEKTROPLATING 2892 − Semua proses yang − Sludge pengolahan dan pencucian − Logam dan Logam berat
DAN GALVANIS 2710/2720 berkaitan dengan kegiatan − Larutan pengolah bekas (terutama Cd, Cr, Cu, Pb,
Mencakup kegiatan 2811/2812 pelapisan logam termasuk − Larutan asam (pickling) As, Ba, Hg, Se, Ag, Ni, Zn,
pelapisan logam pada 2891/2893 perlakuan : phosphating, − Dross, slag Sn)
permukaan logam 2899/2911 etching, polishing, − Pelarut bekas (terklorinasi) − Sianida
atau plastik dengan 2912/2915 chemical conversion − Larutan bekas proses degreasing − Senyawa Ammonia
proses elektris 2919/2922 coating, anodizing − Sludge IPAL − Fluorida
2924/2925 − Pre-treatment: pickling, − Residu dari larutan batch − Fenol
2926/2927 degreasing, stripping, − Nitrat
2930/3110 cleaning, grinding, sand
3120/3190 blasting, weld cleaning,
3210/3220 depainting
3230/3410 − IPAL yang mengolah
3420/3430 efluen proses
3530/3591 elektroplating dan
3592/3610 galvanis
3699/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

216 CAT 2422 − MFPD cat − Sludge cat − Bahan organic (resin)
Termasuk varnish dan 2029/2811 − IPAL yang mengolah − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
bahan pelapis lain 2812/2892 efluen proses yang − Sludge dari IPAL − Caustic sludge
2893/2899 berkaitan dengan cat − Filter bekas − Pelarut mudah meledak
2911/2912 − Produk off-spec − Pigmen
2915/2919 − Residu dari proses distilasi − Logam dan logam berat
2922/2924 − Cat anti korosi (Pb, Cr) (terutama As, Ba, Cd, Cr,
2925/2926 − Debu dan/atau sludge dari unit Pb, Hg, Se, Ag, Zn)
2927/2930 pengendalian pencemaran udara − Senyawa Sn Organik
3110/3120 − Sludge proses dip painting
3190/3150
3210/3220
3230
3410
3420/3430
3530/3591
3592/3610
3699/4520
3511/3694
3699
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D217 BATERE SEL KERING 3140 − MFDP batere sel kering - Sludge proses - Logam berat (terutama
− IPAL yang mengolah efluen proses produksi Cd, PB, NI,Zn.Hg)
produksi batere - Residu proses - Residu padat mengandung
produksi logam
- Batere bekas, off
specdan kadaluarsa
- Sludge dari IPAL
- Metal powder
- Dust, slag, ash

D218 BATERE SEL BASAH 3140 − MFDP batere sel basah - Sludge proses - Logam berat (terutama
− IPAL yang mengolah effluen proses produksi Cd, Pb, Ni, Zn, Sb)
produksi batere - Batere bekas, off - Asam/alkali
specdan kadaluarsa - Sel mengandung Litium
- Sludge dari IPAL
- Larutan Asam/alkali
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D219 KOMPONEN 3110/3120 − Manufaktur dan perakitan − Sludge proses produksi - Logam dan logam berat
ELECTRONIK/ 3150/3190 komponen dan peralatan − Pelarut bekas (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb,
PERALATAN 3210/3220 elektronik − Mercury contactor/switch Ag, Hg, Cu, Ni, Zn, Se, Sn,
ELEKTRONIK 3230/3320 − IPAL yang mengolah efluen − Lampu Fluorescence (Hg) Sb)
proses − Coated glass - Nitrat
− Larutan etching untuk printed circuit - Fluorida
− Caustic stripping (photoresist) - Residu cat
− Residu solder dan fluxnya - Bahan Organikl
− Limbah pengecatan - Larutan asam/alkalin
- Pelarut terhalogenasi
- Residu proses etching (Fe
Cl3)

-
D220 EKSPLORASI DAN 1110 − Eksplorasi dan produksi − Slop minyak - Bahan organik
PRODUKSI MINYAK 1120 − Pemeliharaan fasilitas − Lumpur bor (drilling mud) - Bahan terkontaminsai
GAS DAN PANAS produksi − Sludge minyak - Logam berat
BUMI − Pemeliharaan fasilitas − Karbon aktif dan absorban bekas - Merkuri (pada karbon aktif,
penyimpanan − IPAL yang mengolah efluen molecular sieve, dll)
− IPAL yang mengolah efluen pemroses
pemrosesan minyak dan gas minyak dan gas alam
alam − Cutting pemboran
− Tangki penyimpan − Residu dasar tangki (yang
memiliki kontaminan di atas
standar dan memiliki karakteristik
limbah B3
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D221 KILANG MINYAK DAN 2320 − Proses pengolahan − Sludge bekas − Bahan Organik
GAS BUMI − IPAL yang mengolah efluen proses − Katalis bekas − Bahan terkontaminasi
pengolahan − Karbon aktif bekas minyak
− Unit Dissolved Air Flotation (DAF) − Sludge dari IPAL − Logam dan logam berat
− Pembersihan heat exchanger − Filter bekas (terutama Ba, Cr, Pb, Ni)
− Tangki penyimpan − Residu dasar tangki − Sulfida
(yang memiliki − Tensioactive (surfactant,
kontaminan diatas etc)
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3 )
− Limbah Laboratorium
− Limbah PCB

D222 PERTAMBANGAN 1320 - Kegiatan penambangan yang berpotensi − Sludge pertambangan − Logam berat
1020 untuk menghasilkan limbah B3 seperti terkontaminasi logam − Residu pelarut
penambangan tembaga, emas, batubara, berat − Sianida
timah, dll − Flotation sludge/tailing
yang memiliki
kontaminan di atas
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3)
− Pelarut bekas
− Limbah Laboratorium
- Limbah PCB
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D223 PLTU YANG 4010 − Pembakaran batubara yang − Fly ash − Heavy metals
MENGGUNAKAN digunakan untuk − Bottom ash (yang memiliki − Organic materials (PNA-
BAHAN BAKAR pembangkit listrik kontaminan di atas standar dan polynuclear aromatics)
BATUBARA memiliki karakteristik limbah B3)
− Limbah PCB

D224 PENYAMAKAN KULIT 1911 − Proses tanning dan − Sludge dari proses tanning and − Heavy metals (especially
1912 finishing finishing Cr, Pb)
1920 − Proses − Pelarut bekas − Organic solvent
trimming/shaving/buffing − Sludge dari IPAL − Acid solution
− IPAL yang mengolah efluen − Asam kromat bekas
dari proses di atas

D225 ZAT WARNA DAN 2422 − MFDP zat warna dan − Sludge dari proses produksi dan − Bahan organik
PIGMEN 2429 pigmen fasilitas penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
2411 − IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Logam dan logam berat
proses yang berkaitan − Sludge dari IPAL (terutama Cr, Zn, Pb, Hg,
dengan zat warna dan − Residu produksi/reaksi Ni, Sn, Cu, Sb, Ba)
pigmen − Absorban dan filter bekas − Senyawa organometal
− Produk off-spec − Sianida
− Nitrat
− Fluorida, Sulfida
− Arsen
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D226 FARMASI 2423 − MFDP produk farmasi − Sludge dari fasilitas produksi − Bahan Organik
− IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
proses manufaktur dan − Produk Off-spec, kadaluarsa dan − Pelarut mudah meledak
produksi farmasi sisa − Logam berat (terutama
− Sludge dari IPAL As)
− Peralatan dan kemasan bekas − Bahan aktif
− Residu proses produksi dan
formulasi
− Absorban dan filter (karbon aktif)
− Residu proses destilasi, evaporasi
dan reaksi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi

D227 RUMAH SAKIT 7511 − Seluruh RS dan − Limbah klinis − Limbah terinfeksi
9309 laboratorium klinis − Produk farmasi kadaluarsa − Residu produk farmasi
− Peralatan lab terkontaminasi − Bahan-bahan kimia
− Kemasan produk farmasi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi

KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA


LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
D228 LABORATORIUM 7310 − Seluruh jenis laboratorium − Pelarut − Bahan kimia (murni atau
RISET DAN 7422 kecuali yang termasuk − Bahan kimia kadaluarsa terkonsentrasi) dan larutan
KOMERSIAL D227 − Residu sampel kimia berbahaya atau
beracun
Beberapa industri
memiliki laboratorium
misalnya : tekstil,
makanan, pulp &
paper,
penyempurnaan,
bahan kimia, cat,
karet, dll

D229 FOTOGRAFI 2211/2221 − MFDP bidang fotografi − Larutan developer, fixer , bleach − Perak
2222/2429 solution − Pelarut organik
− Pelarut bekas − Senyawa pengoksidasi
− Off-set Cr

D230 PENGOLAHAN 2310 − Proses produksi − Residu proses produksi (tar) − Hidrokarbon organik (PNA)
BATUBARA DENGAN − IPAL yang mengolah efluen − Residu minyak − Residu minyak
PIROLISIS dari proses
Cokes productions

D231 DAUR ULANG MINYAK 9000 − Proses purifikasi dan − Filter dan absorban bekas − Material terkontaminasi
PELUMAS BEKAS regenerasi − Residu proses destilasi dan minyak
evaporasi (tar) − Logam berat (terutama Zn,
− Residu minyak/emulsi/sludge Pb, Cr)
(DAF/dasar tangki) − Sludge minyak
− Hidrokarbon terhalogenasi
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D232 SABUN- 2424 − Proses manufaktur dan − Rsidu produksi dan konsentrat − Bahan organik
DETERJEN/PRODUK formulasi produk − Filter dan absorban bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
PEMBERSIH − Pelarut bekas − Logam berat (Zn)
DESINFEKTAN/KOSME − Konsentrat Off-spec dan kadaluarsa − Fluorida
TIK − Limbah Laboratorium − Nitrat
− Tensioactive kuat
− Residu asam

D233 PENGOLAHAN LEMAK 1514 − Proses manufaktur dan − Residu filtrasi − Logam berat (terutama
HEWANI/NABATI DAN formulasi produk lemak − Sludge minyak/lemak Cr, Ni, Zn)
DERIVATNYA nabati/hewani dan − Limbah Laboratorium − Residu minyak
turunannya − Residu proses destilasi − Residu asam
− Katalis bekas (Cr)

D234 ALLUMINIUM 2720 − Proses peleburan dan − Manufaktur anoda – tar dan residu − Logam berat (terutama)
THERMAL 2732 penyempurnaan (primer karbon − Residu asam
METALLURGY dan sekunder) − Proses Skimming − Sianida (proses Cryolite)
ALLUMINIUM − Pelapisan aluminium − Spent pot lining (katoda)
CHEMICAL − IPAL yang mengolah efluen − Residu proses peleburan (slag dan
CONVERSION dari proses coating dross)
COATING − Sludge dari IPAL
− Anodizing sludge
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D235 PELEBURAN DAN 2720 − Seng terelektrolisis dalam − Sludge dari proses peleburan dan − Logam berat (terutama
PENYEMPURNAAN proses peleburan dan fasilitas pemurnian udara Zn, Cr, Pb, Th)
SENG - Zn penyempurnaan − Debu/sludge dari peralatan − Residu asam
− Pyrometallurgical zinc pengendali pencemaran udara
peleburan dan − Slag dan dross (residu proses
penyempurnaan peleburan)
− IPAL yang mengolah − Proses Skimming
efluen proses peleburan − Sludge dari IPAL
dan penyempurnaan − Sludge dari Acid plant blowdown
− Electrolytic anode slime/sludge

D236 PROSES LOGAM NON- − Proses cold rolling, − Larutan Oksalat dan sludgenya − Logam berat (terutama
FERO drawing, sheeting dan − Larutan Permanganate (pickling) As, Ba, Cd, Cr, Ni, Pb)
finishing logam non-ferro − Residu asam pickling − Nitrat. Fluorida
(misalnya Cu, Al, Zn, alloy) − Larutan pembersih alkali − Asam Borat dan oksalat
− Minyak emulsi pendingin/pelumas − Larutan Asam/Alkali
− Limbah minyak
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D237 METAL HARDENING 2710/2720 − Seluruh proses pengolahan − Sludge − Metals and heavy metals
2811/2812 (misalnya : nitriding, − Pelarut bekas (especially Ba, Cr, Mn)
2891/2892 carburizing) − Cyanides
2899/2911 − IPAL yang mengolah efluen
2912/2915 proses
2919/2922
2924/2926
2927/3110
3120/3190
3430/3530

D238 METAL/PLASTIC 2710/2720 − Semua proses yang − Emulsi minyak (misalnya cairan − Logam dan logam berat
SHAPING 2731/2732 berkaitan termasuk : cutting dan minyak pendingin) − Emulsi minyak
2811/2812 grinding, cutting, rolling, − Sludge dari proses shaping − Hidrokarbon terhalogenasi
2891/2893 drawing, filling, dll − Pelarut bekas − Fluorida-Nitrat
2899/2911
2912/2915
2919/1922
2924/2925
2926/2927
2930/3110
3120/3130
3410/3420
3430/3511
3530/3591
3592/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D239 LAUNDRY DAN DRY 9301 − Proses cleaning dan − Pelarut bekas − Pelarut organik
CLEANING degreasing yang memakai − Larutan kostik bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
pelarut organik dan pelarut − Sludge proses cleaning dan − Lemak dan gemuk
kaustik kuat. degreasing

D240 IPAL INDUSTRI − Sludge IPAL − Logam dan logam berat


Fasilitas pengolahan (terutama As, Cd, Cr, Pb,
limbah cair terpadu Hg, Se, Ag,. Cu, Ni)
dari kegiatan-kegiatan − Hidrokarbon terhalogenasi
yang termasuk dalam − Bahan Organik
tabel ini − Ammonia
− Sulfida
− Fluorida

D241 PENGOPERASIAN − Proses insinerasi limbah − Fly ash − Logam berat


INSINERATOR − Slag/bottom ash − Residu pembakaran tidak
LIMBAH − Residue pengolahan flue gas sempurna

D242 DAUR ULANG 9000 − Recycle/ regenerasi/ − Residu proses distilasi dan proses − Hidrokarbon terhalogenasi
PELARUT BEKAS purifikasi pelarut organik evaporasi − Bahan Organik
bekas − Filter dan absorban bekas
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D243 GAS INDUSTRI 4020 − Manufaktur dan formulasi − Limbah Carbide-residu − Residu Alkali
gas industri (asetilen, − Katalis bekas (reformer/desulfurizer) − Logam berat
hidrogen)

D244 GELAS 2610 − Manufaktur dan formulasi − Bubuk gelas - terlapis logam − Logam berat (terutama Pb,
KERAMIK/ENAMEL produk gelas dan − Emulsi minyak Cd, Cr, Co, Ni, Ba)
keramik/enamel − Residu dari proses etching − Limbah minyak
− Hg (glass switches) − Fluorida
− Debu/sludge dari peralatan
pengendali pencemaran udara
− Residue Opal glass- As
− Bronzing and decolorizing agent - As

D245 SEAL, GASKET, 3699 − Manufaktur dan formulasi − Sisa Asbestos − Asbestos
PACKING produk seal, gasket dan − Adhesive coating − Logam berat (terutama Pb,
packing Hg, Zn)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D246 PRODUK KERTAS 2102 − Manufaktur dan formulasi − Expired and residue of glue adhesive − Pelarut organik
2109 produk kertas − Printing residue (ink/dye) − Logam berat dari
− Kegiatan pencetakan dan − Used solvent tinta/pewarna
pewarnaan − Sludge of waste water treatment
plant

D247 CHEMICAL 4520 − Degreasing, descaling, − Metal, oil, grease contaminated − Larutan asam/alkali
/INDUSTRIAL 9309 phosphating, derusting, alkaline, acid solvent and/or
CLEANING passivation, refinishing, etc oxydator solution
− Residue from cleaning activity
− −
D248 FOTOKOPI 5150 − Pemeliharaan peralatan − Used toner − Logam berat (terutama Se)
2429 − MFDP toner

D249 SEMUA JENIS − Proses replacement, − PCB waste − PCB


INDUSTRI YANG refilling, reconditioning
MENGHASILKAN/MEN atau retrofitting dari
GGUNAKAN LISTRIK transformer dan capacitor
− −
D250 SEMUA JENIS − Penggantian fireproof − Asbestos − Asbestos
INDUSTRI insulation (ac), atap ,
KONSTRUKSI insulation

D251 BENGKEL − Pemeliharaan mobil, motor, − Pelumas bekas − Limbah minyak


PEMELIHARAAN kereta api, pesawat, − Pelarut (cleaning, degreasing) − Pelarut mudah terbakar
KENDARAAN termasuk body repair. − Limbah cat − Asam
− Asam − Logam berat
− Batere bekas
TABEL 3. DAFTAR LIMBAH DARI BAHAN KIMIA KADALUARSA, TUMPAHAN, SISA
KEMASAN, ATAU BUANGAN PRODUK YANG TIDAK MEMENUHI SPESIFIKASI.

KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR

D3001 Asetaldehida
D3002 Asetamida
D3003 Asam asetat, garam-garamnya dan ester-esternya
D3004 Aseton
D3005 Asetonitril
D3006 Asetilklorida
D3007 Akrolein
D3008 Akrilamida
D3009 Akrilonitril
D3010 Aldrin
D3011 Aluminium alkil dan turunannya
D3012 Aluminium Fosfat
D3013 Amonium Pikrat
D3014 Amonium Vanadat
D3015 Anilina
D3016 Arsen dan senyawanya
D3017 Arsen Oksida, tri, penta
D3018 Arsen Disulfida, Arsen Triklorida
D3019 Dietilarsina
D3020 Barium dan senyawanya
D3021 Chromated Copper Arsenate
D3022 Benzena
D3023 Klorobenzena
D3024 1,3-Diisocyanatometil-Benzena
D3025 Dietilbenzena
D3026 Heksahidrobenzena
D3027 Benzenasulfonic Klorida
D3028 Benzenesulfonil Klorida
D3029 Berilium dan senyawanya
D3030 Bis(Klorometil)eter
D3031 Bromoform
D3032 1,1,2,3,4,4-heksakloro-1,3-Butadiena
D3033 n-Butil alkohol
D3034 Butana
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3035 Butil aldehida
D3036 Cadmium dan senyawanya
D3037 Kalsium khromat
D3038 Amoniacal copper arsenat
D3039 Dikloro Karbonat
D3040 Karbon disulfida
D3041 Karbon tetrakhlorida
D3042 Kloroasetaldehida
D3043 Klorodana, Isomer alfa & beta
D3044 Kloretana (Etillklorida)
D3045 Kloroetena (vinil klorida)
D3046 Klorodibromometana
D3047 Kloroform
D3048 p-Khloroanilina
D3049 2-Kloroetil vinil eter
D3050 Klorometil metil eter
D3051 Asam Kromat
D3052 Kromium dan senyawa-senyawanya
D3053 Sianida dan senyawa-senyawanya
D3054 Kreosot
D3055 Kumena
D3056 Siklohexana
D3057 2,4-D, garam-garam dan esternya
D3058 DDD
D3059 DDT
D3060 1,2-Diklorobenzena
D3061 1,3-Diklorobenzena
D3062 1,2-Dikloroetana
D3063 1,1 -Dikloroetene
D3064 1,2-Dikloropropana
D3065 1,3-Dikloropropena
D3066 Dieldrin
D3067 Dimetil ftalat
D3068 Dimetil sulfat
D3069 2,4-Dinitrotoluena
D3070 2,6-Dinitrotoluena
D3071 Endrin dan senyawa metabolitnya
D3072 Epiklorohidrin
D3073 2-Etoksi etanol
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3074 1-Fenil Etanon
D3075 Etil akrilat
D3076 Etil asetat
D3077 Etilbenzena
D3078 Etil karbamat (uretan)
D3079 Etil eter
D3080 Asam Etilen bisditiokarbamat dan senyawanya
D3081 Etilen dibromida
D3082 Etilen diklorida
D3083 Etilen glikol (monoetil eter)
D3084 Etilen oksida (Oksirana)
D3085 Fluorin
D3086 Fluoroasetamida
D3087 Asam Fluoroasetat dan garam sodiumnya
D3088 Formaldehida
D3089 Asam Formiat
D3090 Furan
D3091 Heptaklor
D3092 Heksaklorobenzena
D3093 Heksaklorobutadiena
D3094 Heksakloroetana
D3095 Hidrogen Sianida
D3096 Hidrazina
D3097 Asam fosfat
D3098 Asam fluorat
D3099 Asam fluorida
D3100 Asam sulfida
D3101 Hidroksibenzena (fenol)
D3102 Hidroksitoluen (cresol)
D3103 Isobutil alkohol
D3104 Timbal asetat
D3105 Timbal kromate
D3106 Timbal nitrat
D3107 Timbal oksida
D3108 Timbal fosfat
D3109 Lindana
D3110 Maleat anhidrida
D3111 Maleat hidrazida
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3112 Merkuri dan senyawa-senyawanya
D3113 Metil hidrazina
D3114 Metil paration
D3115 Tetraklorometana
D3116 Tribromometana
D3117 Triklorometana
D3118 Triklorofluorometana
D3119 Metanol (metil alkohol)
D3120 Metoksiklor
D3121 Metil bromida
D3122 Metil klorida
D3123 Metil kloroform
D3124 Metilen bromida
D3125 Metil isobutil keton
D3126 Metil etil ketone
D3127 Metil etil ketone peroksida
D3128 Metil benzene (toluene)
D3129 Metil iodida
D3130 Naftalena
D3131 Nitrat oksida
D3132 Nitrobenzena
D3133 Nitrogliserin
D3134 Oksirana
D3135 Paration
D3136 Paraldehida
D3137 Pentaklorobenzena
D3138 Pentakloroetana
D3139 Pentakloronitrobenzena
D3140 Pentaklorofenol
D3141 Perkloroetilen
D3142 Phenil tiourea
D3143 Fosgen
D3144 Fosfin
D3145 Fospor sulfida
D3146 Fospor pentasulfida
D3147 Ftalat anhidrida
D3148 1 -Bromo ,2-propanon
D3149 2-Nitropropana,
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3150 n-Propilamina
D3151 Propilen Diklorida
D3152 Pirene
D3153 Piriden
D3154 Selenium dan senyawanya
D3155 Selenium dioksida
D3156 Selenium sulfida
D3157 Perak Sianida
D3158 2,4,5TP Silvex
D3159 Natrium azida
D3160 Striknidin 10-satu dan garamnya
D3161 Asam sulfat, Dimetil Ester Sulfat
D3162 Sulfur Fosfit
D3163 2,4,5-T
D3164 1 2,4,5-Tetraklorobenzena
D3165 1,1,1,2-Tetrakloroetana
D3166 1,1,2,2-Tetrakloroetana
D3167 2,3,4,6-Tetraklorofenol
D3168 Tetraklorometana
D3169 Tetra etil timbal
D3170 2,4,5-Triklorofenol
D3171 2,4,6-Triklorofenol
D3172 1,3,5-Trinitrobenzena
D3173 Vanadium oksida
D3174 Vanadium pentaoksida
D3175 Vinil klorida
D3176 Warfarin
D3177 Dimetylbenzena
D3178 Seng Fosfit

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I

ttd dan cap

Lambock V. Nahattands
LAMPIRAN I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : 18 TAHUN 1999
TANGGAL : 27 FEBUARI 1999

BAKU MUTU TCLP ZAT PENCEMAR DALAM LIMBAH UNTUK PENENTUAN


KARAKTERISTIK SIFAT RACUN

KONSENTRASI DALAM EKSTRASI


PARAMETER LIMBAH (mg/L)
(TCLP)
Aldrin + Dieldrin 0.02
Arsenic 0.2
Barium 5
Benzene 0.005
Boron 100
Cadmium 0.05
Carbon tetrachloride 0.2
Chlordane 0.01
Cholorobenzene 5
Chloroform 5
Chromium 0.25
Copper 0.19
o-Cresol 0.5
m-Cresol 0.5
Total Cresol 0.5
Cyanide (free) 1
2,4-D 5
1,4-Dicholorobenzene 0.05
1,2-Dicholoroethane 0.2
1,1-Dicholoroethylene 0.05
2,4-Dinitrotoluene 0.01
Endrin 50
Fluorides 0.004
Heptachlor+Heptachlor Epoxide 0.08
Hexachlorobenzene 0.05
Hexacholroethane 0.3
Lead 2.5
Lindane 0.2
KONSENTRASI DALAM EKSTRASI
PARAMETER LIMBAH (mg/L)
(TCLP)
Mercury 0.01
Methoxychlor 3
Methyl Parathion 0.3
Methyl Ethyl Ketone 20
Nitrate+ Nitrite 500
Nitrite 50
Nitrobenzene 1
Pentacholorophenol 0.5
Pyridine 0.1
PCBs 0.05
Selenium 0.05
Silver 2
Tetracholoroethlene (PCE) 0.3
Phenol 2
DDT 1
Cholorophenol (total) 1
Choloronaphtalene 1
Trihalomethanes 1
2,4,5-Trichlorophenol 40
2,4,6-Tricholorophenol 1
Vynil Choloride 0.05
Zinc 2.5

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
ttd dan cap

Lambock V. Nahattands
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 19 TAHUN 1999

TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan


Wawasan Nusantara merupakan salah satu bagian lingkungan hidup
yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi sebagai ruang
bagi kehidupan Bangsa;
b. bahwa pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya
bertujuan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat dan kelangsungan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut
maupun pemanfaatan laut beserta sumber daya alamnya dapat
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut yang
akhirnya dapat menurunkan mutu serta fungsi laut;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2994);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3274);
7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3299);
8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982;
9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3493);

1
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999

11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3501);
12. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3647);
13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN


DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan:


1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional;
2. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu
dan/atau fungsinya;
3. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen
yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya di dalam
air laut;
4. Perusakan air laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut;
5. Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati kriteria baku
kerusakan laut;
6. Kriteria baku kerusakan laut adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan
laut yang ditenggang;
7. Status mutu laut adalah tingkat mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dinilai
berdasarkan baku mutu air laut dan/atau kriteria baku kerusakan laut;
8. Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap
baik;
9. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan
pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan
laut;
10. Pembuangan (dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau
kegiatan dan/atau benda lain yang tidak terpakai atau daluarsa ke laut;
11. Limbah adalah sisa usaha dan/atau kegiatan;
12. Limbah cair adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair;
13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dari suatu usaha dan/atau atau kegiatan yang
berwujud padat termasuk sampah;

2
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999

14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2

Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan
laut dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya sumber
daya laut.

BAB II
PERLINDUNGAN MUTU LAUT

Pasal 3

Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status
mutu laut.

Pasal 4

Baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan
oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen terkait lainnya.

Pasal 5

(1) Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut,
kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut.
(2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman
teknis penetapan status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka Kepala
instansi yang bertanggung jawab menetapkan status mutu laut.

Pasal 6

Kepala instansi bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status
mutu laut.

Pasal 7

(1) Air laut mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya
berada pada tingkatan baik.
(2) Air yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status
mutunya berada pada tingkatan tercemar.

Pasal 8

(1) Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut
yang status mutunya pada tingkatan baik,
(2) Lingkungan laut tidak memenuhi kriteria baku mutu kerusakan laut yang dinyatakan sebagai
lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.

3
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999

BAB III
PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT

Pasal 9

Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan pencemaran laut.

Pasal 10

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut,
wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib
memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi
dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran laut.

Pasal 12

Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang
di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB IV
PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT

Pasal 13

Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang
dapat menimbulkan kerusakan laut.

Pasal 14

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut
wajib melakukan pencegahan perusakan laut.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan
laut.

BAB V
PENANGGULANGAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

Pasal 15

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut
yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana
dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

BAB VI
PEMULIHAN MUTU LAUT

Pasal 16

4
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999

(1) Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.
(2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.

BAB VII
KEADAAN DARURAT

Pasal 17

(1) Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan
di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila;
a. Pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut;
b. Pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dapat dilakukan dengan syarat
bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut
merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
(2) Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang
berwenang terdekat dan/atau instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyebutkan tentang benda yang
dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.
(4) Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran
dan/atau kerusakan laut serta wajib melaporkan kepada Menteri.
(5) Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang
ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

BAB VIII
DUMPING

Pasal 18

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut
wajib mendapatkan izin oleh Menteri.
(2) Tata cara dumping sebagaimana yang dimaksud ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB IX
PENGAWASAN

Pasal 19

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 20

(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berwenang
melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dukumen dan/atau
membuat catatan yang diperlukan, tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan,
memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang
bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.

5
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap pengawasan wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

Pasal 21

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, wajib:


a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya membantu terlaksananya tugas
pengawasan tersebut;
b. memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu
diminta pengawas;
c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya
yang diperlukan pengawas; dan
e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan
pemotretan di lokasi kerjanya.

Pasal 22

(1) Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil
pemantauan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada
instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 23

(1) Biaya inventarisasi dan/atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau
sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB XI
GANTI RUGI

Pasal 24

(1) Setiap orang atau penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan laut serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi
terhadap pihak yang di rugikan.

6
Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 1999

Pasal 25

Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26

Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib
menyesuaikan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 28

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Pebruari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Pebruari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

Ttd

AKBAR TANDJUNG

7
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999

TENTANG

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan sebagai upaya


dasar dan berencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup, perlu dijaga keserasian
antar berbagai usaha dan/atau kegiatan;
b. bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah
pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat dipersiapkan sedini
mungkin;
c. bahwa analisis mengenai dampak lingkungan hidup diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
d. bahwa dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
e. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;


2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN
Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG


ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan;
2. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
3. Kerangka acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup
yang merupakan hasil pelingkupan;

Hal 1/12
4. Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam
tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan;
5. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau
kegiatan;
6. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen
lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
7. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan;
8. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan
kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada
pada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah
berada pada Gubernur;
10. Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan adalah instansi yang membina secara
teknis usaha dan/atau kegiatan dimaksud;
11. Komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup dengan pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di tingkat
daerah oleh komisi penilai daerah;
12. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan untuk mengelola lingkungan hidup;
13. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan adalah instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
14. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa
atau Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 2

1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan
rencana usaha dan/atau kegiatan.
2. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan
pembangunan wilayah.
3. Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat dilakukan melalui pendekatan
studi terhadap usaha dan/atau kegiatan tunggal, terpadu atau kegiatan dalam kawasan.

Pasal 3

1. Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam
dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati;
h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup;
i. kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara.

Hal 2/12
2. Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar dan
memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah
Non Departemen yang terkait.
3. Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya dalam waktu 5 (lima) tahun.
4. Bagi rencana usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan.
5. Pejabat dari instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
wajib mencantumkan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan setelah
mempertimbangkan masukan dari instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 4

1. Usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun di dalam kawasan yang sudah dibuatkan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak diwajibkan membuat analisis mengenai
dampak lingkungan hidup lagi.
2. Usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan untuk melakukan
pengendalian dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup sesuai
dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
kawasan.

Pasal 5

1. Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap
lingkungan hidup antara lain:
a. jumlah manusia yang akan terkena dampak;
b. luas wilayah persebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
2. Pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 6

1. Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak
perlu dibuat bagi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk menanggulangi suatu keadaan
darurat.
2. Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan menetapkan telah terjadinya suatu keadaan
darurat.

Pasal 7

1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang.

Hal 3/12
2. Permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang diberikan oleh
instansi yang bertanggung jawab.
3. Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan syarat dan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang diterbitkannya.
4. Ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemrakarsa, dalam menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya.

BAB II

KOMISI PENILAI
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 8

1. Komisi penilai dibentuk:


a. di tingkat pusat : oleh Menteri;
b. di tingkat daerah : oleh Gubernur;
2. Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. di tingkat pusat berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan;
b. di tingkat daerah berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan Daerah Tingkat I.
3. Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
4. Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu
oleh tim teknis yang bertugas memberikan pertimbangan teknis atas kerangka acuan, analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.
5. Dalam menjalankan tugasnya, komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dibantu oleh tim teknis dari masing-masing sektor.
6. Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan hasil penilaiannya kepada
instansi yang bertanggung jawab untuk dijadikan dasar keputusan atas kerangka acuan,
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup.
7. Ketentuan mengenai tata kerja komisi penilai dimaksud, baik pusat maupun daerah,
ditetapkan oleh Menteri, setelah mendengar dan memperhatikan saran/pendapat Menteri
Dalam Negeri dan Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen
yang terkait.
8. Ketentuan mengenai tata kerja tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
lebih lanjut oleh Komisi Penilai Pusat.

Pasal 9

1. Komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur-
unsur instansi yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang
kesehatan, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan, instansi yang ditugasi bidang
perencanaan pembangunan nasional, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal,
instansi yang ditugasi bidang pertanahan, instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan,
departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha

Hal 4/12
dan/atau kegiatan yang bersangkutan, departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang terkait, wakil Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Wakil
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan
hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang
usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat yang terkena dampak, serta anggota
lain yang dipandang perlu.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10

1. Komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas
unsur-unsur : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal daerah,
instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi bidang pertahanan
keamanan daerah, instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah Tingkat I, wakil instansi
pusat dan/atau daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil
instansi terkait di Propinsi Daerah Tingkat I, wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
yang bersangkutan, pusat studi lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang
bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi
lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha
dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat yang terkena dampak, serta anggota lain
yang dipandang perlu.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.

Pasal 11

1. Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup
bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a. usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau menyangkut ketahanan dan
keamanan negara;
b. usaha dan/atau kegiatan yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah propinsi
daerah tingkat I;
c. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain;
d. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah ruang lautan;
e. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di lintas batas negara kesatuan Republik
Indonesia dengan negara lain;
2. Komisi penilai daerah berwenang menilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi
jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang diluar kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 12

1. Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari instansi
teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dan instansi yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri untuk komisi penilai pusat, dan oleh Gubernur untuk komisi
penilai daerah tingkat I.

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), wajib
memperhatikan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana pengembangan
wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan pertahanan keamanan.

Hal 5/12
BAB III
TATA LAKSANA

BAGIAN PERTAMA

KERANGKA ACUAN

Pasal 14

1. Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan hidup
disusun oleh pemrakarsa.
2. Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 15

1. Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan oleh
pemrakarsa kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan ketentuan:
a. di tingkat pusat : kepada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : kepada Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I.
2. Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya kerangka
acuan pembuatan analisis dampak lingkungan hidup.

Pasal 16

1. Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinilai oleh komisi penilai bersama
dengan pemrakarsa untuk menyepakati ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan
hidup yang akan dilaksanakan.
2. Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75
(tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya kerangka acuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
3. Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab dianggap
menerima kerangka acuan dimaksud.
4. Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam
kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang
kawasan.

BAGIAN KEDUA

ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP,


RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP,
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 17

1. Pemrakarsa menyusun analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan


hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup, berdasarkan kerangka acuan yang telah
mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab.

Hal 6/12
2. Penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup, berpedoman pada pedoman penyusunan analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan.

Pasal 18

1. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup diajukan oleh pemrakarsa kepada:
a. di tingkat pusat : Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I
2. Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Pasal 19

1. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup dinilai :
a. di tingkat pusat : oleh komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : oleh komisi penilai daerah.
2. Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup,
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
3. Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dicantumkan dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbangan terhadap
saran, pendapat dan tanggapan yang diajukan oleh warga masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).

Pasal 20

1. Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2)
2. Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan dianggap layak lingkungan.

Pasal 21

1. Instansi yang bertanggung jawab mengembalikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada
pemrakarsa untuk diperbaiki apabila kualitas analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup tidak sesuai
dengan pedoman penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

Hal 7/12
2. Perbaikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20.
3. Penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup serta pemberian keputusan kelayakan lingkungan
hidup atas usaha dan/atau kegiatan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 dan
Pasal 20.

Pasal 22

1. Apabila hasil penilaian komisi penilai menyimpulkan bahwa:


a. dampak besar dan penting negatif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia,
atau
b. biaya penanggulangan dampak besar dan penting negatif lebih besar daripada
manfaat dampak besar dan penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan,
c. maka instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan bahwa rencana
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak layak lingkungan.
2. Instansi yang berwenang menolak permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan apabila instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 23

Salinan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup, serta salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha
dan/atau kegiatan disampaikan oleh:

1. di tingkat pusat : instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan kepada instansi yang
berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi
terkait yang berkepentingan, Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
yang bersangkutan.
2. di tingkat daerah : Gubernur kepada Menteri, Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan, instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan, dan instansi yang terkait.

BAGIAN KETIGA

KADALUWARSA DAN BATALNYA KEPUTUSAN HASIL


ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP,
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP,
DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 24

1. Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan


kadaluwarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila rencana usaha dan/atau
kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya
keputusan kelayakan tersebut.
2. Apabila keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluwarsa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka untuk melaksanakan rencana usaha dan/atau kegiatannya,
pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan atas analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup kepada instansi yang bertanggung jawab.

Hal 8/12
3. Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang bertanggung
jawab memutuskan :
a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya
dipergunakan kembali; atau
b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 25

1. Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha dan/atau
kegiatannya.
2. Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan di lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan
hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 26

1. Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau proses
dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong.
2. Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 27

1. Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat
mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan.
2. Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IV

PEMBINAAN

Pasal 28

1. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan pembinaan teknis


terhadap komisi penilai pusat dan daerah.
2. Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan melakukan pembinaan teknis
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari izin.

Pasal 29

1. Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan


hidup dilakukan dengan koordinasi instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
2. Lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup
diselenggarakan dengan koordinasi dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan dengan memperhatikan sistem akreditasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hal 9/12
Pasal 30

Kualifikasi penyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pemberian lisensi/sertifikasi
dan pengaturannya ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 31

Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan golongan
ekonomi lemah dibantu pemerintah, dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah memperhatikan
saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

BAB V

PENGAWASAN

Pasal 32

1. Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana


pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi
yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan dan Gubernur.
2. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan :
a. pengawasan dan pengevaluasian penerapan peraturan perundang-undangan di
bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
b. pengujian laporan yang disampaikan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
c. penyampaian laporan pengawasan dan evaluasi hasilnya kepada Menteri secara
berkala, sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan tembusan
kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin dan Gubernur.

BAB VI

KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 33

1. Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib
diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis
mengenai dampak lingkungan hidup.
2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab dan pemrakarsa.
3. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya rencana usaha dan/atau
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga masyarakat yang berkepentingan
berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana
usaha dan/atau kegiatan.
4. Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara
tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab.
5. Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dipertimbangkan dan dikaji dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
6. Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara
penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Hal 10/12
Pasal 34

1. Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka
acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
2. Bentuk dan tata cara keterlibatan warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 35

1. Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan
tanggapan warga masyarakat yang berkepentingan, kesimpulan komisi penilai, dan
keputusan kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk
umum.
2. Instansi yang bertanggung jawab wajib menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.

BAB VII

PEMBIAYAAN

Pasal 36

Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai dan tim teknis analisis mengenai dampak lingkungan hidup
dibebankan:
1. di tingkat pusat : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan;
2. di tingkat daerah : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
daerah tingkat I.

Pasal 37

Biaya penyusunan dan penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup dibebankan kepada
pemrakarsa.

Pasal 38

1. Biaya pembinaan teknis dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dan Pasal 32 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan.
2. Biaya pengumuman yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung
jawab.
3. Biaya pembinaan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dibebankan
pada anggaran instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan yang pada saat
diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini:

Hal 11/12
1. sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan
hidup yang bersangkutan; atau
2. sudah diajukan kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan,

tetap dinilai oleh komisi penilai instansi yang bersangkutan, dan harus selesai paling lambat 6 (enam)
bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku secara efektif.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang
analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 41

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 42

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di : Jakarta
pada tanggal : 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

Ttd

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 59

Hal 12/12
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

1) bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk
hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan
dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya;
2) bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup,
maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran
udara;
3) bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peratuan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;
2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan
pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;
3. Sumber pencemar udara adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan
pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4. Udara ambien adalah udara bebas di permukaaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di
dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan
manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnnya;
5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;
6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan
inventarisasi;
7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang
ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
udara ambien;
8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat
memenuhi fungsi sebagaimana mestinya;
9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk
dan/atau dimasukkannnya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai
potensi sebagai unsur pencemar;
10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien;
11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, maupun sumber tidak bergerak
spesifik;
12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang
berasal dari kendaraan bermotor;
13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat
yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;
15. Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal
dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;
16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi
maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan
pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk
penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak
bergerak atau sumber tidak bergerak spesifik;
19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan
masuk ke udara dan/atau zat padat;
20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh
dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraan bermotor;
21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada
kendaraan itu;
22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau
transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi
tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau
kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan
sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;
26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang
menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak
terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;
27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan
mutu udara;
28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Pasal 2

Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang
dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan
untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3

Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara
ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas
kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara

Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien

Pasal 4

1. Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk
mencegah terjadinya pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
2. Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali
setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 5

1. Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara
ambien di daerah yang bersangkutan.
2. Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan baku mutu udara ambien nasional
3. Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (!) ditetapkan dengan
ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional
4. Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu
udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
5. Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali
setelah 5 (lima) tahun.
6. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu
udara ambien daerah.

Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien

Pasal 6

1. Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap
mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta
tata guna tanah.
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan
kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman
teknis penetapan status mutu udara ambien.

Pasal 7

1. Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien
nasional, Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang
bersangkutan sebagai udara tercemar.
2. Dalam hal gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan
pemulihan mutu udara ambien.

Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang

Pasal 8

1. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor
lama.
2. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaran bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan
dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.
3. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 9

1. Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran
udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak.

Bagian Kelima
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan

Pasal 10

1. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak
bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
2. Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a) baku tingkat kebisingan;


b) baku tingkat getaran;
c) baku tingkat kebauan dan;
d) baku tingkat gangguan lainnnya.

3. Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan memepertimbangakan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek
keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
4. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
5. Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 11

1. Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber
tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran
udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.
Bagian Keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Pasal 12

1. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
2. Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
bangunan dan nilai estetika.

Pasal 13

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan
serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

Pasal 14

1. Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara
ambien secara otomatis dan berkesinambungan.
2. Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan
untuk:
a) bahan informasi kepada mesyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan
pada waktu tertentu;
b) bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan
pengendalian pencemaran udara.

Pasal 15

Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara
ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.

BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 16

Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta


pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber
pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan
serta penanggulangan keadaan darurat.

Pasal 17

1. Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara


nasional ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
2. Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 18

1. Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh


Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
2. Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh
Gubernur.
3. Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 19

1. Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di


daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan
program kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara.
2. Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian
pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan
Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup

Pasal 20

Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara
dengan cara:
1. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat
gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini;
2. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17, 18 dan 19.

Pasal 21

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan
ke udara ambien wajib:
1. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan
untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
2. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh
usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;
3. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya
pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.

Pasal 22

1. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau
gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
2. Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup
dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 24

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau
baku
1. Tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat
dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannnya.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau
baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi
yang bertanggung jawab.
3. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara

Pasal 25

1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya
pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan
pemulihannya.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan
pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Paragraf 1
Keadaan Darurat

Pasal 26

1. Apabila hasil pemantauan menunjukkan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau
lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka:

a) Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara


nasional;
b) Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara didaerahnya.

2. Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain
melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Pasal 27

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan
pemulihan keadaan darurat pencemaran udara.

Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak

Pasal 28

Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan
baku mutu emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara
ambien disekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis
pengendalian pencemaran udara.

Pasal 29

1. Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran


udara dari sumber tidak bergerak.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulanganb
pencemaran udara sumber tidak bergerak.
Pasal 30

1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan
baku tingkat gangguan.
2. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 9 ayat (2).

Paragraf 3
Sumber Bergerak

Pasal 31

Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan
ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru
dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi
gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebasa timah hitam
serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.

Pasal 32

1. Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran


udara dari sumber bergerak.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan
pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak.

Pasal 33

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang
wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.

Pasal 34

1. Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.


2. Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi.
3. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi
kendaraan bermotor tipe baru.
4. Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 35

1. Hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib
disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter
polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil
uji tipe kendaraan bermotor tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Paragraf 4
Sumber Gangguan

Pasal 37

Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap
penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan
pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 38

1. Instansi yang bertanggung jawab mengkoordiansikan pelaksanaan penanggung pencemaran


udara dari sumber gangguan.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan
pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan.

Pasal 39

1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
2. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2)

Pasal 40

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib
memenuhi ambang batas kebisingan.

Pasal 41

1. Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.


2. Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe kebisingan
3. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji
tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru.
4. Uji tipe kebisingan yang dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Instansi yang bertanggung
jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan

Pasal 42

1. Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil
uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 43

1. Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berskala sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisinga berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung
jawab.
BAB IV
PENGAWASAAN

Pasal 44

1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan
pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 45

1. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah,


Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan
terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau
gangguan.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur/Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan.

Pasal 46

Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali
dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 47

1. Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan
Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan
dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa
instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau
kegiatan.
2. Penanggung jawab jawab usaha dan/atau kegiatan yang diminta keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (10), wajib memenuhi permintaan petugas penagwas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

Pasal 48

Setiap penanggung jawab dan/atau kegiatan wajib:

1. Mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas


pengawasan tersebut;
2. Memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta
pengawas;
3. Memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
4. Mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara
ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan
5. Mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan
di lokasi kerjanya.

Pasal 49

Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat
gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluaskan kepada
masyarakat.

Pasal 50

1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan
hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
2. Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 51

1. Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu
udara ambien;
2. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
3. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi lainnya sebagai
bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 52

Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau
gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 53

Segala pembiayaan yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan
bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau
gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan bermotor.

BAB VI
GANTI RUGI

Pasal 54

1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya
pemulihannya;
2. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain, baik terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang
dirugikan.

Pasal 55

Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaskud dalam
Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri

BAB VII
SANKSI

Pasal 56
1. Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Paal 23, Pasal 24 ayat (1),
Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan
Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara
dan/atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Psasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor
lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43
ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas
buang, atau ambang batas kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57

Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha
dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang
pengendalian pencemaran udara yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 59

Peraturan Pemerintah ini dimulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

PROF. DR. H. MULADI, S.H.


LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL


Waktu Metode
No. Parameter Baku Mutu Peralatan
Pengukuran Analisis
1 SO2 1 Jam 900 ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofotometer
(Sulfur Dioksida) 4 Jam 365 ug/Nm3
1 Thn 60 ug/Nm3
2 CO 1 Jam 30.000 ug/Nm3 NDIR NDIR Analyzer
(Karbon 24 Jam 10.000 ug/Nm3
Monoksida) 1 Thn
3 NO2(Nitrogen 1 Jam 400 ug/Nm3 Saltzman Spektrofotometer
Dioksida) 24 Jam 150 ug/Nm3
1 Thn 100 ug/Nm3
4 O3 (Oksidan) 1 Jam 235 ug/Nm3 Chemilumines Spektrofotometer
1 Thn 50 ug/Nm3 cent
5 HC (Hidro 3 Jam 160 ug/Nm3 Flame Gas Chomatogarfi
karbon) Ionization
6 PM10 24 Jam 150 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
(Partikel <10 um)
PM 2.5* 24 Jam 65 ug/Nm3 Gravimetric Hi – Vol
1 Jam 15 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
7 TSP 24 Jam 230 ug/Nm3 Gravimetric Hi – Vol
(Debu) 1 Jam 90 ug/Nm3
8 Pb(Timah 24 Jam 2 ug/Nm3 Gravimetric Hi – Vol
Hitam) 1 Jam 1 ug/Nm3 Ekstratif AAS
Pengabuan
9 Dustfall 30 Hari 10 Ton/ Km2/ Gravimetric Cannister
(Debu Jatuh) Bulan
(Pemukiman)
20 Ton/Km2/
Bulan (Industri)
10 Total Fluorides 24 Jam 3 ug/Nm3 Spesific ion Impinger atau
(as F) 90 Hari 0,5 ug/Nm3 Electrode Continous Analyzer
11 Fluor Indeks 30 Hari 40 ug/100 Colourimetric Limed Filter Paper
cm2dari kertas
limed filter
12 Khlorine dan 24 Jam 150 ug/Nm3 Spesific ion Impinger atau
Khlorine Dioksida Electrode Continous Analyzer
13 Sulphat Indeks 30 Hari 1 mg SO3/100 Colourimetric Lead Peroxida
cm3Dari Lead Candle
Peroksida

Catatan:
(*) PM25 mulai diberitahukan tahun 2002
Nomor 10 s/d 13 Hanya berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar

Contoh: Industri Petro Kimia; Industri Pembuatan Asam Sulfat


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 85 TAHUN 1999

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999


TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa lingkungan hidup perlu dijaga kelestariannya sehingga tetap


mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan;
b. bahwa dengan meningkatnya pembangunan di segala bidang,
khususnya pembangunan di bidang industri, semakin meningkat pula
jumlah limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun
yang dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia;
c. bahwa untuk mengenali limbah yang dihasilkan secara dini diperlukan
identifikasi berdasarkan uji toksikologi dengan penentuan nilai akut
dan atau kronik untuk menentukan limbah yang dihasilkan termasuk
sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;

Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaga Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3815);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS


PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG
PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.

Pasal 1

Mengubah ketentuan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :

“ Pasal 6
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan atau uji karakteristik dan atau uji
toksikologi. “

2. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 7

(1) Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi :


a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. Limbah B3 dari sumber spesifik;
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan
buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

(2) Perincian dari masing-masing jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) seperti
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.

(3) Uji karakteristik limbah B3 meliputi :


a. mudah meledak;
b. mudah terbakar;
c. bersifat reaktif;
d. beracun;
e. menyebabkan infeksi; dan
f. bersifat korosif.

(4) Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik.

(5) Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222 dan D223 dapat dinyatakan
limbah B3 setelah dilakukan uji karakteristik dan ayau uji toksikologi.

3. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 8

(1) Limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran I, Tabel
2 Peraturan Pemerintah ini, apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat (3) dan atau
ayat (4) maka limbah tersebut merupakan limbah B3.

(2) Limbah B3 dari kegiatan yang tercantum dalam Lampiran (I), Tabel 2 Peraturan
Pemerintah ini dapat dikeluarkan dari daftar tersebut oleh instansi yang
bertanggung jawab, apabila dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa limbah tersebut
bukan limbah B3 berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh instansi yang
bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis, lembaga penelitian
terkait dan penghasil limbah.

(3) Pembuktian secara ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan :

a. Uji karakteristik limbah B3;


b. Uji toksikologi; dan atau
c. Hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak
menimbulkan pencemaran dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan
makhluk hidup lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) akan
ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi dengan
instansi teknis dan lemebaga penelitian terkait.

Pasal 2

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 190


LAMPIRAN I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : 85 TAHUN 1999
TANGGAL : 7 OKTOBER , 1999

TABEL 1. DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG TIDAK SPESIFIK

KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR

Pelarut Terhalogenasi

D1001a Tetrakloroetilen
D1002a Trikloroetilen
D1003a Metilen Klorida
D1004a 1,1,2-Trikloro-1,2,2-Trifluoroetana
D1005a Triklorofluorometana
D1006a Orto-diklorobenzena
D1007a Klorobenzena
D1008a Trikloroetana
D1009a Fluorokarbon Terklorinasi
D10010a Karbon Tetraklorida

Pelarut Yang Tidak Terhalogenasi

D1001b Dimethilbenzena
D1002b Aseton
D1003b Etil Asetat
D1004b Etil Benzena
D1005b Metil Isobutyl Keton
D1006b n-Butil Alkohol
D1007b Sikloheksanon
D1008b Metanol
D1009b Toluena
D1010b Metil Etil Keton
D1011b Karbon Disulfida
D1012b Isobutanol
D1013b Piridin
D1014b Benzena
D1015b 2-Etoksietanol
D1016b 2-Nitropropana

KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR


D1017b Asam Kresilat
D1018b Nitrobenzena
Asam/Basa

D1001c Amonium hydroksida


D1002c Asam Hidrobromat
D1003c Asam Hidroklorat
D1004c Asam Hidrofluorat
D1005c Asam Nitrat
D1006c Asam Fosfat
D1007c Kalium Hidroksida
D1008c Natrium Hidroksida
D1009c Asam Sulfat
D10010c Asam Klorida

Yang Tidak Spesifik Lainnya

D1001d PCB's (Polychlorinated biphenyls)


D1002d Lead scrap
D1003d Limbah Minyak Diesel Industri
D1004d Fiber Asbes
D1005d Pelumas bekas
TABEL 2. DAFTAR LIMBAH B3 DARI SUMBER YANG SPESIFIK

KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA


LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D201 PUPUK 2412 − Proses produksi amonia, urea - Katalis bekas - Logam Berat (terutama As, Hg)
dan/atau asam fosfat - Sludge proses produksi - Sulfida/Senyawa amonia
− IPAL yang mengolah efluen dari - Limbah laboratorium
proses produksi di atas - Sludge dari IPAL
- Karbon aktif bekas

D202 PESTISIDA 2421 - MFDP1 pestisida - Sludge dari IPAL − Bahan aktif pestisida
Bahan organik dan - Penyimpanan dan pengemasan - Alat pengemasan 2 dan perlengkapan − Hidrokarbon terhalogenasi
inorganik yang digunakan pestisida - Produk off-spec − Pelarut mudah terbakar
untuk pemebrantasan atau - IPAL yang mengolah efluen dari - Residu proses produksi dan formulasi − Logam dan logam berat (terutama
pengendalian hama atau proses produksi pestisida - Pelarut bekas As, Pb, Hg, Cu, Zn dan Th)
gulma (insektisida, - Absorban dan filter bekas − Senyawa Sn-organik
herbisida , fungisida, - Residu proses destilasi, evaporasi
algasida, rodensida, - Pengumpulan debu
defoliant) - Limbah laboratorium
- Residue dari insinerator

1. Manufaktur, Formulasi, Distribusi dan Pemakaian


2. Produk yang tidak memenuhi persyaratan
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D203 PROSES KLORO-ALKALI 2411 − Proses produksi klorin (metoda - Sludge dari IPAL - Logam berat (terutama Hg)
Umumnya merupakan 2413 electrolisis dengan menggunakan - Absorban dan filter bekas - Hidrokarbon terhalogenasi
kegiatan yanb terkait dalam 2429 proses sel merkuril) - Alat yang terkontaminasi Hg
produksi senyawa kimia − Pemurnian garam - Sludge hasil proses pengawetan
atau produk yang berbahan − Proses prooduksi soda kaustik - Limbah laboratorium
dasar plastik, seperti : soda (metoda sel merkuri)
kaustik , klorin, − IPAL yang mengolah efluen dari
vinylchloride, proses produksi di atas
polyvinylchloride, parafin
mengandung klorin,
ethylenedichloride,
hypochlorites, asam
hidroklorat , dll.

D204 ADHESIVE RESIN 2429 − MFDP resin adesif - Bahan dan produk Off-spec − Bahan organik (terutanma
- Residue dari kegiatan produksi senyawa fenol
Phenol formaldehide (PF), − IPAL yang mengolah efluen dari - Katalis Bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
urea formaldehide (UF), proses produksi resin adesif - Pelarut Bekas
melamine formaldehide - Limbah laboratorium
(MF), dll - Sludge dari IPAL
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D205 POLIMER 2413 − MFDP monomer dan polimer − Monomer/oligomer yang tidak bereaksi − Berbagai senyawa organik
Kegiatan produksi, baik 2430 − IPAL yang mengolah efluen dari − Katalis bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
khusus ataupun terintegrasi 2520 proses produksi polimer − Residu produksi/reaksi polimer absorban − Logam berat (terutama Cd, Pb,
dalam manufaktur produk 2430 (misalnya karbon aktif bekas) Sb, Sn)
plastik atau serat, dengan − Limbah Laboratorium − Sludge terkontaminasi Zn dari
cara polimerisasi yang − Sludge dari IPAL proses produksi rayon/resin
menghasilkan produk, − Sisa dan bekas stabiliser (misalnya dalma akrilik
seperti misalnya ; Polyvinyl produksi PVC: Cd, Zn, As)
chloride (PVC), polyvinyl
− Fire retardant (misalnya Sb dan senyawa
acetate (PVA), polyethylene
bromin organik )
(PE), polypropilene (PP),
acrylonitrile butadiene − Senyawa Sn organik
styrene (ABS), acrylonitrile − Residu dari proses destilasi
styrene (AS), synthetic resin
(alkyd, amino, epoxy,
phenolic, polyester,
polyurethane, vinyl acrylic),
Phthalate (PET),
polystyrene (PS),
polyethylene terephthalate
(PET), polystyrene (PS),
styrene butadiene rubber
(SBR)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D206 PETROKIMIA 2320 − MFDP Produk Petrokimia − Sludge proses produksi dan fasilitas - Organik
2411 − IPAL yang mengolah efluen penyimpanan - Hodrokarbon terhalogenasi
Industry yang menghasilkan 2413 proses − Katalis bekas - Logam berat (terutama Cr, Ni, Sb)
produk organik dari proses 2429 − Pengolahan limbah − Tar (residu akhir ) - Hidrokarbon aromatis
pemecahan fraksi minyak − Residue proses produksi/reaksi
bumi atau gas alam , − Absorban (misalnya karbon aktif) bekas dan
termasuk produk turunan filter bekas
yang dihasilkan langsung − Limbah Laboratorium
dari produk dasarnya.
− Sludge dari IPAL
Misalnya : parafin olefin,
naftan dan Hidrokarbon − Residu/ash proses spray drying
aromatis (metana, etana, − Pelarut bekas
propana, etilen, propilen,
butana, sikloheksana,
benzena, toluen, naftalen,
asetilen, asam asetat,
xilene) dan seluruh produk
turunannya. .

D 207 PENGAWETAN KAYU 2010 − Proses pengawetan kayu − Sludge dari proses pengawetan kayu dan − Fenol terklorinasi (misalnya
2021 − IPAL yang mengolah efluen dari fasilitas penyimpanan pentaklorofenol)
2029 proses pengawetan kayu − Sludge dari alat pengolahan pengawetan − Hidrokarbon terhalogenasi
3511 kayu − Senyawa Organometal
4520 − Produk off-spec dan produk left-over
− Pelarut bekas
− Kemasan bekas
− Sludge dari IPAL
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D208 PELEBURAN/PENGOLAH 2710 − Proses peleburan besi/baja − Ash, dross, slag from furnace − Logam berat (terutama As, Cr, Pb,
AN BESI DAN BAJA 2731 − Proses casting besi/baja − Debu, residu dan/atau sludge dari fasilitas Ni, Cd, Th and Zn)
2891 − Proses besi/baja : rolling, drawing, pengendali pencemaran udara − Organik (fenolic, naftalen)
sheeting − Sludge dari IPAL − Sianida
− Coke manufacturing − Pasir foundry dan debu cupola − Limbah minyak
− IPAL yang mengolah efluen dari − Emulsi minyak dari pendingin/pelumas
coke oven/blast furnace − Sludge dari Ammonia still lime
− Sludge dari proses rolling

D 209 PELEBURAN DAN 2710 − Penyempurnaan dan pemrosesan − Larutan asam/alkali bekas dan residunya − Logam berat (terutama As, Cr, Pb,
PEMURNIAN TEMBAGA 2731 baja − Residu terkontaminasi sianida (hot metal Ni, Cd, Th and Zn)
− Steel surface treatment (pickling, treatment) − Larutan asam dan alkali
passivation, cleaning) − Slag dan residu lain yang terkontaminasi − Nitrat
logam berat − Fluorida
− Sludge dari proses pengolahan residu − Sianida (Kompleks)
− Larutan pengolah bekas
− Fluxing agent bekas
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D210 PELEBURAN TIMAH 2720 − Proses peleburan timah sekunder − Sludge dari fasilitas proses peleburan − Logam berat (terutama As, Pb,
HITAM (Pb) 2732 dan/atau primer − Debu dan/atau sludge dari fasilitas Cd, Zn, Th)
3720 − IPAL yang mengolah efluen dari pengendali pencemaran udara − Larutan asam
proses peleburan timah − Ash, slag dan dross yang merupakan residu
dari proses peleburan
− Limbah dari proses skimming process
− Larutan asam bekas
− Sludge dari IPAL

D211 PELEBURAN DAN 2720 − Proses primer dan sekunder − Sludge dari fasilitas proses peleburan dan − Logam berat (terutama Cu, Pb,
PEMURNIAN TEMBAGA 2732 peleburan dan penyempurnaan penyempurnaan Cd, Th)
3720 tembaga − Debu dan/atau sludge dari fasilitas − Larutan asam
− Peleburan dengan electric arch pengendali pencemaran udara
furnace − Larutan asam bekas
− Pabrik asam (Acid plant) − Residu dari proses penyempurnaan secara
− IPAL yang mengolah efluen dari electrolisis
proses peleburan tembaga − Sludge dari IPAL
− Sludge dari acid plant blowdown
− Ash, slag dan dross yang merupakan residu
dari proses peleburan
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D212 TINTA 2221 − MFDP Tinta − Sludge dari proses produksi dan − Organik (binder dan resin)
Kegiatan-kegiatan yang 2102 − Proses deinking pada pabrik penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
menggunakan tinta seperti 2109 bubur kertas − Sludge terkontaminasi − Senyawa organometal
percetakan pada kertas, 2422 − IPAL yang mengolah efluen dari − Pelarut bekas − Pelarut mudah terbakar
plastik, tekstil, dll, termasuk 2520 proses yang berhubungan dengan − Sludge dari IPAL − Logam berat (terutama Cr, Pb)
proses deinking pada pabrik 2211 tinta − Residue dari proses pencucian − Pigmen dan zat warna
bubur kertas − Kemasan bekas tinta − Detergen
− Produk off spec dan kadaluarsa − Calico printing - As

D213 TEKSTIL 1711/1712 − Proses finishing tekstil − Sludge dari IPAL yang mengandung logam − Logam berat (terutama As, Cd, Cr,
1721/1722 − Proses dyeing bahan tekstil berat Pb, Cu, Zn)
1723/1729 − Proses printing bahan tekstil − Pelarut bekas (cleaning) − Hidrokarbon terhalogenasi (dari
1810/1820 - IPAL yang mengolah efluen − Fire retardant (Sb/senyawa brom organik) proses dressing dan finishing)
proses kegiatan di atas − Pigment, zat warna dan pelarut
organic
− Tensioactive (surfactant)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D214 MANUFAKTUR DAN 2813/2912291 − Seluruh proses yang − Sludge proses produksi − Logam dan Logam berat
PERAKITAN KENDARAAN 3/29152927/3 berhubungan fabrikasi dan − Pelarut bekas dan cairan pencuci (organik (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb,
DAN MESIN 1103410/3420 finishing logam, manufaktur dan inorganik) Ag, Hg, Cu, Ni, Zn, Se, Sn)
Mencakup manufaktur dan 3430/3530 mesin dan suku cadang dan − Residu proses produksi − Nitrat
perakitan kendaraan 3591/3592 perakitan. Termasuk kegiatan − Sludge dari IPAL − Residu cat
bermotor, sepeda, kapal, yang terkait dengan D215 dan − Minyak dan gemuk
pesawat terbang, traktor, D216 − Senyawa amonia
alat-alat berat, generator, − IPAL yang mengolah efluen dari − Pelarut mudah terbakar
mesin-mesin produksi dll. proses di atas − Asbestos
− Larutan Asam

D215 ELEKTROPLATING DAN 2892 − Semua proses yang berkaitan − Sludge pengolahan dan pencucian − Logam dan Logam berat
GALVANIS 2710/2720 dengan kegiatan pelapisan − Larutan pengolah bekas (terutama Cd, Cr, Cu, Pb, As,
Mencakup kegiatan 2811/2812 logam termasuk perlakuan : − Larutan asam (pickling) Ba, Hg, Se, Ag, Ni, Zn, Sn)
pelapisan logam pada 2891/2893 phosphating, etching, polishing, − Dross, slag − Sianida
permukaan logam atau 2899/2911 chemical conversion coating, − Pelarut bekas (terklorinasi) − Senyawa Ammonia
plastik dengan proses 2912/2915 anodizing − Larutan bekas proses degreasing − Fluorida
elektris 2919/2922 − Pre-treatment: pickling, − Sludge IPAL − Fenol
2924/2925 degreasing, stripping, cleaning, −
2926/2927 − Residue dari larutan batch Nitrat
grinding, sand blasting, weld
2930/3110 cleaning, depainting
3120/3190 − IPAL yang mengolah efluen
3210/3220 proses elektroplating dan
3230/3410 galvanis
3420/3430
3530/3591
3592/3610
3699/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

216 CAT 2422 − MFPD cat − Sludge cat − Bahan organic (resin)
Termasuk varnish dan 2029/2811 − IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
bahan pelapis lain 2812/2892 proses yang berkaitan dengan − Sludge dari IPAL − Caustic sludge
2893/2899 cat − Filter bekas − Pelarut mudah meledak
2911/2912 − Produk off-spec − Pigmen
2915/2919 − Residu dari proses distilasi − Logam dan logam berat
2922/2924
− Cat anti korosi (Pb, Cr) (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb,
2925/2926
2927/2930 − Debu dan/atau sludge dari unit pengendalian Hg, Se, Ag, Zn)
pencemaran udara − Senyawa Sn Organik
3110/3120
3190/3150 − Sludge proses dip painting
3210/3220
3230
3410
3420/3430
3530/3591
3592/3610
3699/4520
3511/3694
3699
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D217 BATERE SEL KERING 3140 − MFDP batere sel kering - Sludge proses produksi - Logam berat (terutama Cd, PB,
− IPAL yang mengolah effluen proses produksi batere - Residu proses produksi NI,Zn.Hg)
- Batere bekas, off specdan - Residu padat mengandung logam
kadaluarsa
- Sludge dari IPAL
- Metal powder
- Dust, slag, ash

D218 BATERE SEL BASAH 3140 − MFDP batere sel basah - Sludge proses produksi - Logam berat (terutama Cd, Pb,
− IPAL yang mengolah effluen proses produksi batere - Batere bekas, off specdan Ni, Zn, Sb)
kadaluarsa - Asam/alkali
- Sludge dari IPAL - Sel mengandung Litium
- Larutan Asam/alkali
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D219 KOMPONEN 3110/3120 − Manufaktur dan perakitan komponen − Sludge proses produksi - Logam dan logam berat
ELECTRONIK/ 3150/3190 dan peralatan elektronik − Pelarut bekas (terutama As, Ba, Cd, Cr, Pb, Ag,
PERALATAN 3210/3220 − IPAL yang mengolah efluen proses − Mercury contactor/switch Hg, Cu, Ni, Zn, Se, Sn, Sb)
ELEKTRONIK 3230/3320 − Lampu Fluorescence (Hg) - Nitrat
− Coated glass - Fluorida
− Larutan etching untuk printed circuit - Residu cat
- Bahan Organikl
− Caustic stripping (photoresist)
- Larutan asam/alkalin
− Residu solder dr fluxnya
- Pelarut terhalogenasi
− Limbah pengecatan - Residu proses etching (Fe Cl3)

-
D220 EKSPLORASI DAN 1110 − Eksplorasi dan produksi − Slop minyak - Bahan organik
PRODUKSI MINYAK GAS 1120 − Pemeliharaan fasilitas produksi − Lumpur bor (drilling mud) - Bahan terkontaminsai
DAN PANAS BUMI − Pemeliharaan fasilitas penyimpanan − Sludge minyak - Logam berat
− IPAL yang mengolah efluen − Karbon aktif dan absorban bekas - Merkuri (pada karbon aktif,
pemrosesan minyak dan gas alam − IPAL yang mengolah efluen pemroses molecular sieve, dll)
− Tangki penyimpan minyak dan gas alam
− Cutting pemboran
− Residu dasar tangki (yang memiliki
kontaminan di atas standar dan memiliki
karakteristik limbah B3
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D221 KILANG MINYAK DAN 2320 − Proses pengolahan − Sludge bekas − Bahan Organik
GAS BUMI − IPAL yang mengolah efluen proses pengolahan − Katalis bekas − Bahan terkontaminasi minyak
− Dissolved Air Flotation Unit (DAF) − Karbon aktif bekas − Logam dan logam berat
− Pembersihan heat exchanger − Sludge dari IPAL (terutama Ba, Cr, Pb, Ni)
− Tangki penyimpan − Filter bekas − Sulfida
− Residu dasar tangki (yang − Tensioactive (surfactant, etc)
memiliki kontaminan diatas
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3 )
− Limbah Laboratorium
− Limbah PCB

D222 PERTAMBANGAN 1320 - Kegiatan penambangan yang berpotensi untuk − Sludge pertambangan − Logam berat
1020 menghasilkan limbah B# seperti penambangan terkontaminasi logam berat − Residu pelarut
tembaga, emas, batubara, timah, dll − Flotation sludge/tailing yang − Sianida
memiliki kontaminan di atas
standar dan memiliki
karakteristik limbah B3)
− Pelarut bekas
− Limbah Laboratorium
- Limbah PCB
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D223 PLTU YANG 4010 − Pembakaran batubara yang − Fly ash − Heavy metals
MENGGUNAKAN BAHAN digunakan untuk pembangkit − Bottom ash (yang memiliki kontaminan di atas − Organic materials (PNA-
BAKAR BATUBARA listrik standar dan memiliki karakteristik limbah B3) polynuclear aromatics)
− Limbah PCB

D224 PENYAMAKAN KULIT 1911 − Prose tanning dan finishing − Sludge dari proses tanning and finishing − Heavy metals (especially Cr, Pb)
1912 − Proses trimming/shaving/buffing − Pelarut bekas − Organic solvent
1920 − IPAL yang mengolah efluen dari − Sludge dari IPAL − Acid solution
proses di atas − Asam kromat bekas

D225 ZAT WARNA DAN PIGMEN 2422 − MFDP zat warna dan pigmen − Sludge dari proses produksi dan fasilitas − Bahan organik
2429 − IPAL yang mengolah efluen penyimpanan − Hidrokarbon terhalogenasi
2411 proses yang berkaitan dengan zat − Pelarut bekas − Logam dan logam berat
warna dan pigmen − Sludge dari IPAL (terutama Cr, Zn, Pb, Hg, Ni, Sn,
− Residu produksi/reaksi Cu, Sb, Ba)
− Absorban dan filter bekas − Senyawa organometal
− Produk off-spec − Sianida
− Nitrat
− Fluorida, Sulfida
− Arsen
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D226 FARMASI 2423 − MFDP produk farmasi − Sludge dari fasilitas produksi − Bahan Organik
− IPAL yang mengolah efluen − Pelarut bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
proses manufaktur dan produksi − Produk Off-spec, kadaluarsa dan sisa − Pelarut mudah meledak
farmasi − Sludge dari IPAL − Logam berat (terutama As)
− Peralatan dan kemasan bekas − Bahan aktif
− Residu proses produksi dan formulasi
− Absorban dan filter (karbon aktif)
− Residu proses destilasi, evaporasi dan reaksi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi

D227 RUMAH SAKIT 7511 − Seluruh RS dan laboratorium − Limbah klinis − Limbah terinfeksi
9309 klinis − Produk farmasi kadaluarsa − Residu produk farmasi
− Peralatan lab terkontaminasi − Bahan-bahan kimia
− Kemasan produk farmasi
− Limbah laboratorium
− Residu dari proses insinerasi
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D228 LABORATORIUM RISET 7310 − Seluruh jenis laboratorium kecuali − Pelarut − Bahan kimia (murni atau
DAN KOMERSIAL 7422 yang termasuk D227 − Bahan kimia kadaluarsa terkonsentrasi) dan larutan kimia
− Residu sampel berbahaya atau beracun
Beberapa industri memiliki
laboratorium misalnya :
tekstil, makanan, pulp &
paper, penyempurnaan,
bahan kimia, cat, karet, dll

D229 FOTOGRAFI 2211/2221 − MFDP bidang fotografi − Larutan developer, fixer , bleach solution − Perak
2222/2429 − Pelarut bekas − Pelarut organik
− Off-set Cr − Senyawa pengoksidasi

D230 PENGOLAHAN 2310 − Proses produksi − Residu proses produksi (tar) − Hidrokarbon organik (PNA)
BATUBARA DENGAN − IPAL yang mengolah efluen dari − Residu minyak − Residu minyak
PIROLISIS proses
Cokes productions

D231 DAUR ULANG MINYAK 9000 − Proses purifikasi dan regenerasi − Filter dan absorban bekas − Material terkontaminasi minyak
PELUMAS BEKAS − Residu proses destilasi dan evaporasi (tar) − Logam berat (terutama Zn, Pb, Cr)
− Residu minyak/emulsi/sludge (DAF/dasar − Sludge minyak
tangki) − Hidrokarbon terhalogenasi
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBA INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN
H

D232 SABUN- 2424 − Proses manufaktur dan formulasi − Rsidu produksi dan konsentrat − Bahan organik
DETERJEN/PRODUK produk − Filter dan absorban bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
PEMBERSIH − Pelarut bekas − Logam berat (Zn)
DESINFEKTAN/KOSMETIK − Konsentrat Off-spec dan kadaluarsa − Fluorida
− Limbah Laboratorium − Nitrat
− Tensioactive kuat
− Residu asam

D233 PENGOLAHAN LEMAK 1514 − Proses manufaktur dan formulasi − Residu filtrasi − Logam berat (terutama Cr, Ni,
HEWANI/NABATI DAN produk lemak nabati/hewani dan − Sludge minyak/lemak Zn)
DERIVATNYA turunannya − Limbah Laboratorium − Residu minyak
− Residu proses destilasi − Residue asam
− Katalis bekas (Cr)

D234 ALLUMINIUM THERMAL 2720 − Proses peleburan dan − Manufaktur anoda – tar dan residu karbon − Logam berat (terutama)
METALLURGY 2732 penyempurnaan (primer dan − Proses Skimming − Residue asam
ALLUMINIUM CHEMICAL sekunder) − Spent pot lining (katoda) − Sianida (proses Cryolite)
CONVERSION − Pelapisan aluminium − Residu proses peleburan (slag dan dross)
COATING − IPAL yang mengolah efluen dari − Sludge dari IPAL
proses coating − Anodizing sludge
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D235 PELEBURAN DAN 2720 − Seng terelektrolisis dalam proses − Sludge dari proses peleburan dan fasilitas − Logam berat (terutama Zn, Cr,
PENYEMPURNAAN SENG peleburan dan penyempurnaan pemurnian udara Pb, Th)
- Zn − Pyrometallurgical zinc peleburan − Debu/sludge dari peralatan pengendali − Residu asam
dan penyempurnaan penecemaran udara
− IPAL yang mengolah efluen − Slag dan dross (residu proses peleburan)
proses peleburan dan − Proses Skimming
penyempurnaan − Sludge dari IPAL
− Sludge dari Acid plant blowdown
− Electrolytic anode slime/sludge

D236 PROSES LOGAM NON- − Proses cold rolling, drawing, − Larutan Oksalat dan sludgenya − Logam berat (terutama As, Ba,
FERO sheeting dan finishing logam non- − Larutan Permanganate (pickling) Cd, Cr, Ni, Pb)
ferro (misalnya Cu, Al, Zn, alloy) − Residu asam pickling − Nitrat. Fluorida
− Larutan pembersih alkali − Asam Borat dan oksalat
− Minyak emulsi pendingin/pelumas − Larutan Asam/Alkali
− Limbah minyak
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D237 METAL HARDENING 2710/2720 − Seluruh proses pengolahan − Sludge − Metals and heavy metals
2811/2812 (misalnya : nitriding, carburizing) − Pelarut bekas (especially Ba, Cr, Mn)
2891/2892 − IPAL yang mengolah efluen − Cyanides
2899/2911 proses
2912/2915
2919/2922
2924/2926
2927/3110
3120/3190
3430/3530

D238 METAL/PLASTIC 2710/2720 − Semua proses yang berkaitan − Emulsi minyak (misalnya cairan cutting dan − Logam dan logam berat
SHAPING 2731/2732 termasuk : grinding, cutting, minyak pendingin) − Emulsi minyak
2811/2812 rolling, drawing, filling, dll − Sludge dari proses shaping − Hidrokarbon terhalogenasi
2891/2893 − Pelarut bekas − Fluorida-Nitrat
2899/2911
2912/2915
2919/1922
2924/2925
2926/2927
2930/3110
3120/3130
3410/3420
3430/3511
3530/3591
3592/4520
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D239 LAUNDRY DAN DRY 9301 − Proses cleaning dan degreasing − Pelarut bekas − Pelarut organik
CLEANING yang memakai pelarut organik dan − Larutan kaustik bekas − Hidrokarbon terhalogenasi
pelarut kaustik kuat. − Sludge proses cleaning dan degreasing − Lemak dan gemuk

D240 IPAL INDUSTRI − Sludge IPAL − Logam dan logam berat (terutama
Fasilitas pengolahan limbah As, Cd, Cr, Pb, Hg, Se, Ag,. Cu,
cair terpadu dari kegiatan- Ni)
kegiatan yang termasuk − Hidrokarbon terhalogenasi
dalam tabel ini − Bahan Organik
− Ammonia
− Sulfida
− Fluorida

D241 PENGOPERASIAN − Proses insinerasi limbah − Fly ash − Logam berat


INSINERATOR LIMBAH − Slag/bottom ash − Residu pembakaran tidak
− Residue pengolahan flue gas sempurna
D242 DAUR ULANG PELARUT 9000 − Recycle/ regenerasi/ purifikasi − Residu proses distilasi dan proses evaporasi − Hidrokarbon terhalogenasi
BEKAS pelarut organik bekas − Filter dan absorban bekas − Bahan Organik
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D243 GAS INDUSTRI 4020 − Manufaktur dan formulasi gas − Limbah Carbide-residu − Residu Alkali
industri (acetylene, hidrogen) − Katalis bekas (reformer/desulfurizer) − Logam berat

D244 GELAS KERAMIK/ENAMEL 2610 − Manufaktur dan formulasi produk − Bubuk gelas - terlapis logam − Logam berat (terutama Pb, Cd,
gelas dan keramik/enamel − Emulsi minyak Cr, Co, Ni, Ba)
− Residu dari proses etching − Limbah minyak
− Hg (glass switches) − Fluorida
− Debu/sludge dari peralatan pengendali
pencemaran udara
− Residue Opal glass- As
− Bronzing and decolorizing agent - As

D245 SEAL, GASKET, PACKING 3699 − Manufaktur dan formulasi produk − Sisa Asbestos − Asbestos
seal, gasket dan packing − Adhesive coating − Logam berat (terutama Pb, Hg,
Zn)
KODE JENIS KODE SUMBER PENCEMARAN ASAL/URAIAN LIMBAH PENCEMARAN UTAMA
LIMBAH INDUSTRI/KEGIATAN KEGIATAN

D246 PRODUK KERTAS 2102 − Manufaktur dan formulasi produk − Adesif/perekat sisa dan kadaluarsa − Pelarut organik
2109 kertas − Residu pencetakan (tinta/pewarna) − Logam berat dari tinta/pewarna
− Kegiatan pencetakan dan − Pelarut bekas
pewarnaan − Sludge dari IPAL

D247 CHEMICAL /INDUSTRIAL 4520 − Degreasing, descaling, − Alkali, pelarut asam dan/atau larutan − Larutan asam/alkali
CLEANING 9309 phosphating, derusting, oksidator yang terkontaminasi logam, minyak,
passivation, refinishing, etc gemuk
− Residu dari kegiatan pembersihan
− −
D248 FOTOKOPI 5150 − Pemeliharaan peralatan − Toner bekas − Logam berat (terutama Se)
2429 − MFDP toner

D249 SEMUA JENIS INDUSTRI − Proses replacement, refilling, − Limbah PCB − PCB
YANG reconditioning atau retrofitting
MENGHASILKAN/MENG- dari transformer dan capacitor
GUNAKAN LISTRIK

− −
D250 SEMUA JENIS INDUSTRI − Penggantian fireproof insulation − Asbestos − Asbestos
KONSTRUKSI (ac), atap , insulation

D251 BENGKEL − Pemeliharaan mobil, motor, kereta − Pelumas bekas − Limbah minyak
PEMELIHARAAN api, pesawat, termasuk body − Pelarut (cleaning, degreasing) − Pelarut mudah terbakar
KENDARAAN repair. − Limbah cat − Asam
− Asam − Logam berat
− Batere bekas
TABLE 3. DAFTAR LIMBAH DARI BAHAN KIMIA KADALUARSA,
TUMPAHAN, SISA KEMASAN, ATAU BUANGAN PRODUK YANG TIDAK
MEMUHI SPESIFIKASI.

KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR

D3001 Asetaldehida
D3002 Asetamida
D3003 Asam asetat, garam-garamnya dan ester-esternya
D3004 Aseton
D3005 Asetonitril
D3006 Asetilklorida
D3007 Akrolein
D3008 Akrilamida
D3009 Akrilonitril
D3010 Aldrin
D3011 Aluminium alkil dan turunannya
D3012 Aluminium Fosfat
D3013 Amonium Pikrat
D3014 Amonium Vanadat
D3015 Anilina
D3016 Arsen dan senyawanya
D3017 Arsen Oksida, tri, penta
D3018 Arsen Disulfida, Arsen Triklorida
D3019 Dietilarsina
D3020 Barium dan senyawanya
D3021 Chromated Copper Arsenate
D3022 Benzena
D3023 Klorobenzena
D3024 1,3-Diisocyanatometil-Benzena
D3025 Dietilbenzena
D3026 Heksahidrobenzena
D3027 Benzenasulfonic Klorida
D3028 Benzenesulfonil Klorida
D3029 Berilium dan senyawanya
D3030 Bis(Klorometil)eter
D3031 Bromoform
D3032 1,1,2,3,4,4-heksakloro-1,3-Butadiena
D3033 n-Butil alkohol
D3034 Butana
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3035 Butil aldehida
D3036 Cadmium dan senyawanya
D3037 Kalsium kromat
D3038 Amoniacal copper arsenate
D3039 Dikloro Karbonat
D3040 Karbon disulfida
D3041 Karbon tetraklorida
D3042 Kloroasetaldehida
D3043 Klorodana, Isomer alfa & beta
D3044 Kloretana (Etillklorida)
D3045 Kloroetena (vinil klorida)
D3046 Klorodibromometana
D3047 Kloroform
D3048 p-Kloroanilina
D3049 2-Kloroetil vinil eter
D3050 Klorometil metil eter
D3051 Asam Kromat
D3052 Chromium dan senyawa-senyawanya
D3053 Sianida dan senyawa-senyawanya
D3054 Kreosot
D3055 Kumena
D3056 Siklohexana
D3057 2,4-D, garam-garam dan esternya
D3058 DDD
D3059 DDT
D3060 1,2-Diklorobenzena
D3061 1,3-Diklorobenzena
D3062 1,2-Dikloroetana
D3063 1,1 -Dikloroetene
D3064 1,2-Dikloropropana
D3065 1,3-Dikloropropena
D3066 Dieldrin
D3067 Dimetil Ftalat
D3068 Dimetil sulfat
D3069 2,4-Dinitrotoluene
D3070 2,6-Dinitrotoluene
D3071 Endrin dan senyawa metabolitnya
D3072 Epiklorohidrin
D3073 2-Etoksi etanol
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3074 1-Fenil Etanon
D3075 Etil akrilat
D3076 Etil asetat
D3077 Etilbenzena
D3078 Etil karbamat (uretan)
D3079 Etil eter
D3080 Asam Etilen bisditiokarbamic dan senyawanya
D3081 Etilen dibromida
D3082 Etilen diklorida
D3083 Etilen glikol (monoetil ether)
D3084 Etilen oksida (Oksirana)
D3085 Fluorin
D3086 Fluoroasetamida
D3087 Asam Fluoroasetat dan garam sodiumnya
D3088 Formaldehida
D3089 Asam Formiat
D3090 Furan
D3091 Heptaklor
D3092 Heksaklorobenzena
D3093 Heksaklorobutadiena
D3094 Heksakloroetana
D3095 Hidrogen Sianida
D3096 Hidrazina
D3097 Asam fosfat
D3098 Asam fluorat
D3099 Asam fluorida
D3100 Asam sulfida
D3101 Hidroksibenzena (fenol)
D3102 Hidroksitoluen (cresol)
D3103 Isobutil alkohol
D3104 Timbal asetat
D3105 Timbal kromate
D3106 Timbal nitrat
D3107 Timbal oksida
D3108 Timbal fosfat
D3109 Lindana
D3110 Maleat anhidrida
D3111 Maleat hidrazida
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR
D3112 Mercuri dan senyawa-senyawanya
D3113 Metil hidrazine
D3114 Metil paration
D3115 Tetraklorometana
D3116 Tribromometana
D3117 Triklorometana
D3118 Triklorofluorometana
D3119 Metanol (metil alkohol)
D3120 Metoksiklor
D3121 Metil bromida
D3122 Metil klorida
D3123 Metil kloroform
D3124 Metilen bromida
D3125 Metil isobutil keton
D3126 Metil etil ketone
D3127 Metil etil ketone peroksida
D3128 Metil benzene (toluene)
D3129 Metil iodid
D3130 Naftalena
D3131 Nitrat oksida
D3132 Nitrobenzena
D3133 Nitrogliserin
D3134 Oksirana
D3135 Paration
D3136 Paraldehida
D3137 Pentaklorobenzena
D3138 Pentakloroetana
D3139 Pentakloronitrobenzena
D3140 Pentaklorofenol
D3141 Perkloroetilen
D3142 Phenil tiourea
D3143 Fosgen
D3144 Fosfin
D3145 Fospor sulfida
D3146 Fospor pentasulfida
D3147 Ftalat anhidrida
D3148 1 -Bromo ,2-propanon
D3149 2-Nitropropana,
KODE LIMBAH BAHAN PENCEMAR

D3150 n-Propilamina
D3151 Propilen Diklorida
D3152 Pirene
D3153 Piriden
D3154 Selenium dan senyawanya
D3155 Selenium dioksida
D3156 Selenium sulfida
D3157 Perak Sianida
D3158 2,4,5-TP (Silvex)
D3159 Natrium azida
D3160 Striknidin-10-satu dan garamnya
D3161 Asam sulfat, Dimetil Ester Sulfat
D3162 Sulfur Fosfit
D3163 2,4,5-T
D3164 1 2,4,5-Tetraklorobenzena
D3165 1,1,1,2-Tetrakloroetana
D3166 1,1,2,2-Tetrakloroetana
D3167 2,3,4,6-Tetraklorofenol
D3168 Tetraklorometana
D3169 Tetra etil timbal
D3170 2,4,5-Triklorofenol
D3171 2,4,6-Triklorofenol
D3172 1,3,5-Trinitrobenzena
D3173 Vanadium oksida
D3174 Vanadium pentaoksida
D3175 Vinil klorida
D3176 Warfarin
D3177 Dimetylbenzena
D3178 Seng Posfit

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
LAMPIRAN II

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : 85 TAHUN 1999
TANGGAL : 7 OKTOBER, 1999

BAKU MUTU TCLP ZAT PENCEMAR DALAM LIMBAH UNTUK


PENENTUAN KARAKTERISTIK SIFAT RACUN

KODE KONSENTRASI DALAM


LIMBAH PARAMETER
EKSTRASI LIMBAH (mg/L)
(TCLP)
D 4001 Aldrin + Dieldrin 0,07
D 4002 Arsen 5,0
D 4003 Barium 100
D 4004 Benzene 0,5
D 4005 Boron 500,0
D 4006 Cadmium 1,0
D 4007 Carbon tetrachloride 0,5
D 4008 Chlordane 0.03
D 4009 Cholorobenzene 100,0
D 4010 Chloroform 6,0
D 4011 Chromium 5,0
D 4012 Copper 10,0
D 4013 o-Cresol 200,0
D 4014 m-Cresol 200,0
D 4015 p-Cresol 200,0
D 4016 Total Cresol 200,0
D 4017 Cyanide (free) 20,0
D 4018 2,4-D 10,0
D 4019 1,4-Dicholorobenzene 7,5
D 4020 1,2-Dicholoroethane 0,5
D 4021 1,1-Dicholoroethylene 0,7
D 4022 2,4-Dinitrotoluene 0,13
D 4023 Endrin 0,02
D 4024 Fluorides 150,0
D 4025 Heptachlor+Heptachlor Epoxide 0,008
D 4026 Hexachlorobenzene 0,13
D 4027 Hexachlorobutadiene 0,5
D 4027 Hexachloroethane 3,0
KODE KONSENTRASI DALAM EKSTRASI
LIMBAH PARAMETER LIMBAH (mg/L)
(TCLP)
D 4029 Lead 5,0
D 4030 Lindane 0,4
D 4031 Mercury 0,2
D 4032 Methoxychlor 10,0
D 4033 Methyl Ethyl Ketone 200,0
D 4034 Methyl Parathion 0,7
D 4035 Nitrate+ Nitrite 1.000,0
D 4036 Nitrite 100,0
D 4037 Nitrobenzene 2,0
D 4038 Nitrilotriacetic acid 5,0
D 4039 Pentacholorophenol 100,0
D 4040 Pyridine 5,0
D 4041 Parathio 3,5
D 4042 PCBs 0,3
D 4043 Selenium 1,0
D 4044 Silver 5,0
D 4045 Tetracholoroethylene (PCE) 0,7
D 4046 Toxaphene 0,5
D 4047 Trichloroethylene (TCE) 0,5
D 4048 Trihalomethanes 35,0
D 4049 2,4,5-Trichlorophenol 400,0
D 4050 2,4,6-Tricholorophenol 2,0
D 4051 2,4,5-TP (Silvex) 1,0
D 4052 Vynil Choloride 0,2
D 4053 Zinc 50,0

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
ttd dan cap
Lambock V. Nahattands
LAMPIRAN III

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR : 85 TAHUN 1999
TANGGAL : 7 OKTOBER 1999

DAFTAR ZAT PENCEMAR DALAM LIMBAH YANG BERSIFAT KRONIS

KODE LIMBAH
NAMA UMUM

D 5001 Acethonitrile
D 5002 Acethophenone
D 5003 2-Acetylaminefluorene
D 5004 Acetyl chloride
D 5005 1-Acethyl-2-thiourea
D 5006 Acidic solutions or acid in solid form
D 5007 Acrolein
D 5008 Acrylamide
D 5009 Acrylonitrile
D 5010 Aflatoxins
D 5011 Aldicarb
D 5012 Aldicarb sulfone
D 5013 Aldrin
D 5014 Alkyl alcohol
D 5015 Alkyl chloride
D 5016 Aluminium phosphide
D 5017 4-Aminobiphenyl
D 5018 5(Aminomethyl)3-isoxazolol
D 5019 4-Aminobiphenyl
D 5020 Amitrole
D 5021 Ammonium vanadate
D 5022 Aniline
D 5023 Antimony
D 5024 Antimony compounds, NOS
D 5025 Any congenor polychlorinated dibenzo-furan
D 5026 Any congenor polychlorinated dibenzo-p-dioxin
D 5027 Aramite
D 5028 Arsenic
D 5029 Arsenic compounds, NOS*
D 5030 Arsenic acid
D 5031 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5031 Arsenic pentoxide


D 5032 Arsenic trioxide
D 5033 Asbestos (dust & fibres)
D 5034 Auramine
D 5035 Azaserine
D 5036 Barban
D 5037 Barium
D 5038 Barium compounds, NOS
D 5039 Barium cyanide
D 5040 Basic solutions or bases in solid form
D 5041 Bendiocarb
D 5042 Bendiocarb-phenol
D 5043 Benomyl
D 5044 Benz(e)acridine
D 5045 Benz(a)anthracene
D 5046 Benzal chloride
D 5047 Benzene
D 5048 Benzenearsonic acid
D 5049 Benzidine
D 5050 Benzo(b)fluoranthene
D 5051 Benzo(j)fluoranthene
D 5052 Benzo(k)fluoranthene
D 5053 Benzo(a)pyrene
D 5054 p-Benzoquinone
D 5055 Benzotrichloride
D 5056 Benzyl chloride
D 5057 Beryllium powder
D 5058 Beryllium compounds, NOS
D 5059 Bis (pentamethylene)-thiuram tetrasulfide
D 5060 Bromoaceton
D 5061 Bromoform
D 5062 4-Bromophenyl phenyl ether
D 5063 Brucine
D 5064 Butyl benzyl phtalate
D 5065 Caodylie acid
D 5066 Cadmium
D 5067 Cadmium compounds, NOS
D 5068 Calcium chromate
D 5069 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5069 Calcium cyanide


D 5070 Carbaryl
D 5071 Carbendazim
D 5072 Carbofuran
D 5073 Carbofuran phenol
D 5074 Carbon disulfide
D 5075 Carbon oxyfluoride
D 5076 Carbon tetrachloride
D 5077 Carbosulfan
D 5078 Chloral
D 5079 Chlorambucil
D 5080 Chlordane
D 5081 Chlordane (alpha and gamma isomers)
D 5082 Chlorinated benzenes, NOS
D 5083 Chlorinated ethane, NOS*
D 5084 Chlorinated fluorocarbons, NOS*
D 5085 Chlorinated naphtalene, NOS*
D 5086 Chlorinated phenol, NOS*
D 5087 Chlornaphazine
D 5088 Choloroacetaldehyde
D 5089 Chloroalkyl ethers, NOS*
D 5090 p-Chloroaniline
D 5091 Chlorobenzene
D 5092 Chlorobenzilate
D 5093 p-Chloro-m-eresol
D 5094 2-Chloroethyl vinyl ether
D 5095 Chloroform
D 5096 Chloromethyl methyl eter
D 5097 Beta-Chloronaphtalene
D 5098 o-Chlorophenol
D 5099 1-(o-Chlorophenyl)thiourea
D 5100 Chloroprene
D 5101 3-Chloropropionitrile
D 5102 Chromium
D 5103 Chromium compounds, NOS
D 5104 Chrysene
D 5105 Citrus red no. 2
D 5106 Coal tar creosole
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5107 Copper Cyanide


D 5108 Creosole
D 5109 Cresol (cresilic acid)
D 5110 Crotonaldehyde
D 5111 m-Cumenyl methyl carbamate
D 5112 Cyanides (soluble salt & complexes), NOS*
D 5113 Cyanogen
D 5114 Cyanogen bromide
D 5115 Cyanogen chloride
D 5116 Cyeasin
D 5117 Cycloale
D 5118 2-Cyclohexyl-4,6-dinitrophenol
D 5119 Cyclophosphamide
D 5120 2,4-D
D 5121 2,4-D, salt, esters
D 5122 Daunomycin
D 5123 Dazomet
D 5124 DDD
D 5125 DDE
D 5126 DDT
D 5127 Diallate
D 5128 Dibenza(a,h)acridine
D 5129 Dibenza(a,j)acridine
D 5130 Dibenza(a,h)anthraene
D 5131 711-Dibenzo(c,g)carbazole
D 5132 Dibenzo(a,e)pyrene
D 5133 Dibenzo(a,h)pyrene
D 5134 Dibenzo(a,l)pyrene
D 5135 1,2-Dibromo-3-chloropropane
D 5136 Dibutyl pthalate
D 5137 o-Dichlorobenzene
D 5138 m-Dichlorobenzene
D 5139 p-Dichlorobenzene
D 5140 Dichlorobenzene, NOS*
D 5141 3,3-Dichlorobenzidine
D 5142 1,4-Dichloro-2-butene
D 5143 Dichlorodifluoromethane
D 5144 Dichloroethylene, NOS*
D 5145 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5145 1,1-Dichloroethylene
D 5146 1,2-Dichloroethylene
D 5147 Dichloroethyl ether
D 5148 Dichloroisopropyl ether
D 5149 Dichloromethoxy ethane
D 5150 Dichloromethyl ether
D 5151 2,4-Dichlorophenol
D 5152 2,6-Dichlorophenol
D 5153 Dichlorophenylarsine
D 5154 Dichloropropane, NOS*
D 5155 Dichloropropanol, NOS*
D 5156 Dichloropropene, NOS*
D 5157 1,3-Dichloropropene
D 5158 Dieldrin
D 5159 1,2,3,4-Diepoxybutane
D 5160 Diethylarsine
D 5161 1,4-Diethyleneoxyde
D 5162 Diethylhexyl phtalate
D 5163 N,N’-Diethylhydrazine
D 5164 O,O-Diethyl S-methyl dithiophosphate
D 5165 Diethyl-p-nitrophenyl phosphate
D 5166 Diethyl phtalate
D 5167 O,O-Diethyl O-pyrazinyl phosporothioate
D 5168 Diethylene glycol, dicarbamate
D 5169 Diethylstillbesterol
D 5170 Dihydrosafrole
D 5171 Diisopropylfluorophospahate (DTP)
D 5172 Dimethoate
D 5173 3,3”Dimethoxibenzidine
D 5174 p-Dimethylaminoazobenzene
D 5175 7,12-Dimethylbenz(a)anthracene
D 5176 3,3’-Dimethylbenzidine
D 5177 Dimethylcarbamyl chloride
D 5178 1,1-Dimethylhydrazine
D 5179 1,2-Dimethylhydrazine
D 5180 Alpha,alpha-Dimethylphenethylamine
D 5181 2,4-Dimethylphenol
D 5182 Dimethyl phtalate
D 5183 Dimethyl sulfate
D 5184 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5184 Dimetilen
D 5185 Dinitrobenzene, NOS*
D 5186 4,6-Dinitro-o-cresol
D 5187 4,6-Dinitro-o-cresol salts
D 5188 2,4-Dinitrophenol
D 5189 2,4-Dinitroluene
D 5190 2,6-Dinitroluene
D 5191 Dinoseb
D 5192 Di-n-octylphtalate
D 5193 Diphenylamine
D 5194 1,2-Diphenylhydrazine
D 5195 Di-n-propylnitrosamine
D 5196 Disulfiram
D 5197 Disulfoton
D 5198 Dithiobiuret
D 5199 Endosulfan
D 5200 Endothall
D 5201 Endrin
D 5202 Endrin metabolites
D 5203 Epichlorohydin
D 5204 Epihephrine
D 5205 EPTC
D 5206 Ethyl carbamate (urethane)
D 5207 Ethers
D 5208 Ethyl cyanide
D 5209 Ethylenebisdithiocarbamic acid
D 5210 Ethylenebisdithiocarbamic acid, salts & esters
D 5211 Ethylene dibromide
D 5212 Ethylene dichloride
D 5213 Ethylene glicol monoethyl ether
D 5214 Ethyleneimine
D 5215 Ethylene oxyde
D 5216 Ethylenethiourea
D 5217 Ethylidene dichloride
D 5218 Ethylmethacrylate
D 5219 Ethyl methanesulfonate
D 5220 Ethyl ziram
D 5221 Famphur
D 5222 Ferbam
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5223 Fluoranthene
D 5224 Fluorine
D 5225 Fluoroacetamide
D 5226 Fluoroacetic acid, sodium salt
D 5227 Formaldehyde
D 5228 Formetanate hydrochloride
D 5229 Formic acid
D 5230 Formparanate
D 5231 Glycidylaldehyde
D 5232 Halogenated organic solvents
D 5233 Halomethanes, NOS
D 5234 Heptachlor
D 5235 Heptachlor Epoxide
D 5236 Heptachlor Epoxide (alpha, beta, gamma isomers)
D 5237 Heptachlorodibenzofurans
D 5238 Heptachlorodibenzo-p-dioxin
D 5239 Hexacchlorobenzene
D 5240 Hexachlorobutadiene
D 5241 Hexachlorodicyclopentadiene
D 5242 Hexachlorodibenzo-p-dioxin
D 5243 Hexachlorodibenzofurans
D 5244 Hexachloroethane
D 5245 Hexachlorophene
D 5246 Hexachloropropene
D 5247 Hexaethyl tetraphosphate
D 5248 Hexavalent chromium compounds
D 5249 Hydrazine
D 5250 Hidrogen cyanide
D 5251 Hydrogen fluoride
D 5252 Hydrogen sulfide
D 5253 Indenol(1,2,3-ed)pyrene
D 5254 3-lodo-2-propynyl-n-butylearbamate
D 5255 Inorganic cyanides
D 5256 Inorganic fluorine compounds
D 5257 Isobutyl alcohol
D 5258 Isodrin
D 5259 Isolan
D 5260 Isosafrole
D 5261 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5261 Kepone
D 5262 Lasiocarpine
D 5263 Lead
D 5264 Lead compounds, NOS*
D 5265 Lead acetate
D 5266 Lead phosphate
D 5267 Lead subacetate
D 5268 Lindane
D 5269 Malcic anhydride
D 5270 Malcic hydrazine
D 5271 Malononitrile
D 5272 Manganese dimethyldithio-carbamate
D 5273 Melphalan
D 5274 Mercury
D 5275 Mercury compounds., NOS*
D 5276 Mercury fulminate
D 5277 Metal carbonyl
D 5278 Metam sodium
D 5279 Methacrylonitrile
D 5280 Methapyrilene
D 5281 Methiocarb
D 5282 Methomyl
D 5283 Methoxychlor
D 5284 Methyl bromide
D 5285 Methyl chloride
D 5286 Methyl chlorocarbonate
D 5287 Methyl chloroform
D 5288 3-Methylcholanthrene
D 5289 4,4-Methylenebis(2-chloroaniline)
D 5290 Methylene bromide
D 5291 Methylene chloride
D 5292 Methyl ethyl ketone (MEK)
D 5293 Methyl ethyl ketone peroxide
D 5294 Methyl hydrazine
D 5295 Methyl iodide
D 5296 Methyl isocyanate
D 5297 2-methyllactonitrile
D 5298 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5298 Methyl methacrylate


D 5299 Methyl methanesulfonate
D 5300 Methyl parathion
D 5301 Methylthiouracil
D 5302 Metolcarb
D 5303 Mitomycin C
D 5304 MNNG
D 5305 Molinate
D 5306 Mustard gas
D 5307 Napthalene
D 5308 1,4-Naphtoquinone
D 5309 Alpha-Naphtylamine
D 5310 Beta-Naphtylamine
D 5311 Alpha-Naphtylthiourea
D 5312 Nickel
D 5313 Nickel compounds, NOS*
D 5314 Nickel carbonyl
D 5315 Nikel cyanide
D 5316 Nicotine
D 5317 Nicotine salts
D 5318 Nitric oxide
D 5319 p-nitroaniline
D 5320 Nitrobenzene
D 5321 Nitrogen dioxide
D 5322 Nitrogen mustard
D 5323 Nitrogen mustard,hydrochloric salts
D 5324 Nitrogen mustard N-oxides
D 5325 Nitrogen mustard, N-oxide, hydrochloride salt
D 5326 Nitroglycerin
D 5327 p-Nitrophenol
D 5328 2-Nitrophropane
D 5329 Nitrosamines, NOS*
D 5330 N-Nitrosodi-n-butylamine
D 5331 N-Nitrosodiethanolamine
D 5332 N-Nitrosodiethylamine
D 5333 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5333 N-Nitrosedimenthylamine
D 5334 N-Nitroso-N-ethylurea
D 5335 N-Nitrosomethylethylamine
D 5336 N-Nitroso-N-methyleurea
D 5337 N-Nitroso-N-methylurethane
D 5338 N-Nitrosomethylvinylamine
D 5339 N-Nitosomorpholine
D 5340 N-Nitrosonornicotine
D 5341 N-Nitrosopiperidine
D 5342 N-Nitrosopirrolydine
D 5343 N-Nitrososarcosine
D 5344 5-Nitro-o-toluidine
D 5345 Octamethylpyrophosphoramide
D 5346 Organic cyanides
D 5347 Organic phosphorous
D 5348 Organic solvents
D 5349 Organohalogen compounds
D 5350 Osmium tetroxide
D 5351 Oxamyl
D 5352 Paraldehide
D 5353 Parathion
D 5354 Pebulate
D 5355 Pentachlorobenzene
D 5356 Penthachlorodibenzo-p-dioxin
D 5357 Penthachlorodibenzofurans
D 5358 Penthachloroethane
D 5359 Penthachloronitrobenzene (PCNB)
D 5360 Phentachlorophenol
D 5361 Phenacetin
D 5362 Phenol
D 5363 Phenylenediamine
D 5364 Phenylmercury acetate
D 5365 Phenylthiourea
D 5366 Phosgene
D 5367 PHOSphine
D 5368 Phorate
D 5369 Phtalic acid esters, NOS*
D 5370 Phtalic anhydride
D 5371 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5371 Phsostigmine
D 5372 Phsostigmine salicylate
D 5373 2-Picoline
D 5374 Polychlorinated biphenyls, NOS*
D 5375 Pottasium cyanide
D 5376 Pottasium dimethyldithiocarbamate
D 5377 Pottasium-n-hydroxymethyl-n-methyl-dithiocarbamate
D 5378 Pottasium-n-methyldithiocarbamate
D 5379 Pottasium penthachlorophenate
D 5380 Pottasium silver cyanide
D 5381 Promecarb
D 5382 Pronamide
D 5383 1,3-Propane sultone
D 5384 Propham
D 5385 Propoxur
D 5386 n-Propylamine
D 5387 Propargyl alcohol
D 5388 Propylene dichloride
D 5389 1,2-Propylenimine
D 5390 Propylthiouracil
D 5391 Prosulfocarb
D 5392 Pyridine
D 5393 Reserpine
D 5394 Resorcinol
D 5395 Saccharin
D 5396 Saccharin salts
D 5397 Safrole
D 5398 Selenium
D 5399 Selenium compounds, NOS*
D 5400 Selenium dioxide
D 5401 Selenium sulfide
D 5402 Selenium, tetrakis (dimethyldithiocarbamate)
D 5403 Selenourea
D 5404 Silver
D 5405 Silver compounds, NOS*
D 5406 Silver cyanide
D 5407 Silvex (2,4,5-TP)
D 5408 Sodium cyanide
D 5409 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5409 Sodium dibuthyldithiocarbamate


D 5410 Sodium diethyldithiocarbamate
D 5411 Sodium dimethyldithiocarbamate
D 5412 Sodium penthachlorophenate
D 5413 Streptozotocin
D 5414 Strychnine
D 5415 Strychnine salts
D 5416 Sulafallate
D 5417 TCDD
D 5418 Tetrabuthylthiuram monosulfide
D 5419 1,2,4,5-Tetrachlorobenzene
D 5420 Tetrachlorodibenzo-p-dioxin
D 5421 Tetrachlorodibenzo-furans
D 5422 Tetrachloroethane, NOS*
D 5423 1,1,1,2-Tetrachloroethane
D 5424 1,1,2,2 Tetrachloroethane, NOS*
D 5425 Tetrachloroethylene
D 5426 2,3,4,6-Tetrachlorophenol
D 5427 2,3,4,6-Tetrachlorophenol, potassium salt
D 5428 2,3,4,6-Tetrachlorophenol, sodium salt
D 5429 Tetraethyldithiopyrophosphate
D 5430 Tetraethyl lead
D 5431 Tetraethyl pyrophosphate
D 5432 Tetranitromethane
D 5433 Thallium
D 5434 Thamllium compounds, NOS*
D 5435 Thallic oxide
D 5436 Thallium (1) acetate
D 5437 Thallium (1) carbonite
D 5438 Thallium (1)chloride
D 5439 Thallium (1) nitrate
D 5440 Thallium Selenite
D 5441 Thallium (1) sulfate
D 5442 Thioacetamide
D 5443 Thiodicarb
D 5444 Thiofanox
D 5445 Thiomethanol
D 5446 Thiophanate-methyl
D 5447 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5447 Thiphenol
D 5448 Thiosemicarbazide
D 5449 Thiourea
D 5450 Thiram
D 5451 Tirpate
D 5452 Tellurium; Tellurium compounds
D 5453 Toluene
D 5454 Toluenediamine
D 5455 Toluene-2,4-diamine
D 5456 Toluene-2,6-diamine
D 5457 Toluene-3,4-diamine
D 5458 Toluene diisocynate
D 5459 o-Toluidine
D 5460 o-Toluidine hydrochloride
D 5461 p-Toluidine
D 5462 Toxaphene
D 5463 Triallate
D 5464 2,4,6,-Tribromophenol
D 5465 1,2,4-Trichlorobenzene
D 5466 1,1,2-Trichloroethane
D 5467 Trichloroethylene
D 5468 Trichloromonofluoromethane
D 5469 2,4,5-Trichlorophenol
D 5470 2,4,6-Trichlorophenol
D 5471 2,4,5-T
D 5472 Trichloropropane, NOS*
D 5473 1,2,3-Trichloropropane
D 5474 O,O,O-Triethyl phosphorothioate
D 5475 Triethylamine
D 5476 1,3,5-Trinitrobenzene
D 5477 Tris(1-aziridinyl)phosphine sulfide
D 5478 Tris(2,3-dibromopropyl) phosphate
D 5479 Trypan blue
D 5480 Uracil mustard
D 5481 Vanadium pentoxide
D 5483 Vinyl chloride
D 5484 …
KODE LIMBAH NAMA UMUM

D 5484 Warfarin, in smaller concentration than 0.3%


D 5485 Warfarin, in bigger concentration than 0.3%
D 5486 Warfarin salt, in smaller concentration than 0.3%
D 5487 Warfarin salt, in bigger concentration than 0.3%
D 5488 Zinc cyanide
D 5489 Zinc phospide, in bigger concentration than 10%
D 5490 Zinc phosphide, in smaller concentration or same with 10%
D 5491 Ziram

Singkatan NOS (not otherwise specified) menunjukkan bahwa anggota dari kelompok tersebut tidak terdaftar
dengan nama secara spesifik dalam Lampiran III.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
ttd dan cap
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 85 TAHUN 1999

TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 18 TAHUN 1999
TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

UMUM

Kegiatan pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat yang


dilaksanakan melalui rencana pembangunan jangka panjang yang bertumpu pada
pembangunan di bidang industri.
Pembangunan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan barang yang
bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat, dan di lain pihak industri itu juga akan
menghasilkan limbah. Di antara limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut
terdapat limbah bahan berbahya beracun (limbah B3).

Untuk mengidentifikasi limbah sebagai limbah B3 diperlukan uji karakteristik dan uji
toksikologi atas limbah tersebut. Pengujian ini meliputi karakteristik limbah atas sifat-sifat
mudah meledak dan atau mudah terbakar dan atau bersifat reaktif, dan atau beracun dan
atau menyebabkan infeksi, dan atau bersifat korosif. Sedangkan uji toksikologi digunakan
untuk mengetahui nilai akut dan atau kronik limbah. Penentuan sifat akut limbah dilakukan
dengan uji hayati untuk mengetahui hubungan dosis-respon antara limbah dengan kematian
hewan untuk menetapkan nilai LD50. Sedangkan sifat kronis limbah B3 ditentukan dengan
cara mengevaluasi sifat zat pencemar yang terdapat dalam limbah dengan menggunakan
metodologi tertentu.

Apabila suatu limbah tidak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah ini, lolos uji
karakteristik limbah B3, lolos uji LD50, dan tidak bersifat kronis maka limbah tersebut
bukan limbah B3, namun pengelolaannya harus memenuhi ketentuan.
Limbah B3 yang dibuang langsung ke dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya. Mengingat
resiko tersebut, perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah
B3 yang dihasilkan dan mencegah masuknya limbah B3 dari luar Wilayah Indonesia.
Pemerintah Indonesia dalam pengawasan perpindahan lintas batas limbah B3 telah
meratifikasi Konvesi Basel pada tanggal 12 Juli 1993 dengan Keputusan Presiden Nomor
61 Tahun 1993.
Untuk menghilangkan atau mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari limbah B3 yang
dihasilkan maka limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus. Pengelolaan
limbah B3 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk
penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian kegiatan tersebut terkait beberapa
pihak yang masing-masing merupakan suatu mata rantai dalam pengelolaan limbah B3,
yaitu :
a. Penghasil limbah B3;
b. Pengumpul limbah B3;
c. Pengangkut limbah B3;
d. Pemanfaat limbah B3;
e. Pengolah limbah B3 wastes;
f. Penimbunan limbah B3.

Dengan pengolahan limbah sebagaimana tersebut di atas, maka mata rantai siklus
perjalanan limbah B3 sejak dihasilkan oleh penghasil limbah B3 sampai penimbunan akhir
oleh pengolah limbah B3 dapat diawasi. Setiap mata rantai perlu diatur, sedangkan
perjalanan limbah B3 dikendalikan dengan sistem manifest berupa dokumen limbah B3.
Dengan sistem manifest dapat diketahui berapa jumlah B3 yang dihasilkan dan berapa yang
telah dimasukkan ke dalam proses pengolahan dan penimbunan tahap akhir yang telah
memiliki persyaratan lingkungan.

Dengan melakukan pengolahan limbah B3 perlu diperhatikan hirarki pengelolaan limbah


B3 antara lain dengan mengupayakan reduksi pada sumber, pengolahan bahan, substitusi
bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan digunakannya teknologi bersih. Bilamana masih
dihasilkan limbah B3 maka diupayakan pemanfaatan limbah B3.

Pemanfaatan limbah B3, yang mencakup kegiatan daur ulang (recycling), perolehan
kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) merupakan suatu mata rantai penting
dalam pengelolaan limbah B3. Dengan teknologi pemanfaatan limbah B3 di satu pihak
dapat dikurangi jumlah limbah B3 sehingga biaya pengolahan limbah B3 juga dapat
ditekan dan dilain pihak akan dapat meningkatkan kemanfaatan bahan baku. Hal ini pada
gilirannya akan mengurangi kecepatan pengurasan sumber daya alam.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Angka 1
Pasal 6
Langkah pertama yang dilakukan dalam pengelolaan limbah B3 adalah
mengidentifikasikan limbah dari penghasil tersebut apakah termasuk limbah B3
atau tidak.
Mengidentifikasi limbah ini akan memudahkan penghasil, pengumpul, pengangkut,
pemanfaat, pengolah, atau penimbun dalam mengenali limbah B3 tersebut sedini
mungkin.
Mengidentifikasi limbah sebagai limbah B3 dilakukan melalui tahapan sebagai
berikut :
a. Mencocokkan jenis limbah dengan daftar jenis limbah B3 sebagaimana pada
Lampiran I Peraturan Pemerintah ini, dan apabila cocok dengan daftar jenis
limbah B3 tersebut, maka limbah tersebut termasuk limbah B3;

b. Apabila tidak cocok dengan daftar jenis limbah B3 sebagaimana pada


Lampiran I Peraturan Pemerintah ini maka diperiksa apkah limbah tersebut
memiliki karakteristik : mudah meledak, dan atau mudah terbakar, dan atau
beracun, dan atau bersifat reaktif, dan atau menyebabkan infeksi, dan atau
bersifat korosif.

c. Apabila kedua tahapan tersebut sudah dilakukan dan tidak memenuhi


ketentuan limbah B3, maka dilakukan uji toksikologi.
Angka (2)
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik adalah limbah B3 yang pada
umumnya berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal dari
kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi (inhibitor
korosi), pelarutan kerak, pengemasan, dan lain-lain.
Huruf b
Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa proses suatu
industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdsarkan
kajian ilmiah.
Huruf c
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan
buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi, karena tidak
memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan
kembali, maka suatu produk menjadi limbah B3 yang memerlukan
pengelolaan seperti limbah B3 lainnya. Hal yang sama juga berlaku
untuk sisa kemasan limbah B3 dan bahan-bahan kimia yang kadaluarsa.

Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Pengujian kareakteristik limbah dilakukan sebelum limbah tersebut
mendapat perlakukan pengolahan. Limbah diidentifikasi sebagai limbah
B3 apabila memenuhi salah satu atau lebih karakteristik limbah B3.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan :
a. Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan tekanan,
standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan
atau fisika dapat menghasilkan gas dengan sushu dan tekanan tinggi
yang dengan cepat dapat merusak lingkungan sekitarnya.

b. Limbah mudah terbakar adalah limbah-limbah yang mempunyai salah


satu sifat-sifat sebagai berikut :

1) Limbah yang berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari


24% volume dan atau pada titik nyala tidak lebih dari 60oC (140 oF)
akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api atau
sumber nyala lain pada tekanan 760 mmHg.

2) Limbah yang bukan berupa cairan, yang pada temperatur dan


tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat mudah menyebabkan
kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan
kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan
kebakaran yang terus menerus.

3) Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar.

4). Merupakan limbah pengoksidasi.

c. Limbah yang bersifat reaktif adalah limbah-limbah yang mempunyai


salah satu sifat-sifat sebagai berikut :
1) Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat
menyebabkan perubahan tanpa peledakan.

2). Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air.

3). Limbah yang apabila bercampur dengan air berpotensi menimbulkan


ledakan, menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah
yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

4) Merupakan limbah Sianida, Sulfida atau Amoniak yang pada kondisi


pH antara 2 dan 12.5 dapat menghasilkan gas, uap atau asap beracun
dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan.

5) Limbah yang dapat mudah meledak atau bereaksi pada suhu dan
tekanan standar (25oC, 760 mmHg).
6). Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil
dalam suhu tinggi.
d. Limbah beracun adalah limba yang mengandung pencemar yang bersifat
racun bagi manusia atau lingkungan yang dapat menyebabkan kematian
atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan,
kulit atau mulut.

Penetuan sifat racun untuk identifikasi limbah ini dapat menggunakan


baku mutu konsentrasi TCLP (Toxicity Characteristic Leaching
Procedure) pencemar organik dan anorganik dalam limbah sebagaimana
yang tercantum dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini.
Apabila limbah mengandung salah satu pencemar yang terdapat dalam
Lampiran II Peraturan Pemerintah ini, konsentrasi sama atau lebih besar
dari nilai dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah ini, maka limbah
tersebut merupakan limbah B3. Bila nilai konsentrasi zat pencemar lebih
kecil dari nilai ambang batas pada Lampiran II Peraturan Pemerintah ini
maka dilakukan uji toksikologi.

e. Limbah yang menyebabkan infeksi yaitu bagian tubuh manusia yang


diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang terkena infeksi, limbah
dari laboratorium atau limbah lainnya yang terinfeksi kuman penyakit
yang dapat menular. Limbah ini berbahya karena mengandung kuman
penyakit seperti hepatitis dan kolera yang ditularkan pada pekerja,
pembersih jalan dan masyarakat di sekitar lokasi pembuangan limbah.

e. Limbah bersifat korosif adalah limbah yang mempunyai salah satu sifat
sebagai berikut :

(1) Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit

(2) Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja (SAE 1020)


dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan
temperatur pengujian 55oC.
(3) Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk limbah bersifat asam
dam sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
Ayat 4
Penentuan sifat akut limbah dilakukan dengan uji hayati untuk mengukur
hubungan dosis-respons antara limbah dengan kematian hewan uji, untuk
menetapkan nilai LD50.
Yang dimaksud dengan LD50 (Lethal Dose fifty) adalah dosis limbah yang
menghasilkan 50% respons kematian pada populasi hewan uji. Nilai tersebut
diperoleh dari analisis data secara grafis dan atau statistik terhadap hasil uji
hayati tersebut. Metodologi dan cara penentuan nilai LD50 ditetapkan oleh
instansi yang bertanggung jawab.
Apabila nilai LD50 secara oral lebih besar dari 50 mg/ kg berat badan, maka
terhadap limbah yang mengandung salah satu zat pencemar pada Lampiran
III Peraturan Pemerintah ini dilakukan evaluasi secara kronis.
Sifat kronis limbah (toksik, mutagenik, karsinogenik, tetatogenik dan lain-
lain) ditentukan dengan cara mencocokkan zat pencemar yang ada dalam
limbah tersebut dengan Lampiran III Peraturan Pemerintah ini. Apabila
limbah tersebut mengandung salah satu dan atau lebih zat pencemar yang
terdapat dalam Lampiran III Peraturan Pemerintah ini, maka limbah tersebut
merupakan limbah B3 setelah mempertimbangkan faktor-faktor di bawah
ini:
1. Sifat racun alami yang dipaparkan oleh zat pencemar;
2. Konsentrasi dari zat pencemar;
3. Potensi bermigrasinya zat pencemar dari limbah ke lingkungan bilamana
tidak dikelola dengan baik;
4. Sifat persisten zat pencemar atau produk degradasi racun pada zat
pencemar;
5. Potensi dari zat pencemar atau turunan/degradasi produk senyawa toksik
untuk berubah menjadi tidak berbahaya;
6. Tingkat dimana zat pencemar atau produk degradasi zat pencemar
terbioakumulasi di ekosistem;
7. Jenis limbah yang tidak dikelola sesuai dengan ketentuan yang ada
berpotensi mencemari lingkungan;
8. Jumlah limbah yang dihasilkan pada satu tempat atau secara regional
atau secara nasional berjumlah besar;
9. Dampak kesehatan dan pencemaran/kerusakan lingkungan akibat
pembuangan limbah yang mengandung zat pencemar pada lokasi yang
tidak memenuhi persyaratan;
10. Kebijaksanaan yang diambil oleh instansi Pemerintah lainnya atau
program peraturan pundang-undangan lainnya bedasarkan dampak pada
kesehatan dan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah atau zat
pencemarnya;
11. Faktor-faktor lain yang dapat dipetanggung jawabkan merupakan limbah
B3.
Metodologi untuk evaluasi Lampiran III Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab setelah berkoordinasi
dengan instansi teknis dan lembaga penelitian terkait.
Apabila setelah dilakukan uji penentuan toksisitas baik akut maupun
kronis dan tidak memenuhi ketentuan di atas, maka limbah tersebut
dapat dinyatakan sebagai limbah non B3, dan pengelolaannya dilakukan
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung
jawab setelah berkoordinasi dengan instansi teknis terkait.

Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3910


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2000

TENTANG

TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK


PENATAAN RUANG WILAYAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992


tentang Penataan Ruang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tingkat
Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3501);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK


PENATAAN RUANG WILAYAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang
berada di atas maupun di bawah per-mukaan bumi yang digambarkan pada suatu
bidang datar dengan skala tertentu.
2. Skala peta adalah angka perbandingan antara jarak dua titik di atas peta dengan
jarak tersebut di muka bumi.
3. Ketelitian peta adalah ketepatan, kerincian dan kelengkapan data dan atau informasi
georeferensi dan tematik.
4. Peta dasar adalah peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan
manusia, yang berada di permukaan bumi, digambarkan pada suatu bidang datar
dengan skala, penomoran, proyeksi dan georeferensi tertentu.
5. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek
administratif dan atau aspek fungsional.
6. Peta wilayah adalah peta yang berdasarkan pada aspek administratif yang
diturunkan dari peta dasar.
7. Peta tematik wilayah adalah peta wilayah yang menyajikan data dan informasi
tematik.
8. Peta rencana tata ruang wilayah adalah peta wilayah yang menyajikan hasil
perencanaan tata ruang wilayah.
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pemetaan.
10. Instansi yang mengadakan peta tematik wilayah adalah instansi baik di tingkat pusat
maupun daerah, yang tugas dan fungsinya mengadakan peta tematik wilayah.

BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2

Peraturan Pemerintah ini mengatur tingkat ketelitian berbagai jenis peta yang digunakan
untuk penyusunan peta rencana tata ruang wilayah dan tingkat ketelitian peta rencana
tata ruang wilayah.

Pasal 3

Tujuan pengaturan tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang wilayah, dimaksudkan
untuk mewujudkan kesatuan sistem penya-jian data dan informasi penataan ruang
wilayah.

BAB III
JENIS PETA DAN TINGKAT KETELITIAN
PETA RENCANA TATA RUANG WILAYAH

Bagian Pertama
Umum

Pasal 4

(1) Jenis peta, meliputi:

a. peta dasar;
b. peta wilayah; dan
c. peta tematik wilayah.

(2) Jenis peta harus memiliki karakteristik ketelitian peta yang pasti.
(3) Karakteristik ketelitian peta menjadi dasar ketelitian bagi pembuatan peta rencana
tata ruang wilayah.

Pasal 5

Tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang wilayah ditentukan berdasarkan pada skala
minimal yang diperlukan untuk merekonstruksi informasi pada peta di muka bumi.

Bagian Kedua
Jenis Peta

Pasal 6
(1) Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, menggunakan
sistem referensi menurut ketentuan Datum Geodesi Nasional 1995, sistem proyeksi
Transverse Mercator (TM) dengan sistem grid Universal Transverse Mercator (UTM)
dan sistem penomoran lembar peta secara nasional.
(2) Peta dasar digunakan sebagai dasar bagi pembuatan peta wilayah.

Pasal 7

Peta wilayah digunakan sebagai dasar bagi pembuatan peta tematik wilayah dan peta
rencana tata ruang wilayah.

Pasal 8

(1) Peta tematik wilayah digambarkan berdasarkan pada kriteria, klasifikasi dan
spesifikasi unsur-unsur tematik yang ditetapkan oleh instansi yang mengadakan peta
tematik wilayah.
(2) Peta rencana tata ruang wilayah digambarkan dengan unsur-unsur peta wilayah dan
unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah.

Bagian Ketiga
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah

Paragraf 1
Umum

Pasal 9
(1) Peta rencana tata ruang wilayah meliputi tingkat ketelitian peta untuk:

a. peta rencana tata ruang wilayah nasional;


b. peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi;
c. peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten; dan
d. peta rencana tata ruang wilayah daerah kota.

(2) Tingkat ketelitian peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diwujudkan dengan
tingkatan skala peta rencana tata ruang wilayah.

Paragraf 2
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional

Pasal 10

Peta rencana tata ruang wilayah nasional menggunakan peta wilayah negara Indonesia
dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang sama.
Pasal 11
(1) Peta wilayah negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, berpedoman pada tingkat
ketelitian minimal berskala 1:1.000.000.
(2) Peta wilayah negara Indonesia dengan skala 1:1.000.000 meliputi unsur-unsur:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai,
danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar
minimal 125 meter;
c. permukiman, berupa kota;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan
kereta api, jalan lain, bandar udara, pelabuhan;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas
kota; dan
f. nama-nama unsur geografis.

Pasal 12

Unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), digambarkan dengan


simbol dan atau notasi pada Lampiran I Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 13

(1) Peta rencana tata ruang wilayah nasional digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah nasional, meliputi kawasan lindung, kawasan
budidaya, kawasan tertentu, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan kelistrikan dan
energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.

Pasal 14
Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah nasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran VII
Peraturan Pemerintah ini.

Paragraf 3
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Propinsi

Pasal 15

Peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi menggunakan peta wilayah daerah
propinsi dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang sama.

Pasal 16

1) Peta wilayah daerah propinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, berpedoman pada tingkat
ketelitian minimal berskala 1: 250.000.
2) Peta wilayah daerah propinsi dengan skala 1:250.000 meliputi unsur-unsur:
a) garis pantai;
b) hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai, danau, waduk atau
bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 35 meter;
c) permukiman;
d) jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan kereta api, jalan lain,
bandar udara, pelabuhan;
3) batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas kota;
4) garis kontur, dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 125 meter;
5) titik tinggi; dan
6) nama-nama unsur geografis.

Pasal 17

Unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), digambarkan dengan


simbol dan atau notasi pada Lampiran II Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 18
(1) Peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi digambarkan dalam peta wilayah daerah
propinsi.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi, meliputi kawasan lindung,
kawasan budidaya, kawasan tertentu, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan
kelistrikan dan energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem
jaringan utilitas.

Pasal 19

Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran
VIII Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 20

(1) Dalam hal wilayah daerah propinsi yang bentangan wilayahnya sempit dapat digunakan peta
wilayah dengan skala 1:100.000 atau skala 1:50.000.
(2) Peta wilayah daerah propinsi yang menggunakan skala 1:100.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan
Pasal 24.
(3) Peta wilayah daerah propinsi yang menggunakan skala 1:50.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan
Pasal 31.

Pasal 21

(1) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi digambarkan dalam peta wilayah
daerah propinsi yang menggunakan skala 1:100.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (2), untuk unsur-unsur dan penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26.
(2) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah propinsi digambarkan dalam peta wilayah
daerah propinsi yang menggu-nakan skala 1:50.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3), untuk unsur-unsur dan penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33.

Paragraf 4
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten

Pasal 22

Peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten menggunakan peta wilayah daerah
kabupaten dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang
sama.
Pasal 23

(1) Peta wilayah daerah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berpedoman pada
tingkat ketelitian minimal berskala 1:100.000.
(2) Peta wilayah daerah kabupaten dengan skala 1:100.000 unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai, danau, waduk
atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar minimal 15 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lain, jalan kereta
api, bandar udara dan pelabuhan; bandar udara digambarkan sesuai dengan skala;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas wilayah
daerah kota, batas kecamatan;
f. garis kontur, dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 50 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.
Pasal 24

Unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) digambarkan dengan


simbol dan atau notasi pada Lampiran III Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 25

(1) Peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten digambarkan dalam peta wilayah daerah
kabupaten.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten meliputi kawasan lindung,
kawasan budidaya, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan kelistrikan dan energi,
jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.

Pasal 26

Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran IX
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 27

(1) Dalam hal wilayah daerah kabupaten yang bentangan wilayahnya sempit dapat menggunakan
peta wilayah dengan skala 1:50.000 atau skala 1:25.000.
(2) Peta wilayah daerah kabupaten yang menggunakan skala 1:50.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan
Pasal 31.
(3) Peta wilayah daerah kabupaten yang menggunakan skala 1:25.000, untuk unsur-unsur dan
penggambarannya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dan
Pasal 33.

Pasal 28

(1) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten digambarkan dalam
peta yang menggunakan skala 1:50.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2), untuk unsur-unsur dan penggambarannya berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(2) Dalam hal peta rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten digambarkan dalam
peta wilayah daerah kabupaten yang menggunakan skala 1:25.000 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), untuk unsur-unsur dan penggambarannya
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.

Paragraf 5
Tingkat Ketelitian Peta Rencana
Tata Ruang Wilayah Daerah Kota

Pasal 29

Peta rencana tata ruang wilayah daerah kota menggunakan peta wilayah daerah kota
dan peta tematik wilayah dengan tingkat ketelitian peta pada skala yang sama.

Pasal 30

(1) Peta wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, berpedoman
pada tingkat ketelitian minimal berskala 1:50.000.
(2) Peta wilayah daerah kota dengan skala 1:50.000, unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai,
danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk lebar
minimal 7 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lain,
jalan kereta api, jalan setapak, bandar udara dan pelabuhan; bandar udara
digambarkan sesuai dengan skala;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten,
batas kota, batas kecamatan;
f. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai keli-patan 25 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.

Pasal 31

Unsur-unsur peta wilayah daerah kota dengan skala 1:50.000, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran IV
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 32

(1) Peta rencana tata ruang wilayah daerah kota digambarkan dalam peta wilayah
daerah kota.
(2) Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota meliputi kawasan
lindung, kawasan budidaya, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan
kelistrikan dan energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan
sistem jaringan utilitas.

Pasal 33

Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (2), digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran X
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 34

(1) Dalam hal wilayah daerah kota yang bentangan wilayahnya sempit, dapat
digunakan peta wilayah dengan skala 1:25.000 atau skala 1:10.000.
(2) Peta wilayah daerah kota yang menggunakan peta wilayah dengan skala 1:25.000
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai,
terusan, saluran air, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan
dengan skala untuk lebar minimal 5 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal,
jalan lain, jalan setapak, jalan kereta api, bandar udara dan pelabuhan;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten,
batas kota, batas kecamatan, batas kelurahan;
f. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 12,5 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.

Pasal 35

Unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), digambarkan dengan


simbol dan atau notasi pada Lampiran V Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 36

Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota yang menggunakan skala
1:25.000, meliputi kawasan lindung, kawasan budidaya, sistem permukiman, jaringan
transportasi, jaringan kelistrikan dan energi, jaringan telekomunikasi, sarana dan
prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.

Pasal 37

Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran XI Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 38

Peta wilayah daerah kota yang menggunakan peta wilayah dengan skala 1:10.000
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), unsur-unsurnya meliputi:
a. garis pantai;
b. hidrografi, berupa laut beserta unsur-unsur di perairan pantainya, sungai, terusan,
saluran air, danau, waduk atau bendungan yang digambarkan dengan skala untuk
lebar minimal 1,5 meter;
c. permukiman;
d. jaringan transportasi, berupa jalan tol, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, jalan
lain, jalan setapak, jalan kereta api, bandar udara, pelabuhan;
e. batas administrasi, berupa batas negara, batas propinsi, batas kabupaten, batas
kota, batas kecamatan, batas desa;
f. garis kontur dengan selang kontur yang mempunyai kelipatan 5 meter;
g. titik tinggi; dan
h. nama-nama unsur geografis.

Pasal 39

Unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, digambarkan dengan simbol dan
atau notasi pada Lampiran VI Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 40

Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota yang menggunakan skala
1:10.000 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, meliputi kawasan lindung, kawasan
budidaya, sistem permukiman, jaringan transportasi, jaringan kelistrikan dan energi,
jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana air baku dan sistem jaringan utilitas.

Pasal 41

Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah daerah kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40, digambarkan dengan simbol dan atau notasi pada Lampiran XII Peraturan
Pemerintah ini.

BAB IV
PENGADAAN DAN PEMBINAAN TEKNIS

Pasal 42

(1) Pengadaan peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah daerah propinsi, peta
wilayah daerah kabupaten dan peta wilayah daerah kota diselenggarakan oleh
instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pengadaan peta wilayah daerah propinsi, peta wilayah daerah kabupaten dan peta
wilayah daerah kota dapat diselenggarakan oleh instansi terkait di daerah dengan
mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Pengadaan peta tematik wilayah diselenggarakan oleh instansi yang mengadakan
peta tematik wilayah.

Pasal 43

(1) Pembinaan teknis untuk memelihara kualitas peta wilayah dan peta rencana tata
ruang wilayah diselenggarakan oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Pembinaan teknis untuk memelihara kualitas peta tematik wilayah diselenggarakan
oleh instansi yang mengadakan peta tematik wilayah.

Pasal 44

Pembinaan teknis dilakukan melalui pengembangan keterpaduan sistem jaringan dalam


pemetaan untuk penataan ruang wilayah dengan menggunakan sistem informasi
geografis nasional sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 45

(1) Masyarakat berhak mengetahui peta wilayah melalui katalog peta wilayah yang
disusun oleh instansi yang bertanggung jawab.
(2) Masyarakat berhak mengetahui peta tematik wilayah melalui katalog peta tematik
wilayah yang disusun oleh instansi yang mengadakan peta tematik wilayah.

Pasal 46

Masyarakat dapat berperan serta memberikan data dan informasi dalam pembuatan
peta dasar, peta wilayah dan peta tematik wilayah.

BAB VI
KETENTUAN LAIN

Pasal 47

Simbol dan atau notasi unsur-unsur peta rencana tata ruang yang belum diatur dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut dengan keputusan instansi yang
bertanggung jawab dengan mempertimbangkan masukan dari instansi terkait.

Pasal 48

Untuk penyusunan peta rencana tata ruang kawasan, unsur-unsurnya menggunakan


simbol dan atau notasi sesuai dengan tingkatan ketelitian dan skala peta wilayah dan
peta rencana tata ruang wilayah.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 49

(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peta wilayah
dan peta rencana tata ruang wilayah yang telah ada harus disesuaikan dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan selambat-
lambatnya dalam tiga tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 50

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Pebruari 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Pebruari 2000
Pj. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BONDAN GUNAWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 20


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 10 TAHUN 2000

TENTANG

TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH

UMUM
Tujuan penataan ruang disamping terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan
yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, juga terselenggaranya pengaturan
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya, dan tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, penataan ruang dilaksanakan melalui proses
perencanaan tata ruang yang menghasilkan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang berdasarkan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar pemanfaatan
ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Dengan perkataan lain, kualitas pemanfaatan ruang
ditentukan antara lain oleh rencana tata ruang yang digambarkan dalam peta rencana tata ruang
wilayah yang disusun dalam suatu sistem perpetaan dan disajikan berdasarkan pada unsur-unsur
serta simbol dan atau notasinya yang dibakukan secara nasional.

Proses penyusunan peta untuk penataan ruang diawali dengan ketersediaan peta dasar Indonesia.
Peta dasar itu, dengan segala karakteristik ketelitiannya, menjadi dasar bagi pembuatan peta wilayah.
Selanjutnya peta wilayah itu digunakan sebagai media penggambaran peta-peta tematik wilayah.
Peta-peta tematik wilayah menjadi bahan analisis bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah.

Oleh karena ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi ruang daratan, ruang
lautan, dan ruang udara dibagi dalam wilayah daerah propinsi, wilayah daerah kabupaten, dan
wilayah daerah kota, maka rencana tata ruang wilayah meliputi rencana tata ruang wilayah nasional,
rencana tata ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, dan
rencana tata ruang wilayah daerah kota. Masing-masing rencana tata ruang wilayah tersebut secara
berurutan digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah daerah propinsi, peta
wilayah daerah kabupaten, dan peta wilayah daerah kota. Peta wilayah tersebut di atas diturunkan
dari peta dasar sedemikian rupa sehingga hanya memuat unsur-unsur rupa bumi yang diperlukan
saja dari peta dasar, dengan maksud agar peta wilayah tersebut tetap memiliki karakteristik ketelitian
georeferensinya. Penggambaran rencana tata ruang wilayah pada peta wilayah tersebut berwujud
peta rencana tata ruang wilayah. Sesuai dengan ruang lingkup pengaturannya, Peraturan Pemerintah
ini hanya mengatur tentang ketelitian peta untuk keperluan penataan ruang saja.

Rencana tata ruang wilayah nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan rencana
tata ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, serta rencana tata
ruang wilayah daerah kota ditetapkan dengan peraturan daerah masing-masing. Oleh karena rencana
tata ruang wilayah tersebut berkekuatan hukum, maka peta rencana tata ruang wilayah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dengan rencana tata ruang wilayah harus mengandung tingkat
ketelitian yang sesuai dengan skalanya.

Peta wilayah negara Indonesia berpedoman kepada tingkat ketelitian peta minimal berskala
1:1.000.000. Peta wilayah daerah propinsi berpedoman kepada tingkat ketelitian peta minimal
berskala 1:250.000. Peta wilayah daerah kabupaten berpedoman kepada tingkat ketelitian peta
minimal berskala 1:100.000. Dan, peta wilayah daerah kota berpedoman kepada tingkat ketelitian
peta minimal berskala 1:50.000.

Dengan demikian, ketelitian peta diperlukan untuk penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang
wilayah daerah propinsi, penataan ruang wilayah daerah kabupaten, dan penataan ruang wilayah
daerah kota. Dalam penataan ruang wilayah tersebut, dicakup kawasan lindung, kawasan budi daya,
kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan tertentu.

Alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, kawasan budi daya, kawasan perkotaan,
kawasan perdesaan dan kawasan tertentu dalam rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata
ruang wilayah daerah propinsi, rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, dan rencana tata
ruang wilayah daerah kota, serta rencana tata ruang kawasan, digambarkan dengan unsur alam
seperti garis pantai, sungai, danau, dan unsur buatan seperti jalan, pelabuhan, bandar udara,
permukiman, serta unsur-unsur kawasan lindung dan kawasan budi daya dengan batas wilayah
administrasi dan nama kota, nama sungai, dan nama laut. Penggambaran unsur-unsur tersebut
disesuaikan dengan keadaan di muka bumi dan pemanfaatan ruang yang direncanakan.

Oleh karena itu, untuk mencapai keseragaman, pembakuan dan keterpaduan secara nasional dalam
penggambaran peta rencana tata ruang wilayah sesuai dengan tingkat ketelitian peta pada skala
tersebut di atas, maka tingkat ketelitian peta untuk penataan ruang wilayah perlu diatur dalam suatu
Peraturan Pemerintah.

Oleh karena dalam perencanaan tata ruang wilayah dan kawasan, diperlukan data dan informasi
tentang tema-tema tertentu yang berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber daya buatan,
maka Peraturan Pemerintah ini erat kaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang
memuat ketentuan yang mengandung segi-segi penataan ruang. Peraturan perundang-undangan
yang dimaksud mengatur antara lain tentang pemerintahan daerah, pertanahan, pengairan,
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pertambangan, kehutanan, kependudukan,
pertahanan keamanan, dan pengelolaan lingkungan hidup.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1

Istilah-istilah yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan agar terdapat keseragaman pengertian
atas Peraturan Pemerintah ini serta peraturan pelaksanaannya.

Angka 1
Cukup jelas

Angka 2
Skala peta menunjukkan tingkat kerincian data dan atau informasi pada peta. Peta skala besar lebih
rinci kandungan informasinya daripada peta skala kecil. Misalnya, kandungan informasi pada peta
dengan skala 1:50.000 adalah lebih rinci daripada peta dengan skala 1:250.000, dan seterusnya.
Contoh, jika jarak dua titik di peta pada skala 1:50.000 = 10 cm, maka jarak kedua titik tersebut di
muka bumi adalah 10 x 50.000 cm = 500.000 cm = 5 km, sedangkan pada peta dengan skala
1:250.000, maka jarak kedua titik tersebut menjadi 10 x 250.000 cm = 2.500.000 cm = 25 km.

Angka 3
Ketepatan data dan atau informasi georeferensi menunjukkan kebenaran posisi atau lokasi suatu
obyek pada peta terhadap kedudukan sebenarnya di permukaan bumi dengan mengacu pada suatu
sistem referensi di bumi. Pengertian georeferensi memiliki persyaratan-persyaratan geometrik dan
posisi yang benar. Geometrik dimaksudkan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan besaran-
besaran dan bentuk-bentuk yang dapat diukur, seperti jarak, sudut, tinggi, luas, segiempat, segitiga,
lingkaran, dan lain sebagainya.

Kerincian data dan atau informasi tematik adalah kesesuaian jumlah unsur-unsur tematik dengan
ketersediaan ruang pada peta sebagai wahana penggambarannya.

Kelengkapan data dan atau informasi dimaksudkan sebagai keberadaan semua data dan informasi
yang disajikan tanpa ada kekurangan sesuai dengan skala.
Data dan atau informasi tematik adalah hal-hal yang berhubungan dengan tema atau topik tertentu
yang dipetakan, seperti kehutanan, pertanian, geologi, pertanahan, dan lain sebagainya.

Angka 4
Yang dimaksud dengan unsur alam, antara lain: hipsografi, hidrografi, dan vegetasi, sedangkan yang
dimaksud dengan unsur buatan manusia, antara lain: prasarana (jalan, bendungan, dan sebagainya),
bandar udara, tempat permukiman: desa, kota, dan sebagainya, dan ditambah dengan batas
administrasi dan nama-nama unsur geografis (toponimi) : nama ibukota daerah propinsi, nama kota,
nama laut, nama selat, nama sungai. Unsur hipsografi mencakup bentuk/relief permukaan bumi
(gunung, bukit dan sebagainya). Unsur hidrografi mencakup sungai, danau, garis pantai dan
sebagainya; dan unsur vegetasi mencakup semua jenis tanaman atau tumbuh-tumbuhan.

Angka 5
Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek administratif disebut wilayah
pemerintahan. Wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada aspek fungsional
disebut kawasan.

Angka 6
Diturunkan dari peta dasar artinya digambar kembali dari peta dasar. Penggambaran kembali
dilakukan dengan mengutamakan batas-batas wilayah administratif dengan beberapa unsur rupa
bumi yang diperlukan sebagai dasar untuk penyajian informasi tematik maupun informasi rencana
tata ruang wilayah. Unsur rupa bumi yang menjadi unsur pada peta wilayah adalah unsur yang saat
ini ada di lapangan. Peta wilayah terdiri dari peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah daerah
propinsi, peta wilayah daerah kabupaten dan peta wilayah daerah kota.

Angka 7
Peta tematik wilayah menyajikan data dan informasi tematik pada wilayah yang bersangkutan.

Angka 8
Cukup jelas

Angka 9
Cukup jelas

Angka 10
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan karakteristik ketelitian adalah hal-hal yang khas mendukung terciptanya peta
yang teliti. Termasuk dalam karakteristik ketelitian ini adalah karakteristik kebenaran dan
kelengkapan kandungan informasinya.

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Penetapan skala minimal dimaksudkan untuk menentukan skala minimal yang dapat digunakan sesuai
dengan ketepatan yang dibutuhkan.

Sebagai contoh, ketepatan suatu obyek di muka bumi sepanjang 100 meter, pada peta skala
1:100.000 akan tergambar sepanjang 1 mm, sedangkan pada peta skala 1:25.000 akan tergambar
sepanjang 4 mm. Dengan demikian, kenampakan suatu obyek sebesar 100 meter di muka bumi
tersebut akan terlihat lebih jelas pada peta yang berskala 1:25.000 dan akan lebih jelas lagi pada
peta berskala yang lebih besar (1:10.000, 1:5.000, dan seterusnya)

Pasal 6
Ayat (1)
Sistem referensi merupakan sistem acuan atau pedoman tentang posisi suatu obyek pada arah
horizontal dan arah vertikal.

Sistem proyeksi merupakan sistem penggambaran permukaan bumi yang tidak beraturan pada
bidang datar secara matematis sedemikian rupa sehingga mengurangi atau menghilangkan kesalahan
yang dapat terjadi akibat perbedaan bentuk dari tidak beraturan ke bidang datar.
Sistem grid merupakan sistem yang menunjukkan tanda dua garis yang berpotongan tegak lurus
untuk mengetahui dan menentukan koordinat titik-titik di atas peta.
Sistem penomoran lembar peta adalah sistem penomoran lembar peta yang berlaku secara nasional.

Ayat (2)
Karena peta dasar digunakan sebagai dasar bagi pembuatan peta wilayah, maka sistem referensi dan
sistem proyeksi dari peta dasar digunakan sebagai sistem referensi dan sistem proyeksi peta wilayah.

Pasal 7
Dalam hal tidak tersedia peta dasar, maka peta lain dapat digunakan sebagai dasar bagi pembuatan
peta wilayah, setelah peta lain itu ditransformasikan ke sistem referensi dan sistem proyeksi yang
ditentukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Transformasi tersebut dapat dilakukan baik oleh
instansi yang bertanggung jawab maupun oleh instansi terkait. Yang dimaksud dengan instansi
terkait adalah instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang tugas dan fungsinya berkaitan
dengan pengadaan peta dasar dan peta wilayah.

Peta wilayah skala 1:1.000.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:1.000.000.

Peta wilayah skala 1:250.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:250.000.

Peta wilayah skala 1:100.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:100.000.

Peta wilayah skala 1:50.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:50.000.

Peta wilayah skala 1:25.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang wilayah skala 1:25.000.

Peta wilayah skala 1:10.000 menjadi dasar bagi penggambaran peta tematik wilayah maupun peta
rencana tata ruang- wilayah skala 1:10.000.

Peta tematik wilayah digunakan sebagai salah satu bahan analisis untuk penyusunan peta rencana
tata ruang wilayah.

Pasal 8
Ayat (1)
Kriteria, klasifikasi dan spesifikasi unsur-unsur tematik yang ditetapkan oleh instansi yang
mengadakan peta tematik wilayah, dimaksudkan bahwa peta tematik itu digambar dan disiapkan oleh
instansi yang tugas dan fungsinya mengelola sumber daya alam, misalnya: lahan, hutan, air, mineral,
dan lain-lain.

Peta tematik wilayah merupakan peta yang memuat satu atau beberapa tema tertentu yang sesuai
untuk keperluan penataan ruang. Sebagai contoh: peta liputan lahan, peta bentuk lahan, peta
kemiringan lereng, peta daerah aliran sungai dan kerapatan aliran, peta potensi mineral (bahan
galian), peta potensi hutan, peta potensi sumber daya air, peta potensi ketersediaan lahan, peta
potensi kawasan lindung dan peta sebaran penduduk.

Peta tematik wilayah mengandung data dan informasi baik kualitatif maupun kuantitatif mengenai
keberadaan dan macam sumber daya alam dan atau sumber daya buatan dengan ketelitian
kandungan informasi sesuai dengan skala dari setiap tema petanya.

Ayat (2)
Unsur-unsur peta wilayah antara lain adalah garis pantai, hidrografi, jaringan transportasi dan batas
wilayah administratif. Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah adalah kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Unsur-unsur peta rencana tata ruang wilayah merupakan hasil analisis dari unsur-
unsur peta tematik wilayah yang terkait langsung untuk penataan ruang.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Tingkatan skala menunjukkan tingkat kerincian kandungan informasi yang dipetakan. Dalam hal
klasifikasi skala minimal yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, maka perbandingan tingkat kerincian kandungan informasi untuk masing-masing
skala adalah seperti pada tabel berikut:

Skala Liputan Wilayah Informasi Yang Termuat

1:50.000 lebih sempit daripada lebih rinci daripada

skala 1:100.000 dan lebih skala1:100.000 dan

luas daripada skala lebih umum daripada

1:25.000 skala 1:25.000


1:100.000 lebih sempit daripada lebih rinci daripada

skala 1:250.000 skala 1:250.000


1:250.000 lebih sempit daripada lebih rinci daripada

skala 1:1.000.000 skala 1:1.000.000


1:1.000.000 sangat luas sangat umum

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Skala 1:1.000.000 untuk peta wilayah negara Indonesia adalah skala minimal. Dengan demikian,
dimungkinkan untuk menggunakan skala yang lebih besar.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang
dan menara suar.

Sungai, danau, waduk atau bendungan yang lebih kecil dari 125 meter digambarkan dengan simbol.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Pasal 12
Yang dimaksud dengan simbol dan atau notasi dalam Lampiran adalah petunjuk penggambaran dan
uraian teknis tentang unsur-unsur peta.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya,
kawasan rawan bencana alam, dan kawasan lindung lainnya.

Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian,
kawasan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman. Pada kawasan budidaya, digambarkan kawasan andalan.

Pada skala ini terdapat kawasan tertentu.

Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman meliputi pusat permukiman
perkotaan atau kota dan pusat permukiman perdesaan.
Jaringan transportasi meliputi:
1. Jaringan transportasi darat meliputi jalan bebas hambatan atau jalan tol, jalan arteri primer dan
jalan kolektor.
2. Jaringan jalan kereta api.
3. Jaringan transportasi penyeberangan meliputi jembatan antar pulau.
4. Jaringan transportasi laut meliputi:
a. Pelabuhan laut utama meliputi pelabuhan laut utama primer, pelabuhan laut utama
sekunder, pelabuhan laut utama tersier, pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan
pengumpan lokal;
b. Alur pelayaran laut.
5. Jaringan transportasi udara meliputi :
a. Bandar udara pusat penyebaran primer;
b. Bandar udara pusat penyebaran sekunder;
c. Bandar udara pusat penyebaran tersier;
d. Bandar udara bukan pusat penyebaran.

Jaringan kelistrikan dan energi meliputi :


1) Jaringan listrik meliputi transmisi kabel laut.
2) Jaringan gas.

Jaringan telekomunikasi dalam hal ini stasiun bumi.

Sarana dan prasarana air baku dalam hal ini bendungan.

Sistem jaringan utilitas meliputi saluran air limbah primer dan saluran drainase primer.

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Skala 1:250.000 untuk peta wilayah daerah propinsi adalah skala minimal. Dengan demikian,
dimungkinkan untuk menggunakan skala yang lebih besar.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang
dan menara suar.

Yang dimaksud dengan kontur laut adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik atau
tempat-tempat di laut yang mempunyai kedalaman yang sama.
Yang dimaksudkan dengan garis kontur adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik atau
tempat-tempat di darat yang mempunyai ketinggian yang sama.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya,
kawasan rawan bencana alam, dan kawasan lindung lainnya.

Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian,
kawasan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman. Pada kawasan budidaya, digambarkan kawasan andalan.
Pada skala ini terdapat kawasan tertentu.

Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman, meliputi pusat permukiman
perkotaan atau kota, pusat permukiman perdesaan, kawasan perdesaan sebagai pusat produksi
pertanian, kawasan perdesaan sebagai pusat pengolahan sumber daya lainnya dan kota tani
(Agropolitan Centre).

Jaringan transportasi meliputi:


1) Jaringan transportasi darat meliputi jalan bebas hambatan atau jalan tol, jalan arteri primer dan
jalan kolektor.
2) Jaringan jalan kereta api dalam hal ini jalan kereta api jalur tunggal.
3) Jaringan transportasi penyeberangan dalam hal ini jembatan antar pulau.
4) Jaringan transportasi laut meliputi:
a. Pelabuhan laut utama meliputi pelabuhan laut utama primer, pelabuhan laut utama
sekunder, pelabuhan laut utama tersier, pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan
pengumpan lokal;
b. Alur pelayaran laut.
5) Jaringan transportasi udara meliputi :
a. Bandar udara pusat penyebaran primer.
b. Bandar udara pusat penyebaran sekunder.
c. Bandar udara pusat penyebaran tersier.
d. Bandar udara bukan pusat penyebaran.

Jaringan kelistrikan dan energi meliputi :


1) Jaringan listrik meliputi transmisi kabel laut, tegangan tinggi dan bangunan pembangkit tenaga
listrik.
2) Jaringan gas dalam hal ini saluran primer jaringan gas.

Jaringan telekomunikasi meliputi stasiun bumi.

Sarana dan prasarana air baku meliputi fasilitas air bersih, mata air dan bendungan.

Sistem jaringan utilitas meliputi saluran air limbah primer dan saluran drainase primer.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bentangan wilayah yang sempit adalah wilayah yang tidak begitu luas untuk
dapat digambarkan pada peta dengan skala 1:250.000 sedemikian rupa sehingga jika dipaksakan
untuk digambarkan dalam skala tersebut akan menjadi gambaran peta yang terlalu kecil dalam
ukuran lembar peta yang baku.

Penggunaan skala yang lebih besar dimungkinkan karena luas bentangan masing-masing daerah
propinsi itu berbeda untuk digambarkan dalam skala yang sama. Hubungan antara luas bentangan
dengan skala yang dipilih berdasarkan pada kerincian data dan informasi yang disajikan, sebagai
contoh: daerah Propinsi Yogyakarta atau daerah yang berkembang dengan cepat seperti Kawasan
Jabotabek digambarkan dengan lebih rinci. Hal ini akan menentukan skala peta sesuai dengan
muatan informasi yang digunakan.

Ayat (2)
Dalam kaidah perpetaan, simbol dan atau notasi unsur-unsur dan tata cara penggambarannya
mengikuti skala yang dipilih.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang,
dermaga, penahan ombak, menara suar dan kontur laut.

Yang dimaksud dengan kontur laut adalah garis pada peta yang menghubungkan titik-titik atau
tempat-tempat di laut yang mempunyai kedalaman yang sama.

Untuk daerah kabupaten yang wilayahnya tidak berbatasan dengan laut, maka unsur garis pantai dan
unsur-unsur perairan pantainya tidak diberlakukan dalam penggambarannya.

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan
perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya,
kawasan rawan bencana alam, dan kawasan lindung lainnya.

Kawasan budidaya meliputi kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, kawasan pertanian,
kawasan pertambangan, kawasan peruntukan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan
permukiman.

Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman meliputi pusat permukiman
perkotaan atau kota, pusat permukiman perdesaan, kawasan perdesaan sebagai pusat produksi
pertanian, kawasan perdesaan sebagai pusat pengolahan sumber daya lainnya dan kota tani
(Agropolitan Centre).

Jaringan transportasi meliputi:


1) Jaringan transportasi darat meliputi jalan bebas hambatan atau jalan tol, jalan arteri primer dan
jalan arteri sekunder.
2) Jaringan jalan kereta api meliputi jalan kereta api jalur tunggal dan stasiun kereta api.
3) Jaringan transportasi penyeberangan dalam hal ini jembatan antar pulau.
4) Jaringan transportasi laut meliputi:
a. Pelabuhan laut utama meliputi pelabuhan laut utama primer, pelabuhan laut utama
sekunder, pelabuhan laut utama tersier, pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan
pengumpan lokal.
b. Alur pelayaran laut.
5) Jaringan transportasi udara meliputi :
a. Bandar udara pusat penyebaran primer.
b. Bandar udara pusat penyebaran sekunder.
c. Bandar udara pusat penyebaran tersier.
d. Bandar udara bukan pusat penyebaran.

Jaringan kelistrikan dan energi meliputi :


1) Jaringan listrik meliputi transmisi kabel laut, tegangan tinggi dan bangunan pembangkit tenaga
listrik.
2) Jaringan gas dalam hal ini saluran primer jaringan gas.

Jaringan telekomunikasi meliputi:


1) Stasiun bumi.
2) Jaringan transmisi.

Sarana dan prasarana air baku meliputi:


1) Fasilitas air bersih meliputi:
a. Mata air.
b. Pipa air bersih dalam hal ini pipa air bersih utama.

2) Bendungan.
Sistem jaringan utilitas meliputi saluran air limbah primer dan saluran drainase primer.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan unsur-unsur perairan pantai misalnya, terumbu, batu karang, beting karang,
dermaga, penahan ombak, menara suar dan kontur laut.

Untuk daerah kota yang wilayahnya tidak berbatasan dengan laut, maka unsur garis pantai dan
unsur-unsur perairan pantainya tidak diberlakukan dalam penggambarannya.

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Kawasan lindung meliputi:
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya meliputi kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut dan kawasan resapan air.
b. Kawasan perlindungan setempat meliputi kawasan sempadan pantai, kawasan sempadan
sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air dan kawasan terbuka hijau kota
termasuk di dalamnya hutan kota.
c. Kawasan suaka alam meliputi cagar alam dan suaka margasatwa.
d. Kawasan pelestarian alam meliputi taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan
taman buru.
e. Kawasan cagar budaya.
f. Kawasan rawan bencana alam meliputi kawasan rawan letusan gunung api, kawasan rawan
gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan banjir, kawasan rawan gelombang
pasang, kawasan rawan kekeringan dan kawasan rawan petir.
g. Kawasan lindung lainnya meliputi cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan
pengungsian satwa, dan kawasan pantai berhutan bakau.

Kawasan budidaya meliputi:


a. Kawasan hutan produksi meliputi kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi
tetap dan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
b. Kawasan hutan rakyat.
c. Kawasan pertanian meliputi kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering,
kawasan tanaman tahunan/perkebunan, kawasan peternakan dan kawasan perikanan.
d. Kawasan pertambangan meliputi kawasan pertambangan golongan bahan galian strategis,
kawasan pertambangan golongan bahan galian vital dan kawasan pertambangan golongan
bahan galian lainnya.
e. Kawasan peruntukan industri meliputi kawasan peruntukan industri dan kawasan industri.
f. Kawasan pariwisata.
g. Kawasan permukiman.

Selain kawasan tersebut di atas, digambarkan pula sistem permukiman yang meliputi:
1. Pusat permukiman perkotaan atau kota meliputi:
a. Pusat perbelanjaan dan niaga kota meliputi pusat perbelanjaan dan niaga kawasan.
b. Tempat pembuangan sampah akhir.
2. Pusat permukiman perdesaan meliputi pusat perbelanjaan dan niaga pedesaan.
3. Kawasan perdesaan sebagai pusat produksi pertanian.
4. Kawasan perdesaan sebagai pusat pengolahan sumber daya lainnya.
5. Kota tani (Agropolitan Centre).

Jaringan transportasi meliputi:


1) Jaringan transportasi darat meliputi jalan bebas hambatan atau jalan tol, jalan arteri primer, jalan
arteri sekunder dan jalan kolektor primer.
2) Jaringan jalan kereta api meliputi jalan kereta api jalur tunggal, jalan kereta api jalur ganda dan
stasiun kereta api.
3) Jaringan transportasi sungai meliputi jaringan transportasi danau, jaringan transportasi
penyeberangan dan jembatan antar pulau.
4) Jaringan transportasi laut meliputi:
a. Pelabuhan laut utama meliputi pelabuhan laut utama primer, pelabuhan laut utama
sekunder, pelabuhan laut utama tersier, pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan
pengumpan lokal.
b. Alur pelayaran laut.
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000
Tentang : Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar
Pengadilan

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 54 TAHUN 2000 (54/2000)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-undang Nomor


23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LEMBAGA PENYEDIA JASA
PELAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR
PENGADILAN
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :


1. Lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan
hidup, yang selanjutnya disebut lembaga penyedia jasa, adalah
lembaga yang bersifat bebas dan tidak berpihak yang tugasnya
memberikan pelayanan kepada para pihak yang bersengketa untuk
mendayagunakan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
dengan menyediakan pihak ketiga netraldalam rangka penyelesaian
sengketa baik melalui arbiter maupun mediator atau pihak ketiga
lainnya;
2. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup;
3. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup adalah bentuk-bentuk
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dilakukan secara
sukarela antara para pihak di luar pengadilan melalui pihak ketiga
netral;
4. Pihak ketiga netral adalah pihak ketiga baik yang memiliki
kewenangan mengambil keputusan (Arbiter) maupun yang tidak
memiliki kewenangan mengambil keputusan (Mediator atau Pihak
Ketiga lainnya);
5. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa
lingkungan hidup yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;
6. Mediator atau Pihak ketiga lainnya adalah seorang atau lebih yang
ditunjuk dan diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam rangka
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan;
7. Para pihak adalah subyek hukum baik menurut hukum perdata
maupun hukum publik yang bersengketa di bidang lingkungan hidup;
8. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
9. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
hidup.

Pasal 2

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan merupakan


pilihan para pihak dan bersifat sukarela.
Pasal 3

Dalam hal para pihak telah memilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah
satu atau para pihak yang bersengketa atau, salah satu atau para pihak yang
bersengketa menarik diri dari perundingan.

Pasal 4

Para pihak bebas untuk menentukan lembaga penyedia jasa yang membantu
penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

BAB II
KELEMBAGAAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 5

Lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh pemerintah dan/atau


masyarakat.

Pasal 6

Lembaga penyedia jasa menyediakan pelayanan jasa penyelesaian sengketa


lingkungan hidup dengan menggunakan bantuan arbiter atau mediator atau
pihak ketiga lainnya.

Pasal 7

Lembaga penyedia jasa memberikan jasa pelayanan terhadap penyelesaian


sengketa lingkungan hidup di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Lembaga Penyedia Jasa Yang
Dibentuk Oleh Pemerintah

Pasal 8

(1) Lembaga penyedia jasa dapat dibentuk oleh pemerintah pusat


dan/atau pemerintah daerah.

(2) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah pusat


ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.

(3) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah daerah


ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan berkedudukan di
instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan daerah yang bersangkutan.

Pasal 9

(1) Dalam melaksanakan tugas lembaga penyedia jasa sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dibantu oleh Sekretariat.

(2) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.

(3) Sekretariat yang membantu lembaga penyedia jasa sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah
yang bersangkutan.

(4) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas


menyediakan jasa pelayanan arbiter dan mediator atau pihak ketiga
lainnya dengan menyediakan daftar panggil dari arbiter dan/atau
mediator dan/atau pihak ketiga lainnya yang telah diangkat oleh
Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota.

(5) Sekretariat wajib menyebarluaskan informasi kepada masyarakat


mengenai daftar panggil tenaga arbiter dan tenaga mediator atau
pihak ketiga lainnya yang telah diangkat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2).
Pasal 10

(1) Lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai keanggotaan terdiri dari
tenaga profesional di bidang lingkungan hidup yang berasal dari
pemerintah dan masyarakat.

(2) Keanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) di pemerintah pusat diangkat oleh Gubernur/Bupati/Walikota,
berfungsi sebagai arbiter dan/atau mediator dan/atau pihak ketiga
lainnya.

(3) Masa jabatan keanggotaan lembaga penyedia jasa selama 5 (lima)


tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.

(4) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi


persyaratan sebagai berikut :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk arbiter
dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk mediator atau
pihak ketiga lainnya;
c. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang
lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk
arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau
pihak ketiga lainnya;
d. tidak ada keberatan dari masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2); dan
e. memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau
penengahan.

Pasal 11

(1) eanggotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak dapat


diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali :
a. meninggal dunia;
b. terbukti melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. mengundurkan diri.

(2) eanggotaan lembaga penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada
masyarakat dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan
untuk mengetahui ada / tidaknya keberatan dari masyarakat.
Bagian Ketiga
Lembaga Penyedia Jasa Yang
Dibentuk Oleh Masyarakat

Pasal 12

(1) Pendirian penyedia jasa yang dibentuk oleh masyarakat dibuat dengan
akta notaris.

(2) Untuk menjadi anggota lembaga penyedia jasa harus memenuhi


persyaratan sebagai berikut :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk arbiter
dan paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk mediator atau
pihak ketiga lainnya;
c. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidang
lingkungan hidup paling sedikit 15 (lima belas) tahun untuk
arbiter dan paling sedikit 5 (lima) tahun untuk mediator atau
pihak ketiga lainnya; dan
d. memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau
penengahan.

(3) etentuan lebih lanjut tentang lembaga penyedia jasa yang dibentuk
oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya.

Pasal 13

Pembentukan lembaga penyedia jasa oleh masyarakat sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib diberitahuklan :
a. di pusat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian
dampak lingkungan;
b. di daerah pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan daerah yang bersangkutan.

BAB III
PERSYARATAN PENUNJUKAN PIHAK KETIGA NETRAL

Bagian Pertama
Arbiter

Pasal 14

Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai arbiter oleh
para pihak tunduk pada ketentuan arbitrase.
Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya

Pasal 15

Anggota lembaga penyedia jasa yang dapat ditunjuk sebagai mediator atau
pihak ketiga lainnya oleh para pihak harus memenuhi syarat :
a. disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
b. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;
c. tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap
kesepakatan para pihak;
e. tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun
hasilnya.

Pasal 16

Orang-orang yang menjalankan fungsi sebagai arbiter atau mediator atau


pihak ketiga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan
Pasal 12 terikat pada kode etik profesi yang penilaian dan pengembangannya
dilakukan oleh asosiasi profesi yang bersangkutan.

BAB IV
TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
MELALUI LEMBAGA PENYEDIA JASA

Bagian Pertama
Pengelolaan Permohonan

Pasal 17

(1) Para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa dapat mengajukan
permohonan bantuan untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup
kepada lembaga penyedia jasa dengan tembusan disampaikan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang Pengendalian Dampak
Lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan (3).

(2) Instansi yang menerima tembusan permohonan bantuan untuk


penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran fakta-
fakta mengenai permohonan penyelesaian sengketa lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan hasilnya
kepada lembaga penyedia jasa yang menerima permohonan bantuan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

(3) Lembaga penyedia jasa dalam waktu tidak lebih dari 14 (empat belas)
hari sejak menerima hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib mengundang para pihak yang bersengketa.

Pasal 18

Tata cara pengelolaan permohonan penyelesaian sengketa melalui lembaga


penyedia jasa yang dibentuk pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 diatur lebih lanjut oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua
Arbitrase

Pasal 19

Tata cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk


pada ketentuan arbitrase.

Bagian Ketiga
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya

Pasal 20

Para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk mediator
atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1).

Pasal 21

(1) Penyelesaian sengketa melalui mediator atau pihak ketiga lainnya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tunduk pada kesepakatan yang
dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan melibatkan
mediator atau pihak ketiga lainnya.

(2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat


antara lain :
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga
lainnya;
d. tempat para pihak melaksanakan perundingan;
e. batas waktu atau lamanya penyelesaian sengketa;
f. pernyataan kesediaan dari mediator atau pihak ketiga lainnya;
g. pernyataan kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak
yang bersengketa untuk menanggung biaya;
h. larangan pengungkapan dan/atau pernyataan yang
menyinggung atau menyerang pribadi;
i. kehadiran pengamat, ahli dan/atau nara sumber;
j. larangan pengungkapan informasi tertentu dalam proses
penyelesaian sengketa secara musyawarah kepada masyarakat;
k. larangan pengungkapan catatan dari proses serta hasil
kesepakatan.

Pasal 22

(1) Dalam proses penyelesaian sengketa, penunjukan mediator atau pihak


ketiga lainnya dapat dianggap tidak sah atau batal dengan alasan :
a. mediator atau pihak ketiga lainnya menunjukan keberpihakan;
dan/atau
b. mediator atau pihak ketiga lainnya menyembunyikan informasi
tentang syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.

(2) Dalam hal mediator atau pihak ketiga lainnya memenuhi alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka :
a. mediator atau pihak ketiga lainnya wajib mengundurkan diri;
atau
b. para pihak atau salah satu pihak berhak menghentikan
penugasannya.

Pasal 23

(1) Para pihak yang bersengketa atau salah satu pihak dalam proses
penyelesaian sengketa setiap saat berhak menarik diri dari
perundingan.

(2) Apabila para pihak yang bersengketa akan menarik diri dari
perundingan wajib memberitahukan secara tertulis kepada mediator
atau pihak ketiga lainnya.

(3) Apabila salah satu pihak akan menarik diri dari perundingan wajib
memberitahukan secara tertulis kepada pihak lainnya dan mediator
atau pihak ketiga lainnya.
Pasal 24

(1) Kesepakatan yang dicapai melalui proses penyelesaian sengketa


dengan menggunakan mediator atau pihak ketiga lainnya wajib
dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermeterai
yang memuat antara lain :
a. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
b. nama lengkap dan tempat tinggal mediator atau pihak ketiga
lainnya;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. pertimbangan dan kesimpulan mediator atau pihak ketiga
lainnya;
f. isi kesepakatan;
g. batas waktu pelaksanaan isi kesepakatan;
h. tempat pelaksanaan isi kesepakatan;
i. pihak yang melaksanakan isi kesepakatan.

(2) Isi kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat
berupa antara lain :
a. bentuk dan besarnya ganti kerugian; dan/atau
b. melakukan tindakan tertentu guna menjamin tidak terjadinya
atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

(3) Biaya untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) huruf b dibebankan kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang telah mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup.

(4) Kesepakatan sebagaimana dimkasud pada ayat (1) ditandatangani


oleh para pihak dan mediator atau pihak ketiga lainnya.

(5) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
ditandatanganinya kesepakatan tersebut, lembar asliatau salinan
otentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan oleh mediator atau
pihak ketiga lainnya atau salah satu pihak atau para pihak yang
bersengketa kepada Panitera Pengadilan Negeri.
BAB V
PEMBIAYAAN LEMBAGA PENYEDIA JASA

Bagian Pertama
Arbitrase

Pasal 25

Biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbiter tunduk pada


ketentuan arbitrase.

Bagian Kedua
Mediator atau Pihak Ketiga Lainnya

Pasal 26

(1) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya dibebankan atas
kesediaan dari salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf g atau sumber-
sumber dana lainnya yang bersifat tidak mengikat.

(2) Biaya untuk mediator atau pihak ketiga lainnya pada penyedia jasa
yang dibentuk oleh Pemerintah selain dibebankan atas kesediaan dari
salah satu pihak atau para pihak atau sumber-sumber dana lainnya
yang bersifat tidak mengikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat pula dibebankan kepada pemerintah.

Bagian Ketiga
Sekretariat

Pasal 27

Segala biaya kesekretariatan yang diperlukan dibebankan kepada :


a. Pemerintah pusat pada anggaran belanja instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
b. Pemerintah daerah pada anggaran belanja instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah yang
bersangkutan.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 8 (delapan) bulan sejak tanggal


diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DJOHAN EFFENDI

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I,

Lambock V. Nahattands
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2000 TENTANG LEMBAGA PENYEDIA JASA PELAYANAN
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN

I. UMUM

Dalam pengelolaan lingkungan hidup sering terjadi sengketa lingkungan


hidup yang merupakan masalah perdata antara dua pihak atau lebih. Hal ini
terjadi karena adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Dalam hal terjadi sengketa lingkungan hidup para pihak
yang bersengketa dapat memilih untuk menyelesaikan sengketanya baik
melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang ditempuh di luar pengadilan pada prinsipnya adalah
suatu upaya untuk mendorong peningkatan dan pengutamaan musyawarah
dalam menyelesaikan setiap sengketa lingkungan hidup yang terjadi antara
para pihak, yang berkaitan dengan kerugian yang diderita oleh salah satu
pihak akibat perbuatan pihak lainnya. Prinsip mengutamakan penyelesaian
sengketa lingkungan hidup adalah melalui kesepakatan secara musyawarah.
Penggunaan prinsip musyawarah untuk menyelesaikan suatu sengketa
berlaku secara umum di seluruh wilayah Republik Indonesia dan hal ini
sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam sila
keempat dari Pancasila yang menjadi dasar negara dan pandangan hidup
bangsa Indonesia.

Lembaga penyedia jasa sebagai alternatif, oleh karena itu penggunaannya


sangat tergantung dari kesepakatan para pihak untuk menentukan
pilihannya baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh
masyarakat. Menurut ketentuan Pasal 33 Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah dan/atau
masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak
memihak yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembentukan lembaga ini dimaksudkan untuk mengefektifkan penyelesaian
sengketa lingkungan hidup secara alternatif di luar pengadilan baik melalui
pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan memutus (arbiter) maupun
mediator atau pihak ketiga lainnya yang tidak memiliki kewenangan
memutus guna memperoleh hasil yang lebih adil dan dapat diterima oleh
semua pihak dalam waktu yang cepat dengan biaya murah. Dengan adanya
alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
diharapkan akan dapat meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap sistem
nilai yang berasaskan musyawarah. Dengan demikian, diharapkan lembaga
penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh
sebagai bagian dari kebijaksanaan penaatan lingkungan hidup dan landasan
pengembangan stakeholdership dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup merupakan
badan yang mandiri dan tidak memihak yang tugasnya memberikan bantuan
kepada para pihak yang bersengketa dengan menggunakan pihak ketiga
netral baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun yang dibentuk oleh
masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 sampai pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1) sampai ayat (4)


Cukup jelas

Ayat (5)
Penyebarluasan informasi daftar panggil dapat dilakukan antara lain
melalui papan pengumuman, media cetak dan media elektronik.

Pasal 10

Ayat (1)
Keanggotaan lembaga penyedia jasa yang dibentuk oleh pemerintah
dari berbagai kalangan masyarakat dimaksudkan untuk dapat
mencerminkan kepentingan dari berbagai pihak.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang
memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau
penengahan adalah orang-orang yang telah memiliki
pengalaman menyelesaikan sengketa lingkungan hidup atau
telah mengikuti pendidikan / pelatihan perundingan yang
diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi.

Pasal 11

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pengumuman anggota lembaga penyedia jasa yang akan ditunjuk
dilakukan antara lain melalui papan pengumuman, media cetak dan
media elektronik.

Pasal 12

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan orang-orang yang
memiliki ketrampilan untuk melakukan perundingan atau
penengahan adalah orang yang telah memiliki pengalaman
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup atau telah mengikuti
pendidikan / pelatihan perundingan yang diselenggarakan oleh
lembaga yang terakreditasi.

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 13 sampai pasl 15

Cukup jelas
Pasal 16

Yang dimaksud dengan kode etik profesi adalah kode etik yang dibuat oleh
asosiasi profesi di bidang penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

Pasal 17 sampai pasal 20


Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)
Kesepekatan yang dibuat antara para pihak yang bersengketa dengan
melibatkan mediator atau pihak ketiga lainnya dibuat dalam bentuk
tertulis.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu antara lain melakukan
penyelamatan dan/atau tindakan penanggulangan dan/atau
pemulihan lingkungan hidup.
Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah
timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari.

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26

Ayat (1)
Biaya penyelesaian sengketa oleh mediator atau pihak ketiga lainnya
dapat meliputi honorarium dan biaya perjalanan.

Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari lembaga penyedia jasa
yang dibentuk oleh Pemerintah yang merupakan pelayanan publik.
Oleh karena itu prinsipnya biaya untuk mediator atau pihak ketiga
lainnya dapat dibebankan pada Pemerintah. Tetapi karena
keterbatasan dana pemerintah saat ini, maka dimungkinkan biaya
tersebut dibebankan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa
dan/atau berasal dari sumber-sumber dana lainnya seperti digunakan
mekanisme pendanaan lingkungan dan/atau sumber-sumber lainnya
yang bersifat tidak mengikat.
Pembiayaan yang berasal dari sumber-sumber dana lainnya
harus dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan
kepada publik.

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 150 TAHUN 2000

TENTANG

PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:
a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan
faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya
harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya;
b. bahwa meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun
sumber daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk
produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnyadapat
mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta untuk
melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 28, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran
Negara Nomor 3478)
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun
1992 NOmor 115; Tambahan Lembaram Negara Nomor 3501);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on
Biologocal Diserty (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati)
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 98; Negara Nomor 41; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3556);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 98; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 167;Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
10. Peraturan Pemerintahan Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK
PRODUKSI BIOMASSA
BAB 1
KETENTUAN UMUM

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan


1. Tanah adalah salah satu komponen lahan berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari
bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai
kemampuan menunjang kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya;
2. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal
biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan
serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur;
3. kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang
melampaui kriteria baku karusakan tanah;
4. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting,
batang dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan
dan hutan tanaman;
5. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk
menghasilkan biomassa;
6. Pengendalian kerusakan tanah adalah upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan
tanah serta pemulihan kondisi tanah;
7. Kondisi tanah adalah sifat dasar tanah di tempat dan waktu tertentu yang menentukan mutu
tanah;
8. Sifat dasar tanah adalah sifat dasar fisika, kimia dan biologi tanah;
9. Status kerusakan tanah adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang di nilai
berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
10. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas perubahan sifat
dasar tanah yang dapat ditenggang, berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa;
11. Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah upaya untuk mempertahankan
kondisi tanah melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya proses
kerusakan tanah;
12. Penaggulangan kerusakan tanah adalah upaya untuk menghentikan meluas dan
meningkatnya kerusakan tanah;
13. Pemulihan kondisi tanah adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah ke tingkatan yang
tidak rusak;
14. Orang adalah orang perseorangan dan/atau kelompok orang dan/badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
16. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup daerah;
17. Instansi teknis adalah instansi yang membidangi kegiatan di bidang produksi biomassa;
18. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
19. Menteri lain adalah Menteri yang membidangi kegiatan di bidang produksi biomassa;
20. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
21. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2

Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi:


a. Penetapan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa tidak termasuk biomassa
dari kegiatan budi daya perikanan; dan
b. Tata laksana pencegahan dan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan kondisi
tanah.
Pasal 3

Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk mengendalikan kerusakan tanah untuk produksi biomassa.

BAB III
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH

Bagian Pertama

Umum

Pasal 4

Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa meliputi:


a. Kriteria baku kerusakan tanah nasional; dan
b. Kriteria baku kerusakan tanah daerah.

Bagian Kedua
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Nasional

Pasal 5

(1) Kriteria baku kerusakan tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan
tanaman meliputi:

a. Kriteria baku kerusakan tanah akibat erosi air:


b. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering:
c. Kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah.

(2) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun sekali.
(3) Kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah
ini.

Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Tanah Daerah

Pasal 6

(1) Kriteria baku karusakan tanah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.


(2) Penetapan Kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Berdasarkan
kriteria baku kerusakan tanah nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
(3) Kriteria baku kerusakan tanah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari kriteria baku kerusakan tanah nasional
(4) Gubernur/Bupati/Walikota dapat menambah parameter kriteria baku kerusakan tanah di daerah
sesuai dengan kondisi tanah di daerahnya.
(5) Dalam menetapkan tambahan parameter, Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan koordinasi
dengan Menteri
(6) Apabila kriteria baku kerusakan tanah di daerah belum ditetapkan, maka berlaku kriteria baku
kerusakan tanah nasional.

Bagian Keempat
Tata Cara Pengukuran Kerusakan Tanah

Pasal 7
Tatacara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah nasional dan daerah ditetapkan oleh kepala
instansi yang bertanggung jawab.
BAB IV
PENETAPAN KONDISI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH

Pasal 8
(1) Kondisi tanah untuk penetapan status kerusakan tanah ditetapkan berdasarkan hasil:

a. analisis, intervasi, dan/atau identifikasi terhadap sifat dasar tanah; dan


b. intervasi kondisi iklim, topografi, potensi sumber kerusakan dan penggunaan tanah.

(2) Penetapan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap areal tanah
yang berpotensi mengalami kerusakan tanah.
(3) Bupati/Walikota menetapkan kondisi tanah di daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(4) Kondisi tanah untuk daerah kabupaten dipetakan dengan tingkat ketelitian minimal 1:100.000
dan untuk daerah kota 1 : 50.000.

Pasal 9

(1) Analisis sifat dasar tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan oleh
laboratorium tanah yang memenuhi syarat di daerah .
(2) Gubernur/Bupati/Walikota menunjuk laboratorium tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penunjukan laboratorium tanah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh kepala Instansi yang bertanggung jawab

Pasal 10

Bupati/Walikota melakukan evaluasi untuk menetapkan status kerusakan tanah sesuai dengan
parameter yang dilampaui nilai ambang kritisnya berdasarkan hasil inventarisasi, identifikasi, analisis
dan pemetaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1).

BAB V
TATA LAKSANA PENGENDALIAN

Bagian Pertama
Pencegahan Kerusakan Tanah

Pasal 11

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan tanah
produksi biomassa wajib melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah.

Bagian Kedua
Penanggulangan Kerusakan Tanah

Pasal 12
(1) Setiap penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk
produksi biomassa wajib melakukan penaggulangan kerusakan tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan kerusakan tanah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi teknis yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Pemulihan Kondisi Tanah

Pasal 13

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan tanah untuk
produksi biomassa wajib melakukan pemulihan kondisi tanah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan kondisi tanah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh instansi tenis yang bersangkutan.

Bagian Keempat
Pengawasan

Pasal 14
(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah di daerahnya.
(2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau
yang diperkirakan dapat berdampak lintas Kabupaten dan Kota.
(3) Menteri dan/atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengawasan atas
pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau yang diperkirakan dapat
berdampak lintas propinsi.

Pasal 15

Pengawasan pengendalian kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan


terhadap:
a. pelaksanaan persyaratan dan kewajiban yang tercantum di dalam izin untuk usaha dan/atau
kegiatan:
b. pemenuhan kriteria baku kerusakan tanah bagi usaha dan/atau kegiatan yang tidak
memerlukan izin .

Pasal 16

Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dan Pasal 15 dilakukan:
a. secara periodik untuk mencegah kerusakan tanah;
b. secara intensif untuk menanggulangi kerusakan tanah dan memulihkan kondisi tanah.

Bagian Kelima
Pelaporan

Pasal 17

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kerusakan tanah, wajib melaporkan
kepada pejabat daerah setempat.
(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
mencatat:
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tampat kejadian;
d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan tanah;
e. dampak kerusakan tanah yang terjadi.

(3) Pejabat daerah setempat terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
laporan, wajib meneruskanya kepada Guberhur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya laporan,
wajib melakukan verifikasi tentang kebenaran terjadinya kerusakan tanah.

Bagian Keenam
Hasil Pengawasan dan Laporan

Pasal 18
(1) Apabila hasil pengawasan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, membuktikan telah terjadi kerusakan tanah maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib
memerintahkan penangung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menghentikan pelanggaran
yang dilakukan dan melakukan tindakan penanggulangan kerusakan tanah serta pemulihan
kondisi tanah.
(2) Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan
pihak ketiga untuk melaksanakan penanggulangan kerusakan tanah dan pemul;ihan kondisi
tanah atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 19

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang wajib atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk
melakukan penanggulangan dan pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) atau ayat
(2) wajib menyampaikan laporan penanggulangan kerusakan tanah dan pemulihan kondisi tanah
kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.

BAB VI
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT

Pasal 20

(1) Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Pimpinan instansi


teknis/Menteri berkewajiban meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak
dan tanggung jawab serta kemampuannya untuk mencecgah timbulnya usaha dan/atau kegiatan
yang merusak kondisi tanah.
(2) Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
dengan mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai dan kelembagaaan adat serta
kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan tanah.

BAB VII
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERANAN MASYARAKAT
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada masyarakat tentang;
a. Kondisi tanah;
b. Status kerusakan tanah;
c. Rencana, pelaksanaan, dan hasil pengendalian kerusakan tanah; dan
d. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah.

(2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui media cetak,
media elektronik, atau papan pangumuman.

Pasal 22

Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi tentang;
a. Kondisi tanah;
b. Rtatus kerusakan tanah;
c. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan tanah;
d. Rencana, pelaksanaan dan hasil pengendalian kerusakan tanah.

BAB VIII
PEMBIAYAAN

Pasal 23
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8 ayat (3). Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 14 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 dibebankan pada anggaran
pendapatan dan belanja daerah dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 15,
dan Pasal 20 dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber
dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 24

Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 6 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25

Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tangggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ABDURRAHMAN WAHID
1. Lampiran
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 150 TAHUN 2000
TANGGAL: 23 Desember 2000

2. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA


A. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH DI LAHAN KERING AKIBAT EROSI AIR

AMBANG KRITIS EROSI


METODE
TEBAL TANAH (1) (2) PERALATAN
PENGUKURAN
Ton/ha/tahun mm/10 tahun
< 20 cm > 0,1 - < 1 > 0,2 - < 1,3 - gravimetrik
- timbangan, tabung
- pengukuran
20 - < 50 cm 1-<3 1,3 - < 4 ukur, penera debit
langsung
(discharge) sungai dan
50 - < 100 cm 3-<7 4,0 - < 9,0
peta daerah tangkapan
100 - 150 cm 7-9 9,0 - 12 air (catchment areal)
- patok erosi
> 150 cm >9 > 12

B. KRITERIA BAKU KERUSAKAN TANAH DI LAHAN KERING

No. PARAMETER AMBANG KRITIS METODE PENGUKURAN PERALATAN

1. - Ketebalan solum < 20 cm pengukurann langsung meteran

2. - Kebatuan permukaan < 40 % pengukuran langsung meteran; counter (line


imbangan batu dan tanah atau total)
dalam unit luasan
3. - komposisi fraksi < 18 % koloid; 80 % warna pasir, gravimetrik tabung ukur, timbangan
pasir kuarsitik
4. - Berat isi > 1,4 g/cm3 gravimetri pada satuan lilin; tabung ukur, ring
volume sampler, timbangan
analitik

5. - Porositas total < 30 %; > 70 % perhitungan berat isi (BI) piknometer; timbangan
dan berat jenis (BJ) analitik
6. - Derajat pelulusan air < 0,7 cm/jam; permeabilitas ring sampler; double ring
> 8,0 cm/jam permeameter
7. - PH (H20) 1 : 2,5 < 4,5 ; > 8,5 potensiometrik pH meter; pH stick skala
0,5 satuan

8. - Daya Hantar Listrik/DHL > 4,0 mS/cm tahan listik EC meter

9. - Redoks 200 mV tegangan listrik pH meter; elektroda


platina
10. - Jumlah mikroba < 102 cfu/g tanah plating technique cawan petri; colony
counter
C. KRITERIA BAKU KAERUSAKAN TANAH DI LAHAN BASAH

METODE
No. PARAMETER AMBANG KRITIS PERALATAN
PENGUKURAN
1. Subsidensi > 35 cm/5 tahun untuk pengukuran patok subsidensi
gambut di atas pasir ketebalan gambut > 3 m langsung
kuarsa atau 10%/ 5 tahun untuk
ketebalan gambut < 3 m
2. kedalaman lapisan < 25 cm dengan pH < reaksi oksidasi cepuk plastik
berpirit dari 2,5 dan pengukuran H202; pH stick
permukaan tanah langsung skala 0,5 satuan;
meteran
3. Kedalaman air tanah > 25 cm pengukuran meteran
dangkal langsung
4. Redoks untuk tanah > - 100 mV tegangan listrik pH meter;
berpirit elektroda platina
5. Redoks untuk gambut > 200 mV tegangan listrik pH meter;
elektroda platina
6. pH ( H20) 1 : 2,5 < 4,0 ; > 7,0 potensiometrik pH meter; pH
stick skala 0,5
satuan
7. Daya Hantar Listrik / > 4,0 mS/cm tahanan listrik EC meter
DHl
8. Jumlaj mikroba < 102 cfu/g tanah plating technicue cawan petri;
colony counter

Catatan :
o Untuk lahan basah yang tidak bergambut dan kedalaman pirit > 100 cm, ketentuan
kedalaman air tanah dan nilai redoks tidak berlaku.
o Ketentuan - ketentuan subsidensi gambut dan kedalaman lapisan berpirit tidak
berlaku jika lahan belum terusik/masih dalam kondisi asli/alami/ hutan alam.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

ABDURRAHMAN WAHID

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
ttd
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 150 TAHUN 2000

TENTANG

PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

UMUM
Tanah sebagai salah satu komponen lahan, bagian dari ruang daratan dan lingkungan hidup dalam
wilayah Kedaulatan Republik Indonesia, merupakan Karunia Tuhan yang Maha Esa kepada Bangsa
Indonesia. Tanah memiliki banyak fungsi dalam kehidupan. Di samping sebagai ruang hidup, tanah
memiliki fungsi produksi, yaitu antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat,
kayu dan bahan obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan dalam menjaga kelestarian sumber
daya air dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.

Karena itu, bangsa Indonesia berkewajiban untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi tanah,
dengan tujuan melestarikan dan meningkatkan kemampuan produksi dan pelestarianya. Hal ini
berarti bahwa pemanfaatan tanah harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar tanah dapat bermanfaat secara
berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan maka kegiatan pengendalian perusakan tanah
menjadi sangat penting.

Indonesia adalah negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor
pertanian. Oleh karena itu adanya kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa (pertanian,
perkebunan dan hutan tanaman) sangat diperlukan. Hutan tanaman merupakan hasil budi daya,
bukan hutan alami. Oleh karena itu istilah yang dipakai dalam Peraturan Pemerintah ini adalah hutan
tanaman. Penekanan pada produksi biomassa juga didasarkan pada pertimbangan bahwa kegiatan
produksi biomassa sangat mutlak mempersyaratkan mutu tanah sebagai media pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan.

Pemanfaatan tanah tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang dilakukan oleh orang pada hamparan
lahan yang ditempatinya dan lingkungan hidup. Dengan demikian pemanfaatan tersebut berkaitan
dengan pemanfaatan ruang kawasan dan pengelolaan lingkungan hidup yang pokok-pokok
pengaturannya ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat terjadi karena tindakan orang, baik di areal produksi
biomassa maupun karena adanya kegiatan lain di luar areal produksi biomassa yang dapat
berdampak terhadap terjadinya kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bagi pengendalian
kerusakan tanah di luar areal produksi biomassa diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
Selain dari pada itu, kerusakan tanah dapat pula terjadi akibat proses alam. Ruang lingkup Peraturan
Pemerintah ini hanya mengatur kerusakan akibat tindakan manusia. Meskipun demikian, kerusakan
yang terjadi karena proses alam tidak berarti tidak ditanggulangi. Namun, tanggung jawab
penanggulanganya merupakan kewajiban Pemerintah.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Pengendalian kerusakan tanah dilakukan dalam rangka Konservasi sehingga sumber daya tanah
dapat didayagunakan sesuai dengan atau tidak melebihi daya dukungnya.

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Penetapan Kriteria baku kerusakan tanah nasional tersebut didasarkan pada sifat-sifat dasar tanah
yang menentukan mutu dan fungsi tanah sebagi faktor produksi biomassa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah di daerah yang lebih ketat diterapkan apabila kondisi tanah
di daerah tersebut lebih rentan terhadap kerusakan dinbandingkan kondisi rata-rata nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Kegiatan inventarisasi, identifikasi dan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi
tanah dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi terkait yang telah ada (data sekunder)
dan/atau melakukan pengamatan dan pengukuran sejumlah parameter langsung di lapangan, jika
data sekunder belum mencukupi atau diperlukan data yang lebih mutakhir dari lapngan karena
diduga telah terjadi perubahan yang mendasar. Pengamatan dilakukan untuk semua parameter sift
dasar tanah, potensi sumber kerusakan, kondisi iklim dan topografi serta penggunaan tanah.

Sifat dasar tanah mencakup sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat fisik tanah antara lain
meliputi kedalaman tanah, tekstur, pori dan kandungan air. Sifat kimia tanah antara lain meliputi pH,
kandungan garam. Sifat biologi tanah terutama berkaitan dengan jumlah jasad renik (mikroba) yang
terkandung di dalam tanah.

Kondisi iklim dan geografi yang perlu diteliti meliputi antara lain curah hujan, intensitas penyinaran
matahari, ketinggian (elevasi) dan morfologi.

Potensi sumber kerusakan tanah berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan penggunaan tanah untuk
pertanian, perkebunan dan hutan tanaman, termasuk kegiatan lainya yang berada di luar areal
produksi biomassa antara lain kegiatan pertambangan, permuiman dan industri.

Penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan hasil bentukan
alami (misalnya hutan, alang-alang dan semak), maupun hasil bentukan buatan sebagai cerminan
budaya (misalnya permukiman, kebun, dan taman).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (4)
Peta kondisi tanah daerah kabupaten/Kota dapat digunakan untuk menyusun peta propinsi dengan
cara menggabungkan peta kondisi tanah daerah Kabupaten/Kota. Peta kondisi tanah daerah Propinsi
digambarkan dengan skala minimal 1 : 250.000 agar bisa didintegrasikan dengan peta tematik lain
untuk merumuskan arahan kebijakan pembangunan daerah.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 10
Yang dimaksud dengan evaluasi adalah membandingkan antara kondisi tanah degan kriteria baku
kerusakan tanah untuk produksi biomassa sehingga dapat diketahui rusak tidaknya tanah. Tanah
dikatakan rusak apabila salah satu parameter kriteria baku kerusakan tanah terlampaui.

Pasal 11
Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat dilakukan dengan cara antara lain :
c. Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan kegiatanya dengan peruntukan lahan
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota;
d. Setiap uasaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap tanah untuk produksi biomassa wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL) untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan;
e. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan tidak menimbulkan dampak besar dan
penting tehadap tanah untuk produksi biomassa wajib untuk melakukan upaya pengelolaan
lingkungan (UPL) untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Yang dimaksud dengan usaha dan/atau kegiatan meliputi usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan
izin dan yang tidak memerlukan izin.

Usaha dan/atau kegiatan yang memerlukan izin antara lain kegiatan yang wajib memiliki AMDAL dan
melakukan UKL dan UPL.

Contoh izin yang dimaksud antara lain izin usaha pertanian untuk usaha di bidang pertanian, izin
usaha perkebunan untuk usaha di bidang perkebunan, izin usaha kehutanan untuk usaha di bidang
hutan tanaman.

Usaha dan/atau kegiatan yang tidak memerlukan izin antara lain kegiatan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten).

Pasal 12
Ayat (1)
Penanggulangan kerusakan tanah dapat dilakukan dengan cara antara lain:
f. memperbaiki pengolahan dalam proses produksi; dan/atau
g. mengurangi produksi.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Pemulihan kondisi tanah dilakukan dengan cara antara lain:
h. penanaman dengan tumbuhan yang cocok dengan kondisi tanah dan lingkungan sekitarnya;
i. melakukan tindakan ameliorasi dengan menggunakan bahan-bahan seperti pupuk, bahan
organik dan kapur; dan/atau
j. melakukan tindakan konservasi tanah seperti pembuatan teras atau bangunan sipil teknis
lain, penanaman tanaman penutup.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan instansi teknis yang bersangkutan adalah:
k. instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang pertanian dan perkebunan untuk kegiatan
di bidang pertanian dan perkebunan; atau
l. instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang kehutanan untuk kegiatan di bidang hutan
tanaman.

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik misalnya pengawasan yang dilakukan setiap 3
(tiga) bulan sekali. Sedangkan pengawasan intensif dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering
daripada pengawasan periodik.

Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat antara lain Kepala desa, Lurah, Camat,
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Tindakan penghentian pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk menghentikan kerusakan dan
memulihkan kerusakan tanah yang terjadi, sehingga kerugian dapat dicegah sekecil mengkin.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang yang dinilai memiliki kemampuan untuk melakukan
penanggulangan dan pemulihan kerusakan tanah.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain melalui:
m. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
bidang konservasi tanah;
n. bimbingan teknis;
o. pendidikan dan pelatihan;
p. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang konservasi tanah untuk
mendorong partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha dalam pengendalian kerusakan
tanah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mendukung perlindungan tanah antara
lain membiarkan lahan pertanian tidak ditanami dalam kurun waktu tertentu, pergiliran tanaman,
tumpang sari dan pembuatan terrasering.

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Hak atas informasi tentang kondisi tanah, status kerusakan tanah untuk produksi biomassa, rencana
pelaksanaan serta hasil pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, dan kegiatan-
kegiatan yang berpoptensi merusak tanah merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan
dalam pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang berlandaskan pada asas
keterbukaan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran dalam
pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa, disamping akan membuka peluang bagi
masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi
tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengendalian
kerusakan tanah untuk produksi biomassa yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk
diketahui masyarakat.

Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi merupakan pendorong bagi masyarakat untuk
berperan aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.

Peran masyarakat meliputi antara lain menyampaikan saran dan pendapat tentang kebijakan
pengendalian kerusakan tanah serta berpartisipasi aktif dalam pengendalian kerusakan tanah.

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4068


Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001
Tentang : Pengendalian Kerusakan Dan Atau
Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan
Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 4 TAHUN 2001 (4/2001)
Tanggal : 6 FEBRUARI 2001

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

1. bahwa hutan dan atau lahan merupakan sumber daya alam yang
mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun
budaya, yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya, karena itu perlu dilakukan pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup;

2. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu


penyebab kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik
berasal dari lokasi maupun dari luar lokasi usaha dan atau kegiatan;

3. bahwa kebakaran hutan dan atau lahan telah menimbulkan kerusakan


dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas
batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial
dan budaya;

4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf


a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14
ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau
Lahan;
Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah


diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);

3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya


Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);

4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United


Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3556);

6. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United


Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan
Iklim) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3557);

7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

9. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3888);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3838);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan


Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2952);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN


ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN
KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi


sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan;

2. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya


untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi
masyarakat;

3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau


ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap;
4. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup
adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

5. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah


upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan melalui
cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan;

6. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup


adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

7. Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah


upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan daya
dukungnya;

8. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan


dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup
yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang diakibatkan
oleh suatu usaha dan atau kegiatan;

9. Kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan


dan atau lahan adalah perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan
hutan dan atau lahan tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan yang berkelanjutan;

10. Pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan


dan atau lahan adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan
atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup akibat kebakaran
hutan dan atau lahan sehingga kualitas lingkungan hidup menjadi
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;

11. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan


kebakaran hutan dan atau lahan adalah ukuran batas perubahan sifat
fisik dan atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang;

12. Orang adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau
badan hukum;
13. Penanggung jawab usaha adalah orang yang bertanggung jawab atas
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi;

14. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung


jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;

15. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan


hidup;

16. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;

17. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 2

Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi upaya pencegahan,


penanggulangan, dan pemulihan serta pengawasan terhadap pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan.

BAB II
KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN
DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 3

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran


hutan dan atau lahan meliputi:

a. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan

b. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah.


Bagian Kedua
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Nasional

Pasal 4

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:

a. Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan

b. Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional.

Pasal 5

(1) Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi:

a. Kriteria umum baku kerusakan tanah mineral yang berkaitan


dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

b. Kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang berkaitan


dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

c. Kriteria umum baku kerusakan flora yang berkaitan dengan


kebakaran hutan dan atau lahan; dan

d. Kriteria umum baku kerusakan fauna yang berkaitan dengan


kebakaran hutan dan atau lahan.

(2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum


dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 6

(1) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 huruf b didasarkan pada kriteria umum baku
kerusakan lingkungan hidup nasional.

(2) Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 7

Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka
berlaku kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.

Bagian Ketiga
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Daerah

Pasal 8

(1) Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan kriteria baku kerusakan


lingkungan hidup daerah.

(2) Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan kriteria teknis
baku kerusakan lingkungan hidup nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2).

(3) Dalam hal kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan,
maka penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah
berdasarkan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional
yang tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.

(4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah ditetapkan dengan


ketentuan sama atau lebih ketat daripada ketentuan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup nasional.

BAB III
BAKU MUTU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 9

Baku mutu pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran


hutan dan atau lahan meliputi :

a. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional; dan

b. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah.


Pasal 10

Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional dan baku mutu


pencemaran lingkungan hidup daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV
TATA LAKSANA PENGENDALIAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 11

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau


lahan.

Bagian Kedua
Pencegahan

Pasal 12

Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau


pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan.

Pasal 13

Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak


besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan wajib
mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

Pasal 14

(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk
mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi
usahanya.

(2) Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan


atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a. sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran


hutan dan atau lahan;

b. alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;

c. prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi


terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;

d. perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah


dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;

e. pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan


secara berkala.

Pasal 15

Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib


melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan
atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data
penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 16

Pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan usaha sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 13 wajib memperhatikan :

a. kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan atau lahan sebagai


bagian dari pendayagunaan sumber daya alam;

b. kesesuaian dengan tata ruang daerah;

c. pendapat masyarakat dan kepala adat; dan

d. pertimbangan dan rekomendasi dari pejabat yang berwenang.


Bagian Ketiga
Penanggulangan

Pasal 17

Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan atau lahan


di lokasi kegiatannya.

Pasal 18

(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau
lahan di lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

(2) Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan


ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri yang bertanggung
jawab di bidang kehutanan setelah berkoordinasi dengan Menteri lain
yang terkait dan Instansi yang bertanggung jawab.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan


kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 19

Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis penanggulangan kebakaran


hutan dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan
ayat (3) belum ditetapkan, maka penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Pemulihan

Pasal 20

Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan atau


lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup.
Pasal 21

(1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal


13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.

(2) Pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan


dengan kebakaran hutan dan atau lahan ditetapkan lebih lanjut oleh
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis pemulihan lingkungan


hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
peraturan daerah.

Pasal 22

Dalam hal pedoman umum dan pedoman teknis pemulihan dampak


lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) belum
ditetapkan, maka pemulihan dampak lingkungan hidup dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V
WEWENANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN
DAN ATAU LAHAN

Bagian Pertama
Wewenang Pemerintah Pusat

Pasal 23

Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan mengkoordinasikan


pemadaman kebakaran hutan dan atau lahan lintas propinsi dan atau lintas
batas negara.

Pasal 24

Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal


23, Menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan
mengkoordinasikan :
a. penyediaan sarana pemadam kebakaran hutan dan atau lahan;

b. pengembangan sumber daya manusia untuk pemadaman kebakaran


hutan dan atau lahan; dan atau

c. pelaksanaan kerja sama internasional untuk pemadaman kebakaran


hutan dan atau lahan.

Pasal 25

Dalam rangka pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan


hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan, instansi yang
bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di
bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi
pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan.

Pasal 26

Kepala Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan


penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi pada lintas
propinsi dan atau lintas batas negara.

Bagian Kedua
Wewenang Pemerintah Propinsi

Pasal 27

Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau


pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.

Pasal 28

(1) Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan di lintas
kabupaten/kota, Gubernur wajib melakukan koordinasi
penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas
kabupaten/kota.
(2) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Gubernur dapat meminta bantuan kepada Gubernur
yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat.

Pasal 29

(1) Dalam melakukan koordinasi penanggulangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 28 Gubernur dapat membentuk atau menunjuk instansi
yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau
lahan di daerahnya.

(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


wajib melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang
potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan
hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak
lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota.

Bagian Ketiga
Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 30

Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan


atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan di daerahnya.

Pasal 31

(1) Dalam hal terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan, maka
Bupati/Walikota wajib melakukan tindakan :

a. penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan;

b. pemeriksaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang


mengalami dampak kebakaran hutan dan atau lahan melalui
sarana pelayanan kesehatan yang telah ada;
c. pengukuran dampak;

d. pengumuman pada masyarakat tentang pengukuran dampak


dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi
dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, tidak


mengurangi kewajiban setiap orang dan atau setiap penanggung
jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 ayat
(1).

Pasal 32

Bupati/Walikota yang melakukan penanggulangan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, dapat meminta bantuan pada
Bupati/Walikota terdekat.

Pasal 33

(1) Dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan,


Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang
berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di
daerahnya.

(2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang
potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan
hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak
lingkungan hidup sebagai upaya pengendalian kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan.

BAB VI
PENGAWASAN

Pasal 34

(1) Bupati/Walikota melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan


dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya.
(2) Gubernur melakukan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat
berdampak lintas kabupaten/kota.

(3) Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, melakukan
pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak lintas
propinsi dan atau lintas batas negara.

Pasal 35

Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan


penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.

Pasal 36

Menteri dan atau Kepala Instansi yang bertanggung jawab, dalam hal
tertentu dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan
persyaratan yang diwajibkan bagi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14.

Pasal 37

Pelaksanaan pengawasan atas pengendalian kerusakan dan atau pencemaran


lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 dilakukan :

a. secara periodik untuk mencegah kerusakan dan atau pencemaran


lingkungan hidup;

b. secara intensif untuk menanggulangi dampak dan pemulihan


lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan.

Pasal 38

Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 36, dan Pasal 37 menunjukkan ketidakpatuhan penanggung jawab
usaha, maka Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung
jawab usaha untuk menghentikan pelanggaran yang dilakukan dan
melakukan tindakan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran
serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan atau pemulihan.

BAB VII
PELAPORAN

Pasal 39

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya kebakaran


hutan dan atau lahan, wajib melaporkan kepada pejabat daerah
setempat.

(2) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :

a. identitas pelapor;

b. tanggal pelaporan;

c. waktu dan tempat kejadian;

d. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan


atau lahan;

e. perkiraan dampak kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi.

(3) Pejabat daerah setempat yang menerima laporan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya
satu kali dua puluh empat jam terhitung sejak tanggal diterimanya
laporan, wajib meneruskannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota yang
bersangkutan.

(4) Gubernur/Bupati/Walikota setelah menerima laporan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu selambat-lambatnya
satu kali dua puluh empat jam sejak tanggal diterimanya laporan,
wajib melakukan verifikasi dari pejabat daerah yang menerima laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mengetahui tentang
kebenaran terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan.
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
menunjukkan telah terjadi kebakaran hutan dan atau lahan, maka
Gubernur/Bupati/Walikota wajib memerintahkan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi kebakaran hutan dan
atau lahan serta dampaknya.

Pasal 40

Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (5),
Gubernur/Bupati/Walikota dapat melaksanakan atau menugaskan pihak
ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 41

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang
ditunjuk untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 ayat (5),
dan Pasal 40, wajib menyampaikan laporannya kepada
Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.

BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT

Pasal 42

(1) Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung


jawab/Pimpinan instansi teknis/Menteri berkewajiban meningkatkan
kesadaran masyarakat termasuk aparatur akan hak dan tanggung
jawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan
atau lahan.

(2) Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan
kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional
yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan.
BAB IX
KETERBUKAAN INFORMASI DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 43

(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib memberikan informasi kepada


masyarakat mengenai kebakaran hutan dan atau lahan serta
dampaknya.

(2) Pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan


melalui media cetak, media elektronik atau papan pengumuman yang
meliputi :

a. lokasi dan luasan kebakaran hutan dan atau lahan;

b. hasil pengukuran dampak;

c. bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem;

d. dampaknya terhadap kehidupan masyarakat;

e. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak


yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Pasal 44

Dalam hal dampak kebakaran hutan dan atau lahan melampaui lintas
propinsi dan atau lintas batas negara, koordinasi pemberian informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dilakukan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab.

Pasal 45

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan


informasi dalam rangka ikut serta melakukan upaya pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang meliputi :

a. peta daerah rawan kebakaran hutan dan atau lahan;

b. peta peringkat bahaya kebakaran hutan dan atau lahan;


c. dokumen perizinan pengusahaan hutan dan atau lahan;

d. dokumen AMDAL;

e. rencana penyiapan/pembukaan hutan dan atau lahan;

f. hasil penginderaan jauh dari satelit;

g. laporan berkala dari penanggung jawab usaha mengenai status


penaatan terhadap persyaratan perizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);

h. hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat


(1), dan ayat (2).

(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal 46

Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengendalian


kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 47

Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :

a. Pasal 6 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 23, Pasal
24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 34 ayat (3), Pasal 36, dan Pasal 42
dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

b. Pasal 8 ayat (1), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (3), Pasal 27, Pasal
28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 35, Pasal 39 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dan
Pasal 42 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 48

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12, Pasal 14, dan Pasal 15 dikenakan
sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 27
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

BAB XII
GANTI KERUGIAN

Pasal 49

(1) Setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal
13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
21 ayat (1) yang menimbulkan akibat kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
lahan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup, wajib untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan
tindakan tertentu.

(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.

(3) Tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) diatur secara tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 50

Dalam hal tata cara penetapan besarnya ganti kerugian sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) belum ditetapkan, maka tata cara
penetapan besarnya ganti kerugian dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 51

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan
beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan
beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara
langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup.

(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah
satu alasan di bawah ini:

a. adanya bencana alam atau peperangan; atau

b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya


pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti kerugian.

BAB XIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 52

Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal 15, Pasal
17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46,
dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53

Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini :

a. izin usaha yang telah diajukan tetapi masih dalam proses


penyelesaian, wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah ini.

b. izin usaha yang sudah diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini


wajib menyesuaikan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 54

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan
dan atau lahan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Februari 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd
ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 5 Februari 2001

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd
DJOHAN EFFENDI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 04 TAHUN 2001
TENTANG : PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN
ATAU LAHAN

I.UMUM
Pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan, mutu kehidupan dan penghidupan seluruh rakyat Indonesia.
Proses pelaksanan pembangunan itu sendiri disatu pihak menghadapi
masalah karena jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan
yang cukup tinggi dan persebarannya tidak merata. Di lain pihak
ketersediaan sumber daya alam juga terbatas. Jumlah penduduk yang besar
dengan pertumbuhan yang cukup tinggi akan meningkatkan pemanfaatan
terhadap sumber daya alam, sehingga pada akhimya akan menimbulkan
tekanan terhadap sumber daya alam un sendiri. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan
mutu kehidupan rakyat harus disertai dengan upaya-upaya pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
Di dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara tegas
dikemukakan dalam Tap MPR No.lV/MPR/1999 tentang Garis -garis Besar
Haluan Negara, bahwa pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
lingkungan hidup harus disertai dengan tindakan konservasi, rehabilitasi, dan
penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memperkecil dampak yang akan
merugikan lingkungan lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan itu
sendiri.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan devisa, maka
Pemerintah melakukan pembangunan diberbagai sektor. Sektor
pembanguan tersebut antara lain di bidang kehutanan, perkebunan,
pertanian, transmigrasi , dan pertambangan serta pariwisata. Kegiatan ini
dilakukan dengan membuka kawasan-kawasan hutan menjadi kawasan
budidaya yang dalam proses pelaksanaan kegiatannya rawan terjadinya
kebakaran hutan dan atau hutan.
Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah
terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, seperti
terjadinya kerusakan flora dan atau fauna , tanah , dan hutan. Sedangkan
pencemaran dapat terjadi terhadap air dan udara. Pengendalian terhada
terjadinya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri, seperti dalam Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air.
Pengertian hutan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan batasan
pengertian sebagaimana tercantum dalam Undang— undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan. Sedangkan pengertian lahan adalah suatu hamparan ekosistem
daratan yang peruntukannya untuk usaha di bidang kehutanan,pertanian,
transmigrasi, pertambangan, pariwisata, dan ladang dan kebun bagi
masyarakat. Lahan tersebut mempunyai ciri— cirinya merangkum semua
tanda pengenal biosfer,atmosfer, tanah, geologi, timbunan (relief), hidrologi,
populasi tumbuhan dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan
masa kini yang bersifat mantap atau mendaur.
Kebakaran hutan dan ataa lahan di Indonesia, terjadi setiap tahun walaupun
frekuensi, intensitas, dan luas arealnya berbeda. Kebakaran paling besar
terjadi pada tahun 1997/1998 di 25 (dua puluh lima) propinsi, yang untuk
pertama kali dinyatakan sebagai bencana nasional. Dampak dengan
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan yang terjadi setiap tahun
tersebut telah menimbulkan kerugian, baik kerugian ekologi, ekonomi, sosial,
maupun budaya yang sulit dihitung besamnnya. Dampak asap menimbulkan
gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pemafasan akut (ISPA), asma
bronkial, bronkitis, pneumonia (radang paru), iritasi mata dan kulit. Hal ini
akibat tingginya kadar debu di udara yang telah melampaui ambang batas.
Dampak asap dan kebakaran hutan dan atau lahantelah mengganggu jarak
pandang sehingga mempengaruhi jadual penerbangan. Akibatnya di
beberapa kota jarak pandang kurang dari satu kilometer, yang
mengakibatkan penutupan beberapa bandar udara. Selain daripada itu
dampak asap mengganggu aktivitas penduduk. Bahkan, asap dan kebakaran
tersebut juga mempengaruhi negara tetangga di Asia Tenggara yakni
Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan
berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.
Dalam perist.wa kebakaran hutan dan atau lahan, terdapat beberapa faktor
yang menjadi penyebabnya. Faktor tersebut adalah penyiapan lahan yang
tidak terkendali dengan cara membakar, termasuk juga karena kebiasaan
masyarakat dalam membuka lahan, kehakaran yang tidak disengaja,
kebakanan yang disengaja (arson), dan kebakaran karena sebab alamiah.
Kebakaran karena sebab alamiah ini terjadi di daerah yang mengandung
batu bara atau bahan lain yang mudah terbakar. Meskipun beberapa faktor
tersebut di atas dapat mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kebakaran,
tetapi faktor yang paling dominan penyebab terjadinya kebakaran adalah
karena tindakan manusia.
Terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan sangat sulit untuk ditanggulangi,
baik untuk pemadaman kebakaran maupun pemulihan dampak dari
kebakaran. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sarana dan prasana,
kemampuan sumber daya manusia, dana, dan letak lokasi yang sulit untuk
dapat segera dijangkau serta memerlukan waktu yang cukup lama. Padahal,
pemadaman kebakaran memerlukan kecepatan dan keberhasilan untuk
mengatasinya. Untuk itu, maka tindakan pencegahan terjadinya kebakaran
menjadi sangat penting dilakukan, antara lain dengan memperketat
persyaratan dalam pemberian ijin.
Bagi kegiatan yang tidak memerlukan iziin seperti kegiatan perorangan atau
kelompok orang yang k kebinsaan nya membuka lahan untuk ladang dan
kebun, maka untuk mencegah terjadinya kebakaran diperlukan pembinaan,
bimbingan, dan penyuluhan serta kebijakan khusus dari masing-masing
propinsi/kabupaten/kota. Dengan demikian, maka dalam melakukan
tindakan atau kegiatanya tidak dilakukan dengan cara membakar yang dapat
menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan.
Mengingat dampak akibat kebakaran hutan dan atau lahan sangat besar,
maka setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan dilarang dengan
cara mebakar. Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Pasal 50 huruf d, secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang
dilarang membakar hutan. Larangan tersebut tidak berlaku bagi pembakaran
hutan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat
dielakan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan
penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan
pembakaran tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Untuk dapat memberikan kejelasan dan peran masing-masing pihak terkait
terhadap penanganan kebakaran hutan dan atau lahan, khususnya dalam
pelaksanaan otonomi daerah diperlukan suatu kebijakan nasional, yaitu
Preraturan Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan Kebakaran hutan dan
atau Lahan.
Peraturan Pemerintah ini diperlukan selain karena alasan yang telah
diuraikan di atas juga sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 1 4 ayat (2) dan
ayat (3) Undang— undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Linkungan Hidup.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 sampai pasal 7


Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1) sampai ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kriteria baku lingkungan hidup daerah dapat ditetapkan lebih ketat daripada
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional apabila kondisi daerah
tersebut memerlukannya dan bertujuan untuk memberikan perlindungan
yang lebih baik terhadap lingkungan hidup daerah.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Ketentuan tentanq, baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional untuk
berbagai sumber daya alam telah di tetapkan dalam berbagai peraturan,
antara lain baku mutu udara.

Pasal 11
Kegiatan yang menimbulkan kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara
lain kegiatan penyiapan latihan untuk usaha di bidang kehutanan,
perkebunan, pertanian , transmigrasi, pertambangan,pariwisata yang
dilakukan dengan cara membakar. Oleh karena itu dalam melakukan usaha
tersebut di larang dilakukan dengan cara pembakaran, kecuali untuk tujuan
khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian
kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat
tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut
harus mendapat izin dan pejabat yang berwenang.
Selanjutnya kebiasan masyarakat adat atau tradisional yang membuka
lahan untuk ladang dan atau kebun dapat menimbulkan terjadinya
kebakanan hutan dn atlaun lahan. Untuk menghindarkan terjadinya
kebakaran di luar lokasi lahannya perlu dilakukan upaya pencegahan melalui
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah masing— masing seperti
melalui peningkatan kesadaran masyarakat adat atau tradisional .
Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Yang dimaksud dengan penanggung jawab usaha yang usahanya dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan,antara lain usaha di bidang kehutanan perkebunan, dan
pertambangan.

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Sistem deteksi dini dimaksudkan untuk mengetahui terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan, contohnya menara pemantau.
Huruf b sampai huruf d
Cukupjelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan pelatihan penanggulangan kebakaran hutan
dan atau lahan secara berkala antara lain adalah setiap 6 (enam)
bulan sekali.

Pasal 15
Laporan hasil pemantauan secara berkala dilengkapi antara lain dengan data
pemantauan dan data penginderaanjauh dari satelit.

Pasal 16
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang memberikan izin melakukan
usaha adalah pejabat dan instansi yang bertanggung jawab di bidang yang di
mintakan permohonan izin usahanya. Contohnya pejabat yang bertanggung
jawab di bidang kehutanan dan pejabat yang bertanggung jawab di bidang
pertanian
Huruf a
Yang dimaksud dengan kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan dan
atau lahan adalah strategi pengelolaan hutan dan atau lahan serta strategi
pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pendapat masyarakat termasuk di antaranya adalah pendapat pemerhati
lingkungan dan organisasi lingkungan hidup.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Pertimbangan dan rekomendasi dan pejabat yang
berwenang adalah antara lain rekomendasi dari Kepala Bapedal tentang
kelayakan lingkungan hidup yang kewenangan penilaian komisi AMDAL nya
dipusat, sedangkan di daerah adalah pertimbangan dan rekomendasi
kelayakan lingkungan hidup dan Gubemur yang kewenangan penilaian komisi
AMDAL-nya ada di daerah.

Pasal 17
Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau
tradisional yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali
kebakaran lahan tersebut terjadi sampai di luar areal ladang dan kebunnya
Pembakaran tersebut dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan
ladang dan kebun.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan segera melakukan penanggulangan adalah tindakan
seketika untuk melakukan penanggulangan sejak diketahuinya terjadi
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi kegiatannya.
Ayat(2)
Yang dimaksud dengan Menteri lain yang terkait adalah antara lain Menteri
Pertanian dalam hal kegiatan perkebunan, Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral dalam hal kegiatan yang berkait dengan pertambangan.
Ayat (3)
Penetapan pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan atau
lahan dengan peraturan daerah dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan
kondisi alamiah tentang hutan dan atau lahan daerah yang bersangkutan.
Misalnya penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi yang
mengandung batu bara atau gambut berbeda penanggulangannya dengan
kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi lainnya.
Pasal 19
yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah
peraturan perundang— undangan yang selama ini telah ada seperti di bidang
kehutanan.

Pasal 20 sampai pasal 28


Cukup jelas

Pasal 29
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang tersebut dapat dilakukan bagi
propinsi yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau lahan,

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindakan penanggulangan kebakaran adalah
antara lain mobilisasi sarana dan prasarana, sumber daya manusia
untuk mencegah meluasnya kebakaran. Pelaksanaan penanggulangan
kebakaran tersebut dilakukan secara bejenjang dari tingkat desa/kelu
rahan, kecamatan, dani kabupaten / kota.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kesehatan masyarakat adalah
antara lain pemeriksaan gangguan pernafasan dan iritasi mata.
lluruf C
Pengukuran dampak dilakukan antara lain dengan menggunakan
indeks standar pencemar udara dan jarak pandang. Apabila hasil
pemantauan menunjukkan indeks standar pencemaran udara (ISPU)
mencapai nilai 300 atau lebih, berarti udara dalam kategori berbahaya
bagi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan Pengumumnan mengenai langkah— langkah
yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan adalah antara lain mengumumkan
kepada masyarakat agar mengurangi aktivitasnya, dan menggunakan
masker untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Pembentukan instansi yang berwenang secara khusus tersebut dapat
dilakukan di kabupateu/kota yang rawan terjadi kebakaran hutan dan atau
lahan,
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah antara lain pengecekan lapangan
untuk mengetahui tentang kebenaran informasi yang disampaikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota terhadap penanganan kasus kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan.

Pasal 37
Yang dimaksud dengan pengawasan secara periodik antara lain pengawasan
yang dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Pengawasan intensif dilakukan
dengan frekuensi yang lebih sering daripada pengawasan periodik, terutama
terhadap penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup.
Pasal 38
Yang dimaksud dengan ketidakpatuhan penanggung jawab usaha adalah
antara lain tidak menyiapkan peralatan pemadaman,dan atau standar
operasi prosedur penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi
usahanya.

Pasal 39
Ayat(1)
Yang dimaksud pejabat daerah setempat adalah antara lain Kepala
Desa/Lurah, Camat, dan Polisi. Sedangkan informasi yang diperoleh dan
media elektronik, media cetak, dan surat, dilaporkan kepada Kepala lnstansi
yang bertanggung jawab.

Ayat (2) sampai ayat (5)


Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Peningkatan kesadaran masyarakat, penanggung jawab usaha, dan aparatur
dilakukan melalui antara lain :
a. peningkatan pemahaman terhadap peraturan perundang— undangan
yang berkaitan dengan bidang konservasi hutan dan atau lahan;
b. pemberian bimbingan teknis;
c. pendidikan dan pelatihan;
d. pemberian insentif bagi orang yang dianggap berjasa dalam bidang
konservasi hutan dan atau lahan untuk mendorong partisipasi aktif
masyarakat dan penanggung jawab usaha dalam pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup.
Upaya untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dan aparatur dalam
pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan dimaksud agar, antara lain,
dapat ikut serta dalam kegiatan fisik di lapangan, sedangkan keterlibatan
tidak langsung dapat berupa bantuan pendanaan dalam pengendalian
kebakaran hutan dan atau lahan.
Yang dimaksud dengan pimpinan instansi teknis dalam pasal izin adalah
antara lain Departemen Kehutanan untuk usaha kehutanan dan Departemen
Pertanian untuk usaha perkebunan.
Ayat (2)
Kearifan tradisional adalah antara lain tradisi Karuhan pada masyarakat
Kampung Naga, Jawa Darat, dan tradisi 1hutan larangan pada masyarakat
Siberut, Sumatera.

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan hasil pengukuran dampak adalah antara
lain lndeks Standar Pencemar Udara (ISPU), PM10, jarak
pandang, dan baku mutu udara ambien.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan dampak terhadap kehidupan
masyarakat adalah antara lain dampak terhadap kesehatan dan
aktivitas masyarakat masyarakat.
Huruf e
Yang dimaksud dengan langkah-langkah untuk mengurangi
dampak adalah antara lain mengurangi aktivitas masyarakat
dan menggunakan maskerr untuk menghindari dari kerugian
yang lebih besar bagi masyarakat

Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat(1)
Hak atas informasi tentang terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan
merupakan konsekuen logis dan hak berperan dalam pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan.Hak atas informasi tersebut akan
meningkatkan nilai dan efektifitas peran masyakat dalam pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup di samping akan
membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data,
dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL), keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
menurut sifat dan tujuan memang terbuka untuk diketahui masyarakat.

Ayat (2)
Dalam hal informasi belum tersedia pada Gubenur/Bupati/WaLikota, maka
masyarakat yang berkepentingan dapat meminta informasi tersebut kepada
Kepala Instansi yang bertangungjawab.
Penyediaan informasi kepada masyarakat mengenai dampak kebakaran
hutan dan atau lahan lintas propinsi dan lintas batas negara dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, misalnya informasi dampak kebakaran hutan dan atau
lahan terhadap keselamatan penerbangan diberikan oleh instansi yang
bertanuggung jawab di bidang perhubungan. Koordinasi penyediaan
informasi dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggurg jawab.

Pasal 46
Peran yang dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan,
baik dengan cara mengajukan keberatan maupun dengan pendapat atau
dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-updangan.
Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis
mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijakan pengendalian
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan atau lahan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyakakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan pengendalian kerusakan dan atau pencemaran
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Pasal 47. . .
Yang dimaksud dengan sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan
atau dana bantuan dari rganisasi/asosiasi tertentu.
Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah antara lain melakukan
penyelamatan dan atau tindakan penanggulangan dan atau pemulihan
lingkungan hidup. Tidakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah
timbulnya kejadian yang sama di kemudian hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukupjelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Ayat (1)
Pengertian bertanggungjawab secara mutlak atau strict liabilily, yakni unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis
dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Bsamya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau
perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas
tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan
peraturanperundang— undangan yang berlaku, ditentukan keharusan
asuransi bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan atau telah
tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat(2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan
perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.
Pasal 52 sampai pasal 55
Cukup jelas

LAMPIRAN I
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No : 04 Tahun 2001
Tanggal : 15 Februari 2001

KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP NASIONAL YANG


BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

A. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN TANAH MINERAL YANG BERKAITAN


DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
B. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN TANAH GAMBUT YANG BERKAITAN
DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
C. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN FLORA YANG BERKAITAN DENGAN
KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN
D. KRITERIA UMUM BAKU KERUSAKAN FAUNA YANG BERKAITAN DENGAN
KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd
ABDURRAHMAN WAHID

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I

ttd
LAmbock V. Nahattands

______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di berbagai bidang
terutama bidang industri dan perdagangan, terdapat kecenderungan semakin
meningkat pula penggunaan bahan berbahaya dan beracun;
b. bahwa sampai saat ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang
mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, akan tetapi masih belum
cukup memadai terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan hidup;
c. bahwa untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan
hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan
bahan berbahaya dan beracun secara terpadu sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2918);
3. Undang- undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3480);
4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3493);
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3495);
6. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3612);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3699);
8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 12);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910) ;

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan
yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan
atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia
serta makhluk hidup lainnya;
2. Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3;
3. Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3 yang ada di
wilayah Republik Indonesia;
4. Penyimpanan B3 adalah teknik kegiatan penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan
kuantitas B3 dan atau mencegah dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup,
kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya;
5. Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi atau memasukkan B3 ke dalam
suatu wadah dan atau kemasan, menutup dan atau menyegelnya;
6. Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan klasifikasi B3;
7. Label adalah uraian singkat yang menunjukkan antara lain klasifikasi dan jenis B3;
8. Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke tempat lain
dengan menggunakan sarana angkutan;
9. B3 terbatas dipergunakan adalah B3 yang dibatasi penggunaan, impor dan atau
produksinya;
10. B3 yang dilarang dipergunakan adalah jenis B3 yang dilarang digunakan, diproduksi,
diedarkan dan atau diimpor;
11. Impor B3 adalah kegiatan memasukkan B3 ke dalam daerah kepabeanan Indonesia;
12. Ekspor B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3 dari daerah kepabeanan Indonesia;
13. Notifikasi untuk ekspor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara
pengekspor ke otoritas negara penerima dan negara transit apabila akan dilaksanakan
perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dipergunakan;
14. Notifikasi untuk impor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara
pengekspor apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas untuk B3 yang terbatas
dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor;
15. Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
16. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
17. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang dalam memberikan izin,
pengawasan dan hal lain yang sesuai dengan bidangnya masing-masing;
18. Komisi B3 adalah badan independen yang berfungsi memberikan saran dan atau
pertimbangan kepada Pemerintah dalam pengelolaan B3 di Indonesia;
19. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;
20. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
21. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.

Pasal 2
Pengaturan pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3
terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Pasal 3
Pengelolaan B3 yang tidak termasuk dalam lingkup Peraturan Pemerintah ini adalah pengelolaan
bahan radioaktif, bahan peledak, hasil produksi tambang serta minyak dan gas bumi dan hasil
olahannya, makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya, perbekalan
kesehatan rumah tangga dan kosmetika, bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika, dan
prekursornya serta zat adiktif lainnya, senjata kimia dan senjata biologi.

Pasal 4
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mencegah terjadinya pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup.

BAB II
KLASIFIKASI B3

Pasal 5
(1) B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. mudah meledak (explosive);
b. pengoksidasi (oxidizing);
c. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable);
d. sangat mudah menyala (highly flammable);
e. mudah menyala (flammable);
f. amat sangat beracun (extremely toxic);
g. sangat beracun (highly toxic);
h. beracun (moderately toxic);
i. berbahaya (harmful);
j. korosif (corrosive);
k. bersifat iritasi (irritant);
l. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);
m. karsinogenik (carcinogenic);
n. teratogenik (teratogenic);
o. mutagenik (mutagenic).

(2) Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :


a. B3 yang dapat dipergunakan;
b. B3 yang dilarang dipergunakan; dan
c. B3 yang terbatas dipergunakan.

(3) B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah
ini.

BAB III
TATA LAKSANA DAN PENGELOLAAN B3

Pasal 6
(1) Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan atau pengimpor.
(2) Kewajiban registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku 1 (satu) kali untuk B3
yang dihasilkan dan atau diimpor untuk yang pertama kali.
(3) Registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
a. termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang bertanggung
jawab.
(4) Instansi yang berwenang yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf a menyampaikan tembusannya kepada instansi yang bertanggung
jawab.
(5) Instansi yang bertanggung jawab yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf b menyampaikan tembusannya kepada instansi yang
berwenang.
(6) Tata cara registrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan sistem registrasi nasional B3
ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 7
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib
menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi
yang bertanggung jawab.
(2) Ekspor B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah adanya
persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang
bertanggung jawab.
(3) Persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
merupakan dasar untuk penerbitan atau penolakan izin ekspor dari instansi yang berwenang
di bidang perdagangan.

Pasal 8
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang
pertama kali diimpor, wajib mengikuti prosedur notifikasi.
(2) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disampaikan oleh otoritas negara
pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan jawaban atas notifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal diterimanya permohonan notifikasi.

Pasal 9
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang baru yang tidak termasuk dalam daftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), wajib mengikuti prosedur notifikasi.
(2) Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh otoritas negara
pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) segera
memberitahukan kepada Komisi B3 untuk meminta saran dan atau pertimbangan Komisi B3.
(4) Komisi B3 memberikan saran dan atau pertimbangan kepada instansi yang bertanggung
jawab mengenai B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
(5) Berdasarkan saran dan atau pertimbangan yang diberikan oleh Komisi B3 kepada instansi
yang bertanggung jawab, maka instansi yang bertanggung jawab:
a. mengajukan perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini; dan
b. memberikan persetujuan kepada instansi yang berwenang di bidang perdagangan
sebagai dasar untuk penerbitan atau penolakan izin impor.

Pasal 10
Tata cara notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9
ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 11
Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar Data Keselamatan Bahan (Material
Safety Data Sheet).
Pasal 12
Setiap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 wajib menyertakan
Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11.

Pasal 13
(1) Pengangkutan B3 wajib menggunakan sarana pengangkutan yang laik operasi serta
pelaksanaannya sesuai dengan tata cara pengangkutan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Persyaratan sarana pengangkutan dan tata cara pengangkutan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang transportasi.

Pasal 14
Setiap B3 yang dihasilkan, diangkut, diedarkan, disimpan wajib dikemas sesuai dengan
klasifikasinya.

Pasal 15
(1) Setiap kemasan B3 wajib diberikan simbol dan label serta dilengkapi dengan Lembar Data
Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).
(2) Tata cara pengemasan, pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 16
(1) Dalam hal kemasan B3 mengalami kerusakan untuk :
a. B3 yang masih dapat dikemas ulang, pengemasannya wajib dilakukan oleh pengedar;
b. B3 yang tidak dapat dikemas ulang dan dapat menimbulkan pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan dan atau keselamatan manusia, maka pengedar wajib melakukan
penanggulangannya.
(1) B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Dalam hal Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) belum tersedia, maka tata cara penanganan B3 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengacu kepada kaidah ilmiah yang berlaku.
Pasal 17
(1) Dalam hal simbol dan label mengalami kerusakan wajib diberikan simbol dan label yang
baru.
(2) Tanggung jawab pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk
kerusakan pada tahap:
a. produksi, tanggung jawabnya ada pada produsen/penghasil;
b. pengangkutan, tanggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan
pengangkutan;
c. penyimpanan, tangggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan penyimpanan.
(3) Tata cara pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 18
(1) Setiap tempat penyimpanan B3 wajib diberikan simbol dan label.
(2) Tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan untuk :
a. lokasi;
b. konstruksi bangunan.
(3) Kriteria persyaratan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 19
Pengelolaan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib
dilengkapi dengan sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3.

Pasal 20
B3 yang kadaluarsa dan atau tidak memenuhi spesifikasi dan atau bekas kemasan, wajib dikelola
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun.

BAB IV
KOMISI B3

Pasal 21
(1) Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempunyai tugas untuk
memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah
(2) Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat terdiri dari beberapa Sub Komisi B3.
(3) Susunan keanggotaan Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil
instansi yang berwenang, wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait,
wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.
(4) Susunan keanggotaan, tugas, fungsi, dan tata kerja Komisi B3 sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

BAB V
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menjaga keselamatan dan
kesehatan kerja.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab
kegiatan pengelolaan B3 wajib mengikutsertakan peranan tenaga kerjanya
(4) Peranan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 23

(1) Untuk menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dan pengawas B3 wajib dilakukan
uji kesehatan secara berkala.
(2) Uji kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh masing-
masing instansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI
PENANGGULANGAN KECELAKAAN DAN
KEADAAN DARURAT

Pasal 24
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menanggulangi terjadinya
kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3.

Pasal 25
Dalam hal terjadi kecelakaan dan atau keadaan darurat yang diakibatkan B3, maka setiap orang
yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib
mengambil langkah-langkah :
a. mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan;
b. menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur tetap penanggulangan kecelakaan;
c. melaporkan kecelakaan dan atau keadaan darurat kepada aparat Pemerintah
Kabupaten/Kota setempat; dan
d. memberikan informasi, bantuan, dan melakukan evakuasi terhadap masyarakat di sekitar
lokasi kejadian.

Pasal 26
Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, setelah menerima laporan tentang terjadinya
kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c,
wajib segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan.

Pasal 27
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, tidak menghilangkan kewajiban setiap orang
yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 untuk :
a. mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat; dan atau
b. memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar;
yang diakibatkan oleh B3.

BAB VII
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 28
(1) Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-
masing.
(2) Dalam hal tertentu, wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diserahkan menjadi urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
(3) Penyerahan wewenang pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh
instansi yang bertanggung jawab dan atau instansi yang berwenang di bidang tugasnya
masing-masing.

Pasal 29
Pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang
dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan
bidang tugasnya masing-masing.

Pasal 30
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib:
a. mengizinkan pengawas untuk memasuki lokasi kerja dan membantu terlaksananya tugas
pengawasan;
b. mengizinkan pengawas untuk mengambil contoh B3;
c. memberikan keterangan dengan benar baik lisan maupun tertulis;
d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pemotretan di lokasi kerja dan atau mengambil
gambar.

Pasal 31
Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menyampaikan laporan tertulis
tentang pengelolaan B3 secara berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada
instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bidang tugas masing-masing
dengan tembusan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota.

BAB VIII
PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT

Pasal 32
Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan Pimpinan instansi yang
berwenang, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak yang akan
timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akibat adanya
kegiatan pengelolaan B3.

Pasal 33
Setiap orang yang melakukan pengelolaan B3 wajib meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap potensi dampak B3 yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia,
dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.

Pasal 34
Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dapat
dilakukan dengan penyebarluasan pemahaman tentang B3.

BAB IX
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERAN MASYARAKAT

Pasal 35
(1) Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian
dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disediakan oleh penanggung
jawab kegiatan pengelolaan B3.
(3) Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disampaikan melalui
media cetak, media elektronik dan atau papan pengumuman.

Pasal 36
Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X
PEMBIAYAAN

Pasal 37
Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :
a. Pasal 6 ayat (6), Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15 ayat (3), Pasal 16 ayat (2), Pasal
17 ayat (3) ,Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (4), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. Pasal 26, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 32 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 38
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat
(1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1),
Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan
Pasal 35 dikenakan sanksi administrasi.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan berat
dan ringannya jenis pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB XII
GANTI KERUGIAN

Pasal 39
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan
berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban
membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan
dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup
disebabkan salah satu alasan di bawah ini :
a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 40
Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13
ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 24 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran
dan atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41
Apabila pada saat diundangkan Peraturan Pemerintah ini :
a. masih terdapat B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia, maka B3 tersebut dapat
diekspor ke negara yang memerlukannya sesuai dengan mekanisme ekspor yang
berlaku;
b. terdapat B3 yang telah beredar tetapi belum diregistrasikan maka wajib diregistrasikan
oleh penyimpan, pengedar dan atau pengguna menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).

Pasal 42
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan B3 yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 138

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Sekretaris Kabinet BidangHukum dan
Perundang-undangan,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 82 TAHUN 2001

TENTANG

PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang


memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan
perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan
umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama
pembangunan;
b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang
penting bagi kelangsungan hidup clan kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya;
c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan
pengelolaan kualitas air clan pengendalian pencemaran air
secara bijaksana dengan memperlihatkan kepentingan generasi
sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, clan huruf c serta untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air;

Mengingat :

a. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana


telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945;
b. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
1945;
c. Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, tambahan Lembaran Negara
Nomor 3046);
d. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
e. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN


KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR.

BAB 1
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah


permukaan tanah kecuali air laut dan air fosil;
2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di
bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini
akuifer, mata air, Sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan
muara;
3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air
sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai
peruntukannya untuk menjadi agar kualitas air tetap dalam
kondisi alamiahnya;
4. Pengendalian rnncemaran air adalah upaya pencegahan dan
penangulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air
untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu
air;
5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda
tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak
untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu;
7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap
kelas air;
8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat
potensi pemanfatan atau penggunaan air, pencadangan air
berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun
kuantitasnya, dan atau fungsi ekologis;
9. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di
dalam air;
10. Status mutu air adalah tingkat . kondisi mutu air yang
menunjukkanl kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu
sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan
dengan baku mutu air yang ditetapkan;
11. Pencemaran air adalah memasuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam
air oleh kegiatan mannusia, sehinga kualitas air turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar
yang terkandung didalam air atau ,air limbah;
13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air
pada suatu sumber air,untuk menerima masukan beban
pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi
cemar;
14. Air Iimbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan
yang berwujud cair;
15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur
pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang
keberadaanya dalam air limbah yang akan dibuang atau
dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan atau
kegiatan;
16. Pemerintah adalah Presiden beserta para menteri dan Ketua/
Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen;
17. Orang adalah orang perseorangan,dan atau kelompok orang
dan atau badan hukum ;
18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemmaran air


diselengarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem.
(2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
evaluasi.

Pasal 3

Penyelengaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian


pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat
dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang -
undangan.
Pasal 4

(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air


yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi
alamiahnya.
(2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin
kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya
pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta
pemulihan kualitas air.
(3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan pada :

a. sumber yang terdapat di dalam hutan lindung;


b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
c. akuifer air tanah dalam

(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud


dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana
dimaksud didalam ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai pencemaran kualitas air sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan
perundang - undangan .

BAB II
PENGELOLAAN KUALITAS AIR

Bagian Pertama
Wewenang

Pasal 5

(1) Pemerintah dilakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi


dan atau lintas bataas negara.
(2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas
air lintas Kabupaten / Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten / Kota melakukan pengelolaan kualitas
air di Kabupaten / Kota.

Pasal 6

Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagamana


dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah
Propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendayagunaan Air

Pasal 7

(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten /


Kota menyusun rencana pendayagunaan air.
(2) Dalam merencanakan pendayagunaan air
sebagaimana,dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan
fungsi ekonomis dan fungsi ekologis, nilai-nilai agama serta
adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat
(3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air,
pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas
maupun kuailtitas dan atau fungsi ekolosis.

Bagian Ketiga
Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air

Pasal 8

(1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :


a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
air bakti air minum, dan atau peruntukan lain yang
imempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan ,air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
imengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk mengairi,pertanaman dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.

(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 9

(1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8


pada;
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah
Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah negara
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah
Kabupaten / Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah
Propinsi.
c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten / Kota
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota .

(2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


diajukan berdasarkan pada hasil pengkajian yang dilakukan
oleh Pemerintah ,Pemerintah Propinsi, dan atau Peinerintah
Kabupaten / Kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang
bersangkutan untuk melakukan pengkajian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
(4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Keempat
Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air,dan
Status Mutu Air

Pasal 10

Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air


dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9.

Pasal 11

(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat
dan atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi
dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang
pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah.
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan
saran masukan dari instansi terkait.
Pasal 12

(1) Pemerintah propinsi dapat menetapkan;

a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas
yang ditetapkan sebagamiana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1); dan atau
b. Tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu
air sebagaimana dimaksud dalamPasal 8 ayat (2).
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.
(3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan
parameter baku mutu air sebagaimana dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 13

(1) Pemantauan kualitas air pada


a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten / Kota
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten / Kota;
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah
Kabupaten / Kota dalam satu propinsi dikoordinasikan oleh
Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-masing
Pemerintah Kabupaten / Kota;
(2) Pemerintah dapat menugaskan Propinsi Propinsi yang
bersangkutan untuk melakukan pemantauan kualitas air pada
sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
(3) Pemantauan kualitas air sebagamana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam )bulan sekali.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a dan huruf b, disampaikan kepada Menteri.
(5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 14

(1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan;


a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku
mutu air ;
b. kondisi baik , apabila mutu air memenuhi baku mutu air.
(2) Ketentuan mengenai tingkatan cemar dan tingkatan baik status
mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman
penentuan status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 15

(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar; maka
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten /
Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan
upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air
dengan menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka
pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten /
Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing
mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas air.

Pasal 16

(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah


diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air dan mutu air
limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air.
(2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu air
dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk
Menteri.

Pasal 17

Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air
Iimbah dari dua atau lebih laboratoriummaka dilakukan verifikasi
ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh Menteri dengan menggunakan laboratorium rujukan nasional.

BAB III

PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR


Bagian Pertama
Wewenang

Pasal 18

(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada


sumber air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaran air
pada sumber air yailg lintas Kabupaten / Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian
pencemaran air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/
Kota.

Pasal 19

Pemerintah dalam melakukanpengendalian pencemaran air


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan
Pemerintah propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota yang
bersangkutan.

Pasal 20

Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota


sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka
pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang:
a. menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
c. menetapkan persyaratan air Iimbah untuk aplikasi pada tanah;
d. menetapkan persyaratan pembuangan air Iimbah ke air atau
sumber air;
e. memantau kwalitas air pada sumber air; dan
f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu
air.

Pasal 21

(1) Baku mutu air Iimbah nasional ditetapkan dengan Keputusan


Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi
terkait.
(2) Baku mutu air Iimbah daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari
baku mutu air Iimbah nasional sebagaiimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, yang dilakukan
oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota
disampaikan kepada Menteri secara berkala sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun sekali. 1
(4) Pedoman inventarisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 22

Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal


21 ayat (3), Menteri menetapkan kebijakan nasional pengendalian
pencemaran air.
Pasal 23

(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan


daya tampung beban pencemmaran air pada sumber air.
(2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala sekurang-
kurangnya 5 (Iima) tahun sekali.
(3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dipergunakan untuk
a. pemberian izin lokasi;
b. pengelolaan air dan sumber air ;
c. penetapan rencana tata ruang ;
d. pemberian izin pembuangan air limbah;
e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja
pengendalian pencemaran air.
(4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Retribusi Pembuangan Air Limbah

Pasal 24

(1) Setiap orang yang membuang air Iimbah ke prasarana dan


atau sarana pengelolaan air Iimbah yang disediakan oleh
Pemerintah Kabupatenl / Kota dikenakan retribusi.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Bagian Ketiga
Penangulangan Darurat

Pasal 25

Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana


penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau
keadaan yang tidak terduga lainnya.

Pasal 26

Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 25, maka penangung jawab usaha dan atau kegiatan wajib
melakukan penangulangan dan pemulihan.
BAB IV
PELAPORAN

Pasal 27

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya


pencemaran ,air, wajib melaporkan kepada Pejabat yang
berwenang.

(2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat

a. tanggal pelaporan;
b. waktu dan tempat;
c. peristiwa yang terjadi;
d. sumber penyebab;
e. perkiraan dampak.

(3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dalam iangka waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya
laporan, wajib meneruskanya kepada Bupati / Walikota /
Menteri.

(4) Bupati / Walikota / Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat


(3) wa,iib negeri melakukan verifikasi untuk mengetahui
tentang kebenaran terjadinya pelanggaran terhadap
pengelolaan kualitas air dan atau terjadinya pencemaran air

(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)


menunjukkan telah terjadinya pelanggaran, maka Bupati /
Walikota / Menteri wajib memerintahkan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi pelanggaran
dan atau pencemaran airr serta dampaknya.

Pasal 28

Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak


melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan
Pasal 27 ayat (5) Bupati / walikota / Menteri dapat melaksanakan
atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban
biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang
bersangkutan.
Pasal 29

Setiap penanggung,jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak


ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan
pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib menyaimpaikan
laporannya kepada Bupati / Walikota / Menteri.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama

Hak

Pasal 30

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang
baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas
air serta pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam
rangka pengelolaan , kualitas air dan pengendalian pencemaran
air sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 31

Setiap orang wajib :


melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3)
mengendalikaan pencemaran air pada sumber air sebagaimana
dimaksud didalam Pasal 4 ayat (4).

Pasal 32

Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan


berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat
mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.

Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota
wajib memberikan lnformasi kepadamasyarakat mengenai
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Pasal 34

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib


menyampaikan laporan tentang penataan persyaratan izin
aplikasi air limbah pada tanah
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegitan wajib
menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin
pembuangan air Iimbah ke air atau sumber air.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
wajib disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga)
bulan kepada Bupati /Walikota dengan tembusan disampaikan
kepada Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pedoman pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

BAB VI

PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN


PEMBUANGAN AIR LIMBAH

Bagian Pertama

Pemanfaatan Air Limbah

Pasal 35

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air
Iimbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin
tertulis dari Bupat / Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan
Upaya Pemantauan Lingkungan .
(3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh
Bupati / Walikota dengan memperhatian pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 36

(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air


limbah ke tanah Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sekurang -kurangnya :aplikasi pada tanah.
(2) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati /
Walikota.

a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan


tanaman ;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

(3) Bupati / Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian


yang diajukan oleh pemkarssa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3)
(4) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pemanfaatan air limbah
ke tanah untuk aplikasi pada tanah layak lingkungan, maka
Bupati/ Walikota menerbitkan izin pemanfaatan air limbah
(5) Penerbitan pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-
selambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya permohonan izin
(6) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Bagian kedua
Pembuangan Air Limbah

Pasal 37

Setiap penanggung usaha dan atau kegiatan yang membuang air


limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menangulangi
terjadinya pencemaran air

Pasal 38

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang


membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mentaati
persyaratan yang ditetapkan dalam izin
(2) Dalam persyaratan izin Pembuangan air Iimbah sebagaimana
dimaksud didalam ayat (1) waiib dicantumkan
a. kewajiban untukmengoloa Iimbah;
b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh
dibuang ke media lingkungan ;
c. persyaratan cara pembuangan air limbah ;
d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur
penanggulamgan keadaan darurat ;
e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan
debit air limbah ;
f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan
analisis mengenai dampak lingkungan yang erat
kaitannya dengan pengendalian pencemaran air bagi
usaha dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan
analisis mengenai dampak lingkungan ;
g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu
atau pelepasan dadakan ;saat
h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah
dalam upaya penataan batas kadar yang diperyaratkan;
i. kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk
melaporkan hasil swapantau.

(3) Dalam penetapan peryaratan sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radioaktif, Bupati/
Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang tenaga atom.

Pasal 39

(1) Bupati / Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah


yang diinginkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat
(2) didasarkan pada daya tampung beban pencemaran pada
sumber air ;
(2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) belum dapat ditentukan, maka batas
mutu air limbah yang diizinkan ditetapkan berdasarkan bku
mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal
21 ayat (1)

Pasal 40

(1) Setiap usaha dan kegiatan yang akan membuang air limbah ke
air atau sumber air wajib mendapatkan izin tertulis dari Bupati
/ Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan
Upaya Pemantauan Lingkungan.

Pasal 41

(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air


limbah ke air atau sumber air.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
sekurang-kurangnya :

a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan


tanaman
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat


(2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati /
Walikota .
(4) Bupati / Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian
yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana diamksud
dalam ayat (4) menunjukakan bahwa pembuangan air limbah
ke air atau sumber air layak lingkungan, maka Bupati /
Walikota menerbitkan izin pembungan air limbah.
(6) Penerbitan izin pembungan air limbah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 90 (sembilan puluh ) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan izin.
(7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembungan
air limbah ditetapkan oleh Bupati /Walikota dengan
memperhatikan pedoman yang ditetapkan Menteri
(8) Pedoman kajian pembungan air limbah sebagaimana
dimaksudkan dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 42

Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke


dalam air dan sumber air.

BAB VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 43

(1) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota


melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan
kualitas air dan pengendaliaan pencemaran air.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksudkan dalam yat (1) meliputi:
a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan pengelola lingkungan hidup;
b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif

(3) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota


melakukan upaya pengelolaan dan atau pembinaan
pengelolaan air limbah rumah tangga.
(4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh pemerintah
Propinsi, pemerintah Kabupaten / Kota dengan membangun
sarana dan prasarana pengelolaan limbah rumah tangga
terpadu.
(5) Pembangunan saran dan prasarana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan
pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang -undangan
yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 44

(1) Bupati / Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap


penataan persyaratan yang tercantum dalam izin sebagaimana
dimaksud dalam pasal 38 ayat (2)
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan daerah.

Pasal 45

Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan


pengawasan terhadap penataan persyaratan yang tercantum dalam
izin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pasal 46

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan


sebagaimana dimaksud dalam pasa 44 ayat (2) dan pasal 45
berwenang :
a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan,
pemotretan, perekaman audio visual, dan pengukuran;
b. meminta keterangan kepada masyarakat yang
berkepentingan, karyawan yang bersangkutan,
konsultan, kontraktor, dan perangkat pemerintahan
setempat;
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat
catatan yang diperlukan, antara lain dokumen perizinan,
dokumen AMDAL, UKI, UPL, data hasil swapantau,
dokumen surat keputusan organisasi perusahaan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air
limbah yang dibuang, bahan baku, dan bahan penolog;
f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses
produksi, utilitas, dan instansi pengolahan limbah;
g. memeriksa instansi, dan atau alat transportasi;

(2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud


(3) dalam ayat (1) huruf c meliputi pembuatan denah, sketsa,
gambar, peta, dan atau dekripsi yang diperlukan dalam
pelaksanaan tugas pengawasan.

Pasal 47

Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib


memperlihatkan surat tugas dan atau tanda pengenal.

BAB VIII

SANKSI

Bagian Pertama
Sanksi Administrasi

Pasal 48

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatn yang melanggar


ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40,dan Pasal 42, Bupati / Walikota
berwenang menjatuhkan sanksi administrasi.

Pasal 49

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar


ketentuan Pasal 25, Bupati / Walikota / Mentri berwenang
menerapkan paksaan pemerintahan atau uang paksa.
Bagian Kedua
Ganti Kerugian

Pasal 50

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan


atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian
pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar
ganti kerugian dan aatau melakukan tindakan tertentu.
(2) Selain pembeban untuk melakukan tindakkan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat
menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan penyelesaian tindakkan tertentu tersebut.

Bagian Ketiga
Sanksi Pidana

Pasal 51

Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 42, yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal
45, pasal 46, pasal 47 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52

Baku mutu air limbah untuk jenis usah dan atau kegiatan tertentu
yang telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan PeraturanPemerintah ini.

Pasal 53

(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah
untuk aplikasi pada tanah, maka dalam jangka waktu satu
tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib
memiliki izin pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati /
Walikota.
(2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi belum
memiliki izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air,
maka dalam waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan
Pemerintah ini wajib memperoleh izin pembuangan air limbah
ke air atau sumber air Bupati / Walikota.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54

Penetapan daya tampung beben pencemaran sebagaimana


dimaksud dalam pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan selambat-
lambatnya 3 (tiga ) tahun sejak diundangkannya Peraturan
Pemerintah ini

Pasal 55

Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam pasal 11 dan pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan,
berlaku kreteria mutu air untuk kelas II sebagaimana tercantum
dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini sebagai baku mutu air.

Pasal 56

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak


diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku mutu air yang
telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
(2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) lebih ketat dddari baku mutu air dalam peraturan
pemerintah ini, maka baku mutu air sebelimnya tetap berlaku.

Pasal 57

(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan
baku mutu air limbahnya, maka baku mutu air limbah yang
berlaku di daerah tersebut dapat ditetepkan setelah mendapat
rekomendasi dari Menteri.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetepkan dengan Peraturan Daerah
Propinsi.

Pasal 58

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan


perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap brlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan peraturan pemerintah ini.

Pasal 59

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan


Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Penendalian Pencemaran
Air ( Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3409) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 60

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan


Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO
LAMPIRAN

PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 82 TAHUN 2001
TANGGAL 14 DESEMBER 2001

TENTANG

PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN


PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas

KELAS KETERANGAN
PARAMETER SATUAN
I II III IV
FISIKA
Deviasi temperatur
o deviasi deviasi deviasi
Tempelatur C deviasi 5 dari keadaan
3 3 3
almiahnya
Residu Terlarut mg/ L 1000 1000 1000 2000
Bagi pengolahan air
minum secara
Residu Tersuspensi mg/L 50 50 400 400 konvesional, residu
tersuspensi ≤ 5000
mg/ L
KIMIA ANORGANIK
Apabila secara
alamiah di luar
rentang tersebut,
pH 6-9 6-9 6-9 5-9
maka ditentukan
berdasarkan kondisi
alamiah
BOD mg/L 2 3 6 12
COD mg/L 10 25 50 100
DO mg/L 6 4 3 0 Angka batas minimum
Total Fosfat sbg P mg/L 0,2 0,2 1 5
NO 3 sebagai N mg/L 10 10 20 20
Bagi perikanan,
kandungan amonia
NH3-N mg/L 0,5 (-) (-) (-) bebas untuk ikan
yang peka ≤ 0,02
mg/L sebagai NH3
Arsen mg/L 0,05 1 1 1
Kobalt mg/L 0,2 0,2 0,2 0,2
Barium mg/L 1 (-) (-) (-)
Boron mg/L 1 1 1 1
Selenium mg/L 0,01 0,05 0,05 0,05
Kadmium mg/L 0,01 0,01 0,01 0,01
Khrom (VI) mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01
Bagi pengolahan air
minum secara
Tembaga mg/L 0,02 0,02 0,02 0,2
konvensional, Cu ≤ 1
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Besi mg/L 0,3 (-) (-) (-)
konvensional, Fe ≤ 5
mg/L
Bagi pengolahan air
minum secara
Timbal mg/L 0,03 0,03 0,03 1
konvensional, Pb ≤
0,1 mg/L
Mangan mg/L 0,1 (-) (-) (-)
Air Raksa mg/L 0,001 0,002 0,002 0,005
Bagi pengolahan air
minum secara
Seng mg/L 0,05 0,05 0,05 2
konvensional, Zn ≤ 5
mg/L
Khlorida mg/l 600 (-) (-) (-)
Sianida mg/L 0,02 0,02 0,02 (-)
Fluorida mg/L 0,5 1,5 1,5 (-)
Bagi pengolahan air
minum secara
Nitrit sebagai N mg/L 0,06 0,06 0,06 (-)
konvensional, NO2_N
≤ 1 mg/L
Sulfat mg/L 400 (-) (-) (-)
Bagi ABAM tidak
Khlorin bebas mg/L 0,03 0,03 0,03 (-)
dipersyaratkan
Bagi pengolahan air
minum secara
Belereng sebagai
mg/L 0,002 0,002 0,002 (-) konvensional, S
H2S
sebagai H2S <0,1
mg/L
MIKROBIOLOGI
Fecal coliform jml/100 ml 100 1000 2000 2000 Bagi pengolahan air
minum secara
konvensional, fecal
coliform ≤ 2000 jml /
-Total coliform jml/100 ml 1000 5000 10000 10000 100 ml dan total
coliform ≤ 10000
jml/100 ml
-RADIOAKTIVITAS
- Gross-A Bq /L 0,1 0,1 0,1 0,1
- Gross-B Bq /L 1 1 1 1
KIMIA ORGANIK
Minyak dan Lemak ug /L 1000 1000 1000 (-)
Detergen sebagai MBAS ug /L 200 200 200 (-)
Senyawa Fenol ug /L 1 1 1 (-)
sebagai Fenol
BHC ug /L 210 210 210 (-)
Aldrin / Dieldrin ug /L 17 (-) (-) (-)
Chlordane ug /L 3 (-) (-) (-)
DDT ug /L 2 2 2 2
Heptachlor dan ug /L 18 (-) (-) (-)
heptachlor epoxide
Lindane ug /L 56 (-) (-) (-)
Methoxyclor ug /L 35 (-) (-) (-)
Endrin ug /L 1 4 4 (-)
Toxaphan ug /L 5 (-) (-) (-)
Keterangan :

mg= miligram
ug = mikrogram
ml = militer
L = liter
Bq= Bequerel
MBAS = Methylene Blue Active Substance
ABAM = Air Baku untuk Air Minum
Logam berat merupakan logam terlarut
Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO.
Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih
dari nilai yang tercantum.
Nilai DO merupakan batas minimum.
Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termasuk,
parameter tersebut tidak dipersyaratkan
Tanda ≤ adalah lebih kecil atau sama dengan
Tanda < adalah lebih kecil

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MEGAWATI SOEKARNO PUTRI


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

UMUM.

Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup


orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap
bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup
lainnya.

Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat


dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air
yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan atau
pengendalian. Pelestarian kualitas air merupakan upaya untuk
memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi
alamiahnya.

Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di


hutan lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas air pada sumber air
di luar hutan lindung dilakukan dengan upaya pengendalian
pencemaran air, yaitu upaya memelihara fungsi air sehingga
kualitas air memenuhi baku mutu air.

Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan


dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk
akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk
sehingga akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan
manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan
kualitas air akan menurunkan dayaguna, hasil guna, produktivitas,
daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada
akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural
resources depletion).

Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat penting


maka harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa penggunaan air untuk
berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara
bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi masa
kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar tersedia
dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan
bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna
menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha
dan atau kegiatan manusia memerlukan air yang berdaya guna,
tetapi di lain pihak berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara
lain berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air,
daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya.
Agar air dapat bermanfaat secara lestari dan pembangunan dapat
berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan perlu
dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air.

Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik,


di samping nilai ekologik, dan sosial budaya. Upaya pemulihan
kondisi air yang cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya
yang mungkin lebih besar bila dibandingkan dengan nilai
kemanfaatan finansial dari kegiatan yang menyebabkan
pencemarannya. Demikian pula bila kondisi air yang cemar
dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos,
mengingat air yang cemar akan menimbulkan biaya untuk
menanggulangi akibat dan atau dampak negatif yang ditimbulkan
oleh air yang cemar.

Berdasarkan definisinya, Pencemaran air yang diindikasikan dengan


turunnya kualitas air sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang
dimaksud dengan tingkat tertentu tersebut di atas adalah baku
mutu air yang ditetapkan dan berfungsi sebagai tolok ukur untuk
menentukan telah terjadinya pencemaran air, juga merupakan
arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau
dipertahankan oleh setiap program kerja pengendalian pencemaran
air.

Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan


(designated beneficial water uses), juga didasarkan pada kondisi
nyata kualitas air yang mungkin berada antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Oleh karena itu, penetapan baku mutu air dengan
pendekatan golongan peruntukkan perlu disesuaikan dengan
menerapkan pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas air).
Penetapan baku mutu air yang didasarkan pada peruntukan semata
akan menghadapi kesulitan serta tidak realistis dan sulit dicapai
pada air yang kondisi nyata kualitasnya tidak layak untuk semua
golongan peruntukan.

Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan


memperhatikan kondisi airnya, akan dapat dihitung berapa beban
zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima
sehingga air dapat tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Beban pencemaran ini merupakan daya tampung beban
pencemaran bagi air penerima yang telah ditetapkan
peruntukannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air dianggap tidak memadai lagi, karena secara
substansial tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah
sebagaimana dikandung dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)
Mengingat sifat air yang dinamis dan pada
umumnya berada dan atau mengalir
melintasi batas wilayah administrasi
pemerintahan, maka pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air tidak
hanya dapat dilakukan sendiri-sendiri
(partial) oleh satu pemerintah daerah.
Dengan demikian harus dilakukan secara
terpadu antar wilayah administrasi dan
didasarkan pada karakter ekosistemnya
sehingga dapat tercapai pengelolaan yang
efisien dan efektif.

Keterpaduan pengelolaan kualitas air dan


pengendalian pencemaran air ini dilakukan
melalui upaya koordinasi antar pemerintah
daerah yang berada dalam satu kesatuan
ekosistem air dan atau satu kesatuan
pengelolaan sumber daya air antara lain
daerah aliran sungai (DAS) dan daerah
pengaliran sungai (DPS). Kerja sama antar
daerah dapat dilakukan melalui badan kerja
sama antar daerah. Dalam koordinasi dan
kerja sama tersebut termasuk dengan
instansi terkait, baik menyangkut rencana
pemanfaatan air, pemantauan kualitas air,
penetapan baku mutu air, penetapan daya
tampung, penetapan mekanisme perizinan
pembuangan air limbah, pembinaan dan
pengawasan penaatan.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk
memelihara kualitas air untuk tujuan
melestarikan fungsi air, dengan
melestarikan (conservation) atau
mengendalikan (control). Pelestarian
kualitas air dimaksudkan untuk memelihara
kondisi kualitas air sebagaimana kondisi
alamiahnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Kondisi alamiah air pada sumber air dalam
hutan lindung, mata air dan akuifer air
tanah dalam secara umum kualitasnya
sangat baik. Air pada sumber-sumber air
tersebut juga akan sulit dipulihkan
kualitasnya apabila tercemar, dan perlu
waktu bertahun-tahun untuk pemulihannya.
Oleh karena itu harus dipelihara kualitasnya
sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air
kualitas airnya perlu dilestarikan
sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata
air di dalam maupun di luar hutan lindung.
Air di bawah permukaan tanah berada di
wadah atau tempat yang disebut akuifer.

Air tanah dalam adalah air pada akuifer


yang berada di antara dua lapisan batuan
geologis tertentu, yang menerima resapan
air dari bagian hulunya.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang


mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan
untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air
laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Ayat (4)
Upaya pengendalian pencemaran air antara
lain dilakukan dengan membatasi beban
pencemaran yang ditenggang masuknya ke
dalam air sebatas tidak akan menyebabkan
air menjadi cemar (sebatas masih
memenuhi baku mutu air).

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7

Ayat (1)
Rencana pendayagunaan air meliputi
penggunaan untuk pemanfaatan sekarang
dan masa yang akan datang. Rencana
pendayagunaan air diperlukan dalam
rangka menetapkan baku mutu air dan
mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui
arah program pengelolaan kualitas air.

Ayat (2)
Air pada lingkungan masyarakat setempat
dapat mempunyai fungsi dan nilai yang
tinggi dari aspek sosial budaya. Misalnya air
untuk keperluan ritual dan kultural.

Ayat (3)
Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air
yang digunakan sekarang ini (existing uses)
dan potensi air sebagai cadangan untuk
pemanfaatan di masa mendatang (future
uses).

Pasal 8

Ayat (1)
Pembagian kelas ini didasarkan pada
peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu
air, dan kemungkinan kegunaannya.
Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan
tingkatan yang terbaik. Secara relatif,
tingkatan mutu air Kelas Satu lebih baik
dari Kelas Dua, dan selanjutnya.

Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun


berdasarkan kemungkinan kegunaannya
bagi suatu peruntukan air (designated
beneficial water uses).

Air baku air minum adalah air yang dapat


diolah menjadi air yang layak sebagai air
minum dengan mengolah secara sederhana
dengan cara difiltrasi, disinfeksi, dan
dididihkan.

Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan


untuk menetapkan kriteria mutu air dari
tiap kelas, yang akan menjadi dasar untuk
penetapan baku mutu air. Setiap kelas air
mempersyaratkan mutu air yang dinilai
masih layak untuk dimanfaatkan bagi
peruntukan tertentu.

Peruntukan lain yang dimaksud misalnya


kegunaan air untuk proses industri,
kegiatan penambangan dan pembangkit
tenaga listrik, asalkan kegunaan tersebut
dapat menggunakan air dengan mutu air
sebagaimana kriteria mutu air dari kelas air
dimaksud.

Ayat (2)
Cukup Jelas

Pasal 9

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk
mengetahui informasi mengenai keadaan mutu air
saat ini (existing quality), rencana
pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas
yang diinginkan, dan tingkat mutu air yang akan
dicapai (objective quality).

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi
pedoman untuk menentukan keadaan mutu air,
penyusunan rencana penggunaan air, dan
penentuan tingkat mutu air yang ingin dicapai.
Pedoman pengkajian mencakup antara lain
ketatalaksanaan pada sumber air yang bersifat
lintas daerah (Kabupaten/Kota dan Propinsi).

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Pengetatan dan atau penambahan parameter
tersebut didasarkan pada kondisi spesifik, antara
lain atas pertimbangan karena di daerah tersebut
terdapat biota dan atau spesies sensitif yang
perlu dilindungi.
Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah
yang tingkat kualitas airnya lebih baik.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Mekanisme dan prosedur pemantauan
kualitas air meliputi, antara lain , rencana
pemantauan, pengharmonisasian operasi
pemantauan kualitas air, pelaporan dan
pengelolaan data hasil pemantauan.

Pasal 14

Ayat (1)
Status mutu air merupakan informasi
mengenai tingkatan mutu air pada sumber
air dalam waktu tertentu.

Dalam rangka pengelolaan kualitas air dan


atau pengendalian pencemaran air, perlu
diketahui status mutu air (the state of the
water quality). Untuk itu maka dilakukan
pemantauan kualitas air guna mengetahui
mutu air, dengan membandingkan mutu air.

Tidak memenuhi baku mutu air adalah


apabila dari hasil pemantauan kualitas air
tingkat kualitas airnya lebih buruk dari baku
mutu air.

Memenuhi baku mutu air adalah apabila


dari hasil pemantauan kualitas air tingkat
kualitas airnya sama atau lebih baik dari
baku mutu air.

Dalam hal metoda baku penilaian status


mutu air belum ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan, dapat digunakan
kaidah ilmiah.

Contoh parameter yang belum tercantum


dalam kriteria mutu air sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini antara lain, parameter-
parameter bio-indikator dan toksisitas.

Ayat (2)
Kondisi cemar dapat dibagi menjadi
beberapa tingkatan, seperti tingkatan cemar
berat, cemar sedang, dan cemar ringan.
Demikian pula kondisi baik dapat dibagi
menjadi sangat baik dan cukup baik.
Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara
lain dengan menggunakan suatu indeks.

Pasal 15

Ayat (1)
Penanggulangan pencemaran air dan
pemulihan kualitas air yang dilakukan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi,
Pemerintahh Kabupaten/Kota, meliputi pula
program kerja pengendalian pencemaran air
dan pemulihan kualitas air secara
berkesinambungan.

Mutu air sasaran (water quality objective)


adalah mutu air yang direncanakan untuk
dapat diwujudkan dalam jangka waktu
tertentu melalui penyelenggaraan program
kerja dalam rangka pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang
berwenang melaksanakan akreditasi
laboratorium di bidang pengelolaan
lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Penunjukan laboratorium oleh Menteri
sebagai laboratorium rujukan dimaksudkan
antara lain untuk menguji kebenaran teknik,
prosedur, metode pengambilan dan metode
analisis sampel. Kesimpulan yang
ditetapkan tersebut menjadi alat bukti
tentang mutu air dan mutu air limbah.

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Inventarisasi adalah pengumpulan data dan
informasi yang diperlukan untuk
mengetahui sebab dan faktor yang
menyebabkan penurunanan kualitas air.

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit.

Pasal 21

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Hasil inventarisasi sumber pencemaran air
diperlukan antara lain untuk penetapan
program kerja pengendalian pencemaran
air.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Daya tampung beban pencemaan pada
suatu sumber air dapat berubah dari waktu
ke waktu mengingat antara lain karena
fluktuasi debit atau kuantitas air dan
perubahan kualitas air.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)
Pengenaan retribusi tersebut sebagai
konsekuensi dari penyediaan sarana
pengolahan (pengelolaan) air limbah yang
disediakan oleh Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25

Pencemaran air akibat keadaan darurat dapat


disebabkan antara lain kebocoran atau tumpahan bahan
kimia dari tangki penyimpanannya akibat kegagalan
desain, ketidak-tepatan operasi, kecelakaan dan atau
bencana alam.

Upaya pengendalian pencemaran air dalam ayat ini


antara lain dapat berupa prasarana dan sarana
pengelolaan air limbah terpadu (sewerage treatment
plant). Upaya termaksud dapat dilakukan melalui kerja-
sama dengan pihak ketiga sesuai peraturan perundang-
undangan.

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)
Pejabat yang berwenang yang dimaksud, antara lain,
adalah Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 28
Usaha yang dimaksud antara lain industri,
pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang
dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian
dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit,
pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah
(land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta
tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

Pasal 29

Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Informasi mengenai pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air yang
dimaksud dapat berupa data, keterangan,
atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan kualitas air dan atau
pengendalian pencemaran air yang menurut
sifat dan tujuannya memang terbuka untuk
diketahui masyarakat, seperti dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan
hidup, laporan dan evaluasi hasil
pemantauan air, baik pemantauan penaatan
maupun pemantauan perubahan kualitas
air, dan rencana tata ruang.

Ayat (3)
Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi
proses pengambilan keputusan, baik
dengan cara mengajukan keberatan
maupun dengar pendapat atau dengan cara
lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran serta tersebut
dilakukan antara lain dalam proses penilaian
dan atau perumusan kebijaksanaan
pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, dan melakukan
pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan
pada prinsip keterbukaan. Dengan
keterbukaan memungkinkan masyarakat
ikut memikirkan dan memberikan
pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.

Pasal 31

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Air pada sumber air dan air yang terdapat di
luar hutan lindung dilakukan pengendalian
terhadap sumber yang dapat menimbulkan
pencemaran. Hal ini karena terdapat
berbagai kegiatan yang akan
mengakibatkan penurunan kualitas air.
Namun, penurunan kualitas air tersebut
masih dapat ditenggang selama tidak
melampaui baku mutu air.

Pasal 32

Usaha yang dimaksud antara lain industri,


pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang
dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian
dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit,
pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah
(land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta
tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk


menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 33

Pemberian informasi dilakukan melalui media cetak,


media elektronik atau papan pengumuman yang
meliputi antara lain:
status mutu air;
bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan
ekosistem;
sumber pencemaran dan atau penyebab lainnya;
dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan
atau
langkah-langkah yang dilakukan untuk
mengurangi dampak dan upaya pengelolaan
kualitas air dan atau pengendalian pencemaran
air.

Pasal 34

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan
format terminal data (data base)
pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Air limbah dari suatu usaha dan atau
kegiatan tertentu dapat dimanfaatkan untuk
mengairi areal pertanaman tertentu dengan
cara aplikasi air limbah pada tanah (land
aplication), namun dapat berisiko terjadinya
pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan
atau air.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)
Pemrakarsa adalah orang atau badan
hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha atau kegiatan yang akan
dilaksanakan.

Aplikasi pada tanah perlu dilakukan


penelitian terlebih dahulu secara spesifik
berkenaan dengan kandungan dan debit air
limbah, sifat dan luasan tanah areal
pertanaman yang akan diaplikasi, dan jenis
tanamannya, untuk mengetahui cara
aplikasi yang tepat sehingga dapat
mencegah pencemaran tanah, air tanah,
dan air serta penurunan produktivitas
pertanaman.

Ayat (2)
Persyaratan penelitian dimaksud merupakan
persyaratan minimal yang harus dipenuhi.
Oleh karena itu maka persyaratan lain
berdasarkan penelitian yang dianggap perlu
dimungkinkan untuk ditambahkan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Pedoman pengkajian meliputi, antara lain,
petunjuk mengenai rencana penelitian,
metode, operasi, dan pemeliharaan.

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38

Ayat (1)
Pembuangan air limbah adalah pemasukan
air limbah secara pelepasan (discharge)
bukan secara dumping dan atau pelepasan
dadakan (shock discharge).
Pembuangan air limbah yang berupa sisa
dari usaha dan atau kegiatan
penambangan, seperti misalnya “air
terproduksi” (produced water), yang akan
dikembalikan ke dalam formasi asalnya juga
wajib menaati baku mutu air limbah yang
ditetapkan secara spesifik untuk jenis air
limbah tersebut.
Air yang keluar dari turbin pembangkit
listrik tenaga air (PLTA) bukan merupakan
sisa kegiatan PLTA, sehingga tidak
termasuk dalam ketentuan Pasal ini.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Masuknya air limbah ke dalam air dapat
menurunkan kualitas air tergantung beban
pencemaran air limbah dan kemampuan air
menerima beban tersebut.

Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari


baku mutu air berarti masih memiliki
kemampuan untuk menerima beban
pencemaran. Apabila beban pencemaran
yang masuk melebihi kemampuan air
menerima beban tersebut maka akan
menyebabkan pencemaran air, yaitu kondisi
kualitas air tidak memenuhi baku mutu air.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Pengertian limbah padat termasuk limbah


yang berwujud lumpur dan atau slurry.
Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya
pembuangan atau penempatan material sisa usaha dan
atau kegiatan penambangan berupa tailing, ke dalam
air dan atau sumber air.
Contoh dari pembuangan gas misalnya memasukkan
pipa pembuangan gas yang mengandung unsur
pencemar seperti Ammonium dan atau uap panas ke
dalam air dan atau pada sumber air.

Pasal 43

Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Contoh kebijakan insentif antara lain dapat berupa pengenaan
biaya pembuangan air limbah yang lebih murah dari tarif
baku, mengurangi frekuensi swapantau, dan pemberian
penghargaan.
Contoh kebijakan disinsentif antara lain dapat berupa
pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih mahal
dari tarif baku, menambah frekuensi swapantau, dan
mengumumkan kepada masyarakat riwayat kinerja
penaatannya.

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Hal tertentu yang dimaksud antara lain daerah belum


mampu melakukan pengawasan sendiri, belum ada
pejabat pengawas lingkungan daerah, belum
tersedianya sarana dan prasarana atau daerah tidak
melakukan pengawasan.

Pasal 46

Ayat (1)
Huruf a
Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak
membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan
yang bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro
kimia.

Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Sanksi administrasi meliputi teguran tertulis,


penghentian sementara, dan pencabutan izin
melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pasal 49

Paksaan pemerintahan adalah tindakan untuk


mengakhiri terjadinya pelanggaran, menanggulangi
akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran, melakukan
tindakan penyelamatan, penanggulangan dan atau
pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan yang bersangkutan. Atau tindakan
tersebut di atas dapat diganti dengan uang paksa
(dwangsom).
Pasal 50

Ayat (1)
Pengaturan ini merupakan realisasi asas
yang ada dalam hukum lingkungan hidup
yang disebut asas pencemar membayar.
Selain diharuskan membayar ganti
kerugian, pencemar dan atau perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh
hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk :
a. memasang atau memperbaiki unit
pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan
hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup;
c. menghilangkan atau memusnahkan
penyebab timbulnya pencemaran dan
atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Tindakan tertentu yang dimaksud antara
lain melakukan penyelamatan dan atau
tindakan penanggulangan dan atau
pemulihan lingkungan hidup. Tindakan
pemulihan mencakup kegiatan untuk
mencegah timbulnya kejadian yang sama
dikemudian hari.

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56

Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR


4161
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2002

TENTANG

PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah
Radioaktif;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3676);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap
Pemanfaatan Radiasi Pengion (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3992);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3993);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIO-AKTIF.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


1. Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang telah terkena zat
radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang
memanfaatkan radiasi pengion yang tidak dapat digunakan lagi.
2. Limbah radioaktif tingkat rendah adalah limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat
aman (clearance level) tetapi di bawah tingkat sedang, yang tidak memerlukan penahan
radiasi selama penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan.
3. Limbah radioaktif tingkat sedang adalah limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat
rendah tetapi di bawah tingkat tinggi yang tidak memerlukan pendingin, dan memerlukan
penahan radiasi selama penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan.
4. Limbah radioaktif tingkat tinggi adalah limbah radioaktif dengan tingkat aktivitas di atas
tingkat sedang, yang memerlukan pendingin dan penahan radiasi dalam penanganan pada
keadaan normal dan pengangkutan, termasuk bahan bakar nuklir bekas.
5. Tingkat aman adalah nilai yang ditetapkan oleh Badan Pengawas dan dinyatakan dalam
konsentrasi aktivitas atau tingkat kontaminasi, dan atau aktivitas total pada atau di bawah
nilai tersebut, sumber radiasi dibebaskan dari pengawasan.
6. Penghasil limbah radioaktif adalah Pemegang Izin yang karena kegiatannya menghasilkan
limbah radioaktif.
7. Pengelola limbah radioaktif adalah Badan Pelaksana atau Badan Usaha Milik Negara,
koperasi, dan atau badan swasta yang bekerja sama dengan atau ditunjuk oleh Badan
Pelaksana, yang melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif.
8. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, dan atau pembuangan limbah radioaktif.
9. Pengolah limbah radioaktif adalah Penghasil limbah radioaktif atau Badan Pelaksana atau
Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta yang bekerja sama dengan atau
ditunjuk oleh Badan Pelaksana yang mengolah limbah radioaktif.
10. Pengolahan limbah radioaktif adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi
limbah radioaktif sehingga apabila disimpan dan atau dibuang tidak membahayakan
masyarakat dan lingkungan hidup.
11. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
12. Penyimpanan sementara adalah penempatan limbah radioaktif sebelum penempatan tahap
akhir.
13. Penyimpanan adalah penempatan tahap akhir limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang.
14. Penyimpanan lestari adalah penempatan tahap akhir limbah radioaktif tingkat tinggi.
15. Dekomisioning instalasi adalah suatu kegiatan untuk menghenti-kan secara tetap
beroperasinya instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan zat radioaktif antara lain
dilakukan dengan pemindahan zat radioaktif, pembongkaran komponen instalasi,
dekontaminasi, dan pengamanan akhir.
16. Badan Pelaksana adalah badan yang bertugas melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir.
17. Badan Pengawas adalah badan yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala
kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.

BAB II
RUANG LINGKUP, ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang klasifikasi limbah radioaktif, manajemen perizinan,
pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan limbah radioaktif, program jaminan kualitas,
pengelolaan dan pemantauan lingkungan, pengolahan limbah radioaktif tambang bahan galian nuklir
dan tambang lainnya, program dekomisioning, serta penanggulangan kecelakaan nuklir dan atau
radiasi.

Pasal 3

Pengelolaan limbah radioaktif harus berdasarkan Asas Proteksi Radiasi yang meliputi asas justifikasi,
limitasi, dan optimisasi.
Pasal 4

Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja,
anggota masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan atau kontaminasi.

BAB III
KLASIFIKASI LIMBAH RADIOAKTIF

Pasal 5

(1) Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang,
dan tingkat tinggi.
(2) Pengklasifikasian limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 6

Limbah radioaktif yang telah diklasifikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus
dikelompokkan berdasarkan kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif yang meliputi:

a. aktivitas;
b. waktu paro;
c. jenis radiasi;
d. bentuk fisik dan kimia;
e. sifat racun; dan
f. asal limbah radioaktif.

BAB IV
MANAJEMEN PERIZINAN

Bagian Pertama
Perizinan

Pasal 7

(1) Setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan tenaga nuklir wajib menyatakan
kepada Badan Pengawas bahwa limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau
diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk dikelola.
(2) Pengembalian limbah ke negara asal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan
persetujuan dari Badan Pengawas.
(3) Jangka waktu persetujuan dari Badan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah
30 (tiga puluh) hari.
(4) Bukti pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diserahkan kepada Badan
Pengawas selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan pengiriman.
(5) Dalam hal limbah radioaktif akan dikelola oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Badan Pengawas memberitahukan kepada Badan Pelaksana.

Pasal 8

(1) Badan Pelaksana atau Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta yang akan
melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif wajib memperoleh izin dari Badan Pengawas.
(2) Izin untuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diberikan setelah ada bukti kerjasama dengan atau penunjukan dari Badan
Pelaksana.
Pasal 9

Pembangunan dan pengoperasian fasilitas pengumpulan, pengelompokan, atau pengolahan dan


penyimpanan sementara limbah radioaktif yang dihasilkan dari penambangan bahan galian nuklir dan
nonnuklir wajib memperoleh izin dari Badan Pengawas.

Pasal 10

(1) Pembangunan dan pengoperasian instalasi penyimpanan lestari limbah radioaktif wajib
memperoleh izin dari Badan Pengawas.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi izin tapak, izin konstruksi, dan izin operasi.

Bagian Kedua
Tanggung jawab Badan Pelaksana

Pasal 11

Badan Pelaksana bertanggung jawab atas:

a. penyusunan dan penetapan prosedur dan petunjuk teknis pengelolaan limbah radioaktif;
b. pengelolaan limbah radioaktif yang berasal dari aplikasi teknik nuklir dan Penghasil limbah
radioaktif lainnya, untuk diolah, disimpan sementara atau disimpan lestari;
c. penyediaan tempat penyimpanan limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang, dan
penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi; dan
d. pembinaan teknis pengelolaan limbah radioaktif terhadap Pengelola dan Penghasil limbah
radioaktif.

Bagian Ketiga
Kewajiban Penghasil Limbah Radioaktif

Pasal 12

Penghasil limbah radioaktif harus mengusahakan volume dan aktivitas limbah radioaktif serendah
mungkin melalui perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning instalasi yang
tepat.

Pasal 13

(1) Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib mengumpulkan,
mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara limbah radioaktif tersebut, sebelum
diserahkan kepada Badan Pelaksana.
(2) Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat langsung dilepas ke lingkungan
apabila telah mencapai tingkat aman.
(3) Batasan tingkat aman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 14

(1) Penghasil limbah radioaktif harus menyediakan tempat penampungan sesuai dengan volume dan
karakteristik limbah radioaktif.
(2) Tempat penampungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 15

Penghasil limbah radioaktif harus mempunyai peralatan yang dapat digunakan untuk mendeteksi
limbah radioaktif.
Pasal 16

(1) Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang harus membuat dan menyimpan catatan
yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. kuantitas;
b. karakteristik; dan
c. waktu dihasilkannya limbah radioaktif.
(2) Salinan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disampaikan kepada Badan
Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

Pasal 17

(1) Penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi harus membuat dan menyimpan catatan limbah
radioaktif yang sekurang-kurangnya meliputi:
a. kuantitas;
b. karakteristik;
c. nomor identifikasi;
d. radionuklida yang terkandung; dan
e. waktu dihasilkannya limbah radioaktif.
(2) Penghasil bahan bakar nuklir bekas harus mempunyai sistem pertanggungjawaban dan
pengawasan bahan nuklir, sistem proteksi fisik, dan membuat catatan pengayaan dan fraksi
bakar, selain catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Salinan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan kepada
Badan Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

Bagian Keempat
Limbah Radioaktif Dari Luar Negeri

Pasal 18

(1) Limbah radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan untuk disimpan di dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk limbah radioaktif yang
berasal dari zat radioaktif yang diproduksi di dalam negeri.
(3) Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat disimpan di Indonesia
setelah dibuktikan dengan adanya dokumen yang menyatakan zat radioaktif tersebut berasal dan
diproduksi dari Indonesia.

Bagian Kelima
Bahan Bakar Nuklir Bekas

Pasal 19

(1) Bahan bakar nuklir bekas dilarang untuk diolah oleh Penghasil limbah radioaktif.
(2) Bahan bakar nuklir bekas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disimpan sementara
sekurang-kurangnya selama masa operasi reaktor nuklir.
(3) Setelah penyimpanan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bahan bakar nuklir
bekas harus diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk penyimpanan lestari atau dikirim kembali
ke negara asal.

Pasal 20

(1) Tempat penyimpanan sementara bahan bakar nuklir bekas harus memenuhi persyaratan
sekurang-kurangnya :
a. lokasi bebas banjir;
b. tahan terhadap gempa;
c. didesain sehingga terhindar dari terjadinya kekritisan;
d. dilengkapi dengan peralatan proteksi radiasi;
e. dilengkapi dengan sistem pendingin;
f. dilengkapi dengan penahan radiasi;
g. dilengkapi dengan sistem proteksi fisik; dan
h. dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.

BAB V

PENGOLAHAN, PENGANGKUTAN DAN PENYIMPANAN


LIMBAH RADIOAKTIF

Bagian Pertama
Pengolahan Limbah Radioaktif

Pasal 21

(1) Pengolahan limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang dapat dilakukan sendiri oleh
Penghasil limbah radioaktif.
(2) Limbah radioaktif yang telah diolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diserahkan
kepada Badan Pelaksana.
(3) Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang yang tidak mengolah sendiri limbah
radioaktifnya harus menyerahkan limbah radioaktif kepada Pengolah limbah radioaktif, yaitu :
a. Badan Pelaksana; atau
b. Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta yang bekerja sama dengan atau
yang ditunjuk oleh Badan Pelaksana.
(4) Penyerahan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) harus dilengkapi
dengan berita acara serah terima yang memuat :
a. kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif; dan
b. waktu penyerahan limbah radioaktif.
(5) Salinan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) harus diserahkan
kepada Badan Pengawas oleh Penghasil limbah radioaktif untuk ayat (2) dan ayat (3) huruf a,
dan oleh Pengolah limbah radioaktif untuk ayat (3) huruf b.

Pasal 22

(1) Limbah radioaktif tingkat tinggi yang bukan bahan bakar nuklir bekas dilarang untuk diolah oleh
Penghasil limbah radioaktif.
(2) Limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disimpan sementara oleh
Penghasil limbah radioaktif.
(3) Setelah penyimpanan sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), limbah radioaktif tingkat
tinggi harus diserahkan kepada Badan Pelaksana atau dikirim kembali ke negara asal.
(4) Penyerahan limbah radioaktif kepada Badan Pelaksana sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3)
harus disertai dengan berita acara serah terima yang memuat :
a. kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif; dan
b. waktu penyerahan limbah radioaktif.
(5) Pengiriman kembali limbah radioaktif ke negara asal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
harus disertai bukti pengiriman dan catatan yang memuat :
a. kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif; dan
b. waktu pengiriman.
(6) Salinan berita acara serah terima sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dan salinan bukti
pengiriman dan catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) harus diserahkan kepada Badan
Pengawas oleh Penghasil Limbah.
Pasal 23

Jangka waktu penyerahan salinan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) dan
Pasal 22 ayat (6) selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak penyerahan atau pengiriman
kembali limbah radioaktif.

Pasal 24

(1) Pengolah limbah radioaktif harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya :


a. mempunyai program dan melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara
berkala;
b. melakukan analisis limbah radioaktif secara lengkap sebagai tahapan untuk menentukan
metode pengolahan yang tepat;
c. memiliki sistem proteksi untuk mengendalikan tingkat radiasi dan kontaminasi;
d. menggunakan unit pengolah yang sesuai dengan metode pengolahannya; dan
e. mempunyai tempat penampungan sementara limbah radioaktif.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.

Bagian Kedua
Pengangkutan Limbah Radioaktif

Pasal 25

Pengangkutan limbah radioaktif wajib memenuhi ketentuan pengangkutan zat radioaktif dan
pengangkutan pada umumnya.

Bagian Ketiga
Penyimpanan Limbah Radioaktif

Pasal 26

(1) Tempat penyimpanan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang harus memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya:
a. lokasi bebas banjir;
b. tahan terhadap gempa;
c. desain bangunan disesuaikan dengan kuantitas dan karakteristik limbah, dan upaya
pengendalian pencemaran;
d. dilengkapi dengan peralatan proteksi radiasi; dan
e. dilakukan pemantauan secara berkala.
(2) Tempat penyimpanan sementara limbah radioaktif tingkat tinggi harus memenuhi persyaratan
tambahan sekurang-kurangnya adanya sistem pendingin dan penahan radiasi, selain persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Kepala Badan Pengawas.

Pasal 27

(1) Penyimpanan limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang hanya dapat dilakukan oleh Badan
Pelaksana.
(2) Tempat penyimpanan limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sekurang-kurangnya:
a. lokasi bebas banjir dan terhindar dari erosi;
b. lokasi tahan terhadap gempa dan memenuhi karakteristik materi bumi dan sifat kimia air;
c. dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi dan radioaktivitas lingkungan;
d. dilengkapi dengan sistem pendingin;
e. dilengkapi dengan sistem penahan radiasi;
f. dilengkapi dengan sistem proteksi fisik;
g. memenuhi distribusi populasi penduduk dan tata wilayah sekitar lokasi penyimpanan; dan
h. memperhitungkan laju paparan radiasi eksterna.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.

Pasal 28

(1) Penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat tinggi hanya dapat dilakukan oleh Badan Pelaksana.
(2) Tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya :
a. lokasi bebas banjir dan terhindar dari erosi;
b. lokasi tahan terhadap gempa dan memenuhi karakteristik materi bumi dan sifat kimia air;
c. di desain sehingga terhindar dari terjadinya kekritisan;
d. dilengkapi dengan sistem pemantau radiasi dan radioaktivitas lingkungan;
e. dilengkapi dengan sistem pendingin;
f. dilengkapi dengan sistem penahan radiasi;
g. dilengkapi dengan sistem proteksi fisik; dan
h. memenuhi distribusi populasi penduduk dan tata wilayah sekitar lokasi penyimpanan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.

BAB VI
PROGRAM JAMINAN KUALITAS

Pasal 29

(1) Pengelola limbah radioaktif sebelum melaksanakan pengelolaan limbah radioaktif harus membuat
program jaminan kualitas untuk kegiatan desain, pembangunan, pengoperasian dan perawatan,
dekomisioning instalasi, serta pengelolaan limbah radioaktif.
(2) Program jaminan kualitas yang telah dibuat oleh Pengelola limbah radioaktif sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) selanjutnya disampaikan kepada Badan Pengawas untuk disetujui.
(3) Program jaminan kualitas yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
dilaksanakan oleh Pengelola limbah radioaktif.

BAB VII
PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN

Pasal 30

(1) Pengolah limbah radioaktif harus melakukan pemantauan tingkat radiasi dan radioaktivitas
lingkungan di sekitar instalasi.
(2) Badan Pelaksana harus melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup di sekitar
tempat penyimpanan dan penyimpanan lestari limbah radioaktif.
(3) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dicatat dan dilaporkan
kepada Badan Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

BAB VIII
PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TAMBANG
BAHAN GALIAN NUKLIR DAN TAMBANG LAINNYA

Pasal 31

(1) Badan Pelaksana atau badan yang melakukan penambangan bahan galian nuklir wajib
melakukan pengumpulan, pengelompokan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah
radioaktif.
(2) Tata cara pengumpulan, pengelompokan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah
radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala
Badan Pengawas.

Pasal 32

(1) Setiap orang atau badan yang melakukan penambangan bahan galian nonnuklir yang dapat
menghasilkan limbah radioaktif sebagai hasil samping penambangan wajib melakukan analisis
keselamatan radiasi.
(2) Hasil analisis keselamatan radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan
kepada Badan Pengawas.
(3) Tata cara analisis keselamatan radiasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

BAB IX
PROGRAM DEKOMISIONING

Pasal 33

(1) Sebelum melaksanakan dekomisioning instalasi pengolahan limbah radioaktif, setiap Pengolah
limbah radioaktif wajib menyampaikan dokumen program dekomisioning kepada Badan
Pengawas.
(2) Tata cara penyusunan dokumen program dan pelaksanaan dekomisioning sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Pasal 34

Limbah radioaktif yang dihasilkan dari dekomisioning instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan
zat radioaktif harus diserahkan kepada Badan Pelaksana.

BAB X
PENANGGULANGAN KECELAKAAN NUKLIR
DAN ATAU RADIASI

Pasal 35

(1) Penghasil, Pengolah, dan Pengelola limbah radioaktif harus melakukan upaya pencegahan
terjadinya kecelakaan nuklir dan atau radiasi.
(2) Dalam hal terjadi kecelakaan nuklir dan atau radiasi, Penghasil, Pengolah, dan Pengelola limbah
radioaktif wajib melakukan tindakan penanggulangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(3) Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilaporkan kepada
Badan Pengawas selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah kecelakaan.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 36

(1) Badan Pengawas memberikan peringatan tertulis kepada Penghasil, Pengolah dan atau Pengelola
limbah radioaktif yang melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (4), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (5), Pasal 22
ayat (1), ayat (3) sampai dengan ayat (6), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 29, Pasal 30, Pasal
31 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34, dan Pasal 35 dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Jangka waktu peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah 14 (empatbelas)
hari sejak dikeluarkan peringatan.
(3) Apabila peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dipatuhi, diberikan peringatan
terakhir selama 14 (empatbelas) hari sejak peringatan pertama berakhir.
(4) Apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tetap tidak dipatuhi, Badan
Pengawas dapat membekukan izin selama 30 (tigapuluh) hari sejak perintah pembekuan
dikeluarkan.
(5) Apabila Penghasil, Pengolah dan atau Pengelola limbah radioaktif tetap tidak mematuhi
peringatan pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Badan Pengawas dapat
mencabut izinnya.

Pasal 37

(1) Badan Pengawas dapat langsung membekukan izin pemanfaatan tenaga nuklir apabila dalam
pengelolaan limbah radioaktif terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
14 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 25 yang dapat mengakibatkan bahaya
radiasi bagi keselamatan pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup.
(2) Apabila dalam jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak pembekuan izin, Penghasil,
Pengolah, dan atau Pengelola limbah radioaktif tidak memenuhi ketentuan yang menjadi alasan
pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Badan Pengawas dapat mencabut
izinnya.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 38

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 18 dipidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 22 ayat (2)
dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan pelaksanaan yang lebih rendah dari
Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai pengelolaan limbah radioaktif, dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 40

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Mei 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 52

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan,

Lambock V. Nahattands
PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 27 TAHUN 2002

TENTANG

PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

UMUM

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir, pemanfaatan tenaga nuklir
semakin meluas di bidang penelitian, pertanian, kesehatan, industri dan lain-lain. Pemanfaatan
tenaga nuklir, disamping mengandung segi positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, juga mempunyai potensi bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan
lingkungan hidup. Sumber potensi bahaya radiasi tersebut antara lain berasal dari limbah radioaktif
yang ditimbulkan dari pengoperasian instalasi nuklir dan fasilitas radiasi.

Limbah radioaktif perlu dikelola untuk menghindari potensi bahaya dan dampaknya terhadap pekerja,
masyarakat, dan lingkungan hidup. Kegiatan pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan dengan
mempertimbangkan aspek keselamatan, aspek teknis berupa pengurangan volume dan aktivitas
limbah radioaktif, dan aspek ekonomis.

Penghasil limbah radioaktif mempunyai kewajiban mengumpulkan, mengelompokkan, dan


menyimpan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang, namun untuk pengolahannya,
Penghasil limbah radioaktif tidak diwajibkan mengolah sendiri limbah yang dihasilkannya, kecuali
memenuhi persyaratan teknis dan administratif untuk melakukan pengolahan. Limbah radioaktif yang
dihasilkan harus diserahkan ke Badan Pelaksana untuk dilakukan proses pengelolaan selanjutnya.

Pengelolaan limbah radioaktif merupakan kegiatan yang mencakup pengumpulan, pengelompokan,


pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan lestari, dan atau pembuangan limbah
radioaktif. Untuk kegiatan pengumpulan sampai dengan penyimpanan sementara limbah radioaktif
tingkat rendah dan sedang dapat dilakukan secara parsial oleh Penghasil limbah sendiri atau pihak
lain yang ditunjuk oleh dan atau bekerja sama dengan Badan Pelaksana. Penghasil limbah radioaktif
tingkat tinggi hanya diperbolehkan untuk menyimpan sementara limbahnya tersebut. Khusus untuk
penyimpanan dan penyimpanan lestari hanya dapat dilakukan oleh Badan Pelaksana. Sedangkan
kegiatan pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi secara keseluruhan hanya dilakukan oleh Badan
Pelaksana, mengingat persyaratan keselamatan dalam pemrosesan limbah radioaktif tingkat tinggi
harus terpenuhi untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja, anggota masyarakat dan
lingkungan hidup dari bahaya radiasi.

Pengelolaan limbah radioaktif dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


a. menjamin kesehatan masyarakat;
b. melindungi kualitas lingkungan hidup;
c. menjamin kesehatan masyarakat dan perlindungan terhadap lingkungan hidup di luar batas
wilayah Republik Indonesia;
d. menjamin keselamatan dan kesehatan generasi mendatang;
e. idak membebani generasi mendatang dengan keberadaan limbah radioaktif;
f. mengupayakan volume dan aktivitas limbah radioaktif yang dihasilkan sekecil mungkin;
g. menetapkan ketentuan dan peraturan tentang pengelolaan limbah radioaktif;
h. melaksanakan semua tahap pengelolaan limbah radioaktif mulai dari pengumpulan sampai
dengan pembuangan; dan
i. menerapkan sistem keselamatan pada fasilitas pengelolaan limbah radioaktif mulai dari
penentuan tapak sampai dengan dekomisioning.
Limbah radioaktif dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara dan pada umumnya klasifikasi dilakukan
dengan cara menggabungkan berbagai cara tersebut. Misalnya di Inggris, klasifikasi limbah radioaktif
didasarkan pada metode pembuangan, sedangkan di Amerika Serikat klasifikasi dilakukan dalam
bentuk radioaktif tingkat tinggi dan rendah. Jadi, tidak ada cara klasifikasi yang disepakati
internasional, tetapi di Eropa dan Kanada, dan juga di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 10
Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, limbah radioaktif diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan
yaitu limbah radioaktif tingkat rendah, sedang, dan tinggi.

Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun
1997 tentang Ketenaganukliran.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Tambang lainnya yang dimaksud adalah tambang bahan galian nonnuklir yang sisa olahan
(tailing) dan mineral ikutannya mengandung radioaktif.

Pasal 3
Asas Justifikasi adalah bahwa setiap kegiatan yang memanfaatkan radioaktif atau sumber
radiasi lainnya hanya boleh dilakukan apabila menghasilkan keuntungan yang lebih besar
kepada seseorang yang terkena penyinaran radiasi atau bagi masyarakat, dibandingkan dengan
kerugian radiasi yang mungkin diakibatkannya, dengan memperhatikan faktor sosial, faktor
ekonomi, dan faktor lainnya yang sesuai. Dalam melakukan pengkajian perlu diperhitungkan
pula estimasi kerugian yang berasal dari penyinaran potensial, yaitu terjadinya penyinaran yang
tidak dapat diramalkan sebelumnya.
Asas limitasi adalah bahwa penerimaan dosis seseorang tidak boleh melampaui nilai batas dosis
yang ditetapkan oleh Badan Pengawas. Nilai batas dosis yang dimaksud adalah dosis radiasi
yang diterima dari penyinaran eksterna dan interna selama 1 (satu) tahun dan tidak
bergantung pada laju dosis. Penetapan nilai batas dosis ini tidak memperhitungkan
penerimaan dosis untuk tujuan medik dan yang berasal dari radiasi alam.
Asas optimisasi adalah bahwa proteksi dan keselamatan terhadap penyinaran yang berasal dari
sumber radiasi yang dimanfaatkan, diusahakan sedemikian rupa sehingga besarnya dosis yang
diterima seseorang dan jumlah orang yang tersinari sekecil mungkin dengan memperhatikan
faktor sosial dan ekonomi. Terhadap dosis perorangan yang berasal dari sumber radiasi
diberlakukan pembatasan dosis yang besarnya dibawah nilai batas dosis.

Pasal 4
Dengan adanya pengaturan tentang pengelolaan limbah radioaktif dimaksudkan juga agar
generasi yang akan datang tidak terbebani oleh bahaya radiasi dan atau kontaminasi dari
limbah radioaktif yang dihasilkan saat ini.

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Pemanfaatan yang dimaksud tidak termasuk pengelolaan limbah radioaktif.
Bentuk pernyataan yang dimaksud dituliskan dalam formulir izin. Dalam hal limbah
radioaktif akan dikembalikan ke negara asal dilampiri dengan perjanjian antara
pemanfaat atau Penghasil limbah dengan importir atau pemasok.
Ayat (2)
Persetujuan dari Badan Pengawas dimaksudkan agar Badan Pengawas dapat mengetahui
dan mengawasi keberadaan limbah radioaktif, sehingga penimbunan atau penyimpanan
limbah yang tidak semestinya di wilayah Republik Indonesia dapat dicegah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Izin yang dikeluarkan untuk pengelolaan limbah radioaktif merupakan bagian dari izin
pemanfaatan tenaga nuklir, yang hanya akan diberikan oleh Badan Pengawas apabila
persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2000 tentang
Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir sudah dipenuhi.
Ayat (2)
Untuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta lain yang khusus akan
menjalankan kegiatan usaha berupa pengelolaan limbah radioaktif, selain memenuhi
persyaratan di atas juga menyertakan bukti kerja sama atau penunjukan dari Badan
Pelaksana yang berupa Surat Rekomendasi.

Pasal 9
Pemberian izin untuk pembangunan dan pengoperasian fasilitas pengumpulan, pengelompokan,
atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah radioaktif penambangan bahan galian
nuklir tidak terpisah atau berdiri sendiri, melainkan menjadi satu kesatuan dengan izin
pemanfaatan untuk tujuan penambangan bahan galian nuklir yang diberikan oleh Badan
Pengawas.

Untuk kegiatan penambangan bahan galian nonnuklir, apabila setelah dilakukan analisis
keselamatan radiasi hasilnya menunjukkan adanya hasil ikutan atau samping berupa zat
radioaktif atau limbah radioaktif, maka untuk pembangunan dan pengoperasian fasilitas
pengumpulan, pengelompokan atau pengolahan, dan atau penyimpanan sementara limbah
radioaktif penambangan bahan galian nonnuklir diajukan izin tersendiri kepada Badan
Pengawas.

Penambangan termasuk juga pengolahan hasil tambang.

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Pengertian dari serendah mungkin adalah mengikuti Asas Proteksi Radiasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Adanya catatan ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemantauan terhadap limbah
radioaktif mulai dari dihasilkan, diolah sampai dengan disimpan.
Catatan limbah radioaktif selalu mengikuti tempat dan waktu limbah radioaktif berada, karena
catatan limbah radioaktif merupakan dokumen penting untuk mengetahui status dan kondisi
limbah radioaktif saat itu.

Pasal 17
Ayat (1)
Nomor identifikasi adalah identitas atau keterangan lain yang tertera pada bahan bakar
nuklir.
Ayat (2)
Fraksi bakar (burn-up) adalah perbandingan antara jumlah massa bahan bakar yang
terbakar dengan massa bahan bakar keseluruhan.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Negara Republik Indonesia tidak menerima limbah radioaktif yang dihasilkan oleh
Penghasil limbah radioaktif di luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
bertumpuknya limbah radioaktif di wilayah Republik Indonesia yang dapat menimbulkan
bahaya terhadap masyarakat dan lingkungan hidup.
Pengertian disimpan meliputi pula dibuang, diolah, dan diolah ulang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Bahan bakar nuklir bekas disimpan sementara di fasilitas yang telah disiapkan dan
mampu menampung seluruh limbah yang dihasilkan oleh reaktor nuklir. Selama masa
operasi reaktor nuklir, bahan bakar nuklir bekas yang telah disimpan sementara dapat
diserahkan ke Badan Pelaksana atau dikirim kembali ke negara asal.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Kekritisan adalah keadaan dimana reaksi pembelahan inti berantai dapat
berlangsung.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Penyerahan salinan berita acara kepada Badan Pengawas ini dimaksudkan untuk memudahkan
dalam pemantauan dan mengetahui keberadaan limbah secara tepat, baik aktivitas, klasifikasi,
maupun kuantitasnya.

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Penyimpanan sementara limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang hanya
dimaksudkan untuk limbah radioaktif padat dan cair. Sedangkan untuk limbah radioaktif
berbentuk gas dapat dilepaskan ke udara setelah aktivitasnya tidak membahayakan
lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Pengelola limbah radioaktif cukup membuat Program Jaminan Kualitas 1 (satu) kali saja.
Program Jaminan Kualitas yang telah dibuat tersebut berlaku selama masa operasi instalasi
pengelolaan limbah radioaktif dan dapat direvisi apabila diperlukan.

Pasal 30
Ayat (1)
Pemantauan lingkungan di sekitar instalasi dilakukan secara terus-menerus, berkala, dan
atau sewaktu-waktu bergantung pada dampak radiologi dari kegiatan di instalasi
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Pengertian badan yang dimaksud adalah Badan Usaha Milik Negara, koperasi, badan
swasta, dan badan lain yang meliputi instansi pemerintah asing atau badan swasta asing.
Orang-perorangan tidak diperkenankan untuk melakukan penambangan bahan galian
nuklir, mengingat faktor keselamatan yang tinggi dan kompleks.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 32
Ayat (1)
Pengertian badan yang dimaksud adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Analisis keselamatan radiasi meliputi kandungan zat radioaktif dan perkiraan volume
limbah radioaktif selama penambangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan yang berlaku adalah ketentuan tentang ketenaganukliran.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4202


PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 40 TAHUN 2003

TENTANG

TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU


PADA KANTOR MENTERINEGARA LINGKUNGAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIKINDONESIA

Menimbang:

a. bahwa kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup telah memiliki tariff penerimaan Negara
Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. bahwa dengan adanya jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang baru dan perubahan
organisasi Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, dipandang perlu mengatur kembali
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan Peraturan Pemerintah;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undan Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Rpublik
Indonesia Nomor 3687);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1997 Nomor 57, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760);

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TARIF ATAS JENIS PENERIMAANNEGARA BUKAN


PAJAK YANG BERLAKU PADA KANTOR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 1
(1) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku padaKantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup berasal dari penerimaan:
a. Jasa Laboratorium Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. Jasa Penelitian dan Pengkajian Teknologi Lingkunganpada industri;
c. Jasa Pendidikan dan Pelatihan;
d. Jasa Layanan Informasi; dan
e. Jasa Sewa Sarana dan Fasilitas Kantor.

(2) Tarif atas Jenis penerimaanNegara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah
sebagaimana ditetapkandalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 2
Jenis penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 mempunyai tariff dalam
bentuk satuan rupiah.

Pasal 3
Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 wajb disetor langsung
secepatnya ke Kas Negara.

Pasal 4
Ketentuan mengenai klasifikasi Pendidikan dan Pelatihan di lingkungan Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada angka III dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini
ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Pasal 5
1. Tarif Pengambilan Contoh Parameter Kualitas Lingkungan, Konsultasi Teknis dan Manajemen
Laboratorium Lingkungan serta Jasa Penelitian dan Pengkajian Teknologi Lingkungan pada
Industri sebagaimana dimaksud dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini tidak termasuk
biaya transportasi, akomodasi dan konsumsi.
2. Biaya transportasi, akomodasi dan konsumsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dibebankan kepada wajib bayar.

Pasal 6
Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam Peraturan Pemerintah
ini, akan disusulkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini dan
pencantumannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.

Pasal 7
Dengan berlakunya peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 Juli2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 Juli 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 81


DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN

1. Keppres Nomor 1 Tahun 1987 Pengesahan Amandemen 1979 atas Convention


on Internasional Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora, 1973

2. Keppres Nomor 57 Tahun 1989 Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional

3. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung

4. Keppres Nomor 4 Tahun 1993 Satwa dan Bunga Nasional

5. Keppres Nomor 61 Tahun 1993 Pengesahan Basel Convention of The Control of


Transboundary Movements of Hazardous Wastes
and Their Disposal

6. Keppres Nomor 75 Tahun 1993 Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional

7. Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Reklamasi Pantai Utara Jakarta

8. Keppres Nomor 92 Tahun 1998 Pengesahan Montreal Protocol on Substances


That Deplete the Ozone Layer, Copenhagen,
1992
Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1987
Tentang : Pengesahan Amandemen 1979 Atas
Convention On International Trade In Endangered
Species Of Wild Fauna And Flora, 1973

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 1 TAHUN 1987 (1/1987)
Tanggal : 14 JANUARI 1987 (JAKARTA)
Sumber : LN 1987/5

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa Republik Indonesia telah menjadi Pihak dalam "Convention on


International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora,
1973", melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1978, tanggal 15 Desember 1978 (lembaran Negara Tahun
1978 Nomor 51);

b. bahwa di Bonn, Republik Federal Jerman, pada tanggal 22 Juni 1979,


sebagai hasil Pertemuan Luar Biasa International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources, telah diterima
Amandemen atas Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora, 1973, yang menyangkut pengaturan
keuangan yaitu dengan menambahkan pada akhir Pasal XI paragrap 3
sub-paragrap (a) kata-kata : "and adopt financial provisions";

c. bahwa sehubungan dengan itu dan sesuai dengan Amanat Presiden


Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor
2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, dipandang perlu untuk
mengesahkan Amandeman tersebut pada huruf b di atas dengan
Keputusan Presiden;

Mengingat :

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGESAHAN


AMANDEMEN 1979 ATAS CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN
ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA AND FLORA, 1973.

Pasal 1

Mengesahkan Amandemen 1979 atas Convention on International Trade in


Endangered Species of Wild Fauna and Flora, 1973, yang telah diterima di
Bonn, Republik Federal Jerman, pada tanggal 22 Juni 1979, yang salinan
naskah aslinya dalam bahasa Inggeris sebagaimana terlampir pada
Keputusan Presiden ini.

Pasal 2

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan


Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 1987
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 1987
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.

__________________________________
Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990
Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990)
Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya


bagi kehidupan dan perencanaan serta pelaksanaan pembangunan
yang berkelanjutan juga mengandung fungsi pelestarian lingkungan
hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan serta nilai
sejarah dan budaya bangsa, yang memerlukan pengaturan bagi
pengelolaan dan perlindungannya;

b. bahwa dengan semakin terbatasnya ruang, maka untuk menjamin


terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang berkelanjutan
dan terpeliharanya fungsi pelestarian, upaya pengaturan dan
perlindungan diatas perlu dituangkan dalam kebijaksanaan
pembangunan pola tata ruang;

c. bahwa dalam rangka kebijaksanaanpembangunan pola tata ruang


tersebut perlu ditetapkan adanya kawasan lindung dan pedoman
pengelolaan kawasan lindung yang memberi arahan bagi badan hukum
dan perseorangan dalam merencanakan dan melaksanakan program
pembangunan;

Mengingat:

1. Pasal 4 ayat (1) dan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;

2. Monumenten Ordonantie Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor


238);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang peraturan Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);

5. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831);

6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah )Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

7. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3046);

8. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan


Hutan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3294);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor
42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3338)

11. Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1989 tentang Tim Koordinasi


Pengelolaan Tata Ruang Nasional;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG


PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan:

1. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi


utama melindungi kelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup
sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya
bangsa guna kepentingan Pembangunan berkelanjutan.

2. Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan


pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.

3. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat


khas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitar
maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan
erosi serta memelihara kesuburan tanah.

4. Kawasan Bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya


sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam
waktu yang lama.

5. Kawasan Resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan


tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat
pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.

6. Sempadan Pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang


mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian
fungsi pantai.

7. Sempadan Sungai adalah Kawasan sepanjang kiri kanan sungai,


termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

8. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan tertentu disekeliling


danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

9. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan disekeliling mata air yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi mata air.

10. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan peragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.

11. Kawasan suaka alam Laut dan Perairan lainya adalah daerah yang
mewakili ekosistem khas di lautan maupun perairan lainya, yang
merupakan habitat alami yang memberikan tempat maupun
perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa yang ada.

12. Kawasan Pantai berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.

13. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola


dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata dan rekreasi.

14. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian yang terutama


dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau bukan asli,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya,
pariwisata dan rekreasi.

15. Taman Wisata Alam adalah kawasan Pelestarian alam di darat maupun
di laut yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi
alam.

16. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah kawasan yang
merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi
maupun bentukan geologi yang khas.

17. Kawasan Rawan Bencana Alam adalah kawasan yang sering atau
berpotensi tinggi mengalami bencana alam.

BAB II
TUJUAN DAN SASARAN

Pasal 2

(1). Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya


kerusakan fungsi lingkungan hidup.

(2). Sasaran Pengelolaan kawasan lindung adalah:


a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim,
tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa;

b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tepe


ekosistem, dan keunikan alam.

BAB III
RUANG LINGKUP

Pasal 3

Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan Kawasan


Bawahannya.

2. Kawasan Perlindungan setempat.

3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya.

4. Kawasan Rawan Bencana Alam.

Pasal 4

Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana


dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:

1. Kawasan Hutan Lindung.

2. Kawasan Bergambut.

3. Kawasan Resapan Air.

Pasal 5

Kawasan Perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3


terdiri dari:
1. Sempadan Pantai.

2. Sempadan Sungai.

3. Kawasan Sekitar Danau/Waduk.

4. Kawasan Sekitar Mata Air.

Pasal 6

Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal
3 terdiri dari:

1. Kawasan Suaka Alam.

2. Kawasan Suaka Alam Laut dan perairan lainya.

3. Kawasan Pantan Berhutan Bakau.

4. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.

5. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.

BAB IV
POKOK-POKOK KEBIJAKSANAAN KAWASAN LINDUNG

Bagian Pertama
Kawasan yang memberikan Perlindungan Kawasan Bawahannya

Pasal 7

Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah


terjadinya erosi, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk
menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan.

Pasal 8

Kriteria kawasan hutan lindung adalah:

a. Kawasan Hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis


tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau;
b. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau
lebih dan/atau

c. Kawasan Hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan


laut 2.000 meter atau lebih.

Pasal 9

Perlindungan terhadap kawasan bergambut dimaksudkan untuk


mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penambaat air dan
pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang
bersangkutan.

Pasal 10

Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3


meter atau lebih yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa.

Pasal 11

Perlindungan terhadap kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan


ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk
keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penenggulangan banjir, baik
untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan.

Pasal 12

Kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah
meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan
secara besar-besaran.
Bagian kedua
Kawasan Perlindungan setempat

Pasal 13

Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah


pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.

Pasal 14

Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya


proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari
titik pasang tertinggi ke arah darat.

Pasal 15

Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai


dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air
sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran
sungai.

Pasal 16

Kriteria sempadan sungai adalah:

a. Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar


dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada diluar
pemukiman.

b. Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai


yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara
10 - 15 meter.

Pasal 17

Perlindungan terhadap kawasan sekitar danau/waduk dilakukan untuk


melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu
kelestarian fungsi danau/waduk.
Pasal 18

Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian


danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
danau/waduk antara 50 - 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Pasal 19

Perlindungan terhadap kawasan sekitaer mata air dilakukan untuk


melindungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air
dan kondisi fisik kawasan sekitarnya.

Pasal 20

Kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekurang-kurangnya dengan jari-


jari 200 meter di sekitar mata air.

Bagian Ketiga
Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya

Pasal 21

Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi


keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi
kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada
umumnya.

Pasal 22

Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan
wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah pengungsian satwa.
Pasal 23

(1) Kriteria cagar alam adalah:

a. Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis


tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistemnya;

b. Mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusun;

c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang


masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;

d. Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang


pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup
luas;

e. Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh


di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan upaya
konservasi.

(2) Kriteria suaka margasatwa adalah:

a. Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan


perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan
upaya konservasinya;

b. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;

c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran


tertentu;

d. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang


bersangkutan.

(3) a. Kawasan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan


indah baik secara alamiah maupun buatan manusia;

b. Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olah raga


serta terletak dekat pusat-pusat permukiman penduduk;

c. Mengandung satwa buru yang dapat dikembangbiakkan


sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan
mengutamakan segi rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa;

d. Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak


membahayakan.
(4) Kriteria daerah perlindungan plasma nutfah adalah:

a. Areal yang ditunjuk memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang


belum terdapat di dalam kawasan konservasi yang telah
ditetapkan;

b. Merupakan areal tempat pemindahan satwa yang merupakan


tempat kehidupan baru bagi satwa yang merupakan tempat
kehidupan baru bagi satwa tersebut;

c. Mempunyai luas cukup dan lapangannya tidak membahayakan.

(5) Kriteria daerah pengungsian satwa:

a. Areal yang ditunjuk merupakan wilayah kehidupan satwa yang


sejak semula menghuni areal tersebut.

b. Mempunyai luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya


proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa
tersebut.

Pasal 24

Perlindungan terhadap kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya


dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala
dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, keperluan pariwisata
dan ilmu pengetahuan.

Pasal 25

Kriteria kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya adalah kawasan
berupa perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan
karang dan atol yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau
keunikan ekosistem.
Pasal 26

Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk


melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan
tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung
pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di
belakangnya.

Pasal 27

Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-
rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis
air surut terendah kearah darat.

Pasal 28

Perlindungan terhadap taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata
alam dilakukan untuk pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata,
serta peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari
pencemaran.

Pasal 29

Kriteria taman nasional, taman hutan raya dan taman nasional dan wisata
alam adalah berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tunbuhan dan
satwa yang beragam, memiliki arsitektur bentang alam yang baik dan
memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata.

Pasal 30

Perlindungan terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan


dilakukan untuk melindungi kekayaan budaya bangsi berupa peninggalan-
peninggalan sejarah, bangunan erkeologi dan monumen nasional, dan
keragaman bentuk geologi, yang berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh kegiatan alam
maupun manusia.
Pasal 31

Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta
ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan
kawasan dengan bentukan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Bagian Keempat
Kawasan Rawan Bencana Alam

Pasal 32

Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk


melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh
alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia.

Pasal 33

Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidetifikasi


sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung
berapi, gempa bumi, dan tanah longsor.

BAB V
PENETAPAN KAWASAN LINDUNG

Pasal 34

(1) Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah
masing-masing dalam suatu Peraturan Daerah Tingkat I, disertai
dengan lampiran penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian
minimal skala 1 : 250.000 serta memperhatikan kondisi wilayah yang
bersangkutan.

(2) Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1), Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan
wilayah tertentu sebagai bagian dari kawasan lindung.

(3) Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkan lebih lanjut kawasan


lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi
daerahnya ke dalam peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 :
100.000, dalam bentuk Peraturan Daerah Tingkat II.

(4) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara


terpadu dan lintas sektoral dengan mempertimbangkan masukan dari
Pemerintah Daerah Tingkat II.

Pasal 35

Apabila dalam penetapan wilayah tertentu terjadi perbenturan kepentingan


antar sektor, Pemerintah Daerah Tingkat I dapat mengajukan kepada Tim
Pengelolaan Tata Ruang Nasional untuk memperoleh saran penyelesaian.

Pasal 36

(1) Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat


akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung.

(2) Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan-


kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada
masyarakat.

BAB VI
PENGENDALIAN KAWASAN LINDUNG

Pasal 37

(1) Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budidaya,


kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.

(2) Di dalam kawasan suaka alam dan kawasan cagar budaya dilarang
melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan
dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi
penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada.
(3) Kegiatan budidaya yang sudah ada di kawasan lindung yang
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup dikenakan
ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis
Mengenai Dampak lingkungan.

(4) Apabila menurut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan kegiatan


budidaya mengganggu fungsi lindung harus dicegah
perkembangannya, dan fungsi sebagai kawasan lindung dikembalikan
secara bertahap.

Pasal 38

(1) Dengan tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang


bersangkutan di dalam kawasan lindung dapat dilakukan penelitian
eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan
dengan pencegahan bencana alam.

(2) Apabila ternyata di kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam


ayat (1) terdapat indikasi adanya deposit mineral atau air tanah atau
kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat berharga
bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung tersebut
dapat diizinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(3) Pengelolaan kegiatan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)


dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang
bersangkutan.

(4) Apabila penambangan bahan galian dilakukan, penambang bahan


galian tersebut wajib melaksanakan upaya perlindungan terhadap
lingkungan hidup dan melaksanakan rehabilitasi daerah bekas
penambangannya, sehingga kawasan lindung dapat berfungsi kembali.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4), diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang, setelah
mendapat pertimbangan dari Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang
Nasional.

Pasal 39

(1) Pemerintah Daerah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan


ruang di kawasan lindung.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan
pemantauan, pengawasan dan penertiban.

(3) Apabila Pemerintah Daerah Tingkat II tidak dapat menyelesaikan


pengendalian pemanfaatan kawasan lindung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2), wajib diajukan kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I untuk diproses langkah tindak lanjutnya.

(4) Apabila Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak dapat menyelesaikan


pengendalian pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
wajib diajukan kepada Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang
Nasional.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 40

(1) Selambat-lambatnya dua tahun setelah Keputusan Presiden ini


ditetapkan, setiap Pemerintah Daerah Tingkat I sudah harus
menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan kawasan lindung,
dan segera sesudah itu Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkannya
lebih lanjut bagi daerah masing-masing.

(2) Penetapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


apabila dipandang perlu dapat disempurnakan dalam waktu setiap
lima tahun sekali.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 41

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juli 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO
______________________________________
Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1993
Tentang : Satwa Dan Bunga Nasional

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 4 TAHUN 1993 (4/1993)
Tanggal : 9 JANUARI 1993 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa Negara dan bangsa Indonesia telah diberi karunia Tuhan Yang
Maha Esa beragam jenis fauna dan flora, yang dalam khasanah fauna
dan flora dunia, beberapa diantaranya bahkan sangat bersifat khas
baik karena keberadaannya yang hanya terdapat di Indonesia, karena
kelangkaannya, maupun karena latar belakang budaya yang
melingkupinya;

b. bahwa kekhasan beberapa fauna dan flora tersebut pada dasarnya


juga merupakan kebanggaan nasional, dan harus dimanfaatkan
sebagai pendorong upaya perlindungan, pelestarian serta
pemanfaatannya secara berkelanjutan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

c. bahwa dalam rangka peningkatan perlindungan dan upaya pelestarian


fauna dan flora yang khas tersebut, serta untuk lebih menumbuh
kembangkan kepedulian rasa cinta dan kebanggan nasional terhadap
kekayaan tadi, dipandang perlu menetapkan tiga jenis satwa, air, dan
udara serta bunga tertentu sebagai satwa dan bunga nasional;

Mengingat:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823);

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SATWA DAN
BUNGA NASIONAL.

PERTAMA :

Tiga jenis satwa yang masing-masing mewakili satwa darat, air, dan
udara, dinyatakan sebagai Satwa Nasional, dan selanjutnya
dikukuhkan penyebutannya sebagai berikut :

1. Komodo (Varanus komodoensis), sebagai satwa nasional;

2. Ikan Siluk Merah (Sclerophages formosus), sebagai satwa


pesona; dan

3. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), sebagai satwa langka.

KEDUA:

Tiga jenis bunga dinyatakan sebagai bunga Nasional, dan selanjutnya


dikukuhkan penyebutannya sebagai berikut :

1. Melati (Jasminum sambac), sebagai puspa bangsa;

2. Anggrek bulan (Palaenopsis amabilis), sebagai puspa


pesona; dan

3. Padma Raksasa (Rafflesia arnoldi), sebagai puspa langka;

KETIGA :

Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Negara Kependudukan


dan Lingkungan Hidup, dan Menteri atau Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen lainnya yang terkait, menyusun dan
melaksanakan langkah-langkah yang dipandang perlu untuk :

a. mewujudkan kepedulian dan rasa cinta terhadap satwa


dan bunga pada umumnya, serta Satwa dan Bunga
Nasional pada khususnya, dikalangan segenap lapisan
masyarakat;

b. meningkatkan perlindungan serta upaya pelestarian


ekosistem, habitat, populasi ataupun kegiatan penelitian
dan pengembangan Satwa dan Bunga Nasional tersebut.

KEEMPAT:

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Januari 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan

ttd.

Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

__________________________________
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 1993
Tentang : Pengesahan Basel Convention On The
Control Of Transboundary Movements Of Hazardous
Wastes And Their Disposal

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 61 TAHUN 1993 (61/1993)
Tanggal : 12 JULI 1993 (JAKARTA)
Sumber : LN 1993/62

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa di Basel, Swiss, pada tanggal 22 Maret 1989 telah diterima


Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of the
Hazardous Wastes and Their Disposal sebagai hasil the Conference of
Plenipotentiaries on the Global Convention on the Control of
Transboundary Movements of Hazardous Wastes yang diselenggarakan
oleh the United Nations Environment Programme (UNEP), yang
mengatur larangan ekspor dan impor serta pembangunan limbah
berbahaya secara tidak sah;

b. bahwa secara geografis wilayah Republik Indonesia terdiri dari pulau-


pulau dengan perairan terbuka, karena itu sangat potensial sebagai
tempat pembuangan limbah berbahaya secara tidak sah dari luar
negeri;

c. bahwa untuk memelihara kelestarian lingkungan serta mencegah agar


wilayah Republik Indonesia tidak menjadi tempat pembuangan limbah
berbahaya, dipandang perlu menjadi pihak pada Convention tersebut
pada huruf a di atas;

d. bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan Amanat Presiden


Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang
Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu
untuk mengesahkan Convention tersebut dengan Keputusan Presiden.

Mengingat : Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945;


MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG


PENGESAHAN BASEL CONVENTION ON THE CONTROL OF
TRANSBOUNDARY MOVEMENTS OF HAZARDOUS WASTES
AND THEIR DISPOSAL.

Pasal 1

Mengesahkan Basel Convention on the Control of Transboundary Movements


of the Hazardous Wastes and Their Disposal yang telah diterima di Basel,
Swiss, pada tanggal 22 Maret 1989 sebagai hasil the Conference of
Plenipotentiaries on the Global Convention on the Control of Transboundary
Movements of Hazardous Wastes yang diselenggarakan oleh United Nations
Environment Programme (UNEP), dengan suatu Pernyataan (Declaration)
yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggeris sebagaimana terlampir
pada Keputusan Presiden ini.

Pasal 2

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan


Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Juli 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 1993
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MOERDIONO

______________________________________
Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1993
Tentang : Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 75 TAHUN 1993 (75/1993)
Tanggal : 11 AGUSTUS 1993 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional diperlukan


kebijaksanaan dan langkah-langkah yang terkoordinasi untuk
menangani masalah pemanfaatan ruang bagi keperluan
pembangunan;

b. bahwa agar koordinasi penanganan masalah pemanfaatan ruang


tersebut dapat berjalan dengan baik, diperlukan strategi nasional
pengembangan pola tata ruang secara terpadu melalui pendekatan
wilayah;

c. bahwa dalam rangka perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan


strategi nasional pengambangan pola tata ruang serta untuk
melaksanakan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, dipandang perlu mengatur mengenai koordinasi
dalam pengelolaan tata ruang nasional;

Mengingat:

1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-


pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran negara Nomor 2043);

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran negara Nomor 3215);

4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG


KOORDINASI PENGELOLAAN TATA RUANG NASIONAL.

PERTAMA:
Menunjuk Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai Menteri yang
bertugas mengkoordinasikan kegiatan penataan ruang nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

KEDUA:
Koordinasi penataan ruang nasional dimaksud dalam Diktum PERTAMA
diselenggarakan dalam sebuah badan yang disebut Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional.

KETIGA:
Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional bertugas :

a. Melakukan inventarisasi sumberdaya dalam rangka


penyusunan dan penyempurnaan strategi nedional
pengembangan pola tata ruang serta pola
pengelolaannya.

b. Mengkoordinasikan pelaksanaan strategi nasional


pengembangan pola tata ruang segera terpadu sebagai
dasar bagi kebijaksanaan pengembangan tata ruang
wilayah dan kawasan yang dijabarkan dalam program
pembangunan sektor.

c. Menyelenggarakan pembinaan pelaksanaan penataan


ruang daerah.

d. Merumuskan kebijaksanaan dan mengkoordinasikan


penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul
dalam penataan ruang baik di tingkat nasional maupun
daerah, dan memberikan pengaraja serta saran
pemecahannya kepada Pemerintah.

f. Mengkoordinasikan penyusunan peraturan pelaksanaan


Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang.
KEEMPAT:
Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional terdiri dari:

1. Menteri Negara Perencanaan : sebagai Ketua


merangkap Anggota;
Pembangunan Nasional/Ketua
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional

2. Menteri Negara Sekretaris : sebagai Wakil Ketua


merangkap Anggota;
Negara

3. Menteri Dalam Negeri : sebagai Anggota;

4. Menteri Pertahanan : sebagai Anggota;


Keamanan

5. Menteri Pekerjaan Umum : sebagai Anggota;

6. Menteri Negara Lingkungan : sebagai Anggota;


Hidup

7. Menteri Negara Agraria/ : sebagai Anggota;


Ketua Badan Pertanahan
Nasional

8. Deputi Ketua Badan : sebagai Sekretaris


merangkap Anggota.
Perencanaan Pembangunan
Nasional Bidang Regional
dan Daerah

KELIMA:
Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional dibantu oleh Kelompok Kerja Tata Ruang Nasional yang
anggotanya berasal dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non
Departemen terkait.

KEENAM:
Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam diktum KELIMA
dibentuk dengan Keputusan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional selaku Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.
KETUJUH:
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
dapat :

a. menggunakan tenaga ahli yang diperlukan;

b. membentuk Tim Teknis untuk menangani penyelesaian


masalah-masalah yang bersifat khusus;

c. meminta bahan keterangan tang diperlukan dari


Departemen, Lembaga atau Pemerintah Daerah.

KEDELAPAN:
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
bertanggung jawab kepada Presiden.

KESEMBILAN:
Segala biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional beserta Kelompok kerja, Tenaga Ahli dan Tim Teknis yang
mendukungnya dibebankan kepada Anggaran Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.

KESEPULUH:
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka Keputusan Presiden
Nomor 57 Tahun 1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang
Nasional dinyatakan tidak berlaku lagi.

KESEBELAS:
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 1993
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO

______________________________________
Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995
Tentang : Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 52 TAHUN 1995 (52/1995)
Tanggal : 13 JULI 1995 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a. bahwa sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1994


tentang Repelita Enam, Kawasan Pantai Utara adalah termasuk
kategori Kawasan Andalan, yaitu kawasan yang mempunyai nilai
strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota;

b. bahwa untuk mewujudkan fungsi Kawasan Pantai Utara Jakarta


sebagai Kawasan Andalan, diperlukan upaya penataan dan
pengembangan Kawasan Pantai Utara melalui reklamasi pantai utara
dan sekaligus menata ruang daratan pantai yang ada secara terarah
dan terpadu;

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu menetapkan


pengaturan reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan Keputusan
Presiden;

Mengingat:

1. Pasal (1)">4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan


Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3430);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG REKLAMASI PANTAI


UTARA JAKARTA.

Pasal 1

Dalam Keputusan Presiden ini, yang dimaksud dengan:

1. Reklamasi Pantai Utara Jakarta, selanjutnya disebut Reklamasi


Pantura, adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan laut di bagian
perairan laut Jakarta;

2. Kawasan Pantai Utara Jakarta, selanjutnya disebut Kawasan Pantura,


adalah sebagian wilayah Kotamadya Jakarta Utara yang meliputi areal
daratan pantai utara Jakarta yang ada dan areal Reklamasi Pantai
Utara Jakarta.

Pasal 2

Untuk keperluan pengembangan Kawasan Pantura, dengan Keputusan


Presiden ini dilakukan Reklamasi Pantura.

Pasal 3

(1) Reklamasi Pantura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi


bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara
Jakarta secara tegak lurus kearah laut sampai garis yang
menghubungkan titik-titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut 8
meter.

(2) Batas-batas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tergambar dalam


peta yang menjadi Lampiran I Keputusan Presiden ini.
Pasal 4

Wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada


Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 5

(1) Dalam rangka mengendalikan Reklamasi Pantura, dibentuk sebuah


Badan pengendali dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:

a. Ketua/Penanggungjawab: Gubernur Kepala Daerah Khusus


Ibukota Jakarta;

b. Wakil Ketua/Pelaksana

Harian : Wakil Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota


Jakarta Bidang Ekonomi dan Pembangunan;

c. Sekretaris : Ketua BAPPEDA Daerah Khusus Ibukota


Jakarta;

d. Anggota : 1. Kepala Kantor Wilayah Perhubungan Daerah


Khusus Ibukota Jakarta;

2. Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Daerah


Khusus Ibukota Jakarta;

3. Kepala Kantor Wilayah Pekerjaan Umum


Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

4. Kepala Kantor Wilayah Kehutanan Daerah


Khusus Ibukota Jakarta;

5. Kepala Kantor Wilayah Pariwisata, Pos dan


Telekomunikasi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta;

6. Walikota Jakarta Utara;

7. Pejabat pemerintah terkait lainnya yang


dipandang perlu, yang pengangkatannya
dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota Jakarta selaku Ketua Badan
Pengendalian.
(2) Sekretaris Badan Pengendali membawahkan sebuah Sekretariat yang
keanggotaannya diangkat oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta selaku Ketua Badan Pengendali.

Pasal 6

(1) Badan Pengendali bertugas untuk:

a. Mengendalikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan


Reklamasi Pantura;

b. Mengendalikan penataan Kawasan Pantura.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengendali bertanggungjawab


kepada Presiden.

Pasal 7

(1) Untuk mendukung kelancaran tugas Badan Pengendali, dan dengan


memperhatikan kepentingan sektoral terkait di Kawasan Pantura,
Badan Pengendali mendapat pengarahan dari Tim Pengarah yang
terdiri dari:

a. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua


BAPPENAS sebagai Ketua merangkap Anggota;

b. Menteri Negara Sekretaris Negara sebagai Anggota;

c. Menteri Dalam Negeri sebagai Anggota;

d. Menteri Pertahanan dan Keamanan sebagai Anggota;

e. Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagai Anggota;

f. Menteri Perhubungan sebagai Anggota;

g. Menteri Pekerjaan Umum sebagai Anggota;

h. Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional


sebagai Anggota.

(2) Mekanisme pengarahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat


dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal pengarahan tersebut diperlukan secara bersama-sama,
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS selaku Ketua.

Pasal 8

(1) Untuk menyelenggarakan Reklamasi Pantura, Gubernur Kepala Daerah


Khusus Ibukota Jakarta membentuk sebuah Badan Pelaksana.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pelaksana sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) dapat melakukan kerjasama usaha dengan
pihak lain.

(3) Syarat-syarat, tata cara dan bentuk kerjasama usaha sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) diatur Oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.

(4) Penyelenggaraan Reklamasi Pantura dan kerjasama usaha


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi
wewenang dan tanggungjawab Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 9

(1) Areal hasil Reklamasi Pantura diberikan status Hak Pengelolaan


kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(2) Areal hasil Reklamasi Pantura dimanfaatkan sesuai dengan rencana


pembagian zona Kawasan Pantura sebagaimana tergambar dalam peta
yang menjadi Lampiran II Keputusan Presiden ini.

Pasal 10

(1) Perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan Reklamasi Pantura sebagai


bagian yang tidak terpisahkan dari penataan Kawasan Pantura.

(2) Penataan Kawasan Pantura sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


dituangkan dalam satu rencana tata ruang sebagai bagian dari Tata
Ruang Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pasal 11

(1) Penyelenggaraan Reklamasi Pantura wajib memperhatikan


kepentingan lingkungan, kepentingan pelabuhan, kepentingan
kawasan pantai berhutan bakau, kepentingan nelayan dan fungsi-
fungsi lain yang ada di Kawasan Pantura.

(2) Bahan material untuk Reklamasi Pantura diambil dari lokasi yang
memenuhi persyaratan teknis dan lingkungan.

Pasal 12

Segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan Reklamasi


Pantura dilakukan secara mandiri oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta bekerjasama dengan swasta, masyarakat, dan sumber-
sumber lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13

Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan


perundang-undangan yang telah ada disesuaikan dengan ketentuan dalam
Keputusan Presiden ini.

Pasal 14

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SOEHARTO

__________________________________
Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1998
Tentang : Pengesahan Montreal Protocol On
Substance That Deplete The Ozone Layer,
Copenhagen, 1992
(Protokol Montreal Tentang Zat-Zat Yang Merusak
Lapisan Ozon, Copenhagen, 1992)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa sebagai hasil persidangan Negara-negara AnggotaThe Vienna


Convention For the Protection of the Ozone Layer sebagaimana telah
beberapa kali Diubah, terakhir pada sidang Ke-IV, tangal 23-25
Nopember 1992 di Copenhagen Denmark, telah diterima Montreal
Protocol on Subtances that Deplete the OzoneLayer, Copenhagen,
1992 (Protokol Motreal tentang Zat-zat yang Merusak Lapisan Ozon,
Copenhagen , 1992)
b. bahwa sehubungan dengnan itu, dan sesuai dengan Amanat Presiden
Republik Indonesia Kepala Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor:
2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjia-
perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu untuk mengesahkan
Protocol tersebut dengan Keputusan Presiden:

Mengingat :

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-ungdang Dasar 1945;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGESAHAN MOTREAL PROTOKOL ON
SUBTANCES THAT DEPLETE THE OZONE LAYER , COPENHAGEN, 1992
(PROTOKOL MONTREAL TENTANG ZAT-ZAT YANG MERUSAK LAPISAN OZON,
COPENHAGEN, 1992)
Pasal 1

Mengesahkan Motreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer,


Copenhagen, 1992 (Protokol Monteral tantang Zat-zat yang merusak lapisan
Ozon, Copenhagen, 1992), sebagai hasil Persidangan Negara-negara
Anggota The Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir pada sidang Ke-IV, tanggal
23-25 Nopember 1992 di Copenhagen, Denmark, 1992, yang naskah aslinya
dalam bahasa Inggeris den terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden ini.

Pasal 2

Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Protocol


dalam bahasa Indonesia dengan salinan naskah aslinya dalam bahasa
Inggeris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, maka yang berlaku adalah
salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggeris.

Pasal 3

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap oramg mengetahuinya,memerintahkan pengundangan Keputusan


Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 23 Juni 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSSUF HABIBIE


Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 23 Juni 1998

MENTRI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

ttd

AKBAR TANDJUNG

______________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEPALA BAPEDAL


A. ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL)

1. KepMen LH Nomor 12 Tahun 1994 Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan


dan Upaya Pemantauan Lingkungan

2. KepMen LH Nomor 14 Tahun 1994 Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan

3. KepMen LH Nomor 15 Tahun 1994 Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan Terpadu

4. KepMen LH Nomor 42 Tahun 1994 Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan

5. KepMen LH Nomor 54 Tahun 1995 Pembentukan Komisi AMDAL Terpadu/Multisektor


dan Regional

6. KepMen LH Nomor 55 Tahun 1995 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional

7. KepMen LH Nomor 57 Tahun 1995 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha


atau Kegiatan Terpadu/Multisektor

8. KepMen LH Nomor 30 Tahun 1999 Panduan Penyusunan Dokumen Pengelolaan


Lingkungan

9. KepMen LH Nomor 2 Tahun 2000 Panduan Penilaian Dokumen AMDAL (Juga


Menyatakan Tidak Berlakunya Kepmen KLH
Nomor 29 Tahun 1992 Tentang Panduan Evaluasi
Dokumen ANDAL)

10. KepMen LH Nomor 4 Tahun 2000 Panduan Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan
Pemukiman Terpadu

11. KepMen LH Nomor 5 Tahun 2000 Panduan Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan di
Daerah Lahan Basah

12. KepMen LH No. 40 Tahun 2000 Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (Pengganti KepMen
LH No. 13 Tahun 1994)

13. KepMen LH No. 41 Tahun 2000 Pedoman Pembentukan Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota

14. KepMen LH No. 42 Tahun 2000 Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim
Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup Pusat

15. KepMen LH No. 17 Tahun 2001 Jenis Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib
Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
16. KepMen LH No. 30 Tahun 2001 Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup
yang Diwajibkan Menteri Negara Lingkungan
Hidup

17. KepMen LH No. 82 Tahun 2002 Pedoman Penyusunan Dokumen Upaya


Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup

18. KepMen LH No. 86 Tahun 2002 Pelaksanaan Penyusunan Dokumen Upaya


Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup

19. SE Men LH Nomor B-1234 Tahun 1999 Kegiatan Wajib UKL dan UPL

20. KepKa Bapedal Nomor 56 Tahun 1994 Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting

21. KepKa Bapedal No. 299 Tahun 1996 Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan

22. KepKa Bapedal No. 105 Tahun 1997 Penduan Pemantau Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantau Lingkungan (RPL)

23. KepKa Bapedal Nomor 08 Tahun 2000 Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan
Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup

24. KepKa Bapedal Nomor 09 Tahun 2000 Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: KEP-12/MENLH/3/1994

TENTANG

PEDOMAN UMUM UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN


DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang:

1. Bahwa dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2)Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun l993
Tentang Analisis Mengenai DampakLingkungan disebutkan bahwa dalam menunjang
pembangunan yang berwawasanlingkungan, bagi rencana usaha atau kegiatan yang tidak
wajib dilengkapi denganAMDAL tetap diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL) dan UpayaPemantauan Lingkungan (UPL)
2. Bahwa untuk melaksanakan PeraturanPemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkunganperlu ditetapkan Keputusan Mented Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman UmumUpaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan.

Mengingat:

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran NegaraR.I. Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran
Negara R.I. Nomor 3215);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1090tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran NegaraR.I. Nomor 49 Tahun 1990, Tambahan Lembaran Negara R.
I. Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara R. 1
Nomor 1 15 Tahun 1992, TambahanLembaran Negara R.I. Nomor 3501);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara R.I. Nomor 34 Tahun1990, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor
3409);
5. Peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara R.I. Nomor 84Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor
3538);
6. Keputusan Presiden R.I. Nomor 23 Tahun1990 tentang Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan;
7. Keputusan Presiden R.I. Nomor 96/MTahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
8. Keputusan Presiden R.I. Nomor 44 Tahun1993 ten.tang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi,
Susunan Organisasi, dan TataKerja Menteri Negara;
9. Keputusan Menteri Negara LingkunganHidup Nomor: KEP-11/MENLH/3/94 tentang Jenis
Usaha atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN
Menetapkan

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGANHIDUP TENTANG PEDOMAN UPAYA UMUM


PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN UPAYA PEMANTAUANLINGKUNGAN
Pertama
Rencana usaha atau kegiatan yang tidakada dampak pentingnya, dan atau secara teknologi sudah
dapat dikelola dampakpentingnya diharuskan melakukan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan
UpayaPemantauan Lingkungan (UPL) sesuai dengan yang ditetapkan didalam syarat-
syaratperizinannya menurut peraturan yang berlaku.

Kedua
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan UpayaPemantauan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
diktum pertama perlu diaturmelalui suatu pedoman umum.

Ketiga
Pedoman Umum UpayaPengelolaan lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan adalah
sebagaimanadimaksud dalam Lampiran Keputusan ini;

Pedoman teknis Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) danUpaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
ditetapkan oleh Menteri atau Pimpinan LembagaPemerintah Non Departemen dengan menggunakan
Pedoman Umum sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) sebagai rujukan;

Apabila belum ditentukan pedoman teknis sebagaimanadimaksud dalam ayat (2), maka Upaya
Pengelolaan Lingkungan dan Upaya PemantauanLingkungan dibuat dengan berpedoman pada
Pedoman Umum sebagaimana dimaksuddalam ayat (1).

Keempat
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggalditetapkan, dan bilamana dikemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Keputusanini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Maret 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup

ttd

SARWONO KUSUMAATMADJA
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor KEP-12/MENLH/3/1994
Tanggal 19 Maret 1994

PEDOMAN UMUM
UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN
UPAYAPEMANTAUAN LINGKUNGAN

A. PENDAHULUAN
1. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bukan
merupakan bagian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, oleh sebab itu UKL dan UPL tidak
dinilai oleh Komisi AMDAL, melainkan diarahkan langsung oleh instansi teknis yang
membidangi dan bertanggung jawab atas pembinaan usaha atau kegiatan tersebut melalui
suatu petunjuk teknis sesuai jenis usaha atau kegiatannya.
2. Upaya Daya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)
bersifat spesifik bagi masing-masing jenis usaha atau kegiatan yang dikaitkan dengan
dampak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu Pedoman Teknis UKL dan UPL ditetapkan oleh
instansi yang bertanggung jawab (sektoral) untuk setiap jenis usaha atau kegiatan dan
dikaitkan langsung dengan aktifitas teknis usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
3. Pemrakarsa usaha atau kegiatan terikat pada dokumen yang telah diisi dan ditanda
tanganinya dan menjadi syarat-syarat pemberian izin usaha atau kegiatan dimaksud.

B. FUNGSI DAN TUJUAN


Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan berfungsi
sebagai:
1. Acuan dalam penyusunan Pedoman Teknis Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan bagi Departemen /Lembaga Pemerintah Non Departemen Sektoral:
2. Acuan penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan danUpaya Pemantauan Lingkungan bagi
pemrakarsa bilamana Pedoman teknis UKL dan UPLdari sektoral belum diterbitkan.
3. Instrumen pengikat bagi pihak pemrakarsa untukmelaksanakan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan.
Dengan adanya pedoman ini, maka pengelolaan lingkungan dapat dilakukan dengan baik, lebih
terarah, efektif dan efisien.

C. RUANG LINGKUP
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Perlu disusun sedemikian rupa,
sehingga dapat:
1. langsung mengemukakan informasi penting setiap jenis rencana usaha atau kegiatan yang
merupakan sifat khas proyek itu sendiri dan dapat menimbulkan dampak potensial terhadap
lingkungannya;
2. informasi komponen lingkungan yang terkena dampak;
3. upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang harus dilakukan oteh pemrakarsa
pada tahap pra konstruksi, konstruksi maupun pasca konstruksi.

D. SISTEMATIKA
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan mencakup:

1. Rencana Usaha atau Kegiatan


Uraian secara singkat rencana usaha atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh pemrakarsa,
mencakup antara lain :
a. Jenis rencana usaha atau kegiatan;
b. Rencan alokasi yang tepat dari rencana usaha atau kegiatan, dan apakah telah sesuai dengan
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) atau tidak (jelaskan).
c. Jarak rencana lokasi usaha atau kegiatan tersebut dengan sumber daya dan kegiatanlain
disekitarnya, seperti hutan, sungai, permukiman, industri dan sebagainya serta hubungan
keterkaitannya.
d. Sarana/fasilitas yang direncanakan, mencakup antara lain:
• Luas areal yang digunakan untuk usaha atau kegiatan yang meliputi antara lain:
bangunan utama, pemukiman tenaga kerja, panjang jalan dan tata letak.
• Peralatan yang digunakan termasuk jenis dan kapasitasnya;
• Jenis bahan baku serta bahan tambahan maupun bahan lain yang dipergunakan yang
meliputi antara lain: jumlah, volume, sifat, asal pengambilan, sistem pengangkutan,
cara penyimpanan dan sistem pembuangan akhir bahan buangan:
i. Sumber air dan penggunaannya;
ii. Sumber energi;
iii. Tenaga kerja yang digunakan;
e. Proses produksi atau kegiatan yang digunakan/dilaksanakan:

2. Komponen Lingkungan
Uraian secara singkat mengenai sumber-sumber alam/komponen lingkungan yang diperkirakan
terkena dampak, seperti antara lain: sungai, udara, flora dan fauna, danlain-lain.

3. Dampak-dampak Yang Akan Terjadi


Dampak-dampak yang akan muncul balk berupa limbah/polusi maupun bentuk lainnya mencakup
a. Sumber dampak;
b. Jenis dampak dan ukurannya;
c. Sifat dan tolok ukur dampak.

4. Upaya Pengelolaan Lingkungan


Uraian secara rinci mengenai upaya pengelolaan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh
pemrakarsa.

5. Upaya Pemantauan Lingkungan


Uraian secara rinci mengenai upaya pemantauan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh
pemrakarsa, khususnya yang berkaitan langsung dengan sifat kegiatan utamanya/khasnya yang
mencakup antara lain:
• jenis dampak yang dipantau;
• lokasi pemantauan;
• waktu pemantauan;
• cara pemantauan.

6. Pelaporan
Uraian secara rinci mengenai mekanisme laporan dari pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan pada saat rencana usaha atau kegiatan dilaksanakan (Instansi
pembina. BAPEDAL. Pemda Tk. I danTk. II setempat).

7. Pernyataan Pelaksanaan
Pernyataan pemrakarsa untuk melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan atas rencana usaha atau
kegiatannya dilengkapi dengan tanda tangan pemrakarsa.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 14 Tahun 1994
Tentang : Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Dampak Lingkungan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993


Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan perlu ditetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Umum Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan- ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara RI Nomor 12
Tahun 1982 , Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3215 );
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (
Lembaran Negara RI Nomor 115 Tahun 1992 , Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 3501 );
3. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara RI Nomor 84 Tahun
1993, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3538);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1990
Tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
Tentang Kedudukan, tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri
Negara serta staf Menteri Negara;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
Tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
Pertama

Yang dimaksud dengan kerangka acuan analisis dampak lingkungan, analisis


dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan , dan rencana
pemantauan lingkungan adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan
pemerintah nomor 51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan

Kedua

Kerangka Acuan Analisis Dampak lingkungan dibuat dengan berpedomana


pada Pedoman Umum Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini

Ketiga

(1) Pedoman Umum Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan adalah


sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II keputusan ini;
(2) Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan ditetapkan
oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen
dengan menggunakan pedoman umum umum sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 sebagai rujukan;
(3) apabila belum ditentukan pedoaman teknis sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2, maka Analisis Dampak Lingkungan dibuat dengan
berpedoman pada pedoaman umum sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1.

Keempat

Rencana Pengelolaan Lingkungan dibuat dengan berpedoman pada Pedoman


Umum Rencana Pengelolaan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III keputusan ini.

Kelima

Rencana Pemantauan Lingkungan dibuat dengan berpedoman pada Pedoman


Umum Rencana Pemantauan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran IV keputusan ini.

Keenam

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana


dikemudian hari terdapat kekeliruan, maka keputusan ini akan ditinjau
kembali.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Maret 1999

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-30/MENLH/10/1999
Tanggal : 12 Oktober 1999

PANDUAN PENYUSUNAN DOKUMEN


PENGELOLAAN LINGKUNGAN

A. PENDAHULUAN

1. Ketentuan penyusunan Dokumen Pengelolaan Lingkungan ini ditujukan


bagi usaha/kegiatan yang telah beroperasi sebelum tanggal 23
Oktober 1993 yang diwajibkan menyusun Studi Evaluasi Mengenai
Dampak Lingkungan (SEMDAL) dan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 1986, namun belum menyelesaikan dengan tuntas.

2. Dokumen Pengelolaan Lingkungan ini bukan merupakan dokumen


AMDAL atau dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

3. Dokumen Pngelolaan Lingkungan disusun sebagai upaya pengelolaan


dan pemantauan lingkungan bagi usaha/kegiatan sebagaimana
disebutkan dalam butir 1.

4. Semua persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam Dokumen


Pengelolaan Lingkungan wajib dicantumkan dalam ketentuan
(perpanjangan) izin usaha atau kegiatan.

B. FUNGSI DAN TUJUAN

Fungsi dan tujuan dari Dokumen Pengelolaan Lingkungan ini


adalah sebagai alat/instrumen pengikat bagi penanggungjawab suatu
usaha/kegiatan untuk melakukan pengnelolaan dan pemantauan
lingkungan secara terarah efisien dan efektif.
Fungsi dan tujuan dari Panduan Penyusunan Dokumen
Pengelolaan Lingkungan ini adalah sebagai acuan bagi penyusunan
dokumen pengelolaan lingkungan.

C. RUANG LINGKUP

Dokumen lingkungan disusun sedemikian rupa sehingga


langsung mengemukakan hal-hal sebagai berikut :

1. Identifikasi komponen kegiatan sebagai sumber dampak


2. Komponen lingkungan yang telah terkena dampak

3. Jenis dan karakteristik dampak

4. Tolok ukur

5. Usaha-usaha pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang


telah dan sedang dilaksanakan beserta hasilnya.

6. Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

dr. Panangian Siregar


Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-30/menlh/10/1999
Tanggal : 12 Oktober 1999

TATA CARA PENGISIAN FORMULIR


DOKUMEN PENGELOLAAN LILNGKUNGAN

1. Penanggung jawab Kegiatan


Tulisan secara jelas nama dan alamat penanggungjawab kegiatan.

2. Lokasi Kegiatan
Uraikan secara jelas lokasi tempat kegiatan dilaksanakan sesuai
dengan izin yang diberikan (contoh : unit administrasi pemerintahan,
koordinat, dll). Dapat diisi salah satu dari pilihan, atau semuanya bila
data tersedia.

3. Bidang Usaha Atau Kegiatan


Beri tanda X dalam kotak pilihan instansi pembina usaha atau
kegiatan, dan tuliskan jenis usaha atau kegiatan yang dilaksanakan
(misalnya : Industri Tekstil Pencelupan) di samping kotak pilihan
tersebut sesuai dengan tempat yang telah disediakan.

4. Masa Beroperasi
Tuliskan waktu mulai beroperasinya usaha dan/atau kegiatan terhitung
sejak izin usaha atau kegiatn diterbitkan.

5. Sarana/Fasilitas yang ada :

a). Izin-izin yang dimiliki


Tuliskan berbagai izin yang telah dimiliki (jenis izin, nomor izin,
tanggal penerbitan izin, dan instansi penerbitan izin)

b) Produksi yang dihasilkan


Uraikan keterangan mengenai produksi yang dihasilkan,
menurut kategori produksi barang (contoh : industri semen,
industri tekstil, dan lain sebagainya) dan/atau produksi jasa
(contoh : jasa pariwisata, dan lain sebagainya); berdasarkan :

" Jenis (kolom 5.a)

" Proses/tahapan produksinya (kolom 5.b), berikut


keterangan tentang bahan baku dan penolong yang
digunakan (bila ada), termasuk neraca air dan neraca
bahan
" Kapasitas produksi (kolom 5.c), yang mencakup kapasitas
terpasang dan kapasitas realisasinya (dalam satuan baku,
misalnya : ton/tahun, liter/hari, satuan mobil
penumpang/jam)

c) Sarana penunjang
Tuliskan sarana penunjang produksi yang dimiliki usaha
dan/atau kegiatan (jenis, ukuran, keterangan lain bila ada,
misalnya : pembangkit listrik, unit pengolahan air, dll).

MATRIKS PENGELOLAAN

6. Sumber dampak dan dampak yang ditimbulkan serta parameter yang


selama ini menjadi masalah yang harus diselesaikan

a) Uraikan jenis-jenis dampak yang menjadi masalah selama ini,


termasuk parameternya seperti :

" Air limbah dengan parameter antara lain seperti : pH,


BOD, TSS (dll)

" Sosial Ekonomi dengan parameter seperti pendapatan


masyarakatan dll

b) Uraikan sumber dampak

7. Tolok Ukur
Uraikan tolok ukur yang digunakan dalam pengelolaan dampak
(misalnya : baku mutu air, baku mutu udara, kriteria-kriteria baku,
kesepakatan-kesepakatan yang diakui). Cantumkan pula nomor Surat
Keputusan atau Peraturan Daerah yang mengatur baku mutu tersebut
dan cantumkan pula angka baku mutu bagi parameter dimaksud
dalam kolom 6.a).

8. Upaya Pengelolaan

a) Cara/teknik mengelola
Sebutkan cara/teknik pengelolaan yang dilaksanakan

b) Lokasi Pengelolaan

c) Hasil pengelolaan yang telah dicapai (bial ada)

d) Rencana pengelolaan
MATRIKS PEMANTAUAN LINGKUNGAN

9. Sumber dampak dan dampak yang ditimbulkan yang selama ini


menjadi masalah yang harus diselesaikan, berikut parameter
pemantauannya

a) Uraikan jenis-jenis dampak yang menjadi masalah selama ini,


berikut parameter pemantauannya.

b) Uraikan sumber dampak

10. Tolok Ukur


Uraikan tolok ukur yang digunakan dalam pemantauan dampak
(misalnya : baku mutu air, baku mutu udara, kriteria-kriteria baku,
kesepakatan-kesepakatan yang diakui). Cantumkan pula nomor Surat
Keputusan atau Peraturan Daerah yang mengatur baku mutu tersebut
dan cantumkan pula angka baku mutu bagi parameter dimaksud
dalam kolom 9.a).

11. Upaya Pemantauan

a) Cara/teknik memantau
Sebutkan cara/teknik pemantauan yang dilaksanakan

b) Lokasi pemantauan

c) Hasil pemantauan yang telah dicapai (bila ada)

d) Rencana pemantauan

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

dr. Panangian Siregar


Lampiran III : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-30/menlh/10/1999
Tanggall : 12 Oktober 1999

DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

1. Penanggung Jawab Kegiatan :

Nama Perusahaan :
Alamat :

2. Lokasi Kegiatan

Wilayah administrasi pemerintahan :

Koordinat : ____0____'____"BT/BB sampai _____0_____'_____"BT/BB


____0____'____"LU/LS sampai _____0_____'_____"LU/LS

Lain-lain :

3. Bidang Usaha/Kegiatan :

Pertahanan dan Keamanan :

Perindustrian :

Pertanian :

Pertambangan dan Energi :

Kehutanan dan Perkebunan :

Pekerjaan Umum :

Perhubungan :

Pariwisata, Seni dan Budaya :

Transmigrasi dan Pemukiman :


Perambah Hutan
Kesehatan :

Dan lain-lain :

4. Masa Beroperasi : ___/___/19___ (tanggal/bulan/tahun)

5. Sarana/Fasilitas yang Dimiliki :

a) Izin :

b) Produksi :

Barang :

Jenis Proses/Tahapan Kapasitas


5.a 5.b 5.c

Jasa :

Jenis Proses/Tahapan Kapasitas


5.a 5.b 5.c

c) Sarana penunjang :

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

dr. Panangian Siregar


Lampiran I : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-14 /MENLH/ 3 /1994
Tanggal : 19 MARET 1994

PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS


DAMPAK LINGKUNGAN (KA-ANDAL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Pengertian
Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan
yang merupakan hasil pelingkupan (PP Nomor 5l Tahun 1993, Pasal 1).

2. Fungsi Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL


a. Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai acuan bagi
penyusunan Pedoman Teknis Penyusunan KA-ANDAL atau sebagai
dasar penyusunan KA-ANDAL bilamana Pedoman Teknis Penyusunan
KA-ANDAL usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum ditetapkan.
b. Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL berlaku pula bagi keperluan
penyusunan AMDAL Kegiatan Terpadu/Multisektor, AMDAL Kawasan,
dan AMDAL Regional.

3. Tujuan dan Fungsi KA-ANDAL


Tujuan Penyusunan KA-ANDAL adalah:
a. Merumuskan lingkup dan kedalaman studi ANDAL;
b. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien
sesuai dengan biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia;
Fungsi Dokumen KA-ANDAL adalah:
a. Sebagai rujukan penting bagi pemrakarsa, instansi yang bertanggung
jawab yang membidangi rencana usaha atau kegiatan, dan penyusun
studi ANDAL tentang lingkup dan kedalaman studi ANDAL yang akan
dilakukan;
b. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilai dokumen ANDAL untuk
mengevaluasi hasil studi ANDAL;
4. Dasar Pertimbangan Penyusunan KA-ANDAL
a. Keanekaragaman
ANDAL bertujuan menduga kemungkinan terjadinya dampak dari
suatu rencana usaha atau kegiatan terhadap lingkungan. Rencana
usaha atau kegiatan dan rona lingkungan pada umumnya sangat
beranekaragam. Rencana usaha atau kegiatan bermacam ragam
menurut bentuknya, ukuran, tujuannya, sasarannya, dan sebagainya.
Demikian pula rona Lingkungan akan berbeda menurut letak geografi,
keanekaan faktor lingkungan, pengaruh manusia, dan sebagainya.
Karena itu, tata kaitan antara keduanya tentu akan sangat bervariasi
pula.
Kemungkinan timbulnya dampak lingkungan pun akan berbeda-beda.
Dengan demikian KA-ANDAL diperlukan untuk memberikan arahan
tentang komponen usaha atau kegiatan manakah yang harus ditelaah,
dan komponen lingkungan manakah yang perlu diamati selama
menyusun ANDAL.
b. Keterbatasan sumber daya
Penyusunan ANDAL acap kali dihadapkan pada keterbatasan sumber
daya, keterbatasan waktu, dana, tenaga, metode, dan sebagainya.
KA-ANDAL memberikan ketegasan tentang bagaimana menyesuaikan
tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam keterbatasan sumber daya
tersebut tanpa mengurangi mutu pekerjaan ANDAL. Dalam KA-ANDAL
ditonjolkan upaya untuk menyusun prioritas manakah yang harus
diutamakan agar tujuan ANDAL dapat terpenuhi meski sumber daya
terbatas.
c. Efisiensi
Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan ANDAL perlu
dibatasi pada faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan
kebutuhan. Dengan cara ini ANDAL dapat dilakukan secara elisien.
Penentuan masukan berupa data dan informasi yang amat relevan ini
kemudian disusun dan dirumuskan dalam KA-ANDAL.

5. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Penyusunan KA-ANDAL


Pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL
adalah pemrakarsa, instansi yang bertanggung jawab, dan (calon)
penyusun studi ANDAL. Namun dalam pelaksanaan penyusunan KA-
ANDAL (proses pelingkupan) harus senantiasa melibatkan para pakar
serta masyarakat yang berkepentingan sesuai Pasal 22 PP Nomor 51
tahun 1993 tentang AMDAL.
KA-ANDAL ini merupakan dokumen penting untuk memberikan rujukan
tentang kedalaman studi ANDAL yang akan dicapai.
6. Pemakai Hasil ANDAL dan Hubungannya Dengan Penyusunan KA-ANDAL
Menurut Pasal 6 PP. Nomor 51 tahun 1993, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha
atau kegiatan.
Hasil studi kelayakan ini tidak hanya berguna untuk para perencana,
tetapi yang terpenting adalah juga bagi pengambil keputusan. Karena itu,
dalam menyusun KA-ANDAL untuk suatu ANDAL perlu dipahami bahwa
hasilnya nanti akan merupakan bagian dan studi kelayakan yang akan
digunakan oleh pengambil keputusan dan perencana.
Sungguhpun demikian, berlainan dengan bagian Studi Kelayakan yang
menggarap faktor penunjang dan penghambat terlaksananya suatu usaha
atau kegiatan ditinjau dan segi ekonomi dan teknologi, ANDAL lebih
menunjukkan pendugaan dampak yang bisa ditimbulkan oleh usaha atau
kegiatan tersebut terhadap lingkungan.
Karena itu, penyusun KA-ANDAL perlu mengikuti diagram alir penyusunan
ANDAL di bawah ini sehingga akhirnya dapat memberikan masukan yang
diperlukan oleh perencana dan pengambil keputusan:
7. Wawasan KA-ANDAL
Dokumen KA-ANDAL harus mencerminkan secara jelas dan tegas
wawasan lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan
suatu rencana usaha atau kegiatan. Sehubungan dengan hal tersebut,
ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
a. Dokumen KA-ANDAL harus menampung berbagai aspirasi tentang hal-
hal yang dianggap penting untuk ditelaah dalam studi ANDAL menurut
pihak-pihak yang terlibat.
b. Mengingat AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan, maka dalam
studi ANDAL perlu ditelaah dan dievaluasi alternatif dari suatu rencana
usaha atau kegiatan yang dipandang layak baik dari segi lingkungan,
teknis maupun ekonomis sebagai upaya untuk mencegah timbulnya
dampak negatif yang lebih besar;
c. Mengingat kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya
mengubah lingkungan, maka menjadi penting untuk memperhatikan
komponen-komponen lingkungan yang berciri:
1) Komponen lingkungan yang ingin dipertahankan dan dijaga serta
dilestarikan fungsinya, misal:
- Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Cagar Biosfer
- Sumberdaya air
- Keanekaragaman hayati
- Kualitas Udara
- Warisan alam dan warisan budaya
- Kenyamanan lingkungan
- Nilai-nilai budaya yang berorientasi selaras dengan lingkungan
2) Komponen lingkungan yang akan berubah secara mendasar dan
perubahan tersebut dianggap penting oleh masyarakat disekitar
suatu rencana usaha atau kegiatan, misal:
- Pemilikan dan penguasaan lahan
- Kesempatan kerja dan usaha
- Taraf hidup masyarakat
- Kesehatan masyarakat
d. Pada dasarnya dampak lingkungan yang diakibatkan oleh suatu
rencana usaha atau kegiatan tidak berdiri sendiri, satu sama lain
memiliki keterkaitan dan ketergantungan. Hubungan sebab akibat ini
perlu dipahami sejak dini dalam proses penyusunan KA-ANDAL agar
studi ANDAL dapat berjalan lebih terarah dan sistematis.
Keempat faktor tersebut harus menjadi bagian integral dalam
penyusunan KA-ANDAL terutama dalam proses pelingkupan.

8. Proses Pelingkupan
Pelingkupan merupakan suatu proses awal (dini) untuk menentukan
lingkup permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting (hipotetis)
yang terkait dengan rencana usaha atau kegiatan.
Pelingkupan merupakan proses terpenting dalam penyusunan KA-ANDAL
karena melalui proses ini dapat dihasilkan :
a. Dampak penting terhadap lingkungan yang dipandang relevan untuk
ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL dengan meniadakan
hal-hal atau komponen lingkungan yang dipandang kurang atau
penting ditelaah;
b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan:
batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif.
c. Kedalaman studi ANDAL yang antara lain mencakup metoda yang
digunakan, jumlah sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang
dibutuhkan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia (dana dan
waktu).
Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dan studi
ANDAL yang akan dilakukan.

a. Pelingkupan Dampak Penting


Pelingkupan dampak penting dilakukan melalui serangkaian proses berikut:
1) Identifikasi dampak potensial
Pada tahap ini kegiatan pelingkupan dimaksudkan untuk mengidentifikasi
segenap dampak lingkungan (primer, sekunder, dan seterusnya) yang
secara potensial akan timbul sebagai akibat adanya rencana usaha atau
kegiatan.
Pada tahapan ini hanya diinventariasasi dampak potensial yang mungkin
akan timbul tanpa memperhatikan besar/kecilnya dampak, atau penting
tidaknya dampak. Dengan demikian pada tahap ini belum ada upaya
untuk menilai apakah dampak potensial tersebut merupakan dampak
penting.
Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil konsultasi
dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi yang
bertanggungjawab, masyarakat yang berkepentingan serta dilengkapi
dengan hasil pengamatan lapangan (observasi). Selain itu identifikasi
dampak potensial juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode
identifikasi dampak yang terdiri atas:
- daftar uji (sederhana, kuesioner, deskriptif)
- matrik interaksi sederhana
- bagan alir (flowchart)
- penelaahan pustaka
- pengamatan lapangan
- analisis isi (Content analysis)
- interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brain storming, dan lain-lain).
Untuk jelasnya proses pelaksanaan pelingkupan dapat mempelajari
Panduan Pelingkupan Untuk Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL sesuai
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-30/ MENKLH/7/1992.
2) Evaluasi dampak potensial
Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk menghilangkan/meniadakan
dampak potensial yang dianggap tidak relevan atau tidak penting,
sehingga diperoleh daftar dampak penting hipotetis yang dipandang perlu
dan relevan untuk ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL. Daftar
dampak penting ini disusun berdasarkan pertimbangan atas hal-hal yang
dianggap penting oleh masyarakat di sekitar rencana usaha atau
kegiatan, instansi yang bertanggung jawab, dan para pakar. Pada tahap
ini daftar dampak penting hipotetis yang dihasilkan belum tertata secara
sistematis.
Metoda yang digunakan pada tahap ini adalah interaksi kelompok (rapat,
lokakarya, brain storming). Kegiatan identifikasi dampak penting ini
terutama dilakukan oleh pemrakarsa usaha atau kegiatan (yang dalam
hal ini dapat diwakili oleh konsultan penyusun ANDAL), dengan
mempertimbangkan hasil konsultasi dan diskusi dengan instansi yang
bertanggungjawab serta masyarakat yang berkepentingan.
3) Pemusatan dampak penting (Focussing)
Pelingkupan yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk
mengelompokkan/mengorganisir dampak penting yang telah dirumuskan
dari tahap sebelumnya dengan maksud agar diperoleh isu-isu pokok
lingkungan yang dapat mencerminkan atau menggambarkan secara utuh
dan lengkap perihal :
- Keterkaitan antara rencana usaha atau kegiatan dengan komponen
lingkungan yang mengalami perubahan mendasar (dampak penting);
- Keterkaitan antar berbagai komponen dampak penting yang telah
dirumuskan.
Isu-isu pokok lingkungan tersebut dirumuskan melalui 2 (dua) tahapan.
Pertama, segenap dampak penting dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok menurut keterkaitannya satu sama lain. Kedua, dampak
penting yang berkelompok tersebut selanjutnya diurut berdasarkan
kepentingannya, baik dari ekonomi, sosial, maupun ekologis.

b. Pelingkupan Wilayah Studi


Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi luas
wilayah studi ANDAL sesuai hasil pelingkupan dampak penting, dan
dengan memperhatikan keterbatasan sumberdaya, waktu dan tenaga.
Lingkup wilayah studi ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan
batas-batas ruang sebagai berikut:
1) Batas Proyek
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana
usaha atau kegiatan akan melakukan kegiatan pra konstruksi, konstruksi
dan operasi. Dari ruang rencana usaha atau kegiatan inilah bersumber
dampak terhadap lingkungan disekitarnya, termasuk dalam hal ini
alternatif lokasi rencana usaha atau kegiatan.
2) Batas Ekologis
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak
dari suatu rencana usaha atau kegiatan menurut media transportasi
limbah (air, udara) dimana proses alami yang berlangsung di dalam ruang
tersebut diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar. Termasuk
dalam ruang ini adalah ruang disekitar rencana usaha atau kegiatan yang
secara ekologis memberi dampak terhadap aktivitas usaha atau kegiatan.
3) Batas Sosial
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar rencana usaha
atau kegiatan yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi
sosial yang mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan
(termasuk sistem dan struktur sosial), sesuai dengan proses dinamika
sosial suatu kelompok masyarakat, yang diperkirakan akan mengalami
perubahan mendasar akibat suatu rencana usaha atau kegiatan.
Batas sosial ini sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam studi
ANDAL, mengingat adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
kehidupan sosial ekonomi dan budayanya akan mengalami perubahan
mendasar akibat aktivitas usaha atau kegiatan. Mengingat dampak
lingkungan yang ditimbulkan oleh suatu rencana usaha atau kegiatan
menyebar tidak merata, maka batas sosial mencakup kelompok-kelompok
masyarakat yang terkena dampak positif dan yang terkena dampak
negatif penting.
4) Batas Administratif
Yang dimaksud dengan batas administrasi adalah ruang dimana
masyarakat dapat secara leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan
sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di dalam ruang tersebut.
Batas ruang tersebut dapat berupa batas administrasi pemerintahan atau
batas konsesi pengelolaan sumberdaya oleh suatu usaha atau kegiatan
(misal, batas HPH, batas kuasa pertambangan).
Dengan memperhatikan batas-batas tersebut di atas dan
mempertimbangkan kendala-kendala teknis yang dihadapi (dana, waktu,
dan tenaga), maka akan diperoleh ruang lingkup wilayah studi yang
dituangkan dalam peta dengan skala yang memadai.
5) Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL, yakni ruang yang merupakan
kesatuan dari keempat wilayah di atas, namun penentuannya disesuaikan
dengan kemampuan pelaksana yang biasanya memiliki keterbatasan
sumber daya, seperti waktu, dana, tenaga, tehnik, dan metode telaahan.
Dengan demikian, ruang lingkup wilayah studi memang bertitik tolak
pada ruang bagi rencana usaha atau kegiatan, kemudian diperluas ke
ruang ekosistem, ruang sosial dan ruang administratif yang lebih luas.
B. PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya studi ANDAL
ditinjau dari :
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Kebijaksanaan pelaksanaan pengelolaan lingkungan;
c. Kaitan rencana usaha atau kegiatan dengan dampak penting yang
mungkin ditimbulkan;
1.2 Tujuan dan Kegunaan Studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL adalah:
a. Mengidentifikasikan rencana usaha atau kegiatan terutama yang
berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan;
b. Mengidentifikasikan rona lingkungan hidup terutama yang akan
terkena dampak penting;
c. Memprakirakan dampak dan mengevaluasi dampak penting
lingkungan;
Kegunaan studi ANDAL adalah untuk:
a. Membantu pengambilan keputusan dalam pemilikan alternatif
yang layak dari segi lingkungan;
b. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam tahap
perencanaan rinci dari suatu usaha atau kegiatan;
c. Sebagai pedoman untuk kegiatan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan.

II. Ruang Lingkup Studi


2.1 Lingkup Ruang Usaha atau Kegiatan yang Akan Ditelaah
- Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha atau kegiatan
penyebab dampak.
- Komponen usaha atau kegiatan yang ditelaah yang berkaitan
dengan dampak yang ditimbulkannya.
2.2 Lingkup Rona Lingkungan Hidup Awal
- Uraikan dengan singkat mengenai rona lingkungan yang terkena
dampak.
- Komponen lingkungan yang ditelaah karena terkena dampak
2.3 Lingkup Wilayah Studi
Wilayah studi ini mencakup : wilayah proyek, ekologis, sosial, dan
administratif dengan resultantenya adalah wilayah teknis yang
merupakan wilayah studi ANDAL.

III. Metoda Studi


3.1 Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Pada bagian ini diutarakan metode pengumpulan dan analisis data
baik data primer dan atau sekunder yang sahih dan dapat dipercaya
(reliabel) untuk digunakan :
a. menelaah, mengukur, dan mengamati komponen lingkungan
yang diperkirakan terkena dampak penting.
b. menelaah, mengukur, dan mengamati komponen rencana usaha
atau kegiatan yang diperkirakan mendapat dampak penting dari
lingkungan sekitarnya.
3.2. Metode Prakiraan Dampak dan Penentuan Dampak Penting
Pada bagian ini diutarakan metode yang digunakan dalam studi
ANDAL untuk memprakirakan besarnya dampak lingkungan, dan
penentuan sifat pentingnya dampak. Penggunaan metoda formal dan
non formal dalam memprakirakan dampak penting perlu diuraikan
secara jelas untuk setiap komponen lingkungan yang diperkirakan
akan terkena dampak penting.
3.3 Metode Evaluasi Dampak
Pada bagian ini diuraikan metode yang lazim digunakan dalam studi
ANDAL untuk mengevaluasi dampak penting usaha atau kegiatan
terhadap lingkungan secara holistik untuk digunakan sebagai:
a. dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan dan berbagai
alternatif usaha atau kegiatan.
b. arah pengelolaan dampak penting lingkungan yang ditimbulkan.

IV. Pelaksanaan Studi


4.1 Tim Studi
Pada bagian ini dicantumkan jumlah dan jenis tenaga ahli yang diperlukan
dalam studi ANDAL sesuai dengan lingkup studi ANDAL.
4.2 Biaya Studi
Pada bagian ini diuraikan sekurang-kurangnya rincian jenis-jenis biaya
yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi ANDAL.
4.3 Waktu Studi
Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL
sejak tahap persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi yang
bertanggung jawab.

V. Daftar Pustaka
Pada bagian ini diutarakan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen KA-ANDAL.

VI. Lampiran
Apabila dipandang perlu butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL agar
dilampirkan dalam dokumen KA-ANDAL. Disamping itu harus dilampirkan
pula Biodata Personil Penyusun ANDAL.
Lampiran II : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-14 /MENLH/ 3 /1994
Tanggal : 19 MARET 1994

PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN


(ANDAL)

A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan
mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha atau kegiatan
(PP. Nomor 51 tahun 1993 Pasal 1).
2. Fungsi dan Pedoman Umum Penyusunan Dokumen ANDAL
a. Pedoman Umum Penyusunan ANDAL digunakan sebagai acuan bagi
penyusunan Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL atau sebagai dasar
penyusunan ANDAL, bilamana Pedoman Teknis Penyusunan ANDAL
usaha atau kegiatan yang bersangkutan belum ditetapkan.
b. Pedoman Umum Penyusunan ANDAL berlaku pula bagi keperluan
penyusunan AMDAL kegiatan Terpadu/Multisektor, AMDAL Kawasan,
dan AMDAL Regional.

B. PENYUSUNAN DOKUMEN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL)


RINGKASAN
Ringkasan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) perlu disusun
sedemikian rupa, sehingga dapat:
1. langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi
pengambilan keputusan, perencana, dan pengelola rencana usaha
atau kegiatan;
2. mudah dipahami isinya oleh semua pihak, termasuk masyarakat, dan
mudah disarikan isinya bagi pemuatan dalam media masa, bila
dipandang perlu;
3. memuat uraian singkat tentang:
a. Rencana usaha atau kegiatan dengan berbagai kemungkinan
dampak pentingnya. Baik pada tahap pra konstruksi, konstruksi
maupun pasca konstruksi (operasi dan pengelolaan).
b. Keterangan mengenai kemungkinan adanya kesenjangan data
informasi serta berbagai kekurangan dan keterbatasan, yang
dihadapi selama menyusun ANDAL.
c. Hal lain yang dipandang sangat perlu untuk melengkapi ringkasan.
BAB I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan mencakup:
1. Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya studi ANDAL ditinjau
dari:
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup
c. Kaitan rencana usaha atau kegiatan dengan dampak penting yang
ditimbulkan.

2. Tujuan Studi
a. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL adalah:
1) Mengidentifikasi rencana usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan.
2) Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang akan
terkena dampak penting.
3) Memprakirakan dan mengevaluasi rencana usaha atau kegiatan yang
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
b. Kegunaan
Kegunaan studi ANDAL adalah untuk:
1) bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
2) membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan
lingkungan dan rencana usaha atau kegiatan
3) memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana
usaha atau kegiatan
4) memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan dari rencana usaha atau kegiatan
5) memberi informasi bagi masyarakat untuk dapat memanfaatkan
dampak positif dan menghindari dampak negatif yang akan
ditimbulkan dari suatu rencana usaha atau kegiatan.

BAB II METODA STUDI


Bab Metoda Studi mencakup tentang dampak penting yang ditelaah, wilayah
studi, metoda pengumpulan dan analisis data, metoda prakiraan dampak
penting, serta metoda evaluasi dampak penting.
Masing-masing butir yang diuraikan pada Bab Metoda Studi ini disusun
dengan mengacu pada hal-hal yang tertuang dalam dokumen Kerangka
Acuan.

1. Dampak Penting yang Ditelaah


a) Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha atau kegiatan penyebab
dampak, terutama komponen usaha atau kegiatan yang berkaitan
langsung dengan dampak yang ditimbulkannya.
b) Uraikan dengan singkat mengenai rona lingkungan yang terkena dampak,
terutama komponen lingkungan yang langsung terkena dampak
c) Aspek-aspek yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 1 a) dan b)
dimaksud mengacu pada hasil pelingkupan yang tertuang dalam dokumen
Kerangka Acuan untuk ANDAL.

2. Wilayah Studi
Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan
wilayah studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil
pengamatan di lapangan. Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan
pada peta dengan skala yang memadai.

3. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data


a) Mengingat studi ANDAL merupakan telaahan mendalam atas dampak
penting usaha atau kegiatan terhadap lingkungan, maka jenis data yang
dikumpulkan baik data primer maupun sekunder harus bersifat sahih dan
dapat dipercaya (reliable) yang diperoleh melalui metoda atau alat yang
bersifat sahih.
b) Uraian secara jelas tentang metoda atau alat yang digunakan, serta lokasi
pengumpulan data berbagai komponen lingkungan yang diteliti
sebagaimana dimaksud pada Bab II butir 1 .b. Lokasi pengumpulan data
agar dicantumkan dalam peta dengan skala memadai.
c) Pengumpulan data untuk demografi, sosial ekonomi, sosial budaya, dan
kesehatan masyarakat, sejauh mungkin menggunakan kombinasi tiga
metoda (metoda triangulasi: studi pustaka, survai data sekunder,
pengamatan/ pemeriksaan) agar diperoleh data yang reliabilitasnya
tinggi.
d) Uraian secara jelas tentang metode atau alat yang digunakan dalam
analisis data.
4. Metoda Prakiraan Dampak Penting
Uraian secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk memprakirakan
besar dampak usaha atau kegiatan terhadap komponen lingkungan yang
dimaksud pada butir II.1.b. Penggunaan metoda formal dan non formal
dalam memprakirakan dampak penting agar diuraikan secara jelas untuk
setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak
penting.

5. Metoda Evaluasi Dampak Penting


Uraian singkat tentang metoda evaluasi dampak yang digunakan dalam
studi, yakni dengan menggunakan Pedoman Mengenai Ukuran Dampak
Penting sesuai dengan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor: KEP-056 TAHUN
1994 untuk menelaah dampak penting usaha atau kegiatan terhadap
lingkungan secara holistik, yang menjadi dasar untuk menelaah kelayakan
lingkungan dan alternatif usaha atau kegiatan.

BAB III RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN


1. Identitas Pemrakarsa dan Penyusun ANDAL
Isi uraian mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL terdiri dari:
a) Pemrakarsa:
1) Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa
rencana usaha atau kegiatan.
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana
usaha atau kegiatan.
b) Penyusun ANDAL:
1) Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan
kualifikasi dan rujukannya:
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun ANDAL.

2. Tujuan Rencana Usaha atau Kegiatan


Pernyataan tentang maksud dan tujuan dari rencana usaha atau kegiatan.
Tujuan rencana usaha atau kegiatan ini perlu dikemukakan secara
sistematis dan tidak terarah.

3. Kegunaan dan Keperluan Rencana Usaha atau Kegiatan


Uraian yang memuat tentang kegunaan dan keperluan mengapa rencana
usaha atau kegiatan harus dilaksanakan, baik ditinjau dari segi
kepentingan pemrakarsa maupun dari segi menunjang program
pembangunan.
a) Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh
rencana usaha atau kegiatan harus dinyatakan dalam peta berskala
memadai, dan dapat memperlihatkan hubungan tata kaitan dan tata
letak antara lokasi rencana dengan usaha atau kegiatan lainnya,
seperti pemukiman (lingkungan binaan manusia umumnya), dan
lingkungan hidup alami yang terdapat di sekitar rencana usaha atau
kegiatan. Hutan lindung, cagar alam, suaka alam, suaka marga-satwa,
sumber mata air, sungai, dan kawasan lindung lainnya yang terletak
dekat lokasi rencana usaha atau kegiatan harus diberikan tanda
istimewa dalam peta.
b) Hubungan antara lokasi rencana usaha atau kegiatan dengan jarak
dan tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati
dan, sumber daya alam nonhayati serta sumber daya manusia yang
diperlukan oleh rencana usaha atau kegiatan setelah usaha atau
kegiatan ini beroperasi. Hubungan ini perlu dikemukakan dalam peta
dengan skala memadai.
c) Alternatif usaha atau kegiatan berdasarkan hasil studi kelayakan
(misal : alternatif lokasi, tata letak bangunan atau sarana pendukung,
atau teknologi proses produksi). Bila berdasarkan studi kelayakan
terdapat beberapa alternatif lokasi usaha atau kegiatan; maka berikan
uraian tentang masing-masing alternatif lokasi tersebut sebagaimana
dimaksud pada butir a dan b.
d) Tata letak usaha atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang berskala
memadai, yang memuat informasi tentang letak bangunan dan
struktur lainnya yang akan dibangun dalam lokasi rencana usaha atau
kegiatan, serta hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan
bangunan yang sudah ada di sekitar rencana usaha atau kegiatan
(jalan raya, jalan kereta api, dermaga dan sebagainya). Bila terdapat
beberapa alternatif tata letak bangunan dan struktur lainnya, maka
alternatif rancangan tersebut diutarakan pula dalam peta yang
berskala memadai.
e) Tahap pelaksanaan rencana usaha atau kegiatan. Jadwal pelaksanaan
usaha atau kegiatan tahap konstruksi, jangka waktu masa operasi,
hingga rencana waktu pasca operasi.
1) Tahap Pra-konstruksi/persiapan
Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan dan jadwal usaha atau
kegiatan pada tahap pra konstruksi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada usaha atau kegiatan yang menjadi penyebab
timbulnya dampak penting terhadap lingkungan.
2) Tahap Konstruksi
(a) Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan dan jadwal usaha
atau kegiatan pada tahap konstruksi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada usaha atau kegiatan yang menjadi penyebab
timbulnya dampak penting terhadap lingkungan. Misalnya:
(1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah, tempat
asal tenaga kerja, dan kualifikasi pendidikan.
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan,
listrik, air) dari rencana usaha atau kegiatan.
(3) Kegiatan penimbunan bahan atau material yang dapat
menimbulkan dampak lingkungan.
(b) Uraian tentang usaha atau kegiatan pembangunan unit atau
sarana pengendalian dampak (misal : unit pengolahan
limbah), bila unit atau sarana dimaksud direncanakan akan
dibangun oleh pemrakarsa. Disamping itu, bila ada, utarakan
pula upaya-upaya untuk mengatasi berbagai masalah
lingkungan yang timbul selama masa konstruksi.
(c) Uraian tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas
material/bahan, gudang, jalan darurat dan lain-lain setelah
usaha atau kegiatan konstruksi berakhir.
3) Tahap Operasi
(a) Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan dan jadwal usaha
atau kegiatan pada tahap operasi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada usaha atau kegiatan yang menjadi penyebab
timbulnya dampak penting terhadap lingkungan. Misalnya:
(1) Jumlah dan jenis bahan baku yang digunakan dalam
proses produksi yang mungkin menimbulkan dampak
penting lingkungan (misal : pestisida serta bahan
berbahaya dan beracun lainnya). Perlu juga diuraikan
neraca air (water balance) bila usaha atau kegiatan yang
akan dibangun menggunakan air yang banyak.
(2) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga kerja,
dan kualifikasi pendidikan tenaga kerja yang akan diserap
langsung oleh rencana usaha atau kegiatan pada tahap
operasi.
(3) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya atau
masalah selama operasi baik yang bersifat fisik maupun
sosial.
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan
dilaksanakan selama masa operasi. Termasuk dalam hal ini
rencana pengoperasian unit atau sarana pengendalian dampak
yang telah dibangun pada masa konstruksi.
4) Tahap Pasca Operasi
Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan dan jadwal usaha atau
kegiatan pada tahap pasca operasi. Misalnya:
(a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan
bahan/material, bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan
sebagainya.
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan
dilaksanakan setelah masa operasi berakhir.
(c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha atau
kegiatan untuk tujuan lain bila seluruh rencana usaha atau
kegiatan berakhir.
(d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa
usaha atau kegiatan berakhir.

BAB IV RONA LINGKUNGAN HIDUP


Dalam bab ini hendaknya dikemukakan informasi lingkungan selengkap
mungkin mengenai:
1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan,
harus mengungkapkan secara mendalam komponen- komponen
lingkungan yang berpotensi terkena dampak penting usaha atau kegiatan.
Selain itu komponen lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan
ekonomis perlu mendapat perhatian.
2) Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber daya alam yang
ada di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan, baik yang sudah atau
yang akan dimanfaatkan maupun yang masih dalam bentuk potensi.
Penyajian kondisi sumber daya alam ini perlu dikemukakan dalam peta
dan atau tabel dengan skala memadai dan bila perlu harus dilengkapi
dengan diagram, gambar, grafik atau foto.
3) Data dan informasi rona lingkungan hidup
Uraian secara singkat rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana
usaha atau kegiatan. Rona lingkungan hidup yang diuraikan pada butir ini
agar dibatasi pada komponen- komponen lingkungan yang berkaitan
dengan, atau berpotensi terkena dampak penting.
Berikut ini adalah beberapa contoh komponen lingkungan hidup yang
dapat dipilih untuk ditelaah sesuai hasil pelingkupan dalam KA-ANDAL.
Penyusun dapat menelaah komponen lingkungan yang lain di luar dari
daftar contoh komponen ini bila dianggap penting berdasarkan hasil
penilaian lapangan dalam studi ANDAL ini.
a. Fisik-Kimia
1) Iklim
(a) Komponen iklim yang perlu diketahui antara lain seperti tipe
iklim, suhu (maksimum, minimum, rata-rata), kelembaban
curah hujan dan jumlah hari hujan, keadaan angin (arah dan
kecepatan), intensitas radiasi matahari.
(b) Data periodik bencana (siklus tahunan, lima tahunan, dan
sebagainya) seperti sering terjadinya angin ribut, banjir
tahunan, banjir bandang di wilayah studi rencana usaha atau
kegiatan.
(c) Data yang tersedia dari stasiun meteorologi dan geofisika yang
mewakili wilayah studi tersebut.
(d) Kualitas udara baik pada sumber maupun daerah sekitar
wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
(e) Pola iklim mikro, pola penyebaran bahan pencemar udara
secara umum maupun pada kondisi cuaca terburuk.
(f) Sumber kebisingan dan getaran, tingkat kebisingan serta
periode kejadiannya.
2) Fisiografi
(a) Topografi bentuk lahan (morphologi), struktur geologi dan
jenis tanah.
(b) Indikator lingkungan yang berhubungan dengan stabilitas
geologis dan stabilitas tanah, terutama ditekankan bila
terdapat gejala ketidakstabilan, dan harus diuraikan dengan
jelas dan seksama (misal longsor tanah, gempa, sesar,
kegiatan-kegiatan vulkanis, dan sebagainya).
(c) Keunikan, keistimewaan, dan kerawanan bentuk lahan dan
batuan secara geologis.
3) Hidrologi
(a) Karakteristik fisik sungai, danau, rawa (rawa pasang surut,
rawa air tawar).
(b) Rata-rata debit dekade, bulanan, tahunan.
(c) Kadar sedimentasi (lumpur), tingkat erosi.
(d) Kondisi fisik daerah resapan air permukaan dan air tanah.
(e) Fluktuasi dan potensi air tanah (dangkal dan dalam).
(f) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk air
minum, mandi, cuci.
(g) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk
keperluan lainnya seperti pertanian, industri, dan lain-lain.
(h) Kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi air mengacu pada baku
mutu dan parameter kualitas air yang terkait dengan limbah
yang akan keluar.
4) Hidrooseanografi
Pola hidrodinamika kelautan seperti pasang surut, arus dan
gelombang/ombak, morfologi pantai, abrasi dan akresi yang terjadi
secara alami di daerah penelitian.
5) Ruang, Lahan, dan Tanah
(a) Inventarisasi tata guna lahan dan sumber daya lainnya pada saat
rencana usaha atau kegiatan diajukan dan kemungkinan potensi
pengembangannya di masa datang.
(b) Rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang, rencana tata
guna tanah, dan sumberdaya alam lainnya yang secara resmi atau
belum resmi disusun oleh Pemerintah setempat baik di tingkat
kabupaten, proplnsi atau nasional di wilayah studi rencana usaha
atau kegiatan.
(c) Kemungkinan adanya konflik atau pembatasan yang timbul antara
rencana tata guna tanah dan sumber daya alam lainnya yang
sekarang berlaku dengan adanya pemilikan/penentuan lokasi bagi
rencana usaha atau kegiatan.
(d) Inventarisasi nilai estetika dan keindahan bentang alam serta daerah
rekreasi yang ada di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.

b. Biologi
1) Flora
(a) Peta zona biogeoklimatik dan vegetasi alami yang meliputi tipe
vegetasi, sifat-sifat dan kerawanannya yang berada dalam
wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
(b) Uraian tentang jenis-jenis vegetasi dan ekosistem yang
dilindungi undang-undang yang berada dalam wilayah studi
rencana usaha atau kegiatan.
(c) Uraian tentang keunikan dari vegetasi dan ekosistemnya yang
berada pada wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
2) Fauna
(a) Taksiran kelimpahan dan keragaman fauna, habitat,
penyebaran, pola migrasi, populasi hewan budidaya (ternak)
serta satwa dan habitatnya yang dilindungi undang-undang
dalam wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
(b) Taksiran penyebaran dan kepadatan populasi hewan
invertebrata yang dianggap penting karena memiliki peranan
dan potensi sebagai bahan makanan, atau sumber hama dan
penyakit.
(c) Perikehidupan hewan penting di atas, termasuk cara
perkembangbiakan, siklus dan neraca hidupnya, cara
pemijahan, cara bertelur dan beranak, cara memelihara
anaknya, perilaku dalam daerah dan teritorinya.

c. Sosial
Komponen sosial yang penting untuk ditelaah diantaranya:
1. Demografi
(a) Struktur penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin,
mata pencaharian, pendidikan, dan agama.
(b) Tingkat kepadatan dan sebaran kepadatan penduduk.
(c) Angkatan kerja produktif.
(d) Tingkat kelahiran.
(e) Tingkat kematian kasar.
(f) Tingkat kematian bayi.
(g) Pola perkembangan penduduk.
2. Ekonomi
(a) Kesempatan kerja dan berusaha
(b) Pola pemilikan dan penguasaan sumberdaya alam
(c) Tingkat pendapatan penduduk
(d) Prasarana dan sarana perekonomian (jalan, pasar, pelabuhan,
perbankan, pusat pertokoan)
(e) Pola pemanfaatan sumberdaya alam
3. Budaya
(1) Pranata sosial atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
tumbuh di kalangan masyarakat.
(2) Adat istiadat dan pola kebiasaan yang berlaku.
(3) Proses sosial (kerjasama, akomodasi, konflik) di kalangan
masyarakat
(4) Akulturasi, asimilasi, dan integrasi dari berbagai kelompok
masyarakat
(5) Kelompok-kelompok dan organisasi sosial
(6) Pelapisan sosial di kalangan masyarakat
(7) Perubahan sosial yang tengah berlangsung di kalangan
masyarakat
(8) Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau
kegiatan.
d. Kesehatan Masyarakat
(1) Insidensi dan prevalensi penyakit yang terkait dengan rencana
usaha atau kegiatan
(2) Sanitasi lingkungan, khususnya ketersediaan air bersih (cakupan
pelayanannya)
(3) Status gizi dan kecukupan pangan
(4) Jenis dan jumlah fasilitas kesehatan
(5) Cakupan pelayanan tenaga dokter dan paramedis

BAB V PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Dalam Bab ini hendaknya dimuat:
1. Prakiraan secara cermat dampak usaha atau kegiatan pada saat pra
konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi terhadap lingkungan.
Telaahan ini dilakukan dengan cara menganalisis perbedaan antara
kondisi kualitas lingkungan yang diprakirakan dengan adanya usaha atau
kegiatan, dan kondisi kualitas lingkungan yang diprakirakan tanpa adanya
usaha atau kegiatan dengan menggunakan metode prakiraan dampak.
2. Penentuan arti penting perubahan kualitas lingkungan yang diprakirakan
bagi masyarakat di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan, dan
pemerintah; dengan mengacu pada Pedoman Mengenai Ukuran Dampak
Penting.
3. Dalam melakukan telaahan butir 1 dan 2 tersebut perlu diperhatikan
dampak yang bersifat langsung dan atau tidak langsung. Dampak
langsung adalah dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh adanya
usaha atau kegiatan. Sedang dampak tidak langsung adalah dampak
yang timbul sebagai akibat berubahnya suatu komponen lingkungan dan
atau usaha atau kegiatan primer oleh adanya rencana usaha atau
kegiatan. Dalam kaitan ini maka perlu diperhatikan mekanisme aliran
dampak pada berbagai komponen lingkungan sebagai berikut:
a) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
komponen sosial.
b) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
komponen fisik-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian dampak
lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial.
c) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
aspek fisik-kimia dan selanjutnya membangkitkan dampak pada
komponen sosial.
d) Dampak penting berlangsung saling berantai diantara komponen sosial
itu sendiri.
e) Dampak penting pada butir a,b,c, dan d yang telah diutarakan
selanjutnya menimbulkan dampak balik pada rencana usaha atau
kegiatan.
4. Mengingat usaha atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif usaha atau kegiatan (lokasi, atau teknologi yang digunakan),
sehubungan dengan AMDAL merupakan komponen dari studi kelayakan,
maka telaahan sebagaimana dimaksud pada butir V.1 dan V.2. dilakukan
untuk masing-masing alternatif.

BAB VI EVALUASI DAMPAK PENTING


Dalam Bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak
penting dari rencana usaha atau kegiatan.
Hasil evaluasi ini selanjutnya menjadi masukan bagi instansi yang berwenang
untuk memutuskan kelayakan lingkungan dari rencana usaha atau kegiatan,
sebagaimana dimaksud dalam PP. Nomor 51 Tahun 1993.

1. Telaahan Terhadap Dampak Penting


a. Telaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan yang
diprakirakan mengalami perubahan mendasar sebagaimana dikaji
pada Bab V, dengan menggunakan kriteria dalam Pedoman Mengenai
Ukuran Dampak Penting sesuai dengan Keputusan Kepala BAPEDAL
Nomor KEP- 056 TAHUN 1994.
b. Yang dimaksud dengan evaluasi dampak yang bersifat holistik adalah
telaahan secara totalitas terhadap beragam dampak penting
lingkungan yang dimaksud pada Bab V, dengan sumber usaha atau
kegiatan penyebab dampak. Beragam komponen lingkungan yang
terkena dampak penting tersebut (baik positif maupun negatif)
ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling
pengaruh-mempengaruhi, sehingga diketahui sejauh mana
“perimbangan” dampak penting yang bersifat positif dengan yang
bersifat negatif.
c. Dampak-dampak penting yang dihasilkan dari evaluasi disajikan
sebagai dampak-dampak penting yang harus dikelola.

2. Telaahan Sebagai Dasar Pengelolaan


a. Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha atau kegiatan
dan rona lingkungan hidup dengan dampak positif dan negatif yang
mungkin timbul. Misalnya, mungkin saja dampak penting timbul dari
rencana usaha atau kegiatan terhadap rona lingkungan, karena
rencana usaha atau kegiatan itu dilaksanakan di suatu lokasi yang
terlalu padat manusia, atau pada tingkat pendapatan dan pendidikan
yang terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak sesuai dan
sebagainya.
b. Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas, dalam
arti apakah dampak penting baik positif atau negatif akan berlangsung
terus selama rencana usaha atau kegiatan itu berlangsung nanti. Atau
antara dampak-dampak satu dengan dampak yang lainnya akan
terdapat hubungan timbal balik yang antagonistis atau sinergistis. Bila
mungkin perlu pula diuraikan bilamana ambang batas dampak penting
ini akan mulai timbul setelah rencana usaha atau kegiatan
dilaksanakan atau akan terus berlangsung sejak masa pra-konstruksi
dan akan berakhir bersama selesainya rencana usaha atau kegiatan.
Atau mungkin akan terus berlangsung, umpamanya lebih dari satu
generasi.
c. Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan
kelompok yang akan terkena dampak positif. Identifikasi kesenjangan
antara perubahan yang diinginkan dan perubahan yang mungkin
terjadi akibat usaha atau kegiatan pembangunan.
d. Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena oleh dampak
penting ini apakah hanya akan dirasakan dampaknya secara lokal,
regional, nasional atau bahkan internasional, melewati batas negara
RI. Karena itu, perlu diuraikan pula usulan pengendaliannya ditinjau
dari segi tingkat kemampuan pemerintah untuk bisa mengatasi
dampak negatif dan mengembangkan dampak positif pada tingkat
kecamatan, kabupaten, propinsi, pemerintah tingkat pusat, atau antar
negara.
e. Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha atau kegiatan
berada di dalam daerah bencana alam atau di dekat sumber bencana
alam.

BAB VII DAFTAR PUSTAKA


Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan-
pernyataan penting yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang
mutakhir serta disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang
baku.

BAB VIII LAMPIRAN


Dalam bab ini hendaknya disebut bahan-bahan yang dilampirkan :
1. Surat izin atau rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai
dengan saat ANDAL akan disusun.
2. Surat-surat tanda pengenal, keputusan, kualifikasi, rujukan bagi para
pelaksana dan peneliti serta penyusun analisis dampak lingkungan.
3. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan awal, usulan
rencana usaha atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang
lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan
dampak lingkungan penting yang akan ditimbulkannya.
4. Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tercantum
dalam dokumen.
5. Hal lain yang dipandang perlu atau relevan untuk dimuat dalam lampiran
ini.
Lampiran III : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-14 /MENLH/ 3 /1994
Tanggal : 19 MARET 1994

PEDOMAN UMUM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN (RKL)

A. PENJELASAN UMUM
1. Lingkup Rencana Pengelolaan Lingkungan
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) merupakan dokumen yang
memuat upaya-upaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi
dampak penting lingkungan yang bersifat negatif dan meningkatkan dampak
positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana usaha atau kegiatan.
Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan lingkungan mencakup empat
kelompok aktivitas:
a. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau
mencegah dampak negatif lingkungan melalui pemilihan atas altematif,
tata letak (tata ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek.
b. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menanggulangi,
meminimisasi, atau mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di
saat usaha atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha atau
kegiatan berakhir (misalnya: rehabilitasi lokasi proyek).
c. Pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan dampak positif
sehingga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar
baik kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang
turut menikmati dampak positif tersebut.
d. Pengelolaan lingkungan yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi
lingkungan sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber
daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi
dan atau ekologis) sebagai akibat usaha atau kegiatan.

2. Kedalaman Rencana Pengelolaan Lingkungan


Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan, maka
dokumen RKL hanya akan bersifat memberikan pokok-pokok arahan, prinsip-
prinsip, atau persyaratan untuk pencegahan/penanggulangan/pengendalian
dampak. Bila dipandang perlu dapat dilengkapi dengan acuan literatur
tentang rancang bangun untuk pencegahan/penanggulangan/pengendalian
dampak. Hal ini tidak lain disebabkan karena:
a. Pada taraf studi kelayakan informasi tentang rencana usaha atau kegiatan
(proyek) masih relatif umum, belum memiliki spesifikasi teknis yang rinci,
dan masih memiliki beberapa alternatif. Hal ini tidak lain karena pada
tahap ini memang dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana proyek
dipandang patut atau layak untuk dilaksanakan ditinjau dari segi teknis
dan ekonomi; sebelum investasi, tenaga, dan waktu terlanjur dicurahkan
lebih banyak. Keterbatasan data dan informasi tentang rencana usaha
atau kegiatan ini sudah barang tentu berpengaruh pada bentuk kegiatan
pengelolaan yang dapat dirumuskan dalam dokumen RKL.
b. Pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip, dan persyaratan pengelolaan
lingkungan yang tertuang dalam dokumen RKL selanjutnya akan
diintegrasikan atau menjadi dasar pertimbangan bagi konsultan rekayasa
dalam menyusun rancangan rinci rekayasa.
Disamping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan yang
tertuang dalam dokumen RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL,
dalam arti komponen lingkungan yang dikelola adalah yang hanya
mengalami perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen
ANDAL.

3. Rencana Pengelolaan Lingkungan


Rencana pengelolaan lingkungan dapat berupa pencegahan dan
penanggulangan dampak negatif, serta peningkatan dampak positif yang
bersifat strategis. Rencana pengelolaan lingkungan harus diuraikan secara
jelas, sistematis, serta mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut:
a. Rencana pengelolaan lingkungan memuat pokok-pokok arahan, prinsip-
prinsip, pedoman, atau persyaratan untuk mencegah, menanggulangi,
mengendalikan atau meningkatkan dampak penting baik negatif maupun
positif yang bersifat strategis; dan bila dipandang perlu, lengkapi pula
dengan acuan literatur tentang rancang bangun penanggulangan dampak
dimaksud.
b. Rencana pengelolaan lingkungan dimaksud perlu dirumuskan sedemikian
rupa sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pembuatan
rancangan rinci rekayasa, dan dasar pelaksanaan kegiatan pengelolaan
lingkungan.
c. Rencana pengelolaan lingkungan mencakup pula upaya peningkatan
pengetahuan dan kemampuan karyawan pemrakarsa kegiatan dalam
pengelolaan lingkungan hidup melalui kursus-kursus dan pelatihan.
Cantumkan jenis pelatihan atau kursus yang diperlukan pemrakarsa
berikut dengan jumlah serta kualifikasi karyawan yang akan dilatih.
d. Rencana pengelolaan lingkungan juga mencakup pembentukan unit
organisasi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan untuk
melaksanakan RKL. Aspek-aspek yang perlu diutarakan sehubungan
dengan hal ini antara lain adalah struktur organisasi, lingkup tugas dan
wewenang unit, serta jumlah dan kualifikasi personalnya.
4. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan
Untuk menangani dampak penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL,
dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan secara
teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi.

a. Pendekatan Teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk
mengelola dampak penting lingkungan. Sebagai misal,
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan
beracun, akan ditempuh cara:
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;
(1.2) Mendaur-ulangkan limbah;
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu
sehingga tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup
lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki
kerusakan sumberdaya alam, akan ditempuh cara:
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup
tanah, untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan
tanah atas dan penanaman tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan
nilai tambah dari dampak positif yang telah ada, misalnya
melalui peningkatan dan daya guna dari dampak positif
tersebut.

b. Pendekatan Sosial Ekonomi


Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa
dalam upaya menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan
yang bermotifkan sosial dan ekonomi. Sebagai misal,
(1) Melibatkan masyarakat di sekitar rencana usaha atau kegiatan untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan.
(2) Permintaan bantuan kepada pemerintah untuk turut menanggulangi
dampak penting lingkungan karena keterbatasan kemampuan
pemrakarsa.
(3) Permohonan keringanan bea masuk peralatan pengendalian
pencemaran.
(4) Memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat sesuai dengan
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki.
(5) Kompensasi atau ganti rugi atas lahan milik penduduk untuk
keperluan rencana usaha dan kegiatan dengan prinsip saling
menguntungkan kedua belah pihak.
(6) Bantuan fasilitas umum kepada masyarakat sekitar rencana usaha
atau kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pemrakarsa.
(7) Menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar
guna mencegah timbulnya kecemburuan sosial.

c. Pendekatan Institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh
pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan.
Sebagai misal,
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan oleh
instansi yang berwenang.
(3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan secara berkala kepada pihak-
pihak yang berkepentingan.

5. Format Dokumen RKL


Mengingat dokumen RKL disusun sekaligus dengan dokumen ANDAL dan
RPL, dan ketiganya dinilai sekaligus maka format dokumen RKL langsung
berorientasi pada keempat pokok rencana pengelolaan lingkungan
sebagaimana tertuang pada butir 1 di atas.

B. PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN


I. Latar Belakang Pengelolaan Lingkungan
1. Pernyataan tentang latar belakang perlunya dilaksanakan rencana
pengelolaan lingkungan baik ditinjau dari kepentingan pemrakarsa,
pihak-pihak yang berkepentingan, maupun untuk kepentingan yang
lebih luas dalam rangka menunjang program pembangunan.
2. Uraian secara sistematis, singkat, dan jelas tentang tujuan
pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan pemrakarsa
sehubungan dengan rencana usaha atau kegiatan.
3. Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya pengelolaan lingkungan
baik bagi pemrakarsa usaha atau kegiatan, pihak-pihak yang
berkepentingan, maupun bagi masyarakat luas.
4. Uraikan secara singkat wilayah, kelompok masyarakat, atau
ekosistem di sekitar rencana usaha atau kegiatan yang sensitif
terhadap perubahan akibat adanya rencana usaha atau kegiatan
tersebut, berdasarkan hasil ANDAL.
5. Kemukakan secara jelas dalam peta dengan skala yang memadai
(peta administratif, peta lokasi, peta topografi, dll.) yang mencakup
informasi tentang:
(1) Letak geografis rencana usaha atau kegiatan;
(2) Aliran sungai, danau, rawa;
(3) Jaringan jalan dan pemukiman penduduk;
(4) Batas administratif pemerintahan daerah;
(5) Wilayah, kelompok masyarakat, atau ekosistem di sekitar
rencana usaha atau kegiatan yang sensitif terhadap perubahan.
Peta yang disajikan merujuk pada hasil studi ANDAL.

II. Rencana Pengelolaan Lingkungan


Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang
ditimbulkan baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan
pembahasan sebagai berikut:
1) Dampak Penting dan Sumber Dampak Penting
a. Uraikan secara singkat dan jelas komponen atau parameter
lingkungan yang diprakirakan mengalami perubahan mendasar
menurut hasil ANDAL. Perlu ditegaskan bahwa yang diungkapkan
hanyalah komponen atau parameter lingkungan yang terkena
dampak penting saja. Uraikan pula sejauh mana taraf perkembangan
rencana usaha atau kegiatan di saat RKL sedang disusun (studi
kelayakan, rancangan rinci rekayasa, atau taraf konstruksi).
Komponen atau parameter lingkungan yang berubah mendasar menurut
ANDAL perlu ditetapkan beberapa hal yang dipandang strategis untuk
dikelola berdasarkan pertimbangan:
1) Dampak penting yang dikelola terutama ditujukan pada komponen
lingkungan yang menurut hasil proses pelingkupan (dalam rangka
penyusunan Kerangka Acuan ANDAL) merupakan isu utama rencana
usaha atau kegiatan;
2) Dampak penting yang dikelola adalah dampak yang tergolong
banyak menimbulkan dampak penting turunan (dampak sekunder,
tersier, dan selanjutnya);
3) Dampak penting yang dikelola adalah dampak yang bila
dicegah/ditanggulangi akan membawa pengaruh lanjutan pada
dampak penting turunannya;
Selain itu utarakan pula dampak penting turunannya yang akan
turut terpengaruh akibat dikelolanya dampak penting strategis
tersebut.
b. Sumber Dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting:
1) Apabila dampak penting timbul sebagai akibat langsung dari rencana
usaha atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha atau
kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak penting.
2) Apabila dampak penting timbul sebagai akibat berubahnya
komponen lingkungan yang lain, maka utarakan secara singkat
komponen lingkungan yang merupakan penyebab timbulnya dampak
penting tersebut.

2) Tolok Ukur Dampak


Jelaskan tolok ukur dampak yang akan digunakan untuk mengukur
komponen lingkungan yang akan terkena dampak akibat rencana
usaha atau kegiatan berdasarkan baku mutu standar (ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan); keputusan para ahli yang
dapat diterima secara ilmiah, lazim digunakan, dan atau telah
ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Tolok ukur yang
diutarakan adalah yang digunakan dalam ANDAL.

3) Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan


Uraikan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak penting yang
bersifat strategis berikut dengan dampak turunannya yang otomatis
akan turut tercegah/tertanggulangi/terkendali.
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana
industri pulp dan kertas adalah kualitas air limbah, maka tujuan
upaya pengelolaan lingkungan secara spesifik adalah:
“Mengendalikan mutu limbah cair yang dibuang ke sungai XYZ,
khususnya parameter BOD5, COD, Padatan Tersuspensi Total, dan
PH; agar tidak melampaui baku mutu limbah cair sebagaimana yang
ditetapkan dalam KEP 03/MENKLH/II/1991, tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan yang Sudah Beroperasi”.

4) Pengelolaan Lingkungan
Jelaskan secara rinci upaya-upaya pengelolaan lingkungan yang
dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi, dan atau sosial
ekonomi, dan atau institusi sebagaimana dijelaskan pada bagian
penjelasan umum butir 4.
Upaya pengelolaan lingkungan yang diutarakan juga mencakup
upaya pengoperasian unit atau sarana pengendalian dampak (misal
unit pengolahan limbah), bila unit atau sarana dimaksud di dalam
dokumen ANDAL dinyatakan sebagai aktifitas dari rencana usaha
atau kegiatan.

5) Lokasi Pengelolaan Lingkungan


Utarakan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan dengan
memperhatikan sifat persebaran dampak penting yang dikelola.
Sedapat mungkin lengkapi pula dengan peta/sketsa/gambar.

6) Periode Pengelolaan Lingkungan


Uraikan secara singkat rencana tentang kapan dan berapa lama
kegiatan pengelolaan lingkungan dilaksanakan dengan
memperhatikan: sifat dampak penting yang dikelola (lama
berlangsung, sifat kumulatif, dan berbalik tidaknya dampak), serta
kemampuan pemrakarsa (tenaga, dana).

7) Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan


Pembiayaan untuk melaksanakan RKL merupakan tugas dan
tanggung jawab dari pemrakarsa rencana usaha atau kegiatan yang
bersangkutan.
Pembiayaan tersebut antara lain mencakup:
a. Biaya investasi misalnya pembelian peralatan pengelolaan
lingkungan serta biaya untuk kegiatan teknis lainnya.
b. Biaya personil dan biaya operasional.
c. Biaya pendidikan serta latihan keterampilan operasional.

8) Institusi Pengelolaan Lingkungan


Pada setiap rencana pengelolaan lingkungan cantumkan institusi
atau kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan
berkaitan dengan kegiatan pengelolaan lingkungan, sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku baik ditingkat nasional
maupun daerah. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengelolaan lingkungan sebagaimana diatur dalam pasal 18
UU Nomor 4 Tahun 1982 yang meliputi:
(1) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
(2) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.
(3) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait.
(4) Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya.
(5) Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan
institusi pengelolaan lingkungan.
Institusi pengelolaan lingkungan yang perlu diutarakan meliputi:
(1) Pelaksana pengelolaan lingkungan
Cantumkan institusi pelaksana yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan dan sebagai penyandang dana kegiatan pengelolaan
lingkungan. Apabila dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan
lingkungan pemrakarsa menugaskan atau bekerjasama dengan pihak
lain, maka cantumkan pula institusi dimaksud.
(2) Pengawas pengelolaan lingkungan
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksananya RKL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan
mungkin lebih dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang
dan tanggung jawab, serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilaporkan hasil kegiatan
pengelolaan lingkungan secara berkala sesuai dengan lingkup tugas
instansi yang bersangkutan, dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

III. Pustaka
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan
dalam penyusunan RKL, baik yang berupa buku, majalah, makalah,
tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka
tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.

IV. Lampiran
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Lampirkan ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel dengan
urutan kolom sebagai berikut: Jenis Dampak Lingkungan, Tujuan
Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan, Lokasi
Pengelolaan Lingkungan, periode Pengelolaan Lingkungan, dan
Institusi Pengelolaan Lingkungan.
b. Data dan informasi penting yang merujuk dari hasil studi ANDAL
seperti peta-peta (lokasi kegiatan, lokasi pemantauan lingkungan,
dll.), rancangan teknik (engineering design), matrik serta data
utama yang terkait dengan rencana pengelolaan lingkungan untuk
menunjang isi dokumen RKL.
Lampiran IV : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP-14 /MENLH/ 3 /1994
Tanggal : 19 MARET 1994

PEDOMAN UMUM RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

A. PENJELASAN UMUM
1. Lingkup Rencana Pemantauan Lingkungan
Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomena-
fenomena yang terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari tingkat proyek
(untuk memahami “perilaku” dampak yang timbul akibat usaha atau
kegiatan), sampai ke tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung
pada skala keacuhan terhadap masalah yang dihadapi.
Disamping skala keacuhan, ada 2 (dua) kata kunci yang membedakan
pemantauan dengan pengamatan secara acak atau sesaat, yakni
merupakan kegiatan yang bersifat berorientasi pada data sistematik,
berulang dan terencana.

2. Kedalaman Rencana Pemantauan Lingkungan


Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen
rencana pemantauan lingkungan, yakni:
a. Komponen/parameter lingkungan yang dipantau hanyalah yang
mengalami perubahan mendasar, atau terkena dampak penting.
Dengan demikian tidak seluruh komponen lingkungan harus
dipantau. Hal-hal yang dipandang tidak penting atau tidak relevan
tidak perlu dipantau.
b. Keterkaitan yang akan dijalin antara dokumen ANDAL, RKL dan RPL.
Aspek-aspek yang dipantau perlu memperhatikan benar dampak
penting yang dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan
dampak lingkungan yang dirumuskan dalam dokumen RKL.
c. Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan atau
terhadap komponen/parameter lingkungan yang terkena dampak.
Dengan memantau kedua hal tersebut sekaligus akan dapat
dinilai/diuji efektivitas kegiatan pengelolaan lingkungan yang
dijalankan.
d. Pemantauan lingkungan harus layak secara ekonomi. Walau aspek-
aspek yang akan dipantau telah dibatasi pada hal-hal yang penting
saja (seperti diuraikan pada butir (a) sampai (c) ), namun biaya
yang dikeluarkan untuk pemantauan perlu diperhatikan mengingat
kegiatan pemantauan senantiasa berlangsung sepanjang usia usaha
atau kegiatan.
e. Rancangan pengumpulan dan analisis data aspek-aspek yang perlu
dipantau, mencakup:
(1) Jenis data yang dikumpulkan;
(2) Lokasi pemantauan;
(3) Frekuensi dan jangka waktu pemantauan;
(4) Metode pengumpulan data (termasuk peralatan dan instrumen
yang digunakan untuk pengumpulan data);
(5) Metode analisis data.
f. Dokumen RPL perlu memuat tentang kelembagaan pemantauan
lingkungan. Kelembagaan pemantauan lingkungan yang dimaksud di
sini adalah institusi yang bertanggung jawab sebagai penyandang
dana pemantauan, pelaksana pemantauan, penggunaan hasil
pemantauan, dan pengawas kegiatan pemantauan. Koordinasi dan
kerjasama antar institusi ini dipandang penting untuk digalang agar
data dan informasi yang diperoleh, dan selanjutnya disebarkan kepada
berbagai penggunanya, dapat bersifat tepat guna, tepat waktu dan
dapat dipercaya.

B. PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)


I. Latar Belakang Pemantauan Lingkungan
1. Pernyataan tentang latar belakang perlunya dilaksanakan rencana
pemantauan lingkungan baik ditinjau dari kepentingan pemrakarsa,
pihak-pihak yang berkepentingan, maupun untuk kepentingan umum
dalam rangka menunjang program pembangunan.
2. Uraian secara sistematis, singkat, dan jelas tentang tujuan
pemantauan lingkungan yang akan diupayakan pemrakarsa
sehubungan dengan pengelolaan rencana usaha atau kegiatan.
3. Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya pemantauan lingkungan
baik bagi pemrakarsa usaha atau kegiatan, pihak-pihak yang
berkepentingan, maupun bagi masyarakat.

II. Rencana Pemantauan Lingkungan


Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang
ditimbulkan baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan
sebagai berikut:
1. Dampak Penting yang Dipantau
Cantumkan secara singkat:
a. Jenis komponen atau parameter lingkungan yang dipandang strategis
untuk dipantau.
b. lndikator dari komponen dampak penting yang dipantau. Indikator
adalah alat pemantau (sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk
atau keterangan tentang suatu kondisi.
Sebagai misal, indikator yang relevan untuk kualitas air limbah dan air
sungai sehubungan dengan karakteristik rencana usaha atau kegiatan,
adalah pH, BOD, suhu, wama, bau, kandungan minyak, dan logam
berat.

2. Sumber Dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting:
a. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat langsung dari rencana
usaha atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha atau
kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak penting.
b. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat berubahnya komponen
lingkungan yang lain, maka utarakan secara singkat komponen atau
parameter lingkungan yang merupakan penyebab timbulnya dampak
penting tersebut.

3. Parameter Lingkungan yang Dipantau


Uraian secara jelas tentang parameter lingkungan yang dipantau.
Parameter ini dapat meliputi aspek biologi, kimia, fisika dan aspek sosial
ekonomi dan budaya.

4. Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan


Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak penting
lingkungan, dengan memperhatikan dampak penting yang dikelola,
bentuk rencana pengelolaan lingkungan, dan dampak penting turunan
yang ditimbulkannya.
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana
industri pulp dan kertas adalah kualitas air limbah, maka tujuan rencana
pemantauan lingkungan secara spesifik adalah:
a. Memantau mutu limbah cair yang dibuang ke sungai XYZ, khususnya
parameter B0D5, COD, padatan tersuspensi total, dan pH.
b. Memantau kualitas air sungai XYZ, khususnya parameter BOD5, COD,
padatan tersuspensi total, dan pH.

5. Metode Pemantauan Lingkungan


Uraikan secara singkat metode yang akan digunakan untuk memantau
indikator dampak penting, yang mencakup:
a. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Cantumkan secara singkat dan jelas metode yang digunakan dalam
proses pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan, instrumen,
atau formulir isian yang digunakan. Cantumkan pula tingkat ketelitian
alat yang digunakan dalam pengumpulan data sehubungan dengan
tingkat ketelitian yang disyaratkan dalam Baku Mutu Lingkungan.
Selain itu uraikan pula metode yang digunakan untuk menganalisis
data hasil pengukuran. Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan
rumus yang digunakan dalam proses analisis data. Selain itu uraikan
pula tolok ukur yang digunakan untuk menilai kondisi kualitas
lingkungan yang dipantau, dan sebagai umpan balik untuk kegiatan
pengelolaan lingkungan.
Perlu diperhatikan bahwa metode pengumpulan dan analisis data
sejauh mungkin konsisten dengan metode yang digunakan di saat
penyusunan ANDAL.
b. Lokasi Pemantauan lingkungan
Cantumkan lokasi yang tepat untuk memantau dampak dan disertai
pula dengan peta berskala memadai yang menunjukkan lokasi
pemantauan dimaksud. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pemantauan
sejauh mungkin konsisten dengan lokasi pengumpulan data di saat
penyusunan ANDAL.
c. Jangka Waktu dan Frekwensi Pemantauan
Uraikan tentang jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut
dengan frekuensinya per satuan waktu. Jangka waktu dan frekuensi
pemantauan ditetapkan dengan mempertimbangkan sifat dampak
penting yang dipantau (instensitas, lama dampak berlangsung, dan
silat kumulatif dampak).

6. Institusi Pemantau Lingkungan


Pada setiap rencana pemantauan lingkungan cantumkan institusi atau
kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan
dengan kegiatan pemantauan lingkungan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun
daerah. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemantauan lingkungan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU Nomor 4
Tahun 1982 yang meliputi:
a. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
b. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait.
c. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah.
d. Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya.
e. Keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan pembentukan
institusi pemantauan lingkungan.
Institusi pemantau lingkungan yang perlu diutarakan meliputi:
a. Pelaksana Pemantauan Lingkungan
Cantumkan institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
dan sebagai penyandang dana kegiatan pemantauan lingkungan.
b. Pengawas Pemantauan Lingkungan
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksananya RPL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan
mungkin lebih dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang
dan tanggung jawab, serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilapori hasil kegiatan
pemantauan lingkungan secara berkala sesuai dengan lingkup
tugas instansi yang bersangkutan.

III. Pustaka
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan
dalam penyusunan RPL, baik yang berupa buku, majalah, makalah,
tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka
tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.

IV. Lampiran
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Lampirkan ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan
kolom sebagai berikut : Dampak Penting yang Dipantau, Sumber
Dampak, Tujuan Pemantauan Lingkungan, Rencana Pemantauan
Lingkungan (yang meliputi Metode Pengumpulan Data, Lokasi
Pemantauan Lingkungan, Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan
Lingkungan, serta Metode Analisis), dan Institusi Pemantau
Lingkungan.
b. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena
menunjang isi dokumen RPL.
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 15 Tahun 1994
Tentang : Pembentukan Komisi AMDAL Terpadu

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993


tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan perlu ditingkatkan koordinasi

2. pelaksanaannya secara lebih terpadu baik di tingkat pusat maupun di tingkat


daerah;

3. bahwa dalam pertumbuhan pembangunan seringkali melibatkan kewenangan


lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab yang menurut Ketentuan
Umum Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ditetapkan sebagai kegiatan
terpadu/multisektor apabila merupakan rencana kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup;

4. bahwa karena itu penilaian terhadap dokumen analisis mengenai dampak


lingkungan kegiatan terpadu/multisektor tidak dapat dilaksanakan oleh Komisi
AMDAL Pusat atau oleh Komisi AMDAL Daerah saja karena melibatkan
kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab;

5. bahwa perlu ditetapkan komisi anaiisis mengenai dampak lingkungan bagi


rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang dituangkan dalam suatu
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup yang berkedudukan di Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I. Tahun 1982 Nomor 12;
Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (lembaran Negara R.I. Tahun 1993 Nomor 84; Tambahan
Lembaran Negara R.I Nomor 3538);
3. Keputusan Presiden R.I. Nomor 23 Tahun 1990 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;

4. Keputusan Presiden R.I. Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas


Pokok, Fungsi, dan Tata kerja Menteri Negara serta Organisasi Staf Menteri
Negara;

5. Keputusan Presiden R.I. Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan


Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN

Menetapkan

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEMBENTUKAN


KOMISI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN TERPADU

Pertama

Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkugnan Terpadu

Kedua

Susunan keanggotaan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu terdiri


dari :

1. Ketua : Deputi Bidang Pengembangan Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan

2. Sekretaris: Direktur Pengembangan, Pengendalian dan Pemantauan AMDAL


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

3. Anggota :

a. Anggota Tetap

1. staf Direktorat Pengembangan, pengendalian dan Pemantauan


AMDAL, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

2. wakil dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup;

3. wakil yang ditunjuk oieh Menteh Dalam Negeri;


4. wakil Badan Koordinasi Penanaman Modal;

5. wakil Badan Pertanahan Nasional;

b. Anggota Tidak Tetap

1. Wakil dari Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Badan


Pengendalian Dampak Lingkungan yang terkait dengan
permasalahan AMDAL usaha atau kegiatan terpadu/multisektor
tersebut;

2. wakil Departemen atau Lembaga Pemerintah Non departemen


yang membidangi secara teknis usaha atau kegiatan dalam usaha
atau kegiatan dalam usaha atau kegiatan terpadu/multi sektor
tersebut;

3. wakil dari departemen atau lembaga pemerintah non departemen


lain yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor tersebut;

4. wakil pemerintah daerah dimana lokasi usaha atau kegiatan


terpadu/multisektor tersebut berada;

5. wakil lembaga swadaya masyarakat;

6. para pakar yang membidangi usaha atau kegiatan


terpadu/multisektor tersebut;

7. anggota lain yang dipandang perlu menurut pertimbangan Menteri


Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.

Ketiga

Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu bertugas membantu Menteri


Negara Lingkungan Hidup dalam hal :

1. menyusun pedoman teknis pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan


rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;

2. menanggapi Kerangka Acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan


usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;

3. menilai analisis dampak lingkungan usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;


4. menilai rencana pengelolaan lingkungan usaha atau kegiatan terpadu
multisektor;

5. menilai rencana pemantauan lingkungan usaha atau kegiatan


terpadu/multisektor;

6. membantu penyelesaian diterbitkannya Surat Keputusan tentang analisis


dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana
pemantauan lingkungan usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;

7. melaksanakan tugas lain yang ditentukan oleh Menteri Negara Lingkungan


Hidup.

Keempat

Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi AMDAL Terpadu harus memperhatikan hal-hal


sebagai berikut :

1. Keputusan Komisi AMDAL Terpadu didasarkan kepada keseimbangan


pertimbangan segi teknologi, ekonomi, dan lingkungan hidup, baik lingkungan
fisik maupun non fisik, termasuk sosial budaya;

2. Sebelum Komisi AMDAL Terpadu melakukan penilaian, pemrakarsa terlebih


dahulu mengajukan hasil Analisis mengenai Dampak Lingkungan, Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor dalam bentuk tertulis dan mempresentasikan
dalam rapat Komisi AMDAL Terpadu;

3. rapat Komisi AMDAL Terpadu wajib mendengar saran dan pendapat wakil
masyarakat yang terkena dampak usaha atau kegiatan terpadu/multisektor
yang bersangkutan, dan memperhatikannya dalam mengambil keputusan;

4. Apabila dipandang perlu Komisi AMDAL Terpadu dapat melakukan


penelitian/pengecekan keadaan di lapangan dan atau pengadakan konsultasi
dengan pihak-pihak yang dianggap perlu.

Kelima

Semua biaya yang diperlukan oleh Komisi AMDAL Terpadu dalam melaksanakan
tugasnya dibebankan pada anggaran belanja rutin Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.
Keenam

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana dikemudian hari
terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 19 Maret 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup

SARWONO KUSUMAATMADJA

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 42 Tahun 1994
Tentang : Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha atau kegiatan wajib
memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan
seimbang untuk menunjang pembangunanyang berkelanjutan;

2. bahwa audit lingkungan sebagai suatu perangkat pengelolaan yang dilakukan


secara dasar telah diakui merupakan alat yang efektif dan sangat bermanfaat
bagi suatu usaha atau kegiatan dalam mengelola lingkungan hidup;

3. bahwa audit lingkungan adalah suatu proses untuk melaksanakan kajian secara
sistematik, terdokumentasi, berkala, dan obyektif terhadap prosedur dan
praktek-praktek dalam pengelolaan lingkungan hidup;

4. bahwa audit lingkungan dapat membantu menemukan upaya penyelesaian


yang efektif tentang masalah lingkungan hidup yang dapat dihadapi suatu
usaha atau kegiatan, sehingga dapat meningkatkan kinerja usaha atau
kegiatan yang bersangkutan dalam kaitan dengan pelestarian kemapuan
lingkungan;

5. bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk menetapkan suatu pedoman
umum tentang pelaksanaan audit lingkungan dengan suatu keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentauan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982,
Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan
Lembaran Negara R. I. Nomor 3538);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, dan Tata Kerja Menteri Negara serta
Organisasi Staf Menteri Negara;

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang


Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN

Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN
UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN

Pertama

Audit Lingkungan merupak suatu kegiatan yang diajurkan untuk dilaksanakan oleh
dan merupakan tanggung jawab pihak penanggung jawab usaha atau kegiatan;

Kedua

Audit Lingkungan dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar


sebagaimana tercantum pada lampiran keputusan ini;

Ketiga

1. Penanggung jawab usaha atau kegiatan dapat memberikan sebagian atau


seluruh laporan audit lingkungan kepada Pemerintah, masyarakat umum atau
organisasi lainnya dengan tujuan;

2. mempublikasi upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan; untuk itu hasil


audit lingkungan dapat dimintakan keabsahannya dari instansi yang diyugasi
mengendalikan dampak lingkungan;

3. pengembagan sistem pengelolaan dan pemantauan lingkungan;

4. meningkatkan kinerja lingkungan suatu usaha atau kegiatan;

5. tujuan lainnya sebgaimana ditentukan oleh usaha atau kegiatan yang


bersangkutan;
Keempat

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal, dan apabila terdapat kekeliruan maka
keputusan ini akan ditinjau kembali.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Nopember 1994
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


No. 42 Tahun 1994

PRINSIP-PRINSIP DAN PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT


LINGKUNGAN

A. FUNGSI DAN TUJUAN


Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan dimaksudkan sebagai acuan
untuk melakukan pelaksanaan audit lingkungan bagi suatu usaha atau
kegiatan.
Audit lingkungan yang dimaksud dalam keputusan ini dilaksanakan secara
sukarela oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan dan merupakan alat
pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang bersifat internal. Dengan
adanya pedoman ini, maka pengelolaan dan pemantauan lingkungan suatu
usaha atau kegiatan diharapkan dapat dilakukan dengan baik, lebih terarah,
efektif dan efisien.

B. PENDAHULUAN
1. Definisi
Audit Lingkungan adalah suatu atau manajemen yang meliputi evaluasi
secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang
bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem manajemen dan peralatan
dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan
upaya nengendalian dampak lingkungan dan pengkajian pentaatan
kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang undangan
tentang pengelolaan lingkungan.
Audit Lingkungan suatu usaha atau kegiatan merupakan perangkat
manajemen yang dilakukan secara internal oleh suatu usaha atau
kegiatan sebagai tanggung jawab pengelolaan dan pemantauan
lingkungannya. Audit lingkungan bukan merupakan pemeriksaan resmi
yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan, melainkan
suatu usaha proaktif yang dilaksanakan secara sadar untuk
mengindentifikasi permasalahan lingkungan yang akan timbul sehingga
dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya.
2. Fungsi
Fungsi audit lingkungan adalah sebagai :
(a) Upaya peningkatan pentaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan lingkungan, misalnya : standar
emisi udara, limbah cair, penanganan limbah dan standar operasi
lainnya;
(b) Dokumen suatu usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan standar
operasi, prosedur pengelolaan dan pemantauan lingkungan
termasuk rencana tangggap darurat, pemantauan dan pelaporan
serta rencana perubahan pada proses dan peraturan;
(c) Jaminan untuk rnenghindari perusakan atau kecenderungan
kerusakan lingkungan;
(d) Bukti keabsahan prakiraan dampak dan penerapan rekomendasi
yang tercantum dalam dokurnen AMDAL, yang berguna dalam
penyempurnaan proses AMDAL;
(e) Upaya perbaikan penggunaan sumberdaya melalui penghematan
penggunaan bagan, minimisasi limbah dan identifikasi
kemungkinan proses daur ulang;
(f) Upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau
yang perlu dilaksanakan oleh suatu usaha atau kegiatan untuk
memenuhi kepentingan lingkungan, misalnya pembangunan yang
berkelanjutan, proses daur ulang dan efisiensi penggunaan
sumberdaya.
3. Manfaat
Audit Lingkungan bermanfaat untuk:
(a) Mengindentifikasi risiko lingkungan;
(b) Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan
lingkungan atau upaya penyempurnaan rencana yang ada;
(c) Menghindari kerugian finansial seperti penutupan /pemberhentian
suatu usaha atau kegiatan atau pembatasan oleh pemerintah,
atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan
pemantauan lingkungan yang tidak baik;
(d) Mencegah tekanan sanksi hukum terhadap suatu usaha atau
kegiatan atau terhadap pimpinannya berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
(e) Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila
dibutuhkan dalam proses pengadilan;
(f) Meningkatkan kepedulian pimpinan/penanggung jawab dan staf
suatu badan usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan
kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggung jawab lingkungan;
(g) Mengidentifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui upaya
konservasi energi, dan pengurangan, pemakaian ulang dan daur
ulang limbah;
(h) Menyediakan laporan audit lingkungan bagi keperluan usaha atau
kegiatan yang bersangkutan, atau bagi keperluan kelompok
pemerhati lingkungan, pemerintah, dan media massa;
(i) Menyediakan informasi yang memadai bagi kepentingan usaha
usaha atau kegiatan asuransi, lembaga keuangan, dan
pemegang saham.

C. RUANG LINGKUP
Audit Lingkungan perlu disusun sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan
informasi mengenai :
1. sejarah atau rangkaian suatu usaha atau kegiatan, rona dan kerusakan
lingkungan di tempat usaha atau kegiatan tersebut, pengelolaan dan
pemantauan yang dilakukan, serta isu lingkungan yang terkait;
2. perubahan rona lingkungan sejak usaha atau kegiatan tersebut
didirikan sampai waktu terakhir pelaksanaan audit;
3. penggunaan input dan sumberdaya alam, proses bahan dasar, bahan
jadi, dan limbah termasuk limbah B3;
4. identifikasi penanganan dan penyimpanan bahan kimia, B3 serta potensi
kerusakan yang mungkin timbul;
5. kajian resiko lingkungan;
6. sistem kontrol manajemen, rute pengangkutan bahan dan pembuangan
limbah, termasuk fasilitas untuk meminimumkan dampak buangan dan
kecelakaan;
7. effektifitas alat pengendalian pencemaran seperti ditunjukkan dalam
laporan inspeksi, perawatan, uji emisi, uji rutin, dll;
8. catatan tentang lisensi pembuangan limbah dan pentaatan terhadap
peraturan perundang-undangan termasuk standar dan baku mutu
lingkungan;
9. pentaatan terhadap hasil dan rekomendasi AMDAL (Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan);
10. perencanaan dan prosedur standar operasi keadaan darurat;
11. rencana minimalisasi limbah dan pengendalian pencemaran lingkungan;
12. penggunaan energi, air dan sumberdaya alam lainnya;
13. program daur ulang, konsiderasi product life cycle;
14. peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dan kepedulian
lingkungan.
Ruang lingkup audit lingkungan sangat luwes, tergantung pada kebutuhan atau
kegiatan yang bersangkutan.

D. PRINSIP-PRINSIP DASAR
1. Karakteristik dasar
Audit Lingkungan mempunyai ciri khas sebagai berikut:
(a) Metodotogi yang komprehensif;
Audit lingkungan memerlukan tata laksana dan metodologi yang
rinci. Audit lingkungan harus dilaksanakan dengan metodologi
yang komprehensif dan prosedur yang telah ditentukan, untuk
menjamin pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan serta
dokumentasi dan pengujian informasi tersebut.
Metodologi tersebut harus fleksibel sehingga tim auditor dapat
menerapkan teknik-teknik yang tepat. Audit lingkungan harus
berpedoman kepada penggunaan rencana yang sistematik dan
sesuai dengan prosedur pelaksanaan audit lapangan dan
penyusunan laporan.
(b) Konsep pembuktian dan pengujian;
Konsep pembuktian dan pengujian terhadap penyimpangan
pengelolaan lingkungan adalah hal yang pokok dalam audit
ingkungan. Tim audit harus mengkonfirmasikan semua data
dan informasi yang diperolehnya melalui pemeriksaan lapangan
secara langsung.
(c) Pengukuran dan standar yang sesuai;
Penetapan standardan pengukuran tertiadap kinerja Hngkungan
harus sesuai dengan usaha atau kegiatan dan proses produksi
yang diaudit. Audit lingkungan tidak akan beraiti kecuali Ha
kinerja usaha atau kegiatan dapat dibandingkandengan standar
yang digunakan
(d) Laporan tertulis.
Laporan harus mernuat hasH pengamatan dan fakta-iakta penun
serta dokumentasi terhadap proses produksi. Seluruh data dan
basil temuan barus disajikan dengan letas dan akurat, serla
dilandasi dengan bukt’yang sahib dan terdokumentasi.
2. Kunci keberhasilan
(a) Dukungan pihak pimpinan
Pelaksanaan audit lingkungan harus diawali dengan adanya itikad
pimpinan usaha atau kegiatan. Usaha atau kegiatan dan proses
audit dapat menjadi sangat kompleks dan pelaksanaan audit
lingkungan menjadi tidak efektif bila tidak ada dukungan yang
kuat dari pimpinan usaha atau kegiatan. Selain itu tim auditor
harus pula diberi keleluasan untuk mengkaji hal-hal yang sensitif
dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan.
(b) Keikutsertaan semua pihak
Keberhasilan audit lingkungan ditentukan pula oleh keikutsertaan
dan kerjasama yang baik dari semua pihak dalam usaha atau
kegiatan yang bersangkutan, mengingat kajian terhadap kinerja
lingkungan akan meliputi semua aspek dan pelaksanaan tugas
secara luas.
(c) Kemandirian dan obyektifitas auditor
Tim audit lingkungan harus mandiri dan tidak ada keterikatan
dengan usaha atau kegiatan yang diaudit. Apabila tidak, maka
obyektifitas dan kredibilitas akan diragukan. Pada umumnya,
kemandirian auditor diartikan bahwa tim auditor harus
dilaksanakan oleh orang di luar usaha atau kegiatan yang diaudit.
(d) Kesepakatan tentang tata laksana dan lingkup audit Harus ada
kesepakatan awal antara pimpinan usaha atau kegiatan dengan
tim auditor tentang lingkup audit lingkungan yang akan
dilaksanakan.

E. PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN


1. Tata Laksana
Pelaksanaan audit lingkungan perlu mengikuti suatu tata laksana audit.
Tata laksana audit merupakan suatu rencana yang harus diikuti oleh
auditor untuk dapat mencapai tujuan audit yang diharapkan. Dengan
mengacu pada tata laksana tersebut maka diharapkan adanya
konsistensi dalam pelaksanaan audit dan pelaporan hasil audit.
Tata laksana audit sangat beragam dan tergantung pada jenis usah dan
karakteristik lingkungan.
Berikut ini adalah beberapa tata laksana audit yang umum dilaksanakan:
(a) Daftar Isian. Bentuk pelaksanaan audit yang paling sederhana
adalah mempergunakan daftar isian dari laporan yang akan
dihasilkan sebagai acuan audit.
(b) Checklist. Jenis ini merupakan cara yang umum digunakan yaitu
dengan mempergunakan daftar yang rinci mengenai isi yang akan
diaudit.
(c) Daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan seringkali digunakan dalam
pelaksanaan audit, dan daftar pertanyaan tersebut harus dijawab
secara lengkap oleh auditor. Pada umumnya, auditor telah
mempersiapkan format baku untuk melaksanakan audit dan
menyusun laporan akhir.
(d) Pedoman. Audit dengan menggunakan pedoman merupakan jenis
tata laksanana yang paling rinci. Pedoman ini memuat instruksi-
instruksi dan petunjuk pelaksanaan yang harus dilaksanakan oleh
auditor, serta aspek yang harus diteliti.
2. Pelaksanaan.
Tahapan pelaksanaan audit lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Pendahuluan
Penerapan audit lingkungan akan tergantung kepada jenis audit
yang dilaksanakan, jenis usaha atau kegiatan dan pelaksanaan
oleh tim auditor.
2. Pra-audit
Kegiatan pra-audit merupakan bagian yang penting dalam
prosedur audit lingkungan. Perencanaan yang baik pada tahap ini
akan menentukan keberhasilan pelaksanaan audit dan tindak
lanjut audit tersebut.
Informasi yang diperlukan pada tahap ini meliputi informasi rinci
mengenai aktifitas di lapangan, status hukum, instruktur
organisasi, dan lingkup usaha atau kegiatan yang akan diaudit.
Aktifitas pra-audit juga meliputi pemilihan tata laksana audit,
penentuan tim auditor, dan pendanaan pelaksanaan kegiatan
audit. Pada saat ini, tujuan dan ruang lingkup audit harus telah
disepakati.
3. Kegiatan Lapangan
(1) Pertemuan pendahuluan
Tahap awal yang harus dilaksanakan oleh tim audit adalah
mengadakan pertemuan dengan pimpinan usaha atau
kegiatan untuk mengkaji tujuan audit, tata laksana, dan
jadual kegiatan audit.
(2) Pemerikasaan lapangan
Pemeriksaan di lapangan dilaksanakan setelah pertemuan
pendahuluan. Tim audit akan mendapatkan gambaran
tentang kegiatan usaha atau kegiatan yang akan menjadi
dasar penetapan areal kegiatan yang memerlukan perhatian
secara khusus, Dengan melaksanakan pemeriksaan
lapangan, tim auditor dapal menemukan hal-hal yang
terkait erat dengan kegiatan audit namun belum
teridentifikasi dalam perencanaan.
(3) Pengumpulan data
Data dan informasi yang dikumpulkan selama audit
lingkungan akan mencakup tata laksana audit, dokumentasi
yang diberikan oleh pemilik usaha atau kegiatan, catatan
dan hasil pengamatan tim auditor, hasil sampling dan
pemantauan, foto-foto, rencana, peta, diagram, kertas
kerja dan hal-hal lain yang berkaitan. Informasi tersebut
harus terdokumentasi dengan baik agar mudah ditelusuri
kembali. Tujuan utama pengumpulan data adalah untuk
menunjang dan merupakan dasar bagi pengujian temuan
audit lingkungan.
(4) Pengujian;
Prinsip utama audit lingkungan adalah bahwa informasi
yang disajikan oleh tim audiotor telah diuji dan
dikonfirmasikan. Dokumentasi yang dihasilkan oleh tim
auditor harus menunjang semua pernyataan, atau telah
teruji melalui pengamatan langsung oleh tim auditor.
Dalam menguji hasil temuan audit, tim auditor harus
menjamin bahwa dokumen yang dihasilkan merupakan
dokumen yang asli dan sah. Oleh karena itu tata laksana
audit harus menentukan tingkat pengujian data yang
dibutuhkan, atau harus ditentukan oleh tim auditor.
(5) Evaluasi hasil temuan
Hasil temuan audit harus dievaluasi sesuai dengan tujuan
audit dan tata laksana yang telah disetujui untuk menjamin
bahwa semua isu/masalah telah dikaji. Dokumentasi
penunjang harus dikaji secara teliti sehingga semua hasil
temuan telah ditunjang oleh data dan diuji secara tepat.
(6) Pertemuan akhir
Setelah penelitian lapangan selesai, tim auditor harus
memaparkan hasil temuan pendahuluan dalam suatu
pertemuan akhir secara resmi. Pertemuan ini akan
mendiskusikan berbagai hal yang belum terpecahkan atau
informasi yang belum tersedia. Tim auditor harus mengkaji
hasil pertemuan secara garis besar dan menentukan waktu
penyelesaian laporan ahkir. Seluruh dokumentasi selama
penelitian harus dikembalikan kepada penanggung jawab
usaha atau kegiatan.
4. Pasca Audit
Tim auditor akan menyusun laporan tertulis secara lengkap
sebagai hasil pelaksanaan audit lingkungan. Laporan tersebut juga
mencakup pemaparan tentang rencana tindak lanjut terhadap isu-
isu yang telah diidentifikasi.

F. SIFAT KERAHASIAAN
Laporan hasil audit lingkungan merupakan milik usaha atau kegiatan yang
diaudit dan bersifat rahasia. Namun demikian, dunia usaha atau kegiatan
sesuai dengan kebebasannya dapat menyampaikan laporan audit lingkungan
kepada pemerintah, masyarakat luas atau organisasi lainnya dengan tujuan
sebagai berikut :
(a) Publikasi terhadap upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
telah dilakukan. Pemerintah dapat memberikan vertifikasi atas hasil
audit;
(b) Antisipasi kebutuhan penilaian peringkat kinerja usaha atau kegiatan
lainnya;
(c) Tujuan lainnya yang ditetapkan oleh usaha atau kegiatan tersebut.
Kebijakan audit lingkungan dalam hal ini tidak membatasi hai-hal sebagai
berikut :
(a) Hak pemerintah untuk melaksanakan pemeriksanaan secara rutin pada
suatu usaha atau kegiatan;
(b) Hak pemerintah untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap suatu
kegiatan yang dicurigai sebagai kelalaian, penghindaran kewajiban dan
pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan;
c) Hak pemerintah untuk meminta sesuatu informasi khusus sebagai dasar
penentuan peringkat kinerja lingkungan suatu usaha atau kegiatan
pelanggaran terhadap pentaatan hukum dan peraturan:
(d) Tanggung jawab dunia usaha atau kegiatan untuk menyediakan data
hasil pengelolaan dan pemantauan kepada pemerintah sesuai ketentuan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 1993 dan peraturan pelaksanaan lainnya

G. PENGAWASAN MUTU HASIL AUDIT


Dalam rangka menjamin bahwa audit lingkungan akan dilaksanakan secara
baik dan profesional, maka usaha atau kegiatan atau organisasi (non
pemerintah) dianjurkan untuk membuat dan melaksanakan kode etik serta
sertifikasi auditor lingkungan.
Auditor lingkungan harus mempunyai pendidikan yang sesuai dan memiliki
pengalaman profesional untuk dapat melaksanakan tugasnya.
Kemampuan yang harus dimiliki oleh tim auditor adalah meliputi pengetahuan
tentang :
- Proses, prosedur dan teknis audit
- Karakteristik dan analisis tentang sistem manajemen
- Peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan lingkungan
- Sistem dan teknologi pengelolaan lingkungan, kesehatan dan
keselamatan kerja
- Fasilitas usaha atau kegiatan yang akan diaudit
- Potensi dampak lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja serta
resiko bahaya
Auditor juga perlu mendapatkan pelatihan dan peningkatan kemampuan dalam
bidang yang dibutuhkan dalam audit, meliputi:
- Kemampuan berkomunikasi
- Kemampuan perencanaan dan penjadualan kerja
- Kemampuan untuk menganalisis data dan hasil temuan
- Kemampuan untuk menulis laporan audit
Auditor lingkungan harus terlatih secara profesional untuk menjamin
ketepatan, konsistensi dan objektifitas dalam pelaksanaan audit. Auditor harus
mengikuti kode etik auditor yang ada.

Proposal Program Pelatihan


Pengenalan Instrumen Ekonomi Untuk Pengendalian Dampak Lingkungan
1. Latar belakang
Sampai saat ini pendekatan dalam menangani masalah lingkungan di Indonesia
hampir seluruhnya bertumpu pada instrumen legal yang di wujudkan dalam
bentuk peraturan perundangan. Kenyataan dibeberapa negara menunjukkan
bahwa peraturan perundangan saja tidaklah cukup untuk memaksa para pelaku
perusak lingkungan untuk memasukkan biaya lingkungan sebagai bagian dan
biaya kegiatannya.
Instrumen ekonomi atau yang lebih dikenal dengan sistem “Insensif”akhir-
akhir ini berkembang sebagai alternatif ataupun pelengkap pendekatan untuk
mencapai tujuan dalam upaya pengendalian dampak lingkungan. Pendekatan
ini pada dasarnya bertumpu pada prinsip menawarkan finansial intensif
ataupun disinsentif kepada para pelaku ekonomi untuk membayar bila merusak
lingkungan atau menanam modal untuk tidak merusak lingkungan. Dengan
demikian, make jelaslah bahwa penerapan instrumen ini akan sangat
membantu dalam penerapan “Polluters Pay Principles”.
Melihat kenyataan ini, maka Bapedal bekerjasama dengan German Foundation
For International Development (DSE) bernmaksud mengadakan pelatihan
pengenalan instrumen ekonomi untuk pengendalian dampak lingkungan.
2. Tujuan
Pelatihan ini diharapkan dapat membantu para peserta untuk mengenal
sebagai instrumen ekonomi untuk pengendalian dampak lingkungan.
Selain mengenal berbagai instrumen tersebut, para peserta juga diharapkan
akan memahami persyaratan penggunaan instrumen ekonomi kelemahan dan
keuntungan serta pengadministrasian penggunaan instrumen ekonomi.

_____________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 54 Tahun 1995
Tentang : Pembentukan Komisi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Terpadu Multisektor Dan
Regional

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :
a. bahwa dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 5 Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 1993 diatur analisis mengenal dampak lingkungan
kegiatan terpadu/ multisektor dan regional;
b. bahwa dalam rangka penilaian analisis mengenai dampak lingkungan
kegiatan/multisektor dan regional sebagaimana tersebut di atas, perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu /
Multisektor dan Regional;

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1993 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan
Kabinet Pembangunan V;
5. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas
Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
6. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
Pertama : PEMBENTUKAN KOMISI ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN TERPADU/MULTISEKTOR DAN REGIONAL.

Kedua : Susunan Keanggotaan Komisi Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan Terpadu/Multisektor terdiri dari:
1. Ketua : Deputi Bidang Analisis Mengenal Dampak
Lingkungan dan Pembinaan Teknis, BAPEDAL
2. Sekretaris : Direktur Analisis Mengenal Dampak
Lingkungan, BAPEDAL
3. Anggota :
a. Anggota Tetap :
1) Staf Direktorat Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan BAPEDAL
2) Wakil dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
3) Wakil dan Departemen Dalam Negeri Wakil dan
4) Badan Koordinasi Penanaman Modal Wakil dan
5) Badan Pertanahan Nasional Anggota Tidak Tetap
b. Anggota tidak Tetap :
1) Wakil dan Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran
Lingkungan, BAPEDAL yang terkait dengan
permasalahan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor tersebut.
2) Wakil dan Departemen atau Lembaga Pemerintah
Nondepartemen yang membidangi secara teknis
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor tersebut
3) Wakil dan Departemen atau Lembaga Pemerintah
Nondepartemen yang berkaitan dengan usaha atau
kegiatan terpadu/multisekton tersebut
4) Wakil dan Pemerintah Daerah dimana lokasi usaha
atau kegiatan terpadu/multisektor tersebut berada
5) Wakil dan Lembaga Swadaya Masyarakat
6) Para Pakar yang membidangi usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor tersebut
7) Anggota lain yang dipandang perlu menurut
pertimbangan Menteri Negara Lingkungan Hidup

Ketiga : Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Terpadu /


Multisektor;
a. Menyusun pedoman teknis pembuatan analisis mengenai
dampak lingkungan rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor;
b. Menanggapi Kerangka Acuan bagi penyusunan analisis
dampak lingkungan usaha atau kegiatan terpadu /
multisektor;
c. Menilai analisis dampak lingkungan usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor;
d. Menilai rencana pengelolaan Lingkungan usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor;
e. Menilai rencana pemantauan lingkungan usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor;
f. Membantu penyelesaian diterbitkannya Surat Keputusan
tentang analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan
lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan usaha
atau kegiatan terpadu/multisektor;
g. Melaksanakan tugas lain yang ditentukan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup.

Keempat : Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan Terpadu/Multisektor harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Terpadu/Multisektor didasarkan kepada keseimbangan
pertimbangan segi teknologi, ekonomi, dan lingkungan
hidup, baik lingkungan fisik maupun nonfisik, termasuk
sosial budaya;
b. Sebelum Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Terpadu/Multisektor melakukan penilaian, pemrakarsa
terlebih dahulu mengajukan hasil Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan usaha atau kegiatan terpadu /
multisekfor dalam bentuk tertulis dan mempresentasikan
dalam rapat Komisi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Terpadu/Multisektor;
c. Rapat Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Terpadu/Multisektor wajib mendengar saran dan
pendapat wakil masyarakat yang terkena dampak usaha
atau kegiatan terpadu/multisektor yang bersangkutan,
dan memperhatikannya dalam mengambil keputusan;
d. Apabila dipandang perlu Komisi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Terpadu/Multisektor dapat
melakukan penelitian/pengecekan keadaan di lapangan
dan atau mengadakan konsultan dengan pihak-pihak
yang dianggap perlu.

Kelima : Susunan Keanggotaan Komisi Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan regional terdiri dari:
1. Ketua : Deputi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan dan Pembinaan Teknis, BAPEDAL
2. Sekretaris : Direktur Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan BAPEDAL
3. Anggota :
a. Anggota Tetap :
1) Stat Direktorat Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan BAPEDAL
2) Wakil dari Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup
3) Wakil dari Departemen Dalam Negeri
4) Wakil dari Badan Koordinasi Penanaman
Modal
5) Wakil dari Badan Pertanahan Nasional
6) Wakil dari Tim Koordinasi Tata Ruang
Nasional
b. Anggota tidak Tetap:
1) Wakil dari Deputi Bidang Pengendalian
Pencemaran Lingkungan, BAPEDAL yang
terkait dengan permasalahan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan usaha atau
kegiatan tersebut
2) Wakil dari Departemen atau Lembaga
Pemerintah Nondepartemen yang
membidangi secara teknis
3) Wakil dari Departemen atau Lembaga
Pemerintah Nondepartemen yang berkaitan
dengan usaha atau kegiatan tersebut
4) Wakil dari Pemerintah Daerah dimana lokasi
usaha atau kegiatan tersebut berada
5) Wakil dari Lembaga Swadaya Masyarakat
6) Para Pakar yang membidangi usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor tersebut
7) Anggota lain yang dipandang perlu menurut
pertimbangan Menteri Negara Lingkungan
Hidup

Keenam : Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional bertugas


membantu Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam hal:
a. Menyusun pedoman teknis pembuatan analisis mengenai
dampak lingkungan regional;
b. Menanggapi Kerangka Acuan bagi penyusunan analisis
dampak lingkungan regional;
c. Menilai analisis dampak lingkungan regional;
d. Menilai rencana pengelolaan lingkungan regional;
e. Menilai rencana pemantauan lingkungan regional;
f. Membantu penyelesaian diterbitkannya Surat Keputusan
tentang analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan
lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan
regional;
g. Melaksanakan tugas lain yang ditentukan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup.

Ketujuh : Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Analisis Mengenai


Dampak Regional harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Regional didasarkan kepada keseimbangan pertimbangan
segi teknologi, ekonomi, dan lingkungan hidup, baik
lingkungan fisik maupun nonfisik, termasuk sosial
budaya;
b. Sebelum Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Regional melakukan penilaian, pemrakarsa terlebih
dahulu mengajukan hasil Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan regional dalam bentuk tertulis dan
mempresentasikan dalam rapat Komisi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Regional;
c. Rapat Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Regional wajib mendengar saran dan pendapat wakil
masyarakat yang terkena dampak usaha atau kegiatan
yang bersangkutan, dan memperhatikannya dalam
mengambil keputusan;
d. Apabila dipandang perlu Komisi Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Regional dapat melakukan
penelitian/pengecekan keadaan di lapangan dan atau
mengadakan konsultan dengan pihak-pihak yang
dianggap perlu.

Kedelapan : Semua biaya yang diperlukan oleh Komisi Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan Terpadu/Multisektor dan regional dalam
melaksanakan tugasnya dibebankan pada anggaran rutin Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

Kesembilan: Dengan diterapkan Keputusan ini, maka Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep- 15 /MENLH/3/1994
tentang Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Terpadu dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kesepuluh : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 September 1995

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun 1995
Tentang : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa dalam Pasal 1 angka 5 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 51


Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan diatur ketentuan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional;

2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam huruf a


tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982,
Tambahan Lembaran Negara 3215);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1990, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Nomor 115 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3409);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah


Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Nomor 26 Tahun 1994,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) juncto Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran
Negara Nomor 24 Tahun 1995, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);

7. Keputusan Presiden R.I. Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan


Lindung;

8. Keputusan Presiden R.I. Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan


Kabinet Pembangunan VI;

9. Keputusan Presiden R.I. Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas


Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;

10. Keputusan Presiden R.I. Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN REGIONAL

Pasal 1

(1) Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional adalah hasil studi


mengenai dampak penting usaha atau kegiatan yang direncanakan
terhadap lingkungan hidup dalam satu kesatuan hamparan ekosistem
zona rencana pengembangan wilayah sesuai dengan rencana umum tata
ruang daerah dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi yang
bertanggung jawab.

2. Satu kesatuan hamparan ekosistem adalah beberapa ekosistem yang


saling berbatasan/berhimpunan.

3. Rencana Umum Tata Ruang Daerah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

4. Pemrakarsa adalah orang atau Badan hukum yang bertanggung jawab


untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional.

5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.

6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.


Pasal 2

(1) Setiap usaha atau kegiatan wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Regional apabila memenuhi seluruh kriteria yang meliputi:

1. berbagai jenis usaha atau kegiatan yang saling terkait antar satu dengan
yang lainnya;

2. masing-masing usaha atau kegiatan tersebut menjadi kewenangan lebih


dari satu instasi yang bertanggung jawab;

3. usaha atau kegiatan tersebut dimiliki oleh dari satu pemrakarsa;

4. usaha atau kegiatan tersebut dapat terletak dalam satu zona rencana
pengembangan wilayah sesuai dengan rencana umum tata ruang
daerah; dan

5. usaha atau kegiatan tersebut dapat terletak di lebih dari satu kesatuan
hamparan ekosistem.

Pasal 3

Berbagai jenis usaha atau kegiatan yang saling terkait antar satu dengan yang
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf adalah keterkaitan usaha atau
kegiatan sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan usaha atau kegiatannya.

Pasal 4

Usaha atau kegiatan tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf c adalah beberapa pemrakarsa yang wajib
menggabungkan diri menjadi satu pemrakarsa sebagai pihak yang bertanggung
jawab untuk mengajukan dan menyelesaikan penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Regional.

Pasal 5

(1) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional meliputi keseluruhan proses


penyusunan:

1. Kerangka Acuan bagi penyusunan Analisis Dampak Lingkungan;

2. Analisis Dampak Lingkungan;


3. Rencana Pengelolaan Lingkungan; dan

4. Rencana Pemantauan Lingkungan.

Pasal 6

Pemrakarsa usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib


menyusun dan mengajukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional kepada
Menteri melalui Kepala Badan.

Pasal 7

Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional adalah


sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 8

(1) Penelitian dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional dilakukan


oleh Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional Badan Pengedalian
Dampak Lingkungan.

(2) Persetujuan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional


ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 9

Setiap usaha atau kegiatan yang terkena kewajiban Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Regional, wajib menyusun Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan yang lebih rinci atas dasar Rencana Pengelolaan Lingkungan
dan Rencana Pemantauan Lingkungan Regional.

Pasal 10

Rencana Pengelolaan lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan sebagaimana


dimaksud pada Pasal 9 disusun berdasarkan pedoman teknis penyusunan Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan yang ditetapkan oleh
instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 11

Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan


yang lebih rinci sebagaimana dimaksud Pasal 9 disampaikan kepada instansi teknis
yang membidangi kegiatan yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri
melalui Kepala Badan.

Pasal 12

Apabila instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan menganggap


perlu penyempurnaan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan
Lingkungan yang lebih rinci sebagaimana dimaksud Pasal 9, wajib baginya membantu
penyempurnaannya tanpa harus dipresentasikan oleh pemrakarsa.

Pasal 13

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 Nopember 1995
Menteri Negara lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja

LAMPIRAN I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK
LINGKUNGAN REGIONAL
1. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya berbagai jenis
rencana usaha atau kegiatan dan keterkaitannya dengan tata ruang.
Disamping itu uraikan pula latar belakang dilaksanakan studi ANDAL
regional ini ditinjau dari :
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan
dengan rencana pembangunan usaha atau kegiatan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
b. Kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik tingkat
nasional maupun daerah, termasuk kebijakan mengenai rencana
pembangunan mengenai wilayah.
c. Uraian singkat mengenai keperluan, tujuan dan manfaat dan
berbagai rencana usaha atau kegiatan.
d. Kaitan rencana pembangunan berbagai usaha atau kegiatan
dengan dampak penting yang mungkin timbul.
Tujuan dan Kegunaan Studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL Regional:
a. Mengindentifikasikan berbagai rencana usaha atau kegiatan
terutama yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan regional.
b. Mengidentifikasikan rona lingkungan hidup regional, terutama
yang akan terkena dampak penting.
c. Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting.
Kegunaan studi ANDAL Regional :
a. Membantu pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
dan berbagai rencana usaha atau kegiatan.
b. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan regional dalam tahap
perencanaan rinci dan berbagai rencana usaha atau kegiatan.
c. SebagaI pedoman untuk pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan regional.

2. RUANG LINGKUP STUDI


Dalam rangka penyusunan ruang lingkup studi ini, maka proses pelingkupan
terhadap berbagai isu pokok memegang peranan yang sangat penting,
sehingga dihasilkan bidang yang harus di studi (aspek kegiatan dan parameter
lingkungan), maupun ruang dan waktu, yang dapat tergambarkan secara jelas
pada bagian berikut ini:
2.1. Lingkup Rencana Usaha atau Kegiatan
- Uraian secara singkat berbagai jenis rencana usaha atau
menimbulkan dampak pada tahap-tahap prakonstruksi, konstruksi
operasi dan pasca operasi.
- Komponen berbagai jenis rencana usaha atau kegiatan yang dapat
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
2.2. Lingkup Rona Lingkungan Hidup Awal
- Uraian secara singkat rona lingkungan yang akan terkena dampak
oleh masing-masing usaha atau kegiatan atau sebaliknya.
- Komponen lingkungan yang ditelaah karena terkena dampak
penting akibat masing-masing usaha atau kegiatan atau kelompok
kegiatan meliputi : fisika-kimia, biologi, sosial dan kesehatan
masyarakat.
- Daya dukung lirigkungan regional di mana semua jenis rencana
usaha atau kegiatan tersebut akan berlokasi.
2.3. Lingkup Wilayah Studi
Wilayah studi ini mencakup : wilayah proyek, ekologi, sosial dan
administrasi dengan resultantenya adalah wilayah teknis yang
merupakan wilayah studi ANDAL Regional. Untuk ini perlu diperhatikan
perkembangan pembangunan wilayah sekitar proyek yang dapat
memberikan dampak terhadap proyek yang bersangkutan atau
sebaliknya. Wilayah studi ini ditentukan menurut hasil telaahan butir 2.1.
dan 2.2. di atas yang didasarkan pada Keputusan Kepala BAPEDAL
Nomor: KEP- 056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran
Dampak Penting.

3. METODA STUDI
Metoda studi yang berlaku dalam penyusunan ANDAL Regional pada dasarnya
sama dengan metoda studi ANDAL pada umumnya. Tetapi pada ANDAL
Regional, penggunaan berbagai metoda studi tersebut harus difokuskan pada
hal-hal sebagai berikut:
a. Dampak penting dan masing-masing usaha atau kegiatan terhadap
lingkungan menurut ruang dan waktu;
b. lnteraksi antar jenis usaha atau kegiatan yang direncanakan untuk
mengetahui keterkaitan dampak antar kegiatan menurut ruang dan
waktu;
c. Akumulasi dampak yang terjadi menurut ruang dan waktu pada
terhadap lingkungan (fisik-kimia, biologi, sosial dan kesmas) baik yang
disebabkan oleh masing-masing kegiatan atau antar kegiatan. Untuk itu
perlu dilakukan:
(1) Pengukuran dampak dan setiap usaha atau kegiatan terhadap
setiap parameter/komponen lingkungan;
(2) Pengukuran akumulasi dampak dan setiap usaha atau kegiatan
terhadap parameter/komponen lingkungan;
(3) Pengukuran akumulasi dampak dan berbagai usaha atau kegiatan
pada parameter/komponen lingkungan tertentu, baik bersifat
sinergetik atau antagenistik).
3.1. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
Uraian metoda pengumpulan dan analisis data baik data primer dan atau
sekunder yang sahih dan dapat dipercaya untuk digunakan:
a. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen lingkungan yang
diperkirakan terkena dampak penting.
b. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen rencana
pembangunan berbagai jenis usaha atau kegiatan yang
diperkirakan rnendapat dampak dari lingkungan sekitarnya.
3.2. Metoda Prakiraan Dampak
Uraian metoda yang digunakan dalam studi ANDAL untuk
memprakirakan besarnya dampak lingkungan dan penentuan sifat
pentingnya dampak. Penggunaan metoda formal dan non formal dalam
mernprakirakan dampak penting perlu diuraikan secara jelas untuk
setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak
penting. Dalam hal ini, pengguna metoda non formal hanya dapat
digunakan apabila metoda formal belum ada/diketahui.
3.3. Metoda Evaluasi Dampak
Dalam mengavaluasi darnpak penting maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
a. Evaluasi Tingkat Kepentingan Dampak
Gunakan Keputusan Kepala BAPEDAL nomor KEP- 055 Tahun 1994
tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting untuk menilai
tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
b. Evaluasi Tingkah Laku Dampak
Sebagai dasar untuk rnenelaah kelayakan lingkungan dan
berbagai alternatif usaha atau kegiatan dan arah pengelolaan
dampak penting yang dihasilkanpada butir a tersebut di atas,
maka berbagai dampak penting tersebut harus dievaluasi atas
dasar:
1) Sebab Akibat Dampak
perlu diketahui dari segi aspek kegiatannya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
2) Sifat dan Karakteristik Dampak
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dan sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positip maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonistik atau saling menetralisir.
3) Pola Persebaran Dampak
Harus diketahui arah persebaran dampak yang jelas dalam
rangka mempermudah pengelolaan dampak yang
bersangkutan.

4. PELAKSANAAN STUDI
4.1. Tim Studi
Pada bagian ini dicantumkan jumlah dan jenis tenaga ahli yang
diperlukan dalam studi ANDAL Regional sesuai dengan lingkup studi
ANDAL Regional. Jenis tenaga ahli yang diperlukan adalah tenaga ahli
yang sesuai dengan sifat proyek dan aspek lingkungan yang diteliti serta
telah berpengalaman dalam penyusunan AMDAL sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun.
4.2. Biaya Studi
Pada bagian ini diuraikan sekurang-kurangnya rincian jenis-jenis biaya
yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi ANDAL Regional.
4.3. Waktu Studi
Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL
Regional sejak tahap persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi
yang bertanggung jawab.

5. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini dicantumkan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen Kerangka Acuan (KA)-ANDAL Regional yang
berupa buku, majalah, tulisan dan hasil-hasil laporan penelitian dengan
susunan penulisan sebagai berikut:
a. Nama pengarang/penyunting (editor) yang jelas dan lengkap
b. Judul buku/artikel
c. Penerbit
d. Tempat penerbitan
e. Tahun penerbitan

6. LAMPIRAN
a. Butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL.
b. Biodata Personil Penyusun ANDAL Regional.
c. Hal-hal lain yang dianggap perlu.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian,

Ttd
Hambar Martono

LAMPIRAN II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN
REGIONAL

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya berbagai jenis
rencana usaha atau kegiatan dan keterkaitannya dengan tata ruang. Di
samping itu uraikan pula Latar belakang dilaksanakan studi ANDAL
regional ditinjau dari :
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, baik
tingkat nasional maupun daerah, termasuk kebijakan mengenai
rencana pembangunan wilayah
c. Kaitan rencana usaha atau kegiatan dengan dampak penting yang
ditimbulkan.
1.2. Tujuan Studi
a. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL Regional adalah:
1) Mengindentifikasikan berbagai rencana usaha atau kegiatan
yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan
regional.
2) Mengidentifikasikan komponen-komponen lingkungan hidup
yang akan terkena dampak penting.
3) Memprakirakan dan mengevaluasi rencana usaha atau
kegiatan yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan regional.
b. Kegunaan
Kegunaan studi ANDAL Regional adalah untuk:
1) Bahan masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah.
2) Membantu proses pengambilan keputusan tentang
kelayakan lingkungan dan berbagai rencana usaha atau
kegiatan.
3) Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dan
berbagai usaha atau kegiatan yang direncanakan.
4) Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan
dan pemantauan lingkungan dan berbagai usaha kegiatan
yang direncanakan.
5) Memberi informasi bagi masyarakat untuk dapat
memanfaatkan dampak positif dan menghindari dampak
negatif yang akan ditimbulkan dan berbagai usaha atau
kegiatan yang direncanakan.

2. METODA STUDI
Bab Metoda Studi mencakup tentang dampak penting yang ditelaah, wilayah
studi, metoda pengumpulan dan analisis data, metoda prakiraan dampak
penting, serta metoda evaluasi dampak penting.
Masing-masing butir yang uraikan pada Bab Metoda Studi ini disusun dengan
mengacu pada hal-hal yang tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan.
2.1. Dampak Penting yang Ditelaah
a) Uraikan mengenai rencana usaha atau kegiatan penyebab
dampak, terutama komponen usaha atau kegiatan yang berkaitan
langsung dengan dampak yang ditimbulkannya, atau kegiatan
atau kelompok kegiatan (yang mempunyai sifat dampak yang
sama).
b) Uraikan rona lingkungan yang terkena dampak, terutama
komponen lingkungan yang langsung terkena dampak. Uraikan
agar dibuat untuk setiap lokasi rencana usaha atau kegiatan atau
kelompok kegiatan, yaitu di mana masing-masing rencana usaha
atau kegiatan atau kelompok kegiatan direncanakan berada.
c) Uraian dampak yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 1
a) dan b) mengacu pada hasil pelingkupan yang tertuang dalam
dokumen Kerangka Acuan untuk ANDAL Regional. Penetapan
dampak penting dimaksud harus mengacu pada keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor KEP- 056 Tahun 1994 tentang Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting.
2.2. Wilayah Studi
Uraian lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah studi
yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL Regional, dan hasil
pengamatan di lapangan.
Batas wilayah studi ANDAL Usaha atau Kegiatan dimaksud digambarkan
pada peta dengan skala yang memadai.
2.3. Metoda Pengumpulan dan Analisa Data
a) Mengingat studi ANDAL merupakan telaahan mendalam atas
dampak penting usaha atau kegiatan terhadap lingkungan, maka
jenis data yang dikumpulkan baik data primer maupun sekunder
harus bersifat sahih dan dapat dipercaya yang diperoleh melalui
metoda atau alat yang bersifat sahih.
b) Uraikan secara jelas tetang metoda atau alat yang digunakan,
serta lokasi pengumpulan data berbagai komponen lingkungan
yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 2.1.b. Lokasi
pengumpulan data agar dicantumkan dalam peta dengan skala
memadai.
c) Pengumpulan data untuk demografi, sosial ekonomi, sosial
budaya, dan kesehatan masyarakat, sejauh mungkin
menggunakan kombinasi tiga metoda (metoda triangulasi, studi
pustaka, survai data sekunder, pengamatan/pemeriksaan) agar
diperoleh data yang reliabilitasnya tinggi.
d) Uraikan secara jelas tentang metoda atau alat yang digunakan
dalam analisa data.
2.4. Metoda Prakiraan Dampak Penting
Uraikan secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk
memprakiraan besar dampak usaha atau kegiatan terhadap komponen
lingkungan yang dimaksud pada butir 2.1 .b. Penggunaan metoda formal
dan non formal dalam memprakirakan dampak penting agar diuraikan
secara jelas untuk setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan
terkena dampak penting. Dalam hal ini, penggunaan metoda non formal
hanya dapat digunakan bilamana metoda formal belum ada/belum
diketahui.
Penggunaan Matriks Kompatibilitas akan sangat membantu lebih
terfokusnya prakiraan dampak akibat interaksi usaha atau kegiatan.
2.5. Metoda Evaluasi Dampak Penting
Dalam mengevaluasi dampak penting, maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
a. Evaluasi Tingkat Kepentingan Dampak
Gunakan Keputusan Kepala Bapedal Nomor: KEP - 056 Tahun
1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting untuk
menilai tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
b. Evaluasi Tinggi Laku Dampak
Sebagai dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan dan
berbagai alternatif usaha atau kegiatan dan arah pengelolaan
dampak penting yang dihasilkan pada butir a tersebut di atas,
maka berbagai dampak penting tersebut harus dievaluasi atas
dasar:
1) Sifat Akibat Dampak
Perlu diketahui dan segi aspek kegiatannya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
2) Sifat dan Karakteristik Dampak
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dan sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positif maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonistik atau saling menetralisir.
3) Pola Persebaran Dampak
Harus diketahui arah persebaran dampak yang jelas dalam
rangka mempermudah pengelolaan dampak yang
bersangkutan.

3. RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN


3.1. Identitas Pemrakarsa dan Penyusun ANDAL
Uraikan mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL
Regional:
a) Pemrakarsa:
1) Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai
pemrakarsa rencana usaha atau kegiatan.
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan
rencana usaha atau kegiatan.
b) Penyusunan ANDAL Regional:
1) Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai
dengan kualifikasi dan rujukaanya.
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun
ANDAL Regional.
3.2. Tujuan Rencana Usaha atau Kegiatan
Nyatakan maksud dan tujuan dan berbagai rencana usaha atau kegiatan
yang studi AMDAL-nya dilakukan dalam studi ANDAL Regional ini. Tujuan
rencana usaha atau kegiatan perlu dikemukakan secara sistematis dan
terarah.
3.3. Kegunaan dan Keperluan Rencana Usaha atau Kegiatan Uraikan
kegunaan dan kepenluan mengapa berbagai rencana usaha atau
kegiatan harus dilaksanakan, baik ditinjau dan segi kepentingan
pemrakarsa maupun dan segi menunjang program pembangunan.
3.4. Rencana Kegiatan dan Komponen kegiatannya
Uraikan:
a) Batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh masing
masing rencana usaha atau kegiatan dan harus dinyatakan dalam
peta berskala memadai, dan dapat memperlihatkan hubungan tata
kaitan dan tata letak antara lokasi rencana dengan usaha atau
kegiatan lainnya, seperti pemukiman (lingkungan binaan manusia
umumnya), dan lingkungan hidup alami yang terdapat di sekitar
rencana usaha atau kegiatan hutan lindung, cagar alam, suaka
alam, suaka margasatwa, sumber mata air, sungai, dan daerah
sensitif lainnya yang terletak dekat lokasi rencana usaha atau
kegiatan harus diberikan tanda istimewa dalam peta.
b) Hubungan antara lokasi rencana usaha atau kegiatan dengan
jarak dan tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam
hayati, sumber daya alam nonhayati dan sumber daya manusia
serta kondisi sosial ekonomi yang diperlukan oleh rencana usaha
atau kegiatan setelah usaha atau kegiatan ini beroperasi.
Hubungan ini perlu dikemukakan dalam peta dengan skala
memadai.
c) Pilihan usaha atau kegiatan berdasarkan hasil studi kelayakan
(misal: pilihan lokasi, tata letak bangunan atau sarana
pendukung, atau teknologi proses produksi). Bila berdasarkan
studi kelayakan terdapat beberapa pilihan lokasi usaha atau
kegiatan maka berikan uraian tentang masing-masing pilihan
lokasi tersebut bagaimana dimaksud pada butir a dan b.
d) Tata letak usaha atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang
berskala memadai, yang memuat informasi tentang letak
bangunan dan struktur lainnya yang akan dibangun dalam lokasi
rencana usaha atau kegiatan, serta hubungan bangunan dan
struktur tersebut dengan bangunan yang sudah ada di sekitar
rencana usaha atau kegiatan (jalan raya, jalan kereta api,
dermaga dan sebagainya). Bila terdapat beberapa pilihan tata
letak bangunan dan struktur lainnya, maka pilihan rancangan
tersebut diutarakan pula dalam peta yang berskala memadai.
e) Tahap pelaksanaan rencana usaha atau kegiatan.
Jadwal pelaksanaan masing-masing usaha atau kegiatan dan tahap
konstruksi, jangka waktu masa operasi, hingga rencana waktu pasca
operasi. Jadwal pelaksanaan ini perlu disusun dalam suatu bagan yang
dapat menggambarkan keterkaitan antara usaha atau kegiatan yang
satu dengan lainnya, serta waktu pelaksanaannya.
1) Tahap Pra-Konstruksi/Persiapan
Uraian masing-masing rencana usaha atau kegiatan dan jadwal
pelaksanaan pada tahap pra konstruksi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada jenis-jenis usaha atau kegiatan yang menjadi
penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan.
2) Tahap Konstruksi
(a) Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan dan jadwal
usaha atau kegiatan pada tahap konstruksi. Uraian secara
mendalam difokuskan pada jenis-jenis usaha atau kegiatan
yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting
terhadap lingkungan.
(1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah,
tempat asal tenaga kerja, dan kualifikasi pendidikan.
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan,
listrik, air) dan rencana usaha atau kegiatan.
(3) Kegiatan penimbunan bahan atau material yang
dapat menimbulkan dampak lingkungan.
(b) Uraikan tentang usaha atau kegiatan pembangunan unit
atau sarana pengendalian dampak (misal: unit pengolahan
limbah), bila unit atau sarana dimaksud direncanakan akan
dibangun oleh pemrakarsa. Disamping itu, bila ada,
utarakan pula upaya-upaya untuk mengatasi berbagai
masalah lingkungan yang timbul selama masa konstruksi.
(c) Uraian tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas
material/bahan, gudang, jalan-jalan darurat dan lain-lain
setelah usaha atau kegiaatan konstruksi berakhir.
3) Tahap Operasi
(a) Uraikan rencana usaha atau kegiatan dan jadwal
pelaksanaan pada tahap operasi. Uraikan secara mendalam
difokuskan pada jenis-jenis usaha atau kegiatan yang
menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap
lingkungan. Misa!nya:
(1) Jumlah dan jenis bahan baku yang digunakan dalam
proses produksi yang mungkin menimbulkan dampak
penting lingkungan (misal : pestisida serta bahan
berbahaya dan beracun lainnya). Perlu juga diuraikan
neraca air (water balance) bila usaha atau kegiatan
yang akan dibangun menggunakan banyak air.
(2) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga
kerja, dan kualifikasi pendidikan tenaga kerja yang
akan diserap langsung oleh rencana usaha atau
kegiatan pada tahap operasi.
(3) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya
atau masalah selama operasi baik yang bersifat fisik
maupun sosial.
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan
dilaksanakan selama masa operasi. Termasuk dalam hal ini
rencana pengoperasian unit atau sarana pengendalian
dampak yang telah dibangun pada masa konstruksi.
4) Tahap Pasca Operasi
Uraikan rencana usaha atau kegiatan dan jadwal usaha atau
kegiatan pada tahap pasca operasi.
Misalnya:
(a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan
bahan/material, bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan
sebagainya.
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan
dilaksanakan setelah masa operasi berakhir.
(c) Rencana pemantaatan kembali lokasi rencana usaha atau
kegiatan untuk tujuan lain bila seluruh rencana usaha atau
kegiatan berakhir.
(d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah
masa usaha atau kegiatan berakhir.
(e) Rencana penanganan limbah radioaktif limbah bahan
berbahaya dan beracun serta semua fasilitasnya setelah
kegiatan berakhir.
5) Uraian rinci ten masing-masing usaha atau kegiatan yang diteaah
dalam studi ANDAL Regional sebagaimana disebut ada butir-butir
1 s/d 4 di atas agar mengacu pada pedoma teknis penyusunan
AMDAL yang telah ditetapkan oleh mdsing-masing sektor yang
bersangkutan.

4. RONA LINGKUNGAN HIDUP


Dalam bab ini hendaknya informasi lingkungan selengkap mungkin mengenai:
1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan
harus megungkapkan secara mendalam komponen lingkungan yang
berpotensi terkena dampak penting usaha atau kegiatan. Komponen
lingkungan hidup yang memil nilai-nilai ekologis dan sosial ekonomi
perlu mendapat perhatian.
Uraian rona lingkungan ini dibuat untuk setiap lokasi rencana usaha atau
kegiatan atau kelompok kegatan, sehingga dapat terlihat tumpang tindih
lokasi, yang akan membantu pada tahap prakiraan dampak.
2) Kondisi kualifikatif dan kuantitatif dan berbagai sumber daya alam yang
ada di wlayah studi rencana usaha atau kegiatan, baik yang sudah atau
yang akan dimanfaatkan maupun yang masih dalam bentuk cadangan
atau potensi. Perlu pula diperhatikan perkembangan pembangunan
wilayah di sekitar proyek yang dapat memberikan dampak terhadap
proyek yang bersangkutan. Penyajian kondisi sumber daya alam ini perlu
dikemukakan dalam peta dan atau tabel dbngan skala memadai dan bila
perlu harus dilengkapi dengan diagram, gambar, grafik atau foto.
3) Data dan informasi rona lingkungan hidup
Uraian secara singkat rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana
usaha kegiatan. Rona lingkungan hidup yang diuraikan pada butir ini
agar dibatasi pada komponen-komponen lingkungan yang berkaitan
dengan, atau berpotensi terkena dampak penting.
Berikut ini adalah beberapa contoh komponen lingkungan hidup yang
dapat dipilih untuk ditelaah sesuai hasil pelingkupan dalam KA-ANDAL.
Penyusun dapat menelaah komponen lingkungan yang lain di luar dan
daftar contoh komponen ini bila dianggap penting berdasarkan hasil
penilaian lapangan dalam studi ANDAL ini.
a. Fisik - Kimia
1) lklim
(a) Komponen iklim yang perlu diketahui antara lain
seperti tipe iklim, suhu (maksimum, minimum, rata-
rata), kelembaban curah hujan dan jumlah hari
hujan, keadaan angin (arah dan kecepatan),
intensitas radiasi matahari.
(b) Data periodik bencana (siklus tahunan, lima tahunan,
dan sebagainya) seperti sering terjadinya angin ribut,
banjir tahunan, banjir bandang di wilayah studi
rencana usaha atau kegiatan.
(c) Data yang tersedia dan stasiun meteorologi dan
geofisika yang mewakili wilayah stusi tersebut.
(d) Kualifikasi udara baik pada sumber maupun daerah
sekitar wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
(e) Pola iklim mikro, pola penyebaran bahan pencemar
udara secara umum maupun pada kondisi cuaca
terburuk.
(f) Sumber kebisingan dan getaran, tingkat kebisingan
serta periode kejadiannya.
2) Fisiografi
(a) Topografi bentuk lahan (morphologi), strukstur
geologi dan jenis tanah.
(b) Indikator lingkungan yang berhubungan dengan
stabilitas geologi dan stabilitas tanah, terutama
ditekankan bila terdapat gejala ketidakstabilan, dan
harus diuraikan dengan jelas dan seksama (misal:
longsor tanah, gempa, sesar, kegiatan-kegiatan
vulkanis, dan sebagainya).
(c) Keunikan, keistimewaan, dan kerawanan, bentuk
lahan dan bantuan secara geologis.
3) Hidrologi
(a) Karakteristik fisik sungai, danau, rawa (rawa pasang
surut, rawa air tawar).
(b) Rata-rata debit dekade, bulanan, tahunan.
(c) Kadar sedimentasi (lumpur), tingkat erosi.
(d) Kondisi fisik daerah resapan air permukaan dan air
tanah.
(e) Fluktuasi dan potensi air tanah (dangkal dan dalam).
(f) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air
untuk air minum, mandi, cuci.
(g) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air
untuk keperluan lainnya seperti pertanian, industri,
dan lain-lain.
(h) Kualifikasi fisik, kimia dan mikrobiologi air mengacu
pada baku mutu dan parameter kualitas air yang
terkait dengan limbah yang akan keluar.
4) Hidrooseanografi
Pola hidrodinamika kelautan seperti pasang surut, arus dan
gelombang/ombak, morfologi pantai, abrasi dan akresi yang
terjadi secara alami di daerah penelitian.
5) Ruang, Lahan, dan Tanah
(a) Inventarisasi tata guna lahan dan sumber daya
lainnya pada saat rencana usaha atau kegiatan
diajukan dan kemungkinan potensi
pengembangannya di masa datang.
(b) Rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang,
rencana tataguna tanah, dan sumber daya alam
lainya yang secara resmi atau belum resmi disusun
oleh Pemerintah setempat baik di tingkat kabupaten,
propinsi atau nasional di wilayah studi rencana usaha
atau kegiatan.
(c) Kemungkinan adanya konflik atau kendala yang
timbul antara rencana tata guna tanah dan sumber
daya alam lainnya yang sekarang berlaku dengan
adanya pemilikan/penentuan lokasi bagi rencana
usaha atau kegiatan.
(d) Inventarisasi nilai setetika dan keindahan bentang
alam serta daerah rekreasi yang ada di wilayah studi
rencana atau kegiatan
b. Biologi
1) Flora
(a) Peta zona biogeokilmatik dan vegetasi alami yang
meliputi tipe vegetasi, sifat-sifat dan kerawanannya
yang berada dalam wilayah studi rencana usaha
atau kegiatan.
(b) Uraian tentang jenis-jenis vegetasi dan ekosistem
yang dilindungi undang-undang yang berada dalam
wilayah studi rencana usaha atau kegiatan.
(c) Uraian tentang keunikan dan vegetasi dan
ekosistemnya yang berada pada wilayah studi
rencana usaha atau kegiatannya
2) Fauna
(a) Taksiran kelimpahan dan keragaman fauna, habitat,
penyebaran, pola migrasi, populasi hewan budidaya
(ternak) serta satwa dan habitatnya yang dilindungi
undang-undang dalam wilayah studi rencana
usaha atau kegiatannya
(b) Taksiran penyebaran dan kepadatan populasi hewan
invertebrata yang dianggap penting karena memiliki
peranan dan potensi sebagai bahan makanan, atau
sumber hama dan penyakit
(c) Perikehidupan hewan penting di atas, termasuk cara
perkembangbiakan, siklus dan neraca hidupnya, cara
pemindahan, cara bertelur dan beranak, cara
memelihara anaknya, perilaku dalam daerah
dan teritorinya.
c. Sosial-ekonomi-budaya
Komponen sosial yang penting untuk ditelaah diantaranya:
1. Demografi
(a) Strukstur penduduk menurut kelompok umur, jenis
kelamin, mata pencaharian, pendidikan dan agama.
(b) Tingkat kepadatan dan sebaran kepadatan penduduk.
(c) Angkatan kerja produktif.
(d) Tingkat kelahiran.
(e) Tingkat kematian.
(f) Tingkat kematian bayi/balita.
(g) Pola perkembangan kependudukan.
(h) Pola mobilitas kependudukan.
2. Ekonomi
(a) Kesempatan kerja dan berusaha.
(b) Tingkat pendapatan penduduk.
(c) Pola pemilikan dan penguasaan lahan dan
sumberdaya alam termasuk sumber daya alam milik
bersama.
(d) prasarana dan sarana perekonomian (jalan, pasar,
pelabuhan, perbankan, pusat pertokoan)
3. Budaya
(1) Pranata sosial atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang tumbuh di kalangan
masyarakat.
(2) Adat istiadat dan pola kebiasaan yang berlaku.
(3) Proses sosial (kerjasama, konflik) di kalangan
masyarakat.
(4) Akumulasi, asimilasi, dan integrasi dan berbagai
kelompok-kelompok masyarakat.
(5) Kelompok-kelompok dan organisasi sosial.
(6) Pelapisan sosial di kalangan masyarakat.
(7) Perubahan sosial yang tengah berlangsung di
kalangan masyarakat.
(8) Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana
usaha atau kegiatan.
d. Kesehatan Masyarakat
(1) Insiden dan prevalensi penyakit yang mungkin terkait
dengan rencana usaha atau kegiatan.
(2) Sanitasi lingkungan, khususnya ketersediaan air bersih
(cakupan pelayanannya).
(3) Status gizi dan kecukupan pangan.
(4) Jenis dan jumlah fasilitas kesehatan
(5) Cakupan pelayanan tenaga dokter dan paramedis.

5. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Dalam bab ini hendaknya dimuat:
1. Prakiraan secara cermat dampak setiap usaha atau kegiatan pada saat
pra konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi terhadap
lingkungan, termasuk dampak kumulatifnya terhadap lingkungan secara
regional Telaah ini dilakukan dengan cara menganalisis perbedaan
antara kondisi kualitas lingkungan yang diprakirakan dengan adanya
usaha atau kegiatan, dan kondisi kualitas lingkungan yang diprakirakan
tanpa adanya usaha atau kegiatan menurut ruang dan waktu dengan
menggunakan metoda prakiraan dampak.
Prakiraan dampak agar dibuat untuk setiap jenis usaha atau kegiatan
dalam ruang dan waktu, sehingga dampak kumulatif akibat interaksi
beberapa usaha atau kegiatan dapat diprakirakan secara lebih jelas.
2. Penentuan arti penting perubahan kualitas lingkungan yang diprakirakan
bagi masyarakat di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan, dan
pemerintahan; dengan mengacu pada Pedoman Mengenai Ukuran
Dampak Penting.
3. Dalam melakukan telaahan butir I dan 2 tersebut perlu diperhatikan
dampak yang bersifat langsung dan atau tidak langsung. Dampak
langsung adalah dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh adanya
usaha atau kegiatan. Sedang dampak tidak langsung adalah dampak
yang timbul sebagai akibat berubahnya suatu komponen lingkungan dan
atau usaha atau kegiatan primer oleh adanya rencana usaha atau
kegiatan. Dalam kaitan ini maka perlu diperhatikan mekanisme aliran
dampak pada berbagai komponen lingkungan sebagai berikut:
a) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung
pada komponen sosial-ekonomi-budaya.
b) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung
pada komponen fisik-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian
dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan
sosial-ekonomi-budaya.
c) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung
pada komponen fisik-kimia, dan selanjutnya membangkitkan
dampak pada komponen sosial-ekonomi-budaya.
d) Dampak penting berlangsung sating berantai di antara komponen
sosial itu sendiri.
e) Dampak penting sosial-ekonomi-budaya pada butir a,b,c, dan d
yang telah diutarakan selanjutnya menimbulkan dampak balik
pada rencana usaha atau kegiatan.
4. Dalam melakukan telaahan butir 1 dan 2 tersebut harus diperhatikan
dampak yang bersifat kumulatif.

6. EVALUASI DAMPAK PENTING


Dalam bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak
penting dan rencana usaha atau kegiatan. Hasil evaluasi ini selanjutnya
menjadi masukan bagi instansi yang berwenang untuk memutuskan kelayakan
lingkungan dan berbagai rencana usaha atau kegiatan, sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.
a. Telaahan Holistik Terhadap Dampak Penting
1) Telaahan secara menyeluruh (holistik) atas berbagai komponen
lingkungan yang diprakirakan mengalami perubahan mendasar
sebagaimana dikaji pada Bab 5 menggunakan kritenia dalam
Pedoman Mengenal Ukuran Dampak Penting sesuai dengan
Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor: KEP- 056 Tahun 1994.
2) Yang dimaksud dengan evaluasi dampak yang bersifat holistik
adalah telaahan secara total terhadap beragam dampak penting
lingkungan yang dimaksud pada Bab 5, yang mungkin diakibatkan
oleh sumber usaha atau kegiatan. Beragam komponen lingkungan
yang terkena dampak penting tersebut (baik positif maupun
negatif, ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan
saling mempengaruhi, sehingga dapat diketahul “perimbangan”
dampak penting yang positif dengan yang negatif.
3) Dampak-dampak penting yang dihasilkan dan evaluasi disajikan
sebagai dampak-dampak penting yang harus dikelola.
b. Telaahan Tingkah Laku Dampak
Telaahan ini sebagai dasar pengelolaan dampak penting sesuai hasil
telaahan butir 1 di atas.
1) Telaah hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha
atau kegiatan dan rona lingkungan hidup dengan dampak positif
dan negatif yang mungkin timbul dan rencana usaha atau
kegiatan terhadap rona lingkungan, karena rencana usaha atau
kegiatan itu dilaksanakan di suatu tempat lokasi yang terlalu
padat manusia, atau pada tingkat pendapatan dan pendidikan
yang terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak sesuai dan
sebagainya.
2) Kemukakan ciri dampak penting ini dengan jelas, dalam arti
apakah dampak penting positif atau negatif akan ada selama
rencana usaha atau kegiatan itu dilaksanakan atau akan terus
berlangsung sejak masa pra-koristruksi sampai rencana usaha
atau kegiatan selesai. Atau mungkin akan terus berlangsung,
sampal usaha atau kegiatan berakhir.
3) Uraikan kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif
dan kelompok yang akan terkena dampak positif. Identifikasikan
kesenjangan antara perubahan yang diinginkan dan perubahan
yang mungkin terjadi akibat berbagai usaha atau kegiatan.
4) Telaah pola dan luas daerah yang akan terkena oleh dampak
penting, apakah dampaknya bersifat lokal, regional, nasional atau
internasional (melewati batas Negara RI). Uraikan usulan
pengendaliannya ditinjau dan kemampuan pengelola dan
pemerintah untuk mengatasi dampak negatif dan
mengembangkan dampak positif pada tingkat kecamatan,
kabupaten, propinsi, pemerintah tingkat pusat, atau antar negara.
5) Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha atau
kegiatan berada di dalam daerah bencana alam atau berdekatan
dengan sumber bencana alam.

7. DAFTAR PUSTAKA
Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan
pernyataan penting yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang
mutakhir serta disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang
baku.

8. LAMPIRAN
Dalam bab ini hendaknya disebut bahan-bahan yang dilampirkan:
a. Surat izin atau rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai
dengan saat ANDAL akan disusun.
b. Surat-surat tanda pengenal, keputusan, kualifikasi, rujukan bagi para
pelaksana dan peneliti serta penyusun analisis dampak lingkungan.
c. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan awal, usulan
rencana usaha atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang
lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan
dampak lingkungan penting yang akan ditimbulkannya.
d. Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tercantum
dalam dokumen.
e. Hal-lain yang dipandang perlu atau relevan untuk dimuat dalam lampiran
ini.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian,

Ttd
Hambar Martono

LAMPIRAN III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN REGIONAL

1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN


a. Jelaskan hasil evaluasi dampak yang terdapat dalam dokumen ANDAL
yang menyangkut:
1) Dampak-dampak penting yang akan terjadi;
2) Tingkah laku dampak penting yang meliputi;
- sebab akibat terjadinya dampak penting;
- sifat dan karakteristik dampak penting;
- pola persebaran dampak penting.
Tingkah laku dampak penting tersebut di atas dapat digunakan
menentukan arah pengelolaan dampaknya.
3) Wilayah pengelolaan dampak penting
Kemukakan secara jelas dalam peta dengan skala yang memadai
(peta administratif, peta lokasi, peta topografi, dll) yang
mencakup informasi tentang:
(a) Letak geografi masing-masing rencana usaha atau kegiatan
maupun secara keseluruhan;
(b) Rencana tata ruang sesuai peruntukannya;
(c) Aliran sungai, danau, rawa;
(d) Jaringan jalan dan pemukiman penduduk;
(e) Batas administratif pemerintahan daerah;
(f) Wilayah, kelompok masyarakat, atau ekosistem di sekitar
rencana pengembangan regional yang sensitif terhadap
perubahan.
Peta yang disajikan merujuk pada hasil studi ANDAL.
b. Uraian huruf a di atas agar menampilkan tumpang tindih wilayah
dampaknya baik yang bersifat kumulatif maupun non-kumulatif.

2. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Uraian secara singkat dan jelas pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan oleh
masing-masing rencana usaha atau kegiatan menurut bidang sektor/instansi
teknis pembina sesuai dengan tahap pembangunan yang meliputi:
2.1. Dampak Penting dan Sumber Dampak Penting
Uraikan secara singkat dan jelas parameter/komponen lingkungan yang
diprakirakan mengalami perubahan mendasar akibat dan suatu sumber
dampak dan rencana usaha atau kegiatan tersebut menurut hasil studi
ANDAL balk dampaknya secara kumulatif maupun non kumulatif.
Dampak penting kumulatif dapat ditimbulkan dan satu atau lebih
rencana usaha atau kegiatan yang melebihi daya dukung lingkungan
dimana kegiatan tersebut dilaksanakan.
Dampak penting non-kumulatif dapat ditimbulkan dan satu sumber
dampak yang dapat me daya dukung Iingkungan dimana kegiatan
tersebut dilaksanakan.
2.2. Tolok Ukur Dampak
Jelaskan tolok ukur darnpak sebagaimana dimuat dalam studi ANDAL
yang akan digunakan untuk mengukur parameter/komponen lingkungan
yang akan terkena dampak penting akibat satu atau lebih rencana usaha
atau kegiatan.
2.3. Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan
Uraian secara spesifik tujuan pengelolaan dampak penting yang bersifat
strategis, sehingga pencemaran lingkungan dapat dicegah dan
kerusakan lingkungan dapat ditanggulangi.
Dampak strategis dimaksud adalah apabila sumber dampak pada
komponen lingkungan dapat dikendalikan dan pada parameter
lingkungan dapat ditanggulangi misal, dampak yang strategis dikelola
untuk suatu rencana industri pulp dan kertas adalah kualitas air limbah,
maka tujuan upaya pengelolaan lingkungan secara spesifik adalah:
“Mengendalikan mutu limbah cair yang dibuang kesungai XYZ,
khususnya parameter BOD5, COD, Padatan Tersuspensi Total, dan pHz
agar tidak melampui baku mutu limbah cair sebagaimana yang
ditetapkan dalam KEP- 51/MENKLH/1O/1995 Tentang Baku Mutu Limbah
Cair bagi kegiatan industri.
2.4. Pengelolaan Lingkungan
Jelaskan secara rinci upaya-upaya pengelolaan Lingkungan yang
dilakukan melalui pendekatan teknologi, sosial ekonomi, dan intitusi
dalam rangka meminisasi dampak negatif penting dan meningkatkan
dampak positif penting.
Dampak pengelolaan dampak ini perlu diperhatikan dampak penting
yang bersifat kumulatif, hal ini penting mengingat penting mengingat
dampak penting yang diakibatkan oleh masing-masing usaha atau
kegiatan sebelum berakumulasi seringkali masih sesuai dengan daya
dukung lingkungan.
2.5. Lokasi Pengelolan Lingkungan
Utarakan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan dengan
memperhatikan sifat persebaran dampak penting yang dikelola, sedapat
mungkin dilengkapi dengan peta/sketsa/gambar dengan skala memadai.
2.6. Periode Pengelolaan Lingkungan
Uraian rencana tentang kapan dan berapa lama kegiatan pengelolaan
Lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan : sifat dampak penting
yang dikelola (lama berlangsung), sifat kumulatif, dan berbalik tidaknya
dampak serta kemampuan pemrakasa (tenaga, dana).
2.7. Pembiayaan Pengelolaan Lingkungan
Pembiayaan untuk melaksanakan Rencana Pengelolaan Lingkungan
menupakan tugas dan tanggung jawab dan pemrakarsa rencana usaha
atau kegiatan yang bersangkutan.
Biaya tersebut meliputi:
a. Biaya investasi misalnya pembelian peralatan pengelolaan
lingkungan serta biaya untuk kegiatan lainnya.
b. Biaya personil dan biaya operasional.
c. Biaya pendidikan serta latihan ketrampilan petugas operasional.
2.8. Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan
Pada setiap rencana pengelolaan lingkungan cantumkan lembaga yang
akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan lingkungan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku baik ditingkat nasional maupun daerah. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 yang meliputi:
a. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
b. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.
c. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor
terkait.
d. Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya.
e. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan
institusi pengelolaan lingkungan.
Kelembagaan pengeiolaan lingkungan yang perlu diutarakan meliputi:
a. Pelaksana pengelolaan lingkungan
Cantumkan lembaga pelaksana yang bertanggung jawab dalam
peiaksanaan dan sebagai penyandang dana kegiatan pengelolaan
lingkungan. Apabila dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan
lingkungan pemrakarsa menugaskan atau bekerjasama dengan
pihak lain, maka cantumkan pula kelembagaan dimaksud.
b. Pengawasan pengelolaan lingkungan
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksananya Rencana Pengelolaan Lingkungan. Instansi yang
terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dan satu instansi sesuai
dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab, serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilaporkan hasil kegiatan
pengelolaan lingkungan secara berkata sesuai dengan lingkup
tugas instansi yang bersangkutan, dan peraturan perundang
undangan yang berlaku

3. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan, baik yang berupa buku,
majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan
pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.

4. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Ringkasan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan dalam bentuk
tabel dengan urutan kolom sebagai berikut: Jenis Dampak Lingkungan,
Tujuan Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan,
Lokasi Pengeloiaan Lingkungan, Periode Pengelolaan Lingkungan, dan
Institusi Pengelolaan Lingkungan.
b. Data dan Informasi penting yang merujuk dan hasil studi ANDAL seperti
peta-peta (lokasi kegiatan, lokasi pemantauan lingkungan, dll rancangan
teknik (engineering design), metrik serta data utama yang terkait
dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian,

Ttd
Hambar Martono

LAMPIRAN IV
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 55 Tahun1995 Tanggal 13 Nopember 1995
PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN
REGIONAL

1. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN


a. Jelaskan Rencana Pemantauan Lingkungan yang dicantumkan dalam
dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Regional dengan
memperhatikan:
1) Dampak-dampak penting yang dinyatakan dalam dokumen ANDAL
Regional, dan dikelola dalam dokumen RKL Regional;
2) Pola persebaran dampak terhadap wilayah yang akan terkena
dampak, meliputi; kelompok masyarakat yang akan terkena
dampak, ekosistem di dalam rencana pengembangan regional,
dan ekositem disekitar rencana pengembangan regional yang
sensitif terhadap perubahan akibat adanya rencana tersebut.
3) Dengan memperhatikan butir 1) dan 2) di atas, tentukan
pemantauan terhadap dampak penting, dan selanjutnya susun
rancangan pengumpulan dan analisis data aspek-aspek yang perlu
dipantau, seperti:
a) Jenis dan jumlah sampel yang akan dipantau;
b) Frekuensi dan jangka waktu pemantauan;
c) Wilayah pemantauan dampak penting, dengan
memperhatikan sumber dampak atau parameter
/komponen lingkungan yang terkena dampak yang dikelola
dalam RKL Regional. Wilayah pemantauan dampak penting
tersebut digambarkan dalam peta (administratif, lokasi
rencana pengembangan regional, geografi masing-masing
rencana usaha atau kegiatan) dengan skala yang memadai.
d) Metoda pengumpulan data (termasuk perlatan dan
instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data);
e) Metoda analisis data.
2.5. Metoda Pemantauan Lingkungan
Uraian secara singkat metoda yang akan digunakan untuk memantau
indikator dampak penting, yang mencakup:
a. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
Cantumkan secara singkat dan jelas metoda yang digunakan
dalam proses pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan,
instrumen, atau formulir isian yang digunakan. Cantumkan pula
tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam pengumpulan data
sehubungan dengan tingkat ketelitian yang diisyarakat dalam
Baku Mutu Lingkungan.
Selain itu uraikan pula metoda yang digunakan untuk
menganalisis data hasH pengukuran. Cantumkan jenis peralatan,
instrumen, dan rumus yang digunakan dalam proses analisis data.
Selalan itu uraikan pula tolok ukur yang digunakan untuk kondisi
kualitas lingkungan yang dipantau.
Metoda pengumpulan dan analisis data tersebut harus konsisten
dengan metoda yang digunakan pada penyusunan ANDAL
Regional.
b. Lokasi Pemantauan Lingkungan
Cantumkan lokasi yang tepat sesual jenis dan jumlah sampel yang
dipantau, dan disertai justifikasi penempatan titik sampel
tersebut. Masing-masing titik sampel digambarkan pada peta
berskala memadai, dan diberikan keterangan yang jelas.
Penempatan titik lokasi sampel yang akan dipantau tersebut, agar
disesuaikan dengan titik lokasi sampel studi ANDAL Regional.
c. Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan
Uraikan justifikasi rentang waktu atau lama periode pemantauan
berikut dengan frekuensinya per satuan waktu. Justifikasi tersebut
harus mempertimbangkan sifat dampak penting yang dipantau
(intensitas, lama dampak berlangsung, kumulatif dampak,
persebaran dampak, dan kemungkinan terjadinya keadaan
darurat).
2.6. Institusi Pemantau Lingkungan
Pada setiap rencana pemantaun lingkungan cantumkan institusi atau
kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan
dengan kegiatan pemantauan lingkungan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik di tingkat pusat maupun daerah.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemantauan
lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 yang meliputi:
a. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri
Negara Lingkungan hidup.
b. Peraturan perundang yang dikeluarkan oleh sektor terkait.
c. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah.
d. Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya.
e. Keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan pembentukan
institusi pemantauan lingkungan.
Institusi pemantau lingkungan yang perlu diutarakan meliputi:
a. Pelaksana Pemantauan Lingkungan
Cantumkan unit kerja/bagian yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan rencana pemantauan lingkungan secara dalam
struktur organisasi masing-masing perusahaan tersebut, termasuk
hal-hal yang berkenaan dengan pembiayaan.
b. Pelaksana Pemantauan Lingkungan
Cantumkan instansi teknis yang bertanggung jawab dan instansi
terkait sesuai kewenangannya sebagai pengawas hasil
pelaksanaan pemantauan dan pelaporan RKL dan RPL Regional.
c. Pelaporan Hasil Pemantauan Lingkungan
Cantumkan instansi teknis yang bertanggung jawab dan instansi
terkait sesuai kewenangannya yang akan dilapori hasil kegiatan
pemantauan lingkungan secara berkala.

3. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RPL Regional, baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan,
maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar
ditulis dengan berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.

4. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
a. Lampirkan ringkasan dokumen RPL Regional dalam bentuk tabel dengan
urutan kolom sebagai berikut dampak penting yang dipantau, sumber
dampak, tujuan pemantauan lingkungan, rencana pemantauan
lingkungan (yang meliputi metoda pengumpulan data, lokasi
pemantauan lingkungan, jangka waktu dan frekuensi pemantauan
lingkungan, serta metoda analisis), dan institusi pemantau lingkungan.
b. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena
menunjang isi dokumen RPL Regional.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,

ttd.
Hambar Martono

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 57 Tahun 1995
Tentang : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Usaha Atau Kegiatan Terpadu/Multisektor

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 51


Tahun 1993 tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan diatur ketentuan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha atau Kegiatan Terpadu /
Multisektor;

2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam huruf


tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha atau Kegiatan Terpadu /
Multisektor.

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982,
Tambahan Lembaran Negara 3215);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1990, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Nomor 115 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3409);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah


Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Nomor 26 Tahun 1994,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) juncto Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran
Negara Nomor 24 Tahun 1995, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);

6. Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan


Lindung;

7. Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet


Pembangunan VI;

8. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas


Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;

9. Keputusan Presiden R.I. Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN USAHA ATAU KEGIATAN TERPADU /
MULTISEKTOR

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha atau Kegiatan


Terpadu/Multisektor adalah hasil studi mengenai dampak penting usaha
atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan terhadap lingkungan
hidup dalam satu kesatuan hamparan ekosistem dan melibatkan
kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung jawab.

2. Pemrakarsa adalah orag atau bahan hukum yang bertanggung jawab


untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor.

3. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.


Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 2
(1) Setiap rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor wajib menyusun
Analisis Mengenai Damapak Lingkungan Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor apabila memenuhi seluruh kriteria yang meliputi:
1. berbagai jenis usaha atau kegiatan yang analisis mengenai dampak
lingkungannya menjadi kewenangan berbagai instansi teknis yang
membidanginya;

2. berbagai usaha atau kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan dalam hal


perencanaan, pengelolaan, dan proses produksinya;

3. usaha atau kegiatan tersebut berada dalam satau ekosistem yang sama;

4. usaha atau kegiatan tersebut dapat berada di bawah satu pengelolaan


atau lebih.

Pasal 3

(1) Analisis Mengenai Dampak Lingkugan Rencana Usaha atau Kegiatan


Terpadu/Multisektor meliputi keseluruhan proses penyusunan:

1. Kerangka acuan bagi penyusunan analisis damapak lingkungan;


analisis dampak lingkungan;

2. rencana pengelolaan lingkungan;

3. rencana pemantauan lingkungan.

Pasal 4

Pemrakarsa rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2 wajib menyusun dan mengajukan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor kepada Menteri melalui kepala
Bapedal.

Pasal 5

Pedoman Teknis Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Rencana Usaha


atau Kegiatan Terpadu/Multisektor adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 6

(1) Penilaian dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor dilakukan oleh Komisi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Terpadu/Multisektor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

(2) Persetujuan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Rencana Usaha


atau Kegiatan Terpadu/Multisektor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Desember 1995
Menteri Negara lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja

LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995

PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN


KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN
RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN TERPADU/MULTISEKTOR

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kerangka Acuan (KA) merupakan dokumen awal yang perlu disusun
untuk memberikan kejelasan pada pihak yang berkepentingan tentang
ruang lingkup pekerjaan yang harus dilaksanakan selama melakukan
Analisis Dampak Lingkungan(ANDAL). Kerangka Acuan ini merupakan
dokumen penting untuk memberikan rujukan tentang kedalaman yang
akan dicapai oleh suatu ANDAL. Bagi pemrakarsa, Kerangka Acuan
menggambarkan seberapa jauh hasil yang harus dicapai oleh penyusun
ANDAL, karena itu peranannya menjadi penting.
Mengingat pentingnya hal tersebut diatas, maka dalam penyusunan
Kerangka Acuan ini perlu diuraikan secara singkat latar belakang
mengapa rencana usaha atau kegiatan tersebut ditinjau dan
keterpaduannya. Disamping itu jelaskan pula latar belakang
dilaksanakannya studi Analisis Dampak Lingkungan Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor m ditinjau dari:
1) Peraturan perundang-undangan yang benlaku yang berkaitan
dengan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dan
pengelolaan lingkungan hidup;
2) Kebijaksanaan perigelolaan lingkungan hidup baik tingkat nasional
maupun daerah;
3) Uraian singkat mengenai keperluan, tujuan dan manfaat rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;
4) Kaitan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dengan
dampak penting yang mungkin timbul:
a) Jenis-jenis rencana atau kegiatan;
b) Lokasi dan luas area yang diperlukan untuk masing-masing
usaha atau kegiatan;
c) Jadwal pelaksanaan, baik untuk masing-masing usaha atau
kegiatan maupun keterkaitannya;
d) Komponen proyek yang mencakup jenis dimensi dan
kapasitas serta bangunan untuk masing-masing usaha atau
kegiatan;
e) Cara pelaksanaan usaha atau kegiatan;
f) Keterkaitan antar rencana usaha atau kegiatan.
2. Tujuan dan kegunaan studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor:
1) Mengidentifikasi rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor
terutama yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan.
2) Mengidentifikasikan rona lingkungan hidup, terutama yang
terkena dampak penting.
3) Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting.
Kegunaan studi ANDAL rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor:
1) Membantu pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
dan rencana usaha atau kegiatan;
2) Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam tahap
perencanaan dan suatu rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor (baik untuk masing-masing usaha atau kegiatan
maupun secara gabungan);
3) Sebagai pedoman untuk pelaksanaan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan.

B. RUANG LINGKUP STUDI


Dalam rangka penyusunan ruang lingkup studi ini, maka proses perlingkupan
terhadap berbagai isu pokok memegang peranan yang sangat penting,
sehingga dapat dihasilkan bidang yang harus distudi (aspek kegiatan dan
parameter lingkungan), maupun ruang dan waktu, yang dapat tergambarkan
secara jelas pada bagian berikut ini.
1. Lingkup Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor
a. Uraikan secara singkat rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor yang menimbulkan dampak pada tahap-tahap
prakonstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi. Uraian
dibuat untuk setiap jenis rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor;
b. Komponen rencana usaha atau kegiatan terpadu/mutisektor yang
berkaitan dengan dampak penting yang ditimbulkannya.
2. Lingkup Rona Lingkungan Hidup Awal
a. Uraikan dengan singkat rona lingkungan yang terkena dampak.
Uraian dibuat untuk setiap lokasi dimana masing-masing usaha
atau kegiatan berada;
b. Komponen lingkungan yang ditelaah karena terkena dampak
meliputi : fisika - kimia, biologi dan kesehatan masyarakat.
3. Lingkup Wilayah Studi
Wilayah studi ini mencakup : wilayah proyek, ekologi, sosial dan
administratif dengan resultantenya adalah wilayah teknis yang
merupakan wilayah studi ANDAL rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor. Wilayah studi ini ditentukan menurut hasil telaahan
angka 1 dan 2 diatas yang didasarkan pada keputusan kepala BAPEDAL
Nomor: KEP- 056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran
Dampak Penting.

C. METODA STUDI
Metoda studi yang berlaku dalam penyusunan ANDAL rencana usaha atau
kegiatan terpadu/mutisektor pada dasarnya sama dengan metoda studi ANDAL
pada umumnya. Tetapi ANDAL rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor, penggunaan berbagai metoda studi tersebut harus difokuskan
pada hal-hal sebagai berikut:
a. Dampak penting dan masing-masing rencana usaha atau kegiatan
terpadul multisektorterhadap lingkungan menurut ruang dan waktu;
b. lnteraksi antar jenis usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang
direncanakan untuk mengetahul keterkaitan dampak antar kegiatan
menurut ruang dan waktu;
c. Akumulasi dampak yang terjadi pada setiap parameter komponen
lingkungan (fisika - kimia, biologi, sosial dan kesehatan masyarakat)
baik yang disebabkan oleh masing-masing kegiatan atau antar kegiatan.
Untuk itu perlu dilakukan:
1) Pengukuran dampak dan setiap rencana atau kegiatan terhadap
setiap parameter/komponen lingkungan;
2) Pengukuran akumulasi dampak dan setiap rencana usaha atau
kegiatan terhadap setiap parameter/komponen lingkungan;
3) Akumulasi dampak dan berbagai rencana usaha atau kegiatan
pada setiap parameter! komponen lingkungan (bersifat sinergetik
atau antagonistik).
1. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
Uraikan dengan singkat metoda pengumpulan dan analisis data baik data
primer dan/atau sekunder yang sahih dan dapat dipercaya untuk
digunakan:
a. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen lingkungan yang
diperkirakan terkena dampak penting;
b. Menelaah, mengukur dan mengamati komponen rencana usaha
atau kegiatan terpadu!multisektor yang diperkirakan mendapat
dampak dan lingkungan sekitarnya.
2. Metoda Prakiraan Dampak
Uraikan secara singkat metoda yang digunakan dalam studi ANDAL
untuk memprakirakan besarnya dampak lingkungan dan penentuan sifat
pentingnya dampak Penggunaan metoda formal dan nonformal dalam
memprakirakan dampak penting perlu diuraikan secara jelas untuk
setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak
penting. Dalam hal ini penggunaan metoda nonformal hanya dapat
digunakan apabila metoda nonformal belum ada atau belum diketahui.
3. Metoda Evaluasi Dampak
Dalam mengevaluasi dampak penting, maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
a. Evaluasi tingkat kepentingan dampak.
Gunakan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor: KEP- 056 Tahun
1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting untuk
menilai tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
b. Evaluasi tingkah laku dampak
Sebagai dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan dan
berbagal alternatif rencana usaha atau kegiatan dan arah
pengelolaan dampak penting yang dihasilkan pada huruf a
tersebut diatas, maka berbagai dampak penting tersebut harus
dievaluasi atas dasar:
1) Sebab akibat dampak
Perlu diketahui dan segi aspek kegiatannya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
2) Sifat dan karakteristik dampak
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dan sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positif maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonistik atau saling menetralisir.
3) Pola persebaran dampak
Harus diketahui arah persebaran dampak yang jelas dalam
rangka mempermudah pengelolaan dampak yang
bersangkutan.

D. PELAKSANAAN STUDI
1. Tim studi
Pada bagian ini dicantumkan jumlah dan jenis tenaga ahli yang
diperlukan dalam studi ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor sesuai dengan lingkup studi ANDAL Rencana Usaha
atau Kegiatan Terpadu/Multisektor. Jenis tenaga ahli yang digunakan
adalah tenaga ahli yang sesuai dengan sifat proyek dan aspek
lingkungan yang diteliti dan telah berpengalaman dalam penyusunan
AMDAL sekurang-kurangnya lima (5) tahun.
2. Biaya Studi
Pada bagian ini diuraikan sekurang-kurangnya rincian jenis biaya yang
dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi rencana ANDAL Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor.
3. Waktu Studi
Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL
Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor sejak tahap persiapan
hingga penyerahan laporan ke instansi yang bertanggungjawab.
E. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini dicantumkan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen Kerangka Acuan (KA)-ANDAL yang berupa
buku, majalah, tulisan dan hasil-hasil laporan penelitian dengan susunan
penulisan sebagai berikut:
1. Nama pengarang/penyunting (editor) yang jelas dan lengkap.
2. Judul buku dan artikel.
3. Penerbitan.
4. Tempat penerbitan.
5. Tahun penerbitan.

F. LAMPIRAN
1. Butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor.
2. Biodata Personil Penyusun ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan
Terpadu/Multisektor.
3. Hal-hal lain yang dianggap perlu

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,

ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995

PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL)


RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN TERPADU/MULTISEKTOR

A. Latar Belakang
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) perlu disusun sedemikian rupa, sehingga
dapat langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi
pengambilan keputusan perencana, dan pengelola rencana usaha atau
kegiatan. Isi ANDAL harus mudah dipahami oleh semua pihak, termasuk
masyarakat, dan mudah disarikan isinya bagi pemuatan dalam media masa,
bila dipandang perlu.
Mengingat pentingnya hal tersebut diatas, maka dalam penyusunan ANDAL ini
perlu diuraikan secara singkat latar belakang mengapa rencana berbagai jenis
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor ini dilaksanakan dan
bagaimana keterkaitan rencana usaha atau kegiatan tersebut ditinjau dan
keterpaduannya. Disamping itu uraikan pula latar belakang dilaksanakannya
studi ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/Mutisektor ditinjau dari:
1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup baik tingkat
nasional maupun tingkat daerah;
3. Kaitan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dengan dampak
penting yang ditimbulkan:
a) Jenis- rencana usaha atau kegiatan;
b) Lokasi dan luas area yang diperlukan untuk masing-masing
rencana usaha atau kegiatan;
c) Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting yang terjadi
terhadap lingkungan;
d) Komponen proyek yang mencakup jenis dimensi dan kapasitas
serta bangunan untuk masing-masing rencana usaha atau
kegiatan;
e) Cara pelaksanaan rencana usaha atau kegiatan;
f) Keterkaitan (perencanaan, pengelolaan, dan proses produksi)
antar rencana usaha atau kegiatan;
g) Dampak penting yang ditimbulkan baik yang tidak kumulatif
maupun kumulatif.
4. Tujuan Studi
1) Tujuan
Tujuan dilaksanakarnya studi ANDAL Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor adalah:
a) Mengidentifikasi rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor yang menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan;
b) Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup
yang akan terkena dampak penting;
c) Memprakirakan dan mengevaluasi dampak penting yang
terjadi terhadap lingkungan.
2) Kegunaan
Kegunaan studi ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/
Mutisektor adalah untuk:
a) Bahan masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah;
b) Membantu proses pengambilan keputusan tentang
kelayakan lingkungan dan rencana usaha atau kegiatan
terpadu/ multisektor;
c) Memberi masukan untuk penyusunan desain rinci teknis
dari rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor;
d) Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan
dan pemantauan lingkungan dan rencana usaha atau
kegiatan terpadu/mutisektor;
e) Memberi informasi bagi masyarakat untuk dapat
memanfaatkan dampak positif dan menghindari dampak
negatif yang akan ditimbulkan dan suatu rencana usaha
atau kegiatan terpadu/ multisektor.

B. METODA STUDI
Bab Metoda Studi mencakup tentang dampak penting yang ditelaah, wilayah
studi, metoda pengumpulan dan analisis data, metoda prakiraan dampak
penting, serta metoda evaluasi dampak penting.
Masing-masing butir yang diuraikan pada Bab Metoda Studi ini disusun dengan
mengacu pada hal-hal yang tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan.
1. Dampak Penting yang Ditelaah
a. Uraikan mengenai rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor penyebab dampak, terutama komponen rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang berkaitan langsung
dengan dampak yang ditimbulkannya. Uraian agar dibuat untuk
setiap jenis rencana usaha atau kegiatan;
b. Uraikan rona lingkungan yang terkena dampak, terutama
komponen lingkungan yang langsung terkena dampak. Uraian
agar dibuat untuk lokasi rencana usaha atau kegiatan, yaitu
dimana masing-masing rencana usaha atau kegiatan direncanakan
berada;
c. Uraian dampak yang diteliti sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan b harus menghasilkan berbagai dampak penting yang akan
terjadi mengacu pada hash pehngkupan yang tertuang dalam
dokumen Kerangka Acuan untuk ANDAL Rencana Usaha atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor. Penetapan dampak penting
dimaksud harus mengacu pada Keputusan Kepala BAPEDAL
Nomor: KEP- 056 Tahun 1994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran
Dampak Penting.
2. Wilayah Studi
Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan
wilayah studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL
Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor dimaksud digambar
pada peta dengan skala yang memadai.
3. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
a. Mengingat studi ANDAL merupakan telaahan mendalam atas
dampak penting rencana usaha atau kegiatan terhadap
lingkungan, maka jenis data yang dikumpulkan baik data primer
maupun sekunder harus bersilat sahih dan dapat dipercaya yang
diperoleh melalui metoda atau alat yang bersifat sahih.
b. Uraikan secara jelas tentang metoda atau alat yang thgunakan,
serta lokasi pengumpulan data berbagal komponen lingkungan
yang diteliti sebagaimana thmaksud pada angka 1 b. Lokasi
pengumpulan data agar dicantumkan dalam peta dengan skala
memadai;
c. Pengumpulan data untuk demografi, sosial ekonomi, sosial
budaya, dan kesehatan masyarakat, sejauh mungkin
menggunakan kombinasi tiga metoda (metoda triangulasi : studi
pustaka, survai data sekunder, pengamatan pemeriksaan) agar
diperoleh data yang reliabilitasnya tinggi;
d. Uraian secara jelas tentang metoda atau alat yang digunakan
dalam analisis data.
4. Metoda Prakiraan Dampak Penting
Uraian secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk
memprakirakan besar dan pentingnya dampak rencana usaha atau
kegiatan terpadu/ multisektor terhadap komponen lingkungan yang
dimaksud pada angka 1. b. Penggunaan metoda formal dan nonformal
dalam memprakirakan dampak penting agar diuraikan secara jelas untuk
setiap komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak
penting. Dalam hal ini penggunaan metoda nonformal hanya dapat
dilakukan apabila metode nonformal belum ada atau belum diketahui.
Penggunaan matriks kompatibilitas sangat dianjurkan untuk membantu
lebih terfokusnya prakiraan dampak akibat interaksi beberapa usaha
atau kegiatan.
5. Metode Evaluasi Dampak penting
Dalam mengevaluasi dampak penting, maka harus dilakukan dua tahap
pendekatan sebagai berikut:
1) Evaluasi tingkat kepentingan dampak
Gunakan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor: KEP- 056 Tahun
1994 tentang pedoman Mengenai ukuran Dampak Penting untuk
menilai tingkat penting atau tidak pentingnya dampak.
2) Evaluasi tingkah laku dampak
Sebagai dasar untuk menelaah kelayakan tingkungan dan
berbagal alternatif rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor dan arah pengelolaan dampak penting yang dihasilkan
pada angka 1) tersebut diatas, maka berbagai dampak penting
tersebut harus dievaluasi atas dasar:
a) Sebab akibat dampak;
Perlu diketahui dan segi aspek kegiatanya maupun kondisi
lingkungan yang menerima akibat dampak tersebut.
b) Sifat dan karakteristis dampak;
Berbagai dampak penting ini perlu dilihat dari sifat-sifat
karakteristik dampaknya, baik positif maupun negatif, sifat
sinergetik dan antagonik atau saling menetralisir.
3) Pola persebaran dampak harus diketahui arah persebaran dampak
yang jelas dalam rangka mempermudah pengelolaan dampak
yang bersangkutan.

C. RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN


1. ldentitas Pemrakarsa dan Penyusun ANDAL
Isi uraian mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL Rencana
Usaha atau Kegiatan Terpadu/Multisektor terdiri dari:
1) Pemrakarsa
a) Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai
pemrakarsa rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor
b) Nama dan alamat lengkap penanggungjawab pelaksana
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor.
2) Penyusun ANDAL rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor:
a) Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai
dengan kualifikasi dan rujukannya;
b) Nama dan alamat lengkap penangggung jawab penyusun
ANDAL Rencana Usaha atau Kegiatan Terpadu /Multisektor.
2. Tujuan Rencana Usaha atau Kegiatan
Pernyataan tentang maksud dan tujuan dan rencana usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor. Tujuan rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor ini perlu dikemukakan secara sistematis dan
terarah.
3. Kegunaan dan Keperluan Rencana Usaha atau Kegiatan.
Uraian yang memuat tentang kegunaan dan keperluan mengapa rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor harus dilaksanakan, baik
ditinjau dan segi kepentingan pemrakarsa maupun dan segi menunjang
program pembangunan.
4. Rencana Kegiatan dan Komponen Kegiatannya
Uraian mengenai:
1) Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor dan harus
dinyatakan dalam peta berskala memadai, dan dapat
memperlihatkan hubungan tata kaitan dan tata letak antara
rencana okasi dengan rencana usaha atau kegiatan lainnya,
seperti permukiman (lingkungan binaan), dan lingkungan hidup
alami yang terdapat di sekitar rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor. Hutan lindung, cagar alam,suaka alam,
suaka margasatwa, sumber mata air, sungai, dan daerah sensitif
lainnya yang terletak dekat lokasi rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor harus diberikan tanda istimewa dalam peta.
2) Hubungan antara rencana lokasi dengan rencana usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor dengan jarak dan tersedianya
sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati, sumber daya
alam nonhayati dan sumber daya manusia serta kondisi yang
diperlukan oleh rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor
setelah usaha atau kegiatan ini beroperasi. Hubungan ii perlu
dikemukakan dalam peta dengan skala memadai.
3) Pilihan rencana usaha atau kegiatan berdasarkan hasil studi
kelayakan (misal : pilihan lokasi, tata letak bangunan atau sarana
pendukung, atau teknologi proses produksi). Bila berdasarkan
studi kelayakan terdapat beberapa pilihan lokasi usaha atau
kegiatan, maka benikan uraian tentang masing-masing pilihan
lokasi tersebut sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2).
4) Tata letak rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor
dilengkapi dengan peta, yang berskala memadai, yang memuat
informasi tentang letak bangunan dan struktur lainnya yang akan
dibangun dalam lokasi rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor, serta hubungan bangunan dan struktur tersebut
dengan bangunan yang sudah ada disekitar rencana usaha atau
kegiatan (jalan raya, jalan kereta api, dermaga dan sebagainya).
Bila terdapat beberapa pilihan tata letak bangunan dan struktur
lainnya, maka pilihan rencana tersebut diutarakan pula dalam
peta yang berskala memadai.
5) Tahap pelaksana rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor yang meliputi jadwal pelaksanaan masing-masing
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor baik tahap
kontruksi, jangka waktu masa operasi, hingga rencana waktu
pasca operasi. Jadwal pelaksana ini perlu disusun dalam suatu
bagan yang dapat menggambarkan keterkaitan antar rencana
usaha atau kegiatan, serta waktu pelaksanaannya.
(1) Tahap prakonstruksi
Uraian tentang masing-masing rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor dan jadwal pelaksanaannya pada tahap
prakonstruksi.Uraian secara mendalam difokuskan pada
jenis-jenis usaha atau kegiatan yang menjadi penyebab
tirnbulnya dampak penting terhadap lingkungan.
(2) Tahap konstruksi
a) Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan terpadu/
mu!tisektor dan jadwal pelaksanaannya pada tahap
konstruksi. Uraian secara mendalam difokuskan pada
jenis-jenis usaha atau kegiatan yang menjadi
penyebab timbulnya dampak penting terhadap
lingkungan. misalnya:
1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut
jumlah, tempat asal tenaga kerja, dan
kualifikasi pendidikan;
2) Kegiatan pembangunan sarana dan pnasarana
(jalan, listrik, air) dan rencana usaha atau
kegiatan;
3) Kegiatan penimbunan bahan atau material
yang dapat menimbulkan dampak lingkungan.
b) Uraian tentang usaha atau kegiatan pembangunan
unit atau sarana pengendalian dampak (misal: unit
pengolahan limbah), bila unit atau sarana dimaksud
direncanakan akan dibangun oleh pemrakarsa.
Disamping itu, bila ada, utarakan pula upaya-upaya
untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan yang
timbul selama masa konstruksi;
c) Uraian tentang rencana pemulihan kembali bekas-
bekas material/bahan, gudang, jalan-jalan darurat
dan lain-lain setelah usaha atau kegiatan konstruksi
berakhir.
(3) Tahap Operasi
a) Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor dan jadwal pelaksanaannya pada tahap operasi.
Uraian secara mendalam difokuskan pada jenis jenis usaha
atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak
penting terhadap lingkungan misalnya:
1) Jumlah dan jenis bahan baku serta pembantu yang
digunakan dalam proses produksi yang mungkin
menimbulkan dampak penting lingkungan (misal :
pestisida serta bahan berbahaya dan beracun
lainnya);
Perlu juga diuraikan neraca air (water balance) dan
atau neraca bahan.
2) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga
kerja, dan kualifikasi pendidikan tenaga kerja yang
akan diserap langsung oteh rencana usaha atau
kegiatan pada tahap operasi;
3) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya
atau masalah selama operasi baik yang bersifat fisik
maupun sosial.
b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan
dilaksanakan selama masa operasi. Termasuk dalam hal ini
rencana pengoperasian unit atau sarana pengendalian
dampak yang telah dibangun pada masa konstruksi.
(4) Tahap pasca operasi
Uraian tentang rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor
dan jadwal usaha atau kegiatan pada tahap pasca operasi.
Misalnya:
a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan
bahan/material, bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan
sebagainya;
b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan
dilaksanakan setelah masa opearsi berakhir;
c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha atau
kegiatan untuk tujuan lain bila seluruh rencana atau
kegiatan terpadu/multisektor berakhir;
d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah
masa usaha atau kegiatan terpadu/multisektor berakhir;
e) Rencana penanganan limbah radioaktif, limbah bahan
berbahaya dan beracun serta fasilitasnya setelah kegiatan
berakhir.
(5) Uraian rinci tentang masing-masing usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor sebagaimana disebut pada angka 1) s.d 4)
diatas agar mengacu pada pedoman teknis yang telah ditetapkan
oleh masing-masing sektor yang bersangkutan.

D. RONA LINGKUNGAN HIDUP


Dalam bab ini hendaknya dikemukakan informasi lingkungan selengkap
mungkin mengenai:
1. Rona lingkungan hidup diwilayah studi rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor, harus mengungkapkan secara mendalam
komponen-komponen lingkungan yang berpotensi terkena dampak
penting usaha atau kegiatan terpadu/multisektor. Selain itu komponen
lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan sosial ekonomi perlu
mendapat perhatian.
Uraian rona lingkungan ini dibuat untuk masing-masing lokasi rencana
usaha atau kegiatan, sehingga dapat terlihat tumpang tindih lokasi yang
akan membantu pada tahap prakiraan dampak.
2. Kondisi kualitatif dan kuantitatif dan berbagai sumber daya alam yang
ada di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor,
baik yang sudah atau yang akan dimanfaatkan maupun yang masih
dalam bentuk potensi. Penyajian kondisi sumber daya alam ini perlu
dikemukakan dalam peta atau label dengan skala memadai dan bila
perlu harus dilengkapi dengan diagram, gambar, grafik atau foto.
3. Data dan informasi rona lingkungan hidup
Uraian secara singkat rona tingkungan hidup di wilayah studi rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor. Rona lingkungan hidup yang
diuraikan pada butir ini agar dibatasi pada komponen komponen
lingkungan yang berkaitan dengan alau berpotensi terkena dampak
penting.
Berikut ini adalah beberapa contoh komponen lingkungan hidup yang
dapat dipilih untuk ditelaah sesuai hasil pelingkupan dalam KA ANDAL.
Penyusun dapat menelaah komponen lingkungan yang lain diluar dan
daftar contoh komponen ini bila dianggap penting berdasarkan hasil
penilaian lapangan dalam studi ANDAL ini.
1) Fisik-kimia
(1) lklim
a) Komponen iklim yang perlu diketahui antara lain
seperti iklim, suhu (maksimum, minimum, rata-rata),
kelembaban, curah hujan, keadaan angin (arah dan
kecepatan), intensitas radiasi matahari;
b) Data periodik bencana (siklus tahunan, lima tahunan,
dan sebagamnya) seperti sering terjadmnya angin
ribut, banjir tahunan, banjir bandang di wilayah studi
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor
c) Data yang tersedia dan stasiun meteorologi dan
geofisika yang mewakili wilayah studi tersebut;
d) Kualitas udara baik pada sumber maupun daerah
sekitar wilayah studi rencana usaha atau kegiatan
terpadu/ multisektor
e) Pola iklim mikro, pola penyebaran bahan pencemar
udara secara umum maupun pada kondisi cuaca
terburuk.
f) Sumber kebisingan dan getaran, tingkat kebisingan
serta periode kejadiannya.
(2) Fisiografi
a) Topografi bentuk lahan (morfologi), struktur geologi dan
jenis tanah;
b) Indikator lingkungan yang berhubungan dengan stabilitas
geologis dan stabilitas tanah, terutama ditekankan bila
terdapat gejala ketidakstabilan, dan harus diuraikan dengan
jelas dan seksama (misal longsor tanah, gempa, sesar,
kegiatan-kegiatan vulkanis, dan sebagainya);
c) Keunikan, keistimewaan, dan kerawanan bentuk lahan dan
batuan secara geologis;
(3) Hidrologi
a) Karakteristik fisik sungai , danau , rawa (rawa pasang
surut, rawa air tawar)
b) Rata debit dekade, bulanan, tahunan;
c) Kadar sedimentasi (lumpur), tingkat erosi;
d) Kondisi fisik daerah resapan air permukaan dan air tanah;
e) Fluktuasi dan potensi air tanah (dangkal dan dalam);
f) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk
air minum, mandi, cuci;
g) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk
keperluan lainnya seperti pertanian, industri, dan lain-lain;
h) Kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi air mengacu pada
baku mutu dan parameter kualitas air yang terkait dengan
limbah yang akan keluar.
(4) Hidrooseanografi
Pola hidrodinamika kelautan seperti pasang surut, arus dan
gelombang/ombak, morfologi pantal, abrasi dan akresi yang
terjadi secara alami di daerah penelitian.
(5) Ruang, lahan, dan tanah
(a) Inventarisasi tata guna lahan dan sumber daya lainnya
pada saat rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor diajukan dan kemungkinan potensi
pengembangannya di masa datang;
(b) Rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang,
rencana tata guna tanah, dan sumber daya alam lainnya
yang secara resmi atau belum resmi disusun oleh
Pemerintah setempat baik di tingkat kabupaten, propinsi
atau nasional di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor;
(c) Kemungkinan adanya konflik atau pembatasan yang timbul
antara rencana tata guna tanah dan sumber daya alam
lainnya yang sekarang berlaku dengan adanya
pemilikan/penentuan lokasi bagi rencana usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor;
(d) Inventarisasi nilai estetika dan keindahan bentang alam
serta daerah rekreasi yang ada di wilayah studi rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor.
2) Biologi
(1) Flora
(a) Peta zona biogeoklimatik dan vegetasi alami yang
meliputi tipe vegetasi, sifat-sifat dan kerawanannya
yang berada dalam wilayah studi rencana usaha atau
kegiatan terpadu/ multisektor;
b) Uraian tentang jenis-jenis vegetasi dan ekosistem
yang dilindungi undang-undang yang berada dalam
wilayah studi rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor;
c) Uraian tentang keunikan dan vegetasi dan
ekosistemnya yang berada pada wilayah studi
rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor.
(2) Fauna
a) Taksiran kelimpahan dan keragaman fauna, habitat,
penyebaran, pola migrasi, populasi hewan budidaya
(ternak) serta satwa dan habitatnya yang dilindungi
undang-undang dalam wilayah studi rencana usaha
atau kegiatan terpadu/multisektor;
b) Taksiran penyebaran dan kepadatan penduduk;
c) Angkatan kerja produktif;
d) Tingkat kelahiran;
e) Tingkat kematian;
f) Tingkat kematian bayi/balita;
g) Pola perkembangan kependudukan;
h) Pola mobilitas kependudukan.
(3) Ekonomi
a) Kesempatan kerja dan berusaha;
b) Pola pemilikan dan penguasaan lahan dan sumber
daya alam termasuk daya alam milik bersama;
c) Pola pemanfaatan sumber daya alam;
d) Tingkat pendapatan penduduk;
e) Prasarana dan sarana perekonomian (jalan, pasar,
pelabuhan, perbankan, pusat pertokoan).
(4) Budaya
a) Pranata sosial atau lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang tumbuh di kalangan
masyarakat;
b) Adat istiadat dan pola kebiasaan yang berlaku;
c) Proses sosial (kerjasama, konflik, akulturasi,
asimilasi) di kalangan masyarakat;
d) Kelompok-kelompok dan organisasi sosial;
e) Pelapisan sosial di kalangan masyarakat;
f) Perubahan sosial yang tengah berlangsung di
kalangan masyarakat;
g) Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana
usaha atau kegiatan.
(5) Kesehatan masyarakat
a) Insidensi dan pravalensi penyakit yang mungkin
terkait dengan rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor;
b) Anitasi lingkungan, khususnya ketersediaan air bersih
(cakupan pelayanannya);
c) Status gizi dan kecukupan pangan;
d) Jenis dan jumlah fasilitas kesehatan;
e) Cakupan pelayanan tenaga dokter dan paramedis.

E. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Dalam Bab inii hendaknya dimuat:
1. Prakiraan secara cermat dampak usaha atau kegiatan terpadu/
mullisektor pada saat prakonstruksi, konstruksi, operasi terhadap
lingkungan. Telaah ini dilakukan dengan cara menganalisa perbedaan
antara kondisi kualitas ingkungan yang diprakirakan dengan adanya
usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor, dan kondisi kualitas
lingkungan yang diprakirakan tanpa adanya usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor menurut ruang dan waktu dengan menggunakan
metoda prakiraan dampak;
Prakiraan dampak agar dibuat untuk masing-masing usaha atau kegiatan
dalam ruang dan waktu, sehingga dampak kumulatif akibat keterpaduan
beberapa usaha atau kegiatan dapat diprakirakan secara lebih jelas.
2. Penentuan arti penting perubahan kualitas lingkungan yang diprakirakan
bagi masyarakat di wilayah studi rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor, dan pemerintah, dengan mengacu pada Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting;
3. Dalam melakukan telaahan angka 1 dan 2 tersebut perlu diperhatikan
dampak yang bersifat langsung dan/atau tidak langsung. Dampak
langsung adalah dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh adanya
usaha atau kegiatan. Sedangkan dampak tidak angsung adalah dampak
yang timbut sebagai akibat berubahnya suatu komponen lingkungan
dan/atau usaha atau kegiatan primer oleh adanya rencana usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor. Dalam kaitan ini maka pertu diperhatikan
mekanisme aliran dampak pada berbagal kornponen lingkungan sebagai
berikut:
a. Kegiatan menimbutkan dampak penting yang bersifat langsung
pada komponen sosial-ekonomi-budaya;
b. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung
pada komponen fisika-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian
dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan
sosial ekonomi-budaya;
c. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung
pada aspek fisika-kimia dan selanjutnya membangkitkan dampak
pada komponen sosial-ekonomi-budaya;
d. Dampak penting berlangsung saling berantai diantara komponen
sosial itu sendiri;
e. Dampak penting sosial-ekonomi-budaya pada huruf a, b, c dan d
yang telah diutarakan selanjutnya menimbulkan dampak balik
pada rencana usaha atau kegiatan.
4. Dalam melakukan telaahan angka 1 dan 2 tersebut harus diperhatikan
dampak yang bersifat kumulatif.

F. EVALUASI DAMPAK PENTING


Dalam bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak
penting dan rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor. Hasil evaluasi
ini setanjutnya menjadi masukan bagi instansi yang berwenang untuk
memutuskan kelayakan lingkungan dan rencana usaha atau kegiatan terpadu/
muttisektor, sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 51 Tahun 1993.
1. Telaahan Holistik Terhadap Dampak Penting
a. Tetaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan yang
diprakirakan mengalami perubahan mendasar sebagaimana dikaji
pada huruf E menggunakan kriteria dalam Pedoman Mengenai
Ukuran Dampak Penting sesuai dengan Keputusan Kepata
BAPEDAL Nomor: KEP- 056 Tahun 1994.
b. Yang dimaksud dengan evaluasi dampak yang bersifat holistik
adatah telaahan secara total terhadap beragam dampak penting
lingkungan yang dimaksud pada huruf E, yang mungkin
diakibatkan oleh sumber usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor. Beragam komponen lingkungan yang terkena dampak
penting tersebut (baik positif maupun negatif) ditelaah sebagai
satu kesatuan yang sating terkait dan saling pengaruh
mempengaruhi, sehingga diketahui “penimbangan’dampak
penting yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif;
c. Dampak-dampak penting yang dihasilkan dari evaluasi disajikan
sebagai dampak-dampak penting yang harus dikelola.
2. Telaahan Tingkah Laku Dampak
Telaahan ini sebagai dasar pengelolaan dampak penting sesuai hasil
telaahan angka I diatas:
a. perlu ditelaah hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana
usaha atau kegiatan dan rona lingkungan hidup dengan dampak
positif dan negatif yang mungkin timbul. Misalnya, mungkin
dampak penting timbul dari rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor terhadap rona lingkungan, karena rencana usaha atau
kegiatan itu dilaksanakan disuatu lokasi yang terlalu padat
manusia, atau pada tingkat pendapatan dan pendidikan yang
terlampau rendah, jenis teknologi yang tak sesuai dan
sebagainya;
b. Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas,
dalam arti apakah dampak penting baik positif atau negatif akan
benlangsung terus selama rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor itu berlangsung atau antara dampak yang lainnya
akan terdapat hubungan antagonistik atau sinergetik. Penlu
diuraikan kapan ambang batas dampak penting ini timbul, setelah
rencana usaha atau kegiatan terpadu/mu!tisektor dilaksanakan
atau akan terus berlangsung sejak masa prokonstruksi sampai
rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor selesai. Atau
mungkin akan terus berlangsung, misalnya setelah usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor berakhir;
c. Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan
kelompok yang akan terkena dampak positif. Indentifikasi
kesenjangan antara perubahan yang diinginkan dan perubahan
yang mungkin terjadi akibat usaha atau kegiatan pembangunan;
d. Telaahan pola dan luas daerah yang akan terkena oleh dampak
penting. Apakah dampaknya bersifat lokal, regional, nasional atau
international (melewati batas Negara RI). Perlu diuraikan usulan
pengendaliannya ditinjau dan kemampuan pemerintah untuk
mengatasi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif
pada tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, pemerintah tingkat
pusat, atau antar negara;
e. Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor berada didalam daerah bencana
alam atau berdekatan dengan sumber bencana alam.

G. DAFTAR PUSTAKA
Dalam bab ini hendaknya dikemukan rujukan data dan pernyataan pernyataan
penting yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang mutakhir serta
disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang baku.

H. LAMPIRAN
Dalam bab ini hendaknya disebut bahan-bahan yang dilampirkan:
1. Surat izin atau rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai
dengan saat ANDAL akan disusun.
2. Surat-surat pada pengenal, keputusan, kualifikasi, rujukan bagi para
pelaksana dan peneliti serta penyusun analisis dampak lingkungan.
3. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan awal, usulan
rencana usaha atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang
lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan
dampak lingkungan penting yang timbulkannya.
4. Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tencantum
dalam dokumen.
5. Hal lain yang dipandang perlu atau relevan untuk dimuat dalam
lampiran ini.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,

ttd.
Hambar Martono

LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995

PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN


RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN TERPADU/MULTISEKTOR

A. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) disusun sebagai tindak lanjut dan studi
ANDAL. Rencana Pengelolaan Lingkungan berisikan langkah-langkah tindak
yang harus dilakukan dalam upaya antisipasi dan penanggulangan terhadap
dampak-dampak lingkungan yang bersifat negatif serta upaya pengembangan
terhadap dampak lingkungan yang bersifat positif baik melalui pendekatan
teknologi, ekonomi, maupun institusional.
Agar dapat terlaksana dengan baik, maka dalam Pengelolaan Lingkungan, perlu
menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Hasil evaluasi dampak yang terdapat dalam dokumen ANDAL yang
menyangkut:
a. Dampak-dampak penting yang akan terjadi.
b. Tingkah laku dampak penting yang meliputi :
1) Sebab akibat terjadinya dampak penting;
2) Sifat dan karakteristik dampak penting;
3) Pola persebaran dampak penting.
Tingkah laku dampak penting tersebut di atas dapat digunakan
untuk menentukan arah pengelolaan dampaknya.
c. Wilayah pengelolaan dampak penting.
Kemukakan secara jelas dalam peta dengan skala yang memandai
(peta administratif, peta lokasi, peta topografi, dan lain-lain) yang
mencakup informasi tentang
1) Letak geografis masing-masing rencana usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor maupun secara keseluruhan;
2) Rencana tata ruang sesuai peruntukannya;
3) Aliran sungai, danau, rawa;
4) Jaringan jalan dan pemukiman penduduk;
5) Batas administratif pemerintah daerah;
6) Wilayah kelompok masyarakat, atau ekosistem di sekitar
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang
sensitif terhadap perubahan.
Peta yang disajikan merujuk pada hasil studi ANDAL.
2. Uraian angka 1 diatas agar menampilkan tumpang tindih wilayah
dampaknya baik yang bersifat kumulatif maupun nonkumulatif.

B. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Uraian secara singkat dan jelas pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan oleh
masing-masing rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor menurut
bidang sektor/instansi teknis pembina sesuai dengan tahap kegiatan
pembangunan yang meliputi:
1. Dampak secara penting dan sumber dampak penting
Uraian secara singkat dan jelas parameter/komponen lingkungan yang
diprakirakan mengalami perubahan mendasar akibat dan suatu sumber
dampak dan rencana usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor tersebut
menurut hasil studi ANDAL baik dampaknya secara kumulatif maupun
nonkumulatif.
Dampak penting kumutatif dapat ditimbulkan dari satu atau lebih
rencana usaha atau kegiatan terpadu/multisektor yang melebihi daya
dukung lingkungan dimana kegiatan tersebut dilaksanakan.
Dampak penting nonkumulatif dapat ditimbulkan dari satu sumber
dampak yang dapat melebihi daya dukung lingkungan dimana kegiatan
tersebut dilaksanakan.
2. Tolak ukur dampak
Jelaskan tolak ukur dampak sebagaimana dimuat dalam studi ANDAL
yang akan digunakan untuk mengukur parameter/komponen lingkungan
yang akan terkena dampak penting akibat rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor.
3. Tujuan rencana pengelolaan lingkungan
Uraikan secara spesifik tujuan pengelolaan dampak penting yang bersifat
strategis, sehingga pencemaran lingkungan dapat dicegah dan
kerusakan lingkungan dapat ditanggulangi.
Dampak strategis dimaksud adalah apabila sumber dampak pada
komponen lingkungan dapat dikendalikan dan pada parameter
lingkungan dapat ditanggulangi, misalnya, dampak yang strategis
dikelola untuk suatu rencana industri pulp dan kertas adalah kualitas air
limbah, maka tujuan upaya pengelolaan lingkungan secara spesifik
adalah:
“Mengendalikan mutu limbah cair yang dibuang ke sungai XYZ,
khususnya parameter BOD5, COD, padatan tersuspensi Total, dan pH;
agar tidak melampui baku mutu limbah cair sebagaimana yang
ditetapkan dalam KEP- 51/MENKLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri.
4. Pengelolaan lingkungan
Jelaskan secara rinci upaya-uoaya pengelolaan lingkungan yang
dilakukan melalui pendekatan teknologi, sosial ekonomi, dan institusi
dalam rangka meminimisasi dampak negatif penting dan meningkatkan
dampak positif penting.
Dalam pengelotaan dampak ini penlu diperhatikan dampak penting yang
bersifat kumulatif. Hal ini penting mengingat dampak penting yang
diakibatkan oleh masing-masing usaha atau kegiatan sebelum
berakumulasi seringkali masih sesuai dengan daya dukung lingkungan.
5. Lokasi pengelolaan lingkungan
Utarakan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan dengan
memperhatikan sifat persebaran dampak penting yang dikelola. Sedapat
mungkin dilengkapi dengan peta/sketsa gambar dengan skala memadai.
6. Periode pengelolaan lingkungan
Uraikan rencana tentang kapan dan beberapa lama kegiatan pengelolaan
lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan : Sifat dampak penting
yang dikelola (lama berlangsung, sifat kumulatif, dan berbalik tidaknya
dampak). serta kemampuan pemrakarsa tenaga, dana).
7. Pembiayaan pengelolaan lingkungan
Pembiayaan untuk melaksanakan Rencana Pengelolaan Lingkungan
merupakan tugas dan tanggung jawab dan pemrakarsa rencana usaha
atau kegiatan terpadu multisektor yang bersangkutan.
Biaya tersebut meliputi:
a. Biaya investasi misalnya pembelian peralatan pengelolaan
lingkungan serta biaya untuk kegiatan teknis lainnya.
b. Biaya personil dan biaya operasional.
c. Biaya pendidikan serta latihan keterampilan petugas operasional.
8. Kelembagaan pengelolaan lingkungan
Pada setiap rencana pengelolaan lingkungan cantumkan lembaga yang
akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan lingkungan, sesuai dengan peraturan perundang undangan
yang berlaku baik ditingkat nasional maupun daerah. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 yang meliputi:
a. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
b. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.
c. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor
terkait.
d. Keputusan gubernur, bupati/walikotamadya.
e. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan
institusi pengelolaan lingkungan.
Kelembagaan Pengelolaan lingkungan yang perlu diutarakan meliputi :
1) Pelaksana pengelolaan lingkungan
Cantumkan lembaga pelaksana yang bertanggung jawab dalam
pelaksana dan sebagai penyandang dana kegiatan pengelolaan
lingkungan. Apabila dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan
lingkungan pemrakarsa menugaskan atau berkerja dengan pihak
lain, maka cantumkan pula kelembagaan dimaksud.
2) Pengawas pengelolaan lingkungan
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksanannya rencana Pengelolaan Lingkungan. lnstansi yang
terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dan satu instansi sesuai
dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab, serta peraturan
perudang-undangan yang berlaku.
3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan
Cantumkan intansi-intansi yang akan di laporkan hasil kegiatan
pengelolaan lingkungan secara berkala sesuai dengan lingkup
tugas instansi yang bersangkutan, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

C. DAFTARPUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan, baik yang berupa buku,
majalah, makalah, tutisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan
pustaka tersebut agar ditutis dengan berpedoman pada tata cara penulisan
pustaka.

D. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
1. Ringkasan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan dalam bentuk
tabet dengan urutan kolom sebagai berikut:
a. Jenis dampak lingkungan
b. Tujuan pengelolaan lingkungan
c. Rencana pengelolaan lingkungan
d. Lokasi pengelolaan lingkungan
e. Periode pengelolaan lingkungan
f. Institusi pengelolaan lingkungan
2. Data dan informasi penting yang merunjuk dan hasil studi ANDAL seperti
peta-peta (Lokasi kegiatan, lokasi pemantauan lingkungan, dan lain-lain.
Rancangan teknik (engineering design), matrik serta data utama yang
terkait dengan rencana pengelolaan lingkungan untuk menunjang isi
dokumen RKI.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai dengan aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,

ttd.
Hambar Martono

LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
No. 57 Tahun 1995 Tanggal 19 Desember 1995

PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN


RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN TERPADU/MULTISEKTOR

A. LATAR BELAKANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) disusun untuk mengetahui efektifitas
pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan mendeteksi
perubahan lingkungan yang tidak diharapkan. Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) ditekankan pada berbagai dampak penting yang diupayakan
penanganan dampaknya dan dampak lingkungan lainnya yang dianggap perlu
dipantau untuk keperluan pengelolaan lingkungan ke dalam maupun ke luar
batas rencana usaha atau kegiatan.
Agar dapat terlaksana dengan baik, maka dalam penyusunan Rencana
Pemantauan Lingkungan, perlu memperhatikan:
1. Dampak-dampak penting yang dinyatakan dalam dokumen ANDAL
Pengendalian, usaha atau kegiatan terpadu/multisektor, dan
dikelola dalam dokumen RKL usaha atau kegiatan terpadu/multisektor.
2. Pola persebaran dampak penting terhadap wilayah yang akan terkena
dampak, meliputi:
a. Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak;
b. Ekosistem di dalam rencana usaha atau kegiatan terpadu/
multisektor yang sensitif terhadap perubahan akibat adanya
rencana tersebut.
3. Dengan memperhatikan angka 1) dan 2) di atas, tentukan pemantauan
terhadap dampak penting, dan selanjutnya susun rancangan
pengumpulan dan analisa data aspek-aspek yang perlu dipantau,
seperti:
a. Jenis dan jumlah sampel yang akan dipantau;
b. Frekuensi dan jangka waktu pemantauan;
c. Wilayah pemantauan dampak penting, dengan memperhatikan
sumber dampak atau parameter/komponen lingkungan yang
terkena dampak yang dikelola dalam RKL. Wilayah pemantauan
dampak penting tersebut digambarkan dalam peta (administratif,
lokasi rencana usaha atau kegiatan terpadu/muitisektor, geografi
masing-masing rencana usaha atau kegiatan dengan skala yang
memadai;
d. Metoda pengumpulan data (termasuk peralatan dan instrumen
yang digunakan untuk pengumpulan data);
e. Metoda analisis data.

B. RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN


Uraian secara singkat dan jelas pemantauan lingkungan untuk masing-masing
rencana usaha atau kegiatan, menurut sektor atau instansi teknis pembina,
dan sesuai dengan tahap kegiatan pembangunan, meliputi:
1. Dampak Penting
Cantumkan secara singkat:
a. Jenis parameter/komponen lingkungan yang dipandang strategis
untuk dipantau;
b. Indikator dan komponen dampak penting yang dipantau.
Misalnya, indikator yang relevan untuk kualitas air limbah dan air
sungai sehubungan dengan karakteristik rencana usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor antara lain adalah pH, BOD, suhu,
warna, bau, kandungan minyak dan logam berat.
2. Sumber Dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting
dan sumber dampak suatu rencana usaha atau kegiatan
terpadu/multisektor, baik dampak kumulatif, maupun dampak
nonkumulatif.
3. Parameter/Komponen Lingkungan yang Dipantau
Uraian secara jelas tentang parameter/komponen lingkungan yang
dipantau. Parameter/komponen lingkungan ini dapat meliputi aspek
fisika/kimia, aspek biologis, aspek sosial dan aspek kesehatan
masyarakat.
4. Tujuan Rencana Pemantauan Lingkungan
Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak penting
lingkungan dengan memperhatikan masing-masing dampak penting
yang dikelola, sebagaimana tercantum dalam dokumen RKL usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor melalui pemantauan yang dilakukan secara
selektif, untuk mengetahui efektifitas dan efesien pengelolaan
lingkungan yang ada.
5. Metoda Pemantauan lingkungan
Uraian secara singkat metoda yanga akan digunakan untuk memantau
indikator dampak penting, yang mencakup:
a. Metoda pengumpulan dan analisis data
Cantumkan secara singkat dan jelas metoda yang digunakan
dalam proses pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan,
instrumen, atau formulir isian yang digunakan. Cantumkan pula
tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam pengumpulan data
sehubungan dengan tingkat ketelitian yang diisyaratkan dalam
Baku Mutu Lingkungan.
Selain itu uraikan pula metoda yang digunakan untuk
menganalisis data hasil pengukuran. Cantumkan jenis peralatan,
instrumen, dan rumus yang digunakan dalam proses analisis data.
Selain itu uraikan pula tolok ukur yang digunakan untuk menilai
kondisi kualitas lingkungan yang dipantau.
Metoda pengumpulan dan analisis data tersebut harus konsisten
dengan metoda yang digunakan pada penyusunan ANDAL rencana
usaha atau kegiatan terpadu/multisektor.
b. Lokasi pemantauan lingkungan
Cantumkan lokasi yang tepat sesuai jenis dan jumlah sampel yang
dipantau, dan disertai justifikasi penempatan titik sampel
tersebut. Masing-masing titik sampel digambarkan pada peta
berskala memadai, dan diberikan keterangan yang jelas.
Penempatan titik lokasi sampel yang akan dipantau tersebut, agar
disesuaikan dengan titik lokasi sampel studi ANDAL rencana usaha
atau kegiatan terpadu/multisektor.
c. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan
Uraikan justifikasi rentang atau lama periode pemantauan berikut
dengan frekuensinya per satuan waktu. Justifikasi tersebut harus
mempertimbangkan sifat dampak penting yang dipantau
(intensitas, ama dampak berlangsung, kumulatif dampak,
persebaran dampak, dan kemungkinan terjadinya keadaan
darurat).
6. Kelembagaan Pemantauan Lingkungan
Pada setiap rencana pemantauan lingkungan cantumkan kelembagaan
yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan
pemantauan lingkungan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku baik di tingkat pusat maupun daerah. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemantauan lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 yang meliputi:
a. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup;
b. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
c. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor
terkait.
d. Keputusan gubernur, bupati/walikotamadya;
e. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan
institusi pemantauan lingkungan.
Institusi pemantauan lingkungan yang perlu diutarakan meliputi:
1) Pelaksana pemantauan lingkungan
Cantumkan unit kerjalbagian yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan rencana pemantauan lingkungan secara dalam
struktur organisasi masing-masing perusahaan tersebut, termasuk
hal-hal yang berkenaan dengan pembiayaannya.
2) Pengawasan pemantauan lingkungan
Cantumkan instansi teknis yang bertanggung jawab dan instansi
terkait sesuai kewenangannya sebagai pengawas hasil
pelaksanaan pemantauan dan pelaporan RKL dan RPL usaha atau
kegiatan terpadu/multisektor.
3) Pelaporan hasil pemantauan lingkungan
Cantumkan instansi teknis yang bertanggung jawab dan instansi
terkait sesuai kewenangannya yang akan dilapori hasil kegiatan
pemantauan lingkungan secara berkala.

C. DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RPL usaha atau kegiatan terpadu/multisektor, baik yang berupa
buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-
bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara
penulisan pustaka.
D. LAMPIRAN
Pada bagian ini lampirkan tentang:
1. Lampirkan ringkasan dokumen RPL usaha atau kegiatan terpadu/
muttisektor dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut:
a. Dampak penting yang dipantau;
b. Sumber dampak;
c. Tujuan pemantauan lingkungan;
d. Rencana pemantauan lingkungan (yang meliputi metoda
pengumpulan data lokasi pemantauan lingkungan, jangka waktu
dan frekuensi pemantauan lingkungan, serta metoda analisis);
e. Institusi pemantau lingkungan;
2. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena
menunjang isi dokumen RPL usaha atau kegiatan terpadu/ multisektor.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan
Pengendalian,

ttd.
Hambar Martono

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 30 Tahun 1999
Tentang : Panduan Penyusunan Dokumen
Pengelolaan Lingkungan Hidup

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa bagi setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang


kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhdap
lingkungan hidup, wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), sedangkan bagi rencana usaha dan/atau
kegiatan diluar ketentuan tersebut wajib menyusun Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);

2 bahwa pada saat diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 29


Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
kenyataan menunjukkan adanya usaha dan/atau kegiatan yang telah
beroperasi;

3. bahwa bagi usaha dan/atau kegiatan yang telah beroperasi diwajibkan


menyusun Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan dengan
ketentuan bagi kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan
beracun (B3) dalam pproduksinya, diwajibkan menyusun Studi
Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan dan wajib diselesaikan
selambat-lambatnya 5 Juni 1990, sedangkan bagi kegiatan lainnya
diwajibkan menyusun Studi Evaluasi Dampak Lingkungan dan wajib
diselesaikan selambat-lambatnya 5 Juni 1992;

4. bahwa pada kenyataan meskipun batas waktu yang telah ditetapkan


berakhir dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 telah
diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, dan saat ini telah diundangkan
juga Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 yang akan efektif pada tanggal 7
November 2000, usaha dan/atau kegiatan masih banyak yang belum
menyelesaikan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan dan
kewajiban menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan bagi
rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilaksannakan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 belum
diselesaikan pada hal ketentuan yang menjadi dasar hukumnya telah
dicabut;
5. bahwa berdasarkan kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup
maka perlu diambil langkah untuk menetapkan suatu kebijaksanaan
yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam menyusun Dokumen
Pengelolaan Lingkungan;

6. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, b, c, d dan e


dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Panduan Penyusunan Dokumen Pengelolaan
Lingkungan;

Mengingat :

1. Undang - undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1998 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PENDUAN
PENYUSUNAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 1

Dokumen Pengelolaan Lingkungan adalah suatu dokumen yang berisikan


data/informasi dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang berkaitan dengan
upaya pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

Pasal 2

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang semula diwajibkan menyusun Studi


Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan tetapi belum
menyelesaikannya wajib melaksanakan ketentuan ini.
Pasal 3

Ketentuan tentang Tata Cara Penyusunan Dokumen Pengelolaan Lingkungan


seperti yang tercantum dalam Lampiran I, II, III dalam keputusan ini.

Pasal 4

(1) Panduan Penyusunan Dokumen Pengelolaan Lingkungan ini menjadi


dasar bagi instansi teknis/pembina dalam menyelesaikan kewajiban
Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan dan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan yang berada dalam
lingkup kewenangannya.

(2) Instansi teknis/pembina dapat mengembangkan Panduan Penyusunan


Dokumen Pengelolaan Lingkungan ini sesuai dengan kebutuhan di
lingkungan sektornya masing-masing.

Pasal 5

Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib


menyampaikan laporan Pelaksanaan Penyusunan Dokumen Pengelolaan
Lingkungan kepada instansi teknis/pembina yang membidangi kegiatan yang
bersangkutan dan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 6

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang terkena ketentuan ini wajib


menyelesaikan Penyusunan Dokumen Pengelolaan Lingkungan selambat-
lambatnya 31 Desember 1999 sejak keputusan ini ditetapkan.

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Oktober 1999

Menteri Negara Lingkungan


Hidup,

Ttd

Dr. Panangian Siregar


LAMPIRAN I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. Kep-30/MENLH/10/1999
Tanggal : 12 Oktober 1999

PANDUAN PENYUSUANAN DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

A. PENDAHULUAN
1. Ketentuan penyusunan Dokumen Pengelolaan lingkungan ini
ditujukan bagi usaha/kegiatan yang telah beroperasi sebelum
tanggal 23 Oktober 1993 yang diwajibkan menyusun Study
Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan (SEMDAL) dan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sesuai ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun1986, namun belum
menyelesaikan dengan tuntas.
2. Dokumen Pengelolaan lingkungan ini bukan merupakan
dokumen AMDAL atau dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).
3. Dokumen Pengelolaan lingkungan disusun sebagai upaya
pengelolaan dan pemantauan lingkungan bagi usaha/kegiatan
sebagaimana disebutkan dalam butir 1.
4. Semua persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam
Dokumen Pengelolaan Lingkungan wajib dicantumkan dalam
ketentuan (perpanjangan) izin usaha atau kegiatan.

B. FUNGSI DAN TUJUAN


Fungsi dan tujuan dari Dokumen Pengelolaan Lingkungan ini adalah
sebagai alat/instrumen pengikat bagi penanggungjawab suatu
usaha/kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan secara terarah efisien dan efektif.
Fungsi dan tujuan dari Panduan Penyusunan Dokumen Pengelolaan
Lingkungan ini adalah sebagai acuan bagi penyusunan dokumen
pengelolaan lingkungan.

C. RUANG LINGKUP
Dokumen lingkungan disusun sedemikian rupa sehingga langsung
mengemukakan hal-hal sebagi berikut :
1. Identifikasi komponen kegiatan sebagai sumber dampak
2. Komponen lingkungan yang terkena dampak
3. Jenis dan Karakteristik dampak
4. Tolak ukur
5. Usaha-usaha pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang
telah dan sedang dilaksanakan beserta hasilnya
6. Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 12 Oktober 1999

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Dr. Panangian Siregar

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan , S.H.


LAMPIRAN II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. Kep-30/MENLH/10/1999
Tanggal : 12 Oktober 1999

TATA CARA PENGISIAN FORMULIR


DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

1. Penanggung jawab kegiatan


Tuliskan secara jelas nama dan alamat penanggungjawab kegiatan.
2. Lokasi Kegiatan
Uraikan secara jelas lokasi tempat kegiatan dilaksananakan sesuai
dengan izin yang diberikan (contoh : unit administrasi pemerintahan ,
koordiant,dll). Dapat diisi salah satu dari pilihan, atau semua nya bila
data tersedia.
3. Bidang Usaha Atau Kegiatan
Berikan tanda X dalam kotak pilihan instansi Pembina usaha atau
kegiatan, dan tuliskan jenis usaha atau kegiatan yang dilaksanakan
(misalnya : Industri Tekstil Pencelupan) di samping kotak pilihan
tersebut sesuai dengan tempat yang telah disediakan.
4. Masa Beroperasi
Tuliskan waktu beroperasi usaha dan/atau kegiatan terhitung sejak
izin usaha atau kegiatan di terbitkan.
5. Sarana/Fasilitas yang ada :
a) Izin-izin yang dimiliki
Tuliskan berbagai izin yang telah dimiliki (jenis izin, nomor izin,
tanggal penerbitan izin, dan instansi penerbitan izin)
b) Produksi yang dihasilkan
Uraikan keterangan mengenai produksi yang dihasilkan,
menurut kategori produksi barang (contoh : industri semen,
industri tekstil, dan lain sebagainya) dan/atau produksi jasa
(contoh : jasa pariwisata, dan lain sebagainya); berdasarkan :
- Jenis (kolom 5.a)
- Proses/tahapan produksinya (kolom 5.b), berikut
keterangan tentang bahan baku dan penolong yang
digunakan (bila ada), termasuk neraca air dan neraca
bahan
- Kapasitas produksi (kolom 5.c), yang mencangkup
kapasitas terpasang dan kapasitas realisasinya (dalam
satuan baku, misalnya : ton/tahun, liter/hari , satuan
mobil penumpang/perjam)
c). Sarana penunjang
Tuliskan sarana penunjang produksi yang dimiliki usaha
dan/atau kegiatan (jenis, ukuran, keterangan lain bila ada,
misalnya : pembangkit listrik, unit pengolahan air, dll)

MATRIKS PENGELOLAAN
6. Sumber dampak dan dampak yang ditimbulkan serta parameter yang
selama ini menjadi masalah yang harus diselesaikan;
a) Uraikan jenis-jenis dampak yang menjadi masalah selama ini,
termasuk parameternya seperti :
- Air limbah dengan parameter antara lain seperti :pH,
BOD, TSS (dll)
- Sosial Ekonomi dengan parameter seperti pendapatan
masyarakat dll.
b) Uraikan sumber dampak
7. Tolok Ukur
Uraikan tolok ukur yang digunakan dalam pengelolaan dampak
(misalnya : baku mutu air, baku mutu udara, kriteria-kriteria baku,
kesepakatan-kesepakatan yang diakui). Cantumkan pula nomor Surat
Keputusan atau Peraturan Daerah yang mengatur baku mutu tersebut
dan cantumkan pula angka baku mutu bagi parameter dimaksud
dalam kolom 6.a).
8. Upaya Pengelolaan
a) Cara.tehnik mengelola
Sebutkan cara/tehnik pengelolaan yang dilaksanakan
b) Lokasi Pengelolaan
c) Hasil pengelolaan yang telah dicapai (bila ada)
d) Rencana pengelolaan

MATRIKS PEMANTAUAN LINGKUNGAN


9. Sumber dampak dan dampak yang ditimbulkan yang selama ini
menjadi masalah yang harus diselesaikan, nerikut parameter
pemantauannya
a) Uraikan jenis-jenis dampak yang menjadi masalah selama ini,
berikut parameter pemantauannya.
b) Uraikan sumber dampak
10. Tolok Ukur
Uraikan tolok ukur yang digunakan dalam pemantauan dampak
(misalnya : baku mutu air, baku mutu udara, kriteria-kriteria baku,
kesepakatan-kesepakatan yang diakui). Cantumkan pula nomor Surat
Keputusan atau Peraturan Daerah yang mengatur baku mutu tersebut
dan cantumkan pula angka baku bagi parameter dimaksud dalam
kolom 9.a)
11. Upaya Pemantauan
a) - Cara/tehnik memantau
- Sebutkan cara/tehnik pemantauan yang dilaksanakan
b) Lokasi Pemantauan
c) Hasil pemantauan yang telah dicapai (bila ada)
d) Rencana pemantauan

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 12 Oktober 1999
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Ttd
Dr. Panangian Siregar
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan , S.H.

LAMPIRAN III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. Kep-30/MENLH/10/1999
Tanggal : 12 Oktober 1999

DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 12 Oktober 1999

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Dr. Panangian Siregar


Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan , S.H.

DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN


USAHA/KEGIATAN
……………………………………………………………………………

MATRIKS PENGELOLAAN LINGKUNGAN


DOKUMEN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
USAHA/KEGIATAN
……………………………………………………………………………

MATRIKS PEMANTAUAN LINGKUNGAN

__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 2 Tahun 2000
Tentang : Panduan Penilaian Dokumen AMDAL

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999


tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Panduan Penilaian
Dokumen AMDAL;

Mengingat :

1. Undang-ungang Nomor 23 Tahun 1887 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang


Kabinet Persatuan Nasional;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN
PENILAIAN DOKUMEN AMDAL.
Pertama

Panduan Panduan Penilaian Dokumen AMDAL adalah sebagaimana


dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

Kedua

Setelah efektif berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup Nomor: Kep- 29/MENKLH/7/1992 tentang Panduan
Evaluasi Dokumen ANDAL dinyatakan tidak berlaku lagi.

Ketiga

Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan
bilamana dikemudian hari terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan
ditinjau kembali

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Pebruari 2000

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

Ttd.

Dr. A. Sonny Keraf


LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
N0.2 Tahun 2000 Tanggal 21 Februari 2000

PANDUAN PENILAIAN DOKUMEN AMDAL

BAB I. PENDAHULUAN

A. TUJUAN DAN FUNGSI PANDUAN


Panduan ini merupakan alat atau sarana kerja bagi para anggota
Komisi Penilai AMDAL Pusat, Komisi Penilai AMDAL Daerah dan
aparatnya seperti Tim Teknis Komisi Penilai AMDAL.
Panduan ini berfungsi sebagai acuan umum untuk menilai dokumen
AMDAL di berbagai sektor pembangunan di tingkat nasional dan
daerah. Mengingat fungsinya hanya sebagai acuan umum, maka
penilaian harus memperhatikan berbagai panduan lainnya di bidang
AMDAL.
Panduan disusun untuk menuntun para pemakainya dalam menilai
dan mengevaluasi 2 (dua) aspek berikut:
1. Kelengkapan dokumen AMDAL;
2. Kualitas dokumen AMDAL yang dinilai.

B. SYARAT PENGGUNAAN PANDUAN


Ada 3 (tiga) syarat pokok yang harus dipenuhi apabila panduan ini
ingin digunakan secara maksimal oleh para penilai untuk
mengevaluasi dokumen AMDAL yakni:
1. Penilai dokumen AMDAL harus memenuhi salah satu atau lebih
dari syarat berikut:
a. Sudah pernah menyusun dokumen AMDAL; dan/atau
b. Sudah memperoleh sertifikat kursus Penyusun AMDAL
(AMDAL B), Kursus Penilai AMDAL atau kursus yang
sejenis; dan/atau
c. Berpendidikan sarjana/sederajat (terutama berlatar
belakang masalah lingkungan atau ahli dalam masalah
AMDAL); dan/atau
d. Merupakan wakil masyarakat yang terkena
dampak/pemerhati lingkungan.
2. Penilai harus memiliki dan menggunakan pedoman-pedoman
atau panduan AMDAL yang berlaku, seperti antara lain :
Panduan Kajian Aspek sosial dalam AMDAL.
3. Penilai dapat memahami maksud-maksud yang terkandung
dalam panduan penilaian dokumen AMDAL ini dan
menggunakannya.
Dari tiga syarat pokok di atas tampak bahwa tingkat kemanfaatan
panduan ini sangat ditentukan oleh kemampuan pemakainya.

BAB II. PENILAIAN KERANGKA ACUAN (KA) ANDAL

A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI
Kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi antara lain:
a. Dokumen perijinan sesuai dengan rencana kegiatan;
b. Surat Keputusan atau dokumen-dokumen lain yang
dipersyaratkan untuk izin Lokasi sesuai dengan
peruntukannya;
c. Peta-peta terkait, seperti antara lain: peta tata ruang, tata
guna tanah, wilayah studi, peta rencana lokasi, peta geologi,
peta topografi, dan lain-lain;
d. Daftar keahlian/riwayat hidup para penyusun AMDAL beserta
sertifikat kursus AMDAL yang pernah diikuti.
Apabila dokumen KA-ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai
AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka dokumen tersebut
siap dan layak untuk dinilai isinya. Sebaliknya apabila belum
lengkap, maka pemrakarsa diminta untuk melengkapi sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
B. ISI DOKUMEN
1. Pendahuluan
Dalam Bab Pendahuluan perlu diperhatikan aspek-aspek
sebagai berikut:
a. Uraian tentang tujuan dan kegunaan rencana usaha
dan/atau kegiatan yang memberi gambaran manfaat
terhadap pembangunan lokal, regional maupun
nasional;
b. Peraturan perundangan beserta alasan penggunaannya
sebagai acuan dalam penyusunan ANDAL.
2. Ruang lingkup studi
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam ruang lingkup studi ini
adalah kejelasan tentang:
a. Komponen rencana kegiatan yang harus dikaji;
b. Komponen lingkungan yang berpotensi terkena
dampak;
c. Kegiatan lain di sekitarnya dan interaksinnya dengan
rencana kegiatan yang diusulkan;
d. Kerangka konseptual analisis dan isu-isu pokok yang
harus dikaji sesuai dengan hasil pelingkupan yang
digambarkan antara lain dalam bentuk diagram alir,
matrik, dan lain-lain;
e. Batas wilayah studi (spatial), baik batas proyek, batas
ekologis, batas sosial maupun batas administrasi,
setelah mempertimbangkan berbagai kendala teknis
dan kejelasan batas waktu sesuai dengan tahapan
kegiatannya.
3. Metode studi
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam metode studi ini adalah
kejelasan dan ketepatan tentang:
a. Metode pengumpulan dan analisis data:
- primer: lokasi, jumlah sampel (contoh) dan jenis
alat beserta alasan-alasannya;
- sekunder: jenis dan sumber data;
b. Pengambilan contoh dan parameter yang akan diukur;
c. Penggunaan model matematis, analog, profesional,
judgement untuk prakiraan dampak penting;
d. Penggunaan metode-metode evaluasi dampak penting.
4. Pelaksanaan studi
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam pelaksanaan studi ini
adalah:
a. Identitas yang jelas mengenai pemrakarsa baik nama
dan alamat instansi/perusahaan maupun
penanggungjawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. Pemenuhan persyaratan Ketua Tim Studi:
- memiliki sertifikat kursus AMDAL B/sederajat;
- memiliki keahlianan yang sesuai dengan isu
pokok;
- berpengalaman menyusun AMDAL sekurang-
kurangnya 5 (lima) studi;
- berpengalaman memimpin tim studi;
c. Pemenuhan persyaratan tim studi:
- sekurang-kurangnya satu anggota tim memiliki
keahlian di bidang rencana kegiatan yang
bersangkutan;
- memiliki keahtian yang sesuai dengan isu pokok;
d. Biaya studi
Komponen yang harus dinilai minimal adalah prosentase
jenis biaya yang dibutuhkan dalam penyusunan studi;
e. Jadwal waktu pelaksanaan studi:
- Kejelasan tentang rencana pelaksanaan studi;
- Kejelasan dan ketepatan alokasi waktu yang
sesuai dengan ruang lingkup studi.
5. Daftar pustaka
Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah
sumber informasi yang berhubungan dengan:
a. Rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Metode-metode yang digunakan.
6. Lampiran
Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah
keberadaan dan kelengkapan:
a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta
pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL (bilamana sudah
ditentukan Personilnya);
c. Hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung
dokumen KA-ANDAL (misal: keputusan perijinan,
kuesioner yang menjadi bagian metode pelaksanaan
studi, hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak
yang terlibat, dan lain-lain)

BAB III PENILAIAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL)

A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI
KeLengkapan administrasi yang harus dipenuhi mencakup:
a. Dokumen Kerangka Acuan (KA) ANDAL yang telah disetujui
oleh instansi yang bertanggung jawab;
b. Dokumen ANDAL dilengkapi dengan dokumen RKL, RPL,
Ringkasan Eksekutif, dan Lampiran dalam jumlah yang telah
ditetapkan oleh Komisi Penilai AMDAL;
c. Persyaratan administrasi lainnya yang ditetapkan oleh Komisi
Penilai AMDAL, seperti bukti telah diterimanya dokumen
ANDAL, RKL dan RPL.
Apabila dokumen ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL
secara administrasi sudah lengkap, maka dokumen tersebut siap dan
layak untuk dinilai isinya, sebaiknya apabila belum lengkap,
pemrakarsa harus melengkapi sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

B. ISI DOKUMEN
1. Pendahuluan
Aspek-aspek yang dinilai dalam pendahuluan adalah kejelasan
dan kesesuaian:
a. Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan studi
ANDAL. Berbagai peraturan perundangan yang dinilai
antara lain: peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pelaksanaan rencana usaha dan/ atau kegiatan,
pertanahan, baku mutu lingkungan dan Lain-lain. Hal ini
penting mengingat peraturan perundangan tersebut
akan terkait erat dengan prediksi dan evaluasi dampak
penting serta pelaksanaan RKL/RPL;
b. Kejelasan pernyataan tujuan dan kegunaan studi ANDAL
yang telah dirumuskan dalam KA-ANDAL.
2. Ruang Lingkup studi
Aspek-aspek yang dinilai dalam ruang lingkup studi adalah
sebagai berikut:
a. Jenis kegiatan yang potensial menimbulkan dampak
penting;
b. Komponen atau parameter Lingkungan yang diduga
akan mengalami perubahan mendasar akibat rencana
kegiatan;
c. Dampak penting yang ditetaah harus sesuai dan
konsisten dengan isu-isu pokok yang tetah ditetapkan
dalam KA-ANDAL dan isu lain yang ditemukan selama
pelaksanaan studi;
d. Hasil pelingkupan waktu terjadinya dampak (pra-
konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi);
e. Wilayah Studi yang mengacu pada KA-ANDAL dan hasil.
pengamatan di lapangan yang digambarkan secara letas
dalam peta.
3. Metoda studi
Aspek-aspek yang dinilai dalam metode studi adalah kejelasan
dan ketepatan serta konsistensi tentang:
a. Metode pengumpulan dan analisis data:
- primer: lokasi, jumlah contoh dan jenis alat,
beserta alasan-alasannya;
- sekunder: jenis dan sumber data;
b. Pengambilan contoh dan parameter yang akan diukur;
c. Penggunaan model matematis, analog, profesional
judgement untuk prakiraan dampak penting. Dalam
penggunaan metoda prediksi dampak penting ini, harus
jelas metoda apa yang digunakan untuk memprediksi
setiap komponen lingkungan yang terkena dampak dan
rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. Penggunaan metode-metode evaluasi dampak penting.
Metode evaluasi dampak penting yang digunakan
adalah metoda-metoda yang lazim digunakan dalam
studi AMDAL dan harus dapat menggambarkan evaluasi
dampak secara holistik;
e. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk evaluasi beserta
alasan penetapannya.
4. Rencana usaha dan/atau kegiatan
Aspek-aspek yang dinilai dalam rencana usaha dan/atau
kegiatan adalah kejelasan dan kelengkapan tentang:
a. Identitas pemrakarsa dan penyusun;
b. Tujuan serta manfaat dan rencana usaha dan/atau
kegiatan;
c. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang sudah
dilengkapi dengan peta-peta yang penting, misalnya:
peta tata ruang, wilayah studi, layout kegiatan, peta
situasi. Peta-peta ini harus disajikan sesuai dengan
kaidah-kaidah kartografi;
d. Kegiatan lain yang dinilai berhubungan erat atau
tumpang tindih serta interaksinya dengan kegiatan
proyek atau adanya kawasan yang dilindungi;
e. Alternatif usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil
studi kelayakan;
f. Jangka waktu rencana usaha dan/atau kegiatan atau
umur proyek (pra-konstruksi, konstruksi, operasi dan
pasca operasi);
g. Jenis usaha dan jumlah hasil produksi (barang dan jasa)
selama umur proyek;
h. Metode dan teknik pelaksanaan rencana usaha dan/atau
kegiatan yang menimbulkan dampak penting seperti:
- Jenis dan spesifikasi peratatan atau instrumen
yang digunakan;
- Jumlah, asal, dan kualifikasi tenaga kerja pada
tahap prakonstruksi, konstruksi dan operasi;
- Bahan baku utama, penunjang dan bahan
penolong, sifat sifatnya (karakteristik) berikut
lokasi pengambilan, sistem pengangkutan dan
penyimpanannya;
- Neraca bahan (material balance) dan neraca air
(water balance);
- Sarana pengendalian dampak, baik yang
direncanakan terintegrasi dengan proses maupun
yang terpisah;
- Komposisi, karakteristik, dan jumlah dari masing-
masing buangan limbah (padat. Cair dan gas)
berikut upaya penanggulangannya;
- Upaya-upaya yang akan dilakukan pada tahap
pasca operasi.
Catatan :
Bila deskripsi usaha dan/atau kegiatan mencantumkan alternatif lokasi,
rencana usaha dan/atau kegiatan, atau proses kegiatan, maka uraian agar
dibuat secara rinci.
5. Rona lingkungan awal
Aspek-aspek rona lingkungan awal yang dinilai adalah
kejelasan dan kelengkapan data dan informasi tentang kondisi
lingkungan di rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan,
mencakup:
a. Komponen-komponen lingkungan yang diprakirakan
terkena dampak penting sesuai KA-ANDAL dan temuan
komponen lain selama pelaksanaan studi harus diulas
secara rinci;
b. Komponen-komponen lingkungan lainnya yang bersifat
mendukung butir a;
c. Indikator dan parameter lingkungan yang menjadi tolok
ukur perubahan kualitas lingkungan (fisik, kimia,
biologi, kependudukan, sosial. ekonomi, sosial budaya
dan kesehatan masyarakat);
d. Tingkat ketelitian hasil pengamatan dan analisis sesuai
dengan tingkat ketelitian alat dan metode yang
dipergunakan
e. Komponen-komponen dan parameter lingkungan yang
tertulis dalam bab ini harus konsisten dengan yang
dikemukakan dalam ruang lingkup studi, prakiraan dan
evaluasi dampak penting.
6. Prakiraan dampak penting
Aspek-aspek yang dinilai dalam prakiraan dampak penting
adalah:
a. Komponen lingkungan yang dianalisis dalam prakiraan
dampak penting harus konsisten dengan komponen dan
parameter lingkungan yang dinyatakan dalam ruang
lingkup studi;
b. Besarnya perubahan kualitas lingkungan yang terjadi
pada setiap komponen lingkungan yang diperkirakan
terkena dampak penting (kondisi lingkungan tanpa dan
dengan adanya proyek), harus didukung dengan:
- Rincian perhitungan bilamana menggunakan
metode matematik dan/atau empiris;
- Data dasar yang sahih bilamana menggunakan
metode analogi;
- Alasan dan pertimbangan yang kuat bilamana
menggunakan metode profesonal judgement;
c. Penentuan arti pentingnya dampak berdasarkan kriteria
penentuan dampak besar dan penting yang berlaku;
d. Kejelasan tentang mekanisme aliran dampak pada
berbagai komponen lingkungan yang didukung dengan
bagan alir, yaitu:
(1) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang
bersifat langsung pada komponen sosial;
(2) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang
bersifat langsung pada komponen fisik kimia
kemudian rangkaian dampak lanjutan berturut-
turut terhadap komponen dan sosial;
(3) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang
bersifat langsung pada komponen fisik kimia dan
selanjutnya membangkitkan dampak pada
komponen sosial ;
(4) Dampak penting berlangsung saling berantai
diantara komponen sosial itu sendiri;
(5) Dampak penting pada butir (1), (2), (3), dan (4)
yang telah diuraikan selanjutnya menimbulkan
dampak balik pada rencana usaha dan/atau
kegiatan;
e. Konsistensi penggunaan tolok ukur (indikator dan
parameter lingkungan) sesuai dengan yang digunakan
pada bab lainnya.
Catatan :
- Tidak semua komponen atau parameter lingkungan yang dinyatakan
terkena dampak, perubahannya dapat diukur secara kuantitatif misalnya
pergeseran tata nilai dan norma.
- Untuk itu komponen atau parameter lingkungan yang perubahannya
tidak dapat diukur secara kuantitatif; perlu dikaji secara deskriptif
analitis, dan bila memungkinkan dibuat beberapa skenario masa
mendatang yang mungkin terjadi.
- Deskriptif analitis adalah analisis deskriptif terhadap fakta-fakta secara
sistimatis dan rasional, sebagai upaya untuk menggambarkan
perubahan suatu parameter lingkungan. Analisis semacam ini dapat
dilakukan, misalnya dengan cara analogi terhadap proyek serupa di
lokasi lain dengan kondisi lingkungan yang hampir sama, berdasarkan
pengalaman ahli atau menggunakan baku mutu lingkungan.
7. Evaluasi dampak penting
Aspek-aspek yang dinilai pada evaluasi dampak penting
adalah kejelasan dan konsistensi tentang:
a. Telaahan secara holistik atas berbagai komponen
lingkungan yang diprakirakan mengalami perubahan
sebagaimana dikaji dalam bab prakiraan dampak
penting;
b. Kesimpulan terhadap hasil tetaahan holistik tersebut
yang menyimpulkan jenis-jenis dampak penting yang
harus dikelola;
c. Telaahan kausati (hubungan sebab-akibat) dan berbagai
jenis dampak penting yang harus dikelola sebagai dasar
perumusan rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.
Catatan :
Hasil/ kajian secara holistik dan kausatif sedapat mungkin
menghasilkan pilihan atas rencana usaha dan/atau kegiatan.

8. Daftar pustaka
Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah
sumber informasi yang berhubungan dengan:
a. Rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Metode-metode yang digunakan.
9. Lampiran
Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah
keberadaan dan kelengkapan:
a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta
pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL;
c. Cara-cara dan hasil perhitungan;
d. Dasar pertimbangan penetapan kriteria besaran
dampak;
e. Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat;
f. Hal-hal Lain yang dipandang perlu guna mendukung
dokumen ANDAL (seperti contoh: kuesioner dan hasil
evaluasinya yang menjadi bagian metode pelaksanaan
studi).

BAB IV. PENILAIAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)


A. Lingkup RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada lingkup RKL adalah kejelasan dan
konsistensi tentang:
a. Pernyataan melaksanakan RKL dan RPL;
b. Maksud dan tujuan pengelolaan lingkungan;
c. Kebijakan pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan
dalam pengelolaan lingkungan;
d. Jenis dampak penting yang harus dikelola sesuai hasil ANDAL;
e. Kategori pengelolaan lingkungan yaitu:
- Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk
menghindari atau rnencegah dampak negatif lingkungan
melalui pemilihan atas alternatif, tata tetak (tata ruang
mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek;
- Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk
menanggulangi, meminimatisasi (sesuai baku
mutu/daya dukung lingkungan) atau pengendalian
dampak penting negatif, baik yang timbul di saat usaha
dan/atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat
usaha dan/atau kegiatan berakhir (misalnya :
rehabilitasi lokasi proyek);
- Pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan
dampak positif sehingga dampak tersebut dapat
memberikan manfaat yang tebih besar kepada
pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat
yang turut menikmati dampak positif tersebut;
- Pengelolaan lingkungan yang bersifat memberikan
pertimbangan ekonomi lingkungan sebagai dasar untuk
memberikan kompensasi atas sumber daya tidak pulih,
hilang atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi
dan/atau ekologis) sebagai akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan.
B. Pendekatan RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada pendekatan RKL adalah kejelasan dan
relevansi tentang pendekatan yang digunakan dalam menangani
dampak penting yaitu:
a. Pendekatan teknologi
Pendekatan teknologi adalah cara atau teknologi yang
dipergunakan untuk mengelola dampak penting lingkungan.
b. Pendekatan sosial ekonomi
Pendekatan ini adalah langkah yang akan ditempuh
pemrakarsa dalam upaya menanggulangi dampak penting
melalui tindakan-tindakan yang bermotifkan sosial ekonomi.
c. Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan
ditempuh pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak
penting lingkungan.
C. Kedalaman RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada kedalaman RKL adalah kejelasan
tentang bagian RKL yang harus dijabarkan:
a. Disain dasar (basic design);
b. Kriteria disain;
c. Syarat-syarat teknis pelaksanaan konstruksi;
d. Syarat-syarat teknis pelaksanaan operasi dan pemeliharaan;
e. Persyaratan lainnya yang diperlukan untuk mencapai sasaran
pengelolaan dampak, antara lain: pengembangan kelompok
masyarakat, konsultasi masyarakat, rencana tindakan
pengadaan tanah dan pemindahan penduduk (Land Acquisition
and Resettlement Action Plan LARAP).
D. Rencana pelaksanaan RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada rencana pelaksanaan RKL adalah
kejelasan informasi tentang :
a. Kompnen atau parameter lingkungan yang terkena dampak
penting;
b. Sumber dampak;
c. Tolok ukur/parameter;
d. Tujuan dan sasaran;
e. Metode dan teknik pengelolaan lingkungan;
f. Lokasi pengelolaan lingkungan;
g. Periode/jadwal pelaksanaan;
h. Pembiayaan dan sumber biaya;
i. Keberadaan dan komitmen institusi yang terlibat dalam :
- Pelaksanaan RKL;
- Pengawasan Pelaksanaan RKL; dan
- Pelaporan.
E. Pustaka
Aspek yang dievalusi adalah sumber data dan informasi yang
digunakan dalam penyusunan RKL.
F. Lampiran
Aspek yang dinilai adalah tabel ringkasan rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan data, serta informasi penting yang merujuk
dan hasil studi ANDAL.

BAB V. PENILAIAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)


A. Lingkup RPL
Aspek-aspek yang dinilai pada lingkup RPL adalah kejelasan tentang:
a. Tujuan dan kegunaan;
b. Komponen lingkungan yang dipantau sesuai dengan RKL.
B. Pendekatan RPL
Aspek-aspek yang dinilai pada pendekatan RPL adalah kejelasan
tentang kerangka dan landasan pemilihan pendekatan pemantauan
misalnya:
a. Kemitraan dengan swasta dan masyarakat setempat;
b. Pembagian pendanaan dengan pemerintah, dan lain-lain.
C. Rencana pelaksanaan RPL
Aspek-aspek yang dinilai pada rencana pelaksanaan RPL adalah
kejelasan informasi tentang:
a. Komponen atau parameter lingkungan yang dipantau;
b. Sumber dampak;
c. Tolok ukur/parameter;
d. Tujuan dan sasaran;
e. Metode dan teknik pemantauan lingkungan, misalnya:
- pemantauan visual dengan pencatatan;
- pemantauan visual dengan menggunakan atat bantu
(camera, video camera, dan lain-lain);
- pemantauan dengan pengambilan sampel dan analisis di
tempat/ in situ;
- pemantauan dan pengambilan sampel di laboratorium;
- inspeksi mendadak;
- wawancara;
- kombinasi teknik-teknik di atas;
- dan lain-lain;
f. Lokasi pemantauan lingkungan;
g. Periode/jadwal pelaksanaan (jangka waktu dan frekwensi);
h. Keberadaan dan komitmen institusi yang tertibat dalam:
- Pelaksanaan RPL;
- Pengawasan pelaksanaan RPL; dan
- Pelaporan.
D. Pustaka
Aspek yang dinilai adalab sumber data dan informasi yang digunakan
dalam penyusunan RPL.
E. Lampiran
Aspek yang dinilai adalah tabel ringkasan rencana pemantauan lingkungan
hidup dan data, serta informasi penting yang merujuk dan hasil studi
ANDAL.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

ttd.
Nadjib Dahlan, SH

______________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

NOMOR: 4 TAHUN 2000

TENTANG

PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN


PERMUKIMAN TERPADU

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu;

Mengingat:
1. Undang-ungang Nomor 23 Tahun 1887 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang Kabinet Persatuan
Nasional;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN PENYUSUNAN


AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN TERPADU

Pertama:
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

Kedua:
Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di kemudian hari
terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Pebruari 2000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf


KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

NOMOR: 5 TAHUN 2000

TENTANG

PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN


DI DAERAH LAHAN BASAH

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang:
Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup tentang Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah
Lahan Basah;

Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peratuiran Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang Kabinet Persatuan
Nasional;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN PENYUSUNAN


AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH

Pertama:
Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

Kedua:
Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di kemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

ttd.

Nadjib Dahlan, S.H.


KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Nomor : 40 TAHUN 2000
Tentang : Pedoman Tata Kerja Komisis Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

a. bahwa untuk melaksanakan Pasal 8 ayat (7) Peraturan pemerintah


Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup dan Pasal 2 Ayat (3) angka 18 serta Pasal 3 ayat (5) angka 16
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, perlu
menetapkan Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota;

b. Bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-


13/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Susunan Keanggotaan danTata
Kerja Kpmisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan;

c. Nahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir


1 dan 2 diatas, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Tata Kerja Komisis Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3699);

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan


Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3848);
4. Peraturan Pemeritah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3838);

5. Peraturan Pemeritah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan


Pemerintah dan Kewenagan Propinsi Sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999


tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000


tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG TATA KERJA KOMISI PENILAI ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I

TUGAS, WEWENANG, DAN FUNGSI

Pasal 1

(1) Komisis penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang


selanjutnya disebut komisi penilai mempunyai tugas menilai kerangka
acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

(2) Komisi Penilai dibentuk :

a. Di tingkat Pusat oleh Menteri;

b. Di tingkat Propinsi oleh Gubernur;


c. Di tingkat Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota.

(3) Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dibamtu oleh :

a. Tim teknis komisi penilai yang selanjutnya disebut tim teknis;

b. Sekretariat komisi penilai yang selanjutnya disebut sekretariat


komisi penilai.

(4) Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak
lingkungan hidup bagi jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang
memenuhi kriteria :

a. Kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada


masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan
seperti: pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir,
pembangunan dan pengoperasian instalasi nuklir non reaktor,
submarine tailing, teknologi peluncuran satelit, teknologi rekayasa
genetika, ekspolitasi minyak dan gas, pembangunan kilang minyak,
penambangan bahan galian radioaktif, pembangunan industri
pesawat terbang, pembangunan industri senjata, pembangunan
industri bahan peledak, pembangunan bandar udara internasional,
pembangunan pelabuhan samudera, pengolahan limbah terpadu
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

b. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan meliputi lebih dari satu


wilayah propinsi;

c. Kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain;

d. Di wilayah laut diatas 12 (dua belas) mil; dan

e. Di lintas batas negara kesatuan Republik Indonesia dengan negara


lain.

(5) Komisi Penilai Propinsi berwenang menilai hasil analisis mengenai


dampak lingkungan hidup bagi:

a. Rencana usaha dan/atau kegiatan yang potensial berdampak


negatif pada masyarakat luas seperti: pembangunan industri
pulpatau industri kertas yang terintegrasi dengan industri pulp,
pembangunan industri semen dan quarry-nya, pembangunan
industri petrokimia, pembangunan hak pengusahaan hutan beserta
unit pengelolaannya, pembangunan hutan tanaman industri beserta
unit pengelolaannya, budidaya tanaman pangan dan hortikultura
tahunan dengan unit pengelolaannya, pembangkit listrik tenaga air,
pembangkit listrik tenaga uap/panas bumi/diesel, pembangunan
bendungan, pembangunan bandar udara diluar kategori bandar
udara internasional, pembangunan pelabuhan diluar kategori
pelabuhan samudera;

b. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan meliputi lebih dari satu


Kabupaten/Kota; dan

c. Di wilayah laut di antara 4(empat) sampai 12 (dua belas) mil.

(6) Komisi penilai Kabupaten/Kota berwenang menilai hasil analisis


mengenai dampak lingkungan hidup bagi semua rencana usaha
dan/atau kegiatan diluar kewenangan Pusat dan Propinsi, sebagaimana
diatur melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang wajib Dilengkapi dengan Analisis
mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

(7) Dalam hal Kabupaten/Kota tidak atau belum mampu melaksanakan


kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka pelaksanaannya
dapat dilakukan dengan menyerahkan kewenangan tersebut kepada
Propinsi.

(8) Dalam hal Propinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan (7), maka komisi penilai
propinsi dapat meminta bantuan kepada komisi penilai pusat.

Pasal 2

(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pasal 1, komisi


penilai mempunyai fungsi memberikan masukan dan dasar
pertimbangan dalam pengambilan keputusan kesepakatan kerangka
acuan dan kelayakan lingkungan hidup atas suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan kepada:

a. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan di tingkat Pusat;

b. Gubernur di tingkat Propinsi; dan

c. Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/Kota.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai wajib memperhatikan


kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana
pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan
pertahanan keamanan.
Pasal 3

(1) Keanggotaan Komisi penilai terdiri dari : ketua merangkap anggota,


seketaris merangkap anggota serta anggota-anggota lainnya.

(2) Ketua Komisi penilai sebagaimana di maksud pada ayat (1):

a. Di tingkat Pusat adalah Deputi Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan yang membidangi analisis mengenai dampak
lingkungan hidup;

b. Di tingkat Propinsi adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan Daerah;

c. Di tingkat Kabupaten/Kota adalah Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pejabat lain
yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup ditingkat
Kabupaten/Kota.

(3) Ketua Komisi penilai bertugas :

a. Melakukan koordinasi proses penilaian kerangka acuan, analisis


dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup,
dan rencana pemantauan lingkungan hidup;

b. Menyampaikan bahan pertimbangan komisi penilai sebagai dasar


pengambilan keputusan kesepakatan kerangka acuan dan
kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
atau Gubernur atau Bupati/Walikota.

(4) Sekretaris komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

a. Di tingkat Pusat dijabat oleh Kepala Direktorat yang menangani


analisis mengenai dampak lingkungan hidup di Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;

b. Di tingkat Propinsi dijabat oleh Kepala Bidang yang menangani


analisis mengenai dampak lingkungan hidup di Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah Propinsi;

c. Di Tingkat Kabupaten/Kota dijabat oleh Kepala Bidang yang


menangani analisis mengenai dampak lingkungan hidup di Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau
pejabat lain yang ditugasi menangani analisis mengenai dampak
lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.
(5) Sekretaris Komisi Penilai Bertugas :

a. Membantu tugas ketua;

b. Merumuskan hasil penilaian kerangka acuan, analisis dampak


lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan komisi
penilai.

(6) Dalam melaksanakan penilaian, anggota komisi penilai pusat


memberikan saran, pendapat dan tanggapan berupa:

a. Kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal dari


instansi pemerintah;

b. Kebijakan pembangunan daerah dan pembangunan wilayah, bagi


anggota yang berasal dari tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota;

c. Pertimbangan sesuai kaidah ilmu pengetahuan, bagi para anggota


yang berasal dari perguruan tinggi;

d. Pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya, bagi para ahli;

e. Kepentingan lingkungan Hidup, bagi anggota yang berasal dari


organisasi lingkungan/swadaya masyarakat;

f. Aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi para anggota yang


berasal dari wakil masyarakat yang diduga terkena dampak dari
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;

(7) Dalam melaksanakan penilaian, anggota komisi penilai Propinsi


memberikan saran, pendapat dan tanggapan berupa:

a. Kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal dari


instansi pemerintah;

b. Kebijakan pembangunan daerah dan pembangunan wilayah, bagi


anggota yang berasal dari tingkat Kabupaten/Kota;

c. Pertimbangan sesuai kaidah ilmu pengetahuan, bagi para anggota


yang berasal dari perguruan tinggi;

d. Pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya, bagi para ahli;

e. Kepentingan lingkungan Hidup, bagi anggota yang berasal dari


organisasi lingkungan/swadaya masyarakat;
f. Aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi para anggota yang
berasal dari wakil masyarakat yang diduga terkena dampak dari
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;

(8) Dalam melaksanakan penilaian, anggota komisi penilai Kabupaten/kota


memberikan saran, pendapat dan tanggapan berupa:

a. Kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal dari


instansi pemerintah;

b. Pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya yang didasari atas


kaidah ilmu pengetahuan, bagi para ahli;

c. Kepentingan lingkungan Hidup, bagi anggota yang berasal dari


organisasi lingkungan/swadaya masyarakat;

d. Aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi para anggota yang


berasal dari wakil masyarakat yang diduga terkena dampak dari
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;

Bagian Kedua

Tim Teknis

Pasal 4

(1) Tim Teknis di bentuk :

a. Di tingkat pusat oleh Menteri Departemen Teknis atau Pempinan


Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang berkedudukan di
masing-masing sektor, Tim ini merupakan bagian dari tim teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999;

b. Di tingkat Propinsi oleh Kepala Bapedal Daerah Propinsi selaku


Ketua Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Propinsi;

c. Di tingkat Kabupaten/Kota oleh Kepala Bapedalda Daerah


Kabupaten/Kota atau Pejabat yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan hidup selaku Ketua Komisi Penilai Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
(2) Tim teknis dipimpin oleh seorang ketua yang secara ex-officio dijabat
oleh sekretaris komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan
hidup.

Pasal 5

(1) Tim teknis bertugas menilai secara teknis kerangka acuan, analisis
dampak ligkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup atas permintaan komisi penilai.

(2) Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penilaian terhadap:

a. Kesesuaian dengan pedoman umum dan/atau pedoman teknis di


bidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup;

b. Kesesuaian peraturan perundangan di bidang teknis sektor


bersangkutan;

c. Kesesuaian lokasi dengan tata ruang;

d. Ketepatan penerapan metode penelitian/analisis;

e. Kesahihan data yang digunakan;

f. Kelayakan Desain, teknologi dan proses produksi yang digunakan;

g. Kelayakan ekologis.

Pasal 6

Dalam menjalankan tugasnya, tim teknis berfungsi memberikan masukan


dan pertimbangan teknis kepada komisi penilai.

Bagian Ketiga

Sekretariat Komisi Penilai

Pasal 7

(1) Sekretariat Komisi Penilai berkedudukan di :

a. Tingkat Pusat di Direktorat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


Hidup Badan Pegendalian Dampak Lingkungan
b. Tingkat Propinsi di Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah Propinsi

c. Tingkat Kabupaten/Kota di Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau instansi lain yang
menangani pengendalian dampak lingkungan di tingkat
Kabupaten/Kota.

(2) Sekretariat komisi penilai dipimpin oleh seorang kepala yang


bertanggung jawab kepada ketua komisi penilai.

Pasal 8

Sekretariat komisi penilai bertugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan


dan pebyediaan informasi pendukung dan tugas-tugas lain yang diberikan
oleh komisi.

Pasal 9

Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,


sekretariat komisi penilai berfungsi mendukung kelancaran tugas dan fungsi
komisi penilai dan tim teknis.

BAB II

KERANGKA ACUAN

Bagian Pertama

Prosedur Penerimaan Dokumen

Pasal 10

(1) Kerangka acuan yang dinilai oleh :

a. Komisi penilai Pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Kepala


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan melalui sekretariat komisi
penilai pusat;

b. Komisi penilai Propinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada Gubernur


melalui sekretariat komisi penilai Propinsi;
c. Komisi penilai Kabupaten/Kota, diajukan oleh pemrakarsa kepada
Bupati/Walikota melalui sekretariat komisi penilai Kabupaten/Kota;

(2) Dokumen kerangka acuan yang diajukan sebagaiman dimaksud pada


ayat (1) sekurang-kurangnya berjumlah 35 (tiga puluh lima) eksemplar.

(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan


dokumen sebagaimana di maksud pada ayat (2) kepada pemrakarsa
denan menuliskan hari dan tanggal penerimaan dokumen.

Bagian Kedua

Penilaian oleh Tim Teknis

Pasal 11

(1) Ketua komisi penilai meminta tim teknis menilai kerangka acuan.

(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal penilaian.

(3) Penilaian oleh Tim Teknis dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim teknis.

(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh
petugas dari sekretariat komisi penilai.

(5) Masukan dan pertimbangan teknis disampaikan pada rapat komisi


penilai.

Bagian Ketiga

Penilaian oleh Komisi Penilai

Pasal 12

(1) Ketua komisi penilai mengundang para anggota untuk menilai kerangka
acuan

(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh komisi penilai dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim penilai.

(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat
dipimpin oleh sekretaris penilai.

(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin
rapat, maka rapat dipimpin oleh anggota lain yang disepakati.

(6) Rapat sebagimana dimaksud pada ayat (3) juga dihadiri oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau wakil yang ditunjuk
yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan.

(7) Dalam rapat penilaian, semua anggota komisi penilai berhak


menyampaikan pendapatnya sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 ayat
(6), (7) dan (8).

(8) Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan tanggapan dari
masyarakat dalam proses penentuan ruang lingkup kajian analisis
dampak lingkungan.

(9) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat penilaian dapat
memberikan masukan tertulis selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja
setelah rapat penilaian.

(10) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan
pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretaris komisi penilai dan
dituangkan dalam berita acara penilaian.

(11) Pemrakarsa wajib segera menanggapi dan menyempurnakan kerangka


acuan berdasarkan hasil penilaian komisi penilai.

(12) Dokumen yang telah ditanggapi dan disempurnakan oleh pemrakarsa


diserahkan kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat komisi
penilai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
hari dan tanggal rapat penilaian dilaksanakan.

(13) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud


pada ayat (11) belum memenuhi ketentuan perbaikan berdasarkan hasil
penilaian, ketua komisi setelah mendengarkan saran-saran tim teknis
berhak meminta pemrakarsa untuk memperbaiki kembali dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.
(14) Ketua Komisi penilai selaku :

a. Deputi Kepala Badan Pegendalian Dampak Lingkungan yang


menangani Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup di tingkat
Pusat.

b. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi di


tingkat Propinsi.

c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah


Kabupaten/Kota atau pejabat lain yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.

(15) Apabila rencana lokasi dilaksanakan usaha dan/atau kegiatan terletak


dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
dan/atau rencana tata ruang kawasan, maka komisi penilai wajib
menolak kerangka acuan tersebut.

Bagian Keempat

Keputusan

Pasal 13

(1) Keputusan kesepakatan kerangka acuan diterbitkan oleh :

a. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, bagi dokumen


yang dinilai oleh komisi penilai pusat;

b. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daeraj Propinsi,


bagi dokumen yang dinilai oleh komisi penilai Propinsi;

c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah


Kabupaten/Kota, bagi dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
Kabupaten/Kota;

(2) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib


mempertimbangkan hasil rapat penilaian komisi penilai.

(3) Keputusan sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib memuat kesepakatan


tentang ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan hidup yang
akan dilaksanakan.
(4) Di tingkat Pusat, salinan keputusan kesepakatanan kerangka acuan
beserta dokumennya disampaikan oleh Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan kepada:

a. Pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau


kegiatan yang bersangkutan;

b. Pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau


kegiatan yang bersangkutan;

c. Gubernur yang bersangkutan;

d. Bupati/Walikota yang bersangkutan;

(5) Di tingkat Propinsi, salinan keputusan kesepakatanan kerangka acuan


beserta dokumennya disampaikan oleh Gubernur kepada:

a. Pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau


kegiatan yang bersangkutan ditingkat propinsi;

b. Pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau


kegiatan yang bersangkutan ditingkat propinsi;

c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

d. Bupati/Walikota yang bersangkutan;

(5) Di tingkat Kabupaten/Kota, salinan keputusan kesepakatanan kerangka


acuan beserta dokumennya disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada:

a. Pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau


kegiatan yang bersangkutan ditingkat Kabupaten/Kota;

b. Pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau


kegiatan yang bersangkutan ditingkat Kabupaten/Kota;

c. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

d. Gubernur yang bersangkutan;

(7) Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan atau Gubernur atau


Bupati/Walikota mempublikasikan keputusan kesepatan kerangka acuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta dokumennya.
BAB III

ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP, RENCANA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN HIDUP DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama

Prosedur Penerimaan Dokumen

Pasal 14

(1) Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan


hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang dinilai oleh:

a. Komisi penilai Pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Kepala


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan melalui sekretariat komisi
penilai pusat;

b. Komisi penilai Propinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada Gubernur


melalui sekretariat komisi penilai propinsi;

c. Komisi penilai Kabupaten/Kota, diajukan oleh pemrakarsa kepada


Bupati/Walikota melalui sekretariat komisi penilai Kabupaten/Kota;

(2) Dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan


lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang
diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
berjumlah 35 (tiga puluh lima) eksemplar

(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan


dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemrakarsa
dengan mencatat hari dan tanggal penerimaan dokumen.

Bagian Kedua

Penilaian oleh Tim Teknis

Pasal 15

(1) Ketua komisi penilai meminta tim teknis untuk menilai analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup.

(2) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat selambat-
lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum hari dan tanggal penilaian.
(3) Penilaian oleh tim teknis dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim teknis.

(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat oleh
petugas dari sekretariat komisi penilai

(5) Masukan dan pertimbangan teknis disampaikan pada rapat komisi


penilai.

Bagian Ketiga

Penilaian oleh Komisi Penilai

Pasal 16

(1) Ketua komisi penilai mengundang para anggota untuk menilai analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.

(2) Undangan dan dokumen untuk rapat penilaian sudah harus diterima
oleh seluruh peserta rapat selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja
sebelum hari dan tanggal penilaian.

(3) Penilaian oleh komisi penilai dilakukan dalam bentuk rapat dan dipimpin
oleh ketua tim penilai.

(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat, maka rapat
dipimpin oleh sekretaris penilai.

(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat memimpin
rapat, maka rapat dipimpin oleh anggota lain yang disepakati.

(6) Rapat sebagimana dimaksud pada ayat (3) juga dihadiri oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atau wakil yang ditunjuk
yang memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan.

(7) Dalam rapat penilaian, semua anggota komisi penilai berhak


menyampaikan pendapatnya sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 ayat
(6), (7) dan (8).

(8) Dalam penilaiannya, komisi penilai wajib memperhatikan saran,


masukan dan tanggapan dari masyarakat.
(9) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat penilaian dapat
memberikan masukan tertulis selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja
setelah rapat penilaian.

(10) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai dan
pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai dan
dituangkan dalam berita acara penilaian.

(11) Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai wajib memperhatikan


kebijaksanaan nasional pengelolaan lngkungan hidup, rencana
pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan
pertahanan keamanan.

(12) Pemrakarsa wajib segera menanggapi dan menyempurnakan analisis


dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian
komisi penilai.

(13) Dokumen yang telah ditanggapi dan disempurnakan oleh pemrakarsa


diserahkan kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat komisi
penilai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
hari dan tanggal rapat penilaian dilaksanakan.

(14) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud


pada ayat (11) belum memenuhi ketentuan perbaikan berdasarkan hasil
penilaian, ketua komisi berhak meminta pemrakarsa untuk memperbaiki
kembali dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja.

(15) Ketua komisi penilai menyampaikan berita acara penilaian dan dokumen
yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (13)
kepada:

a. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, bagi analisis


dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup
dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang dinilai oleh komisi
penilai Pusat;

b. Gubernur, bagi analisis dampak lingkungan hidup, rencana


pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup yang dinilai oleh komisi penilai Propinsi;

c. Bupati/Walikota, bagi analisis dampak lingkungan hidup, rencana


pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan
hidup yang dinilai oleh komisi penilai Kabupaten/Kota;
untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan
kelayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.

Bagian Keempat

Keputusan

Pasal 17

(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha dan/atau


kegiatan diterbitkan oleh:

a. Kepala Badan pengendalian Dampak Lingkungan , bagi dokumen


yang dinilai oleh komisi pusat;

b. Gubernur, bagi dokumen yang dinilai oleh komisi penilai Propinsi;

c. Bupati/Walikota, bagi dokumen yang dinilai oleh Komisi penilai


Kabupaten/Kota.

(2) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib


mencantumkan :

a. Dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan tersebut;

b. Pertimbangan terhadap saran, pendapat dan tanggapan yang


diajukan oleh warga masyarakat.

(3) Di tingkat Pusat, salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu


usaha dan/atau kegiatan beserta dokumen analisis damak lingkungan
hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup disampaikan oleh instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan kepada :

a. instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha


dan/atau kegiatan yang bersangkutan;

b. instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang


bersangkutan;

c. instansi terkait lainya;

d. Gubernur yang bersangkutan; dan

e. Bupati/Walikota yang bersangkutan.


(4) Di tingkat Propinsi, salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan beserta dokumen analisis damak lingkungan
hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup disampaikan oleh Gubernur kepada :

a. instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha


dan/atau kegiatan;

b. Bupati/Walikota yang bersangkutan;

c. instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang


bersangkutan di tingkat Propinsi;

d. instansi terkait lainya di tingkat Propinsi;

e. Menteri;

f. Menteri sektor dan/atau Pimpinan LPND;

g. Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

(5) Di tingkat Kabupaten/Kota, salinan keputusan kelayakan lingkungan


hidup suatu usaha dan/atau kegiatan beserta dokumen analisis damak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup disampaikan oleh Bupati/Walikota
kepada:

a. instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha


dan/atau kegiatan;

b. instansi terkait lainya di tingkat Kabupaten/Kota;

c. Gubernur yang bersangkutan;

d. Menteri;

e. Menteri sektor dan/atau Pimpinan LPND;

f. Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

(6) Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan atau Gubernur atau


Bupati/Walikota mempublikasikan keputusan kelayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta dokumennya.
BAB IV

PEMBIAYAAN

Pasal 18

Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi
analisis mengenai dampak lingkungan hidup dibebankan :

a. Di tingkat Pusat pada anggaran Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan;

b. Di tingkat Propinsi pada anggaran Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan Daerah Propinsi;

c. Di tingkat Kabupaten/Kota pada anggaran Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pada anggaran instansi yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat
Kabupaten/Kota.

BAB V

PENUTUP

Pasal 19

(1) Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 Nopember 2000

(2) Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara


Lingkungan Hidup nomor : Kep-13/MENLH/3/1994 tentang Pedoman
Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi AMDAL dinyatakan tidak
berlaku lagi.

Ditetapkan : di Jakarta

Tanggal : 6 Nopember 2000

Menteri Negara Lingkungan Hidup

Ttd

Dr. A. Sonny Keraf


Salinan sesuai dengan aslinya

Kepala Biro Umum Kantor MENLH

Ttd

Nadjib Dahlan, S.H.

__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 41 TAHUN 2000

TENTANG

PEDOMAN PEMBENTUKAN KOMISI PENILAI


ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang:

a. bahwa untuk melaksanakan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000


tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom,
perlu menetapkan Pedoman Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota;
b. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup belum mengatur tentang Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dan 2 di atas,
perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
72; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha
dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup;
9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman
Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
MEMUTUSKAN

Menetapkan:

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN


PEMBENTUKAN KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
HIDUP KABUPATEN/KOTA.

BAB I
PEMBENTUKAN KOMISI PENILAI

Pasal 1

Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota wajib
memenuhi kriteria:

a. Tersedianya sumber daya manusia yang telah lulus mengikuti pelatihan Dasar-dasar
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan/atau Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup dan/atau Penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup khususnya di instansi pemerintah untuk melaksanakan tugas dan fungsi komisi
penilai;
b. Tersedianya tenaga ahli sekurang-kurangnya di bidang biogeofisik-kimia, ekonomi, sosial,
budaya, kesehatan, perencanaan pembangunan wilayah/daerah, dan lingkungan sebagai
anggota komisi penilai dan tim teknis;
c. Adanya organisasi lingkungan/lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang
lingkungan hidup yang telah lulus mengikuti pelatihan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup dalam fungsinya sebagai salah satu anggota komisi penilai;
d. Memiliki sekretariat komisi penilai yang berkedudukan di instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota; dan
e. Adanya kemudahan akses ke laboratorium yang memiliki kemampuan menguji contoh uji
kualitas sekurang-kurangnya untuk parameter air dan udara baik laboratorium yang
berada di Kabupaten/Kota maupun di ibukota propinsi terdekat.

Pasal 2

Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota dibentuk oleh
Bupati/Walikota.

Pasal 3

Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota berkedudukan di


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau di instansi lain yang
ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.

BAB II
SUSUNAN KEANGGOTAAN

Bagian Pertama

Komisi Penilai

Pasal 4
1. Susunan keanggotaan terdiri dari Ketua merangkap sebagai anggota, Sekretaris merangkap
sebagai anggota, dan anggota-anggota lainnya.
2. Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pejabat lain yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.
3. Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh salah seorang pejabat yang
menangani masalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup baik dari Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau dari instansi lain yang
menangani pengendalian dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota.
4. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

a. wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota;


b. wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan Daerah
Kabupaten/Kota;
c. wakil dari instansi yang ditugasi bidang penanaman modal Daerah Kabupaten/Kota;
d. wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertanahan di daerah Kabupaten/Kota;
e. wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertahanan daerah Kabupaten/Kota;
f. wakil dari instansi yang ditugasi bidang kesehatan daerah Kabupaten/Kota;
g. wakil dari instansi terkait di daerah Kabupaten/Kota;
h. ahli di bidang lingkungan hidup;
i. ahli di bidang yang berkaitan dengan rencana usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan;
j. wakil dari organisasi lingkungan sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan;
k. wakil dari masyarakat yang terkena dampak;
l. anggota lain yang dianggap perlu.

Bagian Kedua

Tim Teknis

Pasal 5

1. Tim teknis terdiri atas para ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
Kabupaten/Kota atau instansi lain yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan hidup di
tingkat Kabupaten/Kota, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait.
2. Tim teknis dipimpin oleh seorang ketua yang dalam hal ini dirangkap oleh sekretaris komisi
penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.

BAB III
TUGAS DAN FUNGSI

Bagian Pertama

Komisi Penilai

Pasal 6

Komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota bertugas menilai
kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 7

Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai dibantu oleh:

a. Tim teknis komisi penilai;


b. Sekretariat komisi penilai.

Pasal 8

Dalam melaksanakan tugas, komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kabupaten/Kota mempunyai fungsi memberikan masukan dan dasar pertimbangan dalam
pengambilan keputusan kesepakatan kerangka acuan dan keputusan kelayakan lingkungan hidup
atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada Bupati/Walikota.

Bagian Kedua

Tim Teknis

Pasal 9

1. Tim teknis bertugas menilai secara teknis kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup,
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup atas
permintaan komisi penilai.
2. Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penilaian terhadap:

a. Kesesuaian dengan pedoman umum dan/atau pedoman teknis di bidang analisis


mengenai dampak lingkungan hidup;
b. Kesesuaian peraturan perundangan di bidang teknis sektor bersangkutan;
c. Ketepatan penerapan metoda penelitian/analisis;
d. Kesahihan data yang digunakan;
e. Kelayakan desain, teknologi, dan proses produksi yang digunakan.

Pasal 10

Dalam menjalankan tugasnya, tim teknis berfungsi memberikan masukan dan pertimbangan
teknis dan bertanggung jawab kepada komisi penilai.

Bagian Ketiga

Sekretariat Komisi Penilai

Pasal 11

Sekretariat komisi penilai bertugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan dan penyediaan


informasi pendukung.

Pasal 12

Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, sekretariat komisi penilai
berfungsi mendukung kelancaran tugas dan fungsi komisi penilai dan tim teknis.
BAB IV

PEMBIAYAAN

Pasal 13

Biaya atas pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi analisis
mengenai dampak lingkungan hidup dibebankan pada anggaran Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Kabupaten/Kota atau pada anggaran instansi yang ditugasi menangani
pengendalian dampak lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/Kota yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

BAB V

PENUTUP

Pasal 14

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Tanggal : 6 Nopember 2000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH

ttd

Nadjib Dahlan, S.H.


KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 42 TAHUN 2000

TENTANG

SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS


ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang:

Bahwa untuk melaksanakan Pasal 9 dan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, perlu dibentuk Susunan Keanggotaan
Komisi Penilai dan Tim Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 Tentang Pedoman Tata
Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG SUSUNAN KEANGGOTAAN


KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
PUSAT

Pertama:
Susunan keanggotaan komisi penilai dan tim teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Pusat adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran I dan II dalam Keputusan ini.
Kedua:
Setiap anggota komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat mempunyai
kewenangan pengambilan keputusan dari instansi/organisasi/masyarakat yang diwakilinya.

Ketiga:
Ketua komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat dalam melaksanakan
tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Keempat:
Ketua tim teknis dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Ketua komisi penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat.

Kelima:
Anggota komisi penilai dan tim teknis dalam melaksanakan tugasnya wajib memperhatikan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Keenam:
Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 6 Nopember 2000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Lampiran 1.
Susunan Keanggotaam Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat

Lampiran 2.
Susunan Keanggotaam Tim Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 17 Tahun 2001
Tentang : Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999


tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom perlu ditetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup;

2. bahwa berdasarkan kenyataan terdapat jenis rencana usaha dan/atau kegiatan


dalam skala/besaran yang lebih kecil dibandingkan dengan jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Jenis Usaha dan/atau
Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup, tetapi karena daya dukung, daya tampung, dan tipologi ekosistem
daerah setempat jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup;

3. bahwa mengingat hal tersebut diatas perlu ditetapkan Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup Tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3501);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3699);

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah


dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG JENIS RENCANA
USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pertama

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
mengenai Dampak Lingkungan Hidup adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini.

Kedua

Apabila skala/besaran suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan lebih kecil
daripada skala/besaran yang tercantum pada Lampiran keputusan ini akan tetapi
atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak penting
terhadap lingkungan hidup, maka bagi jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat
ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta sebagai Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Ketiga

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam lampiran
keputusan ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung wajib
dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

Keempat

Apabila Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dan/atau masyarakat menganggap perlu untuk mengusulkan jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran Keputusan ini tetapi jenis
rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dianggap mempunyai dampak penting
terhadap lingkungan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dan/atau masyarakat wajib mengajukan usulan secara
tertulis kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup.

Kelima

Menteri Negara Lingkungan Hidup akan mempertimbangkan penetapan keputusan


terhadap jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang diusulkan tersebut menjadi
jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Keenam

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Ketujuh

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: 3 Tahun 2000 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi
dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kedelapan

Keputusan ini mulai berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 22 Mei 2001

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


No. 17 Tahun 2001 Tanggal 22 Mei 2001

JENIS RENCANA USAHA DAN ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI


DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

1. Pendahuluan
jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ditetapkan berdasarkan :
a. Potensi dampak penting
Sesuai Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999,
jenis usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan AMDAL.
Potensi dampak penting bagi setiap jenis usaha dan/atau kegiatan
tersebut ditetapkan berdasarkan: Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor
056 Tahun t994 tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting.
Referensi internasional yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai
landasan kebijakan tentang AMDAL.
Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk
menanggulangi dampak penting negatif yang akan timbul.

2. Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
A. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Secara umum, kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas militer dengan
skala/besaran berikut berpotensi menimbulkan resiko lingkungan dengan
terjadinya ledakan serta keresahan sosial akibat kegiatan operasional
dan penggunaan lahan yang cukup luas.
B. Bidang Pertanian
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya
tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan berupa erosi tanah,
perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama, penyakit dan
gulma, serta perubahan kesehatan tanah akibat penggunaan
pestisida/herbisida. Disamping itu sering pula muncul potensi konflik
sosial dan penyebaran penyakit endemik.
Skala/besaran yang tercantum di bawah ini telah memperhitungkan
potensi dampak penting kegiatan terhadap ekosistem, hidrologi, dan
bentang alam. Skala /besaran tersebut merupakan luasan rata-rata dari
berbagai ujicoba untuk masing-masing kegiatan dengan mengambil
lokasi di daerah dataran rendah, sedang, dan tinggi.
C. Bidang Perikanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya
tambak udang, ikan, dan pembangunan pelabuhan perikanan adalah
perubahan ekosistem perairan dan pantai, hidrologi, dan bentang alam.
Pembukaan hutan mangrove akan berdampak terhadap habitat, jenis
dan kelimpahan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang berada di
kawasan tersebut.
D. Bidang Kehutanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan
terhadap ekosistem hutan, hidrologi, keanekaragaman hayati, hama
penyakit, bentang alam dan potensi konflik sosial.
E· Bidang Kesehatan

F. Bidang Perhubungan
G. Bidang Teknologi Satelit
H. Bidang Perindustrian

Kegiatan bidang perindustrian pada umumnya menimbulkan pencemaran


air, udara, tanah, gangguan kebisingan, bau, dan getaran. Beberapa
jenis industri menggunakan air dengan volume sangat besar, yang
diperoleh baik dari sumber air tanah ataupun air permukaan.
Penggunaan air ini berpengaruh terhadap sistem hidrologi sekitar.
Berbagai potensi pencemaran, gangguan fisik dan gangguan pasokan air
tersebut di atas menimbulkan dampak sosial.
Beberapa jenis industri yang sudah memiliki teknologi memadai untuk
mengatasi dampak negatif yang muncul, sehingga tidak termasuk dalam
daftar berikut, tetapi menggunakan areal yang luas tetap wajib
dilengkapi dengan AMDAL (nomor 15).
I. Bidang Prasarana Wilayah

Kegiatan pembangunan dan pengadaan prasarana wilayah umumnya


berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat. Potensi konflik yang
timbul sangat berkaitan dengan tingkat kepadatan penduduk karena
umumnya membutuhkan lahan yang luas dan seringkali mengubah tata
guna lahan.
J. Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral
K. Bidang Pariwisata
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan
terhadap ekosistem, hidrologi, bentang alam dan potensi konflik sosial.

L. Bidang Pengembangan Nuklir


Secara umum, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan
dan penggunaan teknologi nuklir selalu memiliki potensi dampak dan
resiko radiasi. Persoalan kekhawatiran masyarakat yang selalu muncul
terhadap kegiatan-kegiatan ini juga menyebabkan kecenderungan
terjadinya dampak sosial.
M. Bidang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Kegiatan yang menghasilkan limbah B3 berpotensi menimbulkan dampak


terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, terutama kegiatan yang
dipastikan akan mengkonsentrasikan limbah B3 dalam jumlah besar
sebagaimana tercantum dalam tabel. Kegiatan-kegiatan ini juga secara
ketat diikat dengan perjanjian internasional (konvensi Basel) yang
mengharuskan pengendalian dan penanganan yang sangat seksama dan
terkontrol.
N. Bidang Rekayasa Genetika
Kegiatan-kegiatan yang menggunakan hasil rekayasa kesehatan
manusia dan keseimbangan ekosistem genetika berpotensi menimbulkan
dampak terhadap

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Hukum Lingkungan,

ttd
Sudharto P. Hadi

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
Daftar Singkatan:

m = meter
m2 = meter persegi
m3 = meter kubik
km = kilometer
km2 = kilometer persegi
ha = hektar
l = liter
dt = detik
Kw = kilowatt
Kwh = kilowatt hour
KV = kilovolt
Mw = megawatt
Mwh = megawatt hour
Kcal = kilocalorie
TBq = Terra Becquerel
Ci = Curie
BOPD = barrel oil per day = minyak barrel per hari
MMSCFD = million metric square cubic feet per day = juta metrik persegi kaki
kubik per hari LWS = low water sea = di bawah permukaan laut
DWT = dead weight tonnage = bobot mati
KK = kepala keluarga
TK = tenaga kerja
KP = kuasa pertambangan
ROM = raw of material = bahan mentah
LPG = Liquiefied Petroleum Gas = gas minyak bumi yang dicairkan
LNG = Liquiefied Natural Gas = gas alam yang dicairkan
ROW = Right of way = daerah milik jalan (damija)
BOD = biological oxygen demand = kebutuhan oksigen biologis
COD = chemical oxygen demand = kebutuhan oksigen kimiawi
DO = dissolved oxygen = oksigen terlarut
TSS = total suspended solid = total padatan tersuspensi
TDS = total dissolved solid = total padatan terlarut ;

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 30 Tahun 2001
Tentang : Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan
Hidup Yang Diwajibkan

MENTERI NEGARA UNGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Menteri
berwenang memerintahkan kepada penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan;
b. bahwa agar pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
dapat dilakukan secara efektif maka diperlukan suatu pedoman;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup Yang Diwajibkan;

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3434);
4. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Menteri Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non-Departemen;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Audit Lingkungan hidup yang diwajibkan adalah suatu proses evaluasi
yang dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan atau kegiatan
berdasarkan perintah Menteri atas ketidakpatuhan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup yang terkait dengan kegiatan
tersebut.
2. Auditor Lingkungan adalah seseorang yang memiliki kulifikasi untuk
melaksanakan audit lingkungan.
3. Tim Audit adalah sekelompok atau seorang auditor yang diberi tugas
untuk melaksanakan audit dan tim audit juga dapat beranggotakan
tenaga ahli teknis.
4. Tim Audit adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri
untuk melaksanakan evaluasi terhadap masukan, informasi dan
usulan untuk melakukan perintah audit lingkungan hidup yang
diwajibkan.
5. Tim Verifikasi adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri
untuk melaksanakan verifikasi terhadap laporan hasil audit lingkungan
yang diwajibkan.
6. Pihak yang berkepentingan adalah orang seorang, kelompok orang,
termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang terkena
dampak langsung atau berpotensi terkena dampak dan
ketidakpatuhan, dan organisasi lingkungan hidup.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
hidup.
8. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan di
daerah Propinsi/Kabupeten/Kota atau instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2
Ruang lingkup audit lingkungan hidup yang diwajibkan meliputi evaluasi
masukan atau informasi, kriteria ketidakpatuhan, pelaksanaan, dan verifikasi
laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan akibat ketidakpatuhan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

BAB III
TUJUAN, FUNGSI DAN MANFAAT

Pasal 3
(1) Tujuan audit lingkungan hidup yang diwajibkan :
a. untuk mengetahui tingkat ketidakpatuhan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
b. memberikan uraian tentang penyebab terjadinya
ketidakpatuhan, termasuk apabila terdapat pelanggaran dan
atau ketidaktepatan penerapan kebijaksanaan di bidang
lingkunqan hidup;
c. memberikan rekomendasi atas temuan-temuan pelaksanaan
audit.
(2) Fungsi audit Iingkungan hidup yang diwajibkan merupakan sa!ah satu
instrumen penaatan atas ketidakpatuhan penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undarigan d bidany
pengel Iingkungan hidup.
(3) Manfaat pelaksanaan audit Iingkungan hidup yang diwajibkan:
a. meningkatkan penaatan pengelolaan lingkungan hidup dan
suatu usaha dan atau kegiatan;
b. mengetahui status ketaatan pengelolaan lingkungan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan
Menteri tentang tindak lanjut penanganan ketidakpatuhan.
d. mencegah teradinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup.

BAB IV
KRITERIA KETIDAKPATUHAN DAN KEWENANGAN

Pasal 4
Kriteria ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
terhadap peraturan Perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan
hidup yang menjadi dasar dikeluarkannya perintah pelaksanaan audit
lingkungan hidup yang diwajibkan,meliputi:
a. ketidakpatuhan terhadap baku mutu lingkungan hidup, dan atau;
b. ketidakpatuhan terhadap kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dan atau;
c. ketidakpatuhan terhadap persyaratan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
harus dilakukan, dan atau;
d. ketidakpatuhan yang mengindikasikan bahwa penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan tidak memiliki dokumen pengelolaan
lingkungan hidup atau tidak melaksanakan sistem pengelolaan
lingkungan secara efektif.

Pasal 5
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dinyatakan tidak
mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
Lingkungan hidup, apabila telah melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
menunjukkan :
a. telah terjadi hal yang sama atau berkaitan secara berulangkali ,
dan;
b. telah diberikan peringatan oleh Menteri dan atau Gubernur dan
atau Bupati dan atau Walikota sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali
dalam jangka waktu setahun terakhir dan atau patut diduga
akan terjadi lagi di masa mendatang.
Pasal 6
(1) Menteri berwenang memerintahkan kepada penanggungjawab usaha
dan atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
menunjukkan ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 5.
(2) Apabila Gubernur/Bupati/Walikota menilai bahwa suatu usaha dan
atau kegiatan di wilayahnya menunjukkan ketidakpatuhan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, maka
Gubernur/Bupati/Walikota mengusulkan kepada Menteri untuk
memerintahkan penanggung jawab suatu usaha dan atau kegiatan
tersebut melakukan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.

BAB V
PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN
Bagian pertama
Tata Laksana

Pasal 7
(1) Tata laksana audit lingkungan Hidup yang diwajibkan dilaksanakan
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia Nomor 19-14O10-1997
tentang Pedoman Audit Lingkungan — Prinsip Umum atau standar
lainnya yang sesuai dengan tujuan pelaksanaan audit lingkungan
hidup yang diwajibkan.
(2) Audit lingkungan hidup yang diwajibkan dilakukan oleh auditor
lingkungan yang terdaftar dan atau auditor yang memenuhi kriteria
kualifikasi sesuai dengan SNI 19-14012-1997 tentang Pedoman audit
lingkungan - Kriteria kualifikasi untuk auditor lingkungan dan bebas
dan pertentangan kepentingan.
(3) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib memberikan
informasi/data yang benar dan aktual kepada auditor.

Bagian Kedua
Mekanisme

Pasal 8
Pihak yang berkepentingan dapat memberikan masukan atau informasi
secara tertulis tentang terjadinya petunjuk ketidakpatuhan suatu usaha dan
atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup kepada Gubernur/Bupati/Walikota/Instansi
yang bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 9
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menugaskan instansi yang bertanggung
jawab di daerah untuk mengevaluasi masukan atau Informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan memeriksa unsur
ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
(2) Apabila instansi yang bertanggungjawab di daerah menemukan
ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5,
maka:
a. Kepala instansi yang bertanagung jawab di daerah menemukan
hasil temuannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota;
b. Gubernur/Bupati/Walikota dapat mengusulkan secara tertulis
kepada Menteri untuk mengeluarkan perintah audit lingkungan
idup yang diwajibkan, dengan dilengkapi data pendukung.

Pasal 10
Instansi pengendalian dampak lingkungan dapat mengusulkan kepada
Menteri untuk memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan berdasarkan
masukan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
dilengkapi dengan data pendukung.

Pasal 11
(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
dan Pasal 10 selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja,
Menteri membentuk Tim Evaluasi yang bentugas untuk mengevaluasi
usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2) Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur-
unsur, instansi yang bertanggung jawab dibidang pengendalian
dampak lingkungan, instansi yang bertanggungjawab di daerah,
instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan dan tenaga ahli
dalam bidang yang terkait.
(3) Tim evaluasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat
yang ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di instansi yang
bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak ingkungan.
(4) Tim Evaluasi melaksanakan kegiatan evaluasi paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja , terhitung sejak ditetapkan oleh Menteri.
(5) Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan dan rekomendasi hasil evaluasi secara tertulis
kepada Menteri selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja, setelah
selesai melaksanakan evaluasi.
(6) Rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dapat berupa;
a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah audit Lingkungan
hidup yang diwajibkan, dilengkapi dengan rancangan ruang
lingkupnya, atau;
b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah audit Lingkungan
hidup yang diwajibkan dengan memberikan alasan-atasan
ketidaklayakan tersebut.
(7) Apabila rekomendasi berupa ketidaklayakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) huruf b, Menteri memberitahukan kepada pihak yang
berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Pasal 12
(1) Berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6) huruf a, Menteri dapat menyetujui atau tidak
menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan
(2) Apabilaa Menteri menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup
yang diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan
audit lingkungan hidup yang diwajibkan kepada penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
(3) Apabila Menteri tidak menyetujui usulan perintah audit lingkungan
hidup yang diwajibkan, Menteri memberikan alasan-alasan mengenai
ketidaksetujuan tersebut.

Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2), penanggung jawab usaha dan atau kegiatan telah menunjuk
auditor dengan pemberitahuan kepada Menteri.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melaksanakan
perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Menteri
dapat:
a. melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dengan
membentuk Tim Audit, atau;
b. menugaskan pihak ketiga yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(3) Jumlah beban biaya pelaksanaan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh
Menteri.

Pasal 14
(1) Tim audit merumuskan Kerangka Acuan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan berdasarkan ruang lingkup yang ditetapkan oleh Menteri
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tim audit ditetapkan.
(2) Tim audit mulai melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah Kerangka
Acuan mendapat persetujuan dari Menteri.
(3) Tim audit setelah melaksanakan tugasnya wajib menyerahkan laporan
hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan secara tertulis kepada
Menteri.

Pasal 15
(1) Apabila dianggap perlu Menteri dapat melakukan verifikasi terhadap
laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan, dengan
membentuk Tim Verifikasi.
(2) Tim Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :
a. ahli di bidang lingkungan hidup khususnya yang berkaitan
dengan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan;
b. unsur lainnya yang dianggap penlu.
(3) Tim verifikasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat
yang ditetapkan Menteri dan berkedudukan di instansi yang
bertanggung jawab dibidang pengendalian dampak lingkungan.
(4) Tugas Tim Verifikasi mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. melaksanakan kajian terhadap laporan hasil audit lingkungan
hidup yang diwajibkan;
b. apabila diperlukan dapat melaksanakan kegiatan verifikasi di
lokasi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan;
c. menyusun laporan hasil verifikasi secara tertulis dan
menyampaikannya kepada Menteri;
(5) Tim Verifikasi melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 16
(1) Berdasarkan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan,
Menteri mengeluarkan surat perintah kepada penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan
sesuai dengan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan dalam
tenggang waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan dan atau instansi yang bertanggung jawab di daerah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perbaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

BAB VI
INFORMASI DAN PUBLIKASI

Pasal 17
Menteri mengumumkan surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) dan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan kepada
Masyarakat.

BAB VII PENUTUP

Pasal 18
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 September 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.
Nabiel Makarim, MPA,MSM.

__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 86 TAHUN 2002
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN
LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27


tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
bagi usaha dan atau kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup wajib melakukan Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UPL);

b. bahwa pembinaan usaha dan atau kegiatan yang wajib melakukan


Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) berada pada pemerintah;

c. bahwa salah satu upaya pembinaan tersebut dapat berupa penerbitan


pedoman pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) bagi usaha dan atau
kegiatan yang tidak wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup;

d. bahwa penerbitan pedoman pelaksanaan Upaya Pengelolaan


Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
(UPL) seperti tersebut pada huruf c, sejalan dengan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom;

e. bahwa daerah saat ini membutuhkan pedoman pelaksanaan Upaya


Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UPL) untuk pengendalian pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup;

f. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-


12/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
(UPL) tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini;

g. bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup berwenang untuk


menetapkan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan;

h. bahwa mengingat hal-hal seperti tersebut di atas, dipandang perlu


menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL);

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan


Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan


Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4090);

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 Tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;

7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001


tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi
Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA


PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP.

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) adalah
upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL).

2. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan
atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

3. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin melakukan
usaha dan atau kegiatan.

Pasal 2

(1) Setiap jenis usaha dan atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL wajib melakukan
UKL dan UPL, yang proses dan prosedurnya tidak dilakukan menurut ketentuan Peraturan
Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

(2) UKL dan UPL wajib dilakukan oleh pemrakarsa usaha dan atau kegiatan dengan menggunakan
formulir isian seperti terlampir dalam Keputusan ini.

Pasal 3

Di dalam formulir isian tentang UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berisikan
informasi:
a. identitas pemrakarsa;
b. rencana usaha dan atau kegiatan;
c. dampak lingkungan yang akan terjadi;
d. program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
e. tanda tangan dan cap.
Pasal 4

Pemrakarsa mengajukan formulir isian tentang UKL dan UPL kepada:


a. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota, apabila
usaha dan atau kegiatan berlokasi pada 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;

b. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi, apabila usaha dan
atau kegiatan berlokasi pada lebih 1 (satu) Kabupaten/Kota;

c. instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan, apabila usaha dan atau kegiatan berlokasi pada lebih 1 (satu) Propinsi dan atau lintas
batas negara.

Pasal 5

(1) Berdasarkan formulir isian tentang UKL dan UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan
atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau
Kabupaten/Kota wajib berkoordinasi dengan instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan
untuk melakukan pemeriksaan formulir isian tentang UKL dan UPL yang telah disampaikan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya formulir isian tentang UKL dan UPL.

(2) Dalam hal terdapat kekurangan informasi yang disampaikan dalam formulir isian tentang UKL dan
UPL dan memerlukan tambahan dan atau perbaikan, pemrakarsa wajib menyempurnakan dan atau
melengkapinya sesuai hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lambat 7
(tujuh) hari kerja.

(3) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan atau instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi
atau Kabupaten/Kota wajib menerbitkan rekomendasi tentang UKL dan UPL kepada pemrakarsa
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya formulir isian tentang UKL dan UPL yang telah
diperbaiki oleh pemrakarsa.

Pasal 6

Dalam hal formulir isian tentang UKL dan UPL tidak memerlukan perbaikan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota wajib
memberikan rekomendasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya formulir isian
tentang UKL dan UPL.

Pasal 7

Pemrakarsa mengajukan rekomendasi tentang UKL dan UPL dari pejabat instansi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 kepada instansi yang berwenang sebagai dasar penerbitan izin melakukan usaha dan atau
kegiatan.

Pasal 8

(1) Pejabat dari instansi yang berwenang wajib mencantumkan syarat dan kewajiban yang tercantum
dalam program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, di dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.

(2) Izin yang diterbitkan oleh pejabat dari instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tembusannya wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan atau instansi yang bertangung jawab di
bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi atau Kabupaten/Kota sesuai kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 9

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-
12/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Oktober 2002

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd.

Hoetomo, MPA.
Lampiran :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup

Nomor : Tahun 2002

Tanggal:

FORMULIR ISIAN
PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP (UKL) DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP UPL)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor….. Tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang
bertanda tangan di bawah ini menyampaikan UKL dan UPL dari rencana usaha dan atau kegiatan dengan
benar dan akan mematuhi segala persyaratan dan kewajiban yang telah ditentukan dalam UKL dan UPL
serta izin yang diterbitkan oleh pejabat dari instansi yang berwenang dapat diuraikan sebagai berikut:

A. IDENTITAS PEMRAKARSA

1. Nama Perusahaan : ________________________________________


2. Nama Penanggung : ________________________________________
Jawab Rencana Usaha
dan atau Kegiatan
3. Alamat Kantor : ________________________________________
Nomor Telepon/Fax

B. RENCANA USAHA DAN ATAU KEGIATAN

1. Nama Rencana Usaha : ________________________________________


dan atau Kegiatan
2. Lokasi Rencana Usaha : ________________________________________
dan/atau Kegiatan

Tuliskan lokasi rencana usaha dan atau kegiatan, seperti antara lain: nama jalan, desa,
kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi tempat akan dilakukannya rencana usahan
dan/atau kegiatan.

Untuk kegiatan-kegiatan yang mempunyai skala usaha dan/atau kegiatan besar, seperti
kegiatan pertambangan, perlu dilengkapi dengan peta lokasi kegiatan dengan skala yang
memadai (1:50.000 bila ada) dan letak lokasi berdasarkan Garis Lintang dan Garis Bujur.

3. Skala Usaha dan atau : _________________________________(satuan)


Kegiatan

Tuliskan ukuran luasan dan atau panjang dan atau volume dan atau kapasitas atau
besaran lain yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang skala kegiatan.
Sebagai contoh antara lain:
1. Bidang Industri: jenis dan kapasitas produksi, jumlah bahan baku dan penolong,
jumlah penggunaan energi dan jumlah penggunaan air.
2. Bidang Pertambangan: luas lahan, cadangan dan kualitas bahan tambang, panjang
dan luas lintasan uji seismik dan jumlah bahan peledak.
3. Bidang Perhubungan: luas, panjang dan volume fasilitas perhubungan yang akan
dibangun, kedalaman tambatan dan bobot kapal sandar dan ukuran-ukuran lain
yang sesuai dengan bidang perhubungan.
4. Pertanian: luas rencana usaha dan/atau kegiatan, kapasitas unit pengolahan, jumlah
bahan baku dan penolong, jumlah penggunaan energi dan jumlah penggunaan air.
5. Bidang Pariwisata: luas lahan yang digunakan, luas fasiltas pariwisata yang akan
dibangun, jumlah kamar, jumlah mesin laundry, jumlah hole, kapasitas tempat duduk
tempat hiburan dan jumlah kursi restoran.

4. Garis Besar Komponen Rencana Usaha dan atau Kegiatan

Tuliskan komponen-komponen rencana usaha dan atau kegiatan yang diyakini akan
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

Teknik penulisan dapat menggunakan uraian kegiatan pada setiap tahap pelaksanaan
proyek, yakni tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi atau dengan
menguraikan komponen kegiatan berdasarkan proses mulai dari penanganan bahan baku,
proses produksi, sampai dengan penanganan pasca produksi.

Contoh: Kegiatan Peternakan.

Prakonstruksi :
a. Pembebasan lahan (jelaskan secara singkat luasan lahan yang dibebaskan dan status
tanah).
b. Dan lain lain……

Konstruksi:
a. Pembukaan lahan (jelaskan secara singkat luasan lahan, dan tehnik pembukaan lahan).
b. Pembangunan kandang, kantor dan mess karyawan (jelaskan luasan bangunan).
c. Dan lain-lain…..

Operasi:

a. Pemasukan ternak (tuliskan jumlah ternak yang akan dimasukkan).


b. Pemeliharaan ternak (jelaskan tahap-tahap pemeliharaan ternak yang menimbulkan
limbah, atau dampak terhadap lingkungan hidup).
c. Dan lain-lain…

Khusus untuk usaha dan atau kegiatan yang berskala besar, seperti antara lain: industri
kertas, tekstil dan sebagainya, lampirkan pula diagram alir proses yang disertai dengan
keterangan keseimbangan bahan dan air (mass balance dan water balance).

C. DAMPAK LINGKUNGAN YANG AKAN TERJADI.

Uraikan secara singkat dan jelas:


kegiatan yang menjadi sumber dampak terhadap lingkungan hidup;
jenis dampak lingkungan hidup yang terjadi;
ukuran yang menyatakan besaran dampak;
dan hal-hal lain yang perlu disampaikan untuk menjelaskan dampak lingkungan yang akan terjadi
terhadap lingkungan hidup.
SUMBER DAMPAK JENIS DAMPAK BESARAN DAMPAK KETERANGAN
Tuliskan kegiatan Tuliskan komponen Tuliskan ukuran yang Tuliskan informasi lain
yang menghasilkan lingkungan yang akan dapat menyatakan yang perlu
dampak terhadap mengalami perubahan besaran dampak disampaikan untuk
lingkungan akibat adanya sumber menjelaskan dampak
dampak lingkungan yang akan
terjadi.

Contoh: Kegiatan
Peternakan pada
tahap Operasi

Pemeliharaan ternak
menimbulkan limbah
berupa :
1. Limbah cair Limbah cair yang
Terjadinya penurunan dihasilkan adalah 50
kualitas air Sungai XYZ liter/hari.
akibat pembuangan
limbah cair dan limbah
2. Limbah padat padat. Limbah padat yang
(kotoran) dihasilkan adalah 1,2
m3/minggu.
3. Limbah gas akibat
pembakaran sisa -
makanan ternak Penurunan kualitas udara
akbat pembakaran

4. PROGRAM PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP.

Uraikan secara singkat dan jelas:

2. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencegah dan mengelola dampak termasuk upaya
untuk menangani dan menanggulangi keadaan darurat;

3. Kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk mengetahui efektifitas pengelolaan dampak dan
ketaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup;

4. Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur efektifitas pengelolaan lingkungan hidup dan
ketaatan terhadap peraturan di bidang lingkungan hidup.

5. TANDA TANGAN DAN CAP

Setelah formulir isian tentang UKL dan UPL diisi secara lengkap, penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib menandatangani dan membubuhkan cap usaha dan atau kegiatan yang
bersangkutan.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

Ttd

Nabiel makaim, MPA,MSM


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup

ttd.

Hoetomo, MPA.
Surat Edaran Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 1234 Tahun 1999
Tentang : Kegiatan Wajib UKL Dan UPL

Oleh : Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor : B-1234/MENLH/08/1999
Tanggal : 19 Agustus 1999 (JAKARTA)

Jakarta, 19 Agustus 1999

Kepada Yth.
1. Sdr. Menteri Dalam Negeri
2. Sdr. Menteri Pertahanan & Keamanan
3. Sdr. Menteri Perindustrian dan Perdagangan
4. Sdr. Menteri Pertanian
5. Sdr. Menteri Kehutanan&Perkebunan
6. Sdr. Menteri Pekerjaan Umum
7. Sdr. Menteri Perhubungan
8. Sdr. Menteri Pariwisata,Seni&Budaya
9. Sdr. Menteri Kesehatan
10. Sdr. Menteri Transmigrasi & Pemukiman Perambah Hutan
11. Sdr. Menteri Negara Investasi/Ketua BKPM
12. Sdr. Menteri Pertambangan & Energi
13. Sdr. Direktur Jenderal BATAN
14. Sdr. Gubernur KDH Tk.I se-Indonesia

di
Tempat

Akhir-akhir ini kami sering menerima keluhan baik dari instansi pemerintah
maupun dunia usaha bahwa terdapat banyak pemrakarsa yang sudah
memiliki dokumen AMDAL diwajibkan juga untuk membuat dokumen Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan dokumen Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) bagi kegiatan penunjangnya. Atau dengan kata lain dapat kami
kemukakan misalnya pemrakarsa yang akan membangun Kawasan Industri
atau Industri Kilang Minyak diwajibkan membuat AMDAL. Dalam mendukung
kegiatan utama tersebut pemrakarsa juga akan membangun kegiatan
penunjang misalnya dermaga dan pembangkit listrik, dan kepada yang
bersangkutan diwajibkan pula membuat UKL dan UPL untuk dermaga dan
pembangkit listriknya.

Masalah seperti yang kami kemukakan di atas sudah lama berlangsung dan
dirasa sangat memberatkan kelangan dunia usaha. Dalam kaitan ini kami
ingin memberikan klarifikasi sebagai berikut :

1. PP 51 Tahun 1993 tentang AMDAL sebagai penyempurnaan PP 29


Tahun 1986 yang dirasa tidak efektif dalam pelaksanaannya. Esensi
dari PP 51 Tahun 1993 mengandung maksud agar pelaksanaan AMDAL
lebih efektif dan efisien (simplifikasi birokrasi) dengan misi yang sama
yakni sebagai perangkat pengambilan keputusan tentang layak atau
tidak layaknya suatu rencana kegiatan ditinjau dari aspek lingkungan
hidup.

2. Berkaitan dengan hal itu maka dalam PP 51 Tahun 1993 dikenal


beberapa macam pendekatan studi AMDAL, yakni AMDAL kegiatan
tunggal dan AMDAL kegiatan kawasan yang penilaiannya menjadi
wewenang sektor atau daerah dan AMDAL kegiatan terpadu dan
AMDAL regional yang wewenang penilaiannya berada di bawah Komisi
AMDAL Terpadu/Regional berkedudukan di BAPEDAL.

3. Pendekatan AMDAL kegiatan terpadu dan AMDAL regional


dimaksudkan untuk menghindari disusunnya beberapa AMDAL yang
penilaiannya dilakukan secara terpisah di berbagai sektor/daerah,
padahal kegiatan-kegiatan tersebut adalah kegiatan yang saling
teintegrasi (kait-mengkait) dalam satu perencanaan proyek. Dengan
demikian maka akan terjadi efisiensi dari segi waktu dan biaya, namun
demikian tidak mengurangi bobot prinsip pencegahan dan
pengendalian dampak lingkungan serta perlindungan fungsi
lingkungan hidup.

4. Sementara itu PP 51 Tahun 1993 juga menyebutkan bahwa dalam


rangka menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan maka
bagi rencana usaha yang tidak ada dampak pentingnya atau secara
teknologi sudah dapat dikelola dampak pentingnya diwajibkan
membuat UKL dan UPL. Baik AMDAL maupun UKL dan UPL adalah
syarat untuk mendapatkan izin melakukan usaha.

5. Dalam kaitan itu bagi rencana kegiatan yang wajib AMDAL dan
didalamnya terdapat kegiatan penunjangnya, maka kegiatan
penunjangnya tidak diwajibkan membuat UKL dan UPL, karena
kegiatan penunjang tersebut dilingkup dalam dokumen AMDAL (Andal,
RKL dan RPL-nya). Selanjutnya dalam rangka untuk memperoleh izin
melakukan usaha, baik izin bagi kegiatan utama maupun izin bagi
kegiatan penunjangnya pemrakarsa cukup menggunakan satu
dokumen AMDAL yang telah disetujui oleh Menteri atau Gubernur.

6. Atas dasar butir 5 tersebut kami mohon bantuan Saudara untuk


memberikan penjelasan kepada unit-unit pemberi izin di lingkungan
instansi Saudara.

Demikian surat edaran ini kami sampaikan dan atas bantuan serta kerjasama
yang baik kami mengucapkan terima kasih.

Menteri Negara Lingkungan Hidup/


Kepala BAPEDAL,

ttd

Dr. Panangian Siregar

Tembusan Yth. :
1. Sdr. Menko EKUIN
2. Para Ketua Komisi AMDAL Pusat Departemen/LPND
3. Kepala BAPEDALDA Tk. I se-Indonesia
4. Kepala BAPEDALWIL I, II dan III
5. Bupati/Walikotamadya se-Indonesia
6. Ketua KADIN
7. Para Ketua Asosiasi Dunia Usaha.

______________________________________
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: KEP-056 TAHUN 1994

TENTANG

PEDOMAN MENGENAI UKURAN DAMPAK PENTING

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang:

bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
tentang Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
2. Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara R.I. Nomor 49 Tahun 1990, Tambahan Lembaran Negara
R.I. Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara R.I.
Nomor 115 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3501);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1990 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :

PEDOMAN MENGENAI UKURAN DAMPAK PENTING

Pertama: Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini.

Kedua: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana di kemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Dibuat di : Jakarta
Pada Tangal : 18 Maret 1994

Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

SARWONO KUSUMAATMADJA
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor KEP-056 TAHTJN 1994
Tanggal 18 MARET 1994

PEDOMAN MENGENAI UKURAN DAMPAK PENTING

PENGERTIAN

1. Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh
suatu usaha atau kegiatan; Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, menyatakan bahwa setiap
rencana kegiatan yang diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan
wajib dilengkapi dengan AMDAL.

2. Dampak penting suatu usaha atau kegiatan menurut Penjelasan Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun
1982, dan Pasal 2 dan Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 1993 ditentukan oleh faktor-faktor
berikut:

a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak,


b. Luas wilayah persebaran dampak,
c. Lamanya dampak berlangsung,
d. Intensitas dampak,
e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak,
f. Sifat kumulatif dampak,
g. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.

3. Masing-masing faktor sebagaimana dimaksud datam butir 2 tersebut memiliki seperangkat


kriteria dampak penting, yakni ukuran, standar tertentu atau prinsip-prinsip tertentu. Ukuran
dampak penting tersebut digunakan untuk menilai apakah suatu rencana usaha atau
kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan atau tidak.

4. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini
merupakan petunjuk dasar yang memberi arah apakah suatu rencana usaha atau kegiatan
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan.

5. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting digunakan untuk keperluan penapisan rencana
usaha atau kegiatan dan penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), termasuk bagi
keperluan AMDAL kegiatan Terpadu/Multisektor, AMDAL kawasan dan AMDAL Regional.

6. Untuk menentukan penting tidaknya dampak lingkungan akibat dilaksanakannya suatu


rencana usaha atau kegiatan perlu juga diperhatikan peraturan perundangan yang berlaku
baik di dalam maupun diluar wilavah negara Republik Indonesia.

7. Suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dibangun di kawasan lindung yang telah
berubah peruntukkannya atau lokasi rencana usaha atau kegiatan tersebut berbatasan
langsung dengaii kawasan lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting.
Yang dimaksud dengan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang adalah sebagai berikut:

1. Kawasan Hutan Lindung


2. Kawasan Bergambut
3. Kawasan Resapan Air
4. Sempadan Pantai
5. Sempadan Sungai
6. Kawasan Sekitar Danau/Waduk
7. Kawasan Sekitar Mata Air
8. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata,
Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa)
9. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan
darat, wilayah pesisir, muara.sungai, gugusan karang atau terumbu karang, dan atol
yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem)
10. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove)
11. Taman Nasional
12. Taman Hutan Raya
13. Taman Wisata Alam
14. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan (termasuk daerah karst berair, daerah
dengan budaya masyarakat istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan
sejarah bernilai tinggi)
15. Kawasan Rawan Bencana Alam

II. UKURAN DAMPAK PENTING TERHADAP LINGKUNGAN

1. Ukuran dampak panting terhadap lingkungan, perlu disertai dengan dasar


pertimbangan sebagai berikut :

a. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan berkaitan secara relatif


dengan besar kecilnya rencana usaha atau kegiatan, hasil guna dan daya gunanya,
bila rencana usaha atau kegiatan tersebut dilaksanakan.
b. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan dapat pula didasarkan
pada dampak usaha atau kegiatan tersebut terhadap salah satu aspek lingkungan
saja, atau dapat juga terhadap kesatuan dan tata kaitannya dengan aspek-aspek
lingkungan lainnya dalam batas wilayah studi yang telah ditentukan.
c. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan atas dasar kemungkinan
timbulnya dampak positif atau dampak negatif tak boleh dipandang sebagai faktor
yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan harus diperhitungkan bobotnya guna
dipertimbangkan hubungan timbal baliknya untuk mengambil keputusan.

2. Pedoman mengenai ukuran dampak penting

a. Jumlah Manusia yang Akan Terkena Dampak


Setiap rencana usaha atau kegiatan mempunyai sasaran sepanjang menyangkut
jumlah manusia yang diperkirakan akan menikmati manfaat dari rencana usaha atau
kegiatan itu bila nanti usaha atau kegiatan tersebut dilaksanakan. Namun demikian,
dampak lingkungan, baik yang bersikap negatif maupun positif yang mungkin
ditimbulkan oleh suatu usaha atau kegiatan, dapat dialami oleh baik sejumlah
manusia yang termasuk maupun yang tak termasuk dalam sasaran rencana usaha
atau kegiatan. Mengingat pengertian manusia yang akan terkena dampak mencakup
aspek yang luas, maka kriteria dampak penting dikaitkan dengan sendi-sendi
kehidupan yang dikalangan masyarakat luas berada dalam posisi atau mempunyai
nilai yang penting.

Karena itu, dampak lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan, yang
penentuannya didasarkan pada perubahan sendi-sendi kehidupan pada masyarakat
tersebut dan jumlah manusia yang terkena dampak menj'adi penting bila manusia di
wilayah studi ANDAL yang terkena dampak lingkungan tetapi tidak menikmati
manfaat dari usaha atau kegiatan, jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah
manusia yang menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan di wilayah studi.

Adapun yang dimaksud dengan manfaat dari usaha atau kegiatan adalah manusia
yang secara langsung menikmati produk suatu rencana usaha atau kegiatan dan atau
yang diserap secara langsung sebagai tenaga kerja pada rencana usaha atau
kegiatan.
b. Luas Wilayah Persebaran Dampak

Luas wilayah persebaran dampak merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukannya pentingnya dampak terhadap lingkungan. Dengan demikian dampak
lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan bersifat penting bila: rencana usaha
atau kegiatan mengakibatkan adanya wilayah yang mengalami perubahan mendasar
dari segi intensitas dampak, atau tidak berbaliknya dampak, atau segi kumulatif
dampak.

c. Lamanya Dampak Berlangsung

Dampak lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan dapat berlangsung pada
suatu tahap tertentu atau pada berbagai tahap dari kelangsungan usaha atau
kegiatan. Dengan kata lain dampak suatu usaha atau kegiatan ada yang
beriangsung relatif singkat, yakni hanya pada tahap tertentu dari siklus usaha atau
kegiatan ( perencanaan, konstruksi, operasi, pasca operasi ); namun ada pula yang
berlangsung relatif lama, sejak tahap konstruksi hingga masa pasca operasi usaha
atau kegiatan. Berdasarkan pengertian ini dampak lingkungan bersifat penting bila:
rencana usaha atau kegiatan mengakibatkan timbulnya perubahan mendasar dari
segi intensitas dampak atau tidak berbaliknya dampak, atau segi kumulatif dampak.
yang berlangsung hanya pada satu atau lebih tahapan kegiatan.

d. Intensitas Dampak

Intensitas dampak mengandung pengertian perubahan lingkungan yang timbul


bersifat hebat, atau drastis. Serta berlangsung di area yang relatif luas, dalam kurun
waktu yang relatif singkat. Dengan demikian dampak lingkungan tergolong penting
bila :

1. Rencana usaha atau kegiatan akan menyebabkan perubahan pada sifat-sifat


fisik dan atau hayati lingkungan yang melampaui baku mutu lingkungan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Rencana usaha atau kegiatan akan menyebabkan perubahan mendasar pada
komponen lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui, berdasarkan
pertimbangan ilmiah.
3. Rencana usaha atau kegiatan akan mengakibatkan spesies-spesies yang
langka dan atau endemik, dan atau dilindungi menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku terancam punah; atau habitat alaminya mengalami
kerusakan.
4. Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan kerusakan atau gangguan
terhadap kawasan lindung (hutan lindung, cagar alam, taman nasional,
suaka margasatwa, dan sebagainya) yang telah ditetapkan menurut
peraturan perundang-undangan;
5. Rencana usaha atau kegiatan akan merusak atau memusnahkan benda-
benda dan bangunan peninggalan sejarah, yang bernilai tinggi;
6. Rencana usaha atau kegiatan akan mengakibatkan konflik atau kontroversi
dengan masyarakat, pemerintah, daerah, atau pemerintah pusat, dan atau
menimbulkan konflik atau kontroversi di kalangan masyarakat, pemerintah
daerah atau pemerintah pusat;
7. Rencana usaha atau kegiatan mengubah atau memodifikasi areal yang
mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi;

e. Banyaknya Komponen Lingkungan Lain Yang Terkena Dampak

Mengingat komponen lingkungan hidup pada dasarnya tidak ada yang berdiri sendiri,
atau dengan kata lain satu sama lain saling terkait dan pengaruh mempengaruhi,
maka dampak pada suatu komponen lingkungan umumnya berdampak lanjut pada
komponen lingkungan lainnya. Atas dasar pengertian ini dampak tergolong penting
bila: Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan dampak sekunder dan dampak
lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau sama dengan komponen
lingkungan yang terkena dampak primer.

f Sifat Kumulatif Dampak

Kumulatif mengandung pengertian bersifat bertambah, bertumpuk, atau bertimbun.


Dampak suatu usaha atau kegiatan dikatakan bersifat kumulatif bila pada awalnya
dampak tersebut tidak tampak atau tidak dianggap penting, tetapi karena aktivitas
tersebut bekerja berulang kali atau terus menerus, maka lama kelamaan dampaknya
bersifat kumulatif. Dengan demikian dampak suatu usaha atau kegiatan tergolong
penting bila:

a. Dampak lingkungan berlangsung berulang kali dan terus menerus, sehingga


pada kurun waktu tertentu tidak dapat diasimilasi oleh lingkungan alam atau
sosial yang menerimanya:

b. Beragam dampak lingkungan bertumpuk dalam suatu ruang tertentu,


sehingga tidak dapat diasimilasi oleh lingkungan alam atau sosial yang
menerimanya;

c. Dampak lingkungan dari berbagai sumber kegiatan menimbulkan efek yang


saling memperkuat (sinergetik).

3. Berbalik atau Tidak Berbaliknya Dampak

Dampak kegiatan terhadap lingkungan ada yang bersifat dapat dipulihkan, namun ada pula yang
tidak dapat dipulihkan walau dengan intervensi manusia sekalipun. Dalam hal ini maka dampak
bersifat penting bila : Perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen lingkungan tidak dapat
dipulihkan kembali walaupun dengan intervensi manusia.
Keputusan Kepala Bapedal No. 299 Tahun 1996
Tentang : Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : KEP-299/11/TAHUN 1996
Tanggal : 4 NOVEMBER 1996 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang :

a. bahwa komponen aspek sosial merupakan bagian yang perlu dikaji


secara mendalam dalam penyusunan analisis mengenai dampak
lingkungan sehingga dampak negatif akibat suatu kegiatan terhadap
komponen tersebut dapat dikelola dengan baik;

b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-


14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan dirasakan kurang memadai untuk
melakukan kajian aspek sosial;

c. bahwa mengingat hal seperti tersebut di atas, dipandang perlu


menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

Mengingat :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Nomor 84 Tahun
1993, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);

2. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan


Pengendalian Dampak Lingkungan;

3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-


14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

Pasal 1

Aspek sosial dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah


telaahan yang dilakukan terhadap komponen demografi, ekonomi, dan
budaya serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen lain
dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Pasal 2

Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL adalah


sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 3

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 4 Nopember 1996

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

A. PENDAHULUAN

Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1993
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah hasil
studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang
direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah ini telah ditetapkan
pula beberapa peraturan pelaksanaannya oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup. Dengan demikian diharapkan Peraturan Pemerintah
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Namun keadaan yang demikian
masih berjalan belum sebagaimana yang diharapkan, ini sangat dirasakan
akibat lemahnya acuan yang digunakan sebagaimana tersebut dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-
14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan, khususnya kajian dampak sosial. Karena itu,
maka pedoman tehnis kajian aspek sosial menjadi penting dalam
penyusunan AMDAL dan ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kajian-kajian komponen lain. Sebagai upaya untuk lebih
memperjelas dalam melakukan kajian komponen sosial seperti yang
telah ditentukan.

B. TUJUAN
Pedoman teknis merupakan acuan yang disusun dengan tujuan untuk
:
1. Memahami dan melakukan kajian mengenai aspek-aspek sosial
dalam penyusunan AMDAL.
2. Memahami kerkaitan aspek biogeofisik dan sosial dalam AMDAL.
3. Membantu mempermudah proses penyusunan aspek sosial
dalam studi AMDAL.

C. RUANG LINGKUP
1. Komponen sosial yang ditelaah meliputi :
1.1. Demografi
1.2. Ekonomi, dan
1.3. Budaya.
2. Kajian aspek sosial dilakukan untuk setiap dokumen :
2.1. Kerangka Acuan (KA) ANDAL
2.2. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
2.3. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
2.4. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


ANALISlS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

1. PENGERTIAN
Pelingkup merupakan proses awal untuk menentukan lingkup
permasalahan dan mengidentifikasikan dampak penting potensial yang
timbul sebagai akibat rencana usaha atau kegiatan. Dalam pelingkupan
aspek sosial dalam AMDAL perlu diperhatikan dua hal penting yaitu :

2. PELINGKUPAN DAMPAK PENTING


2.1. Identifikasi Dampak Potensial
Dalam proses identifikasi dampak potensial dapat dipergunakan
beberapa metoda sebagaimana tercantum dalam Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-
14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan seperti :
a. daftar uji
b. matrik interaksi sederhana
c. bagan alir
d. penelaahan pustaka
e. pengamatan lapangan
f. analisis isi
g. interaksi kelompok.
Berkenaan dengan angka 2.1. tersebut identifikasi dampak
sebaiknya didukung juga dengan teknis analogi melalui observasi
pada kegiatan atau usaha sejenis yang telah beroperasi informasi
tentang fenomena dampak sosial yang timbul.
Beberapa komponen, sub-komponen dan parameter sosial yang
dapat diidentifikasi sebagai dampak potensial dapat
dilihat pada Tabel 1: Daftar Komponen, Sub- Komponen dan
Parameter Sosial terlampir.

2.2. Evaluasi Dampak Potensial


Evaluasi dampak potensial bertujuan menyeleksi dan
menetapkan komponen dampak potensial aspek sosial yang relevan
untuk ditelaah. Dalam penetapan dampak potensial aspek sosial
tersebut dapat digunakan dengan beberapa pertanyaan seperti
di bawah ini:
a. Apakah rencana usaha atau kegiatan akan menimbulkan
perubahan mendasar pada struktur penduduk
(kepadatan dan komposisi penduduk), dan proses
penduduk (pertumbuhan dan mobilitas penduduk) ?
b. Apakah rencana usaha atau kegiatan akan menimbulkan
perubahan mendasar terhadap pola pemilikan dan
penguasaan sumber daya alam, pola mata pencaharian
penduduk, atau pendapat/pengeluaran rumah tangga ? c.
Apakah rencana usaha atau kegiatan akan menimbulkan perubahan
mendasar terhadap tatanan norma dan nilai masyarakat
setempat, pranata- pranata sosial (lembaga- lembaga
kemasyarakatan) yang berkaitan dengan kekerabatan
(kohesi sosial), kegiatan ekonomi, dan pemilikan sumberdaya
alam (property right) ?
Daftar dampak potensial yang diperoleh dari angka 2.2.
tersebut selanjutnya dievaluasi untuk memperoleh dampak
penting sosial.

2.3. Pemusatan Dampak Penting (focussing)


Pemusatan dampak penting bertujuan untuk mengelompokkan /
mengkategorisasikan dampak penting yarig telah dirumuskan
sebelumnya agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan secara utuh dan
lengkap.
Dalam proses pemusatan (focussing), penyusun aspek sosial
dalam AMDAL perlu memperhatikan :
a. Dampak rencana usaha atau kegiatan terhadap
komponen lingkungan yang akan mengalami perubahan
mendasar (dampak penting), dan sebaliknya;
b. Dampak rencana aspek sosial yang mengakibatkan
timbulnya dampak penting pada aspek fisik-kimia dan
biologi, dan sebaliknya;
c. Hubungan sebab akibat antar komponen dampak penting
aspek sosial itu sendiri.
3. PELINGKUPAN WILAYAH STUDI
Berdasarkan KEPMENLH Nomor 14 tahun 1994 pada Lampiran I
tentang Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL, wilayah studi ANDAL
ditetapkan berdasarkan pertimbangan batas proyek, batas ekologis,
batas sosial dan batas administrasi. Berkenaan dengan penentuan batas
sosial, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh yaitu :
3.1. Batas Proyek
Pada saat menentukan batas proyek perlu dilakukan identifikasi
sebagai berikut :
a. Apakah di dalam batas proyek tersebut ada komunitas
masyarakat yang struktur sosial dan atau nilai-nilai sosial
budaya yang dikandung berpotensi berubah secara mendasar
akibat aktivitas pra-konstruksi (pembebasan perolehan lahan,
relokasi penduduk), konstruksi dan operasi dari rencana usaha
atau kegiatan ? Struktur sosial yang dimaksud di sini dapat berupa :
1) Struktur perekonomian masyarakat setempat
(pertanian, perkebunan, perikanan, jasa dan
sebagainya);
2) Struktur kekerabatan;
3) Struktur pemilikan sumber daya alam baik yang
bersifat formal
maupun yang diakui/diatur oleh adat setempat
(hak ulayat); 4) Interaksi sosial yang terjalin di
kalangan masyarakat setempat.
b. Apakah di dalam batas proyek tersebut terdapat situs
purbakala atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan
religi masyarakat setempat ?
3.2. Batas Ekologis
Setelah batas ekologis ditetapkan, berdasarkan pengertian yang
terkandung dalam KEPMENLH Nomor 14 Tahun 1994, perlu
diidentifikasi apakah didalam batas ekologis tersebut ada
komunitas masyarakat yang struktur sosial dan nilai-nilai sosial-
budayanya berpotensi berubah secara mendasar akibat kerusakan sumber
daya alam dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh rencana
usaha atau kegiatan melalui media air, udara dan tanah. Struktur
sosial yang dimaksud disini seperti yang dimaksud dalam angka
3.1 . tersebut di atas.

3.3. Batas Sosial


Batas sosial ditetapkan dengan mendeliniasi batas-batas terluar
dengan memperhatikan :
a) Hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat
dalam batas proyek sebagaimana dimaksud pada angka
3.1.
b) Hasil identifikasi komunitas masyarakat yang terdapat
alam batas ekologi agaimana dimaksud pada angka 3.2.
c) Lokasi komunikasi masyarakat yang berada di luar batas
proyek dan batas ekologi namun berpotensi terkena
dampak yang mendasar dari rencana usaha atau kegiatan
melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan
fasilitas umum dan fasilitas.
Batas-batas terluar dari komunitas masyarakat yang dimaksud
pada huruf a, b dan c di atas merupakan batas sosial. Perlu
diketahui bahwa batas sosial mungkin bisa lebih luas dari batas
ekologis dan batas proyek. Contoh penetapan batas sosial
seperti pada Gambar 1 terlampir.

3.4. Batas Administrasi


Batas administrasi ditetapkan berdasarkan pengertian yang
terkandung dalam KEPMENLH Nomor 14 Tahun 1994 pada Lampiran 1
tentang Pedoman Umum Penyusunan KA-ANDAL.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

Tabel I : Daftar Komponen, Sub-Komponen, dan Parameter Sosial


Perhatian : Daftar komponen, Sub kopponen dan parameter aspek
sosial berikut ini harus diseleksi lebih lanjut dan disesuaikan
dengan karakteristik rencana usaha atau kegiatan dan
kondisi lingkungan hidup setempat (bersifat spesifik
lokasi).

---------------------------------------------------------------------------------
Komponen Parameter
---------------------------------------------------------------------------------

1. Demografi 1.Struktur Penduduk :


a. Komposisi penduduk menurut
kelompok umur, jenis kelamin, mata
pencaharian, pendidikan, agama;
b. Kepadatan penduduk
2. Proses Penduduk :
2.1. Pertumbuban Penduduk
a. tingkat kelahiran
b. tingkat kematian bayi
c. pola migrasi (sirkuler, komuter,
permanen)
3. Tenaga Kerja
a. tingkat partisipasi angkatan kerja
b. tingkat pengangguran

2. Ekonomi 1. Ekonomi Rumah Tangga


a. tingkat pendapatan
b. pola nafkah ganda
2. Ekonomi Sumber Daya Alam
a. pola pemilikan dan penguasaan sumber
daya alam
b. pola pemanfaatan sumber daya alam
c. pola penggunaan lahan
d. nilai tanah dan sumber daya alam lainnya
e. Sumber daya alam milik umum
(commmon property)
3. Perekonomian Lokal dan Regional
a. kesempatan kerja dan berusaha
b. nilai tambah karena proses manufaktur
c. jenis dan jumlah aktifitas ekonomi non-
formal
d. distribusi pendapatan
e. efek ganda ekonomi (multiplier effect)
f. produk Domestik Regional Bruto
g. pendapatan asli daerah
h. pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
i. fasilitas umum dan fasilitas sosial
j. aksesibilitas wilayah

3. Budaya 1. Kebudayaan
a. adat-istiadat
b. nilai dan norma budaya
2. Proses sosial
a. proses asosiatif (kerjasama)
b. proses disosiatif (konflik sosial)
c. akulturasi
d. asimilasi dan integrasi
e. kohesi sosial
3. Pranata Sosial kelembagaan Masyarakat
dibidang :
a. ekonomi, misal hak ulayat
b. pendidikan
c. agama
d. sosial
e. keluarga
4. Warisan Budaya
a. situs purbakala
b. cagar budaya
5. Pelapisan Sosial berdasarkan :
a. pendidikan
b. ekonomi
c. pekerjaan
d. kekuasaan
6. Kekuasan dan kewenangan :
a. kepemimpinan formal dan informal
b. kewenangan formal dan informal
c. mekanisme pengambilan keputusan di
kalangan masyarakat
d. kelompok individu yang dominan
e. pergeseran nilai kepemimpinan
7. Sikap dan Persepsi Masyarakat terhadap
rencana usaha atau kegiatan
8. Adaptasi Ekologis .
Keterangan Gambar 1

1. Rencana kegiatan yang dibangun terletak di daerah persawahan padi.


Areal rencana kegiatan diperoleh dengan cara;pengalihan status lahan
milik masyarakat setempat (ganti ruga lahan). Limbah cair direncanakan
dibuang di sungai (7) setelah melalui instalasi pengolahan air limbah (2).
2. Lokasi instalasi pengolahan air limbah yang direncanakan dibangun.
Air limbah yang telah melalui proses instalasi pengolahan air limbah
dialirkan ke sungai X (disimbolkan dengan angka 7).
3. Jalur pipa air untuk mengalirkan air danau buatan yang akan
direncanakan dibangun.
4. Danau buatan yang dibangun oleh rencana kegiatan khusus untuk
menampung air hujan dan aliran permukaan dari daerah sekitarnya. Air
dari danau buatan digunakan untuk keperluan pabrik dan keperluan
domestik.
5. Ruas jalan yang akan dibangun lahan untuk ruas jalan diperoleh
dengan cara ganti rugi lahan. Ruas jalan yang dibangun menghubungkan
lokasi rencana kegiatan dengan jalan propinsi.
6. Jalan propinsi yang akan digunakan oleh rencana kegiatan untuk
keperluan mobilisasi perlatan dan bahan baik pada saat konstruksi dan
operasi, serta pengangkutan hasil produksi. Disepanjang jalan propinsi
ini terdapat pemukiman penduduk setempat yang telah menghuni daerah
ini sebelum rencana kegiatan dibangun.
7. Sungai X merupakan sungai penerima air limbah rencana kegiatan
dibangun di lokasi tersebut. Sungai X akan mengalir ke saluran irigasi Y
(disimbolkan dengan angka 8). Di sekitar sungai ini juga terdapat
pemukiman penduduk setempat yang telah lama menghuni daerah
ini.
8. Bila rencana kegiatan beroperasi, saluran irigasi Y akan menerima air
limbah yang terangkut melalui sungai X. Di sekitar saluran irigasi ini juga
terdapat pemukiman penduduk.

Batas sosial yang terdapat pada gambar 1 ditetapkan dengan mengikuti


tehnik penetapan batas sosial sebagaimana terdapat pada gambar 1
ditetapkan dengan mengikuti tehnik penetapan batas sosial sebagaimana
terdapat pada lampiran II angka 5 tentang Pelingkupan Wilayah Studi.
Lampiran III
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


ANALISlS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (ANDAL)

Dalam penyusunan aspek sosial dalam ANDAL perlu diuraikan :


a. Metode pengumpulan dan analisis data sosial, serta metode prakiraan
dan evaluasi dampak;
b. Uraian rencana usaha atau kegiatan;
c. Rona lingkungan hidup;
d. Prakiraan dampak penting;
e. Dan evaluasi dampak penting.

A. METODA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA, METODA PRAKIRAAN


DAN EVALUASI DAMPAK

Bagian ini menguraikan metoda pengumpulan dan analisis data,


metoda prakiraan, dan evaluasi dampak yang akan digunakan dalam
penyusunan AMDAL. Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa hal
penting yang perlu dipahami terlebih dahulu :
a. Lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah studi
yang digariskan dalam Kerangka Acuan (KA);
b. Komponen lingkungan yang diteliti merupakan penjabaran dari
isu pokok aspek sosial yang terdapat dalam KA;
c. Komponen lingkungan sosial yang diteliti harus bersifat
spesifikasi lokasi, sehingga tidak selalu seluruh komponen aspek
sosial yang terdapat dalam Pedoman Umum Penyusunan ANDAL
(KEPMENLH Nomor 14 Tahun 1994) dan dalam Tabel 1 paduan ini
diteliti untuk setiap usaha atau kegiatan wajib AMDAL.
d. Huruf c tersebut di atas membuka kemungkinan bahwa
komponen aspek sosial yang tertera pada KA-ANDAL dapat
mengalami penambahan atau pengurangan sepanjang terjalin
keterkaitan yang antar aspek fisik-kimia, biologi dan sosial.
Sebagai alat bantu untuk melengkapi huruf c dan d tersebut di atas,
penyusunan aspek sosial dalam ANDAL dapat memanfaatkan
Pedoman Teknis, dokumen- dokumen ANDAL dari kegiatan-
kegiatan sejenis (untuk keperluan analogi), referensi (data
statistik, peta, rujukan), dan pustaka lainnya.

1. METODA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA

1 .1. Dampak penting aspek sosial dari suatu rencana usaha


atau kegiatan pada umumnya tidak menyebar secara
merata di seluruh kelompok dan lapisan masyarakat.
Dengan demikian dalam menetapkan/memilih metode
pengumpulan data dan analisis data yang relevan, baik yang bersifat
kuantitatif atau kualitatif perlu mempertimbangkan :
a. Perubahan mendasar atau dampak penting sosial
yang dialami oleh kelompok atau lapisan masyarakat
yang akan ditelaah;
b. Satuan analisis (rumah tangga, desa, kabupaten,
propinsi) yang akan diukur;
c. Ukuran-ukuran yang bersifat penting menurut
pandangan masyarakat (emic) disekitar rencana usaha
atau kegiatan;
d. Ketersediaan tenaga, waktu dan dana.

1 .2. Beberapa metode pengumpulan data yang dapat


dipergunakan antara lain :
a. Observasi/pengamatan lapangan;
b. Pengumpulan data sekunder;
Melalui teknik ini, data dan informasi yang berupa
hasil-hasil penelitian, bahan-bahan pustaka dan
bahan-bahan lain yang relevan dikumpulkan dari
berbagai instansi terkait.
c. Wawancara dengan kuesioner;
Pengumpulan data pada sejumlah responden
terpilih melalui wawancara dengan kuesioner
yang terstruktur.
d. Wawancara mendalam (indepth interview).
Wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh
masyarakat atau orang- orang yang dianggap
mengetahui tentang kondisi masyarakat
setempat, dengan menggunakan pedoman pertanyaan.
e. Diskusi kelompok terarah (focussed group
discussion).
Metode pengumpulan data yang disebutkan di atas
sebaiknya digunakan secara simultan
dengan maksud agar diperoleh keabsahan dan
ketelitian yang tinggi.

1.3. Sampel (responden) yang dipilih harus dapat mewakili


populasi suatu kelompokdan lapisan masyarakat
tertentu yang terkena dampak. Beberapa teknik
pengambilan sampel yang dapat dipergunakan antara lain :
a. Teknik pengambilan sampel secara proporsonal;
b. Teknik pengambilan sampel secara purposive;
c. Teknik pengambilan sampel secara acak (random).
Teknik pengambilan sampel yang
dipilih harus mempertimbangkan karakteristik
dampak penting yang akan timbul dan kondisi sosial
masyarakat.
Jumlah sampel ditetapkan berdasarkan kriteria berikut ini
:
a. Derajat keseragaman (homogenitas) dari populasi.

Makin seragam populasi yang diteiiti makin kecil


jumlah sampel yang akan diambil.
b. Presisi (ketetapan/akurasi) yang dikehendaki.
Makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki,
makin besar jumlah sampel yang harus diambil.
c. Ke dalam analisis yang ingin diperoleh, semakin
dalam analisis yang diinginkan semakin besar
jumlah sampel yang dibutuhkan.

1.4. Metoda analisis data yang dapat digunakan antara lain :


a. Metoda analisis yang bersifat kuatitatif, seperti
analisis statistik;
b. Metode analisis yang bersifat kualitatif, seperti
analisis isi (content analysis)

1 .5. Data ekonomi sedapat mungkin diberi nilai moneter (


valuation) karena sebagaian besar indikator-indikator ekonomi
dapat dikuantifikasi. Sehubungan dengan itu ada
tiga (3) metode pemberian penilaian moneter yaitu :
a. Penggunaan secara langsung berdasarkan harga
pasar atau produktifitas (market-based Methods).
Metode ini terdiri dari tiga (3) pendekatan :
1) Pedekatan perubahan produktivitas (change
of productivity.
2) Pendekatan hilangnya mata pencaharian
/penghasilan (loss of learning approach).
3) Pendekatan pembatasan pengeluaran
(defendive expenditures approach).
b. Penggunaan pengganti harga pasar (surrogate
market value). Metode ini terdiri dari empat (4)
pendekatan :
1) Pendekatan nilai kepemilikan (property value
approach).
2) Pendekatan pembedaan upah (wage
differences approach).
3) Pendekatan biaya perjalanan (travel cost
approach).
4) Pendekatan yang dikaitkan dengan nilai
barang/komoditi tertentu sebagai penduga
(hedonic pricing).
c. Metode pasar buatan (constructed market) yang
berdasar pada potensi pengeluaran atau
kesediaan untuk membayar atau menerima (potential
expenditures willingness to pay or to accept) yang terdiri
dari tiga (3) pendekatan :
1) Pendekatan biaya pengganti (replacement
cost approach).
2) Pendekatan harga bayangan (shadow project
approach).
3) Pendekatan nilai kontingensi (contingent
valuetion approach).
Untuk indikator ekonomi yang nilai moneternya
tidak bisa dianalisis dengan akurat, diperlukan value
judgement dari penyusun AMDAL. Caranya antara
lain dengan menggunakan analogi terhadap
fenomena-fenomena dampak penting yang timbul menurut
dokumen AMDAL sejenis.
Data sosial aspek lainnya yang memungkinkan
diberi nilai moneter hendaknya dilakukan pula
valuasi.

2. METODE PRAKIRAAN DAMPAK


Prakiraan dampak merupakan telaahan yang menganalisis
perbedaan antara kondisi kualitas lingkungan yang
diprakirakan akan terjadi akibat adanya rencana usaha atau
kegiatan, dengan kondisi kualitas lingkungan yang diprakirakan akan
terjadi bila tidak ada rencana usaha atau kegiatan (pendekatan with
and without project)
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk
memprakirakan (besar)
dampak sosial adalah dengan penggunaan teknik analogi.
Melalui pendekatan ini besar dampak suatu rencana usaha atau
kegiatan (disimbolkan P ) terhadap suatu kelompok masyarakat
(disimbolkan Xp), diukur dengan cara mengukur dampak yang telah
terjadi pada kelompok masyarakat yang berciri sama dengan
masyarakat Xp (disimbolkan Xp*), yang terkena proyek serupa
(disimbolkan P*) di lokasi lain. Besar dampak proyek P*
terhadap masyarakat Xp* ini dapat menjadi prakirakan dampak
proyek P terhadap masyarakat Xp: Ilustrasi berikut
memperjelas hal dimaksud.
Besar dampak, termasuk yang mempunyai nilai moneter, dapat diukur
melalui dua metode berikut ini :
a. Metode Formal, antara lain :
1) Proyeksi penduduk (teknik ekstrapolasi)
2) Analisis kecendurangan (trend analysis)
3) Analisis deret waktu (time series analysis)
b. Metode Informal, antara lain :
1) Penilaian pakar (professional jugment)
2) Komparatif antar budaya (cross cultural)
3) Teknis analogi
4) Metode delphi
Adapun sifat penting dari besar dampak sosial yang akan terjadi
ditelaah dengan mengacu pada Pedoman Mengenai Ukuran Dampak
Penting (Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 056 Tahun 1994)

3. METODE EVALUASI DAMPAK

Evaluasi dampak merupakan kajian yang bersifat holistik, yakni


telaahan secara total terhadap beragam dampak lingkungan. Beragam
dampak penting lingkungan tersebut ditelaah sebagai satu kesatuan yang
saling terkait dan saling pengaruh-mempengaruhi.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak
secara holistik diantaranya adalah :
a. USGS Matrix (Matrik Leopold)
b. Bagan Alir Dampak
c. Evironmental Evaluation System (EES)
d. Matrik Tiga Tahap Fischer dan Davies
e. Extended Cost Benefit Analysis
Perlu diketahui, masing-masing metode mempunyai kelebihan dan
kekurangan, sehingga relatif tidak ada metode evaluasi dampak yang bisa
digunakan untuk semua jenis studi ANDAL.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkari dalam memilih metode
evaluasi dampak yang tepat untuk studi ANDAL, adalah :
a. Bersifat komprehensif, metode tersebut mampu
menggambarkan keterkaitan antar komponen dampak penting
lingkungan sebagai akibat dari suatu rencana usaha atau
kegiatan;
b. Bersifat fleksibel, metode tersebut dapat digunakan untuk
mengevaluasi berbagai dampak penting dari rencana usaha atau
kegiatan yang ukuran, satuan, dan
skalanya berbeda serta dampaknya berbeda;
c. Bersifat dinamis, metode tersebut sesuai dengan kondisi rona
lingkungan dan karakteristik rencana usaha atau kegiatan yang
ditelaah;
d. Bersifat analitis, metode tersebut memenuhi syarat-syarat
ilmiah;
e. Bila metode yang dipakai menggunakan skala dan atau bobot
maka proses
peleburan (amalgamasi) harus dilakukan secara benar, dalam
arti proses peleburan nilai-nilai yang satuannya berbeda harus
dilakukan melalui proses yang secara ilmiah dibenarkan. Disamping
itu bila menggunakan bobot atau skala, sejauh mungkin penyusun
aspek sosial ANDAL memperhatikan atau menghimpun
masukan dari masyarakat yang terkena dampak;
f. Metode tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi rencana
usaha atau kegiatan untuk pengambilan keputusan.

B. URAIAN RENCANA USAHA ATAU KEGIATAN

Agar kajian dampak penting aspek sosial dapat ditelaah mendalam,


maka uraian rencana usaha atau kegiatan perlu memuat data dan
informasi yang antara lain mencakup :
1. Kebijaksanaan dan cara pembebasan perolehan lahan
2. Penyerapan tenaga kerja khususnya dari masyarakat setempat
3. Rencana pembangunan fasititas umum dan fasilitsas sosial
4. Rencana pengembangan ekonomi masyarakat setempat.

C. RONA LINGKUNGAN HIDUP


Rona lingkungan harus menggambarkan kondisi lingkungan sosial di
wilayah studi, terutama aspek-aspek sosial yang menurut dokumen
Kerangka Acuan (KA) akan terkena dampak penting dari rencana usaha
atau kegiatan. Dengan demikian rona lingkungan hidup harus bersifat
spesifik lokasi dan menggambarkan kondisi lingkungan sosial pada saat
studi ANDAL berlangsung.
Sehubungan dengan hal tersebut maka data aspek sosial yang
disajikan dalam rona lingkungan harus dibatasi pada hal-hal yang
mempunyai relevansi dan keterkaitan yang erat dengan prakiraan dan
evaluasi dampak. Dengan demikian, tidak seluruh komponen sosial harus
diungkapkan dalam rona lingkungan hidup.

D. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING

1. Setiap komponen lingkungan yang diprakirakan mengalami


perubahan mendasar (dampak penting) dibahas melalui
sistematika sebagai berikut :
a. Pada bagian pertama, utarakan penyebab timbulnya
(sumber) dampak, sebagai misal :
1) Dampak terhadap pendapatan masyarakat di
sekitar rencana usaha atau kegiatan timbul sebagai
dampak lanjutan dari perubahan pencaharian
dan kesempatan berusaha.
2) Persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau
kegiatan timbul sebagai akibat dari berubahnya
tingkat pendapatan, kondisi kesehatan masyarakat
di sekitar proyek dan penyerapan tenaga kerja oleh
proyek.
b. Pada bagian dua, uraian tentang prakiraan besar dampak
yang dilakukan dengan cara menganalisa perbedaan
kualitas lingkungan pada kondisi dengan dan tanpa
adanya usaha kegiatan dengan menggunakan metode yang
telah diutarakan pada huruf A.2. mengenai Metode Prakiraan Dampak.
Disamping itu ditelaah pula arah perubahan dampak tersebut
dari segi positif dan atau negatif.
Untuk studi AMDAL Kawasan, Terpadu/multisektor, dan
Regional perlu diberikan perhatian yang besar pada
prakiraan dampak yang bersifat kumulatif.
c. Pada bagian tiga, diuraikan sifat penting dari besar
dampak sosial yang telah diutarakan pada huruf b
tersebut di atas ditinjau dari kepentingan masyarakat,
pemerintah maupun pakar dengan mengacu pada Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting (Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor
056 Tahun 1994)
d. Pada bagian keempat, bila dampak penting sosial yang
telah diutarakan pada huruf a, b, dan c tersebut di atas
menimbulkan dampak lanjutan, maka uraikan sub-komponen
atau parameter yang terkena dampak lanjutan
tersebut.

2. Sistem bahasan sebagaimana pada angka 1 tersebut di atas


berlaku pula untuk dampak penting yang mempunyai nilai moneter.

3. Mengingat adanya alternatif teknologi atau lokasi dari suatu


rencana usaha atau kegiatan, maka dampak penting aspek sosial
untuk setiap alternatif perlu
diprakirakan sesuai sistematika angka 1.

E. EVALUASI DAMPAK PENTING

1. Evaluasi dampak penting dilakukan dengan sistematika sebagai


berikut :
a. Pada bagian pertama, uraikan isu-isu pokok lingkungan
yang terdapat dalam dokumen Kerangka Acuan (KA) dan
komponen dampak penting lingkungan hasil dari prakiraan
dampak penting; Pada bagian kedua, dibahas/ditelaah secara
holistik (komprehensip) dampak penting lingkungan (fisik-kimia,
biologi dan sosial), baik yang positif maupun negatif, dengan
menggunakan metode yang telah diuraikan pada huruf A.3.
mengenai Metode Evaluasi Dampak;
Pada bagian ke tiga, bila ada alternatif lokasi atau
teknologi dari rencana usaha atau kegiatan maka lakukan
evaluasi dampak penting terhadap masing-masing
alternatif tersebut. Hasil evaluasi tersebut harus dapat
menjadi dasar untuk pengambilan keputusan atas kelayakan
lingkungan dari rencana usaha atau kegiatan.
2. Evaluasi dampak juga dilakukan pada komponen-komponen
dampak penting yang mempunyai nilai moneter, sehingga
diperoleh gambaran mengenai biaya eksternal yang akan
ditanggung atau dinikmati oleh masyarakat dan atau pemrakarsa.
3. Apabila Analisa Dampak Lingkungan menyimpulkan bahwa
dampak negatif tidak dapat ditanggulangi berdasarkan ilmu dan
teknologi, atau biaya penanggulangan dampak negatif lebih besar
dibandingkan dengan hasil dampak positifnya; maka instansi
yang bertanggung jawab dapat memutuskan menolak rencana usaha atau
kegiatan yang bersangkutan (Pasal 11 ayat 1 PP 51/1993)

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,


ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

Lampiran IV
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996

PEDOMAN TEKNIS KAJIAN ASPEK SOSIAL PENYUSUNAN


PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL)

Didalam merumuskan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) bagi aspek


sosial dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Rencana pengelolaan lingkungan harus secara jelas mengutarakan
upaya-upaya yang akan ditempuh untuk mencegah, mengendalikan, dan
menanggulangi dampak penting sosial yang akan timbul. Disamping itu
juga harus diutarakan pada kelompok atau lapisan masyarakat mana, di
lokasi mana, bilamana, dan pihak mana yang akan melaksanakan
pengelolaan lingkungan.
2. Pihak yang melaksanakan pengelolaan lingkungan tidak hanya
pemrakarsa saja melainkan juga dapat instansi pemerintah dan atau
masyarakat yang berkepentingan, sejauh terdapat :
a. Kesempatan antara pemrakarsa dan instansi pemerintah atau
masyarakat yang berkepentingan dalam melaksanakan pengelolaan
lingkungan;
b. Kewenangan menangani atau mengelola dampak penting
tertertu tidak berada pada pemrakarsa (misal, dampak penting
berupa timbulnya prostitusi disekitar rencana usaha atau kegiatan).
3. Upaya pengelolaan lingkungan aspek sosial ditempuh dengan cara
mencegah, mengendalikan, dan menanggulangi sumber dampak penting
tersebut, baik yang bersumber dari aspek fisik-kimia,biologi, dan
kesehatan masyarakat maupun dari aspek sosial itu sendiri. Upaya
pengelolaan lingkungan tersebut perlu memperhatikan kepetingan
masyarakat, pemerintah maupun pertimbangan pakar.
4. Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam mencegah,
menanggulangi dan mengendalikan dampak antara lain dapat
berupa, pembentukan forum komunikasi lingkungan untuk mengatasi
masalah masalah lingkungan yang timbul, yang anggotanya terdiri dari
pemrakarsa, masyarakat sekitar yang terkena dampak, unsur-unsur
pemerintah daerah setempat, serta instansi sektoral terkait.
Disamping itu pranata sosial yang sudah ada di masyarakat
didayagunakan untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan yang timbul.
5. Kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak, yang
merupakan salah satu bentuk pengelolaan lingkungan, harus
mempertimbangkan prinsip saling menguntungkan berdasarkan kesepakatan
pihak-pihak yang terkait.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

Lampiran V
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 299 Tahun 1996 Tanggal 4 November 1996

PEDOMAN TEKNlS KAJIAN ASPEK SOSIAL DALAM PENYUSUNAN


RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

Di dalam merumuskan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi aspek


sosial dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Manfaat Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) adalah :
a. Sebagai alat untuk menguji efektifitas kegiatan pengelolaan
lingkungan;
b. Sebagai masukan untuk penyempurnaan kegiatan pengelolaan
lingkungan;
c. Sebagai alat bukti untuk melindungi adanya tuntutan kerusakan
atau pencemaran lingkungan;
d. Sebagai isyarat dini tentang adanya gejala-gejala pencemaran
dan kerusakan lingkungan sehingga upaya pencegahan dapat
dilakukan;
e. Sebagai sarana untuk uji hipotesis dampak penting yang
dinyatakan dalam dokumen ANDAL.

2. Dalam merancang pemantauan lingkungan bagi aspek sosial,


pemrakarsa sebaiknya tidak hanya mengandalkan data yang diperoleh
dari instrumen atau alat ukur yang dimiliki, melainkan juga perlu
mendayagunakan informasi tentang kualitas lingkungan dari masyarakat
yang terkena dampak. Bila untuk keperluan tersebut digunakan respon,
maka di dalam dokumen perlu diutarakan teknik pengambilan sampel
yang digunakan, jumlah sampel, dan lokasi pengambilan sampel secara
jelas.
3. Komponen lingkungan yang dipantau difokuskan pada dampak penting
yang sekaligus berfungsi sebagai alat untuk menguji efektifitas kegiatan
pengelolaan lingkungan.
4. Pihak yang melaksanakan pemantauan lingkungan tidak hanya
pemrakarsa saja melainkan dapat juga dilakukan oleh instansi
pemerintah dan atau masyarakat yang berkepentingan, sejauh
terdapat :
a. Kesepakatan antara pemrakarsa dan instansi pemerintah atau
masyarakat yang berkepentingan dalam melaksanakan pemantauan
lingkungan.
b. Kewenangan memantau dampak penting tertentu tidak berada
pada pemrakarsa. Misalkan, memantau dampak penting terhadap
pertumbuhan sektor informal
disekitar rencana usaha atau kegiatan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 Nopember 1996

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Sarwono Kusumaatmadja

______________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 105 Tahun 1997
Tentang : Panduan Pemantauan Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) Dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL)

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : KEP-105 TAHUN 1997
Tanggal : 14 NOVEMBER 1997 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

bahwa panduan pemantauan pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan


(RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) ini dimaksudkan untuk
mewujudkan dan meningkatkan kesadaran para pemrakarsa usaha atau
kegiatan untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan secara benar,
bersungguh-sungguh, kreatif dan bertanggung jawab;
bahwa mengingat hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Panduan
Pemantauan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan
Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL);

Mengingat :

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PANDUAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN
LINGKUNGAN (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)

Pasal 1

Untuk menjamin Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana


Pemantauan Lingkungan (RPL) dilaksanakan dengan baik, perlu dilakukan
pengelolaan dan pemantauan serta pelaporan secara terencana,
terkoordinasi, sistematis dan berkesinambungan serta merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari komponen lain dalam penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan.

Pasal 2

Panduan pemantauan pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkugan (RKL)


dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dalam penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini.

Pasal 3

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 14 Nopember 1997
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan
No. 105 Tahun 1997 Tanggal 14 Nopember 1997

PANDUAN PEMANTAUAN PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN
(RPL)

A. LATAR BELAKANG
Salah satu fungsi penting didalam AMDAL (PP 51 Tahun 1993) adalah
fungsi manajemen lingkungan. Fungsi manajemen lingkungan ini
berupa pelaksanaan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Untuk menjamin RKL dan RPL dilaksanakan dengan baik perlu
dilakukan pemantauan dan pelaporan secara terencana, terkoordinasi,
sistematis dan berkesinambungan. Pemantauan dan pelaporan
penerapan RKL dan RPL ini dimaksudkan untuk mewujudkan dan
meningkatkan kesadaran para pemrakarsa usaha atau kegiatan untuk
melaksanakan pengelolaan lingkungan secara benar, bersungguh-
sungguh, kreatif dan bertanggung jawab sehingga kualitas lingkungan
dapat dipertahankan sesuai dengan fungsinya.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, dan untuk memberikan acuan
bagi para pelaku pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL, maka perlu
disusun Pedoman Umum Pemantauan Pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan
(RPL).

B. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup:
a. Pasal 11 ayat(1)
Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional
dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan
yang dikoordinasi oleh Menteri.
b. Pasal 15
(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pasal 25, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan menyebutkan:
(1) Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
menggunakan dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan sebagai bahan penguji terhadap:
a). laporan pemantauan lingkungan dan evaluasi
hasilnya yang dilakukan oleh pemrakarsa sesuai
dengan rencana pengelolaan lingkungan dan
rencana pemantauan lingkungan;
b). laporan pemantauan lingkungan dan evaluasi
hasilnya yang dilakukan oleh instansi terkait yang
berkepentingan sesuai dengan rencana pengelolaan
lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan;
C). laporan pengawasan pelaksanaan rencana
pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan
lingkungan yang dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab.
(2) Hasil pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan oleh instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan kepada Menteri atau Pemimpin
lembaga pemerintah non departemen dan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan dapat melakukan
koordinasi sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

C. MAKSUD DAN TUJUAN


Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL bagi kegiatan wajib
AMDAL ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam
melaksanakan pemantauan dan pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL.
Tujuan:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan RKL dan RPL;
2. Untuk mengetahui tingkat ketaatan pemrakarsa usaha atau
kegiatan dalam melakukan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan;
3. Untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan RKL dan RPL dalam
menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan.

D. SASARAN
Peningkatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan serta ketaatan
pemrakarsa dalam melaksanakan RKL dan RPL.

E. PELAKSANA PEMANTAUAN
Pemantauan dilaksanakan oleh:
1. Pemrakarsa usaha atau kegiatan.
2. Pemda Tk. I dan Tk. II yang bersangkutan.
3. Instansi Teknis/Sektor yang bertanggung jawab.
4. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), BAPEDAL
Wilayah, BAPEDALDA TK I dan BAPEDALDA TK II.

F. PELAKSANAAN PEMANTAUAN
1. Bentuk pemantauan
a. Pemantauan tidak langsung (pasif)
1) Pemantauan tidak langsung (pasif) adalah pemantauan
yang dilakukan dengan cara memanfaatkan laporan
pemantauan tertulis oleh pihak lain. Dalam kaitan ini,
pemantauan pasif dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah
dengan cara memanfaatkan laporan pemantauan yang
dilakukan oleh pemrakarsa.
2) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Pemrakarsa
dilaporkan kepada:
a) Gubernur KDH Tk. I dan Bupati/Walikotamadya
KDH Tk. II yang bersangkutan.
b) Instansi Teknis/Sektor yang memberi ijin.
c) BAPEDAL Pusat, Wilayah dan Daerah.
3) Instansi lain yang terkait.
Oleh Instansi yang menerima laporan hasil pemantauan
tersebut, digunakan sebagai:
a) Masukan data dan informasi yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
pengelolaan lingkungan.
b) Dasar pertimbangan untuk menentukan sasaran
pemantauan (uji petik) aktif pelaksanaan RKL dan
RPL di lapangan.
Format laporan hasil pemantauan Pemrakarsa atas
pelaksanaan RKL mengacu pada Formulir-1 dan untuk
pelaksanaan RPL mengacu pada Formufir-2. Secara
keseluruhan, laporan pemrakarsa mengacu pada Formulir
3.

b. Pemantauan langsung (aktif)


1) Pemantauan secara aktif adalah pemantauan yang
langsung dilakukan di lapangan atas pelaksanaan
RKL dan RPL. Pemantauan ini dilakukan oleh :
a. BAPEDAL, BAPEDAL Wilayah, dan BAPEDAL
Daerah.
b. Instansi teknis/sektor
2) Langkah-langkah pemantauan:
a. Menentukan sasaran usaha atau kegiatan
yang akan dipantau, dengan
memperhatikan/mempertimbangkan hal- hal
sebagai berikut:
- Usaha atau kegiatan yang besar dan
komplek permasalahan
lingkungannya.
- Usaha atau kegiatan yang berada di
lokasi yang sensitif terhadap
lingkungan.
- Berpotensi menjadi sumber isu atau
kasus lingkungan.
- Hasil pemantauan (pasif dan atau
aktif) yang telah dilakukan.
- Permintaan Instansi tertentu,
masyarakat sekitar lokasi usaha atau
kegiatan, atau Lembaga Swadaya
Masyarakat.
b. Mempelajari dokumen AMDAL, khususnya
RKL dan RPL usaha atau kegiatan yang akan
dipantau.
c. Melakukan koordinasi dengan Instansi yang
bertanggung jawab, BAPEDAL, Instansi
terkait (termasuk, bila perlu pihak
Laboratorium Lingkungan) dan Pemerintah
Daerah (Tingkat I dan II) dimana usaha atau
kegiatan itu berada.
Koordinasi ini meliputi :
- Pengumpulan data dan informasi yang
berkaitan dengan operasi usaha atau
kegiatan yang akan dipantau.
- Mengetahui apakah pihak-pihak
tersebut telah melaksanakan
pemantauan terhadap usaha-usaha
atau kegiatan yang akan dipantau
termasuk hasil-hasilnya.
- Melakukan pemantauan bersama.
d. Mengumpulkan data dan informasi sekunder
yang relevan.
e. Melakukan pemantauan di lapangan.
3) Frekuensi pemantauan lapangan dilaksanakan
menurut kebutuhan dengan memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan sebagaimana
disebutkan pada butir 2) huruf a di atas.
4) Metode pemantauan di lapangan.
Metode pelaksanaan RKL dan RPL dilakukan
dengan cara:
a. Memeriksa dan mencocokkan seluruh
pelaksanaan RKL dan RPL sesuai dengan
dokumen, serta memeriksa kebenaran
laporan pemantauan yang dilaksanakan oleh
Pemrakarsa.
b. Melakukan diskusi dengan pihak Pemrakarsa
tentang manfaat, kendala dan hambatan
dalam pelaksanaan RKL dan RPL, meliputi :
manajemen, pengelolaan limbah, unit intern
organisasi pengelolaan lingkungan dll.
c. Melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat dan atau masyarakat sekitar
lokasi usaha atau kegiatan yang dipantau.
d. Bila diperlukan, melakukan pengambilan
contoh limbah untuk diuji di laboratorium
atau keluaran pengelolaan lingkungan yang
telah dilaksanakan.
Untuk membantu dan memudahkan pelaksanaan
pemantauan di lapangan, pelaksanaan pemantauan
dapat menggunakan Formulir 1 dan Formulir 2.
5) Pelaporan hasil pemantauan lapangan
Hasil pelaksanaan pemantauan disusun dalam
bentuk pelaporan yang kemudian dikirimkan
kepada Pemrakarsa dan pihak-pihak Instansi
Pemerintah sebagaimana telah disebutkan pada
butir 2) huruf c.
Laporan disusun dengan sistematika sebagaimana
pada Formulir 4.

G. PEMBIAYAAN
Untuk memperlancar pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL di
lapangan diperlukan dukungan dana dan fasiiitas.
Bagi pemrakarsa, maka pembiayaan dan penyediaan fasilitas
pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL terintegrasi dalam manajemen
usaha atau kegiatan yang direncanakan sejak dokumen AMDALnya
disusun.
Bagi Instansi\Pemerintah, sumber pembiayaan dan pemenuhan
fasilitas pemantauan RKL dan RPL disediakan dari masing-masing
Instansi. Biaya pemantauan antara lain meliputi:
- Biaya transportasi
- Lumpsum.
- Biaya Penyusunan Laporan.

H. PENUTUP
Hasil pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL yang sudah dikirimkan
kepada Pemrakarsa dan pihak-pihak lain tersebut perlu terus dipantau
secara periodik untuk mengetahui apakah rekomendasi hasil
pemantauan itu benar benar dilaksanakan oleh pemrakarsa atau tidak.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 14 November 1997
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Formulir-1
MATRIK PELAKSANAAN PEMANTAUAN RKL
OLEH : PEMRAKARSA / PETUGAS*

WAKTU PEMERIKSAAN : ………………

Formulir-2
MATRIK PELAKSANAAN PEMANTAUAN RPL
OLEH : PEMRAKARSA / PETUGAS*
WAKTU PEMERIKSAAN : ………………
Formulir – 3

LAPORAN HASIL PEMANTAUAN PELAKSANAAN RKL DAN RPL

BIDANG USAHA ATAU KEGIATAN :


LOKASI :
PEMRAKARSA :
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
- Uraikan pentingnya pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL.

B. TUJUAN
- Uraikan tujuan pemantauan pelaksanaan RKL dan RPL.

C. HASIL YANG INGIN DICAPAI (SASARAN)


- Tuliskan sasaran pemantauan ini sesuai dengan butir D dalam
Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL.
- Dapat ditambahkan sasaran lain bila memang diperlukan.

D. RINGKASAN DESKRIPSI KEGIATAN


Tuliskan ringkasan deskripsi kegiatan, antara lain meliputi:
- Lokasi
- Kapan mulai beroperasi
- Jenis dan atau tahapan kegiatan
- Proses kegiatan/produksi

BAB II
RINGKASAN RKL DAN RPL

A. RINGKASAN R K L
Tuliskan ringkasan RKL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Tolok ukur dampak penting
- Pengelolaan dampak penting

B. RINGKASAN RPL
Tuliskan ringkasan RPL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Metode Pemantauan
- Lokasi Pemantauan
- Waktu Pemantauan

BAB III
HASIL PELAKSANAAN
A. RKL
- Uraikan secara singkat pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan
hasil-hasil yang dicapai.
- Lampirkan visualisasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan (jika
ada).

B. RPL
- Uraikan secara singkat pelaksanaan pemantauan lingkungan
dan hasil yang dicapai.
- Lampirkan berbagai hasil pengukuran (hasil pelaksanaan fisik
dan hasil analisis laboratorium).

BAB IV
EVALUASI

- Uraikan secara singkat kesesuaian hasil pelaksanan pengelolaan


lingkungan dengan tolok ukur.
- Uraikan kendala dan masalah yang dihadapi.
- Uraikan langkah-langkah perbaikan pelaksanaan RKL dan RPL.

Formulir – 4

LAPORAN HASIL PEMANTAUAN PELAKSANAAN RKL DAN RPL

BIDANG USAHA ATAU KEGIATAN :


LOKASI :
PEMRAKARSA :
PETUGAS PELAKSANA / INSTANSI :
TANGGAL :

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
- Uraikan kenapa pemantauan RKL dan RPL ini penting.
- Jelaskan kenapa pemantauan ke usaha atau kegiatan yang dipilih ini
dilakukan (alasan dan hasil yang diinginkan).

B. TUJUAN
- Tuliskan tujuan pemantauan ini sesuai dengan butir C dalam Panduan
umum Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL.
- Dapat ditambahkan tujuan lain bila memang diperlukan.

C. HASIL YANG INGIN DICAPAI (SASARAN)


- Tuliskan sasaran pemantauan ini sesuai dengan butir D dalam
Panduan Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL.
- Dapat ditambahkan sasaran lain bila memang diperlukan.

D. RINGKASAN DESKRIPSI KEGIATAN


Tuliskan ringkasan deskripsi kegiatan, antara lain meliputi:
- Lokasi
- Kapan mulai beroperasi
- Jenis dan atau tahapan kegiatan
- Proses kegiatan/produksi

E. WAKTU
- Tuliskan kapan waktu pemantauan berlangsung.

F. PELAKSANAAN
- Sebutkan nama-nama petugas dan dari lnstansi/Unit mana.

BAB II
RINGKASAN RKL DAN RPL

A. RINGKASAN RKL
Tuliskan ringkasan RKL, antara lain meliputi:
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Tolok ukur dampak penting
- Pengelolaan dampak penting

B. RINGKASAN RPL
Tuliskan ringkasan RPL, antara lain meliputi
- Jenis dampak penting
- Sumber dampak penting
- Metode Pemantauan
- Lokasi Pemantauan
- Waktu Pemantauan

BAB III
TEMUAN LAPANGAN/HASIL PENGECEKAN/HASIL PENGUKURAN

Temuan lapangan dibagi menjadi empat hal:


a. Temuan Lapangan RKL, meliputi : hasil pemeriksaan dan pengelolaan
lingkungan yang dilakukan oleh Pemrakarsa, meliputi:
- Bentuk pengelolaan lingkungan yang dilakukan Pemrakarsa.
- Jenis dan spesifikasi alat pengelolaan lingkungan.
- Proses beroperasinya alat pengelolaan Lingkungan.
- Efektifitas dan efisiensi pengoperasian alat pengelolaan
lingkungan.
- Unit organisasi yang melakukan pengelolaan lingkungan.
- Hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan jika ada.
b. Temuan Lapangan RPL, meliputi hasil pemeriksaan pelaksanaan
pemantauan,:
- Bentuk pemantauan lingkungan yang dilaksanakan.
- Jenis dan spesifikasi alat pemantauan lingkungan.
- Proses beroperasinya alat pemantauan Lingkungan.
- Efektifitas dan efisiensi pengoperasian alat pemantauan
lingkungan.
- Frekuensi dan kontinuitas pengoperasian pelaksanaan
pemantauan lingkungan.
- Unit organisasi yang melaksanakan pemantauan lingkungan.
- Keterlibatan masyarakat sekitar dalam pemantauan lingkungan.
- Hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemantauan
lingkungan jika ada.
c. Bandingkan hasil temuan lapangan, masing-masing dengan dokumen
RKL dan RPL, termasuk menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan yang perlu dilakukan oleh Pemrakarsa tetapi
tidak termuat dalam dokumen RKL dan RPL.
d. Uraikan kendala dan hambatan Pemrakarsa dalam melaksanakan RKL
dan RPL.

BAB IV
EVALUASI
Uraikan secara singkat kecenderungan adanya peningkatan/penurunan baik
kegiatan maupun kualitas lingkungannya.

BAB V
REKOMENDASI

Penulisan Kesimpulan dan Rekomendasi sebaiknya dipisahkan antara RKL


dan RPL.
Kesimpulan berisi hal-hal yang berkaitan dengan tingkat ketaatan
Pemrakarsa dan situasi-kondisi yang berkaitan dengan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan.
Rekomendasi berisi saran tindak secara teknis, konkret dan yang dapat
diterapkan (applicable) oleh Pemrakarsa untuk melaksanakan RKL dan RPL.
Dalam memberikan rekomendasi/saran tidak perlu memperhatikan:
dokumen RKL dan RPL, temuan lapangan/hasil pengecekan, kebijaksanaan
dan peraturan perundang-undangan yang terkait, perkembangan teknologi
yang relevan dll.
LAMPIRAN - LAMPIRAN

Lampirkan dokumen dan atau informasi yang dirasa perlu, antara lain:
Photo-photo, Peta, Gambar-gambar, Copy hasil uji limbah di laboratorium
dsb.

______________________________________
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 08 TAHUN 2000
TENTANG
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM
PROSES
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor


27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Keterlibatan
Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 1/M Tahun


2000 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK


LINGKUNGAN TENTANG KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN
KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

PERTAMA : Keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam


proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup
diselenggarakan dengan berpedoman pada Lampiran
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini.

KEDUA : Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Keputusan ini,


Gubernur dapat mengatur lebih lanjut:

1
1. Penentuan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk
dalam Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup;

2. Rincian tata cara:

a. keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan Hidup;
b. pengumuman; dan
c. penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan warga
masyarakat.

KETIGA : Surat Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7


November 2000 dan bilamana di kemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Surat Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Pebruari 2000

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

2
LAMPIRAN : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 08 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

KETERLIBATAN MASYARAKAT
DAN KETERBUKAAN INFORMASI
DALAM PROSES
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

1. PENDAHULUAN

1.1 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dilaksanakannya keterlibatan masyarakat dan keterbukaan


informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini
adalah untuk:
1) Melindungi kepentingan masyarakat;
2) Memberdayakan masyarakat dalam pengambilan keputusan atas rencana
usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan;
3) Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAL dari
rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
4) Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang
berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk
mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan
informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh.

1.2 Prinsip Dasar Pelaksanaan

1) Kesetaraan posisi diantara pihak-pihak yang terlibat;


2) Transparansi dalam pengambilan keputusan;
3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana; dan
4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-pihak yang terkait.

1.3 Pengertian

Masyarakat yang Berkepentingan:


Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas
segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara
lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau
kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian
pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang

3
dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan
menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

Masyarakat Terkena Dampak:


Masyarakat terkena dampak adalah masyarakat yang akan merasakan dampak
dari adanya rencana usaha dan/atau kegiatan, terdiri dari masyarakat yang akan
mendapatkan manfaat dan masyarakat yang akan mengalami kerugian.

Masyarakat Pemerhati:
Masyarakat pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena dampak dari suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan, tetapi mempunyai perhatian terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan tersebut, maupun dampak-dampak lingkungan yang
akan ditimbulkannya.

Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL:


Keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL adalah keikutsertaan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan tentang AMDAL. Dalam proses ini,
masyarakat menyampaikan aspirasi, kebutuhan, dan nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat, serta usulan penyelesaian masalah dari masyarakat yang
berkepentingan dengan tujuan memperoleh keputusan yang terbaik.

Wakil Masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL:


Wakil masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL adalah wakil dari masyarakat
terkena dampak yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan untuk dapat
duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL.

2. HAK DAN KEWAJIBAN

2.1 Hak-hak Warga Masyarakat

Hak-hak warga masyarakat dalam proses AMDAL adalah:


1) Memperoleh informasi mengenai:
a) rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun AMDAL;
b) dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-
ANDAL);
c) dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL);
d) dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL);
e) dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL);
f) proses penilaian dokumen AMDAL oleh Komisi Penilai AMDAL;
g) sikap instansi yang bertanggung jawab atas saran, pendapat, dan
tanggapan masyarakat yang disampaikan; dan
h) keputusan hasil penilaian dokumen AMDAL;
2) Memberikan saran, pendapat, dan/atau tanggapan atas rencana usaha
dan/atau kegiatan yang wajib menyusun AMDAL dan dokumen KA-ANDAL,
ANDAL, RKL, dan RPL dengan ketentuan:

4
a) Spesifikasi Media Penyampaian Saran, Pendapat, dan Tanggapan
Bentuk tertulis (contoh: surat, e-mail) atau bentuk cetak (contoh: surat
pembaca di media massa) sehingga mudah didokumentasikan.
b) Spesifikasi Teknik Penyampaian Saran, Pendapat, dan Tanggapan
(1) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar;
(2) Menuliskan dengan jelas sehingga mudah dibaca;
(3) Menjelaskan dan atau melampirkan identitas pribadi.
c) Tata Cara
Tata cara penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan dijelaskan lebih
lanjut dalam bab 3.
3) Duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL; khusus bagi warga masyarakat
terkena dampak yang penetapannya dilaksanakan berdasarkan ketentuan
butir a) dibawah, dan dengan menggunakan mekanisme perwakilan yang
pelaksanaannya berdasarkan ketentuan butir b) dibawah :
a) Penetapan lingkup masyarakat terkena dampak
Penetapan lingkup warga masyarakat terkena dampak pada tahap
penyusunan KA-ANDAL dilakukan atas kesepakatan bersama antara
instansi yang bertanggungjawab, pemrakarsa dan masyarakat terkena
dampak terkait dengan tetap memperhatikan kemungkinan
penyempurnaannya kembali pada tahap proses penilaian dokumen
ANDAL, RKL, dan RPL di Komisi Penilai.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan lingkup masyarakat
terkena dampak adalah:
(1) Memperhatikan karakter rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
diusulkan
Contoh :
• jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang membutuhkan
dukungan semua lapisan masyarakat setempat berarti
menjadikan seluruh masyarakat setempat sebagai kelompok yang
terkena dampak (misalnya : proyek pembukaan lahan pertanian
skala besar, pembuatan infrastruktur desa, proyek peremajaan
kota, dan lain-lain);
• jenis usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pengaruh
positif atau negatif besar pada satu kelompok masyarakat
tertentu menjadikan hanya sebagian masyarakat menjadi
kelompok yang terkena dampak (misalnya: proyek transmigrasi/
pemindahan pemukim perambah hutan yang akan mempengaruhi
penduduk yang dipindahkan dan penduduk yang akan menerima,
atau proyek pertambangan terhadap masyarakat suku terasing);

(2) Memperhatikan jenis isu pokok/dampak besar dan penting yang


muncul
Sebuah rencana usaha dan/atau kegiatan bisa memiliki lingkup warga
masyarakat yang terkena dampak berbeda-beda menurut jenis isu
pokok/dampak besar dan penting.
Contoh :
• adanya perbedaan antara kelompok warga masyarakat terkena
dampak akibat isu konflik sosial budaya dengan kelompok akibat
isu pencemaran lingkungan, dan lain sebagainya.

5
(3) Mengacu pada batas wilayah dampak yang ditetapkan dalam studi
AMDAL
Warga masyarakat yang terkena dampak haruslah warga yang
memang berada di dalam wilayah dampak yang batas-batasnya
ditetapkan dalam studi AMDAL.
(4) Memperhatikan tahapan proses kajian AMDAL
Semakin jelas permasalahan dan alternatif mitigasi dampak, lingkup
warga masyarakat yang terkena dampak dapat membesar/mengecil.
Contoh :
• identifikasi dampak dan wilayah sebarannya pada saat KA-ANDAL
mungkin hanya menghasilkan satu kelompok masyarakat terkena
dampak, namun pada saat evaluasi dampak akan dapat
teridentifikasi kelompok masyarakat terkena dampak baru.
Demikian pula halnya pada saat ditemukannya alternatif mitigasi
dampak dalam RKL dan RPL, dimana kemudian dapat
memunculkan kelompok masyarakat terkena dampak yang tidak
teridentifikasi sebelumnya.
b) Penetapan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk dalam Komisi
Penilai AMDAL. Warga masyarakat terkena dampak memilih sendiri
wakilnya yang duduk dalam Komisi Penilai AMDAL. Kriteria dan syarat
wakil masyarakat terkena dampak adalah:
(1) Seseorang yang diakui sebagai juru bicara dan/atau mendapat mandat
dari kelompok masyarakat terkena dampak
Wujud dari pengakuan ini dapat berupa bukti yang sifatnya formal
(misalnya: surat persetujuan bersama dari kelompok masyarakat yang
diwakili), atau bentuk-bentuk pengakuan lainnya yang ditetapkan dan
disetujui oleh kelompok masyarakat terkena dampak yang diwakilinya
(misalnya: menetapkan tokoh masyarakat formal seperti Kepala Desa
dan LKMD, atau informal seperti tokoh adat dan tokoh agama
setempat sebagai wakil yang disepakati);
(2) Menyuarakan semua bentuk aspirasi dan pendapat masyarakat yang
diwakilinya secara apa adanya, termasuk juga pendapat-pendapat
yang saling bertentangan;
(3) Melakukan komunikasi dan konsultasi rutin dengan masyarakat yang
diwakilinya.

2.2 Kewajiban Instansi yang Bertanggung Jawab

Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:


1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan memulai
penyusunan AMDAL dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Media cetak lokal dan nasional;
(2) Papan pengumuman kantor instansi yang bertanggung jawab di
tingkat pusat dan/atau daerah; dan dapat ditambahkan dengan
(3) Media elektronik televisi dan/atau radio; dan
(4) Pusat dan/atau tempat pengumuman resmi yang ditetapkan dan diatur
oleh instansi yang bertanggung jawab.

6
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
(1) Semua bentuk pengumuman baik tertulis maupun tidak tertulis harus
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, disampaikan
dengan jelas dan mudah dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat;
(2) Pengumuman tertulis di media cetak harus berukuran minimal 5x3
cm2 dan ditulis dengan huruf standar sekurang-kurangnya berukuran
10. Ukuran minimal tidak boleh dijadikan alasan tidak lengkapnya
lingkup materi yang disampaikan;
(3) Pengumuman pada papan pengumuman harus sekurang-kurangnya:
• Ditulis dengan warna hitam dan dasar putih;
• Ditulis dengan huruf cetak standar dengan ukuran minimal 12;
• Berukuran minimal 60 x 100 cm2
(4) Pengumuman pada media elektronik dapat berupa berita ataupun spot
iklan, dengan lama minimal 10 (sepuluh) detik untuk televisi dan 20
(dua puluh) detik untuk radio
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3.
2) Mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan tanggapan dari
warga masyarakat yang disampaikan;
3) Menyampaikan rangkuman hasil saran, pendapat, dan tanggapan dari warga
masyarakat serta respon dan sikap atas saran, pendapat, dan tanggapan
warga masyarakat tersebut kepada Komisi Penilai AMDAL;
4) Menyediakan informasi tentang proses dan hasil keputusan penilaian
dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat
yang berkepentingan; dan
5) Memfasilitasi terlaksananya dengan baik hak warga masyarakat atas
informasi dan berperanserta dalam proses AMDAL.

2.3 Kewajiban Pemrakarsa

Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:


1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan sebelum memulai
penyusunan dokumen AMDAL dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Papan pengumuman di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(2) Papan pengumuman di lokasi-lokasi strategis yang ditetapkan oleh
instansi yang bertanggung jawab di tingkat pusat atau daerah; dan
Media elektronik televisi dan/atau radio; dan
(3) Media lain yang dianggap tepat dengan situasi setempat; misalnya
brosur, surat, media cetak, dan/atau media elektronik.
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
Spesifikasi tampilan pengumuman sesuai dengan ketentuan b) dalam butir
1) sub bab 2.2.
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3.

7
2) Menyelenggarakan konsultasi kepada warga masyarakat yang berkepentingan
dalam penyusunan dokumen KA-ANDAL;
3) Memberikan informasi mengenai dokumen KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL
kepada warga masyarakat yang memerlukannya;
4) Menanggapi saran, pendapat, dan tanggapan yang disampaikan oleh warga
masyarakat yang berkepentingan

3. TATA CARA KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL

3.1 Tahap Persiapan Penyusunan AMDAL

Pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan memulai menyusun


dokumen AMDAL wajib:
1) Memberitahukan rencananya kepada instansi yang bertanggung jawab;
2) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatannya terhitung sejak jadwal
pengumuman yang telah disepakati bersama instansi yang bertanggung
jawab;
3) Mengumumkan hal-hal:
a) Nama dan alamat pemrakarsa;
b) Lokasi dan luas usaha dan/atau kegiatan, serta dilengkapi dengan peta
wilayah rencana usaha dan/atau kegiatan;
c) Jenis usaha dan/atau kegiatan;
d) Produk yang akan dihasilkan;
e) Jenis dan volume limbah yang akan dihasilkan, serta cara
penanganannya;
f) Dampak lingkungan hidup yang akan timbul;
g) Tanggal pengumuman tersebut mulai dipasang dan batas waktu
pemberian saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat; dan
h) Nama dan alamat instansi yang bertanggung jawab dalam menerima
saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat
4) Mengikuti ketentuan spesifikasi media dan teknik pengumuman sebagaimana
diatur dalam butir 1) sub bab 2.3.

Instansi yang bertanggung jawab wajib mengumumkan rencana usaha dan/atau


kegiatan yang akan memulai menyusun AMDAL dengan ketentuan:
1) Mengumumkan hal-hal:
a) Lokasi usaha dan/atau kegiatan serta dilengkapi dengan peta wilayah
rencana usaha dan/atau kegiatan;
b) Jenis usaha dan/atau kegiatan;
c) Nama dan alamat pemrakarsa;
d) Tanggal pengumuman tersebut mulai dipasang dan batas waktu
pemberian saran, pendapat dan tanggapan dari warga masyarakat; dan
e) Nama dan alamat instansi yang bertanggung jawab menerima saran,
pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat.

8
2) Mengikuti ketentuan spesifikasi media dan teknik pengumuman sebagaimana
diatur dalam butir 1) sub bab 2.2.

Warga masyarakat yang berkepentingan berhak menyampaikan saran, pendapat,


dan tanggapan, yang teknisnya diatur dalam butir 2) sub bab 2.1, terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan yang diumumkan selama periode 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal pengumuman dilaksanakan, dan disampaikan
kepada:

• Instansi yang bertanggung jawab di tingkat Pusat :


Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan u.p. Unit yang
membidangi AMDAL, dengan tembusan kepada Pemrakarsa; dan/atau

• Instansi yang bertanggung jawab di tingkat Daerah :


Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I u.p. Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah Tingkat I, dengan tembusan kepada
Pemrakarsa.

3.2 Tahap Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan


Hidup (KA-ANDAL)

Pada saat penyusunan KA-ANDAL, pemrakarsa wajib melakukan konsultasi


kepada warga masyarakat yang berkepentingan. Hasil dari konsultasi kepada
warga masyarakat wajib digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
melakukan pelingkupan.
Pemrakarsa harus mendokumentasikan semua berkas yang berkaitan dengan
pelaksanaan konsultasi dan membuat rangkuman hasilnya untuk diserahkan
kepada Komisi Penilai AMDAL sebagai lampiran dokumen KA-ANDAL.
Untuk melancarkan konsultasi kepada warga masyarakat dalam tahap ini,
pemrakarsa harus memenuhi kewajiban sebagai berikut :
1) Menyediakan informasi dengan lingkup: penjabaran kegiatan (jenis kegiatan,
kapasitas dan lokasi kegiatan), komponen lingkungan yang sangat penting
diperhatikan karena akan terkena dampak, dan isu-isu pokok mengenai
dampak lingkungan yang diperkirakan akan muncul; dan
2) Mengumumkan waktu, tempat serta cara konsultasi yang akan dilakukan
(misalnya: pertemuan-pertemuan publik, lokakarya, seminar, diskusi terfokus
dan metoda-metoda lain yang dapat dipergunakan untuk berkomunikasi
secara dua arah).

9
BAGAN
PROSEDUR KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL

10
3.3 Tahap Penilaian KA-ANDAL

Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai anggota Komisi Penilai
AMDAL melalui wakil yang telah ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan saran, pendapat,
dan tanggapannya dengan ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah didokumentasikan dan/atau tertulis,
sesuai dengan ketentuan butir 2) sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum rapat Komisi Penilai
AMDAL.

3.4 Tahap Penilaian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana


Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL)

Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai anggota Komisi Penilai
melalui wakil yang telah ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan saran, pendapat,
dan tanggapannya dengan ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah didokumentasikan dan/atau tertulis,
sesuai dengan ketentuan butir sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari kerja setelah
informasi jadwal rencana sidang penilaian oleh Komisi Penilai AMDAL
disebarluaskan secara resmi.

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

11
SALINAN

KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan


Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup perlu
ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1999
Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/M Tahun 2000
tentang Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK


LINGKUNGAN TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pertama : Yang dimaksud dengan Kerangka Acuan Analisis Dampak


Lingkungan Hidup, Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup adalah sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

1
Kedua : Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup dibuat
dengan berpedoman pada Pedoman Penyusunan Kerangka
Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam lampiran I Keputusan ini.

Ketiga : Analisis Dampak Lingkungan Hidup dibuat dengan berpedoman


pada Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup
adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran II Keputusan
ini.

Keempat : Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dibuat dengan


berpedoman pada Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaam
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam lampiran III
Keputusan ini.

Kelima : Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup dibuat dengan


berpedoman pada Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam lampiran IV
Keputusan ini.

Keenam : Ringkasan Eksekutif dibuat dengan berpedoman pada Pedoman


Penyusunan Ringkasan Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam
lampiran V Keputusan ini.

Ketujuh : a. Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-
14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dinyatakan tetap
berlaku sepanjang belum dicabut.
b. Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7
November 2000 dan bilamana dikemudian hari terdapat
kekeliruan, maka keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 17 Februari 2000

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

2
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (KA-ANDAL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Pengertian
Kerangka Acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan
hidup yang merupakan hasil pelingkupan yang disepakati oleh
Pemrakarsa/Penyusun AMDAL dan Komisi AMDAL.

2. Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL


Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai dasar bagi
penyusunan KA-ANDAL baik KA-ANDAL kegiatan tunggal, KA-ANDAL
kegiatan terpadu/ multisektor maupun KA-ANDAL kegiatan dalam
kawasan.

3. Tujuan dan fungsi KA-ANDAL

3.1. Tujuan penyusunan KA-ANDAL adalah:


a. Merumuskan lingkup dan kedalaman studi ANDAL;
b. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien
sesuai dengan biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia.

3.2. Fungsi dokumen KA-ANDAL adalah:


a. Sebagai rujukan penting bagi pemrakarsa, instansi yang
membidangi rencana usaha atau kegiatan, dan penyusun studi
AMDAL tentang lingkup dan kedalaman studi ANDAL yang akan
dilakukan;
b. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilai dokumen ANDAL
untuk mengevaluasi hasil studi ANDAL.

4. Dasar pertimbangan penyusunan KA-ANDAL

4.1. Keanekaragaman
ANDAL bertujuan menduga kemungkinan terjadinya dampak dari
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup.
Rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona lingkungan hidup pada
umumnya sangat beraneka ragam. Keanekaragaman rencana usaha
dan/atau kegiatan dapat berupa keanekaragaman bentuk, ukuran,
tujuan, sasaran, dan sebagainya. Demikian pula rona lingkungan
hidup akan berbeda menurut letak geografi, keanekaragaman faktor
lingkungan hidup, pengaruh manusia, dan sebagainya. Karena itu,
tata kaitan antara keduanya tentu akan sangat bervariasi pula.
Kemungkinan timbulnya dampak lingkungan hidup pun akan

3
berbeda-beda. Dengan demikian KA-ANDAL diperlukan untuk
memberikan arahan tentang komponen usaha dan/atau kegiatan
manakah yang harus ditelaah, dan komponen lingkungan hidup
manakah yang perlu diamati selama menyusun ANDAL.

4.2. Keterbatasan sumber daya


Penyusunan ANDAL acap kali dihadapkan pada keterbatasan sumber
daya, seperti antara lain: keterbatasan waktu, dana, tenaga,
metode, dan sebagainya. KA-ANDAL memberikan ketegasan tentang
bagaimana menyesuaikan tujuan dan hasil yang ingin dicapai dalam
keterbatasan sumber daya tersebut tanpa mengurangi mutu
pekerjaan ANDAL. Dalam KA-ANDAL ditonjolkan upaya untuk
menyusun priorities manakah yang harus diutamakan agar tujuan
ANDAL dapat terpenuhi meski sumber daya terbatas.

4.3. Efisiensi
Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan ANDAL perlu
dibatasi pada faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan
kebutuhan. Dengan cara ini ANDAL dapat dilakukan secara efisien.
Penentuan masukan berupa data dan informasi yang amat relevan ini
kemudian disusun dan dirumuskan dalam KA-ANDAL.

5. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL


Pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL
adalah pemrakarsa, instansi yang bertanggung jawab, dan penyusun studi
ANDAL. Namun dalam pelaksanaan penyusunan KA-ANDAL (proses
pelingkupan) harus senantiasa melibatkan para pakar serta masyarakat
yang berkepentingan sesuai Pasal 33 s/d Pasal 35 PP. Nomor 27 Tahun
1999 tentang AMDAL.
KA-ANDAL ini merupakan dokumen penting untuk memberikan rujukan
tentang kedalaman studi ANDAL yang akan dicapai.

6. Pemakai hasil ANDAL dan hubungannya dengan penyusunan KA-


ANDAL

Menurut Pasal 2 PP. Nomor 27 Tahun 1999, Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan Hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana
usaha dan/atau kegiatan.

Hasil studi kelayakan ini tidak hanya berguna untuk para perencana,
tetapi yang terpenting adalah juga bagi pengambilan keputusan. Karena
itu, dalam menyusun KA-ANDAL untuk suatu ANDAL perlu dipahami
bahwa hasilnya nanti akan merupakan bagian dari studi kelayakan yang
akan digunakan oleh pengambil keputusan dan perencanaan. Sungguhpun
demikian, berlainan dengan bagian studi kelayakan yang menggarap
faktor penunjang dan penghambat terlaksananya suatu usaha dan/atau
kegiatan ditinjau dari segi ekonomi dan teknologi, ANDAL lebih
menunjukkan pendugaan dampak yang bisa ditimbulkan oleh usaha
dan/atau kegiatan tersebut terhadap lingkungan hidup.

Karena itu, penyusun KA-ANDAL perlu mengikuti diagram alir penyusunan


ANDAL di bawah ini sehingga akhirnya dapat memberikan masukan yang
diperlukan oleh perencana dan pengambil keputusan:

4
7. Wawasan KA-ANDAL
Dokumen KA-ANDAL harus mencerminkan secara jelas dan tegas
wawasan lingkungan hidup yang harus dipertimbangkan dalam
pembangunan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Sehubungan
dengan hal tersebut, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan:
a. Dokumen KA-ANDAL harus menampung berbagai aspirasi tentang
hal-hal yang dianggap penting untuk ditelaah dalam studi ANDAL
menurut pihak-pihak yang terlibat;
b. Mengingat AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan, maka dalam
studi ANDAL perlu ditelaah dan dievaluasi masing-masing alternatif
dari rencana usaha dan/atau kegiatan yang dipandang layak baik dari
segi lingkungan hidup, teknis maupun ekonomis sebagai upaya untuk
mencegah timbulnya dampak negatif yang lebih besar;
c. Mengingat kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya mengubah
lingkungan hidup, maka menjadi penting memperhatikan komponen-
komponen lingkungan hidup yang berciri:
i. Komponen lingkungan hidup yang ingin dipertahankan dan dijaga
serta dilestarikan fungsinya, seperti antara lain:
• Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Cagar Biosfer;
• Sumber daya air;
• Keanekaragaman hayati;
• Kualitas udara;
• Warisan alam dan warisan budaya;
• Kenyamanan lingkungan hidup;
• Nilai-nilai budaya yang berorientasi selaras dengan
lingkungan hidup.

5
ii. Komponen lingkungan hidup yang akan berubah secara mendasar
dan perubahan tersebut dianggap penting oleh masyarakat di
sekitar suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, seperti antara lain:
• Pemilikan dan penguasaan lahan;
• Kesempatan kerja dan usaha;
• Taraf hidup masyarakat;
• Kesehatan masyarakat.
d. Pada dasarnya dampak lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan tidak berdiri sendiri, satu sama lain
memiliki keterkaitan dan ketergantungan. Hubungan sebab akibat ini
perlu dipahami sejak dini dalam proses penyusunan KA-ANDAL agar
studi ANDAL dapat berjalan lebih terarah dan sistematis.

Keempat faktor tersebut harus menjadi bagian integral dalam


penyusunan KA-ANDAL terutama dalam proses pelingkupan.

8. Proses pelingkupan
Pelingkupan merupakan suatu proses awal (dini) untuk menentukan
lingkup permasalahan dan mengidentifikasi dampak besar dan penting
(hipotesis) yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan.
Pelingkupan merupakan proses terpenting dalam penyusunan KA-ANDAL
karena melalui proses ini dapat dihasilkan:
a. Dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang
dipandang relevan untuk ditelaah secara mendalam dalam studi
ANDAL dengan meniadakan hal-hal atau komponen lingkungan hidup
yang dipandang kurang penting ditelaah;
b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan:
batas proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif;
c. Kedalaman studi ANDAL antara lain mencakup metoda yang
digunakan, jumlah sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang
dibutuhkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia (dana dan
waktu).

Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dari studi
ANDAL yang akan dilakukan.

8.1. Pelingkupan dampak besar dan penting

Pelingkupan dampak besar dan penting dilakukan melalui


serangkaian proses berikut:
1) Identifikasi dampak potensial
Pada tahap ini kegiatan pelingkupan dimaksudkan untuk
mengidentifikasi segenap dampak lingkungan hidup (primer,
sekunder, dan seterusnya) yang secara potensial akan timbul
sebagai akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan. Pada
tahapan ini hanya diinventarisasi dampak potensial yang mungkin
akan timbul tanpa memperhatikan besar/kecilnya dampak, atau
penting tidaknya dampak. Dengan demikian pada tahap ini
belum ada upaya untuk menilai apakah dampak potensial
tersebut merupakan dampak besar dan penting.
Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil
konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi

6
yang bertanggungjawab, masyarakat yang berkepentingan serta
dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan (observasi).
Selain itu identifikasi dampak potensial juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode-metode identifikasi dampak
berikut ini:
a) penelaahan pustaka; dan/atau
b) analisis isi (content analysis); dan/atau
c) interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan lain-
lain); dan/atau
d) metoda ad hoc; dan/atau
e) daftar uji (sederhana, kuesioner, deskriptif); dan/atau
f) matrik interaksi sederhana; dan/atau
g) bagan alir (flowchart); dan/atau
h) pelapisan (overlay); dan/atau
i) pengamatan lapangan (observasi).
Untuk jelasnya proses pelaksanaan pelingkupan dapat
mempelajari Panduan Pelingkupan Untuk Penyusunan Kerangka
Acuan ANDAL sesuai Keputusan Menteri Negara Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-30/MENKLH/7/1992.

2) Evaluasi dampak potensial


Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk menghilangkan/
meniadakan dampak potensial yang dianggap tidak relevan atau
tidak penting, sehingga diperoleh daftar dampak besar dan
penting hipotesis yang dipandang perlu dan relevan untuk
ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL. Daftar dampak
besar dan penting potensial ini disusun berdasarkan
pertimbangan atas hal-hal yang dianggap penting oleh
masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan, instansi
yang bertanggung jawab, dan para pakar. Pada tahap ini daftar
dampak besar dan penting hipotesis yang dihasilkan belum
tertata secara sistematis. Metoda yang digunakan pada tahap ini
adalah interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming).
Kegiatan identifikasi dampak besar dan penting ini terutama
dilakukan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan (yang dalam
hal ini dapat diwakili oleh konsultan penyusun AMDAL), dengan
mempertimbangkan hasil konsultasi dan diskusi dengan pakar,
instansi yang bertanggungjawab serta masyarakat yang
berkepentingan.

3) Pemusatan dampak besar dan penting (Focussing)


Pelingkupan yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk
mengelompokan/ mengorganisir dampak besar dan penting yang
telah dirumuskan dari tahap sebelumnya dengan maksud agar
diperoleh isu-isu pokok lingkungan hidup yang dapat
mencerminkan atau menggambarkan secara utuh dan lengkap
perihal:
• Keterkaitan antara rencana usaha dan/atau kegiatan dengan
komponen lingkungan hidup yang mengalami perubahan
mendasar (dampak besar dan penting);
• Keterkaitan antar berbagai komponen dampak besar dan
penting yang telah dirumuskan.
Isu-isu pokok lingkungan hidup tersebut dirumuskan melalui 2
(dua) tahapan. Pertama, segenap dampak besar dan penting

7
dikelompokan menjadi beberapa kelompok menurut
keterkaitannya satu sama lain. Kedua, dampak besar dan
penting yang berkelompok tersebut selanjutnya diurut
berdasarkan kepentingannya, baik dari ekonomi, sosial, maupun
ekologis.

8.2. Pelingkupan wilayah studi


Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi luas
wilayah studi ANDAL sesuai hasil pelingkupan dampak besar dan
penting, dan dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya,
waktu dan tenaga, serta saran pendapat dan tanggapan dari
masyarakat yang berkepentingan.
Lingkup wilayah studi ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan
batas-batas ruang sebagai berikut:
1) Batas proyek
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan akan melakukan kegiatan pra-
konstruksi, konstruksi dan operasi. Dari ruang rencana usaha
dan/atau kegiatan inilah bersumber dampak terhadap lingkungan
hidup di sekitarnya, termasuk dalam hal ini alternatif lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan. Posisi batas proyek ini agar
dinyatakan juga dalam koordinat.
2) Batas ekologis
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran
dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan menurut
media transportasi limbah (air, udara), dimana proses alami yang
berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan
mengalami perubahan mendasar. Termasuk dalam ruang ini
adalah ruang di sekitar rencana usaha dan/atau kegaitan yang
secara ekologis memberi dampak terhadap aktivitas usaha
dan/atau kegiatan.
3) Batas sosial
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar
rencana usaha dan/atau kegiatan yang merupakan tempat
berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang mengandung
norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem
dan struktur sosial), sesuai dengan proses dinamika sosial suatu
kelompok masyarakat, yang diperkirakan akan mengalami
perubahan mendasar akibat suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.
Batas sosial ini sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat
dalam studi ANDAL, mengingat adanya kelompok-kelompok
masyarakat yang kehidupan sosial ekonomi dan budayanya akan
mengalami perubahan mendasar akibat aktifitas usaha dan/atau
kegiatan. Mengingat dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan
oleh suatu rencana usaha dan/atau kegiatan menyebar tidak
merata, maka batas sosial ditetapkan dengan membatasi batas-
batas terluar dengan memperhatikan hasil identifikasi komunitas
masyarakat yang terdapat dalam batas proyek, ekologis serta
komunitas masyarakat yang berada diluar batas proyek dan
ekologis namun berpotensi terkena dampak yang mendasar dari

8
rencana usaha dan/atau kegiatan melalui penyerapan tenaga
kerja, pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
4) Batas administratif
Yang dimaksud dengan batas administrasi adalah ruang dimana
masyarakat dapat secara leluasa melakukan kegiatan sosial
ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di dalam ruang tersebut.
Batas ruang tersebut dapat berupa batas administrasi
pemerintahan atau batas konsesi pengelolaan sumber daya oleh
suatu usaha dan/atau kegiatan (misal, batas HPH, batas kuasa
pertambangan).
Dengan memperhatikan batas-batas tersebut di atas dan
mempertimbangkan kendala-kendala teknis yang dihadapi (dana,
waktu, dan tenaga), maka akan diperoleh ruang lingkup wilayah
studi yang dituangkan dalam peta dengan skala yang memadai.
5) Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL
Yakni ruang yang merupakan kesatuan dari keempat wilayah di
atas, namun penentuannya disesuaikan dengan kemampuan
pelaksana yang biasanya memiliki keterbatasan sumber data,
seperti waktu, dana, tenaga, tehnik, dan metode telaahan.
Dengan demikian, ruang lingkup wilayah studi memang bertitik
tolak pada ruang bagi rencana usaha dan/atau kegaitan,
kemudian diperluas ke ruang ekosistem, ruang sosial dan ruang
administratif yang lebih luas.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN

BAB I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan mencakup:


1.1. Latar belakang
Uraikan secara singkat latar belakang dilaksanakannya studi ANDAL
ditinjau dari:
a. Tujuan dan kegunaan proyek;
b. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan rencana
kegiatan, rona lingkungan yang terkena dampak dan isu–isu pokok;
c. Kebijaksanaan Regional, Lokal dan Perusahaan terhadap pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup.
1.2. Tujuan dan kegunaan studi
Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL adalah:
a. Mengidentifikasikan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilakukan terutama yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup;
b. Mengidentifikasikan rona lingkungan hidup terutama yang akan
terkena dampak besar dan penting;

9
c. Memprakirakan dampak dan mengevaluasikan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup.
Kegunaan studi ANDAL adalah untuk:
a. Membantu pengambilan keputusan dalam pemilihan alternatif yang
layak dari segi lingkungan hidup, teknis dan ekonomis;
b. Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan hidup dalam tahap
perencanaan rinci dari suatu usaha dan/atau kegiatan;
c. Sebagai pedoman untuk kegiatan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.

BAB II. RUANG LINGKUP STUDI

2.1. Lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah


a. Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan
penyebab dampak sesuai dengan jenis-jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan yang akan dibangun;
b. Komponen usaha dan/atau kegiatan yang ditelaah yang berkaitan
dengan dampak yang akan ditimbulkannya. Uraian ini dibuat sesuai
dengan tahapan kegiatan;
c. Uraikan secara singkat mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di
sekitar rencana lokasi beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya
terhadap lingkungan hidup.
Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang dapat menggambarkan
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan beserta kegiatan-kegiatan lain
yang berada di sekitarnya.

2.2. Lingkup rona lingkungan hidup awal


a. Uraikan dengan singkat mengenai rona lingkungan hidup yang
terkena dampak. Data rona lingkungan hidup semaksimal mungkin
menggunakan data aktual di lapangan;
b. Komponen lingkungan hidup yang ditelaah karena terkena dampak.

2.3. Isu – isu pokok


Uraikan secara singkat isu-isu pokok yang dapat ditimbulkan akibat
rencana usaha dan/atau kegiatan sesuai hasil pelingkupan. Tata cara
pelingkupan agar mengacu pada serangkaian proses pelingkupan
sebagaimana dimaksud di dalam penjelasan umum.

2.4. Lingkup wilayah studi


Wilayah studi ini merupakan resultante dari batas wilayah proyek,
ekologis, sosial dan administratif setelah mempertimbangkan kendala
teknis yang dihadapi .
Bab ini agar dilengkapi dengan peta batas wilayah studi yang dapat
menggambarkan batas wilayah proyek, ekologis, sosial dan
administratif.

10
BAB III. METODE STUDI

3.1. Metoda pengumpulan dan analisis data


Pada bagian ini jelaskan metode pengumpulan dan analisis data baik
primer dan/atau sekunder yang sahih dan dapat dipercaya (reliabel)
untuk digunakan:
a. Menelaah, mengamati, dan mengukur komponen rencana usaha
dan/atau kegiatan yang diperkirakan mendapat dampak besar dan
penting dari lingkungan hidup sekitarnya;
b. Menelaah, mengamati dan mengukur komponen lingkungan hidup
yang diperkirakan terkena dampak besar dan penting.

3.2. Metode prakiraan dampak besar dan penting


Pada bagian ini jelaskankan metode yang digunakan dalam studi ANDAL
untuk memprakirakan besaran dampak dan penentuan tingkat
kepentingan dampak. Metoda formal dan non formal digunakan dalam
memprakirakan besaran dampak. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan
yang akan dilaksanakan bersifat terpadu atau berada dalam suatu
kawasan, maka pengukuran terhadap besaran dampak kumulatif akibat
berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut mutlak diperhitungkan.
Sementara untuk memprakirakan tingkat kepentingan dampak agar
digunakan Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Dalam hal ini, uraikan secara jelas untuk setiap komponen lingkungan
hidup yang diperkirakan akan terkena dampak besar dan penting.

3.3. Metode evaluasi dampak besar dan penting


Pada bagian ini diuraikan metode yang lazim digunakan dalam studi
ANDAL untuk mengevaluasi dampak besar dan penting yang ditimbulkan
oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup secara
holistik (seperti antara lain: matrik, bagan alir, overlay) untuk
digunakan sebagai :
a. dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari berbagai
alternatif usaha dan/atau kegiatan;
b. identifikasi dan perumusan arah pengelolaan dampak besar dan
penting lingkungan hidup yang ditimbulkan.
Evaluasi dampak besar dan penting secara holistik tersebut di atas harus
mencakup baik dampak yang tergolong besar dan penting maupun tidak
sebagaimana telah dihasilkan dalam bab prakiraan dampak sebelumnya.

BAB IV. PELAKSANAAN STUDI

4.1. Pemrakarsa
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap
instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa rencana usaha dan/atau
kegiatan, nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan
rencana usaha dan/atau kegiatan.

4.2. Penyusun studi AMDAL

11
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap
lembaga/perusahaan, nama dan alamat lengkap penanggung jawab
penyusun AMDAL, nama dan keahlian dari masing - masing anggota
penyusun AMDAL. Perlu diketahui bahwa Ketua tim penyusun studi
AMDAL harus bersertifikat AMDAL B sedangkan anggota tim penyusun
lainnya harus mempunyai keahlian yang sesuai dengan lingkup studi
AMDAL yang akan dilakukan.

4.3. Biaya studi


Pada bagian ini diuraikan prosentase jenis-jenis biaya yang dibutuhkan
dalam rangka penyusunan studi ANDAL.

4.4. Waktu studi


Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL
sejak tahap persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi yang
bertanggung jawab.

BAB V. DAFTAR PUSTAKA

Pada bagian ini uraikan pustaka atau literatur yang digunakan untuk
keperluan penyusunan dokumen KA-ANDAL.

BAB VI. LAMPIRAN

Pada bagian ini dilampirkan berbagai keputusan perizinan yang berkaitan


dengan proyek dimaksud, butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi
dengan pihak-pihak yang terlibat (masyarakat yang berkepentingan).
Disamping itu harus dilampirkan pula biodata personil penyusun ANDAL.

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya

Sekretaris Utama BAPEDAL,

Sudarsono, S.H.

12
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Pengertian
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) adalah telaahan secara
cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan (PP Nomor 27 Tahun 1999 Pasal 1).

2. Fungsi pedoman penyusunan dokumen ANDAL


Pedoman penyusunan ANDAL digunakan sebagai dasar penyusunan
ANDAL baik ANDAL kegiatan tunggal, ANDAL kegiatan terpadu/
multisektor maupun ANDAL kegiatan dalam kawasan.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN ANALISIS DAMPAK LING-


KUNGAN HIDUP (ANDAL)

RINGKASAN

Ringkasan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) perlu disusun sedemikian


rupa, sehingga dapat :
1. Langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi
pengambilan keputusan, perencana, dan pengelola rencana usaha dan/atau
kegiatan;
2. Mudah dipahami isinya oleh semua pihak, termasuk masyarakat, dan mudah
disarikan isinya bagi pemuatan dalam media massa, bila dipandang perlu;
3. Memuat uraikan singkat tentang :
a. Rencana usaha dan/atau kegiatan dengan berbagai kemungkinan dampak
besar dan pentingnya. Baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi
maupun pasca operasi;
b. Keterangan mengenai kemungkinan adanya kesenjangan data informasi
serta berbagai kekurangan dan keterbatasan, yang dihadapi selama
menyusun ANDAL;
c. Hal lain yang dipandang sangat perlu untuk melengkapi ringkasan.

BAB I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan mencakup :

13
1.1. Latar belakang

Uraikan secara singkat latar belakang dilaksanakannya studi ANDAL ditinjau dari:
a. Tujuan dan kegunaan proyek;
b. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan rencana
usaha dan/atau kegiatan dan lingkungan;
c. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup;
d. Kaitan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan dampak besar dan penting
yang ditimbulkan (iu-isu pokok hasil pelingkupan yang tertuang dalam
dokumen KA-ANDAL).

1.2. Tujuan studi

Tujuan dilaksanakannya studi ANDAL adalah :


a. Mengidentifikasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan,
terutama yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup;
b. Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang akan terkena
dampak besar dan penting;
c. Memprakirakan dan mengevaluasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
d. Merumuskan RKL dan RPL.

Kegunaan dilaksanakannya studi ANDAL adalah :


a. Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah;
b. Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan
hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
d. Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
e. Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan.

BAB II. RUANG LINGKUP STUDI

Bab ruang lingkup studi mencakup tentang kajian dampak besar dan penting
yang ditelaah serta wilayah studi.
Masing-masing butir yang diuraikan pada bab ruang lingkup studi ini disusun
dengan mengacu pada hal-hal yang tertuang dalam dokumen Kerangka Acuan.

2.1. Dampak besar dan penting yang ditelaah

a. Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan


penyebab dampak, terutama komponen usaha dan/atau kegiatan yang
berkaitan langsung dengan dampak yang ditimbulkannya;

14
b. Uraikan dengan singkat kondisi rona lingkungan hidup yang terkena
dampak, terutama komponen lingkungan hidup yang langsung terkena
dampak;
c. Uraikan secara singkat jenis-jenis kegiatan yang ada di sekitar rencana
lokasi beserta dampak - dampak yang ditimbulkannya terhadap
lingkungan hidup;
d. Aspek-aspek yang diteliti sebagaimana dimaksud pada butir 2.1. a, b, c
dimaksud mengacu pada hasil pelingkupan yang tertuang dalam
dokumen Kerangka Acuan untuk ANDAL.

Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang dapat menggambarkan lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan beserta kegiatan - kegiatan yang berada di
sekitarnya.

2.2. Wilayah Studi

Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah
studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil
pengamatan di lapangan.
Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan pada peta dengan skala yang
memadai.

BAB III. METODA STUDI

3.1. Metoda pengumpulan dan analisis data

a. Mengingat studi ANDAL merupakan telaahan mendalam atas dampak


besar dan penting usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup,
maka jenis data yang dikumpulkan baik data primer maupun sekunder
harus bersifat sahih dan dapat dipercaya (reliable) yang diperoleh
melalui metoda atau alat yang bersifat sahih;
b. Uraikan secara jelas tentang metoda pengumpulan data, metoda analisis
atau alat yang digunakan, serta lokasi pengumpulan data berbagai
komponen lingkungan hidup yang diteliti sebagaimana dimaksud pada
Bab II butir 2.1.b. Lokasi pengumpulan data agar dicantumkan dalam
peta dengan skala memadai;
c. Pengumpulan data dan informasi untuk demografi, sosial ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesehatan masyarakat
menggunakan kombinasi dari tiga atau lebih metoda agar diperoleh data
yang reliabilitasnya tinggi.

3.2. Metoda prakiraan dampak besar dan penting

Uraikan secara jelas tentang metoda yang digunakan untuk memprakirakan besar
dampak usaha dan/atau kegiatan dan penentuan sifat penting dampak terhadap
komponen lingkungan hidup yang dimaksud pada butir 2.1.b. Penggunaan
metoda formal dan non formal dalam memprakirakan besaran dampak dan
Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak Besar dan
Penting untuk memprakirakan tingkat kepentingan dampak.

15
3.3. Metode evaluasi dampak besar dan penting

Uraikan singkat tentang metoda evaluasi dampak yang lazim digunakan dalam
studi untuk menelaah dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan
terhadap lingkungan hidup secara holistik (seperti antara lain: matrik, bagan alir,
overlay), yang menjadi dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari
berbagai alternatif usaha dan/atau kegiatan.

BAB IV. RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN

4.1. Identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL

Isi uraian mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL terdiri dari :

a. Pemrakarsa :
1) Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa
rencana usaha dan/atau kegiatan;
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.

b. Penyusun ANDAL :
1) Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan kualifikasi
dan rujukannya;
2) Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun ANDAL.

4.2. Tujuan rencana usaha dan/atau kegiatan

Pernyataan rencana maksud dan tujuan dari rencana usaha dan/atau kegiatan
perlu dikemukakan secara sistematis dan terarah.

4.3. Kegunaan dan keperluan rencana usaha dan/atau kegiatan

Uraian yang memuat tentang kegunaan dan keperluan mengapa rencana usaha
dan/atau kegiatan harus dilaksanakan, baik ditinjau dari segi kepentingan
pemrakarsa maupun dari segi menunjang program pembangunan.
a. Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana
usaha dan/atau kegiatan harus dinyatakan dalam peta berskala memadai, dan
dapat memperlihatkan hubungan tata kaitan dan tata letak antara lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan dengan usaha dan/atau kegiatan lainnya,
seperti pemukiman (lingkungan hidup binaan manusia umumnya), dan
lingkungan hidup alami yang terdapat di sekitar rencana usaha dan/atau
kegiatan. Hutan lindung, cagar alam, suaka alam, suaka marga-satwa,
sumber mata air, sungai, dan kawasan lindung lainnya yang terletak dekat
lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan harus diberikan tanda istimewa dalam
peta;
b. Hubungan antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan jarak dan
tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati dan, sumber
daya alam non hayati serta sumber daya manusia yang diperlukan oleh
rencana usaha dan/atau kegiatan setelah usaha dan/atau kegiatan ini

16
beroperasi. Hubungan ini perlu dikemukakan dalam peta dengan skala
memadai;
c. Alternatif usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil studi kelayakan (misal:
alternatif lokasi, tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau teknologi
proses produksi). Bila berdasarkan studi kelayakan terdapat beberapa
alternatif lokasi usaha dan/atau kegiatan; maka berikan uraian tentang
masing-masing alternatif lokasi tersebut sebagaimana dimaksud pada butir a.
dan b.;
d. Tata letak usaha dan/atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang berskala
memadai, yang memuat informasi tentang letak bangunan dan struktur
lainnya yang akan dibangun dalam lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan,
serta hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan bangunan yang
sudah ada di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan (jalan raya, jalan
kereta api, dermaga dan sebagainya). Bila terdapat beberapa alternatif tata
letak bangunan dan struktur lainnya, maka alternatif rancangan tersebut
diutarakan pula dalam peta yang berskala memadai;
e. Tahap pelaksanaan usaha dan/atau kegiatan tahap pra-konstruksi, konstruksi,
jangka waktu masa operasi, hingga rencana waktu pasca operasi.

1) Tahap pra-konstruksi/persiapan

Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadwal usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pra konstruksi. Uraikan secara mendalam difokuskan pada
kegiatan selama masa persiapan (pra-konstruksi) yang menjadi penyebab
timbulnya dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.

2) Tahap konstruksi

(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap konstruksi. Uraian secara mendalam difokuskan pada
usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup.
Misalnya:
(1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah, tempat asal tenaga
kerja, dan kualifikasi pendidikan;
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan, listrik, air) dari
rencana usaha dan/atau kegiatan;
(3) Kegiatan pengangkutan dan penimbunan bahan atau material yang dapat
menimbulkan dampak lingkungan hidup;
(4) Jenis-jenis dan tipe peralatan yang digunakan.
(b) Uraikan tentang usaha dan/atau kegiatan pembangunan unit atau sarana
pengendalian dampak (misal: unit pengolahan limbah), bila unit atau sarana
dimaksud direncanakan akan dibangun oleh pemrakarsa. Disamping itu, bila
ada, jelaskan pula upaya-upaya untuk mengatasi berbagai masalah
lingkungan hidup yang timbul selama masa konstruksi;
(c) Uraikan tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas material/bahan,
gudang, jalan-jalan darurat dan lain-lain setelah usaha dan/atau kegiatan
konstruksi berakhir.

17
3) Tahap Operasi

(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap operasi. Uraian secara mendalam difokuskan pada usaha
atau kegiatan yang menjadi penyebab timbulnya dampak penting terhadap
lingkungan hidup. Misalnya:
(1) Desain dan spesifikasi teknologi yang digunakan;
(2) Jumlah dan jenis bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam
proses produksi yang mungkin menimbulkan dampak besar dan penting
lingkungan hidup serta cara pengangkutan dan penyimpanannya (misal:
pestisida serta bahan berbahaya dan beracun lainnya). Perlu juga
diuraikan neraca air (waterbalance) bila usaha dan/atau kegiatan yang
akan dibangun menggunakan air yang banyak, demikian pula neraca
bahan (material balance), sehingga dapat diketahui input-output dan
jumlah serta kualitas limbah;
(3) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga kerja yang akan diserap
langsung oleh rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap operasi;
(4) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya atau masalah selama
operasi baik yang bersifat fisik maupun sosial;
(5) Karakteristik limbah yang dihasilkan baik limbah padat, cair maupun gas
dan rencana-rencana pengelolaannya. Dalam kaitan ini perlu diuraikan
pula sifat-sifat limbah B3 maupun non B3.
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan selama
masa operasi. Termasuk dalam hal ini rencana pengoperasian unit atau
sarana pengendalian dampak yang telah dibangun pada masa konstruksi.

4) Tahap Pasca Operasi

Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadwal usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pasca operasi. Misalnya:
(a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan bahan/material,
bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan sebagainya;
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan setelah
masa operasi berakhir;
(c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk
tujuan lain bila seluruh rencana usaha dan/atau kegiatan berakhir;
(d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa usaha dan/atau
kegiatan berakhir.

4.4. Keterkaitan proyek dengan kegiatan lain disekitarnya

Uraikan mengenai kegiatan-kegiatan yang berada di sekitar rencana lokasi


beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya, baik dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan terhadap kegiatan-kegiatan yang sudah ada atau sebaliknya
maupun dampak kumulatif dari rencana usaha dan/atau kegiatan dan kegiatan
yang sudah ada terhadap lingkungan hidup.

BAB V. RONA LINGKUNGAN HIDUP

Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rona lingkungan hidup selengkap


mungkin mengenai:

18
1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan,
yang mengungkapkan secara mendalam komponen-komponen lingkungan
hidup yang berpotensi terkena dampak penting usaha dan/atau kegiatan.
Selain itu komponen lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan
ekonomis perlu mendapat perhatian;
2) Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber daya alam yang ada di
wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik yang sudah atau yang
akan dimanfaatkan maupun yang masih dalam bentuk potensi. Penyajian
kondisi sumber daya alam ini perlu dikemukakan dalam peta dan atau label
dengan skala memadai dan bila perlu harus dilengkapi dengan diagram,
gambar, grafik atau foto;
3) Data dan informasi rona lingkungan hidup
Uraikan secara singkat rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha
dan/atau kegiatan. Rona lingkungan hidup yang diuraikan pada butir ini agar
dibatasi pada komponen-komponen lingkungan hidup yang berkaitan dengan,
atau berpotensi terkena dampak besar dan penting.
Berikut ini adalah beberapa contoh komponen lingkungan hidup yang dapat
dipilih untuk ditelaah sesuai hasil pelingkupan dalam KA-ANDAL. Penyusun dapat
menelaah komponen lingkungan hidup yang lain diluar dari daftar contoh
komponen ini bila dianggap penting berdasarkan hasil penilaian lapangan dalam
studi ANDAL ini.

a. Fisik Kimia

1) Iklim, kualitas udara dan kebisingan


(a) Komponen iklim yang perlu diketahui antara lain seperti tipe iklim, suhu
(maksimum, minimum, rata-rata), kelembaban curah hujan dan jumlah
hari hujan, keadaan angin (arah dan kecepatan), intensitas radiasi
matahari;
(b) Data periodik bencana (siklus tahunan, lima tahunan, dan sebagainya)
seperti sering terjadi angin ribut, banjir tahunan, banjir bandang di
wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan;
(c) Data yang tersedia dari stasiun meteorologi dan geofisika yang mewakili
wilayah studi tersebut;
(d) Pola iklim mikro, pola penyebaran bahan pencemar udara secara umum
maupun pada kondisi cuaca terburuk;
(e) Kualitas udara baik pada sumber maupun daerah sekitar wilayah studi
rencana usaha dan/atau kegiatan;
(f) Sumber kebisingan dan getaran, tingkat kebisingan serta periode
kejadiannya.
2) Fisiografi
(a) Topografi bentuk lahan (morphologi), struktur geologi dan jenis tanah;
(b) Indikator lingkungan hidup yang berhubungan dengan stabilitas geologis
dan stabilitas tanah, terutama ditekankan bila terdapat gejala ketidak
stabilan, dan harus diuraikan dengan jelas dan seksama (misal: longsor
tanah, gempa, sesar, kegiatan-kegiatan longsor tanah, gempa, sesar,
kegiatan-kegiatan vulkanis, dan sebagainya);
(c) Keunikan, keistimewaan, dan kerawanan bentuk lahan dan batuan secara
geologis.

19
3) Hidrologi
(a) Karakteristik fisik sungai, danau, rawa (rawa pasang surut, rawa air
tawar);
(b) Rata-rata debit dekade, bulanan, tahunan;
(c) Kadar sedimentasi (lumpur), tingkat erosi;
(d) Kondisi fisik daerah resapan air permukaan dan air tanah;
(e) Fluktuasi , potensi dan kualitas air tanah (dangkal dan dalam);
(f) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk air minum
mandi, cuci;
(g) Tingkat penyediaan dan kebutuhan/pemanfaatan air untuk keperluan
lainnya seperti pertanian, industri, dan lain-lain;
(h) Kualitas fisik, kimia dan mikrobiologi air mengacu pada baku mutu dan
parameter kualitas air yang terkait dengan limbah yang akan keluar.
4) Hidrooseanografi
Pola hidrodinamika kelautan seperti pasang surut, arus dan
gelombang/ombak, morfologi pantai, abrasi dan akresi serta pola sedimentasi
yang terjadi secara alami di daerah penelitian.
5) Ruang, lahan, dan tanah
(a) Inventarisasi tata guna lahan dan sumber daya lainnya pada saat rencana
usaha dan/atau kegiatan yang diajukan dan kemungkinan potensi
pengembangannya di masa datang;
(b) Rencana pengembangan wilayah, rencana tata ruang (kawasan budidaya
seperti pertanian, perkebunan, hutan, perikanan dan lain-lain serta
kawasan non budidaya seperti hutan lindung , suaka margasatwa, taman
nasional dan lain-lain), rencana tata guna tanah, dan sumber daya alam
lainnya yang secara resmi atau belum resmi disusun oleh Pemerintah
setempat baik di tingkat kabupaten, propinsi atau nasional di wilayah studi
rencana usaha dan/atau kegiatan;
(c) Kemungkinan adanya konflik atau pembatasan yang timbul antara
rencana tata guna tanah dan sumber daya alam lainnya yang sekarang
berlaku dengan adanya pemilikan/penentuan lokasi bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(d) Inventarisasi estetika dan keindahan bentang alam serta daerah rekreasi
yang ada di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan.

b. Biologi

1) Flora
(a) Peta zona biogeoklimatik dari vegetasi alami yang meliputi tipe vegetasi,
sifat-sifat dan kerawanannya yang berada dalam wilayah studi rencana
usaha dan/atau kegiatan;
(b) Uraikan tentang jenis-jenis vegetasi dan ekosistem yang dilindungi
undang-undang yang berada dalam wilayah studi rencana usaha dan/atau
kegiatan;
(c) Uraikan tentang keunikan dari vegetasi dan ekosistemnya yang berada
pada wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan.

20
2) Fauna
(a) Taksiran kelimpahan dan keragaman fauna, habitat, penyebaran, pola
migrasi, populasi hewan budidaya (ternak) serta satwa dan habitatnya
yang dilindungi undang-undang dalam wilayah studi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(b) Taksiran penyebaran dan kepadatan populasi hewan invertebrata yang
dianggap penting karena memiliki peranan dan potensi sebagai bahan
makanan, atau sumber hama dan penyakit;
(c) Perikehidupan hewan penting di atas, termasuk cara perkembangbiakan,
siklus dan daur hidupnya, cara pemijahan, cara bertelur dan beranak, cara
memelihara anaknya, perilaku dalam daerah teritorinya.

c. Sosial

Komponen sosial yang penting untuk ditelaah diantaranya:


1) Demografi
(a) Struktur penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, mata
pencaharian, pendidikan, dan agama;
(b) Tingkat kepadatan penduduk;
(c) Pertumbuhan penduduk (tingkat kelahiran, tingkat kematian bayi dan pola
migrasi sirkuler, komuter, permanen);
(d) Tenaga kerja (tingkat partisipasi angkatan kerja, tingkat pengangguran).

2) Ekonomi
(a) Ekonomi rumah tangga (tingkat pendapatan, pola nafkah ganda);
(b) Ekonomi sumber daya alam (pola pemilikan dan penguasaan sumber daya
alam, pola pemanfaatan sumber daya alam, pola penggunaan lahan, nilai
tanah dan sumber daya alam lainnya, sumber daya alam milik umum);
(c) Perekonomian lokal dan regional (kesempatan kerja dan berusaha, nilai
tambah karena proses manufaktur, jenis dan jumlah aktifitas ekonomi
non-formal, distribusi pendapatan, efek ganda ekonomi, produk domestik
regional bruto, pendapatan asli daerah, pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi, fasilitas umum dan fasilitas sosial, aksesibilitas wilayah).

3) Budaya
(a) Kebudayaan (adat-istiadat, nilai dan norma budaya);
(b) Proses sosial (proses asosiatif/kerjasama, proses disosiatif/konflik sosial,
akulturasi, asimilasi dan integrasi, kohesi sosial);
(c) Pranata sosial/kelembagaan masyarakat dibidang ekonomi (misal hak
ulayat), pendidikan, agama, sosial, keluarga;
(d) Warisan budaya (situs purbakala, cagar budaya);
(e) Pelapisan sosial berdasarkan pendidikan, ekonomi, pekerjaan dan
kekuasaan;
(f) Kekuasaan dan kewenangan ( kepemimpinan formal dan informal,
kewenangan formal dan informal, mekanisme pengambilan keputusan di
kalangan masyarakat, kelompok individu yang dominan, pergeseran nilai
kepemimpinan);

21
(g) Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana usaha atau kegiatan;
(h) Adaptasi ekologis.

4) Pertahanan/Keamanan

Konflik kepentingan pertahanan dan keamanan dengan rencana pembangunan


usaha dan/atau kegiatan.

d. Kesehatan Masyarakat

1) Parameter lingkungan yang diperkirakan terkena dampak rencana


pembangunan dan berpengaruh terhadap kesehatan;
2) Proses dan potensi terjadinya pemajanan;
3) Potensi besarnya dampak timbulnya penyakit (angka kesakitan & angka
kematian);
4) Karakteristik spesifik penduduk yang beresiko;
5) Sumber daya kesehatan;
6) Kondisi sanitasi lingkungan;
7) Status gizi masyarakat;
8) Kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses penyebaran penyakit.

BAB VI. PRAKIRAAN DAMPAK BESAR DAN PENTING

Dalam bab ini hendaknya dimuat :


1) Prakiraan secara cermat dampak usaha dan/atau kegiatan pada saat pra
konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi terhadap lingkungan hidup.
Telaahan ini dilakukan dengan cara menganalisis perbedaan antara kondisi
kualitas lingkungan hidup yang diperkirakan dengan adanya usaha dan/atau
kegiatan, dan kondisi kualitas lingkungan hidup yang diprakirakan tanpa
adanya usaha dan/atau kegiatan dengan menggunakan metode prakiraan
dampak;
2) Penentuan arti penting perubahan kualitas lingkungan hidup yang
diprakirakan bagi masyarakat di wilayah studi rencana usaha dan/atau
kegiatan, dan pemerintah; dengan mengacu pada Pedoman penentuan
dampak besar dan penting;
3) Dalam melakukan telaahan butir 1) dan 2) tersebut perlu diperhatikan
dampak yang bersifat langsung dan atau tidak langsung. Dampak langsung
adalah dampak yang ditimbulkan secara langsung oleh adanya usaha
dan/atau kegiatan. Sedang dampak tidak langsung adalah dampak yang
timbul sebagai akibat berubahnya suatu komponen lingkungan hidup
dan/atau usaha atau kegaitan primer oleh adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan. Dalam kaitan ini maka perlu diperhatikan mekanisme aliran dampak
pada berbagai komponen lingkungan hidup sebagai berikut:
(a) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
komponen sosial;

22
(b) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
komponen fisik-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan
berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial;
(c) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
komponen biologi, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan
pada komponen sosial;
(d) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada
aspek fisik-kimia dan selanjutnya membangkitkan dampak pada
komponen sosial;
(e) Dampak penting berlangsung saling berantai diantara komponen sosial itu
sendiri;
(f) Dampak penting pada butir a,b,c dan d yang telah diutarakan selanjutnya
menimbulkan dampak balik pada rencana usaha dan/atau kegiatan.
4) Mengingat usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif usaha atau kegiatan (lokasi, atau teknologi yang digunakan),
sehubungan dengan AMDAL merupakan komponen dari studi kelayakan, maka
telaahan sebagaimana dimaksud pada butir VI.1 dan VI.2 dilakukan untuk
masing-masing alternatif;
5) Dalam melakukan analisis prakiraan dampak penting agar digunakan metoda-
metoda formal secara matematis. Penggunaan metoda non formal hanya
dilakukan bila mana dalam melakukan analisis tersebut tidak tersedia
formula-formula matematis atau hanya dapat didekati dengan metoda non
formal.

BAB VII. EVALUASI DAMPAK BESAR DAN PENTING

Dalam Bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak besar
dan penting dari rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil evaluasi ini selanjutnya
menjadi masukan bagi instansi yang bertanggungjawab untuk memutuskan
kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan, sebagaimana
dimaksud dalam PP. Nomor 27 Tahun 1999.

1) Telaahan terhadap dampak besar dan penting


(a) Telaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan hidup yang
diprakirakan mengalami perubahan mendasar sebagaimana dikaji pada
Bab VI, dilakukan dengan menggunakan metode-metode evaluasi yang
lazim dan sesuai dengan kaidah metoda evaluasi dampak penting dalam
AMDAL sesuai keperluannya;
(b) Yang dimaksud dengan evaluasi dampak yang bersifat holistik adalah
telaahan secara totalitas terhadap beragam dampak besar dan penting
lingkungan hidup yang dimaksud pada Bab VI, dengan sumber usaha
dan/atau kegiatan penyebab dampak. Beragam komponen lingkungan
hidup yang terkena dampak penting tersebut (baik positif maupun negatif)
ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling pengaruh-
mempengaruhi, sehingga diketahui sejauh mana perimbangan dampak
besar dan penting yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif;
(c) Dampak-dampak besar dan penting yang dihasilkan dari evaluasi disajikan
sebagai dampak-dampak besar dan penting yang harus dikelola.

23
2) Telaahan sebagai dasar pengelolaan
(a) Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha atau kegiatan dan
rona lingkungan hidup dengan dampak positif dan negatif yang mungkin
timbul. Misalnya, mungkin saja dampak besar dan penting timbul dari
rencana usaha dan/atau kegiatan terhadap rona lingkungan hidup, karena
rencana usaha atau kegiatan itu dilaksanakan di suatu lokasi yang terlalu
padat manusia, atau pada tingkat pendapatan dan pendidikan yang
terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak sesuai dan sebagainya;
(b) Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas, dalam arti
apakah dampak penting baik positif atau negatif akan berlangsung terus
selama rencana usaha dan/atau kegiatan itu berlangsung nanti. Atau
antara dampak-dampak satu dengan dampak yang lainnya akan terdapat
hubungan timbal balik yang antagonistis dan sinergistis. Apabila
dimungkinkan, uraikan kejelasan tentang waktu ambang batas (misal :
baku mutu lingkungan) dampak besar dan penting mulai timbul. Apakah
ambang batas tersebut akan mulai timbul setelah rencana usaha dan/atau
kegiatan dilaksanakan atau akan terus berlangsung sejak masa pra-
konstruksi dan akan berakhir bersama selesainya rencana usaha dan/atau
kegiatan. Atau mungkin akan terus berlangsung, umpamanya lebih dari
satu generasi;
(c) Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan kelompok
yang akan terkena dampak positif. Identifikasi kesenjangan antara
perubahan yang diinginkan dan perubahan yang mungkin terjadi akibat
usaha dan/atau kegiatan pembangunan;
(d) Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena dampak penting
ini, apakah hanya akan dirasakan dampaknya secara lokal, regional,
nasional, atau bahkan internasional, melewati batas negara Republik
Indonesia;
(e) Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha dan/atau kegiatan
berada di dalam daerah bencana alam atau di dekat sumber bencana
alam.

BAB VIII. DAFTAR PUSTAKA

Dalam hal ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan-pernyataan


penting yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang mutakhir serta
disajikan dalam suatu daftar pustaka dengan penulisan yang baku.

BAB IX. LAMPIRAN

Dalam bab ini hendaknya disebut bahan-bahan yang dilampirkan :


1) Surat izin/rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai dengan saat
ANDAL akan disusun;
2) Surat-surat tanda pengenal, keputusan, kualifikasi, rujukan bagi para
pelaksana dan peneliti serta penyusun analisis dampak lingkungan hidup;
3) Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan hidup awal, usulan
rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang

24
lebih mendalam tentang hubungan timbal balik serta kemungkinan dampak
lingkungan hidup hidup penting yang akan ditimbulkannya;
4) Diagram, peta, gambar, grafik, serta tabel lain yang belum tercantum dalam
dokumen;
5) Hal lain yang dianggap perlu atau relevan yang dimuat dalam lampiran ini.

Bahan-bahan tersebut diatas tidak perlu lagi dilampirkan dalam dokumen ANDAL
bilamana telah dicantumkan dalam dokumen KA.

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya

Sekretaris Utama BAPEDAL,

Sudarsono, S.H.

25
LAMPIRAN III : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Lingkup rencana pengelolaan lingkungan hidup

Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) merupakan dokumen


yang memuat upaya-upaya mencegah, mengendalikan dan menanggulangi
dampak besar dan penting lingkungan hidup yang bersifat negatif dan
meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan. Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan
lingkungan hidup mencakup empat kelompok aktivitas :
(a) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah
dampak negatif lingkungan hidup melalui pemilihan atas alternatif, tata letak
(tata ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek;
(b) Pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk menanggulangi,
meminimisasi, atau mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di saat
usaha dan/atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha dan/atau
kegiatan berakhir (misalnya: rehabilitasi lokasi proyek);
(c) Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat meningkatkan dampak positif
sehingga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik
kepada pemrakrsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang turut
menikmati dampak positif tersebut;
(d) Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat memberikan pertimbangan
ekonomi lingkungan sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas
sumber daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial
ekonomi dan atau ekologis) sebagai dasar untuk memberikan kompensasi
atas sumber daya tidak dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial
ekonomi dan atau ekologis) sebagai akibat usaha dan/atau kegiatan.

2. Kedalaman rencana pengelolaan lingkungan hidup

Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan, maka


dokumen RKL hanya akan bersifat memberikan pokok-pokok arahan, prinsip -
prinsip , kriteria atau persyaratan untuk pencegahan/penanggulangan/
pengendalian dampak. Bila dipandang perlu dapat dilengkapi dengan acuan
literatur tentang "basic design" untuk pencegahan/penanggulangan/
pengendalian dampak. Hal ini tidak lain disebabkan karena :
(a) Pada taraf studi kelayakan informasi tentang rencana usaha dan/atau
kegiatan (proyek) relatif masih umum, belum memiliki spesifikasi teknis yang
rinci, dan masih memiliki beberapa alternatif. Hal ini tidak lain karena pada
tahap ini memang dimaksudkan untuk mengkaji sejauh mana proyek

26
dipandang patut atau layak untuk dilaksanakan ditinjau dari segi teknis dan
ekonomi; sebelum investasi, tenaga, dan waktu terlanjur dicurahkan lebih
banyak. Keterbatasan data dan informasi tentang rencana usaha atau
kegiatan ini sudah barang tentu berpengaruh pada bentuk kegiatan
pengelolaan yang dapat dirumuskan dalam dokumen RKL;
(b) Pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan pengelolaan
lingkungan hidup yang tertuang dalam dokumen RKL selanjutnya akan
diintegrasikan atau menjadi dasar pertimbangan bagi konsultan rekayasa
dalam menyusun rancangan rinci rekayasa;

Disamping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan hidup yang
tertuang dalam dokumen RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL, dalam
arti komponen lingkungan hidup yang dikelola adalah yang hanya mengalami
perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen ANDAL.

3. Rencana pengelolaan lingkungan hidup

Rencana pengelolaan lingkungan hidup dapat berupa pencegahan dan


penanggulangan dampak negatif, serta peningkatan dampak positif yang bersifat
strategis. Rencana pengelolaan lingkungan hidup harus diuraikan secara jelas,
sistimatis, serta mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut :
(a) Rencana pengelolaan lingkungan hidup memuat pokok-pokok arahan, prinsip-
prinsip, kriteria pedoman, atau persyaratan untuk mencegah, menanggulangi,
mengendalikan atau meningkatkan dampak besar dan penting baik negatif
maupun positif yang bersifat strategis; dan bila dipandang perlu, lengkapi
pula dengan acuan literatur tentang rancang bangun penanggulangan dampak
dimaksud;
(b) Rencana pengelolaan lingkungan hidup dimaksud perlu dirumuskan
sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
pembuatan rancangan rinci rekayasa, dan dasar pelaksanaan kegiatan
pengelolaan lingkungan hidup;
(c) Rencana pengelolaan lingkungan hidup mencakup pula upaya peningkatan
pengetahuan dan kemampuan karyawan pemrakarsa usaha dan/atau
kegiatan dalam pengelolaan lingkungan hidup hidup melalui kursus-kursus
yang diperlukan pemrakarsa berikut dengan jumlah serta kualifikasi yang
akan dilatih;
(d) Rencana pengelolaan lingkungan hidup juga mencakup pembentukan unit
organisasi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk
melaksanakan RKL. Aspek- aspek yang perlu diutarakan sehubungan /dengan
hal ini antara lain adalah struktur organisasi, lingkup tugas dan wewenang
unit, serta jumlah dan kualifikasi personalnya.

4) Pendekatan pengelolaan lingkungan hidup

Untuk menangani dampak besar dan penting yang sudah diprediksi dari studi
ANDAL, dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan
hidup yang selama ini kita kenal seperti : teknologi, sosial ekonomi, maupun
institusi.
(a) Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk
mengelola dampak besar dan penting lingkungan hidup;
Sebagai misal :

27
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun,
akan ditempuh cara :
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;
(1.2) Melakukan minimisasi limbah dengan mengurangi jumlah/volume
limbah (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) atau
mendaur ulang (recycle);
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu
sehingga tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki kerusakan
sumberdaya alam, akan ditempuh cara, misalnya :
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup tanah
untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan tanah
atas dan penanaman tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai
tambah dari dampak positif yang telah ada, misalnya melalui peningkatan
dan daya guna dari dampak positif tersebut.

(b) Pendekatan sosial ekonomi


Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa
dalam upaya menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan yang
berlandaskan pada interaksi sosial, dan bantuan peran pemerintah. Sebagai
misal:
(1) Melibatkan masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Permintaan bantuan kepada pemerintah untuk turut menanggulangi
dampak penting lingkungan hidup karena keterbatasan kemampuan
pemrakarsa;
(3) Permohonan keringanan bea masuk peralatan pengendalian pencemaran;
(4) Memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat sesuai dengan
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki;
(5) Kompensasi atau ganti rugi atas lahan milik penduduk untuk keperluan
rencana usaha dan/atau kegiatan dengan prinsip saling menguntungkan
kedua belah pihak;
(6) Bantuan fasilitas umum kepada masyarakat sekitar rencana usaha
dan/atau kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pemrakarsa;
(7) Menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar guna
mencegah timbulnya kecemburuan sosial.

c) Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh
pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak besar dan penting
lingkungan hidup. Sebagai misal,
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan hidup oleh
instansi yang berwenang;

28
(3) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.

5) Format dokumen RKL

Mengingat dokumen RKL disusun sekaligus dengan dokumen ANDAL dan RPL,
dan ketiganya dinilai sekaligus maka format dokumen RKL langsung berorientasi
pada keempat pokok rencana pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana pada
butir 1 di atas.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN HIDUP

PERNYATAAN PELAKSANAAN

Pernyataan Pemrakarsa untuk melaksanakan RKL dan RPL yang ditandatangani


diatas kertas bermaterai.

BAB I . PENDAHULUAN

1) Pernyataan tentang maksud dan tujuan pelaksanaan RKL dan RPL secara
umum dan jelas. Pernyataan ini harus dikemukakan secara sistematis, singkat
dan jelas;
2) Pernyataan kebijakan lingkungan. Uraian tentang komitmen pemrakarsa
usaha dan/atau kegiatan untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan yang relevan, serta
komitmen untuk melakukan penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan secara berkelanjutan dalam bentuk mencegah, menanggulangi
dan mengendalikan dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan-
kegiatannya serta melakukan pelatihan bagi karyawannya dibidang
pengelolaan lingkungan hidup;
3) Uraian tentang kegunaan dilaksanakanya Rencana Pengelolaan Lingkungan.

BAB II. PENDEKATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Untuk menangani dampak besar dan penting yang sudah diprediksi dari studi
ANDAL, dapat menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan
hidup yang selama ini kita kenal seperti: teknologi, sosial ekonomi, maupun
institusi.
(a) Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk
mengelola dampak besar dan penting lingkungan hidup.
Sebagai misal :
(1) Dalam rangka penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun,
akan ditempuh cara :
(1.1) Membatasi atau mengisolasi limbah;

29
(1.2) Melakukan minimisasi limbah dengan mengurangi jumlah/volume
limbah (reduce), menggunakan kembali limbah (reuse) atau
mendaur ulang (recycle);
(1.3) Menetralisasi limbah dengan menambahkan zat kimia tertentu
sehingga tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.
(2) Dalam rangka mencegah, mengurangi, atau memperbaiki kerusakan
sumber daya alam, akan ditempuh cara, misalnya :
(2.1) Membangun terasering atau penanaman tanaman penutup tanah
untuk mencegah erosi;
(2.2) Mereklamasi lahan bekas galian tambang dengan pengaturan tanah
atas dan penanaman tanaman penutup tanah.
(3) Dalam rangka meningkatkan dampak positif berupa peningkatan nilai
tambah dari dampak positif yang telah ada, misalnya melalui peningkatan
dan daya guna dari dampak positif tersebut.
(b) Pendekatan sosial ekonomi
Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa
dalam upaya menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan yang
berlandaskan pada interaksi sosial, dan bantuan peran pemerintah. Sebagai
misal,
(1) Melibatkan masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Permintaan bantuan kepada pemerintah untuk turut menanggulangi
dampak penting lingkungan hidup karena keterbatasan kemampuan
pemrakarsa;
(3) Permohonan keringanan bea masuk peralatan pengendalian pencemaran;
(4) Memprioritaskan penyerapan tenaga kerja setempat sesuai dengan
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki;
(5) Kompensasi atau ganti rugi atas lahan milik penduduk untuk keperluan
rencana usaha dan/atau kegiatan dengan prinsip saling menguntungkan
kedua belah pihak;
(6) Bantuan fasilitas umum kepada masyarakat sekitar rencana usaha
dan/atau kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pemrakarsa.
(7) Menjalin interaksi sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar guna
mencegah timbulnya kecemburuan sosial.
(c) Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh
pemrakarsa dalam rangka menanggulangi dampak besar dan penting
lingkungan hidup. Sebagai misal:
(1) Kerjasama dengan instansi-instansi yang berkepentingan dan berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup;
(2) Pengawasan terhadap hasil unjuk kerja pengelolaan lingkungan hidup oleh
instansi yang berwenang;
Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada pihak-
pihak yang berkepentingan

30
BAB III. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan
baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut:

1) Dampak penting dan sumber dampak besar dan penting


(a) Uraikan secara singkat dan jelas komponen atau parameter lingkungan hidup
yang diprakirakan mengalami perubahan mendasar menurut hasil ANDAL.
Perlu ditegaskan bahwa yang diungkapkan hanyalah komponen atau
parameter lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting saja.
Uraikan pula sejauh mana taraf perkembangan rencana usaha dan/atau
kegiatan di saat RKL sedang disusun (studi kelayakan, rancangan rinci
rekayasa, atau taraf konstruksi).
Komponen atau parameter lingkungan hidup yang berubah mendasar
menurut ANDAL perlu ditetapkan beberapa hal yang dipandang strategis
untuk dikelola berdasarkan pertimbangan :
(1) Dampak besar dan penting yang dikelola terutama ditujukan pada
komponen lingkungan hidup yang menurut hasil evaluasi dampak besar
dan penting merupakan dampak besar dan penting akibat adanya rencana
usaha dan/atau kegiatan;
(2) Dampak besar dan penting yang dikelola adalah dampak yang tergolong
banyak menimbulkan dampak besar dan penting turunan (dampak
sekunder, tersier, dan selanjutnya);
(3) Dampak besar dan penting yang dikelola adalah dampak yang bila
dicegah/ditanggulangi akan membawa pengaruh lanjutan pada dampak
besar dan penting turunannya.
Selain itu utarakan pula dampak besar dan penting turunannya yang akan
turut terpengaruh akibat dikelolanya dampak besar dan penting strategis
tersebut.
(b) Sumber Dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak besar dan
penting :
(1) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat langsung dari
rencana usaha dan/atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis
usaha dan/atau kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak
besar dan penting;
(2) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat berubahnya
komponen lingkungan hidup yang lain, maka jelaskan secara singkat
komponen dampak besar dan penting tersebut.

2) Tolok ukur dampak


Jelaskan tolok ukur dampak yang akan digunakan untuk mengukur komponen
lingkungan hidup yang akan terkena dampak akibat rencana usaha dan/atau
kegiatan berdasarkan baku mutu standar (ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan); keputusan para ahli yang dapat diterima secara ilmiah, lazim
digunakan, dan/atau telah ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Tolok
ukur yang diutarakan adalah yang digunakan dalam ANDAL.

3) Tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup

31
Uraikan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak besar dan penting yang
bersifat strategis berikut dengan dampak turunannya yang otomatis akan turut
tercegah/tertanggulangi/terkendali.
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana industri pulp
dan kertas adalah pencemaran air, maka tujuan upaya pengelolaan lingkungan
hidup secara specifik adalah :
Mengendalikan mutu limah cair yang dibuang ke sungai XYZ, khususnya
parameter BOD5, COD, Padatan Tersuspensi Total, dan pH; agar tidak melampaui
baku mutu limbah cair sebagaimana yang ditetapkan dalam KEP
51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.

4) Pengelolaan Lingkungan hidup


Jelaskan secara rinci upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dapat
dilakukan melalui pendekatan teknologi, dan atau sosial ekonomi, dan atau
institusi sebagaimana dijelaskan pada bagian penjelasan umum butir 4.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup yang diutarakan juga mencakup upaya
pengoperasian unit atau sarana pengendalian dampak (misal unit pengolahan
limbah), bila unit atau sarana dimaksud di dalam dokumen ANDAL dinyatakan
sebagai aktifitas dari rencana usaha dan/atau kegiatan.

5) Lokasi pengelolaan lingkungan hidup


Jelaskan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dengan
memperhatikan sifat persebaran dampak besar dan penting yang dikelola.
Lengkapi pula dengan peta/sketsa/gambar dengan skala yang memadai.

6) Periode pengelolaan lingkungan hidup


Uraikan secara singkat rencana tentang kapan dan berapa lama kegiatan
pengelolaan lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan : sifat dampak
besar dan penting yang dikelola (lama berlangsung, sifat kumulatif, dan berbalik
tidaknya dampak), serta kemampuan pemrakarsa (tenaga, dana).

7) Pembiayaan pengelolaan lingkungan hidup


Pembiayaan untuk melaksanakan RKL merupakan tugas dan tanggung jawab dari
pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pembiayaan tersebut antara lain mencakup :
(a) Biaya investasi misalnya pembelian peralatan pengelolaan lingkungan hidup
serta biaya untuk kegiatan teknis lainnya;
(b) Biaya personil dan biaya operasioanal;
(c) Biaya pendidikan serta latihan keterampilan operasional.

8) Institusi pengelolaan lingkungan hidup


Pada setiap rencana pengelolaan lingkungan hidup cantumkan institusi atau
kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan
kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah, Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 23 Tahun 1997 yang meliputi :
(a) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara
Lingkungan hidup;

32
(b) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
(c) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait;
(d) Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya;
(e) Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi
pengelolaan lingkungan hidup.
Institusi pengelolaan lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :
(a) Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan institusi pelaksana yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
dan sebagai penyandang dana kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.
Apabila dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup
pemrakarsa menugaskan atau bekerjasama dengan pihak lain, maka
cantumkan pula institusi dimaksud;
(b) Pengawas pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksananya RKL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih
dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggungjawab, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilaporkan hasil kegiatan pengelolaan
lingkungan hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang
bersangkutan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV . PUSTAKA

Pada bagian ini jelaskan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RKL, baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun
laporan hasil-hasil penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan
berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.

BAB V. LAMPIRAN

Pada bagian ini lampirkan tentang :


1) Ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai
berikut : Jenis Dampak , Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak, Tujuan
Pengelolaan Lingkungan hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan hidup,
Lokasi Pengelolaan Lingkungan hidup, Periode Pengelolaan Lingkungan hidup,
dan Institusi Pengelolaan Lingkungan hidup;
2) Data dan informasi penting yang merujuk dari hasil studi ANDAL seperti peta-
peta (lokasi kegiatan, lokasi pengelolaan lingkungan hidup, dll.), rancangan
teknik (engineering design), matrik serta data utama yang terkait dengan
rencana pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang isi dokumen RKL.

33
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya

Sekretaris Utama BAPEDAL,

Sudarsono, S.H.

34
LAMPIRAN IV : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK
LINGKUNGAN
NOMOR : 09 TAHUN 2000
TANGGAL : 17 PEBRUARI 2000

PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Lingkup rencana pemantauan lingkungan hidup

Pemantauan lingkungan hidup dapat digunakan untuk memahami fenomena-


fenomena yang terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari tingkat proyek
(untuk memahami perilaku dampak yang timbul akibat usaha dan/atau
kegiatan), sampai ke tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung pada
skala keacuhan terhadap masalah yang dihadapi.

Disamping skala keacuhan, ada 2 (dua) kata kunci yang membedakan


pemantauan dengan pengamatan secara acak atau sesaat, yakni merupakan
kegiatan yang bersifat berorientasi pada data sistematik, berulang dan
terencana.

2. Kedalaman rencana pemantauan lingkungan hidup

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen


rencana pemantauan lingkungan hidup, yakni :
(a) Komponen/parameter lingkungan hidup yang dipantau hanyalah yang
mengalami perubahan mendasar, atau terkena dampak besar dan penting.
Dengan demikian tidak seluruh komponen lingkungan hidup yang harus
dipantau. Hal-hal yang dipandang tidak penting atau tidak relevan tidak
perlu di pantau;
(b) Keterkaitan yang akan dijalin antara dokumen ANDAL, RKL dan RPL.
Aspek-aspek yang dipantau perlu memperhatikan benar dampak besar
dan penting yang dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan dampak
lingkungan hidup yang dirumuskan dalam dokumen RKL;
(c) Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan atau
terhadap komponen/parameter lingkungan hidup yang terkena dampak.
Dengan memantau kedua hal tersebut sekaligus akan dapat dinilai/diuji
efektifitas kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang dijalankan;
(d) Pemantauan lingkungan hidup harus layak secara ekonomi. Walau aspek-
aspek yang akan dipantau telah dibatasi pada hal-hal yang penting saja
(seperti diuraikanpada butir (a) sampai (c ), namun biaya yang
dikeluarkan untuk pemantauan perlu diperhatikan mengingat kegiatan
pemantauan senantiasa berlangsung sepanjang usia usaha dan/atau
kegiatan;
(e) Rancangan pengumpulan dan analisis data aspek-aspek yang perlu
dipantau, mencakup :
1) Jenis data yang dikumpulkan;

35
2) Lokasi pemantauan;
3) Frekuensi dan jangka waktu pemantauan;
4) Metode pengumpulan data (termasuk peralatan dan instrumen yang
digunakan untuk pengumpulan data);
5) Metode analisis data.
(f) Dokumen RPL perlu memuat tentang kelembagaan pemantauan
lingkungan hidup. Kelembagaan pemantauan lingkungan hidup yang
dimaksud disini adalah institusi yang bertanggungjawab sebagai
penyandang dana pemantauan, pelaksana pemantauan, pengguna hasil
pemantauan, dan pengawas kegiatan pemantauan. Koordinasi dan
kerjasama antar institusi ini dipandang penting untuk digalang agar data
dan informasi yang diperoleh, dan selanjutnya disebarkan kepada
berbagai penggunanya, dapat bersifat tepat guna, tepat waktu dan dapat
dipercaya;

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PEMANTAUAN


LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

BAB I. PENDAHULUAN

Pendahuluan mencakup :

1.1. Latar belakang pemantauan lingkungan hidup

a. Pernyataan tentang latar belakang perlunya dilaksanakan rencana


pemantauan lingkungan hidup baik ditinjau dari kepentingan
pemrakarsa, pihak-pihak yang berkepentingan maupun untuk
kepentingan umum dalam rangka menunjang program pembangunan;
b. Uraikan secara sistematis, singkat, dan jelas tentang tujuan pemantauan
lingkungan hidup yang akan diupayakan pemrakarsa sehubungan
dengan pengelolaan rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. Uraikan tentang kegunaan dilaksanakannya pemantauan lingkungan
hidup baik bagi pemrakarsa usaha atau kegiatan, pihak-pihak yang
berkepentingan, maupun bagi masyarakat.

BAB II . RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan
baik oleh satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut :

1. Dampak besar dan penting yang dipantau


Cantumkan secara singkat :
(a) Jenis komponen atau parameter lingkungan hidup yang dipandang
strategis untuk dipantau;
(b) Indikator dari komponen dampak besar dan penting yang dipantau.

36
Indikator adalah alat pemantau (sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk
atau keterangan tentang suatu kondisi.
Sebagai misal, indikator yang relevan untuk kualitas air limbah dan air sungai
sehubungan dengan karakteristik rencana usaha dan/atau kegiatan, adalah
pH, BOD5, suhu, warna, bau, kandungan minyak, dan logam berat.
2. Sumber dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak besar dan
penting:
(a) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat langsung dari
rencana usaha atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha
dan/atau kegiatan yang merupakan penyebab timbulnya dampak besar
dan penting;
(b) Apabila dampak besar dan penting timbul sebagai akibat berubahnya
komponen lingkungan hidup yang lain, maka utarakan secara singkat
komponen atau parameter lingkungan hidup yang merupakan penyebab
timbulnya dampak besar dan penting tersebut.
3. Parameter lingkungan hidup yang dipantau
Uraikan secara jelas tentang parameter lingkungan hidup yang dipantau.
Parameter ini dapat meliputi aspek biologi, kimia, fisika dan aspek sosial
ekonomi dan budaya.
4. Tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup
Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak besar dan penting
lingkungan hidup, dengan memperhatikan dampak besar dan penting yang
dikelola, bentuk rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan dampak besar
dan penting turunan yang ditimbulkannya.
Sebagai misal, dampak yang strategis dikelola untuk suatu rencana industri
pulp dan kertas adalah kualitas air limbah, maka tujuan rencana pemantauan
lingkungan hidup secara spesifik adalah :
Memantau mutu limah cair yang dibuang ke sungai XYZ, khususnya
parameter BOD5, COD, Padatan Tersuspensi Total, dan pH; agar tidak
melampaui baku mutu limbah cair sebagaimana yang ditetapkan dalam KEP
51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri .
5. Metode pemantauan lingkungan hidup
Uraikan secara singkat metode yang akan digunakan untuk memantau
indikator dampak besar dan penting, yang mencakup :
(a) Metode pengumpulan dan analisis data
Cantumkan secara singkat dan jelas metode yang digunakan dalam proses
pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan, instrumen, atau
formulir isian yang digunakan. Cantumkan pula tingkat ketelitian alat yang
digunakan dalam pengumpulan data sehubungan dengan tingkat ketelitian
yang disyaratkan dalam Baku Mutu Lingkungan hidup.
Selain itu uraikan pula metode yang digunakan untuk menganalisis data
hasil pengukuran. Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang
digunakan dalam proses analisis data. Selain itu uraikan pula tolok ukur
yang digunakan untuk menilai kondisi kualitas lingkungan hidup yang
dipantau, dan sebagai umpan balik untuk kegiatan pengelolaan lingkungan
hidup. Perlu diperhatikan bahwa metode pengumpulan dan analisis data
sejauh mungkin konsistem dengan metode yang digunakan disaat
penyusunan ANDAL.

37
(b) Lokasi pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan lokasi pemantauan yang tepat disertai dengan peta berskala
yang memadai dan menunjukkan lokasi pemantauan dimaksud. Perlu
diperhatikan bahwa lokasi pemantauan sejauh mungkin konsisten dengan
lokasi pengumpulan data disaat penyusunan ANDAL.
(c) Jangka waktu dan frekwensi pemantauan
Uraikan tentang jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut
dengan frekuensinya per satuan waktu. Jangka waktu dan frekuensi
pemantauan ditetapkan dengan mempertimbangkan sifat dampak besar
dan penting yang dipantau (instensitas, lama dampak berlangsung, dan
sifat kumulatif dampak).
6. Institusi pemantauan lingkungan hidup
Pada setiap rencana pemantauan lingkungan hidup cantumkan institusi atau
kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan
kegiatan pemantauan lingkungan hidup, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku baik ditingkat nasional maupun daerah. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemantauan lingkungan hidup
meliputi :
(a) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup;
(b) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh sektor terkait;
(c) Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah;
(c) Keputusan Gubernur, Bupati/Walikotamadya;
(e) Keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi
pemantauan lingkungan hidup.
Institusi pemantau lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :
(a) Pelaksana pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan institusi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan
sebagai penyandang dana kegiatan pemantauan lingkungan hidup;
(b) Pengawas pemantauan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi
terlaksanya RPL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih
dari satu instansi sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab,
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(c) Pelaporan hasil pemantauan lingkungan hidup;
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilapori hasil kegiatan pemantauan
lingkungan hidup secara berkala seseuai dengan lingkup tugas instansi
yang bersangkutan.

BAB III . PUSTAKA

Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam
penyusunan RPL baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun
laporan hasil-hasil penelitian, Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan
berpedoman pada tata cara penulisan pustaka.

38
BAB IV. LAMPIRAN

Pada bagian ini lampirkan tentang :

1. Lampirkan ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom
sebagai berikut : dampak besar dan penting yang dipantau, sumber dampak,
tujuan pemantauan lingkungan hidup, rencana pemantauan lingkungan hidup
(yang meliputi metode pengumpulan data, lokasi pemantauan lingkungan
hidup, jangka waktu dan frekuensi pemantauan lingkungan hidup, serta
metode analisis), dan institusi pemantau lingkungan hidup.

2. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena


menunjang isi dokumen RPL.

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya

Sekretaris Utama BAPEDAL,

Sudarsono, S.H.

39
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEPALA BAPEDAL


B. PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

1. KepMen LH Nomor 35 Tahun 1995 Program Kali Bersih (Prokasih)

2. KepMen LH Nomor 35A Tahun 1995 Program Penilaian Kinerja Perusahaan/Kegiatan


Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran di
Lingkup Kegiatan Prokasi

3. KepMen LH Nomor 51 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri

4. KepMen LH Nomor 52 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel

5. KepMen LH Nomor 58 Tahun 1995 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah
Sakit

6. KepMen LH Nomor 42 Tahun 1996 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan industri

7. KepMen LH Nomor 09 Tahun 1997 Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan
Gas serta Panas Bumi

8. KepMen LH Nomor 03 Tahun 1998 Baku Mutu Limbah Bagi Kawasan Industri

9. KepMen LH Nomor 28 Tahun 2003 Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air


Limbah dari Industri Minyak SAwit Pada Tanah di
Perkebunan Kelapa Sawit

10. KepMen LH Nomor 29 Tahun 2003 Pedoman Syarat dan Tata Cara Perizinan
Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Kelapa
Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit

11. KepMen LH Nomor 37 Tahun 2003 Metoda Analisa Kualitas Air Permukaan dan
Pengambilan Contoh Air Permukaan

12. KepMen LH Nomor 110 Tahun 2003 Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Pada Sumber Air

13. KepMen LH Nomor 111 Tahun 2003 Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara
Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air
Limbah Ke Air atau Sumber Air

14. KepMen LH Nomor 112 Tahun 2003 Baku Mutu Air Limbah Domestik

15. KepMen LH Nomor 113 Tahun 2003 Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan Atau
Kegiatan Pertambangan Batu Bara

16. KepMen LH Nomor 114 Tahun 2003 Pedoman Pengkajian untuk Menetapkan Kelas Air

17. KepMen LH Nomor 115 Tahun 2003 Pedoman Penentuan Status Mutu Air

18. KepMen LH Nomor 142 Tahun 2003 Perubahan Atas Kep Men LH No. 111 Tahun 2003
Tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata
Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian
Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air
19. KepMen LH Nomor 122 Tahun 2004 Perubahan Atas Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor: Kep-
51/Menlh/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri

20. KepMen LH Nomor 202 Tahun 2004 Baku Mutu Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan
Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 35 Tahun 1995
Tentang : Program Kali Bersih

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa kali atau sungai merupakan sumber daya air yang penting bagi
kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya;

2. bahwa kualitas air sungai cenderung menurun sebagai akibat meningkatnya


beban pencemaran yang bersumber dari kegiatan di sepanjang daerah aliran
sungai;

3. bahwa untuk meningkatkan kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai
dengan peruntukannya, pemerintah telah mencanangkan Program Kali Bersih;

4. bahwa Program Kali Bersih tersebut telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah
di beberapa propinsi pada beberapa sungai dengan melibatkan berbagai
instansi terkait di daerah;

5. bahwa untuk memantapkan keberadaan Program Kali Bersih sebagai program


nasional dan untuk meningkatkan kelancaran serta pengembangan kegiatan
Program Kali Bersih, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Program Kali Bersih.

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran


Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
5. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;

6. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,


Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

7. Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

8. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan.

Memperhatikan :

Rapat Kerja Pengendalian Pencemaran Air pada tanggal 14 - 15 Juni 1989 di


Surabaya yang menghasilkan kesepakatan bersama antara Kantor Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Pemerintah Propinsi Daerah
Tingkat I dari 8 (delapan) propinsi serta instansi-instansi terkait untuk
melaksanakan program kerja pengendalian pencemaran air sungai yang diberi
nama Program Kali Bersih dan dikoordinasikan secara nasional;

Rapat Kerja Nasional PROKASIH pada tanggal 8 - 12 Juni 1994 di Jakarta.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM KALI
BERSIH
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Program Kali Bersih disingkat dengan PROKASIH adalah program kerja


pengendalian pencemaran air sungai dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas air sungai agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

2. Sungai Prokasih adalah Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang ditetapkan


akan dikendalikan pencemaran airnya melalui kegiatan Prokasih.

3. Ruas Sungai Prokasih adalah bagian dari Sungai Prokasih yang


ditetapkan sebagai batas ruang lingkup kegiatan Prokasih.

4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.


Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

5. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala


Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

6. Bupati/Walikotamadya adalah Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah


Tingkat II

7. Tim Prokasih Pusat adalah satuan kerja pelaksana Prokasih di Tingkat


Pusat yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Bapedal.

8. Tim Prokasih Daerah adalah Tim Prokasih Tingkat I dan/atau Tim


Prokasih Tingkat II.

BAB II
AZAS, TUJUAN DAN SASARAN PROKASIH

Pasal 2

Pelaksanaan Prokasih berasaskan pelestarian fungsi lingkungan perairan sungai untuk


menunjang pembangunan yang berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia.
Pasal 3

(1) Pelaksanaan Prokasih bertujuan:

1. tercapainya kualitas air sungai yang baik, sehingga dapat meningkatkan


fungsi sungai dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;

2. terciptanya sistem kelembagaan yang mampu melaksanakan


pengendalian pencemaran air secara efektif dan efisien;

3. terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam


pengendalaian pencemaran air.

4. Dalam rangka mewujudkan tujuan Prokasih sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1) Pasal ini, pelaksanaan Prokasih dilakukan dengan
pendekatan:

a. pengendalian sumber pencemaran yang strategis, dan dilakukan


secara bertahap dalam suatu program kerja;

b. pelaksanaan program kerja sesuai dengan tingkat kemampuan


kelembagaan yang ada;

c. pelaksanaan dan hasil program kerja harus dapat terukur dan


dipertanggungjawabkan kepada masyarakat;

d. penerapan pentaatan dan penegakan hukum dalam pengendalian


pencemaran air.

Pasal 4

(1) Dalam rangka mewujudkan tujuan Prokasih sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 3 ayat (1), pelaksanaan Prokasih dilakukan dengan sasaran:

(2) Meningkatnya kualitas air sungai pada setiap ruas sungai Prokasih sampai
minimal memenuhi baku mutu air yang sesuai dengan peruntukannya.

(3) Menurunnya beban limbah dari tiap sumber pencemar, sampai minimal
memenuhi baku mutu limbah cair.

(4) Menguatnya sistem kelembagaan dalam pelaksanaan Prokasih.


BAB III
PELAKSANAAN PROKASIH

Pasal 5

Berdasarkan hasil pemantauan dan analisis permasalahan pencemaran air di daerah,


Kepala Bapedal mengusulkan propinsi pelaksana Prokasih kepada Menteri.
Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam Negeri menetapkan propinsi
pelaksana Prokasih.

Pasal 6

Sungai dan ruas sungai Prokasih ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan pedoman
pemilihan sungai dan ruas sungai Prokasih yang ditetapkan Bapedal dengan
mempertimbangkan fungsi sungai bagi masyarakat dan pembangunan serta
memperhitungkan tingkat kemampuan lembaga pelaksana di daerah yang
bersangkutan.

Pasal 7

Kepala Bapedal menetapkan pedoman pelaksanaan Rencana Induk Prokasih secara


nasional.

Pasal 8

Gubernur menetapkan Rencana Kerja Prokasih di tingkat daerah berdasarkan


Rencana Induk Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Pasal 9

Bapedal melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih


secara nasional.

Pasal 10

Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Prokasih


di daerah.
BAB IV
ORGANISASI PELAKSANAAN PROKASIH

Pasal 11

Menteri bertanggung jawab dalam koordinasi kebijaksanaan Prokasih secara nasional.


Kepala Bapedal bertanggung jawab dalam koordinasi pelaksanaan pengendalian
kegiatan Prokasih secara nasional.

Pasal 12

Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2), Kepala
Bapedal membentuk Tim Prokasih Tingkat Pusat.

Pasal 13

Gubernur adalah penanggung jawab pelaksanaan Prokasih di tingkat daerah.

Pasal 14

(1) Dalam rangka pelaksanaan Prokasih di daerah sebagaimana dimaksud Pasal


13:

1. Gubernur menunjuk Wakil Gubernur sebagai penanggung jawab harian


Prokasih di Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

2. Gubernur dapat menunjuk Bupati/Walikotamadya sebagai penanggung


jawab harian Prokasih di Daerah Tingkat II dalam wilayah Propinsi
Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

3. Gubernur menetapkan Tim Prokasih Daerah berdasarkan petunjuk atau


arahan yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.

BAB V
PELAPORAN

Pasal 15

(1) Gubernur menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada Menteri,


Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.
(2) Bupati/Walikotamadya menyampaikan laporan Prokasih secara berkala kepada
Gubernur, Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bapedal.

BAB VI
PEMBERIAN PENGHARGAAN

Pasal 16

(1) Menteri memberi penghargaan kepada Pemerintah Daerah yang melaksanakan


Prokasih dan perusahaan/kegiatan usaha yang melaksanakan pengendalian
pencemaran dengan kinerja yang sangat baik;

(2) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini,
diberikan berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan Pasal
15;

(3) Dalam rangka pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal ini

a. Kepala Bapedal menetapkan kriteria dan tata laksana penilaian;

b. Kepala Bapedal membentuk Tim Teknis dan Tim Penilai;


c. Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) Pasal ini dilaksanakan melalui Program Penilaian Kinerja
Perusahaan/Kegiatan Usaha (Proper Prokasih);

d. Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal ini


ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB VII
PEMBIAYAAN

Pasal 18

(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Prokasih:

1. Di Tingkat Pusat dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara dan/atau sumber dana lainnya;

2. Di Tingkat Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja


Daerah dan/atau sumber dana lainnya.
BAB VIII
PENUTUP

Pasal 19

Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan
diperbaiki sebagaimana mestinya.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.

Para Menteri Kabinet Pembangunan VI.


Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Para Gubernur KDH Tingkat I di seluruh Indonesia.
Para Bupati/Walikotamadya KDH Tingkat II di seluruh Indonesia.

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 35-A Tahun 1995
Tentang : Program Penilaian Kinerja Perusahaan /
Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran Dalam
Lingkup Kegiatan PROKASIH (PROPER PROKASIH)

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa sebagai upaya pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi


pencemaran lingkungan adalah dengan meningkatkan pentaatan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup;

2. bahwa dalam rangka mendorong ditingkatkannya upaya sebagaimana


dimaksud dalam butir (a) dipandang perlu untuk mengambil langkah-langkah
berupa pemberian insentif dan disinsentif yang didasarkan pada hasil penilaian
kinerja perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan dampak lingkungan
yang diakibatkan oleh kegiatannya;

3. bahwa mengingat hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Program Penilaian Kinerja
Perusahaan/Kegiatan Usaha Dalam Pengendalian Pencemaran Dalam Lingkup
Kegiatan PROKASIH (Proper Prokasih).

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);

3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet


Pembangunan VI;

4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,


Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

5. Keputusan Presiden Nomor 103/M Tahun 1993 tentang Pengangkatan Kepala


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
6. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.

7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/7/1995


tentang Program Kali Bersih.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM
PENILAIAN KINERJA PERUSAHAAN / KEGIATAN USAHA DALAM PENGENDALIAN
PENCEMARAN DALAM LINGKUP KEGIATAN PROKASIH (PROPER PROKASIH)

Pasal 1

Kinerja perusahaan/kegiatan usaha adalah tingkat upaya dan hasil


perusahaan/kegiatan usaha dalam mengendalikan dampak negatif terhadap
lingkungan yang disebabkan oleh kegiatannya.

Pasal 2

(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha diberlakukan untuk semua jenis


kegiatan yang mempunyai potensi dampak lingkungan di dalam lingkup
kegiatan Prokasih.

(2) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat


mengajukan diri secara sukarela untuk dinilai kinerjanya.

(3) Bagi perusahaan/kegiatan usaha di luar lingkup kegiatan Prokasih dapat masuk
program penilaian bila dipandang perlu demi kepentingan umum.

Pasal 3

(1) Kinerja perusahaan/kegiatan usaha dinilai berdasarkan:

1. tingkat upaya pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan;


2. tingkat pencapaian hasil pengendalian dampak negatif terhadap
lingkungan;

3. Pelaksanaan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan;

4. Untuk pertama kalinya, penilaian kinerja diutamakan pada pengendalian


pencemaran air.

Pasal 4

(1) Peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dibagi dalam peringkat sebagai


berikut:

1. peringkat emas, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang melaksanakan


produksi bersih dan/atau emisi nol dan telah melakukan upaya
pengelolaan lingkungan serta telah mencapai hasil yang sangat
memuaskan sehingga patut menjadi teladan bagi usaha-usaha lainnya;

2. peringkat hijau, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah melakukan


upaya pengelolaan lingkungan dan mencapai hasil lebih baik dari
persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku;

3. peringkat biru, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah


mendapatkan hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku;

4. peringkat merah, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang telah


melakukan upaya pengelolaan lingkungan tetapi belum mencapai
persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam perundang-undangan
yang berlaku;
5. peringkat hitam, untuk perusahaan/kegiatan usaha yang tidak
melakukan upaya pengelolaan lingkungan atau usaha yang menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan.

6. Penentuan peringkat kinerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


Pasal ini didasarkan pada hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3.

7. Pedoman dan tata cara penilaian peringkat kinerja sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
Pasal 5

(1) Penentuan peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan oleh Menteri


Negara Lingkungan Hidup setelah mendapat masukan dari Tim Teknis dan
Dewan Pertimbangan Proper Prokasih.

(2) Tim Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas ditetapkan
oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, sedangkan Dewan
Pertimbangan Proper Prokasih ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkugan
Hidup.

Pasal 6

(1) Dewan Pertimbangan Proper Prokasih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5


ayat (1) tersebut di atas anggotanya terdiri dari:

1. Pejabat Eselon I terkait:

2. Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup;

3. Deputi II Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

4. Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri;

5. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan


Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja;

6. Direktur Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen


Kesehatan.

7. Wakil dunia usaha, wakil lembaga swadaya masyarakat dan wakil dari
pers.

Pasal 7

(1) Penilaian kinerja perusahaan/kegiatan usaha dilakukan minimal sekali dalam


satu tahun.

(2) Tim Teknis setelah mendengar masukan dari Dewan Pertimbangan Proper
Prokasih menyampaikan hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan
usaha kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

(3) Hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup dan diumumkan setelah dilaporkan kepada Presiden.
Pasal 8

Penilaian kinerja bagi perusahaan/kegiatan usaha yang sedang melaksanakan audit


lingkungan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-
42/MENLH/11/1994 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan, ditunda
sampai pengumuman hasil penilaian kinerja berikutnya.

Pasal 9

Perusahaan/kegiatan usaha yang meraih peringkat emas dan hijau diberikan piagam
penghargaan.

Pasal 10

(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan penilaian kinerja


perusahaan/kegiatan usaha dibebankan kepada:

(2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi pelaksanaan penilaian


perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (3) Keputusan ini.

(3) Biaya perusahaan yang bersangkutan bagi pelaksanaan penilaian


perusahaan/kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
Keputusan ini.

Pasal 11

Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan
diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Juli 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada:

Para Menteri Kabinet Pembangunan VI.


Para Gubernur KDH Tingkat I di seluruh Indonesia.
Para Bupati/Walikotamadya KDH Tingkat II di seluruh Indonesia.

______________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP- 51 /MENLH/ 10 /1995

TENTANG

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi
hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan
pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

b. bahwa kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran


lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap
pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;

c. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagairnana


telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu
Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri;

Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor


226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

3. Undang-undang. Nomor 11 Tahun 1974 tentang Perairan (Lembaran Negara


Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Tahun 1982, Nomor 12.
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran


Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3257);

6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran


Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang, Tata Pengaturan Air


(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3225);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409):

9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran


Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang


Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan
Organisasi Staf Menteri Negara;

13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI
KEGIATAN INDUSTRI.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang
setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri;

2. Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan
dibuang ke lingkungan;

3. Limbah Cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang
dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan;

4. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar dan
beban pencemaran;

5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan;

6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan;

7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan;

8. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup,

9. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

10. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku mutu limbah cair untuk jenis industri :


1. Soda kaustik/klor adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran AI dan Lampiran B1;

2. Pelapisan logam adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A II dan Lampiran B II;

3. Penyamakan kulit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A III dan Lampiran B III;

4. Minyak sawit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IV dan Lampiran B IV;

5. Pulp dan kertas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A V dan Lampiran B V;

6. Karet adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VI dan Lanpiran B VI;

7. Gula adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VII dan Lampiran B VII;

8. Tapioka adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VIII dan Lampiran B VIII;

9. Tekstil adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IX dan Lampiran B IX;

10.Pupuk urea/nitrogen adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran AX dan Lampiran BX

11.Ethanol adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XI dan Lampiran B XI;

12.Mono Sodium Glutamate (MSG) adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XII dan
Lampiran B XII

13. Kayu lapis adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIII dan Lampiran B XIII;

14.Susu, makanan yang terbuat dari susu adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A
XIV dan Lampiran BXIV;

15.Minuman ringan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XV dan Lampiran B XV

16.Sabun, diterjen dan produk-produk minyak nabati adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran A XVI dan Lampiran B XVI

17.Bir adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVII dan Lampiran B XVII;

18.Baterai sel kering adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVIII dan Lampiran B
XVIII;

19.Cat adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIX dan Lampiran B XIX;

20.Farmasi adalah sebagaimana.tersebut dalam Lampiran A XX dan Lampiran B XX;

21.Pestisida adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XXI dan Lampiran B XXI.

(2) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini, ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar, kecuali jenis industri farmasi dan
industri pestisida formulasi pengemasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir 20 dan
butir 21 pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar.

(3) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang :

a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Linibah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1
Januari tahun 2000;
b. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair Lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000.

(4) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang tahap
perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, maka
berlaku baku mutu limbah cair sebagaimana tersebut dalam Larnpiran B.

(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap saat
tidak boleh dilampaui.

(6) Perhitungan tentang debit limbah cair maksimum dan beban pencemaran maksimum adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran D keputusan ini.

(7) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3

(1) Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan/atau pimpinan lembaga pemerntahan
non departemen yang bersangkutan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair untuk jenis-jenis
industri di luar jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

(2) Selama Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini belum
ditetapkan, Gubernur dapat menggunakan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalam Lampiran C Keputusan ini.

(3) Gubernur dapat melakukan penyesuaian jumlah parameter sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) pasal ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.

(4) Gubemur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter yang tercantum dalam
Baku Mutu Limbali Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan B Keputusan ini,
setelah mendapat persetujuan Menteri.

(5) Menteri memberikan tanggapan dan/atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka


waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) pasal ini.

(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) pasal ini, tidak diberikan
tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah cair lebih ketat atau sama dengan
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini,

Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan industri mensyaratkan Baku Mutu Limbah
Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk
kegiatan industri tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

Setiap penanggung jawab kegiatan industri sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Keputusan ini wajib :

a. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan
tidak melampaui Baku Mutu Linibah Cair yang telah ditetapkan;

b. membuat saluran pembuangan - pembuangan limbah cair dan melakukan pencatatan debit
harian limbah cair ke lingkungan;

c. rnemasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian
limbah cair tersebut,

d. tidak melakukan pengenceran limbah cair, termasuk mencampurkan buangan air bekas
bekas pendingin ke dalam aliran pembuangan limbah cair;

e. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;

f. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;

g. rnelakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya;

h. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair, produksi bulanan senyatanya sebagamana dimaksud dalam huruf c, e.g. sekurang-
kurangnya tiga bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Gubernur, instansi lain yang dianggap
perlu sesuai dengan peratuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 Keputusan ini dan persyaratan Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air wajib
dicantumkan dalam izin Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie).

Pasal 8

Apabila jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan
sebelum keputusan ini :

a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku:

b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalarn Lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam
keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.

Pasal 9

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor: KEP-03/MENKLH/I1/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Yang Sudah
Beroperasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

LAMPIRAN A.I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SODA KAUSTIK

PARAMETER PROSES RAKSA (Hg) PROSES MEMBRAN/DIAFRAGMA


KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM(KG (mg/l) MAKSIMUM(KG
/TON) /TON)
COD 150 1,5 150 1,5
TSS 50 0,5 50 0,5
Raksa (Hg) 0.005 0,05 - -
Timbal (Pb) - - 3 0,03
Tembaga (Cu) - - 0,3 0,003
Seng (Zn) - - 2,0 0,02
pH 6-9 6-9
Debit Limbah 10 m3 per ton produk soda kaustik 10 m3 per ton produk soda kaustik
Maksimum

Catatan:

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk soda kaustik.
LAMPIRAN A.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

PARAMETER PELAPISAN TEMBAGA (Cu) PELAPISAN NIKEL (Ni)


KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM(mg PENCEMARAN MAKSIMUM(mg PENCEMARAN
/l) MAKSIMUM(gra /l) MAKSIMUM
m/m2) (gram/m2)
TSS 60 60 60 60
Kadmium (Cd) 0,05 0,005 0,05 0,005
Sianida (CN) 0.5 0,05 0.5 0,05
Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8
Tembaga (Cu) 3,0 0,3 - -
Nikel (Ni) - - 5,0 0,5
pH 6–9 6–9
Debit Limbah 100 L per m2 produk pelapisan logam 100 L per m2 produk pelapisan logam
Maksimum

PARAMETER PELAPISAN KROM (Cr) PELAPISAN & GALVANISASI SENG


(Zn)
KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM(gra (mg/l) MAKSIMUM
m/m2) (gram/m2)
TSS 60 60 60 60
Kadmium (Cd) 0,05 0,005 0,05 0,005
Sianida (CN) 0.5 0,05 0.5 0,05
Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8
Krom Total (Cr) 2,0 0,2 - -
Krom Heksavalen 0,3 0,03 - -
(Cr6+)
Seng (Zn) - - 2,0 0,2
pH 6–9 6–9
Debit Limbah 100 L per m2 produk pelapisan logam 100 L per m2 produk pelapisan logam
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam milligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pelapisan logam.
LAMPIRAN A.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 10,5
COD 300 21,0
TSS 150 10,5
Sulfida (sebagai 1,0 0,07
H2S)

Krom Total (Cr) 2,0 0,14


Minyak dan lemak 5,0 0,35
Amonia Total 10,0 0,70
pH 6-9
Debit Limbah 70 m3 perton bahan baku
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah).
LAMPIRAN A.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 250 1,5
COD 500 3,0
TSS 300 1,8
Minyak dan lemak 30 0,18

Amonia Total 20 0,12


(sebagai NH3-N)
pH 6-9
Debit Limbah 6 m3 per ton produk
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk minyak sawit.
LAMPIRAN A.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS

PARAMETER PABRIK PULP PABRIK KERTAAS PABRIK PULP DAN


KERTAS
KADAR BEBAN KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSI- PENCE- MAKSI- PENCE- MAKSI- PENCE-
MUM MARAN MUM(mg MARAN MUM( MARAN
(mg/l) MAKSIMUM /l) MAKSIMUM mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton) (kg/ton) (kg/ton)
BOD5 150 15 125 10 150 25.5
COD 350 35 250 20 350 59.5
TSS 200 20 125 10 150 25.5
pH 6-9
Debit Limbah 100 m3 perton produk 80 m3 perton produk 170 m3 perton produk
Maksimum pulp kering kertas kering kertas kering

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pulp dan kertas kering.
LAMPIRAN AVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 6,0
COD 300 12,0
TSS 150 6,0
Amonia Total 10 0,4
(sebagai NH3-N)
pH 6-9
Debit Limbah 40 m3 per ton produk karet
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk karet kering
LAMPIRAN A.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 4,0
COD 250 10,0
TSS 175 7,0
Sulfida (sebagai 1,0 0,04
H2S)
pH 6-9
Debit Limbah 40 m3 per ton produk gula
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk gula.
LAMPIRAN A.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 200 12,0
COD 400 24,0
TSS 150 9,0
Sianida (CN) 0,5 0,03
pH 6-9
Debit Limbah 60 m3 per ton produk
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk tapioka.
LAMPIRAN A.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 85 12,75
COD 250 37,5
TSS 60 9,0
Fenol Total 1,0 0,15
Krom Total (Cr) 2,0 0,30
Minyak dan 5,0 0,75
Lemak
pH 6–9
Debit Limbah 150 m3 per ton produk tekstil
Maksimum

Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kg
atau gram parameter per ton produk tesktil.
LAMPIRAN A.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PUPUK UREA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 1,5
COD 250 3,75
TSS 100 1,5
Minyak dan 25 0,4
Lemak
Amonia Total 50 0,75
(sebagai NH3-N)
pH 6-9
Debit Limbah 15 m3 per ton produk pupuk urea
Maksimum

Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pupuk urea
LAMPIRAN A.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 10,5
COD 400 28,0
pH 6-9
Debit Limbah 70 m3 per ton produk ethanol
Maksimum
Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk ethanol
LAMPIRAN A.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 12
COD 250 30
TSS 100 12
pH 6-9
Debit Limbah 120 m3 per ton produk MSG
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk MSG.
LAMPIRAN A.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/m3)
BOD5 100 0,28
COD 250 0,70
TSS 100 0,28
Fenol Total 1,0 2,8 g/m3
pH 6-9
Debit Limbah 2,8 m3 per ton produk kayu lapis
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per M3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
4. 2,8 m3 air limbah per m3 produk = 10 m3 air limbah per 3,6 m3 produk dengan ketebalan
3,6 milimeter.
LAMPIRAN A.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI
SUSU

PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM


MAKSIMUM (KG/TON)
(mg/l)
PABRIK SUSU PABRIK
DASAR TERPADU
(kg/ton) (kg/ton)
BOD5 40 0,14 0,2
COD 100 0,35 0,5
TSS 50 0,175 0,25
pH- 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum- 3,5 L per kg total 5,0 L per kg
padatan susu- produk

Catatan:
1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton total padatan susu atau produk susu.
LAMPIRAN A.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN

PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3)


MAKSIMUM Dengan Dengan Tanpa Tanpa
(mg/l) Pencucian Pencucian Pencucian Pencucian
Botol dan Botol dan Botol dan Botol dan
Dengan Tanpa Dengan Tanpa
Pembuata Pembuata Pembuata Pembuatan
n Sirop n Sirop n Sirop Sirop
BOD5 40 600 500 300 200
COD 100 540 450 270 180
TSS 50 72 60 36 24
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum- 6 L per L 5 L per L 3 L per L 2 L per L
produk produk produk produk
minuman minuman minuman minuman

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per m3 produk minuman ringan yang dihasilkan.
LAMPIRAN A.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN DAN PRODUK-PRODUK
MINYAK NABATI

PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM


(gram/m3)
MAKSIMUM SABUN MINYAK DITERJEN
(mg/l) NABATI
BOD5 125 2,50 7,50 0,75
COD 300 6,0 18,0 1,8
TSS 100 2,0 6,0 0,6
Minyak dan 25 0,50 1,5 0,15
lemak
Fosfat (sebagai 3 0,06 0,18 0,018
PO4)
MBAS 5 0,1 0,3 0,03
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum- 20 m3 per 60 m3 per 6 m3 per ton
ton produk ton produk produk
sabun minyak diterjen
nabati

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
1. 2.Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter perton produk sabun atau minyak nabati atau diterjen.
LAMPIRAN A.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/m3)
BOD5 75 67,5
COD 170 153,0
TSS 70 63,0
pH 6-9
Debit Limbah 9 hektoliter per hektoliter Bir
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per hektoliter produk Bir.
LAMPIRAN A.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING

PARAMETER ALKALINE-MANGAN KARBON-SENG


KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM(mg PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM(mg /l) MAKSIMUM
/kg produk) (mg/kg produk)
COD - - 30 15
TSS 15 45 10 5
NH3-N Total - - 4 2
Minyak dan lemak 3 9,0 12 6
Seng (Zn) 0,3 0,9 0,8 0,4
Merkuri (Hg) 0,015 0,045 0,02 0,01
Mangan (Mn) 0,5 1,5 0,6 0,3
Krom (Cr) 0,1 0,3 - -
Nikel (Ni) 0,6 1,8 - -
pH 6-9 6-9
Debit Limbah 3,0 L per kg baterei 0,5 L per kg baterei
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk baterai yang dihasilkan.
LAMPIRAN A.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(gram/m3
produk)
BOD5 100 80
TSS 60 48
Merkuri (Hg) 0,015 0,012
Seng (Zn) 1,5 1,2
Timbal (Pb) 0,40 0,32
Tembaga (Cu) 1,0 0,80
Khrom 0,25 0,20
Heksavalen
(Cr6+)
Titanium (Ti) 0,50 0,40
Kadmium (Cd) 0,10 0,08
Fenol 0,25 0,20
Minyak dan 15 12
Lemak
pH 6-9
Debit Limbah 0,8 L per produk cat water baseZero
Maksimum discharge untuk cat solvent base

Catatan:
1. Solvent Based cat harus zero discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung
atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
gram parameter per m3 produk cat.
LAMPIRAN A.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI

PARAMETER PROSES FORMULASI


PEMBUATAN PENCAMPURAN
BAHAN (mg/L)
FORMULA
(mg/L)
BOD5 150 100
COD 500 200
TSS 130 100
TOTAL -N 45 -
Fenol 5,0 -
pH 6-9 6-9

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
LAMPIRAN A.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA

PARAMETER PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI/PE


NGEMASAN
KADAR BEBAN KADAR
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM(mg
(mg/l) MAKSIMUM(kg /l)
/ton produk)
BOD5 70 1,75 40
COD 200 5,0 100
TSS 50 1,25 25
Fenol 3,0 0,075 2,5
Total CN 1,0 0,025 -
Tembaga (Cu) 1,5 0,038 -
Bahan Aktif Total 2,0 0,05 1,0
pH 6-9 6-9
Debit Limbah 25 m3 per ton produk -
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pestisida.
LAMPIRAN B : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

LAMPIRAN B.I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SODA KAUSTIK

PARAMETER PROSES RAKSA (Hg)


KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM(KG
/TON)
TSS 25 75,0
Cl2 tersisa (Khlor) 0,5 1,5
Tembaga (Cu) 1,0 3,0
Timbal (Pb) 0,8 2,4
Seng (Zn) 1,0 3,0
Krom Total (Cr) 0,5 1,5
Nikel (Ni) 1,2 3,6
Raksa (Hg) 0,004 0,012
pH 6-9
Debit Limbah 3,0 m3 per ton produk soda kaustik,
Maksimum atau 3,4 m3 per ton Cl2

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk soda kaustik.
LAMPIRAN B.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(gram/m2)
TSS 20 0,40
Sianida Total (CN) 0,2 0,004
tersisa
Khrom heksavalen 0.5 0,010
(Cr6+)
Tembaga (Cu) 0,6 0,012
Seng (Zn) 1,0 0,020
Nikel (Ni) 1,0 0,020
Kadmium (Cd) 0,05 0,001
Timbal (Pb) 0,1 0,002
pH 6-9
Debit Limbah 20 L per m2 produk pelapisan logam
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pelapisan logam.
LAMPIRAN B.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

PARAMETER Proses Penyamakan Proses Penyamakan


menggunakan Krom menggunakan daun-daunan
KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM(mg PENCEMARAN MAKSIMUM(mg PENCEMARAN
/l) MAKSIMUM(kg /l) MAKSIMUM(kg
/ton) /ton)
BOD5 50 2,0 70 2,8
COD 110 4,4 300 21,0
TSS 60 2,4 150 10,5
Krom Total (Cr) 0,60 0,024 0,10 0,004
Minyak dan lemak 5,0 0,20 15,0 0,20
Amonia Total 0,5 0,02 0,5 0,02
(sebagai N)
Sulfida (sebagai 0,8 0,032 0,5 0,02
H2S)
pH 6–9 6-9
Debit Limbah 40 m3/ton bahan baku 40 m3 perton bahan baku
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah).
3. N Total adalah jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
LAMPIRAN B.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 0,25
COD 350 0,88
TSS 250 0,63
Minyak dan lemak 25 0,063
Nitrogen Total 50 0,125
(sebagai N)
pH 6-9
Debit Limbah 2,5 m3 per ton produk
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk minyak sawit.(CPO)
3. N Total adalah jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
LAMPIRAN B.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS


PROSES/ PARAMETER
PRODUK
DEBIT BOD5 COD TSS
(m3/to
n)
Kadar Beban Kadar Beban Kadar Beban
Maksiu Pencemara Maksiu Pencemar Maksium Pencema
m n m an (mg/L) ran
(mg/L) Maksimum (mg/L) Maksimu Maksimu
(kg/ton) m m
(kg/ton) (kg/ton)
PULP
Kraft 85 100 8,5 350 29,75 100 8,5
Pulp larut 95 100 9,5 300 28,5 100 9,5
Tidak 50 75 3,75 200 10,0 60 3,0
dikelantan
g
CMP 60 50 3,0 120 7,2 75 4,5
Groundwo
od
Semi 70 100 7,0 200 14,0 100 7,0
Kimia
Soda 80 100 8,0 300 24,0 100 8,0
Deink pulp 60 100 6,0 300 18,0 100 6,0
KERTAS
Kertas 50 100 5,0 200 10,0 100 5,0
halus
Kertas 40 90 3,6 175 7,0 80 3,2
kasar
175 60 10,5 100 17,5 45 7,8
Kertas lain 35 75 2,6 160 5,6 80 2,8
yang
dikelantan
g
6-9

Catatan:
Penjelasan kategori proses di atas diberikan sebagai berikut:
A. PULP
1. Proses kraft (dikelantang dan tidak dikelantang.) adalah produksi pulp yang menggunakan cairan
pemasak natrium hidroksida yang sangat alkalis dan natrium sulfida. Proses kraft yang
dikelantang digunakan pada produksi kertas karton dan kertas kasar lain yang bewarna.
Pengelantangan adalah penggunaan bahan pengoksidasi kuat yang diikuti dengan ekstaksi alkali
untuk menghilangkan warna dari pulp, untuk suatu rentang produk kertas yang lengkap.
2. Proses pulp larut adalah produk pulp putih dan sangat murni dan menggunakan pemakaian
kimiawi yang kuat. Pulpnya digunakan untuk pembuatan rayon dan produk lain yang
mengsyaratkan hampir tidak mengandung lignin.
3. Proses groundwood adalah penggunaan defibrasi mekanis (pemisahail serat) dengan
menggunakan gerinda atau penghalus (refiners) dari batu. CMIP (proses pembuatan pulp kimia
mekanis) menggunakan cairan pemasak kiniia untuk memasak kayu secara parsial sebelum
pemisahan serat secara mekanik TMP (proses pembuatan pulp termo-mekanis) merupakan
pemasakan singkat dengan menggunakan kukus dan kadang,-kadang bahan kimia pemasak,
sebelum tahap mekanis.
4. Proses semi kimia mcrupakan pengunaan cairan pemasak sulfit netral tanpa pengelantangan
untuk menghasilkan produk kasar untuk lapisan dalam karton gelornbang warna coklat.
5. Proses soda adalah produksi pulp dengan menggunakan cairan pemasak natrium hidroksida yang
sangat alkalis.
6. Proses penghilangan tinta (De-ink) merupakan salah satu proses pembuatan kertas yang
menggunakan kertas bekas yang didaur ulang melaui proses penghilangan tinta dengan kondisi
alkali dan kadang-kadang dibuat cerah atau diputihkan untuk menghasilkan pulp sekunder, sering
kali berkaitan dengan proses konvensional.

B. KERTAS

1. Kertas halus berarti kertas halus yang dikelantang seperti kertas cetak dan kertas tulis.
2. Kertas kasar berarti produksi kertas kasar bewarna coklat, seprti lineboard, kertas karton
bewarna coklat atau karton.
3. Kertas lain berarti produksi kertas yang dikelantang selain yang tercantum dalam golongan halus,
seperti kertas koran.
LAMPIRAN B.VI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET

PARAMETER LATEKS PEKAT KARET BENTUK KERING


KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM(mg PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM(kg /l) MAKSIMUM(kg
/ton) /ton)
BOD5 100 4 60 2,4
COD 250 10 200 8
TSS 100 4 100 4
Amonia Total 15 0,6 5 0,2
(sebagai NH3-N)
Nitrogen Total 20 1,0 10 0,4
(sebagai N)
pH 6-9 6–9
Debit Limbah 40 m3 per ton produk karet 40 m3 per ton produk karet
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk karet kering
3. N Total adalah jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
LAMPIRAN B.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 60 0,3
COD 100 0,5
TSS 50 0,25
Minyak dan 5 0,025
Lemak
Sulfida (sebagai 0,5 0,0025
H2S)
pH 6-9
Debit Limbah 5,0 m3 per ton produk gula
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk gula.
3. Debit limbah cair maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin.
LAMPIRAN B.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 4,5
COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
pH 6-9
Debit Limbah 30 m3 per ton produk
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk tapioka.
LAMPIRAN B.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

PARAMETE KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton)


R MAKSIM
UM
(mg/l)
Tesktil Pencuc Perekata Pengikisa Pemucat Merse Pencelupan Pencetakan
Terpad ian na n, an risasi (Dyeing) (Printing)
u Kapas, (sizing) Pemasak (Bleachi
Pemint Desizing an ng)
alan, (Klering
Penen Scouring
unan )
BOD5 60 6 0,42 0,6 1,44 1,08 0,9 1,2 0,36
COD 150 15 1,05 1,5 3,6 2,7 2,25 3,0 0,9
TSS 50 5 0,35 0,5 1,2 0,9 0,75 1,0 0,3
Fenol Total 0,5 0,05 0,004 0,005 0,012 0,009 0,008 0,01 0,003
Krom Total 1,0 0,1 - - - - - 0,02 0,006
(Cr)
Amonia Total 8,0 0,8 0,056 0,08 0,192 0,144 0,12 0,16 0,048
(NH3-N)
Sulfida Total 0,3 0,03 0,002 0,003 0,007 0,005 0,005 0,006 0,002
(sebagai S)
Minyak dan 3,0 0,3 0,021 0,03 0,07 0,054 0,045 0,06 0,018
Lemak
PH 6-9
Debit Limbah Maksimum 100 7 10 24 18 15 20 6

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk tesktil.
LAMPIRAN B.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PUPUK

PARAMETER PUPUK UREA PUPUK AMONIAK


NITROGEN
LAIN
BEBAN BEBAN BEBAN
PENCEMARAN PENCEMARAN PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM(kg MAKSIMUM
(kg/ton) /ton) (kg/ton)
COD 3,0 3,0 0,30
TSS 1,5 3,0 0,15
Minyak dan 0,3 0,30 0,03
Lemak
NH3-N 0,75 1,50 0,30
TKN 1,5 2,25 -
pH 6-9 6-9 6-9
Debit Limbah 15 m3 per ton 15 m3 per ton 15 m3 per ton
Maksimum produk produk produk

Catatan:
1. Pengukuran beban limbah cair dilakukan pada satu saluran pembungan akhir.
2. Beban limbah cair (kg/ton produk)= Konsentrasi tiap parameter x debit limbah
3. Beban limbah cair industri amoniak, berlaku pula untul industri pupuk urea dan pupuk
nitrogen lain yang memproduksi kelebihan amoniak.
LAMPIRAN B.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 100 1,5
COD 300 4,5
TSS 100 1,5
Sulfida (sebagai 0,5 0,0075
S)
pH 6-9
Debit Limbah 15 m3 per ton produk ethanol
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk ethanol
LAMPIRAN B.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
((kg/ton)
BOD5 80 9,6

COD 150 18
TSS 100 12,0
pH 6–9
Debit Limbah 120 m3 per ton produk MSG
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk MSG.
LAMPIRAN B.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 75 22,5
COD 125 37,5
TSS 50 15
Fenol Total 0,25 0,08
Ammonia Total 4,0 1,2
(sebagai N)
pH 6–9
Debit Limbah 0,30 m3 per ton produk kayu lapis
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per M3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
LAMPIRAN B.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU, MAKANAN YANG TERBUAT DARI
SUSU

PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM


MAKSIMUM (KG/TON)
(mg/l)
PABRIK SUSU PABRIK
DASAR TERPADU
(kg/ton) (kg/ton)
BOD5 40 0,08 0,06
COD 100 0,20 0,15
TSS 50 0,10 0,075
pH- 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum- 2,0 L per kg total 1,5 L per kg
padatan susu- produk

Catatan:
1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton total padatan susu atau produk susu.
LAMPIRAN B.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN

PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m3)


MAKSIMUM Dengan Dengan Tanpa Tanpa
(mg/l) Pencucian Pencucian Pencucian Pencucian
Botol dan Botol dan Botol dan Botol dan
Dengan Tanpa Dengan Tanpa
Pembuata Pembuata Pembuata Pembuatan
n Sirop n Sirop n Sirop Sirop
BOD5 50 175 140 85 60
COD 30 105 84 51 36
TSS 6 21 17 10,2 7,2
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum- 3.5 L per L 2,8 L per L 1,7 L per L 1,2 L per L
produk produk produk produk
minuman minuman minuman minuman

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per m3 produk minuman ringan yang dihasilkan.
LAMPIRAN B.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN DAN PRODUK-PRODUK
MINYAK NABATI

PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM


(kg/ton)
MAKSIMUM SABUN MINYAK DITERJEN
(mg/l) NABATI
BOD5 75 0,60 1,88 0,075
COD 180 1,44 4,50 0,180
TSS 60 0,48 1,50 0,06
Minyak dan 15 0,120 0,375 0,015
lemak
Fosfat (sebagai 2 0,016 0,05 0,002
PO4)
MBAS 3 0,024 0,075 0,003
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum- 8 m3 per ton 25 m3 per 1 m3 per ton
produk sabun ton produk produk sabun
sabun

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter perton produk sabun atau minyak nabati atau diterjen.
LAMPIRAN B.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(gram/hrktolite
r)
BOD5 40 24,0
COD 100 60,0
TSS 40 24,0
pH 6-9
Debit Limbah 6 hektoliter per hektoliter Bir
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per hektoliter produk Bir.
LAMPIRAN B.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING

PARAMETER ALKALINE-MANGAN KARBON-SENG


KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM(mg PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
/l) MAKSIMUM(mg (mg/l) MAKSIMUM
/kg produk) (mg/kg produk)
COD - - 15 3,75
TSS 8 12 10 2,5
NH3-N Total - - 1 0,25
Minyak dan lemak 2 3,0 4 1,0
Seng (Zn) 0,2 0,3 0,3 0,075
Merkuri (Hg) 0,01 0,015 0,01 0,0025
Mangan (Mn) 0,3 0,45 0,3 0,075

Krom (Cr) 0,06 0,09 - -


Nikel (Ni) 0,4 0,6 - -
pH 6-9 6-9
Debit Limbah 1,5 L per kg baterei 0,25 L per kg baterei
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk baterai yang dihasilkan.
LAMPIRAN B.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/l) MAKSIMUM
(gram/m3
produk)
BOD5 80 40
TSS 50 25
Merkuri (Hg) 0,01 0,005
Seng (Zn) 1,0 0,50
Timbal (Pb) 0,30 0,15
Tembaga (Cu) 0,80 0,40
Khrom 0,20 0,10
Heksavalen
(Cr6+)
Titanium (Ti) 0,40 0,20
Kadmium (Cd) 0,08 0,04
Fenol 0,20 0,10
Minyak dan 10 5
Lemak
pH 6-9
Debit Limbah 0,5 L per produk cat water baseZero
Maksimum discharge untuk cat solvent base

Catatan:
1. Solvent Based cat harus zero discharge; semua limbah cair yang dihasilkan harus ditampung
atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
arameter per Liter air limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
gram parameter per m3 produk cat.
LAMPIRAN B.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI

PARAMETER PROSES FORMULASI


PEMBUATAN PENCAMPURAN
BAHAN (mg/L)
FORMULA
(mg/L)
BOD5 100 75

COD 300 150


TSS 100 75
TOTAL -N 30 -
Fenol 1,0 -
pH 6-9 6–9

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
LAMPIRAN B.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA

PARAMETER PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI/PE


NGEMASAN
KADAR BEBAN KADAR
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM
(mg/l) MAKSIMUM (mg/l)
(kg/ton
produk)
BOD5 30 0,60 15
COD 100 2,00 50
TSS 25 0,50 15
Fenol 2 0,04 1,5
Bensena 0,1 0,002 0
Toluena 0,1 0,002 0
Total CN 0,8 0,016 0
Tembaga (Cu) 1,0 0,02 0
Total -NH3 1,0 0,02 0
Bahan aktif Total 1,0 0,02 0,05
PH 6-9 6-9
Debit Limbah 20 m3 per ton produk -
Maksimum

Catatan:
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram
parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
kg atau gram parameter per ton produk pestisida.
LAMPIRAN C : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

LAMPIRAN C : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR

No PARAMETER SATUAN Golongan baku mutu limbah


cair
I II
FISIKA
Temperature Der C 38 40
Zat padat terlarut mg/l 2000 4000
Zat padat mg/l 200 400
tersuspensi
KIMIA
PH 6-9
Besi terlarut (Fe) mg/l 5 10
Mangan terlarut mg/l 2 5
(Mn)
Barium (Ba) mg/l 2 3
Tembaga (Cu) mg/l 2 3
Seng (Zn) mg/l 5 10
Krom heksavalen mg/l 0,1 0,5
(Cr6+)
Krom Total (Cr) mg/l 0,5 1
Cadmium (cd) mg/l 0,05 0,1
Raksa (Hg) mg/l 0,002 0,005
Timbal (Pb) mg/l 0,1 1
Stanum (Sn) mg/l 2 3
Arsen (As) mg/l 0,1 0,5
Selenium (Se) mg/l 0,05 0,5
Nikel (Ni) mg/l 0,2 0,5
Kobalt (Co) mg/l 0,4 0,6
Sianida (CN) mg/l 0,05 0,5
Sulfida (H2S) mg/l 0,05 0,1
Fluorida (F) mg/l 2 3
Klorin bebas (Cl2) mg/l 1 2
Amoniak bebas mg/l 1 5
(NH3-N)
Nitrat (NO3-N) mg/l 20 30
Nitrit (NO2-N) mg/l 1 3
BOD5 mg/l 50 150
COD mg/l 100 300
Senyawa aktif biru mg/l 5 10
metilen
Fenol mg/l 0,5 1
Minyak Nabati mg/l 5 10
Minyak mineral mg/l 10 50
Radioaktivitas ** mg/l - -

Catatan:
* = Untuk memenuhi baku mutu limbah cair tersebut kadar parameter limbah tidak diperbolehkan
dicapai dengan cara pengenceran dengan air yang secara langsung diambil dari siumber air. Kadar
parameter limbah tersebut adalah kadar maksimum yang diperbolehkan.

** = Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.


LAMPIRAN D : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

PENJELASAN TENTANG PERHITUNGAN DEBIT LIMBAH CAIR MAKSIMUM DAN BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUM UNTUK MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR

1. Debit Limbah Cair Maksimum

Penetapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan debit limbah cair
maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI dan
Lampiran B.XXI untuk masing-masing jenis industri, didasarkan pada tingkat produksi bulanan yang
sebenarnya. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut:

DM = Dm x Pb

Keterangan:

DM = Debit limbah cair maksimum yang dibolehkan bagi setiap jenis industri yang bersangkutan,
dinyatakan dalam m3/bulan.

Dm = Debit limbah cair maksimum sebagaimana tercantum dalam ketentuan Lampiran A.1 dan
Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI dan Lampiran B XXI yang sesuai dengan jenis industri
yang bersangkutan , dinyatakan dalam m3 limbah cair per satuan produk.

Pb = Produksi sebenarnya dalam sebulan, dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai dengan
yang tercantum dalam Lampiran A.1 dan Lampiran B.1 s/d Lampiran A.XXI dan Lanipiran
B.XXI untuk jenis industri yang bersangkutan.

Debit limbah cair yang sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :

DA = Dp x H

Keterangan :

DA = debit limbah cair yang sebenarnya, dinyatakan dalam m3/bulan.


Dp = hasil pengukuran debit limbah cair, dinyatakan dalam m3/hari.
H= jumlah hari kerja pada bulan yang bersangkutan.
Dengan demikian penilaian debit adalah :

DA tidak boleh lebih besar dari DM.

2. Beban Pencemaran.

Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan beban
pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d
Lampiran A.XXI dan Lampiran B.XXI untuk masing-masing jenis industri didasarkan pada
jumlah unsur pencemar yang terkandung dalam aliran limbah cair. Untuk itu digunakan
perhitungan sebagai berikut:

a. BPM = (CM) x Dm x f

Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran Maksimum per satuan produk, dinyatakan dalam kg parameter
per satuan produk.
(CM)j = kadar maksimum unsur pencemar j, dinyatakan dalam mg/1.
DM = debit limbah cair maksirnum sebagaimana tercantum dalam ketentuan
Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI dan Lampiran B.XXI
yang sesuai dengan jenis industri yang bersangkutan, dinyatakan dalam m3
limbah cair per satuan produk.

f = faktor konversi = _____1 kg ____ x 1000 l


1.000.000 mg m3

= 1/1000

beban pencemaran maksimum sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :

BPA = (CA)j x DA/Pb x f

BPA = beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg parameter per satuan produk.

(CA)j = kadar sebenarnya unsur pencemar j, dinyatakan dalam mg/l

DA = debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam m3/bulan

Pb = Produksi sebenarnya dalam sebulan dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai
dengan yang terlampir dalam Lampiran A.I dan Lampiran B.I s/d Lampiran A.XXI
dan Lampiran B.XXI untuk jenis industri yang bersangkutan.

f = faktor konversi = 1/1000

b. BPMi = BPM x Pb/H

Keterangan :

BPMi = Beban pencemaran maksimum perhari yang diperbolehkan bagi jenis industri yang
bersangkutan, dinyatakan dalam kg parameter per hari.

Pb = produksi sebenarnya dalam sebulan, dinyatakan dalam satuan produk yang sesuai
dengan yang tercantum dalam lampiran A.I dan dan Lampiran B.I s/d Lampiran
A.XXI dan Lampiran B.XXI untuk jenis industri yang bersangkutan.

Beban pencemaran maksimum yang sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :

BPAi = (CA)j x Dp X f

Keterangan :

BPAi = Beban pencemaran per hari yang sebenarnya dinyatakan dalam kg parameter perhari.

(CA)j = kadar sebenarnya unsur pencemar j , dinyatakan dalam mg/l

Dp = hasil pengukuran debit limbah cair, dinyatakan dalam m3/hari.

F= faktor konversi = 1/1000

Dengan demikian penilaian vevan pencemar adalah :


BPA tidak boleh lebih besar dari BPM
BPAi tidak boleh lebih besar dari BPMi
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 52 Tahun 1995
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi dan
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian
terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

2. bahwa kegiatan hotel mempunyai potensi menimbulkan pencemaran


lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap
pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;

3. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah


ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990
tentang Pengendalian pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu limbah Cair
Bagi Kegiatan Hotel;

Mengingat :

1. Undang-undang Gangguan (Hinder ordonantie) Tahun 1926, stbl. Nomor 226,


setelah diubah dan ditambah terakhir dengan stbl. 1940 Nomor 14 dan Tahun
450;

2. Undang-undang Nomor Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3046)

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara


Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Negara Nomor 3046)

4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38.Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215)

5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata (Lembaran Negara


Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3144);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air ( Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Tahun 1993 nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3538);

9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang


Pembentukan Kabinet Pembangunan VI);

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang


kedudukan, Tugas pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan
organisasi staf Menteri Negara ;

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH
CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

Pasal 1

(1) Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau


seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang
dikelola secara komersial yang meliputi hotel berbintang dan hotel
melati.

2. Hotel berbintang adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian


atau seluruh bangunan yang untuk menyediakan jasa pelayanan
penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum.
3. Baku Mutu Limbah cair Hotel Adalah batas maksimum limbah cair yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan.

4. Limbah Cair Hotel adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh
kegiatan hotel yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat
menurunkan kualitas lingkungan.

5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.


Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

6. Gubernur adalah Gubernur Kepala daerah Tingkat I, Gubernur Kepala


Daerah Khusus ibukota, atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3 ,4 ,5
adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Bagi Kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :

1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi


telah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku
mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;

2. tahap perencanaan dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini,


dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal
1 Januari tahun 2000;

3. Bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang
tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran B;

4. Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3

(1) Gubernur setelah mendapat persetujuan Menteri dapat menetapkan parameter


tambahan di luar parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini.
(2) Menteri memberikan tanggapan dan atau persetujuan selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini
tidak diberikan tanggapan dan atau persetujuan, maka permohonan tersebut
dianggap disetujui.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau
sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair seperti dalam lampiran
Keputusan ini.

Pasal 5

Analis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah
Cair Lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan hotel tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab kegiatan hotel wajib untuk:

1. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang


dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang
ditetapkan;

2. membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air


sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan;

3. memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut;

4. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan


air hujan;
5. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-
kurangnya satu kali dalam sebulan;

6. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar


parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c
dan e sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Bapedal, Gubernur,
dan isntansi teknis yang membidangi hotel, dan instansi lain yang
dianggap perlu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Keputusan ini dan


persyaratan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang
gangguan (Hinder Ordonantie)

Pasal 8

(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:

1. Baku Mutu Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini wajib disesuaikan
dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran
keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya
keputusan ini.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 58 Tahun 1995
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan
pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;

2. bahwa kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang


dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair yang dibuang ke
lingkungan dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Rumah
Sakit;

3. bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas dan untuk


melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan
dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit;

Mengingat :

1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226,


setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 14 dan Nomor
450;

2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Tenaga Atom (lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 124, tambahan Lembaran
negara Nomor 2722;

3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di


Daerah (lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, tambahan lembaran Negara
Nomor 56);

4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran negara


Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan (Lembaran Negara


tahun 1992 Nomor 100, tambahan Lembaran negara Nomor 3495);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian


Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kesehatan Kepala daerah (Lembaran Negara
Tahun 1987 Nomor 9 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3347);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan


Instansi Vertikal di daerah (Lembaran negara Tahun 1988 Nomor 10,
Tambahan Nomor 3373);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);

10. Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran negara
Tahun 1991 Nomor 24, tambahan lembaran negara Nomor 3409);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang
Pembentukan kabinet pembangunan VI;

13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;

14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU LIMBAH
CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

Pasal 1

(1) Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:


1. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan
kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat berfungsi sebagai tempat
pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian;

2. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang
kemungkinan mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia
beracun, dan radioaktivitas;

3. Baku Mutu Limbah cair Rumah Sakit adalah batas maksimal limbah cair
yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari suatu kegiatan rumah
sakit;

4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

5. Bapedal adalah badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala


Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;

Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan rumah sakit adalah sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini.

(2) Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau
secara berkala sekurang-kurangya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 3

(1) Bagi setiap rumah sakit yang:

1. Telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku baku


Mutu Limbah cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib
memenuhi Baku mutu limbah cair sebagaimana tersebut dalam lampiran
B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2000;

2. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini,


dan beroperaasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku baku
Mutu Limbah Cair lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah
cair lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
3. Tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalam lampiran B.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku


mutu Limbah cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini setelah
mendapat persetujuan:

1. Menteri dan menteri yang membidangi rumah sakit untuk parameter


nonradioaktivitas

2. Menteri dan Direktur Jenderal Bidang Atom nasional untuk parameter


radioaktivitas.

3. Tanggapan dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


pasal ini diberikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari
kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.

4. Apabila dalam jangka waktu senagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal
ini tidak diberikan tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan
dianggap telah disetujui.

Pasal 5

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan baku Mutu limbah cair lebih ketat atau
sama dengan baku Mutu limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran
keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Lampiran
Keputusan ini.

Pasal 6

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan rumah sakit mensyaratkan


baku Mutu limbah cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 5 ayat (1), maka bagi kegiatan rumah sakit
tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 7

(1) Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib:

1. Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan


sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui
Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;

2. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air


sehingga tidak terjadi perembesan ke tanah serta terpisah dengan
saluran limpahan air hujan;

3. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut;

4. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana


tersebut dalam lampiran keputusan ini kepada laboratorium yang
berwenang sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;

5. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar


parameter baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud huruf c dan d
sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Gubernur dengan
tembusan Menteri, Kepala Bapedal, Direktur Jenderal Badan Tenaga
Atom Nasional, instansi teknis yang membidangi rumah sakit serta
instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

Pasal 8

(1) Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung
atau terkena zat radioaktif pengelolanya dilakukan sesuai dengan ketentuan
Badan Tenaga Atom Nasional.

(2) Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah sakit sesuai
dengan bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang
bersangkutan.

(3) Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radiokatif dalam
kegiatannya, tidak diberlakukan kelompok parameter radioaktivitas dalam
pemeriksaan limbah cair rumah sakit yang bersangkutan

Pasal 9
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pasal 6 Keputusan ini, dan
persyaratan dalam pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang
Pengendalian pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang
gangguan (Hinder Ordinnantie).

Pasal 10

(1) Apabila baku Mutu limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat 91) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:

1. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini
dinyatakan tetap berlaku;

2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah
cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini wajib
disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini
selambat-lambatnya satu tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.

Pasal 11

Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian

Hambar Martono
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian

Hambar Martono
____________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
N0. 42 Tahun 1996
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Minyak Dan Gas Serta Panas Bumi

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang:
a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar
tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk
hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan
limbah cair ke lingkungan;
b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;

Mengingat :
1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);
2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2070);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan
Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di
Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan
Kerja Pada Pemurnian dan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 8538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Eksplorasi adalah segala cara penyelidikan geologi pertambangan
untuk menetapkan adanya dan keadaan bahan-bahan galian minyak
dan gas serta panas bumi.
2. Eksploitasi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk
menghasilkan bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi
dengan jalan yang lazim;
3. Pengilangan minyak adalah usaha memproses minyak dan gas bumi di
daratan atau di daerah lepas pantai dengan cara mempergunakan
proses fisika, kimia guna memperoleh dan mempertinggi mutu bahan-
bahan galian minyak dan gas serta panas bumi yang dapat digunakan;
4. Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan
penyaluran kembali Bahan Bakar Minyak (BBM) yang penerimaan /
penyalurannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan
pengairan (sungai, laut) sistem pipa, mobil tangki/bridgen dan Rail
Tank Wagon (RTW);
5. Baku Mutu Limbah cair Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang
adanya dalam limbah cair untuk dibuang dan kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi;
6. Limbah Cair adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh
kegiatan dibidang minyak dan gas serta panas bumi yang dibuang ke
lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan;
7. Debit maksimum limbah cair adalah debit tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
8. Kadar maksimum limbah cair adalah kadar tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
9. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11. Instansi teknis ada instansi yang bertanggung jawab di bidang
kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi;
12. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;
13. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.

Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis kegiatan Minyak dan Gas serta
Panas Bumi:
a. Eksplorasi dan produksi migas adalah sebaga tersebut dalam
Lampiran I dan II;
b. Eksplorasi dan produksi panas bumi adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran III;
c. Pengilangan minyak bumi adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran IV dan V;
d. Pengilangan LNG dan LPG adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran VI;
e. Instalasi, depot dan terminal minyak adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran VII;
(2) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali jenis kegiatan pengilangan
minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c pasal ini
ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar.

Pasal 3
Bagi jenis kegiatan:
a. Eksplorasi dan produksi migas yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagammana dimaksud dalam
Lampiran I;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Lmmbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
lampiran I;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II;
4) Apabila menggunakan fasilitas pengolahan yang lama untuk
kegiatan pengembangan kilang Migas, berlaku Baku Mutu
Limbab Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
b. Pengilangan minyak bumi yang:
1) Telah beroperasi sebelum dmtetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setetah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V;
Pasal 4
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setiap saat tidak boleh dilampaui.

Pasal 5
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan
in ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5(lima) tahun.

Pasal 6
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter
yang tercantum dalam Iampiran keputusan ini setelah mendapat
persetujuan dan Menteri.
(2) Menteri mengeluarkan keputusan mengenai parameter tambahan
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis yang
bersangkutan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat
lambatnya 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan
persetujuan.
(4) Apabila telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak diberikan keputusan, maka dianggap Menteri telah
mengeluarkan keputusan penolakan.

Pasal 7
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Instansi teknis yang
bersangkutan.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini maka berlaku Baku
Mutu Limbah Cair seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 8
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan
oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 9
Setiap penanggungjawab kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib untuk:
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang
dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang
telah ditetapkan.
b. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut khusus untuk kegiatan
pengilangan Migas.
c. Memeriksa kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang
kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan.
d. Menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian khusus
kegiatan Pengilangan Migas dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c sekurang-kurangnya
3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Kepala Bapedal, Menteri dan
instansi teknis serta pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 10
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dicantumkan
ke dalam izin yang dianggap relevan untuk pengendalian pencemaran bagi
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan ini.

Pasal 11
Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, wajib
disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkan Keputusan ini.

Pasal 12
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 9 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd,
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian

ttd
Hambar Martono
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS

LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS
LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS

LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


PENGILANGAN MINYAK BUMI
LAMPIRAN V
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


PENGILANGAN MINYAK BUMI

LAMPIRAN VI
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


PENGILANGAN LNG DAN LPG TERPADU
LAMPIRAN VII
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


INSTALASI, DEPOT DAN TERMINAL MINYAK

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 9 Tahun 1997
Tentang : Perubahan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 Tentang :
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak Dan Gas
Serta Panas Bumi

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar


tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk
hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan
limbah cair ke lingkungan;

b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah


Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;

c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;

d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dipandang perlu


menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;

Mengingat :

1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);

2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2070);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan


Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah
Lepas Pantai (lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3031);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan


Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai


(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3445);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaaran Negara Nomor 3538);

11. Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan


Kabinet Pembangunan VI;

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang


Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;

13. Keputusan Presiden Rpeublik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI.

Pasal I

Mengubah ketentuan pada Lampiran IV dan Lamppiran V Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-42/MENLH/10/1996 tentang Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sehingga
seluruhnya berbunyi sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tangga ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal: 22 Appril 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja

__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 3 Tahun 1998
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan
Industri

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar


tetap bermanfaat bagi manusia serta makhluk hidup lainnya perlu
dilakukan upaya pengendalian terhadap pembuangan limbah cair
ke media lingkungan;

2. bahwa kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri


mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup,
oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian;

3. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air


sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air, perlu ditetapkanlebih lanjut Baku Mutu Limabh
Cair;

4. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu


menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri;

Mengingat :

1. Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian


(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3257);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993


tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Menteri Negara;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994


tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996


tentang Kawasan Industri;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU
MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan


industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang
yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan
Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri;

2. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang


mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan
Industri;

3. Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum


limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup dari
suatu Kawasan Industri;

4. Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair


yang dihasilkan oleh kegiatan Kawasan Industri yang dibuang ke
lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan kualitas
lingkungan hidup;

5. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan


dengan debit, kadar dan beban pencemar;
6. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke lingkungan hidup;

7. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan


dibuang ke lingkungan hidup;

8. Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi


yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup;

9. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan


hidup;

10. Bapedal adalah badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

11. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur


Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah
Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah
mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini.

(2) Bagi Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah


Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis
industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah


maksimum sebagaimana tersebut dalam lampiran I Keputusan ini
dapat dilampaui sepanjang beban pencemaran maksimum tidak
dilampaui.

(4) Perhitungan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana


dalam Lampiran II Keputusan ini.

(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam
5 (lima) tahun.
Pasal 3

Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku


Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini
dengan persetujuan Menteri

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih
ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.

Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri


mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri
tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang
dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri wajib


untuk :

a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah


cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidak melampaui
Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;

b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air


sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke
lingkungan;

c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan
melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;

d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair


sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini
secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam
sebulan;
e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan
limpahan air hujan;

f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai,


catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Kepala
Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi
Teknis yang membidangi kawasan industri, dan instansi lain
yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 7

Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri dilarang


melakukan pengenceran limbah cair.

Pasal 8

Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), telah ditetapkan sebelum Keputusan
ini:

(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;

(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini
wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini selambat-lambatnya 1
(satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Menteri Negara Lingkungan
Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998

Menteri Negara Lingkunagan Hidup

Ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian

ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI,

PENJELASAN TENTANG PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN MEKSIMUM


UNTUK MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR

Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan
beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam lampiran I
berdasarkan pada jumlah unsure pencemar yang terkandung dalam aliran limbah
cair. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut :
1. Beban Pencemaran Maksimum
BPM = (Cm)j x Dm x A x f . . . . . . . . . . . . . . . . (II.1.1)
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran maksimum yang diperbolehkan,
dinyatakan dalam kg parameter per hari.
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam
lampiran I Keputusan ini, dinyatakan dalam mg/l.
Dm = Debit Limbah cair maksimum seperti tercantum dalam
lampiran I, dinyatakan dalam L limbah cair per detik per
hectare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hectare
(HA).
f = factor konversi = 1 kg * 24 x 3600 detik = 0,086 …
(II.1.2)
1.000.000 mg hari

2. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :


BPA = (CA)j x (DA) x f . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ( II.2.1)
Keterangan :
BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg
parameter per hari
(CA)j = Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l.
DA = Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
F = faktor konversi = 0,086

3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM

4. Contoh penerapan
Data yang diambil dari lapangan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair
Kawasan Industri adalah :
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hectare, HA]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/l]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]

Contoh perhitungan :
Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1.500
hektare. Parameter dari Lampiran I yang akan dijadikan contoh perhitungan
adalah parameter (j) BOD.

Dari Lampiran I diketahui :


- Debit maksimum yang di perbolehkan (Dm) = 1 l/det/Ha
Untuk parameter BOD diketahui :
- Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter
- Beban maksimum yang diperbolehkan = 4,3 kg/hari/HA

Data lapangan
- Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
- Debit hasi pengukuran (DA) = 1.000 l/det
- Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1.500 HA

Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk


kawasan Industri tersebut (persamaan II.1.1) adalah :
BPM = Cm x Dm x f x A
= 50 x 1 x 0,086 x 1.500
= (4,3 kg/hari/HA) x 1.500 HA
= 6.450 kg/hari

Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri


tersebt (persamaan II.2.1) adalah :
BPA = CA x DA x f
= 60 x 1.000 x 0,086
= 5.160 kg/hari

Dari contoh diatas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450
kg/hari), jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998

Menteri Negara Lingkungan


Hidup,

ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian

ttd.
Hambar Martono

______________________________________
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 28 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH


DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 35 jo Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kajian pemanfaatan air limbah ke tanah
merupakan persyaratan yang harus dilakukan dalam pengajuan permohonan izin pemanfaatan air
limbah untuk aplikasi pada tanah;

b. bahwa salah satu pemanfaatan air limbah ke tanah adalah pemanfaatan air limbah dari industri minyak
sawit pada perkebunan kelapa sawit;

c. bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pedoman teknis pengkajian pemanfaatan
air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan hidup;

d. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak
Sawit Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan lembaran
Negara Nomor 3952);

5. Peraturan Perundang-undangan Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemar Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4161);

6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN
PEMANFAATAN AIR LIMBAH DARI INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT.

Pasal 1

(1) Setiap pemrakarsa yang akan memanfaatkan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
wajib mengajukan permohonan pengkajian pemanfaatan kepada Bupati/Walikota.

86
(2) Permohonan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
didasarkan pada salah satu hasil kajian berikut ini :
a. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL);
b. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);
c. Studi Mengenai Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) ;
d. Dokumen Pengelolaan Lingkungan (DPL).

Pasal 2

Bupati/Walikota menyetujui usulan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
dengan syarat dan tata cara berpedoman pada Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Bupati/Walikota menetapkan persyaratan minimal untuk pelaksanaan pengkajian pemanfatan air limbah, yaitu :
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah;
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat;
d. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
e. nilai pH berkisar 6-9;
f. dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
g. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
h. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
i. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter;
j. areal pengkajian seluas 10 – 20 persen dari seluruh areal yang akan digunakan untuk pemanfaatan air limbah;
k. pembuatan sumur pantau.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai kebutuhan masing-
masing daerah yang bersangkutan.

(3) Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit adalah
sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.

Pasal 4

Bupati/Walikota menerbitkan surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan
kelapa sawit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak usulan pengkajian diterima.

Pasal 5

Dalam surat persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib
dicantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b. metode dan frekuensi pemantauan;
c. pelaporan hasil pemantauan yang disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur provinsi yang
bersangkutan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup ;
d. larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalan Keputusan ini;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku.

Pasal 6

(1) Pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit dilakukan
minimal selama 1 (satu) tahun.

87
(2) Pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit hanya dilakukan 1 (satu)
kali pada lokasi dan tempat yang sama.

Pasal 7

Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada
perkebunan kelapa sawit.

Pasal 8

Persetujuan pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila
ditemukan adanya pelanggaran terhadap persyaratan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.

Pasal 9

Berdasarkan hasil kajian seperti dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) , pemrakarsa mengajukan permohonan izin pemanfaatan air
limbah kepada Bupati/Walikota.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan ini sesuai aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

88
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 28 Tahun 2003
Tanggal : 25 Maret 2003

PEDOMAN TEKNIS PENGKAJIAN


PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT
PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

A. PENDAHULUAN
Pedoman teknis pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah ini dibuat agar terdapat kesesuaian pemahaman mengenai
aspek-aspek yang harus ditinjau dalam menentukan kelayakan lingkungan dari suatu kegiatan pemanfaatan air limbah
pada tanah.
Pengkajian air limbah pada tanah perlu dilakukan karena adanya potensi akumulasi bahan pencemar dalam tanah serta
kemampuan tanah dalam menetralisasi air limbah terbatas dan berbeda-beda tergantung pada karakteristik tanah seperti
permeabilitas tanah, komposisi dan sifat kimia tanah.
Selain itu, pengkajian dimaksudkan untuk mengetahui rona awal sebagai data dasar dalam penentuan ada tidaknya
pencemaran dan dalam pengelolaan pemanfaatan selanjutnya. Melalui pengkajian ini pemrakarsa akan memperoleh
pengalaman dalam mempersiapkan program pemantauan dan melaksanakannya.
Pada kenyataannya dalam menentukan ada atau tidaknya pencemaran tanah diperlukan waktu yang relatif panjang karena
tanah memiliki kemampuan penyanggaan yang tinggi untuk meredam pengaruh luar. Akan tetapi agar pengkajian
pemanfaatan air limbah segera mendapat kepastian status hukum, maka ditetapkan waktu pengkajian selama minimal 1
(satu) tahun di mana dalam kurun waktu tersebut kecenderungan adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
dapat diketahui.
Guna meminimalisasi terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan akibat pemanfaatan air limbah minyak sawit,
maka di dalam pedoman ini dijelaskan hal-hal yang harus dilakukan baik oleh pemerintah, maupun pemrakarsa dalam
pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah.

B. FUNGSI DAN TUJUAN


Tujuan pedoman ini adalah sebagai acuan dalam melakukan pengkajian pemanfaatan air limbah dari industri minyak sawit
pada tanah di perkebunan kelapa sawit.

C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kajian meliputi:
1. Mengidentifikasi rencana pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah.
2. Memperkirakan dan mengevaluasi pengaruh pemanfaatan air limbah industri minyak sawit terhadap tanah, air tanah,
tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat.
D. TATA CARA PENGKAJIAN
1. Usulan kegiatan pengkajian pemanfaatan air limbah dan evaluasinya.
Dalam melakukan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah, pemrakarsa wajib terlebih dahulu memberitahukan rencana
kegiatan Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah (Land Application) kepada Bupati/Walikota dengan menyampaikan surat
pemberitahuan beserta usulan rencana pengkajian. Selanjutnya Bupati/Walikota menyampaikan usulan pengkajian
kepada Instansi yang bertanggungjawab.
2. Usulan pengkajian meliputi :
a. Lokasi dan Waktu Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah:
a.1. Lokasi:
a.1.1. Pemrakarsa harus menetapkan luas seluruh lokasi lahan yang akan digunakan untuk
pemanfaatan air limbah.
a.1.2. Pemrakarsa harus menetapkan luas lokasi yang akan digunakan untuk pengkajian dan kontrol
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.1.2.1. Luas lahan pengkajian adalah 10 - 20 persen dari seluruh luas lahan yang diusulkan
untuk pemanfaatan air limbah.
a.1.2.2. Luas lahan kontrol adalah 1 - 5 persen dari luas lahan yang diusulkan untuk
pemanfaatan air limbah.
a.1.3. Lahan pengkajian dan lahan kontrol harus merupakan bagian dari lahan yang akan mengalami
pemanfaatan air limbah pada tanah dan memiliki karakteristik, jenis dan usia tanam pohon yang
sama.
a.2. Waktu:
Waktu pelaksanaan pengkajian ditentukan minimal selama 1 (satu) tahun.

b. Metode:
Metode pemanfaatan air limbah pada tanah yang saat ini banyak digunakan adalah metode irigasi dengan
flatbed system, furrow system, dan long bed system dengan sistem saluran tertutup atau tidak berhubungan
dengan badan air (sungai, danau, dan lain-lain).

89
b.1. Flatbed system atau sistem parit datar adalah sistem irigasi yang ditampung dengan kolam-kolam datar
bersambung untuk lahan dengan ketinggian relatif tidak sama atau terasiring (Gb.1).
b.2. Furrow system (Gb. 2) atau sistem parit/saluran alir tertutup. Sistem furrow sendiri ada dua (2) macam,
yaitu: zig-zag furrow dan straight furrow. Zig-zag furrow digunakan di area dimana kecuramannya relatif
tinggi (lebih dari 30 derajat), hal ini dimaksudkan untuk memperlambat aliran dan mengurangi erosi di
area yang lebih tinggi dan mengurangi genangan di area yang lebih rendah dimana dengan begitu
diharapkan distribusi yang rata. Straight furrow digunakan di area yang kecuramannya lebih rendah (di
bawah 30 derajat).
b.3. Long Bed system (Gb. 3) atau sistem saluran panjang berbaris untuk lahan dengan ketinggian sama atau
rata dan tanah dengan permeabilitas rendah (daya serap ke dalam tanah tidak bagus).
C Dosis, debit dan rotasi pemanfaatan:
Mekanisme perhitungan dosis, debit, kebutuhan lokasi dan rotasi penyiraman atau pemanfaatan air limbah dapat
menggunakan contoh perhitungan sebagai berikut:

‰ Luas Lokasi Debit air limbah (m3/tahun)


= Dosis air limbah (m3/ha/tahun )
‰ Debit air limbah Kapasitas olah Pabrik Kelapa Sawit x Rasio produksi air limbah terhadap Produksi TBS.
=
Rasio ini berkisar antara 0,6 – 0,8 (m3 limbah/ton TBS diproduksi)
‰ Dosis air limbah ≈ 10 cm rey (rain equivalent per year)
Contoh perhitungan dosis :
a. Kapasitas olah
PKS : 250.000 ton Tandan Buah Segar/tahun
b. Apabila dosis air limbah = 10 cm rey = 1000 m3 pertahun/ha
c. Kebutuhan 250.000 ton TBS/tahun x 0,6 = 150 ha
lokasi = 1000 m3
‰ Kekerapan Pemanfaatan
Dengan dasar flatbed mengisi 1/6 luas lokasi
a. Jumlah yang dimanfaatkan kedalam flatbed = 10 cm x 6 = 60 cm
Oleh karena jumlah pada setiap pemanfaatan adalah 10 cm kekerapan pemanfaatan (rotasi
pemanfaatan/penyiraman) = 60 cm / 10 cm = 6 kali per tahun atau sekali / 2 bulan

d. Pemantauan
d.1. Dampak terhadap lingkungan
Jenis, lokasi dan cara pengambilan sampel serta parameter minimal yang harus di amati adalah sebagai
berikut:
d.1.1. Jenis Sampel
Jenis sampel yang diambil adalah sampel tanah, air tanah dan air limbah.
d.1.2. Lokasi, cara pengambilan sampel dan parameter minimal yang harus diamati:
d.1.2.1. Sampel Tanah
Lokasi
Syarat utama dalam pemilihan lokasi pengambilan sampel adalah lokasi tersebut
harus mewakili lokasi pengkajian. Dalam penetapan sampel ini pemrakarsa wajib
mengkoordinasikan dengan instansi yang bertanggung jawab di daerah.
Pemilihan lokasi harus berdasarkan dugaan mengenai pergerakan kation-kation,
baik secara vertikal maupun horizontal. Pergerakan kation secara vertikal
berkaitan dengan pencucian kation-kation menuju air tanah yang dapat
menimbulkan pencemaran air tanah, sedangkan pergerakan kation horizontal
adalah pergerakan dari parit irigasi ke arah tanaman.
Untuk maksud di atas maka lokasi pengambilan sampel ditetapkan pada 3 (tiga)
lokasi yaitu di parit irigasi (rorak), antara parit dan tanaman (antar rorak), dan di
lahan kontrol pada enam kedalaman sebagai berikut:
(a). 0 - 20 cm
(b). 20 - 40 cm
(c). 40 - 60 cm
(d). 60 - 80 cm
(e). 80 - 100 cm
(f). 100 - 120 cm

Cara pengambilan sampel


Pengambilan sampel tanah di parit irigasi (rorak) dilakukan setelah kerak limbah
yang menumpuk dipermukaannya dibuang atau disisihkan dari parit.
Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel tanah
yaitu sampel tanah terganggu dan sampel tanah utuh.

90
(a). Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan
menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk
mengukur parameter seperti pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar
nitrogen, C-organik, fosfat, dan unsur-unsur tertentu serta tekstur tanah
(kandungan pasir, debu, dan liat atau lempung).
Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan menggunakan bor
tanah mineral, sampel tanah diambil pada setiap 20 cm sedalam 120 cm
atau 6 (enam) lapis. Berat sampel tanah terganggu yang diambil dengan
menggunakan masing-masing + 0.5 kg. Sampel tanah tersebut
dimasukkan ke dalam kantong plastik rengkap 2 (dua). Dengan diberi label
yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.
(b). Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan
menggunakan ring sampler dan digunakan untuk mengukur bobot isi,
porositas dan permeabilitas.
Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada
kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, masing-masing 2 (dua) sampel. Satu
sampel digunakan untuk mengukur porositas dan bobot isi, sedang sampel
lainnya digunakan untuk mengukur permeabilitas.
Parameter minimal yang harus diamati
Pengamatan dilakukan dengan frekuensi satu tahun sekali untuk parameter-
parameter yang tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1 : Parameter dan Metode Analisa Tanah

No Parameter Metode
1. pH dalam air pH-meter
2. C-organik Walkley – Black
3. N Total Kjeldahl
4. P tersedia Bray I
5. Kation dapat ditukar K, Na, Ca, Mg NH40Ac pH 7.0
6. Kapasitas tukar kation Diukur dengan atomic absorption
spectrophotometer
7. Kejenuhan Basa (Ca+Mg+K+Na)/KTK * 100%
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Cd, Zn) Destruksi basah
9. Tekstur (pasir, debu, liat) Pipet
10. Minyak lemak Soklet

d.1.2.2. Sampel Air Tanah


Lokasi
Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol,
lahan pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah dan sumur penduduk
terdekat yang lokasinya lebih rendah dan diperkirakan memiliki peluang tercemar
air limbah.
Pembuatan sumur pantau harus memperhatikan keamanan sumur terhadap
kontaminasi air hujan dan atau kontaminan lain yang berasal dari luar.
Pengambilan sampel
Pengkajian pengambilan sampel air tanah di sumur pantau dan sumur penduduk
mengacu pada metode pengambilan sampel air yang berlaku.
Parameter minimal yang harus diamati
Pengamatan dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali untuk parameter-parameter
sebagaimana tersebut dalam Tabel 2.

Tabel 2. Parameter dan Metode Analisa Air tanah

No. Parameter Metode


1. BOD5 Winkler
2. DO Winkler
3. pH pH Meter
4. NO3 sebagai N Colorimetric
5. NH3-N Colorimetric
6. Cd AAS
7. Cu AAS
8. Pb AAS
9. Zn AAS
10. Cl- Titrimetric
11. SO42- Colorimetric

91
d.1.2.3. Sampel Air Limbah
Lokasi
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air
limbah.
Pengambilan Sampel
Pengkajian pengambilan sampel air limbah di outlet yang menuju lahan kajian
mengacu pada metode pengambilan sampel air yang berlaku.
Parameter minimal yang harus diamati
Parameter-parameter minimal yang diamati diuraikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Parameter, Metode Analisa Sampel Air Limbah, dan Frekuensi


Pengamatan
No. Parameter Metode Frekuensi
1. Debit Harian
2. BOD5 Winkler Bulanan
3. COD
4. pH pH-meter Harian
5. Minyak dan Lemak Soklet Bulanan
6. Pb AAS Bulanan
7. Cu AAS Bulanan
8. Cd AAS Bulanan
9. Zn AAS Bulanan
d.1.3. Kebauan:
Pengukuran tingkat kebauan dilakukan di lokasi kebun yang digunakan untuk pengkajian
pemanfaatan air limbah pada tanah dan sekitarnya.
Parameter kebauan mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50
Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan.

d.1.4. Dampak terhadap tanaman dan masyarakat disekitarnya.


Pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui dampak pemanfaatan air limbah pada tanah
terhadap tanaman adalah pengamatan hasil panen pada tandan buah segar yang ada di lokasi
kajian pemanfaatan air limbah dan di lahan kontrol. Sedangkan pengamatan dampak terhadap
masyarakat adalah pengamatan yang dilakukan terhadap masyarakat terdekat dengan lokasi
kajian pemanfaatan air limbah adalah pengamatan terhadap penyakit yang diderita.

3. Pemrakarsa wajib menyampaikan laporan pengkajian pemanfaatan air limbah yang sedang dilakukan secara berkala
setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada
Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri Negara Lingkungan Hidup.

4. Evaluasi Laporan Hasil Pemantauan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit di Perkebunan
Kelapa Sawit dilakukan Instansi yang bertanggungjawab yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Evaluasi dilakukan dengan melakukan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan
yang meliputi: kondisi tanah, kondisi air tanah, kebauan, kondisi tanaman, serta kondisi air limbah yang sesuai
dengan baku mutu sebagaimana ditetapkan dalam izin.
Apabila dari hasil evaluasi tersebut tidak menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan,
maka pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dapat dilanjutkan. Sedangkan bila hasil evaluasi menunjukkan
adanya indikasi pencemaran maka pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan yang berarti persetujuan
pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah dicabut dan pemrakarsa harus melakukan pemulihan kualitas
lingkungannya.

E. PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PENGKAJIAN


Pengarahan yang wajib diberikan kepada pemrakarsa dalam menyusun Laporan Pelaksanaan Pengkajian Pemanfaatan Air
Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit mengacu pada sistematika berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan ini mencakup:
I.1. Latar Belakang
Uraian secara singkat latar belakang dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah ditinjau dari:
a. Kaitan rencana usaha/kegiatan dengan dampak penting yang ditimbulkan terhadap lingkungan
b. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-undangan Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air
c. Landasan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup dikaitkan dengan konsep Nir Emisi (Zero
Emissions).

92
I.2. Tujuan
Pada bagian ini disebutkan tujuan dilaksanakannya pengkajian pemanfaatan air limbah dengan
mengacu kepada beberapa aspek, antara lain:
a. Aspek Hukum : sebagai prasyarat untuk mendapatkan izin pemanfaatan air limbah ke tanah untuk
aplikasi pada tanah (Pasal 20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup jo Pasal 35 dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air);
b. Aspek lingkungan: mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak
terutama pada air tanah, air permukaan, gangguan kebauan, vektor penyebab penyakit, dll;
c. Aspek tanaman: evaluasi terhadap peningkatan produksi TBS (Tandan Buah Segar).
I.3. Manfaat Pemanfaatan Air Limbah
Uraian secara singkat manfaat pemanfaatan air limbah ditinjau dari sudut pandang:
a. Lingkungan (air, tanah, udara) dan kesehatan masyarakat;
b. Industri yang melaksanakan ditinjau dari aspek produksi bersih, biaya pengolahan/operasional.

BAB II. URAIAN KEGIATAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT


Pada bagian ini diuraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik itu kegiatan kebun maupun kegiatan pabrik
secara singkat.

II.1. Kebun
Pada bagian ini menjelaskan teknik budidaya yang diterapkan di kebun bersangkutan, meliputi:
a. Penanaman
Secara singkat dijelaskan tahun tanam, susunan dan jarak tanam;
b. Perawatan Tanaman
Perawatan yang dilakukan meliputi penyulaman, penanaman tanaman sela, pemberantasan gulma,
pemangkasan, pemupukan, replanting, kastrasi, penyerbukan buatan serta pengendalian hama dan
penyakit tanaman. Penjelasan tentang pemupukan diuraikan secara rinci, menyangkut jenis pupuk,
dosis, waktu pemberian, cara pemberian dan pemanfaatan air limbah jika telah dilakukan;
c. Panen
Dijelaskan secara singkat kriteria matang panen yang diterapkan, cara panen, rotasi dan sistem
panen.
II.2. Pabrik
Pada bagian ini diuraikan secara singkat tentang pengolahan hasil serta pengolahan dan pemanfaatan
limbah sebagai berikut:
a. Produksi
Jelaskan berapa besar produksi (ton TBS/ha/tahun) yang dicapai dan kandungan rendemen
(prosentase/tonTBS);
b. Pengolahan Hasil
Diuraikan secara singkat pengangkutan TBS ke pabrik, perebusan TBS, perontokan dan pelumatan
buah, pemerasan atau ekstrasi minyak sawit, pemurnian dan penjernihan minyak sawit, pengeringan
dan pemecahan biji, agar disajikan dalam flow diagram neraca bahan termasuk neraca air, bahan
baku, bahan penolong dan sumber air yang digunakan;
c. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah
Jelaskan limbah apa saja yang terbentuk sebagai hasil samping dari kegiatan pengolahan hasil baik
itu limbah padat, cair dan gas. Upaya-upaya pemanfaatan limbah yang telah dilaksanakan, serta
sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah/IPAL (Lampirkan Skema/Desainnya). Khusus untuk air limbah
disebutkan volume dan kualitasnya (Parameter sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 51 Tahun 1995). Peta Situasi Kebun agar disajikan pada peta dengan skala minimal 1:50.000.

BAB III. RONA LINGKUNGAN


Hal-hal yang harus dikemukakan dalam bagian ini adalah:
a. Rona lingkungan hidup wilayah kegiatan dibatasi pada komponen-komponen lingkungan yang berkaitan
dengan pengkajian pemanfaatan air limbah atau berpotensi terkena dampak;
b. Komponen-komponen lingkungan hidup pada butir a. harus digambarkan secara jelas dan detail.
Berikut ini adalah beberapa komponen lingkungan hidup yang minimal harus tergambar dalam Rona
Lingkungan. Pemrakarsa dapat menelaah komponen lingkungan yang lain di luar komponen tersebut
apabila dianggap penting dan terkait dengan pemanfaatan air limbah. Pada lokasi pemanfaatan air limbah
di lahan perkebunan dan lokasi lahan kontrol disajikan pada peta skala minimal 1:50.000.
III.1. Morfologi Lahan
Bagian ini berisi gambaran menyeluruh tentang kelerengan (kemiringan lereng) dan bentuk. Kondisi
morfologi ini akan sangat berpengaruh terhadap arah aliran air tanah dan air permukaan yang secara
tidak langsung akan mempengaruhi arah aliran air limbah yang dimanfaatkan di permukaan tanah.
Kemiringan lereng diwujudkan dalam bentuk Peta Kemiringan Lereng (contoh terlampir) dan bentuk
lahan diwujudkan dalam bentuk Peta Bentuk Lahan. Peta Kemiringan Lereng harus memuat informasi
Kelas lereng sebagaimana diuraikan dalam Tabel 4.

93
Tabel 4: Kelas Lereng
Datar 0-3%
Landai 3-8%
Agak Miring 8-16%
Miring 16-30%
Agak Curam 30-45%
Curam 45-65%
Sangat Curam >65%

III.2. Kondisi Tanah


Komponen tanah yang harus diketahui dan tertuang di dalam dokumen laporan secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam sifat-sifat fisik kimia dan sifat geofisik tanah.
a. Sifat fisik tanah meliputi:
a.1. Jenis tanah, misal: gambut, padsolik, latosol dan lain-lain
a.2. Porositas tanah
a.3. Tekstur tanah tergambar dari prosentase debu, pasir dan liat, misal: pasir, lempung,
lempung berpasir, dan lain-lain.
a.4. Kedalaman Solum Tanah, kelas kedalaman solum tanah yang digunakan adalah sebagai
berikut:
(a). Sangat dangkal = 0-30 cm
(b). Dangkal = 30-60 cm
(c). Sedang = 60-90 cm
(d). Dalam = 90-150 cm
(e). Sangat dalam = > 150 cm

b. Sifat Kimia Tanah


Sifat kimia tanah menggambarkan tingkat kesuburan tanah. Pada bagian ini beberapa komponen
penting yang harus tergambar adalah kandungan bahan organik, pH tanah, kandungan
hara/logam (N, P, K, Ca, Mg dan lain-lain).
Pembahasan tentang sifat-sifat kimia tanah perlu dibedakan sebagai berikut:
b.1. Apabila topografi lokasi kebun relatif datar, disimpulkan dari komponen tanah pada
sebagian besar lokasi kebun atau yang diambil secara acak dan representatif dari seluruh
lokasi kebun;
b.2. Apabila topografi kebun miring atau bergelombang, perlu dibedakan rona tanah pada lokasi
yang mempunyai ketinggian relatif besar dengan rona tanah pada ketinggian yang relatif
kecil
c. Sifat Geofisik Tanah
Pada bagian ini harus tergambar stabilitas tanah yaitu kerawanan terhadap bahaya lingkungan,
seperti: longsor dan gempa.
III.3. Hidrologi
Dua komponen hidrologi yang perlu diperhatikan adalah:
a. Air Permukaan (surface water) yang mencakup semua air pada tubuh air di permukaan,
misalnya: sungai, anak-anak sungai dan alur sungai, danau, pond dan rawa. Data yang
diperlukan adalah:
a.1. Peta air permukaan (surface water) dan data lain tentang air permukaan:
a.1.1. Berisi informasi sungai, anak-anak sungai dan alur sungai;
a.1.2. Buffer area (100 m dari tepi/bibir sungai utama atau 50 m dari tepi anak-anak
sungai pada saat pasang tertinggi;
a.1.3. Sifat aliran (mengalir sepanjang tahun, mengalir pada musim tertentu atau jika
hanya ada hujan saja);
a.1.4. Pola aliran (dendritik, anguler, trelis, dan lain-lain);
a.1.5. Lokasi pemantauan kualitas air;
a.1.6. Debit rata-rata sungai (harian/bulanan/ tahunan /musim).
a.2. Peta Topografi:
a.2.1. Berisi informasi elevasi (kontur ketinggian) dan kemiringan lereng;
a.2.2. Data Penyediaan dan Pemanfaatan air:
(a). Sumbernya;
(b). Minum;
(c). Mandi Cuci;
(d). Industri;
(e). Pertanian/Perkebunan;
(f). Lain-lain;

94
a.2.3. Data Kualitas Air Sungai
Parameter kualitas air sungai mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

b. Air Tanah (groundwater) yaitu air yang tersimpan dan atau mengalir di dalam tanah di bawah
water table (muka air tanah = setara dengan permukaan air sumur)
Data yang perlu dituangkan dalam laporan adalah:

b.1.1. Peta Topografi


Yang memuat informasi kontur ketinggian dan kemiringan lereng;
b.1.2. Peta Geologi
Diperlukan untuk mengetahui tipe aquifer ;
b.1.3. Data kecepatan infiltrasi dan kapasitas infiltrasi
Yang diambil di beberapa lokasi sesuai dengan perbedaan morfologi
(lereng/bentuk lahan);
b.1.4. Peta air tanah
Yang memuat informasi kedalaman air tanah (dengan variasi musim) dan arah
aliran tanah dan tipe aquifer;
b.1.5. Lokasi dan jumlah sumur pantau
Ditentukan berdasarkan:
(a). Arah aliran air tanah;
(b). Morfologi;
(c). Jarak dari lokasi pemanfaatan air limbah;
(d). Kedalaman air tanah;
(e). Kecepatan infiltrasi (yang ini perlu dibuat formulanya dan alasan-
alasannya);
b.1.6. Kualitas air tanah
Yang diambil pada sumur pantau;
b.1.7. Pola pemanfaatan air tanah
Yang memuat informasi:
(a). Untuk air minum, mandi, cuci;
(b). Industri;
(c). Pertanian;
(d). Dan lain-lain;
III.4. Iklim
Data tentang iklim di lokasi kebun diperlukan untuk mengetahui pengaruh iklim terhadap
kelayakan pemanfaatan air limbah dan dampak pemanfaatan air limbah terhadap lingkungan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan iklim adalah:
a. Komponen iklim yang perlu ditelaah antara lain curah hujan, jumlah hari hujan, arah dan
kecepatan angin serta iklim.
b. Penelaahaan yang dilakukan untuk setiap komponen iklim adalah rata-rata bulanan dan
tahunan minimal selama lima tahun terakhir. Untuk arah dan kecepatan angin yang perlu
ditelaah hanya pada ketinggian yang umum untuk kawasan pemukiman.
c. Perubahan-perubahan pola iklim juga perlu ditelaah, terutama yang menimbulkan pengaruh
yang sangat nyata, misalnya menyebabkan terjadinya banjir atau tanah longsor.
d. Data komponen-komponen iklim diambil dari stasiun klimatologi atau Badan Meteorologi dan
Geofisika sistem pengamatan terdekat.

BAB IV. PENGKAJIAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH

IV.1. Luas Lahan


Pada bagian ini dijelaskan luas lahan yang akan dimanfaatkan, luas lahan pengkajian serta luas lahan
yang menjadi kontrol.
IV.2. Metode Pemanfaatan
Pada bagian ini dijelaskan metode pemanfaatan yang digunakan (misal: sistem flat bad, long bad,
furrow dll), serta spesifikasi dari metode yang digunakan (misal: spesifikasi parit yang meliputi tinggi,
lebar, panjang, jarak antar parit, jumlah parit, ukuran dan jenis pipa apabila menggunakan pipa dan
lain-lain).
IV.3. Dosis, Debit Dan Rotasi
Pada bagian ini diuraikan berapa dosis yang dimanfaatkan tiap hektarnya (ton/ha/tahun), debit limbah
cair yang dimanfaatkan (m3/dtk) serta rotasi pemberian air limbah dalam setahun (misal: 4 kali dalam
setahun).
IV.4. Jenis, Lokasi dan Pengkajian Pengambilan Sampel
Pada bagian ini dijelaskan jenis, lokasi dan pelaksanaan pengambilan sampel pada saat pengkajian.

95
IV.5. Pengamatan Terhadap Dampak Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah
a. Air Limbah yang dimanfaatkan
Bagian ini memuat informasi tentang kualitas air limbah yang dimanfaatkan dalam pengkajian,
dilengkapi dengan data-data analisa sampel air limbah, mengacu pada persyaratan yang
ditetapkan dalam persetujuan pengkajian dalam keputusan ini. Air limbah yang dimanfaatkan ke
lahan harus memiliki nilai BOD5 lebih kecil dari 5.000 mg/l dengan nilai pH 6-9.
b. Dampak terhadap tanah
Pada bagian ini dijelaskan tentang ada atau tidaknya pencemaran tanah akibat pelaksanaan
pengkajian yang diketahui dari hasil evaluasi pelaksanaan pengamatan terhadap parameter-
parameter sebagaimana tersebut pada Tabel 5.
c. Dampak terhadap air tanah
Pada bagian ini diuraikan seberapa jauh dampak pemanfaatan air limbah terhadap air tanah yang
dilengkapi dengan data hasil analisa sampel air tanah untuk parameter-parameter pengamatan
sebagaimana tersebut dalam Tabel 6.
Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran validasi dilakukan dengan mengacu pada Lampiran II
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air.
d. Dampak terhadap kebauan
Dalam bagian ini diuraikan dampak pemanfaatan air limbah terhadap kebauan yang pengujiannya
mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50 Tahun 1996. Pengukuran
tingkat kebauan dilakukan pada lokasi kebun yang dipemanfaatan (dengan jumlah pengukuran
sesuai dengan luasan lokasi), pada titik 50 meter dan 150 meter ke arah angin dominan serta
pada lokasi pemukiman karyawan dan atau penduduk (disajikan pada peta Lokasi Sampling).
e. Dampak terhadap tanaman
Bagian ini menguraikan hasil pengamatan dampak pemanfaatan air limbah pada tanah terhadap
tanaman pokok.
f. Dampak terhadap ikan
Apabila disekitar lokasi pemanfaatan terdapat kegiatan budidaya perikanan, dalam bagian ini
diuraikan mengenai air limbah yang merembes ke air sungai/kolam/ air permukaan lain yang pada
gilirannya dapat memberikan dampak terhadap ikan.
g. Dampak terhadap masyarakat sekitar
Bagian ini menguraikan dampak pemanfaatan air limbah bagi kesehatan masyarakat. Pengamatan
dilakukan terhadap masyarakat terdekat dengan lokasi pemanfaatan air limbah terhadap vektor
penyebab penyakit.

BAB V. KESIMPULAN
Bagian ini harus memuat kesimpulan teknis hasil pengkajian tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini diutarakan pustaka atau referensi yang digunakan untuk keperluan penyusunan laporan
pengkajian pemanfaatan air limbah pada tanah.

LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pada bagian ini dilampirkan data pendukung seperti Peta Lokasi, Peta Bentuk Lahan, dan data-data
pendukung lainnya yang dianggap perlu.

F. PEMANTAUAN/PENGAWASAN DAN EVALUASI HASIL PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGKAJIAN


Pengamatan dan pengawasan dalam pengkajian ini dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab yang ditunjuk oleh
Bupati/Walikota setelah pemrakarsa mendapatkan persetujuan pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah.
Pengamatan dan pengawasan dilaksanakan terhadap kondisi tanah, air tanah, air limbah, dan lain-lain secara berkala dan
ditekankan pada dampak terhadap lingkungan serta dampak terhadap tanaman dan masyarakat disekitarnya seperti yang
tertulis dalam butir-butir dalam mekanisme pengkajian.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan ini sesuai aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo,MPA.

96
97
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 29 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN SYARAT DAN TATA CARA
PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI
MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Syarat dan Tata Cara
Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa
Sawit;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran


Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara


Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan


Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
lembaran Negara Nomor 4161);

6. Keputusan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden RI
Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN SYARAT DAN
TATA CARA PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT PADA
TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT.

Pasal 1

Bupati/Walikota menetapkan syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit di kabupaten/kota dengan berpedoman pada Keputusan ini.

Pasal 2

(1) Pengajuan permohonan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit
diajukan berdasarkan hasil kajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa
sawit.

(2) Pedoman pengkajian pemanfaatan air limbah industri minyak sawit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman
Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.

97
Pasal 3

(1) Persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dalam hal pengajuan izin pemanfaatan air limbah industri sawit pada
tanah di perkebunan kelapa sawit, yaitu:
a. BOD tidak boleh melebihi 5000 mg/liter;
b. nilai pH berkisar 6-9;
c. dilakukan pada lahan selain lahan gambut;
d. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas lebih besar 15 cm/jam;
e. dilakukan pada lahan selain lahan dengan permeabilitas kurang dari 1,5 cm/jam;
f. tidak boleh dilaksanakan pada lahan dengan kedalaman air tanah kurang dari 2 meter; dan
g. pembuatan sumur pantau.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah dengan persyaratan lain sesuai dengan
kebutuhan masing-masing daerah yang bersangkutan.

(3) Pedoman tentang syarat dan tata cara perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit adalah sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.

Pasal 4

Bupati/Walikota menerbitkan surat keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di
perkebunan kelapa sawit selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak permohonan ijin diajukan oleh
pemrakarsa.

Pasal 5

Surat Keputusan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit wajib
mencantumkan ketentuan sekurang-kurangnya meliputi:
a. hasil pemantauan terhadap air limbah, air tanah, tanah, tanaman, ikan, hewan dan kesehatan masyarakat;
b. metode dan frekuensi pemantauan;
c. pelaporan hasil pemantauan, dilakukan oleh pemrakarsa kepada Bupati/Walikota sekurang-kurangnya dilakukan 6
(enam) bulan sekali dengan tembusan disampaikan kepada Gubernur provinsi yang bersangkutan dan Menteri
Negara Lingkungan Hidup ;
d. larangan mengenai :
1) adanya air larian (run off) yang masuk ke sungai;
2) pengenceran air limbah yang dimanfaatkan;
3) membuang air limbah pada tanah di luar lokasi yang ditetapkan dalam Keputusan in;
4) membuang air limbah ke sungai bila air limbahnya melebihi ketentuan yang berlaku .

Pasal 6

Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan atas pelaksanaan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada
tanah di perkebunan kelapa sawit.

Pasal 7

Izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit akan dicabut apabila ditemukan
adanya pelanggaran terhadap persyaratan perizinan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah evaluasi dilakukan.

Pasal 8

(1) Bagi pemrakarsa yang telah mendapatkan izin pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah perkebunan
di perkebunan kelapa sawit, pada saat Keputusan ini ditetapkan izin tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Keputusan ini.

(2) Apabila persyaratan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertentangan dengan Keputusan ini, maka wajib
disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah Keputusan ini ditetapkan.

98
Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 25 Maret 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan ini sesuai aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo,MPA.

99
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 29 Tahun 2003
Tanggal : 25 Maret 2003

PEDOMAN SYARAT DAN TATA CARA


PERIZINAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH INDUSTRI
MINYAK SAWIT PADA TANAH DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN
Air limbah yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk pemupukan pada tanah perkebunan karena
air limbah tersebut pada kondisi tertentu masih mengandung unsur-unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Pemupukan dengan air limbah ini pada umumnya dilakukan dengan mengalirkan air limbah yang berasal dari kolam
penanganan limbah ke parit-parit yang ada di perkebunan. Akan tetapi di sisi lain, pemanfaatan air limbah pada tanah juga
secara potensial menimbulkan pencemaran lingkungan atau bahkan akan menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit
di kawasan pemanfaatan air limbah itu sendiri.
Dengan melihat kondisi tersebut di atas dan untuk mengurangi resiko pencemaran lingkungan yang terjadi maka
pemanfaatan air limbah pada tanah dapat dilakukan setelah pemrakarsa melakukan pengkajian dan mendapat izin dari
Bupati/Walikota. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Guna mempermudah pelaksanaan pemberian izin pemanfaatan air limbah pada tanah oleh Bupati/Walikota maka perlu
disusun Pedoman Perizinan Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah Pada Tanah.

II. PROSEDUR PERMOHONAN IZIN


Prosedur pemberian izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah adalah sebagai berikut:
1. Pemrakarsa menyampaikan permohonan Izin kepada Bupati/Walikota untuk melaksanakan pemanfaatan air limbah
pada tanah. Pengajuan Permohonan Izin Pelaksanaan pemanfaatan air limbah dilakukan setelah pemrakarsa selesai
melakukan pengkajian aplikasi air limbah pada tanah dan melampirkan dokumen-dokumen berikut:
a) Laporan hasil pengkajian pemanfaatan air limbah (land application);
b) Dokumen AMDAL/SEMDAL/DPL/UKL/UPL yang telah mencantumkan rencana pelaksanaan pemanfaatan air
limbah;
c) Izin Usaha (SIUP);
d) Akte Pendirian;
e) Izin Lokasi Perkebunan (HGU);
f) IMB Pabrik/Industri;
g) Persetujuan karyawan pabrik dan masyarakat yang berada pada radius 500 meter dari lokasi pemanfaatan.
2. Bupati / Walikota memberikan penugasan kepada Instansi yang bertanggungjawab dan mempunyai kewenangan
dalam menangani pengendalian dampak lingkungan di kabupaten/ kota (Bapedalda/ Dinas Lingkungan Hidup/
Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten / Kota atau instansi lain yang ditunjuk ) untuk melakukan
evaluasi terhadap permohonan izin tersebut. Penugasan ini diberikan segera oleh Bupati/Walikota setelah menerima
permohonan izin dari pemrakarsa.
3. Instansi yang bertanggungjawab melakukan evaluasi terhadap usulan rencana kegiatan pemanfaatan air limbah pada
tanah yang meliputi:
a. Pengecekan kelengkapan dokumen yang dilakukan segera setelah mendapat penugasan dari Bupati/Walikota.
1). Jika dokumen yang diajukan oleh pemrakarsa sudah lengkap (seperti yang telah disebutkan di atas),
pemrakarsa akan diminta untuk mengadakan presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan air limbah;
2). Jika dokumen yang diajukan kurang lengkap, pemrakarsa akan diberi waktu untuk melengkapi kekurangan
dokumen. Setelah dievaluasi dan dinyatakan lengkap, pemrakarsa akan diminta untuk mengadakan
presentasi mengenai pengkajian pemanfaatan air limbah.
b. Verifikasi teknis yang dimaksudkan adalah untuk mengetahui kelayakan teknis dari permohonan izin tersebut.
Kegiatan verifikasi teknis meliputi:
1). Permintaan presentasi kepada pemrakarsa di dekat lokasi kajian pemanfaatan air limbah yang
dilaksanakan setelah kelengkapan dokumen terpenuhi, dihadiri oleh Instansi yang bertanggungjawab yang
ditunjuk Bupati/ Walikota dan Instansi Teknis terkait. Evaluasi presentasi meliputi kesesuaian muatan
presentasi dengan materi yang ditulis dalam laporan dan atau ketentuan yang tertuang dalam persetujuan
pelaksanaan pengkajian pemanfaatan air limbah. Hasil evaluasi ini akan dicantumkan dalam rekomendasi;
2). Evaluasi terhadap laporan secara tertulis dan dari presentasi pemrakarsa.
Evaluasi terhadap Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah meliputi:
2.1. Evaluasi terhadap muatan teknis Laporan Hasil Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah termasuk
ketepatan teknik analisis dan teknik evaluasi data;
2.2. Evaluasi terhadap kesesuaian muatan Laporan Hasil Pengkajian Air Limbah dengan persyaratan
dalam persetujuan pengkajian yang meliputi media yang harus dipantau, parameter yang harus
dipantau, metode analisis, dll.

1
3). Kunjungan Lapangan dan Pengambilan Sampel
Kunjungan lapangan ini dimaksudkan untuk mengecek kondisi lapangan dan kesesuaiannya dengan hal-
hal yang tertuang dalam Laporan Hasil Pengkajian Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah termasuk titik
pemantauan, kondisi titik pemantauan, dan sampel yang diambil. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan
untuk mengetahui apakah ada indikasi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan aplikasi
serta validasi terhadap data yang dicantumkan dalam laporan. Evaluasi terhadap hasil pelaksanaan
kunjungan lapangan dan pengambilan sampel dilakukan segera setelah itu.

4). Penyusunan rekomendasi kepada Bupati/Walikota


Rekomendasi ini disusun oleh Instansi yang sebagai hasil evaluasi terhadap permohonan izin dan
merupakan laporan terhadap pelaksanaan penugasan yang diberikan oleh Bupati/Walikota. Rekomendasi
Instansi yang bertanggungjawab ini digunakan sebagai bahan masukan dalam:
4.1. Penerbitan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan layak administrasi
(kelengkapan dokumen dan prosedur perizinan diikuti) dan tidak menunjukkan adanya indikasi
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah; atau
4.2. Penolakan izin, apabila hasil evaluasi terhadap Permohonan Izin menunjukkan tidak layak
administrasi dan atau ada indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Total waktu yang diperlukan untuk kegiatan verifikasi teknis adalah 21 (dua puluh satu) hari kerja tergantung
kelengkapan dokumen permohonan izin yang disampaikan oleh pemrakarsa.
c.Penerbitan atau Penolakan Izin sesuai dengan kelayakan teknis dari permohonan izin tersebut.
1). Izin diterbitkan oleh Bupati/Walikota segera setelah ada rekomendasi dari Instansi yang bertanggung jawab.
Pemrosesan Permohonan Izin Pemanfaatan Air Limbah ini memerlukan total waktu kurang lebih 90
(sembilan puluh) hari kerja sampai diterbitkannya izin pelaksanaan ataupun penolakan izin.
Izin diterbitkan dengan mencantumkan masa berlaku dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
oleh pemrakarsa dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah pada tanah, seperti: baku mutu air limbah
yang dimanfaatkan, kewajiban melakukan pemantauan, pelaporkan hasil pemantauannya kepada Instansi
yang bertanggungjawab, dll.
2).Penolakan izin pemanfaatan air limbah pada tanah disampaikan oleh Bupati/Walikota kepada pemrakarsa
segera setelah Bupati/Walikota menerima laporan rekomendasi penolakan dari instansi yang bertanggung
jawab.

2
Adapun secara sitematis Prosedur Perizinan Land Appication (LA) ditampilkan sebagai diagram berikut:

PEMRAKARSA BUPATI/WALIKOTA INSTANSI TERKAIT

Surat tugas
Permohonan Izin Penugasan Evaluasi Evaluasi Dokumen

Melengkapi dokumen
Dokumen lengkap
Melengkapi
kekurangan Dokumen tidak lengkap
dokumen

Presentasi Surat permintaan Merekomendasikan permintaan


pengadaan presentasi diadakannya presentasi

Melakukan kunjungan lapangan serta


verifikasi teknis dan evaluasi
terhadap presentasi tersebut

Layak
Tidak teknis Layak

Tidak dapat Penerbitan Surat Merekomendasikan


laksanakan LA Penolakan Izin penolakan izin

Melaksanakan LA Penerbitan Surat Izin Merekomendasikan


Pemberian izin

Pemantauan Penugasan Pengawasan Pengawasan Pelaksanaan LA dan Evaluasi


Pelaksanaan LA dan Laporan Pemantauan
Evaluasi Laporan
Pemantauan
Laporan
Indikasi
pencemaran
Tidak ada Ada

Kegiatan LA Rekomendasi
Berlanjut Meneruskan LA

Rekomendasi
Stop Kegiatan LA Surat Pencabutan Izin Menghentikan LA

3
III. FORMULIR PERMOHONAN IZIN
Formulir permohonan izin yang harus diisi oleh pemrakarsa dan dapat mengacu pada format yang disajikan dalam tabel
berikut:

1. Identitas Perusahaan
1. Nama Perusahaan : ………………………………………….
2. Alamat : ………………………………………….
a. Jalan/Desa : ………………………………………….
b. Kecamatan : ………………………………………….
c. Kabupaten/Kota : ………………………………………….
d. Pemerintah Propinsi : ………………………………………….
e. Telepon : ………………………………………….
f. Faximile : ………………………………………….
3. Tahun Mulai Beroperasi : ………………………………………….
4. Perizinan Yang Sudah Diperoleh
a. Izin Usaha Tetap : ………………………………………….
b. Dokumen Amdal : ………………………………………….
c. Akte Pendirian : ………………………………………….
d. Izin Lokasi : ………………………………………….
e. Izin Mendirikan Bangunan : ………………………………………….
5. General Manager : ………………………………………….
6. Kontak Person : ………………………………………….
a. Nama : ………………………………………….
b. Jabatan : ………………………………………….
c. Telepon : ………………………………………….
7. Apabila Alamat Pabrik berbeda dengan Alamat Kantor Pusat
a. Alamat Kantor Pusat : ………………………………………….
b. Telepon : ………………………………………….
c. Faximile : ………………………………………….
2. Industri
1. Jenis Industri : ………………………………………….
2. Kapasitas Produksi : ………………………………………….
3
3. Penggunaan Air : ……………………….…………m /hari
3
4. Air Limbah Dihasilkan : ……………………….…………m /hari
3. Pengolahan Air Limbah (Lampiran Layout IPAL)
1. Jenis Pengolahan Limbah : ………………………………………….
2. Kapasitas Pengolahan Limbah : ………………………………………….
3. Lampiran Hasil Analisis Limbah Yang Dihasilkan

4. Karakteristik lahan
1. Jenis Tanah : ………………………………………….
2. Topografi/kontur wilayah (lampirkan peta lokasi lahan aplikasi)
3. Sifat Fisika - Kimia Tanah (lampirkan data analisis yang meliputi : pH, Kadar C Organik, KTK, Tekstur,
Porositas dan Logam Berat)
4. Curah Hujan (lampirkan Data Hujan Bulanan Dari Stasiun Terdekat, 5 Tahun Terakhir)
5. Aplikasi Air Limbah (Lampirkan Peta)

100
1. Luas Lahan Perkebunan : ……………………………………… ha
2. Luas Lahan Aplikasi Air Limbah : ……………………………………… ha
3. Luas Lahan Kontrol : ……………………………………… ha
4. Tahun Mulai Aplikasi Air Limbah : ………………………………………….
3
5. Air Limbah Yang Diaplikasikan : ………………………………… m /hari
6. Rotasi Pengaliran Air Limbah : ……………………………………. hari
7. Dosis Pemakaian Air Limbah : ………………………………………….
8. Persen Peningkatan Hasil : ……… % (lampirkan data pendukung diisi
bila perkebunan telah melakukan pemanfaatan
air limbah).
6. Tata Ruang
1. Lokasi pabrik, pembuangan air limbah dan penduduk (lampirkan peta)
2. Jumlah penduduk di lokasi terdekat : ………………………………………….
3. Jumlah Sumur Penduduk : ………………………………………….
4. Jarak Pemukiman terdekat lokasi : ………………………………………….
5. Kedalaman air tanah/muka air dilokasi : ………………………………………….
6. Kecenderungan arah angin : ………………………………………….
7. Sungai (badan air terdekat) : ………………………………………….
8. Jarak sungai ke lokasi : ………………………………………….
9. Hasil Analisis Kualitas Air Sungai dan Sumur Terdekat

101
IV. SURAT KEPUTUSAN IZIN PELAKSANAAN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH
Keputusan izin pelaksanaan pemanfaatan air limbah dapat mengacu pada format berikut:
a. Format Surat Keputusan penetapan izin:

KEPUTUSAN
……………………….
NOMOR : KEP- / ……../ /
TENTANG
IZIN PEMANFAATAN AIR LIMBAH PADA TANAH KEPADA
PERKEBUNAN ……………………..

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa sebelum pemberian izin pembuangan air limbah pada tanah, harus dilakukan melalui
pengkajian dampak air limbah terhadap kualitas tanah dan air tanah;
b. Bahwa berdasarkan penilaian terhadap hasil pengkajian tentang pembuangan air limbah pada
tanah yang dilakukan oleh ………… dianggap telah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan yang diperlukan dalam pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah;
c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas perlu ditetapkan keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah kepada
…………………….
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);
3. …………………….

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan izin aplikasi air limbah pada tanah kepada
Nama Perusahaan :
Alamat :
Nama Unit Usaha/Pabrik :
Alamat Pabrik :
Jenis Industri :
Status Modal Perusahaan :
Izin Usaha Industri : 1.
2.
Nomor akte Pendirian Perusahaan :

Penanggung Jawab Perusahaan :


KEDUA : Penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA wajib mentaati segala persyaratan
dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan pemberian izin aplikasi air limbah pada tanah ini berlaku ……… terhitung sejak Keputusan
ini di tetapkan
KEEMPAT : Izin aplikasi air limbah sebagaimana dimaksudkan dalam Diktum KETIGA dapat diperpanjang dengan
mengajukan permohonan perpanjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan sebelum masa berakhirnya
izin tersebut kepada ……..….dengan tembusan kepada ………….. dan melampirkan data hasil
pengkajian kualitas dan kuantitas air limbah, kualitas tanah dan air tanah.
KELIMA : Pemohon harus memenuhi kewajiban yang tertuang dalam Lampiran Keputusan ini
KEENAM : Apabila dikemudian hari terjadi pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran Keputusan ini, akan diberikan sangsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
KETUJUH : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di :
pada Tanggal :

102
Ttd

………………………………….
Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada:
1. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
2. Menteri Pertanian;
3. Menteri Perkebunan dan Kehutanan;
4. Kepala Pemerintah Propinsi Setempat.

103
b. Format Lampiran Keputusan:

Lampiran : Keputusan …….


Nomor : ……………………
Tanggal : ……………………

Kewajiban dan larangan bagi pemrakarsa


I. Kewajiban:
1. Batas kualitas air limbah yang keluar dari Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) sebagai berikut:
2. Seluruh air limbah yang dihasilkan dengan kualitas sebagaimana dimaksud pada butir 1 harus dapat dimanfaatkan
untuk mengairi tanah perkebunan …………, afdeling …………………..., blok …………………….., seluas
…………….hektar di Kecamatan ……….., Kabupaten …………, Propinsi ……..
3. Melakukan pemantauan air limbah yang keluar dari kolam ………………… (kolam/penampungan air limbah terakhir
sebelum air limbah tersebut dibuang ke lahan), dengan parameter, frekuensi pemantauan dan metode analisis
sebagai berikut:

Parameter Frekuensi Metode


Debit Harian
BOD Bulanan Winkler
COD Bulanan
pH Harian pH meter
Minyak/Lemak Bulanan Soklet
Pb Bulanan AAS
Cu Bulanan AAS
Cd Bulanan AAS
Zn Bulanan AAS
4. Air Tanah:
Melakukan pemantauan terhadap air tanah pada sumur pantau di lahan aplikasi blok ………, lahan blok
……………….., dengan parameter, frekuensi dan metode analisis sebagai berikut:
Parameter Frekuensi Metode
BOD 6 bulan sekali Winkler
DO 6 bulan sekali
pH 6 bulan sekali pHmeter
NO3 sebagai N 6 bulan sekali Colorimetrik
NH3-N 6 bulan sekali Colorimetrik
Cd 6 bulan sekali AAS
Cu 6 bulan sekali AAS
Pb 6 bulan sekali AAS
Zn 6 bulan sekali AAS
Cl 6 bulan sekali Titrimetrik
-2
SO4 6 bulan sekali Colorimetrik

104
5. Tanah:
Melakukan pemeriksaan kualitas tanah pada lahan aplikasi (rorak), lahan aplikasi (antar rorak), dan lahan kontral
masing-masing pada kedalaman 0 – 20, 20 – 40, 60 – 80, 80 – 100, 100 – 120 centimeter (6 lapisan) dengan
parameter, frekuensi dan metode analisis sebagai berikut:
Parameter Frekuensi Metode
pH dalam air 1 tahun sekali pH Meter
C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back
N total 1 tahun sekali Kjeldhal
P-tersedia 1 tahun sekali Bray I
Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4OAc pH:7
Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic absorbsion
spectrophotometer
Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK*100%
Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah
Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet
Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet

6. Menyampaikan laporan kepada Bupati/Walikota, Kepala Pemerintah Propinsi, Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang:
a. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 3 setiap 1 (satu) bulan sekali.
b. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 4 (empat) setiap 6 (enam) bulan sekali.
c. Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada angka 5 (angka) setiap 1 (satu) tahun sekali.
II. Larangan:
1. Dalam pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit, adanya air larian (run off) ke sungai atau
lingkungan lainnya dilarang.
2. Pemrakarsa dilarang melakukan pengenceran air limbah yang akan dimanfaatkan.
3. Pemrakarsa dilarang membuang air limbah pada tanah di luar wilayah yang telah ditetapkan dalam keputusan ini.
4. Pemrakarsa dilarang membuang limbah ke sungai bila kualitas air limbah melebihi baku mutu air limbah yang
berlaku.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

105
V. PEMANTAUAN
A. Mekanisme Pemantauan
Bupati/Walikota meminta kepada penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk melakukan
kegiatan pemantauan segera oleh pemrakarsa atau penanggung jawab usaha setelah memperoleh
Surat Keputusan Izin Pelaksanaan Pemanfaatan Air Limbah. Hasil pemantauan tersebut wajib
disampaikan kepada Bupati/Walikota, Gubernur dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Adapun
pemantauan minimal yang wajib diminta oleh Bupati/Walikota kepada pemrakarsa adalah:
1. Air Limbah
a. Lokasi pengambilan sampel
Sampel air limbah diambil di outlet terakhir menuju ke lahan pemanfaatan air limbah (titik
terakhir sebelum dimanfaatkan ke lahan)
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air limbah
disajikan pada table berikut:
No. Parameter Frekuensi Metode
1. Debit Harian
2. BOD Bulanan Winkler
3. COD Bulanan
4. pH Bulanan pHmeter
5. Minyak/Lemak Harian Soklet
6. Pb Bulanan AAS
7. Cu Bulanan AAS
8. Cd Bulanan AAS
9. Zn Bulanan AAS

2. Air Tanah
a. Lokasi pengambilan air tanah
Sampel air tanah diambil dari sumur pantau yang harus dibuat di lahan kontrol, lahan yang
diaplikasi dengan air limbah pada tanah dan sumur penduduk terdekat yang lokasinya lebih
rendah dan diperkirakan memiliki peluang tercemar air limbah.
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel air tanah
disajikan pada table berikut:
No. Parameter Frekuensi Metode
1. BOD 6 bulan sekali Winkler
2. DO 6 bulan sekali
3. pH 6 bulan sekali pHmeter
4. NO3 sebagai N 6 bulan sekali Colorimetrik
5. NH3-N 6 bulan sekali Colorimetrik
6. Cd 6 bulan sekali AAS
7. Cu 6 bulan sekali AAS
8. Pb 6 bulan sekali AAS
9. Zn 6 bulan sekali AAS
10. Cl 6 bulan sekali Titrimetrik
-2
11. SO4 6 bulan sekali Colorimetrik

3. Tanah
a. Lokasi
Tanah yang akan dianalisa adalah tanah di lahan sekitar lokasi pemanfaatan air limbah,
rorak (saluran/parit yang digenangi air limbah), dan antar rorak (antara parit dan tanaman)
pada enam kedalaman, yaitu: 0-20cm; 20-40cm; 40-60cm; 60-80cm; 80-100cm dan 100-
120cm. Pengambilan sampel tanah di parit dilakukan setelah kerak limbah yang
menumpuk dipermukaannya dibuang atau disisihkan dari parit
b. Frekuensi, metode dan parameter
Frekuensi, metode dan parameter minimal yang harus diukur untuk sampel tanah disajikan
pada tabel berikut:
No Parameter Frekuensi Metode
1. PH dalam air 1 tahun sekali pHmeter
2. C-organik 1 tahun sekali Welklye-Back
3. N total 1 tahun sekali Kjeldhal
4. P-tersedia 1 tahun sekali Bray I
5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg 1 tahun sekali NH4Oac pH:7
6. Kapasitas Tukar Kation 1 tahun sekali Diukur dengan atomic
absorbsion
spectrophotometer
7. Kejenuhan Basa 1 tahun sekali (Ca+Mg+K+Na)/KTK x
100%
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd) 1 tahun sekali Distribusi Basah

106
9. Tekstur (Pasir, debu, liat) 1 tahun sekali Pipet
10. Minyak/Lemak 1 tahun sekali Soklet
c. Pengambilan Sampel:
Untuk meneliti sifat-sifat kimia fisika tanah diperlukan dua jenis sampel tanah yaitu sampel
tanah terganggu dan sampel tanah utuh.
- Sampel tanah terganggu adalah sampel tanah yang dapat diambil dengan
menggunakan skop, spatula atau bor tanah mineral dan digunakan untuk mengukur
parameter seperti pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), kadar nitrogen, C-organik, fosfat,
dan unsur-unsur tertentu serta tekstur tanah (kandungan pasir, debu, dan liat atau
lempung). Untuk sampel tanah yang terganggu diambil dengan menggunakan bor tanah
mineral, sampel tanah diambil pada setiap 20 cm sedalam 120 cm atau 6 (enam) lapis.
Berat sampel tanah terganggu yang diambil dengan menggunakan masing-masing + 0.5
kg. Sampel tanah tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik rengkap 2 (dua).
Dengan diberi label yang jelas sesuai lokasi dan kedalamannya.
- Sampel tanah utuh adalah sampel tanah yang diambil dengan menggunakan ring
sampler dan digunakan untuk mengukur bobot isi, porositas dan permeabilitas.
Pengambilan sampel tanah utuh dilakukan dengan ring sampler pada kedalaman 0-30
cm dan 30-60 cm, masing-masing 2 (dua) sampel. Satu sampel digunakan untuk
mengukur porositas dan bobot isi, sedang sampel lainnya digunakan untuk mengukur
permeabilitas.

107
B. Format Laporan
Bupati/Walikota meminta kepada pemrakarsa yang telah mendapat izin air limbahnya untuk
berkewajiban menyampaikan laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah secara
berkala kepada instansi yang bertanggung jawab dengan tembusan kepada Bupati/Walikota,Gubernur
dan Menteri Lingkungan Hidup. Penyusunan Laporan Pemantauan Pemanfaatan Air Limbah mengacu
pada sistematika sebagai berikut:

I. Umum
1. Nama dan atau nomor laboratorium :
2. Nama Perusahaan :
3. Alamat :
4. Jenis Kegiatan Usaha :
5. Lokasi Pengambilan Contoh :
6. Petugas Pengambilan Contoh :
7. Tanggal/Jam Pengambilan Contoh :
8. Tanggal/Jam Penerimaan Contoh :
9. Nama Pengirim Contoh :
10. Instansi/Perusahaan :
II. Data Industri
1. Debit limbah cair rata-rata selama bulan pemantauan :
2. Produksi/penggunaan bahan baku rata-rata selama sebulan :
3. pH pada waktu pengambilan :
4. Suhu pada waktu pengambilan :
III. Hasil Pengujian
1. Air limbah

Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu Limbah Cair


(sesuai persyaratan dalam izin yang
ditetapkan)
No Parameter Kadar Beban No Parameter Kadar Beban
(mg/l) (kg/ton) (mg/l) (kg/ton)
1. BOD 1.
2. COD 2.
3. pH 3.
4. Minyak/lemak 4.
5. Pb 5.
6. Cu 6.
7. Cd 7.
2. A 8. Zn 8.
i
r tanah

Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu Limbah Cair


(permenkes)
No Parameter Kadar Beban No Parameter Kadar Beban
(mg/l) (kg/ton) (mg/l) (kg/ton)
1. BOD 1.
2. Do 2.
3. pH 3.
4. NO3 sbg N 4.
5. NH3-N 5.
6. Cd 6.
7. Cu 7.
8. Pb 8.
9. Zn 9.
10. Cl 10.
-2
11. SO4 11.
3. T
anah

108
IV. Kesimpulan
Uraian memenuhi baku mutu atau tidak memenuhi Baku Mutu Limbah Cair

Tempat, tanggal
Hasil Uji Laboratorium
No Parameter Kadar Beban
(mg/l) (kg/ton)
1. pH dalam air
2. C-organik
3. N total
4. P-tersedia
5. Kation dapat ditukar Ka, Na, Ca, Mg
6. Kapasitas Tukar Kation
7. Kejenuhan Basa
8. Logam-logam berat (Pb, Cu, Zn, Cd)
9. Tekstur (Pasir, debu, liat)
10. Minyak/lemak

Pemrakarsa

(nama terang)

V.EVALUASI PEMANTAUAN
Evaluasi laporan hasil pemantauan pelaksanaan pemanfaatan air limbah di perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh
Instansi yang bertanggung jawab dan ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Evaluasi dilaksanakan dengan pengecekan ada tidaknya indikasi pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang
meliputi:
1. Kondisi tanah
Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran pada tanah di lokasi pemanfaatan maka evaluasi dilakukan
dengan membandingkan antara kondisi tanah di lokasi pemanfaatan dengan kondisi tanah pada rona awal dan
kondisi tanah disekitar lokasi pemanfaatan.
2. Kondisi air tanah
Untuk mengetahui ada tidaknya indikasi pencemaran terhadap air tanah, maka evaluasi dilakukan dengan
membandingkan antara kondisi air tanah setempat dengan rona awalnya dan atandar baku mutu air minum sesuai
dengan Lampiran II. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-Syarat dan
Pengawasan Kualitas Air.

3. Kondisi kebauan
Evaluasi terhadap kebauan dilakukan dengan membandingkan antara kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan
dengan baku mutu tingkat kebauan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 50/MENLH/11/1996
tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan. Apabila kondisi kebauan di lokasi pemanfaatan melebihi baku mutu maka hal
tersebut dapat digunakan sebagai indikasi adanya pencemaran. Apabila terjadi indikasi tersebut maka instansi yang
bertanggung jawab wajib meminta kepada pemrakarsa untuk memperbaiki kualitas kebauan di lokasi pemanfaatan
jika pemrakarsa tidak melakukan perbaikan kualitas kebauannya maka izin pemanfaatan air limbahnya dapat
dicabut.
4. Kondisi tanaman
Untuk mengetahui ada tidaknya pencemaran dan atau kerusakan tanaman pokok akibat pencemaran maka
evaluasi dilakukan dengan:
a. pengamatan indikasi kondisi fisik tanaman tersebut
b. melakukan pengecekan terhadap produktivitas tanaman tersebut
c. melakukan uji laboratorium tanaman tersebut.
5. Kondisi air limbah yang dimanfaatkan
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan kualitas air limbah yang dimanfaatkan dengan kualitas air limbah yang
dipersyaratkan dalam izin.
Apabila dari hasil evaluasi tersebut menunjukkan adanya indikasi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan maka
pelaksanaan pemanfaatan air limbah harus dihentikan. Hal tersebut berarti izin dicabut dan pemrakarsa harus melakukan
pemulihan kualitas lingkungan.

109
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan ini sesuai aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

110
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 37 TAHUN 2003
TENTANG
METODA ANALISIS KUALITAS AIR PERMUKAAN DAN PENGAMBILAN CONTOH AIR PERMUKAAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian


pencemaran air diperlukan pemantauan kualitas air dengan menggunakan
suatu metoda analisis kualitas air permukaan dan pengambilan contoh air
permukaan;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu menetapkan


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Metoda Analisis
Kualitas Air Permukaan dan Contoh Air Permukaan

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan


Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran
Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi


Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 1999, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4020);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas


Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Menteri Negara;

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG METODA


ANALISIS KUALITAS AIR PERMUKAAN DAN PENGAMBILAN CONTOH AIR
PERMUKAAN.

Pasal 1

Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan Standar
Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional.

Pasal 2

(1) Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Pengambilan Contoh Air Permukaan menggunakan SNI dengan nomor kelompok 13.060.10.

111
Pasal 3

Apabila metoda analisis kualitas air permukaan dan pengambilan contoh air permukaan untuk parameter
tertentu belum ditetapkan dalam SNI maka dilakukan dengan Metoda Standard (Standard Methods) yang
diterbitkan oleh Asosiasi Kesehatan Masyarakat Amerika (American Public Health Association) yang
terbaru.

Pasal 4

Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Maret 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd.

Hoetomo, MPA.

112
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 110 TAHUN 2003

TENTANG
PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan


Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penetapan
Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan


Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002


tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;

1
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAYA TAMPUNG BEBAN
PENCEMARAN AIR PADA SUMBER AIR.

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


a. Daya tampung beban pencemaran air adalah kemampuan air pada suatu sumber
air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut
menjadi cemar;
b. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam
air atau air limbah;
c. Metoda Neraca Massa adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran
air dengan menggunakan perhitungan neraca massa komponen-komponen sumber
pencemaran;
d. Metoda Streeter-Phelps adalah metoda penetapan daya tampung beban pencemaran
air pada sumber air dengan menggunakan model matematik yang dikembangkan
oleh Streeter-Phelps;

Pasal 2

(1) Bupati/Walikota menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber
air.

(2) Daya tampung beban pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan debit minimal pada tahun yang
bersangkutan atau tahun sebelumnya.

(3) Dalam menetapkan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), digunakan metoda perhitungan yang telah
teruji secara ilmiah, yaitu :
a. Metoda Neraca Massa;
b. Metoda Streeter-Phelps.

Pasal 3

(1) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air pada sumber air
dengan metoda neraca massa sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I.
(2) Cara dan contoh penetapan daya tampung beban pencemaran air limbah pada
sumber air dengan metoda Streeter-Phelps sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
II.
2
Pasal 4
(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga berdasarkan
kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta kapasitas daerah, maka dapat digunakan metoda di luar metoda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah mendapat
rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
_____________________________________________

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

3
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Neraca Massa

I. Pendahuluan

Penentuan daya tampung beban pencemaran dapat ditentukan dengan cara


sederhana yaitu dengan menggunakan metoda neraca massa. Model matematika
yang menggunakan perhitungan neraca massa dapat digunakan untuk menentukan
konsentrasi rata-rata aliran hilir (down stream) yang berasal dari sumber pencemar
point sources dan non point sources, perhitungan ini dapat pula dipakai untuk
menentukan persentase perubahan laju alir atau beban polutan.

Jika beberapa aliran bertemu menghasilkan aliran akhir, atau jika kuantitas air dan
massa konstituen dihitung secara terpisah, maka perlu dilakukan analisis neraca
massa untuk menentukan kualitas aliran akhir dengan perhitungan

Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi

dimana CR : konsentrasi rata-rata konstituen untuk aliran gabungan


Ci : konsentrasi konstituen pada aliran ke-i
Qi : laju alir aliran ke-i
Mi : massa konstituen pada aliran ke-i

Metoda neraca massa ini dapat juga digunakan untuk menentukan pengaruh erosi
terhadap kualitas air yang terjadi selama fasa konstruksi atau operasional suatu
proyek, dan dapat juga digunakan untuk suatu segmen aliran, suatu sel pada
danau, dan samudera. Tetapi metoda neraca massa ini hanya tepat digunakan
untuk komponen-komponen yang konservatif yaitu komponen yang tidak
mengalami perubahan (tidak terdegradasi, tidak hilang karena pengendapan, tidak
hilang karena penguapan, atau akibat aktivitas lainnya) selama proses
pencampuran berlangsung seperti misalnya garam-garam. Penggunaan neraca
massa untuk komponen lain, seperti DO, BOD, dan NH3 – N, hanyalah merupakan
pendekatan saja.

4
II. Prosedur penggunaan

Untuk menentukan beban daya tampung dengan menggunakan metoda neraca


massa, langkah-langkah yang harus dilakukan adalah :

1. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada aliran sungai sebelum
bercampur dengan sumber pencemar;

2. Ukur konsentrasi setiap konstituen dan laju alir pada setiap aliran sumber
pencemar;

3. Tentukan konsentrasi rata-rata pada aliran akhir setelah aliran bercampur


dengan sumber pecemar dengan perhitungan :

Σ Ci Qi Σ Mi
CR = =
Σ Qi Σ Qi

III. Contoh Perhitungan

Untuk lebih jelasnya, maka diberikan contoh perhitungan penggunaan Metoda


Neraca Massa berikut ini.
Suatu aliran sungai mengalir dari titik 1 menuju titik 4. Diantara dua titik tersebut
terdapat dua aliran lain yang masuk kealiran sungai utama, masing-masing disebut
sebagai aliran 2 dan 3. Apabila diketahui data-data pada aliran 1, 2 dan 3, maka
ingin dihitung keadaan di aliran 4.

Profil aliran sungai :


Q1
CBOD.1 Q3
2
CDO.1 CBOD3
CC1.1 CDO3
CDO.1 CC1.3
CDO.3 4
1
Q2
CBOD.2 Q4
CDO.2 CBOD.4
CC1.2 CDO.4
CDO.2 CC1.4
3
CDO.4

5
Keterangan :

1. Aliran sungai sebelum bercampur dengan sumber-sumber pencemar


2. Aliran sumber pencemar A
3. Aliran sumber pencemar B
4. Aliran sungai setelah bercampur dengan sumber-sumber pencemar.

Data analisis dan debit pada aliran 1, 2 dan 3 diberikan pada tabel berikut ini :

Tabel 1.1 Data analisis dan debit

Aliran Laju alir DO COD BOD C1-


m/dtk mg/L mg/L mg/L mg/L
1 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16
2. 0,59 3,8 16,5 7,4 0.08
3 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04

Dengan menggunakan data-data di atas maka dapat dihitung DO pada titik 4,


sebagai berikut :

Konsentrasi rata-rata DO pada titik 4 adalah

(5,7x2,01) + (3,8x0,59) + (3,4x0,73)


CR,DO =
2,01 + 0,59 + 0,73

= 4,86 mg/L

Konsentrasi rata-rata COD, BOD dan C1 pada titik 4 dapat ditentukan dengan cara
perhitungan yang sama seperti di atas, yaitu masing-masing 18,94 mg/L, 8,87 mg/L
dan 0,12 mg/L. Apabila data aliran 4 dimasukkan ke Tabel 1.1 maka akan seperti
yang disajikan pada Tabel 1.2

Tabel 1.2 Data analisis dan debit

Aliran Laju alir DO COD BOD C1-


m/dtk mg/L mg/L mg/L mg/L
1 2,01 5,7 20,5 9,8 0,16
2. 0,59 3,8 16,5 7,4 0.08
3. 0,73 3,4 16,6 7,5 0,04
4. 3,33 4,86 18,94 8,87 0,12
BM X - 4 25 3 600
BM X – Baku mutu perairan, untuk Golongan/Kelas X
6
Apabila aliran pada titik 4 mempunyai baku mutu BM X, maka titik 4 tidak
memenuhi baku mutu perairan untuk BOD, sehingga titik 4 tidak mempunyai daya
tampung lagi untuk parameter BOD. Akan tetapi bila terdapat aliran lain (misalnya
aliran 5) yang memasuki di antara titik 1 dan 4, dan aliran limbah masuk tersebut
cukup tinggi mengandung C1- dan tidak mengandung BOD, maka aliran 5 masih
dapat diperkenankan untuk masuk ke aliran termaksud. Hal tersebut tentu perlu
dihitung kembali, sehingga dipastikan bahwa pada titik 4 kandungan C1 lebih
rendah dari 600 mg/L.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air
Metoda Streeter – Phelps

I. Pendahuluan

Pemodelan kualitas air sungai mengalami perkembangan yang berarti sejak


diperkenalkannya perangkat lunak DOSAG1 pada tahun 1970. Prinsip dasar dari
pemodelan tersebut adalah penerapan neraca massa pada sungai dengan asumsi
dimensi 1 dan kondisi tunak. Pertimbangan yang dipakai pada pemodelan tersebut
adalah kebutuhan oksigen pada kehidupan air tersebut (BOD) untuk mengukur
terjadinya pencemaran di badan air. Pemodelan sungai diperkenalkan oleh Streeter
dan Phelps pada tahun 1925 menggunakan persamaan kurva penurunan oksigen
(oxygen sag curve) di mana metoda pengelolaan kualitas air ditentukan atas dasar
defisit oksigen kritik Dc.

II. Deskripsi

Pemodelan Streeter dan Phelps hanya terbatas pada dua fenomena yaitu proses
pengurangan oksigen terlarut (deoksigenasi) akibat aktivitas bakteri dalam
mendegradasikan bahan organik yang ada dalam air dan proses peningkatan
oksigen terlarut (reaerasi) yang disebabkan turbulensi yang terjadi pada aliran
sungai.

Proses Pengurangan Oksigen (Deoksigenasi)

Streeter – Phelps menyatakan bahwa laju oksidasi biokimiawi senyawa organik


ditentukan oleh konsentrasi senyawa organik sisa (residual).

dL/dt = - K’.L…………..………………………………………………………………..(2-1)
dengan L : konsentrasi senyawa organik (mg/L)
t : waktu (hari)
K’ : konstanta reaksi orde satu (hari-1)

Jika konsentrasi awal senyawa organik sebagai BOD adalah Lo yang dinyatakan
sebagai BOD ultimate dan Lt adalah BOD pada saat t, maka persamaan (2-1)
dinyatakan sebagai

8
dL/dt = - K’.L………...………………………………………………………………….(2-2)
Hasil integrasi persamaan (2-2) selama masa deoksigenasi adalah :

Lt = Lo.e (K’.t) ....................................................................................................................(2-3)


Penentuan K’ dapat dilakukan dengan :

(1) metoda selisih logaritmatik,


(2) metoda moment (metoda Moore dkk), dan
(3) metode Thomas.

Laju deoksigenasi akibat senyawa organik dapat dinyatakan dengan persamaan


berikut :
rD = -K’L..............................................................................................................................(2-4)
dengan K’ : konstanta laju reaksi orde pertama, hari -1
L : BOD ultimat pada titik yang diminta, mg/L

Jika L diganti dengan Loe-K’t , persamaan 2-4 menjadi


rD.=-K’Loe -K’.t....................................................................................................................(2-5)
dengan : Lo : BOD ultimat pada titik discharge (setelah pencampuran), mg/L

Proses peningkatan oksigen terlarut (reaerasi)

Kandungan oksigen di dalam air akan menerima tambahan akibat turbulensi


sehingga berlangsung perpindahan oksigen dari udara ke air dan proses ini adalah
proses reaerasi. Peralihan oksigen ini dinyatakan oleh persamaan laju reaerasi :

rR = K`2 (Cs – C) ………………………………………………………………………...(2-6)

dengan K`2 : konstanta reaerasi, hari-1 (basis bilangan natural)


Cs : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, mg/L
C : konsentrasi oksigen terlarut, mg/L

Konstanta reaerasi dapat diperkirakan dengan menetukan karakteristik aliran dan


menggunakan salah satu persamaan empirik. Persamaan O’Conner dan Dobbins
adalah persamaan yang umum digunakan untuk menghitung konstanta reaerasi
(K’2).

K’2 = 294 (DL U)1/2 ........................................................................................................(2-7)


H 3/2

dengan DL : koefisien difusi molekular untuk oksigen, m2/hari


U : kecepatan aliran rata-rata, m/detik
H : kedalaman aliran rata-rata, m

9
Variasi koefisiensi difusi molekular terhadap temperatur dapat ditentukan dengan
persamaan :

DLT = 1.760 x 10-4 m2/d x 1.037 T-20.................................................................................(2-8)

dengan DLT : koefisien difusi molekular oksigen pada temperatur T, m2 /hari


1.760 x 10-4 : koefisien difusi molekular oksigen pada 20 0C
T : temperatur, oC

Harga K`2 telah diestimasi oleh Engineering Board of Review for the Sanitary
District of Chicago untuk berbagai macam badan air (tabel 2-1).

Table 2-1 Konstanta Reaerasi

K2 at 200C
Water Body
(base e)a

Small ponds and backwaters 0.10-0.23


Sluggish streams and large lake 0.23-0.35
Large streams of low velocity 0.35-0.46
Large streams of normal velocity 0.46-0.69
Swift streams 0.69-1.15
Rapid and waterfalls >1.15

K2T = K2,20. 1.024 T-20


1.8 (0C) + 32 = 0F

Kurva Penurunan Oksigen (Oxygen sag curve)

Jika kedua proses di atas dialurkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebagai
sumbu tegak dan waktu atau jarak sebagai sumbu datar, maka hasil pengaluran
kumulatif yang menyatakan antaraksi proses deoksigenasi dan reaerasi adalah
kurva kandungan oksigen terlarut dalam badan air. Kurva ini dikenal sebagai kurva
penurunan oksigen (oxygen sag curve).

Jika diasumsikan bahwa sungai dan limbah tercampur sempurna pada titik
buangan, maka konsentrasi konstituen pada campuran air-limbah pada x = 0 adalah

Qr Cr + Qw Cw
Co = ....................................................................................................(2-9)
Qr + Qw

10
dengan : Co = konsentrasi konstituen awal pada titik buangan setelah
pencampuran, mg/L
Qr = laju alir sungai, m3/detik
Cr = konsentrasi konstituen dalam sungai sebelum pencampuran,
mg/L
Cw = konsentrasi konstituen dalam air limbah, mg/L

Perubahan kadar oksigen di dalam sungai dapat dimodelkan dengan


mengasuksikan sungai sebagai reaktor alir sumbat.

Neraca massa oksigen :


Akumulasi = aliran masuk – aliran keluar + deoksigenasi + reoksigenasi

∂C dV = QC-Q (C +∂C ) + rD dV + rR dV ……………………………………… (2-10)


∂t dx
∂x

Substitusi rD dan rR, maka persamaan 2-10 menjadi

∂CdV = QC-Q (C +∂C


dx ) – K’L dV + K2 (CS - C ) dV …………………………… (2-11)
∂t ∂x

Jika diasumsikan keadaan tunak, ∂C/∂t = 0, maka

0=-Q dCdx-K’L dV + K12 (Cs-C) dV ….. …………………………………………… (2-12)


dx

substitusi dV menjadi A dx dan A dx/Q menjadi dt, maka persamaan 2-12 menjadi

dC = -K’L + K2 (Cs-C) ………………. ……………………………………………… (2-13)


dt

Jika defisit oksigen D, didefinisikan sebagai

D= (Cs-C) …………………………………………………………………………….. (2-14)

Kemudian perubahan defisit terhadap waktu adalah

dD = - dC…………….……………………………………………………………… (2-15)
dt Dt

maka perrsamaan 2-13 menjadi

dD = K’L + K`2 D……. …………….………………………………………………… (2-16)


dt

11
Substitusi L

dD + K`2D=K1Loe-k1t…………………………………………………………………..(2-17)
dt

jika pada t=0, D=Do maka hasil integrasi persamaan 2-17 menjadi

K1Lo
Dt = (e-k1t – e -k12t) + Do e-k1t .........................................................................(2-18)
K12-K’

Dengan : Dt = defisit oksigen pada waktu t, mg/L


Do= defisit oksigen awal pada titik buangan pada waktu t=o, mg/L

Persamaan 2-18 merupakan persamaan Streeter-Phelps oxygen-sag yang biasa


digunakan pada analisis sungai. Gambar kurva oxygen-sag ditunjukkan pada
gambar 2-1 berikut ini.

Titik pembuangan limbah


Cs

Do
D= Cs-C

Dc
Konsentrasi
Oksigen
Terlarut,
C
C

Xc

Gambar 2-1 Kurva karakteristik oxygen–sag berdasarkan persamaan Streeter –


phelps

Suatu metoda pengelolaan kualitas air dapat dilakukan atas dasar defisit oksigen
kritik Dc, yaitu kondisi deficit DO terendah yang dicapai akibat beban yang
diberikan pada aliran tersebut. Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol,
maka

Dc = K` Lo e-k`tc..............................................................................................................(2-19)
K`2

12
Dengan tc = waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik kritik.
Lo= BOD ultimat pada aliran hulu setelah pencampuran, mg/L

Jika dD/dt pada persamaan 2-17 sama dengan nol, maka

1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- .................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo

Xc = tc v ..........................................................................................................................(2.21)

Dengan v = kecepatan aliran sungai

Persamaan 2.19 dan 2.20 merupakan persamaan yang penting untuk menyatakan
defisit DO yang paling rendah (kritis) dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
kondisi kritis tersebut. Dari waktu tersebut dapat ditentukan letak (posisi, xC)
kondisi kritis dengan menggunakan persamaan 2.21.

Persamaan lain yang penting adalah menentukan Beban maksimum yang diizinkan.
Persamaan tersebut diturunkan dari persamaan 2.18. Persamaan tersebut adalah :

K’ Do 0,418 K`2
logLa = logDall + 1+ 1- log ……………....................(2.22)
K`2-K’ Dall K’

Dengan : Dall : defisit DO yang diizinkan, mg/L = DO jenuh – DO baku mutu

III. Prosedur Penggunaan

Dalam penentuan daya dukung terdapat dua langkah, yang pertama yaitu
menentukan apakah beban yang diberikan menyebabkan nilai defisit DO kritis
melebihi defisit DO yang diizinkan atau tidak. Untuk hal ini diperlukan persamaan
2.19 dan 2.20. Apabila jawabannya ya, maka diperlukan langkah kedua, yaitu
menentukan beban BOD maksimum yang diizinkan agar defisit DO kritis tidak
melampaui defisit DO yang diizinkan, untuk hal ini diperlukan persamaan 2.22.

Untuk menggunakan persamaan 2.19, 2.20 dan 2.22 diperlukan data K’ dan K`2 dan
data BOD ultimat. Penentuan K’ dapat menggunakan berbagai metoda yang
tersedia, salah satu yang relatif sederhana adalah menggunakan metoda Thomas,
yaitu dengan menggunakan data percobaan. Penentuan K`2 dapat menggunakan

13
persamaan empiris seperti yang diberikan pada persamaan 2.7 dan 2.8 atau yang
disajikan pada Tabel 2.1

Perlu dicatat bahwa harga K’, dan K`2 merupakan fungsi temperatur. Persamaan
yang banyak digunakan untuk memperhatikan fungsi temperatur adalah :

K’T = K’20 (1,047) T-20 ………………………………………….……………………...(2.23)

K’2T = K’2 (20)(1,016) T-20 ……………………………………..……………………… . (2.24)

Dengan T = temperatur air, oC dan K’20, K’2 (20) menyatakan harga masing-masing
pada temperatur 20 0C.

Nilai BOD ultimat pada temperatur dapat ditentukan dari nilai BOD 5 20, yaitu BOD
yang ditentukan pada temperatur 20 0C selama 5 hari dengan menggunakan
persamaan berikut :

La = BOD5 20 /(1-e -5.K’) ………………………………………………..………………(2.25)

Dengan K’ menyatakan laju deoksigenasi dan 5 menyatakan hari lamanya


penentuan BOD.

1. Tentukan laju deoksigenasi (K’) dari air sungai yang diteliti. Penentuan harga K’
pada intinya adalah menggunakan persamaan 2.3. Kemudian diperlukan
serangkaian percobaan di laboratorium. Sehubungan dengan relatif rumitnya
penentuan tersebut, maka dianjurkan untuk mengacu pada buku Metcalf dan
Eddy untuk penentuan harga K’ tersebut. Menurut Metcalf dan Eddy, nilai K’
(basis logaritmit, 20 0C) berkisar antara 0,05 hingga 0,3 hari-1. Pada intinya
pengukuran K’ melibatkan serangkaian percobaan pengukuran BOD dengan
panjang hari pengamatan yang berbeda-beda. Apabila digunakan metoda
Thomas, maka data tersebut bisa dimanipulasi untuk mendapatkan nilai K’.

Berikut ini contoh yang diambil dari Metcalf dan Eddy :

T, hari 2 4 6 8 10
Y,mg/L 11 18 22 24 26
(t/y)1/3 0,57 0,61 0,65 0,69 0,727

Dengan t menyatakan waktu pengamatan dan y nilai BOD (exerted)

Metoda Thomas adalah mengalurkan (t/y)1/3 terhadap t sesuai dengan persamaan


berikut :

14
(t/y)1/3= (2,3 K’ La)-1/3 + (K’)-2/3(t)/(3,43 La)1/3 …..………………………………(2.26)

K’ adalah nilai konstanta deoksigenasi dengan basis logaritmik (basis 10) dan La
menyatakan BOD ultimat. Dengan menggunakan metoda Thomas, nilai K’ dan La
dapat ditentukan. Dari data di atas, nilai K’ = 0,228 hari -1 dan La = 29,4 mg/L.
Berhubung nilai K’ didasarkan pada nilai BOD yang diukur pada temperatur 20 0C,
maka nilai K’ yang diperoleh adalah data untuk temperatur yang sama.

2. Tentukan laju aerasi (K’2) dengan menggunakan persamaan 2.7 dan 2.8 atau
data pada Tabel 3.1

3. Tentukan waktu kritik dengan persamaan 2.20 :

1 K`2 Do (K`2-K’)
tc = 1n 1- ..................................................................(2-20)
K`2-K’ K’ K’Lo

Dimana : Do = defisit oksigen pada saat t=0


Lo = BOD ultimat pada saat t = 0

4. Tentukan defisit oksigen kritik dengan persamaan 2.19 :

Dc = K` Lo e-k`tc C
K`2

5. Apabila nilai Dc lebih besar dari nilai Dall, maka perlu dihitung beban BOD
maksimum yang diizinkan dengan menggunakan persamaan 2.22.

IV. Contoh Perhitungan

Berikut ini diberikan contoh perhitungan untuk suatu aliran sungai dengan satu
sumber pencemar yang tentu (point source) :

1. Air limbah dari suatu kawasan industri mempunyai debit rata-rata 115.000
m3/hari (1,33 m3/detik) dibuang ke aliran sungai yang mempunyai debit
minimum 8,5 m3/detik.
2. Temperatur rata-rata limbah dan sungai masing-masing adalah 35 dan 23 0C.
3. BOD520 air limbah adalah 200 mg/L, sedangkan BOD sungai adalah 2mg/L. Air
limbah tidak mengandung DO (DO=0), sedangkan air sungai mengandung
DO=6 mg/L sebelum bercampur dengan limbah.
4. Berdasarkan data percobaan di laboratorium, nilai K’ pada temparatur 200C
adalah 0,3 hari-1
5. Nilai K’2, dengan menggunakan persamaan 2,7 dan 2,8 pada temperatur 200C
adalah 0,7 hari-1.

15
Berdasarkan data-data di atas akan dihitung :
1. Harga Dc, tc dan Xc,
2. Apabila baku mutu DO = 2mg/L, tentukan beban BOD520 maksimum pada air
limbah yang masih diperbolehkan masuk ke sungai tersebut.

Langkah-langkah penyesuaian :

1. Tentukan temperatur, DO dan BOD setelah pencampuran :


a. Temperatur campuran = [(1,33)(35) + (8,5)(23)]/(1,33+8,5) = 24,6 0C.
b. DO campuran = [(1,33)(0) + (8,5)(6)]/(1,33 + 8,5) = 5,2 mg/L
c. BOD campuran =[(1,33)(200)+(8,5)(2)]/(1,33+8,5)=28,8 mg/L
d. Lo campuran = 28,8/[-e(0,3)(5)] = 37,1 mg/L (pers. 2.25)

2. Tentukan defisit DO setelah pencamuran. Tentukan dahulu DO jenuh pada


temperatur campuran dengan menggunakan tabel kejenuhah oksigen. Dari tabel
diperoleh nilai DO jenuh = 8,45 mg/L
Defisit DO pada keadaan awal (Do) = 8,45 – 5,2 = 3,25 mg/L

3. Koreksi laju reaksi terhadap temperatur 24,6 0C


a. K’ = 0,3 (1,047)24,6-20 = 0,37 hari-1
b. K`2 = 0,7 (1,0,16) 24,6-20 =0,75 hari-1

4. Tentukan tc dan Xc dengan menggunakan persamaan 2.20 dan 2.21.


a. tc = {1/(0,75-0,37)} 1n [0,75)/(0,37) {1-3,25(0,75-0,37)/(0,37) (3,71)}]
=161 hari -1
b. Xc = (1,61)(3,2)(24) = 123,6 km

5. Tentukan Dc dengan menggunakan persamaan 2.19


a. Dc = (0,37)/(0,75) [37,1e(-0,37)(1,61)]= 10,08 mg/L
b. Konsentrasi DO pada tc = 8,45 – 10,08 = -1,63 mg/L. Karena nilai DO negatif,
hal ini berarti sungai tidak mempunyai DO lagi pada jarak 123,6 km (Xc) dari
titik pencampuran.

6. Tentukan beban BOD maksimum pada air limbah bila DO baku mutu = 2 mg/L.
a. Dall = DO yang diizinkan = 8,45 – 2 = 6,45 mg/L
b. Gunakan persamaan 2.22 untuk menghitung beban BOD ultimat maksimum:
log La = log 6,45 + [1+ {0,37(0,75-0,37)}{1-(3,25)/(6,45)} 0,418 log (0,75)/(0,37)
La = 21,85 mg/L
c. Beban BOD maksimum (pers. 2.25) = 21,85 {1 – e (-0,3)(5)} = 16,97 mg/L
d. Jadi BOD pada limbah yang dizinkan:
16,97 = [(1,33)(X) + (8,5)(2)]/(1,33 + 8,5)
1,33 X = 166,81 – 17 = 149,81
X = 112,6 mg/L
Jadi BOD pada limbah yang masih diizinkan = 112,6 mg/L

16
Catatan :
1. Dengan demikian BOD pada limbah harus diturunkan menjadi 112,6 mg/L, agar
DO air sungai tidak kurang dari 2 mg/L.
2. Contoh yang diberikan pada perhitungan ini menganggap hanya ada 1 sumber
pencemar yang tentu (point source).

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

17
Lampiran III
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor 110 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

Cara Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air.
Metoda QUAL2E

I. Pendahuluan

QUAL2E merupakan program pemodelan kualitas air sungai yang sangat


komprehensif dan yang paling banyak digunakan saat ini. QUAL2E dikembangkan
oleh US Environmental Protecion Agency. Tujuan penggunaan suatu pemodelan
adalah menyederhanakan suatu kejadian agar dapat diketahui kelakuan kejadian
tersebut. Pada QUAL2E ini dapat diketahui kondisi sepanjang sungai (DO dan
BOD), dengan begitu dapat dilakukan tindakan selanjutnya seperti industri yang
ada disepanjang sungai hanya diperbolehkan membuang limbahnya pada beban
tertentu.
Manfaat yang dapat diambil dari pemodelan QUAL2E adalah :
1. mengetahui karakteristik sungai yang akan dimodelkan dengan
membandingkan data yang telah diambil langsung dari sungai tersebut.
2. mengetahui kelakuan aliran sepanjang sungai bila terdapat penambahan beban
dari sumber-sumber pencemar baik yang tidak terdeteksi maupun yang
terdeteksi,
3. dapat memperkirakan pada beban berapa limbah suatu industri dapat dibuang
ke sungai tersebut agar tidak membahayakan makhluk lainnya sesuai baku
mutu minimum.

II. Deskripsi

Perangkat lunak QUAL2E adalah program pemodelan kualitas air sungai yang
sangat komprehensif. Program ini dapat diaplikasikan pada kondisi tunak atau
dinamik. Selain itu dapat mensimulasikan hingga 15 parameter konstituen dengan
mengikutsertakan perhitungan aliran-aliran anak sungai yang tercemar. Model ini
dapat juga digunakan untuk arus dendritik dan tercampur sempurna dengan
menitikberatkan pada mekanisme perpindahan secara adveksi dan disperse searah
dengan arus.

Selain melakukan simulasi perhitungan neraca oksigen, seperti yang telah


dijelaskan di atas, program QUAL2E dapat mensimulasikan neraca nitrogen dan
fosfor. Gambar 3.1. berikut ini dapat menggambarkan hubungan antar konstituen
dengan menggunakan program simulasi QUAL2E.

18
Rearation dari Udara

K2

K4
D SOD
ORG-N I
σ4 S
K1
S
β3 CBOD
α1(F) O
L K3
NH3
σ3 V
E
β1 D
σ5 ORG-P
α5β1 O
X β4
NO2
Y
DIS-P
G
β2 α5β1 E
σ2
N
NO3

α1(1-F)
α3 µ α4ρ
α1µ α2µ
Chla
ALGAE
α1 ρ σ1 α2 ρ

Gambar 3.1 Interaksi antar konstituen utama dalam QUAL2E

Keterangan:
α1 = Fraksi dari biomassa alga dalam bentuk Nitrogen, mg-N/mg-A
α2 = Kandungan algae dalam bentuk fosfor, mg-P/mg-A
α3 = Laju produksi oksigen tiap unit proses fotosintesa alga, mg-O/mg-A
α4 = Laju produksi oksigen tiap unit proses respirasi alga, mg-O/mg-A
α5 = Laju pengambilan oksigen tiap proses oksidasi dari amoniak, mg-O/mg-N
α6 = Laju pengmabilan oksigen dari proses oksidasi dari nitrit , mg-O/mg-N
σ1 = Laju pengendapan untuk Algae, ft/hari
σ2 = Laju sumber benthos untuk fosfor yang terlarut, mg-P/ft2-hari
σ3 = Laju sumber benthos pada amoniak dalam bentuk Nitrogen, mg-N/ft2-hari
σ4 = Koefisien laju untuk pengendapan nitrogen, hari -1
σ5 = Laju pengendapan fosfor, hari-1
µ = Laju pertumbuhan alga, bergantung terhadap temperatur, hari-1
ρ = Laju respirasi alga, bergantung terhadap temperatur, hari -1
19
K1 = Laju deoksigenasi BOD, pengaruh temperatur, hari-1
K2 = Laju rearsi berdasarkan dengan analogi difusi, pengaruh temperatur, day-1
K3 = Laju kehilangan BOD cara mengendap, faktor temperatur, day-1
K4 = Laju ketergantungan oksigen yang mengendap, faktor temperatur, g/ft2-hari
β1 = Koefisien laju oksidasi amonia, faktor temperatur, hari-1
β2 = Koefisen laju oksidasi nitrit, faktor temperatur, hari-1
β3 = Laju hydrolysis dari nitrogen, hari-1
β4 = Laju fosfor yang hilang, hari-1

Pemodelan untuk Oksigen Terlarut (DO) dengan menggunakan QUAL2E

Persamaan untuk penentuan laju perubahan DO :

dO K4
= K2 (O*- O)+ (α3 µ – α4 ρ)A – K1L - - α6 β1N1 – α6 β2N2 .............(3-1)
dt d

dengan O : konsentrasi oksigen terlarut (mg/L)


O* : konsentrasi oksigen terlarut jenuh, pada P dan T setempat (mg/L)
A : konsentrasi biomassa dari alga [mg-A/l]
L : konsentrasi dari senyawa karbon BOD [mg/L]
d : kedalaman aliran rata-rata [ft]
N1 : konsentrasi amonia dalam bentuk nitrogen [mg/L]
N2 : konsentrasi nitrit dalam bentuk nitrogen [mg/L]

Persamaan untuk penentuan konsentrasi oksigen terlarut jenuh :

lnO* = -139.344410 + (1.575701x105/T) - (6.642308x107/T2) + (1.2438/1010/T3) –


(8.6219494x1011/T4) …………………………………………………………………..(3-2)

dengan O * : konsentrasi oksigen jenuh, pada l atm (mg/L)


T : temperatur (K) = (0C + 273.15) dan 0C pada rentang 0-40 0C

Metoda penentuan laju reaerasi (K2)

1. K2 = 0,05 untuk permukaan sungai yang tertutup es, K2 = 1 untuk permukaan


sungai yang tak tertutup es.

2. Harga K2 pada temperatur 20 0C (Churcill dkk. (1962)) :


K220 = 5.026.u 0.969 .d -1.673 x 2.31

Dengan u = kecepatan rata-rata pada aliran (ft/detik)


d = kedalaman rata-rata pada aliran (ft)
K2= koefisien reaerasi

20
3. O’Connor dan Dobbins (1958) dengan karakter aliran turbulen
3.1 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik

(Dm.u)0.5
K2 20 = ………………………………………………………….(3-3)
d1..5

3.2 Untuk aliran dengan kecepatan tinggi dan kondisi isentropik

4800Dm0.5.So0.25
K220 = x 2.31 …………………………………………….(3-4)
d1.25

Dengan So : derajat kemiringan sungai sepanjang aliran (ft/ft)


Dm : koefisien difusi molekul (ft2/day)
Dm : 1.91 x 103 (1.037) T-20

4. Owens (1964) untuk aliran yang dangkal dan mengalir dengan cepat dengan
batasan kedalaman 0.4 – 11.0 ft dan kecepatan dari 0,1 – 5 ft/detik.

u.0.67
K2 20 = 9.4 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-5)
d1.85

5. Thacktor dan krenkel (1966)

u*
K2 20 = 10.8 (1 + F0.5) X 2.31 ……………………………………….(3-6)
d

u*
F= ………………………………………………………………………(3-7)
√g.d

U.n√g
u * = √d.Se.g = ………………………………………………(3-8)
1.49d1.167

dengan F = bilangan Froude


g = percepatan gravitasi (ft/sec2)
Se = Sudut dari perbedaan ketinggian
N = koefisien untuk gesekan

21
6. Langbien dan Durun (1967)

u
K220 = 3.3 ( ) X 2.31 ………………………………………………….(3-9)
d1.33

7. Hubungan empiris antara kecepatan dan kedalaman dengan lajur alir pada
bagian hidraulik akan dikorelasikan :

K2 = aQb …………………………………………………………………………..(3-10)

dengan a : koefisien untuk laju alir untuk K2


Q: laju alir (ft3/detik)
b: eksponen untuk laju alir K2

8. Tsivoglou dan Wallace (1972) K2 dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian


sepanjang aliran dan waktu yang diperlukan sepanjang aliran tersebut.

∆h
K2 20 =c = (3600 x 24) c.Se.u …………………………………………….(3-11)
tf
u2 . n2
Se = ……………………………………………………….(3-12)
(1.49)2 d4/3

Harga c (koefisien kehilangan DO tiap ft sungai)dibatasi oleh laju alir

• Untuk lajut air 1 – 5 ft3/detik harga c = 0.054ft-1 (200C)


• Untuk lajut alir 15 – 3000 ft3/detik harga c = 0.110 ft-1 (200C)

III. Prosedur Penggunaan

Program, cara penggunaan, dan contoh penggunaan pemodelan QUAL2E dapat di-
download di internet pada website :
1. http://www.epa.gov/docs/QUAL2E WINDOWS/index.html, atau
2. http://www.gky.com/_downloads/qual2eu.htm

Sedangkan tahap-tahap penggunaan QUAL2E untuk simulasi DO sepanjang aliran


sungai adalah sebagai berikut :

22
1. QUAL2E simulasi
1.1 Menulis judul dari simulasi yang akan dilakukan
1.2 Tipe simulasi yang diinginkan dengan 2 pilihan yaitu kondisi tunak dan
dinamik
1.3 Unit yang akan digunakan yaitu unit Inggris dan SI
1.4 Jumlah maksimum iterasi yang ingin dilakukan dengan batasan 30 iterasi
1.5 Jumlah aliran yang akan dibuat

2. Penjelasan tentang aliran yang akan dibuat dengan data yang diminta
2.1 Nomor aliran
2.2 Nama aliran
2.3 Titik awal sungai
2.4 Titik akhir sungai
2.5 Merupakan sumber sungai atau tidak ?
2.6 Selang sungai yang akan dimodelkan

3. Simulasi kualitas yang diinginkan


3.1 Terdapat pilihan temperature, BOD, Algae, Fosfor, Nitrogen, DO
3.2 BOD dengan data koefisien konversi BOD untuk konsentrasi BOD

4. Data iklim dan geografi yang akan dimasukkan


4.1 Letak sungai data bujur dan lintangnya
4.2 Sudut yang dibentuk sungai dari awal hingga titik akhir sungai tersebut
untuk menentukan bila menggunakan koefisiens reaerasi (K2) pilihan 4
4.3 Ketinggian sungai yang terukur dari awal hingga akhir untuk K2 pilihan 5

5. Membuat beberapa titik untuk pembatasan dengan mengambil sample harga


DO baik min, average, dan max

6. Konversi temperature terhadap


6.1 BOD untk Decay dan Settling
6.2 DO untuk reaerasi dan SOD

7. Data hydraulik sungai dengan kebutuhan :


7.1 Persamaan untuk kecepatan u = a.Qb maka diperlukan data kecepatan
pada beberapa titik di sungai dengan laju air volumentrik untuk
mengetahui koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap
koefisien reaerasi (K2) khususnya pilihan 2, 3 , 4, 5 , 6, 8
7.2 Persamaan untuk kedalaman d = c.Qd maka diperlukan data kedalaman
sungai pada beberpa titik dengan laju alir volumetrik untuk mengetahui
koefisien dan konstantanya. Data ini berpengaruh terhadap pilihan K2 yang
sebagian besar merupakan persamaan empiris.
7.3 Manning Factor dengan data dapat dilihat pada manual.

23
8. Data konstanta reaerasi
8.1 BOD dengan data decay, settling time (1/hari)
8.2 SOD rate (g/m2-day)
8.3 Tipe persamaan reareasi dengan menggunakan persamaan yang ada (lihat
metoda penentuan laju konstanta reareasi K2)
8.4 Bila persamaan yang digunakan K2 pilihan 7 untuk persamaan K2 = e.Qf
disediakan data untuk data yang dimasukkan K2 dengan harga e serta f

9. Kondisi awal dengan data yang dimasukkan temperatur, DO, BOD.


10. Kenaikan laju air sepanjang sungai dengan data yang dimasukkan laju alir
(m3/s), temperatur (0C), DO, BOD.
11. Data-data untuk aliran awal yang diperlukan laju alir (m3/s), temperatur (0C),
DO, BOD.
12. Harga-harga untuk kondisi iklim global sesuai letak bujur dan lintang dengan
data yang diperlukan
12.1 Waktu (jam, hari, bulan, tahun)
12.2 Temperatur bola basah dan kering (K)
12.3 Tekanan (mbar)
12.4 Kecepatan angin
12.5 Derajat sinar matahari (Langley, hr) dan kecerahan sungai.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA,MSM


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

24
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 111 TAHUN 2003

TENTANG

PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA


PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH
KE AIR ATAU SUMBER AIR

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (7) dan ayat (8)
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka dipandang
perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta
Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

(3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai


(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 24, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3409);

1
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonomi (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);
7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA
PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN PEMBUANGAN AIR
LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR.

Pasal 1

Setiap usaha dan atau kegiatan dilarang membuang air limbah yang mengandung
radioaktif ke air atau sumber air.
Pasal 2

Bupati/Walikota dilarang menerbitkan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber
air yang melanggar baku mutu air dan menimbulkan pencemaran air.
Pasal 3

(3) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau
sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil
kajian analisis mengenai dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan
lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
(3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib
mematuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
2
Pasal 4

(3) Permohonan izin membuang air limbah ke air atau sumber air wajib dilengkapi
data dan informasi dengan menggunakan formulir sebagaimana terlampir
dalam Keputusan ini.

(3) Data dan informasi sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) di atas merupakan
salah satu syarat permohonan izin pembuangan air limbah ke air dan atau
sumber air.

(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di atas, permohonan
izin wajib dilengkapi dengan :
a. dokumen hasil kajian pembuangan air limbah ke air dan atau sumber air;
b. hasil pemantauan pengelolaan lingkungan pada bulan terakhir;
c. dokumen lain yang terkait dengan pengisian formulir sebagaimana terlampir
dalam Keputusan ini;

Pasal 5

Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) didasarkan pada :


a. jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan;
b. rona lingkungan;
c. jumlah limbah yang dibuang;
d. daya tampung beban pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air.

Pasal 6

Bupati/Walikota wajib mencantumkan dalam izin pembuangan air limbah ke air atau
sumber air seluruh kewajiban dan larangan bagi usaha dan atau kegiatan sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Pasal 7

Izin pembuangan air limbah ke tanah di atur dengan peraturan perundang-undangan


tersendiri.

3
Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 27 Juni 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi I MENLH Bidang Kebijakan
dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

4
LAMPIRAN
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

I. Tata Cara Pemberian Izin Pembuangan Air Limbah


1. Pemohon mengajukan izin kepada Bupati/Walikota melalui kepala instansi yang
bertanggung jawab di Kabupaten/Kota.
2. Surat permohonan izin dibuat dalam jumlah rangkap tertentu sesuai dengan
kebijakan Bupati/Walikota.
3. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di Kabupaten/Kota memeriksa
kelengkapan persyaratan permohonan izin, apabila tidak lengkap dikirim
kembali ke pemohon izin.
4. Kepala instansi yang bertanggung jawab di kab/kota menugaskan tim teknis
untuk melakukan telaahan dan memproses permohonan izin.
5. Tim teknis perizinan menelaah dan memproses berkas permohonan izin
meliputi tahap:
a. kunjungan lapangan apabila diperlukan;
b. sidang pembahasan;
c. penyusunan konsep surat izin.
6. Bupati/ walikota menerbitkan, menangguhkan, atau menolak surat izin.
7. Surat izin, surat penangguhan, atau surat penolakan diterima pemohon izin.

Keterangan:
Tim teknis merupakan tim yang dibentuk oleh Bupati/ Walikota yang beranggotakan
dari instansi yang mempunyai tugas dan fungsi berkaitan dengan pengelolaan air atau
instansi pembina usaha dan atau kegiatan pemohon izin.

5
II. Proses Perizinan Pembuangan air Limbah ke Air Permukaan.

6
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 112 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,
maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);

1
6. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK.

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama;

2. Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur
pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air
permukaan;

3. Pengolahan air limbah domestik terpadu adalah sistem pengolahan air


limbah yang dilakukan secara bersama-sama (kolektif) sebelum dibuang ke
air permukaan;

4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup


dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan atau kegiatan
permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan
dan apartemen.
(2) Baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku untuk pengolahan air limbah domestik terpadu.

Pasal 3
Baku mutu air limbah domestik adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini.

2
Pasal 4
Baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini berlaku bagi :
a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan
perniagaan, dan apartemen;
b. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter
persegi; dan
c. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih.
Pasal 5
Baku mutu air limbah domestik untuk perumahan yang diolah secara individu
akan ditentukan kemudian.
Pasal 6
(1) Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah domestik daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah
domestik sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 7
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau hasil
kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan dari
usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mensyaratkan
baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu air
limbah domestik sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan .
Pasal 8
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate),
rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen wajib :
a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah
domestik yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air
limbah domestik yang telah ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air
sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan.
c. membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air
limbah.

3
Pasal 9
(1) Pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dapat dilakukan secara bersama-sama (kolektif) melalui pengolahan limbah
domestik terpadu.
(2) Pengolahan air limbah domestik terpadu harus memenuhi baku mutu
limbah domestik yang berlaku
Pasal 10
(1) Pengolahan air limbah domestik terpadu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 menjadi tanggung jawab pengelola.

(2) Apabila pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak menunjuk pengelola tertentu, maka tanggung jawab pengolahannya
berada pada masing-masing penanggung jawab kegiatan
Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 dalam izin pembuangan air limbah domestik bagi usaha dan atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama.
Pasal 12
Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5
(lima) tahun.
Pasal 13
Apabila baku mutu air limbah domestik daerah telah ditetapkan sebelum
keputusan ini :
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik
tersebut tetap berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik tersebut
wajib disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 14
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan baku mutu air limbah domestik bagi usaha dan atau
kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran), perkantoran,
perniagaan, apartemen dan asrama yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Keputusan ini.

4
Pasal 15
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

5
Lampiran
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor : 112 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003

BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK


Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH - 6-9
BOD mg/l 100
TSS mg/l 100
Minyak dan Lemak mg/l 10

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA,MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

6
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 113 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU
KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,
maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);

7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN
ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan
penambangan dan kegiatan pengolahan/pencucian batu bara;

2. Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan
dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang
berlangsung lama;

3. Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi
penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun
tambang bawah tanah;

4. Kegiatan pengolahan/pencucian batu bara adalah proses peremukan, pencucian,


pemekatan dan atau penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa
belerang dari batu bara tanpa mengubah sifat kimianya;

5. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal
dari kegiatan penambangan batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan
pengolahan/pencucian batu bara;

6. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan;

7. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;

2
8. Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh
kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal
dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara;

9. Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada
lokasi penambangan sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi dalam
usaha dan kegiatan penambangan batu bara;

10. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap
saat tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terlampaui karena keadaan tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan
kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Gubernur dan Menteri.

Pasal 4

(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih
ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut
dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 5

Apabila hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) atau hasil
kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu
air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.
3
Pasal 6

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan
pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang
berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang
ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam
lampiran Keputusan ini.

Pasal 7

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam
pengendapan (pond).

Pasal 8

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
melakukan kajian lokasi titik penaatan (point of compliance) air limbah dari kegiatan
pertambangan.
(2) Lokasi titik penaatan (point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berada pada saluran air limbah yang :
a. ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air
permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air
lain selain dari kegiatan penambangan tersebut.
b. keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu
bara sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari
kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan tersebut.

(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan mengajukan
permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance) kepada
Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air
limbah mengenai lokasi titik penaatan (point of compliance).

Pasal 9

Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan dan atau
karena pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali
kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan (point of
compliance) yang baru.

4
Pasal 10

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib untuk :

a. melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, sekurang-


kurangnya memeriksa pH air limbah dan mencatat debit air limbah harian;
b. mengambil dan memeriksa semua kadar parameter baku mutu air limbah
sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan yang dilaksanakan oleh pihak
laboratorium yang telah terakreditasi;
c. menyampaikan laporan tentang hasil analisis air limbah dan debit harian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan Menteri, serta
instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 11

Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
yang diterbitkan.

Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan


Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan
ketentuan dalam Keputusan ini.
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat
dari baku mutu air limbah dalam Keputusan ini, maka baku mutu air limbah
sebelumnya tetap berlaku.

Pasal 13
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Keputusan ini.

5
Pasal 14
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

6
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003

BAKU MUTU AIR LIMBAH KEGIATAN PENAMBANGAN BATU BARA

Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakaan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003

BAKU MUTU AIR LIMBAH PENGOLAHAN/PENCUCIAN BATU BARA

Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 200
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Volume air limbah maksimum
2m3 per ton produk batu bara

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

8
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 115 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN PENENTUAN STATUS MUTU AIR

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penentuan
Status Mutu Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);

1
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden
Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN


HIDUP TENTANG PEDOMAN PENENTUAN STATUS
MUTU AIR.

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


a. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan.

c. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.

Pasal 2

(1) Penentuan status mutu air dapat menggunakan Metoda STORET atau
Metoda Indeks Pencemaran.

(2) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda STORET
dilakukan sesuai dengan pedoman pada Lampiran I Keputusan ini.

(3) Pedoman untuk menentukan status mutu air dengan Metoda Indeks
Pencemaran dilakukan sesuai dengan pedoman pada Lampiran II
Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Apabila timbul kebutuhan untuk menggunakan metoda lain yang juga
berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kapasitas daerah, maka

2
dapat digunakan metoda di luar metoda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
(2) Metoda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan setelah
mendapat rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 4

Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan


Keputusan ini, status mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib
disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.

Pasal 5

Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan


yang berkaitan dengan status mutu air yang telah ada tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA

3
Lampiran I
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Nomor : 115 Tahun 2003
Tanggal: 10 Juli 2003

PENENTUAN STATUS MUTU AIR DENGAN METODA STORET

I. Uraian Metoda STORET

Metoda STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status


mutu air yang umum digunakan. Dengan metoda STORET ini dapat
diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku
mutu air.
Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas
air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna
menentukan status mutu air.
Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan
sistem nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)” dengan
mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas, yaitu :
(1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 Æ memenuhi baku mutu
(2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 Æ cemar ringan
(3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 Æ cemar sedang
(4) Kelas D : buruk, skor ≥ -31 Æ cemar berat

II. Prosedur Penggunaan


Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik
sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data).
2. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air
dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.

4
3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran <
baku mutu) maka diberi skor 0.
4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil
pengukuran > baku mutu), maka diberi skor :

Tabel 1.1. Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air
Jumlah Nilai Parameter
contoh1)
Fisika Kimia Biologi
< 10 Maksimum -1 -2 -3
Minimum -1 -2 -3
Rata-rata -3 -6 -9
≥ 10 Maksimum -2 -4 -6
Minimum -2 -4 -6
Rata-rata -6 -12 -18
Sumber : Canter (1977)
Catatan : 1) jumlah parameter yang digunakan untuk penentuan status
mutu air.

5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status


mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem
nilai.

III. Contoh Perhitungan

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh berikut ini. Tabel 1.2.
merupakan contoh penerapan penentuan kualitas air menurut metoda
STORET yang dilakukan oleh Unpad, Bandung. Data diambil dari sungai
Ciliwung pada stasiun 1. Pada tabel ini tidak diberikan data lengkap hasil
analisa di sungai Ciliwung, tetapi hanya diberikan nilai maksimum,
minimum, dan rata-rata dari data-data hasil.
Cara pemberian skor untuk tiap parameter adalah sebagai berikut (contoh,
untuk Hg):
a. Hg merupakan parameter kimia, maka gunakan skor untuk parameter
kimia.

5
b. Kadar Hg yang diharapkan untuk air golongan C adalah 0.002 mg/l.
c. Kadar Hg maksimum hasil pengukuran adalah 0.0296 mg/l, ini berarti
kadar Hg melebihi baku mutunya. Maka skor untuk nilai maksimum
adalah -2.
d. Kadar Hg minimum hasil pengukuran adalah 0.0006 mg/l, ini berarti
kadar Hg sesuai dengan baku mutunya. Maka skornya adalah 0.
e. Kadar Hg rata-rata hasil pengukuran adalah 0.0082 mg/l, ini berarti
melebihi baku mutunya. Maka skornya adalah –6.
f. Jumlahkan skor untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata.
Untuk Hg pada contoh ini skor Hg adalah –8.
g. Lakukan hal yang sama untuk tiap parameter, apabila tidak ada baku
mutunya untuk parameter tertentu, maka tidak perlu dilakukan
perhitungan.
h. Jumlahkan semua skor, ini menunjukan status mutu air. Pada contoh
ini skor total adalah –58, ini berarti sungai Ciliwung pada stasiun 1
mempunyai mutu yang buruk untuk peruntukan golongan C.

Tabel 1.2. Status Mutu Kualitas Air Menurut Sistem Nilai STORET
di Stasiun 1 sungai Ciliwung bagi peruntukan Golongan C (PP 20/1990)
No. Parameter Satuan Baku Hasil Pengukuran Skor
Mutu
Maksimu Minimum Rata-rata
m
FISIKA
1 TDS mg/l 289 179,4 224,2
2 Suhu air C normal + 24,15 20,5 22,06 0
3
3 DHL mhos/c 82,6 72 76,3
m
4 Kecerahan M 0,46 0,35 0,41
KIMIA
a. Anorganik
1 Hg mg/l 0,002 0,0296 0,0006 0,0082 -8
2 As mg/l 0,5 0,0014 Tt 0,0004 0
3 Ba mg/l 1,5 17,401 11,239 15,3665
4 F mg/l 0,01 0,51 0,28 0,4138 0

6
5 Cd mg/l nihil Tt Tt Tt 0
6 Cr (VI) mg/l 0,0036 Tt 0,0009 -8
7 Mn mg/l 0,033 Tt 0,083
8 Na mg/l 15,421 5,1672 11,0246
9 NO3-N mg/l 12,28 0,04 3,4675
10 NO2-N mg/l 0,06 1 0,0075 0,3996 -8
11 NH3-N mg/l 0,02 1,53 Tt 0,576 -8
12 pH 6-8.5 7,83 6,72 7,41 0
13 Se mg/l 0,05 Tt Tt Tt 0
14 Zn mg/l 0,02 0,0457 Tt 0,0114 -2
15 CN mg/l 0,01 Tt Tt Tt 0
16 SO4 mg/l 40 2,2 14,175
17 H2S mg/l 0,002 1,27 0,0014 0,3354 -8
18 Cu mg/l 0,02 0,008 Tt 0,0043 0
19 Pb mg/l 0,03 0,2456 Tt 0,1451 -8
20 RSC mg/l 3,42 2,42 2,985
21 BOD5 mg/l 42,51 22,97 32,92
22 COD mg/l 62,2 34,32 48,08
23 Minyak dan mg/l 0,5 Tt Tt Tt 0
lemak
24 PO4 mg/l 2,28 0,02 0,7167
25 Phenol mg/l 0,001 Tt Tt Tt 0
26 Cl2 mg/l 0,003 1,3315 0,0003 0,3383 -8
27 B mg/l 2,103 0,81 1,4575
28 COD mg/l 0,1242 0,0145 0,0653
29 Ni mg/l Tt Tt Tt
30 HCO3 mg/l - - -
31 CO2-bebas mg/l 11,88 7,92 9,24
32 Salinitas 0/00 0,02 0 0,015
33 DO mg/l >3 9,1 8 8,433 0
b. Organik
1 Aldrin mg/l Tt Tt Tt
2 Dieldrin mg/l Tt Tt Tt
3 Chlordane mg/l Tt Tt Tt
4 DDT mg/l 0,002 Tt Tt Tt 0
5 Detergent mg/l 0,2 Tt Tt Tt 0
6 Lindane mg/l Tt Tt Tt
7 PCB mg/l Tt Tt Tt
8 Endrine mg/l 0,004 Tt Tt Tt 0
9 BHC 0,21 Tt Tt Tt 0
MIKROBIOLO
GI
1 Coliform tinja Jml/100 15x10^6 2.5x10^6 7.125x10^6
ml

7
2 Total coliform Jml/100 15x10^6 2.5x10^6 8.375x10^6
ml
Jumlah Skor -58

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelmbagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

8
Lampiran II
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Nomor : 115 Tahun 2003
Tanggal: 10 Juli 2003

PENENTUAN STATUS MUTU AIR DENGAN


METODA INDEKS PENCEMARAN

I. Uraian Metode Indeks Pencemaran

Sumitomo dan Nemerow (1970), Universitas Texas, A.S., mengusulkan suatu


indeks yang berkaitan dengan senyawa pencemar yang bermakna untuk
suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran
(Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran
relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974).
Indeks ini memiliki konsep yang berlainan dengan Indeks Kualitas Air (Water
Quality Index). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan,
kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh
bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai.

Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi
masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air
untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki
kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar.
IP mencakup berbagai kelompok parameter kualitas yang independent dan
bermakna.

II. Definisi
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan
dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter
kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu
lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah Indeks
Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.

9
PIj = (C1/L1j, C2/L2j,…,Ci/Lij)…………………………………….……...(2-1)
Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang diakibatkan oleh
parameter kualitas air. Nisbah ini tidak mempunyai satuan. Nilai Ci/Lij = 1,0
adalah nilai yang kritik, karena nilai ini diharapkan untuk dipenuhi bagi
suatu Baku Mutu Peruntukan Air. Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter,
maka konsentrasi parameter ini harus dikurangi atau disisihkan, kalau badan
air digunakan untuk peruntukan (j). Jika parameter ini adalah parameter
yang bermakna bagi peruntukan, maka pengolahan mutlak harus dilakukan
bagi air itu.
Pada model IP digunakan berbagai parameter kualitas air, maka pada
penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari keseluruhan nilai Ci/Lij
sebagai tolok-ukur pencemaran, tetapi nilai ini tidak akan bermakna jika
salah satu nilai Ci/Lij bernilai lebih besar dari 1. Jadi indeks ini harus
mencakup nilai Ci/Lij yang maksimum
PIj = {(Ci/Lij)R,(Ci/Lij)M} …………………………………..…….…..(2-2)
Dengan (Ci/Lij)R : nilai ,Ci/Lij rata-rata
(Ci/Lij)M : nilai ,Ci/Lij maksimum
Jika (Ci/Lij)R merupakan ordinat dan (Ci/Lij)M merupakan absis maka PIj
merupakan titik potong dari (Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M dalam bidang yang
dibatasi oleh kedua sumbu tersebut.

(Ci/Lij)R

PIj

(Ci/Lij)M

Gambar 2.1. Pernyataan Indeks untuk suatu Peruntukan (j)

10
Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij)R
dan atau (Ci/Lij)M adalah lebih besar dari 1,0. Jika nilai maksimum Ci/Lij dan
atau nilai rata-rata Ci/Lij makin besar, maka tingkat pencemaran suatu badan
air akan makin besar pula. Jadi panjang garis dari titik asal hingga titik Pij
diusulkan sebagai faktor yang memiliki makna untuk menyatakan tingkat
pencemaran.

PIj = m (C i /L ij ) 2M + (C i /L ij ) 2R …………………………………………...(2-3)

Dimana m = faktor penyeimbang


Keadaan kritik digunakan untuk menghitung nilai m
PIj = 1,0 jika nilai maksimum Ci/Lij = 1,0 dan nilai rata-rata Ci/Lij = 1,0 maka

1,0 = m (1) 2 + (1) 2

m = 1/ 2 , maka persamaan 3-3 menjadi

(C i /L ij ) 2M + (C i /L ij ) 2R
PIj = ……………………………………………..(2-4)
2
Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan
dapat atau tidaknya sungai dipakai untuk penggunaan tertentu dan dengan
nilai parameter-parameter tertentu.

Evaluasi terhadap nilai PI adalah :


0 ≤ PIj ≤ 1,0 Æ memenuhi baku mutu (kondisi baik)
1,0 < PIj ≤ 5,0 Æ cemar ringan
5,0 < PIj ≤ 10 Æ cemar sedang
PIj > 10 Æ cemar berat

III. Prosedur Penggunaan

Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan


dalam Baku Mutu suatu Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi
parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada
suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka PIj adalah

11
Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij.
Harga Pij ini dapat ditentukan dengan cara :
1. Pilih parameter-parameter yang jika harga parameter rendah maka
kualitas air akan membaik.
2. Pilih konsentrasi parameter baku mutu yang tidak memiliki rentang.
3. Hitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan
cuplikan.
4.a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat
pencemaran meningkat, misal DO. Tentukan nilai teoritik atau nilai
maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim merupakan nilai DO jenuh).
Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij
hasil perhitungan, yaitu :
C im - C i (hasil pengukuran)
(Ci/Lij)baru =
C im - L ij

4.b. Jika nilai baku Lij memiliki rentang


- untuk Ci < Lij rata-rata
[ C i - (L ij ) rata -rata ]
(Ci/Lij)baru =
{ (L ij ) minimum - (L ij ) rata -rata }

- untuk Ci > Lij rata-rata


[ C i - (L ij ) rata -rata ]
(Ci/Lij)baru =
{ (L ij ) maksimum - (L ij ) rata -rata }

4.c. Keraguan timbul jika dua nilai (Ci/Lij) berdekatan dengan nilai acuan
1,0, misal C1/L1j = 0,9 dan C2/L2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat
besar, misal C3/L3j = 5,0 dan C4/L4j = 10,0. Dalam contoh ini tingkat
kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi kesulitan ini
adalah :
(1) Penggunaan nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran kalau nilai ini lebih kecil
dari 1,0.

12
(2) Penggunaan nilai (Ci/Lij)baru jika nilai (Ci/Lij)hasil pengukuran lebih
besar dari 1,0.
(Ci/Lij)baru = 1,0 + P.log(Ci/Lij)hasil pengukuran
P adalah konstanta dan nilainya ditentukan dengan bebas dan
disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau
persyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan
(biasanya digunakan nilai 5).
4. Tentukan nilai rata-rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij
((Ci/Lij)R dan (Ci/Lij)M).
5. Tentukan harga PIj

(C i /L ij ) 2M + (C i /L ij ) 2R
PIj =
2

IV. Contoh Perhitungan

Pada contoh berikut ini diberikan data untuk suatu sampel sungai yang akan
ditentukan indeks pencemarannya (IP). Hasil pengukuran sampel diberikan
pada kolom 2 (Ci) dan baku mutu perairan tersebut diberikan pada kolom 3
(LiX). Pada contoh perhitungan hanya digunakan 6 parameter saja. Contoh
yang diberikan berikut ini hanya bertujuan agar pemakai metoda Indeks
Pencemaran dapat memahami cara menghitung harga PIj.

Tabel 2.2. Contoh penentuan IP untuk baku mutu x


Parameter Ci LiX Ci/LiX Ci/LiX baru
TSS 100 50 2 2,5
DO 2 6 0,28 0,28
pH 8 6-9 0,5 0,5
Fecal coliform 2000 1000 2 2,5
BOD 8 2 4,0 4,0
Se 0,07 0,01 7,0 5,2

13
• Contoh perhitungan TSS :
C1/L1X = 100 / 50 = 2
C1/L1X > 1
Maka gunakan persamaan (Ci/Lij)baru
(C1/L1X)baru = 1,0 + 5 log 2 = 2,5
Catatan : Ci/Lij baru dihitung karena nilai Ci/Lij yang berjauhan
untuk Ci/Lij < 1 digunakan Ci/Lij hasil pengukuran, tetapi bila Ci/Lij > 1
perlu dicari Ci/Lij baru.
• Contoh perhitungan DO :
DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka
kualitas akan menrun. Maka sebelum menghitung C2/L2X harus dicari
terlebih dahulu harga C2 baru.
DOmaks = 7 pada temperatur 250C
C2 baru = 7 – 2 = 5
7–6 3
C2/L2X = (5/3) / 6 = 0,28
• Contoh perhitungan pH :
Karena harga baku mutu pH memiliki rentang, maka penetuan C3/L3X
dilakukan dengan cara :
L3X rata-rata = 6 + 9 = 7,5 C3 > L3X rata-rata
2
C3/L3X = ( 8 – 7,5 ) = 0,5
(9–8)
• Tentukan nilai (Ci/LiX)R = 2,58 (nilai rata-rata dari kolom 5)
• Tentukan nilai (Ci/LiX)M = 5,2 (nilai maksimum dari kolom 5)
• Dengan menggunakan persamaan pada langkah no 5 (lihat prosedur
3.2), maka dapat ditentukan nilai PIX = 4,10.

Apabila kemudian data air sungai yang sama ingin dibandingkan terhadap
baku mutu yang berbeda, misalnya Y (kolom II, Tabel 3.3), maka
perhitungannya menjadi sebagai berikut:

14
Tabel 2.3. Contoh penentuan IP untuk baku mutu Y
Parameter Ci LiY Ci/LiY Ci/LiY baru
TSS 100 400 0,25 0,25
DO 2 1 2 0,83
pH 8 6-9 0,5 0,5
BOD 8 10 0,8 0,8
Se 0,07 0,08 0,88 0,88

Dari Tabel 2.3., maka dapat ditentukan nilai-nilai berikut:


• (Ci/LiY)R = 0,625
• (Ci/LiY)M = 0,88
• PIY = 0,76
Jika dibandingkan antara contoh pada Tabel 2.2 dengan contoh pada Tabel
2.3, maka dapat diambil kesimpulan bahwa air sungai yang diukur
memenuhi baku mutu Y dan tidak memenuhi baku mutu X. Jadi bila nilai PI
lebih kecil dari 1,0, maka sampel air tersebut memenuhi baku mutu
termaksud, sedangkan bila lebih besar dari 1,0, sampel dinyatakan tidak
memenuhi baku mutu.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

15
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGANHIDUP
NOMOR 142 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003
TENTANG
PEDOMAN MENGENAI SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN
KAJIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH
KE AIR ATAU SUMBER AIR

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa sehubungan dengan adanya kekeliruan dalam Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata
Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air
Atau Sumber Air, di pandang perlu mengubah dan menyempurnakan
beberapa ketentuan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara
Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau
Sumber Air;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 24, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3409);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonomi
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara
Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas
Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP NOMOR 111 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN MENGENAI
SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN SERTA PEDOMAN KAJIAN
PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR.

Pasal I
Mengubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta
Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air, sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :


“Pasal 3

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber
air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian
analisis mengenai dampak lingkungan atau kajian upaya pengelolaan lingkungan dan
upaya pemantauan lingkungan.
(3) Syarat-syarat perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air wajib mematuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air.

2. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut :


“Pasal 5

Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada :


a. jenis industri dan jenis usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan;
b. rona lingkungan;
c. jumlah limbah yang dibuang;
d. daya tampung beban pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya
Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber Air.

Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :24 September 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi I MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor 111 Tahun 2003
Tanggal 27 Juni 2003

I. Tata Cara Pemberian Izin Pembuangan Air Limbah


1. Pemohon mengajukan izin kepada Bupati/Walikota melalui kepala instansi yang
bertanggung jawab di Kabupaten/Kota.
2. Surat permohonan izin dibuat dalam jumlah rangkap tertentu sesuai dengan kebijakan
Bupati/Walikota.
3. Kepala Instansi yang bertanggung jawab di Kabupaten/Kota memeriksa kelengkapan
persyaratan permohonan izin, apabila tidak lengkap dikirim kembali ke pemohon izin.
4. Kepala instansi yang bertanggung jawab di kab/kota menugaskan tim teknis untuk
melakukan telaahan dan memproses permohonan izin.
5. Tim teknis perizinan menelaah dan memproses berkas permohonan izin meliputi tahap:
a. kunjungan lapangan apabila diperlukan;
b. sidang pembahasan;
c. penyusunan konsep surat izin.
6. Bupati/ walikota menerbitkan, menangguhkan, atau menolak surat izin.
7. Surat izin, surat penangguhan, atau surat penolakan diterima pemohon izin.

Keterangan:
Tim teknis merupakan tim yang dibentuk oleh Bupati/ Walikota yang beranggotakan dari
instansi yang mempunyai tugas dan fungsi berkaitan dengan pengelolaan air atau instansi
pembina usaha dan atau kegiatan pemohon izin.
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 122 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa kegiatan industri pupuk mempunyai potensi


menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu
perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair (air limbah);

b. bahwa menurut ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah


Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air untuk melakukan pengendalian
pencemaran akibat pembuangan air limbah, perlu ditetapkan
Baku Mutu Air Limbah Nasional;

c. bahwa penetapan baku mutu air limbah bagi kegiatan industri


pupuk sebagaimana yang diatur di dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 1995 lampiran B.X
nilai parameter pH tidak sesuai dengan kondisi yang ada pada
saat ini, sehingga perlu dilakukan perubahan;

d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu


ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor Kep-51/MENLH/10/1995 tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4161);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3838);

5. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan


Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI
NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-
51/MENLH/10/1995 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR
BAGI KEGIATAN INDUSTRI.

Pasal I

Mengubah nilai parameter pada lampiran B.X Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor : KEP-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi
Kegiatan Industri Pupuk sehingga Baku Mutu Limbah Cair (Air Limbah) bagi Kegiatan
Industri Pupuk sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 12 Agustus 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH BIdang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.
Lampiran : Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup

Nomor : Tahun 2004


Tentang : Perubahan Atas Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor :
Kep- 51/MENLH/10/1995 Tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi
Kegiatan Industri.
Tanggal : Agustus 2004

BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN INDUSTRI PUPUK

PARAMETER PUPUK UREA PUPUK NITROGEN AMONIAK


LAIN
BEBAN BEBAN BEBAN
PENCEMARAN PENCEMARAN PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM MAKSIMUM
(kg/ton) (kg/ton) (kg/ton)

COD 3.0 3.0 0.30

TSS 1.5 3.0 0.15

Minyak dan lemak 0.3 0.30 0.03

NH3-N 0.75 1.50 0.30

TKN 1.5 2.25 -

pH 6.0 – 10 6.0 – 10 6.0 – 10

Debit air limbah 15 m3 per ton produk 15 m3 per ton produk 15 m3 per ton produk
maksimum

Catatan :
1. Pengukuran beban air limbah dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir
2. Beban air limbah (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit air limbah
3. Beban air limbah pabrik amoniak, berlaku pula untuk pabrik pupuk urea dan pupuk nitrogen lain yang memproduksi
kelebihan amoniak.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 202 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu
Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan
Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3839);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);

1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);

7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101
tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN
ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN
ATAU TEMBAGA.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah
serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih emas dan
atau tembaga menjadi konsentrat atau logam emas dan atau tembaga dan
meliputi juga kegiatan paska penutupan tambang;

2. Kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga adalah pengambilan bijih
emas dan atau tembaga yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;

3. Kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga adalah proses


penghancuran, penggilingan, pengapungan, pelindian, pemekatan dan atau
pemurnian dengan metoda fisika dan atau kimia;

2
4. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih emas dan
atau tembaga dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
yang berwujud cair;

5. Baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan
atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah
yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga;

6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;

7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

(1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga terdiri dari :

a. air limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air
yang terkena dampak kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga
sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung
dengan kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga tersebut;
b. air limbah kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang dibuang
ke badan air;
c. air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang.

(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan bijih emas dan atau
tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan ini.

(3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang akan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri tersendiri.

(2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.

3
Pasal 4

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini
tidak boleh dilampaui.

(2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena :

a. keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai


dimulainya kembali kegiatan operasi;
b. terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan
bijih emas dan atau tembaga sesuai dengan data penelitian atau data
meteorologi;

maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan
menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.

Pasal 5

(1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.

Pasal 6

Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)


atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air
limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini, maka
diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau UKL dan UPL.

4
Pasal 7

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan
penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga, sehingga mutu
air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah
yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 8

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari
usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga.

(2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada
pada saluran air limbah yang :

a. keluar dari sistim pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke
badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau
sumber lain selain dari kegiatan penambangan emas dan atau tembaga
tersebut; dan atau
b. keluar dari sistim pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak
terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari
kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga tersebut.

(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan
kepada Bupati/Walikota.

(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan lokasi titik penaatan


sebagai bagian dari izin pembuangan air limbah.

Pasal 9

Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga dan atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang
dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk
memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.

5
Pasal 10

Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga wajib untuk:
a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah,
sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah;

b. mengambil dan memeriksa ke laboratorium yang terakreditasi semua kadar


parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan;

c. melakukan analisis air limbah sebagaimana tercantum dalam huruf a dan huruf
b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

Bupati/Walikota wajib mencantumkan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10 di dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
pertambangan emas dan atau tembaga yang diterbitkan.

Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan


Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga yang telah ditetapkan sebelumnya
yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.

(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.

6
Pasal 13

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di: Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004

BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN


BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

Parameter Satuan Kadar Maksimum Metode Analisis**

pH 6–9 SNI 06-6989-11-2004


TSS mg/L 200 SNI 06-6989-3-2004
Cu* mg/L 2 SNI 06-6989-6-2004
Cd* mg/L 0,1 SNI 06-6989-18-2004
Zn* mg/L 5 SNI 06-6989-7-2004
Pb* mg/L 1 SNI 06-6989-8-2004
As* mg/L 0,5 SNI 06-2913-1992
Ni* mg/L 0,5 SNI 06-6989-22-2004
Cr * mg/L 1 SNI 06-6989-22-2004
Hg* mg/L 0,005 SNI 06-2462-1991
Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi ion logam terlarut
• ** = jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan
versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah
atau di atas baku mutu air, maka dengan rekomendasi Menteri,
Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar maksimum untuk
parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.
• Untuk memenuhi baku mutu air limbah tersebut, kadar parameter air
limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air
secara langsung diambil dari sumber air.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13Oktober 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

8
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004

BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN


BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

Parameter Satuan Kadar Maksimum Metode Analisis***

pH 6–9 SNI 06-6989-11-2004


TSS mg/L 200 SNI 06-6989-3-2004
Cu* mg/L 2 SNI 06-6989-6-2004
Cd* mg/L 0,1 SNI 06-6989-18-2004
Zn* mg/L 5 SNI 06-6989-7-2004
Pb* mg/L 1 SNI 06-6989-8-2004
As* mg/L 0,5 SNI 06-2913-1992
Ni* mg/L 0,5 SNI 06-6989-22-2004
Cr * mg/L 1 SNI 06-6989-14-2004
CN ** mg/L 0,5 SNI 19-1504-1989
Hg * mg/L 0,005 SNI 06-2462-1991

Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi total ion logam terlarut .
• ** = Parameter khusus untuk pengolahan bijih emas yang menggunakan proses
• Cyanidasi.
• CN dalam bentuk CN bebas.
• *** = Jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air,
maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar
maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004
--------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup

ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini seuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

9
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEPALA BAPEDAL


C. PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

1. KepMen LH Nomor 35 Tahun 1993 Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor

2. KepMen LH Nomor 13 Tahun 1995 Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak

3. KepMen LH Nomor 15 Tahun 1996 Program Langit Biru

4. KepMen LH Nomor 48 Tahun 1996 Baku Tingkat Kebisingan

5. KepMen LH Nomor 49 Tahun 1996 Baku Tingkat Getaran

6. KepMen LH Nomor 50 Tahun 1996 Baku Tingkat Kebauan

7. KepMen LH Nomor 45 Tahun 1997 Indeks Standar Pencemar Udara

8. KepKa Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran
Udara Sumber Tidak Bergerak

9. KepKa Bapedal Nomor 107 Tahun 1997 Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara

10. KepMen LH Nomor 129 Tahun 2003 Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan
Minyak dan Gas Bumi

11. KepMen LH Nomor 141 Tahun 2003 Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor
yang Sedang di Produksi
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: KEP-35/MENLH/10/1993

TENTANG

AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang: a) bahwa dalam Peratiran Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan
dan Pengemudi telah diatur ketentuan mengenai persyaratan laik jalan
kendaraan bermotor yang meliputi antara lain ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor;
b) bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur lebih lanjut
dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Mengingat: 1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3480) jc Undang-undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang
Penangguhan Mulai Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang
Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan sebagai Undang-undang (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3494);
3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi
(Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3530);

Memperhatikan: Surat Menteri Perhubungan Nomor: B.414/UM.501/MPHB tanggal 28 September


1993

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG AMBANG


BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:


1. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan
pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
2. Kendaraan Bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknis yang berada pada
kendaraan itu.

Pasal 2

1. Kandungan CO (karbon monoksida) dan HC (hidro karbon) dan ketebalan asap pada pancaran
gas buang:
a. Sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar bensin dengan bilangan oktana ³ 87
ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 3.000 ppm untuk HC;
b. Sepeda motor 4 (empat) langkah dengan bahan bakar bensin dengan bilangan oktana ³
87 ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 2.400 ppm untuk HC;
c. Kendaraan bermotor selain sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar bensin
dengan bilangan oktana ³ 87 ditentukan maksimum 4,5% untuk CO dan 1.200 ppm
untuk HC;
2. Kendaraan bermotor selain sepeda motor 2 (dua) langkah dengan bahan bakar solar disel dengan
bilangan setana ³ 45 ditentukan maksimum ekivalen 50% Bosch pada diameter 102 mm atau
25% opasiti untuk ketebalan asap.
3. Kandungan CO dan HC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c diukur pada kondisi
percepatan bebas (idling).
4. Ketebalan asap gas buang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diukur pada kondisi
percepatan bebas.

Pasal 3

Pengkajian Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan ini dilakukan lebih lanjut oleh instansi yang bertanggungjawab di bidang Pengendalian
Dampak Lingkungan.

Pasal 4

Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor ditinjau kembali sekurang-kurangnya dalam 5
(lima) tahun sekali.

Pasal 5

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Nomor: Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan,
sepanjang mengenai Baku Mutu Udara Emisi Sumber Bergerak dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Oktober 1993
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995
Tentang : Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dari jenis-jenis kegiatan


sumber tidak bergerak perlu dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara
dengan menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak;

2. bahwa mengingat keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan


Hidup Nomor :Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
emisi Udara Sumber Tak Bergerak saat ini perlu dilakukan penyempurnaannya;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Negara Tahun
1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentauan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982,
Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3215);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan
Lembaran Negara R. I. Nomor 3538);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas


pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi staff
Menteri Negara;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang
Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan


pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU


EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK

Pasal 1

(1) Dalam keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi
yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan;
2. Emisi adalah makluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang
dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara
ambient;
3. Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke udara ambient;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap
untuk dilaksanakan pembangunan fisiknya;
5. Menteri adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisiknya;
6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , Gubernur Kepala
Daerah khusus Ibu kota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan :
1. Indusrti besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan
Lampiran I B;

2. Industri pulp dan kertas sebagaimana tersebut dalam Lampiran II A dan


Lampiran II B;
3. Pembangkit lisrtik tenaga uap berbahan bakar batu bara sebagaimana
tersebut dalam Lampiran III A dan Lampiran III B;
4. Industri semen sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan
Lampiran IV B;

(2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku
Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib
memenuhi Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2.000;
2. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini,
dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Emisi Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu emisi Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
3. Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap
perenacanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran B;
4. Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka
waktu selama satu tahun sejak ditetapkannya keputusan ini untuk
mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A;

(3) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3

(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);

(2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka jenis kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V keputusan ini.

Pasal 4

Badan melakukan pembinaan , pegembangan pengendalian pencemaran udara,


menetapkan pedoman teknis pemantauan kualitas udara, methoda pengambilan
contoh dan analisisnya serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 5

(1) Apabila diperlukan, Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar


parameter sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini dengan
persetujuan Menteri;

(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi untuk jenis-jenis kegiatan di
daerahnya lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat
(1);

(3) Dalam menetapkan baku mutu emisi daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan (2), Gubernur mengikutsertakan pihak-pihak yang
berkepentingan;

Pasal 6

Apabila analisis mengenai Dampak lingkungan bagi kegiatan mensyaratkan baku


mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam
keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut ditetapkan baku emisi sebagaimana
diisyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 7

(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana berikut :
membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat
pengaman;

(2) memasang alat ukur pemantauan yang melitputi kadar dan laju alir volume
untuk setiap cerobong emisi yang tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan
angin;

(3) melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong
emisi;

(4) menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf


(c) kepada Gubernur dengan tembusan Kepala Badan sekurang-kurangnya
sekali dalam 3 (tiga) bulan;

(5) melaporkan kepada Gubernur serta kepala Badan apabila ada kejadian tidak
normal dan atau dalam keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi
dilampaui.
(6) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian
pencemaran udara sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.

Pasal 8

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dicantumkan dalam


izin Ortodonansi Gangguan.

Pasal 9

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara emisi sumber tak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan
Baku Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Maret 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida,
Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

Lampiran III-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP


BERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/ m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
Lampiran I-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil
Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu normal selama tiga bulan.

Lampiran III-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP


BERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).

__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 15 Tahun 1996
Tentang : Program Langit Biru

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dan mewujudkan


perilaku sadar lingkungan, perlu dilakukan upaya pengendaliannya;

2. bahwa sebagai salah satu upaya pengendalian pencemaran udara dari kegiatan
sumber bergerak dan sumber tidak bergerak dilakukan dengan program langit
biru;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup tentang Progam Langit Biru;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di


daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3480);

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara


Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan


Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan
Bermotor di Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3528);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan


Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3530);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang
Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang


Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan tata Kerja Menteri
Negara;

13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

14. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/10/1993


tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor;

15. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-13/MENLH/3/1995


tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM LANGIT
BIRU

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Program Langit Biru adalah suatu program pengendalian pencemaran


udara dari kegiatan sumber bergerak dan sumber tidak bergerak;
2. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang tidak tetap pada suatu
tempat;

3. sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu
tempat;

4. Baku mutu emisi adalah batas maksimum emisi yang diperbolehkan


dibuang ke lingkungan;

5. Emisi adalah makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang
dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke udara ambien;

6. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

7. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala


Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa;

Pasal 2

(1) Program Langit Biru bagi:

1. sumber bergerak dengan melakukan penetapan kebijaksanaan teknis,


koordinasi, bimbingan teknis, evaluasi dari hasil pemantauan dan
pemulihan kualitas lingkungan;
2. sumber tidak bergerak dengan melakukan penentapan kebijaksanaan
teknis, bimbingan teknis, pemeriksaan pemantauan penaatan baku mutu
emisi.

Pasal 3

(1) Program Langit Biru bertujuan:

1. terciptanya mekanisme kerja dalam pengendalian pencemaran udara


yang berdaya guna dan berhasil guna;
2. terkendalinya pencemaran udara;
3. tercapainya kualitas udara ambien yang diperlukan untuk kesehatan
manusia dan makhluk hidup lainnya;
4. terwujudnya perilaku manusia sadar lingkungan;
Pasal 4

(1) Program Langit Biru Tingkat Pusat:

1. dikoordinasikan oleh Menteri;


2. penanggung jawab kegiatan oleh Kepala Bapedal.

Pasal 5

(1) Program Langit Biru dilaksanakan di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II


di setiap Propinsi.

(2) Program Langit Biru ditetapkan oleh Menteri.

(3) Tata cara pengusulan Propinsi Program Langit Biru kepada Menteri ditetapkan
oleh Kepala Bapedal.

Pasal 6

(1) Program Langit Biru Tingkat Daerah:

1. dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.


2. pembinaan oleh Gubernur.
3. penanggung jawab kegiatan oleh Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat
II.
4. koordinasi bimbingan teknis Program Langit Biru dilakukan oleh Kepala
Bapedal Wilayah berdasarkan pedoman teknis yang ditetapkan oleh
Kepala Bapedal.

Pasal 7

(1) Setiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dapat mengusulkan daerahnya


sebagai pelaksana Program Langit Biru kepada Gubernur.

(2) Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh


Gubernur.

Pasal 8

Kepala Bapedal melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan Program Langit


Biru secara nasional sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun kepada Menteri.
Pasal 9

Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan pelaksanaan Program


Langit Biru secara berkala setiap tiga bulan sekali kepada Menteri, Menteri Dalam
Negeri dan Kepala Bapedal.

Pasal 10

(1) Menteri dapat memberikan penghargaan kepada Gubernur sebagai pembina


dan Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II yang dinilai berhasil sebagai
pelaksana Program Langit Biru.

(2) Pedoman teknis dan tata cara penilaian ditetapkan oleh Kepala Bapedal.
Dewan Penilai ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 11

(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Program Langit Biru:

1. tingkat pusat dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara Bapedal;
2. tingkat daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.

Pasal 12

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 26 April 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 48 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Kebisingan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat


bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau
kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau
perusakan lingkungan;

2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat
kebisingan yang dihasilkan;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebisingan;

Mengingat :

1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226,


setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 831);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran


Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3480);

8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara


Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);

9. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
KEBISINGAN

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;

2. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam


satuan Desibel disingkat dB;

3. Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang


diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga
tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;
4. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2

Baku Tingkat Kebisingan, metoda pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat


kebisingan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan Lampiran II
Keputusan ini.

Pasal 3

Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan diluar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I.

(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan


mensyaratkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:

1. mentaati baku tingkat kebisingan yang telah dipersyaratkan;


2. memasang alat pencegahan terjadinya kebisingan;

3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebisingan sekurang-


kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan
Instansi Teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta
Instansi lain yang dipandang perlu.

4. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam


izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat kebisingan dari setiap
usaha atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 7

(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:

1. baku tingkat kebisingan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan


ini, wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.

2. baku tingkat kebisingan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.

Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 48 TAHUN 1996 TANGGAL 25 NOPEMBER 1996

BAKU TINGKAT KEBISINGAN

Keterangan :
disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan

LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 48 TAHUN 1996 TANGGAL 25 NOPEMBER 1996

METODA PENGUKURAN, PERHITUNGAN DAN EVALUASI TINGKAT KEBISINGAN


LINGKUNGAN

1. Metoda Pengukuran
Pengukuran tingkat kebisingan dapat diiakukan dengan dua cara :
1) Cara Sederhana
Dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi db (A)
selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan
setiap 5 (lima) detik.
2) Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas
pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan
pengukuran selama 10 (sepuluh) menit.

Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dencan cara pada siang
hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 10 jam (LS) pada selang waktu
06.00 - 22. 00 dan aktifitas dalam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00 -
06.00.
Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan
menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam
hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh :
- L1 diambil pada jam 7.00 mewakli jam 06.00 - 09.00
- L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 - 11.00
- L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 - 17.00
- L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00.- 22.00
- L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 - 24.00
- L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 - 03.00
- L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 - 06.00

Keterangan :
- Leq : Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan Sinambung
Setara ialah nilai tertentu kebisingan dari kebisingan yang berubah-ubah
(fluktuatif selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat kebisingan dari
kebisingan yang ajeg (steady) pada selang waktu yang sama.
Satuannya adalah dB (A).
- LTMS = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik
- LS = Leq selama siang hari
- LM = Leq selama malam hari
- LSM = Leq selama siang dan malam hari.

2. Metode perhitungan:
(dari contoh)
LS dihitung sebagai berikut :
01L5
LS = 10 log 1/16 ( T1.10 +.... +T4.1001L5) dB (A)

LM dihitung sebagai berikut :


01L5
LM = 10 log 1/8 ( T5.10 +.... +T7.1001L5) dB (A)

Untuk mengetahui apakah tingkat kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan


maka perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dari rumus :
01L5
LSM = 10 log 1/24 ( 16.10 +.... +8.1001L5) dB (A)
3. Metode Evaluasi
Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang
ditetapkan dengan toleransi +3 dB(A)

__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Getaran

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat


bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau
kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau
perusakan lingkungan;

2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran
yang dihasilkan;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Getaran;

Mengingat :

1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226,


setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 831);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran


Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);

8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
GETARAN

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan


seimbang terhadap suatu titik acuan;

2. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan


peralatan kegiatan manusia;

3. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa


alam dan kegiatan manusia;

4. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan


sesaat;

5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan
pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap
kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2

(1) Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan
kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis
bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV
Keputusan ini.

(2) Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran V Keputusan ini.

Pasal 3

Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan diluar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 5

(1) Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan
mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
(2) Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:

1. mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan;

2. memasang alat pencegahan terjadinya getaran;

3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurang-


kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan
instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta
instansi lain yang dipandang perlu.

4. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam


izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat getaran bagi setiap usaha
atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 7

(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:

1. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.

2. baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.

Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

1. BAKU TINGKAT GETARAN UNTUK KENYAMANAN DAN KESEHATAN

Konversi :
Percepatan = (2pf)2 x simpangan
Kecepatan = 2pf x simpangan
p = 3,14

2. Grafik baku tingkat Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan


Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

1. BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASRKAN DAMPAK KERUSAKAN


Keterangan :

Kategori A : Tidak menimbulkan kerusakan


Kategori B : Kemungkinan keretakan plesteran (retak/terlepas plesteran pada
dinding pemikul beban pada kasus khusus)
Kategori C : Kemungkinan rusak komponen struktur dinding pemikul beban
Kategori D : Rusak dinding pemikul beban

2. Grafik Baku Tingkat Getaran Mekanik Berdasarkan Dampak Kerusakan


Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

BAKU TINGKAT GETARAN MEKENIK BERDASARKAN JENIS BANGUNAN

Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom
harus dipakai.
Lampiran IV Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT

Lampiran V Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

METODA PENGUKURAN DAN ANALISIS TINGKAT GETARAN

a. Peralatan
Pedoman yang dipakai ialah:

1) Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer)


2) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer)
3) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band)
4) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder)
5) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer)

b. Cara pengukuran

1. Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan;


a) Alat penangkap getaran dilelakkan pada lantai atau permukaan
yang bergetar, dan disambungkan ke alat ukur getaran yang
dilengkapi dengan filter.
b) Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat: tidak
dilengkapi dengan fasilitas itu, dapat digunakan konversi besaran.
c) Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekwensi 4 - 63
Hz atau dengan sapuan oleh alat pencatat getaran.
d) Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik
Lampiran 1.2.
2. Getaran untuk Keutuhan Bangunan
Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan
dan kesahatan manusia, hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan
getaran puncak (Peak velocity).

c. Cara Evaluasi
Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran l.2 dan/atau 11.2
dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut
melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi
sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan.
Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas, yaitu a, b, c, dan d dengan batas
seperti pada Grafik ll.2

Defnisi :
1. Struktur bangunan adalah bagian dari banguann yang direncanakan,
diperhitungkan dan dimaksudkan untuk :
a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban
sementara)
b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan
memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan andal.
Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul
(Bearing wall)
2. Komponen srtuktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang
menjamin fungsi struktur.
Misal : balok, kolom dan slab dari frame.
3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi
mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap.
4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau
difungsikan untuk mendukung beban.
Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu.

Pengaruh kerusakan struktur dan non-struktur :

1. Kerusakan pada struktur, dapat mambahayakan stabilitas bangunan, atau


roboh. (misalnya patok kolom bisa merobohkan bangunan).
2. Kerusakan pada non struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi
bisa membahayakan penghuni (misal: robohnya dinding partisi, tidak
merobohkan bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni).

Derajat kerusakan srtuktur :

1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan
dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya.
2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk
mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan
perkuatan.
3 Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat
merobohkan bangunan.
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Kebauan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat


bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau
kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau
perusakan lingkungan;

2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat bau yang
dibuang ke lingkungan;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebauan;

Mengingat :

1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226,


setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran


Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara


Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
7. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang


Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
KEBAUAN

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera
penciuman;

2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu
tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;

3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang
diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan;

4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan
rangsangan bau pada keadaan tertentu;

5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun cmpuran
berbagai macam senyawa;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;


Pasal 2

Baku Tingkat Kebauan untuk odoran tunggal dan campuran, metoda


pengukuran/pengujian dan peralatan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 4

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan


mensyaratkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
kebauan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 5

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:

1. mentaati baku tingkat kebauan yang telah dipersyaratkan;

2. mengendalikan sumber penyebab bau yang dapat mengganggu


kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;

3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebauan sekurang-


kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan
instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta
instansi lain yang dipandang perlu.
4. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam
izin yang relevan untuk mengendalikan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 6

(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:

1. baku tingkat kebauan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.

2. baku tingkat kebauan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996 tanggal 25 november 1996

A. Bau dari Odoran Tunggal

Catatan : ppm = satu bagian dalam satu juta

B. Bau dari Odoran Campuran

Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh campuran odoran dinyatakan sebagai


ambang bau yang dapat dideteksi secara sensorik oleh lebih dari 50 %
anggota penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan) orang.

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 45 Tahun 1997
Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Menimbang :

1. bahwa pencemaran udara dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan


manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;

2. bahwa untuk memberikan kemudahan dan keseragaman informasi kualitas


udara ambien kepada masyarakat di lokasi dan waktu tertentu serta sebagai
bahan pertimbangan dalam melakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran
udara, perlu disusun Indeks Standar Pencemar Udara;

3. bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas, perlu ditetapkan


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Indeks Standar Pencemar
Udara;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3480);

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara


Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan


Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3530);

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang


Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas


Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;

10. Keputusan Presidan Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-35/MENLH/10/1993


tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor;

12. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-13/MENLH/3/1995


tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak

13. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-15/MENLH/4/1996


tentang Program Langit Biru;

14. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-16/MENLH/4/1996


tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Langit Biru;

15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang Pedoman
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tentang Indeks Standar Pencemar


Udara
Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Indeks Standar Pencemar Udara adalah angka yang tidak mempunyai


satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi
dan waktu tertentu yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan
manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;

2. Menteri adalah Menteri yang diberi tugas mengelola lingkungan hidup;


Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

3. Kepala Bapedal adalah Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;


Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;

4. Bupati/Walikotamadya adalah Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah


Tingkat II;

5. Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien Otomatis adalah stasiun


pemantau kualitas udara ambien yang beroperasi secara terus menerus
dan datanya dapat dipantau secara langsung.

Pasal 2

(1) Rentang Indeks Standar Pencemar Udara ditetapkan sebagaimana dimaksud


dalam Lampiran

(2) Indeks Standar Pencemar Udara ditetapkan dengan cara mengubah kadar
pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi.

Pasal 3

(1) Indeks Standar Pencemar Udara dapat digunakan sebagai:

1. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di


lokasi dan waktu tertentu;

2. bahan pertimbangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam


melaksanakan pengelolaan dan pengendalian pencemaran udara.
Pasal 4

(1) Data Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian Stasiun
Pemantauan Kualitas Udara Ambien Otomatis.

(2) Parameter Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi:

1. Partikulat (PM10);

2. Karbon Monoksida (CO);

3. Sulfur dioksida (SO2);

4. Nitrogen dioksida (NO2);

5. Ozon (O3);

Pasal 5

(1) Kepala Bapedal wajib menyampaikan Indeks Standar Pencemar Udara kepada
masyarakat secara nasional setiap hari.

(2) Kepala Bapedal wajib melakukan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara
secara nasional setiap 1 (satu) tahun sekali.

(3) Gubernur wajib melaporkan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara kepada
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kepala Bapedal setiap 1 (satu) tahun
sekali.

(4) Gubernur wajib melakukan evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara di


wilayahnya setiap 1 (satu) tahun sekali.

(5) Bupati/Walikotamadya wajib menyampaikan hasil evaluasi Indeks Standar


Pencemar Udara di wilayahnya kepada Gubernur setiap 1 (satu) tahun sekali.

(6) Bupati/Walikotamadya wajib menyampaikan Indeks Standar Pencemar Udara


kepada masyarakat di daerahnya setiap hari.

(7) Bupati/Walikotamadya wajib melakukan evaluasi Indeks Standar Pencemar


Udara secara periodik di wilayahnya.

(8) Apabila hasil evaluasi Indeks Standar Pencemar Udara menunjukkan kategori
tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka
Gubernur dan/atau Bupati/Walikotamadya wajib melakukan upaya-upaya
pengendalian pencemaran udara.
Pasal 6

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah melakukan pembinaan teknis


pelaksanaan Indeks Standar Pencemar Udara di wilayah masing-masing.

Pasal 7

Perhitungan dan pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara


ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 Oktober 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 45 Tahun 1997 tanggal 13 Oktober 1997

INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA

__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996
Tentang : Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran
Udara Sumber Tidak Bergerak

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : KEP-205/BAPEDAL/07/1996
Tanggal : 10 JULI 1996 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor : Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak, perlu dirumuskan pedoman teknis pengendalian pencemaran
udara sumber tidak bergerak;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun 1982,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang
Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-13/MENLH/3/1995
tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak;
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-15/MENLH/4/1996
tentang Program Langit Biru;
6. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep-16/MENLH/4/1996
tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Langit Biru;
7. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-
135 Tahun 1995 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-
136 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Wilayah (Bapedal Wilayah).
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
SUMBER TIDAK BERGERAK

Pasal 1

Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak ini


diperlukan sebagai pedoman teknis dalam upaya pengendalian pencemaran
udara bagi:

Instansi terkait;
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Daerah Istimewa, Gubernur
Daerah Khusus Ibukota dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II;
Penanggung jawab kegiatan dari sumber tidak bergerak.

Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk:

Pelaksanaan pemantauan kualitas udara sebagaimana tersebut dalam


Lampiran I yang meliputi:

Mekanisme kunjungan Pendahuluan;


Periode pemantauan;
Penetapan lokasi pemantauan emisi dan ambien;
Pemasangan alat pemantauan kualitas udara;
Pelaporan;

pengambilan contoh uji dan analisis sebagaimana tersebut dalam Lampiran II


yang meliputi:

Metode penentuan tempat pengambilan contoh uji titik-titik lintas dalam


emisi sumber tidak bergerak;
Metode penentuan kecepatan aliran dan tingkat aliran volumetrik gas dalam
emisi sumber tidak bergerak;
Metode penentuan komposisi dan berat molekul gas dalam emisi sumber
tidak bergerak;
Metode penentuan kandungan uap air gas buang dalam cerobong dari emisi
sumber tidak bergerak;
Metode pengujian kadar partikulat dalam emisi sumber tidak bergerak secara
Isokinetik;
Metode pengujian opasitas dalam emisi sumber tidak bergerak secara visual;
Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber tidak
bergerak dengan alat Spektrofotometer secara Turbidimetri;
Metode pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber tidak
bergerak secara Titrimetri;
Metode pengujian kadar Nitrogen Oksida (NOX) dalam emisi sumber tidak
bergerak dengan alat Spektrofotometer secara Kolorimetri;
Metode pengujian kadar Total Sulfur Tereduksi (TRS) dalam emisi sumber
tidak bergerak secara Oksida Termal;
Metode pengujian kadar Klorin dan Klor Dioksida (Cl2 dan ClO2) dalam emisi
sumber tidak bergerak secara Titrimetri;
Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak
bergerak dengan alat Spektrofotometer secara Merkuri Tiosianat;
Metode pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sumber tidak
bergerak secara Titrimetri;

Persyaratan cerobong sebagaimana tersebut dalam Lampiran III yang


meliputi:

Pengaturan cerobong.
Lubang sampling.
Sarana pendukung.

Unit pengendalian pencemaran udara sebagaimana tersebut dalam Lampiran


IV yang antara lain:

Electrostatic Precipitator.
Siklon.
Pengumpul proses basah (Wet Process Collector).
Cartridge Collector.
Baghouses.

Pasal 2

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 10 Juli 1996
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
ttd

Sarwono Kusumaatmadja

__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997
Tentang : Perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi
Indeks Standar Pencemar Udara

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

a. bahwa sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan


Hidup Nomor Kep- 45 /MENLH/ 10/ 1997 tentang Indeks Pencemar
Udara , perlu disusun pedoman teknis perhitungan dan pelaporan
serta informasi indeks standar pencemar udara;
b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu ditetapkan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang
Pedoman Teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi indeks
standar pencemar udara;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok


Pemerintahan di Daerah(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan hidup (Lembaran Negara 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Keputusan Presiden RI Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Nomor : Kep- 02 / MENKLH/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku
Mutu Lingkungan;
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep- 35 /
MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas emisi Gas Buang Kedaraan
Bermotor ;
6. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep- 15 /
MENLH/4/1996 tentang Program Langit Biru;
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep- 45 /
MENLH/10/1997 tentangIndeks Standar Pencemar Udara;
8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor :
Kep – 135 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor :
Kep – 205/ KABAPEDAL/07/ 1996 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Pencemaran Udara Sumber tidak bergerak.
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN TEKNIS PERHITUNGAN DAN PELAPORAN SERTA
INFORMASI INDEKS STNDAR PENCEMAR UDARA

Pasal 1

PedomanTeknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks standar


pencemar udara ini diperlukan sebagai pedoman teknis dalam pelaksanaan
perhitungan, pelaporan dan sistem informasi indeks standar pencemar udara
bagi :
a. instansi terkait;
b. Gubernur Kepala Daerah tingkat I, dan Bupati/ walikotamadya
kepala daerah tingkat II terkait;

Pasal 2

Parameter-parameter dasar untuk indeks standar pencemar udara dan


periode waktu pengukuran adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran I.

Pasal 3

Angka dan Kategori Indeks standar Pencemar Udara adalah sebagaimana


dimaksud dalam lampiran II.

Pasal 4

Pengaruh Indeks standar pencemar udara terhadap tiap parameter kualitas


udara adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran III.

Pasal 5

Batas Indeks standar Pencemar udara dalam satuan SI adalah sebagaimana


dimaksud dalam lampiran IV.

Pasal 6

Perhitungan Indeks Standar Pencemar Udara adalah sebagaimana dimaksud


dalam lampiran V.

Pasal 7

Contoh Pengambilan Indeks Pencemar Udara dari beberapa Stasiun


Pemantau adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran VI.
Pasal 8

1. Penyampaian Indeks Pencemar Udara kepada masyarakat wajib


memuat informasi sebagai berikut :
a. waktu pelaporan;
b. ketentuan waktu;
c. bagian wilayah atau lokasi yang dilaporkan;
d. Indeks standar Pencemar Udara dari setiap parameter yang
diukur;
e. Indeks standar Pencemar Udara maksimum;
f. parameter pencemar kritis;
g. Kategori Indeks standar Pencemar Udara;
h. gambaran kategori dan rentang Indeks standar Pencemar Udara
dengan ketentuan waktu sebagai berikut :
1. kategori baik rentang 0 sampai 50 dengan warna hijau;
2. kategori sedang rentang 51 sampai 100 dengan warna biru;
3. kategori tidak sehat rentang 101 sampai 199 dengan warna
kuning;
4. kategori sangat tidak sehat rentang 200 sampai 299 dengan
warna merah;
5. kategori berbahaya rentang 300 sampai 500 dengan warna
hitam;
2. Format penyampaian Indeks Standar Pencemar udara kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dilakukan melalui :
a. Media massa dan elektronika (radio, televisi, surat kabar,
majalah dan lainnya);
b. papan peragaan pada tempat tempat umum tertentu;

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 21 Nopember 1997
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997

PARAMETER-PARAMETER DASAR UNTUK INDEKS STANDAR


PENCEMAR UDARA (ISPU) DAN PERIODE WAKTU PENGUKURAN

Catatan :
1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata
tertinggi waktu pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari data rata-
rata sebelumnya (24 jam sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu
Indonesia Bagian Barat (WIBB).
4. ISPU yang dilaporkan kepada masyarakat berlaku 24 jam ke depan (
pkl 15.00 tgl (n) sampai pkl 15.00 tgl (n+1 ) )

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997

ANGKA DAN KATEGORI INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA (ISPU)

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran III
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997

PENGARUH INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA UNTUK SETIAP


PARAMETER PENCEMAR
Lampiran IV
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997

BATAS INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA DALAM SATUAN SI

a) Dalam Bentuk Tabel

1. Pada 25 C dan 760 mm Hg


2. Tidak ada indeks yang dapat dilaporkan pada konsentrasi rendah
dengan jangka pemaparan yang pendek

b) Dalam Bentuk Grafik


Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran V
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997

PERHITUNGAN INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA

A) SECARA PERHITUNGAN

? Konsentrasi nyata ambien (Xx) ? ppm, mg/m3, dll.


? Angka nyata ISPU (1)

I = ISPU terhitung
Ia = ISPU batas atas
Ib = ISPU batas bawah
Xa = Ambien batas atas
Xb = Ambien batas bawah
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran

CONTOH PERUBAHAN ANGKA SECARA PERHITUNGAN

Diketahui konsentrasi udara ambient untuk jenis parameter SO2 adalah 332
µg/m3.
Konsentrasi tersebut jika dirubah ke dalam angka Indeks Standar Pencemar
Udara adalah sebagai berikut :

Dari Tabel "Batas Indeks Standart Pencemar Udara (Dalam Satuan SI)"
Maka :
Xx = Kadar ambien nyata hasil pengukuran ? 322 µg/m3
Ia = ISPU batas atas ? 100 (baris 3)
Ib = ISPU batas bawah ? 50 (baris 2)
Xa = Ambien batas atas ? 365 (baris 3)
Xb = Ambien batas bawah ? 80 (baris 2)

Sehingga angka-angka tersebut dimasukkan dalam rumus (*) menjadi :

100 – 50
I = ----------- (322 – 80) + 50
365 – 80

= 92.45

= 92 (pembulatan)

Jadi konsentrasi udara ambien SO2 322 mg/m3 dirubah menjadi Indeks
Standar Pencemar Udara (ISPU) : 92

B) SECARA GRAFIK

Contoh :
Jika diketahui konsentrasi untuk paremeter PM10 adalah 250 µg/m3
konsentrasi
ini jika dirubah dalam Indeks Standar Pencemar Udara dengan
menggunakan grafik adalah sebagai berikut :
Dari kurva batas angka indeks standar pencemar udara dalam satuan
matriks, sumbu X di angka 250 ditarik ke atas sampai menyentuh
garis dan ditarik ke kiri sampai menyentuh sumbu Y didapat angka
150. Sehingga konsentrasi PM10 250 µg/m3 dirubah menjadi angka
Indeks Standar Pencemar Udara menjadi 150 (untuk lebih jelas dapat
dilihat gambar di bawah ini).
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran VI
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997

CONTOH PENGAMBILAN INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA DARI


BEBERAPA STASIUN PEMANTAU

Misal : Kota Denpasar


Jumlah Stasiun Monitoring : 3 buah
Angka-angka Indeks Standar Pencemar Udara dari setiap stasiun :

Stasiun I (Pertama)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM10 =
96, SO2 = 80,
O3 = 40, NO2 = 55, CO = 90
Stasiun II (Kedua)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM10 =
88, SO2 = 44,
O3 = 40, NO2 = 42, CO = 83
Stasiun III (Ketiga)
Angka Indeks Standar Pencemar Udara untuk 5 polutan PM10 =
91, SO2 = 71,
O3 = 35, NO2 = 55, CO = 92

Indeks Standar Pencemar Udara yang dilaporkan ke media massa (koran


harian setempat /televisi stasiun setempat) adalah Indeks Standar Pencemar
Udara yang paling tinggi. Untuk kasus di atas Indeks Standar Pencemar
Udara tertinggi adalah dari Stasiun I (pertama) yaitu polutan PM10 dengan
Indeks Standar Pencemar Udara 96. Sehingga inti laporan kemasyarakatan
adalah :
Indeks Standar Pencemar Udara Denpasar adalah :
* Indeks Standar Pencemar Udara : 96
* Kualitas Udara : sedang
* Parameter dominan : PM10
Berlaku 24 jam dari hari ini pukul 15.00 tanggal (n) sampai pkl 15.00
tgl (n+1).

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran VII
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997

Contoh Format Laporan Harian ke Masyarakat

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja

_____________________________________
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 129 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
MINYAK DAN GAS BUMI

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP;

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan
Gas Bumi;

Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak


dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor
136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3853);

1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU
KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,
termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari
proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang
tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;

2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses
penambangan Minyak dan Gas Bumi;

3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;

4. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas
kadar maksimum emisi kegiatan minyak dan gas bumi yang diperbolehkan
masuk atau dimasukkan ke dalam uda ra ambien;

5. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun yang dilakukan untuk


melaksanakan pembangunan fisik usaha dan atau kegiatan minyak dan gas
bumi;

6. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai


kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan
minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan;

2
7. Produksi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan
Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;

8. Kegiatan Kilang Minyak adalah kegiatan untuk memproduksi bahan bakar


minyak beserta turunannya dari minyak hasil kegiatan eksploitasi melalui
serangkaian proses kimia dan atau físika;

9. Kegiatan Kilang LNG adalah kegiatan untuk menghasilkan bahan bakar gas
dari hasil kegiatan eksploitasi gas alam melalui serangkaian proses físika dan
atau kimia;

10. Unit Penangkapan Sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang
mengandung sulfur yang dikonversi menjadi produk lain;

11. Keadaan darurat adalah keadaan yang memerlukan tindakan secara cepat,
tepat, dan terkoordinasi terhadap sistem peralatan atau proses yang sedang
dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan minyak dan
gas bumi tidak terlampaui;

12. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam
Keputusan ini meliputi jenis kegiatan eksplorasi dan produksi, kilang minyak,
kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan proses
pencampuran bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending).

Pasal 3

Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan:

a. Eksplorasi dan produksi sebagaimana tersebut dalam Lampiran I;


b. Kilang minyak sebagaimana tersebut dalam Lampiran II;
c. Kilang LNG sebagaimana tersebut dalam Lampiran III;
d. Unit penangkapan sulfur sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
e. Untuk kegiatan yang melakukan proses pencampuran bahan bakar lebih dari
1 (satu) jenis (fuel blending), maka mengacu kepada perhitungan dalam
Lampiran V.

3
Pasal 4

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau
kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.

Pasal 5

Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
yang termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun yang diolah secara
thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun yang berlaku.
Pasal 6

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang
mencakup pencegahan, pengolahan dan pemantauan yang antara lain alat
pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana
pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta
persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. wajib memasang Continuous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong
tertentu yang pelaksanaannya dikonsultasikan dengan Menteri dan bagi
cerobong yang tidak dipasang peralatan Contiuous Emission Monitoring (CEM)
wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan
sekali;
c. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali untuk hasil pemanta uan dengan
peralatan otomatis;
d. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri setiap 6 (enam) sekali bulan untuk pemantauan yang menggunakan
peralatan manua l;
e. wajib melaporkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta Menteri apabila
ada keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui;
f. dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit;

4
g. wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi
sebagai sumber fugitive emission.

Pasal 7

Hasil pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 butir c, d dan e dapat


dijadikan sebagai salah satu dasar kebijakan teknis dan non teknis dalam upaya
pengendalian pencemaran udara.

Pasal 8

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 6 wajib


dicantumkan dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan minyak dan gas
bumi seperti tercantum dalam Pasal 2 Keputusan ini.

Pasal 9

Keputusan ini akan dilakukan evaluasi sekurang kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

Pasal 10

Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberi jangka


waktu selama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini untuk mencapai
baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, II, III, dan IV.

Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


pada tanggal : 28 Juli 2003
---------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

Ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan ini sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.
5
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR:141 TAHUN 2003
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN
KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI
(CURRENT PRODUCTION)

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang a. bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran udara yang


bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor, maka
perlu dilakukan upaya untuk menurunkan emisi gas buang
kendaraan bermotor baik yang berasal dari kendaraan bermotor
tipe baru maupun kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);
b. bahwa salah satu upaya sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 34
ayat (3) dan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang
Sedang Diproduksi (Current Production);

Mengingat 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan ( Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821 );
4. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang


Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang


Standarisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);

8. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan


Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Manetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION).

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan
langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);

2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi
tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan
tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan
bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah
Republik Indonesia;

3. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (Current production) adalah kendaraan bermotor dengan
tipe dan jenis yang sama dan sedang diproduksi atau produksi ulang kendaraan bermotor yang telah
beroperasi di jalan dan atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built up)
atau dalam keadaan tidak utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi sudah beroperasi di
jalan wilayah Republik Indonesia;

4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4
(empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi
sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
5. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3
(tiga) dengan penggerak Motor bakar catus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah
atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002,

6. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, 0 adalah kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api
dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;

7. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori L adalah kendaraan
bermotor yang sedang produksi (current production) beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor
bakar cetus api dan penggerak Motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan
SNI 09-1825-2002,

8. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor adalah orang perseorangan
dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan atau melakukan impor kendaraan
bermotor dalam keadaan utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh;

9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertugas di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan

Pasal 2

Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang, tata cara dan metoda
uji serta tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production).

Pasal 3

(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C
dan I.D.

(2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.

Pasal 4

Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :
a. kendaraan bernotor tipe baru katagori M, N, 0 den L diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2005;

b. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production):


1. Katagori M, N, 0 dan L 2 (dua) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2007;
2. Kategori L 4 (empat) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Juli tahun 2006,

Pasal 5

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) dengan
akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang;

(3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang diimpor dalam keadaan
utuh (completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10
(sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.

(4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) den ayat (3) merupakan bagian dari
persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.

(5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) untuk pengujian wajib menggunakan bahan bakar dangan spesifikasi reference fuel
menurut Economic Commission for Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini.

Pasal 6

(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.

(2) Instansi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib
memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan laboratorium pengujian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Instansi yang melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan akreditasi
dari Komite Akreditasi Nasional atau Badan Akreditasi yang diakui secara Internasional.

Pasal 7

(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas
dan angkutan jalan wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan.

(2) Salisan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi
kendaraan bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.

(3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil uji tipe emisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production).

Pasal 8

(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 7 ayat (3)
instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).

(2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas dan angkutan jalan dan atau penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.

(3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab merupakan salah satu syarat untuk diterbitkan tanda
lulus uji tipe emisi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 9

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang telah memperoleh
sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru
den kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).

(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada setiap promosi
merek kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production)
kepada masyarakat melalui media cetak dan atau elektronik.

Pasal 10

(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production).

(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang melaksanakan
pengujian emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current produktion) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

Pasal 11

(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan pelaporan dibebankan
kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.

(2) Segala biaya yang timbul dalam kegiatan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 7 serta pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara masing-masing instansi yang bersangkutan.

Pasal 12

Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 13

Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
dinyatakan tidak berlaku lagi untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang
diproduksi (current production) sejak ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan yang sedang diproduksi (current production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.

Pasal 14

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di: Jakarta
pada tanggal: 23 September 2003

------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi 1 MENLH Bidang Kebijakan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEPALA BAPEDAL


D. PENGENDALIAN PENCEMARAN PERUSAKAN LAUT

1. KepMen LH Nomor 45 Tahun 1996 Program Pantai Lestari

2. KepMen LH Nomor 04 Tahun 2001 Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang

3. KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 Baku Mutu Air Laut

4. KepMen LH Nomor 179 Tahun 2004 Ralat Atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu
Air Laut

5. KepKa Bapedal Nomor 47 tahun 2001 Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 45 Tahun 1996
Tentang : Program Pantai Lestari

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan


wilayah pantai, setiap usaha atau kegiatan wajib melakukan usaha
pengendaliannya;

2. bahwa salah satu upaya pengendalian pencemaran dan atau kerusakan


lingkungan wilayah pantai tersebut dilakukan dengan Program pantai Lestari;

3. bahwa mengingat hal seperti tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Program Pantai Lestari;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1982 tentang Perikanan (Lembaran Negara


Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);

5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran


Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427);

6. Pengaturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang Koordinasi Kegiatan


Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
7. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International
Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973 Beserta Protokol;

8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok,


Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

9. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan;

10. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 86 Tahun 1990 tentang


Pencegahan Pencemaran Oleh Minyak dari Kapal;

11. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 215/AL 506/PHB-87 tentang


Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal;

12. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 167/HM/207 Tahun 1986 tentang


Sertifikasi Internasional Pencegahan Pencemaran Oleh Bahan Cair Beracun;

13. Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor : KM


97/HK.103/MPPT/87 tentang Ketentuan Usaha Wisata Tirta;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PROGRAM PANTAI
LESTARI

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud:


1. Pantai Lestari adalah nama atau alabel dari program kerja pengendalian
pencemaran dan atau kerusakkan lingkungan wilayah pantai bersekala
nasional.
2. Lingkungan Pesisir adalah lingkungan perairan pantai, lingkungan pantai
itu sendiri dan lingkungan daratan pantai.
3. Pantai Wisata adalah wilayah pantai yang merupakan daerah tujuan
wisata.
4. Bandar indah adalah program kerja pengendalian pencemaran dan atau
kerusakkan di wilayah pelabuhan.
5. Teman Lestari adalah program kerja pengendalian pencemaran dan atau
kerusakan terhadap terumbu karang dan mangrove.
6. Menteri adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup.
7. BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala


Daerah Khusus Ibukota, atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2

Setiap orang dan atau penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib melakukan
upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan
wilayah pantai.

Pasal 3

(1) Program Pantai Lestari meliputi:


1. Pantai Wisata Bersih
2. Bandar Indah; dan
3. Teman Lestari

Pasal 4

(1) Program Pantai Lestari bertujuan:


1. terkendalinya pencemaran atau kerusakan lingkungan wilayah pantai,
dari berbagai usaha atau kegiatan.
2. terciptanya masyarakat sadar lingkungan dan peningkatan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan wilayah pantai.
3. terbinanya hubungan koordinasi yang lebih baik antar lembaga terkait
dalam pengelolaan lingkungan wilayah pantai.

Pasal 5

(1) Program Pantai Lestari Tingkat Pusat:


1. dikoordinasikan oleh Menteri
2. penanggung jawab kegiatan oleh Kepala BAPEDAL

(2) Program Pantai Lestari Tingkat Daerah:


1. pembinaan umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
2. koordinasi pelaksanaannya dilakukan oleh Gubernur
3. pelaksanaannya dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II
4. bimbingan teknis dan dukungan pelayanan laboratorium oleh Bapedalwil

Pasal 6

(1) Gubernur dapat mengusulkan Penetapan Propinsi Daerah Tingkat II Program


Pantai Lestari
(2) Tata cara pengusulan Propinsi Daaerah Tingkat I sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Bapedal setelah mendapatkan persetujuan
Menteri Negara Lingkungan Hidup

Pasal 7

Gubernur dapat menetapkan prioritas dan sasaran yang dijadikan program pantai
lestari di daerahnya

Pasal 8

(1) Setiap kabupaten/Kotamadya daerah Tingkat II dapat mengusulkan daerahnya


sebagai pelaksana Program Pantai Lestari kepada Gubernur

(2) tata cara pengusulan kabupaten/Kotamadya daerah Tingkat sebagaimana


dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur

Pasal 9

Kepala BAPEDAL melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program


Pantai Lestari secara nasional sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada
Menteri

Pasal 10

Gubernur melaksanakan pemantauan, evaluasi dan melaporkan program pantai


lestari secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada menteri, menteri Dalam
Negeri dan Kepala Bapedal.

Pasal 11

(1) Menteri dapat memberikan penghargaan kepada Gubernur,


upati/Walikotamadya Daerah Tingkat II dan atau penanggung jawab usaha
tau kegiatan yang dinilai telah berhasi melakukan pembinaan dan pelaksanaan
rogram Pantai Lestari.
(2) Menteri menetapkan penghargaan Program Pantai Lestari berdasarkan
pertimbangan Dewan Penilai.

(3) Pedoman dan tata cara penilaian untuk memberikan penghargaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Bapedal

(4) Susunan anggota Dewan Penilai Program pantai Lestari ditetapkan oleh Menteri

Pasal 12

(1) Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program Pantai Lestari:
1. tingkat pusat dibebankan kepada anggaran BAPEDAL
2. tingkat daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah

Pasal 13

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 19 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja

__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 04 TAHUN 2001

TENTANG
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang


mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat
berkembang- biak dan berlindung bagi sumber daya hayati
laut;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan
telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu
karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya
pengendaliannya;
c. bahwa salah satu upaya untuk melindungi terumbu karang
dari kerusakan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria baku
kerusakan;
d. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, b dan c,
perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan


(Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan
Negara Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai

1
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU
KARANG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang
yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama
dengan biota yang hidup didasar laut lainnya serta biota lain yang hidup
bebas di dalam perairan sekitarnya;
2. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan
sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang;
3. Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada
suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria
tertentu kerusakan terumbu karang dengan menggunakan prosentase luas
tutupan terumbu karang yang hidup;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
5. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi ;
6. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
7. Instansi yang bertanggung jawab adalah Instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendallian dampak lingkungan;
8. Instansi yang bertanggung jawab adalah Instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup
daerah.

BAB II

KRITERIA BAKU KERUSAKAN , STATUS KONDISI, DAN PROGRAM


PENGENDALIAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG

Bagian Pertama
Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang

Pasal 2

(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ditetapkan berdasarkan prosentase


luas tutupan terumbu karang yang hidup.

2
(2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tercantum dalam lampiran I Keputusan ini

Pasal 3

(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi
terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis
Bentuk Pertumbuhan Karang.

Bagian Kedua
Status Kondisi Terumbu Karang

Pasal 4

(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan inventarisasi terumbu karang


sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali untuk mengetahui status kondisi
terumbu karang dan menyampaikan laporannnya kepada Menteri dan instansi
yag bertanggung jawab.
(2) Gubernur/Bupati/Walikota menentukan status kondisi terumbu karang dari
hasil inventarisasi yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang dapat ditentukan :
a. terumbu karang dalam kondisi baik; atau
b. terumbu karang dalam kondisi rusak.
(3) Pedoman pengukuran untuk menetapkan status kondisi terumbu karang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 5

Gubernur/Bupati/Walikota wajib mempertahankan status kondisi terumbu karang


yang dinyatakan dalam kondisi baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf a.

Bagian Ketiga
Program Pengendalian Kerusakan Terumbu Karang

Pasal 6

(1) Gubernur/Bupati/Wallikota wajib menyusun program pengendalian kerusakan


terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi rusak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b.
(2) Program pengendalian terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
(3) Pedoman tentang tata cara pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan
kerusakan terumbu karang sebagimana dimaksud dalam ayat(2) tercantum
dalam lampiran II Keputusan ini.

3
Pasal 7

Dalam rangka pelaksanaan program pengendalian kerusakan terumbu karang


Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap
kondisi terumbu karang 1 (satu) tahun sekali dan menyampaikan laporannya
kepada Menteri, instansi yang berwenang di bidang kehutanan, instansi yang
berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang bertanggung
jawab.

Pasal 8

Menteri menetapkan kebijakan nasional mengenai pengendalian kerusakan


terumbu karang.

BAB III

PENGAWASAN DAN PELAPORAN

Pasal 9

(1) Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap usaha dan atau


kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan kerusakan terhadap terumbu
karang.
(2) Dalam hal pengawasan tersebut dilakukan di kawasan konservasi wajib
dikordinasikan dengan instansi yang berwenang di bidang kelautan dan
perikanan serta instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 10

(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui kerusakan atau perusakan
terumbu karang, wajib segera melaporkan kepada pejabat daerah terdekat.
(2) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari
Kepala Desa, Lurah, Camat, Kepolisian, Bupati, Walikota atau Gubernur
terdekat.
(3) Pejabat daerah terdekat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
menerima laporan wajib mencatat :
a. identitas pelapor;
b. tanggal pelaporan;
c. waktu dan tempat kejadian;
d. lokasi terjadinya kerusakan;
e. sumber yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang dan
atau pelaku perusakan.

Pasal 11
Pejabat daerah terdekat yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 wajib segera melakukan verifikasi laporan terjadinya kerusakan atau
perusakan terumbu karang.

4
Pasal 12

Apabila hasil verifikasi menunjukkan telah terjadi kerusakan atau perusakan


terumbu karang, Bupati, Walikota atau Gubernur setempat wajib segera
melakukan langkah penanganannya.

BAB IV

PEMBIAYAAN

Pasal 13

Biaya sebagaimana dimaksud dalam :


a. Pasal 4 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 ayat (2) dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, dan
Pasal 12 dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Februari 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Dr. A. Sonny Keraf.

5
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP - 04/MENLH/02/2001
Tanggal : 23 Februari 2001

KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

KRITERIA BAKU KERUSAKAN


PARAMETER TERUMBU KARANG
(dalam %)

Prosentase Luas Tutupan Rusak Buruk 0 - 24,9


Terumbu Karang yang Sedang 25 - 49,9
Hidup
Baik Baik 50 - 74,9
Baik sekali 75 - 100

Keterangan :

• Prosentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat


ditenggang: 50 - 100%

Menteri Negara Lingkungan Hidup

Dr. A. Sonny Keraf

6
Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : KEP - 04/MENLH/02/2001
Tanggal : 23 Februari 2001

PEDOMAN TATA CARA PENCEGAHAN, PENANGGULANGAN


DAN PEMULIHAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG

A. Pendahuluan.

Terumbu karang merupakan rumah bagi 25% dari seluruh biota laut dan
merupakan ekosistem di dunia yang paling rapuh dan mudah punah. Oleh
karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang demi kelestarian fungsinya
sangat penting.

Terumbu karang Indonesia menurut Tomascik, 1997 mempunyai luas kurang


lebih 85.707 Km2, yang terdiri dari fringing reefs 14.542 Km2, barrier reefs
50.223 Km2, oceanic platform reefs 1.402 Km2, dan attols seluas 19.540 Km2.
Terumbu karang telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai cara.
Akhir-akhir ini penangkapan biota dengan cara merusak kelestarian sumber daya,
seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia beracun (potassium sianida)
telah terjadi di seluruh perairan Indonesia.

Masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling


berkepentingan dalam pemanfaatannya, sebaliknya, kalangan ini pula yang akan
menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini.
Oleh karena itu pengendalian kerusakan terumbu karang sangat diperlukan untuk
menjaga kelestarian fungsi ekosistem yang sangat berguna bagi masyarakat
pesisir.

B. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang

1. Sedimentasi

Konstruksi di daratan dan sepanjang pantai, penambangan atau


pertanian di daerah aliran sungai ataupun penebangan hutan tropis
menyebabkan tanah mengalami erosi dan terbawa melalui aliran
sungai ke laut dan terumbu karang. Kotoran-kotoran, lumpur
ataupun pasir-pasir ini dapat membuat air menjadi kotor dan tidak
jernih lagi sehingga karang tidak dapat bertahan hidup karena
kurangnya cahaya.

Hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai


penyaring juga menjadi rusak dan menyebabkan sedimen dapat
mencapai terumbu karang. Penebangan hutan mangrove untuk
keperluan kayu bakar dapat merubah area hutan mangrove tesebut
menjadi pantai terbuka. Dengan membuka tambak-tambak udang
dapat merusak tempat penyediaan udang alami.

2. Penangkapan dengan Bahan Peledak

7
Penggunaan bahan peledak untuk penangkapan ikan oleh nelayan
akan mengakibatkan penangkapan ikan secara berlebihan,
sehingga menyebabkan tangkapan ikan akan berkurang dimasa
berikutnya. Penggunaan Kalium Nitrat (sejenis pupuk) sebagai
bahan peledak akan mengakibatkan ledakan yang besar, sehingga
membunuh ikan dan merusak karang di sekitarnya.

3. Aliran Drainase

Aliran drainase yang mengandung pupuk dan kotoran yang


terbuang ke perairan pantaiyang mendorong pertumbuhan algae
yang akan menghambat pertumbuhan polip karang, mengurangi
asupan cahaya dan oksigen. Penangkapan secara berlebihan
membuat masalah ini bertambah buruk karena ikan-ikan yang
biasanya makan algae juga ikuk tertangkap.

4. Penangkapan Ikan dengan Sianida

Kapal-kapal penangkap ikan seringkali menggunakan Sianida dan


racun-racun lain untuk menangkap ikan-ikan karang yang
berharga. Metode ini acap digunakan untuk menangkap ikan-ikan
tropis untuk akuarium dan sekarang digunakan untuk menangkap
ikan-ikan sebagai konsumsi restoran-restoran yang memakai ikan
hidup.

5. Pengumpulan dan Pengerukan

Pengambilan karang untuk digunakan sebagai bahan baku


konstruksi atau dijual untuk cinderamata juga merusak terumbu
karang. Demikian pula pengerukan dan pengeboman karang untuk
konstruksi di daerah terumbu karang.

6. Pencemaran Air.

Produk-produk minyak bumi dan kimia lain yang dibuang di dekat


perairan pantai, pada akhirnya akan mencapai terumbu karang.
Bahan-bahan pencemar ini akan meracuni polip karang dan biota
laut lainnya.

7. Pengelolaan tempat rekreasi.

Pengelolaan tempat rekreasi di wilayah pesisir yang tidak


memperhatikan lingkungan, seperti penyewaan kapal, peralatan
pemancingan dan penyelaman seringkali menyebabkan rusaknya
terumbu karang. Pelemparan jangkar ke karang dapat
menghancurkan dan mematahkan terumbu karang. Para wisatawan
yang mengambil, mengumpulkan, menendang, dan berjalan di
karang ikut menyumbang terjadinya kerusakan terumbu karang.

8. Pemanasan global

Terumbu karang juga terancam oleh pemanasan global.


Pemutihaan terumbu karng meningkat selama dua dekade terakhir,

8
masa dimana bumi mengalami beberapa kali suhu tepanas dalam
sejarah. Ketika suhu laut meningkat sangat tinggi, polip karang
kehilangan algae simbiotik didalamnya, sehingga mengubah warna
mereka menjadi putih dan akhirnya mati.

Pemanasan global juga mengakibat cuaca ekstrim sukar


diperkirakan, seperti badai tropis yang dapat mengakibatkan
kerusakan fisik ekosistem terumbu karang yang sangat besar.
Meningkatnya permukaan laut juga menjadi ancaman serius bagi
terumbu karang dan pulau-pulau kecil maupun atol.

C. Pencegahan dan Penanggulangan

1. Peningkatan Kesadaran dan Partipasi Masyarakat

Adalah upaya untuk meningkatkan kesadartahuan masyarakat


akan pentingnya pernan terumbu karang dan mengajak
masyarakat untuk berperan serta aktif dan bertanggung jawab
dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang secara
lestari, seperti meningkatkan kesadaran mereka akan peranan
penting terumbu karang, seperti sebagai tempat pengembangan
wisata bahari, bahan baku obat-obatan, kosmetika, bahan
makanan dan lain-lain. Penting juga untuk menanamkan arti dan
manfaat terumbu karang bagi kelangsungan hidup masyarakat
pesisir sejak masa kanak-kanak.

2. Pengelolaan Berbasis Masyarakat

a. Membina masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif


seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan
tangan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat
setempat. Pembinaan ini disertai dengan bantuan
pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang
telah ada dan tidak membebani masyarakat.
b. Menerapkan pengetahuan dan teknologi rehabilitasi dan
pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan
secara lestari.

3. Pengembangan Kelembagaan.

a. Memperkuat koordinasi antar instansi yang berperan dalam


penanganan terumbu karang baik pengelola kawasan,
aparat keamanan, pemanfaat sumber daya dan pemerhati
lingkungan.
b. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui
berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaandan
teknik rehabilitasi terumbu karang.

4. Penelitian, Monitoring dan Evaluasi

Pemantauan kegiatan masyarakat yang secara langsung


berhubungan dengan terumbu karang. Dalam kaitan ini akan
dibentuk sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu

9
karang dengan membangun simpul-simpul di beberapa propinsi.
Kegiatan ini akan diawasi langsung oleh LIPI yang telah memiliki
stasiun-stasiun di beberapa tempat, seperti : Biak, Ambon dan
Lombok.

5. Penegakan Hukum

Komponen ini dipandang sangat penting sebagai salah satu


komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai
tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang.
Masyarakat memegang peranan penting dalam mencapai tujuan
komponen penegakan hukum. Salah satu peranan masyarakat
dalam pengamanan terumbu karang secara langsung adalah
sebagai pengamat terumbu karang atau reef watcher, dimana
mereka berkewajiban meneruskan informasi kepada penegak
hukum mengenai pelanggaran yang merusak terumbu karang di
daerahnya.

D. Pemulihan

Pemulihan kerusakan terumbu karang merupakan upaya yang paling sulit untuk
dilakukan, serta memakan biaya tinggi dan waktu yang cukup lama. Upaya
pemulihan yang bisa dilakukan adalah zonasi dan rehabilitasi terumbu karang.

1. Zonasi

Pengelolaan zonasi pesisir bertujuan untuk memperbaiki ekosistem


pesisir yang sudah rusak. Pada prinsipnya wilayah pesisir dipetakan
untuk kemudian direncanakan strategi pemulihan dan prioritas
pemulihan yang diharapkan. Pembagian zonasi pesisir dapat
berupa zona penangkapan ikan, zona konservasi maupun lainnya
sesuai dengan kebutuhan/pemanfaatan wilayah tersebut, disertai
dengan zona penyangga karena sulit untuk membatasi zona-zona
yang telah ditetapkan di laut. Ekosistem terumbu karang dapat
dipulihkan dengan memasukkannya ke dalam zona konservasi yang
tidak dapat diganggu oleh aktivitas masyarakat sehingga dapat
tumbuh dan pulih secara alami.

2. Rehabilitasi

Pemulihan kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan


melakukan rehabilitasi aktif, seperti meningkatkan populasi karang,
mengurangi algae yang hidup bebas, serta meningkatkan ikan-ikan
karang.

a. Meningkatkan populasi karang

Peningkatan populasi karang dapat dilakukan dengan


meningkatkan rekruitmen, yaitu membiarkan benih
karang yang hidup menempel pada permukaan
benda yang bersih dan halus dengan pori-pori kecil
atau liang untuk berlindung; menambah migrasi
melalui transplantasi, serta mengurangi mortalitas

10
dengan mencegahnya dari kerusakan fisik, penyakit,
hama dan kompetisi.

b. Mengurangi alga hidup yang bebas

Pengurangan populasi alga dapat dilakukan dengan


cara membersihkan karang dari alga dan
meningkatkan hewan pemangsa alga.

c. Meningkatkan ikan-ikan karang

Populasi ikan karang dapat ditingkatkan dengan meningkatkan


rekruitmen, yaitu dengan meningkatkan ikan herbivora dan
merehabilitasi padang lamun sebagai pelindung bagi ikan-ikan
kecil; meningkatkan migrasi atau menambah stok ikan, serta
menurunkan mortalitas jenis ikan favorit.

Menteri Negara Lingkungan Hidup

Dr. A. Sonny Keraf

11
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 51 TAHUN 2004

TENTANG
BAKU MUTU AIR LAUT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut


perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-
kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak
lingkungan laut;

b. bahwa sebagai salah satu sarana pengendalian pencemaran


dan atau perusakan lingkungan laut, perlu ditetapkan Baku
Mutu Air Laut;

c. bahwa dalam melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan


Pemerintah Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut, penetapan Baku
Mutu Air Laut ditetapkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup dengan mempertimbangkan masukan
dari Menteri lainnya;

d. bahwa dengan memperhatikan implementasi di lapangan


perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang
Baku Mutu Lingkungan, khususnya BAB IV Pasal 11;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan a, b, c dan d di atas,


perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Baku Mutu Air Laut;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3427);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan


Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3647);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699);

4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3647);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3839);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang


pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor
3816);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomorr 3952);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang


Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4145);
9. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional;

2. Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;

3. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya
dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar,
berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda
transportasi;

4. Wisata Bahari adalah kegiatan rekreasi atau wisata yang dilakukan di laut dan
pantai;

5. Biota laut adalah berbagai jenis organisme hidup di perairan laut;

6. Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup dan


pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2

Penetapan Baku Mutu Air Laut ini meliputi Baku Mutu Air Laut untuk Perairan
Pelabuhan, Wisata Bahari dan Biota Laut.

Pasal 3

(1) Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.

(2) Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari adalah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II Keputusan ini.

(3) Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III Keputusan ini.

(4) Baku Mutu Air Laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan ayat (3)
ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 5

(1) Daerah dapat menetapkan Baku Mutu Air Laut sama atau lebih ketat dari
Baku Mutu Air Laut yang telah ditetapkan dalam Keputusan ini.

(2) Dalam hal daerah telah menetapkan Baku Mutu Air Laut lebih longgar
sebelum ditetapkannya Keputusan ini, maka Baku Mutu Air Laut tersebut
perlu disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya Keputusan ini.

(3) Daerah dapat menetapkan parameter tambahan disesuaikan dengan kondisi


ekologis daerah yang bersangkutan.

(4) Apabila daerah belum menetapkan Baku Mutu Air Laut, maka yang berlaku
adalah Baku Mutu Air laut seperti dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 6

(1) Untuk mengetahui kualitas air laut di daerah, Gubernur, Bupati/Walikota


wajib melaksanakan kegiatan pemantauan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali
dalam setahun.
(2) Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air laut, Gubernur, Bupati/Walikota
menindaklanjuti dengan program pengendalian pencemaran air laut.

Pasal 7

Kawasan perairan laut diluar Perairan Pelabuhan dan Wisata Bahari mengacu
kepada Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut.

Pasal 8

Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara


Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep-02/MENKLH/I/1988
tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan Bab IV beserta
lampirannya dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 8 April 2004
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 179 TAHUN 2004
TENTANG
RALAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP NOMOR 51 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut


perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-
kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak
lingkungan laut;

b. bahwa sebagai salah satu sarana pengendalian pencemaran


dan atau perusakan lingkungan laut, perlu ditetapkan Baku
Mutu Air Laut;

c. bahwa dalam melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan


Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Penetapan Baku Mutu
Air Laut ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan mempertimbangkan masukan dari Menteri lainnya;

d. bahwa dengan memperhatikan implementasi di lapangan


perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Keputusan
Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Nomor KEP-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Baku
Mutu Lingkungan, khususnya BAB IV Pasal 11;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan a, b, c dan d di atas, perlu


ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Baku Mutu Air Laut;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3427);

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan


Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3647);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699);

4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3493);

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3839);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3816);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang


Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4145);
9. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan
Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG RALAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 51 TAHUN 2004 TENTANG
BAKU MUTU AIR LAUT.

Pasal I

Tertulis : “Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9.”


Seharusnya : “Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8.”

Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 14 September 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA.,MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.
Lampiran I.
BAKU MUTU AIR LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
UNTUK PERAIRAN PELABUHAN Nomor: Tahun 2004

No. Parameter Satuan Baku Mutu

FISIKA
1. Kecerahana m >3
2. Kebauan - tidak berbau
b
3. Padatan tersuspensi total mg/l 80
1(4)
4. Sampah - nihil
c o 3( c)
5. Suhu C alami
5 1(5)
6. Lapisan minyak - nihil

KIMIA
d ( d)
1. pH - 6,5 - 8,5
e 3( e)
2. Salinitas %o alami
3. Ammonia total (NH 3-N) mg/l 0,3
4. Sulfida (H 2S) mg/l 0,03
5. Hidrokarbon total mg/l 1
6. Senyawa Fenol total mg/l 0,002
7. PCB (poliklor bifenil) µg/l 0,01
8. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1
9. Minyak dan Lemak mg/l 5
6
10. TBT (tri butil tin) µg/l 0,01
Logam terlarut:
11. Raksa (Hg) mg/l 0,003
12. Kadmium (Cd) mg/l 0,01
13. Tembaga (Cu) mg/l 0,05
14. Timbal (Pb) mg/l 0,05
15. Seng (Zn) mg/l 0,1

BIOLOGI
f (f )
1. Coliform (total) MPN/100 ml 1000

Keterangan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)
4. Pengamatan oleh manusia (visual).
5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan
ketebalan 0,01mm
6. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman
o
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim,MPA.,MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
Lampiran II
BAKU MUTU AIR LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
UNTUK WISATA BAHARI Nomor : Tahun 2004

No. Parameter Satuan Baku Mutu

FISIKA
1. Warna Pt. Co 30
2. Bau Tidak berbau
a
3. Kecerahan m >6
a
4. Kekeruhan ntu 5
b
5. Padatan tersuspensi total mg/l 20
c o 3( c)
6. Suhu C alami
1(4)
7. Sampah - nihil
5 1(5)
8. Lapisan minyak - nihil

KIMIA
d ( d)
1. pH - 7 - 8,5
e 3( e)
2. Salinitas %o alami
3. Oksigen Terlarut (DO) mg/l >5
4. BOD5 mg/l 10
5. Amoniak bebas (NH3-N) mg/l nihil 1
6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
8. Sulfida (H 2S) mg/l nihil 1
1
9. Senyawa Fenol mg/l nihil
10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
1
11. PCB (poliklor bifenil) µg/l nihil
9. Surfaktan (detergen) mg/l MBAS 0,001
10. Minyak & lemak mg/l 1
f 1( f)
11. Pestisida µg/l nihil

Logam terlarut:
12. Raksa (Hg) mg/l 0,002
13. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,002
14. Arsen (As) mg/l 0,025
15. Cadmium (Cd) mg/l 0,002
16. Tembaga (Cu) mg/l 0,050
17. Timbal (Pb) mg/l 0,005
18. Seng (Zn) mg/l 0,095
19. Nikel (Ni) mg/l 0,075
No. Parameter Satuan Baku Mutu

BIOLOGI
( g)
1. E Coliform (faecal )g MPN/100 ml 200
g ( g)
2. Coliform (total) MPN/100 ml 1000

RADIO NUKLIDA
1. Komposisi yang tidak Bq/l 4
diketahui

Keterangan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)
4. Pengamatan oleh manusia (visual).
5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer) dengan
ketebalan 0,01mm
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
o
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
Lampiran III.
BAKU MUTU AIR LAUT Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
UNTUK BIOTA LAUT Nomor: Tahun 2004

No. Parameter Satuan Baku mutu

FISIKA
a
1. Kecerahan m coral: >5
mangrove: -
lamun: >3
3
2. Kebauan - alami
a
3. Kekeruhan NTU <5
b
4. Padatan tersuspensi total mg/l coral: 20
mangrove: 80
lamun: 20
1(4)
5. Sampah - nihil
c o
6. Suhu C alami 3( c)
coral: 28-30( c)
mangrove: 28-32 ( c)
lamun: 28-30( c)
5 1(5)
7. Lapisan minyak - nihil

KIMIA
d ( d)
1. pH - 7 - 8,5
e 3( e)
2. Salinitas %o alami
coral: 33-34( e)
mangrove: s/d 34 ( e)
lamun: 33-34( e)
3. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4. BOD5 mg/l 20
5 Ammonia total (NH 3-N) mg/l 0,3
6. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015
7. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008
8. Sianida (CN-) mg/l 0,5
9. Sulfida (H 2S) mg/l 0,01
10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
11. Senyawa Fenol total mg/l 0,002
12. PCB total (poliklor bifenil) µg/l 0,01
13. Surfaktan (deterjen) mg/l MBAS 1
14 Minyak & lemak mg/l 1
f
15. Pestisida µg/l 0,01
7
16. TBT (tributil tin) µg/l 0,01

Logam terlarut:
17. Raksa (Hg) mg/l 0,001
18. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005
19. Arsen (As) mg/l 0,012
No. Parameter Satuan Baku mutu
20. Kadmium (Cd) mg/l 0,001
21. Tembaga (Cu) mg/l 0,008
22. Timbal (Pb) mg/l 0,008
23. Seng (Zn) mg/l 0,05
24. Nikel (Ni) mg/l 0,05

BIOLOGI
g ( g)
1. Coliform (total) MPN/100 ml 1000
1
2. Patogen sel/100 ml nihil
3. Plankton sel/100 ml tidak bloom 6

RADIO NUKLIDA
1. Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan
ketebalan 0,01mm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan
kestabilan plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
o
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 C dari suhu alami
d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
Keputusan Kepala Badpedal No. 47 Tahun 2001
Tentang : Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu
Karang

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang :
a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang
mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat berkembang biak
dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan telah
menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, oleh
karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengendaliannya;
c. bahwa dalam rangka untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu
karang, diperlukan suatu ukuran untuk menilai kondisi terumbu
karang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu
Karang;

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3299);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Nomor 3419)

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1997
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3816);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3838);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP
45/MENLH/11/1996 tentang Program Pantai Lestari:
9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP
47/MENLH/11/1996 tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah
Tingkat I Program Pantai Lestari;
10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2001
tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang:

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG.

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Pengukuran kondisi terumbu karang adalah kegiatan pengukuran
tingkat kerusakan terumbu karang pada suatu tempat dan waktu
tertentu;
2. Terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem
karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur
bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta
biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitamya;

Pasal 2
(1) Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Penetapan pedoman pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan menyediakan acuan bagi petugas pemantau, pengawas,
peneliti, penyidik dan pihak yang berkepentingan lainnya dalam
melakukan pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang.
(3) Metodologi yang digunakan dalam pengukuran kondisi terumbu karang
adalah metoda transek garis bentuk pertumbuhan karang.

Pasal 3
Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan dalam rangka:
1. Penelitian dan pendidikan;
2. Pemantauan dan pengawasan;
3. Penyidikan tindak pidana perusakan terumbu karang.

Pasal 4
(1) Petugas peneliti dapat melaksanakan pengukuran kondisi terumbu
karang setelah memenuhi persyaratan yaitu memiliki sertifikat selam
dengan jenjang minimal Scuba Diver 3 (A2) yang diterbitkan oleh
Persatuan Olah Raga Selam Seluruh Indonesia atau sertifikat dengan
jenjang sederajat yang diterbitkan oleh instansi sejenis lainnya.
(2) Pemantau, pengawas dan penyidik dapat melaksanakan pengukuran
kondisi terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam surat keputusan tentang persyaratan pengangkatan
sebagai pengawas atau penyidik.

Pasal 5
(1) Data hasil pengukuran kondisi terumbu karang sebelum disajikan atau
diinformaskan kepada pihak lain yang berkepentingan atau publik,
harus disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terhadap jenis kegiatan:
a. penelitian dan pendidikan adalah pimpinan lembaga penelitian
atau pendidikan yang bersangkutan;
b. pemantauan dan pengawasan adalah atasan petugas pemantau
dan pengawas pada instansi yang bersangkutan, baik di pusat
maupun di daerah.
(3) Untuk kepentingan kegiatan penyidikan, maka kegiatan pengukuran,
pengolahan dan penyajian hasil penyidikan harus dituangkan dalam
suatu Berita Acara.
Pasal 6
(1) Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur kemudian.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 30 April 2001

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,
ttd
Dr. A. Sonny Keraf

Lampiran
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 47 Tahun 2001

PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG


BERDASARKAN METODA TRANSEK GARIS BENTUK PERTUMBUHAN
KARANG

I. PEMILIHAN TAPAK
1. Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih
tapak yang memungkinkan pada “lereng terumbu”(yaitu : terumbu
karang yang bentuk permukaan dasarnya miring kearah tempat yang
lebih dalam) dan dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik
pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk
pemilihan tempat (Gambar 1).
GAMBAR 1: Metoda Manta Towing

2. Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurang-


kurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2 (dua) tempat. Jika
tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah
arus, maka pemilihan tapak harus dilakukan pada semua kondisi.
3. Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang
bersamaan dengan pemilihan tempat. Penandaan dapat dilakukan
misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas
terumbu karang di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo
atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan GPS
(Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan
pencarian tempat yang akan dipilih.
4. Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan
pelampung.

II. PEDOMAN UMUM


1. Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya dilakukan 6 (enam) transek
yang masing-masing berukuran panjang 50 meter, pada setiap 2
(dua) kedalaman, yaitu 3 meter dan 10 meter. Jarak antara dua
transek yang berdekatan minimal adalah 10 meter.
2. Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang yang datar,
miring atau menonjol (Gambar 2), maka transek pertama dapat
ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah
tonjolan terumbu karang. Transek kedua (yang lebih dalam)
diletakkan pada kira-kira 9-10 meter dibawah tonjolan terumbu
karang. Jika pada kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang,
transek dapat digeser ke kedalaman 2 atau 6-8 meter. Namun jika
pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang,
maka transek pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua)
kedalaman tersebut dengan hitungan nol meter dimulai dari rata-rata
surut terendah.
GAMBAR 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang.

3. Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya


sama untuk setiap pengamatan awal dan saat pengamatan.
Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data (Tabel 1)
di semua tempat selama pengamatan berlangsung yaitu 3 (tiga) orang
pada setiap kedalaman.
4. Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih
efisien, 2 (dua) orang melakukan pencatatan data, sedangkan 1 (satu)
orang lagi bertanggungjawab pada penggunaan alat ukur (roll meter),
baik penguluran, perentangan dan penggulungan, pada awal dan akhir
pengamatan.
5. Pengamat harus mengamati sampai selesai (lengkap, paripurna)
setiap 50 meter transek yang telah dipasang.
6. Pada awal tugas pengamatan, maka pengamat yang
bertanggungjawab terhadap alat ukur (roll meter), mengaitkan
meteran tersebut pada masing-masing ujung awal meteran pada
karang atau tempat lain dan mengulur meteran tersebut sejajar
dengan garis pantai mengikuti alur tonjolan karang sepanjang 50
meter. (catatan : Bila daerah pengamatan kurang dari 50 meter, maka
transek dapat diperpendek dan perubahan tersebut harus dicatat).
7. Untuk menghindari terjadinya pergeseran-pergeseran, alat ukur harus
selalu berada dekat (0-15 cm) dengan substratum (obyek
pengamatan) dan tetap terkait selama berlangsung. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengaitkan meteran pada karang, contohnya
dengan mendorong meteran antara cabang-cabang karang, tetapi
jangan sampai meteran mengelilingi karang atau cabang karang atau
karang hidup, karena akan berdampak pada hasil pengamatan.
Catatan 1 : apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih
dari 50 cm, maka data yang dicatat dalam hasil
pengamatan disebut kategori air;
Catatan 2 : bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan
pengamatan transek beberapa kali dalam 1 (satu) hari,
maka pengamat harus mempertimbangkan faktor
keselamatan dalam penyelaman;
Catatan 3 : Sebaiknya dilakukan pengamatan transek pada tapak
yang dalam (10 meter) terlebih dahulu, kemudian
dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter).
8. Setelah pengamatan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut
ditandai dengan pelampung dan atau menggunakan GPS.

III. PENCATATAN DATA


1. Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data
pada tempat yang ditentukan, sebaiknya parameter-parameter
lingkungan harus dicatat terlebih dahulu pada data sheet (Tabel 1) dan
ini harus dilakukan bersamaan dengan pengamat yang sedang
melaksanakan pemasangan tali transek di bawah permukaan laut.
2. Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas
dengan cara perlahan-lahan menyusuri tali transek sambil melakukan
pencatatan data (Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter
(cm) untuk semua bentuk pertumbuhan biota yang berada di bawah
tali transek.

GAMBAR 3 : Pencatatan Data

TABEL I : Lembar Pengumpulan Data


3. Untuk dapat menghasilkan angka pengamatan yang tepat, pengamat
harus memperhatikan dan mencatat langsung setiap titik dimana tali
meteran menempel pada suatu individu atau suatu koloni. Apabila
pada koloni tersebut terdapat individu-individu yang tumpang tindih,
maka setiap pertemuan (intersepsi) yang bersinggungan, harus
dicatat sebagai individu yang berbeda (Gambar 4).
GAMBAR 4 : Penampilan dari atas Koloni yang Tumpang Tindih

4. Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran


data dapat dipilih pada Gambar 5a, 5b, 5c dan Tabel 2
TABEL 2 : Bentuk Pertumbuhan dan Kode Karang
5. Identifikasi taksonomi secara khusus dapat ditambahkan pada
kategori-kategori bentuk pertumbuhan, tergantung pada pengetahuan
si pengamat (Tabel 1).

IV. ANALISA DATA


Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka
persentase tutupan.
- Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung
dengan menggunakan :
Panjang Total Setiap Kategori
Angka (persentase) = --------------------------------- X 100%
tutupan Panjang Total Transek

- Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat


dihitung dengan menggunakan :

Panjang Total Seluruh Kategori


Terumbu Karang Hidup
Angka (persentase) = --------------------------------- X 100%
tutupan Panjang Total Transek

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

______________________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEPALA BAPEDAL


E. PENGENDALIAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

KepMen LH Nomor 43 Tahun 1996 Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau
Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C
Jenis Lepas di Daratan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 43 Tahun 1996
Tentang : Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha
Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C
Jenis Lepas Di Dataran

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :
a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup
agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap
usaha atau kegiatan penambangan;
b. bahwa usaha atau kegiatan penambangan bahan galian
golongan C merupakan salah satu kegiatan yang mempunyai
potensi dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup;
c. bahwa dari berbagai usaha atau kegiatan penambangan bahan
galian golongan C yang perlu diprioritaskan pengendaliannya
adalah kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis
lepas di daratan;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Kriteria
Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan
Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan;

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 831);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
Tahun 1969 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2816);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang
Penggolongan Bahan-bahan Galian (Lembaran Negara Tahun
1980 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4147);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 tentang
Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang
Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Tingkat I (Lembaran
Negara Tahun 1986 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3340);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada
Daerah Tingkat II (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 77,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3487);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenal Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3528);
12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan
Organisasi Stat Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
14. Keputusan Menteri Da Negeri Nomor 98 Tahun 1996 tentang
Pedoman Pembentukan, Orgariisasi dan Tata Kerja BAPEDALDA;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG
KRITERIA KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN
PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI
DATARAN

Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Dataran adalah suatu wilayah dengan lereng yang relatif homogen dan
datar dengan kemiringan lereng maksimum 8% yang dapat berupa
dataran aluvial, dataran banjir, dasar lembah yang luas, dataran di
antara perbukitan, ataupun dataran tinggi;
2. Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas adalah bahan galian golongan C
yang berupa tanah urug, pasir, sirtu, tras dan batu apung;
3. Lingkungan Penambangan adalah area penambangan yang diizinkan
dalam Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD);
4. Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah berubahnya karakteristik
lingkungan penambangan sehingga tidak dapat bertungsi sesuai
dengan peruntukannya;
5. Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi
lingkungan penambangan yang menunjukkan indikator-indikator
terjadinya kerusakan lingkungan;
6. Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup;
7. BAPEDAL adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2
Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian
golongan C jenis lepas di dataran wajib untuk melaksanakan persyaratan-
persyaratan yang telah ditetapkan baginya.

Pasal 3
(1) Kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan penambangan bahan
galian golongan C jenis lepas di dataran sebagaimana tersebut dalam
Lampiran I Keputusan ini ditetapkan sesuai dengan peruntukan:
a. Pemukiman dan daerah industri;
b. Tanaman tahunan;
c. Tanaman pangan lahan basah;
d. Tanaman pangan lahan kering/peternakan;
(2) Penjelasan teknis dan tata cara pengukuran kriteria kerusakan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) seperti tersebut
dalam Lampiran II Keputusan ini.

Pasal 4
(1) Peruntukan lahan paska penambangan ditetapkan di dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I (RTRWP) dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
(RTRWK).
(2) Apabila peruntukan lahan paska penambangan belum ditetapkan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) maka Gubernur/Bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II yang bersangkutan dapat menetapkannya di dalam Surat Izin
Penambangan Daerah (SIPD).
(3) Apabila tidak ditetapkan di dalam Surat Izin Penambangan Daerah
(SIPD), peruntukan ditetapkan berdasarkan peruntukan sebelum
dilakukan penambangan.
Pasal 5
(1) Menteri menetapkan kriteria kerusakan lingkungan bagi kegiatan
penambangan bahan galian golongan C untuk jenis galian lain di luar
bahan galian golongan C seperti tersebut dalam Pasal 1 butir 2 dan
peruntukan Pasal 3 Keputusan ini.
(2) Apabila kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) belum ditetapkan. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dapat menetapkan kriteria kerusakan lingkungan
setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Menteri Dalam Negeri.
(3) Menteri memberikan petunjuk penetapan kriteria kerusakan
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berdasarkan
pertimbangan Kepala Bapedal.

Pasal 6
Pembinaan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas
di dataran:
a. Umum dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
b. Teknis penambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan dan
Energi.
c. Teknis pengendalian kerusakan lingkungan dilakukan oleh Bapedal.

Pasal 7
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dalam proses
pemberian Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD), selain berpedoman
kepada peraturan yang selama ini berlaku, wajib mencantumkan kriteria
kerusakan lingkungan yang tidak boleh dilanggar oleh penanggung jawab
usaha atau kegiatan dalam Surat Izin Penambangan Daerahnya (SIPDnya)

Pasal 8
Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis Lepas di dataran
yang wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
apabila hasil studi mewajibkan persyaratan pengendalian kerusakan
lingkungan lebih ketat dan kriteria kerusakan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini maka persyaratan yang lebih ketat
berlaku baginya.

Pasal 9
Penanggung jawab usaha atau kegiatan penambangan bahan galian
golongan C jenis Lepas di dataran wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
kegiatan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada:
a. Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II;
b. Kepala BAPEDAL;
c. Menteri;
d. Menteri Dalam Negeri Cq. Ditjen Bangda;
e. Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktorat Teknik Pertambangan
Umum;
f. Instansi terkait lain yang dipandang perlu.

Pasal 10
Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, BAPEDAL dan
instarisi teknis melakukan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan
penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran.

Pasal 11
Apabila hasil pemantauan dimaksud dalam ayat (1), menunjukkan telah
terjadi kerusakan lingkungan maka Gubernun/Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II segera menetapkan langkah kebijaksanaan setelah
mendapat pertimbangan dari Bapedal dan instansi teknis.

Pasal 12
(1) Bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di
dataran:
a. Yang sedang berlangsung atau yang masa penambangannya
telah berakhir, wajib dilakukan evaluasi oleh Gubernur/Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II berdasarkan kriteria
kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan
ini.
b. Bagi kegiatan yang sedang dalam proses permohonan dan
perpanjangan Surat Izin Penambangan Daerah SIPD) setelah
ditetapkan Keputusan ini wajib disesuaikan dengan kriteria
kerusakan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam keputusan
ini.
(2) Berdasarkan basil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
menetapkan langkah pengendaliannya dengan memperhatikan
pertimbangan dan Kepala Bapedal.

Pasal 13
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di Jakarta
Pada tanggal: 25 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd,

Sarwono Kusumaatmadja.
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 43 TAHUN 1996 TANGGAL 25 OKTOBER 1996

Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan


Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas Di Dataran
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 43 TAHUN 1996 TANGGAL 25 OKTOBER 1996

PENJELASAN TEKNIS DAN TATA CARA PENGUKURAN KRITERIA


KERUSAKAN LINGKUNGAN BAGI USAHA ATAU KEGIATAN
PENAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C JENIS LEPAS DI
DATARAN

1. TOPOGRAFI
Topografi adalah gambaran bentuk tiga dimensi dari permukaan bumi,
yaitu : keadaan yang menggambarkan permukaan bumi terutama
mengenai keadaan tinggi rendahnya, yang meliputi sungai, lembah,
pegunungan, dataran, kota, jalan kereta api, bendungan dan lain-
lainnya.
Bentuk akhir Topografi lahan bekas penambangan merupakan salah
satu faktor yang menentukan kemampuan/daya dukung lahan bekas
penambangan bagi suatu peruntukan aspek-aspek Topografi yang
dijadikan indikator daya dukung lahan bekas penambangan adalah :
1. Lubang galian
2. Dasar galian
3. Dinding galian

1.1. Lubang galian


Lubang galian adalah lubang yang terbentuk akibat
penambangan galian golongan C.
Parameter lubang galian yang digunakan dalam penilaian
kerusakan lahan bekas penambangan ini adalah :

a. Kedalaman
Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari
permukaan lahan hingga ke dasar lubang galian.
Permukaan disini adalah permukaan awal pada tepi
lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian
sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah
lubang galian yang terdalam.
Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan
mengukur jarak dari permukaan awal dengan dasar
lubang terdalam (lihat Gambar 1)
GAMBAR 1. KEDALAMAN LUBANG GALIAN

Pemantauan batas kedalaman lubang galian ini dapat


dilakukan secara reguler sepanjang periode
penambangan.
Penentuan batas kedalaman galian yang ditolelir untuk
setiap peruntukan lahan ditentukan oleh letak muka air
tanah.
Muka air tanah adalah batas lapisan tanah yang jenuh air
dengan lapisan tanah yang belum jenuh air. Letak lapisan
ini bervariasi tergantung pada tempat dan keadaan
musim. Di daerah dataran rendah muka air tanah
umumnya dangkal, sedangkan di daerah yang lebih tinggi
letak muka air tanah lebih dalam. Pada musim penghujan
letak muka air tanah biasanya lebih dangkal dibandingkan
dengan musim kemarau.
Pengukuran letak muka air tanah dapat diketahui dengan
mengamati sumur gali dan sumur pemboran. Letak muka
air tanah ditunjukkan oleh permukaan air sumur gali.
Cara pengukuran letak muka air tanah adalah dengan
mengukur jarak permukaan air pada sumur gali
permukaan lahan (lihat Gambar 2)
GAMBAR 2. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN SUMBER
GALIAN

Pengukuran untuk muka air tanah dari pemboran pada


prinsipnya menyerupai pengukuran sumur galian (lihat
Gambar 3)

GAMBAR 3. PENGUKURAN MUKA AIR TANAH DENGAN


PEMBORAN

Batas kedalaman lubang galian selalu ditentukan oleh


letak muka air tanah karena adanya persyaratan minimal
yang harus dipenuhi untuk kelayakan dan keberhasilan
setiap peruntukan lahan yang telah ditetapkan.
Areal-areal yang memenuhi persyaratan kelayakan bagi
peruntukan pemukiman/industri adalah areal-areal yang
bebas banjir dan masih dapat menyerap air sehingga
permukaan tanahnya tetap kering. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka kedalaman galian bagi areal seperti ini
dibatasi minimum 1 m di atas muka air tanah pada
musim penghujan.
Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman tahunan
adalah areal yang berdrainase baik, minimum sebatas
wilayah perakaran tanaman tahunan. Sehubungan
dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal
seperti ini dibatasi minimum mencapai letak permukaan
air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian
tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang,
maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran
tanaman tersebut akan terpenuhi.
Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan
lahan basah adalah areal berdrainase buruk tetapi
sewaktu-waktu harus dapat dikeringkan. Sehubungan
dengan hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal
seperti ini dibatasi minimum 10 cm di bawah permukaan
air tanah dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian
tanah penutup ke permukaan lahan bekas tambang,
maka persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran
tanaman tersebut akan terpenuhi.
Persyaratan lahan bagi peruntukan tanaman pangan
lahan kering/ peternakan adalah areal berdrainase baik,
minimum sebatas areal perakaran. Sehubungan dengan
hal tersebut maka kedalaman galian bagi areal seperti ini
dibatasi minimum mencapai letak permukaan air tanah
dimusim hujan. Dengan adanya pengembalian tanah
penutup ke permukaan lahan bekas tambang, maka
persyaratan minimal bagi perkembangan perakaran
tanaman tersebut akan terpenuhi.

b. Jarak
Yang dimaksud dengan jarak adalah jarak antara titik
terluar lubang dengan titik terdekat dari batas SIPD.
Pengukuran dapat dilakukan dengan mengukur jarak
kedua titik tersebut. Jarak lubang galian dari batas SIPD
merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD
tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Dalam hal
ini jarak minimal 5 m dari batas SIPD merupakan batas
aman untuk bahan galian lepas sehingga kegiatan
tersebut tidak mengganggu areal diluar SIPD.
Pemantauan untuk pengamatan jarak lahan galian dari
batas SIPD ini dapat dilakukan secara reguler sepanjang
periode penambangan.
Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka
jarak lubang galian dimasing-masing SIPD dapat
mencapai batas SIPD yang berdampingan/
bersinggungan, sedangkan jarak lubang galian pada
batas SIPD yang tidak berdampingan/bersinggungan
minimal 5 (lima) meter dari batas SIPD (Gambar 4b).

GAMBAR 4a. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN


PENAMBANGAN

GAMBAR 4b. JARAK GALIAN DENGAN BATAS LAHAN


PENAMBANGAN YANG BERSINGGUNGAN

1.2. Dasar Galian


Dasar galian adalah permukaan dasar lubang galian. Parameter
Dasar galian ada 2(dua), yaitu :

a. Perbedaan Relief Dasar Galian


Permukaan dasar lubang galian umumnya tidak pernah
rata, karena selalu terdapat tumpukan atau onggokan
material sisa galian.
Perbedaan relief dasar galian adalah perbedaan
ketinggian permukaan onggokan/tumpukan tersebut
dengan permukaan dasar galian disekitarnya. Pengukuran
dilakukan dengan mengukur kedua permukaan tersebut
(lihat Gambar 5)
GAMBAR 5. SKETSA RELIEF DASAR GALIAN

Pemantauan perbedaan relief dasar galian dapat


dilakukan sepanjang periode penambangan, tetapi
penentuan perbedaan relief akhir dasar galian hanya
dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.
Adanya tumpukan tersebut akan menyulitkan
pemanfaatan lahan, sesuai dengan peruntukannya,
karena itu toleransi yang diberikan untuk perbedaan relief
tersebut dibatasi maksimum 1 m.
Tumpukan yang kurang dari 1 m relatif mudah
diratakan/disiapkan sehingga tidak menyulitkan dalam
penyiapan untuk pemanfaatan lahan selanjutnya.

b. Kemiringan Dasar Galian


Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang
menentukan daya dukung lahan bagi suatu peruntukan.
Persyaratan kelayakan lahan untuk pemukiman/industri
adalah tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan
tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%.
Persyaratan kelayakan lahan untuk tanaman tahunan
adalah tidak lebih dari 15% sehingga untuk peruntukan
tersebut kemiringan dasar galian dibatasi maksimum
15%.
Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan basah adalah
tidak lebih dari 3% sehingga untuk peruntukan tersebut
kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 3%.
Persyaratan kelayakan lahan untuk lahan kering adalah
tidak lebih dari 8% sehingga untuk peruntukan tersebut
kemiringan dasar galian dibatasi maksimum 8%.
Pengukuran kemiringan dasar galian dilakukan dengan
menggunakan levelling atau waterpass.
Pemantauan kemiringan dasar galian dapat dilakukan
sepanjang periode penambangan sesuai dengan rencana
penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir
dasar galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa
penambangan.

1.3. Dinding Galian


Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari
permukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas
dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum
dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras.
Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai
parameter yang diamati (lihat Gambar 6).
Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3 meter sehingga batas
toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya. Sedangkan
lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar
kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50 %.
Pemantauan tebing dan dasar teras dapat dilakukan sepanjang
periode penambangan sesuai dengan rencana
penambangannya, tetapi penentuan kemiringan akhir dasar
galian hanya dapat ditentukan pada akhir masa penambangan.
Pengukuran tebing dan dasar teras dilakukan dengan
menggunakan meteran.
GAMBAR 6. SKETSA RELIEF DINDING GALIAN YANG
DISYARATKAN UNTUK SEMUA PERUNTUKAN

2. TANAH
Tanah adalah bahan lunak hasil pelapukan batuan dan atau bahan
organik, dan merupakan tempat tumbuhnya tumbuhan. Tanah yang
dikembalikan sebagai penutup pada areal bekas penambangan adalah
tanah-tanah yang sebelumnya terdapat diareal SIPD tersebut, yang
dikupas dan diamankan sebelum areal tersebut ditambang. Akan
tetapi karakteristiknya harus disesuaikan sedemikian rupa sehingga
mampu mendukung pertumbuhan tanaman sesuai dengan peruntukan
lahannya, baik dengan penambahan bahan organik maupun pupuk
buatan. Ketebalan tanah penutup ini akan bervariasi sesuai dengan
persyaratan pada setiap peruntukan lahannya.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
budi daya di areal pemukiman adalah 25 cm, sehingga untuk
peruntukan lahan pemukiman dan industri ini ketebalan tanah yang
dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
tahunan atau tanaman perkebunan adalah 50 cm, sehingga untuk
peruntukan lahan tanaman tahunan ketebalan tanah yang
dikembalikan sebagai penutup ini minimum 50 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
pangan lahan basah adalah 25 cm, sehingga untuk peruntukan lahan
tanaman pangan lahan basah dan peternakan ini ketebalan tanah yang
dikembalikan sebagai penutup ini minimum 25 cm.
Persyaratan minimal ketebalan tanah untuk pertumbuhan tanaman
pangan lahan kering dan peternakan ternak adalah 25 cm, sehingga
untuk peruntukan lahan tanaman pangan lahan kering dan peternakan
ini ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini minimum
25 cm.
Pemantauan ketebalan tanah yang dikembalikan sebagai penutup ini
dapat dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan,
tetapi penentuan akhir dari ketebalan tanah yang dikembalikan ini
hanya dapat ditentukan setelah akhir masa penambangan.

3. VEGETASI
Pertumbuhan Vegetasi di atas lahan bekas penambangan
menunjukkan bahwa tanah yang dikembalikan mempunyai kondisi
yang layak untuk pertumbuhan vegetasi tersebut, karena
pertumbuhan vegetasi tidak hanya membuktikan adanya usaha
reklamasi tetapi juga membuktikan bahwa galian tersebut dapat
dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya.
Persyaratan minimal tersedianya jalur hijau diareal pemukiman adalah
20 persen, sehingga digunakan juga sebagai persyaratan
pertumbuhan tanaman budi daya minimal 20 persen dari seluruh areal
pertambangan.
Bagi peruntukan lainnya, persyaratan pertumbuhan minimal 50 persen
merupakan indikator yang menjamin bahwa tanah yang dikembalikan
sebagai penutup layak bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan
peruntukannya.
Penanaman vegetasi dilakukan diseluruh areal lahan bekas
penambangan, sedangkan pengukuran keberhasilannya dilakukan
dengan menghitung tanaman yang tumbuh di seluruh areal bekas
tambang.
Pemantauan pertumbuhan vegetasi sebagai penutup ini dapat
dilakukan secara periodik sesuai dengan rencana penambangan, tetapi
penentuan akhir dari pertumbuhan vegetasi ini hanya dapat
ditentukan setelah akhir masa penambangan.

______________________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEPALA BAPEDAL


F. PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

1. KepMen LH Nomor 128 Tahun 2003 Tata Cara Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah
Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh
Minyak Bumi Secara Biologis

2. SE Men LH Nomor 08 Tahun 1997 Penyerahan Minyak Pelumas Bekas

3. KepKa Bapedal Nomor 68 Tahun 1994 Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan,
Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan,
Pengolahan dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun

4. KepKa Bapedal Nomor 01 Tahun 1995 Tata cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan
dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun

5. KepKa Bapedal Nomor 02 Tahun 1995 Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

6. KepKa Bapedal Nomor 03 Tahun 1995 Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun

7. KepKa Bapedal Nomor 04 Tahun 1995 Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil
Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas
Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

8. KepKa Bapedal Nomor 05 Tahun 1995 Simbol dan Label Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun

9. KepKa Bapedal Nomor 255 Tahun 1996 Tata Cara dan Persyaratan Penyimpanan dan
Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas

10. KepKa Bapedal Nomor 02 Tahun 1998 Tata Laksa Pengawasan pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun di Daerah

11. KepKa Bapedal Nomor 03 Tahun 1998 Program Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun

12. KepKa Bapedal Nomor 04 Tahun 1998 Penetapan Propinsi Prioritas Program Kemitraan
Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 128 TAHUN 2003
TENTANG
TATACARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH MINYAK
BUMI DAN TANAH TERKONTAMINASI OLEH MINYAK BUMI
SECARA BIOLOGIS

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa limbah minyak bumi yang dihasilkan usaha atau


kegiatan minyak, gas dan panas bumi atau kegiatan lain yang
menghasilkan limbah minyak bumi merupakan limbah bahan
berbahaya dan beracun yang memiliki potensi menimbulkan
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan oleh karena itu
perlu dilakukan pengelolaan dengan baik;

b. bahwa salah satu upaya pengolahan limbah minyak bumi dan


tanah terkontaminasi oleh minyak bumi dapat dilakukan
dengan pengolahan secara biologis sebagai alternatif teknologi
pengolahan limbah minyak bumi;

c. bahwa pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun secara


teknis telah diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor :
Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun , oleh karena
sifat kekhususannya, maka pengolahan limbah dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis perlu diatur
tersendiri dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup;

d. bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002


tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara, bahwa pembuatan
1
pedoman pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun
menjadi kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup

e. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang


perlu untuk menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi
Oleh Minyak Bumi Secara Biologis;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas


Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4152);

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 44


Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak, Gas, dan Panas Bumi
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2070);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang


Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3815), jo. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun
1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3910);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3838);

6. Keputusan Menteri Pertambangan Nomor


4/P/M/Pertamb/1973 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Pencemaran Perairan dalam Kegiatan Eksplorasi dan
Eksploitasi Minyak, Gas, dan Panas Bumi;

7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun


1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak,
Gas, dan Panas Bumi;
2
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : TATACARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN


LIMBAH MINYAK BUMI DAN TANAH TERKONTAMINASI
OLEH MINYAK BUMI SECARA BIOLOGIS.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang terbentuk dari proses
pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas
kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang
terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat
digunakan kembali dalam proses produksi;
2. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal,
lilin mineral, atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari proses
penambangan, tetapi tidak termasuk batu bara atau endapan hidrokarbon lain
yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan ya ng tidak berkaitan dengan
kegiatan usaha dan minyak bumi;
3. Pengolahan limbah minyak bumi adalah proses untuk mengubah karakteristik
dan komposisi limbah minyak bumi untuk menghilangkan dan atau
mengurangi sifat bahaya dan atau sifat racun;
4. Tanah terkontaminasi adalah tanah atau lahan yang terkontaminasi akibat dari
tumpahan atau ceceran atau kebocoran atau penimbunan limbah minyak bumi
yang tidak sesuai dengan persyaratan dari kegiatan operasional sebelumya;
5. Kegiatan lain yang berhubungan dengan pengelolaan limbah minyak bumi
adalah kegiatan di luar dari usaha pengelolaan minyak dan gas bumi yang
menghasilkan limbah minyak bumi.

Pasal 2

(1) Setiap usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi serta kegiatan lain yang
menghasilkan limbah minyak bumi wajib melakuka n pengolahan limbahnya.

3
(2) Pengolahan limbah minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan menggunakan metoda biologis sebagai salah satu alternatif
teknologi pengolahan yang meliputi :
a. landfarming;
b. biopile;
c. composting ;

(3) Tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah minyak bumi dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis dalam Lampiran II Keputusan
ini mencakup:
a. persyaratan teknis pengelolaan;
b. analisis terhadap proses pengolahan;
c. kriteria hasil akhir pengolahan;
d. penanganan hasil olahan;
e. pemantauan dan pengawasan terhadap hasil olahan.

Pasal 3

Ketentuan perizinan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi


oleh minyak bumi secara biologis sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1)
mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan Beracun dan format permohonan izin
untuk pengolahan secara biologi yang tercantum pada Lampiran I Keputusan ini.

Pasal 4

(1) Hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan pemantauan terhadap
bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan
hidup Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang terkait minimum 6
(enam) bulan sekali.

(2) Pelaporan yang dimaksud pada ayat (2) minimal mencakup jumlah, jenis dan
karakteristik limbah yang diolah, hasil analisis dari pemantauan limbah yang
diolah dan air tanah serta data analisis dari pemantauan terhadap hasil olahan
setelah proses pengolahan biologis.

4
Pasal 5

Apabila pada saat diberlakukannya keputusan ini telah dilakukan pengolahan


limbah minyak dan tanah terkontaminasi secara biologis yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini, maka pelaksana kegiatan
wajib menyesuaikan pengelolaannya dengan keputusan ini selambat-lambatnya
dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak diterbitkannya keputusan ini.

Pasal 6

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 Juli 2003
---------------------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup

ttd

Nabiel Makarim, MSM., MPA.


Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

5
Surat Edaran Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 8 Tahun 1997
Tentang : Penyerahan Minyak Pelumas Bekas

Oleh : Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan


Nomor : 08/SE/02/1997
Tanggal : 20 FEBRUARI 1997 (JAKARTA)

Jakarta, 20 Pebruari 1997

Kepada Yth.

Seluruh Industri/Perusahaan
Penghasil Minyak Pelumas Bekas
di
Tempat

SURAT EDARAN
NOMOR : 08/SE/02/1997

TENTANG PENYERAHAN MINYAK PELUMAS BEKAS

I. UMUM

a. Minyak pelumas bekas sangat berpotensi mencemari lingkungan bila


tidak dikelola dengan baik dan benar. Dengan diundangkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 Jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Limbah B3) menyebutkan bahwa minyak pelumas bekas
termasuk dalam daftar kategori limbah B3.
b. Dengan Keputusan Kepala Bapedal Nomor 255 Tahun 1996, telah
ditetapkan dan diedarkan tentang Tata Cara dan Persyaratan
Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas.
II. DASAR HUKUM

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) yang diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);
3. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1988 tentang Penyediaan dan
Pelayanan Pelumas Serta Penanganan Pelumas Bekas;
4. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
5. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 68 Tahun 1994 tentang Tata Cara
Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat
Pengolahan, pengolahan, dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
6. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 01 Tahun 1995 tentang Tata Cara
dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun;
7. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 02 Tahun 1995 tentang Dokumen
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
8. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 03 Tahun 1995 tentang Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
9. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 04 Tahun 1995 tentang Tata Cara
dan Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi
Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
10. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 05 tahun 1995 tentang Simbol dan
Label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
11. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 255 Tahun 1996 tentang Tata Cara
dan Persyaratan Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas
Bekas;

III. TUJUAN

Surat Edaran ini adalah sebagai pedoman bagi industri/perusahaan penghasil


minyak pelumas bekas dalam melakukan penyerahan minyak pelumas bekas
berdasarkan Keputusan Kepala Bapedal Nomor 255 Tahun 1996.
IV. KETENTUAN PENGELOLAAN MINYAK PELUMAS BEKAS

1. Pengelolaan minyak pelumas bekas harus dilakukan sebagaimana


ketentuan yang dipersyaratkan;
2. Penyimpanan minyak pelumas bekas dalam kegiatan industri harus
mengacu dan berpedoman kepada Keputusan Kepala Bapedal Nomor
01 Tahun 1995;
3. Penyimpanan dan Pengumpulan minyak pelumas bekas bagi badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha penyimpanan dan
pengumpulan minyak pelumas bekas harus mengacu dan berpedoman
kepada Keputusan Kepala Bapedal Nomor 255 Tahun 1996;
4. Pengolahan dan pemanfaatan minyak pelumas bekas harus mengacu
dan berppedoman kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun1994 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995;
5. Pengangkutan /pengiriman minyak pelumas bekas harus
menggunakan dokumen limbah B3 sebagaimana yang ditetapkan
dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 02 Tahun 1995;
6. Penyimpanan/pengumpulan minyak pelumas bekas hanya dapat
dilakukan selama 90 hari sebelum diserahkan kepada pengumpul,
pemanfaat, dan pengolah minyak pelumas bekas.

Agar pencemaran lingkungan dapat dihindari, khususnya yang diakibatkan


oleh minyak pelumas bekas, maka kepada industri/perusahaan penghasil
minyak pelumas bekas diwajibkan :
1. Menyerahkan minyak pelumas bekas yang dihasilkannya kepada
pengumpul minyak pelumas bekas yang sudah menpunyai izin dari
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dan merupakan anggota
P4MPB.
2. Tidak diperkenankan untuk mengolah dan memanfaatkan atau
mendistribusikan minyak pelumas bekas kepada pengolah atau
pemanfaat yang tidak mempunyai izin/rekomendasi dari Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.
3. Tidak diperkenankan untuk menjual minyak pelumas bekas kepada
pengumpul yang tidak mempunyai izin dari Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
4. Setiap pengangkutan/pengiriman minyak pelumas bekas harus
menggunakan dokumen limbah B3.

5. Melaporkan realisasi kegiatan pengangkutan/pengiriman minyak


pelumas bekas yang dilakukan kepada Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan dengan
tembusan Bupati/Walikotamadya Daerah tingkat II dan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
V. SANKSI

Pelanggaran atas ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dikenakan sanksi


berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

VI. PENUTUP

a. Apabila dalam melaksanakan Surat Edaran ini dijumpai kesulitan agar


menghubungi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan untuk
mendapatkan kejelasan.

b. Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan kepada semua
pihak yang terkait agar melaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan Surat Edaran ini disampaikan Kepada Yth.


1. Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi
2. Menteri Perindustrian dan Perdagangan
3. Menteri Pertambangan dan Energi
4. Menteri Perhubungan
5. Jaksa Agung RI
6. Bakortanas
7. Kapolri
8. Gubernur KDH seluruh Indonesia
9. Kapolda seluruh Indonesia
10. Bupati/Walikotamadya seluruh Indonesia
11. Dirjen Migas
12. Dirjen Perhubungan Darat, Laut dan Udara
13. Direktur Utama Pertamina
14. Ketua P4MPB

______________________________________
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR: KEP-68/BAPEDAL/05/1994
TANGGAL: 15 MEI 1994

TENTANG
TATA CARA MEMPEROLEH IZIN PENYIMPANAN, PENGUMPULAN,
PENGOPERASIAN ALAT PENGOLAHAN, PENGOLAHAN,
DAN PENIMBUNAN AKHIR LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, maka Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan perlu menetapkan keputusan tentang tata cara memperoleh izin
penyimpanan, pengumpulan, pengoperasian alat pengolahan, pengolahan, dan
penimbunan akhir limbah bahan beracun dan berbahaya.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3538);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3551);
4. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1990 tentang Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


TATA CARA MEMPEROLEH IZIN PENYIMPANAN, PENGUMPULAN,
PENGOPERASIAN ALAT PENGOLAHAN, PENGOLAHAN, DAN PENIMBUNAN
AKHIR LIMBAH HANA BERBAHAYA DAN BERACUN

Pasal 1
Setiap usaha atau kegiatan di bidang penyimpanan, pengumpulan, pengoperasian alat pengolahan,
pengolahan, dan penimbunan akhir limbah bahan berbahaya dan beracun wajib mengajukan permohonan
tertulis kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 2
Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diajukan dilengkapi dengan persyaratan seperti
tercantum dalam lampiran 1 Keputusan ini.
Pasal 3
Berdasarkan permohonan izin tersebut, maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan segera akan
melakukan penelitian terhadap kelengkapan dari ketentuan yang dipersyaratkan.

Pasal 4
Apabila berdasarkan hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak Lingkungan:
a. Dokumen dinyatakan tidak lengkap maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan
memberitahukan kepada pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari sejak diterimanya
permohonan izin dan pemohon wajib melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 10 hari;
b. Dokumen dinyatakan lengkap maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan segera melakukan
penelitian lapangan terhadap permohonan yang diajukan.

Pasal 5
Dalam hal permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan hasil penelitian di lapangan, maka Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dapat memberikan penolakan izin yang diajukan

Pasal 6
Apabila dari hasil penelitian terhadap semua kelengkapan dokumen dan persyaratan yang diwajibkan telah
dipenuhi, maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian
Izin.

Pasal 7
Penelitian di lapangan dilakukan dengan membuat berita acara pemeriksaan seperti tercantum dalam
lampiran II Keputusan ini.

Pasal 8
Penerbitan izin sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 6 diberikan selambat-lambatnya dalam waktu 30
hari sejak diterima permohonan izin.

Pasal 9
(1). Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan;
(2). Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Mei 1994

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmaja
Keputusan Kepala Bapedal No. 1 Tahun 1995
Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : 1 TAHUN 1995
Tanggal : 5 SEPTEMBER 1995 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

a. bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun


1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995
tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun telah
diatur ketentuan mengenai Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan


Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang
Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan


Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);

4. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan


Pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN TEKNIS PENYIMPANAN DAN
PENGUMPULAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Pasal 1

Setiap limbah B3 yang belum diketahui sifat dan karakteristiknya wajib


dilakukan pengujian pada laboratorium yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I.

Pasal 2

Hasil pengujian sifat dan karakteristik limbah-limbah B3 sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 1, wajib dilaporkan kepada Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

Pasal 3

Apabila dari hasil pengujian sifat dan karakteristik limbah B3 yang dilakukan
oleh laboratorium di daerah terdapat keraguan, Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan menunjuk laboratorium rujukan untuk melakukan
pengujian ulang.

Pasal 4

Tata cara pengujian sifat dan karateristik limbah B3 sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 1, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Direktorat Pembinaan Laboratorium Lingkungan Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.
Pasal 5

Tata Cara dan Persyaratan teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah B3


sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 6

Setiap pengumpul dan penyimpan limbah B3 wajib melaporkan limbah B3


yang diterimanya dari penghasil kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan dengan tembusan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat
II dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

Sarwono Kusumaatmadja

__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 2 Tahun 1995
Tentang : Dokumen Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : KEP-02/BAPEDAL/09/1995
Tanggal : 5 SEPTEMBER 1995 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

a. bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun


1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995
tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun telah
diatur ketentuan mengenai Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan


Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang
Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan


Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);
4. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG DOKUMEN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Pasal 1

Dokumen limbah B3 adalah surat yang diberikan pada waktu penyerahan


limbah B3 untuk diangkut dari lokasi kegiatan penghasil ke tempat
penyimpanan di luar lokasi kegiatan, dan atau pengumpulan dan atau
pengangkutan dan atau pengolahan limbah B3 dan atau pemanfaatan limbah
B3 serta penimbunan hasil pengolahan;

Pasal 2

Dokumen limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, terdiri dari:


a. Bagian I : yang harus diisi oleh Penghasil/pengumpul;
b. Bagian II : yang harus diisi oleh pengangkut;
c. Bagian III : yang harus diisi oleh pengumpul/pemanfaat/pengolah.

Pasal 3

Setiap badan usaha yang melakukan pengolahan limbah B3 wajib


mengajukan permohonan kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan untuk mendapatkan nomor registrasi terlebih dahulu sebelum
dokumen limbah B3 dipergunakan, dengan melampirkan izin pengelolaan
limbah B3.

Pasal 4

Dokumen limbah B3 adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran


Keputusan ini.
Pasal 5

Apabila pengangkutan dilakukan antar moda, maka dokumen tersebut harus


diserahkan kepada pengangkut berikutnya.

Pasal 6

Dokumen limbah B3 untuk ekspor akan ditetapkan kemudian.

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan

Sarwono Kusumaatmadja

Lampiran
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 2 Tahun 1995 Tanggal 5 September 1995

DOKUMEN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

1. PENDAHULUAN

Setiap pengangkutan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), harus


dilengkapi dengan dokumen resmi. Karena sifat dari limbah B3, maka
perpindahan limbah B3 harus dilengkapi dengan dokumen limbah B3.
Dokumen limbah B3 tersebut merupakan legalitas dari kegiatan
pengelolaan limbah B3. Dengan demikian dokumen resmi ini merupakan
sarana/alat pengawasan yang ditetapkan pemerintah untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan dan juga untuk mengetahui mata rantai
perpindahan dan penyebaran limbah B3.
2. DOKUMEN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

Dokumen limbah B3 merupakan dokumen yang senantiasa dibawa dari


tempat asal pengangkutan limbah B3 ke tempat tujuan. Dokumen
diberikan pada waktu penyerahan limbah B3. Dokumen limbah B3
tersebut meliputi juga dokumen muatan.
Dokumen limbah B3 terdiri dari 7 (tujuh) rangkap apabila pengangkutan
hanya satu kali dan apabila pengangkutan lebih dari satu kali (antar
muda), maka dokumen terdiri dari 11 (sebelas) rangkap dengan perincian
sebagai berikut:
a. lembar asli (pertama) disimpan oleh pengangkut limbah B3 setelah
ditandatangani oleh penghasil, pengumpul, dan pengolah limbah B3
(warna putih);
b. lembar kedua yang sudah ditandatangani pengangkut limbah B3, oleh
penghasil limbah B3 atau pengumpul dikirim kepada Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (warna kuning);
c. lembar ketiga yang sudah ditandatangani oleh pengangkut limbah B3
disimpan oleh penghasil atau pengumpul limbah B3 yang
menyerahkan limbah B3 untuk diangkut oleh pengangkut limbah B3
(warna hijau);
d. lembar keempat setelah ditandatangani oleh pengumpul atau pengolah
limbah B3 oleh pengangkut diserahkan kepada pengumpul limbah B3
atau pengolah limbah B3 yang menerima limbah B3 dari pengangkut
limbah B3 (warna merah muda);
e. lembar kelima dikirim kepada Badan Penngendalian Dampak
Lingkungan setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau
pengolah limbah B3 (warna biru);
f. lembar keenam dikirim oleh pengangkut kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I yang bersangkutan, setelah ditandatangani oleh
pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna krem);
g. lembar ketujuh dikirim oleh pengangkut kepada penghasil limbah B3
oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3, setelah
ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3
(warna ungu);
h. lembar kedelapan s/d lembar kesebelas dikirim oleh pengangkut
kepada penghasil atau pengumpul setelah ditandatangani oleh
pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada pengangkut berikutnya
(antar muda).

3. CARA PENGISIAN DOKUMEN LIMBAH B3

a. Limbah Dokumen limbah B3 harus diisi dengan huruf cetak dan jelas.

b. Nomor 1 sampai dengan nomor 12 diisi oleh penghasil atau pengumpul


limbah B3 yang mengirimkan limbah B3 ke tujuan yaitu dari penghasil
ke pengumpul atau ke pemanfaat atau pengolah, dan/atau dari
pengumpul ke pemanfaat dan/atau ke pengolah (disesuaikan dengan
kepentingannya).

1. Nama dan alamat perusahaan penghasil/pengumpul limbah B3 :


Nama dan alamat jelas perusahaan penghasil atau
pengumpul yang mengirim limbah B3.

2. Lokasi pemuatan bila berbeda dengan alamat perusahaan :


Alamat jelas lokasi pemuatan limbah B3.

3. Nomor penghasil :
Nomor yang diberikan Bapedal kepada penghasil/pengumpul
ketika melakukan pelaporan.

4A. Jenis limbah B3 :


Keterangan jenis limbah B3 seperti bentuk padat/cair/gas.

4B. Nama teknik bila ada :


Sebutkan bila terdapat nama teknik limbah yang diangkut.

4C. Karakteristik limbah :


Karakteristik/sifat limbah seperti: mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi,
bersifat korosif, dan limbah lain.

4D. Kode limbah B3 :


Kode limbah B3 pada daftar limbah B3 yang terdapat dalam
lampiran 1, 2, 3 PP 19 Tahun 1994.

4E. Kode UN/NA :


Nomor kode limbah yang dikeluarkan oleh PBB

4F. Kelompok kemasan :


Kemasan yang digunakan misalnya drum atau kontainer.

4G. Satuan ukuran :


Jumlah dan satuan ukuran per kemasan.

4H. Jumlah total kemasan :


Jumlah total kemasan dalam satu dokumen limbah.

4I. Peti kemas :


Nomor serta jenis kontainer yang digunakan.

5. Keterangan lain untuk limbah B3 :


- Keterangan tambahan bila limbah yang diangkut tersebut
terdapat dalam kode limbah misalnya D 221 katalis, D
222 sludge, ..., dll.
- Tidak tercantum dalam kode limbah.
- Mengangkut lebih dari satu kode limbah.

6. Instruksi penanganan khusus dan keterangan tambahan :


Instruksi penanganan khusus bila terjadi keadaan darurat
yang sesuai dengan nomor pedoman penanganan
kecelakaan.

7. Nomor telepon yang dapat dihubungi dalam keadaan darurat :


Nomor telepon yang harus dihubungi bila terjadi keadaan
darurat.

8. Tujuan pengangkutan :
Tujuan pengangkutan ke pengumpul atau ke pemanfaat atau
ke pengolah, coret yang tidak perlu.

9. Nama :
Nama penandatangan dokumen limbah B3 adalah petugas
yang ditunjuk oleh penghasil atau pengumpul yang mengirim
limbah B3.

10. Tandatangan :
Tandatangan dari petugas yang ditunjuk oleh penghasil atau
pengumpul yang mengirim limbah B3.

11. Jabatan :
Jabatan penandatangan di perusahaan penghasil atau
pengumpul yang mengirim limbah B3.

12. Tanggal :
Tanggal pengiriman limbah

c. Nomor 13 sampai dengan 22 terdiri dari 3 (tiga) bagian yang sama (A,
B, dan C) untuk diisi oleh pengangkut jika pengangkutan limbah B3
berpindah perusahaan pengangkut. Dengan ketentuan sebagai
berikut:
- Huruf A diisi oleh pengangkut pertama (I);
- Huruf B diisi oleh pengangkut kedua (II);
- Huruf C diisi oleh pengangnkut ketiga (III);

13. Nama dan alamat perusahaan-perusahaan pengangkut limbah B3 :


Nama dan alamat lengkap perusahaan pengangkut limbah
B3.

14. Nomor telepon :


Nomor telepon beserta kode area perusahaan pengangkut
limbah B3.
15. Nomor fax :
Nomor facsimile beserta kode area perusahaan pengangkut
limbah B3.

16. Nomor pendaftaran Bapedal :


Nomor yang diberikan Bapedal saat perusahaan pengangkut
meminta rekomendasi.

17. Identitas kendaraan :


Nomor polisi kendaraan atau nama kapal atau nomor kereta
atau nomor pesawat yang mangangkut limbah B3.

18. Nama :
Nama jelas penanggungjawab dari perusahaan pengangkut
yang menandatangani dokumen limbah B3.

19. Tandatangan :
Tandatangan penanggungjawab dari perusahaan pengangkut
limbah B3.

20. Jabatan :
Jabatan di perusahaan pengangkut dari penanggung jawab
yang menandatangani dokumen limbah B3.

21. Tanggal pengangkutan :


Tanggal saat diangkutnya limbah B3.

22. Tanggal tandatangan :


Tanggal saat dokumen limbah B3 ditandatangani.

d. Nomor 23 sampai dengan nomor 36 diisi oleh pengumpul atau


pengangkut atau pemanfaat yang menerima limbah B3.

23. Nama dan alamat perusahaan pengolah/pengumpul limbah B3 :


Nama dan alamat lengkap perusahaan pengumpul atau
pengolah yang akan menerima limbah B3.

24. Nomor telepon :


Nomor telepon beserta kode area perusahaan pengumpul
atau pemanfaat atau pengolah yang menerima limbah B3.

25. Nomor fax :


Nomor facsimile beserta kode area perusahaan pengumpul
atau pengolah yang menerima limbah B3.

26. Nomor :
Nomor pendaftaran yang diberikan Bapedal saat perusahaan
pengumpul atau pemanfaat atau penghasil atau pengolah
limbah B3 mendaftar.

e. Nomor 31 sampai dengan nomor 36 diisi setelah limbah dianalis oleh


pengumpul/pengolah/pemanfaat, bila limbah B3 yang disebutkan tidak
sesuai atau tidak memenuhi syarat selanjutnya akan dikembalikan
kepada perusahaan penghasil limbah B3.

31. Jenis limbah B3 :


Keterangan jenis limbah B3 seperti padat/cair/gas,
organik/anorganik, dll.

32. Jumlah :
Jumlah total kemasan dalam satu dokumen limbah B3 yang
ditolak.

33. Nomor pendaftaran Bapedal :


Nomor yang diberikan Bapedal kepada penghasil ketika
melakukan pelaporan (lihat nomor 3)

34. Alasan penolakan :


Alasan penolakan misalnya komposisi limbah B3 atau
karakteristik yang tidak sesuai contoh.

35. Tandatangan :
Tandatangan penanggungjawab di perusahaan pengolah
atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3.

4. WAKTU PENERIMAAN KEMBALI DOKUMEN LIMBAH B3

Penghasil limbah B3 akan menerima kembali dokumen limbah B3 dari


pengumpul atau pengolah selambat-lambatnya 120 hari sejak limbah B3
diangkut untuk dibawa ke pengumpul atau ke pemanfaat atau pengolah
limbah B3.

__________________________________
KEPUTUSAN

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


NOMOR : KEP-03 /BAPEDAL/09/1995

TENTANG

PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH BAHAN


BERBAHAYA BERACUN

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

a. Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang


Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun telah diatur ketentuan mengenai Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun.

b. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Persyaratan Teknis Pengelolaan
Limbah Berbahaya dan Beracun;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2528);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan


Berbahaya Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3551) yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1995 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 3595);

4. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


TENTANG PERSYARATAN TEKNIS PENGOLAHAN LIMBAH BERBAHAYA
DAN BERACUN

Pasal 1

Pengelolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah proses untuk
mengubah karateristik dan komposisi limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau
tidak beracun.

Pasal 2

Persyaratan pengolahan limbah B3 meliputi persyaratan :


a. Lokasi pengolahan limbah B3;
b. Fasilitas pengolahan limbah B3;
c. Penanganan limbah B3 sebelum diolah;
d. Pengolahan limbah B3;
e. Hasil pengolahan limbah B3

Pasal 3

Persyaratan teknis pengolahan limbah B3 Meliputi;


a. fisika dan kimia
b. stabilitasi/solidifikasi;
c. insinerasi.

Pasal 4

Ketentuan pengolahan dan persyaratan teknis pengolaan limbah B3 sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan
ini.

Pasal 5

Setiap penanggungjawab kegiatan pengolah limbah B3 yang berhubungan langsung


denga pengolahan limbah B3 wajib:
a. mempunyai latar belakang pendidikan tentang pengelolaan limbah B3; atau
b. pernah mengikuti pelatihan pengelolaan limbah B3;

Pasal 6

Setiap karyawan/operator yang langsung berhubungan dengan unit operasi


pengolahan limbah B3 wajib mengikuti pelatihan pengolahan limbah B3.
Pasal 7

Pengolah limbah B3 wajib membuat dan menyampaikan laporan tentang pengolahan


limbah B3 secara berkala sekurang-kurangnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali
kepada Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan tembusan
Bupati/Walikotamadya kepala Daerah Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I yang bersangkutan, tentang;
a. Jenis, karakteristik, jumlah timbunan limbah B3 dan waktu diterimanya limbah
B3;
b. Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu limbah B3 yang diolah;
c. Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu timbunan limbah B3 (cair dan/atau padat)
hasil pengolahan.
d. Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu limbah B3 yang ditimbun (landfill);

Pasal 8

Setiap pengolah limbah B3 wajib melakukan pemantauan terhadap baku mutu limbah
yang dihailkan dari kegiatan yang dilakukan.

Pasal 9

Hasil pemantauan terhadap baku mutu limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
wajib dilaporkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan dengan tembusan Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

Pasal 10

Persyaratan teknis pengolahan yang belum diatur dalam keputusan ini akan diatur
kemudian.

Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal : 5 September 1995

Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan,

Sarwono Kusumaatmadja
Keputusan Kepala Bapedal No. 4 Tahun 1995
Tentang : Tata Cara Pesyaratan Penimbunan Hasil
Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan,
Dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : 5 KEP-04/BAPEDAL/09/1995
Tanggal : 5 SEPTEMBER 1995 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994


tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun telah diatur ketentuan mengenai Tata
Cara dan Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi
Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun;
bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Tata Cara dan
Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas
Pengolahan dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;

Mengingat :

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG TATA CARA DAN PERSYARATAN PENIMBUNAN HASIL
PENGOLAHAN, PERSYARATAN LOKASI BEKAS PENGOLAHAN,
DAN LOKASI BEKAS PENIMBUNAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN

Pasal 1

Penimbunan hasil pengolahan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


adalah tindakan membuang dengan cara penimbunan, dimana penimbunan
tersebut dirancang sebagai tahap akhir dari pengelolaan limbah B3 sesuai
dengan karakteristiknya.

Pasal 2

Tata Cara dan Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi


Bekas Pengolahan dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah B3 adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 3

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
Pada Tanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

Sarwono Kusumaatmaja

_________________________________
KEPUTUSAN

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


NOMOR: KEP- 05 /BAPEDAL/09/1995

TENTANG

SIMBOL DAN LABEL LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang a. bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994


tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun telah diatur ketentuan mengenai
Simbol dan Label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan


Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Simbol dan Label
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

Mengingat 1. Undang-undang Nomor.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah


Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3351) yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang Perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);

4. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


TENTANG SIMBOL DAN LABEL LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.

Pasal 1

Simbol adalah gambar yang menyatakan karakteristik limbah B3.

Pasal 2

Label adalah tulisan yang menunjukkan antara lain karakteristik dan jenis limbah B3.
Pasal 3

Tata cara pemasangan simbol dan label limbah B3 adalah sebagaimana dimaksud dalam lampiran
keputusan ini.

Pasal 4

Setiap kemasan atau tempat/wadah untuk penyimpanan, pengolahan, pengumpulan, pemanfaatan


limbah B3 wajib diberi simbol dan label yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3.

Pasal 5

Apabila limbah B3 dalam satu kemasan mempunyai lebih dari satu karakteristik (mudah meledak,
mudah terbakar, reaktif, beracun, menyebabkan infeksi dan korosif) wajib dilakukan pengujian
karakteristik limbah B3.

Pasal 6

Pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan berdasarkan hasil uji
karakteristik yang paling dominan.

Pasal 7

Dalam hal hasil uji karakteristik limbah B3 menunjukkan karakteristik yang sama diberikan simbol dan
label campuran, sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini.

Pasal 8

Pencetakan Simbol dan Label dilakukan sesuai dengan lampiran keputusan ini.

Pasal 9

Simbol dan Label untuk keperluan ekspor akan ditetapkan kemudian.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan : di Jakarta
PadaTanggal : 5 September 1995
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

ttd

Sarwono Kusumaatmadja.
Lampiran : Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor : Kep- 05 /Bapedal/09/1995
Tanggal : 5 September 1995

SIMBOL DAN LABEL LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

1. PENDAHULUAN

Pengemasan, penyimpanan, pengumpulan, pengolahan, dan pengangkutan limbah B3 harus


dilakukan dengan cara yang aman bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan. Faktor penting yang
berhubungan dengan keamanan ini adalah penandaan pada tempat penyimpanan, pengumpulan,
pengolahan serta pada setiap kemasan dan kendaraan pengangkut limbah B3.

Penandaan limbah B3 dimaksudkan untuk memberikan identitas limbah sehingaa kehadiran limbah
B3 dalam suatu tempat dapat dikenali. Melalui penandaan dapat diketahui informasi dasar tentang
jenis dan karakteristik/sifat limbah B3 bagi orang, yang melaksanakan pengelolaan (menyimpan,
mengangkut, mengumpulkan, memanfaatkan, dan mengolah) limbah B3 dan bagi pengawas
pengelolaan limbah B3 serta bagi orang disekitarnya. Penandaan terhadap limbah B3 sangat penting
guna menelusuri dan menentukan pengolahan limbah B3. Tanda yang digunakan untuk penandaan
ada 2 (dua) jenis yaitu, simbol dan label.

2. SIMBOL
2.1. Bentuk Dasar, Ukuran, dan Bahan.

Simbol berbentuk bujur sangkar diputar 45 derajat sehingga membentuk belah ketupat. Pada
keempat sisi belah ketupat tersebut dibuat garis sejajar yang menyambung sehingga membentuk
bidang belah ketupat dalam dengan ukuran 95 persen dari ukuran belah ketupat bahan. Warna garis
yang membentuk belah ketupat dalam sama dengan warna gambar simbol. Pada bagian bawah
simbol terdapat blok segilima dengan bagian atas mendatar dan sudut terlancip berhimpit dengan
garis sudut bawah belah ketupat bagian dalam. Panjang garis pada bagian sudut terlancip adalah
1/3 dari garis vertikal simbol dengan lebar 1/2 dari panjana garis horizontal belah ketupat dalam
(gambar 1).

Simbol yang dipasang pada kemasan minimal berukuran 10 cm x 10 cm, sedangkan simbol pada
kendaraan pengangkut limbah B3 dan tempat penyimpanan limbah B3 minimal 25 cm x 25 cm.

Simbol harus dibuat dari bahan yang tahan terhadap goresan dan atau bahan kimia yang
kemungkinan akan mengenainya. Warna simbol untuk dipasang di kendaraan pengangkut limbah B3
harus dengan cat yang dapat berpendar (fluorescence).

A B

A
45o

Gambar 1. Bentuk dasar simbol


2.2. Jenis-Jenis Simbol

Setiap simbol adalah satu gambar tertentu untuk menandakan sifat/karakteristik bahaya limbah B3
dalam suatu penaemasan, penyimpanan dan pengumpulan atau pengangkutan.

Terdapat 8 (delapan) jenis simbol. yaitu:

a. Simbol klasifikasi limbah B3 mudah meledak

Warna dasar bahan oranye. Simbol berupa gambar berwarna hitam suatu materi limbah yang
menunjukkan meledak, yang terletak ditepi antara sudut atas dan sudut kiri belah ketupat bagian
dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “MUDAH MELEDAK” berwarna hitam yang diapit oleh 2
(dua) garis sejajar berwarna hitam sehingga membentuk 2 (dua) bangun segitiga sama kaki pada
bagian dalam belah ketupat. Blok segilima berwarna merah.

MUDAH MELEDAK

Gambar 2. Simbol untuk limbah B3 karakteristik mudah meledak.

b. Simbol klasifikasi limbah mudah terbakar

Terdapat 2 (dua) macam simbol untuk klasifikasi limbah yang mudah terbakar, yaitu simbol untuk
cairan mudah terbakar dan padatan mudah terbakar :

1) Simbol cairan mudah terbakar

Bahan dasar berwarna merah. Gambar simbol berupa lidah api berwarna putih yang menyala
pada suatu permukaan berwarna putih. Gambar terletak di bawah sudut atas garis ketupat
bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “CAIRAN” dan bawahnya terdapat tulisan
“MUDAH TERBAKAR” berwarna putih. Blok segilima berwarna putih.

2) Simbol padatan mudah terbakar.

Dasar simbol terdiri dari warna merah dan putih yang berjajar vertikal berselingan. Gambar
simbol berupa lidah api berwarna hitam yang menyala pada satu bidang berwarna hitam. Pada
bagian tengah terdapat tulisan “PADATAN” dan dibawahnya terdapat tulisan “MUDAH TERBAKAR”
berwarna hitam. Blok segilima berwarna kebalikan warna dasar simbol.
CAIRAN PADATAN
MUDAH TERBAKAR MUDAH TERBAKAR

Gambar 3. Simbol limbah B3 klasifikasi mudah terbakar

c) Simbol klasifikasi limbah B3 reaktif

Bahan dasar berwarna kuning dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa lingkaran
hitam dengan asap berwarna hitam mengarah ke atas yang terletak pada suatu permukaan garis
berwarna hitam. Di sebelah bawah gambar simbol terdapat tulisan “REAKTIF” berwarna hitam.

REAKTIF

Gambar 4. Simbol limbah B3 klasifikasi reaktif

d) Simbol klasifikasi limbah B3 beracun.

Bahan dasar berwarna putih dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa tengkorak
manusia dengan tulang bersilang berwarna hitam. Garis tepi simbol berwarna hitam. Pada
sebelah bawah gambar simbol terdapat tulisan “BERACUN” berwarna hitam.

BERACUN

Gambar 5. Simbol limbah B3 klasifikasi beracun


e) Simbol klasifikasi limbah B3 korosif.

Belah ketupat terbagi pada garis horizontal menjadi dua bidang segitiga. Pada bagian atas yang
berwarna putih terdapat 2 gambar, yaitu di sebelah kiri adalah gambar tetesan limbah korosif
yang merusak pelat bahan berwarna hitam, dan di sebelah kanan adalah gambar lengan yang
terkena tetesan limbah korosif. Pada bagian bawah, bidang segitiga berwarna hitam, terdapat
tulisan “KOROSIF” berwarna putih, serta blok segilima berwarna merah.

KOROSIF

Gambar 6. Simbol limbah B3 klasifikasi korosif

f) Simbol klasifikasi limbah B3 menimbulkan infeksi

Warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna
hitam. Simbol infeksi berwarna hitam terletak di sebelah bawah sudut atas garis belah ketupat
bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “INFEKSI” berwarna hitam dan dibawahnya
terdapat blok segilima berwarna merah.

INFEKSI

Gambar 7. Simbol limbah B3 klasifikasi menyebabkan infeksi

g) Simbol limbah B3 klasifikasi campuran

Warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna
hitam. Gambar simbol berupa tanda seru berwarna hitam terletak di sebelah bawah sudut atas
garis belah ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan “CAMPURAN” berwarna
hitam dan serta segilima berwarna merah.
CAMPURAN

Gambar 8. Simbol limbah B3 karakteristik campuran

2.3. Ketentuan Pemasangan Simbol

a. Simbol pada kemasan limbah

Simbol yang dipasang pada kemasan limbah B3 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1) Jenis simbol yang dipasang harus sesuai dengan karakteristik limbah yang dikemasnva.
Jika suatu limbah memiliki karakteristik lebih dari satu, maka simbol yang, dipasang
adalah simbol dari karakteristik yang dominan. sedangkan jika terdapat lebih dari satu
karakteristik dominan (predominant maka kemasan harus ditandai dengan simbol
karakteristik campuran (gambar 8)
2) Ukuran minimum yang dipasang adalah 10 cm x 10 cm atau lebih besar sesuai dengan
ukuran kemasan yang digunakan,
3) Terbuat dari bahan yancr tahan terhadap goresan atau bahan kimia yang mungkin
mengenainya (misalnya bahan plastik, kertas atau plat logam) dan harus melekat kuat
pada permukaan kemasan;
4) Dipasang pada sisi-sisi kemasan yang tidak terhalang oleh kemasan lain dan mudah
dilihat;
5) Simbol tidak boleh terlepas atau dilepas dan diganti dengan simbol lain sebelum kemasan
dikosongkan dan dibersihkan dari sisa-sisa limbah B3;
6) Kemasan yang telah dibersihkan dari limbah B3 dan akan dipergunakan kembali untuk
mengemas limbah B3 harus diberi label 'KOSONG' (gambar 10).

b. Simbol pada kendaraan pengangkut limbah B3

Simbol yang dipasang pada kendaraan pengangkut limbah B3 harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1) Jenis simbol yang dipasang harus satu macam simbol yang sesuai dengan karakterstik
limbah yang diangkutnya;
2) Ukuran minimum yang dipasang adalah 25 cm x 25 cm atau lebih besar, sebanding dengan
ukuran boks pengangkut yang ditandainya;
3) Terbuat dari bahan yang tahan terhadap goresan, air hujan atau bahan kimia yang mungkin
mengenainya (misalnya bahan plastik, kertas atau plat logam) serta menggunakan bahan
warna simbol yang dapat berpendar (fluorescence),
4). Dipasang di setiap sisi boks pengangkut dan dibagian muka kendaraan serta harus dapat
terlihat dengan jelas dari jarak- lebih kurang 30 meter-,
5) Simbol tidak boleh dilepas atau diganti dengan simbol lain sebelum muatan limbah B3
dikeluarkan serta kendaraan telah dibersihkan dari sisa limbah B3 yang tertinggal.
c. Simbol pada tempat penyimpanan limbah B3.

Gudang tempat penyimpanan limbah B3 harus ditandai dengan simbol yang mengikuti ketentuan
sebagai berikut :

1) simbol dipasang pada setiap pintu tempat penyimpanan limbah B3 dan bagian luar dinding yang
tidak terhalang;
2) jenis simbol yang dipasang harus sesuai dengan karakteristik-karakteristik limbah yang
disimpannya;
3) ukuran minimum yang dipasang adalah 25 cm x 25 cm atau lebih besar, sehingga tulisan pada
simbol dapat terlihat jelas dari jarak 20 meter;
4) terbuat dari bahan yang tahan terhadap goresan atau bahan kimia yang mungkin mengenainya
(misalnya bahan plastik, keetas atau plat logam);
5) selama tempat penyempanan masih difungsikan, simbol tidak boleh terlepas atau dilepas atau
diganti dengan simbol lain kecuali jika akan digunakan untuk menyimpan limbah B3 dengan
karakteristik yang berlainan.

3. LABEL

Label merupakan penandaan lengkap yang berfungsi memberikan informasi dasar mengenai kondisi
kualitatif dan kuantitatif dari suatu limbah dalam kemasan suatu kemasan limbah B3. Label identitas
Limbah berukuran minimum 15 cm x 20 cm atau lebih besar, dengan warna dasar kuning dan tulisan
serta garisan tepi berwarna hitam, dan tulisan “PERINGATAN !” dengan huruf yang lebih besar
berwarna merah (gambar 9)

Gambar 9. Label identitas limbah


2) Pengisian label identitas limbah

Label diisi dengan huruf cetak yang jelas terbaca dan tidak mudah terhapus serta dipasang pada
setiap kemasan limbah B3 yang disimpan di tempat penyimpanan. Wajib mencantumkan identitas
sbb:

PENGHASIL : nama perusahaan yang menghasilkan limbah dalam kemasan


ALAMAT : alamat jelas perusahaan di atas, termasuk kode wilayah
TELP : nomor telepon penghasil, termasuk kode area
FAX : nomor facsimile penghasil, termasuk kode area
NOMOR PENGHASIL : nomor yang diberikan Bapedal kepada penghasil ketika
melaporkan
TGL. PENGEMASAN : data waktu saat pengemasan dilakukan
JENIS LIMBAH : keterangan limbah berkaitan dengan fasa atau kelompok jenisnya
(cair/padat/sludge,anorganik/organik, dll.)
JUMLAH LIMBAH : jumlah total kuantitas limbah dalam kemasan (ton/kg/m3)
KODE LIMBAH : kode limbah yang dikemas, didasarkan pada daftar limbah B3 dalam
lampiran PP 19 th. 1994
SIFAT LIMBAH : karakteristik limbah yang dikemas (sesuai simbol yang dipasang)
NOMOR : nomor urut pengemasan

3) Pemasangan label identitas limbah

Label Identitas Limbah dipasang pada kemasan di sebelah atas simbol dan harus terlihat dengan
jelas. Label ini juga harus dipasang pada kemasan yang akan dimasukkan ke dalam kemasan yang
lebih besar.

b. Label untuk Penandaan Kemasan Kosong

1) Bentuk, warna dan ukuran

Bentuk dasar label sama dengan bentuk dasar simbol dengan ukuran sisi minimal 10 x 10 cm2 dan
tulisan "KOSONG" berwarna hitam ditengahnya. (gambar 10)

KOSONG

Gambar 10. Label untuk penandaan kemasan limbah B3 kosong

2) Pemasangan

Label harus dipasang pada kemasan bekas pengemasan limbah B3 yang, telah dikosongkan dan atau
akan digunakan kembali untuk mengemas limbah B3.
c. Label Penunjuk Tutup Kemasan

1) Bentuk, warna dan ukuran

Label berukuran minimal 7 x 15 cm2 dengan warna dasar putih dan warna gambar hitam.
Gambar terdapat dalam frame hitam, terdiri dari 2 (dua) buah anak panah mengarah ke atas
yang berdiri sejajar di atas balok hitam. Label terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak karena
goresan atau akibat terkena limbah dan bahan kimia lainnya.

2) Pemasangan

Label dipasang dekat tutup kemasan dengan arah panah menunjukkan posisi penutup kemasan.
Label harus terpasang kuat pada setiap kemasan limbah B3, baik yang telah diisi limbah B3,
maupun kemasan yang akan digunakan untuk mengemas limbah.

Gambar 11. Label penandaan posisi tutup kemasan limbah B3.


Keputusan Kepala Bapedal No. 255 Tahun 1996
Tentang : Tata Cara Dan Persyaratan Penyimpanan
Dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang :
a. bahwa penyimpanan, pengumpulan, dan pengangkutan minyak
pelumas bekas umumnya dilakukan oleh badan usaha skala kecil;
b. bahwa dalam penyimpanan dan pengumpulan minyak pelumas bekas
perlu diatur tata cara dan pengumpulan pelumas bekas;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang
Tata Cara Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas;

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara
Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3595);
3. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
4. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
68/05/1994 tentang Tatacara Memperoleh Izin Penyimpanan,
Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan, Pengolahan, dan
Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
5. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor
01/09/1995 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan
dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
Memperhatikan :
1. Rapat tanggal 6 Agustus 1996 yang dipimpin Menteri Koordinator
Produksi dan Distribusi yang dihadiri oleh Menteri Negara Lingkungan
Hidup/ Kepala Bapedal, Menteri Keuangan, Menteri Pertambangan dan
Energi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
2. Rapat tanggal 9 Agustus 1996 di Kantor Menko Bidang Produksi dan
Distribusi, yang menghasilkan kesepakatan bersama untuk mengatur
penanganan minyak pelumas bekas dengan keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG TATA CARA PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN MINYAK PELUMAS
BEKAS;

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Oli bekas atau Minyak Pelumas Bekas selanjutnya disebut Minyak
Pelumas Bekas adalah sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses
produksi;
2. Badan Usaha adalah orang perorangan atau kelompok usaha yang
berbentuk badan hukum;
3. Pengumpul adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan dari penghasil minyak pelumas bekas dengan maksud
untuk diolah/dimanfaatkan;
4. Pengumpulan dan Penyimpanan adalah rangkaian proses kegiatan
pengumpulan minyak pelumas bekas sebelum diserahkan ke pengolah
atau pemanfaat minyak pelumas bekas.
BAB II
TATACARA PENYIMPANAN

Pasal 2
Tatacara penyimpanan minyak pelumas bekas harus memperhatikan :
a. karakteristik pelumas bekas yang disimpan;
b. kemasan harus sesuai dengan karakteristik pelumas bekas dapat
berupa drum atau tangki;
c. pola penyimpanan dibuat dengan sistem blok, sehingga dapat
dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap setiap kemasan jika
terjadi kerusakan dan apabila terjadi kecelakaan dapat segera
ditangani;
d. lebar gang antar blok harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat
digunakan untuk lalu lintas manusia, dan kendaraan pengangkut
(forklift);
e. penumpukan kemasan harus mempertimbangkan kestabilan tumpukan
kemasan. Jika berupa drum (isi 200 liter), maka tumpukan maksimum
3 (tiga) lapis dengan tiap lapis dialasi dengan palet dan bila tumpukan
lebih dan 3 (tiga) lapis atau kemasan terbuat dan plastik, maka harus
dipergunakan rak;
f. lokasi peyimpanan harus dilengkapi dengan tanggul disekelilingnva
dan dilengkapi dengan saluran pembuangan meriuju bak
penampungan yang kedap air . Bak penampungan dibuat mampu
menampung 110 % dari kapasitas volume drum atau tangki yang ada
di dalam ruang penyimpanan, serta tangtki harus diatur sedemikian
sehingga bila terguling tidak akan menimpa tangki lain;
g. mempunyai tempat bongkar muat kemasan yang memadai dengan
lantai yang kedap air.

BAB III
PERSYARATAN BANGUNAN PENGUMPULAN

Pasal 3
(1) Pengumpul minyak pelumas bekas wajib memenuhi persyaratan
a. memiliki fasilitas untuk penanggulangan terjadinya kebakaran,
dan peralatan komunikasi;
b. konstruksi bahan bangunan disesuaikan dengan karakteristik
pelumas bekas;
c. lokasi tempat pengumpulan bebas banjir;
(2) Persyaratan bangunan pengumpulan;
a. lantai harus dibuat kedap terhadap minyak pelumas bekas,
tidak bergelombang, kuat dan tidak retak;
b. konstruksi lantai dibuat melandai turun ke arah bak
penampungan dengan kemiringan maksimum 1 %;
c. bangunan harus dibuat khusus untuk fasilitas pengumpulan
minyak pelumas bekas;
d. rancang bangun untuk penyimpanan/pengumpulan dibuat
beratap yang dapat mencegah terjadinya tampias air hujan ke
dalam tempat penyimpanan atau pengumpulan;
e. bangunan dapat diberi dinding atau tanpa dinding, dan apabila
bangunan diberi dinding bahan bangunan dinding dibuat dari
bahan yang mudah didobrak.

BAB IV
KEWAJIBAN PENGUMPUL MINYAK PELUMAS BEKAS

Pasal 4
Pengumpul minyak pelumas bekas wajib :
a. mempunvai izin dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
b. membuat catatan tentang penerimaan dan pengirim minyak pelumas
bekas kepada pengolah atau pemanfaat;
c. mengisi formulir permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam
lampiran keputusan ini;

BAB V
SYMBOL DAN LABEL, DOKUMEN DAN REGISTRASI

Pasal 5
(1) Setiap penggangkutan minyak pelumas bekas wajib dilengkapi dengan
dokumen limbah dan mengajukan nomor regisirasi dokumen pelumas
bekas sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-02/Bapedal/09/1995
tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
(2) Setiap alat angkut minyak pelumas bekas wajib dilengkapi dengan
simbol dan label;
(3) Setiap kemasan atau tempat/wadah untuk kegiatan
penyimpanan/pengumpulan pelumas bekas wajib diberi simbol dan
label yang menunjukkan karakteristik minyak pelumas bekas.

BAB VI
PELAPORAN

Pasal 6
Pengumpul minyak pelumas bekas wajib melaporkan kegiatan yang
dilakukannya kepada Badan Pengendalian Dampak lingkungan dengan
tembusan Bupati/Walikotamadya Daerah Tingkat II dan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I yang bersangkutan, sekurang-kurangnya sekali dalam 3
(tiga) bulan.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 7
Bagi setiap badan usaha yang telah melakukan kegiatan pengumpulan
minyak pelumas bekas sebelum ditetapkannya keputusan ini, wajib
mentaatinya selambat- lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak
ditetapkannya Keputusan ini;

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 8
Ketentuan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal: 2 Agustus 1996
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Sarwono Kusumaatmadja
Tembusan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth.
1. Menteri Pertambangan Dan Energi
2. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
3. Bupati/Wali Kota Madya Daerah Tingkat II

__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 2 Tahun 1998
Tentang : Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di Daerah

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : KEP-02/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 JANUARI 1998 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang :

bahwa untuk pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah bahan berbahaya


dan beracun di Daerah dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang tata laksana pengawasan
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun di Daerah;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Linkungan


Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan


Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994
Nomor 26,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3551) yang telah
dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan Beracun
( Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24,Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3595);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1998 tentang kordinasi


Kegiatan Instansi vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 3595);
5. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

6. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor


Kep – 135 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah;

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINKUNGAN TENTANG
TATA LAKSANA PENGAWASAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA
DAN BERACUN DI DAERAH.

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan yang selanjutnya dalam
Keputusan ini disebut BAPEDAL, adalah Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang berkedudukan di bawah dan Bertanggung jawab
langsung kepada presiden.
2. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah yang selanjutnya
dalam keputusan ini disebut BAPEDAL WILAYAH, adalah unsur
pelaksana sebagian tugas dan fungsi BAPEDALyang verada dibawah
dan bertanggung jawab kepada kepala BAPEDAL.
3. Pemerintah Daerahadalah Pemerintah di Daerah Tingkat I dan daerah
Tingkat II.
4. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah tingkat I, disingkat
Bapedalda Tingkat I adalah perangkat daerah yang bertugas
membantu Gubernur Kepala Daerah dalam melakukan pembinaan dan
kordinasi pelaksana pengendalian dampak lingkungan oleh Bapedal
Daerah Tingkat I di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang
bersangkutan.
5. Badan pengendalian Dampak Lingkungan daerah Tingkat II, disingkat
Bapedal Tingkat II adalah perangkat Daerah yang bertugas membantu
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah dalam melaksanakan
pengendalian dampak lingkungan di Wilayah Daerah Tingkat II yang
Bersangkutan.
6. Limbah Bahan Berbahaya Beracun, disingkat Limbah B3 adalah setiap
limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang
karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau
mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan
kesehatan manusia.
7. Pengelolaan Limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan
tersebut.
8. Pengawasan adalah upaya yang meliputi pemantauan penaatan
persyaratan serta ketentuan teknis dan administrasi oleh penghasil,
pemanfaat, pengumpul, pengolah termasuk penimbun limbah bahan
berbahaya dan beracun.
9. Badan Usaha adalah orang perorangan, atau kelompok usaha yang
berbentuk badan hukum yang melakukan pengelolaan limbah B3.
10. Pemantauan adalah kegiatan pengecekan persyaratan-persyaratan
teknis administratif oleh penghasil, pengumpul, pemanfaat, pengolah
termasuk penimbun limbah B3.

Pasal 2

Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 dilakukan oleh Pemerintah


Daerah Tingkat II yang meliputi :
a. Memasyarakatka peraturan tentang pengelolaan limbah B3;
b. Melakukan inventarisasi Badan Usaha yang menghasilkan limbah B3;
c. Inventarisasi Badan Usaha yang memanfaatkan limbah B3;
d. Inventarisasi Badan Usaha yang melakukan pengolahan dan
penimbunan limbah B3;
e. Membantu BAPEDAL dalam pemantauan terhadap Badan Usaha yang
diberikan izin pengelolaan limbah B3 oleh BAPEDAL dari
kegiatan/usaha terlampir dalam Keputusan ini 2 (dua) kali dalam
setahun;
f. Memberikan teguran peringatan pertama terhadap kegiatan/usaha
dalam lampiran Keputusan ini yang tidak menaati ketentuan-
ketentuan dalam pengelolaan limbah B3 dan teguran berikutnya serta
penerapan sanksi oleh BAPEDAL;
g. Melaporkan kepada BAPEDAL cq. Direktorat Pengelolaan Limbah B3
lokasi penimbunan dan pembuangan limbah B3 di daerah yang tidak
memenuhi ketentuan.

Pasal 3

Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh Pemerintah


Daaerah Tingkat I yang meliputi :
a. Penghasil limbah B3 yang berpotensi mengakibatkan pencemaran
yang melintasi lintas batas Tingkat II menjadi tugas dan tanggung
jawab Tingkat I untuk mengawasinya.
b. Mengkoordinasikan pemasyarakatan peraturan tentang pengelolaan
limbah B3 kepada Bapedalda Tingkat II di wilayah yang
bersangkutan.
c. Penghasil limbah B3 yang berpotensi mengakibatkan pencemaran
yang melintasi batas Tingkat I menjadi tugas dan tanggung jawab
Bapedal Wilayah untuk mengawasinya.

Pasal 4

(1) Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh


BAPEDAL WILAYAH yang meliputi :
a. Mengkoordinasikan pemasyarakatan peraturan tentang
pengelolaan limbah B3;
b. Mengkoordinasikan pemberian bimbingan teknis laboratorium
dan penjelasan pedoman-pedoman pengelolaan limbah B3;
c. Mengkoordinasikan pemberian bimbingan teknis dan penjelasan
pengisian formulir tata cara permohonan izin pengelolaan
limbah B3 kepada Pemerintah Daerah;
d. Atas permintaan Direktorat Pengelolaan Limbah B3 membantu
Direktorat Pengelolaan Limbah B3 dalam upaya pemantauan
pelaksanaan perizinan pengelolaan limbah B3 bersama-sama
Direktorat Pengelolaan Limbah B3;
e. Membantu Direktorat Pengelolaan Limbah B3 dalam upaya
pemantauan terhadap masuknya limbah B3 di pelabuhan
setempat atas permintaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

(2) Pengawasan pengelolaan limbah B3 di Pulau Jawa dan Pulau


Kalimantan dilakukan oleh Bapedal.

Pasal 5

Pemerintah Daerah dan Bapedal Wilayah wajib melaporkan kegiatan yang


dilakukannya kepada Bapedal cq. Direktorat Pengelolaan Limbah B3
sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan.

Pasal 6

Segala biaya yang timbul akibat keputusan ini dibebankan :

(1) Di Tingkat Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan


Belanja Daerah yang bersangkutan dan/atau sumber pembiayaan
lainnya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

(2) BAPEDAL dibebankan kepada Anggaran Rutin dan Proyek BAPEDAL


dan/atau sumber pembiayaan lainnya berdasarkan perundang-
undangan yang berlaku.
(3) BAPEDAL WILAYAH dibebankan kepada Anggaran Rutin BAPEDAL
WILAYAH dan/atau sumber pembiayaan lainnnya berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan ditentukan kemudian.

Pasal 8

Keputusan ini berlakuk sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Januari 1998

Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan Keputusan ini disampaikan kepada :

1. Menteri Dalam Negeri


2. Menteri Negara Perencanaan Pembangungan Nasional/Ketua Bappenas
3. Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Seluruh Indonesia
4. Para Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II seluruh
Indonesia
5. Para Kepala Bapedal Wilayah I, II dan III

Lampiran : Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan


Nomor : KEP-02/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 Januari 1998
JENIS KEGIATAN DAN/ATAU USAHA

NO KEGIATAN DAN/ATAU USAHA

1 Percetakan
2. Bengkel-bengkel
3. Cuci cetak film
4. Pengumpul minyak pelumas bekas
5. Penyamakan kulit
6. Rumah sakit tipe C dan D
7. Laboratorium
8. Pengelolaan pestisida kadaluarsa
9. Binatu (Laundry & Dry Cleaning)

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal: 23 Januari 1998

Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 02/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 Januari 1998

JENIS KEGIATAN DAN/ATAU USAHA

Ditetapkan : di Jakarta
Pada Tanggal : 23 Januari 1998

Kapala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

______________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 03 Tahun 1998
Tentang : Program Kemitraan Dalam Pengelolaan Bahan
Berbahaya Dan Beracun

Kepala Badan Pengendalian dampak Lingkungan,

Menimbang :
a. Bahwa sebagai upaya pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran lingkungan adalah dengan meningkatnya penataan terhadap
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup;
b. Bahwa dalam rangka penataan terhadap peraturan perundang-undangan dapst
dilakukan dengan upaya kemitraan dengan badan usaha penghasil limbah bahan
berbahaya dan beracun;
c. Bahwa dalam rangka peningkatan penataan dalm butir (b) dipandang perlu untuk
meningkatkan kemampuan aparat pemerintah di daearh dalam pengawasan
pengelolaan limbah B3;
d. Bahwa untuk mendorong peningkatan penataan dalam butir (b) dipandang perlu
untuk mengambil langkah berupa pemberian insentif dan disentif;
e. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu ditetapkan Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Program Kemitraan
dalam Pengelolaan Limbah B3;

Mengingat :
1. Undang-undang nomer 5 tahun 1974 tenang ketentuan-ketentuan pokok
pemerintahan di daerah (Lembar Negara nomor 38,Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3037);
2. Undang-undang nomer 5 tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara
nomor 22 tahun 1984, Tambahan Lembaran Negara nomor 3274);
3. Undang-undang nomer 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup
(Lembaran Negara tahun 1997 nomor 68, tambahan Lembaran Negara nomor
3699);
4. Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi
Vertikal di daerah (Lembaran Negara tahun 1988 nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara nomor 3573);
5. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah B3
(Lembaran Negara tahun 1994 nomor 26, Tambahan Lembaran Negara nomor
3551) yang telah diubah dengan PP nomor 12 tahun 1994 tentang Pengelolaan
Limbah B3 (Lembaran Negara tahun 1995 nomor 24, tambahan lembaran negara
nomor 3595);
6. Keputusan Presiden nomor 77 tahun 1994 tentang badan Pengendalian dampak
Lingkungan;
7. Keputusan Kepala Bapedal nomor 68/05/1994 tentang Tata cara Memperoleh ijin
Penyimpanan, pengumpulan, pengoperasian alat pengolahan, dan penimbunan
akhir limbah B3;
8. Keputusan Kepala Bapedal nomor 01/09/1995 tentang tata cara dan persyaratan
teknis penyimpanan dan pengumpulan limbah B3;
9. Keputusan Kepala Bapedal nomor 02/09/1995 tentang Bentuk dokumen limbah
B3;
10. Keputusan Kepala Bapedal nomor 03/09/1995 tentang Tata cara Pengolahan
limbah B3;
11. Keputusan Kepala Bapedal nomor 04/09/1995 tentang Tata cara Penimbunan
limbah B3;
12. Keputusan Kepala Bapedal nomor 05/09/1995 tentang simbol dan label limbah
B3;
13. Keputusan Kepala Bapedal nomor 135 tahun 1995 tentang Organisasi dan tata
kerja Bapedal;
14. Keputusan Kepala Bapedal nomor 136 tahun 1995 tentang Organisasi dan tata
kerja Bapedal wilayah;

Memperhatikan :
Rapat Kerja Teknis Pengelolaan Limbah B3 pada tanggal 21-22 agustus 1997 di Jakarta

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BAPEDAL TENTANG PROGRAM KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN
LIMBAH B3

BAB I
Ketentuan Umum

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi;
2. Limbah Bahan Beracun dan Bebahaya disingkat B3 adalah setiap limbah yang
mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau
konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak dan tau mencemarkan lingkungan hidup dan atau membahayakan
keselamatan manusia;
3. Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah B3 termasuk
penimbunan hasil pengolahan tersebut;
4. Program kemitraan dalam pengeloaan limbah B3 yang selanjutnya disingkat
KENDALI B3 adalah program secara kebersamaan antara Bapedal, Pemerintah
daerah dan badan usaha dalam pengendalian limbah B3 dengan tujuan untuk
mengelola limbah B3 yang dihasikan secara baik dan benar;
5. Bahan usaha adalah orang perorangan atau kelompok usaha yang berbentuk
badan hukum;
6. Penghasil adalah badan usaha yang dalam kegiatannya menghasilkan limbah B3;
7. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan ;
8. Pemerintah daerah adalah Pemerintah daerah tingkat I dan Pemerintah daerah
tingkat II;
9. Gubernur dalah gubernur kepla daerah tingkat I. Gubernur kepala daerah khusus
atau gubernur kepala daerah istimewa;
10. Bupati/walikotamadya adalah perangkat daerah yang bertugas melaksanakan
pengendalian dampak lingkungan di wilayah daerah tingkat II yang bersangkutan.

BAB II
Asas tujuan dan sasaran

Pasal 2

(1) Program Kendali B3 berasaskan pelestarian fungsi lingkungan untuk menunjang


pembangunan uang berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

(2) Program Kendali B3 bertujuan :


a. terkendalinya pencemaran lingkungan ;
b. terkendalinya pembuangan limbah B3 ke lingkungan tanpa pengolahan;
c. mendorang pelaksanaan upaya minimalisasi limbah B3 melalui kegiatan
pengurangan limbah pada sumber, penggunaan kembali, daur ulang , dan
pemanfaatan kembali;
d. tercapainya kualitas lingkungan yang baik;
e. ditaatinya ketentuan – ketentuan pengelolaan limbah B3.

(3) Sasaran Program Kendali B3 :


a. terciptanya sistem pengelolaan limbah B3 yang berdaya guna dan berhasil
guna;
b. meningkatkan kemampuan aparat pemerintah baik di daearh maupun
pusat dalam pengawasan pengelolaan limbah B3.

BAB III
Peserta Program Kendali B3

Pasal 3

Peserta Program Kendali B3 adalah :


1. Badan usaha penghasil limbah B3 prioritas di setiap propinsi-propinsi yang
ditetapkan dengan keputusan kepala Bapedal;
2. Badan usaha penghasil limbah B3 baik secara sendiri-sendiri atau kelompok.
Badan usaha yang dengan sukarela mengjukan untuk turut serta dalam
program kendali B3;
3. Badan usaha penghasil limbah B3 yang diusulkan oleh Bapedal, Pemerintah
daearh berdasarkan kepentingan umum.
BAB IV
Tahapan Pelaksanaan

Bagian Pertama Penetapan

Pasal 4

(1) Langkah-langkah penetapan pesrta program Kendali B3 meliputi :


a. Identifikasi;
Identifikasi badan usaha yang berpotensi menghasilkan limbah B3 terutama
daftar 2 lampiran PP nomor 19 tahun 1994 JoPP nomor 12 tahun 1995
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan arahan dari Bapedal dan dibantu
Bapedalwil.
b. Daftar Pertanyaan;
Kepala Badan usaha yang berpotensi menghasilkan limbah B3 dikirimkan
daftar pertanyaan pengelolaan limbah B3 oleh Bapedal melalui Bapedalwil
atau Pemda.
c. Peninjauan Lapangan ;
Untuk memastikan kondisi pengelolaan limbah B3, maka dilakukan
kunjungan pemantauan awal oleh Bapedal bersama sama dengan Pemda.
d. Penetapan ;
Dari evaluasi daftar pertanyaan dan hasil kunjungan ditetapkan badan
usaha prioritas sebagai peserta program oleh Bapedal berdasrkan
identifikasi yang dilakukan oleh Pemda.

(2) Daftar pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf b


sebagaimana tersebut dalam lampiran I keputusan ini.

Bagian Kedua Penjelasan

Pasal 5

(1) Kepala badan usaha peserta program diberikan penjelasan tentang PP nomor 19
tahun 1994 Jo PP nomor 12 tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3 serta
petunjuk pelaksanaanya dan program Kendali B3

(2) Penjelasan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) ini diberikan Bapedal

Bagian Ketiga Penandatanganan Surat Pernyataan

Pasal 6

(1) Penandatanganan surat pernyataan kesanggupan badan usaha untuk melakukan


pengelolaan limbah B3 sesuai dengan ketentuan pengelolaan.
(2) Penandatangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pimpinan
badan usaha, disaksiakan oleh Kepala Bapedal.

Bagian Keempat Pembinaan

Pasal 7

(1) Selama 60 (enam puluh ) hari sejak penandatanganan surat pernyataan, Bapedal
bersama-sama dengan Bapedal wilayah I, Bapedal Wilayah II, dan Bapedal
Wilayah III menurut wilayah kewenangannya memberikan pembinaan teknis
kepada perusahaan peserta program Kendali B3

(2) Badan usaha peserta program Kendali B3 yang berada di Pulau Jawa dan
Kalimantan, pembinaannya dilakukan oleh Bapedal Pusat.

Bagian Keenam Evaluasi

Pasal 9

(1) Dari hasil pemantauan dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan limbah B3 yang
telah dilaksanakan oleh Badan usaha peserta program Kendali B3.

(2) bagi Badan usaha yang telah melakukan penataan diberikan penghargaan berupa
sertipikat pengelolaan limbah B3.

(3) Bagi badan usaha yang masih dalam tahap penyempurnaan pengelolaan limbah
B3 terus diberikan pembinaan

(3) Bagi badan usaha yang tidak melakukan pengelolaan limbah diberikan sangsi
sesuai dengan aturan yang ada dan diumumkan pada media massa.

Bagian Ketujuh Pemantauan dan Evaluasi

Pasal 10

Pemantauan dan evaluasi lanjutan sebagaimana dimaksud dalam pasl 8 dan pasal 9
dilakukan :
a. satu tahun sekali dilakukan oleh Bapedal bersama dengan Bapedalwil
b. (1) satu tahun sekali dilakukan oleh Bapedalda Tingkat I
c. (2) dua tahun sekali dilakukan oleh Bapedalda Tingkat II

BAB V
Pelaksana
Pasal 11

(1) Kendali B3 diselenggarakan oleh Bapedal yang pelaksanaannya dilakukan oleh


Direktorat Pengelolaan Limbah B3

(2) Pelaksanaan Kendali B3 dibantu oleh Pemda dalam hal :


a. identifikasi perusahaan yang berpotensi menghasilkan limbah B3 di
daearhnya
b. Pemantauan terhadap badan usaha peserta Kendali B3
c. evaluasi hasil pemantauan lapangan persrta program Kendali B3 untuk
selanjutnya dilaporkan kepada Bapedal

BAB VI
Pemberian Penghargaan

Pasal 12

(1) Kepala bapedal memberikan penghargaan berupa sertipikat Kendali B3 kepada


badan usaha yang melaksanakan pengelolaan limbah B3 dengan kinerja yang
sangat baik

(2) Pemberian penghargaan diberikan berdasarkan :


a. Kriteria dan tatalaksana yang ditetapkan dalam lampiran III keputusan ini.
b. Hasil evaluasi dan pemantauan sebagaimana yang diterapkan dalam pasal
4.

BAB VII
Pembiayaan

Pasal 13

Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan program Kendali B3 :


1. di tingkat pusat dibebankan kepada APBN dan atau sumber pembiayaan lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. di tingkat daerah dibebankan kepada APBD dan atau sumber pembiayaan lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Bagi badan usaha sebagaiman dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) dibebankan
kepada anggaran badan usaha yang bersangkutan.

BAB VIII
Pelaporan
Pasal 14

(1) Bupati/ Walikotamadya melalui gubernur melaporkan pelaksanaan program


Kendali B3 di daearh kepda kepala Bapedal

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala
sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun

Pasal 15

(1) Kepala bapedal wajib melaporkan pelaksanaan program kendali B3 kepada


Menteri Lingkungna hidup sekurang-kurangnya sekali dalam setahun

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat digunakan sebagai
bahan evaluasi dan pertimbangan dalam penetapan kebijaksanaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup

BAB IX
Ketentuan Penutup

Pasal 16

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan : di Jakarta
Pada tanggal: 23 Januari 1998

Kepala Bapedal

ttd
Sarwono Kusumaatmaja

Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth.


1. Menteri Negara Lingkungan Hidup
2. Menteri Dalam Negeri
3. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
4. Bupati / Walikotamadya Daerah Tingkat II
LAMPIRAN I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. KEP-03/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 Januari 1998

DAFTAR PERTANYAAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN


Ditetapkan : di Jakarta
Pada Tanggal : 23 Januari 1998

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja

LAMPIRAN II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. KEP-03/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 Januari 1998

FORMULIR PEMANTAUAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN


FORMULIR A
PENYIMPANAN SEMENTARA
FORMULIR B
LANDFILL
FORMULIR C
INCENERATOR
FORMULIR D
PEMANFAATAN
FORMULIR E
DIOLAH OLEH PIHAK KETIGA
LAMPIRAN II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. KEP-03/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 Januari 1998

KRITERIA DAN TATALAKSANA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN


BERACUN

Nilai Kelompok Besar

KELOMPOK PERSENTASE NILAI


I. Umum 5
II. Indentifikasi Limbah B3 10
III. Minimisasi 5
IV. Penyimpanan Sementara 20
V. Pengolahan 50
VI. Emergency Response 10

100

PERINCIAN

I. Umum
Kriteria Nilai
1. Penanggungjawab pengelolaan limbah B3 Ada 1
Tidak ada 0
2. Sudah mengikuti kursus/pendidikan/permasyarakatan Sudah 1
Tentang pengelolaan limbah B3 Belum 0
3. Melaksanakan Pasal 9 PP 19 tentang pelaporan =2x1 tahun 2
<2x1 tahun 1
tidak pernah 0
4. Data lengkap 1
tidak lengkap 0

II. IDENTIFIKASI
Kriteria Nilai
1. Uji identifikasi limbah B3 - Melihat daftar 7,5
- Penentuan karakteristik
dng.lab+metode+hasil 7,5
dng.lab+metode 4
dng.lab 2
tanpa 0
jika terdaftar di daftar -1.5
- Uji toksikologi
dng.lab+metode+hasil 7,5
dng.lab+metode 4
dng.lab 2
tanpa 0
jika terdaftar di daftar -1.5
Data - Nama/jenis limbah
- Nomor Limbah
- Karakteristik
- Sumber
- Jumlah

III. MINIMISASI
Kriteria Nilai
Housekeeping Ada+keterangan 0.5
Preventive Maintenance Ada+keterangan 0.5
Segregasi Aliran Limbah Ada+keterangan 0.5
Optimasi Proses Produksi Ada+keterangan 0.5
Pengelolaan Bahan Ada+keterangan 0.5
Modifikasi Proses Produksi Ada+keterangan 0.5
Subtitusi Bahan Ada+keterangan 0.5
Teknologi Bersih Ada+keterangan 0.5
(termasuk Optimasi/Modifikasi proses)

Reuse/Recycle/Recovery Ada+keterangan 0.5


Lain-lain Ada+keterangan 0.5
IV. PENYIMPANAN SEMENTARA
Kriteria Nilai
1. Luas tempat penyimpanan Memadai 1.5
(dibandingkan dng. Jumlah timbulan)
Kurang memadai 0.5
2. Lokasi tempat penyimpanan Baik 1
(dilihat dari topografi dan lay out)
Kurang Baik 0.5
3. Konstruksi bangunan Sesuai dng.karakteristik 1
Tidak sesuai 0.5-0
4. Kondisi lantai Tidak bergelombang 0.5
Bergelombang 0
Kedap air 0.5
Tidak Kedap air 0
Tidak retak 0.5
Retak 0
5. Pemisah unit setiap karakteristik Ada, kondisi baik 1
Ada, kondisi kurang baik 0,5
Tidak ada 0
6. Bak Penampung Ada, kondisi baik 1
Ada, kondisi kurang baik 0,5
Tidak ada 0
7. Saluran terpisah Ada, kondisi baik 1
Ada, kondisi kurang baik 0,5
Tidak ada 0
8. Kemiringan lantai Baik 1
Kurang baik 0
9. Ventilasi Baik 0.5
Kurang baik 0
10. Penerangan Baik 0.5
Kurang baik 0
11. Penempatan sakelar Diluar ruang 0,5
Didalam ruang 0
12. Sarana yang dimiliki Setiap sarana 0,5
13. Kemasan Limbah baik 1
Tidak baik 0,5-0
14. Kemasan sesuai dengan karakteristik Ya 1
Tidak 0
15. Label Ada 1
Tidak ada 0
Simbol Ada 1
Tidak ada 0
16. Lamanya penyimpanan limbah <90 hari 1
>90 hari 0
V. PENGOLAHAN
1. Dilakukan pre treatment Dengan penjelasan 2
Tidak ada 0
A. LANDFILL
Kriteria Nilai
1. Mempunyai ijin penimbunan Ada(lengkap) 6
Tidak ada 0
2. Limbah yang ditimbun di landfill Sesuai ijin/layak untuk 2
ditimbun
Tidak sesuai ijin/tidak layak 0
Untuk ditimbun
3. Dilakukan TCLP Ya/sesuai persyaratan 2
Ya/belum sesuai 1
Tidak 0
4. Dilakukan stabilisasi/solidifikasi Ya/dpt.direct landfill 2
Tidak 0
5. Persyaratan lokasi Setiap syarat dipenuhi 1
6. Permeabilitas tanah <10¯? m/detik 2
>10¯? m/detik tetapi 2
menggunakan rekayasa
7. Jenis litologi batuan dasar Batuan sedimen berbutir 1
sangat halus
Tidak sesuai 0
8. Potensi Bencana Alam Tidak ada 1
Ada 0
9. Kedalaman air tanah >4 m 2
<4 m 0
10. Daerah resapan Tidak 2
Ya 0
11. Curah hujan Kecil/kering 1
Tidak 0.5
12. Arah angin dominan Tdk. Ke arah pemukiman/ 0.5
tempat umum dll
Ke arah pemukiman/ 0
tempat umum dll
13. Kesuburan Kurang baik 1
Baik 0
14. Tata guna lahan Tidak untuk pemukiman, 1
umum, dll
15. Persyaratan rancang bangun Setiap syarat 1
16. Fasilitas pendukung landfill Setiap syarat 0.5
17. Sumur monitoring Ada 1
Tidak ada 0
18. Pengolahan lindi Ada & beroperasi 2.5
Tdk ada & tdk beroperasi 0
19. Pemantauan kualitas lindi Ada, periodik 2.5
Ada, insidentil 1
Tidak ada 0
20. Hasil pemantauan Ada, sesuai baku mutu 4
Tidak ada/tidak sesuai baku 0
Mutu

B. INCENERATOR
Kriteria Nilai
1. Ijin operasi incenarator Ada 6
Tidak ada 0
2. Limbah yang diolah Sesuai ijin/layak di 2
incenarator
Layak incenarator 1
Tdk. Layak incenarator 0
3. Persyaratan lokasi Setiap syarat (jarak) 0.5
4. Potensi bencana alam Tidak ada 1
Ada 0
5. Arah angin dominan Tdk. Ke arah pemukiman/ 2
tempat umum dll
Ke arah pemukiman/ 0
tempat umum dll
6. Tata guna lahan Tidak untuk pemukiman, 0.5
umum, dll
7. Jenis incenerator Sesuai dng. Karakteristik 2.5
Tidak sesuai 0
8. Kapasitas pembakaran Sesuai dengan timbulan 1
Tidak sesuai 0
9. Temperatur operasi Sesuai dng. Karakteristik 1
Tidak sesuai 0
10. Waktu tinggal Sesuai dng. Karakteristik 1
Tidak sesuai 0
11. Laju umpan limbah Sesuai dng. Karakteristik 1
Tidak sesuai 0
12. Kapasitas blower Memadai 1
Tidak memadai 0
13. Efisiensi pembakaran >99.99% 3
<99.99% 3
14. DRE Setiap syarat memenuhi 4
15. Tinggi cerobong Memadai 1
Tidak memadai 0
16. Diameter cerobong Memadai 1
Tidak memadai 0
17. Sistem pemutus otomatis Ada 1
Tidak ada 0
18. Unit pengendalian pencemaran udara Ada & memadai 2
Ada blm. Memadai 1
Tidak ada 0
19. Standar emisi Ada, sesuai 1
Ada, tidak sesuai 0.5
Tidak ada 0
20. Pemantauan emisi Ya, periodik 2
Ya, insidentil 1
Tidak 0
21. Hasil pemantauan Semua parameter 5
memenuhi
22. Test burn Ada, hasil memenuhi 2
Tidak ada/tdk memenuhi 0

C. DIOLAH DI LUAR LOKASI


1. Perusahaan pengolah Mempunyai ijin 15
Tidak mempunyai ijin 0
2. Perusahaan pengangkut Mempunyai ijin 10
Tidak mempunyai ijin 0
3. Perusahaan pengumpul Mempunyai ijin 10
Tidak mempunyai ijin 0
* jika tidak menggunakan pengumpul nilai 9
4. Frekwensi pengangkutan Sesuai dengan timbulan 2
Tidak sesuai 0
5. Kontak liability Ada 3
Tidak ada 0
6. Manifest Ada 4
Tidak ada 0
7. Salinan manifest dikirim ke bapedal Ada 4
Tidak ada 0

D. DIEKSPOR
1. Nama dan alamat eksportir Lengkap 3
2. Data Lengkap 3
3. Negara yang dituju Negara maju 2
Negara berkembang 1
4. Tujuan ekspor Daur ulang 4
Diolah 4
Dibuang/tidak tahu 0
5. Tanggal pengapalan Data lengkap 2
Tidak lengkap 1
Tidak ada 0
6. Konvensi Basel Memenuhi 10
Tidak memenuhi 0
7. Surat rekomendasi Bapedal Ada 10
Tidak ada 0
8. Surat pernyataan dari importir Ada 4
Tidak ada 0
9. Surat pernyataan negara tujuan Ada 10
Tidak ada 0

E. REUSE/RECYCLE/RECOVERY DI LOKASI KEGIATAN


Kriteria Nilai
1. Mempunyai ijin pengolahan Ada (lengkap) 10
Tidak ada 0
2. Jenis limbah yang diolah Data lengkap limbah dapat 4
diolah
Limbah tdk. dpt. Diolah 0
3. Proses daur ulang Lengkap 6
Kurang lengkap 2
Tidak ada 0
4. Jenis produk dan standard Ada+standar 10
- Standar 2
5. Pengguna Sendiri 6
Dipasarkan+ijin 6
Tanpa ijin 0
6. Limbah yang di hasilkan Data lengkap/tidak ada 8
limbah
Data kurang 2
Tidak ada data 0
7. Pemantauan Ada+baku mutu sesuai 10
Ada-baku mutu 4
Tidak ada 0
8. Pelaporan Ada-Bapedal 2
Tidak ada 0
VI. EMERGENCY RESPONSE
1. Sistem tanggap darurat Ada+penjelasan 3
Tdk.ada/tanpa penjelasan 0
2. Frekuensi pelatihan Periodik 1
Insidentil 0.5
Tidak ada 0
3. Peserta pelatihan Karyawan+Pemda+ 2
masyarakat
Karyawan 1
4. Penanggungjawab Ada & fungsional 2
Tdk. fungsional 0.5
Tidak ada 0
5. Peralatan safety Ada 1
tidak ada 0

Ditetapkan : di jakarta
Pada tanggal : 23 Januari 1998

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

__________________________________
Keputusan Kepala Bapedal No. 4 Tahun 1998
Tentang : Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program
Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

Oleh : KEPALA BAPEDAL


Nomor : KEP-04/BAPEDAL/01/1998
Tanggal : 23 JANUARI 1998 (JAKARTA)

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang:

a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan Nomor: KEP-03/BAPEDAL/01/1998 tentang Program Kemitraan Dalam
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, perlu penetapan prioritas Propinsi
Daerah Tingkat I Program Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;

b. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I
Program Kemitraan dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

Mengingat:
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pemerintahan di
Daerah (Lembaran Negara Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran


Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Industri Vertikal di
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3573);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 26, Tambahn Lembaran Negara Nomor
3551)yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran
Negara 3595);

6. Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan Pengendalian Dampak


Lingkungan;

7. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 1994 tentang Sepuluh Sukses;

8. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 68/05/1994 tentang Tata
Cara Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat Pengolahan,
Pengolahan, dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;

9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 01/09/1995 tentang Tata
Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun;
10. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 02/09/1995 tentang
Bentuk Dokumen Limbah B3;

11. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 03/09/1995 tentang Tata
Cara Pengolahan Lilmbah B3;

12. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 04/09/1995 tentang Tata
Cara Penimbunan Limbah B3;

13. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 05/09/1995 tentang
Simbol danLabel Limbah B3;

14. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 135 Tahun 1995 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

15. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 136 Tahun 1995 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah;

16. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor KEP-


03/BAPEDAL/01/1998 tentang Progtam Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;

Memperhatikan:

Rapat Kerja Teknis Pengelolaan Limbah Bahan 1997 di Jakarta;

MEMUTUSKAN

Menetapkan:

PERTAMA:

Penetapan Prioritas Propinsi Daaerah Tingkat I Program Kemitraan dalam Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.

KEDUA:

Prioritas propinsi sebagaimana dimaksud diktum PERTAMA meliputi :


1. Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
2. Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat;
3. Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah;
4. Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur;
5. Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur;
6. Propinsi Daerah Tingkat I Riau;
7. Propinsi Daerah Tingkat I Aceh;
8. Propinsi Daerah Tingkat I Bali;
9. Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

KETIGA:

Segala biaya yang timbul akibat kegiatan Program ini:

(1) Di Tingkat Pusat dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Proyek/sumber pembiayaan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Di Tingkat Daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau
sumber pembiayaan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Januari 1998

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Tembusan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth.

1. Menteri Negara Lingkungan Hidup


2. Menteri Dalam Negeri
3. Menteri Pertambangan dan Energi
4. Menteri Perindustrian dan Perdagangan
5. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
6. Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta
7. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat
8. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah
9. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur
10. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur
11. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
12. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau
13. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I DI Aceh
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEPALA BAPEDAL


G. LABORATORIUM LINGKUNGAN

KepKa Bapedal Nomor 113 Tahun 2000 Pedoman Umum dan pedoman Teknis
Laboratorium Lingkungan
Keputusan Kepala Bapedal No. 113 Tahun 2000
Tentang : Pedoman Umum Dan Pedoman Teknis
Laboratorium Lingkungan

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang :
a. bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam pengendalian
peneemaran lingkungan hidup diperlukan dukungan laboratorium
lingkungan yang memenuhi persyaratan;
b. bahwa mengingat hal Lersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman
Umum dan Pedoman Teknis Lahoratorium Lingkungan.

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 19, Tambahan Lem
baran Negara Nomor 3434)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815) Jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 190,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);
6. Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 tentang Badan Standarisasi
Nasional;
7. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG PEDOMAN UMUM DAN PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM
LINGKUNGAN.

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Laboratorium lingkungan adalah laboratorium yang dapat berdiri
sendiri sebagai satu institusi maupun merupakan suatu bagian dan
laboratorium yang mempunyai kemampuan dan kewenangan
melaksanakan pengujian parameter kualitas lingkungan
(fisika/kimia/biologi);
2. Pengujian parameter kualitas lingkungan adalah kegiatan yang
meliputi pengambialn contoh uji termasuk analisis di lapangan,
penanganan, transportasi, penyimpanan, preparasi, dan analisis
contoh uji;

Pasal 2
Dalammelaksanakan kegiatannya laboratorium lingkungan wajib :
a. mempunyai kedudukan independen
b. mempunyai integritas yang dapat dipertanggungjawabkan
c. memenuhi persyaratan teknis dan administratif
d. menerapkan sistem mutu yang tepat yang sesuai dengan jenis,
lingkup dan volume pekerjaan yang dilaksanakan;

Pasal 3
Sistem mutu laboratorium lingkungan wajib didokumentasikan dalam suatu
Dokumen Sistem Mutu yang terdiri dan Panduan Mutu, Prosedur
Pelaksanaan, Instruksi Kerja dan Format.

Pasal 4
Prosedur pemberian izin operasional, rekomendasi, akreditasi dan Pedoman
Teknis Laboratorium Lingkungan tercantum dalam lampiran I dan lampiran
II Keputusan ini.

Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 24 Agustus 2000
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf

Lampiran I
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No.113 Tahun 2000

PEDOMAN UMUM LABORATORIUM LINGKUNGAN


BAB I PENDAHULUAN

1.Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan data yang absah


tentang parameter kualitas lingkungan. Data yang diperoleh berasal dari
proses pemantauan kualitas lingkungan.
2. Salah satu unsur yang menentukan dalam proses pemantauan kualitas
lingkungan adalah adanya laboratorium lingkungan yang handal yang
mampu menguji parameter kualitas lingkungan dan menyajikan hasil uji
yang absah dan tak terbantahkan .
3.Sesuai dengan keputusan Presiden Nomor 196/ 1998 dan Keputusan
kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 18/ 1998, Badan
Pengendalian Dampak lingkungan mempunyai tugas membina dan
mengawasi pengelolaan laboratorium lingkungan. Pembinaan,
pengawasan dan pengelolaan tersebut mencakup aspek-aspek teknis dan
manajemen laboratorium lingkungan.
4. Bapedal sebagai pembina dan pengawas laboratorium lingkungan
menganggap perlu menerbitkan suatu pedoman yang berisi
kebijaksanaan umum tentang laboratorium lingkungan

BAB II PROSEDUR PEMBERIAN IZIN OPERASIONAL /REKOMENDASI


LABORATORIUM LINGKUNGAN

1. Untuk dapat menyelanggarakan pelayanan laboratorium lingkungan,


setiap laboratorium diharuskan memiliki ijin tertulis dari Gubernur dan
atau pejabat yang ditunjuk, kecuali laboratorium milik Pemerintah yang
dibentuk untuk kepentingan pelaksanaan program sektor yang
bersangkutan
2. Untuk mendapatkan ijin operasional dan rekomendasi laboratorium
lingkungan, laboratorium pemohon harus mengajukan permohonan
tertulis (mengisi formulir tertentu, apabila tersedia) dengan melampirkan
persyaratan administrasi dan persyaratan teknis tentang laboratorium
lingkungan. Tata cara pengajuan izin dapat dilaksanakan sebagai berikut :
a. Permohonan izin operasional laboratorium lingkungan diajukan kepada
gubernur dalam hal ini Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah Propinsi. Setelah menerima permohonan tersebut
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi
melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan persyaratan
administrastif dan persyaratan teknis sesuai dengan Pedoman tentang
Persyaratan Teknis Laboratorium Lingkungan.
b. Atas dasar permohonan laboratorium lingkungan dan hasil
pemeriksaan kelengkapan persyaratan teknis dan administratif di
daerah, Bapedalda propinsi membuat surat permohonan yang
ditujukan kepada Bapedal dengan tembusan kepada Kepala Bapedal
Regional agar laboratorium pemohon mendapat rekomendasi sebagai
laboratorium lingkungan.
c. Sebelum emberikan surat rekomendasi sebagai laboratorium
lingkungan Bapedal, Bapedal Regional dan Bapedalda Propinsi harus
mengadakan evaluasi teknis terhadap laboratorium pemohon.
d. Selanjutnya, Bapedal menerbitkan surat rekomendasi yang
disampaikan kepada Bapedalda Prpoinsi.
e. Berdasarkan Penilaian terhadap kelengkapan administratif dan surat
rekomendasi dari Bapedal, Pemerintah Daerah (Bapedalda Propinsi)
dapat menerbitkan izin operasional laboratorium lingkungan.

BAB III REKOMENDASI LABORATORIUM LINGKUNGAN

Laboratorium lingkungan terdiri dari :


1. Laboratorium yang telah mampu menguji parameter kualitas lingkungan
tertentu dan dikuatkan dengan sertifikat akreditasi oleh Badan Akreditasi
yang diakui secara nasional maupun internasional.
laboratorium tersebut telah dijamin kemampuan dan independensinya,
oleh karena itu sertifikat atau laporan dari laboratorium-laboratorium
tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Namun karena pengujian
parameter kualitas lingkungan juga melibatkan pekerjaan/ kegiatan
pengambilan contoh, maka hal yang berkaitan dengan pekerjaan ini perlu
diklarifikasi / pengesahan sesuai dengan peraturan/pedoman tentang
pemantauan kualitas lingkungan yang berlaku
2. Laboratorium yang dinilai oleh Bapedal mempunyai kemampuan teknis
menguji parameter kualitas lingkungan tertentu, tetapi belum mendapat
akreditasi. Laboratorium- laboratorium yang dimaksud pada butir 2 diberi
rekomendasi oleh Bapedal dengan memperhatikan pertimbangan khusus
adalah sebagai berikut :
a. laboratorium yang dikembangkan oleh Bapedal dengan bantuan
peralatan melalui program OECF dan AusAid, milik Departemen
Kesehatan (BLK dan BTKL), Departemen Pekerjaan Umum
(Laboratorium Pengujian dan Peralatan Kanwil PU) dan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan (BPPI).
b. Laboratorium yang memenuhi persyaratan teknis laboratorium
lingkungan
3. Laboratorium yang dinilai Bapedal dapat melaksanakan pengujian
parameter kualitas lingkungan dengan syarat melakukan korelasi dengan
laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Bapedal.
Laboratorium tersebut adalah laboratorium yang dapat melaksanakan
pengujian parameter tertentu dengan menggunakan metoda/peralatan
yang tidak termasuk dalam metoda standar, tetapi hasil pengujiannya
secara berkala/rutin dikorelasikan dengan laboratorium pada butir 1 dan
2. Hasil pengujian dari laboratorium ini dapat dipakai untuk keperluan
tertentu yang sifatnya intern dan tidak dapat dipakai untuk kepentingan
umum . Contohnya adalah laboratorium industri yang bersifat inhouse
laboratory dan mobile laboratory.
Bapedal akan mengeluarkan surat : Rekomendasi Laboratorium
Lingkungan berdasarkan kemampuannya dalam pengujian kualitas
lingkungan. Rekomendasi tersebut dapat diartikan adanya pengakuan
oleh Bapedal sebagai laboratoriurn lingkungan atas kemampuan
pengujian parameter kualitas lingkungan terhadap :
a. air permukaan
b. air laut
c. limbah cair
d. limbah padat (sludge)
e. udara ambien
f. emisi dari sumber bergerak
g. emisi dari sumber tidak bergerak

BAB IV .AKREDITASI LABORATORIUM


1. Pengakuan terhadap kemampuan dan kewenangan laboratorium
lingkungan berkaitan dengan sistem akreditasi yang berlaku di Indonesia,
dilaksanakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) atau badan
akreditasi lain secara internasional.
2. Pelaksanaan akreditasi mengacu pada Pedoman BSN-101 Tahun 1991
atau IS0/IEC Guide 25:1990/ISO-17025:2000 tentang Persyaratan Umum
kemampuan Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi.
3. Laboratorium lingkungan yang telah mendapat akreditasi dengan
sendirinya telah memiliki integritas yang dapat dipertanggungjawabkan
oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN)

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.

Salinan sesuai dengan as linya


Sekretaris Utama Bapedal

ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.

Lampiran II
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No.113 Tahun 2000

PEDOMAN TEKNIS LABORATORIUM LINGKUNGAN


BAB I PENDAHULUAN

1.Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup diperlukan adanya data


kualitas lingkungan yang dapat dipercaya kebenarannya. Data ters ebut
merupakan hasil kegiatan pemantauan kualitas lingkungan.
2. Dalam kegiatan pemantauan kualitas lingkungan dilakukan
pengukuran/pengujian parameter kualitas lingkungan. Hasil
pengukuran/pengujian tersebut harus absah dan tak terbantahkan agar
dapat dipercaya kebenarannya.
3. Pengukuran/pengujian dilaksanakan di/oleh laboratorium lingkungan, yang
secara teknis harus mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka laboratorium lingkungan harus
memenuhi persyaratan teknis tertentu.
4. Persaratan teknis yang dimaksud mencakup tentang sumber daya
manusia yang terdidik dan terlatih, peralatan yang sesuai dengan
kemampuan yang dibutuhkan, serta pengelolaan laboratorium yang dapat
dipertanggungjawabkan.

BAB II RUANG LINGKUP

1. Pedoman ini memuat persyaratan teknis laboratorium lingkungan yang


meliputi poko k bahasan tentang :
a. Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan.
b. Peralatan laboratorium lingkungan.
c. Personalia dan organisasi laboratorium lingkungan.
d. Keselamatan kerja laboratorium lingkungan.
e. Metode analisis dan kemampuan laboratorium lingkungan.
f. Pengelolaan limbah laboratorium lingkungan.
g. Pengendalian mutu (quality control)
h. Penangan contoh uji
2. Pedoman ini menjabarkan dam menambahkan hal-hal yang belum diatur
di dalam BSN - 101 : 1991 dan ISO/IEC Guide 25:1990/ISO-17025:2000.
3. Pedoman ini digunakan pada laboratorium lingkungan yang permanen.

BAB III ACUAN/RUJUKAN

a. Badan Standardisasi Nasional, (1991), Pedoman BSN 101 - 1991 :


Persyaratan Umum Kemampuan Laboratorium Penguji dan Kalibrasi, BSN
Jakarta.
b. Bapedal Development Technical Assistance Project (BDTAP) Loan, Regional
LaBoratory Development Planning, Certification and Training Program.
c. CAN/CSA-Z753-95, (1995) Requiremerts for the Competence of
Environmental Laboratories, Environmental Technology A National
Standard of Canada, Canada.
d. ISO/IEC 17025 (2000), General Requirements For The Competence of
Testing And Calibration Laboratories, National Association of Testing
Authorities, Australia. ACN 004 379 748.
e. Peraturan Pemerintah RI Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air.
f. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL).
g. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
h. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
i. Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang uji mutu parameter kualitas
lingkungan.
j. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
KEP-35 MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor
k. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
KEP-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi SumberTidak Bergerak
BAB IV SYARAT-SYARAT LABORATORIUM LINGKUNGAN

1. Persyaratan teknis bangunan laboratorium lingkungan.


Pada waktu merencanakan pembangunan laboratorium, pemilik bangunan
harus memberikan laporan tertulis kepada perancang bangunan yang
berisi informasi sebagai berikut :
a. Jenis dan fungsi laboratorium;
b. Penjelasan lengkap mengenai persyaratan bangunan, termasuk tata
letak
c. Penjelasan mengenai bahan berbahaya dan beracun yang akan dipakai
di laboratorium.
d. Proses kerja yang mungkin bisa meningkatkan adanya kontaminasi
udara, meliputi :
i. Proses kimia, biologi atau proses radiasi;
ii. Proses y ang menggunakan bahan yang mudah terbakar, bahan
berbahaya, bahan yang menyebabkan infeksi atau bau-bauan yang
mengganggu yang dapat menyebabkan kontaminasi melalui ventilasi
udara, terutama bila terjadi kecelakaan kerja, misalnya tumpah.
e. Jenis gas yang mudah terbakar yang dihasilkan dari proses
laboratorium atau timbul dari tempat penyimpanan cairan yang mudah
terbakar dan kecenderungan penyebaran gas tersebut;
f. Jenis peralatan yang akan dipasang;
g. Tingkat fleksibilitas yang dibutuhkan;
h. Staf pendu ukung yang akan bekerja di laboratorium tersebut;
j. Adanya beban tambahan , kebuthan anti vibrasi atau isolasi yang
mungkin dinutuhkan untuk mengantisipas iadanya risiko akibat bahan
berbahay khusu lainnya, misalnya, api, bahan peledak atau radiasi;
k. Jenis dan jumlah limbah yang dihasilkan;
l. Kebutuhan perluasan di masa datang;
m. Hal-hal lain yang terkait.

Laboratorium harus berada pada lokasi yang terpisah dalam suatu


lingkungan yang menyediakan berbagai fasilitas, pelayanan dan saluran
pembuangan air kotor serta tidak berada pada lantai yang sama dengan
bagian lain yang berfungsi non-laboratorium.

Pertimbangan khusus yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keamanan


personil laboratorium dan orang lain yang ada di sekitarnya, adalah :
a. Perlunya isolasi dan membersihkan bahan berbahaya di lingkungan kerja
atau dengan cara lain untuk mengurangi risiko;
b. Keamanan personil dan perlindungan publik;
c. Pengawasan jalan masuk, termasuk keamanan;
d. Akses dan fasilitas untuk penanganan substansi yang berbahaya dan
beracun;
e. Akses dan fasililas untuk penyelamatan dalam keadaan darurat;
f. Tersedianya air untuk memadamkan kebakaran ;
g.Tata letak perabotan (properti);
h. Daerah yang aman untuk evakuasi bila terjadi keadaan darurat;
i. Pembuangna limbah bahan berbaya dan bersifat infeksi dari laboratorium;
j. Tingkat perlindungan terhadap sinar matahari yang terbuka dan angin
k. Cerobong asap, dengan memperhatikan :
1 . pengaruh terhadap manusia
2. pengaruh terhadap bangunan (korosi)
3. pengaruh angin
4. jarak dari sumber asap
5. pengaruh terhadap lingkungan.
l. Isolasi suara :
1. dari daerah lain
2. ke daerah lain
m. Pengaruh dari partikulat yang terbang ke udara.

2. Dalam mendirikan suatu banguan laboratorium harus mernenuhi


persyarratan teknis bangunan yang terdiri dari persyaratan bangunan dan
sistem utilitas.
Persyaratan bangunan berdasarkan atas :
a. Jenis kegiatan dan beban laboratorium;
b. Jenis, dimensi dan jumlah peralatan;
c. Jumlah sumber daya manusia laboratorium;
d. Faktor keselamatan;
e. Jarak meja analis dan koridor;
f. Memperhatikan rencana pengembangan laboratorium;
g. Lantai laboratorium harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. permukaannya rata dan halus serta kedap air;
2. tidak bereaksi dengan bahan kimia yang dipakai di laboratorium;
3. punya daya tahan struktur dan mekanik yang cukup kuat;
4. kompatibel dengan cara kerja di laboratorium dan kenyamanan
personil;
5. anti slip sesuai dengan persyaratan AS/NZS 3661.1;
6. mudah dibersihkan;
7. sambungan papan sebaiknya dihindari sejauh mungkin, tapi bila
dipakai, sebaiknya dibangun sedemikian rupa sehingga tertutup
dan terhindar dari penetrasi oleh bahan berbahaya;
8. adanya lubang di lantai perlu dibuat dan dirancang untuk
mengantisipasi seandainya terjadi tumpahan cairan;
9 oleh karena adanya risiko tumpahan bahan berbahaya yang dapat
menyebabkan infeksi atau bahan radioaktif yang terbuka, maka
sambungan antara lantai dengan dinding dan tiang yang terbuka
harus dibuat saluran kecil untuk memudahkan pembersihan.
h. Dinding di area kerja laboratorium harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. permukaannya rata dan halus serta kedap air;
2. tidak bereaksi dengan bahan kimia yang dipakai di laboratorium;
3. mudah dibersihkan
i. Langit-langit yang ada di area kerja laboratorium harus mempunyai
konstruksi yang kuat, permukaannya halus, tidak menyerap bahan dan
dipasang eternit, dicat dengan bahan cat yang halus dan mudah
dibersihkan, serta berwarna terang.
j. lemari asam (fume cupboard)
Alasan utama penggunaan lemari asam / fume cupboard in i adalah untuk
keamanan bagi pelaksana laboratoriurn saat melakukan pekerjaannya
dan juga untuk personil laboraturium lainnya. Secara teknis, alat ini
bekerja dengan cara menangkap uap, mengencerkannya dan membuang
semua residu yang bisa menyebabkan kontaminasi udara, khususnya
yang mengandung bahan berbahaya. Efisiensi dan keamanan dan alat ini
tergantung pada kelancaran udara yang masuk, daya tampung efektif,
pemilahan kontaminan udara dari ruangan, hal tersebut berkaitan dengan
mekanisme pergerakan udara dan sistern penghawaan laboratorium,
bahan yang dipakai dalam konstruksi, sistem pembuangan kontarninan
dan keamanan serta radius penyebaran kontaminan ke atmosfir.

Sistem utilitas terdiri dari sistem penghawaan, sistem penerangan, sistem


pengadalian air bersih, sarana komunikasi, transportasi, dan tata ruang.
Sistem penghawaan, terdiri atas dua cara yaitu :
a. Sistem penghawaan alami, yaitu laboratorium yang dilengkapi sistem
penghawaan alami dimana :
1. Ventilasi terbuka mempunyai luas minimal 10 % dan luas lantai dan
letaknya bersilangan agar perubahan udara yang memadai.
2. Proses laboratorium dan instrumentasi tidak memerlukan kontrol
temperatur dan kelembaban yang wajib dipenuhi seperti dalam
metoda AS / NZS 2982.1.
3. Udara ventilasi yang tidak tersaring tidak akan dapat terdegradasi oleh
proses laboratorium.
4. Ventilasi alamiah tidak digunakan sebagai cara utama untuk
pengenceran kontaminan atau kontrol.
5. Ventilasi laboratorium terpisah dari ruangan non laboratorium. Partisi
antar-laboratorium dan non-laboratorium tidak mempunyai akses
terbuka dan tidak ada pintu.
b. Sistem penghawaan mekanik, yaitu sistem penghawaan mekanik untuk
laboratorium yang dirancang sebagai berikut :
1. Memenuhi kecepatan suplai udara minimum seperti clisebutkan pada
AS 1668.2
2. Dilengkapi dengan ventilasi exhaus lokal sesuai dengan AS 1668.2 dan
kebutuhan proses khusus yang dihasilkan di laboratorium.
3. Mencegah dispersi yang tidak terkontrol dan akumulasi udara yang
berbahaya.
4. Mencegah pencampuran resirkulasi udara dengan udara lain untuk
suplai area non-laboratorium.
c. sistem penghawaan buatan (air conditioning/AC).
Kebutuhan AC diperhitungkan berdasarkan perhitungan 1 PK untuk 20
m2.Penggunan AC ditujukan terutama untuk memperoleh suhu optimal
yang dinutuhkankan dalam proses pengukuran dan pengujian serta untuk
memberikan perlindungan terhadap alat—alat instrumentasi serta ruang-
ruang lain yang tidak memungkinkan memakai penghawaan alami
maupun penghawaan mekanik.

Sistem penerangan laboratorium harus dilengkapi dengan sistem


pencahayaan yang memenuhi nilai iluminansi yang direkomendasikan dalam
AS 1680.1.

Sistem penerangan ini terdiri atas dua macam yaitu :


a. Sistem penerangan alami, yaitu sistem yang memanfaatkan cahaya
matahari (terang langit, penerangan ini mempunyai jarak jangkauan sinar
(sky light ) dari ruang tepi berkisar antara 6 — 7,5 m.
b. Sistem penerangan buatan (listrik), diperlukan untuk membantu
penerangan ruangan terutama penggunaan pada malam hari, sedangkan
pada siang hanya dapat digunakan bilam ana ruangan sulit dijangkau oleh
sinar matahari atau terang langit. Standar minimal penerangan adalah
200 LUX (lumen/m2 ) atau 5 watt/ m2 . Kebutuhan listrik laboratorium
lingkungan sebaiknya 40 kVA. Sebagai cadangan sumber listrik mati
diperlukan generator set yang disesuaikan dengan kebutuhan
laboratorium.

Sistem pengadaan air bersih.


Kebutuhan air bersih yang dipakai untuk kegiatan laboratorium dan staf
diperkirakan 50 - 100 liter/orang/hari untuk itu persediaan air bersih yang
diperlukan sebaiknya minim al 2 m3 / hari. Air bersih sebaiknya dari PAM di
daerah setempat. Disarankan laboratorium mempunyai menara air dengan
kapasitas volume minimal 2 m 3

Sarana komunikasi dan transportasi:

1. Komunikasi
Untuk memudahkan komunikasi internal laboratorium sebaiknya
digunakan interkom yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah ruangan,
sedangkan komunikasi keluar digunakan telepon dan faksimile minimal
masing-masing satu buah serta dua buah komputer lengkap dengan
printernya untuk pelaporan dan sistem informasi laboratorium .
2. Peralatan transportasi
Untuk mendukung pelaksanaan operasional laboratorium dan
pengambilan contoh uji di lapangan, laboratorium disarankan mempunyai
satu buah sepeda motor dan mobil.

Tata ruang
Pembagian ruang terdiri dari bagian administrasi, laboratorium dan bagian
penunjang. Bagian administrasi terdiri dari ruangan yang terdiri atas : ruang
pimpinan, tata usaha, penerimaan contoh, pengolahan data, rapat,
perpustakaan, penyimpanan arsip dan ATK.
Luas ruangan untuk keperluan ruangan tersebut di atas, disesuaikan dengan
kebuluhan dan kelersediaan lahan. Luas bagian laboratorium lingkungan
yang disarankan sesuai dengan kebutuhan ruangan pelaksanaan teknis di
laboratorium tercantum pada tabel 1.

BAB V STANDAR PERALATAN LABORATORIUM LINGKUNGAN, REAGEN DAN


BAHAN ACUAN STANDAR

Jenis peralatan laboratorium dibedakan atas peralatan umum dan peralatan


teknis :
1. Peralatan umum, misalnya meja, kursi, lemari dan lain-lain. Jenis dan
jumlah peralatan umum disesuaikan dengan jumlah sumber daya
manusia laboratorium, jenis kegiatan, jumlah beban kerja, ukuran dan
jumlah ruangan.
2. Peralatan teknis jenis dan jumlah peralatan teknis ini disesuaikan dengan
Jenis analisis contoh uji, jumlah beban kerja, metoda dan teknologi yang
dipakai. Peralatan teknis terdiri dari :
a. Peralatan lapangan
Peralatan lapangan digunakan untuk keperluan pengambilan contoh uji
dan analisis di lapangan.
b. Peralatan laboratorium
Peralatan laboratorium merupakan peralatan utama khususnya
peralatan instrumentasi yang digunakan untuk analisis di
laboratorium.
c. Peralatan penunjang
Peralatan ini sebagai sarana penunjang analisis di laboratorium .
Daftar peralatan yang sebaiknya dim iliki oleh laboratorium sesuai
dengan jenis dan jumlah yang dibutuhkan terdapat pada tabel 3.
3. Reagen dan Bahan Acuan (Reference Material)
Pengelolaan reagen dan reference materials harus mempunyai sistem
meliputi tata cara penerimaan, identifikasi, pemisahan, pengemasan,
pelabelan, penanganan, penyimpanan, dan pembuangannya.
Reagen dan reference materials harus disimpan sedemikian rupa sehingga
integritas dan materialnya tetap terjaga dan memperhatikan persyaratan
yang diperlukan untuk pengemasan, kondisi lingkungan dan pemisahan
dan material yang tidak sesuai.
Reagen dan reference materials harus diberi label sesuai dengan
ketentuan yang berlaku meliputi informasi yang sesuai yaitu deskripsi,
konsentrasi, kemurnian , dan tanggal kadaluarsa.
Labo ratorium dalam m enyiapkan reagen dan reference materials harus
tepat
dan dapat diverifikasi. Verifikasi tersebut meliputi pengukuran kandungan
spesifik atau karakteristiknya atau membandingkan dengan Certified
Reference Material (CRM).
Laboratorium harus mempunyai rekaman yang rinci mengenai reagen dan
reference material yang memerlukan verifikasi. Rekaman ini meliputi
informasi mengenai :
a. Pemasok, "grade" dan nomor "batch".
b. Tanggal preparasi atau verifikasi.
c. Pengukuran berat, volume, tenggang waktu, temperatur, dan tekanan
dan yang berhubungan dengan penghitungan.
d. Pengaturan pH, sterilisasi.
e. Verifikasi basil.
f. Identifikasi dan personil yang terlibat.

BAB VI PERSONALIA DAN ORGANISASI LABORATORIUM LINGKUNGAN

1. Untuk mencapai hasil yang baik didalam tata laksana laboratorium,


diperlukan suatu organisasi dan manajemen dengan uraian yang jelas
mengenai susunan, fungsi, tugas, dan tanggung jawab bagi para
pelaksananya.
2. Struktur organisasi laboratorium tergantung pada beban kerja laboratorium.
Namun dalam mendukung kelancaran pelaksanaan operasional maka
laboratorium harus mempunyai jumlah sumber daya manusia dengan
kualifikasi yang memenuhi persyaratan serta pelatihan yang dibutuhkan
sesuai dengan peranannya pada laboratorium lingkungan. Contoh Struktur
Organisasi laboratorium dapat dilihat pada diagram di bawah ini :

Untuk menghasilkan data yang handal, laboratorium tidak hanya


memerlukan bangunan dan peralatan yang baik, tetapi juga memerlukan
sumber daya manusia yang memenuhi persyaratan sebagai pelaksana di
laboratorium lingkungan tersebut. Untuk itu dibutuhkan adanya pelatihan-
pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di laboratorium
lingkungan.
3. Pada tabel 2 bisa dilihat persyaratan sumber daya manusia laboratorium
lingkungan yang harus dipenuhi dan pelatihan yang dibutuhkan.

BAB V KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA LABORATORIUM

1. Kesehatan dan keselamatan kerja di laboratorium yang dibutuhkan adalah


sebagai berikut:

a. Safety shower
Minimal tersedia satu safety shower dan fasilitas pencuci mata/muka
di setiap laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya, atau di
laboratorium mikrobiologi. Penggunaan safety shower tidak boleh
diganti dengan slang/pipa yang dapat digerakkan dengan tangan.
Safety shower dan eyewash harus dapat beroperasi dan mempunyai
aliran air yang
konstan tanpa mem erlukan operator. Letak safety shower tidak lebih
dari 10 meter dari setiap titik di laboratorium. Safety shower, dan
eyewash harus memenuhi standar ANSI Z358.1.
b. Bak cuci tangan
Laboratorium yang menggunakan bahan berbahaya dan semua area
kerja laboratorium biologi harus mempunyai bak cuci tangan. Lokasi
harus terletak pada pintu masuk utama ke laboratorium.
c. Pengumuman Keselamatan
Pengumuman keselamatan terdiri dari :
1) Daftar prosedur emergency;
2) Tulisan terang untuk bahan-bahan berbahaya.
d. Tanda-tanda Keselamatan
Memenuhi AS 1319.
e. Tanda Bahaya dan Plakat
Laboratorium harus membuat plakat untuk bahan-bahan berbahaya
dan bahan-bahan berbahaya yang spesifik sesuai dengan peraturan
yang berlaku.

2. Faktor keselamatan kerja yang wajib diperhatikan dan ditangani di


laboratorium meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Pengaruh bahan kim ia
Perhatikan penyimpanan bahan kimia yang berpengaruh tidak baik
terhadap kesehatan para pelaksana pengujian yang dapat
mengakibatkan luka bakar, keracunan, cacat mata dan gangguan
kesehatan lainnya.
b. Bahaya kebakaran
Hindari kemungkinan kebakaran di laboratorium yang bersumber dari
listrik, ledakan akibat reaksi bahan kimia dan bahan kimia yang
mudah
terbakar
c. Sumber bahaya lainnya
Peralatan laboratorium sebagian dapat merupakan sumber bahaya dan
mengakibatkan cacat fisik, oleh karena itu gunakan selalu sarana
penunjang untuk keselamatan kerja di laboratorium.
3. Untuk mencegah hal-hal tersebut pada 2 diperluk an adanya sarana
penunjang untuk keselamatan kerja di laboratorium, yaitu :
a. Baju kerja (jas laboratorium), kaca mata pengamanan, sarung tangan
dan gas masker dipakai ketika analis melaksanakan pengujian dengan
bahan-bahan kimia yang berbahaya.
b. Blower merupakan penghisap gas—gas yang berbahaya dari bahan
kimia ketika analis bekerja di lemari asam.
c. Exhaust-fan untuk sirkulasi udara di ruang laboratorium.
d. Pemadam k ebakaran dan pasir digunakan ketika terjadi kebakaran di
laboratorium.
e. Shower merupakan sarana keselamatan bagi pekerja laboratorium
ketika seo rang analis terkena percikan bahan kimia ke matanya.
f. Bak cuci, selain dipakai untuk mencuci peralatan gelas laboratorium
juga digunakan ketika pekerja laboratorium terkena bahan kimia pada
kulitnya.
g. Alarm merupakan sarana peringatan adanya bahaya di laboratorium .
h. Petunjuk arah ke luar ruangan laboratorium merupakan tanda yang
dapat memberikan informasi bagi pekerja laboratorium untuk keluar
ruangan dengan aman dan selamat ketika ada bahaya di laboratorium.
i. Obat—obatan untuk pertolongan pertama pada kecelakaan.

BAB VIII
METODA PENGUJIAN DAN KEMAMPUAN
LABORATORIUM LINGKUNGAN DAN
VALIDASI METODA

1. Data hasil analisis laboratorium dapat dipertanggungjawabkan secara


ilmiah maupun secara hukum apabila terjamin ketelitian dan
ketepatannya, oleh karena itu data hasil analisis yang dihasilkan harus
objektif, representatif, teliti dan tepat serta relevan. Oleh karena itu
dalam melaksanakan pengujian kualitas lingkungan, maka metode.
analisis yang digunakan sebaiknya inei metoda standar seperti :
a. Standar Nasional Indonesia/SNI.
b. Metoda Standar lain yang sesuai, seperti US-EPA, ASTM, APHA/AWWA
dan lain-lain.
Apabila dalam keperluan tertentu digunakan metode pengujian parameter
lingkungan yang BUKAN STANDAR , maka hal tersebut dapat
dilaksanakan asal mengacu pada sumber yang jelas dan telah
dikorelasikan dengan metoda standar.
2. Laboratorium lingkungan harus mampu menganalisis parameter yang
yang ada di peraturan perundangan—undangan dengan metode baku
yang telah ditetapkan seperti disebutkan pada angka 1. Adapun
parameter yang harus dianalisis terlampir pada table 4, 5 dan 6.
3. Laboratorium wajib memakai metoda dan prosedur yang tepat untuk
peserta kegiatan yang berkaitan dan termasuk dalam tanggungjawabnya
termasuk pengambilan contoh, penanganan, pengangkutan dan
penyimpanan, penyiapan barang, taksiran ketidakpastian pengukuran dan
analisis data. Metode dan prosedur tersebut harus selalu konsisten
dengan ketelitian yang diperlukan dan dengan tiap spesifikasi standar
yang sesuai untuk kalibrasi atau pengujian yang bersangkutan.
4. Jika pengambilan contoh merupakan bagian dari metode pengujian,
laboratorium wajib memakai prosedur yang telah didokumentasikan dan
teknik statistik yang sesuai untuk memilih contoh.

BAB IX PENGELOLAAN LIMBAH LABORATORIUM LINGKUNGAN

1.Pengelolaan lim bah laboratorium dapat dilakukan di lokasi laboratorium (on


site laborato ry) dan dibawa ke tempat pengolahan limbah. Sebelum
dilakukan pengelolaan limbah, maka limbah laboratorium harus dipisahkan
dalam kategori berbahaya dan beracun dan tidak berbahaya dan beracun.
Hal ini untuk mem udahkan dalam menentukan prosedur pengelolaan limbah
yang perlu dilakukan.
2. Dalam pengdolaan limbah laboratorium diperlukan langkah-langkah
penanganan limbah laboratorium yaitu :
a. Penanggungjawab : kepala laboratorium bertanggung jawab atas seluruh
penanganan limbah dimulai dan pengumpulan, penyimpanan dan
pembuangannya sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
b. Pengumpulan: pengumpulan limbah adalah bagian terpenting yang harus
dilakukan agar bahaya terhadap personil laboratorium dan lingkungan dapat
ditekan seminimal mungkin. Dalam pengumpulan limbah, perlu dilakukan
identifikasi, pemisahan dan penyimpanan dalam wadah yang sesuai dengan
jenis limbahnya dan diberi label.
c. Pemisahan : limbah laboratorium harus dipisahkan dalam beberapa
kategori yaitu : kertas, pecahan gelas, benda tajam (syringe, scalpeb, limbah
kimia, limbah biologi, dan radioaktif. Pemisahan atas limbah bahan
berbahaya dan beracun dilakukan dengan mengacu Peraturan Pemerintah
No. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3) dan Peraturan Pemerintah No. 85/1999 tentang Perubahan PP. No 18/
1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Beran dan Berbahaya.
d. Penyimpanan : lokasi penyimpanan harus disediakan untuk penyimpanan
limbah sebelum dibuang. Perlu ditunjuk orang yang bertanggung jawab
mengawasi keamanan tempat penyimpanan limbah, menyiapkan alat
pengaman dan absorben material untuk mencegah efek yang timbul dan
Limbah yang disimpan (mudah terbakar, mudah meledak, toksik, tumpahan
limbah dan lain-lain).
3. Pembuangan : pembuangan limbah harus dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB X PENGENDALIAN MUTU (QUALITY CONTROL)


1. Semua pengukuran yang berperanan dalam keakuratan data hasil
pengujian yang bisa digunakan secara langsung atau tidak langsung
harus didasarkan pada bahan acuan, material referensi atau bahan acuan
standar atau material standar lain yang punya kemampuan dalam
penelusuran.
2. Laboratorium harus memelihat sertifikat dan semua material standar, alat
ukur, atau bahan acuan standar yang mampu telusur. Sebagai contoh
untuk bahan acuan dan alat ukur meliputi berat standar, alat volumetrik
yang terspesifikasi dan thermometer.
3. Apabila mampu telusus ke standar nasio nal tidak dapat digunakan
laboratorium harus memberikan bukti yang memuaskan dan korelasi
hasil,hal ini diakui dengan mengikuti uji banding atau uji profisiensi antar
laboratorium.
4. Bahan acuan hanya digunakan untuk kalibrasi dan tidak untuk tujuan lain.
5. Bahan acuan harus dikalibrasi oleh suatu badan yang mempunyai
alat/bahan yang mampu telusur ke standar nasional atau internional
6. Material standar haruslah mampu telusur ke alat pengukuran standar
nasional atau intemasional,
7. Material referensi termasuk standar kalibrasi yang digunakan dala m
pengukuran pada pengujian kimia harus dipersiapkan supaya pada batas
pengukuranmatriknya sama atau equivalen pada contoh tersebut.
Matriks, sebelum ditambah analit , konsentrasinya tidak bisa dideteksi.
Reagen yang digunakan dalam persiapan atau material referensi
termasuk standar kalibrasi harus disertai kemurniannya.
8. Semua peralatan pengukuran dan peralatan pengujian yang mempunyai
pengaruh terhadap akurasi atau validasi pengujian harus dikalibrasi dan
atau diverifikasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk stabilitas
standar pengawasan. Standar pengawasan yang digunakan untuk
verif ikasi akurasi harus disusun terpisah dan standar kalibrasi yang
dipakai untuk menyusun kalibrasi orirginal.
9. Prosedur kalibrasi dan pengukuran yang disedia kan harus mencakup satu
atau lebih dari gam baran berikut ini :
a. menggunakan blanko reagen untuk membuat baseline yang dipakai
dalam kalibrasi.
b. menggunakan blanko metoda untuk mengatur respon analit yang
dihasilkan dari pengujian contoh uji.
10. Dokumentasi prosedur yang cukup rinci untuk meyakinkan bahwa
kalibrasi dilakukan dengan akurasi yang dapat ulang (repeatable), dan
harus digunakan untuk seluruh kegiatan kalibrasi.
11. Laboratorium wajib menjamin mutu hasil yang diberikan setelah
diperiksa lebih dahulu. Pemeriksaan ini wajib dikaji kembali setidak-
tidaknya harus mencakup :
a. Sistem pengendalian mutu internal dengan menggunakan metoda
statistik
b. Partisipasi dalam uji profisiensi atau uji banding antar laboratorium.
c. Penggunaan bahan pembanding secara teratur dan/atau pengendalian
mutu melekat (inhouse quality control) dengan menggunakan bahan
pembanding sekunder.
d. Pengujian ulang menggunakan metode yang sama atau berbeda .
e. Pengujian kembali dari arsip contoh.
f. Keterkaitan hasil uji untuk sifat yang berbeda dari satu barang.

BAB XI PENANGANAN CONTOH UJI

1. Laboratorium harus mempunyai sistem dokumentasi untuk penerimaan,


identifikasi, pengepakan, pelabelan penangan penyimpanan dan
pembuangan contoh uji.
2. Sistem dokumentasi ini juga diperlukan untuk identifikasi khusus contoh
uji agar tidak ada kesalahan dalam hal identifikasi contoh uji, oleh karena
itu dalam berlabel harus disebutkan identifikasi khusus yang sesuai
dengan persyaratan hukum yang berlaku.
3. Laboratorium harus mendokumentasikan prosedur untuk penerimaan,
referensi dan pengamanan contoh uji. Semua prosedur itu harus sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku atau sesuai perjanjian kontrak.
4 Pada saat penerimaan contoh uji, kondisi contoh uji termasuk setiap
abnormalitas atau penyimpangan kondisi contoh uji terhadap kondisi
standar harus dicatat, yaitu :
a. Kondisi contoh uji bisa mencakup atau berhubungan dengan kerusakan
kuantitas, preparasi, pengepakan, temperatur pada waktu datang
contoh dan lamanya waktu setelah pengambilan contoh uji.
b. preparasi meliputi penambahan bahan kimia pengawet, mengatur
kelembaban, pemisahan contoh uji untuk diujikan, homogenisasi atau
subsampling.
5. Apabila ada keraguan terhadap keberadaan contoh uji untuk diuji , dimana
conto h uji tidak sesuai terhadap deskripsinya, atau uji yang diminta tidak
spesifik, maka laboratorium harus mengkonsultasikan kepada pelanggan
untuk mendapat instruksi lebih lanjut sebelum dilakukan pengujian.
6. Laboratorium harus punya prosedur dokumentasi dan fasilitas untuk
menghindari deteorisasi atau kerusakan contoh selama penyimpanan,
[enangana, preparasi dan pengujian. Persyaratan yang diperlukan untuk
pegepakan kondisi lingkungan dan pemisahan dari bahan-bahan lain
yang tidak sesuai harus diperhatikan. Contoh harus disimpan dalam
kondisi lingkugan yang khusus, dimana kondisi contoh uji harus dijaga,
dimonitor dan dicatat apabila diperlukan.
7. Untuk melindungi kondisi dan integritas contoh uji atau juga untuk akasan
pencatatan, pengamanan, kesahihan data hasil uji dan untuk pegujian
lebih lanjut, maka laboratorium harus mampu menjamin keamanan
contoh uji tersebut. Waktu penyimpanan contoh uji tidak boleh melebihi
penyimpanan dalam metoda pengujian.
8. Pengaruh yang berkelanjutan dari pengujian contoh uji ini harus dijaga
untuk keperluan forensik dalam upaya pembuktian kasus hukum atau
untuk tujuan lain, sehingga laboratorium harus menyusun dan
mendokumentasikan sistem "chain of custody" yang sesuai.

Tabel 1 : Pembagian Ruang Laboratorium Lingkungan


Jarak minimum untuk area kerja/ orang terdapat pada gambar 1

Bagian penunjang untuk kegiatan laboratorium terdiri atas :


- Ruang Staf Laboratorium
- Ruang Pegelolaan Limbah
- Kamar Mandi/ WC
- Ruang Kantin
Luas ruangan untuk keperluan tersebut diatas disesuaikan dengan
kebutuhan dan ketersediaan lahan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.

Salinan sesuai dengan as linya


Sekretaris Utama Bapedal

ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.

Tabel 2 : Persyaratan Sumber Daya Manusia Laboratorium Lingkungan dan


Pelatihan yang dibutuhkan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.

Salinan sesuai dengan as linya


Sekretaris Utama Bapedal

ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.

Tabel 3 : Persyaratan Peralatan Teknis Laboratorium Lingkungan


Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.

Salinan sesuai dengan as linya


Sekretaris Utama Bapedal

ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.
Tabel 4 : Kemampuan Analisis Air Sumber dan Limbah Cair
Tabel 5 : Kemampuan Analisis Udara Ambient
Tabel 6 : Kemampuan Analisis Emisi

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.

Salinan sesuai dengan as linya


Sekretaris Utama Bapedal

ttd.
Dr. Ir. Sunyoto, Dipl.HE.

__________________________________
DAFTAR PERATURAN PERUNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

1. KepMen LH Nomor 07 Tahun 2001 Pejabat Pengawasan Lingkungan Hidup dan


Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah

2. KepMen LH Nomor 56 Tahun 2002 Pedoman Umum Pengawasan Penataan


Lingkungan Hidup bagi Pejabat Pengawas

3. KepMenLH Nomor 57 Tahun 2002 Tata Kerja Pengawas Lingkungan Hidup di


Kementerian Negara Lingkungan Hidup

4. KepMen LH Nomor 58 Tahun 2002 Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
di Propinsi/Kabupaten/Kota

5. KepKa Bapedal Nomor 27 Tahun 2001 Pembentukan Satuan Tugas Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Lingkungan Hidup Di
BAPEDAL

6. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Perihal Pedoman Teknis Yustisial Penanganan
Nomor B-60/E/Ejp/01/02 Perkara Tindak Pidana Lingkungan hidup

7. Keputusan Bersama Kementerian LH, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu


Kejaksaan, Kepolisian Nomor KEP- (SATU ATAP) Menteri Negara Lingkungan Hidup
04/MENLH/04/2004, KEP-208/A/J.A/04/2004, Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
KEP-19/IV/2004 Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 07 TAHUN 2001

TENTANG

PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP


DAN
PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan Menteri


Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dipandang perlu menetapkan
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah yang berwenang melakukan
pengawasan penaatan penanggungjawab usaha dan atau
kegiatan terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran
dan atau kerusakan lingkungan hidup;

b. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditetapkan


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran
Negara tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3952);

4. Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 2000 tentang


Kedudukan Tugas dan Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Menteri Negara;

5. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2000 tentang Badan


Pengendalian Dampak Lingkungan;

1
MEMUTUSKAN :

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAN
PEJABAT PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Pengawasan lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara
langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah untuk mengetahui tingkat
ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan hidup;
2. Pejabat pengawas lingkungan hidup adalah pegawai negeri sipil yang berada
pada Instansi yang bertanggung jawab yang memenuhi persyaratan tertentu
dan diangkat oleh Menteri;
3. Pejabat pengawas lingkungan hidup daerah adalah pegawai negeri sipil yang
berada pada Instansi yang bertanggung jawab daerah yang memenuhi
persyaratan tertentu dan diangkat oleh Gubenur/Bupati/Walikota;
4. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
5. Sekretaris Menteri adalah Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup;
6. Sekretaris Utama adalah Sekretaris Utama Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan;
7. Gubenur adalah Kepala Daerah Propinsi;
8. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan;
10. Instansi yang bertanggung jawab daerah adalah instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup daerah atau instansi
yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup daerah.

BAB II

MEKANISME DAN PERSYARATAN


PENGANGKATAN PEJABAT PENGAWAS

Pasal 2

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang
bertanggung jawab diangkat oleh Menteri.

2
(2) Dalam pelaksanaan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendelegasikan kepada
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 3

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diangkat oleh


Gubenur/Bupati/Walikota.
(2) Pengusaha pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab daerah kepada Gubenur/Bupati/Walikota dengan
tembusan disampaikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 4

Syarat-syarat pegawai negeri sipil yang dapat diangkat menjadi Pejabat


Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah
adalah yang :

1. berpangkat serendah-rendahnya pengatur tingkat I (Golongan II/d);


2. berpendidikan serendah-rendahnya Sarjana Muda (D3)
3. ditugaskan di bidang teknis operasional pada instansi yang bertanggung
jawab dan instansi yang bertanggung jawab daerah;
4. telah mengikuti kursus dasar-dasar AMDAL dan atau kursus dasar-dasar
teknis pengelolaaan lingkungan hidup;
5. telah mengikuti pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan hidup;
6. berbadan sehat dan dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Pasal 5

(1) Di dalam surat pengusulan pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan


Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah wajib dicantumkan :
a. nomor, tahun dan undang-undang yang menjadi dasar hukum pemberian
kewenangan sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat
Pengawas Lingkungan Hidup Daerah; dan
b. wilayah kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah yang diusulkan

(2) Surat pengusulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilampiri :
a. pasfoto hitam putih dengan ukuran 3 x 4 sebanyak dua buah;
b. fotocopy Surat Keputusan Pangkat terakhir;

3
c. fotocopy ijazah terakhir dan sertifikat kursus dasar-dasar AMDAL dan atau
kursus dasar-dasar teknis pengelolaan lingkungan hidup;
d. fotocopy sertifikat pendidikan khusus di bidang pengawas lingkungan
hidup;
e. surat keterangan dokter yang menyatakan pegawai negeri sipil yang
bersangkutan berbadan sehat.

Pasal 6

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup


Daerah melalui persyaratan tertentu dapat diusulkan menjadi calon Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Calon Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Lingkungan Hidup Daerah.

Pasal 7

Apabila semua persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5


telah dipenuhi, Kepala Instansi yang bertanggung jawab/Gubenur/Bupati/
Walikota menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.

Pasal 8

(1) Pegawai negeri sipil yang telah diangkat sebagai Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberikan
tanda pengenal oleh Kepala Instansi yang bertanggung
jawab/Gubenur/Bupati/Walikota.
(2) Kartu tanda pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwarna dasar
hijau yang memuat :
a. Nama;
b. Nomor Induk Pegawai (NIP);
c. Pangkat/Golongan;
d. Nomor SK Pengangkutan;
e. Jabatan;
f. Masa Berlakunya;
g. Pas foto hitam putih ukuran 3 x 4

Pasal 9

Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah sebelum melaksanakan
tugasnya wajib mengangkat sumpah/janji dan dilantik oleh pejabat yang
berwenang dari instansi yang bertanggung jawab dan pejabat yang berwenang
dari instansi yang bertanggung jawab daerah.

4
BAB III

MUTASI PEJABAT PENGAWAS

Pasal 10

(1) Dalam hal terjadi mutasi, baik mengenai jabatan maupun wilayah kerja :
a. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup, maka pimpinan yang membawahi
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang bersangkutan memberitahukan
kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan;
b. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Propinsi, maka Kepala
Instansi yang bertanggung jawab daerah Propinsi memberitahukan kepada
Gubenur dengan tembusan kepada Deputi Bidang Penaatan Hukum
Lingkungan;
c. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota, maka
Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah Kabupaten/Kota
memberitahukan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Deputi
Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.
(2) Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a wajib segera melaporkan mutasi Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 11

Kepala Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10


ayat (1) huruf b, dan huruf c dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya laporan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup menerbitkan
Surat Keputusan Mutasi.

Pasal 12

Gubenur /Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf


b, dan huruf c dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
laporan mutasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan Surat
Keputusan Mutasi.

BAB IV

PEMBERHENTIAN PEJABAT PENGAWAS

Pasal 13

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang berada pada Instansi yang
bertanggung jawab diberhentikan oleh Menteri.

5
(2) Dalam pelaksanaan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri mendelegasikan kepada
Kepala Instansi yang bertanggung jawab.
(3) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diajukan oleh Deputi Bidang Penaatan
Hukum Lingkungan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 14

(1) Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah diberhentikan oleh


Gubenur/Bupati/Walikota.
(2) Pengusulan pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diajukan oleh Kepala Instansi yang
bertanggung jawab daerah kepada Gubenur/Bupati/Walikota dengan
tembusan disampaikan kepada Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 15

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup


Daerah diberhentikan karena :

a. berhenti sebagai pegawai sipil baik karena pensiun atau berhenti atas
permintaan sendiri;
b. atas permintaan sendiri untuk berhenti sebagai pejabat pengawas;
c. melanggar disiplin kepegawaian;
d. mutasi pada instansi lain;
e. mutasi pada unit lain dalam lingkungan instansi atau di luar lingkungan
instansi yang bertanggung jawab atau instansi yang bertanggung jawab
daerah sehingga bidang tugasnya menjadi tidak relevan lagi; atau
f. meninggal dunia.

Pasal 16

Dalam hal terjadinya pemberhentian sebagai Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup


dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah, di dalam surat pengusulan
pemberhentian wajib disertakan alasan-alasan pemberhentiannya.

Pasal 17

Kepala Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat pengusulan
pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup menerbitkan Surat
Keputusan Pemberhentian.

6
Pasal 18

Gubenur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dalam waktu


paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat pengusulan
pemberhentian Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah menerbitkan Surat
Keputusan Pemberhentian.

BAB V

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pasal 19

Pembinaan, bimbingan, pelatihan, dan arahan serta pengawasan pelaksanaan


tugas Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Penjabat Pengawas Lingkungan
Hidup Daerah, dilakukan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan
Kepala Instansi yang bertanggung jawab daerah.

Pasal 20

Koordinasi pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sehari-


harinya dilakukan oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.

Pasal 21

Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas


Lingkungan Hidup Daerah dan Pedoman Pelaksanaan Pengawasan ditetapkan
dengan Keputusan Kepala Instansi yang bertanggung jawab.

BAB VI
PENUTUP
Pasal 22

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 8 Maret 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Dr. A. Sonny Keraf

7
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
NOMOR : 27 TAHUN 2001

TENTANG
PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
(PPNS)
LINGKUNGAN HIDUP DI BAPEDAL

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN

Menimbang : a.bahwa dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum tindak


pidana lingkungan berdasarkan pasal 41-48 Undang-Undang
No 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
diperlukan penyidikan yang terencana dan terpadu;

b. bahwa Penyidik yang ada di Badan Pengelolaan Dampak


Lingkungan tersebar di beberapa unit kerja, oleh karena itu
pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dapat berhasil apabila penyidikan dilakukan oleh satuan tugas
penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup secara
terkoordinasi;

c. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas di pandang perlu


menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan tentang Satuan Tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Lingkungan Hidup di Bapedal;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-


undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan beracun (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3815), sebagaimana telah diubah dengan peraturan
Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3910);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3816);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor

1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang
Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4068);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang


Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan
Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4076);

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 178 Tahun 2000


tentang Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah
Non Departemen;

9. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan


Nomor 25 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN


TENTANG PEMBENTUKAN SATUAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI
SIPIL (PPNS) LINGKUNGAN HIDUP DI BAPEDAL.

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi


wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan;

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut


PPNS Lingkungan Hidup adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan
Hidup yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia yang
tugas dan fungsinya melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan
hidup berdasarkan ketentuan Pasal 40 Undang-undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

3. Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup adalah unit yang melaksanakan


kegiatan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup yang anggotanya
terdiri dari seluruh PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal;

4. Sekretariat adalah unit pelayanan administrasi penanganan kasus-kasus


tindak pidana lingkungan hidup di Bapedal;

5. Koordinator satuan tugas adalah penanggung jawab kegiatan penyidikan


tindak pidana lingkungan hidup.

Pasal 2

(1) Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal melaksanakan penyidikan


dalam upaya penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan

2
pasal 40 Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;

(2) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup berada dibawah koordinasi Kepala
Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan;

(3) Dalam Pelaksanaan Teknis Operasional, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup
di Bapedal dipimpin oleh Kepala Sub Direktorat Penyidikan Kasus Lingkungan
Hidup.

Pasal 3

Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di


Bapedal, Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan wajib melakukan koordinasi dengan kepala unit kerja yang terkait
lain di lingkungan Bapedal dan Instansi lainnya.

Pasal 4

Satuan tugas PPNS Lingkungan Hidup mempunyai Wilayah Kerja diseluruh


wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 5

(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup melakukan Penyidikan Tindak Pidana
Lingkungan Hidup secara terkoordinasi dan berwenang untuk:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau Badan Hukum yang diduga
melakukan tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau Badan Hukum
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
d. Melakukan pemeriksaan atas Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di Lingkungan Hidup;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti, Pembukuan, Catatan, dan Dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang Lingkungan Hidup;
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana Lingkungan Hidup;

(2) Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup mempunyai fungsi:
a. Menindak lanjuti laporan Pengaduan Kasus;
b. Melakukan Pengumpulan bahan keterangan;
c. Melaksanakan kegiatan penyidikan;
d. Menyusun dan Menyerahkan Berkas Perkara.

Pasal 6

3
(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dibentuk sesuai media lingkungan yang
meliputi:
a. Penanganan kasus pencemaran air dan kerusakan tata air.
b. Penanganan kasus pencemaran udara;
c. Penanganan kasus pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3) dan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3);
d. Penanganan kasus pencemaran dan /atau kerusakan tanah;
e. Penanganan kasus pencemaran dan/atau perusakan pesisir dan lautan;
f. Penanganan kasus pencemaran kerusakan akibat kebakaran hutan dan
lahan;
g. Penanganan kasus kerusakan keanekaragaman hayati.

(2) Setiap Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup diketuai oleh seorang
Koordinator.

Pasal 7

(1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) terdiri dari anggota PPNS Lingkungan Hidup yang mempunyai
keahlian teknis sesuai dengan bidang masing-masing.

(2) Keahlian teknis yang dimaksud pada ayat (1) di atas,meliputi keahlian:

a. pencemaran air dan tata air;


b. pencemaran udara;
c. pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3);
d. pencemaran dan/atau kerusakan tanah;
e. pencemaran dan/atau kerusakan pesisir dan lautan;
f. pencemaran dan/atau kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan;
g. kerusakan keanekaragaman hayati.

(3) Susunan keanggotaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal


ditetapkan lebih lanjut oleh Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan.

Pasal 8

(1) Untuk membantu pelaksanaan Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di


bentuk Sekretariat yang bertugas melaksanakan pelayanan kegiatan
administrasi harian;

(2) Sekretariat seperti dimaksud pada ayat (1) di atas akan dibentuk dan berada
dibawah Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan.

Pasal 9

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup


dilengkapi dengan sarana pendukung;

4
(2) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Petunjuk Teknis.

Pasal 10

(1) Selain Surat Perintah Penyidikan (SPP) dalam melaksanakan tugasnya,


Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup diberikan surat penugasan dari Kepala
Direktorat Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Lingkungan atas
nama Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan;

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, setiap PPNS Lingkungan Hidup wajib


membawa Surat Perintah Penyidikan (SPP), Surat Tugas, Tanda Pengenal
yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sarana yang diperlukan.

Pasal 11

Tanda Pengenal sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) memuat :

a. Nama lengkap
b. Nomor Induk Pegawai
c. Pangkat/Golongan
d. Nomor Surat Keputusan Pengangkatan
e. Jabatan
f. Masa berlaku
g. Nama dan tandatangan pejabat yang mengangkat
h. Foto identitas diri

Pasal 12

(1) Untuk mendapatkan bukti permulaan di lapangan, PPNS Lingkungan Hidup


melakukan pengambilan dan pemeriksaan contoh limbah secara langsung;
(2) Untuk pengambilan dan pemeriksaan contoh limbah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup bekerjasama dengan
personil laboratorium lingkungan;
(3) Untuk keperluan pemberkasan, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dapat
meminta bantuan keterangan ahli tentang kasus tindak pidana lingkungan
hidup yang berkaitan.

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup di Bapedal


wajib bekerjasama dengan PPNS Lingkungan Hidup di propinsi/Kabupaten/kota
dan instansi atau sektor terkait.

Pasal 14

5
Dalam melaksanakan tugasnya, Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup wajib
memberikan laporan kepada Kepala Direktorat Penegakan Hukum dan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan sebagai berikut:
a. laporan hasil klarifikasi dan verifikasi informasi kasus ;
b. laporan hasil persiapan penyidikan ;
c. laporan kelengkapan bukti-bukti untuk dilakukan penyidikan ;
d. laporan evaluasi kemajuan pelaksanaan penyidikan ;
e. laporan pemberkasan

Pasal 15

Setiap anggota Satuan Tugas PPNS Lingkungan Hidup dalam melaksanakan


tugasnya diberikan hak-hak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 16

Segala biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan Satuan
Tugas PPNS Lingkungan Hidup ini dibebankan kepada anggaran Bapedal.

Pasal 17

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 29 Maret 2001

Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan,

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Sekretaris Utama Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,

Dr.Ir.Sunyoto,Dipl.HE

Anda mungkin juga menyukai