Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PKN

Penegakan Hukum di Indonesia


Dosen Pembimbing : Drs. Supriyadi, M.Si

Disusun Oleh:

Dzakiyyah Aanisah (190810101069)


Febrina Mila A.P.N (190803102003)
Fira Risky Amalia (190803104029)
Yulisah Saputri (19080102005)
Kelas : 67

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS JEMBER
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara mempunyai peraturan-peraturan dan hukum,dan begitu juga
dengan Negara Indonesia. Negara Indonesia adalah Negara hukum, yang
mempunyai peraturan-peraturan hukum, yang sifatnya memaksa seluruh
masyarakat atau rakyat Indonesia harus patuh terhadap peraturan-peraturan
atau kebijakan-kebijakan hukum di Indonesia. Bahkan juga memaksa orang
asing yang berada di wilayah Indonesia untuk patuh terhadap hukum yang
ada di Negara indonesia. Dan Negara pun membentuk badan penegak
hukum untuk mempermudah dalam mewujudkan Negara yang adil dan
makmur. Tetapi tidak dapat dipungkiri di Negara kita masih banyak
kesalahan dalam menegakan hukum di Negara kita. Dan masih banyak juga
ketidakadilan dalam melaksanakan hukum yang berlaku.
Tetapi, itu bukanlah salah dalam perumusan hukum, melainkan salah
satu keteledoran badan-badan pelaksana hukum di Indonesia. Akibat dari
keteledoran tersebut banyak sekali pelangaran-pelangaran hukum,dan
pelangar-pelangar hukum yang seharusnya di adili dan dikenakan sanksi
yang seharusnya,malah dibiarkan begitu saja.dan hal ini sangat berdampak
buruk bagi masa depan Negara ini. Pada makalah ini akan dijelaskan
beberapa kasus pelanggaran dan ketimpangan hukum yang terjadi di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah masalah penegakan hukum di Indonesia?
2. Apa saja kasus-kasus penegakan hukum yang ada di Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami permasalahan mengenai penegakan hukum di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui kasus-kasus yang berhubungan dengan penegakan
hukum di Indonesa
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kasus Nenek Minah
Nenek Minah (55) tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik 3
buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan
menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk
perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa
percobaan 3 bulan.
 Penyebab
Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen
kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan,
Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu.
Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam
kakao.
 Kronologis
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3
buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah
kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya.
Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan
digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang,
lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun
bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah
mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu
tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya
salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan
melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan
kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali
bekerja.
 Penyelesaian
Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian
dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus
berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa
kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Dan hari ini,
Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang
Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan
selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian. Selama persidangan yang
dimulai pukul 10.00 WIB, Nenek Minah terlihat tegar. Sejumlah kerabat,
tetangga, serta aktivis LSM juga menghadiri sidang itu untuk
memberikan dukungan moril. Suasana persidangan Minah berlangsung
penuh keharuan. Selain menghadirkan seorang nenek yang miskin
sebagai terdakwa, majelis hakim juga terlihat agak ragu menjatuhkan
hukum. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH,
terlihat menangis saat membacakan vonis. "Kasus ini kecil, namun sudah
melukai banyak orang," ujar Muslih.
 Solusi
Nenek Minah tetap dipenjara dengan vonis hakim selama 1 bulan 15 hari
dan masa percobaan selama 3 bulan.
2. Kasus Prita Mulyasari
 Penyebab
Prita menulis surat elektronik tentang tanggapan serta keluhan atas
perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis, namun surel tersebut
kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa
harus membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke
media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata
maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik. Jika dilihat dari
sudut pandang ekonomi yang dilakukan Prita hanyalah mengungkapkan
kekecewaannya sebagai seorang konsumen yang tidak puas akan
pelayanan dari produsen, dimana hak konsumen untuk menyampaikan
keluhan, dan hak atas kenyamanan dalam pelayanan itu diakui UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
 Kronologis
7 Agustus 2008, 20:30 
Prita Mulyasari datang ke RS Omni Internasional dengan keluhan panas
tinggi dan pusing kepala. Hasil pemeriksaan laboratorium: Thrombosit
27.000 (normal 200.000), suhu badan 39 derajat. Malam itu langsung
dirawat inap, diinfus dan diberi suntikan dengan diagnosa positif demam
berdarah. 

8 Agustus 2008 
Ada revisi hasil lab semalam, thrombosit bukan 27.000 tapi 181.000.
Mulai mendapat banyak suntikan obat, tangan kiri tetap diinfus. Tangan
kiri mulai membangkak, Prita minta dihentikan infus dan suntikan. Suhu
badan naik lagi ke 39 derajat. 

9 Agustus 2008 
Kembali mendapatkan suntikan obat. Dokter menjelaskan dia terkena
virus udara. Infus dipindahkan ke tangan kanan dan suntikan obat tetap
dilakukan. Malamnya Prita terserang sesak nafas selama 15 menit dan
diberi oksigen. Karena tangan kanan juga bengkak, dia memaksa agar
infus diberhentikan dan menolak disuntik lagi.  

10 Agustus 2008 
Terjadi dialog antara keluarga Prita dengan dokter. Dokter menyalahkan
bagian lab terkait revisi thrombosit. Prita mengalami pembengkakan pada
leher kiri dan mata kiri. 

11 Agustus 2008 
Terjadi pembengkakan pada leher kanan, panas kembali 39 derajat. Prita
memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan mendapatkan data-data
medis yang menurutnya tidak sesuai fakta. Prita meminta hasil lab yang
berisi thrombosit 27.000, tapi yang didapat hanya informasi thrombosit
181.000. Pasalnya, dengan adanya hasil lab thrombosit 27.000 itulah dia
akhirnya dirawat inap. Pihak OMNI berdalih hal tersebut tidak
diperkenankan karena hasilnya memang tidak valid. Di rumah sakit yang
baru, Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi karena dia terserang virus
yang menular. 

15 Agustus 2008 
Prita mengirimkan email yang berisi keluhan atas pelayanan diberikan
pihak rumah sakit ke customer_care@banksinarmas.com dan ke
kerabatnya yang lain dengan judul "Penipuan RS Omni Internasional
Alam Sutra". Emailnya menyebar ke beberapa milis dan forum online. 

30 Agustus 2008 
Prita mengirimkan isi emailnya ke Surat Pembaca Detik.com. 

5 September 2008 
RS Omni mengajukan gugatan pidana ke Direktorat Reserse Kriminal
Khusus. 
22 September 2008 
Pihak RS Omni International mengirimkan email klarifikasi ke seluruh
pelanggannya. 

8 September 2008 
Kuasa Hukum RS Omni Internasional menayangkan iklan berisi
bantahan atas isi email Prita yang dimuat di harian Kompas dan Media
Indonesia. 

24 September 2008 
Gugatan perdata masuk. 

11 Mei 2009 
Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan Gugatan Perdata RS Omni.
Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni.
Prita divonis membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai
pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan 100 juta untuk kerugian
imateril. Prita langsung mengajukan banding. 

13 Mei 2009 
Mulai ditahan di Lapas Wanita Tangerang terkait kasus pidana yang juga
dilaporkan oleh Omni. 

2 Juni 2009 
Penahanan Prita diperpanjang hingga 23 Juni 2009. Informasi itu
diterima keluarga Prita dari Kepala Lapas Wanita Tangerang. 

3 Juni 2009 
Megawati dan JK mengunjungi Prita di Lapas. Komisi III DPR RI
meminta MA membatalkan tuntutan hukum atas Prita. Prita dibebaskan
dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Statusnya diubah
menjadi tahanan kota. 

4 Juni 2009 
Sidang pertama kasus pidana yang menimpa Prita mulai disidangkan di
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. 

Update kronologi:

25 Juni 2009
Prita diputus bebas oleh PN Tangerang.

29 September 2010
Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi Banten yang sebelumnya mengabulkan gugatan
perdata Omni dan memerintahkan Prita membayar ganti rugi Rp 204 juta
atas perbuatan pencemaran baik. Sidang kasasi dipimpin oleh Ketua MA
Harifin Tumpa.

30 Juni 2011
MA mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Majelis hakim yang dipimpin oleh Imam Harjadi, Zaharuddin Utama dan
Salman Luthan ini memvonis Prita 6 bulan penjara dengan masa
percobaan 1 tahun. Prita tidak dipenjara sepanjang tidak mengulangi
perbuatannya dalam waktu satu tahun ke depan. Tapi Hakim Salman
menyatakan beda pendapat, menurutnya Prita tidak bersalah.

17 September 2012
Mahkamah Agung membebaskan Prita dari semua dakwaan alias bebas
murni. Putusan itu dibacakan dalam sidang Peninjauan Kembali (PK)
oleh majelis PK yang diketuai Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko
Sarwoko beranggotakan hakim anggota hakim agung Surya Jaya dan
Suhadi. Majelis memerintahkan agar Prita dipulihkan nama baik, harkat,
dan kedudukannya.

NB: Kejadian di RS Omni International berdasarkan email/surat


pembaca yang dibuat Prita.  
 Penyelesaian
Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dimana surel
yang dimuat Prita itu tidak bermuatan penghinaan dan atau pencemaran
nama baik. Kalimat dalam surel adalah kritik yang dilakukan Prita demi
kepentingan umum. Tujuannya agar masyarakat terhindar dari praktek-
praktek rumah sakit dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan
medis yang baik terhadap orang sedang sakit yang mengharapkan
sembuh dari sakit. Dengan demikian Prita terbukti tidak terbukti
melakukan tindakan pidana dan/atau perdata yang dijerat dengan pasal-
pasal tersebut.
Dalam undang-undang dijelaskan bahwa hak konsumen untuk
menyampaikan keluhannya mengenai pelayanan publik, tapi dalam hal
ini terjadi ketidak selarasan yang menimbulkan kebingungan antara UU
ITE dengan UU konsumen. UU ITE juga dianggap oleh banyak pihak
bahwa undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi,
mengeluarkan pendapat dan menghambat kreativitas dalam berinternet,
padahal negara juga menjamin kebebasan untuk hak berpendapat di
Indonesia.
 Solusi
Sebagai informasi kasus Prita diperkarakan setelah mengirim e-
mail berisi kritikan atas pelayanan buruk di Rumah Sakit Omni
International. Ketika proses hukum bergulir, ibu rumah tangga itu ditahan
di Lapas Wanita Tangerang.
Akibat kasus Prita, pria yang akrab dipanggil Nando ini
mengatakan revisi UU ITE mulai digaungkan oleh beberapa pihak.
Belum lagi mengingat kasus Prita ini terjadi di tahun politik Pilpres
2009. Sementara UU ITE baru ditetapkan pada 21 April 2018.
"Mulai saat itu komentar pembicaraan muncul lagi untuk dirubahkan UU
ITE, hanya satu tahun setelah peraturan diundangkan atau terbit, sebagian
masyarakat punya pandangan sebaiknya perlu direvisi. Antara lain untuk
ancaman pidana pencemaran nama baik," tutur Nando dalam siaran
langsung YouTube 'Tok Tok Kominfo', Rabu (6/2).
Nando menjelaskan kasus Prita ini sangat diperhatikan masyarakat
karena Prita hanya bermaksud mengkritik RS Omni melalui email yang
dikirimkan kepada teman-temannya. Kemudian pihak oposisi pemerintah
juga menggoreng isu ini untuk melawan pihak petahana. "Tahun 2009 itu
ada kasus yang sangat terkenal kasus Prita Mulyasari, biasa kalau kasus
yang dihubungkan pilpres dan pesta demokrasi ramai digoreng soal
keluhan dia di RS," kata Nando.
Nando kemudian mengatakan pada 2014, Rudiantara menjabat
sebagai Menkominfo. Salah satu fokus Rudiantara melaukan revisi UU
ITE. Salah satu poin yang direvisi yakni penurunan ancaman pidana
pencemaran nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun. Revisi UU
ITE kemudian ditetapkan pada tahun 2016. "Akhirnya kami timbang dan
kemudian tahun 2014 ketika pemerintah baru naik, akhirnya Rudiantara
memerintahkan serius RUU ITE pada Oktober 2014. Akhirnya kami
rapat rutin  dengan lembaga non pemerintah, Kemenkumham, Pakar,
Kejaksaan Agung, dan Polri," kata Nando.
3. Kasus Romi
 Penyebab
Kasus jual beli jabatan rektor salah satu universitas di Jakarta
belakangan ramai dibicarakan, dan merembet dari kasus jual beli jabatan
di lingkungan Kementerian Agama yang menjerat Romi sebagai
tersangka di dalamnya. KPK juga telah mengidentifikasi nama pejabat
Kementeriaan Agama (Kemenag) yang ikut membantu Romi mengurus
jual-beli jabatan.
Romi ditetapkan tersangka bersama dua orang lainnya yakni,
Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik, Muhammad Muafaq
Wirahadi dan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenag Provinsi
Jawa Timur (Jatim), Haris Hasanuddin.
Dalam perkara ini, Muafaq Wirahadi dan Haris Hasanuddin diduga
telah menyuap Romi untuk mengurus proses lolos seleksi jabatan di
Kemenag. Adapun, Muhammad Muafaq mendaftar untuk posisi Kepala
Kantor Kemenag Kabupaten Gresik. Sedangkan Haris, mendaftar sebagai
Kakanwil Kemenag Provinsi Jatim.

 Kronologi
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur,
Haris Hasanudin, divonis bersalah dengan hukuman dua tahun penjara.
Haris dinilai terbukti menyuap Ketua Umum Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) non-aktif yang juga anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) 2014-2019 Romahurmizy alias Romi dan Menteri Agama
Lukman Hakim Saifuddin sebesar Rp 325 juta. "Tentu sudah kami
identifikasi (pejabat Kemenag yang bantu Romi) ya, tapi sampai saat ini
tentu belum bisa disampaikan," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di
kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (19/3/2019).
Selain itu, lembaga antikorupsi itu juga telah melakukan
penggeledahan di tiga lokasi pada Senin, 18 Maret 2019, kemarin. Tiga
lokasi tersebut yakni Kementeriaan Agama, Kantor DPP PPP, dan
Rumah Romi di Condet. Dalam penggeledahan tersebut, KPK menyita
uang ratusan juta dalam pecahan Dollar Amerika dan rupiah saat
menggeledah ruang kerja Menag, Lukman Hakim Saifuddin serta
dokumen-dokumen di ruangan lainnya. KPK juga mengamankan laptop
dari rumah Romi.
Pada Desember 2018, Haris yang menjabat sebagai Kepala Bidang
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah Kanwil Kemenag Jatim
sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Kanwil Kemenag Jatim
mendaftar sebagai calon Kakanwil Kemenag Jatim yang disetujui atasan
langsung yaitu Kepala Biro Kepegawaian Kemenag RI Ahmadi. Padahal
pada 2016, Haris pernah dijatuhi sanksi disiplin berupa penundaan
kenaikan pangkat selama 1 tahun sedangkan salah satu persyaratan
menduduki jabatan tersebut adalah tidak pernah dijatuhi sanski hukuman
disiplin sedang atau berat selama lima tahun terakhir.
Haris bermaksud meminta bantuan langsung kepada Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin, namun Haris sulit menemuinya.
Sehingga, oleh Ketua DPP PPP Jatim Musyaffak Noer disarankan
menemui Romi selaku Ketua Umum PPP mengingat Menag Lukman
Hakim adalah kader PPP yang punya kedekatan khusus dengan Romi.
Atas saran tersebut, pada 17 Desember 2018 Haris menemui Romi
di rumahnya dan menyampaikan keinginannya menjadi Kakanwil
Kemenag Jatim dan meminta bantuan Romi untuk menyampaikan hal itu
kepada Lukman Hakim. Karena ada perintah dari Romi kepada Lukman
Hakim, pada 31 Desember 2018, Nur Kholis atas arahan Lukman Hakim
memerintahkan Ahmadi selaku panitia pelaksana seleksi menambahkan
dua orang peserta dalam berita acara yaitu Haris Hasanudin dan Anshori.
Untuk memuluskan proses seleksi jabatan tersebut, Haris
mendatangi kediaman Romi dan menyerahkan uang sebesar Rp250 juta
pada 6 Februari 2019, sesuai dengan komitmen sebelumnya. Saat itu,
KPK menduga telah terjadi pemberian suap tahap pertama.
Kemudian, pada pertengahan Februari 2019, pihak Kemenag
menerima informasi bahwa nama Haris Hasanuddin tidak diusulkan ke
Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saefuddin. Sebab, Haris diduga
pernah mendapatkan hukuman disiplin.
KPK menduga telah terjadi kerjasama antara pihak-pihak tertentu
untuk tetap meloloskan Haris Hasanuddin sebagai Kakanwil Kemenag
Provinsi Jatim.
Selanjutnya, Haris Hasanuddin dilantik oleh Menag sebagai
Kakanwil Kemenag Jatim pada awal Maret 2019. Setelah Haris lolos
seleksi dan menjabat Kakanwil Kemenag Jatim, Muafaq meminta
bantuan kepada Haris untuk dipertemukan dengan Romi.
Pada tanggal 15 Maret 2019, Muafaq, Haris, dan Calon Anggota
DPRD Kabupaten Gresik dari PPP, Abdul Wahab menemui Romi untuk
menyerahkan uang Rp50 juta terkait kepentingan jabatan Muafaq.
Sebagai pihak yang diduga penerima suap, Romi disangkakan
melanggar pasal 12 huruf a atau b ayat (1) atau Pasal 11 Undang Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP.
Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Muafaq dan Haris
disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terhadap Muafaq, KPK mengenakan Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP.
 Penyelesaian
"Menyatakan, terdakwa Haris Hasanuddin terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama dua tahun
ditambah denda sebesar Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan," kata
ketua majelis hakim Hastoko di pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Jakarta, Rabu (7/8).
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum
(JPU) KPK yang meminta agar Haris dihukum selama tiga tahun penjara
ditambah denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan. Haris dinilai
terbukti melakukan dakwaan pertama pasal 5 ayat 1 huruf b UU No 31
tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 64 ayat 1 KUHP.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor juga menolak permohonan
Haris untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak
hukum (justice collaborator) atau JC. "Terdakwa tidak memenuhi
kualifikasi sebagai justice collaborator," tambah hakim Hastoko.
"Berdasarkan fakta-fakta tersebut, majelis hakim berpendapat
bahwa pemberian uang oleh Haris kepada saksi Romahurmuziy dan
Lukman Hakim Saifudin yang mana pemberian uang tersebut terkait
dengan terpilihnya dan diangkatnya terdakwa sebagai kepala kantor
wilayah Kemenag Jatim sebagaimana diuraikan di atas, maka menurut
majelis hakim unsur memberi sesuatu dalam perkara telah terpenuhi dan
ada dalam perbuatan terdakwa," ungkap hakim Hastopo. Atas vonis
tersebut, Haris langsung menyatakan menerima. Sedangkan, JPU KPK
menyatakan pikir-pikir. Saat bersaksi di persidangan untuk terdakwa
Haris pada 26 Juni, Lukman membantah bila ia melakukan intervensi
dalam seleksi jabatan tinggi di Kemenag. Adapun, Romi mengaku
menerima uang Rp 250 juta dari Haris Hasanudin.
 Solusi
"Haris memberikan satu tas hitam yang diakuinya sebagai uang tapi
saya tidak membuka," kata Romi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Rabu (26/6) malam. KPK menyangkakan RMY melanggar pasal
pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1
ke-1 KUHPidana. HRS melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b
atau pasal 13 UU Tipikor. MFQ disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1
huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHPidana.
4. Kasus Mantri Desa Misran
 Penyebab
Kepala Puskesmas Pembantu di Kuala Samboja, Kutai
Kertanegara, Kalimantan Timur, Misran, yang juga seorang perawat
dipidana 3 bulan penjara oleh hakim. Dia dipidana karena memberikan
resep obat kepada masyarakat. Akibat putusan hakim PN Tenggarong ini,
Misran meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa
UU yang menjeratnya bertentangan dengan UUD 1945. “Saya meminta
keadilan kepada hakim MK karena saya memberikan resep adalah tugas
saya sebagai tenaga medis,” ujar Misran, Selasa (6/4).
 Kronologi
Peristiwa tersebut bermula terjadi sekitar Maret 2009, dia
memberikan obat penyembuh rasa sakit kepada pasiennya. Tapi tanpa
pemberitahuan, tiba-tiba polisi dari Direktorat Reserse dan Narkoba
(Direskoba) menggelandangnya ke Mapolda Kaltim dengan tuduhan
memberikan resep tanpa keahlian. “Saya ditahan selama 8 hari. Setelah
itu diberikan status tahanan luar,” ujar perawat yang mendapat
penghargaan sarjana kesehatan masyarakat teladan tingkat kabupaten
tersebut.
Tapi aparat penegak hukum yakni polisi dan jaksa terus memproses
Misran dan berakhir di meja hijau. Dalam putusannya tertanggal 19
November 2009, hakim PN Tengarong yang diketuai oleh Bahuri dengan
hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus
hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan
penjara. Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang
Kesehatan pasal 82 (1) huruf D juncto Pasal 63 (1) UU No 32/1992
tentang Kesehatan. “Kalau bukan kami, siapa lagi yang akan menolong
masyarakat. Jika harus ke dokter, perjalanan dari pedalaman Kalimantan
butuh waktu berjam-jam sehingga tak mungkin pasien tertolong,”
kisahnya.
Akibat putusan ini, Misran minta keadilan hakim MK karena
merasa di zalimi oleh UU. Tiap dua pekan sekali, dia terbang dari Kaltim
ke Jakarta dengan bantuan biaya tiket pesawat dari Bupati untuk
bersidang di MK. “Saya meminta keadilan bukan sebagai Misran. Tapi
sebagai perawat karena ribuan perawat di Indonesia mempunyai nasib
yang sama dengan kami,” katanya.
 Penyelesaian
Kalangan masyarakat pun menyesalkan putusan pengadilan
tersebut. LBH Jakarta menilai kasus ini akibat kelalai pemerintah dalam
menyiapkan struktur medis. Seharusnya Departemen Kesehatan segera
membuat struktur organisasi untuk mendukung perintah UU tersebut.
Kecaman pun langsung mengalir dari berbagai kalangan, bahkan dari
kalangan medis sendiri.
Mantri tsb- Misran – mendapatkan “pembelaan” melalui berbagai
pendapat dari sekretaris dinas kesehatan bersangkutan yang juga seorang
dokter,sampai kriminolog dan pengamat kesehatan. Melalui tulisan ini
saya ingin berbagi pendapat, dan minta tolong kepada mereka yang
punya kapasitas untuk menterjemahkan UU kedalam peraturan
pelaksanaannya : bahwa ada 3 jenis kewenangan,
1. kewenangan yang didapat karena keahlian (authority by expertise),
2. kewenangan yang didapat karena posisi (authority by position),
3. kewenangan yang didapat karena situasi (authority by situation)
Pada kasus ini, pastilah jenis kewenangan yang pertama tidak
berlaku bagi dirinya karena Pak Misran bukan dokter – dan untuk itu dia
dipidanakan, tetapi ada dua jenis kewenangan yang lain yang menurut
saya dapat diberlakukan dalam kasus ini yaitu kewenangan yang didapat
karena posisi yang disandang, dalam konteks ini ybs sebagai kepala
puskesmas pembantu yang memang harus mengambil alih tanggung
jawab apabila dokter tidak ada di area/ditempat; dan jenis kewenangan
ketiga yaitu kewenangan yang didapat karena situasi (authority by
situation), dalam kasus ini yang bersangkutan bekerja dipedalaman
kalimantan yang menurut sekretaris dinas kesehatan setempat memang
ditempatkan disana sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan karena
ketiadaan dokter.
"Meski saat ini Misran masih kasasi, tapi untuk kasus Misran,
Mahkamah Agung (MA) tidak ada kewajiban memperhatikan putusan
MK jika mengabulkan. Karena, kasus Misran terjadi beberapa bulan
sebelum putusan MK. Sedangkan MA hanya menilai kasus saat PN
memberikan putusan yaitu pasal tersebut masih belaku atau tidak,"
tambahnya.
Walaupun demikian, jika MK memenangkan, maka putusan MK
akan menguntungkan mantri atau bidan desa di seluruh Indonesia.
Pasalnya, MK telah menghilangkan pasal yang mengkriminalkan petugas
medis di pelosok nusantara.
"Walau Misran tetap bisa dipidana, tapi ini bentuk perlindungan
hukum bagi tenaga medisnya. Karena putusan MK bisa menjadikan
payung hukum bagi Misran-Misran lainnya. Yang bisa membebaskan
pidana Misran kini hanyalah hakim yang memegang kasasi di MA,"
pungkasnya.
 Solusi
Dalam permohonan ke MK, Misran meminta pasal 180 UU
Kesehatan untuk dihilangkan karena dianggap bertentangan dengan
konstitusi. Pasal tersebut menyebutkan, orang yang berhak memberikan
obat jenis tertentu hanya tenaga farmasi. Akibatnya, mantri desa di
pedalaman terancam dikriminalisasikan.
Putusan PN Tenggarong ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda,
beberapa bulan setelah itu. Merasa dizalimi, 13 mantri pun memohon
keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan.
Mereka meminta pasal yang menjadikan mereka di penjara dicabut
karena pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, meski nantinya permohonan Misran dikabulkan, ayah 4
anak tersebut tetap harus tetap meringkuk di penjara. Meski demikian,
jika MK memenangkan, maka putusan MK akan menguntungkan mantri
atau bidan desa di seluruh Indonesia. Pasalnya, MK telah menghilangkan
pasal yang mengkriminalkan petugas medis di pelosok Nusantara.
5. Kasus Baiq Nuril
 Penyebab
Nama mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara
Barat (NTB), Baiq Nuril Maknun, menuai perbincangan usai dinyatakan
bersalah menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan dan dihukum enam
bulan penjara serta denda Rp500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah
Agung (MA).
Baiq Nuril pun merasa diperlakukan tidak adil lantaran dirinya
adalah korban kasus perbuatan pelecehan yang dilakukan Kepala Sekolah
SMAN 7 Mataram, M. Pelecehan itu disebutnya terjadi lebih dari sekali.
 Kronologi
Rentetan kasus pelecehan itu dimulai pada medio 2012. Saat itu,
Baiq masih berstatus sebagai Pegawai Honorer di SMAN 7 Mataram.
Satu ketika dia ditelepon oleh M. Perbincangan antara M dan Baiq
berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan
itu, hanya sekitar 5 menitnya yang membicarakan soal pekerjaan.
Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan
wanita yang bukan istrinya.
Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan
terhadap Baiq. Terlebih M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun
merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak
hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan
gelap dengan M.
Merasa jengah dengan semua itu, Baiq berinisiatif merekam
perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan
dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu,
Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya
terancam. Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja
Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam
ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Diketahui, penyerahan rekaman percakapnnya dengan M Baiq itu
hanya dilakukan dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan
rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya
dilakukan oleh Imam.
Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun
melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut
disebarkan oleh Imam, namun malah Baiq yang dilaporkan oleh M.
Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan
diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah
dan membebaskannya dari status tahanan kota.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan
banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26
September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah.
 Penyelesaian
Baiq Nuril tetap dihukum dengan enam bulan penjara dan denda
Rp500 juta setelah dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala
sekolah tempat ia pernah bekerja.
Namun eksekusi hukuman tersebut ditunda oleh kejaksaan dan saat
ini perempuan asal Nusa Tenggara Barat itu masih bebas. Salah satu
pengacara Nuril, Joko Jumadi, menyatakan bahwa kliennya "sudah siap
menerima apapun putusan PK" namun berharap ia menjadi "korban
terakhir yang dikriminalisasi".
Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang
baru diterima 9 November 2018 menyatakan Baiq Nuril bersalah
melakukan tindak pidana, "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan."
Ia kemudian dihukum enam bulan penjara dan dipidana denda
senilai Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka
diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Putusan ini menuai kritik dan jadi bahan perbincangan. Dalam rilis
resminya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut hakim
seharusnya berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan
Berhadapan dengan Hukum. Pasal 3 huruf b Perma tersebut
menyebutkan hakim mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang
diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum.
 Solusi
Ditanyai bagaimana kondisi Nuril menghadapi putusan ini, Joko
mengatakan bahwa perempuan itu "relatif tegar". "Dia menyampaikan
bahwa tidak apa-apalah dia yang menjalani pidana penjara ini, asalkan
dia menjadi perempuan terakhir yang menjadi korban yang harus
menjalani pidana," ujarnya. Joko mengaku tidak tahu kapan hukuman
terhadap kliennya akan dieksekusi. Namun ia mengatakan bahwa "kapan
pun jaksa mau melakukan eksekusi pada prinsipnya kita sudah siap."
Sebelumnya, hakim kasasi Mahkamah Agung menyatakan Nuril
bersalah atas sangkaan "mendistribusikan atau mentransmisikan konten
kesusilaan" yang tertera dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Putusan MA ini membatalkan vonis yang ditetapkan oleh
Pengadilan Negeri Kota Mataram pada Juli tahun lalu yang menyatakan
Baiq Nuril tidak bersalah dan dia dibebaskan dari status tahanan kota.
Perjuangan Nuril mendapatkan keadilan mendapat dukungan dari
Presiden Joko Widodo, yang mempersilakan perempuan itu untuk
mengajukan grasi seandainya PK-nya ditolak. "Seandainya nanti PK-nya
masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke Presiden.
Memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke
presiden, nah nanti itu bagian saya," kata Jokowi, 19 November lalu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Negara merupakan organisasi kelompok masyarakat tertinggi
karena mempunyaiwewenang untuk mengatur dan mengendalikan
masyarakat bahkan memaksa secara sahuntuk kepentingan umum yang
lebih tinggi demi tegaknya hukum. Negara pun dipandang sebagai subyek
hukum yang mempunyai kedaulatan (sovereignity) yang tidakdapat
dilampaui oleh negara mana pun.
Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di masyarakat
secara adil,maka para aparatur hukum harus menegakkan hukum dengan
sebaik-baiknya. Penegakanhukum bertujuan untuk meningkatkan ketertiban
dan kepastian hukum dalam masyarakatsehingga masyarakat merasa
memperoleh pengayoman dan hakhaknya terlindungi.Dalam menegakkan
hukum terdapat tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu:kepastian
hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Penegakan hukum di Indonesia masih menghadapi masalah dan
tantangan untukmemenuhi rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum
sangat penting diupayakansecara terus menerus untuk meningkatkan
ketertiban dan kepastian hukum dalammasyarakat sehingga masyarakat
merasa memperoleh perlindungan akan hak-hak dan kewajibannya.
3.2 Saran
1. Lembaga hukum harus di perbaiki agar terwujud etika penegakan
hukum yang berkeadilan,  tidak bersifat deskriminatif, dan 
mementingkan kepentingan sendiri diatas kepentingan negara.
2. Masyarakat sebaikanya mengamalkan Pancasila sebagai etika dan nilai-
nilaimasyarakat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai