Anda di halaman 1dari 11

ANALISA TEORI UNTUK

MENENTUKAN YARN TENSION


PADA MESIN OPEN-END
SPINNING (ANALISA FISIKA)
Resty Mayseptheny1, Valentinus Galih Vidia Putra1,
Andrian Wijayono1, & Ronaldo Talapessy2
Textile Engineering Departement, Politeknik STTT Bandung, Indonesia1
Universitas Patimura, Maluku, Indonesia2

Abstrak: Perhitungan untuk mengetahui pengaruh kecepatan rotor dan


diameter rotor pada take-off nozzle terhadap yarn tension dapat
dijabarkan dengan mengetahui pergerakan benang. Pendekatan teori
untuk memodelkan hubungan kecepatan rotor dan diameter rottor
terhadap yarn tension pada take-off nozzle telah dijabarkan. Pada
penelitian ini, hasil penjabaran telah diverifikasi melalui pendekatan teori
dan juga komputasi numerik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
besar yarn tension adalah F=(1,4.10-13)nR2dx2 [cN/Tex].

Kata Kunci: rotor speed, rotor diameter, take-off nozzle, yarn tension,
rotor open-end spinning

1. PENDAHULUAN
Menurut Lawrence (2010) [1], Open end (OE) spinning memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan ring spinning, seperti peningkatan rata-rata produksi,

1
pemisah twisting dan winding, kemungkinan otomatis penuh yarn spinning
dan eliminasi kecepatan frame dan winding. Rotor spinning, friction spinning,
dan vortex spinning system adalah tiga metode utama dalam pembentukan
benang yang dikembangkan pada open end spinning. Benang tekstil sudah
banyak dibahas dan diteliti oleh berbagai peneliti [4-12]. Menurut Gunter
Trommer (1995)[3], karakteristik semua proses OE spinning adalah memecah
padatan sliver menjadi serat individual, diikuti penyatuan kembali serat dan
twistingnya ke benang. Individual serat pada rotor mengalami twist di daerah
yarn peel off point. Menurut Vaclav Rohlena (1975)[2] dan Gunter Trommer
(1995)[3] menyatakan bahwa terdapat kecenderungan tenacity (kekakuan)
[cN/Tex] yang cenderung naik hingga pada titik take off nozzle. Menurut
Gunter Trommer (1995)[3] besar yarn tension untuk nomor benang Tex adalah
F=(1,4.10-13)nR2dx2 [cN/Tex]. Dari persamaan ini dijaleskan bahwa tenacity
berbanding lurus dengan besar yarn tension untuk nomor benang yang sama.

2. PEMODELAN PERGERAKAN BENANG DALAM ROTOR

Pada tipe Z-Twisted dapat dianalisa sebagai berikut: Jika dimisalkan bahwa
rotor bergerak dengan suatu kecepatan sudut Ø’ dan benang bergerak dengan
kecepatan Ψ’ dengan arah gerak yang sama seperti pada Gambar 1, maka
dapat diperlihatkan bahwa jika yarn dan rotor dianggap sebagai suatu silinder
pejal dengan massa m dan M, dengan jejari benang adalah r sedangkan jejari
rotor adalah R.

2
Gambar-1. Skema Pergerakan mesin rotor dan yarn.

(𝑅 − 𝑟)Ø’ = Ψ’ r + R Ø’ = 𝑉𝑑 + 𝑅Ø’ (1)

𝑉𝑑 = (𝑅 − 𝑟)Ø’ − 𝑅Ø’ (2)

𝑉𝑑 = (𝜃′ − Ø’)𝑅 (3)

Jika panjang jejari r << R, maka dapat dituliskan

𝜆𝜋 (4)
𝑉𝑑 = (𝑛𝑦𝑎𝑟𝑛 − 𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 ) 𝑅
180𝑜

(𝑛𝑦𝑎𝑟𝑛 − 𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 ) (5)


𝑉𝑑 = 𝜆𝜋𝑅
360𝑜

Keterangan:

Vd = kecepatan pengantar benang (m/s)


𝑛𝑦𝑎𝑟𝑛 , 𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 = kecepatan yarn dan kecepatan rotor dalam setiap sudut (1/s)
R = jejari rotor (m)
d = diameter rotor (m)

Jika untuk satu putaran penuh Persamaan (5) dapat dituliskan menjadi

3
𝑉𝑑 = (𝑛𝑦𝑎𝑟𝑛 − 𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 )𝜋𝑑 (6)

3. PEMODELAN YARN TENSION PADA ROTOR

Untuk mendapatkan besar persamaan gerak yarn tension pada rotor dilakukan
studi analisa sistem mekanis yarn yang bergeral di mesin rotor seperti pada
Gambar-2 di bawah.

Gambar-2. Pemodelan yarn tension pada rotor.

Tinjauan:

Jika dimisalkan bahwa terdapat perputaran kerangka Oxyz (rotor) yanr


mempengaruhi yarn sebesar Ø’, dengan sumbu x adalah sumbu sepanjang
gerakan yarn, dan terdapat perputaran pada sumbu-y, maka akan muncul gaya
tegangan pada yarn. Menurut Gunter (1995)[3], tegangan pada proses
spinning bertambah seiring dengan bertambahnya kecepatan rotor dengan
suatu jejari rotor yang konstan pada saat proses spinning.

4
∑ 𝐹 = 𝑀𝑅Ø’2 (6)

∆𝑇𝑅 = 𝑀𝑅Ø’2 = 𝜍. ∆𝑅𝑅Ø’2 (7)

∆𝑇 = 𝜍. ∆𝑥𝑥Ø’2 (8)

∆𝑇 (9)
= 𝜍. 𝑥Ø’2
∆𝑥

𝜕𝑇 (10)
= 𝜍. 𝑥Ø’2
𝜕𝑥
𝑅
𝑑𝑇 = ∫ 𝜍. 𝑥Ø’2 𝑑𝑥 (11)
𝑥=𝜌

𝜍
∆𝑇 = 𝑇𝜌 − 𝑇𝑜 = (𝑅 2 − 𝜌2 )Ø’2 (12)
2

𝑇𝜌 𝑇𝑜 1 2
− = (𝑅 − 𝜌2 )Ø’2 (13)
𝜍 𝜍 2

𝑇𝜌 1
≈ ( ) (𝑅 2 − 𝜌2 )Ø’2 (14)
𝜍 2

𝑇𝜌
= 𝐶𝑜𝑛𝑠𝑡(𝑅 2 − 𝜌2 ) (15)
𝜍

Untuk; 𝜌 ≈ 0

𝑇𝜌 𝑇𝜌 1
= ≈ ( ) 𝑅 2 Ø’2 (16)
𝜍 𝑇𝑡2 2

5
Nilai 𝑇𝑜 adalah besar tegangan pada saat di tepi rotor dengan 𝑇𝑜 = 0 untuk
𝜍
syarat awal, dan mensubstitusikan nilai𝑇𝜌 ≈ 2 𝑅 2 Ø’2 , maka nilai 𝑅𝑜 berkisar

dalam skala 10−13 cN/Tex (jika kecepatan anguler rotor yang terbaca dalam
satuan menit dan diameter rotor dalam satuan mm, kecepatan angulernya
menyatakan banyak putaran rotor tiap menit dan menggunakan data
eksperimen Gunter (1995)[3] bahwa besar kecepatan sudut rotor untuk satu
𝜆𝜋 360
putaran Ø’ = = 𝜋 tiap 1000 menit maka konversi ke satuan SI adalah
360 360

(10−3 . 3,14. 60000−1 )2 ≈ 2,7. 10−15 [N/tex]

Satuan dari tegangan yarn tiap satuan tex Ro adalah N/tex, umunya satuan Tex
adalah massa M yarn (dalam gram) tiap 1000m (Rohlena, 1975)[2], sehingga
besar Ro adalah sekitar

𝑅𝑜 = 1,410−15 (𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 𝑑𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 )2 [N/tex] (17)

𝑅𝑜 = 1,410−13 (𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 𝑑𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 )2 [N/tex] (18)

𝑅𝑜 = 𝐶𝑜𝑛𝑠𝑡 (𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 𝑑𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 )2 [N/tex] (19)

Persamaan (19) disebut sebagai gaya tegangan tiap satuan Tex yang dihasilkan
pada daerah take-off nozzle sesaat setelah keluar dari rotor. Untuk besar
nomor benang yang sama (Tex), maka Ro sebanding dengan yarn tension (F).

6
4. SIMULASI KOMPUTASI MENGGUNAKAN MATLAB

Dari persamaan (16) dapat dimodelkan hubungan antara tenacity terhadap


yarn path (diameter rotor). Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar-3 di
bawah.

Gambar-3. Hubungan tenacity terhadap yarn path

Pada Gambar-3 dapat dijelaskan bahwa hubungan antara tenacity terhadap


diameter rotor memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Tenacity terbesar
ada di daerah nozzle dan besarnya adalah mengikuti persamaan (17). Dari
persamaan (17) didapatkan persamaan (19) yang merupakan hasil eksperimen
Trommer (1995)[3].

Untuk memperlihatkan pengaruh kecepatan rotor terhadap tenacity dapat


dilakukan simulasi menggunakan persamaan (16) dengan nilai konstanta yang
berubah (1(biru), 2(hijau), 3(merah)). Hasil simulasi dapat dilihat pada
Gambar-4 di bawah ini

7
Gambar-4. Tenacity dengan kecepatan rotor yang berbeda (diameter rotor
sama).
Pada Gambar-4 dapat dijelaskan bahwa semakin besar kecepatan rotor maka
semakin besar tenacity. Hal ini menunjukan kecepatan rotor mempengaruhi
tenacity.

Untuk memperlihatkan hubungan antara tenacity dan diameter rotor untuk


kecepatan rotor yang berbeda dapat dilakukan simulasi menggunakan
persamaan (20) dengan nilai konstanta yang berubah (misalkan nrotor = 1 (biru
muda), √2 (hijau), √3 (merah), 2 (biru muda). Hasil simulasi dapat dilihat pada
Gambar-5 di bawah ini.

8
Gambar-5. Hubungan tenacity terhadap diameter rotor (kecepatan rotor
berbeda)

Pada Gambar-5 dapat dijelaskan bahwa hubungan tenacity terhadap diameter


rotor membentuk grafik parabola. Semakin besar kecepatan rotor maka
menghasilkan tenacity yang lebih besar.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan melakukan pemodelan pergerakan dalam rotor yang digambarkan


pada Gambar-1 dan pada Gambar-2 menghasilkan persamaan (19) yang mana
sesuai dengan hasil penelitian Trommer (1995)[3] yang menyatakan bahwa
besar yarn tension untuk nomor benang Tex adalah (1,4.10-13)nR2dx2 [cN/Tex].
Persamaan (19) disebut sebagai gaya tegangan tiap satuan tex yang dihasilkan
pada daerah take-off nozzle sesaat setelah keluar dari rotor. Untuk besar
nomor benang yang sama (Tex), maka Ro sebanding dengan yarn tension (F).

9
Menurut Rohlena (1975)[2] dan Trommer (1995)[3] menyatakan bahwa
terdapat kecenderungan tenacity (kekakuan) [cN/tex] yang cenderung naik
hingga pada titik take-off nozzle. Hal ini sesuai dengan hasil simulasi yang
diperlihatkan pada Gambar-3.

6. KESIMPULAN

Pemodelan ini sesuai dengan hasil penelitian Trommer (1995)[3] yaitu besar
yarn tension untuk nomor benang tex adalah (1,4.10-13)nR2dx2 [cN/Tex].
Tenacity dan yarn tension dipengaruhi oleh diameter rotor dan kecepatan
putar rotor.

7. REFERENCE

[1] Lawrence, Advances in yarn spinning technology, The textile Institue,


Cambridge, UK, 2010.
[2] Rohlena, Vaclav., Open-End Spinning, Elseiver Scientific Publishing
Company, New York, 1975.
[3] Trommer, Gunter., Rotor Spinning, Deutscher fachverlag, Frankfurt,
1995.
[4] Wijayono A, Putra VGV, Iskandar S, Rohmah, S & Irwan. Penerapan
Teknologi Pengolah Citra Dan Fisika Pada Bidang Tekstil. ISBN 978-602-
72713-8-8. CV. Mulya Jaya. 2017.
[5] VGV Putra, MF Rosyid, G Maruto. A Simulation Model of Twist
Influenced by Fibre Movement Inside Yarn on Solenoid Coordinate.
Global Journal of Pure and Applied Mathematics 12 (1), 405-412. 2016.
[6] VGV Putra, MF Rosyid. Theoretical Modeling for Predicting the Optimum
Twist Angle of Cotton Fiber Movement on OE Yarn Made by Rotor

10
Spinning Machine. Journal of Applied Mathematics and Physics 3 (05),
623. 2015.
[7] V.G.V Putra, M.F Rosyid, G. Maruto. New Theoretical Modeling For
Predicting Yarn Angle On OE Yarn Influenced By Fibre Movement On
Torus Coordinate Based On Classical Mechanics Approach. Indian
Journal of Fibre & Textile Research (IJFTR) 42 (3), 359-363. 2017.
[8] Putra, V.G.V. Penerapan Kalkulus Tensor Pada Kasus Pemintalan
Benang. ISBN 978-602-72713-7-1. CV. Mulya Jaya. 2017.
[9] Putra, V.G.V. Predicting Non Inertia frame related by Speed of Bobbin
Compared by Speed of Rotor. Global Journal of Pure and Applied
Mathematics 12 (5), 4107-4114. 2016.
[10] VGV Putra, RA Dewanto, MF Rosyid. Theoretical Modelling For The
Effect Tenacity On Take-Up Roller (R o) And Tenacity On Winding Device
(R W) Related With The Yarn Breakage On Rotor Open End Spinning. THE
4th INTERNATIONAL CONFERENCE ON THEORETICAL AND APPLIED
PHYSICS (ICTAP-2014).
[11] Hernawati R.M, Putri W.R, Putra VGV. Bentuk Pemodelan Pergerakan
Serat-Benang dalam Tampang Lintang Struktur Benang Ring Spinning
(Tinjauan Fisika Teori). Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan
Pembelajaran Sains 2015 (SNIPS 2015). Pp 157-160. 2015.
[12] Hernawati R.M, Putra V.G.V, Fauzi I. Predicting the Actual Strength of
Open-End Spun Yarn Using Mechanical Model. Applied Mechanics and
Materials Conference, Vol 780 pp 69-74.

11

Anda mungkin juga menyukai