Kata Kunci: rotor speed, rotor diameter, take-off nozzle, yarn tension,
rotor open-end spinning
1. PENDAHULUAN
Menurut Lawrence (2010) [1], Open end (OE) spinning memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan ring spinning, seperti peningkatan rata-rata produksi,
1
pemisah twisting dan winding, kemungkinan otomatis penuh yarn spinning
dan eliminasi kecepatan frame dan winding. Rotor spinning, friction spinning,
dan vortex spinning system adalah tiga metode utama dalam pembentukan
benang yang dikembangkan pada open end spinning. Benang tekstil sudah
banyak dibahas dan diteliti oleh berbagai peneliti [4-12]. Menurut Gunter
Trommer (1995)[3], karakteristik semua proses OE spinning adalah memecah
padatan sliver menjadi serat individual, diikuti penyatuan kembali serat dan
twistingnya ke benang. Individual serat pada rotor mengalami twist di daerah
yarn peel off point. Menurut Vaclav Rohlena (1975)[2] dan Gunter Trommer
(1995)[3] menyatakan bahwa terdapat kecenderungan tenacity (kekakuan)
[cN/Tex] yang cenderung naik hingga pada titik take off nozzle. Menurut
Gunter Trommer (1995)[3] besar yarn tension untuk nomor benang Tex adalah
F=(1,4.10-13)nR2dx2 [cN/Tex]. Dari persamaan ini dijaleskan bahwa tenacity
berbanding lurus dengan besar yarn tension untuk nomor benang yang sama.
Pada tipe Z-Twisted dapat dianalisa sebagai berikut: Jika dimisalkan bahwa
rotor bergerak dengan suatu kecepatan sudut Ø’ dan benang bergerak dengan
kecepatan Ψ’ dengan arah gerak yang sama seperti pada Gambar 1, maka
dapat diperlihatkan bahwa jika yarn dan rotor dianggap sebagai suatu silinder
pejal dengan massa m dan M, dengan jejari benang adalah r sedangkan jejari
rotor adalah R.
2
Gambar-1. Skema Pergerakan mesin rotor dan yarn.
𝜆𝜋 (4)
𝑉𝑑 = (𝑛𝑦𝑎𝑟𝑛 − 𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 ) 𝑅
180𝑜
Keterangan:
Jika untuk satu putaran penuh Persamaan (5) dapat dituliskan menjadi
3
𝑉𝑑 = (𝑛𝑦𝑎𝑟𝑛 − 𝑛𝑟𝑜𝑡𝑜𝑟 )𝜋𝑑 (6)
Untuk mendapatkan besar persamaan gerak yarn tension pada rotor dilakukan
studi analisa sistem mekanis yarn yang bergeral di mesin rotor seperti pada
Gambar-2 di bawah.
Tinjauan:
4
∑ 𝐹 = 𝑀𝑅Ø’2 (6)
∆𝑇 = 𝜍. ∆𝑥𝑥Ø’2 (8)
∆𝑇 (9)
= 𝜍. 𝑥Ø’2
∆𝑥
𝜕𝑇 (10)
= 𝜍. 𝑥Ø’2
𝜕𝑥
𝑅
𝑑𝑇 = ∫ 𝜍. 𝑥Ø’2 𝑑𝑥 (11)
𝑥=𝜌
𝜍
∆𝑇 = 𝑇𝜌 − 𝑇𝑜 = (𝑅 2 − 𝜌2 )Ø’2 (12)
2
𝑇𝜌 𝑇𝑜 1 2
− = (𝑅 − 𝜌2 )Ø’2 (13)
𝜍 𝜍 2
𝑇𝜌 1
≈ ( ) (𝑅 2 − 𝜌2 )Ø’2 (14)
𝜍 2
𝑇𝜌
= 𝐶𝑜𝑛𝑠𝑡(𝑅 2 − 𝜌2 ) (15)
𝜍
Untuk; 𝜌 ≈ 0
𝑇𝜌 𝑇𝜌 1
= ≈ ( ) 𝑅 2 Ø’2 (16)
𝜍 𝑇𝑡2 2
5
Nilai 𝑇𝑜 adalah besar tegangan pada saat di tepi rotor dengan 𝑇𝑜 = 0 untuk
𝜍
syarat awal, dan mensubstitusikan nilai𝑇𝜌 ≈ 2 𝑅 2 Ø’2 , maka nilai 𝑅𝑜 berkisar
dalam skala 10−13 cN/Tex (jika kecepatan anguler rotor yang terbaca dalam
satuan menit dan diameter rotor dalam satuan mm, kecepatan angulernya
menyatakan banyak putaran rotor tiap menit dan menggunakan data
eksperimen Gunter (1995)[3] bahwa besar kecepatan sudut rotor untuk satu
𝜆𝜋 360
putaran Ø’ = = 𝜋 tiap 1000 menit maka konversi ke satuan SI adalah
360 360
Satuan dari tegangan yarn tiap satuan tex Ro adalah N/tex, umunya satuan Tex
adalah massa M yarn (dalam gram) tiap 1000m (Rohlena, 1975)[2], sehingga
besar Ro adalah sekitar
Persamaan (19) disebut sebagai gaya tegangan tiap satuan Tex yang dihasilkan
pada daerah take-off nozzle sesaat setelah keluar dari rotor. Untuk besar
nomor benang yang sama (Tex), maka Ro sebanding dengan yarn tension (F).
6
4. SIMULASI KOMPUTASI MENGGUNAKAN MATLAB
7
Gambar-4. Tenacity dengan kecepatan rotor yang berbeda (diameter rotor
sama).
Pada Gambar-4 dapat dijelaskan bahwa semakin besar kecepatan rotor maka
semakin besar tenacity. Hal ini menunjukan kecepatan rotor mempengaruhi
tenacity.
8
Gambar-5. Hubungan tenacity terhadap diameter rotor (kecepatan rotor
berbeda)
9
Menurut Rohlena (1975)[2] dan Trommer (1995)[3] menyatakan bahwa
terdapat kecenderungan tenacity (kekakuan) [cN/tex] yang cenderung naik
hingga pada titik take-off nozzle. Hal ini sesuai dengan hasil simulasi yang
diperlihatkan pada Gambar-3.
6. KESIMPULAN
Pemodelan ini sesuai dengan hasil penelitian Trommer (1995)[3] yaitu besar
yarn tension untuk nomor benang tex adalah (1,4.10-13)nR2dx2 [cN/Tex].
Tenacity dan yarn tension dipengaruhi oleh diameter rotor dan kecepatan
putar rotor.
7. REFERENCE
10
Spinning Machine. Journal of Applied Mathematics and Physics 3 (05),
623. 2015.
[7] V.G.V Putra, M.F Rosyid, G. Maruto. New Theoretical Modeling For
Predicting Yarn Angle On OE Yarn Influenced By Fibre Movement On
Torus Coordinate Based On Classical Mechanics Approach. Indian
Journal of Fibre & Textile Research (IJFTR) 42 (3), 359-363. 2017.
[8] Putra, V.G.V. Penerapan Kalkulus Tensor Pada Kasus Pemintalan
Benang. ISBN 978-602-72713-7-1. CV. Mulya Jaya. 2017.
[9] Putra, V.G.V. Predicting Non Inertia frame related by Speed of Bobbin
Compared by Speed of Rotor. Global Journal of Pure and Applied
Mathematics 12 (5), 4107-4114. 2016.
[10] VGV Putra, RA Dewanto, MF Rosyid. Theoretical Modelling For The
Effect Tenacity On Take-Up Roller (R o) And Tenacity On Winding Device
(R W) Related With The Yarn Breakage On Rotor Open End Spinning. THE
4th INTERNATIONAL CONFERENCE ON THEORETICAL AND APPLIED
PHYSICS (ICTAP-2014).
[11] Hernawati R.M, Putri W.R, Putra VGV. Bentuk Pemodelan Pergerakan
Serat-Benang dalam Tampang Lintang Struktur Benang Ring Spinning
(Tinjauan Fisika Teori). Prosiding Simposium Nasional Inovasi dan
Pembelajaran Sains 2015 (SNIPS 2015). Pp 157-160. 2015.
[12] Hernawati R.M, Putra V.G.V, Fauzi I. Predicting the Actual Strength of
Open-End Spun Yarn Using Mechanical Model. Applied Mechanics and
Materials Conference, Vol 780 pp 69-74.
11