Anda di halaman 1dari 5

MATERI 4

MENJELAJAH
SABUK KUIPER
Setelah tadi kamu belajar mengenal Sabuk Asteroid tempat asal
asteroid di tata surya kita pada materi ketiga, di materi keempat ini
mari belajar tentang apa itu Sabuk Kuiper, asal-muasal komet
berperiode pendek di tata surya.

Selain itu, nantinya juga akan dibahas sedikit mengenai Awan Oort
tempat komet berperiode panjang berasal.

***

Sabuk Kuiper merupakan wilayah yang juga berbentuk torus, tetapi


berada di bagian luar tata surya, membentang dari orbit Neptunus
pada jarak 30 AU hingga sekitar 50 AU dari Matahari.

Wilayah yang satu ini mirip dengan Sabuk Asteroid, tetapi jauh lebih
besar – 20 kali lebih lebar dan 20–200 kali lebih masif. Seperti Sabuk
Asteroid pula, wilayah ini terdiri atas objek-objek kecil atau sisa-sisa
dari saat tata surya terbentuk, tetapi sebagian besar objeknya
terbuat dari volatil beku (atau yang cukup disebut "es"), seperti
metana, amonia, dan air.

Nama Sabuk Kuiper berasal dari nama astronom Belanda Gerard


Kuiper, meskipun ia tidak memprediksi keberadaannya. Pada tahun
1992, planet minor (15760) Albion ditemukan, objek Sabuk Kuiper
(KBO) pertama setelah Pluto dan Charon.

Sejak penemuannya, jumlah KBO yang diketahui telah meningkat


menjadi ribuan, dan diperkirakan ada lebih dari 100.000 KBO dengan
diameter lebih dari 100 km. Sabuk Kuiper awalnya dianggap sebagai
gudang utama komet periodik, yang orbitnya berlangsung kurang
dari 200 tahun, tetapi rupanya juga dihuni planet-planet katai.
Sabuk Kuiper terdiri dari planetesimal, fragmen dari cakram
protoplanet asli di sekitar Matahari yang gagal menyatu sepenuhnya
menjadi planet dan malah terbentuk menjadi kumpulan objek yang
lebih kecil, dengan objek yang terbesar berdiameter kurang dari
3.000 kilometer.

Studi jumlah kawah di planet katai Pluto dan Charon (satelit alami
terbesarnya) mengungkapkan kelangkaan kawah kecil yang
menunjukkan bahwa objek-objek di Sabuk Kuiper terbentuk secara
langsung sebagai benda-benda yang cukup besar dalam kisaran
diameter puluhan kilometer daripada terbentuk dengan cara saling
bertabrakan satu sama lain.

Karena jauh dari Matahari, objek-objek di Sabuk Kuiper dianggap


relatif tidak terpengaruh oleh proses yang telah membentuk dan
mengubah objek tata surya lainnya; dengan demikian, menentukan
komposisinya akan memberikan informasi penting tentang susunan
tata surya paling awal.

Sayangnya, karena ukurannya yang kecil dan jarak yang ekstrem dari
Bumi, susunan kimiawi KBO sangat sulit ditentukan. Metode utama
yang digunakan para astronom untuk menentukan komposisi objek
langit adalah spektroskopi. Ketika cahaya suatu objek dipecah
menjadi warna-warna komponennya, spektrum akan didapatkan.
Unsur yang berbeda akan menyerap cahaya pada panjang gelombang
yang berbeda, dan ketika spektrum untuk objek tertentu terurai,
garis gelap (disebut garis penyerapan) muncul di mana unsur di
dalamnya telah menyerap panjang gelombang cahaya tertentu.
Setiap unsur atau senyawa memiliki ciri khas spektroskopinya
sendiri, dan dengan membaca "sidik jari" spektral penuh suatu objek,
para astronom dapat menentukan komposisinya.

Analisis menunjukkan bahwa objek Sabuk Kuiper terdiri dari


campuran batuan dan berbagai es seperti air, metana, dan amonia.
Suhu di wilayah sabuk hanya sekitar minus 223 derajat Celcius,
sehingga banyak unsur yang seharusnya berbentuk gas saat berada
lebih dekat ke Matahari justru tetap padat di Sabuk Kuiper.

Selain Sabuk Kuiper, di bagian luar tata surya juga ada Awan Oort.
Meski begitu, wilayah yang satu ini masih hipotesis karena belum ada
yang berhasil mengamatinya karena jaraknya yang ekstrem dari Bumi
kita sehingga objek-objek di sana sangat redup.

Awan Oort tidak berbentuk torus, melainkan menyelubungi tata


surya kita pada jarak mulai dari 2.000 hingga 200.000 AU (sekitar
0,03 hingga 3,2 tahun cahaya) dari Matahari.

Komet-komet berperiode panjang diperkirakan berasal dari Awan


Oort berdasarkan perhitungan dan penelitian terhadap jalur orbitnya
yang begitu lonjong (hingga ke luar tata surya).

Nah, itulah Sabuk Kuiper dan Awan Oort.


Daftar Pustaka & Referensi:
Fulle, M., Della Corte, V. I. N. C. E. N. Z. O., Rotundi, A., Green, S.
F., Accolla, M., Colangeli, L., ... & Zakharov, V. L. A. D. I. M. I. R.
(2017). The dust-to-ices ratio in comets and Kuiper belt objects.
Monthly Notices of the Royal Astronomical Society,
469(Suppl_2), S45-S49.
Fraser, W. C., Bannister, M. T., Pike, R. E., Marsset, M., Schwamb,
M. E., Kavelaars, J. J., ... & Trujillo, C. (2017). All planetesimals
born near the Kuiper belt formed as binaries. Nature Astronomy,
1(4), 1-6.
Morbidelli, A., & Nesvorný, D. (2020). Kuiper belt: formation and
evolution. The Trans-Neptunian Solar System, 25-59.
Pitjeva, E. V., & Pitjev, N. P. (2018). Mass of the Kuiper belt.
Celestial Mechanics and Dynamical Astronomy, 130(9), 1-17.
Smullen, R. A., & Volk, K. (2020). Machine learning classification
of Kuiper belt populations. Monthly Notices of the Royal
Astronomical Society, 497(2), 1391-1403.
Xu, S., Zuckerman, B., Dufour, P., Young, E. D., Klein, B., & Jura,
M. (2017). The chemical composition of an extrasolar Kuiper-
belt-object. The Astrophysical Journal Letters, 836(1), L7.

Anda mungkin juga menyukai