Anda di halaman 1dari 41

RESUME BIDANG ILMU KONSERVASI GIGI

RESTORASI GIC KAVITAS KELAS V

Dosen Pembimbing:
drg. Restian Febi Andini, M. Biomed

Disusun Oleh:
Ghina Nurul ‘Adilah
Koas Angkatan 15
G4B019012

Komponen
Pembelajaran Resume Diskusi
Daring

Nilai &
Tanggal

Tanda
Tangan DPJP

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI
PURWOKERTO
2021
A. TINJAUAN PUSTAKA
Non-carious cervical lesions (NCCLs) atau lesi serviks non-karies
merupakan suatu kondisi yaang ditandai dengan hilangnya jaringan gigi yang
penyebabnya tidak melibatkan bakteri melainkan multifaktorial dan kompleks
yang melibatkan proses seperti biokorosi, abrasi dan abfraksi (Mathias dkk.,
2018). Ada dua mekanisme dasar hilangnya jaringan keras gigi atau keausan
patologis jaringan gigi keras, yaitu keausan mekanis (abfraksi dan abrasi) dan
keausan kimianya karena aksi asam dari faktor eksogen atau endogen (erosi atau
korosi) (Morozova dkk., 2017).
a. Erosi gigi
Erosi atau biokorosi gigi terjadi karena faktor ekstrinsik (makanan dan
minuman asam, asam obat kumur, obat asam) dan/ atau faktor instrinsik
(asam lambung). Enzim proteolitik muncul pada crevicular cairan dan
enzim proteolitik dari lambung (pepsin) dan pankreas (tripsin) dilepaskan
selama muntah dapat mengakibatkan terjadinya degradasi dan
demineralisasi matriks organik dentinal (Peumans dkk., 2020). Dalam
rongga mulut, asam ini terdisosiasi menjadi kation hidronium dan anion dari
residu asam. Kation hidronium bereaksi dengan fosfat dan anion karbonat
dari jaringan gigi keras yang mengarah ke pelunakan bertahap dalam kontak
berulang dengan gigi permukaan. Selanjutnya, zat pengkelat (anion dari
beberapa asam organik) dapat membentuk senyawa kompleks dengan
kalsium hidroksiapatit jaringan gigi keras. Inisial lesi erosif hanya
mempengaruhi lapisan permukaan email dan muncul sebagai awal
demineralisasi dengan hilangnya relief permukaan email, enamel halus dan
kusam. Erosi tingkat lanjut adalah ditandai dengan hilangnya enamel yang
luas. Di daerah serviks kehilangan mungkin meluas ke dentin dan di gigi
posterior pengurangan tinggi cusps (Morozova dkk., 2017).
Faktor risiko erosi adalah komposisi dan frekuensi dari asupan asam,
posisi dan bentuk gigi pada lengkung gigi, dan adanya resesi gingiva. Saliva
(pH, viskositas, aliran, komposisi, dan buffer) merupakan faktor risiko
penting dalam pengembangan erosi. Ion dalam saliva mampu menimbulkan
remineralisasi demineralisasi struktur gigi dan dengan demikian dapat
menghambat bentuk dari erosi (Peumans dkk., 2020).
Erosi lebih banyak terdapat pada permukaan bukal dan labial gigi
depan, berbentuk cekungan pada email dan dentin yang dimulai pada
sepertiga bagian gingiva dan lambat laun melebar ke lateral pada permukaan
dan menembus ke dentin di bawahnya, terkadang pelebaran dapat
melampaui pinggiran mesial dan distal (Deynilisa, 2013). Erosi lebih sering
terjadi pada permukaan fasial dibandingkan pada lingual. Perbedaan bahan
kimia dan karakter saliva pada daerah lingual (saliva lebih serous dan buffer
lebih tinggi) dan area wajah (saliva mukus dan buffer rendah) berpengaruh
dalam remineralisasi struktur gigi dan pengenceran asam buffer. Xerostomia
dan dehidrasi akibat aktivitas fisik membuat aliran saliva terganggu dan
menghambat buffering asam di rongga mulut (Peumans dkk., 2020).
Lesi erosi ditandai dengan bentuk cakram, lebar, dan dangkal, dengan
margin yang tidak jelas dan area enamel halus yang berdekatan. Perhatikan
batas enamel yang ditentukan di tepi gingiva (Peumans dkk., 2020). Jika
erosi disertai dengan pengausan oleh sikat gigi, kerusakan ini berjalan
melintang sesuai dengan jalannya sikat. Daerah kerusakan berbentuk
cekung, berbatas tajam, dan kadang-kadang undermined (menggaung)
(Deynilisa, 2013).

a. b.
Gambar 1. Gambaran lesi servikal non karies pada permukaan bukal, proksimal, dan
lingual (a) Lesi erosi bentuk margin yang tidak beraturan dan permukaan
email halus (b) Lesi pada serviks berbentuk U pada premolar rahang bawah
yang disebabkan oleh kombinasi erosi dan abrasi. Goresan di kedalaman lesi,
dibuat oleh bulu sikat gigi, sedikit dihaluskan oleh erosi.
Sumber: Peumans dkk. (2020)

Menambal kerusakan ini biasanya sedikit manfaatnya karena lambat


laun tambalan ini akan undermined akibat meluasnya erosi (tambalan
menyerupai satu pulau), sedangkan jika penderita suka memakan buah-
buahan yang asam atau pekerjaannya ada hubungan dengan uap asam,
memakan buah-buahan yang asam harus dikurangi dan uap-uap asam
dihindari (Deynilisa, 2013). Terapi restoratif termasuk ionomer kaca,
komposit resin, komposit atau porselen venners, dan penempatan mahkota
dan jembatan serta gigi palsu dapat diobati terlebih dahulu dengan
menghilangkan agen desenstizing. Restorasi yang abrasif terhadap gigi
antagonis, seperti porselen, tidak boleh digunakan (Litonjua dkk., 2003).

b. Abfraksi
Abfraksi terjadi karena konsentrasi ketegangan di daerah serviks yang
menyebabkan fexion gigi yang mengakibatkan microfractures dan
kehilangan gigi (Mathias dkk., 2018). Teori abfraksi (stress) didasarkan
pada konsep biomekanis di mana area servikal gigi menjadi titik tumpu
selama oklusal, bruxing, dan aktivitas parafungsi, menyebabkan tegangan
tarik pada area tempat lesi terjadi. Tekanan ini dianggap mengganggu
struktur kristal lapisan email lokal yang tipis dan lapisan bawah dentin
karena kelelahan siklik, yang menyebabkan retak. Akhirnya, enamel itu
terlepas dari margin serviks dan semakin lama dentin terekspos (Peumans
dkk., 2020). Hal tersebut membuatnya rentan terhadap kerusakan oleh
faktor erosif dan abrasif (Morozova dkk., 2017).
Sebagai fleksi menghasilkan melemahnya hidroksiapatit enamel di
daerah serviks dapat menyebabkan chipping atau pecahnya prisma enamel
dan lanjut mikrofraktur semen atau dentin. Abraksi yang disebabkan
hambatan oklusal, kontak prematur, bruxism, teeth-grinding. Lesi tersebut
terlokalisasi di sepertiga servikal gigi di persimpangan cementenamel,
dinding yang halus dan mengkilap dan pasien biasanya tidak memiliki
keluhan subyektif yang signifikan (Morozova dkk., 2011). Beberapa faktor
risiko dapat berperan dalam perkembangan dari lesi abfraksi adalah tekanan
resultan, tekanan resultan di dalam gigi tergantung pada besarnya, arah,
frekuensi, situs aplikasi dan durasi kekuatan, sebagai tambahan orientasinya
sehubungan dengan sumbu dan bentuk gigi, komposisi, dan stabilitas
(Peumans dkk., 2020).
a. b.
Gambar 2. Gambaran lesi servikal non karies pada permukaan bukal, proksimal, dan
lingual (a) Lesi abfraksi berbentuk baji pada gigi kaninus primer yang
menahan dengan sudut garis internal dan eksternal yang tajam dan terdapat
perluas apikal relatif terhadap CEJ, selain itu terlihat sisi oklusal terjdai
keausan yang parah, yang menunjukkan pembebanan oklusal yang abnormal.
(b) Kombinasi lesi abfraksi (berbentuk baji) dan abrasi (goresan horizontal di
kedalam lesi akibat dari menyikat gigi) terlihat sangat dalam dengan batas
yang jelas dan tajam pada premolar rahang atas.
Sumber: Peumans dkk. (2020)
Bahan restoratif dengan modulus elastisitas yang rendah harus
menjadi pilihan pertama dalam perawatan lesi abfraksi. Ketika estetika tidak
menjadi perhatian, ionomer kaca harus digunakan, untuk efektivitas klinis.
Namun, komposit berbasis metakrilat juga dapat menjadi pilihan perawatan
lainnya karena sifat mekaniknya dan estetika yang lebih baik dibandingkan
dengan ionomers kaca. Komposit mikro menunjukkan elastisitas yang lebih
besar daripada komposit hibrida, bahkan menghadirkan sifat pemolesan
yang baik. Komposit nanohybrid dipilih untuk mengembalikan lesi pasien,
karena sifat mekaniknya yang sangat baik dan bagus memoles. Prosedur
pemolesan penting untuk mengurangi adhesi bioflm pada permukaan yang
dipulihkan ini, menghindari peradangan dan resesi gingiva (Mathias dkk.,
2018).

c. Abrasi
Abrasi (friction) adalah keausan fisik hasil dari proses mekanis yang
melibatkan benda asing. Faktor lain yang dapat terlibat seperti pasta gigi
yang abrasif, menyikat gigi dengan menggunakan teknik horizontal yang
tidak benar dan gaya yang berlebihan, frekuensi menyikat, bulu sikat kaku,
dan kebiasaan makanan. Tingkat arah, frekuensi, dan durasi kekuatan yang
diterapkan adalah faktor risiko dalam perkembangan dari abrasi. Selain itu,
posisinya yang menonjol gigi di bagian lengkung membuat rawan kekuatan
berlebihan dari menyikat gigi (Peumans dkk., 2020). Gigi yang mengalami
abrasi berlebihan akan kehilangan efisiensi pengunyahan (Deynilisa, 2013).
Menurut Morozova dkk., (2017), faktor-faktor penyebab abrasi
adalah:
 efek makanan yang abrasif
 teknik trauma kebersihan mulut (menyikat gigi menggunakan teknik
traumatis dengan dominasi gerakan horisontal menggunakan tekanan
tinggi, menggunakan sikat gigi dengan bulu yang keras, penggunaan
benang yang tidak berarti atau tusuk gigi, efek abrasive dari pasta gigi).
 beberapa kebiasaan buruk - menggigit kuku, paku payung, klip, benang,
serta memegang benda yang berbeda di gigi(pensil, pena, pipa) yang
dapat dikaitkan dengan beberapa profesi (musisi memainkan alat musik
tiup, penjahit, blower kaca, dll.)
Pengausan sering terjadi pada permukaan bukal dan lingual gigi yang
biasanya disebabkan oleh cara pemakaian sikat gigi dan pasta gigi yang
salah. Kerusakan yang disebabkan oleh penggunaan sikat gigi terjadi pada
permukaan yang mengalami trauma besar pada waktu menyikat gigi. Jika
seseorang menggunakan tangan kanannya, biasanya pengausan terbesar
terdapat pada permukaan labial gigi-gigi di sebelah kiri mulut dan jika
tangan kiri yang digunakan untuk menyikat, gigi-gigi di sebelah kanan yang
mengalami pengausan terbesar. Penggunaan sikat gigi yang tidak terlalu
keras bulunya dan menggunakan pasta gigi yang lembut (tidak mengandung
bahan-bahan yang kasar) tidak akan menimbulkan pengausan. Sedangkan
penggunaan sikat gigi dengan gerak memutar, penggunaan pasta gigi yang
kasar, dan sikat gigi berbulu keras, akan menimbulkan pengausan pada
seluruh permukaan labial sehingga tebal gigi akan berkurang. Pengausan ini
tidak menimbulkan keluhan sampai pada beberapa tempat email tertembus
dan dentin muncul di permukaan luar. Jika sikat digunakan dari kanan ke
kiri, bulu-bulu sikat akan menggosok pinggiran gusi dan terjadi pengausan
pada bagian gingiva gigi (Deynilisa, 2013).
Permukaan oklusal menjadi datar atau cekung dan mempunyai
pinggiran tajam yang dapat melukai jaringan lunak pada pengunyahan dan
menyebabkan perubahan hiperplastis pada bagian- bagian ini. Pulpa
biasanya membuat dentin reparatif. Jika hal ini tidak terjadi, gigi akan
menjadi sensitif. Penderita tidak mengunyah dengan betul dan merasa sakit
pada perubahan suhu dari makanan atau minuman (Deynilisa, 2013).
Bentuk pengausan sangat tajam seakan-akan gigi dipotong dengan
batu yang tajam. Pengausan ini terjadi dengan tinggi yang sama pada gigi-
gigi. Pengausan ini mungkin sangat dalam hingga dapat menembus email
dan dentin serta mencapai pulpa. Kerusakan hanya dapat terjadi bila
penggunaan sikat gigi dilakukan dengan gerak putar atau gerak kanan-kiri
dan tidak akan terjadi jika sikat digerakkan menurut tumbuhnya gigi. Gusi
juga dapat mengalami atrofi karena sikat gigi sehingga semen gigi kelihatan.
Oleh karena semen gigi tidak tahan terhadap tekanan mekanis, akan
mengalami pengausan lebih cepat daripada email. Dalam hal ini, akan
terjadi kerusakan yang dalam dan lebar pada bagian servikal akar gigi, tanpa
kerusakan permukaan email di sebelahnya (Deynilisa, 2013).

Gambar 3. Lesi abrasif memiliki ciri khas margin terlihat jelas dan permukaan
yang keras dengan bekas goresan. Abfraksi bisa memainkan peran
dalam pembentukan lesi keausan serviks pada gigi taring kiri rahang
bawah dan gigi premolar pertama.
Sumber: Peumans dkk. (2020)

Perawatan lesi NCCL adalah untuk menghentikan atau mencegah


perkembangan lebih lanjut lesi dengan mengendalikan semua faktor etiologi
potensial yang dapat dikaitkan dengan lesi ini. Perawatan restoratif lesi non
karies dapat meningkatkan pemeliharaan kebersihan mulut oleh pasien. Ini
juga membantu mengurangi sensitivitas termal, meningkatkan estetika dan
penguatan gigi (Mathias dkk., 2018).
Tabel 1. Macam-macam lesi serviks non-karies dan etiologinya

Sumber: Peumans dkk. (2020)


Lesi serviks non-karies jika tidak dilakukan perawatan dapat menyebabkan
pertumbuhan bioflm dan sering dikaitkan dengan iritasi dan resesi gingiva,
menyebabkan kerapuhan struktural, estetik, dan dapat menjadi faktor predisposisi
dentin hipersensitivitas (Mathias dkk., 2018). Seain itu, jika tidak dilakukan
perawatan secepatnya maka mahkota gigi akan mudah fraktur oleh tekanan
mastikasi saat gigi berfungsi, dan pasien biasanya lebih memilih untuk segera
dilakukan pencabutan (Widiadnyani, 2019).
Perawatan lesi serviks non-karies fokus pada pencegahan, pemantauan,
pengobatan hipersensitivitas dentin, pengobatan restoratif dan prosedur bedah
penutupan akar secara bedah dengan atau tanpa perawatan restoratif. Pencegahan
bertujuan untuk mencegah perkembangan lesi yang ada atau pengembangan yang
baru dan memperpanjang umur restorasi lesi. Bentuk pencegahan meliputi
konseling untuk perubahan pada perilaku tergantung pada etiologi (abrasi, erosi,
dan / atau abfraksi). Bentuk pencegahan adalah sebagai berikut (Peumans dkk.
2020)
 Lesi serviks yang disebabkan karena faktor-faktor menyikat gigi (seperti
sering atau paksa menyikat, teknik yang salah atau kuat, kekakuan atau
desain filamen, ketangkasan tangan yang dominan, atau pasta gigi yang
abrasif) pasien disarankan untuk mengubah bahan atau kebiasaan menyikat
gigi.
 Lesi serviks yang disebabkan karena erosi, pasien diinstruksikan untuk
menghindari menyikat gigi yang sebelumnya sudah atau baru saja terpapar
bahan erosif.
 Jika abfraksi diduga karena faktor dominan, pilihan perawatan yang paling
konservatif disarankan adalah occlusal splint karena dapat mengurangi
jumlah bruksisme nokturnal dan kekuatan gigi nonaksial. Terapi lain adalah
mengoreksi ketidakseimbangan oklusal dan menghilangkan prematuritas
kontak.
Keberhasilan perawatan lesi abfraksi bergantung pada pemilihan material
komposit dan teknik aplikai yang tepat. Pilihan perawatan yang optimal pada lesi
abfraksi gigi adalah restorasi komposit dengan hasil yang luar biasa jika dilakukan
dengan prinsip perawatan yang mengacu pada tujuan estetika (warna, tekstur,
morfologi), preparasi gigi, teknik dan pemilihan bahan adhesive yang digunakan,
filling dan finishing material restorasi. Nano-Hybrid Composite adalah bahan
yang sangat bagus untuk jenis restorasi ini karena tegangan shrinkage yang
rendah, modulus elastisitas yang lebih rendah, dan penampilan yang sangat baik.
kualitas tinggi untuk semua kebutuhan restorasi gigi mencapai estetika dan
mengembalikan fungsi gigi (Sabri, 2017). Komposit mikrofil merupakan bahan
pilihan karena memberikan permukaan yang lebih baik dan lebih halus serta
memiliki kelenturan yang cukup untuk menahan tekanan akibat lentur serviks,
saat fleks gigi di bawah tekanan oklusal yang berat (Garg dan Garg, 2015). Bahan
ionomer kaca memiliki banyak sifat unik seperti ikatan kimianya secara langsung
struktur gigi, margin seal yang baik, pelepasan fluorid edan sifat
antikariogeniknya, kelemahan utama nya adalah biodegradasi dan disolusi cairan
dengan perubahan warna (Sabri, 2017).

1. GIC
Glass ionomer cement (GIC) merupakan material yang dikenal sebagai
semen berbahan dasar asam. GIC berasal dari reaksi asam polimetrik lemah
dengan powdered glasses (Sidhu dan Nicholson, 2016). GIC merupakan
material restoratif yang terdiri atas kalsium, stronsium, aluminosilikat (base),
dan water-soluble polimer (asam). Ketika bahan-bahan tersebut dicampur,
maka akan terjadi reaksi pengerasan yang terjadi karena adanya neutralisasi
kelompok asam oleh bahan-bahan base (Upadhya dan Kishore, 2005).
Selanjutnya GIC akan berikatan dengan gigi menggunakan mekanisme
micromechanical interlocking, dan true chemical bonding (Sidhu dan
Nicholson, 2016).
GIC atau semen ionomer kaca adalah bahan restorasi yang paling akhir
berkembang dan mempunyai sifat perlekatan yang baik. Semen ini melekat
pada enamel dan dentin melalui ikatan kimia (Robert, 2002). GIC memiliki
biokompatibilitas yang baik serta bersifat flour release sehingga dapat
menghambat karies (Xie dkk., 2000). Glass ionomer cement melepaskan ion
flour dalam jangka waktu yag cukup lama sehingga dapat menghilangkan
sensitivitas dan mencegah terjadinya karies sekunder. Kemampuan dalam
melepaskan ion flour terhadap compressive strength, dari bahan restorasi
semen ionomer kaca, mengakibatkan korelasi negatif antara pelepasan ion
flouride dengan compressive strength. Bahan material yang memiliki tingkat
pelepasan ion flouride yang lebih tinggi, secara umum mempunyai kekuatan
yang lebih rendah dari material yang memiliki tingkat pelepasan ion flouride
yang rendah. Namun. GIC juga memiliki beberapa kelemahan, yakni sifat
mekanis yang buruk seperti rapuh, mudah aus, kekerasan rendah, dan kurang
bisa ditempatkan pada area yang memiliki tekanan yang besar (Xie dkk.,
2000). GIC jika dibandingkan dengan bahan tumpatan lain adalah kurang
estetik, sulit dipolish, dan mempunyai sifat brittle (Robert, 2002).
Glass ionomer cement sering disebut ASPA (Alumine Silicate and
Polyacrylic acid). Reaksi yang terbentuk dari glass ionomer cement adalah
reaksi antara alumina silikat kaca dalam bentuk powder dengan asam
poliakrilik sebagai liquid. Selain sebagai bahan restorasi, glass ionomer cement
dapat digunakan sebagai bahan pelekat, bahan pengisi untuk restorasi gigi
anterior dan posterior, pelapis kavitas, penutup pit dan fisur, bonding agent
pada resin komposit, serta sebagai semen adhesif pada perawatan ortosontik.
Ukuran partikel glass ionomer cement bervariasi, yaitu sekitar 50 µm sebagai
bahan restorasi dan sekitar 20 µm sebagai bahan luting (Robert, 2002). Macam
aplikasi GIC bergantung pada konsistensi semen dari viskositas yang tinggi ke
rendah sesuai dengan distribusi partikel serta tasio bubuk dan cairan GIC.
Ukuran partikel bahan restoratif maksimal adalah 50µm, sedangkan bahan
luting 15µm (Sherwood, 2010).
2. Komposi GIC
Komposisi glass ionomer cement terdiri dari bubuk dan cairan. Bubuk
GIC adalah calsium flouroaluminosilicate glass yang larut dalam cairan asam
(Anusavice dkk., 2013). Bubuk dapat terurai oleh asam karena adanya ion Al 3+
yang dapat dengan mudah masuk ke jaringan silika (Mahesh dkk., 2011).
a. Komposisi bubuk
Bubuk glass ionomer cement adalah kaca alumina silikat. Walaupun
memiliki karakterisrik yang sama dengan silikat tetapi perbandingan
alumina silikat lebih tinggi pada semen silikat (Anusavice, 2003).
Komponen bubuk GIC adalah sebagai berikut (Anucavice, 2013; Sherwood,
2010; Mahesh, 2011).
 Kalsium flourida, berfungsi untuk meningkatkan opasitas dan
mengatur pelepasan flour
 Alumina, berfungsi untuk meningkatkan opasitas dan kekuatan
kompresi
 Silika, berfungsi untuk mempengaruhi transparansi
 Flouride, berfungsi untuk antikariogenesis, meningkatkan translusens,
kekuatan, menghambat pembentukan plak serta memperpanjang
waktu kerja
 Fosfat aluminium, berfungsi untuk meningkatkan translusens
 Stronsium, berfungsi untuk mengatur radiopasitas
b. Komposisi cairan
Cairan yang digunakan glass ionomer cement adalah larutan dari asam
poliakrilat dalam konsentrasi kira-kira 50%. Cairan ini cukup kental
cenderung membentuk gel setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar
semen, cairan asam poliakrilat adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam
itikonik, maleic atau adam trikarnbalik. Asam-asam ini cenderung
menambah reaktifitas dari cairan, mengurangi kekentalan dan mengurangi
kecenderungan membentuk gel (Anusavice, 2003).
Asam tertarik juga terdapat dalam cairan yang memperbaiki
karakteristik manipulasi dan meningkaatkan waktu kerja, tetapi
memperpendek pengerasan. Terihat peningkatan yang berkesinambungan
secara perlahan pada kekentalan semen yang tidak mengandung asam
tartaric. Keketalan semen yang mengandung asam tartaric tidak
menunjukkan kenaikan kekentalan (Anusavice, 2003).
Ketika bubuk dan cairan glass ionomer cement dicampurkan, cairan
asam akan memasuki permukaan partikel kaca kemudian bereaksi dengan
membentuk lapisan semen tipis yang akan mengikuti inti. Selain cairan
asam, kalsium, aluminium, sodium sebagai ion-ion flouride pada bubuk
glass ionomer cement akan memasuki partikel kaca yang akan membentuk
ion kalsium (Ca2+) kemudian ion aluminium (Al3+) dalam garam flour yang
dianggap dapat mencegah timbulnya karies sekunder. Selanjutnya partikel-
partikel kaca lapisan luar membentuk lapisan (Anusavice, 2003).
Komponen cairan GIC adalah sebagai berikut (Anucavice, 2013;
Sherwood, 2010; Mahesh, 2011).
 Tartaric acid (5-15%), berfungsi untuk meningkatkan waktu kerja,
memperlambat setting time translusens, dan kekuatan
 Polifosfat (40-55%), terdiri atas acrylic acid, itaconic acis, maleic
acid, phosphonic acid. Polifosfat berfungsi untuk memperpanjang
waktu kerja dan melekat pada struktur gigi tanpa perlakuan khusus
 Oksida logam, berfungsi untuk mempercepat setting time
3. Sifat GIC
GIC merupakan bahan kedokteran gigi yang memiliki berbagai sifat yang
digunakan untuk bahan restorasi ataupun bahan adesif. Beberapa sifat GIC
diantaranya ialah biokompatibilitas, rendah toksik, adesi pada struktur gigi
yang moist, flour release sehingga bersifat antikariogenik, dan kompatibilitas
termal pada enamel (Lohbauer, 2010).
a. Biokompatibilitas
GIC memiliki biokompatibilitas yang cukup baik. Respon pulp
terhadap GIC baik dibandingkan dengan respon pulpa terhadap zinc oxide
dan zinc polikarboksilat. Jaringan periodontal juga memiliki respon yang
baik terhadap GIC, selain itu GIC juga dapat mengurangi biofilm
subgingiva dibndingkan dengan restorasi resin komposit. pH awal GIC yang
rendah dapat menyebabkan sensitivitas pada sementasi mahkota (Sidhu dan
Nicholson, 2016).
b. Linear Elastic Mechanical Properties
Karakteristik parameter mekanik dasar pada material dental restoratif
diantaranya adalah modulus elastisitas, kekuatan fraktur, fracture
toughness, dan kekerasan permukaan. Produk komersil GIC memiliki
modulus elastisitas sebesar 2-10 Mpa (Lohbouer, 2003). Kontaminasi
kelembaban yang berlebihan pada sesaat setelah pencampuran semen
menyebabkan menurunnya modulus elastisitas dan kekuatan fraktur. GIC
memiliki kekuatan kompresif berkisar diantara 60-300 Mpa dan kekuatan
fleksuralnya hingga 50 Mpa. GIC memiliki resistensi terhadap cairan-cairan
yang ber-pH asam dibandingkan dengan material restoratif lainnya.
Penelitian sebelumnya menunjukkn bahwa pada 6 bulan pertama terjadi
uptake air sebesar 5%. GIC memiliki sifat menyerap air yang yang lebih
besar dibandingkan dengan komposit (Small dkk., 1998).
c. Flour release
Flour diketahui sebagai agen yang paling ampuh dalam pencegahan
karies. GIC memiliki sifat flour release, sehingga apabila diggunakan pada
marginal gaps antara material filling dengan gigi, akan menghindari dari
terbentuknya karies sekunder pada jaringan gigi. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bhwa GIC akan melepaskan flour sebesar 10 ppm pada awal
restorasi dan akan stabil sebesar 1-3 ppm selama 100 bulan (Forsten, 1998).
d. Performa klinis
Fatique fracture setelah beberapa tahun merupakan kegagalan yang
sering terjadi pada restorasi GIC. Kerusakan restorasi seperti fraktur
marginal ataupun cusp sering ditemukan. Penelitian sebelumnya
menunjukkn bahwa fraktur banyak ditemukan pada daerah posterior gigi
yang banyak menerima tekanan berat. Penelitian menyebutkan bahwa
frakture merupakan penyebab utama dari kegagalan restorasi GIC (Klinge
dkk., 1999).
e. Wear dan fatique
Sifat mekanik jangka panjang GIC dipengaruhi oleh kekuatan
mastikasi. Kekuatan mastikasi akan berdampak pada permukaan restorasi.
Penelitian menunjukan bahwa tingkat keausan GIC lima kali lebih tinggi
daripada amalgam dan tiga kali lebih tinggi daripada resin komposit
(Kunzelmann, 1994).
f. Thermal
Ekspansi dan kontraksi yang tadi saat mengonsumsi makanan pedas
dan dingin akan mempengaruhi marginal seal pada bahan restoratif. Selisih
dari koefisien ekspansi termal dari GIC yang diukur dari 20⁰C dan 60⁰C
adalah 10,2-11,4 (Craig, 2002).
g. Adhesi
Perlekatan kimia GIC terhadap jaringan keras gigi melalui kombinasi
asam polikarboksilat dengan hidroksiapatit. Kekuatan ikatan GIC dengan
enamel lebih besar daripada dentin. Namun, dengan pemberian conditioner
seperti polikarboksilat, asam sitrat atau fosfat dapat meningkatkan ikatan
antara GIC dan jaringan keras gigi. Conditioner berperan sebagai bahan etsa
yang menghilangkan smear layer dri tubuli dentin (Powis dkk., 2002).
Selain memiliki sifat-sifat tersebut, GIC juga memiliki beberapa
keterbatasan, seperti kekuatan mekanis dan kekerasan yang rendah (Lohbauer,
2010).
a. Sifat Fisis
● Anti karies ion flour yang dilepaskan terus menerus membuat gigi
lebih tahan terhadap karies
● Termal ekspansi sesuai dengan dentin dan enamel
● Tahan terhadap abrasi, hal ini penting khususnya pada penggunaan
dalam restorasi dari groove (Power, 2008).
b. Sifat Mekanis
 Coompressive strength 150 Mpa, lebih rendah dari silikat
 Tensile strength 6,6 Mpa, lebih tinggi dari silikat
 Hardness 4,9 KHN lebih lunak dari silikat
 Frakture toughness: beban yang kuat dapat terjadi fraktur (Power,
2008).
c. Sifat Kimia
Glass ionomer cement melekat dengan baik ke enamel dan dentin,
perlekatan ini berupa ikatan kimia antara ion kalsium dari jaringan gigi dan
ion COOH dari glass ionomer cement. Ikatannya dengan dentin sehingga
kebocoran tepi tumpatan dapat dikurangi. Glass ionomer cement tahan
terhadap suasana asam, oleh karena adanya ikatan silang diantara rantai-
rantai glass ionomer cement. Ikatan ini terjadi karena adanya polyanion
dengan berat molekul yang tinggi (Anusavice, 2004).
4. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Wilson dan Melean (1988) GIC di klasifikasi sebagai
berikut
 Tipe I: Luting
- Penggunaan: luting semen pada crown, bridge, inlay, venner
- Kelarutan: rendah
- Rasio P/L: 1,5:1
- Setting rate: fast setting
- Ketebalan flm: 10-20 µm
- Pelepasan flouride
- Translusens
- Kekuatan tekan tinggi
(Khoroushi dan Keshani, 2013).
 Tipe II: Restoratif
 Tipe II.1: Restoratif estetik (autocure resin modified)
- Penggunaan : restorasi gigi anterior (Kelas III, V)
- Rasio P/L: 2,9:1 sampai 3,6:1
- Setting rate: autocure-awal mengaplikasikan sampai 4 menit dari
pengadukan: resin modified 20-40 detik
- Translusens
- Flouride reservoir
- Radiopak
(Khoroushi dan Keshani, 2013).
 Tipe II.2: Restoratif reinforced/ Bis-reinforced filling materials
- Penggunaan: restorasi gigi posterior (kelas I), inti pasak
- Rasio P/L: 3:1 sampai 4:1
- Adesi lebih kuat
- Tahan terhadap kehilangan air
- Radiopak
- Ketahanan abrasi: cocok dengan amlgam dan resin komposit
(Khoroushi dan Keshani, 2013).
 Tipe III: Lining atau base
- Penggunaan: liner untuk melindungi pulpa, sedangkan basis untuk
meningkatkan adesi terhadap resin komposit (sandwich technique)
- Rasio basisi P/L: 3:1
- Rasio liner P/L: 1,5: 1
- Radioopak
(Khoroushi dan Keshani, 2013).
Klasifikasi menurut Smith/Wright (1994) adalah sebagai berikut:
a. Tipe I Lutting cements
Glass ionomer cement tipe luting semen sangat baik untuk sementasi
permanen mahkota, jembatan, venner, dan lainnya. Dapat digunakan sebagai
liner komposit. Secara kimiawi berikatan dengan dentin enamel, logam
mulia dan porselen. Memiliki translusensi yang baik dan warna yang baik,
dengan kekuatan tekan tinggi. Glass ionomer cement yang diberikan pada
dasarnya kavitas akan menghasilkan ion flouride serta berkurangnya
sensitifitas gigi, perlindungan pulpa dan isolasi. Hal ini mengurangi
timbulnya kebocoran mikro (microleakage) ketika digunakan sebagai semen
inlay komposit atau onlay (Craig, 2004).
b. Tipe II Restorasi
Karena sifat perlekatannya, kerapuhan dan estetika yang cukup
memuaskan, glass ionomer cement juga digunakan untuk mengembalikan
struktur gigi yang hilang, seperti abrasi servikal. Abrasi awalnya
diakibatkan dari iritasi kronis seperti kebiasaan menyikat gigi yang terlalu
keras (Craig, 2004).
c. Tipe III Liners and bases
Pada teknik sandwich, glass ionomer cement dilibatkan sebagai
pengganti dentin, dan komposit sebagai pengganti enamel. Bahan-bahan
lining dipersiapkan dengan cepat untuk kemudian menjadi reseptor bonding
pada resin komposit (kelebihan air pada matriks glass ionomer cement
dibersihkan agar dapat memberikan kekerasan mikroskopis yang nantinya
akan ditempatkan oleh resin sebagai pengganti enamel) (Anusavice, 2008).
d. Tipe IV fissure sealants
Tipe IV glass ionomer cement dapat digunakan juga sebagai fissure
sealant. Pencampuran bahan dengan konsistensi cair, memungkinkan bahan
mengalir ke lubang dengan celah gigi posterior yag sempit (Powers, 2008).
e. Tipe V orthodontics cements
Pada saat ini, braket ortodonti paling banyak menggunakan bahan
resin komposit. Namun, glass ionomer cement juga memiliki kelebihan
tertentu. Glass ionomer cement memiliki ikatan langsung ke jaringan gigi
oleh interaksi ion polyacrylate dan kristal hidroksiapatit, dengan demikian
dapat menghindari etsa asam. Glass ionomer cement memiliki efek
antikariogenik karena kemampuannya melepas flour. Bukti dari tinjauan
sistematis uji klinis menunjukkan tidak adanya perbedaan dalam tingkat
kegagalan braket ortodonti antara resin modifikasi glass ionomer cement
dan resin adhesif (Powers, 2008).
f. Tipe VI core build up
Beberapa dokter gigi menggunakan glass ionomer cement sebagai inti
(core), mengingat kemudahan glass ionomer cement dalam jelas
penempatan, adhesi, flour yang dihasilkan, dan baik dalam koefisien
ekspansi termal. Logam yang mengandung glass ionomer cement (misalnya
cement, ketac perak, EspeGMbH, Germanyn) atau capuran glass ionomer
cement dan amalgam yang telah populer. Saat ini, banyak glass ionomer
cement konvensional yang radiopaque lebih mudah untuk menangani
daripada logam yang mengandung bahan-bahan lain. Namun demikian,
banyak yang menganggap glass ionomer cement tidak cukup kuat untuk
menopang inti (core). Maka direkomendasikan bahwa gigi harus memiliki
minimal dua dinding utuh jika menggunakan GIC (Powers, 2008).
g. Tipe VII flouride releasing
Banyak laboratorium percobaan telah mempelajari flourida yang
dihasilkan glass ionomer cement dibandingkan dengan bahan lainnya.
Namun tidak ada review sistematis dengan atau tanpa meta analisis yang
telah dilakukan. Hasil dari satu percobaan, dengan salah satu tindak lanjut
periode terpanjang, menemukan bahwa glass ionomer cement konvensional
menghasilkan fluorida lima kali lebih banyak daripada kompromer dan 21
kali lebih banyak dari resin komposit dalam waktu 12 bulan. Jumlah
flourida yang dihasilkan, selama 24 jam periode satu tahun setelah
pengobatan, adalah lima sampai enam kali lebih tinggi dari kompomer atau
komposit yang mengandung flour (Craig, 2004).
h. Tipe VIII ART (atraumatic restorative technique)
ART adalah metode manajemen karies yang dikembangkan untuk
digunakan dinegara-negara dimana tenaga terampil gigi dan fasilitas terbatas
namun kebutuhan penduduk tinggi. Hal ini diakui oleh organisasi kesehatan
dunia. Teknik menggunakan alat-alat tangan sederhana (seperti pahat dan
excavator) untuk menerobos enamel dan menghapus karies sebanyak
mungkin. Ketika karies dibersihkan, rongga yang tersisa direstorasi dengan
menggunakan glass ionomer cement viskositas tinggi. Glass ionomer
cement memberikan kekuatan beban fungsional (Craig, 2004).
i. Tipe IX Deciduous teeth restoration
Restorasi gigi sulung berbeda dari restorasi gigi permanen karena
kekuatan kunyah dan usia gigi. Awal tahun 1977 disarankan bahwa glass
ionomer cement dapat memberikan keuntungan restoratif bahan dalam gigi
sulung karena kemampuan glass ionomer cement untuk melepaskan flour
dan untuk menggantikan jaringan eras gigi, serta memerlukan waktu yang
cepat dalam mengisi kavitas. Hal ini dapat dijadikan keuntungan dalam
merawat gigi pada anak-anak. Namun, masih diperlukan tinjauan klinis
lebih lanjut (Craig, 2004).
5. Indikasi dan Kontraindikasi
GIC memiliki beberapa indikasi klinis dintaranya (Alamuhaiza, 2016).
 Caries control pada restoratif provosional
 Restorasi kelas V
 Material basis
 Restorasi sementara pada access opening PSA
 Restorasi sementara gigi anterior dan posterioR
 Sementasi band ortodontik
 Adhesif braket orthodontik
 Memperbaiki lesi resorbsi akar eksternal
 Restorasi pada gigi yang menerima tekanan tidak terlalu besar
 Restorasi margin mahkota yang terdapat karies pada bagian subgingival
 Memperbaiki perforasi akar pada perawatan endodontik
 Teknik ART
 Core kecil dimana masih tersisa sedikitnya 50% struktur gigi
 Restorasi posterior pada gigi desidui
 Menutup (blockout) undercut pada preparasi mahkota dan onlay
Beberapa kontraindikasi penggunan GIC diantaranya (Alamuhaiza,
2016).
- Restorasi gigi posterior sebagai penggati restorasi amalgam
- Restorasi gigi yang memiliki beban kunyah yang besar
- Restorasi kelas IV dan kelas VI

6. Kelebihan dan Kekurangan


GIC memiliki beberapa kelebihan, antara lain (Sherwood, 2010)
 Biokompatibel
 Fluoride release (anti kariogenik)
 Melekat secara kimia dengan struktur gigi
 Sifat fisik yang stabil
 Tingkat sensitivitasnya lebih rendah dibandingkan resin komposit
Beberapa kekurangan dari GIC antara lain (Noort, 2013)
o Working time pendek dan setting time panjang
o Kekuatan tekan dan kekerasannya rendah
o Resistensi terhadap abrasi rendah
o Water in dan water out
o Kurang estetis dibandingkan resin komposit
o Mudah retak

7. Fase Setting
Reaksi pengerasan dimulai saat cairan asam polielektrolit berkontak
dengan permukaan kasa aluminosilikat yang kelak akan menghasilkan
pelepasan sejumlah ion. GIC mengalami 3 fase pengerasan yang berbeda dan
saling overlapping. Fase pertama adalah fase pelepasan ion yang diawali reaksi
ionisasi radikal karboksil (COOH) yang terdapat dalam rantai asam (asam
poliakrilat) menjadi ion COO- (ion karboksilat) dan ion H+. Ion H+ bereaksi
pertama kali pada permkaan partikel kaca menyebabkan terlebasnya ion-ion
seperti Ca2+ dan Na+ kedalam cairan. Kemudian ion H+ tersebut berpenetrasi
kembali hingga mencapai struktur yang kurang terorganisasi menyebabkan
terlepasnya ion Al3+. Saat fase ini, dilepaskan panas dengan suhu berkisar
antara 3⁰C sampai 7⁰C. Semakin besar rasio bubuk dan cairan GIC maka panas
yang dilepaskan akan semakin besar (Craig, 2004).
Reaksi pengerasan GIC terjadi pada saat pencampuran powder dengan
liquid terdiri dari 3 fase.

a. Fase I (Dissolution)
Pada tahap ini, saat terjadi pencampuran powder dan liquid , ion-ion
hidrogen terbentuk dari ionisasi asam poliakrilat dalam air. lon hidrogen
akan bereaksi dengan partikel-partikel glass yang menyebabkan pelepasan
ion-ion kalsium, aluminium, dan fluor dan membentuk sebuah gel (Silica-
based hydogel) di sekitar partikel-partikel glass.
b. Fase II (Gelation /Hardering)
Pada tahap ini, ion-ion Ca dan Al dari silica hydrogel berikatan
dengan polianion pada gugus polikarboksilat semen yang memulai
terbentuk pada saat pH meningkat. Gugus karboksilat berikatan silang
secara ionic dengan ranyal polianionyang menyebabkan semen mulai
mengeras. Kalsium polikarboksilay mulai terbentuk pada 5 menit pertama
sedangkan alumunium karboksilat yang memiliki ikatan lebih stabil dan
kuat terbentuk setelah 24 jam. Awal pengerasan cenderung rapuh, namun
sifat fisiknya akan mulai meningkat bersamaan dengan terjadinya
pembentukan alumunium polikarboksilat.
c. Fase III (Hydration of Salts)
Pada tahap ini terjadi hidrasi pada gel (silica-based hydrogel) dan
gugus polikarboksilat yang menyebabkan peningkatan sifat-sifat fisik
semen. Fase ini terjadi selama beberapa bulan (Lohbauer, 2003).

8. Prinsip Preparasi
Pada kasus tertentu pada karies, yang mengakibatkan kerusakan hingga
mengenai pulpa, sebaiknya langkah pertama hingga kelima diletakkan pada
langkah kedua. Apabila terjadi keadaan seperti ini, sangat penting untuk
meletakkan base yang sesuai takaran ke dalam kavitas yang sidah dipreparasi,
yaitu:
a. Outline form
Tahapan setelah pemilihan warna yaitu tahap preparasi yang diawali
dengan penentuan outline. Bentuk outline preparasi berbeda setiap kelas dan
terbatas pada luasnya karies serta akses untuk menghilangkan jaringan karies.
Pada beberapa kasus titik kontak tidak perlu dihilangkan. Preparasi awal
dilakukan untuk mengambilan jaringan karies berbatasan dengan enamel
menggunakan round bur dengan kecepatan tinggi, sedangkan karies yang
berbatasan dengan dentin dapat dihilangkan menggunakan round bur dengan
kecepatan rendah atau menggunakan eskavator (Hilton dkk., 2013). Outline
form merupakan margin preparasi akan ditempati pada preparasi gigi akhir
kecuali untuk finishing dinding dan margin email. Outline form meliputi
outline form eksternal dan internal. Outline form eksternal dibuat terlebih
dahulu untuk memperluas semua margin ke jaringan gigi yang sehat yang
terdiri dari kurva halus, garis lurus dan garis bulat dan sudut titik, serta enamel
yang tidak ditopang oleh dentin dan juga enamel yang mengalami
demineralisasi harus dilepas karena dapat menyebabkan fraktur. Outline form
dibuat preparasi minimal dengan mempertahankan kedalaman 1,5 sampai 2,0
mm, dari tepi cavosurface ke lantai pulpa kurang lebih 0,2 sampai 0,5 mm
untuk memberikan kekuatan menahan fraktur akibat gaya pengunyahan (Garg
dan Garg, 2015).
b. Resistance form
Resistance form merupakan bentuk preparasi sehingga memungkinkan
gigi dan restorasi menahan, tanpa patah, tekanan gaya pengunyahan yang
diberikan terutama di sepanjang sumbu panjang gigi (Garg dan Garg, 2015).
c. Retention form
Retention form merupakan bentuk preparasi sehingga memungkinkan
gigi menahan perpindahan atau pelepasan restorasi dari gaya saat mastikasi.
Restorasi komposit besarnya retensi dikaitkan dengan ikatan mikromekanis
antara struktur gigi yang telah dietsa dan dipreparasi dengan membentuk bevel
pada enamel (Garg dan Garg, 2015).
d. Convenience form

Convenience form merupakan bentuk preparasi sehingga dapat


memfasilitasi dan memberikan visibilitas yang memadai, aksesibilitas, dan
kemudahan selama persiapan dan restorasi gigi. Perluasan yang cukup dari
dinding distal, mesial, wajah atau lingual untuk mendapatkan akses yang
memadai ke bagian preparasi yang lebih dalam. Margin permukaan kavitas dari
preparasi harus terkait dengan material restoratif yang dipilih untuk tujuan
kenyamanan dan adaptasi marginal (Garg dan Garg, 2015).
e. Removal of caries
Hapus enamel yang tidak didukung dengan diamond bur, akses lesi
proksimal melalui permukaan oklusal, hanya medial ke ridge marginal yang
relevan. Setelah akses diperoleh ke dentin yang terinfeksi proksimal, hapus
ridge marginal yang rusak dengan excavator atau bur. Ekskavasi karies dentin
perifer ke dentin yang terkena. Tinggalkan tepi enamel yang sehat, bevel jika
memungkinkan / hindari trauma papilla gingiva (Banerjee dan Watson, 2015).
f. Finish of the enamel wall
Finishing of enamel wall dilakukan dengan cara menghaluskan dan
meratakan dinding kavitas
g. Toilet of cavity
Cavity cleanser yang biasa digunakan dalam kedokteran gigi yaitu
chlorehexidine diglukonat, larutan kalsium hidroksida Ca(OH)2, EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetid Acid), dan sodium hipoklorid (NaOCl)
(Mulyawati, 2011). Aplikasi toilet of cavity pada umumnya menggunakan
chlorhexidine gluconate 0,2% yang diaplikasikan dengan menggunakan
mikrobrush pada kavitas kemudian didiamkan selama 10 detik dan dikeringkan
hingga moist.

9. Prosedur restorasi komposit


Prosedur restorasi komposit klas IV adalah sebagai berikut.
1) Komunikasikan kepada pasien mengenai rencana perawatan yang akan
dilakukan, bila pasien menyetujui maka dilanjutkan dengan pembuatan
inform consent
2) Persiapan alat bahan
Alat Bahan
Diagnostik set cotton pelet dan cotton roll

Bur Dentin conditioner

Rubber dam GIC


Microbrush

3) Metode Pengadukan
Menurut Nagaraja dan Kishore (2005), metode pengadukan GIC
berdasarkn jenis bahannya antara lain sebagai berikut.
 Powder dan liquid
Powder diambil dengan menggunakn sendok khusus sesuai dengan
besar kavitas, ratakan di mulut botol, letakkan diatas kertas/ kaca
pengaduk. Botol liquid didesain dengan prinsip dropper mechanism,
dimana hanya mengeluarkan satu tetes setiap aplikasinya. Setiap tetes
liquid yang mengandung gelembung udara, harus dibuang.
Pengadukan terjadi sekitar 20-30 detik.
 Kapsul
Powder dan liquid dikemas dalam bentuk kapsul. Keduanya dicampur
menggunakan mixing machine. Perbandingan powder liquid dapat
dikontrol
 Pasta
Bentuk pasta biasa digunakan untuk luting cements, lining cements
endodontik dan orhodontic. Bentuk dua pasta dikemas dalam dua
syringe berbeda, setelah itu dicampur dengan teknik hand mixing.
Ukuran partikel yang halus dan memiliki setting time selama 3 menit.
Campurkan material pasta secara cepat dengan menggunakan spatula
plastik selama 10-15 detik
4) Teknik aplikasi
Teknik aplikasi GIC untuk kavtas menurut Sherwood (2010) dan
Noort (2013), antara lain sebagai berikut
a) Aplikasi dentin conditioner yang mengandung asam poliakrilat 10%
diletakkan selama 10 detik. Selain asam poliakrilat dapat juga
menggunakan bahan seperti EDTA. Ferric chloride, atau asam sitrat.
b) Bersihkan dengan air selama 10 detik.
c) Buat permukaan kavitas dalam keadaan lembab
d) Manipulasi bahan dengan handmixing apabila berupa bubuk dan
cairan
e) Aduk menggunakan spatula plastik yang dibwahnya dilembari kertas
dan glass slab
f) Aplikasi GIC ke tempat kavitas berada
g) Setelah setting, aplikasi varnish untuk mencegah kebocoran tepi

5) Teknik Sandwich
Teknik sandwich pada GIC adalah restorasi berlapis yang
menggunakan GIC dan resin komposit, di mana GIC akan menggantikan
dentin sedangkan resin komposit akan menggantikan enamel (Hewlett and
Mount, 2003). Istilah teknik sandwich mengacu kepada tumpatan restorasi
yang menggunakan GlC untuk menggantikan dentin dan resin komposit
untuk menggantikan enamel. Strategi ini menggabungkan sifat paling baik
dari kedua bahan tersebut seperti daya tahan terhadap karies, adhesi secara
kimia terhadap dentin, pelepasan fluor dan proses remineralisasi, pengerutan
pada lapisan dalam yang rendah, pengikatan GIC dengan enamel,
penyelesaian akhir enamel, durabilitas dan sifat resin komposit yang estetis
(Mount and Hewlett, 2003). Biasanya dalam penerapan teknik sandwich
biasanya diawali dengan pelapisan GIC tipe II pada dasar kavitas, kemudian
dilanjutkan dengan penggunaan resin komposit untuk memberikan
ketahanan dan durabilitas (Annusavice, 2003).
GIC berfungsi untuk meningkatkan ikatan antara dentin dengan
restorasi menggunakan bahan komposit (Manappallil, 2003). Selain itu,
keuntungan dari penggunaan GIC yang lain adalah dapat melepaskan ion
flour yang memungkinkan untuk mencegah terjadinya karies sekunder.
Namun di sisi lain GIC juga memiliki kekurangan yaitu tidak dapat
menerima tekanan kunyah yang besar, mudah abrasi, erosi, dan dari segi
estetisnya tidak sempurna karena translusensinya lebih rendah dari resin
komposit. GIC memiliki kelebihan berikatan dengan dentin dan email lebih
baik karena melepaskan fluor lebih banyak daripada resin komposit. GIC
berikatan dengan dentin melalui adhesi kimia (Manapphallil, 2003),
sedangkan komposit tidak memiliki ikatan kimia terhadap email dan dentin.
GIC memiliki biokompabilitas yang lebih baik daripada resin komposit.
Resin komposit memiliki kelebihan yaitu memiliki sifat fisik lebih
baik daripada GIC. juga memiliki estetik yang lebih baik daripada GIC.
Melihat dari kelebihan dan kekurangan SIK dan resin komposit, 2 bahan ini
dapat dipadukan. GIC sebagai base dan resin komposit sebagai tumpatan di
atas GIC yang dikenal dengan teknik sandwich. Ikatan yang terjadi adalah
ikatan GIC dengan email dan dentin (ionic bond) dan ikatan GIC dengan
material tumpatan (mechanies bond). Akibat adhesi dengan dentin, bahan
cenderung mengurangi terbentuknya ruang pada tepi gingival yang
berlokasi di dentin, sementum, atau keduanya akibat penyusutan
polimerisasi dari resin. Permukaan semen yang sudah mengeras di etsa
untuk menghasilkan permukaan yang lebih kasar sehingga menambah
retensi, yang menjamin adhesi dengan bahan restorasi komposit
(Manapphallil, 2003).
6) Modifikasi
a) Resin Modified Glass lonomer Cement (RM-GIC)
RM-GIC merupakan bahan restorasi yang dihasilkan dari
penggabungan sifat GIC konvensional dengan resin komposit. Sifat yang
dimiliki lebih mendekati sifat GIC konvensional dibandingankan resin
komposit. Hal ini, menyebabkan reaksi pengerasan semen terjadi dalam 2
tahapan antara lain:
 Reaksi asam basa
Reaksi asam basa terjadi pada saat pencampuran
fluoroaluminosilicate glass dengan cairan asam (polialkenoat):
 Reaksi Polimerisasi
Reaksi polimerisasi dengan aktivator kimia/sinar dilakukan pada
hibrid ionomer untuk megaktifasikan monomer resin 2-
hydoxyethylmethacrylate (HEMA) yang terdapat di dalam bubuk
dan atau cairan hibrid ionomer (Ningsih, 2014).
Kombinasi ini menyebabkan RM-GIC tetap dapat melepaskan ion
fluor. Beberapa penelitian menunjukkan jumlah ion fluor yang ionomer
yang dilepaskan hibrid ionomer lebih banyak dibandingkan bahan
restorasi lainnya seperti resin komposit dan kompomer. Namun, jumlah
ion fluor yang dilepaskan oleh hibrid ionomer sedikit lebih rendah atau
sama dengan jumlah ion fluor yang dilepaskan oleh GlC. Sifat yang
dimiliki RM-GIC hamper sama dengan sifat GIC. Penambahan HEMA
mampu memperbaiki kekurangan GIC dari sifat mekanik dan estetik,
tetapi penambahan HEMA diduga juga dapat membahayakan jika
langsung diletakan di dalam sel pulpa karena kandungannya dapat
menyebabkan toksisitas pada daerah sel pulpa (Ningsih, 2014).
b) Kompomer
Kompomer yang disebut juga sebagai polyacid-modified composite
resin, merupakan bahan restorasi baru yang mengombinasikan resin
komposit dengan GIC yang dapat mengeluarkan fluor dan memiliki sifat
adhesi yang baik. Kompomer mengeras dengan aktivasi sinar pada
matriks resin komposit. Tanpa penyinaran, bahan ini tidak akan mengeras
(monomer- monomer tidak mengalami polimerisasi). Kekuatan
kompomer dalam menerima tekanan kunyah adalah berkisar 0,97-1,23
MPa. Oleh karena itu, kompomer seharusnya tidak digunakan pada
daerah yang menerima beban yang besar (Nicholson, 2007).
Kompomer didesain untuk melepaskan flour, fluor akan dilepas
terjadi peningkatan kondisi lingkungan yangasam dan sebagai pen
yeimbang buffer) bagi asam laktat. Beberapa peneliti percaya bahwa
kompomer mampu bertindak sebagai reservoir fluorida dengan
mengabsorpsi fluorida dari lingkungannya. Selain itu,kompomer juga
mampu melepaskan ion yang jauh lebih besar pada kondisi lingkungan
yang asam mampu bertindak sebagai buffering untuk mengubah pH asam
menjadi pH netral. Kompomer dijndikasikan untuk kelas I dan II desidui,
kelas III, kelas V, serta pit dan fissure sealant, sedangkan kontra
indikasinya adalah untuk kelas I, II, IV, dan VI (Ireland, 2006).
Sebelum melakukan preparasi kavitas kelas I kompomer gigi
sulung, harus ditentukan terlebih dähulu outline form nya, kemudian
akses jaringan karies menggunakan bur bulat dengan kecepatanrendalh,
perdalam kavitas sekitar 0,5-1 mm, lalu perluas kavitas dengan
menggunakan bur silindris. Setelah selesai dipreparasi, bersihkan kavitas
dengan menggunakan air atau pumice dankeringkan sampai lembab.
Kemudian aplikasikan liner yang sesuai dan self etching resinbonding
system. Injeksikan kompomer ke dalam kavitas lalu light cure setiap
lapisan selama 30detik, gunakan bur bulat besar untuk membuang
kelebihan kompomer, lalu periksa oklusi gigi dengan menggunakan
kertas artikulasi. Lakukan polishing dengan menggunakan white stone
dan brush yang halus. Adapun beberapa kelebihan daripada kompomer
adalah dapat melepaskan fluor, memiliki warna yang estetis dengan gigi
serta memiliki teknik penanganan yang sederhana sehingga sangat cocok
untuk kedokteran gigi anak, sedangkan kekurangan dari kompomer
adalah dapat terjadi polimerisasi shrinkage sekitar 2-3%, absorpsi air
akan menyebabkanterjadinya diskolorisasi pada permukaan dan marginal
dari tumpatan setelah beberapa tahun, serta sulit untuk melakukan
diagnosa dan interpretasi bila ditinjau dari segi radiografi (Croll, 2004).
B. LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 32 tahun

2. Hasil Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Subyektif :
CC : pasien mengeluhkan adanya gigi yang berlubang
PI : tidak disebutkan dalam jurnal kasus
PDH : tidak disebutkan dalam jurnal kasus
PMH : tidak disebutkan dalam jurnal kasus
FH : tidak disebutkan dalam jurnal kasus
SH : tidak disebutkan dalam jurnal kasus
b. Pemeriksaan Ekstraoral :
Tidak disebutkan dalam jurnal kasus
c. Pemeriksaan Intraoral :
- Terdapat kavitas pada daerah servikal gigi 34 dan 35 berbentuk baji dan
tepi bersudut

d. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan radiografi tidak disebutkan dalam jurnal kasus

3. Diagnosis
Diagnosis kasus tersebut adalah lesi serviks non karies abfraksi
4. Rencana Perawatan
Rencana perawatan pada kasus tersebut adalah restorasi direct GIC
kavitas kelas 5

5. Prosedur Perawatan
1) Pemeriksaan subjektif, objektif, dan pemeriksaan penunjang
2) Persiapan alat dan bahan
Alat: Bahan:
Diagnostik set dentin conditioner
Plastic filling instrument GIC
round bur vaselin/ varnish
fisure bur microbrush
stone putih /jet fine finishing bur paper pad
glass plate cotton roll
plastic spatula cotton pellet
3) Isolasi pada daerah kerja, pastikan bagian interdental terbebas dar gingiva
interproksimal
4) Preparasi round bur pada permukaan servikal gigi untuk membersihkan
karies dan memperluas tepi kavitas hanya di daerah yang karies, bentuk
kavitas menyerupai bentuk ginjal
5) Membuat bevel di sekeliling tepi kavitas
6) Periksa kavitas dengan sonde untuk memeriksa adanya undercut
7) Kavitas dibersihkan dan dikeringkan.
8) Aplikasi dentin kondisioner pada kavitas, cuci dengan air (tidak dengan
kumur-kumur), kemudian keringkan namun masih dalam kondisi lembab.
9) Isolasi pada daerah kerja
10) Manipulasi bahan liquid dan powder dengan plastic filling instrumen sesuai
dengan petunjuk pabrik
11) Pada prinsipnya pengadukan GIC dibutuhkan perbandingan powder dan
liquid satu banding satu. Bagi bubuk menjadi dua bagian. Aduk terlebih
dahulu 1/2 bagian powder dengan liquid dicampurkan cara melipat hingga
homogen lalu dilanjutkan dengan 1/2 bagian powder dengan liquid lainnya
dicampurkan cara melipat hingga seluruhnya homogen.
12) Setelah bahan homogen, aplikasikan GIC pada kavitas dengan plastic
filling instrument.
13) Rapihkan bahan tumpatan pada gigi sebelum semen keras dan selama
pengerasan hindari kontaminasi dengan cairan (saliva atau dari sulkus
gingiva).
14) Aplikasi vaselin/ varnish pada permukaan gigi setelah bahan mengeras
15) Poles setelah 24 jam
16) Instruksi pasien untuk
- datang pada keesokan harinya untuk meghaluskan tambalan
- tidak terlalu keras saat menyikat gigi.
- tidak makan dan minum selama 1 jam pertama
17) Setelah 24 jam, poles tumpatan dengan stone putih atau jet fine finishing
bur. Kemudian dioles kembali dengan varnish.

C. Pembahasan
Lesi Serviks Non Karies atau Non-Carious Cervical Lesions (NCCL)
merupakan suatu lesi yang ditandai dengan hilangnya gigi keras jaringan di daerah
serviks, dekat Enamel Cement Junction (ECJ) yang dapat menyebabkan paparan
dentin perkembangan hipersensitivitas dentin dan gingiva resesi (Terra dkk.,
2020). Abfraksi gigi merupakan suatu kelainan patologis yang ditandai dengan
hilangnya substansi gigi secara patologis yang disebabkan oleh gaya beban
biomekanik yang mengakibatkan lentur dan kegagalan email dan dentin di lokasi
yang jauh dari pembebanan. Abfraksi disebabkan oleh clenching or grinding,
menyebabkan bentuk permukaan v di dekat atau bahkan di bawah garis gusi
(Sabri, 2017).
Perawatan lesi abfraksi diawali dengan mengidentifikasi penyebab utama
cedera melalui riwayat kesehatan dan secara menyeluruh pemeriksaan klinis,
dengan fokus pada kemungkinan pengurangan tekanan oklusal pada masing-
masing gigi (Sabri, 2017). Perawatan NCCL dilakukan dengan menghilangkan
faktor etiologi dan pemulihan lesi. Pemulihkan lesi ini bertujuan untuk
meningkatkan distribusi ketegangan yang memengaruhi daerah serviks gigi secara
klinis dan mencegah hilangnya struktur gigi lebih lanjut. Selain itu, mengurangi
kemungkinan sensitivitas pada elemen gigi, dan juga mengurangi area retensi
biofilm, yang dapat menyebabkan timbulnya lesi karies (Terra dkk., 2020).
Preparasi dilakukan berdasarkan prinsip minimal intervention karena GIC
dapat berikatan secara kimiawi dengan email dan dentin. GIC mengalami 3 fase
reaksi pengerasan yang berbeda dan saling overlapping. Fase pertama adalah fase
pelepasan ion yang diawali reaksi ionisasiradikal karboksil (COOH) yang terdapat
dalam rantai asam (asam poliakrilat)menjadi ion COO- (ion karboksilat) dan ion
H+. Ion H+ bereaksi pertama kalipada permukaan partikel kaca menyebabkan
terlepasnya ion-ion seperti Ca2+ dan Na+ ke dalam cairan. Kemudian ion H+
tersebut berpenetrasi kembali hingga mencapai struktur yang kurang terorganisasi
menyebabkan terlepasnya ion Al3+.Semakin besar rasio bubuk dan cairan GIC
maka panas yang dilepaskan akan semakin besar (Craig, 2004).
            Selama tahap awal tersebut terjadi, GIC berikatan dengan struktur gigi.
Secara fisik GIC terlihat berkilau. Penempatan pada struktur gigi harus dilakukan
pada fase ini karena matriks poli asam bebas yang dibutuhkan untuk perlekatan ke
gigi tersedia dalam jumlah yang maksimum. Pada tahap akhir dari fase pelepasan
ion ini ditandai dengan hilangnya tampilan berkilau GIC, matriks poli asam bebas
bereaksi dengan kaca sehingga kurang mampu berikatan dengan struktur gigi atau
struktur lainnya (Craig, 2004).
            Fase kedua dari reaksi pengerasan GIC adalah fase hidrogel. Fase hidrogel
terjadi 5 sampai 10 menit setelah pencampuran dilakukan. Selama fase ini, ion-
ionkalsium yang dilepas dari permukaan kaca akan bereaksi dengan rantai
poliasam polianionik yang bermuatan negatif untuk membentuk ikatan silang
ionik. Pada fase hidrogel ini mobilitas rantai polimer berkurang sehingga
menyebabkan terbentuknya gelasi awal matriks ionomer. Selama fase hidrogel
berlangsung, permukaan GIC harus dilindungi dari lingkungan yang lembab dan
kering karena ion kalsium yang bereaksi dengan rantai poliasam polianionik
mudah larut dalam air. Jika GIC tidak dilindungi, maka ikatan silang ionik yang
mudah larut tersebut akan melemahkan GIC secara keseluruhan dan terjadi
penurunan derajat translusensi sehingga turut mempengaruhi estetika (Craig,
2004).
Daftar Pustaka
Ahsanti, A.A., Nurhapsari, A., Firdausy, M.D., 2019, Kebocoran Tepi Resin
Komposit Bulk Fill Setelah Aplikasi Bahan Desinfeksi Kavitas
Chlorhexidine Digluconate 2% Dan Alkohol 70% - Study In Vitro,
ODONTO Dental Journal, 6(1): 29-33.
Anusavice K.J., 2013, Phillips' Science of Dental Materials, Elsevier, Missouri.
Ariningrum, R., 2001, Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari segi estetik
tumpatan komposit gigi anterior, JKGUI, 8(3): 24-34.
Bakar, A., 2012, Buku Kedokteran Gigi Klinis, CV Quantum Sinergis Media,
Yogyakarta.
Banerjee, A., Watson, T.F., 2015, Pickard’s Guide to Minimal Invasive Operative
Dentistry, Oxford University Press, London.
Bilqis, N.M., Erlita, I., Deby Kania Tri Putri, D.K.T., 2018, Daya Hambat Ekstrak
Bawang Dayak (Eleutherinepalmifolia (L.) Merr.) Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Lactobacillusacidophilus, Dentin Jurnal Kedokteran Gigi, 2(1): 26-
31.
Bunashi, A., 2011, Easy Esthetic Mock-up, e-Journal of Dentistry, 1: 104-106.
Chandki, R., Kala, M., 2011, Oral Sciences & Research Total Etch Vs Self Etch :
Still A Controversy, The Science Of Bonding, 38–42.
Christensen, G. J., 2012. Advantages and Challenges of Bulk-Fill Resins, Clinical
Report Foundation, 5 (1) : 1-6.
Dahniar, A., Santosa, P., Daradjati, S., 2014, Perbedaan Kebocoran Mikro
Restorasi Resin Komposit Packable menggunakan Bonding Total Etch, Self
Etch Dan Self Adhesive Flowable Dengan Resin Komposit Flowable
Sebagai Intermediate Layer Pada Dinding Gingival Kavitas Kelas II, Jurnal
Kedokteran Gigi, 5(2): 21-28.
Dewiyani, S., 2017, Restorasi Gigi Anterior Menggunakan Teknik Direct
Komposit, Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi, 13(2): 5-9.
Dey, S., Shenoy, A., Kundapur, S. S., Das, M., Gunwal, M., Bhattacharya, R.
2016. Evaluation of the Effect of Different Contaminants on the Shear Bond
Strength of a Two-step Self-etch Adhesive System, One-step, Self-etch
Adhesive System and a Total-etch Adhesive System. J Int Oral Health.
8(3):378.
Deynilisa, S., 2013, Ilmu Konservasi Gigi, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Farani, W., Nurunnisa W., 2018, Distribusi Frekuensi Fraktur Gigi Permanen di
Rumah Sakit Gigidan Mulut Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Insisiva Dental Journal, 7(1): 28-36.
Fibryanto, E., 2020, Bahan Adhesif Restorasi Resin Komposit, JKGT, 2(1): 8-13.
Garg, N., Garg, A., 2015, Textbook of Operative Dentistry 3rd Ed., Jaypee
Brothers Medical Publishers, London.
Ghareecb, N.H., Dayem, R.N., Kamel, J.H., Qaizi, S.D., 2014, Evaluation of the
influanenca of three types of light curing systems on temperature rise, dept
of cure and degree of conversion of three resin based composite (an in vitri
study), Journal of interdisciplinary Med.Dent.Sc., 2(1): 1-7.
Ghom, S.A., Ghom, A.G., 2014, Text Book of Oral Medicine, Jaypee Brother
Medical Medical Publisher, New Delhi.
Goldstein, R., 2018, Esthetics in Dentistry B.C. Decker Inc., London.
Gupta, N., Kathuria, N., Gulati, M., Metha, L. K., 2011, “Bonding”: Foundation
of Dentistry, Journal of Innovative Dentistry, 1(3).
Haryuni, R.F., Fauziah, E., 2018, Penatalaksanaan fraktur Ellis kelas II pada gigi
tetap muda, Indonesian Journal of Paediatric, 1(2): 166-172.
Hilton, T.J., Ferracane, J.L,, Broome, J.C., 2013, Summitt’s fundamentals of
operative dentistry. 4th ed., Quintessence Publishing Co Inc., China.
Irawan, J., 2018, Material resin komposit dan penggunaannya di kedokteran gigi,
Dentistry article.
Ireland, R., 2012, Clinical Textbook of Dental Hygtene and Therapy, Blackwell
Munksgaard, USA.
Istikharoh, F., 2018, Dental Resin Komposit: Teori, Instrumentasi, dan Aplikasi,
UB Press, Malang.
Litonjua, L.A., Andreana, S., Bush, P.J., Robert, Cohen, E., 2003, Tooth wear:
attrition, erosion, and abrasion, Restorative Dentistry, 34(6): 435-440.
Lovan G., Stoleriu S., Moldovanu A., Morogai S., Adrian S., 2011, Sem Study of
Interface Between the Cavity Wall and Composite Resin in Cavities Filled
Using Vibration, Int J Med Dent.,1: 254-258.
Mahn, E., 2013, Clinical criteria for the succeful curing of composite material,
Rev Clin Periodontia Implantol Rehabil Oral, 6(3):148-53.
Mathias, C., Ferraz, L.n., Alves, D., Lima, N.L., Marchi, G.M., 2018, Treatment
of non-carious lesions: Diagnosis, restorative materials and techniques,
Brazillia Journal of Oral Sciences,17: 1-12.
Mitchell, Laura, Mitchell, David, A., McCaul, Lorna, 2014, Kedokteran Gigi
Klinik, EGC, Jakarta.
Mozova, S.Y., Holik, P., Ctvrtik, R., Tomastik, J., Foltasova, L., Harcekova, A.,
2016, Tooth wear-fundamental mechanism and diagnosis, IOSR Journal of
Dental and Medical Sciences, 15(5): 84-91.
Neri, Jiovanne, dkk., 2011, Efficacy of smear layer removal by cavity cleaning
solutions, anatomic force microscopy study, 26(3), 253–257.
Nurhapsari, A., 2016, Perbandingan Kebocoran Tepi Antara Restorasi Resin
Komposit Tipe Bulk-Fill Dan Tipe Packable Dengan Penggunaan Sistem
Adhesif Total Etch Dan Self Etch, ODONTO Dental Journal, 3(1): 8-13.
Parihar, N., dan Pilania, M. 2012. Sem evaluation of effect of 37% phosphric acid
gel, 24% edta gel and 10% maleic acid gel on the enamel and dentin for 15
and 60 second: an in-vitro study, IDJSR, 1(2):  29-41.
Pary, C.F., Kristanti, Y., 2015, Perawatan Gigi Insisivus Lateralis Kanan Maksila
Fraktur Ellis Kelas III, MKGK, 1(2): 155-162.
Pennington, J., Parker, S., 2012, Compendium of Continuing Education in
Dentistry, AEGIS Communication, North America.
Perez, C.D.R., Gonzalez, M.R., Prado, N.A.S., Miranda, M.S.F., Macedo, M.A.,
Fernandes, B.M.P., 2011, Review Article Restoration of Noncarious
Cervical Lesions: When, Why, and How, Hindawi Publishing Ccorporation
International Journal of Dentistry, 1-8.
Peumans, M., Politano, G., Meerbeek, B.V., 2020, Treatment of non carious
cervical lesions: when, why, and how, The International Journal of Esthetic
Dentistry, 15(1): 16-42.
Pontes, L.F., 2013, Mechanical properties of nanofilled and microhybrid
composites cured by different light polymerization modes, General
Dentistry, 61(3):30-33.
Puspitasari, D., 2014, Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Pada Dentin
Dengan Sistem Adhesif Self Etch 1 Tahap (One Step) dan 2 Tahap
(TwoStep), J Ked Gigi, 2(1): 89–94.
Roberson, T.M., Heymaann, H.O., Swift J.E.J., 2018, Sturdevant's Art and
Science of Operative Dentistry 7 Ed., Mosby Inc., United States.
Roberson, T.M., Heymann H.O., Swift, E.J., 2013, Sturdevant’s Art & Science of
Operative Dentistry Ed. ke-6. Mosby, St. Louis.
Sabri, F.A., 2017, Tooth Abfraction in Relationship to Occlusal Load Stresses: A
Case Report, IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS),
16(10): 80-84.
Sakaguchi, R.L., Power, J.M., 2012, Craig’s restorative dental material, Elseiver,
Mosby.
Sakaguchi, R.L., Powers, J.M., 2012, Craig's Restorative Dental Material. 13th
Ed., Elsevier. United States.
Sari, G.P.P., Nahzi, M.Y.I., Widodo, 2016, Kebocoran Mikro Akibat Efek Suhu
Terhadap Pengerutan Komposit Nanohybrid, Dentino Jurnal Kedokteran
Gigi, 1(2): 108-112.
Terra, R.C.G.,Poiate, I.A.V.P., Poiate, E., 2020, Non-Carious Cervical Lesion:
Case Report, International Journal of Medical and Dental Sciences, 9(2):
1913-1916.
Tolidis, K., Boutsioukiu, C., Gerasimou, P., Balkan, 2011, Effect of composite
resin shade and LED light intensity on microhardnes, Balk J. Sto., 15:127-
32.
Torres, C.R.G., 2013, Modern Operative Dentistry Principles for Clinical Practice,
Springer, Brazil
Walton, Richard, E., 2008, Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, EGC, Jakarta
Widiadnyani, N.K.E., 2019, Perawatan saluran akar satu kali kunjungan pada gigi
dengan karies servikal dilanjutkan dengan restorasi komposit dan pasak
fiber, Bali Dental Journal, 3(2): 85-91.
Widyaningsih, V., Rahayu, Y.C., Barid, I., 2014. Peningkatan remineralisasi
enamel gigi setelah direndam dalam susu kedelai murni (Glycie max (L-)
Meriil) menggunakan scaning electron microscope (SEM). Artikel Ilmiah,
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember, Jember.

Anda mungkin juga menyukai