SKIZOFRENIA
DISUSUN OLEH :
VISI
DIPLOMA IV KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
“Menjadi Institusi Pendidikan Diploma IV Keperawatan Dalam Bidang Keperawatan
Gawat Darurat yang Bermutu dan Mampu Bersaing di Tingkat Regional Tahun 2020”
MISI
DIPLOMA IV KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
Makalah Psikologi yang berjudul “Skizofrenia” telah disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Disetujui oleh
Dosen Pengampu
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah psikologi yang
berjudul “ Skizofrenia ”.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang saya harapkan. Untuk itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di seluruh dunia, skizofrenia dikaitkan dengan kecacatan yang cukup besar dan
dapat mempengaruhi kinerja pendidikan dan pekerjaan. Skizofrenia adalah gangguan
mental kronis dan parah yang menyerang 20 juta orang di seluruh dunia (WHO,2019).
WHO (2016), terdapat 21 juta orang terkena skizofrenia. Data Riset Kesehatan Dasar
2018 menunjukan, prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1.000
rumah tangga. Artinya dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang
mempunyai anggota rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Penyebaran
prevalensi tertinggi terdapat di Bali dan D.I. Yogyakarta dengan masing-masing 11,1
dan 10,4 per 1.000 rumah tangga yang mempunyai ART mengidap skizofrenia/psikosis
(Depkes RI,2019). Kota Pontianak sendiri menempati urutan ke-8 tertinggi di
kaliamantan barat dengan jumlah penderita skizofrenia sebanyak 6,69 %. Penderita
skizofrenia di Indonesia sebagian besar berada di masyarakat dibandingkan di rumah
sakit (Riskesdas Kalbar,2018).
Dari angka tersebut, dapat dilihat jumlah penderita skizofrenia cukup tinggi.
Khususnya di Bali dan D.I Yogyakarta dengan jumlah skizofrenia yang tertinggi di
Indonesia perlu mempertimbangkan edukasi mengenai peranan dukungan sosial untuk
membantu menekan angka penderita skizofrenia. Begitu pula untuk wilayah
Kalimantan Barat khususnya pontianak untuk mempertimbangkan peranan dukungan
sosial untuk menekan angka penderita skizofrenia.
B. RUMUSAN MASALAH
A. PENGERTIAN SKIZOFRENIA
Skizofrenia adalah penyakit mental serius yang ditandai dengan pikiran yang
tidak koheren atau tidak logis, perilaku dan ucapan aneh, dan delusi atau halusinasi,
seperti mendengar suara. Skizofrenia biasanya dimulai pada masa awal masa dewasa
(APA,2020b).
Secara umum skizofrenia adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk berpikir , merasakan dan berperilaku dengan baik.
Skizofrenia terdapat beberapa tipe menurut Varcarolis and Helter (2010) :
D. PENYEBAB SKIZOFRENIA
Gejala dari skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar (Samsara,
2018). yaitu:
Pertama gejala positif Merupakan perilaku yang tidak dapat terlihat pada orang
yang sehat. Kadar keparahan dari gejala positif biasanya tergantung pada apakah orang
yang mengalami mendapatkan pengobatan. Gejala positif ini termasuk halusinasi,
waham atau delusi, gangguan pikir, dan gangguan gerak. Halusinasi adalah pengalaman
pada panca indra tanpa adanya stimulus dari luar diri. Tipe lain dari halusinasi termasuk
melihat orang atau objek yang sebenarnya tidak ada, mencium aroma yang orang lain
tidak bisa mendeteksi keberadaannya, dan merasakan sesuatu yang tidak dapat
dijelaskan siapa. Waham atau delusi adalah keyakinan yang kuat oleh ODS yang
berbeda dengan nilai-nilai orang lainnya. ODS dapat memiliki waham yang aneh,
seperti yakin bahwa para tetangga dapat mengendalikan perilaku mereka lewat
gelombang magnetik dan semacamnya yang disebut dengan “waham refrensi”.
Terkadang mereka yakin bahwa mereka adalah tokoh yang terkenal dalam sejarah.
Atau mereka juga mungkin memiliki waham paranoid dan yakin bahwa orang lain
mencoba membahayakan mereka. Keyakinan ini disebut dengan “waham kejar”.
Gangguan pikir adalah cara berpikir yang tidak biasa atau tidak berfungsi. Salah satu
bentuknya disebut “pikiran yang tidak beraturan” yang terjadi ketika seseorang
memiliki maslaah dalam mengelola atau menghubungkan secara logis pikirannya.
Bentuk lainnya disebut dengan “hambatan pikiran”, yaitu ketika orang tersebut
berbicara tiba-tiba berhenti di tengah-tengah sebuah pikiran. Gangguan gerak terlihat
sebagai gerakan-gerakan tubuh yang tergugah.
Kedua gejala negatif Gejala ini berkaitan dengan kurangnya kadar emosi dan
perilaku jika dibandingkan dengan orang yang sehat. Gejala ini lebih susah dikenali
sebagai bagian dari gangguan jiwa skizofrenia. Gejala-gejalanya meliputi: gejala yang
datar, berkurangnya merasakan kesenangan pada kehidupan sehari-hari, kesulitan
dalam memulai dan mempertahankan aktivitas, dan wicara yang kurang.
Ketiga gejala daya pikir Pada sejumlah ODS, gejala daya pikirnya sangatlah
sukar untuk dikenali. Seringkali, mereka terdeteksi hanya ketika uji spesifik berkenaan
dengan hal tersebut dilakukan. Gejala daya pikir tersebut termasuk hal-hal berikut:
fungsi eksekutif yang kurang (yaitu kurangnya kemampuan untuk memahami informasi
dan menggunakannya untuk membuat keputusan), masalah dalam konsentrasi, dan
masalah dengan memori kerja (kemampuan dalam menggunakan informasi segera
setelah dipelajari).
Gangguan jiwa
skizofrenia/psikosis N Tertimbang
Kabupaten/Kota
95‰ CI
‰ Lower Upper
Sambas 5,45 2,09 14,12 810
Bengkayang 18,68 8,81 39,16 375
Landak 9,89 3,27 29,51 521
Mempawah 16,35 7,83 33,85 364
Sanggau 12,33 5,57 27,08 742
Ketapang 7,29 2,56 20,55 779
Sintang 0,00 0,00 0,00 653
Kapuas Hulu 5,37 2,09 13,75 389
Sekadau 7,64 1.76 32,65 318
Melawi 5,22 1,27 21,20 333
Kayong Utara 6,36 2,01 19,95 154
Kubu Raya 8,06 2,74 23,52 844
Kota Pontianak 6,69 2,53 17,56 970
Kota Singkawang 5,58 1,64 18,76 328
Tabel Prevalensi (permil) Rumah Tangga dengan ART Gangguan Jiwa
skizofrenia/ Psikosis menurut Kabupaten/Kota, Provinsi Kalimantan Barat,
Riskesdas 2018.
Dari data diatas diketahui bahwa Kota Pontianak menduduki peringkat ke-8
tertinggi untuk wilayah Kalimantan Barat barat dengan jumlah penderita skizofrenia
sebanyak 6,69 %. Dari angka tersebut dapat terjadi peningkatan di Kota Pontianak itu
sendiri. Maka dari itu, perlu untuk mempertimbangkan edukasi mengenai peranan
dukungan sosial maupun dukungan keluarga untuk membantu menekan angka
penderita skizofrenia tersebut.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang dikategorikan sebagai
gangguan jiwa berat. Gangguan skizofrenia biasanya menunjukan simtom-simtom
seperti halusinasi, delusi yang parah, serta pemikiran yang kurang rasional dari manusia
pada umumnya. Skizofrenia menurut setiawan (2018) adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya
perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku sesorang.
Penyebab skizofrenia memang belum dapat dipastikan namun ada beberapa
sumber yang mengatakan penyebab skizofrenia adalah faktor genetik, faktor
lingkungan, dan struktur kimia dalam otak.
Seseorang dapat didiagnosa sebagai skizofrenia apabila seseorang tersebut
menunjukan gejala-gejala sebagai berikut :
1. Dua atau lebih dari gejala berikut; Setiap gejala muncul dengan waktu yang cukup
signifikan dalam kurun waktu periode 1 bulan (atau kurang, jika berhasil
ditangani). Setidaknya salah satu gejala merupakan:
a. Delusi
b. Halusinasi
c. Kemampuan berbicara tidak terorganisir
d. Simpton negatif
2. Untuk periode waktu yang signifikan sejak munculnya onset dari gangguan, level
keberfungsian dari kebanyakan area seperti pekerjaan, relasi interpersonal, self-
care, tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan sebelum onset.
3. Munculnya gejala yang berkelanjutan dari gangguan, setidaknya selama 6 bulan.
Dalam 6 bulan ini, setidaknya terdapat 1 bulan dimana muncul gejala yang
memenuhi kriteria A, dan dimungkinkan juga munculnya gejala prodromal
maupun residual.
4. Gangguan schizoaffective dan depressive maupun bipolar dengan fitur psychotic
telah dikesampinkan.
5. Gangguan tidak disebabkan karena efek psikologis dari penggunaan obat-obatan
maupun terkait kondisi medis lainnya.
6. Jika ada riwayat onset dari gangguan autism maupun gangguan bicara saat kecil,
maka diagnosa tambahan dari schizophrenia hanya dibuat jika delusi dan halusinasi
menonjol.
Dukungan sosial untuk ODS dapat diperoleh dari lingkungan informal, seperti
keluarga, teman, rekan kerja, atasan dan beberapa lagi dari lingkungan bantuan formal,
seperti pekerja kesehatan, pekerja jasa kemanusiaan (Nurhidayanti, 2014). Keluarga
adalah aspek penting dalam pemulihan ODS. Keluarga sebagai sumber dukungan
dibutuhkan oleh pasien setiap hari untuk menyelesaikan proses penyembuhan mereka.
Keluarga dalam pemulihan ODS (Purba, Simamora, Karota, & Siregar, 2020), yaitu:
A. KESIMPULAN