Anda di halaman 1dari 2

Hermeneutika Filosofis secara umum menyangkut tentang interpretasi atau hakikat dari

memahami itu sendiri, tetapi dalam arti yang sangat khusus istilah ini cocok dengan Hans Georg
Gadamer. Salah satu karya Beliau adalah Buku Wahrheit und Methode yang berisi pandangan
kritis Gadamer atas Schleiermacher dan Dilthey. Di situ dia menulis tentang prasangka sebagai
kondisi memahami yang menghasilkan terobosan baru yaitu rehabilitasi prasangka, otoritas dan
tradisi dalam memahami.

Tilikan Heidegger mengenai pra-struktur pemahaman dipakai oleh Gadamer untuk


merehabilitasi konsep prasangka. Prasangka merupakan penarikan kesimpulan atau penilaian
yang tergesa-gesa. Gadamer lalu mengemukakan pendirian kritisnya yaitu “Pengatasan segala
prasangka, merupakan tuntutan global atas pencerahan ini."

Otoritas dan tradisi adalah komponen-komponen utama yang membangun prasangka umum,
menurut Gadamer, dorongan pencerahan untuk memakai akal sebagai kekuatan superior itu
pun sebuah prasangka. Gadamer telah berhasil membuat terobosan penting di dalam
hermeneutika dengan membebaskannya dari kecenderungan obyektivisme atau—dalam
istilahnya—Cartesianisme yang bercokol di dalam metode ilmiah. Dengan kritik atas
Pencerahan dan Romantisme itu Gadamer ingin menunjukkan bahwa prasangka merupakan
unsur yang wajar di dalam memahami dan bahkan kita boleh mengatakan bahwa prasangka
adalah kondisi untuk memahami.

Upaya Gadamer guna merehabilitasi otoritas dan tradisi berimplikasi terhadap pandangan
tentang kesadaran sejarah (historisches Bewuβtsein). Gadamer mengangkat pengaruh karya-
karya di dalam sejarah menjadi pokok pemikirannya. Dia menyebutnya dalam istilah Jerman
Wirkungsgeschichte yang bisa kita terjemahkan menjadi “sejarah pengaruh”.

Gadamer mencoba untuk menggali lebih dalam lagi mengenai pengertian Wirkungsgeschichte
ini untuk hermeneutika, dan untuk hermeneutika istilah itu mengacu kepada keterlibatan kita
dalam sejarah, yakni suatu situasi yang di dalamnya kita sebagai pelaku-pelaku sejarah tidak
melampaui sejarah.

Kewaspadaan atas sejarah pengaruh ditunjukkan Gadamer dengan konsep


Horizontverschmelzung atau peleburan horizon-horizon. Horizon merupakan prasangka yang
terkandung di dalam tradisi, dan prasangka seperti itu dapat diubah hanya dengan prasangka
lain. Dari ulasan Gadamer dalam buku Wahrheit und Methode kita menyimpulkan adanya dua
ciri pokok horizon. Pertama, sebuah horizon tidak terisolasi, melainkan terbuka. Kedua, sebuah
horizon tidak statis, melainkan dinamis, terus bergerak.

Karena horizon-horizon pemahaman bersifat tidak terisolasi dan dinamis, maka tidak ada
sebuah horizon pemahaman yang “steril”, yaitu tanpa pengaruh suatu horizon yang berbeda
dari horizon tersebut. Dalam hal ini berarti seorang penafsir tidak memiliki pandangan yang
dapat mengatasi sejarah dan tradisi karena ia bergerak di dalamnya. Menurut Gadamer, yang
disebut memahami bukanlah menghapus tegangan itu, melainkan justru mengeksplisitkan
tegangan itu.

Tugas interpretasi tak lain adalah “memproyeksikan sebuah horizon historis yang berbeda dari
horizon kekinian”, yang dimaksud di sini adalah bahwa interpretasi bukanlah rekonstruksi atau
representasi makna dari masa silam, melainkan persimpangan yang sedemikian rupa antara
tradisi dan kekinian penafsir sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.

Gadamer membagi hermeneutika menjadi tiga bagian, diantaranya: pemahaman (subtilitas


intellegendi), eksplikasi (subtilitas explicandi) dan aplikasi (subtilitas applicandi). Gadamer juga
berpendapat bahwa pemahaman, interpretasi dan aplikasi adalah “satu proses yang terpadu”.

Anda mungkin juga menyukai