Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa
yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan
penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.
Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam. Gangguan Jiwa ada yang bersumber
dari hubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan, misalnya seperti
diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak terbalas, kehilangan
seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada
juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan
pada otak (Djamaludin, 2001). Jiwa atau mental yang sehat tidak hanya berarti bebas
dari gangguan. Seseorang bisa dikatakan jiwanya sehat jika dia bisa dan mampu untuk
menikmati hidup, punya keseimbangan antara aktivitas kehidupannya, mampu
menangani masalah secara sehat, serta berperilaku normal dan wajar, sesuai dengan
tempat atau budaya dimana dia berada. Orang yang jiwanya sehat juga mampu
mengekpresikan emosinya secara baik dan mampu beradaptasi dengan
lingkungannya, sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara pengobat dan pasien
yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien yang mempengaruhi perilaku
pasien. Hubungan pengobat dan pasien yang terapeutik adalah pengalaman belajar
bersama dan pengalaman dengan menggunakan berbagai tekhnik komunikasi agar
perilaku pasien berubah ke arah positif seoptimal mungkin. Untuk melaksanakan
komunikasi terapeutik yang efektif pengobat harus mempunyai keterampilan yang
cukup dan memahami tentang diri si pasien.
Komunikasi terapeutik pada klien gangguan jiwa sedikit berbeda dengan klien
normal.
Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus,
ada beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa
dengan gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :
1. Penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita
gangguan penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali pasien
dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit, pasien amputasi, pasien
pentakit terminal dll).
2. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan
penderita penyakit fisik membutuhkan support dari orang lain.
3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik bisa
saja jiwanya sehat tetapi bisa juga jiwa ikut terganggu.