Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS


UNIVERSITAS TADULAKO

FOURNIER’S GANGRENE

Oleh :
A. Arief Munandar
(G 501 08 013)

Pembimbing:
dr. Roberthy D. Maelissa, Sp. B

DIBAWAKAN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS PADA


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2014
PENDAHULUAN

Fournier gangren merupakan suatu gangren pada skrotum atau uvula yang

disebabkan oleh bakteri anaerob yang merupakan strain streptococcus beta

hemolitikus. Penyakit ini adalah bentuk dari fascitis nekrotikan yang terdapat di

sekitar genitalia eksterna. Fournier gangren merupakan kegawatdaruratan bedah

karena onsetnya berlangsung sangat mendadak, cepat berkembang, bisa menjadi

gangren yang luas dan menyebabkan septikemia. Fournier gangren pertama kali

ditemukan pada tahun 1883, oleh ahli penyakit kelamin asal Perancis Jean Alfred

Fournier mendapatkan dimana 5 laki-laki muda yang sebelumnya sehat menderita

gangren dengan cepat progresif pada penis dan skrotum tanpa sebab yang jelas.

Penyakit ini yang kemudian dikenal sebagai Fournier gangren, didefinisikan

sebagai fasciitis nekrotikans pada daerah perineum perianal atau genital. Penyakit

ini kebanyakan terjadi pada penderita usia 40-70 tahun dengan faktor resiko

keadaan umum yang kurang baik seperti gizi buruk, penggunaaan imunosupresan,

alkohol dan diabetes melitus.1, 2,4

Fournier gangren relatif jarang, namun sangat progresif kejadian yang

tepat dari penyakit ini tidak diketahui. Dalam artikel penelitian Fournier gangren

pada tahun 2013, Benjelloun et al. terdapat sekitar 50 kasus infeksi yang

dilaporkan dalam rekam medis RS Universitas Hassan II Maroko sejak Januari

2003-Desember 2009. Dari 50 pasien, 12 pasien meninggal dan 28 pasien dapat

bertahan hidup, dimana angka mortalitas 24%. Terdapat 44 orang laki-laki dan 5

orang perempuan. Jenis kelamin tidak berkaitan dengan angka mortalitas. Sumber

infeksi 72% kasus dapat diidentifikasi, dan sumber infeksi yang paling sering
adalah melalui anorektal. Diabetes Mellitus merupakan faktor penyulit tersering.3

Kejadian yang lebih rendah pada wanita dapat disebabkan oleh drainase yang

lebih baik dari daerah perineum melalui cairan vagina. Pria yang berhubungan

seks dengan sesama jenis berada pada risiko yang lebih tinggi, terutama untuk

infeksi yang disebabkan terkait dengan methicillin-resistant Staphylococcus

aureus (MRSA). 3,4

Meskipun awalnya digambarkan sebagai gangren idiopatik alat kelamin,

tetapi penyebab Fournier gangren dapat diidentifikasikan pada 75-95% dari

jumlah kasusnya. Proses nekrosis biasanya berasal dari infeksi di anorektal (13-

50%), saluran urogenital (17-87%), sedang yang lain dari trauma lokal atau

infeksi kulit di sekitar alat kelamin.1

Penyebab Fournier gangren pada anorektal termasuk abses perianal abses

perirektal, dan iskiorektalis, fisura anal, dan perforasi usus yang terjadi karena

cedera kolorektal atau komplikasi keganasan kolorektal, penyakit radang usus,

divertikulitis kolon, atau usus buntu. Pada saluran urogenital, penyebab Fournier

gangren mencakup infeksi di kelenjar bulbourethral, cedera uretra, cedera

iatrogenik sekunder untuk manipulasi striktur uretra, epididimitis, orkitis, atau

infeksi saluran kemih bawah (misalnya, pada pasien dengan penggunaan jangka

panjang kateter uretra). Sedangkan pada dermatologi, penyebabnya termasuk

supuratif hidradenitis, ulserasi karena tekanan skrotum, dan trauma.

Ketidakmampuan untuk menjaga kebersihan perineum seperti pada pasien lumpuh

menyebabkan peningkatan risiko. Terkadang akibat trauma, post operasi dan


adanya benda asing juga dapat menyebabkan penyakit. Pada wanita seperti sepsis

aborsi, atau abses pada kelenjar Bartholini, histerektomi, dan episiotomi dapat

dicurigai sebagai penyebab Fournier gangren. Pada pria, anal seks dapat

meningkatkan risiko infeksi perineum, baik dari trauma tumpul langsung atau

dengan penyebaran mikroba dari rektal. Sedangkan pada anak-anak yang bisa

menyebabkan Fournier gangren seperti sirkumsisi, strangulasi hernia inguinalis,

omphalitis, gigitan serangga, trauma, perirektal abses dan infeksi sistemik.1,3,5

Kultur dari pasien dengan Fournier gangren adalah infeksi polimikroba

dengan rata-rata 4 isolat per kasus. Escherichia coli adalah aerob dominan, dan

Bacteroides adalah anaerob dominan. Mikroorganisme umum lainnya adalah

sebagai berikut: 6

 Gram-negative • Streptococcus faecalis

• E. coli • Staphylococcus epidermidis

• Klebsiella pneumoniae  Anaerobes

• Pseudomonas aeruginosa • Peptococcus

• Proteus mirabilis • Fusobacterium

• Enterobacteria • Clostridium perfringens

 Gram-positive  Mycobacteria

• Staphylococcus aureus Mycobacterium tuberculosis

• Beta Hemolytic Streptococcus  Yeasts

Candida albican
Infeksi adalah suatu ketidakseimbangan antara imunitas host, yang sering

terganggu oleh satu atau lebih proses sistemik penyerta, dengan virulensi dari

mikroorganisme penyebab. Faktor etiologi mencetuskan untuk masuknya

mikroorganisme ke dalam perineum, sistem imun yang menurun memberikan

lingkungan yang baik untuk memulai infeksi, dan virulensi mikroorganisme

menyebabkann penyebaran penyakit yang cepat.3,5

Infeksi lokal berdekatan dengan portal masuk adalah dasar terjadinya

Fournier gangren. Pada akhirnya, suatu thromboangitis obliterative berkembang

menyebabkan kulit, subkutan dan pembuluh darah menjadi nekrosis kemudian

berlanjut iskemia lokal dan proliferasi bakteri. Infeksi fasia perineum (fasia

colles) dapat menyebar ke penis dan skrotum melalui fasia buck dan dartos, atau

ke dinding perut anterior melalui fasia scarpa, atau sebaliknya. Fasia colles

melekat pada perineum dan posterior diafragma urogenitalia dan lateral dari

ramus pubis, sehingga membatasi perkembangan ke arah ini. Keterlibatan testis

jarang, karena arteri testis berasal langsung dari aorta dan dengan demikian

memiliki suplai darah terpisah dari infeksi lokal.4,6

Keterlibatan polimikroba diperlukan untuk menciptakan sinergi produksi enzim

yang menyebabkan penyebaran Fournier gangren. Sebagai contoh, salah satu

mikroorganisme dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk menyebabkan

koagulasi dari pembuluh darah. Trombosis pembuluh darah ini dapat mengurangi

suplai darah lokal dengan demikian suplai oksigen ke jaringan menjadi berkurang.

Hipoksia jaringan yang dihasilkan memungkinkan pertumbuhan fakultatif anaerob


dan organisme mikroaerofilik. Mikroorganisme lain kemudian dapat

menghasilkan enzim (misalnya, lesithinase, kolagenase) yang menyebabkan

kerusakan dari fasia, sehingga memicu perluasan cepat infeksi.4,5,6

Setiap kondisi yang menekan imunitas seluler dapat mempengaruhi

terjadinya Fournier gangren, seperti:7

• Diabetes mellitus • Keganasan

• Malnutrisi • Sistemic Lupus

• Alkoholisme Eritematous

• Usia lanjut • Obesitas

• Penyakit vaskular • Infeksi HIV

panggul • Terapi kortikosteroid

jangka panjang

Untuk mendiagnosis Fournier gangren dapat ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan klinis biasanya

didapatkan:5,7

• Gejala prodromal demam dan letargi, yang muncul dalam 2-7 hari

• Rasa sakit dan nyeri tekan yang berhubungan dengan edema pada

kulit di atasnya yang disertai pruritus

• Meningkatkan nyeri genital dengan eritema dikulit atasnya

• Gambaran duski di kulit atasnya (subkutan krepitasi)

• Gangren dari bagian alat kelamin disertai drainase purulen dari luka
Gambar 1. Edema dinding skrotum dan perubahan warna kulit.7

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis

adalah pemeriksaan darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, fungsi hati, gula

darah, analisa gas darah dan kultur darah. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan

jika diagnosis masih meragukan. Tetapi hal ini tidak boleh menunda terapi

pembedahan. Gambaran foto polos pada Fournier gangren dapat menunjukkan

adanya gas dalam jaringan lunak yang ditandai dengan gambaran hiperlusen.6,7,8

Gambar 2. Pada foto polos radoiografi anteroposterior menunjukkan tanda radiolusen (panah)
dalam jaringan lunak yang melapisi daerah skrotum dan perineum yang dapat dicurigai sebagai
emfisema subkutan.7
Dengan modalitas CT-scan dapat membantu pada pasien yang diagnosis

tidak jelas atau sulit untuk menetukan luasnya penyakit. CT-scan memiliki

kekhususan yang lebih besar untuk mengevaluasi penyakit dibandinkan foto polos

radiografi, USG, atau pemeriksaan fisik. CT-scan dapat digunakan dalam

diagnosis serta evaluasi penyakit, jalur anatomi penyebaran gangren, akumulasi

cairan,abses, emfisema subkutan dan perluasannya. CT-scan juga tidak hanya

membantu mengevaluasi struktur perineum yang dapat terlibat oleh Fournier

gangren, tetapi membantu menilai retroperitoneum yang dapat menyebar pada

penyakit ini. CT-scan dapat mengidentifikasi udara dalam jaringan lunak sebelum

krepitasi terdeteksi.6,7,8 Gambaran USG pada Fournier gangren dinding

skrotum menebal mengandung fokus hiperekoik yang menunjukkan mewakili gas

dalam dinding skrotum.7,8

Gambar 3. Gambaran kantong udara pada rektum (panah).7

Gambar 4. Akumulasi cairan sepanjang plana fasia (panah).7


Prinsip terapi pada Fournier gangren ada terapi suportif memperbaiki

keadaan umum pasien, pemberian antibiotik, dan debridemen. Pengobatan

Fournier gangren melibatkan beberapa modalitas. Pembedahan diperlukan untuk

diagnosis definitif dan eksisi jaringan nekrotik. Pada pasien dengan gejala

sistemik terjadi hipoperfusi atau kegagalan organ, resusitasi segera dengan cairan

maupun transfusi untuk memulihkan perfusi organ normal harus lebih

diutamakan daripada prosedur diagnostik.3,6,8

Pengobatan Fournier gangren melibatkan antibiotik spektrum luas terapi

antibiotik. Spektrum harus mencakup staphylococci, streptokokus,

Enterobacteriaceae organisme, dan anaerob. Triple terapi kini direkomendasikan.

Cefalosporin generasi ketiga atau aminoglikosida, ditambah penisilin dan

metronidazole. Klindamisin dapat digunakan untuk menekan produksi toksin dan

memodulasi produksi sitokin. Panduan terbaru merekomendasikan golongan

Karbapenem (imipenem, meropenem, ertapenem).6,8

Debridemen pada jaringan nekrosis harus segera dilakukan. Kadang-

kadang perlu dilakukan diversi urine melalui sistotomi atau diversi feces dengan

melakukan kolostomi. Setelah nektrotomi, dilakukan perwatan terbuka dan kalau

perlu pemasangan pipa drainase.3,8


Gambar 5. Post debridemen dengan pipa drainase.3

Pemberian terapi topikal dapat dilakukan dengan sodium hipoklorat

0,025% dengan cara irigasi, larutan Dakin, hidrogen peroksida dapat mereduksi

angka morbiditas dan mortalitas. Terapi hiperbarik oksigen telah digunakan

sebagai tambahan dalam pengobatan Fournier gangren. Hiperbarik oksigen dapat

meningkatkan kadar tekanan oksigen dalam jaringan dan memiliki efek

penyembuhan luka. Oksigen radikal bebas adalah jaringan dari hipoksik yang

dibebaskan, yang secara langsung dapat menjadi toksik terhadap bakteri anaerob.

Aktifitas fibroblast dapat meningkat dengan angiogenesis yang dapat

mempercepat penyembuhan luka.6,7,8

Rekonstruksi bedah dapat dilakukan, teknik yang digunakan tergantung

besar luka. Penjahitan primer dapat dilakukan terutama dikulit yang lentur seperti

pada skrotum, jika luka yang cukup besar dapat dilakukan skin graft.7,8

Komplikasi dari Fournier’s gangren berkaitan dengan sepsis. Sepsis

mungkin terjadi karena debridemen yang tidak lengkap, infeksi sistemik, atau

respon yang kurang baik. Multi Organ Dysfunction Failure merupakan


konsekuensi paling ditakuti sepsis yang belum terselesaikan dan biasanya

melibatkan paru, kardiovaskular, sistem ginjal, koagulopati, kolesistitis

acalculous, dan cedera serebrovaskular . Komplikasi akhir meliputi:6

 Chordee, ereksi yang menyakitkan, dan disfungsi ereksi

 Infertilitas

 Karsinoma sel skuamosa pada jaringan parut

 Imobilisasi dengan kontraktur yang lama

 Perubahan sekunder pada perubahan tubuh karena gangguan depresi

dismorfik

 Lymphodema dari kaki untuk debridement panggul akibat

thrombophlebitis.

Prognosis untuk pasien setelah rekonstruksi biasanya baik. Skrotum

memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan regenerasi setelah infeksi dan

terjadi nekrosis Namun demikian, sekitar 50% dari laki-laki dengan keterlibatan

penis mengalami sakit dengan ereksi, sering berhubungan dengan jaringan parut

pada daerah genital. Jika jaringan lunak yang luas hilang, mungkin terjadi

gangguan pada drainase limfatik, sehingga terjadi, edema dan selulitis. Fournier

Gangrene Severity Index (FGSI) biasanya dapat digunakan untuk menilai

prognosis angka mortalitas. Terdapat 9 parameter yang digunakan dengan tiap

parameter digradasi dari 0-4. Beberapa literatur menunjukkan skor >9

menunjukkan angka mortalitas 75%, skor <9 menunjukkan angka survival 78%.
Tabel 1. Parameter Fournier Gangrene Severity Index
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

• Nama : Tn. SA

• Umur : 35 tahun

• Jenis Kelamin : Pria

• Alamat : Mamboro

• Tgl msk : 07 Januari 2014

• RM : 01 98 29

• Ruangan : Nangka

• Rumah sakit : RSD Madani

• Dokter ruangan : dr. Roberthy D. Maelisa Sp.B

ANAMNESA

Keluhan utama:

Nyeri pada bagian pantat

Anamnesis terpimpin:

Keluhan dialami sejak 6 hari SMRS, awalnya terdapat benjolan kecil yang

terasa gatal dan nyeri serta dirasakan terus menerus disekitar lubang pantat dan

belakang kantong zakar.. Dua hari kemudian benjolan semakin membesar hingga

sekitar anus. Pada perawatan hari pertama benjolan pecah dan mengeluarkan

nanah kadang disertai darah dengan bau yang tidak enak. Setelah itu luka pasien

terus membesar dan melebar sekitar lubang pantat. Pasien riwayat perokok dan

sudah berhenti 8 bulan terakhir. Pasien tidak pernah konsumsi minuman


beralkohol. Riwayat demam (+), susah BAB akibat nyeri dan luka pada sekitar

lubang anus, BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Sering batuk dan sesak, Diabetes Mellitus (-), Hipertensi disangkal

Riwayat Pengobatan :

Sering mengkonsumsi salbutamol® dan deksamethason ® 3 bulan terakhir

Riwayat Trauma :

Tidak ada

Riwayat Keluarga :

Tidak ada keluarga yg menderita keluhan yg sama

Riwayat Alergi :

Obat (-), Makanan (-)

PEMERIKSAAN FISIK

STATUS PRESENS

Gizi obese

Sakit berat

Compos mentis

TANDA VITAL

Tekana Darah : 150/100 mmHg

Nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat

Pernapasan : 22 x/menit, thorakoabdominal

Suhu : 36,7°C
KEPALA

Konjungtiva : Anemis (-)

Sklera : Ikterus (-)

Bibir : Sianosis (-)

LEHER

Massa tumor (-)

Nyeri tekan (-)

Deviasi trakea (-)

Pembesaran Kelenjar getah bening (-)

DVS: R-2 cmH2O

THORAKS

Inspeksi : Simetris kiri = kanan, sikatriks (-)

Palpasi : Massa (-), NT (-), vocal fremitus normal

Perkusi : Sonor; Batas paru-hepar setinggi SIC VI

Auskultasi : BP: vesikuler

BT: Rh -/-

Wh -/-

JANTUNG

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : pekak, batas jantung kesan normal

Auskultasi : Bunyi jantung I/II, murni, reguler


ABDOMEN

Inspeksi : cembung, ikut gerak napas

Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : timpani

Palpasi : Massa (-), NT (-), defans muskular (-)

GENITALIA

Tidak ada kelaianan

PERINEUM DAN PERIANAL

Inspeksi : abses (+), eritema (+), ulkus(+), pus(+), darah (+), jaringan

nekrotik (+)

Palpasi : NT (+) Ukuran ulkus 10 x 5 cm, berongga

EKSTREMITAS

Edema (-)

Akral teraba hangat (+|+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (8 Januari 2014)

RBC : 4.20 x 1012/L (3.6 - 6.5)

WBC : 15,4 x 109/L (5 - 10) (↑)

Hb : 13.1 g/dL (12 - 18)

Hct : 38 % (35 - 52)

Plt : 298x109/L (150 - 450)

CT : 8` (5-11)
BT : 2` (1-3)

Kimia Darah

GDS : 103 mg/dL (70-115)

RESUME

Tn. SA, 35 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri pada perineum.

Keluhan dialami sejak 6 hari SMRS, awalnya terdapat benjolan kecil dengan

pruritus dan nyeri yang dirasakan terus menerus di area perianal dan belakang

skrotum . Dua hari kemudian benjolan semakin membesar hingga perianal. Pada

perawatan hari pertama benjolan pecah dan mengeluarkan pus kadang disertai

darah dengan bau yang tidak enak. Setelah itu ulkus terus membesar dan melebar

sekitar perianal. Riwayat demam (+), susah BAB akibat nyeri dan luka pada

sekitar lubang anus. Riwayat penggunaan kortikosteroid sejak 3 bulan terakhir.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status presens: sakit berat/gizi

obese/composmentis. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan, tekanan darah:

150/100 mmHg, nadi 88x/mnt, pernapasan 22x/mnt, dan suhu: 36,7°C. Pada

pemeriksaan perineum ditemukan ulkus regio perianal dengan jaringan nekrotik

(+), eritema (+), pus (+), nyeri tekan (+).

Berdasarkan dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka penderita

didiagnosis menderita Fournier’s gangrene

DIAGNOSA KERJA

Fournier’s gangrene
DIAGNOSA BANDING

Abses perianal

PENATALAKSANAAN

Non medikamentosa : Inf. Metronidazol 500 mg/ 8

Bedrest jam / IV

Rawat Luka Ketorolac 3% 1 amp/ 8 jam /

Personal hygiene IV

Medikamentosa: Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV

IVFD RL 20 tpm Operatif:

Inj. Cefotaxim 1g/ 12 jam/ IV Debridement + Nekrotomi

LAPORAN OPERASI (09/01/2014)

1. Pukul 12.15 WITA operasi dimulai

2. Pasien dengan posisi litotomi dalam general anastesi dilakukan

tindakan aseptik.

3. Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril

4. Mencuci luka dengan NaCl + mengeluarkan jaringan nekrotik 

debridement + nekrotomi

5. Kompres hemolok

6. Pukul 13.30 WITA debridement selesai.


FOLLOW UP

Tanggal Perjalanan penyakit Instruksi dokter


10/01/14 D/S : R/
Post Op I Fournier’s gangrene IVFD RL 20 tpm
Inj. Cefotaxim 1g/ 12 jam/ IV
Inf. Metronidazol 500 mg/ 8 jam /
IV
Ketorolac 3% 1 amp/ 8 jam / IV
Ranitidin 1 amp/ 12 jam/ IV
KU: lemah, composmentis Rawat Luka
Pemeriksaan fisik:
Abses perianal (+) tepi
erytema (+), jaringan
nekrotik (-), Pus (-), luka
basah (+) darah (-), NT (+)

11/01/14 D/S :
Post Op II Fournier’s gangrene
(Pasien meninggal dunia)
DISKUSI
Diagnosis Fournier’s gangrene pada kasus ini ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien

datang dengan keluhan nyeri pada bejolan yang terdapat pada regio perianal dan

belakang skrotum dengan permukaan kulit eritema dan kadang disertai dengan

pruritus. Gejala lain yang dapat ditemukan pada pasien adalah adanya demam

yang semakin mendekatkan pada gejala klinis pada Fournier,s gangrene. Dari

anamnesis juga didapatkan riwayat penggunakan obat-obat imunosupresan dalam

jangka waktu yang lama akibat pasien juga sering mengalami sesak sehingga

pasien harus mengkonsumsi obat golongan steroid, dimana obat ini memiliki efek

dalam menekan sistem imunitas. Seperti yang diketahui suatu infeksi dapat terjadi

jika terjadi ketidakseimbangan antara imunitas host dengan faktor virulensi

sehingga penurunan imunitas dapat mempermudah pajanan infeksi dari

mikroorganisme. Adanya obesitas pada pasien juga menjadi faktor predisposisi,

pada pasien dengan obsitas memiliki respon humoral yang kurang baik terhadap

infeksi.

Dalam anamnesis pasien tidak dapat ditentukan penyebab pasti dari

infeksi, namun dapat diperkirakan infeksi perianal dapat bersumber dari abses

perirektal diperburuk dengan hygiene yang kurang pada daerah perineum. Pada

pemeriksaan fisik regio perineum ditemukan ulkus dengan besar 10 x 5 cm,

berongga, tepi eritem dengan bau yang menyengat serta khas sebagai Fournier’s

gangren. Pada pemeriksaan penunjang, darah rutin, didapatkan leukositosis yang

menandakan adanya infeksi sistemik. Untuk mengetahui etiologi mikroba pada


pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dari pasien guna uji resistensi

antibiotik.

Penatalaksanaan segera yang dilakukan yaitu pemberian antibiotik guna

mengeradikasi bakteri penyebab gangren dengan menggunakan cefalosporin

spektrum luas dan metronidazole yang memiliki efek baik terhadap bakteri

anaerob.

Pada hari perawatan kedua dilakukan debridemen dan nekrotomi pada

ulkus. Didapatkan pus yang keluar dari ulkus disertai dengan perdarahan, ulkus

dicuci dengan NaCl 0,9% setelah itu dikompres dengan menggunakan larutan

Hemolok® sebagai antiseptik dan desinfektan. Luka dibiarkan tetap terbuka agar

oksigenasi berlangsung baik guna mencegah perkembangan bakteri anaerob.

Pasien juga direncanakan untuk dilakukan divesi feses dengan melakukan

kolostomi agar proses devekasi dapat berlangsung.

Pada perawatan hari pertama post debridement dan nekrotomi terlihat luka

masih basah, dengan pus minimal, tanpa jaringan nekrosis dan tidak ada lagi bau

menyengat. Pada perawatan hari kedua pos debridement dan nekrotomi pasien

meninggal dunia akibat kondisi pasien yang tiba-tiba memburuk, dimana mungkin

disebabkan akibat sepsis yang diderita pasien sehingga menyebabkan Multiple

Organ Dysfunction Syndrome.


DOKUMENTASI KASUS

Gambar 6. Ulkus perawatan hari pertama

Gambar 7. Debridemen dan nekrotomi


Gambar 8. Ulkus perawatan hari pertama post debridemen dan nekrotomi
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar Urologi. Edisi : 3. Malang : Sagung Seto, 2011.


76-84.
2. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi :2. Jakarta : EGC.
2008.
3. Benjelloun et al. Fournier’s Gangrene: Our Experience With 50 Patients and
Analysis of Factors Affecting Mortality. World Journal of Emergency Surgery
2013, 8:13
4. Ochoa G et al. Usefulness of Fournier’s gangrene severity index: a
comparative study. Rev Mex Urol 2010;70(1):27-30
5. Pais, Vernon M. Fournier Gangerene Medication. [online]. 2013. [citied
Januari, 2014]. Diakses dari : http://emedicine.medscape.com/article/2028899-
overview
6. Heyn CF, Theron PD. Fournier’s Gangrene. Dalam: Markus Hohenfeller.
Emergencies in Urology. New York USA: Springer 2007, 50-59
7. Burch DM, Barriero TJ. Fournier’s Gangrene: Be Alert for This Medical
Emergency. CME JAAPA 2007, 20(11).
8. Malikarjuna MN, Vijayakumar A, Patil VS, Shivswamy BS. Fournier’s
Gangrene: Current Practices. ISRN Sugery 2012.1-8.

Anda mungkin juga menyukai