Anda di halaman 1dari 4

GCG Perbankan dalam Ancaman

Tata kelola Perusahaan yang Baik tetap menjadi barang mahal di


Indonesia. Bahkan setelah diperkenalkan pada dua dasawarsa lalu,
kepatuhan untuk mengadopsi ketentuan tersebut dinilai masih minim.

Penerapan good corporate governance (GCG) di Indonesia memang baru


dimulai pada 1999, setelah ekonomi Indonesia porak poranda dihantam
krisis moneter setahun sebelumnya. Namun demikian, setelah hampir 20
tahun berlalu, praktik itu belum menemukan hasil sepadan. Setidaknya
itulah yang ditemukan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia
(LPPI), sebuah institusi terkemuka di bidang pelatihan, konsultansi, dan
riset untuk industri keuangan.

Berdasarkan hasil riset LPPI, nilai rata-rata praktik GCG dalam beberapa
tahun belakangan memang terlihat membaik. Pada 2016, nilainya berada
di level 2,16, setahun setelahnya berada di level 2,07 dan data terakhir
2018 berada di level 2,02. Makin mendekati 1, maka praktik GCG sebuah
bank dinilai makin baik.

Akan tetapi jika dilihat secara tren sejak 2007 hingga 2018, maka bisa
disimpulkan bahwa praktik GCG di perbankan Indonesia tidak mengalami
perbaikan, alias terus memburuk. Jika ditelisik lebih lanjut hasil riset
tersebut, dapat disimpulkan bahwa makin besar modal sebuah bank maka
makin bagus praktik GCG-nya.

Bank BUKU 4 mendapatkan nilai komposit 1,40, tertinggi dibanding bank


BUKU lainnya. disusul berturut-turut oleh bank BUKU 3, BUKU 2 dan
BUKU 1.

“Nilai rata-rata GCG BUKU 4 memiliki PK (Predikat Komposit) antara BAIK


dan SANGAT BAIK. Dan dari enam bank penghuni BUKU 4, separo
berada di atas rata-rata, sisanya di bawah rata-rata. Sedangkan
dibandingkan terhadap rata-rata industri semua bank BUKU 4 berada di
bawah rata-rata, yang artinya lebih bagus,” kata Kepala Divisi Riset LPPI
Lando Simatupang kepada Stabilitas.

Sementara itu, jika dilihat dari kepemilikan saham, bank-bank milik negara
memiliki nilai GCG tertinggi. Berdasarkan analisis deskriptif dari riset
tersebut, bank BUMN berada di bawah rata-rata industri dengan PK
SANGAT BAIK. Sedangkan bank swasta nasional dan bank asing memiliki
nilai di bawah rata-rata industri dan PK BAIK. Sementara BPD memiliki
rata-rata nilai komposit di atas rata-rata industri dengan PK BAIK, alias
yang paling buruk di industri.

Sejak 2006, perbankan nasional, telah diwajibkan menjalankan GCG


berdasarkan aturan Bank Indonesia tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum. Kemudian sejak 2016, peraturan mengenai
GCG merujuk kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.
55/POJK.03/2016 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No.
13/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum.

Dalam aturan itu, setiap bank umum yang beroperasi di Indonesia harus
menilai sendiri GCG-nya (self assessment) dengan menggunakan suatu
ukuran tertentu, paling kurang 1 (satu) kali dalam setahun. Hasil self
assessment ini kemudian dilaporkan kepada otoritas.

Riset LPPI didasarkan pada survei laporan GCG bank, dan situs resmi dari
108 bank, atau 97 persen dari total bank yang ada. Jika telusuri tahun demi
tahun sejak kewajiban penerapan GCG tersebut diberlakukan, terlihat
adanya penurunan kualitas governance. Dalam riset,disebutkan ketika
pertama kali diterapkan pada 2006, nilai rata-rata GCG industri perbankan
berada di kisaran 1, yang berarti sangat baik (lihat tabel).

Kondisi itu, akan tetapi, hanya berlangsung setahun. Malah, setelah


melewati fase perbaikan sepanjang periode 2008-2010, nilai rata-rata GCG
kembali memburuk dan mencapai puncaknya pada 2015. Ya, tahun 2010
adalah puncaknya penerapan GCG di Indonesia ketika nilai kompositnya
mencapai 1,85. Setelah itu, berturut-turut nilai komposit industri perbankan
menurun dengan nilai komposit yang terus cenderung membesar.

Jika ditelusuri ke belakang, hasil kajian tersebut memang tidak berbohong.


Pada 2011, kita ingat ada kasus besar di industri perbankan ketika kasus
pembobolan Citibank oleh pegawai private banking-nya menyeruak. Pada
2012 juga ada kasus besar yaitu pembobolan dana yang dilakukan
pegawai Bank Mega terhadap simpanan dari Elnusa, perusahaan sektor
minyak dan gas milik negara, yang kasusnya berlarut-larut hingga 2013.

Pada 2014 ada kasus pembobolan dana dan juga skimming kartu debit
dan kredit yang menimpa Bank Mandiri. Total dana yang dicuri berjumlah
puluhan miliar rupiah. Kemudian pada 2015, mencuat kasus besar yang
menimpa Bank BTPN ketika dana Rp22 miliar milik Pemerintah Kota
Semarang raib dari deposito yang dikelola bank itu. Pemkot menyimpan
uang sebesar Rp 22 miliar yang didepositokan ke BTPN sejak 2007, dalam
bentuk rekening koran.

Tantangan 2020

Pada tahun ini, penerapan GCG akan menghadapi tantangan yang lebih
berat ketika perekonomian global tengah terancam resesi dan juga kisruh
keamanan global. Bahkan berdasarkan laporan tiga lembaga ekonomi
global terkemuka yaitu Fitch Rating, Moody’s dan McKinsey, tantangan
ekonomi 2020 justru akan membuat risk appetite pelaku di sektor
keuangan meningkat.

Menurut Mas Ahmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance


(KNKG), hal itu memang lazim. “Prospek bisnis yang menantang dan
memburuk justru akan memicu kecenderungan para pengelola bisnis untuk
berani menabrak-nabrak aturan. Tetapi pada akhirnya nanti yang berjaya
adalah mereka yang komit menerapkan GCG,” jelas dia kepada Stabilitas.

Sementara itu di dalam negeri, lanjut Daniri, tantangan penerapan GCG


pada 2020 akan bergantung pada praktik-praktik governance yang
dilakukan oleh stake holder. “Penerapan GCG akan bergantung pada
pihak-pihak terkait. Seperti profesi penilai, reglator, auditor dan lain-lain.
Juga dari sisi internal misalnya direksi atau komisaris,” kata dia.

Praktik GCG di industri perbankan diakui Daniri, lebih baik ketimbang


sektor lain. Namun demikian ancaman praktik menelikung GCG tetap
berpotensi muncul. “Misalnya, karena dijanjikan bonus besar jika profit,
maka direksi atau komisaris merekayasa pencapaian profit perusahaannya
aga mendapatkan bonus tersebut,” lanjut dia.

Saat ini publik memang tengah menyoroti praktik GCG pada perusahaan-
perusahaan BUMN tak terkecual di bidang perbankan. Meski begitu,
secara umum, kata Daniri, praktik di bank-bank BUMN cenderung lebih
baik, karena bank diawasi oleh lebih banyak regulator. “Bank BUMN
pengawasannya lebih ketat, karena diawasi oleh regulator bank, regulator
pasar modal dan regulator BUMN,” tukas Daniri.

Memang berdasarkan kajian LPPI, praktik GCG di bank-bank milik negara


terlihat paling bagus tahun 2018 dengan nilai komposit 1,46. Sementara
untuk bank swasta memiliki nilai komposit 1,96, bank asing memiliki nilai
1,90, dan bank-bank daerah di level 2,27.

Sementara itu, Wilson Arafat, praktisi GCG yang bekerja di sebuah bank
mengatakan bahwa pada 2020, dalam konteks praktik GCG, ada dua hal
yang perlu ditegakkan. Pertama, etika bisnis harus yang dituangkan dalam
code of conduct perbankan.

“Integritas harus dijadikan panglima sehingga mampu menepis benturan


kepentingan, praktik haram gratifikasi yang pada gilirannya menjadikan
kepentingan perusahaan diutamakan di atas kepentingan golongan,
apalagi pribadi,” kata dia.

Kedua, penerapan praktik combined assurance atau GRC (governance,


risk management dan compliance) harus menancap di perusahaan,
minimal pada proses bisnis utama. “Praktik itu ditopang people, IT dan
teknologi digital terkini, sehingga mampu mewujudkan proses bisnis best in
class,” ujar Wilson. “Jika hal ini mampu di wujudkan program zero fraud
bukan tidak mungkin dapat segera terwujud.”

Komposit Self Assessment GCG

Predikat
Nilai Komposit PK
Komposit
Nilai Komposit < 1,50 Sangat Baik 1
1,5 ≤ Nilai Komposit < 2,5 Baik 2
2,5 ≤ Nilai Komposit < 3,5 Cukup 3
3,5 ≤ Nilai Komposit < 4,5 Kurang Baik 4
4,5 ≤ Nilai Komposit < 5,0 Tidak Baik 5
Sumber: SE OJK No. 13/SEOJK.03/2017

Anda mungkin juga menyukai