Anda di halaman 1dari 28

Makalah

TERAPI KOMPLEMENTER PADA PASIEN DM

Oleh;

Nama Kelompok

IDA SURYANI
NURAINI
RISKI AMALIAH
SARAH MAULI RISKI
TAJUL FUDHARI
TUTI
YUNDA HERAYANTI
YUNESA RIVANI
ZAHRATUL MAWADDAH
ZUHRA OKTAVIANTI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
MEDIKA NURUL ISLAM SIGLI
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam

semoga tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarganya, sehingga makalah

kami ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwanya

masih jauh dari kesempurnaan karena pengalaman dan pengetahuan penulis yang

terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan

demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi untuk masa mendatang.

Sigli, Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Tujuan...............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3


A. Diabetes Mellitus..............................................................................3
B. Luka Diabetik...................................................................................9
C. Madu...............................................................................................19

BAB III PENUTUP..............................................................................................24


A. Kesimpulan.....................................................................................24
B. Saran...............................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang kita kenal sebagai penyakit

kencing manis adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat

kekurangan insulin baik absolute maupun relative. DM merupakan salah satu

penyakit degenerative dengan sifat kronis yang jumlahnya terus meningkat

dari tahun ke tahun. Pada tahun 1983, prevalensi DM di Jakarta baru sebesar,

7%; pada tahun 1993 prevalensinya meningkat menjadi 5,7% dan pada tahun

2001 melonjak menjadi 12,8%. Klasifikasi atau jenis diabetes ada bermacam-

macam, tetapi di Indonesia yang paling banyak ditemukan adalah DM tipe 2.

Jenis diabetes yang lain ialah DM tipe 1; diabetes kehamilan/gestasional

(DMG) dan diabetes tipe lain. Ada juga kelompok individu lain dengan

toleransi glukosa abnormal tetapi kadar glukosanya belum memenuhi syarat

masuk ke dalam kelompok diabetes mellitus, disebut toleransi glukosa

terganggu (TGT). Sebenarnya penyakit diabetes tidaklah menakutkan bila

diketahui lebih awal. Kesulitan diagnosis timbul karena kadang-kadang dia

datang tenang dan bila dibiarkan akan menghanyutkan pasien ke dalam

komplikasi fatal. Oleh karena itu, mengenal tanda-tanda awal penyakit

diabetes ini menjadi sangat penting.

1
B. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mengetahui penyakit Diabetes Mellitus

dan terapi komplementernya serta untuk memberikan pemahaman dan

kesadaran tentang pentingnya mengenal tanda-tanda awal penyakit diabetes

mellitus.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

1. Defenisi

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat

kekurangan insulin baik absolute maupun relative (Suyono, 1995).

Diabetes mellitus adalah sindrom yang disebabkan oleh ketidakseimbangan

antara kebutuhan dan suplai insulin. Sindrom ini ditandai oleh adanya

hiperglikemia dan berkaitan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak

dan protein. Istilah diabetes mellitus sebenarnya mencakup 4 kategori yaitu tipe I

(insulin dependen diabetes mellitus atau IDDM), diabetes mellitus sekunder dan

diabetes mellitus yang berhubungan dengan nutrisi. Selain itu, terdapat dua

kategori lain tentang abnormalitas metabolisme glukosa yaitu kerusakan toleransi

glukosa dan diabetes mellitus gestasional (Sukaton, 1985 dikutip Waspadji, 1988).

Diabetes mellitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor resiko

diabetes mellitus tipe II antara lain usia, obesitas, riwayat keluarga dengan

diabetes mellitus tipe II, etnis, penyebaran lemak adroid (tubuh bagian atas atau

tipe apel). Kebiasaan diet dan kurang berolahraga. Pada diabetes mellitus tipe II

keterbatasan respon sel beta pankreas yang memproduksi insulin terhadap

hiperglikemia tampak menjadi faktor utama berkembangnya penyakit ini. Klien

dengan diabetes mellitus tipe II mengalami penurunan sensivitas terhadap kadar

3
glukosa, yang berakibat pada pembukaan kadar glukosa tinggi. Keadaan ini

disertai dengan ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan

ambilan glukosa, sehingga mekanisme ini menyebabkan meningkatnya resistensi

insulin perifer (Tjokroprawiro, 1982). Komplikasi akut mayor diabetes mellitus

adalah diabetik ketoasidosis (DKA), sindrom nekrotik hiperosmolar hiperglikemia

(SKNH), dan hipoglikemia.

Pada diabetes mellitus tipe II komplikasi yang sering terjadi adalah penyakit

mikrovaskuler dan neuropati. Gangguan kesehatan komplikasi diabetes mellitus

antara lain gangguan mata (retinopati), gangguan ginjal (nefropati), gangguan

pembuluh darah (vaskulopati), dan kelainan pada kaki. Komplikasi yang sering

terjadi adalah perubahan patologis pada anggota gerak yang bisa menyebabkan

luka ulkus, atau luka gangren yang bila tidak ditangani dengan tepat akan

menimbulkan kecacatan bahkan berujung pada amputasi (Iqbal,2008).

2. Patofisiologi

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang

rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat

berfungsi dengan baik. Sumber energi bagi tubuh berasal dari bahan makanan

yang kita makan sehari-hari, terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak.

Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian kelambung dan

selanjutnya usus. Di dalam saluran pencernaan makanan diolah menjadi bahan

dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam

amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu, akan diserap oleh

usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh

4
untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai sumber energi.

Supaya dapat berfungsi sebagai bahan energi, zat makanan itu harus masuk

terlebih dahulu kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan

terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang hasil akhirnya adalah

timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme

insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan

glukosa dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi.

Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak

kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian

di dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada,

maka glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di

dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak

ada sumber energi didalam sel (Suyono, 2004).

Pada diabetes mellitus tipe I tidak ditemukan insulin karena pada jenis ini

timbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel beta yang

disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA)

yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta. Insulitas bisa disebabkan

macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV, herpes

dan lain-lain. Umumnya yang diserang pada insulitas itu adalah sel beta, dan

biasanya sel alfa dan delta tetap utuh (Suyono, 2004).

Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,

tetapi faktor-faktor seperti obesitas, diet tinggi lemak, dan rendah karbohidrat,

5
kurang aktivitas, dan faktor keturunan. Pada DM tipe II jumlah sel beta berkurang

sampai 50-60% dari normal, jumlah sel alfa meningkat. Yang menyolok adalah

adanya peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel beta yang disebut amilin.

Baik pada DM tipe II kadar glukosa darah jelas meningkat bila kadar itu melewati

batas ambang ginjal, maka glukosa akan keluar melalui urin (Suyono, 2004).

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus

a. Gaya Hidup

Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes

mellitus. Diit dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap

timbulnya diabetes mellitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas

sehingga meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.

b. Usia

Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting.

Dibandingkan wanita pada usia 20-an, wanita yang berusia diatas 40 tahun

berisiko enam kali lipat mengalami kehamilan dengan diabetes. Kadar

gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi

progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak

aktif.

c. Ras dan Suku Bangsa

Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai,

dan sebagian Amerika Asia memiliki risiko diabetes dan penyakit jantung

yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka

tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.

6
d. Riwayat Keluarga

Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak

diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia

muda dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang

menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes pun

meningkat. Ada empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit

sebagai ciri dominal autosomal. Pertama transmisi langsung tiga generasi

terlihat pada lebih dari 20 keluarga. Kedua didapatkan perbandingan anak

diabetes dan tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita diabetes.

Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka konkordansi diabetes tipe 2

pada kembar monozigot mencapai 100 persen. Resiko keturunan dan

saudara kandung pasien penderita NIIDM lebih tinggi dibanding diabetes

tipe 1. Hampir empat persepuluh saudara kandung dan sepertiga keturunan

akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes yang jelas.

e. Kegemukan (Obesitas)

Overweight dan obesitas erat hubungannya dengan peningkatan risiko

sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara

bersamaan. Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat

berupa hipertensi, dislipidemia, penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes

tipe II, penyakit gallblader, disfungsi pernafasan, gout, osteoarthritis, dan

jenis kanker tertentu. Penyakit kronik yang paling sering menyertai

obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi, dan hiperkolesterolemia.

NHANES III menyebutkan bahwa kurang lebih 12% orang dengan BMI

7
27 menderita diabetes tipe 2. Obesitas merupakan faktor risiko utama pada

penderita diabetes tipe 2.

4. Komplikasi Diabetes Mellitus

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling banyak.

Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga

berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat

kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan

pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka

aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju aliran saraf dan kulit. Kadar

gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak

dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis

(penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali

lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi darah yang buruk melalui

pembuluh darah besar bisa melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki

(makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil bisa melukai mata, saraf, dan

kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Penderita diabetes bisa mengalami

berbagai komplikasi jangka panjang jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik.

Komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung

dan stroke. Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan

penglihatan, akibat kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan

fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani

cuci darah. Gangguan saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, misalnya

jika satu saraf mengalami kelainan fungsi, maka sebuah lengan atau tungkai bisa

8
secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke lengan, dan tungkai

mengalami kerusakan, maka pada lengan dan tungkai bisa merasakan kesemutan

atau nyeri seperti terbakar atau kelemahan. Kerusakan pada saraf menyebabkan

kulit sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat merasakan perubahan

tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah kekulit juga bisa menyebabkan

ulkus atau borok dimana proses penyembuhannya akan berjalan secara lambat

hingga menyebabkan amputasi (Soegondo, 2007).

B. Luka Diabetik

1. Defenisi

Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang melibatkan

gangguan pada saraf peripheral dan autonomik (Suryadi, 2004). Luka diabetik

adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh

darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal itu

akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi (Prabowo, 2007).

Terjadinya kaki diabetik tidak terlepas dari tingginya kadar glukosa darah

penyandang diabetes. Tingginya kadar gula darah berkelanjutan dan dalam jangka

waktu yang lama dapat menimbulkan masalah pada kaki penyandang diabetes

(nita-medicastore.com).

Komponen saraf yang terlibat adalah saraf sensori, autonomik dan sistem

pergerakan. Kerusakan pada saraf sensori akan menyebabkan klien kehilangan

sensasi nyeri sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlibat. Peripheral

vascular disease ini terjadi karena arteriosklerosis dan aterosklerosis. Pada

arteriosklerosis adalah terjadi penurunan elastisitas dinding arteri. Pada

9
aterosklerosis adanya akumulasi ”plaques” pada dinding arteri berupa ; kolesterol,

lemak, sel-sel otot halus, monosit, pagosit, dan kalsium (Suriadi, 2004).

Kelangsungan hidup pasien dalam 5 tahun setelah amputasi adalah rendah,

diperkirakan hanya sekitar 25%.

2. Klasifikasi Luka Diabetik

Wagner (1983) berdasarkan luas dan kedalaman luka membagi gangren

diabetik menjadi 6 bagian yaitu, (1) kulit utuh tapi ada kelainan pada kaki akibat

neuropati, (2) draft I : terdapat ulkus superfisial, terbatas pada kulit, (3) draft II :

ulkus dalam, menembus tendon/tulang, (4) draft III : ulkus dengan atau tanpa

osteomilitis, (5) draft IV : gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa

selulitis (infeksi jaringan), (6) draft V : gangren seluruh kaki atau sebagian

tungkai bawah (Misnadiarly, 2008). Sedangkan Brand dan Ward (1987) membagi

gangren berdasarkan faktor pencetusnya menjadi 2 golongan yaitu : (1) kaki

diabetik akibat iskemia (KDI), disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai

akibat adanya makroangiopati (arterosklerosis) dari pembuluh darah besar di

tungkai, terutama daerah betis. Gambaran klinis KDI adalah penderita mengeluh

nyeri saat istirahat, pada perabaan terasa dingin, pulsasi pembuluh darah kurang

kuat, didapatkan ulkus sampai gangren. (2) kaki diabetik akibat neuropati (KDN),

terjadi kerusakan saraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi.

Pada klinis ini di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, edema

kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.

10
3. Patofisiologi

Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi

terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik terkait

dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal

sebagai neuropati perifer. Pada pasien dengan diabetik sering kali mengalami

gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang berhubungan dengan

“pheripheral vascular diseases”. Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan

kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak

pada sistem saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot- otot halus, kelenjar dan

organ visceral.

Dengan adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah terjadinya

perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan

demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak

mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak memenuhi

kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonomi neuropati ini

akan menyebabkan kulit menjadi kering, antihidrosis; yang memudahkan kulit

menjadi rusak dan mengkontribusi untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah

karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi kapada saraf sensori dan

sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan dan perubahan

temperatur (Suryadi, 2004).

11
4. Perawatan Luka Diabetik

Luka diabetik terdiri dari luka ulkus dan gangren. Tujuan perawatan luka

diabetik adalah mencegah terjadinya komplikasi dan mempercepat proses

pemulihan luka. Ulkus yang tidak dirawat dengan baik dapat mengakibatkan

timbulnya luka gangren. Gangren adalah luka yang sudah membusuk dan sudah

melebar, ditandai dengan jaringan yang mati berwarna kehitaman dan membau

disertai pembusukan oleh bakteri.

Pasien dapat diberikan antiagregasi trombosit, hipolipidemik dan hipotensif

bila membutuhkan. Antibiotik pun diberikan bila ada infeksi. Pilihan antibiotik

berupa golongan penisilin spektrum luas, kloksasilin/diklosasilin dan golongan

aktif seperti klindamisin atau metronidazol untuk kuman anaerob. Prinsip terapi

bedah pada kaki diabetik adalah mengeluarkan semua jaringan nekrotik dan

mengeliminasi infeksi sehingga luka dapat sembuh. Tindakan operatif pada luka

diabetes dapat berupa tindakan bedah kecil seperti insisi dan pengaliran abses,

debridement dan nekrotomi. Tindakan bedah dilakukan berdasarkan indikasi yang

tepat. Prioritas tinggi harus diberikan untuk mencegah tejadinya luka baru, jangan

membiarkan luka kecil, sekecil apapun luka tersebut dapat menjadi besar dan

akhirnya mengarah pada luka gangren yang proses penyembuhannya

membutuhkan waktu yang lama (Yumizone, 2008).

Penyembuhan luka terjadi melalui tahapan yang berurutan mulai proses

inflamasi, proliferasi, pematangan dan penutupan luka. Pada proses penyembuhan

luka, tindakan debridement yang baik sangat penting untuk mendapatkan hasil

pengelolaan yang perawatan luka diabetik yang memuaskan dengan melihat

12
kondisi luka terlebih dahulu, apakah luka yang dialami pasien dalam keadaan

kotor atau tidak, ada pus atau ada jaringan nekrotik (mati) atau tidak. Setelah

dikaji, barulah dilakukan perawatan luka. Untuk perawatan luka biasanya

menggunakan antiseptik dan kassa steril. Jika ada jaringan nekrotik sebaiknya

dibuang dengan cara digunting sedikit demi sedikit sampai kondisi luka

mengalami granulasi (jaringan baru yang mulai tumbuh). Lihat ke dalam luka,

pada pasien diabetes dilihat apakah terdapat sinus (luka dalam yang sampai

berlubang) atau tidak. Bila terdapat sinus, sebaiknya disemprot (irigasi) dengan

NaCl sampai pada kedalaman luka, sebab pada sinus terdapat banyak kuman.

Lakukan pembersihan luka sehari minimal dua kali (pagi dan sore), setelah

dilakukan perawatan lakukan pengkajian apakah sudah tumbuh granulasi,

(pembersihan dilakukan dengan kassa steril yang dibasahi larutan NaCl). Setelah

luka dibersihkan lalu tutup dengan kassa basah yang diberi larutan NaCl lalu

dibalut disekitar luka, dalam penutupan dengan kassa jaga agar jaringan luar luka

tertutup. Sebab jika jaringan luar ikut tertutup akan menimbulkan maserasi

(pembengkakan). Setelah luka ditutup dengan kassa basah bercampur NaCl, lalu

tutup kembali dengan kassa steril yang kering untuk selanjutnya dibalut (Ismayati,

2007).

Jika luka sudah mengalami penumbuhan granulasi, selanjutnya akan ada

penutupan luka (skin draw). Penanganan luka diabetik, harus ekstra agresif sebab

pada luka diabetik kuman akan terus menyebar dan memperparah kondisi luka

(Hermawati, 2007).

13
5. Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena proses

penyembuhan luka adalah kegiatan bio-seluler, bio-kimia yang terjadi

berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler, aktivitas seluler dan

terbentuknya bahan kimia sebagai substansi mediator di daerah luka merupakan

komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Besarnya

perbedaan mengenai penelitian dasar mekanisme penyembuhan luka dan aplikasi

klinis saat ini telah dapat diperkecil dengan pemahaman dan penelitian yang

berhubungan dengan proses penyembuhan luka dan pemakaian bahan pengobatan

yang berhasil memberikan kesembuhan.

Peran fibroblast sangat besar dalam proses perbaikan, yaitu bertanggung-

jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan

selama proses konstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang normal tanpa perlukaan, pemaparan sel fibroblast

sangat jarang dan biasanya tersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah

terjadi luka fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam

daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan

beberapa substansi (kolagen, elastin, inyalruounc acid, fibronectin dan

profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi) jaringan baru.

Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru

(connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblast,

memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblast

sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.

14
Sejumlah sel pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru

tersebut berfungsi sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi

fibroblast dengan aktivitas sintetiknya disebut fibroblasia, migrasi, deposit

jaringan matriks, kontraksi luka.

Angiogenesis suatu pembentukan pembuluh kapiler baru di dalam luka,

mempunyai peran penting pada tahap proliferasi proses penyembuhan luka.

vaskularisai yang tidak lancar, penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat

(preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya

ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi ke dalam luka

merupakan suatu respon untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di

daerah luka karena oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan

proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet

dan makrofag (growth factors).

Proses selanjutnya adalah epitelasi, dimana fibrobalast mengeluarkan

karatinocyle growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel

epitel. Keratinasasi akan di mulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk

barier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast,

pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan

mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan

baru tersebut menutup luka, fibroblast akan merubah strukturnya menjadi

myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.

Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan

dengan defek luka. Minimal fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan

15
lapisan kolagen terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan di percepat oleh

berbagai growth factor yang dibentuk makrofag dan platelet.

Fase maturasi fase ini terjadi pematangan yang terdiri dari penyerapan

kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan sesuai dengan gravitasi, pada

minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan

dari fase maturasi adalah penyempurnaan terbentuknya jaringan baru menjadi

jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblast sudah mulai

meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang

karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak

untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai

puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah di

mulai sejak fase proliferasi akan di dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali

pembentukan kolagen muda (gelatinious collagen) yang terbentuk pada fase

proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan

struktur yang lebih baik (proses re-modelling).

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara

kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan

mengakibatkan terjadinya penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar,

sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut

dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh apabila telah terjadi

kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit sehingga mampu melakukan

aktivitas yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap

penderita, namun hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik

16
masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan

mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan yang kurang gizi, dan yang

disertai oleh penyakit sistemik (diabetes mellitus) (Tawi, 2004).

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luka Diabetik

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka diabetik secara umum

adalah faktor intrinsik yaitu; (1) usia, semakin tua akan semakin lama proses

penyembuhan luka berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan

elastisitas dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen yang mempengaruhi

penyembuhan luka, (2) status penyakit dan pengobatan, penderita yang

mengalami penyakit seperti DM, yang dapat menyebabkan terjadinya

mikroangiopati, neuropati dan masalah khusus yang terjadi pada penderita akan

mempersulit penyembuhan, (3) status nutrisi, zat makanan yang masuk kedalam

tubuh seperti protein sangat dibutuhkan dalam proses neovaskularisasi, proliferasi

fibroblast, sintesa kolagen dan remodelling luka. Asam amino adalah komponen

struktural protein dan merupakan bagian penting dari deoxyribonucleic acid

(DNA) dan ribonucleic acid (RNA). Ini memberikan pola untuk mitosis sel dan

enzim yang dibutuhkan dalam pembentukan jaringan, (4) oksigenasi dan perfusi

jaringan, oksigen berpengaruh dalam angiogenesis, fungsi fibroblast, epitelisasi

dan resistensi terhadap infeksi. Perfusi jaringan saling terkait dengan oksigenasi

jaringan. Perfusi jaringan yang baik merupakan hal yang essensial untuk

oksigenasi. Volume darah beredar yang adekuat membawa hemoglobin yang kaya

O2 ke jaringan. Masalah yang berkaitan dengan perfusi jaringan dan oksigenasi

dapat diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler, paru dan hipovolemia, (5)

17
merokok, hal ini juga mengurangi perfusi dan oksigenasi jaringan dan

menimbulkan efek merugikan pada proses penyembuhan luka. Kemudian faktor

ekstrinsik yaitu, (1) adanya teknik pembedahan yang buruk, jika jaringan

ditangani secara kasar selama pembedahan, maka jaringan mengalami kerusakan

yang luas, mengakibatkan hematom. Hal ini dapat meningkatkan resiko infeksi

akibat hematom yang pecah. Ruang mati (dead space) mungkin juga terjadi jika

jaringan tidak diperbaiki secara tepat selama pembedahan dan memberi peluang

untuk berkembangnya infeksi luka, (2) drug treatment, obat juga mempengaruhi

penyembuhan luka seperti steroid, obat anti inflamasi, obat antimitotik dan terapi

radiasi. Steroid menghambat seluruh fase penyembuhan luka, menghambat

fagositosis, sintesa kolagen dan angiogenesis, (3) manajemen luka yang tidak

tepat, penggunaan teknik pembalutan yang tidak tepat, pemilihan dan penggunaan

bahan balutan yang kurang tepat atau penggunaan antiseptik solution yang

semestinya tidak diperlukan dapat menghambat proses penyembuhan luka, (4)

psikososial yang merugikan, berbagai jenis faktor psikososial dapat memberikan

efek merugikan pada penyembuhan luka seperti: buruknya pemahaman dan

penerimaan terhadap program pengobatan atau kecemasan yang berkaitan dengan

perubahan pada pekerjaan, penghasilan, hubungan pribadi dan body image

(Morison, 1992), (5) infeksi, dari semua faktor yang memperlambat penyembuhan

luka, infeksi adalah yang paling penting. Infeksi dapat terjadi jika selama

persiapan pembedahan, selama pembedahan dan setelah pembedahan tidak

dilakukan dengan prinsip aseptik dan antiseptik yang baik. Jenis luka dan lokasi

pembedahan juga mempengaruhi resiko infeksi pada luka insisi.

18
7. Kriteria Luka Sembuh

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan

lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tiap cedera

jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka

traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan

bedah. Push Score (length X widht, tissue type, exudate amount) adalah salah satu

acuan dalam identifikasi proses penyembuhan luka. Luka dikatakan mengalami

proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap

cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison, 2004).

Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang,

jaringan luka semakin membaik (NPUAP, 1997).

C. Madu

Madu berasal dari nektar bunga yang disimpan oleh lebah dari kantung

madu. Oleh lebah nektar tersebut diolah sebelum akhirnya menghasilkan madu

dalam sarangnya. Madu dihasilkan oleh serangga lebah madu (Apis Mellifera)

termasuk dalam superfamili apoidea. Madu adalah obat alami karena tidak perlu

diolah di laboratorium. Madu sudah ada di alam dan tinggal diolah dari sarangnya

(Susan, 2008).

1. Kandungan Madu

Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida yang bersifat dapat

membunuh mikroorganisme patogen. Berdasarkan hasil penelitian Kamaruddin

(1997), peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Malaysia, di Kuala Lumpur

19
adanya senyawa organik yang bersifat antibakteri antara lain seperti polypenol,

dan glikosida. Selain itu dalam madu terdapat banyak sekali kandungan vitamin,

asam mineral, dan enzim yang sangat berguna bagi tubuh sebagai pengobatan

secara tradisional, antibodi, dan penghambat pertumbuhan sel kanker, atau tumor.

Madu juga mengandung antioksidan, asam amino essensial, dan non essensial.

2. Pemanfaatan Madu

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa madu bermanfaat sebagai

antiseptik dan antibakteri (mengatasi infeksi pada daerah luka dan memperlancar

proses sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka) (Yudith,

2003). Madu juga merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga selain

mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka

pada kulit. Madu memiliki efek osmotik dengan tingginya kadar gula dalam madu

terutama fruktosa, dan kadar air yang sangat sedikit menyebabkan madu memiliki

efek osmotik yang tinggi. Dengan adanya efek tersebut memungkinkan

mikroorganisme yang ada dalam tubuh sukar tumbuh dan berkembang. Madu

memiliki kadar asam yang tinggi dengan pH sekitar antara 3,2-4,5 (sangat asam).

Dengan adanya kadar asam yang tinggi inilah mikroorganisme yang tidak tahan

asam (seperti kuman TBC) akan mati. Madu mampu mengabsorbsi pus atau nanah

atau luka, sehingga secara tidak langsung madu akan membersihkan luka tersebut.

Madu menimbulkan efek analgetik (penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan

dapat mengeliminasi bau yang menyengat pada luka. Madu juga berfungsi sebagai

antioksidan karena adanya vitamin C yang banyak terkandung pada madu. Secara

20
tidak langsung madu mengeliminasi zat radikal bebas yang ada pada tubuh kita

(Abdillah, 2008).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan salah satunya oleh Dr. Jamal

Burhan dari Universitas Iskandariyah Mesir pada tahun 1991 menyebutkan madu

sangat efektif untuk pengobatan luka dan telah dilakukan eksperimen pengobatan

terhadap luka bakar dengan menggunakan madu dan setelah dilakukan

perbandingan dengan pengobatan modern, hasilnya setelah 7 hari, kelompok yang

diobati dengan madu 91% bebas dari infeksi sedangkan yang diobati dengan

pengobatan modern hanya 7% yang bebas infeksi. Setelah pengobatan berjalan 15

hari, 87% pasien yang diobati madu sembuh sedangkan yang diobati dengan

pengobatan modern hanya 10% yang sembuh. Penelitian pada tahun 1992 dan

1993 juga membuktikan bahwa pasien luka bakar yang diobati dengan madu,

hanya 20% yang menyisakan luka ditubuhnya, sedangkan pengobatan modern

dengan obat farmakologis menyisakan sekitar 65% pasien meninggalkan bekas

luka (Suryadhine, 2007).

Pengobatan madu yang dicampur dengan minyak zaitun dan lilin lebah

para dokter di Dubai Specialized Medical Centre dibawah pimpinan Noori Al

Wali telah berhasil mencapai tingkat penyembuhan tertinggi 86% untuk penyakit

infeksi kulit karena jamur (Iqbal, 2008).

Peneliti Jennifer Edy dari Universitas Wisconsin menyebutkan madu

efektif dalam mengobati luka diabetes karena kandungan airnya rendah, juga pH

madu yang asam serta kandungan hidrogen peroxidanya mampu membunuh

bakteri dan mikroorganisme yang masuk kedalam tubuh kita (Iqbal, 2008).

21
Dalam perawatan luka diabetes madu dapat digunakan dengan cara madu

ditaruh pada balutan, kemudian sebelum luka dibalut terlebih dahulu luka

haruslah terlebih dahulu diolesi dengan madu sampai merata menutup seluruh

permukaan luka. Setelah itu luka dibalut dengan balutan yang telah diolesi madu

terlebih dahulu. Namun pada kondisi luka yang penuh dengan cairan cara ini tidak

dianjurkan (Iqbal, 2008).

Untuk luka yang mengeluarkan cairan yang banyak, pembalut madu yang

kedua dapat diterapkan diatas pembalut yang pertama untuk menampung

rembesan cairan dari pembalut pertama. Madu aman untuk dioleskan langsung ke

daerah luka yang terbuka karena madu selalu larut dalam air dan mudah

dibersihkan.

3. Terapi Madu pada Luka Diabetik

Penggunaan madu pada luka diabetik tergantung dari jumlah cairan yang

keluar dari luka. Frekuensi penggantian pembalut madu tergantung dari beberapa

cepat madu tercampur dengan cairan yang keluar dari luka. Luka yang tidak

mengeluarkan cairan, penggantian pembalut dapat dilakukan 3 kali seminggu.

Cara pemberian madu yang baik adalah madu ditaruh dahulu pada pembalut yang

dapat menyerap madu, karena apabila dituangkan langsung, madu akan menyebar

kemana-mana dan tidak mengenai sasaran. Balutan yang digunakan harus yang

berpori agar madu dapat mencapai bagian tubuh yang luka. Pembalut alginate

yang diisi madu dapat juga dipakai sebagai pengganti pembalut dari selulosa

karena alginate akan berubah menjadi gel yang lunak yang mengandung madu.

Madu aman untuk dioleskan langsung ke daerah luka yang terbuka karena madu

22
selalu larut dalam air dan mudah dibersihkan. Dianjurkan selama penggunaan

madu ini, pasien tetap dalam pengawasan dokter (Iqbal, 2008).

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Diabetes mellitus tidak menakutkan bila diketahui lebih awal. Gejala-

gejala yang timbul sangat tidak bijaksana untuk dibiarkan, karena justru akan

menjerumuskan ke dalam komplikasi yang lebih fatal. Jika berlangsung

menahun, kondisi penderita diabetes mellitus berpeluang besar menjadi

ketoasidosis ataupun hipoglikemia. Memang penyakit diabetes tidak bisa

disembuhkan, kecuali beberapa jenis diabetes. Tetapi dengan kemauan keras,

penyakit ini dapat dikendalikan. Dengan berbekal pengetahuan yang cukup,

disiplin dan keinginan yang besar, maka penyakit diabetes ini bukan

merupakan penyakit yang menakutkan. Ibarat delman, penderita adalah kusir

dan diabetes adalah kudanya. Sepanjang pak kusir masih memegang

kendalinya, selama itu pula kudanya akan menuruti apa keinginan kusir.

Dengan prinsip hidup yang positif, pada akhirnya penyandang DM dapat

hidup bahagia bersama diabetes, seperti orang lain berbahagia tanpa diabetes.

B. Saran

Lakukan pemeriksaan dini pada tubuh, tidak perlu menunggu hingga

timbul gejala. Karena dengan dilakukan diagnosis dini, dokter dan pasien

dapat menanggulangi diabetes mellitus dengan baik agar kita mampu

mencegah tersebut sebaik-baiknya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Makalah asuhan gizi pada diabetes mellitus. [Diakses 6


November 2013]. Dari: http://vi2c4mex.files.wordpress.com/2013/
01/dm.pdf.
Situmorang, L. L. 2009. Efektivitas madu terhadap penyembuhan luka gangren
diabetes mellitus. PSIK USU. [Diakses 6 November 2013]. Dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25284/4/Chapter%20II.pdf
%E2%80%8E.
Hammad. 2009. Pengaruh perawatan luka dengan penggunaan madu terhadap
penyembuhan luka diabetik pada pasien diabetes mellitus di RSUD Ulin
Banjarmasin. [Diakses 6 November 2013]. Dari:
http://alulum.baak.web.id/files/1.%20hamad%20juli%202009.pdf.

25

Anda mungkin juga menyukai