Anda di halaman 1dari 230

SI 3212: Struktur Baja (3 sks)

(Created on 8/12/20)
Semester II/20-21; Peserta: sesuai pengaturan Prodi Teknik Sipil
(Dosen: Sindur P. Mangkoesoebroto)

Tujuan: Diberikan pemahaman dan kemampuan dalam merencanakan tahanan komponen struktur
baja beserta sambungannya. Penekanan diarahkan pada perilaku dan modus keruntuhan
komponen struktur terhadap berbagai kombinasi pembebanan.

Silabus: Pengantar LRFD dan material, batang tarik (LRFD dan probabilistik), batang tekan, balok
(lentur, geser, beban terpusat dan analisis plastis), sambungan (baut dan las), elemen pelat
tipis, torsi, tekuk torsi lateral, balok pelat berdinding penuh, perencanaan plastis rangka
sederhana, kombinasi lentur-tekan.

Waktu: Senin: jam 09:00-10:40


Jum’at: jam 09:00-10:40

Ruang: ZOOM (Perioda pandemi Covid-19)

Mulai kuliah: 18 Januari 2021


UTS: 15 ~ 19 Maret 2021 (minggu ke 9) [Nilai 29/3/20]
Akhir kuliah: 26 April 2020 [Nilai 10/5/21]

Prasyarat: Mekanika Teknik, Mekanika Bahan, Statistik & Probabilitas

Text: Salmon, Johnson, & Malhas, “Steel Structures: Design and Behavior,” 5th ed., Pearson Int.
Ed., 2009.

Satuan Acara Perkuliahan:

Materi
1 Pengantar LRFD dan Material (2 x 100 mt)
2 Batang Tarik (LRFD) (1,5 x 100 mt)
3 Batang Tarik (Probabilistik) (1,5 x 100 mt)
4 Batang Tekan (2 x 100 mt)
5 Balok: Lentur, Geser, Beban Terpusat & Analisis Plastis (3 x 100 mt)
6 Sambungan: Baut dan Las (3 x 100 mt)
7 Elemen Pelat Tipis (1,5 x 100 mt)
8 Torsi (3 x 100 mt)
9 Tekuk Torsi Lateral (1,5 x 100 mt)
10 Balok Pelat Berdinding Penuh (3 x 100 mt)
11 Perencanaan Plastis Rangka Sederhana (100 mt)
12 Kombinasi Lentur-Tekan (2 x 100 mt)
13 Ujian Komprehensif

Handout: Setiap peserta kuliah diminta kerelaannya untuk mengganti biaya handout kuliah
sebesar Rp. 55.000 per semester (~225 hal.).

Presence Ticket: One grade down on the upper bound for each missing-ticket.

Nilai: Kegiatan Terstruktur (KT) setiap topik (2~3 soal) dan ujian komprehensif (100%) dan
Tugas-tugas (15%)
A92 92AB90 90B82 82BC78 78C72 72D65

Rujukan lainnya:
1. SNI 03-1729-2000 (Tatacara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung); [SNI
1729-2015 Spesifikasi untuk bangunan gedung baja struktural];
2. SNI 1727-2013 Beban minimum untuk perancangan bangunan gedung dan struktur lain;
3. AISC.

Asisten: Jonathan, Mira, Wilbert, Ihsan


JADWAL KULIAH SI-3212: STRUKTUR BAJA
DOSEN: SINDUR P. MANGKOESOEBROTO
SEMESTER II TAHUN 2020-2021

Minggu ke Senin Rabu (KT) Jumat


Tgl Topik Ke Tgl Topik Tgl Topik
1 18/1 1 20/1 22/1 1
2 25/1 2 1 27/1 1 29/1 2/3
3 01/2 3 2 03/2 2/3 05/2 4
4 08/2 4 3 10/2 4 12/2
5 15/2 5 17/2 19/2 5
6 22/2 5 4 24/2 5 26/2 6
7 01/3 6 03/3 05/3 6
8 08/3 7 5 10/3 6 12/3 7/8
9 15/3 7 17/3 19/3 UTS
10 22/3 8 24/3 26/3 8
11 29/3 8/9 31/3 02/4 9
12 05/4 10 6 07/4 7/8/9 09/4 10
13 12/4 10 7 14/4 10 16/4 11
14 19/4 12 21/4 23/4 12
15 26/4 11/12 8 28/4 30/4 UAS

Libur Nasional KT UAS


BAB I
Pengantar
Perencanaan struktur adalah kombinasi seni dan ilmu pengetahuan yang
menggabungkan intuisi para ahli struktur mengenai perilaku struktur dengan
pengetahuan prinsip-prinsip statika, dinamika, mekanika bahan, dan analisis
struktur, untuk menghasilkan struktur yang aman dan nyaman selama masa
layannya.

Metode perhitungan yang berdasarkan keilmuan harus menjadi pedoman dalam


proses pengambilan keputusan, namun tidak untuk diikuti secara membabi buta.
Kemampuan intuisi yang dirasionalkan oleh hasil-hasil perhitungan dapat menjadi
dasar proses pengambilan keputusan yang baik.

Struktur optimum dicirikan sebagai berikut:


a. biaya minimum,
b. bobot minimum,
c. periode konstruksi minimum,
d. kebutuhan tenaga kerja minimum,
e. biaya manufaktur minimum,
f. manfaat maksimum pada saat layan.

Kerangka perencanaan struktur adalah proses penentuan jenis struktur dan


pendimensian komponen struktur demikian sehingga beban kerja dapat dipikul
secara aman, dan perpindahan yang terjadi dapat ditolerir oleh syarat-syarat yang
berlaku.

Prosedur perencanaan secara iterasi dilakukan sebagai berikut:


1. Perancangan. Penetapan fungsi-fungsi struktur dan kriteria keberhasilan
yang optimum.
2. Penetapan konfigurasi struktur preliminari berdasarkan Step 1.
3. Penetapan beban-beban kerja yang harus dipikul.
4. Pemilihan tipe dan ukuran preliminari komponen-komponen struktur
berdasarkan Step 1, 2, 3.
5. Analisis struktur untuk menetapkan gaya-gaya-dalam dan perpindahan.
6. Evaluasi perancangan struktur optimum.
7. Perencanaan ulang dari Step 1 s/d 6.
8. Perencanaan akhir untuk menguji Step 1 s/d 7.

Beban

Beban kerja pada struktur atau komponen struktur bisa ditetapkan berdasarkan
peraturan pembebanan yang berlaku.

Beban mati adalah beban–beban yang bersifat tetap selama masa layan, antara lain

Pengantar Sindur P. Mangkoesoebroto 1


berat struktur, pipa-pipa, saluran-saluran listrik, AC/heater, lampu-lampu, penutup
lantai/atap, dan plafon.

Beban hidup adalah beban-beban yang berubah besar dan lokasinya selama masa
layan, antara lain berat manusia, perabotan, peralatan yang dapat dipindah-pindah,
kendaraan, dan barang-barang lainnya.

Beban angin adalah tekanan-tekanan yang berasal dari gerakan-gerakan angin.


Umumnya perlu diperhitungkan pada luas bidang tangkap angin yang relatif luas
pada bangunan dengan beban-beban yang relatif ringan.

Beban gempa adalah gaya-gaya yang berasal dari gerakan-gerakan tanah


dikombinasi dengan sifat-sifat dinamis struktur. Meskipun seringkali percepatan
horizontal tanah lebih besar daripada percepatan vertikal, dan struktur secara
umum lebih sensitif terhadap gerakan horizontal daripada gerakan vertikal, namun
demikian kedua komponen gerakan tanah tersebut perlu diperhitungkan secara
simultan.

Tahanan komponen struktur dalam memikul gaya mengikuti preferensi berikut


ini:
• tarik: baik ⎯ keruntuhan leleh bersifat daktail
• tekan: kurang baik ⎯ stabilitas (tekuk lentur, tekuk lokal)
• lentur: sedang ⎯ stabilitas (tekuk torsi, tekuk lokal, tekuk lateral)
• geser: lemah ⎯ getas, tekuk lokal
• torsi: buruk ⎯ getas, tekuk lokal

Belakangan ini komponen struktur tarik makin digemari mengingat efisiensinya


dalam memikul beban.

Etika profesi: Perencana bertanggungjawab penuh dalam menghasilkan struktur


yang aman dan nyaman.

Falsafah Perencanaan LRFD (Load and Resistance Factor Design)


Metode ASD telah digunakan selama kurun waktu 100 tahun, dan dalam 30 tahun
terakhir telah bergeser ke perencanaan batas (LRFD) yang lebih rasional dan
berdasarkan konsep probabilitas.

Keadaan batas adalah kondisi struktur diambang batas kemampuan dalam


memenuhi fungsi-fungsinya. Keadaan batas dibagi dalam dua katagori yaitu
tahanan dan kemampuan layan. Keadaan batas tahanan (atau keamanan) adalah
perilaku struktur saat mencapai tahanan plastis, tekuk, leleh, fraktur, guling, dan
gelincir. Keadaan batas kemampuan layan berkaitan dengan kenyamanan
penggunaan bangunan, antara lain masalah lendutan, getaran, perpindahan
permanen, dan retak-retak. Kriteria penerimaan (acceptance criteria) harus
mencakup kedua keadaan batas tersebut.

Pengantar Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Konsep probabilitas dalam mengkaji keamanan struktur adalah metode keandalan
mean value first-order second-moment dimana pengaruh beban (Q) dan tahanan
(R) dianggap sebagai variabel acak yang saling tak bergantung, dengan frekuensi
distribusi tipikal sebagai berikut,

Frekuensi

pQ(q) pR(r)

Q R Tahanan (R)
Beban (Q)

Agar lebih sederhana maka akan dipelajari variabel R/Q atau ln(R/Q) dengan
ln(R/Q)<0 menunjukkan kegagalan seperti ditunjukkan oleh gambar berikut ini,

Frekuensi

n (R/Q)

Gagal

0 n ( R/Q )
n ( R/Q )

Besaran   n R Q  menjadi definisi kegagalan. Varibel  disebut indeks keandalan


(reliability index), dan bermanfaat untuk beberapa hal sebagai berikut:

1. Menunjukkan konsistensi perencanaan berbagai-bagai jenis komponen


struktur.
2. Dapat digunakan untuk menemukan metode baru dalam perencanaan
komponen struktur.
3. Dapat digunakan sebagai indikator dalam mengkalibrasi tingkat faktor
keamanan komponen struktur.

Secara umum, suatu struktur atau komponen struktur dikatakan aman bila
hubungan berikut ini terpenuhi,

Pengantar Sindur P. Mangkoesoebroto 3


 Rn  i Qi

dimana  adalah faktor tahanan,


Rn adalah tahanan nominal,
i adalah fakfor beban,
Qi adalah (pengaruh) beban,
Rn adalah tahanan rencana,
iQi adalah (pengaruh) beban terfaktor.

Kombinasi Pengaruh Beban

Kombinasi pengaruh beban ditentukan berikut ini,


1,4D
1,2D + 1,6L + 0,5 (La atau H)
1,2D + 1,6 (La atau H) + (L L atau 0,8 W)
1,2D + 1,3W + L L +0,5 (La atau H)
1,2D + 1,0E + L L
0,9D+ (1,3W atau 1,0E)

dimana D adalah pengaruh beban mati,


L adalah pengaruh beban hidup,
La adalah pengaruh beban hidup pada atap,
W adalah pengaruh angin,
E adalah pengaruh gempa,
H adalah pengaruh hujan.

Secara umum D, L, La, W, E, dan H masing-masing dapat berupa lentur, geser,


aksial, dan torsi. Tahanan setiap komponen struktur harus diperiksa terhadap
semua kombinasi pembebanan tersebut diatas.

Faktor Tahanan-LRFD

Faktor tahanan berikut ini digunakan dalam perencanaan menggunakan metode


LFRD.

Komponen struktur tarik:


t = 0,9 keadaan batas leleh
t = 0,75 keadaan batas fraktur

Komponen struktur tekan:


c = 0,85

Komponen struktur lentur:


b = 0,9 untuk lentur
v = 0,9 untuk geser

Pengantar Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Untuk las:  mengikuti diatas.

Alat pengencang (baut/keling):  = 0,75

Dengan faktor beban dan faktor tahanan yang telah ditentukan diatas maka dapat
dihitung indeks keandalan berikut,

  n (R/Q) = n  R 
 Q 

n R 
Q
  
VR2  VQ2

dimana  n (R/Q) ~ VR2 + VQ2

VR 
R
R
Q
VQ 
Q

R ,Q masing-masing adalah nilai-nilai rerata tahanan dan beban,


 R ,  Q adalah standar deviasi untuk tahanan dan beban.

Kombinasi Beban Indeks Keandalan, Peluang Kegagalan*, pf


 (‰)
D&L 3,0 untuk komponen struktur ~ 1,35
4,5 untuk hubungan ~ 0,0034
D&L&W 2,5 untuk komponen struktur ~ 6,2
D&L&E 1,75 untuk komponen struktur ~ 40

Hubungan/ nilai-nilai indeks keandalan ( ) versus peluang kegagalan (pf ) untuk


distribusi normal adalah sebagai berikut:

Indeks Keandalan, Peluang Kegagalan, pf


 (‰)
2,33 10
3,09 1
3,72 0,1
4,26 0,01

*
Seharusnya ini adalah kerentanan (fragility) dan bukan peluang kegagalan (probability of failure).
Pengantar Sindur P. Mangkoesoebroto 5
6.2.2 Kombinasi pembebanan

Berdasarkan beban-beban tersebut di atas maka struktur baja harus mampu


memikul semua kombinasi pembebanan terfaktor di bawah ini:

1,4D (6.2-1)
1,2D + 1,6 L + 0,5 (La atau H) (6.2-2)
1,2D + 1,6 (La atau H) + (γ L L atau 0,8 W) (6.2-3)
1,2D + 1,3 W + γ L L + 0,5 (La atau H) (6.2-4)
1,2D + 1,0 E + γ L L (6.2-5)
0,9D + (1,3 W atau 1,0E) (6.2-6)

Keterangan:

D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi


permanen, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap,
tangga, dan peralatan layan tetap;
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung,
termasuk kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti
angin, hujan, dan lain-lain;
La adalah beban hidup diatap yang ditimbulkan selama perawatan oleh
pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh
orang dan benda bergerak;
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air;
W adalah beban angin;
E adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 03-1726-1989,
atau penggantinya;
dengan,
γ L = 0,5 bila L< 5 kPa, dan γ L = 1 bila L ≥ 5 kPa.
Kekecualian: Faktor beban untuk L di dalam kombinasi
pembebanan pada Persamaan (6.2-3), (6.2-4), dan (6.2-5) harus
sama dengan 1,0 untuk garasi parkir, daerah yang digunakan untuk
pertemuan umum, dan semua daerah di mana beban hidup lebih
besar dari 5 kPa.

Pengantar Sindur P. Mangkoesoebroto 6


BAB II
MATERIAL
Baja yang biasa digunakan untuk keperluan struktur adalah dari jenis:
rendah ( 0,15%)

sedang (0,150,29%)  umum untuk


struktur bangunan (misalnya BJ 37)
 baja karbon (fy = 210250 MPa) medium (0,30  0,50%)

tinggi (0,60  1,70%)

Baja karbon memiliki titik peralihan leleh yang tegas; peningkatan kadar
karbon akan meningkatkan kuat leleh tapi mengurangi daktilitas dan
menyulitkan proses pengelasan.
 baja mutu tinggi (fy = 275  480 MPa)
 menunjukkan titik peralihan leleh yang tegas.
 didapat dengan menambahkan unsur aloi (chromium, nickel, vanadium,
dll) kedalam baja karbon untuk mendapatkan bentuk mikrostruktur yang
lebih halus.
 baja aloi (fy = 550  760 MPa)
 tidak menunjukkan titik peralihan leleh yang tegas.
 titik peralihan leleh ditentukan menggunakan metode tangens 2‰ atau
metode regangan 5‰.

Kuat tarik, fu
800
2‰ Baja aloi

700
Kuat leleh minimum
fy = 700 MPa
600 Baja mutu tinggi

500
Tegangan (MPa)

400
fy = 350 MPa

300 Baja karbon;


BJ 37
fy = 240 MPa
200

100

5‰ 5 10 15 20 25 30 35
Regangan (%)

Hubungan tegangan – regangan tipikal.

Material Sindur P. Mangkoesoebroto 1


Baja yang biasa digunakan untuk baut adalah baut mutu standar (fub=415 MPa)
atau baut mutu tinggi (fub=725825 MPa; fyb=550650 MPa).

Kawat las yang biasa digunakan dalam pengelasan struktur adalah E60xx (fyw=345
MPa; fuw=415 MPa) atau E70xx (fyw=415 MPa; fuw=500 MPa).

Diagram tegangan-regangan dalam daerah yang lebih rinci diperlihatkan pada


gambar dibawah ini.

800 5‰ regangan, fy = 700 MPa


2‰ tangens, fy= 700 MPa (c)

700
Tipikal untuk fy > 450 MPa

600
Tegangan (MPa)

500
2‰ tangens (b)

Tipikal untuk fy < 450 MPa


400

(a)
300
Est

200 Kuat leleh


Daerah elastis
Daerah plastis Penguatan regangan
100 hingga regangan kuat tarik

E
st
5 10 15 20 25
Regangan (‰)

Hubungan tegangan – regangan pada daerah lebih rinci.

Metode ASD menggunakan tegangan ijin yang lebih kecil daripada kuat leleh
baja. Metode LRFD menggunakan kuat leleh baja.

Seperti jenis baja lainnya, baja aloi juga memiliki daerah “plastis”. Namun, dalam
daerah “plastis” tersebut hubungan tegangan-regangan menunjukkan penguatan.
Karena baja tersebut tidak memiliki daerah “plastis” yang betul-betul datar maka
baja tersebut (fy > 450 MPa) tidak boleh digunakan dalam perencanaan plastis.

Tegangan Multiaksial

Teori keruntuhan Huber-von Mises-Hencky untuk kondisi tegangan triaksial


dinyatakan sebagai berikut:

2
Material Sindur P. Mangkoesoebroto
1
 e2 
2

 1   2 2   2   3 2   3   1 2  f y 2 
dimana e adalah tegangan efektif.

Untuk kondisi tegangan biaksial (3 = 0) atau pelat tipis [35%(1,2)]


persamaan tersebut menjadi,

 e 2   1 2   2 2   1 2  f y 2

 12  22  1 2
atau 2
 2
 2
1
fy fy fy

dengan ilustrasi gambar sebagai berikut:


2 = 1 2 = 1
 = 1
  2
1 1 1 1
fy
 
2 = 1 Data 2 = 1
+1,0
Keadaan tegangan
geser murni von Mises
0,58
0,5

-1,0 45o +1,0


1
fy
Tresca

2 = 1 -1,0

1 1

2 = 1
Keadaan tegangan
hidrostatis

Kriteria leleh energi distorsi untuk tegangan bidang.

Tegangan geser maksimum untuk keadaan biaksial dapat ditulis sebagai berikut
 max

2 1 1  2
 max 
 2

3
Material Sindur P. Mangkoesoebroto
untuk keadaan berikut ini berlaku

2 = |1| max

1 1 1

2 = -|1|
2 = |1|

1  1
dan  max   1
2
 e  3 12  3 2y  f y2

1
 y  f y  0 ,6 f y
3

Modulus geser dinyatakan sebagai berikut,


E
G
21   
dengan Poisson’s ratio  = 0,3 untuk daerah elastis =0,5 untuk daerah plastis
dan E = 200.000 MPa maka G  80.000 MPa.

Perilaku Baja pada Suhu Tinggi

Bila suhu mencapai 90 C, hubungan tegangan-regangan baja menjadi tidak lagi
proporsional dan peralihan kuat leleh menjadi tidak tegas. Modulus elastisitas, E,
kuat leleh, fy, dan kuat tarik, fu, tereduksi dengan sangat nyata. Reduksi tersebut
sangat besar pada rentang suhu 430 C ~ 540 C. Pada suhu sekitar 260 ~ 320 C,
baja memperlihatkan sifat rangkak.

Kurva 1: Rasio kuat leleh


Kurva 2: Rasio modulus elastisitas
Rasio kuat leleh atau modulus elastisitas

4
Material Sindur P. Mangkoesoebroto
Pengerjaan Dingin dan Penguatan Regangan
Pengerjaan dingin terhadap baja akan menghasilkan regangan permanen.
Terjadinya regangan permanen akan mengurangi daktilitas baja. Daktilitas baja, μ,
didefinisikan sebagai perbandingan antara regangan fraktur, εf , terhadap regangan
εf
leleh, εy, atau daktilitas μ = .
εy
Kuat tarik

Hubungan tegangan - regangan


Tegangan

elastis - plastis C Kuat fraktur E

Peningkatan kuat leleh


karena penguatan regangan
Kemiringan
elastis

B D F
0 Regangan
Daerah plastis Penguatan regangan
Daerah elastis

Regangan
permanen

Pengaruh peregangan diluar daerah elastis.

Strain Aging
Bila baja dibebani hingga mencapai daerah penguatan regangan dan kemudian
dibebas-bebankan untuk beberapa lama maka baja tersebut akan menunjukkan
hubungan tegangan-regangan yang sama sekali berbeda dari aslinya dan disebut
telah mengalami strain aging. Baja yang telah mengalami strain aging akan
memperlihatkan kuat leleh yang lebih tinggi, daerah tegangan konstan plastis yang
lebih tinggi, kuat tarik dan kuat fraktur yang lebih besar, namun daktilitasnya
lebih kecil.
Tegangan

Peningkatan tegangan E
Peningkatan kuat leleh akibat ‘strain aging’
karena penguatan
regangan C

D
Regangan
Daerah regangan setelah
penguatan regangan dan
‘strain aging’

Pengaruh ‘strain aging’ akibat peregangan hingga mencapai daerah


penguatan regangan dan bebas beban.

Material Sindur P. Mangkoesoebroto 5


Keruntuhan Getas

Meskipun umumnya keruntuhan baja bersifat daktail, namun dalam beberapa


kondisi baja dapat mengalami keruntuhan secara getas. Keruntuhan getas adalah
jenis keruntuhan yang terjadi tanpa didahului oleh deformasi plastis dan terjadi
dalam waktu yang sangat singkat. Keruntuhan getas dipengaruhi oleh suhu,
kecepatan pembebanan, tingkat tegangan, tebal pelat, dan geometri detailing.

Pada suhu normal, keruntuhan getas berpotensi untuk terjadi bila keadaan
tegangan cenderung bersifat multiaksial. Karena perubahan geometri yang tiba-
tiba sering menimbulkan keadaan tegangan multiaksial, konfigurasi dan
perubahan penampang harus dibuat sehalus mungkin untuk menghindari
terjadinya keruntuhan getas.

Hal-hal berikut ini perlu diperhatikan dalam mengantisipasi keruntuhan getas:


1. Temperatur rendah meningkatkan resiko keruntuhan getas
2. Keruntuhan getas terjadi karena tegangan tarik
3. Pelat baja tebal meningkatkan resiko
4. Geometri tiga dimensi meningkatkan resiko
5. Adanya cacat baja meningkatkan resiko
6. Kecepatan pembebanan yang tinggi meningkatkan resiko
7. Sambungan las menimbulkan resiko

Sobekan lamelar

Sobekan lamelar adalah jenis keruntuhan getas yang terjadi pada bidang gilas
akibat gaya tarik yang besar bekerja tegak lurus ketebalan elemen pelat profil.
Karena regangan yang diakibatkan oleh beban layan biasanya < εy maka beban
layan biasanya tidak perlu diperhatikan sebagai penyebab sobekan lamelar. Dalam
sambungan las yang terkekang, regangan akibat susut logam las dalam arah tegak
lurus ketebalan sering terjadi secara lokal dan lebih besar daripada εy. Hal ini yang
sering menyebabkan terjadinya sobekan lemelar.

Material Sindur P. Mangkoesoebroto 6


Buruk Baik
Sebagai akibat proses gilas baja panas, profil baja memiliki sifat yang berbeda-
beda dalam arah gilas, transversal, dan ketebalan. Pada daerah elastis, sifat-sifat
baja dalam arah gilas dan arah transversal hampir sama (tahanan dalam arah
transversal sedikit bebih kecil daripada tahanan dalam arah gilas). Namun,
daktilitas dalam arah ketebalan jauh lebih kecil daripada dalam arah gilas. Bila
proses pembebanan adalah demikian sehingga diperlukan redistribusi maka
daktilitas yang terbatas tidak dapat mengakomodasi redistribusi yang diperlukan;
bahkan yang terjadi dapat berupa sobekan lamelar.

Transversal

Arah gilas

Z = ketebalan

Material Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Keruntuhan Lelah

Tegangan tarik yang bersifat siklis dapat menyebabkan keruntuhan meskipun kuat
leleh baja tidak pernah tercapai. Gejala tersebut dinamakan keruntuhan lelah, dan
terjadi akibat tegangan tarik yang bersifat siklis. Keruntuhan atau keretakan yang
terjadi bersifat progresif hingga mencapai keadaan instabilitas.

Keruntuhan lelah dipengaruhi oleh beberapa faktor:


1. Jumlah siklus pembebanan
2. Taraf tegangan tarik yang terjadi (dibandingkan terhadap kuat leleh)
3. Ukuran cacat-cacat dalam material baja

Dalam hal keruntuhan lelah, taraf tegangan yang terjadi pada saat layan
merupakan pertimbangan utama, sedangkan mutu baja tidak memegang peranan
penting. Pengaruh beban mati juga tidak cukup sensitif. Namun, geometri
penampang dan kehalusan penyelesaian detailing memberikan pengaruh yang
dominan.

Material Sindur P. Mangkoesoebroto 8


BAB III
KOMPONEN STRUKTUR TARIK

Batang tarik dapat terbuat dari profil bulat ( • ), pelat ( ), siku ( ), dobel
siku ( ), siku bintang ( ), kanal tunggal/dobel ( , ), dan lain lain.

Tahanan nominal komponen struktur tarik dapat ditentukan oleh beberapa faktor,
yaitu (a) leleh penampang pada daerah yang jauh dari hubungan (las), (b) fraktur
pada penampang efektif neto pada lubang-lubang baut di hubungan, (c)
keruntuhan blok geser pada lubang-lubang baut di hubungan.

Untuk kasus (a) berlaku, tahanan tarik nominal

Nn = fy Ag …………………………………………….. (1)

yang mana fy adalah kuat leleh (MPa)


Ag adalah luas penampang bruto

σ < fy fy fy

T1 T1
T2 > T1 T2 > T1

ε < εy εy εy

fy

T3 > T2 T3 > T2

εy

Untuk kasus (b). Pada hubungan yang menggunakan baut maka senantiasa terjadi
konsentrasi tegangan disekitar lubang baut.

Pada kasus (b) yang mana leleh terjadi secara lokal menyebabkan terjadinya
fraktur pada luas penampang neto maka tahanan nominal,

Nn = fu Ae …………………………………………….. (2)

yang mana fu adalah kuat tarik


Ae adalah luas penampang efektif.

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 1


Perhatikan bahwa fu telah digunakan dalam Pers. (2) untuk daerah lokal
sedangkan fy digunakan pada Pers. (1) untuk daerah yang lebih panjang.
Sebetulnya fu juga dapat digunakan pada Pers. (1) namun hal ini akan
menyebabkan perpanjangan total yang cukup besar sehingga menimbulkan
redistribusi gaya yang berlebihan kepada komponen-komponen struktur lainnya.
Karena koefisien variasi dari fu lebih besar daripada koefisien variasi dari fy maka
faktor tahanan φ = φf (untuk fu) juga lebih kecil daripada faktor tahanan φ = φy
(untuk fy).

Luas neto
Lubang-lubang baut dapat dibuat dengan beberapa cara. Cara yang termurah dan
termudah adalah menggunakan metode punching dengan diameter lubang 1,5 mm
lebih besar daripada diameter alat pengencang (keling atau baut). Metode tersebut
akan mengurangi kekuatan daerah pinggiran lubang baut, sehingga dalam analisis
diameter lubang diambil sebagai diameter lubang + 1,5 mm atau diameter alat
pengencang + 3 mm.

Metode pelubangan kedua adalah dengan cara punching dengan diameter yang
lebih kecil daripada diameter rencana kemudian melakukan reaming hingga
mendapatkan diameter rencana. Metode tersebut memberikan ketelitian yang lebih
baik daripada cara sebelumya, namun lebih mahal.

Metode ketiga adalah dengan cara langsung membor lubangnya sebesar diameter
alat pengencang + 0,75 mm. Metode tersebut biasa digunakan pada pelat-pelat
yang tebal dan adalah cara yang termahal diantara ketiga cara tersebut di atas.

Luas neto penampang batang tarik yang relatif pendek (komponen penyambung)
tidak boleh diambil lebih besar daripada 85% luas brutonya, An≤0,85 Ag.

Contoh: φl = 10 mm (punching)

T T d = 75 mm

t = 6 mm

Ag = t . d = 6 * 75 = 450 mm2
An = [d – (φl + 1,5)] * t
= [75 – (10 + 1,5)] * 6 = 381 mm2 (~ 85% Ag)

Luas Neto Akibat Lubang Selang-seling


a

b diameter lubang = φl (punching)

T sg T
c
e

f d
sp

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Panjang neto a – d = (a – d) – 2 (φl + 1,5)
s 2p
Panjang neto a – b – e – f = (a – d) – 2 (φl + 1,5) +
4s g
Contoh:
a

T 100
e
T 400

100
f c

g d

30 30
φl = 17,5 mm (punching)

Garis a-b-c-d : 400 – 2 (17,5 + 1,5) = 362 mm


30 2
a-b-e-c-d : 400 – 3 (17,5 + 1,5) + 2 = 347,5 mm
4 *100
30 2
a-b-f-g : 400 – 3 (17,5 + 1,5) + 2 = 347,5 mm
4 * 100

menentukan (~ 86% Ag) OK

Untuk profil siku nilai sg = sg1 + sg2 – t

sg1

t
sg2

Contoh:

60.60.6

27

60

33

t
33 27 sp

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 3


sg1 = sg2 = 33 mm
sg = sg1 + sg2 – t = 33 + 33 – 6 = 60 mm
φl = 10 mm (punching)
Ag = 691 mm2
a 60

27
b

sg = 60

c e

27
d f

sp = 30

Panjang a-b-c-d : (60 + 54 ) – (φl + 1,5)


= 114 – (10 + 1,5) = 102,5 mm

30 2
Panjang a-b-e-f : (60 + 54 ) – 2 (φl + 1,5) +
4 * 60
30 2
= 114 – 2 * 11,5 + = 94,75 mm (~ 83% Ag)
4 * 60

Luas Neto Efektif

Luas neto yang diperoleh sebelumnya harus dikalikan dengan faktor efektifitas
penampang, U, akibat adanya eksentrisitas pada sambungan; demikian sehingga
didapat
Ae = U An

yang mana Ae adalah luas neto efektif


U adalah koefisien reduksi
An adalah luas neto penampang

Koefisien reduksi U untuk hubungan yang menggunakan baut atau keling


diperoleh dari persamaan berikut:

x
U = 1- ≤ 0,9
L

dimana x adalah jarak dari titik berat penampang yang tersambung secara
eksentris ke bidang pemindahan beban;
L adalah panjang sambungan dalam arah kerja beban

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 4


x

x = max ( x 1 , x 2 )
x
x2 c.g

x1
c.g dari penampang ½ I

Untuk hubungan dengan las.

1) Bila komponen struktur tarik dilas kepada pelat menggunakan las longitudinal
di kedua sisinya,
Ae = U Ag ⎯ l ≥ w

l ≥ 2w U = 1,0
1,5w ≤ l ≤ 2w U = 0,87
w
w ≤ l < 1,5w U = 0,75
l

2) Bila komponen struktur tarik dihubungkan menggunakan las transversal saja,

Ae = U Ag = Akontak

Akontak

3) Bila komponen struktur tarik dihubungkan kepada baja bukan pelat


menggunakan las longitudinal/transversal

Ae = U Ag = Ag
Contoh:

T/2

WF 300.300.10.15 T

T/2
50 50 L = 50 + 50 = 100 mm

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 5


300
⎛ 135 ⎞
15
x 300 * 15 * 7,5 + 135 * 10 * ⎜ + 15 ⎟
150
x = ⎝ 2 ⎠
300 * 15 + 135 * 10
10
Penampang ½ I
= 24,80 mm

24,80
U = 1– = 0,75
100

Ae = 0,75 An

Geser Blok

Suatu keruntuhan dimana mekanisme keruntuhannya merupakan kombinasi geser


dan tarik dan terjadi melewati lubang-lubang baut pada komponen struktur tarik
disebut keruntuhan geser blok. Keruntuhan jenis ini sering terjadi pada
sambungan dengan baut terhadap pelat badan yang tipis pada komponen struktur
tarik. Keruntuhan tersebut juga umum dijumpai pada sambungan pendek, yaitu
sambungan yang menggunakan dua baut atau kurang pada garis searah dengan
bekerjanya gaya.

geser
a b T
tarik

Pengujian menunjukkan bahwa keruntuhan geser blok dapat dihitung dengan


menjumlahkan tarik leleh (atau tarik fraktur) pada satu irisan dengan tahanan
geser fraktur (atau geser leleh) pada bidang lainnya yang saling tegak lurus.
Tahanan tarik blok geser nominal ditentukan oleh Pers. (a) atau (b) berikut ini,
dengan fraktur mendahului leleh atau rasio fraktur/leleh terbesar.
Tn = 0,6 fy Agv (leleh) + fu Ant (fraktur) ….………………………... (a)

Tn = 0,6 fu Anv (fraktur) + fy Agt (leleh) ...…………………………. (b)


geser tarik

Contoh:
Tn
φl = 23,5 mm (punching)
60 80 60 t = 6 mm
BJ 37: (fy = 240 MPa, fu = 370 MPa)
tarik
80
geser
1 2 1

60

200

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 6


Blok geser c:

½ Tn = 0,6 fy Agv + fu Ant = 0,6 * 240 * 6 * (80 + 60)


+ 370 * 6 * [60 – ½ (23,5 + 1,5)] = 120960 + 105450
= 22,6 ton

atau ½ Tn = 0,6 fu Anv + fy Agt = 0,6 * 370 * 6 [80 + 60 – 1½ (23,5 + 1,5)]


+ 240 * 6 * 60 = 136530 + 86400
= 22,3 ton √

Tnc = 44,6 ton

Blok geser d:

Tn = 0,6 fy Agv + fu Ant = 0,6 * 240 * 2 * 6 * (80 + 60)


+ 370 * 6 * [80 – (23,5 + 1,5)] = 241920 + 122100
= 36,4 ton

Tn = 0,6 fu Anv+fy Agt= 0,6 * 370 * 2 * 6 * [80 + 60 – 1½ (23,5 + 1,5)]


+ 240 * 6 * 80 = 273060 + 115200
= 38,8 ton √

Tnd = 38,8 ton (menentukan)

Jadi tahanan nominal akibat blok geser adalah Tn = 38,8 ton

leleh : 0,6 fy Agv


geser
fraktur : 0,6 fu Anv

leleh : fy Agt
tarik
fraktur : fu Ant

Kriteria Kelangsingan Komponen Struktur Tarik

Kelangsingan komponen struktur tarik, λ = L/r, dibatasi sebesar 240 untuk batang
tarik utama, dan 300 untuk batang tarik sekunder. Ketentuan tersebut tidak
berlaku untuk profil bulat.

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Penyaluran Gaya pada Sambungan

Anggapan dasar: Alat pengencang (baut atau keling) dengan ukuran yang sama
akan menyalurkan gaya yang sama besarnya bila diletakkan secara simetris
terhadap garis netral komponen struktur tarik.

Contoh:

60
1

2
80
40 3
300 Tn
40
80
2

1
60 t = 8 mm
φl = 23,5 mm (punching)
30 30
BJ 37: (fy = 240, fu = 370)

1
Satu alat pengencang menyalurkan Tn
10
Potongan 1-3-1:
Gaya yang bekerja pada potongan 1-3-1 sebesar 100% Tn
An = 8 [300 – 3 (23,5 + 1,5)] = 1800 mm2 (≈75% Ag)
Tn = Ae fu = U An fu
4
U = 1– = 0,96 ≤ 0,9 ⇒ U = 0,9
3 * 30
Tn = 0,9 * 1800 * 370 = 60 ton

Potongan 1-2-3-2-1:
Gaya yang bekerja pada potongan 1-2-3-2-1 sebesar 100% Tn
30 2
An = 8 [300 – 5(23,5 + 1,5) + * 4] = 1580 mm2 (≈66% Ag)
4 * 40
Tn = Ae fu = U An fu
= 0,9 * 1580 * 370 = 52,6 ton (menentukan)

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 8


Potongan 1-2-2-1:
Gaya yang bekerja pada potongan 1-2-2-1 sebesar 90% Tn

30 2
An = 8 [300 – 4(23,5 + 1,5) + * 2] = 1690 mm2 (≈70% Ag)
4 * 40
90% Tn = Ae fu = U An fu
= 0,9 * 1690 * 370 = 56,3 ton

Tn = 62,5 ton

Resume Komponen Struktur Tarik

φt Tn ≥ Tu

(1) Leleh pada penampang bruto,

φy Tn = 0,9 fy Ag

(2) Fraktur tarik pada penampang efektif,

φf Tn = 0,75 fu Ae

(3) Fraktur geser pada penampang neto,

φ Vn = 0,75 (0,6 fu) Anv

(4) Fraktur tarik pada penampang neto,

φ Tn = 0,75 fu Ant
Keruntuhan
(5) Kombinasi geser-tarik: blok geser

a) Bila fu Ant ≥ 0,6 fu Anv


φRbs = 0,75 (0,6 fy Agv + fu Ant)

b) Bila 0,6 fu Anv > fu Ant


φRbs = 0,75 (0,6 fu Anv + fy Agt)

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Contoh:

Bila D = 2/3 L, tentukan beban kerja yang dapat dipikul oleh komponen struktur
tarik berikut.

x L = 180
30
120.120.8
120 60 Tu(D,L)

30

30 30 30
x = 32,4 mm
2
Ag = 1876 mm

BJ 37: (fy = 240 MPa, fu = 370 MPa)


φl = 18 mm (punching)
φb = 16 mm

(a) Tahanan pada penampang bruto,

φy Tn = φy Ag fy = 0,9 * 1876 * 240 = 40 ton

(b) Tahanan pada penampang neto,

An1 = 1876 – (φl + 1,5) * 8


= 1876 – (18 + 1,5) * 8 = 1720 mm2 (91% Ag)

30 2
An2 = 1876 – 2 (φl + 1,5) * 8 + *8
4 * 60

30 2
= 1876 – 2 (18 + 1,5) * 8 + *8
4 * 60

= 1594 mm2 (85% Ag)

∴ An = 1594 mm2

x
U = 1– ≤ 0,9
L
32,4
= 1– = 0,82
180

Ae = U An = 0,82 * 1594 = 1307 mm2

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 10


φf Tn = φf Ae fu = 0,75 * 1307 * 370 = 36,3 ton (menentukan)
Jadi nilai tahanan rencana, Td = 36,3 ton

Td ≥ Tu = 1,2 D + 1,6 L
= 1,2 * 2
3 L + 1,6 L = 2,4 L
Td
L ≤ = 15 ton
2,4
2 2
D ≤ L = *15 = 10 ton
3 3

D + L = 10 + 15 = 25 ton

Bila digunakan beberapa baut berukuran besar, atau bila tebal pelat sayap
profil cukup tipis, maka perlu ditinjau kemungkinan keruntuhan blok geser.

Contoh:
Tentukan tahanan rencana komponen struktur tarik berikut ini.

x 30 50 50 50

30 geser
70.70.6
70 Tu
tarik
40

X = 19,3 mm
2
Ag = 813 mm

BJ 37: (fy = 240 MPa, fu = 370 MPa)


φl = 18 mm (punching)
φb = 16 mm

(a) Tahanan pada penampang bruto,

φy Tn = φy Ag fy = 0,9 * 813 * 240 = 17,6 ton

(b) Tahanan pada penampang neto,

An = 813 – (φl + 1,5) * 6


= 813 – (18 + 1,5) * 6 = 696 mm2 (86% Ag)

x
U = 1– ≤ 0,9
L

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 11


19,3
= 1– = 0,89
50 * 3

φf Tn = φf U An fu = 0,75 * 0,89 * (0,85*813) * 370


= 17 ton

(c) Tahanan blok geser,

0,6 fu Anv = 0,6 * 370 * [180 – 3½ * (φl + 1,5)] * 6


Anv/t = 111,75
= 14,9 ton

fu Ant = 370 * [40 – ½ * (φl + 1,5)] * 6 = 6,72 ton


Ant/t = 30,25

Karena 0,6 fu Anv > fu Ant maka

φf Rbs = 0,75 (0,6 fu Anv + fy Agt)


= 0,75 (0,6 * 370 * 111,75 + 240 * 40) * 6
= 15,5 ton (menentukan)

Jadi nilai tahanan rencana komponen tarik adalah 15,5 ton (akibat blok geser).

Komponen Struktur Tarik Sindur P. Mangkoesoebroto 12


PENGANTAR ANALISIS KEANDALAN

Analisis keandalan berikut ini didasarkan pada mean value first order second
moment (MVFOSM). Pada dasarnya metode ini tidak terlalu teliti namun dapat
dianggap memadai untuk digunakan sebagai pengantar pada analisis yang lebih
canggih misalnya FORM (first order reliability method) dan SORM (second order
reliability method).

Contoh:
D F H
B J

A I
C E G

Akibat beban-beban hidup dan mati yang ditetapkan berdasarkan peraturan


muatan diketahui gaya-gaya tarik yang bekerja pada batang CE adalah TD = 9,75
* 104 N dan TL = 14,6 * 104 N. Batang CE terbuat dari   70.70.6 (A = 2 * 812,7
mm2) dengan kuat leleh fy = 240 MPa.
Tentukan indeks keandalan (), peluang kegagalan (pf), faktor-faktor beban (D,
L), faktor tahanan (), dan faktor keamanan tunggal (SF), batang CE tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas perlu pengetahuan mengenai


distribusi dari R, D, L. Dalam bahasan selanjutnya akan ditinjau bila R, D, L
adalah normal dan lognormal.

R, D, L Normal dan Tak-bergantung


Formulasinya adalah sebagai berikut:
g(R,S) = R – S

dimana g(R,S) adalah fungsi kinerja


S = D + L adalah (pengaruh) beban luar
R adalah tahanan tarik batang CE
D adalah gaya tarik akibat beban mati
L adalah gaya tarik akibat beban hidup.

Karena R, D, L adalah normal maka g(R,S) juga normal seperti ditunjukan


gambar berikut.
  2R  S2
 adl FK (LRFD)

R, normal
S, normal

S Sn Rn R
R, S
S R
FK (ASD)

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 1


fG (g)

g = R – S (normal)

G

gagal

g=R–S
0
G

Pada gambar diatas,  adalah nilai rerata dan  adalah deviasi standar. Dari kedua
besaran tersebut didefinisikan koefisien variasi (V) adalah deviasi standar dibagi
nilai rerata, dan indeks keandalan () adalah invers dari koefisien variasi, atau

Koefisien variasi, V  , dan


Indeks keandalan,   V -1 

Nilai rerata dan deviasi standar dari g (R, S) dapat diperoleh berikut ini (R, S
adalah dua varibel acak yang tak-bergantung),
G   R - S
2 2 2
 G   R  S

Sehingga indeks keandalan () menjadi


  R - S
 G  .................................................. (1)
G 2
 
2
R S

dan peluang kegagalan (pf) adalah


0
p f   f G g  dg
-

 0 - G   -  - G 
    -   
 G   G 
 -   
 R S 
-0
 2 2 
  R   S 

p f  1 -  

dimana  adalah fungsi peluang kumulatif normal standar.

Persamaan (1) dapat ditulis kembali sebagai


2 2
 R   S    R  S

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 2


2 2
 R  S
 S    R   S 
 R  S
atau
 R 1 -  VR    S    S ........................................... (2)
dimana
 2R   S2

 R  S

VR  R
R

Karena  S   2D   2L dan  S   D   L maka Persamaan (2) menjadi

 R 1 -  VR    D   L     D   L 
 1    VD   D  1    VL   L
yang mana
 2D   2L
 
D  L
atau
  R - S    -  2D   2L 
1 - VR   R  1  R S VD   D
  R  S    R  S  D   L 
 
 2
 R - S  D   L
2 

+ 1 VL   L ....................... (3)
  R  S  D   L 
 
Jadi
 -
  1 - R S VR
 R  S
2 2
 R - S  D   L
D 1 VD
 R  S  D   L
2 2
 R - S D  L
L 1 VL
 R  S  D   L

dimana  adalah faktor tahanan tengah


 D adalah faktor keamanan tengah untuk D
 L adalah faktor keamanan tengah untuk L

Faktor bias () didefinisikan sebagai berikut:


R
R  n
R

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 3


Dn
D 
D
L
L  n
L

maka Persamaan (3) menjadi,

  R - S   2
 R - S D  L
2 
1- VR   1 VD 
  R  S R   R  S  D   L 
  n   Dn
R   D 
 
   
 
 2 2 
 1   R - S  D   L V 
L
  R  S  D   L 
+  Ln
  L 
 
 

dan faktor keamanan nominal menjadi:


 
R
D  D
D
L  L
L

dan angka kemanan tunggal (SF) adalah:


Rn
SF 
Dn  Ln

Persamaan (3) dapat ditulis sebagai berikut:

1   VR  R 
1    VD  D 
1    VL  L
n n n
R D L

dimana  ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dan sebagai nilai awal  = 0,75 dan
 = 0,85; dan prosesnya dilakukan secara iterasi.

Untuk contoh diatas diberikan


TD = Dn = 9,75 * 104 N
TL = Ln = 14,6 * 104 N
Rn = 240 * 2 * 812,7 = 39 * 104 N

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Anggap
R = 0,952 VR = 0,11
D = 1,05 VD = 0,1
L = 1,00 VL = 0,3

R n 39 *10 4
R    40,97 * 10 4 N
R 0,952
D n TD 9,75 * 10 4
D     9,28 * 10 4 N
D D 1,05
L n 14,6 * 10 4
L    14,6 *10 4 N
L 1

R = R . VR = 40,97 * 104 * 0,11 = 4,51 * 104 N


D = 0,928 * 104 N
L = 4,38 * 104 N

S = D + L = 23,9 * 104 N

 S   2D   2L  0,928 * 10 4   4,38 *10 
2 4 2

= 4,5 * 104 N
 4,5 * 10 4
VS  S   0,19
 S 23,9 *10 4

R - S = 17,07 * 104 N
R + S = 9,01 * 104 N
D + L = 5,31 * 104 N
 2D   2L  4,48 * 10 4 N
 2R   S2  6,37 *10 4 N

Indeks keandalan (),


 - 17,07 * 10 4
 R S   2,68
 2R   S2 6,37 * 10 4

Peluang kegagalan, pf = 1 - () = 1 - (2,68)


= 3,68 ‰

Angka keamanan tengah,


 - 17,07 * 10 4
  1 - R S VR  1 - 0,11  0,79
 R  S 9,01 *10 4
 R - S  2D   2L 17,07 *10 4 4,48 * 10 4
D 1 VD  1  0,1  1,16
 R  S D  L 9,01 * 10 4 5,31 * 10 4

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 5


 -  2D   2L 17,07 *10 4 4,48 * 10 4
L 1 R S VL  1  0,3  1,48
 R  S D  L 9,01 * 10 4 5,31 *10 4

Angka keamanan nominal,


0,79
    0,83
 R 0,952
1,16
D  D   1,10
 D 1,05
1,48
L  L   1,48
L 1

Jadi Rn = D . TD + L . TL

0,83 Rn = 1,10 TD + 1,48 TL

atau 0,9 Rn = 1,20 TD + 1,60 TL

Angka keamanan tunggal (SF),


Rn 39 *10 4
SF    1,60
TD  TL 9,75 *10 4  14,6 * 10 4

R, D, L Lognormal dan Tak-bergantung


Suatu variabel acak X terdistribusi lognormal bila Y  n X terdistribusi normal,
jadi:

f Y y 

- < y < 

Y  mY y = n x


 Y adalah mean value,  Y   y f Y y  dy
-

 1
m Y adalah median, m Y   y FY y   
 2
y
dimana : FY y    f Y  d
-

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 6


f X x 

Y  n X , 0  x  

normal

x
mean ,  X
median , m X
mod e

Median:

1
 F Y  m Y   F X  m X   F Y  n m X 
2
maka m Y   Y  n m X
dan μ Y  n μ X

Fungsi kerapatan normal adalah:


2
1  1  y-  
f Y y   exp -  Y
 
Y 2  2   Y  

dy 1 1  1  y -  2 
f X x   f Y y   exp -  Y
 
dx x  Y 2  2   Y  
 1  1 2
1 x  
 
exp -  n  
x σ Y 2π  2  σY m X  
 
Momen ke-r:

 
E X r   x r f X x dx
0

 1 2
 x r-1  1 x  
 exp -  n   dx
0 σ Y 2π  2  σY m X  
 
gunakan
1 x
p  n x  p
σY mX
x
e pY  x 0 p-
mX
x  m X e pY  dx  m X  Y e p Y dp
diperoleh:
  1 2 
m rX  - p  rp  Y 
 
E Xr   e 2 
dp
2 -

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Catatan:

 b2
 exp - a 
2
x 2  bx dx  exp 2 , a  0
 a 4a
untuk
1 1
a2   a
2 2
b  r Y

 1 2  1 2 2
 exp  - 2 x   Y rx  dx  exp  2  Y r  2
    
sehingga
 
E X r  m rX exp  12 r 2  2Y 
untuk
r  1  EX    X  m X exp  12  2Y 
 
r  2  E X 2  m 2X exp 2 2Y 
2
 
  E X  m
X
2 2
X
2
X exp 2  - m
2
Y
2
X e
2
Y

2
 2

 m 2X e  Y e Y  1   2X e  Y  1  2

 12  2Y
mX  X e  2
2  2
X
2
Y
  X  m X 1  VX
VX  2  e  1 
X
atau
σ 2Y  n VX2  1  
1 2
μ Y  n m X  n μ X - σY
2

Catatan:  
n 1  x 2 ~ x 2 untuk x  0,3
sehingga bila VX  0,3 maka

 2Y ~ VX2 atau  Y ~ VX
dan
μ Y ~ n μ X

Bila R adalah tahanan dan S = D + L adalah beban maka bila R, S lognormal dan
tak-bergantung maka
R
g R, S   lognormal
S
n g  n R - n S  normal

 n g   n R -  n S
 2n g   2n R   2n S

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 8


Untuk lognormal
μ n R   n μ R - 1
2
σ 2n R

σ 2n R  n 1  VR2 
Sehingga
μ n g   n μ R - 1
2
σ 2n R - n μ S  1
2
σ 2n S
μ 
 n R   1
2
n 1  V  - n 1  V 
2
S
2
R
 μS 
μ   1  VS2 
 n R   1
n  
2 1  V2 
 μS   R 

 μ  1  VS2
 n R  2
 μ S  1  VR
dan
σ 2n g  σ 2n R  σ 2n S  n 1  VR2  n 1  VS2    

 n 1  VR2 1  VS2  
σ n g  
n 1  VR2 1  VS2  
sehingga
μ  1  VS2
n  R 
μ n g  μS  1  VR2
β   ............................. (4a)
σ n g n 1   VR2  1   VS2

Untuk VR, VS  0,3 berlaku


μ 
n  R 
β~  μS  ............................................................... (4b)
VR2  VS2

Persamaan (4a) dapat ditulis sebagai berikut


1  VR2
μ R  μS
1  VS2 

exp β n 1  VR2 1  VS2 

 
atau
exp  χβ n 1  VR2 
  μ  μ
 
exp χβ n 1  VS2 
 
 
R S

1  VR2 1  VS2  


exp χβκ n 1  VD2 

 exp χβκ n 1  VL2 
 
 
 μD  μL ..... (5)

1  VD2  1  VL2  

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 9


dimana

χ

n 1  VR2 1  VS2  

n 1  VR2   
n 1  VS2 
dan nilai  diperoleh dari persamaan berikut



expχβ n 1  VS2 
  μ

expχβκ n 1  VD2 
   μ

expχβκ n 1  VL2 
 
  
μS D L
2 2 2
1  VS 1  VD 1  VL

Untuk keperluan perencanaan Persamaan (5) dapat ditulis



exp χβ n 1  VR2 


expχβκ n 1  VD2 
 

exp χβκ n 1  VL2 
 
  
Rn  Dn  Ln
λ R 1  VR2 λ D 1  VD2 λ L 1  VL2

Sehingga angka keamanan tengah menjadi,

exp  χβ n 1  VR2 
 
 

1  VR2

expχβκ n 1  VD2 
 
 
γD 
1  VD2


exp χβκ n 1  VL2 
 

γL 
1  VL2

dan angka keamanan nominal adalah



R

D  D
D

L  L
L

dan angka keamanan tunggal


Rn
SF 
Dn  Ln

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 10


Kembali pada contoh sebelumnya dapat dihitung
  2,54 atau p f ~ 5,54 0 00
  0,73
  0,85

 = 0,81  = 0,85 SF = 1,60


 D = 1,17 D = 1,11
 L = 1,53 L = 1,53

atau 0,85 Rn = 1,11 Dn + 1,53 Ln

atau 0,9 Rn = 1,17 Dn + 1,61 Ln

Terlihat bahwa kedua jawaban tersebut tidak memberikan hasil yang identik untuk
satu persoalan yang sama. Hal ini karena digunakan fungsi distribusi yang
berbeda dan metode pendekatan mean value first order second moment
(MVFOSM). Bila digunakan metode yang lebih canggih seperti first order
reliability method (FORM) maka akan didapat hasil yang sama untuk persoalan
yang sama seperti contoh tersebut diatas. Penggunaan FORM memungkinkan
peninjauan terhadap semua variabel acak dengan fungsi distribusi yang berbeda
(normal, lognormal, Type I, Type II, dan seterusnya) dan fungsi kinerja g (R, S)
yang sedikit nonlinier.

Inkonsistensi pada Metode Faktor Keamanan Tunggal


Pada metode faktor keamanan tunggal berlaku
 
SF  D  L
 
sehingga akan timbul D dan L yang nilainya berbeda dengan peluang kegagalan
yang berbeda pula terhadap beban hidup dan mati.

Pada contoh sebelumnya (lognormal)


D = 4,0  pf ~ 0,03 ‰
L = 2,1  pf ~ 18 ‰

Jadi peluang kegagalan akibat beban hidup (18 ‰) jauh lebih besar daripada
peluang kegagalan akibat beban mati(0,03 ‰).

Pada perencanaan LRFD untuk batang tarik digunakan (leleh lapangan)


0,9 Rn = 1,2 Dn + 1,6 Ln
Rn L
atau  1,33  1,78 n ........................................................ (6)
Dn Dn

Karena dalam metode ASD, Rn = SF (Dn + Ln)


Rn
atau  SF 1  L n  ........................................................... (7)
Dn  D n 

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 11


maka dari Persamaan (6) & (7) dapat diperoleh
L
1,33  1,78 n
Dn
SF  ........................................................ (8)
1 L n
Dn

Kurva Persamaan (8) adalah sebagai berikut:

Factor of Safety vs Ln / Dn
for Tension Member
1.65

1.625

SF 1.6

1.575

1.55

1 1.25 1.5 1.75 2

Ln / Dn

Pada contoh sebelumnya telah dihitung SF = 1,60 maka L n D n = 1,5. Untuk


L n D n < 1,5 metode ASD dapat memberikan hasil yang sama dengan metode
LRFD bila SF diambil < 1,6. Bila digunakan SF = 1,6 untuk L n D n < 1,5 maka
metode ASD akan memberikan hasil yang lebih berat dengan indeks keandalan
yang lebih tinggi. Sebaliknya bila digunakan SF = 1,6 untuk L n D n > 1,5 maka
metode ASD akan memberikan hasil yang lebih ringan dengan indeks keandalan
yang lebih rendah. Hasil yang diberikan oleh metode LRFD adalah demikian
sehingga memberikan nilai indeks keandalan yang konstan.

Ln
Pada struktur baja, umumnya 1   2 , sedangkan pada struktur beton,
Dn
Ln
umumnya 0,5   1,5 .
Dn

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 12


Biaya Struktur

Biaya struktur terdiri dari biaya awal/investasi dan biaya (resiko) kegagalan.
Biaya investasi tergantung kepada nilai  yang dipilih; makin besar nilai  maka
makin besar biaya investasinya, dan sebaliknya, makin kecil  maka makin kecil
biaya investasi. Sebaliknya biaya (resiko) kegagalan meliputi biaya kerugian
akibat korban jiwa dan harta, biaya oportuniti, biaya sosial, biaya lingkungan,
serta biaya rekonstruksi dan rehabilitasi. Kedua biaya tersebut menjumlah menjadi
biaya struktur menurut persamaan berikut ini.

Ct = Ci() + Pf() Cf

C t C i ( )
atau   Pf ( )
Cf Cf

dimana Ct adalah biaya struktur/ total,


Ci adalah biaya investasi,
Cf adalah biaya (resiko) kegagalan,
Pf adalah peluang kegagalan.

Biaya investasi dapat didekati dengan persamaan

Ci() = a (1 + b  )

sedang Pf () = c exp (-  /d), sehingga biaya struktur menjadi,

Ct = a (1 + b  ) + Cf c exp (-  /d)

C t a1  b 
atau   c exp(- / d)
Cf Cf

dimana konstanta a, b, c, dan d ditentukan menurut keadaan lapangan dan diskusi


sebelumnya.

Sebagai contoh adalah suatu struktur bangunan yang dikonstruksi dengan biaya
investasi Ci= Rp. 7,5 M, dan dengan a= Rp. 5 M, b= 0,25. Sedangkan parameter
peluang keruntuhannya adalah c= 3,1 dan d= 0,4. Perhitungan simulasi
memberikan biaya keruntuhan sebesar Cf= Rp. 25 M. Untuk kasus tersebut kurva
Ct/Cf adalah sebagai berikut:

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 13


Cost Ratio vs Reliability Index
0.70

0.60
Total Cost Ratio
0.50

0.40
Ct/Cf

0.30

0.20

0.10
Failure Cost Ratio Investment Cost Ratio
0.00
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0


Nilai (Ct/Cf)min= 0,32 dan terjadi pada indeks keandalan target T= 2,0 dengan
peluang kegagalan sebesar 2%. Sehingga biaya total adalah Ct= 0,32 x Cf= 0,32 x
Rp. 25 M= Rp. 8 M atau Rp. 0,5 M lebih tinggi daripada biaya investasinya.

Suatu peraturan yang optimum adalah peraturan yang menghasilkan nilai indeks
keandalan, , sama dengan T. Perhatikan juga bahwa, secara umum, untuk >T
kurva Ct/Cf adalah linier sedangkan untuk <T kurva Ct/Cf adalah exponensial.
Hal ini menunjukan bahwa cost penalty untuk  yang terlalu kecil lebih berat
daripada untuk  yang terlalu besar.

Level dalam Metode Perencanaan Struktur

Metode perencanaan dapat dilakukan dengan beberapa taraf ditinjau dari sudut
sofistikasinya sebagai berikut:

Level 1: Adalah metode perencanaan menggunakan cara deterministik. Dalam


cara ini termasuk metode perencanaan menggunakan angka keamanan
tunggal (ASD) atau angka keamanan parsial (LRFD). Metode LRFD
diturunkan menggunakan konsep perencanaan Level 2.

Level 2: Metode perencanaan dengan kriteria kedekatan indeks keandalan


perencanaan terhadap suatu indeks keandalan target atau parameter
keamanan lainnya.

Level 3: Metode perencanaan menggunakan analisis keandalan secara penuh


untuk mendapatkan peluang keruntuhan struktur akibat berbagai-bagai
kombinasi pembebanan. Kriteria perencanaan didasarkan pada kedekatan
indeks keandalan aktual terhadap indeks keandalan optimum.

Level 4: Metode perencanaan dimana biaya total menjadi kriteria optimasi.


Metode ini memaksimumkan fungsi kinerja yang membedakan
keuntungan dan biaya sehubungan dengan perencanaan struktur tertentu.

Pengantar Analisis Keandalan Sindur P. Mangkoesoebroto 14


Dari: Probability and Statistical Methods in Engineering Design, Haldar, A.
and Mahadevan, S., Wiley & Sons, 2000.
BAB IV
KOMPONEN STRUKTUR TEKAN

Analisis tekuk elastis dilakukan sebagai berikut:

L
P P
u(x)

M(x) M(x)

M(x) = P u(x) u(x)

d2u M(x) P u(x)


2
 -  -
dx EI EI

d 2 u (x ) P
 2
 u(x)  0
dx EI

P
dan solusinya adalah u(x) =  sin kx +  cos kx, dimana k2 =
EI

saat x = 0  u(x = 0) = 0 =  . 0 +  . 1   = 0
x = L  u(x = L) = 0 =  sin kL

solusi exist bila   0  sin kL = 0


atau kL = n , n = 1, 2, …..

n 2 2 n 2 2
sehingga k2 = dan P = EI, n = 1, 2, ……..
L2 L2

nilai n ditetapkan demikian sehingga P memberikan tingkat energi yang


minimum.

Energi regangan adalah


2
L  M (x ) P2 
U = 0    dx

 2 EI 2 EA 
dimana M(x) = P u(x) = P sin nx/L
M2(x) = P2 2 sin2 nx/L

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 1


L P 2  2 sin 2 nx/L L P2
Energi, U = 0 dx  0 dx
2EI 2EA

P2 2 L 1 P2L P2L  2 
=     1
4EI 2 EA 2EA  2r 2 
 

yang mana r2 = I/A dengan r adalah jari-jari girasi.

Gaya P > 0 yang memberikan energi terkecil (minimum) adalah bila n = 1 dan
 2 EI
Pcr = . Gaya P tersebut dinamakan gaya tekuk Euler, dan energi pada saat
L2
menjelang tekuk (  0) adalah

 4 1 EI
Ucr =
2 2 L

yang mana   L adalah faktor kelangsingan.


r

 2 EI  2 EA
Gaya tekuk Euler, Pcr =  hanya berlaku bila pada setiap titik
L2 2
2 EPcr
pada penampang kolom nilai  cr  
lebih kecil daripada fy. Hal
A 2
ini hanya dapat terjadi bila nilai  cukup besar ( > 128). Untuk nilai  yang
cukup kecil ( < 128) maka yang terjadi adalah tekuk in-elastis atau bahkan leleh
pada seluruh titik pada suatu penampangnya (  20). Pada banyak kasus, yang
terjadi adalah tekuk in-elastis.

Pengaruh Tegangan Sisa

Tegangan sisa pada penampang gilas panas sangat berpengaruh dalam


menentukan tahanan tekuk kolom, sedangkan faktor-faktor lainnya seperti
kelengkungan dan eksentrisitas awal tidak terlalu berpengaruh. Pengukuran
tegangan sisa pada flens profil gilas panas dapat mencapai 140 MPa.

Besar tegangan sisa tidak tergantung pada kuat leleh material, namun bergantung
pada dimensi dan konfigurasi penampang, karena faktor-faktor tersebut
mempengaruhi kecepatan pendinginan.

Modulus elastisitas baja dengan memperhatikan tegangan sisa ditunjukkan secara


skematis sebagai berikut:

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 2


P/A
Py /A
leleh ( < 20)
Akibat teg. sisa &
pengaruh geometri in-elastis (20 < < 128)
Pp /A

elastis ( > 128)

 0 E E’

Daerah leleh (penguatan regangan): cr = fy

fy
2 E '
in-elastis:  cr  2

fy

fy /2 2 E
elastis: 
cr 
2
fy
<fy

 (fy = 240)
0 20 90 128

Pada daerah in-elastis dilakukan formulasi pendekatan sebagai berikut:

y 1

1/

x
d 2u 1 M(x)  du 
2
  -   0,2 
dx  E' I  dx 
x

y
u,y 
M(x) =  y  dA   y - E t dA  -  y
1
E t dA
Lihat catatan
1 M(x)
=   E t y 2 dA    E t y 2 dA
 E' I

1
 E'   E t y 2 dA
I

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 3


Catatan:
1. Penyerdahanaan dari hubungan tersebut telah menimbulkan ketidaktelitian
dalam hasilnya, namun, dalam konteks praktis hal tersebut dapat diterima.
2. Dalam bahasan diatas Et adalah point-to-point tangent modulus dan E’ adalah
sectional modulus of elasticity.

Untuk material elasto-plastis berlaku berikut

E (A)  y, elastis


Et (A) =
0 (A) > y, plastis

(A) > y, (plastis) →Et=0

(A)  y, (elastis) →Et=E

E 2 Ie
 E'   y dA  E
I elastis I

 2 E' 2 E  Ie 
  cr      fy  daerah in  elastis
2 2  I 

Ie fy
lim  cr  f y   2 2 saat   0
 0 I  E

Bila Ie = I dan cr = fy berlaku


2 E 2 E
cr = = fy  y 
2y fy

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Contoh:
Sumbu tekuk (lemah)

diabaikan

b/4 b/4
b/2

– – fy /2

fy /2 +

Namakan f  P . Saat bekerja 0 < f (= P/A) < fy/2


A

fy/2 – – + – – – f = fy/2 = P/A


+ fy/2

– – fy
=

2 E P fy 2 E
cr =    1  2
21 A 2 fy

Saat bekerja: ½ fy < f (= P/A) < (½ + ½) fy

Ie 1
12
t f ( b / 2) 3 1
 3

I 1 8
12
tf b

fy  2 E I e /I 1 2 E
cr =   2 
2 22 2 fy

 2 E I e /I 1 2 E
cr = fy =  3 
23 2 2 fy

 fy
Namakan  c  , untuk E = 200 GPa dan fy = 240 MPa,
 E

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 5


1 = 128, c1 = 1,4  cr = fy /2
2 = 45, c2 = 0,5  cr = fy /2
3 = 32, c3 = 0,35  cr = fy
y = 91, cy = 1

fy

Reduksi akibat
tegangan sisa

fy /2 fy/c2

0 3 = 32 2 = 45 y = 91 1 = 128

0 0,35 0,5 1 1,4


c

Contoh: sumbu tekuk (lemah)

web diabaikan

fy /2 – – fy /2
+
fy /2
b/4 b/4 b/4 b/4

Saat bekerja: 0 < f (= P/A) < fy /2:


fy

fy /2

– –

2 E fy 2 E
cr =   1  2
21 2 fy

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 6


Saat bekerja: fy /2 < f (= P/A) < (½ + ½) fy

elastis
x0
Ie = ? , f = P/A
x0 = (1 - f /fy) b
fy
Ie 1
t f (2 x 0 ) 3
 12
3
 8 (1 - f f y ) 3
I 1
12
tf b

2 E Ie
cr =  f dimana fy /2 < f (= P/A) < fy
22 I
2 E Ie 2 E
22   8 (1 - f/f y ) 3
f I fy f / fy
3
 2 E 8 (1 - f/f y )

fy f / fy

2 E 8 (1 - f/f y ) 3
atau 2  dimana ½ < f /fy < 1
fy f/f y

 fy
Bila  c  maka  c1  2 dan
 E
8 (1 - f/f y ) 3
 c2 
f / fy
f
fy

1
Reduksi akibat
tegangan sisa

0,5

1
c
2

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 7


(0.9,1) (1,1)
 cr 1

fy  AISC

SNI (1.4,0.5)

(1.2,0.56) AISC 1
2c
Leleh In-elastik
Elastik
1,6  0,67  c
1,43 SNI 1 1
1,25 2c

 fy
c 
 E
Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 8
Tahanan Tekan Nominal

Persamaan tegangan kritis untuk daerah elastis dapat ditulis sebagai berikut:

2
 cr  2 E  y 1
 2  2  2
fy  fy  c
2E 
dimana  y  ; c 
fy y

Untuk penampang dengan elemen-elemen yang memiliki perbandingan lebar


terhadap tebal lebih kecil daripada  r pada Tabel 7.5-1 berlaku

Nn = Ag cr
di mana cr = fy /
 cr 1
Nn  Ag f y  Ag f y
fy 
Untuk c  0,25  =1 (leleh)
1,43
0,25 < c < 1,2  = (tekuk in-elastis)
1,6  0,67  c
c  1,2   = 1,25 2c (tekuk elastis)

yang mana c = fy / E

Nilai  di tetapkan dengan memperhatikan tegangan sisa dan eksentrisitas tak


terduga yang merupakan faktor-faktor penting dalam masalah tekuk kolom namun
faktor-faktor tersebut tidak dapat di kuantifikasi secara teliti.

Tahanan tekan rencana adalah


Nd = c Nn  Nu
dengan c = 0,85 adalah faktor tahanan tekan, dan Nu adalah gaya tekan
terfaktor.

Komponen Struktur Tekan Tersusun


Komponen struktur tersusun dari dua profil siku sama kaki di mana  y   x di
analisis sebagai berikut:
y


a
x x
 
r
y 
h

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Untuk pelat kopel yang di baut kencang tangan
2m  20  2
dimana 0 adalah kelangsingan seluruh batang tersusun yang di anggap
sebagai satu kesatuan, terhadap sumbu –y,
 adalah kelangsingan terbesar batang tunggal,
a adalah jarak antar pelat kopel,
r adalah jari-jari girasi minimum profil tunggal.

Untuk pelat kopel yang dilas atau di baut kencang penuh

2
2m  20  0,82 2
21y
1 

dimana m adalah kelangsingan profil tersusun terhadap sumbu –y,


a
1y = , adalah kelangsingan batang tunggal sepanjang a
r1y
terhadap sumbu yang melalui titik berat profil tunggal
dan sejajar sumbu-y,

r1y adalah jari-jari girasi batang tungal terhadap sumbu yang melalui
titik berat profil tunggal dan sejajar sumbu –y,

2
h/2  ry 
      1 adalah perbandingan separasi
r1y  r1y 
 

h adalah jarak antara titik berat masing-masing profil tunggal.

Catatan: Secara umum harus dipenuhi,    0,75  x .

Panjang Tekuk

Dalam perhitungan kelangsingan,  = Lk/r , harus digunakan panjang tekuk, Lk,


yang sesuai dengan kondisi ujung-ujung batang tekan. Panjang tekuk di tentukan
berikut ini.

Lk = 0,65L Lk = 0,8L Lk = 1,0L Lk = 2,1L Lk = 2L


(Teoritis: 0,5) (0,7) (1,0) (2,0) (2,0)

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 10


Untuk kasus-kasus lainnya, gunakan nomogram tekuk untuk kasus dengan
goyangan atau tanpa goyangan dimana

G =
 ( I / L) k
 ( I / L) b
dimana I adalah momen inersia
L adalah panjang balok/kolom
k adalah notasi untuk kolom
b adalah notasi untuk balok

Kelangsingan batang tekan dibatasi demikian sehingga:


L 
 max   k  max  200
 r 
Contoh:
y

bf
tf

tw

d x x h
IWF
300.300.10.15
L = 4000 mm

y h = d – 2 (tf + r0)
d = 300 mm r0 = 18 mm
b = 300 mm h = 234 mm
tw = 10 mm rx = 131 mm
Nu = 200 t tf = 15 mm ry = 75,1 mm

BJ 37: (fy = 240 MPa, fu = 370 MPa)


Ag = 11980 mm2

Periksa kelangsingan penampang: (tekan murni)

Flens Web

bf 2 300 2 h 234
  10   23,4
tf 15 tw 10

170 170 500 500


p    10,97 p    32,27
fy 240 fy 240

bf / 2 170 h 500
  Pen. kompak   Pen. kompak
tf fy tw fy

 Penampang kompak

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 11


Panjang tekuk: kc = 0,8
L = 4000 mm
Lk = kc L = 0,8 * 4000 = 3200 mm
Lk 3200
x =  = 24,42
rx 131

Lk 3200
y =  = 42,6
ry 75,1

Terhadap sumbu – x: (sumbu kuat)

x fy 24,42 240
 cx    0,27
 E  200 *10 3

1,43
0,25 < cx (= 0,27) < 1,2  x =
1,6 - 0,67  cx

1,43
=  1,01
1,6 - 0,67 * 0,27
fy 240
cr =  = 238 MPa
x 1,01

Nn = Ag cr = 11980 * 238 = 285 ton

Nu 200
 = 0,83 < 1 OK
c N n 0,85 * 285

Terhadap sumbu – y: (sumbu lemah)

y fy 42,6 240
 cy    0,47
 E  200 *103

1,43
0,25 < cy (= 0,47) < 1,2  y =  1,11
1,6 - 0,67 * 0,47
fy 240
cr =  = 216 MPa
y 1,11

Nn = Ag cr = 11980 * 216 = 258 ton

Nu 200
 = 0,91 < 1 OK
c N n 0,85 * 258

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 12


Contoh: y

Nu 8 mm

100.100.10

x x

y
L = 4000

Untuk 1 profil:
rx = ry = 30,4 mm b = 100 mm
r = 19,5 mm t = 10 mm
Nu = 40 t
Ag1 = 1900 mm2 I1y = I1x = 175 * 104 mm4
BJ 37: (fy = 240 MPa, fu = 370 MPa)

Periksa kelangsingan penampang: (tekan murni)

b 100 mm
  10
t 10 mm

200 200
  12,9
fy 240

b 200
(= 10) < (= 12,9)  Penampang tak-kompak
t fy

Analisis terhadap sumbu – x: (sumbu lemah)

kc = 0,8
Lk = kc L = 0,8 * 4000 mm = 3200 mm
rx = 30,4 mm
L = 4000 mm

Lk 3200
x    105
rx 30,4

x fy 105 240
 cx    1,16
 E  200 *10 3

1,43 1,43
0,25 < cx (= 1,16) < 1,2  x = =  1,74
1,6 - 0,67  cx 1,6 - 0,67 * 1,16

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 13


fy 240
cr =  = 138 MPa
x 1,74
Nn = Ag cr = 2 * 1900 * 138 = 52 ton

Nu 40
 = 0,90 < 1 OK
c N n 0,85 * 52

Analisis terhadap sumbu – y:


Kelangsingan batang tekan terhadap sumbu – y akan dibuat lebih kecil daripada
terhadap sumbu – x, karena mekanisme tekuk akan dibuat terjadi terhadap sumbu
– x. Hal ini diupayakan untuk meningkatkan efisiensi penampang tersusun.

Anggap tebal pelat kopel 8 mm.

½ Iy = I1y + s2 A1 = 175 * 104 + 32,22 * 1900


8 mm
= 372 * 104 mm4

1y
1
2 Iy 372 *10 4
ry =   44 mm
A1 1900
y 1y

s
s = 32,2 mm Lk 3200
0 =   73
ry 44

a). Bila kopel dibaut kencang tangan dan ada 3 bentang terkopel,

a L/3 4000/3
     68
r r 19,5
2m  20  2  73 2  68 2  9953
m = 100 < x (= 105)  tekuk terjadi terhadap sumbu – x

b). Bila kopel dibaut kencang penuh atau las dan ada 3 bentang terkopel,

a L/3 4000/3
 1y     44
r1y 30,4 30,4

h/2 2s/2 s 32,2


      1,06
r1y r1y r1y 30,4
2 1,06 2
2m  20  0,82 2
1y  73 2
 0,82 * 44 2  6169
1 2 1  1,06 2

m = 79 < x (= 105)  tekuk terjadi terhadap sumbu – x dengan lebih


meyakinkan daripada bila kopel dipasang dengan baut kencang tangan.

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 14


Contoh:
y
Nu
300

tf = 15 mm
x x
150
tw = 10 mm

L = 4000 mm
T 150.300
y

b = 300 mm Ag = 59,90 * 102 mm2


d = 150 mm rx = 36,4 mm
Nu = 80 t
tw = 10 mm ry = 75,1 mm
tf = 15 mm

BJ 37: (fy = 240 MPa, fu = 370 MPa)

Periksa kelangsingan penampang: (tekan murni)

Flens Web

d 150
Tidak ada ketentuan   15
tw 10

335 335
  21,62
fy 240

d 335
(= 15) < (= 21,62)
tw fy

 Penampang tak-kompak

Kelangsingan batang: kc = 0,8 ; L = 4000 mm

Lk = kc L = 0,8 * 4000 = 3200 mm


L 3200
x  k   88  tekuk terjadi terhadap sumbu – x
rx 36,4
L 3200
y  k  43
ry 75,1

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 15


Terhadap sumbu – x: (sumbu lemah)

x fy 88 240
 cx    0,97
 E  200 *10 3

1,43
0,25 < cx (= 0,97) < 1,2  x =  1,51
1,6 - 0,67 * 0,97

fy 240
cr =  = 159 MPa
x 1,51

Nn = Ag cr = 5990 * 159 = 96 ton

Nu 80
 = 0,98 < 1 OK
c N n 0,85 * 96

Terhadap sumbu – y: (sumbu kuat)

y fy 43 240
 cy    0,47
 E  200 *10 3

1,43
ωy   1,12
1,6 - 0,67 * 0,47

240
cr = = 215 MPa
1,12

Nn = 5990 * 215 = 129 ton

Nu 80
 = 0,73 < 1 OK
c N n 0,85 * 129

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 16


Tabel 7.5-1
Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal untuk elemen tertekan
( f y dinyatakan dalam MPa, simbol mengacu pada Gambar 7.5-1).

Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal


lebar terhadap
tebal
() p r
(tak-kompak)
(kompak)
Pelat sayap balok-I dan kanal b/t 170 / f y [c] 370 / f y  f r [e]
dalam lentur
Pelat sayap balok-I hibrida b/t 170 / f yf 420
atau balok tersusun yang di [e][f]
las dalam lentur ( f yf  f r ) / k e

Pelat sayap dari komponen- b/t - 290 / f y / k e [f]


komponen struktur tersusun
dalam tekan

Sayap bebas dari profil siku b/t - 250 / fy


kembar yang menyatu pada
sayap lainnya, pelat sayap
dari komponen struktur kanal
dalam aksial tekan, profil
siku dan plat yang menyatu
dengan balok atau komponen
struktur tekan
Sayap dari profil siku b/t - 200 / fy
tunggal pada penyokong,
sayap dari profil siku ganda
dengan pelat kopel pada
penyokong, elemen yang
tidak diperkaku, yaitu, yang
ditumpu pada salah satu
sisinya
Pelat badan dari profil T d/t - 335 / fy

Catatan: Berdasarkan kelangsingan pelat penyusunnya (b/t), penampang profil baja


dikelasifikasikan kedalam tiga kategori:
b
1. penampang kompak,  p ;
t
b
2. penampang tak-kompak,  p   r ;
t
b
3. penampang langsing,  r .
t

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 17


Tabel 7.5-1 (Lanjutan)
Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal untuk elemen tertekan
( f y dinyatakan dalam MPa, simbol mengacu pada Gambar 7.5-1).

Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal


lebar
terhadap tebal p r
() (tak-kompak)
(kompak)
Pelat badan dari penampang b/t 500 / fy 625 / fy
persegi panjang dan
bujursangkar berongga
dengan ketebalan seragam
yang dibebani lentur atau
tekan; pelat penutup dari
pelat sayap dan pelat
diafragma yang terletak di
antara baut-baut atau las
Bagian lebar yang tak b/t - 830 / fy
terkekang dari pelat penutup
berlubang [b]
Bagian-bagian pelat badan h/tw 1.680 / f y [c] 2.550 / f y [g]
dalam tekan akibat lentur [a]
Bagian-bagian pelat badan h/tw Untuk [g]
dalam kombinasi tekan dan Nu /bNy<0,125 [c] 2.550  0,74 N u 
lentur 1  
1.680  2,75 N u  f y  b N y 
1  
f y  b N y 

Untuk Nu/bNy>0,125
[c]
500  N  665
2,33  u  
f y   bN y 
 fy

Elemen-elemen lainnya yang b/t - 665 / fy


diperkaku dalam tekan h/tw
murni; yaitu dikekang
sepanjang kedua sisinya
Penampang bulat berongga D/t [d]
Pada tekan aksial - 22.000/fy
Pada lentur 14.800/fy 62.000/fy
[a] Untuk balok hibrida, gunakan tegangan leleh [e] fr = tegangan tekan residual pada pelat sayap
pelat sayap fyf sebagai ganti fy. = 70 MPa untuk penampang gilas
[b] Ambil luas neto plat pada lubang terbesar. = 115 MPa untuk penampang tersusun
[c] Dianggap kapasitas rotasi inelastis sebesar 3. 4
Untuk struktur-struktur pada zona gempa tinggi [f] ke  tapi, 0,35 < ke < 0,763
diperlukan kapasitas rotasi yang lebih besar. h / tw
[d] Untuk perencanaan plastis gunakan 9.000/fy. [g] f y adalah kuat leleh minimum.

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 18


b
tf tf b t
b

hc t

hw tw hw
ht

b b

h h

Gambar 7.5-1
Simbol untuk beberapa variabel penampang.

Gambar 7.6-1
Nilai kc untuk kolom dengan ujung-ujung yang ideal.

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 19


Gambar 7.6-2
(a) Nilai kc untuk komponen struktur tak bergoyang, dan (b) untuk komponen struktur bergoyang.

Komponen Struktur Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 20


BAB V
KOMPONEN STRUKTUR LENTUR
(Flens Tekan Terkekang Penuh Secara Lateral)
Komponen struktur lentur adalah komponen stuktur yang menggabungkan batang
tarik dan batang tekan dengan suatu separasi. Besar separasi tersebut dapat
bersifat tetap atau berubah sebagai fungsi dari posisi. Untuk penampang
komponen struktur lentur yang memiliki satu sumbu simetri atau lebih dan
terbebas dari semua jenis tekuk serta dibebani pada pusat gesernya, tegangan
lentur pada serat ekstrim dapat ditentukan dengan cara berikut ini,
Mx My
 
Sx Sy
Mx cy M y cx
= 
Ix Iy

yang mana:
 Sx, Sy adalah modulus penampang masing-masing terhadap sumbu-x
dan sumbu-y,
 Ix, Iy adalah momen inersia masing-masing terhadap sumbu-x dan
sumbu-y,
 cx, cy adalah jarak dari garis netral terhadap serat-serat ekstrim
masing-masing terhadap sumbu-x dan sumbu-y,

cy cy
cx
x x y y x x

Ix Iy Ix
Sx  Sy  Sx 
cy cx cy

Untuk balok dengan pengaku lateral yang memenuhi syarat dan kelangsingan
elemen-elemen penampangnya lebih kecil daripada p, berlaku berikut ini,
 < y,  < fy  = y,  = fy  > y,  = fy   y,  = fy

cy
z
M

M < My M = My My < M < M p M = Mp


1 2 3 4

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 1


 z   
Kondisi : M =    z dA   z 2 dA  I x   S x (  f y )
c  cy cy
 y
z f I
 : M =  f y z dA  y  z 2 dA  f y x  f y S x  M yx
cy cy cy
 : M = Mpx =  f y z dA  f y  z dA  f y Z x
yang mana Zx =  z dA adalah modulus plastis penampang.
M px
Dengan demikian faktor penampang  x  adalah:
M yx
Mp Zx
x  
My Sx
Faktor penampang terhadap sumbu-x, x, dari profil IWF bervariasi antara 1,09 ~
1,18. Sedangkan terhadap sumbu-y, y, dapat mencapai 1,5.

Contoh:
Tentukan faktor penampang terhadap sumbu-y, y, dari profil IWF berikut:

tf tf

tw
b
y y

 b b t t
Zy = 2  2 t f   d - 2t f  w w 2
 2 4 2 4
1 1
= t f b 2  d - 2t f  t 2w
2 4
1 1
Iy = t f b 3 2  d - 2t f  t 3w
12 12
1 1
= t f b 3  d - 2t f  t 3w
6 12
Iy 1 2 1 2
Sy =  t f b 3  d - 2t f  t 3w
b 6 b 12 b
2
1 1 d - 2 tf 3
= t f b2  tw
3 6 b

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Zy 1
2
tf b2  1
4
d - 2t f  t 2w 3
y =  ~  1,5
Sy d - 2t f 2
1
t f b 2  16   t 3
3
 b  w

Sendi Plastis
Bila tahanan lentur plastis penampang balok telah tercapai maka penampang
balok tersebut akan berdeformasi secara plastis tanpa memberikan tambahan
tahanan lentur, keadaan ini disebut balok telah membentuk sendi plastis. Diagram
momen-kelengkungan (M - ) dari suatu penampang balok yang telah mengalami
plastifikasi adalah sebagai berikut:

M Plastifikasi
Mp

My Pengaruh tegangan sisa, cacat, Daktilitas kelengkungan,


dan geometri penampang

 u
p
Mr


y p u

Agar suatu penampang dapat mencapai u maka harus dipenuhi tiga persyaratan
yaitu kekangan lateral balok, b t pada flens tekan, dan h w t w pada web.

Balok yang Terkekang Secara Lateral

Syarat tahanan,
b M n  M u

yang mana, b = 0,9 adalah faktor tahanan,


Mn adalah tahanan nominal,
Mu adalah momen lentur terfaktor.

Kompak,   p

Penampang Tak kompak, p    r

Langsing,   r …………… (lihat balok pelat)

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 3


Mn
kompak tak kompak langsing
Mp

Mr

 (= b/t)
0 p r

Penampang kompak (0 <  < p)


Mn = fy Z
yang mana, Z adalah modulus plastis penampang,
fy adalah kuat leleh.

Untuk penampang dengan  = r maka tahanan lentur nominal Mn = Mr. Momen


residual, Mr, ditetapkan sebagai:
Mr = (fy – fr) S

yang mana S adalah modulus penampang,


fr adalah tegangan sisa,
fy adalah kuat leleh.

Untuk penampang balok dengan p <  < r maka tahanan lentur nominal
ditetapkan dengan cara interpolasi linier sebagai berikut,

r -   - p
Mn = Mp  Mr , p    r
r - p r - p

yang mana  adalah kelangsingan penampang balok (flens dan web), p, r lihat
Tabel 7.5 – 1 (Peraturan Baja Indonesia).

Untuk penampang balok hibrida dimana fyf > fyw maka perhitungan Mr harus
berdasarkan pada nilai yang lebih kecil dari (fyf – fr) dan fyw.

Contoh:
Rencanakan balok berikut dengan beban mati D = 300 kg/m’ dan L = 1200 kg/m’.
Bentang balok adalah  = 10 m. Sisi tekan flens terkekang secara lateral.
Gunakan profil I dengan dua jenis baja masing-masing BJ 37 dan BJ 55.

Jawab:
qn

 = 10.000

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 4


qu = 1,2 D + 1,6 L = 1,2 * 300 + 1,6 * 1200 = 2280 kg/m

1
Mu = * q u * 2
8

1 N
= * 22,8 * 10.000 2 mm 2 = 28,5 t - m
8 mm

b M n  M u

M u 28,5 t - m
atau Mn    31,7 t - m
b 0,9

p r
 b  170 370
Flens    
 2t f  fy fy - fr

 h  1680 2550
Web    w 
 tw  fy fy

fr = 70 MPa untuk profil gilas.

b
y
tf

d
Zx = b tf (d – tf) + tw ( - tf)2
2
x x
d 1 1
Zy = tf b2 + (d – 2tf) tw2
2 4
tw
hw = d – 2 (ro + tf)
y

BJ 37 : (fu = 370 MPa, fy = 240 MPa)

Coba profil IWF 300.300.10.15 (ro = 18 mm)

p r
 b 300 
 f     10  10,97 28,4
 2t f 2 *15 
 h 300 - 2 (18  15) 
 w   w   23,4  108 165
 tw 10 

 Penampang kompak.

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 5


2
d 
Zx = b t f d - t f   t w  - t f 
2 
2
 300 
= 300 * 15 300 - 15  10  - 15 
 2 
= 1.464.750 mm3

Mp = fy Zx = 240 * 1.464.750 = 35 t-m


M
Mp (= 35 t – m) > u (= 31,7 t-m) OK
b

 10.000
Catatan:   33
d 300

BJ 55 : (fu = 550 MPa ; fy = 410 MPa)

Coba IWF 300.300.10.15 (ro = 18 mm) Ix = 20,4 * 107 mm4

p r
f (= 10) 8,4 20 ………… penampang tak kompak
w (= 23,4) 83 126

Mp = fy . Zx = 410 * 1.464.750 = 60 t – m
I
Mr = (fy – fr) Sx = (fy – fr) x
d
2

20,4 *10 7
= (410 – 70) = 46 t-m ……………… terlalu kuat
300
2

Coba IWF 250.250.9.14 (ro = 16 mm) Ix = 10,8 * 107 mm4

p r
 125 
f   8,9  8,4 20 …… penampang tak kompak
 14 
 190 
w   21 83 126
 9 
2
d 
Zx = b tf (d – tf) + tw  - t f 
2 
2
 250 
= 250 * 14 (250 – 14) + 9  - 14 
 2 
3
= 936.889 mm

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 6


I x 10,8 * 10 7
Sx =  = 864.000 mm3
d 250
2 2
Mp = fy Zx = 410 * 936.889 = 38 t – m

Mr = (410 – 70) * 864.000 = 29,4 t – m

r -   - p
Mn = Mp  Mr
r - p r - p
20 - 8,9 8,9 - 8,4
= * 38  * 29,4  37,6 t - m
20 - 8,4 20 - 8,4
Mu
Mn (= 37,6 t – m) > (= 31,7 t-m) ………………. OK
b

Lendutan Balok

Lendutan balok untuk beberapa skenario pembebanan adalah sebagai berikut:



M1  2
s  -
16 EI
s
M1

qo

S
/2 /2

5 qo 4 5  1 2 
2
5 Mo 2
s    qo   
384 EI 48  8  EI 48 EI

1
dimana M o  q o  2
8
a b
P

S
/2 /2

Pb
s  (3 2 - 4b 2 ) b 
48 EI 2

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 7


qo

S

M1 M2
1
qo 2
8

M1
M2

Mo Ms

M1 M2

5 M o  2 M1  2 M 2  2
s  - -
48 EI 16 EI 16 EI

1 2
 5M o - 3M 1 - 3M 2 
48 EI

M1  M 2
Karena Mo = Ms + maka
2

1 2  5 5 
s   5M s  M 1  M 2 - 3M 1 - 3M 2 
48 EI  2 2 

5 2
 M s - 0,1 M 1 - 0,1 M 2 
48 EI

Dapat ditunjukkan untuk kasus berikut berlaku:


P
qo
5  2  M s - 0,1 M1 - 0,1 M 2 
S   
S 48 EI  - 0,2 M 0 P 

M1 M2
dalam hal ini M0P=Pℓ/4.

Lendutan tersebut harus dibatasi sesuai dengan Bab 6.4.3 pada Tatacara
Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung di Indonesia. Batasan
tersebut berlaku untuk faktor beban satu, dan umumnya hanya diperhitungkan
terhadap beban-beban hidup. Lendutan akibat berat sendiri dan beban-beban mati
lainnya dihadapi dengan lawan lendut (camber), atau upaya-upaya lainnya,
misalnya prategang.

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 8


Geser pada Profil Gilas

Secara umum persamaan tegangan geser adalah:

V Q y 
v
I t y 

yang mana, V adalah gaya lintang yang bekerja pada suatu penampang
d
2

Q(y) =   dA adalah statis momen terhadap garis netral,


y

I adalah momen inersia,


t adalah ketebalan penampang.

dA
d
2

y
garis netral

Dalam perencanaan dapat digunakan:

V
v=
d tw

yang mana d adalah tinggi total penampang,


tw adalah tebal web.

atau Vn = y d tw = 0,58 fyw d tw


~ 0,6 fyw d tw ……………………. (*)

yang mana fyw adalah kuat leleh web.

Persamaan (*) dapat digunakan bila persyaratan berikut ini dipenuhi,

h 1100

tw f yw

Tahanan geser rencana adalah:

v Vn  Vu

yang mana v = 0,9 ,


Vn adalah tahanan geser nominal,
Vu adalah gaya lintang terfaktor.

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Contoh:

Tentukan tahanan geser rencana profil IWF 300.300.10.15


d = 300 mm BJ 37: fu = 370 MPa
tw = 10 mm fy = 240 MPa
tf = 15 mm
r0 = 18 mm

Jawab :
h = d – 2 (ro + tf) = 300 – 2 (18 + 15) = 234 mm

h 234
  23,4
t w 10 h 1100

tw f yw
1100 1100
  71
f yw 240

 Vn = 0,6 fyw d tw = 0,6 * 240 * 300 * 10


= 43,2 ton
Vd = v Vn = 0,9 * 43,2 = 38,9 ton

Teori Umum Lentur

Tinjau suatu balok prismatis dengan penampang sembarang yang dibebani lentur
pada bidang  berikut ini,
y
My 

M 

x
x

 
Mz

 adalah bidang kerja beban ; M  


y

garis netral
P
My M
 My = M cos 

 y Mz
tan  = - tan  =
z
Mz z Mz = M sin  My
Bidang 

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 10


Persamaan kesetimbangan balok adalah:
 Nx = 0   x dA = 0 ............................................... (1)
 My = 0  My =  x z dA ......................................... (2)
 Mz = 0  Mz =  x y dA ......................................... (3)
Bidang netral adalah suatu bidang dimana lenturan terjadi tegak lurus terhadap
bidang tersebut. Bidang netral dianggap bersudut  terhadap sumbu z. Berikut
adalah beberapa tinjauan untuk kasus  = 0,  =  2 , dan  sembarang.

Kasus  = 0: (Lentur terjadi pada bidang xy)


Dalam kasus tersebut tegangan x dapat dinyatakan sebagai berikut:
x = k1 y
Persamaan (1), (2), dan (3) menjadi:
 x dA = k1  y dA = 0 ..................................... (4)
My =  x z dA =  k1 yz dA = k1 Iyz ................ (5)
Mz =  x y dA =  k1 y2 dA = k1 Iz ................... (6)

Persamaan (4) menyatakan bahwa sumbu z adalah garis berat.


Persamaan (5) dan (6) memberikan
My Mz
k1  
I yz Iz

M z Iz
atau   tan 
M y I yz
Untuk sumbu yang bukan sumbu utama atau untuk sumbu yang bukan bagian dari
sumbu simetri maka Iyz  0 dan    2 , artinya garis netral tidak tegak lurus
bidang kerja beban. Untuk sumbu utama atau bagian dari sumbu simetri
penampang dengan paling tidak satu sumbu simetri maka Iyz = 0,  =  2 , dan My =
0, artinya garis netral  bidang kerja beban dan beban hanya bekerja // bidang xy.

Kasus  =  2 : (Lentur terjadi pada bidang xz)


Persamaan tegangan x dapat dinyatakan sebagai berikut:
x = k2 z
Persamaan (1), (2), dan (3) menjadi:
 x dA = k2  z dA = 0 ...................................... (7)
My =  x z dA =  k2 z2 dA = k2 Iy .................. (8)
Mz =  x y dA =  k2 yz dA = k2 Iyz ................. (9)

Persamaan (7) menyatakan bahwa sumbu y adalah garis berat.

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 11


Persamaan (8) dan (9) memberikan
My Mz
k2  
Iy I yz

M z I yz
atau   tan 
My Iy
Untuk sumbu yang bukan sumbu utama atau untuk sumbu yang bukan bagian dari
sumbu simetri maka Iyz  0 dan   0, artinya garis netral tidak tegak lurus bidang
kerja beban. Untuk sumbu utama atau bagian dari sumbu simetri penampang
dengan paling tidak satu sumbu simetri maka Iyz = 0,  = 0, dan Mz = 0, artinya
garis netral  bidang kerja beban dan beban hanya bekerja // bidang xz.

Kasus  sembarang:
Tegangan x dinyatakan sebagai superposisi (kasus elastis) dari dua kasus
sebelumnya,
x =k1 y + k2 z
My = k1 Iyz + k2 Iy
Mz = k1 Iz + k2 Iyz

M y   I y I yz  k 2 
atau    
 M z   I yz I z   k 1 

k 2  1  Iz - I yz  M y 
  - I  
 k 1  I y I z - I yz
2
 yz I y   M z 

M y I z - M z I yz M z I y - M y I yz
k2  2
; k1  2
I y I z - I yz I y I z - I yz

M z I y - M y I yz M y I z - M z I yz
dan x  2
y 2
z ............ (10)
I y I z - I yz I y I z - I yz

yang berlaku secara umum untuk kasus lentur. Anggapan yang perlu diingat
dalam menurunkan Persamaan (10) adalah:
a) balok adalah lurus
b) prismatis
c) sumbu –y dan –z adalah dua sumbu berat yang saling tegak lurus
d) material adalah elastis linier
e) tidak ada pengaruh puntir (semua beban bekerja pada pusat geser)

Bila sumbu –y dan –z adalah dua sumbu utama yang saling tegak lurus atau
bagian dari sumbu simetri dari suatu penampang yang paling tidak memiliki satu
sumbu simetri maka Iyz = 0 dan Persamaan (10) untuk tegangan menjadi,

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 12


Mz My
x  y z (pada sumbu utama)
Iz Iy
Bila pada serat-serat extreem dibatasi x  fy maka berlaku:
Mz My
 1
f y Sz f y S y

adalah persamaan interaksi untuk Mz, My dan berlaku untuk daerah elastis linier
saja.
Garis netral adalah tempat kedudukan titik material dengan tegangan x = 0.
Dengan me-nol-kan Persamaan (10) dan disusun kembali diperoleh,
y I z - MM zy I yz
  tan   M z
z My y
I - I yz
I z - I yz tan 

I y tan  - I yz

Untuk sumbu utama atau bagian dari sumbu simetri penampang dengan paling
tidak satu sumbu simetri maka Iyz = 0 diperoleh,
I 1
tan   z
I y tan 
artinya bila  =/2 maka =0 terlepas dari nilai Iz dan Iy. Namun bila  /2 maka
nilai  menjadi sangat bergantung kepada nilai Iz dan Iy; dalam hal ini bidang
beban tidak tegak lurus bidang netral. Khusus untuk penampang dengan Iz = Iy,
seperti penampang bujur sangkar, maka bidang beban senantiasa tegak lurus
bidang netral.

Persamaan-persamaan yang dikembangkan diatas hanya berlaku untuk material


elastis linier (x < fy). Bila material telah mencapai daerah plastis seperti halnya
untuk perencanaan lapangan maka persamaan berikut dapat digunakan untuk
profil-profil yang paling tidak memiliki satu sumbu simetri,
M uy M uz
  1,0
 b M ny  b M nz

yang mana Mu adalah momen terfaktor,


Mn adalah tahanan lentur nominal,
b = 0,9 adalah faktor tahanan.

Komponen Struktur Lentur Sindur P. Mangkoesoebroto 13


BAB VI
BEBAN TERPUSAT PADA PROFIL

Leleh pada flens Lipat Tekuk Torsi


Lateral

Tekuk Vertikal

1) Lentur Lokal pada Flens

tf
stiffener stiffener
las Tepi
terbuka

j b
Pu β

Pu

Pu ≤ φ Rn α ⎯ tidak perlu stiffener


φ = 0,9
Rn = 6,25 t f2 fyf [N]

1 j > 10 tf
α =
½ j ≤ 10 tf

Bila β ≤ 0,15 b ⎯ tidak perlu stiffener

Beban Terpusat pada Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 1


2) Leleh Lokal pada Web
N
Ru
Ru
j

k k
Tepi terbuka N + 5k
d fyw tw
N+2,5k
k
tf
j Ru
N

Ru ≤ φ Rn = φ (α k + N) fyw tw [=N] ⎯ tidak perlu stiffener

dimana φ = 1,0
N ≥ k , pada tumpuan

5 bila j > d
α =
2,5 bila j ≤ d

3) Lipat pada Web (gambar sama dengan di atas)


⎡ ⎛ tw ⎞ ⎤
1,5
t
Ru ≤ φ Rn = φ α t w 1 + η ⎜ ⎟ ⎥ f yw f [=N] → tidak perlu stiffener
2
⎢ ⎜ ⎟
⎢⎣ ⎝ t f ⎠ ⎥⎦ tw
dimana φ = 0,75
N
355 bila j > d/2 ; η = 3
d

α=
N N
η= 3 bila ≤ 0,2
d d
175 bila j ≤ d/2
⎛ 4N ⎞ N
η= ⎜ - 0,2 ⎟ bila > 0,2
⎝ d ⎠ d

4) Tekuk Web Bergoyang


Ru Ru

(a) (b)

Ru ≤ φ Rn ⎯ tidak perlu stiffener


dimana φ = 0,85

Beban Terpusat pada Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 2


a) Sisi tekan flens fixed terhadap rotasi pada posisi bekerjanya gaya Ru

h bf
Untuk ≤ 2,3 maka
t w Lb
C r t 3w t f ⎡ ⎛ h bf ⎞ ⎤
3

Rn = ⎢ 1 + 0,4 ⎜ t L ⎟ ⎥⎥
⎜ ⎟ [=N]
h2 ⎢⎣ ⎝ w b⎠ ⎦
h bf
Untuk > 2,3 → Rn → ∞
t w Lb

Solusi: Ditempat bekerjanya Ru dipasang


1. Bresing lateral lokal di flens tarik, atau
2. Sepasang pengaku vertikal atau pelat pengganda

b) Sisi flens tekan bebas terhadap rotasi pada posisi bekerjanya gaya Ru
h bf
Untuk ≤ 1,7 maka
t w Lb
C t3 t ⎡ ⎛ h bf ⎞ ⎤
3

Rn = r w2 f ⎢0,4 ⎜⎜ ⎟⎟ ⎥
h ⎢⎣ ⎝ t w L b ⎠ ⎥⎦
h bf
Untuk > 1,7 → Rn → ∞
t w Lb

Solusi: Dipasang bresing lateral lokal di flens tarik dan tekan ditempat
bekerjanya Ru.

dimana Lb adalah jarak terbesar dari titik-titik yang tidak dikekang secara
lateral pada salah satu flens balok.

6,6 * 106 bila Mu < My dititik kerja Ru


Cr =
tw h
3,3 * 106 bila Mu ≥ My dititik kerja Ru

bf

5) Tekuk Web akibat Dua Gaya Simetris

Ru
Ru

Tepi terbuka
tw

j
Ru Ru

Beban Terpusat pada Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 3


Ru ≤ φ Rn ⎯ tanpa stiffener
φ = 0,9
t 3w
Rn = 10.750 α f yw [=N]
h
1 bila j > d/2
α =
0,5 bila j ≤ d/2

6) Geser Web pada Daerah Panel

Vu ≤ φVn ⎯ pelat pengganda atau pelat diagonal


dimana φ = 0,90
Nu
bcf

tcf
fy
pelat terusan

tw
pelat diagonal db

pelat pengganda

dc

Nu

a) Bila tidak dilakukan analisis khusus daerah panel terhadap stabilitas


struktur.

Nu ≤ 0,4 Ny , Vn = 0,60 fy dc tw
⎛ N ⎞
Nu > 0,4 Ny , Vn = 0,60 fy dc tw ⎜1,4 - u ⎟
⎜ N y ⎟⎠

b) Bila dilakukan analisis khusus daerah panel terhadap stabilitas struktur.

⎛ 3 b cf t cf 2 ⎞
Nu ≤ 0,75 Ny , Vn = 0,6 fy dc tw ⎜⎜1 + ⎟

⎝ d b d c t w ⎠
⎛ 3 b cf t cf ⎞ ⎛⎜
2
1,2 N u ⎞

Nu > 0,75 Ny , Vn = 0,60 fy dc tw ⎜⎜1 + ⎟ 1,9 -
⎟ ⎜ ⎟
⎝ db dc t w ⎠ ⎝ Ny ⎠
dimana Ny = fy Ag

Beban Terpusat pada Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 4


7) Persyaratan Stiffener untuk Beban Terpusat

Pengaku vertikal atau diagonal,


a) Lebar dua stiffener di kedua sisi web ditambah tebal web tidak boleh
kurang dari 2/3 lebar flens.
b) Tebal stiffener tidak boleh kurang dari ½ tebal flens, dan tidak boleh
1
kurang dari lebar pelat stiffener dikalikan fy .
250

Pengaku vertikal yang dipasang secara penuh dari flens atas hingga flens
bawah karena gaya tekan yang bekerja terhadap flens balok biasa atau balok
berdinding penuh harus direncanakan sesuai dengan persyaratan perencanaan
komponen struktur tekan dengan persyaratan tambahan berikut ini:
a) Panjang tekuk efektif 0,75 h
b) Ada satu pasang pengaku vertikal
c) Bagian dari pelat badan selebar 25 tw untuk pengaku interior atau 12 tw
untuk pengaku exterior.

Pengaku
vertikal
tw tw Pengaku
vertikal

Pengaku
vertikal

25 tw 12 tw

Interior Exterior

8) Lain-lain

a) Pada ujung-ujung komponen struktur yang tidak merangka ke komponen


struktur yang lain, harus dipasang sepasang pengaku vertikal penuh
setinggi balok.
b) Pelat pengganda harus direncanakan sesuai dengan Standar Struktur
Bangunan Baja Indonesia, Bab 12.

9) Contoh:
Pu1 = 50 ton Pu1 = 50 ton

Pu2 = 50 ton Pu2 = 50 ton


2500 5000 2500 Pu1 + Pu2 = 100 ton
300

Beban Terpusat pada Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 5


300

fyw = 240 MPa fyf = 240 MPa


700 13 k = 52 mm
N = 150 mm
24

(1) Leleh lokal pada web

Lapangan: φ Rn = φ (α k + N) fyw tw
(j > d) = 1,0 (5 * 52 + 150) * 240 * 13
= 128 ton > Pu1 (= 50 ton) OK
Tumpuan: φ Rn = φ (α k + N) fyw tw
(j < d) = 1,0 (2,5 * 52 + 150) * 240 * 13
= 87 ton < Pu1 + Pu2 (= 100 ton) → perlu pengaku
vertikal

(2) Lentur lokal pada flens

Lapangan: φ Rn α = φ α (6,25 t f2 fyf)


(j > 10 tf) = 0,9 * 1,0 * (6,25 * 242 * 240)
= 78 ton > Pu2 (= 50 ton) OK

(3) Lipat pada Web


⎡ ⎛t ⎞
1,5 ⎤
t
Lapangan: φ Rn = φ α t 2w ⎢1 + η ⎜⎜ w ⎟⎟ ⎥ f yw w
⎢⎣ ⎝ tf ⎠ ⎥⎦ tf
(j > d/2)
N 150 9
η = 3 = 3 =
d 700 14
α = 355

⎡ 9 ⎛ 13 ⎞ ⎤
1,5
24
φ Rn = 0,75 * 355 * 132 ⎢1 + ⎜ ⎟ ⎥ 240 *
⎢⎣ 14 ⎝ 24 ⎠ ⎥⎦ 13

= 119 ton > Pu1 (= 50 ton) OK

Tumpuan: j = 300
j < d/2 ⇒ α = 175
d/2 = 350

Beban Terpusat pada Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 6


N 3 ⎛ N ⎞
= ~ 0,21 > 0,2 ⇒ η = ⎜ 4 - 0,2 ⎟
d 14 ⎝ d ⎠

⎛ 3 ⎞
= ⎜ 4 - 0,2 ⎟ = 0,66
⎝ 14 ⎠

⎡ ⎛ 13 ⎞ ⎤
1,5
24
φ Rn = 0,75 * 175 * 13 ⎢1 + 0,66 ⎜ ⎟ ⎥ 240 *
2

⎣⎢ ⎝ 24 ⎠ ⎦⎥ 13
= 59 ton < Pu1 + Pu2 (= 100 ton) ⎯ perlu pengaku
vertikal

(4) Tekuk Web Bergoyang

Sisi tekan flens fixed terhadap rotasi

⎛ 700 ⎞
2⎜ - 52 ⎟
= ⎝ ⎠ 300 = 2,75 > 2,3
h bf 2
t w Lb 13 5000

Rn → ∞ OK

Beban Terpusat pada Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 7


ANALISIS PLASTIS BALOK

Suatu balok dapat mencapai tahanan plastisnya menjelang kegagalannya. Hal ini
dapat tercapai bila masalah tekuk lokal dan tekuk torsi lateral dapat dicegah. Bila
suatu balok sederhana yang dibebani dengan suatu beban terpusat ditengah
bentangnya mencapai plastifikasi maka panjang sendi plastis dapat ditentukan sebagai
berikut:

P
l/2 l/2

(1- κ) l/2 κl

¼ Pl My
Mp

Mp

l
My

Δ
φ


φ
φ≈
φy φp l

My φy S l
= = =
Mp φp Z η

Dari diagram momen dapat di turunkan hubungan

(1 − κ ) l 2 My 1
= =
l Mp η
2
1
∴ κ =1-
η

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 1


Untuk profil-I yang terlentur terhadap sumbu kuat penampang η ~ 1,13 maka
1
κ =1- = 0,12 ; dan untuk profil-I yang terlentur terhadap sumbu lemah η ~ 1,5
1,13
1 1
maka κ = 1 - = . Meskipun demikian, didalam praktek sendi plastis umumnya
1,5 3
dianggap berupa titik.

Lendutan di tegah bentang adalah


1 Pl 3
Δ=
48 EI
Pada saat leleh
4M y
4 Pl = M y → P =
1
l
2
3
1 l 4M y 1 My l
Δy = =
48 EI l 12 EI
Pada saat plastis
Ζ 1 η My l
2

Δp = Δy =
S 12 EI

Mp

My Pengaruh geometri
penampang

Δy Δp Δ

Redistribusi Gaya-dalam

Pada struktur-struktur statis tertentu hanya diperlukan satu sendi plastis untuk
mencapai mekanisme keruntuhan. Pada struktur-struktur statis tak tentu yang sangat
khusus, mekanisme keruntuhan juga dapat di capai melalui terbentuknya seluruh
sendi plastis pada saat yang bersamaan. Dalam hal ini terbentuknya mekanisme
keruntuhan pada stuktur statis tak tentu identik dengan pada struktur statis tertentu.
Namun demikian, secara umum, pada stuktur statis tak tentu, terbentuknya sendi
plastis atau kelompok sendi plastis akan terjadi secara berurutan hingga tercapainya
mekanisme keruntuhan yang menjadi akhir dari riwayat suatu struktur.

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Tinjau contoh berikut ini,
P

A B C

a = 2000 b = 4000

l = 6000

P a b 2 P * 2000 * 4000 2
MA = = = 889 P
l2 6000 2
2P a 2 b 2 2P * 2000 2 * 4000 2
MB = = = 593 P
l3 6000 3
P a 2 b P * 2000 2 * 4000
MC = = = 444 P
l2 6000 2
P a 3 b 3 P 2000 3 * 4000 3 P
ΔB = 3
= 3
= 790 *10 6
3EI l EI 3 * 6000 EI

Saat titik A mencapai sendi plastisnya maka

MA = MP
MP
889 P = M P atau P =
889

Untuk profil IWF 300.300.10.15 dimana Zx = 1.464.750 mm3, Ix = 20,4 * 107 mm4,
dan MP = 35 * 107 N-mm

35 * 10 7
Maka P= = 39 ton
889
P 39 * 10 4
Δ B = 790 * 10 6 = 790 * 10 6
EI 2 * 10 5 * 20,4 * 10 7
= 7,55 mm

dan strukturnya menjadi


P = 39 ton

A B C

Mp = 35 t-m

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 3


dengan MB = 593 P = 593 * 39 * 104 = 23 * 107 N – mm
MC = 444 P = 444 * 39 * 104 = 17 * 107 N – mm

sehingga sisa tahanan di B & C adalah


Δ MB = MP – MB = 35 * 107 – 23 * 107 = 12 * 107 N – mm
Δ MC = MP – MC = 35 * 107 – 17,3 * 107 = 17,7 * 107 N – mm

Bila kepada beban P diberikan tambahan menjadi P + P' maka momen di A tak akan
bertambah, sedang momen-momen di B dan C akan bertambah, hingga terjadi sendi
plastis di B dengan struktur termodifikasi sebagai berikut.
P’

A B C

a = 2000 b = 4000

P' ab 2
MB ' = (a + 2 l )
2 l3
P' * 2000 * 4000 2
= (2000 + 2 * 6000) = 1037 P'
2 l3
MC ' =
P' a b
(a + l )
2 l2
=
P' * 2000 * 4000
(2000 + 6000) = 889 P'
2 * 6000 2
P' a 2 b 3
ΔB ' = (3l + a )
12 EI l 3
P' * 2000 2 * 4000 3
= 3
(3 * 6000 + 2000) = 1,975 * 10 9 P'
12 * EI * 6000 EI

Saat titik B mencapai plastifikasi maka


M B ' = ΔM B
1037 P’ = 12 * 107
P’ = 11,6 ton

M C ' = 889 P' = 889 *11,6 *10 4 = 10,3 * 10 7 N - mm


P'
Δ B ' = 1,975 * 10 9
EI
11,6 * 10 4
= 1,975 * 10 9 * = 5,62 mm
2 * 10 5 * 20,4 * 10 7

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 4


dan strukturnya menjadi,
P’

A B C

Mp Mp

dengan sisa tahanan di C adalah


Δ MC ' = Δ MC - MC '
= 17,7 *10 7 - 10,3 *10 7 = 7,4 *10 7 N - mm

Kepada beban P' masih dapat diberikan tambahan menjadi P' + P" . Momen di B
tidak akan bertambah, namun momen di C akan bertambah dengan struktur statis
tertentu berikut,
P”

B C

b = 4000

MC = P" 4000
1 b 3 1 4000 3 P"
Δ B " = P" = P" = 2,13 *1010
3 EI 3 EI EI

Saat titik C mencapai plastifikasi maka

M C = ΔM C '
4000 P" = 7,4 * 107 → P" = 1,85 * 104 N
P" 1,85 * 10 4
Δ B " = 2,13 * 1010 = 2,13 * 1010 *
EI 2 * 10 5 * 20,4 * 10 7
= 9,67 mm

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 5


Ringkasan:

Saat terbentuk satu sendi plastis:


P1 = 39 ton
ΔB1 = 7,55 mm

Saat terbentuk dua sendi plastis:


P2 = P1 + P' = 39 + 11,6 = 50,6 ton
ΔB2 = ΔB1 + Δ B ' = 7,55 + 5,62 = 13,17 mm

Saat terbentuk tiga sendi plastis:


P3 = P2 + P" = 50,6 + 1,85 = 52,45 ton
ΔB3 = ΔB2 + Δ B " = 13,17 + 9,67 = 22,84 mm

Sehingga kurva beban vs defleksi adalah:

P3 = 52,45
P2 = 50,6
runtuh

P1 = 39

0
0 ΔB1 = 7,55 ΔB2 = 13,17 ΔB3 = 22,84 ΔB

Dengan demikian, meskipun batas elastis struktur terjadi pada P = 39 ton, namun
dengan melakukan redistribusi gaya-dalam, maka struktur tersebut dapat memikul P
= 52,45 ton.

Beban Plastis – Cara Kesetimbangan

Bila tidak diperlukan informasi mengenai kurva beban vs defleksi maka penentuan
beban plastis dapat dilakukan dengan lebih mudah. Pertama-tama tentukan
konfigurasi sendi plastis sehingga terbentuk struktur statis tertentu. Pada saat tersebut
lakukan analisis kesetimbangan, maka akan diperoleh beban plastis yang
menyebabkan mekanisme.

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 6


Contoh: P

A
1)
l

1
MA = Pl = M p
4

4M p
∴ P=
l
P
2)
A B C

P
a b
B

Mp
Mp
l

Pb
l

Pba
MB = - Mp = Mp
l

l 6000
P = 2M p = * 2 * 35 *10 7
ab 2000 * 4000

= 52,5 ton
P P
3) PR:

1000 2000 3000

6000

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Beban Plastis – Cara Energi

Cara energi lebih mudah dilakukan daripada cara kesetimbangan. Prinsipnya adalah
energi-dalam harus sama dengan energi-luar pada saat terbentuknya mekanisme
keruntuhan. Energi terjadi bila gaya melakukan translasi dan momen melakukan
rotasi. Lakukan hal ini untuk seluruh kemungkinan mekanisme keruntuhan. Beban
plastis yang terkecil dari seluruh mekanisme yang mungkin adalah beban plastis yang
menentukan.

Contoh P
1) 2Δ/l 2Δ/l

Mp Mp

PΔ = M p 2
l

4 Mp
∴ P=
l
P
a b
2) θb/a θ

θb
Mp Mp

Mp Mp

b
P θ b = Mp θ 2 + Mp θ 2
a

⎛1 1⎞
P = 2M p ⎜ + ⎟
⎝a b⎠

⎛ 1 1 ⎞
= 2 * 35 *10 7 ⎜ + ⎟ = 52,5 ton
⎝ 2000 4000 ⎠
P P
3) PR:

1000 2000 3000

6000

Catatan: Semua ketentuan pada Peraturan Struktur Baja Indonesia, Butir 7.5, harus
dipenuhi.

Analisis Plastis Balok Sindur P. Mangkoesoebroto 8


BAB VII
SAMBUNGAN
7.1 BAUT DAN KELING
Sambungan baut dapat terbuat dari baut mutu tinggi atau mutu normal.
Sambungan keling umumnya terbuat dari mutu normal.

Sambungan baut mutu tinggi mengandalkan gaya tarik awal yang terjadi karena
pengencangan awal. Gaya tersebut dinamakan proof load. Gaya tersebut akan
memberikan friksi. Sehingga sambungan baut mutu tinggi hingga taraf gaya
tertentu dapat merupakan tipe friksi (serviceability limit state); sambungan jenis
ini baik untuk gaya bolak-balik. Untuk taraf gaya yang lebih tinggi, sambungan
tersebut merupakan tipe tumpu (strength limit state).

Baut mutu normal dipasang tanpa gaya tarik awal dan merupakan tipe tumpu.
Sedangkan sambungan keling dipasang dengan pemanasan awal. Pada saat
membara material keling diselipkan ke lubang keling dan salah satu ujungnya
dipukul sementara ujung lainnya ditahan. Pukulan tersebut akan membentuk
kepala keling pada ujungnya dan badan keling akan mengisi penuh lubang keling.
Pada saat pendinginan, lubang keling akan memberikan gaya tarik awal, sehingga
sambungan akan menjadi sangat “fit”.

Baut mutu normal dipasang kencang tangan. Baut mutu tinggi dipasang dengan
mula-mula melakukan kencang tangan dan diikuti dengan setengah putaran
setelah kencang tangan; atau menggunakan kunci torsi yang telah dikalibrasi
demikian sehingga menghasilkan setengah putaran setelah kencang tangan.

Pada saat ini sambungan dengan baut biasanya lebih ekonomis daripada dengan
keling. Berikut adalah spesifikasi baut dan keling,

Baut Mutu db Proof Stress Kuat Tarik


(mm) (70% fu, MPa) (fu, MPa)
A307 Normal 6,4 – 10,4 - 410
A325 Tinggi 12,5 – 25,4 585 825
28,6 – 38,1 510 725
Keling Normal - 370

Perhitungan proof load adalah sebagai berikut:

Proof load = Proof Stress * As


2
π ⎡ 0,9743 ⎤
As = ⎢⎣d b - n ⎥⎦ mm2
4

dimana db adalah diameter nominal baut, dan


n adalah jumlah ulir per mm

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 1


Tahanan Tarik Baut/Keling

Tahanan tarik nominal satu baut/keling, Rn:

Rn = f ub As
Dimana f ub adalah kuat tarik baut (MPa)
2
π ⎡ 0,9743 ⎤ 2
As = ⎢⎣d b - n ⎥⎦ mm
4
n adalah jumlah ulir per mm
Karena As = 0,75 ÷ 0,79 Ab maka
Rn = f ub (0,75 Ab)
dimana Ab adalah luas bruto satu baut

Tahanan Geser Baut

Tahanan geser nominal satu baut/keling, Rn:

Rn = m Ab τu * faktor reduksi

m Ab (0,6 f ub ) * 0,8 tanpa ulir pada bidang geser


=
m (0,75 Ab) (0,6 f ub ) * 0,8 dengan ulir pada bidang geser

0,50 m f ub Ab tanpa ulir pada bidang geser


~
0,40 m f ub Ab dengan ulir pada bidang geser

Disini telah dianggap luas neto adalah 0,75 luas bruto, τu = 0,60 f ub , dan m adalah
jumlah bidang geser.

Tahanan Tumpu

t
τ pu = 0,6 f up → untuk material pelat
d
p
τu
Tu

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Tu
≤ Rn = 2 t [L – d/2] τ pu
φ
= 1,2 f up dt [L/d – ½]
L
Untuk = 2 2 3 ⇒ Rn = 2,6 f up dt
d
Untuk baut tepi Rn = L t f up

Dalam peraturan diambil


Rn = 2,4 f up dt untuk semua jenis lubang
Rn = 2,0 f up dt untuk lubang sela panjang ⊥ arah gaya.

Jarak antar baut ≥ 3d; jarak baut tepi dengan ujung pelat ≥ 1½ d. Untuk
mengurangi bahaya korosi, jarak baut tepi terhadap ujung pelat ≤ 12 t ≤ 150
mm.

Lubang Tersusun

Potongan 1 → leleh → Ag = b t
A

B Potongan ABCDE → fraktur


C
F
g1
b
→ An = t [b – 3 (dl + 1½ mm)]
Pu G g2
D

I E H

s1 s2

⎡ s2 s2 ⎤
Potongan ABFDE → fraktur → An = t ⎢b - 3 (d l + 1 1 2 mm) + 1 + 1 ⎥
⎣ 4g 1 4g 2 ⎦

⎡ s12 s 22 ⎤
Potongan ABFGH → fraktur → An = t ⎢b - 3 (d l + 1 2 mm) +
1 + ⎥
⎣ 4g 1 4g 2 ⎦

geser

tarik fraktur
geser

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 3


ta ta t
g = ga - + gb - b
2 2
= ga + gb – ½ (ta + tb)
umumnya ta = tb = t

ga
⇒ g = ga + gb - t
tb

gb

geser
tarik

Contoh:
75/2 75 75/2

60

80 200
T T
60

18

T
T

Baut: jumlah 4 Pelat: tebal = 18 mm


db = 22 mm lebar = 200 mm
f ub = 825 MPa lubang – standar
jumlah bidang geser, m = 1 fy = 240 MPa
f up = 370 MPa

Tanpa ulir pada bidang geser

Leleh pada pelat: φ Tn = φ fy Ag = 0,9 * 240 * 18 * 200 = 78 ton


Fraktur pada pelat: φ Tn = φ fu An U
⎛ 9 ⎞
= 0,75 * 370 * [200 – 2 (22 + 3)] * 18 * ⎜1 - ≤ 0,9 ⎟ = 66 ton
⎝ 75 ⎠
Geser pada baut: φ Rn = 0,75 * (0,5 f ub ) m (Ab * 4)
= 0,75 * 0,5 * 825 * 1 * ¼ π * 222 * 4
= 47 ton

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Tumpu pada pelat: φ Rn = 0,75 (2,4 f up dl t) * 4
= 0,75 [2,4 * 370 * (22 + 1½) * 18] * 4
= 112 ton

∴ Tahanan sambungan adalah 47 ton

φ Rn ≥ Tu
47 ton ≥ 1,2D + 1,6L

Bila D = L/2 maka 47 ton ≥ 2,2 L


L ≤ 21,4 ton
D ≤ 10,7 ton

Jadi beban kerja yang boleh terjadi adalah W = L + D = 32,1 ton

Sambungan Tipe Friksi (BMT) – LRFD

Vu ≤ φ Vn

Vn = 1,13 μ * Proof load * m → untuk satu baut

dimana m adalah jumlah bidang geser.

μ = 0,35

1 untuk lubang standar


φ = 0,85 untuk lubang besar dan sela pendek
0,7 untuk lubang sela panjang ⊥ arah gaya
0,6 untuk lubang sela panjang // arah gaya

Pada kombinasi geser + tarik untuk b.m.t pada sambungan tipe friksi berlaku:

Vu ⎛ Tu n ⎞
≤ φ Vn ⎜⎜1 - ⎟⎟
n ⎝ 1,13 Proof Load ⎠

dimana Tu/n adalah gaya tarik terfaktor untuk satu baut

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 5


Kombinasi Geser dan Tarik pada Sambungan Tipe Tumpu

Ada dua kriteria yang harus dipenuhi:


0,4 φ f ub m → dengan ulir pada bidang geser
Vu
1) fuv = ≤
n Ab
0,5 φ f ub m → tanpa ulir pada bidang geser

Tu
2) φ Rn = φ ft Ab ≥
n

dimana
807 – 1,9 fuv ≤ 621 → dengan ulir pada bidang geser
A325: ft ≤
807 – 1,5 fuv ≤ 621 → tanpa ulir pada bidang geser

A307: ft ≤ 410 – 1,9 fuv ≤ 310

φ = 0,75 ; n adalah jumlah baut;


m adalah jumlah bidang geser

Penjelasan persamaan di atas adalah sebagai berikut. Persamaan interaksi geser


tarik merupakan persamaan lingkaran berikut ini,
2 2
⎡ R ut ⎤ ⎡ R uv ⎤
⎢ ⎥ +⎢ ⎥ ≤1
⎣ φ R nt ⎦ ⎣ φ R nv ⎦

dimana Rut , Ruv masing-masing adalah gaya tarik dan geser terfaktor
Rnt , Rnv masing-masing adalah tahanan nominal tarik dan geser
φt , φv masing-masing adalah faktor tahanan tarik dan geser
(φt = φv = 0,75)

Dalam peraturan digunakan persamaan linier berikut ini

R ut R uv
+ ≤ C
φ t R nt φ v R nv

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 6


R ut
φ t R nt

1,0
lingkaran
linier

R uv
1,0 φ v R nv

Untuk persamaan linier digunakan nilai C = 1,3.

Persamaan linier tersebut ditulis kembali sebagai berikut:

R uv
Rut ≤ 1,3 φt Rnt – φt Rnt
φ v R nv

atau fut ≤ φt ft
R ut
dimana, fut =
Ab
R nt R nt
ft = 1,3 - fuv
Ab φ v R nv
R uv
fuv =
Ab

R nt
mengingat, = 0,75 f ub dan
Ab

0,4 m f ub → dengan ulir pada bidang geser


R nv
=
Ab
0,5 m f ub → tanpa ulir pada bidang geser

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 7


maka
0,75
fuv → dengan ulir pada bidang geser
0,4 m φ v
ft = 1,3 * 0,75 f ub –
0,75
fuv → tanpa ulir pada bidang geser
0,5 m φ v

ft ≤ 0,75 f ub

atau dalam peraturan digunakan untuk A325 (fub = 825 MPa (untuk diameter baut
≤25,4 mm), φv = 0,75 dan m = 1)
1,9 fuv → dengan ulir pada bidang geser
ft = 807 –
1,5 fuv → tanpa ulir pada bidang geser

ft ≤ 621 MPa

0,4 φ m f ub → dengan ulir pada bidang geser


R uv
fuv = ≤
Ab
0,5 φ m f ub → tanpa ulir pada bidang geser

Contoh:

A325 → f ub = 825 MPa


n = 6
Pw = 30 ton
4 db = 22 mm
3
PW D = 2L

D + L = 3 L = 30 ton → L = 10 ton
D = 20 ton

Pu = 1,2 D + 1,6 L = 1,2 * 20 + 1,6 * 10 = 40 ton

Tu = 4 * 40 = 32 ton
5

Vu = 3 * 40 = 24 ton
5

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 8


(a) Untuk sambungan tipe tumpu → tanpa ulir pada bidang geser
Vu 24 * 10 4
Geser: fuv = = = 105 MPa
n Ab 6 * 1 4 π * 22 2
0,5 φ f ub m = 0,5 * 0,75 * 825 * 1 = 309 MPa
fuv < 0,5 φ f ub m → OK

Tarik: ft = 807 – 1,5 fuv ≤ 621


= 807 – 1,5 * 105 = 650 MPa
∴ ft = 621 MPa

φ Rn = φ ft Ab = 0,75 * 621 * ¼ π * 222


= 17,7 ton
Tu 32
= = 5,3 ton
n 6
T
φ Rn > u → OK
n

(b) Untuk sambungan tipe friksi (LRFD)


Vn = 1,13 μ * Proof Load * m
= 1,13 * 0,35 * 1 * Proof Load

Proof Load = 0,75 Ab * Proof Stress


= 0,75 * ¼ * π * 222 * 585 = 16,7 ton

Vn = 1,13 * 0,35 * 1 * 16,7 = 6,6 ton

φ Vn = 1 * 6,6 ton = 6,6 ton


Vu 24
= = 4 ton
n 6
⎛ Tu n ⎞ ⎛ 32 6 ⎞
φ Vn ⎜⎜1 - ⎟⎟ = 6,6 ⎜1 - ⎟ = 4,7 ton
⎝ 1,13 Proof Load ⎠ ⎝ 1,13 * 16,7 ⎠
Vu ⎛ Tu n ⎞
< φ Vn ⎜⎜1 - ⎟⎟ → OK
n ⎝ 1,13 Proof Load ⎠
Contoh:

200

410
370
260
Vu Mu
150
40

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Vu = 6,5 * 104 N db = 16 mm
Mu = 6,3 * 107 N-mm n = 8
Proof Stress = 585 MPa Tanpa ulir pada bidang geser
f ub = 825 MPa

Vu 6,5 * 10 4
Geser: fuv = = = 40 MPa
n Ab 8 * 1 4 π * 16 2
0,5 φ f ub m = 0,5 * 0,75 * 825 * 1 = 309 MPa
fuv < 0,5 φ f ub m → OK
ft = 807 – 1,5 fuv = 807 – 1,5 * 40 = 747 ≤ 621

ambil ft = 621 MPa

b = 200 ni Ab ft = 2 * ¼ π * 162 * 621 = 25 ton

410
370
260
150 Mu = 6,3 t-m
40
a
fy

a fy b = nl * (ni Ab ft)
n * (n i A b f t ) 4 * (2 * 14 * π * 16 2 * 621)
a = l = = 20,8 mm
fy b 240 * 200
a
Mn = ni Ab ft (40 + 150 + 260 + 370) – a fy b
2
= 25 * 104 * 820 – ½ * 20,82 * 240 * 200
= 19,5 t-m

Md = φ Mn = 0,75 * 19,5 = 14,6 t-m > Mu (= 6,3 t-m) → OK

Geser Eksentris
P P
e

c.g
= +
M=P.e

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 10


a) Analisis elastis → bebas friksi, pelat kaku, baut elastis
Dua cara
b) Analisis plastis → pusat rotasi sesaat, deformasi baut sebanding
terhadap jarak baut dari pusat rotasi sesaat.

a) Analisis Elastis

Rxi

Ryi Ri eyi
M

x
c.g
exi

n
∑ (+ R xi e yi + R yi e xi ) = M
i =1

n adalah jumlah baut


e yj
Asumsi: Rxj = Rxi
e yi
e xj
Ryj = Ryi
e xi

Persamaan momen menjadi,

Rx1 ey1 + Rx2 ey2 + ……….. + Rxn eyn

+ Ry1 ex1 + Ry2 ex2 + ……….. + Ryn exn = M

e 2y 2 e 2yn
Rx1 ey1 + Rx1 + ……….. + Rx1
e y1 e y1

e 2x 2 e2
+ Ry1 ex1 + Ry1 + ……….. + Ry1 xn = M
e x1 e x1

e y1
Rx1 = Ry1
e x1

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 11


Jadi,
R y1
e x1
[(e 2
y1 + ........ + e 2yn ) + (e 2x1 + ........ + e 2xn ) ] = M

M e x1
↓ R y1 =
(e + ...... + e ) + (e 2x1 + ...... + e 2xn )
2
y1
2
yn

M e y1
R x1 =
(e + ...... + e ) + (e 2x1 + ...... + e 2xn )
2
y1
2
yn

P
↓ Rv =
n

R1 = (R y1 + R v ) 2 + R 2x1

M e xi M e yi
∴ Ryi = ; Rxi =
Σ e 2xj + Σ e 2yj Σ e 2xj + Σ e 2yj

Ri = (R yi + R v ) 2 + R 2xi

Contoh:
Pu = 11 ton
50 50 75

1 4

75

Σ e 2xj = 502 * 6 = 15000 mm2


2 5

75 Σ e 2yj = 752 * 4 = 22500 mm2

3 6
Mu = 11 * (50 + 75) * 104 = 1,375 t-m

M u e x4 1,375 * 10 7 * 50
Baut 4: Ry4 = = = 1,8 ton
15000 + 22500 37500

M u e y4 1,375 * 10 7 * 75
Rx4 = = = 2,75 ton
15000 + 22500 37500

110.000
Rv = = 1,8 ton
6
R4u = (1,8 + 1,8) 2 + 2,75 2 = 4,53 ton
φ R4n = φ 0,5 f ub Ab m (tanpa ulir pada bidang geser)
φ R4n = R4u ⇒ db = 13,7 mm
ambil db = 14 mm ⇒ Pu = 11,6 ton

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 12


φ R4n = 0,75 * 0,5 fub Ab m
= 0,75 * 0,5 * 825 * ¼π * 142 * 1 = 4,76 * 104 N
Pu = 1,2 D + 1,6 L
anggap D = 2 L → 11,6 = 2,4 L + 1,6 L = 4 L
L = 2,9 , D = 5,8 dan W = L + D = 8,7 ton

Baut friksi pada lubang standar (φ = 1)


φVn = 1 * 1,13 * μ * Proof Load * m
= 1,13 * 0,35 * [¼ π * 142 * 585 * 0,75] * 1
= 2,7 ton
2,7
Pu = * 11,6 = 6,6 = 1,2 * 2 L + 1,6 L
4,76
L = 1,65
D = 3,3
W = 4,95 ton

b) Analisis Plastis: (Paling rasional)


i) Tipe tumpu

δ
e
δ Pu
Rdi
i

r0 yi
di
c.g
-yp
θi
prs

xi
- xp

yi - y p xi - xp
sin θi = ; cos θi =
di di

di = [(xi – xp)2 + (yi – yp)2] ½

r0 = - xp cos δ - yp sin δ

Σ H = 0 → Σ Rdi sin θi – Pu sin δ = 0 ................................ (1)


Σ V = 0 → Σ Rdi cos θi – Pu cos δ = 0 ............................... (2)
Σ M = 0 → Σ Rdi di – Pu (e + r0) = 0 .................................. (3)

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 13


Rdi =  Rni hi

dimana Rni adalah tahanan nominal satu baut


i adalah perpindahan baut i dalam mm, dengan max=8,6mm;
di di
i = * max = 8,6; dmax = max {di}
d max d max
hi = [1 – exp (-0,4 i)]0,55 adalah fungsi deformasi untuk baut
tumpu.

Selesaikan Persamaan (2) untuk Pu diperoleh


 xi - xp
Pu =  Rni [1 – exp (-0,4 i)]0,55 ............. (4)
cos  di

Substitusi Persamaan (4) ke Persamaan (1) diperoleh

yi - y p
 Rni [1 – exp (-0,4 i)]0,55 –
di
xi - xp
tan   Rni [1 – exp (-0,4 i)]0,55 = 0 ................. (5)
di

Substitusi Persamaan (4) ke Persamaan (3) diperoleh

 Rni [1 – exp (-0,4 i)]0,55 di – [e – (xp cos  + yp sin )] *

1 xi - xp
 Rni [1 – exp (-0,4 i)]0,55 = 0 ............. (6)
cos  di

Bila digunakan baut-baut yang identik maka Persamaan(5) dan (6) menjadi:
yi - y p
 [1 – exp (-0,4 i)]0,55 –
di
xi - xp
tan   [1 – exp (-0,4 i)]0,55 = 0 ............. (7)
di
 [1 – exp (-0,4 i)]0,55 di – [e – (xp cos  + yp sin )] *

1 xi - xp
 [1 – exp (-0,4 i)]0,55 = 0 .......... (8)
cos  di

Persamaan (7) dan (8) akan diselesaikan untuk xp, yp dan Pu diperoleh melalui
Persamaan (4).

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 14


Contoh:

Ulangi contoh sebelumnya dengan cara analisis plastis dan tanpa ulir pada
bidang geser. Gunakan baut mutu tinggi (A325) dengan db = 14 mm.
Pu

xi

1 4
75 yi
=0
2 5
75

3 6

75
50 50

Rni = 0,5 f ub Ab m untuk i = 1, ……, 6

= 0,5 * 825 * ¼  * 142 * 1


= 6,35 ton

db = 14 mm xp = -51,46 mm Pers. (7) = 0


 = 0 rad yp = 0 mm Pers. (8) = -0,0029
e = 125 mm dmax = 126
r1 = 0,5 Rdi = 4,76E+04 N
f = 0,75 Pu,geser = 1,31E+05 N
tp = 12 mm Pu,tumpu = 7,43E+05 N
fu = 370 MPa Pu = 1,31E+05 N

No. Pers. (7) Pers. (8)


baut xi yi di i
Sum 1 Sum 2 Sum 1 Sum 2

1 -50 75 75,01 5,11 0,93 0,02 69,51 0,02


2 -50 0 1,46 0,10 0,00 0,17 0,25 0,17
3 -50 -75 75,01 5,11 -0,93 0,02 69,51 0,02
4 50 75 126,17 8,60 0,58 0,79 123,93 0,79
5 50 0 101,46 6,92 0,00 0,96 97,90 0,96
6 50 -75 126,17 8,60 -0,58 0,79 123,93 0,79
0,00 2,75 485,03 2,75

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 15


Pu = 13 ton vs 11,6 ton dengan cara elastis
13 = 1,2 (2 L) + 1,6 L = 4 L  L = 3,25
D = 6,5 +
W = 9,75 ton
ii) Tipe friksi

Serupa dengan tipe tumpu tapi Rdi konstan sebagai berikut:

Rdi =  Rn hi =  * 1,13 *  * Proof Load * m * hi

dimana m adalah jumlah bidang geser


 = 0,35
1 untuk lubang standar
 = 0,85 untuk lubang besar dan sela pendek
0,7 untuk lubang sela panjang  arah gaya
0,6 untuk lubang selan panjang // arah gaya
di
hi = adalah fungsi deformasi untuk baut friksi.
(d i ) max

Jadi persamaan kesetimbangan menjadi

 H = 0   Rn  hi sin i – Pu sin  = 0 .......................... (1)


 V = 0   Rn  hi cos i – Pu cos  = 0 ......................... (2)
 M = 0   Rn  hi di – Pu (e + r0) = 0 ............................ (3)

Selesaikan Persamaan (2) untuk Pu diperoleh


 Rn
Pu =  (xi – xp) ................................... (4)
cos  (d i ) max

Substitusi Persamaan (4) ke Persamaan (1) dan sederhanakan diperoleh

 (yi – yp) – tan   (xi – xp) = 0 .................................... (5)

Substitusi Persamaan (4) ke Persamaan (3) dan sederhanakan diperoleh


1
 d i2 - [e - (xp cos  + yp sin )]  (xi – xp) = 0 .... (6)
cos 
Persamaan (5) dan (6) akan diselesaikan untuk xp, yp dan Pu dan diperoleh
dari Persamaan (4).

Contoh:

Selesaikan contoh sebelumnya untuk sambungan tipe friksi.


 Rn =  * 1,13 *  * Proof Load * m

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 16


= 1 * 1,13 * 0,35 * [¼  * 142 * 0,75 * 585] * 1
= 2,7 ton

f = 1 xp = -50 mm Pers. (5) = 0


f Rni = 2,70E+04 N yp = 0 mm Pers. (6) = -0
 = 0 rad Pu = 6,48E+04 N
e = 125 mm dmax = 125,00 mm

No. Pers. (5) Pers. (6)


baut xi yi di hi
Sum 1 Sum 2 Sum 1 Sum 2

1 -50 75 75,00 0,60 75,00 0,00 5625,00 0,00


2 -50 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
3 -50 -75 75,00 0,60 -75,00 0,00 5625,00 0,00
4 50 75 125,00 1,00 75,00 100,00 15625,00 100,00
5 50 0 100,00 0,80 0,00 100,00 10000,00 100,00
6 50 -75 125,00 1,00 -75,00 100,00 15625,00 100,00
0,00 300,00 52500,00 300,00

Pu = 6,50 ton = 1,2 (2 L) + 1,6 L = 4 L


L = 1,63
D = 3,25 +
W = 4,88 ton

Resume:
tumpu: Pu = 13 ton (100%)
plastis
friksi: Pu = 6,5 ton (50%)
Sambungan
geser eksentris tumpu: Pu = 11,6 ton (90%)
elastis
friksi: Pu = 6,6 ton (50%)

Anatomi Baut Dalam Tarik

Saat pengencangan

Ci = Tb
Ab Ap Ci
t Eb Ep p’ = t
Ap Ep
p’

Ci Tb
b’ b’ = t
Ab Eb

Sambungan Tb Sindur P. Mangkoesoebroto 17


Saat pembebanan sambungan

P/2 P/2

Tf = Cf + P
Cf  0
p
b
Cf

Tf

Tf

T b = Ci P Ci = T b

Cf

P>0 P>0
P=0 P=0
pelat baut

baut Tf

Tf
Tb/
P/(1+)
1/(1+)
Tb = Ci
/(1+)
P
P

P/(1+)

=ApEp/AbEb

P
Cf
pelat
45º
P
Cf = 0

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 18


Ada dua kasus yang akan ditinjau

1) Cf > 0  Tf = Cf + P
2) Cf = 0  Tf = P

Tf - Tb
Kasus 1) Cf > 0  b = t
Ab Eb
b = p
C -C
p = i f t
Ap Ep

Ab Eb
 Tf - Tb  (Tb – Tf + P)
Ap Ep

 A E   A E  Ab Eb
Tf 1  b b   Tb 1  b b  P
 A E   A E  A E
 p p   p p  p p

Ab Eb
Tf = Tb + P ------- Cf > 0
Ap Ep  Ab Eb

Kasus 2) Cf = 0  Tf = P

Ab Eb
P – Tb = Tb
Ap Ep

Ab Eb  Ap Ep
 P  Tb
Ap Ep

Resume: (Eb = Ep)

Ab  Ap Ab
P  Tb  Tf = Tb + P
Ap Ab  Ap

Ab  Ap
P > Tb  Tf = P
Ap

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 19


Contoh:
Suatu sambungan tarik dengan baut A325, db = 22 mm, jumlah baut 4 buah, Ap =
25000 mm2. Berapakah beban kerja maksimum yang dapat diberikan sebelum
terjadi separasi pada pelat sambungan. Anggap D = ¼ L

Jawab: f ub = 825 MPa


Proof Stress = 585 MPa
Tb = Proof Stress * n * 0,75 Ab
= 585 * 4 * 0,75 * ¼  * 222 = 67 ton

Saat terjadi separasi,

Ab  Ap
P = Tb
Ap

4 * 14  22 2  25000
= * 67 = 71 ton
25000
71 = 1,2 D + 1,6 L = 1,2 (¼ L) + 1,6 L = 1,9 L

L = 37
D = 9 +
W = 46 ton

7.2 SAMBUNGAN LAS

Las:

Ukuran las adalah seperti ditunjukkan berikut ini:

t < 6,4 mm

amax = t

Bila t < 6,4 mm maka amax = t , dan


Bila t  6,4 mm maka amax = t – 2 mm

t1 t2

te = t1

Bila t = t1 = t2 maka te = t

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 20


D te te = 0,707a
a

Bila 45o <  < 60o maka te = D – 3 mm


Bila   60o maka te = D

Tahanan Nominal Las

Las tumpul:
Tarik/tekan: Rnw = t fy per mm’
Geser: Rnw = t (0,6 fy) per mm’

dimana fy adalah kuat leleh material baja yang disambung

Las sudut: Rnw = te (0,6 fuw) ............................... las


atau: Rnw = t (0,6 fu) .................................. bahan dasar

Perencanaan Las – LRFD

 Rnw  Ru
 = 0,90 untuk leleh
 = 0,75 untuk fraktur

Las Tumpul (penetrasi penuh)

1) Tarik/tekan normal terhadap luas efektif


 Rnw = 0,9 t fy ............................ bahan dasar

 Rnw = 0,8 te fuw .......................... las


2) Geser terhadap luas efektif
 Rnw = 0,9 t (0,6 fy) .................... bahan dasar
 Rnw = 0,8 te (0,6 fuw) ................. las

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 21


Las Sudut:

 Rnw = 0,75 te (0,6 fuw) ............... las


 Rnw = 0,75 t (0,6 fu) .................. bahan dasar

Contoh:

20
Pu = 60 ton
70
t = 7 mm

fuw = 490 MPa (E-70xx)


fu = 370 MPa

amax = t – 2 mm
= 7 – 2 = 5 mm

te = 0,707 * amax = 0,707 * 5 = 3,54 mm

a)  Rnw = 0,75 te (0,6 fuw) ............... las

= 0,75 * 3,54 * 0,6 * 490 Lw  30 * 104

Lw  384 mm (menentukan)

b)  Rnw = 0,75 t (0,6 fu) ................ bahan dasar

= 0,75 * 7 * 0,6 * 370 Lw  30 * 104

Lw  257 mm

 Lw = 390 mm
Lw1 = 244 x = 20

Lw2 = 70 70

Lw3 = 76

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 22


L w2 * L w2 2  L w3 * 70 1
2 * 70 2  70 L w3
x    20
L w1  L w2  L w3 390

 Lw3 = 76 mm
Lw1 = 390 – 70 – 76 = 244 mm

Sambungan Geser Eksentris

Cara Elastis y

L1

te

Puy

L2 x
c.g
Pux
T

te

te

L1

Prosedur: 1) Tentukan Ix , Iy  Ip=Ix+Iy


2) Tentukan A
P Puy
3) Hitung  'ux  ux dan  'uy 
A A
4) Tentukan titik terjauh dari c.g  xmax , ymax dan hitung

Tu y max
 "ux 
Ip
Tu x max
 "uy 
Ip

5) 
 u  ( 'uy  "uy ) 2  ( 'ux   "ux ) 2 1
2
 0,6 fuw 

dimana  = 0,75

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 23


Contoh:
x y

te

A  (2 * 150  200) t e  500 t e


100
305

x 2 * 150 * 75
200 x t e  45 mm
Pu = 11,2 ton 500 t e
100
D=L

Pw = D + L = 2L = 8 ton
45 105 L = 4 ton
150 D = 4 ton

Pu = 1,2 D + 1,6 L = 1,2 * 4 + 1,6 * 4 = 11,2 ton

1
Ix  * t e * 200 3  150 * t e * 100 2 * 2  3,67 * 10 6 t e mm 4
12

1 2
I y  200 * t e * 45 2   * t e * 150 3  t e * 150 * 75 - 45  * 2
12 

 1,24 * 10 6 t e mm 4

I p  I x  I y  4,91 *10 6 t e mm 4

x '  0

Puy 11,2 * 10 4 224


y '   
A 500 t e te

x "  

Tu y max 11,2 * 10 4 * 305 * 100 696


Ip 4,91 * 10 6 t e te

y "  

Tu x max 11,2 *10 4 * 305 * 105 731


Ip 4,91 * 10 6 t e te

1
 696  2  224 731  2  2
1182
 u           0,6 f uw 
 t e   t e t e   te

fuw = 490 MPa


 te  5,34 mm
 = 0,75
atau a  7,58 mm

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 24


Cara Plastis

Pu
y Lw

Rdi

c.g
x
di
-yp i
i

prs
-xp
Lw
e
i

r0 0 α i π
2

r0  - x p cos  - y p sin 

Σ H  0  Σ R di sin θ i - Pu sin δ  0 .................................................. (1)


Σ V  0  Σ R di cos θ i - Pu cos δ  0 ................................................. (2)
Σ M  0  Σ R di d i - Pu (e  r0 )  0 .................................................. (3)


R di   R ni h i   0,6 f uw t e L wi 1  0,5 sin 1,5 i h i 
0,3
Δ  Δ 
dimana hi =  i 1,9 - 0,9 i  adalah fungsi deformasi untuk las.
Δ mi  Δ mi 


 mi  8,23 * 10 -3  i  2 
0 ,32
a 
te  0 , 32
 * 8,23 *10 -3  i  2
0,707

 0,0116 t e  i  2 i dalam derajat 


0, 32

 ui  0,0428  i  6
0, 65
a

 0,0605 t e  i  6
0 , 65
 9,47 *10 -3 t e

  uj 
i  di  
 dj 
  min

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 25


 
 0,0605 t e  j  6 0, 65  9,47 * 10 -3 t e 
 di  
 dj 
  min
 0,0605  j  6 0 , 65
 - 3
 9,47 * 10 
 di te 
 dj 
  min

Rdi
i - i
i
i
i

i
di
i + i - i = 
2
yi i
i = 
2 + i - i
prs

yp
0  i  
2

c.g
xi

xp

yi - y p
sin  i 
di
1

d i  x i - x p   y i - y p 
2 2
 2

xi - xp
cos  i 
di

i di t e   
 0,0605  j  6 0,65  9,47 * 10 -3 


 mi 0,0116 t e  i  2 0,32  dj 
  min

di   
 0,0605  j  6 0,65  9,47 * 10 -3 


0,0116  i  2 
 0 , 32  dj 
  min

Selesaikan Persamaan (2) untuk Pu diperoleh


1
Pu   R di cos  i .............................................. (4)
cos 

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 26


Sustitusi Pu ke Persamaan (1) dan (3) di dapat

 Rdi sin i – tan   Rdi cos i = 0



 Rdi di - e - x p cos   y p sin    cos1   R di cos  i  0

Untuk nilai  fuw te yang identik diperoleh

yi - yp xi - xp

 1  0,5 sin 1,5  i h i  di

- tan   1  0,5 sin 1,5

i h i
di
 0 ….. (5)

1
  
 1  0,5 sin 1,5  i h i d i - e - x p cos   y p sin   *  cos 
xi - xp

*  1  0,5 sin 1,5  i h i
di

 0 ........................................................... (6)

Persamaan (5) dan (6) di selesaikan untuk xp, yp, dan Pu diperoleh dari Persamaan
(4) atau

L

Pu  0,6 t e f uw   1  0,5 sin 1,5  i h i cos  i  cos 
w

Contoh:
Selesaikan contoh soal las sebelumnya dengan cara plastis (te = 5,34 mm, Lw = 50
mm).

3 2 1

4
 Pu = 20 ton  100 %
100 y Cara elastis:
5
305 Pu = 11,2 ton  56 %
x
Pu = ?
6
45 105
100

8 9 10
150

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 27


STRENGTH OF FILLET WELD

φf = 0,75 xp = -41,73 mm Persamaan (5) = 1.1102E-16


fuw = 490 MPa yp = 0 mm Persamaan (6) = - 0.0151
δ = 0 rad Pu = 202,243 N
e = 305 mm
te = 5,34 mm
Lw = 50 mm

Persamaan (5) Persamaan (6)


i xi yi 0<αi<1,57 di 0<φi<1,57 θi Δi/Δmi hi Sum 1 Sum 2 Sum 1 Sum 2
1 80 100 0.0000 157.54 0.8831 0.6877 1.34 0.98 0.831 1.01 206.32 1.01
2 30 100 0.0000 123.07 0.6222 0.9486 0.94 1.00 0.991 0.71 150.07 0.71
3 -20 100 0.0000 102.83 0.2140 1.3568 0.58 0.93 0.957 0.21 100.21 0.21
4 -45 75 1.5708 75.07 1.5272 1.6144 0.76 0.98 1.463 -0.06 109.92 -0.06
5 -45 25 1.5708 25.21 1.4407 1.7009 0.25 0.77 1.141 -0.15 29.02 -0.15
6 -45 -25 1.5708 25.21 1.4407 -1.7009 0.25 0.77 -1.14 -0.15 29.02 -0.15
7 -45 -75 1.5708 75.07 1.5272 -1.6144 0.76 0.98 -1.46 -0.06 109.92 -0.06
8 -20 -100 0.0000 102.33 0.2140 -1.3568 0.58 0.93 -0.96 0.21 100.21 0.21
9 30 -100 0.0000 123.07 0.6222 -0.9486 0.94 1.00 -0.99 0.71 150.07 0.71
10 80 -100 0.0000 157.54 0.8831 -0.6877 1.34 0.98 -0.83 1.01 206.32 1.01
0.00 3.44 1191.08 3.44

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 28


Beban Eksentris Normal pada Las
Pu
e 2te
Vu

Lw
Vu Mu

τu, max τu σu

3 Pu
τ u , max =
2 2t e L w

Pu
τu =
2t e L w

Lw
Mu
σu = 2 = 3 Pu e
1
12
(2 t e ) L w 3 t e L w 2
2
⎛σ⎞ ⎛ e ⎞
2
Pu
τ uR = τ +⎜ ⎟ =
2
1 + 9 ⎜⎜ ⎟⎟ ≤ 0,6 φ f uw ........................ (7)
⎝2⎠ 2 te Lw ⎝ Lw ⎠
⎡ ⎛ e ⎞
2 ⎤
σ ⎛σ⎞
2
Pu ⎢ e ⎥ ≤ φ f uw ......
σ uR = + τ2 + ⎜ ⎟ = 3 + 1 + 9 ⎜⎜ ⎟⎟ (8)
2 ⎝2⎠ 2 te Lw ⎢ Lw ⎝ Lw ⎠ ⎥
⎣ ⎦

dan a = te / 0,707
φ = 0,75
fuw adalah kuat tarik material las

Contoh:
Pw = 20 t

100
Tentukan ukuran las, a?

fuw = 490 MPa


300

1
Pu = (1,2 + 1,6) 2 Pw = 28 ton

D=L

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 29


2
Pu ⎛ e ⎞
1 + 9 ⎜⎜ ⎟⎟ ≤ 0,6 φ f uw
2 te Lw ⎝ Lw ⎠
2
Pu ⎛ e ⎞
te ≥ 1 + 9 ⎜⎜ ⎟⎟
2 . 0,6 φ f uw L w ⎝ w⎠
L

2
28 * 10 4 ⎛ 100 ⎞
= 1+ 9 ⎜ ⎟
2 * 0,6 * 0,75 * 490 * 300 ⎝ 300 ⎠

= 2,99 mm

Ambil te=3,10mm

Cek Pers. (8).

⎡ ⎛ e ⎞ ⎤⎥ 28 * 10 4 ⎡ 100 ⎛ 100 ⎞ ⎤⎥
2 2
Pu ⎢ e
σ uR = 3 + 1 + 9 ⎜⎜ ⎟ = ⎢3* + 1+ 9 ⎜ ⎟
2 te Lw ⎢ Lw ⎝ L w ⎟⎠ ⎥ 2 * 3,10 * 300 ⎢ 300 ⎝ 300 ⎠ ⎥
⎣ ⎦ ⎣ ⎦
= 363 MPa ≤ φ f uw (= 0,75 * 490 = 368 MPa )

3,10
a≥ → a ≥ 4,38 mm
0,707

Sambungan Sindur P. Mangkoesoebroto 30


Tahanan Elemen Pelat akibat Tekanan Seragam

Kuat tekuk elastis elemen pelat akibat tekan seragam adalah

π2 E
fcr = k
12 (1 - ν 2 ) (b/t) 2

dimana k adalah konstanta yang besarnya bergantung pada tipe tegangan, kondisi
tumpuan sisi pelat, perbandingan lebar terhadap panjang, dan terhadap tebal
pelat [lihat Grafik A].

16

kaku kaku
A B
kaku sendi
14

sendi kaku
C D
sendi bebas
12

a
sendi
E
b
bebas
10
Koefisien Tekuk k

sisi beban kaku

sisi beban sendi

A
kmin = 6,97

B
kmin = 5,42

4 C
kmin = 4,00

D
kmin = 1,277

E
0
1 2 3 4 5

a/b kmin = 0,425

Grafik A

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 1


Elemen pelat yang tertekan dari suatu komponen struktur pada umumnya dikategorikan
dalam dua kelas yaitu elemen dengan pengaku (elemen yang ditumpu pada kedua
sisinya yang sejajar dengan arah kerja gaya, kasus A s/d C), dan elemen tanpa pengaku
(elemen yang ditumpu pada salah satu sisinya yang sejajar dengan arah kerja gaya,
sedang sisi lainnya berada pada posisi bebas, kasus D & E).

b
t

t
b t b
t

Elemen pelat dengan pengaku

t t

b b
t
t

Elemen pelat tanpa pengaku

Hubungan antara regangan aksial dengan gaya normal pada suatu elemen pelat
digambarkan berikut ini.
σ
b
<<
P t
fy
Pasca tekuk
fcr
b
>>
σ t

Pasca tekuk
Sendi t
fcr
σ

P σ
b

εaksial

Perhatikan bahwa kuat pasca tekuk lebih besar pada elemen dengan b/t yang lebih besar.
Untuk nilai b/t yang lebih kecil kuat pasca tekuk menjadi lebih kecil, dan seluruh
elemen pelat dapat mencapai batas lelehnya atau bahkan hingga strain – hardening
sehingga fcr/fy > 1.

Persamaan kuat tekuk elastis dapat ditulis sebagai berikut:

f cr π 2 Ek 1
= = 2
fy 12 (1 - ν ) (b/t) f y
2 2
λc

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 2


⎛ b ⎞ 12 (1 - ν ) f y
2

atau λc = ⎜ ⎟
⎝t⎠ π 2 Ek

f cr Strain hardening
fy Pelat tanpa pengaku
Pelat dengan pengaku
kolom
leleh
1,0 A

Tekuk inelastis: Teg. sisa dan cacat

0,5
Tekuk elastis
1
λ2c
λr

λc
0,17 0,46 0,58 0,70 1,0 2 1,5

fy

Daerah plastis Daerah strain hardening

εy εsh ~ 15 ~ 20 εy ε

Tahanan pelat akibat tekan pada sisinya dapat ditentukan oleh salah satu dari berikut ini:
1) Strain hardening untuk λc <<
2) Leleh pada λc ~ 0,5 ~ 0,6
3) Tekuk inelastis
4) Tekuk elastis, λc ~ 1,4
5) Pasca tekuk, λc > 1,5

Batasan λr:

Batas kelangsingan λr adalah kriteria untuk parameter b/t demikian sehingga dapat
dicapai kuat leleh tanpa terjadi tekuk lokal. Secara ideal hal ini diperoleh bila fcr = fy
atau λc = 1 yaitu pada titik A, atau

π 2 Ek
f cr = ≥ fy
12 (1 - ν 2 ) (b/t) 2

atau dengan mengambil ν = 0,3 dan E = 200.000 MPa maka

b k
≤ 425
t fy

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 3


Mengingat adanya tegangan sisa dan cacat maka λc umumnya diambil < 1, dan λc = 0,7
dianggap cukup mewakili.

b k k
Jadi ≤ 425 λ c = 297,5
t fy fy

Lihat Tabel 4.5-1 Konsep Peraturan Baja Indonesia.

Tabel 4.5-1
Perbandingan Maksimum Lebar terhadap Tebal untuk Elemen Tertekan
(Simbol mengacu pada Gambar 4.5-1).
Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal
lebar terhadap
tebal
(λ) λp λr
(tak-kompak)
(kompak)
Pelat sayap balok-I dan kanal b/t 170 / f y [c] 370 / f y − f r [e]
dalam lentur
Pelat sayap balok-I hibrida b/t 170 / f yf 420
atau balok tersusun yang di [e][f]
las dalam lentur ( f yf − f r ) / k e

Pelat sayap dari komponen- b/t - 290 / f y / k e [f]


komponen struktur tersusun
dalam tekan

Sayap bebas dari profil siku b/t - 250 / fy


kembar yang menyatu pada
sayap lainnya, pelat sayap (k = 0,70)
dari komponen struktur kanal
dalam aksial tekan, profil
siku dan plat yang menyatu
dengan balok atau komponen
struktur tekan
Sayap dari profil siku b/t - 200 / fy
tunggal pada penyokong,
sayap dari profil siku ganda (k = 0,425)
dengan pelat kopel pada
penyokong, elemen yang
tidak diperkaku, yaitu, yang
ditumpu pada salah satu
sisinya
Pelat badan dari profil T d/t - 335 / fy
(k = 1,277)

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Tabel 4.5-1 (Lanjutan)
Perbandingan Maksimum Lebar terhadap Tebal untuk Elemen Tertekan
(Simbol mengacu pada Gambar 7.5-1).
Jenis Elemen Perbandingan Perbandingan maksimum lebar terhadap tebal
lebar
terhadap tebal λp λr
(λ) (tak-kompak)
(kompak)
Pelat sayap dari penampang b/t 500 / fy 625 / fy
persegi panjang dan
bujursangkar berongga (k = 4,4)
dengan ketebalan seragam
yang dibebani lentur atau
tekan; pelat penutup dari
pelat sayap dan pelat
diafragma yang terletak di
antara baut-baut atau las
Bagian lebar yang tak b/t - 830 / fy
terkekang dari pelat penutup
berlubang [b] (k = 6,97)
Bagian-bagian pelat badan h/tw 1.680 / f y [c] 2.550 / f y [g]
dalam tekan akibat lentur [a]
Bagian-bagian pelat badan h/tw Untuk [g]
dalam kombinasi tekan dan Nu /φbNy<0,125 [c] 2.550 ⎡ 0,74 N u ⎤
lentur ⎢1 − ⎥
1.680 ⎡ 2,75 N u ⎤ f y ⎢⎣ φb N y ⎥⎦
⎢1 − ⎥
f y ⎣⎢ φb N y ⎦⎥

Untuk Nu/φbNy>0,125
[c]
500 ⎡ N ⎤ 665
⎢2,33 − u ⎥ ≥
fy ⎣⎢ φ ⎥
bN y ⎦ fy

Elemen-elemen lainnya yang b/t - 665 / fy


diperkaku dalam tekan h/tw
murni; yaitu dikekang (k = 5,0)
sepanjang kedua sisinya

Penampang bulat berongga D/t [d]


Pada tekan aksial - 22.000/fy
Pada lentur 14.800/fy 62.000/fy
[a] Untuk balok hibrida, gunakan kuat leleh pelat [e] fr = tegangan tekan residual pada pelat sayap
sayap fyf sebagai ganti fy. = 70 MPa untuk penampang dirol
[b] Ambil luas neto plat pada lubang terbesar. = 115 MPa untuk penampang dilas
[c] Dianggap kapasitas rotasi inelastis sebesar 3. 4
Untuk struktur-struktur pada zona gempa tinggi [f] k e = tapi, 0,35 < ke < 0,763
diperlukan kapasitas rotasi yang lebih besar. h / tw
[d] Untuk perencanaan plastis gunakan 9.000/fy. [g] f y adalah kuat leleh minimum.

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 5


b
tf tf b t
b

hc t

h tw h
hc

b b

h h

Gambar 4.5-1 Simbol untuk beberapa variabel penampang.

Batasan λp:

Batas kelangsingan λp adalah kriteria untuk parameter b/t demikian sehingga dapat
dicapai penguatan regangan atau strain hardening (εsh ~ 15 ~ 20 εy) tanpa terjadi tekuk
lokal. Meskipun hal ini umumnya menjadi perhatian pada flens tekan dan sejenisnya
dari suatu komponen struktur lentur, namun tidak menjadi pertimbangan utama pada
batang tekan.

Untuk elemen tanpa pengaku diambil λc = 0,5 dan k = 0,425 sehingga diperoleh,

b 138

t fy

Namun, mengingat didalam kenyataannya regangan yang terjadi hanya mencapai


7 ~ 9 εy maka persyaratan tersebut diatas menjadi

b 170

t fy

Untuk kasus elemen dengan pengaku diambil λc = 0,6 dan k = 4 sehingga diperoleh,

b 500

t fy

Lihat Tabel 4.5-1 Konsep Peraturan Baja Indonesia.

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 6


Tahanan Tekuk dan Pasca-Tekuk Elemen Pelat

f(x)
simetri Daerah tak efektif pada pasca tekuk
f(x)

fmax fmax
X

b be /2 be /2 be adalah lebar efektif

=
sendi

Elemen pelat dengan pengaku (a)


f(x)

f(x) Tegangan tereduksi supaya


tak simetri tidak terjadi tekuk

fmax
frerata < fmax
X

b b

=
sendi bebas sendi bebas

Elemen pelat tanpa pengaku (s)

Pengaruh terhadap Tahanan Tekan Kolom

Untuk pelat dengan pengaku,

A ef
Pn = Aef . fmax = fmax Ag = Qa Ag fmax
Ag
Aef
dimana Qa = Aef /Ag ≤1

Untuk pelat tanpa pengaku,

f rerata
Pn = f rerata Ag = fmax Ag = Qs fmax Ag
f max
f rerata

f rerata
dimana, Qs = ≤1
f max

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Untuk suatu penampang tekan yang mengandung pelat dengan pengaku dan pelat tanpa
pengaku,

f rerata A ef
Pn = f rerata Aef = fmax Ag
f max A g

= Qs Qa fmax Ag = Q fmax Ag

dimana Q = Qs Qa ≤1

Untuk penampang yang mempunyai perbandingan lebar terhadap tebal elemen lebih
besar daripada nilai λr pada Tabel 4.5-1, tahanan aksial rencana komponen struktur
tekan dihitung sebagai berikut:

Nd = φc Nn

dimana φc = 0,85
Nn = Ag fcr = Ag f y ω
atau fcr = f y ω

untuk λc ≤ 0,25 Q maka ω = 1


Q
1,43/Q
untuk 0,25 Q < λc < 1,2 Q maka ω =
1,6 - 0,67 λ c Q
untuk λc ≥ 1,2 Q maka ω = 1,25 λ2c

dimana Ag adalah luas penampang bruto


fcr adalah kuat kritis penampang
fy adalah kuat leleh material
λ fy L
λc = dan λ = k
π E i
1.0
Q=1.00
Q=0.90
Q=0.80
fcr /fy=1/

Q=0.70
0.5
Q=0.60
Q=0.50
Q=0.40
Q=0.30
0.0
0 1 2
λc

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 8


Hasil perhitungan tekuk lentur tersebut harus dibandingkan dengan hasil perhitungan
tekuk lentur torsi atau tekuk torsi (lihat topik bahasan selanjutnya), serta tahanannya
diambil yang terkecil diantara keduanya.

Faktor Bentuk untuk Penampang dengan Elemen dengan Pengaku

Bila perbandingan lebar terhadap tebal (b/t) dari elemen dengan pengaku yang dibebani
secara seragam melebihi λr, maka lebar efektif, be, harus digunakan untuk menghitung
besaran-besaran penampang komponen struktur.

a) Untuk flens-flens bujur sangkar dan persegi panjang dengan tebal seragam:

625
bila b ≥ maka
t f
t ⎡ 170 1 ⎤
be = 855 ⎢1 - ⎥≤b
f ⎣ f (b / t ) ⎦

b) Untuk elemen lainnya yang dibebani secara seragam:

665
bila b ≥ maka
t f
t ⎡ 150 1 ⎤
be = 855 ⎢1 - ⎥≤b
f ⎣ f (b / t ) ⎦

dimana b adalah lebar elemen


be adalah lebar efektif
t adalah tebal
f = Pu A g

A ef A g - ∑ (b - b e ) t
dan Qa = =
Ag Ag
Ag adalah luas bruto penampang komponen struktur.

c) Untuk penampang bulat yang dibebani secara seragam:

22.000/fy < D/t < 90.000/fy

7600 2
Qa = +
f y (D / t ) 3

dimana D adalah diameter luar


t adalah tebal penampang

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Faktor Bentuk untuk Penampang dengan Elemen tanpa Pengaku

Bila perbandingan lebar terhadap tebal dari elemen tanpa pengaku yang dibebani secara
seragam melebihi r maka harus digunakan faktor reduksi Qs.
a) Untuk siku tunggal:

bila 200 f y < b/t < 400 fy

Qs = 1,340 – 1,7 * 10-3 (b/t) fy

bila b/t > 400 fy

106.000 1
Qs =
fy (b/t) 2

b) Untuk flens, siku, dan pelat yang “melekat” (projecting) pada profil rol atau
komponen struktur tekan lainnya,

bila 250 f y < b/t < 460 fy

Qs = 1,415 – 1,65 * 10-3 (b/t) fy

bila b/t > 460 fy

138.000 1
Qs =
fy (b/t) 2

c) Untuk flens, siku, dan pelat yang melekat pada profil tersusun atau komponen
struktur tekan lainnya,

bila 290 f y k e < b/t < 525 fy ke

Qs = 1,415 – 1,43 * 10-3 (b/t) fy ke

bila b/t  525 fy ke

ke 1
Qs = 180.000
f y (b/t) 2

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 10


Koefisien ke dihitung sebagai berikut:

(a) Untuk profil – I

4
ke = , 0,35  ke  0,763
h / tw

dimana: h adalah tinggi web


tw adalah tebal web

(b) Untuk profil lainnya

ke = 0,763

d) Untuk badan dari profil T:

bila 335 f y < b/t < 460 fy

Qs = 1,908 – 2,7 * 10-3 (b/t) fy

bila b/t  460 fy

138.000 1
Qs =
fy (b/t) 2

dimana b adalah lebar elemen tanpa pengaku


t adalah tebal elemen tanpa pengaku
fy adalah kuat leleh material

Perhitungan Tahanan Nominal Akibat Tekuk Lentur pada Penampang Langsing

Untuk tekan axial:


1) Gunakan penampang bruto, Pn = fcr Ag = Ag f y 
2) Gunakan penampang bruto pada perhitungan jari-jari girasi atau kc L/i

Untuk lentur:
Gunakan parameter penampang tereduksi untuk balok dengan flens dari elemen dengan
pengaku.

Untuk balok-kolom:
1) Gunakan luas bruto untuk Pn
2) Gunakan parameter penampang tereduksi untuk lentur pada penampang dengan
elemen dengan pengaku untuk Mnx dan Mny
3) Gunakan Qa dan Qs untuk menentukan Pn
4) Gunakan fcr dari perhitungan tekuk torsi-lateral untuk balok.

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 11


Contoh:
Tentukan tahanan rencana, Pd, untuk kolom dengan penampang siku tidak sama kaki
200.100.10 di bawah ini.
Pd
10 z’ A. Data material:
z fy = 240 MPa; E = 200.000 MPa

L = 2000 mm

B. Data penampang 200.100.10


A = 2920 mm2;
h=200

Pd rz= 21,4 mm; ry= 66,6 mm;


y

y’
Iz= 1,33 * 106 mm4; Iy= 1,3 * 107 mm4
c.g.

C. Kelangsingan batang/ elemen


Q
k z *  z 0,8 * 2000
10

z    74,766  200  OK
b=100
rz 21,4
k y *  y 0,8 * 2000
y    24,024  200  OK
ry 66,6
h 200 200 200
  20    12,91  Penampang langsing
t 10 fy 240

200 200 h 400 400


  12,91   20    25,82
fy 240 t fy 240

h 200
Q s  1,340  1,7 *10  3 * * f y  1,340  1,7 *10  3 * * 240  0,813
t 10

D. Pemeriksaan tekuk lentur terhadap sumbu lemah

z f y 74,766 240 0,25 1,2


 cz  *  *  0,824 ;   cz  0,824 
 E  200.000 Qs Qs

1,43  1  1,43  1 
z  *  *   1,596
Q s 1,6  0,67 *  cz * Q s  0,813 1,6  0,67 * 0,824 * 0,813 

fy 240 ~
Pd  Pn  0,85 * A g *  0,85 * 2920 *  37,3 ton
z 1,596

Elemen Pelat Tipis Sindur P. Mangkoesoebroto 12


BAB VIII
TORSI

Fenomena torsi banyak dijumpai antara lain pada balok spandrel, pada balok-
balok yang memiliki balok anak dengan bentang-bentang yang tidak sama
panjang, dan kasus-kasus lainnya. Penampang yang paling efisien untuk memikul
torsi adalah penampang bulat berongga tertutup. Irisan datar pada penampang
tersebut akan tetap datar sebelum dan setelah bekerjanya torsi. Pada penampang
lainnya (tidak bulat), irisan datar tidak akan tetap datar selama bekerjanya torsi
dan hal ini disebut gejala warping.

Pengaruh torsi murni (Saint – Venant)

Torsi

Pengaruh warping

Torsi Murni Pada Penampang Homogen

Tinjau penampang berikut dimana pengaruh warping dapat diabaikan selama


bekerjanya torsi:
dx

d adalah perubahan
sudut  pada selang dx
r

d

dan kelengkungan torsi, , adalah:



dx


serta  dx = r d atau  = r = r ( adalah regangan geser)
dx

Tegangan geser akibat torsi menurut hukum Hooke adalah:


=G
dan torsi, T, adalah demikian sehingga
dT =  dA r

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 1


atau T = ∫ τ rdA = ∫ γ G r dA = ∫ r 2 φ G dA


= φ G ∫ r 2 dA = GJ
dx

dimana J = ∫ r 2 dA adalah momen inersia polar terhadap pusat berat♣,


G adalah modulus geser.

dθ T
Jadi =φ= dan tegangan geser, τ, menjadi
dx GJ

Tr
τ = γ G =rφG =
J

artinya tegangan geser torsi sebanding dengan jarak dari titik pusat torsi.

1 3
Untuk penampang persegi panjang J = b t , dan untuk penampang I, , T nilai
3
1
J = Σ b t3 .
3

Contoh:

r2

J = ∫ r dA = ∫0
2
∫ r 3 dr dθ r1 < r2
r1

r2
r1 r2
1
= 2π r 4
4
=
1
2
4
(
π r2 - r1
4
)
r1

=
1
2
2
( 2 2
)(
2 π
2
)
π r2 - r1 r2 + r1 = (r2 - r1 )(r2 + r1 ) r2 + r1
2 2
( )
J=
πt
2
(
(r2 + r1 ) r2 2 + r1 2 )
Bila r2 = r1 + t dan r22 = (r1 + t)2 = r12 + 2 r1 t + t2

πt
maka J = (2r1 + t) (2r12 + 2 r1 t + t2)
2
πt 3 πt 4 π 1
untuk r1 = 0 ⇒ J = t = = (2t)4 = π d4
2 2 32 32


Meskipun pada penurunan ini J adalah momen inersia polar terhadap pusat berat namun dari
penurunan yang lebih umum dapat ditunjukkan bahwa J adalah konstanta torsi, dan tidak selalu
sama dengan momen inersia polar. Untuk selanjutnya J akan dinamakan konstanta torsi.

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Td Td
τ max = 2= 2 = 16 T
4
J 32 π d
1
π d3 d

πt ⎛ t⎞ 2⎛ t t2 ⎞
Untuk: t → 0 maka J = r1 ⎜⎜ 2 + ⎟⎟ r1 ⎜⎜ 2 + 2 + 2 ⎟⎟
2 ⎝ r1 ⎠ ⎝ r1 r1 ⎠

= π t r1 [2 + 0 (ε )] [1 + 0 (ε )]
3

t
d

= 2π t r
3
[1 + 0 (ε)] ~ 2π t (2r1 )
3

1
8

1
= π t d3
4

⎛d ⎞ ⎛d ⎞
T ⎜ + t⎟ T ⎜ + t⎟
2 ⎠ 2T
= ⎝
2 ⎠
τ max = 1⎝ ~
J 4
πtd 3
π t d2

Sekarang tinjau penampang sembarang berikut ini:


y

y
t
ds

x z c.g
s
s

z
y,v
d2v 1 M
∂τ = =- z
τ + ds dx 2 ρ y EI z
∂s
ds ∂σ x
σx σx + dx
∂x x
dx
τ
Mz Mz

Keseimbangan kupon dalam arah – x memberikan

∂τ ∂σ x
t ds dx + t dx ds = 0
∂s ∂x

∂ (τ t ) ∂σ x
atau =-t
∂s ∂x

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 3


Pendekatan
TD TD
τ max = 2= 2 = 16 T
D J 1 π D 4 π D3
32 ⎛d ⎞ ⎛d ⎞
2 T ⎜ + t⎟ T ⎜ + t⎟
As = 0,25 π D 2 ⎠ 2 ⎠ 2T
t τ max = ⎝ = ⎝ 3
~
d J 1 π td
4
π t d2
α=d/D Ah/As β=t/d (d+2t)/D Ah = π t (d+t)
2 0.253906 0.015625 2.0625
1.9 0.267954 0.018224 1.969252
1.8 0.283732 0.021433 1.87716
1.7 0.301601 0.025443 1.786505
1.6 0.322037 0.030518 1.697656
1.5 0.345679 0.037037 1.611111 1
1.4 0.373412 0.045554 1.527551
1.3 0.406498 0.056896 1.447929
0.9 2T 16 T
1.2 0.446807 0.072338 1.373611 Kesamaan τmax memberikan =
1.1 0.497234 0.093914 1.306612 π t d 2 π D3

Ah/As
3
1 0.5625 0.125 1.25 0.8 atau β α =1/8 dengan d= α D dan t= β d.
0.9 0.650815 0.171468 1.208642
0.8 0.777588 0.244141 1.190625
0.7
0.7 0.974594 0.364431 1.210204
Sedangkan
0.6 1.315586 0.578704 1.294444
0.6 1 ⎛ 1 ⎞
0.5 2 1 1.5 Ah/As=4 β α2 (β +1)= ⎜ 3 +1⎟
0.4 3.691406 1.953125 1.9625 0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 2α ⎝ 8α ⎠
0.3 9.382716 4.62963 3.077778
α=d/D menunjukkan efisiensi luas penampang
0.2 41.5625 15.625 6.45
yang diperoleh dengan mengubah
0.1 630 125 25.1
penampang pejal ke berongga.

0.5 1.4

0.4 1.3
(d+2t)/D

0.3
β=t/d

1.2
0.2
1.1
0.1

0 1
0.7 0.75 0.8 0.85 0.9 0.7 0.75 0.8 0.85 0.9
α=d/D α=d/D
Eksak

TD TD
 max = 2 2  16 T
D J 1
32
π D 4 π D3 d  d 
 max = T   t T  t
2 2   2  T d  2 t 
As = 0,25  D 
J 1
  2 
2 t d t d /2 d t  t
2
 
 t d  t  d 2 / 2  d t  t 2 
t
d Ah =  t (d+t)
a=d/D Ah/As b=t/d (d+2t)/D
2.312958 0.218357 0.01 2.359218
1.888193 0.26972 0.018224 1.957015
1.786796 0.285962 0.021433 1.863391
1.685131 0.304464 0.025443 1.770879
1.583122 0.325782 0.030518 1.679748
1.480666 0.350689 0.037037 1.590345 1
1.377621 0.380297 0.045554 1.503133 Kesamaan max memberikan
1.273778 0.416275 0.056896 1.418723 0.9
1  2b
1.168835 0.461263 0.072338 1.337937 a3 
1.062342 0.519729 0.093914 1.26188
0.8

8 b 1  b  1  2 b  2b 2 

Ah/As
0.989795 0.570273 0.1134 1.21428 0.7 dengan a =d/D dan b =t/d.
0.841644 0.718632 0.171468 1.130274
0.724957 0.915968 0.244141 1.07894 0.6
0.601761 1.307527 0.364431 1.040363 0.5
0.470879 2.333127 0.578704 1.015878 Sedangkan Ah/As=4ba2 (b +1)
0.334716 6.47314 1 1.004149 0.4 menunjukkan efisiensi luas penampang
0.203939 38.58259 1.953125 1.000576 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 yang diperoleh dengan mengubah
0.097476 697.4254 4.62963 1.00003
a=d/D
penampang pejal ke berongga.
0.031008 67624.17 15.625 1
0.003984 2.48E+08 125 1

0.5 1.4

0.4 1.3
(d+2t)/D

0.3
b=t/d

1.2
0.2
1.1
0.1

0 1
0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2
a=d/D a=d/D
M z I y - M y I yz M y I z - M z I yz
dimana σ x   y z
I y I z - I 2yz I y I z - I 2yz
Catatan: Pada persamaan diatas, tanda positif pada Pers. (10) Bab 8 telah berubah
menjadi negatif karena disini perjanjian sumbu-s mengikuti arah jarum
jam, sedangkan Pers. (10) sesuai vektoral.

 σx Vy I y - Vz I yz Vz I z - Vy I yz
dan  2
y z
x I y I z - I yz I y I z - I 2yz

s s
Vy I y - Vz I yz Vz I z - Vy I yz
sehingga τt   yt ds   zt ds
I y I z - I 2yz 0
I y I z - I 2yz 0

 Mz  My
dimana Vy  dan Vz 
x x

Sekarang tinjau kembali penampang berikut


Vy
y
zo
s=
Vz
sc t
yo
r
0 (cg)
z

s=0

Titik (yo, zo) adalah demikian sehingga torsi terhadap titik 0 adalah nol, jadi


 dr 
- Vy z o  Vz y o -  r x τ t  ds  0
0  ds 
k
dimana r =yj+zk
dr = dy j + dz k
i j

sehingga r x dr = (y j + z k) x (dy j + dz k)
= (y dz – z dy) i


dan Vy z o - Vz y o  - τ t y dz - z dy 
0

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 5



1   s s
  s s

 2 
V I
y  y  yt ds - I yz  zt ds   V I
z  z  zt ds - I yz  yt ds  
0 I y I z - I yz   0 0   0 0 

*  y dz - z dy 

Jadi,

1  s s

zo  I
2  y 
yt ds - I yz  zt ds  y dz - z dy 
I y I z - I yz 0  0 0 

-1  s s

yo  I
2  z 
zt ds - I yz  yt ds  y dz - z dy 
I y I z - I yz 0  0 0 
y
zo
s=
sc

yo

z
cg

s=0

(yo, zo) disebut koordinat pusat geser (shear center). Cat: Persamaan diatas hanya
berlaku untuk elemen pelat tipis. Untuk elemen lainnya, seperti pada profil baja
standar, perhitungan koordinat pusat geser harus dilakukan dengan metode sigma
momen sama dengan nol terhadap pusat geser yang diasumsikan terlebih dahulu,
atau pusat berat.

Contoh
Menentukan pusat geser penampang profil

y
b (1 - ) b
s3
xo  q α b
3
b tf
d/2

α 
sc 2 2 b tf  d tw
x
c.g
q

d tw
d/2

1
1 - 2α 
s2 2 b tf  d tw
s1
b

A f 1  2  - A w  0

s s
Vy Vx
I xy  0 maka t   yt ds  
xt ds
Ix Iy
0 0

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 6


Menentukan x0: Vy=Vy; Vx=0

1) 0 < s < b:
s1 = 0  x = - (1 - ) b x = s1 – (1 - ) b
s1 = b  x =  b s1 = x + (1 - ) b
s1 x
Vy Vy d Vydt f x
t 
Ix  yt ds1  I x  
2
t f dx 
2I x
x - 1 - α  b
0 - 1-  b
Vy dt f
 x  1 - α  b
2I x

Untuk x=-(1-)b maka t  0 .


Vydt f b
Untuk x=b maka t  .
2I x
1
Vy dt f b
-
2I x

2) b < s < b + d:
s2

d
s2   y   y  s2 - d
2 2
s1
Vy s
Vy b  V  dt b s2y 
y  f 
 yt ds1  yt ds 2  
t 
Ix 
yt ds 
Ix    Ix  
2 
 yt w dy 
0 0 0   d
2


Vy  dt f b 1 y 
   t w y2   Vy  dt f b  1 t  y 2  d 2 
Ix  2 2 -d
 I x  2 2 
w 4 
 2

Vydt f b
Untuk y=±d/2 maka t  .
2I x
Vy  dt f b 1 2 
Untuk y=0 maka t    tw d  .
Ix  2 2 4

Diagram shear flow menjadi sebagai berikut.

Vy dt f b
y
2I x - Vydt f b 2
4I x
3
Vy
2
- sc cg
Vy  dt f b 1 2  x
 tw d 
I x  2 2 4 q

1 Vy  bd 2 t f d 3 t w  Vydt f b 2
  
Ix  2 12  4I x
Vy dt f b -
2I x

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Vy dt f b 2 Vy  bd 2 t f d 3 t w 
Msc=0 → d   q  0
4I x Ix  2 12 

2 2
1 d 1 d
Karena I x  t w d 3  2 t f b    t w d3  tf b
12  2  12 2

t f d2 b2
maka x o - αb  q 
4 Ix

Menentukan y0: Vy=0; Vx=Vx

1) 0 < s < b:

s1 = x + (1 - ) b  x = s1 – (1 - ) b

s1 x
V Vx V t x2 x
t  x  xt ds1  tf  x dx  x f
Iy Iy I y 2 - 1 - α  b
0 - 1-  b


Vx t f 2
2I y

x  1 - α 2 b 2 
Untuk x=-(1-)b maka t  0 .
V t b2
Untuk x=b maka t  x f 1  2  .
2I y

2) b < s < b + d:

d
s2   y   y  s2 - d
2 2

s2
Vx  
s b
Vx
 xt ds1  xt ds 2 
t 
Iy 
xt ds 
Iy    
0 0 0 
 y 
Vx  t f b 2
  1  2   t w b dy

Iy  2
 d
2

V  t b2 
 x   f 1  2   bt w y  d / 2 
I y  2 

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 8


Vx t f b 2
Untuk y=-d/2 maka t  1  2  .
Iy 2
 t f b2
Vx 
Untuk y=0 maka t   1  2   bt w d / 2
Iy
 2 
Vb
 x  A f 1  2   A w   0 .
2I y

Diagram shear flow menjadi sebagai berikut.


Vx t f b 2 y
1  2  + Vx t f b 3
2I y 1  2 
4I y
+ 3
Vx sc
2 y0
cg
x

- 1 Vx t f b 3
Vy  bd 2 t f d 3 t w 
   1  2 
Ix  2 12  4I y
Vx t f b 2 -
1  2 
2I y

Mcg=0 → Vx y 0  0 → y 0  0

Tegangan pada Profil Gilas I

Pada profil gilas I dapat dibedakan dua jenis torsi, yaitu torsi murni dan torsi
warping. Pada torsi murni (atau biasa juga disebut torsi Saint-Venant), suatu irisan
rata akan tetap rata selama terjadinya torsi. Besar torsi murni, Ts, sebanding
dengan kelengkungan torsi, , dimana tetapan kesebandingannya adalah GJ, atau

Ts  GJ
dx
yang mana Ts adalah torsi murni,
G adalah modulus geser,
J adalah konstanta torsi, dan

 adalah kelengkungan torsi.
dx

dan tegangan geser akibat torsi murni adalah


T r
τs s
J
dimana r adalah jarak dari pusat berat
s adalah tegangan geser akibat torsi murni

untuk profil I, , T maka J   13 bt 3 .

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Selanjutnya torsi warping dapat dijelaskan berikut ini,
y θ
Vf
d - tf
Tw wf = θ untuk θ kecil
d - tf
2
wf
2

d 3 w f d - t f d 3θ
z d - tf
dan =
dx 3 2 dx 3
d - tf
2

Vf

Tw = + Vf (d-tf)

d2 wf Mf d3 w f V
Untuk flens atas berlaku, 2
=- atau 3
=- f
dx EI f dx EI f

⎛ d - t f ⎞ d3 θ
dan diperoleh, Vf = - EI f ⎜ ⎟ 3
⎝ 2 ⎠ dx

sehingga torsi warping, Tw, menjadi

Tw = - EI f
(d - t f )2 d3 θ
= - EC
d3 θ
w
2 dx 3 dx 3

dimana C w = I f
(d - t f ) 2

adalah tetapan torsi warping untuk profil – I dan torsi


2
total Tx menjadi:

dθ d3 θ
Tx = Ts + Tw = GJ - EC w
dx dx 3

d 3 θ GJ dθ T
atau 3
- =- x 0<x<l
dx EC w dx EC w

Solusi homogen (Tx = 0):

d3 θh dθ
3
− k2 h = 0 0<x<l
dx dx

GJ
dimana, k 2 =
EC w

θh = A erx ; θh' = Ar erx ; θh" = Ar2 erx ; θh''' = Ar3 erx

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 10


Jadi Ar3 erx – k2 Ar erx = 0

∴ r (r2 – k2) = 0

r1 = 0; r2 = k; r3 = -k

dan θh = A ekx + B e-kx + C

Solusi umumnya adalah

θ = θh + θp = A ekx + B e-kx + C+ θp

Contoh:
T T
2 2

T
Z

T + x=l
2
Tx
_ T
2
x=0

θ=0 θ’ = 0 θ=0

dTx dTx
= 0 ⇒ θii = 0 = 0 ⇒ θii = 0
dx dx

θp = C1 + C2 x

θpi = C2 ; θpii = 0

d3 θp d θp Tx
3
- k2 =- 0<x<l
dx dx EC w

T
GJ
0- C2 = - 2 0< x <l/2
EC w EC w

T
C2 = 2 → θ =C + T x
p 1
GJ 2GJ

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 11


T
dan θ = A e kx + B e -kx + C + x
2GJ

T
θ i = Ak e kx - Bk e -kx +
2GJ

θ ii = Ak 2 e + kx + Bk 2 e -kx

θ iii = Ak 3 e kx - Bk 3 e -kx

θ (x = 0 ) = 0 = A + B + C ⎫ C = 0

θ ii (x = 0 ) = 0 = A + B ⎭ A = - B

(
θ = A e kx - e -kx + ) T
2GJ
x

(
θi x = l
2
)=Ak ⎛⎜⎝ e kl
2
+e
- kl
2 ⎞⎟ + T = 0
⎠ 2GJ

T 1
A=-
2GJk e 2 + e − kl 2
kl

T ⎛⎜ e kx - e -kx ⎞

∴ θ =- - kx
2GJk ⎜⎝ e 2 + e − 2
kl kl ⎟

e z - e -z
Catatan: sinh z =
2

e z + e -z
cosh z =
2

T ⎛ sinh kx ⎞
Jadi θ = ⎜⎜ kx - ⎟
2GJk ⎝ cosh kl 2 ⎟⎠

T ⎛ cosh kx ⎞
θi= ⎜1 - ⎟
2GJ ⎜⎝ cosh kl 2 ⎟⎠

T ⎛ k sinh kx ⎞
θ ii = ⎜- ⎟
2GJ ⎜⎝ cosh kl 2 ⎟⎠

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 12


T ⎛ 2 cosh kx ⎞
θ iii = ⎜- k ⎟
2GJ ⎜⎝ cosh kl 2 ⎟⎠

T ⎛ cosh kx ⎞
Jadi Ts = GJ θ i = GJ ⎜1 - ⎟
2GJ ⎜⎝ cosh kl 2 ⎟⎠

T ⎛ cosh kx ⎞
= ⎜1 - ⎟
2 ⎜⎝ cosh kl 2 ⎟⎠

T ⎛ 2 cosh kx ⎞
Tw = -ECw θ iii = - EC w ⎜- k ⎟
2GJ ⎜⎝ cosh kl 2 ⎟⎠

T cosh kx
=
2 cosh kl 2

T
dan Tx = Tw + Ts =
2 Ts
T
2 Tw
+1 T
2
0

-1
x=0 x=l x=l
2

Tegangan Torsi

Akibat torsi Saint Venant, tegangan torsi, τs, pada satu flens adalah sebagai
berikut:

Ts t f dθ
τs = = Gt f
J dx

Akibat torsi warping, tegangan torsi, τw, pada satu flens adalah sebagai berikut
(lihat geser pada balok):

Vf S
τw =
If t f

Vf Smax
dan τ w , max =
If t f

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 13


⎛ d - t f ⎞ d3 θ
dimana Vf = - EI f ⎜ ⎟ 3
⎝ 2 ⎠ dx

b b b2 tf b/2
Smax = tf =
2 4 8 tf

d - t f d3 θ b2 t f 1
∴ τ w , max = - EI f
2 dx 3 8 If t f

b2 d - tf d3 θ
=E
8 2 dx 3

dθ b2 d - tf d3 θ
sehingga τ max = τ s + τ w, max = Gt f +E
dx 8 2 dx 3

Tegangan normal pada flens, σfw, akibat warping adalah:

Mf x
σ fw =
If

Mf d2 wf d - tf
dimana =- 2
dan w f = θ
EI f dx 2

d - tf d2 θ
atau M f = - EI f
2 dx 2

Tegangan normal maksimum pada flens akibat warping, σfw,max terjadi pada x =
b/2 atau

Mf b 2 b
σ fw, max = 2 = - EI d - t f d θ 2
f
If 2 dx 2 I f

Eb(d - t f ) d 2 θ
=-
4 dx 2

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 14


Sekarang perhatikan berikut ini. Torsi warping pada penampang profil – I adalah:

T cosh kx
Tw =
2 cosh kl 2

dan gaya lintang ekivalen yang diakibatkannya adalah:

Tw T cosh kx
Vf = =
d - t f 2(d - t f ) cosh kl
2

Tw
Tw T cosh kx
Vf = =
d - t f 2(d - t f ) cosh kl 2

d - tf

Tw
Vf =
d - tf

Tw T
=
d - tf d - tf

T cosh kx
Vf =
2( d - t f ) cosh kl
2
T
2(d - t f )

l l
2 2
T cosh kx
Mf = ∫0
Vf dx = ∫ 2(d - t )
0 f cosh kl 2
dx

T 1 sinh kl 2
=
2(d - t f ) k cosh kl 2

T 1 sinh kl 2 Tl 2 kl
M f (d - t f ) = = tanh
2 k cosh kl 2 4 kl 2

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 15


Tl
atau M f (d - t f ) = β
4

1
dimana β = tanh kl
kl 2
2
T

l/2 l/2

kl/2 0,25 0,50 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 4,0 5,0
β 0,98 0,92 0,76 0,60 0,48 0,39 0,33 0,25 0,20

Untuk kasus-kasus lainnya lihat tabel.

Prosedur pemeriksaan tahanan torsi pada potongan simetri menjadi sebagai


berikut:
Pada ujung bebas tepi flens:
1. Cari β
2. Hitung Mf (d-tf) = β * M0 → Mf = …………
(M0 = ¼ Tl atau 1
8 Tl2, dan seterusnya)
Mf b 2
3. Hitung σfw, max =
If
4. Hitung pengaruh-pengaruh σfw, max terhadap tahanan penampang.

Pada tengah flens (titik pertemuan dengan web):


1. Tentukan torsi yang bekerja pada potongan simetri Tx (=T/2, Tl/2, dst),
atau gambar bidang torsinya. Pada bidang simetri tersebut Tw= Tx dan
Ts=0.
Tw V S
2. Tentukan Vf = dan hitung τ = τ w = f max .
d − tf t f If

3. Periksa kombinasi σ & τ menggunakan lingkaran Mohr, dan


bandingkan dengan kuat rencana.

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 16


Catatan: Dalam penurunan metoda diatas telah dianggap bahwa torsi warping
sama dengan torsi luar dan torsi murni adalah nol (T=Tw, Ts=0). Hal ini hanya

terjadi pada saat φ = = 0, atau pada potongan simetri. Dengan demikian
dx
pemeriksaan tahanan torsi dengan metode tersebut diatas tidak dapat dilakukan
disebarang potongan kecuali pada potongan simetri.

Contoh:

Suatu profil IWF 300x300x10x15 dengan panjang l = 8 m dibebani oleh D = 400


kg/m’ dan L = 600 kg/m’ terhadap sumbu kuatnya. Kedua beban D dan L
tersebut membuat eksentrisitas sebesar 100 mm terhadap sumbu y-y sebagai
berikut:
y
D&L 100 mm

D&L

x x

l = 8000

Periksa tahanan ditumpuan.

Jawab:
y

Tu

qu = 1,2 D + 1,6 L = 1,2 * 400 + 1,6 * 600


= 1440 kg/m’ = 14,4 N/mm’

Tu = qu 100 mm = 14,40 N/mm’ * 100 mm


= 1440 N-mm/mm’

Lentur: Mux = 112 qu l2 = 112 * 14,4 N/mm’ * 80002 mm2


= 7,68 * 107 N-mm

Torsi: Mf (d-tf) = β ( 112 Tu l2)


(d-tf) = 300 – tf = 300 - 15 = 285 mm

k2 =
GJ
Cw = If
(d − t f )2 G =
E
J = Σ 1 b t3
3
EC w 2 2 (1 + ν)

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 17


b2 t f 1
S max = = * 300 2 *15 = 168.750 mm 2
8 8
If = 112 tf b3 = 112 * 15 * 3003 = 33,75 * 106 mm4

J = Σ 1
3 b t3 = 2 * [ 13 * 300 * 153] + 1
3 * (300 – 2 * 15 ) * 103

= 0,765 * 106 mm4

Cw = If
(d − t f )2 = 33,75 * 106 *
285 2
= 1,37 * 1012 mm6
2 2

1 J 1 0,765 * 10 6 mm 4 1
k2 = = = 2,15 * 10 -7
2 (1 + ν) C w 2 (1 + 0,3) 1,37 * 10 mm
12 6
mm 2

1
k = 4,63 * 10-4
mm

1
kl = 4,63 * 10-4 * 8000 mm = 3,7065
mm

Tabel 8.6.4, SJM 5th, hal. 405

kl β
3,0 0,88 kl = 3,7065
4,0 0,81 ⇒ β = 0,83

∴ Mf (d-tf) = β (
1 T
12 u l2 )
⎛ N - mm ⎞
= 0,83 * ⎜ 112 * 1440 * 8000 2 mm 2 ⎟
⎝ mm' ⎠
= 6,37 * 109 N-mm2
6,37 *109 N − mm 2
Mf = = 2,24 * 107 N-mm
285 mm

Periksa penampang ditumpuan:

Ujung bebas flens:


M ux M uy
σun = + ≤ φb fy
Sx Sy

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 18


Mux = 7,68 * 107 N-mm
Muy = 2 * 2,24 * 107 N-mm = 4,48 * 107 N-mm
Sx = 1360 * 103 mm3 ; Sy = 450 * 103 mm3

7,68 *10 7 N  mm 4,48 * 10 7 N - mm


un = 
1360 *10 3 mm 3 450 * 103 mm 3
= (56,47 + 99,56) MPa = 156,03 MPa < (0,9 * 240 = 216 MPa) OK

Tengah flens:
2 2
σ ux  σ ux  2  σ ux  2
un =     τ w  b fy; un =    τ w  b 0,6fy
2  2   2 

σ ux M ux 7,68 *10 7 N - mm
   28,24 MPa
2 2 S x 2 *1360 *103 mm 3

Tw 1.440 N  mm / mm' *8.000 / 2 mm


Vf    20.210 N
d  tf 300  15 mm
Vf S max 20.210 *168.750
  w    6,74 MPa
t f If 15 * 33,75 *10 6

un = 28,24  28,242  6,74 2  57,27 MPa < (0,9*240 = 216 MPa) OK

un = 28,242  6,742  29 MPa < (0,9*0,6*240 = 130 MPa) OK

Tekuk Lentur Torsi:

Persamaan tekuk Euler adalah sebagai berikut:


d2 u
EI +Pu = 0
dx 2

1
atau EI = -M(x) = -P u(x)
x

Turunkan dua kali diperoleh


d2 u
-q(x) = P
dx 2
M x V M x 2
Catatan: Vx  ,  qx  x 
x x x 2

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 19


Perhatikan batang tekan dengan panampang berikut

x σx

σx

dx
dr r θ
σx

σx
u(x,r) = rθ
t

d 2 u ( x, r ) d2 d2 θ
q(x,r) = -P = - (-σ x )t dr (rθ) = σ x t r dr
dx 2 dx 2 dx 2
d2 θ
d2 Tx = q(x,r) dx r = σx t r2 dx dr
dx 2

d2 θ
dTx = σx 2
dx ∫A tr 2 dr ……………………………………… (*)
dx

Telah didapat sebelumnya


dθ d 3θ
Tx = GJ - E Cw
dx dx 3

Turunkan sekali didapat

d Tx d2 θ d4 θ
= GJ - E C w
dx dx 2 dx 4
d2 θ 2
= σx 2 ∫A tr dr [dari (*)]
dx

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 20


d4 θ 2 d θ
2
sehingga didapat, + p = 0
dx 4 dx 2

σ x ∫A tr 2 dr - GJ
dimana p2 =
E Cw

Solusinya adalah,
d2 θ
2
= A1* sin px + A2* cos px
dx

dθ A* A *
= - 1 cos px + 2 sin px + A3
dx p p

A1* A 2*
θ = - sin px - cos px + A3 x + A4
p2 p2

atau θ(x) = A1 sin px + A2 cos px + A3 x + A4

Bila ujung-ujungnya tak dapat berotasi maka θ = 0 pada x = 0, l , dan θ harus


harmonik ⇒ A3 = A4 = 0 dan A2 = 0 , θ (x = l) = 0 = A1 sin pl

∴ pl = nπ , n = 1, 2, …

2 n 2π2 σ x ∫A tr 2 dr - GJ
p = =
l 2Kx E Cw

1 ⎡ π2 E Cw ⎤
Untuk n = 1 ⇒ σx = σ e = ⎢ 2
+ GJ ⎥ ...................................(1)
I ps ⎣ l Kx ⎦

∫A tr dr = Izs + Iys terhadap pusat geser.


2
dimana Ips =

Persamaan tekuk torsi tersebut di atas berlaku dengan cukup teliti untuk
penampang-penampang dengan dua sumbu simetri yang orthogonal, dan
umumnya digunakan untuk penampang langsing, λ > λr. Dalam hal ini tekuk torsi
terjadi terhadap pusat geser yang berimpit dengan pusat berat.

Pada penampang dengan satu sumbu simetri maka tekuk torsi yang terjadi
terhadap pusat gesernya senantiasa dibarengi dengan translasi pusat beratnya
terhadap sumbu simetrinya sehingga menghasilkan apa yang dinamakan tekuk
lentur torsi. Untuk tekuk lentur torsi pada sebarang penampang dengan satu
sumbu simetri digunakan,

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 21


σ ex + σ ey ⎡ 4 σ ex σ ey H ⎤
σe = ⎢1 - 1 - ⎥ ...................................(2)
2H ⎢⎣ (σ ex + σ ey ) 2 ⎥⎦

y
⎡ π2 E C ⎤ 1
σex = ⎢ 2 w + GJ ⎥ sc
⎣ l Kx ⎦ I ps y0

π E
2 l Ky z
σey = ; λ y = cg

λ2y iy

z 02 + y 02 I pc
H = 1– =
r02 I ps y

sc
Iz + Iy y0
r02 = z 02 + y 02 +
A cg
z

Ips = A r02

dimana A adalah luas penampang,


z0, y0 adalah koordinat pusat geser terhadap sumbu utama yang melalui
pusat berat,
Iz, Iy adalah momen inersia terhadap sumbu utama yang melalui pusat
berat,
r0 adalah jari-jari girasi polar terhadap pusat geser,
Sumbu–y adalah sumbu simetri.

Untuk penampang yang tidak memiliki sumbu simetri maka tekuk lentur torsi
pada sebarang penampang dihitung menurut persamaan pangkat tiga berikut ini,
dengan σe adalah akar terkecilnya:
2 2
⎛ ⎞ ⎛ ⎞
(σ e − σ ex )(σ e − σ ey )(σ e − σ ez ) − σ (σ e − σ ey )⎜⎜ z 0 ⎟⎟ − σ e2 (σ e − σ ez )⎜⎜ y 0 ⎟⎟ = 0 ......(3)
2
e
⎝ r0 ⎠ ⎝ r0 ⎠
π E
2
l
dimana σez = 2 ; λz = Kz .
λz iz

Tahanan Tekan
Tahanan tekan komponen struktur tekan dengan juga memperhatikan tekuk torsi
dan/atau tekuk lentur torsi ditetapkan berikut ini,

λe = f y σe
0,25
1) λe ≤ maka ω = 1/Q
Q

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 22


0,25 1,2 1,43 / Q
2) < λe < maka ω =
Q Q 1,6 - 0,67 λ e Q
1,2
3) λe ≥ maka ω = 1,25 λ2e
Q

fy
dan fcr =
ω
Nn = Ag fcr = Ag fy/ω

Contoh: y
Nu
b=300

Q tf = 15
y0 = 17,31
z z
150
h = 142,5 tw = 10

L = 4000 mm
T 150.300
y

A = 5.990 mm2
rz = 36,4 mm
Nu = 80 t ry = 75,1 mm
BJ 37: (fy = 240 MPa, fu = 370 MPa)

J=
1 3
3
(
bt f + ht 3w ; ) CW =
1 ⎛⎜ b 3 t 3f
36 ⎜⎝ 4

+ h 3 t 3w ⎟ ;

Q: adalah pusat geser (SC)

J=(300*153+142,5*103)/3= 385.000 mm4;
CW=(0,25*3003*153+142,53*103)/36=71,32*107 mm6
I ps
Ips= A (ry2+rz2+y02) → r02 = = 75,12+36,42+17,312=7.264,61→ r0 = 85,23 mm
A

Periksa kelangsingan penampang: (tekan murni)

Flens Web
d 150
Tidak ada ketentuan = = 15
tw 10
335 335
= = 21,62
fy 240
d 335
(= 15) < (= 21,62)
tw fy
∴ Penampang tak-kompak ⇒ Q=1

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 23


Arah – z: (sumbu lemah)
Lk 3200
Lkz = kcz L = 0,8 * 4000 = 3200 mm; λ z = = = 88
rz 36,4
λz fy 88 240
λ cz = = = 0,97
π E 200 * 103π
Nu 80
= = 0,98 < 1 OK (Lihat contoh Komponen Struktur Tekan)
φc N n 0,85 * 96

Arah – y: (sumbu kuat)


Lk 3200
Lky = kcy L = 0,8 * 4000 = 3200 mm; λ y = = 43
ry 75,1
λy fy 43 240
λ cy = = = 0,47
π E π 200 * 10 3
Nu 80
= = 0,73 < 1 OK (Lihat contoh Komponen Struktur Tekan)
φc N n 0,85 * 129

Arah – x: (torsi)
Lkx = kcx L = 1,0 * 4000 = 4000 mm
⎡ π2 E C ⎤ 1
σex = ⎢ 2 w + GJ ⎥
⎢⎣ l Kx ⎥⎦ I ps
⎡ π 2 200.000 * 71,32 *10 7 3 ⎤ 1
= ⎢ + 80 *10 * 385.000 ⎥ =710 MPa
⎢⎣ 4.000 2 ⎥⎦ 5.990 * 7.264,61
π 2 E π 2 200.000
σey = = = 1.068 MPa
λ y2 432

H=
I pc
=
(
A ry 2 + rz 2 ) =
75,12 + 36,4 2
= 0,9588
I ps (
A ry 2 + rz 2 + y 0 2 ) 7.264,61

σ ex + σ ey ⎡ 4 σ ex σ ey H ⎤
σe = ⎢1 - 1 - ⎥
2H ⎣⎢ (σ ex + σ ey ) 2 ⎥⎦

710 + 1.068 ⎡ 4 * 710 * 1.068 * 0,9588 ⎤


= ⎢1 - 1 - ⎥ =665 MPa
2 * 0,9588 ⎣⎢ (710 + 1.068) 2 ⎥⎦
⎛ fy 240 ⎞ 1,43
0,25< λ e ⎜ = = = 0,6 ⎟ <1,2 → ω x = = 1,19
⎜ σe 665 ⎟ 1,6 - 0,67 * 0,6
⎝ ⎠
240
σcr = = 200 MPa; Nn = 5.990 * 200 = 120 ton
1,19
Nu 80
= = 0,78 < 1 OK
φc N n 0,85 * 120

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 24


Dari contoh tersebut terlihat bahwa untuk penampang tak-kompak (dan kompak)
tekuk lentur torsi lebih kritis daripada tekuk lentur terhadap sumbu kuat.

Contoh:
Tentukan tahanan rencana, Pd, untuk kolom dengan penampang siku tidak sama
kaki 200.100.10 di bawah ini.
10 z’
Pd
z

L = 2000 mm
h’
h
h=195

t2
Q
y
z0 = 58.26 c.g.
14.9° Pd

b
(bt 1 + ht 32 )
c.g. y’ 1 3
J=
3
69.3

t1

C W = (b 3 t 13 + h 3 t 32 )
1
Q
36
10

y0 = 31.12
Q: shear center
20.1
b=95

A. Data material:
fy = 240 MPa E = 200.000 MPa ν = 0,3
B. Data penampang 200.100.10
A = 2920 mm2 rz = 21,34 mm
Iz = 1,33 * 106 mm4 ry = 66,72 mm
Iy = 1,3 * 107 mm4 z0 = 58,26 mm
y0 = 31,12 mm
C. Perhitungan G, J, Cw, r0 2
E 200.000
G= = = 7,692 *10 4 MPa
2 * (1 + ν ) 2 * (1 + 0,3)
1
[ 1
] [
J = * b * t 3 + h * t 3 = * 95 *103 + 195 *10 3 = 9,667 * 10 4 mm 4
3 3
]
Cw =
1
36
[ 1
] [
* b 3 * t 3 + h 3 * t 3 = * 953 *10 3 + 1953 *10 3 = 2,298 *108 mm 6
36
]
2 2 2 Iz + Iy 1,33 *10 6 + 1,3 *10 7
r0 = z 0 + y 0 + = 58,26 2 + 31,12 2 + = 9270,22 mm 2
A 2920

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 25


D. Kelangsingan batang/ elemen
k z * l z 0,8 * 2000
λz = = = 74,97 〈 200 → OK
rz 21,34
ky *l y 0,8 * 2000
λy = = = 23,98 〈 200 → OK
ry 66,72

h ' 200 200 200


= = 20 〉 = = 12,91 → Penampang langsing
t 10 fy 240

200 200 h' 400 400


= = 12,91 〈 = 20 〈 = = 25,82
fy 240 t fy 240

h' 200
→ Q s = 1,340 − 1,7 *10 −3 * * f y = 1,340 − 1,7 *10 −3 * * 240 = 0,813
t 10

E. Pemeriksaan tekuk lentur - torsi

π2 * E π 2 * 200.000 π2 * E π 2 * 200.000
σ ez = = = 351,20 MPa σ ey = = = 3432,81 MPa
λz2 74,97 2 λ y2 23,98 2
⎡ π2 * E * Cw ⎤ 1
σ ex = ⎢ + G * J ⎥*
⎣ (k x * l )
2 2
⎦ A * r0
⎡ π 2 * 200.000 * 2,298 *108 4 4⎤ 1
=⎢ + 7, 692 * 10 * 9, 667 * 10 ⎥ *
⎢⎣ (0,8 * 2000)2 ⎥⎦ 2920 * 9270,22
= 281,25 MPa
Persamaan pangkat tiga untuk menentukan tekuk lentur-torsi:
2 2
⎛ ⎞ ⎛ ⎞
(σ e - σ ex ) (σ e - σ ey ) (σ e - σ ez ) - σ e (σ e - σ ey ) ⎜⎜ z 0 ⎟⎟ - σ e 2 (σ e - σ ez ) ⎜⎜ y 0 ⎟⎟ = 0
2

⎝ r0 ⎠ ⎝ r0 ⎠
Persamaan tersebut diatas dapat dituliskan sebagai berikut:
3 2
σe - a * σe + b * σe - c = 0
dimana:
⎛ z02 ⎞ ⎛ y02 ⎞
σ ex + ⎜ 2 + H ⎟ * σ ez + ⎜⎜ 2 + H ⎟⎟ * σ ey
⎜ ⎟
a= ⎝ r0 ⎠ ⎝ r0 ⎠
H

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 26


σ ex * σ ez + σ ex * σ ey + σ ez * σ ey
b=
H
σ ex * σ ey * σ ez
c=
H
I pc I y + Iz
H= =
I ps (
I y + Iz + A * y02 + z02 )
1,3 *10 7 + 1,33 *10 6 1,433 *10 7
= = = 0,529
(
1,3 *10 7 + 1,33 *10 6 + 2920 * 31,12 2 + 58,26 2 ) 2,707 *10 7

Akar-akar real persamaan pangkat tiga tersebut dapat ditentukan dengan:


⎡ ⎛ α ⎞⎤ 1 ⎛ Q⎞
σ e1 = 2S ⎢cos ⎜ ⎟⎥ + a α = cos -1 ⎜ - ⎟
⎣ ⎝ 3 ⎠⎦ 3 ⎝ 2T ⎠

⎡ ⎛α ⎞⎤ 1 1
σ e 2 = 2S ⎢cos ⎜ + 120 o ⎟⎥ + a R = a2 - b
⎣ ⎝3 ⎠⎦ 3 3

⎡ ⎛α ⎞⎤ 1 1 2 3
σ e3 = 2S ⎢cos ⎜ + 240 o ⎟⎥ + a Q = .a .b - c - a
⎣ ⎝3 ⎠⎦ 3 3 27

1 1 3
S= R T= R
3 27

⎛ 58,26 2 ⎞ ⎛ 31,12 2 ⎞
281,25 + ⎜ + 0,529 ⎟ * 351,20 + ⎜ + 0,529 ⎟ * 3432,81
⎜ 9270,22 ⎟ ⎜ 9270,22 ⎟
a= ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ = 5,236 *103
0,529

281,25 * 351,20 + (281,25 + 351,20) * 3432,81


b= = 4,288 *10 6
0,529
281,25 * 3432,81* 351,20
c= = 6,405 *108
0,529
1 1
(
R = a 2 − b = 5,236 *10 3
3 3
) 2
− 4,288 *10 6 = 4,850 *10 6

1 1
S= R= * 4,850 *10 6 = 1,271*10 3
3 3

T=
1
27
*R3 =
1
27
(
* 4,850 *10 6 )
3
= 2,055 *10 9

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 27


1 2
Q = * 5,236 *103 * 4,288 *10 6 − 6,405 *108 − * 5,236 *103 = −3,788 *109
3 27
⎛ − 3,788 *109 ⎞
α = cos −1 ⎜ − ⎟ = 22,831o
⎜ 2 * 2,055 *10 9 ⎟
⎝ ⎠
⎡ ⎛ 22,831o ⎞⎤ 1
σ e1 = 2 *1,271*103 * ⎢cos⎜ ⎟⎥ + * 5,236 *103 = 4265,65 MPa
⎜ 3 ⎟ 3
⎢⎣ ⎝ ⎠⎥⎦

⎡ ⎛ 22,831o ⎞⎤ 1
σ e 2 = 2 *1,271*10 3 * ⎢cos⎜ + 120 o ⎟⎥ + * 5,236 *10 3 = 193,34 MPa
⎜ 3 ⎟ 3
⎢⎣ ⎝ ⎠⎥⎦

⎡ ⎛ 22,831o ⎞⎤ 1
σ e3 = 2 *1,271*103 * ⎢cos⎜ + 240 o ⎟⎥ + * 5,236 *10 3 = 776,63 MPa
⎜ 3 ⎟ 3
⎢⎣ ⎝ ⎠⎥⎦
∴ σ e = 193 MPa

fy 240
λe = = = 1,11
σe 193

1,2 1,2 0,25 0,25


= = 1,331 = = 0,277
Qs 0,813 Qs 0,813

0,25 1,2 1,43 ⎡ 1 ⎤


〈 λ e = 1,11 〈 → ω= *⎢ ⎥
Qs Qs Q s ⎣⎢1,6 − 0,67 * λ e * Q s ⎥⎦

1,43 ⎡ 1 ⎤
= *⎢ ⎥
0,813 ⎣1,6 − 0,67 *1,11* 0,813 ⎦
= 1,895
fy 240 ~
Pd = φPn = 0,85 * A g * = 0,85 * 2920 * = 31,4 ton
ω 1,895

G. Pemeriksaan tekuk lentur terhadap sumbu lemah


fy 240 ~
Pd = φPn = 0,85 * A g * = 0,85 * 2920 * = 37,3 ton
ωz 1,596
(Lihat contoh pada Bab Elemen Pelat Tipis.)

H. Kesimpulan
∴ Pd = 31,4 ton (mekanisme yang menentukan: tekuk lentur torsi)
Dari contoh tersebut terlihat bahwa untuk penampang langsing tekuk lentur
torsi dapat menjadi lebih kritis daripada tekuk lentur terhadap sumbu lemah.

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 28


Resume
Profil dengan dua sumbu simetri
Untuk penampang kompak dan tak-kompak ( < r) dari komponen struktur tekan
yang memiliki dua sumbu simetri, termasuk didalamnya adalah profil I dan
palang, maka Q=1 dan gejala tekuk torsi tidak perlu diperhatikan. Bila
penampangnya langsing ( > r) maka gejala tekuk torsi harus diperhitungkan
menggunakan Pers. (1). Gejala tekuk lentur terhadap sumbu lemah sesuai Bab
Komponen Struktur Tekan tetap harus diperhatikan. Tahanan tekannya diambil
dari yang menentukan antara tekuk lentur terhadap sumbu lemah dan tekuk torsi.

Profil dengan satu sumbu simetri


Untuk penampang kompak dan tak-kompak ( < r) dari komponen struktur tekan
yang memiliki satu sumbu simetri, termasuk didalamnya adalah profil siku ganda
sama kaki dan profil T sama kaki, maka Q=1; gejala tekuk lentur torsi
diperhitungkan menggunakan Pers. (2). Gejala tekuk lentur terhadap sumbu lemah
sesuai Bab Komponen Struktur Tekan tetap harus diperhatikan. Tahanan tekannya
diambil dari yang menentukan antara tekuk lentur terhadap sumbu lemah dan
tekuk lentur torsi. Bila penampangnya kompak atau tak-kompak maka pengaruh
warping dapat diabaikan (Cw=0).

Profil tanpa sumbu simetri


Untuk penampang komponen struktur tekan yang tak memiliki sumbu simetri,
termasuk didalamnya adalah profil siku tak sama kaki, profil Z dan profil T tak
sama kaki, maka gejala tekuk lentur torsi harus diperhatikan menggunakan Pers.
(3). Gejala tekuk lentur terhadap sumbu lemah sesuai Bab Komponen Struktur
Tekan tetap harus diperhatikan. Tahanan tekannya diambil dari yang menentukan
antara tekuk lentur terhadap sumbu lemah dan tekuk lentur torsi. Bila
penampangnya kompak atau tak-kompak maka pengaruh warping dapat diabaikan
(Cw=0).

Secara umum bila pusat berat tidak sama dengan pusat geser maka tiga persamaan
diferensial akan saling bergantung yaitu persamaan diferensial tekuk lentur
terhadap sumbu lemah – z, persamaan diferensial tekuk lentur terhadap sumbu
kuat – y, dan persamaan tekuk lentur torsi terhadap pusat geser.

Penampang dengan Penampang dengan Penampang tanpa


2 sumbu simetri 1 sumbu simetri sumbu simetri
○ (┬,∟,)
(Ι, ,□, )
cgsc
˪
( , Z)
cg≡sc cgsc
Tekuk torsi Tekuk lentur torsi
Tekuk lentur torsi
Kompak (b/t<p)
ez ez, e(2) ez, e(3)
Q=1, Cw=0
Tak-kompak
ez ez, e(2) ez, e(3)
(b/t<r) Q=1, Cw=0
Langsing (b/t>r)
ez, eex(1) ez, e(2) ez, e(3)
Q<1, Cw0
Catatan: e(2) tegangan tekuk torsi/lentur torsi terhadap sumbu-x (axial), dan nomor
persamaannya; ez adalah tegangan tekuk lentur terhadap sumbu lemah penampang.

Torsi Sindur P. Mangkoesoebroto 29


TEKUK TORSI LATERAL

Perhatikan gambar balok berikut ini:

A B

tekan

Tinjau suatu balok profil-I yang dibebani tehadap sumbu kuatnya. Titik-titik pada
potongan A & B dikekang dalam arah lateral, dan flens atas dalam keadaan tertekan
sehingga berpotensi mengalami tekuk. Karena web memberikan kekangan menerus
pada arah vertikal maka kemungkinan terjadinya tekuk flens adalah dalam arah lateral.
Namun, karena sisi tarik berada dalam keadaan yang relatif stabil maka proses tekuk
lentur dalam arah lateral tersebut akan dibarengi dengan proses torsi sehingga terjadi
tekuk torsi lateral.
Secara umum keruntuhan balok disebabkan oleh:
1) Tekuk lokal flens akibat tekan
2) Tekuk lokal web akibat tekan lentur
3) Tekuk torsi lateral
Ketiga penyebab tersebut dapat terjadi pada kondisi elastis ataupun inelastis. Perhatikan
Gambar 1 berikut ini:
(R – 1) p
p
1 3 7 9

Lb<Lpd
Mp 1
Plastis
Lp<Lb<Lr 2 (Lb≤Lps)
My Inelastis
3
Momen

Mr

Lb>Lr

b tf
Elastis M M

tw d

8EI/ℓ2 Lb

0 max
Defleksi

Gambar1 Suatu balok sederhana berpenampang kompak dibebani momen konstan, M,


dengan bentang tak-terkekang Lb.

Tekuk torsi lateral tidak perlu ditinjau bila balok dibebani terhadap sumbu lemah; namun pengaruh
kelangsingan penampang tetap harus diperhitungkan.

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 1


Bila Lb cukup kecil, Lb  Lpd, maka M dapat mencapai Mp dengan deformasi yang besar
yang ditunjukkan oleh kapasitas rotasi R p dimana faktor daktilitas R  3. Hal tersebut
digambarkan oleh kurva 1.

Bila Lb diperbesar Lpd < Lb < Lp maka besar M dapat mencapai Mp namun dengan
kapasitas rotasi yang lebih kecil, R < 3. Lihat kurva 2. Bila Lp < Lb < Lr maka M hanya
dapat mencapai Mr = Sx (fy – fr) < My dengan kapasitas rotasi yang terbatas - kurva 3.
Bila Lb > Lr maka M < Mr dengan kapasitas rotasi yang sangat terbatas – kurva 4.

Tekuk torsi lateral elastis (Lb  Lr).

y dw x
w
dx
x’ Tampak atas

z z’

Mz’
M0

Mx’ dv

dx
y y’

M0 M0

z
-v x

x’ Tampak samping

y Mz’ = M0 cos  M0
My’ M0 

y’

w z
M0
-v
M0

 
z’ M0 sin  M0 
M0 cos  M0

x y z
dv dw
x’ 1 dx dx
dv
y’ - 1
dx 
dw
z’ - 1
dx -

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Dengan anggapan sudut dan perpindahan kecil maka, pada bidang x’ y’,
1
E Iz   M z'  M 0 cos 
y
atau
d2v
E Iz  M0
dx 2

Pada bidang x’ z’,


1
E Iy  - M y'  - M 0 
z
atau
d2w
E Iy  -M 0  ................................................................. (1)
dx 2

Persamaan untuk torsi pada profil I adalah


d d 3
Tx '  GJ - E Cw
dx dx 3
dw
yang mana Tx '  M x'  M 0 
dx
dw d d 3
Jadi M0  GJ - E Cw
dx dx dx 3
d2w d 2 d 4
turunkan: M0  GJ - E C w
dx 2 dx 2 dx 4

gunakan Pers. (1)


2
 M0  d 2 d 4
 GJ 2 - E C w
E Iy dx dx 4

sederhanakan diperoleh
2
d 4  GJ d 2  M0
- - 0
dx 4 E C w dx 2 E 2 I y C w
atau
d 4 d 2
- 2  -    0 ......................................................... (2)
dx 4 dx 2
2
GJ M
dengan 2  dan   2 0
E Cw E Iy Cw

Persamaan karakteristik dari Pers. (2) adalah


r 4 - 2 r 2 -   0
r2    2  

r     2  

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 3


r1     2    riil, positif

r2     2    i  2   -  imajiner, positif

r3  -    2    riil, negatif

r4  -    2    - i  2   -  , imajiner, negatif
dan
  A 1 e r1x  A 2 e r2 x  A 3 e r3x  A 4 e r4 x

Karena  harmonik maka A1 = A3 = 0    A 2 e iqx  A 4 e -iqx


dimana q 2   - 

  A 2 cos qx  i sin qx   A 4 cos qx  i sin qx 


 A 5 cos qx  A 6 sin qx

Karena  = 0 pada x = 0 dan x = L maka


A5 = 0 dan sin qL = 0  qL = n


untuk n = 1  q   2   - 
L
2
dan  2   - 
L2
2 2
 GJ  M0 GJ
    2 
 2EC w  E I y C w 2EC w

Pada saat M0 menyebabkan instabilitas maka


2 2
 2 GJ   GJ 
M 0  M cr   2   -  E 2 Iy Cw
L 2EC w   2EC w 
 4  2 GJ
 E Iy Cw 
L4 L2 EC w
2
  E 
M cr    I y C w  GJ I y E
L  L 

Bila momen yang bekerja tidak konstan maka persamaan diatas menjadi

2
  E 
M cr  C b   I y C w  E I y GJ
L  L 
2 E J 1 L2  A dd  t f  
atau f cr  C b 1   (buktikan)
L 
2
C w 21   2 I z 4
 i   
 y 1,2~1,5

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Tekuk torsi lateral inelastis (Lb < Lr)
Sekarang perhatikan Gambar 2 berikut ini:

M M

Momen Mp  Mp

Kapasitas Awal
(R – 1) p rotasi (R – 1) y penguatan
perlu regangan
EI/ℓ

p  sh y  sh
Rotasi Regangan flens rerata

Gambar 2

Bila Lb < Lr pada Gambar 1, maka sebagian serat tekan akan teregang hingga  > y =
fy / E dan M > Mr. Potensi tekuk yang terjadi pada keadaan ini adalah tekuk torsi lateral
inelastis. Meskipun kekakuan torsi tidak terlalu terpengaruh oleh tegangan sisa, namun
tahanan flens tekan sangat terpengaruh oleh tegangan sisa tersebut. Dalam keadaan ini
tahanan momen elastis maksimum Mr menjadi,

Mr = Sx (fyf – fr)

dimana Sx adalah modulus penampang


fyf adalah kuat leleh flens
fr adalah tegangan sisa

Panjang bentang tak terkekang


Bila diharapkan tahanan lentur balok dapat mencapai Mp dengan kapasitas rotasi yang
tidak terlalu besar (R ~ 1) maka pada keadaan ini M0 = Mcr = Mp. Pada situasi ini
umumnya pengaruh kekakuan torsi murni dapat diabaikan terhadap pengaruh warping
sehingga diperoleh

2
M0  Mp  2 E Cw Iy
Lp

untuk Mp = Zx fy
Cw = If (d – tf)2 / 2 = Iy (d – tf)2 / 4

dan substitusikan diperoleh


2
2 I 2y d - t f 
Zx f y  2 E
Lp 4


2
E I
d - t f    2 E A i 2 d - t f 
y y
L2p 2 L2p 2

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 5


Lp  2 E d - t f  A
dan 
iy 2 fy Zx
2
d 
Z x  b t f d - t f   t w  - t f 
2 
A  2 b t f  t w d - 2t f 
A d - t f 

2 b t f  t w d - 2t f  d - t f  = 2,2 ~ 2,7
Zx    
b t f d - t f   t w d - t f d - t f
2 2

A d - t f 
namun dalam kasus ini diambil  1,5 sehingga
Zx
Lp  2 * 200.000 *1,5 1200
 
iy 2f y fy

Bila dikehendaki suatu kapasitas rotasi yang lebih besar (1 < R < 3) maka nilai E pada
persamaan diatas direduksi menjadi 42,5% untuk mendapatkan

Lp 790
 (1<R<3)
iy f yf

Bila diinginkan suatu kapasitas rotasi R yang lebih besar lagi untuk keperluan analisis
plastis dimana R  3 maka nilai E direduksi menjadi 25% atau 60 E/fy (untuk fy = 240
MPa) sehingga diperoleh

L pd 2 E 9500
 60 2 1,5  untuk kasus momen konstan (3<R<7).
iy 2 fy fy

Untuk kasus dengan momen gradien, percobaan menunjukan bahwa persamaan diatas
menjadi

L pd 25000  15000 M 1 M 2

iy fy

dimana M1 M 2  1 adalah negatif untuk kelengkungan tunggal dan positif untuk


kelengkungan ganda.

Untuk perencanaan sendi plastis pada daerah gempa besar dimana diperlukan R = 7 ~ 9
L ps 8500
maka reduksi E dapat dilakukan menjadi 20% untuk memperoleh  untuk
iy fy
kasus momen konstan.

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 6


Bila karena sesuatu dan lain hal hanya diperlukan tahanan momen M = Mr maka hal ini
dapat dicapai dengan mengatur panjang tak terkekang Lb = Lr dengan

 2 E 2
M cr  M r  S x f yf - f r   I y C w  GJ I y E
Lr L2r
L4r
S f yf - f r  2 - GJ I y E L2r -  2 E 2 I y C w  0
2 2
atau x

1 4 GJ I y E  2 2
4 E 2 I y C w
atau Lr - L - 0
2 S 2x f yf - f r  2 S 2x f yf - f r 
2 r 2
2
2
2
GJ I y E  2  GJ I y E  2  4 E 2 I y Cw
L    2 2 
 2
2 S 2x f yf - f r   2 S x f yf - f r   S x f yf - f r 
r 2 2

E
karena I y  A i 2y dan G  maka
2 1   

2 2
 4 S 2x f y - f r  1    
2
 Lr   E JA  C
    1  1  4 1    w
 2 
i
 y

 
 2 S x f yf - f r  1    

i 2y J 2 E 2 JA 

Lr
atau  X 1* 1  1  X *2
iy
2
E JA C   
dimana X  *
; X  4 1    2 w  *  .
*

2 S x f yf - f r  1  
1 2
i y J  X1 

Hubungan antara panjang bentang tak terkekang (Lb) terhadap tahanan lentur balok
diperlihatkan pada Gambar 3 berikut ini,
Teori
W16 x 26
Mp Perencanaan

M
0.5 M
Cb = 1.3
Mr
M M
0,5 Mp
Cb = 1.0

I II III
Plastis Inelastis Elastis

Lps Lpd Lp Lr Lb
0 8 16 24

Gambar 3

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Perencanaan Balok I terhadap Lentur pada Sumbu Kuat (LRFD)

Persyaratan berikut harus dipenuhi


b Mn  Mu

dimana b = 0,9
Mn adalah tahanan lentur nominal
Mu adalah momen batas atau terfaktor

Perhatikan Gambar 4 berikut ini,

Mp
Tahanan Lentur Nominal, Mn

Mr
3<R<7
7<R<9

1<R<3

Kasus Kasus Kasus


1a, 1b, 1c 2a,2b,2c 3a,3b,3c

plastis inelastis elastis

R<1 R<<1

Lb
0 Lps Lpd Lp Lr

Panjang bentang tak terkekang, Lb

Gambar 4

Kasus 1a (Lb  Lps):


 Mn = Mp
 Kapasitas rotasi R = 7 ~ 9  sesuai untuk perencanaan gempa
 Penampang harus kompak ( < p)
 Lihat juga ketentuan perencanaan tahan gempa pada peraturan baja yang baru.

L ps 8500

iy fy

Kasus 1b (Lps<Lb  Lpd):


 Mn = Mp
 Kapasitas rotasi 3  R < 7  sesuai untuk perencanaan plastis
 Penampang kompak ( < p)

L pd 25.000  15.000 M 1 M 2

iy fy

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 8


dimana M1 M 2  1 adalah negatif untuk kelengkungan tunggal, dan positif untuk
kelengkungan ganda; fy adalah kuat leleh profil (MPa).

Kasus 1c (Lpd < Lb < Lp):


 Mn = Mp
 Kapasitas rotasi 1 < R < 3  sesuai untuk perencanaan umum
 Penampang kompak ( < p)

Lp 790

iy f yf

dimana fyf adalah kuat leleh flens (MPa).

Kasus 2a (Lp < Lb < Lr):


 Mr  Mn < Mp
 Kapasitas rotasi sangat terbatas, R < 1
 Penampang kompak ( < p)

L - Lb Lb - Lp 
M n  Cb  r Mp  Mr   Mp
 L r - L p Lr - Lp 
dimana
12,5 M max
Cb 
2,5 M max  3 MA  4 MB  3 MC
dan
Lr
 X 1* 1  1  X *2
iy

2
315.000 JA C   
*
X  ; X  4 1    2 w  * 
*

S x f yf - f r  1  
1 2
i y J  X1 

dan

M r  S x f yf - f r 

Cb adalah faktor modifikasi momen gradien sepanjang bentang tak-terkekang yang


ditinjau
MA adalah momen pada ¼ bentang tak-terkekang
MB adalah momen pada ½ bentang tak-terkekang
MC adalah momen pada ¾ bentang tak-terkekang
Mmax adalah momen maximum pada bentang tak-terkekang yang ditinjau

Sx adalah modulus penampang


fyf adalah kuat leleh flens
70 MPa untuk profil gilas
fr adalah tegangan sisa = 
 115 MPa untuk profil las

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 9


1
J adalah konstanta torsi, J   bt 3 ,
3
 adalah konstanta Poisson,
Cw adalah konstanta warping,
A adalah luas penampang profil-I,
Iy adalah momen inersia terhadap sumbu lemah-y,
Iy
iy  adalah jari-jari girasi terhadap sumbu-y.
A

Kasus 2b (Lp < Lb < Lr):


 Mr  Mn < Mp
 Kapasitas rotasi sangat terbatas, R < 1
 Penampang tak-kompak (p <  < r)

r -   - p
M n1  Mp  Mr
r - p r - p
L - L Lb - Lp 
M n  Cb  r b M n1  Mr   Mp
 Lr - Lp Lr - L p 

Kasus 2c (Lb < Lp):


 Mr  Mn < Mp
 Kapasitas rotasi sangat terbatas, R < 1
 Penampang tak-kompak (p <  < r)

r -   - p
Mn  Mp  Mr
r - p r - p

Kasus 3a (Lb > Lr):


 Mn < Mr
 Kapasitas rotasi sangat terbatas, R << 1
 Penampang kompak/tak-kompak ( < r)

2
  E 
M n  Cb   I y C w  E I y GJ < Mr
Lb  L b 

Kasus 3b (Lb > Lr):


 Mn < Mr
 Kapasitas rotasi sangat terbatas, R << 1
 Penampang langsing ( > r) – Qs

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 10


Bila 370 f y  f r < b/t < 460 f y  f r maka Qs=2,435–3,88 * 10-3 (b/t) f y  fr

137.500 1
bila b/t > 460 f y  f r maka Qs =
f y  f r (b/t) 2

2
π  πE 
M n  Qs C b   I y C w  E I y GJ < Mr
Lb L
 b

Kasus 3c (Lb < Lr):


 Mn < Mr
 Kapasitas rotasi sangat terbatas, R << 1
 Penampang langsing ( > r) – Qs


M n  Qs M r  Qs Sx f yf  f r 

Perencanaan bresing
Bresing direncanakan terhadap gaya axial sebesar N = 0,02 P dimana P adalah gaya
axial yang bekerja pada komponen struktur tekan yang dikekang.
M/Mp
SRPMK
~
1 SRPMM
(1a)
(1c)
(1b) ~

Mr/ Mp
M2a/Mp

M2c/ Mp M2b/ Mp

Lpd/Lp
Lps/Lp Lb/Lp
Mcr/ Mp
(3a)


QMr/ Mp
(3c)

QMcr/ Mp
(3b) r/p~2,6

b/t/p, h/tw/p 1 Lr/Lp~2,5

Tekuk Torsi Lateral Sindur P. Mangkoesoebroto 11


Balok Pelat Berdinding Penuh

Struktur balok pelat berdinding penuh pada kasus tertentu dapat memberikan efisiensi
yang lebih baik dan untuk bentang antara 20 ~ 50 meter dapat menjadi lebih ekonomis.
1) Keadaan batas tekuk torsi lateral (penampang kompak).
Mn

Mp

C b=1
Mr

Lb
=
iy
790 Lr
p = r =
 yf iy

2) Keadaan batas tekuk lokal flens


Mn
tak kompak langsing
Mp

kompak
Mr

bf / 2
=
tf
170 420
p = r =
 yf  yf  115 k e

3) Keadaan batas tekuk lokal web

Mn
tak kompak langsing
Mp (Balok pelat berdinding penuh)

kompak 5250 a
bila  1,5
Mr  yf h

= h/tw
1680 2550
p = r =
y y
95000 a
bila  1,5
 yf  yf  115 h

Tahanan lentur dan geser balok pelat berdinding penuh sangat bergantung pada pelat
web. Pelat web yang terlalu langsing dapat bermasalah:
1) Tekuk lentur pada web akan mengurangi tahanan lentur elastis penampang;
2) Tekuk lokal flens pada arah vertikal;
3) Tekuk web karena geser.
Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 1
Pada balok pelat berdinding penuh umumnya dijumpai pengaku vertikal untuk
meningkatkan tahanan geser pelat web.

Tekuk Vertikal Pelat Flens


Batas kelangsingan maximum pelat web dimaksudkan untuk beberapa tujuan yaitu
menghambat tekuk vertikal dan tekuk torsi pelat flens.

Tekuk lateral

Tekuk torsi
Tekuk vertikal

h h h

Analisis tekuk vertikal dilakukan sebagai berikut:

θ dθ h dθ
εf =
2 dx

Af σf
Af σf
ρ dθ dθ h/2

dx = ρ dθ
h/2

Af σf Af σf

Af σf Af σf

Af σf dθ

Tegangan vertikal akibat gaya flens adalah


A f σ f dθ A σ 2ε f
σc = = f f
dx t w tw h
Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 2
Persamaan kuat kritis pada pelat tipis adalah
k π2E
σ cr =
( )
12 1 − ν 2 (h/t w )
2

σc

sendi

bebas
h

sendi

σc
dx

Untuk kasus seperti sketsa diatas k = 1, dan dari σc = σcr diperoleh


2A f σ f ε f π2E
=
h tw (
12 1 - ν 2 (h/t w )
2
)
atau

h π2E A w 1
=
tw (
24 1 - ν 2 A f σ f ε f )
dimana Aw = h tw
Bila pada pelat flens diperhitungkan adanya tegangan sisa σr dan σf = σyf maka
εf = (σr + σyf)/E

h π2E 2 A w
=
( )
sehingga
tw 24 1 - ν 2 A f σ yf σ yf + σ r ( )
bila Aw/Af = 0,5 dan σr = 115 MPa maka
h 95000
= ................................................................ (1)
tw (
σ yf σ yf + 115 )
Persamaan (1) dikembangkan untuk web tanpa pengaku vertikal.

Nilai maximum h/tw – LRFD


Pada peraturan Persamaan (1) menjadi
h 95000 a
= untuk > 1,5
tw σ yf σ yf + 115( ) h

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 3


h 5250 a
dan = untuk ≤ 1,5
tw σ yf h

Tekuk Lentur Web


Pada saat balok pelat berdinding penuh memikul lentur maka bagian pelat web yang
dekat dengan flens tekan cenderung mengalami tekuk seperti skema dibawah ini.

web tekan
h
tw

Persamaan stabilitas pelat adalah


π2 k E
σcr =
( )
12 1 − ν 2 (h / t w )
2

dengan k dijelaskan pada gambar berikut

ε
sendi sendi h

ε
Parameter kekakuan rotasi
tepi pelat
ε = ∞ (jepit)
Nilai k

44
39.6
ε = 100

36
ε = 10

ε=3
28
ε = 0 (sendi)
23.9

0.3 0.7 1.1 1.5 1.9 2.3

a/h

Jadi dengan E = 200 GPa dan ν = 0,3 maka


4.320.000
σcr = untuk k = 23,9 (sendi-sendi)
(h / t w )2
7.158.000
dan σcr = untuk k = 39,6 (jepit-jepit)
(h / t w )2

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Karena kondisi jepitan pelat web sangat bervariasi dari kasus-ke-kasus dan kondisi jepit
ini hampir sunguh-sunguh terjadi pada pelat web yang dilas terhadap flens maka
umumnya diambil kondisi 90% kearah jepitan,
6.450.000
σcr =
(h / t w )2
atau agar tekuk lentur pada web dapat dihindari maka

h 6.450.000 2550
≤ =
tw σ cr σ cr

σcr

σy Tegangan sisa pada web diabaikan


6.450.000
σcr = 2
⎛h ⎞
⎜ t ⎟
⎝ w⎠

h / tw
2550
σy

Bila pengaruh tekuk torsi lateral dan tekuk lokal flens tidak ditinjau, dan hanya
memperhatikan kelangsingan web saja maka hubungan Mn/My versus λ = h/tw untuk BJ
37 diperlihatkan secara skematis berikut ini,
σy daerah perencanaan
Mn
σy balok pelat minimum
My

α
1,0
tekuk lentur web
Penguatan
regangan 6.450.000 Tekuk vertikal flens
BJ 37 2
f y ⎛⎜ h ⎞⎟
⎝ tw ⎠
λ = h/tw
λp = 108 λr = 165 λl = 325 λl = 339
a
⎛ 1680 ⎞ ⎛ 2550 ⎞ untuk > 1,5 a
≤ 1,5
⎜ ⎟ ⎜ ⎟ h
untuk
⎜ 240 ⎟ ⎜ 240 ⎟ h
⎝ ⎠ ⎝ ⎠

Bila pengaruh tekuk lentur web diperhitungkan dalam menghitung tahanan lentur balok
pelat maka
Mn
= 1 − α (λ − λ r ) λr < λ < λl
My

Dari eksperimen dapat ditunjukan bahwa


ar
α=
1200 + 300 a r

Aw
dimana ar = ≤ 10
A fc

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 5


2550
λr =
σy

h
λ=
tw

⎧ 5250 a
⎪ σ bila ≤ 1,5
⎪ h
λl = ⎨
yf
95000 a
⎪ bila > 1,5
⎪⎩ σ yf (σ yf + 115) h

My = Sx σy
Sehingga diperoleh,
⎡ ar ⎛ h
⎜ 2550 ⎞⎟⎤⎥
Mn = Sx σy ⎢1 − −
⎢ 1200 + 300 a r ⎜ tw σ yf ⎟⎠⎥
⎣ ⎝ ⎦
Persamaan tersebut berlaku tanpa mempertimbangkan tekuk torsi lateral dan tekuk lokal
flens. Bila hal tersebut diperhitungkan maka kuat leleh harus diganti dengan kuat kritis
akibat pengaruh tekuk torsi lateral dan tekuk lokal flens, sehingga didapat
⎡ ar ⎛ h 2550 ⎞⎤
Mn = Sx σcr ⎢1 − ⎜ − ⎟⎥
⎢⎣ 1200 + 300 a r ⎜ tw σ ⎟
⎝ cr ⎠⎥⎦
= Sx σcr RPG
dimana
σcr ditentukan dengan memperhatikan pengaruh tekuk torsi lateral dan tekuk
lokal flens tekan.

ar ⎛ h 2550 ⎞
RPG = 1- ⎜ − ⎟ ≤ 1,0
1200 + 300 a r ⎜ tw σ ⎟
⎝ cr ⎠

Aw
ar = ≤ 10
A fc
Jadi dengan adanya pengaruh tekuk lentur pada web, tahanan lentur balok pelat sama
dengan kuat kritisnya dikalikan modulus penampang terkoreksi akibat tekuk lentur pada
web. Pada balok pelat hibrida dimana pada umumnya kuat leleh web lebih rendah
daripada kuat leleh flens maka faktor koreksi akibat perbedaan kuat leleh tersebut
diperhitungkan dalam perhitungan tahanan lentur balok pelat, sehingga
Mn = Sx σcr RPG Re

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 6


12 + a r (3m − m 3 )
dimana 0 ≤ Re = ≤ 1,0 . Untuk balok homogen Re=1.
12 + 2 a r

σ yw
m =
σ yfc

Tahanan Geser Pelat Web


Tegangan normal kritis untuk pelat tipis ditentukan oleh persamaan berikut ini:
π2 k E
σcr =
(
12 1 − ν 2 (b t ) ) 2

Persamaan tersebut untuk tegangan geser pada balok pelat menjadi


π2k v E
τcr = ......................................................................... (2)
(
12 1 − ν 2 ) (h/t ) 2

5
dengan kv = 5 + .
(a / h ) 2

Namakan Cv = τcr/τyw maka Persamaan (2) menjadi


τ cr π2 k v E
Cv = =
τ yw 12 (1 − ν 2 ) (h/t) 2 τ yw

Dengan E = 200 GPa , ν = 0,3 dan τ yw = 0,6 σyw


304.000 k ν
diperoleh Cν =
(h / t w ) 2 σ yw

Persamaan tersebut diatas berlaku untuk daerah tekuk elastis.


Untuk daerah tekuk inelastis, tegangan kritis dinyatakan sebagai
τcr, inel = τ batas proporsional τ cr,el

Tegangan geser batas proporsional diambil sebesar 0,8 τyw dan τ cr ,el = C v ,el τ yw

sehingga
τ cr ,inel
= C v ,inel = 0,8 C ν ,el
τ yw

304.000 k ν
= 0,8
(h / t w ) 2 σ yw

490 kν
=
h / tw σ yw

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Untuk τcr = τy maka Cν, inel = 1 dan diperoleh

h kν
= 490
tw σ yw

Untuk τcr = 0,8 τy maka Cν, inel = Cν, el = 0,8 dan diperoleh

h kν
= 610
tw σ yw

τ cr
Cν= 490 kν
τy Cν, inel=
1,0 h / tw σ yw

0,8 304.000 k ν
Cν, el=
(h / t w ) 2 σ yw

leleh inelastis elastis

h / tw

kν kν
490 610
σ yw σ yw

Sehingga tahanan geser nominal menjadi


τcr
Vn = τcr Aw = τy A w
τy

= Cν τy Aw = Cν (0,6 σyw)Aw

dan Vd = φν Vn = 0,9 C v (0,6σ yw )A w [ ]


= 0,54 Cν σyw Aw

dengan
h kv
Cν = 1 bila < 490 (web leleh)
tw σ yw

490 kν kν h kν
Cν = bila 490 ≤ ≤ 610 (tekuk web inelastis)
h / tw σ yw σ yw t w σ yw

304.000 k ν h kν
Cv = bila > 610 (tekuk web elastis)
(h/t w ) σ yw 2
tw σ yw

h
Catatan: Bila > 260 maka pengaku vertikal harus senantiasa terpasang.
tw

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 8


Tahanan Geser Nominal termasuk Aksi Medan Tarik
Suatu balok pelat berdinding penuh dapat mengalami tekuk akibat geser. Tahanan pasca
tekuk dapat diperoleh dari mekanisme rangka batang yang digambarkan sebagai berikut:
P

Mekanisme rangka batang tersebut yang terjadi pada pasca tekuk dinamakan aksi
medan tarik (tension-field action) karena tarikan-tarikan dipikul oleh pelat web
sedangkan tekanan-tekanan dipikul oleh pengaku vertikal.
Kurva Cv vs h/tw dengan memperhatikan tahanan pasca tekuk adalah sebagai berikut:
τ cr
C ν= penguatan regangan
τy
perlu pengaku
dapat tanpa vertikal
pengaku vertikal
1,0
Pasca tekuk -
0,8 Aksi Medan Tarik
(perlu pengaku vertikal)
Tanpa tekuk
akibat geser
h/tw
260 λl

610
σ yw

490
σ yw

Tahanan geser Vn yang disumbangkan oleh tahanan tekuk, Vcr, dan tahanan medan
tarik, Vtf, adalah sebagai berikut:
Vn = Vcr + Vtf
dimana Vcr = Cv τy Aw sedangkan Vtf didapat berikut ini.

Arah Optimum Aksi Medan Tarik

T
α Vtf
h cos α
σt α

tw h

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Vtf = T sin α
T = σt tw h cos α

σt
h – a tan α

ΔT
h
S ΔVtf
a tan α α

S = (h - a tan α ) cos α
= h cos α - a sin α
ΔT = σ t t w S

ΔVtf = ΔT sin α = σ t t w S sin α

= σ t t w sin α (h cos α - a sin α )

⎛h ⎞
= σ t t w ⎜ sin 2α - a sin 2 α ⎟
⎝2 ⎠
Bila diberikan h dan a maka sudut α akan menjadi demikian sehingga ΔVtf maximum
atau
d ΔVtf
= 0 = h cos 2α - 2a sin α cos α

= h cos 2α - a sin 2α
h 1
atau tan 2α = =
a a
h 1+ a ( h)2

1
1
sin 2α =
1+ a( h) 2 2α
a/h

⎛ a ⎞
1 - cos 2α 1 ⎜ h

sin α =
2
= ⎜1 - ⎟
2 2⎜


1+ a
h
( ) 2
⎟⎟

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 10


a

a/2 a/2 a
PS α
a sin α
σt
α
Vtf
Vtf
2
Fw 2 h/2
Fw
Ff + ΔFf Ff
a

Kesetimbangan horizontal memberikan


ΔFf = σ t t w a sin α cos α

1
= σ t t w a sin 2α
2
Dari kesetimbangan momen diperoleh
h Vtf
ΔFf - a =0
2 2
h
atau Vtf = ΔFf
a
1
= σ t h t w sin 2α
2
1 1
= σt h t w
2
1+ a ( h) 2

Teori keruntuhan berdasarkan energi distorsi memberikan (untuk kasus dua dimensi):
σ12 + σ 22 - σ1 σ 2 = σ 2y ........................................................................... (3)
σ1
σy
B
1− 1
σ1 = -σ2 = τcr 3
θ σy/ 3 tan θ =
(geser murni)
A 1
-σy 3
σ2
-σ y / 3 σy
= 3 -1

-σy

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 11


σ1

σt σt
τcr
τcr τcr
σt

τcr
τcr
∴ σ1 = σ t + τ cr σt

σ2
σ1
σ 2 = − τ cr

Persamaan (3) pada segmen AB dapat didekati sebagai berikut:


σ1 = σ y + ( 3 -1 σ2 )
atau σ t + τ cr = σ y - ( )
3 - 1 τ cr

σ t = σ y - 3 τ cr

maka
σt
σy
=1- ( 3 ) στ cr
=1-
τ cr
τy
=1- CV
y

dan σ t = (1 - C V ) σ y

dan tahanan aksi medan tarik menjadi,


1 1
Vtf = σt h t w
2
( h)
1+ a
2

1 1
= (1 - Cv )σ yw h t w
2 1 + (a/h )
2

dan tahanan geser nominal, Vn, menjadi


Vn = Vcr + Vtf

1 1
= Cv τy A w + (1 - C v ) σ yw A w
2
1+ a ( h) 2

⎡ ⎤
⎢ 3 (1 - C v ) ⎥
= τ y A w ⎢C v + ⎥


2 1+ a
h
2
( ) ⎥

⎛ ⎞
⎜ 1- Cv ⎟
Vn = 0,6 σ yw Aw ⎜Cv + ⎟
⎜⎜

1,15 1 + a
h
( )
2
⎟⎟

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 12


Gaya pada pengaku vertikal menjadi
Ps = σ t t w a sin α sin α
sin 2 α
⎡ a ⎤
1⎢ ⎥
= (1 - C v ) σ yw t w a ⎢1 - h

2⎢

1+ a
h
( )
2


bila a/h dianggap 1 maka
Ps = 0,15 σ yw (1 - C v ) a t w

dan luas pengaku vertikal Ast


Ps 0,15 σ yw (1 - C v ) a t w
A st = =
σ yst σ yst

di peraturan di syaratkan
σ yw ⎡ Vu ⎤
A st ≥ ⎢0,15 D h t w (1 - C v ) - 18 t 2w ⎥ ≥ 0
σ yst ⎣ φ v Vn ⎦
dimana: σyst adalah kuat leleh pengaku vertikal
⎧1 untuk sepasang pengaku vertikal

D = ⎨1,8 untuk satu pengaku vertikal siku
⎪2,4 untuk satu pengaku vertikal pelat

Persamaan Interaksi Geser – Lentur


Bila balok pelat berdinding penuh direncanakan memikul geser dengan
memperhitungkan pengaruh aksi medan tarik maka persamaan interaksi geser-lentur
harus dipenuhi.

Mu
φM n
A
1,0

0,75 B

Vu
0,6 1 φVn

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 13


Persamaan garis AB adalah
Mu 0,25 Vu
=- + 1,375
φM n 0,4 φVn
Mu V
atau + 0,625 u = 1,375
φM n φVn
Vu
Jadi bila 0,6 < <1
φVn
Mu
dan 0,75 < <1
φM n
φVn V φVn
atau 0,6 < u < ............................................................ (4)
Mu Mu Mu

0,75 φ M n M φ Mn
dan < u <
Vu Vu Vu

Vu V Vu
< u < .................................................................... (5)
φ M n M u 0,75 φ M n

Vn Vu φVn Vn
0,6 φM n Mu 0,75 M n
Mn
Vu
Mu

φVn Vu
0,6 Vn
Mu 0,75 φM n
Mn

Persamaan (4)

Persamaan (5)

Persamaan (6)

Vn V Vn
atau bila 0,6 ≤ u ≤ .......................................................... (6)
M n M u 0,75 M n
maka persamaan interaksi geser-lentur berikut harus dipenuhi,
Mu V
+ 0,625 u ≤ 1,375
φM n φVn

dimana φ = 0,9
Mn & Vn masing-masing adalah tahanan lentur dan geser nominal balok pelat
berdinding penuh.
Mu & Vu masing-masing adalah momen dan geser terfaktor yang bekerja pada
balok pelat berdinding penuh.

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 14


Bila Persamaan (6) tidak terjadi maka
Mu ≤ φ Mn
dan Vu ≤ φ Vn

Balok Biasa
Suatu balok pelat akan menjadi balok biasa bila pengaku vertikalnya dihapuskan.
Penghapusan tersebut dilakukan bila h/tw ≤ 260 dan bila persyaratan berikut dipenuhi.
Dalam kasus tanpa pengaku vertikal nilai kv = 5.
1. Rezim penguatan regangan

h kv 1100
≤ 490 =
tw σ yw σ yw

dan tahanan geser nominal menjadi (Cv = 1)


Vn = 0,6 σ yw A w

2. Rezim tekuk geser inelastis


1100 h 1380
≤ ≤
σ yw tw σ yw

Vn = 0,6 σ yw A w C v

1100
Cv =
h σ yw
tw
3. Rezim tekuk geser elastis
h 1380
260 > >
tw σ yw

Vn = 0,6 σ yw A w C v

1.520.000
Cv = 2
⎛h ⎞ σ
⎜ t ⎟ yw
⎝ w⎠

Bila h > 260 harus selalu digunakan pengaku vertikal.


tw
Jadi pengaku vertikal tidak diperlukan bila,
h
1) ≤ 260
tw

dan 2) Vn ≤ 0,6 σ yw A w C v

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 15


Persyaratan Aksi Medan Tarik

Bila h > 260 harus selalu digunakan pengaku vertikal,


tw

> C v (0,6 σ yw ) A w maka diperlukan sumbangan dari aksi medan tarik


Vu
dan bila
φ
sehingga juga diperlukan pengaku vertikal, dan
⎡ ⎤
Vu ⎢ 1- Cv ⎥
≤ 0,6 σ yw A w ⎢C v + ⎥
φ ⎢

1,15 1 + a( )
h
2

a ⎧⎪⎛ 260 ⎞ ⎫⎪
2

Aksi medan tarik hanya boleh dipertimbangkan bila ≤ min ⎨⎜⎜ ⎟⎟ , 3⎬ . Bila
h ⎪⎩⎝ h t w ⎠ ⎪⎭

5
persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka nilai Cv dihitung dengan kv = 5 + ; bila
(a / h ) 2
(a / h ) > 3 maka kv = 5. Aksi medan tarik tidak boleh digunakan pada panel ujung atau
panel yang berdekatan dengan panel berlubang, semua pada panel balok hibrida, panel
pada web-tapered. Tahanan geser dihitung sebagai Vn = C v (0,6 σ yw ) A w .

Flens tekan

Las intermiten

tw
Flens tarik

6 tw maksimum
4 tw minimum

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 16


Perencanaan Balok Pelat Berdinding Penuh

a a

a h 5250
a) Bila ≤ 1,5 maka ≤
h tw σ yf

a h 95.000
b) Bila > 1,5 maka ≤
h tw (
σ yf σ yf + 115 )
dimana:
a adalah jarak bersih antar pengaku vertikal
h adalah jarak bersih seperti ditunjukkan sketsa berikut

h h h

σyf adalah kuat leleh pelat sayap


h
Pada balok tanpa pengaku vertikal, ≤ 260
tw

Tahanan Lentur Rencana


Parameter kelangsingan
a) Tekuk torsi – lateral
Lb
λ=
rT
790
λp =
σ yf

2000
λr =
σ yf

C PG = 1.970.000 C b

12,5 M max
Cb =
2,5 M max + 3 M A + 4 M B + 3M C

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 17


Lb

A B C

Lb / 4 Lb / 4 Lb / 4 Lb / 4

Mmax

rT adalah jari-jari girasi dari pelat sayap tekan + 1/3 dari pelat badan tertekan
terhadap sumbu T.
T

1/6 h

Lb adalah jarak terbesar dari titik-titik yang tidak dikekang secara lateral pada suatu
balok.

b) Tekuk lokal pelat sayap


bf 2
λ=
tf

170
λp =
σ yf

ke
λ r = 600
σ yf

CPG = 180.000 ke
Cb = 1
4
dimana k e = dan 0,35 ≤ ke ≤ 0,763
h tw

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 18


Kuat kritis
Bila λ < λp maka σcr = σyc
⎡ 1 λ - λp ⎤
λp < λ < λr maka σ cr = C b σ yc ⎢1 - ⎥ ≤ σ yc
⎢⎣ 2 λ r - λ p ⎥⎦
C PG
λ > λr maka σ cr =
λ2
Kuat kritis, σcr, diambil untuk kedua kasus pada (a) dan (b), dan diambil nilai terkecil.

Tahanan Lentur Nominal


a) Pelat sayap tertarik hingga leleh
M n = S xt R e σ yt

b) Tekuk pelat sayap tekan


M n = S xc R PG R e σ cr

dimana:

ar ⎡ h c 2550 ⎤
R PG = 1 - ⎢ - ⎥ ≤ 1,0
1200 + 300 a r ⎢⎣ t w σ cr ⎥⎦

Re adalah faktor penampang hibrida

0 ≤ Re =
(
12 + a r 3m - m 3 )
≤ 1 . Untuk balok homogen Re=1.
12 + 2a r

Aw
ar = ≤ 10 , adalah perbandingan luas penampang pelat badan terhadap luas
A fc
penampang pelat sayap tekan
⎧⎪ σ yw σ yw ⎫⎪
m = max ⎨ , ⎬
⎪⎩ σ yc σ cr ⎪⎭

σcr adalah kuat kritis pelat sayap tekan


σyt adalah kuat leleh pelat sayap tarik
σyc adalah kuat leleh pelat sayap tekan

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 19


Sxc adalah modulus penampang terhadap pelat sayap tekan, Ix / yc
Sxt adalah modulus penampang terhadap pelat sayap tarik, Ix / yt
hc adalah dua kali jarak dari titik berat penampang ke lokasi baut terdekat pada
pelat badan tekan atau jarak dari sisi-sisi dalam dari pelat sayap atas dan bawah
bila digunakan las pada penampang simetris.

Tahanan Lentur Rencana


Md = b Mn
dimana b = 0,9

Tahanan Geser Rencana dengan Aksi Medan Tarik

h kv
a. Untuk  490
tw σ yw

Vd   v Vn  0,9  0,6 A w  yw 

h kv
b. Untuk  490
tw  yw

  
  1 - Cv 
Vd  v Vn  0,9 0,6 A w σ yw *  C v  




 
1,15 1  a
h
2


 cr
dimana C v  dihitung sebagai berikut:
y

kv h kv
Bila 490   610
 yw t w  yw

490 k v  yw
Cv 
h tw

h kv
Bila  610
tw  yw

k v  yw
C v  304.000
h tw 
2

5
Nilai kv ditentukan dengan k v  5  .
 h
a
2

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 20


Untuk panel-panel ujung balok pelat berdinding penuh homogen, semua panel pada
balok hibrida dan balok dengan perubahan pelat badan (web-tapered), serta bila a/h > 3
atau a/h > [ 260 / (h/tw)]2, aksi medan tarik tidak boleh diperhitungkan, dan
Vd = v Vn = (0,9) (0,6 Aw yw Cv)
5
dimana Cv dihitung dengan kv = 5 + , kecuali bila a/h>3 maka kv = 5.
(a / h ) 2

Pengaku Vertikal
Pengaku vertikal tidak diperlukan bila
h
a)  260
tw

dan b) Vu  0,6  v  yw A w C v

5
dimana Cv ditentukan dengan kv = 5 + dan v = 0,9.
(a / h ) 2

a a

tw

 

I  a tw3 j
2,5
j 2 - 2  0,5
a a
 
a
h
tw
 

Bila direncanakan untuk aksi medan tarik, luas pengaku vertikal Ast ditentukan sebagai
berikut:
 yw  Vu 2
A st  0,15 D h t w 1 - C v  - 18 t w   0
 y st  Vd 
dimana:
y st adalah kuat leleh pengaku vertikal

 1 untuk sepasang pengaku vertikal



D   1,8 untuk satu pengaku vertikal siku
2,4 untuk satu pengaku vertikal pelat

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 21


Interaksi Geser – Lentur
Vn V Vn
Bila 0,6  u  untuk balok-balok pelat berdinding penuh dengan pelat
M n M u 0,75 M n
badan yang direncanakan terhadap aksi medan tarik harus memenuhi persyaratan
tambahan dibawah ini
Mu V
 0,625 u  1,375
 Mn  Vn
dimana Mn dan Vn masing-masing adalah tahanan lentur dan geser nominal balok
pelat berdinding penuh,  = 0,9

Perencanaan Pelat Sayap


1. Perbandingan lebar pelat sayap terhadap tinggi, bf / d, antara 0,3 (untuk balok
rendah) hingga 0,2 (untuk balok tinggi).
2. Lebar pelat sayap adalah kelipatan 50 mm.
3. Ketebalan pelat sayap adalah kelipatan 2 mm (tf  18 mm), 3 mm (18 mm < tf  36
mm), 6 mm (tf > 36 mm).
bf 2
4. Bila ada bahaya stabilitas lateral maka buat = ~  p pada posisi momen
tf
maksimum, tf dapat direduksi pada posisi-posisi lainnya.
5. Pada balok pelat yang stabil dalam arah lateral, reduksi luas flens dapat dilakukan
dengan mengurangi tebal, lebar atau kedua-duanya. Dari sisi lelah, reduksi lebar
lebih baik dari pada reduksi tebal. Transisi tebal atau lebar tidak melebihi 1 : 2,5.

Tinggi Optimum Balok Pelat

w  h tetap
tw

3 M u w
Tinggi Optimum, h 3  cr   y
2   cr

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 22


h2 h2 2 h2
Luas balok pelat, A t  A w  2A f   
 w w  w

M 2u
 18 2 2
3   mm 
2

 cr  w

Berat per satuan panjang,

-5 M 2u  N 
A t  7,84 * 10 3 18 2 2   mm 
 cr  w

Catatan:  = 7,84 * 10-5 N/mm3

Balok Pelat Berdinding Penuh Sindur P. Mangkoesoebroto 23


DIAGRAM ALIR
PERENCANAAN BALOK PELAT BERDINDING PENUH
Diberikan: bt tt fyt fyw Vu rT1 φb = 0,9
bc tc fyc Mu Mmax fyst
D MA kb
MB
⎛ h ⎞
β w ⎜⎜ = ⎟⎟
⎛ a⎞
α⎜ = ⎟ Lb MC
⎝ tw ⎠ ⎝ h⎠

Tekuk torsi - lateral Tekuk lokal pelat sayap

λ = L b /rT λ = b c /(2t c )

λ p = 790/ f yc λ p = 170/ f yc

λ r = 2000/ f yc 4
0,35 < k e = ≤ 0,763
βw
12,5 M max
Cb =
2,5 M max + 3M A + 4M B + 3M C λ r = 600 k e /f yc

C PG = 1.970.000 C b C PG = 180.000k e

Cb = 1

Call fcr1 fcr = min [fcr1, fcr2] Call fcr2

bc 3 M u βw
h=3
Ac tc 2 φ f cr
kb
tw
hc/2
At = bt tt
d h’ h x x
Aw Ac = bc tc
ycg tw = h/βw
kb
At tt Aw = tw h = h2/βw
bt a = αh
d = h’ + tt + tc

Balok Pelat Berdinding Penuh-Flow Chart Sindur P. Mangkoesoebroto 1


A c (d - t c /2) + A w h' /2 + t t  + A t t t / 2
ycg = ; hc = 2 (d - tc - kb - ycg)
Ac + A w + A t
IT = 1 t c b c 3 + 1 (h' /6) t w 3 ; AT = t c b c + h' /6 t w
12 12
rT = I T ; is it close to rT1 ? → write rT
AT
Ix = 1 b c t c 3 + A c (d - t c /2 - y cg ) 2 + 1 t w h'3 + A w (y cg - t t - h' /2) 2
12 12
1 3 2
+ 12 b t t t + A t (y cg - t t /2)
Sxt = Ix / ycg; Sxc = Ix / (d - ycg)
 f yw f yw 
ar = Aw / Ac ≤ 10; m  max  , 
 f yc f cr 
12 + a r (3m - m 3 )
0  Re   1 ; untuk balok homogen Re=1.
12 + 2a r
ar  hc 2550 
RPG = 1 -  -   1 (SNI Baja: hhc, fyffcr)
1200 + 300 a r  t w fcr 

Catatan:
2 E J 1 L2
1. f cr  C b 1
L 
2
C w 21    2
 i 
 y
J 1.970.000 C b
Bila  0 untuk kasus tekuk torsi lateral elastis maka f cr  2
.
Cw L 
 i 
 y
Lr 2 * 1.970.000 2.000
Bila fcr=fr=fy/2 dan Cb=1 maka  r    .
iy fy fy

2. See Table 4.5-1.


420 420 ke
r    600

f yf  f r k e 240  115 f yf k e
f yf
240

f cr 1 2 1 180.000 k e
 2  Ek  .

f y  c 12 1  2 f
y
 
b / 2 / tf 2
f y b / 2 t f 2

Balok Pelat Berdinding Penuh-Flow Chart Sindur P. Mangkoesoebroto 2


Mn1 = Sxt Re fyt Mn = min [Mn1, Mn2] Mn2 = Sxc RPG Re fcr

Md = φb Mn

t revise
Mu ≤ Md

y
Untuk panel-panel ujung, panel
dekat lubang, panel balok
hibrida, web-tapered TFA=0;
untuk lainnya TFA=1.
Bila α >3, TFA=0, kv=5; bila α
≤3, kv= kv+5/α2

95.000 t y
y 5250 α ≤ 1,5 α > 1,5
βw ≤
βw ≤ α = a/h
f yc f yc (f yc + 115)

t t
revise

kv y
βw > 490
fyw
Call CV
t

0
TFA
Cv=1
revise
1
t
aksi medan tarik
2 (perlu pengaku)
Vd = 0,9 . 0,6 . Cv f yw h / β w
2 α ≥ (260/βw)
Vu ≤ Vd t
tanpa aksi medan tarik
y TFA=0 y
Vd = 0,9 . 0,6 . f yw h / β w *
2

Call pengaku
y ⎡ ⎤
Call PIGL Vu ≤ Vd 1- C V
⎢C V + ⎥
stop ⎢⎣ 1,15 1 + α 2 ⎥⎦
Call pengaku
t

stop revise

Balok Pelat Berdinding Penuh-Flow Chart Sindur P. Mangkoesoebroto 3


Subroutine Persamaan Interaksi Geser - Lentur (PIGL)

0,6Vn Vu Vn t
  return
Mn M u 0,75M n

t Mu V
revise + 0,625 u  1,375
Md Vd

return

Subroutine Pengaku

t 0 t kv y
 w ≥ 260 TFA w < 490
fyw
y 1

2
f yw  2 Vu  h 
Ast = 0,15 D h /  w (1- C v ) - 18    No need of vertical
fyst  Vd   w   stiffener

(no requirement on Ast 2,5 y


j= -2 j < 0,5 j = 0,5
only on I) 2
t 3
I   h 4 j/w return

Balok Pelat Berdinding Penuh-Flow Chart Sindur P. Mangkoesoebroto 4


Subroutine fcr:

λ < λp λ > λr C PG
return fcr = fyc λ fcr = return
(kompak) (langsing) λ2
λp < λ < λr
(non-kompak)

⎡ ⎛ λ - λ p ⎞⎤
f cr = C b f yc ⎢1 - 12 ⎜ ⎟⎥ ≤ f yc
⎢⎣ ⎜ λ - λ ⎟
⎝ r p ⎠⎥⎦

return

Subroutine Cv :

kv kv
β w ≤ 490 f yw β w > 610 f yw (k v / f yw )
return Cv = 1,0 βw C v = 304.000 2
βw

kv kv
490 f yw < β w ≤ 610 f yw
return

k v / f yw
C v = 490
βw

return

Balok Pelat Berdinding Penuh-Flow Chart Sindur P. Mangkoesoebroto 5


PERENCANAAN PLASTIS RANGKA SEDERHANA

Pendahuluan
Dalam perencanaan elastis struktur rangka (frame dan gable frame) yang menjadi dasar
perhitungan tahanan struktur adalah kapasitas tahanan penampang pada lokasi dimana
terjadi gaya-gaya-dalam maksimum atau lokasi kritis. Sedangkan dalam perencanaan
plastis, tahanan struktur ditentukan oleh tahanan seluruh struktur pada saat terjadinya
mekanisme; pada saat mana penambahan beban tidak lagi dimungkinkan mengingat
deformasi yang terjadi telah menjadi terlalu besar.

Profil yang umum digunakan dalam perencanaan plastis adalah bentuk IWF atau H yang
masuk dalam kategori kompak dan dimaksudkan agar penampang komponen struktur
dapat mencapai tahanan plastisnya tanpa mengalami local buckling dengan kapasitas rotasi
yang cukup besar, R=3~7. Selanjutnya, untuk menjamin terpenuhinya kapasitas rotasi
tersebut maka disetiap lokasi terbentuknya sendi plastis kedua flens harus terkekang secara
lateral. Disamping itu, panjang bentang tak-terkekang maksimum Lb, adalah sesuai dengan
pasal 7.5.2 SNI 03 1729-2000, Lb≤ Lpd.

Perlu diperhatikan pula peryaratan perencanaan sambungan rangka kaku (rigid frame knee)
untuk menjamin terbentuknya sendi plastis. Sambungan harus mempunyai tahanan yang
lebih tinggi daripada komponen struktur yang dihubungkan padanya. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai indeks keandalan, untuk komponen struktur adalah β=3 sedangkan untuk
sambungan 4,5. Selanjutnya diharapkan sendi plastis terbentuk di luar daerah sambungan
yaitu disalah satu ujung komponen struktur yang terhubung pada sambungan. Menurut SNI
1729 2000, pada pasal 15.7.2.1 disebutkan bahwa untuk perencanaan sambungan balok-ke-
kolom pada Sistem Pemikul Beban Gempa maka rotasi inelastis sekurang-kurangnya harus
dapat mencapai 0,03 radian.

Disamping itu perencanaan sambungan harus memperhatikan tiga hal berikut:


1. Mampu mentransfer momen ujung balok dan kolom;
2. Mampu mentransfer geser ujung balok ke kolom;
3. Mampu mentransfer geser pada ujung kolom ke balok.

Perencanaan sambungan balok-ke-kolom dan daerah panel untuk Sistem Rangka Pemikul
Momen Khusus harus selalu memperhatikan pasal 15.7 pada SNI 1729 2000. Lihat juga
materi kuliah Beban Terpusat Pada Balok sebagai referensi perencanaan daerah panel dan
pengaku yang diperlukan.

Mekanisme Keruntuhan Plastis


Sebelum tahanan plastis struktur rangka ditentukan, terlebih dulu perlu diketahui
mekanisme-mekanisme yang mungkin terjadi pada struktur. Pada umumnya masing-
masing mekanisme keruntuhan akan menghasilkan beban batas yang berbeda-beda. Nilai
beban batas terkecil yang akan menentukan tahanan struktur.

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 1

Irwan Kurniawan
Beberapa mekanisme yang mungkin terjadi pada struktur rangka adalah:
1. Mekanisme balok;
2. Mekanisme panel;
3. Mekanisme join;
4. Mekanisme gable;
5. Mekanisme kombinasi.

Ilustrasi masing-masing mekanisme keruntuhan dapat dilihat pada gambar-gambar berikut


ini.

(a) Mekanisme balok

(b) Mekanisme panel (c) Mekanisme join

(d) Mekanisme gable

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 2

Irwan Kurniawan
(e) Mekanisme kombinasi

Metode Analisis Plastis


Metode yang umum digunakan dalam analisis plastis adalah metode kesetimbangan dan
metode energi. Dalam bahasan ini akan diuraikan metode energi yang untuk beberapa
kasus lebih mudah digunakan, dapat dilihat pada contoh-contoh dibawah ini.

Contoh 1
Mekanisme keruntuhan diperlihatkan dalam gambar dibawah. Lokasi sendi plastis
diasumsikan, dan dari hubungan geometri dapat ditentukan sudut θ. Kerja eksternal yang
dilakukan oleh beban luar sama dengan energi regangan internal akibat momen-momen
plastis yang bekerja membentuk rotasinya masing-masing.

L/2 Wn Wn
θ θ

L L

Kerja eksternal = Kerja internal

θL
Wn = M p (θ + 2θ + θ)
2
8M p
Wn =
L
Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 3

Irwan Kurniawan
Contoh 2

Wn Δ
θ θ
0,5Wn
2 3 θ

h 2θ
θ θ θ θ
1 4

Mekanisme 1 Mekanisme 2

Kemungkinan-kemungkinan mekanisme keruntuhan diperlihatkan dalam gambar diatas.

(a) Mekanisme 1
0,5 Wn θh = M p (θ + θ)
4M p
Wn =
h

(b) Mekanisme 2
L
0,5 Wn θh + Wn θ = M p (2θ + 2θ)
2
8M p 4M p 2
Wn = = ⋅
L+h h L +1
h

Contoh 3
Wn Wn

0,5Wn 4 2,25 m
3 5
2 6

4,5 m

1 7

9m

θ θ

Mekanisme 1

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 4

Irwan Kurniawan
0
3
4 
3 2

2 3
3 5

2 x
5 6 6


2  4,5



2
1 7

Mekanisme 2

18

 x
4 
4

3 5

2 3 6 6

3 3 
  4,5
4 4

1
Mekanisme 3 7

a. Mekanisme 1

0,5 Wn 4,5 θ  M p .2θ


M p  1,125 Wn

b. Mekanisme 2
Untuk membahas mekanisme yang lebih kompleks ini, digunakan konsep pusat sesaat
(instantaneous center). Bila sendi plastis terbentuk pada titik 5 dan 6, maka ada tiga
benda rigid, yang berotasi pada saat struktur tersebut mulai bergerak. Segmen 1-2-3-4-
5 berotasi terhadap titik 1; segmen 6-7 berotasi terhadap titik 7; segmen 5-6 berotasi

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 5

Irwan Kurniawan
dan bertranslasi yang besarnya ditentukan oleh gerakan titik 5 dan 6 pada segmen-
segmen kaku di dekatnya. Bila benda tersebut kaku, titik 5’ tegak lurus terhadap garis
1-5, dan titik 6’ tegak lurus terhadap garis 6-7. Dengan demikian titik 5 dan 6 dapat
dianggap berotasi terhadap titik 0, perpotongan dari garis 1-5 dan garis 6-7; yakni pusat
sesaatnya.

Langkah pertama dalam metode energi yang menggunakan pusat sesaat adalah
menentukan lokasi titik pusat sesaat; karena titik 5 adalah 6,75 m ke arah horisontal
dan 5,625 m kearah vertikal dari titik 1, sedang jarak vertikal ke titik 0 dari titik 7
adalah:

x 5,625
= ; x = 7,5 m
9 6,75

Selanjutnya, sudut acuan θ ditentukan seperti terlihat dalam gambar diatas (Mekanisme
2). Dengan perbandingan, sudut rotasi terhadap titik 0 adalah 3θ⁄2. Segmen benda kaku
5-6 berotasi melalui sudut 3θ⁄2 ini. Dengan proporsi inversi sebagai jarak 0-5 adalah ke
1-5, rotasi benda kaku 1-2-3-4-5 terhadap titik 1 adalah:

1
4 = α , α=θ
3 3θ 2
2
4

Rotasi sendi plastis relatif pada titik 5 adalah:

θ 3θ
+ = 2θ
2 2

Rotasi sendi plastis relatif pada titik 6 adalah:


θ+ = 2,5θ
2

Untuk menghitung kerja eksternal yang dilakukan oleh beban-beban luar, perlu
dihitung perpindahan vertikal pada titik 3 dan 5, dan perpindahan horisontal pada titik
2.

Perpindahan vertikal titik 3 sama dengan sudut rotasi kali proyeksi horisontal titik 2 ke
3. Beban pada titik 3 bergerak secara vertikal menempuh jarak:

θ
(2,25) = 1,125 . θ
2

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 6

Irwan Kurniawan
Beban pada titik 5 bergerak vertikal sejarak:

θ
(6,75) = 3,375 θ
2

Beban pada titik 2 bergerak horisontal sejarak:

θ
(4,5) = 2,25 θ
2
Maka, persamaan energi selengkapnya menjadi:

Kerja eksternal = Kerja internal

0,5Wn (2,25 θ) + Wn (1,125 θ) + Wn (3,375 θ) = M p (2θ + 2,5θ)


5,625
Mp = Wn = 1,25 Wn
4,5

c. Mekanisme 3
Pusat sesaat ditentukan dengan memotongkan garis 1-3 dengan garis 6-7:

x 5,625
= ; x = 22,5 m
9 2,25

Bila θ didefinisikan pada gambar diatas (Mekanisme 3), sudut rotasi terhadap titik 0
adalah θ/4, karena jarak 0-6 adalah empat kali jarak 6-7. Karena jarak 0-3 adalah tiga
kali jarak 3-1, sudut 3-1-3’ adalah 3θ/4 (3 kali sudut rotasi terhadap 0).

Kerja eksternal yang dilakukan oleh berbagai beban adalah:

⎛3 ⎞ 6,75
Beban pada 2, 0,5 Wn ⎜ θ ⎟(4,5) = Wn θ
⎝4 ⎠ 4

⎛ 3θ ⎞ 6,75
Beban pada 3, Wn ⎜ ⎟(2,25) = Wn θ
⎝ 4⎠ 4

⎛θ⎞ 2,25
Beban pada 5, Wn ⎜ ⎟(2,25) = Wn θ
⎝4⎠ 4

Energi regangan internalnya adalah:

⎛ 3θ θ ⎞
Momen pada 3, M p ⎜ + ⎟ = M pθ
⎝ 4 4⎠

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 7

Irwan Kurniawan
⎛ θ⎞ 5θ
Momen pada 6, Mp ⎜θ + ⎟ = Mp
⎝ 4⎠ 4

Kerja eksternal = Kerja internal

⎛ 6,75 6,75 2,25 ⎞ ⎛ 5⎞


θ Wn ⎜ + + ⎟ = M p θ⎜1 + ⎟
⎝ 4 4 4 ⎠ ⎝ 4⎠

⎛ 15,75 ⎞ ⎛9⎞
Wn ⎜ ⎟ = Mp ⎜ ⎟
⎝ 4 ⎠ ⎝4⎠

15,75
Mp = Wn = 1,75 Wn Menentukan
9

Perencanaan Plastis dengan Metode LRFD


(Dikutip dari SNI 03-1729-2000 Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk
Bangunan Gedung)

7.5 Analisis plastis

7.5.1 Penerapan

Pengaruh gaya-dalam di sebagian atau seluruh struktur dapat ditetapkan


menggunakan analisis plastis selama batasan pada Butir 7.5.2 dipenuhi. Distribusi
gaya-gaya–dalam harus memenuhi syarat keseimbangan dan syarat batas.

7.5.2 Batasan

Bila metode plastis digunakan, semua persyaratan dibawah ini harus dipenuhi,
yaitu:

a) Kuat leleh baja yang digunakan tidak melebihi 450 MPa;


b) Pada daerah sendi plastis, tekuk setempat harus dapat dihindari dengan
mensyaratkan bahwa perbandingan lebar terhadap tebal b/t, lebih kecil
daripada λp. Nilai λp tersebut ditetapkan sesuai dengan Tabel 7.5-1;
c) Pada rangka dengan bresing, gaya aksial tekan terfaktor pada kolom yang
diakibatkan oleh beban gravitasi terfaktor dan beban horizontal terfaktor
tidak diperkenankan melampaui 0,85 Ab fy.
Pada rangka tanpa bresing, gaya aksial tekan terfaktor pada kolom yang
diakibatkan oleh beban gravitasi terfaktor dan beban horizontal terfaktor
tidak diperkenankan melampaui 0,75 Ab fy

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 8

Irwan Kurniawan
d) Parameter kelangsingan kolom λc tidak boleh melebihi 1,5 kc. Nilai kc
ditetapkan sesuai dengan Butir 7.6.3.2 atau 7.6.3.3 ( L ≤ 1,5π E =
r fy
≤ 2100 f y , dimana L adalah panjang teoritis).
e) Untuk komponen struktur dengan penampang kompak yang terlentur
terhadap sumbu kuat penampang, panjang bagian pelat sayap tanpa
pengekang lateral, Lb, yang mengalami tekan pada daerah sendi plastis yang
mengalami mekanisme harus memenuhi syarat Lb ≤ Lpd, yang ditetapkan
berikut ini:

(i) Untuk profil – I simetris tunggal dan simetris ganda dengan lebar
pelat sayap tekan sama dengan atau lebih besar daripada lebar pelat
sayap tarik dan dibebani pada bidang pelat sayap

⎡ ⎛ M1 ⎞⎤ r
⎢⎣25.000 + 15.000 ⎜⎝ M 2 ⎟⎠⎥⎦ y
Lpd = (7.5-1)
fy

Keterangan:

fy adalah kuat leleh material, MPa


M1 adalah momen ujung yang terkecil, N-mm
M2 adalah momen ujung yang terbesar, N-mm
ry adalah jari-jari girasi terhadap sumbu lemah, mm
(M1/M2) bertanda positif untuk kasus kelengkungan ganda
dan negatif untuk kasus kelengkungan tunggal
Lpd dinyatakan dalam mm

(ii) Untuk komponen struktur dengan penampang persegi pejal dan


balok kotak simetris

⎡ ⎛ M1 ⎞⎤ r
⎢⎣35.000 + 21.000 ⎜⎝ M 2 ⎟⎠⎥⎦ y 21.000 ry
Lpd = ≥ (7.5-2)
fy fy

Tidak ada batasan terhadap Lb untuk komponen struktur dengan


penampang melintang bulat, atau bujursangkar, atau penampang
yang terlentur terhadap sumbu lemah.
f) Tahanan komponen struktur harus direncanakan sesuai dengan Butir
7.4.3.3;
g) Tahanan lentur komponen struktur komposit harus ditentukan berdasarkan
distribusi tegangan plastis.

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 9

Irwan Kurniawan
7.5.3 Anggapan analisis
Gaya – gaya-dalam ditetapkan menggunakan analisis plastis kaku.
Dalam analisis plastis harus dapat dianggap bahwa sambungan-sambungan dapat
memobilisasikan kekuatan penuhnya atau sebagian dari kekuatan penuhnya, selama
kekuatan sambungan-sambungan tersebut direncanakan untuk tujuan ini, dan
selama:
a) untuk sambungan dengan kekuatan penuh, yang kapasitas momen
sambungannya tidak kurang dari kapasitas momen penampang komponen-
komponen struktur yang disambung, perilaku sambungan harus sedemikian rupa
sehingga kapasitas rotasi sambungan pada setiap sendi plastis tidak terlampaui
pada saat terjadinya mekanisme;
b) untuk sambungan dengan sebagian dari kekuatan penuhnya, yang kapasitas
momen sambungannya dapat lebih kecil daripada kapasitas momen komponen-
komponen struktur yang disambung, perilaku sambungan harus sedemikian rupa
sehingga memungkinkan terjadinya semua sendi plastis yang diperlukan untuk
terjadinya mekanisme, sedemikian rupa sehingga kapasitas rotasi sambungan
pada setiap sendi plastis tidak terlampaui.

Perencanaan Plastis
Rangka Sederhana
Sindur P. Mangkoesoebroto 10

Irwan Kurniawan
KOMBINASI LENTUR DAN TEKAN

Perhatikan balok diatas dua tumpuan dengan beban terdistribusi, momen-momen dan
gaya-gaya aksial dikedua ujungnya, berikut ini,

M1 M2
q

x
P  P

Mx
V X

1 M
Kelengkungan - x
 EI
1
dan M x  M p  M s  M p  P . v  -
EI

dimana Mp adalah momen orde pertama, dan
Ms adalah momen orde kedua.

Secara umum untuk dua dimensi, kelengkungan dinyatakan sebagai berikut,

1 v ii


1  v 
i2
3
2

1
untuk v i  1 maka  v ii dan diperoleh

P Mp
v ii  v-
EI EI
ii
iv P ii Mp
atau v  v -
EI EI
ii
M M
Karena v ii  - x  v iv  - x maka
EI EI
ii ii
Mx P  Mx  Mp
-  - -
EI EI  EI  EI

atau Mxii + k2 Mx = Mpii = -q(x)

P d 2 M p x 
dimana k  2
dan qx   -
EI dx 2

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 1


Solusi homogen dari persamaan di atas adalah

Mxh = A sin kx + B cos kx

Dan solusi umumnya

Mx = Mxh + Mxk (q)


= A sin kx + B cos kx + Mxk (q)

P
dimana k=
EI

Kasus 1:
M1 M2
M2 ≥ M1
P P X

M 2 - M1
M p = M1 + x
L

Mpii = 0

Jadi Mx = A sin kx + B cos kx

x = 0 → Mx = M1 = B
x = L → Mx = M2 = A sin kL + B cos kL
M - M 1 cos kL
A= 2
sin kL

M x = (M 2 - M 1 cos kL )
sin kx
dan + M 1 cos kx
sin kL

dM x
Supaya Mx menjadi maximum maka =0
dx
dM x
= (M 2 - M 1 cos kL ) k
cos kx
atau - k M 1 sin kx = 0
dx sin kL

M 2 - M 1 cos kL
tan kx =
M 1 sin kL

(M 2 - M 1 cos kL ) + M 1 sin 2 kL
2 2
M2 - M1 cos kL

kx
M1 sin kL
Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 2
M 2 - M 1 cos kL
sin kx =
(M 2 - M1 cos kL )2 + M 1 2 sin 2 kL

M 1 sin kL
cos kx =
(M 2 - M1 cos kL )2 + M 1 2 sin 2 kL

M 2 - M 1 cos kL M 2 - M 1 cos kL
Jadi M x max =
sin kL (M 2 - M1 cos kL )2 + M 1 2 sin 2 kL
M 1 sin kL
+ M1
(M 2 - M 1 cos kL )2 + M1 2 sin 2 kL

=
1
(M 2 - M1 cos kL )2 + M 1 2 sin 2 kL
sin kL

1
= M 2 - 2 M 1 M 2 cos kL + M 1
2 2

sin kL
⎡ ⎛M ⎞ ⎛M ⎞
2

M x max = M 2 ⎢1 - 2 ⎜⎜ 1 ⎟⎟ cos kL + ⎜⎜ 1 ⎟⎟ ⎥ sin 2 kL ..................... (1)
⎢⎣ ⎝ M2 ⎠ ⎝ M2 ⎠ ⎥⎦

M2
Bila M1 = 0 maka M x max =
sin kL

M2
P X
P

M2
Mp

P.v
Ms

P
Bila sin kL = 0 → kL = L = nπ n = 1, 2,
EI

π 2 EI
P= (n = 1)
L2

⇒ Mx max → ∞

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 3


2 - 2 cos kL
Bila M2 = M1 = M maka M x max = M .................................... (2a)
sin 2 kL
M M
P P

Mp M

P.v
Ms

2 (1 - cos kL ) 2
=M =M
2
1 - cos kL 1 + cos kL

1
=M = M sec kL 2 ........................ (2b)
cos kL 2

kL π
Pada saat tekuk = (n = 1) → M x max → ∞
2 2

Kasus 2:
q

P x
P

Mp = ½ qx (L – x), Mpi = ½ qL – qx, Mpii = -q

Solusi khusus, Mxk = Cx + D


Mxki =C
Mxkii =0

Jadi 0 + k2 (Cx + D) = -q
C = 0 ; D = -q/k2
∴ Mxk = -q/k2

dan Mx = A sin kx + B cos kx – q/k2


pada x = 0 ⇒ Mx = 0 = B – q/k2 → B = q/k2
x = L ⇒ Mx = 0 = A sin kL + q/k2 cos kL - q/k2

A=
q
2
(1 - cos kL )
k sin kL

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 4


q (1 - cos kL ) q q
dan Mx = 2
sin kx + 2 cos kx - 2
k sin kL k k

dM x q (1 - cos kL ) q
=0= cos kx - sin kx
dx k sin kL k

1 - cos kL
tan kx =
sin kL

1 - cos kL
sin kx =
(1 - cos kL )2 + sin 2 kL
sin kL
cos kx =
(1 - cos kL )2 + sin 2 kL

q ⎡1 - cos kL 1 - cos kL sin kL ⎤


M x max = ⎢ + - 1⎥
k2 ⎢⎣ sin kL (1 - cos kL )2 + sin 2 kL (1 - cos kL )2 + sin 2 kL ⎥⎦
q ⎡ (1 - cos kL )2 + sin 2 kL ⎤
= ⎢ - 1⎥
k2 ⎢⎣ sin kL ⎥⎦
q ⎡ kL ⎤
= ⎢⎣sec 2 - 1⎥⎦
k2

1 ⎡ 8 ⎤
M x max = qL2 ⎢ ( sec kL / 2 - 1 ) ⎥
⎣ (kL )
2
8 ⎦

Perbesaran Momen

Komponen struktur dengan satu kelengkungan tanpa translasi pada ujungnya

P x

P δPO
V
δSO
V

~δ PO
Mp
dianggap bentuk sinus

P.v P (δ PO + δSO )
Ms

δSO

R R

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 5


πx
Anggap, M s = P (δ po + δ so ) sin
L

Reaksi balok konjugate adalah

πx
P (δ po + δ so ) sin
L2 L2
R=∫ M s dx = ∫ dx
o o L

πx L 2
= - P (δ po + δ so )
L
cos
π L 0

= P (δ po + δ so )
L
π

Lendutan δso adalah:

EI δ so = P (δ po + δ so )
L L L2 ⎛L ⎞
- ∫ M s ⎜ - x ⎟dx
π 2 o
⎝2 ⎠

πx πx ⎞
= P (δ po + δ so ) - P (δ po + δ so )* ∫ ⎜ sin
LL L2 ⎛L
- x sin ⎟dx
π 2 o
⎝2 L L ⎠

⎡ L2 L L L 2 πx ⎤
= P (δ po + δ so ) ⎢ - + ∫ x sin dx ⎥
⎣ 2π 2 π L ⎦
o

πx L 2
= P (δ po + δ so )
L2
sin
π 2
L 0

=P
L2
(δ po + δ so )
π2

δ so = (δ po + δ so ) = (δ po + δ so )
P P
atau
π EI L
2 2
Pe
{
α

P
dimana Pe = π 2 EI L2 dan α =
Pe

α
atau δ so = δ po
1- α

α 1
jadi v = δ po + δ so = δ po + δ po = δ po
1- α 1- α

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 6


dan M x max = M po + M so = M po + P (δ po + δ so )

P δ po
= M po +
1- α

P PL2 σ λ2
dimana α = = 2 = 2
Pe π EI π E

⎡ P δ po 1 ⎤
atau M x max = M po ⎢1 + ⎥
⎣⎢ M po 1 - α ⎦⎥

⎡ α π 2 EI δ po ⎤ 1
= M po ⎢1 − α + ⎥
⎢⎣ L2 M po ⎥⎦ 1 - α

⎡ ⎛ π 2 EI δ po ⎞ ⎤ 1
= M po ⎢1 + ⎜ 2 - 1⎟ α ⎥
⎜ ⎟ ⎥ 1- α
⎣⎢ ⎝ L M po ⎠ ⎦

M x max = M po B1* ............................................................................ (3)

⎡ ⎛ π 2 EI δ ⎞ ⎤ 1
B1* = ⎢1 + ⎜ 2 - 1⎟ α ⎥
po
dimana
⎢ ⎜⎝ L M po ⎟ ⎥1 - α
⎠ ⎦

C*m
=
1- α

⎛ π 2 EI δ po ⎞
dan C*m =1+ ⎜ 2 - 1⎟ α = 1 + ψ α
⎜ L M ⎟
⎝ po ⎠

π 2 EI δ po
dan ψ = -1
L2 M po

Perhatikan komponen struktur dengan momen-momen ujung berikut ini


M1 M2
M2 ≥ M1 P x
P

Mx max M2
M1

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 7


Demikian sehingga Mx max > M 2 dan terjadi diantara kedua tumpuan. Akan di cari ME
demikian sehingga menjadi

Mx max

ME ME

L/2 L/2

M2 ⎡ ⎛M ⎞ ⎛M ⎞
2

Jadi dari Persamaan (1) dan (2) M x max = ⎢ 1 - 2 ⎜⎜ 1 ⎟⎟ cos kL + ⎜⎜ 1 ⎟⎟ ⎥
sin kL ⎢⎣ ⎝ M2 ⎠ ⎝ M2 ⎠ ⎥⎦

ME ME
= 2 ( 1 - cos kL ) =
sin kL cos kL/2

2
⎛M ⎞ ⎛M ⎞
1 - 2 ⎜⎜ 1 ⎟⎟ cos kL + ⎜⎜ 1 ⎟⎟
ME = M2 ⎝ M2 ⎠ ⎝ M2 ⎠
2 ( 1 - cos k L )

Dari Persamaan (3)


Mx max = Mpo B1* = M E B1*

⎡ ⎛ π 2 EI δ po ⎞ ⎤ 1
dimana B1* = ⎢1 + ⎜ 2 - 1⎟ α ⎥
⎢⎣ ⎜⎝ L M po ⎟ ⎥ 1- α
⎠ ⎦

Lendutan orde pertama ditengah bentang akibat momen ME, δpo, ditentukan sebagai
berikut:

ME ME

ME L ME L
2 2

L L L L
EI δ po = M E - ME = M E L2 / 8
2 2 2 4

⎡ ⎛ π 2 ⎞ ⎤ 1 1 + 0,2337 α
Sehingga B1* = ⎢1 + ⎜⎜ - 1⎟⎟ α ⎥ =
⎣ ⎝ 8 ⎠ ⎦ 1 - α 1- α

2
P PL2 k 2 L2 ⎛ kL ⎞
α = = 2 = = ⎜ ⎟ → kL = π 2 α
Pe π EI π2 ⎝ π ⎠

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 8


α kL 1 B1*
cos kL / 2
0,1 0,99 1,137 1,137
0,2 1,4050 1,3102 1,3084
0,3 1,7207 1,5333 1,5287
0,4 1,9869 1,8322 1,8225

ME 1 + 0,2337 α
Jadi Mx max = ~ ME
cos kL/2 1- α

2
⎛M ⎞ ⎛M ⎞
1 − 2 ⎜⎜ 1 ⎟⎟ cos kL + ⎜⎜ 1 ⎟⎟
⎝ M2 ⎠ ⎝ M2 ⎠ * ⎛ 1 + 0,2337 α ⎞
= M2 ⎜ ⎟
2 (1 - cos kL) ⎝ 1- α ⎠

Cm
= M2 = M 2 B1
1- α

2
⎛M ⎞ ⎛M ⎞
1 − 2 ⎜⎜ 1 ⎟⎟ cos kL + ⎜⎜ 1 ⎟⎟
dimana Cm = ⎝ M2 ⎠ ⎝ M 2 ⎠ * (1 + 0,2337 α ) .................. (4)
2 (1 - cos kL) 14 4244 3
Cm*

Cm
B1 =
1- α

Dalam peraturan digunakan hubungan yang lebih sederhana, yaitu:

Cm = 0,6 + 0,4 (M 1 / M 2 ) ............................................................. (5)

Cm
dan ketelitiannya diperlihatkan berikut ini untuk nilai :
1− α

Persamaan (1) Persamaan (4) Persamaan (5)


M1/M2 0.8 0.5 0 -0.5 -0.8 0.8 0.5 0 -0.5 -0.8 0.8 0.5 0 -0.5 -0.8
α kL
0.05 0.70 1.00 1.00 0.97
0.1 0.99 1.05 1.00 1.04 1.00 1.02 0.89
0.2 1.40 1.19 1.06 1.01 1.19 1.05 1.01 1.15 1.00 0.75
0.3 1.72 1.39 1.20 1.01 1.38 1.19 1.01 1.31 1.14 0.86
0.4 1.99 1.65 1.41 1.09 1.64 1.40 1.09 1.53 1.33 1.00
0.5 2.22 2.03 1.71 1.26 1.01 2.01 1.70 1.25 1.00 1.84 1.60 1.20 0.80
0.6 2.43 2.60 2.18 1.54 1.08 2.57 2.15 1.52 1.06 2.30 2.00 1.50 1.00
0.7 2.63 3.55 2.97 2.04 1.25 1.01 3.49 2.92 2.00 1.23 0.99 3.07 2.67 2.00 1.33 0.93
0.8 2.81 5.45 4.55 3.07 1.69 1.10 5.34 4.46 3.01 1.66 1.07 4.60 4.00 3.00 2.00 1.40
0.9 2.98 11.18 9.32 6.23 3.19 1.54 10.89 9.08 6.07 3.11 1.50 9.20 8.00 6.00 4.00 2.80

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 9


Mmax /M2 vs Pu/Pe
M1
0,8 0,5 0
M2
5.00
Persamaan (4)
Persamaan (5)
4.50 Pu
Mm ax/M2 = Cm/(1-α)

M1

4.00 M1
M2 ≥ M1
= - 0,5
M2
3.50
M1
M2
3.00 Pu

M2
2.50 M1 M1
> 0 untuk kelengkungan tunggal = - 0,8
M2 M2
2.00
M1

1.50
M2

1.00
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
α=P /Pee
Puu/P

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 10


Nilai Cm* untuk balok tanpa translasi pada tumpuan

Cm* Cm*
Kasus
(Momen positif) (Momen negatif)
M M
P P
1 1+ 0,2 α - +
Mm

w
P P
2 1,0 -
+

L Mm
Q
3 P 2
P 1- 0,2 α - +

P w P Mm
4 1- 0,3 α 1- 0,4 α + -

w P Mm
5 P 1- 0,4 α 1- 0,4 α +
- -

L Mm
6 P 2 Q P 1- 0,4 α 1- 0,3 α +
-

L Mm
7 P 2 Q P 1- 0,6 α 1- 0,2 α +
- -

Pu
Catatan: α=
Pe

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 11


Tahanan nominal - Instabilitas pada Bidang Lentur
Tahanan balok-kolom, dimana tekuk torsi lateral dan tekuk lokal dapat dihindarkan dan
lentur terjadi terhadap satu sumbu, akan tercapai bila terjadi instabilitas pada bidang
lentur (tanpa torsi).

Persamaan diferensial balok-kolom, termasuk pengaruh orde kedua, menunjukkan


bahwa pengaruh gaya normal dan momen tidak dapat disuperposisikan, ini adalah
kasus non-linier.

Kurva persamaan interaksi untuk profil-I tertentu tanpa goyangan dengan fy = 230 MPa,
fr = 70 MPa, dan terlentur terhadap sumbu kuat adalah seperti berikut ini.

1.0
M2 P M M2
P
M
0= L 40
0.8 L 60 L
20 rx
40 M P 0.5 M
Pu 0.6 60 P 0= L
80 80 rx
Py 100 100
0.4
120 120
0.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Mu/ Mp Mu / Mp
(M1 / M2 = 1) (M1 / M2 = -0.5)

Persamaan interaksi menjadi:


Pu Mu
+ ≤ 1 ................................................................................ (6)
Pn Mn

dimana Pu adalah gaya tekan terfaktor


Pn adalah tahanan nominal sebagai fungsi dari λ
Mu adalah momen terfaktor termasuk pengaruh orde kedua
C*m
Mu = Mpo B1* = Mpo ; Mpo = ME =coef x Mp max
1- α
Mp max adalah momen orde pertama terfaktor maksimum
P P L2
α = u = 2u
Pe π EI
C*m = Lihat bahasan sebelumnya
Mn = Mp untuk balok kompak yang terkekang secara lateral.

atau Persamaan (6) dapat ditulis sebagai berikut:

Pu M u C m
+ ≤1
Pn M n 1 - α

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 12


Tahanan Nominal – Persamaan Interaksi
Perencanaan balok-kolom dilakukan dengan bantuan persamaan interaksi.

Kasus 1 - Tanpa Instabilitas


Pada lokasi dimana tidak dapat terjadi instabilitas (λ → 0) berlaku

Pu Mu
+ ≤ 1,0
Py 1,18 M p

Mu
dan ≤ 1,0
Mp

dimana Py = A g σ y
1,0

Solusi eksak

Pu Mu
+ ≤ 1,0
Py 1,18 M p

Pu
0,5
Py

x x

L
→0
rx

Pu 1
=1-
Py 1,18

0 0,5 1,0
Mu Mp

Perbandingan antara solusi eksak (termasuk tegangan sisa) dengan pendekatan Kasus 1.

Kasus 2 - Instabilitas pada Bidang Lentur

Pu M E C*m
+ ≤1
Pn M p (1 - α )

dimana Pn adalah tahanan nominal sebagai fungsi dari λ


ME = coef x Mui
Cm=coef x C*m ; C*m = 1 + ψ α
Pe = π2 EI / L2
α = P u / Pe
Mui adalah momen orde pertama terfaktor maksimum pada arah – i.
Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 13
1,0

P Solusi eksak
M
Pu M ui
+ = 1,0
Pn M p (1 - Pu Pe )
M
P C m = 1,0

L
Pu = 40
0,5 80 rx
Pn

120

x x

0 0,5
M ui M p

Perbandingan antara solusi eksak (termasuk tegangan sisa) dengan pendekatan Kasus 2.

Kasus 3 - Instabilitas akibat Tekuk Torsi Lateral

Pu C m M ui
+ ≤1
Pn M n (1 - Pu / Pe )

Kasus 4 - Lentur Dua Arah


Pu M ux C mx M uy C my
+ + ≤1
Pn M nx (1 - Pu Pex ) (
M ny 1 - Pu Pey )
• Cara Perencanaan LRFD

Pu
1) Untuk ≥ 0,2
φ c Pn
Pu 8⎛ M M uy ⎞
+ ⎜ ux + ⎟ ≤ 1,0
φ c Pn 9 ⎜⎝ φ b M nx φ b M ny ⎟

Pu
2) Untuk < 0,2
φ c Pn
Pu ⎛ M ux M uy ⎞
+ ⎜ + ⎟ ≤ 1,0
2φ c Pn ⎜ φ b M nx φ b M ny ⎟
⎝ ⎠

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 14


dimana Pu adalah gaya aksial terfaktor
Pn adalah tahanan minimum sebagai fungsi dari λ
Mu adalah momen terfaktor termasuk pengaruh orde kedua
Mn adalah tahanan lentur dengan memperhatikan semua pengaruh
instabilitas, bila ada,
φc adalah faktor tahanan tekan = 0,85
φb adalah faktor tahanan lentur = 0,9
M ux = B1x M ntx + B2x M ltx adalah momen terfaktor dalam arah-x termasuk
pengaruh orde kedua
Mnx adalah tahanan lentur dalam arah-x
Muy, Mny serupa Mux, Mnx untuk arah-y

Koefisien Perbesaran Momen - LRFD

Komponen struktur pada rangka tak bergoyang

Cm
B1 = ≥ 1,0
1 - Pu / Pe1

a) Untuk komponen struktur pada rangka tak bergoyang dengan beban transversal
diantara kedua tumpuannya,
P
Cm=coef x C*m dan C*m = 1 + ψ u = 1 + ψα
Pe 1
Cm = 1 bila kedua tumpuan tak terkekang terhadap rotasi
= 0,85 bila kedua tumpuan terkekang terhadap rotasi

b) Untuk komponen struktur pada rangka tak bergoyang tanpa beban-beban


transversal, tapi dengan momen ujung-ujung M1, M2 dengan M2 ≥ M1

Cm = 0,6 + 0,4 M1 / M2 bila M1 dan M2 menyebabkan kelengkungan tunggal


Cm = 0,6 - 0,4 M1 / M2 bila M1 dan M2 menyebabkan kelengkungan ganda

Pe1 adalah tahanan tekan kolom yang ditinjau, dalam keadaan tak bergoyang.

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 15


Komponen struktur pada rangka bergoyang

Berikut diberikan faktor perbesaran untuk rangka bergoyang bila pengaruh P-Δ tidak
ditinjau. P u

ΔOH Pu
Mlt1 Hu
Hu

Hu Hu
Mlt2
Pu Pu

Mlt1 + Mlt2 = Hu L
Δ OH
dan Δ OH = f h H u → f h =
Hu

Bila pengaruh P - Δ di tinjau maka Mlt1 → B2 Mlt1 dan Mlt2 → B2 Mlt2


serta ΔOH → ΔSH (lihat gambar berikut).
Pu

Pu
ΔSH
B2 Mlt1 Hu
Pu Δ SH
Hu +
L

Pu Δ SH
Hu Hu +
L
B2 Mlt2
Pu Pu

B2 (Mlt1 + Mlt2) = Hu L + Pu ΔSH ..................................................... (7)

⎛ P Δ ⎞
Δ SH = f h ⎜ H u + u SH ⎟
⎝ L ⎠
Δ ⎛ P Δ ⎞
= OH ⎜ H u + u SH ⎟
Hu ⎝ L ⎠
P Δ
= Δ OH + u SH Δ OH
L Hu

L Hu
Δ SH = Δ OH
L H u - Pu Δ OH

Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 16


Dari Persamaan (7) di peroleh

L Hu
B 2 L H u = H u L + Pu Δ OH
L H u - Pu Δ OH

L H u - Pu Δ OH + Pu Δ OH
B2 =
L H u - Pu Δ OH

1
B2 =
Pu Δ OH
1-
Hu L

Untuk suatu kolom yang berada diantara dua lantai diafragma maka

Pu → ∑ Pu dan H u → ∑ H u

Sehingga

1
B2 =
∑ Pu Δ OH
1-
∑ Hu L

Sebagai alternatif dapat di hitung

1
B2 =
1-
∑ Pu
∑ Pe2
dan Mu = B1 Mnt + B2 Mlt

dimana Mnt adalah momen yang timbul hanya akibat beban gravitasi tanpa ada
goyangan
Mlt adalah momen akibat goyangan dan gaya-gaya lateral lainnya.

Nilai Mu juga dapat diperoleh dari analisis P - Δ dimana semua pengaruh non-linieritas
langsung di perhitungkan.

ΣPu adalah jumlah gaya aksial tekan terfaktor akibat beban gravitasi untuk seluruh
kolom pada satu tingkat yang ditinjau,
ΣPe2 adalah jumlah tahanan tekan seluruh kolom pada satu tingkat yang ditinjau,
dalam keadaan bergoyang,
ΣHu adalah jumlah gaya horizontal terfaktor yang menghasilkan ΔOH pada tingkat
yang ditinjau,
L adalah tinggi tingkat.
Kombinasi Lentur dan Tekan Sindur P. Mangkoesoebroto 17

Anda mungkin juga menyukai