Anda di halaman 1dari 35

PUTUSAN

Nomor 449 K/PDT.SUS-PHI/2013


DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial dalam
tingkat kasasi memutuskan sebagai berikut dalam perkara antara:
1. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR
CABANG TANJUNG TABALONG, diwakili oleh GANJAR
FARDIAN, Pemimpin Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia
(Persero) Tbk. Kantor Cabang Tanjung Tabalong,
berkedudukan di Jalan Puteri Zaleha, Tanjung, Kabupaten
Tabalong;
2. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO)
Tbk. KANTOR WILAYAH BANJARMASIN, yang
diwakili oleh CATUR BUDI HARTO, Pemimpin
Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Tbk. Kantor Wilayah Banjarmasin, berkedudukan
di Jalan A. Yani Km. 3,5 Nomor 151 Banjarmasin;

Dalam hal ini keduanya memberi kuasa kepada AGUNG


DEWANDONO, SH., dan kawan-kawan, para pegawai pada
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang
Tanjung Tabalong dan para pegawai pada PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Wilayah Banjarmasin,
beralamat di Jalan A. Yani Km. 3,5 Nomor 151 Banjarmasin,
Provinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 26 Maret 2013 dan 28 Maret 2013, sebagai
Para Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi II
dahulu Tergugat I dan II;
melawan
HERTIMUS, bertempat tinggal di Komplek Perumahan Citra
Planbon Raya Jalan Cita 2 Blok I Nomor 97 RT. 14 Kelurahan
Pembataan, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan, sebagai Termohon Kasasi I juga sebagai
Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Termohon Kasasi I juga sebagai Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat telah
mengajukan gugatan terhadap Para Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon
Kasasi II dahulu Tergugat I dan II di depan persidangan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin, pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa, Penggugat adalah pegawai Tergugat I
sejak tanggal 1 Januari 1982 sebagai Tenaga
Harian Lepas dengan Surat Keputusan NOKEP
15/Pers/1/1982, tanggal 25 Januari 1982, dan
kemudian terhitung mulai tanggal 1 Juli 1985
Penggugat telah diangkat sebagai pegawai
dalam dinas tetap dengan Surat Keputusan
NOKEP 173/Pers/7/1985, tanggal 22 Juli 1985
dengan pangkat/golongan terakhir sebagai Juru
T.U. Tingkat I/C. II. Dengan Surat Keputusan
Pimpinan Kantor Wilayah BRI NOKEP 256-PEG/
BIN/8/88, tanggal 5 Agustus 1988;
2. Bahwa, selama bekerja dan menjadi pegawai
Tergugat I, maka Penggugat selalu menunjukan
loyalitas, mentaati segala peraturan perseroan,
dan sekaligus telah menunjukan prestasi yang
baik bagi perseroan dimaksud;
3. Bahwa tanggal 10 Oktober 1994 dengan Surat
Nomor R. 0059/X-KC/SDM/10/94 Tergugat I
telah mengajukan usulan kepada Tergugat II
guna memberikan sanksi hukuman kepada
Penggugat yang diduga telah melakukan suatu
pelanggaran kepegawaian dengan penurunan
pangkat 2 (dua) tingkat dari C II menjadi B. II;
4. Bahwa, terhadap usulan Tergugat I tersebut
Tergugat II pada tanggal 21 November 1994
telah mengambil suatu tindakan berupa
menerbitkan Surat Keputusan NOKEP 249/KW-
X/SDM/11/94 yang isinya adalah Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat terhadap Penggugat
terhitung mulai tangal 1 November 1994;
5. Bahwa, penerbitan Surat Keputusan dimaksud di
atas yang dibuat secara melawan hukum adalah
merupakan suatu tindakan yang sewenang-
wenang dan tidak prosedural dalam melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja terhadap
Penggugat, padahal selama ini Penggugat tidak
pernah melakukan perbuatan pelanggaran
sebagaimana yang diduga oleh para Tergugat;
6. Bahwa, mengenai Pemutusan Hubungan Kerja
tersebut di atas, para Tergugat sama sekali tidak
pernah memberikan hak-hak normatif
kepegawaian terhadap Penggugat;
7. Bahwa, untuk melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja terhadap Penggugat tersebut, ternyata
para Tergugat belum pernah merundingkannya
dengan pihak Penggugat, sehingga tindakan
yang demikian adalah merupakan suatu
pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1964, tanggal 23 September 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja, Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, tanggal 25 Maret
2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor
Kep-150/Men/2000 tanggal 20 Juni 2000;
8. Bahwa, prosedur yang ditempuh oleh para
Tergugat sebagai perusahaan persero dalam
memutus hubungan kerja terhadap Penggugat
adalah suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, berikut
peraturan-peraturan yang lainnya;
9. Bahwa, oleh karena perlakuan para Tergugat
yang tidak menerapkan secara benar aturan-
aturan ketenagakerjaan dalam memutus
hubungan kerja terhadap Penggugat yang sama
sekali tidak menggunakan lembaga Tripartit
untuk menyelesaikan masalah dimaksud, maka
Penggugat mengajukan gugatan perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja, upah pesangon
normatif dan ganti rugi pada Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Banjarmasin;
10. Bahwa, oleh karena para Tergugat telah
memutus hubungan kerja secara sepihak kepada
Penggugat, dan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret
2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Penggugat
berhak untuk mendapatkan Uang Pesangon 2
(dua) kali sesuai ketentuan sebagaimana aturan
Pasal 156 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang
Ketenagakerjaan, berikut memperoleh hak-hak
Penggugat lain yang melekat sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tanggal 25 Maret 2003;
11. Bahwa, Penggugat mulai diterima bekerja pada
tanggal 1 Januari 1982 sebagai Tenaga Harian
Lepas dengan Surat Keputusan NOKEP 15/
Pers/1/1982, tanggal 25 Januari 1982 dan
diberhentikan pada tanggal 1 November 1994,
dengan Surat Keputusan NOKEP 249/KW-X/
SDM/11/94 tanggal 21 November 1994,
sehingga mempunyai masa kerja 12 tahun 10
bulan dengan standar gaji yang diperoleh
setingkat/level pangkat Penggugat adalah
sebesar Rp7.500.000,00/bulan, dan setiap
bulannya selalu menerima penuh, oleh
karenanya Penggugat berhak untuk
mendapatkan hak-hak pekerja sebagai berikut:
• Uang Pesangon sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat 2 masa kerja 12 tahun 10
bulan atau lebih tetapi kurang dari 13 tahun, 13 (tiga belas) bulan
upah sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25
Maret 2003 dengan perhitungan sebagai berikut: Rp7.500.000,00/
bulan x 13 bulan upah x 2 = Rp195.000.000,00;
• Uang Penghargaan Masa Kerja sesuai Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat 3 masa kerja
12 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5
(lima) bulan upah dengan perhitungan sebagai berikut:
Rp7.500.000,00/bulan x 5 bulan upah = Rp37.500.000,00;
• Uang Penggantian Hak sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat 4, ganti rugi 15% dari
jumlah keseluruhan (Pesangon dan Penghargaan Masa Kerja) =
Rp232.500.000, 00 x 15% = Rp34.875.000,00;
Jumlah yang harus dibayarkan oleh para Tergugat kepada Penggugat
adalah sebesar Rp267.375.000,00 (dua ratus enam puluh tujuh juta tiga
ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
12. Bahwa, sejak diputusnya hubungan kerja
dimaksud, maka Penggugat sejak tanggal 1
November 1994 telah kehilangan
penghasilannya, sehingga dengan hilangnya
penghasilannya tersebut Penggugat berhak
untuk mendapatkan hilangnya penghasilan atau
upah sampai masa pensiun (pada saat di putus
hubungan kerja usia Penggugat 35 tahun 10
bulan) akan terancam kehidupan keluarganya,
begitu pula pendidikan anak-anaknya. Oleh
karena itu kebutuhan materiel Penggugat sampai
usia pensiun 56 tahun dan atau 20 tahun 2 bulan
adalah sebagai berikut:
a. Upah perbulan (Rp7.500.000,00 x 12 bulan x 20
tahun) + (Rp7.500.000,00 x 2 bulan) =
Rp1.815.000.000,00 (satu miliar delapan ratus lima
belas juta rupiah);
b. Biaya-biaya yang dikeluarkan (baik yang sudah
dikeluarkan mapun perkiraan yang akan dikeluarkan)
untuk menuntut keadilan sejak di putus hubungan
kerjanya hingga putusan perkara ini mempunyai
kekuatan hukum yang tetap diperhitungkan sebesar
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);
13. Bahwa, akibat Pemutusan Hubungan Kerja yang
keliru berakibat Penggugat menderita bathin/
stress, sangat sulit mencari pekerjaan, menderita
malu terhadap lingkungan dan kerabat, untuk itu
Penggugat sangat wajar mendapatkan ganti
kerugian in-materiel dari para Tergugat yang
secara keseluruhan sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
secara tunai dan sekaligus;
14. Bahwa, agar gugatan ini tidak menjadi sia-sia,
maka dimohon kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin
agar berkenan untuk meletakkan sita jaminan
terhadap harta kekayaan para Tergugat yang
berupa hak atas tanah dan bangunan
sebagaimana tersebut di bawah ini:
• Hak atas tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Puteri Zaleha
Tanjung, Kabupaten Tabalong milik Tergugat I;
• Hak atas tanah dan bangunan yang terletak di Jalan A. Yani KM.
3,5 Nomor 151 Banjarmasin milik Tergugat II;
15. Bahwa, agar para Tergugat memenuhi isi
putusan dalam perkara ini, maka para Tergugat
dihukum untuk membayar uang paksa sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada
Penggugat secara tunai dan sekaligus untuk
setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan
putusan ini hingga para Tergugat memenuhi isi
putusan perkara ini;
16. Bahwa, gugatan perkara ini diajukan
berdasarkan alat bukti yang akurat, maka sudah
sepatutnya putusan perkara ini dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun ada perlawanan atau
bantahan, dan kasasi (Uitvoerbaar Bij Voorraad);
Berdasarkan hal-hal sebagaimana Penggugat sampaikan di atas maka
dengan ini Penggugat memohon kepada yang terhormat Majelis Hakim
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin untuk
berkenan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini dengan putusan
sebagai berikut:
Primair:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang
dimohonkan;
3. Menyatakan para Tergugat telah melakukan
pelanggaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang berakibat kerugian pada
Penggugat;
4. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat
dan Tergugat putus terhitung putusan ini
dibacakan oleh Majelis Hakim;
5. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama untuk membayar hak-
hak Penggugat secara tunai dan sekaligus
dengan perincian sebagai berikut:
• Uang Pesangon sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tanggal 25 Maret 2003, Pasal 156 ayat (2), masa kerja 12 tahun
10 bulan atau lebih tetapi kurang dari 13 tahun, 13 (tiga belas)
bulan upah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tanggal 25 Maret 2003 dengan perhitungan sebagai berikut:
Rp7.500.000,00/bulan x 13 bulan upah x 2 = Rp195.000.000,00;
• Uang Penghargaan Masa Kerja sesuai Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat (3), masa kerja
12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 (lima) bulan
upah dengan perhitungan sebagai berikut: Rp7.500.000,00/bulan
x 5 bulan upah = Rp37.500.000,00;
• Uang Penggantian Hak sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat (4), ganti rugi 15%
dari jumlah keseluruhan (Pesangon dan Penghargaan Masa Kerja)
Rp232.500.000,00 x 15% = Rp34.875.000,00;
Total yang harus dibayarkan oleh para Tergugat baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama kepada Penggugat adalah sebesar
Rp267.375.000,00 (dua ratus enam puluh tujuh juta tiga ratus tujuh puluh
lima ribu rupiah) secara tunai dan sekaligus;
6. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama untuk membayar
kerugian materiil kepada Penggugat secara tunai
dan sekaligus sebesar Rp1.965.000.000,00 (satu
miliar sembilan ratus enam puluh lima juta
rupiah);
7. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama untuk membayar
kerugian in-materiil kepada Penggugat secara
tunai dan sekaligus sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
8. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama untuk membayar uang
paksa sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus
untuk setiap hari keterlambatan atas
pelaksanaan putusan ini;
9. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun ada perlawanan atau
bantahan atau kasasi (Uitvoerbaar Bij Voorraad);
10. Menghukum para Tergugat untuk membayar
seluruh biaya perkara yang timbul;
Subsidair:
Dan atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya;
Menimbang, bahwa atas gugatan tersebut, para Tergugat (Tergugat I dan
Tergugat II) telah mengajukan Eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Eksepsi I:
Gugatan Penggugat Ne Bis In Idem:
1. Bahwa membaca dalil gugatan Penggugat,
ternyata bahwa persoalan utama dalam Posita
maupun Petitum gugatan adalah persoalan
Pemutusan Hubungan Kerja terhadap
Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Kantor
Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94
tanggal 21 November 1994 tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat;
2. Bahwa gugatan dalam perkara ini sebelumnya
telah diajukan oleh Penggugat dalam perkara
Nomor 05/Pdt.G/2004/PN.Tnj. tanggal 22
September 2004 yang telah diputus sampai
tingkat kasasi dan telah berkuatan hukum tetap
(inkracht), sesuai dengan putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2230 K/
PDT/2005 tanggal 3 April 2008;
3. Bahwa sesuai Hukum Acara Perdata dan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, gugatan ne
bis in idem, sudah seharusnya dinyatakan ditolak
atau tidak dapat diterima karena telah ada
putusan Pengadilan dalam perkara yang sama;
Eksepsi II:
Gugatan Diajukan Kepada Pengadilan Yang Tidak Berwenang:
4. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-
undang yang berlaku saat itu (1994) yaitu
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1968 tentang Bank Rakyat Indonesia, Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang
Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1969 (tentang
Bentuk-Bentuk Badan Usaha) menjadi undang-
undang, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
1969 tentang Perusahaan Perseroan, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972 tentang
Perubahan atas ketentuan Pasal 7 PP Nomor 12
Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk
Hukum Bank Rakyat Indonesia menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero), menyatakan
bahwa PT. Bank Rakyat Indonesia didirikan oleh
Negara Republik Indonesia dengan tujuan untuk
melaksanakan tugas dan usaha di bidang
perbankan;
5. Bahwa Berdasarkan ketentuan-ketentuan
tersebut di atas, maka PT. Bank Rakyat
Indonesia (Persero) atau Pejabat PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero) pada tahun 1994
adalah termasuk Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
6. Bahwa materi gugatan yang diajukan Penggugat
bertanggal yang terdaftar dalam register perkara
Nomor 01/PHI.G/2013/PN/BJM tanggal 7 Maret
2013 adalah menyangkut Kepegawaian, hal
tersebut adalah termasuk Sengketa Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
7. Bahwa terlebih lagi causa prima dalam perkara
a quo adalah terbitnya Surat Keputusan Kantor
Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94
tanggal 21 November 1994 tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atas nama
Penggugat yang dibuat oleh Tergugat II, hal
tersebut termasuk Keputusan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
8. Bahwa sengketa Tata Usaha Negara yang
menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara,
haruslah diperiksa dan diputus oleh Majelis
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai
dengan Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, yakni untuk pengujian
apakah penerbitan Surat Keputusan tersebut
melawan hukum atau tidak. Pengujian ini sangat
penting bagi Keputusan yang telah dibuat
tersebut, sekaligus untuk mematahkan dalil
Penggugat yang menyatakan bahwa penerbitan
Surat Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja
terhadap Penggugat dibuat secara melawan
hukum, merupakan suatu tindakan yang
sewenang-wenang dan tidak prosedural (quod
non, vide Posita butir 5);
9. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan
tersebut di atas maka sudah selayaknya
Pengadilan yang berwenang memeriksa dan
memutus Sengketa Tata Usaha Negara adalah
Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga
Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Banjarmasin tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara ini;
Eksepsi III:
Persona Stundi Non Yudisio:
10. Bahwa Tergugat I dan Tergugat II adalah Badan
Hukum Perseroan Terbatas berdasarkan
Anggaran Dasar Perseroan yang dimuat dalam
Akta Nomor 51 tanggal 26 Mei 2008 yang dibuat
dihadapan Fathiah Helmi, SH. Notaris di Jakarta
dan telah diumumkan dalam Berita Negara RI
Nomor 68 tanggal 25 Agustus 2009, Tambahan
Nomor 23079;
Perseroan Terbatas (PT) adalah subyek hukum mandiri yang oleh undang-
undang dibekali dengan hak dan kewajiban tidak ubahnya dengan hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh manusia (persona stundi non yudisio);
Penyebutan identitas Tergugat I dan Tergugat II oleh Penggugat dalam
gugatannya adalah keliru, karena tidak sesuai dengan hirarki organisasi
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. sebagai Badan Hukum
Perseroan Terbatas, karena Tergugat I dan Tergugat II adalah merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan oleh karena itu Tergugat I
dan Tergugat II tidak berkualitas untuk dituntut di muka Pengadilan jika
dituntut secara terpisah, mengingat kedudukan Badan Hukum Perseroan
Terbatas sebagai persona stundi non yudisio;
11. Bahwa sesuai dengan fakta-fakta dan ketentuan-
ketentuan tersebut di atas maka gugatan
Penggugat yang ditujukan kepada Tergugat I
dan Tergugat II sebagai subyek hukum yang
terpisah adalah merupakan suatu kekeliruan
yang mengakibatkan gugatan Penggugat
mengandung kesalahan formil;
12. Bahwa sesuai Hukum Acara Perdata dan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, gugatan
yang mengandung kesalahan formil sudah
seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya
dinyatakan tidak diterima;
Eksepsi IV:
Gugatan Penggugat Kadaluarsa:
13. Bahwa persoalan utama dalam Posita maupun
Petitum gugatan adalah persoalan Pemutusan
Hubungan Kerja terhadap Penggugat
berdasarkan Surat Keputusan Kantor Wilayah
PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero)
Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94
tanggal 21 November 1994 tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat seperti
yang diakui oleh Penggugat vide Posita gugatan
Penggugat butir 4;
14. Bahwa gugatan dalam perkara ini terdaftar
dalam register perkara Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin
Nomor 01/PHI.G/2013/PN.BJM tanggal 7 Maret
2013;
15. Bahwa gugatan Penggugat telah kadaluarsa
berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
a. Pasal 1969 KUH Perdata diatur bahwa gugatan para buruh
(pekerja) kadaluarsa dengan lewatnya waktu 2 (dua) tahun;
b. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan
bahwa:
”Gugatan oleh pekerja/buruh atas Pemutusan Hubungan Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak
diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”;
c. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 517.K/Pdt.Sus/2010 tanggal 24 Mei 2011 dalam
pertimbangan putusannya menyatakan gugatan PHK yang
diajukan oleh Pekerja atau buruh setelah lewat tenggang waktu
1 (satu) tahun menurut Pasal 82 Undang-Undang 2/2004
adalah gugatan yang daluarsa;
16. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
maka gugatan Penggugat yang baru diajukan
pada tahun 2013 atas keberatan SK PHK yang
telah diterbitkan pada tahun 1994 adalah
gugatan yang telah kadaluarsa, sehingga sudah
seharusnya atas gugatan tersebut tidak dapat
diterima;
Eksepsi V:
Gugatan Penggugat Kabur/Tidak Jelas (Obscuur Libel):
1. Bahwa Terdapat banyak pertentangan antara
Posita dan Petitum gugatan Penggugat yang
mengakibatkan gugatan Penggugat menjadi
kabur atau tidak jelas atau obscuur libel;
2. Bahwa dalam Petitum gugatannya Penggugat
menyebutkan bahwa Tergugat I dan Tergugat II
telah melanggar Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (vide
Petitum butir 3), namun dalam Posita gugatan
Penggugat sama sekali tidak dapat menyebutkan
Pasal mana dari Undang-undang tersebut yang
telah dilanggar oleh Tergugat I dan Tergugat II.
Disamping itu, dihubungkan dengan persoalan
utama gugatan Penggugat berupa keberatan
atas SK PHK yang diterbitkan pada tahun 1994,
maka Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tersebut adalah Undang-Undang yang belum
berlaku pada saat itu (1994);
3. Bahwa Penggugat dalam Petitum gugatannya
butir 5 memohon agar menghukum para
Tergugat baik sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama untuk membayar hak-hak
Penggugat secara tunai dan sekaligus berupa
Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja
dan Uang Penggantian Hak total
Rp267.375.000,00 berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 yang belum berlaku pada
saat itu (1994);
4. Bahwa Penggugat dalam Posita gugatannya
tidak dapat menunjukkan dasar perhitungan
yang jelas dan rinci disertai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku dari ketentuan
perusahaan Tergugat I dan Tergugat II yang
berlaku saat itu termasuk dasar penghitungan
Upah Pokok yang disampaikan Penggugat;
5. Bahwa dalam Petitum gugatannya, Penggugat
sama sekali tidak meminta pembatalan Surat
Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan
Hormat, walaupun Penggugat mendalilkan
bahwa Surat Keputusan tersebut dibuat secara
melawan hukum yang merupakan suatu tindakan
sewenang-wenang dan tidak prosedural (quod
non, vide Posita butir 5). Dalam hal ini
Penggugat juga tidak dapat menyebutkan hukum
atau prosedur mana yang telah dilanggar oleh
Tergugat I dan Tergugat II;
6. Bahwa berhubung Penggugat tidak meminta
pembatalan Surat Keputusan Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat tersebut, maka sesuai
dengan asas hukum yang berlaku secara umum
haruslah dinilai bahwa Penggugat menerima/
menyetujui Surat Keputusan Tersebut;
7. Bahwa berdasar fakta tersebut di atas, maka
terdapat kerancuan antara dalil dalam Posita
gugatan dengan Petitumnya. Dengan adanya
kerancuan tersebut jelas mengakibatkan gugatan
Penggugat menjadi kabur/tidak jelas (obscuur
libel);
Maka: Berdasarkan Eksepsi-Eksepsi tersebut di atas, Tergugat I dan Tergugat II
memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa perkara ini untuk memutus
eksepsi ini lebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkaranya dengan
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Banjarmasin telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan
Nomor 01/PHI.G/2013/PN.BJM., tanggal 17 Juni 2013 yang amarnya sebagai
berikut:
1. Dalam Eksepsi:
1) Menolak Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II tersebut untuk
seluruhnya;
2) Menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Banjarmasin berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara ini;
3) Menetapkan pemeriksaan perkara ini untuk dilanjutkan;
4) Memutuskan biaya perkara bersama-sama putusan akhir;
2. Dalam Pokok Perkara:
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) Menyatakan para Tergugat telah melakukan pelanggaran Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3) Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan para Tergugat
putus terhitung tanggal 1 November 1994;
4) Menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat
yaitu Uang Pesangon sebesar Rp17.010.000,00, Uang
Penghargaan Masa Kerja sebesar Rp9.450.000,00 dan Uang
Penggantian Perumahan, Pengobatan dan Perawatan sebesar
Rp3.969.000,00 sehingga seluruhnya berjumlah Rp30.429.000,00
(tiga puluh juta empat ratus dua puluh sembilan ribu rupiah);
5) Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;
6) Membebankan biaya perkara kepada para Tergugat yaitu sebesar
Rp180.000,00 (seratus delapan puluh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diucapkan dengan
hadirnya Penggugat dan Kuasa Hukum para Tergugat pada tanggal 17 Juni
2013, kemudian terhadapnya oleh para Tergugat (dengan perantaraan
kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 Maret 2013 dan 28
Maret 2013) dan oleh Penggugat diajukan permohonan kasasi secara lisan
masing-masing pada tanggal 2 Juli 2013 dan 3 Juli 2013 sebagaimana ternyata
dari Akte Permohonan Kasasi Nomor 04/K/2013/PHI.Bjm. jo. Nomor 01/
PHI.G/2013/PN.BJM, yang dibuat oleh Panitera Muda Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin, permohonan tersebut diikuti
oleh memori kasasi yang memuat keberatan-keberatan yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tersebut
masing-masing pada tanggal 15 Juli 2013 dan 16 Juli 2013;
Bahwa setelah itu oleh Penggugat yang pada tanggal 16 Juli 2013 telah
diberitahu tentang memori kasasi dari para Tergugat diajukan jawaban memori
kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Banjarmasin tanggal 26 Juli 2013;
Bahwa setelah itu oleh para Tergugat yang pada tanggal 17 Juli 2013
telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat tidak diajukan jawaban
memori kasasi;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta keberatan-
keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam
undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat
diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh para
Pemohon Kasasi I/para Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada
pokoknya ialah:
Dalam Eksepsi:
Gugatan Penggugat Kadaluarsa:
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (Phi) Telah Keliru Dalam
Menerapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Dan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003:
1. Bahwa Esensi dari gugatan Penggugat adalah
persoalan tuntutan kompensasi terkait
Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat
berdasarkan Surat Keputusan NOKEP 249/KW-
X/SDM/11/94 tanggal 21 November 1994
tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat
atas nama Penggugat. Dalam pertimbangan
hukumnya, Majelis Hakim PHI telah menyatakan
bahwa SK PHK kepada Penggugat tersebut
adalah sah secara hukum (vide putusan PHI
halaman 32);
2. Bahwa sesuai bukti T-10 dan P-7, terbukti secara
sah dan meyakinkan bahwa Surat Keputusan
PHK atas nama Penggugat telah diterbitkan
tanggal 21 November 1994. Sedangkan gugatan
didaftarkan pada tanggal 7 Maret 2013;
3. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim yang
menolak Eksepsi para Tergugat bahwa gugatan
Penggugat kadaluarsa, adalah sangat
bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
Mengingat SK PHK tersebut dikeluarkan pada tahun 1994, maka secara
yuridis ketentuan kadaluarsa gugatan adalah mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat itu yaitu Pasal 1969 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa gugatan para buruh (pekerja) kadaluarsa
dengan lewatnya waktu 2 (dua) tahun;
Pertimbangan Majelis Hakim PHI pada halaman 29 yang menyatakan
bahwa Pasal 1969 KUH Perdata tidak berlaku dengan adanya Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
adalah tidak tepat dijadikan pertimbangan dalam memutus perkara ini,
mengingat saat terjadinya peristiwa PHK pada tahun 1994, Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
belum berlaku sebagai hukum positif;
Dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diatur bahwa
Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan,
demikian pula halnya dengan Pasal 193 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 diatur bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan;
4. Bahwa dengan demikian Pemohon Kasasi
(dahulu para Tergugat) memohon kehadapan
Ketua Mahkamah Agung RI, untuk menyatakan
gugatan tidak dapat diterima karena telah
kadaluarsa berdasarkan Pasal 1969 KUH
Perdata;
Dalam Pokok Perkara:
Majelis Hakim PHI Telah Mengeluarkan Putusan Yang Bertentangan Dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003:
5. Bahwa telah terjadi kekeliruan yang nyata dalam
pertimbangan Majelis Hakim PHI sehingga
sampai pada putusan menyatakan para Tergugat
telah melakukan pelanggaran Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(putusan Dalam Pokok Perkara butir 2). Bahkan
putusan tersebut bertentangan dengan putusan
Majelis Hakim PHI Dalam Pokok Perkara butir 3
yang menyatakan hubungan kerja antara
Penggugat dan para Tergugat putus terhitung 1
November 1994;
Bagaimana mungkin, putusan PHK tahun 1994 dinyatakan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang baru berlaku pada tahun
2003 ?;
6. Bahwa pada Pasal 193 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tegas dinyatakan bahwa
“undang-undang ini berlaku pada tanggal
diundangkan”. Dengan demikian Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 mulai berlaku
pada tanggal diundangkannya yaitu 25 Maret
2003;
Oleh karena itu, putusan Majelis Hakim PHI yang telah memutus perkara
ini terkait dengan PHK yang terjadi pada tahun 1994 dengan mendasarkan
pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, adalah jelas melanggar
ketentuan perundang-undangan dan karenanya sudah seharusnya untuk
dibatalkan;
7. Bahwa demikian pula halnya putusan pada
pokok perkara butir 4 yang menghukum para
Tergugat untuk membayar kompensasi terkait
PHK kepada Penggugat sebesar total
Rp30.429.000,00 juga tidak tepat karena
didasarkan pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 yang belum menjadi
hukum positif pada saat PHK dijatuhkan tahun
1994;
8. Bahwa dalam pertimbangan hukumnya pada
halaman 32, Majelis Hakim PHI telah
menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja
yang dilakukan oleh para Tergugat kepada
Penggugat melalui Surat Keputusan Kanwil BRI
Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94
tanggal 21 November 1994 tentang
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atas nama
Penggugat (bukti P-7 dan T-10) adalah sah
secara hukum;
9. Bahwa dengan sahnya Pemutusan Hubungan
Kerja dalam NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94
tanggal 21 November 1994 tersebut, maka
sudah seharusnya hal-hal yang terkait dengan
hak dan kewajiban sebagai akibat PHK tersebut
juga mengacu pada ketentuan yang berlaku
pada saat PHK dijatuhkan (1994), yaitu Surat
Keputusan NOKEP S-21-16/7/1971 tentang
Peraturan Pokok Kepegawaian BRI (bukti T-4);
10. Bahwa sesuai Pasal 8 ayat (3) Surat Keputusan
NOKEP S-21-16/7/1971 tentang Peraturan
Pokok Kepegawaian BRI, diatur bahwa: “dalam
hal pegawai diberhentikan dari pekerjaannya
bukan karena hal-hal dimaksudkan dalam Pasal
7 ayat (1) huruf a s.d. c, huruf f dan g,
kepadanya diberikan uang pemberhentian, ...
dst“;
Adapun isi dari Pasal 7 ayat (1) huruf a s.d. c, huruf f dan g yang ditunjuk
dalam pasal tersebut di atas adalah:
1) Seorang pegawai dapat diberhentikan sebagai pegawai Bank
karena:
a. Akan mempergunakan hak pensiunnya;
b. Permintaan sendiri;
c. Melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan
Bank atau yang bertentangan dengan kepentingan
Negara;
d. …;
e. …;
f. Keputusan Pengadilan;
g. Hukuman jabatan;
Mengingat pemberhentian terhadap Penggugat adalah terkait dengan
hukuman jabatan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) butir g, maka
Penggugat tidak berhak atas uang pemberhentian dan hak-hak lainnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) tersebut di atas;
11. Bahwa berdasarkan penjelasan dan dasar
hukum di atas, maka telah terbukti bahwa
pertimbangan dan putusan Majelis Hakim PHI
telah bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003. Oleh karena itu, sudah
seharusnya putusan tersebut dibatalkan karena
telah melanggar undang-undang yang berlaku;
12. Bahwa sehubungan dalil-dalil tersebut di atas,
maka secara yuridis sangat beralasan apabila
Pemohon Kasasi mengajukan kasasi ini, dengan
pertimbangan bahwa Majelis Hakim PHI telah
keliru dalam menerapkan peraturan perundang-
undangan yang mengancam batalnya perbuatan
(putusan Majelis Hakim PHI) yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi II/Penggugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
Bahwa, pertimbangan hukum Judex Facti dalam perkara ini sangat tidak
bijak yang tidak berpedoman pada hukum acara yang bertitik tolak pada fakta-
fakta dipersidangan, serta indikasi problematika hukum dalam suatu peristiwa
hukum yang dialami oleh Pemohon Kasasi;
Bahwa, putusan yang demikian tersebut telah tidak memenuhi
persyaratan formal dan materiil suatu putusan, untuk itu sangat rasional sekali
keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dapat dikabulkan
untuk seluruhnya, dan adapun keberatan-keberatan terhadap putusan Judex
Facti dalam perkara a quo yang diajukan oleh Pemohon Kasasi disebabkan
Judex Facti telah salah dalam ménerapkan dan melanggar ketentuan hukum
sebagai berikut:
a. Pemutusan Hubungan Kerja tanpa diberikan Surat Peringatan
terlebih dulu (Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);
Seseorang dapat diputus hubungan kerjanya dengan tidak sukarela atau
sepihak tanpa kesepakatan terlebih dulu disebabkan bermacam hal, antara
lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan
pengusaha, artinya tidak semua kesalahan dapat berakibat Pemutusan
Hubungan Kerja, namun hal ini masih tergantung pada besarnya tingkat
kesalahan;
Pengusaha dimungkinkan mem PHK pekerjanya dalam hal pekerja
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Ini, setelah
sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan
ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Pengusaha dapat
memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran
dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran.
Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara
langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung mem PHK. Hal ini
dengan catatan hal tersebut diatur dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan
Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan dalam ketiga
aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat
mengakibatkan PHK;
Bahwa, Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan teori hukum
perihal apa dan bagaimana Pemutusan Hubungan Kerja tersebut, sehingga
menimbulkan putusan hukum yang tidak seimbang dan bahkan merugikan
Pemohon Kasasi sebagai misal dalam perkara ini tidaklah ada indikasi
bahwasanya Pemohon Kasasi telah melakukan kesalahan berat yang
mempunyai implikasi alam perolehan hak pesangon, mengingat kesalahan-
kesalahan yang dilakukan oleh seorang pekerja dapat berakibat timbulnya
Pemutusan Hubungan Kerja. Dan selain karena kesalahan pekerja,
pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan
memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam
keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan di luar kuasa
pengusaha (force majeure). Dalam arti kata sebelum terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja maka didahului dengan adanya Surat Peringatan terlebih
dulu, baik kesatu, kedua dan ketiga;
Dalam perkara ini Termohon Kasasi sama sekali tidak dapat menunjukan
alat bukti berupa Surat Peringatan, artinya tidak ada Surat Peringatan yang
merupakan syarat formal yang harus ada sebelum melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja terhadap Pemohon Kasasi, sehingga pengambilan putusan
yang demikian benar-benar telah salah dalam menerapkan hukum Cq. Pasal
161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
b. Tidak ada alasan yang dapat membuktikan bahwasanya
Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pemohon Kasasi adalah
sah;
Dalam dunia pekerjaan lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja
atau sering disingkat dengan kata PHK yang artinya pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja dengan pengusaha, hal ini dapat terjadi karena
pengunduruan diri, pemberhentian oleh pengusaha atau habis masa kontrak;
Menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenaga-kerjaan makna perjanjian kerja dapat berakhir apabila:
• Pekerja meninggal dunia;

• Jangka waktu kontrak kerja berakhir;


• Adanya putusan Pengadilan atau
Penetapan Lembaga Penyelesai
Perselisihan Hubungan Induistrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
• Adanya keadaan atau kejadian tertentu
yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau Perjanjian
Kerja Bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja;
Jadi pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang
ditentukan wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah
pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
Judex Facti selama persidangan tidaklah dapat membuktikan kebenaran
dalil-dalil para Termohon Kasasi yang terkait dengan adanya penyebab
terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Cq. Adanya unsur kesalahan yang
dilakukan oleh Pemohon Kasasi, baik berdasarkan bukti tertulis T-1 s.d. T-10
maupun petunjuk lainnya yang dipandang oleh Judex Facti terdapat adanya
unsur kesalahan Pemohon Kasasi;
c. Salah dalam memperhitungkan standar gaji yang diperoleh
pekerja selevel pangkat Pemohon Kasasi;
Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum
Judex Facti yang terkait dengan perhitungan upah perbulan yang diperoleh
Pemohon Kasasi guna dipakai sebagai perhitungan nilai Uang Pesangon,
Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Pengganti Perumahan,
Pengobatan dan Perawatan Cq. yang jumlahnya sebesar Rp1.890.000,00
(satu juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah);
Bahwa, dalam pertimbangan hukumnya Judex Facti tidak menjelaskan
munculnya nilai upah sebesar Rp1.890.000,00 (satu juta delapan ratus
sembilan puluh ribu rupiah). Tuntutan upah perbulan dalam gugatan
Pemohon Kasasi tercatat sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu
rupiah) hal ini diperhitungkan dengan kurs nilai harga jual emas pada saat
sekarang dengan harga emas pada tahun 1994 (pada saat terjadinya
Pemutusan Hubungan Kerja);
Dalam putusan perkara ini Judex Facti telah keliru dalam menghitung nilai
upah Pemohon Kasasi yang seharusnya diperhitungkan (kurs) dengan harga
emas pada saat itu Cq. Harga emas pada tahun 1994 pergramnya seharga
± Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah), sedangkan harga emas pergramnya
pada saat ini ± Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah), dalam arti kata
besarnya upah perbulan yang tercantum dalam gugatan perkara ini adalah
sudah benar, sehingga seharusnya Judex Facti menghitung upah
perbulannya adalah Rp7.500.000,00;
Bahwa, Judex Facti selama persidangan tidak dapat membuktikan
kebenaran dalil-dalil Termohon Kasasi, oleh karena selama persidangan
maupun melalui proses pembuktian tidaklah terungkap bahwasanya
Pemohon Kasasi telah melakukan suatu kesalahan dalam menjalankan
pekerjaannya. Untuk itu berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 156 ayat (2)
Pemohon Kasasi haruslah mendapatkan 2 (dua) kali ketentuan;
d. Tidak ada dasar hukum untuk menolak ganti rugi materiil
maupun inmaterial;
Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum
Judex Facti yang terkait dengan ganti rugi materiil maupun inmaterial,
mengingat selama terjadinya anggapan adanya Pemutusan Hubungan Kerja
(oleh Termohon Kasasi) Cq. Sejak tahun diberhentikannya dari pekerjaannya
oleh Termohon Kasasi yang pada saat itu Pemohon Kasasi berusia 35 tahun
10 bulan, maka dapat diperhitungkan nilai kerugiannya bilamana dihitung
hingga usia pensiun, yakni 56 tahun (20 tahun 2 bulan);
Bahwa, selama 20 tahun 2 bulan Pemohon Kasasi telah kehilangan
penghasilannya akibat adanya PHK tesebut, sehingga bilamana dihitung
secara nominal maka ketemu angka sebesar nilai yang tercantum dalam
gugatan perkara ini;
Bahwa, hilangnya penghasilan sebesar itu merupakan akibat dari
Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Termohon Kasasi, dan
Pemutusan Hubungan Kerja tersebut selama persidangan tidak terbukti
adanya unsur kesalahan dari Pemohon Kasasi dalam arti kata Pemohon
Kasasi telah dihilangkan hak penghasilan hidupnya yang dihitung hingga
usia pensiun Cq. 20 tahun 2 bulan. Kehilangan hak penghasilannya tersebut
akibat dari perbuatan Termohon Kasasi, sehingga Termohon Kasasi dapat
dikatagorikan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dalam hal ini
telah melanggar ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata;
Bahwa, Judex Facti sama sekali tidak menyentuh melalui pendekatan Pasal
1365 KUHPerdata terkait dengan adanya Perbuatan Melawan Hukum yang
diatur dalam Pasal 1365 s.d. Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1365
menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut;
Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka
yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang
melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya
itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain;
Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut”;
Istilah “ melanggar “ menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan
sifat aktifnya saja sedangkan sifat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan”
itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif.
Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat
aktif dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan
sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa
sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan
orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan enggan
melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus
menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan;
Ketentuan dalam Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal
1366 BW yaitu:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya”;
Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa Perbuatan Melawan
Hukum tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak
berbuat. Pasal 1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW
mengatur tentang “tidak berbuat”. Dengan demikian seharusnya tuntutan
Pemohon Kasasi dalam perkara ini yang terkait dengan ganti rugi materiil
maupun in-materiil haruslah dikabulkan untuk seluruhnya;
e. Tidak ada dasar hukum untuk menolak dwangsom
pembayaran ganti rugi materiil maupun in-material;
Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum
Judex Facti yang terkait dengan tuntutan uang paksa, oleh karena Pemohon
Kasasi merasa tuntutan uang paksa tersebut sangat mempunyai
kepentingan dalam perkara ini. Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam
hukum acara berkaitan dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh
pihak yang kalah dalam sengketa perdata terhadap putusan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
Pasal 606a Rv. menentukan: Sepanjang suatu keputusan Hakim
mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar
sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap kali
terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan
sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan Hakim, dan uang
tersebut dinamakan uang paksa. Dwangsom (uang paksa) pada hakekatnya
hanya bisa dijatuhkan oleh Hakim apabila amar putusan tersebut
berhubungan dengan perbuatan tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh
Tergugat. Tanpa perbuatan Tergugat maka putusan tersebut tidak akan bisa
dilaksanakan. Kita bisa menganalisis bahwa dalam dwangsom (uang paksa)
ada kata paksa, berarti ada suatu perbuatan yang dipaksa mesti dilakukan
oleh pihak yang kalah (Tergugat) dan apabila pihak yang kalah tidak
bersedia melakukan amar putusan maka diancam dengan membayar
sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan Hakim;
Dengan demikian sangat patut apabila yang mulia Majelis Hakim Agung RI
berkenan untuk mengabulkan tututan dwangsom Pemohon Kasasi;
f. Tidak ada dasar hukum untuk menolak putusan serta merta;
Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum
Judex Facti terkait dengan putusan serta merta, mengingat dalam
pengambilan suatu keputusan terbukti kurang menggali teori hukum,
sehingga menciptakan suatu putusan yang tidak sempurna. Memperhatikan
dasar hukum dari putusan serta-merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) yaitu Pasal
180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg. Pasal 180 Ayat (1) HIR
menyatakan bahwa biarpun orang membantah putusan Hakim Pengadilan
Negeri atau meminta apel, maka Pengadilan Negeri itu boleh memerintahkan
supaya putusan Hakim itu dijalankan lebih dahulu, jika ada surat yang sah,
suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima
sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan
putusan yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan
dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik;
Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg memberikan kewenangan
bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan serta-merta, namun Judex Facti
telah enggan melakukan hal tersebut, sehingga berakibat sangat merugikan
bagi Pemohon Kasasi. Diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat
(1) RBg. Wewenang menjatuhkan putusan serta merta hanya pada
Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi dilarang menjatuhkan putusan serta
merta;
Putusan serta-merta dapat dijatuhkan, apabila telah dipertimbangkan alasan-
alasannya secara seksama sesuai ketentuan, yurisprudensi tetap dan doktrin
yang berlaku. Syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan putusan serta-merta
adalah:
• Surat bukti yang diajukan sebagai bukti
untuk membuktikan dalil gugatan (yang
disangkal oleh pihak lawan) adalah sebuah
akta otentik atau akta dibawah tangan
yang diakui isi dan tanda tangannya oleh
Tergugat;
• Putusan didasarkan atas suatu putusan
yang sudah berkekuatan hukum yang
tetap (inkracht van gewisjde);
• Apabila dikabulkan suatu gugatan
provisional;
• Dalam hal sengketa bezit bukan sengketa
hak milik;
• Sebelum menjatuhkan putusan serta merta
Hakim wajib mempertimbangkan terlebih
dahulu apakah gugatan tersebut telah
memenuhi syarat secara formil, syarat
mengenai surat kuasa dan syarat-syarat
formil lainnya;
• Hakim wajib menghindari putusan serta
merta yang gugatannya tidak memenuhi
syarat formil yang dapat berakibat
dibatalkannya putusan oleh Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung;
• Dilakukannya sita jaminan terhadap
barang-barang milik Tergugat atau
terhadap barang-barang tertentu milik
Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat,
tidak menjadi penghalang untuk
menjatuhkan putusan serta merta apabila
syarat menjatuhkan putusan serta merta
terpenuhi;
• Putusan serta merta hanya dapat
dilaksanakan atas perintah dan di bawah
pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dari
Pengadilan Negeri yang bersangkutan
(Pasal 195 HIR, Pasal 206 RBg);
• Putusan serta merta hanya dapat
dilaksanakan setelah Ketua Pengadilan
Negeri memperoleh izin dari Ketua
Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah
Agung (lihat SEMA Nomor 3 Tahun 2000
dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001);
Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta, Ketua Pengadilan Negeri
wajib memperhatikan SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4
Tahun 2001, yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta
(Uitvoerbaar Bij Voorraad) harus disertai Penetapan sebagaimana diatur
dalam butir 7 SEMA Nomor 3 Tahun 2000 yang menyebutkan “Adanya
pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi
sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata
dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan
Tingkat Pertama”. Apabila jaminan tersebut berupa uang harus disimpan di
Bank Pemerintah (lihat Pasal 54 Rv);
Dengan demikian tidaklah keliru bilamana Judex Facti seharusnya memberi
putusan serta merta yang dimohonkan oleh Pemohon Kasasi dalam perkara
ini, oleh karena gugatan perkara ini telah memenuhi persyaratan formal dan
materiil suatu gugatan;
g. Tidak ada dasar hukum untuk menolak meletakkan sita
jaminan;
Bahwa, Pemohon Kasasi menolak pertimbangan hukum Judex Facti yang
terkait dengan sita jaminan, mengingat sita jaminan merupakan tindakan
persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakanya putusan Pengadilan dalam
suatu perkara dikemudian hari. Suatu benda yang berada di bawah sita
jaminan oleh Pengadilan tidak boleh dijual belikan, dipindah tangankan,
dijaminkan dan disewakan oleh orang yang tersita pada orang lain (Pasal
199 HIR/Pasal 214 RBg). Perjanjian-perjanjian yang dibuat Tergugat untuk
menjualbelikan, memindahtangankan, menjaminkan, dan menyewakan yang
telah disita itu tidak sah (Pasal 1320, Pasal 1337 KUH Perd.) dan sekaligus
hal tersebut tindak pidana (Pasal 231, Pasal 232 KUHP);
Sita jaminan terhadap barang milik Tergugat diatur dalam Pasal 227 HIR/
Pasal 261 RBg. Sita jaminan ini biasanya disebut conservatoir beslag.
Maksud dari penyitaan ini untuk menjamin dapat dilaksanakanya putusan
Pengadilan apabila nantinya putusan Pengadilan memutuskan menghukum
Tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada Penggugat, yaitu dengan
cara menjual barang milik Tergugat yang disita tersebut dan uang hasil
penjualan digunakan untuk membayar utang Tergugat kepada Penggugat;
Conservatoir beslag hanya dapat dilakukan apabila ada persangkaan yang
beralasan, bahwa Tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau sebelum
putusan dilaksanakan berusaha untuk menghilangkan atau membawa
barang bergerak atau barang tidak bergerak dengan maksud menjauhkan
barang-barang itu dari penagihan hutang (Pasal 227 ayat (1) HIR/Pasal 261
ayat (1) RBg). Apabila Penggugat tidak mempunyai bukti yang kuat adanya
kekhawatiran bahwa Tergugat akan mengasingkan barang-barangnya,
penyitaan tidak dapat dilakukan (MA tanggal 5-4-1972 Nomor 1121 K/
Sip/1971);
Bahwa, Pemohon Kasasi sangat mempunyai kepentingan terhadap
permohonan sita jaminan yang diajukannya sekarang ini, sehingga Judex
Facti seharusnya bisa mengabulkan permohonan sita tersebut, apalagi
gugatan Pemohon Kasasi telah dikabulkan sebagian dalam perkara ini;
h. Tidak mempertimbangkan alat bukti Pemohon Kasasi;
Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan Judex Facti dalam
perkara ini yang sama sekali tidak mempertimbangkan alasan-alasan
Pemohon Kasasi. Adapun, alat bukti Pemohon Kasasi yang disampaikan
dalam persidangan tersebut P-1 s.d. P-16 sama sekali tidak dipertimbangkan
oleh Judex Facti, sehingga terkesan terdapat beberapa penafsiran terhadap
putusan yang demikian, diantaranya terdapat penyembunyian data yang
dilakukan oleh Judex Facti dan berakibat sangat merugikan Pemohon
kasasi;
Demikian pula, pertimbangan hukum Judex Facti dalam perkara ini sama
sekali tidak mempertimbangkan alasan-alasan yang tertuang dalam replik
dan kesimpulan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dalam persidangan
perkara ini artinya Judex Facti kurang komitmen dengan hukum acara,
sehingga menciptakan suatu putusan hukum yang keliru;
Bahwa, Hakim dalam memeriksa setiap perkara haruslah sampai kepada
putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu
ditemukan. Benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat
bergantung kepada hasil pembuktian yang dilakukan para pihak di
persidangan. Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk
mencari kebenaran yang mutlak, sedangkan Hakim dalam memeriksa setiap
perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat
diterima kedua belah pihak. Berkaitan dengan masalah pembuktian ini,
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan antara lain:
“...Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-
dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan oleh para pihak di persidangan...“;
Memberikan dasar yang cukup kepada Hakim berarti memberikan landasan
yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan diambil oleh Hakim setelah
keseluruhan proses pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan
dijatuhkan oleh Hakim diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya telah terjadi. Di dalam Hukum Acara Perdata, kepastian akan
kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung
kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan.
Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru dikatakan ada atau
tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan Hakim (hasil proses)
dengan peristiwa yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru
sebaliknya, berarti kebenaran itu tidak tercapai;
Dengan demikian jelas putusan Judex Facti dalam perkara ini sangatlah
patut untuk dipertimbangkan kembali oleh yang mulia Majelis Hakim Agung,
mengingat putusannya telah dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang
tanpa menyentuh asas hukum;
Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut Mahkamah
Agung berpendapat:
Bahwa keberatan Para Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh
karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 15 Juli 2013
dan tanggal 16 Juli 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 26 Juli 2013
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin telah salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Judex Facti telah salah dan keliru dalam menilai, menimbang dan
menerapkan hukumnya berdasarkan undang-undang;
Bahwa pengajuan gugatan Penggugat telah kadaluarsa, baik ditinjau dari
Pasal 1969 KUH Perdata yang mengatur lewat waktu (kadaluarsa) gugatan
adalah 2 tahun, maupun Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang
mengatur lewat tenggang waktu gugatan adalah 1 tahun;
Bahwa gugatan Penggugat diajukan pada tahun 2013 atas keberatan
Surat Keputusan PHK yang telah diterbitkan pada tahun 1994, dengan demikian
gugatan Penggugat telat kadaluarsa;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: 1. PT. BANK RAKYAT INDONESIA
(PERSERO) Tbk. KANTOR CABANG TANJUNG TABALONG, 2. PT. BANK
RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR WILAYAH BANJARMASIN
dan Pemohon Kasasi II: HERTIMUS tersebut, dan membatalkan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor
01/PHI.G/2013/PN.BJM., tanggal 17 Juni 2013 selanjutnya Mahkamah Agung
akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di
bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi I, II dikabulkan dan Termohon Kasasi I sebagai pihak yang kalah,
sedangkan nilai gugatan dalam perkara ini di atas Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka biaya perkara dalam semua tingkat
peradilan dibebankan kepada Termohon Kasasi I;
Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;
M E N G A D I L I:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: 1. PT. BANK
RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR CABANG TANJUNG
TABALONG, 2. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR
WILAYAH BANJARMASIN dan Pemohon Kasasi II: HERTIMUS tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Banjarmasin Nomor 01/PHI.G/2013/PN.BJM., tanggal 17 Juni 2013;
MENGADILI SENDIRI:
1. Dalam Eksepsi:
a. Mengabulkan Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II tersebut;
b. Menyatakan gugatan Penggugat Kadaluarsa;
2. Dalam Pokok Perkara:
• Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
• Menghukum Termohon Kasasi I/Pemohon Kasasi II/Penggugat
untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan,
yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
pada Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 30 September 2013 oleh H.
Yulius, SH. MH.,, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Majelis, Dwi Tjahyo Soewarsono, SH. MH., dan Arief Soedjito,
SH. MH., Hakim-Hakim Ad Hoc PHI, masing-masing sebagai Anggota, putusan
tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh
Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-anggota tersebut dan oleh Reza Fauzi, SH.
CN., Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh para pihak.
Anggota-anggota, K e t u a,
ttd./ ttd./
Dwi Tjahyo Soewarsono, SH. MH. H. Yulius, SH. MH.
ttd./
Arief Soedjito, SH. MH.

Biaya-Biaya : Panitera Pengganti,


1. Meterai...................... Rp 6.000,00

2. Redaksi..................... Rp 5.000,00 ttd./


3. Administrasi Kasasi... Rp489.000,00
Jumlah Rp500.000,00 Reza Fauzi, SH. CN.

UNTUK SALINAN
MAHKAMAH AGUNG RI
a/n. PANITERA
PANITERA MUDA PERDATA KHUSUS

(RAHMI MULYATI, SH., MH)


Nip. 195912071985122002

Anda mungkin juga menyukai