0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
59 tayangan35 halaman
Putusan Mahkamah Agung mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja antara PT Bank Rakyat Indonesia dengan karyawannya. MA memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melalui prosedur yang benar, sehingga karyawan berhak mendapatkan pesangon, penghargaan masa kerja, dan ganti rugi.
Putusan Mahkamah Agung mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja antara PT Bank Rakyat Indonesia dengan karyawannya. MA memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melalui prosedur yang benar, sehingga karyawan berhak mendapatkan pesangon, penghargaan masa kerja, dan ganti rugi.
Putusan Mahkamah Agung mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja antara PT Bank Rakyat Indonesia dengan karyawannya. MA memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan tersebut dilakukan secara sepihak tanpa melalui prosedur yang benar, sehingga karyawan berhak mendapatkan pesangon, penghargaan masa kerja, dan ganti rugi.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial dalam tingkat kasasi memutuskan sebagai berikut dalam perkara antara: 1. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR CABANG TANJUNG TABALONG, diwakili oleh GANJAR FARDIAN, Pemimpin Cabang PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Tanjung Tabalong, berkedudukan di Jalan Puteri Zaleha, Tanjung, Kabupaten Tabalong; 2. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR WILAYAH BANJARMASIN, yang diwakili oleh CATUR BUDI HARTO, Pemimpin Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Wilayah Banjarmasin, berkedudukan di Jalan A. Yani Km. 3,5 Nomor 151 Banjarmasin;
Dalam hal ini keduanya memberi kuasa kepada AGUNG
DEWANDONO, SH., dan kawan-kawan, para pegawai pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Cabang Tanjung Tabalong dan para pegawai pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Kantor Wilayah Banjarmasin, beralamat di Jalan A. Yani Km. 3,5 Nomor 151 Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 Maret 2013 dan 28 Maret 2013, sebagai Para Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi II dahulu Tergugat I dan II; melawan HERTIMUS, bertempat tinggal di Komplek Perumahan Citra Planbon Raya Jalan Cita 2 Blok I Nomor 97 RT. 14 Kelurahan Pembataan, Kecamatan Murung Pudak, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, sebagai Termohon Kasasi I juga sebagai Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat; Mahkamah Agung tersebut; Membaca surat-surat yang bersangkutan; Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Termohon Kasasi I juga sebagai Pemohon Kasasi II dahulu Penggugat telah mengajukan gugatan terhadap Para Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi II dahulu Tergugat I dan II di depan persidangan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin, pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa, Penggugat adalah pegawai Tergugat I sejak tanggal 1 Januari 1982 sebagai Tenaga Harian Lepas dengan Surat Keputusan NOKEP 15/Pers/1/1982, tanggal 25 Januari 1982, dan kemudian terhitung mulai tanggal 1 Juli 1985 Penggugat telah diangkat sebagai pegawai dalam dinas tetap dengan Surat Keputusan NOKEP 173/Pers/7/1985, tanggal 22 Juli 1985 dengan pangkat/golongan terakhir sebagai Juru T.U. Tingkat I/C. II. Dengan Surat Keputusan Pimpinan Kantor Wilayah BRI NOKEP 256-PEG/ BIN/8/88, tanggal 5 Agustus 1988; 2. Bahwa, selama bekerja dan menjadi pegawai Tergugat I, maka Penggugat selalu menunjukan loyalitas, mentaati segala peraturan perseroan, dan sekaligus telah menunjukan prestasi yang baik bagi perseroan dimaksud; 3. Bahwa tanggal 10 Oktober 1994 dengan Surat Nomor R. 0059/X-KC/SDM/10/94 Tergugat I telah mengajukan usulan kepada Tergugat II guna memberikan sanksi hukuman kepada Penggugat yang diduga telah melakukan suatu pelanggaran kepegawaian dengan penurunan pangkat 2 (dua) tingkat dari C II menjadi B. II; 4. Bahwa, terhadap usulan Tergugat I tersebut Tergugat II pada tanggal 21 November 1994 telah mengambil suatu tindakan berupa menerbitkan Surat Keputusan NOKEP 249/KW- X/SDM/11/94 yang isinya adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat terhadap Penggugat terhitung mulai tangal 1 November 1994; 5. Bahwa, penerbitan Surat Keputusan dimaksud di atas yang dibuat secara melawan hukum adalah merupakan suatu tindakan yang sewenang- wenang dan tidak prosedural dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat, padahal selama ini Penggugat tidak pernah melakukan perbuatan pelanggaran sebagaimana yang diduga oleh para Tergugat; 6. Bahwa, mengenai Pemutusan Hubungan Kerja tersebut di atas, para Tergugat sama sekali tidak pernah memberikan hak-hak normatif kepegawaian terhadap Penggugat; 7. Bahwa, untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat tersebut, ternyata para Tergugat belum pernah merundingkannya dengan pihak Penggugat, sehingga tindakan yang demikian adalah merupakan suatu pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964, tanggal 23 September 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003, tanggal 25 Maret 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 tanggal 20 Juni 2000; 8. Bahwa, prosedur yang ditempuh oleh para Tergugat sebagai perusahaan persero dalam memutus hubungan kerja terhadap Penggugat adalah suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas, berikut peraturan-peraturan yang lainnya; 9. Bahwa, oleh karena perlakuan para Tergugat yang tidak menerapkan secara benar aturan- aturan ketenagakerjaan dalam memutus hubungan kerja terhadap Penggugat yang sama sekali tidak menggunakan lembaga Tripartit untuk menyelesaikan masalah dimaksud, maka Penggugat mengajukan gugatan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, upah pesangon normatif dan ganti rugi pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin; 10. Bahwa, oleh karena para Tergugat telah memutus hubungan kerja secara sepihak kepada Penggugat, dan berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Penggugat berhak untuk mendapatkan Uang Pesangon 2 (dua) kali sesuai ketentuan sebagaimana aturan Pasal 156 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang Ketenagakerjaan, berikut memperoleh hak-hak Penggugat lain yang melekat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003; 11. Bahwa, Penggugat mulai diterima bekerja pada tanggal 1 Januari 1982 sebagai Tenaga Harian Lepas dengan Surat Keputusan NOKEP 15/ Pers/1/1982, tanggal 25 Januari 1982 dan diberhentikan pada tanggal 1 November 1994, dengan Surat Keputusan NOKEP 249/KW-X/ SDM/11/94 tanggal 21 November 1994, sehingga mempunyai masa kerja 12 tahun 10 bulan dengan standar gaji yang diperoleh setingkat/level pangkat Penggugat adalah sebesar Rp7.500.000,00/bulan, dan setiap bulannya selalu menerima penuh, oleh karenanya Penggugat berhak untuk mendapatkan hak-hak pekerja sebagai berikut: • Uang Pesangon sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat 2 masa kerja 12 tahun 10 bulan atau lebih tetapi kurang dari 13 tahun, 13 (tiga belas) bulan upah sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 dengan perhitungan sebagai berikut: Rp7.500.000,00/ bulan x 13 bulan upah x 2 = Rp195.000.000,00; • Uang Penghargaan Masa Kerja sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat 3 masa kerja 12 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah dengan perhitungan sebagai berikut: Rp7.500.000,00/bulan x 5 bulan upah = Rp37.500.000,00; • Uang Penggantian Hak sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat 4, ganti rugi 15% dari jumlah keseluruhan (Pesangon dan Penghargaan Masa Kerja) = Rp232.500.000, 00 x 15% = Rp34.875.000,00; Jumlah yang harus dibayarkan oleh para Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar Rp267.375.000,00 (dua ratus enam puluh tujuh juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah); 12. Bahwa, sejak diputusnya hubungan kerja dimaksud, maka Penggugat sejak tanggal 1 November 1994 telah kehilangan penghasilannya, sehingga dengan hilangnya penghasilannya tersebut Penggugat berhak untuk mendapatkan hilangnya penghasilan atau upah sampai masa pensiun (pada saat di putus hubungan kerja usia Penggugat 35 tahun 10 bulan) akan terancam kehidupan keluarganya, begitu pula pendidikan anak-anaknya. Oleh karena itu kebutuhan materiel Penggugat sampai usia pensiun 56 tahun dan atau 20 tahun 2 bulan adalah sebagai berikut: a. Upah perbulan (Rp7.500.000,00 x 12 bulan x 20 tahun) + (Rp7.500.000,00 x 2 bulan) = Rp1.815.000.000,00 (satu miliar delapan ratus lima belas juta rupiah); b. Biaya-biaya yang dikeluarkan (baik yang sudah dikeluarkan mapun perkiraan yang akan dikeluarkan) untuk menuntut keadilan sejak di putus hubungan kerjanya hingga putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap diperhitungkan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah); 13. Bahwa, akibat Pemutusan Hubungan Kerja yang keliru berakibat Penggugat menderita bathin/ stress, sangat sulit mencari pekerjaan, menderita malu terhadap lingkungan dan kerabat, untuk itu Penggugat sangat wajar mendapatkan ganti kerugian in-materiel dari para Tergugat yang secara keseluruhan sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) secara tunai dan sekaligus; 14. Bahwa, agar gugatan ini tidak menjadi sia-sia, maka dimohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin agar berkenan untuk meletakkan sita jaminan terhadap harta kekayaan para Tergugat yang berupa hak atas tanah dan bangunan sebagaimana tersebut di bawah ini: • Hak atas tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Puteri Zaleha Tanjung, Kabupaten Tabalong milik Tergugat I; • Hak atas tanah dan bangunan yang terletak di Jalan A. Yani KM. 3,5 Nomor 151 Banjarmasin milik Tergugat II; 15. Bahwa, agar para Tergugat memenuhi isi putusan dalam perkara ini, maka para Tergugat dihukum untuk membayar uang paksa sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus untuk setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan ini hingga para Tergugat memenuhi isi putusan perkara ini; 16. Bahwa, gugatan perkara ini diajukan berdasarkan alat bukti yang akurat, maka sudah sepatutnya putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan atau bantahan, dan kasasi (Uitvoerbaar Bij Voorraad); Berdasarkan hal-hal sebagaimana Penggugat sampaikan di atas maka dengan ini Penggugat memohon kepada yang terhormat Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin untuk berkenan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini dengan putusan sebagai berikut: Primair: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang dimohonkan; 3. Menyatakan para Tergugat telah melakukan pelanggaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berakibat kerugian pada Penggugat; 4. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat putus terhitung putusan ini dibacakan oleh Majelis Hakim; 5. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk membayar hak- hak Penggugat secara tunai dan sekaligus dengan perincian sebagai berikut: • Uang Pesangon sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003, Pasal 156 ayat (2), masa kerja 12 tahun 10 bulan atau lebih tetapi kurang dari 13 tahun, 13 (tiga belas) bulan upah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 dengan perhitungan sebagai berikut: Rp7.500.000,00/bulan x 13 bulan upah x 2 = Rp195.000.000,00; • Uang Penghargaan Masa Kerja sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat (3), masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 (lima) bulan upah dengan perhitungan sebagai berikut: Rp7.500.000,00/bulan x 5 bulan upah = Rp37.500.000,00; • Uang Penggantian Hak sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret 2003 Pasal 156 ayat (4), ganti rugi 15% dari jumlah keseluruhan (Pesangon dan Penghargaan Masa Kerja) Rp232.500.000,00 x 15% = Rp34.875.000,00; Total yang harus dibayarkan oleh para Tergugat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada Penggugat adalah sebesar Rp267.375.000,00 (dua ratus enam puluh tujuh juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) secara tunai dan sekaligus; 6. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk membayar kerugian materiil kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp1.965.000.000,00 (satu miliar sembilan ratus enam puluh lima juta rupiah); 7. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk membayar kerugian in-materiil kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); 8. Menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk membayar uang paksa sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus untuk setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan ini; 9. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan atau bantahan atau kasasi (Uitvoerbaar Bij Voorraad); 10. Menghukum para Tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul; Subsidair: Dan atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil- adilnya; Menimbang, bahwa atas gugatan tersebut, para Tergugat (Tergugat I dan Tergugat II) telah mengajukan Eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut: Eksepsi I: Gugatan Penggugat Ne Bis In Idem: 1. Bahwa membaca dalil gugatan Penggugat, ternyata bahwa persoalan utama dalam Posita maupun Petitum gugatan adalah persoalan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Kantor Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94 tanggal 21 November 1994 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat; 2. Bahwa gugatan dalam perkara ini sebelumnya telah diajukan oleh Penggugat dalam perkara Nomor 05/Pdt.G/2004/PN.Tnj. tanggal 22 September 2004 yang telah diputus sampai tingkat kasasi dan telah berkuatan hukum tetap (inkracht), sesuai dengan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2230 K/ PDT/2005 tanggal 3 April 2008; 3. Bahwa sesuai Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, gugatan ne bis in idem, sudah seharusnya dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima karena telah ada putusan Pengadilan dalam perkara yang sama; Eksepsi II: Gugatan Diajukan Kepada Pengadilan Yang Tidak Berwenang: 4. Bahwa berdasarkan peraturan perundang- undang yang berlaku saat itu (1994) yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia, Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1969 (tentang Bentuk-Bentuk Badan Usaha) menjadi undang- undang, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1972 tentang Perubahan atas ketentuan Pasal 7 PP Nomor 12 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank Rakyat Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), menyatakan bahwa PT. Bank Rakyat Indonesia didirikan oleh Negara Republik Indonesia dengan tujuan untuk melaksanakan tugas dan usaha di bidang perbankan; 5. Bahwa Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) atau Pejabat PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) pada tahun 1994 adalah termasuk Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 6. Bahwa materi gugatan yang diajukan Penggugat bertanggal yang terdaftar dalam register perkara Nomor 01/PHI.G/2013/PN/BJM tanggal 7 Maret 2013 adalah menyangkut Kepegawaian, hal tersebut adalah termasuk Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 7. Bahwa terlebih lagi causa prima dalam perkara a quo adalah terbitnya Surat Keputusan Kantor Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94 tanggal 21 November 1994 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atas nama Penggugat yang dibuat oleh Tergugat II, hal tersebut termasuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; 8. Bahwa sengketa Tata Usaha Negara yang menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara, haruslah diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni untuk pengujian apakah penerbitan Surat Keputusan tersebut melawan hukum atau tidak. Pengujian ini sangat penting bagi Keputusan yang telah dibuat tersebut, sekaligus untuk mematahkan dalil Penggugat yang menyatakan bahwa penerbitan Surat Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat dibuat secara melawan hukum, merupakan suatu tindakan yang sewenang-wenang dan tidak prosedural (quod non, vide Posita butir 5); 9. Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka sudah selayaknya Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini; Eksepsi III: Persona Stundi Non Yudisio: 10. Bahwa Tergugat I dan Tergugat II adalah Badan Hukum Perseroan Terbatas berdasarkan Anggaran Dasar Perseroan yang dimuat dalam Akta Nomor 51 tanggal 26 Mei 2008 yang dibuat dihadapan Fathiah Helmi, SH. Notaris di Jakarta dan telah diumumkan dalam Berita Negara RI Nomor 68 tanggal 25 Agustus 2009, Tambahan Nomor 23079; Perseroan Terbatas (PT) adalah subyek hukum mandiri yang oleh undang- undang dibekali dengan hak dan kewajiban tidak ubahnya dengan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh manusia (persona stundi non yudisio); Penyebutan identitas Tergugat I dan Tergugat II oleh Penggugat dalam gugatannya adalah keliru, karena tidak sesuai dengan hirarki organisasi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk. sebagai Badan Hukum Perseroan Terbatas, karena Tergugat I dan Tergugat II adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan oleh karena itu Tergugat I dan Tergugat II tidak berkualitas untuk dituntut di muka Pengadilan jika dituntut secara terpisah, mengingat kedudukan Badan Hukum Perseroan Terbatas sebagai persona stundi non yudisio; 11. Bahwa sesuai dengan fakta-fakta dan ketentuan- ketentuan tersebut di atas maka gugatan Penggugat yang ditujukan kepada Tergugat I dan Tergugat II sebagai subyek hukum yang terpisah adalah merupakan suatu kekeliruan yang mengakibatkan gugatan Penggugat mengandung kesalahan formil; 12. Bahwa sesuai Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, gugatan yang mengandung kesalahan formil sudah seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak diterima; Eksepsi IV: Gugatan Penggugat Kadaluarsa: 13. Bahwa persoalan utama dalam Posita maupun Petitum gugatan adalah persoalan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Kantor Wilayah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94 tanggal 21 November 1994 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat seperti yang diakui oleh Penggugat vide Posita gugatan Penggugat butir 4; 14. Bahwa gugatan dalam perkara ini terdaftar dalam register perkara Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 01/PHI.G/2013/PN.BJM tanggal 7 Maret 2013; 15. Bahwa gugatan Penggugat telah kadaluarsa berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Pasal 1969 KUH Perdata diatur bahwa gugatan para buruh (pekerja) kadaluarsa dengan lewatnya waktu 2 (dua) tahun; b. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial disebutkan bahwa: ”Gugatan oleh pekerja/buruh atas Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha”; c. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 517.K/Pdt.Sus/2010 tanggal 24 Mei 2011 dalam pertimbangan putusannya menyatakan gugatan PHK yang diajukan oleh Pekerja atau buruh setelah lewat tenggang waktu 1 (satu) tahun menurut Pasal 82 Undang-Undang 2/2004 adalah gugatan yang daluarsa; 16. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka gugatan Penggugat yang baru diajukan pada tahun 2013 atas keberatan SK PHK yang telah diterbitkan pada tahun 1994 adalah gugatan yang telah kadaluarsa, sehingga sudah seharusnya atas gugatan tersebut tidak dapat diterima; Eksepsi V: Gugatan Penggugat Kabur/Tidak Jelas (Obscuur Libel): 1. Bahwa Terdapat banyak pertentangan antara Posita dan Petitum gugatan Penggugat yang mengakibatkan gugatan Penggugat menjadi kabur atau tidak jelas atau obscuur libel; 2. Bahwa dalam Petitum gugatannya Penggugat menyebutkan bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (vide Petitum butir 3), namun dalam Posita gugatan Penggugat sama sekali tidak dapat menyebutkan Pasal mana dari Undang-undang tersebut yang telah dilanggar oleh Tergugat I dan Tergugat II. Disamping itu, dihubungkan dengan persoalan utama gugatan Penggugat berupa keberatan atas SK PHK yang diterbitkan pada tahun 1994, maka Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut adalah Undang-Undang yang belum berlaku pada saat itu (1994); 3. Bahwa Penggugat dalam Petitum gugatannya butir 5 memohon agar menghukum para Tergugat baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama untuk membayar hak-hak Penggugat secara tunai dan sekaligus berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak total Rp267.375.000,00 berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang belum berlaku pada saat itu (1994); 4. Bahwa Penggugat dalam Posita gugatannya tidak dapat menunjukkan dasar perhitungan yang jelas dan rinci disertai dengan ketentuan- ketentuan yang berlaku dari ketentuan perusahaan Tergugat I dan Tergugat II yang berlaku saat itu termasuk dasar penghitungan Upah Pokok yang disampaikan Penggugat; 5. Bahwa dalam Petitum gugatannya, Penggugat sama sekali tidak meminta pembatalan Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, walaupun Penggugat mendalilkan bahwa Surat Keputusan tersebut dibuat secara melawan hukum yang merupakan suatu tindakan sewenang-wenang dan tidak prosedural (quod non, vide Posita butir 5). Dalam hal ini Penggugat juga tidak dapat menyebutkan hukum atau prosedur mana yang telah dilanggar oleh Tergugat I dan Tergugat II; 6. Bahwa berhubung Penggugat tidak meminta pembatalan Surat Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat tersebut, maka sesuai dengan asas hukum yang berlaku secara umum haruslah dinilai bahwa Penggugat menerima/ menyetujui Surat Keputusan Tersebut; 7. Bahwa berdasar fakta tersebut di atas, maka terdapat kerancuan antara dalil dalam Posita gugatan dengan Petitumnya. Dengan adanya kerancuan tersebut jelas mengakibatkan gugatan Penggugat menjadi kabur/tidak jelas (obscuur libel); Maka: Berdasarkan Eksepsi-Eksepsi tersebut di atas, Tergugat I dan Tergugat II memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa perkara ini untuk memutus eksepsi ini lebih dahulu sebelum memeriksa pokok perkaranya dengan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin telah menjatuhkan putusan, yaitu putusan Nomor 01/PHI.G/2013/PN.BJM., tanggal 17 Juni 2013 yang amarnya sebagai berikut: 1. Dalam Eksepsi: 1) Menolak Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II tersebut untuk seluruhnya; 2) Menyatakan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini; 3) Menetapkan pemeriksaan perkara ini untuk dilanjutkan; 4) Memutuskan biaya perkara bersama-sama putusan akhir; 2. Dalam Pokok Perkara: 1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 2) Menyatakan para Tergugat telah melakukan pelanggaran Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 3) Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan para Tergugat putus terhitung tanggal 1 November 1994; 4) Menghukum para Tergugat untuk membayar kepada Penggugat yaitu Uang Pesangon sebesar Rp17.010.000,00, Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar Rp9.450.000,00 dan Uang Penggantian Perumahan, Pengobatan dan Perawatan sebesar Rp3.969.000,00 sehingga seluruhnya berjumlah Rp30.429.000,00 (tiga puluh juta empat ratus dua puluh sembilan ribu rupiah); 5) Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; 6) Membebankan biaya perkara kepada para Tergugat yaitu sebesar Rp180.000,00 (seratus delapan puluh ribu rupiah); Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diucapkan dengan hadirnya Penggugat dan Kuasa Hukum para Tergugat pada tanggal 17 Juni 2013, kemudian terhadapnya oleh para Tergugat (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 Maret 2013 dan 28 Maret 2013) dan oleh Penggugat diajukan permohonan kasasi secara lisan masing-masing pada tanggal 2 Juli 2013 dan 3 Juli 2013 sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi Nomor 04/K/2013/PHI.Bjm. jo. Nomor 01/ PHI.G/2013/PN.BJM, yang dibuat oleh Panitera Muda Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin, permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang memuat keberatan-keberatan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tersebut masing-masing pada tanggal 15 Juli 2013 dan 16 Juli 2013; Bahwa setelah itu oleh Penggugat yang pada tanggal 16 Juli 2013 telah diberitahu tentang memori kasasi dari para Tergugat diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin tanggal 26 Juli 2013; Bahwa setelah itu oleh para Tergugat yang pada tanggal 17 Juli 2013 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat tidak diajukan jawaban memori kasasi; Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta keberatan- keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima; Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi I/para Tergugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah: Dalam Eksepsi: Gugatan Penggugat Kadaluarsa: Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial (Phi) Telah Keliru Dalam Menerapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003: 1. Bahwa Esensi dari gugatan Penggugat adalah persoalan tuntutan kompensasi terkait Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat berdasarkan Surat Keputusan NOKEP 249/KW- X/SDM/11/94 tanggal 21 November 1994 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atas nama Penggugat. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim PHI telah menyatakan bahwa SK PHK kepada Penggugat tersebut adalah sah secara hukum (vide putusan PHI halaman 32); 2. Bahwa sesuai bukti T-10 dan P-7, terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa Surat Keputusan PHK atas nama Penggugat telah diterbitkan tanggal 21 November 1994. Sedangkan gugatan didaftarkan pada tanggal 7 Maret 2013; 3. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim yang menolak Eksepsi para Tergugat bahwa gugatan Penggugat kadaluarsa, adalah sangat bertentangan dengan peraturan perundang- undangan; Mengingat SK PHK tersebut dikeluarkan pada tahun 1994, maka secara yuridis ketentuan kadaluarsa gugatan adalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu yaitu Pasal 1969 KUH Perdata yang menyatakan bahwa gugatan para buruh (pekerja) kadaluarsa dengan lewatnya waktu 2 (dua) tahun; Pertimbangan Majelis Hakim PHI pada halaman 29 yang menyatakan bahwa Pasal 1969 KUH Perdata tidak berlaku dengan adanya Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, adalah tidak tepat dijadikan pertimbangan dalam memutus perkara ini, mengingat saat terjadinya peristiwa PHK pada tahun 1994, Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 belum berlaku sebagai hukum positif; Dalam Pasal 126 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diatur bahwa Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan, demikian pula halnya dengan Pasal 193 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diatur bahwa undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan; 4. Bahwa dengan demikian Pemohon Kasasi (dahulu para Tergugat) memohon kehadapan Ketua Mahkamah Agung RI, untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena telah kadaluarsa berdasarkan Pasal 1969 KUH Perdata; Dalam Pokok Perkara: Majelis Hakim PHI Telah Mengeluarkan Putusan Yang Bertentangan Dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003: 5. Bahwa telah terjadi kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan Majelis Hakim PHI sehingga sampai pada putusan menyatakan para Tergugat telah melakukan pelanggaran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (putusan Dalam Pokok Perkara butir 2). Bahkan putusan tersebut bertentangan dengan putusan Majelis Hakim PHI Dalam Pokok Perkara butir 3 yang menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan para Tergugat putus terhitung 1 November 1994; Bagaimana mungkin, putusan PHK tahun 1994 dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang baru berlaku pada tahun 2003 ?; 6. Bahwa pada Pasal 193 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tegas dinyatakan bahwa “undang-undang ini berlaku pada tanggal diundangkan”. Dengan demikian Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yaitu 25 Maret 2003; Oleh karena itu, putusan Majelis Hakim PHI yang telah memutus perkara ini terkait dengan PHK yang terjadi pada tahun 1994 dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, adalah jelas melanggar ketentuan perundang-undangan dan karenanya sudah seharusnya untuk dibatalkan; 7. Bahwa demikian pula halnya putusan pada pokok perkara butir 4 yang menghukum para Tergugat untuk membayar kompensasi terkait PHK kepada Penggugat sebesar total Rp30.429.000,00 juga tidak tepat karena didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang belum menjadi hukum positif pada saat PHK dijatuhkan tahun 1994; 8. Bahwa dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 32, Majelis Hakim PHI telah menyatakan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh para Tergugat kepada Penggugat melalui Surat Keputusan Kanwil BRI Banjarmasin NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94 tanggal 21 November 1994 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atas nama Penggugat (bukti P-7 dan T-10) adalah sah secara hukum; 9. Bahwa dengan sahnya Pemutusan Hubungan Kerja dalam NOKEP 249/KW-X/SDM/11/94 tanggal 21 November 1994 tersebut, maka sudah seharusnya hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban sebagai akibat PHK tersebut juga mengacu pada ketentuan yang berlaku pada saat PHK dijatuhkan (1994), yaitu Surat Keputusan NOKEP S-21-16/7/1971 tentang Peraturan Pokok Kepegawaian BRI (bukti T-4); 10. Bahwa sesuai Pasal 8 ayat (3) Surat Keputusan NOKEP S-21-16/7/1971 tentang Peraturan Pokok Kepegawaian BRI, diatur bahwa: “dalam hal pegawai diberhentikan dari pekerjaannya bukan karena hal-hal dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a s.d. c, huruf f dan g, kepadanya diberikan uang pemberhentian, ... dst“; Adapun isi dari Pasal 7 ayat (1) huruf a s.d. c, huruf f dan g yang ditunjuk dalam pasal tersebut di atas adalah: 1) Seorang pegawai dapat diberhentikan sebagai pegawai Bank karena: a. Akan mempergunakan hak pensiunnya; b. Permintaan sendiri; c. Melakukan sesuatu atau bersikap yang merugikan Bank atau yang bertentangan dengan kepentingan Negara; d. …; e. …; f. Keputusan Pengadilan; g. Hukuman jabatan; Mengingat pemberhentian terhadap Penggugat adalah terkait dengan hukuman jabatan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) butir g, maka Penggugat tidak berhak atas uang pemberhentian dan hak-hak lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) tersebut di atas; 11. Bahwa berdasarkan penjelasan dan dasar hukum di atas, maka telah terbukti bahwa pertimbangan dan putusan Majelis Hakim PHI telah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Oleh karena itu, sudah seharusnya putusan tersebut dibatalkan karena telah melanggar undang-undang yang berlaku; 12. Bahwa sehubungan dalil-dalil tersebut di atas, maka secara yuridis sangat beralasan apabila Pemohon Kasasi mengajukan kasasi ini, dengan pertimbangan bahwa Majelis Hakim PHI telah keliru dalam menerapkan peraturan perundang- undangan yang mengancam batalnya perbuatan (putusan Majelis Hakim PHI) yang bersangkutan; Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II/Penggugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah: Bahwa, pertimbangan hukum Judex Facti dalam perkara ini sangat tidak bijak yang tidak berpedoman pada hukum acara yang bertitik tolak pada fakta- fakta dipersidangan, serta indikasi problematika hukum dalam suatu peristiwa hukum yang dialami oleh Pemohon Kasasi; Bahwa, putusan yang demikian tersebut telah tidak memenuhi persyaratan formal dan materiil suatu putusan, untuk itu sangat rasional sekali keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dapat dikabulkan untuk seluruhnya, dan adapun keberatan-keberatan terhadap putusan Judex Facti dalam perkara a quo yang diajukan oleh Pemohon Kasasi disebabkan Judex Facti telah salah dalam ménerapkan dan melanggar ketentuan hukum sebagai berikut: a. Pemutusan Hubungan Kerja tanpa diberikan Surat Peringatan terlebih dulu (Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan); Seseorang dapat diputus hubungan kerjanya dengan tidak sukarela atau sepihak tanpa kesepakatan terlebih dulu disebabkan bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha, artinya tidak semua kesalahan dapat berakibat Pemutusan Hubungan Kerja, namun hal ini masih tergantung pada besarnya tingkat kesalahan; Pengusaha dimungkinkan mem PHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Pengusaha dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung mem PHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut diatur dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK; Bahwa, Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan teori hukum perihal apa dan bagaimana Pemutusan Hubungan Kerja tersebut, sehingga menimbulkan putusan hukum yang tidak seimbang dan bahkan merugikan Pemohon Kasasi sebagai misal dalam perkara ini tidaklah ada indikasi bahwasanya Pemohon Kasasi telah melakukan kesalahan berat yang mempunyai implikasi alam perolehan hak pesangon, mengingat kesalahan- kesalahan yang dilakukan oleh seorang pekerja dapat berakibat timbulnya Pemutusan Hubungan Kerja. Dan selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan di luar kuasa pengusaha (force majeure). Dalam arti kata sebelum terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja maka didahului dengan adanya Surat Peringatan terlebih dulu, baik kesatu, kedua dan ketiga; Dalam perkara ini Termohon Kasasi sama sekali tidak dapat menunjukan alat bukti berupa Surat Peringatan, artinya tidak ada Surat Peringatan yang merupakan syarat formal yang harus ada sebelum melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pemohon Kasasi, sehingga pengambilan putusan yang demikian benar-benar telah salah dalam menerapkan hukum Cq. Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; b. Tidak ada alasan yang dapat membuktikan bahwasanya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pemohon Kasasi adalah sah; Dalam dunia pekerjaan lazim mendengar istilah Pemutusan Hubungan Kerja atau sering disingkat dengan kata PHK yang artinya pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dengan pengusaha, hal ini dapat terjadi karena pengunduruan diri, pemberhentian oleh pengusaha atau habis masa kontrak; Menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan makna perjanjian kerja dapat berakhir apabila: • Pekerja meninggal dunia;
• Jangka waktu kontrak kerja berakhir;
• Adanya putusan Pengadilan atau Penetapan Lembaga Penyelesai Perselisihan Hubungan Induistrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; • Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja; Jadi pihak yang mengakhiri perjanjian kerja sebelum jangka waktu yang ditentukan wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; Judex Facti selama persidangan tidaklah dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil para Termohon Kasasi yang terkait dengan adanya penyebab terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja Cq. Adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi, baik berdasarkan bukti tertulis T-1 s.d. T-10 maupun petunjuk lainnya yang dipandang oleh Judex Facti terdapat adanya unsur kesalahan Pemohon Kasasi; c. Salah dalam memperhitungkan standar gaji yang diperoleh pekerja selevel pangkat Pemohon Kasasi; Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Judex Facti yang terkait dengan perhitungan upah perbulan yang diperoleh Pemohon Kasasi guna dipakai sebagai perhitungan nilai Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Pengganti Perumahan, Pengobatan dan Perawatan Cq. yang jumlahnya sebesar Rp1.890.000,00 (satu juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah); Bahwa, dalam pertimbangan hukumnya Judex Facti tidak menjelaskan munculnya nilai upah sebesar Rp1.890.000,00 (satu juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah). Tuntutan upah perbulan dalam gugatan Pemohon Kasasi tercatat sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) hal ini diperhitungkan dengan kurs nilai harga jual emas pada saat sekarang dengan harga emas pada tahun 1994 (pada saat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja); Dalam putusan perkara ini Judex Facti telah keliru dalam menghitung nilai upah Pemohon Kasasi yang seharusnya diperhitungkan (kurs) dengan harga emas pada saat itu Cq. Harga emas pada tahun 1994 pergramnya seharga ± Rp20.000,00 (dua puluh ribu rupiah), sedangkan harga emas pergramnya pada saat ini ± Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah), dalam arti kata besarnya upah perbulan yang tercantum dalam gugatan perkara ini adalah sudah benar, sehingga seharusnya Judex Facti menghitung upah perbulannya adalah Rp7.500.000,00; Bahwa, Judex Facti selama persidangan tidak dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil Termohon Kasasi, oleh karena selama persidangan maupun melalui proses pembuktian tidaklah terungkap bahwasanya Pemohon Kasasi telah melakukan suatu kesalahan dalam menjalankan pekerjaannya. Untuk itu berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 156 ayat (2) Pemohon Kasasi haruslah mendapatkan 2 (dua) kali ketentuan; d. Tidak ada dasar hukum untuk menolak ganti rugi materiil maupun inmaterial; Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Judex Facti yang terkait dengan ganti rugi materiil maupun inmaterial, mengingat selama terjadinya anggapan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (oleh Termohon Kasasi) Cq. Sejak tahun diberhentikannya dari pekerjaannya oleh Termohon Kasasi yang pada saat itu Pemohon Kasasi berusia 35 tahun 10 bulan, maka dapat diperhitungkan nilai kerugiannya bilamana dihitung hingga usia pensiun, yakni 56 tahun (20 tahun 2 bulan); Bahwa, selama 20 tahun 2 bulan Pemohon Kasasi telah kehilangan penghasilannya akibat adanya PHK tesebut, sehingga bilamana dihitung secara nominal maka ketemu angka sebesar nilai yang tercantum dalam gugatan perkara ini; Bahwa, hilangnya penghasilan sebesar itu merupakan akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Termohon Kasasi, dan Pemutusan Hubungan Kerja tersebut selama persidangan tidak terbukti adanya unsur kesalahan dari Pemohon Kasasi dalam arti kata Pemohon Kasasi telah dihilangkan hak penghasilan hidupnya yang dihitung hingga usia pensiun Cq. 20 tahun 2 bulan. Kehilangan hak penghasilannya tersebut akibat dari perbuatan Termohon Kasasi, sehingga Termohon Kasasi dapat dikatagorikan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dalam hal ini telah melanggar ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata; Bahwa, Judex Facti sama sekali tidak menyentuh melalui pendekatan Pasal 1365 KUHPerdata terkait dengan adanya Perbuatan Melawan Hukum yang diatur dalam Pasal 1365 s.d. Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut; Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain; Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”; Istilah “ melanggar “ menurut MA Moegni Djojodirdjo hanya mencerminkan sifat aktifnya saja sedangkan sifat pasifnya diabaikan. Pada istilah “melawan” itu sudah termasuk pengertian perbuatan yang bersifat aktif maupun pasif. Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan; Ketentuan dalam Pasal 1365 BW kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 1366 BW yaitu: “Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi juga disebabkan oleh kelalaiannya”; Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa Perbuatan Melawan Hukum tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Pasal 1365 BW mengatur tentang “perbuatan” dan Pasal 1366 BW mengatur tentang “tidak berbuat”. Dengan demikian seharusnya tuntutan Pemohon Kasasi dalam perkara ini yang terkait dengan ganti rugi materiil maupun in-materiil haruslah dikabulkan untuk seluruhnya; e. Tidak ada dasar hukum untuk menolak dwangsom pembayaran ganti rugi materiil maupun in-material; Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Judex Facti yang terkait dengan tuntutan uang paksa, oleh karena Pemohon Kasasi merasa tuntutan uang paksa tersebut sangat mempunyai kepentingan dalam perkara ini. Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara berkaitan dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam sengketa perdata terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde); Pasal 606a Rv. menentukan: Sepanjang suatu keputusan Hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan Hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa. Dwangsom (uang paksa) pada hakekatnya hanya bisa dijatuhkan oleh Hakim apabila amar putusan tersebut berhubungan dengan perbuatan tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh Tergugat. Tanpa perbuatan Tergugat maka putusan tersebut tidak akan bisa dilaksanakan. Kita bisa menganalisis bahwa dalam dwangsom (uang paksa) ada kata paksa, berarti ada suatu perbuatan yang dipaksa mesti dilakukan oleh pihak yang kalah (Tergugat) dan apabila pihak yang kalah tidak bersedia melakukan amar putusan maka diancam dengan membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan Hakim; Dengan demikian sangat patut apabila yang mulia Majelis Hakim Agung RI berkenan untuk mengabulkan tututan dwangsom Pemohon Kasasi; f. Tidak ada dasar hukum untuk menolak putusan serta merta; Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Judex Facti terkait dengan putusan serta merta, mengingat dalam pengambilan suatu keputusan terbukti kurang menggali teori hukum, sehingga menciptakan suatu putusan yang tidak sempurna. Memperhatikan dasar hukum dari putusan serta-merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) yaitu Pasal 180 Ayat (1) HIR/Pasal 191 Ayat (1) RBg. Pasal 180 Ayat (1) HIR menyatakan bahwa biarpun orang membantah putusan Hakim Pengadilan Negeri atau meminta apel, maka Pengadilan Negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan Hakim itu dijalankan lebih dahulu, jika ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan putusan yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak milik; Pasal 180 ayat (1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg memberikan kewenangan bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan serta-merta, namun Judex Facti telah enggan melakukan hal tersebut, sehingga berakibat sangat merugikan bagi Pemohon Kasasi. Diatur dalam Pasal 180 ayat (1) HIR, Pasal 191 ayat (1) RBg. Wewenang menjatuhkan putusan serta merta hanya pada Pengadilan Negeri. Pengadilan Tinggi dilarang menjatuhkan putusan serta merta; Putusan serta-merta dapat dijatuhkan, apabila telah dipertimbangkan alasan- alasannya secara seksama sesuai ketentuan, yurisprudensi tetap dan doktrin yang berlaku. Syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan putusan serta-merta adalah: • Surat bukti yang diajukan sebagai bukti untuk membuktikan dalil gugatan (yang disangkal oleh pihak lawan) adalah sebuah akta otentik atau akta dibawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya oleh Tergugat; • Putusan didasarkan atas suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisjde); • Apabila dikabulkan suatu gugatan provisional; • Dalam hal sengketa bezit bukan sengketa hak milik; • Sebelum menjatuhkan putusan serta merta Hakim wajib mempertimbangkan terlebih dahulu apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat secara formil, syarat mengenai surat kuasa dan syarat-syarat formil lainnya; • Hakim wajib menghindari putusan serta merta yang gugatannya tidak memenuhi syarat formil yang dapat berakibat dibatalkannya putusan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung; • Dilakukannya sita jaminan terhadap barang-barang milik Tergugat atau terhadap barang-barang tertentu milik Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat, tidak menjadi penghalang untuk menjatuhkan putusan serta merta apabila syarat menjatuhkan putusan serta merta terpenuhi; • Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan (Pasal 195 HIR, Pasal 206 RBg); • Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan setelah Ketua Pengadilan Negeri memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung (lihat SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001); Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta, Ketua Pengadilan Negeri wajib memperhatikan SEMA Nomor 3 Tahun 2000 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2001, yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) harus disertai Penetapan sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA Nomor 3 Tahun 2000 yang menyebutkan “Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/obyek eksekusi sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama”. Apabila jaminan tersebut berupa uang harus disimpan di Bank Pemerintah (lihat Pasal 54 Rv); Dengan demikian tidaklah keliru bilamana Judex Facti seharusnya memberi putusan serta merta yang dimohonkan oleh Pemohon Kasasi dalam perkara ini, oleh karena gugatan perkara ini telah memenuhi persyaratan formal dan materiil suatu gugatan; g. Tidak ada dasar hukum untuk menolak meletakkan sita jaminan; Bahwa, Pemohon Kasasi menolak pertimbangan hukum Judex Facti yang terkait dengan sita jaminan, mengingat sita jaminan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakanya putusan Pengadilan dalam suatu perkara dikemudian hari. Suatu benda yang berada di bawah sita jaminan oleh Pengadilan tidak boleh dijual belikan, dipindah tangankan, dijaminkan dan disewakan oleh orang yang tersita pada orang lain (Pasal 199 HIR/Pasal 214 RBg). Perjanjian-perjanjian yang dibuat Tergugat untuk menjualbelikan, memindahtangankan, menjaminkan, dan menyewakan yang telah disita itu tidak sah (Pasal 1320, Pasal 1337 KUH Perd.) dan sekaligus hal tersebut tindak pidana (Pasal 231, Pasal 232 KUHP); Sita jaminan terhadap barang milik Tergugat diatur dalam Pasal 227 HIR/ Pasal 261 RBg. Sita jaminan ini biasanya disebut conservatoir beslag. Maksud dari penyitaan ini untuk menjamin dapat dilaksanakanya putusan Pengadilan apabila nantinya putusan Pengadilan memutuskan menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang kepada Penggugat, yaitu dengan cara menjual barang milik Tergugat yang disita tersebut dan uang hasil penjualan digunakan untuk membayar utang Tergugat kepada Penggugat; Conservatoir beslag hanya dapat dilakukan apabila ada persangkaan yang beralasan, bahwa Tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau sebelum putusan dilaksanakan berusaha untuk menghilangkan atau membawa barang bergerak atau barang tidak bergerak dengan maksud menjauhkan barang-barang itu dari penagihan hutang (Pasal 227 ayat (1) HIR/Pasal 261 ayat (1) RBg). Apabila Penggugat tidak mempunyai bukti yang kuat adanya kekhawatiran bahwa Tergugat akan mengasingkan barang-barangnya, penyitaan tidak dapat dilakukan (MA tanggal 5-4-1972 Nomor 1121 K/ Sip/1971); Bahwa, Pemohon Kasasi sangat mempunyai kepentingan terhadap permohonan sita jaminan yang diajukannya sekarang ini, sehingga Judex Facti seharusnya bisa mengabulkan permohonan sita tersebut, apalagi gugatan Pemohon Kasasi telah dikabulkan sebagian dalam perkara ini; h. Tidak mempertimbangkan alat bukti Pemohon Kasasi; Bahwa, Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan Judex Facti dalam perkara ini yang sama sekali tidak mempertimbangkan alasan-alasan Pemohon Kasasi. Adapun, alat bukti Pemohon Kasasi yang disampaikan dalam persidangan tersebut P-1 s.d. P-16 sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti, sehingga terkesan terdapat beberapa penafsiran terhadap putusan yang demikian, diantaranya terdapat penyembunyian data yang dilakukan oleh Judex Facti dan berakibat sangat merugikan Pemohon kasasi; Demikian pula, pertimbangan hukum Judex Facti dalam perkara ini sama sekali tidak mempertimbangkan alasan-alasan yang tertuang dalam replik dan kesimpulan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dalam persidangan perkara ini artinya Judex Facti kurang komitmen dengan hukum acara, sehingga menciptakan suatu putusan hukum yang keliru; Bahwa, Hakim dalam memeriksa setiap perkara haruslah sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasil pembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan. Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak, sedangkan Hakim dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua belah pihak. Berkaitan dengan masalah pembuktian ini, Sudikno Mertokusumo, mengemukakan antara lain: “...Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar- dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan...“; Memberikan dasar yang cukup kepada Hakim berarti memberikan landasan yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan diambil oleh Hakim setelah keseluruhan proses pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan dijatuhkan oleh Hakim diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya telah terjadi. Di dalam Hukum Acara Perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru dikatakan ada atau tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan Hakim (hasil proses) dengan peristiwa yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru sebaliknya, berarti kebenaran itu tidak tercapai; Dengan demikian jelas putusan Judex Facti dalam perkara ini sangatlah patut untuk dipertimbangkan kembali oleh yang mulia Majelis Hakim Agung, mengingat putusannya telah dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang tanpa menyentuh asas hukum; Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa keberatan Para Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 15 Juli 2013 dan tanggal 16 Juli 2013 dan kontra memori kasasi tanggal 26 Juli 2013 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut: Bahwa Judex Facti telah salah dan keliru dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukumnya berdasarkan undang-undang; Bahwa pengajuan gugatan Penggugat telah kadaluarsa, baik ditinjau dari Pasal 1969 KUH Perdata yang mengatur lewat waktu (kadaluarsa) gugatan adalah 2 tahun, maupun Pasal 82 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 yang mengatur lewat tenggang waktu gugatan adalah 1 tahun; Bahwa gugatan Penggugat diajukan pada tahun 2013 atas keberatan Surat Keputusan PHK yang telah diterbitkan pada tahun 1994, dengan demikian gugatan Penggugat telat kadaluarsa; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: 1. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR CABANG TANJUNG TABALONG, 2. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR WILAYAH BANJARMASIN dan Pemohon Kasasi II: HERTIMUS tersebut, dan membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 01/PHI.G/2013/PN.BJM., tanggal 17 Juni 2013 selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I, II dikabulkan dan Termohon Kasasi I sebagai pihak yang kalah, sedangkan nilai gugatan dalam perkara ini di atas Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada Termohon Kasasi I; Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan; M E N G A D I L I: Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: 1. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR CABANG TANJUNG TABALONG, 2. PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) Tbk. KANTOR WILAYAH BANJARMASIN dan Pemohon Kasasi II: HERTIMUS tersebut; Membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 01/PHI.G/2013/PN.BJM., tanggal 17 Juni 2013; MENGADILI SENDIRI: 1. Dalam Eksepsi: a. Mengabulkan Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II tersebut; b. Menyatakan gugatan Penggugat Kadaluarsa; 2. Dalam Pokok Perkara: • Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; • Menghukum Termohon Kasasi I/Pemohon Kasasi II/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 30 September 2013 oleh H. Yulius, SH. MH.,, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dwi Tjahyo Soewarsono, SH. MH., dan Arief Soedjito, SH. MH., Hakim-Hakim Ad Hoc PHI, masing-masing sebagai Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-anggota tersebut dan oleh Reza Fauzi, SH. CN., Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh para pihak. Anggota-anggota, K e t u a, ttd./ ttd./ Dwi Tjahyo Soewarsono, SH. MH. H. Yulius, SH. MH. ttd./ Arief Soedjito, SH. MH.
Biaya-Biaya : Panitera Pengganti,
1. Meterai...................... Rp 6.000,00
2. Redaksi..................... Rp 5.000,00 ttd./
3. Administrasi Kasasi... Rp489.000,00 Jumlah Rp500.000,00 Reza Fauzi, SH. CN.
UNTUK SALINAN MAHKAMAH AGUNG RI a/n. PANITERA PANITERA MUDA PERDATA KHUSUS