Anda di halaman 1dari 33

STANDAR BAKU MUTU

Baku mutu lingkungan adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu
sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup (Pasal 1 angka 13 UUPPLH). Baku mutu
lingkungan diperlukan untuk memberikan pedoman terhadap pengelolaan lingkungan sebagai
upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan secara kongkrit.

Dari segi yuridis fungsi baku mutu lingkungan dalam pengelolaan lingkungan adalah
menentukan ada atau tidak ada pencemaran lingkungan berdasarkan pengertian pencemaran
lingkungan menurut UUPLH. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. (Pasal 1 angka
14 UUPLH). Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan secara tegas bahwa
penentuan terjadinya pencemaran lingkungan diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.

Baku mutu lingkungan hidup menurut UUPLH pasal 20 ayat 2 meliputi:


a. baku mutu air; yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
b. baku mutu air limbah; yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah” adalah ukuran batas
atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air .
c. baku mutu air laut; yang dimaksud dengan “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsure
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
d. baku mutu udara ambien; yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran
batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien
e. baku mutu emisi; yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar
polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
f. baku mutu gangguan; Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan
kebauan.dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1
Ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUPPLH mengulangi kembali rumusan Pasal 14 ayat (3) yang
menyatakan bahwa baku mutu lingkungan harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dengan diaturnya baku mutu lingkungan dalam peratturan pemerintah justru akan membuat
peraturan perundang-undangan tentang baku mutu lingkungan akan menjadi kaku dan sulit untuk
diubah atau dikoreksi.
Berbeda dengan UUPLH (Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup), dalam UUPPLH
(Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) ditentukan jenis-jenis baku
mutu lingkungan secara spesifik meskipun tetap mengakui baku mutu lingkungan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi. Yang berbeda lagi UUPPLH mengelompokkan
dua kelompok baku mutu lingkungan yang harus diatur oleh peraturan pemerintah dan kelompok
baku mutu lingkungan yang harus diatur dalam peraturan menteri.

1. Baku Mutu Air


Baku mutu air memiliki banyak sekali parameter, beberapa di antaranya adalah baku mutu air
laut, baku mutu air hygiene sanitasi, baku mutu air kolam, baku mutu air pemandian umum.

2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tabel 13. Parameter fisika-kimia Air Laut

11
2. Baku Mutu Emisi

12
13
14
E. BAKU MUTU EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU
KATEGORI M, KATEGORI N, DAN KATEGORI 0

15
16
3. Baku Mutu Udara Ambien

PP NO. 22 TAHUN 2021

4. Baku Mutu Gangguan (Bising dan Getar)

17
18
19
5. Baku Mutu Air Limbah

Baku Mutu Air Limbah memiliki banyak jenis, sebanyak 46 Usaha dan/atau kegiatan
yang baku mutu air limbahnya diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor
5 Tahun 2014. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

20
6. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)

Indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) merupakan indeks yang menggambarkan kondisi dari
hasil pengelolaan lingkungan hidup secara Nasional, dimana IKLH merupakan generalisasi dari
indeks kualitas lingkungan hidup seluruh Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia. IKLH
terdiri dari 3 indikator, yaitu Indikator Indeks Kualitas Air (IKA) (7 parameter: TSS, DO, BOD,
COD, Total Fosfat, Fecal Coli, dan Total Coliform); Indeks Kualitas Udara (IKU) (2 parameter:
SO2 dan NO2); dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) (parameter yang diukur luas
tutupan hutan).

Pada Tahun 2019 nilai IKLH yaitu 66,55. Nilai IKLH tersebut dipengaruhi oleh nilai IKA
sebesar 52,62, nilai IKU sebesar 86,56 dan nilai IKTL sebesar 62,00. Nilai IKLH 2019 masuk
dalam predikat cukup baik. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, nilai IKLH
mengalami penurunan sebesar 5,12 poin, penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan IKA
sebesar 20,15 poin. Sementara nilai IKU dan IKTL 2019 mengalami kenaikan masing-masing
sebesar 1,82 dan 0,97 poin. Penurunan IKLH lebih disebabkan oleh penurunan IKA sebesar
20,15 poin. Sementara nilai IKU dan IKTL 2019 mengalami kenaikan masing-masing sebesar
1,82 dan 0,97 poin. Penurunan IKLH lebih disebabkan oleh perubahan penggunaan metode
perhitungan IKA.

21
Predikat IKLH untuk setiap provinsi adalah sebagai berikut:
1) Sangat baik (IKLH > 80) 4 provinsi (Papua Barat, Papua, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah),
2) Baik (70 < IKLH ≤ 80) 8 provinsi (Maluku, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Aceh,
Gorontalo, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat),
3) Cukup baik (60 < IKLH ≤ 70) 17 provinsi (Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Jambi,
Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bangka Belitung,
Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Bali, Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sumatera
Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur),
4) Kurang baik (50 < IKLH ≤ 60) 3 provinsi (Lampung, Jawa Barat dan Banten),
5) Sangat kurang baik (40 < IKLH ≤ 50) 2 provinsi (DI Yogyakarta dan DKI Jakarta).

Predikat IKA untuk setiap provinsi:


1) Sangat baik (IKA > 70) tidak ada,
2) Baik (60 < IKA ≤ 70) 6 provinsi (Bangka Belitung, Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi
Tengah, Kalimantan Timur, dan Aceh),
3) Cukup baik (50 < IKA ≤ 60) 19 provinsi (Nusa Tenggara Timur, Jambi, Sulawesi
Selatan, Maluku, Gorontalo, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Lampung, Kalimantan
Selatan, Kepulauan Riau, Papua Barat, Maluku Utara, Riau, Sumatera Barat, Kalimantan
Utara, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Tenggara),
4) Kurang baik (40 < IKA ≤ 50) 8 provinsi (Kalimantan Barat, Bengkulu, Papua, Jawa Barat,
Sulawesi Utara, Banten, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat),
5) Sangat kurang baik (30 < IKA ≤ 40) 1 provinsi (DI Yogyakarta).

Predikat nilai IKU untuk setiap provinsi adalah sebagai berikut:


1) Sangat baik (IKU > 91) 9 provinsi (Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Papua
Barat, Papua, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Bangka Belitung, Aceh),
2) Baik (81 < IKU ≤ 91) 22 provinsi (Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan
Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara
Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Gorontalo, Lampung, Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur),
3) Cukup baik (71 < IKU ≤ 81) 2 provinsi (Banten dan Jawa Barat),
4) Kurang baik (61 < IKU ≤ 71) 1 provinsi (DKI Jakarta),
5) Sangat kurang baik (51 < IKU ≤ 61) tidak ada.

Predikat nilai IKTL untuk setiap provinsi adalah sebagai berikut:


1) Sangat baik (IKTL > 80) 7 provinsi (Papua Barat, Papua, Maluku, Kalimantan Utara,
Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah),
2) Baik (70 < IKTL ≤ 80) 5 provinsi (Gorontalo, Aceh, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Sulawesi Barat),
22
3) Cukup baik (60 < IKTL ≤ 70) 4 provinsi (Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, dan Jambi),
4) Kurang baik (50 < IKTL ≤ 60) 8 provinsi (Kalimantan Barat, Sulawesi Utara,
Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Bengkulu, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah),
5) Sangat kurang baik (40 < IKTL ≤ 50) 4 provinsi (Riau, Kalimantan Selatan, Bali, dan
Bangka Belitung),
6) Waspada (IKTL ≤ 40) 6 provinsi (Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Lampung, DI
Yogyakarta, dan DKI Jakarta).

Rumus yang digunakan untuk IKLH Provinsi adalah:

23
1) Indeks Kualitas Air

24
2) Indeks Kualitas Udara

25
No Pollutant Target Value/ Limit Value
1 NO2 Year averageis 40 µg/m3
2 PM 0 Year average is 40 µg/m3
3 PM10 10 daily Number of daily averages above 50 µg/m3 is 35
days
4 Ozone 25 days with an 8 hour average value ≥120 µg/m3
5 PM2,5 2,5 Year average is 20 µg/m3
6 SO2 Year average is 20 µg/m3
7 Benzene ear average is 5 µg/m3
8 CO -

3) Indeks Kualitas Tutupan Lahan

Hasil Penghitungan IKA, IKU, IKTL dan IKLH Tahun 2019


Provi
No IKU IKA IKTL IKLH
nsi

26
1 Aceh 91,08 60,56 76,57 76,12
2 Sumatera Utara 86,58 51,11 52,95 62,49
3 Sumatera Barat 89,40 53,19 67,16 69,64
4 Riau 90,47 53,55 48,15 62,47
5 Jambi 87,17 58,49 60,90 68,06
6 Sumatera Selatan 87,13 64,45 39,84 61,41

7 Bengkulu 92,69 47,64 55,78 64,41

8 Lampung 86,63 55,74 36,65 57,37

9 Bangka Belitung 91,94 69,29 41,21 64,85

10 Kepulauan Riau 90,59 54,00 59,06 67,00

11 DKI Jakarta 67,97 41,94 24,66 42,84

12 Jawa Barat 74,93 45,59 38,70 51,64

13 Jawa Tengah 84,81 51,64 50,08 60,97

14 DI Yogyakarta 85,19 35,37 32,69 49,24

15 Jawa Timur 83,06 50,79 50,23 60,25

16 Banten 74,98 43,11 39,16 51,09

17 Bali 89,85 65,33 41,34 63,09

18 Nusa Tenggara Barat 87,40 40,23 65,67 64,56

19 Nusa Tenggara Timur 88,18 59,48 63,42 69,67

20 Kalimantan Barat 90,07 50,00 59,76 65,92

21 Kalimantan Tengah 88,83 56,80 76,27 74,20

22 Kalimantan Selatan 88,78 55,31 46,78 61,94

23 Kalimantan Timur 90,31 62,01 87,94 80,87

24 Kalimantan Utara 93,79 52,22 87,94 78,98

25 Sulawesi Utara 92,41 45,48 59,45 65,15

26 Sulawesi Selatan 89,56 58,40 58,06 67,61

27 Sulawesi Tengah 92,98 62,59 83,89 80,23

28 Sulawesi Tenggara 90,01 50,55 74,67 72,03

29 Gorontalo 86,88 57,20 79,37 74,97

30 Sulawesi Barat 89,97 56,15 70,48 72,03

31 Maluku 88,72 57,56 89,17 79,55

32 Maluku Utara 92,38 53,61 86,61 78,44

33 Papua Barat 92,64 53,89 100,00 83,96

34 Papua 92,56 47,29 99,58 81,79

35 Indeks Nasional 86,56 52,62 62,00 66,55

Nilai Minimum dan Maksimum Indikator IKLH Tahun 2019

27
Predikat Nilai IKLH secara Nasional Tahun 2019
Jumlah
No Predikat Nilai IKLH Provinsi
Provinsi
• Papua Barat • Kalimantan Timur
1 Sangat Baik IKLH > 80 4
• Papua • Sulawesi Tengah

• Maluku • Gorontalo

• Kalimantan Utara • Kalimantan Tengah

2 Baik 70 < IKLH ≤ 80 8


• Maluku Utara • Sulawesi Tenggara

• Aceh • Sulawesi Barat

• Nusa Tenggara Timur • Bengkulu

• Sumatera Barat • Bali

• Jambi • Riau

• Sulawesi Selatan • Sumatera Utara

3 Cukup Baik 60 < IKLH ≤ 70 17 • Kepulauan Riau • Kalimantan Selatan

• Kalimantan Barat • Sumatera Selatan

• Sulawesi Utara • Jawa Tengah

• Bangka Belitung • Jawa Timur

• Nusa Tenggara Barat

• Lampung • Banten

4 Kurang Baik 50 < IKLH ≤ 60 3


• Jawa Barat

• DI Yogyakarta • DKI Jakarta


5 Sangat Kurang Baik 40 < IKLH ≤ 50 2

6 Waspada 30 < IKLH ≤ 40 - -

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

28
AMDAL adalah instrumen hukum lingkungan yang berfungsi untuk mencegah pencemaran
lingkungan. Dengan diberlakukannya UUPPLH dasar hukum AMDAL tertuang dalam ketentuan
Pasal 20 sampai dengan Pasal 33. Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPPLH mewajibkan setiap usaha
dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL.
Oleh Pasal 20 ayat (2) UUPPLH kriteria dampak penting ditentukan sebagai berikut:
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas berlangsung, dan lamanya dampak;
d. Banyaknya komponen lingkungan lain yang akan terkena dampak;
e. Sifat kumulatig dampak;
f. Berbalik atau dan /atau tidak berbaliknya dampak;
g. Kriteria lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Selanjutnya kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan AMDAL telah ditentukan oleh Pasal 23 ayat (1) sebagai berikut:
a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan,
serta lingkungan social dan budaya;
e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi
sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
h. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan atau mempengaruhi pertahanan negara; dan atau
i. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi
lingkungan hidup.
AMDAL adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukan untuk mengidentifikasi, memprediksi,
menginterprestasi dan mengkomunikasikan suatu rencana kegiatan (proyek) terhadap
lingkungan. Pasal 1 ayat (1) PP AMDAL merumuskan pengertian AMDAL, yakni: kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan. AMDAL adalah salah satu instrumen penting hukum lingkungan,
AMDAL pada hakekatnya merupakan upaya prosedural guna melakukan pencegahan
pencemaran lingkungan yang terinternalisir dalam tata laksana perizinan lingkungan. Secara
teoritik, AMDAL adalah bagian dari prosedur perizinan lingkungan yang bertujuan untuk
mencegah pencemaran lingkungan melalui mekanisme administrasi.

Izin Lingkungan

29
Salah satu instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan yang berfungsi sebagai sarana
pencegahan pencemaran lingkungan adalah izin lingkungan. Siti Sundari Rangkuti17
mengungkapkan: jenis perizinan yang umumnya mengenai kegiatan kegiatan yang mempunyai
dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah izin lingkungan (environmental
licence atau milieuvergunning).
Perizinan merupakan kategori penting keputusan-keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan
larangan dan/atau keputusan-keputusan perintah. Sistemnya adalah bahwa undang-undang
melarang suatu tindakan tertentu atau tindakan –tindakan tertentu yang saling berhubungan.

Larangan ini tidak dimaksudkan secara mutlak, namun untuk dapat bertindak dan mengendalikan
masyarakat dengan cara mengeluarkan izin. Dengan demikian, dengan sistem perizinan: pada
dasarnya sesuatu adalah dilarang kecuali dengan izin. Sebagaimana diungkapkan Siti Sundari
Rangkuti: Untuk mendirikan instalasi (inrichting) yang dapat menimbulkan gangguan atau
pencemaran lingkungan dipergunakan izin lingkungan, karena pada dasarnya: “dilarang, kecuali
dengan izin”, yang berarti pemrakarsa memerlukan izin lingkungan (milieuvergunning atau
environmental license).

Perizinan lingkungan merupakan instrumen kebijaksanaan yang paling penting. Izin tertulis
diberikan dalam bentuk penetapan (beschikking) penguasa. Izin lingkungan difungsikan sebagai
instrumen dalam pengelolaan lingkungan yang dibutuhkan untuk pencegahan pencemaran
lingkungan. Perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan pencemaran lingkungan tidak
berfungsi secara efektif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus pencemaran
lingkungan. Izin lingkungan bersifat sektoral dengan prosedur dan pejabat berwenang yang
berbeda, tidak ada system perizinan lingkungan secara terpadu. Jenis perizinan lingkungan di
Indonesia sedemikian banyaknya sehingga Waller and Waller menamakan Indonesia sebagai een
vergunningen land (Negara perizinan).

Jenis perizinan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan lingkungan dapat dikualifikasi
sebagai izin lingkungan berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUPLH mencakup :
1. izin HO berdasarkan Hinder Ordonantie.
2. izin usaha industri berdasarkan Undang-Undang N0mor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian
dan PP Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri.
3. izin pembuangan limbah ke media lingkungan berdasarkan Pasal 18 UUPLH
4. izin lokasi berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.

Dengan demikian, pengaturan hukum perizinan lingkungan berdasarkan UUPLH tetap bersifat
sektoral dengan beragam jenis izin lingkungan dan dengan prosedur yang berbeda sesuai dengan
wewenang masing-masing pejabat pemberi izin. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) sistem

30
perizinan lingkungan di Indonesia masih tetap bersifat sektoral, meskipun ada usaha untuk
menggabungkan jenis-jenis perizinan lingkungan yang ada.

UUPPLH memperkenalkan jenis izin baru yaitu izin lingkungan. Izin lingkungan adalah adalah
izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Izin usaha dan/atau
kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau
kegiatan (Pasal 1 angka 36).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 35 ada upaya untuk menggabungkan antara izin lingkungan
dengan izin usaha dan/atau kegiatan. Izin lingkungan adalah prasyarat untuk memperoleh izin
usaha dan/atau kegiatan. Dengan demikian, izin usaha dan/atau kegiatan akan diberikan oleh
instansi teknis apabila pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan sudah memiliki izin lingkungan.
Apabila izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan (Pasal 40 ayat (2) ).
Ketentuan mengenai izin lingkungan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Meskipun ada usaha untuk menggabungkan izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan,
namun UUPLH sendiri masih menyebut jenis-jenis izin lain yang berkaitan dengan lingkungan
yaitu:
1. Izin pembuangan limbah ke media lingkungan hidup yang menjadi wewenang menteri,
gubernur dan bupati atau walikota berdasarkan Pasal 20 ayat (3) UUPPLH;
2. Izin pengolahan limbah B3 yang menjadi wewenang menteri, gubernur, dan bupati/walikota
berdasarkan Pasal 59 ayat (4) UUPPLH;
3. Izin dumping limbah ke media lingkungan hidup yang menjadi wewenang menteri, gubernur,
bupati/walikota.
Dengan demikian, dengan diberlakukannya UUPPLH telah menambah jenis perizinan baru yaitu
izin lingkungan tanpa mencabut keberadaan izin-izin yang sebelumnya telah ada.

Audit lingkungan
Audit lingkungan merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang sifatnya sukarela. Dengan
audit lingkungan dapat diketahui hasil pengelolaan lingkungan dalam jangka panjang.26
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.42 Tahun 1994 tentang Pedoman
Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan, audit lingkungan adalah: Suatu manajemen yang
meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang bagaimana
suatu kinerja organisasi, system manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kontrol
manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian
pentaatan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan lingkungan.

31
Berdasarkan definisi audit lingkungan diatas, bahwa fungsi utama audit lingkungan adalah
sebagai alat Bantu untuk mewujudkan ketaatan atau kepatuhan suatu badan usaha terhadap
peraturan perundang-undangan lingkungan sebagaimana ditetapkan dan perizinan lingkungan
dan baku mutu lingkungan.27 Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 42 Tahun 1994 fungsi audit lingkungan adalah sebagai berikut:
a. upaya peningkatan pentaatan suatu usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan lingkungan, misalnya: standar emisi udara, limbah cair, penanganan limbah dan
standar operasi lainnya;
b. dokumen suatu usaha atau kegiatan tentang pelaksanaan standar operasi, prosedur pengolahan
dan pemantauan lingkungan termasuk rencana tanggap darurat, pemantauan dan pelaporan serta
rencana perubahan pada proses dan peraturan;
c. jaminan untuk menghindari perusakan atau kecenderungan kerusakan lingkungan.
d. bukti keabsahan prakiraan dampak dan penerapan rekomendasi yang tercantum dalam
dokumen AMDAL, yang berguna dalam proses penyempurnaan AMDAL;
e. upaya perbaikan penggunaan sumber daya melalui penghematan penggunaan bahan, minimasi
limbah dan identivikasi kemungkinan proses daur ulang;
f. upaya untuk meningkatkan tindakan yang telah dilaksanakan atau yang perlu dilaksanakan
oleh suatu usaha atau kegiatan untuk memenuhi kepentingan lingkungan, misalnya
pembangunan yang berkelanjutan, proses daur ulang dan efisiensi penggunaan sumber daya.

Berdasarkan UUPPLH pengaturan audit lingkungan tertuang dalam 48 sampai dengan Pasal 52.
Pasal 48 UUPPLH menyatakan pemerintah mendorong penanggungjawab usaha dan/atau
kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja
lingkungan hidup. Dari ketentuan Pasal 48 UUPPLH ini dapat diketahui bahwa audit lingkungan
adalah instrument pengelolaan lingkungan yang bersifat sukarela. Namun demikian dalam
keadaan tertentu audit lingkungan menjadi bersifat wajib seperti yang ditentukan Pasal 49 ayat
(1) yaitu:ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan ini akan diatur dalam peraturan
menteri (Pasal 52 UUPPLH).

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun


1999 tentang Prinsip-Prinsip dan Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan, dengan audit
lingkungan, manfaat yang akan diperoleh mencakup:
a. mengidentifikasi risiko lingkungan.
b. Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan atau upaya
penyempurnaan upaya yang ada.
c. Menghindari kerugian financial seperti penutupan atau pemberhentian suatu usaha atau
kegiatan atau pembatasan oleh pemerintah, atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan
dan pemantauan lingkungan yang tidak baik.
d. Mencegah tekanan sanksi hokum terhadap suatu usaha atau kegiatan atau terhadap
pimpinannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

32
e. Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan apabila dibutuhkan dalam proses
pengadilan.
f. Meningkatkan kepedulian pimpinan atau penanggungjawab dan staf suatu usaha dan atau
kegiatan tentang pelaksanaan kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggungjwab lingkungan.
g. Mengidentifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui upaya konservasi energi, dan
pengurangan, pemakaian ulang dan daur ulang limbah.
h. Menyediakan laporan audit lingkungan bagi keperluan usaha atau kegiatan yang bersangkutan,
atau bagi kperluan kelompok pemerhati lingkungan, pemerintah dan media Massa.
i. Menyediakan informasi yang memadai bagi kepentingan usaha atau kegiatan asuransi,
lembaga keuangan, dan pemegang saham.

Keberhasilan penerapan audit lingkungan dalam pengelolaan lingkungan oleh suatu kegiatan
atau usaha apabila ditunjang oleh hal-hal sebagai berikut:
a. Adanya dukungan pihak pimpinan yang berupa kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan.
b. Apabila ada partisipasi dari banyak pihak maka dokumen audit lingkungan akan lebih
sempurna dan valid.
c. Kemandirian dan objektivitas auditor dalam pelaksanaan audit lingkungan.
d. Adanya kesepakatan antara auditor dan perusahan mengenai proses, prosedur, administrasi,
dan pendanaan.

33

Anda mungkin juga menyukai