Anda di halaman 1dari 35

Nama: Hasanatul Fitriani

NPM : 1102019241
Kelompok : B12

TUGAS MANDIRI

SKENARIO 1 BLOK GINJAL DAN SALURAN KEMIH

1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Ginjal


1.1. Makroskopik
Ginjal terletak di ruang retroperitoneal dinding posterior abdomen pada region
lumbalis dextra & sinistra (antara VT XII atau VL I & L 4). Posisi ren dextra &
sinistra tidak sejajar, dimana ren sinistra lebih tinggi posisinya karena ren dextra
tertekan oleh hepar (antara dextra & sinistra selisih ½ vertebrae). Panjang dan
beratnya bervariasi yaitu +/- 6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup bulan, sampai
12 cm atau lebih dari 150 gram pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir ginjal sering
dapat diraba. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus yang kemudian
akan menghilang dengan bertambahnya umur. Tiap ginjal terdiri atas 8-12 lobus yang
berbentuk pyramid.

Bagian ginjal : esktremitas superior/polus cranialis, esktremitas inferior/polus


caudalis, margo lateralis, margo medialis (dimana terdapat hilum renalis, tempat
keluarnya alat-alat dari ginjal seperti V. renalis, A. renalis dan Pelvis renalis). Pada
ekstremitas superior terdapat kelenjar yang disebut glandula suprarenal (dx berbentuk
pyramid, sn berbentuk bulan sabit).

Sintopi Ginjal
KANAN
- Depan : Flexura coli dextra, colon ascendens, duodenum descendens, hepar dextra
- Belakang : M. psoas dextra, M. quadratus lumborium dextra, M. transversus
abdominis dextra
- Letak : Dari tepi atas V T12 sampai tepi atas V L4

KIRI
- Depan : Flexura coli sinistra, colon ascendens, pancreas, lien, gaster
- Belakang : M. psoas sinistra, M. quadratus lumborium sinistra, M. transversus
abdominis sinistra
- Letak : Pertengahan V T11 sampai pertengahan V L3
Lapisan pembungkus ginjal yang paling luar disebut fascia renalis (lamina anterior &
lamina posterior). Dibawah fascia renalis terdapat lapisan lemak yang disebut capsula
adipose. Dan dibawah capsula adipose terdapat lapisan pembungkus yang langsung
melekat erat dengan ginjal yang disebut capsula fibrosa. Ginjal mempunya lapisan
luar, yaitu korteks yang mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang
berkelok-kelok dan ductus colligens, serta lapisan dalam yaitu medula, yang
mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta dan ductus colligens
terminal. Lalu diantara calyx terdapat saluran yang disebut sinus renalis.

Puncak pyramid medulla menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan
ujung calyx minor. Beberapa dukctus colligens bermuara pada ductus papillaris
Bellini yang ujungnya bermuara di papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam calyx
minor. Karena ada 18-24 lubang muara ductus Bellini pada ujung papil maka daerah
tersebut terlihat sebagai tapisan beras dan disebut area kribrosa.

Antara dua pyramid terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabang-cabang arteri
renalis disebut collumna Bertini. Beberapa calyx minor membentuk calyx major yang
bersatu menjadi pelvis renalis dan kemudian bermuara ke dalam ureter. Ureter kanan
dan kiri bermuara di vesica
urinaria. Urin dikeluarkan dari vesica urinaria melalui urethra.

2
Vaskularisasi Ginjal
Tiap ginjal menerima kira-kira 25 persen isi sekuncup jantung. Bila diperbandingkan
dengan berat organ ginjal hal ini merupakan suplai darah terbesar di dalam tubuh
manusia. Suplai darah pada setiap ginjal biasanya berasa dari arteri renalis yang
keluar dari aorta. Arteri renalis bercabang-cabang menjadi arteri interlobaris yang
berjalan melewati medulla menuju ke batas antara korteks dan medulla. Disini, arteri
interlobaris bercabang membentuk arteri arcuata yang berjalan sejajar dengan
permukaan ginjal. Arteri interlobularis berasal dari arteri arcuate dan bercabang
menjadi arteriol afferent glomerulus. Sel-sel otot khusus di dinding arteriol afferent,
dengan sel lacis serta bagian dari tubulus distal yang berdekatan dengan glomerulus
(macula densa), membetuk aparat jukstaglomerular yang mengendalikan sekresi
renin. Arteriol afferent bercabang-cabang menjadi jalinan kapiler glomerulus yang
kemudian bergabung lagi menjadi arteriol efferen.

Di cortex arteriole efferent akan menuju ke vena vena dan bermuara di atrium dextra.
Arteri Effrerent  V. interlobularis  V. arcuate  V. interlobaris  V. lobaris (V.
segmentalis)  V. renalis dx/sn  V. cava inferior  Atrium dextra

Ramus anterior dan ramus posterior dari A. renalis akan beranastomosis di bagian
lateral ginjal membentuk sebuah garis yang disebut Avascular line (garis Broedel)

PELVIS RENALIS
Berbentuk seperti corong, keluar melalui hilum renalis. Vaskularisasi : A. renalis
(cabang aorta abdominalis), A. vesicalis superior (cabang A. illiaca interna), A.
Testicularis/ovarica (cabang aorta abdominalis)

3
1.2. Mikroskopik
Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai jaringan lemak
dan simpai jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan medula
yang satu sama lain tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus, ada bagian medula
yang masuk ke korteks dan ada bagian korteks yang masuk ke medula. Bangunan-
bangunan:

A. Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan berbentuk cangkir) dan
glomerulus (jumbai /gulungan kapiler).

B. Bagian sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan tubulus kontortus
distal. Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian
sistim tubulus yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle, bagian tipis
ansa Henle, duktus ekskretorius (duktus koligens) dan duktus papilaris Bellini.

a. Korpus Malphigi
Korpus Malphigi terdiri atas 2 macam bangunan yaitu kapsul Bowman dan
glomerulus. Kapsul Bowman sebenarnya merupakan pelebaran ujung proksimal
saluran keluar ginjal (nefron) yang dibatasi epitel. Bagian ini diinvaginasi oleh
jumbai kapiler (glomerulus) sampai mendapatkan bentuk seperti cangkir yang
berdinding ganda. Dinding sebelah luar disebut lapis parietal (pars parietal)
sedangkan dinding dalam disebut lapis viseral (pars viseralis) yang melekat erat
pada jumbai glomerulus. Ruang diantara ke dua lapisan ini sebut ruang bowman
yang berisi cairan ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan ultra filtrasi akan masuk ke
dalam tubulus kontortus proksimal.
4
Glomerulus merupakan bangunan yang berbentuk khas, bundar dengan warna
yang lebih tua daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun lebih padat.
Glomerulus merupakan gulungan pembuluh kapiler. Glomerulus ini akan diliputi
oleh epitel pars viseralis kapsul Bowman. Di sebelah luar terdapat ruang Bowman
yang akan menampung cairan ultra filtrasi dan meneruskannya ke tubulus
kontortus proksimal. Ruang ini dibungkus oleh epitel pars parietal kapsul
Bowman.

Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan tubulus kontortus
proksimal yang membentuk kutub tubular, sedangkan pada kutub yang
berlawanan bertautan dengan arteriol yang masuk dan keluar dari glomerulus.
Kutub ini disebut kutub vaskular.. Arteriol yang masuk disebut vasa aferen yang
kemudian bercabang-cabang lagi menjadi sejumlah kapiler yang bergelung-gelung
membentuk kapiler. Pembuluh kapiler ini diliputi oleh sel-sel khusus yang disebut
sel poddosit yang merupakan simpai Bowman lapis viseral. Sel podosit ini dapat
dilihat dengan mikroskop electron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabug lagi
membentuk arteriol yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan disebut vasa
effeeren, yang berupa sebuah arteriol.

b. Tubulus Ginjal (Nefron)


Tubulus Kontortus Proksimal
 Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas-batas yang
sukar dilihat.
 Inti sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak berjauhan satu
sama lain.
 Sitoplasmanya bewarna asidofili (kemerahan)
 Permukaan sel yang menghadap ke lumen mempunyai paras sikat
(brush border).
 Tubulus ini terletak di korteks ginjal.
Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrate glomerulus 80-
85 persen dengan cara reabsorpsi via transport dan pompa natrium. Glukosa, asam
amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.

5
Tubulus contortus proximalis Tubulus contortus distalis Ductus colligens

- epite - epitel - Saluran


l selapis kubis selapis kubis pengumpul,
- bata - batas2 menampung
s2 sel sukar dilihat sel lebih jelas beberapa tubulus
- Inti - Inti distal, bermuara
bulat, letak berjauhan bulat, letak agak sebagai ductus
- Sito berdekatan papillaris Bellini di
plasma asidofil (merah) - Sitopl papilla renis
- Me asma basofil (biru) - Mirip
mpunyai brush border - Tdk tub.kont.distal
- Fun mempunyai brush border - Batas2
gsi: reabsorbsi glukosa, - Absor sel epitel jelas
ion Na, Cl dan H2O bsi ion Na dalam - Sel lbh
pengaruh aldosteron. tinggi dan lbh pucat
Sekresi ion K

6
Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu :
 bagian tebal turun (pars asendens)
Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip dengan tubulus
kontortus proksimal
 bagian tipis (segmen tipis)
Segmen tipis ansa henle mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler
darah, tetapi epitelnya sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng,
sedikit lebih tebal sehingga sitoplasmanya lebih jelas terlihat.
 bagian tebal naik (pars asendens).
segmen tebal naik mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal

Ansa Henle Segmen Tipis Ansa Henle Segmen Tebal Ansa Henle Segmen
Pars Desendens Tebal Pars Asenden

- Miri - Mirip - M
p pembuluh kapiler tub.kont.prox, ttp irip tub.kont.distal,
darah, ttp diameternya lbh kecil dan ttp diameternya lbh
- epite dindingnya lbh tipis - k
lnya lbh tebal, shg - selalu ecil dan dindingnya
sitoplasma lbh jelas terpotong dlm berbagai lbh tipis
terlihat potongan - s
- Dlm elalu terpotong dlm
lumennya tdk tdp sel2 berbagai potongan
darah

Ansa henle terletak di medula ginjal. Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan
atau mengencerkan urin.

7
Tubulus kontortus distal

 Inti sel bundar dan bewarna biru.


 Jarak antar inti sel berdekatan.
 Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan)
 permukaan sel yang mengahadap lumen tidak mempunyai paras
sikat.
 Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas antar sel
yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus proksimal.
Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi bagian ini juga berperan dalam
pemekatan urin.

Sel-sel yang berperan dalam sekresi renin :


1. Makula densa
Makula densa adalah sel dinding tubulus distal yang berada dekat dengan
glomerulus berubah menjadi lebih tinggi dan tersusun lebih rapat. Makula
densa mempunyai fungsi untuk mengatur kecepatan filtrasi glomerulus
2. Sel juksta glomerularis
Merupakan modifikasi sel otot polos tunika media dinding arteriol afferen
menjadi sel sekretorik besar bergranula
3. Sel Polkissen/Sel Lacis (sel mesangial ekstra glomerularis)
Terdapat diantara makula densa, vas afferen dan vas efferent. Mempunyai
bentuk gepeng, panjang, byk prosesus sitoplasma halus dg jalinan
mesangial. Berasal dari mesenchyme, mempunyai kemampuan fagositosis

8
Duktus Koligen
Saluran ini terletak di dalam medula dan mempunyai gambaran mirip tubulus
kontortus distal tetapi dinding sel epitelnya jauh lebih jelas, selnya lebih tinggi dan
lebih pucat. Duktus koligen tidak termasuk ke dalam nefron. Di bagian medula yang
lebih ke tengah beberapa duktus koligen akan bersatu membentuk duktus yang lebih
besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut duktus paappiilalarriis
(Bellini). Muara ke permukaan papil sangat besar, banyak dan rapat sehingga papil
tampak seperti sebuah tapisan (area kribrosa). Fungsi duktus koligen adalah
menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang
dipengaruhi oleh hormon antidiuretik (ADH).
Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada juga bagian korteks yang
menjorok masuk ke dalam medula membentuk kolom mengisi celah di antara piramid
ginjal yang disebut sebagai kolumna renalis Bertini. Sebaliknya ada juga jaringan
medula yang menjorok masuk ke dalam daerah korteks membentuk berkas-berkas
yang disebut Prosesessus Ferreni

2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Ginjal


2.1. Pembentukan Urin
Ginjal mengeluarkan kelebihan cairan dan elektrolit cairan ekstraseluler,
membersihkan tubuh, dan mengeluarkan sisa metabolic yang toksis juga benda asing.

Fungsi-fungsi ginjal adalah:


1. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi ion cairan ekstraseluler
4. Mempertahankan volume plasma
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa
6. Mengekskresikan produk akhir metabolism tubuh; urea, asam urat, dan
kreatinin
7. Menghasilkan eritropoietin
8. Menghasilkan renin
9. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktif.
Dalam melaksanakan fungsinya, terdapat 3 tahapan, yaitu filtrasi, reabsorbsi dan
sekresi, berikut tahapannya :
9
1. FILTRASI GLOMERULUS
Darah difiltrasi di glomerulus dalam bentuk plasma bebas protein yang
tersaring melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman (hanya 20%)
dengan hasil akhir bernama ultra filtrate. Jumlah normalnya 125 ml/menit atau
setara dengan 180 L/hari.

Cairan harus melewati membrane glomerulus yang terdiri dari :


1) Dinding kapiler glomerulus (sel endotel selapis gepeng) yang 100 kali lebih
permeabel terhadap air dan zat terlarut.
2) Membrane basal (lapisan gelatinosa aselular) dari kolagen untuk kekuatan
strukturalnya dan glikoprotein untuk menghambat filtrasi protein plasma
dengan muatan negatif sehingga menolak albumin/protein lain yang
bermuatan negatif juga.
3) Kapsul Bowman pars viseralis (podosit) memiliki pedikel yang diantaranya
terdapat celah filtrasi.
Tekanan Darah Kapiler Glomerulus
Tekanan yang mendorong plasma di glomerulus menembus membrane. Dilakukan
oleh gaya fisik pasif yang sama dengan yang ada di kapiler lainnya. Perbedaannya
hanyalah kapiler glomerulus jauh lebih permeabel sehingga keseimbangan gaya
menyebabkan seluruh panjang kapiler glomerulus terfiltrasi. Terdapat 3 gaya fisik
pasif :
1) Tekanan darah kapiler glomerulus (55 mmHg) : tekanan cairan yang
ditimbulkan darah dalam kapiler. Bergantung pada kontraksi jantung dan
resistensi aliran darah dari a. aferen dan a. eferen. Tekanan ini bekerja
mendorong filtrasi.
2) Tekanan osmotik koloid plasma (30 mmHg) : ditimbulkan dari distribusi tidak
seimbang protein plasma di kedua sisi membrane karena konsentrasi air di
kapsul Bowman lebih tinggi dari kapiler sehingga timbul osmosis air kapsul
Bowman untuk menurunkan konsentrasi. Tekanan ini bekerja melawan filtrasi.
3) Tekanan hidrostatik kapsul Bowman (15 mmHg) : ditimbulkan oleh cairan di
bagian awal tubulus mendorong cairan keluar kapsul Bowman. Tekanan ini
bekerja melawan filtrasi.
Laju Filtrasi Glomerulus (GFR= Glomerulus Filtration Rate) Dapat diukur
dengan menggunakan zat-zat yang dapat difiltrasi glomerulus, akan tetapi tidak
disekresi maupu direabsorpsi oleh tubulus. Kemudian jumlah zat yang terdapat dalam
urin diukur persatuan waktu dan dibandingkan dengan jumlah zat yang terdapat dalam
cairan plasma.

Faktor yang mempengaruhi LFG :

LFG = Kf x (PKG + pKpB) – (PKpB + pKG)

Kf = koefisien filtrasi = permeabilitas x luas permukaan filtrasi

PKG = tekanan hidrostatik kapiler glomerulus

10
PKpB = tekanan hidrostatik kapsula Bowman

pKpB = tekanan onkotik di kapsula Bowman = 0

pKG = tekanan onkotik kapiler glomerulus

a. Keadaan normal Kf jarang berubah à berubah dalam keadaan patologis. Dapat


berubah karena kontraksi atau relaksasi sel mesangial yang terdapat antara
ansa-ansa kapiler glomerulus.
b. Kontraksi mengurangi permukaan kapiler dan dilatasi menambah luas
permukaan glomerulus.
c. Radang glomerulus dapat merusak glomerulus à tidak berfungsi à mengurangi
luas permukaan filtrasi.

(PKG - PKpB - pKG) = tekanan filtrasi bersih

Mendorong – melawan = tekanan filtrasi netto


55mmHg – 45 mmHg = 10 mmHg
LFG bergantung pada : tekanan filtrasi netto, luas permukaan glomerulus, dan
permeabilitas membrane glomerulus (Kf = koefisien filtrasi).

Rumus LFG : Kf x tekanan filtrasi netto

Jika filtrate dihasilkan pria 180 L/hari maka LFG pria adalah 125 ml/menit.
Sedangkan filtrate yang dihasilkan wanita 160 L/hari maka LFG wanita adalah 115
ml/menit.

Kontrol LFG
Terdapat 2 mekanisme kontrol LFG :
1) Otoregulasi : mencegah perubahan spontan LFG (80-180 mmHg) dengan cara
mengubah caliber a. aferen. Jika tekanan arteri dan LFG meningkat, maka
terjadi kontriksi a. aferen sehingga LFG menjadi normal dan begitu pula jika
LFG menurun maka akan terjadi sebaliknya.
2) Kontrol simpatis ekstrinsik : untuk regulasi jangka panjang tekanan darah
arteri. Diperantarai sinyal sistem saraf simpatis ke a. aferen. Jika volume
plasma menurun sehingga tekanan darah arteri menurun (terdeteksi
baroreseptor), maka terjadi reflex saraf ke otak dan jantung (jangka pendek)
sehingga terjadi penurunan ekskresi urin dan penurunan LFG (jangka
panjang).

2. REABSORPSI TUBULUS

Reabsorpsi (%) Ekskresi (%)


Air 99 1
Natrium 99,5 0,5
Glukosa 100 0
Urea 50 50
Fenol 0 100
11
Sumber: Sherwood, Lauralee. 2011.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC

Transpor Transepitel
Terdapat 5 tahap transport transepitel:
1) Bahan meninggalkan cairan tubulus dengan melewati membrane luminal sel
tubulus.
2) Bahan melewati sitosol dari satu sisi sel tubulus ke sisi lainnya.
3) Bahan melewati membrane basolateral sel tubulus ke cairan interstitium.
4) Bahan berdifusi melalui interstitium.
5) Bahan menembus dinding kapiler ke plasma darah.

Pompa N-K-ATPase
Natrium direabsorpsi di sepanjang tubulus. Di tubulus proksimal Na+ di reabsorpsi
untuk diikuti oleh reabsorpsi glukosa, asam amino, air, klorida, dan urea. Di pars
ascenden natrium dan klorida di reabsorpsi dan bagian penting untuk menghasilkan
urin berkonsentrasi dan bervolume bervariasi. Di tubulus distal dan duktus koligen
natrium di reabsorpsi di bawah kontrol hormon.

Semua itu melibatkan pompa Na-K-ATPase di membrane basolateral sel tubulus.


Aldosteron: mereabsorpsi natrium di tubulus distal berbanding terbaik dengan beban
natrium.
Sistem RAA terdiri dari apparatus jukstaglomerulus yang menghasilkan renin untuk
merespon adanya penurunan natrium klorida atau volume CES atau tekanan darah,
yaitu :
1) Sel granular sebagai baroreseptor intrarenal
2) Sel macula densa yang peka NaCl
3) Sel granular disarafi saraf simpatis sehingga menurunkan tekanan darah.
Renin mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin I, hormone ACE di paru
mengaktifkan angiotensin I menjadi angiotensin II, angiotensin II memicu korteks
adrenal untuk menghasilkan aldosterone.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
Hormone yang cara kerjanya melawan sistem RAA dengan membuang natrium dan
menurunkan tekanan darah. Hormon ini dihasilkan oleh atrium jantung dan dilepas
saat volume plasma dan CES meningkat. Fungsi ANP adalah menghambat secara
langsung reabsorpsi natrium di distal, menghambat sekresi renin, dan menghambat
aldosteron.

3. SEKRESI TUBULUS

Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5%
urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi
warm dan bau pada urin. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat
makanan yang bermolekul kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi

12
tubuh. Sisa metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS, zat warna empedu, dan asam
urat. Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa pembakaran zat
makanan yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Kedua senyawa tersebut
tidak berbahaya bila kadarnya tidak berlebihan.Walaupun CO2 berupa zat sisa
namun sebagian masih dapat dipakai sebagai dapar (penjaga kestabilan PH) dalam
darah.

Demikian juga H2O dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, misalnya sebagai
pelarut. Amonia (NH3), hasil pembongkaran/pemecahan protein, merupakan zat
yang beracun bagi sel. Oleh karena itu, zat ini harus dikeluarkan dari tubuh. Namun
demikian, jika untuk sementara disimpan dalam tubuh zat tersebut akan dirombak
menjadi zat yang kurang beracun, yaitu dalam bentuk urea. Zat warna empedu
adalah sisa hasil perombakan sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan
disimpan pada kantong empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen
yang berguna memberi warna pada tinja dan urin.Asam urat merupakan sisa
metabolisme yang mengandung nitrogen (sama dengan amonia) dan mempunyai
daya racun lebih rendah dibandingkan amonia, karena daya larutnya di dalam air
rendah.

Komposisi urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut sebagai berikut :
1. Zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari
katabolisme asam nukleat, dan kreatinin dari proses penguraian kreatin fosfat
dalam jaringan otot.
2. Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
3. Badan keton yang dihasilkan dalam metabolisme lemak adalah konstituen
normal dalam jumlah kecil.
4. Elektrolit meliputi ion natrium, klor, kalium, amonium, sulfat, fosfat, kalsium,
dan magnesium.
5. Hormon atau metabolit hormon ada secara normal dalam urin.
6. Berbagai jenis toksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau enzim secara
normal ditemukan dalam jumlah yang kecil.
7. Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah
besar badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat mengeras dalam tubulus dan
dikeluarkan), dan batu ginjal atau kalkuli.

Zat normal dalam urine :


a. Urea, hasil akhir utama dari katabolisme protein. Sehari diekskresikan 25 gr,
tergantung intake proteinnya. Ekskresi naik pada saat demam, penyakit kencing
manis, aktivitas hormon adrenokortikoid yang berlebihan. Di hepar, urea
dibentuk dari siklus urea (ornitin dari CO2 dan NH3. Pembentukan urea
menurun pada penyakit hepar dan asidosis.

b. Ammonia, dikeluarkan dari sel tubulus ginjal, pada asidosis pembentukan


amonia akan naik.

13
c. Kreatinin, hasil katabolisme kreatin. Koefisien kreatinin adalah jumlah mg
kreatinin yang diekskresikan dalam 24 jam/kg BB. Nilai normal pada laki-laki
adl 20-26 mg/kg BB. Sedang pada wanita adl 14-22 mg/kg BB. Ekskresi
kreatinin meningkat pada penyakit otot.

d. Asam urat, hasil oksidasi purin di dalam tubuh. Kelarutannya dalam air kecil
tetapi larut dalam garam alkali. Ekskresinya meningkat pada leukimia, penyakit
hepar dan gout. Dengan arsenofosfotungstat dan natrium sianida, memberi
warna biru. Ini merupakan dasar penetapan asam urat secara kolometri oleh
Folin. Dengan enzim urikase akan menjadi allantoin.

e. Asam amino, pada dewasa kira2 diekskresikan 150-200 mg N per hari

f. Allantoin, hasil oksidasi asam urat

g. Cl, dikeluarkan dlm bentuk NaCl, tergantung intakenya. Ekskresi 9-16 g/hari

h. Sulfat, hasil metabolisme protein yang mengandung AA dg atom S, ex: sistein,


sistin, metionin. Sulfat ada 3 bentuk : seulfat anorganik, sulfat ester (konjugasi)
dan sulfat netral

i. Fosfat, di urin berikatan dengan Na, K, Mg, Ca. Garam Mg dan Ca fosfat
mengendap pada urin alkalis. Ekskresinya dipengaruhi pemasukan protein,
kerusakan sel, kerusakan tulang pada osteomalasia dan hiperparatiroidisme →
ekskresinya naik dan menurun pada penyakit infeksi dan hipoparatiroidisme.

j. Oksalat, pada metabolisme herediter tertentu, ekskresinya naik.

k. Mineral, kationnya (Na, K, Ca, Mg). Ekskresi K naik pada kerusakan sel,
pemasukan yang berlebih dan alkalosis. Ekskresi ion K dan Na dikontrol
korteks adrenal

l. Vitamin, hormon dan enzim: pada pankreatitis→ amilase dan disakaridase


meningkat. Hormon Choriogonadotropin (HCG) terdpt pd urine wanita hamil

14
Gambar 7. Reabsorpsi dan Sekresi Ginjal

2.2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosterone

15
Sel granular apparatus jukstaglomerulus mengeluarkan hormone enzimatik renin
kedalam darah, sebagai respon terhadap penurunan NaCl, volume CES dan tekanan
darah arteri.

Secara spesifik, tiga masukan berikut ke sel granular meningkatkan sekresi renin :
1. Sel granular sendiri berfungsi sebagai baroreseptor intrarenal. Sel ini peka
terhadap perubahan tekanan arteriol aferen. Ketika mendeteksi penurunan tekanan
darah, sel ini mengeluarkan lebih banyak renin.
2. Sel macula densa di bagian tubulus apparatus jukstaglomerulus peka terhadap
NaCl yang melewatinya melalui lumen tubulus. Sebagai respons penurunan NaCl,
sel macula densa akan memicu sel granular mengeluarkan lebih banyak renin.
3. Sel granular disarafi oleh system saraf simpatis. Ketika tekanan darah turun, reflex
baroreseptor meningkatkan aktivitas simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis
merangsang sel granular mengeluarkan lebih banyak renin.

Sinyal-sinyal yang saling terkait ini menunjukkan perlunya meningkatkan volume


plasma untuk meninngkatkan tekanan arteri ke normal dalam jangka panjang.

Setelah disekresikan ke dalam darah, renin bekerja sebagai enzim untuk


mengaktifkan angiotensinogen menjadi angiotensin I. angiotensinogen adalah
suatu protein plasma yang disintesis oleh hati dan selalu terdapat diplasma dalam
konsentrasi tinggi. Ketika melewati paru melalui sirkulasi paru, angiotensin I
diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin-converting enzyme (ACE) yang
banyak terdapat di kapiler paru. Angiotensin II adalah perangsang utama sekresi
aldosterone dari korteks adrenal. Aldosteron meningkatkan reabsorbsi Na+ yaitu
dengan cara penyisipan kanal bocor Na+ tambahan kedalam membrane luminal
dan penambahan pompa Na+ K+ kedalam membrane basolateral sel-sel ini. Hasil
akhirnya adalah peningkatan perpindahan pasif Na+ masuk kedalam sel tubulus
dan koligentes dari lumen dan peningkatan pemompaan aktif Na+ ke luar sel ke
dalam plasma yaitu, peningkatan reabsorbsi Na+, disertai Cl- mengikuti secara
pasif. Karena itu, SRAA mendorong retensi garam yang menyebabkan retensi
H2O dan peningkatan tekanan darah arteri.

Angiotensin II adalah konstriktor poten arteriol sistemik, yang secara langsung


meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan resistensi perifer total.
Angiotensin II juga merangsang rasa haus (meningkatkan asupan cairan) dan
merangsang vasopressin (hormone yang meningkatkan retensi H2O di ginjal),
keduanya ikut berperan dalam menambah volume plasma dan meningkatkan
tekanan arteri.

Jika situasi terjadi berlawanan, maka sekresi renin akan dihambat. Karena
angiotensinogen tidak diaktifkan menjadi angiotensin I dan II, sekresi aldosterone

16
tidak terangsang. Tanpa aldosterone, tidak terjadi reabsorbsi Na+. Na+ yang tidak
direabsrobsi akan dikelarkan bersama urine. Tanpa aldosterone, pengeluaran terus
menerus sebagian kecil Na+ yang terfiltrasi ini dapat dengan cepat mengeluarkan
kelebihan Na+ dari tubuh.

3. Memahami dan Menjelaskan Glomerulonefritis Akut


3.1. Definisi
Glomerulonefritis akut pasca infeksi adalah proses inflamasi terjadi dalam glomerulus
yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi
lokal dari sistem komplemendan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi
dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis glomerulus.

GNAPS adalah suatu sindrom nefritik yang ditandai oleh hematuria yang mendadak
serta sering diikuti oleh adanya udem kelopak mata, hipertensi dan insufisiensi ginjal,
disebabkan oleh adanya infeksi kuman streptokokus β hemolitikus grup A. (Buku
Ilmu Kesehatan Anak.)

3.2. Etiologi
Penyebab utama terjadinya GNAPS adalah Streptococcus β Hemolisis grup A.
Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan
bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan
oleh Streptococcus hemolisis β GNAPS didahului infeksi saluran nafas atas (termasuk
telinga tengah) atau kulit/piodermi oleh Streptokokus β hemolitikus grup A tertentu
yang bersifat nefritogenik. Pada infeksi tenggorokan, serotipe yang paling sering
diditeksi adalah serotipe M12. Dan juga terdeteksi serotipe M1, 3, 4, 12, 25 dan 49.
Sedangkan pada infeksi kulit, yang tersering adalah serotipe M49, disamping adanya
infeksi oleh serotype 2, 55, 57 dan 60. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus
ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar
10-15%.

Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan
alasan bahwa :
1. Timbulnya GNA setelah infeksi
2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.

Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada
beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan
disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:

17
1. Bakteri  :    streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi dll.
2. Virus    :    hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dll.
3.  Parasit      : malaria dan toksoplasmakumpulan A. Kumpulan ini diberi
spesies nama S. pyogenes .

3.3. Patofisiologi
Glomerulonefritis paska streptokokus merupakan penyakit prototipe dari
glomerulonefritis akut akibat infeksi. Meskipun terdapat rekognisi awal dari
asosiasi antara infeksi streptokokal dan glomerulonefritis akut, mekanisme
patogenik dari penyakit ini belum sepenuhnya dimengerti. Secara konseptual,
glomerulonefritis paska streptokokus dapat diakibatkan sekunder terhadap
efek toksik langung dari protein streptokokal terhadap glomerulus, atau
produk streptokokal tersebut dapat menginduksi kerusakan akibat imun
kompleks. Hal ini dapat terjadi akibat berbagai mekanisme: (1) dengan
membawa antigen ke glomerulus (antigen ditanamkan), (2) dengan deposisi
kompleks imun yang bersirkulasi, (3) dengan mengalterasi antigen ginjal
normal, menyebabkannya menjadi self-antigen, atau (4) dengan menginduksi
respon autoimun terhadap self-antigen (antigenic mimicry). Diduga bahwa
lebih dari satu antigen streptokokal dapat berperan dalam patogenesis
glomerulonefritis paska streptokokus, dan lebih dari satu mekanisme
patogenik dapat ikut serta.

Beberapa protein streptokokal telah diimplikasikan dalam patogenesis


glomerulonefritis paska streptokokus. Molekul protein M yang menonjol dari
permukaan streptokokus grup A mengandung epitop yang dapat melakukan
cross-reaction dengan antigen glomerular. M protein tipe V, VI, dan XIX
telah menunjukkan kemampuan untuk merangsang antibodi yang bereaksi
dengan beberapa protein myokardium dan otot skelet. Sebaliknya, antibodi
monoklonal yang dihasilkan terhadap korteks ginjal manusia menunjukan
cross-reaction dengan protein M tipe VI dan XII, membuktikan bahwa
beberapa jenis protein M memiliki determinan antigenik yang serupa dengan
glomerulus.
18
Spektrum agen infeksi yang berkaitan dengan glomerulonefritis paska infeksi
atau peri-infeksi ternyata tidak hanya terpaku pada streptococcus, melainkan
juga staphylococcus, bakteri batang gram negatif, serta bakteri intraseluler.
Dan selain itu, populasi yang beresiko terhadap glomerulonefritis peri-infeksi
sekarang ikut mencakup pecandu alkohol, pengguna obat-obatan IV, dan
pasien dengan ventricular atrial shunts. Namun glomerulonefritis paska
streptokokus tetap menjadi glomerulonefritis infeksi yang paling banyak
diteliti dan didokumentasikan

3.4. Manifestasi klinis


GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada
usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode
laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma.

Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala
yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik
sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat
kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat
kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.

GNAPS simtomatik
1. Periode laten

Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini

19
jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang
dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti
eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schöenlein atau Benign recurrent haematuria.
2. Edema

Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna
(edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus Distribusi edema bergantung pada
2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu,
edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya
jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada
siang dan sore hari atau setelah melakukan kegitan fisik. Hal ini terjadi karena
gaya gravitasi. Kadangkadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak
tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan
berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang
tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali
ke kedudukan semula.
3. Hematuria

Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging
atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam
minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung
sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih
lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih
dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik
GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih
dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini
merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan
adanya glomerulonefritis kronik.

20
4. Hipertensi

Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan


menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai
hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak
perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan
darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan
ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti
sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang.

5. Oliguria

Produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi
ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala
sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan
menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama.
Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan
glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.

6. Gejala Kardiovaskular

Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi.


Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis,
tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap terjadi diduga akibat retensi Na
dan air sehingga terjadi hipervolemia.
Edema paru

Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini
disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh

21
karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan
lupa pemeriksaan urin. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama
dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain.
Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi
pleura. Kardiomegali disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic
lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri atau bersama-sama. Kelainan radiologik
paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari
bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki
basah dan edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologik paru
pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari,
sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih
lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan radiologik paru dapat
membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik.
Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan oleh
hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.

7. Gejala-gejala lain

Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan
anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama

3.5. Diagnosis dan Diagnosis banding


Diagnosis
Anamnesis
- Riwayat infeksi saluran nafas atas (faringitis) 1-2 minggu sebelumnya atau
infeksi kulit (pyoderma) 3-6 minggu sebelumnya.
- Umumnya pasien datang dengan hematuria nyata (gross hematuria) atau
sembab di kedua kelopak mata dan tungkai
- Kadang-kadang pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran
akibat ensefalopati hipertensi
22
- Oligouria/anuria akibat gagal ginjal atau gagal jantung.

Pemeriksaan fisis
- Sering ditemukan edema di kedua kelopak mata dan tungkai dan hipertensi
- Dapat ditemukan lesi bekas infeksi di kulit
- Jika terjadi ensefalopati, pasien dapat mengalami penurunan kesadaran dan
kejang.
- Pasien dapat mengalami gejala-gejala hipervolemia seperti gagal jantung,
edema paru.

Pemeriksaan penunjang
- Urinalisis menunjukkan proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit.
- Kreatinin dan ureum darah umumnya meningkat.
- ASTO meningkat pada 75-80% kasus.
- Komplemen C3 menurun pada hampir semua pasien pada minggu pertama.
- Jika terjadi komplikasi gagal ginjal akut, didapatkan hiperkalemia, asidosis
metabolik, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia.

Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada


umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :
Gejala-gejala klinik :
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown
case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang
merupakan gejala-gejala khas GNAPS.
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa
adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß
hemolitikus grup A. Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas
kelainan sedimen urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya
epidemi/kontak dengan penderita GNAPS.

Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen urin


(hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan
penderita GNAPS.

23
Temuan Laboratorium
1. Urin :
- Proteinuria : Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai
dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++
harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria
makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2
LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24
jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-
gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu
sampai beberapa bulan sesudah gejala klinikmenghilang. Sebagai batas 6
bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria
menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang
memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya.

- Hematuria mikroskopik : Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang


hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda
yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu
glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan
teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini
merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas,
sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus
(glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula
dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.

2. Darah
- Reaksi serologis : Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi
serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul
antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO),
antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer
ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah
dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi
titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100%
menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini
dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai

24
puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2
hingga 6. Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran
pernapasan oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat
akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini
titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini
diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi
pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus
melalui kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASO meningkat. Di
pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit.

- Aktivitas komplemen : Komplemen serum hampir selalu menurun pada


GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah
terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen
dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1 C globulin) yang paling sering
diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis
melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya
kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama
perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya
gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih
rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai
pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.

- Laju endap darah : LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun
setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat
digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus
GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah menghilang.

Diagnosis Banding
Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti
GNAPS.
1. Penyakit ginjal :
a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat
berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-

25
3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas
meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis.

b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria


Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter
(sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent
haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi.
Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan
dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada
berlangsung sangat singkat.

c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)


RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.
Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut
dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi
pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang
menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS
umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya
meninggal karena gagal ginjal.
2. Penyakit-penyakit sistemik.
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-
Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit
ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria,
proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok
negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri
abdomen dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian.
Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah,
yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE tidak terdapat edema,
hipertensi atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan
GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit
tersebut umumnya bersifat fokal.

3. Penyakit-penyakit infeksi
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A β-hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala

26
GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus
ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit
dasarnya.

3.6. Tatalaksana
Terapi Suportif
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase
akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan
kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan
penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan
dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih
progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat
tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu
lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari
teman-temannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik.

2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam
dibatasi
sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu
sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin +
insensible water loss (20-25 ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada
setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).

3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain

27
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus.

Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum
masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu).
Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman,
yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika
terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30
mg/kgbb/hari.

Farmakoterapi
Efektivitas penggunaan obat imunosupresif pada glomerolusnefritis masih
belum seragam. Pengobatan imunosupresif mempertimbangkan beberapa
faktor seperti etiologi, faktor pasien, efek samping dan prognosis.

Kortikosteroid efektif untuk beberapa glomerolusnefritis karena dapat


menghambat sitokin proinflamasi. Pengobatan lanjutan dengan kombinasi
kortikosteroid dan imunosupresif lain diperlukan pada glomerolusnefritis yang
resisten dan tergabntung steroid atau kambuh berulang. Siklofosfamid,
klorambusil dan azatioprin diketahui mempunyai efek antiproliferasi dan dapat
menekan inflamasi efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi
glomerulus. Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi.

Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat
atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemide.
Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.

b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat
tanpa sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-

28
2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat
tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi
nifedipin s oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual
dengan dosis 0,25-sublingual dengan dosis 0,25- 0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau
hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi
klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau
diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat te V). Kedua
obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb)

c. Gangguan ginjal akut


Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi
natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau
Kayexalate untuk mengikat kalium.

Pemantauan
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala-gejala
seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang,
sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan.
Kadar C3 yang menurun (hipokomplemenemia) menjadi normal kembali
sesudah 2 bulan. Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bulan – 1
tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak
adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6
bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun.
Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria
yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan
dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.

Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan atau proteinuria,


pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai kelainan tersebut
menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satuatau kedua kelainan
tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.

29
Rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak
Meskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease,
masih terdapat kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak khas sebagai
GNAPS, sehingga memerlukan rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak untuk
tindakan khusus (antara lain biopsi ginjal).
Indikasi rujukan :
1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS :
- Periode laten pendek
- Adanya penyakit ginjal dalam keluarga
- Pernah mendapat penyakit ginjal sebelumnya
- Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun

2. Adanya kelainan-kelainan laboratorik yang tidak khas untuk GNAPS :


- Hematuria makroskopik > 3 bulan
- Hematuria mikroskopik > 12 bulan
- Proteinuria > 6 bulan - Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan
- Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan
- Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA (+) atau
anti
GBM (+)

3.7. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai adalah :
1. Ensefalopati hipertensi (EH).

EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun
dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan
memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual
pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat
diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan
secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya
ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.

2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)

Pengobatan konservatif :
30
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari

b. Mengatur elektrolit :

- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.

- Bila terjadi hipokalemia diberikan :

• Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari


• NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
• K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
• Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru

Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.

4. Posterior leukoencephalopathy syndrome

Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan


ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti
sakit kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.

3.8. Pencegahan
• Mencari pengobatan yang tepat dari infeksi tenggorokan yang menyebabkan
sakit tenggorokan atau impetigo.
• Untuk mencegah infeksi yang dapat menyebabkan beberapa bentuk
glomerulonefritis, seperti HIV dan hepatitis, ikuti aman-seks pedoman dan
menghindari penggunaan narkoba suntikan.
• Kontrol tekanan darah Anda, yang mengurangi kemungkinan kerusakan
ginjal dari hipertensi.
• Kontrol gula darah anda untuk membantu mencegah nefropati diabetes.

31
3.9. Prognosis
Penyakit GNAPS ini dapat sembuh sempurna dalam jangka waktu 1-2 minggu
bila tidak ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting
disease. Walaupun sangat jarang sekali terjadi GNAPS dapat kambuh kembali.
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang
berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala
laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12
bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada
orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik
maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-
30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus
menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik,
kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut
(Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.

4. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam Urin dan Darah


Najis, terbagi menjadi 3, yaitu :

a. Najis mughallazhah (berat/besar), yaitu najis yang disebabkan sentuhan atau


jilatan anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah dibasuh 7x dengan air dan
salah satunya dengan tanah.
b. Najis mukhaffafah (ringan), yaitu najis air seni anak laki – laki yang belum
makan atau minum apa-apa selain ASI. Cara menyucikannya dipercikkan air
sedangkan air seni anak perempuan harus dibasuh dengan air yang mengalir
hingga hilang zat atau sifatnya.
C. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang ditimbulkan dari air
kencing, kotoran manusia, darah,dan nanah. Cara menyucikkannya dibasuh
dengan air di tempat yang terkena najis sampai hilang warna, rasa, dan baunya.

Darah
Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah
yang besar dari dalam tubuh. Dan dasarnya adalah firman Allah Subhanahu Wa
Ta’ala:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah.” (QS  An-
Nahl: 115).

Selain itu juga ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa pakaian yang terkena darah
dan benda-benda najis lainnya harus dicuci.

32
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,”Sesungguhnya pakaian itu harus dicuci bila terkena
mani, air kencing dan darah”. (HR. Ad Daruquthny)

Dari Asma’ binti Abu Bakar berkata bahwa ada seorang wanita mendatangi Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya,”Aku mendapati pakaian salah seorang
kami terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”. Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab,” ia kupas dan lepaskan darah itu lalu ia kerok dengan
ujung jari dan kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci kemudian ia shalat
dengannya”. (HR. Bukhari)

a. Bukan Najis: Darah Dalam Tubuh


Darah yang mengalir di dalam tubuh hukumnya tidak najis, yang najis adalah darah
yang mengalir keluar dari tubuh. Termasuk yang menjadi pengecualian adalah organ-
organ yang terbentuk atau menjadi pusat berkumpulnya darah seperti hati, jantung dan
limpa dan lainnya. Semua organ itu tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk
darah yang mengalir.

Maka orang yang menerima sumbangan donor darah dari luar, ketika darah itu masih
berada di dalam kantung, hukumnya najis dan tidak boleh shalat sambil membawa
kantung berisi darah. Tetapi bila darah itu sudah disuntikkan ke dalam tubuh
seseorang, maka darah yang sudah masuk ke dalam tubuh itu tidak terhitung sebagai
benda najis.

b. Bukan Najis: Darah Syuhada’


Darah yang juga hukumnya bukan darah najis adalah darah yang mengalir dari tubuh
muslim yang mati syahid (syuhada’). Umumnya para ulama sepakat mengatakan
bahwa darah orang yang mati syahid itu hukumnya tidak termasuk najis.

Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darahdarahnya juga.


Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya
warna darah namun aromanya seharum kesturi. (HR. An-Nasai dan Ahmad)

c. Bukan Najis: Darah Yang Dimaafkan


Para ulama juga mengenal istilah kenajisan darah yang dimaafkan. Artinya meski pun
wujudnya memang darah, namun karena jumlahnya sedikit sekali, kenajisannya
dianggap tidak berlaku. Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan dari
sedikitnya darah yang dimaafkan kenajisannya itu.

Al-Hanafiyah mengatakan bahwa batasannya adalah darah itu tidak terlalu besar
mengalir ke luar tubuh melebihi lebarnay lubang tempat keluarnya darah itu. Mazhab
ini juga memaafkan najis darah dari kecoak dan kutu busuk, karena dianggap sulit
seseorang untuk bisa terhindar dari keduanya.

Terkait dengan darah, hewan air atau hewan yang hidup di laut yang keluar darah dari
tubuhnya secara banyak tidak najis. Hal itu disebabkan karena ikan itu hukumnya
tidak najis meski sudah mati.
33
Kotoran dan Kencing
Kotoran manusia dan air kencing (urine) adalah benda yang najis menurut jumhur
ulama. Abu Hanifah mengatakan kotoran manusia termasuk najis ghalizhah (najis
berat). Sementara Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan najis ringan (khafifah).

DAFTAR PUSTAKA
Albar, H., Jusli, A., & Syarifuddin, R. (2012). Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus. Jakarta: Unit Kerja Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

dr. julis aras SpA. 2012. Jurnal Fk Unair.

Gandaputra, E.P. et al (2009). Pedoman Pelayanan Medis.

Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta : EGC.

Mescher, Anthony L. 2012. Junqueira et all, Histologi Dasar, Teks dan Atlas Edisi 12. Jakarta
: EGC

Paulsen, F & J. Waschke. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 23 Jilid 2 Organ-organ
Dalam. Jakarta : EGC

Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia Edisi 8 Dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC

34
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen IPD FKUI

Nu.or.id. (2017, 25 oktober). 3 Macam Najis dan Cara Menyucikannya. Dari


https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-menyucikannya

http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-Glomerulonefritis-
Akut.pdf

http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_acute_-
glomerulo.pdf.pdf

35

Anda mungkin juga menyukai