Anda di halaman 1dari 2

 Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951)

Kabinet ini berupaya sekuat tenaga melibatkan semua partai yang ada di parlemen. Namun,
Mohamad Natsir selaku perdana menteri ternyata kesulitan memberikan posisi kepada partai politik
yang berseberangan. Natsir adalah tokoh Masyumi, partai Islam yang amat kuat saat itu. Usahanya
untuk merangkul Partai Nasional Indonesia (PNI) selalu saja kandas. Remy Madinier dalam Islam and
Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism (2015) menyebutkan,
PNI memang kerap berseberangan pandangan dengan Masyumi. PNI bahkan melakukan tuntutan
terhadap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 yang dilkeluarkan Natsir. Sebagian besar
parlemen berpihak kepada PNI sehingga akhirnya Natsir mengundurkan diri dari jabatannya.

 Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952)

PNI mendapatkan posisinya dalam kabinet ini. Namun, sama seperti sebelumnya masih terdapat
masalah. Sama seperti Natsir, Sukiman Wiryosanjoyo sang perdana menteri adalah orang Masyumi.
Beberapa kebijakan Sukiman ditentang oleh PNI, bahkan kabinetnya mendapatkan mosi tidak
percaya dari partai politik yang dibentuk oleh Sukarno tersebut. Kabinet Sukiman berakhir pada 23
Februari 1952.

 Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953)

Pada masanya, Wilopo selaku perdana menteri berhasil mendapatkan mayoritas suara parlemen.
Kabinet ini memiliki tugas pokok menjalankan persiapan pemilihan umum untuk memilih anggota
parlemen dan anggota konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet ini harus
meletakkan jabatannya.

 Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955)

Ali Sastroamidjojo melanjutkan tugas kabinet sebelumnya untuk melaksanakan Pemilu. Pada 31 Mei
1954, dibentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah. Rencananya kala itu, Pemilu akan
diadakan pada 29 September (DPR) dan 15 Desember (Konstituante) 1955. Akan tetapi, lagi-lagi
seperti yang dialami Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamidjojo bubar pada Juli 1955 dan digantikan
dengan Kabinet Burhanuddin Harahap di bulan berikutnya.

 Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955- Maret 1956)

Burhanuddin Harahap dengan kabinetnya berhasil melaksanakan Pemilu yang sudah direncanakan
tanpa mengubah waktu pelaksanaan. Pemilu 1955 berjalan relatif lancar dan disebut-sebut sebagai
pemilu paling demokratis. Kendati begitu, masalah ternyata terjadi pula. Sukarno ingin melibatkan
PKI dalam kabinet kendati tidak disetujui oleh koalisi partai lainnya. Alhasil, Kabinet Burhanuddin
Harahap bubar pada Maret 1956.

 Kabinet Ali Sastoamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957)

Berbagai masalah juga dialami Kabinet Ali Sastoamidjojo untuk kali kedua ini, dari persoalan Irian
Barat, otonomi daerah, nasib buruh, keuangan negara, dan lainnya. Ali Sastroamidjojo pada periode
yang keduanya ini tidak berhasil memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat. Kabinet ini pun
mulai menuia kritik dan akhirnya bubar dalam setahun.

 Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959)

Terdapat 5 program kerja utama yang dijalankan Djuanda Kartawijaya, yakni membentuk dewan,
normalisasi keadaan Indonesia, membatalkan pelaksanaan KMB, memperjuangkan Irian Barat, dan
melaksanakan pembangunan. Salah satu permasalahan ketika itu muncul ketika Deklarasi Djuanda
diterapkan. Kebijakan ini ternyata membuat negara-negara lain keberatan sehingga Indonesia harus
melakukan perundingan terkait penyelesaiannya.

Anda mungkin juga menyukai