Kabinet Mohammad Natsir adalah Zaken Kabinet yang merupakan Partai Masyumi.
Mandat Kabinet Mohammad Natsir diserahkan kembali pada negara di 21 Maret 1951 setelah ada
mosi yang menuntut pembekuan dan pembubaran DPRD Sementara.
Kabinet Mohammad Natsir juga mengeluarkan Undang-Undang Darurat yang memeroleh kritikan
dari partai-partai oposisinya.
Kabinet Sukiman adalah koalisi antara Masyumi dan PNI, yang ketika kabinet ini menjabat banyak
sekali bermunculan gangguan keamanan.
Beberapa contoh gerakan pemberontakan pada masa ini adalah gerakan DI/TII yang makin meluas
hingga gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Ketika kabinet ini menunjukkan kebijakan politik luar negeri yang condong pada Amerika Serikat
membuat kabinet ini jatuh dan digantikan dengan Kabinet Wilopo.
Kabinet Wilopo memeroleh dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. Prioritas utama program kerjanya
adalah meningkatkan kesejahteraan umum.
Pada masa kabinet ini terjadi peristiwa penting, di antaranya peristiwa 17 Oktober 1952 dan peristiwa
Tanjung Morawa.
Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan tuntutan rakyat yang didukung oleh Angkatan Darat.
Angkatan Darat berada dibawah komando Nasution supaya DPR Sementara dibubarkan dan diganti
dengan parlemen baru.
Peristiwa Tanjung Morawa adalah sebuah kasus perkebunan asing yang diperebutkan oleh rakyat
hingga ada beberapa korban jiwa petani setempat.
Kabinet Ali Sastroamidjojo dikenal juga dengan Kabinet Ali Wongso, yang pada masa kabinet ini
terlaksananya acara besar bergengsi di Bandung yaitu Konferesi Asia Afrika pada 18-24 April 1955.
Kabinet dipimpin oleh Burhanudin Harahap dari Masyumi, yang pada masa menjabatnya berhasil
menyelenggarakan Pemilu pertama pada 1955.
Beberapa mutasi di kementerian mendorong Burhanudin Harahap menyerahkan jabatannya pada 3
Maret 1956.
Program kerja pada masa kabinet Ali II adalah Rencana Lima tahun yang berisi persoalan jangka
panjang.
Salah satunya perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda.
Pada masa kabinet ini menjabat mulai muncul semangat anti-Cina dan timbul berbagai kekacauan
sosial di daerah sehingga menggoyahkan posisi kabinet saat itu.
Kabinet Djuanda dijuluki sebagai Zaken Kabinet karena menteri-menterinya adalah ahli di bidangnya
masing-masing.
Kabinet ini bertujuan melanjutkan perjuangan untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda sekaligus
menjaga kestabilan ekonomi negara.
Pada masa kabinet Djuanda berhasil menetapkan lebar wilayah Indonesia jadi 12 mil laut diukur dari
garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau di Indonesia.
Itulah uraian tentang tujuh kabinet yang menjabat pada masa demokrasi parlementer, alasan
kejatuhan, hingga prestasinya.