Demokrasi
Liberal
Alur Kabinet
1950-1951 1951-1952 1952-1953
1957-1959
1953-1955 1955-1956 1956-1957
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir merupakan kabinet pertama setelah pembubaran RIS. Kabinet Natsir diresmikan pada
tanggal 7 September 1950 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 1950.
Kabinet Natsir dipimpin oleh seorang perdana Menteri bernama, Mohammad Natsir.
Kabinet Natsir adalah kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI.
Pada penerapan Sumitro Plan, pengusaha nasional diberi bantuan kredit, tetapi bantuan itu diselewengkan
pengunaannya sehingga tidak mencapai sasaran.
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti
Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS.
Jatuhnya Kabinet Natsir sepertinya tidak dapat dilepaskan dari tindakan awal ketika pembentukan kabinet. Di mana,
partai koalisinya, yaitu PNI tidak dimasukkan ke dalam susunan kabinet tersebut. Kemudian, PNI memilih untuk menjadi
partai oposisi bersama PKI dan Murba.
Ketika Kabinet Natsir mulai melaksanakan programnya, kelompok oposisi segera melontarkan berbagai kritik terhadap
kinerja kabinet. Salah satu permasalahan yang menjadi momok bagi Kabinet Natsir, yakni adanya mosi Hadikusumo
dari PNI yang menuntut supaya pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang pemilihan
anggota lembaga perwakilan daerah.
lembaga-lembaga perwakilan daerah yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 oleh
Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang baru yang bersifat demokratis karena dalam PP No. 39
dalam menentukan pemilihannya dilakukan secara bertingkat.
Kemudian, setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen, mosi Hadikusumo diterima. Hal tersebut ternyata
menyebabkan menteri dalam negeri mengundurkan diri. Selain itu, kondisi tersebut juga mengakibatkan hubungan
antara kabinet dan parlemen tersendat. Hal tersebut menjadi sebab utama Kabinet Natsir menyerahkan mandatnya
kepada Presiden Sukarno pada tanggal 21 Maret 1951.
Kabinet Sukiman
Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sukiman selaku
pemimpin kabinet menjalankan pemerintahan dengan bantuan wakilnya yaitu Suwiryo.
dari Kabinet Natsir. Selain itu, alasan lainnya adalah adanya ketidakharmonisan hubungan
kabinet dengan militer, kabinet dinilai tidak cakap dalam menghadapi
beberapa pemberontakan yang terjadi di tanah air, misalnya seperti
PRESTASI KABINET SUKIMAN pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
Akhirnya pada tanggal 23 Februari 1952, Sukiman memutuskan untuk
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo merupakan kabinet ketiga setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat yang bertugas pada
masa bakti 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953. Kabinet Wilopo termasuk kabinet zaken, artinya kabinet yang jajarannya
diisi oleh para tokoh ahli di dalam bidangnya, bukan merupakan representatif dari partai politik tertentu.
pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjuk Sidik Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito
(Masyumi) menjadi formatur, tetapi gagal. Kemudian ia menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja
selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Menteri Wilopo sehingga terbentuklah
Kabinet Wilopo.
berikut ini merupakan program kerja Kabinet Wilopo yang terdiri dari dua program kerja, yakni program kerja dalam
negeri dan program kerja luar negeri.
Program kerja dalam negeri Kabinet Wilopo meliputi: menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih
Dewan Konstituante, DPR, dan DPRD; meningkatkan kemakmuran rakyat; meningkatkan pendidikan rakyat;
pemulihan stabilitas keamanan negara.
Program kerja luar negeri Kabinet Wilopo meliputi: penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda;
pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia; menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Keberhasilan Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo merupakan salah satu kabinet pada masa demokrasi liberal atau parlementer. Kabinet
Wilopo memerintah pada tanggal 3 April 1952 sampai 30 Juli 1953. Keberhasilan Kabinet Wilopo antara lain:
1. Krisis Ekonomi
2. Munculnya Gerakan Separatis
3. Konflik Politik internal TNI dan Pemerintahan
4. Muncul Peristiwa Tanjung Morawa
Kabinet Ali Sastroamijoyo I
Kabinet Ali Sastroamijoyo I merupakan kabinet keempat yang dibentuk selama masa
demokrasi liberal. Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo itu
berjalan selama dua tahun, mulai Juli 1953 hingga Agustus 1956. Masa pemerintahannya
tersebut merupakan yang terpanjang kedua setelah kepemimpinan Juanda.
Australia dan Amerika berusaha menghapuskan politik apartheid di negaranya. Indonesia memperoleh
dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha untuk menyatukan Irian Barat di PBB.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I hanya mampu bertahan selama dua tahun. Ali terpaksa harus
mengembalikan mandatnya kepada presiden Soekarno pada 1955. Hal ini dipicu oleh serangkaian
permasalahan yang terjadi selama masa pemerintahan kabinet, termasuk:
Konflik antaran PNI dan NU, menyebabkan NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet.
Terjadi masalah keamanan akibat pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadi konflik internal antara kabinet dengan TNI-AD.
Maraknya korupsi dan inflasi menyebabkan kondisi ekonomi memburuk.
Kabinet Burhanudin Harahap
Kabinet pada masa demokrasi liberal berikutnya adalah kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini berjalan dari
Agustus 1955–Maret 1956 dengan koalisi Partai Masyumi. Berbeda dengan sebelumnya, PNI memilih menjadi
oposisi di kabinet ini.
Program kerja kabinet Burhanuddin Harahap diantaranya mengembalikan kewibawaan pemerintah dengan
meningkatkan kepercayaan AD dan masyarakat pada kinerja negara. Selanjutnya, kabinet ini juga merencanakan
terbentuknya parlemen baru dan mengatasi masalah korupsi, inflasi dan desentralisasi.
Kabinet ini juga masih berusaha memperjuangkan Irian Barat agar kembali ke pangkuan Indonesia. Tak hanya
itu, politik bebas aktif yang sebelumnya disepakati dalam KAA juga menjadi prioritas dari kabinet Burhanuddin.
Keberhasilan kabinet Burhanuddin Harahap bisa Sobat Pijar lihat dengan bubarnya Uni Indonesia Belanda.
Penangkapan pejabat tinggi yang melakukan korupsi juga berhasil dilakukan, hubungan yang membaik dengan
AD dan penyelenggaraan Pemilu yang berhasil.
Penyebab jatuhnya kabinet Burhanuddin Harahap adalah perintah presiden untuk membubarkan kabinet tersebut.
Dengan selesainya Pemilu, maka tugas kabinet ini juga berakhir dan dianggap telah selesai.
KABINET ALI SASTROAMIJOYO II
Kabinet Djuanda menjabat segera setelah jatuhnya Kabinet Sastroamijoyo II. Setelah resmi ditunjuk sebagai perdana menteri
oleh Sukarno, Djuanda beserta kabinetnya mulai menjalankan sejumlah program kerja. Program kerja yang dijalankan Djuanda
tidak mudah karena dilakukan ditengah pergolakan daerah seperti situasi separatis di Irian Barat hingga masalah ekonomi
negara yang sangat buruk.
Kabinet Djuanda resmi berakhir setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ini menjadi awal dari masa
demokrasi terpimpin sekaligus berakhirnya era demokrasi liberal atau parlementer. Ada beberapa penyebab yang memicu
keruntuhan Kabinet Djuanda sekaligus sistem pemerintahan demokrasi liberal, yaitu:
Banyaknya kepentingan antar golongan dan partai politik yang ada di dalam pemerintahan.
Banyaknya peristiwa politik yang menghambat kepentingan masing-masing kelompok di tubuh konsituen
Kegagalan menghadapi pergolakan di daerah.
Krisis ekonomi dan keuangan yang buruk sehingga program kerja kabinet sulit dilaksanakan.
Kabinet Djuanda
Prestasi Kabinet Djuanda
Salah satu prestasi Kabinet Djuanda yang paling terkenal adalah dicetuskannya Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini berisi
penegasan kembali batas wilayah perairan di Indonesia yang sebelumnya dinilai merugikan keamanan dalam negeri.
Nansy Rahman dalam Sejarah Indonesia (2020) mencatat bahwa dulunya batas laut Indonesia masih menggunakan
peraturan kolonial Belanda. Peraturan tersebut menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia lebarnya hanya 3 mil dari
pulau-pulau yang menjadi bagian wilayah daratan Indonesia. Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut
bebas yang memisahkan pulau-pulai di Indonesia. Akibatnya, kapal-kapal asing bebas masuk ke wilayah tersebut dan
membahayakan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Melalui Deklarasi Djuanda, pemerintah
Indonesia kala itu menyatakan bahwa segala perairan sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian pulau adalah bagian dari wilayah NKRI. Dengan demikian, wilayah lautan dan daratan NKRI menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bulat. Selain mencetuskan Deklarasi Djuanda, Kabinet Djuanda juga berhasil dalam
menjalankan berbagai program kerja, termasuk:
Membentuk dewan nasional yang berfungsi dalam menampung dan menyalurkan pertumbuhan maupun kekuatan
yang ada di masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Dewan nasional inilah yang nantinya menggerakkan
sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan musyawarah nasional (Munas) untuk mencegah pergolakan di daerah-daerah, termasuk Irian Barat.
Mengadakan Munas untuk mengatasi krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Daftar pustaka
https://tirto.id/sejarah-kabinet-natsir-susunan-program-kerja-penyebab-jatuhnya-gmlw
https://www.pijarbelajar.id/blog/7-kabinet-pada-masa-demokrasi-liberal-di-indonesia
https://tirto.id/sejarah-kabinet-ali-sastroamijoyo-i-program-penyebab-jatuhnya-goBH
https://tirto.id/sejarah-kabinet-wilopo-susunan-program-kerja-akhir-kekuasaan-goBl
https://tirto.id/sejarah-kabinet-djuanda-program-kerja-dan-kejatuhannya-gvJ4
https://tirto.id/sejarah-kabinet-ali-sastroamijoyo-ii-program-kerja-kejatuhannya-gvuU
https://katadata.co.id/intan/ekonopedia/63f858d1c6864/mengenal-kabinet-sukiman-
susunan-program-kerja-hingga-kemundurannya
https://www.zenius.net/blog/kabinet-sukiman