Anda di halaman 1dari 4

Peran Sukuk Negara sebagai Instrumen Fiskal

dan Moneter

Harmonisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter

Dalam pengelolaan perekonomian suatu bangsa, kebijakan fiskal dan moneter


merupakan tandem kebijakan yang dijalankan bersama agar kondisi perekonomian mencapai
tujuan yang diharapkan. Pertumbuhan dan stabilitas sektor riil sangat dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan
pertumbuhan dan stabilitas sektor moneter banyak dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan
moneter yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Keserasian antara kedua kebijakan tersebut
sangat penting karena akan menciptakan suatu stabilitas perekonomian dengan pertumbuhan 
ekonomi  yang berkelanjutan (sustainable growth).

Prioritas kebijakan fiskal adalah masalah-masalah yang terkait dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Dapat pula diartikan bahwa fokus kebijakan fiskal adalah
pencapaian target penerimaan negara dan implementasi belanja negara sesuai waktu dan
tujuannya. Instrumen utama yang digunakan pemerintah untuk meraih target kebijakan fiskal
adalah pajak dan pengeluaran. Perubahan tingkat pajak dan pengeluaran pemerintah akan
berdampak pada kondisi perekonomian khususnya: permintaan agregat dan aktivitas
ekonomi, pola persebaran sumber daya, dan distribusi pendapatan.

Prioritas kebijakan fiskal lainnya yang sangat penting adalah mengatasi defisit APBN baik
yang bersifat struktural maupun siklikal. Samuelson dan Nordhaus (2004) menjelaskan
bahwa defisit struktural muncul karena kebijakan pemerintah dalam menentukan besaran
pajak, jaminan sosial, dan belanja negara yang dapat memunculkan adanya defisit anggaran.
Dapat diartikan pula bahwa defisit struktural merupakan defisit yang muncul karena
kebijakan pemerintah bukan karena siklus ekonomi yang menyebabkan defisit anggaran
(defisit siklikal). Dalam membiayai defisit anggaran, pemerintah memiliki beberapa opsi.
Pilihan yang paling mudah dilakukan adalah dengan melakukan pencetakan uang.
Pengalaman masa lalu memberikan pelajaran bahwa pencetakan uang bukan merupakan
pilihan bijak karena akan meningkatkan jumlah uang beredar dalam jumlah fantastis dan
mendorong terjadinya inflasi tak terkendali. Pilihan yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pinjaman kepada masyarakat dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN).

Di sisi lain, kebijakan moneter bekerja bersamaan agar perekonomian tetap stabil. Seperti
diketahui bahwa implementasi kebijakan fiskal akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi
moneter demikian sebaliknya. Kebijakan anggaran ekspansif yang diterapkan oleh otoritas
fiskal biasanya akan berdampak pada peningkatan demand-supply atas barang dan jasa yang
berujung pada peningkatan inflasi. Untuk mengendalikan hal-hal tersebut, otoritas moneter
memiliki beberapa instrumen diantaranya adalah penentuan besaran suku bunga dan operasi
pasar terbuka dengan Surat Berharga Negara. Instrumen ini dapat digunakan oleh otoritas
moneter untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Dengan terkendalinya jumlah uang
beredar, maka inflasi dapat dikendalikan. Kebijakan moneter yang diterapkan tentu harus
tetap memperhatikan dampaknya terhadap sektor riil khususnya kebijakan fiskal. Penentuan
besarnya tingkat bunga harus tetap memperhatikan besaran defisit anggaran agar kebijakan
yang ditempuh tidak menimbulkan beban utang yang tinggi.

Sukuk Negara sebagai Instrumen Fiskal dan Moneter

Paska krisis ekonomi tahun 1998, pemerintah menerapkan kebijakan  untuk lebih
mengutamakan pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari dalam negeri. Hal ini
dilakukan terutama untuk mengurangi risiko nilai tukar (currency risk). Instrumen
pembiayaan yang menjadi pilihan adalah penjualan Surat Berharga Negara kepada
masyarakat. Dengan meminjam dana dari masyarakat, pemerintah terhindar dari risiko nilai
tukar apabila terjadi gejolak nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing khususnya US
Dollar. Sejak tahun 2000 pemerintah berangsur-angsur menambah jumlah penerbitan SBN
dan mengurangi jumlah utang luar negeri secara langsung (direct loan) baik kepada negara
donor ataupun lembaga pemberi pinjaman.

Seiring meningkatnya kebutuhan pembiayaan dan pentingnya untuk mengembangkan


sumber-sumber pembiayaan, pada tahun 2008 pemerintah menerbitkan SBN yang didesain
sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan syariah yang dikenal sebagai Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) atau Sukuk Negara. Berbeda dengan SBN konvensional yang merupakan
surat pengakuan utang pemerintah kepada pemegang SBN, maka Sukuk Negara pada
dasarnya bukan merupakan surat utang karena sebagai instrumen syariah mensyaratkan
adanya tangible asset/intangible asset yang ditransaksikan. Sehingga Sukuk Negara
digolongkan sebagai instrumen investasi dan pemerintah wajib untuk mengembalikan dana
investor sesuai dengan perjanjian yang ditetapkan.

Penerbitan Sukuk Negara pada tahun 2008 menjadi sebuah era baru dalam pengelolaan
pembiayaan sekaligus memperkaya instrumen fiskal yang dimiliki oleh pemerintah. Seiring
berjalannya waktu, peran Sukuk Negara sebagai instrumen fiskal juga semakin meningkat.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah penerbitan Sukuk Negara yang terus mengalami tren
peningkatan. Pada tahun 2008 penerbitan Sukuk Negara hanya senilai Rp4,7 triliun. Pada
tahun 2012 meningkat menjadi Rp57,09 triliun dan pada tahun 2014 menjadi Rp75,54 triliun.
Saat ini penerbitan Sukuk Negara tidak hanya untuk pembiayaan defisit umum APBN, tetapi
lebih diarahkan untuk pembiayaan proyek infrastruktur. Hal ini bukan saja sejalan dengan
program Kabinet Kerja, tetapi juga sejalan dengan tujuan (maqosid) keuangan syariah yang
turut menjadi pendorong berkembangnya sektor riil dan memberi multiplier-effects bagi
pertumbuhan ekonomi. Sejak tahun 2012, pemerintah telah menerbitkan Sukuk Negara seri
Project-Based Sukuk (PBS) yaitu Sukuk Negara yang menggunakan underlying transaksi
berupa proyek infrastruktur yang telah tercantum dalam APBN. Dengan begitu, hasil
penerbitan (proceeds) Sukuk Negara seri PBS disalurkan untuk proyek-proyek yang dijadikan
underlying penerbitan. Selain itu, sejak tahun 2012 proceeds Sukuk Negara Ritel (SR) juga
digunakan untuk pembangunan proyek. Total Sukuk Negara yang digunakan untuk
pembiayaan proyek sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 telah mencapai Rp83,38 triliun.

Di sisi lain, seiring dengan perkembangan keuangan syariah di Indonesia, industri ini juga
membutuhkan instrumen investasi untuk menyimpan kelebihan likuiditas baik yang
berjangka pendek, menengah maupun panjang. Merespon kebutuhan tersebut, Sukuk Negara
saat ini juga telah diterbitkan dalam berbagai tenor. Seperti Surat Perbendaharaan Negara
Syariah (SPN-S) atau Islamic Treasury Bills dengan tenor 6 bulan, sampai dengan seri PBS
yang bertenor 25 tahun.

SPN-S secara resmi diterbitkan oleh pemerintah pada bulan Agustus 2011. Saat ini investor
SPN-S bukan hanya para pelaku pasar keuangan, tetapi juga oleh regulator sektor moneter
yaitu Bank Indonesia (BI). Langkah BI untuk membeli SBN termasuk Sukuk Negara jangka
pendek merupakan kebijakan BI untuk mengganti secara bertahap instrumen moneter dari
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ke SBN. Dengan begitu, adanya kebijakan Bank Indonesia
ini telah membuktikan bahwa Sukuk Negara bukan hanya menjadi instrumen fiskal tetapi
juga menjadi instrumen moneter. Melalui Sukuk Negara, otoritas moneter dapat mengatur
likuiditas uang yang beredar untuk menstabilkan kondisi perekonomian. Pada saat kondisi
perekonomian mengalami overwhelming, BI dapat menjual Sukuk Negara kepada perbankan
untuk mengurangi jumlah uang beredar. Demikian sebaliknya, bila terjadi kondisi depresi, BI
dapat membeli kembali Sukuk Negara untuk menambah jumlah uang beredar.

Selain itu, pesatnya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia mendorong BI sebagai


otoritas moneter untuk menyediakan beragam instrumen likuiditas guna membantu
mengelola mismatch liquidity industri keuangan syariah. Kehadiran Sukuk Negara dapat
dijadikan instrumen untuk mengelola excess/lack of liquidity. Tantangan pemerintah ke
depan agar peran Sukuk Negara sebagai instrumen fiskal maupun moneter semakin baik
adalah pengembangan pasar Sukuk Negara. Kebutuhan pemerintah untuk menggunakan
Sukuk Negara sebagai instrumen fiskal harus ditopang oleh pasar Sukuk Negara yang
terbangun secara aktif dan likuid. Kondisi tersebut akan memudahkan pemerintah dalam
menerbitkan Sukuk Negara dalam jumlah besar dengan permintaan imbalan (yield)  yang
wajar. Selain itu, kondisi pasar yang aktif dan likuid memberi daya tarik bagi investor karena
akan terhindar dari risiko pasar (market risk) ketika akan menjual atau membeli kembali
Sukuk Negara di pasar sekunder. Di sisi lain, otoritas moneter juga akan semakin banyak
membutuhkan Sukuk Negara sebagai instrumen operasi moneter dan membantu
perkembangan industri keuangan syariah. Tantangan tersebut dapat dihadapi dengan
meningkatkan koordinasi dan harmonisasi peraturan-peraturan dengan pihak-pihak terkait.

Anda mungkin juga menyukai