Anda di halaman 1dari 3

Edisi, 14 September 2021, Oleh: Tempo, Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Antisipasi Potensi Bencana Demografi


Agus Sartono (Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi
Beragama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan)

• Bonus demografi akan menjadi bencana bila tidak diantisipasi. Kebutuhan angkatan
kerja lulusan pendidikan tinggi dan automasi pekerjaan menjadi syarat revolusi
industri 4.0
• Indonesia diperkirakan akan menikmati bonus demografi hingga 2030
• Namun masih sedikit penduduk usia produktif yang mengenyam pendidikan tinggi.
• Pandemi Covid-19 mempercepat revolusi industri 4.0
Hasil sensus penduduk pada September 2020 menunjukkan, selama sepuluh tahun terakhir,
jumlah penduduk Indonesia meningkat hingga 32,56 juta hingga mencapai 270,20 juta jiwa.
Jumlah penduduk yang sangat besar ini didominasi (70,72 persen) oleh penduduk usia
produktif (15-64 tahun). Besarnya proporsi penduduk usia produktif inilah yang kemudian
membuat Indonesia dikatakan akan menikmati bonus demografi hingga 2030.
Jika kita lihat lebih detail, komposisi penduduk Indonesia saat ini terbagi menjadi tiga
generasi, yaitu generasi X (kelahiran 1965-1980), generasi Y (kelahiran 1981-1996), dan
generasi Z (kelahiran 1997-2012). Generasi X masih memegang peranan penting saat ini.
Namun, pada 25 tahun mendatang, mereka akan masuk kategori orang lanjut usia. Adapun
generasi Y (25,78 persen) saat ini menjadi generasi paling produktif dan sangat familiar
dengan Internet of things serta mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu (
multitasking ). Generasi Z saat ini masih duduk di bangku kelas III sekolah dasar hingga baru
saja lulus kuliah. Masa depan Indonesia ada di tangan generasi Z, yang pada 2045 (Indonesia
Emas) akan memegang peranan penting dalam pemerintahan dan segala sektor penting
lainnya.
Dari profil angkatan kerja, sebagian besar generasi X hanya berpendidikan sekolah dasar. Hal
ini terkait dengan program SD inpres yang baru dilaksanakan pada 1973 sebagai bentuk
perluasan layanan pendidikan dasar. Program ini memang ditargetkan untuk mengurangi
angka buta huruf, sehingga sebagian besar penduduk usia sekolah pada kurun waktu tersebut
ditargetkan minimal lulus sekolah dasar.
Mayoritas generasi X bekerja di sektor pertanian yang hingga saat ini masih banyak dilakukan
dengan cara manual dan mesin sederhana. Sektor pertanian tersebut tidak menarik bagi
generasi milenial atau generasi Y, yang lebih memilih bekerja di sektor lain yang lebih banyak
menggunakan kompetensi mereka di bidang Internet of things dan pekerjaan lain yang tidak
harus banyak menggunakan tenaga fisik. Kondisi ini membuat percepatan mekanisasi dan
automasi pertanian menjadi hal penting yang harus segera dilakukan. Keterlambatan akan
berdampak sangat buruk pada ketahanan dan kemandirian pangan. Dengan tren laju
pertumbuhan penduduk 1,25 persen per tahun, penduduk Indonesia akan mencapai 310 juta
jiwa pada 2045. Hal ini juga akan meningkatkan kebutuhan pangan. Rendahnya minat
generasi milenial terhadap sektor pertanian dan masifnya konversi lahan pertanian akan
membuat kita bergantung pada impor. Kondisi ini merupakan salah satu bentuk bencana
demografi.
Pandemi telah membuat revolusi industri 4.0 lahir lebih cepat karena semua sektor dipaksa
menyesuaikan diri sebagai akibat dari disrupsi. Semua sektor yang berbasis manual beralih
pada kegiatan berbasis digital, dari sektor pendidikan, ekonomi, hingga layanan kesehatan.
Internet menjadi kebutuhan pokok masyarakat dalam menjalani kehidupan dengan gaya
hidup baru yang muncul akibat pandemi.
Kondisi yang tidak menentu karena pandemi membuat berbagai keputusan harus diambil
dengan cepat untuk merespons fluktuasi angka kasus Covid-19. Kebijakan pemerintah yang
kerap kali berubah untuk mengantisipasi lonjakan angka kasus juga berdampak pada
mekanisme operasional sektor lain, terutama yang berkaitan dengan logistik, transportasi,
dan pendidikan. Setelah lebih dari satu tahun ajaran proses pembelajaran dilakukan secara
daring, para siswa, guru, dan orang tua mendesak agar satuan pendidikan segera dibuka
untuk penyelenggaraan pembelajaran tatap muka. Desakan ini bukan tidak beralasan,
mengingat banyaknya kendala yang dihadapi selama pembelajaran jarak jauh, dari
keterbatasan infrastruktur dan jaringan Internet hingga rendahnya kepemilikan gawai.
Kondisi ini menjadi potret seberapa jauh kesiapan kita dalam menyongsong revolusi industri
4.0. Apalagi jika dikaitkan dengan lonjakan demografi Indonesia pada beberapa tahun ke
depan. Besarnya angka penduduk usia produktif tidak serta-merta dapat kita katakan sebagai
bonus demografi. Banyak hal yang harus diupayakan agar angka yang besar ini dapat benar-
benar menjadi bonus, bukan sebaliknya. Dari 72,72 persen penduduk usia produktif, ternyata
hanya 13 persen yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Sedangkan sisanya
didominasi oleh lulusan sekolah menengah pertama dan 25 persen di antaranya lulusan
SMA/SMK. Dengan profil angkatan kerja seperti ini, produktivitas nasional dipastikan jauh
tertinggal bila dibanding negara maju, yang angkatan kerjanya didominasi oleh lulusan
pendidikan tinggi.
Tantangan selanjutnya adalah ketersediaan lapangan kerja. Sebagai gambaran, setiap tahun
terdapat 3,7 juta anak lulus dari SMA/SMK/MA. Keterbatasan daya tampung perguruan tinggi,
tingginya biaya pendidikan tinggi, dan kemampuan akademik secara otomatis menyeleksi
anak-anak yang dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Setiap tahun, rata-rata
sekitar 1,9 juta anak dapat masuk ke perguruan tinggi, sedangkan 1,8 juta lainnya harus
masuk pasar tenaga kerja. Pada saat yang sama, setiap tahun terdapat 1,65 juta lulusan
perguruan tinggi. Jadi, setidaknya terdapat 3,45 juta pencari kerja baru setiap tahun, yang
terdiri atas lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Lantas, apakah lapangan kerja yang ada dapat menampung mereka semua? Badan Pusat
Statistik mencatat saat ini terdapat 8,75 juta pengangguran (Februari 2021). Dengan kondisi
ini, setidaknya diperlukan 12,2 juta lapangan kerja. Sementara itu, transformasi digital dan
revolusi industri 4.0 mengakibatkan perubahan struktural di dunia kerja. World Economic
Forum (2020) menunjukkan data bahwa setidaknya 80 persen pekerjaan di dunia akan
digantikan dengan mesin-mesin canggih dan 50 persen menggunakan automasi. Untuk
mengantisipasi kondisi ini, kita harus mampu menciptakan pekerja yang siap dengan
digitalisasi, automasi, dan kecerdasan buatan. Para pekerja perlu berlatih lagi bahkan berganti
keterampilan untuk terus dapat bertahan di tempat kerjanya.
Kondisi tersebut membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi harus bersiap segera mendesain ulang konten pendidikan
tinggi, yaitu dengan membekali mahasiswa dengan kewirausahaan. Dengan bekal
kewirausahaan yang cukup, diharapkan tidak semua lulusan pendidikan tinggi akan menjadi
pencari kerja baru. Mereka dapat menciptakan lapangan kerja untuk menyerap pencari kerja,
baik dari lulusan perguruan tinggi maupun pendidikan menengah.
Pemerintah harus menyiapkan kewirausahaan sehingga angka pengangguran tidak semakin
besar. Pembangunan kawasan ekonomi baru dan pengembangan industri yang bersifat
intensif pekerja masih diperlukan. Revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi yang telah
dijalankan sejak 2016 perlu mendapat perhatian serius. Keterlambatan dan kegagalan
mencetak kewirausahaan baru dapat menjadi bencana demografi saat merayakan Indonesia
Emas 2045.

Anda mungkin juga menyukai