Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi
Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi
1 – 12 April 2001
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kandungan protein kulit
umbi ubi kayu sebagai akibat tumbuhnya mikroba pada kulit umbi kayu tersebut melalui
proses fermentasi. Metode penelitian adalah metode fermentasi substrat padat kulit umbi
ubi kayu dengan menggunakan ragi tape sebagai inokulum. Sebelum fermentasi kulit ubi
kayu diberi perlakuan yaitu 1. segar, 2. dikukus, 3. ditambah urea dan dedak, dan 4.
ditambah NPK dan vitamin B1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan protein
kulit umbi ubi kayu dapat meningkat dari 3,41 % sebelum fermentasi menjadi 5,53 % pada
perlakuan kulit umbi ubi kayu segar murni dengan dosis inokulum 3,0 g/kg dan waktu
fermentasi 8 hari. Peningkatan kandungan protein kulit umbi ubi kayu pada perlakuan
substrat kulit umbi ubi kayu yang dikukus menjadi 8,03 % setelah fermentasi 5 hari,
perlakuan substrat kulit umbi ubi kayu yang ditambah urea + dedak menjadi 8,88 %
setelah fermentasi 4 hari, dan perlakuan substrat kulit umbi ubi kayu yang ditambah NPK
+ vitamin B1 menjadi 4,69 % setelah fermentasi 5 hari.
Abstract
The objective of this research was to increase the protein content of cassava peel
caused by microbial growth and its fermentation process on it, and to determine the
population and diversity of the microbes in “ragi tape” as inoculum. The method used in
this process was solid substrate fermentation of cassava peel with ragi tape as inoculum.
Prior to fermentation process, cassava peel as a substrate was treated with 1. fresh, 2.
steaming, 3. additional of urea and rice brand and 4. additional of NPK and vitamine B1.
The results showed that protein content in fermented fresh cassava peel increased from
3.41 % to 5.53 % after 8 days incubation with 3.09 g/kg inoculum, in fermented steamed
cassava peel was 8.03 % after 5 days fermentation in fermented cassava peel with
additional of urea and rice brand was 8.88 % after 4 days fermentation while 4.69 % in
fermented cassava peel with additional of NPK and B1 vitamine after 5 days fermentation.
1
2 JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
1. Pendahuluan
Kulit umbi ubi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu (Manihot
esculenta Cranz atau Manihot utilissima Pohl) merupakan limbah utama pangan di negara-
negara berkembang. Semakin luas areal tanaman ubi kayu diharapkan produksi umbi yang
dihasilkan semakin tinggi yang pada gilirannya semakin tinggi pula limbah kulit yang
dihasilkan. Setiap kilogram ubi kayu biasanya dapat menghasilkan 15 – 20 % kulit umbi.
Kandungan pati kulit ubi kayu yang cukup tinggi, memungkinkan digunakan sebagai
sumber energi bagi mikroorganisme1-3).
Ragi adalah suatu inokulum atau starter untuk melakukan fermentasi dalam
pembuatan produk tertentu. Ragi ini dibuat dari tepung beras, yang dijadikan adonan
ditambah ramuan-ramuan tertentu dan dicetak menyerupai kue-kue kecil dengan diameter
± 2 – 3 cm, digunakan untuk membuat arak, tape ketan, tape ketela (peuyeum), dan brem
di Indonesia. Secara tradisional bahan-bahan seperti laos, bawang putih, tebu kuning atau
gula pasir, ubi kayu, jeruk nipis dicampur dengan tepung beras, lalu ditambah sedikit air
sampai terbentuk adonan. Adonan ini kemudian didiamkan dalam suhu kamar selama 3
hari dalam keadaan terbuka, sehingga ditumbuhi khamir dan kapang secara alami. Setelah
itu adonan yang telah ditumbuhi mikroba diperas untuk mengurangi airnya, dan dibuat
bulatan-bulatan lalu dikeringkan4-6).
Fermentasi mempunyai pengertian aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah
bahan baku menjadi produk yang bernilai lebih tinggi, seperti asam-asam organik, protein
sel tunggal, antibiotika dan biopolimer. Fermentasi merupakan proses yang relatif murah
yang pada hakekatnya telah lama dilakukan oleh nenek moyang kita secara tradisional
dengan produk-produknya yang sudah biasa dimakan orang sampai sekarang, seperti
tempe, oncom, tape, dan lain-lain. Proses fermentasi dengan teknologi yang sesuai dapat
menghasilkan produk protein. Protein mikroba sebagai sumber pangan untuk manusia
mulai dikembangkan pada awal tahun 1900. Protein mikroba ini kemudian dikenal dengan
sebutan Single Cell Protein (SCP) atau Protein Sel Tunggal. Menurut Tannembaum
(1971), Protein Sel Tunggal adalah istilah yang digunakan untuk protein kasar atau murni
yang berasal dari mikroorganisme, seperti bakteri, khamir, kapang, ganggang dan
protozoa. Sebenarnya ada dua istilah yang digunakan untuk produk mikroba ini, yaitu PST
(Protein Sel Tunggal) dan Microbial Biomass Product (MBP) atau Produk Biomassa
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001 3
Mikrobial (PBM). Bila mikroba yang digunakan tetap berada dan bercampur dengan masa
substratnya maka seluruhnya dinamakan PBM. Bila mikrobanya dipisahkan dari
substratnya maka hasil panennya merupakan PST4,7,8).
Fermentasi dapat dilakukan dengan metode kultur permukaan dan kultur terendam
sub merged. Kultur permukaan yang menggunakan substrat padat atau semi padat banyak
digunakan untuk memproduksi berbagai jenis asam organik dan enzim. Fermentasi media
padat ini sering disebut proses ‘koji’, misalnya proses koji untuk memproduksi enzim yang
dibutuhkan dalam pembuatan shoyu (kecap kedelai), miso, sake, asam-asam organik dan
sebagainya. Fermentasi padat dengan substrat kulit umbi ubi kayu dilakukan untuk
meningkatkan kandungan protein dan mengurangi masalah limbah pertanian. Produk
fermentasi selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan atau suplemen produk pangan atau
pakan4,9,10).
Produk fermentasi dapat diperoleh bersamaan dengan tape singkong karena
fermentasi dapat dilakukan bersamaan dengan pembuatan tape tersebut. Dengan demikian
proses fermentasi ini selain untuk meningkatkan nilai gizi kulit ubi kayu juga untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat. Lebih jauh lagi produk fermentasi dapat dijadikan
bahan pangan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi.
2. Metodologi Penelitian
ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml HCl standar dan indikator fenolftalin
beberapa tetes. Kelebihan HCl dalam destilat dititrasi dengan larutan NaOH standar sampai
warna merah berubah menjadi kuning. Selanjutnya kadar protein dihitung dalam persen
sebagai berikut :
(ml HCl x N HCl) – (ml NaOH x N NaOH) x 144,67
% Nitrogen =
mg sampel
sampai akhir fermentasi terlihat koloni yang dominan adalah koloni khamir, sedangkan
koloni kapang dan bakteri sangat jarang pada semua perlakuan.
Tabel 1. Jumlah Total Mikroba (CFU/g) Produk Fermentasi Kulit Umbi Ubi Kayu
Berdasarkan Perlakuan Dosis Inokulum dan Waktu fermentasi*)
Dosis Waktu
inokulum 2 hari 4 hari 6 hari 8 hari
8 11 12
1,5 g/kg 3,1 x 10 1,4 x 10 5,2 x 10 1,1 x 1015
3,0 g/kg 2,9 x 109 2,4 x 1011 4,6 x 1012 4,4 x 1015
4,5 g/kg 1,4 x 1010 2,9 x 1011 6,4 x 1012 4,5 x 1015
Keterangan : *) = Rata-rata dari duplo
Setelah dua hari fermentasi mikroba sudah mulai bereproduksi terutama pada dosis
inokulum paling rendah yaitu 1.5 g/kg. Berdasarkan dosis inokulum peningkatan jumlah
mikroba pada dosis 3.0 g/kg dan 4.5 g/kg lebih rendah dibandingkan dengan dosis 1.5
g/kg. Dosis inokulan tersebut mengandung jumlah awal mikroba lebih tinggi, sehingga
pada awal pertumbuhan tidak menunjukkan peningkatan yang tinggi. Hal ini akan
tergambarkan lebih jelas apabila dibuat kurva pertumbuhannya.
Diduga pada saat tersebut telah terjadi keseimbangan antara ketersediaan sumber
nutrien dalam medium dan jumlah mikroba, dan selanjutnya sampai akhir fermentasi pola
peningkatan jumlah mikroba pada semua perlakuan dosis inokulum cenderung sama.
Demikian pula pada kandungan protein produk fermentasi kulit umbi ubi kayu (Tabel 2.),
nampak bahwa peningkatan kandungan protein pada semua perlakuan dosis inokulum
hampir sama. Sebagaimana telah disebutkan bahwa peningkatan jumlah massa mikroba
akan menyebabkan meningkatnya kandungan protein pada produk fermentasi. Berhubung
jumlah sel mikroba diukur pada kondisi medium pertumbuhan yang sama yaitu kulit ubi
kayu segar murni, maka peningkatan jumlah sel mikroba pada produk fermentasi kulit ubi
kayu ini dianggap identik dengan peningkatan kandungan protein yang merupakan refleksi
dari jumlah massa sel.
8 JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
Tabel 2. Kadar Protein Produk Fermentasi (%)Kulit Umbi Ubi Kayu Berdasarkan
Perlakuan Dosis Inokulum dan Waktu Fermentasi*)
Kadar Protein, %
Dosis inokulum
2 hari 4 hari 6 hari 8 hari
1,5 g/kg 4,03 4,80 4,97 5,50
5,53
3,0 g/kg 4,18 5,01 5,23
5,64
4,5 g/kg 4,26 5,05 5,39
Keterangan : *): Rata-rata dari duplo
Berdasarkan optimasi ini, maka dosis inokulum yang berkisar antara 1,5 g/kg
sampai 4,5 g/kg dapat direkomendasikan untuk fermentasi kulit umbi ubi kayu dengan ragi
tape yang sama sebagai inokulum. Suatu hal menarik bahwa ragi tape yang digunakan
dengan ukuran rata-rata ± 2 – 3 cm, ternyata mempunyai berat ± 3 gram. Oleh karena itu
untuk memudahkan dalam penerapan selanjutnya maka dipilih dosis inokulum 3 g/kg atau
satu biji ragi tape untuk 1 kg substrat kulit ubi kayu segar murni, dan difermentasi selama 8
hari.
Jumlah total mikroba produk fermentasi kulit umbi ubi kayu dari perlakuan
pengukusan (FP), penambahan urea dan dedak (FUD), dan penambahan NPK dan vitamin
B1 (FNV) dapat dilihat pada Tabel 3. Fluktuasi jumlah mikroba nampak lebih rendah pada
perlakuan FP dibandingkan perlakuan FUD dan FNV. Hal ini terjadi karena jumlah
mikroba pada substrat sebelum fermentasi (0 hari) memang rendah, akibat perlakuan
pengukusan. Perbedaan jumlah mikroba pada awal fermentasi secara teoritis
mengakibatkan penggandaan jumlah sel yang berbeda pula. Selanjutnya menurut
Hartoto18), bahwa mikroorganisme seringkali tumbuh lebih baik pada bahan pangan yang
telah dimasak dibandingkan pada bahan pangan mentah karena zat-zat gizi tersedia lebih
baik dan tekanan persaingan dari mikroorganisme lain telah dikurangi.
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001 9
Tabel 3. Jumlah Total Mikroba Produk Fermentasi (CFU/g) Kulit Umbi Ubi Kayu
Berdasarkan Perlakuan Pengukusan dan Penambahan Mineral dan Waktu Fermentasi*)
Macam Waktu
perlakuan 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari
FP 1,2 x 106 1,6 x 109 1,1 x 109 2,9 x 107 2,0 x 109
FUD 3,3 x 1010 2,1 x 1013 2,3 x 1017 1,5 x 1018 2,9 x 1017
FNV 9,1 x 1010 4,7 x 1013 4,1 x 1017 4,0 x 1018 2,4 x 1017
Kemudian dari data Tabel 4, diketahui bahwa kandungan protein produk fermentasi
kulit umbi ubi kayu pada perlakuan FP dan FUD nampak lebih tinggi dibandingkan pada
perlakuan FNV. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aktivitas biosintesis protein oleh
mikroba pada substrat yang diberi perlakuan pengukusan dan substrat yang ditambah urea
dan dedak, lebih tinggi dibandingkan substrat yang ditambah NPK dan vitamin B1. Urea
merupakan sumber N yang mudah digunakan oleh mikroba karena strukturnya yang
sederhana. Sementara dedak telah diketahui mengandung niasin yang merupakan asam
amino yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan mikroba. Selain itu dedak juga masih
mengandung sumber N dan vitamin yang lain yang dapat menunjang pertumbuhan
mikroba. Dengan demikian substrat kulit ubi kayu dengan perlakuan FUD mengandung
total mikroba paling tinggi. Kadar N total pada substrat FNV lebih rendah dibandingkan
dengan FUD, begitu juga kadar vitaminnya.
Tabel 4. Kadar Protein Produk Fermentasi (%) Kulit Umbi Ubi Kayu Berdasarkan
Perlakuan Pengukusan dan Penambahan Mineral dan Waktu Fermentasi*)
Perlakuan pengukusan menyebabkan konstitusi kimia dari substrat kulit umbi ubi
kayu lebih banyak dapat dimanfaatkan, serta struktur fisiknya lebih mudah ditembus
miselia18). Oleh karena itu miselium kapang nampak lebih padat pada perlakuan FP
dibandingkan perlakuan FNV. Tingginya kandungan protein pada perlakuan FP merupakan
refleksi dari padatnya massa miselium kapang pada substrat. Sebagaimana telah disebutkan
bahwa pada perlakuan FNV yang dominan adalah bakteri, karena satu sel bakteri
ukurannya lebih kecil dibandingkan sel kapang yang berupa miselium maka besar
JMS Vol. 6 No. 1, April 2001 11
kemungkinan biomassa mikroba pada perlakuan FP lebih tinggi daripada perlakuan FNV.
Dengan demikian kandungan protein produk fermentasi kulit umbi ubi kayu pada
perlakuan FP yang merupakan refleksi dari jumlah massa sel akan lebih tinggi
dibandingkan perlakuan FNV.
Kadar N dari urea dan dedak dalam penelitian ini digunakan sebagai sumber nutrisi
bagi pertumbuhan mikroba sehingga semua N dari kedua aditif tersebut dikonversi jadi
biomasa baik kapang maupun bakteri. Pada akhir fermentasi kadar N tersebut
diperhitungkan telah habis.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kandungan
protein kulit umbi ubi kayu dapat meningkat dari 3,41 % sebelum fermentasi menjadi 5,53
% pada perlakuan kulit ubi kayu segar murni dengan dosis inokulum 3,0 g/kg dan waktu
fermentasi 8 hari. Peningkatan kandungan protein kulit umbi ubi kayu pada perlakuan
substrat umbi kulit ubi kayu yang dikukus menjadi 8,03 % setelah fermentasi 5 hari,
perlakuan substrat kulit umbi ubi kayu yang di-tambah urea + dedak menjadi 8,88 %
setelah fermentasi 4 hari, dan perlakuan substrat kulit umbi ubi kayu yang ditambah NPK
+ vitamin B1 menjadi 4,69 % setelah fermentasi 5 hari. Ragi tape yang digunakan sebagai
inokulum mengandung jumlah total mikroba sebanyak 1,6 x 107 CFU/gram. Adapun
isolat-isolat yang diperoleh dari ragi tersebut terdiri atas 4 macam isolat mikroba, yaitu 2
isolat kapang dari genus Rhizopus dan 2 isolat khamir yaitu 1 dari genus Saccharomyces
dan 1 dari genus Schizosaccharomyces.
Daftar Pustaka
1. Ofuya, C. O. and Obilor, S. N., “The Suitability of Fermented Cassava Peel As A
Poultry Feedstuff”, Bioresource Technology, 44 : 101 – 104 (1993).
2. Rukmana, R., “Ubi Kayu, Budidaya dan Pascapanen” Penerbit Kanisius, Jakarta, 11 –
35 (1997).
3. Tjitjah, A.., “Biokonversi Limbah Umbi Singkong Menjadi Bahan Pakan Sumber
Protein oleh Jamur Rhizopus sp. Serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ayam
Pedaging”, Disertasi Pascasarjana UNPAD, Bandung, 183 h (1995).
12 JMS Vol. 6 No. 1, April 2001
4. Beuchat, L. R., “Food and Beverage Mycology”, 2nd ed., Van Nostrand Company Inc.,
New York, 1 – 50, 269 – 516 (1987).
5. Tjitrosomo, S., Gunawan, G.A.W. dan Zakaria, M.A., “Kamus Istilah Mikologi”,
Departemen Botani Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 97 h (1987).
6. Winarno, F. G., “Seri Teknologi Pangan III”, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pangan IPB, 11 – 19 (1984).
7. Judoamidjojo, M., Sa’is, E.G. dan Hartoto, L., “Biokonversi”, Pusat Antar Universitas-
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, 1 – 32 (1989).
8. Pederson, C. S., “Microbiology of Food Fermentations”, The Avi Publishing Co., Inc,
Westport, Connecticut, 1 – 246 (1971).
9. Frazier, W. C. and Westhoff, D.C., “Food Mycrobiology”. 4th ed., McGraw-Hill, Inc.,
New York, 1 – 39 (1988).
10. Rahman, A., “Teknologi Fermentasi”, Penerbit Arcan, Jakarta, 33 – 35, 149 –162
(1992).
11. Cappuccino, J.C. and N. Shjerman, “Microbiology: Laboratory Manual”, The
Benjamin Cummings Publishing Company, Inc., 51 –210 (1987).
12. Fardiaz, S., “Analisis Mikrobiologi Pangan”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 35 –
46 (1993).
13. Alexopoulos, C.J., “Introductory Mycology”, 2nd ed., John Wiley & Sons, Inc., New
York, 184 –210, 241 – 261, (1962).
14. Fardiaz, S., “Fisiologi Fermentasi”, Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor
dan Lembaga Sumber daya Informasi-IPB, 3 – 135 (1988).
15. AOAC, Official Methods of Analysis. 15th ed. “Agricultural Chemicals; Contaminantc;
Drugs”, Vol. 1., Association of Official Analyticals Chemists, Inc., Washington DC, 6
– 90 (1990).
16. Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi, “Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan
dan Pertanian” Edisi ketiga, Liberty, Yogyakarta, 138 h (1984).
17. Suliantari dan Rahayu, W.P., “Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Biji-bijian”,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan - PAU Pangan dan Gizi IPB, 18 – 58 (1990).
18. Hartoto, L., “Petunjuk Laboratorium Teknologi Fermentasi”, Pusat Antar Universitas-
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, 5 – 129 (1992).