Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Malayu atau Melayu hingga kini terkadang diidentikkan dengan Riau dan
sekitarnya. Mengapa demikian? Di masa lalu, Riau –sekarang menjadi Provinsi Riau
dan Provinsi Kepulauan Riau– telah ditandai beberapa gelombang migrasi nenek
moyang bangsa Indonesia. Gelombang migrasi pertama konon menunjukkan ciri ras
Weddoid yang datang sesudah zaman es terakhir. Ras ini disebut-sebut sebagai ras
pertama yang menghuni Nusantara. 

Sisa-sisa nenek moyang ras gelombang pertama ini masih ada sampai
sekarang,yang merupakan golongan tersendiri di Riau dan disebut sebagai Orang
Sakai, Orang Hutan, dan Orang Kubu. Orang-orang asli ini memiliki populasi yang
tidak banyak. Orang Sakai mendiami Kecamatan Kuno-Darussalam, Kabupaten
Kampar, dan Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis. Jumlahnya terbatas, kira-
kira 2160 jiwa. Orang Hutan mendiami Pulau Penyalai di Kecamatan Kuala Kampar
di Kabupaten Kampar, dengan jumlah sekitar 1494 jiwa.

Gelombang migrasi pertama terjadi pada periode 2500-1500 SM dengan berciri


ras Proto Melayu yang merupakan pendukung kebudayaan zaman batu baru. Mereka
menyebar ke Pulau Sumatra melalui Semenanjung Melayu. Sisa mereka terdapat di
Riau, yang dikenal sebagai Orang Talang Mamak dan Orang Laut. Orang Talang
Mamak menetap di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten
Indragiri Hulu, dengan populasi sebanyak 3276 jiwa (1980). Orang Laut menghuni
Kecamatan Reteh dan Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, serta di
Kecamatan Tambelan, Kepulauan Riau, sebanyak 2849 jiwa. Selain itu, ada golongan
orang-orang asli lainnya yaitu Orang Akit yang mendiami Kecamatan Rupat,
Bengkalis, Mandau, Tebing Tinggi di Kabupaten Bengkalis, sebanyak 11625 jiwa.

Gelombang migrasi ras Melayu kedua datang sesudah tahun 1500 SM yang
disebut Deutro Melayu. Golongan ini menyebabkan Proto Melayu menyingkir ke
pedalaman, sisanya bercampur dengan pendatang baru. Proses selanjutnya, orang-
orang Deutro Melayu bercampur lagi dengan pendatang-pendatang dan berbagai
golongan berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Percampuran itu menghadirkan
suku-suku bangsa Melayu. Mereka inilah penduduk mayoritas yang mendiami
kawasan Riau. Suku-suku bangsa Melayu Riau menghadirkan sub-sub suku bangsa
Melayu Siak, Melayu Bintan, Melayu Rokan, Melayu Kampar, Melayu Kuantan, dan

1
Melayu Indragiri, dengan alat komunikasi utama (lingua franca) bahasa Melayu
tersebar ke seluruh pelosok Nusantara.

Bahasa Melayu Riau dibedakan sebagai dialek bahasa Melayu Riau kepulauan
dan pesisir serta dialek Melayu Riau daratan. Dialek pertama adalah sub-dialek
Tambelan, Tarempa, Bunguran, Singkep, Penyengat, dan lain-lain. Sementara dialek
kedua adalah sub-dialek Kampar, Rokan, Kuantan, Batu Rijai, Peranap, dan lain-lain.
Di samping itu masih terdapat bahasa-bahasa orang asli seperti bahasa Sakai, bahasa
Orang Laut, bahasa Akit, dan bahasa Talang Mamak.

1.2ALASAN PENULISAN MAKALAH


Membagikan pengetahuan atau saling memberikan informasi kepada rekan –
rekan mahasiswa untuk mengetahui jejak dan sejarah perkembangan melayu Riau
dan Kepulauan Riau.

1.3Rumusan Masalah

A. Jejak Sejarah dan Budaya Melayu Riau dan Kepulauan Riau.

B. Selayang Pandang Keemasan Melayu dan Nusantara.

C. Eksistens Melayu Kepulauan Riau dan Riau

D. Peradaban / Adat Istiadat Melayu Kepulauan Riau.

1.4.Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:


1. Untuk mendiskripsikan pengertian akhlak.
2. Untuk menjelaskan hubungan akhlak  dan tingkah laku.
3. Untuk lebih mengetahui tentang pembagian akhlak.
4. Untuk lebih memahami kedudukan Akhlakul Karimah.

Adapun kegunaannya adalah:


1. Menambah wawasan dan sebagai bahan bacaan.
2. Memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sejarah dan Budaya Melayu.

2
BAB II
ISI

A. JEJAK SEJARAH DAN BUDAYA MELAYU RIAU


DAN KEPULAUAN RIAU
Sebuah kerajaan Melayu Islam terbesar di Riau telah meninggalkan jejak
yang cantik di bumi melayu dan nusantara, Istana  Siak, itulah nama yang biasa
disebut.
Istana Siak atau biasa disebut dengan ” Istana Matahari Timur ” atau disebut
juga Asserayah Hasyimiah ini dibangun oleh Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil
Syaifuddin pada tahun 1889 oleh arsitek berkebangsaan Jerman. Arsitektur bangunan
merupakan gabungan antara arsitektur Melayu, Arab, Eropa. Bangunan ini terdiri dari
dua lantai. Lantai bawah dibagi menjadi enam ruangan sidang: Ruang tunggu para
tamu, ruang tamu kehormatan, ruang tamu laki-laki, ruang tamu untuk perempuan,
satu ruangan disamping kanan adalah ruang sidang kerajaan, juga digunakan untuk
ruang pesta. Lantai atas terbagi menjadi sembilan ruangan, berfungsi untuk istirahat
Sultan serta para tamu Istana. Di dalam istana akan kita lihat berbagai koleksi yang
bernilai tinggi seperti Kursi Singgasana Sultan yang berbalut emas.

3
Bangunan Istana Siak bersejarah tersebut selesai pada tahun 1893. Pada
dinding istana dihiasi dengan keramik khusus didatangkan buatan Prancis. Beberapa
koleksi benda antik Istana, kini disimpan Museum Nasional Jakarta, Istananya sendiri
menyimpan duplikat dari koleksi tersebut.

Diantara koleksi benda antik Istana Siak adalah: Keramik dari Cina, Eropa,
Kursi-kursi kristal dibuat tahun 1896, Patung perunggu Ratu Wihemina merupakan
hadiah Kerajaan Belanda, patung pualam Sultan Syarim Hasim I bermata berlian
dibuat pada tahun 1889, perkakas seperti sendok, piring, gelas-cangkir
berlambangkan Kerajaan Siak masih terdapat dalam Istana, komet , kapal kato (kapal
raja siak). 

Dipuncak bangunan terdapat enam patung burung elang sebagai lambang


keberanian Istana. Sekitar istana masih dapat dilihat delapan meriam menyebar ke
berbagai sisi-sisi halaman istana, disebelah kiri belakang Istana terdapat bangunan
kecil sebagai penjara sementara.
BURUNG ELANG SIMBOL KEBERANIAN ISTANA SIAK
                
Disisi lain terdapat pula alat musik Komet yang dibuat secara home industri di
Jerman yang memiliki piringan dengan garis tangan sekitar 90 cm berisikan lagu-lagu
klasik dari Mozard dan Bethoven.Konon barang ini hanya ada dua di dunia yaitu di
Jerman sebagai pembuat dan di istana Siak.                  
KOMET
Di ruang yang lain kita saksikan berbagai kursi meja baik dari kayu, kristal dan
kaca tertata rapi di bawah lampu-lampu kristal berwarna-warni bergantungan di
plafon istana, demikian pula berbagai bentuk almari dan berjenis senjata dari tembaga
dan besi. Disamping itu terdapat pula aneka cinderamata yang merupakan hadiah dari
para sahabat dan daerah di sekitar Siak.
Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Kerajaan Siak di masa lalu dapat kita
lihat melalui foto-foto berukuran besar yang terletak di dalam Istana Siak. Terdapat
juga sebuah cermin yang menjadi milik oleh para permaisuri Sultan yang dapat
membuat wajah semakin cerah dan awet muda bila sering bercermin di sana. Cermin
ini dinamakan cermin Ratu Agung. Istana Siak adalah bukti sejarah kebesaran
Kerajaan Melayu Islam yang terbesar di daerah Riau. Masa kejayaan Kerajaan Siak
berawal dari abad ke-16 sampai abad ke-20, dan silsilah Sultan-sultan Kerajaan Siak
dimulai pada tahun 1723 M dengan 12 Sultan yang pernah bertahta.

4
Dibagian luar Istana,kita dapat menjumpai kapal Kato milik sang raja, Kapal
Kato adalah sebuah kapal besi dengan bahan bakar batu bara dimiliki oleh Sultan
Siak, dan selalu digunakan pada saat berkunjung ke daerah-daerah kekuasaannya.
Kapal ini berukuran panjang 12meter dengan berat 15 ton.
KAPAL KATO

Uniknya, dibalik keindahan benda-benda yang dipamerkan ada sebuah lemari


besi besar yang kokoh dan tidak bisa dibuka. Lemari besi berukuran 0,5 x 1,2 meter
tampak biasa saja. Di balik dinginnya lemari yang knopnya telah dibongkar dan
berbobot sekitar 300 kilogram tersebut ternyata tidak pernah bisa dibuka. Kuncinya
dibuang ke laut oleh Sultan Syarif Kasim II Siak yang terakhir, sewaktu beliau
menjadi penasehat Presiden Soekarno pada tahun 1945-1950.

5
       Setelah melihat Istana Siak dengan berbagai macam kekayaan peninggalannya,
tidaklah lengkap jika kita tidak mengetahui bagaimana  Sejarah dari Kerajaan Siak.

Sebelum berdirinya Kerajaan Siak II pada tahun 1723 oleh Sultan Abdul Jalil
Rachmad Syah yang di Pertuan Raja Kecil yang pusat pemerintahannya di Kota
Buantan, kawasan Siak sampai batas Minangkabau dan pantai Timur Pulau Sumatera
dibawah kekuasaan Kerajaan Johor sebagai penerus imperium Melaka. Kerajaan
Gasib merupakan Kerajaan Siak I yang berkedudukan di Sungai Gasib di Hulu
Sungai Siak. Kerajaan ini adalah pecahan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Muara
Takus. Raja yang terakhir dari Kerajaan Gasib ini yang telah beragama islam adalah
Sultan Hasan yang ditabalkan menjadi Raja oleh Sultan Johor. Kerajaan Siak I
berakhir kekuasaannya pada tahun 1622 M.

Selama 100 tahun negeri ini tidak mempunyai raja, untuk mengawasi negeri ini
ditunjuk seorang Syahbandar yang berkedudukan di Sabak Auh dikuala sungai siak
dengan tugas memungut cukai hasil hutan, timah dan hasil laut di kawasan Kerajaan
Johor.

Pada permulaan tahun 1622 Sultan Mahmud Syah , Sultan Johor Ayahanda Raja
Kecil dibunuh oleh Megat Sri Rama sewaktu pulang dari Sholat Jum’at. Kerajaan
Johor diambil alih oleh Datuk Bendahara Tun Hebab dan mengangkat dirinya sebagai
raja Johor memakai gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (1699-1719). Keluarga
Sultan Mahmud Syah II dikejar dan dibunuh, termasuk orang-orang besar Kerajaan,

6
dayang-dayang serta pengikut setia, maksudnya untuk menghilangkan keturunan
Sultan Mahmud Syah II.

Tindakan ini bukanlah menambah kewibawaan dan kekuasaan tetapi sebaliknya


timbul kebencian serta kekacauan dimana-mana di Negeri Johor dan daerah
taklukannya. Beberapa daerah taklukannya melepaskan diri seperti : Indragiri,
Kampar, Kedah, Kelantan, Trenggano dan Petani. Orang Minangkabau, Bugis, yang
hidup sebagai pengembara memusuhi Sultan termasuk orang-orang Melayu di Petani.

Encik Pung, Ibunda Raja Kecil dapat diselamatkan oleh Ayahandanya Datuk
Laksemana Johor, maka Encik Pung melahirkan putra lelaki bernama Raja Kecil
yang dipanggil Tuan Bujang dan dapat disembunyikan sampai Raja Kecil berumur 7
tahun. Karena pengejaran terus dilaksanakan oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah
terhadap Raja Kecil sebagai pewaris Kesultanan Johor, maka neneknya Datuk
Laksemana Johor kemudian dibantu oleh Raja Negara di Singapura dan Datuk
Temenggung Muar, maka Raja Kecil bersama ibunya Encik Pung dititipkan kepada
saudagar orang Minangkabau yang bergelar Nakhoda Malim untuk dibawa ke Jambi
dan kemudian terus ke Pagaruyung dan diserahkan kepada Raja Pagaruyung Yang
Tuan Sakti untuk mendapatkan perlindungan.

Di Pagaruyung Raja Kecil dididik dan dibesarkan sebagai anak Raja sehingga
mendapat pengetahuan menangani pemerintahan, agama, adat istiadat, kemiliteran
dan bela diri.  Setelah itu maka Raja Kecil tiada berhenti daripada menuntut ilmu
dunia akhirat, tiada meninggalkan sembahyang dan terdekat dengan guru agama dan
guru-guru dunia dan bercampur dengan orang besar yang bijaksana. Raja Kecil
menuntut bela atas kematian ayahandanya, merebut kembali tahta Kerajaan Johor.
Raja Kecil mempersiapkan kekuatan untuk menyerang Johor dengan mendapat
bantuan orang Batu Bara yang berasal dari Minang kabau, Orang-orang Melayu
Pesisir di Tanah Putih dan Kubu. DiBengkalis Raja Kecil mengatur kekuatan dan
mendapat bantuan dari orang-orang Minang kabau yang ada disana serta orang
Melayu yang setia dengan Sultan Mahmud Syah II.

Pada tanggal 21 Maret 1717, Tahta Kerajaan Johor jatuh ketangan Raja Kecil.
Sultan Abdul Jalil Riayat Syah turun tahta yang telah memerintah di Kerajaan Johor
pada tahun 1699-1717.  Pemerintahan Raja Kecil tidak bertahan lama di Kerajaan
Johor, karena Daeng Parani sangat marah dan dendam serta ditambah pula hasutan
Tengku Tengan yang semula bakal menjadi isteri Raja Kecil sebagai permaisuri
Kerajaan Johor gagal, karena Raja Kecil sangat senang dengan adiknya yaitu Tengku
Kamariyah. Akhirnya Tengku Kamariyah menjadi permaisuri Kerajaan Johor isteri

7
Raja Kecil. Daeng Parani, Tengku Sulaiman dan Tengku Tengah bersepakat untuk
merebut kembali kekuasaan Raja Kecil di Johor.
Terjadilah perang saudara anatar Raja Kecil sepihak dengan Tengku Sulaiman,
sedangkan Tengku Tengah dan Daeng Parani dengan pengikutnya orang-orang Bugis
membantu Sultan Sulaiman.

Serangan ke Bintan untuk membalas dendam dilanjutkan pada tahun 1723, Raja
Kecil berhasil mengambil isteri Tengku Kamariyah beserta pembesar Kerajaan yang
ditawan. Raja Kecil kembali ke Bengkalis dan mencari daerah yang aman dari
serangan orang luar dan mendirikan Kerajaan baru yang terletak di Sungai Siak yaitu
di Kota Buantan. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Siak. Raja Kecil dengan
Kerajaan Siak ini menyusun kekuatan untuk menyerang Bintan. Serangan ini terus
menerus dilaksanakan hingga tahun 1737.

Raja Kecil kembali ke Siak mendirikan pusat Kerajaan dan membangun negeri
Buantan yang terletak dipinggir Sungai Siak yang dikenal dengan nama Sungai
Jantan. Dipusat Kerajaan Sultan Abdul Jalil Rachmat Syah melakukan konsolidasi
dalam bidang bidang pemerintahan, militer dan perbaikan perekonomian
negerinya.  Setelah wafatnya Tengku Kamariyah, isteri Raja Kecil yang tercinta yang
sangat setia kepada suaminya di Kota Buantan, Raja Kecil sering sakit dan
mendapatkan tekanan batin. Pada tahun 1746 Raja Kecil dengan gelar Sultan Abdul
Jalil Rachmat Syah mangkat, beliau disemayamkan di Kota Buantan dan digelar
MARHUM BUANTAN.

KEPULAUAN RIAU

Sebagaimana terlihat pada peta, Kepulauan Riau memang merupakan bagian yang
secara historis menyatu dengan perkembangan kawasan-kawasan Selat Melaka
selama berabad-abad yang silam. Di wilayah ini terdapat pulau Bintan, yang pada
abad ke-13 didatangi Sri Tribuana dari Bukit Siguntang, dekat Palembang. Dari pulau
inilah peradaban Melayu di Selat Melaka berkembang, seiring dengan penemuan
Temasik (Singapura), kemudian penubuhan Kerajaan Melaka yang berjaya menjadi
kerajaan dan pusat perniagaan dominan di nusantara abad ke-14 – 15.

Setelah Melaka runtuh, pusat kerajaan penerusnya berpindah-pindah, berturut-


turut ke Hulu Riau (Riau merujuk pada nama sungai di pulau Bintan), Johor,
Pekantua Kampar, kembali lagi ke Johor, lalu ke Kotapiring (lagi: Bintan).
Demikianlah, sejak abad ke-13 sampai awal abad ke-19, secara umum tanah
semenanjung, kepulauan Riau, serta sebagian Sumatera Timur (kawasan Provinsi

8
Riau dan sebagian Sumatera Utara sekarang) sesungguhnya merupakan satu kesatuan
politik dan budaya.
Kesatuan politik itu, khususnya, mulai berakhir manakala dua kuasa kolonial,
Belanda dan Inggris, pada tahun 1824 menandatangani Traktat London (Treaty of
London) yang membelah kawasan ini menjadi dua wilayah pengaruh politik.
Singapura dan negeri-negeri semenanjung berada di bawah kuasa politik Inggris,
sedangkan Riau dan Sumatera Timur di bawah kuasa Hindia-Belanda.

Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang sebagai pewaris Melaka dibelah-bagi


menjadi Riau-Lingga (di bawah pengaruh Hindia Belanda) dan Johor-Pahang (di
bawah pengaruh Inggris). Pembagian melalui Traktat London itu, dalam historiografi
Melayu di kepulauan Riau dicatat dalam nada pedih, sebagai bentuk cerai-paksa
sebuah keluarga (misalnya, sebagaimana dinyatakan Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-
Nafis).

Kerajaan Riau-Lingga pasca Traktat London tersebut membangun pusatnya di


Daik-Lingga, dengan pemerintahan berada di tangan Yang Dipertuan Muda yang
berkedudukan di Penyengat. Setelah Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah berkuasa,
pusat kerajaan Riau-Lingga ini sepenuhnya berada di Pulau Penyengat, sampai
kerajaan ini dibubarkan oleh Belanda (de jure: 1911; de facto: 1913).

Pemecahan politik Melayu oleh dua kuasa kolonial itu, memang


membekaskan perkembangan yang berbeda dalam geliat ekonomi kawasan Selat
Melaka semasa abad ke-19. Inggris menumpukan pembangunan pada Singapura, dan
menjadikan pulau ini sebagai pusat perniagaan yang diunggulkan, selain Pulau
Pinang. Sementara Belanda yang menguasai wilayah yang begitu luas nampaknya
hanya menekankan aspek pemeliharaan keamanan Selat Melaka sebagai jalur
perdagangan.

Diplomasi dan perang sebagai pilihan penyelesaian konflik-konflik yang


melibatkan Belanda di Riau-Lingga dan Daerah Takluknya pada abad ke-19 pasca
1824, hampir seluruhnya berkenaan dengan keamanan Selat Melaka dan Laut Cina
Selatan, yang berada di bawah domain mereka. Belanda lebih fokus membangun
Jawa sehingga pembangunan kawasan di titik-titik potensial di Riau-Lingga
terabaikan, dan membuat Singapura menjadi pusat perdagangan tunggal di kawasan
ini. Sampai kekuasaan  Belanda berakhir, kita menyaksikan tidak ada satupun
kawasan di bekas kerajaan Riau-Lingga dan Daerah Takluknya yang berkembang
sebagai bandar perdagangan yang setara dengan Singapura atau Pulau Pinang. Maka

9
dalam pengalaman sosial Riau-Lingga semasa Traktat London 1824 itu juga
mempercepat kemerosotan ekonomi para elite dan rakyat kerajaan.

Namun pemecahan dan tekanan politik bersama kemerosotan ekonomi itu


ternyata tidak mengakibatkan perasaan ’bersaudara’ ikut terkikis. Perasaan
bersaudara itu dengan jelas terus bergema di dalam karya-karya budaya Riau-Lingga
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seperti misalnya didalam Tuhfat al-Nafis-nya yang
terkenal itu, Raja Ali Haji selalu memaparkan perkembangan di semenanjung dan
Singapura semasa sebagai bagian yang menyatu dengan kronik dan kisahan
sejarahnya tentang Riau-Lingga. Kamus Melayunya yang berjudul Kitab
Pengetahuan Bahasa pun menyebutkan bahwa kata-kata atau istilah yang
dimaknakannya itu adalah kata atau istilah dari bahasa Johor-Riau. Rekannya, Haji
Ibrahim, menulis buku percakapan berjudul Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa
Melayu Johor (1872).

Perasaan menyatu sebagai saudara itu demikian kentalnya, sehingga bagi


orang kepulauan Riau, kawasan semenanjung adalah juga ’kampung halaman’ yang
memberi kemungkinan bagi mereka untuk pulang. Di bawah tekanan Belanda,
misalnya, Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah meninggalkan Penyengat pada tahun
1913, ’pulang’ ke Singapura sampai baginda wafat di negeri yang menjadi bagian
kerajaan Johor itu, dan dikebumikan di pemakaman Masjid Negara Johor di Telok
Belanga. Pengarang Aisyah Sulaiman, setelah suaminya bernama Khalid Hitam
meninggal di Jepang, juga ’pulang’ ke Johor dan wafat di sana. Demikian pula Raja
Ali Kelana, dan pejuang kemerdekaan bernama Raja Haji Muhammad Junus. Mereka
seperti meniru ’kepulangan’ pendahulunya, Sultan Mahmud dari Kampar pada abad
ke-16, yang dalam desakan penjajah, ’bergerak pulang’ ke Bintan, lalu kembali ke
Kampar, sampai wafat di sana.

B. SELAYANG PANDANG KEEMASAN MELAYU DI NUSANTARA


Melayu atau melayu hingga kini kadang diidentikkan dengan riau dan
sekitarnya, Mengapa demikian ?Dimasa lalu, riau sekarang menjadi provinsi riau dan
perovinsi kepulauan riau telah ditandai beberapa gelombang migrasi nenek moyang
bangsa indonesia. Gelombang migrasi pertama konon menunjukan ciri khas widdoid
yang datang sesudah zaman es terakhir. Ras ini disebut sebagai ras pertama yang
menghuni nusantara.sisa-sisa nenek moyang ras gelombang ini masi ada sampai
sekarang,yang merupakan golongan tersendiri di riau dan disebut sebagai orang sakai,
orang Hutan, dan orang kubu. Gelombang migrrasi pertama terjadi pada periode
2500-1500 dengan berciri ras proto melayu yang merupakan penduduk kebudayaan
zaman batu baru.

10
Gelombang migrasi ras melayu kedua datang sesudah tahun 1500 SM yang
disebut deutromelayu, golongan ini menyebabkan golongan peroto melayu
menyingkir ke pedalaman, sisanya bercampur dengan pendatang baru.peroses
selanjutnya, orang-orang deutro melayu bercampur lagi dengan pendatang-pendatang
dari berbagai golongan berasal dari penjuru Nusantara. Percampuran itu
menghadirkan suku-suku bangsa melayu. Mereka inilh penduduk mayoritas yang
mendiami kawasan riau. Suku-suku bangsa melayu menghadirkan sub-sub suku
bangsa melayu siak, Melayu bintan, Melayu rokan, Melayu kampar, melayu kuantan,
dan melayu indragiri, dengan alat komunikasi utama (lingua franca) bahsa melayu
tersebar kepelosok nusantara. Melayu dapat dipilah berdasarkan kategori sebagai
berikut :

1. Melayu yang tidak totok (tidak murni) merupakan kelompok orang-


orang laut /orang sampan yang semula hidup dilaut kemudian menetap
didaratan dipulau-pulau kecil sekitar riau sebagai komunitas-
komunitas kecil dengan adat-istiadat melayu dan berbicara dengan
dialek khas, seperti orang galang dipulau keras dan pulau galang.

2. Melayu umum atau melayu totok, merupakan orang-orang melayu


yang lahir berasal dari melayu itu sendiri berbahasa dan adat-istiadat
melayu. Artinya, semula melayu tidak totok tetapi memiliki jabatan
dan kedudukan.

C.EKSISTENSI MELAYU RIAU DAN KEPULAUAN RIAU


Tahun 400 M merupakan batas di antara periode proto sejarah dan periodik
klasik, periode yang ditandai oleh hadirnya pertukaran budaya (akulturasi) terjadi
pada dan dihampir seluruh Asia Tenggara (daratan dan kepulauan). Akulturasi
kebudayaan itu adalah dari cina dan hindia, terutama dari india yang kala itu
menduduki pamor internasional dikawasan asia. Peristiwa pertukaran antara budaya
tersebut menyebabkan perpaduan dengan menghasilkan corak-corak khas kebudayaan
dengan ditengarai bentuk-bentuk kekuatan politik kerajaan lama dengan berbusana
baru yakni hindu-budha.

Menurut sartono, pada sekitar abad ke-3 M, di teluk wen berkembang kerjaan
tchu po, ko king, sanfosihih. Tetapi,karena peristiwa alam dahsyat, yakni terjadi
pengendapan lumpur, teluk wen bertambah maju ketimur dan sekaligus menyebabkan
kemunduran dan kejatuhan kerajaan-kerajaan purba tersebut. Setelah kerajaan ko
ying lenyap, muncul lah kerajaan baru yakni kant’oil pada abad ke-5 dan ke-6 M dan
Moloyo (melayu) pada abad ke-7 M.

11
Meskipun letak pastinya belum dapat diketahui, namun wolters dan sartono
sama-sama berpendapat bahwa kerajaan tchu po terletak di muara tembesi yang
kemudian digantikan oleh kerajaan ko ying dan moloyo. Kerajaan-kerajaan yang
tergolong melayu purba itu berada di sekutar pesisir timur pantai sumatera, tidak jauh
dari ujung bagian utara lajur gunung api sorik merapi.

Selain itu, berita dari cina juga menyebut pusat-pusat kekuasaan politik di
melayu kuno purba tersebut mengalami pasang-surut hingga muncul kekuataan
politik paling berpengaruh, yakni kerajaan melayu dan kerajaan sri vijaya
(seriwijaya). Keduanya silih berganti mengisi sejarah peradaban sumatera masa lalu.
Kejayaan melegenda dikawasan asia. Seirirng perjalanan zaman, Melayu dan Sri
vijaya adalah pokok cikal bakal peradaban melayu Nusantara (indonesia).

Hakekatnya mempelajari kebudayaan melayu tidak dapat dipisahkan dari


eksistensi sri vijaya. Ironisnya di kalangan masyarakat luas melayu jauh lebih dikenal
dibandingkan dengan sri vijaya. Apabila sri vijaya kemudian tengelam, maka melayu
tetap dikenang sepanjang masa sejak zaman purba hingga sekarang.

Dengan ancang-ancang eksistensi politik sri vijaya senarai berita prasasti kota
kapur (bangka) 686 M menyiaratkan bahwa sasaran sri vijaya selanjutnya adalah
kerajaan moloyo. Prasasti karang berahi 686 M adalah bukti penaklukan sri vijaya
atas melayu.lokasi kerajaan legendaris sri vijaya dan melayu menimbulkan polemik
ketat dikalangan sarjana.

Asums krom itu lah yang dianut kebanyakan sarjana seperti G.P. Rouffer
(1921), J.L Moens (1924), O.W. Wolters (1970, 1979), menyebut “dat melayu
hetoude djambi is” menegaskan sri vijaya dan melayu adalah jambi kuno. Berbagai
pendapatan diajukan bahwa kerajaan sri vijaya pernah menaklukan melayu diantar
tahun 685 M saat melayu hilang kemerdekaannya.Kemudian sri vijaya berhenti
mengirin utusan kecina tahun 742, tahun 853, 871 M, Tetapi cina memberitakan
bahwa ia menerima utusan lagi dari cina pei (jambi).

Tidak dipungkiri bahwa keberadaan kerajaan sri vijaya dan melayu banyak
diberitakan dari berita cina, antara lain pendeta I-T sing sing di dalam nan chai ch’i
kuei nai fa chuan (catatan ajaran budha dari laut selatan ), Ta tang his yu ku fa kao
seng chuan (catatan pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di india ). Ia menyebutkan
kerajaan-kerajaan Nusantara dari barat ke timur : p’olusin Moloyo ( menjadi bagian
shihlifoshih ), Mohosin, holiing tantan, Pennpen chuehlu, fashihpolo, oshan, dan
mochiaman. Diantara nama-nama tiu ada tersebut kerajaan moloyo yang waktu itu
berpusat di jambi, sedangkan shihlifoshih atau sri vijaya berpusat di palembang.

12
Menurut de casparis, dikawasan ini sebenrarnya ada tiga kerajaan maritim yng
pengaruhnya paling menonjol dan si segani di asia tenggara yaitu melayu, sri vijaya,
dan malaka. Hubungan di antara mereka bukan lah salin memusuhi atau saling
mendesak kekuasaan dan kekuasaan politik, melainkan terjalin berdampingi saling
menunjang secara damai sinambung dan lancar. Sri vijaya dan melayu adalah dua
kerajaan yang sama namun didalam tingkat perjalanan sejarah yang berbeda.

De casparis mengkategorikan kerajaan melayu sebagai kerajaan melayu I dan


kerajaan melayu II , kerajaan melyu I dan melayu II berlangsung terus bahkan ketika
inovasi islam berkembang di sumatera dan istilah kerajaan berbusana sebagai
kesultanan melayu III. Kerajaan melayu I (Darmasraya) tercatat dalam sejarah
prasasti Liang. Tahun 430-475 M beberapa kali utusan Holotan, kant ‘oli, Tolang-p
ohwang datang ke cina. Kant’oli terletakpada satu pulau di laut selatan, adat
kebiasaanya sangat serupa dengan kamboja dan campa. Hasil negerinya yang
terutama adalah pinang, kapas, dan kain-kain berwarna. Sejarah Dinasti ming juga
mencatat bahwa sanfosi dahulu di sebut kant;oil.

Kerajaan melayu II berkenbang pad akhir abad XI M smpai tahun 1400 M.


Pada waktu itu kerajaan telah melakukan kontrak dengan jawa. Hal ini dibuktikan
dengan peristiwa Ekspedisi Pamelayu (1275 M) yakni pengiriman arca amoghapassa-
Lokeswara dan sri kertanegara (singhasari) ke melayu, arca ini ditemukan kembali
oleh kontrolir belanda bernama van den bosch di rambahan (hulu batanghari).
Dengan pengiriman arca tersebut (1347 M) seluruh rakyat melayu merasa gembira
terutama sang raja Tribhuwana mauliwarmmadewa. Disebutkan Darmamasraya pada
prasasti ini memberi kemungkinan besar bahwa pusat kerajaan melayu berada di uara
jambi atau di daerah pedalaman muara jambi. Dibuktikan oleh adanya temuan arca
Prajnaparamita tanpa kepala di candi gampung. Prasasti di punggung arca itu
berangka tahun 1347 M dan menerangkan bahwa ia adalah raja yang telah
berusahasekuat tenaga memperbaiki bangunan jinalayana yang hampir runtuh.

Kebudayaan orang melayu adalah kebudayaan orang pantai bercorak


perkotaan, pusat kegiatanya pad perdagangan kelautan. Kebudayaan melayu yang
terdapat pada hampir seluruh wilayah kepulauan sebenarnya lebih merupakan hasil
dari perpaduan kebudayan setempat, islam, hindu, makasar, bgis, jawa, dan unsur-
unsur lokal yang secara keseluruhan diselimuti dan di pedomani oleh agama islam.

13
D. PERADABAN / ADAT ISTIADAT MELAYU KEPULAUAN RIAU

Apa yang dimaksud dengan ‘peradaban’? Kata ‘peradaban’ diambil dari kata
dasar ‘adab’. Kata ini merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Di
dalam kamus Bahasa Indonesia diterangkan bahwa ‘adab’ adalah kehalusan,
kesopanan, dan kebaikan akhlak. Sedangkan peradaban diartikan sebagai kemajuan
budaya batin dan kecerdasan befikir.[2] Walaupun berasal dari bahasa Arab, kata
peradaban sudah mempunyai istilah tersendiri yang disebut al-hadarah atau tamadun
(Inggris: civilization). Dalam kamus-kamus Arab yang diketahui, istilah al-hadarah
atau tamadun memiliki defenisi yang tidak jauh berbeda dengan defenisi yang
disebutkan terdahulu.

Menarik untuk dilihat bahwa Islam di Asia Tenggara, yang didominasi


masyarakat melayu, merupakan kekuatan sosial politik yang patut diperhitungkan. Ia
merupakan agama negara kerajaan Brunei Darussalam, Agama resmi negara Federasi
Malaysia, agama yang dianut oleh sekitar 90% dari seluruh penduduk Indonesia,
sebuah negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia. Selain itu, Islam
merupakan kepercayaan yang dipeluk oleh sekelompok kaum minoritas di Filipina,
Thailand, Kamboja dan Singapura. Dengan kenyataan ini, Asia Tenggara merupakan
satu-satunya wilayah di dunia, di luar wilayah Islam yang terbentang dari Afrika
Barat Daya hingga Asia Selatan, yang mempunyai penduduk Muslim terbesar.

Perkembangan bahsa melayu dengan aksara arab-melayu sebenarnya terjadi


setelah runtuhnya kerajaan melayu riau-lingga seiring hadirnya tokoh-tokoh pemikir,
budayawan, dan pionir sastryawan melayu pada zaman ituterutama tokoh raja ali haji
secara nyata menghasilkan berbagai karya tulis terutama pembakuan tat bahasa
melayu dan standarisasi bahsa dan angkasara melayu yang kemudian berkembang
dan di pergunakan oleh berbagai kepentingandi dunia pendidikan sebagai bahsa
pengajaran dan bahasa utama sekolah-sekolah resmi negara di Nusantara.

Melayu Riau atau Riau Raya adalah wilayah dan masyarakat Melayu yang tinggal


di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Mereka menggunakan Bahasa, adat,
dan budaya Melayu sehari-harinya. Riau Raya merupakan saujana peradaban Melayu
yang luas, kaya, dan indah.

14
Persebaran Masyarakat Melayu Riau terbagi atas :
Masyarakat Melayu Riau Kepulauan, yaitu masyarakat Melayu Riau yang bermukim
di kawasan Provinsi Kepulauan Riau , yang terdiri atas :
1. Kabupaten Bintan
2. Kabupaten Karimun
3. Kabupaten Kepulauan Anambas
4. kabupaten Lingga
5. Kabupaten Natuna
6. Kota Batam
7. Kota Tanjung Pinang
Masyarakat Melayu Riau daratan, yaitu masyarakat Melayu Riau yang bermukim di
kawasan Provinsi Riau, terdiri atas Melayu Riau Pesisisr dan Melayu Pedalaman.
Melayu Riau :
1. Kabupaten Bengkalis
2. Kabupaten Rokan Hilir
3. Kota Dumai
4. Kabupaten Kepulauan Meranti
5. Kabupaten Siak
6. Kabupaten Pelalawan
7. Kabupaten Indragiri Hilir

Dalam konteks nasional saat ini mereka telah dianggap bagian dari rumpun
Melayu Riau secara umum. Meski begitu sari segi ilmu akademis utamanya etnology
dan ilmu budaya, ketiganya tetap digolongkan dalam rumpun budaya Minangkabau.
Faktor bahasa, dialek lokal, adat istiadat, budaya matrilianisme yang dianut
masyarakatnya, dan juga kuliner masyarakatnya lebih dekat dengan Minangkabau
daripada dengan Melayu pada umumnya. Dalam kajian ilmu sejarah, juga ditemukan
fakta yang lebih dekat kepada masyarakat Minangkabau secara umum. Hal ini tidak
lepas dari faktor penjajahan Belanda dan Jepang yang telah mengubah peta budaya
Sumatera Tengah pada awal hingga pertengahan abad XX. Pembagian ini diteruskan
oleh Pemerintah RI hingga saat ini.

Kota Pekanbaru yang dulunya merupakan bahagian dari Kerajaan Siak berada


ditengah-tengah Provinsi Riau daratan. adat, budaya, dan bahasa yang digunakan
merupakan adat melayu Siak yang berkembang pada saat itu.
Sementara Kabupaten Indragiri Hulu juga menggunakan bahasa, budaya, dan adat
Melayu yang sama dengan Melayu Riau Pesisir meski wilayahnya berada di
pedalaman Riau.

15
Adapun perkataan Melayu itu sendiri mempunyai kepada tiga pengertian,
yaitu Melayu dalam pengertian “ras” di antara berbagai ras lainnya. Melayu dalam
pengertian sukubangsa yang dikarenakan peristiwa dan perkembangna sejarah, juga
dengan adanya perubahan politik menyebabkan terbagi-bagi kepada bentuk negara
seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina. Melayu dalam
pengertian suku, yaitu bahagian dari suku bangsa Melayu itu sendiri.
Di Indonesia yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah yang mempunyai
adat istiadat Melayu, yang bermukim terutamanya di sepanjang pantai timur
Sumatera, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Pemusatan suku bangsa Melayu
adalah di wilayah Kepulauan Riau. Tetapi jika kita menilik kepada yang lebih besar
untuk kawasan Asia Tenggara, maka ianya terpusat di Semenanjung Malaya.

Kemudiannya menurut orang Melayu, yang dimaksud orang Melayu bukanlah


dilihat daripada tempat asalnya seseorang ataupun dari keturun darahnya saja.
Seseorang itu dapat juga disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa
Melayu dan mempunyai adat-istiadat Melayu. Orang luar ataupun bangsa lain yang
datang lama dan bermukim di daerah ini dipandang sebagai orang Melayu apabila ia
beragama Islam, mempergunakan bahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu.

Adat Istiadat
Adat adalah tata cara yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala aspek
kehidupannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi adat
segala kegiatan kehidupannya diatur oleh adat.

Jika ditinjau dari sumbernya, orang melayu dalam arti luas mengenal kepada dua
macam adat. Kedua macam adat itu ialah:

1. Adat temenggung

2. Adat perpatih

Adat temenggungan adalah warisan Datuk Temenggung. Adat temenggungan


mengandung sistem patrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan keturunan bapak.
Orang Melayu Kepulauan Riau menggunakan adat temenggungan ini. Sedangkan
adat Perpatih merupakan warisan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Adat Perpatih
mengembangkan sistem matrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan pada keturunan
ibu. Adat perpatih berlaku dalam sebagian masyarakat melayu Riau Daratan.
Jika ditinjau dari sudut hirarkinya, adat melayu dapat dibedakan menjadi 3 jenis,
yaitu:

16
Adat sebenar adap
1. Adat yang diadatkan
2. Adat yang teradat

Adat sebenar adat ialah prinsip-prinsip yang bersumber dari agama Islam.
Aturan adat ini tiadalah dapat diubah-ubah. Adat yang pertama ini tersimpul dengan
ungkapan “Berdiri adat karena syarak”.

Adat yang diadatkan ialah prinsip-prinsip adat yang disusun oleh penguasa
Melayu (Raja, Pemuka adat, dll). Adat sejenis ini dapat pula berubah sesuai dengan
perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa sesuai dengan
ungkapan “Sekali air bah, sekali tepian berubah”.

Adat yang teradat ialah sikap, tindakan, dan putusan bersama atas dasar
musyawarah yang dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Inilah yang kemudian
menjadi kebiasaan turun-temurun. Adat jenis ketiga ini pun dapat berubah sesuai
dengan kehendak zaman.

Dalam masyarakat Melayu Kepulauan Riau, ketiga jenis adat di atas berlaku
dalam mengatur kehidupan keseharian. Di kampung-kampung, aturan adat tersebut
masih banyak yang diperhatikan dan di indahkan, tetapi di daerah perkotaan
mengalami kecendrungan agak melonggar.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Sebuah kerajaan Melayu Islam terbesar di Riau telah meninggalkan jejak yang
cantik di bumi melayu dan nusantara, Istana  Siak, itulah nama yang biasa
disebut.Istana Siak atau biasa disebut dengan ” Istana Matahari Timur ” atau
disebut juga Asserayah Hasyimiah ini dibangun oleh Sultan Syarif Hasyim
Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 oleh arsitek berkebangsaan Jerman.
 Kepulauan Riau memang merupakan bagian yang secara historis menyatu
dengan perkembangan kawasan-kawasan Selat Melaka selama berabad-abad
yang silam. Di wilayah ini terdapat pulau Bintan, yang pada abad ke-13
didatangi Sri Tribuana dari Bukit Siguntang, dekat Palembang.

Demikianlah, sejak abad ke-13 sampai awal abad ke-19, secara umum tanah
semenanjung, kepulauan Riau, serta sebagian Sumatera Timur (kawasan Provinsi
Riau dan sebagian Sumatera Utara sekarang) sesungguhnya merupakan satu kesatuan
politik dan budaya.
 Melayu dapat dipilah berdasarkan kategori sebagai berikut :

1. Melayu yang tidak totok (tidak murni) merupakan kelompok orang-orang


laut /orang sampan yang semula hidup dilaut kemudian menetap didaratan
dipulau-pulau kecil sekitar riau sebagai komunitas-komunitas kecil dengan
adat-istiadat melayu dan berbicara dengan dialek khas, seperti orang galang
dipulau keras dan pulau galang.

2. Melayu umum atau melayu totok, merupakan orang-orang melayu yang


lahir berasal dari melayu itu sendiri berbahasa dan adat-istiadat melayu.
Artinya, semula melayu tidak totok tetapi memiliki jabatan dan kedudukan.

 Persebaran Masyarakat Melayu Riau terbagi atas :


Masyarakat Melayu Riau Kepulauan, yaitu masyarakat Melayu Riau yang
bermukim di kawasan Provinsi Kepulauan Riau , yang terdiri atas :
1. Kabupaten Bintan
2. Kabupaten Karimun
3. Kabupaten Kepulauan Anambas
4. kabupaten Lingga
5. Kabupaten Natuna
6. Kota Batam
7. Kota Tanjung Pinang

18
Masyarakat Melayu Riau daratan, yaitu masyarakat Melayu Riau yang
bermukim di kawasan Provinsi Riau, terdiri atas Melayu Riau Pesisisr dan
Melayu Pedalaman.
Melayu Riau :
1. Kabupaten Bengkalis
2. Kabupaten Rokan Hilir
3. Kota Dumai
4. Kabupaten Kepulauan Meranti
5. Kabupaten Siak
6. Kabupaten Pelalawan
7. Kabupaten Indragiri Hilir
 Adat adalah tata cara yang mengatur tingkah laku manusia dalam segala aspek
kehidupannya. Dengan demikian, dalam masyarakat yang menjunjung tinggi
adat segala kegiatan kehidupannya diatur oleh adat.

B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahw apenulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan
saran kepada para pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

1.

20

Anda mungkin juga menyukai