NAMA KELOMPOK 3 :
1. Anintya Ihyani (62020050153)
2. Ariyani Kusuma Dewi (62020050164)
3. Ayu Devita Sari (62020050162)
4. Eka Kurniawati (62020050152)
5. Ika Diana Puteri (62020050151)
6. Indah Puji Cahyani (62020050154)
7. Juwanti Ratnasari (62020050161)
8. Wiandari Dwi Astuti (62020050155)
Puji syukur kepada ALLAH SWT atas nikmatnya yang telah diberikan kepada kita semua
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang merupakan tugas kami dalam mata kuliah Undang-
Undang dan Etika Farmasi guna untuk kegiatan belajar mengajar.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingannya dan teman-teman yang memberikan dukungan dan masukannya kepada kami
dalam menyelesaikan tugas ini, sehingga tugas ini dapat terselesaikan oleh saya semestinya.
Namun sebagai manusia biasa, kami tentunya tak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,
saran serta kritik yang membangun senantiasa saya terima sebagai acuan untuk tugas-tugas kami
selanjutnya.
2.1 PENGERTIAN
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika bekerja
menurunkan fungsi otak serta merangsang susuan syaraf pusat sehingga menimbulkan reaksi
berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan
menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya.
Menurut PERMENKES nomor 3 tahun 2015, Prekursor farmasi adalah zat atau bahan
pemula atau kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku / penolong untuk keperluan proses
produksi Industri Farmasi atau produk antara, produk ruahan dan produk jadi / obat jadi yang
mengandung efedrin, pseudoefedrin, norefedrin / fenil propanolamine, ergotamine, ergometrine
atau potassium permanganat.
1) Psikotropika Golongan 1
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini memiliki potensi yang tinggi menyebabkan
kecanduan. Tidak hanya itu, zat tersebut juga termasuk dalam obat-obatan terlarang yang
penyalah gunaannya bias dikenai sanksi hukum. Jenis obat ini tidak untuk pengobatan,
melainkan hanya sebagai pengetahuan saja. Contoh dari psikotropika golongan 1 diantaranya
adalah LSD, DOM, Ekstasi, dan lain-lain yang secara keseluruhan jumlahnya ada 14.
Pemakaian zat tersebut memberikan efek halusinasi bagi penggunanya serta merubah perasaan
secara drastis. Efek buruk dari penyalah gunaannya bias menimbulkan kecanduan yang
mengarah pada kematian jika sudah mencapai level parah.
2) Psikotropika Golongan 2
Golongan 2 juga memiliki risiko ketergantungan yang cukup tinggi meski tidak separah
golongan 1. Pemakaian obat-obatan ini sering dimanfaatkan untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Penggunaannya haruslah sesuai dengan resep dokter agar tidak memberikan efek
kecanduan. Golongan 2 ini termasuk jenis obat-obatan yang paling sering disalah gunakan oleh
pemakaianya, misalnya adalah Sabu atau Metamfeamin, Amfetamin, Fenetilin, dan zat lainnya
yang total jumlahnya ada 14.
3) Psikotropika Golongan 3
Golongan 3 memberikan efek kecanduan yang terhitung sedang. Namun begitu,
penggunaannya haruslah sesuai dengan resep dokter agar tidak membahayakan kesehatan. Jika
dipakai dengan dosis berlebih, kerja system juga akan menurun secara drastis. Pada akhirnya,
tubuh tidak bias terjaga dan tidur terus sampai tidak bangun- bangun. Penyalah gunaan obat-
obatan golongan ini juga bias menyebabkan kematian. Contoh dari zat golongan 3 diantaranya
adalah Mogadon, Brupronorfina, Amorbarbital, dan lain-lain yang jumlah totalnya ada 9 jenis.
4) Psikotropika Golongan 4
Golongan 4 memang memiliki risiko kecanduan yang kecil dibandingkan dengan yang
lain. Namun tetap saja jika pemakaiannya tidak mendapat pengawasan dokter, bisa
menimbulkan efek samping yang berbahaya termasuk kematian. Penyalah gunaan obat-obatan
pada golongan 4 terbilang cukup tinggi. Beberapa diantaranya bahkan bias dengan mudah
ditemukan dan sering dikonsumsi sembarangan. Adapun contoh dari golongan 4 diantaranya
adalah Lexotan, Pil Koplo, Sedativa atau obat penenang, Hipnotika atau obat tidur, Diazepam,
Nitrazepam, dan masih banyak zat lainnya yang totalnya ada 60 jenis.
Dilarang untuk pelayanan kesehatan, bisa untuk IPTEK & Reagen. Contoh : Tanaman & bahan
dari Papaver, Coca, bahan sintetis, dll.
2) Golongan II
Bahan baku untuk produksi obat yang mampu menimbulkan potensi ketergantungan tinggi dan
hanya digunakan sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan. Contoh: petidin, morphin, fentanil
atau metadon.
3) Golongan III
Digunakan untuk rehabilitasi, untuk mengurangi ketergantungan pada narkotika golongan I dan
II. Ia mempunyai potensi ringan akibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, difenoksilat.
Dalam PP ini diatur tentang penggolongan dan jenis prekursor, mekanisme penyusunan
rencana kebutuhan tahunan secara nasional, pengadaan, impor dan ekspor, peredaran, pencatatan
dan pelaporan, pengawasan serta ketentuan sanksi. Menurut PP 44, Prekursor hanya dapat
digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
PP no. 44 tahun 2010 menyebut 23 zat sebagai prekursor. Zat-zat tersebut dikelompokkan
kedalam 2 tabel (tabel I dan Tabel II). Zat-zat yang terdapat dalam tabel I akan diawasi lebih
ketat dibandingkan zat yang terdapat dalam tabel II.
TABEL I TABEL II
Acetic Anhydride Acetone
N-acetylanthranilic Acid Anthranilic Acid
Ephedrine Ethyl Ether
Ergometrine Hydrochloric Acid
Ergotamine Methyl ethyl ketone
Isosafrole Phenylacetic Acid
Lysergic Acid Piperidine
3,4-Methylenedioxyphenyl-
Sulphuric Acid
2propanone
Norephedrine Toluene
1-phenyl-2-propanone
Piperonal
Potasium Permanganat
Pseudoephedrine
Undang-undang Narkotika dan Psikotropika
Psikotropika tidak sama dengan Narkotika, hal tersebut sesuai dengan isi pasal 1 angka 1
UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang menyatakan bahwa Psikotropika merupakan
sebuah zat atau obat baik yang bersifat alamiah maupun buatan yang bukan narkotika.
Khasiatnya bersifat psikoaktif yang mana menyebabkan perubahan aktivitas mental serta
perilaku.
Pasal 12
(1) Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF
yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu
Pengetahuan.
(2) Penyaluran Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi dan atau Kepala Lembaga
Ilmu pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 2
terlampir.
Pengelolaan psikotropika diatur secara khusus mulai dari pengadaan sampai pemusnahan
untuk menghindari terjadinya kemungkinan penyalahgunaan obat tersebut. Pelaksanaan
pengelolaan psikotropika di Apotek meliputi: .
1. Pemesanan Psikotropika
Pemesanan psikotropika dengan surat pemesanan rangkap 2, diperbolehkan lebih dari 1
item obat dalam satu surat pesanan, boleh memesan ke berbagai PBF.
2. Penerimaan Psikotropika
Penerimaan Psikotropika dari PBF harus diterima oleh APA atau dilakukan dengan
sepengetahuan APA. Apoteker akan menandatangani faktur tersebut setelah sebelumnya
dilakukan pencocokan dengan surat pesanan. Pada saat diterima dilakukan pemeriksaan yang
meliputi jenis dan jumlah Psikotropika yang dipesan.
3. Penyimpanan Psikotropika
Penyimpanan obat psikotropika diletakkan di lemari yang terbuat dari kayu ( atau bahan
lain yang kokoh dan kuat). Lemari tersebut mempunyai kunci ( tidak harus terkunci ) yang
dipegang oleh Asisten Apoteker sebagai penanggung jawab yang diberi kuasa oleh APA.
4. Pelayanan Psikotropika
Apotek hanya melayani resep psikotropika dari resep asli atau salinan resep yang dibuat
sendiri oleh Apotek yang obatnya belum diambil sama sekali atau baru diambil sebagian. Apotek
tidak melayani pembelian obat psikotropika tanpa resep atau pengulangan resep yang ditulis oleh
apotek lain.
6. Pemusnahan
Tata cara pemusnahan psikotropika sama dengan tata cara pemusnahan narkotika.
2. Penerimaan Narkotika
Penerimaan Narkotika dari PBF harus diterima oleh APA atau dilakukan dengan
sepengetahuan APA. Apoteker akan menandatangani faktur tersebut setelah sebelumnya
dilakukan pencocokan dengan surat pesanan. Pada saat diterima dilakukan pemeriksaan yang
meliputi jenis dan jumlah narkotika yang dipesan.
3. Penyimpanan Narkotika
Obat-obat yang termasuk golongan narkotika di Apotek disimpan pada lemari khusus
yang terbuat dari kayu (atau bahan lain yang kokoh dan kuat) yang ditempel pada dinding,
memiliki 2 kunci yang berbeda, terdiri dari 2 pintu, satu untuk pemakaian sehari hari seperti
kodein, dan satu lagi berisi pethidin, morfin dan garam garamannya. Lemari tersebut terletak di
tempat yang tidak diketahui oleh umum, tetapi dapat diawasi langsung oleh Asisten Apoteker
yang bertugas dan penanggung jawab narkotika.
1. Prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri yang telah memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Produksi Prekursor untuk industri farmasi harus dilakukan dengan cara produksi yang
baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi standar Farmakope Indonesia dan
standar lainnya.
4. Prekursor untuk industri non farmasi harus memenuhi persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Setiap Prekursor wajib diberi label pada setiap wadah atau kemasan.
6. Label pada wadah atau kemasan Prekursor dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi
tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan
dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
1. Prekursor untuk industri non farmasi yang diproduksi dalam negeri hanya dapat
disalurkan kepada industri non farmasi, distributor, dan pengguna akhir.
2. Prekursor untuk industri non farmasi yang diimpor hanya dapat disalurkan kepada
industri non farmasi, dan pengguna akhir.
3. Prekursor untuk industri farmasi hanya dapat disalurkan kepada industri farmasi dan
distributor.
4. Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi, distributor atau importir terdaftar dapat
menyalurkan Prekursor kepada lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Setiap kegiatan penyaluran Prekursor harus dilengkapi dengan dokumen penyaluran.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran Prekursor diatur oleh Menteri dan/atau
menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.
a. Pengadaan
1) Pengadaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus berdasarkan Surat Pesanan (SP).
2) Surat Pesanan (SP) harus :
a) Asli dan dibuat tindasannya sebagai arsip;
b) Ditandatangani oleh Apoteker Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit disertai nam
a jelas dan nomor Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit, nomor dan tanggal SP;
c) Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/PBF/Rumah
Sakit tujuan pemesanan. Dalam keadaan mendesak Rumah Sakit diperbolehkan
memesan ke Apotek misalnya pemesanan sejumlah obat yang dibutuhkan untuk
memenuhi kekurangan jumlah obat yang diresepkan;
d) Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, bentuk dan kekuatan
sediaan, jenis dan isi kemasan;
e) Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang jelas;
f) Khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat terpisah dari
surat pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis dalam bentuk angka dan
huruf;
g) Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan
nama penelpon yang berwenang), faksimili, email maka surat pesanan asli
harus diberikan pada saat serah terima barang, kecuali untuk daerah-
daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit transportasi dimana
pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, maka surat pesanan asli dikirimkan
tersendiri.
3) Rumah sakit yang tergabung di dalam satu grup, masing-masing Rumah sakit
harus membuat SP sesuai kebutuhan kepada Industri Farmasi/PBF.
4) Apabila karena suatu hal SP tidak dapat digunakan, maka SP yang tidak digunakan
tersebut harus tetap diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas.
5) Apabila SP Rumah Sakit tidak bisa dilayani, Rumah Sakit harus
meminta surat penolakan pesanan dari Industri Farmasi / PBF / Rumah Sakit pengirim.
6) Pada saat penerimaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus dilakukan
pemeriksaan kesesuaian antara fisik obat dengan faktur penjualan dan/atau Surat
Pengiriman Barang (SPB) antara lain:
a) Kebenaran nama produsen, nama obat mengandung Prekursor
Farmasi, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, jenis dan isi kemasan.
b) Nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
c) Apabila kemasan obat dalam kondisi dan penandaan rusak, terlepas, terbuka
dan tidak sesuai dengan SP, maka obat dapat dikembalikan kepada pengirim
disertai dengan bukti retur/surat pengembalian dan salinan faktur penjualan
dan meminta nota kredit dari Industri Farmasi/PBF/Rumah Sakit pengirim.
7) Setelah dilakukan pemeriksaan Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit atau Tenaga
Teknis Kefarmasian wajib menandatangani Surat Pengiriman Barang (SPB) dan faktur
penjualan dilengkapi dengan nama jelas, nomor SIPA/SIPTTK dan stempel Rumah
Sakit.
8) SP obat mengandung Prekursor Farmasi dalam pengadaan tender dibuat terpisah dan
menjadi dokumen pendukung Surat Perjanjian Kontrak (SPK). Berita acara penerimaan
barang dibuat setelah obat mengandung Prekursor Farmasi diterima oleh Panitia
Penerima Barang.
b. Penyimpanan
1) Obat mengandung Prekursor Farmasi disimpan ditempat yang aman berdasarkan
analisis risiko masing-masing Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
2) Apabila memiliki obat mengandung Prekursor Farmasi yang disimpan tidak dalam
wadah asli, maka wadah harus dilengkapi dengan identitas obat meliput nama,
jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, jenis dan isi kemasan, nomor batch,
tanggal kadaluwarsa, dan nama produsen.
3) Memisahkan dan menyimpan dengan aman obat mengandung Prekursor Farmasi yang:
a) Rusak
b) Kadaluwarsa
c) Izin edar dibatalkan
c. Penyerahan
1) Penyerahan obat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang berwenang di instalasi
farmasi rumah sakit setelah dilakukan skrinning terhadap resep (obat keras).
2) Penyerahan obat ke depo/unit antara lain rawat inap, rawat jalan, kamar operasi,
instalasi gawat darurat harus disertai bukti serah terima obat dari instalasi farmasi
kepada depo / unit.
3) Penyerahan obat harus memperhatikan kewajaran jumlah yang diserahkan sesuai
kebutuhan terapi.
4) Penyerahan obat diluar kewajaran harus dilakukan oleh Apoteker setelah dilakukan
screening terhadap permintaan obat.
5) Hal-hal yang harus diwaspadai dalam melayani pembelian obat mengandung prekursor
farmasi:
a) Pembelian dalam jumlah besar
b) Pembelian secara berulang-ulang dengan frekuensi yang tidak wajar
d. Pemusnahan
Persyaratan Pemusnahan Prekursor
1) Pemusnahan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal :
a) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat diolah kembali;
b) Telah kadaluarsa;
c) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d) Dibatalkan izin edarnya; atau
e) Berhubungan dengan tindak pidana
2) Pemusnahan dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah,
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.
3) Prekursor yang memenuhi kriteria pemusnahan yang berada di Puskesmas harus
dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.
4) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan
penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.
5) Pemusnahan Prekursor harus dilakukan dengan:
a) Tidak mencemari lingkungan; dan
b) Tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
6) Harus tersedia daftar inventaris obat yang akan dimusnahkan mencakup nama produsen,
bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan, jumlah, nomor batch, dan
tanggal kadaluwarsa.
7) Pelaksanaan pemusnahan harus dibuat dengan memperhatikan pencegahan diversi dan
pencemaran lingkungan. Kegiatan pemusnahan ini dilakukan oleh penanggungjawab
instalasi farmasi rumah sakit dan disaksikan oleh petugas Balai Besar / Balai POM /
Dinas Kesehatan Kab / Kota setempat. Kegiatan ini didokumentasikan dalam Berita
Acara Pemusnahan yang ditandatangani oleh Apoteker dan saksi.
8) Berita Acara Pemusnahan yang menggunakan pihak ketiga harus ditandatangani juga
oleh saksi dari pihak ketiga.
e. Pelaporan
Instalasi farmasi pemerintah daerah wajib membuat, menyimpan dan menyampaikan
laporan pemasukan dan penyaluran narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dalam bentuk
obat jadi kepada kepala dinas kesehatan provinsi atau kabupaten/kota setempat dengan tembusan
kepada kepala balai setempat. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4) paling sedikit terdiri atas:
1) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika, psikotropika dan atau prekursor
farmasi.
2) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
3) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
4) Jumlah yang diterima.
5) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran.
6) Jumlah yang disalurkan.
7) Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan persediaan
awal dan akhir.
Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, lembaga ilmu
pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan pemasukan dan penyerahan atau penggunaan narkotika dan psikotropika, setiap bulan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala balai setempat.
Pelaporan paling sedikit terdiri atas:
1) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika, psikotropika dan atau prekursor
farmasi.
2) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
3) Jumlah yang diterima.
4) Jumlah yang diserahkan.
Dapat menggunakan sistem pelaporan narkotika, psikotropika, dan atau prekursor farmasi secara
elektronik. Laporan disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika
bekerja menurunkan fungsi otak serta merangsang susuan syaraf pusat sehingga
menimbulkan reaksi berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan
yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya.
2. Narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun
semisintesis,yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan–golongan sebagaimana terlampir
dalam Undang– undang.
3. Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan sebagai
bahan baku / penolong untuk keperluan proses produksi Industri Farmasi atau produk
antara, produk ruahan dan produk jadi/obat jadi yang mengandung efedrin,
pseudoefedrin, norefedrin/fenil propanolamine, ergotamine, ergometrine atau potassium
permanganat.
4. Beberapa contoh obat mengandung prekursor yang ada di masyarakat dan
penggunaannya perlu diawasi antara lain : Aerius D tablet, Clarinase tablet, Telfast Plus,
Methergin tablet, Methergin injeksi, Tremenza tablet, Aldisa SR tablet, Trifed tablet,
Fexofed tablet, Pospargin 0,125 mg tablet, Pospargin 2mg/ml injeksi
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI. 2013. Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
40 tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi Dan Obat Mengandung
Prekursor Farmasi. Jakarta : Kepala BPOM.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor