Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

NARKOTIKA PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR FARMASI


Disusun untuk menyelesaikan tugas :
Mata Kuliah : Etika & UU Kesehatan
Dosen Pengampu : Bintari Tri Sukoharjanti, M.Farm

NAMA KELOMPOK 3 :
1. Anintya Ihyani (62020050153)
2. Ariyani Kusuma Dewi (62020050164)
3. Ayu Devita Sari (62020050162)
4. Eka Kurniawati (62020050152)
5. Ika Diana Puteri (62020050151)
6. Indah Puji Cahyani (62020050154)
7. Juwanti Ratnasari (62020050161)
8. Wiandari Dwi Astuti (62020050155)

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada ALLAH SWT atas nikmatnya yang telah diberikan kepada kita semua
sehingga dapat menyelesaikan makalah yang merupakan tugas kami dalam mata kuliah Undang-
Undang dan Etika Farmasi guna untuk kegiatan belajar mengajar.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingannya dan teman-teman yang memberikan dukungan dan masukannya kepada kami
dalam menyelesaikan tugas ini, sehingga tugas ini dapat terselesaikan oleh saya semestinya.
Namun sebagai manusia biasa, kami tentunya tak luput dari kesalahan. Oleh karena itu,
saran serta kritik yang membangun senantiasa saya terima sebagai acuan untuk tugas-tugas kami
selanjutnya.

Kudus, Mei 2021


Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG................................................................................................................1
1.2 TUJUAN PENULISAN MAKALAH.......................................................................................1
1.3 RUMUSAN MASALAH............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
2.1 PENGERTIAN...........................................................................................................................3
2.2 PEMBAGIAN JENIS OBAT....................................................................................................3
2.2.1 PENGGOLONGAN PSIKOTROPIKA..................................................................................3
2.2.2 PENGGOLONGAN NARKOTIKA........................................................................................4
2.2.3 PENGGOLONGAN PERKUSOR FARMASI.......................................................................5
Undang-undang Narkotika dan Psikotropika.....................................................................................6
2.3 PENGELOLAAN OBAT-OBAT GOLONGAN PSIKOTROPIKA.....................................6
Persyaratan Produksi Psikotropika......................................................................................................6
Persyaratan Penyaluran/Peredaran Psikotropika..................................................................................6
2.4 PENGELOLAAN NARKOTIKA..........................................................................................12
Persyaratan Produksi Narkotika........................................................................................................12
Distribusi atau Penyaluran Narkotika................................................................................................12
2.5 PENGELOLAAN PREKURSOR FARMASI.......................................................................19
Persyaratan Produksi Prekursor........................................................................................................19
Persyaratan Penyaluran Prekursor.....................................................................................................19
BAB IV.....................................................................................................................................................25
KESIMPULAN........................................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................26
LAMPIRAN.............................................................................................................................................27
1. Foto Penyimpanan Psikotropika....................................................................................................27
2. Foto Kartu Penyimpanan Psikotropika..........................................................................................27
3. Foto Pelaporan Psikotropika..........................................................................................................28
4. Foto Surat Pesanan Psikotropika....................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah suatu proses yang merupakan
siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan, pengadaan/produksi, penerimaan,
pendistribusian, pengawasan, pemeliharaan, penghapusan, pemantauan, administrasi, pelaporan,
dan evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan. Tujuan pengelolaan sediaan farmasi dan
alat kesehatan yaitu agar tersedianya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu dalam
jumlah dan pada saat yang tepat sesuai spesifikasi dan fungsi yang ditetapkan oleh panitia
farmasi dan terapi secara berdaya guna dan berhasil guna.
Salah satu perbekalan farmasi yang pengelolaanya harus dilaksanakan dengan ketat adalah
obat-obatan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor farmasi, karena rentan sekali terjadi
penyalahgunaan obat dikalangan masyarakat. Untuk itu setiap sarana pelayanan farmasi wajib
melakukan pengelolaan sediaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor farmasi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

1.2 TUJUAN PENULISAN MAKALAH


Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Diharapkan pembaca dapat mengetahui Obat Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor
farmasi.
2. Dapat mengetahui pembagian jenis Psikotropika dan pengelolaan obat-obat golongan
Psikotropika.
3. Dapat mengetahui Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Obat Narkotika,
Psikotropika dan Prekusor farmasi.

1.3 RUMUSAN MASALAH

Perumusan Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:


1. Pengertian psikotropika, narkotika dan prekursor farmasi?
2. Pembagian jenis psikotropika, narkotika dan prekursor farmasi?
3. Pengelolaan obat-obat golongan psikotropika?
4. Peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan narkotika?
5. Peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan psikotropika?
6. Peredaran, penyimpanan, pemusnahan dan pelaporan prekursor?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN

Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika bekerja
menurunkan fungsi otak serta merangsang susuan syaraf pusat sehingga menimbulkan reaksi
berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan yang tiba-tiba, dan
menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya. 

Di dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika


disebutkan pengertian narkotika, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis
maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan kedalam golongan–golongan sebagaimana terlampir dalam Undang– undang.

Menurut PERMENKES nomor 3 tahun 2015, Prekursor farmasi adalah zat atau bahan
pemula atau kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku / penolong untuk keperluan proses
produksi Industri Farmasi atau produk antara, produk ruahan dan produk jadi / obat jadi yang
mengandung efedrin, pseudoefedrin, norefedrin / fenil propanolamine, ergotamine, ergometrine
atau potassium permanganat.

2.2 PEMBAGIAN JENIS OBAT

2.2.1 PENGGOLONGAN PSIKOTROPIKA


Berdasarkan pada risiko kecanduan yang dihasilkan, golongan psikotropika dibagi menjadi 4,
diantaranya adalah:

1) Psikotropika Golongan 1
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini memiliki potensi yang tinggi menyebabkan
kecanduan. Tidak hanya itu, zat tersebut juga termasuk dalam obat-obatan terlarang yang
penyalah gunaannya bias dikenai sanksi hukum. Jenis obat ini tidak untuk pengobatan,
melainkan hanya sebagai pengetahuan saja. Contoh dari psikotropika golongan 1 diantaranya
adalah LSD, DOM, Ekstasi, dan lain-lain yang secara keseluruhan jumlahnya ada 14.
Pemakaian zat tersebut memberikan efek halusinasi bagi penggunanya serta merubah perasaan
secara drastis. Efek buruk dari penyalah gunaannya bias menimbulkan kecanduan yang
mengarah pada kematian jika sudah mencapai level parah.
2) Psikotropika Golongan 2
Golongan 2 juga memiliki risiko ketergantungan yang cukup tinggi meski tidak separah
golongan 1. Pemakaian obat-obatan ini sering dimanfaatkan untuk menyembuhkan berbagai
penyakit. Penggunaannya haruslah sesuai dengan resep dokter agar tidak memberikan efek
kecanduan. Golongan 2 ini termasuk jenis obat-obatan yang paling sering disalah gunakan oleh
pemakaianya, misalnya adalah Sabu atau Metamfeamin, Amfetamin, Fenetilin, dan zat lainnya
yang total jumlahnya ada 14.
3) Psikotropika Golongan 3
Golongan 3 memberikan efek kecanduan yang terhitung sedang. Namun begitu,
penggunaannya haruslah sesuai dengan resep dokter agar tidak membahayakan kesehatan. Jika
dipakai dengan dosis berlebih, kerja system juga akan menurun secara drastis. Pada akhirnya,
tubuh tidak bias terjaga dan tidur terus sampai tidak bangun- bangun. Penyalah gunaan obat-
obatan golongan ini juga bias menyebabkan kematian. Contoh dari zat golongan 3 diantaranya
adalah Mogadon, Brupronorfina, Amorbarbital, dan lain-lain yang jumlah totalnya ada 9 jenis.
4) Psikotropika Golongan 4
Golongan 4 memang memiliki risiko kecanduan yang kecil dibandingkan dengan yang
lain. Namun tetap saja jika pemakaiannya tidak mendapat pengawasan dokter, bisa
menimbulkan efek samping yang berbahaya termasuk kematian. Penyalah gunaan obat-obatan
pada golongan 4 terbilang cukup tinggi. Beberapa diantaranya bahkan bias dengan mudah
ditemukan dan sering dikonsumsi sembarangan. Adapun contoh dari golongan 4 diantaranya
adalah Lexotan, Pil Koplo, Sedativa atau obat penenang, Hipnotika atau obat tidur, Diazepam,
Nitrazepam, dan masih banyak zat lainnya yang totalnya ada 60 jenis.

2.2.2 PENGGOLONGAN NARKOTIKA


Berdasarkan UU RI nomor 35 tahun 2009, narkotika digolongkan menjadi 3 golongan yaitu :
1) Golongan I

Dilarang untuk pelayanan kesehatan, bisa untuk IPTEK & Reagen. Contoh : Tanaman & bahan
dari Papaver, Coca, bahan sintetis, dll.
2) Golongan II

Bahan baku untuk produksi obat yang mampu menimbulkan potensi ketergantungan tinggi dan
hanya digunakan sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan. Contoh: petidin, morphin, fentanil
atau metadon.

3) Golongan III

Digunakan untuk rehabilitasi, untuk mengurangi ketergantungan pada narkotika golongan I dan
II. Ia mempunyai potensi ringan akibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, difenoksilat.

2.2.3 PENGGOLONGAN PERKUSOR FARMASI

Dalam PP ini diatur tentang penggolongan dan jenis prekursor, mekanisme penyusunan
rencana kebutuhan tahunan secara nasional, pengadaan, impor dan ekspor, peredaran, pencatatan
dan pelaporan, pengawasan serta ketentuan sanksi. Menurut PP 44, Prekursor hanya dapat
digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. 

PP no. 44 tahun 2010 menyebut 23 zat sebagai prekursor. Zat-zat tersebut dikelompokkan
kedalam 2 tabel (tabel I dan Tabel II). Zat-zat yang terdapat dalam tabel I akan diawasi lebih
ketat dibandingkan zat yang terdapat dalam tabel II.

Golongan Dan Jenis Prekursor

TABEL I TABEL II
Acetic Anhydride Acetone
N-acetylanthranilic Acid Anthranilic Acid
Ephedrine Ethyl Ether
Ergometrine Hydrochloric Acid
Ergotamine Methyl ethyl ketone
Isosafrole Phenylacetic Acid
Lysergic Acid Piperidine
3,4-Methylenedioxyphenyl-
Sulphuric Acid
2propanone
Norephedrine Toluene
1-phenyl-2-propanone  
Piperonal  
Potasium Permanganat  
Pseudoephedrine
Undang-undang Narkotika dan Psikotropika

Psikotropika tidak sama dengan Narkotika, hal tersebut sesuai dengan isi pasal 1 angka 1
UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika yang menyatakan bahwa Psikotropika merupakan
sebuah zat atau obat baik yang bersifat alamiah maupun buatan yang bukan narkotika.
Khasiatnya bersifat psikoaktif yang mana menyebabkan perubahan aktivitas mental serta
perilaku.

Pasal 12
(1) Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan oleh PBF
yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu
Pengetahuan.

(2) Penyaluran Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab produksi dan atau Kepala Lembaga
Ilmu pengetahuan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 2
terlampir.

2.3 PENGELOLAAN OBAT-OBAT GOLONGAN PSIKOTROPIKA

Persyaratan Produksi Psikotropika


1. Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi.
3. Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus memenuhi standar
dan/atau persyaratan farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

Persyaratan Penyaluran/Peredaran Psikotropika


1. Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen
yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
2. Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa
obat.
3. Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan
dokumen pengangkutan psikotropika.
4. Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah.
5. Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh :
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan
farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek, sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah,
puskesmas dan balai pengobatan Pemerintah.
6. Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar
farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu
pengetahuan.
7. Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat
disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor secara langsung oleh lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Pengelolaan psikotropika diatur secara khusus mulai dari pengadaan sampai pemusnahan
untuk menghindari terjadinya kemungkinan penyalahgunaan obat tersebut. Pelaksanaan
pengelolaan psikotropika di Apotek meliputi: .

1. Pemesanan Psikotropika
Pemesanan psikotropika dengan surat pemesanan rangkap 2, diperbolehkan lebih dari 1
item obat dalam satu surat pesanan, boleh memesan ke berbagai PBF.

2. Penerimaan Psikotropika
Penerimaan Psikotropika dari PBF harus diterima oleh APA atau dilakukan dengan
sepengetahuan APA. Apoteker akan menandatangani faktur tersebut setelah sebelumnya
dilakukan pencocokan dengan surat pesanan. Pada saat diterima dilakukan pemeriksaan yang
meliputi jenis dan jumlah Psikotropika yang dipesan.
3. Penyimpanan Psikotropika
Penyimpanan obat psikotropika diletakkan di lemari yang terbuat dari kayu ( atau bahan
lain yang kokoh dan kuat). Lemari tersebut mempunyai kunci ( tidak harus terkunci ) yang
dipegang oleh Asisten Apoteker sebagai penanggung jawab yang diberi kuasa oleh APA.

Persyaratan Penyimpanan Psikotropika antara lain :


a. Tempat penyimpanan Psikotropika di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas
pelayanan kefarmasian harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu
Psikotropika.
b. Tempat penyimpanan Psikotropika dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
c. Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain
Psikotropika.
d. Gudang khusus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan
pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
2) Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
3) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi
4) Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung jawab
5) Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain yang
dikuasakan.
e. Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1) Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
2) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
3) Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
4) Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan; dan
5) Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk
f. Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1) Terbuat dari bahan yang kuat;
2) Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
3) Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi
Pemerintah;
4) diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan ; dan
5) Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
g. PBF yang menyalurkan Psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan Psikotropika
berupa gudang khusus atau ruang khusus.
h. Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyimpan Narkotika atau Psikotropika harus
memiliki tempat penyimpanan Narkotika atau Psikotropika berupa ruang khusus atau
lemari khusus.
i. Dokter praktik perorangan yang menggunakan Narkotika atau Psikotropika untuk tujuan
pengobatan harus menyimpan Narkotika atau Psikotropika di tempat yang aman dan
memiliki kunci yang berada di bawah penguasaan dokter.

4. Pelayanan Psikotropika
Apotek hanya melayani resep psikotropika dari resep asli atau salinan resep yang dibuat
sendiri oleh Apotek yang obatnya belum diambil sama sekali atau baru diambil sebagian. Apotek
tidak melayani pembelian obat psikotropika tanpa resep atau pengulangan resep yang ditulis oleh
apotek lain.

Persyaratan Pelayanan Psikotropika antara lain :


a. Penyerahan Psikotropika hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.
b. Dalam hal Penyerahan dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker
di fasilitas pelayanan kefarmasian.
c. Penyerahan secara langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
d. Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh :
1) Apotek;
2) Puskesmas;
3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
4) Instalasi Farmasi Klinik; dan
5) Dokter
e. Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat menyerahkan
Narkotika dan/atau Psikotropika kepada :
1) Apotek lainnya;
2) Puskesmas;
3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
4) Instalasi Farmasi Klinik;
5) Dokter; dan
6) Pasien.
f. Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik
hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada pasien
berdasarkan resep dokter
1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter hanya dapat
dilakukan dalam hal :
2) Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan
Psikotropika melalui suntikan; dan/atau
3) Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek
atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
g. Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh dokter kepada pasien hanya dapat
dilakukan dalam hal :
1) Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan
Psikotropika melalui suntikan;
2) dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan;
3) dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Psikotropika; atau
4) dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada Apotek berdasarkan
surat penugasan dari pejabat yang berwenang.
h. Surat penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d termasuk sebagai izin
penyimpanan Narkotika dan Psikotropika untuk keperluan pengobatan.
5. Pelaporan Psikotropika
Laporan penggunaan psikotropika dilakukan setiap bulannya melalui SIPNAP ( Sistem
Pelaporan Narkotika dan Psikotropika ). Asisten apoteker setiap bulannya menginput data
penggunaan psikotropika melalui SIPNAP lalu setelah data telah terinput data tersebut di import.
Laporan meliputi laporan pemakaian narkotika untuk bulan bersangkutan ( meliputi nomor urut,
nama bahan / sediaan, satuan, persediaan awal bulan ). Password dan username didapatkan
setelah melakukan registrasi pada dinkes setempat.

6. Pemusnahan
Tata cara pemusnahan psikotropika sama dengan tata cara pemusnahan narkotika.

Persyaratan Pemusnahan Psikotropika antara lain :


1) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal:
1) diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat diolah kembali;
2) Telah kadaluarsa;
3) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
4) Dibatalkan izin edarnya; atau
5) Berhubungan dengan tindak pidana
2) Pemusnahan dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah,
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.
3) Psikotropika yang memenuhi kriteria pemusnahan yang berada di Puskesmas harus
dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.
4) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan
penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah
5) Pemusnahan Psikotropika harus dilakukan dengan:
1) Tidak mencemari lingkungan; dan
2) Tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
2.4 PENGELOLAAN NARKOTIKA

Persyaratan Produksi Narkotika


1. Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada Industri Farmasi
tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi narkotika sesuai dengan rencana
kebutuhan tahunan narkotika.
3. BPOM melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir
dari produksi narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan narkotika.
4. Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan atau digunakan dalam proses produksi,
kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ketentuan ini diatur dengan peraturan menteri.
5. Pengawasan produksi narkotika Golongan I untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dilakukan secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan.

Distribusi atau Penyaluran Narkotika


Persyaratan Distribusi Narkotika antara lain :
b. Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus
memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
c. Apoteker sebagai penanggung jawab dapat dibantu oleh Apoteker pendamping
dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Distribusi atau Penyaluran diatur dengan
Peraturan Menteri.
e. Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi
harus memenuhi ketentuan Cara Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.
f. Distribusi atau penyaluran Sediaan Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
g. Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi
harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang distribusi
atau penyaluran.
Pengelolaan narkotika diatur secara khusus untuk menghindari terjadinya kemungkinan
penyalah gunaan obat tersebut. Pelaksanaan pengelolaan narkotika di Apotek meliputi :
1. Pemesanan Narkotika
Pemesanan sediaan narkotika menggunakan surat pesanan narkotik yang ditandatangani
oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA). Pemesanan dilakukan ke PT. Kimia Farma Trade and
Distribution (satu satunya PBF narkotika yang legal di indonesia) dengan membuat surat pesanan
khusus narkotika rangkap empat. Satu lembar surat pesanan asli dan dua lembar salinan surat
pesanan diserahkan kepada Pedagang Besar Farmasi yang bersangkutan sedangkan satu lembar
salinan Surat Pesanan sebagai arsip di apotek, satu surat pesanan hanya boleh memuat
pemesanan satu jenis obat (item) narkotik misal pemesanan pethidin satu surat pesanan dan
pemesanan kodein satu surat pesanan juga, begitu juga untuk item narkotika lainnya.

2. Penerimaan Narkotika
Penerimaan Narkotika dari PBF harus diterima oleh APA atau dilakukan dengan
sepengetahuan APA. Apoteker akan menandatangani faktur tersebut setelah sebelumnya
dilakukan pencocokan dengan surat pesanan. Pada saat diterima dilakukan pemeriksaan yang
meliputi jenis dan jumlah narkotika yang dipesan.

3. Penyimpanan Narkotika
Obat-obat yang termasuk golongan narkotika di Apotek disimpan pada lemari khusus
yang terbuat dari kayu (atau bahan lain yang kokoh dan kuat) yang ditempel pada dinding,
memiliki 2 kunci yang berbeda, terdiri dari 2 pintu, satu untuk pemakaian sehari hari seperti
kodein, dan satu lagi berisi pethidin, morfin dan garam garamannya. Lemari tersebut terletak di
tempat yang tidak diketahui oleh umum, tetapi dapat diawasi langsung oleh Asisten Apoteker
yang bertugas dan penanggung jawab narkotika.

a. Penyimpanan narkotika harus :


1) Dalam wadah asli dari produsen.
2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, dalam hal diperlukan
pemindahan dari wadah asli nya untuk pelayanan resep, obat dapat disimpan di dalam
wadah baru yang dapat menjamin keamanan, mutu, dan ketertelusuran obat dengan
dilengkapi dengan identitas obat meliputi nama obat dan zat aktifnya, bentuk dan
kekuatan sediaan, nama produsen, jumlah, nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.
3) Pada kondisi yang sesuai dengan rekomendasi dari industri farmasi yang
memproduksi Obat sebagaimana tertera pada kemasan dan/atau label Obat sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
4) Terpisah dari produk lain dan terlindung dari dampak yang tidak diinginkan akibat
paparan cahaya matahari, suhu, kelembaban atau faktor eksternal lain;
5) Sedemikian rupa untuk mencegah tumpahan, kerusakan, kontaminasi dan campur-
baur; dan
6) Tidak bersinggungan langsung antara kemasan dengan lantai.
7) Dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun
secara alfabetis.
8) Memperhatikan kemiripan penampilan dan penamaan Obat (LASA, Look Alike
Sound Alike) dengan tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan
khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
9) Memperhatikan sistem First Expired First Out (FEFO) dan/atau sistem First In First
Out (FIFO).
b. Narkotika harus disimpan dalam lemari khusus penyimpanan narkotika.
c. Lemari khusus penyimpanan narkotika harus mempunyai 2 (dua) buah kunci yang
berbeda, satu kunci dipegang oleh Apoteker Penanggung Jawab dan satu kunci lainnya
dipegang oleh pegawai lain yang dikuasakan.
d. Apabila Apoteker Penanggung Jawab narkotik berhalangan hadir, Apoteker Penanggung
Jawab dapat menguasakan kunci ke pegawai lain (tenaga teknis kefarmasian).
e. Pemberian kuasa harus dilengkapi dengan Surat Kuasa yang ditandatangani oleh pihak
pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa.
f. Surat Kuasa harus diarsipkan sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun.
g. Penyimpanan narkotika harus dilengkapi dengan kartu stok, dapat berbentuk kartu stok
manual maupun elektronik.
h. Informasi dalam kartu stok sekurang-kurangnya memuat:
1) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika, Psikotropika dan/atau Prekursor
Farmasi; Jumlah persediaan
2) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
3) Jumlah yang diterima
4) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyerahan
5) Jumlah yang diserahkan
6) Nomor bets dan kedaluwarsa setiap penerimaan atau penyerahan
7) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
i. Jika pencatatan dilakukan secara elektronik, maka:
1) Harus tervalidasi, mampu telusur dan dapat ditunjukkan pada saat diperlukan;
2) Harus mampu tertelusur informasi mutasi sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun terakhir
3) Harus tersedia sistem pencatatan lain yang dapat dilihat setiap dibutuhkan. Hal ini
dilakukan bila pencatatan secara elektronik tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
4) Harus dapat di salin/copy dan/atau diberikan cetak/printout
j. Narkotika yang rusak dan/atau kedaluwarsa harus disimpan secara terpisah dari
narkotika yang layak guna, dalam lemari penyimpanan khusus narkotika dan diberi
penandaaan yang jelas.
k. Melakukan stok opname narkotika secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 1
(satu) bulan.
l. Melakukan investigasi adanya selisih stok dengan fisik saat stok opname dan
mendokumentasikan hasil investigasi dalam bentuk Berita Acara hasil investigasi selisih
stok.
4. Pelayanan Narkotika
Apotek hanya boleh melayani resep narkotika dari resep asli atau salinan resep yang
dibuat oleh Apotek itu sendiri yang belum diambil sama sekali atau baru diambil sebagian.
Apotek tidak melayani pembelian obat narkotika tanpa resep atau pengulangan resep yang ditulis
oleh apotek lain. Resep narkotika yang masuk dipisahkan dari resep lainnya dan diberi garis
merah di bawah obat narkotik.

Persyaratan Pelayanan Narkotika antara lain :

a. Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib bertanggung jawab


terhadap penyerahan narkotika.
b. Penyerahan narkotika kepada pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter.
c. Resep yang diterima dalam rangka penyerahan narkotika wajib dilakukan skrining.
d. Resep yang dilayani harus asli; ditulis dengan jelas dan lengkap; tidak dibenarkan
dalam bentuk faksimili dan fotokopi, termasuk fotokopi blanko resep.
e. Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas hanya dapat melayani resep narkotika
berdasarkan resep dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas tersebut.
f. Resep harus memuat:
1) Nama, Surat Izin Praktik (SIP), alamat, dan nomor telepon dokter
2) Tanggal penulisan resep
3) Nama, potensi, dosis, dan jumlah obat
4) Aturan pemakaian yang jelas
5) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien
6) Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep.
g. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien.
h. Selain dapat menyerahkan kepada pasien, Apotek juga dapat menyerahkan narkotika
kepada:
1) Apotek lainnya
2) Puskesmas
3) Instalasi Farmasi Rumah Sakit
4) Instalasi Farmasi Klinik, dan
5) Dokter
i. Penyerahan narkotika ke Dokter hanya dapat dilakukan dalam hal:
1) Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan narkotika
melalui suntikan atau;
2) Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada
Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
j. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dilarang mengulangi penyerahan obat atas dasar
resep yang diulang (iter) apabila resep aslinya mengandung narkotika.
k. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dilarang menyerahkan narkotika berdasarkan salinan
resep yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali apabila tidak
menyimpan resep asli.
l. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi, termasuk dalam
bentuk racikan obat.
m. Resep narkotika dengan permintaan iter dilarang diserahkan sekaligus.
n. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika berdasarkan resep yang ditulis oleh dokter
yang berpraktek di provinsi yang sama dengan Apotek tersebut, kecuali resep tersebut
telah mendapat persetujuan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota tempat Apotek
yang akan melayani resep tersebut.
o. Dalam menyerahkan narkotika berdasarkan resep, pada resep atau salinan resep harus
dicatat nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi dari pihak yang
mengambil obat.
p. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis narkotika harus disimpan terpisah dari resep
dan/ atau surat permintaan tertulis lainnya.
q. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis disimpan sekurang kurangnya selama 5
(lima) tahun berdasarkan urutan tanggal dan nomor urutan penerimaan resep.
r. Resep dan/ atau surat permintaan tertulis yang telah disimpan melebihi 5 (lima) tahun
dapat dimusnahkan.
s. Pemusnahan resep dilakukan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang sesuai
oleh Apoteker Penanggung Jawab dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya seorang
petugas Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.
t. Pada pemusnahan resep, harus dibuat Berita Acara Pemusnahan.
u. Pemusnahan resep wajib dilaporkan dengan melampirkan Berita Acara Pemusnahan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dan tembusan Kepala Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat.
5. Pelaporan Narkotika
Pelaporan penggunaan narkotika dilakukan setiap bulan. Laporan penggunaan obat
narkotika di lakukan melalui online SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika).
Asisten apoteker setiap bulannya menginput data penggunaan narkotika dan psikotropika melalui
SIPNAP lalu setelah data telah terinput data tersebut di import (paling lama sebelum tanggal 10
pada bulan berikutnya). Laporan meliputi laporan pemakaian narkotika untuk bulan
bersangkutan (meliputi nomor urut, nama bahan/sediaan, satuan, persediaan awal bulan),
pasword dan username didapatkan setelah melakukan registrasi pada dinkes setempat
( sipnap.binfar.depkes.go.id ).
6. Pemusnahan Narkotika
Persyaratan Pemusnahan Narkotika antara lain :

a. Penanggung Jawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib memastikan kemasan


termasuk label narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi yang akan
dimusnahkan telah dirusak.
b. Pemusnahan narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Prosedur pemusnahan narkotika dilakukan sebagai berikut :


a. APA membuat dan menandatangani surat permohonan pemusnahan narkotika yang
berisi jenis dan jumlah narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat.
b. Surat permohonan yang telah ditandatangani oleh APA dikirimkan ke Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan akan
menetapkan waktu dan tempat pemusnahan.
c. Kemudian dibentuk panitia pemusnahan yang terdiri dari APA, Asisten Apoteker,
Petugas Balai POM, dan Kepala Suku Dinas Kesehatan Kabutapten/Kota setempat.
d. Bila pemusnahan narkotika telah dilaksanakan, dibuat Berita Acara Pemusnahan yang
berisi :
1) Hari, tanggal, bulan, tahun dan tempat dilakukannya pemusnahan
2) Nama, jenis dan jumlah narkotika yang dimusnahkan
3) Cara pemusnahan
4) Petugas yang melakukan pemusnahan
5) Nama dan tanda tangan Apoteker Pengelola Apotek Berita acara tersebut
dibuat dengan tembusan :
a) Kepala Suku Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
b) Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta.
c) Arsip apotek.
2.5 PENGELOLAAN PREKURSOR FARMASI

Persyaratan Produksi Prekursor

1. Prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri yang telah memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Produksi Prekursor untuk industri farmasi harus dilakukan dengan cara produksi yang
baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi standar Farmakope Indonesia dan
standar lainnya.
4. Prekursor untuk industri non farmasi harus memenuhi persyaratan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Setiap Prekursor wajib diberi label pada setiap wadah atau kemasan.
6. Label pada wadah atau kemasan Prekursor dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi
tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan
dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.

Persyaratan Penyaluran Prekursor

1. Prekursor untuk industri non farmasi yang diproduksi dalam negeri hanya dapat
disalurkan kepada industri non farmasi, distributor, dan pengguna akhir.
2. Prekursor untuk industri non farmasi yang diimpor hanya dapat disalurkan kepada
industri non farmasi, dan pengguna akhir.
3. Prekursor untuk industri farmasi hanya dapat disalurkan kepada industri farmasi dan
distributor.
4. Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi, distributor atau importir terdaftar dapat
menyalurkan Prekursor kepada lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Setiap kegiatan penyaluran Prekursor harus dilengkapi dengan dokumen penyaluran.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran Prekursor diatur oleh Menteri dan/atau
menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

a. Pengadaan
1) Pengadaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus  berdasarkan Surat Pesanan (SP).
2) Surat Pesanan (SP) harus :
a) Asli dan dibuat tindasannya sebagai arsip;
b) Ditandatangani oleh Apoteker Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit disertai nam
a jelas dan nomor Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) di Instalasi Farmasi 
Rumah Sakit, nomor dan tanggal SP;
c) Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/PBF/Rumah
Sakit tujuan pemesanan. Dalam keadaan mendesak Rumah Sakit diperbolehkan
memesan ke Apotek misalnya pemesanan sejumlah obat yang dibutuhkan untuk
memenuhi kekurangan jumlah obat yang diresepkan;
d) Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, bentuk dan kekuatan
sediaan, jenis dan isi kemasan;
e) Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang jelas;
f) Khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat terpisah dari
surat pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis dalam bentuk angka dan
huruf;
g) Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan
nama penelpon yang berwenang), faksimili, email maka surat pesanan asli
harus diberikan pada saat serah terima barang, kecuali untuk daerah-
daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit transportasi dimana
pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, maka surat pesanan asli dikirimkan
tersendiri.
3) Rumah sakit yang tergabung di dalam satu grup, masing-masing Rumah sakit
harus membuat SP sesuai kebutuhan kepada Industri Farmasi/PBF.
4) Apabila karena suatu hal SP tidak dapat digunakan, maka SP yang tidak digunakan
tersebut harus tetap diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas.
5) Apabila SP Rumah Sakit tidak bisa dilayani, Rumah Sakit harus
meminta surat penolakan pesanan dari Industri Farmasi / PBF / Rumah Sakit pengirim.
6) Pada saat penerimaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus dilakukan
pemeriksaan kesesuaian antara fisik obat dengan faktur penjualan dan/atau Surat
Pengiriman Barang (SPB) antara lain:
a) Kebenaran nama produsen, nama obat mengandung  Prekursor
Farmasi, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, jenis dan isi kemasan.
b) Nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
c) Apabila kemasan obat dalam kondisi dan penandaan rusak, terlepas, terbuka
dan tidak sesuai dengan SP, maka obat dapat dikembalikan kepada pengirim
disertai dengan bukti retur/surat pengembalian dan salinan faktur penjualan
dan meminta nota kredit dari Industri Farmasi/PBF/Rumah Sakit pengirim.
7) Setelah dilakukan pemeriksaan Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit atau Tenaga
Teknis Kefarmasian wajib menandatangani Surat Pengiriman Barang (SPB) dan faktur
penjualan dilengkapi dengan nama jelas, nomor SIPA/SIPTTK dan stempel Rumah
Sakit.
8) SP obat mengandung Prekursor Farmasi dalam pengadaan tender dibuat terpisah dan
menjadi dokumen pendukung Surat Perjanjian Kontrak (SPK). Berita acara penerimaan
barang dibuat setelah obat mengandung Prekursor Farmasi diterima oleh Panitia
Penerima Barang.

b. Penyimpanan
1) Obat mengandung Prekursor Farmasi disimpan ditempat yang aman berdasarkan
analisis risiko masing-masing Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
2) Apabila memiliki obat mengandung Prekursor Farmasi yang disimpan tidak dalam
wadah asli, maka wadah harus dilengkapi dengan identitas obat meliput  nama,
jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, jenis dan isi kemasan, nomor batch,
tanggal kadaluwarsa, dan nama produsen.
3) Memisahkan dan menyimpan dengan aman obat mengandung Prekursor Farmasi yang:
a) Rusak
b) Kadaluwarsa
c) Izin edar dibatalkan

c. Penyerahan
1) Penyerahan obat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang berwenang di instalasi
farmasi rumah sakit setelah dilakukan skrinning terhadap resep (obat keras).
2) Penyerahan obat ke depo/unit antara lain rawat inap, rawat jalan, kamar operasi,
instalasi gawat darurat harus disertai bukti serah terima obat dari instalasi farmasi
kepada depo / unit.
3) Penyerahan obat harus memperhatikan kewajaran jumlah yang diserahkan sesuai
kebutuhan terapi.
4) Penyerahan obat diluar kewajaran harus dilakukan oleh Apoteker setelah dilakukan
screening terhadap permintaan obat.
5) Hal-hal yang harus diwaspadai dalam melayani pembelian obat mengandung prekursor
farmasi:
a) Pembelian dalam jumlah besar
b) Pembelian secara berulang-ulang dengan frekuensi yang tidak wajar

d. Pemusnahan
Persyaratan Pemusnahan Prekursor
1) Pemusnahan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal :
a) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak
dapat diolah kembali;
b) Telah kadaluarsa;
c) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d) Dibatalkan izin edarnya; atau
e) Berhubungan dengan tindak pidana
2) Pemusnahan dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah,
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.
3) Prekursor yang memenuhi kriteria pemusnahan yang berada di Puskesmas harus
dikembalikan kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.
4) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan
penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah.
5) Pemusnahan Prekursor harus dilakukan dengan:
a) Tidak mencemari lingkungan; dan
b) Tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
6) Harus tersedia daftar inventaris obat yang akan dimusnahkan mencakup nama produsen,
bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan, jumlah, nomor batch, dan
tanggal kadaluwarsa.
7) Pelaksanaan  pemusnahan  harus  dibuat  dengan  memperhatikan pencegahan diversi dan
pencemaran lingkungan. Kegiatan pemusnahan ini dilakukan oleh penanggungjawab
instalasi farmasi rumah sakit dan disaksikan oleh petugas Balai Besar / Balai POM / 
Dinas Kesehatan Kab / Kota setempat. Kegiatan ini didokumentasikan dalam Berita
Acara Pemusnahan yang ditandatangani oleh Apoteker dan saksi.
8) Berita Acara Pemusnahan yang menggunakan pihak ketiga harus ditandatangani juga
oleh saksi dari pihak ketiga.

e. Pelaporan
Instalasi farmasi pemerintah daerah wajib membuat, menyimpan dan menyampaikan
laporan pemasukan dan penyaluran narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dalam bentuk
obat jadi kepada kepala dinas kesehatan provinsi atau kabupaten/kota setempat dengan tembusan
kepada kepala balai setempat. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat (4) paling sedikit terdiri atas:
1) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika, psikotropika dan atau prekursor
farmasi.
2) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
3) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
4) Jumlah yang diterima.
5) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran.
6) Jumlah yang disalurkan.
7) Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan persediaan
awal dan akhir.
Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, lembaga ilmu
pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan pemasukan dan penyerahan atau penggunaan narkotika dan psikotropika, setiap bulan
kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan  tembusan kepala balai setempat.
Pelaporan paling sedikit terdiri atas:
1) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika, psikotropika dan atau prekursor
farmasi.
2) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
3) Jumlah yang diterima.
4) Jumlah yang diserahkan.
Dapat menggunakan sistem pelaporan narkotika, psikotropika, dan atau prekursor farmasi secara
elektronik. Laporan disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika
bekerja menurunkan fungsi otak serta merangsang susuan syaraf pusat sehingga
menimbulkan reaksi berupa halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan perasaan
yang tiba-tiba, dan menimbulkan rasa kecanduan pada pemakainya. 
2. Narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun
semisintesis,yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan–golongan sebagaimana terlampir
dalam Undang– undang.
3. Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan sebagai
bahan baku / penolong untuk keperluan proses produksi Industri Farmasi atau produk
antara, produk ruahan dan produk jadi/obat jadi yang mengandung efedrin,
pseudoefedrin, norefedrin/fenil propanolamine, ergotamine, ergometrine atau potassium
permanganat.
4. Beberapa contoh obat mengandung prekursor yang ada di masyarakat dan
penggunaannya perlu diawasi antara lain : Aerius D tablet, Clarinase tablet, Telfast Plus,
Methergin tablet, Methergin injeksi, Tremenza tablet, Aldisa SR tablet, Trifed tablet,
Fexofed tablet, Pospargin 0,125 mg tablet, Pospargin 2mg/ml injeksi
DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2013. Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
40 tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi Dan Obat Mengandung
Prekursor Farmasi. Jakarta : Kepala BPOM.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor

PERMENKES. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015


Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Sanjaya, Belyan. 2014. Pengelolaan Psikotropika dan Narkotika. Universitas Padjadjaran /
Fakultas Farmasi / Apoteker
Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
LAMPIRAN
1. Foto Penyimpanan Psikotropika

2. Foto Kartu Penyimpanan Psikotropika


3. Foto Pelaporan Psikotropika
4. Foto Surat Pesanan Psikotropika

Anda mungkin juga menyukai