Anda di halaman 1dari 7

Disiplin Positif Dalam Mengasuh Anak

Disiplin positif adalah sistem disiplin yang biasa digunakan oleh sekolah yang memfokuskan
pada tingkah laku positif anak. Pendekatan disiplin positif mengajak para pendidik dan orang
tua untuk menyadari dan meyakini, bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah
tingkah baik dan tingkah laku buruk. Guru dan orang tua bisa mengajarkan dan mendorong
munculnya tingkah laku baik, pada saat mengelola tingkah laku buruk tanpa harus menyakiti
anak baik secara verbal maupun fisik. Disiplin positif memiliki sejumlah cara atau metode,
yang jika digunakan secara bersama-sama dan dikombinasikan akan lebih efektif dalam
mengelola berbagai tingkah laku buruk anak. Model The Positive Discipline Parenting
berdasarkan pada hasil kerja dari Alfred Adler dan Rudolf Dreikurs. Model ini mendorong
guru dan orang tua untuk menghormati anak, tetapi tidak mendorong untuk memanjakan
dan pampering mereka karena akan menimbulkan masalah sosial dan tingkah laku bagi
anak-anak dikemudian hari.

Beberapa metode untuk menerapkan disiplin positif:


1. Jika tingkah laku yang tidak bisa diterima oleh orang tua merefleksikan adanya konflik
kebutuhan, maka orang tua bisa menggunakan I-messages untuk mengkomunikasikan
kebutuhannya. I-message tidak menyalahkan, tidak menilai tingkah laku yang
dipermasalahkan, terutama ketika bertabrakan dengan kebutuhan yang
menyatakannya. I-messages menggambarkan bagaimana tingkah laku yang tidak bisa
diterima berdampak pada yang menyatakannya, dan bagaimana itu mempengaruhi
perasaannya. I-messages mengkonfrontasi tingkah laku yang dikeluhkan dan bukan
orangnya. Salah satu contoh I-messages adalah sebagai berikut: ” jika kamu membuang
pasir dari kotak pasir ke karpet, maka saya harus menghabiskan waktu untuk
membersihkannya, dan saya tidak suka itu”.
2. Mistaken Goal, merupakan konsep yang dikemukakan oleh Rudolf Dreikurs, hal ini
merujuk pada empat tujuan yaitu power (kekuatan), attention (perhatian), revenge
(balas dendam), dan avoidance of failure (menghindari kegagalan) yang menurut
Dreikurs sebagai empat motivasi umum yang mendorong tingkah laku buruk pada anak-
anak atau pra- remaja. Tujuannya disebut mistaken goals sebab anak-anak sendiri pada
dasarnya tidak berkeinginan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, kecuali
orang tuanya memahami situasinya secara psikologis. Dreikurs mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya dari masing-masing tujuan sebagai berikut:

    Mistaken goal                                                    Kebutuhan Anak


power                                                   otonomi, ikut memutuskan, tanggung jawab
attention                                               asa memiliki/dimiliki, pengakuan, keterlibatan
revenge                                                keadilan, perlakuan yang sama
avoidance of failure                         dorongan, dukungan
 3.   Natural and Logical Consequences, contoh dari natural consequences (konsekuensi
natural) adalah saat orang tua membiarkan anak ketinggalan mobil jemputan sekolah atau
membolehkan anak memegang air panas/benda panas (yang tidak terlalu panas). Anak-anak
belajar bahwa tingkah laku mereka memiliki konsekuensi dan dapat memahami serta
mengapresiasi bahwa orang tua membantu atau melarang dengan tujuan agar mereka tidak
mendapat konsekuensi yang negatif. Anak dapat belajar dari konsekuensi natural, ketika
orang tua membiarkan mereka untuk mengalami sendiri konsekuensi secara riil dari tingkah
laku mereka, dengan kondisi yang terkontrol oleh orang tua. Konsekuensi natural sangat
efektif tanpa perlu komentar dari orang tua, sehingga anak bisa belajar memaknai setiap
pengalamannya sendiri.
Logical Consequences (konsekuensi logis), contoh konsekuensi logis  adalah saat anak harus
memilih salah satu acara televisi yang ingin ditontonnya dan tidak bisa menonton keduanya.
Anak harus membuat keputusan dan harus menerima konsekuensinya. Anak juga bisa
sedikit belajar mengenai manajemen waktu jika waktu untuk menonton acara televisi
selanjutnya sudah terisi dengan kegiatan lain sebagai konsekuensinya. Konsekuensi logis
adalah konsekuensi yang harus diterima berdasarkan apa yang sudah ditawarkan orang tua
pada anaknya.  Ada 4 kriteria R pada konsekuensi logis, yaitu:
Konsekuensi harus secara langsung berkaitan (related) dengan pilihan yang ditawarkan
Konsekuensi harus memungkinkan anak bertanggung jawab (responsibility) dengan tingkah
laku mereka
Konsekuensi harus masuk akal (reasonable)
Konsekuensi harus dberikan dengan tetap menghormati anak (respectful)
Konsekuensi logis tidak boleh disamakan dengan hukuman, anak harus bisa memahami
alasan dibalik konsekuensi logis.
4.    Kees-erziehen, merupakan konsep pendidikan parenting yang dikemukakan oleh Rudolf
Dreikus berdasarkan pada konsep psikologi individual dari Alfred Adler. Singkatan kees,
merupakan kependekan dari cooperative, encouraging, social and situation-oriented. Kees-
erziehen mengidentifikasi empat kebutuhan social dasar pada individu yaitu:
·         to belong and feel loved (rasa dimiliki dan dicintai)
·         to be important (merasa penting)
·         to be able to influence (bisa memberi pengaruh)
·         to feel protected dan secure (merasa terlindungi dan aman)

Tujuan dari model ini adalah untuk meningkatkan kerjasama, gaya disiplin demokratik yang
dicapai melalui aturan-aturan umum dalam kehidupan keluarga dan konsensus yang dicapai
melalui konseling keluarga. Model ini meningkatkan kemampuan peserta untuk memahami
kebutuhan social anak, sikap mengabaikan yang mendorong munculnya tingkah laku yang
tidak diinginkan pada anak. Orang dewasa dan anak-anak dipandang sejajar dan
terpenuhinya kebutuhan kedua belah pihak sangat ditekankan. Orang tua dan fasilitator
belajar untuk membangun kerja sama, mengelola konflik, dan menyusun aturan melalui
konsekuensi logis. Konsistensi dan dorongan digunakan untuk meningkatkan kemandirian
dan untuk memungkinkan anak belajar bertanggung jawab terhadap tingkah laku mereka.
Peserta pelatihan diarahkan untuk berorientasi pada tingkah laku aktual (act situation-
oriented), memberi tawaran pada anak-anak, dan untuk mengapresiasi setiap tingkah laku
positif anak serta tidak bersikap reaktif terhadap tingkah laku buruk anak. Selain itu, self
esteem dan rasa tanggung jawab orang tua dan anak-anak juga ditingkatkan.

5.   IRIS Strategy, merupakan kependekan dari Interrupt (interupsi), Respect (hormat),
Ignore (mengabaikan), Self-determined action (bereaksi berdasarkan pertimbangan sendiri),
sebuah strategi yang mengikuti sebuah skema mengenai bagaimana menghadapi tingkah
laku yang mengganggu, agresif, dan tipe-tipe tingkah laku anak yang tidak diinginkan yang
lainnya. Skemanya bertujuan agar orang tua  menghindarkan dirinya untuk turut campur
(interrupt), untuk mempertimbangkan dan menghargai perspektif anak (respect), untuk
mengabaikan tingkah laku buruk anak dan agar tidak menghukumnya (ignore) dan untuk
bereaksi beberapa saat kemudian setelah orang tua memikirkan dan
mempertimbangkannya sebagai respon yang pantas diberikan untuk mencegah terjadinya
masalah (self-determined action).

6.   Special Moments, atau edelsteinmomente atau jewel moment, berarti anak
mendapatkan perhatian yang special dengan kualitas yang khusus sebagai bentuk dedikasi
orang tua padanya di waktu-waktu tertentu. Special moment merupakan alat untuk
membawa self esteem anak mencapai derajat tertentu. Special moment dapat mengambil
situasi-situasi yang biasa terjadi dalam interaksi anak dan orang tua, namun yang
melibatkan afeksi secara mendalam. Untuk anak-anak yang lebih muda, special moment
bisa terjadi saat orang tua memeluk anak ketika bangun di pagi hari, permainan-permainan
seperti saatnya berpelukan atau saat membacakan buku menjelang tidur.

Sumber : http://berbagiilmupsikologi.weebly.com/teori-psikologi/disiplin-positif-dalam-
mengasuh-anak

Disiplin Positif Pada Anak untuk


Meningkatkan Kualitas Pribadi Anak

Pengantar
•Disiplin positif adalah konsep lama dari Alfred Adler dan Rudolf Dreikurs yang mulai
digunakan dan dikaji kembali oleh para pendidik karena munculnya banyak kekerasan yang
terjadi di rumah dan di sekolah.
•Displin positif merupakan sistem disiplin yang biasa digunakan di rumah atau di sekolah
yang memfokuskan pada tingkah laku positif anak.
•Guru dan orangtua bisa mengajarkan dan mendorong munculnya tingkah laku baik, pada
saat mengelola tingkah laku buruk tanpa harus menyakiti anak baik secara verbal maupun
fisik.

•Disiplin bukan meminta anak untuk berperilaku yang sesuai dengan yang orangtua mau atau
sebaliknya menyuruh anak berhenti berperilaku yang tidak sesuai dengan situasi tertentu.
•Namun, disiplin merupakan suatu proses dimana melalui arahan positif dan koreksi perilaku
negatif, anak diajarkan untuk berperilaku sesuai dengaan aturan dan nilai keluarga
Manfaat Disiplin Positif
•Melalui disiplin positif, anak belajar untuk memperlakukan diri mereka sendiri
•Anak yang diberi kebebasan untuk memilih, akan semakin mampu memecahkan masalahnya
sendiri, kreatif dalam mencari alternatif solusi permasalahan
•Anak yang mendapatkan banyak pujian akan tumbuh menjadi individu dewasa yang percaya
diri dan menghargai diri sendiri.
•Karena jika terlalu banyak dikritik, akan bertumbuh menjadi individu dewasa yang kurang
menghargai diri sendiri, kurang percaya diri dan menganggap dirinya banyak kekurangan
•Sehingga, nantinya muncul kesadaran diri untuk patuh pada aturan baik di rumah maupun di
sekolah

Rumus Displin Positif


•Disiplin Positif = 90% (arahan) + 10% (koreksi)
•Arahan positif porsinya selalu lebih banyak daripada koreksi negatif
•Orangtua harus mampu MENGONTROL EMOSI ketika perilaku negatif anak muncul,
sebelum orangtua merespon perilaku anak
•Efektif atau tidaknya tergantung pada hubungan orangtua dengan anak. Jika ingin berjalan
lancar, jaga hubungan antara orangtua dan anak.
•Fokus pada arahan, bukan koreksi. Berikan rewards (bukan berupa barang, namun perhatian,
penerimaan, persetujuan, pujian, penghargaan, afeksi/kasih sayang dari orangtua

•Ketika anak melanggar aturan atau berperilaku buruk, kita perlu mencari tahu apakah anak
kita memahami aturan yang diharapkan. Jika belum, maka kita perlu memberikan arahan
kepadanya. Misalnya, ibu tidak mau kamu bermain-main dengan pisau, karena itu dapat
melukaimu atau kamu akan sakit nantinya.
•Jika anak sudah memahami aturan, namun tetap memilih untuk berperilaku negatif, maka
kita perlu memberikan koreksi. Hal itu untuk menunjukkan bahwa kita serius menegakkan
aturan, contohnya: “kamu tahu kalau mengambil barang ibu tanpa ijin adalah salah. Kalau
begitu kamu harus membantu ayah membersihkan rumah selama satu jam, setelah itu baru
boleh bermain. Lain kali, kalau kamu ingin meminjam barang ibu, kamu harus tanya atau ijin
pada ibu dulu ya”

Metode Disiplin Positif


•I-Messages : fungsinya untuk mengkomunikasikan kebutuhannya. Tidak menyalahkan, tidak
menilai tingkah laku yang dipermasalahkan. Menggambarkan bagaimana tingkah laku negatif
yang muncul dapat berdampak bagi orang lain, dengan menyatakannya dan bagaimana
mempengaruhi perasaannya.
•I-Messages mengkonfrontasi tingkah laku yang dikeluhkan, bukan orang yang melakukan
•Contoh: Jika kamu membuang kotak pasir di lantai, maka saya harus menghabiskan waktu
untuk membersihkannya, dan saya tidak suka itu.

•Anak harus tahu TUJUAN dan APA YANG ORANGTUA ATAU GURU INGINKAN dari
dirinya. Jangan sampai ada mistaken goals atau tujuan yang tidak diketahui oleh anak.
•Natural consequences, yaitu konsekuensi alami. Orangtua boleh membiarkan anak
ketinggalan mobil jemputan sekolah atau membolehkan anak memegang pinggiran gelas
yang berisi air panas (agak panas) agar anak-anak belajar bahwa tingkah laku mereka
memiliki konsekuensi dan dapat memahami serta mengapresiasi bahwa orangtua membantu
atau melarang dengan tujuan agar mereka tidak mendapat konsekuensi negatif. Efektif karena
orangtua tidak perlu komentar dan anak bisa belajar memaknai setiap pengalamannya sendiri.
•Logical Consequences atau Konsekuensi Logis adalah ketika anak harus memilih salah satu
pilihan, membuat keputusan, dan harus menerima konsekuensinya. Contohnya, anak harus
memilih film apa yang ingin ia tonton dan ia tidak bisa menonton keduanya dalam satu
waktu.

Ada 4 kriteria R yang dapat menjadi konsekuensi, yaitu:


•Responsibility atau tanggung jawab (konsekuensi memungkinkan anak untuk bertanggung
jawab dengan tingkah lakunya)
•Reasonable atau masuk akal (konsekuensi harus masuk akal)
•Respectful (konsekuensi harus diberikan dengan tetap menghormati anak)
•Related (konsekuensi harus secara langsung berkaitan dengan pilihan yang ditawarkan)

•Special Moments adalah saat dimana anak mendapatkan perhatian yang spesial dengan
kualitas khusus sebagai bentuk dedikasi orangtua kepada anak di waktu-waktu tertentu.
Special moments bertujuan untuk meningkatkan self esteem (harga diri) anak dengan
melibatkan afeksi hubungan secara mendalam, misalnya memeluk anak ketika akan tidur, dll.

Saran
•Fokus untuk meningkatkan perilaku positif anak, bukan perilaku negatifnya. Berikan pujian
dan apresiasi jika perilaku positif muncul.
•Jaga emosi orangtua ketika sedang melihat anak memunculkan perilaku negatif. Tarik nafas
dan rileks dulu, kemudian baru merespon. Hal ini agar orangtua tidak mengeluarkan atau
merespon perilaku anak secara negatif
•Bersikap konsisten dengan pilihan sistem yang digunakan

Oleh : Miranti Rasyid S.Psi


Magister Profesi Psikologi Pendidikan
Universitas Airlangga

Sumber : http://www.bmatavhati.co.id/disiplin-positif-pada-anak-untuk-meningkatkan-
kualitas-pribadi-anak/

Metode Pengajaran Disiplin Positif


Metode Pengajaran pendekatan Disiplin Positif untuk mengakhiri kekerasan di
sekolah. Mitos bahwa hukuman kekerasan memberi dampak positif bagi anak-anak, perlu
diakhiri. Hukuman fisik tidak menciptakan anak yang kuat dan pandai, namun mengingkari
hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang bebas dari kekerasan.

Studi global juga menunjukkan bahwa kekerasan berdampak negatif pada anak-anak,
menyebabkan pelajaran mereka terganggu, mereka keluar dari sekolah, mengadopsi perilaku
kekerasan dan bahkan mempengaruhi kesehatan mental. Melalui metode pengajaran
pendekatan Disiplin Positif, guru mampu menguasai emosinya di kelas, dan berusaha
mengajar dengan cara yang tidak menyakiti atau menakutkan siswa-siswanya.
Mengakhiri Kekerasan di Sekolah Lewat Disiplin Positif
Metode pengajaran pendekatan Disiplin Positif memfokuskan pada pemberantasan tindakan
kekerasan untuk mendisiplinkan siswa, termasuk lewat hukuman fisik, melalui praktek-
praktek yang menguatkan perilaku positif. Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang
bebas kekerasan, para guru dilarang untuk melakukan kekerasan fisik dan verbal dalam
mendisiplinkan siswa mereka, dan dianjurkan untuk mengaplikasikan pendekatan Disiplin
Positif.

Untuk itu UNICEF bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengakhiri kekerasan di


sekolah dengan melaksanakan program pelatihan Metode pengajaran pendekatan Disiplin
Positif  yang dimulai akhir tahun 2012 untuk para guru sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama di Kabupaten Jayapura, Jayawijaya dan Keerom di Papua.

Menurut Multiple Indicator Cluster Survey 2011 di beberapa distrik Papua dan Papua Barat,
hukuman emosional dan fisik masih sangat lazim. Lebih dari 60 persen ibu atau pengasuh
dilaporkan menggunakan hukuman fisik terhadap anak-anaknya. Bahkan, sekitar satu dari
empat mengaku mengaku menggunakan hukuman fisik yang berat.

Survey lain di tiga distrik menunjukkan bahwa hukuman fisik adalah hukuman yang paling
lazim dilakukan di 56 persen sekolah yang diwawancarai. Meskipun para guru mengakui
dampak buruk dari hukuman fisik, mereka tidak tahu alternatif lain untuk mendisiplinkan
murid-murid mereka.

Pelatihan pendekatan Disiplin Positif

Pelatihan Metode pengajaran pendekatan Disiplin Positif adalah kombinasi dari sistem
berbasis fakta yang membantu guru-guru mempelajari keahlian baru; dan pendekatan
partisipatoris yang memberi kesempatan praktek yang banyak bagi peserta lewat permainan
peran dan pemecahan problem bersama tentang bagaimana melakukan perubahan di sekolah
mereka.

Modul pengajaran ini terbagi dalam tiga kelompok kurikulum untuk para guru, yaitu: Kelas
1-3, kelas 4-5 dan kelas 7-8. Guru mempelajari 6-langkah yang mudah untuk diikuti, dimulai
dari langkah-langkah preventatif untuk kenakalan tingkat rendah, hingga strategi respon
untuk kenakalan tingkat tinggi.

UNICEF bekerja sama dengan Professor Helen Cahil, yang dulunya juga seorang guru, dan
Sally Beadle dari University of Melbourne untuk mengembangkan modul pelatihan guru yang
paling efektif untuk pendekatan ini.

Program pelatihan ini bertujuan untuk membantu anak-anak menjadi lebih bertanggung


jawab akan perilaku mereka sendiri. Dengan demikian, guru tidak lagi memaksa mereka
untuk berperilaku yang baik, namun memberi mereka penghargaan untuk perilaku yang baik
dengan memberi perhatian.

Program ini dimulai pada akhir tahun 2012, dan selama setahun terakhir telah dilakukan
empat pelatihan untuk guru-guru di 16 sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di
Kabupaten Jayapura, Jayawijaya dan Keerom di Papua. Pelatihan terakhir diadakan di
Jayapura dan bertepatan dengan peluncuran kampanye global UNICEF, #ENDviolence
against Children, di Indonesia.

Pelatihan ini memfokuskan pada pemberantasan tindakan kekerasan untuk mendisiplinkan


siswa, termasuk lewat hukuman fisik, melalui praktek-praktek yang menguatkan perilaku
positif.

Program pelatihan Positif Disiplin merupakan bagian dari upaya untuk menghentikan kekerasan
terhadap anak dan perempuan di Papua. Pelatihan ini mengajarkan guru berbagai keterampilan
dalam disiplin positif sebagai alternatif untuk hukuman fisik. ©UNICEF Indonesia/2013/Esteve.

“Murid-murid dulu takut pada saya: Ketika saya berbicara, mereka menjadi tegang. Sekarang
mereka terlihat menikmati kelas saya, karena saya berusaha memotivasi mereka, dan saya
mengajar dengan lebih rileks, bahkan dengan bercanda.” ungkap Darius Naki Sogho
yang selama 24 tahun mengajar kelas 5  sering menggunakan tangan atau tongkat rotan untuk
menghukum murid-muridnya.

Sumber

Sumber : http://padamu.net/metode-pengajaran-disiplin-positif

Anda mungkin juga menyukai