Anda di halaman 1dari 6

Nilai moral agama

Pengertian Nilai Moral Dan Agama

Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan atau adat.
Moral dapat dimaknai sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Istilah moral dalam tulisan ini
diartikan sebagai peraturan, nilai-nilai dan prinsip moral kesadaran orang untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip yang dianggap baku dan dianggap benar. Nilai-nilai
moral ini seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang tua, kepada orang lain, serta jauhh
dari segala sesuatu yg menjadi larangan. Seseorang yang dikatakan bermoral, apabila tingkah
laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi kelompok sosialnya
(Susanto, 2011:65).

Pengembangan nilai moral agama erat kaitannya dengan budi pekerti seorang ank, seikap
sopan santun, kemauan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
perkembangan nilai agama dan moral anak diharapakan dapat membedakan perilaku yg baik
dan buruk. Cara yang dapat dilakukan oleh org tua dan guru untuk menstimulasi moral agama
anak adalah memberikan contoh. Anak sua dini mempunyai sifat meniru, jadi iya akan
cenderung meniru apa yang dilakukan oleh orang tua atau gurunya. Disinilah peran guru dan
orang tua memberikan contoh perilaku yang baik bagi anak.

Pada masa bayi ,anak belum mengenal perilaku moral atau perilaku yang sesuai atau tidak
sesuai dengan kebiasaan orang-orang disekitamya. Semakin bertambah hari,bertambah pula
usianya anak bertambah pula pengetahuan terhadap lingkungan sekitamya. Pengetahuannya
tentang perilaku yang "boleh atau tidak boleh atau perilaku yang sesuai dengan kebiasaan
lingkungan sekitar dimengerti berdasar pendidikan dari orang dewasa disekitamya. Orang tua
dan orang dewasa lain yang terlibat dalam pendidikan anak harus mengajarkan pada anak
perilaku apa saja yang benar dan kurang sesuai dengan aturan atau kebiasaan.
Ada dua ahli yang menjelaskan bagaimana perkembangan moral pada anak, yaitu Jean Piaget
dan Kohlberg.

Piaget membagi perkembangan moral pada anak menjadi dua tahap, Heteronomous
Morality (usia 5 - 10 tahun) Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan-
aturan sebagai otoritas yang dimiliki oleh Tuhan, orang tua dan guru yang tidak dapat dirubah,
dan harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya. Dan Autonomous Morality atau Morality of
Cooperation (usia 10 tahun keatas) Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat
memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh
menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutnya,
anak berusaha mengatasi konflik dengan cara-cara yang paling menguntungkan, dan mulai
menggunakan standar keadilan terhadap orang lain.

Kohlberg melanjutkan teori Piaget dalam penguraikan perkembangan moral. la


membagi perkembangan moral menjadi tiga tahap, yang masing-masing tahap dikelompokkan
dalam dua stadium. Pada anak usia dini, perkembangan moral anak termasuk pada tahap
perkembangan moral yang pertama, yaitu moralitas prakonvensional.

Tahap ini dialami oleh anak usia 4-9 tahun. Ciri khas yang terdapat pada tahap ini adalah anak
tunduk pada aturan yang berlaku di lingkungan. Perilaku pada diri anak dikendalikan oleh akibat
yang muncul pada perilaku tersebut, yaitu hadiah dan hukuman. Contoh: anak tidak mau
memukul adiknya karena takut dimarahi orang tuanya, serta anak berperilaku baik agar
mendapat hadiah atau pujian dari orang tua.

Tahap 1 : moralitas heteronom, pada tahap ini moral terkait dengan punishment (hukuman),
jadi anak akan berfikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut akan hukuman.

Tahap 2 : individualisme, tujuan instrumental dan pertukaran. Individu memikirkan


kepentingan sendiri adalah hal yang benar dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu
menurut mereka apa yg benar adalah sesuatu yg harus ada timbal balik yg setara. Seperti jika
mereka baik terhadap orang lain, org lain juga akan baik terhadap mereka.
Setelah tahap pertama dilalui , perilaku anak akan meningkat pada tahap kedua yaitu tahap
konvensional. Tahap ini dialami oleh anak usia 9-13 tahun. Pada tahap ini perilaku anak timbul
dari kesepakatan yang dibuat bersama lingkungan anak sebagai bentuk penyesuaian diri.
Contoh: anak melakukan perbuatan tertentu karena ingin diterima atau bermain bersama
teman sebayanya.

Tingkatan 3 : Norma-norma Interpersonal


Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain
sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai
oleh orang tuanya sebagai yang terbaik. Mereka mencoba menjadi seorang yg baik unutuk
memenuhi harapan tersebut, krn mereka mengetahui ada guna harapan tersebut.

Tingkat 4 : Moralitas Sistem Sosial

Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-
hukum sosial.. penting unutuk mematuhi hukum, keputusan krn berguna dlm memelihara
fungsi dr masyarakat. Bila seseorg melanggar hukum , mngkin org lain jg akn bgtu shingga ada
takanan / kewajiban unutk mematuhi hukum yg brlaku.

Pada tahap ketiga disebut juga tahap pascakonvensional. Pada tahap terakhir ini
perilaku anak sudah dikendalikan oleh nilai atau prinsip-prinsip yang dipegangnya, sehingga
memungkinkan memegang nilai-nilai atau aturan secara luwes.

Tahap ini dialami oleh anak di atas usia 13 tahun yang telah mampu mengendalikan perilakunya
dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipegangnya. Anak memutuskan suatu tindakan
sesuai dg pilihan-pilihan. Pada tahap ini, anak diharapkan mampu membentuk keyakinannya
sendiri dan bisa menerima jika ada orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda yang tidak
mudah untuk diubah atau dipengaruhi oleh orang lain.

Tahap 5: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual

Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan itu bersifat relatif dan bahwa standar setiap org dapat
berbeda dari satu orang dan orang lainnya.
Tahap 6: Prinsip-prinsip Etika Universal

Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak
manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara
hati, seseorang akan mengikuti suara hatinya.

Ketahui Cara Menanamkan Nilai Agama dan Moral untuk Anak Usia Dini


#1 Berikan Contoh kepada Anak

Langkah pertama adalah memberikan contoh terlebih dahulu kepada anak, sebab keluarga
merupakan tempat pertama anak belajar. Anda bisa memberi contoh untuk berbicara secara
perlahan, menggunakan bahasa yang halus dan sopan, serta tidak mengucapkan kata-kata yang
kotor. 

Anak akan lebih mudah menuruti nasehat yang diberikan oleh orang tua, jika orang tua
memberikan contoh terlebih dahulu. Ini bisa menjadi tempat yang tepat untuk membangun
kebiasaan yang baik untuk anak. Secara perlahan, anak akan mengadopsi nasehat dan
kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua. 

#2 Mulai dari Kebiasaan yang Sederhana

Jika Anda memberikan teladan secara sekaligus, anak biasanya akan sulit mengubah kebiasaan
yang sudah mengakar. Karena itu, mulai dari kebiasaan yang mudah terlebih dahulu, misalnya
mencuci piring sendiri setelah makan. 

Anda juga bisa memberikan contoh membaca doa sebelum dan sesudah makan, yang
merupakan kebiasaan sederhana. Cara menanamkan nilai agama dan moral ini
direkomendasikan oleh banyak pakar anak, sebab kebiasaan yang sederhana jika dilakukan
secara beruntun bisa menarik kebisaan baik lainnya. 

#3 Menyampaikan Nasehat dengan Cara yang Menyenangkan

Hati anak tidak bisa stabil sebagaimana orang dewasa, karena itu memberikan saran dan
nasehat untuk anak sebaiknya dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Misalnya dengan
membacakan cerita sebelum tidur, menceritakan kisah yang memiliki amanat baik. 

Anda juga bisa menyelipkan nasehat ketika anak beraktifitas, misalnya dengan memberikan
mainan, buku, maupun lagu yang mencerminkan kebiasaan baik. Selain bisa menghibur anak
ketika hatinya sedang sedih atau kesal, ia juga bisa tertanam menjadi kebiasaan yang baik. 

#4 Ajak Anak untuk Bersosialisasi dengan Lingkungan yang Baik 

Selain keluarga, lingkungan juga menjadi tempat belajar anak, karena itu perlu untuk membuat
lingkungan pertemanan yang mendukung. Sebaiknya hindarkan anak dengan teman yang
memiliki tabiat kurang baik, dan ajak anak ke tempat yang memiliki kebiasaan baik. 
Cara menanamkan nilai agama dan moral untuk anak misalnya dengan mengajak anak
bermain bersama dengan teman sepermainan yang sepantaran. Akan lebih baik jika
memberikan ruang untuk belajar bersama secara bergantian di rumah teman, dengan begitu
orang tua bisa memantau perkembangan dan sosialisasi yang dilakukan oleh anak. 

#5 Jangan Paksa Anak untuk Melakukan Sesuatu

Ketika anak tidak melakukan nasehat yang Anda berikan, biasanya Anda akan kesal. Jika anak
agak sulit menerima kebiasaan dan nasehat yang Anda berikan, atau masih enggan melakukan
kebiasaan yang Anda praktekkan, jangan menyerah dan kesal. 

Bisa jadi anak sedang mengalami hari atau mood yang buruk, sehingga ia tidak bersikap seperti
biasanya. Pahami kondisi tersebut dan cobalah untuk menasehatinya secara perlahan, misalnya
jika anak tidak mau membereskan kamar tidurnya, berikan nasehat secara lembut dan bantu
anak untuk membereskan tempat tidurnya. 

Menjadi contoh untuk anak tentu bukan hal yang mudah, karena itu selalu praktekkan sikap
dan kebiasaan baik. Tidak hanya ketika Anda berada di depan anak, namun juga dalam
kehidupan sehari-hari. Nah Itulah tadi beberapa cara menanamkan nilai agama dan moral yang
tepat, khususnya untuk anak usia dini. Jika anak diarahkan sejak dini untuk berperilaku baik,
tentu hal tersebut akan menjadi kebiasaan ketika ia dewasa.

Karakteristik Perkembangan Agama dan Moral Anak Usia Dini

Keberagamaan pada anak usia dini berkembang melalui pengalaman dari lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat. Pengalaman anak yang bersifat keagaaman akan membawa pada
sikap, perilaku dan tindakan yang sesuai dengan ajaran agamanya. Sifat dan bentuk
pemahaman keagamaan pada anak usia dini, Mansur (Akbar, 2019:56) adalah sebagai berikut:

1. Tidak mendalam (Unreflective), ajaran agama yang diterima dari lingkungan akan
dipahami anak sekedarnya. Artinya anak akan merasa puas dengan keterangan yang
diberikan meskipun kurang masuk akal.
2. Egosentris, seiring dengan pertumbuhan yang dialami, egosentris pada anak akan
semakin meningkat sejalan dengan pengalaman yang diperolehnya. Sehingga, konsep
keagamaan dipahami anak berdasarkan kesenangan pribadinya dan menonjolkan
kepentingan dirinya.
3. Antrophomorphis, artinya anak memahami konsep ketuhanan seperti manusia. Bagi
anak, Tuhan adalah sosok yang memiliki wajah, hidung, tangan dan sebagainya.

4. Verbal dan ritualis, perkembangan keberagamaan anak muncul seiring dengan


pembiasaaan yang diberikan kepadanya. Kehidupan beragama pada anak muncul
dengan cara menghapal kalimat-kalimat keagamaan serta tuntutan perilaku dari
lingkungan.
5. Imitatif, anak melakukan kegiatan keagamaan berdasarkan hal-hal yang dilihatnya di
lingkungan kemudian ditiru oleh anak. Contoh ketika orangtua melakukan ibadah anak
menirukan gerakan ibadah tersebut sesuai dengan yang dilihatnya. Sifat peniru pada
anak menjadi pengaruh yang besar dalam pendidikan keagamaan pada anak usia dini.
6. Rasa heran, sifat keagamaan pada anak adalah rasa heran. Artinya anak merasa kagum
pada keindahan sesuatu. Rasa kagum pada anak adalah rasa kagum pada keindahan
yang bersifat lahiriah. Sehingga untuk mengembangkan nilai keagamaan pada anak,
dapat disalurkan melalui berbagai cara yang menimbulkan rasa kagum pada diri anak,
seperti bercerita.

Robert W.Crapps (Akbar, 2019:58) menjelaskan proses pendidikan agama pada anak usia dini
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Pembinaan pribadi anak


Orangtua merupakan pembina pribadi pertama dalam hidup anak. Melalui proses
pendidikan orangtua maupun guru dapat melakukan pembinaan pada anak baik melalui
pendidikan formal maupun informal. Setiap pengalaman yang diperoleh anak melalui
penglihatan, pendengaran, maupun perilaku yang diperoleh anak, akan membentuk
pembinaan pribadi pada anak.
2. Perkembangan agama pada anak
Pengalaman keagaaman pada anak akan membentuk sikap dan perilaku

yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Pendidikan agama bagi anak usia dini
sebaiknya ditanamkan bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya, bahkan sejak anak
berada dalam kandungan.

3. Pembiasaaan pendidikan pada anak


Dalam menanamkan sikap terpuji pada anak, tidak cukup bila hanya

penjelasan saja, melainkan perlu adanya proses pembiasaan. Pembiasaan dan latihan
akan membawa anak pada perilaku yang baik. Agama akan lebih memiliki arti pada anak
apabila dijelaskan dengan cara yang lebih dekat pada anak dalam kehidupan sehari-hari
dan lebih konkret.

Anda mungkin juga menyukai