TINJAUAN PUSTAKA
Secara epistimologi kata “pola” diartikan sebagai cara kerja, dan kata “asuh”
berorientasi menuju kemandirian. Secara terminology pola asuh orang tua adalah
cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak sebagai
perwujudan dari tanggung jawab kepada anak (26). Pola asuh adalah pola
pengasuhan orang tua terhadap anak, yaitu bagaimana orang tua memperlakukan
dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat
(Fitriyani, 2015). Berdasarkan definisi tentang pola asuh orang tua di atas, dapat
disimpulkan bahwa pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan
perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak selama mengadakan kegiatan
2017(27):
kepercayaan anak.
b. Lingkungan
c. Budaya
Menurut Grinder (1976) yang dikutip Hamidah (2005) pola asuh mempunyai
tiga macam bentuk yaitu: pola asuh autorative yang mempunyai ciri sama
dengan pola asuh demokratis yang mengedepankan kerja sama antara anak
dan orang tua, aturan dan disiplin yang dibuat oleh orang tua akan
disiplin dan mengarahkan anak pada tanggung jawab. Sikap orang tua lebih
terlihat menghargai apa yang dilakukan, sikap serta pendapat anak. Pola
asuh demokratis juga ditandai oleh adanya sikap tidak mengontrol dan
menuntut dari orang tua kepada anak tetapi menitik beratkan sikap yang
hangat, ada komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak. Pola asuh
authotarian atau pola asuh atoriter. Ciri pola asuh jenis ini adalah orang tua
kepatuhan anak autis, sehingga anak tidak bisa bebas berbuat sesuai dengan
yang dibuat orang tua maka anak akan mendapat hukuman secara fisik atau
kepada anak , walaupun anak sudah dianggap dewasa. Orang tua suka
mendikte dan mengontrol anak dengan keras dan kaku akibatnya hubungan
orang tua dan anak menjadi kurang hangat dan cenderung tergantung pada
pendapat orang lain (Hamidah, 2005) atau dikenal dengan pola asuh serba
boleh. Ciri pola asuh ini jarang menolak keinginan anak. Orang tua jarang
disiplin dan nilai kepatutan yang sesuai dengan keinginan dan harapan serta
Yuniarti (1988) dalam Azwar (2006) pola asuh yang diterima oleh individu
2. Tipe 2, yaitu tuntutan sangat tinggi dan kadang kurang rasional, namun
3. Tipe 3, yaitu adanya hubungan dan pengertian timbal balik antara anak
autis dan pengasuh. Pengasuh dan anak autis sama mempunyai hak dalam
4. Tipe 4, yaitu pola tanpa tuntutan dan terlalu memanjakan anak autis,
mengabaikan anak autis. Tidak ada perhatian atau hukuman pada anak autis,
6. Tipe 6, yaitu pola yang tidak dapat terdikripsikan, orang tua menggunakan
6. Pengasuhan Anak bagi Orang Tua Dr. Yatim yang dikutip oleh Purwati
tersebut.
5. Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli
anda harapkan tercapai, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk
autis dan orang tua. Bila orang tua bisa memberikan waktu yang berkualitas
anaknya.
untuk mengajak anak bicara, sebaiknya orang tua juga bisa menyelami
bicara dengan anak, posisikan dirinya sebagai sosok yang dihargai dan
sederajat. Dalam beberapa hal tertentu ada yang lebih diketahui anak
ketimbang orang tua. Jadi ada baiknya orang tua pun belajar mendengarkan
pendapat anaknya.
4. Mengerti anak autis Dalam berkomunikasi dengan anak autis, orang tua
mendengarkan apa, Mengenali apa yang menjadi suka dan duka, kegemaran,
mempersempit jurang pemisah antara orang tua dan anak. Dengan demikian
anak mau bersikap terbuka dengan menceritakan seluruh isi hatinya tanpa
untuk menyentuh, melakukan kontak mata dan kedekatan fisik dengan anak
autis. Anak akan merasakan kasih sayang dan kehangatan orang tua bila mau
7. Dengarkan anak Orang tua sebaiknya menjadi pendengar aktif bagi anak
autis. Dengan demikian anak autis akan tahu bahwa orang tua mahaminya
seperti yang mereka rasakan. Cara ini akan membuat anak merasa penting
dan berharga, anak akan belajar untuk mengenali, menerima, dan mengerti
B Konsep Autis
1 Pengertian Autis
2. Gejala-gejala Autis
Menurut Ni’matuzzahroh (33), Untuk mengetahui anak dengan gangguan
autis, ada lima gejala awal yang mereka tunjukan yaitiu:
a. Gangguan interaksi sosial
Masalah interaksi sosial pada anak autis berhubungan erat
dengan rendahnya kemampuan tanggap sosial. Orang tua dari anak
autis melihat bahwa balita atau anak mereka tidak merespon secara
normal saat melakukan interaksi, tatapan matanya sering berbeda
secara signifikan dari yang lain. Mereka kadang-kadang menghindari
kontak mata dengan orang yang berada disekitarnya.
b. Gangguan komunikasi
Anak autis mempunyai profil perkembangan komunikasi yang
sangat unik. Namun demikian, terlepas dari tingkatan kemampuan
komunikasi mereka, semuanya memiliki kesulitan di area yang
sama. Mereka mengalami gangguan komunikasi verbal dan non-
verbal, pemahaman bahasa yang sangat literal dan kemungkinan
mereka mempunyai pemahaman yang sangat terbatas dalam
menyimpulkan arti dari makna bahasa. Sebagian besar anak autis
kurang komunikatif saat berada dilingkungan sosial, hampir 50%
dianggap bisu karena tidak menggunakan bahasa, meraka
cenderung pasif dan diam saat berada dilingkungan sosial. Cara
berbicara mereka terdengar seperti robot dan cenderung
mengulang-ulang kata yang didengarnya.
c. Perilaku repetitif dan rigid
Anak dengan penyandang autis mempunyai rentang perilaku
dan minat yang terbatas. Hambatan dalam berimajinasi dan bermain
peran adalah gejala umum dari autis juga kecenderungan yang kuat
terhadap rutinitas dan terprediksi, contoh mereka menyukai mamakai
pakaian tertentu, menolak melakukan aktivitas tertentu. Mereka
kesulitan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru karena tidak
mampu berpikir secara fleksibel, mereka menyukai rutinitas dan
perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang membuat mereka
nyaman.
d. Gangguan kognitif
Kebanyakan anak autis menampilkan defisit kognitif sama
dengan individu keterbelakangan mental. Anak autis mampu
mengingat lokasi mereka dalam ruang dari pada konsep. Sebagai
contoh “belanja” berarti pergi ke toko tertentu, di jalan tertentu, bukan
konsep mengunjungi jenis toko untuk membeli sesuatu.
e. Masalah sensori
Banyak anak autis menjukan respon yang tidak biasa
terhadap rangsangan/stimuli sensori. Respon mereka bisa over
responsif dan under responsif, mereka bisa mendengarkan suara
yang biasa-biasa saja menjadi suara yang sangat menakutkan dan
menyakitkan. Kilatan lampu, lingkungan yang ramai dapat
menyebabkan kebingungan, serta rasa dan bau yang biasa saja bisa
membuat anak autis mual dan muntah.
1. Ciri-ciri anak autis ciri anak autis yang dapat diamati dalam
a. Perilaku
1) Cuek terhadap lingkungan
2) Perilaku tak terarah; mondar mandir, lari-lari, manjat-manjat,
berputar-putar, lompat-lompat dan sebagainya.
3) Kelekatan terhadap benda tertentu
4) Perilaku tak terarah
5) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak
(Yuwono, 2012).
b. Interaksi sosial
1) Tidak mau menjalin interaksi seperti :kontak mata, ekpresi muka,
posisi tubuh serta gerak gerik kurang setuju
2) Kesulitan dalam bermain dengan orang lain ataupun teman
sebayanya.
3) Tidak empati, perilakunya hanya sebagai minat atau kesenangan 4)
Kurang bisa melakukan interaksi sosial dan emosional 2 arah
(Moore, 2010).
c. Komunikasi dan bahasa
1) Terlambat bicara
2) Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan
bahasa tubuh
3) Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami
4) Membeo (echolalia)
5) Tidak memahami pembicaraan orang lain (Nugraheni, 2008).
Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang ditunjukkan anak autis
berbeda-beda. Ciri-ciri yang muncul pada anak autis yaitu :
a. Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal, seperti terlambat
bicara atau tidak dapat berbicara sama sekali, mengeluarkan kata-
kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Disamping itu,
dalam berbicara tidak digunakan untuk komunikasi tapi hanya
meniru atau membeo bahkan beberapa anak sangat pandai
menirukan beberapa nyanyian maupun kata-kata tanpa mengerti
artinya, kadang bicara monoton seperti robot, mimik mukanya datar,
dan bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan
cepat.
b. Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak menolak atau
menghindar untuk bertatap muka, anak mengalami ketulian, merasa
tidak senang dan menolak bila dipeluk, tidak ada usaha melakukan
interaksi dengan orang disekitarnya, jika ingin sesuatu ia akan
menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang
tersebut melakukan sesuatu untuknya. Disamping itu, bila didekati
untuk bermain justru menjauh, tidak berbagi kesenangan dengan
orang lain, kadang mereka mendekati orang lain untuk makan atau
duduk dipangkuan sebentar kemudian berdiri tanpa memperlihatkan
mimic apapun,
c. Gangguan pada bidang perilaku dan bermain, seperti tidak mengerti
cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan
yang sama berulang-ulang sampai lama, jika sudah senang satu
mainan tidak mau mainan lain dan cara bermainnya pun aneh,
terdapat kelekatan dengan benda-benda tertentu, sering melakukan
perilaku rituslistik, dapat terlihat hiperaktif sekali misalnya tidak dapat
diam, lari ke sana kemari, melompat-lompat, berputar-putar, dan
memukul benda berulang-ulang (Mulyati, 2010).
Kriteria autis yang digunakan di SLB Negeri Semarang sebagian besar
menunjukkan bahwa anak mengalami keterlambatan perkembangan bahasa dan
bersosialisasi dengan orang lain, yaitu :
1) Sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya
2) Tidak pernah atau jarang sekali kontak mata
3) Lebih suka menyendiri, sifatnya agak menjauhkan diri
4) Kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya; suka menggunakan isyarat
atau menunjukkan dengan tangan daripada kata-kata
5) Echolalia (membeo/mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa)
6) Tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata; bersikap seperti orang tuli
2. Perkembangan bahasa anak autis
b. Interaksi pasif
c) Sekitar 20% lagi dari anak autis tidak mengalami keterbelakangan mental
(intelegensi di atas 70 )
3. Motorik Halus Pada Anak Autis
Motorik halus pada anak yang didiagnosa dengan autis tidak dapat diklasifikasikan
menurut umur anak, karena hal tersebut dipengaruhi oleh usia pertama kali anak
didiagnosa autis, usia pertama kali anak mendapatkan terapi autis, dan intervensi
terapi dilakukan (Handojo, 2003). Selain itu gangguan perkembangan motorik halus
pada anak autis akan memberat pada anak yang ber IQ rendah (Lumbantobing,
2001). Selain itu perkembangan motorik halus anak autis juga dipengaruhi
kemampuan menirukan yang menyangkut banyak faktor, termasuk : motivasi,
ingatan (memori), proses pengolahan input auditori, visual, taktil dan vesibular.
Motivasi dapat ditimbulkan dari keinginan anak autis dan imbalan yang efektif
(Handojo, 2003). Seorang anak autis membutuhkan intervensi dini dengan tata
laksana yang tepat, agar perkembangan yang optimal pada anak autis dapat
terwujud (Lesmana, 003). Motorik Halus Pada Anak Autis Motorik halus pada anak
yang didiagnosa dengan autis tidak dapat diklasifikasikan menurut umur anak,
karena hal tersebut dipengaruhi oleh usia pertama kali anak didiagnosa autis, usia
pertama kali anak mendapatkan terapi autis, dan intervensi terapi dilakukan
(Handojo, 2003). Selain itu gangguan perkembangan motorik halus pada anak autis
akan memberat pada anak yang ber IQ rendah (Lumbantobing, 2001). Selain itu
perkembangan motorik halus anak autis juga dipengaruhi kemampuan menirukan
yang menyangkut banyak faktor, termasuk : motivasi, ingatan (memori), proses
pengolahan input auditori, visual, taktil dan vesibular. Motivasi dapat ditimbulkan
dari keinginan anak autis. Seorang anak autis membutuhkan intervensi dini dengan
tata laksana yang tepat, agar perkembangan yang optimal pada anak autis dapat
terwujud (Lesmana, 2003).
3. Kondisi pralahir yang menyenangkan, khususnya gizi makanan sang ibu, lebih
mendorong perkembangan motorik yang lebih cepat pada masa pascalahir,
ketimbang kondisi pralahir yang tidak menyenangkan
4. Kelahiran yang sukar, khususnya bila ada kerusakan pada otak dan
memperlambat perkembangan motorik
5. Seandainya tidak ada gangguan lingkungan, maka kesehatan dan gizi yang baik
selama awal masa kehidupan pascalahir akan mempercepat perkembangan
motorik
B. Konsep Perilaku
Perilaku dapat diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya hal ini
berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada suatu rangsangan sehingga akan timbul reaksi atau
perilaku tertentu Bimo (2001) dalam Zein dan Suryani (2005). Perilaku manusia berasal dari
dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usuha untuk memenuhi
kebutuhan yang ada dalam diri manusia (Purwanto, 1999). Jenis perilaku menurut Skinner (1976)
dalam Zain dan Suryani (2005) ada 2, yaitu:
1. Perilaku alami (innate behavior) yaitu perilaku yang sudah dibawa sejak lahir, seperti reflek dan
insting
2. Perilaku operan (operant behavior) yaitu perilaku yang didapat melalui proses belajar.
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari pengetahuan, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
pengindraan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
bentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru,
dalam diri seseorang akan terjadi proses yang bertautan, yaitu:
a) Kesadaran, yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus terlebih dahulu.
c) Evaluasi, yaitu orang mulai menimbang baik buruknya stimulus tersebut bagi orang tersebut. Hal
ini berarti sikap orang tersebut menjadi lebih baik.
d) Adaptasi, yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap
terhadap stimulus.
a) Tahu, dapat diartikan sebagai mengingat materi yang telah diberikan sebelumnya.
b) Memahami, yakni kemampuan untuk menjelaskan secara benar dan menginterpretasikan materi
atau objek dengan benar.
c) Aplikasi, yakni kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi
yang sebenarnya.
d) Analisis, yakni kemamuan untuk menjabarkan materi dalam bentuk komponen yang masih
berhubungan satu sama lainnya
e) Sintesis, kemampuan untuk menghubungkan bagian dari suatu materi dalam bentuk baru.
2. Sikap
Sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai
dengan sikap atau obyek (Zain dan Suryani, 2005). Sikap adalah suatu pola perilaku persiapan
antisipasif, tendensi, predisposisi, untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara
sederhana. Sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang dikondisikan (Azwar, 2003). Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek (Notoatmojo, 2003). Menurut Allport (1954) dalam Notoatmojo (2003) sikap terdiri dari 3
komponen pokok, yaitu:
3. Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga hal ini membentuk sikap yang utuh.
Dalam pembentukan sikap pengetahuan, emosi, pikiran, keyakinan berperan penting dalam
membentuk sikap yang utuh. Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor (Azwar, 2003). Tindakan Sikap belum tentu terwujud dalam satu tindakan. Untuk
mewujudkan sikap dalam perbuatan yang nyata dibutuhkan suatu pendukung atau kondisi yang
memungkinkan yaitu fasilitas dan dukungan dari pihak lain
pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-
behavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu
Notoatmodjo 2005):
1. Pengertian
Teori ini merupakan teori yang paling umum dalam pendidikan kesehatan
dan promosi kesehatan. HBM dikembangkan pada tahun 1950-an sebagai cara
layanan kesehatan public U.S tidak terlalu berhasil. Dalam model HBM perepsi
perilaku kesehatan (36). Menurut WHO yang dimaksud health adalah suatu kondisi
tubuh yang lengkap secara jasmani, mental, dan sosial serta tidak hanya terbebas
dari kecacatan, suatu penyakit dan ketidakmampuan. Belief dalam Bahasa inggris
adalah keyakinan.
perilaku kesehatan yang ditentukan oleh keyakinan atau persepsi pribadi tentang
Health belief model berawal dari konsep Rosenstock et al., 1974) kemudian
dikaji lebih lanjut oleh Becker dkk (1974), model ini dikembangkan untuk
perilaku kesehatan. Health belief model adalah suatu model yang menjelaskan
perilaku untuk pengobatan pasien dengan penyakit akut atau kronik. Health Belief
Individual
Age Perceived Perceived Behaviours
Gender susceptibility threat
Ethnicity Perceived
Personality severity
Socioeconomics
Knowledge Perceived Cues to action
benefits
Perceived
barriers
Perceived self
efficacy
perilaku yang berhubungan dengan keyakinan (belief) atau perasaan (perceived) tertentu.
Model ini didasarkan atas sekuensi agar perubahan perilaku dapat terjadi diantaranya
adalah :
1) Adanya perasaan bahwa kesehatan dalam keadaan terancam.
penyakit.
A. FISIK
Trauma oklusi: munculnya rasa nyeri pada gigi dan gigi goyang
terutama dipagi hari.
2) Pencegahan penyakit gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus memiliki prioritas
yang lebih tinggi daripada anak normal
3)Rencana serta ketentuan perawatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus perlu
dimodifikasi dengan melihat kemampuannya
a. Kita dapat melakukan konseling kepada keluarga, pengasuh maupun guru disekolah supaya
membantu untuk memodifikasi perilaku anak sebaiknya menyarankan untuk mengganti hadiah
yang sangat kariogenik (misalnya permen) dengan makanan yang cenderung tidak berkontribusi
pada pembusukan, misalnya dengan memberikan makanan atau minuman alternatif bebas gula
(Nelson & Webb, 2019). Hadiah yang sesuai seringkali sulit ditemukan untuk anak dengan ASD. Di
awal tahapan program, makanan manis dapat berfungsi sebagai imbalan yang diinginkan, namun
tujuan akhirnya adalah untuk memodifikasi perilaku sehingga penghargaan seperti itu harus diubah
kearah penghargaan sosial, seperti tepukan di punggung atau pelukan. Autis merupakan kondisi
seumur hidup. Diagnosis dan intervensi dini sejak usia 2 tahun dapat meningkatkan hasil jangka
panjang sesuai perilaku sosial dan kemampuan komunikasi yang diharapkan. Intervensi dapat juga
berupa pengobatan sejak dini. Pencegahan efek samping pengobatan juga harus mencakup
evaluasi medicament’s delivery system. Karena usia muda dan ketidakmampuan menelan tablet,
obat oral sering diberikan kepada anak-anak dalam bentuk suspensi cair. Obat cair oral biasanya
dimaniskan dengan sukrosa untuk mengurangi rasa pahit obat dan meningkatkan kepatuhan dalam
meminumnya sesuai petunjuk. Sebuah tinjauan terbaru dari obat-obatan cair oral menemukan
bahwa suspensi ini mengandung sukrosa dalam jumlah yang bervariasi, hingga 4g/5mL. Oleh
karena itu, penting untuk menjelaskan kepada pasien dan pengasuh bahwa paparan terhadap obat
yang dimaniskan dengan gula, yang sering diberikan beberapa kali sehari, meningkatkan risiko anak
untuk berkembangnya karies gigi
Anak autis sangat membutuhkan makanan yang berkualitas untuk tubuhnya, asupan dan konsumsi
makanan untuk pemenuh kebutuhan gizi hal ini dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan budaya,
ekonomi, pola pikir orang tua, dan sikap protektif seorang ibu, karena setiap anak dimungkinkan
akan memilki kebutuhan khusus serta hambatan yang berbeda-beda, seperti halnya penyandang
tunagrahita memiliki kasus untuk menghindari pangan yang mengandung gluten, kasein dan gula
karena dapat berpengaruh dengan gejala perilaku (Wilasari, 2016)
Menurut Putri et al (2013) mengukur kebersihan gigi dan mulut merupakan suatu upaya untuk
menentukan keadaan kebersihan gigi dan mulut seseorang dengan menggunakan suatu indeks.
Indeks tersebut didapatkan ketika melakukan pemeriksaan, yaitu dengan cara mengukur luas dari
permukaan gigi yang ditutupi oleh plak maupun kalkulus. Untuk mengukur kebersihan gigi dan,
Green and Vermillion menggunakan indek yang dikenal dengan Oral Hygiene Index (OHI) dan
Simplified Oral Hygiene Index (OHI-S). Pada awalnya indeks ini digunakan untuk menilai penyakit
peradangan gusi dan penyakit periodontal, akan tetapi dari data yang diperoleh ternyata kurang
berarti atau bermakna. Oleh karena itu indeks ini hanya digunakan untuk mengukur kebersihan gigi
dan mulut dan menilai efektivitas dari penyikatan gigi. Simplified Oral Hygiene Index (OHI-S)
memiliki debris indeks (DI) dan indeks untuk kalkulus (CI). Skor dapat digunakan secara tunggal 10
untuk memberikan indeks debris atau indeks kalkulus, atau bisa dikombinasikan untuk
memberikan indeks kebersihan mulut (Perry et al, 2014).
1) Menyikat gigi
Menurut PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) kegitan menggosok gigi bertujuan untuk
membersihkan gigi dan mulut kita dari sisa makanan agar fermentasi sisa makanan tidak
berlangsung terlalu lama sehingga dapat menyebabkan plak, dengan menyikat gigi kita
Tindakan menyikat gigi merupakan kunci keberhasilan untuk memperoleh rongga mulut
yang sehat dalam upaya pencegahan dan pemeliharaan gigi dan mulut yang. Triswari &
Pertiwi (2017 : 2) mengemukakan pengertian menggosok gigi adalah ‘’cara mekanis utama untuk
menghilangkan plak gigi’’. Menggosok gigi merupakan aktivitas yang harus dilakukan oleh semua
orang baik anak-anak, remaja, dewasa maupun ABK autis. Waktu pelaksanaan kegiatan menggosok
gigi dilakukan dua kali sehari yakni pada malam hari dan pagi hari. Cara mengajarkan menggosok
gigi pada murid autis adalah dengan menjelaskan dan mempraktikkan langkah demi langkah. Cara
menggosok gigi yang diungkakan oleh Wantah (2007: 150) antara lain:
2) membuka pasta gigi, cara memegang sikat gigi, menaruh pasta gigi di atas sikat gigi, dan
4) menggosok gigi dari arah depan, samping kiri, kanan, atas, dan bawah;
6) mengeringkan mulut dengan menggunakan handuk/lap kering. Cara menggosok gigi yang
diajarkan untuk murid autis terdiri dari beberapa langkah, dimulai dari mempersiapkan peralatan
sampai mengeringkan mulut dengan handuk. Keterampilan menggosok gigi yang akan dilatihkan
dalam penelitian ini adalah pada tahapan menggosok gigi dari arah samping kanan, kiri, atas dan
bawah. Saat melakukan kegiatan menyikat gigi ada beberapa metode yang dapat digunakan.
Menurut Pratiwi (2000: 34) beberapa metode tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1) Scrub, cara menggosok gigi dengan cara menggerakan sikat gigi secara horizontal dengan cara
maju mundur. Ujung sikat gigi diletakan pada atas gigi dan gusi.
2) Roll, menggosok gigi dengan gerakan memutar mulai dari permukaan kunyah gigi belakang, gusi,
3) Bass, meletakan bulu sikat pada area batas gusi dan gigi dan membentuk sudut 45 derajat
5) Fone, menyikat secara horizontal dengan gigi pada posisi menggigit. Gerakan dilakukan memutar
dan mengenai seluruh permukaan gigi atas dan bawah. Berdasarkan pendapat di atas, maka
peneliti akan menggunakan cara yang disampaikan oleh Wantah (2007: 150) dengan metode scrub
dalam gerakan menyikat gigi bagian dalam karena dirasa efektif untuk diajarkan kepada anak autis.
Hal ini dilakukan supaya anak tidak kesulitan sehingga anak mudah mempraktikkan cara
menggosok gigi yang baik dan benar. Metode ini tidak susah dalam mempraktikkannya karena
pertanyaan, perintah atau visual. Berikan waktu 3-5 detik untuk anak
memberi respon. Dalam memberikan intruksi, perhatikan bahwa anak ada
dalam keadaan siap (duduk, diam, tangan di bawah). Suara dan intruksi
harus jelas, dan intruksi tidak diulang. Untuk permulaan, gunakan satu kata
perintah.
B atau behavior (perilaku) adalah respon anak. Respon yang diharapkan
haruslah jelas dan anak memberi respon dalam 3 detik. Mengapa demikian,
karena ini normal dan dapat meningkatkan perhatian. C atau consequence
(konsekuensi atau akibat). Konsekuensi harus seketika, berupa reinforcer
(pendorong atau penguat) atau “TIDAK”.
d. Manfaat DTT
Texas Statewide Leadership for Autism (2009) menyatakan, pelatihan
DTT dapat membantu dalam penanganan masalah dan bermanfaat bagi
anak autis karena:
1) Dalam pelatihan DTT, tugas dipecah menjadi uji coba singkat dan
sederhana yang mengakomodasi kebutuhan individu dengan rentang
perhatian pendek.
2) Pelatihan DTT berupaya membangun motivasi dengan menghargai
kinerja perilaku yang diinginkan dan menyelesaikan tugas dengan
penguatan nyata atau eksternal.
3) Stimulus yang disajikan dalam pelatihan uji coba terpisah jelas dan
relatif konsisten. Anak diberi hadiah hanya untuk perilaku sebagai
respon terhadap rangsangan tersebut.
4) Pelatihan DTT mengajarkan keterampilan dan perilaku secara eksplisit
(pembelajaran sebab-akibat).
5) Instruksi yang diberikan dalam pelatihan DTT sederhana, konkret, dan
jelas hanya memberikan informasi yang paling menonjol.
6) Pelatihan DTT juga dapat dirancang untuk mengajarkan pengambilan
perspektif dan keterampilan kognisi sosial secara eksplisit.
e. Prosedur DTT
A. Karakteristik Responden
1. Nama responden : …………………………………………….
2. Umur : ………(tahun ) ………(bulan)
3. Urutan kelahiran anak :
a. Sulung
b. Tengah
c. Bungsu
d. Tunggal
4. Alamat : ……………………………………………….