Anda di halaman 1dari 51

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Konsep Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Secara epistimologi kata “pola” diartikan sebagai cara kerja, dan kata “asuh”

berarti menjaga, merawat, mendidik membimbing, membantu, melatih anak yang

berorientasi menuju kemandirian. Secara terminology pola asuh orang tua adalah

cara terbaik yang ditempuh oleh orang tua dalam mendidik anak sebagai

perwujudan dari tanggung jawab kepada anak (26). Pola asuh adalah pola

pengasuhan orang tua terhadap anak, yaitu bagaimana orang tua memperlakukan

anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam

mencapai proses kedewasaan sampai dengan membentuk perilaku anak sesuai

dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat

(Fitriyani, 2015). Berdasarkan definisi tentang pola asuh orang tua di atas, dapat

disimpulkan bahwa pola asuh orang tua merupakan gambaran tentang sikap dan

perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak selama mengadakan kegiatan

pengasuhan untuk membentuk perilaku anak yang baik.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah Zulfikar,

2017(27):

a. Pendidikan Orang Tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan

mempengauhi persiapan mereka dalam menjalankan pengasuhan.


Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap

dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain terlibat aktif dalam

setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan

berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu

anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan

kepercayaan anak.

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak

mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola

pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan

masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola

tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan.

3. Dimensi Pola Asuh

Menurut Frick membagi dimensi parenting practices dalam lima

dimensi (Mutiah, 2011) yaitu:

a. Involment with children: sejauhmana orang tua terlibat bersama

aktivitas bersama anak-anaknya. Orang tua akan melakukan banyak

hal bagi anakanak mereka dan dalam sepanjang kehidupannya.

Mereka akan menupayakan untuk memenuhi kebutuhan anak-

anaknya baik kebutuhan secara fisik, emosi maaaupun sosial.


b. Positive parenting : suatu bentuk pujian atau reward yang diberikan

orang tua kepada anak-anaknya ketika melakukan suatu aktivitas

yang membanggakan atau mencapai suatu keberhasilan/prestasi.

c. Corporal punishment : pemberian hukuman, lebih mengarah kepada

hukuman fisik. Orang tua memberikan hukuman kepada anak ketika

mereka tidak mau mematuhi ataupun tidak mentaati apa yang di

inginkan atau yang diharapkan oleh orang tuanya.

d. Monitoring : suatu kegiatan dari orang tua terhadap anak-anak dalam

memantau aktivitas anak, mencatat kegiatan anak serta memastikan

bahwa mereka tetap dalam batas-batas yang wajar dan tidak

menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan.

e. Consistency in the use of such discipline : menerapkan apa yang telah

dibuat sesuai kesepakatan atau memberikan sanksi yang sesuai bila

anak-anak melanggar aturan yang telah ditetapkan Bersama

4. Pola Asuh Yang Dilakukan Orang Tua Pada Anak Autis

Menurut Grinder (1976) yang dikutip Hamidah (2005) pola asuh mempunyai

tiga macam bentuk yaitu: pola asuh autorative yang mempunyai ciri sama

dengan pola asuh demokratis yang mengedepankan kerja sama antara anak

dan orang tua, aturan dan disiplin yang dibuat oleh orang tua akan

dilaksanakan secara konsisten. Sebaiknya orang tua menuntut anak menaati

disiplin dan mengarahkan anak pada tanggung jawab. Sikap orang tua lebih

terlihat menghargai apa yang dilakukan, sikap serta pendapat anak. Pola
asuh demokratis juga ditandai oleh adanya sikap tidak mengontrol dan

menuntut dari orang tua kepada anak tetapi menitik beratkan sikap yang

hangat, ada komunikasi timbal balik antara orang tua dan anak. Pola asuh

authotarian atau pola asuh atoriter. Ciri pola asuh jenis ini adalah orang tua

cenderung memakai cara kaku dan disiplin keras. Selalu menuntut

kepatuhan anak autis, sehingga anak tidak bisa bebas berbuat sesuai dengan

keinginannya dan kemampuannya sendiri. Bila anak melanggar peraturan

yang dibuat orang tua maka anak akan mendapat hukuman secara fisik atau

psikologis. Orang tua selalu mengontrol dan kurang memberikan kebebasan

kepada anak , walaupun anak sudah dianggap dewasa. Orang tua suka

mendikte dan mengontrol anak dengan keras dan kaku akibatnya hubungan

orang tua dan anak menjadi kurang hangat dan cenderung tergantung pada

pendapat orang lain (Hamidah, 2005) atau dikenal dengan pola asuh serba

boleh. Ciri pola asuh ini jarang menolak keinginan anak. Orang tua jarang

menuntut dan menghukum anak autis. Orang tua kurang menanamkan

disiplin dan nilai kepatutan yang sesuai dengan keinginan dan harapan serta

aturan yang berlaku di lingkungan masyarakat. Orang tua lebih banyak

membiarkan anak autis untuk menentukan keinginan dan keputusan atas

yang yang dipilih dan dilakukan (Hamidah, 2005). Sedangkan menurut

Yuniarti (1988) dalam Azwar (2006) pola asuh yang diterima oleh individu

dapat dibagi menjadi 5 tipe, yaitu:


1. Tipe 1, yaitu tuntutan pengasuh terlalu tinggi, tidak realistik, berlatar

penolakan terhadap anak autis.

2. Tipe 2, yaitu tuntutan sangat tinggi dan kadang kurang rasional, namun

didasari agar anak menuruti keinginan pengasuh, berlatar penerimaan

terhadap anak autis.

3. Tipe 3, yaitu adanya hubungan dan pengertian timbal balik antara anak

autis dan pengasuh. Pengasuh dan anak autis sama mempunyai hak dalam

pengambilan keputusan, pola ini berlatar penerimaan terhadap anak autis.

4. Tipe 4, yaitu pola tanpa tuntutan dan terlalu memanjakan anak autis,

kalaupun ada tuntutan dari pengasuh, standarnya sangat rendah. Pengasuh

tidak mengarahkan perilaku anak autis, pola ini berlatar penerimaan

terhadap anak autis.

5. Tipe 5, yaitu tidak ada tuntutan dari pengasuh karena pengasuh

mengabaikan anak autis. Tidak ada perhatian atau hukuman pada anak autis,

pola ini berlatar penolakan terhadap anak autis.

6. Tipe 6, yaitu pola yang tidak dapat terdikripsikan, orang tua menggunakan

beberapa macam pola asuh untuk mengasuh anak autis.

6. Pengasuhan Anak bagi Orang Tua Dr. Yatim yang dikutip oleh Purwati

(2004) memberikan tips pengelolahan anak autis, antara lain:


1. menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku

mana yang perlu ditingkatkan.

2. Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut.

3. Menentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku

tersebut.

4. Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau

mengurangi penyimpangan perilaku.

5. Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli

dengan program yang diperlukan anak autis berjalan konsisten.

6. Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu

mengharapkan hasilnya dalam waktu singkat.

7. Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah hasil yang

anda harapkan tercapai, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk

diubah. Salah seorang ahli manganjurkan 3 bulan setelah program

dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal.

Memberikan permainan rutin dan tetap merupakan pengobatan bagi anak

autisme, karena mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman.

9. Bergaul akrab dengan penderita, juga dianjurkan oleh para professional.

10. Pengobatan secara psikologi dan bermain termasuk yang dianjurkan.


Sedangkan menurut Clara yang dikutip Astuti (2002), cara menjadi orang tua

yang ideal adalah sebagai berikut:

1. Menyediakan waktu untuk anak autis Anak autis memang mengalami

keterlambatan komunikasi, namun komunikasi tetep diperlukan antara anak

autis dan orang tua. Bila orang tua bisa memberikan waktu yang berkualitas

bagi anaknya, maka itu berarti ia sudah mengasihi dan memperhatikan

anaknya.

2. Berkomunikasi secara pribadi Jangan tunggu sampai anak autis

bermasalah. Setiap kali ada kesempatan, manfaatkan moment tersebut

untuk mengajak anak bicara, sebaiknya orang tua juga bisa menyelami

perasaan senang, sedih, marah anak autis.

3. Menghargai anak autis Hargai keberadaan anak autis. Kalaupun sedang

bicara dengan anak, posisikan dirinya sebagai sosok yang dihargai dan

sederajat. Dalam beberapa hal tertentu ada yang lebih diketahui anak

ketimbang orang tua. Jadi ada baiknya orang tua pun belajar mendengarkan

pendapat anaknya.

4. Mengerti anak autis Dalam berkomunikasi dengan anak autis, orang tua

sebaiknya berusaha untuk mengerti dunia anak, memandang posisi mereka,

mendengarkan apa, Mengenali apa yang menjadi suka dan duka, kegemaran,

kesulitan, kelebihan, serta kekurangan mereka.


5. Menciptakan hubungan yang baik Hubungan yang erat dapat

mempersempit jurang pemisah antara orang tua dan anak. Dengan demikian

anak mau bersikap terbuka dengan menceritakan seluruh isi hatinya tanpa

ada yang ditutup-tutupi.

6. Berikan sentuhan/kedekatan fisik dan kontak mata Usahakan setiap hari

untuk menyentuh, melakukan kontak mata dan kedekatan fisik dengan anak

autis. Anak akan merasakan kasih sayang dan kehangatan orang tua bila mau

melakukan hal-hal tersebut.

7. Dengarkan anak Orang tua sebaiknya menjadi pendengar aktif bagi anak

autis. Dengan demikian anak autis akan tahu bahwa orang tua mahaminya

seperti yang mereka rasakan. Cara ini akan membuat anak merasa penting

dan berharga, anak akan belajar untuk mengenali, menerima, dan mengerti

perasaan mereka sendiri, serta menemukan cara mengatasi masalahnya

B Konsep Autis

1 Pengertian Autis

Autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang


sangat komplek dalam kehidupan yang meliputi gangguan pada aspek
interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, dan perilaku serta gangguan emosi
dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gejala autis muncul
pada usia sebelum 3 tahun (28). Autis adalah suatu bentuk
ketidakmampuan dan gangguan perilaku yang membuat penyandang lebih
suka menyendiri. Disamping itu autis juga merupakan suatu gangguan
perkembangan fungsi otak yang kompleks dan sangat bervariasi (spektrum).
Biasanya, gangguan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial dan
kemampuan berimajinasi (Mulyati, 2010) dalam (29).
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan
pemahaman pervasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (30). Autis
merupakan gangguan pada perkembangan interaksi sosial, komunikasi
serta munculnya perilaku-perilaku berulang yang tidak mempunyai tujuan.
Autis bisa muncul mengikuti retardasi mental namun bisa juga tidak. Selain
itu autis itu sendiri tidak memiliki keterkaitan dengan kecerdasan walaupun
sering ditemukan kemampuan verbal lebih rendah daripada yang lain(31).
Autis menurut Rahayu (2015) merupakan sutu gangguan
perkembangan secara menyeluruh yang mengakibatkan hambatan dalam
kemampuan komunikasi, sosialisasi dan juga perilaku. Gangguan tersebut
dari taraf yang ringan sampai dengan taraf yang berat. Autis ini pada
umumnya muncul sebelum anak berusia 3 tahun, dan pada umumnya
penyandang autis mengabaikan suara, penglihatan ataupun kejadian yang
melibatkan mereka (32)

2. Gejala-gejala Autis
Menurut Ni’matuzzahroh (33), Untuk mengetahui anak dengan gangguan
autis, ada lima gejala awal yang mereka tunjukan yaitiu:
a. Gangguan interaksi sosial
Masalah interaksi sosial pada anak autis berhubungan erat
dengan rendahnya kemampuan tanggap sosial. Orang tua dari anak
autis melihat bahwa balita atau anak mereka tidak merespon secara
normal saat melakukan interaksi, tatapan matanya sering berbeda
secara signifikan dari yang lain. Mereka kadang-kadang menghindari
kontak mata dengan orang yang berada disekitarnya.
b. Gangguan komunikasi
Anak autis mempunyai profil perkembangan komunikasi yang
sangat unik. Namun demikian, terlepas dari tingkatan kemampuan
komunikasi mereka, semuanya memiliki kesulitan di area yang
sama. Mereka mengalami gangguan komunikasi verbal dan non-
verbal, pemahaman bahasa yang sangat literal dan kemungkinan
mereka mempunyai pemahaman yang sangat terbatas dalam
menyimpulkan arti dari makna bahasa. Sebagian besar anak autis
kurang komunikatif saat berada dilingkungan sosial, hampir 50%
dianggap bisu karena tidak menggunakan bahasa, meraka
cenderung pasif dan diam saat berada dilingkungan sosial. Cara
berbicara mereka terdengar seperti robot dan cenderung
mengulang-ulang kata yang didengarnya.
c. Perilaku repetitif dan rigid
Anak dengan penyandang autis mempunyai rentang perilaku
dan minat yang terbatas. Hambatan dalam berimajinasi dan bermain
peran adalah gejala umum dari autis juga kecenderungan yang kuat
terhadap rutinitas dan terprediksi, contoh mereka menyukai mamakai
pakaian tertentu, menolak melakukan aktivitas tertentu. Mereka
kesulitan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru karena tidak
mampu berpikir secara fleksibel, mereka menyukai rutinitas dan
perilaku yang sudah menjadi kebiasaan yang membuat mereka
nyaman.
d. Gangguan kognitif
Kebanyakan anak autis menampilkan defisit kognitif sama
dengan individu keterbelakangan mental. Anak autis mampu
mengingat lokasi mereka dalam ruang dari pada konsep. Sebagai
contoh “belanja” berarti pergi ke toko tertentu, di jalan tertentu, bukan
konsep mengunjungi jenis toko untuk membeli sesuatu.
e. Masalah sensori
Banyak anak autis menjukan respon yang tidak biasa
terhadap rangsangan/stimuli sensori. Respon mereka bisa over
responsif dan under responsif, mereka bisa mendengarkan suara
yang biasa-biasa saja menjadi suara yang sangat menakutkan dan
menyakitkan. Kilatan lampu, lingkungan yang ramai dapat
menyebabkan kebingungan, serta rasa dan bau yang biasa saja bisa
membuat anak autis mual dan muntah.

3. Faktor Penyebab Autis

Penyebab gangguan pada anak autis yang di kutip dalam Hallahan,


Kauffman (2006) dan Friend (2005) dalam Ni’matuzahroh et al., (2021) ada
beberapa faktor yang menyebabkan gangguan pada anak autis khususnya
secara umum yaitu :
1) Faktor neurologi
Adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada otak yang
mengalami kelambatan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak autis yang menyebabkan anak kesulitan untuk merespon
saat melakukan interaksi dengan orang disekitarnya.
2) Faktor genetik
Faktor genetik diduga menjadi bagian dari penyebab
gangguan pada anak autis. Gangguan autis 2-4% saudara
kandung juga menderita atau keturunan dari orang tua.
3) Faktor teratogenik
Faktor ini disebabkan karena kerusakanan perkembangan
janin yang dapat menyebabkan cacat atau kerusakan dalam
perkembangan janin seperti Fetal Alcholol Syndrome (FAS) yaitu
suatu kondisi di ana bayi lahir dengan berat badan kurang,
kemunduran intelektual, dan ketidaksempurnaan bentuk fisik.
4) Faktor medis
Faktor medis biasanya disebabkan karena kelahiran
prematur dan komplikasi pada saat lahir, rendahnya berat badan
dan kekurangan oksigen saat proses kelahiran yang
menyebabkan kerusakan pada saraf pusat

4. Klasifikasi Anak Autis

Menurut Lisinus & Sembiring (2020) dalam berinteraksi sosial anak


autis dikelompokan menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Kelompok menyendiri
1) Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungan sekitarnya
2) Bertedensi kurang menggunakan kata-kata
3) Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalau berbuat
sesuatu anak autis akan melakukannya berulang-ulang
4) Gangguan perilaku pada kelompkk anak ini termasuk bunyi-bunyi
aneh, gerakan tangan, mudah marah, melukai diri sendiri,
menyerang teman sendiri, merusak dan menghancurkan mainannya
b. Kelompok anak autis yang pasif
1) Lebih bisa bertahan pada kontak fisik dan sedikit mampu bermain
dengan teman sebaya nya, tetapi jarang sekali mencari teman
sendiri
2) Mempunyai kata yang lebih banyak meskipun masih agak terlambat
bisa berbicara dibandingkan sengan anak sebaya nya
3) Kadang anak autis lebih cepat merangkai kata
4) Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan
dengan anak autis yang menyendiri.
c. Kelompok anak autis yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri
1) Kelompok ini bertolak belakang dengan kelompok anak autis yang
menyendiri karena lebih cepat bisa berbicara dan memiliki kata yang
paling banyak
2) Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja ada
akata yang aneh dan kurang dimengerti
3) Kurang mampu berbicara dengan teman sebayanya meskipun masih
ada kemampuan berbicara
4) Selalu mengulang-ulang kata atau kalimat
5) Tidak bisa spontan mempercayai teman bermainnya

1. Ciri-ciri anak autis ciri anak autis yang dapat diamati dalam

lingkungan sehari-hari adalah :

a. Perilaku
1) Cuek terhadap lingkungan
2) Perilaku tak terarah; mondar mandir, lari-lari, manjat-manjat,
berputar-putar, lompat-lompat dan sebagainya.
3) Kelekatan terhadap benda tertentu
4) Perilaku tak terarah
5) Terpukau terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak
(Yuwono, 2012).
b. Interaksi sosial
1) Tidak mau menjalin interaksi seperti :kontak mata, ekpresi muka,
posisi tubuh serta gerak gerik kurang setuju
2) Kesulitan dalam bermain dengan orang lain ataupun teman
sebayanya.
3) Tidak empati, perilakunya hanya sebagai minat atau kesenangan 4)
Kurang bisa melakukan interaksi sosial dan emosional 2 arah
(Moore, 2010).
c. Komunikasi dan bahasa
1) Terlambat bicara
2) Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan
bahasa tubuh
3) Meracau dengan bahasa yang tidak dapat dipahami
4) Membeo (echolalia)
5) Tidak memahami pembicaraan orang lain (Nugraheni, 2008).
Secara kuantitas dan kualitas, ciri-ciri yang ditunjukkan anak autis
berbeda-beda. Ciri-ciri yang muncul pada anak autis yaitu :
a. Gangguan pada komunikasi verbal dan nonverbal, seperti terlambat
bicara atau tidak dapat berbicara sama sekali, mengeluarkan kata-
kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Disamping itu,
dalam berbicara tidak digunakan untuk komunikasi tapi hanya
meniru atau membeo bahkan beberapa anak sangat pandai
menirukan beberapa nyanyian maupun kata-kata tanpa mengerti
artinya, kadang bicara monoton seperti robot, mimik mukanya datar,
dan bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan
cepat.
b. Gangguan pada bidang interaksi sosial, yaitu anak menolak atau
menghindar untuk bertatap muka, anak mengalami ketulian, merasa
tidak senang dan menolak bila dipeluk, tidak ada usaha melakukan
interaksi dengan orang disekitarnya, jika ingin sesuatu ia akan
menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang
tersebut melakukan sesuatu untuknya. Disamping itu, bila didekati
untuk bermain justru menjauh, tidak berbagi kesenangan dengan
orang lain, kadang mereka mendekati orang lain untuk makan atau
duduk dipangkuan sebentar kemudian berdiri tanpa memperlihatkan
mimic apapun,
c. Gangguan pada bidang perilaku dan bermain, seperti tidak mengerti
cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan
yang sama berulang-ulang sampai lama, jika sudah senang satu
mainan tidak mau mainan lain dan cara bermainnya pun aneh,
terdapat kelekatan dengan benda-benda tertentu, sering melakukan
perilaku rituslistik, dapat terlihat hiperaktif sekali misalnya tidak dapat
diam, lari ke sana kemari, melompat-lompat, berputar-putar, dan
memukul benda berulang-ulang (Mulyati, 2010).
Kriteria autis yang digunakan di SLB Negeri Semarang sebagian besar
menunjukkan bahwa anak mengalami keterlambatan perkembangan bahasa dan
bersosialisasi dengan orang lain, yaitu :
1) Sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya
2) Tidak pernah atau jarang sekali kontak mata
3) Lebih suka menyendiri, sifatnya agak menjauhkan diri
4) Kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya; suka menggunakan isyarat
atau menunjukkan dengan tangan daripada kata-kata
5) Echolalia (membeo/mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa)
6) Tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata; bersikap seperti orang tuli
2. Perkembangan bahasa anak autis

Kemampuan dalam berkomunikasi dan berbahasa merupakan


bagian yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan
terkecil/keluarga anak dapat menyampaikan keinginannya, misalnya anak
ingin jalan-jalan, menonton televisi, bermain game elektronik,minta makan,
minum, melambaikan tangan sebagai tanda berpisah dengan papa atau
mamanya, ingin dipeluk, disayang atau sekedar ingin bercanda dengan
kedua orang tuanya. Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi dan
berbahasa yang baik, anak dapat memahami dan menyampaikan informasi,
meminta yang disukai, menyampaikan pikiran dan menyatakan keinginan
untuk memenuhi kebutuhannya (Yuwono, 2012).

Perkembangan bahasa anak berkaitan dengan perkembangan


kognitif. Bahasa tubuh dapat digunakan oleh anak untuk
mengkomunikasikan rasa puasnya.Anak tidak dapat berkomunikasi secara
spontan, lingkungan sekitar juga berpengaruh untuk mengusai keterampilan
komunikasi. Keahlian dalam bahasa untuk berkomunikasi ini juga
membutuhkan stimus dari orang tua atau orang lain yang berada di
sekitarnya. Jika salah anak tidak mendapat stimulus anak akan mengalami
masalah keterlambatan dalam berbicara maupun berkomunikasi (Wong,
Hockenberry-Eaton, Wilson, & Schwartz, 2009).

Keterlambatan berbicara merupakan salah satu penyebab gangguan


perkembangan.Gangguan wicara dan bahasa yaitu gangguan
perkembangan artikulasi, gangguan kelancaran berbicara (gagap),
terlambat bicara dan bahasa, dan gangguan dysphasia dan aphasia
(ketidakmampuan membentuk kata dan menangkap arti kata) (Madyawati,
2016).

Komunikasi dan bahasa anak autis sangat berbeda dari kebanyakan


anak seusianya. Anak autis sulit untuk merespon tugas karena kesulitan
memahami konsep. Anak autis juga kesulitan dalam menyampaikan pesan
kepada orang lain. Sebagian besar dari mereka cara berkomunikasi dengan
non-verbal communication. Bahasa isyarat digunakan sebagai pengganti
atau pelengkap bicara sebagai contoh menarik tangan atau menunjuk
benda sebagai tanda meminta sesuatu, menggelengkan atau
menganggukkan kepala sebagai tanda setuju atau tidak setuju dan
sebagainya (Yuwono, 2012).

Anak autis akan mengalami masalah echolalia yaitu pengulangan


kata dari orang lain. Anak biasanya mengulang pertanyaan yang diberikan
serta memiliki kecenderungan akan menjawab dengan mengulangi kata
yang terakhir. Selain itu anak juga akan mengulang hal-hal seperti kejadian,
nyanyian, benda, atau sesuatu yang mengesankan. Beberapa alasan
mengapa anak autis cenderung echolalia dalam berkomunikasi adalah
ketidakpahaman anak autis dalam memahami konsep bahasa dan konteks
pragmatis komunikasi.Mereka tidak mengerti atau tidak mengetahui
bagaimana harus merespon (Yuwono, 2012).

Perkembangan komunikasi pada anak dipengaruhi oleh beberapa


faktor yaitu kemampuan berinteraksi, cara anak berkomunikasi, dan tingkat
pemahaman anak. Perkembangan komunikasi anak autis berkembang
melalui empar tahap : yaitu the own agenda stage. Pada tahap ini anak
cenderung bermain sendiri dan tidak tertarik dengan orang lain. Untuk
mengatahui keinginannya kita memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi
wajahnya.Tahap kedua, the quester stage. Pada tahap ini anak sudah
mengetahui perilakunya dapat mempengaruhi orang lain. Bila menginginkan
sesuatu ia akan menarik tangan dan mengarah ke benda yang
diinginkannya. Tahap ketiga, the early communication stage. Pada tahap ini
komunikasi sudah mulai membaik karena sudah melibatkan gesture, suara
dan gambar. Pada tahap keempat, the partner stage.Pada tahap ini
merupakan fasepaling efektif. Kemampuan berbicaranya baik, melakukan
percakapan sederhana. Namun anak masih cenderung menghafal kalimat
dan sulit menemukan topik baru dalam percakapan.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dalam perkembangan
bahasa anak autis yaitu adanya faktor genetik atau kelainan pada
kromosom, gangguan pendengaran, intelegensia rendah, kurangnya
interaksi anak dengan lingkungan, maturasi yang terlambat, faktor keluarga
dan adanya penyakit tertentu (Widyastuti,2008) dalam (32).

3. Perkembangan personal sosial anak autis

Interaksi sosial merupakan kesulitan bagi anak autis untuk melakukan


sosialisasi dengan lingkungannya. Gangguan komunikasi menyebabkan anak
mengalami masalah dalam hal perilaku sosial. Anak cenderung bergerak kesana-
kemari, bersuara sendiri, menggigit, menggaruk-garuk. Perilaku ini dikatakan tidak
komunikatif, tetapi hal tersebut sebagai upaya untuk berkomunikasi dengan lingkungan
sekitarnya. Perilaku anak autis dianggap tidak singkron dengan nilai di lingkungan
sosialnya, itu disebabkan karena anak autis tidak memahami sebagian besar nilai-nilai
yang berlaku di lingkungannya (Yuwono, 2012).

Karakteristik perkembangan personal sosial pada anak autis menurut Peeters


(2012) adalah sebagai berikut :

a. Menjauhkan diri secara social

1) Menyendiri dan tidak peduli dengan situasi kecuali ada


kebutuhan yang terpenuhi.

2) Interaksi dengan orang lain dengan cara fisik, seperti mencolek.

3) Mempunyai minat yang rendah dalam kontak sosial.

4) Hanya sedikit melakukan timbal-balik untuk komunikasi baik


verbal maupun nonverbal.

5) Kontak mata rendah, enggan untuk bertatapan.

b. Interaksi pasif

1) Terbatasnya pendekatan sosial secara spontan.


2) Cenderung diam sehingga mendorong tidk terjadinya interaksi
dengan anak-anak yang lain.

3) Anak cenderung echolalia

c. Interaksi aktif tapi aneh

1) Kelihatan adanya pendekatan sosial secara spontan.

2) Interaksi melibatkan keasyikan yang bersifat aneh dan terkadang


tak henti-hentinya bertanya.

3) Kemampuan mengambil peran rendah.

4) Sangat waspada terhadap reaksi yang muncul dari orang lain.

Anak autis sering sekali ditandai dengan menyendiri, meskipun dalam


ruangan tersebut ramai dengan orang lain. Ketika orang tuanya atau orang lain
mengajaknya untuk bermain selayaknya anak yang lain, anak autis akan kesulitan
untuk bergabung dan terlibat di dalam permainan tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya keterkaitan antara perkembangan perilaku, interaksi sosial,
komunikasi dan bahasa. Sehingga, keempat komponen harus seimbang agar anak
dapat mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang maksimal (Setyaningsih,
2016).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan personal sosial pada anak


autis adalah lingkungan sekitar, pengalaman anak di masyarakat, keluarga dan
pengetahuan yang diperoleh (Widyastuti,2008) dalam (32).

4. Klasifikasi berdasarkan intelektual

a) Sekitar 60% anak-anak autis mengalami keterbelakangan mental sedang


dan berat (IQ di bawah 50)

b) Sekitar 20%anak autis mengalami keterbelakangan mental ringan


(memiliki IQ 50-70 )

c) Sekitar 20% lagi dari anak autis tidak mengalami keterbelakangan mental
(intelegensi di atas 70 )
3. Motorik Halus Pada Anak Autis

Motorik halus pada anak yang didiagnosa dengan autis tidak dapat diklasifikasikan
menurut umur anak, karena hal tersebut dipengaruhi oleh usia pertama kali anak
didiagnosa autis, usia pertama kali anak mendapatkan terapi autis, dan intervensi
terapi dilakukan (Handojo, 2003). Selain itu gangguan perkembangan motorik halus
pada anak autis akan memberat pada anak yang ber IQ rendah (Lumbantobing,
2001). Selain itu perkembangan motorik halus anak autis juga dipengaruhi
kemampuan menirukan yang menyangkut banyak faktor, termasuk : motivasi,
ingatan (memori), proses pengolahan input auditori, visual, taktil dan vesibular.
Motivasi dapat ditimbulkan dari keinginan anak autis dan imbalan yang efektif
(Handojo, 2003). Seorang anak autis membutuhkan intervensi dini dengan tata
laksana yang tepat, agar perkembangan yang optimal pada anak autis dapat
terwujud (Lesmana, 003). Motorik Halus Pada Anak Autis Motorik halus pada anak
yang didiagnosa dengan autis tidak dapat diklasifikasikan menurut umur anak,
karena hal tersebut dipengaruhi oleh usia pertama kali anak didiagnosa autis, usia
pertama kali anak mendapatkan terapi autis, dan intervensi terapi dilakukan
(Handojo, 2003). Selain itu gangguan perkembangan motorik halus pada anak autis
akan memberat pada anak yang ber IQ rendah (Lumbantobing, 2001). Selain itu
perkembangan motorik halus anak autis juga dipengaruhi kemampuan menirukan
yang menyangkut banyak faktor, termasuk : motivasi, ingatan (memori), proses
pengolahan input auditori, visual, taktil dan vesibular. Motivasi dapat ditimbulkan
dari keinginan anak autis. Seorang anak autis membutuhkan intervensi dini dengan
tata laksana yang tepat, agar perkembangan yang optimal pada anak autis dapat
terwujud (Lesmana, 2003).

4. Faktor Kondisi yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik

Sebagian kondisi yang mempengaruhi perkembangan motorik, antara lain :

1. Sifat dasar genetik, termasuk bentuk tubuh dan kecerdasan mempunyai


pengaruh yang menonjol terhadap laju perkembangan motorik
2. Seandainya dalam masa awal kehidupan pascalahir tidak ada hambatan kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan, semakin aktif janin semakin sepat
perkembangan motorik anak.

3. Kondisi pralahir yang menyenangkan, khususnya gizi makanan sang ibu, lebih
mendorong perkembangan motorik yang lebih cepat pada masa pascalahir,
ketimbang kondisi pralahir yang tidak menyenangkan

4. Kelahiran yang sukar, khususnya bila ada kerusakan pada otak dan
memperlambat perkembangan motorik

5. Seandainya tidak ada gangguan lingkungan, maka kesehatan dan gizi yang baik
selama awal masa kehidupan pascalahir akan mempercepat perkembangan
motorik

6. Anak ynag IQ-nya tinggi menunjukkan perkembangan yang lebih cepat


dibandingkan anak yang IQ-nya normal atau di bawah normal.

7. Adanya rangsangan atau dorongan dan kesempatan untuk menggerakkan semua


bagian tubuh akan mempercepat perkembangan motorik

B. Konsep Perilaku

Perilaku dapat diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya hal ini
berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada suatu rangsangan sehingga akan timbul reaksi atau
perilaku tertentu Bimo (2001) dalam Zein dan Suryani (2005). Perilaku manusia berasal dari
dorongan yang ada dalam diri manusia, sedang dorongan merupakan usuha untuk memenuhi
kebutuhan yang ada dalam diri manusia (Purwanto, 1999). Jenis perilaku menurut Skinner (1976)
dalam Zain dan Suryani (2005) ada 2, yaitu:

1. Perilaku alami (innate behavior) yaitu perilaku yang sudah dibawa sejak lahir, seperti reflek dan
insting

2. Perilaku operan (operant behavior) yaitu perilaku yang didapat melalui proses belajar.

Pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

1. Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan.

2. Pembentukan perilaku dengan pengertian.


3. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model (Zain dan Suryani, 2005). Menurut Bloom
(1908) dalam Notoatmojo (2003) domain perilaku digolongkan dalam 3 domain, yaitu

1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari pengetahuan, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
pengindraan terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
bentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru,
dalam diri seseorang akan terjadi proses yang bertautan, yaitu:

a) Kesadaran, yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus terlebih dahulu.

b) Ketertarikan, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

c) Evaluasi, yaitu orang mulai menimbang baik buruknya stimulus tersebut bagi orang tersebut. Hal
ini berarti sikap orang tersebut menjadi lebih baik.

d) Adaptasi, yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap
terhadap stimulus.

Tingkat pengetahuan dalam domai kognitif dapat dibagi menjadi:

a) Tahu, dapat diartikan sebagai mengingat materi yang telah diberikan sebelumnya.

b) Memahami, yakni kemampuan untuk menjelaskan secara benar dan menginterpretasikan materi
atau objek dengan benar.

c) Aplikasi, yakni kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi
yang sebenarnya.

d) Analisis, yakni kemamuan untuk menjabarkan materi dalam bentuk komponen yang masih
berhubungan satu sama lainnya

e) Sintesis, kemampuan untuk menghubungkan bagian dari suatu materi dalam bentuk baru.

f) Evaluasi, yakni kemampuan untuk menilai suatu materi.

2. Sikap

Sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai
dengan sikap atau obyek (Zain dan Suryani, 2005). Sikap adalah suatu pola perilaku persiapan
antisipasif, tendensi, predisposisi, untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara
sederhana. Sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang dikondisikan (Azwar, 2003). Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek (Notoatmojo, 2003). Menurut Allport (1954) dalam Notoatmojo (2003) sikap terdiri dari 3
komponen pokok, yaitu:

1. Kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek.


2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga hal ini membentuk sikap yang utuh.

Dalam pembentukan sikap pengetahuan, emosi, pikiran, keyakinan berperan penting dalam
membentuk sikap yang utuh. Struktur sikap terdiri atas 3 komponen yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor (Azwar, 2003). Tindakan Sikap belum tentu terwujud dalam satu tindakan. Untuk
mewujudkan sikap dalam perbuatan yang nyata dibutuhkan suatu pendukung atau kondisi yang
memungkinkan yaitu fasilitas dan dukungan dari pihak lain

1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor

pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-

behavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu

Notoatmodjo 2005):

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, tradisi, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai,

pendidikan, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas

atau, sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam

sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas

kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.


C. Konsep Health Belief Model (HBM)

1. Pengertian

Teori ini merupakan teori yang paling umum dalam pendidikan kesehatan

dan promosi kesehatan. HBM dikembangkan pada tahun 1950-an sebagai cara

untuk menjelaskan mengapa program skiring tuberkulosis yang ditawarkan oleh

layanan kesehatan public U.S tidak terlalu berhasil. Dalam model HBM perepsi

seseorang dipengaruhi oleh seluruh jajaran faktor interpersonal yang memengaruhi

perilaku kesehatan (36). Menurut WHO yang dimaksud health adalah suatu kondisi

tubuh yang lengkap secara jasmani, mental, dan sosial serta tidak hanya terbebas

dari kecacatan, suatu penyakit dan ketidakmampuan. Belief dalam Bahasa inggris

adalah keyakinan.

Health belief model menjelaskan mengenai suatu konsep perubahan

perilaku kesehatan yang ditentukan oleh keyakinan atau persepsi pribadi tentang

suatu penyakit dan strategi yang tersedia untuk menguranginya (36).

Health belief model berawal dari konsep Rosenstock et al., 1974) kemudian

dikaji lebih lanjut oleh Becker dkk (1974), model ini dikembangkan untuk

memahami beberapa faktor psikologi berbasis keyakinan dalam suatu perubahan

perilaku kesehatan. Health belief model adalah suatu model yang menjelaskan

mengenai keyakinan seseorang terhadap perilaku kesehatan. Teori ini dapat

digunakan untuk memerediksi perilaku kesehatan preventif dan juga respons

perilaku untuk pengobatan pasien dengan penyakit akut atau kronik. Health Belief

Model adalah nilai ekspektasi. Individu mempresentasikan penindaklanjutan

perilaku berdasarkan keyakinan individu yang didapat dari prediksi dan


menghasilkan sebuah perilaku, sehingga dapat mengetahui nilai yang melekat

pada hasil perilaku(38)

2. Komponen Health Belief Model (HBM)

Komponen pembentuk Health Belief Model antara lain :

a. Perceived susceptibility atau kerentanan yang dirasakan konstruk

mengenai risiko atau kerentanan personal yang mengacu pada

persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi

kesehatannya. Di dalam masalah kesehatan dimensi tersebut

meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosis, perkiraan pribadi

terhadap adanya resusceptibility (timbul kepekaan kembali). dan

kepekaan terhadap penyakit.

b. Perceived severity atau keseriusan yang dirasakan. Perasaan yang

berhubungan dengan suatu masalah kesehatan meliputi kegiatan

evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis (seperti kematian,

cacat dan sakit) dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi

(seperti efek pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial).

Beberapa ahli yang menggabungkan kedua komponen diatas

sebagai ancaman yang dirasakan (perceived threat).

c. Perceived benefit/Manfaat yang dirasakan. Penurunan dari

kerentanan (suspectability) seseorang terhadap suatu keadaan yang

diyakini akan menimbulkan keseriusan (perceived threat) adalah

mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan untuk yang

memberikan support pada perubahan perilaku. Ketika seseorang


menunjukkan suatu kepercayaan mengenai adanya suatu kepekaan

dan keparahan sering tidak diharapkan untuk menerima apapun

mengenai upaya kesehatan yeng dianjurkan kecuali ketika upaya

tersebut sesuai dan memberikan hasil yang baik.

d. Perceived barriers (hambatan). Aspek negatif yang berpotensi

memiliki pengaruh terhadap upaya kesehatan atau penghalang yang

dirasakan. Yang memicu sebagai halangan untuk

merekomendasikan suatu penyakit.

e. Perceived threat Ancaman merupakan seberapa besar kemungkinan

suatu penyakit itu akan menjadi luas. Kerentanan sebagai penentu

langkah pertama mengenai bagaimana seseorang menyadari bahwa

perilaku mereka dapat menyebabkan penyakit tertentu.

f. Modifying variabel. Empat komponen persepsi yang dimodifikasi dari

variabel laninnya seperi budaya, tingkat pendidikan, pengalaman,

keterampilan dan motivasi (39).

g. Likehood of action. Ketika sudah menyadari potensi yang berperan

dalam pengembangan penyakit, jika perilaku tidak berubah maka

penting untuk menurunkan manfaat dan hambatan untuk mengambil

keputusan dan menentukan apakah hal itu sangat penting.

h. Cues to action Cues to action adalah sesuatu yang mempercepat

tindakan yang membuat seseorang merasa butuh dalam

pengambilan suatu keputusan atau melakukan perilaku kesehatan.

Cues to action merupakan dukungan atau dorongan dari lingkungan

terhadap seseorang dalam melakukan perilaku kesehatan. Isyarat


untuk bertindak ini bisa berasal dari informasi media masa, nasehat

orang disekitar, pengalaman pribadi, artikel dan lain – lain (40).

i. Self efficacy Pada tahun 1988, self efficacy ditambahkan pada

Health Belief Model. Self efficacy merupakan keyakinan pada

kemampuan diri sendiri untuk melalukan sesuatu (41). Seseorang

kebanyakan tidak mencoba melakukan sesuatu yang baru kecuali

mereka berpikir bahwa mereka mampu melakukannya. Ketika

seseorang berfikir bahwa sesuatu itu berguna (perceived benefit)

tetapi tidak berfikir dia mampu melakukan (perceived barrier), maka

kemungkinan besar bahwa perilaku itu tidak akan dilakukan.

Modifying Factors Individual Belief Action

Individual
Age Perceived Perceived Behaviours
Gender susceptibility threat
Ethnicity Perceived
Personality severity
Socioeconomics
Knowledge Perceived Cues to action
benefits

Perceived
barriers

Perceived self
efficacy

Gambar 2.1 Health Belief Model by Hochbaum et al (2008)

Model ini menjelaskan dan memerediksikan kemungkinan terjadinya perubahan

perilaku yang berhubungan dengan keyakinan (belief) atau perasaan (perceived) tertentu.

Model ini didasarkan atas sekuensi agar perubahan perilaku dapat terjadi diantaranya

adalah :
1) Adanya perasaan bahwa kesehatan dalam keadaan terancam.

2) Adanya perasaan individu tentang kerentanan dan keseriusan

penyakit.

3) Faktor perubahan atau keterbatasan (modifying factors) terkait

dengan umur, jenis kelamin, etnis, kepribadian, sosial ekonomi

dan pengetahuan yang berhubungan dengan perasaan tentang

adanya manfaat dan hambatan dalam perubahan perilaku.

4) Adanya isyarat, dorongan seperti edukasi, media informasi dapat

memengaruhi seseorang mengenai bahaya penyakti sehingga

merasa perlu untk melakukan perubahan perilaku.

3. Aplikasi Health Belief Model

Tabel 2.1 Aplikasi teori health belief model

Health belief model

Konsep Definisi Potensi strategi perubahan

Perceived Kepercayaan tentang - Tentukan populasi yang


susceptibility kemungkinan mendapat berisiko dan tingkat
kondisi saat ini resikonya
- Menyesuaikan informasi
risiko berdasarkan
karakteristik atau perilaku
individu
- Bantu individu
mengembangkan persepsi
yang akurat tentang
risikonya sendiri
Perceived severity Kepercayaan akan Menentukan konsekuensi dari
keseriusan suatu suatu kondisi dan tindakan
kondisi dan yang direkomendasikan
konsekuensinya

Perceived benefits Kepercayaan akan Jelaskan bagaimana, dimana


efektitifitas mengambil dan kapan harus mengambil
tindakan untuk tindakan dan apa hasil positif
mengurangi risiko atau
Health belief model

Konsep Definisi Potensi strategi perubahan

keseriusan potensial nantinya

Perceived barriers Kepercayaan tentang Tawarkan jaminan intensif dan


materi dan psikologis bantuan perbaiki informasi
pasien dalam yang salah
mengambil tindakan
yang disarankan

Cues to action Faktor – faktor yang Berikan cara nformasi


mengaktifkan “kesiapan mempromosikan kesadaran
untuk berubah” dan sistem pengingat pasien

Self-efficacy Kepercayaan diri pasien - Menyediakan pelatihan


mengenai kemampuan dan bimbingan dalam
seseorang untuk melakukan tindakan
mengambil tindakan - Gunakan pengaturan
sasaran progresif
- Berikan penguatan verbal
peragakan perilaku yang
diinginkan
D. Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Autis
Kebersihan gigi dan mulut anak autis lebih rendah dibandingkan dengan anak yang normal.
Hal ini dikarenakan kesulitan yang ditemui anak berkebutuhan khusus dalam menjaga
kebersihan gigi dan mulut yang baik. Hal tersebut dikarenakan kurangnya konsentrasi serta
kemampuan motorik. Secara umum terdapat rentan kemampuan menyikat gigi dalam anak
berkebutuhan khusus dikarenakan koordinasi gerakan, kemampuan bawaan, kemampuan
untuk memahami instruksi, serta usia dari individu berkebutuhan khusus (Rao, 2005).
Beberapa faktor yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus memiliki resiko yang lebih
tinggi untuk terjadinya masalah kesehatan gigi dan mulu yaitu diet dan obat-obatan, masalah
oral hygiene, serta fungsi muskular yang terganggu (Koch & Poulsen, 2006). Anak
berkebutuhan khusus seringkali membutuhkan pertimbangan perawatan kesehatan gigi
dikarenakan beberapa alasan yaitu (Welbury dkk., 2005).
1) Kesehatan gigi dan mulut beberapa anak dengan kebutuhan khusus
berbeda dari anak normal
a. Seorang anak dengan Autism diketahui memiliki beberapa
kumpulan gangguan baik secara fisik maupun perilaku.
Manifestasi secara fisik dan perilaku juga menyebabkan
adanya gangguan pada tumbuh kembang gigi dan kraniofasial
berupa:

A. FISIK

Wajah dan rongga mulut sebagian besar terdiri dari


otot-otot. Pada anak dengan autis gangguan otot
bibir dan lidah juga menjadi suatu permasalahan
yang umumnya terjadi. Efek yang muncul akibat
gangguan tonus dan koordinasi otot tersebut adalah:
- Meningkatnya kerentanan terhadap karies.
Koordinasi lidah dan otot-otot pengunyahan yang
buruk menyebabkan anak dengan autis harus
mengkonsumsi makanan dengan tekstur yang lebih
lembut sehingga mengurangi proses mengunyah
sebagai self cleansing pada rongga mulut,
menyebabkan kontak makanan dengan gigi lebih
lama dan lebih mudah makanan tertinggal pada
gigigigi sehingga lebih rentan menyebabkan karies
(gigi lubang). (Gupta, 2016)

- Meningkatnya kerentaanan terhadap penyakit gusi


dan jaringan penyangga gigi 16 Kurangnya koordinasi
lidah dan otot-otot pengunyahan juga menyebabkan
anak dengan autis cenderung untuk tidak langsung
menelan makanan setelah dikunyah dan menahan
makanan dalam mulut beberapa waktu sehingga
menyebabkan sisa makanan menempel pada
permukaan gigi yang dapat menimbulkan
pemumpukan plak yang banyak, dan diperparah
dengan gangguan hormon pada anak autis sehingga
menyebabkan gangguan pada gusi dan jaringan
penyangga gigi sehingga gigi menjadi goyang.

- Kesulitan menggosok gigi dan flossing Pada


akhirnya dengan gangguan otot yang terjadi
menyebabkan proses penting dalam mencegah
munculnya penyakit gigi dan mulut menjadi
terganggu yaitu anak mengalami kesulitan dalam
menggosok gigi dan flossing yang pada akhirnya
dapat meningkatkan resiko infeksi pada rongga
mulut anak. (Gupta, 2016) Selain tonus otot wajah
dan mulut, kondisi lainnya yang terpengaruh oleh
ASD adalah perubahan aliran air liur, pertumbuhan
gigi yang terlambat, dll.

- Xerostomia adalah perubahan pada jumlah air liur.


Xerostomia juga dikaitkan dengan pembersihan
makanan yang lebih lambat dari rongga mulut. Hal
ini memungkinkan karbohidrat yang dapat
difermentasi untuk tetap bersentuhan dengan plak
lebih lama, sehingga meningkatkan produksi asam
dan meningkatkan demineralisasi email. Kompensasi
untuk mulut kering dapat meningkatkan konsumsi
minuman manis, sementara pada saat yang sama,
kesehatan mulut menderita kehilangan fungsi
pelindung saliva dan kemampuannya untuk
membersihkan makanan dari mulut, menetralkan
asam, dan remineralisasi gigi, karena aliran saliva
yang tidak adekuat (Nelson & Webb, 2019). Pada
anak dengan ASD hal ini terjadi dipicu oleh
penggunaan beberapa obat untuk mengurangi
gangguan pada perilakunya. Namun ternyata
penggunaan obat-obatan tersebut menyebabkan
efek samping yang cukup mengganggu pada keadaan
rongga mulutnya. Beberapa macam obat yang
dimaksud adalah Carbazepine dan Sodium Valproat
sebagai obat anti kejang (anticonvulsant), Fluoxetine
dan Sentraline sebagai obat antidepressant,
Methylphenidate sebagai obat perangsang system
syaraf pusat (CNS stimulant), Clonidine sebagai obat
antihipertensi yang sering diberikan pada anak
dengan ASD. Penggunaan obat-obat tersebut sesuai
indikasi masing-masing dan berbeda pada setiap
anak namun kita harus mengetahui efek yang
muncul pada rongga mulut dan melakukan
pencegahan sedini mungkin.

- Pertumbuhan gigi yang terlambat Pada anak


dengan ASD secara umum mengalami keterlambatan
dalam proses erupsi gigi. Hal ini bervariasi pada
setiap anak dalam waktu dan gigi yang akan erupsi.
Hal ini dapat disebabkan oleh hyperplasia gusi akibat
konsumsi obat phenytoin
b. Kebiasaan Buruk / Bad Oral habit - Menjulurkan lidah /
menggigit lidah / tongue thursting Merupakan gerakan ujung
lidah memenuhi bagian bawah bibir sehingga lidah terletak
diantara 2 gigi

- Menggigit bibir / Lip Biting Merupakan Gerakan menarik bibir


ke dalam mulut diantara gigi-gigi. Penyebab yang mungkin
terjadi yang berhubungan dengan anak ASD adalah kecemasan
(Anxiety disorder) dan emotional stress akibat social conflict
dan gangguan perilaku (behavioral disorder) (Marwah, 2014).

- Pica Pica didefinisikan sebagai kebiasaan memakan zat yang


tidak mengandung nutrisi secara terus menerus selama
minimal 1 bulan. Zat nonnutritif bukan makanan yang paling
sering dimakan oleh anak-anak dengan pica termasuk tanah,
kapur, plester, tanah liat, cat, kertas, kain, pasir, rambut,
plastik, batu bara, serangga, kayu, kerikil, dan kotoran hewan.
Penyebab pastinya pica tidak diketahui, tetapi dalam beberapa
kasus mungkin muncul pada orang yang mengalami defisiensi
gizi (misalnya, defisiensi besi, seng, dan kalsium). Dalam kasus
seperti itu, pada saat defisiensi gizinya diperbaiki, perilaku
biasanya teratasi. Itu juga terkait dengan anak-anak yang
memiliki kelainan perkembangan dan diagnosis perkembangan
saraf dan dianggap berkorelasi dengan gangguan perilaku.
Pada anak dengan ASD, dalam teori disebutkan bahwa
gangguan semacam itu sering kali merupakan upaya untuk
mencari kenyamanan dan menenangkan diri karena gangguan
emosional. Memakan zat nonnutritif bisa berpotensi sangat
berbahaya (misalnya, keracunan timbal, infeksi parasit,
penyumbatan usus). Pica juga memiliki konsekuensi / efek
pada gigi. Menelan bahan berserat dapat menyebabkan serat
terperangkap di gingiva dan dapat menyebabkan gingivitis atau
periodontal abses. Menelan zat abrasif yang keras dapat
menyebabkan keausan gigi yang berlebihan dan patah tulang,
serta berpotensi menyebabkan banyak masalah terkait
kesehatan lainnya. (Nelson & Webb, 2019)

- Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID) Diagnosis


Avoidant / Restrictive Food Intake Disorder merupakan
gangguan makan yang menyebabkan kegagalan terus menerus
untuk memenuhi nutrisi yang sesuai dan / atau kebutuhan
energi. Ini harus terkait setidaknya dengan salah satu dari
berikut ini:
(1) Penurunan berat badan yang signifikan atau pertumbuhan
terbatas,

(2) Defisiensi nutrisi yang signifikan,

(3) Ketergantungan pada makanan enteral atau suplemen


nutrisi oral,

(4) Ditandai dengan gangguan dengan fungsi psikososial.


Seorang anak dengan ARFID mungkin memiliki gangguan,
seperti kurangnya minat makan atau makanan, menghindari
makanan berdasarkan karakteristik sensorik makanan. ARFID
juga terkait dengan cacat perkembangan saraf seperti ASD,
serta diagnosis psikologis seperti kecemasan, gejala obsesif-
kompulsif, dan fobia ARFID berdasarkan karakteristik sensoris
makanan sering diistilahkan dengan selektivitas makanan.
Selektivitas makanan yang signifikan secara klinis dianggap
disebabkan oleh gangguan fungsi sensorik pengolahan di mana
seorang anak memiliki jumlah dan jenis makanan yang terbatas
yang mau dimakan. Hal ini didasarkan pada kepekaan indrawi
terhadap rasa, tekstur, warna, penyajian, merek, atau
penampilan. Sedangkan perilaku ini telah dijelaskan secara
khas pada anak yang sedang berkembang, itu terjadi pada
frekuensi dan tingkat keparahan yang jauh lebih besar anak-
anak dengan diagnosis ASD. Selain itu, pada anak dengan ASD,
semakin atipikal sensitivitas sensorik, semakin banyak
makanan yang ditolak. (Nelson & Webb, 2019)

- Bruxism Merupakan kebiasaan menggemeretakkan gigi


dengan kuat selain saat mengunyah atau makan. Bruxism
dapat terjadi pada pagi siang hari maupun pada malam hari
baik secara sadar maupun tidak sadar. Pada anak dengan ASD,
bruxism terjadi akibat gerakan hiperaktif dari rahang
(hyperactive jaw) dan lebih sering terjadi pada malam hari saat
mereka tertidur. Bruxism menyebabkan beberapa manifestasi
klinis seperti:

Trauma oklusi: munculnya rasa nyeri pada gigi dan gigi goyang
terutama dipagi hari.

Hipersensitivitas gigi: gesekan pada bruxism menyebabkan


hilangnya enamel gigi bahkan terkadang muncul gigi yang
fraktur
Kelelahan otot: hipertrofi otot-otot pengunyahan

Gangguan sendi temporomandibular: munculnya rasa nyeri,


krepitasi, clicking, gerakan membuka mulut yg terbatas
(Marwah, 2014).

- Lesi Ulserasi Merupakan luka pada jaringan lunak baik bibir


maupun pipi yang biasa terjadi akibat gangguan perilaku anak
dengan ASD seperti pada saat mereka mengalami tantrum,
kejang, dan tindakan-tindakan yang kadang dilakukan untuk
melukai diri sendiri (Gupta, 2016)

2) Pencegahan penyakit gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus memiliki prioritas
yang lebih tinggi daripada anak normal
3)Rencana serta ketentuan perawatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus perlu
dimodifikasi dengan melihat kemampuannya
a. Kita dapat melakukan konseling kepada keluarga, pengasuh maupun guru disekolah supaya
membantu untuk memodifikasi perilaku anak sebaiknya menyarankan untuk mengganti hadiah
yang sangat kariogenik (misalnya permen) dengan makanan yang cenderung tidak berkontribusi
pada pembusukan, misalnya dengan memberikan makanan atau minuman alternatif bebas gula
(Nelson & Webb, 2019). Hadiah yang sesuai seringkali sulit ditemukan untuk anak dengan ASD. Di
awal tahapan program, makanan manis dapat berfungsi sebagai imbalan yang diinginkan, namun
tujuan akhirnya adalah untuk memodifikasi perilaku sehingga penghargaan seperti itu harus diubah
kearah penghargaan sosial, seperti tepukan di punggung atau pelukan. Autis merupakan kondisi
seumur hidup. Diagnosis dan intervensi dini sejak usia 2 tahun dapat meningkatkan hasil jangka
panjang sesuai perilaku sosial dan kemampuan komunikasi yang diharapkan. Intervensi dapat juga
berupa pengobatan sejak dini. Pencegahan efek samping pengobatan juga harus mencakup
evaluasi medicament’s delivery system. Karena usia muda dan ketidakmampuan menelan tablet,
obat oral sering diberikan kepada anak-anak dalam bentuk suspensi cair. Obat cair oral biasanya
dimaniskan dengan sukrosa untuk mengurangi rasa pahit obat dan meningkatkan kepatuhan dalam
meminumnya sesuai petunjuk. Sebuah tinjauan terbaru dari obat-obatan cair oral menemukan
bahwa suspensi ini mengandung sukrosa dalam jumlah yang bervariasi, hingga 4g/5mL. Oleh
karena itu, penting untuk menjelaskan kepada pasien dan pengasuh bahwa paparan terhadap obat
yang dimaniskan dengan gula, yang sering diberikan beberapa kali sehari, meningkatkan risiko anak
untuk berkembangnya karies gigi

E. Pola Makan dan Intervensi Orang Tua

Anak autis sangat membutuhkan makanan yang berkualitas untuk tubuhnya, asupan dan konsumsi
makanan untuk pemenuh kebutuhan gizi hal ini dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan budaya,
ekonomi, pola pikir orang tua, dan sikap protektif seorang ibu, karena setiap anak dimungkinkan
akan memilki kebutuhan khusus serta hambatan yang berbeda-beda, seperti halnya penyandang
tunagrahita memiliki kasus untuk menghindari pangan yang mengandung gluten, kasein dan gula
karena dapat berpengaruh dengan gejala perilaku (Wilasari, 2016)

Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut (Indeks OHI-S)

Menurut Putri et al (2013) mengukur kebersihan gigi dan mulut merupakan suatu upaya untuk
menentukan keadaan kebersihan gigi dan mulut seseorang dengan menggunakan suatu indeks.
Indeks tersebut didapatkan ketika melakukan pemeriksaan, yaitu dengan cara mengukur luas dari
permukaan gigi yang ditutupi oleh plak maupun kalkulus. Untuk mengukur kebersihan gigi dan,
Green and Vermillion menggunakan indek yang dikenal dengan Oral Hygiene Index (OHI) dan
Simplified Oral Hygiene Index (OHI-S). Pada awalnya indeks ini digunakan untuk menilai penyakit
peradangan gusi dan penyakit periodontal, akan tetapi dari data yang diperoleh ternyata kurang
berarti atau bermakna. Oleh karena itu indeks ini hanya digunakan untuk mengukur kebersihan gigi
dan mulut dan menilai efektivitas dari penyikatan gigi. Simplified Oral Hygiene Index (OHI-S)
memiliki debris indeks (DI) dan indeks untuk kalkulus (CI). Skor dapat digunakan secara tunggal 10
untuk memberikan indeks debris atau indeks kalkulus, atau bisa dikombinasikan untuk
memberikan indeks kebersihan mulut (Perry et al, 2014).

1. Perilaku kebersihan gigi

1) Menyikat gigi

Menurut PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) kegitan menggosok gigi bertujuan untuk

membersihkan gigi dan mulut kita dari sisa makanan agar fermentasi sisa makanan tidak

berlangsung terlalu lama sehingga dapat menyebabkan plak, dengan menyikat gigi kita

terhindari dari karies gigi (sukarsih et al, 2019)

Tindakan menyikat gigi merupakan kunci keberhasilan untuk memperoleh rongga mulut

yang sehat dalam upaya pencegahan dan pemeliharaan gigi dan mulut yang. Triswari &

Pertiwi (2017 : 2) mengemukakan pengertian menggosok gigi adalah ‘’cara mekanis utama untuk

menghilangkan plak gigi’’. Menggosok gigi merupakan aktivitas yang harus dilakukan oleh semua

orang baik anak-anak, remaja, dewasa maupun ABK autis. Waktu pelaksanaan kegiatan menggosok
gigi dilakukan dua kali sehari yakni pada malam hari dan pagi hari. Cara mengajarkan menggosok

gigi pada murid autis adalah dengan menjelaskan dan mempraktikkan langkah demi langkah. Cara

menggosok gigi yang diungkakan oleh Wantah (2007: 150) antara lain:

1) mengisi air dalam gelas;

2) membuka pasta gigi, cara memegang sikat gigi, menaruh pasta gigi di atas sikat gigi, dan

menutup kembali pasta gigi;

3) berkumur dengan air untuk membasahi mulut;

4) menggosok gigi dari arah depan, samping kiri, kanan, atas, dan bawah;

5) mengambil gelas yang berisi air dan berkumur sampai bersih;

6) mengeringkan mulut dengan menggunakan handuk/lap kering. Cara menggosok gigi yang

diajarkan untuk murid autis terdiri dari beberapa langkah, dimulai dari mempersiapkan peralatan

sampai mengeringkan mulut dengan handuk. Keterampilan menggosok gigi yang akan dilatihkan

dalam penelitian ini adalah pada tahapan menggosok gigi dari arah samping kanan, kiri, atas dan

bawah. Saat melakukan kegiatan menyikat gigi ada beberapa metode yang dapat digunakan.

Menurut Pratiwi (2000: 34) beberapa metode tersebut, diantaranya sebagai berikut:

1) Scrub, cara menggosok gigi dengan cara menggerakan sikat gigi secara horizontal dengan cara

maju mundur. Ujung sikat gigi diletakan pada atas gigi dan gusi.

2) Roll, menggosok gigi dengan gerakan memutar mulai dari permukaan kunyah gigi belakang, gusi,

dan seluruh permukaan gigi.

3) Bass, meletakan bulu sikat pada area batas gusi dan gigi dan membentuk sudut 45 derajat

kemudian sikat digetarkan tanpa mengubah posisi bulu sikat.


4) Stillman, dengan cara menekan bulu sikat gigi dari arah gusi ke gigi secara berulang-ulang. Pada

bagian kunyah gigi disikat dengan gerakan memutar.

5) Fone, menyikat secara horizontal dengan gigi pada posisi menggigit. Gerakan dilakukan memutar

dan mengenai seluruh permukaan gigi atas dan bawah. Berdasarkan pendapat di atas, maka

peneliti akan menggunakan cara yang disampaikan oleh Wantah (2007: 150) dengan metode scrub

dalam gerakan menyikat gigi bagian dalam karena dirasa efektif untuk diajarkan kepada anak autis.

Hal ini dilakukan supaya anak tidak kesulitan sehingga anak mudah mempraktikkan cara

menggosok gigi yang baik dan benar. Metode ini tidak susah dalam mempraktikkannya karena

tidak memerlukan teknik khusus dalam menggerakan sikat gigi

E. Konsep Applied Behavour Analysis (ABA)

1. Pengertian Applied Behavour Analysis (ABA)

Menurut Handojo (2009) metode ABA adalah metode tata laksana


perilaku yang berkembang sejak puluhan tahun, ditemukan oleh psikolog
Amerika, Ivar O. Lovaas. Lovaas memulai eksperimen dengan cara
mengaplikasikan teori Skinner, Operant Conditioning. Di dalam teori ini
disebutkan suatu pola perilaku akan menjadi mantap jika perilaku itu diperoleh si pelaku (penguat
positif) karena mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tidak diinginkan (penguat negatif).
Sementara suatu perilaku tertentu akan hilang bila perilaku itu diulang terus menerus dan
mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan (hukuman) atau hilangnya hal-hal yang
menyenangkan si pelaku (penghapusan). Lebih lanjut, Handojo mengungkapkan bahwa yang
dimaksud dengan metode ABA adalah suatu cara pendekatan dan penyampaian materi kepada
anak autis yang dilakukan dengan kehangatan, tegas, tanpa kekerasan, adanya prompt dan
apresiasi anak dengan imbalan yang efektif. ABA dianggap paling bermanfaat pada penggunaan
spesifik bagi intervensi awal yang intensif bagi anak-anak, mengatasi tantangan perilaku dan
aspek tertentu komunikasi dan interaksi sosial. Dalam praktik ABA, meningkatnya minat kepada
‘dukungan positif’ lebih menekankan pujian (daripada penghargaan aktual seperti penanganan
yang bisa dimakan). Interaksi-interaksi dengan orang lain yang gembira melebihi penghargaan
dari orang dewasa yang netral (Sastry & Aguirre, 2014). Berdasarkan pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa metode ABA merupakan metode yang mengajarkan kedisiplinan dimana pada
kurikulumnya telah dimodifikasi dari aktivitas sehari-hari dan dilaksanakan secara konsisten untuk
meningkatkan perilaku yang signifikan. Pendekatan juga dilakukan dengan tegas namun tanpa
kekerasan, adanya prompt dan apresiasi untuk anak.

a. Teknik Dasar Pelaksanaan Metode ABA


Menurut Nuranisah (2015) teknik ABA yang berdasarkan pada behavior
modification atau Discrete Trial Training menggunakan urutan: A-B-C. A
atau Antecedent (pra-kejadian) adalah pemberian intruksi,
misalnya:

pertanyaan, perintah atau visual. Berikan waktu 3-5 detik untuk anak
memberi respon. Dalam memberikan intruksi, perhatikan bahwa anak ada
dalam keadaan siap (duduk, diam, tangan di bawah). Suara dan intruksi
harus jelas, dan intruksi tidak diulang. Untuk permulaan, gunakan satu kata
perintah.
B atau behavior (perilaku) adalah respon anak. Respon yang diharapkan
haruslah jelas dan anak memberi respon dalam 3 detik. Mengapa demikian,
karena ini normal dan dapat meningkatkan perhatian. C atau consequence
(konsekuensi atau akibat). Konsekuensi harus seketika, berupa reinforcer
(pendorong atau penguat) atau “TIDAK”.

Discrete Trial Training (DTT)


b. Pengertian DTT
Texas Statewide Leadership for Autism (2009) memaparkan, Discrete
trial training (DTT) merupakan strategi analisis perilaku terapan yang
berfokus pada perolehan keterampilan dengan memanipulasi urutan
antecedents dan consequences. Komponen utama pelatihan DTT meliputi
instruksi, prompt, respon, konsekuensi, dan interval antarpercobaan.
Pelatihan DTT adalah teknik pengajaran keterampilan baru yang terdiri
dari serangkaian pelajaran berulang yang berbeda atau uji coba yang
diajarkan satu per satu. Lovaas mendefinisikan DTT sebagai ‘unit
pengajaran tunggal’. DTT biasanya terdiri dari empat bagian: stimulus
diskriminatif yaitu berupa instruksi, respon, konsekuensi atau stimulus
penguat, dan interval antar-trial yaitu waktu tunggu. Selain itu, prompt dapat
digunakan untuk membantu anak merespon dengan benar.
Rury (2019) menyatakan, DTT adalah membagi sebuah kemampuan
menjadi langkah-langkah kecil dan mengajarkan satu langkah dalam satu
waktu sampai menjadi mahir. Sistem pengajarannya dalam bentuk
pengulangan (repetisi) dengan memberikan reinforcement, jika perlu
dibantu dengan prosedur prompt.

c. Teknik Dasar DTT


Rury (2019) menjelaskan terdapat beberapa dasar yang harus ada dalam
siklus DTT, diantaranya:
1) Instruksi/stimulus discrimination
Stimulus discrimination adalah stimulus/instruksi dari lingkungan yang
memberikan sinyal kepada perilaku yang berhubungan dengan
reinforcement. Instruksi ini harus sederhana, padat dan jelas. Setelah
anak paham dan memiliki level bahasa yang cukup instruksi di atas
pelan-pelan akan dibuat lebih alami. Bersamaan dengan instruksi, tidak
ada perintah lain seperti “duduk tenang”, “tangan yang manis”, “lihat
saya” atau sebut nama anak sebelum instruksi. Dalam memberikan
instruksi pernyataannya harus spesifik, satu langkah pada waktu itu.
Meskipun anak tidak respon, instruksi jangan diulang-ulang.
2) Respon
Respon dalam bentuk behavior sebagai respon dari instruksi. Bentuk
dari responnya adalah bisa benar atau tidak benar. Ketika anak
memberikan respon kita harus menilai kualitas dari responsnya seperti
apa. Kontak mata, atensi ke terapis dan usaha anak. Berikan waktu 3
detik pada responnya. Pemberian respon harus konsisten.
3) Feedback/reinforcement
Feedback adalah konsekuensi yang mengikuti respon dari anak.
Feedback memberikan tanda pada anak bahwa responnya benar atau
tidak benar. Respon harus konsisten untuk setiap terapis. Reinforcement
diberikan untuk meningkatkan kemungkinan behavior akan terjadi lagi
4) Prompt
Prompt adalah petunjuk dari terapis untuk memberikan jawaban yang benar.
Prompt ini sangat berguna untuk pada awal belajar untuk mengurangi
frustasi, meningkatkan motivasi dan kecepatan belajar. Perlu diperhatikan,
prompt harus dikurangi secara perlahan sebelum anak tergantung dengan
prompt. Terkadang terapis tidak sadar memberikan prompt kepada anak
misalnya dengan lirikan mata perubahan intonasi dan kecepatan berbicara
yang merujuk pada jawaban yang benar.

d. Manfaat DTT
Texas Statewide Leadership for Autism (2009) menyatakan, pelatihan
DTT dapat membantu dalam penanganan masalah dan bermanfaat bagi
anak autis karena:

1) Dalam pelatihan DTT, tugas dipecah menjadi uji coba singkat dan
sederhana yang mengakomodasi kebutuhan individu dengan rentang
perhatian pendek.
2) Pelatihan DTT berupaya membangun motivasi dengan menghargai
kinerja perilaku yang diinginkan dan menyelesaikan tugas dengan
penguatan nyata atau eksternal.
3) Stimulus yang disajikan dalam pelatihan uji coba terpisah jelas dan
relatif konsisten. Anak diberi hadiah hanya untuk perilaku sebagai
respon terhadap rangsangan tersebut.
4) Pelatihan DTT mengajarkan keterampilan dan perilaku secara eksplisit
(pembelajaran sebab-akibat).
5) Instruksi yang diberikan dalam pelatihan DTT sederhana, konkret, dan
jelas hanya memberikan informasi yang paling menonjol.
6) Pelatihan DTT juga dapat dirancang untuk mengajarkan pengambilan
perspektif dan keterampilan kognisi sosial secara eksplisit.
e. Prosedur DTT

Menurut Rury (2019) untuk prosedur DTT sendiri


bervariasi. Masing- masing terapis memiliki kebijaksanaan
sendiri asalkan dilakukan sesuai prinsip siklus DTT dan didasari
dengan prosedur yang evidence based atau memiliki prosedur
yang bisa dipertanggung jawabkan referensinya. Ada terapis yang
memilih untuk menggunakan prompt langsung (MLT=Most to
Least prompting) seperti errorless learning, maksudnya
prosedur dengan memberikan prompt di awal setelah instruksi
untuk memastikan anak menjawab dengan benar. Errorless
learning dilakukan dengan tujuan mengurangi frustasi anak dan
meningkatkan motivasi. Selain itu, ada center yang memilih
untuk menggunakan NNP (no-no-prompt) maksudnya adalah dua
kali jawaban berturut-turut salah, baru kemudian anak diberikan
prompt. Untuk prosedur jika anak melakukan kesalahan, prosedur
koreksi juga bervariasi. Apakah perlu berkata “tidak/salah/stop”
atau langsung saja tanpa komentar presentasi tugas berikut
dengan prompt. Untuk prosedur yang terakhir, anak akan
paham salah karena tidak menghasilkan reinforcer dan dilakukan
pengulangan tugas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi rasa
frustasi karena untuk beberapa anak, kata-kata “tidak/salah/stop”
akan berkonotasi negatif dan mengurangi motivasi. Prosedur
apapun, yang pasti jika anak melakukan kesalahan, beri
kesempatan anak untuk melakukan tugas lagi secara benar. Jangan
hanya memberikan koreksi secara verbal atau contoh yang benar,
tetapi anak harus mencobanya berulang-ulansampai benar
DAFTAR PUSTAKA
1. Salsabila N, Ningrum V, Surya LS. Mikroorganisme Pada Saliva Anak
Normal Dan Anak Autisme. B-Dent J Kedokt Gigi Univ Baiturrahmah.
2019;5(1):38–44.
2. Dewi KW, Ainin IK. Peranan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian
Personal Hygiene pada Diajukan kepada Universitas Negeri Surabaya
untuk Memenuhi Persyaratan Penyelesaian. 2017;1–26.
3. Alfinna T, Dyah Y, Santik P. HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH
Kejadian Autism Spectrum Disorder pada Anak di Kota Semarang.
2019;3(4):635–45.
4. Wulandari ND. Penerapan Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu anak
megembangkan diri. 2017;
5. Rahamawati S. Pengaruh Metode ABA terhadap Kemampuan
Bersosialisasi anak Autis. 2019;89. Available from:
http://www.nber.org/papers/w16019
6. Monica A, Hadi S, Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Surabaya J. Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Pada Anak
Autis. J Ilm Keperawatan Gigi [Internet]. 2022;3(3):429–34. Available
from: http://ejurnal.poltekkestasikmalaya.ac.id/index.php/jikg/index
7. Sengkey MM, Pangemanan DHC, Mintjelungan CN. Status Kebersihan
Gigi Dan Mulut Pada Anak Autis Di Kota Manado. e-GIGI. 2015;3(2).
8. Gharlipour Z, Sharifirad G, Kazazloo Z, Farahani PK, Mohebi S. Factors
affecting oral-dental health in children in the viewpoints of mothers
referred to the health centers in Qom city: Using the health belief model.
Int J Pediatr. 2016;4(9):3449–60.
9. Ermawati T. Peningkatan Kesehatan Gigi dan Mulut dengan Pendekatan
Art Therapy pada Siswa Taman Kanak-Kanak di Jember. War Pengabdi.
2023;17(1):1.
10. Marshman Z, El-Yousfi S, Kellar I, Dey D, Robertson M, Day P, et al.
Development of a secondary school-based digital behaviour change
intervention to improve tooth brushing. BMC Oral Health [Internet].
2021;21(1):1–9. Available from: https://doi.org/10.1186/s12903-021-
01907-3
11. Adam MUHT, Dr. Usman, M.Si, Dr. Bastiana MS. Penerapan Teknik
Discreat Trial Training ( Dtt ) Dalam Melatih Keterampilan Melaksanakan
Perintah Pada Anak Terpadu Nurul Fikri Makassar Universitas Negeri
Makassar Penerapan Teknik Discreat Trial Training ( Dtt ) Dalam Melatih
Keterampilan Melaksa. Eprints Univ Negeri Makassar [Internet]. 2017;
Available from: http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/22199
12. Imania KA, Bariyah SH. Pemanfaatan Program Pembelajaran Lovaas
(Aba) Dengan Pendekatan Icare Dalam Meningkatkan Kemampuan
General Life Skill Anak Autis. J Petik. 2018;4(1):57.
13. Adjeng RaRJ, Hatta MI. Pengaruh Terapi ABA terhadap Interaksi Sosial
Anak Autis di SLB Autis Prananda Bandung. Pros Penelit Sivitas Akad
Unisba (Sosial dan Humaniora). 2015;2:430–6.
14. Suryani I, Dewi NFK. Aplikasi Terapi Untuk Anak Autisme Dengan
Metode ABA (Applied Behavior Analysis) Berbasis Media kartu
Bergambar dan Benda Tiruan. Ceria J Progr Stud Pendidik Anak Usia Dini.
2018;6(1):16.
15. Amalia RNG, Safitri J, Zwagery RV. Penerapan Metode Discrete Trial
Training (Dtt) Dalam Meningkatkan Kemampuan Bicara Pada Anak Yang
Mengalami Keterlambatan Bicara. J Kognisia. 2019;2(2):119–25.
16. Rachmawati D, Ermawati T. Status Kebersihan Mulut dan Karies Pada
Siswa Berkebutuhan Khusus di SLB Autis dan TPA B SLB Branjangan
Kabupaten Jember. War Pengabdi. 2019;13(3):74–9.
17. Motto CJ, Mintjelungan CN, Ticoalu SHR. Gambaran kebersihan gigi dan
mulut pada siswa berkebutuhan khusus di SLB YPAC Manado. e-GIGI.
2017;5(1).
18. Astini P, Labih I, Nopyari N. Pola asuh orang tua yang memiliki anak autis.
J Gema Keperawatan, [Internet]. 2016;9(2):183–9. Available from:
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/id/eprint/4185%0A
19. Fitri E, Sittatunnikmah A, Wulandari A, Indriyani T, Semarang PK.
Penggunaan Media “ BUKPIN ” Terhadap Perilaku Pemeliharaan
Kesehatan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah Dasar Media Karya Kesehatan :
Volume 6 No 2 November 2023 Pendahuluan Kesehatan gigi dan mulut
masih merupakan hal yang perlu mendapatkan perhatian serius da. Media
Karya Kesehat. 2023;6(2):169–77.
20. Khofifah N. Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dan Anak Autis. J
Pendidik. 2018;XXXIX(2):1–152.
21. Gidel B, Susilawati S, Sasmita S. laporan penelitian risiko karies anak
gangguan spektrum autisme (GSA) pada masa pandemi COVID-19. J Fak
Kedokt Gigi Univ Padjadjaran, Indones. 2022;122–8.
22. Kusmana A, Rahayu C, Laksita K, Kesehatan Gigi J, Kemenkes
Tasikmalaya P. Pengaruh Komunikasi Terapeutik Menggunakan Metode
Aba (Applied Behavior Analysis) Terhadap Kemampuan Menyikat Gigi
Pada Anak Autis. 2023;15(suplemen). Available from:
https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/hijp
23. Aswandi A, Arif E, Roem ER. Efektivitas Metode Applied Behaviour
Analysis Komunikasi Ekspresif Anak Autis di Sekolah Luar Biasa.
Edukatif J Ilmu Pendidik. 2023;5(2):1146–54.
24. Antina RR, Qomari SN. Pengaruh Terapi Applied Behavior Analisys
Terhadap Speech and Langguage Delay Pada Masa Pandemi Covid-19. …
Kandung P-ISSN 1979-3340 … [Internet]. 2023;15(2):428–35. Available
from:
https://stikes-nhm.e-journal.id/JOB/article/view/1327%0Ahttps://stikes-
nhm.e-journal.id/JOB/article/download/1327/1240
25. Veriza E, Boy H. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut pada
Anak Autisme. Faletehan Heal J. 2018;5(2):55–60.
26. Arjani. Pola Asuh Orang Tua. J Keperawatan Poltekkes. 2017;2:11–2.
27. Zulfikar ALa. Pola Asuh Orang Tua. 2017;1–14.
28. Yowono, Sofyan HA. Penerapan Identifikasi, Assessmen dan Pembelajaran
Pada Anak Autis di Sekolah Dasar Inklusif. Penelit dan Pengemb Pendidik
Luar Biasa [Internet]. 2014;1(1):15–21. Available from:
http://journal2.um.ac.id/index.php/jppplb/article/view/4946/2655
29. Pratiwi. Konsep Autis dan pola asuh orang tua. 2018;8–20.
30. Peeters M. Panduan Anak Autis. 2013;(Cdc):16–32.
31. Ingarianti S. Konsep Autisme. 2016;01:1–23.
32. Melani. Konsep dasar autisme. 2022;01:1–23.
33. Ni’matuzzharoh. Psikologi dan intervensi Pendidikan anak berkebutuhan
khusus. Ebook. 2021;1–149.
34. Tariq HJRU, Riaz LOSA. Caries prevalence , clinical consequences and
self-reported pain experienced by children living in the West Bank. Eur
Arch Paediatr Dent. 2019;0(0):0.
35. Susantil N, Artawa IB, Wirata IN. Gambaran Karies Gigi Pada Keluarga
Binaan Puskesmas Mengwi di Banjar Sila Dharma, Kecamatan Mengwi
Kabupaten Badung. J Kesehat Gigi. 2014;2(1):143–9.
36. Hayden JA, Paterson W. Introduction to Health Behavior Theory. Predict
Heal Behav. 2013;
37. Rosenstock IM, Strecher VJ, Becker MH. Social Learning Theory and the
Health Belief Model. Heal Educ Behav. 1988;
38. Abraham C, Sheeran P. The health belief model. Cambridge Handb
Psychol Heal Med Second Ed. 2015;(June 2015):97–102.
39. Connelly BS, Ones DS. An Other Perspective on Personality: Meta-
Analytic Integration of Observers’ Accuracy and Predictive Validity.
Psychol Bull. 2010;
40. Priyoto. No Title. Teor Sikap dan Perilaku Kesehat. 2014;
41. Glanz K, Rimer barbara k., Viswanath K. Health and Health. 2008.
42. Linda Suryani. Gambaran Menyikat Gigi Terhadap Tingkat Kebersihan
Gigi Dan Mulut Pada Murid Kelas V di Min 9 Kecamatan Ulee Kareng
Kota Banda Aceh. J Biot. 2017;5(2):149–56.
43. Made Ari Budiasuri,Oktarina MAM. Hubungan pola makan dan kebiasaan
menyikat gigi dengan kesehatan gigi dan mulut (karies) di indonesia. Bul
Penelit Sist Kesehat. 2010;13 no 1(17):83–91.
44. Anggraini CW, W MA, Pujiastuti P. Gambaran Status Kebersihan Rongga
Mulut dan Status Gin- giva Pasien RSGM Universitas Jember Oktober-
November Tahun 2015 ( The Description of Oral Hygiene Status and
Gingival Status of Patients in Dental Hospital of Jember Universi- ty on
October-November. e-Jurnal Pustaka Kesehat. 2016;4(3):525–32.
45. Rama S, Suwargiani AA, Susilawati S. Laporan penelitian Perilaku anak
sekolah dasar daerah tertinggal tentang pemeliharaan kesehatan gigi. J ked
Gi Unpad. 2017;29(2):115–23.
46. Chi DL, Masterson EE, Carle AC, Mancl LA, Coldwell SE. Socioeconomic
Status , Food Security , and Dental Caries in US Children : Vol. 104. 2014.
p. 2007–8.
47. Aljafari A, Rice C, Gallagher JE, Hosey MT. An oral health education
video game for high caries risk children: study protocol for a randomized
controlled trial. Trials. 2015;16(1):237.
48. Alse ASS, Anandkrishna L, Chandra P, Ramya M, Kamath PS, Shetty AK.
Educational intervention on the plaque score among hearing impaired
children. J Adv Clin. 2015;2:26–30.
49. Sanadhya YK, Thakkar JP, Divakar DD, Pareek S. Effectiveness of oral
health education on knowledge , attitude , practices and oral hygiene status
among 12 – 15-year-old schoolchildren of fishermen of Kutch district ,
Gujarat , India. J Int Marit Heal. 2014;65(3):99–105.
50. Prasai Dixit L, Shakya A, Shrestha M, Shrestha A. Dental caries
prevalence, oral health knowledge and practice among indigenous Chepang
school children of Nepal. BMC Oral Health. 2013;13(1):20.
51. Mehdi M, Sistani N, Hataminia Z, Hajiahmadi M, Khodadadi E. Electronic
Physician ( ISSN : 2008-5842 ). 2017;(June):4683–8.
52. Reca. Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dengan Karies
Molar Satu Permanen pada Murid Umur 6-12 Tahun SDN 26 Lamteumen
Timur Kota Banda Aceh. J Bahana Kesehat Masy. 2017;1(1):66–74.
53. Angela A. Pencegahan primer pada anak yang berisiko karies tinggi
( Primary prevention in children with high caries risk ). Maj Ked.
2005;38(3):130–4.
54. Sri Ramayanti IP. Peran makanan terhadap kejadian karies gigi. J Kesehat
Masy. 2013;7(2):89–93.
55. Cleaton-jones P, Richardson BD, Granath L, Fatti L, Sinweu R, Walker
AR. Nutrional Status And Dental Caries In A Large Sample Of 4- And 5-
Year Old South African Children. SAMJ. 2000;90(6).
56. Aas JA, Griffen AL, Dardis SR, Lee AM, Olsen I, Dewhirst FE, et al.
Bacteria of Dental Caries in Primary and Permanent Teeth in Children and
Young Adults ᰔ. 2008;46(4):1407–17.
57. sukarsih, Aida silfia M. Perilaku dan Keterampilan Menyikat Gigi terhadap
Timbunya Karis Gigi pada Anak di Kota Jambi. J Kesehat Gigi.
2019;6(2):80–6.
58. Shaluhiyah Z, Nugraha P, Tanjungkarang PK, Promosi M, Universitas K,
Semarang D, et al. Perilaku Menggosok Gigi pada Siswa Sekolah Dasar
Kelas V dan VI di Kecamatan Sumberejo. J Promosi Kesehat Indones.
2014;9(2):127–35.
59. Yogesh Kumar, Sharath Asokan, Baby John TG. Effect of Conventional
and Game-based Teaching on Oral Health Status of Children : A
Randomized Controlled Trial. Int J Clin Pediatr Dent. 2015;8(2)
(August):123–6.
60. Khusnul Khotimah. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Karies Gigi Pada Anak Usia 6-12 Tahun di SD Negeri Karang ayu 03
Semarang. 2013;014:1–10.
61. Rifki Wiratama. Penggunaan Boneka Tangan Dalam Peningkatan Perilaku
Mencuci Tangan Pada Anak Di Code Utara Yogyakarta. Poliklin Kesehat
Yogyakarta. 2017;
62. Pahrur Razi R. Perbandngan Efektivitas Edukasi Kesehatan Gigi Dengan
Metode Bermain, Video Dan Boneka Dalam Meningkatkan Keterampilan
Menyikat Gigi Pada Anak Usia Dini. J Bahan Kesehat Masy.
2018;2(2):101–6.
63. Jerry P, Ponza R, Jampel IN, Sudarma IK. Pengembangan Media Video
Animasi Pada Pembelajaran Siswa Kelas IV di Sekolah Dasar. J
EDUTECH Univ Pendidik Ganesha. 2018;6(1):9–19.
64. Margareta Widiyasanti YA. Pengembangan Media Video Animasi Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Karakter Tanggung Jawab Siswa
Kelas V. J Pendidik Karakter. 2018;(1):1–16.
65. Saida Ulfa. Pemanfaatan teknologi bergerak sebagai media pembelajaran
bagi anak usia dini. J Pemanfaat Berger. 2016;1(1):1–8.
66. Rachmayanti RD, Kesehatan F, Universitas M, Surabaya A. Penggunaan
media panggung boneka dalam pendidikan personal hygiene cuci tangan
menggunakan sabun di air mengalir. 2003;1–9.
67. Widodo J. Konsep Applied Behavior Analysis. 2016. 20–24 p.
68. Manggala. Applied Behavior Analysis. Encyclopedia of Special Education.
2022. 158–162 p.
69. Sugiono. Metode Penelitian Metode Penelitian. Metod Penelit Kualitatif
[Internet]. 2015;(17):43. Available from:
http://repository.unpas.ac.id/30547/5/BAB III.pdf
70. Notoatmojo. Metodologi penelitian. Uinversitas Pendidik Indones
[Internet]. 2012;25–33. Available from:
http://repository.upi.edu/6361/6/D3_PER_1009100_Chapter3.pdf
KUESIONER
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS MEDIA FILM DAN CERITA BONEKA TERHADAP KESEHATAN GIGI DAN
MULUT PADA ANAK SD DI KOTA SEMARANG

A. Karakteristik Responden
1. Nama responden : …………………………………………….
2. Umur : ………(tahun ) ………(bulan)
3. Urutan kelahiran anak :
a. Sulung
b. Tengah
c. Bungsu
d. Tunggal
4. Alamat : ……………………………………………….

Anda mungkin juga menyukai