Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Pendidikan Anak Usia
Dini
Dosen Pengampu : Permata Ashfi Raihana, S.Psi, MA
Oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pola asuh?
2. Apa saja dimensi dalam pola asuh?
3. Bagaimana jenis pola asuh menurut Diana Baumrind?
4. Bagaimana konsep pola asuh attachment parenting?
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh?
2
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian pola asuh.
2. Menjelaskan dimensi dalam pola asuh.
3. Menjelaskan jenis pola asuh menurut Diana Baumrind.
4. Menjelaskan konsep pola asuh attachment parenting.
5. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
1. Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang
tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan
dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni :
a. sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada
kebutuhan anakanaknya,
b. sensitif terhadap emosi anak
c. memperhatikan kesejahteraan anak
d. bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan
bersama
e. bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat
anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan
mereka.
5
membantah atau mengajukan keberatan terhadap
peraturan yang telah ditentukan
d. campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku
yang diberikan orang tua kepada anaknnya. Orang tua
selalu turut campur dalam keputusan, rencana dan relasi
anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat
keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang
mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan
benar untuk anak
e. kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa
orang tua menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan
terletak mutlak pada orang tua.
6
menghukum, kurang memiliki kasih sayang, kurang simpatik.
Orang tua tipe authoritarian sering memaksa anak untuk patuh
terhadap aturan-aturan, berusaha membentuk perilaku yang
sesuai dengan orang tua serta mengekang keinginan anak. Anak
tidak didorong untuk mandiri, jarang memberi pujian, hak anak
sangat dibatasi namun dituntut untuk mempunyai tanggung
jawab seperti orang dewasa. Kesimpulan ciri-ciri dari pola asuh
otoriter yaitu: orang tua memberi nilai tinggi pada kepatuhan,
cenderung lebih suka menghukum dan penuh disiplin, orang tua
meminta anak harus menerima segala sesuatu tanpa pertanyaan,
anak diberi aturan dan standar yang tetap oleh orang tua, serta
tidak mendorong tingkah laku anak secara bebas dan membatasi
otonomi anak.
2. Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel;
mereka mengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka
juga menerima dan responsif. Seimbang dalam kedua dimensi
baik demandingness/control maupun acceptance/responsive. Pola
asuh authoritative mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: hak dan
kewajiban anak dan orang tua seimbang serta saling melengkapi
satu sama lain, orang tua sedikit demi sedikit mengajarkan anak
untuk bertanggung jawab dan menentukan tingkah lakunya
sendiri menuju kedewasaan. Anak diberi kejelasan alasan dalam
bertindak serta didorong untuk saling membantu. Orang tua
cenderung tegas namun tetap hangat dan penuh perhatian. Sikap
yang ditunjukkan orang tua yaitu memberikan kebebasan atau
kelonggaran, namun masih dalam batas-batas normatif. Orang
tua yang menerapkan pola asuh authoritative mempunyai ciri-
ciri: bersikap hangat namun tegas, mengatur standar agar anak
dapat melaksanakan sesuatu serta memberikan harapan yang
konsisten terhadap kemampuan dan kebutuhan anak, memberi
kesempatan kepada anak untuk dapat mengembangkan diri
namun harus bertanggung jawab, serta menghadapi anak secara
rasional.
7
3. Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung
demandingness/control yang rendah dan acceptance/responsive
yang tinggi. Pengasuhan permissive memiliki ciri-ciri antara lain:
orang tua memberikan kebebasan kepada anak seluas mungkin,
ibu memberikan kasih sayang dan bapak bersikap sangat
longgar. Anak tidak dituntut untuk belajar bertanggung jawab
serta diberi hak seperti orang dewasa. Orang tua memberikan
kebebasan seluas-luasnya terhadap anak untuk mengatur dirinya
sendiri. Penerapan aturan dan kontrol terhadap anak diberikan
secara minimal sehingga anak diberi kesempatan untuk mandiri
dan mengembangkan kontrol internalnya sendiri.
4. Neglectful parenting; merupakan orang tua yang
mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan
acceptance/responsive yang rendah pula. Secara relatif tidak
melibatkan diri pada pengasuhan anak mereka mereka terlihat
tidak terlalu perduli pada anak-anak mereka dan bahkan mungkin
menolak mereka atau yang lainnya mereka kewalahan dengan
masalah-masalah mereka sendiri yang mana mereka tidak dapat
memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan
menegakkan aturan.
D. Attachment Parenting
1. Pengertian Attachment Parenting
Istilah attachment (kelekatan) pertama kali dikemukakan oleh seorang
psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Menurut Bowlby
(dalam Santrock, 2002) attachment adalah adanya suatu relasi atau hubungan
antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena tertentu yang dianggap
mencerminkan karakteristik relasi yang unik. Attachment akan bertahan cukup
lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada
ibu atau figur lain pengganti ibu.
Attachment parenting adalah sebuah metode parenting yang mendasarkan
pendekatannya pada teori attachment dari John Bowlby dan teori psikologi
perkembangan. Sears berpendapat bahwa keberhasilan seorang anak tumbuh dan
8
berkembang optimal disemua aspek perkembangan sangat bergantung
pada attachment yang terjalin antara anak dengan orang tuanya.
Pengertian attachment yang dirujuk Sears mengikuti apa yang dikatakan
Bowlby, bahwa attachment(kelekatan) merupakan suatu ikatan emosional yang
kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang
mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (pengasuhnya).
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan orang tua (pengasuh), maka anak
akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai
diri dan orang lain yang akan akan menjadi prototip dalam hubungan social
(Bowlby dalam Pramana 1996).
Adapun pengertian attachment parenting adalah serangkaian tingkah
laku parenting yang berusaha untuk mengembangkan attachment yang sehat
(aman), menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin melalui interaksi orang
tua anak, memenuhi kebutuhan emosional anak disertai dengan usaha untuk
memahami anak secara menyeluruh.
Dengan attachment parenting, tingkah laku parenting yang ditunjukkan orang
tua pada anaknya disesuaikan dengan kebutuhan emosional anak sesuai dengan
tahap perkembangannya dan tugas perkembangannya. Untuk dapat memahami dan
memenuhi kebutuhan emosional anak sesuai tahap perkembangan, digunakan
delapan tahap perkembangan psikososial dari Erik Erikson.
2. Perkembangan Kelekatan
Bayi yang baru lahir telah memiliki perasaan sosial, yakni kecenderungan
alami untuk berinteraksi dan melakukan penyesuaian sosial terhadap orang lain.
Hal ini berkaitan dengan kondisi bayi yang sangat lemah pada saat lahir, sehingga
ia membutuhkan pengasuhan dari orang lain dalam mempertahankan hidupnya.
Oleh sebab itu, tidak heran jika bayi dalam semua kebudayaan mengembangkan
kontak dan ikatan sosial yang kuat dengan orang yang mengasuhnya, terutama
ibunya.
Menurut Bowlby (1958), pentingnya attachment dalam tahun pertama
kehidupan bayi adalah karena bayi dan ibunya secara naluriah memiliki keinginan
untuk membentuk suatu attachment. Secara biologis, bayi yang baru lahir diberi
kelengkapan untuk memperoleh perilaku attachment dengan ibunya. Bayi
menangis, merengek, dan tersenyum. Kemudian bayi merangkak, berjalan
perlahan-lahan, dan mengikuti ibunya. Semua tingkah laku ini adalah
mempertahankan agar ibu selalu dekat dengannya. Pada waktu yang sama,
9
ternyata ibu juga memiliki rasa attachment dengan bayi itu muncul, ibu akan
terlihat suka mengajak bayinya berbicara atau bercanda, menenangkannya,
mengayun-ayunkan, serta berusaha memenuhi kebutuhan bayi dengan sebaik-
baiknya.
Bowlby lebih jauh menjelaskan bahwa attachment berkembang melalui
serangkaian tahap, yang sebagian ditentukan oleh perubahan-perubahan kognitif
dan sebagian oleh interaksi yang benar-benar alami antara bayi dan pengasuhnya.
Sebagaimana terlihat dalam tabel Bowlby mengidentifikasi empat tahap
perkembangan attachment pada bayi.
Tahap-tahap perkembangan kelekatan (attachment) :
10
1) memiliki kepercayaan ketika berhubungan dengan orang lain
2) memiliki konsep diri yang bagus
3) merasa nyaman untuk berbagi perasaan dengan orang lain
4) peduli dengan siapapun, jiwa responsif, dan memberi bantuan terhadap
orang lain.
b. Pola Kelekatan Cemas
Orang dengan pola kelekatan ini mempunyai karakteristik model mental
sebagai orang yang kurang perhatian, kurang percaya diri, merasa kurang
berharga, dan memandang orang lain mempunyai komitmen rendag dalam
hubungan interpersonal, merasa tidak dicintai orang lain. Pola ini akan
mengembangkan berbagai kecemasan terhadap diri dan orang lain. Hal ini
terlihat dari karakteristik :
1) enggan mendekati orang lain
2) khawatir jika temannya tidak mencintai
3) merasa kebingungan ketika hubungannya berakhir
c. Pola Kelekatan Menghindar
Pola kelekatan menghindar mempunyai model mental diri sebagai orang yang
skeptis, curiga dan memandang orang sebagai orang yang kurang mempunyai
pendirian, tidak nyaman pada keintiman, dan ada rasa takut untuk ditinggal.
Pola kelekatan ini akan mengembangkan prasangka-prasangka yang muncul
tentang dirinya dan orang lain. Hal ini terlihat dari karakteristik:
1) susah menjalin hubungan yang akrab
2) keterlibatan emosinya rendah saat berhubungan sosial
3) tidak mudah berbagi pemikiran dan perasaan pada orang lain.
11
baik dalam hal ukuran cinta kasih, perhatian, dan kepekaan respon terhadap
kebutuhan anak. Anak akan sulit membangun kelekatan emosional yang stabil
karena pengasuhnya selalu berganti-ganti tiap waktu. Situasi ini kelak
mempengaruhi kemampuannya menyesuaikan diri karena anak cenderung
mudah cemas dan kurang percaya diri.
d. Sering berpindah tempat atau domisili
Seringnya berpindah tempat embuat proses penyesuain diri anak menjadi sulit,
terutama balita. Situasi ini akan menjadi lebih berat jika orangtua tidak dapat
memberikan rasa aman dengan mendapingi mereka dan mau mengerti ats
sikap anak yang mungkin saja aneh akibat rasa tidak nyaman saat harus
menghadapi orang baru.
e. Ketidak konsistenan cara pengasuhan
Banyak orangtua yang tidak kosnsisten dalam mendidik anak, ketidakpastian
sikap rangtua membuat anak sulit mebangun kelekatan tidak hanya secara
emosional tapi juga fisik. Sikap orangtua yang tidak dapat diprediksi membuat
anak bingung, tidak yakin, sulit mempercayai dan patuh pada orangtua.
f. Problem psikologis yang dialami orangtua atau pengasuh utama
Orangtua yang mengalami problem emosional atau psikologis sdah tentu
membawa dampak yang kurang mengutungkan bagi anak. Hambatan
psikologis, misalnya gangguan jiwa, depresi, atau problem stress yang sedang
dialami orangtua tidak hanya membuat anak tidak bisa berkomunikasi yang
baik dengan orangtua, api jua membuat orangtua kurang peka terhadap
kebutuhan anak dan masalah anak.
g. Problem neurologis/syaraf
Gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi proses persepsi atau
pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia tidak dapat merasakan adanya
perhatian yang diarahkan padanya.
12
pengetahuan dalam hal menjadi orangtua merupakan investasi dala
pembentukan attachment pada anak-orangtua. Pendidikan merupakan
komponen kunci dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul
selama menjalani proses menjadi orangtua.
b. Memberi makan dengan cinta dan penghargaan (Feed with Love and Respect)
Memberikan cinta pada anak bisa dilakukan dengan berbagai cara,
bahkan melalui penyediaan makanan. Menyusui anak dengan asi,
menyediakan makanan-makanan yang sehat dan menyajikan suasana makan
yang menyenangkan, bisa dimanfaatkan sebagai cara untuk menyatakan cinta
dan penghargaan kita pada anak-anak. Memahami apa yang menjadi
kebutuhan anak adalah juga cara kita menghargai dan mencintai anak.
Semakin orangtua belajar mengenai anak-anaknya akan semakin terbangun
attachment dan ikatan antara orangtua dan anak. Semakin orangtua ingin tahu
apa yang menjadi kebutuhan anaknya, semakin orangtua menghargai
keberadaan dan posisi anak bagi mereka.
c. Sensivitas dalam memberi respon (Respond with Sensivity)
Orang tua bisa membangun dasar dari rasa percaya dan empati anak
dengan cara memahami dan merespon dengan tepat apa yang menjadi
kebutuhan anak-anaknya. Membina hubungan dengan anak tidak hanya
melalui memenuhi kebutuhan fisikalnya saja, tetapi juga saat menghabiskan
waktu yang menyenangkan bersama-sama, dan memenuhi apa yang menjadi
kebutuhan emosionalnya. Berusaha memahami apa yang menjadi kebutuhan
anak saat ia melakukan tingkah laku negatif, dan bukan bereaksi secara negatif
akan membuat anak merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri yang
sedang marah karena ia tidak tahu apa yang sesungguhnya diinginkannya.
Mengenali kesiapan anak untuk mulai menguasai satu keterampilan tertentu
juga merupakan tanda rsponsivitas orangtua terhadap anak, bukan
menyamakan anak dengan anak lain seusianya.
d. Sentuhan yang tulus (Use Nurturin Touch)
Orangtua yang menggunakan sentuhan pada anak sebagai cara
mengekspresikan rasa sayangnya akan meningkatkan attachment yang sehat
pada anak. Walaupun anak terus tumbuh menjadi dewasa, namun sentuhan
yang konsisten yang dilakukan orangtua pada anak akan membuat anak merasa
aman dan dicitai. Bermain dan melakukan berbagai aktivitas fisikyang banyak
melibatkan sentuhan fisik an sangat bermanfaat dalam membangun kedekatan
dan keperayaan dengan anak.
13
e. Pembiasaan tidur yang nyaman baik secara fisik maupun emosional (Ensure
Safe Sleep Emotionally Physically adn Emotionally)
Anak-anak seringkali menghadapi takut saat menghadapi malam.
Pembiasaan tidur dan menyambut saat-saat tidur dengan suasana yang
menyenangkan akan membuat anak tidak takut untuk tidur. Apakah karena
mereka takut sendirian, takut kegelapan atau takut pada mimpi yang kadang-
kadang datang. Pada anak yang seringkali bangun malam, jika orangtua
bereaksi negatif pada kebiasaan mereka itu, akan membuat anak semakin
takut.
f. Konsisten dalam memberikan cinta dan perhatian (Provide Consisten Loving
Care)
Bayi dan anak-anak memiliki kebutuhan yang sangat tinggi dalam hal
keberadaan fisik, konsistensi, kasih sayang dan responsivitas dari orang tua
atau pengasuhnya. Kebiasaan sehari-hari, saat-saat bermain dan interaksi yang
penuh kasih sayang serta konsisten akan meningkatkan kekuatan ikatan yang
ada diantara mereka. Dengan menyediakan kasih sayang yang konsisten sejak
masa bayi dan anak-anak, orang tua memperkuat ikatan yang sudah ada dan
melahirkan attachmentyang sehat. Ketiadaan orang tua didekat anak-anak
mereka tidak boleh menghilangkan konsistensi dari pemberian dan
pengekspresian kasih sayang. Orang tua bisa menggantikan ketiadaan dirinya
dengan orang lain yang dipercaya dapat melanjutkan konsistensi tersebut.
g. Pemberlakuan disipiln yang positif (Practice Positive Disclipline)
Attachment parenting mempunyai aturan utama dalam praktek
parenting, yaitu orang tua harus memperlakukan anak sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Disiplin yang positif merupakan sebuah metode yang dapat
membantu anak mengembangkan kesadarannya yang dipandu oleh disiplin
internal dirinya dan didukung oleh orang lain. Disiplin yang positif merupakan
akar dalam pembentukan rasa aman, kepercayaan dan relasi yang mengikat
antara anak dan orang tua. Positif disiplin merupakan disiplin yang empatik,
penuh kasih sayang dan saling menghargai. Tujuan utama disiplin positif
adalah membantu anak mengontrol dan mendisiplinkan dirinya sendiri.
h. Keseimbangan dalam kehidupan personal dan keluarga (Strive for Balance in
Personal and Family Life)
Merupakan tingkah laku parenting yang berusaha untuk memastikan
pemenuhan kebutuhan semua anggota keluarga. Setiap orang dalam sebuah
keluarga memiliki kebutuhan, dengan prinsip ini orang tua didorong untuk
14
memastikan setiap anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya, semua orang
merasa bahagia dan sejahtera, sehingga semua elemen dalam keluarga menjadi
seimbang.
15
2. Kebudayaan
Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh
anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan
tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.
3. Kelas sosial ekonomi
Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung
lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial
ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.
4. Pendidikan Orang Tua
Pendidikan adalah suatu usaha untuk membimbing anak yang
nantinya akan berguna untuk terjun ke masyarakat, seorang
anak tidak selamanya akan mengalami pendidikan sehingga
dalam setiap perkembangannya perlu diasuh dan dibimbing agar
mempunyai bekal yang cukup. Dlam kehidupan keluarga orang
tua lah yang berperan sebagai pendidik utama. Walau pada
dasarnya orang tua memiliki kemampuan yang berbeda-beda,
hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya pendidikan yang
dicapainya. Sehingga tingkat pendidikan yang berbeda juga
menunjukkan perbedaan kemampuan orang tua.Tingkat
pendidikan orang tua yag berbeda jelas dapat mempengaruhi
pengasuhan pada anaknya.
5. Konsep tentang Peran Orang tua
Setiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang
bagaimana seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan
konsep tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat
dibandingkan orang tua dengan konsep nontradisional.
6. Kepribadian Orang Tua
Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua.
Orang tua yang berkepribadian tertutupadn konservatif
cenderung akan memperlakukan anak dengan ketat dan otoriter.
7. Kepribadian Anak
Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi
pemilihan pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang
ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-
rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan anak yang
introvert.
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18