Anda di halaman 1dari 18

POLA ASUH BAUMRIND DAN ATTACHMENT PARENTING

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Pendidikan Anak Usia
Dini
Dosen Pengampu : Permata Ashfi Raihana, S.Psi, MA

Oleh :

Adi Wahyu Pratama F100090083


Fidiana Nurhantari F100150012
Metty Widya Pangestika F100150038
Ghea Aisya Puspitaning R F100150062
Mardhiana Anggraini F100152001

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pola asuh anak merupakan suatu cara terbaik yang ditempuh
orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa
tanggung jawab kepada anak. Di mana tanggung jawab untuk
mendidik anak ini adalah merupakan tanggung jawab primer. Karena
anak adalah hasil dari buah kasih sayang diikat dalam tali
perkawinan antara suami istri dalam suatu keluarga. Hal ini sudah
menjadi kewajiban orang tua untuk bertanggungjawab dalam
mendidik anak secara terus menerus sehingga menjadi manusia
yang berbudi luhur dan bertingkah laku baik.
Orang tua yang satu dengan yang lain memberikan pola asuh
yang berbeda dalam membimbing dan mendidik anaknya. Akan
tetapi, banyak orang tua yang keliru dalam menerapkan pola asuh
pada anaknya. Mereka menganggap bahwa mereka telah
memberikan yang terbaik bagi anaknya, tetapi tanpa mereka sadari,
pada kenyataannya mereka telah melakukan kesalahan dalam
mengasuh anaknya. Mereka banyak menuntut anak untuk
melakukan seperti yang mereka inginkan, yang membuat anak
kehilangan waktu bermainnya sehingga banyak orang tua yang
mengabaikan hak anak. Para orang tua juga menuntut anak untuk
melakukan hal-hal yang berlebihan bahkan yang seharusnya belum
pantas mereka lakukan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, dalam makalah ini
dibahas tentang pola asuh menurut Diana Baumrind dan attachment
parenting, yakni pola asuh yang berdasarkan kelekatan anak dan
orangtua.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pola asuh?
2. Apa saja dimensi dalam pola asuh?
3. Bagaimana jenis pola asuh menurut Diana Baumrind?
4. Bagaimana konsep pola asuh attachment parenting?
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh?

2
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian pola asuh.
2. Menjelaskan dimensi dalam pola asuh.
3. Menjelaskan jenis pola asuh menurut Diana Baumrind.
4. Menjelaskan konsep pola asuh attachment parenting.
5. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pola Asuh


Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua.
Setiap orang tua mempunyai ciri perlakuan yang diterapkan pada
anak yang disebut sebagai pola asuh. Agus Wibowo (2012: 112)
mendefinisikan pola asuh sebagai pola interaksi antara anak dengan
orang tua, yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti
makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan nonfisik seperti
perhatian, empati, kasih sayang, dan sebagainya.
Baumrind dalam Casmini (2007: 47) menjelaskan bahwa pola
asuh pada prinsipnya merupakan parental control. Pola asuh
merupakan kontrol orang tua terhadap anak. Orang tua berperan
dalam pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian anak.
Pengawasan orang tua diperlukan agar anak bertindak sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku.
Berdasarkan definisi-definisi pola asuh di atas, pola asuh orang
tua merupakan perlakuan khas orang tua dalam mengasuh anak
yang ditunjukkan melalui pemenuhan kebutuhan anak, mendidik,
membimbing, mengawasi, serta mendisiplinkan anak melalui
penguatan positif maupun negatif. Orang tua juga memeriksa
tindakan anak, jika tindakan anak dirasa kurang sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku maka orang tua berperan untuk
mengendalikan anak agar tidak semakin melenceng dari nilai.
Ravik Karsidi (2008: 57) menyatakan bahwa keluarga
merupakan lingkup kehidupan yang paling berpengaruh terhadap
perjalanan seorang individu serta hubungan sosialisasi anak
bergantung pada ciri yang melekat pada keluarga.

B. Dimensi Pola Asuh


Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola
asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu;

4
1. Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang
tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan
dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni :
a. sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada
kebutuhan anakanaknya,
b. sensitif terhadap emosi anak
c. memperhatikan kesejahteraan anak
d. bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan
bersama
e. bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat
anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan
mereka.

Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh


kasih sayang dan sering tersenyum, memeberi pujian, dan
mendorong anak-anak mereka. Mereka juga membiarkan anak-
anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah. Orang
tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik,
merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak
mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak
bahwa mereka dicintai dan dihargai.

2. Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana standar


yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan
kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek
yakni :
a. pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak
menunjukkan usaha orang tua menentukan hal-hal yang
harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap
hal-hal yang ingin dilakukan anak
b. tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku
dan tanggung jawab sosial sesuasi dengan standart yang
berlaku sesuai keinginan orang tua
c. sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat
dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan
tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendaki anak

5
membantah atau mengajukan keberatan terhadap
peraturan yang telah ditentukan
d. campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku
yang diberikan orang tua kepada anaknnya. Orang tua
selalu turut campur dalam keputusan, rencana dan relasi
anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat
keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang
mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan
benar untuk anak
e. kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa
orang tua menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan
terletak mutlak pada orang tua.

Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan


orang tua, mengharapkan anak-anak mereka untuk mengikuti
mereka, dan memantau anakanak mereka dengan ketat untuk
memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang
kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut
orang tua permisif) membuat tuntutan yang lebih sedikit dan
memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak kebebasan
dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat
mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan
mereka sendiri.

C. Pola Asuh menurut Diana Baumrind


Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam
Sigelmen, 2002) dikatakan terdapat 3 jenis pola asuh yaitu:
authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby &
Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh
uninvolved/ neglectful.
1. Authoritarian parenting; pola asuh ini mengkombinasikan
tingginya demandingness/control dan rendahnya
acceptance/responsive. Pengasuhan authoritarian memiliki ciri-
ciri: orang tua dalam bertindak kepada anaknya tegas, suka

6
menghukum, kurang memiliki kasih sayang, kurang simpatik.
Orang tua tipe authoritarian sering memaksa anak untuk patuh
terhadap aturan-aturan, berusaha membentuk perilaku yang
sesuai dengan orang tua serta mengekang keinginan anak. Anak
tidak didorong untuk mandiri, jarang memberi pujian, hak anak
sangat dibatasi namun dituntut untuk mempunyai tanggung
jawab seperti orang dewasa. Kesimpulan ciri-ciri dari pola asuh
otoriter yaitu: orang tua memberi nilai tinggi pada kepatuhan,
cenderung lebih suka menghukum dan penuh disiplin, orang tua
meminta anak harus menerima segala sesuatu tanpa pertanyaan,
anak diberi aturan dan standar yang tetap oleh orang tua, serta
tidak mendorong tingkah laku anak secara bebas dan membatasi
otonomi anak.
2. Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel;
mereka mengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka
juga menerima dan responsif. Seimbang dalam kedua dimensi
baik demandingness/control maupun acceptance/responsive. Pola
asuh authoritative mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: hak dan
kewajiban anak dan orang tua seimbang serta saling melengkapi
satu sama lain, orang tua sedikit demi sedikit mengajarkan anak
untuk bertanggung jawab dan menentukan tingkah lakunya
sendiri menuju kedewasaan. Anak diberi kejelasan alasan dalam
bertindak serta didorong untuk saling membantu. Orang tua
cenderung tegas namun tetap hangat dan penuh perhatian. Sikap
yang ditunjukkan orang tua yaitu memberikan kebebasan atau
kelonggaran, namun masih dalam batas-batas normatif. Orang
tua yang menerapkan pola asuh authoritative mempunyai ciri-
ciri: bersikap hangat namun tegas, mengatur standar agar anak
dapat melaksanakan sesuatu serta memberikan harapan yang
konsisten terhadap kemampuan dan kebutuhan anak, memberi
kesempatan kepada anak untuk dapat mengembangkan diri
namun harus bertanggung jawab, serta menghadapi anak secara
rasional.

7
3. Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung
demandingness/control yang rendah dan acceptance/responsive
yang tinggi. Pengasuhan permissive memiliki ciri-ciri antara lain:
orang tua memberikan kebebasan kepada anak seluas mungkin,
ibu memberikan kasih sayang dan bapak bersikap sangat
longgar. Anak tidak dituntut untuk belajar bertanggung jawab
serta diberi hak seperti orang dewasa. Orang tua memberikan
kebebasan seluas-luasnya terhadap anak untuk mengatur dirinya
sendiri. Penerapan aturan dan kontrol terhadap anak diberikan
secara minimal sehingga anak diberi kesempatan untuk mandiri
dan mengembangkan kontrol internalnya sendiri.
4. Neglectful parenting; merupakan orang tua yang
mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan
acceptance/responsive yang rendah pula. Secara relatif tidak
melibatkan diri pada pengasuhan anak mereka mereka terlihat
tidak terlalu perduli pada anak-anak mereka dan bahkan mungkin
menolak mereka atau yang lainnya mereka kewalahan dengan
masalah-masalah mereka sendiri yang mana mereka tidak dapat
memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan
menegakkan aturan.

D. Attachment Parenting
1. Pengertian Attachment Parenting
Istilah attachment (kelekatan) pertama kali dikemukakan oleh seorang
psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Menurut Bowlby
(dalam Santrock, 2002) attachment adalah adanya suatu relasi atau hubungan
antara figur sosial tertentu dengan suatu fenomena tertentu yang dianggap
mencerminkan karakteristik relasi yang unik. Attachment akan bertahan cukup
lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada
ibu atau figur lain pengganti ibu.
Attachment parenting adalah sebuah metode parenting yang mendasarkan
pendekatannya pada teori attachment dari John Bowlby dan teori psikologi
perkembangan. Sears berpendapat bahwa keberhasilan seorang anak tumbuh dan

8
berkembang optimal disemua aspek perkembangan sangat bergantung
pada attachment yang terjalin antara anak dengan orang tuanya.
Pengertian attachment yang dirujuk Sears mengikuti apa yang dikatakan
Bowlby, bahwa attachment(kelekatan) merupakan suatu ikatan emosional yang
kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang
mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (pengasuhnya).
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan orang tua (pengasuh), maka anak
akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai
diri dan orang lain yang akan akan menjadi prototip dalam hubungan social
(Bowlby dalam Pramana 1996).
Adapun pengertian attachment parenting adalah serangkaian tingkah
laku parenting yang berusaha untuk mengembangkan attachment yang sehat
(aman), menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin melalui interaksi orang
tua anak, memenuhi kebutuhan emosional anak disertai dengan usaha untuk
memahami anak secara menyeluruh.
Dengan attachment parenting, tingkah laku parenting yang ditunjukkan orang
tua pada anaknya disesuaikan dengan kebutuhan emosional anak sesuai dengan
tahap perkembangannya dan tugas perkembangannya. Untuk dapat memahami dan
memenuhi kebutuhan emosional anak sesuai tahap perkembangan, digunakan
delapan tahap perkembangan psikososial dari Erik Erikson.

2. Perkembangan Kelekatan
Bayi yang baru lahir telah memiliki perasaan sosial, yakni kecenderungan
alami untuk berinteraksi dan melakukan penyesuaian sosial terhadap orang lain.
Hal ini berkaitan dengan kondisi bayi yang sangat lemah pada saat lahir, sehingga
ia membutuhkan pengasuhan dari orang lain dalam mempertahankan hidupnya.
Oleh sebab itu, tidak heran jika bayi dalam semua kebudayaan mengembangkan
kontak dan ikatan sosial yang kuat dengan orang yang mengasuhnya, terutama
ibunya.
Menurut Bowlby (1958), pentingnya attachment dalam tahun pertama
kehidupan bayi adalah karena bayi dan ibunya secara naluriah memiliki keinginan
untuk membentuk suatu attachment. Secara biologis, bayi yang baru lahir diberi
kelengkapan untuk memperoleh perilaku attachment dengan ibunya. Bayi
menangis, merengek, dan tersenyum. Kemudian bayi merangkak, berjalan
perlahan-lahan, dan mengikuti ibunya. Semua tingkah laku ini adalah
mempertahankan agar ibu selalu dekat dengannya. Pada waktu yang sama,

9
ternyata ibu juga memiliki rasa attachment dengan bayi itu muncul, ibu akan
terlihat suka mengajak bayinya berbicara atau bercanda, menenangkannya,
mengayun-ayunkan, serta berusaha memenuhi kebutuhan bayi dengan sebaik-
baiknya.
Bowlby lebih jauh menjelaskan bahwa attachment berkembang melalui
serangkaian tahap, yang sebagian ditentukan oleh perubahan-perubahan kognitif
dan sebagian oleh interaksi yang benar-benar alami antara bayi dan pengasuhnya.
Sebagaimana terlihat dalam tabel Bowlby mengidentifikasi empat tahap
perkembangan attachment pada bayi.
Tahap-tahap perkembangan kelekatan (attachment) :

Tahap Usia/Bulan Tingkah Laku


Bayi tidak membedakan antara orang-
Tahap 1
orang dan merasa senang atau menerima
Indiscriminate 0-2
dengan senang orang yang dikenal dan
Sociability
yang tidak dikenal
Tahap 2 Bayi mulai mengakui dan menyukai orang
Attachment is 2-7 yang dikenal. Tersenyum pada orang yang
the making lebih dikenal.
Bayi telah mengembangkan keterikatan
Tahap 3 dengan ibu atau pengasuh pertama lainnya
Specific, clear- 7-24 dan akan berusaha untuk senantiasa dekat
cut, attachment dengannya; akan menangis ketika berpisah
dengannya.
Sekarang bayi merasa lebih aman dalam
Tahap 4 berhubungan dengan pengasuh pertama,
Goal- 24-seterusnya bayi tidak merasa sedih selama berpisah
coordinated dari ibu atau pengasuh pertamanya dalam
jangka waktu yang lama.
Sumber: Diadopsi dari Seifert&Hoffnung (1994)

3. Pola Kelekatan (Attachment)


a. Pola Kelekatan Aman
Ciri-ciri kelekatan aman yaitu mempunyai model mental diri sebagai orang
berharga, penuh dorongan, dan mengembangkan model mental orang lain
sebagai orang yang bersahabat, dipercaya, responsive, dan penuh kasih sayang.
Pola ini mengembangkan pandangan positif terhadap diri dan orang lain. Hal
ini terlihat dari karakteristik :

10
1) memiliki kepercayaan ketika berhubungan dengan orang lain
2) memiliki konsep diri yang bagus
3) merasa nyaman untuk berbagi perasaan dengan orang lain
4) peduli dengan siapapun, jiwa responsif, dan memberi bantuan terhadap
orang lain.
b. Pola Kelekatan Cemas
Orang dengan pola kelekatan ini mempunyai karakteristik model mental
sebagai orang yang kurang perhatian, kurang percaya diri, merasa kurang
berharga, dan memandang orang lain mempunyai komitmen rendag dalam
hubungan interpersonal, merasa tidak dicintai orang lain. Pola ini akan
mengembangkan berbagai kecemasan terhadap diri dan orang lain. Hal ini
terlihat dari karakteristik :
1) enggan mendekati orang lain
2) khawatir jika temannya tidak mencintai
3) merasa kebingungan ketika hubungannya berakhir
c. Pola Kelekatan Menghindar
Pola kelekatan menghindar mempunyai model mental diri sebagai orang yang
skeptis, curiga dan memandang orang sebagai orang yang kurang mempunyai
pendirian, tidak nyaman pada keintiman, dan ada rasa takut untuk ditinggal.
Pola kelekatan ini akan mengembangkan prasangka-prasangka yang muncul
tentang dirinya dan orang lain. Hal ini terlihat dari karakteristik:
1) susah menjalin hubungan yang akrab
2) keterlibatan emosinya rendah saat berhubungan sosial
3) tidak mudah berbagi pemikiran dan perasaan pada orang lain.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Kelekatan


Menurut Erik Erikson (dalam Jacinta F. Rini, 2002), faktor-faktor penyebab
gangguan kelekatan adalah:
a. Perpisahan yang tiba-tiba antara anak dengan pengasuh atau orangtua
Perpisahan traumatik bagi anak bisa berupa: kematian orangtua, orangtua
dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu lama, atau anak yang harus hidup
tanpa orangtua karena sebab-sebab lain.
b. Penyiksaan emosional atau penyiksaan fisik
Sistem pendidikan yan tradisional seringkali menggunakan hukuman (fisik
maupun emosional) untuk mendidik dan mendisiplinkan anak, orangtua sering
bersikap menjaga jarak bahkan ada yang membangun image menakutkan agar
anak hormat dan patuh. Padahal cara ini justru membuat anak tumbuh menjadi
pribadi yan penakut, mudah berkecil hati, dan tidak percaya diri.
c. Pengasuhan yang tidak stabil
Pengasuhan yang melibatkan terlalu banyak orang, bergantian, tidak menetap
pada satu atau dua orang menyebabkan ketidakstabilan yang dirasakan anak,

11
baik dalam hal ukuran cinta kasih, perhatian, dan kepekaan respon terhadap
kebutuhan anak. Anak akan sulit membangun kelekatan emosional yang stabil
karena pengasuhnya selalu berganti-ganti tiap waktu. Situasi ini kelak
mempengaruhi kemampuannya menyesuaikan diri karena anak cenderung
mudah cemas dan kurang percaya diri.
d. Sering berpindah tempat atau domisili
Seringnya berpindah tempat embuat proses penyesuain diri anak menjadi sulit,
terutama balita. Situasi ini akan menjadi lebih berat jika orangtua tidak dapat
memberikan rasa aman dengan mendapingi mereka dan mau mengerti ats
sikap anak yang mungkin saja aneh akibat rasa tidak nyaman saat harus
menghadapi orang baru.
e. Ketidak konsistenan cara pengasuhan
Banyak orangtua yang tidak kosnsisten dalam mendidik anak, ketidakpastian
sikap rangtua membuat anak sulit mebangun kelekatan tidak hanya secara
emosional tapi juga fisik. Sikap orangtua yang tidak dapat diprediksi membuat
anak bingung, tidak yakin, sulit mempercayai dan patuh pada orangtua.
f. Problem psikologis yang dialami orangtua atau pengasuh utama
Orangtua yang mengalami problem emosional atau psikologis sdah tentu
membawa dampak yang kurang mengutungkan bagi anak. Hambatan
psikologis, misalnya gangguan jiwa, depresi, atau problem stress yang sedang
dialami orangtua tidak hanya membuat anak tidak bisa berkomunikasi yang
baik dengan orangtua, api jua membuat orangtua kurang peka terhadap
kebutuhan anak dan masalah anak.
g. Problem neurologis/syaraf
Gangguan syaraf yang dialami anak bisa mempengaruhi proses persepsi atau
pemrosesan informasi anak tersebut, sehingga ia tidak dapat merasakan adanya
perhatian yang diarahkan padanya.

5. Prinsip Mengembangkan Attachment Parenting


Untuk dapat memenuhi tujuan dari attachment parenting terdapat delapan
prinsip untuk mengembangkan attachment yang sehat (aman) antara anak dengan
orang tua (pengasuh), yaitu:
a. Persiapan selama kehamilan, melahirkan, dan pengasuhan (Preparation for
Pregnancy, birth, and Parenting)
Persiapan selama kehamilan dan menyambut kelahiran merupakan
sebuah pengalaman hidup yang positif dan transformatif. Kehamilan
melahirkan penyesuaian-penyesuaian dan banyak persiapan baik secara fisik,
mental dan emosional bagi orangtua. Menjadikan diri terdidik dan memiliki

12
pengetahuan dalam hal menjadi orangtua merupakan investasi dala
pembentukan attachment pada anak-orangtua. Pendidikan merupakan
komponen kunci dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul
selama menjalani proses menjadi orangtua.
b. Memberi makan dengan cinta dan penghargaan (Feed with Love and Respect)
Memberikan cinta pada anak bisa dilakukan dengan berbagai cara,
bahkan melalui penyediaan makanan. Menyusui anak dengan asi,
menyediakan makanan-makanan yang sehat dan menyajikan suasana makan
yang menyenangkan, bisa dimanfaatkan sebagai cara untuk menyatakan cinta
dan penghargaan kita pada anak-anak. Memahami apa yang menjadi
kebutuhan anak adalah juga cara kita menghargai dan mencintai anak.
Semakin orangtua belajar mengenai anak-anaknya akan semakin terbangun
attachment dan ikatan antara orangtua dan anak. Semakin orangtua ingin tahu
apa yang menjadi kebutuhan anaknya, semakin orangtua menghargai
keberadaan dan posisi anak bagi mereka.
c. Sensivitas dalam memberi respon (Respond with Sensivity)
Orang tua bisa membangun dasar dari rasa percaya dan empati anak
dengan cara memahami dan merespon dengan tepat apa yang menjadi
kebutuhan anak-anaknya. Membina hubungan dengan anak tidak hanya
melalui memenuhi kebutuhan fisikalnya saja, tetapi juga saat menghabiskan
waktu yang menyenangkan bersama-sama, dan memenuhi apa yang menjadi
kebutuhan emosionalnya. Berusaha memahami apa yang menjadi kebutuhan
anak saat ia melakukan tingkah laku negatif, dan bukan bereaksi secara negatif
akan membuat anak merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri yang
sedang marah karena ia tidak tahu apa yang sesungguhnya diinginkannya.
Mengenali kesiapan anak untuk mulai menguasai satu keterampilan tertentu
juga merupakan tanda rsponsivitas orangtua terhadap anak, bukan
menyamakan anak dengan anak lain seusianya.
d. Sentuhan yang tulus (Use Nurturin Touch)
Orangtua yang menggunakan sentuhan pada anak sebagai cara
mengekspresikan rasa sayangnya akan meningkatkan attachment yang sehat
pada anak. Walaupun anak terus tumbuh menjadi dewasa, namun sentuhan
yang konsisten yang dilakukan orangtua pada anak akan membuat anak merasa
aman dan dicitai. Bermain dan melakukan berbagai aktivitas fisikyang banyak
melibatkan sentuhan fisik an sangat bermanfaat dalam membangun kedekatan
dan keperayaan dengan anak.

13
e. Pembiasaan tidur yang nyaman baik secara fisik maupun emosional (Ensure
Safe Sleep Emotionally Physically adn Emotionally)
Anak-anak seringkali menghadapi takut saat menghadapi malam.
Pembiasaan tidur dan menyambut saat-saat tidur dengan suasana yang
menyenangkan akan membuat anak tidak takut untuk tidur. Apakah karena
mereka takut sendirian, takut kegelapan atau takut pada mimpi yang kadang-
kadang datang. Pada anak yang seringkali bangun malam, jika orangtua
bereaksi negatif pada kebiasaan mereka itu, akan membuat anak semakin
takut.
f. Konsisten dalam memberikan cinta dan perhatian (Provide Consisten Loving
Care)
Bayi dan anak-anak memiliki kebutuhan yang sangat tinggi dalam hal
keberadaan fisik, konsistensi, kasih sayang dan responsivitas dari orang tua
atau pengasuhnya. Kebiasaan sehari-hari, saat-saat bermain dan interaksi yang
penuh kasih sayang serta konsisten akan meningkatkan kekuatan ikatan yang
ada diantara mereka. Dengan menyediakan kasih sayang yang konsisten sejak
masa bayi dan anak-anak, orang tua memperkuat ikatan yang sudah ada dan
melahirkan attachmentyang sehat. Ketiadaan orang tua didekat anak-anak
mereka tidak boleh menghilangkan konsistensi dari pemberian dan
pengekspresian kasih sayang. Orang tua bisa menggantikan ketiadaan dirinya
dengan orang lain yang dipercaya dapat melanjutkan konsistensi tersebut.
g. Pemberlakuan disipiln yang positif (Practice Positive Disclipline)
Attachment parenting mempunyai aturan utama dalam praktek
parenting, yaitu orang tua harus memperlakukan anak sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Disiplin yang positif merupakan sebuah metode yang dapat
membantu anak mengembangkan kesadarannya yang dipandu oleh disiplin
internal dirinya dan didukung oleh orang lain. Disiplin yang positif merupakan
akar dalam pembentukan rasa aman, kepercayaan dan relasi yang mengikat
antara anak dan orang tua. Positif disiplin merupakan disiplin yang empatik,
penuh kasih sayang dan saling menghargai. Tujuan utama disiplin positif
adalah membantu anak mengontrol dan mendisiplinkan dirinya sendiri.
h. Keseimbangan dalam kehidupan personal dan keluarga (Strive for Balance in
Personal and Family Life)
Merupakan tingkah laku parenting yang berusaha untuk memastikan
pemenuhan kebutuhan semua anggota keluarga. Setiap orang dalam sebuah
keluarga memiliki kebutuhan, dengan prinsip ini orang tua didorong untuk

14
memastikan setiap anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya, semua orang
merasa bahagia dan sejahtera, sehingga semua elemen dalam keluarga menjadi
seimbang.

6. Manfaat dan Fungsi Attachment


Kelekatan memberikan banyak manfaat bagi individu, seperti menumbuhkan
perasaan trust dalam interaksi sosial di masa depan dan menumbuhkan perasaan
mampu (Blatt, 1996). Secara umum kelekatan memiliki empat fungsi utama
(Davies, 1999), yaitu :
a. Memberikan rasa aman
Saat individu dalam suasaana penuh tekanan, kehadiran figur kelekatan dapat
memulihkan perasaan individu kembali kepada perasaan aman.
b. Mengatur keadaan perasaan (regulation of affect and arousal)
Arousal adalah perubahan keadaan subjektif seseorang yang disertai reaksi
fisiologis tertentu. Apabila peningkatan arousal tidak dikuti dengan relief
(pengurangan rasa takut, cemas, atau sakit) maka individu rentan untuk
mengalami stres. Kemampuan figur kelektan untuk membaca perubahan
keadaan individu dapat membantu mengatur arousal dari individu yang
bersangkutan.
c. Sebagai saluran ekspresi dan komunikasi
Kelekatan (attachment) yang terjalin antara individu dengafigur kelekatan
dapat berfungsi sebagai wahana untuk berekspresi, berbagi pengalaman, dan
menceritakan perasaan.
d. Sebagai dasar untuk melakukan eksplorasi kepada lingkungan sekitar
Kelekatan dan perilaku eksploratif bekerja secara bersamaan. Individu yang
mendapatkan secure attachment akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi
untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya atau suasana yang baru karena
individu percaya bahwa figur kelekatan sungguh-sungguh bertanggung jawab
apabila teejadi sesuatu atas dirinya.

E. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh


1. Jenis kelamin anak
Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua
mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya.
Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak
perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki.
Namun tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan.

15
2. Kebudayaan
Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh
anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan
tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.
3. Kelas sosial ekonomi
Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung
lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial
ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.
4. Pendidikan Orang Tua
Pendidikan adalah suatu usaha untuk membimbing anak yang
nantinya akan berguna untuk terjun ke masyarakat, seorang
anak tidak selamanya akan mengalami pendidikan sehingga
dalam setiap perkembangannya perlu diasuh dan dibimbing agar
mempunyai bekal yang cukup. Dlam kehidupan keluarga orang
tua lah yang berperan sebagai pendidik utama. Walau pada
dasarnya orang tua memiliki kemampuan yang berbeda-beda,
hal ini dapat dipengaruhi oleh adanya pendidikan yang
dicapainya. Sehingga tingkat pendidikan yang berbeda juga
menunjukkan perbedaan kemampuan orang tua.Tingkat
pendidikan orang tua yag berbeda jelas dapat mempengaruhi
pengasuhan pada anaknya.
5. Konsep tentang Peran Orang tua
Setiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang
bagaimana seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan
konsep tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat
dibandingkan orang tua dengan konsep nontradisional.
6. Kepribadian Orang Tua
Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua.
Orang tua yang berkepribadian tertutupadn konservatif
cenderung akan memperlakukan anak dengan ketat dan otoriter.
7. Kepribadian Anak
Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi
pemilihan pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang
ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-
rangsangan yang datang pada dirinya dibandingkan anak yang
introvert.

16
BAB III

KESIMPULAN

Anak mendapatkan kesan pertama mengenai dunia melalui perilaku


dan sikap orangtua terhadap anak terutama di awal usianya. Jika orangtua
berlaku baik maka kesan anak tentang dunia dan lingkungan positif dan
sikap anak juga akan menjadi positif. Hal ini dapat menyebabkan anak
mampu mengeksplorasi lingkungan secara optimal, akibatnya
perkembangan prilaku, emosi, sosial, kognitif dan kepribadian anak akan
optimal pula.

Anak yang percaya kebutuhannya akan terpenuhi akan


mengembangkan rasa percaya. Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan orang
tua (pengasuh), maka anak akan mengembangkan konstruksi mental mengenai diri dan orang
lain yang akan akan menjadi prototip dalam hubungan sosial.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bawa orangtua


memegang peranan penting dalam proses perkembangn seorang anak.
Pola asuh dan hubungan kelekatan yang diharapkan terjalin adalah
kelekatan aman. Dengan pola asuh yang tepat dan kelekatan yang aman
diharapkan anak akan mampu mencapai perkembangan yang optimal,
sebaliknya bila pola asuh tidak sesuai dan kelekatan yang terjadi adalah
kelekatan tidak aman maka anak akan mengalami masalah dalam proses
perkembangannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Casmini. 2007. Emotional Parenting. Yogyakarta: Pilar Media.


Karsidi, Ravik. 2008. Sosiologi Pendidikan. Surakarta : LPP UNS dan UNS
Press
Sigelman, C.K, & Rider, E. A. 2002. Life-Span Human Development, Fourth
Edition. USA : Thomson Wadsworth.
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.attachmentparenting.org/principles/api
Ervika, Eka. 2005. Kelekatan (attachment) pada Anak. Universitas
Sumatera Utara
Kharmina, Niniek. 2011. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orang Tua
dengan Orientasi Pola Asuh Anak Usia Dini. Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Anonim. Pola Asuh Orang Tua pada Subjek yang Menggunakan Napza.
Universitas Gunadarma

18

Anda mungkin juga menyukai