Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa menjadi orang tua merupakan masa yang alamiah terjadi
dalam kehidupan keluarga seseorang. Seiring harapan untuk memiliki anak
dari hasil pernikahan, maka menjadi orang tua merupakan keniscayaan.
Pada masa lalu, menjadi orang tua cukup dijalani dengan meniru para
orang tua pada masa sebelumnya. Dengan mengamati cara orang tua
memperlakukan dirinya saat menjadi anak, maka sudah cukup bekal untuk
menjalani masa orang tua di kemudian hari. Namun seiring perkembangan
zaman, maka pengasuhan saja tidaklah cukup. Salah satu alasannya adalah
anak-anak sekarang berbeda dengan anak-anak zaman dahulu. Hal ini
mengisyaratkan adanya semacam kekhawatiran bahwa menjadi orang tua
pada zaman sekarang tidak bisa sama dengan orang tua pada zaman
dahulu. Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada keluarga di kelurahan
Kampung Dagang Kecamatan Rengat ditemukan gejala-gejala sebagai
berikut: Sebagian besar orang tua menerapkan cara mendidik anak
sebagaimana orang tuanya mengasuh dulu, hal ini terlihat masih ada orang
tua mengucapkan kata-kata yang kurang sopan ketika mengarahkan
anaknya untuk berperilaku yang baik, dan Sebagian orang tua tidak peduli
dengan anaknya, hal ini di buktikan anak dibiarkan keluar malam tanpa
izin, mengikuti balapan liar, dan pulang larut malam. Berdasarkan gejala
dan fenomena yang ada,terlihat bahwa Budaya Pengasuhan anak dalam
keluarga di kelurahan Kampung dagang Kecamatan Rengat masih perlu
diperhatikan. Untuk itu penulis tertarik ingin mengetahui secara lebih
mendalam mengenai budaya pengasuhan anak dalam keluarga di
kelurahan Kampung Dagang Kecamatan Rengat melalui suatu penelitian
ilmiah dengan judul Budaya Pengasuhan Anak dalam Keluarga

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian keluarga


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Tholhah Hasan (2012:1)
keluarga adalah sebuah kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat.
diartikan juga sebagai ibu, bapak dengan anak-anaknya, yang disebut
sebagai keluarga inti atau keluarga elementer. Dalam UU No 23 tahun 2002
dalam Tholhah Hasan (2012:1) keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami isteri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya atau ibu dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus
keatas atau kebawah sampai dengan derajat ketiga. Lebih lanjut menurut
Koentjaraningrat dalam Tholhah Hasan (2012:2) keluarga adalah suami,
isteri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Goerge Mudrock dalam
Sri Lestari (2012:3) menyatakan bahwa keluarga adalah kelompok sosial
yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama ekonomi,
dan terjadi proses reproduksi.Elkin dan Handel dalam Sri Lestari (2012:87)
menyatakan bahwa keluarga adalah sebagai tempat anak dilahirkan
merupakan referensi pertama mengenai nilai-nilai, norma-norma, dan
kebiasaan menjadi acuan untuk mengevaluasi perilaku. Dari beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas dapat disimpulkan
keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak yang belum menikah.
2.2 Pengertian pengasuhan anak
Pengasuhan berasal dari kata asuh yang artinya menjaga (merawat
dan mendidik) anak. Dalam Kamus Bahasa indonesia dalam Sri Lestari
(2012:36) pengasuhan berarti hal (cara,perbuatan,dan sebagainya)
mengasuh. Didalam mengasuh terkandung makna menjaga/ merawat/
mendidik membantu/ melatih,memimpin/ menyelenggarakan. Istilah asuh
sering dirangkaikan dengan asah dan asih menjadi asah-asih-asuh.

2
Mengasah berarti melatih agar memiliki kemampuan atau kemampuannya
meningkat. Mengasih berarti mencintai dan menyayangi. Dengan rangkaian
kata asah-asih-asuh, maka pengasuhan anak bertujuan untuk meningkatkan
atau mengembangkan kemampuan anak dan dilakukan dengan dilandasi rasa
kasih sayang tanpa pamrih. Dengan makna pengasuhan yang demikian,
maka sejatinya tugas pengasuhan anak murni tanggung jawab orang tua.
Mengasuh atau mendidik merupakan pekerjaan yang terus menerus dan
tidak pernah berhenti karena setiap anak tumbuh sesuai dengan
perkembangannya ia membutuhkan gaya asuh yang berbeda.Berdasarkan
paparan para ahli diatas dapat di simpulkan bahwa pengasuhan anak adalah
menjaga (merawat, dan mendidik) anak agar kepribadian anak dapat
berkembang dengan sebaik-baiknya sehingga cakap menyelesaikan tugas
hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.
2.3 Budaya Pengasuhan anak dalam Keluarga
Budaya adalah cara hidup seseorang yang diturunkan dari generasi ke
generasi melalui berbagai proses pembelajaran untuk menciptakan cara
hidup tertentu yang paling cocok dengan lingkungannya. Sedangkan gaya
pengasuhan anak adalah cara orang tua menunjukkan serangkaian sikap
untuk menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi orang tua dan
anak. (Sri Lestari:49). Gaya pengasuhan anak yang telah dibiasakan orang
tua (menjadi kebiasaan) dinamakan budaya pengasuhan. Budaya pengasuhan
anak dalam keluarga di tunjukkan oleh kebiasan orang tua dalam
pengasuhan anak dirumah atau keluarga.
Menurut Baumrind dalam Sri Lestari (2012:48) Ada empat gaya
pengasuhan yang telah membudaya pada diri orang tua dalam mengasuh
anak, yaitu :
1. Budaya pengasuhan Otoritatif. Orang tua mengarahkan perilaku anak
secara rasional dengan memberikan penjelasan terhadap maksud dari
aturan-aturan yang diberlakukan.Orang tua mendorong anak untuk

3
mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri. Budaya pengasuhan
oritatif dimana orang tua melakukan hal-hal sebagai berikut :
Mengarahkan anak secara rasional yaitu, menghormati yang lebih
tua, berlaku jujur, berlaku sopan, bersosialisasi, percaya diri dan
bekerja sama.
Orang tua melakukan penguatan yang konsisten dimana orang tua
melakukan dorongan berupa hadiah atau ucapan bagus
2. Budaya pengasuhan Otoriter. Orang tua yang selalu berusaha
membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan anak
agar sesuai dengan aturan standar. yaitu dalam kegiatan dirumah,
dalam etiket makan beribadah dan lain-lain. Orang tua menganggap
bahwa anak merupakan tanggung jawabnya, sehingga segala yang
dikehendaki orang tua yang diyakini demi kebaikan anak merupakan
kebenaran. Anak-anak kurang mendapat penjelasan yang rasional dan
memadai atas segala aturan, kurang dihargai pendapatnya, dan orang
tua kurang sensitif terhadap kebutuhan dan persepsi anak. Anak tidak
bisa bersosialisasi dengan baik dengan demikian mengalami banyak
kesulitan dalam bergaul dengan teman-temannya.
3. Budaya pengasuhan Permisif. Orang tua yang terlalu baik, cenderung
memberi banyak kebebesan pada anak-anak dengan menerima dan
memaklumi segala perilaku, tuntutan dan tindakan anak, namun
kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan perilaku anak.
Orang tua yang demikian akan menyediakan dirinya sebagai sumber
daya bagi pemenuhan segala kebutuhan anak, membiarkan anak untuk
mengatur dirinya sendiri dan tidak terlalu mendorongnya untuk
memenuhi standar ekternal.
4. Budaya pengasuhan tak memperdulikan. Orang tua yang
membolehkan melakukan apa saja.Biasanya orang tua tidak terlalu
terlibat dalam kehidupan anaknya. Anak mengalami kekurangan kasih
sayang dan kurang mendapat perhatian yang sangat mereka butuhkan.

4
Menurut Hoffman, 1970 (dalam Garliah, 2003) terdiri dari tiga tipe yaitu
:
a. Induction (pola asuh bina kasih)
Adalah suatu teknik disiplin dimana orang tua memberi
penjelasan atau alasan mengapa anak harus mengubah perilakunya.
Pada tipe pola asuh seperti ini dijumpai perilaku orang tua yang
directive dan supportive tinggi.
b. Power assertion (pola asuh unjuk rasa)
Adalah perilaku orang tua tertentu yang menghasilkan
tekanan-tekanan eksternal pada anak agar mereka berperilaku sesuai
dengan keinginan orang tua. Pada tipe pola asuh ini dijumpai
perilaku orang tua yang directive nya tinggi dan supportive rendah.
c. Love withdrawal (pola asuh lepas kasih)
Adalah pernyataan-pernyataan non fisik dari rasa dan sikap
tidak setuju orang tua terhadap perilaku anak dengan implikasi tidak
diberikannya lagi kasih saying sampai anak merubah perilakunya.
Pada tipe pola asuh ini dijumpai perilaku orang tua yang directive
dan supportive rendah.

Menurut Dr. Paul Hauck menggolongkan pengelolaan anak ke


dalam empat macam pola, yaitu:
1. Kasar dan tegas
Orang tua yang mengurus keluarganya menurut
skema neurotik menentukan peraturan yang keras dan
teguh yang tidak akan di ubah dan mereka membina suatu
hubungan majikan-pembantu antara mereka sendiri dan
anak-anak mereka.
2. Baik hati dan tidak tegas
Metode pengelolaan anak ini cenderung
membuahkan anak-anak nakal yang manja, yang lemah dan

5
yang tergantung, dan yang bersifat kekanak-kanakan secara
emosional.
3. Kasar dan tidak tegas
Inilah kombinasi yang menghancurkan kekasaran
tersebut biasanya diperlihatkan dengan keyakinan bahwa
anak dengan sengaja berprilaku buruk dan ia bisa
memperbaikinya bila ia mempunyai kemauan untuk itu.
4. Baik hati dan tegas
Orang tua tidak ragu untuk membicarakan dengan
anak-anak mereka tindakan yang mereka tidak setujui.
Namun dalam melakukan ini, mereka membuat suatu batas
hanya memusatkan selalu pada tindakan itu sendiri, tidak
pernah si anak atau pribadinya.
Adapun pola asuh yang lebih dikenal yaitu:
1. Otoriter
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otoriter
.berarti berkuasa sendiri dan sewenang-wenang. Menurut
Singgih D. Gunarsa dan Ny.Y. Singgih D. Gunarsa, pola
asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut
anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan
aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan
untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri.
Jadi pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak
yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri
aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus
ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan
keadaan anak. Serta orang tualah yang berkuasa
menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanyalah
sebagai objek pelaksana saja. Jika anak-anaknya
menentang atau membantah, maka ia tak segan-segan
memberikan hukuman. Jadi, dalam hal ini kebebasan anak

6
sangatlah dibatasi. Apa saja yang dilakukan anak harus
sesuai dengan keinginan orang tua. Pada pola asuhan ini
akan terjadi komunikasi satu arah. Orang tualah yang
memberikan tugas dan menentukan berbagai aturan tanpa
memperhitungkan keadaan dan keinginan anak. Perintah
yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua.
Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak
akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Jadi anak
melakukan perintah orang tua karena takut, bukan karena
suatu kesadaran bahwa apa yang dikerjakannya itu akan
bermanfaat bagi kehidupannya kelak.
Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap
anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan anak
terutama dalam pembentukan kepribadiannya. Karena
disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak), belum
tentu serasi dengan perkembangan anak. Prof. Dr. Utami
Munandar mengemukakan bahwa, .sikap orang tua yang
otoriter paling tidak menunjang perkembangan
kemandirian dan tanggung jawab sosial. Anak menjadi
patuh, sopan, rajin mengerjakan pekerjaan sekolah, tetapi
kurang bebas dan kurang percaya diri Disini perkembangan
anak itu semata-mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat
pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri,
mengalami kemunduran kematangannya, ragu-ragu di
dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang
dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan
mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang
tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu
melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang
dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman
orang tua akan menekan daya kreativitas anak yang sedang

7
berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan ia tidak
akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan
sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba.
Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya,
ia merasa tidak dapat mengimbangi temantemannya dalam
segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan.
Lamalama ia akan mempunyai perasaan rendah diri dan
kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.
Karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada,
maka setelah dewasapun masih akan terus mencari
bantuan, perlindungan dan pengamanan. Ini berarti anak
tidak berani memikul tanggung jawab. Adapun ciri-ciri dari
pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:
a. Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua
dan tidak boleh membantah.
b. Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan
anak dan kemudian menghukumnya.
c. Orang tua cenderung memberikan perintah dan
larangan kepada anak.
d. Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan
anak, maka anak dianggap pembangkang.
e. Orang tua cenderung memaksakan disiplin.
f. Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu
untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana.
g. Tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.
2. Demokratis
Menurut Prof. Dr. Utami Munandar, .Pola asuh
demokratis adalah cara mendidik anak, di mana orang tua
menentukan peraturan-peraturan tetapi dengan
memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak.

8
Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh
yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak,
namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan
yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan
kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan
kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan
apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas-batas
atau aturan-aturan yang telah ditetapkan orang tua. Adapun
ciri-ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut:
a. Menentukan peraturan dan disiplin dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan
yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh
anak
b. Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang
perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar di
tinggalkan
c. Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian
d. Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga
e. Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang
tua dan anak serta sesama keluarga
Dari berbagai macam pola asuh yang banyak
dikenal, pola asuh demokratis mempunyai dampak positif
yang lebih besar dibandingkan dengan pola asuh otoriter
maupun laissez faire. Dengan pola asuh demokratis anak
akan menjadi orang yang mau menerima kritik dari orang
lain, mampu menghargai orang lain, mempunyai
kepercayaan diri yang tinggi dan mampu bertanggung
jawab terhadap kehidupan sosialnya. Tidak ada orang tua
yang menerapkan salah satu macam pola asuh dengan
murni, dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua

9
menerapkan berbagai macam pola asuh dengan memiliki
kecenderungan kepada salah satu macam pola.
3. Laissez Faire
Kata laissez faire berasal dari Bahasa Perancis yang
berarti membiarkan (leave alone). Dalam istilah
pendidikan, laissez faire adalah suatu sistim di mana si
pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak
turut campur).Pola asuhan ini ditandai dengan adanya
kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai
dengan keinginannya sendiri. Orang tua tidak pernah
member aturan dan pengarahan kepada anak. Semua
keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan
orang tua. Anak tidak tahu apakah prilakunya benar atau
salah karena orang tua tidak pernah membenarkan ataupun
menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai
dengan keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu
sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.
Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk
hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang
dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang
tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri
apa yang diinginkannya. Kebebasan sepenuhnya diberikan
kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang
perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Metode
pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak
nakal yang manja, lemah, tergantung dan bersifat kekanak-
kanakan secara emosional. Seorang anak yang belum
pernah diajar untuk mentoleransi frustasi, karena ia
diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan
menemukan banyak masalah ketika dewasa. Dalam
perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja tersebut

10
mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian
terhadap tingkah laku mereka. Ketika mereka kecewa
mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan bahkan
marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali
dipertimbangkan. Hanya pandangan mereka yang berguna.
Kesukaran-kesukaran yang terpendam antara pandangan
suami istri atau kawan sekerja terlihat nyata. Adapun yang
termasuk pola asuh laissez faire adalah sebagai berikut:
a. Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor
dan membimbingnya.
b. Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa
bodoh.
c. Mengutanakan kebutuhan material saja.
d. Membiarkan saja apa yang dilakukan anak (terlalu
memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri
tanpa ada peraturan-peraturan dan norma-norma yang
digariskan orang tua).
e. Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat
dalam keluarga.
Setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko
masing-masing. Tipe otoriter memang memudahkan
orang tua, karena tidak perlu bersusah payah untuk
bertanggung jawab dengan anak. Anak yang dibesarkan
dengan pola asuh seperti ini mungkin memang tidak
memiliki masalah dengan pelajaran dan juga bebas dari
masalah kenakalan remaja. Akan tetapi cenderung
tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki
kepercayaan diri, kurang kreatif, kurang dapat bergaul
dengan lingkungan sosialnya, ketergantungan kepada
orang lain, serta memiliki defresi yang lebih tinggi.
Sementara pola asuh laissez faire, membuat anak merasa

11
boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak memang akan
memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan
sosial baik, dan tingkat depresi lebih rendah. Tapi juga
akan lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan
memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak
mengetahuyi norma-norma sosial yang harus dipatuhinya.
Anak membutuhkan dukungan dan perhatian dari
keluarga dalam menciptakan karyanya. Karena itu, pola
asuh yang dianggap lebih cocok untuk membantu anak
mengembangkan kreativitasnya adalah otoratif atau biasa
lebih dikenal dengan demokratis. Dalam pola asuh ini,
orang tua memberi control terhadap anaknya dalam batas-
batas tertentu, aturan untuk hal-hal yang esensial saja,
dengan tetap menunjukkan dukungan, cinta dan
kehangatan kepada anaknya. Melalui pola asuh ini anak
juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya,
kegelisahannya kepada orang tua karena ia tahu, orang tua
akan membantunya mencari jalan keluar tanpa berusaha
mendiktenya.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh


Hurlock (1993) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
a. Pendidikan orang tua
Orang tua yang mendapat pendidikan yang baik, cenderung
menetapkan pola asuh yang lebih demokratis ataupun permisif
dibandingkan dengan orang tua yang pendidikannya terbatas.
Pendidikan membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan
anak.
b. Kelas Sosial
Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih permisif
dibanding dengan orang tua dari kelas sosial bawah.

12
c. Konsep tentang peran orang tua
Tiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang
bagaimana seharusnya orang tua berperan. Orang tua dengan konsep
tradisional cenderung memilih pola asuh yang ketat dibanding orang
tua dengan konsep nontradisional.
d. Kepribadian orang tua
Pemilihan pola asuh dipengaruhi oleh kepribadian orang tua.
Orang tua yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung
akan memperlakukan anak dengan ketat dan otoriter.
e. Kepribadian Anak
Tidak hanya kepribadian orang tua saja yang mempengaruhi
pemilihan pola asuh, tetapi juga kepribadian anak. Anak yang
ekstrovert akan bersifat lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan
yang datang pada dirinya dibandingkan dengan anak yang introvert.
f. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua dipengaruhi oleh anak. Orang
tua yang memberikan dukungan dan dapat menerima sikap tergantung
anak usia pra sekolah dari pada anak.
2.5 Dimensi Pola Asuh Orang Tua
Baumrind (1994) mengemukakan 4 dimensi pola asuh yaitu:
a. Kendali Orang Tua (Control): tingkah menunjukan pada upaya orang
tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan
laku yang sudah dibuat sebelumnya.
b. Kejelasan Komunikasi Orang Tua-anak (Clarity Of Parent Child
Communication): menunjuk kesadaran orang tua untuk mendengarkan
atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga
kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak bila
diperlukan.
c. Tuntutan Kedewasaan (Maturity Demands): menunjuk pada dukungan
prestasi, social, dan emosi orang tua terhadap anak.

13
d. Kasih Sayang (Nurturance): menunjuk pada kehangatan dan
keterlibatan orang tua dalam memperlihatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan anak.
2.6 Contoh Pola Asuh Anak dalam Keluarga
a. Budaya Jawa
Di kalangan Jawa pola asuh anak yang diterapkan bukan menurut
kehendak atau kemauan sendiri, tetapi senantiasa mengikuti nilai- nilai
budaya dan tradisi Jawa. Pola asuh anak di kalangan budaya Jawa ada
variasinya yang dipengaruhi oleh usia orangtua, keterlibatan anggota
orangtua seperti keluarga besar orangtua, pendidikan orangtua,
pengalaman mengasuh sebelumnya, dan keharmonisan suami istri.
Pola asuh orangtua dalam budaya Jawa lebih dominan pada pola asuh
yang otoriter dan power assertion, orangtua memiliki peranan yang
dominan dalam mendidik anak dan menentukan keinginan anak,
orangtua juga membatasi perilaku anak agar tingkahlaku anak tidak
keluar dari batasan nilai- nilai budaya Jawa yang sangat dijunjung
tinggi oleh para masyarakat. Akibatnya anak menjadi kaku dan kurang
bisa bebas berekspresi dikarenakan segala tingkah laku anak dibatasi
oleh budaya yang ada. Aspek perubahan pola asuh di kalangan
masyarakat Jawa akan dilihat dari sistem nilai budaya Jawa yang
didasarkan pada masalah- masalah pokok kehidupan manusia yang
meliputi hubungan manusia dengan hidup, hubungan manusia dengan
karya, hubungan manusia dengan waktu, hubungan manusia dengan
alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya.
b. Budaya Sumatera
Kebudayaan asal orangtua mempengaruhi pola asuh orangtua
kepada anaknya, walaupun sebenarnya lingkungannya bukan berasal
dari lingkungan tersebut namun terkadang bahasa dan pola asuh
lainnya masih digunakan dari budaya asalnya. Begitu juga dengan
masyarakat Sumatera yang berasal dari suku jawa, rata- rata pola asuh
mereka masih menggunakan pola asuh orangtua pada budaya Jawa

14
yakni pola asuh otoriter dan power assertion. Pola asuh dikalangan
budaya Sumatera yang diterapkan menggunakan pola asuh demokratis
dan permisif, orangtua lebih memberikan kebebasan terhadap anak
dalam menentukan pilihan sehingga anak menjadi lebih bebas dalam
menentukkan sikapnya. Orangtua tidak terpaku pada nilai- nilai budaya
yang ada dalam mendidik anak, yang terpenting adalah sikap orangtua
sebagai figur dalam mebimbing dan mendidik anak. Seperti halnya
dalam budaya Jawa, pola asuh dalam budaya Sumatera juga
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan orangtua, status
ekonomi, usia orangtua, keterlibatan anggota orangtua, pendidikan
orangtua, pengalaman mengasuh sebelumnya, dan keharmonisan
suami istri.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak yang belum menikah. keluarga adalah sebagai tempat anak
dilahirkan merupakan referensi pertama mengenai nilai-nilai, norma-
norma, dan kebiasaan menjadi acuan untuk mengevaluasi perilaku.
pengasuhan anak adalah menjaga (merawat, dan mendidik) anak agar
kepribadian anak dapat berkembang dengan sebaik-baiknya sehingga
cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Gaya pengasuhan
anak yang telah dibiasakan orang tua (menjadi kebiasaan) dinamakan
budaya pengasuhan. Budaya pengasuhan anak dalam keluarga di
tunjukkan oleh kebiasan orang tua dalam pengasuhan anak dirumah atau
keluarga. Menurut Baumrind dalam Sri Lestari (2012:48) Ada empat gaya
pengasuhan yang telah membudaya pada diri orang tua dalam mengasuh
anak, yaitu : Budaya pengasuhan Otoritatif; Budaya pengasuhan Otoriter;
Budaya pengasuhan Permisif; Budaya pengasuhan tak memperdulikan

3.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan yang profesional selain mengetahui dan
melaksanakan tindakan keperawatan yang sesuai dengan SOP, hendaknya
juga dibekali dengan pengetahuan mengenai berbagai macam kebudayaan
dari berbagai daerah terutama dalam Budaya Pengasuhan Anak seperti
yang telah diuraikan dalam makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sri lestari. 2012. Psikologi Keluarga. Kencana Prenada Media. Surakarta.


Tholhah Hasan.2012. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Keluarga. Mitra Abadi
Press. Jakarta
Paul Hauck. 1993. Psikologi Populer, (Mendidik Anak dengan Berhasil). Arcan.
Jakarta
Sri lestari. 2012. Psikologi Keluarga. Kencana Prenada Media.Surakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai