Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Sejak masa kemerdekaan sampai sekarang sebagian daerah di Indonesia 
pernah mengalami gangguan keamanan. Gangguan itu ada yang dapat diselesaikan
oleh aparat keamanan/pemerintah daerah setempat, tetapi ada  pula yang harus
diselesaikan oleh bantuan aparat keamanan yang datang dari  daerah lain (di BKO
kan) ataupun bantuan dikirim dari pemerintah pusat.
Gangguan itu baik kecil maupun besar seperti antara lain pemberontakan
PKI Komunis Muso di Madiun, pemberontakan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat,
pemberontakan DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, pemberontakan
DI/TII Daud Bereureh di Aceh, Gerakan Negara Papua Merdeka di Irian Jaya
(Papua) Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat, Pemberontakan Permesta di 
Sulawesi, Pemberontakan RMS di Maluku dan seterusnya.
Persatuan Indonesia adalah salah satu sila dari Pancasila. Yang artinya
dapat dijabarkaan sebagai berikut:
a. Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1
UUD 45)
b. Bendera Negara Indoensia ialah Sang Merah Putih (Pasal 35 UUD 45)
c. Negara Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
(Pembukaan UUD alinea IV)
Dalam artian seluruh warga Negara Indonesia wajib untuk menjaga
persatuaan negaranya tanpa pengecualian. Maka dari itu saya akan
membicarakan tentang pemberontakan yang telah dilakukan organisasi GAM
dan RMS.

1.2.     Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis merumuskan dan
membatasi masalah yang akan dibahas pada karya ilmiah ini, antara lain:
1. Apa itu pemberontakan?
2. Siapa saja pemberontak-pemberontak yang pernah melakukan aksinya di negeri
ini?
3. Apa motif pemberontakan tersebut?
1.3.     Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian kali ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pemberontakan
2.      Untuk mengetahui apakah dengan mempelajari sejarah kita dapat mencegah
dan menanggulangi pemberontakan
1.4.     Manfaat
Makalah ini menambah wawasan tentang pemberontakan-pemberontakan
yang pernah terjadi di negeri ini khususnya Pemberontakan Maluku Selatan. Selain
itu, dengan mempelajari sejarah segala aktivitas pemberontakan dapat dicegah dan
ditanggulangi, sehingga masyarakat tidak lagi berhadapan dengan para
pemberontak dalam kehidupannya. Akhirnya terwujudlah masyarakat yang aman.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.            Pengertian RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan
merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara
Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat).
Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah
misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966
RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda
Pemerintah RMS yang pertama dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu,
Kepala Daerah Maluku dalam Negara Indonesia Timur (NIT).
Setelah Mr. dr. Chris Soumokil dibunuh secara illegal atas perintah
Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan di Belanda
dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs. Frans
Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete adalah
pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Tagal serangan dan anneksasi illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah
RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan
memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram
pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan
dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
2.2.            Awal mula Kerusuhan RMS
Dalam bulan september 2011 Jendral Kivlan Zen purn. mengaku dalam
wawancara dengan Global Post bahwa KERUSUHAN AMBON sebebnarnya
REKAYASA dari para elit militer dan elit politik di Jakarta. Instruksi mereka
kepada Jendrl Kivlan Zen itu untuk mendestabilisasi Maluku sescara politik dan
ekonomis.
Dalam skenario ini RMS dimempersalahkan dengan sengaja dan
kambinghitamkan. Mereka memakai kalimat-kalimat seperti:
"Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali
mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya
provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa
aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang
dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi
mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.",
Padahal Jendral Kivlan Zen sendiri sekarang mengaku secara terbuka
bahwa itu semua permainan elit politik Jawa dan elit militer Jawa. RMS dan umat
Kristen dengan sengaja dikambinghitamkan, sedangkan tidak bersalah.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil
menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari
tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin
mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam
jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu
mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para
penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi, disiksa dan dianiyaya.
Dipukul babakbelur oleh DENSUS 88 atas perintah Presiden SBY sendiri.
Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat.
Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki.

2
TAPOL yang terbanyak di Indonesia pada saat ini terdapat di Maluku dan
Papua. Hal ini menodah wajah NKRI sebagai demokrasi, sebab di negara-negara
demokratis lain-lain didunia orang tidak dijatuhkan hukuman 15 tahun penjara
hanya tagal menaikkan lambang negara yang terlarang.

2.3.     Dokumen Pemberontakan RMS di Maluku


Bahwa perjuangan kemerdekaan Maluku lewat proklamasi Republik
Maluku Selatan (RMS) itu tidak akan merugikan hak hidup bangsa manapun juga,
termasuk pemerintah Belanda dan pemerintah RI... (Ketua Eksekutif "Missi Rakyat
Maluku", D Sahalessy dalam suratnya kepada BJ Habibie dan Jenderal Wiranto).
Pernyataan di atas, merupakan materi surat resmi yang dikirim dari kantor
'pemerintahan pengasingan RMS' di De Klenckestraat 42, 9404 KW Assen-The
Netherlands (telp 31592 352141), tertanggal 15 November 1998. Tembusan surat
tersebut dikirimkan pula kepada Komnas HAM di Jakarta, Kementerian Luar
Negeri Belanda di Den Haag, EIR-International di New York dan sejumlah instansi
internasional terkait serta dewan mahasiswa di Indonesia.
Dokumen surat -- yang diungkap pula oleh mantan Kastaf Kodam
VIII/Trikora Jayapura, Brigjen TNI (Purn) Rustam Kastor -- ini, secara jelas dan
'jantan' menyatakan keinginannya untuk pisah dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Misalnya, di awal suratnya, D Sahalessy menulis sbb:...Atas
kewajiban kami selaku Ketua Pelaksana Missi Rakyat Maluku dan Pejuang
Kemerdekaan yang mendambakan Kemerdekaan dan Kedaulatan Nusa dan Bangsa
Maluku, kami hadapkan 'Surat Pergembalaan' ini kehadapan Bapak-bapak.
Demi ketergantungan hidup manusia kepada Tanah Airnya dan Masyarakat
Adatnya masing-masing, maka Pancasila dan Undang-undang Dasar '45, antara lain
menegaskan bahwa "kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, maka setiap sistem
penjajahan haruslah dihapuskan dari atas muka bumi, karena hal itu tidak sesuai
dengan keadilan dan prikemanusiaan". Atas pernyataan ini, kami anjurkan agar
Bapak-bapak menggarisbawahi "kekeliruan-kekeliruan" yang dilakukan Pemerintah
RI dan ABRI di Maluku di luar sampaipun di tanah air Jawa sejak Juni 1950 hingga
detik saat ini.

Yang cukup menarik untuk dicermati, surat yang disampaikan kepada


pemerintah RI - setahun sebelum terjadinya aksi pembantaian terhadap umat Islam
di Kota Ambon, Idul Fitri, 19 Januari 1999 - itu, juga mengajukan lima tuntutan
yang mesti dipenuhi, yakni:
1)      Agar tindakan-tindakan eksploitasi dan Jawanisasi di Maluku dan lain-lain
kepulauan di luar tanah Jawa dihentikan,
2)      Agar tulang-belulang dari putra-putri Maluku yang terbunuh selama invasi
militer RI di Maluku (1950-1967) itu dapat dikumpulkan untuk dimakamkan
dalam suatu Taman Makam Pahlawan,
3)      Agar tulang-belulang dari Mr. Doktor Christian Soumokil (Bapak
Kebangsaan dan Pahlawan Keadilan Maluku) yang dibunuh secara rahasia oleh
ABRI di pengasingan pada tanggal 12 April 1966 itu dapatlah dikumpulkan
untuk dimakamkan di Maluku Tanah Air kami,
4)      Agar semua usaha menuntut kemerdekaan Maluku lewat konstitusi Republik
Maluku Selatan (RMS) di Maluku janganlah ditindas atau dapatlah dibantu oleh
ABRI,

3
5)      Agar tindakan-tindakan polarisasi yang dilakukan lewat intelek Maluku
golongan aparatip yang memfrustasikan perjuangan kemerdekaan Maluku di
dalam maupun di luar negeri itu, dihentikan.

Selain surat tersebut, bukti-bukti awal yang menunjukkan terjadinya


pemberontakan RMS di Ambon-Maluku, juga dapat diketahui dari dokumen
'bocoran'-nya - faksi lain di RMS -- yang menamakan dirinya sebagai "Presidium
Sementara RMS Ambon."
Pada tangal 14 November 1998, presidium tersebut mengeluarkan "Surat
Perintah Tugas" No. 01/PS.04.1/XI/98, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal Presidium, masing-masing bernama O. Patarima, SH dan Drs.
Ch. Patasiwa. Isi surat tugas berupa perintah kepada D Pattiwaelappia (jabatan
Ketua Komisi Bidang Komunikasi), A Pattiradjawane (Ketua Komisi Bidang
Hukum) dan S. Saiya (Staf Komisi Bidang Komunikasi), untuk melaksanakan missi
perjuangan RSM.
Kepada ketiga orang tersebut, diberi tugas dan wewenang sbb:
·         Melakukan upaya-upaya diplomasi dan pendekatan dengan warga masyarakat
Maluku di perantauan dalam rangka konsolidasi kekuatan dan penggalangan
persatuan,
·         Mengadakan koordinasi dengan tokoh-tokoh intelektual tertentu di kota atau
daerah tujuan untuk membentuk perwakilan presidium atau pun organisasi
perjuangan yang memungkinkan sesuai dengan kondisi setempat,
·         Berusaha menghimpun dana secara sukarela dari warga setempat untuk
mendukung kebutuhan pembiayaan program perjuangan,
·         Melaporkan hasil pekerjaan secara berkala guna keperluan pengendalian dan
evaluasi.
Surat tugas juga menyebutkan daerah tujuan yakni Jakarta, Surabaya, dan
kota-kota tertentu di Pulau Jawa. Juga, ditentukan soal keberangkatannya yakni
mulai 16 November s.d. media Desember 1998.
Bersamaan dengan keluarnya surat tugas, Presidium Sementara RMS di
Ambon membuat pula surat pengantar bernomer 02/PS.05.1/XI/98, perihal
"Permohonan Bantuan", dilengkapi lampiran sebanyak sepuluh daftar. Isi surat
diawali dengan kalimat antara lain:Pertama-tama, terimalah salam kebangsaan dan
pekik perjuangan kita "Mena Moeria".
Selanjutnya, ditulis:
Kami merasa mendapat kehormatan untuk menjumpai Bapak, Ibu dan
semua saudara segandong yang sementara ini berada di Tanah Perantauan, untuk
menyampaikan perkembangan terakhir yang sedang terjadi di kalangan rakyat dan
masyarakat Maluku dewasa ini.
Secara singkat boleh kami katakan bahwa tingkat kesabaran dan daya
tahan rakyat dalam menghadapi kondisi perekonomian maupun situasi politik yang
dikendalikan dari Pusat (Jakarta), sudah berada pada titik yang sangat rawan.
Bahwa demi untuk mencegah terjadinya tindakan lepas kontrol yang dapat
membahayakan diri, keluarga maupun masyarakat banyak, kami terpaksa telah
mengambil tanggungjawab kolektif tadi dan menyusun sebuah program
perjuangan sesuai dengan kemampuan kami yang sangat terbatas.

Dalam rangka itulah kami sungguh memerlukan support, baik moral


maupun material terutama dari Bapak/Ibu yang memiliki kelebihan berkat Tuhan.
Demikian dengan susah payah kami telah mengutus tiga orang teman ini, sambil

4
mengharapkan uluran tangan Bapak/Ibu semua. Kami percaya bahwa semua
saudara segandong di rantau tidak akan sampai hati membiarkan kami berjalan
sendirian sebab 'potong di kuku rasa di daging'. Semoga Tuhan tetap menjaga dan
memelihara kita semua dengan kelimpahan berkat Sorgawi. Amatooo...
Dari Ambon, Presidium Sementara Republik Maluku Selatan (RMS) -- pada
14 November 1998 -- mengeluarkan 'Seruan' yang ditujukan kepada warga Maluku
di Belanda.
Seruan yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen Presidium
Sementara RMS, masing-masing O Patarima, SH dan Drs. Ch. Patasiwa itu, diawali
dengan kalimat:
"Kepada Saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, putra-putri Maluku
yang sementara berdiam di negeri Belanda."
Terimalah salam kebangsaan dan pekik perjuangan kita "Mena Moeria",
Dengarlah seruan kami dari jauh, dari Maluku, Tanah Tumpah Darah
Kita: Saat ini, rakyat Maluku di Tanah Air sudah tidak sabar lagi untuk merdeka,
Kebencian rakyat terhadap Pemerintah Indonesia sudah mencapai puncaknya,
Untuk sementara, kami harus mengambil tanggungjawab memimpin dan
mengarahkan perjuangan di Tanah Air agar supaya tidak berjalan sendiri-sendiri,
yang nanti bisa menyusahkan banyak orang,
Kami sangat mengharapkan dukungan dan bantuan saudara-saudara dari
negeri Belanda dalam menyokong perjuangan ini agar kiranya dapat berjalan lancar
dan sukses dalam waktu yang tidak terlalu lama,
Sesungguhnya perjuangan ini adalah tanggungjawab setiap anak Maluku, di
mana pun berada. Karena itu, janganlah biarkan kami sendiri, Kami percaya bahwa
nasib masa depan anak cucu kita ada di Tanah Air Maluku tercinta.
Pada akhir "Seruan", ditulisnya kalimat sbb:
"Biar Hujan Emas di Negeri Orang, Tidak Sama Hujan Batu di Negeri Sendiri."
Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan berkat dan perlindungan kepada kita,
sampai bertemu nanti di Tanah Air.
Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya gerakan
pemberontakan RMS pada akhir tahun 1998, juga ditemui oleh pihak Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag. Dalam laporan khususnya yang
disampaikan oleh Kantor Atase Pertahanan (Athan) KBRI Den Haag tertanggal 18
Desember 1998 -- ditandatangani Athan KBRI, Kol. Laut (E) Ir. Wahyudi
Widajanto, MSc -- diungkapkan antara lain: Adanya informasi ihwal mulai
tumbuhnya "embrio" kelompok RMS di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Selain itu, juga diungkap: Berita yang dimuat oleh Harian Belanda
"Rotterdam Dagbland" (Selasa, 11 Januari 2000) yang intinya menyebutkan bahwa
Pemerintah RMS di pengasingan mempersiapkan diri untuk mengambil alih
kekuasaan di daerah Maluku Selatan. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden
RMS, F.LJ Tutuhatuwena. Dia mengatakan, bahwa upaya yang ditempuh adalah
dengan membentuk suatu struktur organisasi yang dapat mengambil alih kekuasaan
dari Jakarta.
Diinformasikan pula bahwa saat ini di Maluku telah berada beberapa puluh
penganut dan simpatisan RMS yang diharapkan dapat merealisasikan cita-cita
mereka. Skenario yang mereka inginkan adalah pengambilalihan kekuasaan tanpa
kekerasan dengan memanfaatkan krisis ekonomi dan politik di dalam negeri saat
ini.
Untuk itu, telah dibentuk suatu kabinet bayangan dengan tugas menjaga agar
kehidupan masyarakat Maluku terus berjalan normal apabila pemerintah di Jakarta

5
jatuh. Tugas berikutnya adalah melucuti dan membubarkan tentara Indonesia yang
masih berada di Maluku.
Hingga kini bantuan dari masyarakat Maluku di Belanda adalah bantuan
nasihat dan keuangan, dan belum ada permintaan bantuan senjata dari Maluku.
Selanjutnya, pada 19 Desember 1998 yang akan datang di Barneveld, Belanda akan
diselenggarakan pertemuan antara RMS dengan Badan Persatuan Maluku sebagai
pendukung RMS dengan tujuan untuk membicarakan rencana aktivitas apa yang
akan ditempuh selanjutnya.
Dalam kaitannya dengan SK Menkeh RI No. M. 01.iZ.01.02 tahun 1983
tentang Pelaksanaan Pembebasan Keharusan Memiliki Visa Bagi Wisatawan
Asing, pihak Athan KBRI Den Haag menganalisisnya: sebagai sesuatu yang
dimanfaatkan oleh kelompok RMS untuk menyusupkan kaki tangannya -- yang
notabene mereka kemungkinan besar tidak terdaftar sebagai anggota kelompok
RMS -- ke Indonesia untuk berkunjung. Selanjutnya, mereka itu "menghilang" di
tanah air dengan memanfaatkan kelemahan pengawasan kita di tanah air. Orang-
orang inilah yang kemungkinan besar merupakan pioner tumbuhnya kembali
kelompok RMS di Indonesia.
Athan KBRI Den Haag juga menyimpulkan:
Kelompok RMS secara jelas telah semakin serius, terorganisir serta terencana
dalam upaya-upaya mewujudkan cita-citanya dengan memanfaatkan situasi krisis
ekonomi dan politik di dalam negeri akhir-akhir ini.

Pergerakan simpatisan dan aktivis RMS di Den Haag ini benar-benar


memperoleh perhatian yang optimal dari KBRI Den Haag. Dalam kawat khususnya
-- bernomer 147/div.12/98 -- yang dikirimkan kepada Menlu, Menko Polkam,
Mendagri, Menhankam/Pangab dan Menkeh, KBRI Den Haag melaporkan perihal
pokok-pokok hasil pertemuan RMS di Barneveld pada 19 Desember 1998.
Disebutkannya:
Pertemuan dihadiri oleh 8 organisasi masyarakat Maluku termasuk 'badan
persatuan' yang berhaluan keras dan merupakan pendukung utama RMS. pertemuan
telah membentuk suatu struktur organisasi yang dinamakan 'Kongres Nasional
Maluku' dengan tujuan utama mendukung dan memiliki tugas politik dan peralihan
kekuasaan.

2.4.            Tanggapan Para Jurnalistik Tentang Pemberontakan RMS


"Pemerintahan RMS" dalam pengasingan akan memberikan senjata kepada
organisasi-organisasi di Maluku yang diharapkan akan ikut serta dalam
pengambilalihan kekuasaan apabila Pemerintah Indonesia jatuh.
Menteri Urusan Umum RMS, J.W Wattilete yang diharapkan akan
menggantikan "Presiden RMS" Tutuhatunewa kepada pers mengatakan bahwa
perebutan kekuasaan dengan senjata merupakan jalan terakhir kalau dengan cara
damai tidak berhasil.
Kalau kelompok-kelompok di Maluku minta bantuan senjata akan
ditanggapi dengan serius. Kesempatan semacam ini tidak akan terulang lagi dan
harus dimanfaatkan.
Soal keseriusan para aktivis dan simpatisan RMS mewujudkan cita-citanya,
sebenarnya kian jelas dengan terjadinya berbagai peristiwa pancingan yang

6
dilakukan dengan cara mengusir suku Bugis Buton Makassar (BBM) yang sudah
hidup puluhan tahun di Ambon dan sekitarnya.
Hal itu terjadi pada media November 1998  atau satu bulan sebelum 19
Januari 1999 (Idul Fitri Berdarah) di Kampung Hative Besar Ambon. Di basis
pemberontak RMS itu, ratusan orang Islam yang berlatarbelakang BBM diusir,
dibunuh dan seluruh rumahnya dibakar habis.
Di tengah-tengah aksi penyerangan tersebut, umat Islam menemukan
sejumlah dokumen pemberontakan RMS. Sayangnya, dokumen diserahkan begitu
saja oleh umat Islam kepada aparat keamanan, tanpa sempat terlebih dulu mem-
foto-copy.
Demikian halnya, dalam setiap peristiwa pertempuran antara pemberontak
RMS dengan masyarakat setempat, di antara mereka kerapkali meneriakkan yel-yel
seperti "Hidup RMS", "Hidup Israel", "Anda Memasuki Wilayah RMS-Israel", atau
salam kebangsaan RMS yang berbunyi "Mena Moeria Menang".
Jauh-jauh hari sebelum itu, sebenarnya pihak berwajib di Ambon sudah
"mengendus" gerakan pemberontak RMS. Pada tahun 1989, Korem 174/Patimura
-- yang komandannya waktu itu adalah Kol. Inf. Rustam Kastor -- berhasil
membongkar jaringan organisasi RMS di Kota Ambon yang mempunyai rencana
besar. Antara lain adanya rencana membangun kekuatan bersenjata di Pulau Seram.
Menurut Rustam Kastor, seorang mantan perwira menengah TNI AD, yakni
Letkol Inf (Purn) Ony Manuhutu (Jakarta) dilibatkan untuk menuntaskan rencana
sekaligus memimpin kekuatan bersenjata di lapangan. Dalam kaitan ini, gudang
senjata TNI milik Lantamal di Ambon siap diserbu dan dibongkar untuk diambil
senjata serta amunisinya. Untuk itu, sudah disiapkan dukungan dari seorang bintara
penjaga gudang amunisi tersebut.
Persiapan pemberontakan juga tampak dari ditemukannya senapan jenis
karaben beserta sejumlah amunisi di sebuah gereja tua pada benteng Amsterdam, di
Desa Hila Kaitetu. Kepada penulis yang mengunjungi lokasi tersebut (Maret 1999),
sejumlah saksi mata mengatakan, penemuan itu sebenarnya tak diduga tatkala
terjadi bentrokan antara pemberontak RMS dengan masyarakat setempat.
Usaha penggalanan dana dan senjata untuk pemberontakan RMS, juga
diakui oleh Presiden RMS di pengasingan yaitu Dokter Tutuhatunewa (76). Dia
mengakui mengucurkan dana perang ke Maluku. Meski tak bersedia menyebut
jumlah dana yang disampaikannya ke Ambon-Maluku, tapi dana itu sudah
diserahkan kepada kelompok tertentu (Tempo edisi 26 Desember 1999).
Selain itu, Tempo juga menyebutkan pada Agustus 1999 aparat keamanan
menemukan uang sejumlah Rp 500 juta dari lima penumpang Kapal Bukit
Siguntang yang berlabuh di Pelabuhan Ambon. Uang tersebut dikemas dalam
ratusan amplop dengan tertulis nama organisasi "Satu Bantu Satu, Maluku-
Netherland". Menurut keterangan Imam Besar Mesjid Al Fatah Ambon, KH Abdul
Aziz Arby, Lc., organisasi tersebut diduga punya hubungan dengan sebuah
organisasi di daerah Ciledug, Jakarta.
Sejumlah nara sumber penulis di Ambon dan Maluku Utara menyebutkan,
gerakan RMS diduga kuat memperoleh dukungan dari pihak Yahudi Israel.
Disebutkannya, dalam internet beberapa waktu lalu, sempat ada situs RMS yang
menampilkan artikel terbitan Israel yakni United Israel Bulletin (UIB). Buletin itu
mengungkapkan harapan RMS untuk mendapat dukungan dari Israel.
Koresponden UIB di PBB, David Horowits -- dalam terbitan musim panas
1997 -- menulis: mayoritas pendukung RMS memang dekat dengan Yahudi-Israel.

7
Selama beberapa kali peringatan hari kemerdekaan RMS di Maluku, bendera Israel
bersama emblem AS dan Belanda dipadukan dengan emblem RMS.
RMS juga punya hubungan dengan gerakan serupa di Timtim. Buktinya, di
situs Djangan Lupa Maluku: www.dlm.org. dapat dijumpai naskah proklamasi
RMS yang dibacakan pada tahun 1950 dan ditandatangani JH Manuhutu serta A
Wirisal.
Salah satu berita yang menarik yang dirilis UIB -- selain tentang
persahabatan RMS dan Israel -- juga artikel itu mengungkapkan hubungan antara
RMS dan pergerakan di Timtim yang dipimpin Jose Ramos Horta. Menurut David
Horowits, ketika Horta menerima Nobel, saat itu salah satu menteri RMS, Edwin
Matahelumual mengirim surat kepada Horta.
Pada harian De Volkskrant (edisi 12 Januari 2000) dilaporkan di halaman
depan, RMS mengumpulkan dana dari orang-orang Maluku di Belanda. Dana itu
untuk membeli senjata guna membantu "saudara-saudara Kristen" di Maluku.
Melalui jaringan internasional, tulis harian De Volkskrant, dana yang terkumpul
tersebut akan dibelikan senjata yang selanjutnya dikirim ke Maluku Tengah melalui
Filipina Selatan.
Harian Brabants Dagblad (edisi 17 Desember 1999) memberitakan
pertemuan lima wakil pemerintahan RMS di pengasingan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid. Mengutip ketua delegasi, Otto Matulessy, harian itu
menyatakan, Presiden Abdurrahman Wahid menghendaki partisipasi masyarakat
Maluku di Belanda, terutama pemerintah pengasingan RMS, untuk membantu
membangun Maluku.
Kita tentunya menjadi 'bingung' mengetahui sikap Abdurrahman Wahid yang
menerima perwakilan RMS tersebut. Ya, sama 'bingung'-nya kita dengan tidak
adanya pernyataan resmi dari pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati untuk
menyebutkan ihwal terjadinya pemberontakan RMS di Ambon-Maluku. Bukankah
fakta-fakta sudah jelas dan bukti-bukti awal sudah ada yang bisa disimpulkan
perihal terjadinya suatu pemberontakan RMS?
Sikap pemerintah dalam kasus Ambon-Maluku ini benar-benar "aneh bin
ajaib" sekaligus diskriminatif. Ketika terjadi kasus peledakan mesjid Istiqlal dan
terungkapnya kasus kelompok AMIN di Bogor, pemerintah begitu mudahnya
menyatakan ada gerakan untuk mendirikan negara Islam sekaligus mengganti dasar
negara Pancasila. Padahal bukti-buktinya tidak ada.
Sedangkan dalam kasus Ambon-Maluku, pemerintah "diam seribu bahasa".
Bahkan umat Islam yang melakukan penumpasan terhadap para pemberontak RMS,
justru disalahkan. Laporan-laporan temuan dokumen pemberontakan RMS -- baik
yang disampaikan umat Islam maupun aparat keamanan level lapangan -- ternyata
tidak digubris.
Bahkan opini yang kemudian dilontarkan serta ditumbuh suburkan ke
publik adalah rumor tentang adanya campur tangan "Cendana" beserta kroni-
kroninya, oknum TNI/Polri, dan kalangan status quo.
Para pengamat yang semestinya berpikir objektif dan proporsional, ternyata
tak jauh berbeda dengan perilaku elit politik. Mereka menyoroti persoalan Ambon-
Maluku dari perspektif rumors. Kalaupun ada, sekadar menengoknya dari segi
sosiologi, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik seperti rebutan jabatan di struktur
pemerintahan.
Para pengamat, boleh jadi, bisa mengungkapkan analisisnya -- hingga
mulutnya berbusa -- namun sebenarnya yang terjadi di lapangan tidaklah semacam
itu. Substansi kualitatif analisis dan asumsi pengamat seperti soal kesenjangan

8
sosial ekonomi, itu pada dasarnya hanyalah 'muatan' yang menumpangi akar
masalah sesungguhnya dalam kasus Ambon-Maluku.
Ya, tak jauh bedanya dengan asumsi kasus pembantaian terhadap umat
Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Saat itu bahkan hingga kini,
di tengah masyarakat 'tersebar' asumsi adanya kesengajaan oknum militer untuk
mengacaukan situasi, lalu ketika masyarakatnya mengungsi, maka mereka pun
melakukan penjarahan seperti kayu ebonit atau kayu hitam. Padahal kenyataannya
-- berdasarkan fakta di lapangan -- tidaklah demikian. Jika pun ada yang berbuat
semacam itu, sekadar oknum dan jumlahnya pun sedikit.
Yang semestinya dilihat oleh para pengamat, elit politik atau pejabat
pemerintahan adalah fakta di lapangan -- alias di tengah konflik tersebut -- yakni
adanya 'benang merah' pemberontakan RMS, baik di Ambon, Tual (Maluku
Tenggara), Maluku Utara, dan Poso.
Adanya rencana dan realisasi sistematis penyebaran "virus pemberontakan RMS",
diakui pula oleh Ketua Forum Komunikasi Kerukunan Antar Umat Beragama
Maluku Utara, Abdul Gani, MA.
Dikemukakannya, jauh-jauh hari sebelum terjadinya kasus pembantaian
terhadap umat Islam oleh komunitas pemberontak RMS di Tual, Ternate, dan
Halmahera (Maluku Utara), sejumlah tokoh Islam di MUI sudah mengingatkan
masyarakat setempat karena saat itu, ada beberapa fenomena 'aneh tapi nyata' yang
berkaitan dengan 'pemanasan' situasi di tengah masyarakat yang sebelumnya sudah
rukun.
Di Tual (Maluku Tenggara), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara),
umpamanya, mulai didatangi para pengungsi asal Ambon. Di antara pengungsi itu,
ternyata ada sejumlah provokator dari kalangan RMS. Mereka menyebar isu adu
domba dan menumbuhsuburkan fitnah kepada umat Islam, yang sebenarnya masih
ada hubungan darah seperti yang terjadi di daerah Halmahera (Tobelo, Galela, Kao,
Malifut, Ternate, dan sekitarnya). Nyatanya, benar, beberapa saat kemudian
terjadilah aksi kerusuhan dan pembantaian terhadap umat Islam.
Sebaliknya, ada fakta yang menunjukkan tidak semua daerah di Ambon bisa
terkena "virus pemberontakan RMS". Ini bisa disaksikan langsung di daerah
Wayame -- dekat Poka (tempat pembantaian terhadap umat Islam pada Juli 1999) --
di lokasi itu hidup rukun umat Islam dan umat Kristen. Hingga kini mereka tetap
akrab, tidak saling menyerang. Bila malam hari, mereka sama-sama berjaga-jaga di
pos keamanan lingkungan (kamling).
Di tengah malam yang cukup dingin itu, terkadang di pos-pos kamling
mereka menyanyikan lagu-lagu pujian agamanya, sedangkan umat Islamnya
'tenang-tenang' saja bersenandung shalawat badar atau nasyid islami. Tak ada
pertengkaran. Bahkan di daerah itu ada sebuah mesjid dan beberapa gereja, yang
masih utuh. Bila hari Jumat atau Minggu tiba, warga setempat pergi ke mesjid dan
yang lainnya pergi ke gereja.
Mengapa mereka bisa rukun? Menurut tokoh Islam setempat -- yang juga
anggota DPRD Maluku -- ustadz H Muhammad Kasuba, MA, di Wayame ada
sejumlah tokoh Kristen yang dikenal sebagai pendeta. Mereka membuat
kesepakatan dan menyatakan tidak mau melakukan pembantaian terhadap umat
Islam -- yang notabene jumlahnya sangat minim di daerah terebut -- karena
menyadari kekeliruannya bila mengikuti ajakan para provokator pemberontakan
RMS. Meski berkali-kali dibujuk rayu, para tokoh Kristen dan warga Kristen di
daerah itu menolak bergabung dengan para pemberontak RMS.

9
Fakta-fakta -- lapangan -- yang tak terbantahkan ini, ironisnya dianggap
'angin lewat' saja. Bukti-bukti awal yang mengarah pada kesimpulan terjadinya
pemberontakan RMS, sama sekali tidak diperhitungkan dan di-cuekin terus-terusan
oleh pemerintah.
Hampir semua pejabat pemerintah RI sekarang menderita 'sariawan'
stadium berat, sehingga tidak bisa membuat pernyataan jujur bahwa di Ambon dan
Maluku telah terjadi tindakan subversif atau makar dari sejumlah orang yang ingin
mendirikan Republik Maluku Sarani atau Republik Maluku Selatan (RMS).
Sungguh, dunia memang -- boleh saja -- terbalik, namun kebenaran tidak
bisa dibalikkan. Para elit politik boleh berakrobat membalikan akar masalah di
Ambon-Maluku, tapi tetap saja 'masalahnya' tak akan selesai.
Karenanya, cepat atau lambat, kebenaran terjadinya pemberontakan RMS di
Ambon-Maluku akan terungkap. Ya, setidaknya bila pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kelak dipimpin oleh orang-orang yang jujur,
menegakkan shalat, ber-akhlaqul karimah, pikirannya sehat dan tidak terkooptasi
oleh musuh-musuh Islam.

10
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kasus seperti ini pasti juga pernah dialami oleh Negara lain. Memang kasus ini
sudah pernah ada tapi harus selalu ditangani atau diselesaikan dengan hati – hati karena
bisa menyerang sistem vital pemerintahan. Tetapi bantuan badan hukun internasional maka
kasus seperti ini dapat didamaikan. Negara kita memang cenderung rawan terjadi hal
seperti ini karena pemahaman dan penerapan Pendidikan Pancasila semakin menurun.
Diharapkan bagi pembaca untuk memahami dengan cepat apa yang sedang terjadi
di Negara kita ini. Tujuanya mungkin agar kita bisa membantu semampu kita karena tanpa
disadari kita juga adalah calon pemimpin – pemimpin bangsa. Mohon maaf apabila ada
salah kata atau yang tidak sepadan dengan pemikiran masing pembaca. Apabila ada yang
kurang mohon ditambahkan. Sekian Terima Kasih.

11
DAFTAR PUSTAKA

www.wikipedia.org
Thaib, Dahlan. 1994. Pancasila Yuridis Ketatanegaraan(Edisi Revisi), UPP AMP YKPN,
Yogyakarta

12

Anda mungkin juga menyukai