Anda di halaman 1dari 56

1 2

Indradjaja Makainas , Rieneke Lusia Evani Sela


1. DESAIN PANEL ABSORPSI DIFUSOR BUNU

1. Pendahuluan
Penelitian tentang panel penyerap bunyi dari bahan bunu masih kurang bahkan di
provinsi Sulawesi Utara belum pernah dilakukan.
Seperti diketahui penelitian yang sudah ada ialah oleh Khuriati, Ainie dan Nur,
Muhammad dan Komaruddin dengan judul Disain Peredam Suara Berbahan Dasar
Sabut Kelapa dan Pengukuran Koefisien Penyerapan Bunyinya yang dipublikasi di
jurnal BERKALA FISIKA, 9 (1). Pp. 15-25. ISSN 1410 - 9662 pada tahun 2006 Universitas
Diponegoro Semarang, juga dari Universiti Kebangsaan Malaysia yang berjudul Acoustic
Properties of Multi-Layer Coir Fibers Sound Absorption Panel oleh R. Zulkifli, M.J.Mohd
Nor, M.F. Mat Tahir, A.R. Ismail dan M.Z. Nuawi yang dimuat pada jurna l Applied
Sciences, 8: 3709-3714 tahun 2008. Hasi penelitian yang di temukan oleh tim peneliti
UNDIP ialah α = 0,51, oleh peneliti dari UKM mendapat α = 0,7- 0,85 untuk rentang
frekwensi 500-2500 Hz, ini belum mencapai α maksima lkarena masih setara dengan
rockwool dan serat sintetis (synthetic fibers) glass wool yang umum dijual di pasaran,
Pemahaman tentang kenyamanan akustik di lingkungan masyarakat terutama
pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia belum begitu dimengerti, oleh
ebab itu perlu adanya informasi berupa penelitian untuk menunjukan bagaimana
manusia bias hidup nyaman dalam menikmati percakapan atau pidato, music didalam
ruang tertutup maupun terbuka.
Ketergantungan kepada bahan sejenis yang diproduksi di luar negeri serta dari
bahan sintetis yang bias merusak lingkungan perlu diatasi dengan memanfaatkan bahan
terbuang yang banyak terdapat dimana-mana di Indonesia yaitu bunu yang punya
kelebihan karena mempunyai karakter berserat (coirfibre), serbuk (cocopeat) dan
berpori sehingga cocok untuk dibuat sebagai bahan penyerap bunyi.
Pembuatan panel penyerap buny idari bunu dilakukan secara manual, gampang
oleh masyarakat setempat pria maupun wanita sehingga dapat menjadi solusi dalam
memberdayakan sumber daya manusia dalam mengentaskan kemiskinan.
Kebutuhan akan panel penyerap bunyi semakin tinggi karena kebutuhan
masyarakat yang ingin menikmati music dirumah dengan membuat teater rumah (home
theater), studio karaoke, studio radio/TV. Panel penyerap bunyi ini berfungsi juga
sebagai bahan dekorasi ruang interior untuk itu penampilannya harus idesain dengan
penampilan yang artistic atau diekspos seadanya sebagai penampilan alamiah. Untuk
lebih memasyaratkan kenyamanan akustik dengan penataan yang menggunakan bahan
bunu, maka diperlukan aplikasi penataan akustik dengan bahan panel akustik tersebut
di kalangan mahasiswa Unsrat juga bagi masyarakat di provinsi Sulawesi Utara dan
sekitarnya.

2. Bahan dan Metode


2.1. Perambatan Bunyi
Dasar dari mekanisme perambatan bunyi didalam Ruangan Tertutup terdapat
empat fenomena yang ada pada proses perambatan bunyi yaitu: pemantulan (reflection),
penyerapan (absorption), difraksi (diffraction), perpencaran (diffusion)
Perambatan bunyi terdiri dari dua jenis yaitu yang menimpa secara tegak lurus
pada bidang yang dituju (vertical propagation) dan yang membuat sudut terhadap
bidang pemantul (oblique propagation). Jika disekitar sumber bunyi dan pendengar
terdapat bidang pemantul maka pendengar akan mendengar bunyi langsung dan bunyi
pantulan seperti pada Gambar 1 dimana didalam sebuah Auditorium konser ada empat
lintasan bunyi pantulan yaitu dari dua sisi dinding (R 1 dan R2), plafond (R3) dan dari
belakang panggung (R4). Namun pemantulan bisa juga terjadi dari balkon, dinding
belakang, dan bidang pemantul lainnya.

Gambar 1. Lintasan Bunyi Langsung dan Bunyi Pantulan


(Sumber: Beranek, 1962)

Apabila pantulan bunyi berlangsung lama akibat kerasnya bidang didalam ruangan
maka akan terjadi dengung yang berkepanjangan sehingga menganggu pembicaraan
karena tertutup oleh dengung yang mempunyai RT (Waktu Dengung) lama. Untuk
mencegah terjadinya RT yang lama maka diperlukan bahan penyerap bunyi yang
ditempel pada dinding, digantung serta menutup lantai.

2.2. Pemantulan bunyi


Terjadi jika gelombang bunyi menimpa salah satu pembatas ruangan, maka
sebagian energinya akan dipantulkan dari permukaannya , sebagian diserap dan bagian
lainnya ditransmisi. Semakin masif permukaan bidang maka semakin tinggi bagian
energi bunyi yang terpantul konsekwensinya energi bunyi yang terserap dan ditransmisi
menjadi lebih kurang. Ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini yang sifatnya sama
dengan terjadi pada energi gelombang air laut.

Gambar 2. Pemantulan, Penyerapan dan Transmisi Bunyi


(Egan,1972)

2.3. Penyerapan bunyi


Penyerapan bunyi terjadi jika permukaan bidang adalah lembut berpori yang mana
sangat banyak menyerap getaran buny,i tetapi ini sangat buruk untuk pemantul bunyi.
Penyerapan bunyi didalam ruangan adalah ketika energi bunyi hilang disaat menimpa
permukaan bidang pembatas ruangan.
Tipe utama dari penyerap bunyi yaitu : bahan berpori, Penyerap membran (panel).
Lihat Gambar 3.

Gambar 3. Karaktristik Penyerapan dari Penyerap Berpori


(Parkin, 1969)

Bahan yang dipakai pada tipe penyerap berpori ini adalah papan fiber, wool,
blanket insulasi dan sebagainya.
Untuk tipe penyerap bunyi panel ini biasanya memakai bahan seperti panel
plafond gantung yang biasanya menggunakan pegas ( agar ikut beresonansi) , jendela
ganda, dan sebagainya.

2.4. Difusor
Difusor dipakai untuk mengatasi gema didalam ruangan dipergunakan untuk
membehahi ketimpangan / penataan bunyi didalam ruangan seperti gema. Sebagai
alternatif atau pelengkap absorpsi bunyi sebab itu tidak menyalurkan energi bunyi,
tetapi mereduksi gema dan pantulan bunyi .Difusor dibuat dari berbagai macam bahan.
Manfred R. Schroeders' menemukan Difusor pertama kalinya pada tahun 1970. Difusor
dapat dilihat pada kedua contoh dibawah ini pada Gambar 4.
MLS DIFUSOR (WIKIPEDIA) BLOK DIFUSOR (ARDHANA PUTRA)

Gambar 4. Material Difusor

Besarnya penyerapan dapat diketahui dengan mengetahui koefisien penyerapan


bunyi yang diberi lambang α dengan nilai dari 0 hingga 1. α = 0 berarti tidak ada
penyerapan suara sedangkan jika α = 1 berarti seluruh (100%) bunyi terserap, itu adalah
lubang dinding (bukaan).

Gambar 4. Koefisien Serapan Bukaan Jendela, Dinding Bata, Fuzz (Serat


(Sumber: Egan, 1972)
penyerap serabutan)

Ketebalan panel penyerap bunyi juga sangat mempengaruhi besarnya α suatu bahan
seperti dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

frekuensi (Hz)

Gambar 5. Karakteristik Penyerapan dari Penyerap Membran


(Sumber: Egan, 1972)

Kemampuan menyerap bunyi dapat dilihat pada tabel koefisien serapan (absorption
coefficient α) berikut ini.
Tabel 1. Data Penyerap Bunyi Bahan Bangunan, Perabot
(Sumber: Egan, 1972)

3. Hasil dan Pembahasan: Desain Panel Absorpsi Difusor Bunu


Langkah awal dalam penelitian ini ialah mengadakan survei referensi standar luas
bidang, ukuran di laboratorium kalibrasi Akustik di LIPI Serpong dan ITB Bandung
selanjutnya mencari data desain sejenis dibeberapa perguruan tinggi seperti di UGM
Jogyakarta, UNS Surakarta, Balai Besar Kerajinan Batik di Jogyakarta dan AKAS di desa
Rantewringin Kebumen Jawa Tengah.
Hasil penelitian yang sudah dilakukan pada perguruan tinggi tersebut tidak berada
di laboratorium karena dibawa pulang oleh para peneliti.
Penelitian dilakukan di workshop AKAS milik bapak Darda dan ibu Ismiwati di
desa Rantewringin Kebumen. Gambar desain diberikan dilanjutkan dengan penyesuaian
pengerjaannya terutama cara kerja yang mudah dipraktekan di daerah pemukiman
pedesaan oleh masyarakat khususnya kaum wanita.
Ide awal adalah dengan mengembangkan panel dengan cara tenun seperti pada
Gambar 6 di India yang ternyata tidak cocok karena terlalu masif ini tidak cocok sebagai
bahan absorpsi bunyi begitu pula penampilannya didentifikasi masyarakat umumnya
sebagai keset pintu. Berat panel tidak cocok dipasang pada dinding atau plafond.

Gambar 6.Pembuatan Panel Bunu di India (Sumber: Wikipedia)


Diputuskan untuk membuat panel dengan cara menyusun secara berlapis masing masing
setebal 0,5 cm yang nantinya direkatkan dengan lem Latex kemudian disesuaikan
ketebalannya sesuai ketebalan yang diinginkan .

3.1. Desain Panel


Dengan mempertimbangkan faktor berat, kelenturan, pengerjaan panel dari
bahan bunu, maka ditentukan :
Ukuran : Panel indrabunu 01 sebagai dasar : Panjang = 100 cm
Lebar = 100 cm
Tebal = 2,5 cm
Panel indrabunu 02 : BidangDasar = 10 cm x 10 cm
Tinggi = 7,48 cm
Sudut kemiringan sisi = 56o

Sesuai keperluan pengukuran di laboratorium Dengung, maka setiap jenis panel dibuat
12 lembar seluas 12 m2 untuk panel Indrabunu 01 dan 12 lembar Panel Indrabunu 02.
Masing-masing jenis dibuat tambahan 3 lembar untuk cadangan jika ada yang rusak.
Kita liha tgambar rancangan panel pada Gambar 7 berikut ini .

(PANEL INDRABUNU 02)

7,48 cm

2,5 cm

Gambar 7. RencanaUkuran Panel Indrabunu 01 dan 02

Lintasan energi bunyi yang menimpa panel datar dan piramida dapat dilihat seperti
pada Gambar 8 berikut ini. Pada panel datar energi bunyi memantul dengan sudut yang
sama dengan sudut arah datang. Energi bunyiakan terpantul dan sebagian terserap.
Besarnya energi bunyi yang terpantul tergantung dari kerasnya bidang sedangkan
besarnya energi terserap tergantung pada pori-pori yang ada pada bidang datar
tersebut. Pada piramida energi bunyi terserap oleh sisi- sisi piramida disampingnya
sehingga energy bunyi terpencar lemah.

Gambar 8.Lintasan Bunyi pada Panel Datar dan


Piramida 3.2. Pengerjaan Panel Bunu
1. Panel Indrabunu 01
Pengadaan bahan Bunu dengan membeli dari para petani kopra maupun dari
rumah tangga, kemudian di uraikan dengan menggunakan mesin untuk
memisahkan serat (coir) dan serbuk (peat). Yang dipaka iialah serat.Serat bunu
dijemur selama cuaca cerah sehari. Tahapan pengerjaan dimulai dengan
mempersiapkan alat perlengkapan cetakan dengan ukuran 202 cm x 101 cm
seperti pada Gambar 9 berikut ini.

CETAKAN DAN PIPA PENGGILING LAPISAN PANEL DATAR SEBAGAI DASAR

Gambar 9. Cetakan Panel dan Lapisan Panel Indrabunu 01

Setelah panel di beri lem, selanjutnya dipress dengan alat secara manual hingga
merata dan padat seperti pada Gambar 10 dibawah ini, kemudian dijemur sampai
lemnya mongering .Tahap berikut ialah merapikan pinggiran panel dengan cara
membungkusnya dilem kemudian dipress lagi terakhir dijemur kembali.

LEMBARAN PANEL SELESAI


PANEL DIPRESS HINGGA MERATA

MERAPIKAN TEPI PANEL DENGAN LEMBARAN SABUT KELAPA PENJEMURAN KEMBALI SETELAH DIPRESS

Gambar10. Proses akhir Panel Indrabunu 01

2. Panel Indrabunu 02
Piramida dibuat dengan membuat pola yang nantinya dilipa lalu dilem dengan
latex. Lembaran tipis 0,5 cm dipotong kemudian diisi dengan coir supaya bisa
menahan daya terpaan energi bunyi sehingga bentuknya tetap . Setelah piramida-
piramida selesai dibuat sebanyak 100 buah untuk 1 panel maka dipasang dengan
cara melekatkan dan ditempel diatas panel Indrabunu 01 sebagai dasarnya.
Selesai dilekatkan panel ini dijemur untuk mengeringkan perekatnya.Itu bias
dilihat pada Gambar 11 dibawah ini.
Gambar11. Proses Pembuatan Panel Indrabunu 02
3.3. Pengukuran Kalibrasi NRC dan α
Panel-panel bunu sebanyak 30 lembar yang diisi didalam 5 buah peti berukuran 120
x 120 x tinggi 40 cm, di kirim ke Laboratorium Akustik Pusat Penelitan Metrologi LIPI
Serpong Tangerang Jawa Barat. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali selama 2 hari.

2. Analisa Kebisingan di Bengkel Kerja Akademi Maritim Nusantara

Kebisingan (noise) telah menjadi aspek yang berpengaruh di lingkungan kerja dan komunitas
kehidupan yang sering kita sebut sebagai polusi suara dan sering kali dapat menjadi bahaya bagi
kesehatan[5] Menurut Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. KEP 48/MENLH/11/1996 definisi bising adalah bunyi yang tidak
diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan dan kenyamanan lingkungan.
Bising adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara dengan intensitas dan frekuensi yang
tidak menentu Jenis kebisinganberdasarkan mekanismepenyebaran dan perambatan energi bunyi adalah:
2 Struktur-Borne Noise, yaitu kebisingan yang dihasilkan oleh perambatan getaran struktur komponen dari
suatusystem struktur atau
bagian yang bergetar tersebutakan meradiasikan atau merambatkan nergi akustik dalam bentuk
gelombang longitudinal. Sumber energy tersebut diperoleh dari adanya kerusakan atau tidak
seimbangnya bagian serta gerakan bolak-balik dari suatu system.
3 Liquid-Borne Noise, yaitu kebisingan yang ditimbulkan oleh adanya perambatan Fluktuasi tekanan fluida,
sehingga terjad getaran kolom fluida, pusaran fluida, bunyi aliran dan kavitasi.
4 Air-borne Noise, yaitu kebisingan yang merambat melalui fluktuasi tekanan yang timbul di udara
Perambatan kebisingan melalui dua media seperti ini akan saling berkaitan. Dimana jika terjadi suatu
suatu perambatan bunyi yang bersumber dari struktur, maka getaran struktur akan dapat
menggetarkanudara disekelilingnya. Pada saat yang sama udara yang bergetar tersebut akan
menggetarkan struktur kembali[6]
Nilai Ambang Batas Kebisingan dan Standar Kebisingan
Nilai batas ambang kebisingan adalah 85 dB yang dianggap aman untuk sebagaian besar tenega kerja
bila bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Nilai ambang batas untuk kebisingan ditempat kerja adalah
intensitas tertinggi dan merupakan rata-rata yang masih dapat diterima tenega kerja tanpa mengakibatkan
hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu teus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam
seminggunya. Berikut ini tabel waktu maksimum untuk bekerja.

Tabel 1. Waktu Maksimum Bekerja


Tingkat Kebisingan Pemaparan
No
(dBA) Harian
1. 85 8 Jam
2. 88 4 Jam
3. 91 2 Jam
4. 94 1 Jam
5. 97 30 menit
6. 100 15 menit

Setelah pengukuran kebisingan dilakukan, maka perlu dianalisis apakah kebisingan tersebut dapat
diterima oleh telinga. Berikut ini standar atau kriteria kebisingan yang ditetapkan oleh berbagai pihak
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.718/ Men/ Kes/ Per/ XI/ 1987, tentang
kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan.
Tabel 2. Pembagian Zona Bising Oleh Menteri
Kesehatan
Tingkat Kebisingan (dBA)
No Zona Maksimum yang Maksimum yang
dianjurkan diperbolehkan
1 A 35 45
2 B 45 55
3 C 50 60
4 D 60 70

Zona A diperuntukan bagi tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan dsb, Zona B
diperuntukan perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya, Zona C diperuntukan untuk
perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan sejenisnya serta Zona D industri, pabrik, stasiun kereta
api, terminal bis, dan sejenisnya.
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian survey dengan pendekatan crosesctional. Lokasi Penelitian
dilaksanakan di Bengkel AMN, alat yang dipergunakan dalam penelitian adalah sound level meter sebuah
alat pengkiran kebisingan yang telah dikalibrasi. Pengukuran dilakukan pada semua ruangan atau tempat
yang
ada bengkel yang memungkinkan sebagai tempat kegiatan. Setiap tempat dilakukan pengukuruan
kebisingan sebanyak sepuluh kali dan dirata-rata.

Hasil dan Pembahasan


Denah bengkel AMN diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Denah Bengkel AMN

Hasil penelitian diperlihatkan pada tabel 3 yang merupakan hasil rata rata pengukuran dan dibandingkan
dengan standar maksimum kebisingan menurut ILO maupun dari Pmerintah Indonesia.
No Uraian Kebi- Standar Standar
singan ILO kesehatan
(dB) maks
1 Ruang 52 85 60
Crane
2 Ruang 110 85 jam 60
Boiler kerja
mnyesu-
aikan
3 Gate 55 85 60
4 Raung 50 85 60
Mesin
Bubut
5 Ruang 50 85 60
Mesin
bantu
6 Ruang 52 85 60
alat
7 Lab 50 85 60
Gambar
8 Lab 55 65 60
Listrik
9 Lab 50 85 60
Fisika
10 Ruang 50 85 60
Staf
11 Ruang 110 110 jam 100
mesin kerja bekerja
utama menyes 15 menit
uikan

Berdasarkan hasil penelitian diatas maka sebagian besar masih di ambang batas maksimum yang
diperkenankan. Hal ini mennujukan bahwa kapal tersebut nyaman untuk beraktivitas dan sehat menurut
atuaran kesehatan karena masih di bawah nilai ambang batas kesehatan. Jaminan kesehatan sangat penting
karena pengaruh kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan sangat nyata, hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan hubungan yang signifikan antara lama pemaparan kebisingan menurut masa kerja dengan
keluhan subyektif tenaga kerja, keluhan subyektif tersebut antara lain berkurang daya pendengaran, pusing
pusing, mual mual dan hipertensi [7].
Terdapat hubungan bermakna antara bising dan fungsi pendengaran pada teknisi mesin kapal [8],
penelitian yang sama juga mengatakan bahwa [9] intensitas kebisingan berpengaruh signifikan terhadap
Noise Induced Hearing Loss (NIHL) atau tuli setelah dikoreksi dengan umur dan lama paparan, hasil
penelitian yang masih
diambang batas jika paparan dalam waktu yang lama juga aka nada dampaknya. Kebisisngan
adalah salah satu indikator bahaya dalam keselamatan kerja di bidang perkapalan. Penelitian
[10] [11] mengemukakan bahwa salah
satu indikator keselamatan pekerja adalah bagaimana meminimalkan resiko-resiko bahaya
antaranya bahaya fisik yaitu kebisingan. Untuk meminimalkan resiko tidak lain dengan
mengubah perilaku dari tenaga kerja agar lebih disiplin dalam menjalankan prosedur kerja
dan penggunaan alat pelindung diri[12].
Pengurangan kebisingan sangat diperlukan walaupun hasil penelitin masih di bawah
standar ILO dan pemerintah [13]. Dari pengukuran menggunakan simulasi, ditemukan bahwa
lapisan viskoelastik efektif dalam mengurangi kebisingan benturan lantai saat digunakan
dengan lapisan yang dibatasi. Bagaiman menciptakan sebuat perisai (shielding) untuk
mengurang intensitas kebsingan menjadi sangat penting, salah satunya dengan bahan paltik
dan karpet.Tiak kalah pentingnya adalah progam keselamatan kerja perlu dilaksanakan agar
prilaku tenaga kerja dapat meningkatkan
keselamatan dan kesehatan kerja [1] Pada
laboratorim mesin utama dan bolier yang kebisingan 110 dB perlu perhatian yang lebih
karena efek yang akan ditimbulkan akan lebih cepat, rotasi kerja pada masinis dan pemakaian
alat pelindung diri (APD) akan menjadi salah satu solusi. Kebisingan dalam kamar mesin juga
bias dikurangi dengan sistem pelumasan yang baik sehingga gesekan yang terjadi pada mesin
dapat dikurangi atau diperhalus. Hasil penelitian
Hendrawan (2018) [1], [2], [14], [15]
menyimbulkan bahwa kebersihan merupakan hal yang harus diberhatikan selain kebisingan,
karena sesuatu yang bersih akan dapat mengurangi intensitas kebisingan.
Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja dapat diupayakan dengan pelatihan
secara rutin, mengadakan toolbook meeting, safety meeting yang di dalamnya merupakan
bagian dari perencanaan program kesehatan dan
keselamatan kerja [16]–[18]. Penelitian
Hendrawan (2019) menunjukan bahwa.
sebagian besar responden berpendidikan SLTA dan telah diadakan pelatihan Dasar Kesehatan
dan keselamatan kerja yang di dalam terdapat materi tentang Undang dan peraturan keehatan
dan keselamatan kerja. Hal terpenting bagaimana kebisingan dapat dikendalikan secara teknis
dan manajemen dan akhir bila tidak memungkinkan maka diperlukan APD[11], [12], [19] .

3. Analisa Mampu Redam Suara Komposit Serat Sabut Kelapa


Dengan Matriks
Polyvinyl Acetate (Lem Fox)
Harman Said 1), Lukas Kano Mangalla 2), Budiman Sudia 3)

1. Teori Dasar Klasifikasi Material


Secara konvensional, material padat di bedakan menjadi 3 kelompok, antara
lain:
1. Logam,
2. Komposit,
3. Keramik.
Pengelompokan atau pengategorian ini terutama di dasarkan pada susunan atom dan
kimiawi. Selain ketiga jenis material tersebut, terdapat juga jenis material, seperti
polimer, komposit, semikonduktor dan bio material.
Komposit
Material komposit merupakan gabungan lebih dari 1 macam material. Contoh
yang paling umum adalah fiber glass, yang terdiri atas serat gelas (keramik) sebagai
penguat di dalam material polimer. Komposisi di desain untuk menperoleh efek
sinergis dari sifat-sifat material penyusunnya. Pada fiber glass, misalnya, material di
desain agar memiliki kekuatan yang cukup tinggi (kontribusi dari material gelas),
tetapi memiliki fleksibilitas yang cukup baik (kontribusi dari material polimer).
(Sofyan, 2011).
Pengertian komposit adalah bahan yang terbentuk apabila dua atau lebih
komponen yang berlainan di gabung. Komposit adalah bahan hibrida yang terbuat
dari resin polimer di perkuat dengan serat, menggabungkan sifat-sifat mekanik dan
fisik. Ilustrasi ikatan dan sifat fisik polimer dapat di lihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pembentukan material komposit menggunakan matrix dan
filler
Klasifikasi Komposit
Berdasarkan matriks yang digunakan komposit dapat di
kelompokkan atas:
1. PMC: (Polymer Matriks Composite)
Polimer merupakan matriks yang paling umum digunakan pada
material komposit. Karena memiliki sifat yang lebih tahan terhadap
korosi dan lebih ringan. Matriks polimer terbagi atas 2, yaitu termoset
dan termoplastik. Perbedaannya polimer termoset tidak dapat di daur
ulang sedangkan termoplastik dapat di daur ulang sehingga lebih
banyak di gunakan. Jenis- jenis termoplastik yang biasa di gunakan
adalah polypropylene (PP), polytrylene (PS), polyethylene (PE) dan
lain-lain.
Berdasarkan strukturnya komposit dibedakan atas:
a. Particulate composit materials (komposit partikel) merupakan jenis
komposit yang menggunakan partikel atau butiran sebagai filler
(pengisi). Partikel berupa logam atau non logam dapa digunakan
sebagai filler.
b. Fibrous composite materials (komposit serat) terdiri atas dua
komponen penyusun yaitu matriks dan serat.
c. Structural composite materials (komposit berlapis) terdiri dari
sekurang-kurangnya dua material berbeda yang direkatkan
bersama- sama. Proses pelapisan di lakukan dengan
mengkombinasikan aspek terbaik dari masing-masing lapisan untuk
memperoleh bahan yang berguna.
2. MMC: (Metal Matriks Composite)
Metal matriks composite adalah salah satuh jenis komposit yang memiliki
matriks logam. MMC mulai di kembangkan sejak tahun 1996. Pada mulanya
yang di teliti adalah continous filame MMC yang digunakan dalam industri
penerbangan.
Sesuai namanya, material ini memiliki matriks dan logam yang bersifat ulet.
Umumnya material ini dapat di pakai pada suhu lebih tinggi dari suhu material
logamnya. Berbagai jenis logam dapat di pakai berbagai matriks komposit.
Bentuk penguatnya dapat berupa partikel, serat dan whisker.
3. CMC: (Ceramic Matriks Composite)
Keramik merupakan material yang tahan oksidasi dan ahan terhadap suhu
tinggi, namun memilki kerapuhan luar biasa, dengan nilai ketangguhan patah
yang sangat rendah. Sifat ketangguhan patah ini berhasil di perbaiki dengan
mencampur keramik tersebut dengan penguat yang berbentuk partikel, serat atau
whiskers yang juga terbuat dari keramik. Whisker yang berada pada komposit
bermatriks keramik meningkatkan ketangguhan dengan
cara menghambat propogasi retak, tetapi tetap saja tipe petahan dari material ini
bertipe getas (Sofyan, 2011).
Matriks
Menurut Gibson R.F (1994) mengatakan matriks dalam struktur komposit
bisa berasal dari bahan polimer, logam maupun keramik. Matriks secara umum
berfungsi untuk mengikat serat menjadi satu struktur komposit.
Pada material komposit matriks memberikan pengaruh yang lebih besar
dalam pengikatan material penyusun, selain bertugas untuk mendistribusikan
beban dan memberikan perlindungan dari pengaruh lingkungan.
Polyvinyl Acetate (PVAc)/Lem Fox
Polyvinyl Acetate (PVAc) atau dapat disebut juga lem putih yang digunakan
sebagai lem kayu dan kertas merupakan salah satu produk jenis polimer emulsi. Polimer
emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau
campuran monomer dipolimerisasikan didalam air dengan perubahan surfaktan untuk
membentuk suatu produk polimer emulsi yang bisa disebut lateks. Lateks didefenisikan
sebagai disperse koloidal dari partikel polimer dalam medium air. Bahan utama didalam
polimerisasi emulsi selain dari monomer dan air adalah surfaktan, inisiator, dan zat
pengalih rantai (Siregar 2004).

Gambar 2. Polyvinyl acetate


Produk-produk polimer emulsi ini merupakan bahan yang banyak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai jenis sector indusri. Dalam industry tekstil
sebagai macam emulsi digunakan dalam proses pengkanjian (sizing), pencapan
(printing), dan penyempurnaan (finishing). Dalam industry cat tembol berbagai macam
polimer emulsi digunakan sebagai pengikat dan pengental. Polimer emulsi digunakan
sebagai perekat dalam industri kayu lapis dan pengerjaan furniture selain itu sifat
khusus dari beberapa kopolimer emulsi yang lengket terhadap aksi tekanan merupakan
suatu sarana bagi penggunaan material tersebut sebagai lem striker dan lem celorape
yang
dikenal dengan lem peka tekanan (Siregar, 2004). Polyvinyl Acetate adalah suatu
polimer karet sintesis. Polyvinyl acetate dibuat dari monomernya, vinil asetat (vinyl
acetate monomer,VAM). Senyawa ini ditemukan di jerman oleh Dr. Flitz Klatte pada
tahun 1912.
Filler
Filler adalah bahan pengisi yang di gunakan dalam pembuatan komposit,
biasanya berupa serat atau serbuk. Serat yang sering digunakan dalam pembuatan
komposit antara lain serat glass, boron, carbon dan lain sebagainya. Penggunaan serat
juga bisa berasal dari serat alami yaitu seperti serat kenaf, jute, rami, cantula dan lain
sebagainya.
Beberapa jenis serat yang biasa digunakan adalah:
a. Serat glass
Sangat umum digunakan dalam industry karena bahan baku yang sangat banyak
tersedia. Komposisi serat glass mengandung silica yang berguna memmberikan
kekerasan, fleksibilitas dan kekakuan. Proses pembentukan serat glass melalui proses
fusion (melting) terhadap silica dengan campuran mineral oksida. Pada proses ini
diberikan pendingan yang sangat cepat untuk pembentukan kristalisasi yang
sempurna, proses ini biasa disebut dengan fiberization.
b. Serat karbon
Salah satu keunggulan serat karbon adalah sangat unggul terhadap ketahanan
fatik, tidak rentang terhadap beban patahan dan mempunyai elastic recovery yang
baik. Perkembangan serat karbon tergolong sangat cepat untuk aplikasi penerbangan,
produk olahraga dan berbagai kebutuhan industri. Sebagai bahan anorganik, serat
karbon tidak berpengaruh oleh kelembaban, atsmofer, pelarutan basa dan weak acid
pada temperature kamar. Namun oksidasi menjadi permasalahan pada serat karbon
pada suhu tinggi dimana impuritis dapat menjadi katalisator dan menghambat proses
oksidasi yang menyebabkan kemurnian serat karbon tidak tercapai.
c. Serat aramid
Serat aramid memiliki kekuatan yang sangat tinggi dibandingkan dengan rasio berat
yang dimilikinya. Pada awalnya aramid fiber diproduksi oleh
E.I Du Ponde Nemours & Company, Inc. dengan merek Kevlar yang di pakai sebagai
fiber penguat dalam produksi ban dan plastik.
d. Serat alam
Serat alami meliputi serat yang diproduksi oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan
proses geologis. Serat jenis ini bersifat dapat mengalami pelapukan. Serat alami dapat di
golongkan dalam beberapa jenis seperti serat tumbuhan, serat kayu, serat hewan dan
serat mineral. Serat alami seperti serat pohon kelapa dapat berupa serat sabut kelapa.
Serat Sabut Kelapa
Sabut kelapa merupakan bahan yang mengandung lignoselulosa yang dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu alternative bahan baku Sabut kelapa, kulit kelapa yang
terdiri dari serat yang terdapat diantara kulit dalam yang keras (batok), tersusun kira-
kira 35% dari berat total buah kelapa yang dewasa. Untuk varietas kelapa yang berbeda
tentunya presentase di atas akan berbeda pula.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi serat adalah sebagai penguat bahan
untuk memperkuat komposit sehingga sifat mekaniknya lebih kaku, tangguh dan lebih
kokoh dibandingkan dengan tanpa serat penguat, selain itu serat juga menghemat
penggunaan resin.
Peredam suara yang dibuat mutunya juga sudah sebanding dengan produk yang ada
dipasaran. Komposisi yang paling baik untuk peredam adalah
campuran serat dan daging sabut. Peningkatan komposisi serat pada campuran
dapat meningkatkan puncak penyerapan. Pemberian rongga udara antara sampel
dan dinding meningkatkan penyerapan. Peningkatan massa jenis sampel yang
dihasilkan dari bahan dengan berat komposisi yang sama dan jenis perekat yang
sama menyebabkan kenaikan penyerapan pada frekuensi rendah. (Ainie Khuriati,
2006).
Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia,
sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life). Karena hampir
seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun dan buahnya dapat dipergunakan
untuk kebutuhan kehidupan manusia sehari-hari. Unsur pada buah kelapa yaitu
sabut kelapa diambil setelah pengangkatan daging kelapa dan digunakan dalam
industri sabut untuk pembuatan benang dan produk-produk berbasis coir seperti
karpet, tikar dari kulit dan sabut sekitar 20-30%. Serat putih (yang lebih lentur)
yang diperoleh dari kelapa hijau. Serat coklat yang diperoleh dengan pemanenan
kelapa matang dipanen setelah 6-10 bulan pada tanaman (Romels. 2011). Inilah
salah satu gambar serat sabut kelapa yang terlihat pada Gambar 3.

Ga mbar 3. Serat dan buah kelapa

Struktur serat ditentukan oleh dimensi dan pengaturan sel-sel berbagai unit,
dan yang juga mempengaruhi sifat serat. Serat adalah sel memanjang dengan ujung
runcing dan sangat tebal dinding sel berlignin. Bagian penampang dari sel unit
dalam serat memiliki pusat
berongga yang dikenal sebagai lumen dan bahwa bentuk dan ukuran tergantung
pada dua faktor seperti ketebalan dari dinding sel dan sumber serat. Rongga
berfungsi sebagai isolator akustik dan thermal sehingga menurunkan bulk density
serat.
Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas,
arang, ter, tannin, dan potassium. Salah satu produk yang dapat diolah dari tanaman
kelapa adalah serabut kelapa. Namun saat ini pemanfaatan serabut kelapa masih sangat
kurang dikalangan masyarakat. Hal ini diakibatkan kurangnya pemahaman tentang nilai
ekonomi produk ini. Disisi lain teknologi dan informasi pasar tentang serabut kelapa
belum banyak diketahui oleh masyarakat. Produk primer dari pengolahan sabut kelapa
terdiri
atas serat (serat panjang), bristle (serat halus dan pendek), dan debu sabut. Serat
dapat diproses menjadi serat berkaret, matras, geotextile, karpet, dan produk-produk
kerajinan atau industri rumah tangga. Matras dan serat berkaret banyak digunakan
dalam industry jok, kasur, dan pelapis panas (Rindengan, dkk.,1995).
Sabut kelapa memiliki beberapa sifat yaitu tahan lama, kuat terhadap gesekan, tidak
mudah patah, tahan terhadap air (tidak mudah membusuk), dan tahan terhadap jamur
dan hama (Ulfa, 2006). Selain itu, sabut kelapa juga mempunyai kelebihan dapat
menahan kandungan air dan potensial didayagunakan sebagai adsorben (penyerap)
polutan logam berat yang sangat berbahaya bagi manusia (Faozi, 2009). Kelebihan serat
serabut kelapa (coir fiber) menurut choir institute yang terdapat di
www.Rumahsabut.com yaitu:
1. Anti ngengat, tahan terhadap jamur dan tidak mudah membusuk
2. Memberikan insulasi yang sangat baik terhadap suhu dan suara
3. Tidak mudah terbakar
4. Flame-retardant
5. Tidak terkena kelembaban
6. Alot dan tahan lama
7. Resilient, mata kembali kebentuk konstan bahkan setelah digunakan.
8. Totally statis
2. Teori Dasar Klasifikasi Material
Secara konvensional, material padat di bedakan menjadi 3 kelompok, antara
lain:
1. Logam,
2. Komposit,
3. Keramik.
Pengelompokan atau pengategorian ini terutama di dasarkan pada susunan
atom dan kimiawi. Selain ketiga jenis material tersebut, terdapat juga jenis
material, seperti polimer, komposit, semikonduktor dan bio material.
Komposit
Material komposit merupakan gabungan lebih dari 1 macam material. Contoh
yang paling umum adalah fiber glass, yang terdiri atas serat gelas (keramik)
sebagai penguat di dalam material polimer. Komposisi di desain untuk
menperoleh efek sinergis dari sifat-sifat material penyusunnya. Pada fiber
glass, misalnya, material di desain agar memiliki kekuatan yang cukup tinggi
(kontribusi dari material gelas), tetapi memiliki fleksibilitas yang cukup baik
(kontribusi dari material polimer). (Sofyan, 2011).
Pengertian komposit adalah bahan yang terbentuk apabila dua atau lebih
komponen yang berlainan di gabung. Komposit adalah bahan hibrida yang
terbuat dari resin polimer di perkuat dengan serat, menggabungkan sifat-sifat
mekanik dan fisik. Ilustrasi ikatan dan sifat fisik polimer dapat di lihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Pembentukan material komposit menggunakan matrix dan filler


Klasifikasi Komposit
Berdasarkan matriks yang digunakan komposit dapat di kelompokkan atas:
1. PMC: (Polymer Matriks Composite)
Polimer merupakan matriks yang paling umum digunakan pada material
komposit. Karena memiliki sifat yang lebih tahan terhadap korosi dan lebih
ringan. Matriks polimer terbagi atas 2, yaitu termoset dan termoplastik.
Perbedaannya polimer termoset tidak dapat di daur ulang sedangkan
termoplastik dapat di daur ulang sehingga lebih banyak di gunakan. Jenis- jenis
termoplastik yang biasa di gunakan adalah polypropylene (PP), polytrylene
(PS), polyethylene (PE) dan lain-lain.
Berdasarkan strukturnya komposit dibedakan atas:
a. Particulate composit materials (komposit partikel) merupakan jenis
komposit yang menggunakan partikel atau butiran sebagai filler (pengisi).
Partikel berupa logam atau non logam dapa digunakan sebagai filler.
b. Fibrous composite materials (komposit serat) terdiri atas dua komponen
penyusun yaitu matriks dan serat.
c. Structural composite materials (komposit berlapis) terdiri dari sekurang-
kurangnya dua material berbeda yang direkatkan bersama- sama. Proses
pelapisan di lakukan dengan mengkombinasikan aspek terbaik dari masing-
masing lapisan untuk memperoleh bahan yang berguna.

2. MMC: (Metal Matriks Composite)


Metal matriks composite adalah salah satuh jenis komposit yang memiliki
matriks logam. MMC mulai di kembangkan sejak tahun 1996. Pada mulanya
yang di teliti adalah continous filame MMC yang digunakan dalam industri
penerbangan.
Sesuai namanya, material ini memiliki matriks dan logam yang bersifat ulet.
Umumnya material ini dapat di pakai pada suhu lebih tinggi dari suhu material
logamnya. Berbagai jenis logam dapat di pakai berbagai matriks komposit.
Bentuk penguatnya dapat berupa partikel, serat dan whisker.
3. CMC: (Ceramic Matriks Composite)
Keramik merupakan material yang tahan oksidasi dan ahan terhadap suhu
tinggi, namun memilki kerapuhan luar biasa, dengan nilai ketangguhan patah
yang sangat rendah. Sifat ketangguhan patah ini berhasil di perbaiki dengan
mencampur keramik tersebut dengan penguat yang berbentuk partikel, serat
atau whiskers yang juga terbuat dari keramik. Whisker yang berada pada
komposit bermatriks keramik meningkatkan ketangguhan dengan cara
menghambat propogasi retak, tetapi tetap saja tipe petahan dari material ini
bertipe getas (Sofyan, 2011).
Matriks
Menurut Gibson R.F (1994) mengatakan matriks dalam struktur komposit bisa
berasal dari bahan polimer, logam maupun keramik. Matriks secara umum
berfungsi untuk mengikat serat menjadi satu struktur komposit.
Pada material komposit matriks memberikan pengaruh yang lebih besar dalam
pengikatan material penyusun, selain bertugas untuk mendistribusikan beban
dan memberikan perlindungan dari pengaruh lingkungan.

Polyvinyl Acetate (PVAc)/Lem Fox


Polyvinyl Acetate (PVAc) atau dapat disebut juga lem putih yang digunakan
sebagai lem kayu dan kertas merupakan salah satu produk jenis polimer
emulsi. Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas
dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan didalam air
dengan perubahan surfaktan untuk membentuk suatu produk polimer emulsi
yang bisa disebut lateks. Lateks didefenisikan sebagai disperse koloidal dari
partikel polimer dalam medium air. Bahan utama didalam polimerisasi emulsi
selain dari monomer dan air adalah surfaktan, inisiator, dan zat pengalih rantai
(Siregar 2004).

Gambar 2. Polyvinyl acetate


Produk-produk polimer emulsi ini merupakan bahan yang banyak digunakan
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai jenis sector indusri. Dalam
industry tekstil sebagai macam emulsi digunakan dalam proses pengkanjian
(sizing), pencapan (printing), dan penyempurnaan (finishing). Dalam industry
cat tembol berbagai macam polimer emulsi digunakan sebagai pengikat dan
pengental. Polimer emulsi digunakan sebagai perekat dalam industri kayu lapis
dan pengerjaan furniture selain itu sifat khusus dari beberapa kopolimer emulsi
yang lengket terhadap aksi tekanan merupakan suatu sarana bagi penggunaan
material tersebut sebagai lem striker dan lem celorape yang

dikenal dengan lem peka tekanan (Siregar, 2004). Polyvinyl Acetate adalah
suatu polimer karet sintesis. Polyvinyl acetate dibuat dari monomernya, vinil
asetat (vinyl acetate monomer,VAM). Senyawa ini ditemukan di jerman oleh
Dr. Flitz Klatte pada tahun 1912.
Filler
Filler adalah bahan pengisi yang di gunakan dalam pembuatan komposit,
biasanya berupa serat atau serbuk. Serat yang sering digunakan dalam
pembuatan komposit antara lain serat glass, boron, carbon dan lain sebagainya.
Penggunaan serat juga bisa berasal dari serat alami yaitu seperti serat kenaf,
jute, rami, cantula dan lain sebagainya.
Beberapa jenis serat yang biasa digunakan adalah:
a. Serat glass
Sangat umum digunakan dalam industry karena bahan baku yang sangat
banyak tersedia. Komposisi serat glass mengandung silica yang berguna
memmberikan kekerasan, fleksibilitas dan kekakuan. Proses pembentukan
serat glass melalui proses fusion (melting) terhadap silica dengan campuran
mineral oksida. Pada proses ini diberikan pendingan yang sangat cepat untuk
pembentukan kristalisasi yang sempurna, proses ini biasa disebut dengan
fiberization.
b. Serat karbon
Salah satu keunggulan serat karbon adalah sangat unggul terhadap ketahanan
fatik, tidak rentang terhadap beban patahan dan mempunyai elastic recovery
yang baik. Perkembangan serat karbon tergolong sangat cepat untuk aplikasi
penerbangan, produk olahraga dan berbagai kebutuhan industri. Sebagai bahan
anorganik, serat karbon tidak berpengaruh oleh kelembaban, atsmofer,
pelarutan basa dan weak acid pada temperature kamar. Namun oksidasi
menjadi permasalahan pada serat karbon

pada suhu tinggi dimana impuritis dapat menjadi katalisator dan menghambat
proses oksidasi yang menyebabkan kemurnian serat karbon tidak tercapai.
c. Serat aramid
Serat aramid memiliki kekuatan yang sangat tinggi dibandingkan dengan rasio
berat yang dimilikinya. Pada awalnya aramid fiber diproduksi oleh
E.I Du Ponde Nemours & Company, Inc. dengan merek Kevlar yang di pakai
sebagai fiber penguat dalam produksi ban dan plastik.
d. Serat alam
Serat alami meliputi serat yang diproduksi oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan
proses geologis. Serat jenis ini bersifat dapat mengalami pelapukan. Serat
alami dapat di golongkan dalam beberapa jenis seperti serat tumbuhan, serat
kayu, serat hewan dan serat mineral. Serat alami seperti serat pohon kelapa
dapat berupa serat sabut kelapa.
Serat Sabut Kelapa
Sabut kelapa merupakan bahan yang mengandung lignoselulosa yang dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu alternative bahan baku Sabut kelapa, kulit
kelapa yang terdiri dari serat yang terdapat diantara kulit dalam yang keras
(batok), tersusun kira-kira 35% dari berat total buah kelapa yang dewasa.
Untuk varietas kelapa yang berbeda tentunya presentase di atas akan berbeda
pula.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi serat adalah sebagai penguat
bahan untuk memperkuat komposit sehingga sifat mekaniknya lebih kaku,
tangguh dan lebih kokoh dibandingkan dengan tanpa serat penguat, selain itu
serat juga menghemat penggunaan resin.
Peredam suara yang dibuat mutunya juga sudah sebanding dengan produk
yang ada dipasaran. Komposisi yang paling baik untuk peredam
adalah

campuran serat dan daging sabut. Peningkatan komposisi serat pada campuran
dapat meningkatkan puncak penyerapan. Pemberian rongga udara antara
sampel dan dinding meningkatkan penyerapan. Peningkatan massa jenis
sampel yang dihasilkan dari bahan dengan berat komposisi yang sama dan
jenis perekat yang sama menyebabkan kenaikan penyerapan pada frekuensi
rendah. (Ainie Khuriati, 2006).
Seluruh bagian pohon kelapa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia,
sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life). Karena
hampir seluruh bagian dari pohon, akar, batang, daun dan buahnya dapat
dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan manusia sehari-hari. Unsur pada
buah kelapa yaitu sabut kelapa diambil setelah pengangkatan daging kelapa
dan digunakan dalam industri sabut untuk pembuatan benang dan produk-
produk berbasis coir seperti karpet, tikar dari kulit dan sabut sekitar 20-30%.
Serat putih (yang lebih lentur) yang diperoleh dari kelapa hijau. Serat coklat
yang diperoleh dengan pemanenan kelapa matang dipanen setelah 6-10 bulan
pada tanaman (Romels. 2011). Inilah salah satu gambar serat sabut kelapa yang
terlihat pada Gambar 3.
Ga mbar 3. Serat dan buah kelapa
Struktur serat ditentukan oleh dimensi dan pengaturan sel-sel berbagai unit,
dan yang juga mempengaruhi sifat serat. Serat adalah sel memanjang dengan
ujung runcing dan sangat tebal dinding sel berlignin. Bagian penampang dari
sel unit dalam serat memiliki pusat

berongga yang dikenal sebagai lumen dan bahwa bentuk dan ukuran
tergantung pada dua faktor seperti ketebalan dari dinding sel dan sumber serat.
Rongga berfungsi sebagai isolator akustik dan thermal sehingga menurunkan
bulk density serat.
Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid,
gas, arang, ter, tannin, dan potassium. Salah satu produk yang dapat diolah dari
tanaman kelapa adalah serabut kelapa. Namun saat ini pemanfaatan serabut
kelapa masih sangat kurang dikalangan masyarakat. Hal ini diakibatkan
kurangnya pemahaman tentang nilai ekonomi produk ini. Disisi lain teknologi
dan informasi pasar tentang serabut kelapa belum banyak diketahui oleh
masyarakat. Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri
atas serat (serat panjang), bristle (serat halus dan pendek), dan debu sabut.
Serat dapat diproses menjadi serat berkaret, matras, geotextile, karpet, dan
produk-produk kerajinan atau industri rumah tangga. Matras dan serat berkaret
banyak digunakan dalam industry jok, kasur, dan pelapis panas (Rindengan,
dkk.,1995).
Sabut kelapa memiliki beberapa sifat yaitu tahan lama, kuat terhadap gesekan,
tidak mudah patah, tahan terhadap air (tidak mudah membusuk), dan tahan
terhadap jamur dan hama (Ulfa, 2006). Selain itu, sabut kelapa juga
mempunyai kelebihan dapat menahan kandungan air dan potensial
didayagunakan sebagai adsorben (penyerap) polutan logam berat yang sangat
berbahaya bagi manusia (Faozi, 2009). Kelebihan serat serabut kelapa (coir
fiber) menurut choir institute yang terdapat di www.Rumahsabut.com yaitu:
1. Anti ngengat, tahan terhadap jamur dan tidak mudah membusuk

2. Memberikan insulasi yang sangat baik terhadap suhu dan suara


3. Tidak mudah terbakar
4. Flame-retardant
5. Tidak terkena kelembaban
6. Alot dan tahan lama
7. Resilient, mata kembali kebentuk konstan bahkan setelah
digunakan.
8. Totally statis

persamaan fraksi. Fraksi pada pembuatan komposit terdiri dari 2 yaitu fraksi
volume serat dan fraksi berat komposit. Apabila dalam pembuatan komposit
yang diketahui adalah massa jenis serat ( ρ f) dan massa jenis matriks ( ρ m)
maka, komposit dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 1-4-2.4.
9. Mudah dibersihkan.
10. Mampu menampung air 3x beratnya
11. Sabut 15 kali lebih lama dari pada kapas untuk rusak
12. Sabut 7 kali lebih lama dari rami untuk rusak
13. Sabut geotextilles adalah 100 % bio- degradable dan ramah lingkungan.
persamaan fraksi. Fraksi pada pembuatan komposit terdiri dari 2 yaitu fraksi
volume serat dan fraksi berat komposit. Apabila dalam pembuatan komposit
yang diketahui adalah massa jenis serat ( ρ f) dan massa jenis matriks ( ρ m)
maka, komposit dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 1-4-2.4.

4. TINGKAT KEBISINGAN PADA PERUMAHAN DI PERKOTAAN

Moch Fathoni Setiawan

a. Pengertian dan Dasar-dasar Kebisingan


Menurut Leslie (1993), kebisingan adalah semua bunyi yang mengalihkan perhatian,
mengganggu atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Sebagai definisi standart, tiap bunyi
yang tidak diinginkan oleh penerima dianggap sebagai bising. Sejalan dengan itu, Harris,
Cyril M. (1979) menyatakan kebisingan adalah bunyi yang tidak dikehendaki karena tidak
sesuai dengan ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan kenyamanan dan
kesehatan manusia. Hal yang senada juga terdapat dalam pasal 1 Keputusan Menlh nomor
KEP-48/MENLH/11/1996, FHWA Departemen Transportasi USA (1995) dan Satwiko, P.
(2004).
Sedangkan menurut Sv Szokolay (1979) kebisingan didefinisikan sebagai getaran-
getaran yang tidak teratur, memperlihatkan bentuk yang tidak biasa. Faktor-faktor yang
mempengaruhinya antara lain adalah pola intensitas, frekuensi, dan pembangkitan (kontinu
versus acak). Dalam hal ini, suara yang paling tersusun kiranya adalah musik, dan yang paling
tidak tersusun adalah bising. Pola bicara terletak kira-kira diantara kedua ujung ini (Gambar
1).

Gambar 1. Macam-macam pola frekuensi suara


Pengertian kebisingan diatas bisa menjadi jelas jika kita pahami sebelumnya mengenai
tiga unsur dari suara. Apabila keyboard dari piano ditekan, seseorang menangkap
"nyaringnya", "tingginya" dan "nada" suara yang dipancarkan. Ini adalah tolak ukur yang
menyatakan mutu sensorial dari suara dan dikenal sebagai "tiga unsur dari suara". Sebagai
ukuran fisik dari "kenyaringan", ada amplitude dan tingkat tekanan suara. Untuk "tingginya"
suara adalah frekwensi, lihat pula Gambar 4 mengenai sumber bunyi dan frekuensinya.
Tentang nada, ada sejumlah besar ukuran fisik, kecenderungan jaman sekarang adalah
menggabungkan segala yang merupakan sifat dari suara, termasuk tingginya, nyaringnya dan
distribusi spektral sebagai "nada". (Sumber: Environmental Pollution Control Center, Osaka
Prefecture. Pengertian Dasar Tentang Kebisingan, Environmental Technology Information)

Tingkat Kebisingan
Analisa Mampu Redam Suara Komposit Serat Sabut Kelapa Dengan Matriks

Polyvinyl Acetate (Lem Fox)

Harman Said 1), Lukas Kano Mangalla 2), Budiman Sudia 3)


Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 718 tahun 1987 tentang kebisingan yang
berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayah dalam empat zona.
1. Zona A adalah zona untuk tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial. Tingkat
kebisingannya berkisar 35 – 45 dB.
2. Zona B untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Angka kebisingan 45 – 55 dB.
3. Zona C, antara lain perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dengan kebisingan sekitar 50 – 60 dB.
4. Zona D bagi lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api, dan terminal bus. Tingkat kebisingan 60 – 70 dB.
Menurut Leslie, 1993, Tingkat bising latar belakang yang dapat diterima dalam
bangunan tempat tinggal dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tipe-Tipe Kebisingan
Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam Keputusan Menteri LH (1996) menyatakan
kebisingan sebagai suara yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan
waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan
Keputusan Menteri LH No.48 Tahun 1996. Tentang: Baku Tingkat Kebisingan menyatakan
bahwa kebisingan sebagai suara yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat
dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan. Sedangkan Wardhana (2001) membagi kebisingan atas tiga macam berdasarkan
asal sumbernya yaitu:
a. Kebisingan impulsif, yaitu kebisingan yang datangnya tidak secara terus-menerus akan tetapi sepotong-
sepotong.
b. Kebisingan kontinyu, yaitu kebisingan yang datang secara terus-menerus dalam waktu yang cukup lama.
c. Kebisingan semi kontinyu (intermittent), yaitu kebisingan kontinyu yang hanya sekejap, kemudian hilang
dan mungkin akan datang lagi.
Tipe kebisingan lingkungan yang tertuang dalam KMNLH (1996) dapat dilihat pada
Tabel 3.

Definisi Uraian
Jumlah kebisingan Semua kebisingan di suatu tempat tertentu dalam suatu waktu tertentu pula.
Kebisingan spesifik Kebisingan di antara jumlah kebisingan yang dapat dengan jelas dibedakan untuk alasan-
alasan akustik. Seringkali sumber kebisingan dapat diidentifikasikan.
Kebisingan residual Kebisingan yang tertinggal sesudah penghapusan seluruh kebisingan spesifik dari jumlah
kebisingan di suatu tempat tertentu dalam suatu waktu tertentu.
Kebisingan latar belakang Semua kebisingan lainnya ketika memusatkan perhatian pada suatu kebisingan tertentu.
Sumber: Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1996

Kebisingan dan Kesehatan


Gangguan bunyi hingga tingkat tertentu dapat diadaptasi oleh fisik namun syaraf
dapat terganggu. Kekerasan bunyi dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia,
bila berlangsung terus menerus, kekerasan bunyi sebesar 30-65 dB akan mengganggu selaput
telinga dan menyebabkan gelisah, 65-90 dB akan merusak lapisan vegetatif manusia (jantung,
peredaran darah dll), bila mencapai 90 -130 dB akan merusak telinga (Satwiko, P. 2004).
Bising yang cukup keras, diatas sekitar 70 dB, dapat menyebabkan kegelisahan (nervousness),
kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah. Bising
yang sangat keras (diatas 85 dB) bila berlangsung lama dapat mengakibatkan kehilangan
pendengaran secara permanen atau sementara (Leslie, 1993). Menurut Gabriel (1993)
disamping
menyatakan pengaruh utama dari kebisingan adalah pada indera pendengar, dimana kerusakan
yang timbul dibagi atas: 1) Hilangnya pendengaran secara temporer/sementara dan dapat
pulih kembali apabila bising tersebut dapat dihindarkan, 2) Orang menjadi kebal atau imun
terhadap bising, 3) Telinga berdengung dan 4) Kehilangan pendengaran secara menetap dan
tidak pulih kembali, juga menyatakan bahwa kebisingan dapat juga mengganggu konsentrasi,
meningkatnya kelelahan pada frekuensi rendah, sedangkan pada frekuensi tinggi dapat
menyebabkan salah tafsir pada saat bercakap-cakap.
Efek kebisingan terhadap kesehatan yang dijadikan patokan oleh WHO untuk
kebisingan lingkungan adalah: Gangguan; kemampuan berbicara dan gangguan komunikasi;
Gangguan untuk mendapatkan
informasi; gangguan tidur serta kerusakan pendengaran (Birgitta, 1999)
Sejalan dengan pengertian kebisingan sebelumnya, apabila suatu
suara mengganggu orang yang sedang membaca atau mendengarkan musik,
maka suara itu adalah kebisingan bagi orang itu meskipun orang-orang lain
mungkin tidak terganggu oleh suara tersebut. Meskipun pengaruh suara
banyak kaitannya dengan faktor-faktor psikologis dan emosional, ada kasus-
kasus di mana akibat- akibat serius seperti kehilangan pendengaran terjadi
karena tingginya tingkat kenyaringan suara pada tingkat tekanan suara
berbobot A atau karena lamanya telinga terpasang terhadap kebisingan
tersebut.

5. Penelitian Mengenai Kebisingan pada Perumahan di Berbagai Kota di


Indonesia
Kebisingan Kota Yogyakarta

Mediastika (2003) dalam penelitiannya pada perumahan di Yogyakarta


menyatakan bahwa sumber kebisingan yang dominan dari bangunan
perumahan adalah kebisingan lalu lintas, sebagaimana yang terjadi pada
rumah tinggal terutama di perkotaan di Wilayah Amerika (Amerika
Latin, USA), Uni Eropa,

Wilayah pacific barat (Australia, RRC dan Jepang), Asia Tenggara


(India, Indonesia, Thailand) menurut WHO (World Health Organization)
dalam Brigitta B. (ed) 1999.

Mediastika (2003) menyatakan bahwa kebisingan lalulintas terutama


adalah kebisingan dari motor yang merupakan pemasok terbesar dari
kebisingan lalu-lintas. Hal diatas sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Nyoman A.D.S., I Gede & Siti Malkhamah (2003), bahwa
tingkat kebisingan yang terjadi sangat

dipengaruhi oleh volume lalu lintas dan kecepatan kendaraan.

Penelitian yang dilakukan oleh Arifin Efendi & Siti Malkhamah (2003)
terhadap tingkat kebisingan lalulintas di perumahan di kota Yogyakarta
menunjukkan tingkat kebisingan lalulintas di lingkungan perumahan tipe
tertutup (perumahan Jambu Sari Yogyakarta) adalah antara 60,7 dB(A) –
68,5 dB(A) yang lebih rendah dari perumahan tipe terbuka (perumahan
Candi Gebang, Yogyakarta) sebesar 70,8 dB(A) – 74,5 dB(A). Keduanya
memperlihatkan bahwa kebisingan yang terjadi telah melampau baku
mutu kebisingan yang telah ditetapkan oleh Gubernur DIY no
214/KPTS/1991 dimana untuk lingkungan perumahan dengan batas
maksimal 60 dB(A).

Penelitian yang dilakukan Iswar & Siti Malkamah (2005) di Perumahan


Dosen UGM- Sekip Yogyakarta juga memperlihatkan tingkat kebisingan
melebihi baku mutunya, yaitu 55 dB

(A) (Pemprov DIY, 2004) seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Tingkat Kebisingan di Lingkungan Perumahan Dosen UGM-


Sekip

Lokasi Tingkat kebisingan, Leq dB(A)

Tepi Jalan 74,03

Halaman 67,80

Teras 66,87

Ruang Tamu 62,70

Ruang Keluarga 59,47

Ruang Belajar 60,60

Ruang Tidur 52,10 Sumber: Iswar (2005)

Dari tabel diatas terlihat bahwa tingkat kebisingan rata-rata di tepi


Perumahan Dosen UGM-Sekip tersebut bila dibandingkan dengan
penelitian sejenis yang dilakukan Efendi (2003) di perumahan Jambu
Sari Indah dan Candi Gebang, Yogyakarta memiliki nilai yang lebih
tinggi, hal ini disebabkan jalan-jalan di Perumahan Dosen UGM-Sekip
banyak dilewati

oleh lalulintas menerus dengan kecepatan yang relatif tinggi (sekitar 30


km/jam).

Kebisingan Kota Jakarta

Penelitian Hendro (2004) dengan Judul “Tingkat Kebisingan Di DKI


Jakarta dan Sekitarnya” juga menghasilkan temuan tingkat kebisingan di
perumahan (dalam penelitian ini kebisingan perumahan diukur 80 m dari
jalan) sudah sangat melampaui Keputusan Menlh No.

48 Tahun 1996, bahwa kebisingan di perumahan sebesar 55 dB, yaitu


tingkat kebiisingan tertinggi di Jakarta Barat (69,64 dB) dan terendah
terjadi di Tangerang (63,59 dB).

Hasil penelitian secara lebih lengkap dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Tingkat kebisingan terendah pada titik 0 meter dari jalan raya terjadi
di Pondok Indah (69,10 dBA), sedangkan yang tertinggi di Jalan Raya
Bekasi (84,0 dBA). Kemudian pada 80 meter dari jalan raya tingkat
kebisingan terendah ditemui di Jalan Imam Bonjol, Tangerang (58,13
dBA), sedangkan yang tertinggi di Manggarai (76,10 dBA)

2. Pada titik 80 meter dari jalan raya, yaitu yang diasumsikan sebagai
daerah pemukiman, tidak ada lokasi yang memenuhi baku mutu yang
berlaku (< 55 dBA). Tercatat 10 lokasi (30,3%) yang tingkat
kebisingannya <65 dBA. Pada lokasi 0 meter dari jalan raya, hanya 2
lokasi (6,06 %) yang tingkat kebisingannya < 70 dBA, selebihnya
melebihi 70 dBA.

3. Tingkat kebisingan rata-rata tertinggi pada titik 0 meter terjadi di


Jakarta Barat (81,53 dBA) dan terendah di Bekasi (76,30 dBA),
sedangkan pada 80 meter dari jalan raya tingkat kebisingan tertinggi juga
di Jakarta Barat (69,64 dBA) dan terendah di terjadi di Tangerang (63,59
dBA).

4. Prosentase perbedaan tingkat kebisingan antara titik sampling pada 0


meter dan 80 meter dari jalan raya yang tertinggi terjadi di Kebon Sirih,
Jakarta Pusat (26,94 %), sedangkan prosentase terendah terjadi di
Pakuan, Bogor (0,79%). Prosentase perbedaan tingkat kebisingan di
Wilayah DKI Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan prosentase di
Wilayah Jabodetabek maupun Botabek. Perbedaan mean tingkat
kebisingan antara kedua titik lokasi tersebut.bermakna. Hal ini
membuktikan bahwa tingginya intensitas lalu lintas kendaraan bermotor
berpengaruh terhadap naiknya tingkat kebisingan.

Penelitian di kedua kota diatas memberikan gambaran bahwa kebisingan


lalu lintas pada lingkungan perumahan di kota-kota di Indonesia telah
melampaui baku mutu kebisingan yang disyaratkan dan tingkat
kebisingan dipengaruhi oleh tingginya intensitas lalu-lintas kendaraan
bermotor.
Pengendalian Kebisingan

Pengendalian kebisingan secara umum harus merujuk pada penataan


bunyi yang menurut Satwiko, P. (2004) akan melibatkan 4 (empat)
elemen, yaitu sumber suara (Sound source), media, penerima bunyi
(receiver) dan gelombang bunyi. Sejalan dengan itu menurut Egan, M.D.
(1998), pengurangan kebisingan dapat dilakukan paada 3 (tiga) aspek,
yaitu sumber (source), media (sound path) dan penerima (receiver).

Pada elemen pertama dan ketiga, peran arsitek sangat sedikit,


pengendalian bising pada sumbernya lebih merupakan tugas engineer,
sedangkan elemen ketiga bersifat subjektif jika melibatkan manusianya
sendiri sebagai

penerima, tetapi jika menyangkut misalnya alat peredam pada telinga, ini
masih menjadi tugas engineer. Hanya elemen kedua yang dapat diolah
oleh arsitek dalam menangani kebisingan, dimana media bunyi
merupakan sarana bagi gelombang bunyi untuk merambat dari sumber ke
penerima, yaitu dapat berupa zat gas (udara), cair maupun padat.
Menurut Satwiko (2004) dan Leslie (1993), gelombang bunyi dapat
merambat langsung melalui udara dari sumbernya ke telinga. Selain itu,
sebelum sampai ke telinga manusia, gelombang bunyi dapat juga
terpantul-pantul terlebih dahulu oleh permukaan bangunan, menembus
dinding, membelok, meyebar atau merambat melalui struktur bangunan.
Perjalanan bunyi dari sumbernya ke telinga akan sangat mentukan
karakter (kualitas dan kuantitas) bunyi tersebut. Oleh karena itu
pengolahan ‘jalan’ bunyi tadi menjadi sangat penting untuk mendukung
‘pengolahan’ bunyi agar sesuai dengan keinginan penerima bunyi.

Pengolahan ‘jalan’ bunyi yang dalam hal ini bertujuan untuk mengurangi
kebisingan yang diterima oleh penerima dapat dilakukan dengan cara:
Pertama, memperpanjang jalannya media perambatan dengan cara
menjauhkan antara sumber suara dengan penerimanya. Menggandakan
jarak antara sumber dan penerimanya dapat menyebabkan intensitas
bunyi berkurang seperempatnya dan tingkat bunyi berkurang 6 dB (ref
O.H. Koenigsberger, dkk. 1975; Satwiko, P. 2004; Kang, Jiang, dkk,
2004; Sneider, Antoni 2005). Cara ini bisa dilakukan hanya pada rumah
dengan lahan yang luas, sementara adanya keterbatasan lahan
diperkotaan dan harga lahan yang semakin mahal serta pada tipe-tipe
kecil di perumahan hal ini sudah tidak memungkinkan.

Kedua, memberi penghalang antara sumber dengan penerima,


penghalang dapat berupa dinding penghalang (ref David H.F. Liu and
Bela

G. Liptak (ed). 1999; Satwiko, P. 2004; Moore,

J.E. 1978; Mediastika. 2003; Knuden, Vern O. dan Cyril M. Harris,


1978; Szokolay. 1979; Egan, M.D. 1988; Putri Kusuma dkk. 2003),
barier tanaman (Knuden, Vern O. dan Cyril M. Harris, 1978), maupun
fasade bangunan itu sendiri. Penelitian dengan dinding penghalang sudah
pernah dilakukan Mediastika (2003) pada perumahan menengah kebawah
di Yogyakarta, hasilnya mampu menurunkan kebisingan lalu- lintas
minimum sebesar 10 dB. Dengan catatan digunakan barier setinggi 1,5 m
dengan jarak antara barier ke fasade bangunan antara 2-3 m dan jarak
antara sumber dengan barier antara 3-4 m.

Senada dengan Mediastika, penelitian yang dilakukan oleh Putri Kusuma


dkk, 2003 di Denpasar memperlihatkan bahwa nilai koefisien

(c) peredaman kebisingan berbagai jenis penghalang dari yang terbesar


adalah Pagar Masif (0,12), berikutnya Pagar Tertutup Semak (0,09),
Pagar dengan Pohon (0,03) dan Pagar Berlobang (0,03). Dengan catatan
bahwa pagar masif berbahan baku batu bata dengan ketinggian 1,8 meter
dan tebalnya adalah 25 cm ternyata mampu mereduksi kebisingan
sebesar 12%.

Sedangkan pengendalian kebisingan dengan tanaman, menurut Knuden,


Vern O. dan Cyril M. Harris, (1978), bahwa pagar tanaman setebal 2 feet
(0,610 m) mampu mengurangi kebisingan sebesar 4 dB. Kecilnya
pengurangan kebisingan yang bisa dihasilkan dibandingkan dengan
ketebalan pagar tanaman, menjadikan pengolahan ini jarang dilakukan.
Pengendalian kebisingan pada fasade dapat dilakukan dengan

menutup atau memperkecil bukaan dinding seperti jendela atau lobang


ventilasi, namun cara ini perlu memperhatikan kondisi iklim di Indonesia
yang beriklim tropis lembab, dengan salah satu ciri umum adalah
temperatur udara yang relatif panas, sehingga dengan menutup rapat-
rapat lobang dinding, pergerakan udara ke dalam ruang terhambat
akibatnya temperatur panas dalam ruangan tidak dapat dianulir.

Pergerakan udara sendiri berfungsi mempercepat proses penguapan yang


mampu menurunkan panas tubuh dan mendinginkan ruang. Untuk
memenuhi kebutuhan ventilasi udara di dalam ruang, diperlukan bukaan
pada dinding seluas 10% dari luas lantai (O.H. Koenigsberger, dkk.
1975; Szokolay. 1979;

Lippsmeier, Georg. 1994; Soegijanto. 1998;

Karyono, 1999; Satwiko, P. 2004). Penelitian mengenai insulasi suara


pada façade bangunan sudah banyak dilakukan seperti Erni Setyowati,
2001; Gary E. Ehrlic E h, P.E. dan Yuri Gurovich. 2003; Falch, Edward.
2004 kesemuanya memperlihatkan bahwa dengan melakukan insulasi
suara pada fasade dapat mengurangi kebisingan yang masuk ke dalam
ruang.

Penutupan fasade dengan dinding penuh menurut Moore, J.E. 1978


mempunyai nilai insulasi sebesar 50 dB, sedangkan jika semua dinding
fasade terdiri dari jendela kaca yang tertutup, insulasinya sebesar 20 dB.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, kondisi ini tidak memungkinkan
didaerah tropis yang membutuhkan ventilasi alami untuk menurunkan
panas dalam ruangan, terutama pada umumnya rumah menengah
kebawah di perkotaan yang tidakmemungkinkan menggunakan
penghawaan buatan (AC) dengan alasan penghematan energi (biaya).
Dalam O.H.

Koenigsberger, dkk. (1975) dan Szokolay. (1979), dijelaskan bahwa


untuk mengontrol kebisingan dapat dilakukan dengan mereduksi
kebisingan melalui bermacam-macam tipe krepyak pada lobang ventilasi,
bahkan menurut perhitungan O.H. Koenigsberger, dkk. (1975) dengan
krepyak tipe lining dengan sudut miring 45 derajat (standar) jika pada
awalnya bising yang direfleksikan sebesar 95% diubah menjadi 25%,
menghasilkan reduksi sebesar 6 dB, tetapi jika kedua sisi krepyak atas
dan bawah diberi bahan peredam, jadi hanya sebesar 6,25% saja yang
direfleksikan akan menghasilkan total reduksi sampai 12 dB.

Sedangkan penanganan secara non Arsitektural dapat dilakukan dengan


cara membuat kendaraan bermotor yang lewat lingkungan
perumahan menurunkan kecepatannya sampai kurang lebih 20
km/jam sampai 30 km/jam. (Siti Malkhamah, 1993).
6. ANALISA TINGKAT KEBISINGAN LALU LINTAS DI JALAN RAYA DITINJAU
DARI TINGKAT BAKU MUTU KEBISINGAN YANG DIIZINKAN
a. Bunyi

Perlu diketahui bahwa bunyi serupa dengan suara. Dalam bahasa Inggris
bunyi disebut sound, sedangkan suara disebut voice. Dari sudut bahasa,
bunyi tidak sama dengan suara oleh karena bunyi merupakan getaran
yang dihasilkan oleh benda mati sedangkan suara merupakan getaran
(bunyi) yang keluar dari mulut atau yang dihasilkan oleh makhluk hidup.
Bunyi merupakan gelombang longitudinal yang merambat melalui
medium. Medium perambatan bunyi dapat melalui zat padat, cair dan
gas.

Satuan yang digunakan untuk menentukan taraf intensitas bunyi adalah


decibel dB(A) yang merupakan ukuran energi bunyi. Dimana decibel A
merupakan ukuran tingkat tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga
manusia. Satuan decibel A merupakan bilangan perbandingan bunyi yang
paling rendah yang dapat didengar oleh rata-rata manusia.

Karakteristik Kendaraan Bermotor

Menurut MKJI 1997, jenis kendaraan dibagi menjadi 3 golongan.


Penggolongan jenis kendaraan sebagai berikut:

1. Kendaraan berat (HV)

Kendaraan berat adalah kendaraan bermotor dengan lebih dari 4 roda


meliputi bis, truk 2 as, truk 3 as, dan truk kombinasi.

2. Kendaraan ringan (LV)

Kendaraan ringan adalah kendaraan bermotor ber as dua dengan empat


roda dan dengan jarak as 2,0-3,0 m. Kendaraan ini meliputi mobil
penumpang, microbus, pick up, dan truk kecil.

3. Sepeda motor (MC)

Kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 roda, meliputi sepeda motor dan


kendaraan roda 3.

4. Kendaraan tak bermotor (UM)

Kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh manusia atau hewan,


meliputi sepeda, becak, kereta kuda, dan kereta dorong.

Kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang dapat mengganggu pendengaran manusia.


Menurut Salter (dalam Fadilah T.,2016) jumlah sumber bunyi bertambah
secara teratur di lingkungan sekitar, dan ketika bunyi menjadi tidak
diinginkan maka bunyi ini disebut kebisingan.

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no 48 tahun


1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan yang terdapat dalam pasal 1 ayat
1, 2, dan 3.

1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau


kegiatandalam tingkat waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.

2. Tingkat kebisingan adalah ukuran energy bunyi yang dinyatakan


dalam satuan desibel yang disingkat dB.

3. Baku Tingkat Kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan


yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan
sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan.

Dampak Akibat dari Kebisingan

Kebisingan adalah suara yang berlebihan yang tidak diinginkan dan


sering disebut sebagai polusi tidak terlihat yang menyebabkan efek fisik
dan fisiologis pada manusia. Menurut American Academy of
Ophtalologis and Otolaryngology (dalam Arlan, 2011) Bunyi dengan
intensitas berkisar antara 50-55 dB(A) disebut sebagai bunyi keributan
yang dapat mengakibatkan gangguan pada tidur sehingga ketika bangun
badan menjadi Lelah dan letih, sedangkan bunyi dengan intensitas 90
dB(A) dapat mengganggu system saraf otonom. Bising dengan intensitas
140 dB(A) dapat menyebabkan getaran-getaran di dalam kepala, rasa
sakit yang hebat pada telinga, gangguan keseimbangan dan muntah-
muntah.

Selain berdampak pada faktor kesehatan, kebisingan juga memberikan


dampak secara psikologis bagi individu yang terpapar. Dampak yang
ditimbulkan antara lain berupa gangguan emosional seperti kejengkelan
dan kebingungan, kehilangan konsentrasi bekerja dan sebgainya.

Baku Mutu Tingkat Kebisingan

Baku mutu kebisingan adalah batas maksimal tingkat Baku mutu


kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau
kegiatan sehingga tidak menimbulkan
gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Kep.Men LH
No.48 Tahun 1996). Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang
dinyatakan dalam satuan Desibel disingkat dB. Berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
KEP.48/MENLH/11/1996, tanggal 25

November 1996 tentang baku tingkat kebisingan Peruntukan Kawasan


atau Lingkungan Kegiatan dapat dilihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Baku Mutu Kebisingan

NoPeruntukan Kawasan/Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan


dB(A)

1 Perumahan dan

Pemukiman 55

2 Perdagangan dan Jasa 70

3 Perkantoran dan

Perdagangan 65

4 Ruang Terbuka Hijau 50

5 Industri 70

6 Bandar Udara 75

7 Pemerintahan dan Fasilitas Umum 60

8 Rekreasi 70

9 Rumah Sakit atau

Sejenisnya 55

10 Sekolah atau Sejenisnya 55

11 Tempat Ibadah atau

Sejenisnya 55

Zona Kebisingan

Menurut Peraturan menteri kesehatan No. 718 tahun 1987 dalam Sam F
(2012) tentang kebisingan pada kesehatan dibagi menjadi empat zona
wilayah yaitu:

1. Zona A merupakan zona tempat penelitian, rumah sakit, tempat


perawatan kesehatan atau sosial. Tingkat kebisingan yang dianjurkan
berkisar 35-45 dB (A).

2. Zona B merupakan zona untuk perumahan, tempat pendidikan, dan


rekreasi. Intensitas kebisingannya antara 45-55 dB (A).

3. Zona C antara lain zona untuk kegiatan perkantoran, perdagangan,


pasar. Dengan kebisingan sekitar 50-60 dB (A).

4. Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api dan


terminal bus. Tingkat kebisingan berkisar 60-70 dB (A).

Penentuan Tingkat Kebisingan

Pada penelitian ini perhitungan kebisingan dapat dianalisis dengan


distribusi frekuensi. Adapun komponen pada distribusi frekuensi yaitu:

• Range

Range (r) adalah jangkauan data yang diperoleh untuk membatasi data-
data yang akan diolah. Adapun rumus range adalah sebagai berikut:

r = Max – Min (1)

Dimana:

r = Range Max = Nilai Maksimal Min = Nilai Minimal

• Kelas

Menentukan banyaknya jumlah kelas dalam suatu distribusi data


dapatditentukan dengan menggunakan persamaan:

k = 1 + 3,3 log (n) (2) Dimana:

k = Kelas n = Banyaknya data

• Interval Kelas

Interval kelas adalah interval yang diberikan untuk menetapkan kelas-


kelas dalam distribusi, Banyaknya interval kelas dapat di analisis dengan
menggunakan persamaan:

i = r/k (3)

Dimana:

i = Interval Kelas r = Range k = Kelas

• Nilai Tengah Kelas

Nilai tengah kelas adalah nilai yang terdapat di tengah interval kelas.
Nilai tengah dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan:
Dimana:

Leq = Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat Kebisingan


Sinambung Setara ialah nilai tingkat kebisingan dari kebisingan yang
berubah ubah.

n = Banyaknya data

Tn = Nilai Frekuensi

Ln = Nilai Tengah

Model Perhitungan Calculation of Road Traffic Noise

Dalam Pedoman Konstruksi dan Bangunan (Departemen Permukiman


dan Prasarana Wilayah, 2004). Perhitungan tingkat kebisingan dasar
sebagai berikut:

• Tingkat Kebisingan Dasar (Basic Noise Level):

L10 = 42,2 + 10 log Q dB(A) (6)

Dimana:

L10 = Tingkat kebisingan dasar untuk tiap 1 jam (dBA)

Q = volume lalu lintas (kendaraan/jam)

Berikut Persamaan yang digunakan untuk koreksi yang dilakukan


terhadap tingkat kebisingan dasar:

• Koreksi Kecepatan Rata-Rata (V) dan Persentase Kendaraan Berat

C1= 33 log(V+40+500/V) + 10

log(1+5p/V)-68,8 dB(A) (7)

Dimana:

V = kecepatan rata – rata (km/jam) P = persentase kendaraan berat (%)

(BB+BA)/2 (4)

Dimana:

BB = Batas bawah kelas BA = Btasa atas kelas

Dimana:
V=Kecepatan kendaraan gabungan(km/jam)
VMc, VLv, VHv = Kecepatan rata- rata sepeda motor (MC), kendaraan ringan (LV)
dankendaraan berat (HV)
Dimana:
V=Kecepatan kendaraan gabungan(km/jam)

(8)

Dalam statistik, “frekuensi” mengandung


pengertian: angka (bilangan) yang menunjukkan seberapa kali suatu variable (yang
dilambangkan dengan angka-angka itu) muncul dalam deretan angka tersebut.
Kemudian data tersebut diolah untuk mendapatkan data tingkat kebisingan equivalen
dengan menggunakan rumus berikut:
Leq = 10 log 1/n∑Tn.100,1 Ln dB(A) (5)

VMc, VLv, VHv = Kecepatan rata- rata sepeda motor (MC), kendaraan ringan (LV)
dankendaraan berat (HV)
nMC, nLV, nHV = Jumlah sampel untuk sepeda motor (MC), kendaraan ringan (LV)
dankendaraan berat (HV) PHV % = (QHV/Qtotal) x 100% (9)

Dimana:
QHV = volume kendaraan berat (kend/jam).

PHV = Persentase kendaraan berat Qtotal = volume total kendaraan (kend/jam)


• Koreksi Gradien
C2 = 0,3 G dB(A) (10)
Dimana:
G = gradien jalan (%)
• Koreksi permukaan jalan/perkerasan Faktor koreksi tingkat kebisingan berdasarkan
jenis-jenis permukaan perkerasan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Koreksi Permukaan Perkerasan


No Uraian Koreksi
dB(A)
1 Chip Seal 3
2 Beton Semen Portlan 1
3 Beton Aspal Gradasi
Padat-1
4 Beton Aspal Gradasi
Terbuka -5
Sumber: Departemen Pemukiman Dan
Prasarana Wilayah,2004

• KoreksiOleh Jarak dan Tinggi Penerimaan


C4 = -10 Log (d’/13.5) dB(A) (11)

Jarak atau d’ dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai


berikut:

• Koreksi Efek Pemantulan


Faktor koreksi tingkat kebisingan berdasarkan efek pemantulan disajikan dalam Tabel 3

Tabel 3. Faktor Koreksi Efek Pemantulan


No Uraian Koreksi
dB(A)
1 Lapangan Terbang 0
2 1 Meter di depan Gedung 2.5

3 Terdapat dinding
menerus
1
disamping kiri dan
kanan
Sumber: Departemen Pemukiman Dan Prasarana Wilayah,2004

• Prediksi Kebisingan Dasar (Predicted Noise Level):


PNL= BNL + C1 + C2 + C3 +C4 + C5 (13)
nMC, nLV, nHV = Jumlah sampel untuk sepeda motor (MC), kendaraan ringan (LV)
dankendaraan berat (HV) PHV % = (QHV/Qtotal) x 100% (9)

Dimana:
QHV = volume kendaraan berat (kend/jam).

Dimana:
V=Kecepatan kendaraan gabungan(km/jam)

7. SIMULASI REVERBRATION TIME SOUND SYSTEM PADA BANGUNAN SC UNIVERSITAS


ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
a. Bunyi
Bunyi menpunyai dua definisi:
1. Secara fisis
2. Secara fisiologis
Secara umum bunyi menyatakan sensasi pendengaran yang lewat telinga dan timbul karena
penyimpangan tekanan udara.

Gelombang Bunyi
Sama halnya dengan gelombang lainnya, gelombang bunyi dapat diukur dalam
satuan panjang gelombang, frekuensi dan kecepatan rambat. Panjang gelombang
dinotasikan dengan lambang lamda (  ), adalah jarak antara dua titik pada posisi yang
sama yang saling berurutan, misalnya jarak antara dua puncak gunung, atau jarak antara
dua lembah. Frekuensi adalah banyaknya gelombang sinus (satu set kurva sinus terdiri dari
satu gunung dan satu lembah setiap detik. Sesuai dengan nama penemunya, frekuensi
dihitung dalam satuan Hertz (Hz). Kecepatan rambat gelombang bunyi dapat menyebabkan
cacat akustik seperti gaung (pemantulan yang berkepanjangan), gema dan dengung yang
berlebihan.

Intensitas Bunyi
Intensitas didefinisikan sebagai energi yang dibawa sebuah gelombang per satuan
waktu melalui satuan luas dan sebanding dengan kuadrat amplitudo gelombang.
P
I  rata  rata
4r 2

Telinga manusia dapat mendeteksi bunyi dengan intensitas serendah 10 -12W/m2 dan
setinggi 1 W/m2 (dan bahkan lebih tinggi, walaupun di atas ini akan menyakitkan. Ini
merupakan jangkauan intensitas yang luar biasa, mencakup faktor satu triliyun (1012) dari
yang paling rendah sampai paling tinggi. Mungkin karena disebabkan oleh jangkauan yang
lebar ini, kita menganggap kenyaringan tidak sebanding dengan intensitas. Untuk
menghasilkan bunyi yang terdengar dua kali lebih keras dibutuhkan gelombang bunyi yang
intensitasnya 10 kali lipat.

Telinga Manusia
Telinga manusia, merupakan detektor bunyi yang sangat sensitif. Fungsi telinga
adalah untuk secara efisien merubah energi getaran dari gelombang menjadi sinyal listrik
yang dibawa ke otak melalui saraf.
Telinga dibagi menjadi tiga bagian utama dengan baik sekali:
a.Telinga luar
b. Telinga tengah
c.Telinga dalam

Penyerapan Bunyi
Penyerapan bunyi adalah perubahan energi bunyi menjadi suatu bentuk lain,
biasanya panas, ketika melewati suatu bahan atau ketika menumbuk suatu permukaan.
Dalam akustik unsur-unsur yang dapat menunjang penyerapan bunyi:
1. Lapisan permukaan dinding, lantai dan atap.
2. Isi ruangan seperti penontin, bahan tirai, tempat duduk dengan lapisan lunak dan
karpet.
3. Udara dalam ruangan.
Efisiensi penyerapan bunyi suatu bahan pada suatu frekuensi tertentu dinyatakan
oleh koefisien penyerapan bunyi. Koefisien penyerapan bunyi suatu permukaan adalah
bagian energi bunyi datang yang diserap, atau tidak dipantulkan oleh permukaan.
Koefisien ini dinyatakan dalam huruf greek  . Nilai dapat berada diantara 0 dan 1.
Koefisien penyerapan bunyi berubah dengan sudut datang gelombang bunyi pada bahan
dan dengan frekuensi.
Difusi Bunyi
Difusi atau difus adalah gejala terjadinya pemantulan yang menyebar. Karena
gelombang bunyi menerpa permukaan yang tidak rata. Gejala ini dipakai untuk
menghilangkan terjadinya flutter echoes atau pemantulan berulang-ulang
Difusi dapat diciptakan dengan berbagai cara:
1. Pemakaian permukaan dan elemen penyebar yang tidak teratur dalam jumlah
yang banyak sekali, seperti pilaster, pier, balok-balok telanjang, langit-langit
yang terkotak-kotak, pagar balkon yang dipahat dan dinding yang bergerigi.
2. Penggunaan lapisan permukaan pemantul bunyi dan penyerap bunyi secara
bergantian.
3. Distribusi lapisan penyerap bunyi yang berbeda secara tidak teratur dan acak.

Difraksi Bunyi
Difraksi adalah peristiwa menerusnya atau membeloknya perambatan gelombang
bunyi akibat ketidakmampuan penghalang berdimensi kecil untuk menahannya.
Pengalaman memberikan banyak bukti bahwa balkon yang dalam mengakibatkan suatu
bayangan akustik bagi penonton di bawahnya, dan dengan jelas menyebabkan hilangnya
bunyi frekuensi tinggi (panjang gelombang pendek) yang tidak membelok sekitar tepi
balkon yang menonjol. Hal ini menciptakan keadaan mendengar yang jelek di bawah
balkon. Namun difraksi mengurangi cacat akustik ini, walaupun hanya untuk jangkauan
frekuensi audio di bagian tengah.

Waktu Dengung
Bila bunyi tunak (steady) dihasilkan dalam suatu ruang, tekanan bunyi membesar secara
bertahap, dan dibutuhkan berapa waktu (dalam kebanyakan ruang sekitar 1 sekon) bagi
bunyi untuk mencapai nilai keadaan tunaknya. Pentingnya pengendalian dengung dalam
rancangan akustik auditorium telah mengharuskan masuknya besaran standar yang relevan,
yaitu waktu dengung atau reverberation time (RT). Ini adalah waktu agar TTB (Tingkat
Tekanan Bunyi ) dalam ruang berkurang 60 dB setelah bunyi dihentikan. Atau dengan kata
lain waktu dengung adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu sumber bunyi yang
dihentikan seketika untuk turun intensitasnya sebanyak 60 dB dari intensitas awal.
Waktu dengung pada sebuah ruangan akan bergantung pada : Volume ruangan, luas
permukaan bidang-bidang pembentuk ruangan, tingkat penyerapan permukaan bidang, dan
frekuensi bunyi yang muncul dalam ruangan. Waktu dengung dapat dihitung langsung
pada suatu ruangan yang telah dipergungkaan dengan memakai bantuan Sound Level
Meter (SLM) dan stop wacth. Adapun formula sabine berwujud sebagai berikut:
RT  0.15 V
A  xV
PHV = Persentase kendaraan berat Qtotal = volume total kendaraan (kend/jam)
 Koreksi Gradien
C2 = 0,3 G dB(A) (10)
Dimana:
G = gradien jalan (%)
 Koreksi permukaan jalan/perkerasan Faktor koreksitingkat kebisingan berdasarkan jenis-
jenis permukaan perkerasan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Koreksi Permukaan Perkerasan


Koreksi
No Uraian
dB(A)
1 Chip Seal 3
Beton Semen
2 1
Portlan
Beton Aspal Gradasi
3 Padat -1
Beton Aspal Gradasi
4 Terbuka -5
Sumber: Departemen Pemukiman Dan
Prasarana Wilayah,2004

 Koreksi Oleh Jarak dan Tinggi Penerimaan


C4 = -10 Log (d’/13.5) dB(A) (11)

Anda mungkin juga menyukai