Anda di halaman 1dari 131

‫نداء حار‬

‫إلى المسلمين‬
‫من‬
‫حزب التحرير‬
1385 ‫ من ربيع الثاني‬20 ‫الخرطوم‬
1965 ‫ أغسطس‬17
Seruan Hizbut Tahrir
Kepada Kaum Muslim

Wahai kaum Muslim,


Tidak ada seorang pun yang ragu bahwa kalian telah tenggelam dalam
kemerosotan ruhaniah, keterbelakangan material dan intelektual, serta
kemunduran dalam bidang politik. Tidak ada seorang pun yang ragu bahwa
ikatan Islam di tengah-tengah masyarakat kalian sepenuhnya telah terhapus
dan posisinya digantikan oleh ikatan kapitalis, sebuah ikatan yang berasal dari
sistem kufur. Tidak ada seorang pun yang ragu bahwa ikatan ukhuwah
Islamiyah di tengah-tengah kaum Muslim telah terputus dan kedudukannya
telah digantikan oleh ikatan nasionalisme, yakni sebuah ikatan atas dasar
fanatisme kebangsaan. Pada faktanya, ikatan ukhuwah Islamiyah ini telah
dikoyak-koyak berdasarkan satu wilayah dan bangsa tertentu. Akibatnya, ikatan
atas dasar tanah air yang dikenal dengan patriotisme bisa mengambil alih
posisinya, yaitu ikatan ashabiyah (fanatisme) yang bersifat kesukuan.
Dari seluruh pemikiran Islam, tidak ada satu pun yang tersisa pada kalian
kecuali hanya aturan-aturan ibadah semata, dan tidak ada satu pun yang
tersisa dari perasaan Islam kecuali hanyalah spiritualisme kosong belaka.
Semua ini begitu terang—seterang sinar mentari—bagi kalian. Kalian bisa
memahami realitas ini sebagaimana juga bangsa-bangsa lain dari umat manusia
ini. Akan tetapi, yang tidak kalian mengerti tetapi sangat dipahami dengan baik
oleh musuh-musuh kalian adalah kenyataan bahwa kalian telah berada di
ambang kehancuran sebagai umat Islam yang mulia. Kehancuran kalian sebagai
umat Islam yang mulia ditandai dengan punahnya keunikan karakteristik kalian;
rusaknya keutamaan dan keistimewaan kalian; hilangnya pola jiwa terbaik
kalian; biasnya kecemerlangan pola pikir kalian; dan hancurnya kepribadian
Islam kalian. Apalagi sekarang, jumlah orang-orang Muslim yang benar-benar
menjunjung tinggi loyalitasnya hanya untuk Islam di atas loyalitasnya terhadap
yang lain semakin menurun dan berkurang. Keberadaan mereka yang benar-
benar menempatkan Allah, Rasulullah, dan jihad fi sabilillah sebagai prioritas
utama mereka semakin jarang. Perasaan kaum Muslim akan pahitnya sebuah
kekalahan di hadapan orang-orang kafir telah mati. Akibatnya, tidak ada yang
peka akan hal ini kecuali segelintir orang yang tidak terpengaruh oleh
gemerlapnya kehidupan.
Peperangan kaum Muslim sebagai sebuah umat dengan orang-orang
kafir sebagai bangsa dan kelompok manusia telah berlangsung selama 13 abad
secara terus menerus. Konfrontasi Islam sebagai sebuah agama dan pandangan
hidup yang unik, disatu sisi, dengan kekufuran, di sisi lain, juga telah
berlangsung selama 13 abad. Kenyataan ini berlangsung hingga tibanya abad
ke-13 Hijriah (abad ke-19 Masehi) ketika sistem kapitalis—yang merupakan
sebuah sistem kufur—telah menantang sistem Islam, baik menyangkut
berbagai pemikirannya maupun perasaannya. Keadaan ini berlangsung begitu
singkat sebelum kemudian kaum Muslim jatuh dan dikalahkan oleh sebuah
serangan pemikiran yang diikuti dengan serangan politik yang menghancurkan.
Akan tetapi, Islam sebenarnya belum dikalahkan dan tidak akan pernah
dapat dikalahkan. Sebab, hanya Islam satunya-satunya yang menjadi
kebenaran. Masalahnya, bagaimana mungkin Islam masih berada dalam arena
konflik, sedangkan para penganutnya telah dikalahkan dan mereka tidak
menyadari posisinya dalam peperangan ini?
Tantangan musuh-musuh Islam terhadap pemikiran-pemikiran Islam ini
dilakukan dengan cara menyerangnya, baik melalui upaya mengecam maupun
memalsukan keasliannya. Dalam melakukan konfrontasinya terhadap umat
Islam, musuh-musuh Islam berusaha mewujudkan solusi atas berbagai
permasalahan yang baru dan beragam, yakni dengan menjelaskan hukum-
hukum dan tatacara pemecahan masalah-masalah itu (sesuai dengan yang
mereka kehendaki-pen). Memang, posisi kaum Muslim dalam kaitannya
dengan hukum-hukum dan tatacara penyelesaian berbagai masalah tersebut
sangatlah lemah. Memang, mereka pun telah berupaya untuk melakukan
perlawanan, tetapi gagal dan tidak konsisten. Pada akhirnya, mereka dapat
dikalahkan dan dihancurkan tanpa daya sama sekali.
Sistem kapitalis telah menyerang poligami, misalnya, dengan
melontarkan pernyataan bahwa poligami adalah sebuah tindakan yang biadab.
Sebab, melalui poligami, para lelaki bisa menikahi dua, tiga, atau empat wanita.
Kata mereka, tindakan demikian telah melecehkan kehormatan kaum wanita.
Para pengusung ideologi kapitalisme juga memfitnah hukum Islam dalam
masalah talak (perceraian) dengan menyatakannya sebagai bentuk
pengkhianatan terhadap kaum wanita dan penghancuran rumah tangga. Kata
mereka, “Bagaimana mungkin seorang lelaki bisa diperbolehkan untuk
mentalak seorang wanita kapan saja dia inginkan sedangkan mereka telah
disatukan oleh sebuah ikatan abadi?” Mereka menyerang sistem Khilafah dan
melabelinya sebagai sistem kediktatoran. Kata mereka, “Bagaimana mungkin
pemerintahan dan seluruh kewenangannya diserahkan hanya kepada satu
orang yang cenderung berbuat salah dan lalim?” Mereka menyangka bahwa
seorang Khalifah memiliki sebuah kesucian relijius yang memberikan imunitas
kepadanya dari berbagai kritik dan koreksi. Mereka menyerang aktivitas jihad
dengan memandangnya sebagai sebuah agresi terhadap bangsa lain, sekadar
penumpahan darah, serta merupakan tindakan yang sangat brutal dan biadab.
Mereka juga menyerang konsep qadla dan qadar dengan menganggapnya
sebagai bentuk kepasrahan pada kehendak zaman dan sikap frustasi dalam
menanggung beban hidup.
Dengan cara ini mereka mulai meneliti serta menelaah hukum-hukum
syariat dan pemikiran-pemikiran Islam, kemudian mengkritik dan
membantahnya. Mereka menggambarkan pemikiran dan hukum Islam sebagai
pemikiran yang rusak, kontradiktif dengan kebenaran, serta telah memberikan
solusi atas berbagai problem yang ada secara salah. Di samping itu, mereka
mulai menyodorkan sejumlah soslusi atas sejumlah permasalahan sembari
mempertanyakan, apa pandangan Islam berkaitan dengan semua
permasalahan tersebut; apakah Islam akan mampu menghadirkan solusi untuk
menyelesaikannya. Mereka meminta putusan hukum Islam berkaitan dengan
asuransi. Mereka bertanya tentang hubungan perdagangan antarnegara
(internasional), apa yang telah ditetapkan syariat berkaitan dengan hal itu;
apakah Islam mendukung perdagangan bebas ataukah mendukung proteksi
perdagangan. Mereka juga bertanya tentang sistem parlementer dan pemilu
yang bebas, bagaimana pendirian Islam berkaitan dengan hal itu. Mereka
mencari jawaban seputar masalah kecenderungan dalam legislasi (penetapan
hukum), apakah Islam memprioritaskan kecenderungan material atau
kecenderungan spiritual; apakah spirit (substansi) nash ataukah nash itu sendiri
yang dipertimbangkan. Mereka juga bertanya tentang kebebasan umum,
seperti kebebasan individu, kebebasan berpendapat, dan kebebasan agama;
apakah Islam mendukung beberapa kebebasan tersebut. Mereka berfilsafat
tentang aspek spiritual, apakah merupakan proses pemikiran (al-tafkîr) atau
pemikiran (al-fikr) itu sendiri; ataukah hanya moralitas dan keutamaan belaka;
ataukah sebagaimana yang dikatakan orang-orang terdahulu, bahwa ruh (spirit)
itu merupakan lawan dari jasad, dan manusia itu terbentuk dari jasmani dan
ruhani.
Demikianlah, mereka mencermati berbagai permasalahan yang terjadi
dan menimpa manusia, sementara berbagai permasalahan tersebut
sebenarnya hanya terjadi dalam suatu masyarakat yang bercorak kapitalistik
dan tidak akan terjadi dalam masyarakat yang bercorak Islami. Oleh karena itu,
berbagai pertanyaan yang mereka sodorkan, yang sekaligus dimintai solusinya
dari Islam, semuanya lebih merupakan pertanyaan gugatan dan celaan, bahwa
Islam tidak berhubungan dengan semua itu; tidak mampu memberikan
penjelasan apa pun tentang semua itu; dan tidak memiliki kapasitas untuk
memberikan solusi atas semua itu.
Tidak puas hanya dengan itu, para pengusung ideologi kapitalisme juga
mencela perasaan Islam; mereka mencela kesetiaan kaum Muslim yang
berpegang teguh pada hukum-hukum Islam. Kata mereka, kesetiaan pada
hukum-hukum Islam merupakan sikap sektarian dan fanatisme yang
menjijikkan sehingga sikap seperti ini wajib dicela. Mereka juga menyerang
kebencian kaum Muslim terhadap kekufuran dan orang-orang kafir serta
kecintaan mereka pada Islam dan kaum Muslim. Mereka menyebut hal itu
sebagai bentuk fanatisme agama. Sebab, kata mereka, seorang manusia adalah
saudara bagi manusia lain, apakah dia mencintainya ataupun membencinya;
tidak ada perbedaan antara seorang Muslim dan seorang Yahudi. Mereka
menyatakan bahwa setiap orang berhak memilih agama dan pendapat
tertentu, yang seluruhnya hanya sekadar pendapat belaka, tanpa disertai sikap
lebih memilih yang satu atas yang lain. Oleh karena itu, kata mereka, mengapa
mesti ada diskriminasi di antara berbagai agama dan diskriminasi di antara
manusia atas dasar kebencian dan cinta?
Di samping itu, mereka menyulut sentimen nasionalisme. Mereka
memprovokasi perasaan bangsa Turki tentang kedaulatan dan menghasut
mereka untuk menyerang bangsa Arab. Sebaliknya, mereka pun memprovokasi
perasaan bangsa Arab tentang kedaulatan bangsa Arab dan menghasut mereka
untuk menyerang bangsa Turki. Pada saat yang sama, mereka memfitnah
antusiasme Islam yang marah demi membela kesucian Allah dan menyatakan
bahwa hal itu sebagai bentuk fanatisme agama. Mereka mendorong sikap
mengabaikan Islam dan meninggalkan kesetiaan pada hukum-hukumnya.
Mereka menyebut hal itu sebagai bentuk toleransi agama. Mereka juga
mencela ekspresi kemarahan kaum Muslim terhadap kalangan yang mengkritik
al-Quran dan yang menghina Nabi saw atau mencela para sahabat. Mereka
mengklaim bahwa semua itu sebagai bagian dari pembahasan dan perdebatan
ilmiah. Mereka mengatakan, bahwa al-Quran telah menceritakan kisah
Ibrahim, tetapi dalam sejarah, tidak ada seorang pun yang bernama Ibrahim
sebagai bukti kisah ini. Mereka juga mengatakan bahwa Muhammad telah
mengklaim al-Quran berasal dari Allah, tetapi sebenarnya al-Quran itu telah
dibuat oleh dirinya karena kejeniusannya sendiri; ia hanya mengklaim bahwa
al-Quran itu berasal dari Allah agar manusia mau mengikutinya.
Mereka telah menyatakan berbagai hal yang lebih dari itu. Mereka
kemudian bersikeras menuntut kaum Muslim agar tidak perlu bereaksi keras
atas semua kebohongan mereka. Kaum Muslim dipaksa harus menerima
hujatan ini dengan mengatasnamakan penelitian ilmiah! Dengan cara inilah
mereka memburu perasaan yang muncul dari pemikiran Islam, seperti
perasaan bahagia, marah, sedih, ridha, benci, dan cinta atas dasar Islam.
Mereka telah mengubah semua motif di balik perasaan itu sehingga kaum
Muslim kehilangan kualitas perasaan Islamnya.
Begitulah, serangan mereka terhadap Islam dilakukan dengan cara
menyerang pemikiran dan hukum-hukumnya. Sebuah tantangan menyilaukan
telah dilontarkan pada Islam dengan cara yang sistematis terhadap pemikiran,
hukum, dan perasaannya. Oleh karena itu, merupakan hal alamiah, bahkan
menjadi perkara yang tidak bisa dielakkan lagi, bahwa kaum Muslim harus
menerima tantangan ini, dan menerjunkan diri ke dalam arena perang
pemikiran. Bahkan, karena kaum Muslim itu semuanya adalah para pengemban
dakwah dan penyebar risalah Islam, maka mereka wajib untuk memulai perang
melawan kekufuran dan orang-orang kafir.
Akan tetapi, sayang, realitas yang terjadi menunjukkan bahwa kaum
Muslim telah lemah di hadapan tantangan ini. Kenyataan ini telah mengundang
ejekan dan cemoohan atas mereka sehingga mereka pun diliputi perasaan malu
dan hina. Mereka lalu mengajukan sejumlah alasan (yang bersifat defensif-pen)
atas Islam dalam hukum poligami, misalnya. Mereka mulai
mempertahankannya dengan menyatakan bahwa poligami tidak bisa dilakukan
kecuali dalam keadaan adil. Mereka juga mulai menghindari fakta bahwa Islam
membolehkan perceraian dengan menyatakan, perceraian itu tidak
diperbolehkan kecuali dengan beberapa syarat tertentu. Mereka menerima
tuduhan yang dilontarkan terhadap Khilafah Islamiyah dan berdiam diri atas
masalah itu. Mereka bahkan berupaya untuk mengubah sistem ini pada era
Utsmani yang terakhir. Setelah kehancuran Khilafah, mereka menghindar untuk
menyebutkan dan mengingatnya, atau tidak memiliki keberanian untuk
sekadar menyebutnya di depan publik.
Mereka juga telah bersikap mundur ke belakang di hadapan orang-orang
kafir berkaitan dengan masalah jihad sehingga mereka menganggapnya sebagai
sebuah tuduhan yang dilontarkan terhadap Islam. Mereka lalu menanggapi
tuduhan itu dengan menyatakan bahwa jihad sekadar merupakan perang
defensif (untuk mempertahankan diri), bukan perang ofensif (menyerang).
Mereka meninggalkan fakta, bahwa jihad merupakan perang yang dilakukan
terhadap orang-orang kafir karena mereka tidak beriman. Mereka juga
mempertahankan (secara keliru-pen) konsep qadla dan takdir dengan
menyatakan bahwa Islam telah memerintahkan kita untuk tidak membahasnya;
mereka kemudian menakwilkan keduanya sebagai sebuah kebebasan untuk
tidak berbuat dan hanya berserah diri saja.
Dengan cara itulah mereka menyetujui apa yang dinyatakan oleh orang-
orang kafir dan menerima Islam sebagaimana yang dituduhkan. Mereka terus
mempertahankan Islam dengan cara yang hanya bisa diinterpretasikan sebagai
sebuah kekalahan besar dalam konfrontasinya dengan orang-orang kafir.
Sebagai konsekuensi dari penghinaan ini, semua aturan yang telah diserang itu
segera ditinggalkan dan kedudukannya digantikan oleh aturan dan pemikiran
kapitalime.
Mereka juga menginterpretasikan dan menyimpangkan Islam dalam
kaitannya dengan berbagai permasalahan baru yang hanya terjadi dalam
masyarakat kapitalis. Mereka melontarkan pernyataan bahwa Islam
mendukung kaidah mashâlih al-mursalah yang kemudian melahirkan pendapat,
bahwa di mana ada aspek kemaslahatan maka di sanalah hukum Allah berlaku.
Mereka juga mengatakan bahwa hikmah merupakan harta yang hilang dari
seorang Mukmin sehingga ia mesti mengambilnya di mana pun dan kapan pun
ia ditemukan.
Atas dasar ini, mereka berupaya melakukan kompromi atau sinkretisasi
atas solusi yang dibawa oleh sistem kapitalis dengan solusi Islam. Mereka
mengadopsi solusi kapitalistik tersebut sebagai solusi Islam, padahal Islam
sedikit pun tidak mengakuinya. Mereka mengatakan, misalnya, bahwa Islam
tidak melarang asuransi. Sebagian dari mereka berdalih, bahwa toh asuransi
adalah salah satu bagian dari akad/perjanjian. Sebagian lainnya mengatakan,
bahwa tidak ada satu dalil pun yang melarang asuransi ini sehingga perkara
tersebut pada dasarnya diperbolehkan. Mereka beralasan, “Hukum asal semua
benda itu adalah mubah/boleh (al-ashl fî al-asyya’i al-ibâhah).” Di antara
mereka ada juga yang menyatakan bahwa asuransi itu merupakan salah satu
bentuk penjaminan yang dibolehkan Islam.
Mereka juga melontarkan pernyataan berkaitan dengan perdagangan
luar negeri (sesuai dengan aturan-aturan kapitalis, sebagaimana terjadi saat ini-
pen), bahwa itu bisa dilakukan sesuai dengan kemaslahatan kaum Muslim. Oleh
karena itu, negara harus memfasilitasinya berdasarkan kemaslahatan tersebut,
karena itu sesuai dengan kaidah mashâlih al-mursalah.
Mereka juga membolehkan sistem parlemen, dengan menyatakan
bahwa hal itu sama dengan konsep syûrâ (musyawarah), sementara
musyawarah itu sendiri telah dibolehkan Islam. Mereka mengikuti hukum sipil
Perancis, misalnya, yang menjadikan dorongan hati (nurani) sebagai landasan
dalam legislasi (penetapan undang-undang), sehingga mereka menyatakan,
“Hukum itu harus mengikuti spirit teks, sementara setiap masalah itu
bergantung pada niat.” Mereka mengklaim atas nama Islam, bahwa Islam telah
menyatakan sebuah kaidah, “Hukum dalam akad bergantung pada maksud
dan tujuannya, bukan pada ungkapan dan bentuknya.” Mereka berdalil atas
hal itu dengan menyitir sebuah hadits Rasulullah saw yang berbunyi:
ِ ‫ال بِالنِّي‬
»‫ات‬َ ُ ‫«إِنَّ َما اْألَ ْع َم‬
Sesungguhnya semua amal itu bergantung pada niatnya. (HR. Muslim)

Mereka juga mengklaim bahwa Islam datang dengan membawa sekaligus


memerintahkan kebebasan umum; Islam merupakan agama kebebasan.
Mereka telah berlaku seperti umat Nasrani sebelumnya dengan menyatakan
bahwa aspek spiritual merupakan ruhani, yakni lawan dari jasmani. Artinya,
manusia tersusun dari materi dan ruh. Oleh karena itu, ruhani manusia tidak
boleh mendominasi jasmaninya; begitu pula sebaliknya, jasmani manusia tidak
boleh mendominasi ruhaninya.
Demikianlah, mereka akhirnya tunduk di hadapan tantangan orang-
orang kafir. Mereka tidak berusaha meneliti semua permasalahan tersebut
dalam rangka menggali solusinya atau dalam rangka mencari hukum-hukumnya
dalam al-Quran dan as-Sunnah. Sebaliknya, mereka malah mengadopsi solusi
dari Barat secara ‘tulus-ikhlas’ untuk menyelesaikan semua permasalahan
tersebut. Kaum Muslim kemudian menerima semua itu sebagai solusi Islam,
dengan alasan, bahwa Islam tidak melarangnya. Sebagian lagi mengadopsi
semua solusi itu dengan didasarkan pada kaidah mashâlih al-mursalah—
sebagaimana yang telah dipegang oleh imam-imam tertentu, bukan atas dasar
apa yang dinyatakan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Semua hukum dan aturan
kapitalis akhirnya dikenalkan dan diklaim sebagai berasal dari Islam. Akibatnya,
berbagai undang-undang di tengah-tengah masyarakat dan hukum-hukum
dalam berbagai interaksi muamalah antar sesama kaum Muslim tidak
dipedulikan lagi, apakah merupakan hukum Islam atau bukan. Pada gilirannya,
hukum-hukum kapitalis ditegakkan, sementara hukum-hukum Islam dilupakan.
Oleh karena itu, mudah sekali mengubah perasaan masyarakat selama ada
kemudahan dalam mengubah pemikirannya. Pada akhirnya, keengganan untuk
berpegang teguh pada hukum-hukum Islam semakin menyebar karena orang-
orang menganggapnya sebagai salah satu bentuk fanatisme agama. Rasa
enggan untuk berpegang teguh pada hukum-hukum Islam ini kemudian meluas
hingga meliputi masalah perbedaan antara kaum Muslim dan orang-orang kafir
serta antara Islam dan agama yang lain. Slogan nasionalisme datang
menggoyahkan perasaan kaum Muslim sehingga semangat Islam pun terkubur.
Menunjukkan kemarahan terhadap lontaran serangan yang diarahkan pada al-
Quran dianggap sebagai sebuah tanda keterbelakangan dan kemunduran.
Sebab, menurut pandangan mereka, serangan tersebut semata-mata
merupakan kritik ilmiah murni. Dengan ini, perasaan Islam telah disapu bersih.
Tiada satu pun yang tersisa dari perasaan Islam kecuali hanya perasaan yang
bersifat spiritual dan ritual ubudiah belaka. Inilah kekalahan besar yang
dihadapi oleh kaum Muslim di hadapan sistem kapitalis yang sedang
menggugat Islam.
Semua ini nyaris menjadi sebuah kekalahan telak bagi Islam seandainya
pemikiran Islam itu tidak benar, tetapi batil dan salah, sebagaimana yang
digambarkan oleh para penyerang tersebut; dan seandainya pemikiran kapitalis
tidak batil dan tidak salah, tetapi benar dan sesuai dengan realitas,
sebagaimana yang mereka deskripsikan; juga seandainya perasaan Islam yang
diserang tidak layak untuk manusia, tetapi merupakan perasaan yang
kontradiktif dengan nilai-nilai luhur dan fitrah manusia. Seandainya keadaanya
seperti ini, kekalahan yang dialami tentu tidak hanya menimpa kaum Muslim
saja, baik dalam pemikiran yang mereka emban, dalam ikatan yang mereka
jadikan landasan dalam bermuamalah satu sama lain, dan dalam kondisi politik
mereka. Kekalahan ini bahkan akan membawa pada pemberangusan Islam dari
eksistensinya sebagai pemikiran dan perasaan, sebagaimana hal itu telah
terjadi pada eksistensinya sebagai sebuah sistem politik.
Akan tetapi, realitas yang terjadi tidaklah demikian. Sebab, kekalahan di
hadapan sistem kapitalis yang memerangi Islam itu hanyalah kekalahan kaum
Muslim saja, bukan kekalahan Islam. Karena itulah, mengapa faktor-faktor
untuk memerangi kembali sistem kapitalis dan kekufuran masih tetap ada
sebagaimana faktor-faktor itu dulu telah mengalahkan orang-orang kafir dan
kekufuran. Faktor-faktor yang dimaksud adalah pemikiran dan perasaan Islam.
Inilah yang senantiasa memberikan harapan dan mengingatkan kita akan hari
kemenangan, mendorong terjadinya kebangkitan, serta menggerakkan fitrah
manusia dan kembalinya pengembanan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia
sebagai sebuah realitas yang akan terjadi, bukan hanya sekadar hasrat dan
kerinduan belaka.
Kenyataan bahwa Islam menjadi satu-satunya pemikiran yang haq,
sedangkan pemikiran agresor kapitalis itu adalah batil dan dusta, dapat
dibuktikan dari realitas pemikiran itu sendiri. Pemikiran kapitalis yang
menganggap poligami itu salah dan memandang pembatasan pernikahan
seorang pria hanya dengan seorang wanita saja itu benar serta merupakan
solusi bagi problem yang dihadapi manusia sebetulnya bukan didasarkan pada
hipotesis logis. Jika memang demikian, adakah sebuah masyarakat di dunia ini
yang menunjukkan seorang pria tidak memiliki perempuan lebih dari satu?
Pada faktanya, tidak ada satu pun kelompok masyarakat di dunia ini kecuali di
dalamnya menunjukkan bahwa banyak pria yang memiliki istri lebih dari
seorang; betapapun sebagian dari mereka menyebut pasangan mereka sebagai
wanita simpanan (gundik), pacar, atau isteri. Apakah hukum yang
membolehkan poligami—yang memberikan pilihan pada seorang pria untuk
melakukan atau meninggalkan poligami sehingga ia dapat menikahi wanita
yang kedua, ketiga, dan keempat sebagai istri-istri yang sah secara syar‘î (bukan
sebagai wanita simpanan/gundik atau pacar) sesuai dengan fitrah manusia dan
dapat menyelesaikan masalah ataukah hukum yang melarang poligami dan
yang berdiam diri atas hubungan tidak sah seorang pria dengan lebih dari
seorang wanita karena tidak diizinkannya untuk menikahi lebih dari seorang
wanita? Manakah yang lebih dapat menjamin kebahagiaan dan ketenteraman
suami-isteri: menjadikan hidup bersama suami-isteri sebagai sebuah hubungan
persahabatan dan pilihan—setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (QS al-Baqarah [2]: 229)
—sehingga seorang pria akan menjaga isterinya jika hidup bersama dalam
keadaan yang membahagiakan kedua pasangan itu atau dia dapat
menceraikannya jika hidup bersama tersebut menjadi penyebab penderitaan
mereka ataukah menjadikan hidup bersama suami-isteri sebagai sebuah beban
bersama yang dibuat-buat sekalipun hal itu menyebabkan penderitaan
terburuk?
Sementara itu, berkaitan dengan pemerintahan di dunia ini, realitas
menunjukkan bahwa umatlah yang memiliki kekuasaan; mereka dapat
memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki oleh mereka. Akan tetapi,
dari segi pelaksanaannya, kekuasaan atau otoritas ini tidak dapat diberikan
kecuali kepada seseorang. Artinya, secara mutlak dan sesuai dengan realitas,
otoritas ini tidak bisa diberikan kepada dua orang atau lebih. Walaupun
demikian, seseorang ini akan membatasi dirinya dengan sebuah metode
tertentu yang dia yakini benar dan tidak akan mengambil langkah yang
melebihinya. Yang mengontrol dan mengawasi pemimpin yang satu ini, selain
motif keyakinannya dalam sistem yang membatasinya, yaitu selain takwa dan
nuraninya, adalah rakyat yang dipimpinnya. Mereka akan meminta
pertanggungjawaban kepadanya melalui perkataan jika dia menyalahgunakan
sistem, atau dengan kekuatan jika dia mengkhianati sistem. Ini berlaku dalam
kondisi ketika umat mematuhi perintahnya dalam perkara yang fardlu, sunnat,
dan mubah; tidak dalam perkara yang dilarang dan berdosa. Inilah realitas
Khilafah. Oleh karena itu, manakah dari dua sistem pemerintahan yang sesuai
dengan realitas dan benar dalam penerapannya: sistem Islam ataukah sistem
demokrasi—yang telah mengklaim bahwa rakyatlah yang melaksanakan
pemerintahan? Klaim ini mustahil untuk diimplementasikan. Sistem demokrasi
adalah sebuah kebohongan. Sebab, pada dasarnya, hanya seoranglah yang
memegang kekuasaan dalam sebuah sistem demokrasi, yaitu perdana menteri
dengan pembantunya, yakni menteri-menteri.
Sementara itu, berkaitan dengan masalah jihad, adalah sebuah fitnah
belaka jika dikatakan bahwa jihad itu hanya merupakan perang defensif. Lebih
jauh, banyak pernyataan mereka yang kontradiktif dengan realitas jihad yang
dilakukan sejak zaman Rasulullah saw hingga akhir masa Daulah Islamiyah.
Tiada lain karena kaum Muslim pada masa-masa tersebut biasa berinisiatif
melakukan penyerangan terhadap orang-orang kafir. Mereka juga biasa
mengadopsi jihad ofensif sebagai sebuah metode baku (tharîqah) untuk
menyebarluaskan Islam. Oleh karena itu, ungkapan bahwa jihad dalam Islam
bersifat defensif (sekadar demi mempertahankan diri-pen) adalah sebuah
kebohongan yang mendustakan al-Quran. Sebab, Allah sendiri telah berfirman
secara eksplisit dalam Kitab-Nya:
ِ ْ‫اهلل والَ بِالْيوِم ا‬ ِ ِ ِ َّ ِ
‫آلخ ِر َوالَ يُ َح ِّر ُمو َن‬ ْ َ َ ِ‫ين الَ ُي ْؤمنُو َن ب‬ َ ‫قَاتلُوا الذ‬
ِ ‫ْجزيةَ عن ي ٍد وهم ص‬
‫اغ ُرو َن‬ ِ ِ ِ َّ ِ ‫ما ح َّرم اهلل ورسولُهُ والَ ي ِدينُو َن ِدين ال‬
َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ‫اب َحتَّى ُي ْعطُوا ال‬
َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬ َ ‫ْح ِّق م َن الذ‬
َ َ َ َ ُ ََ ُ َ َ َ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula
ada Hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, serta tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Islam); yaitu orang-orang yang diberikan al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29)
ً‫ين َيلُونَ ُك ْم ِم َن الْ ُك َّفا ِر َولْيَ ِج ُدوا فِي ُك ْم ِغ ْلظَة‬ ِ َّ ِ
َ ‫قَاتلُوا الذ‬
Perangilah orang-orang kafir yang ada disekitar kalian itu dan hendaklah
mereka merasakan kekerasan dari kalian. (TQS. at-Taubah [9]: 123)
ِ َ‫ض الْم ْؤِمنِين َعلَى ال ِْقت‬ ِ
‫ال‬ َ ُ ِ ‫يَاأ َُّي َها النَّب ُّي َح ِّر‬
Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang Mukmin itu untuk
berperang. (TQS. al-Anfal [8]: 65)

Nash-nash di atas merupakan dalil bahwa jihad merupakan sebuah


perang fisik yang bersifat ofensif yang ditujukan terhadap orang-orang kafir
dalam rangka menegakkan hukum Islam. Mereka diperangi karena mereka
menolak Islam setelah Islam disampaikan kepada mereka dengan cara yang
menarik hati. Artinya, jihad baru dilaksanakan kemudian setelah Islam
ditawarkan terlebih dulu dalam sebuah pernyataan yang menarik perhatian.
Inilah ketentuan jihad dalam Islam sebagai sebuah ideologi yang diyakini oleh
umat manusia manapun. Umat Islam harus selalu mempersiapkan kekuatan
fisik dan harus selalu memiliki spirit militer yang kuat—selain kekuatan fisik ini.
Berdasarkan kekuatan materil inilah umat Islam memulai perang politik dan
manuver diplomatik. Dengan begitu, umat Islam akan dapat menciptakan
situasi yang memungkinkan dakwah dapat dilaksanakan dan kepribadian politik
negara bisa dipromosikan.
Pada saat pergesekan fisik telah dilakukan, peperangan menjadi sesuatu
yang tidak bisa dielakkan. Perang Dingin tidak menggambarkan apa pun selain
dari situasi seperti ini. Pada Perang Dingin, setiap kubu berupaya menyebarkan
ideologi mereka sendiri. Kekuatan militer mereka yang dipersenjatai dengan
baik telah siap untuk digunakan dalam peperangan walaupun pada akhirnya
tidak terjadi. Demikian juga, ada sebuah situasi yang mirip sebelum datangnya
Perang Dunia II, antara Nazi dan apa yang disebut dengan “Dunia Bebas”.
Sebelumnya, juga terjadi antara Islam dan kapitalisme. Begitu seterusnya.
Realitas kehidupan menunjukkan bahwa terdapat berbagai pemikiran
yang saling bertentangan satu sama lain yang kemudian terintegrasikan dalam
berbagai negara. Kekuatan fisik kemudian dipergunakan oleh masing-masing
negara untuk menyebarkan dan mempertahankan pemikirannya; baik dengan
mengggunakan strategi politik, budaya, ekonomi, maupun militer. Ini
merupakan realitas jihad. Jihad adalah berperang dengan menggunakan
kekuatan fisik demi memperjuangkan pemikiran Islam setelah sebelumnya
pemikiran tersebut diperjuangkan melalui cara politik dan kultural. Akan tetapi,
militer Islam atau spirit jihad tidaklah sama dengan militer Jerman yang
digunakan demi meletakkan bangsa Jerman lebih tinggi atas bangsa lain. Jihad
sesungguhnya merupakan kekuatan militer yang digunakan untuk
menghilangkan rintangan fisik yang menghadang dakwah Islam. Tujuannya
adalah agar umat manusia memeluk Islam dan bergabung dengan kaum
Muslim untuk membentuk umat yang satu; tidak ada superioritas dan
kelebihan seorang Muslim atas yang lain kecuali karena ketakwaan mereka.
Adapun berkaitan dengan masalah qadla dan qadar, sebagai sebuah
konsep dari dua kata secara bersamaan, hal itu menyangkut segala perbuatan
manusia yang berada dalam lingkup yang mengontrol manusia, yaitu yang
terjadi berlawanan dengan keinginannya, bersamaan dengan berbagai macam
khasiat benda. Khusus untuk kata qadar (takdir) saja, maknanya adalah ilmu
Allah. Artinya, qadar tidak berkaitan sedikitpun dengan perbuatan manusia
yang disengaja, yang pelakunya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah;
sebagaimana dia akan diminta pertanggungjawaban di dunia oleh negara,
orangtua, dan guru. Fatalisme macam mana yang terdapat dalam pemahaman
qadla-qadar seperti ini? Dimana adanya fatalisme ketika kaum Muslim, dengan
pemahaman qadla-qadar seperti ini, berhasil menaklukkan dunia dan
menundukkan bangsa lain? Bahkan, penggunaan konsep ini telah mendorong
seseorang untuk melakukan investigasi, penelitian, dan penilaian atas manfaat
yang dihasilkan dan akibat yang akan ditanggung dari suatu tindakan sebelum
perbuatan itu dilakukan. Dengan begitu, dia dapat melihat jelas aspek
kesalahan yang tidak diminta pertanggungjawaban atau kesengajaan yang
kelak akan dipertanggungjawabkan; juga ada tinjauan atas suatu perbuatan
setelah terjadi, apakah dengan atau tanpa pilihannya, bahwa perbuatan itu
telah terjadi dan berakhir. Dengan begitu pula, seseorang harus menerima
bahwa sesuatu itu telah terjadi, tetapi tidak boleh menerima dengan apa yang
telah terjadi, yang karenanya dia bertindak untuk mengubahnya. Oleh karena
itu, berkaitan dengan peristiwa yang terjadi sebagai sebuah qadar yang sesuai
dengan pengetahuan Allah, manusia harus menerima bahwa hal itu terjadi dan
berakhir. Dia tidak harus merasa gelisah atau khawatir. Dia juga tidak harus
menerima terjadinya hal itu seraya meninggalkannya tanpa berupaya
mengubahnya. Akan tetapi sebaliknya, seseorang tidak harus menerima situasi
yang timbul akibat apa yang terjadi, yang karenanya dia harus memecahkannya
setelah peristiwa itu terjadi. Dua pandangan ini diperlukan secara bersamaan
sehingga kehidupan bisa terus berjalan dengan penuh vitalitas dan kekuatan,
yang digambarkan dalam amal nyata, yang sesuai dengan nilai-nilai luhur.
Realitas menunjukkan bahwa seseorang akan dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya secara sengaja.
Sebaliknya, dia tidak akan disalahkan atas perbuatan yang dilakukannya secara
tidak disengaja, karena semua perbuatan yang tidak disengaja itu di luar
kemampuannya untuk menolaknya. Di samping itu, setiap perbuatan yang
telah terjadi itu tidak akan tejadi kecuali sesuai dengan ilmu Allah. Artinya,
setiap perbuatan tidak akan pernah terjadi kecuali sesuai dengan pengetahuan
Allah. Semua itu memastikan keberadaan dua pandangan ini. Dengan kata lain,
pandangan seperti ini akan menjadikan seseorang dalam melakukan
aktivitasnya tidak berdasarkan pada imajinasi, hipotesis-teoretis, atau hasrat
memenuhi syahwat semata; tidak juga atas dasar dukacita dan kesedihan yang
berkelanjutan atas apa yang telah terjadi. Akan tetapi, dia akan bergerak penuh
kekuatan secara real dan praktis sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dituntut
dalam kehidupan. Oleh karena itulah, pandangan atas qadar saja maupun
qadla-qadar secara bersamaan telah mendorong dan membuat manusia
menjadi aktif sekaligus melindunginya dari keputusasaan dan kesedihan,
sebagaimana juga telah memeliharanya dari kemalasan dan kelesuan.
Fokus masalahnya tidak berkaitan dengan perbuatan yang disengaja
(al-‘amal al-ikhtiyârî) sebelum dilakukannya perbuatan tersebut, tetapi
berkaitan dengan perbuatan yang disengaja setelah perbuatan itu dilakukan
dan dalam perbuatan yang terjadi di luar lingkaran kontrol manusia. Hal ini
karena beberapa peristiwa telah terjadi dan sebuah perkara pun berakhir.
Dengan begitu, dia tidak harus bersedih dan merasa sakit hingga dapat
menyiksa jiwa, menyimpangkannya dari tujuan tertinggi dalam hidup, dan
membuatnya enggan memasuki kancah kehidupan. Seberapa jauhkah
pandangan seperti ini, dari apa yang dimiliki oleh kaum kapitalis dengan istilah
“penderitaan yang menyakitkan” dan “kesedihan yang menyusahkan” yang
dirasakan oleh orang kalah, yang menjadikan kata “keberuntungan” begitu
berperan besar dalam kehidupan mereka?
Walhasil, iman pada qadar dan pada qadla-qadar merupakan nikmat
terbesar bagi akal dan merupakan satu keteguhan hati dan harga diri. Hal ini
karena dalam lingkaran yang dikontrol manusia, manusia mesti bertanggung
jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya dengan sengaja. Dia harus
menyadari semua perbuatan itu dan memikul tanggung jawabnya. Jika sebuah
perbuatan salah atau sesat dilakukan, maka dia harus menanggung
konsekuensinya. Akan tetapi, dia juga harus menyadari bahwa hal itu telah
terjadi—apakah benar atau salah—dengan pengetahuan (ilmu) dan liputan
Allah. Hal itu terjadi tanpa bisa dielakkan lagi. Oleh karena itu, dia tidak akan
mengasyikkan diri dengan hal itu, tetapi dia akan terus bergerak, yakni dia akan
gigih dalam kehidupan ini. Sebaliknya, dalam lingkaran yang menguasai
manusia dan perbuatan yang terjadi tanpa pilihannya, dia tidak akan
bertanggung jawab atas semua itu dan tidak akan memikul akibatnya. Apalagi
semua itu terjadi dengan pengetahuan (ilmu) dan liputan Allah, serta terjadi
tanpa bisa dielakkan lagi. Oleh karena itu pula, manusia tidak akan
mengasyikkan diri dengan hal itu, tetapi dia akan terus bergerak. Ini merupakan
karakteristik agung yang harus dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan ini.
Inilah realitas dari sebagian pemikiran Islam yang telah diserang oleh
penjajah kafir. Ini juga merupakan realitas pemikiran kapitalis yang digunakan
untuk mengkritisi pemikiran Islam. Dari realitas inilah akan jelas, bahwa
pemikiran yang diserang itu adalah sebuah pemikiran yang benar, sedangkan
pemikiran yang menyerang merupakan pemikiran yang salah. Kelemahan
intelektual dari pengemban pemikiran yang benar dalam memahaminya tidak
berarti bahwa pemikiran tersebut tidak benar. Hal itu sekadar menunjukkan
bahwa orang yang mengembannya tidak mampu untuk menjelaskannya atau
karena dia memposisikan diri sebagai pihak tertuduh. Sebaliknya, kefasihan
dari pengemban pemikiran yang salah tidak berarti bahwa pemikiran yang
dibawanya tidak palsu. Hal itu sekadar menunjukkan bahwa pengembannya
mampu untuk menyulap kebatilan sebagai kebenaran. Yang pasti, pemikiran
yang benar adalah pemikiran yang sesuai dengan realitas yang diindikasikannya
atau sesuai dengan fitrah yang ada pada setiap manusia yang diciptakan.
Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan realitas,
sedangkan kebatilan adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas. Oleh
karena itu, yang harus dipandang adalah hakikat pemikiran dan realitas yang
ditunjukkannya, bukan pengembannya; baik dia mampu menjelaskannya atau
tidak. Sebagai contoh, ideologi komunis menyatakan bahwa pemikiran
merupakan refleksi benda ke dalam otak. Ini berarti bahwa pemahaman atas
sebuah benda merupakan kesan sebuah realitas di dalam otak; dari sanalah
seseorang memperoleh pemahaman. Pemikiran ini, seandainya memang
benar, pasti akan sesuai dengan realitas. Sebaliknya, jika salah,
ketidaksesuaiannya dengan realitas akan tampak jelas. Ketika serangan atau
kritik datang dari berbagai kalangan manusia dalam rangka memutuskan
apakah pemikiran ini benar atau salah, kita tidak boleh melihat kefasihan atau
retorika penyerang dalam penjelasannya; kita juga tidak boleh
mempertimbangkan ketidakmampuannya untuk mengekspresikan kelemahan
dalam penjelasan. Akan tetapi, kita harus melihat realitas pemikiran yang
diserang. Hizbut Tahrir telah menyerang konsep ini dan mengatakan bahwa
definisi pemikiran seperti ini adalah salah ditinjau dari dua segi:
Pertama, tidak ada sedikitpun refleksi yang terjadi antara benda dan
otak. Hal ini karena refleksi dari cahaya, misalnya, menunjukkan bahwa cahaya
jatuh ke atas benda, lalu cahaya itu direfleksikan atau dipantulkan dari benda
tersebut. Demikianlah sebagaimana refleksi cahaya dari sebuah lampu pada
sebuah dinding; tak ada satu pun yang seperti ini terjadi dari benda. Oleh
karena itu, refleksi yang dimaksud oleh orang-orang komunis jelas tidak ada,
apakah dari benda ke otak, ataukah dari otak ke benda. Yang ada hanyalah
penginderaan terhadap sebuah benda oleh seseorang dengan menggunakan
alat indera. Artinya, masalahnya terkait dengan penginderaan, bukan refleksi
(pemantulan). Hal ini terbukti dalam hal menyentuh (meraba), mencium,
merasa, dan mendengar. Adapun berkaitan dengan melihat dengan mata, yang
menjadi masalah yang diperdebatkan, yang terjadi sebetulnya adalah refraksi
(pembelokan/pembiasan) dan bukan refleksi. Cahaya belok ke dalam mata dan
bayangan benda dibentuk dalam retina, bukan direfleksikan keluar. Ini adalah
proses penginderaan, bukan pemantulan (refleksi). Hal ini menunjukkan bahwa
apa yang telah dinyatakan oleh komunisme tentang definisi pemikiran itu
adalah keliru. Oleh karena itulah, mengapa pemikiran komunisme telah ambruk
di hadapan serangan yang benar ini.
Kedua, sekadar penginderaan belaka atas benda tidak menghasilkan
pemahaman apa pun. Ia hanya menghasilkan sebuah penginderaan belaka,
betapa pun banyaknya penginderaan yang dilakukan. Agar pemikiran dapat
dihasilkan, harus ada informasi pendahulu yang menjelaskan realitas benda ini.
Tanpa informasi pendahulu, tidak akan pernah ada pemahaman; yang ada
hanyalah penginderaan belaka, tidak lebih dari itu. Fakta bahwa seseorang bisa
menentukan posisinya terhadap realitas benda yang sedang diinderanya tidak
berarti bahwa dia memahaminya. Sebab, dia tidak akan pernah dapat
menentukan posisinya terhadap benda itu, kecuali bila hal itu berkaitan dengan
naluri dan kebutuhan jasmaninya, atau ketika hal itu berkaitan dengan
perubahan bentuk realitas tersebut. Apa pun selain dari hal ini, dari segi
bagaimana mengetahui realitasnya, dia tidak dapat menentukan apa pun
posisinya berkaitan dengan benda tersebut. Dengan menguji suatu benda
melalui penginderaan lebih dari satu kali atau melalui jenis penginderaan yang
berbeda, manusia memang dapat mengetahui bahwa sesuatu itu bisa dimakan
atau tidak, apakah suatu benda membawa penyakit atau kesenangan; atau
dapat memahami jika bentuknya telah berubah. Semua ini merupakan hal yang
mungkin bagi hewan sebagaimana hal itu mungkin juga bagi manusia. Akan
tetapi, tidak satu pun dari semua ini dapat disebut sebagai pemahaman atau
pemikiran. Ia hanya sekadar penginderaan belaka, bukan yang lain. Ketika
sebuah benda yang tidak berkaitan dengan naluri—seperti sebuah batu,
misalnya—berkali-kali diindera, esensinya tidak bisa dipahami, hanya
perubahan bentuknya saja yang bisa dipahami. Ketika informasi diberikan
bersamaan dengan penginderaan maka sebuah pemahaman akan terjadi.
Sebuah bukti sederhana atas hal ini adalah masalah penemuan baru.
Penemuan baru hanya mungkin terjadi karena eksperimen atas informasi
sebelumnya telah ditambahkan. Tanpa adanya informasi sebelumnya,
penemuan baru tersebut tidak akan pernah terjadi. Kita tidak mengartikan
informasi ini dengan informasi sebuah realitas, tetapi informasi yang digunakan
untuk menjelaskan sebuah realitas. Oleh karena itu, definisi pemikiran komunis
dari segi ini pun keliru sehingga akan mudah ditaklukkan dan akan tampak jelas
kekeliruannya karena ketidaksesuaiannya dengan realitas.
Oleh karena itu pula, mengapa Hizbut Tahrir, setelah menunjukkan
kesalahan pemikiran komunis, mendefinisikan pemikiran (al-‘aql) sebagai
aktivitas memindahkan (transformasi) realitas melalui indera ke dalam otak
yang disertai dengan upaya melibatkan informasi pendahulu yang menjelaskan
realitas yang dimaksud. Dengan kata lain, pemikiran memerlukan: (1) otak; (2)
indera; (3) obyek/realitas yang diindera; (4) informasi pendahulu. Dengan
itulah pemahaman atau pemikiran itu bisa terjadi dan karena itulah seseorang
dapat berpikir. Karena itu pula, konsepsi komunisme tentang pemikiran dapat
diserang dan dikalahkan, karena pengakuannya tidak sesuai dengan realitas. Di
samping itu, akan jelas bahwa pemikiran Islam yang telah menyerang
pemikiran komunis itu adalah pemikiran yang benar karena sesuai dengan
realitas. Artinya, dalam masalah ini, pemikiran Hizbut Tahrir telah mengalahkan
pemikiran komunis.
Contoh lainnya adalah berkenaan dengan pemikiran kapitalis yang
mendefinisikan masyarakat sebagai bentukan dari sejumlah individu, yaitu:
seorang individu ditambah individu yang lain, ditambah lagi individu yang lain.
Begitu seterusnya hingga terbentuklah masyarakat. Masyarakat, menurut
pandangan mereka, adalah sekelompok individu yang hidup bersama.
Seandainya pemikiran ini benar, pasti akan sesuai dengan realitas. Sebaliknya,
jika salah, ketidaksesuainnya pasti akan tampak nyata. Ketika pemikiran ini
dikritisi dan diserang, ia harus dikritisi dari asas ini.
Hizbut Tahrir telah menyerang konsepsi masyarakat ala kapitalis ini dan
menyatakan bahwa definisi seperti ini adalah salah. Sebab, sejumlah individu
yang berkumpul bersama hanya akan membentuk sebuah kelompok (jama’ah),
bukan masyarakat. Ketika ikatan permanen muncul di tengah-tengah mereka,
baru mereka akan menjadi sebuah masyarakat. Sebaliknya, ketika tidak ada
ikatan permanen di antara mereka, mereka tidak dapat membentuk sebuah
masyarakat. Hal ini karena mereka tidak lebih dari kafilah dagang; setiap orang
pergi ke pelabuhan yang dia dimaksudkan. Sementara itu, penduduk sebuah
desa, walaupun hanya sekitar dua ratus orang, misalnya, bisa membentuk
sebuah masyarakat, karena mereka memiliki ikatan yang permanen.
Oleh karena itu, definisi kapitalisme tentang masyarakat jelas salah.
Sebab, jika sebuah kelompok (jama’ah) individu tidak memiliki ikatan
permanen yang muncul di tengah-tengah mereka, mereka tidak dapat
membentuk sebuah masyarakat dengan cara apa pun. Dengan demikian,
pemikiran kapitalisme yang berkaitan dengan definisi masyarakat ini dikalahkan
sekaligus salah karena ketidaksesuaiannya dengan realitas.
Agar dapat memahami definisi masyarakat secara benar seseorang harus
mempelajarinya secara mendalam. Ikatan yang muncul di tengah-tengah
individu-individu didasarkan pada kepentingan mereka. Kepentingan semua
individu itulah yang menciptakan ikatan di tengah-tengah mereka. Pemikiran
setiap individu dalam sebuah masyarakat harus sama dalam memandang suatu
perkara, apakah ia dianggap penting ataukah tdak, sehingga ikatan atau
hubungan di antara mereka terjalin. Kerelaan, kemarahan, kesenangan, dan
kesedihan mereka dalam kaitannya dengan suatu perkara juga harus sama.
Dengan kata lain, perasaan mereka harus sama (satu) sehingga tercipta sebuah
ikatan di antara mereka. Sistem yang mereka gunakan untuk memperlakukan
kepentingan-kepentingan mereka juga harus sama (satu) agar ikatan itu ada.
Ketika di tengah-tengah mereka pemikiran yang berkaitan dengan kepentingan
ini berbeda-beda (sebagian menganggap sebagai sebuah kepentingan tetapi
sebagian lain menganggap bahwa itu tidak penting), atau ketika perasaan
mereka berbeda-beda (seseorang bahagia dengan hal itu tetapi yang lain
tidak), atau ketika sistem yang mereka praktekkan berbeda (seseorang
mengharapkan untuk memecahkan masalah mereka dengan sistem tertentu,
sementara yang lain mengharapkan agar masalah mereka dipecahkan dengan
sistem lain)—jika setiap elemen dari elemen-elemen tersebut (yaitu pemikiran,
perasaan, dan sistem) berbeda di antara individu-individu berkaitan dengan
sebuah masalah—maka tidak akan ada ikatan atau hubungan sehingga tidak
akan ada masyarakat.
Dengan demikian, Hizbut Tahrir, setelah menunjukkan kesalahan
pemikiran kapitalisme yang berkaitan dengan definisi masyarakat. Hizbut Tahrir
datang dan mendefinisikan masyarakat sebagai sebuah kumpulan individu,
pemikiran, perasaan, dan sistem. Dengan kata lain, masyarakat adalah
gabungan dari pemikiran, perasaan, dan sistem suatu komunitas/kelompok
yang terdiri dari sejumlah individu yang didasarkan pada sebuah kepentingan
yang sama, yang kemudian membentuk sebuah ikatan. Pada saat demikian,
sebuah masyarakat pun terbentuk. Dengan pemahaman ini, pemikiran
kapitalisme telah dikalahkan dan dibongkar karena kontradiktif dengan realitas
dan akan jelas bahwa pemikiran yang menyerangnya adalah pemikiran yang
benar karena sesuai dengan realitas.
Dengan demikian, pemikiran Hizbut Tahrir dalam masalah ini telah
berhasil membongkar pemikiran kapitalisme. Begitulah seterusnya. Seandainya
pemikiran yang digunakan oleh kapitalisme untuk menyerang dan menantang
Islam itu memang merupakan pemikiran yang benar, tentu Islamlah yang akan
dikalahkan, bukan kaum Muslim. Akan tetapi, pemikiran yang mereka gunakan
untuk merusak Islam sebenarnya tidak sesuai dengan realitas; justru pemikiran
Islam yang diserang oleh merekalah yang sebenarnya sesuai dengan realitas.
Artinya, pemikiran Islam yang benar telah ditantang oleh sebuah pemikiran
yang salah. Hanya saja, pengemban pemikiran yang benar ini (kaum Muslim)
tidak menyadarinya, di samping karena mereka memiliki pendirian yang lemah.
Akibatnya, kekalahan yang telak telah membebani dan menyusahkan umat ini.
Itulah beberapa pemikiran dan hukum Islam yang diserang oleh pemikiran dan
hukum kapitalisme.
Sementara itu, ketika mereka menyerang syariat Islam, mereka
menggunakan permasalahan yang baru atau isu-isu lain yang hanya terdapat
dalam masyarakat kapitalis. Semua itu dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa syariat Islam tidak mampu memecahkan problematika yang baru. Lebih
dari itu, berdasarkan pembahasan yang didasarkan pada asas ini, orang–orang
Barat ingin memberikan sebuah pemikiran yang bersumber dari sistem
kapitalisme dalam mengatasi problem yang ada, sekaligus menyerang Islam
dengan melontarkan pernyataan bahwa pemikiran semacam itu tidak ada
dalam Islam; Islam tidak memiliki pandangan apa pun tentang permasalahan
yang dimaksud. Lalu mereka menyimpulkan sendiri, bahwa hukum Islam
merupakan hukum yang jumud; tidak dapat mengikuti perkembangan zaman
sehingga tidak bisa memberikan solusi apa pun atas berbagai permasalahan
yang terjadi pasa setiap masa. Oleh karena itu, Islam dipandang gagal untuk
membolehkan riba walaupun zaman sekarang sangat memerlukannya. Islam
dipandang tidak mampu menjelaskan hukum asuransi walaupun realitas yang
terjadi menunjukkan bahwa perdagangan dan industri pada zaman sekarang ini
sangat membutuhkannya. Islam juga dipandang tidak mampu menjelaskan
hubungan perdagangan antar negara sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada
zaman sekarang. Oleh karena itu, menurut mereka, Islam tidak layak dijadikan
sebagai sebuah legislasi bagi sebuah bangsa dan menjadi sistem bagi sebuah
negara pada masa modern ini, juga pada masa yang akan datang ketika
berbagai macam masalah dan isu akan timbul seiring dengan perjalanan waktu.
Itulah inti pembahasan yang sengaja diletakkan oleh orang Barat; mereka
telah mengadakan berbagai diskusi dengan kaum Muslim—atas dasar asumsi
semacam ini—sekaligus menentang Islam dengan asumsi tersebut. Sayangnya,
kaum Muslim malah mengikuti semua diskusi tersebut atas dasar asumsi
mereka ini. Oleh karena itu, wajar jika kaum Muslim dilanda kebingungan
karena tidak adanya kebolehan berdiskusi pada tingkat ini. Bahkan,
kebingungan itu terjadi karena ketidakmungkinan mereka melakukan dan
melanggengkan diskusi, pada saat yang sama, sesuai dengan ushul (pokok) dan
furû’ (cabang)-nya. Ketika asas pembahasan mereka berbeda, diskusi yang
terjadi semakin membingungkan. Padahal, asas pembahasannya seharusnya
adalah sebagai berikut:
(1) Apakah syariat Islam layak menjadi sebuah lapangan pemikiran sehingga
dimungkinkan adanya penggalian atas semua jenis hubungan atau interaksi
yang ada di tengah-tengah umat manusia yang bersumber dari dalil-
dalilnya?
(2) Apakah syariat Islam memberi ruang untuk melakukan generalisasi secara
luas yang memungkinkan dalil-dalilnya secara tekstual (mantûq) maupun
kenseptual (mafhûm)-nya meliputi permasalahan yang baru dan beraneka
ragam, sehingga hukum-hukum syariat bisa berlaku atas semua
permasalahan tersebut?
(3) Apakah syariat Islam dapat menjadi sebuah lahan subur yang bisa
menumbuhkan berbagai kaidah integral (qâ’idah kulliyah) dan pemikiran
yang universal (afkâr ‘âmah)?
(4) Apakah syariat Islam memiliki kapasitas untuk memecahkan problematika
umat manusia dengan latar belakang bangsa dan negara yang berbeda-
beda?

Jika syariat Islam seperti itu, berarti syariat Islam layak menjadi sebuah
syariat yang cocok. Sebaliknya, jika tidak, berarti ia bukan syariat yang cocok.
Untuk membuktikan semua ini, berbagai permasalahan yang baru disodorkan
di hadapan syariat Islam dan dicari pendapat darinya. Nash-nashnya dipelajari
untuk menguji kemungkinan bisa dilakukannya penggalian hukum dan berbagai
kaidah serta kemungkinan dilakukannya pengklasifikasian permasalahan yang
beraneka ragam yang menjadi turunannya. Inilah seharusnya yang menjadi
dasar pembahasan.
Sementara itu, tuntutan agar syariat Islam memberikan pemikiran yang
sejalan dengan apa yang dianjurkan oleh sistem kapitalisme—yang lazim pada
zaman ini—serta yang dianut sebagai pendapat mayoritas, hal itu tidak dapat
dan tidak boleh menjadi dasar pembahasan. Sebab, yang menjadi inti atau
pokok persoalan adalah kelayakan syariat Islam untuk saat ini dan untuk setiap
zaman, bukan apakah syariat Islam memiliki kemampuan untuk memberikan
pandangan yang spesifik ataukah tidak. Oleh karena itulah, pangkal dan asas
legislasi Barat dipelajari, kemudian dipelajari apakah ia layak untuk
memecahkan problematika segala zaman dan masih tetap konsisten dengan
asasnya itu ataukah ia tidak layak lagi—kecuali dengan dilakukannya berbagai
penafsiran, penyelewengan, dan penyimpangan dari asasnya semula. Setelah
itu, legislasi Islam dan asas berpijaknya pun dipelajari agar bisa diketahui,
apakah ia layak untuk memecahkan berbagai permasalahan yang muncul pada
segala zaman ataukah tidak, juga apakah ia tetap konsisten dengan asasnya
semula tanpa adanya sedikit pun penyimpangan dari asas tersebut ataukah
tidak. Dengan itulah, realitas legislasi yang benar dan haq dapat dibedakan dari
legislasi yang salah dan batil. Akan dapat dijumpai bahwa legislasi yang benar
adalah legislasi yang asasnya benar, yakni yang sesuai dengan realitas dan
fitrah. Asas ini harus tegas (qath‘î) dan meyakinkan, tidak bersifat spekulatif
(zhannî) sehingga terbuka kemungkinan ia menjadi sebuah asas yang benar
atau salah.
Adapun kesesuaian legislasi tersebut untuk seluruh zaman serta untuk
semua generasi dan bangsa, hal ini akan tampak dari kemampuannya untuk
memberikan pendapat yang berkaitan dengan berbagai permasalahan yang
dihadapi umat manusia pada setiap zaman dan setiap negeri. Dengan kata lain,
garis petunjuk legislasi yang dimaksud harus luas, sehingga berbagai solusi
dapat digali tanpa ada penyimpangan dari asas yang menjadi pijakannya, dan
tanpa ada penyelewengan dari garis petunjuknya yang luas, yang menjadi
tempat lahirnya solusi tersebut. Jika syarat-syarat tersebut ditemukan dalam
sebuah legislasi, berarti ia layak dan sesuai untuk segala zaman. Sebaliknya, jika
legislasi tersebut tidak mampu memberikan pendapat kecuali melalui
penyelewengan dan penjelasan yang menyimpang dari asas dan garis
petunjuknya, berarti ia hanya akan menjadi legislasi spesifik, yang hanya layak
bagi bangsa tertentu dan berlaku dalam waktu tertentu pula; ia tidak layak
menjadi sebuah legislasi bagi umat manusia secara keseluruhan; bahkan
sebetulnya ia tidak layak untuk bangsa tersebut kecuali hanya untuk beberapa
saat tertentu sampai kelayakannya berakhir, lalu bangsa tersebut akan
mengubahnya dan membawa legislasi lain sebagai penggantinya.
Oleh karena itu, berbagai permasalahan yang baru harus disodorkan pada
Islam sebagai sebuah permasalahan itu sendiri, bukan didasarkan pada
kacamata sistem kapitalis dalam memandang permasalahan tersebut. Pada
saat itu dilihat, apakah sebuah solusi bisa digali dari keluasan garis petunjuknya
ataukah tidak; juga apakah ia tetap konsisten dengan asas yang menjadi dasar
pijakan Islam dan asas garis petunjuknya yang luas itu ataukah tidak.
Seseorang yang mempelajari legislasi Barat dan legislasi Islam akan
mendapatkan bahwa legislasi Barat itu memiliki asas yang salah, pemecahan
yang rusak, serta tidak mampu memberikan sebuah solusi untuk memecahkan
permasalahan yang baru; kecuali dengan cara yang menyimpang dari asasnya
sendiri, mengenyampingkannya, dan memberikan solusi yang tidak memiliki
kaitan dengannya, bahkan kontradiktif dengan asasnya itu. Sebaliknya,
seseorang yang mempelajari legislasi Islam akan mendapatkan bahwa ia
memiliki asas yang benar dan bersifat tegas/pasti (qath‘î), tidak bersifat
spekulatif (zhannî). Solusi yang diberikan oleh legislasi (tasyrî‘) Islam adalah
solusi yang benar serta sesuai dengan realitas dan fitrah manusia. Legislasi
Islam memiliki kapasitas untuk menggali berbagai pendapat untuk
memecahkan permasalahan yang beraneka ragam tanpa menyimpang dari asas
yang menjadi tempat berpijaknya dan tanpa mengenyampingkan garis
petunjuk yang menjadi sumber penggalian pendapatnya.
Legislasi Barat berpijak pada asas pemahaman atas kebenaran yang
salah. Semua teori-teori hukumnya dibangun atas pemahaman yang keliru atas
kebenaran ini. Wajar jika Barat mendefinisikan hak sebagai “setiap
kemaslahatan yang bernilai—atau dapat dinilai dengan—uang (financial value)
yang ditetapkan oleh undang-undang”. Konsep Barat tentang hak ini jelas
salah, sehingga semua hukum yang disandarkan padanya juga pasti rusak.
Kesalahannya adalah karena realitas hak bukan sekadar kemaslahatan yang
dapat dinilai dengan uang. Yang benar, hak adalah kemaslahatan mutlak; baik
ia memiliki nilai uang ataukah tidak. Membatasi hak hanya sebagai
kemaslahatan yang bernilai uang membawa dua konsekuensi:
Pertama, hak berarti tidak meliputi kemaslahatan yang tidak bernilai uang,
seperti pernikahan dan perceraian serta apa saja yang tercakup dalam hak-hak
perkawinan atau hak-hak keluarga seluruhnya; juga berarti tidak mencakup
kemaslahatan yang memiliki nilai etis (ethical value) seperti pemeliharaan
kehormatan dan harga diri seseorang—yang menjadi hak setiap orang—
walaupun mungkin ia tidak memiliki nilai uang dan tidak mungkin ditetapkan
sebagai sesuatu yang memiliki nilai uang secara mutlak.
Kedua, mengukur segala sesuatu dengan setandar nilai uang memerlukan alat
pengukur lain yang digunakan untuk menilai hak tersebut. Padahal,
pemahaman tentang hak itu sendiri merupakan sebuah nilai sehingga tidak
mungkin untuk menemukan sebuah perangkat untuk menentukan nilainya.
Oleh karena itu, definisi hak dalam pandangan ini jelas rusak.
Orang Barat juga telah membagi hak ini ke dalam dua kategori utama.
Pertama, hak yang berhubungan dengan ikatan seseorang, yang disebut
dengan hak personal (personal right).
Kedua, hak yang berhubungan dengan ikatan seseorang dan uang, yang disebut
dengan hak material (material right).
Hak personal, dalam pandangan kapitalis, merupakan hubungan antara
dua orang, yakni kreditor dan debitor. Hak ini didefinisikan sebagai hubungan
antara dua orang, kreditor dan debitor, yang didasarkan pada sebuah keadaan
di mana kreditor diberi kekuasaan untuk menuntut debitor agar memberikan
sesuatu atau melakukan suatu tindakan ataupun tidak melakukan suatu
tindakan. Hak personal ini adalah pertanggungjawaban. Dalam asas ini,
berbagai macam transaksi (muamalah) yang disebut dengan transaksi pribadi
dilakukan, seperti: transfer uang (hiwâlah), jual-beli (bay‘), barter
(muqâyadhah), peseroan (syirkah), pemberian (hibah), konsiliasi (sulh),
pengupahan (ijârah), pinjam-meminjam (‘âriyah), perwakilan (wakâlah),
kepercayaan (wadhi‘ah), pegadaian (rahn), dan pertanggungan (kafâlah).
Adapun hak material, dalam pandangan mereka, sebenarnya bukan
sebuah ikatan, tetapi hanya sekadar sebuah otoritas yang diberikan oleh
undang-undang kepada orang tertentu atas benda tertentu. Mereka
mendefinisikan hak material ini sebagai otoritas tertentu yang diberikan oleh
undang-undang kepada orang tertentu atas benda tertentu. Hak material ini
berhubungan dengan uang dan tidak dengan seorang individu. Atas dasar hak
materil ini, berbagai macam transaksi (muamalah) yang disebut dengan
transaksi material dibuat, seperti: hak kepemilikan, sebab kepemilikan,
pegadaian harta kekayaan, asuransi jiwa, dan hak monopoli. Pembagian hak ini
tidak memiliki alasan apa pun. Tidak ada perbedaan antara apa yang disebut
dengan hak rpibadi (al-haq asy-syakhsî) dan hak material (al-haq al-‘aynî); juga
dalam berbagai macam transaksi yang mereka bangun atas dasar dua
pembagian ini. Tidak ada perbedaan antara pengupahan (ijârah) dan
penggadaian tanah. Jadi, bagaimana mungkin memasukkan pengupahan ke
dalam hak personal, sedangkan pegadaian ke dalam hak material, padahal
keduanya termasuk ikatan antara dua orang yang obyeknya adalah kekayaan?
Apalagi definisi tersebut merupakan asumsi (perkiraan) yang didasarkan pada
pengandaian-pengadaian logika, dan bukan sebuah deskripsi dari sebuah
realitas atau putusan hukum atas sebuah realitas.
Ketika seseorang mendefinisikan hak material sebagai sebuah otoritas
khusus yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atas benda
tertentu, maka definisi ini—sesuai dengan yang ditunjukkannya—berarti
merupakan ikatan yang timbul antara seorang manusia dan sebuah benda,
bukan antara seseorang dan orang lain. Padahal, menurut realitas sebenarnya,
ikatan itu tidak akan timbul antara seorang manusia dan sebuah benda, tetapi
ikatan tersebut hanya akan timbul antara seseorang dengan orang lain yang
obyeknya adalah benda. Berbagai macam transaksi yang dimasukkan ke dalam
kelompok hak material, seperti sebab-sebab kepemilikan dan asuransi jiwa,
seluruhnya mengindikasikan hal ini dengan jelas dan tegas; tidak
mengindikasikan apa pun selain itu. Oleh karena itu, ia sebenarnya adalah
ikatan antara seseorang dan orang lain yang obyeknya adalah benda; bukan
sebagai ikatan seseorang dengan sebuah benda.
Sementara itu, pendefinisian hak personal sebagai ikatan antara dua
orang, yaitu kreditor dan debitor, dimana kreditor diberi wewenang untuk
menuntut debitor agar memberikan sesuatu atau melakukan suatu tindakan
ataupun tidak melakukan suatu tindakan, maka definisi ini—sesuai dengan apa
yang diindikasikannya—berarti menunjukkan bahwa hak adalah sebuah ikatan
antara dua orang, terlepas apakah benda itu ada atau tidak. Padahal, realitas
sebenarnya menunjukkan bahwa ikatan itu tidak akan terjadi di antara dua
orang yang menumbuhkan sebuah hak tanpa adanya sebuah benda yang
berkaitan dengan ikatan tersebut. Oleh karena itu, benda menjadi obyek
ikatan, bahkan sebenarnya menjadi asas ikatan tersebut. Apalagi hubungan
yang disebut dengan ikatan ini tidak akan memberikan kepada salah satu pihak
dari dua orang itu sebuah hak untuk membuat tuntutan kepada pihak lain,
dengan menyatakan, bahwa ikatan telah memberikan hak kepada kreditor
untuk membuat sebuah tuntutan dari debitor. Sebenarnya ikatan ini telah
memberikan hak kepada masing-masing pihak—dari kedua belah pihak
tersebut—untuk menuntut pihak lain. Berbagai transaksi yang dimasukkan ke
dalam arti hak personal—seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan perjanjian—
semuanya mengindikasikan dengan sangat jelas, bahwa benda itulah yang
menjadi asas sebuah ikatan; tanpa benda, tidak akan ada ikatan atau hak apa
pun. Ini juga mengindikasikan, bahwa ikatan tersebut telah memberikan
kepada setiap orang yang bertransaksi hak untuk menuntut pihak yang lain,
walaupun bisa saja tuntutan masing-masing pihak itu berbeda jenisnya. Penjual
menuntut harga pembayaran, dan pembeli menuntut komoditas yang
diperjualbelikan. Apalagi, pembagian hak menjadi dua—hak personal dan hak
material—ini tidak memiliki makna dalam arti nyata dan fakta sebenarnya;
keduanya merupakan hak yang sama. Hal ini karena permasalahan tersebut
berkaitan dengan ikatan seseorang, apakah dengan orang lain yang memiliki
sebuah benda, seperti jual-beli; dengan sebuah obyek benda yang dimiliki oleh
seseorang, seperti pemberian (hibah); atau dengan benda saja, seperti wakaf.
Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara kategori pertama, yang mereka
sebut dengan hak personal, dan kategori kedua, yang mereka sebut dengan hak
material. Tidak ada perbedaan antara gadai ataupun hak monopoli yang
termasuk ke dalam kategori hak material dan barter, jual-beli, perseroan, sewa-
menyewa, serta semua yang disebutkan sebagai hak personal. Tiada lain
karena pokok bahasannya adalah ikatan seseorang yang berkaitan baik dengan
orang lain yang obyeknya adalah harta, atau dengan harta yang disandarkan
pada seseorang, atau hanya dengan harta itu sendiri. Ketiga bentuk tersebut
merupakan perkara yang sama, yakni mengatur ikatan manusia. Oleh karena
itu, pembagian hak dengan cara yang telah disebutkan di atas adalah sesuatu
yang keliru.
Bagian lain yang paling mencolok dari legislasi Barat adalah hukum
perdata (civil law), yakni legislasi yang berkaitan dengan seluruh transaksi, baik
yang mengatur ikatan seorang individu dengan keluarganya atau ikatan
seorang individu dengan individu lainnya dalam masalah harta kekayaan.
Serangan Barat atas legislasi Islam difokuskan pada hukum perdata ini. Hukum
perdata telah diringkas oleh Barat dengan membagi hak menjadi hak personal
dan hak material. Hak personal dibuat menjadi sebuah pertanggungjawaban.
Dari sini, dibangunlah atas asas ini teori pertanggungjawaban. Ini merupakan
sumber hukum bagi seluruh undang-undang Barat, baik kodifikasi Latin
ataupun Jerman.
Semua itu ditegakkan atas teori kontrak. Kontrak itu sendiri telah diberi
sejumlah definisi, yang semuanya mencakup hal-hal seputar menciptakan
masalah kontrak; apakah dengan memberikan harta kekayaan, atau
melakukan, ataupun tidak melakukan sebuah tindakan. Kontrak ini
didefinisikan sebagai perjanjian menurut pada apa yang telah dijanjikan
seseorang atau lebih kepada seseorang yang lain atau lebih untuk memberikan
sesuatu atau untuk melakukan ataupun tidak melakukan sebuah tindakan.
Kontrak juga telah didefinisikan sebagai sebuah perkara hukum yang mana
seseorang harus menyerahkan hak material atau melakukan ataupun tidak
melakukan sebuah tindakan. Ketika semua definisi tersebut dibandingkan
dengan definisi kapitalis tentang hak personal (sebagai sebuah ikatan antara
dua orang individu, yakni kreditor dan debitor, dimana kreditor tersebut
berhak menuntut debitor untuk memberikan sesuatu atau melakukan ataupun
tidak melakukan sebuah tindakan), jelaslah bahwa teori kontrak itu maksudnya
adalah hak personal itu sendiri. Jadi, langkah yang ketiga ini merupakan salah
satu asas legislasi Barat. Pertama-tama, kaum kapitalis telah mendefinisikan
hak (right), lalu membagi hak tersebut menjadi dua kategori (hak personal dan
hak material), kemudian pada tahap selanjutnya, di atas asas hak personal ini
mereka menegakkan teori kontrak dan menjadikannya sebagai asas bagi
seluruh hukum perdata Barat. Teori ini dianggap sebagai sesuatu yang paling
penting dalam legislasi Barat. Seseorang yang mempelajari ilmu hukum dan
legislasi Barat secara luas akan memahami betapa pentingnya teori ini.
Pentingnya teori ini bagi hukum perdata dianggap sebanding dengan
pentingnya tulang punggung pada kerangka manusia. Jika telah ditemukan
adanya kontradiksi dan kesalahan dalam teori ini, kekeliruan dan kesalahan
dalam susunan legislasi Barat dan seluruh undang-undangnya bisa ditunjukkan
secara nyata. Oleh karena itu, tampak aneh dan ganjil jika sampai serangan
kapitalisme—dengan semua undang-undang yang rusak tersebut—terhadap
legislasi Islam, juga serangan dari sebuah legislasi yang kotor dan batil terhadap
legislasi Islam yang murni dan benar, bisa mengakibatkan kaum Muslim kalah
di hadapan orang-orang Barat.
Kembali pada pembahasan teori kontrak atau hak personal, jelas terlihat
bahwa kontrak atau hak personal (personal right) itu—merujuk pada
pandangan kapitalisme—didasarkan pada sebuah ikatan hukum antara kreditor
dan debitor. Dalam pandangan ini, ikatan tersebut merupakan sebuah otoritas
yang diberikan kepada kreditor atas diri debitor, dan bukan pada kekayaannya.
Inilah yang telah membedakan antara hak material dan hak personal. Yang
pertama (hak material) merupakan otoritas yang diberikan kepada seorang
individu tertentu atas sebuah benda (materi), sedangkan yang kedua (hak
personal) merupakan otoritas yang diberikan kepada seorang individu tertentu
atas individu yang lain. Artinya, otoritas yang diberikan kepada seorang
kreditor atas debitor itu merupakan otoritas yang luas dan bisa meliputi
berbagai macam hal, seperti hukuman mati, hak untuk memperbudak, dan hak
untuk menggunakan sesuatu.
Karena teori ini didasarkan pada kebebasan pribadi, hal itu menuntut
keadaan di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk membuat kontrak;
dia bisa terikat dengan apa saja yang dia inginkan, sekalipun—sebagai
konsekuensinya—dia akan tertimpa berbagai macam keburukan dan
kecurangan. Dengan begitu, dia bebas untuk membuat komitmen atau
pertanggungjawaban apa pun yang dia inginkan. Artinya, jika dia berkomitmen
atas sesuatu, dia wajib untuk memenuhinya. Dengan demikian, orang-orang
kapitalis telah menetapkan sumber bagi kontrak ini dan mencoba berulang-
ulang untuk mengatur sumber-sumber tersebut.
Hanya dengan mempelajari definisi orang-orang kapitalis tentang teori
kontrak atau hak personal ini, seseorang sudah dapat melihat dengan jelas
kerusakan teori ini secara langsung dari kerusakan definisi hak (right) itu
sendiri, karena teori ini lahir dari definisi tersebut. Ia juga dapat menemukan
kesalahan teori ini dari pengelompokan hak menjadi dua (hak personal dan hak
material), karena teori ini juga merupakan hasil dari pembagian tersebut
sekaligus merupakan bagian darinya. Akan tetapi, agar seseorang itu jelas
melihat kesalahan berbagai macam transaksi yang lahir dari teori ini dan
sekaligus melihat kebatilan legislasi Barat, sebagian dari kesalahan yang muncul
dari teori ini harus diterangkan dengan jelas. Definisi teori kontrak,
sebagaimana disebutkan di atas, mengindikasikan bahwa teori ini harus
dianggap sebagai sebuah perjanjian yang didasarkan pada sebuah kontrak.
Definisi ini telah meniadakan berbagai macam transaksi yang di dalamnya tidak
terdapat perjanjian kesepakatan, seperti pemberian (hibah), sedangkan
transaksi hibah ini telah mereka kelompokkan ke dalam hak personal. Definisi
ini juga telah meniadakan berbagai macam transaksi yang berasal dari seorang
individu dan tidak melibatkan orang lain, seperti transaksi yang mereka sebut
dengan “kehendak individual”. Contohnya adalah pembentukan perseroan
saham dan koperasi, wasiat, dan hadiah; sekalipun mereka telah
mengklasifikasikan semua transaksi ini ke dalam teori kontrak. Apalagi ada
berbagai macam transaksi lain yang terjadi di antara individu-individu yang
tidak tercakup oleh definisi ini—seperti: wakaf, membayar zakat dan sedekah,
dan sebagainya—yang semuanya mengindikasikan kebatilan definisi tersebut.
Karena definisi adalah sesuatu yang selalu didasarkan pada penggambaran
sebuah realitas, lalu definisi atau realitas itu sendiri salah, maka karenanya
perlu untuk mempelajari sebuah realitas secara hati-hati dan akurat agar bisa
mendefinisikan kembali realitas tersebut dengan benar.
Teori kontrak juga didefinisikan sebagai sebuah perkara hukum yang
menjadikan seseorang harus menyerahkan hak personal atau harus melakukan
ataupun tidak melakukan sebuah tindakan. Artinya, kontrak tersebut harus
dianggap sebagai sebuah permasalahan hukum, walaupun sebenarnya ia hanya
merupakan sebuah ikatan yang telah disetujui oleh undang-undang sipil (civil
law) dan tidak menjadi masalah hukum. Sebagai contoh, perintah yang
dikeluarkan oleh negara kepada rakyatnya untuk tidak menebang hutan
tertentu atau hutan secara umum adalah sebuah masalah hukum. Melalui
perintah tersebut, setiap individu atau kelompok diwajibkan untuk tidak
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Menurut pandangan kapitalis,
masalah ini dianggap sebagai bagian dari civil law, walaupun sebenarnya tidak.
Dengan kata lain, perintah tersebut harus dianggap sebagai sebuah kontrak,
padahal secara jelas tidak berkaitan dengan kontrak. Contoh ini menjelaskan
kesalahan definisi kontrak tersebut.
Pandangan bahwa kontrak didasarkan pada sebuah ikatan hukum antara
kreditor dan debitor juga salah, baik sebelumnya diterangkan apakah ia
merupakan ikatan personal atau ikatan finansial. Hal ini karena kontrak
bukanlah sebuah ikatan (râbithah), tetapi hanya sebuah hubungan bagi
manusia (‘alaqât al-insan) yang timbul karena upaya manusia untuk
memuaskan kebutuhan jasmani dan nalurinya, di samping karena ia hidup
dengan orang lain. Ini harus menjadi sebuah hubungan (‘alaqât) antara dua
orang atas sebuah kemaslahatan; sebuah hubungan dari seorang individu,
seperti mengeluarkan talak, wasiat, dan wakaf. Permasalahan yang ada
bukanlah adanya dua individu atau adanya seorang individu dengan sebuah
benda material. Akan tetapi, apa yang harus dilihat adalah pemecahan atas
permasalahan inidividu dengan suatu cara yang bisa mengatur naluri dan
kebutuhan jasmaninya serta menata hubungan (‘alaqât)-nya itu. Yang benar,
sebagaimana diindikasikan oleh realitas keberadaan manusia, kontrak dari segi
hak (right) itu sendiri tidak ada. Masalah yang sebenarnya adalah bahwa ia
merupakan hubungan antara dua orang individu atas sebuah kemaslahatan
yang harus dipecahkan dan diatur oleh undang-undang.
Berbagai peristiwa, pertanyaan, dan permasalahan yang menyangkut
seorang individu atau kumpulan individu merupakan sumber yang menciptakan
hubungan-hubungan ini, sementara undang-undang memutuskan untuk
mempertimbangkan hubungan-hubungan tersebut ataukah tidak. Jadi, tidak
ada kontrak dalam perkara ini, baik dari segi personal ataupun finansial. Hal ini
karena masalahnya tidak berkaitan dengan sebuah hubungan antara seorang
kreditor dan seorang debitor, juga tidak berkaitan dengan sebuah ikatan antara
seorang individu dan sebuah benda material, atau wewenang seseorang atas
sebuh benda material. Pokok persoalan sebenarnya disimpulkan dari sebuah
hubungan yang ada di antara dua orang individu atas suatu kemaslahatan
tertentu. Kemaslahatan ini bisa berkaitan dengan masalah kekayaan atau
kepemilikan; atau hubungan ini ada dalam batas pengadaan (insyâ’) atau
pelaksanaan (tanfîdz). Hubungan tersebut ditumbuhkan oleh sebuah
kemaslahatan, yakni dalam rangka memperoleh keuntungan atau
menghilangkan kerugian, dan ia diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu,
jual-beli adalah sebuah hubungan antara dua orang dalam batasan pengadaan
(insyâ’), yang pokok persoalannya adalah kekayaan atau kepemilikan.
Sedangkan insentif hadiah bagi seorang individu yang menemukan kembali
harta yang hilang adalah hubungan antara dua orang dalam batasan
pelaksanaan (tanfîdz) dan berkaitan dengan harta kekayaan. Pernikahan adalah
sebuah hubungan antara dua orang individu, tetapi pokok persoalan
sebenarnya adalah sebuah kemaslahatan, bukan harta kekayaan.
Di samping hubungan antara dua orang individu, ada juga hubungan
yang berdasarkan pada masalah kekayaan atau benda material, seperti wakaf,
zakat, dan sedekah; membangun tempat ibadah dan menyiapkan layanan
publik, seperti menyediakan ladang gembalaan dan air minum. Semua ini
membawa pada kesimpulan bahwa kontrak itu, menurut pengertian yang
didasarkan pada legislasi Barat dan memunculkan konstitusi dan undang-
undang Barat, sebenarnya tidak ada, baik dari aspek personal ataupaun
finansial. Oleh karena itu, kontrak dalam makna yang mereka inginkan, yakni
apa yang disebut dengan hak personal, juga tidak ada. Dengan demikian,
transaksi itu bukanlah sebuah otoritas atau wewenang yang dimiliki oleh
seorang individu atas beberapa benda material, juga bukan sebuah ikatan
antara dua orang individu. Akan tetapi, ia sebenarnya hanyalah sebuah ikatan
antara dua orang individu atas sebuah kemaslahatan yang diterima dan diakui
oleh undang-undang. Pengertian ini juga berlaku untuk segala transaksi yang
terjadi antara dua orang individu dalam masalah pengadaan (insyâ’), seperti
perjanjian sewa-menyewa dan pengupahan; atau dalam batasan pelaksanaan
(tanfîdz), seperti hadiah yang diberikan kepada individu yang melakukan
beberapa tindakan tertentu. Pengertiannya juga berlaku untuk berbagai
macam transasksi yang timbul dari perbuatan seorang individu seperti wasiat,
talak, wakaf, dan sebagainya. Oleh karena itu, teori kontrak ini merupakan teori
yang salah. Konsekuensinya, semua kesimpulan hukum yang dibangun
berdasarkan teori ini atau apa pun yang lahir dari teori ini juga salah, karena
semua itu merupakan rincian atau cabang dari sebuah sumber yang salah.
Perkara yang bisa meyakinkan seorang individu akan kesalahan dan
kebatilan teori kontrak ini adalah tinjauan atas reaksi teori ini dan mereka yang
mempromosikannya ketika dihadapkan pada berbagai macam problem yang
muncul dan terjadi secara terus-menerus di sebuah masyarakat dalam jangka
waktu tertentu. Bisa ditunjukkan bahwa teori ini maupun mereka yang
mempromosikannya tidak mampu menghadapi problematika masyarakat itu.
Oleh karena itu, para penganjurnya itu kemudian terpaksa menafsirkan,
mengurangi, dan menyimpangkan teori ini agar bisa menemukan solusi atas
berbagai macam masalah itu. Teori kontrak ini telah ada sejak zaman Romawi.
Legislasi Barat kemudian menukil dan menggunakannya sejak itu. Ketika
problematika masyarakat berkembang, tampaklah kesalahan dan kekeliruan
teori ini di hadapan mereka yang menukilnya. Akibatnya, ketidaklayakan teori
ini untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan jelas terlihat oleh mereka.
Akan tetapi, daripada menganggap teori ini sebagai sebuah teori yang salah,
orang kapitalis malah mengklaim bahwa teori ini berkembang dan tumbuh
setiap saat secara alami untuk menghadapi permasalahn yang timbul, dan
mereka “mengubah” teori ini untuk menggambarkan pernyataan mereka itu.
Efek yang jelas dari keadaan ini adalah mulai menyimpangnya orang-
orang kapitalis dari teori ini dan mengubah asas teori tersebut dengan dalih
tumbuh dan berkembangnya teori tersebut, yakni perubahan dari sebuah
situasi pada situasi lain; dan dengan dalih fleksibilitas, yakni memiliki kapasitas
untuk dilakukannya interpretasi. Sebenarnya, banyak faktor yang bisa
menjelaskan kesalahan teori kontrak ini, yang mempengaruhi serta menjadi
sebab teori ini banyak berubah dan berganti untuk mengikuti kondisi di masa
yang berbeda. Teori-teori sosialis yang muncul di Eropa sebelum munculnya
ideologi komunisme telah menampakkan ketidaksesuaian teori ini. Inilah yang
mendorong para ahli hukum untuk mengubah pandangan mereka berkaitan
dengan teori ini. Hukum-hukum dan tarif upah dikenalkan dalam kontrak kerja
untuk melindungi para buruh, dan memberikan berbagai macam hak kepada
mereka yang sebelumnya tidak ada, seperti hak untuk mendirikan serikat
pekerja, mengadakan rapat pekerja, dan melakukan mogok kerja. Ini adalah
jelas kontradiktif dengan bunyi teks Romawi dengan teori kontraknya yang
tidak mengizinkan adanya hukum-hukum atau hak tersebut. Teori kontrak itu
sendiri yang menyatakan bahwa ini merupakan sebuah perjanjian antara dua
orang individu yang menimbulkan kontrak. Akan tetapi, kekuatan teori ini telah
terkikis kontrak sekarang yang lebih didasarkan pada solidaritas kelompok
daripada atas keinginan individu. Lagi pula, ide penipuan atau kecurangan itu
tidak ada, bahkan teori kontrak tidak memperbolehkannya.
Berbagai macam teori yang berdasarkan pada individu membawa pada
pengertian bahwa individu tersebut harus bebas secara mutlak dalam
perjanjiannya untuk melakukan apa yang dia inginkan dari ikatan atau kontrak
tersebut tanpa mempedulikan kerugian atau kecurangan yang akan
menimpanya. Ketika kesalahan teori kontrak dan teori individu ini mulai
tampak, teori kecurangan pun disisipkan dalam beberapa kontrak, dan
kemudian ia mulai meluas hingga menjadi sebuah teori umum yang bisa
dipergunakan untuk segala kontrak yang ada pada zaman modern ini. Karena
munculnya ide dan pemikiran baru berkaitan dengan problematika hidup yang
kontradiktif dengan pemikiran dan ide lama, dan karena mulai tampaknya
kesalahan pemikiran lama, teori kontrak ini dibeberkan sebagai sebuah teori
yang salah. Lagi pula, penggunaan mesin dan teknologi, kemajuan industri, dan
meletusnya dua perang dunia (PD I dan PD II), semua itu menimbulkan
permasalahan praktis bahwa teori kontrak ini tidak mampu untuk memecahkan
permasalahan tersebut. Penggunaan mesin berteknologi telah menampakkan
pada individu akan adanya bahaya dan risiko cedera. Sebelumnya, teori kontrak
ini tidak menempatkan berbagai macam tanggung jawab kecuali hanya kepada
individu. Ketika tanggung jawab dipindahkan dari individu ke mesin,
ketidaksesuaian teori ini lebih tersingkap lagi. Oleh karena itu, seorang individu
tidak wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang menimpa orang lain,
kecuali kalau dia sengaja berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Dalam
keadaan ini, (merugikan orang dengan sengaja) dia bertanggung jawab untuk
membayar ganti rugi atas kerugian yang menimpa orang lain itu. Dengan kata
lain, seseorang yang dianggap melakukan kesalahan itu dianggap bertanggung
jawab dan harus membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya.
Berbagai situasi kerja yang menyebabkan pekerja menjadi cedera
mengharuskan majikan bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi. Ini
adalah sebuah masalah yang tidak tercakup dalam teori kontrak.
Oleh karena itu, perjanjian asuransi dalam legislasi Barat tidak hanya
terbatas pada individu, tetapi bahkan melibatkan pihak lain. Lalu, muncullah
teori penetapan syarat demi kemaslahatan/kepentingan orang lain. Contohnya,
seorang laki-laki bisa mengambil asuransi jiwa untuk kemaslahatan anaknya,
dengan tidak mengindahkan apakah ia memiliki anak saat pengambilan
asuransi itu atau tidak. Ini kontradiktif dengan teori kontrak, karena ini
hanyalah ikatan perjanjian antara dua orang. Jika anak-anak itu tidak ada pada
saat perjanjian asuransi dibuat, seharusnya mereka tidak bisa meraih manfaat
dari perjanjian ini. Lagi pula, permasalahan lain seperti menentukan harga
komoditi, menaksir upah, atau kontrak pertanggungjawaban publik—yang
semuanya kontradiktif dengan teori kontrak—diperkenalkan dalam legislasi
Barat modern. Semua itu menunjukkan kerusakan teori kontrak dan
ketidaksesuaiannya.
Ada persoalan lain, sebagaimana penipuan bisa merusak kontrak, telah
ditetapkan bahwa tidak boleh mengizinkan sebuah perjanjian tentang apa pun
yang tidak sesuai dengan aturan umum; tidak melakukan tindakan yang
merugikan orang lain secara tidak sah—contohnya adalah ketika seorang
petani, karena kesembronoannya, telah menyebabkan gembalaannya
memakan tanaman tetangganya; tidak mengambil manfaat yang tidak
dibenarkan, yang mencegah seseorang untuk tidak mengambil manfaat karena
orang lain, seperti membangun rumah di atas tanah milik orang lain atau
membayar utang yang tidak ada, yakni sebuah usaha yang sia-sia. Semua itu
bertentangan dengan teori kontrak dan ini mengindikasikan kesalahan teori
tersebut. Semua persoalan dan masalah tersebut berlaku membatasi. Ini jelas
kontradiktif dengan hak personal dan menghancurkannya. Sebab, menurutnya,
hak itu mutlak, atau disebut juga hak tidak terbatas. Akan tetapi, menurut
pandangan kapitalisme, kontrak, sebagaimana telah dijelaskan, ditegakkan atas
sebuah ikatan hukum antara kreditor dan debitor yang mewajibkan seseorang
untuk memindahkan atau menggunakan sebuah hak. Ini menunjukkan tidak
disyaratkannya ada kerelaan untuk memindahkan kewajiban. Dengan kata lain,
ini menunjukkan adanya pemindahan kewajiban tanpa adanya kerelaan orang
yang melakukan pembayaran utang dengan pemindahan hak ini. Ini juga
berarti bahwa tidak ada ketetapan, dimana kreditor menerima pemindahan
utang, karena pengertian hukum tersebut adalah bahwa seseorang diwajibkan
untuk memindahkan hak sebagai sebuah aset atau pertanggungjawaban.
Persoalan ini tidak akan menjamin kejujuran dan keadilan. Oleh karena itu,
tampak jelaslah kerusakan teori ini, karena pemberitahuan kepada orang yang
akan melakukan pembayaran utang saja tidaklah cukup. Sebab, seharusnya dia
menerima hal itu, karena akad dalam pemindahan kewajiban itu bisa menjadi
akad yang benar bila semua pihak yang menandatangani kontrak tersebut
menerimanya.
Ini adalah ringkasan dari problematika baru yang dihadapi oleh teori
kontrak. Dari paparan di atas dapat terlihat bahwa teori ini tidak layak menjadi
asas sebuah pemikiran. Banyak hubungan yang beraneka ragam di antara
manusia yang tidak bisa digali dari asas teori ini, seperti fakta adanya
kecurangan yang bisa merusak sebuah perjanjian. Teori ini juga tidak layak
untuk generalisasi hanya karena tanggung jawab atas apa yang dianggap
sebuah kesalahan, seperti cedera yang terjadi akibat penggunaan mesin dalam
kerja; pemindahan kewajiban utang atau manfaat dari pihak lain, seperti
asuransi yang diambil demi sebuah manfaat sekalipun anak-anak tersebut
belum lahir; keinginan individu, seperti wakaf; bahkan peseroan saham
kapitalis, perjanjian, dan transaksi sejenis. Tidak satu pun dari semua itu yang
tercakup oleh teori kontrak, baik dari segi tekstual ataupun maknanya. Teori ini
juga tidak layak menjadi kaidah-kaidah yang bersifat umum, seperti kecurangan
dalam perjanjian atau tidak menggunakan apa yang tidak sesuai dengan moral
dan nilai-nilai umum. Teori ini tidak memiliki kapasitas untuk mempersatukan
manusia dan kultur yang berbeda-beda dalam sebuah legislasi yang satu,
sebagaimana dibuktikan oleh keterbatasan dan ketidaklayakannya pada saat
timbulnya teori sosialisme dan terjadinya revolusi industri. Teori ini juga salah
dari asasnya, karena ia dibangun dari dua konsep, yakni kebebasan pribadi dan
kebebasan kepemilikan. Dua kebebasan itu telah mengakibatkan kerusakan di
tengah-tengah umat manusia serta memfasilitasi eksploitasi dan imperialime.
Hal ini karena undang-undang, yang mana telah melindungi pemberian dua
kebebasan ini, dibangun atas dasar teori kontrak; sebuah perkara yang telah
menyebabkan kerusakan dan penderitaan.
Inilah realitas legislasi Barat yang telah menantang legislasi Islam.
Dengan kata lain, ini merupakan realitas sistem kapitalis yang menantang
sistem Islam.
Sebaliknya, legislasi Islam, yang telah diserang dan dikritisi oleh legislasi
Barat, tidak didasarkan pada teori-teori spekulatif (zhannî) yang melahirkan
berbagai hukum dan solusi, sebagaimana terjadi pada legislasi Barat. Legislasi
Islam lahir dari sebuah akidah yang pasti (qath‘î) yang tidak membuka pintu
bagi adanya keraguan. Pangkalnya bukanlah teori tentang hak (right), juga
bukan teori tentang hak personal dan hak material. Pangkalnya adalah sebuah
akidah yang qath‘î yang diperoleh akal dan diyakini secara pasti. Oleh karena
itu, apa pun yang lahir dari akidah ini merupakan legislasi Islam. Sebaliknya, apa
pun yang tidak dilahirkan dari akidah ini tidak menjadi legislasi Islam. Lalu,
legislasi yang manakah dari keduanya yang menjadi legislasi yang benar?
Apakah legislasi yang berpangkal pada sebuah akidah rasional yang tidak
memberi jalan bagi datangnya keraguan, ataukah legislasi yang dihasilkan dari
teori-teori spekulatif? Apalagi berbagai kesalahan telah mulai tampak pada
teori ini, di samping bahwa definisi semua teori ini tidak sesuai dengan
kebenaran dan realitas yang ada.
Hukum-hukum Islam lahir dari akidah Islam. Akidah Islam mencakup
keimanan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya,
dan Hari Akhirat. Dengan kata lain, semua hukum Islam lahir dari al-Quran dan
as-Sunnah. Secara pasti (qath‘î) telah dibuktikan melalui pemikiran rasional
bahwa keduanya merupakan wahyu dari Allah Swt. Jadi, apa pun yang
dipahami dari wahyu, apakah berupa dalil, kaidah maupun hukum merupakan
legislasi Islam. Oleh karena itu, ketika legislasi Islam dipelajari atau ketika Islam
dipelajari sedemikian rupa, ia akan dipelajari dengan asas bahwa ia merupakan
wahyu dari Allah Swt., bukan sebagai sebuah produk manusia. Inilah asas
perkara dalam penelitian yang dilakukan terhadap Islam dan dasar tinjauan
atas Islam.
Jadi, bukti rasional yang pasti (qath‘î) harus ditegakan bahwa Islam
merupakan wahyu dari Allah Swt sehingga legislasinya diadopsi dari apa yang
ada dalam wahyu tersebut, yakni dari apa yang telah ditegakkan oleh dalil
rasional yang pasti, yang menunjukkan bahwa Islam telah diwahyukan Allah
Swt menjadi sebuah sistem bagi seluruh manusia; bahwa Islam merupakan
wahyu dari Allah Swt; berasal dari al-Quran dan hadits Rasululllah saw. Sebab,
telah dibuktikan dengan dalil yang pasti (qath‘î) bahwa al-Quran itu merupakan
kalamullah. Al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang telah dibawa
oleh Rasulullah saw. Dalil yang pasti menyatakan bahwa al-Quran adalah
wahyu dari Allah Swt.
Memang, ada tiga kemungkin berkaitan dengan realitas al-Quran itu: (1)
bisa saja berasal dari orang-orang Arab yang kemudian dinukil oleh
Muhammad; (2) bisa juga berasal dari Muhammad saw yang sekaligus
menyebarkannya, seraya mengklaim bahwa kitab tersebut merupakan wahyu
dari Allah Swt; (3) bisa juga berasal dari Allah Swt dengan sebenar-benarnya.
Al-Quran tidak bisa dari yang lain kecuali berasal dari salah satu di antara tiga
sumber itu, karena al-Quran berbahasa Arab dilihat dari segi bahasa dan gaya
penuturannya.
Kemungkinan pertama, bahwa al-Quran berasal dari bangsa Arab, adalah
kemungkinan yang batil, karena al-Quran sendiri secara langsung telah
menantang mereka semua untuk membuat sesuatu yang bisa menyerupainya:
‫ور ٍة ِمثْلِ ِه‬
َ ‫س‬
ِ
ُ ‫قُ ْل فَأْتُوا ب‬
Katakanlah, “(Kalau benar yang kalian katakan itu), cobalah datangkan
sebuah surat yang serupa dengannya.” (TQS. Yunus [10]: 38)

ٍ ‫قُل فَأْتُوا بِع ْش ِر سو ٍر ِمثْلِ ِه م ْفَتري‬


‫ات‬ََ ُ َُ َ ْ
Katakanlah, “(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surat-surat yang
dibuat-buat yang menyamainya.” (TQS. Hud [11]: 13)

Bangsa Arab telah mencoba untuk membuat sesuatu yang bisa


menyerupai al-Quran, tetapi mereka tidak mampu melakukan hal itu. Jadi, al-
Quran jelas bukan berasal dari perkataan bangsa Arab, karena mereka sendiri
tidak mampu untuk membuat sesuatu yang bisa menyerupainya, walaupun
telah ditantang, dan meskipun mereka berupaya untuk membuat sesuatu yang
menyerupai al-Quran.
Kemungkinan bahwa al-Quran berasal dari Muhammad saw juga batil,
karena Muhammad saw sendiri merupakan salah seorang dari bangsa Arab.
Bagaimanapun jeniusnya seorang Muhammad, dia hanyalah seorang manusia
biasa; seseorang yang berasal dari masyarakat dan bangsanya. Sepanjang
bangsa Arab sendiri tidak mampu membuat sesuatu yang serupa dengan al-
Quran, begitu pula dengan seorang Muhammad sebagai salah seorang dari
komunitas mereka; dia juga pasti tidak akan mampu membuat sesuatu yang
serupa dengan al-Quran. Jadi, jelas pula, bahwa al-Quran bukanlah berasal
darinya. Apalagi Muhammad telah meninggalkan banyak hadits shahih dan
hadits lain yang diriwayatkan secara mutawâtir, yang keotentikannya tidak
diragukan lagi. Jika beberapa hadits tersebut dibandingkan dengan beberapa
ayat al-Quran, orang akan mendapatkan adanya ketidaksamaan antara teks
hadits dan al-Quran dalam gaya bahasanya. Apalagi Nabi Muhammad saw
sering membacakan ayat yang diturunkan dan kemudian menyampaikan hadits
pada saat yang sama; perbedaan gaya bahasa antara keduanya jelas tampak.
Perkataan seorang manusia, bagaimanapun dia berupaya untuk
menyembunyikan dan menyamarkannya, akan tetap memiliki kemiripan dalam
gayanya, karena gaya bicara merupakan bagian dari manusia itu sendiri.
Telah dijelaskan bahwa tidak ada kemiripan dalam gaya penuturan hadits
Nabi saw dan al-Quran. Artinya, secara pasti al-Quran bukanlah perkataan
Muhammad saw, karena adanya perbedaan yang jelas dan nyata di antara
keduanya. Karena seorang manusia tidak bisa dipisahkan dari zaman saat dia
tinggal, dia jelas tidak akan mampu untuk membuat sebuah perkataan selain
perkataan yang sesuai dengan zamannya, bagaimanapun dia berupaya keras
memalsukannya. Artinya, dia tidak akan bisa dipisahkan dari entitasnya. Karena
sejumlah alasan, dia tidak akan bisa membuat sebuah perkataan selain dari
perkataannya sendiri, dilihat dari segi makna dan gaya penuturannya.
Kritik kesusasteraan telah mencatat syair yang dinisbatkan pada masa
Jahiliah. Setelah itu dinyatakan bahwa al-Quran bukanlah milik zaman itu.
Sejumlah kritik itu telah disusun untuk membedakannya dan
menghubungkannya dengan masa Abbasiyah, Umayah, atau Andalusia. Perkara
yang semakin jelas dari hal itu adalah bahwa seorang manusia tidak bisa
dipisahkan dari perkataan zamannya atau perkataannya sendiri. Karena adanya
perbedaan gaya penuturan al-Quran dan hadits Nabi saw, jelaslah bahwa al-
Quran bukan berasal dari perkataan Muhammad saw. Sejak terbukti bahwa al-
Quran bukanlah perkataan orang-orang Arab atau perkataan Nabi Muhammad
saw, berarti secara pasti al-Quran merupakan kalamullah, dan menjadi
mukjizat bagi orang yang membawanya.
Sementara itu, fakta bahwa hadits Rasulullah saw juga merupakan
wahyu dari Allah, ini telah diindikasikan oleh realitas bahwa beliau merupakan
utusan Allah. Hadits, sebagaimana halnya al-Quran, merupakan risalah yang
telah diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. Terbukti dengan
jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah, karena beliaulah orang
yang membawa al-Quran, yang merupakan kalam dan syariat-Nya. Karena tidak
ada seorang pun yang membawa syariat Allah kecuali para Nabi, secara pasti
beliau adalah seorang Rasul dan seorang Nabi. Inilah alasannya, mengapa
dikatakan bahwa hadits Nabi saw juga merupakan wahyu dari Allah, karena
hadis itu berasal dari seorang Rasul yang telah diutus oleh Allah. Apalagi al-
Quran, yang secara pasti dan meyakinkan terbukti merupakan kalamullah,
telah menyatakan dengan jelas bahwa hadits Nabi saw juga merupakan wahyu
dari Allah Swt. Dia berfirman:
َ ُ‫إِ ْن أَتَّبِ ُع إِالَّ َما ي‬
َّ ‫وحى إِل‬
‫َي‬
Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (TQS. al-
An‘am [6]: 50)

ِ
َ ُ‫ إِ ْن ُه َو إِالَّ َو ْح ٌي ي‬‫ َو َما َي ْنط ُق َع ِن ال َْه َوى‬
‫وحى‬
Tidaklah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu Allah yang
diwahyukan kepadanya. (TQS. an-Najm [53]: 3-4)

‫قُ ْل إِنَّ َما أُنْ ِذ ُر ُك ْم بِال َْو ْح ِي‬


Katakanlah Muhammad, “Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan
kepada kalian berdasarkan wahyu….” (TQS. al-Anbiya’ [21]: 45)

Dengan semua ini, dalil yang tegas dan rasional telah diperlihatkan
bahwa al-Quran dan as-Sunah merupakan wahyu dari Allah Swt. Karena
keduanya secara kesatuan merupakan syariat Islam, maka terbukti dengan dalil
yang tegas dan rasional bahwa syariat Islam merupakan wahyu dari Allah Swt.
Dengan demikian, setiap pemikiran dan hukum yang disebutkan dalam al-
Quran dan as-Sunnah pasti merupakan wahyu dari Allah. Oleh karena itu, apa
pun yang digali dari al-Quran dan as-Sunnah juga pasti berasal dari wahyu. Jadi,
jelaslah bahwa syariat Islam bukanlah seperangkat teori spekulatif yang
diterapkan pada peristiwa atau permasalahan yang baru. Akan tetapi, syariat
Islam itu merupakan makna-makna umum yang dibawa oleh Rasulullah saw
sebagai wahyu dari Allah Swt. Segenap makna umum tersebut diterapkan pada
berbagai permasalahan yang baru, lalu hukum-hukum atas semua
permasalahan tersebut digali. Semua hukum yang digali ini dianggap sebagai
bagian dari wahyu. Oleh karena itulah, mengapa para ulama telah
mendefinisikan hukum-hukum syariat (al-ahkâm asy-syar‘iyyah) dengan seruan
(khithâb) Pembuat hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan para
hamba (manusia). Artinya, hukum syariat adalah apa saja yang telah diserukan
oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, karena
hukum tersebut diambil dari ungkapan atau makna seruan Pembuat hukum
syariat.
Inilah asas tempat berpijaknya pembahasan syariat Islam, yakni bahwa
syariat Islam merupakan wahyu dari Allah. Ini merupakan pandangan yang
harus membatasi pendekatan pembahasan, yakni bahwa ia merupakan syariat
yang datang dari Allah Swt. Karena terbukti bahwa syariat Islam bersumber dari
Allah Swt, maka syariat Islam harus dibahas dalam kapasitas ini, yakni bahwa
seseorang harus mempelajari syariat ini dalam kapasitasnya sebagai syariat
Allah. Pada saat sebuah hukum digali, hukum tersebut dipandang sebagai
sesuatu yang diambil dari syariat Allah. Ketika seseorang mempelajari berbagai
solusinya atas sebuah masalah, maka berbagai solusi yang dipelajari itu
dipandang sebagai solusi yang berasal dari Allah. Jadi, tolok ukur solusi ini
diambil dari segi asas yang melahirkan solusi tersebut, bukan dari segi apakah
sesuai atau tidak dengan keinginan seseorang yang menggunakan solusi
tersebut; juga tidak dipandang dari segi apakah sesuai atau tidak dengan apa
yang lazim pada zaman tertentu. Hal ini karena tujuan solusi tersebut adalah
tujuan yang benar, sementara kebenaran itu hanyalah apa yang datang dari
Allah Swt semata.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan keshahihan syariat Islam dan
kesesuaiannya bagi semua orang di setiap zaman dan generasi menuntut satu
pertanyaan: apakah ini diwahyukan oleh Allah sebagai sebuah syariat bagi
seluruh manusia? Karena hal ini telah terbukti, berarti jelas bahwa syariat Islam
merupakan syariat yang benar. Sebab, salah satu dari sifat Allah, yang dituntut
oleh sebuah kekuatan uluhiyah, adalah memiliki sifat kesempurnaan yang
mutlak dan sifat yang tidak terjamah oleh kekurangan sedikit pun. Terbukti
bahwa undang-undang-Nya merupakan undang-undang yang benar dan
senantiasa cocok. Terbukti pula bahwa syariat ini datang untuk seluruh umat
manusia di sepanjang masa dan bagi setiap generasi. Allah Swt berfirman:
ِ ‫اك إِالَّ َكافَّةً لِلن‬
‫َّاس‬ َ َ‫ َو َما أ َْر َسلْن‬
Kami tidak mengutus kamu, melainkan untuk umat umat manusia
seluruhnya. (TQS. Saba [34]: 28)

ِ ‫ول‬
‫اهلل إِل َْي ُك ْم َج ِم ًيعا‬ ُ ‫َّاس إِنِّي َر ُس‬
ُ ‫قُ ْل يَاأ َُّي َها الن‬
Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian
semua. (TQS. al-A‘raf [7]: 158)

Tidak bisa dipungkiri bahwa syariat Islam juga harus menjadi sebuah
sumber bagi pemikiran; darinya semua ikatan manusia harus digali. Tidak bisa
dipungkiri pula bahwa syariat Islam mencakup bidang yang luas; meliputi
semua permasalahan yang baru dan beraneka ragam. Oleh karena itu, dengan
pasti, ia akan menjadi lahan yang subur untuk menetapkan prinsip yang
menyeluruh (al-qawâ’id al-kulliyah) dan pemikiran yang umum (al-afkâr
al-‘âmmah). Sepanjang syariat ini diperuntukkan bagi manusia sebagai
manusia, maka tidak diragukan lagi bahwa ia bisa memecahkan berbagai
problem yang dihadapi seluruh umat manusia, bagaimanapun berbedanya
bangsa dan lingkungan mereka. Semua ini dituntut oleh fakta bahwa syariat
Islam merupakan syariat Allah. Syariat ini telah diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw. Beliau kemudian menyampaikannya kepada umat manusia
agar mereka berbuat atas dasar syariat tersebut. Inilah realitas yang berkaitan
dengan syariat Islam sebagai seruan Pembuat syariat yang berkaitan dengan
perbuatan manusia sebagai hamba-Nya; ia menjadi solusi yang bisa mengatasi
semua problem umat manusia karena merupakan wahyu yang diturunkan dari
Allah Swt.
Oleh karena itu, ketika Allah Swt melarang riba, seseorang tidak boleh
bertanya apakah larangan tersebut sesuai dengan zaman ataukah tidak; apakah
larangan tersebut sesuai dengan peradaban modern ataukah tidak. Satu-
satunya persoalan yang harus ditanyakan adalah apakah larangan ini digali dari
apa yang telah diwahyukan oleh Allah Swt. ataukah bukan. Jika larangan
tersebut berasal dari wahyu Allah, ia menjadi hukum yang benar (haq),
sementara yang selain itu salah (batil). Jadi, keliru jika dikatakan bahwa
larangan ini merintangi perjanjian perdagangan dan memutuskan hubungan
ekonomi dengan dunia luar serta membuat negara menjadi terisolasi. Tidak
benar untuk menyatakan hal seperti itu, karena asas berpijak pandangan hidup
adalah dengan menjadikan syariat sebagai tolok ukur setiap perbuatan. Hanya
syariat yang berhak memberikan status hukum; tolok ukurnya hanyalah halal
dan haram. Oleh karena itu, apa pun selain syariat tidak dianggap sebagai
sebuah tolok ukur, yang karenanya harus dibuang.
Begitu pula ketika Allah mewajibkan kepada suami untuk memberikan
nafkah kepada istrinya dengan cara yang makruf, sekalipun isterinya itu orang
kaya. Oleh karena itu, suatu hal yang keliru bila ada pertanyaan, apakah
kewajiban ini sesuai dengan zaman modern ataukah tidak. Salah untuk
menyatakan bahwa suami-isteri itu bekerjasama dalam kehidupan sehingga
mereka pun harus bekerjasama dalam masalah nafkah di rumah. Tidak benar
pula untuk mengatakan bahwa nafkah itu diberikan hanya kepada istri yang
miskin saja dan tidak kepada istri yang kaya. Semua pertanyaan dan pernyataan
seperti itu mestinya tidak dilontarkan. Sebaliknya, seseorang hanya mesti
bertanya apakah kewajiban ini digali dari wahyu Allah ataukah bukan. Jika
seperti itu keadaannya, berarti hukum tersebut adalah benar, sedangkan selain
itu salah dan keliru.
Allah juga telah mengizinkan kepada manusia untuk menggunakan
kekayaannya dalam perkara yang dibolehkan, sebanyak apa pun dan dengan
cara apa pun yang ia inginkan. Sebagai contoh, seorang suami bisa saja
membelikan istrinya perhiasan dan mutiara seharga setengah juta dinar. Dia
bisa saja menggunakan satu juta dinar untuk membuat taman bermain yang
berbeda-beda yang diperuntukkan bagi anak-anaknya. Dia juga bisa saja
membelikan masing-masing tujuh mobil bagi sepuluh anaknya, sehingga
mereka bisa menggunakannya setiap hari. Sebab, Allah memang telah
membolehkan semua itu. Jadi, tidak boleh dikatakan bahwa hal itu kontradiktif
dengan kemaslahatan ekonomi, tidak sesuai dengan kepentingan individu, atau
tidak bisa diterima oleh akal. Semua itu tidak perlu ditanyakan. Sebaliknya,
yang seharusnya ditanyakan adalah apakah kebolehan tersebut digali dari apa
yang telah diwahyukan oleh Allah ataukah bukan. Jika ya, berarti hukum
tersebut benar, sementara yang selain itu salah. Begitu seterusnya.
Masalah mendasarnya adalah dengan mengukur shahih atau tidaknya
suatu hukum berdasarkan fakta bahwa hal itu diperoleh dari apa yang telah
diwahyukan Allah Swt. Jika hukum tersebut diperoleh dari apa yang
diwahyukan Allah maka ia benar dan selainnya salah. Pertimbangan yang lain
(selain dari wahyu), apa pun bentuknya, tidak mempunyai nilai sedikit pun. Ini
dipandang dari segi asas Islam.
Sementara itu, dilihat dari realitas Islam itu sendiri, Islam merupakan
pemikiran. Pemikiran merupakan aktivitas menetapkan status hukum atas
sebuah realitas. Artinya, Islam terdiri dari hukum-hukum atas sejumlah realitas.
Oleh karena itu, proses pemikiran harus dijalankan terhadap segala sesuatu
yang datang dari wahyu. Jadi, apa pun yang dibawa oleh Islam, harus dipahami
oleh akal dan diindera wujudnya, atau dipahami asalnya yang telah dibawa
oleh wahyu. Akal harus memahami nash yang terkandung dalam wahyu, baik
berupa wahyu yang ungkapan dan maknanya berasal dari Allah, ataupun
berupa wahyu yang maknanya dari Allah sedang ungkapannya berasal dari Nabi
saw. Tidak ada yang lain dalam wahyu selain kedua hal ini. Tak ada sesuatu pun
dari wahyu itu yang tidak bisa dipahami oleh akal, apakah keberadaannya atau
keberadaan asalnya; juga tidak ada satu nash pun yang tidak bisa dipahami
oleh akal.
Islam adalah pemikiran. Asasnya adalah akal. Perangkat untuk
memahami sesuatu itu pun adalah akal. Akal adalah satu-satunya asas, tempat
Islam didirikan. Akal merupakan asas yang kita gunakan untuk memahami
nash-nash Islam. Jadi, keimanan dalam Islam itu bergantung pada akal. Islam,
sebagaimana pemikiran lainnya yang ada dalam berbagai studi, keberadaan
realitasnya bisa dipahami oleh akal; keberadaan realitas asalnya, sebagaimana
yang kita bicarakan, juga harus dipahami melalui akal. Pada saat yang sama,
nash-nashnya yang mengandung pemikirannya, juga harus dipahami oleh akal;
demikian pula maknanya. Artinya, tidak ada kata misterius dalam nash Islam,
yang hanya diketahui dengan baik oleh Allah, apakah dalam al-Quran atau
dalam hadits Nabi saw. Dia berfirman:

ِ ‫الذ ْك َر لِتَُبيِّ َن لِلن‬


‫َّاس َما ُن ِّز َل إِل َْي ِه ْم َول ََعلَّ ُه ْم َيَت َف َّك ُرو َن‬ ِّ ‫ك‬َ ‫ َوأَْن َزلْنَا إِل َْي‬
Kami menurunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkannya. (TQS. an-Nahl [16]: 44)

Dengan demikian, ketika dinyatakan bahwa Islam merupakan persoalan


akal sehingga ia tunduk pada akal, pernyataan seperti itu adalah benar adanya.
Begitu pula ketika dikatakan bahwa tolok ukur Islam adalah akal; itu juga benar.
Hal ini karena akal merupakan asas Islam. Artinya, pemahaman akan Islam dan
berbuat atas dasar Islam bergantung pada akal sebagai sebuah perangkat
pemahaman dan perbuatan.
Akan tetapi, akal memiliki realitasnya sendiri. Akal harus digunakan
sesuai dengan realitasnya. Proses penggunaan akal tersebut disebut dengan
proses pemikiran. Bagian dari realitas akal adalah bahwa harus ada sebuah
fakta yang bisa diindera sehingga akal itu bisa eksis. Jika tidak ada fakta yang
bisa diindera, tidak akan ada proses pemikiran (al-‘amaliyah al-‘aqliyah), atau
tidak ada penggunaan akal itu. Artinya, tidak ada pemahaman (al-idrâk) tanpa
adanya sebuah realitas yang bisa diindera; tidak ada pemikiran (al-fikr) yang
dihasilkan hingga ada sebuah fakta yang bisa diindera. Jika tidak ada fakta yang
bisa diindera, yang ada berarti hanya sesuatu yang imajiner (khayali), hanya
angan-angan semata; tidak berasal dari rasio, pemikiran, atau pemahaman.
Oleh karena itu, akal tidak dibutuhkan untuk memahami sebuah ‘realitas’ yang
tidak bisa diindera. Sebab, segala hal yang non-inderawi mustahil untuk
dipahami oleh akal, sehingga mustahil dilakukan sebuah proses pemikiran.
Dalam beberapa kasus, akal harus menerima keberadaan (eksistensi)
sebuah realitas daripada menerima hakikat (esensi) realitas tersebut—jika
keberadaan realitas tersebut telah dibuktikan secara pasti. Sebaliknya, akal bisa
menolak sebuah realitas sama sekali jika keberadaan realitas tersebut tidak
bisa dibuktikan dengan pasti. Oleh karena itu, akal tidak diperlukan untuk
memahami esensi atau Zat Allah, karena Zat-Nya merupakan sesuatu yang
tidak bisa diindera sehingga mustahil bisa dipahami. Akan tetapi, Allah bisa
dipahami dari keberadaan semua ciptaan yang ada, yang secara pasti
menunjukkan bahwa semua itu diciptakan (makhluk) sehingga pasti memiliki
khalik (Pencipta).
Melalui kenyataan ini, seseorang bisa memahami keberadaan (eksistensi)
Allah sebagai sesuatu yang bisa diterima, karena keberadaan-Nya itu memiliki
fakta yang dapat diindera, yakni yang diindikasikan oleh adanya ciptaan
(makhluk). Fakta bahwa segala sesuatu yang ada bisa dipahami dan bisa
diindera merupakan sebuah perkara yang pasti, karena semua itu disaksikan
melalui alat indera. Fakta bahwa segala sesuatu yang bisa dipahami dan bisa
diindera itu bergantung pada sesuatu selainnya, yakni memiliki sifat
membutuhkan yang lain, juga merupakan perkara yang pasti. Sebab, hanya
dengan memperhatikannya, kita bisa melihat semua benda itu tidak bisa
berbuat atau berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain tanpa adanya
sesuatu yang lain. Api, misalnya, bisa membakar hanya ketika ada sebuah
benda yang mudah terbakar. Jika tidak ada benda yang mudah terbakar, api itu
tidak bisa membakar. Asam tertentu melarut dalam unsur tertentu, tetapi tidak
bisa melarut dengan unsur yang lain. Unsur tertentu akan bergabung dan
bereaksi dengan unsur lain serta membentuk sebuah senyawa, tetapi dengan
unsur lainnya lagi mereka tidak bisa membentuk senyawa. Dua atom hidrogen
bergabung dengan satu atom oksigen menjadi air, tetapi dua atom hidrogen
berkombinasi dengan dua atom oksigen akan menjadi air berat; sebuah benda
yang tidak cocok untuk menjaga kelangsungan hidup. Semua benda tersebut
tidak berbuat dengan bebasnya, juga tidak bisa berubah dari satu keadaan
pada keadaan yang lain kecuali dengan adanya sebuah situasi, yang terbatas
pada keadaan yang spesifik. Semua benda tersebut tidak bisa berbuat melebihi
keadaan ini, kecuali dengan adanya perubahan atas benda-benda tersebut atau
pada benda yang selain benda asal tersebut, atau melalui faktor yang lain.
Artinya, semuanya saling bergantung, sekalipun mengharuskan bahwa
benda-benda itu membutuhkan faktor-faktor dan kondisi-kondisi tertentu. Api
tidak bisa membakar kecuali dengan adanya sebuah benda yang mudah
terbakar. Agar api itu bisa membakar, dibutuhkan sebuah benda yang mudah
terbakar. Asam hanya bisa melarut dalam unsur yang dapat larut. Ia
membutuhkan unsur yang dapat larut pula agar bisa menjadi sebuah larutan.
Suatu unsur tidak bisa berkombinasi dan bereaksi secara kimiawi kecuali
dengan keberadaan unsur lain yang memiliki kapasitas untuk bisa bereaksi dan
berkombinasi. Semua itu bergantung pada unsur-unsur yang memiliki kapasitas
untuk bereaksi dan berkombinasi agar bisa membentuk senyawa. Dengan
begitu, reaksi tersebut bisa terjadi dan senyawa kimia pun bisa dibentuk. Agar
air bertransformasi menjadi air berat, ia membutuhkan seseorang untuk
menambahkan satu atom oksigen pada setiap dua atom hidrogen, sehingga
bisa berubah menjadi air berat. Tidak benar bila dikatakan bahwa ia
membutuhkan apa yang telah ada bersamanya. Sebaliknya, ia memerlukan
sejumlah atom tambahan atas hal itu, yang ada di dalamnya, dan juga
membutuhkan seseorang yang akan menambahkan sejumlah atom tambahan
itu. Inilah kebutuhan.
Tidak benar pula bila dikatakan bahwa benda-benda di alam semesta ini
saling membutuhkan satu sama lain, tetapi sebagai sebuah keseluruhan,
benda-benda tersebut tidak bergantung pada sesuatu yang lain. Ini tidak benar,
karena kebutuhan hanya dibahas dan dijelaskan dalam kaitannya dengan
sesuatu yang khusus. Kebutuhan ini harus dirasa dan tidak hanya diperkirakan
secara hipotetis belaka atas sebuah benda yang tidak ada tetapi
keberadaannya hanya diperkirakan. Oleh sebab itu, salah pula bila dikatakan
bahwa api memerlukan sebuah benda yang mudah terbakar; jika kedua benda
ini bertemu maka keduanya tidak akan memerlukan sesuatu yang lain. Ini
adalah sebuah asumsi hipotetis. Kebutuhan yang ada pada api dan kebutuhan
yang ada pada benda yang mudah terbakar merupakan kebutuhan yang ada
pada sebuah benda. Hal ini dapat diindera oleh sebuah alat indera dan dapat
dipahami oleh akal. Sebuah obyek benda, agar bisa dipahami oleh akal, perlu
dindera untuk mengetahui esensinya, sehingga kebutuhan itu dijelaskan dalam
kaitannya dengan sebuah benda yang ada. Menyatukan api dan sebuah benda
tidak akan menghasilkan sebuah benda lain yang memiliki salah satu sifat,
apakah membutuhkan atau tidak membutuhkan. Menyatukan benda-benda
alam semesta ini juga tidak akan menghasilkan sesuatu yang memiliki salah
satu sifat, apakah membutuhkan atau tidak membutuhkan. Butuh atau tidak
butuh itu direpresentasikan dalam sebuah obyek benda. Tidak ada suatu benda
yang dihasilkan dari seluruh keberadaan benda di alam semesta ini untuk
menjelaskan bahwa obyek benda membutuhkan atau tidak membutuhkan. Jika
dikatakan bahwa benda-benda di alam semesta ini secara keseluruhan
membutuhkan atau tidak membutuhkan maka inilah deskripsi dari sesuatu
yang tidak ada tetapi dibayangkan ada. Bukti dari pembahasan ini adalah
kebutuhan akan sesuatu yang khusus yang ada di alam semesta ini dan bukan
termasuk dari kumpulan benda-benda yang dibayangkan bisa membentuk
sesuatu melalui sebuah penyatuan, dan kemudian sifat butuh atau tidak butuh
diberikan atasnya. Jadi, tidak benar untuk melontarkan sebuah pernyataan
seperti ini, karena ini spekulatif dan imajiner. Ini adalah pernyataan yang tidak
memiliki fakta, bahkan hanya sebuah hipotesis (dugaan) belaka.
Tidak benar bila dikatakan bahwa benda-benda itu saling membutuhkan
sehingga tidak ada bukti bahwa benda-benda itu membutuhkan sang Pencipta.
Ini karena bukti yang ada hanyalah menetapkan sifat butuh belaka, bukan
kebutuhan akan sang Pencipta. Keberadaan akan sifat butuh dalam obyek
benda membuktikan bahwa sifat butuh itu ada pada segala sesuatu. Tidak
benar pula untuk dinyatakan bahwa setiap bagian bergantung pada bagian
yang lain, sehingga semua bagian itu saling bergantung satu sama lain, dan apa
yang kemudian dibuktikan adalah bahwa segala benda bergantung pada benda
yang lain, tetapi hal tidak membuktikan bahwa semua benda itu bergantung
secara mutlak. Pernyataan semacam ini tidak dapat diterima, karena
ketergantungan sesuatu, sekalipun hanya pada satu benda yang lain di dunia
ini, membuktikan bahwa tidak ada satu benda pun di alam semesta ini yang
tidak bergantung secara mutlak, dan karena itu, hal ini berarti bahwa sesuatu
itu bergantung (membutuhkan), sekalipun hanya pada satu benda saja di alam
semesta.
Deskripsi kebergantungan telah dibuktikan seperti deskripsi berjalan
pada seseorang yang mengambil satu langkah, dan seperti deskripsi berbicara
yang dibuktikan pada seseorang yang berbicara satu kata. Artinya,
kebergantungan ini—berjalan, berbicara, dan yang lainnya—mengindikasikan
sebuah kategori, yakni mengindikasikan sifat dasar. Dengan demikian, ketika
sebuah benda terbukti ada, maka hal ini membuktikan keberadaan esensinya.
Oleh karena itu, dengan pembuktian kebergantungan belaka atas sebuah
benda, ketika kebergantungan itu mengindikasikan sebuah sifat, yakni
keberadaan (wujud), hal ini menegakkan sifat kebergantungan bagi segala
sesuatu di alam semesta ini. Artinya, kebergantungan setiap bagian atas bagian
yang lain secara pasti membuktikan sifat kebergantungan atas setiap bagian.
Semua ini adalah sesuatu yang terindera dan terasa berkaitan dengan semua
benda yang ada di muka bumi ini.
Adapun berkaitan dengan alam semesta, manusia, dan kehidupan; alam
semesta tersusun dari planet, setiap planet berjalan menurut sebuah sistem
yang khusus yang tidak bisa berubah. Sistem ini boleh jadi menjadi bagian dari
alam semesta, atau merupakan salah satu dari sifatnya, atau merupakan
sesuatu yang berbeda dari alam semesta. Sistem itu hanya mungkin menjadi
salah satu dari tiga kemungkinan tersebut. Seandainya sistem yang dimaksud
menjadi bagian dari alam semesta, jelas ini tidak benar (invalid), karena bagian
yang menjadi tempat beredarnya planet itu adalah spesifik; planet tersebut
tidak berjalan melampauinya. Orbitnya seperti sebuah roda, dan planet seperti
seseorang yang berjalan di atasnya. Sistem yang berkaitan dengan tempat
beredarnya planet itu bergerak, tetapi planet itu dibatasi hanya untuk bergerak
dalam orbit tersebut. Itulah mengapa dikatakan bahwa sistem tidak bisa
menjadi bagian dari planet tersebut. Pergerakan itu sendiri juga bukan
merupakan bagian dari esensi planet. Akan tetapi, pergerakan itu hanyalah
perbuatannya. Itulah mengapa menjadi tidak mungkin pergerakkan itu menjadi
bagian dari planet. Demikian pula klaim bahwa sistem ini merupakan salah satu
dari sifat planet; juga tidak benar. Sebab, sistem itu tidak hanya pergerakan
dari planet saja, tetapi juga pergerakan planet yang hanya terjadi dalam sebuah
orbit khusus. Oleh karena itu, masalahnya bukan hanya pergerakan saja, tetapi
juga pergerakan dalam sebuah garis edar yang spesifik. Ini tidak seperti
penglihatan, yang merupakan bagian dari sifat mata, bahkan realitas yang ada
adalah bahwa penglihatan dalam mata hanya dapat terjadi dalam sebuah cara
yang spesifik. Ini seperti air, yang berubah menjadi uap hanya pada suhu
tertentu. Artinya, dalam hal ini, masalahnya bukanlah pergerakan dari planet
tersebut, penglihatan pada mata, atau perubahan air yang menjadi uap. Akan
tetapi, masalahnya adalah pergerakan planet dalam sebuah orbit yang spesifik,
penglihatan dari mata dalam kondisi tertentu, dan perubahan air pada suhu
tertentu. Hal ini telah ditetapkan pada planet, mata, dan air. Inilah sistem.
Walaupun pergerakan berbagai benda merupakan salah satu dari sifat (atribut)
benda tersebut, realitas sebenarnya adalah bahwa semua pergerakan tersebut
tidak bisa terjadi kecuali dalam sebuah posisi yang khusus, yang
mengindikasikan bahwa hal ini bukanlah salah satu dari sifat (atribut) benda
tersebut. Sebaliknya, hal ini menjadi sifat benda untuk mengatur
pergerakannya sendiri. Pergerakan itu akan mampu merancang sistem yang
lain jika pergerakan tersebut merupakan bagian dari sifat benda untuk
mengatur sesuatu. Realitas yang ada justru menunjukkan hal sebaliknya. Oleh
karena itu, pergerakan bukanlah sifat dari benda. Selama sistem ini tidak jadi
bagian dari sifat benda atau bagian dari benda itu sendiri, ia berarti sama sekali
harus menjadi sesuatu yang lain. Ini dengan sendirinya membuktikan realitas
kebergantungan berbagai benda atas sesuatu yang lain, yakni alam semesta
sendiri bergantung pada sebuah sistem.
Salah pula jika dikatakan bahwa alam semesta itu bergerak menurut
jalan tertentu atau ia merupakan sebuah kumpulan sifat-sifat yang timbul dari
berbagai benda angkasa yang berkumpul bersama, sehingga menimbulkan
karakteristik alam semesta yang bergerak menurut jalan tertentu; sebagaimana
atom hidrogen yang memiliki sifat yang khas dan atom oksigen yang juga
memiliki sifat yang khas. Jika masing-masing berkombinasi akan menghasilkan
sebuah benda baru. Benda yang baru ini pun memiliki sifat-sifat yang khas pula.
Semua sifat-sifat tersebut merupakan seperangkat keunikan sifat bagi molekul
baru ini dan tidak menjadi sifat atom hidrogen ataupun oksigen. Ini berbeda
dengan permasalahan planet dan atau benda-benda angkasa lainnya. Benda-
benda itu tidak bisa berkombinasi dengan benda angkasa lainnya untuk
menciptakan sebuah benda angkasa baru dengan seperangkat sifat-sifatnya
yang berbeda. Setiap planet itu memiliki sifatnya sendiri. Sebaliknya,
berkumpulnya dua benda angkasa atau lebih tidak akan menghasilkan sebuah
benda angkasa baru yang memiliki sifatnya yang tersendiri. Secara sederhana
pun bisa terpikirkan, bahwa berkombinasinya dua benda angkasa itu tidak akan
terjadi. Tidak benar pula jika dikatakan bahwa hal ini karena adanya gaya
gravitasi, karena gravitasi merupakan sebuah penggerak, seperti kehidupan
dalam sebuah tubuh manusia, tetapi gerakan ini bukan menjadi sifat kehidupan
itu sendiri. Walaupun gerakan sebuah planet terjadi karena planet itu memiliki
gaya gravitasi, gerakan itu sendiri bukanlah sifat dari gravitasi dengan alasan
apa pun. Gerakan dalam sebuah orbit yang spesifik tidak menjadi sifat dari
gravitasi sehingga gerakan itu merupakan sifat dari planet. Artinya, gerakan
dalam sebuah orbit spesifik merupakan sistem. Berkaitan dengan
bergantungnya kehidupan pada air dan udara, hal ini bisa diindera dan dirasa.
Bergantungnya manusia pada kehidupan, kemudian pada makanan dan
sebagainya, juga merupakan fenomena yang bisa diindera dan dirasa. Oleh
karena itu, alam semesta, manusia, dan kehidupan memiliki sifat bergantung.
Tidak benar pula jika dikatakan bahwa benda-benda di alam semesta itu,
yang bergantung satu sama lain, adalah bentuk-bentuk yang berbeda yang
berasal dari sesuatu yang sama; bahwa benda-benda yang dihasilkan dari
sesuatu itu dibentuk dalam bentuk yang berbeda-beda, tetapi sebenarnya
benda-benda itu merupakan sebuah benda yang satu, yakni materi, dan materi
ini hanya bergantung pada dirinya sendiri; tidak pada yang lain. Pernyataan ini
tidak benar, karena materi tidak bisa membentuk dirinya ke dalam bentuk lain
yang berbeda-beda, kecuali karena beberapa kondisi tertentu yang dipaksakan
pada materi dari sebuah sumber yang datang dari luar materi itu. Contohnya,
jika air ingin berubah menjadi uap maka air itu membutuhkan panas (suhu)
tertentu, dan jika sebutir telur ingin berubah menjadi seekor anak ayam maka
telur itu memerlukan kondisi tertentu untuk itu. Oleh karena itu, materi tidak
bisa mengubah dirinya sendiri ke dalam bentuk yang berbeda kecuali dengan
ditetapkannya beberapa kondisi tertentu yang tidak timbul dari materi. Fakta
yang ada menunjukkan bahwa kondisi-kondisi yang dipaksakan (ditetapkan)
pada materi membawa pengertian bahwa kondisi itu berasal dari sesuatu
selain materi, sehingga materi bergantung pada kondisi-kondisi tersebut agar
perubahan bentuk itu bisa terjadi. Materi juga bergantung pada faktor-faktor
itu, yang bertanggung jawab untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan
transformasi benda itu terjadi. Oleh karena itu, ketika materi tidak bisa
berubah tanpa adanya kondisi-kondisi tersebut dan faktor-faktor eksternal,
maka materi itu tidak bisa menjadi sesuatu yang disifati dengan sifat bisa
menciptakan (khalik) benda lain, tetapi materi itu merupakan sesuatu yang
telah diciptakan (makhluk). Semua yang ada di dunia tidak bisa keluar dari dua
kemungkinan ini, apakah yang menciptakan (khalik) atau diciptakan (makhluk);
tidak ada kemungkinan ketiga. Apalagi sifat bergantung itu (sesuatu
membutuhkan yang lain) tidak dapat disebut azali (tidak berawal dan tidak
berakhir). Sebab, istilah azali, ketika diterapkan pada benda tertentu, maka
benda itu tidak bergantung pada apa pun. Oleh karena itu, jika dalam
melakukan transformasi dan mengubah bentuknya benda itu memerlukan
sesuatu yang lain, jelaslah bahwa benda itu bergantung pada sesuatu yang lain.
Jika benda itu memerlukan beberapa kondisi eksternal agar ia bisa berubah
bentuk maka kondisi ini ada sebelum benda itu ada, sehingga benda tersebut
tidak azali.
Definisi yang jelas dari azali adalah sesuatu yang tidak bergantung pada
apa pun. Sebab, sesuatu yang bergantung bukanlah sesuatu azali, dan sesuatu
yang tidak azali itu jelas merupakan sesuatu yang telah diciptakan (makhluk).
Berdasarkan realitas ini, benda-benda yang terindera memiliki sifat
membutuhkan dan bergantung pada sesuatu yang lain. Ini merupakan perkara
yang pasti. Oleh karena itu, bahwa segala sesuatu itu telah diciptakan oleh
pencipta adalah juga perkara yang pasti. Artinya, kenyataan bahwa semua yang
terlihat dan terindera ini merupakan makhluk sang Pencipta, hal ini
menunjukkan secara pasti bukti keberadaan sang Pencipta itu.
Sang Pencipta (Khalik) sudah pasti bukan makhluk, dan harus bersifat
azali. Jika Khalik diciptakan berarti dia bukanlah sang Pencipta. Hal ini karena
tidak ada sesuatu yang lain kecuali hanya Khalik dan makhluk; keduanya adalah
dua entitas yang berbeda. Sebagaimana bisa dilihat, salah satu dari sifat Khalik
adalah tidak diciptakan. Segala sesuatu yang bukan makhluk adalah Khalik.
Oleh karena itu, salah bila dikatakan bahwa Khalik itu adalah Pencipta sesuatu
sekaligus diciptakan oleh sesuatu yang lain. Sebab, pokok permasalahannya
bukanlah sesuatu yang spesifik seperti manusia atau mesin, tetapi tentang
ciptaan (makhluk) dan sang Pencipta (Khalik) dalam kapaistasnya yang tidak
berasal dari sesuatu pun. Pencipta tidak bisa disebut sebagai pencipta bila dia
diciptakan pada saat yang sama, karena Pencipta (Khalik) merupakan entitas
yang terpisah dan berbeda dari yang diciptakan (makhluk).
Berkaitan dengan masalah keazalian Pencipta, yakni bahwa Pencipta itu
tidak memiliki titik awal atau permulaan, karena jika Pencipta memiliki titik
awal atau permulaan berarti bahwa ia diciptakan pada sebuah titik waktu yang
khusus. Khalik mengharuskan dirinya bersifat azali. Khalik bersifat azali, artinya
bahwa segala sesuatu bergantung kepada-Nya, sedangkan Dia sendiri tidak
bergantung pada sesuatu pun selain-Nya. Oleh karena itu, azali dan khalik
merupakan makna dari istilah Allah, yakni Pencipta itu adalah Allah Swt.
Demikian pula berkaitan dengan segala sesuatu yang bisa dipahami oleh
akal, yaitu: manusia, kehidupan, dan alam semesta. Semuanya (manusia,
kehidupan, dan alam semesta) terbukti terbatas, yang berarti bahwa semuanya
diciptakan (makhluk). Manusia itu makhluk karena dia tumbuh dalam setiap
aspek sampai titik tertentu, yakni hingga dia tidak dapat melampui batas yang
telah ditentukan atas dirinya. Karena manusia bisa dijelaskan sebagai memiliki
karakteristik yang umum, maka tidak ada perbedaan antara dua individu
berkaitan dengan karakteristik kemanusiaannya. Apa yang berlaku bagi seorang
manusia, juga bisa berlaku bagi manusia yang lain. Keumuman ini bisa
diberlakukan pada obyek apa pun seperti emas, singa (dari kategori hewan),
dan apel (dari kategori buah-buahan). Demikian seterusnya. Apa saja yang bisa
diterapkan pada sebuah obyek benda atau jenisnya secara umum juga bisa
diterapkan pada semua bagian dari obyek benda tersebut. Contoh, setiap
manusia yang hidup akan mati, yang berarti bahwa manusia itu terbatas.
Menerima fakta ini berarti sama dengan menerima ide atau pemikiran bahwa
manusia itu terbatas. Dalam hal ini, tidak bisa dikatakan bahwa hanya manusia
tertentulah yang mati, sementara spesies manusia tidak akan pernah punah,
dengan alasan, bahwa pada setiap masa berjuta manusia telah mati, tetapi
sekalipun begitu, jumlah manusia terus bertambah sepanjang masa. Ini
membuktikan bahwa manusia secara individual memang bisa mati, tetapi
spesies manusia tidaklah mati (masih ada secara kontinu untuk berkembang).
Pernyataan tersebut tidak bisa diterima. Sebab, spesies manusia tidaklah
terbentuk dari kumpulan individu manusia sehingga dikatakan bahwa manusia
boleh saja mati sementara masyarakat manusia tidaklah mati, sehingga sampai
pada kesimpulan bahwa spesies manusia tidak akan mati (punah).
Harus disadari, bahwa manusia merupakan sebuah kategori spesifik yang
direpresentasikan secara menyeluruh oleh individu-individu, dimana semua
individu tersebut memiliki karakteristiknya sebagai manusia. Begitu juga
dengan kategori yang lain, seperti air, minyak, hewan, dan tumbuhan. Oleh
karena itu, ketetapan apa pun yang berkaitan dengan sebuah obyek pada
realitasnya tidak harus difokuskan pada jumlah totalitasnya, tetapi harus
difokuskan pada setiap entitas atau esensi dari kategori tersebut. Apa pun yang
berlaku atas setiap individu dari sebuah kategori juga bisa berlaku pada seluruh
individu lain dari kategori itu dengan mengabaikan jumlah totalitas individu
dari kategori tersebut. Karena seluruh identitas dari spesies manusia bisa
dibuktikan pada seorang individu manusia, maka ketika seorang manusia mati,
ini berarti bahwa setiap manusia itu akan mati. Apa yang kita saksikan sebagai
seorang manusia tidak harus dianggap sebagai putusan, karena ini hanyalah
sebuah pengamatan atas sesuatu yang lain, yang memerlukan putusan atasnya.
Ini hanyalah sebuah pengamatan atas jumlah totalitas individu daripada
terhadap kategori, di samping karena ia juga merupakan pengamatan yang
tidak sempurna. Kita bisa melihat bahwa tidak ada masalah yang terjadi
sebanyak apa pun air diambil dari lautan dan samudera sehingga
permukaannya tidak akan surut. Dengan cara yang sama, minyak tidak akan
habis sebanyak apa pun minyak itu dikeluarkan dari perut bumi. Seiring dengan
meningkatnya kegiatan konsumsi manusia, persediaan gandum pun akan terus
naik. Oleh karena itu, jika kita melihat jumlah total berarti bahwa kategori-
kategori tersebut tidak berkurang, meskipun dalam realitasnya setiap unit dari
obyek tersebut mati atau berakhir, sehingga kategori sebagai sebuah
keseluruhan itu berkurang. Ini berarti, ketika seseorang mati, maka spesies
manusia secara keseluruhan berkurang, sehingga manusia itu terbatas.
Kehidupan juga terbatas, karena gejalanya bersifat individual. Pengamatan
yang cermat membuktikan bahwa kehidupan berakhir pada setiap individu. Ini
berarti bahwa kehidupan itu terbatas. Kehidupan yang terjadi pada manusia
adalah sama dengan kehidupan yang terjadi pada binatang. Kehidupan
tersebut tidak berada di luar dan tidak bergantung pada individu tersebut,
tetapi diam bersamanya. Kehidupan adalah sesuatu yang terindera, meskipun
tidak bisa disentuh. Bisa dibedakan oleh indera, mana sesuatu yang masih
hidup dan mana yang telah mati. Artinya, kehidupan merupakan sesuatu yang
terindera dan mewujud pada sesuatu yang hidup. Tumbuh dan bergerak
merupakan sebagian dari gejala kehidupan. Kehidupan tercermin, baik secara
universal maupun partikular, pada seorang individu, dan tidak berkaitan
dengan sesuatu yang lain secara mutlak. Kehidupan terdapat pada setiap
individu yang hidup sebagaimana halnya pada manusia. Oleh karena itu, ketika
kehidupan berakhir pada individu tersebut, itu berarti bahwa kehidupan
partikular ini berakhir, sehingga membawa makna bahwa kehidupan itu
bersifat terbatas.
Alam semesta ini juga terbatas, karena ia merupakan kumpulan benda-
benda angkasa, sementara setiap benda tersebut terbatas. Karena setiap
planet memiliki ukuran dan bentuk tertentu, totalitas segala sesuatu yang
terbatas akan selalu terbatas pula—tanpa mempedulikan banyaknya jumlah
planet yang ada. Penginderaan adanya keterbatasan itu tidak pada jumlah
planet-planet itu, tetapi pada fakta bahwa semuanya memiliki titik awal dan
titik akhir. Adanya sebuah titik awal mengindikasikan keberadaan yang
terbatas. Hal ini karena segala sesuatu yang tumbuh berkembang, baik dalam
ukuran ataupun usia, adalah terbatas. Peningkatan apa pun yang terjadi karena
menjadi sesuatu yang terbatas ditempatkan di puncak keterbatasan yang lain
sehingga totalitas itu tetap terbatas. Oleh karena itu, alam semesta ini terbatas
sehingga membawa kesimpulan bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta
ini juga terbatas.
Pada saat kita melihat sesuatu yang terbatas, akan kita dapatkan bahwa
sesuatu itu tidak azali, dan yang azali itu tidak terbatas. Sebab, segala yang
terindera, ada yang memiliki permulaan sehingga tidak bersifat azali dan ada
pula yang tidak memiliki permulaan sehingga bersifat azali. Kita telah
menetapkan bahwa segala sesuatu yang yang terbatas memiliki permulaan
yang mengakibatkan ia tidak azali, karena makna azali adalah apa yang tidak
memiliki permulaan. Apa pun yang tidak berawal tidaklah akan berakhir,
karena keberadaan sebuah kata akhir secara jelas menunjukkan adanya titik
awal. Permulaan hanya akan terjadi dari sebuah titik partikular, yang berarti di
sana mesti ada sebuah titik akhir, baik dalam waktu ataupun tempat. Ini
merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dalam semua yang terindera dan
segala sesuatu yang bisa dipahami. Jadi, apa pun yang memiliki permulaan (titik
awal) juga akan berakhir (titik akhir). Istilah azali mengindikasikan bahwa
sesuatu itu tidak bermula dan tidak berakhir, dan karenanya sesuatu yang tidak
terbatas itu disebut azali. Hal ini berlaku pada alam semesta, manusia dan
kehidupan.
Berdasarkan realitas bahwa semua itu tidak azali, berarti bahwa alam
semesta, manusia, dan kehidupan telah diciptakan oleh sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lain ini adalah Pencipta, yakni Zat yang telah menciptakan alam
semesta, manusia, dan kehidupan. Keberadaan alam semesta, manusia, dan
kehidupan ini membuktikan keberadaan sang Pencipta. Pencipta (Khalik) ini
mungkin saja diciptakan oleh sesuatu yang lain, diciptakan oleh dirinya sendiri,
atau bersifat azali; tidak ada kemungkinan lain selain ketiga hal tersebut.
Pandangan bahwa Khalik diciptakan oleh sesuatu yang lain jelas batil, karena
Dia menjadi sesuatu yang terbatas, padahal telah dibuktikan bahwa Pencipta
itu tidak terbatas. Demikian pula pendapat bahwa Dia diciptakan oleh dirinya
sendiri; juga batil. Sebab, hal itu berarti bahwa Dia telah menjadi khalik dan
makhluk bagi dirinya sendiri sekaligus. Jadi, Pencipta haruslah bersifat azali; Dia
tidak berawal dan tidak berakhir. Pencipta tidak bergantung pada sesuatu yang
lain, sedangkan segala sesuatu yang lain bergantung pada-Nya. Ini merupakan
pengertian dari kata Allah Swt. Dengan kata lain, apa yang telah disifati dengan
sifat azali ini adalah sang Pencipta, yakni Allah Swt. Memahami perkara ini
adalah melalui penginderaan, karena ia merupakan realitas yang inderawi.
Akan tetapi, Zat Yang Azali (Zat Allah) tidaklah bisa diindera. Akal tidak mungkin
bisa memahaminya. Namun demikian, tidak benar jika dikatakan bahwa ini
merupakan keimanan akan sesuatu yang tidak diketahui (majhûl). Sebab, Allah
bukanlah sesuatu yang tidak bisa diketahui (majhûl). Dia diketahui melalui sifat
dan karakteristik-Nya. Inilah yang benar. Artinya, ini merupakan keimanan pada
sesuatu yang bisa diketahui, bukan pada sesuatu yang tidak bisa diketahui.
Tidak benar pula jika dikatakan bahwa keazalian merupakan sesuatu yang bisa
dibayangkan, karena jelas Allah Swt tidak bermula; sekalipun akal manusia
tidak dapat membayangkan esensi keazalian ini tetapi hanya sekadar
keberadaan (wujud)-Nya saja. Tidak benar pula jika dikatakan bahwa manusia
telah dipaksa untuk beriman pada sesuatu yang tidak bisa ia bayangkan. Hal ini
karena apa yang telah mewajibkan manusia agar beriman adalah pemahaman
akan keberadaan Pencipta ini. Pemahaman ini berasal dari segala sesuatu yang
terindera. Akal tidak diminta kecuali hanya untuk memahami realitas yang
terindera, bukan yang lain.
Melalui proses pemikiran, akal tidak diminta untuk berupaya mencapai
sebuah hasil, kecuali apa yang mampu dipahami oleh akal sendiri. Tidak
mungkin sampai pada konklusi yang lain melalui proses pemikiran. Agar bisa
sampai pada konklusi yang lain diperlukan proses yang lain pula. Contohnya,
seorang ilmuwan akan melakukan eksperimen rasional untuk memisahkan
atom. Proses ini tidak diperlukan agar dia memperoleh keyakinan akan
keberadaan Allah Swt. Untuk mencapainya diperlukan proses yang lain. Oleh
karena itu, seseorang tidak akan merasa aneh bila melihat kecerdasan otak
yang bisa melakukan eksperimen serta perhitungan yang paling akurat dan
memperoleh hasil yang paling mungkin. Contohnya adalah seorang ilmuwan
yang meneliti atom, kemudian Anda melihat orang yang cerdas ini pergi ke
gereja untuk berdoa pada sepasang kayu, seraya meyakini bahwa Tiga itu
adalah Satu dan Satu adalah Tiga, dan ia mengakui bahwa al-Masih itu adalah
anak Allah. Pemandangan semacam itu bukanlah sesuatu yang mengherankan,
karena akalnya tidak dipergunakan untuk memperoleh sebuah pemahaman
atas wujud Allah dengan segala sifat ketuhanan-Nya; ia hanya digunakan untuk
memecahkan atom dan membatasinya hanya untuk mengadakan eksperimen
ilmiah. Begitu pula tidak mengherankan, manakala kita melihat seorang
ilmuwan yang begitu teliti mempelajari tumbuhan—dia melihat kecermatan
dan kearifan yang ada pada penciptaan—tetapi dia tetap saja gagal untuk
mencapai sebuah kesimpulan fitri bahwa Allah itu ada. Dia malahan tetap saja
menjadi seorang ateis yang mengingkari keberadaan Allah Swt.
Semua fenomena itu bukanlah suatu hal yang aneh dan mengherankan,
karena proses pemikiran yang telah dilakukan oleh seorang ilmuwan pada saat
ia meneliti tumbuhan itu hanyalah untuk memperoleh pengetahuan belaka.
Konklusi yang benar dari proses ini hendaklah sampai pada kesimpulan bahwa
kecermatan yang ada pada ciptaan tidak terjadi secara kebetulan dan tidak
akan pernah ada kecuali dengan titah dari Pencipta. Pemahaman seperti ini
memerlukan proses ilmiah lain yang tidak dilakukan oleh ilmuwan dan tetap
tidak digunakan dalam pembahasan yang berkaitan dengan eksistensi sang
Pencipta. Oleh karena itu, kegagalan seorang ilmuwan untuk memperoleh
keimanan akan keberadaan Allah dari proses ilmiah seperti ini bukanlah suatu
perkara yang mengherankan.
Begitu pula ketika akal manusia dipergunakan untuk memahami nash-
nash syariat, proses akal tidak diperlukan untuk membuat kesimpulan apakah
solusi ini benar atau salah. Yang diminta dari akal itu hanyalah untuk
memahami solusi masalah yang beraneka ragam yang ditunjukkan oleh nash,
bukan untuk memahami apakah solusi ini benar atau salah. Untuk bisa
menyimpulkan, apakah solusi ini benar atau salah diperlukan proses akal yang
lain; akal—bukannya nash—digunakan sebagai bukti (dalil) atas solusi tersebut,
dengan mengenyampingkan apakah nash tersebut merupakan legislasi dari
Allah Swt ataukah legislasi yang berasal dari manusia. Oleh karena itu, ketika
akal membahas dan mempelajari sebuah pasal dari undang-undang
kewarganegaraan Barat, akal hanya perlu memahami apa yang ditunjukkan
oleh hukum tersebut, dan tidak untuk memahami apakah yang ditunjukkannya
itu benar atau salah. Untuk mengetahui apakah solusinya benar atau salah
diperlukan proses pemikiran yang lain dimana akal—bukannya nash—menjadi
bukti (dalil), dengan mengenyampingkan fakta apakah nash merupakan
legislasi dari Allah Swt ataukah dari manusia. Dalam masalah tersebut akal
harus dipergunakan sebagai dalil atas makna atau pemahaman, bukan sebagai
nash. Dalam pembahasan makna atau pemahaman yang diperoleh dari nash,
nash itu sendiri—bukannya akal—harus menjadi dalil atas makna nash
tersebut.
Hal ini merupakan masalah yang tidak bisa dipungkiri berkaitan dengan
akal. Oleh karena itu, ketika otak manusia digunakan dalam Islam untuk
mencapai berbagai macam hasil/konklusi, maka harus dibedakan dalam
penggunaan akal itu, apakah dalam akidah untuk memperoleh pemahaman
iman, ataukah dalam hukum-hukum syariat untuk memperoleh pemahaman
tentang nash-nash syariat. Ketika akal digunakan untuk menilai sebuah akidah,
maka konklusi yang diminta dari proses ini digunakan untuk menyimpulkan
apakah pemikiran ini benar atau salah. Hal ini karena akal digunakan untuk
menilai kebenaran dan kesalahan ini. Pada saat akal digunakan untuk menilai
hukum syariat, maka apa yang diminta dari proses akal ini adalah untuk
mengetahui pemikiran atau pemahaman yang dihasilkan dari penelitian nash
ini, apakah ini begini ataukah begitu, dan tidak diminta untuk menilai apakah
pemahaman yang dihasilkan dari nash ini benar atau salah. Yang diperlukan
dari akal ini adalah untuk mengetahui pemahaman atau pemikiran yang
dihasilkan dari nash tersebut. Berbagai bukti yang dihasilkan dari pemahaman
ini berasal dari nash, bukannya berasal dari akal manusia. Jadi, tugas akal dalam
memahami nash-nash syariat terbatas hanya untuk memahami, tidak lebih dari
itu. Akal tidak akan dan tidak bisa menentukan apakah hukum-hukum tersebut
benar atau salah, baik atau rusak, karena akal tidak menjadi dalil atas hukum
yang dihasilkan tersebut. Dalil sebenarnya atas hukm-hukum itu adalah nash-
nash syariat dan apa saja yang diindikasikan oleh nash-nash tersebut sebagai
dalil yang lain. Apa yang diminta dari akal adalah pemahaman akan apa yang
terkandung dalam nash itu, dan bukannya apakah ini benar atau salah.
Berkaitan dengan akidah, tugas akal manusia adalah untuk menyimpulkan
apakah akidah ini shahih atau batil. Inilah cara menggunakan akal dalam Islam.
Dalam masalah akidah, akal digunakan sebagai dalil (bukti)-nya dan sebagai
pemberi status hukum dalam menentukan apakah akidah-akidah tersebut
benar atau salah. Akal manusia digunakan dalam masalah nash syariat untuk
memahami hukum-hukum yang diperoleh dari nash-nash tersebut, tidak lebih
dari itu. Hal ini karena akal manusia, di samping al-Kitab dan as-Sunnah,
digunakan untuk mempertimbangkan akidah. Adapun dalam masalah hukum-
hukum syariat, akal manusia tidak bisa digunakan sebagai dalil, hanya nash-
nash syariat saja yang bisa menjadi dalil, yakni al-Kitab dan as-Sunnah, serta
dalil-dalil lain yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma Sahabat dan Qiyas.
Dalil syariat tentang pemikiran yang berkaitan dengan akidah haruslah
dalil yang qath‘î. Hal ini berbeda dengan hukum-hukum syariat, yang dalilnya
boleh didasarkan pada yang zhannî. Hal ini karena pemikiran yang berkaitan
dengan akidah menjadi asas tempat berpijaknya Islam bagi kaum Muslim; Islam
ditegakkan atas pemikiran-pemikiran akidah tersebut untuk memecahkan
permasalahan kehidupan. Oleh karena itu, Islam mewajibkan bahwa pemikiran
yang diadopsi dari akidah harus diambil dengan yakin dan pasti, sehingga Islam
mewajibkan agar bukti atau dalil dari akidah ini harus qath‘î dan pasti pula.
Akidah dalam Islam merupakan pembenaran yang pasti (at-tashdîq al-jâzim)
yang sesuai dengan realitas dan meyakinkan. Pembenaran yang tidak pasti
tidak dianggap sebagai bagian dari akidah Islam. Pembenaran yang pasti tetapi
tidak sesuai dengan realitas juga tidak dianggap sebagai bagian dari akidah
Islam. Dalam pemikiran-pemikiran yang diadopsi dari akidah Islam, harus ada
dua perkara: (1) pastinya sebuah keyakinan; (2) kesesuaiannya dengan realitas
yang bersumber dari keyakinan. Dua perkara tersebut harus ada agar
pemikiran yang diperoleh tersebut bisa dianggap sebagai bagian dari akidah
Islam. Oleh karena itu, al-Quran telah datang dengan ayat-ayatnya yang jelas
(shârih) seraya memerintahkan dengan perintah yang pasti bahwa akidah itu
harus diadopsi dengan pasti. Sebaliknya, al-Quran melarang secara jelas dan
pasti agar akidah tidak diambil dari bukti spekulatif (zhannî). Allah Swt
berfirman:
‫ َو َما ل َُه ْم بِ ِه ِم ْن ِعل ٍْم إِ ْن َيتَّبِعُو َن إِالَّ الظَّ َّن َوإِ َّن الظَّ َّن‬‫آلخ َر ِة لَيُ َس ُّمو َن ال َْمالَئِ َكةَ تَ ْس ِميَةَ اْألُْنثَى‬
ِ ْ‫إِ َّن الَّ ِذين الَ ي ْؤِمنو َن بِا‬
ُ ُ َ
‫ْح ِّق َش ْيئًا‬ ِ ِ
َ ‫الَ ُيغْني م َن ال‬
Sesungguhnya orang-orang yang tiada meyakini kehidupan akhirat,
mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan,
sedangkan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang
itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, sedangkan
persangkaan itu sesungguhnya tidak berfaedah sedikit pun bagi
kebenaran. (TQS. an-Najm [53]: 27-28)

‫وها أَْنتُ ْم َو َءابَا ُؤ ُك ْم َما أَْن َز َل اهللُ بِ َها‬ ِ


ْ ‫إِ ْن ه َي إِالَّ أ‬
َ ‫َس َماءٌ َس َّم ْيتُ ُم‬
‫اء ُه ْم ِم ْن َربِِّه ُم ال ُْه َدى‬
َ ‫س َولََق ْد َج‬ َّ ِ ِ ِ ٍ
ُ ‫م ْن ُس ْلطَان إ ْن َيتَّبعُو َن إالَّ الظ َّن َو َما َت ْه َوى اْألَْن ُف‬
ِ

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian
ada-adakan; Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk
(menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-
sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya
telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (TQS. an-
Najm [53]: 23)

ِ ِ ِ‫وك َعن سب‬ ِ ِ ‫وإِ ْن تُ ِط ْع أَ ْك َثر من فِي اْألَر‬


ُ ‫يل اهلل إِ ْن َيتَّبِعُو َن إِالَّ الظَّ َّن َوإِ ْن ُه ْم إِالَّ يَ ْخ ُر‬
‫صو َن‬ َ ْ َ ُّ‫ض يُضل‬ ْ َْ َ َ
Jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah). (TQS. al-An‘am [6]: 116)
‫اء إِ ْن َيتَّبِعُو َن‬ ِ ِ ِ ِ َّ ِ
َ ‫ين يَ ْدعُو َن م ْن ُدون اهلل ُش َر َك‬ َ ‫ َو َما َيتَّب ُع الذ‬
ُ ‫إِالَّ الظَّ َّن َوإِ ْن ُه ْم إِالَّ يَ ْخ ُر‬
‫صو َن‬
Orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah tidaklah
mengikuti (suatu keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka
belaka dan mereka hanyalah menduga-duga. (TQS. Yunus [10]: 66)

Semua ayat tersebut merupakan dalil syariat yang membuktikan bahwa


akidah itu harus diambil dari sesuatu yang meyakinkan dan tidak bisa diambil
dari sebuah dugaan yang spekulatif (zhannî). Penggunaan makna ayat-ayat ini,
sebagai dalil, adalah bahwa ayat-ayat tersebut terbatas dalam masalah akidah,
sehingga pokok persoalan dari ayat-ayat tersebut terbatas untuk masalah
akidah saja. Apalagi Allah Swt telah mengecam mereka yang membangun
akidahnya di atas sesuatu yang zhannî; Allah Swt mengatakan bahwa mereka
adalah pendusta. Kecaman ini merupakan larangan yang pasti agar seseorang
tidak membangun akidah yang didasarkan pada dugaan (zhann). Allah Swt
telah berfirman tentang mereka yang tidak meyakini adanya Hari Akhirat,
bahwa mereka itu tidak membangun akidah mereka di atas ilmu, yakni
keyakinan yang qath‘î, tetapi akidah mereka itu malah dibangun atas dasar
dugaan dan spekulasi (zhann). Kemudian Allah Swt mengakhiri ayat tersebut
dengan mengatakan bahwa dugaan (zhann) tidak akan berfaedah apa-apa bagi
kebenaran. Berkaitan dengan mereka yang meyakini bahwa malaikat itu
berjenis kelamin perempuan, Allah Swt berfirman bahwa akidah mereka itu
tidak dibangun di atas bukti yang meyakinkan; mereka hanyalah mengikuti
dugaan dan keinginan nafsu mereka saja. Allah Swt menganggap kesesatan
(dlalâl) sebagai sinonim dari kekufuran yang diakibatkan karena mengikuti
dugaan (zhann). Adapun mereka yang menyembah berhala, Allah Swt
berfirman bahwa dengan menyembah Allah dan sekaligus mempersekutukan-
Nya serta meyakini bahwa mereka akan beruntung dengan melakukan semua
ini, semua itu tiada lain karena mereka mengikuti sesuatu yang bersifat dugaan
(zhannî) dan mereka tidak akan menemukan sesuatu kecuali hanya
kebohongan belaka.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa ayat-ayat tersebut dibatasi hanya untuk
masalah akidah. Ayat-ayat tersebut juga secara jelas mengecam orang-orang
yang membangun akidah mereka di atas dugaan dan prasangka (zhann), tidak
pada sesuatu yang meyakinkan, seraya menggolongkan mereka itu sebagai
pendusta dan pengikut hawa nafsu mereka, sementara segala apa yang mereka
ikuti itu tidak akan memberikan faedah apa pun bagi kebenaran. Semua ini
merupakan perintah yang jelas untuk membangun akidah di atas pengetahuan
(al-‘ilm), yakni sesuatu yang yakin secara pasti dan qath‘î. Ayat-ayat di atas juga
merupakan larangan yang pasti dan jelas untuk tidak membangun akidah di
atas sebuah dugaan (zhann). Secara jelas, ayat ini juga mengindikasikan bahwa
mereka yang membangun akidahnya di atas sesuatu yang zhannî, keyakinan
mereka ini tidak akan memberikan faedah apa pun bagi mereka di hadapan
Allah.
Oleh karena itu, manusia harus mencari dan menguji secara teliti untuk
meyakinkan bahwa akidah mereka didirikan di atas kebenaran yang qath‘î dan
mutlak, sehingga dalil-dalilnya haruslah dalil yang pasti, bukan dalil yang
zhannî.
Atas dasar itu, pemikiran yang menjadi bagian akidah harus ditegakkan
oleh sebuah dalil qath‘î dan tidak oleh dalil zhannî, walaupun ia merupakan
dalil syariat. Seseorang yang membangun akidahnya di atas dalil yang zhannî
memang tidak dianggap kafir. Allah Swt hanya mengecam hal ini dalam ayat-
ayat tersebut. Allah tidak mengatakan bahwa orang yang berlaku demikian itu
tersesat atau menjadi seorang kafir. Allah hanya mengatakan bahwa orang
semacam ini berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan apa pun yang dia ikuti itu
tidak akan berfaedah sedikitpun bagi kebenaran. Hal ini tidak menjadikannya
sebagai seorang kafir, tetapi dia hanya berdosa dan telah melakukan sesuatu
yang haram karena membangun akidahnya di atas sebuah prasangka (zhann).
Sebab, dia telah menyalahi perintah Allah kepadanya. Allah Swt telah
mewajibkan seseorang untuk membangun akidah di atas sesuatu yang
meyakinkan, sedangkan dia malah membangun akidahnya di atas sebuah
dugaan (zhann). Artinya, dia telah melakukan sesuatu yang telah dilarang oleh
Allah Swt sehingga dia telah melakukan sesuatu yang haram. Allah Swt secara
pasti telah melarangnya untuk membangun akidah di atas sebuah prasangka
(zhann), sedangkan dia malah melakukannya.
Oleh karena itu, Islam telah menentukan secara tegas dan jelas
mekanisme untuk menegakkan Islam baik pada seorang individu atau pun di
dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan dalil-dalil yang meyakinkan,
yang menjadi landasan ditegakkannya akidah tersebut, kami telah menemukan
setelah mempelajari dalil-dalil syariat Islam, bahwa dalil-dalil yang meyakinkan
itu terbatas pada tiga kategori. Ketiganya adalah: (1) Akal; (2) al-Quran; (3)
Hadits Mutawatir—yang telah dibuktikan secara pasti (qath‘î) tanpa sedikit pun
keraguan bahwa Rasul telah mengatakannya. Akidah ini tidak boleh diambil
dari sesuatu pun selain dari tiga dalil ini. Diharamkan kaum Muslim untuk
mengambil akidah dari selain tiga dalil ini. Sebab, selain ketiganya hanyalah
merupakan dugaan (zhann) semata, bukan sesuatu yang meyakinkan.
Sementara itu, dalil yang dipergunakan dalam permasalahan hukum,
dalam pengadopsiannya tidak disyaratkan sebagai dalil qath‘î, tetapi cukup
dengan dalil zhanni. Ketika seorang Muslim memiliki dugaan kuat (ghalabah
azh-zhann) bahwa suatu hukum merupakan hukum Allah dalam sebuah
masalah, ia boleh untuk mengadopsi hukum tersebut, bahkan menjadi sebuah
hukum Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, ketika sebuah ayat al-Quran
dimungkinkan memiliki makna dan pengertian yang beraneka ragam, dalâlah-
nya untuk hukum syariat menjadi dalâlah zhanniyyah; kadangkala seseorang
memahaminya dengan pemahaman tertentu, sedangkan orang lain bisa
memahaminya dalam bentuk pemahaman yang lain lagi. Keduanya termasuk
hukum syariat. Begitu pula dengan hadits mutawâtir; pada saat ia terbuka
untuk dipahami dengan sejumlah makna, maka dalâlah-nya menjadi dalâlah
zhanniyah. Demikian juga hadits yang bukan mutawâtir; ia adalah zhanni,
bukan qath‘î. Hadits ini menjadi dalil untuk hukum syariat yang dalâlah-nya
adalah zhanniyah, sama saja apakah lafalnya hanya menunjukkan pada satu
makna atau beberapa makna; dalâlah-nya tetap menjadi dalâlah zhanniyah.
Seseorang tetap diperbolehkan untuk mengadopsi hukun yang
diindikasikannya. Dalil yang menunjukkan bahwa dalâlah zhanniyah cukup
dapat dijadikan dasar pengambilan hukum adalah apa yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari dari Nafi‘. Nafi‘ meriwayatkannya dari Ibn ‘Umar r.a.
Disebutkan bahwa Nabi saw, pada saat Perang Ahzab, pernah berkata:

َ َ‫صلِّي َحتَّى نَأْتَِي َها َوق‬


‫ال‬ َ ُ‫ض ُه ْم الَ ن‬ َ ‫ص ُر فِي الطَّ ِر ِيق َف َق‬
ُ ‫ال َب ْع‬ َ ‫ص َر إِالَّ فِي بَنِي ُق َريْظَةَ فَأَ ْد َر َك َب ْع‬
ْ ‫ض ُه ُم ال َْع‬ َ ‫صلِّيَ َّن أ‬
ْ ‫َح ٌد ال َْع‬ َ ُ‫«الَ ي‬
‫ض ُه ْم‬
ُ ‫َب ْع‬
‫صلَّى اهلل َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ِ َ ِ‫بل نُصلِّي لَم ير ْد ِمنَّا ذَل‬
َ ‫ك فَ ُذك َر للنَّبِ ِّي‬ َُ ْ َ ْ َ
»‫اح ًدا ِم ْن ُه ْم‬
ِ ‫ِّف و‬
َ ْ ‫َفلَ ْم ُي َعن‬
“Janganlah salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani
Quraizhah.” Waktu ‘Ashar telah datang ketika sebagian dari mereka
dalam perjalanan ke Bani Quraizhah. Sebagian dari mereka berkata, “Kita
tidak akan shalat kecuali setelah sampai di sana (yakni dengan
mengundurkan shalat),” Akan tetapi, sebagian lagi berkata, “Kita harus
shalat sekarang, karena hal itu bukanlah yang diinginkan dari kita.”
Kejadian ini disampaikan kepada Nabi saw. Beliau ternyata tidak
menyalahkan salah satu pihak pun dari mereka. (HR al-Bukhari)

Hadits di atas secara jelas menggambarkan bahwa Rasulullah saw


menyepakati pengambilan hukum atas dasar dugaan kuat (ghalabah azh-
zhann).
Rasulullah saw juga pernah mengutus 12 orang utusan dalam waktu
bersamaan kepada 12 raja untuk mengajak mereka masuk Islam. Setiap utusan
telah dikirim secara perorangan ke setiap lokasi. Seandainya menyampaikan
(tablig) dakwah melalui kabar (khabar) satu orang saja tidak wajib untuk diikuti,
Rasulullah saw tentu tidak akan mengirim hanya seorang utusan saja untuk
menyampaikan dakwah ini.
Ini merupakan dalil yang jelas (shârih) yang berasal dari perbuatan
Rasulullah saw, yang menunjukkan bahwa kabar dari seorang (khabar al-wâhid)
bisa menjadi bukti (hujjah) dalam penyampaian dakwah. Sebagaimana kita
ketahui, bahwa kabar dari satu orang itu merupakan sesuatu yang zhann.
Rasulullah saw juga telah mengirim satu orang utusan kepada wali-
walinya. Tidak pernah terjadi adanya seorang wali yang mengabaikan perintah
Rasulullah saw ini hanya karena perintah tersebut dibawa oleh satu orang
utusan saja. Para wali itu tetap menaati hukum-hukum dan perintah yang
dibawa oleh utusan tersebut dari Rasulullah saw. Dengan demikian, ini menjadi
sebuah dalil yang jelas dari Rasulullah saw bahwa satu buah kabar (khabar al-
ahad) menjadi bukti berkaitan dengan wajibnya sebuah perbuatan yang
berkaitan dengan hukum-hukum syariat serta perintah dan larangan Rasulullah
saw. Sebaliknya, seandainya tidak, Rasulullah saw tentu tidak akan mengirim
hanya satu orang utusan saja kepada wali-wali tersebut, sementara diketahui
bahwa kabar yang berasal dari satu orang (khabar al-wâhid) menjadi sesuatu
yang zhanni. Semua ini jelas merupakan dalil bahwa dugaan kuat (ghalabah
azh-zhann) merupakan dalil yang cukup untuk mengambil sebuah hukum.
Semua hukum-hukum syariat tersebut menjadi solusi atas berbagai
macam problem kehidupan, yakni bahwa hukum-hukum tersebut merupakan
legislasi Islam. Dengan kata lain, semua itu merupakan hukum-hukum atas
segala perbuatan manusia dengan sifatnya sebagai seorang manusia. Artinya,
pembahasan mengenai legislasi Islam pada dasarnya merupakan pembahasan
mengenai hukum-hukum syariat.
Legislasi Islam tidak berjalan di atas metode yang dilakukan oleh legislasi
Barat. Islam tidak menjadikan kebebasan sebagai pokok pembahasan, baik
dalam menetapkan sesuatu ataupun menegasikannya. Islam hanya menjadikan
perbuatan menusia sebagai pokok pembahasan yang asasi. Legislasi Islam
datang hanya untuk memberikan solusi atas segala perbuatan manusia.
Legislasi Islam tidak datang untuk mengakui atau menolak kebebasan; juga
tidak melihat manusia dari segi mengambil atau meninggalkan sebuah
perbuatan atas dasar kebebasan. Legislasi Islam hanya melihatnya dari sebuah
asas bahwa perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dilakukan oleh
manusia, yang harus diketahui hukumnya.
Oleh karena itulah, mengapa legislasi Islam menunjukkan beberapa
perbuatan dan menjadikannya sebagai sebuah kewajiban seraya menetapkan
hukuman yang akan diberlakukan oleh negara (dawlah) atas mereka yang
meninggalkan kewajiban tersebut. Legislasi Islam juga menunjukkan beberapa
perbuatan dan melarang untuk tidak melakukannya, sekaligus menetapkan
hukuman yang akan diberlakukan oleh negara atas mereka yang melakukan
larangan tersebut, yakni mereka yang melakukan perbuatan haram ini. Islam
mengancam dengan hukuman pada Hari Kiamat siapa saja yang mengabaikan
sesuatu yang fardlu dan melakukan sesuatu yang haram. Islam juga telah
mengklasifikasikan perbuatan tertentu dan meminta manusia untuk
melakukannya, tetapi tidak menetapkan hukuman atas siapa saja yang
meninggalkannya; baik hukuman yang diberlakukan oleh negara atau hukuman
pada Hari Akhirat. Perbuatan tersebut disebut dengan istilah mandûbât
(perbuatan yang lebih baik dilakukan). Islam juga telah mengklasifikasikan
beberapa perbuatan dan meminta agar tidak dilakukan, tetapi tidak
menetapkan hukuman—yang akan diberlakukan oleh negara—atas siapa saja
yang melakukannya (yakni yang terkategori makruh). Islam pun menunjukkan
beberapa perbuatan dan memberikan pilihan kepada kita untuk melakukan
atau tidak melakukannya, yakni membolehkan kita untuk memilihnya (yakni
yang terkategori mubah).
Dengan demikian, dalam pandangan legislasi Islam berkenaan dengan
perbuatan-perbuatan manusia, persoalan (qadhiyyah)-nya adalah bahwa Islam
telah menunjukkan beberapa perbuatan manusia, lalu mewajibkan perbuatan
tertentu dan melarang perbuatan yang lain. Islam juga telah menunjukkan
beberapa perbuatan manusia, kemudian merekomendasikan perbuatan itu
tanpa adanya pemberian hukuman bagi siap saja yang mengabaikan
rekomendasi ini. Islam juga sekadar memberi peringatan kepada manusia dari
beberapa perbuatan tertentu tanpa menetapkan hukuman atas siapa saja yang
melakukan perbuatan tersebut. Islam juga menunjukkan beberapa perbuatan
manusia dan membolehkan pilihan dilakukan atau tidak dilakukannya
perbuatan tersebut. Inilah kedudukan legislasi Islam berkaitan dengan
manusia. Walhasil, kebebasan tidak menjadi pokok persoalan apa pun dalam
legislasi Islam, baik ketika menetapkan sesuatu ataupun menegasikannya.
Akan tetapi, pengklasifikasian hukum-hukum perbuatan manusia ke dalam
fardlu, haram, mandûb, makruh, dan mubah tidak membawa pengertian
bahwa legislasi Islam telah mendaftarkan beberapa perbuatan, lalu
menjadikannya sesuatu yang wajib; mendaftarkan beberapa perbuatan lain
dan melarangnya; mendaftarkan kategori perbuatan yang ketiga dan
mendorong untuk melakukannya; mendaftarkan kategori perbuatan keempat
dan memakruhkannya; dan menjadikan selain itu sebagai perbuatan mubah.
Fakta sebenarnya adalah bahwa legislasi Islam merupakan perintah dan
larangan Allah Swt yang datang dalam makna yang umum dari deskripsi yang
ditetapkan, seperti jual-beli, yang tidak dibatasi untuk jumlah tertentu, yakni
jual-beli apa pun. Perintah dan larangan ini menghasilkan sebuah tuntutan
(thalab) atau pilihan (takhyîr). Tuntutan yang ada dapat berupa tuntutan yang
tegas untuk melakukan suatu perbuatan, dan dapat juga berupa tuntutan yang
tidak tegas untuk melakukan perbuatan itu. Tuntutan yang ada juga dapat
berupa tuntutan yang tegas untuk meninggalkan suatu perbuatan, dan dapat
berupa tuntutan yang tidak tegas untuk meninggalkan perbuatan tersebut.
Dengan demikian, tuntutan (thalab) dan pilihan ini menjadi hukum bagi
perbuatan manusia. Oleh karena itu, hukum syariat merupakan seruan
Pembuat hukum (khithâb asy-Syâri‘) yang berkaitan dengan perbuatan
manusia. Sementara itu, jenis hukum ini—dilihat dari segi apakah manusia
harus melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan; apakah manusia harus
terikat ataukah tidak dengan suatu perbuatan; atau apakah manusia boleh
ataukah tidak melakukan suatu perbuatan—sesungguhnya merupakan hasil
pemahaman dari seruan (khithâb) ini, yakni dari tuntutan dan pilihan atau dari
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah Swt. Oleh karena itu, yang
diseru oleh hukum (al-mukhâthab) adalah manusia dan hukum itu berlaku bagi
perbuatan-perbuatan manusia (mahal al-khithâb). Hukum yang dialamatkan
pada perbuatan manusia itu tidak berkaitan dengan pemberian atau
pembatasan kebebasan kepada manusia untuk berbuat apa yang dia suka.
Akan tetapi sebenarnya, hukum ini merupakan solusi atas setiap problem yang
terjadi dalam kehidupan, yakni penjelasan hukum atas setiap perbuatan yang
berasal dari manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia. Atas dasar inilah
nash-nash hukum datang di dalam al-Quran dan hadits Nabi saw. Seluruh ayat-
ayat hukum dan hadits-hadits yang memuat hukum, seluruhnya mengandung
perintah dan larangan dari Allah Swt yang telah Dia wahyukan kepada Nabi
Muhammad saw. Wahyu ini bisa dalam bentuk lafal dan maknanya, yakni al-
Quran, ataupun dalam bentuk maknanya saja dan Rasulullah saw
mengekspresikannya dengan kata-kata beliau sendiri, yakni al-Hadits. Seluruh
perintah dan larangan Allah Swt ini merupakan solusi atas setiap problem yang
terjadi pada manusia dalam kehidupan; di dalamnya terdapat penjelasan setiap
hukum untuk setiap perbuatan yang dilakukan manusia dalam kapasitasnya
sebagai seorang manusia, apakah dalam bentuk pembolehan (ibâhah) ataupun
pengharaman (tahrîm). Artinya, kebolehan itu adalah sebuah hukum yang
memerlukan adanya dalil, dan begitu juga dengan pengharaman.
Seseorang yang mempelajari perintah dan larangan ini, yakni seruan
Pembuat hukum (Khithâb asy-Syâri‘), akan menemukan bahwa semuanya
berkaitan dengan perbuatan manusia sebagai seorang manusia dan
berhubungan dengan perbuatan yang diberikan dalam deskripsi yang umum,
yakni datang dengan makna umum yang berlaku untuk segala sesuatu yang
termasuk ke dalamnya. Oleh karena itu, sebuah tuntutan (thalab) atau pilihan
(takhyîr) ketika memberikan solusi atas problematika manusia, yakni hukum
atas beragam realitas, telah menjadikan hukum ini sebagai garis petunjuk yang
memiliki ruang luas atau dalam makna yang umum. Dengan begitu, ia
memberikan sebuah hukum atas suatu perbuatan, sekaligus memberikan
hukum atas sebuah kategori perbuatan dengan sebuah deskripsi yang umum.
Hukum syariat tidak terbatas untuk satu perbuatan atau kumpulan
perbuatan. Hukum syariat bisa dipergunakan untuk setiap perbuatan dari
kategori atau tipenya dan atas segala sesuatu yang diindikasikan oleh deskripsi
umumnya atau yang termasuk dalam makna umum tersebut jika deskripsi itu
tidak diberi ‘illat. Hukum syariat juga bisa dipergunakan atas apa pun yang
ditunjukkan oleh deskripsi umum (al-washf al-‘âm) atau yang termasuk dalam
makna umum, termasuk segala sesuatu yang ditunjukkan oleh ‘illat hukum atas
sebuah deskripsi, jika deskripsi (al-washf) tersebut memiliki ‘illat. Oleh karena
itu, dikatakan bahwa ini adalah hukum jual-beli atau hukum pilihan dalam jual
beli, ini hukum pertukaran, dan sebagainya. Dinyatakan, misalnya:
‫الربـَى‬
ِّ ‫ َواَ َح َّل اهللُ اْ َلب ْي َع َو َح َّر َم‬
Allah telah menghalalkan jual-beli. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

ِ ِِ
ْ ‫«الَْبِّي َعان بالْخيَا ِر َما ل‬
»‫َم َيَت َف َّرقَا‬

Dua pihak yang melakukan jual-beli itu ada dalam pilihan (memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan jual-beli) selama mereka belum
berpisah. (HR. al-Bukhari)

»‫ف ِش ْئتُ ْم يَ ًدا بِيَ ٍد‬ ِ ‫الذ َهب بِال ِْفض‬


َ ‫َّة َك ْي‬ ِ
َ َّ ‫«بَيعُوا‬
Juallah emas dengan perak, bagaimanapun yang kamu inginkan, secara
tunai. (HR. at-Tirmidzi)

َ ‫َّة يَ ًدا بِيَ ٍد َع ْينًا بِ َعـْي ٍن ِمثْالً بِ ِمثْ ٍل فَ َما َز‬


»‫اد َف ُه َو ِربَى‬ ِ ‫ضةُ بِال ِْفض‬
َّ ‫ب َوال ِْف‬ َّ ِ‫ب ب‬
ِ ‫الذ َه‬ َّ
ُ ‫«الذ َه‬

Emas dengan emas, perak dengan perak, secara tunai, benda milik
dengan benda milik, semisal dengan yang semisal; apa pun yang yang
menjadi kelebihan darinya itu adalah riba. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan
Ahmad)

Pembuat hukum (asy-Syâri‘) juga telah menyatakan, bahwa ini adalah


hukum untuk membagi harta rampasan (fai); ini menjadi indikasi hukum atas
perputaran uang yang hanya terjadi di antara orang-orang kaya; ini adalah
hukum menggembalakan ternak; ini menjadi indikasi hukum yang berkaitan
dengan penggunaan fasilitas umum; ini adalah hukum yang berkaitan dengan
apa yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya, yang tidak bisa dimiliki oleh
seseorang; dan ini menjadi indikasi hukum sumberdaya mineral.
Demikianlah, nash-nash yang ada berbicara tentang pembagian harta fai
yang diberikan kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada kaum Anshar. Allah
Swt berfirman:
ً‫يل َك ْي الَ يَ ُكو َن ُدولَة‬ َّ ‫ول َولِ ِذي الْ ُق ْربَى َوالْيَتَ َامى َوال َْم َساكِي ِن َوابْ ِن‬
ِ ِ‫السب‬ َّ ِ‫اء اهللُ َعلَى َر ُسولِ ِه ِم ْن أ َْه ِل الْ ُق َرى فَلِلَّ ِه َول‬
ِ ‫لر ُس‬
َ َ‫ َما أَف‬
‫َب ْي َن اْألَ ْغنِيَ ِاء ِم ْن ُك ْم‬
Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu tidak hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kalian. (TQS. Al-Hasyr [59]: 7)

Nash-nash yang ada juga menyatakan demikian:

»‫ث فِي ال َْم ِاء َوالْ َك ِإلَ َوالنَّا ِر‬


ٍ َ‫«الْمسلِمو َن ُشر َكاء فِي ثَال‬
ُ َ ُ ُْ
Manusia itu berserikat dalam tiga perkara: air, padang gembalaan, dan
api. (HR. Ibn Majah)

Nash lain menyatakan:


– ‫اهلل إِنَّهُ بِ َم ْنـ ِزل َِة ال َْم ِاء ال ِْع ِّد‬
ِ ‫ْح فَأَقْطَ ْعنِْي ِه فَِق ْيل يا رسو َل‬
ُْ َ َ َ
ِ ‫ت رسو َل‬
ِ ‫ن ال ِْمل‬#َ ‫ َم ْع َد‬B ‫اهلل‬ َ َ‫س التَّأ َْربِ ْي ق‬
ْ ُ َ ُ ‫ اَ ْسَت ْقطَ ْع‬:‫ال‬ ِ ‫«ع ْن عُ َم َر بْ ِن َق ْي‬
َ
ِ ‫ال رسو ُل‬
»‫ فَالَ إِذَ ْن‬B ‫اهلل‬ ْ ُ َ َ ‫َف َق‬
‘Umar bin Qays at-Ta’rabi meriwayatkan bahwa dia pernah meminta
Rasulullah saw., yakni dia ingin memiliki hak monopoli tambang garam.
Kemudian beliau memberikannya. Lalu dikatakan kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, tambang garam itu sama saja dengan air yang melimpah—
yakni tidak akan pernah berhenti berproduksi. Mendengar itu, Rasul pun
bersabda, “Tidak ada izin untuk hal itu.”

Dengan demikian, nash-nash syariat berlaku untuk setiap perbuatan


manusia yang terus berkembang dan beraneka ragam, sekalipun pada zaman
modern ini. Berbagai macam solusi dapat digali dari makna umum nash atas
setiap problem manusia yang terus berkembang dan beraneka ragam. Dengan
begitu, realitas apa pun yang terjadi akan menjadi obyek sebuah hukum. Tidak
ada satu realitas pun yang terjadi yang tidak menjadi obyek hukum. Tidak ada
satu pun masalah yang terjadi, baik secara nyata ataupun dugaan hipotesis
belaka, yang tidak menjadi obyek hukum. Pembuat hukum (asy-Syâri‘) telah
memberikan nash dalam bentuk ini dan membiarkan akal manusia agar
mengerahkan upaya sepenuhnya untuk menggali hukum dari nash-nash
tersebut dalam rangka memecahkan permasalahan yang baru dan beragam.
Hal ini tidak hanya menjadikan sebuah ijtihad menjadi mubah, bahkan menjadi
sebuah fardlu kifayah yang harus ada setiap masa. Jika tidak ada seorang
mujtahid (yang melakukan ijtihad) dalam suatu masa, berdosalah seluruh kaum
Muslim.
Inilah realitas legislasi Islam yang berbeda dengan realitas legislasi Barat.
Semua ini menunjukkan perbedaan yang sangat besar di antara kedua legislasi
tersebut; legislasi yang dibangun di atas dasar yang spekulatif, batil, dan
memberikan solusi yang rusak di satu sisi; dengan sebuah legislasi yang
ditegakkan di atas dasar yang pasti (qath‘î), benar, (haq), dan memberikan
solusi yang benar pula. Akan tetapi, apa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa
legislasi Barat secara terang-terangan telah menantang legislasi Islam yang
telah mengakibatkan kekalahan di pihak kaum Muslim. Lebih lanjut, kekalahan
ini mengakibatkan kekalahan kaum Muslim dalam bidang politik secara
menyeluruh dan mereka hancur sama sekali.
Seseorang akan merasa aneh dan bingung ketika dia memahami kebatilan
legislasi Barat dan ketidakmampuannya dalam menghadapi problematika
manusia, kemudian dia memahami kebenaran legislasi Islam dan
kemampuannya menghadapi setiap problematika terjadi pada manusia dan
memecahkannya dengan benar. Akan tetapi, dia kemudian melihat kekalahan
kaum Muslim, yang disebut penganut ideologi yang benar, di hadapan
tantangan ideologi yang salah. Ketika kaum Muslim diserang habis-habisan oleh
legislasi Barat, yang menantang sistem Islam dengan sistem kapitalis, mereka
malah merasa kagum dengan revolusi industri yang besar yang terjadi di Barat.
Mereka lalu digiring untuk menanggapi tantangan ini dengan asas yang keliru
yang telah disiapkan oleh Barat untuk mereka. Sistem Barat telah memecahkan
problematika dengan solusi-solusi tertentu dan Islam tidak memiliki solusi yang
sama. Dalam pemikiran mereka, kaum Muslim harus terikat dengan solusi
kapitalis atas berbagai macam persoalan yang terjadi hanya karena kebesaran
invensi dan industri mereka. Mereka mencari solusi untuk masalah ini dalam
Islam dengan cara yang sama sebagaimana telah dilakukan oleh Barat. Di
sinilah kerusakan itu terjadi, yakni dalam pembahasan dan pemikiran.
Akibatnya, kepercayaan mereka akan hukum-hukum Islam telah dipukul
sehebat-hebatnya, padahal solusi hukum-hukum Islam itu berbeda dengan
solusi yang dihasilkan dari hukum Barat dan legislasinya.
Sesungguhnya legislasi Islam lahir dari keimanan kepada Allah, para rasul-
Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, dan Hari Akhirat. Legislasi Islam lahir
dari al-Quran dan as-Sunnah yang telah terbukti dengan pasti merupakan
wahyu Allah Swt. Apa pun yang dipahami dari al-Quran dan as-Sunnah dari segi
dalil-dalil umum (adillah ijmâliyyah), kaidah-kaidah umum (qawâ’id âmmah),
definisi syariat (ta‘rîf syar‘î), hukum-hukum umum (ahkâm kullyiah), dan
hukum-hukum parsial (ahkâm juz’iyyah) semuanya merupakan hukum Islam.
Situasi apa pun yang timbul harus ditundukkan pada unsur pokok dari hukum
Islam tersebut dan hukum-hukumnya harus digali untuk memecahkannya.
Adapun berkaitan dengan permasalahan yang baru, khususnya yang tidak
pernah terjadi kecuali di tengah-tengah masyarakat kapitalis, pada saat Islam
diserang dengan pernyataan yang mereka lontarkan bahwa Islam tidak mampu
memberikan solusi atas permasalahn itu, realitas dari permasalahan tersebut
harus dipahami, bukan malah hukum spesifiknya yang dipahami. Setelah
realitas permasalahan itu dipahami, apa yang terdapat dalam syariat—baik
nash, kaidah, definisi, dan hukum-hukumnya—kemudian diterapkan atas
realitas tersebut dan pendapat Islam diberikan berkaitan dengan masalah itu.
Sementara itu, berkaitan dengan sebuah hukum spesifik, seseorang tidak
harus bertanya apakah ia benar atau salah. Orang tidak perlu bertanya apakah
Islam sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh sistem kapitalis berkaitan
dengan perseroan (syirkah), asuransi, perdagangan luar negeri, bank, dan
sebagainya. Akan tetapi, apa yang harus dicari oleh orang tersebut adalah
pendapat dari syariat berkaitan dengan setiap permasalahan yang baru
sehingga ia menjadi sebuah syariat yang sempurna tanpa mempedulikan
apakah pendapat syariat ini sesuai ataukah tidak dengan apa yang telah
dinyatakan oleh sistem kapitalis. Sayangnya, kaum Muslim tidak melihat
dengan jelas kerusakan legislasi Barat sehingga dapat secara langsung
menetapkan kerusakan hukum-hukum sistem kapitalis. Yang terjadi malah
sebaliknya, mereka telah mengikatkan solusi permasalahn itu dengan diri
mereka karena kebesaran inovasi dan industri di Barat. Mereka juga tidak
mengklarifikasi bahwa masalah sebenarnya adalah bagaimana hukum Islam
diterapkan atas realitas problematika itu sendiri, bukannya menjadikan Islam
sejalan dengan legislasi Barat. Mereka malah mulai mencari-cari pendapat
dalam Islam yang sesuai dengan sistem Barat, atau setidaknya tidak
bertentangan dengan sistem Barat. Hal itu tidak lain untuk membuktikan
bahwa Islam itu sesuai untuk setiap zaman. Pendekatan seperti ini
mengakibatkan kekalahan yang begitu menyakitkan. Contohnya, pada saat
kaum Muslim ditanya tentang perseroan saham, mereka tidak harus
mempertimbangkan apakah Islam mampu menyatakan -seperti apa yang
dinyatakan oleh sistem kapitalis berkaitan dengan peseroan saham- agar bisa
dianggap bahwa Islam itu sesuai dengan zaman. Seharusnya kaum Muslim
menanyakan apa pendapat Islam berkaitan dengan peseroan saham, kemudian
memberikan jawaban bahwa realitas masalah dari sebuah perseroan saham
adalah sebuah perusahaan (company) yang dibentuk oleh para pesero yang
tidak dikenal oleh khalayak. Para pendiri perseroan saham adalah semua pihak
yang telah menandatangani transaksi perseroan yang pertama. Abonemen
dalam perusahaan tersebut dijalankan dengan mewajibkan setiap orang untuk
membeli satu atau lebih saham dengan tujuan agar perusahaan bisa
mengembalikan nilai nominal mereka. Kontrak perseroan saham dilakukan
dengan salah satu dari dua cara berikut:
Pertama, saham perseroan dibatasi hanya untuk para pendiri perseroan
yang mendistribusikan saham-saham tersebut di antara mereka sendiri tanpa
menawarkannya kepada publik. Hal itu dilakukan dengan menandatangani
transaksi yang membangun perusahaan tersebut dan memuat persyaratan
yang dengannya perusahaan bisa berjalan. Setiap orang yang menandatangani
transaksi tersebut dianggap sebagai pendiri dan pesero. Sejak mereka
menandatangani transasksi, perusahaan tersebut dianggap telah didirikan.
Kedua, segelintir orang mendirikan perseroan dan membuat rancangan
transaksinya yang memuat persyaratan perusahaan. Saham perusahaan
tersebut kemudian ditawarkan kepada publik sebagai abonemen umum dalam
perusahaan. Ketika masa abonemen berakhir, dewan pendiri perusahaan akan
mengadakan pertemuan dan memilih dewan pengurus yang akan menjalankan
perusahaan, dan perusahaan pun bisa memulai kerjanya. Perusahaan seperti
ini, yakni perseroan saham bersama, dalam sistem kapitalis dianggap sebagai
sebuah tindakan dari satu pihak, yakni dari seorang individu dan tidak dari dua
orang. Ia ditetapkan sebagai tindakan yang berasal dari keinginan sendiri. Pada
umumnya, akad tersebut dianggap sebagai sebuah perjanjian antara dua
keinginan. Transaksi-transaksi tertentu, seperti jual-beli dan sewa-menyewa
juga diklasifikasikan sebagai akad. Di samping akad (perjanjian), ada juga
keinginan sendiri, yang merupakan sebuah komitmen spesifik yang dibuat oleh
seorang individu seperti pembentukan peseroan saham, koperasi, dan wasiat.
Seorang pesero dalam sebuah perseroan saham membuat sebuah komitmen
untuk membeli sejumlah saham dan membayar sejumlah harga untuk
memperoleh saham-saham tersebut tanpa mempertimbangkan diterima atau
ditolaknya pesero yang lain, juga tanpa mempertimbangkan kesenangan atau
ketidaksenangan pesero yang lain. Sejak seseorang menandatangani akad, atau
membeli sejumlah saham dan sebagainya, dia akan menjadi seorang pesero
pada perseroan tersebut. Lalu saham dalam sebuah perseroan saham itu
kadang dijual seperti obligasi dan premi, dan kadang diedarkan seperti mata
uang kertas. Oleh karena itu, sejak seorang pembeli membayar harga yang
dibutuhkan oleh saham-saham itu maka ia menjadi seorang pesero pada
perseroan tersebut.
Kaum kapitalis Barat telah mendefinisikan perseroan saham sebagai
sebuah kontrak yang dilakukan oleh dua orang dalam apa yang disetujui oleh
keduanya untuk berpartisipasi dalam sebuah proyek ekonomi atau finansial
dengan cara memberikan saham untuk modal sehingga keuntungan dan
kerugian perusahaan akan dibagi di antara mereka (ditanggung bersama).
Inilah realitas perseroan saham. Dengan meninjau tipe perusahaan seperti ini
dari sudut pandang legislasi Islam, akan jelaslah bahwa ini adalah perusahaan
yang batil sehingga tidak diperbolehkan seorang Muslim berpartisipasi di
dalamnya, karena ia merupakan bentuk transaksi yang diharamkan. Batilnya
perusahaan ini berasal dari fakta bahwa legislasi Islam telah menentukan
realitas perusahaan (syirkah) yang sebenarnya, berikut struktur dan aturan
hukum-hukumnya.
Syirkah dalam Islam didefinisikan sebagai sebuah akad antara dua orang
atau lebih yang bersepakat untuk melakukan usaha ekonomi atau finansial
dengan tujuan memperoleh keuntungan (profit). Secara legal ini merupakan
aktivitas yang terjadi di antara dua orang dan bukan aktivitas yang bisa
dilakukan oleh seorang individu. Dengan begitu, perusahaan ini berdiri di atas
perjanjian itu, apa pun tipe atau sifat perusahaan tersebut. Dalam Islam,
sebuah perjanjian memerlukan keberadaan ijab dan qabul secara bersamaan.
Jadi, harus ada dua pihak dalam perjanjian tersebut. Satu pihak memikul
tanggung jawab ijab dengan mengajukan penawaran seperti, “Aku menikahkan
kamu…..”, “Aku menjual kepadamu.….”, atau “Aku menawarkan untuk
mempekerjakan kamu….” Sebaliknya, pihak lain melakukan qabul dengan
menyatakan, misalnya, “Aku terima ini ……”, atau “Aku setuju untuk…..”, dan
sebagainya. Jika tidak ada dua pihak dalam akad tersebut, atau tidak ada
penyebutan ijab dan qabul, berarti ia menjadi akad yang batil. Dalam syariat
Islam tidak ada perbedaan antara akad jual-beli dan struktur syirkah
(perusahaan). Sebaliknya, perseroan saham diadakan berdasarkan legislasi
Barat, yang dianggap sebagai tindakan yang berkaitan dengan keinginan sendiri
dan tidak dipandang seperti akad jual-beli. Oleh karena itu, tidak ada dua pihak
yang berakad di sana. Perusahaan hanya memiliki satu pihak, berupa
perorangan atau kelompok, yang mengikatkan diri dengan sesuatu dan tidak
mengikatkan diri dengan kelompok atau pihak lain untuk melakukan sesuatu.
Legislasi Islam menganggap struktur perusahaan (syirkah) itu seperti akad jual-
beli, akad sewa-menyewa, perwakilan (wakalah), dan sebagainya. Legislasi
Islam tidak menganggap struktur syirkah ini seperti wakaf, wasiat, hadiah, dan
sebagainya. Oleh karena itu, peseroan terbatas (PT) batil menurut hukum, dan
tidak memiliki asas dalam Islam. Dalam masalah ini, realitas pertanyaan
diberlakukan pada definisi syariat, pandangannya diberikan atas asas ini, dan
hukum Islam dalam masalah ini telah diberikan.
Definisi syariat, tentu diambil dari nash syariat. Sifat struktur syirkah
(peseroan) telah diputuskan oleh Rasulullah saw, yakni harus ada dua pihak
yang berakad, serta dilakukan dengan adanya ijab dan qabul. Diriwayatkan
demikian:

ُ‫صلَّى اهلل‬ َ ِ‫ضةً بَِن ْق ٍد َونَ ِسيئَةً َفَبلَ َغ َذل‬


َ ‫ك النَّبِ َّي‬ َّ ِ‫ضي اهللُ َع ْن ُه ْم َكانَا َش ِري َك ْي ِن فَا ْشَت َريَا ف‬
ِ ‫بر‬
َ ٍ ‫اء بْ َن َعا ِز‬ َّ ‫«أ‬
َ ‫َن َزيْ َد بْ َن أ َْرقَ َم َوالَْب َر‬
»ُ‫َج ُيزوهُ َو َما َكا َن بِنَ ِسيئَ ٍة َف ُردُّوه‬
ِ ‫َن ما َكا َن بَِن ْق ٍد فَأ‬ ِ
َ َّ ‫َعلَْيه َو َسلَّ َم فَأ ََم َر ُه َما أ‬

Zaid bin Arqam dan Barra bin Azib pernah melakukan syirkah (usaha
bersama), lalu mereka membeli perak dengan cara tunai dan kredit. Kabar
ini sampai kepada Rasulullah saw., lalu beliau berkata kepada mereka,
“Bagian yang dilakukan dengan tunai (naqd) maka bolehkanlah itu,
sedangkan bagian yang dilakukan dengan kredit (nasî’ah), maka
kembalikanlah.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan pula bahwa Nabi saw pernah bersabda:

»‫ت ِم ْن َب ْينِ ِه َما‬ ِ ‫الش ِري َكي ِن ما لَم ي ُخن أَح ُدهما ص‬
ُ ‫احبَهُ فَِإذَا َخانَهُ َخ َر ْج‬ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ ْ َّ ‫ث‬ ُ ِ‫ول أَنَا ثَال‬
ُ ‫«إِ َّن اهللَ َي ُق‬
Allah Swt. telah berfirman, “Aku adalah Pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah satu dari mereka tidak berkhianat terhadap
yang lainnya. Jika salah satu pihak berkhianat maka Aku keluar dari
mereka.” (HR. Abu Dawud)

Nabi saw juga bersabda:


ِ َ‫ض ْي َعةُ َعلَى قَ ْد ِر اْلمـ‬
»‫ال‬ ِ ِ َ ‫«اَ ِّلربح َعلَى ما َشر‬
ِ ‫ان واْلو‬
َ َ ‫ط اْ َلعاق َد‬ َ َ ُْ
Keuntungan (profit) itu mengikuti syarat yang telah ditetapkan oleh dua
pihak yang berakad, sedangkan kerugian itu mengikuti kadar harta.

Diriwayatkan pula bahwa Rasulullah saw telah membentuk sebuah


asosiasi dengan ‘Ammar bin Yasir dan Sa‘ad bin Abi Waqas.
Dengan demikian, dari contoh-contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa
akad dalam Islam adalah berupa kesepakatan yang dibuat oleh dua pihak dan
bukan dengan perbuatan satu orang saja. Dengan begitu, definisi syirkah
(peseroan) dalam Islam telah didirikan. Ini adalah pendapat Islam berkaitan
dengan peseroan saham tanpa memandang apakah pendapat Islam dalam
masalah ini sesuai atau tidak dengan pandangan kapitalis. Haram untuk
memalsukan pendapat lain terhadap Islam; haram pula untuk beramal atas
dasar sesuatu yang berbeda dengan pendapat Islam. Yang diperlukan di sini
adalah pandangan Islam berkaitan dengan perseroan saham dan bukannya
menjadikan Islam sesuai dengan pendapat Barat berkaitan dalam masalah yang
sama.
Ketika kaum Muslim ditanya tentang asuransi, mereka tidak harus tergesa-
gesa untuk menentukan apakah Islam bisa menyatakan apa yang bisa
dinyatakan oleh kapitalisme berkaitan dengan asuransi, hanya untuk
meyakinkan bahwa Islam bisa mengikuti zaman. Sebaliknya, yang harus
ditanyakan adalah apa pandangan Islam berkaitan dengan asuransi. Ini harus
dijawab dengan menyatakan bahwa masalah asuransi itu adalah sebuah
jaminan yang dibuat oleh perusahaan asuransi pada seseorang yang miliknya
dijaminkan. Jika harta miliknya itu hilang atau rusak maka perusahaan asuransi
akan memberikan ganti rugi, atau harta yang senilai dengan harta yang hilang
atau rusak itu. Artinya, asuransi adalah sebuah jaminan dan karena itu hukum
yang berkaitan dengan jaminan (dlamn) harus diterapkan padanya. Hukum ini
telah dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi saw yang menjelaskan bahwa Abu
:Said al-Khudri pernah menyatakan
ِ ‫ ِدر َهـم‬،‫ َنعم‬:‫احبِ ُكم ِمن َدي ٍن؟ قَالُوا‬
.‫ان‬ ِ ‫ هل علَى ص‬:‫ال‬ ِ ‫ َفلَ َّما و‬،‫« ُكنَّا مع النَّبِ ِّـي صلَّى اهلل َعلَْي ِه وسلَّم فِـي جنَ َاز ٍة‬
َ ْ َْ ْ ْ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ‫ت ق‬ ْ ‫ض َع‬ ُ َ ْ َ ََ ُ َ ََ
‫هماَ َعلَ َّي‬ ِ َ ‫ َف َق‬.‫احبِ ُكم‬ ِ ‫ صلُّوا علَى ص‬:‫ال‬
ُ :‫ال َعل ُي‬ ْ َ َ ْ َ َ ‫َف َق‬
‫اك اهللُ َخ ْي ًـرا‬ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ثُ َّـم اَقْبَ َل َعلَى َعلِي َف َق‬
َ ‫ َج َز‬:‫ال‬ ِ
َ ‫الر ُس ْو ُل اهلل‬ َّ ‫ َف َق َام‬.‫ض ِام ٌن‬ ِ ‫يا رسو َل‬
َ ‫اهلل َو أَنَا لَ ُـه َما‬ ُْ َ َ
»‫ـك‬َ ‫َخ ْي‬ ِ ‫ْت ِرها َن أ‬ َ َ‫ك ِر َهان‬ َّ َ‫َع ِن اْ ِإل ْسالَِم َوف‬
َ َ ‫ك َك َما فَ َكك‬
Kami (para sahabat) pernah bersama-sama dengan Rasulullah saw.
dalam sebuah pemakaman. Ketika mayat itu telah dimakamkan, beliau
bertanya, “Apakah ada utang yang masih ditanggung oleh saudara
kalian ini?” Kami menjawab, “Ya, dua dirham.” Nabi saw. bersabda,
“Berdoalah untuk sahabat kalian ini.” ‘Ali lalu berkata, “Dua dirham itu
menjadi tanggung jawabku (untuk membayarnya) dan aku
menjaminnya.” Rasulullah kemudian menghadap ke arah ‘Ali seraya
berkata, “Semoga Allah membalasmu dengan kebajikan serta
membebaskan tanggunganmu sebagaimana kamu telah membebaskan
tanggungan saudaramu.”

Jelas, dalam hadits ini dinyatakan bahwa jaminan merupakan janji yang
dibuat untuk memperkuat janji yang lain, yakni janji pertanggungjawaban yang
dibuat oleh ‘Ali ra telah digabungkan dengan janji lain yang dibuat oleh orang
yang diberi pinjaman. Jaminan utang juga dibuktikan dalam perjanjian yang
dibuat oleh seseorang yang berjanji. Ini begitu jelas menunjukkan bahwa
jaminan mencakup penjamin dan yang dijamin, yakni debitor dan kreditor. Dari
hadits ini, jelaslah bahwa tidak ada kompensasi (ganti rugi) dalam jaminan itu.
Hadits ini juga menjelaskan mengapa jaminan (dlamn) menurut syariat Islam
adalah ikatan tanggung jawab yang dijamin dalam pelaksanaan pembayaran
sebuah hak tanpa adanya kompensasi, dengan kata lain, secara sederhana,
membebankan tugas sebuah hak dalam tanggung jawab tanpa adanya
kompensasi apa pun.
Dengan semua pemikiran ini, kita sekarang bisa menyatakan bahwa
hukum syariat berkaitan dengan masalah asuransi adalah bahwa asuransi itu
haram dan tidak diperbolehkan. Hal ini karena asuransi bukan merupakan
penggabungan tanggung jawab dengan tanggung jawab yang lain. Perusahaan
asuransi juga tidak menggabungkan tanggungjawab dengan yang lain. Ia juga
bukan merupakan hak finansial yang dijamin, dimana perusahaan asuransi
berjanji pada seseorang; tidak ada jaminan dalam akad ini dan asuransi
tersebut di buat dengan adanya kompensasi (premi yang dibayarkan pada
perusahan). Dengan demikian, akad asuransi ini rusak menurut syarat jaminan
Islam yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat, sehingga karenanya menjadi
akad yang batil. Setiap transaksi yang batil adalah haram. Asuransi berada pada
kategori ini. Inilah pendapat syariat yang berkaitan dengan asuransi tanpa
memandang apakah pendapat tersebut sesuai atau tidak dengan pandangan
kapitalis.
Fakta bahwa syariat Islam sesuai dan layak untuk memecahkan berbagai
macam permasalahan dalam sebuah masa yang khusus tidak berarti bahwa
syariat itu harus memecahkan permasalahan yang ada sesuai dengan sistem
yang lazim pada masa tersebut. Akan tetapi, syariat memberikan pendapatnya
sendiri berkaitan dengan permasalahan tersebut, apa pun bentuk sistem yang
lazim pada masa itu.
Contoh lain adalah perdagangan dengan negara lain (perdagangan luar
negeri). Seharusnya kaum Muslim tidak bertanya apakah pandangan Islam yang
berkaitan dengan perdagangan luar negeri menerima prinsip kebebasan
pertukaran atau proteksionisme, yakni prinsip ekonomi sebuah negara atau
sebuah kebijakan untuk berdiri sendiri. Mereka seharusnya menanyakan
pandangan Islam berkaitan dengan masalah hubungan perdagangan. Jawaban
atas hal ini adalah apa yang telah difirmankan Allah Swt:
‫ َواَ َح َّل اهللُ اْ َلب ْي َع‬
Allah telah menghalalkan jual-beli. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

‫اض ِم ْن ُك ْم‬
ٍ ‫إِالَّ أَ ْن تَ ُكو َن تِ َج َارةً َع ْن َت َر‬
.…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kalian. (TQS. an-Nisa’ [4]: 29)

‫اض َرةً تُ ِد ُيرو َن َها َب ْينَ ُك ْم‬


ِ ‫إِالَّ أَ ْن تَ ُكو َن تِجارةً ح‬
َ ََ
….kecuali muamalat itu adalah perdagangan tunai yang kalian jalankan
di antara kalian. (TQS. al-Baqarah [2]: 282)

Sesungguhnya Islam telah membolehkan jual-beli dengan menggunakan


ungkapan nash yang umum, apakah perdagangan itu dilakukan di dalam
wilayah Daulah Islam atau di luar Daulah Islam. Hal ini mencakup setiap orang
yang menjadi warga Daulah Islam, apakah Muslim atau non-Muslim.
Sebaliknya, yang tidak memegang kewarganegaraan Daulah Islam tetap
dianggap musuh (harbi), apakah harbî fi‘lan dalam situasi adanya peperangan
antara kaum Muslim dan negaranya seperti Israel, ataupun harbi hukman
karena situasi tidak adanya peperangan antara kaum Muslim dan negara
asalnya, seperti Jerman. Seorang kafir harbi tidak diperbolehkan memasuki
wilayah Daulah Islam kecuali dengan izin khusus atas setiap kunjungan yang ia
lakukan ke wilayah Daulah Islam. Ini berlaku jika tidak ada perjanjian antara
Daulah Islam dengan negara asalnya. Ketika ada perjanjian, dia akan diizinkan
memasuki wilayah Daulah atas persyaratan yang ada pada perjanjian tersebut.
Hukum yang berkaitan dengan seorang musuh berlaku untuk diri dan juga
hartanya. Hal ini berarti dibolehkan bagi seorang warga negara Daulah Islam
untuk melakukan perdagangan luar negeri tanpa ada batasan, kecuali jika
komoditi perdagangannya itu bisa mengakibatkan bahaya bagi Daulah.
Sementara itu, berkaitan dengan warga negara lain, Daulah Islam memiliki hak
untuk menetapkan batasan-batasan yang dipandang perlu; sama saja apakah
batasan-batasan tersebut ada dalam perjanjian ataukah tidak sesuai dengan
ketentuan hukum yang berkaitan dengan orang-orang kafir harbi (apakah fi‘lan
atau hukman). Tidak harus ditanyakan apakah pandangan ini sesuai dengan
legislasi yang berlaku pada zaman ini ataukah tidak. Akan tetapi, yang harus
ditanyakan adalah pandangan itu sendiri dan dalil yang telah menunjukkan
pada pandangan ini.
Perbankan adalah contoh lainnya. Tidak benar bila kaum Muslim
menanyakan apakah Islam menyodorkan pandangan yang sama sebagaimana
pandangan kapitalis berkaitan dengan perbankan, pengorganisasiannya, dan
pembolehan riba di dalamnya. Seharusnya kaum Muslim menanyakan
bagaimana pandangan Islam berkaitan dengan perbankan. Jawabannya,
realitas dari sistem perbankan itu menunjukkan bahwa ia didasarkan pada riba.
Bank menyediakan pinjaman jangka panjang dan jangka pendek, di samping
pengoperasian rekening tertentu dan fasilitas kredit, dan sebagainya. Berkaitan
dengan transfer dana dan pemeliharaan deposito atau jaminan, hal itu
diperbolehkan oleh syariat dengan atau tanpa pemberian upah. Sebaliknya,
berbagai transaksi yang berhubungan dengan riba, secara qath‘î hal itu
diharamkan. Sebab, Allah Swt berfirman:

‫الربـَى‬
ِّ ‫ َو َح َّر َم‬
Allah telah mengharamkan riba. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)

‫وس أ َْم َوالِ ُك ْم‬


ُ ُ‫ َفلَ ُك ْم ُرء‬
Bagi kalian adalah pokok harta kalian. (TQS. al-Baqarah [2]: 279)

Rasulullah saw juga bersabda:

»‫َّس ْيئَ ِة‬


ِ ‫الربـى فِـي الن‬
َ ِّ ‫«إِنّ َـما‬
Sebenarnya riba itu ada dalam (penundaan) pembayaran.

Beliau juga bersabda:

ِِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ َّ ‫ب وال ِْف‬ َّ ِ‫ب ب‬ َّ


»‫اد َف ُه َو ِربَا‬ َ ‫ضةُ بالْفضَّة يَ ًدا بيَد َع ْيناً ب َع ْي ٍن مثْالً بمثْ ٍل‬
َ ‫فما َز‬ َ ِ ‫الذ َه‬ ُ ‫«الذ َه‬
Emas dengan emas, perak dengan perak, secara tunai; benda milik
dengan benda milik, semisal dengan yang semisal; apa pun yang yang
menjadi kelebihan dari itu adalah riba. (HR. Ahmad)

Istilah riba, sebagaimana ditemukan dalam al-Quran dan hadits Nabi


saw, datang dalam bentuk umum, yakni mencakup semua jenis riba. Istilah
riba, yang merupakan nama jenis (ism jins) yang dihubungkan dengan alif dan
lam, mengandung makna yang mencakup semua bentuk riba; apakah riba
fadhl atau riba nasî’ah; apakah yang dikenal pada zaman Nabi saw ataupun
tidak, sehingga menjadi riba yang baru. Artinya, tidak ada tempat sedikit pun
untuk menghalalkan riba dalam bentuk apa pun, karena larangan tersebut
datang dalam bentuk umum. Sesuatu yang umum akan tetap dalam
keumumannya sampai ada dalil yang membatasi atau mengkhususkannya.
Dalam konteks riba, hal itu tidak ada sehingga pengharaman riba harus
dianggap tetap dalam pengertiannya yang umum. Sebab, Allah Swt berfirman:

‫وس أ َْم َوالِ ُك ْم‬


ُ ُ‫ َفلَ ُك ْم ُرء‬
Bagi kalian adalah pokok harta kalian. (TQS. al-Baqarah [2]: 279)
Rasulullah saw juga bersabda:

»‫اد َف ُه َو ِربَا‬
َ ‫«فَ َما َز‬
Apa pun yang menjadi kelebihan dari itu adalah riba. (HR. Ahmad)

Secara eksplisit, nash-nash tersebut menjelaskan larangan atas apa saja


yang bertambah dalam pokok harta, sedikit atau banyak, dalam transaksi apa
pun bentuknya. Jadi, seluruh bentuk riba adalah haram. Inilah pandangan Islam
yang berkaitan dengan riba tanpa mempedulikan apakah pandangan ini sesuai
atau tidak dengan pandangan kapitalis, dengan pandangan yang lazim saat ini,
ataupun dengan kemaslahatan individu atau masyarakat. Semua itu tidak
bernilai sedikit pun ketika dalil-dalil syariat telah menetapkan larangan riba.
Syariat Islam itu menjadi syariat yang cocok bukan karena tidak adanya dalil
yang membolehkan riba agar ia bisa sejalan dengan waktu, agar bisa
mengambil kemaslahatan, atau untuk memelihara situasi ekonomi. Kecocokan
dan kelayakan syariat Islam yang sebenarnya adalah karena ia bisa memberikan
pendapat atau pandangan atas berbagai problem yang dihadapi oleh seorang
manusia atau sebuah masyarakat.
Riba termasuk permasalahan yang unik yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat kapitalis dan tidak terjadi di tengah-tengah masyarakat komunis
ataupun masyarakat Islam. Oleh karena itu, ketika pandangan Islam atau
komunis dicari berkaitan dengan permasalahan riba ini, maka opini itulah yang
harus dicari, bukan menanyakan apakah pandangan Islam atau komunis itu
sesuai atau tidak dengan pandangan sistem kapitalis.
Semua itu merupakan permasalahan yang dipergunakan sistem kapitalis
untuk menentang serta menyerang sistem Islam dan legislasinya. Kapitalisme
telah menuduh bahwa sistem Islam tidak mampu mengikuti gerak waktu dan
tidak bisa memberikan solusi atas berbagai macam problem yang terjadi.
Tanggapan yang diberikan kaum Muslim ternyata tidak menjelaskan
problematika tersebut dengan mengajukan pandangan Islam sebagaimana
yang diindikasikan oleh dalil-dalil syariat yang detail (al-adillat asy-syar‘iyah at-
tafshiliyah). Mereka malah berupaya mencari solusi dari Islam yang sesuai
dengan pandangan kapitalis. Padahal, secara nyata, tidaklah mungkin
menemukan solusi-solusi kapitalis dalam Islam, karena adanya kontradiksi yang
sangat jelas antara ideologi Islam dan kapitalisme. Hal ini yang mengakibatkan
kaum Muslim kalah. Sebabnya, mereka mencoba menginterpretasikan Islam
untuk dicocokkan dengan legislasi Barat dan sistem kapitalis. Keadaan ini
meluas sehingga menimbulkan berbagai macam konsep yang keliru, yang
sangat berbahaya bagi kaum Muslim dan Islam itu sendiri. Contohnya adalah
gagasan bahwa “Islam itu fleksibel dan bisa menyesuaikan diri”, “Islam harus
mengikuti pergerakan zaman”, “Perlunya dibangun keselarasan antara Islam
dan dunia modern”, dan banyak lagi gagasan lainnya. Beberapa gagasan
tersebut membawa arti bahwa Islam bisa diinterpretasikan untuk memberikan
pandangan yang selaras dengan pandangan yang lazim di tengah-tengah
manusia saat ini, sekalipun nantinya kontradiktif dengan pandangan dan nilai-
nilai Islam itu sendiri. Inilah makna kesesuaian dan keselarasan Islam dengan
zaman yang mereka maksudkan. Semua konsep itu juga berarti merupakan
sebuah kesalahan bila Islam berlaku dalam arah yang berbeda dengan apa yang
diikuti oleh orang-orang kafir. Hal ini tiada lain karena orang-orang kafirlah
yang memimpin dunia modern ini. Akibatnya, kaum Muslim harus
menginterpretasikan Islam agar sesuai dengan situasi orang-orang kafir
sehingga akan tercipta keselarasan antara Islam dan dunia modern.
Pengadopsian konsep-konsep keliru ini secara nyata akan membawa
konsekuensi, yakni meninggalkan Islam dan mengikuti kapitalisme. Sebab,
Islam secara nyata bertentangan dengan pandangan hidup kapitalisme. Artinya,
tidaklah mungkin tercipta keselarasan di antara keduanya. Jadi, seruan apa pun
yang mengajak ke arah penyesuaian dan penyelarasan Islam dengan
kapitalisme merupakan seruan untuk meninggalkan Islam dan mengadopsi
kekufuran.
Memang benar, Islam datang dalam bentuk kaidah dan garis tuntunan
yang bersifat umum. Islam kemudian menyerahkan tanggung jawab pada akal
manusia untuk menggali hukum-hukum syariat dari asas-asas tersebut. Dengan
begitu, manusia mampu memecahkan sendiri problematika yang mereka alami
setiap saat. Akan tetapi, keadaan ini tidak menjadi indikasi dari fleksibilitas dan
tumbuh berkembangnya Islam yang memungkinkan seseorang memperoleh
hukum yang dia inginkan dari asas ini. Kaidah-kaidah dan garis petunjuk Islam
yang luas itu hanya memberikan apa yang ditunjukkan oleh ungkapan dan
maknanya. Artinya, kaidah-kaidah Islam hanya akan memberikan makna dan
hukum-hukum dari segi situasi atau problematika yang muncul, yang memang
memerlukan pemecahan. Kaidah-kaidah umum ini tidak berarti menunjukkan
bahwa Islam sesuai dengan setiap saat dan setiap zaman. Ini hanya berarti
bahwa kaidah dan garis petunjuk Islam bisa menemukan solusi untuk
memecahkan berbagai macam permasalahan menurut pandangan kaidah-
kaidah itu sendiri serta apa saja yang diindikasikan oleh ungkapannya secara
tekstual (mantûq) maupun kontekstual (mafhûm), bukannya menurut pada
pandangan yang dipegang oleh manusia pada zaman atau masa tertentu.
Segala upaya untuk menciptakan keselarasan antara Islam dan dunia
modern ini jelas membawa pengertian bahwa dakwah Islam harus ditinggalkan,
sementara pemikiran-pemikiran kufur harus disebarkan sehingga kaum Muslim
diseru untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran tersebut.
Dunia modern tidaklah harus dilihat dari segi industri dan inovasinya
serta dari ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuannya. Sangat jelas bahwa
faktor-faktor tersebut bukan merupakan pokok persoalan konflik di dunia.
Artinya, tidak ada keperluan untuk menciptakan keselarasan antara Islam dan
perkara-perkara tersebut. Sebenarnya, ajakan untuk menciptakan keselarasan
antara Islam dan dunia modern harus dipandang dari segi ideologi dan sistem
kehidupan yang dibawa oleh dunia modern. Bagi kaum Muslim, ini berarti
bahwa mereka harus hidup sesuai dengan pandangan hidup Barat dan
menggunakan sistem kapitalis untuk memecahkan persoalan yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Inilah gambaran dunia modern yang menjadi arena
konflik antara kaum Muslim dan orang-orang kafir Barat. Dunia modern berarti
kapitalisme, termasuk demokrasi, hukum perdata (civil law), dan sebagainya.
Dalam pandangan Islam, semua ini merupakan kekufuran yang harus diserang
dan dihapuskan dalam rangka menegakkan hukum Islam dan menjadikan
sistem Islam sebagai satu-satunya referensi dalam memecahkan problematika
yang dihadapi umat manusia di dunia saat ini. Sebagai kaum Muslim kita harus
menjadikan apa yang dipandang sebagai ideologi Islam bisa menggantikan
ideologi Barat. Jadi, bagaimana mungkin seorang Muslim berpikir untuk
menciptakan keselarasan antara dirinya dan sesuatu yang kufur, yang
seharusnya dia perangi hingga hilang dan kedudukannya diganti oleh Islam?

Inilah realitas misi yang dibawa oleh gagasan ‘penyelarasan’ tersebut dan
semua bahayanya. Akan tetapi sayangnya, semua gagasan tersebut telah
mendominasi umat Islam saat ini secara luas hingga mencapai tingkat di mana
umat berusaha menginterpretasikan Islam dengan cara yang meyakinkan, yakni
bahwa Islam selaras dengan pandangan kapitalisme Barat. Inilah kekalahan
menghancurkan yang menimpa kaum Muslim, sekaligus menunjukkan
kemenangan luar biasa yang diperoleh oleh orang-orang kafir atas kaum
Muslim. Sejak orang-orang kafir berhasil mengalahkan kaum Muslim dan
menghancurkan Daulah Islam, arah rangkaian sejarah pun berubah. Sejak itu
pula, kekuasaan dunia berpindah dari tangan kaum Muslim kepada orang-
orang kafir, yakni dari sistem Islam ke sistem kapitalis. Akibat kekalahan yang
diderita kaum Muslim karena tantangan Barat itu, keretakan dan kerusakan
mulai muncul dalam kepercayaan yang selama ini ada dalam diri kaum Muslim
terhadap pemikiran dan hukum-hukum Islam. Pertanyaan-pertanyaan pun
muncul berkaitan dengan kelayakan syariat Islam dalam memecahkan
problematika yang ada pada zaman modern dan kemampuan Islam untuk
menyesuaikan diri dengan masa sekarang ini. Inilah awal kelemahan yang
menyerbu entitas kaum Muslim. Hal ini karena yang disebut dengan umat
adalah kumpulan manusia yang disatukan oleh sebuah akidah rasional (‘aqîdah
‘aqliyyah) yang melahirkan sistem yang akan mengatur urusan-urusan
masyarakat dan manusianya. Manusia dalam sebuah umat diikat oleh
sekumpulan konsep, keyakinan, atau standar hidup yang diperoleh dari
akidahnya. Oleh karena itu, apabila keraguan mulai tampak terhadap semua
konsep dan keyakinan tersebut, maka hal ini akan membawa keraguan juga
terhadap entitas negara, dan akhirnya akan memukul negara itu dengan
kemunduran dan kehancuran. Inilah yang sebenarnya terjadi dan di alami kaum
Muslim sebagai akibat dari keraguan mereka terhadap akidah Islam dalam
waktu hampir satu abad.

Ketika orang-orang kafir kehilangan harapan untuk mengalahkan Daulah


Islam melalui kekuatan militer, mereka memiliki pandangan bahwa tentara
Daulah Islam tidak dapat dikalahkan. Lalu orang-orang kafir mengambil arah
yang berbeda (menggunakan cara lain) untuk menyerang kaum Muslim, yakni
dengan menggunakan pemikiran-pemikiran Barat untuk menggoyahkan
kepercayaan kaum Muslim terhadap Islam dan melakukan infiltrasi ke dalam
untuk menghancurkan Daulah Islam. Penyerangan terhadap entitas umat ini
telah membawa pada penyerangan terhadap entitas Daulah Islam sehingga
membawa pada lemahnya entitas Daulah sekaligus menjadikan kehancurannya
berlangsung terus-menerus dan tidak terelakkan lagi.

Untuk mencapai tujuan-tujuan mereka itu, orang-orang kafir


mengarahkan serangan pemikiran dengan menggunakan kelompok misionaris,
gerakan-gerakan bawah tanah yang amat rahasia, sekolah-sekolah, rumah
sakit-rumah sakit, selebaran-selebaran, dan buku-buku. Pada awalnya, mereka
menjadikan Malta sebagai pusat kegiatan. Pada tahun 1625 M, mereka
berpindah ke Beirut dan menggunakannya sebagai basis operasi. Mereka juga
mulai bekerja di Istambul dan menggunakannya sebagai basis lain untuk
beroperasi. Kedutaan Inggris dan Perancis bergerak dengan giatnya dan
bekerjasama dengan institusi Amerika, seperti Pusat Pendidikan Protestan,
yang kemudian dikenal dengan Universitas Amerika di Beirut. Ini merupakan
aktivitas kedutaan Inggris dan Perancis di Istambul, Damaskus, Beirut, dan Kairo
yang sangat menggila. Mereka menjadikan setiap bagian masyarakat sebagai
target mereka, tetapi mereka lebih mengkonsentrasikan diri dalam bidang
politik dan pemikiran, sehingga banyak mahasiswa yang mengikuti kuliah di
pusat pendidikan dan universitas-universitas mereka. Banyak pula ilmuwan
yang memiliki kedudukan di ketentaraan dan pemerintahan yang tertarik
dengan Barat. Hal ini menimbulkan kecintaan akan kebudayaan dan legislasi
Barat dalam hati kaum Muslim. Pada saat yang sama, hal itu memunculkan
keraguan dalam akal kaum Muslim terhadap kelayakan Islam pada zaman
modern ini. Kaum Muslim ingin memperoleh manfaat dari buah peradaban
Barat, walaupun mereka mengklaim bahwa hal itu dalam rangka memelihara
Islam dan melindunginya. Semua permasalahan itu mulai menelan tubuh umat
dan sekaligus menelan tubuh Daulah Islam. Daulah Islam mulai berubah dari
tahap ekspansi menjadi tahap stagnasi (jumud) dan kemunduran. Peran umat
pun berubah dari mengemban dakwah Islam menjadi pengemban seruan yang
diinginkan oleh orang-orang kafir (menyerukan kekufuran). Inilah tanda
kelemahan yang jelas dan telah menyebar di kalangan umat ini sekaligus mulai
merobohkan bangunan Daulah Islam.

Lingkaran politik dan pemikiran dimainkan sebagai sebuah peran yang


efektif dengan cara mengikuti instruksi dari negara-negara kafir. Ketika
permasalahan tersebut menghebat dan negara-negara Barat, terutama Inggris
dan Perancis, meyakini bahwa kerusakan telah timbul di dalam tubuh umat
Islam dan menyebar luas di dalam Daulah Islam, mereka pun mulai
melancarkan manuver militer di wilayah provinsi Daulah Islam dan
menguasainya satu-persatu. Kerakusan pun tampak pada negara-negara Eropa.
Jerman dan Rusia pun memutuskan untuk melibatkan diri dalam menuver ini.
Dengan mengabaikan perbedaan yang ada di antara negara-negara tersebut
tentang cara bagaimana membagi provinsi Daulah Islam itu akan dilaksanakan,
mereka semuanya sepakat untuk menghapuskan dan menghancurkan sistem
Islam. Karena itulah, mengapa mereka seluruhnya memberikan tekanan serius
sehingga mampu memaksa Khalifah untuk meninggalkan sistem Islam dalam
bidang pemerintahan, kemasyarakatan, dan politik; sekaligus memaksanya
untuk menerapkan legislasi Barat dalam bidang hukum, sistem kapitalis dalam
bidang ekonomi, dan sistem demokrasi dalam bidang pemerintahan. Lalu
diselenggarakanlah Konferensi Berlin pada tahun 1850 di antara negara-negara
kafir Barat. Hadir di antara mereka pimpinan negara kafir, seperti Inggris yang
diwakili oleh perdana menterinya waktu itu, seorang Yahudi yang bernama
Disraeli, dan Jerman yang diwakili oleh Kanselir Bismarck. Para peserta
konferensi sepakat untuk mengirimkan sebuah memorandum kepada Khalifah
di Istambul, menuntutnya agar meninggalkan sistem Islam dan mengadopsi
sistem yang didasarkan pada civil law (hukum perdata) sebagai gantinya.
Memorandum ini disusun dengan bahasa yang tajam dan dikirimkan dengan
nada ancaman. Pada saat memorandum ini diserahkan kepada Khalifah, orang-
orang berpendidikan dan para politisi terkemuka mulai aktif bekerja
menyerukan ditegakkannya sistem civic law ini yang bisa sejalan dengan
zaman. Hal ini mempengaruhi Khalifah. Opini publik pun muncul di lingkungan
orang terpelajar dan politisi agar hukum-hukum syariat (al-ahkâm asy-
syar‘iyyah) dihapuskan dan diganti dengan legislasi Barat. Mereka tidak sabar
lagi untuk menunggu.

Pada tahun 1275 H (1858 M), undang-undang pidana Utsmani dibuat.


Tahun berikutnya (1859 M), rancangan undang-undang perdagangan
diperkenalkan. Tahun 1286 H (1868 M), Majalah Syariah (dikenal dengan
sebutan al-Majalla-pen) dijadikan sebagai undang-undang (qanûn) dalam
bidang muamalat, karena para ulama tidak dapat menemukan justifikasi atas
pengenalan hukum perdata (civil law) sebagaimana yang telah mereka lakukan
pada undang-undang sebelumnya. Mereka mengesampingkan civic law (al-
qanûn al-madani) untuk sementara waktu dan menggunakan Majalah Syariah
sebagai langkah awal untuk memfasilitasi penyesuaian dari hukum syariat ke
civic law. Karena itu, hukum-hukum syariat tidak diletakkan di atas asas “kuat
atau tidaknya dalil”, tetapi diletakkan atas dasar “apakah sesuai atau tidak
dengan undang-undang sipil Perancis”.

Pada tahun 1288 H (1870 M) pengadilan Daulah Islam telah dipecah


menjadi dua, pengadilan syariah dan pengadilan resmi (sipil). Sistem hukum
pun diterapkan atas keduanya. Pada tahun 1295 H (1877 M), rancangan
undang-undang diperkenalkan untuk memodifikasi struktur peradilan hukum.
Pada tahun 1296 H (1878 M), diterapkan sebuah undang-undang mengenai
prinsip hak individu dan tuntutan pidana. Dengan begitu, undang-undang Barat
telah mengambil-alih peran syariat Islam. Ketika orang-orang terpelajar itu
melakukan hal tersebut, mereka merasa khawatir dengan arus opini publik
Islam. Apalagi realitas menunjukkan bahwa Islam merupakan asas tegaknya
Daulah Islam di arena internasional dan Dunia Islam. Oleh karena itu, mereka
mengadopsi hukum-hukum yang telah diadopsi dan fatwa-fatwa yang telah
dikeluarkan seraya mengklaimnya sebagai undang-undang Islam. Akan tetapi,
tindakan ini tidak diperlukan di Mesir yang waktu itu dipimpin oleh Muhammad
Ali dan anaknya; keduanya adalah agen Perancis. Undang-undang sipil Mesir
telah disalin dari undang-undang sipil Perancis dalam bahasa Perancis yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk diberikan justifikasi. Dari
segi praktis, legislasi Barat telah menggantikan kedudukan syariat secara
efektif, sehingga tidak ada satu pun yang tertinggal dari Daulah Islam kecuali
hanya namanya saja. Pemikiran dan konsep Barat telah mendominasi akal para
pemikir, orang-orang terpelajar, serta para politisi dan lingkungan mereka
secara keseluruhan. Oleh karena itu, kehancuran Daulah Islam secara pasti
akan terjadi, dan itu tinggal masalah waktu saja.

Semua ini terjadi karena umat Islam telah melepaskan hukum-hukum


Islam yang berkaitan dengan pemerintahan dan kehakiman, juga karena
guncangnya kepercayaan umat akan kemampuan Islam untuk menyelesaikan
berbagai problem zaman modern dan bergerak sejalan dengan waktu. Selain
itu, orang-orang yang memiliki tanggung jawab untuk menerapkan Islam mulai
memandang perlunya menginggalkan sistem Islam dan mengadopsi sistem
kapitalis sebagai gantinya. Tidak ada yang tersisa dalam benak mereka kecuali
hanya masalah cara pengadopsian ini. Dengan demikian, kejatuhan Daulah
Islam dan terhapusnya sistem Khilafah tidak terjadi secara tiba-tiba. Keadaan
umat sampai pada tingkat titik kritisnya hingga suatu saat Syarif Hussein—yang
mengaku sebagai keturunan dari puteri Rasulullah saw dan dia memegang
otoritas imârah di Hejaz—mengumumkan perang terhadap Khalifah dari kota
suci Makkah, sebuah kota tempat Baitullah yang suci berada. Dia mengambil
langkah untuk melakukan peperangan ini di samping negara kafir Inggris—ada
di pihak Inggris. Tidak ada seorang pun dari umat ini yang mencela perbuatan
Syarif Hussein ini.

Jelaslah bahwa berbagai macam situasi, sebagaimana yang telah


digambarkan di atas, tidak akan timbul jika Islam masih mengontrol dan
mendominasi pemikiran umat. Keadaan yang lebih buruk lagi terjadi. Mustafa
Kemal, seorang pimpinan militer Utsmani, mengadakan pemberontakan
terhadap Khalifah dan mendirikan pemerintahan separatis di Ankara. Kemal
memerangi Khalifah dan mengalahkannya, lalu menghapus sistem Khilafah dari
kehidupan kaum Muslim. Kendatipun begitu, tidak ada seorang pun dari umat
ini yang berani menentang Kemal atau mengerahkan kaum Muslim untuk
membantu Khalifah memerangi Kemal. Sebaliknya, umat malah berpihak
kepada Kemal dan sedikit sekali yang menentangnya. Tidak terelakkan lagi,
Khalifah pun jatuh dan sistem Khilafah dihapuskan dari urusan-urusan
kehidupan.
Akankah semua ini terjadi seandainya Islam masih mendominasi
pemikiran dan perasaan umat? Wajarlah untuk diperkirakan bahwa
terhapusnya sistem Khilafah dari dunia ini—sementara kewaijban memelihara
dan melindungi sistem ini bagi kaum Muslim sama pentingnya dengan
memelihara akidah Islam—akan menyebabkan ledakan hebat pada Dunia Islam
dan seluruh umat. Akan tetapi, realitas yang terjadi adalah sebaliknya; tidak
ada satu reaksi pun dari kaum Muslim atas keruntuhan Khilafah. Tidak ada
pergolakan untuk menolak hal itu kecuali hanya oleh individu-individu di negeri
Turki, yang tidak berkembang menjadi sebuah gerakan massa, dan hanya
berasal dari invidu-invidu yang tidak berarti di Tanah Arab. Sebaliknya, bangsa
Arab malah mendukung sang pengkhianat besar Syarif Hussein dan anak-
anaknya, yakni Faisal dan Abdullah, yang menganggkat senjata memberontak
Khalifah dan berperang bersama tentara Inggris menyerang Daulah Islam.
Mereka bergabung dengan orang-orang kafir untuk memerangi dan
membunuh kaum Muslim. Negeri-negeri Arab berdiri di pihak keluarga Syarif
Hussein dan mendukung mereka tanpa menunjukkan perasaan apa pun atas
terhapusnya sistem Khilafah. Perasaan itu hanya muncul pada beberapa
individu di negeri Mesir dan dimanifestasikan dalam bentuk syair-syair dan
dengan mengadakan sebuah konferensi mendukung Khilafah pada tahun 1924
M, tahun dihapuskannya sistem Khilafah. Ada juga segelintir kaum Muslim dari
India yang menunjukkan perasaan terdalamnya atas peristiwa terhapusnya
sistem Khilafah. Syauqi rahimahullâh adalah seorang penyair Mesir. Ia
menumpahkan perasaannya dalam bentuk puisi sebagai ratapan atas hilangnya
sistem Khilafah, yang dia tuliskan sebagai berikut:

Nyanyian pesta pernikahan telah kembali pada gema pagi hari


Kematianmu telah diumumkan dengan segala pertanda
kegirangan
Engkau telah dikafani oleh gaun indah pada malam pernikahanmu
Dan dimakamkan pada saat pagi menyingsing
Untuk diantarkan pada kengerian pekuburan, dengan air mata
seseorang yang tertawa
Di setiap penjuru, dengan nyanyian mabuk seorang yang jaga
Menara-menara dan semua mimbar berteriak untukmu
Kerajaan dan segenap wilayahnya menangisimu
India merasa bingung dan Mesir pun murung
Seraya menangis dengan air mata yang mengalir deras
Syam, Irak, dan Persia bertanya-tanya
Adakah orangnya yang menghapus Khilafah dari negeri kami?
Segenap petinggi dan budiman menghadiri pemakamanmu
Seraya duduk di atas singgasana pagi
Wahai lelaki, lihatlah putri yang telah dilahirkan secara mulia ini
Dia telah terbunuh tanpa dosa dan kesalahan.

Setelah itu, Syauqi menggambarkan bahwa mereka yang memerangi


musuh kaum Muslim telah membantu duka yang menimpa Khilafah.
Perdamaian yang mereka buat dengan sekutu telah membawa pada terbunuh
dan terhapusnya Khilafah. Dengan tangan mereka sendiri, mereka telah
menyobek pakaian kebesaran mereka serta melepaskan perhiasan terindah
yang ada pada leher mereka. Dengan sekejap saja—yang lebih cepat dari
kedipan mata—mereka menghancurkan keagungan zaman yang telah mereka
bangun berabad-abad. Dia mengatakan:

Mereka yang peperangannya telah mengobati luka yang kau derita


Perdamaian yang mereka lakukan telah membunuhmu tanpa
goresan luka
Dengan tangannya sendiri, mereka telah menyobek pakaian kebesaran
Yang dulu disulam dengan panji sang penakluk
Mereka telah merenggut perhiasan terindah yang ada di lehernya
Dan menghilangkan selendang terbaik dari bahunya
Penghargaan itu, setelah berlalu dan ada sekian lama
Telah luruh dengan tiba-tiba

Kemudian Syauqi berbicara tentang ikatan Khilafah dan bagaimana kini


ikatan itu telah putus dan pecah. Padahal, ikatan tersebut merupakan pengikat
terbesar yang bisa menyatukan dua saudara dan mengikat masing-masing jiwa
mereka. Khilafah telah mengatur kaum Muslim dalam satu sistem dan
menyatukan mereka dalam satu barisan dalam keadaan apa pun. Dia
menunjukkan bahwa tindakan penuh dosa itu (penghancuran Khilafah) tidak
bisa dilakukan kecuali oleh orang yang keji dan buruk yang tidak memiliki rasa
malu sedikitpun. Lalu dia menyatakan:

Ikatan yang alasan dan penyebabnya telah pecah itu


Adalah pengikat terbaik di antara jiwa-jiwa
Ia telah menghimpun kebaikan pada mereka yang hadir dan mungkin
juga
Dihimpunnya kebaikan itu pada rahasia mereka yang tidak ada
Diaturnya barisan dan langkah orang Islam ini
Dalam setiap kaki yang pergi dan pulang usai Jumat
Shalat pun menangis dan ini adalah tipudaya seorang penggesek biola
Kepada syariat, penentangan putusan hukum, dan sebuah tingkah
biadab.

Selanjutnya, Syauqi mengumumkan bahwa apa yang dilakukan oleh


manusia berdosa dan jahat ini tiada lain merupakan sebuah kekufuran yang
nyata, yakni kekufuran yang dilakukan secara terang-terangan. Dalam hal ini
Syauqi merujuk pada sebuah hadits Nabi saw ketika sahabat bertanya kepada
beliau, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengumumkan perang terhadap
mereka?”
Beliau menjawab, “Jangan, selama mereka mendirikan shalat (yakni
menjalankan sistem hukum Islam-pen) pada kalian, dan kecuali jika kalian
melihat kekufuran yang nyata.”
Syauqi berpendapat bahwa perilaku keji lelaki ini (Kemal) dengan
menghancurkan Khilafah adalah tergolong kekufuran yang nyata (kufran
bawâhan), yang kepadanya perang harus dinyatakan. Dia mengatakan:

Fatwa yang dia berikan adalah olokan dusta dan apa yang dia katakan
adalah kebatilan belaka
Dia datang ke negeri ini membawa kekufuran yang nyata

Kemudian Syauqi menyalahkan orang Turki, karena mereka berdiam diri.


Dia mengatakan tentang mereka, bahwa merekalah yang menjadikan Khilafah
dihapuskan dari tengah-tengah mereka dan mereka tidak mengerti betapa
mencoloknya peristiwa itu, padahal mereka dilahirkan hanya untuk berperang.
Mereka hanya berbicara tentang perang dan hanya mengerti bahasa perang.
Syauqi memilih untuk mendiskreditkan ketidakpahaman mereka atas peristiwa
yang mengerikan ini, lalu dia berkata:

Mereka yang disahkan oleh pemahamannya


Telah dilahirkan hanya untuk memahami perang dan senjata saja
Jika mereka berbicara, mereka berbicara sebagai pertempuran yang
membisu
Jika diseru, mereka mendengar dengan lembing yang tak sanggup
bicara

Syauqi kemudian mencari alasan untuk menyerang Mustafa Kemal,


seseorang yang dulu sering dia puji. Ini karena dia percaya bahwa kebenaran
itu lebih sakral daripada manusia sehingga lebih pantas untuk didukung, dan
lelaki itu, bagaimanapun tingginya kepribadian yang dia miliki, bisa dikalahkan
ketika diserang oleh kebenaran.

Aku meminta maaf pada Akhlaq karena aku tidak berterima kasih
kepada seseorang yang dulu biasa aku bela
Mengapa aku melilitkan kesalahan padanya, walaupun sering
Kuserahkan segenap pujian terbaik baginya.
Dia adalah pilar penopang kerajaan dan benteng pembela negara
Dialah pahlawan perang teragung dan domba jantan dari arena
pertarungan banteng dengan manusia
Akankah kukatakan pada seseorang yang membangkitkan komunitas
ateis
Akankah kukatakan pada seseorang yang mengembalikan hak-
hak anarkis
Kebenaran itu lebih sakral daripada teman penolongmu
Juga lebih berharga untuk dijunjung dan diperjuangkan daripada
kamu
Karena itu pujilah manusia dan salahkan mereka demi kebenaran
Atau janganlah ikut berdiri memberi nasihat dan saran
Banyak manusia yang jika kamu berangkat untuk menghancurkan
mereka
Mereka sangat besar bagai raksasa dengan bahu lebar yang kasar
Tapi jika kamu lemparkan kebenaran pada tubuh raksasa mereka
Dia akan meninggalkan arena dengan badan penuh luka

Kemudian Syauqi meminta untuk memberikan nasihat kepada Mustafa


Kemal agar dia mau bertobat dari dosanya, karena Kemal telah menghapuskan
Islam sebagai sebuah akidah dan syariat dari pemerintahan Daulah Islam dan
urusan-urusan kehidupan sekaligus menggantinya dengan sistem kapitalis yang
kufur, legislasi Barat, dan akidah pemisahan agama dari urusan-urusan
kehidupan. Syauqi menyatakan:

Tawarkan nasihat pada al-Ghazi yang semoga saja diterimanya


Sesungguhnya kuda pacuan akan kembali setelah tantangan
Harga diri menyiram sang presiden dengan anggurnya
Bagaimana mungkin ia jadi kecerdikanmu dengan seseorang yang
kecanduan botol
Dia telah memindahkan undang-undang dan akidah
Sedang manusia seperti batalyon yang di bawa ke tengah lapang,

Kemudian Syauqi menyerang bangsa Turki karena mereka telah


membiarkan Mustafa Kemal bebas berbuat apa saja yang dia inginkan. Mereka
telah mengangkatnya pada derajat Tuhan dalam penyembahan dan
memberikan kepadanya kebebasan untuk memerintah mereka hingga dia
mengikuti hawa nafsu dengan melakukan segala sesuatu yang dilarang oleh
Allah Swt. Apa yang telah membuat Kemal terpesona adalah kesetiaan dan
kepatuhan massa kepadanya. Hal ini terjadi karena umat Islam tidak memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi dan karena ketidaktahuan mereka sehingga
menjadikan mereka tidak mampu menghargai tingginya kejayaan. Umat tidak
dipersiapkan untuk mati membela kejayaan itu dan mereka juga tidak
mengetahui kejayaan kecuali sebagai sebuah khayalan belaka. Syauqi
meneruskan:

Sang Ibu telah meninggalkannya sebagai seorang hantu yang alim


Dia tidak bertanya lagi setelah penyembahan pada hantu itu
dilakukan
Mereka memberinya kebebasan mengambil alih mereka laksana seorang
kaisar
Hingga dia melakukan segala yang batil
Kepatuhan massa telah membuatnya terpesona dan sebuah negara
Mayoritas menemukan cinta kepuasan
Jika kamu mengambil kejayaan dari umat
Dia tidak akan diberi kecuali hanya pancaran khayal

Akhirnya, Syauqi menyimpulkan puisinya dengan mengingatkan kaum


Muslim akan akibat dari hancurnya Khilafah. Dia juga melarang kaum Muslim
untuk memberikan Khilafah kepada Syarif Hussein karena dia telah
mengkhianati kaum Muslim dengan cara berperang di pihak Inggris melawan
tentara Daulah Islam. Kemudian Syauqi menawarkan sebuah ramalan tentang
apa yang akan terjadi sekarang setelah Khilafah dihancurkan. Dia mengingatkan
akan banyaknya penyeru kebatilan dan kekufuran yang bertujuan
menyimpangkan kaum Muslim dari agama Islam. Kaum Muslim akan melihat
pada setiap sudut negeri-negeri Islam sebuah bujuk-rayu yang ditawarkan
kepada mereka agar mereka meninggalkan Islam dan menyimpang dari
kebenaran ke kebatilan, dari terangnya hidayah ke dalam gelapnya kesesatan.
Bukti (burhân) yang harus diikuti oleh setiap orang akan berupa harta atau
intimidasi. Dengan kata lain, berupa janji dan ancaman, wortel atau tongkat,
dan sebagainya. Dia memulai bait ini dengan menyatakan dukungannya kepada
Khalifah di sepanjang hayatnya dan kemudian dia datang membawa
ramalannya seraya menyatakan:
Adakah seseorang yang ingin mengungkapkan sepatah kata pada kaum
Muslim?
Tiada satu pun yang mengilhaminya kecuali ia menjadi nasihat
Masa Khilafah yang kutemui adalah yang pertama yang harus
kupertahankan
Wewenangnya dengan setetes tinta ada dalam penjagaan
Dan ada dalam kecintaan pada Allah sehingga wewenang itu akan terus
ada
Dalam kecintaan akan kebenaran itu sendiri dan akan perbaikan
Sesungguhnya aku adalah lampu dan tidak akan pernah hilang
Hingga aku seperti ngengat yang dihela pada lidah api
Ekspedisi Adham telah dinobatkan dengan kata-kataku
Penaklukan Anwar telah dijelaskan dalam bait-bait puisiku
Pedang mereka telah pergi dan lembing mereka pun telah berpisah
Dan penaku terbang meninggi yang tidak pernah akan berhenti
Jangan berikan gaun Nabi ini pada dia yang tidak cakap
Seorang tak berdaya, yang hanya bergantung pada anggur
Di masa lalu dia telah membuat kaum Muslim lemah karena luka
Dan hari ini, dia mengulurkan pada mereka tangan-tangan tukang
bedah
Kamu akan mendengar di setiap penjuru negeri adanya seseorang yang
menyeru
Pada sang pendusta Musailamah atau pada Sija’ah
Dan kamu akan saksikan pengadilan yang ada di setiap negeri
Di mana agama akan dijual dengan harga murah
Banyak fatwa diberikan karena emas Muiz dan pedangnya
Dan demi tingkah jiwa dan kedengkian yang berkelanjutan

Syauqi merujuk kepada Muiz ad-Din li Dinillah al-Fathimiy, yang pada


saat memasuki Kairo, dia merentangkan emas dan pedang seraya menangis
keras, “Ini adalah kebesaranku dan ini adalah nasabku!”
Lalu orang-orang menangisi beliau, “Engkau adalah anak dari putri
Rasulullah.”
Syauqi mengatakan dalam bait terakhir puisinya bahwa fatwa akan
diberikan atas dasar itu, yakni harta dan ketakutan.
Kepercayaan ini, yang menunjukkan pada penderitaan terdalam di lubuk
hati atas dihapuskannya Khilafah, ada pada beberapa orang dalam jumlah yang
mencapai ratusan hingga ribuan orang. Akan tetapi, individu-individu itu
hanyalah individu belaka. Jumlah itu tidak ada artinya pada umat Islam untuk
memiliki Khilafah kembali. Dihapuskannya Khilafah telah membawa
kehancuran Daulah Islam serta hilangnya Islam dari kehidupan politik dan
masyarakat seluruh dunia. Sekalipun begitu, ini tidak menumbuhkan perasaan
sedikitpun untuk menggerakkan umat Islam. Semua ini mengindikasikan
luasnya perpecahan yang terjadi di dalam tubuh umat Islam. Dengan
hancurnya Khilafah, orang-orang kafir kemudian mulai memerintah kaum
Muslim dengan menerapkan sistem kapitalis di negeri-negeri Islam dan
menempatkan orang-orang yang mereka pilih di antara kaum Muslim untuk
menjadi penguasanya. Para penguasa itu memiliki rasa permusuhan yang besar
terhadap Islam daripada orang-orang kafir itu sendiri, dan mereka senantiasa
berupaya memusnahkan Islam.
Setelah beberapa dekade berlalu, umat Islam masih berada di bawah
otoritas orang-orang kafir. Pengaruh dan kekuatan orang kafir telah mencapai
tingkat di mana umat Islam telah begitu dekat dengan kehancuran; yang
tertinggal antara umat dan kehancuran itu hanyalah masalah waktu saja. Satu-
satunya yang bisa menyelamatkan umat sekarang ini hanyalah dengan
turunnya rahmat Allah Swt, karena umat tidak memiliki apa pun yang berasal
dari Islam. Bukankah pemisahan agama dari kehidupan telah menjadi sebuah
opini publik yang mengungkung hampir seluruh bagian masyarakat tanpa
pandang bulu; baik itu politisi atau masyarakat umum, golongan berpendidikan
ataupun yang buta huruf, tua ataupun muda? Semuanya berpegang pada
pemisahan agama dari urusan kehidupan sebagai sebuah opini publik.
Akidah pemisahan agama dari urusan negara merupakan akidah kufur,
dan siapa saja yang mempercayainya dianggap murtad dari Islam. Hal ini
dibuktikan oleh firman Allah Swt:
ُ‫اح ُك ْم َب ْيَن ُه ْم بِ َما أَْن َز َل اهلل‬ ِ
ْ ‫ َوأَن‬
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah. (TQS. al-Maidah [5]: 49)

Mengingkari ayat di atas dianggap sama dengan ingkar kepada ayat


berikut ini.
‫الصالَ َة‬
َّ ‫يموا‬ِ
ُ ‫ َوأَق‬
Dirikanlah shalat. (TQS. al-Baqarah [2]: 110)

‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِد َي ُه َما‬


َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫ َو‬
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.
(TQS. al-Maidah [5]: 38)

َّ ‫ َو َءاتُوا‬
َ‫الز َكاة‬
Berikanlah zakat. (TQS. al-Baqarah [2]: 110)

Jelaslah bahwa akidah pemisahan agama dari kehidupan merupakan


perbuatan yang mengkufuri nash-nash yang berkaitan dengan hukum
pemerintahan dan kekuasaan serta ayat-ayat yang berkaitan dengan sanksi
(‘uqubât) dan muamalat; hanya mengimani ayat-ayat yang berkaitan dengan
akidah dan ibadah saja. Allah Swt berfirman:

ُّ ‫ْحيَ ِاة‬
‫الد ْنيَا َو َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة ُي َردُّو َن‬ ِ ‫ك ِم ْن ُكم إِالَّ ِخ ْز‬
َ ِ‫ ذَل‬#‫ض فَ َما َج َزاءُ َم ْن َي ْف َع ُل‬
ٍ ‫اب َوتَ ْك ُف ُرو َن بَِب ْع‬ ِ ‫أَ َفُت ْؤِمنُو َن بَِب ْع‬
ِ ‫ض ال‬
ِ َ‫ْكت‬
َ ‫ي في ال‬
ٌ ْ

ِ ‫إِلَى أَ َش ِّد ال َْع َذ‬


‫اب‬
Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari
sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di
antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, sementara
pada Hari Kiamat mereka dikembalikan ke dalam siksa yang sangat
berat. (TQS. al-Baqarah [2]: 85)

‫ض َويُ ِري ُدو َن أَ ْن‬ ٍ ‫اهلل َو ُر ُسلِ ِه َو َي ُقولُو َن نُ ْؤِم ُن بَِب ْع‬
ٍ ‫ض َونَ ْك ُف ُر بَِب ْع‬ ِ ‫اهلل ورسلِ ِه وي ِري ُدو َن أَ ْن ي َف ِّرقُوا ب ْين‬
َ َ ُ
ِ
ُ َ ُ ُ َ ِ‫ين يَ ْك ُف ُرو َن ب‬
ِ َّ
َ ‫إِ َّن الذ‬
‫ك ُه ُم الْ َكافِ ُرو َن َح ًّقا‬ َ ِ‫َّخ ُذوا َب ْي َن ذَل‬
َ ِ‫ أُولَئ‬ ً‫ك َسبِيال‬ ِ ‫يت‬
َ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya dengan
mengatakan, “Kami mengimani sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami
mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud (dengan perkataan
itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir).
Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. (TQS. an-Nisa’
[2]: 150-151)

Di samping pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) secara


praktis telah dilakukan oleh umat Islam. Ide ini pun telah menjadi opini publik
di tengah-tengah mereka. Artinya, jamaah kaum Muslim sebagai sebuah
komunitas di setiap tempat telah mulai melihat pengaruh ide ini, dan ide ini
telah menjadi opini publik. Sekalipun banyak individu yang tidak menerima ide
pemisahan ini, mereka telah memandangnya sebagai sebuah pandangan yang
diyakini manusia. Lebih dari itu, bukankah ikatan yang ada di antara kaum
Muslim telah menjadi sebuah ikatan atas dasar pertemanan, ketetanggaan, dan
kemaslahatan saja? Bukankah ikatan atas dasar ukhuwah Islamiyah di antara
kaum Muslim telah hilang, dan opini publik kaum Muslim yang berbeda-beda
negerinya tidak lagi merujuk pada ikatan ukhuwah Islamiyah ini?
Sekarang ini tidak ada seorang pun yang berbicara tentang ikatan
ukhuwah Islamiyah kecuali hanya segelintir orang saja. Padahal, hanya ikatan
inilah, bukan yang lain, yang akan bisa menyatukan kaum Muslim. Allah Swt
berfirman:

ٌ‫إِنَّ َما ال ُْم ْؤِمنُو َن إِ ْخ َوة‬


Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. (TQS. al-Hujurat
[49]: 10)

Rasulullah saw bersabda juga bersabda:

»‫«اَل ُْم ْسلِ ُم أَ ُخ ْو ال ُْم ْسلِ َم‬


Seorang Muslim itu adalah saudara bagi seorang Muslim lainnya.

Persoalannya tidak berhenti sampai di sini. Ikatan yang ada di antara


mereka malah dibangun atas dasar ikatan patriotisme (wathaniyyah) dan
nasionalisme (qawmiyyah). Apakah juga tidak menjadi masalah ketika kaum
Muslim mulai menerima pandangan bahwa orang Turki yang berada Syria
sebagai orang asing, orang Iran di Libanon sebagai orang asing, dan orang India
di Hijaz juga sebagai orang asing? Akibatnya, kaum Muslim di negeri Islam yang
berbeda bisa menjadi orang-orang asing. Apakah kaum Muslim tidak
terprovokasi oleh seruan patriotisme, sehingga perasaan mereka bisa berkobar
atas seruan ini, sementara tidak ada perasaan apa pun atas seruan untuk
mengembalikan Khilafah dan hukum-hukum Islam? Bukankah kaum Muslim
berhasil diyakinkan bahwa menghadapi kaum Nasrani dan memanggilnya
sebagai seorang kafir merupakan sesuatu yang tidak layak dan harus
menganggapnya sebagai salah seorang dari warga bangsa sendiri, padahal
sebuah firman Allah Swt jelas menyatakan:

ِ ِ َّ
ُ ‫ين قَالُوا إِ َّن اهللَ ُه َو ال َْمس‬
‫يح ابْ ُن َم ْريَ َم‬ َ ‫لََق ْد َك َف َر الذ‬
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya
Allah ialah al-Masih putera Maryam.” (TQS. al-Maidah [5]: 72)

Sekarang ini, bukankah jihad dianggap sebagai perang defensif saja dan
bukan sebagai perang opensif untuk menyebarkan Islam dengan menggunakan
senjata? Bukankah “berhukum dengan sistem kufur”, “bersikap netral di antara
negara-negara bangsa”, “politik itu hanyalah sebagai kebohongan dan muslihat
belaka”, “Islam demokrat”, “sosialisme dalam Islam”, dan banyak konsep
lainnya merupakan konsep yang begitu dominan di kalangan kaum Muslim
sekarang ini; padahal Islam telah menganggapnya sebagai kekufuran?
Bukankah tolok ukur kaum Muslim telah berubah dari hukum syariat menjadi
manfaat, dan tolok hukum syariat pun berubah dari dalil syariat menjadi
standar maslahat belaka? Bukankah rasio atau akal manusia telah menjadi
tolok ukur kebaikan dan keburukan; bukannya syariat yang dijadikan tolok
ukur, malah syariat harus tunduk pada akal? Bukankah tolok ukur rasa
permusuhan terhadap negara Barat hanya didasarkan atas keadaan mereka
sebagai penjajah, bukannya sebagai bangsa kafir? Bukankah kaum Muslim
telah menganggap kembalinya Khilafah dan hukum-hukum Islam hanya sebuah
impian belaka?
Jika keadaan umat tetap seperti ini—padahal umat seharusnya disatukan
oleh satu akidah yang melahirkan sistem—yakni saat ini sistem yang akan
mengatur umat telah dipisahkan dari akidahnya secara praktis dan dihapuskan
dari opini publik hingga ide pemisahan (sekularisme) ini telah menjadi sesuatu
yang diterima oleh umat secara universal, maka bagaimana mungkin umat bisa
dipersatukan secara sempurna? Umat tidak akan berada dalam keadaan seperti
ini apabila mereka masih menjadi sebuah kelompok manusia yang memiliki
sekumpulan konsep, standar, dan pendirian yang lahir dari akidah yang satu.
Sekarang ini mayoritas konsep, standar, dan pendirian yang dipegang umat
bukanlah konsep dan standar Islam. Jadi, bagaimana mungkin umat bisa
berubah sedangkan semua faktor-faktor yang bisa menjadikan umat sebagai
umat Islam yang kuat itu telah berubah dan bertambah lemah?
Tidak diragukan lagi, bahwa sekarang ini umat telah berada di pinggir
jurang kehancuran. Salah bila dikatakan bahwa umat berada di persimpangan
jalan, karena hal itu telah terjadi seabad yang lalu ketika umat mulai
mengadopsi dan mengambil pemikiran kapitalisme Barat di samping pemikiran
Islam. Salah pula bila dikatakan bahwa umat saat ini sedang berada di jalan
kehancuran karena hal itu telah terjadi pada hari diruntuhkannya Khilafah dan
dimusnahkannya hukum Allah dari masyarakat di seluruh muka bumi. Sekarang
ini masalah pemisahan agama dari kehidupan bernegara telah menjadi opini
publik dan kaum Muslim menikmatinya dengan penuh kepercayaan dan
kesetiaan. Pemikiran Islam telah diasingkan ke masa lalu sejarah yang hanya
menghasilkan kesetiaan ruhiah pada segelintir orang saja sekaligus
permusuhan dan ejekan pada sebagian besar kaum Muslim saat ini. Perasaan
Islam berkaitan dengan pemeliharaan urusan-urusan kaum Muslim dan urusan
kehidupan secara keseluruhan telah musnah. Konsekuensi dari semua itu
adalah bahwa sekarang ini umat telah berada di pinggir jurang kehancuran dan
tidak ada sesuatu pun yang berdiri di antara mereka dan kehancuran itu.
Realitas inilah yang benar untuk dikatakan, yakni bahwa awan kehancuran dan
kebinasaan telah bergulung di atas umat Islam; siap menguasai dan
membinasakan mereka.
Wahai kaum Muslim,
Inilah realitas umat Islam: mereka telah kehilangan rasa percaya diri
pada kelayakan Islam sebagai sebuah sistem dalam kehidupan pada zaman
modern ini. Pemikiran Islam dan pandangannya tentang kehidupan telah
dipisahkan dari berbagai urusan kehidupan. Hukum-hukum Islam telah
dipisahkan dari negara. Mereka menganggap pemisahan pemikiran dan hukum
sebagai sesuatu yang vital bagi kehidupan, yang dibutuhkan demi keberadaan
dan kemajuan kita di antara bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, krisis umat ini
adalah krisis kepercayaan pada sistem Islam, bukan krisis kepercayaan pada
(akidah) Islam itu sendiri. Akibat krisis ini, umat telah kehilangan kekuatan
penggeraknya yang digunakan untuk mendorong mereka maju ke depan. Umat
Islam telah mencapai titik kejumudan, ketidakefektifan, serta sampai pada
sebuah kondisi yang telah membawa mereka pada pinggir jurang dan bahaya
kebinasaan.
Jadi, permasalahan umat Islam saat ini adalah hilangnya kepercayaan
mereka pada apa yang lahir dari akidah Islam; dari segi pemikiran tentang
kehidupan dan sistem untuk mengatur segala ikatan. Hilangnya kepercayaan
semacam ini telah meluas menjadi sebuah kepuasan yang sempurna. Hal ini
diakibatkan oleh hilangnya motivasi yang kuat yang mendorong seluruh umat
dalam kehidupan. Keadaan ini merupakan problematika yang dapat
diidentifikasi oleh kita dengan jelas serta harus menjadi pokok pembahasan
dan obyek penanggulangan.
Jelas keliru bila dikatakan bahwa problematika kita semua saat ini adalah
akidah Islam. Pernyataan seperti ini telah menuduh keimanan kaum Muslim.
Hal ini tidak benar dan menjadi perkara yang berbahaya. Akidah Islam telah ada
pada setiap Muslim, tetapi telah kehilangan tiga perkara penting. Ia telah
kehilangan ikatannnya dengan pemikiran, kehidupan, dan sistem hukum.
Akibatnya, ia kehilangan vitalitasnya yang selama ini telah berkurang dan terus
berkurang. Sebab, ketika akidah ‘aqliyyah dipisahkan dari pemikirannya, ia akan
mati dan menjadi ‘mayat’ yang tidak hidup lagi. Ia juga telah kehilangan
konsepsinya tentang apa yang datang setelah kehidupan ini, sehingga tidak
memandang lebih jauh mengenai apa yang ada dalam kehidupan Hari
Kebangkitan dan Hari Perhitungan. Ia tidak gentar lagi akan hukuman Allah Swt,
tidak takut oleh Jahanam, dan tidak menggigil oleh pedihnya neraka Jahim. Ia
juga tidak berhasrat lagi untuk meraih surga dan tidak lagi merindukan
kebahagiaan di dalamnya. Ia tidak tertarik oleh kebahagiaan abadi di surga
yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan
tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Ia juga tidak lagi berhasrat
memperoleh keridhaan Allah Swt sebagai cita-cita tertinggi bagi kaum Muslim.
Ia juga telah kehilangan tali ikatan antara kaum Muslim sebagai sebuah
komunitas dan akidah ini, yakni ukhuwah Islamiyah. Akibatnya, kaum Muslim
menjadi bangsa dan negara yang berbeda-beda; berkelompok ke dalam
berbagai organisasi dan keluarga yang berbeda pula; bahkan mereka menjadi
individu-individu yang telah terpisah dari individu yang lain. Itulah tiga perkara
yang telah hilang dari akidah Islam dalam benak dan pikiran kaum Muslim
sehingga akidah itu telah menjadi ‘mayat’ yang tiada hidup lagi.
Akidah Islam itu sendiri sesungguhnya masih ada pada diri setiap Muslim.
Setiap Muslim masih mengatakan pada waktu pagi dan petang hari kalimat Lâ
Ilâha illâ Allâh Muhammad ar-Rasûlullah (Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad itu adalah utusan Allah) sekalipun pernyataan ini tidak mampu
menggerakkan sehelai rambut pun dalam dirinya, tidak menjadi sebuah
perasaan yang satu dalam hatinya atau apa pun dari perasaannya, tidak
mendorongnya bergerak dalam kehidupan walau hanya satu inci saja, juga
tidak menghentikannya dari keterbelakangan atau kemunduran. Artinya, kaum
Muslim sesungguhnya tidak kehilangan akidah Islam, tetapi mereka sebenarnya
telah kehilangan kepercayaan pada apa yang lahir dari akidah ini.
Keliru pula bila dikatakan bahwa problematika kaum Muslim saat ini
berkaitan dengan masalah ekonomi. Sebab, itu berarti bahwa kemiskinanlah
yang menjadi penyebab kemunduran dan kemakmuranlah yang mendorong
kebangkitan. Tidak diragukan lagi, ini merupakan pernyataan yang salah.
Kekayaan tidak akan membangkitkan seorang individu maupun umat, karena
kebangkitan yang sebenarnya adalah bangkitnya pemikiran (irtifa’ al-fikri).
Kebangkitan yang benar adalah kebangkitan pemikiran yang berpijak pada asas
spiritual (ruhiah). Ketika pemikiran itu ada maka kemudian kebangkitan pun
akan terjadi. Ketika pemikiran itu hilang maka kemunduranlah yang akan
terjadi.
Jadi, pemikiran yang ada pada bangsa manapun merupakan harta
kekayaan terbesar yang dibutuhkan dalam kehidupan mereka jika mereka
merupakan bangsa yang baru didirikan. Kekayaan ini merupakan hadiah
terbesar yang bisa diberikan oleh sebuah generasi pendahulu kepada generasi
berikutnya jika bangsa tersebut mengakar pada pemikiran. Jika kekayaan
material sebuah bangsa dihancurkan, secepat mungkin kekayaan tersebut bisa
dikembalikan, asalkan bangsa tersebut melestarikan kekayaan intelektualnya.
Akan tetapi, jika kekayaan intelektual ini hancur dan sebuah bangsa hanya
memiliki kekayaan material saja, kekayaan ini akan segera berkurang dan
bangsa tersebut akan segera kembali menjadi sebuah bangsa yang miskin.
Realitas yang ada pada umat Islam menunjukkan, bahwa mereka akan
menjadi salah satu bangsa yang paling kaya—jika tidak dikatakan satu-satunya
yang terkaya—ketika kekayaan alamnya diambil dan dikumpulkan dalam
sebuah negara sebagaimana Islam telah mewajibkan hal itu menjadi hak
seluruh kaum Muslim. Lebih jauh lagi, agar ekonomi tumbuh dan berkembang
dari ekonomi berbasis pertanian menjadi ekonomi berbasis pertanian dan
industri dengan industri menjadi pelopornya, di sana harus ada sebuah
pendorong yang kuat yang bisa memotivasi umat ini untuk berupaya maju
dalam bidang ekonomi. Pendorong yang kuat ini tidak lahir dari apa pun,
kecuali dari pemikiran. Pemikiran terbesar adalah akidah ‘aqliyyah yang
melahirkan pemikiran tentang kehidupan. Walhasil, urusan (qâdhiyah) umat ini
bukanlah ekonomi, tetapi pemikiran, yakni masalah keyakinan terhadap
pemikiran yang lahir dari akidah mereka.
Dangkal pula bila dikatakan bahwa problematika umat ini adalah
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pernyataan ini hanya menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuanlah—bukan pemikiran—yang menjadi pendorong. Padahal,
fakta yang ada menunjukkan bahwa pemikiranlah yang menjadi pendorong;
sementara ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh pemikiran—dalam kebangkitan
atau kemundurannya atapun dalam keberadaan dan kemusnahannya.
Perbedaan antara pemikiran dan ilmu pengetahuan adalah bahwa
pemikiran itu merupakan pandangan atas benda dan perbuatan sehingga ia
bisa menetapkan pendirian atas benda dan perbuatan itu. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan hanya merupakan pandangan atas benda itu sendiri dalam
rangka mengetahui esensinya saja. Yang menetapkan arah kehidupan itu
adalah pemikiran, bukan ilmu pengetahuan. Banyak pengetahuan ilmiah
berhasil ditemukan oleh sebuah bangsa yang jika hilang, akan bisa ditemukan
kembali oleh bangsa tersebut selama bangsa itu tidak kehilangan metode
berpikir (tharîqah tafkîr)-nya. Sebaliknya, jika bangsa tersebut kehilangan
metode berpikirnya atau kehilangan pemikirannya, bangsa tersebut akan
segera menjadi bangsa yang terbelakang dan sekaligus akan kehilangan
penemuan dan inovasi yang mereka miliki. Sekalipun umat Islam memiliki
jutaan pelajar dan orang-orang yang berpendidikan, umat ini akan tetap
terbelakang dalam penemuan dan inovasi. Pasalnya, mereka tidak memiliki
pemikiran untuk mengarahkan berbagai disiplin ilmu pengetahuannya demi
sebuah tujuan tertentu sehingga bisa membawanya maju ke depan untuk
meraih tujuan mulia ini. Apalagi saat ini, banyak ilmuwan dan penemu di
berbagai belahan bumi yang menjadi pekerja. Mereka sangat mungkin untuk
dijadikan sebagai pekerja, tetapi menghadirkan mereka atau apa pun semisal
mereka tidak akan bisa memecahkan problematika yang ada tanpa adanya
sebuah pemikiran. Sebab, masalahnya memang terletak pada pemikiran (fikr).
Tidak benar pula bila dikatakan bahwa problematikanya adalah hukum
(tasyri‘) dan undang-undang. Pernyataan ini berarti bahwa undang-undang
menjadi asas kehidupan dan negara. Ini jelas salah. Sebab, undang-undang dan
hukum hanya akan menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi manusia
sehari-hari, sementara solusi itu lahir dari sebuah pandangan tentang
kehidupan. Artinya, yang menjadi asalnya adalah pandangan yang telah
melahirkan undang-undang, bukannya undang-undang itu sendiri. Apakah
orang tidak melihat bahwa hukum-hukum yang diimplementasikan pada warga
negara kafir di dalam Daulah Islam itu sama, sebagaimana yang diberlakukan
pada kaum Muslim? Berkaitan dengan hukum-hukum itu, tidak ada perbedaan
antara mereka dan kaum Muslim. Artinya, kedudukan kaum Muslim dan orang-
orang kafir adalah sama di hadapan hakim dan penguasa—walaupun kaum
Muslim di negara Islam pada saat itu adalah pemilik risalah dan pengemban
dakwah; kebangkitan pun ditunjukkan kepada mereka. Ini terjadi pada saat
orang-orang kafir berada di bawah bayang-bayang Islam; mereka membayar
jizyah dengan penuh ketundukan dan perasaan lemah. Kemudian, apakah
orang tidak melihat hari ini bagaimana kaum Muslim di berbagai wilayah di
bumi ini telah menerapkan hukum dan undang-undang Barat atas diri mereka?
Akan tetapi, karena mereka masih mengakui akidah Islam, sementara undang-
undang dan hukum tersebut tidak lahir dari akidah mereka, tetapi hanya lahir
dari opini publik di antara mereka, mereka tetap saja tidak bisa mengejar
kemajuan dan kebangkitan Barat, dan secara intelektual pun mereka tidak
bangkit menjulang. Mereka masih mundur dan berada di belakang bangsa
Barat selama berabad-abad dan beberapa generasi berlalu. Padahal, hukum
dan undang-undang Barat telah diterapkan atas mereka sejak tahun 1918.
Semua ini mengindikasikan bahwa problematikanya bukanlah hukum dan
undang-undang, tetapi pandangan hidup yang melahirkan semua undang-
undang. Dengan kata lain, masalahnya adalah bagaimana menjadikan akidah
sebagai sumber undang-undang tersebut dan menumbuhkan keyakinan pada
umat akan kelayakannya, atau bagaimana menjadikan undang-undang itu lahir
dari sebuah akidah.
Walhasil, urusan (qâdhiyah)-nya adalah bagaimana menumbuhkan
kepercayaan pada undang-undang yang harus lahir dari sebuah akidah, yakni
sebuah pandangan hidup yang pada masa modern ini dikenal dengan sebutan
ideologi.
Berdasarkan hal itu, urusan yang ada berkaitan dengan kaum Muslim
sebagai sebuah umat dan sebagai umat Islam. Problematika umat Islam itu
tidak akan bisa dipecahkan hanya dengan mewujudkan akidah Islam kepada
mereka; tidak dengan memperkuat ekonomi atau meningkatkan taraf
pendidikan dan kebudayaan mereka; tidak juga dengan reformasi hukum atau
membuat konstitusi dan undang-undang untuk mereka. Solusinya tidak lain
hanyalah dengan mengaitkan akidah Islam dengan hukum dan undang-
undangnya. Caranya adalah dengan menjadikan akidah umat Islam sebagai
pembenaran yang pasti, yang sesuai dengan realitas, yang dipusatkan pada
pemikiran dan hukum-hukum syariat yang dihasilkan dari al-Quran dan as-
Sunnah, serta apa saja yang diindikasikan keduanya sebagai dalil syariat.
Dengan kata lain, permasalahannya adalah bagaimana menumbuhkan
kepercayaan umat pada pemikiran dan sistem yang lahir dari akidah Islam.
Inilah solusi yang tepat dan spesifik. Sementara itu, masalah bagaimana kita
mesti memecahkan problematika ini, solusinya harus dibatasi dengan
memperhatikan titik awal terjadinya kesalahan dalam rangka meralat dan
menghapus kesalahan ini. Tidak ada lagi cara lain selain ini.
Kaum Muslim masih tetap Muslim, meskipun keadaan mereka seperti
sekarang ini. Akidah mereka masih Islam. Islam masih didasarkan pada al-
Quran dan as-Sunnah sebagaimana pada masa Rasululaah saw. Hukum-hukum
syariat yang digali masih tetap seperti yang ada pada masa-masa pertama
hukum-hukum tersebut digali, yakni pada masa Umayah dan Abbasiyah.
Metode penggaliannya juga masih seperti zaman ketika ilmu ushul fikih Islam
diletakkan. Tidak ada yang berkurang di tengah-tengah kaum Muslim dalam hal
keimanan mereka pada Islam; tidak juga ada perubahan apa pun dalam Islam.
Akan tetapi, yang ada hanyalah goyahnya kepercayaan umat Islam pada
pemikiran dan hukum-hukum yang terlahir dari akidah Islamiyah. Ini
diakibatkan oleh lemahnya entitas umat dan entitas Daulah Islam. Hal inilah
yang membawa pada kehancuran Daulah dan menggiring umat pada jalan
kehancuran sampai meletakkan umat di pinggir jurang kebinasaan. Oleh karena
itu, solusi permasalahan ini akan bisa didapatkan hanya dengan cara kembali
pada titik di mana kesalahan ini mulai terjadi, yakni dengan memecahkan
masalah goyahnya kepercayaan atas pemikiran dan hukum-hukum yang lahir
dari akidah Islam. Tekanan inilah yang telah menghancurkan Daulah dan
hampir membinasakan umat. Sasaran dari solusi ini adalah untuk
membangkitkan umat dan menegakkan kembali Daulah dalam rangka
melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia. Ini
merupakan pokok persoalan dan inti permasalahannya.
Sebagian orang berpendapat bahwa kepercayaan itu berasal dari sebuah
keyakinan pada kebenaran dan ketelititan sesuatu, sementara keyakinan
tersebut datang dari perasaan. Keyakinan itu akan datang dan pergi pada diri
manusia tanpa bukti-bukti (burhân). Kepercayaan tidak akan bisa didapatkan
dengan bukti dan rasio, tetapi dengan menumbuhkan keyakinan yang datang
dan pergi secara kebetulan. Pernyataan seperti ini keliru dan tidak sesuai
dengan realitas. Pernyataan yang benar adalah bahwa kepercayaan itu akan
tumbuh dari keyakinan pada kebenaran dan ketelititan sesuatu, karena
kesesuaiannya dengan realitas atau fitrah. Akan tetapi, kepercayaan itu
tumbuh dengan didasarkan pada bukti yang menegakkan kebenaran dan
ketelitian sesuatu itu. Bukti ini bisa berupa pemikiran dan berkaitan dengan
perasaan, yakni bukti rasional yang menegakkan kebenaran dan ketelitian
sesuatu itu. Dengan begitu, seseorang bisa merasakan kebenaran dan ketelitian
itu. Bisa juga dia merasakan kebenaran dan ketelitian tersebut tanpa adanya
dalil rasional untuk membuktikannya. Akan tetapi, dengan melakukan hal ini
berulangkali, keyakinan bisa didapatkan dan kepercayaan tersebut dapat
dibangun.
Walhasil, kepercayaan tidak bisa datang dan kemudian hilang secara
kebetulan, tetapi ia datang dari pembuktian yang berulang-ulang atas
kesesuaian sesuatu dengan realitas atau fitrah, baik secara pemikiran ataupun
perasaan, yakni pembuktian yang berulang-ulang atas kebenaran dan ketelitian
sesuatu. Kepercayaan juga akan hilang dengan pembuktian yang berulang atas
kesalahan dan kebatilan sebuah pemikiran. Inilah yang akan menumbuhkan
keyakinan; ini juga yang akan mengguncangkan dan menghilangkan
kepercayaan. Hal ini berarti bahwa sebelum kepercayaan itu bisa ditumbuhkan,
kebenaran dan ketelitian sesuatu itu harus bergerak dari tahap menegakkan
sebuah bukti ke tahap menjadi bukti itu sendiri. Ini bisa dilakukan dengan
pembuktian yang berulang atas kebenaran dan ketelitian sesuatu dengan
pemikiran maupun perasaan. Sebagaimana sulitnya upaya menumbuhkan
kepercayaan, terutama dalam sebuah lingkaran keraguan, juga sulit
menggoyahkan kepercayaan dalam sebuah lingkaran iman. Sulit bagi orang-
orang kafir Barat untuk menggoyahkan kepercayaan umat akan kesesuaian
hukum-hukum syariat Islam dalam memecahkan problematika yang terjadi di
masa modern ini, sedangkan lingkaran yang ada adalah lingkaran iman. Bukan
hal yang mudah pula bagi mereka yang beraktivitas memperjuangkan Islam
dalam lingkaran keraguan untuk mengembalikan kepercayaan umat akan
kesesuaian Islam, yakni untuk mengkonsolidasikan sudut pandang Islam atas
kehidupan atau keistimewaan kehidupan Islam yang disebut dengan ideologi
Islam.
Kepercayaan itu tidak bisa ditanamkan dalam jiwa kaum Muslim dan
seluruh manusia kecuali dengan memberikan bukti pemikiran (‘aqliyyan) dan
perasaan (syû‘ûriyan) berkaitan dengan kebenaran dan ketelitian pemikiran
dan hukum Islam. Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengembalikan
kepercayaan, agar bisa membangkitkan umat dan menegakkan Daulah, adalah
bagaimana berbagai realitas yang terindera dan peristiwa yang terjadi bisa
merefleksikan kebenaran, ketelitian, serta kesesuaian pemikiran dan hukum
Islam. Hal ini akan menjadi bukti-bukti pemikiran dan perasaan, yang kemudian
akan menumbuhkan keyakinan akan kebenaran dan ketelitiaannya itu, yang
akhirnya akan melahirkan sebuah kepercayaan. Sementara itu, bagaimana
menjadikan semua realitas tersebut bisa merefleksikan hal ini, adalah dengan
cara mengemban dakwah Islam melalui metode politik. Caranya adalah dengan
berjuang menegakkan Daulah Islam melalui pemikiran Islam, yang memiliki
realitas menurut apa yang dipergunakan manusia dalam menghadapi orang
lain, apakah pemikiran-pemikiran itu berkaitan dengan masalah kehidupan
atau pengorganisasian ikatan. Dengan kata lain, hal ini dilakukan melalui
aktivitas politik dalam rangka menegakkan Khilafah Islam dengan cara
menyebarkan pemikiran Islam dan berjuang di jalan ini. Hal ini karena manusia
diperintah oleh sebuah kekuasaan yang ada dan dibentuk oleh pemerintah,
apakah berasal dari golongan mereka sendiri atau yang lainnya. Penguasa
tersebut menjaga urusan-urusan warga negaranya dengan pemikiran dan
undang-undang tertentu. Pemeliharaan atas urusan-urusan tersebut dilakukan
atas berbagai macam realitas tertentu dengan pemikiran tertentu, yakni
problematika tertentu dipecahkan dengan solusi tertentu pula. Jadi, semua
realitas tersebut terasa dan terindera; begitu pula dengan solusinya serta apa
saja yang dihasilkan berkaitan dengan pemenuhan kemaslahatan yang
diinginkan dan pemeliharaan atasnya. Apa yang perlu dilakukan oleh mereka
yang beraktivitas untuk menegakkan Daulah Islamiyah untuk menghancurkan
sistem pemerintahan yang ada adalah agar mereka menggambarkan kerusakan
semua solusi yang ada selama ini kepada seluruh manusia, yakni kesalahan
pemikiran dan hukum yang selama ini digunakan untuk memecahkan
permasalahan kehidupan ini. Mereka juga harus memberikan solusi yang benar
atas semua permasalahan tersebut; bahwa ada pemikiran dan hukum yang
istimewa, yakni pemikiran dan hukum Islam, sehingga pemikiran-pemikiran dan
hukum-hukum Islam bisa diaplikasikan pada peristiwa yang terjadi itu. Dengan
begitu, realitas hukum ini bisa dipahami dan maknanya dapat diterima, yang
kemudian bisa menggerakkan pemikiran dan mempengaruhi perasaan umat.
Adapun berkaitan dengan bagaimana menunjukkan kesalahan pemikiran
dan hukum yang selama ini digunakan oleh penguasa untuk memecahkan
permasalahan yang terjadi, tidaklah benar jika dikaitkan dengan terealisasi atau
tidaknya kemaslahatan. Akan tetapi, penjelasan ini harus dilakukan dengan
menunjukkan bahwa semua itu merupakan pemikiran dan hukum-hukum
kufur. Amat keliru dengan menunjukkan ketidakshahihan pemikiran dan hukum
tersebut dikaitkan dengan kegagalannya dalam merealisasikan kemaslahatan,
dengan bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya, dengan
ketidakmampuannya memelihara kemaslahatan, atau dengan kenyataan
bahwa semua pemikiran dan hukum tersebut menghilangkan kemaslahatan.
Hendaknya kesalahan pemikiran dan hukum tersebut harus ditunjukkan
dengan menggambarkan bahwa semua itu bukan merupakan pemikiran dan
hukum Islam, yakni merupakan pemikiran dan hukum kufur, sementara
berhukum padanya sama dengan berhukum pada thâghût. Harus ditunjukkan
bahwa semua itu merupakan pemikiran dan hukum kufur. Sebab,
permasalahannya harus dilihat dari segi apakah Islam atau kufur, bukan dilihat
dari segi apakah memberikan kemaslahatan atau tidak. Begitu pula, dalam
menunjukkan solusi yang benar yang terdiri pemikiran dan hukum yang pasti,
yakni pemikiran dan hukum Islam, tidak benar bila untuk menjelaskan
kesesuaiannya dan menunjukkan kebenarannya dilihat dari segi bahwa
pemikiran dan hukum Islam ini bisa merealisasikan kemaslahatan atau
menghilangkan bahaya dan kerugian. Akan tetapi, kebenaran pemikiran dan
hukum Islam harus ditunjukkan dan kesesuaiannnya harus dijelaskan, yakni
bahwa ia merupakan hukum syariat yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat, yang
berasal dari al-Quran dan as-Sunnah, atau dari kaidah-kaidah yang diperoleh
dari keduanya; atau dilihat dari apakah masalah cabang (furû‘) ataukah
masalah hukum syariat yang dalilnya masyhur.
Itulah cara yang harus ditempuh untuk menunjukkan ketidakshahihan
solusi yang selama ini diambil oleh para penguasa dalam memecahkan
permasalahan, sekaligus cara yang harus diupayakan untuk menjelaskan
kebenaran dan keshahihan pemikiran dan hukum Islam. Dengan begitu, solusi
atas berbagai realitas/masalah yang terjadi harus dikaitkan dengan akidah
Islam. Akidah Islam harus menjadi satu-satunya asas dalam memandang
pemikiran dan hukum-hukum tersebut. Semua persoalan harus dipandang dari
perspektif Islam atau kufur, tidak dari segi yang lainnya. Sebab, hukum-hukum
yang ada di dunia ini terkategori apakah hukum Islam atau hukum kufur, tidak
ada kategori yang ketiga. Di seluruh dunia sekalipun, hanya ada darul Islam dan
darul kufur, tidak ada yang lainnya. Oleh karena itu, pembuktian kesalahan
pemikiran dan hukum-hukum ini hanya didasarkan sebuah asas, yakni Islam
atau kufur, tidak ada yang lain selain itu. Artinya, kita harus menyatakan
tentang sebuah pemikiran atau hukum, bahwa ini kufur, jika pemikiran dan
hukum tersebut memang kufur; atau ini haram, jika memang ia sesuatu yang
haram. Dalil syariat juga akan menunjukkan bahwa ini kufur dan itu haram.
Harus dijelaskan kepada masyarakat bahwa siapa saja yang mengadopsi
pemikiran dan hukum non-Islam akan dianggap telah keluar dari Islam sehingga
dia bisa menjadi kafir dan murtad—jika pemikiran dan hukum tersebut terkait
dengan masalah perintah-perintah Allah yang berkaitan dengan keimanan,
seperti pemikiran tentang pemisahan agama dari negara atau memberikan
bantuan dana untuk membangun gereja. Namun demikian, jika pemikiran dan
hukum yang diadopsi tersebut merupakan perintah Allah yang berkaitan
dengan amal perbuatan, bukan keimanan, maka seorang Muslim dianggap
berdosa sehingga akan disiksa di dalam neraka Jahanam, seperti pemikiran
nasionalisme atau mengambil manfaat atas pinjaman bank.
Walhasil, asas dari pemikiran dan hukum-hukum mestilah akidah Islam;
kriteria yang diberikan adalah Islam atau kufur dan halal atau haram. Kesalahan
dan kebenaran juga harus dihukumi atas dasar ini dan sesuai dengan kriteria-
kriteria yang telah disebutkan.
Pada saat perhatian dicurahkan untuk menggambarkan kerusakan solusi
tersebut, hal ini juga harus dilakukan untuk menjelaskan kerusakan masyarakat
yang ada saat ini, yakni kerusakan ikatan-ikatan yang ada di antara mereka.
Kerusakan-kerusakannya bukan berasal dari realitas bahwa semua ikatan
tersebut tidak menghasilkan kemaslahatan dan mencegah kemadaratan atau
sebaliknya. Akan tetapi, semua kerusakan itu berasal dari rusaknya arah
pandang kehidupan yang mengontrol ikatan-ikatan masyarakat dan yang
menghasilkan semua solusi-solusi yang ditawarkannya. Oleh karena itulah,
mengapa kita harus mengaitkan solusi yang ada dengan asas-asasnya, dan
semua kesalahannya harus dijelaskan dengan melihat kesalahan asasnya,
bukan dari segi apakah semua itu kemaslahatan atau kemadaratan. Artinya,
semua solusi tersebut harus dikaitkan dengan akidah yang menjadi sumbernya.
Solusi-solusi tersebut kemudian harus ditentang dengan melihat bahwa semua
itu lahir dari akidah yang rusak. Dengan kata lain, solusi-solusi tersebut harus
dilihat sebagai pemikiran dan hukum-hukum kufur, tanpa memperhatikan lagi
apakah mendatangkan kemaslahatan ataukah tidak. Penentangan atas ikatan
yang ada di tengah-tengah masyarakat harus dilakukan dengan didasarkan
pada segi bahwa semua itu merupakan ikatan yang berdiri di atas pemikiran
dan hukum-hukum kufur. Dengan begitu, penentangan yang dilakukan harus
diarahkan pada asasnya. Sebab, tujuan dari penentangan atas semua itu adalah
untuk mengubah masyarakat yang ada saat ini dalam kapasitasnya sebagai
masyarakat non-Islam, serta untuk menghilangkan pemikiran dan hukum-
hukumnya dalam kapasitasnya sebagai pemikiran dan hukum-hukum kufur. Hal
ini dilakukan dalam rangka menegakkan masyarakat Islam serta mewujudkan
pemikiran dan hukum-hukum Islam dalam ikatan-ikatan yang ada di tengah-
tengah masyarakat. Tujuan dari semua ini adalah dalam rangka menjadikan
Islam sebagai pandangan hidup yang merata di tengah-tengah masyarakat,
sekaligus menjadikan cara hidup Islam sebagai cara hidup bagi seluruh
masyarakat, baik yang Muslim ataupun non-Muslim. Hal ini tidak bisa tercapai
hanya dengan menjelaskan aspek kemaslahatan dan kemadaratan. Akan tetapi,
semua itu dapat dicapai hanya dengan menjadikan akidah Islam sebagai
sebagai satu-satunya asas kehidupan, sekaligus menempatkan halal dan haram
sebagai satu-satunya tolok ukur perbuatan.
Walhasil, permasalahannya kini adalah bagaimana mengembalikan
kepercayaan umat Islam pada pemikiran dan hukum-hukum Islam dalam
kapasitasnya sebagai pemikiran dan hukum yang digali dari al-Quran dan as-
Sunnah atau dalil-dali yang ditunjukkan oleh keduanya. Jadi, permasalahannya
bukanlah bagaimana mengembalikan kepercayaan pada pemikiran dan hukum-
hukum Islam dilihat dengan didasarkan pada aspek kemaslahatan dan
kemadaratan. Tindakan yang mesti dilakukan secara langsung adalah dengan
menentang semua ikatan yang ada saat ini, yang kerusakan dan kesalahannya
berasal dari rusaknya pandangan yang telah melahirkan semua ikatan tersebut.
Penentangan harus dilakukan terhadap semua ikatan yang ada, yakni terhadap
pemikiran dan hukum-hukum yang telah digunakan oleh penguasa untuk
memelihara segala urusan masyarakat dan memecahkan masalah mereka.
Penentangan yang dimaksud adalah penentangan pemikiran dan hukum Islam
—dalam kapasitasnya sebagai pemikiran dan hukum Islam—terhadap
pemikiran dan hukum-hukum yang ada, yakni dalam kapasitasnya sebagai
pemikiran dan hukum-hukum kufur bukan yang lain. Dengan begitu, pada saat
itu akan terjadi pertarungan yang sengit di antara pemikiran dan hukum-hukum
tersebut. Ini merupakan pertarungan ideologis; akal dan hati bertarung secara
pemikiran (‘aqliyyan) dan perasaan (syu‘ûriyyan); pancarannya terpercik hingga
akhirnya cahaya kebenaran akan memancar dan kemuliaannya akan bersinar,
sedangkan kerusakan pemikiran dan perasaan tertentu—yakni pemikiran dan
perasaan kufur—akan tampak dengan jelas, yaitu dengan tersingkapnya
kerusakan pandangan yang telah melahirkannya. Melalui perang pemikiran dan
perdebatan yang mendalam, kaum Muslim yang selama ini terikat dengan
keyakinan kufur dan apa saja yang lahir dari pandangan kufur—sebagaimana
orang-orang kafir dan kaum munafik—akan merasakan kesalahan pandangan
kufur ini dan kebenaran pandangan Islam. Kemudian masyarakat akan
merasakan rusaknya rezim yang ada dan kebenaran hukum Islam. Melalui
realitas yang terindera dan terasa itu, kebenaran dan kelayakan pemikiran dan
hukum-hukum Islam akan dapat terefleksikan. Dari pendirian ini, kepercayaan
masyarakat akan pemikiran dan hukum-hukum Islam dengan sendirinya akan
terbangun; mereka akan mengenyampingkan seluruh pemikiran dan hukum-
hukum yang ada di dunia selama ini. Pada saat pendirian ini merata di tengah-
tengah masyarakat dan kepercayaan bisa dihimpun dalam pemikiran-pemikiran
mereka sehingga akan terbentuk opini publik yang timbul dari sebuah
kesadaran bersama, maka kemudian tanpa ragu lagi, kebangkitan akan bisa
meresap dalam diri umat ini, dan Daulah pun akan tegak walaupun berbagai
rintangan akan menghalangi jalannya. Hal ini karena pemikiran dinamis akan
meniupkan kekuatan politik yang besar sekaligus menghancurkan setiap
pemikiran yang salah dan hukum yang rusak. Inilah metode yang akan
menjadikan realitas dan perisitiwa yang terjadi bisa merefleksikan kebenaran
serta kelayakan pemikiran dan hukum-hukum Islam.
Semua itu akan menyibukkan diri kita dalam politik yang berasaskan
Islam, dengan menyebarkan pemikiran dan hukum-hukum Islam dengan dasar
politik, dengan kata lain, mengemban dakwah Islam (harus) melalui metode
politik. Atas dasar itu, kita bisa memahami rahasia propaganda yang dilakukan
oleh orang-orang kafir melalui agen-agen Muslim mereka dalam rangka
menjauhkan kaum Muslim dari politik, membawa mereka keluar dari arena
politik, serta menjadikan politik sebagai sebagai sesuatu yang kontradiktif
dengan ketinggian dan spiritualitas Islam. Kita juga memahami rahasia
permusuhan dan peperangan yang dilakukan oleh negara-negara kafir dan para
penguasa (yang menjadi agen orang-orang kafir) terhadap berbagai gerakan
politik Islam. Mereka memahami bahwa hanya gerakan-gerakan inilah yang
akan membangkitkan umat ini, menegakkan Daulah, memerangi orang-orang
kafir, sekaligus mengembalikan kejayaan Islam. Dengan alasan itulah mereka
memerangi gerakan politik Islam dan membawa kaum Muslim lari keluar dari
arena politik. Padahal, kepercayaan umat tidak akan kembali; umat Islam tidak
akan bangkit; Khilafah Islam tidak akan bisa ditegakkan; Daulah Islam juga tidak
akan kembali berdiri kecuali dengan menyibukkan diri secara aktif dalam politik
yang berasaskan Islam.
Dengan demikian, permasalahan mengenai bagaimana menyelamatkan
umat Islam dari kebinasaan adalah dengan mengembalikan kepercayaan umat
ini pada keshahihan, kebenaran, serta kelayakan pemikiran dan hukum-hukum
Islam. Hal ini akan dicapai dengan menjadikan realitas dan peristiwa yang
terjadi bisa merefleksikan kebenaran dan ketelitian itu sehingga loyalitas yang
sempurna akan teraih sebagai hasilnya. Dengan kata lain, hal ini dilakukan
dengan cara mengemban dakwah Islam melalui jalan politik, yakni beraktivitas
untuk mengembalikan Khilafah Islam dengan cara menyebarluaskan pemikiran
dan hukum-hukum Islam, serta berjuang karenanya.
Inilah jalan (tharîqah) yang telah dilalui Rasulullah saw dalam rangka
mewujudkan umat dan Daulah Islam. Selain itu, semua itu merupakan realitas
inderawi yang bisa membawa seseorang hanya untuk mengambil metode ini,
tidak yang lain. Sebab, ia merupakan hukum syariat yang mesti ditaati oleh
seorang Muslim. Seorang Muslim harus membatasi dirinya hanya pada jalan ini
dan tidak mengikuti jalan selainnya. Inilah satu-satunya jalan yang wajib diikuti
oleh kaum Muslim. Dengan begitu, satu-satunya aktivitas yang wajib dilakukan
oleh kaum Muslim sebelum aktivitas (amal) yang lain adalah mendirikan Daulah
Islam, yakni menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah. Metode untuk
merealisasikannya adalah dengan melakukan revolusi politik dan pemikiran
yang bisa menghancurkan pemikiran-pemikiran yang batil serta membongkar
hukum-hukum yang rusak.
Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah yang akan dicapai oleh
pemikiran Islam di Dunia Islam, sedangkan kekufuran telah begitu menyusupi
setiap bagian darinya? Undang-undang kufur telah memberlakukan ikatan-
ikatan yang ada di antara individu-individu dan ikatan-ikatan di antara berbagai
negara yang ada di Dunia Islam. Ikatan-ikatan di antara warga negara mereka
pun telah ditegakkan atas asas hukum-hukum kufur. Pemikiran dan perasaan
kaum Muslim telah didominasi oleh pemikiran kufur. Apa yang bisa dilakukan
oleh pemikiran Islam sedangkan kekufuran telah diimplementasikan dalam
setiap aspek kehidupan, dan Islam itu sendiri tidak tersisa kecuali hanya di
dalam masjid, mushaf, dan segelintir kaum Muslim saja?
Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa masyarakat manapun di
dunia ini hidup di antara dua dinding tebal, yang menghalangi pemikiran dan
perasaan asing masuk ke dalamnya. Pertama, adalah dinding bagian luar, yang
merupakan dinding akidah yang asasi, yakni pemikiran menyeluruh tentang
alam semesta, manusia, dan kehidupan; apa yang terjadi dalam kehidupan
(dunia) ini dan apa yang ada setelahnya (akhirat); serta keterkaitan antara
keduanya (kehidupan dunia dan akhirat). Kedua, adalah dinding sistem, yang
memberlakukan ikatan-ikatan di antara manusia dan cara hidup mereka. Saat
berkeinginan untuk mengubah masyarakat seperti ini melalui manusia yang
ada di dalamnya dan mengubahnya secara mendasar, kita harus menyerang
dinding yang pertama, dengan akidah yang baru, dan mengaitkan
serangan/penentangan atas dinding bagian luar dengan dinding bagian dalam.
Bagaimanapun, serangan atas dinding yang pertama ini harus berpijak di atas
pemikiran-pemikiran yang dengannya dinding kedua akan diserang. Dengan
begitu, serangan ini akan menimbulkan sebuah perjuangan pemikiran antara
pemikiran lama dan pemikiran baru. Perjuangan politik juga harus dilakukan
hingga dinding bagian luar dibongkar. Dengan membongkar dinding bagian luar
ini, dinding bagian dalam akan bisa dihancurkan sehingga revolusi pemikiran
dan perasaan akan terjadi. Oleh karena itu, akan ada sebuah revolusi politik
yang dengan itu seluruh masyarakat akan berubah; demikian pula pemerintah
serta seluruh ikatan yang lain. Inilah yang juga telah Rasulullah saw usahakan di
tengah-tengah masyarakat Makkah dan mewujud dalam sebuah kenyataan di
tengah-tengah masyarakat Madinah.
Kekuatan intelektual dan fisik diperlukan untuk mengembalikan
masyarakat seperti itu. Hari ini masyarakat di negeri-negeri Islam hanya
memiliki sebuah dinding, yakni dinding bagian dalam saja. Dinding-dinding itu
tidak perlu diruntuhkan seluruhnya oleh sebuah serangan pemikiran, tetapi
hanya cukup dengan membuat sebuah lubang di dalamnya untuk bisa masuk
dan meraih kekuatan. Dinding itu akan diruntuhkan sekaligus dengan sebuah
ledakan revolusioner dari dalam selama dinding bagian luar itu tidak ada. Hal
ini karena kesulitan itu ada pada saat meruntuhkan dinding bagian luar, dan
tidak mungkin bisa memasuki sebuah masyarakat kecuali dengan
menghancurkan dinding itu terlebih dulu. Bagaimanapun, selama tidak ada
dinding bagian luar (jika hanya ada satu dinding saja), pekerjaan ini akan lebih
mudah. Oleh karena itu, masalahnya tidak lain adalah bagaimana melakukan
penyerangan terhadap pemikiran dan hukum-hukum yang menjadi tempat
tegaknya dinding bagian dalam sekaligus membersihkan pemikiran dan hukum-
hukum Islam yang menjadi akidah umat. Dengan begitu, kepercayaan umat
pada pemikiran dan hukum-hukum Islam tersebut akan dapat dikembalikan.
Setelah itu, akan mudah membuat sebuah permulaan dan membangun
kembali masyarakat.
Jadi, tugas yang harus dilakukan saat ini bukanlah menyebarkan
pemikiran Islam di tengah-tengah sebuah masyarakat kafir, tetapi
menyebarkan pemikiran Islam kepada kaum Muslim yang saat ini berada di
tengah-tengah masyarakat non-Islam. Dengan kata lain, masalahnya sekarang
bukanlah mengajak orang-orang kafir untuk memeluk Islam, tetapi menyeru
kaum Muslim untuk bekerja bagi dan dengan Islam, melalui metode
penyebaran pemikiran Islam dan berjuang di jalan tersebut. Walaupun hal ini
mungkin menjadi sebuah tugas yang berat dan sulit, tetapi hanya inilah satu-
satunya kerja yang produktif dan lebih mudah dilakukan daripada berupaya di
tengah-tengah masyarakat kafir.
Bagaimanapun, harus diketahui bahwa musuh-musuh kita, orang-orang
kafir, tidak akan pernah membiarkan kita berupaya untuk membangkitkan
umat Islam dan menegakkan kembali Khilafah Islam. Mereka tidak akan
membiarkan kita untuk mengembalikan kepercayaan pada keshahihan,
kebenaran, dan kelayakan pemikiran dan hukum-hukum Islam. Mereka malah
akan berusaha untuk merintangi kita dengan berbagai macam cara. Mereka
tidak akan bisa menggoyahkan kepercayaan umat Islam pada pemikiran dan
hukum-hukum agama Islam kecuali dengan menghancurkan negara umat Islam
dan meluluhlantakkannya secara total. Mereka membuat sebuah kekalahan
yang menghancurkan, kemudian meluluhlantakkan Daulah Islam, dan bergerak
bersama umat Islam pada jalan kehancuran sehingga umat berada di pinggir
jurang kebinasaan. Oleh karena itu, akankah mereka membiarkan umat ini
kembali menjadi umat Islam, yang ditegakkan atasnya Khilafah Islam dan
berada di bawah naungan bendera Islam dalam rangka meneruskan risalahnya
dengan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia? Mereka tentu tidak akan
membiarkan umat ini melakukan hal itu. Sebaliknya, mereka bahkan akan
memerangi umat ini sekuat-kuatnya.
Jadi, tugas ini harus dilakukan terhadap mereka, yaitu dengan
melancarkan perang terhadap mereka dan agen-agen mereka, sekaligus
menciptakan opini publik, bahkan kesadaran umum, yang akan menyapu bersih
orang-orang kafir dari jalan Islam. Dengan demikian, kesulitan yang dihadapi
sesungguhnya bukanlah bagaimana menyebarkan pemikiran kepada kaum
Muslim dalam rangka membangkitkan mereka dan menegakkan Daulah, tetapi
terletak pada ketabahan dalam melakukan peperangan terhadap orang-orang
kafir dan munafik demi menyebarkan pemikiran Islam.
Negara-negara kafir yang pernah menyaksikan Negara Islam dan hukum
Islam—khususnya Inggris, Perancis, dan Rusia—akan selalu memerangi umat
Islam, karena mereka telah melihat dalam diri umat Islam terdapat sebuah
seruan ideologis yang menyeru manusia pada Islam. Mereka juga pernah
merasakan dalam Daulah Islam adanya kekuatan dan kelangsungan jihad untuk
melindungi Islam serta menyebarluaskan dakwahnya. Mereka juga pernah
melihat bahwa Daulah Islam merupakan negara adidaya selama beberapa
abad; mereka pernah merasakan kepahitan pedang kaum Muslim dan
kekuatan pemikiran Islam. Menyebutkan Islam semata telah membuat mereka
khawatir, dan gambaran kembalinya saja telah menjadikan mereka menggigil
ketakutan, apalagi dengan akan datangnya kembali Khilafah Islam dan
bangkitnya umat Islam.
Negara-negara kafir hari ini—terutama Inggris, Perancis, Amerika, dan
Rusia—sepenuhnya telah mengetahui, ketika umat umat Islam telah bangkit
kembali dan negaranya telah tegak berdiri, tidak akan ada satu negara pun
yang bisa tegak di hadapan Islam dan tidak ada satu ideologi pun yang bisa
menantangnya. Ideologi kapitalisme yang busuk bisa dihancurkan oleh
pemikiran dan hukum-hukum Islam. Ideologi ateisme-komunisme yang gila
juga akan menjadi puing-puing karena tingginya pemikiran dan hukum-hukum
Islam yang dibangun di atas asas spiritual. Ini berarti bahwa kembalinya Daulah
Islam sebagai sebuah negara yang bisa memimpin dunia merupakan sebuah
perkara yang tidak bisa diterima oleh negara-negara kafir. Itulah sebabnya,
mengapa mereka memeranginya dengan penuh dendam dan benci. Itu pula
sebabnya, mengapa kita harus mewaspadai orang-orang kafir berikut segala
cara dan manuver mereka. Kita juga harus memahami dengan penuh
kesadaran bahwa kesulitan itu terletak di hadapan musuh-musuh kita; musuh
Islam yang berasal dari orang-orang kafir dan munaifk, bukannya pada
penyebaran pemikiran-pemikiran Islam.
Inggris dan Rusia, keduanya telah merasakan penderitaan yang
diakibatkan oleh tentara Jerman. Oleh karena itulah, mengapa mereka
berupaya—meskipun dalam segi nilai-nilai kehidupan mereka berbeda satu
sama lain—untuk tetap membiarkan Jerman (sebelum bersatu seperi sekarang-
pen) dalam keadaan terpecah belah dan lemah. Kedua negara itu menjadi
penghalang Jerman yang berupaya meraih kekuatannya kembali. Keduanya
senantiasa berupaya menentang setiap tindakan yang bisa memperkuat
Jerman agar tentara Jerman itu tidak bisa kembali sehingga menjadi sebuah
ancaman bagi mereka.
Sebaliknya, Amerika dan Inggris menganggap Uni Soviet sebagai sebuah
bahaya bagi negara dan ideologi mereka. Oleh karena itu, Amerika dan Inggris
berupaya untuk memerangi Uni Sovyet dan ideologi yang dianutnya dengan
segala cara. Sebab, Amerika memahami bahwa warga negara Amerika tidak
akan pernah aman tanpa lenyapnya Uni Soviet dari peta dunia dan terhapusnya
komunisme dari kehidupan ini. Inilah situasi yang menimpa Jerman dan Rusia.
Kebencian Amerika dan Inggris terhadap Jerman dan Rusia itu tidak kurang dari
kebencian mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Bedanya, kebencian
Inggris dan Amerika terhadap Jerman dan Rusia adalah kebencian yang baru,
sedangkan kebencian mereka terhadap Islam merupakan kebencian lama;
kebencian atas dasar sejarah yang menempati sudut pemikiran dan perasaan
mereka sejak dulu. Itulah sebabnya, mengapa mereka memecah-belah negeri-
negeri Islam ke dalam banyak negara dan bangsa. Mereka mengerat-ngerat
bangsa Arab ke dalam beberapa negara sehingga bangsa Arab menjadi bangsa
dan negara yang berbeda-beda. Mereka terus-menerus memerangi Islam
secara pemikiran dan politik dengan kedengkian yang disembunyikan. Mereka
melakukan semua ini sehingga Daulah Islam tidak bisa kembali dan agar umat
Islam tidak bisa bangkit.
Hal inilah yang harus dipahami dan direnungkan oleh kaum Muslim.
Inilah yang menjadi sebab kemunduran umat Islam hingga mencapai sebuah
titik yang memalukan. Inilah yang telah menghalangi kita dari kehidupan
semestinya yang telah Allah takdirkan kepada hamba-hamba-Nya.
Musuh kita telah mengubah kebencian kita kepada mereka yang asalnya
didasarkan pada alasan iman dan kufur, menjadi sebuah kebencian atas dasar
kolonialisme dan imperialisme. Mereka telah mengubah kebencian itu dari
permusuhan kaum Muslim terhadap orang-orang kafir menjadi permusuhan
bangsa yang dijajah terhadap bangsa penjajah. Mereka pun telah mengubah
kebencian kita dari kebencian sebagai kaum Muslim menjadi kebencian
pembela bangsa terhadap orang-orang asing atas dasar patriotisme. Dengan
cara inilah mereka telah membuat kita lupa akan pahitnya kekalahan -dalam
kapasitas kita sebagai kaum Muslim- dan menghilangkan fakta bahwa itu
merupakan kalahnya Islam dari kekufuran. Hal ini dilakukan dalam rangka
menjadikan perjuangan yang kita lakukan berubah dari sebuah jihad—yang
dengannya kita mencari surga dan merindukan ridha Allah Swt—menjadi
perjuangan yang murah, seperti berbagai aksi demonstrasi dan protes yang
dilakukan untuk meraih kemerdekaan, yang sebenarnya adalah untuk
memisahkan diri dari negeri-negeri Islam yang lain. Oleh karena itu, kita harus
mengembalikan peperangan kita terhadap mereka pada pokok asalnya, yakni
peperangan antara Islam dan kekufuran yang terjadi antara kaum Muslim dan
orang-orang kafir. Peperangan antara mereka dan kita itu bukan hanya karena
mereka itu adalah penjajah, tetapi sebenarnya karena mereka itu orang-orang
kafir sekaligus penjajah. Dengan kata lain, aspek yang paling penting adalah
bahwa mereka itu kafir dan alasan memerangi mereka adalah karena
kekufuran mereka. Jadi, kita harus mengetahui siapa musuh kita sebenarnya
dan menjadikannya sebagai seorang musuh. Jika kita tidak mengetahui sifat
yang mendasari permusuhan antara kita dan mereka serta alasan apa yang
menjadikan mereka memusuhi kita, kita tentu tidak akan bisa menyelamatkan
diri kita dari segala tindakan mereka, dan kita tidak akan dapat mengalahkan
mereka. Jika kita tidak menjadikan mereka sebagai musuh, tidak diragukan lagi,
kita berarti telah menempatkan diri kita di bawah pengawasan dan belas
kasihan musuh kita itu. Allah Swt. berfirman:

‫الش ْيطَا َن لَ ُك ْم َع ُد ٌّو فَاتَّ ِخ ُذوهُ َع ُد ًّوا‬


َّ ‫إِ َّن‬
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian. Jadi, jadikanlah ia
musuh kalian. (TQS. Fathir [35]: 6)

Al-Quran telah menyebutkan tatacara bermuamalat dengan orang-orang


kafir dengan ayat-ayat yang jelas, yang bisa mempengaruhi pemikiran serta
menggugah jiwa dan perasaan seseorang. Allah Swt berfirman:

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
‫ْح ِّق‬ َ ‫اء ُت ْل ُقو َن إل َْي ِه ْم بال َْم َودَّة َوقَ ْد َك َف ُروا ب َما َج‬
َ ‫اء ُك ْم م َن ال‬ َ َ‫ين َء َامنُوا الَ َتتَّخ ُذوا َع ُد ِّوي َو َع ُد َّو ُك ْم أ َْولي‬
َ ‫يَاأ َُّي َها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku
dan musuh kalian sebagai teman-teman setia yang kalian sampaikan
kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih-sayang,
padahal sesungguhnya mereka telah mengingkari kebenaran yang
datang kepada kalian. (TQS. al-Mumtahanah [60]: 1)

ِِ ِ ِ ‫َّخ ِذ الْم ْؤِمنو َن الْ َكافِ ِرين أَولِي‬


‫ين‬
َ ‫اء م ْن ُدون ال ُْم ْؤمن‬ََْ َ ُ ُ ِ ‫الَ َيت‬
‫اهلل فِي َش ْي ٍء‬
ِ ‫ك َفلَْيس ِمن‬
َ َ َ ِ‫ل ذَل‬#ْ ‫َو َم ْن َي ْف َع‬
Janganlah orang-orang Mukmin menjdikan orang-orang kafir sebagai
wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, atau penolong) dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin. Siapa saja yang berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. (TQS. al-Imran [3]: 28)

‫اء‬
ً ‫ َودُّوا ل َْو تَ ْك ُف ُرو َن َك َما َك َف ُروا َفتَ ُكونُو َن َس َو‬
Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah
menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama dengan mereka. (TQS. an-Nisa’
[4]: 89)

َ‫ين أ ََي ْبَتغُو َن ِع ْن َد ُه ُم ال ِْع َّزةَ فَِإ َّن ال ِْع َّزة‬ِِ ِ ِ ‫َّخ ُذو َن الْ َكافِ ِرين أَولِي‬
ِ ‫ الَّ ِذين يت‬ ‫َن لَهم َع َذابا أَلِيما‬ ِ ‫بَ ِّش ِر الْمنَافِ ِق‬
َ ‫اء م ْن ُدون ال ُْم ْؤمن‬
ََْ َ ََ ً ً ْ ُ َّ ‫ين بأ‬ َ ُ
ِ
‫ِهلل َج ِم ًيعا‬
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan
mendapatkan siksaan yang pedih. Mereka adalah orang-orang yang
menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong dengan meninggalkan
orang-orang Mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang-
orang kafir itu. Sesungguhnya semua kekuatan itu kepunyaan Allah.
(TQS. an-Nisa [4]: 138-139)

‫ِهلل َعلَْي ُك ْم ُس ْلطَانًا ُمبِينًا‬ ِ ‫َّخ ُذوا الْ َكافِ ِرين أَولِياء ِمن ُد‬
ِ ‫ون الْم ْؤِمنِين أَتُ ِري ُدو َن أَ ْن تَ ْجعلُوا‬ ِ ‫ياأ َُّيها الَّ ِذين ءامنُوا الَ َتت‬
َ َ ُ ْ ََْ َ ََ َ َ َ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-
orang kafir sebagai wali (penolong) dengan meninggalkan orang-orang
Mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
untuk menyiksa kalian. (TQS. an-Nisa’ [4]: 144)

ِ ِ ِ ‫ْكت‬ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ َّ
َ َ‫اب م ْن َق ْبل ُك ْم َوالْ ُك َّف َار أ َْولي‬
‫اء‬ َ ‫ين اتَّ َخ ُذوا دينَ ُك ْم ُه ُز ًوا َولَعبًا م َن الذ‬
َ َ ‫ين أُوتُوا ال‬ َ ‫ين َء َامنُوا الَ َتتَّخ ُذوا الذ‬
َ ‫يَاأ َُّي َها الذ‬
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan sebagai
pemimpin kalian orang-orang yang membuat agama kalian menjadi
buah ejekan dan permainan. Di antara mereka adalah orang-orang yang
telah diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir (orang-orang
musyrik). (TQS. al-Maidah [5]: 57)

‫ين َكانُوا لَ ُك ْم َع ُد ًّوا ُمبِينًا‬ ِ


َ ‫إِ َّن الْ َكاف ِر‬
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi
kalian. (TQS. an-Nisa’ [4]: 101)

‫ َواهللُ أَ ْعلَ ُم بِأَ ْع َدائِ ُك ْم‬ ‫يل‬ ِ َ‫الضالَلَةَ وي ِري ُدو َن أَ ْن ت‬


ِ َّ ‫ضلُّوا‬ ِ ‫صيبا ِمن ال‬
ِ ِ َّ
َ ‫السب‬
ِ َ‫ْكت‬
ُ َ َّ ‫اب يَ ْشَت ُرو َن‬ َ ‫َم َت َر إِلَى الذ‬
َ ً َ‫ين أُوتُوا ن‬ ْ ‫أَل‬
Apakah kalian tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari
al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan
petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kalian tersesat (menyimpang)
dari jalan (yang benar). Allah lebih mengetahui (daripada kalian) tentang
musuh-musuh kalian. (TQS. an-Nisa’ [4]: 44-45)

Inilah muamalat penuh permusuhan yang harus kita tujukan kepada


orang-orang kafir. Kita harus menunjukkan kepada mereka sikap permusuhan,
bukan malah berteman dengan mereka. Jika ada sebuah peperangan antara
mereka dan kita secara nyata, maka bermuamalat dengan mereka harus sesuai
dengan hukum jihad. Inggris, Perancis, Amerika, dan Rusia serta negara-negar
kufur yang lain merupakan orang-orang kafir dan menjadi musuh kita. Bahkan
Inggris, Perancis, dan Amerikalah yang secara nyata memerangi kebangkitan
kaum Muslim dan segala upaya mereka dalam mengembalikan Daulah Islam.
Inggris, Perancis, dan Amerika pula yang selama ini menghalangi upaya
penyebaran pemikiran Islam melalui jalan politik demi mengembalikan
kepercayaan umat pada keshahihan, kebenaran, serta kelayakan pemikiran dan
hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, perjuangan pahit dalam rangka
menyebarkan pemikiran Islam merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri
lagi. Peperangan akan terjadi melawan semua negara itu, agen-agen mereka,
serta para penipu dan orang-orang munafik.
Hal ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan: benar bahwa negeri-
negeri Islam telah dipecah-belah menjadi banyak negara, sedangkan semua
negara tersebut telah terbebas dari kolonialisme dan kekuasaan orang-orang
kafir; para penguasa mereka adalah Muslim, sedangkan mereka hanya
menerapkan hukum yang sesuai dengan sistem kufur; lalu apakah peperangan
ini hanya dilakukan terhadap sistem kufur saja dan tidak terhadap orang-orang
kafir?
Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa umat Islam telah tertimpa
dua macam petaka: (1) Penguasa mereka menjadi agen kolonialis orang-orang
kafir; (2) Mereka (penguasa) tidak menerapkan hukum berdasarkan apa yang
diwahyukan oleh Allah; mereka malah menerapkan hukum yang berasal dari
sistem kufur. Oleh karena itulah, di negeri-negeri yang penguasanya bukan
agen orang-orang kafir—seperti Turki dan Afganistan (pada masa lalu-pen)—
diwajibkan untuk memerangi dan menghilangkan sistem kufur serta
menerapkan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah Swt, yakni
menegakkan Khilafah Islam. Sebaliknya, di negeri-negeri yang penguasanya
menjadi agen orang-orang kafir—seperti Pakistan, Irak, Yordania, Libanon,
Saudi Arabia, Iran, Uni Emirat Arab, Indonesia, Sudan, dan sebagainya—maka
umat Islam wajib memerangi kepatuhan agen-agen itu kepada tuan mereka,
sekaligus membongkar kedok dan tindakan-tindakan mereka. Peperangan juga
harus dilakukan terhadap sistem kufur dalam rangka menghilangkan sistem itu,
sekaligus untuk menegakkan kekuasaan Islam dan hukum al-Quran. Para agen
orang-orang kafir ini dengan jelas telah memerangi penyebaran pemikiran
Islam melalui jalan politik, baik atas kemauan mereka sendiri atau karena
provokasi dari negara-negara kufur. Hal ini terjadi karena para penguasa di
Dunia Islam dikontrol oleh tiga keadaan yang begitu mempengaruhi mereka.
Akibatnya, sebagian dari mereka telah kehilangan keyakinan pada Islam
sebagai sebuah sistem hukum dan sebuah pandangan hidup. Sebagai
konsekuensinya, mereka telah menjadi ‘kafir’ walaupun mereka masih
berpuasa dan menjalankan shalat, dan sebagian dari mereka telah kehilangan
harapan untuk memperbaiki umat ini, meskipun mereka masih meyakini Islam
sebagai sebuah sistem hukum dan pandangan hidup. Hal ini telah menjadikan
mereka terus-menerus merasa lemah dalam menghadapi kedigjayaan negara
kafir; tidak lain karena mereka bergantung pada salah satu negara adidaya
tersebut, yang telah menuntun para penguasa itu untuk menyadari bahaya
yang menghadang mereka dan negara mereka atas segala tindakan yang
ditujukan untuk menegakkan kembali Khilafah Islam.
Tiga keadaan itu adalah: Pertama, kurangnya kepercayaan umat pada
Islam sebagai sebuah ideologi universal untuk kehidupan, hukum, dan
hubungan internasional. Kedua, kurangnya kepercayaan kepada umat Islam
sebagai sebuah umat yang mampu memimpin berbagai bangsa. Ketiga,
perasaan takut dalam hati umat Islam karena kekuatan bangsa-bangsa kafir,
persenjataan pemusnah massal yang mereka miliki, serta penggunaan cara-
cara licik dan penuh tipudaya. Oleh karena itulah, mengapa mereka tetap
menjaga jarak dari Islam; senantiasa meminta pertolongan dari negara adidaya;
dan bergantung pada negara-negara tersebut sebagai pilar kekuatan mereka,
bukannya bergantung pada kekuatan negara mereka dan umat mereka sendiri.
Mereka malah tunduk kepada orang-orang kâfir harbi. Pada gilirannya, dengan
kapasitas mereka sebagai alat bagi orang-orang kafir Barat, mereka akan
senantiasa menghalangi kembalinya kepercayaan umat pada pemikiran dan
hukum-hukum Islam, yakni penyebaran pemikiran Islam yang dilakukan melalui
jalan politik. Oleh karena itu, penentangan itu sebenarnya berasal dari kafir
Barat, bukannya dari penguasa Muslim. Sebagai konsekuensinya, kita harus
memahami kesulitan itu berdasarkan atas asas ini. Kita harus mengetahui
bahwa inilah kesulitan asasi dalam membangkitkan umat dan menegakkan
kembali Daulah. Kaum Muslim harus benar-benar dipersiapkan untuk hal ini.
Peperangan itu harus terjadi dan menjadi suatu hal yang fadlu, sebagaimana
fardlunya jihad.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa ada sebuah kesulitan selain
dari perjuangan ini, yakni kemampuan Islam untuk mengikuti dan mengimbangi
zaman, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas politik. Artinya, masalahnya
bukan hanya menegakkan Daulah, karena hal itu adalah sesuatu yang mudah.
Permasalahan sebenarnya adalah bagaiman agar Daulah ini dapat eksis di
kancah internasional, bagaimana upaya Daulah untuk mengambil posisi
terkemuka di antara berbagai negara, dan bagaimana kemampuan Daulah
sendiri untuk mempengaruhi percaturan politik internasional; sedangkan pada
saat yang sama ia harus mempertahankan pemikiran Islam. Jadi, Daulah harus
memiliki solusi atas berbagai problem yang diperlukan oleh tabiat zaman dan
perubahannya. Seseorang juga mungkin berpendapat bahwa berbagai
peristiwa bisa terjadi setiap saat sehingga Islam harus bisa mengimbangi
zaman.
Jawaban atas poin pertanyaan ini adalah bahwa pernyataan ‘mengikuti
zaman’ adalah sebuah pernyataan yang kabur dan tidak jelas. Jika ini berarti
bahwa hukum-hukum harus dibuat sesuai dengan apa yang lazim pada sebuah
zaman maka hal ini dilarang. Contohnya, riba itu haram dalam masyarakat
Islam. Akan tetapi, ketika umat Islam ini berada di bawah sistem kapitalis dan
mereka menjadi bagian dari sebuah masyarakat non-Islam yang menjadikan
riba sebagai sebuah kebutuhan ekonomi untuk masyarakat seperti ini, riba lalu
menjadi halal di tengah-tengah masyarakat ini. Perbuatan ini jelas merupakan
sebuah kemungkaran dan terlarang. Sebab, riba akan tetap haram sampai Hari
Kiamat. Tidak ada kata berubah hanya karena berubahnya zaman, situasi, atau
masyarakat; sekalipun riba itu seolah telah menjadi salah satu kebutuhan hidup
masyarakat sekarang. Artinya, masyarakat itu sendirilah yang harus diubah,
bukan hukum syariat.
Sebaliknya, jika pernyataan ‘mengikuti zaman’ itu diartikan bahwa harus
ada solusi atas problematika yang kita temukan pada setiap masa, maka itulah
yang harus dilakukan. Sebagai contoh, kaum Muslim biasa berkonsultasi
dengan Khalifah dengan memanggil perwakilan mereka, dan Khalifah
mengetahui wakil-wakil mereka itu. Ketika konsultasi negara memerlukan
dibentuknya sebuah dewan syûrâ yang dipilih dari warga untuk mengambil
pendapat mereka, maka masalah ini dapat dipahami dan sesuai dengan
realitasnya. Oleh karena itu, perkara yang diminta oleh asy-Syâri‘ (Allah Swt)
adalah agar dewan tersebut menjadi sebuah dewan untuk bermusyawarah dan
melakukan koreksi (muhâsabah) atas penguasa, bukannya untuk membuat dan
menetapkan hukum. Allah Swt berfirman:

‫ َو َشا ِو ْر ُه ْم فِي اْأل َْم ِر‬


Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (TQS. al-Imran [3]:
159)

‫ورى َب ْيَن ُه ْم‬


َ ‫ َوأ َْم ُر ُه ْم ُش‬
….sedangkan urusan mereka (diputuskan dengan) musyawarah di antara
mereka. (TQS. asy-Syura [42]: 38)

Rasulullah saw bersabda:

ٍ َ‫لج َه ِاد َكلِمةُ ح ٍّق ِع ْن َد س ْلط‬


»‫ان َجائِ ٍر‬ ِ ْ‫ضل ا‬
ُ َ َ ُ َ ْ‫«أَف‬
Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa
tiran. (HR. Muslim)
Dengan demikian, majelis syura ini dibentuk dan hukum wakâlah harus
diterapkan dalam pemilihannya. Hal ini karena mereka adalah anggota majelis
sehingga mereka mewakili pendapat rakyat. Perwakilan dalam masalah
pendapat itu diperbolehkan sebagaimana perwakilan dalam masalah
perselisihan, harta kekayaan, dan sebagainya. Karena mewakilkan pendapat itu
diperbolehkan, maka seseorang memiliki hak untuk menentukan siapa saja
yang diinginkan untuk mewakilkan pendapatnya; apakah dia laki-laki,
perempuan, Muslim, atau non-Muslim. Sebaliknya, seseorang juga dapat
menjadi wakil dari siapa saja yang diinginkan; apakah laki-laki, perempuan,
Muslim, ataupun non-Muslim. Akan tetapi, seorang non-Muslim tidak bisa
menjadi wakil dalam masalah tasyr‘î, karena tasyrî‘ merupakan ahkâm as-
syari‘yyah yang tidak diperbolehkan bagi non-Muslim. Non-Muslim juga tidak
diperbolehkan untuk ikut serta dalam menentukan calon Khalifah, karena
hanya kaum Muslimlah yang berhak memberikan baiat kepada seorang
Khalifah. Dengan demikian, setiap orang memiliki hak untuk menunjuk orang
lain sebagai wakil mereka, dan dia juga bisa menjadi seorang wakil bagi orang
lain dalam setiap perkara yang haknya telah diberikan oleh syariat kepada
mereka. Artinya, siapa pun yang memegang kewarganegaraan Daulah bisa
memilih siapa saja yang diinginkannya dan dia sendiri bisa dipilih oleh siapa
pun yang menginginkannya untuk menjadi anggota dewan syura. Hukum
seperti ini bukan berarti bahwa Islam mengikuti zaman. Ini semata-mata karena
kapasitas syariat yang memang bisa memecahkan problematika yang terjadi di
setiap masa.
Jika pernyataan ‘mengikuti zaman’ direferensikan untuk setiap tindakan
yang dibolehkan—seperti benda yang mubah yang sebelumnya tidak ada; apa
pun yang sesuai dengan rasa yang lazim seperti lebih suka memakai topi
daripada kopiah karena pemakainya tinggal di Eropa, atau seorang pemimpin
menunjuk pengawal dan membuat perjanjian untuk mengadakan pertemuan
dengannya—maka hal ini juga adalah perbuatan yang boleh dilakukan pada
zaman apa pun, walaupun mungkin hal ini tampak sebagai sesuatu yang
‘mengikuti zaman’.
Jika pernyataan tersebut menyangkut perubahan muamalat dalam
hubungan internasional, karena berubahnya kondisi dan situasi, hal ini juga
diperbolehkan, dengan syarat, tetap harus sesuai dengan ahkâm syar‘iyyah.
Contohnya, Daulah Islam boleh menandatangani perjanjian damai dengan
salah satu negara kafir dan menolak perjanjian dengan negara lainnya.
Perjanjian semacam ini boleh dilakukan jika berjalan sesuai dengan apa yang
dianggap maslahat. Rasulullah saw juga pernah membuat perjanjian damai
dengan Bani Madlaj dan sekutu mereka dari Bani Dhamra, tetapi beliau tetap
menyerang kabilah yang lain. Contoh lainnya, Daulah Islam boleh untuk tidak
menaklukkan sebuah negeri dan menerapkan hukum Islam di sana, walaupun
Daulah memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu, karena adanya sebuah
perkara yang berkaitan dengan situasi internasional, atau rencana khusus dari
Daulah. Nabi saw membuat perjanjian dengan Yuhanah bin Ru’bah, penguasa
Ailat, dengan syarat, bahwa Yuhanah membayar jizyah kepada kaum Muslim,
sementara Rasululah saw menjamin keamanan perahu dan kafilahnya di darat
dan laut. Beliau juga membiarkannya tetap sebagai penguasa atas rakyatnya,
dengan fakta bahwa mereka itu adalah orang-orang kafir. Artinya, beliau setuju
walaupun mereka tetap kafir dan berhukum dengan hukum kufur. Beliau
melakukan hal yang sama atas orang-orang Jarba dan Azra, dengan
memberikan persetujuan bagi mereka sebagai orang kafir dan berhukum
dengan hukum kufur. Ketiga rumpun kabilah tersebut berasal dari Kerajaan
Romawi, dan Rasulullah saw mampu untuk menduduki mereka. Dalam Perang
Tabuk beliau memiliki 30 ribu pasukan. Tentara Romawi segera melarikan diri
setelah mendengar kabar tentang beliau walaupun belum bertemu dengan
beliau dalam medan pertempuran. Artinya, beliau mampu menduduki kerajaan
tersebut, tetapi ternyata beliau meninggalkan mereka.
Lebih lanjut, hukum syariat menetapkan bahwa orang-orang kafir itu
harus membayar jizyah kepada Daulah Islam. Akan tetapi, kondisi bisa
mengubah hal itu, yakni Daulah Islam harus membayar jizyah kepada negara
kafir, karena adanya situasi bahaya yang bisa menimpa kaum Muslim.
Rasulullah saw, dalam Perang Ahzab, melihat adanya ketakutan yang begitu
luar biasa di kalangan kaum Muslim. Situasi saat itu telah mencapai titik di
mana sebagian dari mereka telah ragu akan pertolongan dari Allah Swt. Allah
Swt menjelaskan peristiwa ini dengan firman-Nya:

َ ِ‫ ُهنَال‬ ‫اهلل الظُّنُونَا‬


ِ ِ‫اجر وتَظُنُّو َن ب‬
ِ ‫ت الْ ُقلُوب ال‬
ِ َ‫صار وبلَغ‬ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ك‬ َ َ َ‫ْحن‬
َ ُ َ َ ُ َ ْ‫َس َف َل م ْن ُك ْم َوإِ ْذ َزاغَت اْألَب‬
ْ ‫إِ ْذ َجاءُو ُك ْم م ْن َف ْوق ُك ْم َوم ْن أ‬
‫ْابتُلِ َي ال ُْم ْؤِمنُو َن َو ُزلْ ِزلُوا ِزل َْزاالً َش ِدي ًدا‬
(Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah
kalian; ketika tidak tetap lagi penglihatan kalian dan hati kalian naik
menyesak sampai ke tenggorokan, sementara kalian menyangka
terhadap Allah dengan berbagai macam purbasangka. Di situlah diuji
orang-orang Mukmin dan diguncangkan hatinya dengan guncangan
yang sedahsyat-dahsyatnya. (TQS. al-Ahzab [33]: 10-11)

Dalam keadaan ini, Rasulullah saw melakukan sebuah manuver untuk


menghancurkan blokade orang-orang kafir dan membuat sebagian mereka
meninggalkan pertempuran. Kemudian beliau mengirim utusan kepada
Uyainah bin Husn bin Huzayfah bin Badr dan al-Harits bin Auf bin Abi Haritsah
al-Madhari; keduanya adalah pemimpin Gathfan. Beliau bernegoisasi dengan
keduanya dengan memberikan sepertiga hasil panen (kurma) Madinah jika
mereka berdua dan anggota kabilahnya meninggalkan beliau dan para
sahabatnya. Mereka menerima hal ini sehingga sebuah perjanjian itu
ditetapkan antara mereka hingga mereka memiliki sebuah perjanjian dalam
bentuk tertulis. Sebelum Rasulullah saw menandatangani perjanjian tersebut,
beliau mengirimkannya kepada Sa‘ad bin Mu‘adz dan Sa‘ad bin Ubadah. Beliau
menyebutkan perjanjian tersebut seraya meminta pendapat mereka berdua.
Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ini perkara yang Anda sendiri
inginkan, ataukah sesuatu yang telah diperintahkan Allah yang harus kami
jalankan, ataukah sesuatu yang Anda lakukan demi kami semua?”
Beliau berkata, “Bukan, ini hanyalah sesuatu yang aku lakukan demi
kalian semua. Demi Allah aku tidak akan melakukan hal itu kecuali karena aku
melihat bangsa Arab telah melempar kalian dari satu kumpulan busur dan
mengurung kalian dari segala penjuru. Sekarang aku ingin memecahkan
serangan mereka yang menimpa kalian itu.”
Sa‘ad bin Mu‘adz berkata, “Wahai Rasulullah, dulu kami dan mereka itu
adalah kaum yang telah menyekutukan Allah; kami tidak menyembah Allah
malah menyembah berhala; kami pun tidak mengenal-Nya. Mereka tidak
pernah menginginkan untuk memakan sebiji kurma pun dari kami kecuali
sebagai tamu kami atau melalui perdagangan. Sekarang, setelah Allah
memuliakan kami, menunjukkan kami pada Islam, dan menjadikan kami
termasyhur karena Anda, apakah kami harus memberikan kekayaan kami
kepada mereka? Demi Allah, kami tidak memerlukan semua ini. Demi Allah,
kami tidak akan memberikan apa pun kepada mereka kecuali pedang hingga
Allah menetapkan hukum-Nya antara mereka dan kami.”
Rasulullah saw berkata, “Kamu akan memiliki semua itu.”
Kemudian Sa‘ad mengambil kertas tersebut dan menghapus apa yang
tertulis di dalamnya seraya berkata, “Biarkan mereka melakukan apa pun yang
terburuk kepada kita.”
Artinya, Rasulullah saw melihat bahwa kaum Muslim ada dalam situasi di
mana mereka tidak mampu meneruskan peperangan. Beliau kemudian
bernegoisasi dengan orang-orang kafir dengan memberikan mereka harta, dan
negoisasi itu pun berakhir dengan persetujuan mereka. Akan tetapi, sebelum
beliau menandatangani perjanjian tersebut, beliau menyadari dengan meminta
pendapat dua orang Sa‘ad ini (Sa‘ad bin Mu‘adz dan Sa‘ad bin ‘Ubadah), bahwa
kaum Muslim sebenarnya mampu untuk melanjutkan peperangan. Lalu, beliau
berubah pikiran dan mengirim kembali utusan tersebut seraya berkata kepada
utusan tersebut, “Kembalilah, tak ada sesuatu pun untuk kalian kecuali hanya
pedang.”
Hal ini berarti bahwa sekalipun fakta asal adalah bahwa orang-orang
kafirlah yang harus membayar jizyah, jika negara menyadari bahwa situasi yang
diperlukan adalah kaum Muslim yang harus membayar jizyah, maka hal ini
diperbolehkan bagi mereka untuk menghindarkan situasi tersebut dan
membayar jizyah kepada negara kafir. Semua peristiwa ini mengindikasikan
bahwa hukum tersebut telah diletakkan bagi sebuah permasalahan dan cocok
untuk waktu dan situasi tertentu. Hukum tersebut telah dibatalkan, sementara
bagi permasalahan tersebut ada hukum lain yang menempatinya karena
perbedaan situasi dari negara. Walaupun ini mungkin bisa dikatakan mengikuti
zaman, fakta yang sebenarnya adalah bahwa hal ini sejalan dengan hukum
syariat dan bukannya sejalan dengan zaman. Itulah alasan mengapa tidak
diperbolehkan untuk mengubah hukum syariat tanpa adanya bukti (dalil)
syariat yang membolehkan perubahan itu serta meletakkan hukum lain atas
sebuah permasalahan pada kedudukan hukum semula.
Oleh karena itulah, ketika kaum Muslim berada dalam sebuah negara
yang lemah, diperbolehkan bagi Daulah untuk membayar harta kepada negara
kafir, tetapi tidak diperbolehkan bagi Daulah untuk mengizinkan negara kafir
manapun untuk memiliki pangkalan militer dan pelabuhan udara di wilayahnya,
karena hal ini akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir atas
sebagian teritorial negara; sebuah perkara yang tidak diperbolehkan. Daulah
juga tidak boleh menandatangani sebuah perjanjian perbatasan yang di
dalamnya memuat batas-batas tertentu karena hal ini berarti menghentikan
jihad. Akan tetapi, Daulah boleh untuk menghormati perbatasan negara
tetangga selama jangka waktu tertentu, tetapi tidak secara mutlak; tanpa
penentuan batas waktu. Daulah juga boleh melakukan muamalat yang berbeda
dalam hubungan internasional sesuai dengan kondisi yang berbeda. Akan
tetapi, semua itu harus tetap sejalan dengan hukum syariat dan tidak boleh
keluar dari hukum syariat itu sama sekali.
Jika pernyataan ‘mengikuti zaman’ berarti bahwa menata kebijakan
sesuai dengan kebutuhan zaman maka hal ini juga diperbolehkan, karena hal ini
termasuk memilih salah satu di antara perkara mubah. Politik adalah ikut serta
dalam aktivitas yang mempengaruhi berbagai pilihan yang mungkin untuk
mentransformasikan semua pilihan itu ke dalam garis situasi yang kita inginkan,
selama situasi tersebut dalam batas-batas yang memungkinkan. Tentu saja, hal
itu berarti perkara yang mubah. Daulah sewaktu-waktu bisa memilih siasat
perang atau memilih siasat aktivitas dan manuver politik. Dengan kata lain,
Daulah bisa membuat rencana untuk melakukan perang secara nyata sehingga
ia tetap dalam keadaan siap-siaga dan mampu merespon setiap manuver
politik dengan kesiagaan sepenuhnya untuk terjun dalam peperangan dan
memasuki medan pertempuran. Daulah juga bisa membuat rencana untuk
melakukan aktivitas-aktivitas politik dengan menciptakan berbagai
permasalahan secara terus menerus bagi musuh; menjadikan musuh keluar
masuk dari satu masalah ke dalam masalah lain dengan susah-payah. Daulah
harus mempersiapkan sebuah kekuatan yang hebat untuk melakukan hal itu,
sehebat menciptakan permasalahan bagi negara musuh, dan mendorongnya
masuk ke dalam perangkap permasalahan itu. Dengan begitu, ketika negara
musuh berinisiatif untuk melakukan peperangan, Daulah akan memukul
mundur musuh dengan kekuatan yang berlipat. Kebijakan-kebijakan seperti itu
diperbolehkan. Memang, ketika Daulah menyadari bahwa zaman memerlukan
salah satu dari dua kebijakan tersebut, tampak bahwa hal ini sesuai dan
mengikuti zaman, tetapi sebenarnya Daulah telah memilih tindakan yang
diperbolehkan yang diperlukan oleh zaman.
Dengan demikian, berkaitan dengan istilah ‘mengikuti zaman’ ini, ketika
masalah zaman itu dijelaskan, maka makna gandanya bisa dihilangkan. Ketika
makna setiap permasalahan telah ditentukan dan pendapat syariat berkaitan
dengan permasalahan itu telah diketahui, maka kesamaran akan hilang pula
dari masalah ini. Artinya, benar jika dikatakan bahwa syariat Islam itu bisa
mengikuti setiap zaman, yakni bahwa keumuman nash-nashnya bisa
menghadapi setiap permasalahan yang timbul di setiap masa dan bisa
menentukan solusi atas semua itu. Akan tetapi, jika dengan pernyataan itu
berarti bahwa hukum-hukum syariat menunjukkan toleransi untuk kepentingan
zaman, maka Islam tidak lagi bisa mengikuti zaman.
Bagaimanapun, kesesuaian dengan zaman, apakah dalam bidang politik
atau legislasi (tasyrî‘), hanyalah dalam batas-batas praktis saja. Mereka yang
bersikap praktis dan realis secara nyata telah mengikuti zaman, sekalipun
mereka itu orang yang paling konservatif, yang memelihara sesuatu yang kolot
hanya karena kekolotannya. Mereka yang tidak praktis dan juga tidak realis
tidak bisa tetap tinggal dalam sebuah tingkat yang tinggi sepanjang waktu,
malahan mereka menjadi jumud dan tertimpa kebingungan.
Perkara yang paling berbahaya dalam legislasi dan politik adalah asumsi
teoretis dan putusan logika (mantik). Semua itu bisa menimbulkan bahaya,
bahkan mendorong pada kesalahan dan kesesatan. Sebab, perkara politik dan
legislasi masing-masing memecahkan suatu realitas yang terindera dan perkara
peradaban tertentu. Diketahui bahwa setiap realitas tersebut memiliki situasi
dan kondisi tertentu. Hal ini tidak akan pernah terlepas darinya. Bahkan, sangat
perlu untuk memperhatikan keadaan tertentu dari setiap realitas dan setiap
permasalahan yang spesifik. Oleh karena itu, harus dihindari kata generalisasi
(ta‘mîm) dan kata pemisahan dari berbagai situasi dalam masalah politik dan
legislasi. Dengan begitu, tidak satu pun dari perkara peradaban dianalogikan
dengan perkara yang lain hanya karena adanya kemiripan di antara perkara-
perkara itu. Hal ini karena di antara berbagai perkara itu ada sebuah kemiripan
dalam satu aspek, tetapi banyak perbedaan dalam aspek-aspek yang lain.
Perkara yang paling berbahaya dalam politik dan legislasi adalah
penggunaan analogi komprehensif (al-qiyâs asy-syumûlî). Legislasi, apalagi
legislasi yang datang melalui wahyu, merupakan hukum-hukum atas perbuatan
tertentu. Hukum itu tidak diberlakukan kecuali hanya untuk perbuatan
tersebut. Oleh karena itu, tidak ada qiyâs atas berbagai perbuatan hanya
karena adanya kemiripan belaka. Bahkan, hukum itu diberikan atas perbuatan
yang lain jika perbuatan-perbuatan tersebut merupakan contoh-contoh
tersendiri dalam jenis (jins) dan tipe (naw‘) itu, dan bukan karena perbuatan-
perbuatan itu menyerupainya. Jika sebuah nash mengandung sebuah ‘illat, ia
hanya diterapkan dalam jenis deskripsi (wasf) itu, yang berasal dari ‘illat
hukum, dan diterapkan pada apa yang serupa dengannya. Jika sebuah subyek
menyimpang dari hal ini maka subyek itu bukan lagi menjadi sebuah hukum
syariat yang digali dari sebuah dalil. Hal ini karena dalil tidak
mengindikasikannya; dalil hanya mengindikasikan apa yang menyerupainya.
Oleh karena itu, sebagian ulama seperti Ibn Hazm telah mendorong kita agar
berpegang pada makna tekstual (zhâhir) nash. Hal ini karena kekhawatiran
masuknya sesuatu ke dalam hukum selain dari jenis dan tipenya, hanya karena
adanya kemiripan, atau mungkin nash tersebut menuntut makna yang berbeda
dengan apa yang diindikasikan dari segi bahasa atau syariat. Ulama yang lain,
seperti Imam Ja‘far, juga melarang berpegang pada qiyâs. Hal ini karena dalam
pandangan mereka, nash yang datang membawa ‘illat, sementara ‘illat-nya
datang sebagai sebuah tanda bagi sebuah hukum. Oleh karena itu, mereka
berkata, “Allah berkata bahwa ini adalah hukum atas perkara ini dan ini. Ini
adalah tanda (‘alamat)-nya. Oleh karena itu, tidak ada qiyâs dalam masalah
ini.”
Semua tindakan pencegahan ini diberlakukan karena kekhawatiran
adanya bahaya yang bisa ditimbulkan oleh asumsi teoretis dan logika yang bisa
membawa pada kesalahan dan kesesatan, karena qiyâs yang salah dilakukan
berdasarkan atas adanya kemiripan.
Dalam politik, perkara tersebut lebih buruk lagi, karena politik adalah
pemecahan atas sebuah permasalahan, sementara jarang terjadi dua
permasalahan berkumpul dalam perkara apa pun. Semua permasalahan itu
cukup menyulitkan, butuh pemahaman yang mendalam, dan menjadi peristiwa
yang bertautan. Oleh karena itu, setiap peristiwa yang terjadi tanpa dipelajari
secara tersendiri dan diberikan status hukum yang spesifik atasnya mungkin
tidak akan mencapai sebuah kebenaran, kecuali kalau peristiwa tersebut terjadi
secara kebetulan. Dengan pendekatan ini, permasalahan tersebut sulit untuk
dipahami, dan kesalahan akan terjadi dalam pemecahannya.
Jadi, agar legislasi dan politik bisa mengikuti kebutuhan dan keperluan
setiap waktu, sesuai dengan asas yang konsisten dan tidak bisa diubah oleh
subyek apa pun, maka semua peristiwa itu perlu sepenuhnya dipelajari sesuai
dengan realitasnya. Ukuran apa pun tidak akan diberikan atas dasar kemiripan
yang ada di antara berbagai peristiwa itu. Aspek praktis juga harus
dipertimbangkan pada saat dilakukan pemecahan masalah, yakni apakah solusi
tersebut mungkin atau tidak; dengan kata lain, apakah ia bisa
diimplementasikan atau tidak. Dengan begitu, asumsi teoretis dan logika
dikesampingkan. Apalagi generalisasi (ta‘mim) dan pemisahan keadaan (tajrîd)
yang meliputi berbagai peristiwa itu; keduanya dihilangkan sehingga bisa dijaga
dari penggunaan qiyâs yang salah. Dengan begitu, legislasi dan politik tetap
bisa dijaga agar tetap subur semaksimal mungkin. Sesuai dengan pernyataan
mereka, umat tetap bisa mengikuti zaman sehingga setiap saat bisa memegang
kedudukan yang baik sekali dalam situasi internasional, bahkan memegang
posisi sebagai negara pemimpin di antara berbagai bangsa.
Kadang-kadang juga dikatakan, bahwa negeri-negeri Islam yang sangat
luas ini telah dipecah menjadi beberapa negara; berbagai macam konstitusi dan
undang-undang diberlakukan atas mereka. Lebih dari 40 tahun berlalu sejak
runtuhnya Khilafah yang terakhir (tulisan ini dibuat sekitar tahun 60-an-pen),
mereka telah diperintah oleh konstitusi yang kontradiktif dengan Islam dan
hukum-hukum syariat; yang ada pada mereka adalah sistem dan hukum-hukum
kufur. Oleh karena itu, jika kesulitan itu—dalam kaitannya dengan ‘mengikuti
zaman’—telah diatasi, masih ada kesulitan lain yang berkaitan dengan
konstitusi dan perundang-undangan. Jadi, perlu untuk mempersiapkan
konstitusi bagi Daulah Islam yang memberikan perhatian pada perbedaan
peristiwa, kondisi, dan situasi di berbagai macam negeri Islam; perlu juga untuk
mempersiapkan undang-undang yang bisa memecahkan permasalahan yang
timbul pada zaman modern ini.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa dasarnya adalah bagaimana
menumbuhkan kepercayaan pada kesahihan, kebenaran, serta kelayakan
pemikiran Islam dan hukum-hukumnya sebelum mengkodifikasikannya menjadi
sebuah konstitusi dan undang-undang. Artinya, dasarnya adalah lahirnya
hukum-hukum syariat tersebut dari akidah yang diimani oleh kaum Muslim dan
diyakini sebagai hukum yang berasal dari wahyu Allah. Jika asas ini ada maka
meletakkan konstitusi dan undang-undang Islam merupakan sesuatu yang
mudah. Dengan kata lain, memusatkan perhatian atas asas ini merupakan
sebuah kemestian, sedangkan asas tersebut menjadi tempat berpijak Daulah
dan masyarakat yang mengikat umat ini sebagai sebuah umat. Artinya, upaya
membangkitkan kehidupan dalam akidah Islam pertama kali adalah sebuah
keharusan. Ini dapat ditempuh dengan memandang bahwa pemikiran dan
hukum-hukum yang lahir dari akidah tersebut merupakan wahyu Allah Swt.
yang disampaikan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad saw sebagai solusi
atas perbuatan para hamba-Nya untuk merealisasikan kebahagiaan bagi
mereka. Jika keyakinan ini telah ada maka Daulah itu pun pasti akan ada.
Benar bahwa akidah Islam telah ada pada diri umat Islam. Umat ini juga
merupakan umat Islam, bukan umat kafir. Akan tetapi, akidah ini telah
kehilangan ikatannya dengan pemikiran tentang kehidupan dan sistem legislasi.
Oleh karena itu, vitalitas akidah ini telah menyusut, menjadi jumud, bahkan
hampir menjadi sebuah akidah yang mati. Kaum Muslim dulu memiliki motivasi
yang hidup, yang mampu membawa mereka untuk menaklukkan dunia,
memerintah umat manusia, menebarkan petunjuk, serta meninggikan panji
kebenaran dan keadilan. Akidah ini telah kehilangan aspirasinya untuk meraih
surga dan pandangannya telah terbatas hanya untuk dunia. Ia telah kehilangan
dzikrullâh, aspirasi kepada-Nya, dan mencari pertolongan dari-Nya. Ia malah
mengarahkan pandangan kepada makhluk, mencari perlindungan dari manusia,
dan mengambil kekuatan dari kekayaan. Bahkan, dalam jiwa-jiwa kaum Muslim
akidah ini hampir kehilangan konsepsinya tentang Hari Akhirat. Ia telah
kehilangan rasa rindunya akan surga dan kebahagiaan akhirat. Ia kehilangan
cita-citanya, yakni meraih ridha Allah Swt, sehingga cita-citanya terbatas pada
perhiasan dunia. Akibatnya, kaum Muslim malah merindukan rumah yang
sangat besar yang berada di tempat yang amat indah dengan sebuah mobil
yang mewah. Kerinduan ini telah difokuskan pada upaya mendapatkan
keinginan-keinginan material dan menghargai siapa saja yang mampu meraih
keinginan tersebut. Akidah ini—sekalipun bagi mereka yang sering bangun
untuk shalat tahajud di tengah malam, berpuasa sunat di kala siang, dan
merasa takut jatuh dalam pelukan dosa—tidak beranjak melebihi semua
ibadah itu; malah tetap memalingkan perhatian pada dunia semata.
Keterikatan pada hukum Allah yang telah diwahyukan dari Allah Swt telah
berhenti mempengaruhi kaum Muslim. Meninggikan kalimat Allah dan
menjadikannya sebagai satu-satunya yang tertinggi telah tiada dalam setiap
perbuatan dan pemikiran mereka. Jadi, bagaimana mungkin umat ini diminta
untuk menegakkan Daulah serta membuat konstitusi dan undang-undang,
sementara pemikiran asasi yang melahirkan konstitusi dan undang-undang
tersebut belum dipersiapkan, padahal pemikiran tersebut memberi konstitusi
dan undang-undang sebuah karakter sebagai hukum-hukum syariat atau
sebagai pemecah berbagai masalah yang telah dipikirkan oleh wahyu Allah?
Diperlukan upaya untuk membangkitkan akidah Islam dalam diri kaum
Muslim sehingga hati mereka mampu berbicara—sebelum lidah mereka—
bahwa pemikiran dan hukum-hukum Islam adalah hukum yang paling
menjamin keberadaan kita; keikhlasan kita atasnya berada di atas segala
keikhlasan dan kesetiaan kita padanya berada di atas segala kesetiaan. Ketika
hati mereka berbicara seperti semua ini dan Allah serta Rasul-Nya lebih dicintai
daripada yang lain selain keduanya, maka pemikiran yang menyatukan umat ini
sebagai sebuah umat, yang tegak di atasnya Daulah, yang lahir darinya undang-
undang, akan bisa membangkitkan kehidupan umat ini. Setelah itu, mudahlah
upaya meletakkan konstitusi dan undang-undang. Oleh karena itu,
permasalahannya yang pertama dan utama adalah bagaimana menempatkan
kebutuhan dalam pemikiran dan jiwa. Sesungguhnya ketiadaan hal ini menjadi
asal semua penyakit dan asas segala kemalangan; menanamnya kembali adalah
menjadi solusi dan obat penyembuhnya.
Problematika utamanya adalah bagaimana membangkitkan umat dan
menegakkan Daulah. Membangkitkan umat hanya bisa dilakukan melalui
pemikiran dan bukan melalui konstitusi dan undang-undang. Menegakkan
Daulah berarti menunjuk seorang Khalifah untuk seluruh kaum Muslim.
Menunjuk seorang Khalifah adalah dalam rangka menegakkan hukum. Hukum
itu sendiri merupakan politik dalam makna yang sangat tinggi lagi mulia, yakni
perbuatan hati dan akal. Oleh karena itu, akidah Islam, yang telah melahirkan
pemikiran tentang kehidupan, bisa memenuhi akal dengan kesadaran dan
memenuhi hati dengan perasaan terdalam; dari keduanyalah asal sebuah
perbuatan. Perbuatan tersebut adalah hukum, yaitu politik manusia. Ia tidak
memerlukan konstitusi dan undang-undang untuk pertama kali ada. Ia hanya
memerlukan akal dan hati yang dipenuhi oleh pemikiran cemerlang. Setelah
itu, kebutuhan akan konstitusi dan undang-undang pun muncul. Jadi, hal yang
pertama kali dibutuhkan adalah pemikiran yang memberikan arah pandang
tentang kehidupan, yakni hidupnya akidah Islam. Inilah yang pertama dan
utama sebelum segala sesuatunya. Ketika hal itu ada maka Daulah pun akan
ada. Setelah itu, konstitusi dan undang-undang bisa ada.
Undang-undang dan hukum merupakan solusi atas berbagai
permasalahan yang dihadapi manusia sehari-hari. Undang-undang dan hukum
itu lahir dari sebuah pandangan hidup, yakni dari akidah rasional (‘aqîdah
‘aqliyyah) yang hidup, yang bisa menegakkan kekuasaan dan menjadikan
kekuasaan tersebut tegak di atasnya. Jadi, konstitusi dan undang-undang
merupakan perangkat hukum, bukan menjadi asas hukum; juga menjadi
standar atas pelbagai perbuatan yang harus dipatuhi penguasa dan dalam
rangka membatasi warga negara yang mereka pimpin. Adapun pemikiran yang
telah melahirkan konstitusi dan undang-undang ini, maka itulah yang telah
menegakkan hukum ini dan mendorong umat untuk mewujudkan seorang
penguasa. Pemikiran merupakan perkara yang menjadikan penguasa bisa
memerintah umat dan memelihara segala urusannya sesuai dengan cara dan
metode tertentu. Inilah yang akan menjadi sebuah kebijakan yang lahir dari
akal dan hati secara bersamaan serta penuh dengan kesadaran akan realitas,
yang dengan itu perasaan bangkit. Dengan itulah akan tumbuh kesadaran
hukum pada penguasa dan kebijakan politik yang diambilnya akan menjadi
kebijakan politik yang hidup dan membangkitkan kehidupan.
Dengan demikian, asas dalam menegakkan Daulah melalui umat ini
bukanlah konstitusi dan undang-undang, tetapi bagaimana menumbuhkan
kehidupan ‘aqîdah ‘aqliyyah (akidah rasional) yang melahirkan konstitusi dan
undang-undang tersebut. Dengan kata lain, asasnya adalah menyelamatkan
umat ini dari kebinasaan yang nyata dengan membangkitkan pemikiran umat
ini dan menegakkan Dualah Islam, yakni dengan mengembalikan kepercayaan
umat pada keshahihan, kebenaran, dan kelayakan pemikiran Islam. Dengan
ungkapan lain, persoalannya adalah bagaimana menghidupkan kembali akidah
Islam dalam hati kaum Muslim.
Wahai kaum Muslim,
Sesungguhnya, kita ini telah diciptakan sebagai umat yang terbaik, yang
dilahirkan untuk manusia. Oleh karena itu, umat ini tidak boleh terus-menerus
berada dalam kejatuhan. Adalah sebuah kejahatan bila umat ini sampai
menghadapi kebinasaan. Umat Islam adalah umat yang menebarkan petunjuk
ke seluruh penjuru dunia dan membumikan keadilan untuk seluruh umat
manusia. Umat Islam senantiasa memelihara kebenaran dalam memerintah
dan menerapkan hukum kepada rakyatnya; melimpahkan kasih-sayang kepada
manusia; melingkungi dan menjaga mereka, serta menebarkan kesentosaan
dan menciptakan kestabilan. Umat Islam senantiasa memberikan kebahagiaan
hidup bagi siapa saja yang menyambut baik seruannya. Inilah umat yang hidup
dengan tujuan menyelamatkan manusia dari kesyirikan dan kekufuran. Jutaan
anak umat ini telah mencapai kesyahidan (syahâdah) dalam rangka
meninggikan dan menegakkan kalimat Allah. Tugas utama umat Islam dalam
kehidupan ini adalah mengemban dakwah Islam kepada seluruh manusia dan
cita-cita tertingginya adalah menggapai ridha Allah.
Umat Islam adalah umat yang bermartabat dan terhormat, yang
mengangkat beban penderitaan seluruh manusia serta mengeluarkan mereka
dari dalamnya kegelapan ke dalam benderangnya cahaya. Seluruh manusia
masih membutuhkan umat Islam demi menyelamatkan mereka kembali dari
ketamakan dan kegelisahan materialisme, menuju ketentraman dan kedamaian
takwa serta kesentosaan iman.
Hari ini, umat terbaik ini berada di pinggir jurang kebinasaan. Kekufuran
dengan seluruh aspeknya sedang mempercepat langkah untuk mengakhiri
riwayat hidup mereka. Orang-orang kafir telah menimbulkan keraguan pada
pemikiran dan hukum agama umat Islam dalam sebuah periode ketika
matahari inovasi dan industri mereka menyinggsing dalam sorotan ketinggian
intelektual yang penuh dan dalam panasnya kemajuan materialisme. Orang-
orang kafir lalu menunjukkan pemikiran kufurnya kepada umat ini dengan
memamerkan inovasi dan hukum batil serta dengan menghadirkan industri.
Umat ini kemudian mendapati dirinya sedang diuji dan orang-orang kafir telah
berhasil membuat mereka ragu atas pemikiran dan hukum-hukum Islam hingga
mereka merasa berada di persimpangan jalan.
Sejak orang-orang kafir itu menghancurkan Daulah Islam dan
menghapuskan Khilafah Islam dari keberadaannya, mereka telah membawa
umat ini—pada saat umat dalam keadaan bingung—menuruni tepi jurang
kebinasaan agar mereka bisa memusnahkan umat ini, hingga umat ini tidak
memiliki pengaruh apa-apa. Hari ini, setelah 40 tahun kondisi ini berlalu, orang-
orang kafir telah menyeret umat ini ke penghujung jalan dan mendorong
mereka ke pinggir jurang kehancuran. Umat Islam sekarang melihat
penderitaan akhir terbentang di hadapan mereka.
Jadi, akankah Anda sekalian meninggalkan umat ini binasa sebagaimana
bangsa-bangsa terdahulu punah? Kemudian, pada saat itu Allah akan
mengangkat derajat mereka yang membawa risalah-Nya, mengemban dakwah-
Nya, dan menolong agama-Nya serta Dia akan menggantikan kalian dengan
kaum yang lain? Dia berfirman:

‫ َوإِ ْن َتَت َولَّ ْوا يَ ْستَْب ِد ْل َق ْو ًما غَْي َر ُك ْم ثُ َّم الَ يَ ُكونُوا أ َْمثَالَ ُك ْم‬
Jika kalian berpaling niscaya Dia akan mengganti kalian dengan kaum
yang lain dan mereka tidak akan seperti kalian. (TQS. Muhammad [47]:
38)

‫يما َويَ ْستَْب ِد ْل َق ْو ًما غَْي َر ُك ْم‬ِ ِ


ً ‫إِالَّ َت ْنف ُروا ُي َع ِّذبْ ُك ْم َع َذابًا أَل‬
Jika kalian tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah akan menyiksa
kalian dengan siksaan yang pedih dan kalian diganti dengan kaum yang
lain. (TQS. at-Taubah [9]: 39)
Ataukah Anda sekalian akan membelanjakan darah dan jiwa Anda untuk
menyelamatkan umat ini yang karenanya mereka meneruskan upaya untuk
mengemban risalah-Nya sekali lagi ke seluruh dunia demi menyelamatkan
umat manusia dari kekufuran, kesesatan, kesengsaraan, dan kebinasaan
sekaligus mengeluarkan mereka dari kegelapan ke dalam cahaya?
Wahai kaum Muslim,
Anda sekalian tidak mungkin bisa diselamatkan tanpa kembali kepada
Allah, memperkuat hubungan kalian dengan-Nya, meminta pertolongan dari-
Nya, serta meletakkan kepercayaan yang sesungguhnya kepada-Nya, hingga
kalian menjadikan keridhaan-Nya sebagai tujuan tertinggi dalam hidup ini.
Menyebarkan agama Allah, menegakkan kalimatullah, menebarkan rahmat
kepada seluruh makhluk Allah, serta membawa kebahagian kepada hamba-
hamba Allah akan bisa menyelamatkan umat ini. Ini berarti otak kekufuran
akan bisa dihancurkan, pimpinan thâghût akan dapat dibinasakan, serta
ateisme dan kebatilan bisa diruntuhkan. Semua ini tidak bisa dicapai kecuali
melalui perjuangan pahit dan sengit, dengan pedang pemikiran yang cemerlang
serta melalui jihad yang tulus demi menegakkan kalimatullah, serta menjual
hidup dan jiwa Anda sekalian untuk Allah. Kalian tidak akan mempunyai
kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah dan tidak akan mempunyai dukungan
kecuali dengan pertolongan Allah. Allah-lah satu-satunya Penolong dan Zat
yang memberikan kemenangan. Dialah sebaik-baiknya Pelindung dan Pemberi
pertolongan.
Wahai kaum Muslim,
Cinta Anda sekalian atas dunia begitu panjang. Oleh karena itu,
angkatlah pandangan Anda sekalian. Keinginan Anda sekalian untuk menikmati
dunia begitu besar. Oleh karena itu, lukislah hasrat Anda sekalian akan
kebahagian akhirat. Inilah saatnya bagi Anda sekalian untuk mengobarkan
kerinduan pada surga dan membangkitkan kembali wewangiannya serta
berjuang meraih kenikmatannya. Jadikanlah kerinduan pada surga itu sebagai
sampan yang akan membawa kalian ke arena perjuangan dan medan
peperangan.
Sambutlah oleh Anda sekalian panggilan Allah manakala Dia berfirman:

‫ين‬ ِ ‫َّت لِل‬ ِ ‫ات واْألَر‬ ُ ‫ َو َسا ِرعُوا إِلَى َم ْغ ِف َر ٍة ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َجن ٍَّة َع ْر‬
َ ‫ْمتَّق‬
ُ ْ ‫ض أُعد‬
ُ ْ َ ُ ‫الس َم َو‬
َّ ‫ض َها‬
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju
surga yang luasnya seluas langit dan buumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. (TQS. Ali Imran [3]: 133)

Sambutlah juga oleh Anda sekalian perintah Rasulullah saw ketika beliau
bersabda:
ِ ‫السـمو‬
ِ ‫ات َواْأل َْر‬
»‫ض‬ ُ ‫لجنـَِّة َع ْر‬
َ َ َّ ‫ض َها‬ َ ْ‫« ُق ْو ُم ُوا إِلَى ا‬
Berdirilah kalian demi surga yang luasnya meliputi langit dan bumi.

Orang-orang yang telah bersumpah pada Perjanjian ‘Aqabah II dengan


mengatakan, “Kami telah menjadikan Rasulullah sebagai bagian dari jiwa-raga
kami walaupun kami harus kehilangan harta kekayaan milik kami atau
terbunuhnya tokoh-tokoh kami.”
Mereka berkata kepada Rasulullah, “Apa yang akan menjadi imbalan
kami, wahai Rasulullah, jika kami memberikan segenap kesetiaan kami
kepadamu?”
Rasulullah menjawab dengan penuh keyakinan, “Surga!”
Wahai kaum Muslim,
Sesungguhnya surga itu akan menjadi imbalan untuk kita bila kita
mengerahkan segenap daya-upaya di jalan Allah, untuk menyebarkan Islam dan
menegakkan kalimat Allah. Dia berfirman:

ِ ‫يل‬ ِ ِ‫ْجـنَّةَ ُي َقاتِلُو َن فِي َسب‬ َّ ‫ين أَْن ُف َس ُه ْم َوأ َْم َوال َُه ْم بِأ‬ِِ ِ
‫اهلل َفَي ْق ُتلُو َن َو ُي ْقَتلُو َن‬ َ ‫َن ل َُه ُم ال‬ َ ‫إِ َّن اهللَ ا ْشَت َرى م َن ال ُْم ْؤمن‬
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan
harta mereka dengan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (TQS. at-Taubah [9]: 111)

Ya, surga, wahai kaum Muslim, adalah buah transaksi yang mereka buat
dengan Allah pada saat mereka berjuang di jalan Allah hingga mereka
membunuh atau terbunuh. Apakah ini bukan saatnya bagi Anda sekalian untuk
merindukan surga serta membuat transaksi dengan Allah dan Anda tidak akan
pernah rugi? Semua itu dilakukan dengan jalan kalian menjual segenap jiwa
Anda untuk menggapai ridha-Nya dan menjawab seruan-Nya ketika Dia
mengajak kalian pada apa yang akan memberikan kehidupan.
‫ول إِ َذا َد َعا ُك ْم لِ َما يُ ْحيِي ُك ْم‬ َّ ِ‫ِهلل َول‬
ِ ‫لر ُس‬ ِ ‫استَ ِجيبوا‬
ُ ْ ‫ين َء َامنُوا‬
ِ َّ
َ ‫يَاأ َُّي َها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kalian pada suatu yang yang memberi kehidupan
kepada kalian. (TQS. al-Anfal [8]: 24)

Wahai kaum Muslim,


Sesungguhnya petaka mengerikan yang menimpa Anda sekalian adalah
padamnya cahaya akidah dalam hati Anda dan hilangnya pengaruh akidah itu
dalam segala perbuatan Anda. Akidah telah kehilangan kehangatannya dalam
perilaku Anda dan sebentar lagi akan mati dalam jiwa Anda. Oleh karena itu,
terangilah akidah dengan hukum-hukum al-Quran dan hidupkanlah kembali
dengan mengingat Allah. Jadikanlah akidah itu yang akan mengembalikan
kalian sebagai makhluk yang unik sebagaimana kaum Muslim generasi pertama
dari sahabat, tâbi‘în, dan tâbi‘ at-tâbi‘în. Sinarilah ia dengan kepercayaan pada
pemikiran dan hukum Islam, dengan upaya menegakkan kembali kekuasaan
Islam, serta dengan meninggikan panji al-Quran. Sinarilah ia dengan
mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia sehingga Anda
sekalian bisa mengeluarkan mereka dari gelapnya kekufuran ke dalam
terangnya cahaya Islam; dari neraka kekhawatiran dan penderitaan ke dalam
nikmatnya kedamaian dan kebahagiaan. Bangkitkan kembali akidah itu dengan
menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan mematuhi perintah-Nya; dengan
menumbuhkan rasa takut pada siksa-Nya dan rasa rindu pada surga-Nya; serta
dengan memperkuat ikatan dengan-Nya dan mengingat-Nya dalam segala
perbuatan. Ingatlah Dia ketika kalian berbuat segala sesuatu. Bangkitkan
kembali akidah itu dengan taqarrub kepada-Nya yang tidak hanya dilakukan
dengan shalat, puasa, zakat, dan doa saja; tetapi juga dengan menyampaikan
kebenaran kapan pun itu diperlukan, dengan menumpas kebatilan di manapun
adanya, serta dengan memerangi orang-orang kafir dan munafik sepanjang
masa dan di setiap kesempatan.
Wahai kaum Muslim,
Penyakit Anda sekalian telah didiagnosis, tiada lain adalah goyahnya
kepercayaan pada pemikiran dan hukum-hukum Islam. Obatnya juga telah
nyata bagi Anda sekalian, yakni dengan menegakkan Khilafah Islam dengan
pemikiran dan hukum-hukum Islam. Dengan begitu, rangkaian aksi Anda
sekalian begitu terang, seterang mentari di tengah hari. Tujuan telah
diterangkan sehingga setiap orang bisa merasakannya. Itulah yang menjadi
alasan mengapa kami menyeru Anda sekalian untuk memberikan nafas
kehidupan bagi akidah Islam di dalam jiwa Anda melalui eratnya hubungan
dengan Allah, menyeru manusia kepada-Nya, dan pada rasa percaya akan
syariat-Nya, serta dengan menjadikan ukhuwah Islamiyah sebagai satu-satunya
pengikat seluruh kaum Muslim.
Kami menyeru Anda sekalian untuk ikut beraktivitas tanpa letih dan lelah
dengan kesadaran penuh dan pengorbanan yang tulus demi menegakkan
kembali Daulah Khilafah Islamiyah, dengan cara menyebarluaskan pemikiran
Islam dan berani berkorban memperjuangkannya. Semua ini tiada lain kecuali
hanya dalam rangka meninggikan panji Islam di atas segala panji-panji yang
ada, menjadikan kalimat Allah sebagai perkara yang tertinggi, serta
meneruskan pengembanan risalah Islam ke seluruh penjuru bumi sebagai
sebuah cahaya, petunjuk, dan rahmat-Nya.

Khartoum, pada:
20 Rabi’ ats-Tsani 1385 H
17 Agustus 1965 M

HIZBUT TAHRIR
1
11
25
42
62
73

Anda mungkin juga menyukai