إلى المسلمين
من
حزب التحرير
1385 من ربيع الثاني20 الخرطوم
1965 أغسطس17
Seruan Hizbut Tahrir
Kepada Kaum Muslim
Jika syariat Islam seperti itu, berarti syariat Islam layak menjadi sebuah
syariat yang cocok. Sebaliknya, jika tidak, berarti ia bukan syariat yang cocok.
Untuk membuktikan semua ini, berbagai permasalahan yang baru disodorkan
di hadapan syariat Islam dan dicari pendapat darinya. Nash-nashnya dipelajari
untuk menguji kemungkinan bisa dilakukannya penggalian hukum dan berbagai
kaidah serta kemungkinan dilakukannya pengklasifikasian permasalahan yang
beraneka ragam yang menjadi turunannya. Inilah seharusnya yang menjadi
dasar pembahasan.
Sementara itu, tuntutan agar syariat Islam memberikan pemikiran yang
sejalan dengan apa yang dianjurkan oleh sistem kapitalisme—yang lazim pada
zaman ini—serta yang dianut sebagai pendapat mayoritas, hal itu tidak dapat
dan tidak boleh menjadi dasar pembahasan. Sebab, yang menjadi inti atau
pokok persoalan adalah kelayakan syariat Islam untuk saat ini dan untuk setiap
zaman, bukan apakah syariat Islam memiliki kemampuan untuk memberikan
pandangan yang spesifik ataukah tidak. Oleh karena itulah, pangkal dan asas
legislasi Barat dipelajari, kemudian dipelajari apakah ia layak untuk
memecahkan problematika segala zaman dan masih tetap konsisten dengan
asasnya itu ataukah ia tidak layak lagi—kecuali dengan dilakukannya berbagai
penafsiran, penyelewengan, dan penyimpangan dari asasnya semula. Setelah
itu, legislasi Islam dan asas berpijaknya pun dipelajari agar bisa diketahui,
apakah ia layak untuk memecahkan berbagai permasalahan yang muncul pada
segala zaman ataukah tidak, juga apakah ia tetap konsisten dengan asasnya
semula tanpa adanya sedikit pun penyimpangan dari asas tersebut ataukah
tidak. Dengan itulah, realitas legislasi yang benar dan haq dapat dibedakan dari
legislasi yang salah dan batil. Akan dapat dijumpai bahwa legislasi yang benar
adalah legislasi yang asasnya benar, yakni yang sesuai dengan realitas dan
fitrah. Asas ini harus tegas (qath‘î) dan meyakinkan, tidak bersifat spekulatif
(zhannî) sehingga terbuka kemungkinan ia menjadi sebuah asas yang benar
atau salah.
Adapun kesesuaian legislasi tersebut untuk seluruh zaman serta untuk
semua generasi dan bangsa, hal ini akan tampak dari kemampuannya untuk
memberikan pendapat yang berkaitan dengan berbagai permasalahan yang
dihadapi umat manusia pada setiap zaman dan setiap negeri. Dengan kata lain,
garis petunjuk legislasi yang dimaksud harus luas, sehingga berbagai solusi
dapat digali tanpa ada penyimpangan dari asas yang menjadi pijakannya, dan
tanpa ada penyelewengan dari garis petunjuknya yang luas, yang menjadi
tempat lahirnya solusi tersebut. Jika syarat-syarat tersebut ditemukan dalam
sebuah legislasi, berarti ia layak dan sesuai untuk segala zaman. Sebaliknya, jika
legislasi tersebut tidak mampu memberikan pendapat kecuali melalui
penyelewengan dan penjelasan yang menyimpang dari asas dan garis
petunjuknya, berarti ia hanya akan menjadi legislasi spesifik, yang hanya layak
bagi bangsa tertentu dan berlaku dalam waktu tertentu pula; ia tidak layak
menjadi sebuah legislasi bagi umat manusia secara keseluruhan; bahkan
sebetulnya ia tidak layak untuk bangsa tersebut kecuali hanya untuk beberapa
saat tertentu sampai kelayakannya berakhir, lalu bangsa tersebut akan
mengubahnya dan membawa legislasi lain sebagai penggantinya.
Oleh karena itu, berbagai permasalahan yang baru harus disodorkan pada
Islam sebagai sebuah permasalahan itu sendiri, bukan didasarkan pada
kacamata sistem kapitalis dalam memandang permasalahan tersebut. Pada
saat itu dilihat, apakah sebuah solusi bisa digali dari keluasan garis petunjuknya
ataukah tidak; juga apakah ia tetap konsisten dengan asas yang menjadi dasar
pijakan Islam dan asas garis petunjuknya yang luas itu ataukah tidak.
Seseorang yang mempelajari legislasi Barat dan legislasi Islam akan
mendapatkan bahwa legislasi Barat itu memiliki asas yang salah, pemecahan
yang rusak, serta tidak mampu memberikan sebuah solusi untuk memecahkan
permasalahan yang baru; kecuali dengan cara yang menyimpang dari asasnya
sendiri, mengenyampingkannya, dan memberikan solusi yang tidak memiliki
kaitan dengannya, bahkan kontradiktif dengan asasnya itu. Sebaliknya,
seseorang yang mempelajari legislasi Islam akan mendapatkan bahwa ia
memiliki asas yang benar dan bersifat tegas/pasti (qath‘î), tidak bersifat
spekulatif (zhannî). Solusi yang diberikan oleh legislasi (tasyrî‘) Islam adalah
solusi yang benar serta sesuai dengan realitas dan fitrah manusia. Legislasi
Islam memiliki kapasitas untuk menggali berbagai pendapat untuk
memecahkan permasalahan yang beraneka ragam tanpa menyimpang dari asas
yang menjadi tempat berpijaknya dan tanpa mengenyampingkan garis
petunjuk yang menjadi sumber penggalian pendapatnya.
Legislasi Barat berpijak pada asas pemahaman atas kebenaran yang
salah. Semua teori-teori hukumnya dibangun atas pemahaman yang keliru atas
kebenaran ini. Wajar jika Barat mendefinisikan hak sebagai “setiap
kemaslahatan yang bernilai—atau dapat dinilai dengan—uang (financial value)
yang ditetapkan oleh undang-undang”. Konsep Barat tentang hak ini jelas
salah, sehingga semua hukum yang disandarkan padanya juga pasti rusak.
Kesalahannya adalah karena realitas hak bukan sekadar kemaslahatan yang
dapat dinilai dengan uang. Yang benar, hak adalah kemaslahatan mutlak; baik
ia memiliki nilai uang ataukah tidak. Membatasi hak hanya sebagai
kemaslahatan yang bernilai uang membawa dua konsekuensi:
Pertama, hak berarti tidak meliputi kemaslahatan yang tidak bernilai uang,
seperti pernikahan dan perceraian serta apa saja yang tercakup dalam hak-hak
perkawinan atau hak-hak keluarga seluruhnya; juga berarti tidak mencakup
kemaslahatan yang memiliki nilai etis (ethical value) seperti pemeliharaan
kehormatan dan harga diri seseorang—yang menjadi hak setiap orang—
walaupun mungkin ia tidak memiliki nilai uang dan tidak mungkin ditetapkan
sebagai sesuatu yang memiliki nilai uang secara mutlak.
Kedua, mengukur segala sesuatu dengan setandar nilai uang memerlukan alat
pengukur lain yang digunakan untuk menilai hak tersebut. Padahal,
pemahaman tentang hak itu sendiri merupakan sebuah nilai sehingga tidak
mungkin untuk menemukan sebuah perangkat untuk menentukan nilainya.
Oleh karena itu, definisi hak dalam pandangan ini jelas rusak.
Orang Barat juga telah membagi hak ini ke dalam dua kategori utama.
Pertama, hak yang berhubungan dengan ikatan seseorang, yang disebut
dengan hak personal (personal right).
Kedua, hak yang berhubungan dengan ikatan seseorang dan uang, yang disebut
dengan hak material (material right).
Hak personal, dalam pandangan kapitalis, merupakan hubungan antara
dua orang, yakni kreditor dan debitor. Hak ini didefinisikan sebagai hubungan
antara dua orang, kreditor dan debitor, yang didasarkan pada sebuah keadaan
di mana kreditor diberi kekuasaan untuk menuntut debitor agar memberikan
sesuatu atau melakukan suatu tindakan ataupun tidak melakukan suatu
tindakan. Hak personal ini adalah pertanggungjawaban. Dalam asas ini,
berbagai macam transaksi (muamalah) yang disebut dengan transaksi pribadi
dilakukan, seperti: transfer uang (hiwâlah), jual-beli (bay‘), barter
(muqâyadhah), peseroan (syirkah), pemberian (hibah), konsiliasi (sulh),
pengupahan (ijârah), pinjam-meminjam (‘âriyah), perwakilan (wakâlah),
kepercayaan (wadhi‘ah), pegadaian (rahn), dan pertanggungan (kafâlah).
Adapun hak material, dalam pandangan mereka, sebenarnya bukan
sebuah ikatan, tetapi hanya sekadar sebuah otoritas yang diberikan oleh
undang-undang kepada orang tertentu atas benda tertentu. Mereka
mendefinisikan hak material ini sebagai otoritas tertentu yang diberikan oleh
undang-undang kepada orang tertentu atas benda tertentu. Hak material ini
berhubungan dengan uang dan tidak dengan seorang individu. Atas dasar hak
materil ini, berbagai macam transaksi (muamalah) yang disebut dengan
transaksi material dibuat, seperti: hak kepemilikan, sebab kepemilikan,
pegadaian harta kekayaan, asuransi jiwa, dan hak monopoli. Pembagian hak ini
tidak memiliki alasan apa pun. Tidak ada perbedaan antara apa yang disebut
dengan hak rpibadi (al-haq asy-syakhsî) dan hak material (al-haq al-‘aynî); juga
dalam berbagai macam transaksi yang mereka bangun atas dasar dua
pembagian ini. Tidak ada perbedaan antara pengupahan (ijârah) dan
penggadaian tanah. Jadi, bagaimana mungkin memasukkan pengupahan ke
dalam hak personal, sedangkan pegadaian ke dalam hak material, padahal
keduanya termasuk ikatan antara dua orang yang obyeknya adalah kekayaan?
Apalagi definisi tersebut merupakan asumsi (perkiraan) yang didasarkan pada
pengandaian-pengadaian logika, dan bukan sebuah deskripsi dari sebuah
realitas atau putusan hukum atas sebuah realitas.
Ketika seseorang mendefinisikan hak material sebagai sebuah otoritas
khusus yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atas benda
tertentu, maka definisi ini—sesuai dengan yang ditunjukkannya—berarti
merupakan ikatan yang timbul antara seorang manusia dan sebuah benda,
bukan antara seseorang dan orang lain. Padahal, menurut realitas sebenarnya,
ikatan itu tidak akan timbul antara seorang manusia dan sebuah benda, tetapi
ikatan tersebut hanya akan timbul antara seseorang dengan orang lain yang
obyeknya adalah benda. Berbagai macam transaksi yang dimasukkan ke dalam
kelompok hak material, seperti sebab-sebab kepemilikan dan asuransi jiwa,
seluruhnya mengindikasikan hal ini dengan jelas dan tegas; tidak
mengindikasikan apa pun selain itu. Oleh karena itu, ia sebenarnya adalah
ikatan antara seseorang dan orang lain yang obyeknya adalah benda; bukan
sebagai ikatan seseorang dengan sebuah benda.
Sementara itu, pendefinisian hak personal sebagai ikatan antara dua
orang, yaitu kreditor dan debitor, dimana kreditor diberi wewenang untuk
menuntut debitor agar memberikan sesuatu atau melakukan suatu tindakan
ataupun tidak melakukan suatu tindakan, maka definisi ini—sesuai dengan apa
yang diindikasikannya—berarti menunjukkan bahwa hak adalah sebuah ikatan
antara dua orang, terlepas apakah benda itu ada atau tidak. Padahal, realitas
sebenarnya menunjukkan bahwa ikatan itu tidak akan terjadi di antara dua
orang yang menumbuhkan sebuah hak tanpa adanya sebuah benda yang
berkaitan dengan ikatan tersebut. Oleh karena itu, benda menjadi obyek
ikatan, bahkan sebenarnya menjadi asas ikatan tersebut. Apalagi hubungan
yang disebut dengan ikatan ini tidak akan memberikan kepada salah satu pihak
dari dua orang itu sebuah hak untuk membuat tuntutan kepada pihak lain,
dengan menyatakan, bahwa ikatan telah memberikan hak kepada kreditor
untuk membuat sebuah tuntutan dari debitor. Sebenarnya ikatan ini telah
memberikan hak kepada masing-masing pihak—dari kedua belah pihak
tersebut—untuk menuntut pihak lain. Berbagai transaksi yang dimasukkan ke
dalam arti hak personal—seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan perjanjian—
semuanya mengindikasikan dengan sangat jelas, bahwa benda itulah yang
menjadi asas sebuah ikatan; tanpa benda, tidak akan ada ikatan atau hak apa
pun. Ini juga mengindikasikan, bahwa ikatan tersebut telah memberikan
kepada setiap orang yang bertransaksi hak untuk menuntut pihak yang lain,
walaupun bisa saja tuntutan masing-masing pihak itu berbeda jenisnya. Penjual
menuntut harga pembayaran, dan pembeli menuntut komoditas yang
diperjualbelikan. Apalagi, pembagian hak menjadi dua—hak personal dan hak
material—ini tidak memiliki makna dalam arti nyata dan fakta sebenarnya;
keduanya merupakan hak yang sama. Hal ini karena permasalahan tersebut
berkaitan dengan ikatan seseorang, apakah dengan orang lain yang memiliki
sebuah benda, seperti jual-beli; dengan sebuah obyek benda yang dimiliki oleh
seseorang, seperti pemberian (hibah); atau dengan benda saja, seperti wakaf.
Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara kategori pertama, yang mereka
sebut dengan hak personal, dan kategori kedua, yang mereka sebut dengan hak
material. Tidak ada perbedaan antara gadai ataupun hak monopoli yang
termasuk ke dalam kategori hak material dan barter, jual-beli, perseroan, sewa-
menyewa, serta semua yang disebutkan sebagai hak personal. Tiada lain
karena pokok bahasannya adalah ikatan seseorang yang berkaitan baik dengan
orang lain yang obyeknya adalah harta, atau dengan harta yang disandarkan
pada seseorang, atau hanya dengan harta itu sendiri. Ketiga bentuk tersebut
merupakan perkara yang sama, yakni mengatur ikatan manusia. Oleh karena
itu, pembagian hak dengan cara yang telah disebutkan di atas adalah sesuatu
yang keliru.
Bagian lain yang paling mencolok dari legislasi Barat adalah hukum
perdata (civil law), yakni legislasi yang berkaitan dengan seluruh transaksi, baik
yang mengatur ikatan seorang individu dengan keluarganya atau ikatan
seorang individu dengan individu lainnya dalam masalah harta kekayaan.
Serangan Barat atas legislasi Islam difokuskan pada hukum perdata ini. Hukum
perdata telah diringkas oleh Barat dengan membagi hak menjadi hak personal
dan hak material. Hak personal dibuat menjadi sebuah pertanggungjawaban.
Dari sini, dibangunlah atas asas ini teori pertanggungjawaban. Ini merupakan
sumber hukum bagi seluruh undang-undang Barat, baik kodifikasi Latin
ataupun Jerman.
Semua itu ditegakkan atas teori kontrak. Kontrak itu sendiri telah diberi
sejumlah definisi, yang semuanya mencakup hal-hal seputar menciptakan
masalah kontrak; apakah dengan memberikan harta kekayaan, atau
melakukan, ataupun tidak melakukan sebuah tindakan. Kontrak ini
didefinisikan sebagai perjanjian menurut pada apa yang telah dijanjikan
seseorang atau lebih kepada seseorang yang lain atau lebih untuk memberikan
sesuatu atau untuk melakukan ataupun tidak melakukan sebuah tindakan.
Kontrak juga telah didefinisikan sebagai sebuah perkara hukum yang mana
seseorang harus menyerahkan hak material atau melakukan ataupun tidak
melakukan sebuah tindakan. Ketika semua definisi tersebut dibandingkan
dengan definisi kapitalis tentang hak personal (sebagai sebuah ikatan antara
dua orang individu, yakni kreditor dan debitor, dimana kreditor tersebut
berhak menuntut debitor untuk memberikan sesuatu atau melakukan ataupun
tidak melakukan sebuah tindakan), jelaslah bahwa teori kontrak itu maksudnya
adalah hak personal itu sendiri. Jadi, langkah yang ketiga ini merupakan salah
satu asas legislasi Barat. Pertama-tama, kaum kapitalis telah mendefinisikan
hak (right), lalu membagi hak tersebut menjadi dua kategori (hak personal dan
hak material), kemudian pada tahap selanjutnya, di atas asas hak personal ini
mereka menegakkan teori kontrak dan menjadikannya sebagai asas bagi
seluruh hukum perdata Barat. Teori ini dianggap sebagai sesuatu yang paling
penting dalam legislasi Barat. Seseorang yang mempelajari ilmu hukum dan
legislasi Barat secara luas akan memahami betapa pentingnya teori ini.
Pentingnya teori ini bagi hukum perdata dianggap sebanding dengan
pentingnya tulang punggung pada kerangka manusia. Jika telah ditemukan
adanya kontradiksi dan kesalahan dalam teori ini, kekeliruan dan kesalahan
dalam susunan legislasi Barat dan seluruh undang-undangnya bisa ditunjukkan
secara nyata. Oleh karena itu, tampak aneh dan ganjil jika sampai serangan
kapitalisme—dengan semua undang-undang yang rusak tersebut—terhadap
legislasi Islam, juga serangan dari sebuah legislasi yang kotor dan batil terhadap
legislasi Islam yang murni dan benar, bisa mengakibatkan kaum Muslim kalah
di hadapan orang-orang Barat.
Kembali pada pembahasan teori kontrak atau hak personal, jelas terlihat
bahwa kontrak atau hak personal (personal right) itu—merujuk pada
pandangan kapitalisme—didasarkan pada sebuah ikatan hukum antara kreditor
dan debitor. Dalam pandangan ini, ikatan tersebut merupakan sebuah otoritas
yang diberikan kepada kreditor atas diri debitor, dan bukan pada kekayaannya.
Inilah yang telah membedakan antara hak material dan hak personal. Yang
pertama (hak material) merupakan otoritas yang diberikan kepada seorang
individu tertentu atas sebuah benda (materi), sedangkan yang kedua (hak
personal) merupakan otoritas yang diberikan kepada seorang individu tertentu
atas individu yang lain. Artinya, otoritas yang diberikan kepada seorang
kreditor atas debitor itu merupakan otoritas yang luas dan bisa meliputi
berbagai macam hal, seperti hukuman mati, hak untuk memperbudak, dan hak
untuk menggunakan sesuatu.
Karena teori ini didasarkan pada kebebasan pribadi, hal itu menuntut
keadaan di mana setiap individu memiliki kebebasan untuk membuat kontrak;
dia bisa terikat dengan apa saja yang dia inginkan, sekalipun—sebagai
konsekuensinya—dia akan tertimpa berbagai macam keburukan dan
kecurangan. Dengan begitu, dia bebas untuk membuat komitmen atau
pertanggungjawaban apa pun yang dia inginkan. Artinya, jika dia berkomitmen
atas sesuatu, dia wajib untuk memenuhinya. Dengan demikian, orang-orang
kapitalis telah menetapkan sumber bagi kontrak ini dan mencoba berulang-
ulang untuk mengatur sumber-sumber tersebut.
Hanya dengan mempelajari definisi orang-orang kapitalis tentang teori
kontrak atau hak personal ini, seseorang sudah dapat melihat dengan jelas
kerusakan teori ini secara langsung dari kerusakan definisi hak (right) itu
sendiri, karena teori ini lahir dari definisi tersebut. Ia juga dapat menemukan
kesalahan teori ini dari pengelompokan hak menjadi dua (hak personal dan hak
material), karena teori ini juga merupakan hasil dari pembagian tersebut
sekaligus merupakan bagian darinya. Akan tetapi, agar seseorang itu jelas
melihat kesalahan berbagai macam transaksi yang lahir dari teori ini dan
sekaligus melihat kebatilan legislasi Barat, sebagian dari kesalahan yang muncul
dari teori ini harus diterangkan dengan jelas. Definisi teori kontrak,
sebagaimana disebutkan di atas, mengindikasikan bahwa teori ini harus
dianggap sebagai sebuah perjanjian yang didasarkan pada sebuah kontrak.
Definisi ini telah meniadakan berbagai macam transaksi yang di dalamnya tidak
terdapat perjanjian kesepakatan, seperti pemberian (hibah), sedangkan
transaksi hibah ini telah mereka kelompokkan ke dalam hak personal. Definisi
ini juga telah meniadakan berbagai macam transaksi yang berasal dari seorang
individu dan tidak melibatkan orang lain, seperti transaksi yang mereka sebut
dengan “kehendak individual”. Contohnya adalah pembentukan perseroan
saham dan koperasi, wasiat, dan hadiah; sekalipun mereka telah
mengklasifikasikan semua transaksi ini ke dalam teori kontrak. Apalagi ada
berbagai macam transaksi lain yang terjadi di antara individu-individu yang
tidak tercakup oleh definisi ini—seperti: wakaf, membayar zakat dan sedekah,
dan sebagainya—yang semuanya mengindikasikan kebatilan definisi tersebut.
Karena definisi adalah sesuatu yang selalu didasarkan pada penggambaran
sebuah realitas, lalu definisi atau realitas itu sendiri salah, maka karenanya
perlu untuk mempelajari sebuah realitas secara hati-hati dan akurat agar bisa
mendefinisikan kembali realitas tersebut dengan benar.
Teori kontrak juga didefinisikan sebagai sebuah perkara hukum yang
menjadikan seseorang harus menyerahkan hak personal atau harus melakukan
ataupun tidak melakukan sebuah tindakan. Artinya, kontrak tersebut harus
dianggap sebagai sebuah permasalahan hukum, walaupun sebenarnya ia hanya
merupakan sebuah ikatan yang telah disetujui oleh undang-undang sipil (civil
law) dan tidak menjadi masalah hukum. Sebagai contoh, perintah yang
dikeluarkan oleh negara kepada rakyatnya untuk tidak menebang hutan
tertentu atau hutan secara umum adalah sebuah masalah hukum. Melalui
perintah tersebut, setiap individu atau kelompok diwajibkan untuk tidak
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Menurut pandangan kapitalis,
masalah ini dianggap sebagai bagian dari civil law, walaupun sebenarnya tidak.
Dengan kata lain, perintah tersebut harus dianggap sebagai sebuah kontrak,
padahal secara jelas tidak berkaitan dengan kontrak. Contoh ini menjelaskan
kesalahan definisi kontrak tersebut.
Pandangan bahwa kontrak didasarkan pada sebuah ikatan hukum antara
kreditor dan debitor juga salah, baik sebelumnya diterangkan apakah ia
merupakan ikatan personal atau ikatan finansial. Hal ini karena kontrak
bukanlah sebuah ikatan (râbithah), tetapi hanya sebuah hubungan bagi
manusia (‘alaqât al-insan) yang timbul karena upaya manusia untuk
memuaskan kebutuhan jasmani dan nalurinya, di samping karena ia hidup
dengan orang lain. Ini harus menjadi sebuah hubungan (‘alaqât) antara dua
orang atas sebuah kemaslahatan; sebuah hubungan dari seorang individu,
seperti mengeluarkan talak, wasiat, dan wakaf. Permasalahan yang ada
bukanlah adanya dua individu atau adanya seorang individu dengan sebuah
benda material. Akan tetapi, apa yang harus dilihat adalah pemecahan atas
permasalahan inidividu dengan suatu cara yang bisa mengatur naluri dan
kebutuhan jasmaninya serta menata hubungan (‘alaqât)-nya itu. Yang benar,
sebagaimana diindikasikan oleh realitas keberadaan manusia, kontrak dari segi
hak (right) itu sendiri tidak ada. Masalah yang sebenarnya adalah bahwa ia
merupakan hubungan antara dua orang individu atas sebuah kemaslahatan
yang harus dipecahkan dan diatur oleh undang-undang.
Berbagai peristiwa, pertanyaan, dan permasalahan yang menyangkut
seorang individu atau kumpulan individu merupakan sumber yang menciptakan
hubungan-hubungan ini, sementara undang-undang memutuskan untuk
mempertimbangkan hubungan-hubungan tersebut ataukah tidak. Jadi, tidak
ada kontrak dalam perkara ini, baik dari segi personal ataupun finansial. Hal ini
karena masalahnya tidak berkaitan dengan sebuah hubungan antara seorang
kreditor dan seorang debitor, juga tidak berkaitan dengan sebuah ikatan antara
seorang individu dan sebuah benda material, atau wewenang seseorang atas
sebuh benda material. Pokok persoalan sebenarnya disimpulkan dari sebuah
hubungan yang ada di antara dua orang individu atas suatu kemaslahatan
tertentu. Kemaslahatan ini bisa berkaitan dengan masalah kekayaan atau
kepemilikan; atau hubungan ini ada dalam batas pengadaan (insyâ’) atau
pelaksanaan (tanfîdz). Hubungan tersebut ditumbuhkan oleh sebuah
kemaslahatan, yakni dalam rangka memperoleh keuntungan atau
menghilangkan kerugian, dan ia diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu,
jual-beli adalah sebuah hubungan antara dua orang dalam batasan pengadaan
(insyâ’), yang pokok persoalannya adalah kekayaan atau kepemilikan.
Sedangkan insentif hadiah bagi seorang individu yang menemukan kembali
harta yang hilang adalah hubungan antara dua orang dalam batasan
pelaksanaan (tanfîdz) dan berkaitan dengan harta kekayaan. Pernikahan adalah
sebuah hubungan antara dua orang individu, tetapi pokok persoalan
sebenarnya adalah sebuah kemaslahatan, bukan harta kekayaan.
Di samping hubungan antara dua orang individu, ada juga hubungan
yang berdasarkan pada masalah kekayaan atau benda material, seperti wakaf,
zakat, dan sedekah; membangun tempat ibadah dan menyiapkan layanan
publik, seperti menyediakan ladang gembalaan dan air minum. Semua ini
membawa pada kesimpulan bahwa kontrak itu, menurut pengertian yang
didasarkan pada legislasi Barat dan memunculkan konstitusi dan undang-
undang Barat, sebenarnya tidak ada, baik dari aspek personal ataupaun
finansial. Oleh karena itu, kontrak dalam makna yang mereka inginkan, yakni
apa yang disebut dengan hak personal, juga tidak ada. Dengan demikian,
transaksi itu bukanlah sebuah otoritas atau wewenang yang dimiliki oleh
seorang individu atas beberapa benda material, juga bukan sebuah ikatan
antara dua orang individu. Akan tetapi, ia sebenarnya hanyalah sebuah ikatan
antara dua orang individu atas sebuah kemaslahatan yang diterima dan diakui
oleh undang-undang. Pengertian ini juga berlaku untuk segala transaksi yang
terjadi antara dua orang individu dalam masalah pengadaan (insyâ’), seperti
perjanjian sewa-menyewa dan pengupahan; atau dalam batasan pelaksanaan
(tanfîdz), seperti hadiah yang diberikan kepada individu yang melakukan
beberapa tindakan tertentu. Pengertiannya juga berlaku untuk berbagai
macam transasksi yang timbul dari perbuatan seorang individu seperti wasiat,
talak, wakaf, dan sebagainya. Oleh karena itu, teori kontrak ini merupakan teori
yang salah. Konsekuensinya, semua kesimpulan hukum yang dibangun
berdasarkan teori ini atau apa pun yang lahir dari teori ini juga salah, karena
semua itu merupakan rincian atau cabang dari sebuah sumber yang salah.
Perkara yang bisa meyakinkan seorang individu akan kesalahan dan
kebatilan teori kontrak ini adalah tinjauan atas reaksi teori ini dan mereka yang
mempromosikannya ketika dihadapkan pada berbagai macam problem yang
muncul dan terjadi secara terus-menerus di sebuah masyarakat dalam jangka
waktu tertentu. Bisa ditunjukkan bahwa teori ini maupun mereka yang
mempromosikannya tidak mampu menghadapi problematika masyarakat itu.
Oleh karena itu, para penganjurnya itu kemudian terpaksa menafsirkan,
mengurangi, dan menyimpangkan teori ini agar bisa menemukan solusi atas
berbagai macam masalah itu. Teori kontrak ini telah ada sejak zaman Romawi.
Legislasi Barat kemudian menukil dan menggunakannya sejak itu. Ketika
problematika masyarakat berkembang, tampaklah kesalahan dan kekeliruan
teori ini di hadapan mereka yang menukilnya. Akibatnya, ketidaklayakan teori
ini untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan jelas terlihat oleh mereka.
Akan tetapi, daripada menganggap teori ini sebagai sebuah teori yang salah,
orang kapitalis malah mengklaim bahwa teori ini berkembang dan tumbuh
setiap saat secara alami untuk menghadapi permasalahn yang timbul, dan
mereka “mengubah” teori ini untuk menggambarkan pernyataan mereka itu.
Efek yang jelas dari keadaan ini adalah mulai menyimpangnya orang-
orang kapitalis dari teori ini dan mengubah asas teori tersebut dengan dalih
tumbuh dan berkembangnya teori tersebut, yakni perubahan dari sebuah
situasi pada situasi lain; dan dengan dalih fleksibilitas, yakni memiliki kapasitas
untuk dilakukannya interpretasi. Sebenarnya, banyak faktor yang bisa
menjelaskan kesalahan teori kontrak ini, yang mempengaruhi serta menjadi
sebab teori ini banyak berubah dan berganti untuk mengikuti kondisi di masa
yang berbeda. Teori-teori sosialis yang muncul di Eropa sebelum munculnya
ideologi komunisme telah menampakkan ketidaksesuaian teori ini. Inilah yang
mendorong para ahli hukum untuk mengubah pandangan mereka berkaitan
dengan teori ini. Hukum-hukum dan tarif upah dikenalkan dalam kontrak kerja
untuk melindungi para buruh, dan memberikan berbagai macam hak kepada
mereka yang sebelumnya tidak ada, seperti hak untuk mendirikan serikat
pekerja, mengadakan rapat pekerja, dan melakukan mogok kerja. Ini adalah
jelas kontradiktif dengan bunyi teks Romawi dengan teori kontraknya yang
tidak mengizinkan adanya hukum-hukum atau hak tersebut. Teori kontrak itu
sendiri yang menyatakan bahwa ini merupakan sebuah perjanjian antara dua
orang individu yang menimbulkan kontrak. Akan tetapi, kekuatan teori ini telah
terkikis kontrak sekarang yang lebih didasarkan pada solidaritas kelompok
daripada atas keinginan individu. Lagi pula, ide penipuan atau kecurangan itu
tidak ada, bahkan teori kontrak tidak memperbolehkannya.
Berbagai macam teori yang berdasarkan pada individu membawa pada
pengertian bahwa individu tersebut harus bebas secara mutlak dalam
perjanjiannya untuk melakukan apa yang dia inginkan dari ikatan atau kontrak
tersebut tanpa mempedulikan kerugian atau kecurangan yang akan
menimpanya. Ketika kesalahan teori kontrak dan teori individu ini mulai
tampak, teori kecurangan pun disisipkan dalam beberapa kontrak, dan
kemudian ia mulai meluas hingga menjadi sebuah teori umum yang bisa
dipergunakan untuk segala kontrak yang ada pada zaman modern ini. Karena
munculnya ide dan pemikiran baru berkaitan dengan problematika hidup yang
kontradiktif dengan pemikiran dan ide lama, dan karena mulai tampaknya
kesalahan pemikiran lama, teori kontrak ini dibeberkan sebagai sebuah teori
yang salah. Lagi pula, penggunaan mesin dan teknologi, kemajuan industri, dan
meletusnya dua perang dunia (PD I dan PD II), semua itu menimbulkan
permasalahan praktis bahwa teori kontrak ini tidak mampu untuk memecahkan
permasalahan tersebut. Penggunaan mesin berteknologi telah menampakkan
pada individu akan adanya bahaya dan risiko cedera. Sebelumnya, teori kontrak
ini tidak menempatkan berbagai macam tanggung jawab kecuali hanya kepada
individu. Ketika tanggung jawab dipindahkan dari individu ke mesin,
ketidaksesuaian teori ini lebih tersingkap lagi. Oleh karena itu, seorang individu
tidak wajib membayar ganti rugi atas kerugian yang menimpa orang lain,
kecuali kalau dia sengaja berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Dalam
keadaan ini, (merugikan orang dengan sengaja) dia bertanggung jawab untuk
membayar ganti rugi atas kerugian yang menimpa orang lain itu. Dengan kata
lain, seseorang yang dianggap melakukan kesalahan itu dianggap bertanggung
jawab dan harus membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya.
Berbagai situasi kerja yang menyebabkan pekerja menjadi cedera
mengharuskan majikan bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi. Ini
adalah sebuah masalah yang tidak tercakup dalam teori kontrak.
Oleh karena itu, perjanjian asuransi dalam legislasi Barat tidak hanya
terbatas pada individu, tetapi bahkan melibatkan pihak lain. Lalu, muncullah
teori penetapan syarat demi kemaslahatan/kepentingan orang lain. Contohnya,
seorang laki-laki bisa mengambil asuransi jiwa untuk kemaslahatan anaknya,
dengan tidak mengindahkan apakah ia memiliki anak saat pengambilan
asuransi itu atau tidak. Ini kontradiktif dengan teori kontrak, karena ini
hanyalah ikatan perjanjian antara dua orang. Jika anak-anak itu tidak ada pada
saat perjanjian asuransi dibuat, seharusnya mereka tidak bisa meraih manfaat
dari perjanjian ini. Lagi pula, permasalahan lain seperti menentukan harga
komoditi, menaksir upah, atau kontrak pertanggungjawaban publik—yang
semuanya kontradiktif dengan teori kontrak—diperkenalkan dalam legislasi
Barat modern. Semua itu menunjukkan kerusakan teori kontrak dan
ketidaksesuaiannya.
Ada persoalan lain, sebagaimana penipuan bisa merusak kontrak, telah
ditetapkan bahwa tidak boleh mengizinkan sebuah perjanjian tentang apa pun
yang tidak sesuai dengan aturan umum; tidak melakukan tindakan yang
merugikan orang lain secara tidak sah—contohnya adalah ketika seorang
petani, karena kesembronoannya, telah menyebabkan gembalaannya
memakan tanaman tetangganya; tidak mengambil manfaat yang tidak
dibenarkan, yang mencegah seseorang untuk tidak mengambil manfaat karena
orang lain, seperti membangun rumah di atas tanah milik orang lain atau
membayar utang yang tidak ada, yakni sebuah usaha yang sia-sia. Semua itu
bertentangan dengan teori kontrak dan ini mengindikasikan kesalahan teori
tersebut. Semua persoalan dan masalah tersebut berlaku membatasi. Ini jelas
kontradiktif dengan hak personal dan menghancurkannya. Sebab, menurutnya,
hak itu mutlak, atau disebut juga hak tidak terbatas. Akan tetapi, menurut
pandangan kapitalisme, kontrak, sebagaimana telah dijelaskan, ditegakkan atas
sebuah ikatan hukum antara kreditor dan debitor yang mewajibkan seseorang
untuk memindahkan atau menggunakan sebuah hak. Ini menunjukkan tidak
disyaratkannya ada kerelaan untuk memindahkan kewajiban. Dengan kata lain,
ini menunjukkan adanya pemindahan kewajiban tanpa adanya kerelaan orang
yang melakukan pembayaran utang dengan pemindahan hak ini. Ini juga
berarti bahwa tidak ada ketetapan, dimana kreditor menerima pemindahan
utang, karena pengertian hukum tersebut adalah bahwa seseorang diwajibkan
untuk memindahkan hak sebagai sebuah aset atau pertanggungjawaban.
Persoalan ini tidak akan menjamin kejujuran dan keadilan. Oleh karena itu,
tampak jelaslah kerusakan teori ini, karena pemberitahuan kepada orang yang
akan melakukan pembayaran utang saja tidaklah cukup. Sebab, seharusnya dia
menerima hal itu, karena akad dalam pemindahan kewajiban itu bisa menjadi
akad yang benar bila semua pihak yang menandatangani kontrak tersebut
menerimanya.
Ini adalah ringkasan dari problematika baru yang dihadapi oleh teori
kontrak. Dari paparan di atas dapat terlihat bahwa teori ini tidak layak menjadi
asas sebuah pemikiran. Banyak hubungan yang beraneka ragam di antara
manusia yang tidak bisa digali dari asas teori ini, seperti fakta adanya
kecurangan yang bisa merusak sebuah perjanjian. Teori ini juga tidak layak
untuk generalisasi hanya karena tanggung jawab atas apa yang dianggap
sebuah kesalahan, seperti cedera yang terjadi akibat penggunaan mesin dalam
kerja; pemindahan kewajiban utang atau manfaat dari pihak lain, seperti
asuransi yang diambil demi sebuah manfaat sekalipun anak-anak tersebut
belum lahir; keinginan individu, seperti wakaf; bahkan peseroan saham
kapitalis, perjanjian, dan transaksi sejenis. Tidak satu pun dari semua itu yang
tercakup oleh teori kontrak, baik dari segi tekstual ataupun maknanya. Teori ini
juga tidak layak menjadi kaidah-kaidah yang bersifat umum, seperti kecurangan
dalam perjanjian atau tidak menggunakan apa yang tidak sesuai dengan moral
dan nilai-nilai umum. Teori ini tidak memiliki kapasitas untuk mempersatukan
manusia dan kultur yang berbeda-beda dalam sebuah legislasi yang satu,
sebagaimana dibuktikan oleh keterbatasan dan ketidaklayakannya pada saat
timbulnya teori sosialisme dan terjadinya revolusi industri. Teori ini juga salah
dari asasnya, karena ia dibangun dari dua konsep, yakni kebebasan pribadi dan
kebebasan kepemilikan. Dua kebebasan itu telah mengakibatkan kerusakan di
tengah-tengah umat manusia serta memfasilitasi eksploitasi dan imperialime.
Hal ini karena undang-undang, yang mana telah melindungi pemberian dua
kebebasan ini, dibangun atas dasar teori kontrak; sebuah perkara yang telah
menyebabkan kerusakan dan penderitaan.
Inilah realitas legislasi Barat yang telah menantang legislasi Islam.
Dengan kata lain, ini merupakan realitas sistem kapitalis yang menantang
sistem Islam.
Sebaliknya, legislasi Islam, yang telah diserang dan dikritisi oleh legislasi
Barat, tidak didasarkan pada teori-teori spekulatif (zhannî) yang melahirkan
berbagai hukum dan solusi, sebagaimana terjadi pada legislasi Barat. Legislasi
Islam lahir dari sebuah akidah yang pasti (qath‘î) yang tidak membuka pintu
bagi adanya keraguan. Pangkalnya bukanlah teori tentang hak (right), juga
bukan teori tentang hak personal dan hak material. Pangkalnya adalah sebuah
akidah yang qath‘î yang diperoleh akal dan diyakini secara pasti. Oleh karena
itu, apa pun yang lahir dari akidah ini merupakan legislasi Islam. Sebaliknya, apa
pun yang tidak dilahirkan dari akidah ini tidak menjadi legislasi Islam. Lalu,
legislasi yang manakah dari keduanya yang menjadi legislasi yang benar?
Apakah legislasi yang berpangkal pada sebuah akidah rasional yang tidak
memberi jalan bagi datangnya keraguan, ataukah legislasi yang dihasilkan dari
teori-teori spekulatif? Apalagi berbagai kesalahan telah mulai tampak pada
teori ini, di samping bahwa definisi semua teori ini tidak sesuai dengan
kebenaran dan realitas yang ada.
Hukum-hukum Islam lahir dari akidah Islam. Akidah Islam mencakup
keimanan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya,
dan Hari Akhirat. Dengan kata lain, semua hukum Islam lahir dari al-Quran dan
as-Sunnah. Secara pasti (qath‘î) telah dibuktikan melalui pemikiran rasional
bahwa keduanya merupakan wahyu dari Allah Swt. Jadi, apa pun yang
dipahami dari wahyu, apakah berupa dalil, kaidah maupun hukum merupakan
legislasi Islam. Oleh karena itu, ketika legislasi Islam dipelajari atau ketika Islam
dipelajari sedemikian rupa, ia akan dipelajari dengan asas bahwa ia merupakan
wahyu dari Allah Swt., bukan sebagai sebuah produk manusia. Inilah asas
perkara dalam penelitian yang dilakukan terhadap Islam dan dasar tinjauan
atas Islam.
Jadi, bukti rasional yang pasti (qath‘î) harus ditegakan bahwa Islam
merupakan wahyu dari Allah Swt sehingga legislasinya diadopsi dari apa yang
ada dalam wahyu tersebut, yakni dari apa yang telah ditegakkan oleh dalil
rasional yang pasti, yang menunjukkan bahwa Islam telah diwahyukan Allah
Swt menjadi sebuah sistem bagi seluruh manusia; bahwa Islam merupakan
wahyu dari Allah Swt; berasal dari al-Quran dan hadits Rasululllah saw. Sebab,
telah dibuktikan dengan dalil yang pasti (qath‘î) bahwa al-Quran itu merupakan
kalamullah. Al-Quran adalah sebuah kitab berbahasa Arab yang telah dibawa
oleh Rasulullah saw. Dalil yang pasti menyatakan bahwa al-Quran adalah
wahyu dari Allah Swt.
Memang, ada tiga kemungkin berkaitan dengan realitas al-Quran itu: (1)
bisa saja berasal dari orang-orang Arab yang kemudian dinukil oleh
Muhammad; (2) bisa juga berasal dari Muhammad saw yang sekaligus
menyebarkannya, seraya mengklaim bahwa kitab tersebut merupakan wahyu
dari Allah Swt; (3) bisa juga berasal dari Allah Swt dengan sebenar-benarnya.
Al-Quran tidak bisa dari yang lain kecuali berasal dari salah satu di antara tiga
sumber itu, karena al-Quran berbahasa Arab dilihat dari segi bahasa dan gaya
penuturannya.
Kemungkinan pertama, bahwa al-Quran berasal dari bangsa Arab, adalah
kemungkinan yang batil, karena al-Quran sendiri secara langsung telah
menantang mereka semua untuk membuat sesuatu yang bisa menyerupainya:
ور ٍة ِمثْلِ ِه
َ س
ِ
ُ قُ ْل فَأْتُوا ب
Katakanlah, “(Kalau benar yang kalian katakan itu), cobalah datangkan
sebuah surat yang serupa dengannya.” (TQS. Yunus [10]: 38)
ِ
َ ُ إِ ْن ُه َو إِالَّ َو ْح ٌي ي َو َما َي ْنط ُق َع ِن ال َْه َوى
وحى
Tidaklah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu Allah yang
diwahyukan kepadanya. (TQS. an-Najm [53]: 3-4)
Dengan semua ini, dalil yang tegas dan rasional telah diperlihatkan
bahwa al-Quran dan as-Sunah merupakan wahyu dari Allah Swt. Karena
keduanya secara kesatuan merupakan syariat Islam, maka terbukti dengan dalil
yang tegas dan rasional bahwa syariat Islam merupakan wahyu dari Allah Swt.
Dengan demikian, setiap pemikiran dan hukum yang disebutkan dalam al-
Quran dan as-Sunnah pasti merupakan wahyu dari Allah. Oleh karena itu, apa
pun yang digali dari al-Quran dan as-Sunnah juga pasti berasal dari wahyu. Jadi,
jelaslah bahwa syariat Islam bukanlah seperangkat teori spekulatif yang
diterapkan pada peristiwa atau permasalahan yang baru. Akan tetapi, syariat
Islam itu merupakan makna-makna umum yang dibawa oleh Rasulullah saw
sebagai wahyu dari Allah Swt. Segenap makna umum tersebut diterapkan pada
berbagai permasalahan yang baru, lalu hukum-hukum atas semua
permasalahan tersebut digali. Semua hukum yang digali ini dianggap sebagai
bagian dari wahyu. Oleh karena itulah, mengapa para ulama telah
mendefinisikan hukum-hukum syariat (al-ahkâm asy-syar‘iyyah) dengan seruan
(khithâb) Pembuat hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan para
hamba (manusia). Artinya, hukum syariat adalah apa saja yang telah diserukan
oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, karena
hukum tersebut diambil dari ungkapan atau makna seruan Pembuat hukum
syariat.
Inilah asas tempat berpijaknya pembahasan syariat Islam, yakni bahwa
syariat Islam merupakan wahyu dari Allah. Ini merupakan pandangan yang
harus membatasi pendekatan pembahasan, yakni bahwa ia merupakan syariat
yang datang dari Allah Swt. Karena terbukti bahwa syariat Islam bersumber dari
Allah Swt, maka syariat Islam harus dibahas dalam kapasitas ini, yakni bahwa
seseorang harus mempelajari syariat ini dalam kapasitasnya sebagai syariat
Allah. Pada saat sebuah hukum digali, hukum tersebut dipandang sebagai
sesuatu yang diambil dari syariat Allah. Ketika seseorang mempelajari berbagai
solusinya atas sebuah masalah, maka berbagai solusi yang dipelajari itu
dipandang sebagai solusi yang berasal dari Allah. Jadi, tolok ukur solusi ini
diambil dari segi asas yang melahirkan solusi tersebut, bukan dari segi apakah
sesuai atau tidak dengan keinginan seseorang yang menggunakan solusi
tersebut; juga tidak dipandang dari segi apakah sesuai atau tidak dengan apa
yang lazim pada zaman tertentu. Hal ini karena tujuan solusi tersebut adalah
tujuan yang benar, sementara kebenaran itu hanyalah apa yang datang dari
Allah Swt semata.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan keshahihan syariat Islam dan
kesesuaiannya bagi semua orang di setiap zaman dan generasi menuntut satu
pertanyaan: apakah ini diwahyukan oleh Allah sebagai sebuah syariat bagi
seluruh manusia? Karena hal ini telah terbukti, berarti jelas bahwa syariat Islam
merupakan syariat yang benar. Sebab, salah satu dari sifat Allah, yang dituntut
oleh sebuah kekuatan uluhiyah, adalah memiliki sifat kesempurnaan yang
mutlak dan sifat yang tidak terjamah oleh kekurangan sedikit pun. Terbukti
bahwa undang-undang-Nya merupakan undang-undang yang benar dan
senantiasa cocok. Terbukti pula bahwa syariat ini datang untuk seluruh umat
manusia di sepanjang masa dan bagi setiap generasi. Allah Swt berfirman:
ِ اك إِالَّ َكافَّةً لِلن
َّاس َ َ َو َما أ َْر َسلْن
Kami tidak mengutus kamu, melainkan untuk umat umat manusia
seluruhnya. (TQS. Saba [34]: 28)
ِ ول
اهلل إِل َْي ُك ْم َج ِم ًيعا ُ َّاس إِنِّي َر ُس
ُ قُ ْل يَاأ َُّي َها الن
Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian
semua. (TQS. al-A‘raf [7]: 158)
Tidak bisa dipungkiri bahwa syariat Islam juga harus menjadi sebuah
sumber bagi pemikiran; darinya semua ikatan manusia harus digali. Tidak bisa
dipungkiri pula bahwa syariat Islam mencakup bidang yang luas; meliputi
semua permasalahan yang baru dan beraneka ragam. Oleh karena itu, dengan
pasti, ia akan menjadi lahan yang subur untuk menetapkan prinsip yang
menyeluruh (al-qawâ’id al-kulliyah) dan pemikiran yang umum (al-afkâr
al-‘âmmah). Sepanjang syariat ini diperuntukkan bagi manusia sebagai
manusia, maka tidak diragukan lagi bahwa ia bisa memecahkan berbagai
problem yang dihadapi seluruh umat manusia, bagaimanapun berbedanya
bangsa dan lingkungan mereka. Semua ini dituntut oleh fakta bahwa syariat
Islam merupakan syariat Allah. Syariat ini telah diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw. Beliau kemudian menyampaikannya kepada umat manusia
agar mereka berbuat atas dasar syariat tersebut. Inilah realitas yang berkaitan
dengan syariat Islam sebagai seruan Pembuat syariat yang berkaitan dengan
perbuatan manusia sebagai hamba-Nya; ia menjadi solusi yang bisa mengatasi
semua problem umat manusia karena merupakan wahyu yang diturunkan dari
Allah Swt.
Oleh karena itu, ketika Allah Swt melarang riba, seseorang tidak boleh
bertanya apakah larangan tersebut sesuai dengan zaman ataukah tidak; apakah
larangan tersebut sesuai dengan peradaban modern ataukah tidak. Satu-
satunya persoalan yang harus ditanyakan adalah apakah larangan ini digali dari
apa yang telah diwahyukan oleh Allah Swt. ataukah bukan. Jika larangan
tersebut berasal dari wahyu Allah, ia menjadi hukum yang benar (haq),
sementara yang selain itu salah (batil). Jadi, keliru jika dikatakan bahwa
larangan ini merintangi perjanjian perdagangan dan memutuskan hubungan
ekonomi dengan dunia luar serta membuat negara menjadi terisolasi. Tidak
benar untuk menyatakan hal seperti itu, karena asas berpijak pandangan hidup
adalah dengan menjadikan syariat sebagai tolok ukur setiap perbuatan. Hanya
syariat yang berhak memberikan status hukum; tolok ukurnya hanyalah halal
dan haram. Oleh karena itu, apa pun selain syariat tidak dianggap sebagai
sebuah tolok ukur, yang karenanya harus dibuang.
Begitu pula ketika Allah mewajibkan kepada suami untuk memberikan
nafkah kepada istrinya dengan cara yang makruf, sekalipun isterinya itu orang
kaya. Oleh karena itu, suatu hal yang keliru bila ada pertanyaan, apakah
kewajiban ini sesuai dengan zaman modern ataukah tidak. Salah untuk
menyatakan bahwa suami-isteri itu bekerjasama dalam kehidupan sehingga
mereka pun harus bekerjasama dalam masalah nafkah di rumah. Tidak benar
pula untuk mengatakan bahwa nafkah itu diberikan hanya kepada istri yang
miskin saja dan tidak kepada istri yang kaya. Semua pertanyaan dan pernyataan
seperti itu mestinya tidak dilontarkan. Sebaliknya, seseorang hanya mesti
bertanya apakah kewajiban ini digali dari wahyu Allah ataukah bukan. Jika
seperti itu keadaannya, berarti hukum tersebut adalah benar, sedangkan selain
itu salah dan keliru.
Allah juga telah mengizinkan kepada manusia untuk menggunakan
kekayaannya dalam perkara yang dibolehkan, sebanyak apa pun dan dengan
cara apa pun yang ia inginkan. Sebagai contoh, seorang suami bisa saja
membelikan istrinya perhiasan dan mutiara seharga setengah juta dinar. Dia
bisa saja menggunakan satu juta dinar untuk membuat taman bermain yang
berbeda-beda yang diperuntukkan bagi anak-anaknya. Dia juga bisa saja
membelikan masing-masing tujuh mobil bagi sepuluh anaknya, sehingga
mereka bisa menggunakannya setiap hari. Sebab, Allah memang telah
membolehkan semua itu. Jadi, tidak boleh dikatakan bahwa hal itu kontradiktif
dengan kemaslahatan ekonomi, tidak sesuai dengan kepentingan individu, atau
tidak bisa diterima oleh akal. Semua itu tidak perlu ditanyakan. Sebaliknya,
yang seharusnya ditanyakan adalah apakah kebolehan tersebut digali dari apa
yang telah diwahyukan oleh Allah ataukah bukan. Jika ya, berarti hukum
tersebut benar, sementara yang selain itu salah. Begitu seterusnya.
Masalah mendasarnya adalah dengan mengukur shahih atau tidaknya
suatu hukum berdasarkan fakta bahwa hal itu diperoleh dari apa yang telah
diwahyukan Allah Swt. Jika hukum tersebut diperoleh dari apa yang
diwahyukan Allah maka ia benar dan selainnya salah. Pertimbangan yang lain
(selain dari wahyu), apa pun bentuknya, tidak mempunyai nilai sedikit pun. Ini
dipandang dari segi asas Islam.
Sementara itu, dilihat dari realitas Islam itu sendiri, Islam merupakan
pemikiran. Pemikiran merupakan aktivitas menetapkan status hukum atas
sebuah realitas. Artinya, Islam terdiri dari hukum-hukum atas sejumlah realitas.
Oleh karena itu, proses pemikiran harus dijalankan terhadap segala sesuatu
yang datang dari wahyu. Jadi, apa pun yang dibawa oleh Islam, harus dipahami
oleh akal dan diindera wujudnya, atau dipahami asalnya yang telah dibawa
oleh wahyu. Akal harus memahami nash yang terkandung dalam wahyu, baik
berupa wahyu yang ungkapan dan maknanya berasal dari Allah, ataupun
berupa wahyu yang maknanya dari Allah sedang ungkapannya berasal dari Nabi
saw. Tidak ada yang lain dalam wahyu selain kedua hal ini. Tak ada sesuatu pun
dari wahyu itu yang tidak bisa dipahami oleh akal, apakah keberadaannya atau
keberadaan asalnya; juga tidak ada satu nash pun yang tidak bisa dipahami
oleh akal.
Islam adalah pemikiran. Asasnya adalah akal. Perangkat untuk
memahami sesuatu itu pun adalah akal. Akal adalah satu-satunya asas, tempat
Islam didirikan. Akal merupakan asas yang kita gunakan untuk memahami
nash-nash Islam. Jadi, keimanan dalam Islam itu bergantung pada akal. Islam,
sebagaimana pemikiran lainnya yang ada dalam berbagai studi, keberadaan
realitasnya bisa dipahami oleh akal; keberadaan realitas asalnya, sebagaimana
yang kita bicarakan, juga harus dipahami melalui akal. Pada saat yang sama,
nash-nashnya yang mengandung pemikirannya, juga harus dipahami oleh akal;
demikian pula maknanya. Artinya, tidak ada kata misterius dalam nash Islam,
yang hanya diketahui dengan baik oleh Allah, apakah dalam al-Quran atau
dalam hadits Nabi saw. Dia berfirman:
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian
ada-adakan; Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk
(menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-
sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sesungguhnya
telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. (TQS. an-
Najm [53]: 23)
ِ ِِ
ْ «الَْبِّي َعان بالْخيَا ِر َما ل
»َم َيَت َف َّرقَا
Dua pihak yang melakukan jual-beli itu ada dalam pilihan (memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan jual-beli) selama mereka belum
berpisah. (HR. al-Bukhari)
Emas dengan emas, perak dengan perak, secara tunai, benda milik
dengan benda milik, semisal dengan yang semisal; apa pun yang yang
menjadi kelebihan darinya itu adalah riba. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan
Ahmad)
Zaid bin Arqam dan Barra bin Azib pernah melakukan syirkah (usaha
bersama), lalu mereka membeli perak dengan cara tunai dan kredit. Kabar
ini sampai kepada Rasulullah saw., lalu beliau berkata kepada mereka,
“Bagian yang dilakukan dengan tunai (naqd) maka bolehkanlah itu,
sedangkan bagian yang dilakukan dengan kredit (nasî’ah), maka
kembalikanlah.” (HR. Ahmad)
»ت ِم ْن َب ْينِ ِه َما ِ الش ِري َكي ِن ما لَم ي ُخن أَح ُدهما ص
ُ احبَهُ فَِإذَا َخانَهُ َخ َر ْج َ َ ُ َ ْ َ ْ َ ْ َّ ث ُ ِول أَنَا ثَال
ُ «إِ َّن اهللَ َي ُق
Allah Swt. telah berfirman, “Aku adalah Pihak ketiga dari dua orang yang
berserikat selama salah satu dari mereka tidak berkhianat terhadap
yang lainnya. Jika salah satu pihak berkhianat maka Aku keluar dari
mereka.” (HR. Abu Dawud)
Jelas, dalam hadits ini dinyatakan bahwa jaminan merupakan janji yang
dibuat untuk memperkuat janji yang lain, yakni janji pertanggungjawaban yang
dibuat oleh ‘Ali ra telah digabungkan dengan janji lain yang dibuat oleh orang
yang diberi pinjaman. Jaminan utang juga dibuktikan dalam perjanjian yang
dibuat oleh seseorang yang berjanji. Ini begitu jelas menunjukkan bahwa
jaminan mencakup penjamin dan yang dijamin, yakni debitor dan kreditor. Dari
hadits ini, jelaslah bahwa tidak ada kompensasi (ganti rugi) dalam jaminan itu.
Hadits ini juga menjelaskan mengapa jaminan (dlamn) menurut syariat Islam
adalah ikatan tanggung jawab yang dijamin dalam pelaksanaan pembayaran
sebuah hak tanpa adanya kompensasi, dengan kata lain, secara sederhana,
membebankan tugas sebuah hak dalam tanggung jawab tanpa adanya
kompensasi apa pun.
Dengan semua pemikiran ini, kita sekarang bisa menyatakan bahwa
hukum syariat berkaitan dengan masalah asuransi adalah bahwa asuransi itu
haram dan tidak diperbolehkan. Hal ini karena asuransi bukan merupakan
penggabungan tanggung jawab dengan tanggung jawab yang lain. Perusahaan
asuransi juga tidak menggabungkan tanggungjawab dengan yang lain. Ia juga
bukan merupakan hak finansial yang dijamin, dimana perusahaan asuransi
berjanji pada seseorang; tidak ada jaminan dalam akad ini dan asuransi
tersebut di buat dengan adanya kompensasi (premi yang dibayarkan pada
perusahan). Dengan demikian, akad asuransi ini rusak menurut syarat jaminan
Islam yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat, sehingga karenanya menjadi
akad yang batil. Setiap transaksi yang batil adalah haram. Asuransi berada pada
kategori ini. Inilah pendapat syariat yang berkaitan dengan asuransi tanpa
memandang apakah pendapat tersebut sesuai atau tidak dengan pandangan
kapitalis.
Fakta bahwa syariat Islam sesuai dan layak untuk memecahkan berbagai
macam permasalahan dalam sebuah masa yang khusus tidak berarti bahwa
syariat itu harus memecahkan permasalahan yang ada sesuai dengan sistem
yang lazim pada masa tersebut. Akan tetapi, syariat memberikan pendapatnya
sendiri berkaitan dengan permasalahan tersebut, apa pun bentuk sistem yang
lazim pada masa itu.
Contoh lain adalah perdagangan dengan negara lain (perdagangan luar
negeri). Seharusnya kaum Muslim tidak bertanya apakah pandangan Islam yang
berkaitan dengan perdagangan luar negeri menerima prinsip kebebasan
pertukaran atau proteksionisme, yakni prinsip ekonomi sebuah negara atau
sebuah kebijakan untuk berdiri sendiri. Mereka seharusnya menanyakan
pandangan Islam berkaitan dengan masalah hubungan perdagangan. Jawaban
atas hal ini adalah apa yang telah difirmankan Allah Swt:
َواَ َح َّل اهللُ اْ َلب ْي َع
Allah telah menghalalkan jual-beli. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)
اض ِم ْن ُك ْم
ٍ إِالَّ أَ ْن تَ ُكو َن تِ َج َارةً َع ْن َت َر
.…kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kalian. (TQS. an-Nisa’ [4]: 29)
الربـَى
ِّ َو َح َّر َم
Allah telah mengharamkan riba. (TQS. al-Baqarah [2]: 275)
»اد َف ُه َو ِربَا
َ «فَ َما َز
Apa pun yang menjadi kelebihan dari itu adalah riba. (HR. Ahmad)
Inilah realitas misi yang dibawa oleh gagasan ‘penyelarasan’ tersebut dan
semua bahayanya. Akan tetapi sayangnya, semua gagasan tersebut telah
mendominasi umat Islam saat ini secara luas hingga mencapai tingkat di mana
umat berusaha menginterpretasikan Islam dengan cara yang meyakinkan, yakni
bahwa Islam selaras dengan pandangan kapitalisme Barat. Inilah kekalahan
menghancurkan yang menimpa kaum Muslim, sekaligus menunjukkan
kemenangan luar biasa yang diperoleh oleh orang-orang kafir atas kaum
Muslim. Sejak orang-orang kafir berhasil mengalahkan kaum Muslim dan
menghancurkan Daulah Islam, arah rangkaian sejarah pun berubah. Sejak itu
pula, kekuasaan dunia berpindah dari tangan kaum Muslim kepada orang-
orang kafir, yakni dari sistem Islam ke sistem kapitalis. Akibat kekalahan yang
diderita kaum Muslim karena tantangan Barat itu, keretakan dan kerusakan
mulai muncul dalam kepercayaan yang selama ini ada dalam diri kaum Muslim
terhadap pemikiran dan hukum-hukum Islam. Pertanyaan-pertanyaan pun
muncul berkaitan dengan kelayakan syariat Islam dalam memecahkan
problematika yang ada pada zaman modern dan kemampuan Islam untuk
menyesuaikan diri dengan masa sekarang ini. Inilah awal kelemahan yang
menyerbu entitas kaum Muslim. Hal ini karena yang disebut dengan umat
adalah kumpulan manusia yang disatukan oleh sebuah akidah rasional (‘aqîdah
‘aqliyyah) yang melahirkan sistem yang akan mengatur urusan-urusan
masyarakat dan manusianya. Manusia dalam sebuah umat diikat oleh
sekumpulan konsep, keyakinan, atau standar hidup yang diperoleh dari
akidahnya. Oleh karena itu, apabila keraguan mulai tampak terhadap semua
konsep dan keyakinan tersebut, maka hal ini akan membawa keraguan juga
terhadap entitas negara, dan akhirnya akan memukul negara itu dengan
kemunduran dan kehancuran. Inilah yang sebenarnya terjadi dan di alami kaum
Muslim sebagai akibat dari keraguan mereka terhadap akidah Islam dalam
waktu hampir satu abad.
Fatwa yang dia berikan adalah olokan dusta dan apa yang dia katakan
adalah kebatilan belaka
Dia datang ke negeri ini membawa kekufuran yang nyata
Aku meminta maaf pada Akhlaq karena aku tidak berterima kasih
kepada seseorang yang dulu biasa aku bela
Mengapa aku melilitkan kesalahan padanya, walaupun sering
Kuserahkan segenap pujian terbaik baginya.
Dia adalah pilar penopang kerajaan dan benteng pembela negara
Dialah pahlawan perang teragung dan domba jantan dari arena
pertarungan banteng dengan manusia
Akankah kukatakan pada seseorang yang membangkitkan komunitas
ateis
Akankah kukatakan pada seseorang yang mengembalikan hak-
hak anarkis
Kebenaran itu lebih sakral daripada teman penolongmu
Juga lebih berharga untuk dijunjung dan diperjuangkan daripada
kamu
Karena itu pujilah manusia dan salahkan mereka demi kebenaran
Atau janganlah ikut berdiri memberi nasihat dan saran
Banyak manusia yang jika kamu berangkat untuk menghancurkan
mereka
Mereka sangat besar bagai raksasa dengan bahu lebar yang kasar
Tapi jika kamu lemparkan kebenaran pada tubuh raksasa mereka
Dia akan meninggalkan arena dengan badan penuh luka
َّ َو َءاتُوا
َالز َكاة
Berikanlah zakat. (TQS. al-Baqarah [2]: 110)
ُّ ْحيَ ِاة
الد ْنيَا َو َي ْو َم ال ِْقيَ َام ِة ُي َردُّو َن ِ ك ِم ْن ُكم إِالَّ ِخ ْز
َ ِ ذَل#ض فَ َما َج َزاءُ َم ْن َي ْف َع ُل
ٍ اب َوتَ ْك ُف ُرو َن بَِب ْع ِ أَ َفُت ْؤِمنُو َن بَِب ْع
ِ ض ال
ِ َْكت
َ ي في ال
ٌ ْ
ض َويُ ِري ُدو َن أَ ْن ٍ اهلل َو ُر ُسلِ ِه َو َي ُقولُو َن نُ ْؤِم ُن بَِب ْع
ٍ ض َونَ ْك ُف ُر بَِب ْع ِ اهلل ورسلِ ِه وي ِري ُدو َن أَ ْن ي َف ِّرقُوا ب ْين
َ َ ُ
ِ
ُ َ ُ ُ َ ِين يَ ْك ُف ُرو َن ب
ِ َّ
َ إِ َّن الذ
ك ُه ُم الْ َكافِ ُرو َن َح ًّقا َ َِّخ ُذوا َب ْي َن ذَل
َ ِ أُولَئ ًك َسبِيال ِ يت
َ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya dengan
mengatakan, “Kami mengimani sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami
mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud (dengan perkataan
itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir).
Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya. (TQS. an-Nisa’
[2]: 150-151)
ِ ِ َّ
ُ ين قَالُوا إِ َّن اهللَ ُه َو ال َْمس
يح ابْ ُن َم ْريَ َم َ لََق ْد َك َف َر الذ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya
Allah ialah al-Masih putera Maryam.” (TQS. al-Maidah [5]: 72)
Sekarang ini, bukankah jihad dianggap sebagai perang defensif saja dan
bukan sebagai perang opensif untuk menyebarkan Islam dengan menggunakan
senjata? Bukankah “berhukum dengan sistem kufur”, “bersikap netral di antara
negara-negara bangsa”, “politik itu hanyalah sebagai kebohongan dan muslihat
belaka”, “Islam demokrat”, “sosialisme dalam Islam”, dan banyak konsep
lainnya merupakan konsep yang begitu dominan di kalangan kaum Muslim
sekarang ini; padahal Islam telah menganggapnya sebagai kekufuran?
Bukankah tolok ukur kaum Muslim telah berubah dari hukum syariat menjadi
manfaat, dan tolok hukum syariat pun berubah dari dalil syariat menjadi
standar maslahat belaka? Bukankah rasio atau akal manusia telah menjadi
tolok ukur kebaikan dan keburukan; bukannya syariat yang dijadikan tolok
ukur, malah syariat harus tunduk pada akal? Bukankah tolok ukur rasa
permusuhan terhadap negara Barat hanya didasarkan atas keadaan mereka
sebagai penjajah, bukannya sebagai bangsa kafir? Bukankah kaum Muslim
telah menganggap kembalinya Khilafah dan hukum-hukum Islam hanya sebuah
impian belaka?
Jika keadaan umat tetap seperti ini—padahal umat seharusnya disatukan
oleh satu akidah yang melahirkan sistem—yakni saat ini sistem yang akan
mengatur umat telah dipisahkan dari akidahnya secara praktis dan dihapuskan
dari opini publik hingga ide pemisahan (sekularisme) ini telah menjadi sesuatu
yang diterima oleh umat secara universal, maka bagaimana mungkin umat bisa
dipersatukan secara sempurna? Umat tidak akan berada dalam keadaan seperti
ini apabila mereka masih menjadi sebuah kelompok manusia yang memiliki
sekumpulan konsep, standar, dan pendirian yang lahir dari akidah yang satu.
Sekarang ini mayoritas konsep, standar, dan pendirian yang dipegang umat
bukanlah konsep dan standar Islam. Jadi, bagaimana mungkin umat bisa
berubah sedangkan semua faktor-faktor yang bisa menjadikan umat sebagai
umat Islam yang kuat itu telah berubah dan bertambah lemah?
Tidak diragukan lagi, bahwa sekarang ini umat telah berada di pinggir
jurang kehancuran. Salah bila dikatakan bahwa umat berada di persimpangan
jalan, karena hal itu telah terjadi seabad yang lalu ketika umat mulai
mengadopsi dan mengambil pemikiran kapitalisme Barat di samping pemikiran
Islam. Salah pula bila dikatakan bahwa umat saat ini sedang berada di jalan
kehancuran karena hal itu telah terjadi pada hari diruntuhkannya Khilafah dan
dimusnahkannya hukum Allah dari masyarakat di seluruh muka bumi. Sekarang
ini masalah pemisahan agama dari kehidupan bernegara telah menjadi opini
publik dan kaum Muslim menikmatinya dengan penuh kepercayaan dan
kesetiaan. Pemikiran Islam telah diasingkan ke masa lalu sejarah yang hanya
menghasilkan kesetiaan ruhiah pada segelintir orang saja sekaligus
permusuhan dan ejekan pada sebagian besar kaum Muslim saat ini. Perasaan
Islam berkaitan dengan pemeliharaan urusan-urusan kaum Muslim dan urusan
kehidupan secara keseluruhan telah musnah. Konsekuensi dari semua itu
adalah bahwa sekarang ini umat telah berada di pinggir jurang kehancuran dan
tidak ada sesuatu pun yang berdiri di antara mereka dan kehancuran itu.
Realitas inilah yang benar untuk dikatakan, yakni bahwa awan kehancuran dan
kebinasaan telah bergulung di atas umat Islam; siap menguasai dan
membinasakan mereka.
Wahai kaum Muslim,
Inilah realitas umat Islam: mereka telah kehilangan rasa percaya diri
pada kelayakan Islam sebagai sebuah sistem dalam kehidupan pada zaman
modern ini. Pemikiran Islam dan pandangannya tentang kehidupan telah
dipisahkan dari berbagai urusan kehidupan. Hukum-hukum Islam telah
dipisahkan dari negara. Mereka menganggap pemisahan pemikiran dan hukum
sebagai sesuatu yang vital bagi kehidupan, yang dibutuhkan demi keberadaan
dan kemajuan kita di antara bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, krisis umat ini
adalah krisis kepercayaan pada sistem Islam, bukan krisis kepercayaan pada
(akidah) Islam itu sendiri. Akibat krisis ini, umat telah kehilangan kekuatan
penggeraknya yang digunakan untuk mendorong mereka maju ke depan. Umat
Islam telah mencapai titik kejumudan, ketidakefektifan, serta sampai pada
sebuah kondisi yang telah membawa mereka pada pinggir jurang dan bahaya
kebinasaan.
Jadi, permasalahan umat Islam saat ini adalah hilangnya kepercayaan
mereka pada apa yang lahir dari akidah Islam; dari segi pemikiran tentang
kehidupan dan sistem untuk mengatur segala ikatan. Hilangnya kepercayaan
semacam ini telah meluas menjadi sebuah kepuasan yang sempurna. Hal ini
diakibatkan oleh hilangnya motivasi yang kuat yang mendorong seluruh umat
dalam kehidupan. Keadaan ini merupakan problematika yang dapat
diidentifikasi oleh kita dengan jelas serta harus menjadi pokok pembahasan
dan obyek penanggulangan.
Jelas keliru bila dikatakan bahwa problematika kita semua saat ini adalah
akidah Islam. Pernyataan seperti ini telah menuduh keimanan kaum Muslim.
Hal ini tidak benar dan menjadi perkara yang berbahaya. Akidah Islam telah ada
pada setiap Muslim, tetapi telah kehilangan tiga perkara penting. Ia telah
kehilangan ikatannnya dengan pemikiran, kehidupan, dan sistem hukum.
Akibatnya, ia kehilangan vitalitasnya yang selama ini telah berkurang dan terus
berkurang. Sebab, ketika akidah ‘aqliyyah dipisahkan dari pemikirannya, ia akan
mati dan menjadi ‘mayat’ yang tidak hidup lagi. Ia juga telah kehilangan
konsepsinya tentang apa yang datang setelah kehidupan ini, sehingga tidak
memandang lebih jauh mengenai apa yang ada dalam kehidupan Hari
Kebangkitan dan Hari Perhitungan. Ia tidak gentar lagi akan hukuman Allah Swt,
tidak takut oleh Jahanam, dan tidak menggigil oleh pedihnya neraka Jahim. Ia
juga tidak berhasrat lagi untuk meraih surga dan tidak lagi merindukan
kebahagiaan di dalamnya. Ia tidak tertarik oleh kebahagiaan abadi di surga
yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan
tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Ia juga tidak lagi berhasrat
memperoleh keridhaan Allah Swt sebagai cita-cita tertinggi bagi kaum Muslim.
Ia juga telah kehilangan tali ikatan antara kaum Muslim sebagai sebuah
komunitas dan akidah ini, yakni ukhuwah Islamiyah. Akibatnya, kaum Muslim
menjadi bangsa dan negara yang berbeda-beda; berkelompok ke dalam
berbagai organisasi dan keluarga yang berbeda pula; bahkan mereka menjadi
individu-individu yang telah terpisah dari individu yang lain. Itulah tiga perkara
yang telah hilang dari akidah Islam dalam benak dan pikiran kaum Muslim
sehingga akidah itu telah menjadi ‘mayat’ yang tiada hidup lagi.
Akidah Islam itu sendiri sesungguhnya masih ada pada diri setiap Muslim.
Setiap Muslim masih mengatakan pada waktu pagi dan petang hari kalimat Lâ
Ilâha illâ Allâh Muhammad ar-Rasûlullah (Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad itu adalah utusan Allah) sekalipun pernyataan ini tidak mampu
menggerakkan sehelai rambut pun dalam dirinya, tidak menjadi sebuah
perasaan yang satu dalam hatinya atau apa pun dari perasaannya, tidak
mendorongnya bergerak dalam kehidupan walau hanya satu inci saja, juga
tidak menghentikannya dari keterbelakangan atau kemunduran. Artinya, kaum
Muslim sesungguhnya tidak kehilangan akidah Islam, tetapi mereka sebenarnya
telah kehilangan kepercayaan pada apa yang lahir dari akidah ini.
Keliru pula bila dikatakan bahwa problematika kaum Muslim saat ini
berkaitan dengan masalah ekonomi. Sebab, itu berarti bahwa kemiskinanlah
yang menjadi penyebab kemunduran dan kemakmuranlah yang mendorong
kebangkitan. Tidak diragukan lagi, ini merupakan pernyataan yang salah.
Kekayaan tidak akan membangkitkan seorang individu maupun umat, karena
kebangkitan yang sebenarnya adalah bangkitnya pemikiran (irtifa’ al-fikri).
Kebangkitan yang benar adalah kebangkitan pemikiran yang berpijak pada asas
spiritual (ruhiah). Ketika pemikiran itu ada maka kemudian kebangkitan pun
akan terjadi. Ketika pemikiran itu hilang maka kemunduranlah yang akan
terjadi.
Jadi, pemikiran yang ada pada bangsa manapun merupakan harta
kekayaan terbesar yang dibutuhkan dalam kehidupan mereka jika mereka
merupakan bangsa yang baru didirikan. Kekayaan ini merupakan hadiah
terbesar yang bisa diberikan oleh sebuah generasi pendahulu kepada generasi
berikutnya jika bangsa tersebut mengakar pada pemikiran. Jika kekayaan
material sebuah bangsa dihancurkan, secepat mungkin kekayaan tersebut bisa
dikembalikan, asalkan bangsa tersebut melestarikan kekayaan intelektualnya.
Akan tetapi, jika kekayaan intelektual ini hancur dan sebuah bangsa hanya
memiliki kekayaan material saja, kekayaan ini akan segera berkurang dan
bangsa tersebut akan segera kembali menjadi sebuah bangsa yang miskin.
Realitas yang ada pada umat Islam menunjukkan, bahwa mereka akan
menjadi salah satu bangsa yang paling kaya—jika tidak dikatakan satu-satunya
yang terkaya—ketika kekayaan alamnya diambil dan dikumpulkan dalam
sebuah negara sebagaimana Islam telah mewajibkan hal itu menjadi hak
seluruh kaum Muslim. Lebih jauh lagi, agar ekonomi tumbuh dan berkembang
dari ekonomi berbasis pertanian menjadi ekonomi berbasis pertanian dan
industri dengan industri menjadi pelopornya, di sana harus ada sebuah
pendorong yang kuat yang bisa memotivasi umat ini untuk berupaya maju
dalam bidang ekonomi. Pendorong yang kuat ini tidak lahir dari apa pun,
kecuali dari pemikiran. Pemikiran terbesar adalah akidah ‘aqliyyah yang
melahirkan pemikiran tentang kehidupan. Walhasil, urusan (qâdhiyah) umat ini
bukanlah ekonomi, tetapi pemikiran, yakni masalah keyakinan terhadap
pemikiran yang lahir dari akidah mereka.
Dangkal pula bila dikatakan bahwa problematika umat ini adalah
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Pernyataan ini hanya menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuanlah—bukan pemikiran—yang menjadi pendorong. Padahal,
fakta yang ada menunjukkan bahwa pemikiranlah yang menjadi pendorong;
sementara ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh pemikiran—dalam kebangkitan
atau kemundurannya atapun dalam keberadaan dan kemusnahannya.
Perbedaan antara pemikiran dan ilmu pengetahuan adalah bahwa
pemikiran itu merupakan pandangan atas benda dan perbuatan sehingga ia
bisa menetapkan pendirian atas benda dan perbuatan itu. Sebaliknya, ilmu
pengetahuan hanya merupakan pandangan atas benda itu sendiri dalam
rangka mengetahui esensinya saja. Yang menetapkan arah kehidupan itu
adalah pemikiran, bukan ilmu pengetahuan. Banyak pengetahuan ilmiah
berhasil ditemukan oleh sebuah bangsa yang jika hilang, akan bisa ditemukan
kembali oleh bangsa tersebut selama bangsa itu tidak kehilangan metode
berpikir (tharîqah tafkîr)-nya. Sebaliknya, jika bangsa tersebut kehilangan
metode berpikirnya atau kehilangan pemikirannya, bangsa tersebut akan
segera menjadi bangsa yang terbelakang dan sekaligus akan kehilangan
penemuan dan inovasi yang mereka miliki. Sekalipun umat Islam memiliki
jutaan pelajar dan orang-orang yang berpendidikan, umat ini akan tetap
terbelakang dalam penemuan dan inovasi. Pasalnya, mereka tidak memiliki
pemikiran untuk mengarahkan berbagai disiplin ilmu pengetahuannya demi
sebuah tujuan tertentu sehingga bisa membawanya maju ke depan untuk
meraih tujuan mulia ini. Apalagi saat ini, banyak ilmuwan dan penemu di
berbagai belahan bumi yang menjadi pekerja. Mereka sangat mungkin untuk
dijadikan sebagai pekerja, tetapi menghadirkan mereka atau apa pun semisal
mereka tidak akan bisa memecahkan problematika yang ada tanpa adanya
sebuah pemikiran. Sebab, masalahnya memang terletak pada pemikiran (fikr).
Tidak benar pula bila dikatakan bahwa problematikanya adalah hukum
(tasyri‘) dan undang-undang. Pernyataan ini berarti bahwa undang-undang
menjadi asas kehidupan dan negara. Ini jelas salah. Sebab, undang-undang dan
hukum hanya akan menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi manusia
sehari-hari, sementara solusi itu lahir dari sebuah pandangan tentang
kehidupan. Artinya, yang menjadi asalnya adalah pandangan yang telah
melahirkan undang-undang, bukannya undang-undang itu sendiri. Apakah
orang tidak melihat bahwa hukum-hukum yang diimplementasikan pada warga
negara kafir di dalam Daulah Islam itu sama, sebagaimana yang diberlakukan
pada kaum Muslim? Berkaitan dengan hukum-hukum itu, tidak ada perbedaan
antara mereka dan kaum Muslim. Artinya, kedudukan kaum Muslim dan orang-
orang kafir adalah sama di hadapan hakim dan penguasa—walaupun kaum
Muslim di negara Islam pada saat itu adalah pemilik risalah dan pengemban
dakwah; kebangkitan pun ditunjukkan kepada mereka. Ini terjadi pada saat
orang-orang kafir berada di bawah bayang-bayang Islam; mereka membayar
jizyah dengan penuh ketundukan dan perasaan lemah. Kemudian, apakah
orang tidak melihat hari ini bagaimana kaum Muslim di berbagai wilayah di
bumi ini telah menerapkan hukum dan undang-undang Barat atas diri mereka?
Akan tetapi, karena mereka masih mengakui akidah Islam, sementara undang-
undang dan hukum tersebut tidak lahir dari akidah mereka, tetapi hanya lahir
dari opini publik di antara mereka, mereka tetap saja tidak bisa mengejar
kemajuan dan kebangkitan Barat, dan secara intelektual pun mereka tidak
bangkit menjulang. Mereka masih mundur dan berada di belakang bangsa
Barat selama berabad-abad dan beberapa generasi berlalu. Padahal, hukum
dan undang-undang Barat telah diterapkan atas mereka sejak tahun 1918.
Semua ini mengindikasikan bahwa problematikanya bukanlah hukum dan
undang-undang, tetapi pandangan hidup yang melahirkan semua undang-
undang. Dengan kata lain, masalahnya adalah bagaimana menjadikan akidah
sebagai sumber undang-undang tersebut dan menumbuhkan keyakinan pada
umat akan kelayakannya, atau bagaimana menjadikan undang-undang itu lahir
dari sebuah akidah.
Walhasil, urusan (qâdhiyah)-nya adalah bagaimana menumbuhkan
kepercayaan pada undang-undang yang harus lahir dari sebuah akidah, yakni
sebuah pandangan hidup yang pada masa modern ini dikenal dengan sebutan
ideologi.
Berdasarkan hal itu, urusan yang ada berkaitan dengan kaum Muslim
sebagai sebuah umat dan sebagai umat Islam. Problematika umat Islam itu
tidak akan bisa dipecahkan hanya dengan mewujudkan akidah Islam kepada
mereka; tidak dengan memperkuat ekonomi atau meningkatkan taraf
pendidikan dan kebudayaan mereka; tidak juga dengan reformasi hukum atau
membuat konstitusi dan undang-undang untuk mereka. Solusinya tidak lain
hanyalah dengan mengaitkan akidah Islam dengan hukum dan undang-
undangnya. Caranya adalah dengan menjadikan akidah umat Islam sebagai
pembenaran yang pasti, yang sesuai dengan realitas, yang dipusatkan pada
pemikiran dan hukum-hukum syariat yang dihasilkan dari al-Quran dan as-
Sunnah, serta apa saja yang diindikasikan keduanya sebagai dalil syariat.
Dengan kata lain, permasalahannya adalah bagaimana menumbuhkan
kepercayaan umat pada pemikiran dan sistem yang lahir dari akidah Islam.
Inilah solusi yang tepat dan spesifik. Sementara itu, masalah bagaimana kita
mesti memecahkan problematika ini, solusinya harus dibatasi dengan
memperhatikan titik awal terjadinya kesalahan dalam rangka meralat dan
menghapus kesalahan ini. Tidak ada lagi cara lain selain ini.
Kaum Muslim masih tetap Muslim, meskipun keadaan mereka seperti
sekarang ini. Akidah mereka masih Islam. Islam masih didasarkan pada al-
Quran dan as-Sunnah sebagaimana pada masa Rasululaah saw. Hukum-hukum
syariat yang digali masih tetap seperti yang ada pada masa-masa pertama
hukum-hukum tersebut digali, yakni pada masa Umayah dan Abbasiyah.
Metode penggaliannya juga masih seperti zaman ketika ilmu ushul fikih Islam
diletakkan. Tidak ada yang berkurang di tengah-tengah kaum Muslim dalam hal
keimanan mereka pada Islam; tidak juga ada perubahan apa pun dalam Islam.
Akan tetapi, yang ada hanyalah goyahnya kepercayaan umat Islam pada
pemikiran dan hukum-hukum yang terlahir dari akidah Islamiyah. Ini
diakibatkan oleh lemahnya entitas umat dan entitas Daulah Islam. Hal inilah
yang membawa pada kehancuran Daulah dan menggiring umat pada jalan
kehancuran sampai meletakkan umat di pinggir jurang kebinasaan. Oleh karena
itu, solusi permasalahan ini akan bisa didapatkan hanya dengan cara kembali
pada titik di mana kesalahan ini mulai terjadi, yakni dengan memecahkan
masalah goyahnya kepercayaan atas pemikiran dan hukum-hukum yang lahir
dari akidah Islam. Tekanan inilah yang telah menghancurkan Daulah dan
hampir membinasakan umat. Sasaran dari solusi ini adalah untuk
membangkitkan umat dan menegakkan kembali Daulah dalam rangka
melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia. Ini
merupakan pokok persoalan dan inti permasalahannya.
Sebagian orang berpendapat bahwa kepercayaan itu berasal dari sebuah
keyakinan pada kebenaran dan ketelititan sesuatu, sementara keyakinan
tersebut datang dari perasaan. Keyakinan itu akan datang dan pergi pada diri
manusia tanpa bukti-bukti (burhân). Kepercayaan tidak akan bisa didapatkan
dengan bukti dan rasio, tetapi dengan menumbuhkan keyakinan yang datang
dan pergi secara kebetulan. Pernyataan seperti ini keliru dan tidak sesuai
dengan realitas. Pernyataan yang benar adalah bahwa kepercayaan itu akan
tumbuh dari keyakinan pada kebenaran dan ketelititan sesuatu, karena
kesesuaiannya dengan realitas atau fitrah. Akan tetapi, kepercayaan itu
tumbuh dengan didasarkan pada bukti yang menegakkan kebenaran dan
ketelitian sesuatu itu. Bukti ini bisa berupa pemikiran dan berkaitan dengan
perasaan, yakni bukti rasional yang menegakkan kebenaran dan ketelitian
sesuatu itu. Dengan begitu, seseorang bisa merasakan kebenaran dan ketelitian
itu. Bisa juga dia merasakan kebenaran dan ketelitian tersebut tanpa adanya
dalil rasional untuk membuktikannya. Akan tetapi, dengan melakukan hal ini
berulangkali, keyakinan bisa didapatkan dan kepercayaan tersebut dapat
dibangun.
Walhasil, kepercayaan tidak bisa datang dan kemudian hilang secara
kebetulan, tetapi ia datang dari pembuktian yang berulang-ulang atas
kesesuaian sesuatu dengan realitas atau fitrah, baik secara pemikiran ataupun
perasaan, yakni pembuktian yang berulang-ulang atas kebenaran dan ketelitian
sesuatu. Kepercayaan juga akan hilang dengan pembuktian yang berulang atas
kesalahan dan kebatilan sebuah pemikiran. Inilah yang akan menumbuhkan
keyakinan; ini juga yang akan mengguncangkan dan menghilangkan
kepercayaan. Hal ini berarti bahwa sebelum kepercayaan itu bisa ditumbuhkan,
kebenaran dan ketelitian sesuatu itu harus bergerak dari tahap menegakkan
sebuah bukti ke tahap menjadi bukti itu sendiri. Ini bisa dilakukan dengan
pembuktian yang berulang atas kebenaran dan ketelitian sesuatu dengan
pemikiran maupun perasaan. Sebagaimana sulitnya upaya menumbuhkan
kepercayaan, terutama dalam sebuah lingkaran keraguan, juga sulit
menggoyahkan kepercayaan dalam sebuah lingkaran iman. Sulit bagi orang-
orang kafir Barat untuk menggoyahkan kepercayaan umat akan kesesuaian
hukum-hukum syariat Islam dalam memecahkan problematika yang terjadi di
masa modern ini, sedangkan lingkaran yang ada adalah lingkaran iman. Bukan
hal yang mudah pula bagi mereka yang beraktivitas memperjuangkan Islam
dalam lingkaran keraguan untuk mengembalikan kepercayaan umat akan
kesesuaian Islam, yakni untuk mengkonsolidasikan sudut pandang Islam atas
kehidupan atau keistimewaan kehidupan Islam yang disebut dengan ideologi
Islam.
Kepercayaan itu tidak bisa ditanamkan dalam jiwa kaum Muslim dan
seluruh manusia kecuali dengan memberikan bukti pemikiran (‘aqliyyan) dan
perasaan (syû‘ûriyan) berkaitan dengan kebenaran dan ketelitian pemikiran
dan hukum Islam. Oleh karena itu, langkah pertama untuk mengembalikan
kepercayaan, agar bisa membangkitkan umat dan menegakkan Daulah, adalah
bagaimana berbagai realitas yang terindera dan peristiwa yang terjadi bisa
merefleksikan kebenaran, ketelitian, serta kesesuaian pemikiran dan hukum
Islam. Hal ini akan menjadi bukti-bukti pemikiran dan perasaan, yang kemudian
akan menumbuhkan keyakinan akan kebenaran dan ketelitiaannya itu, yang
akhirnya akan melahirkan sebuah kepercayaan. Sementara itu, bagaimana
menjadikan semua realitas tersebut bisa merefleksikan hal ini, adalah dengan
cara mengemban dakwah Islam melalui metode politik. Caranya adalah dengan
berjuang menegakkan Daulah Islam melalui pemikiran Islam, yang memiliki
realitas menurut apa yang dipergunakan manusia dalam menghadapi orang
lain, apakah pemikiran-pemikiran itu berkaitan dengan masalah kehidupan
atau pengorganisasian ikatan. Dengan kata lain, hal ini dilakukan melalui
aktivitas politik dalam rangka menegakkan Khilafah Islam dengan cara
menyebarkan pemikiran Islam dan berjuang di jalan ini. Hal ini karena manusia
diperintah oleh sebuah kekuasaan yang ada dan dibentuk oleh pemerintah,
apakah berasal dari golongan mereka sendiri atau yang lainnya. Penguasa
tersebut menjaga urusan-urusan warga negaranya dengan pemikiran dan
undang-undang tertentu. Pemeliharaan atas urusan-urusan tersebut dilakukan
atas berbagai macam realitas tertentu dengan pemikiran tertentu, yakni
problematika tertentu dipecahkan dengan solusi tertentu pula. Jadi, semua
realitas tersebut terasa dan terindera; begitu pula dengan solusinya serta apa
saja yang dihasilkan berkaitan dengan pemenuhan kemaslahatan yang
diinginkan dan pemeliharaan atasnya. Apa yang perlu dilakukan oleh mereka
yang beraktivitas untuk menegakkan Daulah Islamiyah untuk menghancurkan
sistem pemerintahan yang ada adalah agar mereka menggambarkan kerusakan
semua solusi yang ada selama ini kepada seluruh manusia, yakni kesalahan
pemikiran dan hukum yang selama ini digunakan untuk memecahkan
permasalahan kehidupan ini. Mereka juga harus memberikan solusi yang benar
atas semua permasalahan tersebut; bahwa ada pemikiran dan hukum yang
istimewa, yakni pemikiran dan hukum Islam, sehingga pemikiran-pemikiran dan
hukum-hukum Islam bisa diaplikasikan pada peristiwa yang terjadi itu. Dengan
begitu, realitas hukum ini bisa dipahami dan maknanya dapat diterima, yang
kemudian bisa menggerakkan pemikiran dan mempengaruhi perasaan umat.
Adapun berkaitan dengan bagaimana menunjukkan kesalahan pemikiran
dan hukum yang selama ini digunakan oleh penguasa untuk memecahkan
permasalahan yang terjadi, tidaklah benar jika dikaitkan dengan terealisasi atau
tidaknya kemaslahatan. Akan tetapi, penjelasan ini harus dilakukan dengan
menunjukkan bahwa semua itu merupakan pemikiran dan hukum-hukum
kufur. Amat keliru dengan menunjukkan ketidakshahihan pemikiran dan hukum
tersebut dikaitkan dengan kegagalannya dalam merealisasikan kemaslahatan,
dengan bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya, dengan
ketidakmampuannya memelihara kemaslahatan, atau dengan kenyataan
bahwa semua pemikiran dan hukum tersebut menghilangkan kemaslahatan.
Hendaknya kesalahan pemikiran dan hukum tersebut harus ditunjukkan
dengan menggambarkan bahwa semua itu bukan merupakan pemikiran dan
hukum Islam, yakni merupakan pemikiran dan hukum kufur, sementara
berhukum padanya sama dengan berhukum pada thâghût. Harus ditunjukkan
bahwa semua itu merupakan pemikiran dan hukum kufur. Sebab,
permasalahannya harus dilihat dari segi apakah Islam atau kufur, bukan dilihat
dari segi apakah memberikan kemaslahatan atau tidak. Begitu pula, dalam
menunjukkan solusi yang benar yang terdiri pemikiran dan hukum yang pasti,
yakni pemikiran dan hukum Islam, tidak benar bila untuk menjelaskan
kesesuaiannya dan menunjukkan kebenarannya dilihat dari segi bahwa
pemikiran dan hukum Islam ini bisa merealisasikan kemaslahatan atau
menghilangkan bahaya dan kerugian. Akan tetapi, kebenaran pemikiran dan
hukum Islam harus ditunjukkan dan kesesuaiannnya harus dijelaskan, yakni
bahwa ia merupakan hukum syariat yang dihasilkan dari dalil-dalil syariat, yang
berasal dari al-Quran dan as-Sunnah, atau dari kaidah-kaidah yang diperoleh
dari keduanya; atau dilihat dari apakah masalah cabang (furû‘) ataukah
masalah hukum syariat yang dalilnya masyhur.
Itulah cara yang harus ditempuh untuk menunjukkan ketidakshahihan
solusi yang selama ini diambil oleh para penguasa dalam memecahkan
permasalahan, sekaligus cara yang harus diupayakan untuk menjelaskan
kebenaran dan keshahihan pemikiran dan hukum Islam. Dengan begitu, solusi
atas berbagai realitas/masalah yang terjadi harus dikaitkan dengan akidah
Islam. Akidah Islam harus menjadi satu-satunya asas dalam memandang
pemikiran dan hukum-hukum tersebut. Semua persoalan harus dipandang dari
perspektif Islam atau kufur, tidak dari segi yang lainnya. Sebab, hukum-hukum
yang ada di dunia ini terkategori apakah hukum Islam atau hukum kufur, tidak
ada kategori yang ketiga. Di seluruh dunia sekalipun, hanya ada darul Islam dan
darul kufur, tidak ada yang lainnya. Oleh karena itu, pembuktian kesalahan
pemikiran dan hukum-hukum ini hanya didasarkan sebuah asas, yakni Islam
atau kufur, tidak ada yang lain selain itu. Artinya, kita harus menyatakan
tentang sebuah pemikiran atau hukum, bahwa ini kufur, jika pemikiran dan
hukum tersebut memang kufur; atau ini haram, jika memang ia sesuatu yang
haram. Dalil syariat juga akan menunjukkan bahwa ini kufur dan itu haram.
Harus dijelaskan kepada masyarakat bahwa siapa saja yang mengadopsi
pemikiran dan hukum non-Islam akan dianggap telah keluar dari Islam sehingga
dia bisa menjadi kafir dan murtad—jika pemikiran dan hukum tersebut terkait
dengan masalah perintah-perintah Allah yang berkaitan dengan keimanan,
seperti pemikiran tentang pemisahan agama dari negara atau memberikan
bantuan dana untuk membangun gereja. Namun demikian, jika pemikiran dan
hukum yang diadopsi tersebut merupakan perintah Allah yang berkaitan
dengan amal perbuatan, bukan keimanan, maka seorang Muslim dianggap
berdosa sehingga akan disiksa di dalam neraka Jahanam, seperti pemikiran
nasionalisme atau mengambil manfaat atas pinjaman bank.
Walhasil, asas dari pemikiran dan hukum-hukum mestilah akidah Islam;
kriteria yang diberikan adalah Islam atau kufur dan halal atau haram. Kesalahan
dan kebenaran juga harus dihukumi atas dasar ini dan sesuai dengan kriteria-
kriteria yang telah disebutkan.
Pada saat perhatian dicurahkan untuk menggambarkan kerusakan solusi
tersebut, hal ini juga harus dilakukan untuk menjelaskan kerusakan masyarakat
yang ada saat ini, yakni kerusakan ikatan-ikatan yang ada di antara mereka.
Kerusakan-kerusakannya bukan berasal dari realitas bahwa semua ikatan
tersebut tidak menghasilkan kemaslahatan dan mencegah kemadaratan atau
sebaliknya. Akan tetapi, semua kerusakan itu berasal dari rusaknya arah
pandang kehidupan yang mengontrol ikatan-ikatan masyarakat dan yang
menghasilkan semua solusi-solusi yang ditawarkannya. Oleh karena itulah,
mengapa kita harus mengaitkan solusi yang ada dengan asas-asasnya, dan
semua kesalahannya harus dijelaskan dengan melihat kesalahan asasnya,
bukan dari segi apakah semua itu kemaslahatan atau kemadaratan. Artinya,
semua solusi tersebut harus dikaitkan dengan akidah yang menjadi sumbernya.
Solusi-solusi tersebut kemudian harus ditentang dengan melihat bahwa semua
itu lahir dari akidah yang rusak. Dengan kata lain, solusi-solusi tersebut harus
dilihat sebagai pemikiran dan hukum-hukum kufur, tanpa memperhatikan lagi
apakah mendatangkan kemaslahatan ataukah tidak. Penentangan atas ikatan
yang ada di tengah-tengah masyarakat harus dilakukan dengan didasarkan
pada segi bahwa semua itu merupakan ikatan yang berdiri di atas pemikiran
dan hukum-hukum kufur. Dengan begitu, penentangan yang dilakukan harus
diarahkan pada asasnya. Sebab, tujuan dari penentangan atas semua itu adalah
untuk mengubah masyarakat yang ada saat ini dalam kapasitasnya sebagai
masyarakat non-Islam, serta untuk menghilangkan pemikiran dan hukum-
hukumnya dalam kapasitasnya sebagai pemikiran dan hukum-hukum kufur. Hal
ini dilakukan dalam rangka menegakkan masyarakat Islam serta mewujudkan
pemikiran dan hukum-hukum Islam dalam ikatan-ikatan yang ada di tengah-
tengah masyarakat. Tujuan dari semua ini adalah dalam rangka menjadikan
Islam sebagai pandangan hidup yang merata di tengah-tengah masyarakat,
sekaligus menjadikan cara hidup Islam sebagai cara hidup bagi seluruh
masyarakat, baik yang Muslim ataupun non-Muslim. Hal ini tidak bisa tercapai
hanya dengan menjelaskan aspek kemaslahatan dan kemadaratan. Akan tetapi,
semua itu dapat dicapai hanya dengan menjadikan akidah Islam sebagai
sebagai satu-satunya asas kehidupan, sekaligus menempatkan halal dan haram
sebagai satu-satunya tolok ukur perbuatan.
Walhasil, permasalahannya kini adalah bagaimana mengembalikan
kepercayaan umat Islam pada pemikiran dan hukum-hukum Islam dalam
kapasitasnya sebagai pemikiran dan hukum yang digali dari al-Quran dan as-
Sunnah atau dalil-dali yang ditunjukkan oleh keduanya. Jadi, permasalahannya
bukanlah bagaimana mengembalikan kepercayaan pada pemikiran dan hukum-
hukum Islam dilihat dengan didasarkan pada aspek kemaslahatan dan
kemadaratan. Tindakan yang mesti dilakukan secara langsung adalah dengan
menentang semua ikatan yang ada saat ini, yang kerusakan dan kesalahannya
berasal dari rusaknya pandangan yang telah melahirkan semua ikatan tersebut.
Penentangan harus dilakukan terhadap semua ikatan yang ada, yakni terhadap
pemikiran dan hukum-hukum yang telah digunakan oleh penguasa untuk
memelihara segala urusan masyarakat dan memecahkan masalah mereka.
Penentangan yang dimaksud adalah penentangan pemikiran dan hukum Islam
—dalam kapasitasnya sebagai pemikiran dan hukum Islam—terhadap
pemikiran dan hukum-hukum yang ada, yakni dalam kapasitasnya sebagai
pemikiran dan hukum-hukum kufur bukan yang lain. Dengan begitu, pada saat
itu akan terjadi pertarungan yang sengit di antara pemikiran dan hukum-hukum
tersebut. Ini merupakan pertarungan ideologis; akal dan hati bertarung secara
pemikiran (‘aqliyyan) dan perasaan (syu‘ûriyyan); pancarannya terpercik hingga
akhirnya cahaya kebenaran akan memancar dan kemuliaannya akan bersinar,
sedangkan kerusakan pemikiran dan perasaan tertentu—yakni pemikiran dan
perasaan kufur—akan tampak dengan jelas, yaitu dengan tersingkapnya
kerusakan pandangan yang telah melahirkannya. Melalui perang pemikiran dan
perdebatan yang mendalam, kaum Muslim yang selama ini terikat dengan
keyakinan kufur dan apa saja yang lahir dari pandangan kufur—sebagaimana
orang-orang kafir dan kaum munafik—akan merasakan kesalahan pandangan
kufur ini dan kebenaran pandangan Islam. Kemudian masyarakat akan
merasakan rusaknya rezim yang ada dan kebenaran hukum Islam. Melalui
realitas yang terindera dan terasa itu, kebenaran dan kelayakan pemikiran dan
hukum-hukum Islam akan dapat terefleksikan. Dari pendirian ini, kepercayaan
masyarakat akan pemikiran dan hukum-hukum Islam dengan sendirinya akan
terbangun; mereka akan mengenyampingkan seluruh pemikiran dan hukum-
hukum yang ada di dunia selama ini. Pada saat pendirian ini merata di tengah-
tengah masyarakat dan kepercayaan bisa dihimpun dalam pemikiran-pemikiran
mereka sehingga akan terbentuk opini publik yang timbul dari sebuah
kesadaran bersama, maka kemudian tanpa ragu lagi, kebangkitan akan bisa
meresap dalam diri umat ini, dan Daulah pun akan tegak walaupun berbagai
rintangan akan menghalangi jalannya. Hal ini karena pemikiran dinamis akan
meniupkan kekuatan politik yang besar sekaligus menghancurkan setiap
pemikiran yang salah dan hukum yang rusak. Inilah metode yang akan
menjadikan realitas dan perisitiwa yang terjadi bisa merefleksikan kebenaran
serta kelayakan pemikiran dan hukum-hukum Islam.
Semua itu akan menyibukkan diri kita dalam politik yang berasaskan
Islam, dengan menyebarkan pemikiran dan hukum-hukum Islam dengan dasar
politik, dengan kata lain, mengemban dakwah Islam (harus) melalui metode
politik. Atas dasar itu, kita bisa memahami rahasia propaganda yang dilakukan
oleh orang-orang kafir melalui agen-agen Muslim mereka dalam rangka
menjauhkan kaum Muslim dari politik, membawa mereka keluar dari arena
politik, serta menjadikan politik sebagai sebagai sesuatu yang kontradiktif
dengan ketinggian dan spiritualitas Islam. Kita juga memahami rahasia
permusuhan dan peperangan yang dilakukan oleh negara-negara kafir dan para
penguasa (yang menjadi agen orang-orang kafir) terhadap berbagai gerakan
politik Islam. Mereka memahami bahwa hanya gerakan-gerakan inilah yang
akan membangkitkan umat ini, menegakkan Daulah, memerangi orang-orang
kafir, sekaligus mengembalikan kejayaan Islam. Dengan alasan itulah mereka
memerangi gerakan politik Islam dan membawa kaum Muslim lari keluar dari
arena politik. Padahal, kepercayaan umat tidak akan kembali; umat Islam tidak
akan bangkit; Khilafah Islam tidak akan bisa ditegakkan; Daulah Islam juga tidak
akan kembali berdiri kecuali dengan menyibukkan diri secara aktif dalam politik
yang berasaskan Islam.
Dengan demikian, permasalahan mengenai bagaimana menyelamatkan
umat Islam dari kebinasaan adalah dengan mengembalikan kepercayaan umat
ini pada keshahihan, kebenaran, serta kelayakan pemikiran dan hukum-hukum
Islam. Hal ini akan dicapai dengan menjadikan realitas dan peristiwa yang
terjadi bisa merefleksikan kebenaran dan ketelitian itu sehingga loyalitas yang
sempurna akan teraih sebagai hasilnya. Dengan kata lain, hal ini dilakukan
dengan cara mengemban dakwah Islam melalui jalan politik, yakni beraktivitas
untuk mengembalikan Khilafah Islam dengan cara menyebarluaskan pemikiran
dan hukum-hukum Islam, serta berjuang karenanya.
Inilah jalan (tharîqah) yang telah dilalui Rasulullah saw dalam rangka
mewujudkan umat dan Daulah Islam. Selain itu, semua itu merupakan realitas
inderawi yang bisa membawa seseorang hanya untuk mengambil metode ini,
tidak yang lain. Sebab, ia merupakan hukum syariat yang mesti ditaati oleh
seorang Muslim. Seorang Muslim harus membatasi dirinya hanya pada jalan ini
dan tidak mengikuti jalan selainnya. Inilah satu-satunya jalan yang wajib diikuti
oleh kaum Muslim. Dengan begitu, satu-satunya aktivitas yang wajib dilakukan
oleh kaum Muslim sebelum aktivitas (amal) yang lain adalah mendirikan Daulah
Islam, yakni menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah. Metode untuk
merealisasikannya adalah dengan melakukan revolusi politik dan pemikiran
yang bisa menghancurkan pemikiran-pemikiran yang batil serta membongkar
hukum-hukum yang rusak.
Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan: apakah yang akan dicapai oleh
pemikiran Islam di Dunia Islam, sedangkan kekufuran telah begitu menyusupi
setiap bagian darinya? Undang-undang kufur telah memberlakukan ikatan-
ikatan yang ada di antara individu-individu dan ikatan-ikatan di antara berbagai
negara yang ada di Dunia Islam. Ikatan-ikatan di antara warga negara mereka
pun telah ditegakkan atas asas hukum-hukum kufur. Pemikiran dan perasaan
kaum Muslim telah didominasi oleh pemikiran kufur. Apa yang bisa dilakukan
oleh pemikiran Islam sedangkan kekufuran telah diimplementasikan dalam
setiap aspek kehidupan, dan Islam itu sendiri tidak tersisa kecuali hanya di
dalam masjid, mushaf, dan segelintir kaum Muslim saja?
Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa masyarakat manapun di
dunia ini hidup di antara dua dinding tebal, yang menghalangi pemikiran dan
perasaan asing masuk ke dalamnya. Pertama, adalah dinding bagian luar, yang
merupakan dinding akidah yang asasi, yakni pemikiran menyeluruh tentang
alam semesta, manusia, dan kehidupan; apa yang terjadi dalam kehidupan
(dunia) ini dan apa yang ada setelahnya (akhirat); serta keterkaitan antara
keduanya (kehidupan dunia dan akhirat). Kedua, adalah dinding sistem, yang
memberlakukan ikatan-ikatan di antara manusia dan cara hidup mereka. Saat
berkeinginan untuk mengubah masyarakat seperti ini melalui manusia yang
ada di dalamnya dan mengubahnya secara mendasar, kita harus menyerang
dinding yang pertama, dengan akidah yang baru, dan mengaitkan
serangan/penentangan atas dinding bagian luar dengan dinding bagian dalam.
Bagaimanapun, serangan atas dinding yang pertama ini harus berpijak di atas
pemikiran-pemikiran yang dengannya dinding kedua akan diserang. Dengan
begitu, serangan ini akan menimbulkan sebuah perjuangan pemikiran antara
pemikiran lama dan pemikiran baru. Perjuangan politik juga harus dilakukan
hingga dinding bagian luar dibongkar. Dengan membongkar dinding bagian luar
ini, dinding bagian dalam akan bisa dihancurkan sehingga revolusi pemikiran
dan perasaan akan terjadi. Oleh karena itu, akan ada sebuah revolusi politik
yang dengan itu seluruh masyarakat akan berubah; demikian pula pemerintah
serta seluruh ikatan yang lain. Inilah yang juga telah Rasulullah saw usahakan di
tengah-tengah masyarakat Makkah dan mewujud dalam sebuah kenyataan di
tengah-tengah masyarakat Madinah.
Kekuatan intelektual dan fisik diperlukan untuk mengembalikan
masyarakat seperti itu. Hari ini masyarakat di negeri-negeri Islam hanya
memiliki sebuah dinding, yakni dinding bagian dalam saja. Dinding-dinding itu
tidak perlu diruntuhkan seluruhnya oleh sebuah serangan pemikiran, tetapi
hanya cukup dengan membuat sebuah lubang di dalamnya untuk bisa masuk
dan meraih kekuatan. Dinding itu akan diruntuhkan sekaligus dengan sebuah
ledakan revolusioner dari dalam selama dinding bagian luar itu tidak ada. Hal
ini karena kesulitan itu ada pada saat meruntuhkan dinding bagian luar, dan
tidak mungkin bisa memasuki sebuah masyarakat kecuali dengan
menghancurkan dinding itu terlebih dulu. Bagaimanapun, selama tidak ada
dinding bagian luar (jika hanya ada satu dinding saja), pekerjaan ini akan lebih
mudah. Oleh karena itu, masalahnya tidak lain adalah bagaimana melakukan
penyerangan terhadap pemikiran dan hukum-hukum yang menjadi tempat
tegaknya dinding bagian dalam sekaligus membersihkan pemikiran dan hukum-
hukum Islam yang menjadi akidah umat. Dengan begitu, kepercayaan umat
pada pemikiran dan hukum-hukum Islam tersebut akan dapat dikembalikan.
Setelah itu, akan mudah membuat sebuah permulaan dan membangun
kembali masyarakat.
Jadi, tugas yang harus dilakukan saat ini bukanlah menyebarkan
pemikiran Islam di tengah-tengah sebuah masyarakat kafir, tetapi
menyebarkan pemikiran Islam kepada kaum Muslim yang saat ini berada di
tengah-tengah masyarakat non-Islam. Dengan kata lain, masalahnya sekarang
bukanlah mengajak orang-orang kafir untuk memeluk Islam, tetapi menyeru
kaum Muslim untuk bekerja bagi dan dengan Islam, melalui metode
penyebaran pemikiran Islam dan berjuang di jalan tersebut. Walaupun hal ini
mungkin menjadi sebuah tugas yang berat dan sulit, tetapi hanya inilah satu-
satunya kerja yang produktif dan lebih mudah dilakukan daripada berupaya di
tengah-tengah masyarakat kafir.
Bagaimanapun, harus diketahui bahwa musuh-musuh kita, orang-orang
kafir, tidak akan pernah membiarkan kita berupaya untuk membangkitkan
umat Islam dan menegakkan kembali Khilafah Islam. Mereka tidak akan
membiarkan kita untuk mengembalikan kepercayaan pada keshahihan,
kebenaran, dan kelayakan pemikiran dan hukum-hukum Islam. Mereka malah
akan berusaha untuk merintangi kita dengan berbagai macam cara. Mereka
tidak akan bisa menggoyahkan kepercayaan umat Islam pada pemikiran dan
hukum-hukum agama Islam kecuali dengan menghancurkan negara umat Islam
dan meluluhlantakkannya secara total. Mereka membuat sebuah kekalahan
yang menghancurkan, kemudian meluluhlantakkan Daulah Islam, dan bergerak
bersama umat Islam pada jalan kehancuran sehingga umat berada di pinggir
jurang kebinasaan. Oleh karena itu, akankah mereka membiarkan umat ini
kembali menjadi umat Islam, yang ditegakkan atasnya Khilafah Islam dan
berada di bawah naungan bendera Islam dalam rangka meneruskan risalahnya
dengan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia? Mereka tentu tidak akan
membiarkan umat ini melakukan hal itu. Sebaliknya, mereka bahkan akan
memerangi umat ini sekuat-kuatnya.
Jadi, tugas ini harus dilakukan terhadap mereka, yaitu dengan
melancarkan perang terhadap mereka dan agen-agen mereka, sekaligus
menciptakan opini publik, bahkan kesadaran umum, yang akan menyapu bersih
orang-orang kafir dari jalan Islam. Dengan demikian, kesulitan yang dihadapi
sesungguhnya bukanlah bagaimana menyebarkan pemikiran kepada kaum
Muslim dalam rangka membangkitkan mereka dan menegakkan Daulah, tetapi
terletak pada ketabahan dalam melakukan peperangan terhadap orang-orang
kafir dan munafik demi menyebarkan pemikiran Islam.
Negara-negara kafir yang pernah menyaksikan Negara Islam dan hukum
Islam—khususnya Inggris, Perancis, dan Rusia—akan selalu memerangi umat
Islam, karena mereka telah melihat dalam diri umat Islam terdapat sebuah
seruan ideologis yang menyeru manusia pada Islam. Mereka juga pernah
merasakan dalam Daulah Islam adanya kekuatan dan kelangsungan jihad untuk
melindungi Islam serta menyebarluaskan dakwahnya. Mereka juga pernah
melihat bahwa Daulah Islam merupakan negara adidaya selama beberapa
abad; mereka pernah merasakan kepahitan pedang kaum Muslim dan
kekuatan pemikiran Islam. Menyebutkan Islam semata telah membuat mereka
khawatir, dan gambaran kembalinya saja telah menjadikan mereka menggigil
ketakutan, apalagi dengan akan datangnya kembali Khilafah Islam dan
bangkitnya umat Islam.
Negara-negara kafir hari ini—terutama Inggris, Perancis, Amerika, dan
Rusia—sepenuhnya telah mengetahui, ketika umat umat Islam telah bangkit
kembali dan negaranya telah tegak berdiri, tidak akan ada satu negara pun
yang bisa tegak di hadapan Islam dan tidak ada satu ideologi pun yang bisa
menantangnya. Ideologi kapitalisme yang busuk bisa dihancurkan oleh
pemikiran dan hukum-hukum Islam. Ideologi ateisme-komunisme yang gila
juga akan menjadi puing-puing karena tingginya pemikiran dan hukum-hukum
Islam yang dibangun di atas asas spiritual. Ini berarti bahwa kembalinya Daulah
Islam sebagai sebuah negara yang bisa memimpin dunia merupakan sebuah
perkara yang tidak bisa diterima oleh negara-negara kafir. Itulah sebabnya,
mengapa mereka memeranginya dengan penuh dendam dan benci. Itu pula
sebabnya, mengapa kita harus mewaspadai orang-orang kafir berikut segala
cara dan manuver mereka. Kita juga harus memahami dengan penuh
kesadaran bahwa kesulitan itu terletak di hadapan musuh-musuh kita; musuh
Islam yang berasal dari orang-orang kafir dan munaifk, bukannya pada
penyebaran pemikiran-pemikiran Islam.
Inggris dan Rusia, keduanya telah merasakan penderitaan yang
diakibatkan oleh tentara Jerman. Oleh karena itulah, mengapa mereka
berupaya—meskipun dalam segi nilai-nilai kehidupan mereka berbeda satu
sama lain—untuk tetap membiarkan Jerman (sebelum bersatu seperi sekarang-
pen) dalam keadaan terpecah belah dan lemah. Kedua negara itu menjadi
penghalang Jerman yang berupaya meraih kekuatannya kembali. Keduanya
senantiasa berupaya menentang setiap tindakan yang bisa memperkuat
Jerman agar tentara Jerman itu tidak bisa kembali sehingga menjadi sebuah
ancaman bagi mereka.
Sebaliknya, Amerika dan Inggris menganggap Uni Soviet sebagai sebuah
bahaya bagi negara dan ideologi mereka. Oleh karena itu, Amerika dan Inggris
berupaya untuk memerangi Uni Sovyet dan ideologi yang dianutnya dengan
segala cara. Sebab, Amerika memahami bahwa warga negara Amerika tidak
akan pernah aman tanpa lenyapnya Uni Soviet dari peta dunia dan terhapusnya
komunisme dari kehidupan ini. Inilah situasi yang menimpa Jerman dan Rusia.
Kebencian Amerika dan Inggris terhadap Jerman dan Rusia itu tidak kurang dari
kebencian mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Bedanya, kebencian
Inggris dan Amerika terhadap Jerman dan Rusia adalah kebencian yang baru,
sedangkan kebencian mereka terhadap Islam merupakan kebencian lama;
kebencian atas dasar sejarah yang menempati sudut pemikiran dan perasaan
mereka sejak dulu. Itulah sebabnya, mengapa mereka memecah-belah negeri-
negeri Islam ke dalam banyak negara dan bangsa. Mereka mengerat-ngerat
bangsa Arab ke dalam beberapa negara sehingga bangsa Arab menjadi bangsa
dan negara yang berbeda-beda. Mereka terus-menerus memerangi Islam
secara pemikiran dan politik dengan kedengkian yang disembunyikan. Mereka
melakukan semua ini sehingga Daulah Islam tidak bisa kembali dan agar umat
Islam tidak bisa bangkit.
Hal inilah yang harus dipahami dan direnungkan oleh kaum Muslim.
Inilah yang menjadi sebab kemunduran umat Islam hingga mencapai sebuah
titik yang memalukan. Inilah yang telah menghalangi kita dari kehidupan
semestinya yang telah Allah takdirkan kepada hamba-hamba-Nya.
Musuh kita telah mengubah kebencian kita kepada mereka yang asalnya
didasarkan pada alasan iman dan kufur, menjadi sebuah kebencian atas dasar
kolonialisme dan imperialisme. Mereka telah mengubah kebencian itu dari
permusuhan kaum Muslim terhadap orang-orang kafir menjadi permusuhan
bangsa yang dijajah terhadap bangsa penjajah. Mereka pun telah mengubah
kebencian kita dari kebencian sebagai kaum Muslim menjadi kebencian
pembela bangsa terhadap orang-orang asing atas dasar patriotisme. Dengan
cara inilah mereka telah membuat kita lupa akan pahitnya kekalahan -dalam
kapasitas kita sebagai kaum Muslim- dan menghilangkan fakta bahwa itu
merupakan kalahnya Islam dari kekufuran. Hal ini dilakukan dalam rangka
menjadikan perjuangan yang kita lakukan berubah dari sebuah jihad—yang
dengannya kita mencari surga dan merindukan ridha Allah Swt—menjadi
perjuangan yang murah, seperti berbagai aksi demonstrasi dan protes yang
dilakukan untuk meraih kemerdekaan, yang sebenarnya adalah untuk
memisahkan diri dari negeri-negeri Islam yang lain. Oleh karena itu, kita harus
mengembalikan peperangan kita terhadap mereka pada pokok asalnya, yakni
peperangan antara Islam dan kekufuran yang terjadi antara kaum Muslim dan
orang-orang kafir. Peperangan antara mereka dan kita itu bukan hanya karena
mereka itu adalah penjajah, tetapi sebenarnya karena mereka itu orang-orang
kafir sekaligus penjajah. Dengan kata lain, aspek yang paling penting adalah
bahwa mereka itu kafir dan alasan memerangi mereka adalah karena
kekufuran mereka. Jadi, kita harus mengetahui siapa musuh kita sebenarnya
dan menjadikannya sebagai seorang musuh. Jika kita tidak mengetahui sifat
yang mendasari permusuhan antara kita dan mereka serta alasan apa yang
menjadikan mereka memusuhi kita, kita tentu tidak akan bisa menyelamatkan
diri kita dari segala tindakan mereka, dan kita tidak akan dapat mengalahkan
mereka. Jika kita tidak menjadikan mereka sebagai musuh, tidak diragukan lagi,
kita berarti telah menempatkan diri kita di bawah pengawasan dan belas
kasihan musuh kita itu. Allah Swt. berfirman:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
ْح ِّق َ اء ُت ْل ُقو َن إل َْي ِه ْم بال َْم َودَّة َوقَ ْد َك َف ُروا ب َما َج
َ اء ُك ْم م َن ال َ َين َء َامنُوا الَ َتتَّخ ُذوا َع ُد ِّوي َو َع ُد َّو ُك ْم أ َْولي
َ يَاأ َُّي َها الذ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku
dan musuh kalian sebagai teman-teman setia yang kalian sampaikan
kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih-sayang,
padahal sesungguhnya mereka telah mengingkari kebenaran yang
datang kepada kalian. (TQS. al-Mumtahanah [60]: 1)
اء
ً َودُّوا ل َْو تَ ْك ُف ُرو َن َك َما َك َف ُروا َفتَ ُكونُو َن َس َو
Mereka ingin supaya kalian menjadi kafir sebagaimana mereka telah
menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama dengan mereka. (TQS. an-Nisa’
[4]: 89)
َين أ ََي ْبَتغُو َن ِع ْن َد ُه ُم ال ِْع َّزةَ فَِإ َّن ال ِْع َّزةِِ ِ ِ َّخ ُذو َن الْ َكافِ ِرين أَولِي
ِ الَّ ِذين يت َن لَهم َع َذابا أَلِيما ِ بَ ِّش ِر الْمنَافِ ِق
َ اء م ْن ُدون ال ُْم ْؤمن
ََْ َ ََ ً ً ْ ُ َّ ين بأ َ ُ
ِ
ِهلل َج ِم ًيعا
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan
mendapatkan siksaan yang pedih. Mereka adalah orang-orang yang
menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong dengan meninggalkan
orang-orang Mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang-
orang kafir itu. Sesungguhnya semua kekuatan itu kepunyaan Allah.
(TQS. an-Nisa [4]: 138-139)
ِهلل َعلَْي ُك ْم ُس ْلطَانًا ُمبِينًا ِ َّخ ُذوا الْ َكافِ ِرين أَولِياء ِمن ُد
ِ ون الْم ْؤِمنِين أَتُ ِري ُدو َن أَ ْن تَ ْجعلُوا ِ ياأ َُّيها الَّ ِذين ءامنُوا الَ َتت
َ َ ُ ْ ََْ َ ََ َ َ َ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-
orang kafir sebagai wali (penolong) dengan meninggalkan orang-orang
Mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
untuk menyiksa kalian. (TQS. an-Nisa’ [4]: 144)
ِ ِ ِ ْكت ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ َّ
َ َاب م ْن َق ْبل ُك ْم َوالْ ُك َّف َار أ َْولي
اء َ ين اتَّ َخ ُذوا دينَ ُك ْم ُه ُز ًوا َولَعبًا م َن الذ
َ َ ين أُوتُوا ال َ ين َء َامنُوا الَ َتتَّخ ُذوا الذ
َ يَاأ َُّي َها الذ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan sebagai
pemimpin kalian orang-orang yang membuat agama kalian menjadi
buah ejekan dan permainan. Di antara mereka adalah orang-orang yang
telah diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir (orang-orang
musyrik). (TQS. al-Maidah [5]: 57)
َوإِ ْن َتَت َولَّ ْوا يَ ْستَْب ِد ْل َق ْو ًما غَْي َر ُك ْم ثُ َّم الَ يَ ُكونُوا أ َْمثَالَ ُك ْم
Jika kalian berpaling niscaya Dia akan mengganti kalian dengan kaum
yang lain dan mereka tidak akan seperti kalian. (TQS. Muhammad [47]:
38)
ين ِ َّت لِل ِ ات واْألَر ُ َو َسا ِرعُوا إِلَى َم ْغ ِف َر ٍة ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َجن ٍَّة َع ْر
َ ْمتَّق
ُ ْ ض أُعد
ُ ْ َ ُ الس َم َو
َّ ض َها
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju
surga yang luasnya seluas langit dan buumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa. (TQS. Ali Imran [3]: 133)
Sambutlah juga oleh Anda sekalian perintah Rasulullah saw ketika beliau
bersabda:
ِ السـمو
ِ ات َواْأل َْر
»ض ُ لجنـَِّة َع ْر
َ َ َّ ض َها َ ْ« ُق ْو ُم ُوا إِلَى ا
Berdirilah kalian demi surga yang luasnya meliputi langit dan bumi.
ِ يل ِ ِْجـنَّةَ ُي َقاتِلُو َن فِي َسب َّ ين أَْن ُف َس ُه ْم َوأ َْم َوال َُه ْم بِأِِ ِ
اهلل َفَي ْق ُتلُو َن َو ُي ْقَتلُو َن َ َن ل َُه ُم ال َ إِ َّن اهللَ ا ْشَت َرى م َن ال ُْم ْؤمن
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin jiwa dan
harta mereka dengan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan
Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (TQS. at-Taubah [9]: 111)
Ya, surga, wahai kaum Muslim, adalah buah transaksi yang mereka buat
dengan Allah pada saat mereka berjuang di jalan Allah hingga mereka
membunuh atau terbunuh. Apakah ini bukan saatnya bagi Anda sekalian untuk
merindukan surga serta membuat transaksi dengan Allah dan Anda tidak akan
pernah rugi? Semua itu dilakukan dengan jalan kalian menjual segenap jiwa
Anda untuk menggapai ridha-Nya dan menjawab seruan-Nya ketika Dia
mengajak kalian pada apa yang akan memberikan kehidupan.
ول إِ َذا َد َعا ُك ْم لِ َما يُ ْحيِي ُك ْم َّ ِِهلل َول
ِ لر ُس ِ استَ ِجيبوا
ُ ْ ين َء َامنُوا
ِ َّ
َ يَاأ َُّي َها الذ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kalian pada suatu yang yang memberi kehidupan
kepada kalian. (TQS. al-Anfal [8]: 24)
Khartoum, pada:
20 Rabi’ ats-Tsani 1385 H
17 Agustus 1965 M
HIZBUT TAHRIR
1
11
25
42
62
73