Anda di halaman 1dari 12

Demokrasi: Peradaban Sampah

Oleh: Ahmad Sajid


Istilah demokrasi saat ini tidak dapat dilepaskan dari wacana politik apapun, baik dalam
konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai dari skala warung kopi
pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi obyek yang paling sering
dibicarakan, paling tidak di negeri ini.
Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totalitarianisme. Jika tidak
demokratis, pasti totaliter. Totalitarianisme memiliki kesan buruk, kejam, dan bengis.
Akibatnya, negara-negara komunis sekalipun tidak ketinggalan ikut memakai istilah
demokrasi, walaupun diembel-embeli sebagai “Demokrasi Sosialis” atau “Demokrasi
Kerakyatan”. Dalam kaitannya dengan masalah ini, UNESCO pada tahun 1949 menyatakan,
“…Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang
paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan
oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh…”1
Gejala serupa juga melanda Dunia Islam. Para intelektual Muslim berupaya mencari titik
temu antara demokrasi dan ajaran Islam. Partai-partai politik Islam, misalnya di negeri ini,
berlomba-lomba mengklaim diri sebagai “paling demokratis” agar tidak terkena serangan
panah beracun dari pihak Islamophobia yang mencap Islam sebagai agama totaliter dan
dogmatis. Putra-putri Islam, dengan susah-payah, berupaya “melindungi” nama baik
agamanya dengan ungkapan-ungkapan bernada defensif apologetik,2 walaupun hal itu
menyebabkan ajaran Islam menjadi kabur atau malah lenyap.
Sekularisme: Akar Demokrasi
Sejak memudarnya kejayaan Imperium Romawi (abad ke-3 M), gereja Kristen mulai masuk
ke arena kekuasaan politik. Kaisar Konstantin, penguasa Romawi yang pertama kali memeluk
agama Kristen, menggabungkan kekuasaan negara dengan urusan gereja sehingga pihak
gereja memiliki peranan besar dalam pengambilan keputusan politik.
Kerajaan-kerajaan lokal mulai muncul di Eropa sejak tahun 476 M. Seperti halnya Romawi,
gereja turut menjadi penentu dalam sepak-terjang penguasa kerajaan. Para bangsawan dan
politikus, yang umumnya dari keluarga kaya, menjadi boneka yang dikendalikan penuh oleh
gereja. Akan tetapi karena ajaran Kristen tidak mengatur urusan kenegaraan, gereja
membuat berbagai fatwa menurut kemauan mereka sendiri yang kemudian diklaim sebagai
wewenang yang diterimanya dari Tuhan. Tidak aneh jika sosok kerajaan-kerajaan Eropa
saat itu lebih mirip dengan Imperium Romawi Kuno yang paganistis dan belum mengenal
agama.
Gereja memiliki supremasi yang sangat tinggi hampir dalam setiap urusan. Para pemuka
gereja diyakini sebagai satu-satunya pihak yang berhak berkomunikasi langsung dengan
Tuhan. Hasil “komunikasi” itu kemudian diajukan kepada penguasa kerajaan untuk
ditetapkan sebagai keputusan politik. Eropa memiliki sejarah yang cukup berdarah
mengenai hal ini: ribuan wanita dibunuh ketika gereja mencap perempuan sebagai tukang
sihir;3 kaum ilmuwan yang tidak setuju dengan pendapat gereja harus rela dipenjara atau
bahkan dibunuh, seperti yang menimpa Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus; tanah milik
rakyat dirampas untuk dibagi-bagikan kepada penguasa dan pemuka gereja; orang yang
hendak mati pun tak luput dari pemerasan oleh gereja. Pendapatan terbesar gereja berasal
dari penjualan Kunci Surga (Keys to Heaven), yaitu menjual surat pertobatan kepada
orang-orang yang hendak meninggal. Dengan membayar sejumlah uang, gereja meyakinkan
orang tersebut bahwa dosa-dosanya telah diampuni dan boleh memasuki surga.
Kelaliman gereja (yang difasilitasi oleh penguasa), kekalahan telak Pasukan Salib atas
Pasukan Khilafah Islamiyah, dan kegeraman para pemikir Eropa terhadap gereja,
menumbuhkan benih-benih pemberontakan pada abad ke-14. Hal ini juga disebabkan oleh
gencarnya penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin Eropa sejak
abad ke-10 yang berpusat di Andalusia (Spanyol). Kegemilangan peradaban Islam telah
memberi inspirasi kepada para pemikir Eropa untuk mendobrak kejumudan yang meliputi
seluruh daratan Eropa saat itu, yang dikenal sebagai Dark Ages (Masa Kegelapan).
Tahun 1618, meletus perang sipil di seluruh daratan Eropa antara pendukung dan penentang
supremasi gereja. Perang itu berlangsung selama 30 tahun dan menghabiskan sepertiga
penduduk Eropa serta meruntuhkan sebagian besar kerajaan yang bercokol di Eropa.
Perang terlama terjadi antara Prancis dan Spanyol sampai tahun 1659. Akibatnya, para
pemikir terpecah menjadi 2 kelompok: (1) Yang mempelajari filsafat Yunani, disebut
Naturalis, dan meyakini bahwa akal manusia mampu menyelesaikan semua persoalan; (2)
Yang berpihak pada gereja, disebut Realis, dan meyakini ajaran gereja sebagai kebenaran.
Di Itali, dua kelompok ini dikenal dengan Gulf dan Ghibelline, dan mereka saling berperang
memperebutkan kekuasaan. Pertentangan panjang itu akhirnya dimenangkan oleh kelompok
naturalis yang mendasarkan pemikirannya pada penyingkiran peran agama (Kristen) dari
kehidupan negara (sekularisme).
Sekularisme benar-benar menggembirakan hati para filosof dan politikus. Tidak ada lagi
gereja yang memenjarakan kebebasan berpikir mereka. Politik dan segala urusan duniawi
telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satu pun yang membatasi; tidak nilai agama dan
tidak pula nilai moral. Salah satu lambang betapa liarnya dunia politik sekular adalah buku
karya Niccolo Machiavelli yang berjudul The Discourses on the First Ten Books of Livy dan
The Prince. Salah satu pilar pemikiran politiknya adalah, “…Politik adalah sesuatu yang
sekular. Politik adalah pertarungan antar manusia untuk mencari kekuasaan.”
Sekularisme merupakan akar demokrasi. Dalam sistem politik yang sekularistik, agama
hanya menjadi “inspirasi moral dan alat penyembuhan”,4 kehendak akal manusia menjadi
penentu semua keputusan. Inilah ciri yang utama dari demokrasi, yaitu menyerahkan
keputusan politik kepada kehendak masyarakat (the will of the people), sesuai dengan
pertimbangan akal manusia.
Demokrasi vis a vis Islam
Ditinjau dari akar kelahirannya, Islam jelas berbeda dengan demokrasi. Sistem Islam tidak
lahir dari akal-akalan manusia, tetapi merupakan wahyu Allah Swt. Memang, ada sementara
pihak yang mencoba menyebut Islam sebagai Mohammedanism untuk menimbulkan kesan
sebagai agama buatan Muhammad, seperti yang dinyatakan oleh H.A.R. Gibb.5
Selain dari segi akar kelahirannya, pilar-pilar demokrasi bertentangan secara diametral
dengan Islam. Beberapa elemen pokok demokrasi adalah: (1) Kedaulatan ada di tangan
rakyat; (2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan; (3) Penjaminan terhadap empat kebebasan
pokok, yaitu kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom
of speech), kebebasan pemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan bertingkah laku
(personal freedom).6
1. Kedaulatan
Kedaulatan (as-siyâdah) didefinisikan sebagai upaya menangani dan menjalankan suatu
kehendak atau aspirasi tertentu.7 Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan
rakyat. Artinya, rakyat merupakan sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani serta
menjalankan aspirasi tersebut. Semua produk hukum diambil atas persetujuan mayoritas
rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) maupun melalui wakil-wakilnya di
parlemen (demokrasi perwakilan). Inilah cacat terbesar dari sistem demokrasi. Manusia
dengan segala kelemahannya dipaksa untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri. Pikiran
manusia akan sangat dipengaruhi lingkungan dan pengalaman pribadinya. Pikiran manusia
juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Atas pengaruh-pengaruh itulah, manusia bisa
memandang neraka sebagai surga, dan surga sebagai neraka.8
Dalam sistem demokrasi, jika mayoritas rakyat menghendaki dihalalkannya perzinaan, maka
negara harus mengikuti pendapat tersebut. Budaya sebagian suku di Sumatera Utara yang
terbiasa meminum tuak, dapat memaksa penguasa setempat untuk mengizinkan peredaran
minuman keras. Mayoritas rakyat Iran pada Revolusi Islam 1979 menginginkan
diterapkannya sistem pemerintahan Wilayatul Faqih, tetapi sekarang muncul gugatan
terhadap sistem tersebut, maka penguasa harus memperhatikan kehendak tersebut.
Walaupun dalam konsep Syi’ah, sistem Wilayatul Faqih adalah sesuatu yang tidak dapat
ditawar-tawar.
Dalam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk. Siapa pun berhak
mengklaim baik-buruknya sesuatu. Masyarakat bersikap “apa pun boleh”. Di San Fransisco,
para eksekutif makan siang di restoran yang dilayani oleh pelayan wanita yang bertelanjang
dada. Sebaliknya, di New York (masih di AS), seorang wanita telah ditangkap karena
memainkan musik dalam suatu konser tanpa pakaian penutup dada. Newsweek menyatakan,
“…Kita adalah suatu masyarakat yang telah kehilangan kesepakatan….suatu masyarakat
yang tidak dapat bersepakat dalam menentukan standar tingkah laku, bahasa, dan sopan
santun, tentang apa yang patut dilihat dan didengar.”9
Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah. Penetapan hukum tidak bermakna
teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk dan halal-haram. Allah Swt.
berfirman:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An’am [6]: 57).
Jika kalian (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya). (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Tentang apa pun kalian berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (QS asy-
Syura [42]: 10).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah sebagai
Musyarri’ (Pembuat Hukum). Segala produk hukum dalam sistem Islam harus merujuk pada
al-Quran dan as-Sunnah yang ditunjuk oleh keduanya, yakni Ijma Sahabat, dan Qiyas
(ijtihad).
2. Kekuasaan
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat. Rakyat lalu “mengontrak”
seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak mereka. Jika penguasa dipandang
sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena ia
hanya sekadar “buruh” yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang
diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan
sebutan kontrak sosial.10
Dalam sistem Islam, kekuasaan memang berada di tangan rakyat. Atas dasar itu, rakyat
dapat memilih seorang penguasa (khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan seorang
khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan sukarela tanpa
paksaan (ridhâ wa al-ikhtiyâr). Akan tetapi, berbeda dengan sistem demokrasi, khalifah
dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, tetapi untuk melaksanakan
dan menjaga hukum Islam.11 Seorang khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat
sudah tidak suka lagi kepadanya. Ia hanya boleh dipecat jika tidak lagi melaksanakan hukum
Islam walaupun baru sehari menjabat.
Untuk memutuskan apakah seorang khalifah lalai dalam pelaksanaan hukum Islam, negara
mempunyai instrumen hukum berupa Mahkamah Mazhalim yang berhak mengadili dan
memecat penguasa. Kaum Muslimin juga didorong untuk selalu mengoreksi penguasa.
Rasulullah saw. bersabda:
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di
hadapan penguasa yang lalim, lalu ia menyuruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat
munkar, kemudian penguasa itu membunuhnya.12
3. Kebebasan
Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya—apa pun bentuknya—secara
terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.
Masyarakat demokratis bebas memeluk agama apapun, berpindah-pindah agama, bahkan
tidak beragama sekalipun. Juga bebas mengeluarkan pendapat, walaupun pendapat itu
bertentangan dengan batasan-batasan agama. Bebas pula memiliki segala sesuatu yang ada
di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, bahkan bulan dan planet jika sanggup. Harta
dapat diperoleh dari segala sumber, baik dengan berdagang ataupun dengan berjudi dan
korupsi. Dalam sistem demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah laku tanpa peduli
dengan mengabaikan tata susila dan kesopanan.
Sebaliknya, Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Islam telah merinci dengan jelas apa
saja yang menjadi hak dan kewajiban manusia. Islam bukan hanya berorientasi kepada
kewajiban, tetapi juga hak sebagai warganegara dan individu.
Islam, misalnya, melarang seorang Muslim untuk mempermainkan agama dengan cara
berpindah-pindah agama. Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa mengganti agamanya (Islam), bunuhlah. (HR Muslim dan Ashab as-Sunan).
Islam juga melarang seseorang untuk memiliki benda-benda yang tidak berhak dimilikinya,
baik secara pribadi maupun kelompok. Islam telah merinci beberapa cara pemilikan yang
terlarang, misalnya pencurian, perampasan, suap (riswah), korupsi, judi. Sebaliknya, Islam
menghalalkan beberapa sebab pemilikan, yaitu bekerja, waris, mengambil harta orang lain
dalam keadaan terdesak yang mengancam jiwanya, serta harta yang diperoleh tanpa
pengorbanan semisal hadiah, hibah, sedekah, atau zakat.
Dalam masalah tingkah laku, Islam memberikan batasan susila yang jelas, terutama masalah
interaksi pria-wanita (ijtima’iy). Sebaliknya, di dalam sistem demokrasi, interaksi pria-
wanita yang sangat bebas telah memunculkan berbagai masalah pelik, seperti menyebarnya
berbagai penyakit menular seksual (PMS)
Syura=Demokrasi?
Adanya prinsip syura dalam sistem Islam dan musyawarah dalam sistem demokrasi tidak
dapat dijadikan alasan untuk menyamakan Islam dengan demokrasi. Becak memiliki roda,
demikian pula dengan mobil. Akan tetapi, bukankah becak jauh berbeda dengan mobil?
Tidak semua masalah dapat dimusyawarahkan dalam Islam. Hal inilah yang membedakannya
dengan sistem demokrasi yang mengharuskan setiap keputusan diambil dengan suara
terbanyak, tidak peduli jika hasil keputusan itu melanggar batasan-batasan agama yang
sudah mereka singkirkan jauh-jauh dari panggung kehidupan dunia. Islam membatasi
musyawarah hanya untuk masalah-masalah yang mubah. Sebaliknya, masalah-masalah yang
telah jelas halal-haramnya, tidak dapat dimusyawarahkan untuk dicabut atau sekadar
mencari jalan tengah.
Rasulullah saw. pernah menolak keberatan sebagian besar Shahabat ketika beliau
menyetujui tawaran pihak Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah. Umar ibn Khatthab
menunjukkan penentangan yang paling keras. Akan tetapi, Rasulullah saw, mengatakan (yang
maknanya), “Ibn al-Khatthab, aku adalah Rasulullah, dan aku tidak akan mendurhakai-Nya.
Dia adalah Penolongku dan sekali-kali tidak akan menelantarkan aku.”
Setelah itu, turunlah surat al-Fath yang menjanjikan kemenangan bagi kaum Muslim.13
Untuk masalah-masalah teknis dan menyangkut keterampilan tertentu, Rasulullah saw.
menyerahkan keputusannya kepada para pakar dalam bidang tersebut. Ketika meletus
Perang Badar Kubra, Rasulullah saw. menempatkan pasukannya jauh di belakang sebuah
sumur (sumber air). Melihat hal ini, Hubbab ibn al-Mundzir bertanya, “Ya Rasulullah,
apakah ini wahyu atau sekedar pendapat Anda?” Lantas dijawab oleh beliau, “Ini hanyalah
pendapatku.” Hubbab al-Mundzir kemudian mengusulkan kepada beliau untuk menempatkan
pasukannya di depan sumur, sehingga mereka dapat menguasai sumur tersebut dan
menimbunnya jika pasukan Quraisy menyerang sehingga musuh tidak dapat mengambil air
dari sumur itu. Rasulullah saw. lantas mengubah pendapatnya dengan pendapat Hubbab
tersebut.14
Untuk masalah-masalah yang sifatnya mubah (boleh), Rasulullah saw. meminta pendapat—
bermusyawarah dengan—kaum Muslim. Ketika Perang Uhud, misalnya, beliau dan sebagian
sahabat yang terlibat dalam Perang Badar memilih menyambut musuh dari dalam benteng
kota Madinah. Akan tetapi, mayoritas penduduk Madinah dan sebagian sahabat yang tidak
ikut Perang Badar memilih untuk menyongsong musuh di luar benteng. Melihat semangat
yang begitu membara, akhirnya Rasulullah saw. memutuskan untuk menyambut musuh di
luar benteng.15 Dalam hal ini, beliau hanya meminta pendapat mengenai lokasi
penyambutan musuh. Sementara itu, mengenai keharusan untuk berjihad, tidak beliau
musyawarahkan, karena jihad merupakan kewajiban yang tidak berhenti hingga Hari
Kiamat.
Memang pada kenyataannya, menyerahkan setiap keputusan politik kepada seluruh
warganegara adalah sesuatu yang mustahil dan justru dapat mengkhianati kebenaran.
Sistem polis di Yunani Kuno yang digembar-gemborkan telah menerapkan demokrasi
langsung (direct democracy), ternyata melakukan diskriminasi rasial dengan memberikan
hak bersuara hanya kepada golongan penduduk kaya dan menengah. Golongan pedagang
asing dan budak (yang merupakan mayoritas penduduk) tidak memiliki hak suara sama
sekali.
Dalam lapangan peradilan, sistem juri seperti yang dipakai di AS dan Inggris telah
mengundang kritik yang sangat keras. Para juri dipilih mewakili setiap komunitas di suatu
kota/distrik tanpa melihat kemampuan masing-masing, sedangkan hakim hanya bertugas
mengatur persidangan agar sesuai dengan hukum acara. Vonis terhadap terdakwa
dijatuhkan berdasarkan kesepakatan atau suara mayoritas anggota juri. Dengan sistem
seperti ini, diharapkan akan lahir keputusan pengadilan yang “demokratis”.
Demokrasi Sebagai Alat Penjajahan
Benarkah Amerika Serikat—sebagai kampiun demokrasi di dunia—telah memberi contoh
terbaik tentang demokrasi? Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku, Who Really
Runs Congress?, yang menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan
membiayai lobi-lobi Kongres. Diperkuat oleh The Powergame (1986) karya Hedrick Smith
yang menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: (1) uang,
(2) duit, dan (3) fulus. Dengan begitu, benarlah apa yang diteriakkan oleh Huey Newton,
pemimpin Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the people, for those who can
afford it.” (Kekuasaan diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu membayar untuk itu).16
Sejak terbentuknya negara federasi pada tahun 1776, Amerika memerlukan waktu 11 tahun
untuk menyusun konstitusi, 89 tahun untuk menghapus perbudakan, 144 tahun untuk
memberi hak pilih pada kaum wanita, dan 188 tahun untuk menyusun draf konstitusi yang
“melindungi” seluruh warganegara.17 Dengan masa lalu yang demikian kelam dan masa kini
yang demikian jorok, Amerika dengan arogan mencoba memberi kuliah tentang demokrasi
kepada negara-negara berkembang yang mayoritas negeri-negeri Islam.
Kampanye demokrasi dan hak asasi manusia yang dilakukan Amerika ke seluruh dunia
mempunyai dua tujuan: (1) untuk melindungi keamanan Amerika; (2) meningkatkan
kesejahteraan Amerika. Promosi hak asasi manusia serta demokrasi tersebut telah
ditetapkan sebagai salah satu tujuan fundamental dari kebijakan luar negeri Amerika.18
Negara adidaya tersebut mempunyai kepentingan untuk membuka pasar global seluas-
luasnya sehingga perusahaan Amerika dapat masuk dan menguasai pasar di negara
setempat. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan suatu rezim yang lemah, yang dapat ditekan
oleh para pemilik modal atau badan-badan keuangan internasional. Rezim yang lemah ini
diharapkan dapat bekerjasama secara lebih kooperatif dengan para investor Amerika
dalam sektor perdagangan, dan tentunya mudah tunduk pada tekanan politik Amerika dalam
sektor diplomatik.19
Untuk menciptakan para penguasa yang lemah di tiap-tiap negara, dikembangkan konsep
civil society (masyarakat sipil) yang mengebiri peran negara menjadi seminimal mungkin.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) didorong untuk menjadi “pemerintah-pemerintah
kecil” sehingga masyarakat dapat mengurus dirinya sendiri. Melalui skema Regional
Democracy Funds, tahun 1999 Amerika telah mengajukan proyeksi dana bagi LSM-LSM
sebesar US$ 39,75 juta dengan perincian US$ 15 juta untuk Afrika, US$ 5 juta untuk
Asia Timur dan Pasifik, US$ 2,75 juta untuk Asia Selatan, dan US$ 13 juta untuk Amerika
Latin serta Karibia. Khusus untuk ASEAN, tahun 1998 saja telah dikucurkan dana US$
500.000 untuk membangun jaringan LSM-LSM di wilayah tersebut.20
Di Indonesia, pemerintah Amerika memberi bantuan kepada Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), suatu badan semi-independen, untuk “mengekspos segala tindak
kekerasan sipil dan militer”. Atas bantuan Amerika pula, Komnas HAM membuka kantor
cabang di Timor Timur dan mengadakan program pelatihan mengenai hak asasi manusia.
Bantuan serupa diberikan pula kepada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI).21
Untuk membentuk opini dunia, Amerika, melalui Departemen Luar Negeri, setiap tahun
secara rutin mengelurkan laporan tahunan mengenai pelaksanaan HAM di setiap negara—
tentunya dengan menggunakan standar Amerika yang diklaim sebagai “standar universal”.
Beberapa negara yang dianggap belum mengembangkan demokrasi sesuai dengan keinginan
Amerika, dimasukkan ke dalam golongan negara-negara kunci (key countries). Untuk tahun
1998, negara-negara yang digolongkan key countries adalah Cina, Tibet dan Xinjiang, Kuba,
Serbia, Sierra Leone, Nigeria, dan Indonesia. Khusus untuk Indonesia, Mantan Menteri
Luar Negeri AS, Madeleine Albright, menyebutnya sebagai “sebuah transisi yang mendapat
prioritas.”22
Tidak hanya pihak pemerintah, lembaga-lembaga swasta pun turut andil dalam penyebaran
opini global tentang nilai-nilai demokrasi universal. Freedom House telah mengeluarkan
laporan tentang indeks kebebasan negara-negara di dunia, yang terdiri dari beberapa
parameter: kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, kebebasan pers, persamaan di
depan hukum, dan partisipasi aktif dalam politik berupa kebebasan memilih dan kompetisi
antar partai politik. Atas dasar parameter-parameter tersebut, Freedom House membuat
rating indeks kebebasan antara 1 sampai 7—makin besar rating berarti makin tidak bebas.
Untuk tahun 1997/1998, hanya 8,7 persen dari 48 negeri-negeri Islam digolongkan
demokratis, 30 persen tergolong semi-demokratis, dan sebagian besar (60,9 persen)
digolongkan sebagai negara otoriter. “Fakta” ini dihadapkan pada kondisi negara-negara
non-Muslim yang 23,3 persen otoriter, 30,1 persen semi-demokratis, dan 46,6 persen
demokratis.23
Sudah terlalu jelas fakta yang dapat disodorkan bahwa Amerika menggunakan demokrasi
sebagai alat untuk menekan negara-negara berkembang (terutama negeri-negeri Islam)
agar tunduk pada keinginannya. Tidak pernah ada itikad baik Amerika untuk mendorong
kesejahteraan negara-negara yang dijadikan sasaran promosi demokrasi dan hak asasi
manusia. Walaupun negara tersebut “tidak demokratis”—menurut pandangan Amerika—
asalkan mau tunduk pada kemauan Amerika, maka negara tersebut tidak akan diusik sedikit
pun. Inilah yang dilakukan Amerika pada negara-negara Timur Tengah yang penguasanya
telah berkhidmat 150 persen kepada Amerika.
Amerika (dan negara-negara Barat) mempunyai kepentingan politik dan ekonomi untuk
menjaga kelangsungan hidup rezim-rezim penguasa Timur Tengah. Jika demokratisasi
diartikan sebagai tampilnya kekuatan oposisi (yang didominasi oleh gerakan Islam
“fundamentalis”) sebagaimana terjadi di Kuwait, Aljazair, Yordania, dan Yaman, maka Barat
akan menghambat proses demokratisasi itu.24 Kontinuitas suplai minyak dan keberadaan
pangkalan militer Barat adalah sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang demokratisasi.
Demokrasi tidak pernah dan tidak akan terwujud dalam aspek kehidupan praktis.
Demokrasi hanyalah alat penekan dan dominasi Amerika (termasuk Barat) atat negeri-
negeri Islam untuk tunduk pada kepentingan mereka. Jika Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif
menyebut penjajahan sebagai sampah peradaban, maka demokrasi adalah sebaliknya:
peradaban sampah! Wallâhu a’lam.
Ahmad Sajid, pengamat politik Islam, tinggal di Malaysia.

Catatan Kaki:
1. S.I. Benn and R.S. Peters, Principles of Political Thoughts, Collier Books, 1964, hlm. 363.
2. Defensif apologetik adalah upaya pembelaan diri dengan menggunakan pola pikir pihak
penyerang karena takut dianggap berbeda dengan orang lain. Misalnya, “Tidak, Islam justru
sangat demokratis,” atau “Islam tidak dogmatis,” dan lain-lain. Orang yang menggunakan
pola defensif apologetik biasanya akan terseret untuk terjebak dalam alur pemikiran pihak
penyerang.
3. Konon, fondasi London Bridge dibuat dari bahan-bahan yang dicampur dengan tulang-
belulang perawan (Lihat Munawar Ahmad Anees, Islam dan Masa Depan Biologis Umat
Manusia (Etika, Gender, Teknologi), Penerbit Mizan, 1992, hlm. 43).
4. Released by The Office of The Spokesman, U.S. Department of State, October 24,
1997.
5. H.A.R. Gibb, Mohammedanism, Oxford, 1969
6. Abdul Qadim Zallum, Dimuqrathiyah Nizhâm Kufr, 1990, hlm. 8-9 (edisi Indonesia).
7. Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Hukm fî al- Islam, 1990, hlm. 40; Mahmud Abdul
Majid al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al- Hukm fî al-Islâm, t.t., hlm. 46.
8. Amien Rais, Khilafah dan Kerajaan (Kata Pengantar) karya Abul A’la al-Maududi, Penerbit
Mizan, 1998
9. Alvin Toffler, Future Shock, 1989, hal.271-272 (edisi Indonesia).
10. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, 1995, hal.55-56
11. An-Nabhani, op.cit., hlm. 41-42.
12. Al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrak III/195; Imam ath-Thabrani, al-Mu’jam ash-
Shâghir, I/264
13. Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Râhiq al-Makhtûm: Sîrah Nabawiyyah, hlm.
451-452 (edisi Indonesia)
14. Ibid, hlm. 278-279.
15. Ibid, hlm. 328-329.
16. Juwono Sudarsono, “Demokrasi, Bereskah?”, Gatra, 15 Juli 1995.
17. Strobe Talbott, Democracy and the International Interest, remarks to the Denver
Summit of the Eight Initiative on Democracy and Human Rights, Washington, DC, October
1, 1997
18. John Shattuck, Human Rights and Democracy, statement before the House Committee
on Appropriations, Subcommittee on Foreign Operations, Washington, DC, April 1, 1998.
19. Strobe Talbott, ibid.
20. John Shattuck, ibid.
21. John Shattuck, U.S. Democracy Promotion in Asia, statement before the House
International Relations Committee, Washington, DC, September 17, 1997
22. Harold Hongju Koh, 1998 Annual Country Reports on Human Rights Practises,
testimony before the Subcommittee on Human Rights and International Operations, U.S.
House of Representatives, Washington, DC, February 26, 1999.
23. Saiful Mujani, Islam, Civic Culture dan Demokratisasi (Sebuah Agenda Riset
Komparatif), Student Circle Paramadina, 11 Agustus 1999
24. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Penerbit Mizan, 1992 (Lihat juga Saad Eddin
Ibrahim, Crises, Elites, and Democratization in the Arab World, Middle East Journal,
vol.17 no. 2, Spring 1993)
(::sumber alwai'e al-islam.or.id::)

Anda mungkin juga menyukai