Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH HUKUM DAN KOMUNIKASI

“ANALISIS KASUS HUKUM DAN KOMUNIKASI


DALAM MEDIA CETAK”

DISUSUN OLEH

ASTRI MAULINA ( NRP 2013610007 )

MARYAM SIDDIQAH ( NRP 201361009 )

SUCI ANNISHA ( NRP 2013610019 )

DEWI PRATIWI (2013610020 )

POPPY AMALIA JAYA (201361 )

RINA SAVITRI (201361 )

FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JAKARTA

2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Penulis juga berterima kasih kepada
Bapak Rachman Achdiat selaku dosen mata kuliah Hukum dan Komunikasi yang
telah membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Analisis Kasus Hukum dan Komunikasi Dalam Media Cetak”.

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum dan
Komunikasi. Selain itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami dan
memperluas wawasan tentang hal yang tak boleh disampaikan dalam media cetak
di Indonesia.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


sempurna, sehubungan dengan pengalaman dan pengetahuan yang terbatas dan
dalam tahap pembelajaran. Oleh karena itu, kritik dan saran penulis harapkan
untuk membuat karya ilmiah yang lebih baik. Semoga pembaca dapat menambah
wawasan dari makalah ini.

Jakarta, November 2015

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi beberapa ahli hukum, istilah delik pers sering dianggap bukan
suatu terminologi hukum. Karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab
Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan yang disebut delik pers
bukanlah delik yang semata-mata dapat ditunjukan kepada pers, melainkan
ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga negara
Indonesia. Akan tetapi jurnalis dan pers merupakan kelompok pekerjaan
yang definisinya berdekatan dengan usaha menyiarkan, mempertunjukan,
memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur delik pers dalam KUHP
itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. Hal ini
disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat atau terdengar
di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum.
BAB II
ANALISIS CONTOH KASUS

A. Kasus Supratman

Salah satu contoh kasus pelanggaran delik oleh wartawan dalam


media cetak adalah kasus Supratman, yang melanggar delik ketertiban
umun, yaitu delik yang menghina peminpin negara. Penghinaan itu
ditujukan untuk Megawati Soekarno Putri yang saat itu menjabat menjadi
Presiden Republik Indonesia. Supratman yang saat itu menjabat sebagai
Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka dianggap telah terbukti
melanggar pasal 137 KUHP, yakni menyebar rasa kebencian, dikarenakan
menuliskan judul berita yaitu “Mulut Mega Bau Solar”. Tidak hanya
dalam judul yang bersifat propokatif, dalam gambar yang di muat pada
halaman awalpun mencerminkan ketidakhormatan bahkan penghinaan
kepada kepala negara saat itu, yaitu gambar wanita sedang meminum
solar.

Judul berita tersebut ditetapkan sendiri oleh Supratman tanpa


berdasarkan fakta dari sumber berita. Padahal, Supratman mengetahui
bahwa Mega yang disebut dalam berita itu adalah Presiden Republik
Indonesia dan mulutnya tidak berbau solar. Dia juga tidak pernah
menyium aroma mulut Presiden Megawati.

Supratman telah menerbitkan judul, isi dan gambar dari pemberitaan di


Harian Rakyat Merdeka tentang kebijakan Megawati Soekarnoputri
(Presiden RI waktu itu) yang menyulitkan rakyat, berbagai judul dan
gambar berita adalah:

a. “Mulut Mega Bau Solar”, dimuat di halaman 1 pada 6 Januari 2003


dan juga memuat gambar kerikatur seorang wanita yang sedang
menyedot solar dengan tulisan “Mbak hel...ep Me!”

b. “Mega Lintah Darat”, dimuat di halaman satu pada 8 Januari 2003


c. “Mega Lebih Ganas Dari Sumanto”, dimuat dihalaman satu pada 30
Januari 2003 dan juga memuat gambar Donal Bebek yang dibawahnya
ada tulisan
d. “Mega Cuma Sekelas Bupati”, dihalaman 16 pada 4 Februari 2003 dan
juga memuat gambar karikatur seorang wanita berpakaian Bali yang
sedang menari dengan memegang dua buah kipas

Judul berita dan gambar yang ditentukan dan dimuat oleh terdakwa di
Harian Rakyat Merdeka tersebut diatas, telah diedarkan dan dibaca oleh
masyarakat umum. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 137 ayat (1) KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dalam beberapa judul berita yang Supratman buat, dia mengetahui bahwa
Megawati tidak pernah menjadi lintah darat atau penghisap darah dan
tidak pernah memakan manusia seperti Sumanto. Megawati adalah
Presiden dan bukan bupati. Judul-judul yang dibuat terdakwa adalah suatu
penghinaan.

Dalam Kasus ini, Supratman dikenakan dakwaan Primair dalam


pasal 134 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Penjelasan Pasal 134 KUHP
adalah “Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau
Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun atau
pidana dengan dengan paling banyak tiga ratus rupiah”.

Penjelasan Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah : “Dalam hal


perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan
yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
di ancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu
pidana subsidair”.
Supratman juga dikenakan dakwaan Subsidair dalam Pasal 137 ayat
(1) KUHP Pasal 65 ayat (1) KUHP . Penjelasan Pasal 137 ayat (1) KUHP
adalah : ”Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan
dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana dengan paling banyak tiga ratus rupiah”.
Penjelasan Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah : “Dalam hal perbarengan
beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri
sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam
dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana
berbagai putusan hakim dalam penggunaan delik pers”.

Sebagian besar kasus pers ketika itu berakhir dengan kekalahan di


pihak pers. Dalam pekara melawan Megawati, Supratman - Redaktur
Eksekutif Rakyat Merdeka - divonis 6 (enam) bulan penjara dengan masa
percobaan 12 (duabelas) bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Munculnya delik pers berawal dari suatu berita atau laporan yang
dipublikasikan pers (dalam arti sempit, media cetak). Tapi, apa sebab
muncul delik pers, faktornya banyak, bukan semata-mata terkait dengan
kebenaran berita. Faktor-faktor tersebut. antara lain:
a. Sumber berita
b. Hak jawab,
c. Hak tolak atau hak ingkar,
d. Status korban sebagai public fugure,
e. Kutipan, quotation,
f. Kebenaran berita/laporan,
g. kepentingan umum,
h. Silang pendapat antara fakta dan opini,
i. Check and balance dan
j. Unsur kelalaian dan/atau kesengajaan,

Faktor-faktor tersebut di atas dapat juga disebut aspek delik


penghinaan. Konkretnya, dikatakan delik penghinaan yang terkait dengan
aspek kesengajaan, delik penghinaan yang terkait dengan hak tolak,
delikpenghinaan yang terkait dengan kepentingan umum dan seterusnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kasus-
kasus yang berkaitan dengan pers biasa disebut delik pers. Istilah delik
pers sebenarnya bukan merupakan terminology hukum, melainkan
hanya sebutan atau konvensi dikalangan masyarakat, khususnya
praktisi dan engamat hukum, untuk menamai pasal-pasal KUHP yang
berkaitan dengan pers.
Terdapat dua jenis pers, yaitu delik aduan dan delik biasa. Delik
aduan, berarti kasus pers baru muncul hanya apabila ada pihak yang
mengadukan kepada pihak kepolisian akibat suatu pemberitaan pers.
Jadi, selama tidak ada puihak yang mengadu pers tidak bisa digugat,
dituntut dan diadili. Delik Biasa, berarti kasus pers itu muncul dengan
sendirinya tanpa didahului dengan munculnya pengaduan dari pihak
yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers.
Delik biasa, terutama berkaitan dengan lembaga kepresiden.
Artinya, tanpa pengaduan dari pihak mana pun, kalau suatu
pemberitaan pers dianggap melakukan penghinaan terhadap presiden
atau wakil presiden, maka aparat kepolisian secara otomatis akan
memrosesnya secara hukum. Menurut Luwarso, hal itu karena
kejahatan terhadap martabat negara, sehingga demi kepentingn umum,
perbuatan penghinaan itu perlu ditindak tanpa memerlukan adanya
suatu pengaduan. Jabatan mereka sebagai presiden tidak
memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu. Penghinaan
terhadap penguasa atau badan umum juga tergolong delik pers biasa.
B. Saran

Dalam bidang penyiaran berita cetak ada etika, delik, kode etik dan
KUHP yang mengatur. Delik di atur dalam kode etik jurnalistik,
wartawan harus senantiasa mengingat batasan batasan dalam
menyiarkan berita jangan sampai dalam sebuah berita ada usur
kepemihakan yang bisa menimbulkan penghinaan yang berujung
pelanggaran delik. Wartawan harus senaniasa mengikuti kaidah
jurnalstik.
Menurut Luwarso, terdapat dua unsur yang harus dipenuhi supaya
seorang wartawan dapat dimintai pertanggungjawaban dan dituntut
secara hukum, yaitu :
a. Apakah wartawan yang bersangkutan mengetahui sebelumnya
isi berita dan tulisan dimaksud.
b. Apakah wartawan yang bersangkutan sadar sepenuhnya bahwa
tulisan yang dimuatnya dapat dipidana.
Kedua unsur ini harus dipenuhi. Apabila kedua unsur ini tidak
terpenuhi, maka wartawan tersebut tidak dapat dituntut atau diminta
pertanggungjawabannya secara hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Suryawati, Indah. 2014. Jurnalistik Suatu Pengantar. Bogor : Ghalia


Indonesia

Seno Adji, Oemar. 1990. Perkembangan Delik di Indonesia. Jakarta :


Erlangga

Anda mungkin juga menyukai