Anda di halaman 1dari 12

TUGAS BESAR

“Makalah Kewarganegaraan”

Dosen : Adhining Prabawati


Rahmani, S.H.,M.H.

Nama : Muhammad Puji Tri Saputra

Nim : 521211060
Kata Pengantar

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah, atas karunia-Nya lah kami akhirnya
bisa menyelesaikan makalah ini. Makalah ini membahas tentang pentingnya nilai-nilai Pancasila
dalam implementasi kewarganegaraan dan kemasyarakatan.

Betapa pentingnya mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Disamping


karena Pancasila adalah ideologi bangsa kita, nilai-nilainya pun telah lama mendarah daging di
tubuh semua rakyat Indonesia. Maka dari itu, melalui makalah ini, kami harap kita lebih bisa
menghargai dan bisa mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dalam penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan
Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................................ ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah ....................................................................................................... 1


1.2 Tujuan penulisan ................................................................................................................ 2
1.3 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 2

BAB II TINJUAN KEPUSTAKAAN ........................................................................................ 4

2.1 Pengertian kebebasan pers dalam negara demokrasi ......................................................4


2.2 undang undang yang mengatur kebebasan pers ................................................................ 5

2.3 Masa orde lama………………………............................................................................. 5

2.4 Masa orde baru…………….............................................................................................. 6

2.5 Ancaman jeratan Hukum……………………………...................................................... 7

BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 8

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................ 8

3.2 Kritik dan Saran ................................................................................................................ 8

Daftar Pusaka .............................................................................................................................. 9

ii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah


Kebebasan pers di Indonesia merupkan bagian dari budaya politik Indonesia
tentang kebebasan pers di Indonesia oleh pasal 28F Undang undang dasar negara
republic Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945 ) yang melindungi kebebasan penggunaan
berbagai media dalam mencari dan memeperoleh memiliki menyimoan mengolah dan
menyampaikan informasi.
Landasan hukum mengenai kebebasan pers di Indonesia secara jelas dibahas
dalam beberapa Undang-Undang Negara Indonesia yang dibuat setelah era
reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, salah satunya adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Undang-Undang Pers). Penetapan
kebebasan pers di Indonesia sejalan dengan bentuk pemerintahan yang diterapkan yaitu
demokrasi.
Jaminan kebebasan pers di Indonesia diterapkan sejak negara Indonesia. Pemaknaan
mengenai kebebasan pers di Indonesia pada tiap era pemerintahan bersifat berlainan dan ada
pula yang bertentangan. Pada masa pemerintahan Soekarno, kebebasan pers di Indonesia di
berikan tetapi di batasi tujuan di batasinya yaitu untuk menguarkan quo negara Indonesia
Keseimbangan fungsi eksekutif legislatif dan yudikatif serta kendali public belum
diutamakan Arah kebebasan pers pada masa pemerintahan Soekarno juga masih berpusat
kepada pemerintahan dan bukan kepada pengelola media dan konsumen pers. Kemudia pada
masa orde baru kewenangan pengendalian kebebasan pers di Indonesia awalnya di atur oleh
departemen penerangan

1
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dalam pembuatan makalah ini yaitu untuk memberi pengetahuan
dan wawasan agar kita dapat memahami dan mengetahui apa pengertian dari kebebasan pers
dalam negara demokrasi

1.3 Rumusan Masalah


Dalam tugas kelompok ini kami memiliki rumusan masalah, yaitu :
Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap jurnalis korban tindak pidana penganiayaan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers?

Dalam undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dikatakan pers harus diukur dari
sejauh mana negara melindungi keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugasnya, juga dari
kesadaran semua pihak untuk menyelesaikan keberatan atas pemberitaan media secara
beradab dan tanpa kekerasan fisik. Keselamatan wartawan masih masalah serius di Indonesia
Kekerasan secara fisik juga terus mengalami peningkatan. Penganiayaan merupakan salah
satu bentuk kekerasan yang masih sering terjadi di masa yang Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Indonesia juga membenarkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis kian mengalami
peningkatan. Dari 37 kasus pada 2009 terjadi peningkatan menjadi 51 kasus pada 2010 yang
dimana sebagian besar kekerasan tersebut merupakan penganiayaan fisik.4 Pada awal 2011
terjadi konflik antara kamerawan Global TV dengan artis Ahmad Dhani yang
mengindikasikan telah terjadinya tindakan penganiayaan dan berakhir di meja Dewan Pers
sebagai mediator. Kamerawan tersebut dituding telah melakukan tugas jurnalistik dengan
meliput kediaman pribadi Ahmad Dhani yang jelas-jelas melanggar privasinya sehingga
Ahmad Dhani merebut kaset rekamannya dan kemudian terjadi saling dorong yang
mengakibatkan kekerasan fisik yang dialami kamerawan tersebut. Namun pengakuan pihak
Global TV dalam keterangan Persnya menyebutkan bahwa kamerawan tersebut sudah
menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan kode etik jurnalistik.5 Menurut
catatan Dewan Pers dan Aliansi Jurnal Independen (AJI), penganiayaan terhadap jurnalis
jumlahnya semakin meningkat. Bahkan terkadang kasus jurnalis korban penganiayaan ini
menguap begitu saja di dalam persidangan, tidak ada solusi ataupun penanganan lebih lanjut.
Kebanyakan kasus-kasus yang menimpa jurnalis Indonesia selesai dengan perdamaian yang
dimediasi Dewan Pers.
2
Namun tentunya perdamaian itu seharusnya tidak serta merta menghentikan proses pidana
yang tengah berlangsung.6 Jurnalis sebagai korban ini masih dianggap sebelah mata oleh
berbagai kalangan. Banyak yang menuding bahwa jurnalis yang mengalami penganiayaan
adalah wajar apabila dilihat dari pekerjaannya yang dilakukannya. Padahal dalam hal ini
jurnalis mendapat perlakuan tersebut dalam kerangka tugas peliputan yang seharusnya
mendapat perlindungan berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang
Pers, yaitu 7 Dalam penjelasan pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,
disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan
pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku8 . Dalam penjelasan diatas, perlindungan hukum yang diberikan pemerintah maupun
masyarakat tidak secara jelas menerangkan perlindungan seperti apa yang harus diberikan,
sehingga dalam prakteknya perlindungan terhadap jurnalis dalam kerangka tugas peliputan
ini sering diabaikan karena kurangnya pemahaman pemerintah maupun masyarakat mengenai
fungsi jurnalis sebagai profesi yang rawan akan tindakan penganiayaan. penganiayaan sendiri
dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di atur pada bab XX pasal 351 sampai
358. Penganiayaan merupakan istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap
tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut.9 Meskipun tindak
pidana penganiayaan yang dialami oleh jurnalis tersebut merupakan tindakan yang akibatnya
diatur oleh hukum dan harus diselesaikan di meja persidangan, nyatanya selama 2007-2010
Dewan Pers menerima lebih dari 1.185 pengaduan dari seluruh Indonesia, baik yang datang
dari masyarakat untuk mempersoalkan pelanggaran etika pers maupun dari kalangan pers
yang meminta dukungan advokasi. Pengaduan ke Dewan Pers memang jauh lebih cepat dan
lebih murah daripada mengadu ke polisi. Sebab, Dewan Pers menyelesaikan sengketa tanpa
memungut biaya dan selalu mengusahakan perdamaian lewat mediasi yang solution yang
merasa disakiti dan tidak ada dendam antar kedua belah pihak. Pertimbangannya selalu
berdasarkan kode etik jurnalistik dan Undang-undang Pers, bukan hukum pidana atau
perdata. Itulah alasan mengapa banyak kasus yang menyangkut jurnalistik diselesaikan di
meja dewan pers, tidak lagi melalui jalur litigasi.
urnalis dapat menjadi korban tindak pidana penganiayaan sesuai dengan karakteristik tipelogi
korban, yaitu korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang
orang lain untuk melakukan kejahatan. Menurut jenisnya, jurnalis dikategorikan dalam jenis
Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cendrung
menjadi korban, atau Participating victims yaitu mereka yang dengan prilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban.11 Walaupun masalah penganiayaan yang dialami
jurnalis tersebut ada yang memang berasal dari perbuatannya yang jelas-jelas melanggar kode
etik jurnalistik, namun kekerasan fisik terhadap wartawan seperti melakukan pemukulan atau
tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi wartawan tidak dapat
dibenarkan, apalagi jurnalis tersebut sedang menjalankan fungsi-fungsi publik. Berdasarkan
latar belakang permasalahan tersebut diatas,

3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pengertian Kebebasan pers dalam negara demokrasi

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi
identik dengan kebebasan untuk menyuarakan pendapat, termasuk kebebasan bagi pihak
pers. Kebebasan pers bukan berarti pers bisa semena-mena dalam hal penyampaian
informasi. Tetapi kebebasan pers lebih mengarah pada kebebasan pers yang disertai dengan
tanggung jawab sosial. Informasi atau berita yang dikeluarkan oleh pers dikonsumsi langsung
oleh publik dan dapat memengaruhi pemikiran publik secara langsung. Oleh sebab itu, pers
harus bertanggung jawab terhadap publik terkait pemberitaan yang telah dikeluarkan. Selain
itu, pers yang bebas adalah pers yang tidak melanggar ketentuan hak asasi manusia. Sebagai
penganut sistem demokrasi, sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk menegakkan
kebebasan pers. Kebebasan pers merupakan cermin sistem demokrasi yang ideal.

dijelaskan bahwa kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bersih, dan
bijaksana. Sebab melalui kebebasan pers masyarakat dapat mengetahui berbagai peristiwa,
termasuk kinerja pemerintah sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol
terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri. Kebebasan pers dalam negara demokrasi
diperlukan agar pers bisa menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan sehingga
tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Secara garis besar, kebebasan pers bertujuan untuk
meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan adanya kebebasan pers, pers dimungkinkan untuk
menyampaikan beragam informasi sehingga memperkuat dan mendukung masyarakat untuk
berperan di dalam demokrasi.

4
2.2 undang undang yang mengatur kebebasan pers

Kebebasan pers di Indonesia sendiri telah diatur dalam undang-undang. Ada dua undang-
undang yang mengatur kebebasan pers, yaitu: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran Pasal 4 ayat 1 dan 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers menjelaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan
penyiaran. Dari penjelasan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa kebebasan pers merupakan
hak asasi warga negara. Artinya, tidak ada yang boleh menghalangi kegiatan pers, meskipun itu
pemerintah. Meskipun begitu, kebebasan pers bukanlah tanpa batas. Kebebasan pers tetap
dibatasi agar tidak melanggar ketentuan hak asasi manusia. Kebebasan pers di Indonesia harus
dilaksanakan sesuai dengan etika jurnalisme

2.3 Masa orde lama


Masa Orde Lama di Indonesia dimulai sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia dinyatakan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, kebebasan
pers di Indonesia cukup tinggi. Pemerintah mengizinkan penerbitan berbagai macam surat
kabar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Pers ditujukan hanya untuk keperluan perjuangan
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kebebasan pers diberikan oleh pemerintah
untuk menyebarkan kabar mengenai kemerdekaan Indonesia. Dalam maklumat yang
disampaikan oleh Amir Sjariffudin selaku Menteri Penerangan Indonesia, kebebasan pers harus
dijadikan sebagai landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Maklumat ini
disampaikan pada bulan Oktober 1945.
Kebebasan pers pada masa awal Orde Lama dikaitkan dengan kebebasan
berserikat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berpendapat yang dinyatakan dalam Pasal 28
UUD 1945. Kebebasan berpendapat dianggap sebagai bagian dari demokrasi.[13] Berbagai
kebijakan pemerintah Indonesia pada masa awal kemerdekaan mendukung kebebasan
berpendapat, khususnya kebebasan menolak kebijakan pemerintah. Bentuk kebebasan pers
pada masa ini ditandai dengan adanya penolakan terhadap hasil Perundingan
Linggarjati dan Perjanjian Renville secara terbuka. Bersamaan dengan kebebasan pers,
pemerintah Indonesia menganjurkan pendirian partai politik dengan mengeluarkan Maklumat 3
November 1945. Maklumat ini merupakan usulan dari Soepomo selaku Menteri Kehakiman
Indonesia yang pertama sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Pendirian partai politik ini
dimaksudkan untuk membentuk hukum tata negara Indonesia yang didasarkan kepada UUD
1945. Tujuannya adalah melindungi dan memberikan jaminan awal atas hak asasi manusia yang
meliputi hak berapat, berkumpul, dan menyatakan pendapat selama masa Revolusi Nasional
Indonesia, serta pembangunan politik awal dari sistem pemerintahan Indonesia.
Setelah Indonesia menerapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) dan
kemudian Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950), politik di
Indonesia beralih dari paham negara kesatuan yang berasaskan kekeluargaan menjadi sistem
parlementer berpaham liberalisme-individualisme. Kebebasan pers masih terpelihara mengingat
keberadaannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak berapat, berkumpul, bersidang,
dan menyatakan pendapat masih terlaksana tanpa ada pembatasan. Kebebasan pers
khususnya terjamin oleh hak menyatakan pendapat.] Pasal 19 dalam Konstitusi RIS
menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat. Kebijakan pers yang
bersifat positif pun ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu kebijakan ini ialah
pembentukan Dewan Pers yang beranggotakan jurnalis, cendekiawan, dan pejabat pemerintah.
Kebebasan pers pada masa Orde Lama ditandai dengan bebasnya penerbitan surat kabar
selama mempunyai modal usaha. Kebebasan mengemukakan pendapat melalui surat kabar
dapat dilakukan tanpa melalui perizinan resmi dari pemerintah terlebih dahulu.]
5
Kondisi kebebasan pers di Indonesia mengalami perubahan pada tahun 1950-an. Pers
Indonesia mulai terpengaruh oleh kepentingan politik dari partai-partai besar. Kebebasan pers
diartikan sebagai kebebasan dalam memilih dan menyampaikan informasi mengenai partai
politik yang didukung. Pers tidak diberi kebebasan dalam meliput dan melaporkan informasi
apapun yang seharusnya diketahui oleh masyarakat. Sektarianisme mulai terbentuk dalam pers
Indonesia. Pers mulai dijadikan sebagai alat politik dari para pejabat partai dan pers tidak lagi
menjadi media untuk menyampaikan kebenaran untuk masyarakat. Pemerintah Orde Lama pun
menafsirkan kebebasan pers demi mempertahankan status quo. Pada masa pemerintahan
Soekarno, beberapa surat kabar dibubarkan di antaranya surat kabar Harian Indonesia
Raya, Pedoman, dan Nusantara. Kebebasan pers di Indonesia kembali mengalami perubahan
keadaan ketika Soekarno mengubah sistem demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin pada
tanggal 28 Oktober 1956. Selain itu, diberlakukan pula Undang-Undang Darurat Perang.
Perubahan politik ini menyebabkan pers diwajibkan mengikuti ideologi Nasakom yang didukung
oleh Soekarno. Tujuannya adalah untuk melakukan mobilisasi terhadap rakyat. Surat kabar yang
tidak mendukung paham komunisme dilarang terbit, sedangkan surat kabar yang
mendukungnya bertambah banyak

2.4 Masa orde baru


Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia diakui oleh
pemerintah Orde Baru. Pada masa awal ini, pihak militer bekerja sama dengan mahasiswa,
tokoh politik, dan tokoh keagamaan sehingga kebebasan pers dapat dipertahankan. Aspek
pemerintahan juga belum dikuasai oleh militer. Pengakuan ini diresmikan melalui
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang
Pembinaan Pers (TAP MPRS XXXII). Perumusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Undang-Undang RI No. 11/1966)
diawali oleh Tap MPRS XXXII ini. Dalam Undang-Undang RI No. 11/1966, kebebasan pers di
Indonesia tidak diartikan sebagai kebebasan liberalisme, melainkan kebebasan dalam
menyatakan kebenaran dan keadilan. Kondisi kebebasan pers ini tidak bertahan lama.
Masa Orde Baru kemudian menjadi masa pembatasan kebebasan pers di Indonesia. Pada
tahun 1967, pemerintah Orde Baru mendirikan Dewan Pers yang diketuai oleh Menteri
Penerangan. Susunan kepengurusan Dewan Pers diisi oleh para pejabat dinas intelijen dan
departemen penerangan. Dewan pers ini didirikan dengan tujuan menjadi
perantara komunikasi antara pemerintah dan kalangan media massa. Tugas utamanya ialah
memberikan saran politik dalam proses pemberian Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Dalam praktiknya, Dewan Pers menjadi alat pemerintah Orde Baru.[27] Kebebasan pers di
Indonesia dikendalikan secara ketat oleh Presiden Indonesia yang kedua, Soeharto. Bentuk
pengendalian kebebasan pers ini berupa penyensoran dan penetapan persyaratan pendirian
perusahaan media melalui SIUPP serta pembredelan.
Pembredelan sebuah media massa dilakukan oleh Departemen Penerangan dengan
mencabut SIUPP. Pembatasan kebebasan pers juga dilakukan dengan bentuk kewajiban
wartawan untuk menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Aturan ini mulai
diberlakukan sejak tahun 1969. Susunan kepengurusan di dalam PWI meliputi para wartawan
dan para petinggi militer yang memberikan kesetiaan kepada pemerintah. Pembatasan lainnya
berupa penerbitan kartu pers yang hanya dapat dilakukan oleh PWI. Selain itu, wartawan yang
dipecat dari keanggotaan PWI dilarang untuk bekerja kembali sebagai wartawan. Hal yang
sama berlaku pada Serikat Penerbit Suratkabar yang pendiriannya mendapat dukungan dari
PWI. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga melarang pendirian serikat pekerja oleh
jurnalis.[27] Pemerintah Orde Baru juga menganggap pemberitaan pers dapat mengancam
politik dan kekuasaan negara. Pandangan inilah yang kemudian menyebabkan pemerintah
melarang pemberitaan yang membahas tentang kekuasaan negara. Media massa yang
melakukan pemberitaan tentang kekuasaan negara akan mengalami pembredelan.
6
2.5 Ancaman jeratan Hukum
Kebebasan pers di Indonesia mengalami pembatasan dalam bentuk kriminalisasi insan
pers. Aliansi Jurnalis Independen Indonesia melaporkan bahwa kriminalisasi pers masih terjadi
dengan penuntut berasal dari pejabat pemerintah maupun masyarakat umum. Sebanyak 43
kasus kriminalisasi tercatat sepanjang tahun 2005. Empat kasus di antaranya merupakan
tuntutan hukum terhadap jurnalis dan media. Jumlah kasus meningkat sebanyak 53 kasus
pada tahun 2006 dengan tujuh tuntutan hukum terhadap jurnalis dan media.
Kasus kekerasan terhadap insan pers tercatat sebanyak 38 kasus pada Agustus 2009 dan 40
kasus pada Agustus 2010.
Kriminalisasi dilakukan dengan pemberian tuntutan pencemaran nama baik kepada wartawan
yang melakukan investigasi. Sedikitnya 37 paragraf di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana memberikan ketentuan hukuman pidana bagi penulis berita. Beberapa media
dan aktivis hak asasi manusia menuntut agar pencemaran nama baik dianggap hanya sebagai
pelanggaran hukum perdata

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah kita mempelajari makalah ini dapat kita simpulkan bahwa Kebebasan
pers di Indonesia tidak secara langsung disampaikan dalam pasal-pasal yang ada pada
undang-undang negara Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pasal yang berkaitan dengan kebebasan pers
hanya dapat ditemukan pada Pasal 28, Pasal 28E Ayat 2, dan Pasal 28F. Pada pasal
28E ayat 2 dapat dimaknai bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari kemerdekaan
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pada Pasal 28E Ayat 2 dimaknai bahwa
kebebasan pers di Indonesia merupakan bagian dari kebebasan menyatakan pikiran.
Sementara itu, Pasal 28F dapat dimaknai bahwa kebebasan pers merupakan bagian
dari kemerdekaan berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pasal 28F menjadi
landasan hukum utama kebebasan pers di Indonesia karena adanya kebebasan dalam
menggunakan berbagai media dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi.

3.2 Kritik dan saran

Akhirnya terselesaikannya makalah ini kami selaku pemakalah menyadari dalam


penyusunan makalah ini yang membahas tentang kebebasan pers di negara demokrasi
masih jauh dari kesempurnaan baik dari tata cara penulisan dan bahasa yang
dipergunakan maupun dari segi penyajian materinya.

Untuk itu kritik dan saran dari dosen atau pembaca yang terlibat dalam penyusunan
makalah ini yang bersifat kousteuktif dan bersifat komulatif sangat kami harapkan
supaya dalam penugasan makalah yang akan datang lebih baik dan lebih sempurna.

8
BAB IV

DAFTAR PUSAKA

4.1.Sumber
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_pers_di_Indonesia#:~:text=Pasal%2028F%20menjadi%
20landasan%20hukum,%2C%20mengolah%2C%20dan%20menyampaikan%20informasi.

https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/203844869/kebebasan-pers-di-
indonesia?page=all

https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-208-BABI.pdf

Anda mungkin juga menyukai