Anda di halaman 1dari 53

BUKU

DASAR TEORI

JENIS-JENIS KOROSI
KINETIKA KOROSI
PROTEKSI KATODIK

Oleh:
Ahmad Fatih 1806149330
Dhimas Syahba Laudza 1806149412
Labibah Nurhasanah 1806201812
Raihan Dzaky Yandra Putra 1806149564
Yonda Lavembelno 1806202014
PENDAHULUAN: DASAR-DASAR KOROSI

A. Definisi korosi
Korosi merupakan hasil dari reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya dan
mengakibatkan degradasi material. Dalam bidang metalurgi, peristiwa korosi dipandang
sebagai proses kebalikan dari metalurgi ekstraksi.
B. Syarat, Mekanisme dan Reaksi Korosi
Proses korosi pada logam melibatkan transfer elektron. Logam yang terkorosi
bertindak sebagai anoda yaitu sel yang memberikan elektron, sedangkan lingkungan
bertindak sebagai katoda yang menerima elektron. Terdapat empat komponen yang
penting dalam proses korosi, yaitu:
 Adanya Reduksi Pada Katoda
 Adanya Oksidasi Pada Anoda
 Adanya elektrolit
 Adanya Metallic Pathway

Gambar 0.1 Mekanisme Korosi


a. Anoda
Reaksi oksidasi terjadi pada anoda sehingga logam yang mengalami korosi
merupakan anoda. Logam yang memiliki potensial lebih rendah bertindak sebagai
anoda. Anoda melepaskan elektron karena berinteraksi dengan ion – ion oksidator yang
berada di elektrolit. Elektron yang dilepaskan bergerak ke katoda melalui konduktor
listrik. Reaksi yang terjadi pada anoda yaitu :
M → Mn+ + ne-
b. Katoda
Pada katoda terjadi reaksi reduksi. Katoda menerima elektron yang dilepaskan oleh
anoda. Katoda memiliki potensial yang lebih tinggi dari anoda. Reaksi reduksi yang
terjadi pada katoda yaitu:
 Evolusi Hidrogen
Asam: 2H+ + 2e- → H2
Basa: 2H2O + 2e- → H2+ OH-
 ii. Reduksi Oksigen
Asam: O2 + 4H+ + 4e-→ 2H2O
Basa: O2 + 2H2O + 4e- → 4OH-
 iii. Reduksi Zat Pengoksidasi Terlarut
Fe3+ + e- → Fe2+
c. Elektrolit
Elektrolit merupakan larutan yang dapat menghantarkan listrik dengan nilai tahanan
listrik yang dipengaruhi oleh lingkungan. Pengaruh lingkungan terhadap sifat – sifat
elektrolit mempengaruhi laju korosi.
d. Hubungan Listrik (Metallic Pathway)
Hubungan listrik dibutuhkan untuk mengalirkan elektron dari anoda ke katoda dan
mengalirkan listrik dari katoda ke anoda.
C. Skema Korosi
a. Gavanik Cell

Gambar 0.2 Galvanic Cell


Sel galvanik adalah sel di mana reaksi kimia antara dua konduktor berbeda yang
terhubung melalui larutan elektrolit dan jembatan garam sehingga menghasilkan energi
listrik. Sel galvani juga dapat didukung oleh reaksi reduksi oksidasi spontan. Pada
dasarnya, energi listrik yang di hasilkan sel galvani dihasilkan oleh transfer elektron
dalam reaksi redoks. Energi listrik atau arus dapat dikirim ke sirkuit, seperti pada
televisi atau bola lampu
b. Sea Water Corrotion

Gambar 0.3 Sea Water Corrotion


D. Reference Electrode
Adanya perbedaan potensial elektrik suatu logam menjadi salah satu pemicu
terjadinya korosi yang dikarenakan timbulnya aliran elektron akibat perbedaan potensial
tersebut. Perbedaan potensial paad elektroad tersebut dapat diukur menggunakan
voltmeter, dimana hasilnya berupa potensial standar sel (Eosel).
Potensial standar reduksi masing-masing elektroda dapat ditentukan dengan
membandingkannya terhadap elektroda standar (reference electrode), misalnya
elektroda Ag/AgCl. Reference electrode digunakan untuk menentukan besarnya
potensial standar reduksi (E°red) dari logam lainnya. Reference Electrode Potential
merupakan elektroda stabil yang dibuat menjadi setengah reaksi (half cell) agar
terbentuk reaksi elektrokimia (electrochemical cell). Elektroda ini dibuat menjadi
setengah reaksi agar dapat mengetahui nilai potensial dari setengah reaksi (half cell)
lainnya.
Nama Half-Cell Reaction Potential V vs SHE
Mercury-Mercurous Sulfate HgSO4 + 2e- = Hg +SO42- +0.615
Copper-Copper Sulfate CuSO4 + 2e- = Cu + SO42- +0.318
Saturated Calomel Hg2Cl2 +2e- =2Hg + 2Cl- +0.241
Silver-Silver Chloride AgCl + e- = Ag + Cl- +0.222
Standard Hydrogen 2H+ +2e- = H2 +0.000
Tabel 0.1 Example of Reference Electrode
Jenis reference electrode potential tersebut memiliki daerah efektif saat digunakan.
Beberapa contoh seperti silver-silver chloride lebih efektif apabila digunakan pada
kondisi seperti air laut, lalu copper-copper sulfate lebih efektif apabila digunakan pada
kondisi biasa seperti pada tanah. Lalu untuk mercury-mercurous sulfate biasa digunakan
di lingkungan yang bebas dari klorida. Saturated calomel lebih baik digunakan dibawah
suhu 50OC karena apabila digunakan diatas suhu tersebut, elektroda menjadi tidak
stabil.

E. Persamaan Nerst
Persamaan Nernst menghubungkan potensial sel kesetimbangan (juga disebut
potensial Nernst) dengan gradien konsentrasi melintasi membran. Potensial listrik akan
terbentuk jika terdapat gradien konsentrasi ion yang melintasi membran dan jika
terdapat saluran ion selektif sehingga ion tersebut dapat melintasi
membran. Hubungannya dipengaruhi oleh suhu dan apakah membran lebih permeabel
terhadap satu ion dibandingkan ion lainnya.

Persamaannya dapat ditulis:

Sel E = E 0 sel - (RT / nF) lnQ

Sel E = potensial sel dalam kondisi tidak standar (V)


E 0 sel = potensial sel dalam kondisi standar
R = konstanta gas, yaitu 8,31 (volt-coulomb) / (mol-K)
T = suhu (K)
n = jumlah mol elektron dipertukarkan dalam reaksi elektrokimia (mol)
F = konstanta Faraday, 96500 coulomb / mol
Q = hasil bagi reaksi, yang merupakan ekspresi kesetimbangan dengan konsentrasi awal
daripada konsentrasi kesetimbangan

Terkadang akan membantu untuk mengekspresikan persamaan Nernst secara berbeda:


Sel E = E 0 sel - (2.303 * RT / nF) logQ

pada 298K, sel E = E 0 sel - (0,0591 V / n) log Q.

F. Diagram Pourbaix
Setiap logam memiliki kecenderungan korosi pada setiap tingkat keasaman
lingkungan (pH) yang berbeda untuk beda potensial tertentu. Diagram pourbaix adalah
diagram yang memetakan berbagai variasi kondisi kesetimbangan suatu elemen sebagai
fungsi dari potensial kesetimbangan dan pH. Dalam diagram pourbaix, terdapat tiga
daerah kesetimbangan, yaitu immune, corrosion, dan passive. Sebagai contoh untuk
memahami diagram pourbaix, digunakan diagram pourbaix Fe dibawah ini:

Gambar 0.4 Diagram Pourbaix


Immune adalah daerah dimana Fe secara termodinamik bersifat stabil, tidak ada
produk oksidasi yang terbentuk yang berarti laju korosinya sangat rendah bahkan ampir
tidak terjadi. Korosi merupakan daerah dimana Fe2+, Fe3+, FeO42-, HFeO2- secara
termodinamik bersifat stabil. Dikarenakan Fe telah teroksidasi menjadi bentuk-bentuk
ion tersebut, maka korosi akan terjadi. Sementara passive merupakan daerah dimana
Fe2O3, Fe3O4, dan Fe(OH)2 secara termodinamik bersifat stabil. Lapisan oksida telah
terbentuk pada kondisi tersebut sehingga reaksi korosi akan berjalan dengan sangat
lambat karena terhalang oleh lapisan ini, itulah sebabnya pada kondisi tersebut disebut
kondisi passive.
Lapisan passive akan menguntungkan jika sudah terbentuk. Sebagai contoh pada
logam Al, pada Al lapisan oksida terbentuk sangat cepat sehingga mampu melindungi
Al dari korosi. Berikut ini merupakan beberapa contoh diagram pourbaix pada logam
lainnya:

Gambar 0.5 Diagram Pourbaix Zn (kiri) dan Cu (kanan)


Korosi terjadi akibat adanya reaksi elektrokimia yang dimana melibatkan
pergerakan electron. Laju aliran elektron dapat diukur melalui laju reaksi yang terjadi.
Pada reaksi elektrokimia, aliran elektron diukur sebagai arus (I). Sehingga laju korosi
dapat dihitung melalui penurunan hukum Faraday sesuai persamaan dibawah ini:

Dimana: r merupakan laju korosi, i adalah rapat arus (I/A), dan F adalah konstanta
Faraday.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi laju korosi ialah:

 Jenis Material
 Temperatur
 Konsentrasi Oksigen
 pH
 Elektrolit
 Kelembaban Udara

G. Hukum Faraday
Hukum Faraday, Hukum Faraday menyatakan bahwa massa yang dihasilkan
dalam suatu sistem sel elektrolisis berbanding lurus dengan muatan listrik yang
mengalir dalam sel tersebut. Besarnya muatan listrik yang terjadi dalam sel merupakan
hasil kali antara kuat arus yang dialirkan dengan lamanya waktu elektrolisisnya.
Pernyataan ini merupakan prinsip dasar Hukum Faraday yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.
 Dalam sel elektrokimia, massa zat yang diendapkan pada suatu
elektrode sebanding dengan besarnya muatan listrik (aliran elektron)
yang terlibat di dalam sel.
 Massa ekuivalen zat yang diendapkan pada elektrode akan setara
dengan muatan listrik yang dialirkan ke dalam sel.
Rumus Hukum Faraday
Secara aljabar hukum Faraday I dapat diformulasikan sebagai berikut:
w= (e i t)F
w = massa zat, gram
e = massa ekuivalen atau (M/valensi)
i = kuat arus, ampere
F = tetapan Faraday = 96.500 coulumb
1 F = satu mol electron.
MODUL I: JENIS-JENIS KOROSI
1.1. Uniform Corrosion
Korosi seragam ditandai dengan adanya penipisan logam secara merata tanpa
adanya serangan terlokalisasi. Korosi seragam yang sering ditemui ialah perkaratan
pada baja yang terpapar udara. Salah satu contoh korosi seragam ialah aqueous
corrosion yang disebabkan karena lingkungan yang basah. Berikut ini merupakan
mekanisme yang terjadi pada besi yang terserang aqueous corrosion.

Gambar 1.1 Mekanisme aqueous corrosion


1.2. Pitting Corrosion
Korosi sumuran (pitting) merupakan bentuk terlokalisasi dari fenomena korosi
yang menghasilkan sebuah lubang atau pit pada material logam. Salah satu karakteristik
material yang mampu mengalami korosi semuran ialah keberadaan lapisan pasif hal
tersebut dikarenakan mampu menimbulkan potensial yang tinggi sehingga
menyebabkan arus dapat mengalir kedalam pits (sumuran). Sementara bila permukaan
luar adalah aktif maka draving force tidak aka nada. Maka dari itu, pada carbon steel
akan hanya terbentuk pit bila larutan cenderung untuk mempasivasikasikannya.
Korosi sumuran (pitting corrosion) terjadi akibat rusaknya lapisan pasif di
permukaan logam, umunya diakibatkan oleh ion agresif berupa Cl-, Br-, F-, sehingga
logam akan terekspos dan mengalami korosi secara terlokalisasi yaitu pada daerah yang
mengalami kerusakan daerah pasif. Karena korosi ini terjadi secara terkonsentrasi pada
suatu area yang tetap, maka korosi ini akan sangat berbahaya karena dapat
mengakibatkan kegagalan pada komponen logam. Selain itu, korosi sumuran juga
umumnya lebih sulit untuk dideteksi dibandingkan korosi lainnya. Adapun tahapan
korosi semuran diawali dengan pitting initiation, propagation dan termination.

Gambar 1.2 Tahap propagasi pada mekanisme pitting corrosion

1.3. Galvanic Corrosion


Korosi galvanik terjadi ketika adanya kontak antara dua jenis logam berbeda
yang memiliki potensial elektrokimia atau kecendrungan korosi yang berbeda yang
terdapat pada elektrolit korosif. Korosi Kecendrungan suatu logam untuk mengalami
korosi akibat adanya sel galvanik dipengaruhi oleh urutan suatu logam atau paduan pada
galvanic series. Ketika dua buah logam dengan potensial berbeda digabungkan, seperti
tembaga dan besi maka akan terbentuk sel galvanic. Tembaga akan bersifat sebagai
katoda dikarenakan memiliki potensial yang lebih positif dibandingkan besi, sementara
itu besi akan bertindak sebagai anoda. Korosi yang terbentuk akibat adanya sel galvanik
disebut sebagai korosi galvanik.
Gambar 1.3 Korosi galvanic
1.4. Crevice Corrosion
Korosi yang terjadi pada celah antara dua material logam dan nonlogam. Adanya
celah menyebabkan proses abrasi sehingga terjadi perbedaan konsentrasi oksigen antara
celah dan permukaan luar sehingga celah bertindak sebagai anoda yang mempunyai
kemungkinan korosi sangat besar.

Gambar 1.4 Korosi Crevice


1.5. Stress Corrosion Cracking (SCC)
Korosi retak tegangan (SCC) terjadi akibat lingkungan yang korosif dan disertai
dengan adanya stress yang bekerja pada logam , pada pipa penyalur sangat berbahaya,
karena walaupun telah dirancang dengan kondisi tegangan kerja dibawah yield strength
lingkungan korosif dapat menyebabkan terjadinya failure
Gambar 1. SCC
1.6. Hydrogen Induced Cracking (HIC)
Fenomena kegagalan akibat adanya atom oksigen yang berdifusi / masuk ke
logam kemudian membentuk gas / molekul hydrogen yang bersegregasi di batas butir
sehingga menghasilkan void dimana terjadi bulging dan memproduksi blister, sehingga
terjadi retak.

Gambar 1.6 HIC


1.7. Sweet and Sour Corrosion
Sweet and Sour Corrosion terbagi menjadi dua, yaitu:
a. CO2
Biasa disebut dengan istilah “sweet” corrosion yang terjadi akibat adanya
kandungan CO2 yang terlarut dalam gas sehingga mendorong terbentuknya asam
karbonat (H2CO3) dimana asam ini dapat menurunkan pH dan terjadilah mekanisme
korosi. Adapun reaksi yang terjadi adalah
CO2 + H2O + Fe → FeCO3 + H2
Tekanan parsial CO2, pH, dan temperatur merupakan faktor yang sangat berpengaruh.
Semakin tinggi tekanan parsial, semakin rendah pH dan laju korosi akan semakin tinggi.
b. H2S
Biasa disebut dengan “sour” corrosion yang disebabkan adanya kandungan H2S
yang terlarut dalam air yang dapat bereaksi membentuk asam lemah dan dapat
mengkorosi logam. Selain itu, atom hidrogen juga dapat berdifusi kedalam logam dan
menyebabkan Hydrogen Induced Cracking (HIC). Adapun reaksi yang terjadi adalah :
H2S + H2O + Fe FeS + H2 + H2O
1.8. Intergranular Corrosion
Korosi intergranular adalah korosi yang terjadi pada paduan logam seperti
stainless steel akibat terjadinya reaksi antar unsur logam di batas butir. Seperti yang
terjadi pada baja tahan karat austenitik apabila diberi perlakuan panas. Pada temperatur
425–815oC karbida krom akan mengendap di batas butir. Dengan kandungan Krom
dibawah 10 %, didaerah pengendapan tersebut akan mengalami korosi dan menurunkan
kekuatan baja tahan karat tersebut. Korosi intergranular terjadi pada daerah tertentu
dengan penyebab grain boundary. Hal ini disebabkan oleh adanya kekosongan unsur
atau elemen pada kristal ataupun impurities dari proses casting. Korosi ini terjadi pada
casting and welding.

Gambar 1.7 Korosi Intergranular


1.9. Fretting Corrosion
Fretting corrosion adalah korosi yang terjadi pada konstruksi yang bergerak
dengan mengalami gesekan pada kekasaran permukaan kontak. Jenis korosi ini biasa
terjadi pada sumbu yang berputar dan bergesekan. Material logam yang berputar dan
tergesek tersebut mengalami keausan akibat gesekan dan mengalami korosi secara
bersamaan. Karena sempitnya clearancemaka corrosion product ikut berputar bersama
logam yang terkorosi. Korosi jenis ini mengakibatkan konstruksi menjadi longgar,
menambah clearance ataupun mengurangi tingkat kedapnya packing atau sealing.
Fretting Corrosion akan terjadi jika : Interface harus dalam kondisi
pembebanan, Getaran atau gerakan relatif yang berulang diantara dua permukaan harus
terjadi, Beban dan getaran aktif dari interface harus mampu menghasilkan slip atau
deformasi pada permukaannya.

Gambar 1.8 Ilustrasi Fretting Corrosion


Mekanisme terjadi fretting corrosion adalah sebagai berikut:
 Teori wear oxydation, berdasarkan pada pengelasan dingin atau fusi
yang terjadi pada interface permukaan metal yang mengalami tekanan,
dan selama gerakan relatif titik kontaknya terputus dan fragmen dari
metalnya berpindah. Fragmen ini menyebabkan terjadinya oksidasi
 Teori Oxydation water, berdasarkan bahwa banyak permukaan metal
yang dilindiungi dari oksidasi atmosfir oleh suatu lapisan tipis oksida
yang ada pada metal tersebut. Ketika metal mengalami kontak dibawah
pembebanan dan gerakan relatif yang berulang, lapisan oksida terputus
pada titik yang tinggi dan menghasilkan oksida debris
1.10. Erosion Corrosion Cavitation Damage
Erosion corrosion adalah korosi yang terjadi pada permukaan logam yang
disebabkan aliran fluida yang sangat cepat sehingga merusak permukaan logam dan
lapisan film pelindung. Korosi dapat pula terjadi pada permukaan yang bergerak cepat
sementara fluida disekitarnya mengandung partikel-partikel padat. Korosi erosi
terbentuk ketika logam terserang akibat gerak relative antara elektroit dan permukaan
logam. Korosi ini terutama di akibatkan oleh efek-efek mekanik seperti pengausan,
abrasi dan gesekan. Logam-logam lunak sangat mudah terkena korosi jenis ini,
misalnya, tembaga, kuningan, aluminium murni dan timbal. Pada stainless steel, paduan
nikel dan titanium biasanya lebih tahan akan korosi, karena mereka ulet dan tahan lama
pasif film. Logam yang mengalami korosi erosi akan menimbulkan bagian-bagian yang
kasar dan tajam.
Jenis korosi ini yang perlu diperhatikan keretakan korosi erosi (stress corrosion
cracking) dan penggetasan zat air. Dalam hal ini perusakan karena erosi dan korosi
saling mendukung. Logam yang telah kena erosi akibat terjadi keausan dan
menimbulkan bagian-bagian yang tajam dan kasar. Bagian-bagian inilah yang mudah
terkena korosi dan bila ada gesekan akan menimbulkan abrasi lebih barat lagi.

Gambar 1.9 Mekanisme Erosion Corrosion


1.11. Corrosion Fatigue
Corrosion Fatigue adalah proses di mana logam mengalami patah karena
kelelahan sebelum waktunya di bawah kondisi korosi yang simultan dan beban siklik
berulang pada tingkat tegangan yang lebih rendah daripada yang diperlukan jika tidak
ada lingkungan yang korosif. Jika material yang mengalami tekanan siklik terkena
lingkungan korosif, batas daya tahan material akan berkurang tajam. Kegagalan
prematur suatu material dari paparan aksi gabungan korosi dan tegangan siklik disebut
“Kelelahan Korosi.”
Mekanisme terjadinya Corrosion Fatigue hampir sama dengan mekanisme
Fatigue pada umumnya yang terdiri dari Crack initiation, Crack propagation, dan
Fracture, namun terdapat perbedaan dalam tahap crack propagation. Pada mekanisme
Fatigue, Tahap Crack Propagation sangat bergantung pada nilai △K sedangkan pada
Corrosion Fatigue, Tahap crack propagation akan dipengaruhi oleh nilai △K dan
pengaruh lingkungan. Dimana pada mekanisme fatigue biasa tahap crack propagation
akan berlangsung ketika nilai cyclic stress/△K melewati nilai △K Threshold
,sedangkan pada corrosion fatigue karena terdapat pengaruh environment yang
menyerang tempat crack propagation, nilai △K threshold dari material tersebut akan
menurun sehingga memungkinkan crack propagation terjadi pada nilai △K yang lebih
rendah dari yang biasanya.

Gambar 1.9 Grafik perbedaan peristiwa Corrosion Fatigue pada lingkungan


inert dan aggresive
1.12. Corrosion Under Insulation
Corrosion Under Insulation adalah korosi yang terjadi pada permukaan
equipment di bawah insulation. Equipment, baik pipa, header, boiler, pressure vessel
dipasang thermal insulation dengan tujuan:
 personel protection, perlindungan personel yang bekerja di sekitar
equipment tersebut
 Energy conservation, mencegah hilangnya panas akibat perpindahan
panas antar equipment dan lingkungan.
Thermal insulation, terdiri dari material insulation (rockwool, ceramic fiber,
calcium silicate, dan lain-lain), dengan lembaran cladding/lagging pada bagian luar
yang berfungi sebagai weather barriers/proofing yaitu melindungi material insulation
dari cuaca luar khususnya air hujan dan moisture.

Gambar 1.10 Skema pemasangan insulation dinding HRSG


Rusaknya weather barrier atau pemasangan lagging yang tidak tepat
menyebabkan air dapat masuk ke dalam insulation. Material insulation menjadi basah,
menyebabkan kontaminasi material insulation yang akan terkosentrasi dan mengendap
pada permukaan equipment. Hal ini bisa menyebabkan Stress Corrosion cracking
(SCC) apabila material equipment terbuat dari stainless steel terutama pada insulation
yang mengandung soluble chloride salt.
CUI sering terjadi pada equipment yang beroperasi pada temperatur dibawah
121 OC (250 OF), pada temperatur ini logam tidak cukup panas untuk menjaga
insulation tetap kering pada saat beroperasi.
1.13. Referensi
 https://www.researchgate.net/publication/295291574_Corrosion_and_Protection
_of_Metals_II_Types_of_Corrosion_and_Protection_Methods .Diakses pada 16
Mei 2021, 00.15 WIB
 https://www.researchgate.net/publication/307768692_JENIS_KOROSI_DAN_P
ENANGGULANGANNYA .Diakses pada 16 Mei 2021, 00.15 WIB
 https://www.nace.org/resources/general-resources/corrosion-basics/group-
2/fretting-corrosion .Diakses pada 16 Mei 2021, 00.15 WIB
 https://xapps.xyleminc.com/Crest.Grindex/help/grindex/contents/Metals.htm
.Diakses pada 16 Mei 2021, 00.15 WIB
 Guide For Inspection Of Refinery Equipment Chapter II: Conditions Causing
Deterioration Or Failures, American Petroleum Institute
 Corrosion Control The Refining Industry, NACE International
MODUL II: KINETIKA KOROSI

Kinetika korosi adalah salah satu bagian dari disiplin ilmu korosi yang di dalamnya
mempelajari mengenai kecepatan reaksi (corrosion rate) korosi yang terjadi pada suatu
logam. Hal-hal yang dipelajari dari kinetika korosi diantara lain mengenai: polarisasi,
pasivasi, dan cara mengukur kecepatan korosi.
Salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kecepatan korosi adalah
potensiostat/galvanostat, dimana pada praktikum ini potensiostat yang digunakan adalah
Nova AutoLab. Potensiostat adalah alat elektronik yang memiliki 3 elektroda. Pengujian
dilakukan dengan salah satu elektroda tersebut dilakukan kontrol tegangan, kemudian
melihat respon arus yang terjadi pada elektroda uji.

2.1 Linear Polarization

2.1.1 Definisi dan Mekanisme Polarisasi


Polarisasi (η), adalah pergeseran atau perubahan potensial
standard half cell (E) dari nilai kesetimbangannya (equilibrium) terhadap
potensial operasi pada saat diterapkannya arus eksternal atau disebabkan
oleh kecepatan reaksi di permukaan. Adapun mekanisme
polarisasi, sebaiknya kita pahami dengan sebuah contoh, misalnya
peristiwa korosi antara zinc dan hydrochloric acid yang digambarkan
dengan persamaan berikut:

Zinc bereaksi dengan larutan asam membentuk zinc chloride yang


larut dan membebaskan atau menghasilkan gelembung hydrogen pada
permukaan. Reaksi ini biasanya digunakan atau terdapat pada surface
cleaning dan pickling dari beberapa logam dan paduannya. Adapun pada
bentuk ioniknya, maka reaksinya akan menjadi

Kita eliminasi Cl- pada kedua ruas dan reaksinya menjadi :

Kemudian, reaksi korosi yang sama akan terjadi pada larutan


asam sulfat (sulfuric acid). Dimana reaksi (2) dapat kita pisahkan menjadi:
Reaksi (3) didefinisikan sebagai reaksi anodik karena terjadi
oksidasi pada bilangan oksidasi zinc dari 0 menjadi +2 dan terjadi
pembebasan elektron. Sedangkan pada reaksi (4) kita katakan sebagai
reaksi katodik karena terjadi reduksi pada bilangan oksidasi hydrogen dari
+1 menjadi 0 dan terjadi konsumsi elektron.
Setelah kita mengetahui reaksi elektrokimia masing-masing baik
anodik dan katodik, yang harus kita ketahui adalah reaksi elektrokimia
seperti no (3) dan (4) hanya akan berjalan pada laju tertentu yang terbatas.
Jika elektron dibuat bisa mencapai (4) yaitu reaksi katodik, maka potensial
pada permukaan menjadi lebih negatif dengan asumsi bahwa kelebihan
elektron bermuatan negatif terakumulasi pada logam atau antarmuka
larutan (solution interface) menunggu reaksi terjadi. Artinya, reaksinya
tidak cukup cepat untuk menampung semua elektron yang tersedia.
Perubahan potensial negatif ini disebut polarisasi katodik. Demikian pula,
kekurangan elektron dalam logam yang dibebaskan oleh (3) pada
antarmuka menghasilkan perubahan potensial positif yang disebut
polarisasi anodik. Ketika defisiensi (polarisasi) menjadi lebih besar,
kecenderungan pelarutan anodik menjadi lebih besar. Polarisasi anodik
dengan demikian merupakan gaya pendorong korosi oleh reaksi anodik
(3). Ketika potensial permukaan terukur lebih positif, maka daya oksidasi
(atau korosif) larutan meningkat karena polarisasi anodik lebih besar.

2.1.2 Polarisasi katodik-anodik


Polarisasi mengacu pada pergeseran potensial dari keadaan open
circuit potential pada sistem korosi. Jika potensial bergeser ke arah negatif
(di bawah Ecorr) maka disebut polarisasi katodik (ηc). Pada polarisasi
katodik, elektron bergerak menuju permukaan logam dan tertinggal di
dalamnya akibat reaksi yang berlangsung lambat sehingga ηc bernilai
negatif. Sedangkan jika potensial bergeser kearah positif (diatas Ecorr),
disebut polariasi anodik (ηa). Pada polarisasi anodik, elektron ditransfer dari
logam dan terjadi pembebasan elektron secara lambat pada permukaan
logam sehingga ηa bernilai positif.

2.1.3 Diagram Evans


Dikenal juga sebagai diagram mixed potential. Teori potensial
campuran, digunakan untuk memprediksi laju korosi logam dan paduan di
lingkungan tertentu. Pada saat potensial dari kedua logam bertemu yaitu
reaksi anodik dan katodik bertemu maka di situlah terjadi korosi secara
spotan. Hal tersebut dikemukakan oleh Wagner dan Traud pada tahun
1938. Ini memiliki dua asumsi dasar:
(a) Reaksi elektrokimia terdiri dari dua atau lebih reaksi anodik dan
katodik parsial.
(b) Tidak ada akumulasi muatan (charges).

Gambar 2.1 Diagram Evans

2.1.4 Open/Closed Circuit Potential


Potensi sirkuit tertutup mengacu pada perbedaan yang ada pada potensial
listrik, yang biasanya terjadi antara dua terminal perangkat yang terpasang
pada sirkuit yang tidak melibatkan beban eksternal. Closed Circuit Potential
(CCP) adalah kebalikan dari potensial rangkaian terbuka yaitu, arus hanya
akan mengalir dalam suatu rangkaian. Mungkin ada beberapa atau jalur
kontinu yang ada ke dan dari sumber medan elektromagnetik. Gangguan apa
pun yang ada di sirkuit, seperti masalah kabel, sakelar terbuka atau kegagalan
resistor dapat menyebabkan aliran arus berhenti. Dalam kasus seperti itu,
medan elektromagnetik masih bisa ada, tetapi arus dan tegangan yang
mengelilingi sirkuit akan segera berhenti atau berubah.
2.1.5 Jenis-Jenis Polarisasi (Polarisasi Aktivasi, Polarisasi Konsentrasi,
Polarisasi Resistansi)
Jenis-jenis polarisasi ada tiga, yaitu:
a. Polarisasi Aktivasi
Polarisasi aktivasi adalah kondisi dimana proses elektrokimia dikontrol
oleh tahapan reaksi pada antarmuka logam (elektrolit). Lebih tepatnya adalah
saat reaksi setengah sel mengendalikan kecepatan alirnya elektron.
Contohnya pada reaksi evolusi hidrogen yang terjadi pada permukaan logam
terjadi dalam 3 tahapan.
2H+ + 2e-  H2
Tahap 1, H+ bereaksi dengan elektron dari logam membentuk atom hidrogen
yang diabsorb pada permukaan
H+ + e-  Hads
Tahap 2, reaksi dua atom hidrogen yang teradsorb membentuk molekul
hidrogen.
Hads + Hads  H2ads
Tahap 3, molekul-molekul hidrogen teradsorb cukup untuk menyatu
membentuk bubble pada permukaan.
Faktor yang mempengaruhi polarisasi aktivasi antara lain rapat arus, material,
kekasaran permukaan, suhu, tekanan, pH, agitasi serta tingkat adsorbsi ion.
b. Polarisasi Konsentrasi
Polarisasi konsentrasi adalah kondisi dimana proses elektrokimia
dikontrol oleh difusi pada elektrolit. Reaksi elektroda melibatkan transfer
massa dan muatan pada antarmuka logam-elektrolit serta pengangkutan
massa (ion dan molekul) dalam larutan ke dan dari antarmuka. Sebelumnya
telah dijelaskan polarisasi aktivasi, di mana massa atau transfer muatan
melintasi antarmuka menentukan laju. Dalam kasus lain, transpor massa
dalam larutan mungkin menentukan laju, dan dalam hal ini kita memiliki
polarisasi konsentrasi. Ini menyiratkan bahwa ada kekurangan reaktan di
permukaan elektroda, atau akumulasi produk reaksi terjadi. Jika korosi
dikontrol oleh polarisasi konsentrasi, peristiwa stirring akan meningkatkan
corrosion rate. Polarisasi konsentrasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
berikut ini yaitu agitasi, suhu, velocity, konsentrasi ion serta geometri.
c. Polarisasi Resistansi
Lapisan permukaan pada logam mungkin memiliki ketahanan ohmik yang
cukup besar. Ini, misalnya, untuk film oksida pada baja tahan karat,
aluminium, kromium, dll., Meskipun film tersebut sangat tipis. Ketika arus I
(rapat arus i) mengalir melalui film, kita akan mengalami penurunan ohmik,
yaitu polarisasi resistansi yang dinyatakan oleh η = RI = ri, di mana R (Ω)
dan r (Ω cm2) adalah resistansi di film pada permukaan elektroda total dan
dalam 1 cm2, masing-masing. Polarisasi resistensi anodik mempengaruhi
potensi pada permukaan yang dipasivasi oleh oksida atau zat lain.

Gambar 2.2 Polarisasi resistansi

2.1.6 Fungsi dan Kelebihan Metode Polarisasi


Metode polarisasi merupakan salah satu metode pengujian yang banyak
digunakan untuk menentukan laju reaksi atau kinetika reaksi korosi yang terjadi
pada logam. Beberapa keuntungan penggunaan metode polarisasi dibanding
dengan metode konvensional seperti weight loss adalah sebagai berikut:
 Waktu uji sebentar
 Untuk studi kinetika, monitoring corrosion process
 Sensitivitasnya tinggi
 Bisa dengan faktor-faktor dipercepat seperti temperatur
 Non-Destructive Test (NDT), semi kontinu

2.2. Passivity
2.2.1. Definisi dan Mekanisme Pasivitas
Pasivitas adalah keadaan suatu logam maupun paduan untuk membentuk
suatu lapisan tipis dalam keadaan teroksidasi dengan polarisasi anodik yang
tinggi (Jones, 1996). Lapisan tipis yang terbentuk adalah lapisan oksida logam
yang mengalami korosi. Dengan terbentuknya lapisan oksida tipis ini, laju korosi
dapat dihambat, karena sulitnya terjadi kontak antara logam dengan
lingkungannya. Perilaku pasivitas ini dimiliki oleh semua logam, kecuali emas.
Lapisan oksida tipis ini terbentuk dari reaksi oksidasi logam oleh oksigen.
Semua logam memiliki kemampuan membentuk lapisan oksida ini pada pH basa
dan potensial yang berbeda-beda. Misalnya kromium dapat membentuk lapisan
pasif ini pada potensial yang rendah sedangkan besi mampu membentuk lapisan
pasif pada potensial yang cukup tinggi. Masing-masing lapisan oksida logam
memiliki karakteristik yang berbeda-beda untuk setiap logam. Misalnya lapisan
oksida besi (Fe2O3 & Fe3O4) lebih rapuh dibandingkan lapisan oksida krom
(Cr2O3).
Selain potensial, besarnya energi bebas Gibb’s jugam mempengaruhi
terbentuknya lapisan pasif pada paduan logam. Misalnya pada stainless steel,
Cr2O3 lebih cenderung untuk terbentuk dibandingkan Fe2O3 karena ΔGf0 Cr2O3
lebih rendah (negatif) dibandingkan ΔGf0 Fe2O3.

2.2.2. Diagram Pourbaix dan Keadaan Imune, Passive, dan Corrosion pada
Diagram Pourbaix
Logam memiliki tiga keadaan berbeda, yaitu imune, passive, dan korosi.
Berikut adalah penjelasan masing-masing keadaan tersebut:
 Imune: Keadaan dimana logam stabil sebagai logam murni (M). Pada
keadaan ini tidak terjadi reaksi korosi. Pada Diagram Pourbaix di bawah,
daerah imune ditunjukan Fe
 Passive: Keadaan dimana logam stabil sebagai oksidanya (MxOy). Pada
keadaan ini, korosi dapat terjadi, namun lajunya sangat lambat. Namun
demikian, keadaan ini dapat menyebabkan ternjadinya pitting corrosion
(korosi sumuran). Pada diagram Purbaix di bawah, daerah passive ditunjukan
oleh Fe2O3, Fe3O4, dan Fe(OH)2.
 Corrosion: Keadaan dimana logam stabil sebagai ion logam (Mn+). Pada
keadaan ini, korosi terjadi dengan laju yang cukup tinggi. Pada diagram
Pourbaix di bawah, daerah corrosion ditunjukan oleh Fe2+, Fe3+, dan FeO42-.
Ketiga keadaan tersebut tergambarkan pada Diagram Pourbaix setiap logam.
Berikut adalah contoh diagram Pourbaix dari logam besi:

Gambar 2.3 Diagram Pourbaix Fe

2.2.3. Kurva Fenomena Pasivasi


Fenomena pasivasi juga dapat digambarkan dengan kurva polarisasi
anodik/kurva overpotensial anodik. Kurva ini menampilkan hubungan antara
beda potensial dengan rapat arus (skala logaritmik).
Gambar 2.4 Kurva fenomena pasivasi

Keterangan:
 EPP: Potensial transisi antara keadaan aktif (terkorosi) menuju keadaan pasif
dari suatu logam
 Etranspassive: Potensial akhir (maksimum) dari keadaan pasif suatu logam.
Potensial ini juga merupakan transisi antara keadaan pasif menuju keadaan
pitting corrosion.
 icrit: Rapat arus maksimum terjadinya korosi pada suatu logam sebelum
memasuki keadaan pasif (i transisi aktif-pasif)
 ipass: Rapat arus minimum yang dibutuhkan untuk menjaga ketebalan lapisan
oksida tipis pada keadaan pasif.

2.2.4. Perilaku Pasivasi dari Logam Aluminium dan Stainless Steel.


A. Aluminium
Aluminium adalah logam yang memiliki ketahanan korosi yang baik pada
pH sedikit asam, netral dan sedikit basa. Hal ini disebabkan terbentuknya lapisan
oksida aluminium terjadi pada pH asam dan netral (pH 5-8). Lapisan oksida
aluminium terbentuk secara natural, tetapi lapisan oksida ini dapat hancur pada
pH ekstrem, baik asam maupun basa.
Perilaku pasivitas dari aluminium berbeda dengan stainless steel. Tidak ada
transisi aktif-pasif pada kurva polarisasi anodik aluminium. Hal ini dikarenakan
aluminium secara natural membentuk lapisan pasif yang bersifat non konduktor.
Jika lapisan pasif hancur pun, aluminium akan membentuk kembali lapisan pasif
secara spontan/dalam waktu yang sangat singkat. Pada asam klorida, kurva
polarisasi anodik aluminium menyerupai stainless steel.

B. Stainless Steel
Stainless Steel menunjukan perilaku pasivitas yang berbeda dengan
aluminium karena stainless steel yang unsur penyusun terbanyaknya besi
tidak membentuk lapisan oksida secara natural pada pH netral. Lapisan pasif
yang tersusun atas kromium (III) oksida dan besi (III) oksida pada

Gambar 2.5 Pasivasi stainless steel


permukaan dapat terbentuk, tetapi terbentuknya lapisan ini tidak terjadi
secara alamiah, melainkan terbentuk hanya jika terjadi polarisasi anodik.
Lapisan ini dapat hancur jika kondisi lingkungan sangat asam. Oleh karena
itu, pada stainless steel terdapat daerah transisi aktif-pasif dan pasif-
transpasif. Berikut ini adalah perbandingan kurva polarisasi anodik antara
aluminium dan stainless steel.

2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lapisan Pasif


Lapisan pasif yang terbentuk pada permukaan logam dapat hancur karena
kestabilannya menurun pada kondisi lingkungan tertentu. Berikut adalah faktor-
faktor yang dapat menurunkan kestabilan dari lapisan pasif tersebut:
 Potensial anodik (beda potensial)
Pada potensial anodik yang tinggi, agresivitas ion-ion akan meningkat,
sehingga lapisan pasif tidak mampu mencegah (menahan) ion-ion tersebut
untuk kontak dengan logam. Potensial anodik yang tinggi juga dapat memicu
terjadinya pitting corrosion.
 Konsentrasi larutan elektrolit
Dengan meningkatnya konsentrasi larutan elektrolit, maka konsentrasi ion-
ion dari larutan tersebut jug akan meningkat yang menyebabkan akan
terjadinya reaksi antara lapisan pasif dengan ion-ion larutan elektrolit
tersebut (pelarutan)
 Suhu
Semakin tinggi suhu pengoperasian suatu benda logam, lapisan pasif
cenderung tidak stabil dan mudah hancur. Hal ini dikarenakan oleh semakin
tinggi suhu, maka material menerima energi lebih banyak, sehingga
memudahkan penguraian lapisan oksida karena reaksi ini endotermik.
 Komposisi Material
Pada paduan, komposisi material juga mempengaruhi. Misalnya pada
stainless steel, semakin banyak kandungan kromium, maka ketahanan
korosinya juga semakin tinggi karena stabilitas lapisan pasif semakin tinggi.

2.2.6. Kontrol/Pengendalian Pasivasi


 Memilih material yang sesuai pada lingkungan agar pasivasi dapat terjadi
secara natural (self passivation)
 Menggunakan passivating inhibitor untuk menstabilkan lapisan pasif
 Menggunakan proteksi anodik, yaitu dengan meningkatkan potensial hingga
mencapai daerah pasif
 Menggunakan proteksi katodik, yaitu dengan mengaplikasikan arus agar
potensialnya tidak mencapai potensian transisi pasif-transpasif (pitting)

2.2.7. Fungsi Passivity


Pasivitas berfungsi untuk mencegah terjadinya kontak antara lingkungan
dengan logam dengan membentuk lapisan tipis pada permukaan logam. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi laju korosi yang terdapat pada permukaan logam.
2.3 Cyclic Potentiodynamic Polarization

2.3.1 Definisi dan Mekanisme Polarisasi Potensiodinamik


Polarisasi potensiodinamik adalah metode untuk menentukan
perilaku korosi logam berdasarkan hubungan potenial dan arus anodik atau
katodik. Korosi logam terjadi jika terdapat arus anodik yang besarnya sama
dengan arus katodik, walaupun tidak ada arus yang diberikan di luar
sistem. Hal ini disebabkan ada perbedaan potensial antara logam dan larutan
sebagai lingkungannya (Sunarya, 2008).
Laju korosi dapat ditentukan dengan metode ini dengan
menggunakan potensiostat dengan tiga elektroda, yaitu elektroda acuan tipe
kalomel (SCE), elektroda bantu berupa platina dan elektroda kerja berupa
spesimen baja. Data yang didapat dari metode ini adalah kurva polarisasi
anodik/katodik yang menyatakan hubungan antara arus (µA/cm2) sebagai
fungsi potensial (mV).
Melalui teknik ini, beberapa informasi kuantitatif dapat
ditentukan seperti potensial proteksi (Eprot), pitting atau breakdown potential
(Ep / Eb) serta passive current (ip). Pada metode ini, akan memperlihatkan
perilaku berulang dari polarisasi anodik dan katodik sehingga dapat
menghasilkan grafik polarisasi siklik.

2.3.2 Polarisasi Potensiodinamik Siklik


Pengujian Cyclic Potentio Dynamic Polarization (CPDP)
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960-an. Teknik polarisasi
potensiodinamik siklik ini banyak digunakan untuk menentukan ketahanan
terhadap korosi lokal (seperti korosi sumuran dan celah) atau laju degradasi
dalam waktu singkat. Pada metode ini, akan diperlihatkan perilaku berulang
dari polarisasi anodik dan katodik sehingga dapat menghasilakn sebuah
grafik dimana sumbu x nya merupakan rapat arus dan sumbu y nya
merupakan potensial.

2.3.3 Grafik Polarisasi Siklik (Fenomena bentuk dari Loop Hysteresis,


Potensial Proteksi (Epp), Pitting atau Breakdown Potential (Epit))
Bentuk umum dari kurva CPDP adalah sebagai berikut; setelah
melewati daerah korosi aktif, kerapatan arus menurun ke potensial kritis,
yang disebut “Potensial flade” (Ef) atau “potensial passivasi primer”.
Penurunan ini disebabkan terbentuknya lapisan pasif pada permukaan
logam.

Gambar 2.6

Potensial passivasi primer atau The Primary Passivation Potential


(Epp) sebanding dengan potensial positif yang membentuk lapisan
permukaan pasif (protektif), dan di mana kerapatan arus korosi maksimum
tercapai bertepatan dengan rapat arus kritis atau The Critical Current
Density (icc, kebutuhan arus sebelum pembentukan lapisan permukaan).
Sedangkan kerentanan logam terhadap korosi lokal biasanya dinyatakan
dengan potensi kerusakan atau The breakdown potential (Eb), atau bisa juga
dieksresikan sebagai potensi lubang atau The Pitting Potential (Epit), dan
potensi repasivasi (Er) atau disebut potensi perlindungan (Ep).
Gambar 2.7 Kurva polarisasi siklik

Gambar 2.8 Kurva polarisasi siklik

Terjadinya histeresis dalam kurva CPDP adalah ketika kurva forward


tidak dilapisi dengan kurva pemindaian terbalik. Perbedaan antara kerapatan
arus maju dan mundur pada potensial yang sama menunjukkan besarnya
histeresis. Perbedaan yang lebih besar antara densitas arus adalah akibat dari
gangguan pasifitas permukaan pada potensial tinggi. Jadi ukuran loop
histeresis yang lebih besar berarti lebih banyak gangguan film pasif, diikuti
dengan lebih banyak kesulitan untuk memulihkan film pasif yang rusak. Ada
dua jenis hysteresis, pada potensial yang lebih positif: histeresis negatif
terjadi ketika tingkat passivasi permukaan lebih besar pada potensial yang
lebih mulia, yang menyebabkan kerapatan arus pada pemindaian balik
menjadi lebih rendah daripada kerapatan arus pada potensial forward scan
yang sama (Gambar. 2b). Histeresis positif berkaitan dengan penurunan
kepasifan akibat korosi lokal (korosi sumuran dan celah) yang menyebabkan
peningkatan rapat arus pada pemindaian balik, dibandingkan dengan rapat
arus pada pemindaian maju pada potensial yang sama (Gambar. 4). Dalam
histeresis positif, arah kerapatan arus berubah menuju kerapatan arus yang
lebih rendah. Oleh karena itu, penurunan kepadatan arus yang lambat dalam
pemindaian balik dalam histeresis positif merupakan indikasi dari kesulitan
dalam repassivasi permukaan atau penghentian pertumbuhan pit.

2.3.4 Fungsi Cyclic Potentiodynamic Polarization


Teknik polarisasi potensiodinamik siklik adalah metode untuk
mengevaluasi kerentanan logam terhadap korosi lokal seperti korosi sumuran
dan celah. Teknik ini didasari atas gagasan bahwa prediksi perilaku logam
dalam suatu lingkungan dapat dilakukan dengan memaksa material dari
kondisi steady state-nya dan memantau bagaimana material tersebut
merespons gaya saat gaya dihilangkan dengan laju dan sistem yang konstan
kemudian kembali ke kondisi steady state-nya. Potensi yang diterapkan
adalah gaya dan dinaikkan secara terus menerus, seringkali lambat, dengan
menggunakan potensiostat (Silverman, 1998). Laju ini disebut laju
pemindaian polarisasi, dan merupakan parameter eksperimental. Potensial
spesimen diubah terus menerus saat arus yang dihasilkan dipantau, dan
kemudian potensial yang diterapkan diplot versus logaritma dari kerapatan
arus yang dihasilkan. Konduktivitas elektrolit (lingkungan) merupakan faktor
yang sangat penting yang harus diperhatikan dalam semua percobaan
elektrokimia, terutama dalam teknik polarisasi siklik. Resistensi elektrolit
menyebabkan potensi penurunan antara elektroda kerja dan elektroda referensi
dan dapat menyebabkan kesalahan. Efek ini berdampak penting pada
interpretasi, dan harus diberi kompensasi.

2.4. Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS)


2.4.1. Definisi dan Mekanisme EIS
Spektroskopi impedansi elektrokimia (Electrochemical Impedance
Spectroscopy, EIS) adalah suatu metoda untuk menganalisa respon suatu
elektroda terkorosi terhadap sinyal potensial AC pada amplitude rendah
(~10mV) dari rentang frekuensi yang sangat lebar (Jones, 1996). Potensial
AC yang digunakan pada pengujian ini diterjemahkan sebagai fungsi
sinusoidal.
Prinsip pengujian ini adalah dengan memanfaatkan karakteristik dari
elektroda yang terkorosi, dimana karakteristiknya sama dengan rangkaian
listrik Randles. Pada rangkaian tersebut, terdapat resistor dan kapasitor yang
tersusun secara paralel. Berikut adalah gambar skematis dari rangkaian
listrik Randles:

Energi listrik yang diserap oleh permukaan dengan frekuensi tertentu,


sehingga menimbulkan jeda waktu tertentu dan sudut fasa (θ) dapat diukur.
Proses ini disimulasikan sebagai rangkaian resistif-kapasitif, dimana
nantinya akan terukur nilai absolut impedansi. Impedansi didefinisikan
sebagai hambatan total yang diberikan terhadap suatu rangkaian listrik AC
(Jones, 1996). Hasil dari pengukuran ini digambarkan oleh kurva Nyquist
dan kurva Bode.
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut
potensiostat. Potensiostat adalah alat elektronik yang memiliki 3 elektroda.
Pengujian dilakukan dengan salah satu elektroda tersebut dilakukan kontrol
tegangan, kemudian melihat respon arus yang terjadi pada elektroda uji.
2.4.2. Kurva Nyquist
Kurva Nyquist menunjukan hubungan antara impedansi real (Z’) dan
impedansi imajiner (Z’’). Kurva ini berbentuk menyerupai setengah
lingkaran, sehingga sering disebut juga kurva semi-circle. Impedansi total
(Z) merupakan penjumlahan antara impedansi real dan impedansi imajiner:
Z = Z’ + jZ’’, dimana j merupakan bilangan imajiner, yang bernilai √ .
Impedansi total (Z) ini adalah besaran vektor yang memiliki arah tertentu,
dinyatakan sebagai frekuensi anguler (ω), dan memiliki nilai absolut yang
dinyatakan sebagai | |. Nilai absolut impedansi tersebut merupakan hasil
kuadrat vektor impedansi. Nilai maksimum frekuensi anguler dinyatakan
sebagai . Berikut ini adalah gambar kurva Nyquist:

Gambar 2.9 Kurva Nyquist

Laju korosi dapat diukur melalui kurva ini. Pengukuran laju korosi
dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:

2.4.3. Elemen Pengukuran EIS


 Tahanan Larutan (Rs)
Tahanan larutan adalah tahanan yang dimiliki oleh larutan
ionik/elektrolit. Besarnya tahanan larutan dinyatakan dengan
persamaan berikut:

ρ = resistivitas larutan; l = panjang elektroda; A = luas area


elektroda yang kontak dengan larutan.
Besarnya tahanan larutan dipengaruhi oleh jenis ion, konsentrasi
ion, temperatur, dan area geometri.
 Tahanan Transfer Muatan
Tahanan transfer muatan merupakan tahanan yang menghambat
terjadinya proses transfer elektron. Semakin besar hambatan,
kecepatan reaksi semakin kecil. Faktor-faktor yang
mempengaruhinya adalah jenis reaksi, temperatur, konsentrasi
produk pereaksi dan potensial.
 Constant Phase Element (CPE)
CPE merepresentasikan kapasitor murni (C) jika N = 1, hambatan
murni (R) jika N = 0, induktansi (L) jika N = -1, dan kapasitansi
double layer (Cdl) jika 0,9 ≤ N ≤ 1.
 Kapasitansi Lapisan Ganda (Cdl)
Nilai Cdl menunjukan nilai adsorbsi inhibitor pada permukaan
logam. Nilai Cdl ini berbanding terbalik dengan nilai adsorbsi
molekul pada elektrolit.

2.4.4. Fungsi Electrochemical Impedance Spectroscopy


Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) berfungsi untuk
mengukur laju korosi pada sebuah logam. Pengukuran ini menggunakan
persamaan berikut:
2.5. Referensi
Ahmad, Z. (2006). Principles of corrosion engineering and corrosion control.
Elsevier

Bardal, Einar., 2003. Corrosion and Protection. The Norwegian University of


Science and Technology, Trondheim, New York.
Berradja, A. (2018). Metallic Glasses for Triboelectrochemistry Systems. Metallic
Glasses: Properties and Processing, 77.
Esmailzadeh, S., Aliofkhazraei, M., & Sarlak, H. (2018). Interpretation of cyclic
potentiodynamic polarization test results for study of corrosion behavior of
metals: a review. Protection of metals and physical chemistry of surfaces, 54(5),
976-989.
Jiang, J. Y., Wang, D., Chu, H. Y., Ma, H., Liu, Y., Gao, Y., Shi, J., & Sun, W.
(2017). The Passive Film Growth Mechanism of New Corrosion-Resistant Steel
Rebar in Simulated Concrete Pore Solution: Nanometer Structure and
Electrochemical Study. Materials (Basel, Switzerland), 10(4), 412.
https://doi.org/10.3390/ma10040412
Jones, Denny A., 1992. Principle and Prevention of Corrosion. New York:
Macmillan Publishing Company, New York.
Khatak, H.S. dan B. Raj., 2002., Corrosion of Austenitic Stainless Steel:
Mechanism, Mitigation, and Monitoring. Woodhead Publishing, Kalpakkam
Vargel, Christian., 2019. Corrosion of Aluminium. Elsevier Science.
Wu, S., Wang, J., Song, S., Xia, D.-H., Zhang, Z., Gao, Z., … Hu, W. (2017).
Factors Influencing Passivity Breakdown on UNS N08800 in Neutral Chloride
and Thiosulfate Solutions. Journal of The Electrochemical Society, 164(4), C94–
C103. doi:10.1149/2.0541704jes
MODUL III: PROTEKSI KOROSI
3.1. Coating
3.1.1. Definisi dan Fungsi Coating
Coating adalah sebuah perlakuan protektif yang diberikan kepada
suatu material. Proses ini dilakukan dengan tujuan sebagai pelindung
permukaan material, khususnya logam, dari lingkungannya. Perlindungan
dari lingkungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya korosi pada
logam yang bisa diakibatkan dari reaksi antara logam dengan
lingkungannya. Selain berfungsi sebagai pelindung, coating juga berfungsi
untuk meningkatkan sifat mekanik sepertikekuatan, sifat kelistrikan, dan
ketahanan dari proses oksidasi.

3.1.2. Syarat-syarat Coating


Untuk dapat memenuhi tujuannya sebagai pelindung dari suatu
material, coating membutuhkan beberapa syarat atau karakteristik, antara
lain:
- Memiliki kemampuan adhesi yang baik dengan logam yang akan di-
coating
- Memiliki porositas yang rendah (?)
- Bersifat tidak mudah untuk menghantarkan elektron
- Memiliki ketebalan yang baik (semakin tebal maka ketahanannya
semakin baik)
- Memiliki laju difusi ion yang rendah (ion Cl- dan H2O).

3.1.3. Klasifikasi Coating Berdasarkan Resistansi Korosi


3.1.3.1. Barrier Coating
Barrier coating merupakan protektif coating yang akan
menghasilkan lapisan yang tahan terhadap kelembapan dan ion-
ion agresif penyebab korosi. Permukaan logam akan terhindar
dari korosi apabila terdapat barrier coating yang dapat
melindungi permukaan logam dari kelembapan. Akan tetapi,
apabila terdapat celah pada barrier coating, hal ini dapat
menginisiasi terjadinya korosi. Sifat kelistrikan dari barrier
coating dapat memengaruhi terjadinya inisiasi korosi.
Barrier coating yang memiliki sifat konduktif akan dapat
mendukung terjadinya reaksi katodik seperti reduksi oksigen
atau evolusi hidrogen yang bisa menyebabkan terjadinya
korosi. Coating yang memiliki sifat konduktif akan
mempermudah terjadinya pergerakan elektron yang merupakan
salah satu fenomena pada proses korosi.

3.1.3.2. Conversion Coating


Conversion coating adalah proses coating yang mengubah
lapisan oksida pada permukaan logam menjadi coating yang
miliki sifat berbeda dari logam aslinya, namun, memiliki kation
yang sama dari logam kerja. Lapisan ini diperoleh dari proses
kimia maupun elektrokimia sehingga menghasilkan logam
memiliki lapisan pasif yang dapat melindungi base metal.

3.1.3.3. Anodic Coating


Anodic coating merupakan mekanisme coating yang
menjadikan bahan coating sebagai anoda. Pada baja bisa juga
disebut dengan sacrificial coating. Contoh yang biasa
digunakan adalah zinc coating pada baja.

3.1.3.4. Cathodic Coating


Pada cathodic coating, logam coating bersifat lebih
elektropositif dibandingkan logam yang dilindungi. Logam
coating akan bersifat sebagai katoda. Contohnya adalah baja
yang dilapisi oleh tembaga dengan Eo tembaga = +0.337 V dan
Eo baja = -0.44 V.

3.1.4. Klasifikasi Coating Berdasarkan Bahan


3.1.4.1. Organic Coating
Organic coating merupakan jenis coating dengan bahan dasar
yang bisa berasal dari tumbuhan atau makhluk hidup. Atau
pada definisi lain, merupakan coating yang memiliki banyak
kandungan karbon. Salah satu jenis organic coating yang paling
umum ditemui adalah cat.
3.1.4.1.1. Komponen pada Organic Coating
Komponen dari organic coating terdiri dari
binder, solvent, pigment, dan aditif.
Binder berfungsi sebagai pengikat coating
dengan permukaan logam kerja dengan membentuk
sebuah lapisan homogenus. Binder akan
menentukan sifat utama dari sebuah cat.
Solvent berfungsi sebagai media terlarutnya
binder yang akan menyebabkan coating menjadi
mudah diaplikasikan.
Pigment berfungsi untuk meberikan warna
tampilan dari suatu cat. Selain itu, pigment juga
berfungsi untuk meningkatkan ketahanan korosi dan
juga melindungi binder dari efek ultraviolet yang
akan berpengaruh pada sifat coating.
Aditif digunakan untuk memodifikasi sifat dari
coating. Aditif yang bisa ditambahkan seperti
plasticizer yang berfungsi untuk membuat lapisan
coating bersifat fleksibel. Selain itu, da juga drier
yang bisa mempercepat waktu pengeringan dari cat.

3.1.4.1.2. Sistem, Mekanisme, dan Skema Organic Coating


Sistem dari organic coating terdiri atas:
- Primer coating
- Intermediate coating
- Top coating
Mekanisme dari organic coating terbagi menjadi
tiga, yaitu barrier effect, inhibitive effect, dan
anodically active metal effect. Barrier effect akan
meberikan ketahanan terhadap air, oksigen, atau ion-
ion agresif lainnya dengan membentuk sebuah
lapisan yang tipis. Inhibitive effect memberikan
perlindungan dengan cara terjadinya reaksi kimia
antara coating dengan permukaan logam kerja
sehingga membentuk lapisan pasif yang memiliki
ketahanan korosi. Sedangkan, anodically active
metal menggunakan logam yang lebih reaktif seperti
zinc yang akan mengalami korosi lebih dulu
dibanding logam kerja.

Gambar 3.1 Skema coating

3.1.4.2. Inorganic Coating


Inorganic coating merupakan jenis coating yang mengubah
permukaan yang bersentuhan dengan coating menjadi sebuah
lapisan dengan sifat ketahanan korosi yang lebih baik melalui
reaksi kimia.
3.1.4.2.1. Metallic Coating (Electroplating, Difussion
Coating, Flame Spraying, Hot Dip Galvanizing)
Electroplating dilakukan untuk melapisi logam
kerja menggunakan logam lain. Logam kerja yang
akan dilapisi akan dibuat menjadi katoda dan
dicelupkan ke dalam larutan garam dari logam
pelapis, sedangkan, anoda yang digunakan adalah
logam yang digunakan untuk melapisi logam kerja.
Diffusion coating adalah proses pelapisan logam
kerja menggunakan logam lain dengan melakukan
difusi pada permukaan logam kerja agar terjadi
peningkatan resistansi korosi dari logam kerja.
Mekanisme dari flame spraying adalah dengan
melelehkan logam pelapis kemudian
menyemprotkannya ke permukaan logam kerja.
Bentuk dari logam pelapis ini beragam mulai dari
rod, powder, atau wire. Seluruh bentuk logam
pelapis tersebut kemudian akan dilelehkan
menggunakan bantuan oxyacetylene.
Hot dip galvaizing dilakukan dengan cara
mencelupkan baja ke dalam lelehan zinc yang
nantinya akan bereaksi dengan Fe membentuk
coating.

3.1.5. Metode Surface Preparation (Kimia dan Mekanik)


Surface preparation dibutuhkan untuk mempersiapkan lapisan
permukaan material yang akan dilakukan proses coating. Hal ini bertujuan
untuk menghilangkan kontaminasi dari permukaan material seperti karat,
minyak, lemak, atau kotoran lainnya. Kehadiran dari pengotor-pengotor
tersebut dapat menyebabkan menurunnya kualitas coating dan
menimbulkan porositas pada permukaan material. Metode surface
preparation bisa dibedakan menjadi secara kimia dan mekanik.
Surface preparation mekanik utamanya bertujuan untuk
menghilangkan karat, lapisan kerak, lapisan oksida, atau sisa-sisa lapisan
cat. Cara yang dapat dilakukan antara lain adalah penyikatan, pengikisan
lapisan yang akan dihilangkan. Cara lain yang biasa dilakukan adalah sand
blasting. Proses ini menggunakan pasir yang bersifat abrasif dengan
bantuan udara bertekanan.
Secara kimia, surface preparation bertujuan untuk menghilangkan
minyak atau lemak yang berada di permukaan material. Proses bisa
dilakukan menggunakan solvent cleaning, seperti alkohol, toluen,
hidrokarbon, dan lain lain. Selanjutnya ada alkali cleaning, yang efektif
digunakan untuk menghilangkan sisa-sisa cat. Bahan yang umum
digunakan antara lain adalah NaOH, Na2SiO3, dan Na2O3. Proses alkali
cleaning akan diikuti dengan pencucian menggunakan larutan asam kromat
1%. Metode terakhir yang dapat dilakukan adalah acid pickling. Larutan
asam yang digunakan untuk logam ferrous antara lain adalah H2SO4, HCl,
dan H3PO4. Sedangkan, untuk logam non-ferrous adalah HNO3. Proses
dilakukan dengan mencelupkan logam ke dalam larutan pada suhu yang
tinggi.

3.1.6. Kelebihan dan Kekurangan Coating


Kelebihan Kekurangan
Memiliki resistensi yang baik Membutuhkan operator yang
terampil
Memiliki daya tahan yang baik Hasil yang diperoleh sangat
bergantung dari surface preparation
Dapat meningkatkan sifat estetika Waktu proses yang tergolong lama
suatu produk dan biaya yang tidak murah

3.1.7. Aplikasi Coating dalam Industri


Aplikasi coating pada industri sangat beragam dan bergantung pada
kebutuhan masing-masing. Berikut ini ada beberapa contoh coating yang
digunakan pada industri.
- Epoxy coating untuk melindungi baja pada pembangkit nuklir
- Polyurethane coating untuk melapisi dinding dan lantai concrete pada
pembangkit nuklir, atau pada bagian atas kapal
- Pelapisan baja menggunakan zinc-rich coating

3.2. Inhibitor
3.2.1. Definisi dan Fungsi Inhibitor
Inhibitor adalah sebuah zat kimia yang digunakan dalam jumlah sedikit
dan bertujuan untuk mengurangi laju korosi. Penggunaan inhibitor untuk
mengurangi laju korosi memiliki keuntungan, salah satunya adalah dalam
penambahannya tidak akan menganggu suatu proses. Fungsi dari inhibitor
adalah memperlambat laju dari proses korosi. Inhibitor ini akan bereaksi
secara kimia dengan logam kerjanya dan akan membentuk lapisan tipis
yang akan melindungi logam kerja dari lingkungannya.

3.2.2. Mekanisme Kerja Inhibitor


Seperti yang disebutkan sebelumnya, mekanisme utama dari inhibitor
adalah pembentukan lapisan akibat adanya reaksi dari inhibitor dengan
logam kerjanya. Mekanisme itu kemudian menjadi tiga, yaitu:
- Passivating film
Pada mekanisme ini, inhibitor akan membentuk lapisan yang sangat
tipis tapi memiliki ketahanan korosi yang sangat baik.
- Precipitation film
Mekanisme ini akan menghasilkan sebuah lapisan proteksi akibat dari
reaksi antara inhibitor dengan ion terlarut pada lingkungan atau dengan
ion logam yang dilindungi.
- Adsorption film
Inhibitor pada mekanisme ini uumnya terdiri dari zat organik yang
memiliki struktur hidrofobik dan hidrofilik. Struktur hidrofiliknya akan
berikatan dengan permukaan logam, sedangkan struktur hidrofobiknya,
akan mengarah ke lingkungan yang akan menghambat difusi oksigen
dan air.

3.2.3. Perhitungan Efisiensi Inhibitor


Efisiensi dari inhibitor dapat dihitung menggunakan rumus berikut:

Einh = efisiensi inhibitor


CR0 = laju korosi tanpa menggunakan inhibitor
CR1 = laju korosi dengan menggunakan inhibitor

3.2.4. Klasifikasi Inhibitor Berdasarkan Jenis Senyawa Kimia


Berdasarkan jenis senyawa kimianya, inhibitor dibedakan menjadi
inhibitor organik dan inorganik.
Inhibitor organik umumnya mengandung gugus polar. Mekanisme dari
inhibitor organik adalah dengan pembentukan lapisan protektif akibat
adanya adsorpsi antara atom organik seperti N, S, O, atau P dengan
permukaan logam. Adsorpsi ini terjadi akibat dari gugus hidrofilik yang
berikatan dengan permukaan logam dan menyisakan lapisan hidrofilik
yang akan mencegah terikatnya air.
Inhibitor inorganik menggunakan zat seperti kromat, fosfat, atau nitrat
yang akan membentuk lapisan dengan ikatan ionik pada permukaan logam.
Laju korosi akan berubah bergantung pada elektrolit yang ada.

3.2.5. Klasifikasi Inhibitor Berdasarkan Jenis Reaksi dan Mekansme


Inhibisi
1. Scavenger inhibitor: umumnya merupakan inhibitor dengan
mekanisme mengurangi konsentrasi oksigen terlarut di dalam larutan
ruah atau biasa disebut sebagai oxygen scavenger. Oksigen didalam
larutan akan bereaksi dengan senyawa inhibitor dan membentuk
senyawa baru. Dengan berkurangnya oksigen didalam larutan, maka
laju korosi dapat diminimalisir.

2. Interface inhibitor: merupakan inhibitor yang bekerja pada antar muka


logam dengan elektrolit dengan membentuk lapisan pada antar muka
tersebut. Interface inhibitor ini dibedakan menjadi liquid dan vapor
phase inhibitor.

3.2.6. Hal yang Diperlukan Dalam Penentuan Jenis Inhibitor


 Memilih metoda yang akan digunakan, langkah ini sangat penting
karena banyak kegagalan pemakaian inhibitor karena metodenya tidak
cocok.

 Melakukan review terhadap sistem, layout fisik, pertimbangan


mekanik, fluida yang akan dievaluasi dan lokasi sistem
 Mengevaluasi sifat inhibitor yang diperlukan. Sifat inhibitor yang perlu
dipertimbangkan antara lain kelarutan, dispersabilitas, viskositas, titik
beku, kestabilan termal, korositas, kecocokan dengan senyawa kimia
lain.

3.2.7. Teknik Pengaplikasian Inhibitor (Continuous Injection, Batch


Treatment, Squeeze Treatment)
 Continuous Injection merupakan sebuah inhibitor yang disuntikkan
dalam sistem untuk mencapai tujuan inhibisi melalui sistem. Biasanya
inhibitor diinjeksikan ke sistem dengan
menggunakan pompa kimia yang digerakkan listrik atau gas. Inhibitor
ditambahkan pada titik turbulensi untuk mencapai pencampuran yang
seragam. Metode ini digunakan untuk persediaan air kota, menara
pendingin dan sumur minyak, untuk meminimalkan masalah
penskalaan dan korosi.
 Batch Treatment merupakan sebuah treatment yang dilakukan dalam
periode waktu tertentu, karena aliran fluida harus dihentikan terlebih
dahulu pengoperasiaannya. Metode yang digunakan adalah dengan
mengambil tabung yang ingin disuntikkan inhibitor lalu tabungnya
diletakkan pada bagian teratas aliran fluida kemudianinhibitor akan
dibawa oleh aliran minyaknya hingga ke bagian bawah tabung atau
pipa. Oleh sebab itu, cara ini kurang efisien dan ekonomis.
 Squeeze Treatment merupakan sebuah treatment yang biasanya
dilakukan pada industri oil and gas karena prosesnya dilakukandengan
cara memompa inhibitor ke dalam aliran awal minyak diambil saat
tekanannya sedang berkurang kemudian pemompaan dilakukan secara
perlahanan berkelanjutan hingga tekanan aliran naik kembali.
3.2.8. Kelebihan dan Kekurangan Inhibitor
 Kelebihan Inhibitor
1. Jumlah yang dibutuhkan sedikit sehingga meminimalisir cost
2. Mencegah kecelakaan akibat korosi
3. Menaikkan umur struktur atau bahan
 Kekurangan Inhibitor
1. Beberapa inhibitor bersifat toksik sehingga perlu dilakukan
prosedur yang sesuai dengan protokol yang ditetapkan
2. Penggunaan inhibitor anodik pada konsentrasi rendah dapat
meningkatkan laju korosi.

3.2.9. Aplikasi Inhibitor dalam Industri


1. Industri Perminyakan
Fenomena korosi dalam industri perminyakan terjadi akibat media air
dan hidrokarbon. Ini akibat terbentuk lapisan air tipis yang mengarah
ke korosi, dan eliminasi air yang ketat mengurangi laju korosi ke nilai
yang dapat diabaikan. Inhibitor yang digunakan dalam industri
perminyakan, baik dalam produksi maupun penyulingannya adalah
jenis yang larut dalam air-minyak. Inhibitor baru sedang
dikembangkan. Misalnya, pembuatan film amina digantikan oleh
beberapa zat lain, seperti propylenedramine, dan mereka bekerja
dengan adsorpsi pada permukaan.
2. Industri konstruksi.
Korosi pada tulangan beton menjadi ancaman serius bagi struktur
bangunan. Inhibitor, seperti kromat, fosfat, nitrat, dan natrium
metasilat digunakan untuk menekan korosi. Penambahan natrium
tetraborat dan seng borat telah menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Inhibitor komersial, seperti MCl 2022, MCl 2000 dan Rheocrete 222,
telah menunjukkan hasil yang baik.

3.3. Proteksi Katodik


3.3.1. Definisi, Fungsi, Prinsip Kerja Proteksi Katodik
Proteksi katodik adalah cara yang biasa digunakan untuk menghambat
korosi logam dengan mengubah benda kerja yang awalnya sebagai anoda
menjadi katoda sehingga tidak mengalami korosi. Selain itu, proteksi
katodik digunakan untuk mengontrol korosi dari suatu logam dengan
membuat permukaan logam menjadi katodik dari sel
elektrokimia. Perlindungan katodik mengurangi laju korosi dengan
polarisasi katodik pada permukaan logam yang berkarat. Terdapat dua jenis
proteksi katodik yaitu impressed current (arus paksa) dengan menambahkan
arus dan sacrificial anode (anoda korban) dengan menambahkan logam lain
yang berfungsi sebagai anoda.
3.3.2. Sacrificial Anode Cathodic Protection
3.3.2.1. Definisi, Fungsi, Prinsip Kerja, Skema Proteksi Katodik
Anoda Korban
Proteksi katodik anoda korban adalah sebuah mekanisme
proteksi katodik dengan menambahkan logam lain yang memiliki
nilai keelektrogenatifitas lebih rendah untuk memproteksi logam
benda kerja dengan membentuk rangkaian tertutup diantara
keduanya. Prinsip dasar dari anoda korban ini adalah
menyambungkan material yang lebih elektronegatif terhadap
struktur dalam sirkuit tertutup yang mengakibatkan material yang
lebih elektronegatif akan terpolarisasi secara anodik dan
strukturnya katodik. Dalam proses penyediaan elektron untuk
proteksi katodik dari logam yang kurang aktif, logam yang lebih
aktif akan berkarat. Logam yang lebih aktif (anoda) dikorbankan
untuk melindungi logam yang kurang aktif (katoda).

Gambar 3.2 Skema proteksi katodik dengan


anoda korban
3.3.2.2. Syarat Anoda Korban

1. Efisiensi pemakaian harus tinggi


2. Memiliki perbedaan potensial sel yang besar dengan logam
yang ingin dilindungi agar logam yang ingin dilindungi tidak
terkorosi
3. Harus tetap aktif selama digunakan
4. Saat menarik arus, anoda yang digunakan tidak boleh banyak
yang terpolarisasi

3.3.2.3. Karakteristik Jenis Material Anoda Korban (Mg, Zn, Al)


 Magnesium (Mg)
1. Anoda dikelilingi oleh backfill
2. Output arus tinggi dengan rata-rata 600-700 A-h/lb
3. Potensial pada open circuit -1.55 Volt
4. Biasanya dipadukan dengan Al dan Zn untuk menghindari
korosi lokal dengan efisiensi 60-70 %
5. Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada air laut
karena alesan overprotection dan consumption rate yang
besar
 Zinc (Zn)
1. Umumnya tidak terpolarisasi anodik dengan keluaran arus
hingga 372 A-h/lb untuk Zn murni
2. Potensial pada open circuit -1.1 Volt
3. Produk korosi menginsulasi anoda sehingga dipasang
dibawah air tanah yang bebas karbonat atau fosfat untuk
mencegah pasifasi
4. Tingkat efisiensi yang dihasilkan mencapai 95 %
 Aluminium (Al)
1. Tingkat efisiensi yang dihasilkan mencapai 87 hingga 95
%
2. Backfill harus digunakan dengan anoda Al
3. Umumnya digunakan pada aplikasi di air laut
4. Anoda Al mudah terpasivasi dan harus dibilas dengan
NaCl agar kembali aktif
3.3.2.4. Perhitungan Waktu Umur Pakai Anoda Korban

Untuk anoda Magnesium

Untuk anoda Zinc

Dengan:
U = Umur pakai anoda (tahun)
W = Berat anoda (lb)
η = Efisiensi Anoda
Uf = Faktor utilisasi (faktor kegunaan anoda
Ianoda = Arus keluar dari tiap anoda (A)

3.3.2.5. Kelebihan dan Kekurangan Metode Sacrificial Anode

Kelebihan Kekurangan
Tidak membutuhkan sumber Arus keluaran relatif rendah
listrik dari luar
Distribusi arus merata Driving voltage tidak bisa
diatur dimana sesuai dengan
anoda yang digunakan
Tidak menimbulkan interferansi Harga proteksi tinggu untuk
arus struktur yang tidak dicoating
Tidak membutuhkan Aplikasinya terbatas jika
pengaturan arus dibandingkan dengan metode
impressed current

3.3.3. Impressed Current Cathodic Protection (ICCP)


3.3.3.1. Definisi, Fungsi, Prinsip Kerja, Skema Proteksi Katodik Arus
Tanding
Proteksi katodik arus tanding adalah metode untuk
pencegahan korosi pada logam dengan memanfaatkan arus DC
yang dilengkapi dengan rectifier. Keluaran (output) arus rectifier
diatur untuk mengalirkan arus yang cukup sehingga dapat
mencegah arus korosi yang akan meninggalkan daerah anoda
pada struktur yang dilindungi. Sistem ini terdiri dari sumber daya
DC eksternal, elektroda arus impressed current, larutan korosif,
dan struktur yang akan dilindungi. Sumber daya DC memberikan
arus positif dari elektroda arus yang terkesan ke struktur
(dilindungi) melalui larutan korosif. Strukturnya terpolarisasi
secara katodik (potensinya diturunkan) dan arus positif kembali
melalui rangkaian ke catu daya DC. Arus listrik berasal bukan
dari anoda, anoda pada arus tanding hanya sebagai pelengkap dan
konduktor penghantar arus dari rectifier. Prinsip yang dijalankan
pada metode ini adalah Arus mengalir dari anoda melalui
elektrolit ke permukaan struktur, kemudian mengalir sepanjang
struktur dan kembali ke rectifier melalui konduktor elektris.

Gambar 3.3 Instalansi impressed current


ground bed.
Karena struktur menerima arus dari elektrolit, maka struktur
menjadi terproteksi.

3.3.3.2. Jenis – Jenis Rectifier (Selenium dan Silicon Rectifier)


Rectifier terdiri atas transformator, rectifier stacks, meteran,
sakelar, dan sambungan tap transformator. Rectifier mengubah
arus AC ke DC. Trafo digunakan untuk menurunkan suplai
tegangan ke yang diperlukan untuk pengoperasian tumpukan
penyearah. Ada dua jenis penyearah:
A. Selenium Rectifier (oli dan udara)
Rectifier selenium memiliki biaya awal yang lebih rendah
daripada unit silicon rectifier, tetapi memiliki ventilasi yang
buruk. Oil immersed rectifiers ini kurang rentan terhadap
udara dan debu dibandingkan jenis berpendingin udara.
Dalam kedua kasus tersebut, struktur yang akan diproteksi
dihubungkan ke terminal negatif (-) rectifier.
B. Silicon Rectifier
Silicon rectifier (berpendingin oli dan air) memiliki masa
pakai yang lebih lama dan efisiensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan selenium rectifier. Jenis berpendingin
oli tidak rentan terhadap kerusakan oleh debu dan kotoran.
Ukurannya 20–50% lebih kecil dibandingkan dengan
selenium rectifier.

3.3.3.3. Fenonema Stray Current dan Pencegahannya


Stray current merupakan arus liar dan tidak terkendali yang
mengalir pada sekitar struktur yang terproteksi sehingga
mempengaruhi potensial struktur yang tidak terproteksi di
sekitarnya. Masalah stray current yang utama diakibatkan oleh
interaksi sistem proteksi katodik. Jika ada jalur arus terdekat di
bumi yang disediakan oleh benda logam resistansi rendah, seperti
pipa, arus dari sistem proteksi katodik arus yang terkesan akan
melewati logam untuk beberapa jarak sebelum kembali ke
struktur terlindungi. Solusi terbaik untuk masalah stray
current adalah ikatan listrik struktur di dekatnya dilakukan
pemasangan anoda tambahan dan kemungkinan penambahan
kapasitas rectifier menghasilkan perlindungan untuk kedua
struktur.

3.3.3.4. Kelebihan dan Kekurangan Metode ICCP

Kelebihan Kekurangan
Rectifier dapat Sangat bergantung pada
menghasilkan arus yang arus eksternal
tak terbatas
Anoda yang digunakan Terjadi interferensi yang
lebih sedikit dapat menyebabkan
struktur lain terkorosi
Umur pakai lebih lama, Aplikasi terbatas pada
lebih dari 20 tahun resistivitas tanah dibawah
3000 ohm/cm namun
pengoperasiaannya tidak
terpengaruhi resistansi
tanah

3.4. Referensi
Ahmad, Z. (2006). Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control.
Elsevier.
Ardianto, P. (2017). PENGARUH CACAT COATING Dan PERBEDAAN
SALINITAS TERHADAP LAJU KOROSI PADA DAERAH SPLASH ZONE
MENGGUNAKAN MATERIAL BAJA
A36. https://repository.its.ac.id/45655/8/4313100011-
Undergraduate_Theses.pdf.
Galio, Alexandre & Dariva, Camila. (2014). Corrosion Inhibitors – Principles,
Mechanisms and Applications. 10.5772/57255.
Hihara, L. H. (2015). Electrochemical Aspects of Corrosion-Control Coatings.
Intelligent Coatings for Corrosion Control, 1–15. doi:10.1016/b978-0-12-
411467-8.00001-5
Monticelli, C. (2017). Corrosion Inhibitors. Reference Module in Chemistry,
Molecular Sciences and Chemical Engineering. doi:10.1016/b978-0-12-409547-
2.13443-2
Prameswara, B. Y., Kristiawan, Y. Y., & Chamim, M.
(2020). Pengerasan Permukaan Baja Karbon Sedang dengan Metode Thermal
Spray Coating. Teknika, 6(4), 195-203.

Anda mungkin juga menyukai