TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), spiritual artinya adalah yang
berhubungan dengan sifat kejiwaan (rohani dan batin). Spiritual merupakan kebangkitan
atau pencerahan dalam diri untuk mencapai tujuan dan makna dalam hidup serta bagian
paling pokok dari masalah kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Hasan 2006, dalam
Pustakasari, 2014).
Spiritual adalah kebutuhan dasar dan pencapaian tertinggi seorang manusia dalam
kehidupannya tanpa memandang suku atau asal-usul. Kebutuhan dasar tersebut meliputi:
kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, cinta kasih, dihargai dan aktualitas diri.
Aktualitas diri merupakan sebuah tahapan spiritual seseorang, dimana berlimpah dengan
serta memiliki tujuan hidup yang jelas (Prijosaksono 2003, dalam Astaria, 2010).
maupun Maha Pencipta (Hamid 1999, dalam Astaria, 2010). Spiritual juga bias disebut
sesuatu yang dirasakan diri sendiri dan hubungan dengan orang sekitar, yang terwujud
dalam sikap mengasihi orang lain, baik dan ramah kepada orang lain, menghormati setiap
orang agar orang disekitar merasa senang. Spiritual adalah semua yang mencakup
kehidupan, tidak hanya doa maupun mengenal dan mengakui TuhanNya (Nelson 2002
12
Menurut Meckley, et al., (1992) dalam Astaria, (2010) spiritual suatu multi
dimensi yaitu dimensi eksitensi dan deminsi agama. Dimensi eksitensi yaitu fokus dalam
tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama yaitu dominan fokus pada
hubungan seseorang dengan TuhanNya. Spiritual sebagai konsep dua dimensi yaitu
dimensi vertical dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal berperan sebagai hubungan
ada 3 macam yaitu tanggung jawab, pemaaf, dan pengasih sedangkan dimensi spiritual itu
sendiri merupakan kekuatan dalam diri untuk tertimbulnya rasa kedamaian dan
kebahagiaan pada diri seseorang. Berikut definisi dimensi spiritualitas menurut Ginanjar,
1. Tanggung jawab
wujud ihsan kepada Al-Wakil. Sedangkan bertanggung adalah sikap dan kewajiban yang
mana dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, Negara dan Tuhan.
2. Pemaaf
wujud ihsan pada Al-Ghafar atau orang yang rela memberi maaf kepada orang lain tanpa
sedikit ada rasa benci dan keinginan untuk membalas semua kesalahan-kesalahan yang
13
3. Pengasih
wujud ihsan pada Ar-Rahman atau sebagai perwujudan rasa kasih sayang yang
Menurut Hasan, (2006) dalam Rani, (2011), tingkat spiritualitas manusia ada
tujuh tingkatan dari yang bersifat egoistik maupun yang suci secara spiritual, yang dinilai
1. Nafs Ammarah
Pada tahap ini, orang yang nafsunya didominasi godaan yang mengarah pada
kejahatan. Pada tahap ini orang yang tidak dapat mengontrol dirinya dan tidak memiliki
moralitas atau rasa kasih. Dendam, kemarahan, ketamakan, gairah seksual, dan iri hati
adalah sifat seseorang yang muncul pada tahap ini. Pada tahap ini kesadaran dan akal
2. Nafs Lawwamah
Orang yang berada pada tahap ini mulai memiliki kesadaran terhadap perilaku-
perilakunya dan dapat membedakan yang baik maupun benar, dan menyesali kesalahan-
kesalahannya. Akan tetapi masih belum ada kemampuan untuk mengubah gaya
hidupnya. Sebagai langkah awal, mencoba untuk mengikuti kewajiban agamanya, seperti
sholat, berpuasa, membayar zakat dan mencoba berperilaku baik. Nafsu manusia selalu
mengajak hal-hal dalam kejahatan maupun perilaku keji. Pada tahap ini, ada tiga hal yang
14
dapat menjadi bahaya, yaitu kemunafikan, kesombongan dan kemarahan. Mereka tidak
Pada tahap ini, seseorang akan merasakan ketulusan dalam beribadah yang benar-
benar termotivasi dari cinta dan kasih sayang, serta adanya pengabdian dan nilai-nilai
moral. Tahap ini merupakan dari awal praktik sufisme seseorang, meskipun seseorang
belum tentu terbebas dari keinginan maupun ego pada tahap ini, namun pada tahap ini
motivasi dan pengalaman spiritual terdahulu dapat mengurangi untuk pertama kalinya.
Pada tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan perilaku tindakan moral
merupakan perilaku yang umum. Secara keseluruhan orang yang berada pada tahap ini,
4. Nafs Muthma’innah
Pada tahap ini, seseorang merasakan kedamaian dalam hidupnya serta pergolakan
pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan lama sudah tidak dibutuhkan oleh
seseorang. Pada tahap ini kepentingan seseorang mulai lenyap membuat lebih dekat
dengan TuhanNya. Pada tingkat ini seseorang akan membuat pikirannya terbuka,
bersyukur, dapat dipercaya, dan penuh kasih sayang. Ketika seseorang menerima segala
kesulitan maupun cobaan dihadapi dengan kesabaran dan ketakwaan, maupun ketika
tingkat jiwa yang tenang. Dari segi perkembangan tahap ini memasuki dalam periode
transisi. Seseorang sudah mulai dapat melepaskan semua belenggu dalam dirinya
sebelumnya dan telah mulai melakukan integrasi kembali pada semua aspek universal
kehidupan.
15
Seseorang telah merasakan kedamaian, kebahagiaan, kegembiraan dalam
beragama seperti diberi surga di atas dunia. Setiap kata-kata yang diucapkan bersumber
pada Al-Qur’an dan Hadist maupun kata-kata suci lainnya. Ibadah dan pengabdiannya
5. Nafs Radhiyah
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya sendiri, namun juga
tetap bahagia dan tegar melewati keadaan sulit, musibah atau cobaan dalam
kehidupannya. Menyadari kesulitan yang datang dari Allah untuk memperkuat dan
memperkokoh imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak bersifat hedonistik atau
materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada
hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran
rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur
kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.
Namun hanya sedikit orang yang dapat mencapai tahap spiritual ini.
6. Nafs Mardhiyah
kebahagiaan, musibah atau cobaan dalam kehidupannya. Menyadari akan segala kesulitan
yang diberikan dari Allah untuk memperkuat imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak
bersifat hedonistik atau materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami oleh
seseorang yang berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada
hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan penghindaran
rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat mencintai dan bersyukur
kepada Allah berarti seseorang tersebut telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.
16
Namun sedikit orang yang dapat mencapai tahap ini. dalam segala kejadian
maupun cobaan adalah atas tindakan Allah yang mencintai mereka dalam setiap situasi.
Ketakwaan, kepasrahan, kesabaran, kesyukuran, dan cinta kepada Allah SWT adalah
cobaan dari Allah untuk menanggapinya dengan cepat ketika hamba-Nya kembali
kepada-Nya.
7. Nafs Safiyah
Seseorang yang telah mencapai tahap akhir ini telah mengalami transedensi diri
yang utuh. Tidak ada nafas yang tersisa, hanya penyatuan dengan Allah. Pada tahap ini
seseorang telah menyadari Kebenaran, “Tidak Ada Tuhan Selain Allah”, dan hanya
keilahian yang ada, dan setiap indera manusia atau keterpisahan adalah ilusi semata.
seseorang untuk menempuh tahap-tahap perkembangan yaitu dengan suatu cara, sarana
Menurut Taylor et al., (1997) dalam Astaria, (2010), ada beberapa faktor penting
1. Tahap perkembangan
berbeda ditemukan bahwa mereka memiliki konsep spiritualitas yang berbeda menurut
17
2. Keluarga
Peran orang tua sangat penting dalam perkembangan spiritualitas seorang anak
karena orang tua sebagai role model. Keluarga juga sebagai orang terdekat di lingkungan
dan pengalaman pertama anak dalam mengerti dan menyimpulkan kehidupan di dunia,
maka pada umumnya pengalaman pertama anak selalu berhubungan dengan orang tua
ataupun saudaranya.
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial
budaya. Hal yang perlu diperhatikan adalah apapun tradisi agama atau system keagamaan
yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual tiap individu berbeda dan
seseorang. Selain itu juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara
spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap
sebagai suatu ujian. Pada saat ini, kebutuhan spiritual akan meningkat yang memerlukan
sering dialami ketika individu dihadapkan dengan hal sulit. Apabila klien mengalami
krisis, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk melakukan kegiatan spiritual
18
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Individu yang biasa melakukan kegiatan spiritual ataupun tidak dapat berkumpul
dengan orang terdekat biasanya akan mengalami terjadinya perubahan fungsi spiritual.
meliputi:
Hubungan diri sendiri merupakan kekuatan yang timbul dari diri seseorang untuk
membantu menyadari makna dan tujuan hidup, seperti meninjau pengalaman hidup
sebagai pengalaman positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan
Hubungan dengan orang lain terdapat hubungan harmonis dan tidak harmonis.
mengasuh anak, mengasuh orang tua dan mengasuh orang-orang yang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis yaitu konflik
dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan
kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian,
keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila
seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat
19
3. Hubungan dengan alam
Hubungan dengan Tuhan meliputi agama dan luar agama. Keadaan ini
keagamaan, serta bersatu dengan alam. Disimpulkan bahwa ketika seseorang telah
terpenuhi kebutuhan spiritualnya, apabila sudah mampu merumuskan arti personal yang
positif tentang tujuan keberadaannya di dunia atau pada kehidupan, mengembangkan arti
suatu penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau penderitaan, menjalin
hubungan yang positif maupun dinamis, membina integritas personal dan merasa diri
sendiri berharga, merasakan kehidupan yang terarah dan melakukan hubungan antar
Alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat spiritual pada individu
adalah Daily Spiritual Experience Scale (DSES), untuk mengukur pengalaman spiritual yang
biasa dilakukan setiap hari. DSES terdiri dari 15 item, termasuk konstruksi seperti rasa
takut, rasa syukur, pengampunan, rasa persatuan dengan transenden, cinta kasih, dan
keinginan untuk kedekatan dengan Allah. Prosedur ini adalah untuk menghasilkan model
dua faktor: Faktor 1 ditetapkan sebagai hubungan vertikal (Tuhan atau Transenden),
yang terdiri dari 12 item (misalnya, Pertemuan pada agama atau spiritualitas). Faktor 2
20
dicirikan sebagai hubungan horizontal (manusia atau orang lain), yang terdiri dari tiga
item (misalnya, Saya merasa peduli tanpa pamrih pada orang lain). Skala diukur pada 6
jenis skala Likert: 6 = berkali-kali sehari, 5 = setiap hari, 4 = hampir setiap hari, 3 =
beberapa hari, 2 = sekali-sekali, dan 1 = tidak pernah atau hampir tidak pernah, dengan
skor: Rendah = 15-39, Sedang = 40-64, Tinggi = 65-90 (Underwood, 2002 dalam
Nilamastuti, 2016).
dengan skala seringkali (>1 kali/hari) dalam kehidupan sehari-harinya maka tingkat
spiritualitasnya tinggi dan juga begitu sebaliknya. Pengalaman spiritualitas yang dirasakan
seseorang setiap hari (1 kali/hari) dan hampir setiap hari (5-6 kali/minggu) maka sudah
jelas tingkat spiritualitasnya akan tinggi, jika pengalaman spiritualitas yang dirasaka
merupakan suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk melakukan sesuatu.
merupakan bentuk dari emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah-
21
istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami
Kecemasan merupakan ketakutan yang tidak bisa diidentifikasi dengan satu sebab
dalam kehidupan seseorang (Kartini Kartono, 2003 dalam Pamungkas Dkk, 2013).
kecemasan yang tidak segera tereduksi akan mempengaruhi aktivitas individu serta
berkurangnya produktivitias.
individu merasa tidak nyaman, tegang, gelisah, dan bingung. Perasaan cemas yang dialami
dapat mengganggu individu dalam kegiatan sehari-hari. Salah satu bentuk kecemasan
menurut Nugraheni, 2005 (dalam Akbar, 2016) adalah the anxiety of fate and death atau ontic
anxiety yaitu kecemasan akan nasib dan kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan
yang akan datang kapan saja dan terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini tanpa
Ramaiah, (2003) dalam Kurniawati, (2008) menyebutkan bahwa ada empat faktor
utama yang mempengaruhi perkembangan pola dasar yang menunjukkan reaksi rasa
cemas, yaitu:
1. Lingkungan
Lingkungan mempengaruhi cara berpikir tentang diri sendiri dan orang lain. Hal
ini bisa disebabkan pengalaman seseorang dengan keluarga, dengan sahabat, dengan
22
rekan sekerja, dan lain-lain. Kecemasan akan timbul jika seseorang merasa tidak aman
terhadap lingkungannya.
Kecemasan bisa terjadi jika seseorang tidak mampu menemukan alan keluar
untuk perasaan dalam hubungan personal. Terutama jika seseorang menekan rasa marah
3. Sebab-sebab fisik
4. Keturunan
yang datang dari luar, seperti kecemasan terhadap kegagalan perkawinan yang dialami
23
bahaya eksternal, terhadap cidera yang diramalkan dan diketahui sebelumnya. Kecemasan
ada dalam bayangan seseorang karena pengalamannya. Misalkan seorang anak yang
merasa takut mencuri lagi karena pernah dikurung ibunya di tempat gelap.
kecemasan atau tidak terkendalinya naluri-naluri primitif oleh ego yang nantinya bisa
mengantisipasi hal-hal yang terburuk dari semua akibat yang mungkin ada, mengartikan
semua kesempatan yang muncul sebagai suatu pertanda buruk dan menganggap suatu
Kecemasan Moral (Moral Anxiety) adalah kecemasan yang muncul pada saat
seseorang melanggar nilai moral di masyarakat atau keluarga. Misalkan, seorang anak
kategori, yaitu:
a. Neurotis
penyebabnya adalah adanya perasaan beresalah dan berdosa serta mengalami konflik
emosional yang serius dan kronis berkesinambungan, frustrasi dan ketegangan batin.
24
b. Psikotis
Karena adanya perasaan bahwa hidupnya terancam dan kacau balau, adanya
Kecemasan digambarkan sebagai state anxiety atau trait anxiety menurut para ilmuan
State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi tertentu, yang
dirasakan sebagai suatu ancaman. Trait anxiety menunjuk pada ciri atau sifat seseorang
keadaan sebagai ancaman yang disebut dengan anxiety proneness (kecenderungan akan
kecemasan meliputi state & trait anxiety, sedangkan kecemasan dalam kaitan dengan
gangguan mental yaitu kecemasan neurotis dan psikotis, berdasarkan sumbernya yaitu
25
1. Kecemasan Ringan
2. Kecemasan Sedang
3. Kecemasan Berat
memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spsesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
26
1. Psikoterapi
Istilah ini digunakan untuk banyak sekali metode pengobatan gangguan kejiwaan
dan emosi, lebih banyak dengan teknik-teknik psikologi daripada melalui obat-obatan
atau pengobatan fisik. Ada dua jenis utama psikoterapi untuk mengatasi keadaan
pendukung.
2. Terapi relaksasi
mengalami kecemasan jika seseorang tersebut bersedia menerima anjuran dari dokter dan
menerapkannya.
3. Meditasi
Meditasi transcendental atau bentuk-bentuk sederhana lain dari meditasi yang tidak
menunjukkan bahwa meditasi membantu menjaga tingkat optimum fungsi tubuh yang
tidak kita kuasai (seperti jumlah denyut jantung dalam semenit, pernafasan, pencernaan
4. Obat-obatan
untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan ini. Obat penenang ialah obat untuk
menenangkan saraf atau rasa cemas tanpa berpengaruh pada kesadaran. Obat anti depresan
27
2.2.6 Indikator Kecemasan
dan gejala umum dalam kecemasan dibagi menjadi 5 macam-macam indikator, yaitu:
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
Dalam indikator ini berjumlah 4 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
Dalam indikator ini berjumlah 3 item pernyataan yang dikategorikan dan terdapat
kecemasan, yaitu death anxiety secara umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai
kematian, bergantinya waktu dan kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa
depan.
28
2.2.7 Pengukuran Kecemasan
alat ukur SDA (Scale Of Death Anxiety) yang telah dikemukakan oleh Templer, (1970)
dalam Saleem, (2015) yang berjudul Journal Death Anxiety Scale; Translation And Validation
kecemasan di sajikan melalui lima sub komponen terdiri dari yaitu death anxiety secara
umum, ketakutan akan sakit, pemikiran mengenai kematian, bergantinya waktu dan
kehidupan yang singkat, dan ketakutan akan masa depan. SDA (Scale Of Death Anxiety)
terdiri dari 5 tanda dan gejala kecemasan yang terdiri dari: 3 pernyataan death anxiety
secara umum (pernyataan nomor 1, 5, dan 7), 4 gejala pernyataan ketakutan akan sakit
(pernyataan nomor 3, 10, 14), 3 pernyataan mengenai bergantinya waktu dan kehidupan
yang singkat (pernyataan nomor 2, 8, 12), dan 2 pernyataan ketakutan akan masa depan
menggunakan tipe skala likert 3 kriteria dengan rentang nilai 1-2 (sangat tidak setuju),
nilai 3-4 (setuju) dan nilai 5 (sangat setuju), adapun cara penilaiannya sebagai berikut:
29
Selanjutnya nilai masing-masing dari 15 pernyataan SDA (Scale Of Death Anxiety)
tersebut diklasifikasikan dalam rentang skor dari 0 sampai 75. Semakin tinggi skor
Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya,
Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan yang tersering pada
lansia adalah tentang kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan
rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan rasa integritas. Pada
beberapa tahun) dan progresif (makin berat) sampai penderitanya mengalami kematian.
Kondisi ini dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
cemas diperlukan untuk bertahan hidup, akan tetapi tingkat kecemasan yang parah tidak
searah dengan kehidupan (Stuart & Sundeen 2000 dalam Febrianita, 2017).
karena banyakanya faktor dari dalam tubuh lansia yang dapat mempengaruhi kecemasan
misalnya penurunan fungsi organ. Lansia yang berada di panti dapat mengalami
peningkatan kecemasan karena faktor lingkungan dan sosial dalam kehidupan sehari-hari
30
2.3 Konsep Lansia
Lansia dalam ilmu psikologi yang dikenal dengan istilah lain seperti Old Age atau
Elderly. Lansia adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada orang- orang yang
sudah menjadi tua. Dalam Psikologi Perkembangan masa tua atau lansia merupakan
suatu harapan terakhir dari rentang kehidupan manusia yang secara teoritis dimulai ketika
seseorang memasuki usia 60 tahun sampai dengan meninggal (Hurlock 1992, dalam
Rahmah, 2015).
Lansia adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan, yang penurunannya
lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan daripada tahap usia bayi. Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan
perubahan degenerative pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka lebih rentan
perubahan biologis, fisis, kejiwaan dan sosial (UU No. 23 Tahun 1992 tentang
31
4. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
Menurut WHO (World Health Organizier), lansia meliputi dari usia pertengahan
yaitu: usia 46-59 tahun, usia lanjut (Elderly) yakni antara usia 60 -74 tahun, Tua (Old) yaitu
antara 75- 90 tahun, dan usia sangat tua (Very old) yaitu usia diatas 90 tahun (Setiabudhi
1999, dalam Rahmah ST, 2015), sedangkan menurut DepKes RI tahun 1999, umur lansia
terbagi 3 yaitu:
1. Usia pra senelis atau Virilitas adalah seseorang yang berusia 45-49 tahun.
3. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
dapat dilihat dari aspek-aspek biologi, ekonomi, sosial dan batasan umur, yaitu:
1. Aspek biologi
Penduduk lansia ditinjau dari aspek biologi adalah penduduk yang telah
menjalani proses penuaan. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahap-tahap menurunnya berbagai fungsi organ tubuh yang ditandai dengan semakin
rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian
endokrin dan lain sebagainya (Hawari, 2007). Hal ini disebabkan seiring meningkatnya
usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ
32
(Notoatmodjo, 2007). Perubahan biologis yang terjadi antara lain adalah kekuatan fisik
berkurang, merasa cepat capek, dan stamina menurun, sikap tubuh yang semula tegap
menjadi bungkuk, kulit mengerut dan menjadi keriput, rambut memutih dan
pertumbuhan berkurang, gigi mulai tanggal satu persatu, perubahan pada mata,
berkurangnya pendengaran, daya cium dan melemahnya indera perasa serta terjadinya
2. Aspek ekonomi
yang signifikan sejak tahun 1970. Namun, lansia memiliki status ekonomi yang lebih
rendah dari orang-orang dewasa dibawah usia 65 tahun (McKenzie, 2006). Penduduk
yang tergolong lansia dipandang sebagai beban daripada potensi sumber daya bagi
pembangunan. Lansia dianggap warga yang tidak produktif dan perlu ditopang oleh
generasi yang lebih muda. Bagi lansia yang masih bekerja, produktivitasnya sudah
menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan pekerja usia produktif. Akan
tetapi, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok lansia ini memiliki kualitas
3. Aspek sosial
lansia menduduki strata sosial dibawah kaum muda.Pada masyarakat tradisional di Asia
seperti Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus
dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda (Notoatmodjo, 2007). Perubahan
status sosial usia lanjut pasti akan membawa akibat bagi yang bersangkutan dan perlu
dihadapi dengan persiapan yang baik dalam menghadapi perubahan tersebut. Aspek
33
sosial tidak dapat diabaikan dan sebaiknya diketahui oleh lansia sedini mungkin sehingga
4. Aspek umur
dalam Notoatmodjo (2007) batasan usia lanjut adalah 60 tahun. Namun Departemen
b. Kelompok usia lanjut adalah kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih.
c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok yang berusia 70 tahun
atau lebih, atau kelompok yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
c. Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia anatara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun.
Lansia merupakan warga Negara yang memiliki hak yang sama dengan Negara
menyatakan bahwa lansia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat,
34
Sesuai dengan UU No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia,
penghargaan kepada lansia diberikan hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang
meliputi:
2. Pelayanan kesehatan.
7. Perlindungan sosial.
8. Bantuan sosial.
kewajiban yang telah disebutkan dalam dimana lansia mempunyai kewajiban yang sama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan peran dan
35
2.4 Konsep kehilangan Dan berduka
sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart,
2005 dalam Yusuf, 2014), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan
kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal
dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang individu harus
diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui proses
dan merupakan bagian dari proses kehidupan. Kehilangan dapat terjadi terhadap objek
yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari
objek yang hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang yang berarti, lingkungan,
aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang mungkin dirasakan hilang ketika
seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis antara lain sebagai berikut.
sebagai berikut.
2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.
36
6. Mudah tersinggung dan marah.
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga
proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
a. Syok dan tidak percaya Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak
dapat menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang
orang lain, perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara,
c. Restitusi Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan
37
Menurut Schulz (1978) dalam Yusuf, (2014), proses berduka meliputi tiga
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang
terjadi.
3. Fase pemulihan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase
dipenjara.
38
3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau perhiasan.
spiritualnya baik sesuai dengan nilai agama dan adat istiadat maka tingkat kecemasan
menghadapi kematian akan rendah. Hal ini didukung oleh pendapat Afandy (2008) yang
dengan manusia dan manusia dengan Tuhan. Lebih jauh, spiritualitas sangat penting
dihadapi sewaktu-waktu bagi lansia yang merupakan tahap akhir siklus hidup manusia.
mendekatkan diri kepada Tuhan dan membatasi pergaulan dengan individu lain dan lebih
keluarga dengan lansia dan lansia itu sendiri untuk meningkatkan spiritualitas dengan
cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan bergaul dengan individu lain (Nasution, 2009).
Koefisien nilai π hitung memiliki arah positif yang berarti bahwa semakin baik
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Blitar akan semakin rendah. Spiritualitas akan
39
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan menghadapi kematian, spiritualitas yang baik
akan menjadikan tingkat kecemasan menghadapi kematian akan semakin rendah. Karena
memiliki kepercayaan dan kepasrahan kepada Allah bahwa hidup dan matiku hanya
untuk Allah sehingga berdampak pada kesiapan lansia menghadapi kematian yang datang
sewaktu-waktu. Tetapi untuk lansia yang tingkat kecemasan menghadapi kematian berat
akan berdampak pada rasa belum siap, cemas, atau depresi untuk menghadapi kematian
yang sewaktu-waktu akan datang. Kesadaran akan kematian datang seiring dengan
Bertambahnya usia merupakan proses menua yang paling krusial berada pada
tahap lansia. Lanjut usia dipandang sebagai masa di mana seseorang mengalami
degenerasi biologi disertai penderitaan dengan berbagai penyakit, yang mana hal tersebut
akan memunculkan suatu kesadaran dalam diri lansia mengenai kematian. Kesadaran
akan kematian menciptakan perasaan takut dan cemas pada diri lansia. Orang yang cemas
memiliki perbedaan pada kecakapan psikologi dan spiritual mereka (Khavari, 2009).
Banyak orang takut dan menyangkal akan datangnya kematian. Ketakutan akan
datangnya kematian yang dialami lansia lebih ditekankan pada ketakutan akan
Selain itu menurut Setyawan (2013) faktor yang mempengaruhi seberapa baik
seseorang mengatasi perasaan atau memahami bahwa mereka akan menghadapi kematian
adalah fisolofi atau kepercayaan dan kemampuannya dalam mengatasi masalah, yang
mana hal itu merupakan salah satu indikator seseorang yang memiliki spiritualitas tinggi.
Suatu pemahaman akan kematian yang cerdas secara spiritualitas mampu memandang
40
seluruh konteks keberadaan yang lebih luas dan menganggap kematian tidak lain dari
suat bagian dari proses yang berkelanjutan (Zohar dan Marshlml, 2010).
kehidupan dan bukanlah suat ancaman baginya, akan tetapi kematian adalah suat
pendorong bagi dirinya untuk menjalani hidup lebih baik (Afandy, 2008). Dengan adanya
muncul rasa ingin segera memenuhi kebutuhan akan harga dirinya sebelum kematian
dating (Hidayat, 2008). Kematian lebih diterima secara positif, karena lansia yang
menimpa secara positif, selain itu kematian dianggap hanyalah salah satu proses
kehidupan yang harus dilalui untuk menuju kehidupan yang selanjutnya (Hawari, 2011).
akan kematian dan tetap berperan aktif dalam menjalankan tanggung jawab di kehidupan
ini. Lansia pasrah terhadap ketentuan akan kematian, akan tetapi kepasrahan tersebut
tersebut tetap diiringi dengan usaha pemanfaatan kehidupan untuk menjadi lebih baik
menjelang kematian (Kusumawati, 2010). Selain itu lansia mampu merumuskan arti dan
tujuan keberadaannya di dunia yang sementara ini. Mampu membina integritas personal
serta mampu mengembangkan hubungan antara manusia yang positif, sehingga dengan
adanya hubungan tersebut lansia dapat terbuka dan bertukar pikiran dengan lansia yang
lain mengenai pengalaman hidup atau permasalahan yang dihadapi (Nasution, 2009).
41