Anda di halaman 1dari 15

BUDAYA GOTONG ROYONG: BAGAIMANA MENGHADAPI BENCANA

DI INDONESIA?

TUGAS UTS ARTIKEL

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pancasila dan
Wawasan Kebangsaan

Dosen Pengampu:
Pr Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed.
Dr. Dadang Sundawa, M.Pd

oleh
Nurul Fajariah
NIM 2002766

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PROGRAM MAGISTER DAN DOKTOR

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERISTAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2021
Budaya Gotong Royong: Bagaimana Menghadapi Bencana di Indonesia?

Nurul Fajariah

Mahasiswa Departemen Pendidikan Kewarganegaraan


Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Email: nurulfajariah@upi.edu

Abstrak

Menghadapi bencana memerlukan penanganan yang tepat dan cepat


untuk meminimalisir dampak serta mencegah terjadinya bencana
yang serupa. Gotong royong merupakan nilai budaya asli bangsa
Indonesia sebagai metode terbaik dalam menghadapi bencana. Oleh
karena itu, peneliti melakukan tinjauan literatur untuk menelaah
budaya gotong royong dalam kebencanaan. Peneliti melakukan
penelaahan 16 artikel dari tahun 2007 sampai 2020, kemudian
memfokuskan untuk mengamati riset gotong royong dalam
kebencanaan. Hasil tinjauan ini menunjukkan bahwa gotong royong
yang selalu menjadi alternatif tindakan dalam menghadapi bencana
yang terjadi namun ketidakseimbangan kerja sama masyarakat dan
pemerintah menjadi hambatan serius dalam penanganan dan
pencegahan bencana. Secara keseluruhan, tinjauan ini memberikan
acuan yang tepat untuk penelitian selanjutnya dengan
mengidentifikasi aspek gotong royong seluruh elemen negara, baik
dari masyarakat, organisasi, lembaga, ahli, maupun pemerintah.
Kata kunci: bencana, gotong rotong

Pendahuluan

Budaya yang ada di Indonesia mengandung makna kearifan lokal bagi


masyarakat di wilayah asal budaya itu dikenal, selain itu, juga mengandung arti
kehidupan yang mendalam tentang kecintaan masyarakat terhadap Tuhan,
lingkungan, dan hubungan sesama manusia (Panjaitan & Sundawa, 2016, hlm. 65).
Ragam respon yang teridentifikasi dalam beberapa literatur menunjukkan adanya
peran nilai lokal yang dimiliki warga setempat dalam merespon bencana alam yang
mereka alami (Aryanata, dkk, 2019, hlm. 72). Menghadapi bencana alam tidak dapat
terlepas dari budaya yang hidup di dalam masyarakat, gotong royong dipahami
sebagai salah satu nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia dalam merespon bencana
yang terjadi (Sukmana, 2018; Lestari, et al, 2010). Komitmen gotong royong tingkat
tinggi tersebut benar adanya di Indonesia, khususnya budaya Jawa, untuk jalur
tradisional 'gotong royong' merupakan metode pendekatan dan kegiatan
penanggulangan bencana yang diandalkan dan disukai (Mardiasmo & Barnes, 2015,
hlm. 7). Penanganan terhadap bencana memerlukan aspek gotong royong secara
konsisten oleh setiap individu, sehingga masalah kebencanaan yang dihadapi selesai
dengan cepat dan ringan. Sebagaimana penegasan dari Siregar (2007, hlm. 189)
bahwa gotong-royong antara penguasa dengan masyarakat akan menghasilkan suatu
kinerja yang baik dalam mengatasi bencana alam. Tidak mungkin pemerintah dapat
menyelesaikan semua permasalahan tanpa didukung oleh masyarakat, begitu juga
sebaliknya.

Dampak dari bencana adalah kerusakan dan kehilangan (harta benda, tempat
tinggal, korban jiwa, lingkungan), oleh karena itu memerlukan penanganan yang
serius dari pemerintah dan masyarakat. Sudah menjadi tugas dan tanggungjawab
pemerintah dalam menanggulangi bencana yang terjadi, dan partisipasi masyarakat
juga sangat diperlukan dalam situasi tersebut. Keterlibatan setiap elemen masyarakat
tersebut sejatinya berdasarkan atas prinsip kemanusiaan (Erlinawati, hlm. 61). Sejak
Indonesia belum menjadi negara, gotong royong sudah menjadi bagian dari
kebudayaan yang diwariskan (Dewantara, 2017, hlm. 104). Gotong royong sudah
menjadi nafas kehidupan bagi masyarakat Indonesia terutama mereka yang tinggal di
pedesaan, semua aktivitas dilandasi dengan semangat gotong royong. (Rostiyati, 2012,
hlm. 100). Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa gotong royong sebagai budaya
asli bangsa Indonesia merupakan alternatif utama yang harus dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Meskipun budaya gotong royong tumbuh dan berkembang di dalam


masyarakat Indonesia, namun dalam perwujudannya terutama dalam hal
penanganan atas bencana yang terjadi masih sering mengalami berbagai hambatan,
untuk mengisi gap hambatan dalam penanganan bencana, maka artikel ini akan
mencoba memaparkan hasil telaah literatur riset gotong royong terkait dengan
kebencanaan.
Gotong Royong dalam Kebencanaan

Berbagai permasalahan sering muncul dalam penanganan bencana, yang


menunjukkan bahwa negara ini tidak siap menghadapi musibah tersebut (Badri, M.,
et al, 2008, hlm 55). Masyarakat umum yang ingin membantu dalam penanganan
bencana alam sebaiknya dibekali ilmu pengetahuan dan kemampuan yang cukup
untuk menolong korban agar aparat dan relawan yang berasal dari organisasi tidak
merasa direpotkan dengan kehadiran mereka (Utomo & Minza, 2016, hlm. 57). Hal
tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharini, et al (2015, hlm.
184) bahwa masih kurangnya pengetahuan dalam masyarakat menghadapi bencana,
hal tersebut ditunjukkan dengan kurangnya infrastruktur sosial dan fisik bencana
banjir.

Pancasila merupakan ideologi negara Indonesia, sekaligus berarti sebagai


pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sudah seharusnya nilai-
nilai Pancasila dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten.
Termasuk pula dalam penanganan bencana yang tidak boleh terlepas dari nilai-nilai
Pancasila. Penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab
bersama pemerintah dan masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.
Bergotong royong dapat dimaknai sebagai suatu tindakan yang dilakukan dalam
semangat kebersamaan (Erlinawati, 2020, hlm. 64). Presiden pertama Indonesia
Soekarno lebih lanjut menguraikan tentang 'gotong royong', menyoroti konsepsi
karakternya yang dinamis dan menggambarkannya sebagai satu karyo, satu gawe; yang
berarti satu, tugas bersatu (Mardiasmo & Barnes, 2015, hlm. 2). Gotong royong
dijiwai dengan nilai-nilai seperti respect, responsible dan redistribution (3Rs),
solidarity, sharing dan strengthening (3Ss) dan juga teposeliro (toleransi),
sebagaimana tercermin dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika ("persatuan dalam
keberagaman") (Baiquni, M., 2006, hlm. 112).

Hasballah (dalam Hutabarat & Sumantri, 2019, hlm. 164) menjelaskan bahwa
masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang menempati suatu daerah, diikat oleh
pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadar akan
kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya.
Indonesia adalah bangsa multikultur yang perlu terus disadari dan dipertahankan
bersama-sama. Benar adanya bahwa bangsa Indonesia itu satu, namun kesatuan ini
berdasarkan atas keberagaman budaya, bahasa, agama, ras, suku, dan lain-lain.
Kesadaran dan pemahaman ini hanya bisa diwujudkan apabila semangat kegotong-
royongan mendapat tempat. Semangat gotong royong mengungkapkan cita-cita
kerakyatan, kebersamaan dan solidaritas sosial. Berdasarkan semangat gotong royong
dan asas kekeluargaan, negara mempersatukan diri dengan seluruh lapisan
masyarakat (Kaelan, 2013, hlm. 59). Pandangan hidup bahwa seseorang tidak
mungkin hidup sendiri tanpa kerja sama dengan orang lain. Pandangan hidup
demikian ditingkatkan dalam taraf kemasyarakatan, sehingga gotong royong
seringkali diterapkan untuk menyelenggarakan suatu kepentingan (Soekanto, 1990,
hlm 74). Memudarnya nilai gotong royong terjadi apabila rasa kebersamaan mulai
menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi bersifat sukarela, bahkan hanya dinilai
dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk
keuntungan materi, akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis
dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan membayar
dengan uang. Kondisi yang serba materi seperti saat ini telah menjadikan nilai-nilai
kebersamaan yang luhur semakin luntur dan tidak lagi bernilai (Bintari dan
Darmawan, 2016, hlm. 59).

Indonesia rawan terhadap ancaman berbagai bencana, Asmadi (2010)


menegaskan bahwa Indonesia memiliki 129 gunung berapi aktif dan 70 gunung
diantaranya potensial dikategorikan sangat berbahaya, memiliki 5.590 sungai utama
yang potensial banjir, memiliki 17.508 pulau ± 440 suku bangsa dan ± 13.000 dialek,
berada di antara dua benua dan dua lautan besar yang potensial terjadi angin, dan
memiliki pantai; 81.487 km = 2 x panjang keliling bumi. Berdasarkan kondisi ini,
Indonesia menjadi menjadi negeri yang sangat rentan terhadap bencana, sebagaimana
laporan kebencanaan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang
mencatat bahwa ada 763 bencana yang terjadi sepanjang 1 Januari hingga 9 Maret
2021. BNPB mencatat, sepanjang 2021, bencana alam berupa banjir terjadi sebanyak
337 kejadian, puting beliung 186 kejadian, dan tanah longsor 144 kejadian.
Kemudian, disusul karhutla sebanyak 70 kejadian, gempa bumi 13 kejadian,
gelombang pasang dan abrasi 12 kejadian, dan kekeringan sebanyak 1 kejadian
(Saptoyo, 2021). Selain kondisi Indonesia yang rawan bencana, tindakan pemerintah
juga turut mempengaruhi terhadap bencana yang terjadi, seperti yang di ungkapkan
Siregar (2007, hlm. 186) bahwa jika dilihat dari kenyataan sehari-hari di lapangan,
banyak ditemukan penguasa yang memberikan izin kepada relasinya di luar
peraturan yang ada. Contohnya, banyak penguasa yang memberikan izin penebangan
hutan yang tidak diikuti dengan penanaman kembali pohon dan kontrol yang ketat
(misalnya, mana yang boleh ditebang dan mana yang tidak boleh, serta batas wilayah
yang diizinkan). Dapat diperkirakan akibat tindakan penguasa tersebut menyebabkan
terjadinya banjir, tanah longsor, atau berkurangnya populasi binatang yang dilindungi.
Kejadian ini terjadi padabeberapa daerah dan banyak menelan koraban jiwa, rumah
dan peralatan hancur, serta banyak tanaman dan hewan yang mati. Di sisi lain
masyarakat yang cinta terhadap lingkungan dan disiplin terhadap peraturan, tidak
dapat memberikan banyak kontribusi, agar masalah tersebut tidak terjadi. Hal ini
dapat dimengerti karena masyarakat tersebut tidak memiliki kekuasaan dan
pengaruh yang kuat. Ada ketidakseimbangan antara apa yang dilakukan penguasa
terhadap alam, dengan yang dilakukan masyarakat yang cinta terhadap peraturan.
Dampak dari ketidakseimbangan inilah, yang menyebabkan timbulnya bencana
alam.

Penelitian Suharini, et al mengenai pembelajaran kebencanaan tahun 2015


mengungkapkan bahwa rata-rata masyarakat Kali Beringin bertempat tinggal
berdekatan sungai yang dipenuhi sampah. Masyarakat tidak mengikuti pelatihan serta
upaya pencegahan dan penanganan bencana banjir dari pemerintah, bahkan
masyarakat tidak memiliki tenda pengungsian. Karena banjir yang terjadi setiap
tahun, masyarakat memilih inisiatifnya sendiri dalam menangani bencana banjir
seperti: 1) mitigasi dengan adanya saluran air hujan di sekitar tempat tinggal dan
penanaman tumbuhan berakar kuat; 2) memantau keadaan air secara berkala dengan
menggunakan volume air hujan di pinggir sungai; 3) memiliki loteng yang digunakan
untuk menyimpan barang. Gotong royong yang dilakukan masyarakat berupa: 1)
upaya pencegahan bencana dan pembuatan bendungan; 2) peringatan bencana banjir
dilakukan dengan membunyikan kentongan dan melalui SMS; 3) bantuan
pengungsian oleh warga yang tidak terkena dampak banjir; 4) bantuan berupa dapur
umum dari dusun yang tidak terkena banjir; 4) bersama-sama memperbaiki jalan dan
rumah yang rusak akibat banjir; 5) melaksanakan kegiatan bersih lingkungan setelah
bencana; 6) bersama pemerintah memperbaiki tanggul yang rusak. Namun, karena
keterbatasan masyarakat, belum ada bronjong batu pada tebing sungai tanggul
penahan banjir, pengetahuan tentang peta rawan banjir masih kurang,
penghimpunana dana pada korban banjir belum berjalan, dan belum ada kegiatan
pelatihan maupun sosialisasi dari pemerintah mengenai tanggap bencana.

Siregar dalam tulisannya mengenai Ketidakseimbangan Sistem Sosial


Penyebab Bencana Alam (2007) mengungkapkan bahwa pendekatan persuasif dan
otoriter pemerintah dalam penanggulangan banjir di anggap gagal. Penjelasan
persuasif pemerintah yang diharapkan merubah kognitif dan afektif masyarakat agar
tidak membuang sampah di sungai tidak berhasil karena terbukti sampah masih
berserakan, dan penduduk masih banyak yang tinggal di pinggiran sungai.
Pendekatan kedua yaitu secara otoriter, pendekatan ini sering tidak etis dan terkesan
arogan, tidak jarang petugas di lapangan mengalami konflik dengan masyarakat. k
pemerintah ternyata gagal pula melakukan perubahan terhadap perilaku masyarakat.
Hal ini terjadi karena aktivitasnya tidak terprogram, dan tidak ditegakkannya hukum,
sehingga masyarakat merasa tidak ada masalah terhadap perilakunya.

Lestari, et al dalam penelitiannya mengenai manajemen komunikasi (2012)


menyatakan bahwa sebagai negara tropis yang rawan datangnya bencana, Indonesia
mau tidak mau harus tetap waspada dalam melakukan penanganan bencana.
Penanganan yang bersifat tanggap darurat menjadi prioritas utama untuk menekan
jatuhnya korban jiwa. Untuk itu, kebutuhan informasi yang akurat, cepat, dan mudah
dijangkau sangat diharapkan untuk membantu penanganan bencana secara
menyeluruh. Hal ini terkait dengan manajemen komunikasi bencana, mulai dari
perencanaan, koordinasi, dan pelaksanaan, serta evaluasi penanggulangan bencana,
terutama saat tanggap darurat. Manajemen komunikasi penanggulangan bencana
Merapi 2010 menggunakan manajemen komunikasi partisipatif, pada prinsipnya
sudah sesuai dengan ketentuan UU Penanggulangan Bencana Pasal 33 huruf b. Pada
tahap penilaian kondisi darurat sudah dilakukan suatu proses komunikasi kelompok
yaitu mengumpulkan informasi atau data secara sistematis dengan manajemen
komunikasi partisipatif oleh warga RT/RW, dukuh, desa, kecamatan, kabupaten,
selanjutnya petugas menganalisis situasi untuk menentukan dan menilai kondisi-
kondisi korban apakah rusak ringan, sedang, atau berat serta jumlah yang meninggal,
sakit parah, ringan, dan sebagainya. Namun masih terdapat beberapa kendala
manajemen komunikasi bencana, seperti adanya komunikasi tradisional
(kepercayaan masyarakat pada figure almarhum Mbah Marijan), adanya informasi
dari media massa yang justru meresahkan masyarakat adanya kepentingan politik
para pendonor atau relawan, dan lain-lain. Manajemen komunikasi bencana adalah
aktivitas pengelolaan komunikasi atau koordinasi yang dapat mengurangi resiko
bencana atau memperkecil tingkat kerentanan dan bahaya akibat bencana.
Manajemen komunikasi bencana merupakan tanggung jawab pemerintah pusat
maupun daerah bersama-sama masyarakat, dalam mewujudkan perlindungan yang
maksimal bagi masyarakat beserta aset-asetnya dari kemungkinan terjadinya bencana.
Bagi para pengambil keputusan, baik pemerintah pusat, daerah, pakar bencana alam
dan masyarakat, diharapkan semakin meningkatkan komunikasi agar pelaksanaan
manajemen bencana sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan nasional dapat
terwujud dengan baik di berbagai daerah di Indonesia.

Utomo & Minza dalam penelitiannya tentang perilaku menolong (2016)


mengemukakan bahwa perilaku menolong spontan terjadi saat kondisi darurat yakni
bencana yang didorong oleh rasa empati, rasa ingin tahu terhadap bencana, dorongan
dari orang tua, dan faktor lingkungan. Relawan spontan memiliki kepekaan sosial
yang terinternalisasi dalam aktivitas yang konsisten dengan bergabung pada organisasi
relawan bencana. Faktor yang menghambat perilaku menolong pada relawan ialah
keberadaan orang lain (sudah banyak orang-orang yang berpotensi untuk menjadi
penolong di sekitar mereka) dan waktu (memperhitungkan kepentingan ekonomi
saat ingin menolong orang lain).

Penelitian pendampingan sosial oleh Widisuseno dan Sudarsih (2020)


menghasilkan meningkatnya partisipasi aktif warga mampu masyarakat setempat
dalam memberikan bantuan sebagai bentuk budaya gotong royong dan menguatnya
kesanggupan hidup mandiri warga terdampak Covid 19 dengan pendekatan sistem
pamong Ki Hadjar Dewantara yakni ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun
karso, dan tut wuri handayani. Dalam proses pendampingan memberi keteladanan,
memprakarsai, dan memandu dari belakang. Pendampingan sosial melalui model
pamong Trilogi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara sangat efektif untuk
menumbuhkan kesadaran dan motivasi klien serta warga lainnya. Energi spiritual dan
psikologis mampu mendorong klien untuk bangkit dari keterpurukan sosial,
ekonomi dan kesehatannya. Mereka berusaha menjalani hidup secara mandiri,
mengenali potensi yang dimilikinya.

Nilai kerakyatan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang


Penanggulangan Bencana terdapat dalam prinsip koordinasi, keterpaduan dan
kemitraan (Pasal 3 ayat (2) huruf c, f dan g). Pemerintah Pusat melalui BNPB dan
Kementerian Sosial serta Dinas Pendidikan bekerjasama dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Keterlibatan berbagai pihak, partisipasi dan kemitraan
publik serta swasta dalam semangat gotong royong, kesetiakawanan dan
kedermawanan. Implikasi nilai kerakyatan dalam penanggulangan bencana juga
terdalam bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana sebagai bentuk kemandirian dan tanggung jawab sebagai individu.
Masyarakat secara sosial memiliki kebudayaannya masing-masing. Nilai-nilai yang
lahir dan berkembang di dalam suatu masyarakat berasal dari dirinya sendiri.
Kearifan lokal yang diyakini memiliki nilai kebaikan dan menjadi acuan dalam
bertindak pada kehidupan masyarakat, sehingga prinsip tersebut menjadi pola pikir
dan tradisi pada kehidupan masyarakat setempat. Sikap dan tidakan saling
membantu, bergotong-royong meringankan beban sesamanya, baik yang dilakukan
dalam kerjasama antarwarga masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
maupun pihak-pihak lain, menunjukkan bahwa nilai kerakyatan yang menekankan
makna saling membantu (bergotong royong), tanggung jawab sosial, dan solidaritas
telah terwujud dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. Kegiatan gotong royong
kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk
kepentingan umum. Semangat gotong royong yang telah tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat menjadi modal sosial yang kuat dalam pembangunan masyarakat
yang tangguh bencana. Modal sosial bermanfaat dalam upaya mengatasi masalah
dalam masyarakat secara bersama dan merupakan sumber motivasi untuk mencapai
peningkatan ekonomi suatu masyarakat atau bangsa, sehingga terciptanya masyarakat
yang semakin mandiri. Penyelenggaraan penanggulangan bencana mulai dari pra
bencana, saat tanggap darurat dan pascabencana telah diatur dalam Undang Undang
Nomor 24 Tahun 2007, akan tetapi pada masa transisi menuju pemulihan belum ada
peraturan yang secara jelas mengaturnya. Oleh karena itu perlu adanya regulasi yang
mengatur secara detail jangka waktu masa transisi dan hal-hal yang berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada masa transisi menuju pemulihan (Erlinawati,
2020, hlm. 66).

Menghadapi Hambatan Penanganan Bencana dengan Gotong Royong

Gotong royong adalah budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya yang telah eksis
secara turun-temurun (Kartodijo, 1987). Memaknai gotong royong bukan berarti
hanya menyimpannya sebagai nama salah satu nilai budaya yang ada di Indonesia,
akan tetapi melaksanakan gotong royong tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Gotong royong berarti kerja sama secara positif untuk mencapai suatu tujuan secara
bersama-sama dalam nuansa kesadaran dan kerelaan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Effendi (2013, hlm. 5) bahwa gotong-royong muncul atas
dorongan keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan serta menanggung
akibat dari suatu karya, terutama yang benar-benar, secara bersama-sama, serentak
dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan bagi dirinya
sendiri, melainkan selalu untuk kebahagian bersama. Inti dari gotong royong itu
sendiri adalah kesadaran dalam berbuat untuk membantu lingkungan dan orang lain
dengan cara bekerja sama tanpa paksaan dan tanpa memikirkan kepentingan pribadi.
Gotong royong selalu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, contoh sederhananya
adalah ketika orang-orang menggunakan masker saat bepergian. Memakai masker di
masa Pandemi Covid-19 adalah bentuk kerja sama antara mayarakat dan pemerintah
dalam meminimalisir dan mencegah penularan virus. Koentjaraningrat (1984, hlm.
6) mengemukakan bahwa apabila gotong royong dilihat sebagai kebudayaan, di
dalamnya terdiri atas 3 wujud, yakni gotong royong bisa dilihat sebagai sistem ide
(nilai, norma, aturan), sistem sosial (aktivitas kerja sama atau tindakan), dan hasil
tindakan/aktivitas dari gotong royong (terwujudnya jalan, perbaikan rumah).

Salah satu unsur organisasi sosial adalah yang beraktivitas sebagai gotong
royong. Gotong royong sendiri dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk, seperti
tolong-menolong, kerja bakti, dan saling membantu. Gotong royong tolong-
menolong adalah melakukan kegiatan kerja sama berkaitan dengan kehidupan
individu lainnya (balance reciprocity), seperti dalam membantu membuat rumah,
pertanian, perkawinan, kematian, sakit, musibah, dan sebagainya. Sementara itu,
gotong royong kerja bakti yakni gotong-royong yang dilakukan oleh anggota
masyarakat dalam usaha untuk kepentingan bersama, seperti untuk kebersihan
kampung atau desa, upacara yang berkaitan dengan keagamaan di kampung,
mendirikan masjid, dan memperbaiki jalan desa (Rostiyati, 2012, hlm. 101). Oleh
karena itu dalam hal kebencanaan, perlu gerakan gotong royong yang seimbang baik
itu dari pihak masyarakat maupun pemerintah. Ketidakseimbangan kerja sama, baik
antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah akan
menyebabkan penanganan terhadap bencana yang terjadi kurang optimal atau lebih
buruknya tidak dapat di atasi, baik dari segi pencengahan, penanganan dan
penanggualangannya. Sebagaimana hal yang di ungkapkan Kartika (2015, hlm. 338)
bahwa penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen
bangsa, oleh karena itu perubahan pada aspek kebijakan, kelembagaan, koordinasi,
dan mekanisme memungkinkan terbukanya ruang untuk partisipasi masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan masyarakat internasional.
Sebelumnya juga telah dipaparkan dengan jelas bahwa di setiap riset penelitian
mengenai bencana yang terjadi di Indonesia tidak dapat terlepas dari nilai gotong
royong, namun hambatan demi hambatan tetap terjadi mulai dari masyarakat yang
bergotong royong seadanya tanpa pengetahuan yang cukup mengenai persoalan
menghadapi bencana, manajemen komunikasi terhadap bencana, sampai pada
perilaku pemerintah yang seakan membantu hanya seadanya.

Gotong royong maknanya adalah bekerja sama. Menghadapi bencana tidak


dapat menjadi optimal dan maksimal apabila hanya dilakukan oleh segelintir orang,
apalagi dalam penanganannya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Misalnya
bencana banjir yang terjadi beruang kali di daerah yang sama menunjukkan
ketidakberhasilan nilai gotong royong yang dilakukan selama ini. Maksudnya adalah
jika pada tahun pertama terjadi bencana di suatu daerah seharusnya menjadi
pembelajaran bagi masyarakat dengan peran pemerintah untuk menyelidiki
penyebab bencana yang terjadi sehingga ditemukan suatu solusi agar pada tahun dan
kondisi berikutnya tidak lagi terjadi hal serupa. Namun mirisnya di banyak persoalan
bencana yang terjadi di Indonesia justru terjadi berkali-kali di tempat yang sama yang
menunjukkan kegagalan kerja sama masyarakat dan pemerintah. Bahkan Siregar
(2007) mengistilahkan manusia dan alam bagaikan berpacu, siapa lebih cepat
bertindak. Kekalahan sering berpihak pada manusia walaupun sistem informasi yang
dirancang semakin maju, gempa bumi, taufan, angin kencang, tornado, kemarau
panjang, banjir, gunung berapi meletus, dan tsunami, tetap saja budaya bersifat
material yang dimiliki oleh manusia, masih gagal menyelamatkan manusia dari
bencana alam. Siregar juga memberikan contoh pada kejadian yang dihadapi
masyarakat Sidoarjo yang mengalami musibah lumpur PT Lapindo, yang memicu
perdebatan para ahli dalam upaya menghentikan semburan lumpur PT. Lapindo.
Siregar melanjutkan bahwa apabila diamati dari budaya nonmaterial, pejabat
pemerintah terkesan terlampau mudah mengeluarkan izin operasi pengeboran di
daerah yang dekat dengan permukiman penduduk. Pemberian izin operasi akan
mempermudah untuk produksi dan tujuan akhirnya akan menambah pendapatan
negara. Akan tetapi, apa yang terjadi dengan begitu mudahnya memberikan izin dan
kurang ketatnya pengawasan, ternyata dapat membawa dampak pada kerusakan
lingkungan. Dapat dipahami bahwa dengan segala kemajuan dewasa ini, Indonesia
justru terpelilit dengan bencana yang datang saling menyusul meskipun dihadapi
dengan nilai budaya yang melekat dalam jiwa bangsa. Hal ini mengindikasikan bahwa
terjadi ketimpangan dalam sistem sosial budaya. Seperti yang dinyatakan oleh Siregar
(2007, hlm. 186) dalam sistem sosial budaya yang ada terdapat ketidakseimbangan
dalam penerapannya. Hal ini dapat dirasakan bila salah satu faktor lebih dominan
dibandingkan faktor yang lainnya, faktor teknologi dan ekonomi lebih utama
daripada faktor sosial, sehingga terjadi ketidakseimbangan. Keadaan tidak seimbang
inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana alam. Fenomena
ketidakseimbangan ini dapat ditelusuri dari budaya penguasa yang ingin serba instan
atau ingin memperoleh hasil dengan cara di luar aturan yang telah ditetapkan. Hal ini
dilakukan oleh penguasa guna memenuhi kebutuhan dirinya dan relasi-relasinya.
Pada akhirnya, bencana tidak akan teratasi walaupun masyarakat telah menerapkan
nilai gotong royong namun pemerintah justru mendorong terjadinya bencana dengan
memberikan izin operasi pada perusahaan tanpa pengawasan. Oleh karena itu, kerja
sama dari setiap elemen negara baik itu, masyarakat, organisasi, lembaga, ahli,
maupun pemerintah sangat diperlukan dalam penanganan kebencanaan.
Kesimpulan

Beragam usaha bersama-sama dalam menghadapi bencana menunjukkan


bahwa nilai gotong royong tidak pernah mati di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Perbedaan penanganan di setiap daerah yang terkena bencana
dikarenakan kondisi dan jenis bencana yang dihadapi juga berbeda. Saling
membantu, merangkul satu sama lain dalam persaudaraan, bekerja sama dalam
menghadapi, mengatasi, menangani, menanggulangi dan mencegah bencana
merupakan wujud dari gotong royong itu sendiri.

Gotong royong selalu menjadi tindakan utama dalam penanganan


kebencanaan yang terjadi, berdasarkan pada kesadaran dan kerelaan hati tanpa
paksaan, berdiri di atas kepentingan Bersama. Meskipun dalam kenyataannya gotong
royong terus dilakukan, akan tetapi apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sama
antara elemen manusia di dalam negara maka usaha penanganan menghadapi
bencana akan menjadi lambat dan bahkan tidak dapat teratasi. Oleh karena itu,
sebaik apapun gotong royong itu dilakukan tapi apabila terdapat kepentingan yang
bersifat pribadi/golongan yang egois maka penyelesaian masalah kebencanaan juga
akan terhambat, lebih buruknya kepentingan yang berlandaskan keAKUan itu justru
dapat memperparah dan mendorong terjadinya bencana. Gotong royong adalah
milik Indonesia, sudah seharusnya setiap manusia-manusia Indonesia
menghidupkan dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

Daftar Pustaka

Asmadi, 2 Desember 2010, Manajemen Penanganan Kasus Bencana, Makalah


seminar PWI Yogyakarta bekerjasama dengan UPN ”Veteran” Yogyakarta.

Badri, M. et al. (2008). Pemberdayaan Komunikasi Pemuka Pendapat dalam


Penanganan Bencana Gempa Bumi di Yogyakarta (Kasus Kabupaten Bantul).
Jurnal Komunikasi Pembangunan, vol 6, no 1, 55-71.

Baiquni, M. (2006). Social Affairs: Gotong Royong as Local Wisdom. The


Yogyakarta and Central Java Earthquake, vol 1, hlm. 112-115.
Dewantara, Agustinus W. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa ini.
Yogyakarta: PT Kanisius.

Diaswati Mardiasmo & Paul Barnes. (2015). Community Response to Disasters in


Indonesia: Gotong Royong; a Double Edged-Sword.
https://eprints.qut.edu.au/61482/16/D2.1.pdf

Erlinawati. (2020). Nilai Pancasila dalam Penanggulangan Bencana Alam


Berdasarkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Jurnal Pancasila and
Law Review, vol 1, no 1, 59-70.

Hutabarat, P. K., & Sumantri, E. (2019). Implementasi Penguatan Pendidikan


Karakter Berbasis Masyarakat dalam Meningkatkan Kesadaran Sikap Peduli
Sosial Peserta Didik (Studi Kasus di SMA Kartika XIX-12 Bandung). Dalam
A. Wahyudi, R. Nababan, & F. Rachman (Editor), Prosiding Seminar
Nasional: Reaktualisasi Konsep Kewarganegaraan Indonesia; Digital Library,
15 Oktober 2019 (hlm. 157-170). Medan: Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Medan.

Iriyanto Widisuseno & Sri Sudarsih. (2020). Pendampingan Sosial Membangun


Kesadaran Tanggap Darurat Bencana Penyebaran Covid 19 sebagai Budaya
Gotong Royong pada Warga Masyarakat Perumahan Ketileng Indah Sendang
Mulyo – Semarang. Jurnal “HARMONI”, Volume 4, Nomor 2.

Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma

Kartika, Shanti Dwi. (2015). Politik Hukum Penganggulangan Bencana, Kajian Vol.
20 No. 4.

Kartodijo, Sartono. (1987). Gotong Royong: Saling Menolong dalam Pembangunan


Masyarakat Indonesia, dalam Callette, Nat.J dan Kayam, Umar (ed),
Kebudayaan dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi
Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kompas.com. (2021). Data Terbaru BNPB: 763 Bencana Terjadi Sepanjang 2021.
Diakses 27 Maret 2021 di:
https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/10/203500465/data-terbaru-
bnpb--763-bencana-terjadi-sepanjang-2021?page=all.

Lestari, Puji, et al. (2010). Manajemen Komunikasi Bencana Merapi 2010 pada saat
Tanggap Darurat. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 10 No 02, 173-197.

Lopiana Margaretha Panjaitan & Dadang Sundawa. (2016). Pelestarian Nilai-Nilai


Civic Culture dalam Memperkuat Identitas Budaya Masyarakat: Makna
Simbolik Ulos dalam Pelaksanaan Perkawinan Masyarakat Batak Toba di
Sitorang. Volume 3 Nomor 2, 64-72.

Masitha Hanum Utomo & Wenty Marina Minza. (2016). Perilaku Menolong
Relawan Spontan Bencana Alam. Gadja Mada Journal of Pshchology, vol 2 no
1, 48-59.

Nyoman Trisna Aryanata & Ni Made Sintya Noviana Utami. (2019). Meninjau
Perilaku Terkait Bencana di Indonesia: Sebuah Kajian Literatur. Jurnal
Psikologi MANDALA, Vol 3, No. 1, 69-84.

Pramudyasari Nur Bintari & Cecep Darmawan. (2016). Peran Pemuda sebagai
Penerus Tradisi Sambatan dalam Rangka Pembentukan Karakter Gotong
Royong. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, vol 25 No 1, 57-76.

Rostiyati, Ani. (2012). Sakai Sambaian: Sistem Gotong Royong di Lampung Timur.
Jurnal Patanjala Vol 4 No. 1, 99-114.

Siregar, Chairil N. (2007). Ketidakseimbangan Sistem Sosial Penyebab Bencana


Alam. Jurnal Sosioteknologi, Edisi 10 Tahun 6.

Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Suharini, et al. (2015). Pembelajaran Kebencanaan Bagi Masyarakat di Daerah


Rawan Bencana Banjir Das Beringin Kota Semarang. Forum Ilmu Sosial, vol
42 no 2, 184-195.

Sukmana, Oman. (2018). Pengetahuan Manajemen Bencana dan Kearifan Sosial di


Kabupaten Malang. Jurnal SOSIO KONSEPSIA Vol 7, No 03, 190-204.

Anda mungkin juga menyukai