Nurul Fajariah - 2002766 - Budaya Gotong Royong Bagaimana Indonesia Menghadapi Bencana
Nurul Fajariah - 2002766 - Budaya Gotong Royong Bagaimana Indonesia Menghadapi Bencana
DI INDONESIA?
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pancasila dan
Wawasan Kebangsaan
Dosen Pengampu:
Pr Prof. Dr. Endang Sumantri, M.Ed.
Dr. Dadang Sundawa, M.Pd
oleh
Nurul Fajariah
NIM 2002766
BANDUNG
2021
Budaya Gotong Royong: Bagaimana Menghadapi Bencana di Indonesia?
Nurul Fajariah
Abstrak
Pendahuluan
Dampak dari bencana adalah kerusakan dan kehilangan (harta benda, tempat
tinggal, korban jiwa, lingkungan), oleh karena itu memerlukan penanganan yang
serius dari pemerintah dan masyarakat. Sudah menjadi tugas dan tanggungjawab
pemerintah dalam menanggulangi bencana yang terjadi, dan partisipasi masyarakat
juga sangat diperlukan dalam situasi tersebut. Keterlibatan setiap elemen masyarakat
tersebut sejatinya berdasarkan atas prinsip kemanusiaan (Erlinawati, hlm. 61). Sejak
Indonesia belum menjadi negara, gotong royong sudah menjadi bagian dari
kebudayaan yang diwariskan (Dewantara, 2017, hlm. 104). Gotong royong sudah
menjadi nafas kehidupan bagi masyarakat Indonesia terutama mereka yang tinggal di
pedesaan, semua aktivitas dilandasi dengan semangat gotong royong. (Rostiyati, 2012,
hlm. 100). Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa gotong royong sebagai budaya
asli bangsa Indonesia merupakan alternatif utama yang harus dilakukan oleh
pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Hasballah (dalam Hutabarat & Sumantri, 2019, hlm. 164) menjelaskan bahwa
masyarakat diartikan sebagai sekumpulan orang menempati suatu daerah, diikat oleh
pengalaman-pengalaman yang sama, memiliki sejumlah persesuaian dan sadar akan
kesatuannya, serta dapat bertindak bersama untuk mencukupi krisis kehidupannya.
Indonesia adalah bangsa multikultur yang perlu terus disadari dan dipertahankan
bersama-sama. Benar adanya bahwa bangsa Indonesia itu satu, namun kesatuan ini
berdasarkan atas keberagaman budaya, bahasa, agama, ras, suku, dan lain-lain.
Kesadaran dan pemahaman ini hanya bisa diwujudkan apabila semangat kegotong-
royongan mendapat tempat. Semangat gotong royong mengungkapkan cita-cita
kerakyatan, kebersamaan dan solidaritas sosial. Berdasarkan semangat gotong royong
dan asas kekeluargaan, negara mempersatukan diri dengan seluruh lapisan
masyarakat (Kaelan, 2013, hlm. 59). Pandangan hidup bahwa seseorang tidak
mungkin hidup sendiri tanpa kerja sama dengan orang lain. Pandangan hidup
demikian ditingkatkan dalam taraf kemasyarakatan, sehingga gotong royong
seringkali diterapkan untuk menyelenggarakan suatu kepentingan (Soekanto, 1990,
hlm 74). Memudarnya nilai gotong royong terjadi apabila rasa kebersamaan mulai
menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi bersifat sukarela, bahkan hanya dinilai
dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk
keuntungan materi, akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis
dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan membayar
dengan uang. Kondisi yang serba materi seperti saat ini telah menjadikan nilai-nilai
kebersamaan yang luhur semakin luntur dan tidak lagi bernilai (Bintari dan
Darmawan, 2016, hlm. 59).
Gotong royong adalah budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya yang telah eksis
secara turun-temurun (Kartodijo, 1987). Memaknai gotong royong bukan berarti
hanya menyimpannya sebagai nama salah satu nilai budaya yang ada di Indonesia,
akan tetapi melaksanakan gotong royong tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Gotong royong berarti kerja sama secara positif untuk mencapai suatu tujuan secara
bersama-sama dalam nuansa kesadaran dan kerelaan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Effendi (2013, hlm. 5) bahwa gotong-royong muncul atas
dorongan keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan serta menanggung
akibat dari suatu karya, terutama yang benar-benar, secara bersama-sama, serentak
dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan bagi dirinya
sendiri, melainkan selalu untuk kebahagian bersama. Inti dari gotong royong itu
sendiri adalah kesadaran dalam berbuat untuk membantu lingkungan dan orang lain
dengan cara bekerja sama tanpa paksaan dan tanpa memikirkan kepentingan pribadi.
Gotong royong selalu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, contoh sederhananya
adalah ketika orang-orang menggunakan masker saat bepergian. Memakai masker di
masa Pandemi Covid-19 adalah bentuk kerja sama antara mayarakat dan pemerintah
dalam meminimalisir dan mencegah penularan virus. Koentjaraningrat (1984, hlm.
6) mengemukakan bahwa apabila gotong royong dilihat sebagai kebudayaan, di
dalamnya terdiri atas 3 wujud, yakni gotong royong bisa dilihat sebagai sistem ide
(nilai, norma, aturan), sistem sosial (aktivitas kerja sama atau tindakan), dan hasil
tindakan/aktivitas dari gotong royong (terwujudnya jalan, perbaikan rumah).
Salah satu unsur organisasi sosial adalah yang beraktivitas sebagai gotong
royong. Gotong royong sendiri dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk, seperti
tolong-menolong, kerja bakti, dan saling membantu. Gotong royong tolong-
menolong adalah melakukan kegiatan kerja sama berkaitan dengan kehidupan
individu lainnya (balance reciprocity), seperti dalam membantu membuat rumah,
pertanian, perkawinan, kematian, sakit, musibah, dan sebagainya. Sementara itu,
gotong royong kerja bakti yakni gotong-royong yang dilakukan oleh anggota
masyarakat dalam usaha untuk kepentingan bersama, seperti untuk kebersihan
kampung atau desa, upacara yang berkaitan dengan keagamaan di kampung,
mendirikan masjid, dan memperbaiki jalan desa (Rostiyati, 2012, hlm. 101). Oleh
karena itu dalam hal kebencanaan, perlu gerakan gotong royong yang seimbang baik
itu dari pihak masyarakat maupun pemerintah. Ketidakseimbangan kerja sama, baik
antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemerintah akan
menyebabkan penanganan terhadap bencana yang terjadi kurang optimal atau lebih
buruknya tidak dapat di atasi, baik dari segi pencengahan, penanganan dan
penanggualangannya. Sebagaimana hal yang di ungkapkan Kartika (2015, hlm. 338)
bahwa penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen
bangsa, oleh karena itu perubahan pada aspek kebijakan, kelembagaan, koordinasi,
dan mekanisme memungkinkan terbukanya ruang untuk partisipasi masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan masyarakat internasional.
Sebelumnya juga telah dipaparkan dengan jelas bahwa di setiap riset penelitian
mengenai bencana yang terjadi di Indonesia tidak dapat terlepas dari nilai gotong
royong, namun hambatan demi hambatan tetap terjadi mulai dari masyarakat yang
bergotong royong seadanya tanpa pengetahuan yang cukup mengenai persoalan
menghadapi bencana, manajemen komunikasi terhadap bencana, sampai pada
perilaku pemerintah yang seakan membantu hanya seadanya.
Daftar Pustaka
Kartika, Shanti Dwi. (2015). Politik Hukum Penganggulangan Bencana, Kajian Vol.
20 No. 4.
Kompas.com. (2021). Data Terbaru BNPB: 763 Bencana Terjadi Sepanjang 2021.
Diakses 27 Maret 2021 di:
https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/10/203500465/data-terbaru-
bnpb--763-bencana-terjadi-sepanjang-2021?page=all.
Lestari, Puji, et al. (2010). Manajemen Komunikasi Bencana Merapi 2010 pada saat
Tanggap Darurat. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 10 No 02, 173-197.
Masitha Hanum Utomo & Wenty Marina Minza. (2016). Perilaku Menolong
Relawan Spontan Bencana Alam. Gadja Mada Journal of Pshchology, vol 2 no
1, 48-59.
Nyoman Trisna Aryanata & Ni Made Sintya Noviana Utami. (2019). Meninjau
Perilaku Terkait Bencana di Indonesia: Sebuah Kajian Literatur. Jurnal
Psikologi MANDALA, Vol 3, No. 1, 69-84.
Pramudyasari Nur Bintari & Cecep Darmawan. (2016). Peran Pemuda sebagai
Penerus Tradisi Sambatan dalam Rangka Pembentukan Karakter Gotong
Royong. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, vol 25 No 1, 57-76.
Rostiyati, Ani. (2012). Sakai Sambaian: Sistem Gotong Royong di Lampung Timur.
Jurnal Patanjala Vol 4 No. 1, 99-114.