Anda di halaman 1dari 14

Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi: Pendidikan

Lingkungan dalam Puisi Anak

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pengajaran Bahasa Berbasis Sastra

Dosen Pengampu Prof. Anwar Efendi, M.Si. & Dr. Widyastuti Purbani, M.A.

Zuniar Kamaluddin Mabruri (20705261007)

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN BAHASA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2021
Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi: Pendidikan
Lingkungan dalam Puisi Anak

Zuniar Kamaluddin Mabruri


zuniarkamaluddin.2020@student.uny.ac.id
Pascasarjana Ilmu Pendidikan Bahasa, Universitas Negeri Yogyakarta

Abstrak

Artikel ini menganalisis potensi sastra dalam memberikan pendidikan lingkungan

melalui puisi anak. Hubungan timbal balik manusia dan alam akan mewujudkan

kesadaran ekologis. Sastra menyediakan sumber yang bagus untuk membangkitkan

kekuatan tanggapan emosional dari siswa. Menggunakan literatur di kelas adalah cara

yang bermanfaat untuk melibatkan pelajar sebagai pribadi yang utuh, dan memberikan

kesempatan yang sangat baik bagi pelajar untuk mengungkapkan pendapat, reaksi dan

perasaan pribadi mereka. Studi ini menunjukkan perkembangan kognitif kesadaran

lingkungan siswa melalui proses kreatif menulis puisi, yaitu: tahap persiapan,

pengendapan, pembulatan informasi, penulisan, dan revisi.

Kata kunci: puisi, hubungan timbal balik, kesadaran ekologis


Pendahuluan

Bumi semakin lama semakin terpuruk, perubahan iklim yang drastis, seperti musim

hujan yang berkepanjangan, bencana kekeringan, serta timbulnya beberapa penyakit yang

dahulunya tidak pernah ada, semuanya diperkirakan karena terjadinya perubahan iklim yang

disebabkan oleh ulah manusia yang merusak alam. Ancaman kehancuran timbul akibat ulah

manusia yang mengeksplorasi bumi hingga menghancurkan lingkungan hidup. Eksplorasi bumi

dengan berbagai motif ekonomi sulit dikendalikan karena dilakukan oleh pihak-pihak yang kuat

dan berkuasa di dunia. Keadaan seperti itu tidak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, bumi harus

diselamatkan, sebab kehancuran bumi berarti kehancuran alam semesta. Sudah tiba waktunya,

baik selaku individu ataupun lembaga (institusi) bergerak dan bekerja sesuai dengan kapasitas

dan potensinya masing-masing. Langkah-langkah nyata, mulai dari gerak preventif hingga

kuratif perlu dilakukan secara seksama dan berkesinambungan.

Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan masyarakat internasional telah menyepakati

pentingnya menjaga bumi dari pencemaran dan kerusakan. Salah satu komitmen dalam menjaga

bumi dari pencemaran dan kerusakan adalah melalui pelaksanaan pendidikan untuk

pembangunan berkelanjutan (dengan pengetahuan, keahlian, nilai, dan sikap) agar pembangunan

yang dilakukan saat ini tidak mengorbankan generasi masa depan. Pembangunan yang dilakukan

saat ini mengalami perkembangan di berbagai sektor. Namun di samping itu, berbagai bencana

lingkungan/permasalahan lingkungan, antara lain: longsor, banjir, kebakaran hutan, yang

menimbulkan kerugian baik materi maupun korban kemanusiaan. Di sisi lain, era globalisasi

telah berproses dan akan muncul tuntutan suatu produk industri yang harus memenuhi kriteria

konsumen yaitu produk bermutu (ISO 9.001) dan lingkungan hidup (ISO 14.001), sehingga

suatu proses produksi harus memperhatikan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup

(Tim Adiwiyata Tingkat Nasional, 2011).

Salah satu upaya penyelamatan melalui proses penyadaran melalui kekuatan sastra

dengan gerakan ekologis melalui media puisi. Kelebihan sastra ialah memiliki potensi dalam
menyadarkan hati nurani manusia, tanpa harus bernada menggurui atau propaganda yang terlalu

bombastis (Saryono, 2006). Sastra menawarkan inspirasi dan ajakan untuk menyelamatkan bumi

dengan menjaga kehijauan lingkungan secara berkesinambungan

Lazar (1993) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama pembelajaran di kelas

hendaknya adalah membiasakan siswa membaca literatur dengan menggunakan strategi sastra

yang sesuai. Ini melibatkan mereka tidak hanya pada tujuan praktis untuk memperoleh

informasi, tetapi lebih dari itu yaitu untuk mampu menganalisis teks dan memahami makna

simbolis atau filosofisnya. Lebih lanjut (Lazar, 1993) menjelaskan bahwa teks sastra memiliki

fungsi yang kuat dalam meningkatkan kepedulian moral dan etika di dalam kelas. Tugas dan

kegiatan yang direncanakan untuk mengeksploitasi teks-teks tersebut harus mendorong siswa

untuk mengeksplorasi keprihatinan dan menghubungkannya dengan perjuangan untuk

masyarakat yang lebih baik.

Kerangka Teori dan Metode Penelitian

Karya-karya yang dihasilkan dan menyuarakan alam sebagai bentuk gerakan budaya saat

ini menjadi label tersendiri dengan istilah sastra hijau. Sastra hijau berusaha menawarkan narasi

ekologis bahwa bumi adalah rumah besar yang wajib kita pelihara karena di sanalah kita tinggal

dan hidup bersama. Sastra hijau bukan saja menanamkan kesadaran namun juga

mengekspresikan narasi perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi terhadap alam (Wiyatmi,

dkk., 2016).

Hal ini dipotret oleh masyarakat sastra melalui puisi, prosa, atau karya-karya seni lainnya

yang merupakan wujud reaksi keras atas terjadinya 'bencana alam' ini. Gerakan nyata ini

dilakukan oleh masyarakat sastra dunia baik ditingkat lokal, nasional, regional, dan international.

Sayangnya di Indonesia, belum banyak media dan pengarang yang berpihak pada isu

lingkungan. Pengarang di Indonesia cenderung tertarik pada tema-tema sosial-politik dan

budaya.
Sastra Hijau telah menjadi gerakan sastra di negara-negara maju seperti. Di Australia,

khususnya puisi, telah menyajikan sastra hijau sejak awal Abad 19 yang disebut sebagai ‘Era

Sastra Kolonial’. Puisi mereka dikenal dengan sebutan bush poetry dan penyairnya disebut bush

poet. Kata ‘bush’ jika diterjemahkan secara harfiah adalah ‘semak-semak’. Dalam kenyataannya

bush adalah hutan ringan khas Australia yang ditumbuhi aneka cemara, aneka gum, tanaman

obat dan bunga serta aneka ilalang dialiri sungai-bunga berair bening. Bush juga sebagai arena

jelajah alam dan berkemah musim panas bagi warga Australia yang umumnya pemuja alam

(Paterson, 2012).

Bush poetry dipelopori oleh Henry Lawson, Banjo Paterson, dan Dorothea Mackellar.

Puisi-puisi karya ketiga penyair ini dijadikan bacaan wajib bagi pelajar tingkat dasar hingga

pendidikan atas. Bahkan puisi karya Banjo Paterson yang berjudul Walzting Matilda digubah

menjadi lagu dan menjadi lagu rakyat yang sangat populer. Bahkan dianggap sebagai ‘lagu

kebangsaan tak resmi’ dan dijadikan ilustrasi musik beberapa film Australia hingga membuat

lagu ini mendunia (Paterson, 2012)

Sastra hijau merupakan gerakan kesastaran yang dihubungkan dengan lingkungan hidup.

Hal ini berhubungan dengan persoalan krisis lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan dan

alam menjadikan kemunculan sastra hijau. Misrha (2016) dan Sharma (2016) telah memberikan

contoh dari kajian sastra hijau. Dalam artikelnya tersebut, mereka menghadirkan gagasan

mengenai peran dan kekuatan sastra dalam memberikan kritik dan pemahaman kepada pembaca

mengenai isu-isu lingkungan hidup.

Berdasarkan dari gagasan yang dikemukan para ahli tersebut, sastra hijau sebagai sebuah

gerakan politik dan perubahan sosial selayaknya dikenalkan kepada anak-anak sekolah. Hal ini

bertujuan agar gerakan politik dan perubahan sosial dalam sastra hijau dapat terlaksanakan dan

tersebar. Misra (2016) memberikan contoh terhadap kajian tersebut yang dikemukan melalui

sastra anak. Sastra untuk anak-anak sebagaimana yang diajarkan di sekolah, menurutnya,

mampu memberikan kekuatan dan basis perubahan sosial dalam memandang isu lingkungan
hidup. Dengan asumsi ini, pengenalan sastra hijau pada pelajaran sekolah melalui kurikulum

menjadi bagian yang harus dilakukan sebagai upaya gerakan sastra hijau.

Sastra anak dapat dipelajari melalui pendidikan formal. Gerakan perubahan sosial itu

dapat dilakukan melalui usaha perubahan dan penyusunan kurikulum atau pelajaran sastra untuk

anak di sekolah. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memilih media puisi. Puisi secara

umum memiliki struktur (Waluyo, 1991) seperti struktur fisik dan struktur batin. Adapun

struktur fisik puisi adalah terdiri dari tipografi, diksi, imaji atau citra, bahasa figuratif, dan lain-

lain. Sementara itu, struktur batin puisi terdiri dari tema, rasa, nada, dan lain-lain. Nada juga

berhubungan dengan tema dan rasa. Sementara itu, amanat sendiri mendorong tujuan penyair

untuk menciptakan puisi.

Salah satu karya sastra yang dapat digunakan untuk memaksimalkan gerakan sastra hijau

adalah puisi kontemporer. Puisi kontemporer adalah puisi yang muncul pada masa kini yang

bentuk dan gayanya tidak mengikuti kaidah-kaidah pada umumnya (Nasution dalam Purba,

2012). Jika pengertian puisi kontemporer itu dikaitkan dengan puisi Indonesia, puisi Indonesia

kontemporer adalah puisi Indonesia yang lahir dalam waktu tertentu yang berbentuk dan bergaya

tidak mengikuti kaidah-kaidah pusi lama pada umumnya (Purba, 2012).

Puisi sendiri dapat menjadi alat untuk mengembangkan gagasan sastra hijau, sebagai

contohnya puisi kontemporer. Istilah puisi Indonesia kontemporer sendiri dipopulerkan pada

tahun 1970-an. Puisi Indonesia kontemporer di dalam perpuisian Indonesia dipelopori oleh

Sutardji Calzoum Bachri dengan improvisasi yang menjadi bagian penting dari proses

penciptaan puisi-puisinya (Purba, 2012). Puisi-puisi Sutardji ini sangat berbeda dengan puisi-

puisi di Indonesia pada umumnya, sehingga dengan puisinya, ia mampu memberikan wajah baru

bagi perkembangan puisi Indonesia.

Puisi kontomporer dapat menjadi bagian dari gerakan sastra hijau di sekolah (Gaard dan

Murphy, 1998). Melalui puisi itu, kurikulum di sekolah disesuaikan untuk mengarah pada sastra

yang disukai dan sastra yang mengambarakan dunia anak. Purba (2012) memaparkan ciri-ciri
puisi Indonesia kontemporer dalam dua bidang, yaitu ciri-ciri struktur estetika dan ciri-ciri ekstra

estetik. Ciri-ciri struktur estetika puisi Indonesia kontemporer meliputi puisi bergaya mantera,

gaya bahasa paralelisme, asosiasi bunyi yang banyak, dan lain-lain. Di sisi lain, puisi Indonesia

kontemporer juga mempunyai ciri-ciri ekstra estetik, seperti tema protes atas keadaan

lingkungan alam dan dunia sosial, tema humanisme, kehidupan batin religius dan cenderung ke

mistik, perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia, dan tema kritik sosial terhadap tindakan

sewenang-wenang dari mereka yang menyelewengkan kekuasaan dan jabatan.

Pembelajaran puisi kontemporer sebagai bagian dari gerakan sastra hijau di sekolah

dapat berjalan dengan efektif apabila guru mampu mengembangkan model belajar yang efektif

dan inovatif. Pembelajaran puisi kontemporer berbasis lingkungan dapat tercapai secara efektif

melalui model environmental learning (EL). Scott and Gough (dalam Rickinson, 2009)

menyatakan bahwa model environmental learning adalah pembelajaran yang muncul dari

lingkungan atau ide-ide tentang lingkungan. Tujuan penerapan model environmental learning

adalah agar siswa dengan mudah berinteraksi dengan bahan pelajaran yang telah disusun dan

disesuaikan dengan model pembelajaran. Bahan pembelajaran yang disajikan disusun dengan

melibatkan lingkungan sekitar. Dengan begitu, pembelajaran puisi kontemporer bisa dilakukan

tidak hanya di dalam kelas, tetapi hal itu juga dapat dilakukan di luar kelas.

Model environmental learning adalah model pembelajaran yang mengedepankan

pengalaman siswa dalam hubungannya dengan alam sekitar. Sebagai konsekuensinya, siswa

dapat dengan mudah memahami isi materi yang disampaikan. Pendapat ini menunjukkan bahwa

penerapan model environmental learning dalam pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan

kepedulian siswa terhadap lingkungan sekitar. Melalui usaha tersebut, gerakan ecocriticism

dapat dilakukan dan sekaligus menjadi lebih efektif bila ditanamkan sejak dalam dunia anak-

anak.

Sastra hijau juga harus dilakukan melalui media dan dunia pendidikan atau pelajaran

kesaatraan untuk anak (Makwanya dan Dick, 2014). Puisi kontemporer dipilih karena puisi ini
merupakan puisi yang mengedepankan bentuk dan makna yang unik sekaligus dapat

dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan dunia anak. Melalui media puisi kontemporer ini,

siswa mampu menuangkan ide maupun gagasannya terhadap fenomena lingkungan di sekitar

mereka. Fakta tersebut memiliki tujuan untuk menumbuhkan gerakan cinta pada lingkungan

sesuai misi sastra hijau dan sesuai dengan dunia anak (Lankford, 2010). Selain itu, hal ini juga

mengajak para pembaca untuk lebih meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungan.

Sastra menyediakan bahan sumber yang bagus untuk membangkitkan kekuatan

tanggapan emosional dari siswa. Menggunakan literatur di kelas adalah cara yang bermanfaat

untuk melibatkan pelajar sebagai pribadi yang utuh dan memberikan kesempatan yang sangat

baik bagi pelajar untuk mengungkapkan pendapat, reaksi dan perasaan pribadi mereka. Oleh

karena itu kita tidak boleh berharap untuk mencapai interpretasi yang pasti dari teks sastra

dengan siswa. Sebaliknya teks sebagai materi dasar untuk menghasilkan diskusi, kontroversi,

dan pemikiran kritis dalam ruang kelas (Lazar, 1993).

Hall (2005) sastra yang dirumuskan kembali seperti itu dapat dan harus terus menjadi

pusat tempat dalam pengajaran bahasa, untuk saling iluminasi sastra, pemahaman bahasa dan

budaya. Program ambisius ini akan menjadi dicapai dengan perluasan pengertian dari kedua

literatur dan bahasa yang dapat mengambil produksi, distribusi, dan cara kerja semua jenis teks

dan wacana sebagai kewenangannya (tidak dibatasi secara artifisial, untuk, kata tertulis).

Singkatnya, studi sastra khusus dan terbatas dapat diambil ke tingkat yang lebih komprehensif.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode kualitatif

digunakan untuk mengungkap, memahami sesuatu dibalik fenomena, dan mendapatkan

wawasan tentang suatu yang baru sedikit diketahui, bahkan belum diketahui, dapat memberi

rincingan yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan (Strauss & Corbin, 2003).

Metode kualitatif dapat digolongkan ke dalam metode deskriptif yang penerapanya bersifat

menuturkan memaparkan, memberi analisis, dan menafirkan.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembelajaran Puisi Kontemporer Berdasarkan Sastra Hijau
Puisi kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha lari dari ikatan kovensional puisi

itu sendiri (Purba, 2012). Walaupun begitu, setiap puisi dalam puisi kontemporer memiliki

fungsi yang begitu penting. Teori Horace atau teori fungsi puisi menyatakan bahwa puisi

memiliki dua fungsi, yaitu dulce dan utile (indah dan berguna) (Ganie, 2015). Pengertian indah

dalam konteks menghibur dimaknai sebagai tidak membosankan, bukan kewajiban, dan

memberikan kesenangan. Berguna dimaknai sebagai tidak membuang-buang waktu dan bukan

sekadar kegiatan iseng belaka.

Pembelajaran puisi kontemporer tidak bisa lepas dari proses kreatif menulis puisi. Ganie

(2015) memaparkan lima tahap dalam proses kreatif menulis puisi, yaitu tahap persiapan,

pengendapan, pembulatan informasi, penulisan, dan revisi. Pada tahap persiapan, seorang

penyair harus menentukan pokok pikiran yang akan diungkapkan. Penentuan pokok pikiran ini

biasanya didasarkan pada inspirasi yang diperoleh melalui pengalaman fisik indrawi,

pengalaman psikis, bahan bacaan, dan sumber inspirasi lainnya.

Pada tahap pengendapan (inkubasi), seorang penyair berusaha memperkaya

pengetahuannya tentang pokok pikiran yang diangkat. Selain itu, siswa juga harus melakukan

pengamatan yang lebih intensif atas segala sesuatu yang berhubungan erat dengan pokok pikiran

yang akan ditulis. Tahap ini merupakan tahap yang cukup membuat penyair tertekan karena

pikiran dan perasaannya terpaku pada apa yang akan dituliskannya. Selanjutnya tahap

pembulatan informasi, pikiran atau perasaan yang muncul sudah mulai memasuki proses

pengkristalan, sudah mulai terbentuk secara imajinatif. Siswa sudah mulai siap menuangkan ide-

idenya secara tertulis dalam bentuk puisi yang masih kasar.

Pada tahap penulisan, siswa menuliskan semua idenya tanpa kontrol diri sama sekali,

spontan, dan tanpa adanya pertimbangan benar maupun salah. Puisi yang yang diciptakan pada

tahap ini adalah puisi yang masih kasar karena masih berupa rancangan awal puisi yang masih
harus dipoles lebih lanjut. Pada tahap terakhir, penyair mulai melihat kembali draf puisinya dan

melakukan revisi. Perevisian dilakukan dengan cara membuang kosa kata yang dirasa tidak perlu

dan menambahkan segala sesuatu yang dirasa perlu. Selain itu, penyair juga akan melakukan

pemindahan kosa kata dengan pertimbangan rasio, nalar, estetika, etika, dan lain-lain.

Sastra Hijau dalam Pembelajaran Puisi Kontemporer

Belajar pada hakikatnya adalah suatu interaksi antara individu dan lingkungan.

Lingkungan menyediakan rangsangan (stimulus) terhadap individu. Sebaliknya, individu

memberikan respon terhadap lingkungan. Dalam proses interaksi itu, hal yang dapat terjadi

adalah perubahan pada diri individu yang berupa perubahan tingkah laku. Individu

menyebabkan terjadinya perubahan pada lingkungan, baik yang positif atau bersifat negatif. Hal

ini menunjukkan bahwa fungsi lingkungan merupakan faktor yang penting dalam proses belajar

mengajar (Hamalik, 2012). Dalam konteks sastra hijau, hal ini sangat dipentingkan sebagai

bagian dari gerakan perubahan.

Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pengembangan

pribadi dan kecerdasan siswa. Pembelajaran sastra sangat strategis digunakan untuk

mengembangkan kompetensi atau kecerdasan spiritual, emosional, bahasa, atau untuk

mengembangkan intelektual, dan kinestetika. Kompetensi intelektual antara lain berupa

kemampuan berpikir dan bernalar, kemampuan kreatif dan inovatif, kemampuan memecahkan

masalah, dan kemampuan mengambil keputusan strategis yang mendukung kehidupan global.

Kompetensi emosional merupakan kompetensi untuk memahami diri sendiri dan orang lain

(Wahyudi, 2008).

Pengembangan materi ini merupakan seperangkat prosedur yang terstruktur untuk

melaksanakan pengembangan pembelajaran. Pengembangan materi pembelajaran ini terdiri dari

beberapa kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hasil akhir dari

pengembangan pembelajaran ini adalah sebuah rancangan pelaksananaan pembelajaran yang


dikembangkan secara nyata untuk mencapai tujuan pembelajaran. Rancangan ini dikaitkan

dengan konsep sastra hijau atau ecocriticism.

Langkah pembelajaran yang dilakukan guru dan siswa dalam pengembangan model

environmental learning atau sastra hijau disesuaikan dengan tahap-tahap menulis kreatif puisi

dan juga tema yang akan diangkat. Ada lima tahap yang dilakukan siswa, yaitu tahap persiapan,

tahap pengandapan, tahap pembulatan informasi, tahap penulisan, dan tahap revisi. Dalam

penulisan puisi kontemporer, tahap awal yang dilakukan siswa adalah tahap persiapan. Dalam

hal ini, siswa melakukan pengamatan terhadap lingkungan sebagai sebuah respon terhadap

sensitivitas dan kepekaan terhadap isu-isu lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara guru

dan siswa melakukan kunjungan ke taman, sungai, dan tempat pembuangan sampah (TPA).

Selanjutnya, siswa mengumpulkan segala informasi yang terdapat di lokasi tersebut. Informasi

yang dikumpulkan dapat diperoleh melalui kegiatan wawancara, pengamatan, dan

pendeskripsian lokasi yang dikunjungi. Selain itu, di tahap ini, siswa diharapkan sudah

mempunyai gambaran tentang topik dan tujuan dari penulisan puisi. Melalui pengamatan

tersebut, siswa juga diharapkan memperoleh inspirasi dalam menulis sebuah puisi kontemporer

bertemakan lingkungan.

Tahap yang kedua adalah tahap inkubasi atau pengendapan. Pada tahap ini, siswa mulai

mencari tahu lebih dalam tentang topik yang telah mereka pilih (inspirasi yang diperoleh dari

hasil pengamatan). Tahap ini bisa dilakukan di dalam maupun di luar kelas. Ketika di dalam

kelas, siswa bisa melakukan pencarian informasi melalui studi pustaka dan sumber cetak

maupun elektronik. Di luar kelas, siswa dapat melakukan wawancara secara mendalam dengan

tokoh-tokoh yang terkait dengan topik yang mereka pilih. Siswa diharapkan benar-benar

memahami permasalah lingkungan yang mereka pilih sebagai topik puisi.

Tahap ketiga adalah tahap pembulatan informasi. Pada tahap ini, siswa sudah

menemukan semua informasi yang dibutuhkan dalam menulis puisi, termasuk jenis puisi

kontemporer yang akan digunakan. Siswa mulai membuat garis-garis besar yang ditulis dalam
puisinya. Karena puisi kontemporer adalah puisi yang menonjolkan bentuk dan makna, maka di

tahap ini, siswa dapat membuat perencanaan tentang bentuk dari puisi kontemporer yang ingin

mereka ciptakan. Setelah itu, siswa mulai menulis kata-kata yang ingin mereka tuangkan dalam

menulis puisi. Hal ini merupakan tahap penulisan. Dari kerangka yang dibuat di tahap

sebelumnya, siswa mulai menuliskan seluruh kata-kata yang keluar di pikirannya. Dalam hal ini,

hal ini tidak ada batas kata yang harus ditulis. Secara bebas, siswa menuangkan kata-kata yang

sesuai dengan puisi dan tema yang mereka angkat. Setelah siswa menulis puisi secara bebas dan

siswa mulai merevisi puisinya.

Pada tahap revisi ini, siswa membolak-balik kata, mengubah kata, dan mungkin

menghilangkan atau menambahkan kata dalam puisinya. Tahap terakhir ini juga merupakan

tahap penyelesaian. Siswa mulai membaca kembali kata-kata yang mereka tuliskan.

DAFTAR PUSTAKA
Gaard, Greta & Patrick D. Murphy. (1998). Ecofeminism literary criticism, theory,
interpretation, pedadogy. Illionis: Board ofTrustess of the University of Illions.
Ganie, T. N. (2015). Buku induk bahasa indonesia: Pantun, puisi, syair, peribahasa,
gurindam, dan majas. Yogyakarta: Araska.
Hall, Geoff. (2005). Literature in language education. US: Palgrave Macmillan

Hamalik, O. (2012). Proses belajar mengajar. Cetakan ke-14. Jakarta: Bumi Aksara.
Lankford, M. (2010). Nature and greif: An ecocrticism analysis of grief in childern’s
literature”. Thesis, The University of British Colombia.
Lawson, Henry. 2012. Henry lawson poems. Australly: The World’s Poetry Archive.
Lazar, Gilian. (1993). Literature and language teaching: A guide for teachers dan trainers.
Cambridge: Cambridge University Press.

Makwanya, P dan Dick, M. (2014). An analysis of children’s poems in environment and


climate change adaptation and mitigation: A participatory approach, catching them
young. The International Journal of Engineering and Sciences, 2(7), 10-15.
http://theijes.com/papers/v3-i7/Version-1/C0371010015.pdf
Misra, S.K. (2016). Ecocriticism in children’s literature: An analysis of amit garg’s two
tales”. Galaxy International Multidisciplinary Research Journal. 5(5), 91-97.
https://www.researchgate.net/publication/318350842_Ecocriticism_in_childrens_liter
ature.
Purba, Antilan. (2012). Sastra indonesia kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rickinson, Mark (Ed). 2009. Enviromental learning. Netherlands: Springer.
Saryono, Djoko. (2016). Apresiasi sastra indonesia. Sidoarjo: Al Fath Putra.
Sharma, V.K. (2016). Quintessence of ecocriticism in emerson’s works. Ad Litteram: An
English Journal of International Literati. 1(1), 60-69.
https://www.researchgate.net/publication/311846009_Quintessence_of_Ecocriticism_
in_Emerson's_Works
Straus, A. dan Corbin, J. (2003). Dasar-dasar penelitian kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Tim Adiwiyata Tingkat Nasional. (2011). Panduan adiwiyata: Sekolah peduli dan
berbudaya lingkungan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup & Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaann.
Wahyudi, S. (2008). Pengantar teori sastra. Jakarta: Grasindo.
Walluyo, Herman J. (1995). Teori dan apresiasi puisi. Bandung: Angkasa.
Wiyatmi, dkk (Eds). (2016). Menggagas pembelajaran sastra hijau. Yogyakarta: Interlude.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai