Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN PHLEGMON DI RUANG OBSERVASI

INTENSIF(ROI) RSUD DR SOETOMO SURABAYA

Oleh:
NANANG EKO PRASETYO, Amd.Kep
RSUD BHAKTI DHARMA HUSADA - SURABAYA

PELATIHAN PERAWAT ANESTESI


SMF ANESTESI DAN REANIMASI
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2015
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Pendahuluan Phlegmon di Ruang Observasi Intensif(ROI) RSUD Dr.


Soetomo Surabaya.

Surabaya, Maret 2015


Penulis

Nanang Eko Prasetyo, Amd,Kep.

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Yeti Rohalina Nurul

Mengetahui,
Kepala Ruangan

Nurul
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ruang submandibular dan sublingual, meskipun berbeda secara anatomis,
harus dianggap sebagai suatu unit karena kedekatan dan keterlibatan ganda infeksi
yang sering odontogenik. Ruang ini terletak di antara superior mukosa mulut dan otot
mylohiod inferior. Infeksi gigi molar dan premolar pertama sering mengalir ke ruang
ini karena Apeks akarnya berada di superior otot mylohiod. Angina Ludwig adalah
sebuah peradangan akut, selulitis dari ruang submandibula dan sublingual bilateral
dan ruang submental.Sebuah sensasi tersedak dan sesak napas (angina) sering
dikombinasikan dengan nama penulis (Wilhelm Friedrich von Ludwig) yang
sepenuhnya menggambarkan kondisi yang berpotensi fatal pada tahun 1836.

Angina Ludwig atau dikenal sebagai Angina Ludovici, pertama kali


dijelaskan oleh Wilheim Frederickvon Ludwig pada tahun 1836 sebagai suatu
selulitis atau infeksi jaringan ikat leher dan dasar mulut yang cepat menyebar. Ia
mengamati bahwa kondisi ini akan memburuk secara progesif bahkan dapat berakhir
pada kematian dalam waktu 10 – 12 hari .

Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian


superior ruang suprahioid. Ruang potensial ini berada antara otot-otot yang
melekatkan lidah pada tulang hiod dan milohiodeus. 2 Angina Ludwig juga salah satu
bentuk abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fascia leher sebagai akibat perjalanan infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Tergantung ruang mana
yang terlibat, gejala dan tanda klinis setempat berupa nyeri dan pembengkakkan akan
menunjukkan lokasi infeksi.

Walaupun biasanya penyebaran yang luas terjadi pada pasien


imunokompromise, angina Ludwig juga bisa berkembang pada orang yang sehat.
Faktor predisposisinya berupa karies dentis, perawatan gigi terakhir, sickle cell
anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah. Selain itu penyakit sistemik seperti
diabetes melitus, neutropenia, aplastik anemia, glomerulositis, dermatomiositis dan
lupus eritematosus dapat mempengaruhi terjadinya angina Ludwig. Penderita
terbanyak berkisar antara umur 20-60 tahun, walaupun pernah dilaporkan terjadi pada
usia 12 hari –84 tahun. Kasus ini dominan terjadi pada laki-laki (3:1 sampai 4:1).
Angka kematian akibat angina Ludwig sebelum dikenalnya antibiotik mencapai
angka 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan, sejalan dengan perkembangan
antibiotika, perawatan bedah yang baik, serta tindakan yang cepat dan tepat, maka
saat ini angka kematiannya hanya 8%.

1.2 TUJUAN
1.2.1 TUJUAN UMUM
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan phlegmon serta bagaimana cara
penanganannya
1.2.2 TUJUAN KHUSUS
1) Memahami tentang pengertian phlegmon
2) Memahami tentang penyebab phlegmon
3) Memahami tentang tanda gejala phlegmon
4) Memahami tentang WOC phlegmon
5) Memahami tentang pemeriksaan diagnostik phlegmon
6) Memahami tentang pelaksanaan phlegmon
7) Memahami Asuhan Keperawatan dengan diagnosa phlegmon

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. PENGERTIAN
Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat
(selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam
grup penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga
mulut seperti gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang
membedakan angina Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus
melibatkan dasar mulut serta kedua ruang submandibularis (sublingualis dan
submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral).
Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya dengan
fascia penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi. Ruang yang
dibentuk oleh berbagai fascia pada leher ini merupakan area yang berpotensi
untuk terjadinya infeksi. Invasi dari bakteri akan menghasilkan selulitis atau
abses, dan menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe.
Ruang submandibular merupakan ruang di atas os hyoid (suprahyoid)
dan m. mylohyoid. Di bagian anterior, m. mylohyoid memisahkan ruang ini
menjadi dua yaitu ruang sublingual di superior dan ruang submaksilar di
inferior. Adapula yang membaginya menjadi tiga diantaranya yaitu ruang
sublingual, ruang submental dan ruang submaksillar.

Gambar 1. Ruang sublingual di bagian superior dari m. mylohyoid. Ruang


submandibular di inferior dari m. mylohyoid.
Ruang submaksilar dipisahkan dengan ruang sublingual di bagian
superiornya oleh m. mylohyoid dan m. hyoglossus, di bagian medialnya oleh
m. styloglossus dan di bagian lateralnya oleh corpus mandibula. Batas
lateralnya berupa kulit, fascia superfisial dan m. platysma superficialis pada
fascia servikal bagian dalam. Di bagian inferiornya dibentuk oleh m.
digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas
dengan ruang submental, dan di bagian posteriornya terhubung dengan ruang
pharyngeal.

Gambar 2. Ruang submaksilar dibatasi oleh m. mylohyoid, m. hyoglossus,


dan m. styloglossus.

Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxillar, duktus


Wharton, n. lingualis dan hypoglossal, a. facialis, sebagian nodus limfe dan
lemak.
Ruang submental merupakan ruang yang berbentuk segitiga yang
terletak di garis tengah bawah mandibula dimana batas superior dan lateralnya
dibatasi oleh bagian anterior dari m. digastricus. Dasar ruangan ini adalah m.
mylohyoid sedangkan atapnya adalah kulit, fascia superfisial, dan m. platysma.
Ruang submental mengandung beberapa nodus limfe dan jaringan lemak
fibrous.
Gambar 3. Segitiga ruang submental.
Infeksi pada ruang submandibular ini menyebar hingga bagian
superior dan posterior, mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah. Os
hyoid membatasi penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakkan dapat
menyebar hingga bagian anterior leher, menyebabkan distorsi dan gambaran
bull neck.

2.2. PENYEBAB
Dilaporkan sekitar 90% kasus Phlegmon disebabkan oleh odontogen
baik melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene
yang kurang. Selain itu, 95% kasus Phlegmon melibatkan ruang
submandibular bilateral dan gangguan jalan nafas merupakan komplikasi
paling berbahaya yang seringkali merenggut nyawa. Rute infeksi pada
kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar ketiga rahang bawah atau
dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar gigi molar ketiga
yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya mendapatkan
konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit,
perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di
sudut rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi
penyebab odontogenik dari Phlegmon. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang
terletak pada tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses
akan menyebar ke ruang submandibular. Di samping itu, perawatan gigi
terakhir juga dapat menyebabkan Phlegmon, antara lain: penyebaran
organisme dari gangren pulpa ke jaringan periapikal saat dilakukan terapi
endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang berasal dari mulut dan
tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh manipulasi instrumen
saat perawatan gigi.
Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain sialadenitis
kelenjar submandibula, fraktur mandibula terbuka, infeksi sekunder akibat
keganasan mulut, abses peritonsilar, infeksi kista ductus thyroglossus,
epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena
bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi
saluran pernafasan atas, dan trauma pada dasar mulut.
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita Phlegmon
melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.
Bakteri anaerob yang diisolasi seringkali berupa bacteroides,
peptostreptococci, dan peptococci. Bakteri gram positif yang telah diisolasi
adalah Fusobacterium nucleatum, Aerobacter aeruginosa, spirochetes,
Veillonella, Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram
negatif yang diisolasi antara lain spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophillus influenza dan spesies Klebsiella.

2.3. TANDA DAN GEJALA


Gejala klinis umum phlegmon meliputi malaise, lemah, lesu,
malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau
kesulitan bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan,
perabaan yang keras seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada
leher dan jaringan ruang submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia
(hot potato voice) akibat edema pada organ vokal. Gejala klinis intra oral
meliputi pembengkakkan, nyeri dan peninggian lidah; nyeri menelan
(disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara
(disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi
dengan karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi
molar bawah dapat dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan
pembengkakkan ruang submandibular yang dapat disertai dengan lidah yang
terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan menunjukkan adanya iritasi pada
m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak mampu menelan air
liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis menunjukkan
adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan segera.

4. 5.
Gambar 4. Pembengkakkan berat dari submandibula bilateral dan regio cervikal anterior
pada anak usia 4 bulan dengan angina Ludwig.
Gambar 5. Edema dan indurasi dari dasar mulut mengakibatkan peninggian lidah pada
anak usia 5 tahun dengan angina Ludwig.
2.4. WOC (WEB OF CAUTION)
Kuman / mikroorganisme

Invasi ke dalam tubuh

lokal

Respon inflamasi Proses fagositosis

Mengeluarkan
Mereda Berlanjut
mediator kimia Merangsang
( bradikinin, serotinin, syaraf
prostaglandin, dll )
Sembuh Peningkatan
fagositosis
Vasodilatasi Nyeri
Sel darah
Peningkatan putih rusak
permeabilitas
Exudasi Terbentuk debris
Peningkatan
Oedema debris / pus

Tertampung pada /
dalam rongga

Gangguan perfusi
Abses
lokal
Daya tahan tubuh
Iskemia rendah / menurun

Nekrosis jaringan Penyebaran


hematogen
Cemas
Pecah
Sepsis
Kerusakan epitel Krisis situasi
Merangsang
pusat suhu /
Ulkus Stress
hipotalamus

Gangguan integritas MRS /


kulit hospitalisasi Hipertermi
2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Meskipun diagnosis phlegmon dapat diketahui berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan penunjang
seperti laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan
diagnosis.
Laboratorium:
1) Pemeriksaan darah
a) Leukosit : adanya peningkatan jumlah leokosit sebagai indikasi
infeksi
b) HE : meningkat pada hipovolemik pada hemokonsentrasi
c) Elektrolit : untuk mengetahui ketidakseimbangan elektrolit
d) LED : meningkat sebagai indikasi infeksi
e) Trombosit : penurunan oleh karena agregasi trombosit
f) Gula Darah : hiperglikemi menunjukan glukoneogenesis
meningkat
2) Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang
menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan
antibiotik dalam terapi.
Pencitraan:
1) RÖ: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam
mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat
menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada
dapat menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-
paru. Foto panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal
infeksi atau abses, serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.
2) USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis
dari abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat
non-invasif dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi
jarum untuk menentukan letak abses.
3) CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat
memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-
scan dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta
derajat obstruksi jalan napas sehingga dapat sangat membantu dalam
memutuskan kapan dibutuhkannya pernapasan buatan.
4) MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak
dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan
dalam lebih panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan
sehingga sangat berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan
bernapas.

2.6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan phlegmon memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
 pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
 kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
membatasi penyebaran infeksi.
 ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun
dengan adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal
Tube yang lebih baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi
dilakukan melalui hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat
pasien masih sadar dan dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat
dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi lokal.
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi
antibiotik dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi
dalam kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan
trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah
sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg
tiap 6 jam selama 48 jam.
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera
diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV
terbagi setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig.
Namun, dengan meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama
pada Bacteroides sp, penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin,
piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan.
Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina
Ludwig jarang terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam
dapat dilakukan memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan
insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah secara horisontal setinggi
os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel
dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar
submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai
batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari
penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah
kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.

6. 7.
Gambar 6. Kondisi pasien post-trakeostomi namun masih membutuhkan
drainase abses. Tampak depan dan samping menunjukkan pembengkakkan
submandibular dan sublingual.
Gambar 7. Kondisi pasien 3 hari post-operasi, memperlihatkan drainase
submandibula bilateral dan occluded tracheostomy tube.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 IDENTITAS
Identitas pasien meliputi: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan,
status perkawinan, agama, kebangsaan, suku, alamat, tanggal dan jam MRS,
no register, serta identitas yang bertanggung jawab.
3.1.2 KELUHAN UTAMA
Pada pasien phlegmon sering muncul keluhan nyeri dan gangguan jalan nafas
bahkan hingga muncul keluhan sesak nafas.
3.1.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Perlu dikaji sejak kapan keluhan muncul,ada rasa nyeri atau tidak.Ada
gangguan bernafas atau tidak.
3.1.4 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Dikaji ada riwayat penyakit-penyakit lain sebelumnya,seperti DM, hipertensi
maupun asma.
3.1.5 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Dikaji adanya keturunan penyakit phlegmon pada keluarga untuk mendeteksi
adanya faktor genetik.
3.1.6 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Adakah anemia,ikterus, periksa tanda-tanda vital.
Pemeriksaan persistem
B1 BREATH
Keadaan umum tampak lemah, tampak peningkatan frekuensi nafas sampai
terjadi gagal nafas. Dapat terjadi sumbatan jalan nafas akibat penumpukan
sekret karena operasi di daerah dekat saluran nafas.
B2 BLOOD
Kemungkinan terjadi gangguan hemodinamik jika terjadi banyak perdarahan.
B3 BRAIN
Kesadaran komposmentis sampai koma
B4 BLADDER
Produksi urine bisa normal, tetapi jika pasien sudah dehidrasi berat bisa
terjadi anuria.
B5 BOWEL
Inspeksi : tampak normal
Auskultasi : terdengar suara bising usus normal
Palpasi : turgor kulit menurun jika terjadi kekurangan cairan akibat puasa
lama dan perdarahan.
Perkusi : tidak ada distensi abdomen
B6 BONE
Pada kasus phlegmon tidak ditemukan kelainan tulang, terjadi kelemahan
gerak ekstremitas jika terganggu keseimbangan elektrolit tubuh.
3.1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah lengkap
b) Kultur pus
b. Rontgen: dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak
c. USG: dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari
abses.
d. CT-Scan: dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta
derajat obstruksi jalan napas
e. MRI: menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak dibandingkan
dengan CT-scan
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme penyakit
3. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan invasi pada tubuh
4. Ansietas berhubungan dengan faktor fisiologis
3.3 RENCANA KEPERAWATAN
1. Diagnosa Keperawatan: Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
proses inflamasi
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang dalam waktu 1 x 24 jam
Kriteria Hasil :
a) Laporan nyeri hilang / terkontrol
b) Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi, metode lain
untuk meningkatkan kenyamanan
Intervensi dan Rasional :
1) Kaji intensitas dan lokasi nyeri
R/ Menentukan kebutuhan intervensi selanjutnya
2) Ajarkan menejemen nyeri dengan nafas panjangdan distraksi
R/ Membuat relaksasi otot dan mengarahakan perhatian
3) Berikan lingkungan yang nyaman da suasana tenang
R/ Meningkatkan relaksasi dan koping
4) Motivasi untuk istirahat dan tidak melakukan aktivitas
R/ Aktivitas merupakan stimulus terjadi nyeri
5) Rawat luka dan drainase
R/ Menurunkan peradangan luka sebagai proses terjadinya infeksi
6) Kolaborasi Analgesik
R/ Meningkatkan ambang nyeri sehingga nyeri turun
2. Diagnosa keperawatan: Hipertermia berhubungan dengan peningkatan
tingkat metabolisme penyakit, yang ditandai dengan pasien mengatakan
kalau tubuhnya terasa panas, kulit kemerahan, tubuh waktu disentuh hangat,
S : 38oC, P : 24 x / menit, N : 92 x / menit
Tujuan :
a) Suhu tubuh normal 360C – 3760C
b) Kulit kemerahan hilang
c) Tubuh di sentuh tidak hangat lagi
Kriteria Hasil :
a) Mengidentifikasi faktor – faktor resiko terhadap hipertermia
b) Menghubungkan metode pencegahan hipertermia
c) Mempertahankan suhu tubuh normal
Intervensi dan Rasional :
1) Pantau suhu pasien
R/ Suhu 3860C – 4110C menunjukkan proses penyakit infeksius akut
2) Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan linen ditempat tidur sesuai
indikasi
R/ Suhu ruangan / jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal
3) Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alkohol
R/ Dapat membantu mengurangi demam
4) Kolaborasi : brikan antiseptik
R/ Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus
3. Diagnosa keperawatan: Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan
dengan invasi pada tubuh, yang ditandai dengan pasien mengatakan apakah
lukanya insisi dapat sembuh, terdapat insisi pada mandibula, terpasang drain
pada insisi
Tujuan : luka dapat sembuh tepat waktu komplikasi
Kriteria Hasil :
a) Menunjukkan periaku untuk meningkatkan penyembuhan / mencegah
keusakan kulit.
b) Mengidentifikasi rasional untuk pencegahan dan pengobatan.
Intervensi dan Rasional
1) Periksa selang T – dan drainase insisi, yakinkan aliran bebas
R/ Drain sisi insisi di gunakan untuk membuang cairan yang terkumpul
2) Pertahankan drain pada sistem penampungan tertutup
R/ Mencegah iritasi kulit dan memudahkan pengukuran haluaran.
Menurunkan resiko kontaminasi
3) Observasi warna dan karakter drainase. Gunakan kantong sekali pakai
untuk menampung drain luka
R/ Kantong di gunakan untuk penampungan drainase untuk pengukuran
lebih akurat tentang haluaran dan melindungi kulit
4) Benamkan selang drainase, biarkan selang bebas bergerak, dan hindari
lipatan dan terpelintir
R / Menghindari terlepas dan / atau hambatan
5) Kolaborasi : berikan antibiotik sesuai indikasi
R/ Perlu untuk pengobatan abses / infeksi
4. Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan faktor fisiologis, yang
ditandai dengan pasien bertanya apakah panyakitnya bisa sembuh, pasien
terlihat cemas
Tujuan : Pasien tampak lebih rileks
Kriteria Hasil :
1. Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya
2. Menghubungkan peningkatan kenyamanan psikologi dan fisiologi
3. Menggunakan mekanisme koping yang efektif dalam menangani ansietas
Intervensi dan Rasional :
1) Evaluasi tingkat kesehatan, catat respon verbal dan non verbal pasien.
Dorong ekspresi bebas akan emosi
R/ Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, meningkatkan perasaan
sakit, penting pada prosedur diagnostik dan kemungkinan
pembedahan
2) Berikan informasi tentang proses penyakit dan antisipasi tindakan
R/ Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas
3) Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur
R/ Membatasi kelemahan, menghambat energi, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping
3.4 IMPLEMENTASI
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan realisasi dari pada rencana
tindakan yang telah ditetapkan meliputi tindakan independent, depedent,
interdependent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, validasi, rencan
keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan, memberikan asuhan
keperawatan dan pengumpulan data (Susan Martin, 1998)

3.5 EVALUASI
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data
subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan
keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini
merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya
( Santosa.NI, 1989;162).
No. Diagnosa/ Masalah Evaluasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri Nyeri berkurang atau hilang
berhubungan dengan proses
inflamasi
Hipertermia berhubungan
dengan peningkatan tingkat
metabolisme penyakit
Kerusakan integritas kulit /
jaringan berhubungan dengan
invasi pada tubuh
Ansietas berhubungan dengan
faktor fisiologis
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai