Anda di halaman 1dari 19

Pterigium

Claudia Natalia Zachawerus

102010055 k

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara 6 – Jakarta Barat

Email: cnz_lady01@yahoo.com

Pendahuluan1

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Seperti daging, berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah temporal
maupun nasal konjungtiva menuju kornea pada arah intrapalpebra. Asal kata pterygium dari
bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada
pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan patologik
pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.
Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah
yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang
sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu
atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang
sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah
berdebu dan kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu
13,1%. Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun.
Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada
pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat
secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya.
Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.

1
Anamnesis2

Untuk menegakkan diagnosis, seorang dokter perlu melakukan anamnesis terlebih

dahulu. Pada anamnesis, kita perlu menanyakan identitas pasien, sebagai rekam medis pasien

tersebut. Dari identitas pasien, kita bisa mengetahui keadaan pasien seperti pekerjaan pasien

yang mungkin dapat berhubungan dengan keluhan yang dialami pasien dan untuk mengetahui

status sosial ekonomi dari pasien ini. pada kasus ini, setelah dianamnesis diketahui bahwa

pekerjaan pasien adalah pedagang bakso. Usia ditanyakan untuk mengetahui faktor resiko

penyakit. Anamnesis tambahan juga berguna untuk menyingkirkan hipotesis dan menegakkan

diagnosis pasien. Pada pasien dapat ditanyakan hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah keluhan pasien didahului dengan demam?

Ditanyakan untuk menyingkirkan penyakit-penyakit mata yang didahului oleh penyakit

sistemik, contohnya episkleritis, dsb.

2. Sejak kapan pasien menjadi pedagang bakso?

Untuk mengetahui lamanya kemungkinan paparan dan lamanya manifestasi penyakit

pada pasien, dan juga untuk mengetahui penyakit pasien tersebut akut atau kronis.

3. Apakah terdapat rasa gatal?

Untuk menyingkirkan hipotesis-hipotesis penyakit mata lain yang disertai dengan rasa

gatal. Contohnya pada konjungtivitis alergi.

4. Apakah pasien memiliki riwayat alergi?

Untuk menyingkirkan hipotesis-hipotesis penyakit mata lain yang disertai dengan rasa

gatal. Contohnya pada konjungtivitis alergi.

2
5. Apakah terdapat kotoran mata? Bila iya, berapa banyak jumlahnya? Bagaimana

konsistensinya dan warnanya?

Untuk mengetahui jenis penyakit dan penyebab penyakit yang diderita pasien.

6. Selama menjadi tujang masak, apakah pasien menggunakan kacamata pelindung

saat memasak?

Untuk mengetahui kemungkinan etiologi dari penyakit yang menjadi hipotesis pada

pasien ini.

7. Apakah ada riwayat trauma?

untuk mengetahui apakah ada kemungkinan trauma yang mengenai mata atau bagian

wajah pada pasien ini.

8. Obat-obatan yang pernah diterima?

untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu pasien.

9. Apakah ada riwayat penyakit lain?

untuk mengetahui apakah nyeri yang dirasakan pasien pada kasus ini merupakan

penyakit yang berdiri sendiri atau merupakan komplikasi akibat dari penyakit lain yang

sedang diderita pasien.

10. Apakah ada riwayat penyakit dalam keluarga ?

3
Pemeriksaan fisik3,4

Pemeriksaan visus satu mata

Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata. Setiap mata
diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudia kiri lalu
mencatatnya. Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 meter atau 6 meter,
karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada
pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen

Pemeriksaan segmen anterior

Yang dapat dilihat pada pemeriksaan segmen anterior: 4

 Palpebra superior: bengkak, kalazion, tumor, blefarospasme, ekimosis, ektropion, entropion,


lagoftalmos, merah, pseudoptosis, ptosis, nyeri (biasanya radang), sikatriks, supersilia,
trikiasis, xantelasma
 Palpebran inferior: sama dengan palpebra superior, sakus lakrimal bengkak, merah, ditekan
keluar sekret, uji anel, madarosis (rontoknya supersilia), fisur palpebra, margo palpebra (silia,
trikiasis, sekret, merah, sakit, ulseratif)
 Konjungtiva tarsal superior: folikel cobble stone (benjolan penimbunan cairan dan sel
limfoid), membran, papil (timbunan sel radang), papil raksasa, pseudomembran (jika diangkat
tidak berdarah), sikatriks, simblefaron
 Konjungtiva tarsal inferior: folikel/cobble stone, papil, sikatriks, hordeolum, kalazion
 Konjungtiva bulbi: sekret, injeksi konjungtival, injeksi siliar, injeksi episklera, perdarahan
subkonjungtiva, flikten, simblefaron, bercak degenerasi, pinguekula, pterigium,
pseudopterigium
 Kornea: makrokornea, mikrokornea, arkus senil, pannus, ulkus, xerosis kornea,
keratomalasia, sikatriks (nebula, makula, leukoma), leukoma adheren, stafiloma kornea, fistel,
keratik presipitat
 Iris: lekukuan iris, atrofi, rubeosis, sinekia anterior, sinekia posterior
 Pupil: isokoria, midriasis, miosis, anisokoria, hipus, oklusi pupil, seklusi pupil, leukokoria,
refleks pupil
 COA: dalam/dangkal, fler, hifema, hipopion, sudut bilik mata depan
 Lensa: Shadow test, kejernihan

4
Pemeriksaan Lapang Pandang

Pemeriksaan lapang pandang dapat dilakukan dengan uji konfrontasi. Mata kiri pasien dan mata
kanan pemeriksa dibebat. Penderita diperiksa dengan duduk berhadapan terhadap pemeriksa pada
jarak kira-kira 1 meter. Mata kanan pasien dengan mata kiri pemeriksa saling berhadapan. Sebuah
benda dengan jarak yang sama digeser perlahan-lahan dari perifer lapang pandangan ke tengah. Bila
pasien sudah melihatnya ia diminta memberi tahu. Pada keadaan ini bila pasien melihat pada saat
yang bersamaan dengan pemeriksa berarti lapang pandangan pasien adalah normal. Syarat pada
pemeriksaan ini adalah lapang pandangan pemeriksa adalah normal. Pemeriksaan lapang pandang
juga dapat dilakukan dengan kampimeter dan perimeter, yang merupakan alat pengukur atau
pemetaan lapang pandangan terutama daerah sentral atau para sentral.

Pada pterigium didapat :

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada limbus,
berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir
luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :


 Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah
kantus
 Apex (head), bagian atas pterygium
 Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir
pterygium.

Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :


- Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterygium
- Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang

Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan
badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup
oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4:

5
 Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

 Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea

 Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

 Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu


penglihatan.

Pemeriksaan penunjang4

 Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea
untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme  ireguler yang disebabkan oleh
pterygium. Adapula pemeriksaan slit lamp untuk mengklasifikasikan pterigium berdasarkan
terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium :

a. T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

b. T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

Diagnosis utama

Pterigium3-5

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip
daging yang menjalar ke kornea , pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif .
Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General
Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu pinguicula berbentuk
segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal, secara bilateral. Sedangkan menurut
Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat invasif dan degeneratif.

6
Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal
konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk
sayap pada konjungtiva bulbi.

Gambar 1. Mata dengan pterygium

Diagnosis PAK

1. Diagnosis klinis
A. Anamnesis
o Identitas
Nama : Ny. CT
Usia : 41 tahun
Pekerjaan : Pedagang bakso
Alamat :-
o keluhan utama
Penglihatan mata kanan kabur semenjak 3 bulan
o Riwayat penyakit sekarang
Kadang-kadang mata gatal, silau, terdapat daging tumbuh di mata kurang lebih sejak
3 bulan lalu, warna keputihan dan sampai ke bagian hitam mata, terdapat perasaan
mengganjal dan menghalangi penglihatan. Disebabkan karena mata terpapar debu,
matahari dan angin. Belum ada riwayat pengobatan.
o Riwayat penyakit terdahulu
Belum pernah mengalami keluhan serupa, tidak ada penyakit kronis (DM, hipertensi, dll)

7
o Riwayat penyakit keluarga
-
o Riwayat pribadi dan sosial
Tidak merokok, tidak mengkonsumsi alkohol, lingkungan rumah baik
o Riwayat pekerjaan
Menjadi pedagang mie ayam di dekat rumah sejak 15 tahun yang lalu, bekerja dari pagi
sampai sore, tidak pernah memakai kacamata.

B. Pemeriksaan fisik
o Keadaan umum : compos mentis
o TTV normal
o Status khusus :
 Visus OD 6/9, visus OS 6/6
 Konjungtiva OD berwarna keruh, terdapat lipatan fibrovaskular berbentuk
segitiga, posisi nasal, dari konjungtiva bulbi meluas sampai kornea.
 Kornea OD sebagian tertutup lipatan segitiga
 Sklera tidak ikterik
 Tekanan intraokular normal kedua mata normal
 Palpebra normal kedua mata
 Lensa jernih kedua mata
 Vitreus jernih kedua mata
C. Pemeriksaan penunjang : -

2. Pajanan yang dialami


terdapat pajanan debu, sinar matahari, dan angin di tempat kerja terutama siang dan sore hari.

3. Hubungan pajanan dengan penyakit


Dari data yang didapat, pterigium disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas

4. Pajanan yang dialami cukup besar

Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang

8
sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah
berdebu dan kering.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup
sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA
& UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal
karena debu atau kekeringan).
Pada kasus ini diketahui bahwa jumlah pajanan cukup besar karena pekerjaan pasien setiap
hari dari pagi sampai malam dan tidak berkurang karena pasien tidak menggunakan APD saat
bekerja.

5. Peranan faktor individu


Tidak ada peranan faktor individu dikarenakan pasien tidak memiliki riwayat alergi
dan riwayat penyakit lainnya yang menyebabkan keluhan pada pasien. Tidak
ditemukan pula riwayat penyakit keluarga pada pasien.

6. Faktor lain diluar pekerjaan


Berdasarkan anamnesis, tidak didapatkan penyebab faktor lain diluar pekerjaan.
Pasien tidak merokok, lingkungan disekitar rumah baik, dan tidak ada pekerjaan lain
yang dijalani pasien.

7. Diagnosis okupasi

Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja,
bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja
merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease. Dalam melakukan
pekerjaan apapun, sebenarnya kita berisiko untuk mendapatkan gangguan Kesehatan
atau penyakit yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.Oleh karena itu , penyakit
akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan,alat kerja , bahan ,
proses maupun lingkungan kerja

Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan pekerjaan yang


diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) di Linz, Austria,
dihasilkan definisi menyangkut PAK sebagai berikut:

9
a.        Penyakit Akibat Kerja – Occupational Disease adalah penyakit yang
mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang
pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.

b.        Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan –Work Related Disease adalah


penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pekerjaan
memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya
penyakit yang mempunyai etiologi kompleks.

c.         Penyakit yang Mengenai Populasi Kerja – Disease of Fecting Working


Populations adalah penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen
penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk
bagi kesehatan

Menurut Keputusan Presiden Nomor  22 tahun 1993 tertanggal 27 Februari 1993,


Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja (pasal 1). Keputusan Presiden tersebut melampirkan
Daftar Penyakit yang diantaranya yang berkaitan dengan pulmonologi termasuk
pneumokoniosis dan silikotuberkulosis, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu
logam keras, penyakit paru dan saluran nafas akibat debu kapas, vals, henep dan sisal
(bissinosis), asma akibat kerja, dan alveolitis alergika.

Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa mereka yang menderita


penyakit yang timbul karena hubungan kerja berhak memperoleh jaminan kecelakaan
kerja.

Keputusan Presiden tersebut merujuk kepada Undang-Undang RI No 3 tahun 1992


tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang pasal 1 nya menyatakan bahwa
kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja,
termasuk penyakit yg timbul karena hub kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi
dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang kerumah
melalui jalan yg biasa atau wajar dilalui.

Berikut adalah daftar 31 kelompok Penyakit Akibat kerja (PAK) sebagaimana yang
tercantum pada Lampiran Keputusan Presiden Indonesia Nomor 22 Tahun 1993
Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja:

10
1. Pneumokonisis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut
(silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya
merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan
oleh debu logam keras.
3. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan
oleh debu kapas, vlas, henep, dan sisal (bissinosis).
4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat
perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan.
5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat
penghirupan debu organik.
6. Penyakit yang disebabkan berilium atau persenyawaannya yang beracun.
7. Penyakit yang disebabkan cadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8. Penyakit yang disebabkan fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
12. Penyakit yang disebabkan oleh air raksa atau persenyawaannya yang beracun.
13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun.
14. Penyakit yang disebabkan oleh flour atau persenyawaannya yang beracun.
15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfide.
16. Penyakit yang disebabkan oleh derivate halogen dari persenyawaan
hidrokarbon afiliatik atau aromatic yang beracun.
17. Penyakit yang disebabkan oleh benzene atau homolognya yang beracun.
18. Penyakit yang disebabkan oleh derivate nitro dan amina dari benzene atau
homolognya yang beracun.
19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
20. Penyakit yang disebabkan oleh alcohol, glikol, atau keton.
21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan
seperti karbon monoksida, hirogensianida, hidrogen sulfide, atau derivatnya yang
beracun, amoniak seng, braso, dan nikel.

11
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23. Penyakit yag disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat,
tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi).
24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih.
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dan radiasi mengion.
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi,
atau biologik.
27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen,
minyak mineral, antrasena atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat
dalam suatu pekerjaan yang memiliki resiko kontaminasi khusus
30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau
kelembaban udara tinggi
31. Penyakit yang disebabkan bahan kimia lainnya termasuk obat

Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pterigium yang dialami pasien bukan
merupakan penyakit akibat kerja.

Diagnosis banding3,4

1. Pinguekula

Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan


dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang
terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan
insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang
dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar
ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.

12
Gambar 2. Mata dengan pinguekula

2. Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring
atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang
timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan
pterygium, pseudopterygium merupakan akibat inflamasi permukaan okular
sebelumnya seperti pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah
atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus
kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian
bawah pseudopterigium pada limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan.
Pada pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium
cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium.

Gambar 6. Mata dengan pseudopterigium

13
Manifestasi klinis6

Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris, karena
kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu
dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva
secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian
konjungtiva yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung.

Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan
walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan pterygium dapat sampai
ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan
penglihatan kabur.

Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas
ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga
terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior
dari kepala pterygium (stoker’s line).

Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

- mata sering berair dan tampak merah

- merasa seperti ada benda asing

- timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium

- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan.

Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

14
Epidemiologi4

Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada
lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan
kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet
lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.

Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup


sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA &
UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu
atau kekeringan).

Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun.
Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada
pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 2 kali
daripada perempuan.

Patofisiologi3,5,6

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih sering pada
orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang paling diterima tentang
hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap sinar
ultraviolet dari matahari, daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor
iritan lainnya. Diduga pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi

15
elastis jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga
merupakan hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.

Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi


elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang menutupi epitel. Hal ini
disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu berhubungan dengan dunia luar dan
secara intensif kontak dengan ultraviolet dan debu sehingga sering mengalami kekeringan
yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai
menjalar ke kornea. Selain itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang
disebabkan kelainan tear film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium
pada daerah beriklim kering mendukung teori ini.

Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah


interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber regenarasi epitel
kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal
stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah
berlebihan dan meningkatkan proses kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi
angiogenesis. Akibatnya, terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik
dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus kornea.
Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal, atau tipis dan
kadang terjadi displasia. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan
jaringan konjungtiva pada permukaan kornea.

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,


yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium
menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks ekstraselular yang berfungsi untuk
memperbaiki jaringan yang rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini
menjelaskan penyebab pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea
sehingga terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi


fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan

16
eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

Penatalaksanaan7

 konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.

 bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan.  Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
o indikasi operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus


2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

Pencegahan7

1. Pencegahan pterigium salah satunya dengan menggunakan kacamata setiap hari. Pilihlah

17
kacamata yang memblok 99-100% radiasi ultraviolet A dan B. Kacamata yang menutup
sempurna merupakan proteksi terbaik untuk menghindari mata pasien dari sinar, debu, dan
udara.

2. Untuk menghindari mata yang kering diberi air mata buatan.

3.Pasien dianjurkan untuk tetap menggunakan obat tetes steroid untuk beberapa minggu. Ini
akan mengurangi inflamasi dan mencegah rekurensi

Kesimpulan

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan


invasif. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah
yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang
sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu
atau berpasir. Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Pada
pterigium ringan tidak perlu diobati, namun pada pterigium derajat 3-4 tindakan bedah perlu
dilakukan. Berdasarkan Lampiran Keputusan Presiden Indonesia Nomor 22 Tahun 1993
Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja, pterigium bukan merupakan salah
satu dari kriteria dari penyakit akibat kerja

Daftar pustaka

18
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s oftalmologi umum. ed 17.
Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
3. Ilyas, Sidharta. Ilmu penyakit mata.ed 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.p.2-7,117.
4. Laszuarni. Prevalensi pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis dokter spesialis mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2009.
5. Djojodibroto, R. Darmanto. Kesehatan kerja di perusahaan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2000
6. Lang, Gerhad K. Conjungtiva in : ophtalmology a pocket textbook atlas. New York :
Thieme Stutgart. 2000
7. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical approach to depositions
and degenerations of the conjungtiva, cornea, and sclera in: external disease and
cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366

19

Anda mungkin juga menyukai