Anda di halaman 1dari 4

TRADISI TUMPLEK PUNJEN DI DAERAH BOJONEGORO

LATAR BELAKANG
Tumplek Punjen sebagai salah satu dari keberagaman budaya asli Bangsa Indonesia. Di
beberapa daerah, mungkin ada yang belum mengenal tradisi ini. Tradisi tumplek punjen
termasuk salah satu rangkaian prosesi upacara pernikahan adat Jawa, yang mana dilaksanakan
pada saat orang tua mengadakan pernikahan anaknya yang terakhir. Nama Tumplek Punjen itu
sendiri berasal dari kata tumplek yang berarti tumpah (keluar semua), dan punjen yang artinya
sesuatu yang dipanggul (anak yang menjadi tanggungan orang tua). Kata punjen dapat dimaknai
juga sebagai pundi-pundi, yang menyimbolkan harta benda hasil jerih payah orang tua.
Dalam budaya Jawa, orang tua memiliki tiga kewajiban terhadap anak-anaknya, yaitu
memberi nama yang baik (nama yang berisi harapan dan doa untuk anak-anaknya), mendidik,
dan yang terakhir adalah menikahkan. Ketika orang tua telah menikahkan anaknya yang terakhir,
maka upacara Tumplak Punjen ini dilakukan sebagai tanda bahwa orang tua telah menyelesaikan
seluruh kewajiban mereka kepada anak-anaknya.
PEMBAHASAN
Setiap bangsa dan suku bangsa tentunya memiliki agama sebagai kepercayaan yang
mempengaruhi manusia sebagai individu, juga sebagai pegangan hidup. Di samping agama,
kehidupan manusia juga dipengaruhi oleh kebudayaan.  Kebudayaan menjadi identitas dari
bangsa dan suku bangsa. Suku tersebut memelihara dan melestarikan budaya yang ada.
Kebudayaan juga merupakan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia secara keseluruhan
yang terdiri dari unsur-unsur berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat
istiadat dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan
akan melahirkan sebuah tradisi sehingga akan memunculkan fenomena yang selalu
merealisasikan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan naluri manusia yang tersembunyi, yang
tercermin dalam penghormatan tradisi yang baku dan perasaan individu dengan rasa takut ketika
melanggar apa yang telah dilakukan pendahulu mereka.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, secara garis besar dibedakan menjadi 3 yaitu tradisi yang
berkaitan dengan kelahiran, tradisi yang berkaitan dengan pernikahan dan tradisi yang berkaitan
dengan kematian. Salah satu tradisi yang berkaitan dengan pernikahan yaitu tradisi Tumplek
Punjen. Daerah Bojonegoro, Jawa Timur merupakan salah satu daerah yang masih menjalankan
tradisi ini. Pesta Pernikahan atau dalam istilah jawa disebut “Mantu” memang kental akan
rangkaian upacara yang syarat akan makna. Tumplek punjen dilaksanakan ketika seseorang
menikahkan anaknya yang terakhir. Jadi Tumplek Punjen hanya dilakukan ketika seorang
orangtua memiliki anak lebih dari satu. Pengertian mantu ada yang berpendapat hanya untuk
menikahkan anak wanita saja, tetapi ada juga yang berpendapat menikahkan anak laki - laki juga
disebut "mantu". Tumpek punjen berasal dari dua (2) kata yaitu Tumplek dan punjen.
Tumplek artinya tumpah (keluar semua) karena wadah ditumpahkan. Ditumplak artinya
ditumpahkan, dikeluarkan semua. Sedangkan Punjen artinya dipanggul. Yang dipanggul adalah
tanggung jawab. Yang dimaksud tanggung jawab dalam tradisi ini yaitu tanggung jawab
orangtua terhadap anak. Jadi Tumplek Punjen artinya semua anak yang dipunji (menjadi
tanggung jawab orangtua) telah dimantukan (ditumpak). Secara umum upacara Tumplak Punjen
adalah dengan cara menumpahkan punjen (pundi - pundi) yang berisi peralatan tumplak punjen.
Adapun pelaksanaan prosesi Tumplak Punjen didaerah Bojonegoro dilakukan sehari
setelah akad pernikahan berlangsung. Acara dimulai dengan syukuran atau dalam istilah Jawa
disebut”Bancakan”. Syukuran hanya dihadiri oleh saudara kandung dan dilakukan sebagai wujud
rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugrahkan pasangan kepada
mereka. Adapun ubarampe atau sesaji yang dipersiapkan yaitu tumpeng, ayam panggang, dan
sega bucu yaitu nasi yang berbentuk kerucut. Bucu menjadi simbol dari gunung yang
menerangkan adanya interpretasi terhadap doa manusia yang menuju ke atas (Tuhan), Tumuju
marang pengeran (tertuju kepada Tuhan); Dedonga anteng, meneng, metentheng (berdoa dengan
tenang, diam dan teguh). Berpijak dari hal itu, bucu dalam tradisi tumplek punjen ini
mengandung nilai pendidikan budi pekerti yaitu nilai keagamaan. Hal tersebut ditunjukkan
dengan adanya sikap dan perilaku yang patuh dalam mengikuti ajaran agama yang dianut, salah
satunya wujudnya ialah ajaran untuk sentiasa berdoa kepada Tuhan yang memberi pendamping
hidup. Selanjutnya yaitu sambutan dari anak pertama yang mewakili saudara-saudaranya, yang
ditujukan kepada kedua orang tua. Dalam sambutannya tersebut, sang anak dapat menyampaikan
ungkapan terima kasih atas jasa-jasa orang tua kepada mereka. Setelah itu giliran orang tua yang
memberikan jawaban atas sambutan dari anaknya.
Prosesi dilanjutkan dengan sungkeman, yang dimulai dari anak tertua hingga si bungsu
(sang pengantin) beserta para Mantu / pasangan masing-masing. Kemudian Ibu dari anak-anak
tersebut “nginteri” beras kuning, bunga sritaman, dan juga emas atau yang disebut “udhik-
udhik”  yang di wadahi kedalam kantong- kentong kecil kemudian akan direbutkan oleh para
anak. Prosesi ini menyimbolkan bahwa orang tua memberi modal kepada anak-anaknya untuk
mengarungi hidup yang baru. Modal yang dimaksud bukan hanya berupa harta benda, melainkan
juga modal ilmu, budi pekerti, dan agama. Saat prosesi menyebar udhik-udhik ini, orang tua
harus menyisakannya untuk kemudianditumplak atau ditumpahkan sebagai syarat dari upacara
Tumplak Punjen bagi anak terakhirnya.
Di Bojonegoro, beberapa orang menutup rangkaian prosesi tumlek punjen dengan
“menyapeh” atau memisahkan anak dari sifat ketergantungan terhadap orang tua. Hal ini
dilakukan karena anak setelah menikah harus mandiri dan bisa mengatur rumah tangganya
sendiri. “Menyapeh” dilakukan oleh ibu dengan cara membenturkan kepala anaknya ke dalam
“genuk” atau wadah air yang terbuat dari tanah liat, sembari memberikan wejangan kepada anak-
anaknya. “nyapeh” diawali dari saudara paling tua berurutan hingga anak terakhir.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan prosesi Tumplak Punjen ini memiliki berberapa
perbedaan dari upacara aslinya. Perbedaan ini terjadi sesuai dengan perubahan zaman. Seperti
misalnya, upacara Tumplak Punjen tidak melulu dilaksanakan pada acara pernikahan si bungsu.
Sebab tak jarang terjadi anak bungsu yang menikah lebih dulu daripada kakaknya. Maka,
Tumplak Punjen ini dilaksanakan pada hajatan terakhir yang diadakan oleh orang tua, meskipun
itu bukan pernikahan anak bungsunya. Perbedaan lainnya ada pada salah satu ubo rampe
Tumplak Punjen yang sebelumnya berupa uang receh, baik logam ataupun kertas, pada zaman
sekarang dapat diganti dengan hadiah berupa perhiasan atau barang berharga lainnya. Ada juga
yang hanya memberikan udhik-udhik tersebut sebagai souvenir yang dibagikan kepada para
tamu undangan, bukan dirayah sebagaimana mestinya.
Bagaimanapun wujudnya, baiknya kita ambil saja makna dan tujuan dari prosesi
Tumplak Punjen ini. Selain sebagai wujud syukur orang tua kepada Allah Swt. karena telah
selesainya tugas mereka membesarkan, mendidik, hingga menikahkan anak-anaknya, juga
sebagai tanda cinta kasih orang tua, tanda bakti anak (ditandai dengan sungkeman), teladan
untuk bersedekah kepada sesama, dan harapan serta doa orang tua untuk kebahagiaan anak dan
cucunya.

NILAI-NILAI DALAM TRADISI TUMPLEK PUNJEN


 Nilai-nilai Afektif Masyarakat Jawa dalam Tradisi Tumplek Punjen
Tasyakur (puji syukur) kepada Allah SWT, karena telah menuntaskan tanggung jawab
untuk menikahkan putrinya.
a. Memberitahukan kepada kerabat bahwa tugas untuk menikahkan putrinya telah
selesai.
b. Memberitahu kepada anak bahwa tugas orangtua telah selesai.
c. Tanda cinta kasih orangtua kepada anak.
d. Tanda bakti anak kepada orangtua (ditandai dengan sungkeman).
e. Teladan agar suka bersedekah kepada sesama.
f. Harapan dan doa orangtua untuk kebahagiaan anak cucu.
 Nilai-nilai kognitif akademis Masyarakat Jawa dalam Tradisi Tumplek Punjen.
Masyarakat Jawa mempunyai nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam
tradisi satunya tradisi Tumplek punjen. Nilai-nilai tersebut termanifestasi dalam
perlengkapan dan prosesi tradisi tumplek punjen.
Berikut nilai-nilai pendidikan budi pekerti.
o Nilai Keagamaan
Bucu merupakan nasi yang berbentuk kerucut, bucu menjadi simbol dari gunung
yang menerangkan adanya interpretasi terhadap doa manusia yang menuju ke atas
(Tuhan), Tumuju marang pengeran (tertuju kepada Tuhan); Dedonga anteng,
meneng, metentheng (berdoa dengan tenang, diam dan teguh). Berpijak dari hal
itu, bucu dalam tradisi ini mengandung nilai pendidikan budi pekerti yaitu nilai
keagamaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sikap dan perilaku yang
patuh dalam mengikuti ajaran agama yang dianut, salah satunya wujudnya ialah
ajaran untuk sentiasa berdoa kepada Tuhan agar diberikan pernikahan yang
langgeng, sakinah, mawadah dan warahmah.
o Nilai Kemandirian
Nilai kemandiiran tergambar pada prosesi” sapeh” atau memisahkan anak dari
sifat ketergantungan terhadap orang tua. Hal ini mengandung nilai kemandirian
anak setelah menikah harus mandiri dan bisa mengatur rumah tangganya sendiri.
o Nilai Bertanggung jawab
Yang dimaksud tanggung jawab dalam tradisi ini yaitu tanggung jawab orangtua
terhadap anak.  Tumplek Punjen artinya semua anak yang dipunji (menjadi
tanggung jawab orangtua) telah dimantukan (ditumpak). Secara umum upacara
Tumplak Punjen adalah dengan cara menumpahkan punjen (pundi - pundi) yang
berisi peralatan tumplak punjen. Dalam budaya Jawa, orang tua memiliki tiga
kewajiban terhadap anak-anaknya, yaitu memberi nama yang baik (nama yang
berisi harapan dan doa untuk anak-anaknya), mendidik, dan yang terakhir adalah
menikahkan. Ketika orang tua telah menikahkan anaknya yang terakhir, maka
upacara Tumplak Punjen ini dilakukan sebagai tanda bahwa orang tua telah
menyelesaikan seluruh tanggung jawab dan kewajiban mereka kepada anak-
anaknya.
Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai