Anda di halaman 1dari 8

" Penghapusan UN banyak sisi positifnya, hak guru untuk menguji siswanya

diambil oleh pusat melalui bingkai UN. Kalau UN dihapuskan semuanya


dikembalikan ke guru," jelas Yusuf. Baca juga: 4 Gebrakan Merdeka Belajar
Mendikbud Nadiem, Termasuk Penghapusan UN! Dia menambahkan, jika UN
dihapus, pemerintah tinggal memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
guru di seluruh Indonesia. "Tinggal bagaimana bagaimana meningkatkan kualitas
guru, SDM guru harus merata di desa dan di kota. Jangan cuma di kota aja yang
maju SDM nya, di desa justru guru tidak diperhatikan," ungkap Yusuf. Yusuf
menilai sistem UN hanya bersifat akademis. Mengikuti UN, siswa lebih banyak
terbebani. "Pengganti UN harus menggunakan sistem yang lebih menguntungkan
siswa dan guru. Guru kan lebih mengenal karakter masing-masing murid, jadi
lebih mudah menilainya," katanya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Penghapusan UN Jadi Ajang


Pengembalian Hak Guru dan
Siswa", https://regional.kompas.com/read/2019/12/12/11315231/penghapusan-
un-jadi-ajang-pengembalian-hak-guru-dan-siswa. 
Penulis : Kontributor Banjarmasin, Andi Muhammad Haswar
Editor : Dony Aprian

Hal kedua yang dibicarakan dalam rapat koordinasi tersebut adalah masalah Ujian
Nasional (UN). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menilai
ada tiga permasalahan terkait Ujian Nasional yaitu : 
1). Materi UN terlalu padat sehingga peserta didik dan guru cenderung menguji
penguasaan konten, bukan kompetensi penalaran. 

2). Ujian Nasional (UN) menjadi beban bagi peserta didik, guru, dan orang tua
karena menjadi indikator keberhasilan peserta didik sebagai individu. Padahal
Ujian Nasioana (UN) seharusnya berfungsi sebagai pemetaan mutu sistem
pendidikan nasional, bukan penilaian peserta didik. 

3). Ujian Nasional (UN) hanya menilai aspek kognitif (pengetahuan) dari hasil
belajar, belum menyentuh karakter peserta didik secara menyeluruh. 

Berdasarkan tiga hal ini, maka pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran
2019/2020 yang rencananya berdasakan POS UN akan dilaksanakan pada 16-19
Maret 2020 untuk SMK dan 30 Maret- 2 April 2020 bagi SMA/MA merupakan
pelaksanaan Ujian Nasional yang terakhir kalinya. 

Dengan kata lain UN dihapus untuk Tahun Pelajaran 2020/2021. Sebagai gantinya


berupa Penilaian Kompetensi Minimum (PKM) dan Survei Karakter. Penilaian
Kompetensi Minimum yang dimaksud berupa Penilaian Literasi (kemampuan
bernalar tentang menganalisis suatu bacaan serta kemampuan memahami
konsep di balik tulisan) dan Penilaian Numerasi (kemampuan menganalisis
dengan menggunakan angka-angka). Sedangkan Survei Karakter mengacu pada
kompetensi sikap sosial dan nilai-nilai Pancasila.

Namun tingkat kesiapan sekolah dan pengajar masih beragam menyikapi


kemerdekaan yang ditawarkan satu-satunya menteri milenial di kabinet Indonesia
Maju ini.
Belum genap tiga bulan sejak didapuk menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim melakukan terobosan signifikan pada
dunia pendidikan nasional dengan secara resmi menghapus ujian nasional.

Dalam Rapat Koordinasi Mendikbud dengan Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia


di Jakarta, Rabu (11/12/2019), Nadiem Makarim menegaskan tahun 2020
merupakan terakhir kali diselenggarakan Ujian Nasional dengan format yang
selama ini berlaku.

Mulai tahun 2021 ujian nasional diganti dengan mekanisme penilaian kompetensi
minimum dan survei karakter.

Nadiem menjelaskan, penilaian kompetensi minimum tidak lagi didasarkan pada


mata pelajaran lagi tapi disederhanakan menjadi dua hal yakni literasi dan
numerasi.

"Literasi yang dimaksud itu bukan hanya kemampuan membaca ya, Bapak dan
Ibu. Melainkan kemampuan menganalisa sesuatu bacaan, kemampuan mengerti
atau memahami konsep di balik tulisan itu."

"Itu yang penting! dan numerasi yang merupakan kemampuan menganalisis


angka-angka." tegas Nadiem.

Berbeda dengan mekanisme UN selama ini yang sentralistik alias disediakan oleh
negara, pelaksanaan penilaian pengganti UN ini diserahkan sepenuhnya kepada
sekolah.

"Di UU pendidikan kita jelas disebutkan evaluasi penilaian siswa dilakukan oleh
guru dan asesmen untuk kelulusan ditentukan oleh sekolah."
"Jadi hal-hal seperti soal ujian yang tadinya datang dari Kemendikbud atau Pusat
itu sudah tidak ada paksaan lagi." kata Mendikbud di Jakarta.

"Jadi sekolah seperti banyak sekolah saat ini punya sistem penilaian sendiri yang
lebih holistik gak hanya pilihan ganda saja, bisa lewat esay, projek, hasil karya."

" Bayangkan berapa banyak inovasi yang bisa dilakukan sekolah dan guru
penggerak."

"Jadi semangatnya adalah mengembalikan esensi UU kita untuk memberi


kemerdekaan sekolah dalam menginterperetasikan kompetensi dasar kurikulum
menjadi penilaian mereka sendiri yang lebih cocok untuk murid mereka, untuk
daerah mereka dan untuk kebutuhan pembelajaran mereka." kambahnya.

Kesiapan beragam

Tawaran konsep pendidikan yang lebih memerdekakan sekolah dan guru ini
ditanggapi beragam.

Guru sekaligus Wakil Kepala Sekolah SMPN 30 Jakarta Utara, Irwan Mainur
misalnya mengaku sebagai pengajar dirinya telah terbiasa dengan kebijakan
pendidikan yang sering sekali bergonta ganti.

Namun menurutnya pihak guru dan sekolah perlu lebih disiapkan agar bisa
menerapkan konsep Pendidikan Belajar Merdeka yang dicanangkan Mendikbud
Nadiem Makarim ini secara benar.

"Walau perubahan itu katanya meringankan dan memerdekakan guru dalam


mengajar, namun pada prakteknya akan sangat merepotkan karena guru dituntut
untuk berkreasi tapi di sisi lain ada banyak tugas administrasi yang harus
dikerjakan dan gak ada habis-habis." Ungkapnya.

"Sekolah juga harus membuat penilaian sendiri, membuat soal itu bukan perkara
mudah. Itu gak boleh sembarangan, gak boleh sekedar bikin soal, tapi harus ada
sisi psikologi, guru harus kreatif mencari cara yang bisa menggelitik nalar siswa."

"Khawatirnya nanti kalau guru tidak siap, jadi ya tinggal cari-cari soal aja untuk
penilaian dan jatuhnya cuma jadi formalitas. Dampak negatifnya bisa membuka
peluang permainan jual beli soal lagi." katanya lagi.

Untuk mengantisipasi hal ini, guru Bahasa Inggris ini menilai kapasitas dan
wawasan guru perlu ditingkatkan.

"Guru perlu diberi kesempatan untuk meningkatkan potensinya melalui pelatihan


di Lembaga professional. Diberi kesempatan untuk mencari referensi variasi
metode belajar dan materi pembelajaran yang kreatif dari Lembaga pendidikan
lain baik di dalam maupun luar negeri." tambahnya.

Sementara pendidik yang lain mengaku gembira dengan kebijakan pendidikan


yang baru dirilis Mendikbud baru ini.

Yuli Pinasti, founder Sekolah Alam Kampung Sawah di Depok, Jawa Barat
menyebut ujian nasional memang tepat dihapuskan.

"Menurut saya ini kebijakan yang sangat tepat. Ujian Nasional yang
diselenggarakan selama ini hanya mengukur kemampuan akademis saja,
sementara kemampuan yang lain tidak di hargai."
"Padahal setiap anak memiliki potensi unik masing-masing." tutur Yuli Pinasti
kepada ABC.

"Dan jika mengacu ke UU No. 2 thn 2003 pasal 3, fungsi pendidikan itu kan agar
setiap orang itu mampu mengembangkan potensi uniknya, bukan diseragamkan
untuk menjadi sama semua yang tercermin di sistem UN selama ini." tambahnya.

Yuli Pinasti mengaku konsep pembelajaran di sekolahnya sudah mengadopsi


kebijakan baru ini Mendikbud Nadiem Makarim.

"Dengan format penilaian baru ini menurut saya sekolah harus open minded,
harus berani move on untuk mengubah kurikulum old-nya menjadi kurikulum
kekinian. Sekolah harus berani mengambil langkah dan harus mau bekerja sama
dengan orangtua dalam melakukan observasi minat anak agar valid hasil
observasinya." Katanya.

Sadar dengan beragamnya tingkat kesiapan ini, Nadiem Makarim menyatakan


metode pengganti UN ini sebagai opsi. Sekolah yang merasa belum mampu
melaksanakannya berhak untuk tetap melaksanakan penilaian dengan metode
UN yang lama.

"Ini sepenuhnya hak sekolah, kalau belum siap berhak pakai sistem UN lama, tapi
bagi sekolah yang sudah siap, kesempatan ini jangan disia-siakan." tegas Menteri
berusia 35 tahun ini.

Selain menghapus UN, kebijakan Belajar Merdeka Mendikbud Nadiem Makarim


juga mencakup aturan baru seputar sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta
Didik Baru dan pedoman penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
oleh guru dan sekolah.
Nasional resmi dihapuskan oleh Mendikbud Nadiem Makarim dan diganti dengan
Penilaian Kompetensi Minimum dan Survey Karakter.

Antara

Sejak pertama kali diluncurkan tahun 2003 lalu, Ujian Nasional (UN) yang
digunakan sebagai metode untuk menentukan syarat kelulusan siswa di tingkat
SD, SMP dan SMA ini telah lama menuai pro dan kontra.

Selain dinilai salah sasaran, UN juga dipandang sebagai mekanisme yang sangat
membebani siswa dan anggaran. Tahun 2019 ini saja, pelaksanaan ujian nasional
menyedot anggaran hingga Rp210 Miliar. Sementara menurut pengamat
pendidikan, Budi Trikorayanto pelaksanaan UN selama ini tidak berguna.

"Padahal UN saat ini tidak berguna, pemborosan juga. Untuk penerimaan di PT


(Perguruan Tinggi) tidak dipakai (SNMPTN pakai rapor, SBMPTN pakai tes sendiri)
yang dilihat SKHUN (surat Keterangan Hasil Ujian Nasional)," sambungnya.

Apresiasi atas penghapusan UN ini juga disampaikan Ikatan Guru Indonesia (IGI)
yang dalam rilisnya menyatakan Ujian Nasional (UN) tepat dihapuskan.

Mereka mengatakan mekanisme UN selama ini menghambat anak-anak di


Indonesia mengembangkan kemampuan daya nalar mereka dan juga tidak
mendorong anak didik mengembangkan minat dan bakatnya.

Sebaliknya orientasi belajar mereka hanya pada kelulusan.

"Tetapi yang mereka lakukan adalah melakukan segala macam cara untuk
mendapatkan nilai tinggi di ujian nasional. Sehingga UN turut berpartisipasi
terhadap semakin menurunnya kemampuan anak-anak. Jadi UN tidak membuat
pendidikan kita lebih baik, karena orang-orang pada belajar hanya untuk
bagaimana lulus ujian," kata Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim dalam
keterangan tertulisnya.

Sementara itu sejumlah pelajar menyambut gembira dihapuskannya Ujian


Nasional.

"Wah seneng banget, soalnya UN itu kalo untuk SMA sebenarnya kan gak
berpengaruh banget buat ke universitas."

"Tapi biasanya tetap dijadikan tolok ukur orang pinter apa gak, saya gak terlalu
setuju dengan itu, soalnya minat orang kan beda-beda harusnya tidak disama
ratakan," kata Prameswari, 15 tahun, siswi kelas 11 SMA 3 Jakarta.

"Harusnya emang dihapus aja, biar gak terlalu banyak ujian, soalnya di kelas 12
kita dipush macam-macam ujian, sebelum UTBK, ada ujian praktek, uas, belum
lagi ntar ujian cari sekolah lagi. Pusing dan stress banget," kata Aulia Damayanti,
16 tahun, siswi SMA di Jakarta lainnya.

Dengan dihapuskannya ujian nasional, sistem pendidikan di Indonesia mengikuti


sejumlah negara lain yang juga telah meniadakan ujian akhir seperti Singapura,
Jepang, Jerman, Finlandia dan juga Australia.

Anda mungkin juga menyukai