Hal kedua yang dibicarakan dalam rapat koordinasi tersebut adalah masalah Ujian
Nasional (UN). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menilai
ada tiga permasalahan terkait Ujian Nasional yaitu :
1). Materi UN terlalu padat sehingga peserta didik dan guru cenderung menguji
penguasaan konten, bukan kompetensi penalaran.
2). Ujian Nasional (UN) menjadi beban bagi peserta didik, guru, dan orang tua
karena menjadi indikator keberhasilan peserta didik sebagai individu. Padahal
Ujian Nasioana (UN) seharusnya berfungsi sebagai pemetaan mutu sistem
pendidikan nasional, bukan penilaian peserta didik.
3). Ujian Nasional (UN) hanya menilai aspek kognitif (pengetahuan) dari hasil
belajar, belum menyentuh karakter peserta didik secara menyeluruh.
Berdasarkan tiga hal ini, maka pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Tahun Pelajaran
2019/2020 yang rencananya berdasakan POS UN akan dilaksanakan pada 16-19
Maret 2020 untuk SMK dan 30 Maret- 2 April 2020 bagi SMA/MA merupakan
pelaksanaan Ujian Nasional yang terakhir kalinya.
Mulai tahun 2021 ujian nasional diganti dengan mekanisme penilaian kompetensi
minimum dan survei karakter.
"Literasi yang dimaksud itu bukan hanya kemampuan membaca ya, Bapak dan
Ibu. Melainkan kemampuan menganalisa sesuatu bacaan, kemampuan mengerti
atau memahami konsep di balik tulisan itu."
Berbeda dengan mekanisme UN selama ini yang sentralistik alias disediakan oleh
negara, pelaksanaan penilaian pengganti UN ini diserahkan sepenuhnya kepada
sekolah.
"Di UU pendidikan kita jelas disebutkan evaluasi penilaian siswa dilakukan oleh
guru dan asesmen untuk kelulusan ditentukan oleh sekolah."
"Jadi hal-hal seperti soal ujian yang tadinya datang dari Kemendikbud atau Pusat
itu sudah tidak ada paksaan lagi." kata Mendikbud di Jakarta.
"Jadi sekolah seperti banyak sekolah saat ini punya sistem penilaian sendiri yang
lebih holistik gak hanya pilihan ganda saja, bisa lewat esay, projek, hasil karya."
" Bayangkan berapa banyak inovasi yang bisa dilakukan sekolah dan guru
penggerak."
Kesiapan beragam
Tawaran konsep pendidikan yang lebih memerdekakan sekolah dan guru ini
ditanggapi beragam.
Guru sekaligus Wakil Kepala Sekolah SMPN 30 Jakarta Utara, Irwan Mainur
misalnya mengaku sebagai pengajar dirinya telah terbiasa dengan kebijakan
pendidikan yang sering sekali bergonta ganti.
Namun menurutnya pihak guru dan sekolah perlu lebih disiapkan agar bisa
menerapkan konsep Pendidikan Belajar Merdeka yang dicanangkan Mendikbud
Nadiem Makarim ini secara benar.
"Sekolah juga harus membuat penilaian sendiri, membuat soal itu bukan perkara
mudah. Itu gak boleh sembarangan, gak boleh sekedar bikin soal, tapi harus ada
sisi psikologi, guru harus kreatif mencari cara yang bisa menggelitik nalar siswa."
"Khawatirnya nanti kalau guru tidak siap, jadi ya tinggal cari-cari soal aja untuk
penilaian dan jatuhnya cuma jadi formalitas. Dampak negatifnya bisa membuka
peluang permainan jual beli soal lagi." katanya lagi.
Untuk mengantisipasi hal ini, guru Bahasa Inggris ini menilai kapasitas dan
wawasan guru perlu ditingkatkan.
Yuli Pinasti, founder Sekolah Alam Kampung Sawah di Depok, Jawa Barat
menyebut ujian nasional memang tepat dihapuskan.
"Menurut saya ini kebijakan yang sangat tepat. Ujian Nasional yang
diselenggarakan selama ini hanya mengukur kemampuan akademis saja,
sementara kemampuan yang lain tidak di hargai."
"Padahal setiap anak memiliki potensi unik masing-masing." tutur Yuli Pinasti
kepada ABC.
"Dan jika mengacu ke UU No. 2 thn 2003 pasal 3, fungsi pendidikan itu kan agar
setiap orang itu mampu mengembangkan potensi uniknya, bukan diseragamkan
untuk menjadi sama semua yang tercermin di sistem UN selama ini." tambahnya.
"Dengan format penilaian baru ini menurut saya sekolah harus open minded,
harus berani move on untuk mengubah kurikulum old-nya menjadi kurikulum
kekinian. Sekolah harus berani mengambil langkah dan harus mau bekerja sama
dengan orangtua dalam melakukan observasi minat anak agar valid hasil
observasinya." Katanya.
"Ini sepenuhnya hak sekolah, kalau belum siap berhak pakai sistem UN lama, tapi
bagi sekolah yang sudah siap, kesempatan ini jangan disia-siakan." tegas Menteri
berusia 35 tahun ini.
Antara
Sejak pertama kali diluncurkan tahun 2003 lalu, Ujian Nasional (UN) yang
digunakan sebagai metode untuk menentukan syarat kelulusan siswa di tingkat
SD, SMP dan SMA ini telah lama menuai pro dan kontra.
Selain dinilai salah sasaran, UN juga dipandang sebagai mekanisme yang sangat
membebani siswa dan anggaran. Tahun 2019 ini saja, pelaksanaan ujian nasional
menyedot anggaran hingga Rp210 Miliar. Sementara menurut pengamat
pendidikan, Budi Trikorayanto pelaksanaan UN selama ini tidak berguna.
Apresiasi atas penghapusan UN ini juga disampaikan Ikatan Guru Indonesia (IGI)
yang dalam rilisnya menyatakan Ujian Nasional (UN) tepat dihapuskan.
"Tetapi yang mereka lakukan adalah melakukan segala macam cara untuk
mendapatkan nilai tinggi di ujian nasional. Sehingga UN turut berpartisipasi
terhadap semakin menurunnya kemampuan anak-anak. Jadi UN tidak membuat
pendidikan kita lebih baik, karena orang-orang pada belajar hanya untuk
bagaimana lulus ujian," kata Ketua Umum IGI Muhammad Ramli Rahim dalam
keterangan tertulisnya.
"Wah seneng banget, soalnya UN itu kalo untuk SMA sebenarnya kan gak
berpengaruh banget buat ke universitas."
"Tapi biasanya tetap dijadikan tolok ukur orang pinter apa gak, saya gak terlalu
setuju dengan itu, soalnya minat orang kan beda-beda harusnya tidak disama
ratakan," kata Prameswari, 15 tahun, siswi kelas 11 SMA 3 Jakarta.
"Harusnya emang dihapus aja, biar gak terlalu banyak ujian, soalnya di kelas 12
kita dipush macam-macam ujian, sebelum UTBK, ada ujian praktek, uas, belum
lagi ntar ujian cari sekolah lagi. Pusing dan stress banget," kata Aulia Damayanti,
16 tahun, siswi SMA di Jakarta lainnya.