Anda di halaman 1dari 6

B.

GENERALISASI

Generalisasi adalah pekerjaan penyimpulan dari yang khusus kepada yang umum. Generalisasi yang
tersedia dapat menjadi dasar penelitian bila sifatnya sederhana, sudah di buktikan oleh peneliti
sebelumnya, dan merupakan accepted history atau sejarah yang sudah diterima umum. Generalisasi
itu dapat dipakai sebagai hipotesis deskriptif, yaitu sebagai dugaan sementara. Biasanya, ia hanya
berupa generalisasi konseptual. Meskipun demikian, pemakaian generalisasi yang bagaimanapun
sederhananya harus dibatasi supaya se jarah tetap empiris.

Generalisasi sejarah yang sebenarnya merupakan hasil penelitian. Misalnya, kata “pemberontakan”
yang merupa kan penyimpulan dari data yang dapat menjadi dasar pene litian, sementara kata
“pemberontakan petani” merupakan kesimpulan didapatkan sebagai hasil penelitian. Akan tetapi,
sejarah adalah ilmu yang menekankan keunikan, jadi semua penelitian tidak boleh hanya didasarkan
pada asumsi umum. Generalisasi atau kesimpulan umum memang sangat perlu dalam sejarah, sebab
sejarah adalah ilmu. Tujuan generalisasi adalah saintifikasi dan simplifikasi.

1. Saintifikasi.

Semua ilmu menarik kesimpulan umum. Kesahajaan menjadi tumpuan dalam generalisasi. Kalau kita
ingin memberi warna pada suatu tembok, kita perlu tahu bah wa kita memerlukan berapa kaleng
cat. Perhitungan luas tembok dan membutuhkan berapa kaleng cat untuk tiap meternya. Kita akan
dapat memperkirakan dengan penuh kepastian berapa kaleng cat yang diperlukan. Perkiraan
demikian dalam ilmu sosial, termasuk sejarah yaitu tidak dengan penuh kepastian, sebaliknya hanya
berupa kemungkinan.

Generalisasi sejarah sering digunakan untuk meng uji teori yang lebih luas. Teori di tingkat makro
sering kali berbeda dengan generalisasi sejarah di tingkat mi kro. Misalnya, “semua bangsa ingin
merdeka dari be lenggu penjajahan dan untuk kemerdekaan itu semua bangsa akan melakukan
segala bentuk perlawanan un tuk mendapatkan kemerdekaan.” Pernyataan ini meru pakan sebuah
generalisasi, karena terdapat kasus suatu negara, sebut saja Brunei Darussalam yang justru me
minta tenggat waktu untuk mempersiapkan diri pada hal Inggris sudah lebih awal melepaskan
cengkeraman penjajahannya. Dalam hal ini, mungkin Brunei hanya sebuah pengecualian. Pertanyaan
kita ialah jika sesuatu generalisasi tidak berhasil menghadapi ujian sejarah dan banyak
pengecualiannya, timbul persoalan apakah itu masih absah disebut sebagai generalisasi? Demikian
juga halnya dengan revolusi Indonesia.

2. Simplifikasi.

Simplifikasi ialah upaya penyederhanaan. Orang akan terheran-heran mengenang gerakan rakyat
yang bera mai-ramai menurunkan para pejabat dalam Peristiwa Tiga Daerah di Pekalongan, Tegal,
dan Brebes. Seorang sejarawan dari Australia, Anton E. Lucas, telah me nyederhanakan peristiwa itu
dengan menyebutnya "the bamboo spear pierces the payung" atau bambu runcing menembus
payung (Surjomihardjo, 1981: 52-61). Bambu runcing menyimbolkan gerakan rakyat, pa yung
menggambarkan aparat pemerintahan yang seha rusnya mampu memayungi atau mengayomi
rakyatnya. Simplifikasi diperlukan supaya sejarawan dapat melakukan analisis. Penyederhanaan
yang ditentukan melalui pembacaan itu akan membimbing (menuntun) sejarawan dalam mencari
data, melakukan kritik sum ber, interpretasi, dan penulisan. Memang tersedia me tode penelitian
sosial yang menganjurkan supaya orang datang ke lapangan dengan kepala kosong. Anjuran itu
paling tepat bagi sejarawan. Akan tetapi, cepat atau lam bat, orang harus melakukan
penyederhanaan supaya ia dapat merumuskan sesuatu. Macam-macam Generalisasi Generalisasi
Konseptual Disebut dengan generalisasi konseptual, karena berupa konsep yang menggambarkan
fakta. Ketika orang mengata kan "revolusi" dan bukan yang lainnya, seperti "pemogokan". atau
"reformasi", maka yang tergambar yaitu darah, per tempuran, orang yang diadili massa,
pembelotan, dan per gantian pemimpin. Orang dapat memakai istilah "revolusi sosial", "revolusi
damai", "revolusi petani", dan sebagainya. Semua itu mempunyai denotasi dan konotasinya sendiri.
Pemaknaannya sangatlah bias, sehingga sejarawan kerap mengalami perbedaan dalam merumuskan
tipologi suatu

peristiwa. Konsep-konsep itu tidak harus diambil dari ilmu lain, sejarah juga memiliki hak untuk
membuat konsep sendiri. Konsep "renaissance", misalnya, merupakan konsep yang dibuat oleh
sejarawan untuk memberi simbol kepada zaman kebangkitan kembali nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarawan da pat memberi nama suatu bentuk negara dengan "monarki absolut", "monarki
konstitusional", dan sebagainya. De mikian juga "pejuang" atau "pemberontak". Dalam kasus
pendudukan kolonial Belanda atas Indonesia misalnya, se jarawan Indonesia akan menyebut sebagai
"agresi Belanda" dan Belanda akan menyebutnya "aksi polisionil" untuk men gatakan peristiwa yang
sama.

Generalisasi Personal

Dalam tinjauan logika, terdapat cara berpikir yang me nyamakan bagian dengan keseluruhan
Generalisasi perso nal juga berpikir seperti itu. Misalnya, kita berpikir seolah olah Pan Islamisme
identik dengan Jamaluddin al-Afghani, pembaruan Islam di Mesir dengan Muhammad Abduh.
Svadeshi di India dengan Mahatma Gandhi, kemerdekaan Indonesia dengan Sukarno-Hatta, dan
Orde Baru dengan Presiden Soeharto. Tentu saja itu tidak terlalu salah. Hanya saja itu berarti kita
meniadakan peranan orang-orang lain

Sarikat Islam selalu diidentikkan dengan Samanhudi dan Tjokroaminoto. Dalam ilmu sejarah, suatu
hal yang mengidentikkan dengan pahlawan disebut dengan teori pah lawan atau hero worship.
Untuk mengurangi pemujaan pada pahlawan, dalam ilmu sejarah dikenal istilah kekuatan sosial atau
social force yang menjelaskan bahwa setiap perubahan sejarah disebabkan oleh perubahan sosial.
Terkait dengan kemunculan Sarikat Islam di panggung nasional, terdapat suatu fenomena perubahan
sosial yang mendahuluinya, yak ni yang terjadi pada awal abad ke-20 yaitu kebangkitan kelas
menengah pribumi. Sementara itu, gerakan kemajuan di kalangan pribumi yang terjadi di mana-
mana pada awal abad ke-20 yang men dahului Budi Utomo dan Sarikat Islam dapat dilimpahkan
dalam kebangkitan kaum terpelajar. Kita juga melihat, be tapa gambaran tentang Revolusi Iran
sangat dilekatkan pada kiprah Imam Khomeini. Padahal, asas revolusi sosial itu di latarbelakangi oleh
hujan protes para pedagang kecil mene ngah di pasar yang menentang Revolusi Putih Syah Iran.
Generalisasi Tematik Biasanya, dalam beberapa kasus ditemukan, judul buku tidak berlainan dengan
tema buku. Buku Mahatma Gan dhi (1869-1948) An Autobiography menceritakan, seperti temanya,
yaitu perjuangan Gandhi untuk menyatakan ke benaran. Buku ini berisi kisah hidup Gandhi baik
membin cang keluarga, sekolah, perjuangannya bersama para buruh India di Afrika, dan upayanya
dalam menyuluh pembaruan melawan kolonialisme di India. Buku ini kemudian menjadi sumber
inspirasi lahirnya buku bertemakan sejarah kejiwaan (psycohistory) oleh Erik Erikson yang
menganalisis asal usul kejiwaan Gandhi. dicermati kisah hidupnya, betapa akrabnya Soeharto de
ngan para petani yang juga mayoritas penduduk desa. Jika kita mengikuti kunjungan beliau ke
beberapa daerah dan ia melakukan suatu dialog partisipatif dengan petani, timbul kesan betapa
beliau sangat memahami masalah pertanian. Scolah-olah judul biografi itu membuat kesimpulan
umum tentang psikologi Pak Harto

Generalisasi Spasial

Kita sering membuat generalisasi tentang tempat. Pikir an sehari-hari membuktikan hal itu. Orang
luar kota selalu membayangkan bahwa setiap hari orang Yogya makan tempe bacem Demikian pula
untuk mengklasifikasi beberapa ne gara, seperti Korea Selatan, Jepang, dan China kita menye butnya
dengan Timur Jauh atau Asia Timur Adapun untuk sebagian besar negara Arab, Turki, dan Iran kita
menyebut nya Asia Barat Asia Selatan untuk India, Pakistan dan Bang ladesh, dan Asia Tenggara
untuk negara-negara ASEAN.

Ketika Sultan Agung menaklukkan daerah-daerah di sebelah timur, kita menyebutnya Kota Pantai
Untuk me nenteramkan penduduk kota pantai yang beragama Islam itu Sultan Agung mengubah
kalender dari tahun matahari men jadi tahun bulan. Mereka yang tidak setuju dengan kebijakan
Sultan Agung menyingkir ke pesisir barat, daerah yang aman dari kekuasaan Mataram.

Begitu juga kita menyebut daerah sebelah timur Indo nesia yang meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara
Timur, Kepu lauan Maluku, dan Papua sebagai wilayah Indonesia Timur

Generalisasi Periodik

Apabila membuat periodisasi, kita akan sampai pada perumusan kesimpulan umum mengenai
sebuah periode .Demikian juga buku yang ditulis oleh O.G. Roeder me ngenai Presiden Soeharto,
yang berjudul Anak Desa, yang melukiskan bahwa pada hakikatnya Presiden Soeharto itu ialah sosok
manusia yang tak lebih hanyalah seorang anak desa. Biografi ini ternyata tidak jauh dari kenyataan.
Jika dicermati kisah hidupnya, betapa akrabnya Soeharto de ngan para petani yang juga mayoritas
penduduk desa. Jika kita mengikuti kunjungan beliau ke beberapa daerah dan ia melakukan suatu
dialog partisipatif dengan petani, timbul kesan betapa beliau sangat memahami masalah pertanian.
Scolah-olah judul biografi itu membuat kesimpulan umum tentang psikologi Pak Harto Generalisasi
Spasial Kita sering membuat generalisasi tentang tempat. Pikir an sehari-hari membuktikan hal itu.
Orang luar kota selalu membayangkan bahwa setiap hari orang Yogya makan tempe bacem
Demikian pula untuk mengklasifikasi beberapa ne gara, seperti Korea Selatan, Jepang, dan China kita
menye butnya dengan Timur Jauh atau Asia Timur Adapun untuk sebagian besar negara Arab, Turki,
dan Iran kita menyebut nya Asia Barat Asia Selatan untuk India, Pakistan dan Bang ladesh, dan Asia
Tenggara untuk negara-negara ASEAN. Ketika Sultan Agung menaklukkan daerah-daerah di sebelah
timur, kita menyebutnya Kota Pantai Untuk me nenteramkan penduduk kota pantai yang beragama
Islam itu Sultan Agung mengubah kalender dari tahun matahari men jadi tahun bulan. Mereka yang
tidak setuju dengan kebijakan Sultan Agung menyingkir ke pesisir barat, daerah yang aman dari
kekuasaan Mataram. Begitu juga kita menyebut daerah sebelah timur Indo nesia yang meliputi
Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Kepu lauan Maluku, dan Papua sebagai wilayah Indonesia Timur
Generalisasi Periodik Apabila membuat periodisasi, kita akan sampai pada perumusan kesimpulan
umum mengenai sebuah periode. Zaman Pertengahan di Eropa dikenal sebagai The Age of Believe
karena pada zaman itu hampir dalam segala aspek kehidupan, orang cenderung merujuk Kitab Suci
daripada bersandarkan pada pikiran. Penyebutan sebuah periode ten tu saja tergantung pada sudut
pandang orang dan berkaitan pula dengan jenis sejarah yang ditulis. Periodisasi masa yang
dirumuskan kelompok liberal tentu berbeda dengan kelom pok Marxis. Demikian juga periodisasi
sejarah politik dapat berbeda dengan periodisasi sejarah sosial. Kita menyebut zaman sebelum Orde
Baru sebagai Orde Lama dan zaman sesudah Orde Baru sebagai Zaman Reformasi. Generalisasi
periodik dilakukan untuk menyederhanakan penyebutan ter hadap kurun waktu tertentu.

Generalisasi Kausal

Sering kali dalam meneliti suatu objek telaah sejarah, kita perlu membuat generalisasi tentang
sebab-sebab ber kesinambungan, perkembangan, pengulangan, dan perubah an sejarah. Pada
tingkat individual, kita juga sering membuat kesimpulan umum tentang sebab-sebab seseorang
berubah. Banyak faktor yang sering kita anggap sebagai penyebab ter jadinya sebuah peristiwa
sejarah, seperti masalah moral, eko nomi, keluarga, desa, satuan di atas desa, negara, masyara kat,
budaya, dan bahkan sejarah itu sendiri.

Generalisasi Determinisme

Bila orang memastikan hanya satu saja yang menyebabkan sesuatu terjadi, maka itu disebut
determinisme. Determinisme bersifat filosofis. Determinisme terbagi dua, yaitu idealisme dan
materialisme. Pada wilayah idealisme, yang menggerak kan sejarah ialah ide, sedangkan
materialisme menganggap bahwa materilah yang menggerakkan sejarah. Idealisme diwakili wakili
oleh Hegelianisme, sedangkan materialisme digawangi oleh Marxisme. Yang terakhir ini sering
disebut dengan Mate nialisme Historis atau Determinisme Ekonomis.

Generalisasi Sejarah
Generalisasi sejarah selalu bersifat aposteriori, artinya generalisasi yang sudah melewati proses
pengamatan (ba hasa Latin posteriori berarti kelanjutan). Masyarakat Banten dan Madura sama-
sama pemeluk Islam yang fanatik, tetapi di Banten, dalam sejarahnya, sering diwarnai adanya pem
berontakan. lapun di Madura jarang ada pemberontakan. Ternyata, sebabnya yaitu adanya surplus
sosial. Di Banten, masyarakatnya memiliki modal untuk memberontak, di Madura tidak.

Yang terlupakan oleh generalisasi determinisme ialah faktor manusia. Manusia sebagai makhluk
multidimensi, menjadikan faktor-faktor penyebab peristiwa perubahan su lit dapat berdiri sendiri
sebagai penyebab tanpa ada faktor faktor lain sebagai pendukung.

Kita menganggap perkembangan teknologi saat ini membuat dunia sedang menuju ke arah
sekularisme, di mana tatanannya mensyaratkan kehidupan bebas nilai dan agama, seperti
masyarakat Amerika. Padahal, di sisi yang lain, gerakan fundamentalisme agama sekarang ini juga se
dang merebak.

Generalisasi Kultural

Para pelaku sejarah sendiri kadang-kadang melakukan generalisası kultural. Apa yang dikerjakan
ulama dari Kalisa sak, Kiai Ahmad Rifai yang dibuang ke Ambon (1859), ialah generalisasi kultural. Ia
menyusun kitab-kitabnya dengan syair bahasa pesisir Kita dapat menduga, itu dikerjakannya sebagai
simbol perlawanan terhadap ketidakadilan serta penindasan Belanda. Perlawanan terhadap
kolonialisme di lakukannya dengan bentuk protes sosial melalui tembang. Tembang di samping
menentang dengan sikap dan tindakan, salah satunya berupa penolakan mematuhi penghulu yang
diangkat oleh pemerintah kolonial.

Generalisasi kultural dilakukan untuk melihat peristiwa secara sederhana dari sisi budaya Seorang
kiai memang harus berani menegakkan agama Islam dengan menentang kaum penghulu yang sudah
menjadi kaki tangan penjajah kafir.

Dalam skala yang lebih luas, Arnold J. Toynbee (1889 1975), dalam A Study of History dan buku yang
lebih kecil The World and the West ia mengemukakan bahwa peradab an itu mengalami empat masa
seperti siklus musim, yaitu tumbuh, berkembang, menurun, dan jatuh la mengemuka kan bahwa
turun naiknya suatu peradaban tergantung pada hukum tantangan dan jawaban atau challenge and
response Dalam bukunya, The World and the West. Ia juga membuat semacam hukum radiasi
peradaban. Dikatakannya, bahwa peradaban vang masuk ke peradaban lain itu akan diurai kan,
seperti sebuah sinar akan diuraikan oleh sebuah prisma. Teknologi lebih mudah diserap daripada
elemen peradaban lainnya

Generalisası Sistemik

Kita sering menemukan adanya kesimpulan umum ten tang suatu sistem dalam sejarah. Dalam
sejarah ekonomi, hubungan antara Afrika, Amerika, dan Eropa sebelum Pe rang Saudara (1861-1865)
dapat digambarkan sebagai se buah sistem Afrika mengirim tenaga kerja (budak) ke Amerika.
Amerika mengirim bahan mentah (kapas) ke Eropa, dan Eropa (Inggris) mengirim barang jadi (tekstil)
ke Afrika. Kita juga melihat Jalan Sutra dari Tiongkok ke Eropa pada zaman kuno: satu melalui darat
melintasi Asia Tengah, dan yang lain melalui laut melintasi Indonesia.

Jalur perjalanan yang sifatnya lokal sebagai sebuah sistem juga dapat kita rekonstruksikan. Dari
Babad Tembayat bahwa terdapat jalan dari Semarang ke Klaten yang mele wati Salatiga. Dari
sumber-sumber VOC juga diketahui ada pula jalan dari Semarang ke Yogyakarta melalui Magelang.
Dan dalam Tembang Macapat diketahui ada jalan melewati Sungai Bengawan Solo yang dilalui Jaka
Tingkir. Jalan yang sama, dari Solo sampai Bojonegoro, juga dilalui para peda gang. Di kota seperti
Yogyakarta, kaum migran dari selatan selalu tinggal di sebelah selatan kota. Generalisasi jenis ini
dilakukan dengan mengambarkan sebuah sistem.

Generalisasi Struktural

Kita sering heran, mengapa orang asing lebih peka dari kita sendiri mengenai Indonesia. Sering
ketika kita sedang berjalan di negeri orang, di mana tidak terdapat orang In donesia, tiba-tiba kita
ditegur dalam bahasa Indonesia, oleh orang pribumi setempat. Atau, ketika kita sedang berjalan-ja
lan dengan orang asing, tiba-tiba orang itu menunjuk beber apa rombongan orang berkulit sawo
matang, dan menegur salah satu rombongan dengan bahasa Indonesia. Ternyata, orang asing telah
mempelajari dengan cermat struktur tu buh, cara berjalan, gerak-gerik tubuh, cara bicara, dan cara
diam kita. Dengan kata lain, orang asing itu telah mempe lajari susunan kita, struktur kita, mereka
telah membuat generalisasi struktural tentang orang Indonesia.

Sebenarnya, kita juga punya kebiasaan yang sama. Kita akan heran sendiri, bagaimana kita tahu
kawan kita dari Sumatera atau Kalimantan meskipun sama-sama berkulit kuning, bukan berasal dari
Timor Timur tetapi dari Papua meskipun sama-sama keriting. Orang Katolik bukan Protes tan,
meskipun sama-sama alim; orang NU bukan orang Mu hammadiyah, meskipun sama-sama suka ke
masjid. Orang Amerika dan bukan orang Belanda, meskipun sama-sama berkulit putih; orang Jepang
dan bukan orang China, meski pun sama-sama bermata sipit dan berambut lurus.

Semua itu karena structure of events, susunan peristiwa yang sudah diketahui. Misalnya, mengenai
Amerika. Poli tik luar negeri Amerika ternyata diatur oleh national inter est, kepentingan nasional.
Definisi kepentingan nasional itu tampaknya berubah-ubah. Suatu kali idealis, seperti HAM; kadang-
kadang realistis, seperti minyak. Ketika Indonesia bertikai dengan Belanda 1945-1950 pada mulanya
minyak lah (realistik) yang menjadi perhatian Amerika, dan bukan hak menentukan nasib sendiri.
Karena itu, Amerika tampak konservatif. Politik ini berubah menjadi idealisme (contain ment,
membendung komunisme) setelah terbukti Indonesia menumpas komunisme pada 1948. Akhirnya
kita mengeta hui Amerika lebih banyak didominasi alasan oportunistik.

Anda mungkin juga menyukai